pemangku otori,tas kelembagaan (pemenntahan) adat

35

Upload: doancong

Post on 29-Jan-2017

244 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Pembaruan Tala Pemcrintah,.n Desa Berbasis Lokalita~ dan Kemitraan ------- -~---

PENGANTAR DARI KEMITRAAN

Desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia, bahkan sebelum bangsa ini menampakkan be'ntuknya. Nilai historis ini perlu menjadi pertimbangan penting dalam menata kembali kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, sehingga kita dapat .mengambil hikmah dan pembelajaran men).lju kehi~upan berba:ngsa dan bernegara yang lebih baik.

Dengan populasi rakyat yang jumlahnya s'udah melebihi 220 juta ini, lebih dari 80% dianlaranya masyarakat pedesaan' yang tersebar kurang lebih di 73.000 des a, praktis tidak didukung' dengan regul(lsi yang merriadai. Sejarah mencatat kasak-kusuknF pemerintah untuk menegasikan peran penting des a baik secara p0litik, ekonomi maupun sosial budtlya. :Jpaya-upaya pengkerdilan peran dt'sa tersebut tercermin dalam UU No.5 tahun 1974 Tentang Pemerintahan Dael'ah dan UU No. 5 tahun 1979 ten tang Pemerintahan Desa. Kedua UU tersebut menempatkan des a sebagai suatu subsistem wilayah administrasi pemerintahan. Eksistensi. Desa telah terbirokratisasi ke dalam satu garis komando yang sentralistik, des a kemudian menjadi unit pemerintahan terendah sli bawah Camat.

Angin segar berhembus dengal1 terbitnya UU No. 22 tahun 1999, yang memberi ruane kepada masyarakat desa untuk membentuk, menghapus, menggabungkan, serta menentukan hak dan kewenangannya berdasar pada asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakatnya. Kebijakan tersebllt menempatkan Pemerintahan Desa pada posisi png strategis, sf>bagai unit penyeknggara ?dministrasi pemerintahan yang mandiri dalam mengatur rumah tangganya, sekaligus sebat;ai representasl politik rakyat dalam kerangka self­governing l'ommur.iry.

Namun yang dibutuhkan masyarakat des a adalah terwujudnya tata pemerihtahan desa yang mandiri dan otonom. Semc.ntara hingga saat iill regulasi yang ada di UU No 32/7.004, yang kemuclian diuraikan secar? lebih luas

_ dalam PP No 72/2005, masih menyisakan Cua permasalahan mendasar dalam pembaruan desa menuju otonomi desa. Pertama, Tata pemerintahan des a liserahkan pengaturar.nya kepada pemerintahan kabupate:1. Hal ini r.1emiliki dua dampak berlawanan, positif karena sangat responsif terhadap keanckaragaman karakteristik sosial budaya masyarakat, namun beresiko dan rentan terhadap pellyalahgunaan oleh pemerintahan kabupa:ten untuk memanfaatkan desa dan masY'1rakat.

11l

'. . '.,' Pembaruan'Tata Pemerintahan Desa Berba~is Lokalitas di'.n Kemitraan

K~dua, regulasi t~rsebut hanya m~ngatur desentralisasi, tapi tidak memberi ruang untuk otoqomi. Desentralisasi hanyalah merupakan pertanda pengakuan atau penyerahan '~e~enang bleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambiI keputusan pengaturan dan pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi (Sarundajang, 2001).

Semen tara otonomi mencakup aspek yang lebih kas dari sekedar desentalisasi. Otonomi berasa! dari kata Yuna:1i autos dan nomos. Otonomi bermakna "meme~~~~sendiri". Dalam wacana administrasi p'Jblik, daerah otonom sering disebut sebagai /0,"(1/ se(f government. Daerah otonom praktis berbeda dengan "daerahh

. saja yang merupakan penerapan dari kebijakan yang dalam wacana admIDlstrasi publik disebut 5ebagai /ofa/ state government. Ada pun tugas uaerah itu dalam . istilahnya kewenangan implisit yang di dalamnya meliputi kekuasaan ("lacht): hak (mh~ atau kewajiban' (P/ifh~ yang diberikan kepada daerah dalam menjalankan tugasnya. Mestinya kewena:1gan itil tertu:is dalam peratl,lran Perundang-un~angan.

R~gubsi 'des a y~ng- ~da hanya mengatur desentraJisasi kelembagaankabupaten kepada kelembagaan . des a, yang penuh dengan nuansa kooptasi dan penetrasi kepentingan pemerintah pusat dan kabupaten, baik ekonomi, so sial politik, maupun hud~ya. Beberapa pasal-pasal pokok jelas-jdas menyebutkan betapa pemer.intahan desa merupakan subordinasi pemerin tahan kabupaten. Seyogyanya regl,llasi ten tang desa mengatur pengelolaan komunitas d{.sa dalam manajemen rumah tangganya secara mandiri.

Dalam konteks itulah KEMITRAAN (Partnership Govcmam'c ReJom) menfasilitasi Studi-aksi Partnership-Based Rur:zi Governance Reform yang dilakukan oleh Tim Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-Institut Pertanian Bogor (pSP3-IPB), untuk memberikan ' \varna" ten tang kajian desentralisasi dan OTDA di tingkat de5a. Kegiatan ini telah memberikan capaian manfaat, yairu: .

1. Sebagai acaciemif exercise, aktivitas ini berguna unruk memperkaya khasanah keilmuan studi-studi tentang desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia '

2. Sebagai sebuah aksi implemcntatif, kegiatan ini memiliki manfaat yang sangat besar terhadap pengembangan tata pemerintah di tingkat desa yang berkaitat:, dengan upaya untuk memperbaiki siste'TI kelembagaan dan agensi pembanguhan agar'selaras dengan tuntutan Otonomi Daerah (OTDA) agar sesuai oeogau uu No. 32 tahun 2004.

Kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan selama tujuh bulan kalender dengan beberapa tahapanyang melibatkan expertist serta mengambil beberapa perspektif pemikiran. Beberapa isu. khusus yang menjadi perhatian tim studi an tara lain

IV

It

'It

Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan

apresiasi terhadap pola-pola pengelolaan sumber-sumber agraria,penghargaan ter;1adap eksistensi sis tem pemerintahan kelembagaan adat/lokal" apresiasi terhadap p~tensi ekonomi lokal, gender dan komunikasi f-embangunan. Isu tersebut dikemf.\s untuk menjelaskan bagaimana si-srem pemerintahan desa Jan politik descntralisa~i desa bekerja selam;] lnl. Pendekatan kU,tllitatif partisipatoris yar.g digunakan tim PSP3 IPB menambah point ters,endi.ri dalam studi desentralis;]si dan otonomi pedesaan.

Buku Pembaharuan Tata Kelola Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan ditulis berdasarkan temuan empirik dan pengalaman dari hasil penelitian temabk. Dengan mengambil sampel di lima propinsi setidaknya dapat memberikan gambaran proses otonorr.is:1si desa di beberapa wilayah serra kritikal issu dan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan otSnomi terse but. Pemilihan lokasi p ng memiliki ke-'khas'-an dapat menjadi pembanding bagi kita dalam melihat beberapa aspek, misalnya sistem tata­pemerintahan desa formal vs desa adat maupun politik desentralisasi · yang memili~ kekhasan sosio-budaya dan polit.Jk lobi.

Buku ini juga memberikan beberapa pelaJaran lapang yang dapat dipetik'dari sisi kelembagaan, dimana peran kemitraan sangat renting di dalam tata pemerintahan des a dan pemberdayaan komunitas pedesaan -tentunya dengan memperhatikan konteks lokal-. Maralmya issu gende.: akhir-akhir ini dikupas pula melalui pengembangan komunikasi adrrunistrasi yang memiliki wawasan gender. Sedangkan proses-proses pengembangan kebijakan tata-pemerintahan yang s2suai tuntlitan otonomi de"sa memberikan gambaran bahwa nampaknya pencapaian tata-kelola pemerintahan desa berbasis kemitraan dan 19kalitas di masing-masing lokasi kajian masih perlu diperjunngkan dan masih per~unya kemitraan dengan multisrakeholder.

Tata kelola pemerintahan desa tidak dapat dip~ah;';:all terhadap pengdolaan sumb<.:rdaya alam, dimana isu agraria yang memerlukan mekanisme kontrol yang dapat membangun dcmokratisasi kelembagaan kolektif di tiQgkat lokal. Pola kelembagaan pengaturan pen~elolaan sumberdaya alam berbasis kemitraan dan pengembangan ekonomi berkelanjutan diharapkan dapat mendukung

• kemanGirian tata kelola pemeriatahan di tingkat lokalitas desa. Perencanaan pengembangan wilayah di masing-masing wilayah dipetakan dengan melihat irnplementasi, permasalahan dan ha:nbatan dabm pelaksanaan Otda dan Otsus. Tinjauan sosial tkonomi dengan melihat SiSI rumahtangga ' lobI mengindikasikan bahwa tata pemerintahan di lokasi sampel belum ma:npu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakar lobi.

Akhirnya, apresiasi slldah seiayaknya diberikan kepada semua tim studi yar.g telah berusaha semaksimal mungkin memberikan sebuah kegiatan akademik dengan segala keterbatasan yang ada. Kami sungguh berharap bahwa hasil sttldi

I

\

\

\

I \ I \

Pemb~I'4an Tata I?emerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan

aksi yang dilakukan oleh Tim Studi PSP3 IPB sebagaimitna tertuang dalam buku ini akan' menjadi salah satu kontlibusi berharga bagi pengembangan perjuangan otonomi' desa di Indonesia.

Kami menyadari, '. meskipun segala . upaya telah karni lakukan untuk menghasilkan karya ter,baik buat bangs a dan negara , namun t~tap saja pasti terdapat ·kekurangan. Oleh kart: nrt itu kami mengundang segala bentuk komentar, kritikan dan saran guna menjadikan buku inJ lebih baik lagi . Semoga untaian pen:ikir.an ini bl:!rmanfaat bagi stakeholder yang concern dengan dinarnib p~rkembangan desa menuju kemanditiannya.

VI

Jakarta, 1 Oktober 2006

M. Sobal'i Direktur Eksekutif Kemitraan

J

Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan .

PENGANTAR EDITOR

Buku ini berusaha memberikan solusi atas beberapa permasalahan yang terkait dengan sis tern tata kelola (tata-pemerintahan) per.1erintahan des a dalam rangka merespons prOSeS otonomi da~rah, diantaranya adalah (1) lemahnya :ltau tidak eJek'ifnya kiner/a sis tern kelembagaan tata-pemerintahan yang mewadahi beragam kepentingan di tingkat lokal (clesa) sebagai akibat akumulasi kekuatan kewenangan kelembagaan di hierarkhi "atas desa" maupun "dalam desa"; (2) ketidakmandincJn desa dalam menopang dan mewujudkan masyarakat .des? yarlg berdaya (secara finansial dan sosial-politikal) dahm menghadapi segala persoalan . sosial-p.konomi-kemasyarakatan, (3) Tidak berkembangr!Ja tata­pemerintahan deJa sebagai akibat berbagai persoalan yang melekat secara s~ktural seperti dominasi kekuasaan dari otoritas "atas desa" yang selama ini terinternalisasi dalam budaya-politik pemerintahan, (4) ketiadaan ruang-publik­diskursif yang memungkinkan pertukaran wacana antar warga dan elemen masyarakat sebagai infrastnlktur JOsial kelembagaan penopang sistf'm tata­pengaturan desa, serra (5) h.eterbatasan kapaJitaJ kognilz/ agenJi pemenntahan deJa dalam menjalankan pemerintahan yang demokratis-progresif. Singkatnya, kehidupan sosial-ekonomi, poGtik des a (lokaJjtas) mengahmi stagnasi (kemandegan), disebabkan sis tern t<lra-pemerintahan desa sebagai penggerak dinamika sosial-kemasyarakaran, tioak berada dalam fonn:tt yang adaptif terhadap tuntutan otonomisasi pe.-'11erintahan lokal yaog m:lndiri. Pendekatan strategik yang dirancang dan diharapkan mampu untuk menjawab permasalahan di atas adalah: . 1. Mempllrkuat kapasitasfinansial-manajenal kelembagaan dan kaPcJsitqs sumber.dayua

manusia pelaku jungsijungsi sistem kelembagaan pemerintahan desa sehirigga ,ebagai struktur pemerintahan desa mampu memberikaI]- pelayanan kehidupan sosial-ekonomi dan politik yang lebih memad?i di tingkat lokalitas (desa).

2. Mengembangkan nlral governance rystem yar.g sesuai dengan kebutuhan dan · potensi lokal, dengan memegang teguh prinsip p:trtisipilsi dan komunikasi­refleksif antar pihak pemangku kepentingr.n desa.

3. Melnberdayakan i->elembagaan pemerintahan ciesa melalui pen~atan

struktur dan ,.gensi pemerintahan sehingga mampu menjadi penggerak perubahan desa.

Untuk menjawab permasalahan tata-p~merintahan desa di atas, Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Peocsaan Institut Pertanian Bogor yang didukung oleh Partnmhip for Governance R~/orm fndoneJia dan European Union mengembangkan studi-aksi dengan tema "Partnership-based Rural Governance Reform" yang tujuannya dirumuskzn sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi peta permasalahan can tzpologi sistem iata-pemenntahan desa

(termasuk eksistensi dan konstelasi keKuasaan dan kewenangannya vis a vis

Vll

.PernbaI"lan Tata Pernerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kernitraan

kelembagaan pemerintahan adat) di beberapa kawasan terpilih, yaitu di Provinsi N::.nggroe Aceh Daruss~lam, Sumatera Barat, ]awa Barat, Bali dan Papua.

2. Mtngembangkan sistem lata-pemerililahan deJa yang mandiri sesuai dengan cita-cita OIDA namun juga sesuai dengan setting sos io-budaj'~ lobi dengan tujuan-akhir memberdayakan dan memandiribn masyarakat (warga desa) secar;\ sosial-ekonomi dan politik b(!rbasiskan prinsip kemitraan.

3. Mengembangkan mekanisme pembaharuan tata-pemerintahan Fedesaan di Indonesia, ~elalui diseminasi temU?n · akademik dan pengembangan wacana ilmiah dalam kerangka goverr.ant:e studies:

Buku ini ditu~s berdasarbn hasil kegiatan studi-aksi yang dilaksanakan di lima provinsi terpilih deng:m pertimbangan kekhasan yang dimilikinya, yaitu: Nanggroe Aceh ryarussalam (mewakili prov insi yang mengalami konflik sosiaJ cukup lama), Sumatera Barat (me\vakili kawa~an dengan pengaturan adat "Nagari" yang kuat dan teqJelihar:1), ]awa Barat (me·wakili de~a ala Ja.va), Bali (mewakili kawasan dengan tata-pengaturan komunitas Jobl berbasis religi~sitas yang kuat), dan Papua (mewakili kawasan Timur Indunesia dengan sistem ondoafi yang masih dominan). Pada setiap provinsi kasus, dipilih Satu kabupaten yang dijadikan lokasi penelitian, dimaI~a di setiap kabupaten tersebut ditentukan dua desa sebagai lokasi penelitian dan aksi.

Buku disusun oleh beberapa penulis/peneliti yang terlibat langsung dalam studi-aksi partnership-baJed rural gOllerna!lce r~(orm. Setiap disiplin terintegrasi dengan disiplin lainnya, sehingga kajian bersifat interdisipliner. Setiap penulis / peneliti menurunkan tulisannya berGasarkan disiplin iimu yang dirnilikinya dmgan memberikanfokus perhatian pada topik-topik khl1sUS dalam studi-aksi ini. 'Secara rinci peneliti sosiologi pedesazn memfokuskall pada kajian

. kelembagaan dan kepemimpinan lokal. Peneliti kajian pengembangan wilayah pedesaan memfokuskan pada kemungkinan-keml.lngkinan penljembangan struktur pernerintahan des a yang mampu merespons kebl.ltuhan otoi1omisasi­des a sesuai . prinsip OIDA. Peneliti ilmu administrasi-pembangunan, memfokuskan airinya pada. kajian proses-proses perumusan kebija~sanaan & berbagai aras pengambilan keputusan, semen tara p~neliti kaji;.n· politik­desea.:ralisasi, melil1at lebih dalam proses-proses poli rik yang berlangsung dalam menegal:kan otonomi des a sesuai Undang-Undang no. 32/2004, Peneliti iimu komunikasi dan gender, mengkaji komunikasi administracif dan peranan wanita. Peneliti ilmu ekonomi, memperhatikan perbedaan derajat kesejahteraan ekonomi rumahtangga dan kaitannya Jengan kesiapan kawasan tersebut un'tuk menjalankan oton·omi desa. Peneliti ilmu ~konomi-Iokal melaimkan perhitungan atas , peluang7pe~uan,g ekonomi dan mengerr:bangkan pola pendekatan penguatan sistem ekonoih.i lokal. Peneliti sosiologi agraria, mengkaji persoalan pengelolaan sUq1ber-swnber agrana dan konflik-konflik agrarla yang menyertainya. ·Peneliti manaJemen sumberdaya alam, melihat eksis tensi

Vlll

I 'i I i

PembJ.ruan Tata Pemelintahan Dl!sa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan . .

kelembagaan pengaturan sumberdaya alam lokal dalam k01".i:eks tata­pemerintahan desa.

Sesuai dengan pengelompokan disiplin ilmu yang dimiliki oleh masing-mAsing penulis/peneliti, buku ini disusun menjadi tiga bagian, yaitu Bagian I (Satu) membahas persoalan-persoalan "Tata Pemerintahan Desa cian P6litik Desentralisasi". Bagian II (Dua) membahas persoalan-persoalan "Tata Pemerintahan ~llmberdaya Alam cialam Pemerintahan Desa". Bagian III (Tiga) membahas secara khusus "Penguatan Ekonomi Lokal dalam Tata Pemerintahan Desa Berbasiskan Kemitraan". Bagian IV (Empat) adalah penutup buku ':>erisi sintesis dari kegiatan studi-aksi secara keseluruhau.

Disamping dibagi ke dalam beberapa bagian, struktur buku tersusun menjadi bcberapa bab yang diurutkan per topik sebagai berikut. Bab 1 -Pendahuluan - yang mengawali isi buku dan mengantarkan kerangka berpikir pembaca kearah otonomi desa da!1 pemb.lruan tata-pemc:rintahan desa. Pada Bab 1, juga dijelaskan kera~1gka reon yang digunakan untuk menjelaskan proses Olonomisasi desa yang berlangsung di beberapa kawasan dan permasalahan­kritikal yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi tersebut. Bab 2 berjudul Reformasi Tata-Kelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik yang ditulis oleh AI.ya Hadi Dharmawan. Pada bab ini dijelaskan pembandingan sistem tata-pemerintahan desa (lokalitas) formal dan adat serta benturan kekuasaaan dan otoritas yang I1lenyertai~ya. Bab 3 dengan judul Descntralisasi Pemerintahan Desa: Menakar Idealitas dan Re~litas

Politik Lokal oleh Dodik Ridho Nutrochmat, mem'bahas politik desentralisasi di berbagai provinsi yang mecniliki kekhasan sosio-budaya dan politik lobI. Bab 4 berjudul Kemitraan dalant Tata Pemerintahan Desa dan Pembe:dayaan Komunitas Perdesaan dalam Perspektif Kdembagaan oleh Fredian Tonny Nasdian membahas lesson-learned ta,a­kelembagaan pemerintahan desa dan proposal menganai tata-pemcrintahan desa berbasiskan kemitraan yang sesuai dengan konteks lokal di lima provinsi studi-aksi. Bab 5 dengan judul Mengemb~lflgkan Kumunikasi Administrasi Efektif dalam Tata Kelola Pemerintahan Desa yang Tanggap Gender oleh Siti Amanah membahas dinamika komunikasi administrasi dan pentingnya wawasan gender dalam analisis. Bab 6 berjudul IProses-Proses Pengembangan Kebijakan Tata-Kelola Pemerintahan Desa Berbasis Lokal oleh Lala M. Kolopaking mcmbahas pola pengembangan .ata­pemerintahan yangsesuai tuntutan oronomi desa meiaiui proses-komunikasi partisipatif refleksif dan kontemplatif.

Bab 7 derlgan judul Mekanisme Kon tro l Tata Kelola Sumbt.:r-Sumber Agraria: Membangun Kelembagaan Kolcktif Lokal yang Demokratis oleh Satyawan Sunito dan Heru Purwandari membahas tata-pengatunin sumber­sumber agraria dan konflik agraria eli tingkat lokalitas. Bab 8 berjudul Pe:lgelolaan 'Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan

IX

Pembaru.ln Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan ----Tata-kelola Pemeriptahan Desa yang d!tulisoleh Leti Sundawati dan Soni Trison membahas ' poia keiembagaan pengat'Jran pengelolaan sumberdaya alam.

Bab 9 berjudul Pola Pengembangan Ekonomi Perdesaan Berbasis Keberlanjutan ya~g ditulis oleh Suharno ' me:1gajukan pola pengtmbangan ekonomi lokal untuk memp~rkuat keberdayaan dan kemandirian ekonomi .dan kemampuan fin an sial pernerintahan desa. BaG 10 berjudul Pengembangan Wilayah dan Des'entralisasi Desa: Pendekatan dan Aplikasinya oleh Eka Intan Kumala . Putri dan Arya Hadi Dharmawan menjelaskan arah penguatau sistem-administrasi pemerintahan atau keiembagaan dar agensi­pengclola pemerintahan sebagai prasyarat berjalannya perkembang-an desa yang progresif sesuai . OTDA. Bab 11 berjudul Tingkat Kesejahteraan Masyarakat: Tinjauan Sosial Ekonomi Rumahtangga Lokal oleh Yoyoh Indaryanti mengkaji disparitas kesejahteraan sosial-ekononti sebagai persoillan krusial yang harus di ~addif ss oleh pembaru,1l1 tata-pemerintahan desa. .

Buku ini ditutup oleh Sintesis atau Bab 12 berjudul Pembaruan Tata­Pemerin~aan De.sa: , Transformasi Struktur dan Agensi Kelembagaan Pemerintahan Desa Berbasiskan Kemitraan yang ditulis oleh Arya Hadi Dharmawan.1)ada intinya, proses pembaru,lll tata-pemerintahan des a harus mcmperhitungka~ potensi kelembaga,ul yang mengatur segala kebutuhan pokok-kehidupar masyarakat desa/lokal.itas (aspek struktur) sertil potensi sumberdaya manusia sebgai pelaku tata-pemeril1 tahan des a (aspel: agensi). Kedua aspek harus disentuh secara simultan agar proses pembaruan tata­pemerintahan desa berjalan dengan baik mengikuti tulltutan cita-ci.ta OTDA. Dalam kesempatan ini tim studi-aksi "Partnership-Based lVira/ Governam'e Reform" (selanjutnya disebut stucL-aksi) dari Pus~t Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor (PSP3IPB) mengucap!':an syukur tak terhingga kchaoo'at Illahi ROQbi aras selesainya seluruh rangkaian kegiatan lapangan di lima provInsi studi-aksi cJengan berbagai hasilnya serta terselesaikannya buku ini. Harapan tetap ditengadahkan kepadaNya, agar apa­apa yang sudah dirintis oleh studi-aksi ini insya Allah dapat terus be::langsung berkelanjutan dan memberikan makna yang berguna bagi cita-cita otonomi desa dan kesejahteraan masyarakat des a di seluruh Indonesia. ,Rasa terinla kasih yang sebesar-besarnya diucapkan kepada pihak Partnership for Gover:nam-e R~foi'm Indonesia dan European Union yang mcndanai semua kegiatan studi-aksi ini'. Ucapan terim? kasih yang sebes'l.r ·besarnya juga disampaikan . kepada para Gubernur dan Bupati dimana lokasi studi-aksi dilakukan beserta jajarannya. Ucapan terima kasih tak terhingga juga disampaikan kepada para Kepala Desa beserta aparat desa dan Pemimpin Adat bes~rta sesepuh adat dan ma~yarakat di sepuluh desa lokasi studi-aksi yang telah bersusah-payah mengikuti rangkaian kegiatan yang sangat padat dan be~alan dalam ritme yang sangat cepat. Kepada ternan-ternan pendamping/ aktivi3 dari Lembaga Swadaya

x

._-

Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan -------I

Masyarakat (LSM) dan peneliti universitas lokal yang ikut menopang kes\.lksesan kegi.atan studi-aksi yang nam,lnya tidak bisa disebutkan satu- p'ers:ltu, kami mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga. , Akhirnya, kami berharap semoga Sl.mua leJJotlJ learnt yang terkandung dalarn buku ini dan apa-apa yang dianggap baik Jari semua ;xoses studi-abi dapat ber:l1anfaat bagi pembaca dan dunia praxis sena akademik. Tiada gading yang tak retak, kami mohon maaf apabtla ada hal-hal yang belum sempurna disajikan dalam ruang sesempit buku ini.

01 Oktober 2006 Atas Nama para Penulis/Peneliti

Arya Ham Dharmawan Ketua tim Studi Aksi

Xl : , (

. PemDaruan 1 ata rt!m~rUlLdlld.n Ut:~d 1.It:1VCI.:U;) L.VAa.ULCI.;:) U.a.H J:"-';::.l.llH.lAU,1.l

Pengantar Dari Kemitraan . r engan tar Editor

Daftar lsi Daftar Tabel Daftar Gambar 1 Pendahulllan

DAFTAR lSI

2 Reforma3i Tata-Kelola Pemerintahan Desa: Investigasi T eoretik pan Empirik

3 Desentralisasi Pemerintahan Desa: Menakar Ido:alitas Dan Realitas Politik LobI

4 KemitraanDalam Tata Pemerintahan Desa Dan Pemberday~an Komunitas Perdesaan Dalam Perspektif Kelembagaa'n

111

vu XU

X111

XlV

23

46

67

5 MengembangkanKomunikasi AdlTljnis trasi Efektif Dalam 111 Tata Kel0la Pemerintahan Des~ Yang Tanggap Gender

6 Proses-Proses Pengembangan Kebijakan Tata-Kelola153 PemErintahan Desa Berbasis Lobi

7 Mekanisme 'K6ntrol Tata Kelola Sumber-Sumber Agraria: 175 Membarigun Kelembagaan Kolektif Lokal Yang Demokratis:

8 Pengdolaan SumberdayaAlam Berbasis Kemitraan Untuk 213 Pemharuan Tata-Kelola Pemerintaha':l Desa

9 Pola Pengembangan Ekonomi Perdesaan Berba5is 226 Keberlanjutan'

10 Pengeinbangan Wilayah Dan Desentralisasi pes a: Pendekatan 241 Dan Ap!ikisinya

11 Tingkat !Zescjahteraan Masyarakat: Tinjauan S03ial Ekonomi 261 Rumahtangga Lokal

12 Pembaruail Tata Pemenntahan Desa: Tramformasi Struktur 2'13

xu

Dan i>g~nsi Kelemoagaan Pemcrintahan Des;) Berbasisbn Kemitraan '

Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lok"litas dan Kemitraan ---

DAFTAR TABEL

Nomor Teks HaIam~n -.-'.

1 Komparasi Subs~ansi UU 5/1979,UU 52 22/1999, danUU 32/2004

2 Perbedaan Bentuk. Pemerintahan "Desa" di 57 Naggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Jawa Barat, Bali dan Papua

3 Pendekatan dlln Saluran Komunikasi 115

4 ~eoerapa Aspek yang Perlu dikembangkan 146 untuk Penerapan PUG

5 Persentase Penggu.1aan Lahan d.i Kecamatan 196 Marga tahun 2001-2004

6 Persentase Periggunanaan Lahan di 196 Kecamatan Ker?.mbitan tahun 2001-2094

7 Jenis Sumberdaya Alam Lokal Tablasupa 198

8 Komparasi Kelembagaan yang Mengatur 207 Sumber-sumber Agraria Lokal

9 Uraian Jenis dan Bentuk w.:odal Masyarakat 230

.,

X 111

~ . .

Nomor 1

2

3

4

5 6

7

8 9 10

11

1~

13 14

15 16

17

' 113

19

20

XIV

Pembaruan Tata Pemerintahan Desa flerbasis LokaJitas dan Kemitraan

DAFTAR GAMBAR

Teks . Empat Tipe Sis tern Tata Pengaturan Pemerintahan

Desa (dimoclifikasi dari Fukuyama, 2004) Perbanclingan Kara!~ ter Pemerintah Desa d;:n' Ororita~ Kelembagaan Adat Relasi Kekuasaan dalam Pemerintahan di Kawasan Lokalitas Gambaran Ringkas Permasalahan Tata Pemerintahan Lokalitas (Desa) I

Anatonu Urusan Pemerin tahan (S'.lwandi, 2006) Keterkaitan an tar Lembaga dan Masyarakat dengan p 'emerimah Desa Proses-proses Kebijakan Saling Pengaruh antar Pihak Pengembangan Tata Kelola PemerintahMl Desa Tingk~tan Partisipatif Peraricangan Pengelolaan Kolaboratif Penilaian Masyarakat eli Desa-desa Kajian ata~ Mutu Pelay:man Publik, Tahun 2006 Tingkatan Tata Kelola Pemcrintahan Desa Menurut D aerah Langkah dan Pto~es D ialog untuk Petnbaharuan Tata Kelola Pemerintahan Desa Berbasis KemiLraan'dan Loklllitas I.ingkup Hubungan-l11..lbungan Agraria AIUl;' Hasil dan Penggunaan dari Setiap }\ktivitas pertanian R..esponden StnikturLembaga Adat M ukirn Intetaksi Struktu.: dan Agensi Tata Pemerintahan De~a . Kinerja Struktur Organisasi dan Agensi Pemerintahan Desa Konflik, ,dan Kerjasama dalam Tata-Pengaturan Sllmber-Sumb~r Agraria Struktur Kelembagaan dalam Partnership-Based Rural Governance System di Papua Stmktur Kelembagaan dalam Partnership-Based Rura: Govefnant'e System di Minangkabau - Sumat\!ra Barat

'Halaman 9 .

18

20

43

120 141

158

161 161 165

169 ,

171

176 185

204 276

277

281

286

287

I

, '

:' .

PENDAHULUAN

OIeh: Arya Hadi Dharmawan

Kebijakan "Otonomi Daerah" (OTDA)3ebagaimana gagasanr.ya tertuang pada Undang Undang (UU) no. 22/1999 dan revisinya pada UU po. 32/2004 tentang "Pemerintahan Daerah" menjaeli salah satu landasan perubahan sistt;m tata­pengaturan atau tata-pemerintahan (gov.:rna1(ce system) yang penting dalam sejarah pembangunan politik dan pengelolaan administrasi pemerintahan secara nasional. UU tersebut merupakan keputusan yang pantas disambut baik oleh semua pihak, namun sekaligus juga perlu eliamati perkcmbangannya secara seksama, elievaluasi dan selalu elikritisi secara terus-menerus agar implementasinya tidak menyimpan£ dari "ruh" atau idedlogi (kesetaraan para pihak pemangku kekuasaan, keP1andirian, kesejahteraan sosial, demokratisme, partisipasi, keberdayaan masyarakat, tata-keiola ' pemerintahan yang baik) yang ciiperjuang-kannya:

Dalam konsepnya, OIDA (sesuai OU no. 22/1999 dan peuyempur-naannya pada UU no. 32/2004) secara eksplisit atautJun implisit hendak mengedepankean cita-cita penegakan prinslp-prinsip demokratisme (kesetaraan, kesejajaran, etika­egalitarianisme), ke:mgguian iokai, kumitrnen pada mie of thegam(, JLng telah elisepakati, apresiasi terhadap keberagaman, prinsip bottom-up, desentraiisme administratif yang elegan dan berwibawa eli tingkat lokal serta ~erkemampuan mengatasi persoalan riil cll. lapangan, penghargaan pada prakarsa serta hak-hak pclitik masyarakat lokal, kemandll:ian dan kedauhtan sistem sosial-ekonomi lokal serta pembebasan dari segala bentuk 'ketergantungan sosial-rohtik pada semua pihak. Salah satu ' aspei< penting dari good-governam'e pn'naple, yaitu centrol oj pOlller yang eliwujudkan secara operasional dalam prinsip transparansi ketc.ta-pemerintahan dan akuntabiiiias (jengelolaan keuangan) pubiik juga menjaeli salah satu ciri-utama UU tersebut. Dalam konteks efektivitas capaian atau kinerja UU terhadap pencapaian cita-cita desentraiisme, persoalan yang segera muncul adalah: apakah keseluruhan isi UU dapat segera mampu mewujudkan cita-cita tersebut pada aras 10kai (desa)? ApaJ;:ah sesungguhnya UU no. 32/2004 memberi!<an lokalitas (desa) benar-banar kekuasaan dan kewenangan yang otonom ' ,,'

dalam mengatur rumahtangganya? D:ilam setting geo- ~osio-kultural komunit3es des a yang sangat beraneka, dapatkah UU no. :;'2/2004 bekerja secara efektif mewujudkan cita-cita luhur tersebut, bagi masyarakat lokal? Jika jawabannya ' ~tidak

atau belum terjadi", maka hal-hal a?akah yang perlu eliperbaiki? . ,

Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbads Lokalitas dan Kemitraan ,

Otonomi Lokalitas (Desa) dan Jebakan Ketergantungan

,; Dalam sejarah tata-pemerintahan di Indonesia, otonomi yang asli, sesungguhnya berada dan telah berlangsung sejak lama di araS lokalitas, dan bukan di ~ras Kabupaten iltm Kota sebagaimana yang diketahui orang saat ini. Mengapa? karen a pengaturan atau , pengorganisasian kehidupdn sosial kemasyarakatan telah berlangsung di aras lokalitas sejak "jauh Inri" sebelum perangkat-perangkat organisasi pemerintahan di tingkat "supra lokal" dibentuk oleh pusat kekuasaan pemerintah (Anonymous, 2006). Dalam kerangka pengaturan kehjdupan sosial­kemasyafakatan yang otonom tersebut, komunitas lokal membentuk kesatuan ma!)arakat hukum adat dengan berbagai nama asli yang beragam-ragam sesuai setting budaya daerah masing-masing. Nagar! dikenal sebagai tata-pemerintahan asli bagi lokalita, di ranah Minangkabau, Pakraman di Bali, Ondoaji (andewapz) di Papua, dan Gampong di Aceh. Kes'atuan masyarakat adat yang membentuk kesatuan masyarakat hukum tersebut dibangun berdasarkan asal-usul leluhur secar? turun-temurun di atas suatu wilayah adat yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam di dalam dan di atasnya. Kesatuan masyaraKat hukum adat tersebut mengembangkan perangkat kelembagaan/ untuk mengatur dan memcnuhi kebutuhan-kebutuha'1 Kehidupan masyarakatnya. N'amun, sebagl1.'l1ana telah dikeITJukakan oleh ban yak studi terdahplu; kelembagaan adat dan kesatuan masyarakat hukllm adat mengalami perriinggiran (marjinalisasi) dan penghancuran-kelembaga~m yang sangat sistemati:; sejak diundangkallnya UU no. 5/1979 ter.tang pemerintahan daerah (sebelum dikoreksi .ol~h ~U n<;>. 22/1999), yang menyeragamkan konsep tata-pemerintahan lokalitas diseh.iruhlndonesia dengan konsep des2 ala Jawa (lihat Syafa'at, 2002). Pengenaian ~onsep desa sebagai satu-satunya sistem pemerintahan lokalitas telah men-displace , (melemparkan) keberadaan kelembagaan adat yang sesunguhnya kekuasaan dq'n otoritasnya masih sah secani tradisional. '

Berangkat dati semangat untuk merekonstruksi puing-puing kehancuran kesatuan masyarakat hukum lokalitas (adat), maka UU no. 22/1999 dan UU no. 32/2004 berupaya m(!ngembalikan kedaulatan hukum loka! itu meLalui pasal-pasal pemerintahari desa. Meski, tata-pengatu~an daerah tidak dapat melepaskan diri~ya dari konsep pemerintah-desa sebagai p\lsatkekuasaan pemcrintahan lokal, namun semangat tintuk k~mbali kepada pecg,ituran lokalitas tampak menonjol pada UU no. 32/2004. Sebenamya dengan ciiterim:ll1ya UU no. 32/ 2004 scbagai given-and­agreed regulating institution seperti itu, maka ri:cbijakan OTDA sudah berada pada jalur yang benar untuk mengapresiasi "kedaulatan lokalitas" sebagai wilayah oto,nom:­asli dalam m'enata, mengelola, dan mene~tukan tatanan pengadministrasian segala urusan yang menyangkut interaksi warga negara dan kesatuan sosialnya dan warga negara d~ngari' 'negaranya. Persoalannya, clengan konsep pemenntahan-desa sebagli satu-satunya {ystem of government yang ditawarkan,-naka potensi konflik antar otoritas kelembagaansegera tampak di depan mata. Bagamanakah upaya memandirikan dan mensejahterakan masyarabt lokal yang masih mengakui eksistensi sistem pengaturan adat dalam bingkai pemerintahan desa ala Jawa?

2

Pembaharuan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan _

f\rtinya, sejauhmana kedaulatan lokal (~ermasllk kedaulatan ' adat) bisa diterjemahkan dal~_m bahasa kedaulatan desa, sebagai satu-satunya sis tern tata­pemerintahan tingkat lokalitas yang sah menurut Uno. 32/2004? Bagainana eara mentfansformasikan kepentingan-kepentingan (termasuk kepentinga.n ad~t) dalarn pe.1g;lturan lokalitas kepada kelembagaan tunggal ya ng d~pimpin oleh Kepala Desa dengan perangkatnya itu? .

Berpijak pada eita-eita keberdaulatan d:l11 otonomi lokalitas itu, UU no. 32/2004, (meski rnasih mengandl!ng beberap'1 perranyaan) menegaskan pengakuan "kedaulatan desa" seeara eksplisit pada pasal 200-216 serta penajarnannya pacla Peraturan Pemerilltah (PP) no. 72/20l\5. D:t!am UU dan PP tersebut, juga ditegaskan platform bagi penyelenggaraal1 sis tern administrasi pembangunan yang memungkinkan setiap stakeholder mengaktuaLsasikan eita-eita peneapaian dera;at keadilar. dan kesejahteraan sosial-ekonomi yzng lebih balk (better and sustainable sodo­econor.7ic· standmd q/liviniJ seeara manruri dan bersama-sama, mengatur rurnahtangga desa seeara mandiri, menjalin jejaring kerjasama des a, menggali surnber' keuangan desa mandiri, serta rnemperjua.ngkan kelestari:lI1 sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan (sustainable natural resources and environment) seeara as?iratif (lihat pasal 209-211 UU no. 32/2004).

' Dengan demikian, konsep otonomisasi lokal (desa) sebagairna_1.a gagasannya tertuang pada UU no. 32/2.004 sebenarnya telab memberikan landasan ya'ng memada: bagi semua pihak (di desa) untuk menjalankan sis tem pembangunan yang del?lokrafiJ-par~iJipatll; inkluJl/koiektiviJlik, serra tumbuhnya semangat t'ollegiate­participatory development, barmonis (r:1enekan peluang terjadinya konflik diametral antar pihak). Fada saat yang bersam:tan DU no. 32/2004 tetap menjuf!jung tinggi ClJas perbedaan pandallgan dan pluralisme dalam Femutusan kebijakan. Memang, sejumlah persoalan "tetap dibiarkan menggantung", dalam hal ini, terutama berkenaan dengan fungsi pemerintah desa sebagai "tumpahan segala urusan" yang sel1arusnya menjadi urusan dan kewenangan pemerintah supra-desa (kabupaten). Sernwtara itu, pem~intah desa "dibiarkan" tetap dalam ketidakberdayaa:1 se'eara finans ial deng:lI1 segala mararn tuntutall-k~\Vajiban yang harus diselesaikannya.

Jika otonomi lokalitas (untuk semen tara) disepakati mengarnbil bentuk sebagairnana formatnya tereermin Ja~arn pasal-pasal 200-216 UU ,no~ 32/2004 (o tonomi desa), maka muneul p~rtanyaall berikutnya, mampukah UU no. 32/2004 dan PP no. 72/2005 ten tang Pemerintahan Desa menjamin 'kedaulatan-dan­kemanidirian desa sepenllhn y;>. (kemandirian dalam pfngambilan keputusan, pendanaan, pel1gelolaan lokalitas)? Dapatkah semua prasyarat pembangunan di ranah administrasi publik desa tersebut dijalankan dengan baik sesuai eita-eita otol1omi lokalitas (desa)? Benarkah organisasj pemerintahan desa yang posisi­sosiologisnya "berada dalam perangkap birokra~i pemerintahan pJsat dan kabupaten" mampu membebaskan dirinya dan mewujudkan seg~,la : eita-eita keberdayaan dan kedaulatan lokalitas / desa secara kons truktif? Adakah potfnsi konflik yang muncll akibat bekerjany;, "jebakan-jebakan biokra~i" via aturan-aturan

3

.' .... > , .. ,

Pembaruan Tata Pernerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kernitraan

yang sangat mengikat ,serta sec::Ira nj,id ditentukan oleh pemerintah "atas desa"? Strategt apakah yang harus disusun untuk memberdayakan dan meneguhkan otonomi lokalitas (desa) sesur.i cita-cita dan selaras dengan UU 32/ 2004?

Otonomi Lokalitas (Desa) dan J eba!<an Konflik Vertikal

Sebagai keputusan innovatif di bidang politik-pemerintahan, OIDA sesungguhnya bertujuan utama mengoreksi dan mendekonstruksi ideologi "sentralisme­otoritarianisme " sebagaimana mekanismenya tebh berjalan pada sistem pemerintahan Orae Baru (ORBA) sejak 1966-1998. Persoalannya, "ruh sentralisme" yang telah begitu lama mendarah-daging dalam sistem birokrasi dan tata-pemerintahan nasion ai, sulit untuk dihapuskan s::cara serta-merta oleh sebuah undang-undang pehierintahan daerah, yang didalarnnya pun masih banyak hal-hal' yang diperdebatkan. Oleh karen a itu, OIDA mernerlukan waktu yang cukup panjang untuk samp~ pada cita-cita rnewujudkan tuntutan tatanan-sosial sistem kernasyarakatan yang baru di J IIdo:1esia (kemandirian lokal, demokratisme,

. partisipasi publik, good-governam·e). D alam perjalan z.nny'" implementasi konsep OTDA bahkan tidak sedikit menghadapi halangan, kendala serta persoalan­persoalan struktunil dan kultural pada tingkatan implementasi, yang besarannya beragammeriurut.kawasan, setting ekosistem, setting latar-belakang sosio-budaya d1n setting sistem sosial-kemasyarakatan setempat. Artinya Jetting geo-sosio-kultural r.1emberikan penga'ruh sangat berarti bagi efektivitas implerPentasi UU Pernerintahan Daerah itu sendiri.

Dalam pada itu, penataan sistem tata-pernerintahan baru ya:1g berorientas;bn desentralisme , eli tingkat kabupaten / kota, juga menghadapi persoalan-persoalan struktural (tet;masuk kelembagaan), kultural, psikologikal, dan tata-administratif menyangkut "b.!b:.:::;:!:-:. :mtara pernerintah kahupaten/ kota dan pemerintah desa­des a" di bawahnya. Wewenaag yang melimpa;1 di tingkat pemerintah3kabupaten, sebagai akibat diberlakukannya OIDA, justru telah mcnyebabkan munculnya gejala barn berupa "resent."alisasi" kekuatan'dan akumtllasi k ekuasaan.yang uerlebihan di tingkat otoritas-kabup2ten/kota. , Akibatnya, kernandirian desa (sebagai wilayah­administrasi di bawah hierarkhi kabupaten) kernbaL rnengaiami"dekapitaliJasi k ekua.raan", dimana desa "gagal" rnendapatkar: dllkungan modal-politikal dan modal· 'kultura/ yang dipc.dukan bagi turnbuhnya sis tern pengaturan desa yang mandiri dan berwibawa. Desa menjadi sernakin tergantung pada ritrne dan arahan kebijakan politik pcmerintahan pada hierarkhi keku::lsaan di atasnya.

Dengan kondisi yang demikian, dikhawa tirkan, desa-desa di Indonesia - yang semula diharapkan menguat statUJ keberdqyaan,!ya - kenyataannya, justru rnengalami realitas sebaliknya yaitu reduksi·kekuatan yang sangat signifikan vis a vis pemerintah kabupaten dan pusat. Otoritas aclmil'.istrasi kawasan-Iokal (desa) kembali "terseJot" konsentrasinya ke tingkat kabupaten/kota, dan menyisakan peningkatan

- ' - ' -'- ' -'~'-'- ' - ~ -" -'. 4

Pembaharuan Tata Pemerinbhan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan

derajat ketergantungan des:! terhadap Kabuparen/kota yang cukup substan,sial (desa kehilangan kedaulatan dan kcmaneliriannya). Desa kembali mengalami dependenry­syndrome, yang 3ituasinya mirip sebgaimana terjaeli pad:! prH · OREA. Ketergantungan sosial-ekonomi dan pol.itik desa terhadap otoritas central-government eli masa ORBA kini beralih keterg'1l1tungan slruktural terhadap pemangku otori.as kabupaten/kota. Sejauh ini, des a tetap m cnghadapi persoalan infer~oritas serta ketidakmandirian dan "ketidakberdaulatan". atas wilayahnya sendiri dikarenakan ketidakmampuannya untuk "berkompetisi serra bersaing" melawan kekuatan yang dimiliki oleh otoritas kabupaten.

Dengan kata lain, pembaharuan sistem tata-pemerintahan eli : tingkat

kabupaten/kota sebagaimana melekat pada konsep OTDA, tidak mtlmberikan elampak penlbahan berarti terhaelap JiJ/em tatapemeril//ahan eli tlngkat desa. Jika hal ini diangap persoalan yang mengganggu cita-cita otonomi 10kaLitas (desa), maka pertanyaannya, model reformasi tata-pemerintah:-tn (desa) seperti apakah yang seharusnya elilf\kukan? Jika pembenahan eli tingkat kabupaten pun harus dilakllkan, maka bagaiman~ strategi yang harus eli!empuh?

Selain persoalan eli atas, pelemahan kemanelirian desa seterusnya akan menyebabkan ketimpangan sosial dalam struktur tata-pemerintahan yang akhirnya bisa mereduksi ke~eluruhan capaian pembangunan sosial-ekonomi dan politik yang elicita-citakan bersaina. Sejurr.lah persoalan dan tantangan yang muncul, adalah:

1. Desa berpotensi mengabmi guni"angan stabilitas Josial-politik ,dan kekai"au.:m organisasi tata-pemerintahm: sebagai akibat berlangsungnya kor:flik-konflik kekuasaan dan wewenang secara vertikal, antara, pemegang otoritas pemerintahan, desa versus pernegang otoritas pemerint::than kabupaten (eli "atas desa").

2. Secara horisontal, tata-pemerintallan desa formal menghadapi "lawan-lokal" berupa sistem tata-pengaturan "pemt:rintahan adat" yang secara historis telah berurat-berakar eli tingkat loka!. Konjlik otoritas kelembagaan ,di tingkat lokal sungguh suli ~ elihindarkan, oleh karena setiap sis tern tata-·pernerintahan memiliki dasar rasionalitas dala!",1 cara-berpikir. ("logika") terseneliri, yang semuanya sama-sama masuk aka!. Dalarn UU no. 32/2004 pemerintahan desa L1emang menjadi satu-satun),tl organisasi pengaturan "super-power' eli lokalitas (e1esa) yang diberikan kewenangan untuk mccgadmmistrasikan segala macam urusan (l;hat UU no. 32/2004 pasal 206)_ Namun, sebelum pemeriNahan desa haelir dan eliakui, secara kesejarahan kelemb'lgaan ada t telah eksis terlebih dahulu. Hingga kini pun reievm,si dan eksistenslnya dalam pengaturan k::hidupan sosial-kemasyarakatan ~okal tetap diakui oleh masyarakat lokaL

3. Kapasitas itifnlJtmktur kelembagaan desa yang ada (pada kenyataaJ;lny~) terlalu lemah (atau hamplr tidak berarti) dan rapuh kekuatan finansialnya dalam

. menopang proses-proses tata-pemerintahan menunit tunfutan otonomi dan kemanc\irian lokalitas (desa) - sehingga kemnngkinannya, pcmerlntahan lokalitas (desa) akan mengalami kelumpuhan bila tidak direvjtalisasi. '

_ • _ • _ • _ J _ • _ ~ _ :, _

5

to Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan ~. ,

( 4. Sis tern sosia!-ekonomi dankesejahteraan maryarakat desa tetap mengalami stagnasi, r· insemre, tak rnarnpu berl:ernbang, tidak rnancliri, bergantung dari surnber

keknatan ekonomi dari ~uar, serta tidak st/stainable sebagai akibat tidak lacgsung dati ketidakrnarnpuan pern <tngku otoritas-pernerintahan desa dalarn rnenggerakkan pernerintahan dan rnenggali potensl lokai. Secara ringkas, hal ini dikatakan sebagai krisis ketatapernerintahan lokalitas (desa).

5. jurang-komunikasi dan koordinasi an tara , otoritas administrasi pernerintahan kabupaten dan desa tetaplah' lebar, sekalipun . UU no. 32/ 2004 telah rnernberikan koridor kornunikasi yang konstruktif. Hal ini rnenyebabkan ti'dak sernua a~pirasi des a tersarnbungkan ke "atas desa" dan rnenjadi rnasukan penting dalarn proses perurnusan kebijakan oleh pernangku otoritas pernetintahan kapupaten,

6. Organisasi pernerintahan desa bersarna lernbaga kernasyarakatan di des a, kenyataannya, juga sangat lernah kernampu:tnnya dalarn rnenjalankan pengelolaan pernerintahan seoara internal, pelayanan publik, kapasi tas untuk berinisiatif, serta kapasitas keuangan dan penganggaran. Prasyara t minimal tata-fernerintahan ini jelas a~an rnenyulitkan pencapaian derajat good-rural governance yang lebih baik seperti adanya jarninar:. ahes keterlibatan / partisipasi publik dalari:q~erigelolaan dan kontrol terhad:lp pemerintahan yang lebih baik.

Semen tara itu kenyataan di lapangan rnenunjukkan, bahwa cita-cita kornunitas lokal (desa) untuk dapat rnerealisasikan derajat kesejahteraan, keadilan, keberdayaan dan kernandiri:1l1 y:mg Iebih tinggi "secara segera", menjadi faktor pendorong terus diresponsnya UU no. 32/2004 secara antusias, Respons tersebut terutarna sangat terasakan ,di kawasan pedesaan Jawa, dirnana struktur tata-pernerintahannya m~rnang telah well-adapted terhadap UU tata-pernerintahan terse1;?ut. ' Hal sebaliknya terjadi di "desa-desa adat" atau des a dirnana sistem tata-pengaturan sosial­kernasyarakatannya menggunakan basis legitirnasi selain UU Pernerintahan Daerl'h.

Sekalipu:1 UU no. 32/2004 rnengapresiasi keberadaan tata-aturan adat (pasal 203 dan pasal 216), narnun otoritas adat d-:ngan sis tern tata-pemeri!Jtahan as/i, sulit beradaprasi/rnenyelaraskan denga.1 keberadaan sistem tata-pemerintaha~ formal d3lam konsep desa. Alhasil, dalarn mere5pons pe1uang desentra!isasi 1 atau OtOLOml .

I Rondinelli and Nellis (1986)sebagaimana dikutip oleh CohE:n and Peterson (1999)mengemukakan bahwa desentralisasi adafah "the transfer of resDonsibility for planning, management, and the raising' and allocation of resources fmm the central govemment and its agencie, to fielo units of govE:rnment agencies, wbordinate units or levels of govemment, semi autonomous public authorities or cor;>orations. area·wide regional or functional authorities, 'or non·govemmental private or vuluntary organizations": .Ada tiga bentuk desfmtraJisasi-administratif yang dikenal dan penting untuk diketahui yaitu: (1) dekol1sentrasi, yang r,lenunjuk ;lada transfer kewen~ngan da;; jenjang hierarkhi adminstrasi tertentu ke bawah; namun masih tetap dalam satu jurisdictional authority pada p~merintah pusat; (2) deJegasi, yang mcnu~juk pada transfer of government decision-making and administrative authority untuk sebuah tugas tertentu kepada suatu organi5asi tertentu yang sifatnya , bisa tidak·secilra-Iangsung ataupun independen dan kontrol pemerintah; (~) devolusi, yang menunjuk pada tr'lnsfer ~ewenangan dan pemerintah (central government) kepada local-level govem,mental units yang mengemban status sebagai holding institution yang disahkan oleh peraturan hukum (Iegisla~ion) (lihat Cohen and Peter.;on, 1999), :v1enurut Work (2001), devolusi dapat dikategorikan juga seba~ai desentr~lisasi "politik" jika pengertiannya mencaklJp "adanya transfer tanggungjawab atau kekuasaan pengatur?nlreguJasi secara penuh dalam decision-making, penggunaan resources, dan penciptaan pendapatan, dari

- . - . ~ . - . - . - . - . - . - . -.- . - . - . - . - . - . - . - . - . - . - - '- ' - ' - ' - ' - -- ' - ' - ' - ' - ' - ' -" . _ . _ . _ . _ . _ . _ .

6

Pembaharuan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan

lokalitas (desa) yang elitawarkan oleh negara melalui plaifonn UU ,no. , 32/2004, otoritas adat seringkali' b'erbenruran secara kelembagaan dengan otontas formal (pemerintah desa) yang legitimate menurut hukum positif kenegaraan.

Sesuai dengan prinsip-prinsip desentralisme menurut UU no. 32/2004,maka "perubahan nasib" sebuah komunitas lokal (desa) hanya bisa direalisasikan bila komunitas lokal tersbut mengambil prakar:a penuh, keJlJenangan -dan tanll',ung jawab yang subtansial pada praktek ;?emerintahan dari kelembagaan pemerintahan pada hie"arkhi kewenangan juriseliksional eli atasny'l. Prinsip iill tercermin pada pasal 212 dan 213 bahkan paS'll 214 (ten tang kerjasama desa) UU no. 32/2004 yang memberikan keleluasaan penuh bagi pemerintah desauntuk menghimpun sumber­sumber pendai1aan bagi kesejahtenlan masyarakat desa. I~ewenangan tersebut dilimpahkan "ke bawah" dan diman (aatka,l sebagai "modal" bagi penyelenggaraan tata-pemerintahan desa. .

Persoalannya kemuelian: (1) apakah setiap desa mampu _- untuk menjalankan otonomisasi des a dengan pendekatan yang seragam sesuai UU no. 32/2004 (padahal jelas dimaklumi bahw~, setiap desa menghadapi kendala-kenclala yang khas, elimana derajat persoalannya pun berbeda ~lntara satu dan lain desa)? (2) Melihat aspeknya yang begitu ' kompleks G.ihadapi oleh sistem tata-kelola pemerintahan desa, maka rr.uncul pertanyaan: sejauhmana kebijakan desentralisasi­desa bisa eliterima dan operafional sesuai dcngan keragaman struktur sosial masyarakat desa eli Indonesia? Jika devolusi-kekuasaan adalah cita-cita desentraLsasi yang elipilih untuk memberdayabn desa, maka muncul pertanY9.an: bagaimanakah pcntahapan penataan_ tata-pemerintahan desa seyogianya elilakukan agar cita-cita "kedaulatan desa" (keberdayaan desa) dan. kesejahteraan desa te~jud?

Konseptualisa.si Otonomi Lokalitas (Desa)

"Devolusi kekuasaan" jelas sulit direspons secara sena-merta oleh setiap lokalitas (desa). Hal ini elisebabkan olch ban yak fakror, eliantaran ya tidak , semilll lokalitas (uesa) memiliki derajat perkembangan kemajuan seperti yang terjadi di kebanY1kan desa eli Pulau .J awa . Ada ker.agnman yang sangat tinggi yang menyebabkan otonomisasi desa harus mengambil strategi berbeda-beda.

Sistem pemerintah~n lokalitas (desa) eli berb.lgai kawasan Indonesia seperti Nanggro'e Aceh Darussalam, ranah Minangkabau, Ball, dan Papua, teiah 'mengenal tata-pengaturin scsial-kemasyarakatan asli yang berbasis pada ikatan-ik:ptan ~radisi

keturunan sedarah (genealogiSj, da;} ikatan religiositas. Tata-pengaturan ,adat I tersebut telah ada bahkan sebelurri Nega;a Kesatuan F_epublik Indonesia dilahirkan (lihat Syafa'at, 2002). ' Dengan kata lain, devolusi kekuasaan , dan k~w,enangan

otoritas tunggal-negara kepada otoritas publik (masyarakat sipil , nega'a dan swasta) yang otonom di tingkat lokal dan bekerja secara independent legal entity". ' , ,

7

Pembaruan Tata. Pemerintahan Dcsa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan . l

pemerintahan 2i sektor publik terhadap pemerint'lh des a akan berbenturan dengan kelembagaan pemerintahan adat yang tdah eksis terlebih dahulu dan legitimate secara tradison~l. Siapa yang harus mendapatkan devolving pOlver dari "atas-desa"? l'emerintah desa formal (menurut UU no. 32/2004) ataukah otoritas adat?

Devolusi mengandung eua makna sckaligus , yaitu: tran.ifer /angJ,lIngjall'ab pemerintaban dan pengambil-alihan k ekuasaan regu/mi a/all pengaturan alaJ Jegala sesualu hal (urusan publik) di tingkat IokaL Dalam tata-pengaturan pemerintahan yang mandin (berhasiskan devolusi), berarti tata-pemerintahan des a han~s "rdatif bebas" dati campur tangan kekuata:1-kekuatan pemerintahan pada hierarkhi otoritas di "atas­desa" (supra desa) yaitu: Pemerintah Kabupatcn/Kota atau Pemerintah Pusat. Namun demikian, studi, dari berbat;ai kasus dan .daerah-daerah, mengkonfmnasibn realitas yang. sebaliknya. Desa menghadapi tingkat kesulitan yang sangat buruk untuk bisa mengambil alih limpahan kekuasaan yang diberikan oleh otorita c jurisdiksiona! "atas-desa" tersebut. Beberapa hambatan struktural yang segera tampak adalah, ketidaklengkapan dan ketidakbe1ungsian kelembagaan, kapasitas kelembagaan, dan kapasitas kepemimpinan serla sumberdaya manusia (perangkat desa), sumber keuangan desa yang terbatas, dan lingkungan lain yang tidak mendukung. Dengan demikian, dorongan keinginan desa untuk mampu me'1jalankan sistem tata-kdola pemerintahan des a yang otonom dan mandiri serta baik (rural good and se!freliant gove.rnance rystem) , tidak mungkin diwujudkan segera (dalam hitungan hari atau bulan), bahkan bisa bertahun-tahun lamanya.

Secara konseptual-teoretikal, untuk bisa mencapai de,:ajat kemandirian yang sesuai dengan prinsip desentralisasi dan otonomi lokal, maka harus dilakukan pentahapan pengembangan kelembagaan pemerintahan desa. Dengan mengada:ptasi konsep "sfate building' dati Fukuyama (2004), abn did"patkan dua ciasar penting terbentuknya sebuah tata-pemerintahan Ookal) yang efektif, yaitu: (1) derajat efektivitas pemerintahan yang tinggi, dan (2) spektrum dati fungsi yang dijalankan oleh pemerintahan - the the scope of governmental fundion yang tidak terlalu melebar. Dari konsepsi Fukuyama, tersebut clirumuskan empat bentuk tata-kelola pemerintahan (desa) sebagaimana mmpak Fada Gambar 1. .

Pada Gambar 1, terpetakan empat tipe s:stem tata-pengaturan pemerintahan desa dengan kombinasi deraj at efektivitas pemerint;.hannya dan luasnya fungsi pemerintahan yang dijalankan. Setiap kombinasi diw;:kili oleh satu ruang. Dimulai pada ruang I, adalah wilayah dimana ditemukan p.emeritahan df.sa dengan rentang fungsi/peran a'dm:inistratif-kewenangan yang sangat luas, namun dalam waktu yang bersamaan kekuatan organisasi pemerintahan des a pun sangat efektif dan kuat untuk menopang penyelenggaraan semua urusan tersebut. Ruang ini bila tercapai, adalah kondzsi ideal tata-pemen'ntahan 10kaL'tc:s (desa) ala Indonesia (sesuai yang diamaratkan oleh UU no. 32/2004 dan PP no. 72/2005). Sebagaimana diketahui hasil studi di Sumatera Barat, misalnya, mengkonftrmasi ditemukannya lebih dari 100 urusan puuuh. yang harus ditangani oleh :xganisasi pemerintah des a pada saat ini. Jemlah tersebut sangat besar untuk uku:an sebuah sumberdaya pemerintahan

8

• ¥,

Pembaharuan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan K~mitraan ·

desa yang kebanyakan dalam keadaan sangat terbatas. Meski b;iik untuk n: ewujudkan cita-cita k~manclirian masyaraka( lokal, namun secara orgarus'asional kelembagaan pemerintahan des a s(perti ini berpotenJi mengarah ke chaotic-bureatkrary yang bergerak sempoyongan "tanpa fokus", karena banyaknya fungsi yang harus clitanganil cliselesaikan. r

Scope of govemmental

Dcr ljar Efektivic3S Pemcriotahan - sangat tinggi

IV

Tipe ,ueal -7 pemcrlntahan de:-oa rang

kuat dan sanl,"" cfektif denga.l furgsi

terbatas / ringka ;

Pc:mcril1lah ol:'sn yang sangat cfcktif/ kuat dcngnn peran/ fungsi sanga[ luas ~ Kondisi "ideal" yoruk indonesia

[unctiol1- + __________ --if-_ ___ --1 sangat ringkas

III

l'cmerintah Jl'sa ) nog lemah. "uak cfek"f

dcngan funl,,, i/pcra~ y all~ scJikit

Pc.:mcrir.tah ucs:! )'nng mbk

efckrif uengan fungsi / pcran y:,mg snnhrat luas ~ ~ (jil oj Indonesia

Derajat Efcktivitas Pemcrintahan - sangat rcndah

II

Scope of go.vcmment.' funcrion­sangat luas

Gambar 1. Empat Tipe Sistem Tata Pengaturan Pe.rnerintahan Desa (dimodifikasi dari Fukuyama, 2004)

Pada ruang II, terdapat kawasan climana ditemukan kelempagBn dengan kap2sitas/ efektivitas pemerintahannya yang sangat n.:ndah (sehingga sangat lemah) namun pada wakil yang bersamaan, pemerintahan desa juga harus menjalankan fungsi yang sangat luas. Tipe ini adalah tipikal pemerintahan des a yang clitemukan hampi..r di seluruh Indonesia saat ini. Pada rLlang ini pernerintah.~n desa benar­·benar berada pada status Jailed-government. Tipe tata-kelola pemerintahan yang demikian, clinilai sangat buruk karena memiliki ketahanan organisasionalnya sangat kecil sehingga rentan mengalami "destabilisasi" d.m "gLincangan" atau or:ganizutiona/ "haoJ. Dalam posisi seperti ini"bantuan" dari kelembagaan "atas-desa" mutlak diperlu1,an. Dengan I,at<l lain, fenomena ketergantl1l1gan perneri'ntah des:! pada

'sumGerdaya luar t:>rnpak sangat menonjol di ru~ng 11 ini.

Ruang III inewakili kawasan climana pemerintahan des a yang sangat lemah (tidak efektif) meskipun fungsi-fungsi yang harus clijalankan sebenarnya tidaklah banyak. Tipe tata-kelola pemerintahan pada ruang III adalah tipe terburuk dari keempat

9

Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas Jan Kemitraan

tipe yang ada. Pemerintahan des a benar-benar gaga! berperan, sekalipun tidak banyak hal yang harus ditangani. Semen tara itu, Ruang IV mewakili kawasan dimana ditemukan "tipe ideal" sebua:1 tata-pemerintahan desa men\1rut konsep Fukuyama. Pada wilayah iill, kekuatan efektivitas-pemerintahan des a berada pada derajat yang sangat kuat. l-1rtinya pemerinta'han desa mampu mengendalikan ~emua kekuasaan dan kewenap.gan yang dimilikinya untuk mcnopang dan mewujuqkan cita-eita masyarakat des a (kesejahteraan, kemandirian, keadilan, dan martabat). K.arena fungsinya yang sangat ringkas, pemerintahan desa mampu melakukan fokus, dan menjalin sinergi serta kerjasama kemitraan dengan pihakluar pemerintahan desa untuk mewujudkan cita-cita kesejahtcraan tersebut.

Jika dipetakan dengan menggunakan kerangka pcmikiran Fukuyama (2004) tersebut, maka semua desa di Indonesia akan "tcrbagi habis'1 (teralokasikan) ke

, dalam seciap ruang. Persoalannya, jib ruang IV ~dalah "tipe ideal" yang hendilk dieapai, maka bagaimanakah cara mentransformasikan sistem tata-pemerintahan desa-desa yang berada di ruang I, II, dan III ke rua,'1g IV. Apakah ruang I adalah tipe ideal "seinentara" yang seharusnya dieapai Lerlebih dahulu(sesuai UU no. 32/2004). Di ruang ' ini, dilakukan tr,hapan paling pEl1ting yaitu pe,nberdayaan2

irifrastruktur kelembagaan, pada sistem tata-kelola pemerintah des a seraya terus mengefisienkan fungsi dan peranannya.

Pemerintahan desa sepantasnya berkonsentrasi pada fungsi eksekusi di tingkat kepala desa, yain!: pelayanan publik dan pelaksanaan regulasi dimana smpe-nya pun harus ringkas. Semen tara Eadan Permusyawaratan p esa (BPD) berkonsentrasi pada funesi l~gislasi, supervisi, dan Joint-dedsion making eli saat eliperlukan bersama­sama dengan pemerintahan desa. Fungsi lain sepcrti inmme-genMlting funciion diiakukan secara' terpisah dalam tata-pemerintahan desa namnn tetap dalam kendali kelembagaari eksekutif'dan legislatif desa. UU no. 32/2004 dan PP no. 72/2005 juga memungkinkan dikembangkannya jeja~ing kerjasama sosial-ekonomi melalui pola kerrutraan atau partnership dengan pihak lain (publik) sesuai koridor hukum yang berlaku.

Agar good rural governance !}stem bisa tercapai, maka dip~rlukan sejumlah upaya membangun keb.erdaYaan des a (rural empowennen~. Hal-hal yang daIJat dilakukan untuk meneapai hal itu' adalah penataar. fungs: kelcmbagaan, perkuatan kapasitas organis~si9nal melalui pengembangan kapasitas organisa'si dan , sumberdaya

2 Terdapat bimy~k liatasan tentang ~emberdayaan (empowerment) . dalam hal ini dua batasan yang bisa dikutip adalah: ' ' empowerment goes well beyond the narrow re81m of politicul power, and differs from the classical definition of ~ower by Max Weber. ~rnpowerlnent is used to describe the gaining of strength in the various ways necessary to be able to move out of poverty, rather than literally ' laking over power from somebody else' at the purely political level. TQis means, it includes knowledge, education, organization, rights, and 'voice ' as well as final.cial and material resources' (Schnaider, 1999). $ementara itu batasan lain adalah: empowerment may, socio-politica:ly, be viewed as a condition where power/ess people make a situation so that they can exe~cise their voice in the affairs of govewmce (Osmani, 2000).

10

~---.-~- .. _----

..."

Pembaharuan Tata Pemeril'tahan Vesa Bcrbasis Lokalitas 'dan Kemitta.an

manusia (SDM), serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan des a yang efektif. Pertanyaannya, penataan s?esifik apa sajakah yang semestinya dilakukan? '

Meski demikian, agendapekerjaan untuk mereforniasi .tata-pemerintahim desa ke arah otonomi lobi (des~) yang kuat, bukanlah hal yang mudah untuk serta-merta diwujudkan tanpa perhitungan dan analisis yang matang. Diperlukan serangkaia,n riset-aksi yang memadai untuk bis:1 mengindentifikasi kekhasan-kekhasan yang dimiliki oleh setiap desa, sehingga strategi penataan tata-pemerin~ahan des a menjadi khas sifatnya. Setting geo-sosio-(;kolagi-lokal, sosio-budaya, str~Jktur­kemasyarakatan, spasial-kewilayahan, sosio-politik, dan f;.ktor-faktor lain akan sangat mempengnuhi tampilan sistem tata-pemerintahan desa di suatu kawasan, yang selanjutt1ya menghendaki pendekatan yang berbeda-beda antara satu dan lain desa.

Desa sebagai Entitas Sosial: Pandangan dari Beberapa Perspektif

Sebelum membahas secara l("bih komprehensif dan mendalam tentang pembaharuan dan revitalisasi tata-pellgaturan pemerinrahan des a (rum! governant't), dipandang sangat mendesak, untuk terlebih d:lhulu meny~makan persepsi ten tang makna desa. Dalam ilmu sosial, de, a memiliki multi-makna dan papat ditafsirkan berbeda-beda tergantung perspekrif atau "logika" apa yang digur.akan untuk memahaminya. Dari perspektif, geograji-kll!!tfI"ClI, desa sem.ata-mata dipandang sebagai ruang yang terbentuk d:lri kesatuan !okCllitaJ-JpaJial, dimana di"atas"nya dibina sebuah kehidupan sosial. Pola adaptasi-ekologis , yang elijalin­berkesinambungan ,di kawasan itu, menyebabkan elitemukannya sistem-sistem sosio-kemasyarakatan dengan karakter budaya yang khas. Oleh karen'a ' karakter tersebut melekat pada Jetting sistem sosio-eko-geografi setempat (yang distinft) , maka setiap desa secara geografis menalTipilkan kekhasan karakter SOSio-fko-geo­blldc!ya sesuai kekhasan kawasan tersebut. Perspektif geogr4/-ku!tural memterikan pesan penting ten tang adanya pola-pola perilaku sos ial-budaya dan sosio-politik yang terbentuk sebagai kOl1sekuensi bekerjanya kekuaran-kekuatan alam:

Dar: perspektif JOJioloJ,z\ des a elipahami sebagai sebuah wang diman.a sebefltuk entitaJ-sosiai hadir dan membina ciirCimika bubungClI1 JOJial secara intenJif. Entjtas so sial rersebut mendiam.i dua JUb-ruang, ~ekaligus yaitu rtlang-JoJial din1ana proses-proses 50sial berlangsung, dan rtlClng jiJik .,pClJialj leritoria/ ru.nana warga r:lendapatkan berbagai dukungan-penghidupan -livelihood Jupporting ryJten; - (sandang, pangan, papan) yang penting bagi kelang~ungan hidup mereka. Ruang sosial sendiri, bisa berwujud "abstrak" ma!1akala, .I/ia{e tersehut dipahami dalam konteks sosio-budaya, dimana di dalamnya didapati gugUJaI1 mpra .rtrukrur JOJ/ai yang terdiri dari "sistem ideologi, sistem nilai, orientasi etika kehidupan sosial, dan norma-norma sosinl.dari berbagai tingkatan". Supra struk"tur sosial tersebut selanjutnya membina dan mengokohkan kesatuan kehidupan sosial masyarakat eli lokalitas yang

_. _. _ . • . . . •.. . • . . . •.• . • - . _ . _ . . . . . . . . . ... . . . _ . . . . . . _ ..• . . . . . • i 11

Pembaruan Tat ... Pemerintahan Desa Berbasis L()kalita~ dan Kemitraan

bersangkutan. Di 'kedua sub-ruang (spasia! dan sosi:1l) tersebut, pengaruh negara hadir melalui inFastruktur kelembagaan administrasi pemerintahan desa. Bersama­sarna dengan supra struktur .sosial, kelembagaan pemerintahan des a ikut menj<lga harmoni· kehidupan sosial; utamanya memastikan berjalannp proses-proses pelayanan sosial, dan proses fasilitasi intcraksi warga dan negara di ruang publik (public sphere).

Jadi, desa dalam pengertlan sosiologis adal<lh ruang dimana entit;:,s sosia! terbentuk dan membina dirinya, di suatu teritorial tertentu, dimana infrastruktur kelembagaan pemerintahan de~a (bersama supra struktur sosial) memungkinkan interaks~ sosial antara negara (state) dan warga negara, serta antara sesama warga r:egara (t'itizen) berlangsung secara harmonis dan intensif. .

Dari perfopektif sosi%gi maJ)'arakal ke.il, konsep kesatuan sosial di suatu des a seringkali dipahami dalam konteks yang boleh salir.g-dipertukarkan (interchangeable) dengan konsep komunitaj3. Dalam hal ini desa dipandang sebagai sebuah entitas sosiai di suatU kaYlaSan mikro, dan merupakan Stlbset (himpunan bagian) dari gut;US sistem sosial ya:1g lebih besar. Warga atau penduduk yang ada di dalam kawasan tersebut merri:bmgun sebuah konfigurasi .rosial-budqya yang khas. Ruang-interilksibnal lang terbentuk membangun dinamika hubungan 30sial kerjaJama, hingga perJaingall, ketegangan ataupun . kon.f/ik sosial antn sesama warga / penduduk, dan anUra warg1/ penduduk dengan lingkungannya . Denga'1 jJemahaman seperti ini, desa menjadi teritori yang memungkinkan konfigurasi c,os io-buOilY;'1 terbangun secara sis tematis. Dahm kenyataan, sebuah des a bisa .nenjadi "habitilt" dari satu atau bahkan lebih dari satU komunitas khas.

Dari perspektif adminislrasi pemen'ntahan, des? dipaharrL sematacmata sebagai sebuah ruang-tempat bekerja,!),a sistem administra.ri pemerintahan pllblik dimana batas-batas pelayanan dan iungsi-administratif terdefini~i secara jelas. DalalTl ruang yang demikian itu, pema!lgku olorilas adminz:rlraJi pt/biik memenuhi hak-hak kewarganegaraan yang, clirr.iliki oleh warga desa. Semen tara, pada saat yang bersamaan pemdngku oton'tar administrasi mengelola dan mengontrol berbagai kewajiban yang mdek'at dan harus ditunaikan oleh warga desa setcmpat kepada negara. I)engan .kata lain~ des a menjadi ruang dimana pemangku otoritas melakukan qlah-kekua,saan ~esuai dengan mandaI kewenangan sah yang diperoleh dan disandang,!),aaari negara. Dalam menjalanbn kewenangannya, pemangku otoritas

, administrasi mendapatkar: legitimasi hukum yang dikukuhkan oleh peraturan perundangan .negai-a. D.engan pengertian ini; maka desa adalah tempat dim;:tna

3 Wilkinson (,1970) memahami komunitas secara sederhana sebagoi: 'kumpula~ orang·orang yang, hiuup di suatu tempat (Iokalitas), dimana [11ereka mampu membangufJ sebuah konfigurasi sosial·budaya, dan secara bersama·sama menyusun aktivitas-aktivitas ko/~ktif (collective action)'. Semelltara Warren da/am Fear dan Schwarzwelier (1985) memahami konseR' komuQitas sebagai: "kombinasi dari lokalitas (ko1wasan) dan unit-unit sosial (manusia dan kelembagaan sosial) .yang membentuk keteraturan, dimana setia'p unit sosial menjalankan fungsi·fungsi sosia;nya secara konsisten, sehingga tersusun sebuqh ta.anc.n sosial yang tertata~ecara tert~b"

-.- . - . - . - . - .-. - .-. - ~ - .- . - . -.- . - . -.- . - . - . -.- . -.-

12

Pembaharuan Tata Pemerintahan Oesa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan

scbuah organlsasi pemerintahan yang sah menjalankan aktivitas-:tktivitas organisasional secara sistematis. Keseluruhan jejaringfungsi dan peran eli setiap lapisan tata-pemerintahan desa tersebut membentuk keJatlwlI adminzstrasi pemerintuhan yang kemuelian elisebut sebagai pemerintahan desa yang elikepalai oleh seorang Kepala Desa elibantu oieh sejumlah perangkat desa dan 5eperangkat kelembagaan desa.

Desa sebagai Soci;Jl COllt;JJner. Dilem~ dan Konflik Eksistensial

Dahm kajian elinamika sosial-kemasyarakatan, pemahaman seseorang pada !wnsep desa selalu mc.rujuk pada mit/dul des a sebagaimana pengertiannya terbentuk dalam gambaran perspektif sosiologis, yaitu sekelompok orang yang ,tinggal eli suatu tempat yang meml::enruk sistem sosial dengan proses-proses sosial yang elinamis. Kawasan tinggal mereka terdefinisi dengan baik c:Umana batas-batas geo-sosio­ekologis elitentukan , secara spesifik berdasarkan kesepakatan-kesepaka tan antar berbaGai pihak dan clJ.apresiasi dengan baik. Dalam perspektif yang demikian itu, desa eligambarkan sebagai penyatuan dua wang yang sebenarnya memiliki eksistensi yang terpisah, yaitu rnang sosial dan rnang spasial. Dalam pemahaman seperti ini, desa elipandang sebagai '~'ol1al contair.er" yang mengangkut sekumpulan orang yang mengembangkan sejumlah atribu t . kelembagaclJl, Josiobuciaya, sistem-J.:stem ekonomiproduksi clan SIIbsistellSi, kekullJaall, .ristem iodeolugi, tradisi, dan sistem norma yang 1l1elekat dan berlak'J sah di suatu kawasan,

Di "alaJ" kesatuan sosial fa ng jirm itu, bekcrja sebuah sistem pengaturan berllpa at/lllillislruJipemerintaiJan yang menyatukan kesel~lrlJhan elemen sosial eli ruang sosial dan spasial menjacli kesatuan yang utuh-terintegrasi menjacli sebuah szstem sosial deN, Pada titik inilah, pemerintahan desa menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem sos ial desa, dimana pemerintahan des a adalah infrastruktur pengaturan kehidupan 505ial ke:l1asyarakat:1n satu-satunva yang oekerja :;ecara sah cli kawasan tersebut. Namun, pada kenyataannya, des a tidak selalu membawa sistem pengatuLan sosial­kemasyarakatan ya ng tu ngga 1. Selalu dimungkinkan r.danya beberapa sistem pengaturan yang hadir secara bersam,l-sama dengan pemerintahan desa. Salah satunya adalah sis tern tata-pengaturan adat yang tunduk pada sistem norma yang berlaku pada "ustomary-Iaw (hukurn adat), Kehadiran dua atau lebih sistem pengaturan sosial-kemasyarakatan, mengantarkan desa menjaeli sebuah sistem sosial yang sangat kompleks,

Realitas st'macam ini b:)leh-jadi berlangsung cli sebuall teritori des a 'Yang "mengangkut" beberapa sub-mang sosial climap-a cli setiap sub-ruang diisi oleh karakter sosio-blldqya yang khas. Artinya, desa m r::r.jadi "tempat-hidup" (LebenJraum) bagi sejumlah komunitas dengan ciri sosio-budaya yang beraneka (pluralistih.) dimana masing-masing komunitas memberlakukan sistem pengaturan sesuai sistem norma yang clianutnya. Oleh karen a itu, terbentuklah sistem kekuasaan, sistem sos io-politik dan tata-pengaturan pe1l1erintahan yang terkotak-kotak 3esl.ai sistem

13

Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemirraan

ideologl masing-masing komunitas. Dengan setting yang demikiar1, maka des a menjadi arena olah-kekuasaan (pOJvel' and authon'!) exemse) dari sejumlah komunitas, dimana setiap 'sistem hanya tunduk pada "Iogika" sistem norma yang dipelihara ol~h komunitas masing-masing. Konstelasi beragam kekuatan sistem pengaturan mengantarkan desa menjadi ruang konflik ~epentingan dan konflik tata-pengaturan. Kenyataan inilah yang makin mempertajam makna d~sa sebagai ruang konflik sosia! (sotiai conflict) daripada sekedar ..:-uang hidup bersar.la.

K~banyakan desa-desa di pelosok luar Pulau Jawa, menggunabn ikatankinship atau kesatuan-genealogis sebagai just~fjing reason untuk me;1goperasionalisasikan tata­pengaturan berbasiskan hukum adat. lkatan genealogls pula yang digunakan sebagai dasar pemetaan luas-wilayah cakupan otortta.!' pemerintahan tradi.riona! (adat). Dengan kata la;n "batas-batal'ketllrtlll(lli sedarah digunakan untuk mendefiniskan seberap:l Juas cakupan wilayah mdll.!', .roJ;a/ dan mang spasia/ sebuah komunitas dalanl membangun tatanan sosial-kemasyarakatan di suatl! kawasan.

Desa sebagai Arena Pertarungan Otoritas Kelembagaan

_ Da1am banyak, hal, seringkali ditemukan fakta b2hwa, fungsi-fungsi yang dija1ankan ,If' oleh pemangku otori,tas kelembagaan (pemenntahan) adat saling tumpang-tindih dengan

fungsi-fungsi l pengat:uran yang dijalankan oleh otoritas pemerin~ahan desa formal. Disinilah kemudian terjadi sindroma dilema ehistensia! dan dilema konflik wilcryah otO:7'tas dian tara kelemhaga'an-kelembagaan pengaturan kehdupan sosial-kemasyarakatan. :Oi satu sisi masyarakat df::sa sebagai warga negara, harus mengakui eksistensi pemangku otoritas perr.erintahan des a (kelembagaan formal), namun di sisi lain, sebagai Jvarga adat yang terikat oleh kesatuan kin.rhip dalam "loglka" , ke.ratuan gene%gi, harus pula mengakui dan tunduk Dada pranata-pranata 50sial yang dipe1jhara oleh pema'ngku otoritas adat. Semen tara itu, baik pemangku otontas adat maupun pemangku oton',as kctembagaan forma! (perrerintah desa), seringkali keduanya berada di "wil'!J'ah urusan-ummn p"b/ik" yang 'saLng o/Jer/apping sesamanya. Sebagai

misal, kedua pemangku otoritas bcrkepentingan terhadap pengambilan keputusan­kepntusan yang menyangkut penyeiesalan persoa1an-persoalan sosia1-kemasyarakatan umum, seperti penataan dan pemanfaatan sumb::rdaya agraria lokal, pengel01aan pemukimail, transaksiekonc mi, pewarisan, jual-beli tanah, penyelesaian konflik-konflik sosial, masalah kependudukan, d:U1 sebagainya. Jebakan knsis eksistensial dan kri.rl:r kOl1fliktual di ruang publik itu Bisa dipahami, kar.ena J~l'layah otontas kedha kelembagaan seringkali tumpang-tindih. Tumpang tindih kekuasaan dan otoritas di ruang (pelayana:1. administrasi) publik sepertl 101,

membuat des a menjadi sebuah kesatuan sosial-kemasyarakatan yang tidak sederhana.

Secara spasial, cakupan luas-ivilayah oton'tC'J adat yang Jasar operasionalisasinya ' menggunakan basis ikatan-genealogis, - lazUn di temukan pada suku-bangsa

14

Pembaharuan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan KE'mitraan

Minangkabau (di Sumater;: Barat daratan), Batak di Sumatera U[ara, Dayak (di Pulau :(alimantan), ataupun suku-suku asli eli Papua -, ab.n sangat ditentukan oleh seberapa luas penyebaran tempat tinggal (ftsik) penduduk seketurunan berada di wilayah itu. Semakill luas p~rseLJarannya , semakin luas wilqyah (ltoritas ad at akan mendapatkan justifikasi spasial yang sah. Kesatuan lvilqyah otoritas adat berbasiskan Jedarah-Jeketumnan f ang juga mencirikan kesatuan (ke<;amaan) karakter sosio­buday~-spasial di IVlinangkabau disebut sebagai "kaHm". Pimpinan otoritas ad1t ':kaum"adalah para ninik-mwnak (tewa adat). Bagl suku Dayak di Kalimantan, bluif

ikatan-genealogis mem ben tu k kesa tuan JViI{~)'ah olorilas adat "ketem:nggungan", dp.ngan temenggung sebag~i pemegang otoritas tunggal (single authority ador) dalam tat:1-pengaturan adat (lihat Dharmawan, 2001).

Di Papua, dikenal ol1doaji (cmdeJ,vapl) sebagai penguasa adat yang memiliki cakupan lu.ls-wilayah o toritas kelemLagaan meliputi beberapa snku di bawahnya. Setiap suku tinggal di wilayah-wilayah yang bisa lebih luasdaripada luas-wilayah sebuah sistem admin istrasi pemerintahan desa lbrmal. S~kali lagi, luas wilayah (spasial) otoritas adat dan luas wilayah 5pasial ':kal!ll1 '; "kelemef~uf~an" atauElun "deJa adat di PaDua" tidak selalu sama luasnya del:gan wilayah (spasial) pemerintahan desa. Semen tara, fungsi-fungsi (Ivilqyab jungJiona/ dall keJvenangan) yang dimiEki oleh otoritas kelembagaan aoat seringkali tumpang-tindih dengan otorita, kelembagaan formal (administrasi pemerintahan desa). Da:am hal ini, krisis ekslJienJ'ial berpotensi terjadi di dua' ranah sekaligus, ) aitu rallah JPaJia/ dan ranah jurgsional bagi dua kelembagaan ya ng hidup saling bersinggungan. Pesinggungan wewenang ini digambarkan oleh otoritas Ollrloaj; di Papua sebagai berikut:

1. Memelihara sumberdaya alal.1 lokal (hutan, tanah, air). Ondoaft menjaga hak ulayat eli wilayahnya, terma'mk pengaturan pengalihan hak-pakai atas tamh dari satu warga masyarakat ke warg(l yang lain. Proses sertifikasi tanah eli Badan Pertanahan Nasional pun tidak akan pernah bisa berlangsur.g tanpa ada persetujuan dari ondoaji. Dalam hal ini kcwenangan ondoafi sangat :nutlak. Artinya, pengalihan hak atas tanah tidak akan pernah absah trnpa persetujuan lisan dan tertulls dari ondoaf. Kewenangan yang mutlak dalam hak ulayat, ini seringkali menyulit;~an pihak pemerintah kampung (desa) 11l1tuk dapat men1.anfaa tkan sumberdaya alam yang tersedia di tingkat lokal secara segera. Alokasi p~manfaatan cian pengelolaan sumberdaya alam lokal seringkali menjadi titik-rawan konflik antara dua pemangku otor'itas (kelembagaan adat ondolut versus kepala kampung).

2. Menjaga keamanan, menjaga keselarasan kehidupan, serta meli;dungi warga masyaraka t. Ondoaft menjaga harmonisasi hubung~n an tar suku yang hidup bermasyarakat di suatu lokalitas. Konflik warga antal' suku, harus diselesaikan oleh ondoafi sebelum perso:llannya dibawa ke otoritas pemerintah desa atau kepolis ian.

_ . - . _ . _ . _ . _ . _ . _.-._ . _ . - . - . _ . _ . - _._._._._._. - . - . - - ,'- _._._._. _._._. _. - - ~ ~

15

Pembaruan Tata Pemerintah.m Desa Berbasis Lokalitas dan Kem:traan --------? Pengaturan perkawinan antar warga r,usyarakat. Tata-aturan adat perkawinan

harus dipelihara dan ditegakkan aleh ondoafi selain oleh pemeri~tah desa dalam urusan admin:strasi fonnalnya.

Jadi, suatu persoalan sosia1-kemasyarakatan, dapi.t menempuh dua eara penyelesaian, yaitu: "dise1csaikan scear'] adat" atau "diselesaikan sceara hukum fGrmal". Meski demikian supremasi hukum adat tampak nyata di Papua. Da1am berbagai persoa1an sosial-kemasyarakatan, tidak akan pernah ada suatu keputusan administrasi formal yang ditetapkan seeara definitif sebelum dieapai kesepakatan/keputusan di tingkat adat terlebi!1 dahulu. Dalam hal ini, kekua(an keputusan adat jauh lebih legitimate di mata masyarakat daripada keputusan pemerintah kampung (pemerintah desa) Sekalipun demikian, kewenangan ondoafi pun tidak selaiu bersttat mutiak. Hal ini diKaren"kan kedudukannya selalu dikontrol seeara p~nuh olch kelembagaan "sulung" (terdiri dari mereka yang dituakan dalat:1 keluarga sedarah-seketurunan ondoafi) . Demikianlah tata-pengaturan sosia1-kemasyarakatall yang "berlapis" dijalankan di tanah Papua.

J ika ondoafi (di Papua) atae: nillik mamaA.-: (di ranah Minang) memiliki legitimasi kekuasaan dan wcwenang berba<;is keturunan sedarah, maka di beberapa kawasan ditemukan pula 'sis,tem tata-pengaturan adat lainnya yang berbasiskan bukan sedarah-seketurunan. Dalam hal ini, basiJ religioJita.r dapat digunakan sebagai instrume:1 untuk mendefinisikan wilCf./'ab oloritas adal di suatu lokalitas (cesa). Sistem kesatuan masyarakat mllkim di Aeeh - yang menggunakan mas)d Jamie (temp:1t peribadatan urpat Islam, yang dipimpin nieh Imum Mukim) sebagai bem'hmark -, dan "desa I1dal " di Bali - yang menggunakan pura (tempat peribadatan agama Hindu) di Bali sebagai patokan wilqyab olon/aJ ad at -, adaiah dua eontO!1 kasus yang mewakili pendefinisian (pcnetapan) kesa tua'n lokalitas dalam kOt/teks keJatllan sosio­budqya dimana wilqyah otonlaJ adat ditetapkan dengan dasar sistem religi. Di Bali, des a ad;Jt tersebut dikenal sebagai pakraman dimana PendeJo Adat atau Kelian Adat merupakan pemangku otoritas utama pada keletnbaeaan adat dengan cakupan kekua~aan yang lebih luas daripada cakuran kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah des a formalmenurut UU no. 32/2004 (dcsa formal di Bali disebut dengan sebutan lokal sebagai "deJa dil/aJ'),

Kewibawaat: para Kelian / Jda/ (di B"li), Olldoaji (di Papua), Imum Mukim (di Aeeh) ataupun Nillik Mamak (di ranah Minangkabau) scringkali lebih kuat daripada Kcpah Desa. Hal mi' dikarcnakan, hubungan so~i~l "iarga dengan para tetua adat didasarkan parla ikatan-ikatan emosiotla! yang tclah mcng<lkar sejak lama dan bukan hanya sekedar ikatan atau hubungan ~dministrasi saja. Sifat hubungan "lebih hangat", karena basis hubungan ikatan pcrsaudaraan, Juga, prinsip P,7JMI.r inter pares, membuat mereka lebih dihargai sd;:alipun eakupan IlIa.r-Jvilq),ab Jpasial dan luas­Jvi/ayah oton·ta.r adat "kaum" dan "ondoaji" (d"lam sis:em berbasiskan ikatan-genealogi.r), ataupun "kemukiman" dan (( pakraman" (dalam sistem berbasiskan ikptan-religt), memiliki mverage seeara geogratls yang lebih luas (melintasi batas rlesa' formal menurut definisi negara).

16

I

I I I

I t I I

Pembaharuan Tata Pemf'rintahan Desa Berbasis lokalitas dan Kemitraan -----

Sekali lagi, disinilah seringkali benturan kepcntingan atau konflik o toritas dan kekuasaan pada kelembagaan pengaturan (in.rtitutional "onflid) terjadi. Konflik kelembagaan itu biasanya dipieu ol-:h ketidakjelasan ten tang siapa sesungguhnya pengambil keputusan prinsipial .(utama) yang harus bertanggungjawab atas suatu urusan eli ruang publik desa . Untuk mernbanding perbedaan an tara kesatuan masyarakat hukum adat dan pemerintaha:l desa lokal, Gambar 1 ill bawah ini dapat dtperiksa,

Ketidakjelasan pembagian hatas:/ungJZOtlC11, ciimana des:aipsi "tugas; fungsi, peran dan eakup'an kewenangan" (seringkali) berbenruran satu sarna lain atau overlapping diantara para pemant,ku otoritas adminiJ:rat~r pe7?len'ntahan jormal (kepala desa) dan pemangkll otorilaJ adat (ketua adat) l1I~mbua t sebuah urusan yang' se~ungguhnya "sederhana" seringkali menemui jalan buntu untuk bisa segera diputuskan, Pada titik ini, tata-pemerintahan desa di banyak kawasan adat r.1enghadapi knJiJ' ekszJ'temial kelembagaan dan kOfljlik-kelembagac/tl, teru tam a di ranah fungsional dan spsial (Alfitri, 2006; Busra, 2006, Faltmi, 2006),

Kenyataan J;>ahwa pemangku otoritas kelembagaan adat ikut mengatur urusan­urusan sosial-kem:lsyarakatan di ruang publik (memang) sangat dapat dimengerti, karen a bagi warganya, mereb (para pemangku otoritas adat) mendapatkan mandat penuh untuk memc>lihara kesatuan ~ os!ai-adat seeara seutuhnya, Seeara y.esejarahan sistem tata-pemerintahan adar ini Ida/! ehJ!~r dali /leiJa/all Ji:ia:c. aU/Julu kala, bahkan ketika tata-pe1l1erintahan desa belu1l1 rerbentuk, Dalam hal ini, otoritas kele1l1bagaan adat Juga dimandatkan sep\?nuhnya untuk r.lemelihara Jotiahonjorllli!) alaS pelaksanaan corma-norma sosial sej:lk tingkatan yang paling rendah seper ti tataeara, kebiasaan, adar-istiadat, hingga pelaksanaan/ implementasi hukum adat dalam . ranking tingkatan norma ya ng paling tinggi dengan konsek-uensi sanksi­hukum yang sangat tegas, Di Bali, para Keliall Adm juga ikut-serta mengurus hal­ihwal pemeliharaan jalan -jalan des a yang menghubungkannya ke pura tempat peribadatan agama Hindu, Dalam hal ini, sulit dipisahkan seear;] tegas, mana urllSan publik yang menjadi kewenangan pemerintah desa dar_ m:,na yang mellj'ldi porsi otoritas adat.

Dalam bidang tata-kelo/a J1ImberdCl)'a agrcmll Ji desa misahya, otoritas kelembagaan adat mendefinisikan seeara jel~,s mekanisme baku alokasi sumberdaya alam, tata­eara pewarisan tanah, jual-beli tanah dan penetapan sistem' upab dalam pola hubungan sosial-produksi agraria, sistem kontrak, sewa-menyewa, bagi-hasil, pengukuhan hak atas tan,\h, pe111anfaaran tanah, mekanisme konservasi sumberdaya :-d a 111, 111ekanis11le penvdesaian konflik agraria, dan sebagainya, Dalam bidang tata-kelola sumberr'Cl)Ir.- keit/argC/, otoritas kelembagaan adat juga mendefinisikan seeara rinei proses-proses pcngambilan keputusan dalam soal-soal domestik dan publik rumabtangga, kepemin1pinan nafbh, hak asuh anak, perkawinan, pereeralan, :lUbungan pertetanggaan. 111ekanisme load JOlial-secun'!) .!)Iortem, dan sebagainya ,

17

Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasi:; Lokalitas dan Kemitraan

Dalam bidang sumberdaya sosial, oloritas kelembagaan adat telah mendefiniskan seeata rioei mekanisme aksi-kolekt!! seperti gotong-royong, kehidupan beragama, keamanan, penegakan peraturan ketertiban, dan sebagai.lya. ''\'V'arna'' dari tata­pengaturan dan pengelolaanurusan-urusan ini akan berbeda-beda dati satu ke lain

kawasan.

Penting untuk disebutkan disini, bahwa dalam bal1yak kasus, pimpinan (pemangku otoritas) adat adalah kelembagaan ada! yang memiliki kekuasaan penuh dan sang1t legitimate secara sosial untuk mengendalikan oloritas pengatumn urttsan-Ul7Isan kehidupar. sosial-kcmasyarakatan di kawasannya (otoritas adat). Persinggungan kelembagaan terjadi kar.ena urusan-urusan tcrsebut sesungguhnya juga diamanatkan oleh. undang-undang kepada pemerintah desa formal. Secara rinci pasa! 206 UU no. 32/2004 menyatakan deng;.n tegas bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan des a mencakup: (1) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; (2) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota yang diserahkan pet!gaturanny~ kepada desa; (3) tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan / atau pemerintah kabupa ten/kota; (4) urusan pemerintahan hinnya yang oleh peraturan perunciang­undangan diser~hkan kepada desa. Dengan cakupan yang begitu luas, maka pemerintah desa memang berpotensi meng"hegerr.oni" kekuasan dan wewenang adat. Schingga buSk sul.it dihindarkan.

Pemerintah Desa Kclembagaan Adat Basis kekuasaan Rakyat lia I'emilihan Kepala Dcsa ~ .o\sal-usul keturunan, kewibawaan,

disahkan oleh t\l cgara atau Pcmc rintah keccndekiaan ~ prinsip jlnlnllJ liller parrJ i (kcmatangan kepribadlan/usia)

Wilayah kewenangar. Scmua urusan yang dlatur oleh Scmua urusan Ji satuan wilayah peraturan pcrundangan gene~, I()gis atau rdi!,'; ~ bia"nya

cak"pannva pada hak ulavat Sis tern pengcnoalian Utilitarian ~ optimalisa" manfaat Normatif ~ opcrasionalisasi nilai-nilai

I organisasi so sial ekonomi, efisicnsi, prpduktlvitas budava Icluhur

KepatuhJn / Kalkulatif, "kering", formalistik, Kcwajiar. moral, "han!,r.tt", informal dan I kctcrlibatan organik-tungsional mclibatkan ikatan emoslOnal, mckanis-emosional masyarakat ; interpcr~onal terhadap pimpinan ~istcm Birokrasi Legal-rasional ~ m~kanisme keqa Melekat pada kharisma pemlmpin adat

terdefirusi dalam pro,edur yang baku (m1>al: Illllik-mllmak, olld"':fiJ ~ tcrgantung kearifan san~ rcmimpin

Sistem Insentif Rcmunerasi dari negam Penghargaa.l sosd dari masyarakat ~ kLhonnatan dan rasa dis,ceani

Decision-makingprocw Kepala Desa, kelcmbagaan r ormal Forum penghulu (pernimpin) ad at dan pemerintahan desa (BPD) dan "arahan" InI<S),mvarah pimpinan maS)'arakal adol pemerimah Kabupaten

I nstrumen pengatur I'eratman desa dan sistem hukum legal Norma-norma ad ol t lobi dan pranata kdudupan sosial di "atas"nya (Perda, PI', UU) sosial lokal Urusan pokok yang Semua urusan adrninistrasi publik , dan Pcngatu ran sumberdaya alam (tanah ditangani pcmbina"" kchidupan sosial- ul"at) dan pcmeliharaan harmoni

kcma!'\'a rak .. t:ln k('J,iJupan sosl(l i kCnl:1SVar,lkatan

( .ambar 2. Pcrbandtngan Karakter l'cmcnntah Dcsa dan Otontas Kclcmbagaa:1 r\d,H

18

,

Pemha haru an Tala Pemerintahan Des;1 Bel basis Lokalilas dan Kemihaan

Desa sebagai Konsep Pemerintahun Lokalita,.;: Konstelasi Bcragam Kekllatan Pengaruh

Berbeda dcngan pers!JekLf sebelumnya, cUsini desa wpahami sebagai konsep tata­pemerintahan ;okalitas. Sebagai kcsall:al1 administrasi pemerintahan, maka desa (pemerintahan desa) berhadap-hadapall langsll ng dengan sistem pemerintahan adat yang telah terlebih dahulll hadir cU tengah-tengah masyarakat lokal. Persoalan, persinggungan (baea: konflik) kelembagaan sebagai tnana elisinggung pada sub-bab sebelumnya, h~ngga taraf tenent11, berpotensi mengaeaukan sistem pengaturan­administrasi desa (sebagairnana yang elieita-eitakan oleh UU no. 32/2004). Manakala dua kelembagaan )lang bel'bedakarakt.:r dan sebaros'!)'a "hidup di roang sosia(vang

'berbeda" harus hawr seeara bersama-sam.1 :li suatu "wilayah· kehidupan" yang sama, maka pada sa:lt itu keduanya berpotensi llJ'1 wi< melakukan (On/unction ataupul1 JeparcIJi, yait~l : /Jeninergi-kerj(/J'ama atau kN!/lik-bel benlu/i./11 sesamanya.

Dua kelembag;aan iru adalah kelembag.illtl adat (menguasai wi/ayah pengatuI'CI1l femerintahall {{(/at) dan kelembagaon pemangk!1 otontaJ ac/miniJ/rasi pemerintahall c/e.ra {mengtlasai lvi/ayah otorita.!' pengalu/'{Il/ administreIJi lorJ?/a~. Mengapa konflik seringkali berlangsung berkepanjangan dan ridak kunjung menghadirkan soh.:si yang tuntas? J awabannya, karena kedua kelembagaan sama-sama memperoleh legiLimasi yang sah, yaitu legitimasi tata-pemtu1"CIn ylllg melekClI pada JiJtem norma atau hukum adat lokal bagi pemangkLl otoritas l-.elembagaan adat, dan legitimasi hu:-:um/peraturan perundangan fermal bagi pcmangku otoritas pemerintahan desa. Inilah konflik kelembagaan dalam arti yang sebenarnya.

Fakta sosial "tumpang tindih fungsi/ke\'/enangan" yalJg elijalankan oleh r.lua atau lebih pemangku otoritas eli suatu lokalitas, seringkali menghamarKan kawasan ini l1lenjaeli arena perebutan \vilayah otJritas kelembagaan (institutional mnflict) yang memprihatinkan. J\lih-alih mendapatkan solusi atas masalab yang elihadapi, warga masya ~akat seringkaL Justru menyeret dua pemangku c toritas untuk ikut dalam pertarungan yang sulit mr:neapai solusi. Dcsa seeara total menjaeli arena ~~onfl;k kekuasaan (the battlefield ofpOlver) yang pent,aruhnya dilanearkan oleh kelembagaan­kclembagaan berbeda karaktcr. Mcliha t f1kta seperti 1111, maka penataan/pembaharuan atm .. pun revitalisasi tata-pemerintahan desa sebagaimana idenya dieit·a-r:itakan oleh pemerintah melalui UU no. 32/2004 can PP no. 72/2005 jelas menghadapi persoalan yang tidak ringan. Dengan konstebsi kekuasaan dan wewenang an tara pemerintah de~a dan pemerintahan adat, maka empat kemungkinan pola hubungan fungsiol1al (bpat dibangun seeara hipotetik. Relafi hubungan tersebut tercermin dalam Gambar 3, eli bawah ini.

Dari Gambar 3 dapat clijelaskan empat tipe pola relasi kekuasaan antara pemerintah des a formal dan otoritas adat dalam pengaturan kehidupan so sial eli desa. Perineia,nnya adalah sebagai berikut: .

19

Pernbaruan Tata Pernerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kernitraan

Kclembagaan/ Pcmcrintahan Adlt

t yang Klint dan Lt,~ilimalc

Pemcrintahan Dc," yang Kuat oan Lc.~ilimal'

I. Konflik kckuasaan antara Pcmcrinta han Dcsa clan ;\ dat -7 kesamaan kekllatan ua" Iq,,'itim,lSi

2. Sinergismc kekuflsl1an -7 bila setiap pihak bcrscuia mcngurangi klaim wilayah kewenansannya

Pemcrintahan Desa yang Lemah dan Tak Memiliki I,egitimasi

Otoritas kdcmbagaan adat beq:>cngaruh Ichill oominan oalam mcnennlkan tata-pcngaturan kehidupan so':al kemasyarakntan oi ungknt loknl

Kclembagaan/Pc:n K~kuasaan pemerintahan desa Pcmerintahan desa dan keicinbagaan crintahan Ada t bcrpcngaruh lebih dnminan oalam aoa;, keduallya gagal mcmclihara sistem yang Lemah d'\l1 menentukan tata-pcngaturan kch;oupan sos ial-kemasyarakatan oi lokalitas -7 Tak memiLki sos;al Kemasyarakatan 0; tingkat loknl kegaga lan negara dan :;egagalan Legitimas; kclc:nbagaan adat

Gambar 3, Relasi Kekuasaan dalam Tata-Pemerintahan di Kawasan Lokalitas

1, Pemerintah des a dan adat yang sama-sama kuat akan menghasilkan dua kemungkinan hubungan kckuasaan dalam p-::ngaturan desa, Pe,iama, terbentuk hubungan konfliktual karena kekuatan pengaruhnya yang sama kuat. Kedua, terbangun sinergisme kekuasaan, bila setiap pihak berkemauan untuk mengurangi klaimnya atas wilayah otoritas yang dimiliki. Kolaborasi an tara pemerintah "desa adat" dan "desa di:1as" di Bali merepresentasikan tipe sinergisme ini, Sement1ra hubungan konfliktual tampak pada hubungan yang ditunjukkan oleh kelembagaan adat (ninik mamak) verSt/s pemerintahan nagan' (baca dalam hal ini sebagai: desa) eli ranah Minangkabau,

2. Pemerint.ar.. des a yang kuat yang berhadapan de:1gan kelembar;aan adat yang lemah serta tidak legitimate, menghasilkan tata pemerintahan des a formal yang sangat dominan. Desa-desa diIOlva merepresenta~ ikan tipe ini, '

3. Pemerintah desa yang lemah bersanding dengan' kekmbagaan adat yang sangat kuat dan legitimate akan membentuk kelembaga?n adat yang sangat dOmlnan, Tipe ini adalah ciri-khas pengaturan lokalitas sebelum konsep (pemerintahan) desa diperkenalkan oleh UU Pemerintahan Daerah. Fenomena ini bisa juga terjadi pacia pemerintahan lokalitas di kawasan tensolasi dimana pengaruh kekuasaan negara sang?t lemah lemah disana,

4. Pemerintahan desa dan pemerintahan adat yang sama-sama tidak berdaya, sehingga keduanya gagal membina kehidupan sosial-kemasyarakatan di kawasan png bersangkutan. Tipe ini jarang ditemukan di Indonesia,

Permasalahannya kemudi~ n adalah, bagain1anakah revitalisasi dan pembaharuan tata-pemerintahan lob litas (desa) dapat dilakukan, dengan melihat tipologi des a semacam itu? Jalur dan arah yang mana yang seharusnya elitempuh untuk memperbaharui sistem tata pengaruran pemerintahan dcsa eli Indonesia? Kelembagaan manakah yang sepantasnya diapresiasi untuk melaksanakan tata­pengaturan kehidupan sosial-kemasyarab t?11 di des a? Persoalan institutional Jwvival menj adi mengemuka karena pasti ada ~a tu atau lebih kelembagaan yang harus dikorbankan ata\,l disisihkan dalam dilcma eksistensial dan konflik kelembagaan in:,

20

,.

..

I

Pembaharuan Tata P~merintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan

Daftar Rujukan

Alfitri. 2006. Nagari dan Tata Kelola Pemerintahan Desa Berbasls Kemitraan. Seminar . Studi-Aksi "Pembarua:1 Tata-Kelola Pemerintahan Des:1 Berbasiskan Kcmitraan", diselenggarakan oleh PSP3IPB dan Partne')'hip for Governance Reform in Indonesia, Padang :3 Maret 2006.

f\no nymous. 2006. Pembaruan Tata KeloLl Pemerintahan Kampung Berb(lsiskan Kemitraan di Propinsi Papua. tvbkalah clisampaikan pada Seminar Awal "Pemballlan Tata-Kelola Pemerintahan Desa Berbasiskan Kemitraan" diselenggarakan oleh PSP3IPB dan Pal111enhip Jor Governance Reform in Indonesia, J ayapura 19 April 2006.

Busra, 2006. Tata Kelola Penllrirltahan Nagari B~rbasis Kemitraan Budaya Lobi di Sumatera Barat. M:1kalah disampaikan pada Seminar Studi-Aksi "Petnbaruan Tata-Kelola Pemerintahan Des? Berbasiskan Kemitraan", diselenggarakan oleh PSP3IPB dan Partnmhlp Jor Governam'e :Reform In

Indonesia, Padang 23 Maret 2006.

Cohen, J. M and Peterson, S. B. 1999. Administrative Decentralizaruuan on: Strategies for Develop;ng Countr;e.s. Kumarian Press. \Vest Hartfurd. Connecticut.

COlnwall, A.. 2002. Making Spaces, Changing Pl~,ces: Situating Participation in Development. Institute of Developn'_ent Studies. Susse·x .

Dh:.rmawan, A. H. 2001. !...ivelihood Strategies and R~ral Socio-Economic Change in Indonesia. Yank. Kiel.

Fahmi, K. 2006 Nagari dalam Polemik. Makalah disampaikar. p~,da Seminar Studi-Aksi "Pembaruan Tata-Kelola Pemerintahan Desa Berbasiskan Kem:traan", diselenggarakan oleh PSP3IPB dan Partnership for Governance Refol7Jl in Indonesia, Paclang 23 Maret 2006.

Fear, F. A and Schwarzweller, H.I<:. 1985. Introduction: Rural Sociology, Community and Community Development, in Fear, F. A . and Schwarzweller, H. K. (e.lJ'.). 1 ~85. Research in Rural Sociology and Development, Focus on Community. JAr. Greenwich and London.

Firth, R. 1955. Some Pnnciples of Social Organization. jm/rnal of Rqyal Anthropological ltlJ'fitufe of Great Bi7tain and Ireland, J/o/. 85, .hsue 1/2 ; pp. 1-18.

Fukuyama, F. 2004. State-Building: Govermnce and World Order in the 21" Cen·tury. Cornell University P~ess. New York.

Haeruman, M. 2006. PembaLaruar> Tata-Kelola Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan. Maka1ah dipresen tasikan pada Seminilr Studi­Aksi "Pembaruan Tata-Kelola Pemerintahan Desa Berbasiskan

21

Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan

Kemitraan", diselenggarakan olt:h PSP3IPB dan Par/nm-hip for Governc<nce R~form in Indonesia. Bandung, 20 April 2006.

Hanafah, M. 2006. Tata-Kelola Pemerintahan Gampong Berb .. siskan Lokalitas Kemitraan. Makalah disampaikan pada Seminar Studi-Aksi "Pembaruan Tata-Kelola Pemerintahan Desa Berbasiskan Kemitraan", diselenggarakan oleh PSP3IPB dan Partnership]or GlJvernanr.c Reform in Indonesia. Banda Aceh, 25 Maret 2006.

Kaufmann, D; Kraay, A; and Mastruzzi, M. 2005. Governance Matters IV: Governance Indicators 1996-2004. World Bank. Washington, D.C.

Luiz, J. M. 2000. The Folitics of State, Society and Economy. International fotlmal qf SOtial-EmnomitJ, Vo!. 27/3, pp. 227-243.

Osmani, S. R. 2000. Participatory Govern ~,nce, People'S 1Empowermellt and Poverty Reduction. SEPED ConL:rence Pape:' Ser!ies No.7. UNDP. \~ashington, D.C

Piliang, I. J; Ramdani, D dan Pribadi, j\ . 2003. Otono:n..i Da~1'ah: Evaluasi dan firoyeksi. Yayasan H",kat Bangsa dan Parlnership]or Govemam'c Reform in Indonesia. Jakarta.

Schneider, H. 1999. Participatory Governance: The M..issing Link for Poverty Reduction. OECD De,-elopment Center, Policy Brief No. 17. Paris.

Syafa'at, R. 2002. Kelembagaan Pemerintahan Des,,: Tinjauan Historis Sosial Budaya Kebe(adaan Ma~yarakat Adat Dalam Konteks Desentralisasi Desa dc/am Maryunani dan Lucligd.o, LT. (eds). 2002. Desentralisasi dan Tata

.Pemerintahan D~sa: Monitoring dan Evaluasi Berpartisipasi. Lembaga Penelitian Ekonomi dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Malang.

Weiss, T. G. 2000. Governance, Good Gove:nance, and Global Governance: Conceptual and Actual Challenges. Third IForid Otlal1er!y, Vol. 21/5, pp. 795-814.

Wilkinson, K. P. 1970. The Community as a Social Field. Sotia! Force, VA!. 48/3, pp.311-322.

Work, R. 2001. The Role of Participation and Partner"hip in Decentral;zed Governance' A Brief Synthesis of Policy Lessons and Recommendations of Nine Country Case Studies on Service Delivery for the Poor. UNlJP. New York.

22