pemanfaatan kulit kayu rhizophora mucronata sebagai pengawet telur ayam ras

15
PENGGUNAAN BABAKAN….. : (18) 39 - 53 PENGGUNAAN BABAKAN KULIT KAYU BAKAU (Rhizophora Mucronata Lamck) SEBAGAI PENGAWET TELUR AYAM RAS The Use of Fire Mangrove Bark (Rhizophora Mucronata Lamck) For The Pickling Of Chicken's Egg Race Oleh/By BUDISUTIYA 1 ; EVI ARISANDI 2 Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Jl.A. Yani KM 36 Banjarbaru Kalimantan Selatan ABSTRACT The Use of Fire Mangrove Bark (Rhizophora Mucronata Lamck) For The Pickling Of Chicken's Egg Race” Research is aim to know the concentration influence and treatment combination yielding durabel of best egg. This research expected to give the benefit in the form of information about concentration and time which can effectively lengthen a period of keeping chicken’s egg race, so that to the advantage of all good breeder from economic facet and durable. The result of research indicate that the egg getting pickling treatment namely soaking in tannin of fire bark own the longer fresh duration (40 day), while the treatment which not get soaking of duration pickling as fresh as shorter (28 day). The concentration treatment (Factor A) and soaking egg (Factor B) and also interaction of treatment factor give the very real egg pickling influence. Longer soaking egg in tannin of fire bark, it’s seen that endurance of egg freshness tend to also longer. Excelsior mount of the tannin concentration, hence endurance of egg freshness isn’t yet longer. The highest egg resilience of treatment is A 2 B 4 or treatment with the tannin concentration 2 : 1 (12 litre irrigate : 6 kg of husk) and soaking during 9 day, because egg able to hold out until during 49 day and the lowest treatment is treatment with tannin concentration 3 : 1 (18 litre irrigate : 6 kg of husk) and soaking during 3 day (A 3 B 1 treatment), because egg only able to hold out during 37 day. The combination of A 2 B 4 treatment can be recommended as effective treatment because can add a period to keeping egg freshness. Keywords : I. PENDAHULUAN Kayu merupakan suatu bahan yang tersusun dari senyawa-senyawa kimia dan mengandung banyak bahan-bahan ekstraktif dan infiltrasi yang meliputi terpen, resin dan polifenol seperti tanin, gula-gula dan minyak-minyakan. Bahan-bahan ini terletak di sebagian besar dinding sel yaitu tempat diendapkannya bahan-bahan tersebut selama pendewasaan dinding sekunder dan selama pembentukan kayu teras (Sjohtrom, 1998). Tanin diperoleh dengan cara mengekstraksi bagian-bagian tanaman yang mengandung tanin. Tanin pada umumnya diperoleh dari tumbuh-tumbuhan pada bagian kayu, kulit, daun ataupun buah.

Upload: patrik-setiyawan

Post on 22-Oct-2015

94 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

pemanfaatan kulit kayu mucronata sebagai pengawet

TRANSCRIPT

Page 1: Pemanfaatan Kulit Kayu Rhizophora Mucronata Sebagai Pengawet Telur Ayam Ras

PENGGUNAAN BABAKAN….. : (18) 39 - 53

PENGGUNAAN BABAKAN KULIT KAYU BAKAU (Rhizophora Mucronata Lamck) SEBAGAI PENGAWET TELUR AYAM RAS

The Use of Fire Mangrove Bark (Rhizophora Mucronata Lamck) For The Pickling Of Chicken's Egg Race

Oleh/By BUDISUTIYA1; EVI ARISANDI2

Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat

Jl.A. Yani KM 36 Banjarbaru Kalimantan Selatan

ABSTRACT

The Use of Fire Mangrove Bark (Rhizophora Mucronata Lamck) For The Pickling Of Chicken's Egg Race” Research is aim to know the concentration influence and treatment combination yielding durabel of best egg. This research expected to give the benefit in the form of information about concentration and time which can effectively lengthen a period of keeping chicken’s egg race, so that to the advantage of all good breeder from economic facet and durable.

The result of research indicate that the egg getting pickling treatment namely soaking in tannin of fire bark own the longer fresh duration (40 day), while the treatment which not get soaking of duration pickling as fresh as shorter (28 day). The concentration treatment (Factor A) and soaking egg (Factor B) and also interaction of treatment factor give the very real egg pickling influence. Longer soaking egg in tannin of fire bark, it’s seen that endurance of egg freshness tend to also longer. Excelsior mount of the tannin concentration, hence endurance of egg freshness isn’t yet longer.

The highest egg resilience of treatment is A2B4 or treatment with the tannin concentration 2 : 1 (12 litre irrigate : 6 kg of husk) and soaking during 9 day, because egg able to hold out until during 49 day and the lowest treatment is treatment with tannin concentration 3 : 1 (18 litre irrigate : 6 kg of husk) and soaking during 3 day (A3B1 treatment), because egg only able to hold out during 37 day. The combination of A2B4 treatment can be recommended as effective treatment because can add a period to keeping egg freshness. Keywords : I. PENDAHULUAN

Kayu merupakan suatu bahan yang tersusun dari senyawa-senyawa kimia dan mengandung banyak bahan-bahan ekstraktif dan infiltrasi yang meliputi terpen, resin dan polifenol seperti tanin, gula-gula dan minyak-minyakan. Bahan-bahan ini terletak di sebagian besar dinding sel yaitu tempat diendapkannya bahan-bahan tersebut selama pendewasaan dinding sekunder dan selama pembentukan kayu teras (Sjohtrom, 1998).

Tanin diperoleh dengan cara mengekstraksi bagian-bagian tanaman yang mengandung tanin. Tanin pada umumnya diperoleh dari tumbuh-tumbuhan pada bagian kayu, kulit, daun ataupun buah.

Page 2: Pemanfaatan Kulit Kayu Rhizophora Mucronata Sebagai Pengawet Telur Ayam Ras

PENGGUNAAN BABAKAN….. : (18) 39 - 53

Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006

40

Sifat tanin yang larut dalam air dapat digunakan sebagai bahan penyamak telur,

karena mampu melapisi pori-pori pada kulit luar atau cangkang telur, sehingga menghambat masuknya bakteri maupun penyakit melalui pori-pori tersebut. Bentuk ekstrak tanin lazimnya berbentuk cair, memudahkan penggunaannya dalam proses pelapisan permukaan bahan yang akan diawetkan. Winarno (1990), menjelaskan bahwa bahan penyamak nabati mengandung beberapa zat aktif diantaranya minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, tanin dan pektin. Zat aktif ini berperan sebagai anti bakteri, absorbent (pengelat atau penetral racun), astrigen (melapisi dinding mukosa usus terhadap rangsangan isi usus) dan antiplasmolitik (kontraksi usus).

Prinsip yang dipakai pada pengawetan telur adalah pencegahan pelepasan uap air dan gas terutama CO2 dari dalam telur, menghambat kerja enzim preteolik, serta mencegah penetrasi bakteri ke dalam telur. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk lebih memperpanjang masa simpan telur, salah satunya adalah dengan penyamakan telur. Proses tersebut dapat dilakukan dengan cara menggunakan bahan penyamak nabati berupa tanin yang dapat diperoleh dari daun jambu biji, daun teh, kulit bawang merah dan kulit kayu. Penyamakan dapat menutup pori-pori kulit telur sehingga menghambat keluar masuknya uap air, gas dan bakteri dari luar dan ke dalam telur.

Keberhasilan dalam hal budidaya ternak unggas, telah berhasil membawa kita dalam suatu kondisi yang sangat kondusif. Hasil telur yang berlimpah, sehingga setiap saat telur dapat diperoleh dengan mudah (harga terjangkau) dimana saja,telur unggas juga merupakan salah satu hasil yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pemanfaatan telur yang paling popular adalah sebagai bahan makanan karena selain mempunyai nilai gizi yang tinggi dan lengkap, juga dinilai praktis. Telur mengandung protein dengan kandungan asam amino esensial yang penting untuk pertumbuhan serta mempunyai daya cerna tinggi. Namun disamping mempunyai nilai lebih seperti halnya produk peternakan lainnya, telur juga sangat mudah mengalami kerusakan, untuk mempertahankan kualitas dan memperpanjang masa simpan telur, perlu dilakukan suatu tindakan penanganan dan pengawetan yang baik (Sirait, 1987).

Salah satu permasalahan bagi para pengusaha peternak ayam petelur merupakan pemasaran hasil produksi yang terbatas pada daerah sekitar peternakan, tergantung pada kebutuhan pasar, pengangkutan dan terbatasnya lama waktu penyimpanan telur. Sarwono (1994), menyatakan bahwa telur untuk konsumsi akan mengalami kerusakan setelah disimpan lebih dari dua minggu di ruang terbuka. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang diupayakan untuk meningkatan lama waktu penyimpanan telur dengan menggunakan tanin dari kulit kayu Bakau (Rhizophora mucronata Lamck) sebagai alternatif bahan pengawetnya sehingga telur hasil produksi pengusaha peternak ayam petelur dapat dipertahankan kondisi kesegarannya dan telur dapat dipasarkan secara lebih luas.

II. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian dari pemanfaatan kulit kayu Bakau sebagai alternatif pengawetan telur ayam ras adalah. 1. Mengetahui pengaruh konsentrasi (air dan babakan kulit kayu Bakau) dan lama

perendaman telur terhadap keawetan telur ayam ras 2. Mengetahui kombinasi perlakuan yang menghasilkan keawetan telur terbaik.

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang lama dan konsentrasi yang dapat secara efektif memperpanjang masa simpan telur ayam ras sehingga menguntungkan bagi para peternak baik dari segi ekonomi maupun keawetannya.

Page 3: Pemanfaatan Kulit Kayu Rhizophora Mucronata Sebagai Pengawet Telur Ayam Ras

PENGGUNAAN BABAKAN….. : (18) 39 - 53

Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006

41

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat, dimana untuk pengujian telur dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru dan untuk pengujian bakteri yang terdapat pada telur di Balai Penyidik Penyakit Veterian (BPPV) Banjarbaru. Waktu dalam melakukan penelitian ini selama tiga bulan yakni mulai dari bulan Juli 2005 sampai dengan bulan September 2005.

B. Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah.

1. Kapak atau parang yang digunakan untuk mengupas kulit kayu Bakau 2. Palu untuk menumbuk kulit kayu 3. Panci dan kompor yang digunakan untuk memasak kulit kayu Bakau agar dapat

diambil taninnya 4. Saringan utuk menyaring tanin agar terpisah dari kulit kayu Bakau 5. Bak telur untuk meletakan telur yang akan diamati 6. Baskom/ember sebagai tempat perendaman telur dalam tanin kulit kayu Bakau 7. Timbangan sebagai alat pengukur berat babakan yang akan diamati 8. Termometer untuk mengukur suhu air selama pemasakan tanin 9. Gelas ukur untuk mengukur jumlah tanin yang akan digunakan sebagai bahan

pengawet telur dan jumlah air yang akan dicampurkan dalam ember perendaman 10. Cawan petri, untuk tempat pengujian bakteri yang terdapat pada telur 11. Kamera foto sebagai alat dokumentasi 12. Kalkulator dan alat tulis menulis.

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah. 1. Kulit kayu Bakau (Rhizophora mucronata Lamck) dengan diameter > 30 cm yang

sudah dikeringudarakan sebanyak 18 kg. Lokasi pengambilan sampel kulit kayu Bakau di desa Semayap Kecamatan Pulau Laut Utara Kabupaten Kotabaru.

2. Air dan kapur gamping 3. Telur ayam ras sebanyak 130 butir telur yang dibagi menjadi beberapa bagian :

a. Perlakuan konsentrasi 1 : 1; 2 : 1 dan 3 : 1 dengan lama perendaman 3 hari (A1B1, A2B1 dan A3B1) masing-masing 10 butir telur sehingga jumlah keseluruhan sebanyak 30 butir

b. Perlakuan konsentrasi 1 : 1; 2 : 1 dan 3 : 1 dengan lama perendaman 5 hari (A1B2, A2B2 dan A3B2) masing-masing 10 butir telur sehingga jumlah keseluruhan sebanyak 30 butir

c. Perlakuan konsentrasi 1 : 1; 2 : 1 dan 3 : 1 dengan lama perendaman 7 hari (A1B3, A2B3 dan A3B3) masing-masing 10 butir telur sehingga jumlah keseluruhan sebanyak 30 butir .

d. Perlakuan konsentrasi 1:1, 2:1, 3:1 dengan lama perendaman 9 hari (A1B4, A2B4, A3B4) masing-masing 10 butir telur sehingga jumlah keseluruhan sebanyak 30 butir

e. 10 butir telur tanpa diawetkan sebagai kontrol. 4. Minyak tanah sebagai bahan bakar dan korek api.

Page 4: Pemanfaatan Kulit Kayu Rhizophora Mucronata Sebagai Pengawet Telur Ayam Ras

PENGGUNAAN BABAKAN….. : (18) 39 - 53

Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006

42

C. Prosedur Penelitian Prosedur kerja dari penelitian ini adalah.

1. Pengambilan kulit kayu Pengambilan kulit kayu Bakau, dilakukan secara acak pada bagian batang, mulai dari bagian pangkal sampai tinggi bebas cabang dengan cara dikupas kulitnya dengan menggunakan kapak sehingga diperoleh babakan kulit kayu Bakau. Kulit kayu yang akan di tumbuk sebelumnya dikering udarakan dulu selama 7 hari.

2. Penumbukan Hasil dari babakan kulit tadi ditumbuk dengan menggunakan palu sampai pecah-pecah, tujuannya agar mempermudah keluarnya tanin pada saat perebusan.

3. Perebusan Kulit kayu Bakau yang telah ditumbuk hingga pecah-pecah direbus dalam panci selama ± 3 jam dengan suhu 70 – 80 ºC. Dalam proses perebusan menggunakan 3 konsentrasi dengan perbandingan antara air dan babakan kulit kayu yaitu 1 : 1 dengan perincian 6 liter air bersih dan 6 kg babakan kulit, 2 : 1 (12 liter air : 6 kg babakan kulit) dan 3 : 1 (18 liter air : 6 kg babakan kulit)

4. Penyaringan Air rebusan kulit kayu Bakau setelah didinginkan, kemudian disaring dengan alat penyaring agar air rebusan tidak tercampur (bersih dari ampas kulit kayu Bakau)

5. Persiapan telur Telur ayam ras yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah telur ayam yang masih baru, yaitu telur yang berasal dari peternakan ayam terdekat. Telur yang masih baru adalah ± 3 jam sesudah ayam bertelur. Telur ayam yang akan di awetkan terlebih dahulu diberi tanda dan dilap dengan menggunakan kain bersih lalu dicuci dengan air kapur. Dimana fungsi air kapur tersebut adalah untuk menghilangkan bakteri-bakteri yang menempel pada kulit telur.

6. Perendaman Air hasil rebusan yang telah disaring (point 4) didinginkan, dituangkan kedalam ember kemudian memasukkan telur yang akan diawetkan ke dalam ember yang telah berisi dengan air hasil rebusan yang telah disaring (tanin) tadi.

7. Pemindahan telur Telur yang telah diawetkan dapat diangkat dan ditempatkan pada rak telur lalu disimpan dalam ruangan pada suhu kamar yaitu berkisar antara 25 -30 ºC.

8. Pengujian kondisi kesegaran telur Pengujian dilakukan pada telur yang diawetkan dengan masing-masing perlakuan konsentrasi dan perlakuan lama perendaman maupun pada telur yang tidak diawetkan dengan tanin dari kulit kayu Bakau menggunakan baskom yang berisi air bersih setengahnya atau lebih. Kemudian pengujian untuk telur yang diawetkan maupun yang tidak diawetkan dengan cara pengujian telur sebagai berikut: a. Jika telur tenggelam, maka kondisi telur tersebut baik dengan notasi (+) b. Jika telur berputar-putar tegak, maka kondisi telur kurang baik dengan notasi

(x) c. Jika telur mengapung dipermukaan air menandakan kondisi telur sudah tidak

baik lagi dengan notasi (-) 9. Pengamatan dan pengambilan data

Pengamatan telur dilakukan pada semua telur baik yang tidak diawetkan maupun yang diawetkan dengan perlakuan konsentrasi dan lama perendaman.

10. Pengujian bakteri pada telur Pengujian bakteri dilakukan menurut Carter (1990), Joklik (1988) dan Jay (1992),

Page 5: Pemanfaatan Kulit Kayu Rhizophora Mucronata Sebagai Pengawet Telur Ayam Ras

PENGGUNAAN BABAKAN….. : (18) 39 - 53

Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006

43

D. Analisis Data

Analisis data menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial 3 x 4 dengan ulangan sebanyak 5 kali untuk setiap perlakuan, dimana.

a. Faktor A = konsentrasi air dan babakan kulit A1 = Konsentrasi 1 : 1 (6 liter air : 6 kg babakan kulit) A2 = Konsentrasi 2 : 1 (12 liter air : 6 kg babakan kulit) A3 = Konsentrasi 3 : 1 (18 liter air : 6 kg babakan kulit)

b. Faktor B = lama perendaman telur dalam larutan tanin B1 = 3 hari B2 = 5 hari B3 = 7 hari B4 = 9 hari

Masing-masing perlakuan ditambahkan 5 butir telur sebagai pengamatan kondisi isi telur dengan pemecahan. Selain itu ditambahkan pula telur yang tidak diawetkan sebanyak 10 butir tapi dilakukan pengujian sebagai pembanding dengan telur yang diawetkan, jadi jumlah keseluruhan sampel adalah 130 butir.

Model metemetikanya sebagai berikut. Yijk = + Ai + Bj + AiBj + Eijk

Dimana : Yijk = Nilai pengamatan U = Nilai rata-rata harapan Ai = Pengaruh faktor A (konsentarsi perbandinagn air dan kulit kayu) pada

taraf ke-i Bj = Pengaruh faktor B (lama perendaman telur) pada tarap ke-j AiBj = Pengaruh interaksi A dan B Eijk = Kesalahan percobaan, k = 1,2,3

BerbedaNyata atau tidaknya faktor A (konsentrasi air : babakan kulit), faktor B (lama perendaman) dan interaksi dari faktor A dengan faktor B terhadap kondisi kesegaran telur ayam dilakukan analisis keragaman. Selanjutnya untuk melihat perbedaan antara perlakuan dilakukan uji beda yang sesuai. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil

Hasil penelitian mengenai perendaman telur dalam tanin kulit kayu Bakau menghasilkan jangka waktu segar telur yang bervariasi pada tiap-tiap perlakuan. Hasil pengamatan kondisi pengawetan telur selama 3, 5, 7 dan 9 hari dalam tanin kulit kayu Bakau dapat dilihat Tabel 1.

Page 6: Pemanfaatan Kulit Kayu Rhizophora Mucronata Sebagai Pengawet Telur Ayam Ras

PENGGUNAAN BABAKAN….. : (18) 39 - 53

Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006

44

Tabel 1. Data hasil rekapitulasi kesegaran telur setelah diawetkan dalam tanin kulit kayu Bakau

Perlakuan Kesegaran telur (Hari) Jumlah Rata-rata Konsentrasi Ulangan B1 B2 B3 B4

A1

1 38 41 43 47 169 42 2 39 41 41 46 167 42 3 38 40 41 46 165 41 4 39 40 41 46 166 42 5 38 40 43 46 167 42

Jumlah 192 202 209 231 834 209 Rata-rata 38 40 42 46 167 42

A2

1 40 44 45 49 178 45 2 42 44 46 50 182 46 3 40 42 44 50 176 44 4 40 42 46 48 176 44 5 41 44 45 48 178 45

Jumlah 203 216 226 245 890 224 Rata-rata 41 43 45 49 178 45

A3

1 38 40 40 44 162 41 2 37 39 41 43 160 40 3 37 40 41 43 161 40 4 38 41 40 43 162 41 5 37 40 42 42 161 40

Jumlah 187 200 204 215 806 202 Rata-rata 37 40 41 43 161 40

Secara grafis data hasil pengamatan harian kondisi telur selama 3, 5, 7 dan

9 hari dalam tanin kulit kayu Bakau pada Gambar 1.

3840 42

4641

4345

49

3740 41 43

05

101520253035404550

Har

i

A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A2 B1 A2 B2 A2 B3 A2 B4 A3 B1 A3 B2 A3 B3 A3 B4

Perlakuan

Gambar 1. Histogram ketahanan kondisi telur yang diawetkan dalam tanin kulit kayu

Bakau Gambar 1 menunjukkan histogram perubahan ketahanan kondisi telur yang

diawetkan dalam tanin kulit kayu Bakau selama penelitian. Secara grafis terlihat adanya perbedaan antara masing-masing perlakuan (tingkatan konsentrasi dan lama perendaman). Ketahanan telur tertinggi terjadi pada perlakuan konsentrasi tanin 2 : 1

Page 7: Pemanfaatan Kulit Kayu Rhizophora Mucronata Sebagai Pengawet Telur Ayam Ras

PENGGUNAAN BABAKAN….. : (18) 39 - 53

Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006

45

(12 liter air : 6 kg babakan kulit) dengan lama perendaman selama 9 hari yakni telur mampu bertahan selama 49 hari dan terendah pada perlakuan konsentrasi tanin 3 : 1 (18 liter air : 6 kg babakan kulit) dengan lama perendaman selama 3 hari yakni telur hanya mampu bertahan selama 37 hari.

Perubahan kondisi telur dari tenggelam sampai mengapung dengan perlakuan konsentrasi dan lama perendaman yang berbeda-beda selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

05

1015202530354045505560

A1B

1

A1B

2

A1B

3

A1B

4

A2B

1

A2B

2

A2B

3

A2B

4

A3B

1

A3B

2

A3B

3

A3B

4

Perlakuan

Har

i

Tenggelam Melayang Mengapung

Gambar 2. Grafik kondisi pengawetan telur dalam tanin kulit kayu Bakau selama penelitian

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap keawetan telur secara

statistik, maka perlu dilakukan uji F atau analisis keragaman. Sebelum dilakukan uji F, terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan, yaitu uji normalitas dan uji homogenitas terhadap hasil pengamatan harian kondisi telur selama 3, 5, 7 dan 9 hari dalam tanin kulit kayu Bakau. Dari hasil perhitungan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov data menyebar normal, dimana Ki maksimum = 0,1116 lebih kecil dari Ki tabel = 0,1808 (Ki max < Ki tabel). Uji homogenitas ragam Bartlett menunjukkan bahwa data homogen, dimana X2 hitung = 6,81 kurang dari X2 tabel = 19,70 (X2 hitung < X2 tabel). Hasil analisis keragaman dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 8: Pemanfaatan Kulit Kayu Rhizophora Mucronata Sebagai Pengawet Telur Ayam Ras

PENGGUNAAN BABAKAN….. : (18) 39 - 53

Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006

46

Tabel 2. Analisis keragaman untuk kesegaran telur

Sumber Keragaman

derajat bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah Fhitung Ftabel

5% 1% Perlakuan 11 615,53 55,96 87,21** 1,99 2,64 Faktor A 2 182,93 91,47 142,55** 2,19 5,04 Faktor B 3 415,00 138,33 215,58** 2,50 4,22 Interaksi AB 6 17,60 2,93 4,57** 2,30 3,20 Galat 48 30,80 0,64 Total 59 646,33

Keterangan : ** = berpengaruh sangat signifikan Tabel 2 menyajikan tentang analisis keragaman untuk hasil pengamatan

harian kondisi telur selama 3, 5, 7 dan 9 hari dalam tanin kulit kayu Bakau. Dari tabel tersebut terlihat pengaruh konsentrasi (Faktor A) dan lama perendaman telur (Faktor B) serta interaksi kedua faktor perlakuan memberikan pengaruh pengawetan telur yang sangat signifikan pada taraf 5% dan 1%, hal ini terlihat dari nilai F hitung yang lebih dari nilai F tabel (F hitung > F tabel). Untuk melihat pada tingkat perlakuan mana pengaruh konsentrasi tanin dan lama perendaman telur yang terbaik dalam usaha mempertahankan kondisi kesegaran telur pada pengawetan telur dalam tanin kulit kayu Bakau, maka dilakukan uji lanjutan. Dengan koefisien keragaman (KK) 1,90%, maka uji lanjutan yang digunakan adalah Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) terhadap konsentrasi dan lama perendaman telur dalam tanin kulit kayu Bakau seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Uji beda interaksi BNJ

Perlakuan Nilai tengah Nilai beda

A2B4 245,0

A1B4 231,0 14,00**

A2B3 226,0 19,00** 5,00**

A2B2 216,0 29,00** 15,00** 10,00**

A3B4 215,0 30,00** 16,00** 11,00** 1,00ns

A1B3 209,0 36,00** 22,00** 17,00** 7,00** 6,00**

A3B3 204,0 41,00** 27,00** 22,00** 12,00** 11,00** 5,00*

A2B1 203,0 42,00** 28,00** 23,00** 13,00** 12,00** 6,00** 1,00ns

A1B2 202,0 43,00** 29,00** 24,00** 14,00** 13,00** 7,00** 2,00ns 1,00ns

A3B2 200,0 45,00** 31,00** 26,00** 16,00** 15,00** 9,00** 4,00ns 3,00ns 2,00ns

A1B1 192,0 53,00** 39,00** 34,00** 24,00** 23,00** 17,00** 12,00** 11,00** 10,00** 8,00**

A3B1 187,0 58,00** 44,00** 39,00** 29,00** 28,00** 28,00** 17,00** 16,00** 15,00** 13,00** 5,00*

BNJ 5% 5,016

1% 4,180

Keterangan : ** = berbeda sangat signifikan * = berbeda signifikan

ns = tidak berbeda sangat signifikan

Page 9: Pemanfaatan Kulit Kayu Rhizophora Mucronata Sebagai Pengawet Telur Ayam Ras

PENGGUNAAN BABAKAN….. : (18) 39 - 53

Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006

47

Tabel 3 menunjukkan adanya pengaruh perbedaan konsentrasi dan lama perendaman telur yang sangat signifikan terhadap pengawetan telur dalam tanin kulit kayu Bakau. Perlakuan A2B4, A1B4 dan A2B3 berbeda sangat signifikan terhadap semua perlakuan yang lainnya. Namun demikian, perlakuan A2B4 bermutu lebih baik daripada perlakuan A1B4 dan A2B3 karena frekuensi berbeda sangat signifikan perlakuan A2B4 lebih banyak. Dari hasil uji Duncan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa nilai tengah paling tinggi adalah perlakuan A2B4 (perlakuan konsentrasi 2 : 1 yakni 12 liter air : 6 kg babakan kulit dengan lama perendaman telur 9 hari). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kombinasi perlakuan A2B4 dapat direkomendasikan sebagai perlakuan yang efektif yang dapat menambah masa simpan kesegaran telur.

B. Pembahasan

Hasil penelitian yang diperoleh dari pengawetan telur ayam ras dengan menggunakan bahan pengawet dari babakan kulit kayu Bakau (Rhizophora mucronata Lamck) pada beberapa tingkat konsentrasi dan lama perendaman dengan berbagai kondisi yaitu kondisi segar ditandai dengan posisi telur tenggelam (+) selama pengujian dengan pencelupan, posisi melayang (x) sebagai tanda bahwa telur telah mengalami perubahan kesegaran dan sudah mengalami perubahan baik bentuk putih dan kuning telur, warna, bau dan bentuk fisiknya. Selanjutnya telur yang berada dalam posisi mengapung (-) yang menandakan bahwa telur sudah membusuk dan pengamatan terhadap pengawetan telur pun dihentikan.

Telur yang masih segar selama pengujian berarti telur selalu berada didasar wadah pengujian (tenggelam) selama telur belum memperlihatkan perubahan posisi melayang ataupun mengapung sampai hari yang ditentukan. Telur yang berada dalam posisi tenggelam merupakan kondisi yang masih bagus, sedangkan telur yang melayang dan mengapung tidaklah bagus dan telur ini tidak layak untuk dikonsumsi karena mengandung banyak bakteri. Bakteri dapat menyebabkan kerusakan pada telur yaitu dengan cara bakteri tersebut masuk ke dalam telur melalui pori-pori dan berkembang baik di dalamnya, sehingga lama kelamaan telur mengalami kerusakan. Hal ini dibuktikan setelah telur dimakankan pada tikus. Tikus menjadi mati setelah dimakankan secara oral (melalui mulut) dengan telur yang mengapung (telur banyak mengandung bakteri), sedangkan tikus yang dimakankan dengan telur yang tenggelam tidak mati (telur masih bagus dan dapat dikonsumsi).

Telur yang mendapatkan perlakuan pengawetan yakni perendaman dalam tanin kulit kayu Bakau memiliki jangka waktu segar yang lebih lama, sedangkan yang tidak mendapatkan perlakuan pengawetan jangka waktu segarnya lebih pendek. Telur yang tidak diawetkan dalam tanin kulit kayu Bakau kesegarannya hanya mampu bertahan selama 28 hari setelah itu akan membusuk. Setelah diawetkan, kesegaran telur mampu bertahan sampai lebih dari 37 hari dan setelah lebih dari 49 hari, baru membusuk, dengan demikian dapat dikatakan bahwa telur ayam yang diawetkan dalam tanin kulit kayu Bakau mampu berada dalam kondisi yang segar (baik) atau tenggelam (+) hingga lebih dari satu bulan. Sedangkan kondisi telur yang tidak diawetkan hanya mampu bertahan kurang dari satu bulan (lebih dari 28 hari akan membusuk). Hal ini dikarenakan pori-pori kulit telur yang telah mendapatkan perlakuan pengawetan terlindungi oleh bahan pengawet dari babakan kulit kayu Bakau. Sehingga selain bakteri sulit masuk ke dalam telur juga diperkirakan dapat memperlambat penguapan air dari dalam telur. Sedangkan pada telur yang tidak diawetkan pori-porinya terbuka dan tidak terlindungi, sehingga bakteri mudah sekali masuk melalui pori-pori kulit telur tersebut dan air yang terikat pada protein sebagian besar dibebaskan. Sesuai dengan pendapat Alais dan Linden (1991) serta Man (1997), yang menyatakan bahwa adanya degradasi secara kimia dan aktifitas bakteri yang ada dalam telur membebaskan air yang terikat dalam protein. Dengan demikian lama kelamaan diduga akan mengakibatkan kerusakan pada telur akibat serangan

Page 10: Pemanfaatan Kulit Kayu Rhizophora Mucronata Sebagai Pengawet Telur Ayam Ras

PENGGUNAAN BABAKAN….. : (18) 39 - 53

Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006

48

mikroorganisme, sehingga menyebabkan masa ketahanan kesegaran telur menjadi menurun.

Sifat tanin yang impermeabilitas terhadap telur menjadikannya pada proses pengawetan telur hanya melapisi pada permukaan kulit telur saja tidak sampai menembus lapisan membran di dalam telur, dimana selain bakteri sulit masuk juga tidak akan mengganggu kesehatan.

Semakin lama perendaman telur dalam tanin kulit kayu Bakau, maka terlihat bahwa daya tahan kesegaran telur cenderung juga semakin lama. Hal ini diguga karena semakin lama waktu perendaman maka pori-pori kulit telur akan semakin terlindungi oleh bahan pengawet dari babakan kulit kayu Bakau karena tanin semakin banyak mengendap dalam pori-pori telur, sehingga apabila larutan pengawet tersebut terabsorpsi maka persentase bahan pengawet yang tertinggal pada pori-pori telur juga semakin besar Sedangkan tingkat konsentrasi tanin tidak menunjukkan hal demikian.

Penelitian juga menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi tanin maka daya tahan telur terhadap kesegaran belum tentu ikut bertambah. Dari tingkat konsentrasi tanin 1 : 1 (6 liter air : 6 kg babakan kulit) sampai tingkat konsentrasi tanin 2 : 1 (12 liter air : 6 kg babakan kulit), rata-rata kesegaran telur masih terus meningkat dari 42 hari menjadi 45 hari. Namun setelah tingkat konsentrasi tanin menjadi 3 : 1 (18 liter air : 6 kg babakan kulit), rata-rata kesegaran telur menjadi berkurang yakni hanya mampu bertahan selama 40 hari. Hal ini diduga karena adanya proses difusi yang berlangsung. Menurut pendapat Abdurrohim dan Martawijaya (1984), mengemukakan bahwa proses difusi hanya akan berlangsung terus selama masih ada perbedaan konsentrasi antara larutan bahan pengawet dengan konsentrasi bahan yang diawetkan, dimana difusi itu akan bergerak dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Selain itu, diduga karena dalam pengawetan akan terjadi titik maksimum dimana bahan pengawet sudah tidak dapat lagi masuk ke dalam pori-pori telur dengan kata lain kondisi dari telur itu sendiri yang sudah tak dapat lagi menerima masukan bahan pengawet. Oleh karena itulah, dengan semakin tinggi tingkat konsentrasi tanin maka kesegaran telur belum tentu akan semakin meningkat pula.

Kesegaran telur diantara empat macam lama peredaman dalam tanin pada faktor A dalam B1, B2, B3 dan B4 sangat berbeda nyata. Hal ini berarti kesegaran telur mempunyai kisaran yang sangat berbeda, baik pada lama perendaman 3 hari, 5 hari, 7 hari dan 9 hari serta pada konsentrasi tanin yang berbeda. Perbedaan tersebut diduga karena bertambahnya lama perendaman akan mengakibatkan semakin banyak tanin yang mengendap dalam kulit telur sehingga telur menjadi terlindungi dari bakteri yang dapat menyebabkan pembusukan pada telur. Kesegaran telur pada faktor B dalam A1, A2 dan A3 sangat berbeda nyata. Hal ini berarti kesegaran telur mempunyai kisaran nilai yang sangat berbeda, baik pada konsentrasi tanin 1 : 1 (6 liter air : 6 kg babakan kulit), konsentrasi tanin 2 : 1 (12 liter air : 6 kg babakan kulit) dan konsentrasi tanin 3 : 1 (18 liter air : 6 kg babakan kulit) serta pada lama perendaman telur dalam tanin kulit kayu Bakau yang berbeda. Perbedaan tersebut dikarenakan adanya proses difusi yang berlangsung seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Masing-masing perlakuan (konsentrasi dan lama perendaman) ditambahkan 5 butir telur yang juga dilakukan pengawetan dalam tanin kulit kayu Bakau dan dilakukan pengujian. Kemudian kelima telur tersebut dilakukan pemecahan berdasarkan uji tingkat pengapungan yakni dalam keadaan tenggelam (+), melayang (x) dan mengapung (-). Maksudnya adalah untuk mengetahui keadaan isi telurnya. Keterangan mengenai keadaan isi telur tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Page 11: Pemanfaatan Kulit Kayu Rhizophora Mucronata Sebagai Pengawet Telur Ayam Ras

PENGGUNAAN BABAKAN….. : (18) 39 - 53

Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006

49

Tabel 4. Keterangan keadaan pengamatan kondisi telur berdasarkan masing-masing perlakuan

Perlakuan Kondisi Telur Keterangan

A1B1 + Warna, rasa dan abu masih mencirikan khas telur. Cangkang dalam telur tidak ada bercak tanin.

x Sedikit bau tanin, warna cairan coklat keruh, putih telur encer, kuning telur memipih dan cangkang dalam terdapat bercak tanin yang berwarna coklat.

- Kondisi kuning dan putih telur sudah tidak baik lagi dan berwarna abu kehitaman, bau busuk, mengeluarkan gas yang berbau busuk.

A2B1 + Warna, rasa dan bau masih mencirikan khas telur. Cangkang dalam telur tidak ada bercak tanin.

x Kuning dan putih telur menyatu, sedikit bau tanin, cangkang dalam tidak terdapat bercak tanin.

- Kondisi kuning dan putih telur sudah tidak baik lagi dan berwarna abu kehitaman, bau busuk, mengeluarkan gas yang berbau busuk.

A3B1 + Warna, rasa dan bau masih mencirikan khas telur. Cangkang dalam telur tidak ada bercak tanin.

x Kuning dan putih telur menyatu, sedikit bau tanin, cangkang dalam tidak terdapat bercak tanin.

- Kondisi kuning dan putih telur sudah tidak baik lagi dan berwarna abu kehitaman, bau busuk, mengeluarkan gas yang berbau busuk.

A1B2 + Warna, rasa dan bau masih mencirikan khas telur. Cangkang dalam telur tidak ada bercak tanin.

x Sedikit bau amis, kuningnya memipih dan putihnya encer, ikatannya mulai lemah.

- Kondisi kuning dan putih telur sudah tidak baik lagi dan berwarna abu kehitaman, bau busuk, mengeluarkan gas yang berbau busuk.

A2B2 + Warna, rasa dan bau masih mencirikan khas telur. Cangkang dalam telur tidak ada bercak tanin.

x Kuning dan putihnya menyatu, sedikit bau amis

Page 12: Pemanfaatan Kulit Kayu Rhizophora Mucronata Sebagai Pengawet Telur Ayam Ras

PENGGUNAAN BABAKAN….. : (18) 39 - 53

Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006

50

- Kondisi kuning dan putih telur sudah tidak baik lagi dan berwarna abu kehitaman, bau busuk, mengeluarkan gas yang berbau busuk.

A3B2 + Warna, rasa dan bau masih mencirikan khas telur. Cangkang dalam telur tidak ada bercak tanin.

x Warna, rasa dan bau masih khas telur, putihnya sedikit encer, kuningnya memipih, ikatannya mulai lemah.

Kondisi kuning dan putih telur sudah tidak baik lagi dan berwarna abu kehitaman, bau busuk, mengeluarkan gas yang berbau busuk.

A1B3 + Warna, rasa dan bau masih mencirikan khas telur. Cangkang dalam telur tidak ada bercak tanin.

x Kuningnya masih cembung, putihnya encer, sedikit bau tanin.

- Kondisi kuning dan putih telur sudah tidak baik lagi dan berwarna abu kehitaman, bau busuk, mengeluarkan gas yang berbau busuk.

A2B3 + Warna, rasa dan bau masih mencirikan khas telur. Cangkang dalam telur tidak ada bercak tanin.

x Sedikit bau amis bercampur tanin, kuning dan putihnya menyatu.

- Kondisi kuning dan putih telur sudah tidak baik lagi dan berwarna abu kehitaman, bau busuk, mengeluarkan gas yang berbau busuk.

A3B3 + Warna, rasa dan bau masih mencirikan khas telur. Cangkang dalam telur tidak ada bercak tanin.

x Warna, rasa, bau masih khas telur, putihnya encer, kuningnya mulai encer, ikatannya mulai lemah.

- Kondisi kuning dan putih telur sudah tidak baik lagi dan berwarna abu kehitaman, bau busuk, mengeluarkan gas yang berbau busuk.

A1B4 + Warna, rasa dan bau masih mencirikan khas telur. Cangkang dalam telur tidak ada bercak tanin.

x Warna, rasa, bau masih khas telur dan putihnya encer sekali serta kuningnya mulai encer.

Page 13: Pemanfaatan Kulit Kayu Rhizophora Mucronata Sebagai Pengawet Telur Ayam Ras

PENGGUNAAN BABAKAN….. : (18) 39 - 53

Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006

51

- Kondisi kuning dan putih telur sudah tidak begitu baik lagi dan warnanya kehitam-hitaman, bau busuk, mengeluarkan gas yang berbau busuk.

A2B4 + Warna, rasa dan bau masih mencirikan khas telur. Cangkang dalam telur tidak ada bercak tanin.

x Warna, rasa, bau masih khas telur, putihnya encer, kuningnya mulai encer.

- Kondisi kuning dan putih telur sudah tidak baik lagi dan berbau busuk serta mengeluarkan gas yang berbau busuk.

A3B4 + Warna, rasa dan bau masih mencirikan khas telur.

x Warna, rasa, bau masih khas telur, putihnya encer, kuningnya mulai encer, ikatannya mulai lemah.

- Kondisi kuning dan putih telur sudah tidak baik lagi dan berwarna kehitaman, bau busuk, mengeluarkan gas yang berbau busuk.

Tanpa diawetkan + Warna, rasa dan bau masih dalam keadaan baik.

x Warna, bau, rasa masih khas telur, putihnya encer, kuningnya mulai memipih, ikatannya mulai lemah.

- Warna abu-abu keruh, rasa dan bau busuk, kuning dan putihnya hancur.

Selama pengamatan, terjadi perubahan posisi telur dari tenggelam, berputar

putar tegak (melayang) sampai mengapung ke permukaan air, ini diduga kemungkinan disebabkan oleh perubahan kantong udara yang terdapat pada telur tersebut. Hal ini didukung oleh Sarwom (1994), bahwa perubahan posisi telur dari tenggelam sampai mengapung ke permukaan air, itu disebabkan karena membesarnya kantong udara pada saat terjadinya penguapan air dan CO2 melalui pon-pori kulit telur. Kemudian Murtidjo (1988) juga menyatakan, bahwa makin lama telur disimpan, kesempatan pertukaran gas dan udara makin besar dan penguapan makin cepat sehingga terjadi penyusutan berat telur dan pembesaran kantong udara yang menyebabkan telur mengapung ke permukaan air.

Romanoff dan Romanoff (1963) dalam Herawati, E (1999), menyatakan perubahan berat dan pembesaran rongga udara dapat terjadi karena adanya penguapan air dan pelepasan gas misalnya CO2, NH3, N2, dan terkadang H2S sebagai hasil degradasi bahan-bahan organik isi telur selama penyimpanan. Selanjutnya perubahan yang terjadi terhadap kondisi telur yaitu dari kuning telur berbentuk cembung, putih telur kental sampal menjadi kuning telur dan putih telurnya menyatu, hal ini diduga kemungkinan ikatan putih telur terhadap kuning telur sudah mulai melemah, dikarenakan terjadinya penguapan air dari dalam telur selama penyimpanan. Pendapat ini diperkuat oleh Sarwono (1994), bahwa perubahan isi telur diakibatkan oleh keluarnya uap air dari dalan telur sehingga putih telur menjadi encer. Padahal menurut Rasyaf (1991), putih telur tersebut berguna untuk mengikat kuning telur agar

Page 14: Pemanfaatan Kulit Kayu Rhizophora Mucronata Sebagai Pengawet Telur Ayam Ras

PENGGUNAAN BABAKAN….. : (18) 39 - 53

Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006

52

tetap pada posisinya. Terjadinya pernbusukan tersebut diduga disebabkan karena telur tercemar oleh bakteri melalui pori-pori tersebut.

Pengenceran isi telur, pembesatan rongga udara, perubahan warna isi telur dapat terjadi karena adanya penguapan air dan pelepasan gas CO2, NH3, N2 sebagai hasil degradasi bahan-bahan organik isi selama penyimpanan telur (Romanoff dan Romanoff, 1963 dalam Herawati. E, 1999). Kerusakan telur yang disebabkan oleh bakteri ditandai dengan adanya pengenceran isi telur serta perubaban warna baik pada putih telur maupun pada kuning telur, sedangkan bakteri yang menyebabkan kerusakan ini antara lain Pseudomonas, Acinetobacter, Alcaligenes, Escherichia, Proteus, Acromonas, Salmonella, Enterobacter, Flavobacterium, Micrococcus, Staphylococcus dan Serratia (Jay, 1992). Berdasarkan hasil analisis dari BPPV (2005), maka bakteri yang terdapat pada telur yang diamati pada penelitian ini antara lain Pseudomonas, Acinetobacter, Proteus, Acromonas, dan Enterobacter.

Rasyaf (1994) menjelaskan pula, bahwa banyak sekali mikroorganisme yang senang pada telur diantaranya micrococcus yang terdapat dalam jumlah besar. Kemudian dijelaskannya pula bahwa telur yang disimpan pada kondisi suhu kamar, dalam waktu yang singkat telur tersebut tidak mengalami perubahan. Tetapi lama kelamaan telur tersebut mengalami perubahan, karena mikroorganisme itu berkembang terus menerus semakin banyak yang pada akhimya akan melebihi kemampuan telur untuk bertahan, sehingga akhirnya telur menjadi busuk. Pendapat lain juga diperkuat oleh Sarwono (1994), yang menyatakan bahwa kerusakan telur dapat juga diakibatkan oleh banyaknya CO2 yang keluar selama penyimpanan sehingga derajat keasaman naik. V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perlakuan tingkat konsentrasi (Faktor A) dan lama perendaman telur (Faktor B)

serta interaksi kedua faktor perlakuan memberikan pengaruh pengawetan telur yang sangat signifikan

2. Semakin lama perendaman telur dalam tanin kulit kayu Bakau, maka terlihat bahwa daya tahan kesegaran telur juga semakin lama

3. Telur yang mendapatkan perlakuan pengawetan yakni perendaman dalam tanin kulit kayu Bakau memiliki jangka waktu segar yang lebih lama (40 hari), sedangkan yang tidak mendapatkan perlakuan pengawetan jangka waktu segarnya lebih pendek (28 hari).

B. Saran Berdasarkan hasil penelitian, disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan kadar tanin dari babakan kulit kayu Bakau yang digunakan sebagai bahan pengawet agar diketahui bahwa tanin tersebut tidak akan DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohim dan Martawijaya. 1984. Petunjuk Pelaksanaan dan Pengawetan Kayu

Melalui Proses Rendaman Dingin. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.

Canter, G. R dan J. R. Cole. 1990. Bacteriol dan Mycol. Academic Press, N. Y. USA.

Page 15: Pemanfaatan Kulit Kayu Rhizophora Mucronata Sebagai Pengawet Telur Ayam Ras

PENGGUNAAN BABAKAN….. : (18) 39 - 53

Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006

53

Coppens, H.A., M.A.E. Santana and F.J. Pastore. 1980. Tanin Formaldehyde Adhesives for Exterior Grade Plywood and Particleboard Manufacture. Forest Products Journal 30(4) : 38 – 41.

Erdiyati, Ramlan, Jafar, Nurbaini, Syamsiar, Gusrawani. 1984. Penelitian dan Pemanfaatan Kulit Kayu Bakau sebagai Bahan Penyamak dalam Pengolahan Kulit. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, Aceh

Fengel, D dan G, Wegener. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reasi Terjemahan Cetakan Pertama. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Herawati. E, 1999. Efektivitas Lama Perebusan dan Konsentrasi Tanin Terhadap Total Bakteri dalam Telur Asin Selama Penyimpanan. Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan

Jay, J. M. 1992. Modern Food Microbiol. Van Nostrand Reinhold, N. Y. USA. Joklik, Wolfgang K., et al. 1998. Zinssers Microbiol. Appleton & Lange. National Academy of Sciences. 1980. Fire Wood Crops (Shrub and Tree Species for

Energy Production). National Academy of Sciences, Washington. D.C. Pari, G. 1990. Beberapa SIfat Fisis dan Kimia Ekstraktif Tanin. Jurnal Penelitian Hasil

Hutan Volume 6. No-8. PP. Hal 482 – 489. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Raharjo, Sabat, A. Abdulah, M. Aziz, Mannussungi. 1981. Penelitian Pemisahan dan

Analisa Tanin dari kulit Bakau. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, Ujung Pandang.

Rasyaf, M. 1990. Beternak Ayam Petelur. Penerbit Swadaya. Jakarta. Sarwono, B. 1994. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. Penerbit Swadaya. Jakarta. Sirait, C.H. 1987. Penggunaan Larutan Teh Dalam Proses Pengasinan Terhadap Daya

Simpan Telur Asin. Buletin Peternakan. 11 (1) : 29 – 32. Tampubolon, B. 1982. Pembuatan Tanin dari Bahan yang Mengandung Penyamak.

Departemen Perindustrian Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. Medan.