pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepulauan Kei (Nuhu Evav / Tanat Evav) adalah salah satu kepulauan yang
ada di Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku dengan jumlah pulau 66
buah pulau kecil. Tiga belas pulau telah berpenghuni, sedangkan 53 buah pulau
lainnya tidak berpenghuni. Kepulauan Kei terletak di bagian selatan Laut
Arafura, di bagian barat Laut Banda dan Kepulauan Tanimbar, Papua bagian
selatan dan wilayah Kota Tual di bagian utara Laut Banda dan bagian utara
Kepulauan Tanimbar di bagian barat daya, serta Kepulauan Aru di bagian timur.
Ada tiga bahasa rumpun Austronesia yang dituturkan di Kepulauan Kei,
yaitu bahasa Kei, bahasa Kur, dan bahasa Banda. Bahasa Kei (veveu Evav) adalah
bahasa yang paling luas pemakaiannya, yakni di 207 desa di Kei Kecil, Kei Besar,
dan pulau-pulau sekitarnya. Penduduk Pulau Kur dan Kamear menggunakan
bahasa Kur (veveu Kuur) dalam percakapan sehari-hari, sedangkan bahasa Kei
digunakan sebagai lingua franca. Bahasa Banda (veveu Wadan) digunakan di Desa
Banda Eli (Wadan El) dan Banda-Elat (Wadan Elat) di bagian barat dan timur laut
Pulau Kei Besar (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (DPK), 2007:25).
Bahasa Kei merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat Kei di Kabupaten MalukuTenggara karena bahasa Kei digunakan,
baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara-upacara adat. Bahasa
merupakan alat komunikasi sehingga seseorang dapat menyampaikan maksud
2
dan keinginan kepada orang lain. Lebih dari itu, bahasa mengandung visi budaya,
yaitu merekam, memelihara, dan mewariskan konsep-konsep kolektif, nilai-nilai
historis, religius, filosofi, sosiobudaya, dan ekologis masyarakat setempat. Seperti
halnya makhluk hidup, bahasa juga hidup, berkembang, dan memungkinkan untuk
mati. Berdasarkan hal itu, bahasa berkaitan sangat erat dengan lingkungannya.
Bahasa tersebut dapat hilang atau musnah apabila ekologi yang menunjangnya
musnah. Sebaliknya, apabila lingkungan (ekosistem) terjaga dengan baik, maka
leksikon yang berhubungan dengan lingkungan tersebut akan terekam, terlihat,
dan tergambar dengan jelas dalam bahasa. Artinya, harus ada keseimbangan
antara lingkungan dan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Penggunaan bahasa juga tergantung pada kekayaan leksikon yang sesuai
dengan lingkungan. Jika lingkungan tersebut punah, penggunaan leksikon yang
berhubungan dengan lingkungan itu akan turut punah. Oleh sebab itu, melalui
kajian ekolinguistik, dapat dipahami secara mendalam hubungan antara bahasa
dan lingkungan. Ekolinguistik merupakan ilmu bahasa interdisipliner,
menyanding ekologi dan linguistik (Mbete, 2008:1).
Dalam lingkup kajian ekolinguistik dinyatakan bahwa bahasa merekam
kondisi lingkungan ragawi dan sosial. Hal ini berhubungan dengan perangkat
leksikon yang menunjukkan adanya hubungan simbolik verbal antara guyub tutur
dan lingkungannya, flora dan fauna, termasuk anasir-anasir alamiah lainnya (Fill
dan Muhlhauster, 2001:14). Keberagaman leksikon kekhasan daerah menandakan
lingkungan ragawi yang terjaga kelestariannya. Seperti halnya bahasa daerah lain,
3
bahasa Kei memegang peranan penting dalam pergaulan sehari-hari sebagai alat
komunikasi bagi masyarakat pemakainya. Selain itu, berdasarkan survei pustaka
dan keterangan lain, penelitian tentang ekologi bahasa Kei yang berhubungan
dengan kebertahanan leksikon bahasa Kei dalam lingkungan kelautan di
Kepulauan Kei belum pernah dilakukan. Padahal, unsur leksikon merupakan salah
satu aspek atau subsistem kebahasaan yang sangat penting untuk pembinaan dan
pengembangan bahasa itu di samping aspek-aspek yang lain. Banyaknya jumlah
penutur bahasa Kei tidak menjamin bahwa bahasa ini dapat bertahan dari ancaman
kepunahan. Alasannya, untuk tetap bertahan hidup, sebagaimana dinyatakan oleh
Saussure dan Barker dalam Mbete (2009:4,6) bahwa bahasa itu harus kokoh
berada dalam kognisi penuturnya dan harus digunakan secara lebih sering dan
mendalam dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Dengan demikian,
perlu diadakan penelitian yang mendasar secara sungguh-sungguh supaya dapat
menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam kajian ekolinguistik.
Kecilnya perhatian terhadap lingkungan merupakan salah satu penyebab
ekosistem itu bertambah krisis dan pada akhirnya leksikon pada ekosistem itu pun
menjadi punah. Lebih dari itu, ekosistem akan bertambah kritis sebagai akibat
keserakahan pembangunan. Akibatnya, keanekaragaman hayati banyak yang
hilang, pelbagai kerusakan terjadi, baik fisik, biologis, maupun sosiologis
terhadap kelangsungan hidup manusia dan kebertahanan lingkungan (Al Gayoni,
2010:1). Hal ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem. Oleh sebab
itu, kajian multidisipliner seperti sosiologi, antropologi, dan ilmu alam sangat
besar berperan dan diperlukan untuk mengupas persoalan-persoalan yang ada.
4
Dalam hal ini, kajian ekolinguistik mencoba untuk menyertakan diri dalam
pengkajian lingkungan dalam perspektif linguistik karena perubahan
sosioekologis sangat besar memengaruhi penggunaan bahasa serta perubahan nilai
budaya dalam sebuah masyarakat (Al Gayoni, 2010:1).
Pada kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari guyub tutur Kei tergambar
bahwa penggunaan bahasa Kei oleh generasi muda agak berkurang. Hal ini
terlihat jelas dengan jarang digunakannya leksikon bahasa Kei dibandingkan
dengan bahasa Melayu Ambon. Hal ini dikhawatirkan akan mengikis, bahkan
memunahkan leksikon-leksikon bahasa Kei, khususnya leksikon kelautan. Selain
itu, dengan adanya perubahan budaya dari budaya tradisional ke budaya modern
atau perubahan suatu kawasan dari kawasan pedesaan ke kawasan perkotaan
menyebabkan hilangnya ikon leksikal. Demikian juga ada beberapa jenis ikan laut
yang jarang ditemukan karena banyaknya pengeringan, pendangkalan laut,
penggunaan bom ikan yang menyebabkan karang laut menjadi rusak dan tidak
digunakannya alat-alat tangkap tradisional karena pengaruh alat tangkap modern.
Sejalan dengan perubahan alat-alat tangkap dan biota-biota laut yang berada
pada suatu ekosisitem menyebabkan lahirnya kata-kata/istilah baru yang
menggantikan, bahkan menggeser posisi kata/istilah lama sehingga
keberlangsungan ini secara terus-menerus akan mengakibatkan kepunahan
leksikon, khususnya leksikon bahasa Kei dalam lingkungan kelautan. Misalnya,
jenis ikan yang dulunya hidup pada suatu ekosistem sulit ditemukan karena sudah
berpindah ke ekosistem lain, bahkan menjadi punah, alat tangkap dan umpan yang
digunakan juga tidak akan digunakan oleh generasi sekarang. Hal ini akan
5
menyebabkan hilangnya beberapa ikon leksikal (Adisaputra, 2010:11).
Penyusutan atau kepunahan unsur alam dan unsur budaya akan berdampak
pada hilangnya konsepsi penutur terhadap entitas itu. Sejalan dengan pendapat
Adisaputra, Lauder (2006:6) menyebutkan bahwa punahnya sebuah bahasa daerah
berarti turut terkuburnya semua nilai budaya yang tersimpan dalam bahasa itu,
termasuk di dalamnya berbagai kearifan mengenai lingkungan.
Bahasa Kei merupakan salah satu bahasa daerah yang masih hidup dan
masih dipakai oleh etnik Kei /Evav di Provinsi Maluku, terutama di Kabupaten
Maluku Tenggara, yakni di Kei Kecil dan Kei Besar. Bahasa Kei perlu dipelihara
dan dibina sehingga akan berfungsi sesuai dengan kedudukannya selaku bahasa
daerah. Fungsi umum bahasa Kei ialah sebagai alat komunikasi dalam upacara
adat, keluarga, dan masyarakat Kei untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan
kehendak. Selain itu, tentu juga berfungsi sebagai lambang identitas dan
kebanggaan daerahnya.
Dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya
dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan
bersama organisme-organisme lainnya (Mbete, 2009:2). Selanjutnya, Rahardjo
(2004:159) mengatakan bahwa waktu dan usaha manusialah yang menentukan
kelestarian sebuah bahasa daerah. Apa pun yang digunakan oleh generasi tua
hanya semata-semata untuk mempertahankan bahasa daerahnya agar tetap
lestari dari ancaman kepunahan. Dengan merujuk pada beberapa kerangka
pandang yang diulas di atas sebagai latar pikir, bahasa yang diteliti dalam
penelitian ini adalah bahasa Kei terkait dengan kebertahanan leksikon bahasa Kei
6
dalam lingkungan kelautan di Kepulauan Kei untuk memeroleh data dan deskripsi
terhadap bahasa Kei.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah dan batas-batas lingkup kajian setiap penelitian yang akan dikaji
harus dinyatakan secara jelas agar dapat lebih mudah dipahami. Berdasarkan latar
belakang di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1) Bagaimanakah satuan-satuan lingual ekoleksikal kelautan bahasa Kei?
2) Bagaimanakah pemahaman dan kebertahanan leksikon penutur bahasa Kei
dalam lingkungan kelautan di Kepulauan Kei?
3) Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi kebertahanan leksikon kelautan
bahasa Kei?
1.3 Tujuan Penelitian
Menurut rumusan masalah di atas, penelitian ini dilakukan dengan dua
tujuan utama, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan penelitian itu
diuraikan sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasikan
leksikon-leksikon dalam lingkungan kelautan pada komunitas tutur bahasa Kei di
Ohoi Warbal, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara sebagai
dokumentasi kebahasaan dan pelestarian terhadap bahasa Kei. Temuan penting
yang diupayakan untuk dicapai adalah pengadaan kamus kecil leksikon kelautan
7
agar generasi muda komunitas tutur bahasa Kei mengakrabi kembali bahasa,
budaya, dan lingkungan tempat mereka hidup.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang
dikemukakan dalam rumusan masalah. Tujuan khusus tersebut diuraikan sebagai
berikut.
1) Mendeskripsikan satuan-satuan lingual ekoleksikal kelautan bahasa Kei.
2) Mendeskripsikan tingkat pemahaman dan kebertahanan bahasa dan budaya
Kei serta kelestarian lingkungan kelautan di Kepulauan Kei.
3) Menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kebertahanan leksikon kelautan
bahasa Kei.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini ada dua macam, yaitu manfaat
akademis dan manfaat praktis. Kedua manfaat itu diuraikan sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan bagi khazanah pengetahuan ilmu bahasa, khususnya dalam kajian
ekolinguistik. Selanjutnya, temuan-temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat untuk mengembangkan dan memperkaya ilmu pengetahuan bahasa
lokal serta mampu membedah fungsi ideologis, sosiologis, dan biologis tentang
bahasa lokal, khususnya bahasa Kei.
8
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mendeskripsikan,
mengidentifikasikan, dan mendokumentasikan leksikon-leksikon kelautan yang
merekam dan menggambarkan hubungan penutur bahasa Kei dengan
lingkungannya. Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan yang
merupakan kekayaan alam, sosial, dan budaya sebagai ciri kekhasan yang
terealisasikan melalui bahasa. Selain itu, dapat digunakan sebagai sumber
informasi bagi para peneliti lain ataupun pengguna bahasa Kei khususnya tentang
hubungan bahasa dengan ekologi.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
Pada bab ini berturut-turut disajikan kajian pustaka, konsep, landasan teori,
dan model penelitian. Keempat hal itu diuraikan satu per satu berikut ini.
2.1 Kajian Pustaka
Kajian ekolinguistik sebagai bidang kajian linguistik boleh dikatakan
merupakan bidang kajian linguistik yang usianya relatif muda. Disiplin ini lahir
sekitar tahun 1990-an kendatipun konsep dan benih teoretisnya sudah berkembang
sejak 1921 dengan rintisan Edward Sapir (1884--1939). Kemudian, Haugen
(1972) dan dikembangkan oleh Fill dan Muhlhausler (2001). Seperti telah
disinggung sebelumnya bahwa berdasarkan survei pustaka dan keterangan lain-
lain, ternyata penelitian tentang ekologi bahasa Kei yang berkaitan dengan kajian
ekolinguistik, khususnya kebertahanan leksikon bahasa Kei dalam lingkungan
kelautan di Kepulauan Kei belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu, dianggap
perlu untuk meninjau beberapa karya tulis yang membahas kajian ekolinguistik.
Berikut ini dipaparkan beberapa hasil penelitian yang membantu dalam penelitian
ini, antara lain dapat menjadi bahan acuan dan membuka wawasan penulis tentang
topik yang diteliti.
Mbete dan Adisaputra (2009) dalam tulisan yang berjudul “Penyusutan Fungsi
Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada Komunitas Remaja di Stabat,
Langkat” menunjukkan bahwa dari hasil tes penguasaan leksikon responden
terungkap bahwa rata-rata pemahaman remaja tentang leksikon bahasa Melayu
10
Langkat (BML) tergolong rendah. Rendahnya pemahaman itu dipicu oleh (1)
kurangnya interaksi komunitas remaja dengan entitas yang bercirikan ekologi
Melayu, (2) langka bahkan punahnya entitas sehingga tidak terkonsep dalam alam
pikiran penutur, dan (3) konsepsi leksikal penutur tentang entitas-entitas itu bukan
dalam piranti BML,melainkan dalam bahasa lain. Yang dijadikan acuan penelitian
ini adalah penyebab perubahan pemahaman leksikon sebagaimana disebutkan di
atas. Pemerolehan data dilakukan dengan mendokumentasi leksikon BML terkait
dengan lingkungan alamiah komunitas Melayu di Stabat. Ada 150 leksikon yang
diujikan kepada responden. Tujuan pengujian adalah melihat peringkat
keterpahaman responden terhadap leksikon yang berhubungan dengan lingkungan
alamiah yang sebenarnya dalam bahasa mereka. Hasil pengujian dapat dijelaskan
dengan memparafrasakan situasi penggunaan leksikon tersebut yang dikaitkan
dengan kondisi sosioekologis remaja secara nyata. Setiap leksikon dideskripsikan
sesuai dengan hasil survei lapangan tentang sosioekologis Melayu di Stabat.
Penelitian Mbete dan Adisaputera bermanfaat bagi penulis dalam
memahami penyebab perubahan pemahaman leksikon penutur Kei serta sebagai
wawasan penulis dalam membahas masalah nomor dua. Persamaan penelitian
Mbete dan Adisaputera dengan penelitian ini adalah menelusuri pemahaman dan
penggunaan leksikon. Perbedaannya adalah objek penelitiannya adalah bahasa
Melayu Langkat, khususnya pada komunitas remaja, sedangkan penulis meneliti
kebertahanan leksikon bahasa Kei dalam lingkungan kelautan di Kepulauan Kei
yang berlokasi di Ohoi Warbal, Kecamatan Kei Kecil Barat, Maluku Tenggara.
11
Selain itu, pengujian leksikon yang dilakukan Mbete dan Adisaputera hanya pada
komunitas remaja, sedangkan komunitas pemuda dan orang tua belum dikaji
dalam penelitian ini. Dalam hal ini, perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap
komunitas pemuda dan orang tua sehingga hasil penelitian tentang leksikon itu
dapat terangkum lebih komprehensif. Selanjutnya, dalam pengujian leksikon
kepada remaja secara nyata dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini.
Mbete (2002:174--186) dalam tulisan yang berjudul “Ungkapan-Ungkapan
dalam Bahasa Lio dan Fungsinya dalam Melestarikan Lingkungan”. Penelitian ini
menguak warisan budaya leluhur masyarakat etnik Lio, Flores berupa ungkapan-
ungkapan verbal yang memiliki fungsi untuk melestarikan lingkungan hidup.
Ungkapan-ungkapan budaya verbal tersebut diperinci sebagai berikut. Pertama,
ungkapan yang berfungsi memelihara keserasian hubungan dengan alam semesta,
terutama dengan Sang Khalik dan dengan leluhur pewaris lahan. Kedua, ungkapan
yang berfungsi untuk melestarikan lahan dengan menggunakan teknik tradisional
yang mendukung lingkungan. Ketiga, ungkapan yang mengamanatkan
pemeliharaan hutan lindung dan sumber air. Keempat, ungkapan yang berfungsi
untuk melestarikan pantai dan laut. Kelima, ungkapan yang berfungsi untuk
melestarikan dan menjaga kebersamaan dan kesatuan sosial. Hasil penelitian
Mbete (2002:174--186) menginspirasi peneliti untuk mengungkap kandungan
makna ungkapan-ungkapan terkait dengan pelestarian lingkungan kelautan di
kalangan penutur bahasa Kei. Selain itu, dalam penelitian ditemukan bahwa
merosotnya pemahaman nilai dan norma pelestarian lingkungan yang disebabkan
12
oleh kesenjangan kebahasaan antargenerasi menjadi bahan pembanding bagi
peneliti dalam merumuskan simpulan.
Suparwa (2009) mengadakan penelitian berjudul “Ekologi Bahasa dan
Pengaruhnya dalam Dinamika Kehidupan Bahasa Melayu Loloan Bali”. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kehidupan dan perkembangan bahasa Melayu
Loloan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu hubungan penutur bahasa dengan
lingkungan alamnya, hubungan sosial penutur dengan penutur lainnya, dan
hubungan penutur dengan Sang Penciptanya. Berdasarkan faktor pertama, yaitu
hubungan penutur bahasa dengan lingkungan alamnya, diketahui bahwa
lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan penutur memengaruhi perkembangan
BM Loloan. Lingkungan alam pesisir dan pinggir sungai serta profesi nelayan
menyebabkan banyak penutur BM Loloan sangat akrab dengan kata-kata tentang
laut, nelayan, dan rumah panggung. Namun, pengaruh faktor alam, seperti
penggundulan hutan, berkurangnya curah hujan, dan pendangkalan sungai
memengaruhi cara hidup dan menimbulkan pola pikir ekonomis generasi penutur
bahasa Loloan berikutnya dalam menjalani kehidupan. Profesi nelayan
ditinggalkan dan diganti dengan profesi pedagang, buruh, dan tukang. Di pihak
lain rumah panggung digantikan dengan rumah biasa yang sedikit menggunakan
kayu. Sejalan dengan perubahan profesi dan bentuk rumah, istilah-istilah baru
bermunculan yang mengakibatkan istilah lama hampir tidak dikenal lagi. Dalam
kaitannya dengan penelitian kebertahanan leksikon bahasa Kei dalam lingkungan
kelautan di Kepulauan Kei, faktor pertama pada penelitian Suparwa, yaitu
13
hubungan penutur bahasa dengan lingkungan alamnya dapat menjadi acuan bagi
peneliti dalam menganalisis hubungan bahasa dan lingkungannya.
Sinar (2010:70--83) menulis makalah berjudul “Ungkapan Verbal Etnis
Melayu dalam Pemeliharaan Lingkungan”. Makalah ini membahas dampak
degradasi lingkungan pada bahasa Melayu Serdang di wilayah komunitas pantai
masyarakat Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Dampak degradasi itu ditandai
dengan semakin langka dan kurang dikenalnya sejumlah leksikon tumbuhan yang
terdapat dalam sastra lisan Melayu, yaitu pantun, pepatah, dan jargon. Latar
belakang penulisan makalah ini, yaitu perlunya upaya penyelamatan bahasa
daerah di Indonesia karena ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa
internasional, regional, dan nasional. Tulisan ini memperkuat penulis dalam
menulis subbab Teori Ekolinguistik dalam Bab Kajian Pustaka penelitian ini. Di
samping itu, pengungkapan kearifan lokal mengenai pelestarian lingkungan
dalam sastra lisan pantun dan pepatah menginspirasi peneliti untuk lebih kritis
dalam menganalisis makna ungkapan atau peribahasa yang dimiliki penutur
bahasa Kei terkait dengan upaya pelestarian lingkungan alam kelautan di perairan
Kei.
Rasna (2010) menulis artikel berjudul “Pengetahuan dan Sikap Remaja
terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka
Pelestarian Lingkungan, Sebuah Kajian Ekolinguistik”. Data menunjukkan
sebagai berikut. Pertama, pengetahuan leksikal para remaja tentang tumbuhan dan
tanaman obat untuk (a) remaja desa: 28 orang (37,33%) tergolong cukup, 47
orang (82,66%) tergolong kurang, sedangkan (b) remaja kota : 9 orang (18%)
14
tergolong cukup, 38 orang (76%) tergolong kurang, dan 3 orang (6%) tergolong
rendah. Secara ekolinguistik, hal ini dibuktikan dengan adanya penyusutan bentuk
leksikal tumbuhan/tanaman obat pada para remaja sehingga para remaja tidak lagi
mengenal bentuk leksikal buu, sekapa (gadung), kusambi, nagasari, kundal,
antasari, bahkan tidak semua remaja tahu beluntas. Hal ini terjadi akibat adanya
perubahan sosiokultural, perubahan sosiokologis secara fisik, dan faktor
sosioekonomis. Perubahan ini membawa dampak penyusutan leksikal yang
dogolongkan ke dalam ekolinguistik. Kedua, sikap remaja terhadap
tanaman/tumbuhan obat meliputi sikap bangga, sikap sadar, dan sikap setia.
Hal ini terlihat dari 40% remaja tidak setuju dengan anggapan kampungan,
terbelakang, dan rendah pada pengguna tanaman dan tumbuhan sebagai
obat.
Rasna dan Binawati (2012) menulis artikel berjudul “Pemertahanan
Leksikal Tanaman Obat Tradisional untuk Penyakit Anak pada Komunitas
Remaja di Bali: Kajian Semantik Ekolinguistik”. Data menunjukkan bahwa
bentuk leksikal tanaman obat untuk mengobati penyakit anak menurut usada rare
„Ilmu Penyakit Anak‟ berjumlah 119 jenis tanaman obat tradisional. Artinya,
terdapat sebanyak 119 bentuk leksikal jenis tanaman obat untuk penyakit anak,
yang terbagi atas dua kategori, yaitu (1) kategori material khusus, seperti padang
gulung, daun pipis, urang-aring dan (2) kategori umum, seperti bawang, kesuna
„bawang putih‟, inan kunyit „induk kunir‟. Jenis-jenis tanaman obat ini
mempunyai arti penting, baik dari segi sosiokultural, ekologi, linguistik, maupun
ekolinguistik.
15
Persamaan penelitian ini dengan dua penelitian di atas, yaitu Rasna (2010)
serta Rasna dan Binawati (2012) sama-sama meneliti lingkungan dari aspek
linguistik tentang tanaman obat tradisional, sedangkan penelitian ini meneliti
lingkungan, khususnya lingkungan kelautan di Kepulauan Kei. Data utama dalam
penelitian ini yang dijadikan pedoman adalah data lontar Usada Rare (lontar ilmu
penyakit anak) sehingga semua leksikon tanaman obat tradisonal belum terungkap
secara jelas.
Sumarsono (1990:27) dalam disertasinya yang berjudul “Pemertahanan
Bahasa Melayu Loloan di Bali” menguraikan bahwa konsentrasi wilayah
permukiman adalah salah satu faktor yang dapat mendukung kelestarian sebuah
bahasa. Konsentrasi wilayah permukiman merupakan faktor penting dibandingkan
dengan jumlah penduduk yang besar. Kelompok yang kecil jumlahnya pun dapat
lebih kuat mempertahankan bahasanya jika konsentrasi wilayah permukiman
dapat dipertahankan sehingga terdapat keterpisahan secara fisik, ekonomi, dan
sosial budaya. Secara umum, penelitian ini cukup menarik, terutama tentang
faktor yang dapat mendukung kelestarian sebuah bahasa, tetapi penjelasan
mengenai bagaimana upaya-upaya pemertahanan kelestarian sebuah bahasa
masih sangat kurang. Namun, penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang
bagaimana pemertahanan sebuah bahasa serta penggunaan dan penguasaan
leksikon dengan menggunakan teori ekolinguistik sehingga dapat dijadikan
sebagai acuan dalam penulisan penelitian ini. Relevansinya dengan penelitian ini
adalah menggunakan pendekatan ekolinguistik dalam mengkaji pemertahanan
bahasa. Perbedaan penelitian ini adalah bahan kajiannya, yaitu bahasa Melayu
16
Loloan, sedangkan penulis mengkaji bahasa Kei. Selain itu, uraian tentang
konsentrasi wilayah permukiman memberikan inspirasi bagi penulis untuk
membahas dan menggambarkan kebertahanan leksikon kelautan bahasa Kei.
Kajian yang terakhir adalah sebuah tesis yang ditulis oleh Sukhrani (2010)
dengan judul “Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut
Tawar: Kajian Ekolinguistik”. Data menunjukkan bahwa terjadi perbedaan tingkat
pemahaman nomina kedanauan pada tiap kecamatan dan kelompok usia. Pada
kelompok usia di atas 46 tahun pemahamannya masih tinggi, lalu menurun pada
kelompok usia 21--45 tahun, hingga tergolong rendah pada kelompok usia 15--20
tahun. Perbedaan pemahaman tersebut berkaitan dengan (1) perbedaan kontur
alam danau, (2) perluasan kota, (3) pola hidup praktis dan instan dengan
munculnya alat-alat modern, dan (4) introdusi biota dari luar. Namun, leksikon
nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan lut tawar masih dikenal dan
digunakan oleh 80,6% penutur Gayo dalam berkomunikasi. Beberapa faktor
penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah (1) biodiversitas
lingkungan sekitar danau; (2) penutur dari tiap-tiap kelompok usia masih
berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam; dan (3) penutur dari setiap
kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam keseharian.
Faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina dan pengujian pemahaman
leksikon pada penelitian ini dapat menjadi acuan bagi penulis dalam membahas
masalah nomor dua dan tiga yang tersaji pada rumusan masalah. Selain itu,
penelitian ekolinguistik yang dilakukan Sukhrani hanya mencakup jenis kata
nomina, jenis-jenis kata yang lain, yaitu verba dan adjektiva belum dikaji dalam
17
penelitian ini. Dalam hal ini, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai verba
dan adjektiva sehingga hasil penelitian tentang leksikon itu dapat terangkum lebih
komprehensif.
Walaupun bahasa yang digunakan sebagai objek dalam penelitian-penelitian
di atas tidak sama dengan bahasa yang menjadi objek penelitian penulis,
penelitian-penelitian tersebut dapat dijadikan kajian pustaka yang memberikan
banyak sumbangan dalam penelitian penulis. Hal itu mengingat pembahasan
pengetahuan dan pemertahanan leksikon dengan menggunakan teori Ekolinguistik
dapat memberikan kontribusi dalam penelitian ini yang juga akan membedah
pengaruh antara lingkungan dan bahasa.
2.2 Konsep
Sebelum mengacu pada uraian teori yang digunakan dalam penelitian ini,
perlu dijelaskan konsep dasar yang dianggap relevan sebagai pendukung untuk
dapat lebih memahami topik dan bermanfaat untuk menyamakan persepsi
terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep-konsep
tersebut diuraikan berikut ini.
2.2.1 Kebertahanan Bahasa dan Pemertahanan Bahasa
Konsep kebertahanan bahasa berawal dari pemahaman tentang kata tersebut.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1375) dikemukakan bahwa
makna kata kebertahanan adalah „ihwal bertahan‟, sedangkan makna kata
bertahan adalah „tetap pada tempatnya (kedudukannya dan sebagainya); tidak
beranjak. Konsep kebertahanan diartikan sebagai „proses, cara, perbuatan
18
mempertahankan‟. Di dalam konsep „pemertahanan‟ ada proses yang dilakukan
dengan sengaja, sedangkan pada konsep „kebertahanan‟ tercakup proses-proses
disengaja atau tidak disengaja karena keduanya tercakup dalam „ihwal bertahan‟.
Dengan demikian, penelitian ini mengacu pada konsep kebertahanan karena
mencermati kebertahanan leksikon bahasa Kei secara alami atau apa adanya yang
masih digunakan di Ohoi Warbal, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku
Tenggara hingga saat ini.
Kebertahanan bahasa berkenaan dengan persoalan apakah sebuah bahasa
masih bertahan atau tidak. Masih bertahan berarti masih digunakan dalam
interaksi komunikasi sehari-hari oleh penuturnya. Kebertahanan bahasa terjadi
secara alamiah karena terkait dengan nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa.
Dalam pengembangan bahasa yang berlangsung secara alami tersebut ada dua
proses yang disebabkan oleh perilaku penuturnya, yaitu proses pemertahanan
bahasa (maintenance) dan proses pergeseran bahasa (language shift). Menurut
Garvin dan Martinet (dalam Adisaputra, 2010:43), proses tersebut terjadi karena
adanya fungsi bahasa sebagai alat menyatukan (unifying) atau memisahkan
(separatist) diri dari kelompok lain. Sementara itu, Fasold (1986:181) menyatakan
bahwa orang mempertahankan bahasanya secara tidak sadar. Menurut Fasold,
bahasa memiliki fungsi sebagai contrastive self identification „identifikasi diri
yang konstratif‟, yaitu bahasa berfungsi sebagai alat menyatukan atau
memisahkan diri dari kelompok lain.
Kebertahanan bahasa terkait dengan faktor-faktor sosial dan psikologis,
seperti kekuatan ikatan etnis, sistem nilai, pola permukiman, agama, sistem
19
kekeluargaan, jenis kelamin, dan ekonomi (Suhardi, 1990:195). Faktor lain yang
berpengaruh terhadap kebertahanan bahasa adalah jabatan, status sosial,
kedudukan sosial, usia, dan etnisitas. Selain faktor sosial, faktor situasional,
seperti interlocutor (mitra wicara), topik, dan situasi komunikasi juga turut
menentukan (Fishman, 1968:244--267; Holmes, 1996:20--31). Berdasarkan
konsep tersebut, dapat dikatakan penelitian ini hanya mengkaji faktor-faktor sosial
yang diungkapkan di atas dengan melihat dari segi jenis kelamin dan usia.
Selanjutnya, pembahasan pemertahanan erat kaitannya dengan kepunahan bahasa,
artinya jika upaya pemertahanan tersebut gagal, maka bahasa itu perlahan-lahan
akan menjadi punah (Sumarsono dalam Damanik, 2009:9). Kemampuan bahasa
untuk bertahan hidup menurut Holmes (2001:65) dalam Gunarwan (2006:101--
102) dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu (1) status bahasa yang bersangkutan
seperti yang tercermin pada sikap masyarakat bahasa itu terhadapnya, (2)
besarnya kelompok penutur bahasa itu serta persebarannya; dan (3) seberapa jauh
bahasa itu mendapat dukungan institusional.
2.2.2 Leksikon
Leksikon merupakan komponen bahasa yang memuat informasi tentang
makna. Sejalan dengan itu, leksikon didefinisikan sebagai kosakata; komponen
bahasa yang memuat semua informasi tentang makna pemakaian kata dalam
bahasa; kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa (KBBI, 2008: 805). Di pihak
lain Sibarani (1997:4) sedikit membedakan leksikon dari perbendaharaan kata.
Meurut Sibarani, “leksikon mencakup komponen yang mengandung segala
informasi tentang kata dalam suatu bahasa, seperti perilaku semantis, sintaksis,
20
morfologis, dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan
pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu bahasa.”
Selanjutnya, menurut Booij (2007:16) „the lexicon specifies the properties
of each word, its phonological form, its morphological and syntactic properties,
and its meaning.‟ Ia memberikan contoh leksikon swim dan swimmer
a. /swιm/ /swιmər/
b. [x]V [[x]V er]N
c. SWIMACTIVITY PERSON PERFORMING SWIMACTIVITY
Contoh a merupakan bentuk fonologi leksem swim.
Contoh b merupakan struktur morfologi internal.
Contoh c merupakan makna yang dinyatakan dengan huruf kapital kecil.
Dalam bahasa Indonesia diberikan contoh leksikon „takut‟ dan „penakut‟.
a. /takut/ /penakut/
b. [x]A [[x]A peN-]N [[x]A peN-]A
c. tidak berani orang yang takut mudah takut
Contoh a merupakan bentuk fonologi leksem „takut‟.
Contoh b merupakan struktur morfologi internal.
Contoh c merupakan makna.
Untuk mencatat leksikon suatu bahasa disusunlah kamus. Kegiatan
penyusunan kamus disebut leksikografi. Biasanya sebuah kamus tersusun dengan
leksem atau gabungan leksem sebagai judul yang diterangkan dengan berbagai
cara. Judul itu disebut lema. Ada lema yang berupa leksem atau kata tunggal, ada
yang berupa gabungan leksem atau gabungan kata. Bila keterangannya berupa
21
bahasa yang sama dengan lemanya, kamus ini disebut kamus ekabahasa atau
kamus monolingual. Bila keterangan itu dalam bahasa lain, kamus itu merupakan
kamus dwibahasa atau kamus bilingual.
Dari paparan di atas, dapat diartikan bahwa leksikon merupakan komponen
bahasa yang memuat semua informasi tentang makna pemakaian kata dalam
bahasa, seperti perilaku semantik, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya atau
perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang
atau suatu bahasa.
2.3 Landasan Teori
Teori merupakan asas atau hukum-hukum umum yang menjadi dasar
(pijakan, pedoman, tuntutan) suatu ilmu pengetahuan. Menurut Snelbecker (dalam
Moleong, 2008: 57), teori berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan
menjelaskan fenomena yang diamati. Dengan kata lain, teori merupakan landasan
fundamental ilmiah sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau
memberikan jawaban rasional terhadap masalah yang digarap (Atmadilaga dalam
Gurning, 2004:9). Teori yang digunakan untuk menganalisis rumusan masalah
dalam penelitian ini secara umum berpijak pada perspektif ekolinguistik yang
merupakan paduan antara teori linguistik dan ekologi. Menurut Mbete (2009:2),
“dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang
sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan bersama
organisme-organisme lainnya.
22
2.3.1 Teori Ekolinguistik
Ekolinguistik merupakan bidang linguistik yang mengkaji interaksi bahasa
dengan ekologinya. Mackey dalam Fill dan Muhlhausler (2001:67) dalam
bukunya yang berjudul “The Ecology of Language Shift” menjelaskan bahwa
pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu
sistem. Dalam ekologi bahasa, konsep ekologi memadukan lingkungan,
konservasi, interaksi, dan sistem dalam bahasa (Fill, 2001:43). Ekolinguistik
adalah ilmu pengetahuan antardisiplin yang merupakan sebuah payung bagi
semua penelitian tentang bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikaitkan sedemikian
rupa dengan ekologi. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Fill (1993:126) dalam
Lindo dan Simonsen (2000: 40) bahwa ekolinguistik merupakan sebuah payung
bagi semua penelitian mengenai bahasa yang ditautkan dengan ekologi, yaitu
“Ecolinguistics is an umbrella term for „[…] all approaches in which the study of
language (and languages) is in any way combined with ecology”. Demikian
pula, Mühlhäusler, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in
the University menyebutkan seperti di bawah ini.
Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters we
wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending
on whose perspective one takes one will get either ecology of language, or
language of ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics.
Ecology of language studies the support systems languages require for their
continued wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of
many languages in recent times (P.2).
Selanjutnya, dalam kamus A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th
Edition,
dijelaskan bahwa ecolinguistics (n.) adalah sebagai berikut.
In linguistics, an emphasis-reflecting the notion of ecology in biological
studies-in which the interaction between language and the cultural
23
environment is seen as central; also called the ecology of language,
ecological linguistics, and sometimes green linguistics. An ecolinguistic
approach highlights the value of linguistic diversity in the world, the
importance of individual and community linguistic rights, and the role of
language attitudes, language awareness, language variety, and language
change in fostering a culture of communicative peace (Crystal , 2008: 161-
162).
Lingkungan bahasa dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan
sosial (Sapir dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:14). Kajian ekolinguistik melihat
tautan ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia
(ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia untuk mengkodekan secara verbal
dan berkomunikasi dengan lingkungannya (linguistik). Lingkungan tersebut
adalah lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan pelbagai bahasa dalam
sebuah masyarakat. Lingkungan ragawi dengan pelbagai kondisi sosial
memengaruhi penutur bahasa secara psikologis dalam penggunaan bahasanya
(Al-Gayoni, 2010:31). Terkait dengan adanya hubungan antara perubahan
ragawi lingkungan terhadap bahasa dan sebaliknya, Mühlhäusler (hal.3) dalam
tulisannya Language and Environment, menyebut ada empat hal yang
memungkinkan hubungan antara bahasa dan lingkungan. Keempat hal
yang dimaksud adalah
(1) language is independent and self-contained (Chomsky, Cognitive
Linguistics); (2) language is constructed by the world (Marr); (3) the world is
constructed by language (structuralism and post structuralism); dan (4)
language is interconnected with the world – it both constructs and is constructed
by it but rarely independent (ecolinguistics).
Menurut Haugen dalam Fill dan Muhlhausler (2001:1), kajian ekolinguistik
memiliki parameter, yaitu interrelationships (interelasi bahasa dan lingkungan),
environment (lingkungan ragawi dan sosial budaya), and diversity (keberagaman
24
bahasa dan lingkungan). Haugen (1970) dalam Mbete (2009:11--12) menyatakan
bahwa ada sepuluh ruang kajian ekolinguistik, yaitu (1) linguistik historis
komparatif, (2) linguistik demografi, (3) sosiolinguistik, (4) dialinguistik, (5)
dialektologi, (6) filologi, (7) linguistik preskriptif, (8) glotopolitik, (9)
etnolinguistik, linguistik antropologi atau linguistik kultural (cultural linguistics),
dan (10) tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan.
Berdasarkan pembagian Haugen di atas, penelitian ini berhubungan dengan
ruang kaji ekolinguistik berdasarkan pada pembagian Haugen di atas, Dalam
lingkup kajian ekolinguistik, bahasa yang hidup dan digunakan menggambarkan,
mewakili, melukiskan (merepresentasikan secara simbolik verbal) realitas di
lingkungan, baik lingkungan ragawi maupun lingkungan buatan manusia
(lingkungan sosialbudaya). Hal tersebut mengimplikasikan bahasa mengalami
perubahan seiring dengan perubahan lingkungan ragawi dan sosialnya,
sebagaimana dinyatakan Liebert (2001) dalam Mbete (2009:7) bahwa “perubahan
bahasa merepresentaikan perubahan ekologi.” Proses perubahan pada bahasa
tersebut berjalan secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, tanpa disadari
oleh penuturnya, dan tidak dapat dihindari. Perubahan pada bahasa itu tampak
jelas teramati pada tataran leksikon. Alasannya, kelengkapan leksikon suatu
bahasa mencerminkan sebagian besar karakter lingkungan ragawi dan
karakteristik sosial serta budaya masyarakat penuturnya.
Fill dan Muhlhausler (2001:2) juga menambahkan bahwa lingkup
ekolinguistik adalah hubungan antara bahasa dan lingkungan pada ranah leksikon
saja, bukan pada tataran fonologi atau morfologi „this interrelation exists merely
25
on the level of the vocabulary and not, for example, on that of phonology or
morphology.‟
Selanjutnya, menurut Lindø dan Bundegaard (2000: 10--11), dinamika dan
perubahan bahasa pada tataran leksikon dipengaruhi oleh tiga dimensi. Pertama,
dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat, misalnya
ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan ideologi pasar sehingga perlu
dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah dan
wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis. Jadi, ada upaya
untuk tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakan jenis ikan
atau tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomi tinggi dan kuat. Kedua,
dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial
untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan wujud
praktis sosial yang bermakna. Ketiga, dimensi biologis, yaitu berkaitan dengan
adanya diversivitas (keanekaragaman) biota danau (atau laut, ataupun darat)
secara berimbang dalam ekosistem. Di samping itu, dengan tingkat vitalitas
spesies dan daya hidup yang berbeda antara satu dan yang lain, yaitu ada yang
besar dan kuat sehingga mendominasi dan “menyantap” yang lemah dan kecil,
ada yang kecil dan lemah sehingga terpinggirkan dan termakan. Dimensi biologis
itu secara verbal terekam secara leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa
sehingga entitas-entitas itu tertandakan dan dipahami.
Leksikon yang terekam melalui proses konseptualisasi dalam pikiran
penutur menjadi leksikon yang fungsional untuk digunakan (Mbete dan
Abdurahman, 2009). Sehubungan dengan itu, penutur bahasa akan menggunakan
26
leksikon yang ada dalam konseptual mereka jika didukung dengan lingkungan
ragawi yang ada. Sebaliknya, konsepsi leksikal dalam alam pikiran penutur ini
akan berubah jika adanya perubahan lingkungan ragawi. Perubahan itu terjadi
dalam waktu yang cukup lama sehingga mengakibatkan menghilang atau
menyusutnya sejumlah leksikon. Bahkan, pada komunitas yang dwibahasawan,
tidak hanya terjadinya perubahan, tetapi pergeseran ke konsepsi leksikal bahasa
yang lain.
2.3.2 Teori Semantik Leksikal
Dalam studi semantik, konsep makna telah dikembangkan oleh pakar
filsafat dan linguistik yang pada dasarnya mempersoalkan makna dalam bentuk
hubungan antara bahasa (ujaran, pikiran, dan realitas di alam). Pateda (2001:74)
mengatakan bahwa pembahasan makna dalam kata merupakan kajian semantik
leksikal. Makna kata dianggap sebagai satuan mandiri, bukan makna kata dalam
kalimat. Dengan demikian, untuk menggambarkan hubungan antarkata dalam
suatu bidang tertentu dapat diungkapkan melalui komponen makna yang tercakup
dalam kata-kata pada suatu bidang tertentu. Komponen makna menunjukkan
bahwa makna setiap kata terbentuk dari beberapa unsur atau komponen. Misalnya,
kata-kata yang menggambarkan kekerabatan, seperti „ayah‟, “ibu‟, „adik‟, dan
„kakak‟.
Dalam semantik leksikal diselidiki makna yang ada pada leksem-leksem
bahasa tersebut. Makna yang ada pada leksem-leksem itu disebut makna leksikal.
Dalam studi semantik, leksem adalah istilah yang lazim digunakan untuk
menyebutkan satuan bahasa bermakna. Istilah leksem ini kurang lebih dapat
27
dipadankan dengan istilah kata yang lazim digunakan dalam studi morfologi dan
sintaksis yang lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal bebas terkecil. Hal
ini senada dengan Djajasudarma (1993: 13) menyatakan bahwa semantik leksikal
adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain.
Makna leksikal memiliki unsur-unsur bahasa secara tersendiri, lepas dari konteks.
Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat
leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Makna leksikal juga dapat diartikan
makna yang sesuai dengan acuannya, makna yang sesuai dengan hasil observasi
panca indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.
Lebih lanjut, Lyons (1995:47) menyatakan bahwa “The noun „lexeme‟ is of
course related to the words „lexical‟ and „lexicon‟, (we can think of „lexicon‟ as
having the same meaning as vocabulary or dictionary”
Hubungan antara kata dan konsep atau makna kata tersebut serta benda atau
hal yang dirujuk oleh makna itu berada di luar bahasa. Hubungan antara ketiganya
disebut dengan hubungan referensial, yang biasanya digambarkan dalam bentuk
segi tiga makna yang diperkenalkan oleh Ogden dan Richard (1972), yang lebih
dikenal dengan istilah kata (symbol), konsep/pikiran (reference), dan acuan
(referent) seperti tampak pada segi tiga di bawah ini.
(b) Konsep (reference)
(a) Kata (symbol) (c) Acuan (referent)
28
Simbol adalah kata-kata yang merujuk kepada benda, orang, kejadian,
peristiwa melalui pikiran. Simbol harus bebas atau bersifat impersonal dan harus
diverifikasi dengan fakta atau bahasa yang sesuai dengan fakta atau bahasa
kefaktaan (Parera, 2004:29). Reference adalah sesuatu yang ada dalam pikiran
penutur tentang objek yang ditunjuk oleh lambang atau simbol. Referent atau
acuan adalah objek, peristiwa, atau fakta yang ada di dalam pengalaman manusia.
Reference berhubungan dengan konteks psikologi, sedangkan referent
berhubungan dengan konteks sosial.
Berdasarkan beberapa pandangan yang telah dipaparkan di atas, dapat
dikatakan bahwa penelitian ini mengkaji semantik leksikal berdasarkan makna
dan referensial (acuan) atau korespondensi, yaitu teori yang melihat hubungan
antara kata dan acuan yang dinyatakan lewat simbol bunyi bahasa, baik berupa
kata, frasa maupun kalimat. Dengan demikian, kajian makna dan referensial lebih
ditekankan pada hubungan langsung antara kata dan acuannya yang ada di alam
nyata (Parera, 2004:45).
29
2.4 Model Penelitian
Model pada penelitian ini tampak pada skema berikut.
Bagan I Model Penelitian
Keterangan:
hubungan langsung
yang digunakan
saling berhubungan
Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebertahanan LKBK
Pemahaman dan Kebertahanan Leksikon Kelautan
Satuan-satuan Lingual Ekoleksikal Kelautan BK
Teori Ekolinguistik
Bahasa Kei
HASIL PENELITIAN
Leksikon Lingkungan
Kelautan
Metode
Teori Semantik leksikal
Kualitatif
Kuantitatif
30
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan utama yang diterapkan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data
deskriptif berupa data tertulis atau lisan di masyarakat bahasa (Djajasudarma,
2006: 11). Pendekatan kualitatif yang dilakukan di dalam penelitian ini
berdasarkan pertimbangan bahwa pendekatan kualitatif mengutamakan teknik
analisis data dengan kekuatan deskripsi yang mendalam. Dalam penelitian ini juga
diterapkan dengan pendekatan kuantitatif untuk melihat kuantitas pengetahuan
dan pemahaman leksikon-leksikon kelautan bahasa Kei oleh kelompok pria dan
wanita usia di atas 46 tahun, kelompok pria dan wanita usia 25--45 tahun, dan
kelompok pria dan wanita usia 15--24 tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa penelitian ini menerapkan pendekatan kualitatif yang didukung analisis
kuantitatif.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan jenis data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif
adalah kekayaan bahasa Kei yang dimiliki dan digunakan oleh masyarakat Ohoi
Warbal pada berbagai situasi dan kondisi penggunaan bahasa dengan pelbagai
indikator. Selain itu, data kualitatif berupa informasi lisan dari informan utama
tentang kebertahanan dan faktor-faktor yang memengaruhi dinamika
perkembangan leksikon kelautan bahasa Kei. Data kuantitatif adalah data yang
berupa angka-angka yang ditabulasikan secara statistik sederhana. Data kuantitatif
31
bersumber dari hasil TKL informan, berupa rata-rata kompetensi informan
terhadap leksikon yang berhubungan dengan lingkungan alamiah komunitas tutur
(speech community) di Ohoi Warbal, ditinjau dari kelompok umur dan jenis
kelamin. Secara fungsional, data kuantitatif digunakan untuk mendukung dan
menjelaskan konsisitensi gejala pengetahuan yang dimiliki oleh informan,
sedangkan, data kualitatif berfungsi untuk menjelaskan secara deskriptif sebagai
dasar untuk mengetahui kebertahanan dan faktor-faktor yang memengaruhi
dinamika perkembangan leksikon kelautan bahasa Kei.
Di samping itu, berdasarkan cara memerolehnya, penelitian ini
menggunakan data primer dan data sekunder. Secara keseluruhan, baik data
kualitatif maupun kuantitatif merupakan data primer. Menurut Bungin (2005:122),
data primer adalah data yang langsung diperoleh dari lokasi penelitian atau objek
penelitian, sedangkan data sekunder adalah data data yang diperoleh dari sumber
kedua atau sumber sekunder dari data yang dibutuhkan. Dengan demikian, untuk
mendukung data primer diperlukan data sekunder. Data sekunder dalam penelitian
ini adalah data yang bersumber dari keterangan masyarakat dan sumber-sumber
tertulis. Pemilihan desa Warbal sebagai sumber data didasarkan atas pertimbangan
bahwa masyarakat desa Warbal pada umumnya adalah penutur asli bahasa Kei. Di
samping itu, penggunaan bahasa Kei masih sangat aktif dalam komunikasi sehari-
hari dan letak geografisnya di pesisir pantai sehingga pada umumnya
masyarakatnya adalah nelayan.
32
Untuk mendapatkan sumber data lisan dan respons dari informan maka
digunakan teknik purposive sampling, yaitu penentuan informan berdasarkan
pertimbangan peneliti sendiri. Adapun kriteria informan adalah sebagai berikut.
1) Berjenis kelamin pria dan wanita.
2) Berusia 15--65 tahun.
3) Orang tua, istri atau suami informan lahir dan dibesarkan di Ohoi Warbal.
4) Menetap di Ohoi Warbal minimal selama sepuluh tahun.
5) Menguasai pertanyaan dalam bahasa Kei.
6) Dapat berbahasa Indonesia.
7) Untuk informan tua, pendengarannya baik dan tidak pikun.
3.3 Instrumen Penelitian
Instrumen utama dalam penelitian adalah peneliti sehingga instrumennya
adalah orang atau manusia (human instrument) (Sugiyono, 2009:2). Dalam
penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat adalah peneliti itu sendiri
karena sebagai human instrument atau instrumen manusia bertugas untuk
menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan
pengumpulan data, menilai kualitas data, menafsirkan data, dan membuat
simpulan atas temuannya (Sugiyono, 2009:59). Oleh karena itu,dalam penelitian
ini peneliti adalah instrumen utama karena peneliti sendiri adalah penutur bahasa
Kei sehingga peneliti bersikap independen untuk menghindari subjektivitas dalam
penelitian ini. Selanjutnya, instrumen yang digunakan untuk memeroleh data
kuantitatif adalah kuesioner (angket) yang diwujudkan dalam daftar tanyaan yang
jawabannya disimbolkan dalam angka-angka. Angka-angka yang digunakan
33
merupakan indikator-indikator pengetahuan leksikon informan. Data yang dijaring
melalui kuesioner merupakan data utama (primer).
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan pemahaman leksikon bahasa
Kei tentang lingkungan kelautan oleh responden digunakan tes kompetensi
leksikon. Tes ini berupa sebaran leksikon (kuesioner) lingkungan kelautan sesuai
dengan lingkungan alamiah masyarakat dari kelompok pria dan wanita usia di atas
46 tahun, kelompok pria dan wanita usia 25--45 tahun, dan kelompok pria dan
wanita usia 15--24 tahun kumunitas Kei di Ohoi Warbal, Kecamatan Kei Kecil
Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Kompetensi leksikon ini
dapat dipakai sebagai tolok ukur bagaimana hubungan antara partisipan dan
lingkungannya serta untuk menentukan masih adanya referen leksikon itu. Oleh
karena itu, pada tiap kelompok leksikon diajukan empat pilihan jawaban. Contoh:
1. Ikan tuna (jawab/isi dalam leksikon bahasa Kei)
(a) Tahu, kenal, dan referennya masih banyak.
(b) Tahu,kenal, dan referennya sedikit/langka.
(c) Tahu,kenal, dan referennya sudah hilang/ punah.
(d) sama sekali tidak kenal.
Model pertanyaan di atas ada 131 pertanyaan setiap jawaban “A” (Tahu, kenal,
dan referennya masih banyak) dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah informan
per kelompok jenis kelamin dan usia, yang kemudian mendapatkan hasil
presentasi dengan rumus di bawah ini.
x 100 =KL
x 100 =83,3
34
Keterangan :
JJA = jawaban “A” (Tahu, kenal, dan referennya masih banyak)
JI = jumlah informan per kelompok jenis kelamin dan usia
KL = kompetensi leksikon per kelompok jenis kelamin dan usia
Untuk setiap jawaban “D” (sama sekali tidak kenal) dijumlahkan dan dibagi
dengan jumlah informan per kelompok jenis kelamin dan usia, yang kemudian
mendapatkan hasil persentasi dengan rumus berikut:
Keterangan :
JJD = jawaban “D” (sama sekali tidak kenal)
JI = jumlah informan per kelompok jenis kelamin dan usia
KL = kompetensi leksikon per kelompok jenis kelamin dan usia
Untuk mendapatkan perhitungan rata-rata pengetahuan leksikon informan tentang
kelautan, maka jumlah jawaban “A” dan “D” dijumlahkan dan dibagikan dengan
jumlah informan sehingga didapatkan skor rata-rata dengan rumus berikut.
x 100 = KL
x 100 =83,3
x 100 =Hasil “A”
x 100 =77,8
x 100 =Hasil “D”
x 100 =22,2
35
Selain itu, untuk menentukan pengetahuan leksikon kelautan informan itu
sangat baik, baik, cukup baik, kurang dan sangat kurang, digunakan kriteria nilai
kompetensi leksikon pada tabel berikut berikut.
Tabel 3.1 Kriteria Nilai Pengetahuan Leksikon Kelautan
NO SKOR PREDIKAT
1
2
3
4
5
85--100
70--84
55--69
45--55
-44
Sangat baik
Baik
Cukup baik
Kurang
Sangat kurang
(Renjaan, 2014)
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode penelitian merupakan suatu cara kerja untuk memahami objek yang
menjadi sasaran yang bersangkutan. Dengan menggunakan metode yang tepat
akan diperoleh hasil yang sesuai dengan yang diharapkan sebab metode penelitian
merupakan petunjuk yang memberikan arah, corak, dan tahapan kerja suatu
penelitian.
Dalam penelitian ini pengumpulan data dititikberatkan pada natural setting
atau kondisi yang alamiah. Dalam pengumpulan data ada beberapa tahapan yang
dilakukaan, yaitu observasi, wawancara, dokumentasi pribadi dan resmi, foto,
gambar, dan percakapan informal. Data yang terkumpul merupakan data kualitatif
(Emzir, 2010:37). Dalam penelitian ini, diambil teknik yang umum dan ditambah
dengan kebutuhan khusus kajian penelitian, yaitu sebagai berikut.
1. Tes kompetensi leksikon,yaitu tes untuk menguji tingkat pengetahuan leksikon-
leksikon dalam lingkungan kelautan berdasarkan angket yang diberikan.
36
2. Observasi ( pengamatan ), yaitu pengumpulan data dengan mengadakan
pengamatan terhadap situasi alam sekitar laut, misalnya mengamati tumbuhan,
hewan, benda-benda mati yang terdapat di sekitar laut. Di samping itu, juga
berbagai kegiatan, perilaku, dan tindakan penutur bahasa Kei di kawasan laut
secara intensif, sebagaimana dijelaskan Basrowi dan Suwandi (2008:94) bahwa
“...observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga objek-objek alam yang lain.”
3. Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab antara peneliti dan objek penelitian
untuk mendapatkan data serta pandangan yang relevan dengan tujuan
penelitian. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara terstruktur sehingga dalam melakukan wawancara, peneliti telah
menyiapkan pertanyaan-pertanyaan tertulis dan pilihan jawaban yang sama
kepada setiap informan. Menurut Sugiyono (2009:73), wawancara terstruktur
digunakan apabila telah diketahui dengan pasti tentang informasi apa yang
akan diperoleh. Metode ini digunakan untuk memeroleh penggunaan dan
pengalaman informan tentang bentuk leksikon kelautan dengan bantuan
kuesioner terstruktur. Wawancara dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan
yang terdiri atas :
(1) leksikon biota-biota kelautan.
(2) istilah-istilah tradisional alat penangkapan, alat dan bahan pengolahan hasil
kelautan.
(3) kondisi lingkungan ekologis kelautan.
4. Dokumentasi, yaitu dengan penerapan teknik rekam yang berfungsi untuk
mendapatkan data dalam bentuk leksikon-leksikon kelautan bahasa Kei. Di
37
pihak lain teknik pencatatan dilakukan untuk mencatat hal-hal yang dianggap
penting pada saat proses perekaman atau untuk mencatat apabila ada hal-hal
yang muncul di luar data-data yang diperlukan, tetapi masih ada kaitannya
dengan topik penelitian. Hasil catatan ini dipakai sebagai pedoman dan
keterangan tambahan ketika analisis data dilakukan.
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data
Analisis data sebagai “proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema ....”
(Moleong, 2002:103). Data yang diperoleh dari hasil wawancara, tes kompetensi
leksikon, observasi, dan dokumentasi (dengan penerapan teknik rekam dan teknik
pencatatan) dipisahkan per kelompok leksikon dan dijabarkan ke dalam unit-unit,
dan membuat simpulan sehingga mudah dipahami. Selanjutnya, data akan
dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Dengan penerapan analisis
kualitatif, diharapkan dapat memaparkan pengetahuan dan pemahaman leksikon-
leksikon kelautan di Kepulauan Kei sesuai dengan realitasnya.
Aanalisis data juga menggunakan metode kuantitatif, yaitu jawaban setiap
informan disimbolkan dalam bentuk angka dalam tabel untuk setiap kelompok
jenis kelamin dan usia. Angka-angka tersebut kemudian dijumlahkan dan diubah
ke dalam bentuk persen lalu ditabulasikan untuk setiap kelompok jenis kelamin
dan usia sehingga akan terlihat kecenderungan-kecenderungan tertentu.
38
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data menggunakan metode formal dan informal.
Metode informal adalah metode yang menyajikan hasil analisis data dengan
menggunakan kata-kata biasa, sedangkan metode formal adalah metode yang
menyajikan hasil analisis data dengan menggunakan tanda dan lambang-lambang
(Sudaryanto, 1993:145). Penyajian hasil analisis data juga menggunakan teknik
deduktif dan induktif dengan tujuan pemaparannya tidak monoton. Teknik
deduktif adalah cara penyajian dengan mengemukakan hal-hal yang bersifat
umum kemudian dikemukakan hal-hal yang bersifat khusus sebagai penjelas.
Teknik induktif adalah cara penyajian dengan mengemukakan hal-hal yang
bersifat khusus kemudian dikemukakan hal-hal yang bersifat umum (Hadi, 2004:
47).
39
BAB IV
GAMBARAN UMUM KEPULAUAN KEI
4.1 Kabupaten Maluku Tenggara
Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 2007 tanggal 10 Juli 2007 tentang
Pemekaran Kota Tual, maka Kabupaten Maluku Tenggara dimekarkan menjadi
Kota Tual dengan pemerintahan tersendiri. Sebagai konsekwensi dari pemekaran
Kota Tual tersebut, maka pada tangal 14 Juli 2009 ditetapkan Rancangan
Peraturan Daerah (RANPERDA) tentang penetapan Kota Langgur sebagai
ibukota Kabupaten Maluku Tenggara yang ditindaklanjuti dengan PERDA
penetapan ibukota Kabupaten Maluku Tenggara, maka telah ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2011 tanggal 20 Juli 2011 tentang
pemindahan ibukota Maluku Tenggara dari wilayah Kota Tual ke wilayah
Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara yang selanjutnya disebut Kota
Langgur. yang mencakup wilayah dari delapan Ohoi ( Desa / Dusun ) dan satu
Kelurahan Yakni : Ohoingur, Ohoi Wearlilir, Ohoi Faan, Ohoi Ohoiluk, Ohoi
Ngayub, Ohoi Loon, Ohoi Gelanit, Ohoi Kolser dan Kelurahan Ohoijang
Watdek. Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara teridiri dari enam Kecamatan
yakni : Kecamatan Kei Kecil, Kecamatan Kei Kecil Timur, Kecamatan Kei Kecil
Barat, Kecamatan Kei Besar, Kecamatan Kei Besar Selatan, dan Kecamatan Kei
Besar Utara Timur. Kecamatan Kei Kecil Barat terdiri dari delapan Ohoi yaitu
Ohoi Warbal, Ohoi Madwaer, Ohoi Somlain, Ohoi Ohoiren, Ohoi Ohoira, Ohoi
Ur Pulau, Ohoi Tanimbar Kei, dan Ohoi Ohoidertutu. Ibu kota kecamatan Kei
Kecil Barat terletak di Ohoi Ohoira.
40
Kabupaten Maluku Tenggara terdiri atas 66 buah pulau kecil dengan ibu
kota Langgur. Penduduk asli kabupaten ini adalah suku Kei di samping orang-
orang asal daerah lain yang menetap di kabupaten ini, misalnya orang asal Jawa,
Bugis, Makasar, dan Buton yang menetap sebagai pedagang. Beberapa tahun lalu
Kabupaten Maluku Tenggara terdiri atas 119 buah pulau, namun kini hanya
terdapat 66 buah pulau setelah dimekarkan menjadi lima kabupaten/kota, yaitu
Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat, Kepulauan Aru, Maluku
Barat Daya, dan Kota Tual. Menurut peta Geologi Indonesia (1965), Kepulauan
di Maluku Tenggara terbentuk / tersusun dari tanah dan batuan yang tercatat
sebanyak tiga jenis tanah dan lima jenis batuan. Berdasarkan klasifikasi
agroklimate menurut Oldeman, Irsal, dan Muladi (1981), di Maluku Tenggara
terdapat zone agroklimat, zone C2 bulan basah 5 -- 6 bulan dan kering 4 -- 5 bulan
(Diperkomin Malra, 2010)
Jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tenggara sekitar 192.953 jiwa. Secara
astronomi Kabupaten Maluku Tenggara terletak antara 5º sampai dengan 6,5º
Lintang Selatan dan 131º sampai dengan 133,5º Bujur Timur. Secara goeografis,
Kabupaten Maluku Tenggara terletak di Laut Arafura di bagian selatan, Laut
Banda dan Kepulauan Tanimbar di bagian barat, Papua bagian selatan dan
wilayah Kota Tual di bagian utara, Laut Banda dan bagian utara Kepulauan
Tanimbar di bagian barat daya, dan kepulauan Aru di bagian timur. Luas wilayah
Kabupaten Maluku Tenggara ± 7.856,70 km², dengan luas daratan ± 4.676,00 km²
dan luas perairannya ± 3.180,70 km². Kepulauan Kei terdiri atas sejumlah pulau,
di antaranya adalah Kei Besar atau Nuhu Yuut atau Nusteen, Kei Kecil atau Nuhu
41
Roa atau Nusyanat, Tanimbar Kei atau Tnebar Evav, Kei Dulah atau Du, Dulah
Laut atau Du Roa, Kuur, Taam, dan Tayandu atau Tahayad
4.2 Kepulauan Kei
Kepulauan Kei (atau Kai) di Indonesia berada di bagian tenggara Kepulauan
Maluku, termasuk dalam Provinsi Maluku. Kepulauan Kei merupakan bagian dari
daerah Wallacea, kumpulan pulau Indonesia yang dipisahkan oleh laut dalam,
baik dari lempeng Benua Asia maupun Australia. Gugusan Kepulauan Kei yang
terdiri atas Kepulauan Kei Kecil dengan luas seluruhnya 722,62 km² dan Pulau
Kei Besar dengan luas 550,05 km². Jumlah pulau adalah sebanyak 66 buah.
Secara topografi Pulau Kei Kecil berketinggian ± 100 m di atas permukaan laut.
Beberapa bukit rendah di tengah dan utara mencapai 115 m. Pulau Kei Besar
berbukit dan bergunung yang membujur sepanjang pulau dengan ketinggian rata-
rata 500 -- 800 m dengan Gunung Dab sebagai puncak tertinggi. Di pihak lain
dataran rendah merupakan jalur sempit sepanjang pantai.
Nuhu Evav ("Kepulauan Evav") atau Tanat Evav ("Negeri Evav") adalah
sebutan untuk Kepulauan Kei. Ada beberapa pendapat tentang asal usul nama
Nuhu Evav ("Kepulauan Evav") atau Tanat Evav ("Negeri Evav"). Pertama,
Aivav (dari kata Ai yang artinya pohon kayu dan kata Vav yang artinya babi
hutan), artinya bahwa gugusan pulau dengan pohon-pohon kayu yang besar dan
rindang serta terdapat banyak hewan babi hutan. Kedua, Havav (artinya sebelah
utara), artinya bahwa gugusan pulau yang terletak di bagian utara. "Kai" atau
“Kai” sebenarnya adalah sebutan dari zaman kolonial Hindia Belanda, dan masih
digunakan dalam buku-buku yang ditulis berdasarkan sumber-sumber lama.
42
Menurut penduduk setempat, nama “Kei” atau “Kai” muncul setelah kedatangan
bangsa Portugis di Kepulauan Maluku, yaitu kira-kira pada abad 16. Disebutkan
bahwa nama Kai atau Kei berasal dari perkataan kayos (bahasa Portugis) yang
artinya keras atau kuat.
Kepulauan Kei dianugerahi terumbu karang yang produktif dan berlimpah
serta dikelilingi laut yang dalam. Seperti kebanyakan masyarakat Maluku, mata
pencaharian masyarakat Kei merupakan suatu kombinasi dari kegiatan bercocok
tanam, berburu, dan menangkap ikan di perairan sekitar pantai. Sebagian besar
masyarakat Kei hidup dari bertani dan nelayan. Permukaaan tanah di Kepulauan
Kei agak kering dengan tingkat ketebalan humus sekitar 10 cm dan cepat
kehilangan kesuburan. Para petani sering berpindah-pindah lahan pertanian.
Ladang dibersihkan dan ditanami selama kurang lebih tiga tahun. Kemudian lahan
itu ditinggalkan hingga memakan waktu kurang lebih sepuluh tahun untuk
mengembalikan kesuburannya dan bisa dipakai lagi. Hasil pertanian bervariasi
seperti singkong, enbal, jagung, ubi, pisang, kelapa, dan mangga. Akan tetapi,
Kepulauan Kei kaya dengan hasil laut. Kepulauan Kei tidak menghasilkan
rempah-rempah ataupun komoditas yang bernilai tinggi lainnya selain kayu, ikan,
lola, teripang, dan hasil laut lainnya yang bernilai ekonomis. Warga desa
menangkap ikan dengan menggunakan perangkap ikan, kail, lembing, dan jala,
atau dengan mengumpulkan ikan-ikan yang terjebak di terumbu karang, ceruk-
ceruk pantai pada saat air laut surut, dan menggunakan bagan. Sejak tahun 1980-
an, banyak nelayan mulai menggunakan jaring nilon dan motor tempel. Beberapa
warga desa memperdagangkan sebagian hasil panen atau tangkapannya kepada
43
para tengkulak atau di pasar-pasar Kota Langgur dan Kota Tual. Sumber
pendapatan tunai lainnya mencakup penjualan kopra dan cangkang kerang lola
(trochus niloticux) dan usaha dagang eceran.
Ada beberapa metode penangkapan ikan yang masih dipakai oleh
masyarakat Kei sampai saat ini, tetapi ada pula yang telah ditinggalkan dengan
alasan kurang praktis. Beberapa metode penangkapan ikan yang diterapkan oleh
masyarakat Kei adalah sebagai berikut.
1. Swarut : memancing dengan menggunakan tali senar dan kail.
2. Fahu : menangkap ikan dengan menggunakan kalawai (sejenis tombak),
biasanya dilakukan pada malam hari dengan menggunakan lampu
petromaks.
3. Bore : menangkap ikan dengan menggunakan akar tuba.
4. Strom : menangkap ikan dengan menggunakan jaring (biasanya dilepas
selama 1--2 jam).
5. Kular : menangkap ikan dengan menggunakan daun kelapa yang di anyam
berbentuk “U”.
6. Ail : memancing dengan menggunakan tali dari akar kayu.
Selain potensi perikanan, ada beberapa objek wisata yang dapat dijadikan
tempat untuk berlibur dan menikmati keindahan pantai dan alam yang sangat
indah. Objek wisata di Kepulauan Kei adalah Pantai Ngurtavur di desa Warbal,
Pantai Ngurbloat di Desa Ngilngof, Pantai Daftel di Desa Ohoilim, Pantai Difur di
Desa Dullah, Goa Hawang di Desa Letvuan, Mata Air Evu dan Pemandian Alam
44
di Desa Evu, Taman Ziarah Uskup M.G.R. Johanis Aerts, M.Sc. di Desa Langgur,
Desa Budaya Tanimbar Kei, dan Pulau Kapal di sebelah Desa Sathean.
4.3 Sejarah Lisan
Penduduk Kepulauan Kei hampir tidak memiliki catatan sejarah tertulis.
Sebaliknya, mereka memiliki Tom-Tad, yakni hikayat-hikayat lisan yang disertai
dengan benda-benda warisan tertentu sebagai penjamin keautentikan hikayat itu.
Sebagian besar hikayat itu dibumbui dongeng-dongeng atau lambang-lambang.
Akan tetapi, dianggap sepenuhnya benar secara harfiah oleh pribumi kepulauan
ini pada umumnya. Menurut hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bali,
wilayah kerajaan Majapahit di kawasan barat Nusantara. Konon dua perahu utama
berlayar dari Pulau Bali, masing-masing dinakhodai oleh Hala‟ai Deu dan Hala‟ai
Jangra. Setibanya di Kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan
Hala‟ai Jangra menepi di Desa Ler-Ohoilim Pulau Kei Besar, sedangkan perahu
rombongan Hala‟ai Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan Pulau
Kei Kecil. Letvuan dijadikan pusat pemerintahan dan tempat dikembangkannya
hukum adat Larvul Ngabal (darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit
Sakmas. Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei Kecil mencakup beberapa benda
warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Balsorbay (Bali-Surabaya),
yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu berlabuh. Hala‟ai Jangra dan Hala‟ai
Deu adalah gelar bukan nama diri. Nama asli mereka tidak lagi diketahui.
Sebagian pemuka adat Kei mengatakan bahwa nama asli Hala‟ai Deu adalah
Esdeu. Ada yang mengatakan Kasdeu, ada pula yang berpendapat bahwa nama
sebenarnya adalah Sadeu atau Sadewa atau Dewa. Selain Bali, orang Kei yakin
45
bahwa negeri-negeri asal leluhur mereka mencakup Sumbau (Pulau Sumbawa),
Vutun (Buton), Seran Ngoran (Pulau Seram dan Gorom di Maluku Tengah), serta
Dalo Temat (Jailolo dan Ternate).
Ada 22 ratschaap di seluruh kepulauan ini. Kepala wilayah adat (ratschaap)
di Kepulauan Kei adalah rat (raja). Ada 3 ratschaap yang berkedudukan dalam
wilayah administratif Kota Tual dan 19 ratschaap berkedudukan dalam wilayah
administratif Kabupaten Maluku Tenggara. Secara struktural, rat
membawahi orang kai atau Kepala desa. Orang Kai membawahi kapala soa
(kepala dusun) atau kapala saniri (marga). Selain itu, rat juga memiliki perangkat
kerja lain, seperti kapitan yang berfungsi menjaga keamanan desa (ohoi). Secara
genealogis, 10 ratschaap adalah dalam „Rumpun Lima‟ (Loor Lim), sementara
10 Ratschaap lainnya adalah dalam „Rumpun Sembilan‟ (Ur Siuw), dan
2 Ratschaap lebihnya masuk dalam „Rumpun Netral‟ (Lor Lebai) yang secara
tradisional berfungsi sebagai penengah konflik sosial (jika terjadi) dari dua
rumpun besar utama tadi (Selengkapnya, lihat: Rahail, J.P. 1994).
4.4 Sistem Kepercayaan Masyarakat Kei
Agama asli di Kei pada dasarnya mengandung unsur-unsur animisme, magi,
dan totemisme (Ohoitimur, 1996). Animisme berasal dari bahasa Latin, anima
artinya “nyawa”. Dari asal kata ini, nyawa bisa diartikan sebagai roh. Jadi,
animisme dapat didefinisikan sebagai kepercayaan akan adanya roh-roh yang
memasuki benda-benda di dalam alam semesta, misalnya pohon, hutan, batu, air,
dan sebagainya. Istilah animism peratama kali dikemukakan oleh Edward Tylor,
melalui bukunya Primitive Culture (1871) (dalam Ohoitimur, 1996). Baginya
46
bentuk agama yang paling awal adalah the beliefe in spiritual being. Dalam visi
Tylor mengenai evolusi agama, di samping arwah-arwah dan makhluk-makhluk
halus itu, muncul dewata; kemudian di antara para dewata itu salah satu di
antaranya muncul sebagai dewa atau Tuhan yang terbesar, dan akhirnya dewata
yang lain tidak diakui lagi.
Sistem kepercayaan masyarakat Kei mengakui bahwa semua benda di alam
semesta memiliki roh. Roh tersebut dianggap menetap dalam segala benda. Roh
dalam bahasa Kei disebut duan. Dalam perkembangan, ketika masuknya agama
Kristen, duan kemudian mengalami sedikit perubahan dalam penyebutannya
menjadi duad, yang lebih bermakna Tuhan Allah – yang
mengalahkan/mendominasi duan-duan lain. Wujud animisme dalam masyarakat
Kei sampai sekarang masih dapat diamati dalam bentuk pemberian persembahan
(buk mam) berupa daun sirih, buah pinang, tembakau, dan uang logam yang diisi
dalam piring dan diletakkan di bawah pohon atau tempat-tempat yang dianggap
keramat. “Magi” dalam agama lokal adalah suatu cara berpikir atau cara hidup,
yang mempunyai arti lebih tinggi daripada apa yang diperbuat oleh seorang ahli
sihir sebagai perseorangan. Kata magi juga digunakan untuk mengartikan usaha-
usaha manusia menguasai benda-benda dan orang lain dengan cara gaib. Menurut
keyakinan orang, kemampuan bekerja secara gaib pertama-tama terletak dalam
suatu pertalian yang erat antara pelaku magi itu dan roh-roh halus (duan, setan
atau dewa-dewa). Orang Kei percaya bahwa baik manusia maupun makhluk lain
memiliki keahlian (dalam makna duan). Roh itu selalu berusaha mengambil
bagian dalam kehidupan manusia dan sebaliknya. Oleh karena itu, orang Kei
47
percaya bahwa ia mampu memiliki keahlian untuk memengaruhi roh manusia /
makhluk lain. Pengaruh manusia terhadap roh lain terjadi pada dunia gaib, tidak
kelihatan, tetapi menggunakan benda-benda duniawi. Misalnya seseorang
menggunakan sebuah batu (atau suatu benda tertentu), yang memengaruhi orang
lain sampai sakit, bahkan sampai meninggal dunia.
Selanjutnya, dalam sistem kepercayaan orang Kei terdapat juga model
”totemisme”. Totemisme adalah sejenis roh pelindung manusia yang berwujud
binatang. Dalam realitas hidup masyarakat Kei, sebagai contoh masyarakat
Ohoifau meyakini ikan puring sebagai totemnya, orang Ohoidertutu menerima
penyu sebagai totemnya, bahkan fam atau marga tertentu juga memiliki totem
sendiri, dan sebagainya. Orang Kei percaya bahwa ada hubungan khusus antara
objek-objek tertentu, seperti ikan, burung, tumbuhan, dan sebagainya dengan
dunia Ilahi. Berdasarkan keyakinan seperti ini, orang Kei menyebut ikan suci,
rumput suci, burung suci, dan sebagainya. Obyek suci itu harus dihormati.
Dengan demikian, jelas bahwa masuknya agama-agama dunia di Kepulauan Kei
tidak serta merta menghilangkan kepercayaan atau agama suku masyarakat Kei.
Namun, praktek hubungan antara dunia nyata dan dunia Ilahi dalam kehidupan
orang Kei masih terpelihara dengan baik sampai sekarang.
4.5 Hukum Adat Masyarakat Kei ”LARVUL NGABAL”
Kepulauan Kei memiliki keunikan yang terpancar dari kebudayaan
lokalnya. Hal ini terlihat dari kekompakan masyarakat Kei yang secara struktural
tetap mempertahankan hukum adat tertingginya, yaitu hukum ”Larvul Ngabal”.
Hukum ”Larvul Ngabal” adalah hukum adat yang merupakan hukum yang
48
dijunjung tinggi dalam mengatur tatanan kehidupan masyarakat Kei. “Larvul
Ngabal” berasal dari kata Larvul “ Lar ” artinya darah dan “ Vul “ artinya merah.
Ngabal : “ Nganga “ artinya tombak dan “ Bal “ artinya dari Bali. Jadi "Larvul
Ngabal" berarti darah merah tombak dari Pulau Bali. Menurut hikayat setempat,
leluhur orang Kei berasal dari Bali, yaitu wilayah kerajaan Majapahit di kawasan
barat Nusantara. Konon dua perahu utama berlayar dari Pulau Bali, masing-
masing dinakhodai oleh Hala'ai Deu dan Hala'ai Jangra. Setibanya di Kepulauan
Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan Jangra menepi di Desa Ler-
Ohoilim, Pulau Kei Besar, sedangkan perahu rombongan Deu berlabuh untuk
pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil.
Hukum adat Evav yang disebut Larvul Ngabal itu terdiri atas tujuh pasal,
yaitu (1) Ud entauk atvunad (kepala kita bertumpu pada leher kita) maknanya
bahwa atasan (yang tertinggi, pemimpin, orang tua) melindungi bawahan
(manusia, rakyat, anak) menjunjung atasan, (2) Lelad ain fo mahiling (leher kita
diluhurkan) bermakna, hidup manusia diluhurkan, (3) Ul nit envil atumud (kulit
membungkus tubuh kita) maknanya adalah harkat martabat manusia dihormati,
(4) Lar nakmot ivud (darah berdiam di perut kita) bermakna, keselamatan manusia
dilindungi, (5) Rek fo mahiling (ambang batas kamar diluhurkan) makna, yaitu
batas-batas kesusilaan (kehormatan wanita) diluhurkan, (6) Moryain fo kelmutun
(tempat tidur keluarga dimurnikan) maknanya bahwa perkawinan (kehormatan
rumah tangga) dimurnikan, dan (7) Hira ni tub fo ni, it did tub fo it did (miliknya
tetap menjadi miliknya, milik kita tetap menjadi milik kita) maknanya, yaitu hak
milik seseorang (kaum) diakui dan dihormati.
49
Pasal 1, 2, 3, dan 4 disebut juga hukum adat Navnev (hukum kehidupan),
pasal 5 dan 6 disebut juga hukum adat Hanilit (hukum kesusilaan), dan pasal 7
disebut hukum adat Hawear Balwirin (hukum keadilan sosial). Ketiga tema
hukum itu (Navnev, Hanilit dan Hawear Balwirin) masing-masing dilengkapi
dengan tujuh pasal larangan hukum adat, yang disebut Sa Sor Fit (tujuh lapis
kesalahan/pelanggaran).
Cerita Larvul Ngabal memiliki karakteristik sebagai bentuk cerita human
endogeonik, cerita kosmogonik, dan cerita transformasi. Cerita itu merupakan
produk budaya yang menyampaikan sejumlah pesan budaya berkaitan dengan
filosofi, sistem kepercayaan, dan norma–norma hukum komunitas Kei. Secara
substantif, cerita Larvul Ngabal merupakan suatu genre sastra lisan, yakni cerita
rakyat yang dianggap sakral oleh orang Kei dan diyakini benar-benar terjadi pada
waktu lampau. Cerita tersebut memiliki bentuk, makna, fungsi, dan pemertahanan
yang dituturkan secara unik dan spesifik. Makna cerita Larvul Ngabal
mencerminkan pandangan hidup orang Kei yang mengandung konsepsi mendalam
dan gagasan mengenai wujud kehidupan mengenai hubungan manusia dengan
alam, baik secara vertikal antara manusia dan Tuhan, hubungan horizontal antar
manusia, dan hubungan sirkular harmonis antara manusia dan alam sebagai suatu
totalitas dari sikap hidup orang Kei yang tercermin dalam makna filosofis, makna
religius, makna kosmologis, dan makna mistis.
Fungsi cerita Larvul Ngabal mengarah pada fungsi sosiologis, fungsi
pedagogis, dan fungsi yuridis. Fungsi sosiologis diimplementasikan sebagai
sarana pengungkap asal usul, pengungkap struktur sosial masyarakat Kei, dan
50
sarana untuk memperkenalkan sistem pemerintahan baru. Fungsi pedagogis
mengukuhkan cerita Larvul Ngabal sebagai model pendidikan etis moral, ajaran
tentang pembaruan, mengajarkan bahasa simbolik. Di pihak lain fungsi yuridis,
cerita Larvul Ngabal merupakan hukum yang mengatur ketentuan, baik tentang
masalah pidana maupun perdata. Pemertahanan hukum Larvul Ngabal sampai
sekarang masih dijaga dan dipertahankan melalui jalur keluarga, jalur
masyarakat, dan jalur pemerintah lokal. Selanjutnya, peran pemertahanan yang
terakumulasi dalam kehidupan orang Kei, yaitu (a) pemertahanan jati diri orang
Kei yang dilakukan melalui bahasa yang sama dan hukum adat yang sama,
struktur pemerintahan yang akomodatif, ikatan persaudaraan, dan politik
masyarakat Kei, (b) menghadapi tantangan perubahan zaman akibat pengaruh
agama, pendidikan, pengaruh ekonomi, perubahan di bidang sosial budaya, dan
pengaruh politik. Dengan demikian, cerita Larvul Ngabal sebagai representasi
budaya masyarakat Kei karena merupakan intisari pengalaman orang Kei yang
transsendental, reflektif, dan relevan dengan kebudayaan manusia pada umumnya.
Cerita Larvul Ngabal mampu merangkum, memproyeksikan, dan mengukuhkan
pandangan hidup dan norma-norma tradisi orang Kei.
51
BAB V
SATUAN-SATUAN LINGUAL EKOLEKSIKAL KELAUTAN
BAHASA KEI
5.1 Klasifikasi Bunyi Leksikon Kelautan Bahasa Kei
Leksikon kelautan bahasa Kei mempunyai sejumlah bunyi yang dapat
dikelompokan menjadi tiga, yaitu (1) vokoid, (2) kontoid, dan (3) diftong. Uraian
yang lebih rinci dapat dilihat pada sub bab berikut ini.
5.1.1 Vokoid
Ada sembilan buah vokoid leksikon kelautan bahasa Kei, yaitu [i], [I], [u],
[U], [e], [ɛ], [o], [ɔ], dan [a]. Bunyi-bunyi leksikon kelautan bahasa Kei dapat
dilihat pada contoh distribusi berikut ini. Ada enam buah bunyi berdistribusi
lengkap, yaitu [i], [u], [e], [o], [ɔ], [a] dan tiga buah bunyi berdistribusi tak
lengkap, yaitu [I], [U], [ɛ].
Tabel 5.1 Vokoid Leksikon Kelautan Bahasa Kei
Cara Artikulasi Depan Tengah Belakang
Tinggi Atas i u
Tinggi Bawah
I
U
Tengah Atas e
ɛ
o
ɔ
Rendah a
52
(1) Vokoid [i]
Vokoid [i] ditemukan di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Oleh karena itu,
vokoid [i] berdistribusi lengkap. Keberadaan vokoid ini dibuktikan dengan data
berikut.
Awal : [iwar] „ikan mata bulan‟
Tengah : [ŋilŋilan] „lola‟
Akhir : [riʔiʔ] „alang-alang‟
(2) Vokoid [I]
Vokoid [I] hanya dapat menempati satu posisi, yaitu di tengah kata dasar. Hal ini
berarti bahwa vokoid [I] berdistribusi tak lengkap. Keberadaan vokoid ini
dibuktikan dengan data berikut.
Tengah : [kasIl] „cicak‟
[sIt] „kucing‟
(3) Vokoid [u]
Vokoid [u] berdistribusi lengkap karena vokoid ini dapat menempati tiga posisi,
yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan vokoid ini dibuktikan
dengan data berikut.
Awal : [ubUn] „lamu-lamu‟ Tengah : [vur] „padang lamun‟
Akhir : [yahau] „anjing‟
(4) Vokoid [U]
Vokoid [U] berdistribusi tak lengkap karena vokoid ini hanya ditemukan di
tengah kata dasar. Vokoid ini dibuktikan dengan data berikut.
Tengah : [kaʔbUr] „lalat‟
[sIlbUkʔ] „cicak tanah
53
(5) Vokoid [e]
Vokoid [e] berdistribusi lengkap karena vokoid ini dapat menempati tiga posisi,
yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Vokoid ini dibuktikan dengan
data berikut.
Awal : [ekʔ] „ikat‟
Tengah : [yew] „ikan hiu‟
Akhir : [falbe] „bagaimana‟
(6) Vokoid [ɛ]
Vokoid [ɛ] berdistribusi tak lengkap karena vokoid ini hanya ditemukan di tengah
kata dasar. Vokoid ini dibuktikan dengan data berikut.
Tengah : [yɛr watʔ] „karang‟
[wɛw] „ketapang‟
(7) Vokoid [a]
Vokoid [a] berdistribusi lengkap karena vokoid ini dapat menempati tiga posisi,
yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan vokoid ini dibuktikan
dengan data berikut.
Awal : [arat] „ikan lumba-lumba‟
Tengah : [haʔrun] „udang batu‟ Akhir : [harara] „ubur-ubur‟
(8) Vokoid [o]
Vokoid [o] berdistribusi tak lengkap karena vokoid ini hanya menempati dua
posisi, yaitu di tengah dan di akhir kata dasar. Vokoid ini dibuktikan dengan data
berikut.
Awal : [ohoy] ‟kampung‟
Tengah : [tom] „kunyit‟
Akhir : [hɔho] „kalawai‟
54
(9) Vokoid [ɔ]
Vokoid [ɔ] berdistribusi tak lengkap karena vokoid ini hanya ditemukan di tengah
dan di akhir kata dasar. Keberadaan vokoid ini dibuktikan dengan data berikut.
Tengah : [hɔho] „kalawai‟
Tabel 5.1.1 Distribusi Vokoid Leksikon Kelautan Bahasa Kei
VOKOID POSISI AWAL POSISI
TENGAH
POSISI AKHIR
[i] + + +
[I] - + -
[u] + + +
[U] - + -
[e] + + +
[ɛ] - + -
[a] + + +
[o] + + +
[ɔ] - + +
5.1.2 Kontoid
Ada tujuh belas buah kontoid leksikon kelautan bahasa Kei, yaitu [p], [b],
[t], [d], [k], [f], [s], [m], [n], [l], [r], [v], [ŋ], [?], [h], [w], dan [y]. Dua belas buah
bunyi di antaranya berdistribusi lengkap, sedangkan lima buah bunyi lainnya
berdistribusi tak lengkap.
Tabel 5.1.2 Kontoid Leksikon Kelautan Bahasa Kei
Cara Artikulasi Tempat Artikulasi
Bilabial Labio-
dental
Dental-
alveolar
Palatal-
Alveolar
Velar Glotal
Hambat /
Plosive
TBs p t k ʔ
Bs b d
Frikatif /
Fricative
TBs f s h
Bs v
Nasal Bs m n ŋ
Lateral Bs l
Getar/trill Bs r
Semivokoid Bs w y
55
(1) Kontoid [p]
Kontoid [p] berdistribusi tak lengkap karena kontoid ini hanya ditemukan di
tengah kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut.
Tengah : [watʔ apuŋ] „batu apung‟
(2) Kontoid [b]
Kontoid [b] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,
yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini
dibuktikan dengan data berikut.
Awal : [bib] „kepiting kecil‟
Tengah : [sIlbUkʔ] „cicak tanah‟ Akhir : [tabo
wb] „penyu belimbing‟
(3) Kontoid [t]
Kontoid [t] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,
yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini
dibuktikan dengan data berikut.
Awal : [taʔnir] „ikan tuna‟
Tengah : [sadutil] „sejenis bia laut‟ Akhir : [arat] „ikan lumba-lumba‟
(4) Kontoid [d]
Kontoid [d] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,
yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini
dibuktikan dengan data berikut.
Awal : [dan sawɛl] „bia jala‟
Tengah : [widan] „udang batu‟
Akhir : [vɛd] „menjual‟
(5) Kontoid [k]
Kontoid [k] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,
yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini
dibuktikan dengan data berikut.
56
Awal : [kUstəl] „pepaya‟
Tengah : [faʔkikIk] „semut‟
Akhir : [suk] „cumi-cumi‟
(6) Kontoid [f]
Kontoid [f] berdistribusi tak lengkap karena kontoid ini hanya ditemukan di awal
dan di tengah kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut.
Awal : [faʔn] „cacing‟ Tengah : [lafetar] „bunga lafetar‟
(7) Kontoid [s]
Kontoid [s] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,
yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini
dibuktikan dengan data berikut.
Awal : [sIlbUkʔ] „cicak tanah‟ Tengah : [sirsir] ‟sejenis karang‟
Akhir : [kUs] „kus-kus‟
(8) Kontoid [m]
Kontoid [m] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,
yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini
dibuktikan dengan data berikut.
Awal : [mu:uʔ] „pisang‟
Tengah : [kamaʔtIl] „tomat‟ Akhir : [tom] „kunyit‟
(9) Kontoid [n]
Kontoid [n] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,
yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini
dibuktikan dengan data berikut.
Awal : [nadan] „ikan sembilan‟
Tengah : [inahaʔ] „ikan bulana‟
Akhir : [rwin] „ikan duyung‟
57
(10) Kontoid [l]
Kontoid [l] berdistribusi lengkap karena kontoid ini ditemukan di awal, di tengah,
dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut.
Awal : [lor] „ikan paus‟ Tengah : [ŋilŋilan] „lola‟
Akhir : [kasIl] „cicak‟
(11) Kontoid [r]
Kontoid [r] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,
yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini
dibuktikan dengan data berikut.
Awal : [rubay] „ular‟
Tengah : [taʔrut] „burung Akhir : [vur] „padang lamun‟
(12) Kontoid [v]
Kontoid [v] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,
yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini
dibuktikan dengan data berikut.
Awal : [ven] „penyu‟
Tengah : [iva:n] „rumput laut‟ Akhir : [vuv] „bubu‟
(13) Kontoid [ŋ]
Kontoid [ŋ] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,
yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini
dibuktikan dengan data berikut.
Awal : [ŋarun] „bia mata tujuh‟ Tengah : [taŋaŋnan] ‟bintang laut‟
Akhir : [ŋɛŋ] „akar bahar‟
58
(14) Kontoid [ʔ] Kontoid [?] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,
yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini
dibuktikan dengan data berikut.
Tengah : [taʔrut] „burung pombo‟
Akhir : [kahuʔ] „ikan morea‟
(15) Kontoid [h]
Kontoid [h] berdistribusi tak lengkap karena kontoid ini hanya ditemukan di awal
dan di tengah kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut.
Awal : [harara] „ubur-ubur‟
Tengah : [yahau] „anjing‟
(16) Kontoid [w]
Kontoid [w] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,
yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini
dibuktikan dengan data berikut.
Awal : [widan] „udang batu‟
Tengah : [rwin] „ikan duyung‟
Akhir : [wɛw] „ketapang‟
(17) Kontoid [y]
Kontoid [y] berdistribusi tak lengkap karena kontoid ini hanya ditemukan di
tengah kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut.
Awal : [yew] „ikan hiu‟
[yahau] „anjing‟
Tabel 5.1.3 Distribusi Kontoid Leksikon Kelautan Bahasa Kei
KONTOID POSISI AWAL POSISI TENGAH POSISI AKHIR
[p] - + -
[b] + + +
[t] + + +
[d] + + +
[k] + + +
[f] + + -
[s] + + +
59
[m] + + +
[n] + + +
[l] + + +
[r] + + +
[v] + + +
[ŋ] + + +
[ʔ] - + +
[h] + + -
[w] + + +
[y] + - -
5.1.3 Diftong
Diftong termasuk dalam pengklasifikasian bunyi rangkap. Marsono
(2008:19) mengatakan bahwa bunyi rangkap adalah bunyi yang terdiri dari dua
bunyi dan terdapat dalam satu suku kata (silabel). Diftong itu sendiri merupakan
bunyi rangkap vokal. Dengan kata lain, diftong adalah pelafalan dua vokal secara
serentak yang pada waktu dibunyikan satu sama lain berbeda, tetapi masih dalam
kesatuan waktu sehingga terjadi proses luncuran. Dua vokal yang digabungkan itu
mempunyai puncak kenyaringan yang berbeda. Dalam sistem penulisan diftong
biasa dilambangkan oleh dua huruf vokal. Kedua huruf vokal itu tidak dapat
dipisahkan. Pada umumnya diftong dibedakan atas dua, yaitu (1) diftong naik,
yaitu jika vokal yang kedua diucapkan dengan posisi lidah lebih tinggi daripada
pertama. Karena lidah semakin naik, strukturnya semakin menutup sehingga
diftong menutup atau pembunyian pada vokal yang kedua lebih tinggi daripada
pembunyian vokal yang pertama dan (2) diftong turun, yaitu jika posisi lidah yang
kedua diucapkan lebih rendah daripada yang pertama.
Dalam leksikon kelautan bahasa Kei ditemukan tiga buah diftong, yaitu [ai],
[ou], dan [au]. Ketiga diftong ini merupakan diftong naik karena vokal yang
60
kedua diucapkan dengan posisi lidah lebih tinggi daripada yang pertama. Posisi
lidah semakin naik sehingga strukturnya semakin tertutup. Sehubungan dengan
itu, disebut juga sebagai diftong tertutup. Diftong [ai], [ou], dan [au] hanya
ditemukan satu kategori, yaitu kategori dalam bentuk nomina (kata benda).
Distribusi bunyi diftong adalah adanya kemungkinan kedudukan bunyi diftong
pada suatu kata dalam posisi tertentu. Posisi itu bisa di awal kata, di tengah kata,
dan di akhir kata. Dalam bahasa Kei, diftong /ai/ berdistribusi lengkap karena
vokal ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata
dasar, diftong /au/ berdistribusi tidak lengkap karena vokal ini hanya menempati
posisi di akhir kata dasar, dan diftong /ou/ berdistribusi tidak lengkap karena
vokal ini hanya menempati posisi di tengah kata dasar. Hal ini dibuktikan dengan
data di bawah ini.
(1) Diftong [ai]
Diftong [ai] merupakan diftong naik atau diftong menutup dengan puncak
kenyaringan pada [a].
Contoh:
[ayl] „tali dari akar kayu untuk menangkap ikan‟
[rubay] ‟ular‟
[mahayn] „bia garu‟
(2) Diftong [au]
Diftong [au] merupakan diftong naik atau diftong menutup dengan puncak
kenyaringan pada [a].
Contoh:
[yew] „ikan hiu‟
[faw] „mangga‟
[yahaw] „anjing‟
61
(3) Diftong [ou]
Diftong [ou] merupakan diftong naik atau diftong menutup dengan puncak
kenyaringan pada [o].
Contoh:
[tabowb] „penyu belimbing‟
[amowr] „tongke‟
[towb] „alat tangkap tradisional‟
Tabel 5.1.4 Distribusi Diftong Leksikon Kelautan Bahasa Kei
DIFTONG POSISI AWAL POSISI TENGAH POSISI AKHIR
[ai] + + +
[au] - - +
[ou] - + -
5.2 Pola Persukuan Leksikon Kelautan Bahasa Kei
Pada umumya setiap kata yang diucapkan oleh manusia dibangun oleh
bunyi-bunyi bahasa, baik berupa bunyi vokal, konsonan, maupun berupa bunyi
semi konsonan. Kata yang dibangun tadi dapat terdiri atas satu segmen atau lebih.
Di dalam kajian fonologi segmen tersebut disebut suku. Suku kata merupakan
bagian atau unsur pembentuk suku kata. Setiap suku paling tidak harus terdiri atas
sebuah vokal atau merupakan gabungan antara vokal dan konsonan. Bunyi vokal
di dalam sebuah suku kata merupakan puncak penyaringan atau sonority,
sedangkan bunyi konsonan bertindak sebagai lembah suku. Sebuah suku hanya
memiliki sebuah puncak suku dan puncak ini ditandai dengan bunyi vokal.
Lembah suku yang ditandai dengan bunyi konsonan bisa berjumlah lebih dari
satu. Bunyi konsonan yang berada di depan bunyi vokal disebut tumpu suku,
sedangkan bunyi konsonan yang berada di belakang bunyi vokal disebut koda
suku. Jumlah suku di dalam sebuah kata dapat dihitung dengan melihat jumlah
bunyi vokal yang ada dalam kata itu.
62
Selanjutnya, jika ada kata yang mempunyai dua buah bunyi vokal, maka
dapat ditentukan bahwa kata itu terdiri atas dua suku kata saja. Misalnya, kata
yabar „kelelawar‟, [ya?bar] adalah kata yang terdiri atas dua suku, yaitu [yA] dan
[bAr]. Tiap-tiap suku mengandung sebuah bunyi vokal, yaitu bunyi [ A ]. Dari
uraian kata atas suku-sukunya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
jika sebuah konsonan diapit dua vokal, maka konsonan tersebut ikut vokal di
belakangnya. Misalnya: uwe menjadi U – we. Kedua, jika dua konsonan diapit
dua vokal, maka kedua vokal tersebut harus diceraikan. Misalnya: silbuk,
menjadi sil – buk, dan manwer, menjadi man – wer. Dari uraian di atas, maka ada
lima pola suku kata leksikon kelautan bahasa Kei, yaitu suku kata berpola V, VK,
KV, KVK, dan KKV.
(1) Suku kata berpola V, suku kata ini dibangun oleh sebuah bunyi vokal saja
sebagai puncak.
Contoh :
ahot a.hot [a.hɔt]
amor a.mor [a.mɔr]
arat a.rat [a.rat]
aat a.at [a.at]
ail a.il [a.il]
uva u.va [u.vaʔ]
uwe u.we [u.wə]
ubun u.bun [u.bUn]
ivan i.van [i.van]
iwar i.war [i.war]
(2) Suku kata berpola VK, suku ini dibangun oleh sebuah bunyi vokal sebagai
puncak dan sebuah bunyi konsonan sebagai koda.
Contoh :
inaha in.aha [in.ahaʔ] alihin al.ihin [al.ihIn]
63
(3) Suku kata berpola KV, suku ini dibangun oleh sebuah bunyi konsonan sebagai
tumpu suku dan sebuah bunyi vokal sebagai puncak.
Contoh :
kiker ki.ker [ki.kər]
tabob ta.bob [taʔ.boub]
kahu ka.hu [ka.hU]
bisuk bi.suk [bi.sUk]
niru ni.ru [ni.rUʔ] nadan na.dan [na.dan]
mahain ma.hain [ma.hayn]
siru si.ru [si.ʔrU]
harun ha.run [ha.rUn]
kari ka.ri [ka.ri]
tanir ta.nir [ta.nir]
karit ka.rit [ka.rIt]
sadutil sa.du.til [sa.dU.til]
lain la.in [la.yn]
widan wi.dan [wI.dan]
harara ha.ra.ra [ha.ra.ra]
kasil ka.sil [ka.sIl]
ya.ha ya.ha [ya.haʔ] rubai ru.bai [ru.bai]
karu ka.ru [ka.ʔru]
kabur ka.bur [kaʔ.bUr]
yabar ya.bar [yaʔ.ba:r]
wakat wa.kat [wa.kaʔt]
lalahar la.la.har [la.la.har]
karin ka.rin [ka.rIn]
waren wa.ren [wa.rən]
tananan ta.na.nan [ta.na.nan]
lafetar la.fe.tar [la.fe.tar]
kamatil ka.ma.til [ka.maʔ.tIl]
silar si.lar [sI.lar]
ramunil ra.mu.nil [ra.mU.nIl]
tarut ta.rut [taʔ.rut]
bunan bu.nan [buʔ.nan]
kular ku.lar [ku.lar]
64
(4) Suku kata yang berpola KVK, suku ini dibangun oleh sebuah bunyi konsonan
sebagai tumpu suku, sebuah bunyi vokal sebagai puncak, dan sebuah bunyi
konsonan sebagai koda suku.
Contoh :
kotbubun kot.bu.bun [kɔt.bu.bUn]
kalbuban kal.bu.ban [kalʔ.bU.ban]
kamdii kam.dii [kam.diʔiʔ]
dansawel dan.sa.wel [dan.sa.wɛl]
sikngol sik.ngol [sik.ŋɔl]
karluk kar.luk [kar.luʔ]
yerwat yer.wat [yɛr.watʔ] silbuk sil.buk [sil.bUk]
mantirun man.ti.run [man.ti.rUn]
kustel kus.tel [kUs.təl]
manwer man.wer [man.wər]
mankaba man.ka.ba [man.ka.baʔ] kilwar kil.war [kIl.war]
mansiwak man.si.wak [man.si.wakʔ]
(5) Suku kata yang berpola KKV, suku ini dibangun oleh dua buah bunyi
konsonan sebagai tumpu suku dan sebuah bunyi vokal sebagai puncak suku.
Contoh:
blalang bla.lang [blaʔ.laŋ]
brisan bri.san [bri.san]
5.3 Morfologi Bahasa Kei
Morfologi ialah bagian ilmu bahasa yang membicarakan atau yang
mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk
kata terhadap golongan kata dan arti kata. Dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-
65
perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik
(Ramlan, 1985:19).
Menurut Halle (1973:3), penutur asli suatu bahasa mempunyai kemampuan
yang dinamakan intuisi untuk tidak hanya mengenal kata-kata dalam bahasanya,
tetapi juga mengetahui bagaimana kata dalam bahasa itu dibentuk. Morfologi
terdiri atas tiga komponen yang saling terpisah. Ketiga komponen itu adalah
(1) list of morphemes (daftar morfem/DM), (2) word formation rules (kaidah
/aturan pembentukan kata/APK atau KPK), dan (3) filter (saringan, penapis, tapis)
(Halle, 1973:3--8). Bentuk dasar dalam teori Morfologi Generatif termasuk dalam
DM (daftar morfem) yang membedakan morfem dasar dan morfem terikat
(Dardjowidjojo, 1998 :65). Morfem bebas adalah kata yang mampu berdiri sendiri
dalam tataran lebih tinggi dan telah memiliki kategori tertentu, seperti kategori
nomina, verba, adjektiva, adverbial, dan numeralia. Sebaliknya, morfem terikat
adalah bentuk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi, belum
memiliki makna tertentu, dan belum memiliki kategori leksikal. Jadi, morfem ini
tidak dapat muncul dalam tuturan tanpa digabung dahulu dengan morfem lain,
dalam hal ini semua afiks dikatakan sebagai morfem terikat.
Pembentukan kata baru menurut Bauer (1983: 201) dapat dibagi menjadi
sepuluh, yaitu (1) compounding, (2) prefixation, (3) suffixation, (4) conversion,
(5) back formation, (6) clipping, (7) blends, (8) acronyms, (9) word manufacture,
dan (10) mixed formation. Sesuai dengan pembagian pembentukan kata di atas,
maka pembentukan kata dalam bahasa Kei berupa pengimbuhan, pengulangan,
dan pemajemukan. Menurut Ramlan (1985:45), bentuk dasar adalah satuan, baik
66
tunggal maupun kompleks, yang menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih
besar. Pendapat lain menyatakan bahwa bentuk dasar atau dasar (base) biasanya
digunakan untuk menyebut sebuah bentuk yang menjadi dasar suatu proses
morfologis, artinya bisa diberikan afiks tertentu dalam proses afiksasi, bisa
diulang dalam suatu proses reduplikasi, atau bisa digabung dengan morfem lain
dalam suatu proses pemajemukan. Bentuk dasar tersebut berupa morfem tunggal,
tetapi dapat juga berupa gabungan morfem (Chaer, 2003:159).
5.3.1 Pengimbuhan
Pengimbuhan yang ditemukan dalam bahasa Kei meliputi prefiks (awalan)
yang berpola prefiks pronominal pemarkah subjek, yaitu {u-}, {mu-},{na-},{ma-},
{mi-} dan {ra-} yang mengawali bentuk dasar verba. Dengan kata lain verba
dalam bahasa Kei selalu berubah bentuk sesuai dengan pronominal persona
pengisi fungsi subjek yang mendahuluinya. Hal itu dapat diperhatikan pada
contoh di bawah ini.
(1) u +bah u-bah „saya pergi‟
u + wurik u-wurik „saya mencuci‟
Pemarkah u- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang pertama tunggal
(Yaa „saya‟ ) dalam bahasa Kei.
(2) mu +bah mu-bah „kamu pergi‟
mu + wurik mu-wurik „kamu mencuci‟
Pemarkah mu- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang kedua tunggal
(O „kamu‟) dalam bahasa Kei.
(3) na +bah na-bah „dia pergi‟
na + wurik na-wurik „dia mencuci‟
Pemarkah na- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang ketiga tunggal
(I „dia‟) dalam bahasa Kei.
67
(4) ma +bah ma-bah „kami pergi‟
ma + wurik ma-wurik „kami mencuci‟
Pemarkah ma- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang pertama jamak
(Am „kami‟) dalam bahasa Kei.
(5) mi +bah mi-bah „kalian pergi‟
mi + wurik mi-wurik „kalian mencuci‟
Pemarkah mi- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang kedua jamak (Im
„kalian‟) dalam bahasa Kei.
(6) ra +bah ra-bah „mereka pergi‟
ra + wurik ra-wurik „mereka mencuci‟
Pemarkah ra- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang ketiga jamak (Hir
„mereka‟) dalam bahasa Kei.
Pada prinsipnya, jika diperhatikan contoh di atas, tampak dengan jelas
adanya konsistensi pola prefiks pronominal pemarkah subjek {u-}, {mu-}, {na-},
{ma-}, {mi-}, dan {ra-} yang mengawali bentuk dasar verba /bah/ „pergi„ dan
/wurik/ „mencuci„. Pemunculan prefiks pronominal tersebut dapat dikatakan
berlaku mutlak (bukan opsional) atau dengan kata lain tidak dapat digantikan
dengan pronomina persona secara leksikal. Misalnya, bentuk-bentuk (leksikal)
pronomina persona /Yaa/ „saya„, /O/ „kamu„, /I/ „dia„, /Am/ „kami„, /Im/ „kalian„,
/Hir/ „mereka„ tidak dapat berdiri sendiri di depan verba sebagai konstituen
pronominal persona. Itulah sebabnya dalam bahasa Kei untuk menyatakan /kamu
pergi/ tidak dapat dinyatakan dengan /O bah/, tetapi harus mengambil bentuk /O
mu-bah/ „kamu pergi„. Begitu eratnya hubungan persesuaian tersebut sehingga
sebagian penutur beranggapan bahwa verba bahasa Kei tidak dapat dilafalkan
sebelum dilekati prefiks pronominal persona sebagai pemarkah subjek.
68
5.3.2 Pengulangan
Pengulangan adalah proses pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya
atau sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak, serta hasil
pengulangannya disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang merupakan
bentuk dasarnya (Ramlan, 2001). Dalam bahasa Kei ditemukan kata ulang utuh
atau murni dan kata ulang sebagian dari bentuk dasar.
1) Kata Ulang Utuh atau Murni
Kata ulang utuh atau murni merupakan kata ulang yang bagian perulangannya
sama dengan bentuk dasar yang diulangnya. Dengan kata lain, kata ulang utuh
atau murni terjadi apabila sebuah bentuk dasar mengalami pengulangan
seutuhnya.
Contoh :
rahan-rahan „rumah-rumah‟
bok-bok „baik-baik‟
kot-kot „kecil-kecil‟
2) Kata Ulang Sebagian
Kata ulang sebagian adalah kata ulangi yang pengulangannya terjadi hanya
sebagian dari bentuk dasar atau leksem yang diulang. Sebagian dari bentuk dasar
tersebut bisa pengulangan hanya pada bagian depan ataupun bagian belakang.
Contoh :
fik-fikir „pikir-pikir‟
balo-lot „(yang) panjang-panjang‟
sim-simer „pagi-pagi‟
5.3.3 Pemajemukan
Pemajemukan termasuk dalam proses morfologis yang juga terdapat dalam
bahasa Kei. Verhaar (2004:154) mengemukakan bahwa pemajemukan adalah
69
proses morfemis yang menggabungkan dua morfem dasar (pradasar) menjadi satu
kata yang disebut “kata majemuk” atau “kompaun”.
Dalam bahasa Kei juga ditemukan proses pemajemukan yang terjadi karena
adanya penggabungan dua kata dasar yang berbeda. Pemajemukan dalam bahasa
Kei berasal dari jenis kata yang sama dan juga dari jenis kata yang berbeda.
Berdasarkan jenis kata pembentuknya, struktur kata majemuk bahasa Kei
terbentuk dari formasi KB-KB, KB-KS, KK-KK, KK-KS, dan KS-KS. Berikut
dipaparkan tiap-tiap formasi tersebut.
1) KB-KB
sab ihin sab + ihin „daging sapi‟
kusteil ron kusteil + ron „daun pepaya‟
vuut beb vuut + beb „tulang ikan‟
2) KB-KS
rahan laai rahan+ laai „rumah besar‟
nger balot nger + balot „parang panjang‟
sapat wihian sapat + wihian „sepatu using‟
3) KK-KK
maba masnang ma-ba + masnang „kami-pergi berenang‟
leik batar leik + batar „jatuh bangun‟
mufla do mu-fla + do „kamu-lari datang‟
4) KK-KS
mubah fana‟ai mu-bah + fana‟ai „kamu-jalan pelan-pelan‟
mutaha karatat mu-taha + karatat „kamu-pegang tinggi‟
5) KS-KS
ballot ngalawar ballot + ngalawar „panjang lebar‟
kub keit kub + keit „gemuk pendek‟
rumun kot rumun + kot „badan kecil‟
5.4 Klasifikasi Bentuk-Bentuk Leksikon Kelautan secara Morfologi
Kridalaksana (1996:126) membedakan istilah kata dan leksem. Di dalam
tulisannya, ia menggunakan leksem sebagai satuan dasar dalam leksikon dan
70
dibedakan dari kata sebagai satuan gramatikal. Dengan perkataan lain, leksemlah
yang merupakan “bahan dasar” yang telah mengalami “pengolahan
gramatikal” menjadi kata dalam subsistem gramatika.
Lyons (1995:23) menyatakan “lexemes are the words that a dictionary
would list under a separate entry” yang berarti bahwa leksem merupakan kata
yang menjadi entri dalam kamus. Dalam kamus, leksem WALK „berjalan‟ akan
dengan mudah ditemukan sebagai entri (leksem), sedangkan bentuk walked,
walks, dan walking tidak akan ditemukan dalam entri yang terpisah karena kata-
kata tersebut merupakan bentuk lain dari leksem WALK. Huruf kapital digunakan
untuk menunjukkan leksem yang membedakannya dengan kata (Boiij, 2007:3).
Dengan demikian, menurut Matthews (1974:22), leksem dan kata dapat
dibedakan, yaitu leksem sebagai unit yang abstrak, sedangkan kata merupakan
unit konkret yang digunakan dalam kalimat dan sebagai satuan yang memiliki
makna dan terdiri atas satu morfem atau lebih. Dengan demikian, secara
morfologi diketahui bahwa satuan lingual leksikon kelautan bahasa Kei di Ohoi
Warbal berupa kata, yang terbagi menjadi kata monomorfemis, bentuk ulang, dan
kata majemuk. Berikut dijelaskan leksikon-leksikon tersebut.
5.4.1 Leksikon Kelautan yang Berwujud Kata Monomorfemis
Ada 81 leksikon yang berwujud kata monomorfemis atau kata dasar.
Adapun leksikon kelautan yang berwujud kata monomorfemis adalah sebagai
berikut.
71
Tabel 5.4.1
Leksikon Kelautan Bahasa Kei Berwujud Monomorfemis
No
Leksikon
Gloss
Kategori
Lingkungan
Kategori Kata
Biotik Abiotik N V Adj
1 uva ikan kulit pasir + - + - -
2 iwar ikan mata bulan + - + - -
3 kiker ikan garopa + - + - -
4 mon ikan kakatua + - + - -
5 kahu ikan morea + - + - -
6 tabob penyu belimbing + - + - -
7 rwin ikan duyung + - + - -
8 ahot ikan layar + - + - -
9 ye‟e ikan hiu + - + - -
10 lor ikan paus + - + - -
11 arat lumba-lumba + - + - -
12 bisuk ikan balobo + - + - -
13 aat ikan lema + - + - -
14 niru ikan tembang + - + - -
15 nadan ikan sembilan + - + - -
16 kon kapas-kapas + - + - -
17 inaha ikan bulana + - + - -
18 ngam ikan kepala batu + - + - -
19 tanir ikan tuna + - + - -
20 harun udang batu + - + - -
21 siru ikan serui + - + - -
22 kari ikan samandar + - + - -
23 mahain bia garu + - + - -
24 kamdii bia jalar + - + - -
25 bib keraka kecil + - + - -
26 suk cumi-cumi + - + - -
27 sadutil sejenis bia laut + - + - -
28 karit gurita + - + - -
29 far ikan pari + - + - -
30 hangar karang cincin + - + - -
31 ven penyu + - + - -
32 widan udang batu + - + - -
33 lain ikan suanggi + - + - -
34 uwe buaya + - + - -
35 kasil cicak + - + - -
36 yaha anjing + - + - -
37 vav babi + - + - -
38 kus kus-kus + - + - -
39 rubai ular + - + - -
40 sit kucing + - + - -
72
41 karu tikus + - + - -
42 fan cacing + - + - -
43 kabur lalat + - + - -
44 yabar kelelawar + - + - -
45 ngeng akar bahar + - + - -
46 ivan rumput laut + - + - -
47 vur padang lamun + - + - -
48 ubun lamu-lamu + - + - -
49 wakat bakau + - + - -
50 amor tongke + - + - -
51 talumur bunga jamur + - + - -
52 kawuka buah kawuka + - + - -
53 nur kelapa + - + - -
54 karin daun tikar + - + - -
55 waren sejenis rumput + - + - -
56 rii alang-alang + - + - -
57 lafetar bunga lafetar + - + - -
58 dab bunga lidi + - + - -
59 muu pisang + - + - -
60 kustel pepaya + - + - -
61 barisan cabai + - + - -
62 kamatil tomat + - + - -
63 silar jagung + - + - -
64 tom kunyit + - + - -
65 fa‟a mangga + - + - -
66 wew ketapang + - + - -
67 kat burung camar + - + - -
68 sum burung pombo + - + - -
69 tarut burung bangau + - + - -
70 ngur pasir - + + - -
71 bunan lumpur - + + - -
72 wat batu - + + - -
73 snar tasi - + + - -
74 alihin kail - + + - -
75 tob tombe - + + - -
76 vuv bubu - + + - -
77 ven sero - + + - -
78 Ail tali dari akar kayu
untuk menangkap ikan
- + + - -
79 lot kail dan senar yang
dipasang besi
- + + - -
80 sawilat jala - + + - -
81 kular daun kelapa yang
disusun berbentuk U
untuk menjebak ikan
- + + - -
73
Semua leksikon di atas berwujud kata monomorfemis karena leksikon
tersebut hanya dibentuk oleh satu morfem. Sebagai contoh, leksikon tanir, ven,
ramunil, yer wat, dan kat tidak bisa diuraikan lagi menjadi bentuk morfologis
yang lebih kecil karena keenam leksikon tersebut memang hanya memuat satu
morfem. Dalam tuturan lisan guyub tutur bahasa Kei, keenam leksikon tersebut
dapat berdistribusi secara bebas dalam kalimat. Adapun contoh tuturannya sebagai
berikut.
(1) Mu-na tanir i do vo u-livan
pp2T-ambil ikan tuna itu datang untuk 1T-goreng
„Ambillah ikan tuna itu untuk saya goreng‟
(2) Hir ravur ven vel naa tahait
3J memotong penyu sana di pantai
„Mereka memotong penyu di pantai‟
(3) Yance ni rinan na-waik mahain hof ramunil
Yance punya mama pp3T-masak bia garu dengan serei
„Ibu Yance memasak bia garu dengan serei‟
(4) Yer wat naa tahait vel tang bi-tai haid
karang di pantai sana jangan pp2J-injak jangan
„Janganlah menginjak karang di laut‟
(5) Iden yaa yoot kat ain
Kemarin 1T dapat burung camar satu
„Saya mendapat seekor burung camar‟
Pada leksikon yang berwujud kata monomorfemis (kata dasar) di atas,
hanya ditemukan satu kategori, yaitu kategori dalam bentuk nomina (kata benda).
Adanya keseragaman kategori sebagai nomina dapat dipahami karena seluruh
leksikon tersebut mengacu pada nama-nama ikan, tumbuhan, dan burung di laut
dan di sekitarnya.
5.4.2 Leksikon Kelautan yang Berwujud Bentuk Ulang
Bentuk ulang sebenarnya bukan bentuk dari proses pengulangan, tetapi
menyerupai kata ulang karena bentuk dasarnya mirip dengan kata ulang karena
74
bentuk ini tidak mempunyai bentuk dasar (Kridalaksana, 1996). Dengan perkataan
lain, kata yang menurut bentuknya tergolong kata ulang, tetapi sebenarnya bukan
kata ulang sebab tidak ada bentuk dasar yang diulang. Misalnya, kupu-kupu, kura-
kura, ubur-ubur, laba-laba, dan paru-paru. Dengan demikian, bentuk ulang
merupakan kata dasar, bukan hasil dari proses pengulangan.
Dalam leksikon kelautan bahasa Kei ditemukan lima leksikon kelautaan
yang berwujud bentuk ulang utuh pada kata dasar yang maknanya hanya dalam
tataran leksikon. Adapun leksikon kelautan yang berwujud bentuk ulang adalah
sebagai berikut.
Tabel 5.4.2
Leksikon Kelautan Bahasa Kei yang Berwujud Bentuk Ulang
No Leksikon Gloss
1 bin-bin ikan biji nangka
2 saf-saf sejenis bia yang berbentuk kapak
3 kan-kan nyamuk
4 fan-fan panahan ikan
5 tuk-tuk alat tangkap teripang
Dalam tuturan lisan guyub tutur bahasa Kei leksikon bin-bin, saf-saf, kan-
kan, fan-fan, dan tuk-tuk dapat berdistribusi secara bebas dalam kalimat. Adapun
contoh tuturannya adalah sebagai berikut.
(1) Mu-war fan-fan vel do vo ta-ba ta-van vuut
pp2T-bawa panahan ikan sana datang untuk pp1J-pergi pp1J-panah ikan
„Bawalah panahan itu kemari untuk kita pergi memanah ikan‟
(2) Kan-kan naa rahan i kasar li
Nyamuk di rumah ini banyak sekali
„Nyamuk di rumah ini banyak sekali‟
(3) I naot tub yaa nung tuk-tuk naa danbe?
3T buat taruh 1T punya alat tangkap teripang di mana?
„Di mana dia meletakkan alat tangkap teripang saya?‟
75
5.4.3 Leksikon Kelautan yang Berwujud Kata Majemuk
. Kata majemuk berasal dari penggabungan unsur-unsur yang menjadi satu
dan membentuk makna baru, yang merupakan hasil dari proses pemajemukan
(Verhaar, 2004). Misalnya, lalu lintas, rumah sakit, dan meja hijau dalam bahasa
Indonesia; bluebird, greenhouse, dan blackboard dalam bahasa Inggris. Tata
bahasa struktural menyatakan bahwa pemajemukan disebut sebagai kata majemuk
apabila di antara unsur-unsur pembentuknya tidak dapat disisipkan apa-apa tanpa
merusak pemajemukan tersebut.
Ada delapan leksikon kelautan yang berwujud kata majemuk. Leksikon
tersebut berwujud kata majemuk karena merupakan gabungan dua kata atau lebih.
Leksikon eb sus, eb nawai, eb kurungur, dan sawel, yer wat, manwut tahait, bung
ler, dan daun nas merupakan gabungan beberapa kata yang kemudian membentuk
kata majemuk. Leksikon eb sus terbentuk dari kata eb dan kata sus; eb nawai
terbentuk dari kata eb dan kata nawai; eb kurungur terbentuk dari kata eb dan kata
kurungur; dan sawel terbentuk dari kata dan dan kata sawel; yer wat terbentuk
dari kata yer dan kata wat; manwut tahait terbentuk dari kata manwut dan kata
tahait; bung ler terbentuk dari kata bung dan kata ler ; dan daun nas terbentuk
dari kata daun dan kata nas. Adapun leksikon-leksikon tersebut adalah sebagai
berikut.
Tabel 5.4.3
Leksikon Kelautan Bahasa Kei yang Berwujud Kata Majemuk
No Leksikon Gloss Unsur Pembentuk
Unsur
Inti
Pewatas Kategori
1 eb sus teripang susu N sus Nomina
2 eb nawai teripang gosok N nawai Nomina
3 eb kurungur teripang pasir N kurungur Nomina
76
4 dan sawel bia jala N sawel Nomina
5 manwut tahait bunga karang N tahait Nomina
6 yer wat karang batu N wat Nomina
7 bung ler bunga matahari N ler Nomina
8 daun nas daun nasi N nas Nomina
Pada tabel di atas, kata eb, dan, daun, yer, bung, dan manwut merupakan
unsur inti atau induk, sedangkan kata sus, nawai, nas, sawel, tahait, wat, ler, dan
kurungur merupakan pewatas. Dalam tuturan lisan guyub tutur bahasa Kei,
leksikon-leksikon tersebut dapat berdistribusi secara bebas dalam kalimat. Adapun
contoh tuturannya adalah sebagai berikut.
(1) Dan sawel bias ra-tub naa wat tinan
Bia jala biasa pp3J-tidur di batu bawah
„Bia garu biasanya terletak di bawah batu‟
(2) Am mana daun nas vel fo ma-waik kukat
1J ambil daun nasi sana untuk pp1J-masak nasi
„Kami mengambil daun nasi untuk memasak nasi‟
(3) Koko kikot ra-na eb sus naa hot raan vel
Anak-anak kecil pp3J-ambil teripang susu di teluk dalam sana
„Anak-anak mengambil teripang susu di dalam teluk‟
(4) Vuut kasar li naa manwut tahait
Ikan banyak sekali di bunga karang
„Banyak ikan di bunga karang‟
(5) Tang bi-fan vuut naa yer wat haid
Jangan pp2J-panah ikan di karang batu jangan
„Janganlah menangkap ikan di karang batu‟
Pada leksikon yang berwujud kata majemuk di atas, hanya ditemukan satu
kategori, yaitu kategori dalam bentuk nomina (kata benda). Adanya keseragaman
kategori sebagai nomina dapat dipahami karena seluruh leksikon tersebut
mengacu pada nama-nama ikan, tumbuhan, dan burung di laut dan di sekitarnya.
77
BAB VI
PEMAHAMAN DAN KEBERTAHANAN LEKSIKON KELAUTAN
GUYUB TUTUR KEI
6.1 Tingkat Pemahaman Leksikon Kelautan Masyarakat Ohoi Warbal
Tingkat pengetahuan tentang leksikon kelautan bahasa Kei masyarakat Ohoi
Warbal dipengaruhi oleh pengetahuan terhadap lingkungan (ekologi) tersebut.
Sehubungan dengan itu, masyarakat Ohoi Warbal sebagai pemilik dan pengguna
tentunya telah berinterelasi dan berinteraksi dengan lingkungannya sehingga
memiliki pengetahuan, konsep, dan ideologi yang lahir dan terbangun dalam
komunitas lingkungannya pula, yaitu secara khusus pengetahuan leksikon-
leksikon kelautan. Hal ini senada dengan pendapat Sapir (dalam Fill, 2001) bahwa
“kekayaan bahasa dalam pelbagai tatarannya merupakan gambaran tentang
kekayaan budaya dan kekayaan lingkungan alam lewat leksikon-leksikon yang
dihasilkan. Pandangan Sapir ini menjadi alasan untuk mengadakan tes
kompetensi. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana tingkat
pengetahuan dan pemahaman masyarakat Ohoi Warbal tentang leksikon kelautan.
Kondisi lingkungan ragawi turut memengaruhi kekayaan alam dan tingkat
pengetahuan masyarakat Ohoi Warbal tentang objek atau benda yang ditemukan.
Pengenalan, pengetahuan, dan pemahaman yang mendalam adalah fakta interaksi,
interelasi, dan interdepedensi masyarakat Ohoi Warbal sebagai penutur bahasa
Kei dengan lingkungan kelautan itu dikodekan secara lingual dalam wujud
leksikon-leksikon kelautan.
Ada 131 jenis leksikon kelautan yang diujikan kepada informan. Semua
jenis leksikon tersebut terbagi atas tujuh kelompok yang sering digunakan dalam
78
keperluannya sesuai dengan kekayaan guyub tutur (speech community). Tujuan
pengujian adalah untuk mendapat gambaran yang lebih deskriptif tentang tingkat
pengetahuan leksikon kelautan untuk tiap kelompok jenis kelamin dan usia yang
ada di Ohoi Warbal. Ada empat pilihan jawaban yang diajukan kepada informan
untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang leksikon kelautan di Ohoi
Warbal, yaitu sebagai berikut.
(A) Tahu, kenal, dan referennya masih banyak ditemukan
(B) Tahu, kenal, dan referennya sedikit/langka
(C) Tahu, kenal, tetapi referennya sudah hilang/punah
(D) Sama sekali tidak kenal
Informan yang diuji dalam penelitian ini berjumlah sembilan puluh orang
yang bermukim di pesisir pantai Ohoi Warbal. Informan terdiri atas kelompok
pria dan wanita usia di atas 46 tahun (KPW usia di atas 46 tahun), kelompok pria
dan wanita usia 25--45 tahun (KPW usia 25--45 tahun), dan kelompok pria dan
wanita usia 15--24 tahun (KPW usia 15--24 tahun). Tiap kelompok jenis kelamin
dan usia berjumlah tiga puluh informan. Penentuan tingkat pemahaman leksikon
kelautan masyarakat Ohoi Warbal didasarkan pada pilihan jawaban “D” (sama
sekali tidak kenal) dan jawaban “A” (tahu, kenal, dan referennya masih
banyak ditemukan) yang diajukan kepada informan. Istilah kenal bermakna
informan dapat mendeskripsikan ciri-ciri leksikon, pernah melihat, mendengar,
dan menggunakan leksikon tersebut. Untuk lebih jelasnya, pada grafik di bawah
ini digambarkan tingkat pemahaman informan terhadap tujuh kelompok leksikon
kelautan di Ohoi Warbal.
79
Pada grafik di atas, digambarkan kelompok leksikon yang sangat tinggi atau
sering digunakan oleh informan adalah kelompok leksikon tumbuhan di dasar
laut. Hal ini dibuktikan dengan semua atau 100 % informan tahu, kenal,
digunakan dalam keseharian, dan menyatakan referennya masih banyak
ditemukan, kemudian diikuti oleh kelompok leksikon ikan dan hewan lain di dasar
laut 93 %, kelompok leksikon hewan di sekitar laut 87 %, kelompok benda mati di
dalam dan tepi laut 83,3 %, alat penangkap ikan tradisional 83,3 %, dan
kelompok leksikon tumbuhan di sekitar laut 82,1 %. Di pihak lain, kelompok
leksikon yang rendah atau jarang digunakan oleh informan adalah kelompok
leksikon burung di sekitar laut, yaitu sebanyak 43 %.
Tingkat pemahaman kelompok leksikon tumbuhan di dasar laut oleh
informan sangat tinggi karena kelompok leksikon ini digunakan oleh masyarakat
Chart Title
1 Ikan dan Hewan Lain diDasar Laut
2 Hewan di Sekitar Laut
3 Tumbuhan di Dasar Laut
4 Tumbuhan di Tepi Laut
5 Burung di Sekitar Laut
6 Benda Mati di Dalam danTepi Laut
7 Alat Penangkap IkanTradisional
80
Ohoi Warbal dalam keseharian, misalnya leksikon ivan „rumput laut‟ diolah
menjadi bahan makanan dan dapat digunakan sebagai obat tradisional. Selain itu,
leksikon ubun „lamu-lamu‟ digunakan untuk membersihkan sampan dan perahu.
Di pihak lain, referen kelompok leksikon tumbuhan di dasar laut masih banyak
ditemukan dan sering di gunakan dalam keseharian sehingga terkonsep dalam
pikiran masyarakat Ohoi Warbal, sedangkan tingkat pemahaman yang rendah atau
jarang digunakan oleh informan adalah kelompok leksikon burung di sekitar laut,
hal ini dipengaruhi oleh perluasan lahan untuk perumahan dan pertanian serta
tingginya aktivitas petani budidaya rumput laut di laut menyebabkan referen
leksikon-leksikon tersebut sudah jarang ditemukan karena lingkungan tempat
hidupnya jauh dari pemukiman.
6.1.1 Pemahaman Ikan dan Hewan Lain di dalam Laut
Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang ikan dan hewan
lain di dalam laut, diujikan 57 leksikon kepada 30 informan untuk tiap kelompok
jenis kelamin dan usia di Ohoi Warbal. Leksikon ngilngilan /ŋilŋilan/ „lola‟
adalah sejenis hewan laut yang berbentuk cangkang. Hewan ini memiliki nilai gizi
yang sangat tinggi. Berdasarkan data pada tabel 6.1.1, diketahui bahwa dari 30
informan KPW usia di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟. Artinya,
leksikon ngilngilan /ŋilŋilan/ dikenal oleh semua informan, bahkan, 90 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari ke-30 informan, 80 %
informan menjawab „D‟ dan 13,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia
15--24 tahun, ditemukan 13,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan, 80 %
informan menjawab „A‟.
81
Hasil tes kompetensi Leksikon kotbubun /kɔtbubun/ „japing-japing‟.
terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun menunjukan bahwa tidak ada yang
menjawab „D‟ atau leksikon kotbubun dikenal oleh semua informan. Bahkan, 86,7
% informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari ke-30 informan, 3,3 %
informan menjawab „D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan ditemukan 3,3 % menjawab „D‟,
sedangkan, 73,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon uva /u:vaʔ/ „ikan kulit pasir‟ adalah jenis ikan yang kulitnya
seperti pasir. Jenis ikan ini paling sering dikonsumsi oleh masyarakat Ohoi
Warbal di samping dijual di pasar. Berdasarkan data pada tabel 6.1.1 diketahui
bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, 10 % informan menjawab „D‟,
sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30
informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon
uva, bahkan 83,3 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,
dari 30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan
mengenal leksikon uva, bahkan 73,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon eb sus /ebʔ sUs/ „teripang susu‟ adalah jenis teripang yang
memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Teripang jenis ini biasanya dibeli oleh
pengusaha-pengusaha di kota Langgur dan Tual. Berdasarkan data pada tabel
6.1.1, diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang
menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon eb sus, bahkan 86,7 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, 13,3 %
82
informan menjawab „D‟ sedangkan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 15--24 tahun, 10 % informan menjawab „D‟ sedankan 80 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon eb nawai /ebʔ naway/ ‟teripang gosok‟ adalah jenis teripang yang
hampir sama dengan teripang susu. Teripang ini juga memiliki nilai jual yang
sangat tinggi. Biasanya teripang ini merupakan bahan makanan pengusaha Cina.
Berdasarkan data pada Tabel 6.1.1, diketahui bahwa dari 30 informan KPW di
atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal
leksikon eb nawai, bahkan 93,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45
tahun, dari 30 informan, 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 80 % informan
menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang
menjawab „D‟ atau semua informan mengenal eb nawai, dan 90 % informan yang
menjawab „A‟.
Leksikon berikutnya adalah iwar /iwar/ „ikan mata bulan‟. Berdasarkan data
pada tabel 6.1.1, diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak
ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon iwar sedangkan
100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak
ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon iwar sedangkan
73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
yang menjawab „D‟ sebanyak 10 %, sedangkan 76,7 % informan menjawab
„A‟.
Leksikon lainnya adalah foo /fɔ:/ „ikan sakuda‟. Berdasarkan data pada tabel
6.1.1, diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, 3,3 % informan
83
menjawab „D‟, dan 86,7 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45
tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan
mengenal leksikon foo, sedangkan informan yang menjawab „A‟
ditemukan sebanyak 80 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
6,7 % informan menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan yang menjawab
„A‟.
Leksikon kiker /kIkɛr/ „ikan garopa‟ adalah jenis ikan batu yang banyak
digemari oleh masyarakat Ohoi Warbal. Selain itu, juga biasanya dibeli oleh orang
Taiwan, baik dalam keadaan hidup maupun mati. Pada tabel 6.1.1 tergambar
bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau
semua informan mengenal leksikon kiker, bahkan yang menjawab „A‟ sebanyak
90 % informan. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, 3,3 % informan
menjawab „D‟ sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau
semua informan mengenal leksikon kiker, sedangkan 83,3 % informan menjawab
„A‟.
Leksikon mon /mon/ „ikan kakatua‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari
30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon mon, bahkan 96,7 % informan menjawab „A‟. Untuk
KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon mon dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 15--24 tahun, dari 30 informan ada 1 orang (3,3 %) informan menjawab „D‟
dan 86,7 % informan menjawab „A‟.
84
Leksikon kahu /kahU/ „ikan morea‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari
30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon kahu, bahkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk
KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon leksikon kahu dan 80 % informan menjawab „A‟.
Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, 3,3 % informan menjawab „D‟
dan 90 % informan menjawab „A‟.
Leksikon taboub /tabowb/ „penyu belimbing‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar
bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau
semua informan mengenal leksikon taboub, bahkan 100 % informan menjawab
„A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟
atau semua informan mengenal leksikon leksikon taboub dan 100% informan
menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang
menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon taboub dan 80 %
informan menjawab „A‟.
Leksikon rwin /rwIn/ „ikan duyung‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari
30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa 6,7 % informan menjawab
„D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30
informan, 36,7 % informan menjawab „D‟ dan 43,3 % informan menjawab „A‟.
Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, 90 % informan menjawab „D‟
dan 10 % informan menjawab „A‟.
Leksikon ahot /ahɔt/ „ikan layar‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30
informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
85
informan mengenal leksikon leksikon ahot dan 70 % informan menjawab „A‟.
Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau
semua informan mengenal leksikon ahot dan 93,3 % informan menjawab „A‟.
Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟
atau semua informan mengenal leksikon ahot, sedangkan 63,3 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon yee /yeʔ/ „ikan hiu‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30
informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon yee dan 63,3 % informan menjawab „A‟. Untuk
KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon yee, dan informan yang menjawab „A‟ diketahui
sebanyak 86,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang
menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon yee, dan informan yang
menjawab „A‟ diketahui sebanyak 86,7 %.
Leksikon loor /lo:r/ „ikan paus‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30
informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon loor, bahkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk
KPW 25--45 tahun, dari 30 informan ditemukan 3,3 % informan menjawab „D‟,
sedangkan, 86,7 informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,
dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal
leksikon loor, bahkan 93,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon arat /arat/ „ikan lumba-lumba‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa
dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
86
informan mengenal leksikon arat, bahkan informan yang menjawab „A‟
ditemukan sebanyak 90 %. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui
3,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟
ditemukan sebanyak 70 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30
informan, 13,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan, 73,3 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon bisuk /bisUk/ „ikan balobo‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahu 6,7 % informan menjawab
„D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 73,3 %. Untuk
KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan
mengenal leksikon bisuk, bahkan informan yang menjawab „A‟ diketahui
sebanyak 96,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟, dan 80 % informan menjawab „A‟.
Leksikon aat /aʔat/ „ikan lema‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30
informan KPW di atas 46 tahun, 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 86,7
% informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui, 6,7 %
informan menjawab „D‟ , sedangkan, 96,7 informan yang menjawab „A‟. Untuk
KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, 13,3 % informan yang
menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak
86,7 %.
Leksikon niru /nirUʔ/ „ikan tembang‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa
dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada informan yang menjawab „D‟ ,
sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui
87
tidak ada informan yang menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan yang
menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, tidak ada informan yang menjawab
„D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon kalbuban /kalʔbuban/ „ikan hias‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar
bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, 3,3 % informan menjawab „D‟ dan
83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 6,7 %
informan menjawab „D‟ dan 63,3 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 15--24 tahun, diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 66,7 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon bin-bin /binʔbin/ „ikan biji nangka‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar
bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟,
sedangakan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30
informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟
diketahui sebanyak 83,3 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak
ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon bin-bin dan 83,3
% informan yang menjawab „A‟.
Leksikon ngam /ŋam/ „ikan kepala batu‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa
dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 46,7 % informan menjawab „D‟
dan 53,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 46,7 %
informan menjawab „D‟ dan 50 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--
24 tahun, diketahui 70 % informan menjawab „D‟, sedangkan 20 % informan
menjawab „A‟.
88
Leksikon kon /kɔn/ „ikan kapas-kapas‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa
dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon kon, bahkan 86,7 % informan yang menjawab „A‟.
Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, 3,3 % informan menjawab „D‟,
sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 86,7 %. Untuk KPW
usia 15--24 tahun, diketahui 13,3 % informan menjawab „D‟ dan 73,3 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon inaha /inahaʔ/ „ikan bulana‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa
dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon inaha, bahkan 70 % informan yang menjawab „A‟.
Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau
semua informan mengenal leksikon inaha, bahkan informan yang menjawab „A‟
diketahui sebanyak 83,3 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak
ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon inaha dan 80 %
informan menjawab „A‟.
Leksikon nadan /nadan/ „ikan sembilan‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ atau
semua informan mengenal leksikon nadan, bahkan 63,3 % informan menjawab
„A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟
atau semua informan mengenal leksikon nadan, bahkan informan yang menjawab
„A‟ diketahui sebanyak 86,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan
tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon nadan dan
86,7 % informan menjawab „A‟.
89
Leksikon mahain /mahayn/ „bia garu‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa
dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon mahain dan 96,7 % informan menjawab „A‟. Untuk
KPW 25--45 tahun, tidak ada informan yang menjawab „D‟ , sedangkan informan
yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 80 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun,
diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 93,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon lanuran /lanuran/ „ikan bubara‟. Dari hasil tes kompetensi
leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada
yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon lanuran, dan 86,7
informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, 3,3 %
informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟diketahui 86,7
%. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟
atau semua informan mengenal leksikon lanuran, dan 80 % informan yang
menjawab „A‟.
Leksikon tanir /taʔnir/ „ikan tuna‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan, diketahui bahwa tidak ada informan yang menjawab „D‟
atau semua informan mengenal leksikon tanir dan 93,3 informan yang menjawab
„A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, 3,3, % informan menjawab „D‟,
sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 90 %. Untuk KPW
usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon tanir dan 90 % informan yang menjawab „A‟.
Leksikon harun /harUn/ „udang batu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada informan
90
yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon harun, sedangkan
informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak
ada informan yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon harun,
sedangkan, 76,7 % informan yang menjawab „A‟ berjumlah 86,7 %. Untuk KPW
usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon harun, bahkan 76,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon siru /siʔrU/ „ikan serui‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada informan
yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon siru, sedangkan 76,7
informan yang menjawab „A‟ berjumlah 76,7 %. Untuk KPW 25--45 tahun, dari
30 informan, 10 % informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab
„A‟ diketahui sebanyak 66,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
3,3 % informan menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟.
Leksikon kari /kariʔ/ ikan samandar‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada informan
yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon kari, dan 86,7
informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada
informan yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon kari,
sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 90 %. Untuk KPW
usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon kari dan 86,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon ngarun /ŋarun/ „bia mata tujuh‟. Dari hasil tes kompetensi
leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada
91
yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon ngarun, bahkan 93,3
informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, tidak ada informan yang
menjawab „D‟, sedangkan 93,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--
24 tahun, dari 30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 63,3 %
informan yang menjawab „A‟.
Leksikon kamdii /kamdiʔiʔ/ „bia jalar‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 13,3 % informan yang
menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45
tahun, ditemukan 23,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang
menjawab „A‟ diketahui sebanyak 76,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30
informan ditemukan 36,7 % informan yang menjawab „D‟, sedangkan informan
yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 60 %.
Leksikon saf-saf /saf-saf/ „bia mancadu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab
„D‟ atau semua informan mengenal leksikon saf-saf, bahkan 90 informan
menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, tidak ada informan yang menjawab „D‟
atau semua informan mengenal leksikon safsaf, sedangkan informan yang
menjawab „D‟ diketahui sebanyak 83,3 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30
informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ , sedangkan 80 %) informan
menjawab „A‟.
Leksikon bib /bIb/ „keraka kecil‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30
informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon bib dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk
92
KPW 25--45 tahun, diketahui 10 % informan menjawab „D‟, dan 76,7 % informan
menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 6,7 % informan
menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon dansawel /dansawɛl/ „bia jala‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa
dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon dansawel dan 96,7 % informan menjawab „A‟.
Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟ atau
semua informan mengenal leksikon dansawel dan 96,7 % informan menjawab
„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui tidak ada informan yang menjawab
„D‟ atau semua informan mengenal leksikon dansawel dan 90 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon suk /sUk/ „ikan sontong‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari
30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon suk dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk
KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon suk dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk
KPW usia 15--24 tahun, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟ dan
93,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon karit /karIt/ „gurita‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30
informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ dan 90 % informan
menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada informan yang
menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,
93
diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon sadutil /sadUtil/ „sejenis bia laut‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar
bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ dan
90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada
informan yang menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 15--24 tahun diketahui 10% informan yang menjawab „D‟ dan 70 %
informan yang menjawab „A‟.
Leksikon sik ngol /sik ŋɔl/ „keraka‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari
30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ dan 76,7 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada informan
yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW usia
15--24 tahun, diketahui 6,7 %) informan menjawab „D‟, dan 70 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon karluk /karluʔ/ „kuda laut‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari
30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 10% informan yang menjawab „D‟
dan 70 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui
tidak ada informan yang menjawab „D‟. Artinya, semua informan mengenal
leksikon karluk dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24
tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan 6,7 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon bwin /bwIn/ „sejenis bia laut‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa
dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 6,7 % informan menjawab „D‟
94
dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 10 %
informan menjawab „D‟ dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia
15--24 tahun, diketahui 16,7 % informan menjawab „D‟ dan 83,3 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon vuut dom /vuʔut dom/ „ikan tuna‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar
bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 6,7 % informan
menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun,
diketahui dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan
mengenal leksikon vuut dom dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia
15--24 tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 93,3 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon far /far/ „ikan pari‟. Pada tabel 6.1.1tergambar bahwa dari 30
informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada yang menjawab „D‟
dan 86,7 %) informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak
ada informan yang menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 15--24 tahun, diketahui tidak ada informan menjawab „D‟ atau semua
informan mengenal leksikon far dan 76,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon lain /layn/ „ikan suanggi‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari
30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 10 % informan yang menjawab
„D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui
13,3 % informan menjawab „D‟ dan 63,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 15--24 tahun, diketahui 33,3 % informan menjawab „D‟ dan 76,7 % informan
yang menjawab „A‟.
95
Leksikon ven /vən/ „penyu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30
informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 90 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟
dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 6,7
% informan menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟.
Leksikon eb kurungur /eb kuruŋur/ „teripang pasir‟. Pada tabel 6.1.1
tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 6,7 %
informan menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45
tahun, diketahui dari 30 informan, 20 % informan menjawab „D‟ dan 66,7 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 26,7 %
informan menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon widan /wIdan/ „udang batu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 10 % yang menjawab „D‟
dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, tidak ada yang
menjawab „D‟ dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24
tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟.
Leksikon hangar /haŋar/ „karang cincin‟ Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab
„D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, tidak ada yang
menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24
tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal
leksikon hangar dan 90 % informan menjawab „A‟.
96
Leksikon sirsir /sirsir/ „karang piring‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % yang menjawab „D‟
dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 6,7 %
informan menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia
15--24 tahun, diketahui 10 % menjawab „D‟ dan 66,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon yer wat /yer wat/ „karang batu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab
„D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak
ada yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia
15--24 tahun, diketahui 6,7 % menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon hangarten /haŋartɛn/ „sejenis karang‟. Dari hasil tes kompetensi
leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun,
diketahui 6,7 % menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 15--24 tahun, diketahui 6,7 % menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon harara /harara/ „ubur-ubur‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab
„D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 10
% menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24
tahun, diketahui 10 % menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟.
97
Leksikon nguran /ŋuran/ „udang merah‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab
„D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui
tidak ada yang menjawab „D‟ dan 73,3 % informan yang menjawab „A‟. Untuk
KPW usia 15--24 tahun, diketahui 26,7 % menjawab „D‟ dan 70 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon ngaran /ŋaran/ „udang putih‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab
„D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak
ada yang menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia
15--24 tahun, diketahui 6,7 % menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon rawrawut /rawrawUt/ „duri babi‟. Dari hasil tes kompetensi
leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun,
diketahui 6,7 % menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 15--24 tahun, diketahui 16,7 % menjawab „D‟ dan 73,3 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon tangangnan /taŋaŋnan/ „bintang laut‟. Dari hasil tes kompetensi
leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 6,7 % menjawab
„D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 10 %
informan menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia
15--24 tahun, diketahui 13,3 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan
menjawab „A‟.
98
6.1.2 Pemahaman Hewan di Sekitar Laut
Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang hewan di sekitar
laut, diujikan lima belas leksikon yaitu uwe /uwə/ „buaya‟, kasil /kasIl/ „cicak‟,
silbuk /sIlbUkʔ/„cicak tanah‟, yaha /yahaʔ/ „anjing‟, vav /vav/„babi‟, kus/kUsʔ/
„kus-kus‟, rubai/rubai/ „ular‟, sit/sIt/„kucing‟, karu /kaʔru/ „tikus‟, fan /faʔn/
„cacing‟, fakikik /faʔkiʔkIk/„semut‟, kankan /kankan/ „nyamuk‟, blalang /bla:lang/
„belalang‟, kabur /kaʔbUr/ „lalat‟, dan yabar /yaʔba:r / „kelelawar‟. Kelima belas
leksikon ini diujikan pada 30 informan untuk tiap kelompok jenis kelamin dan
usia di Ohoi Warbal.
Berdasarkan data pada tabel 6.1.2, KPW di atas 46 tahun, dari ke-30
informan diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 53,3 % informan
menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 40
% informan menjawab „D‟ dan 46,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia
15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 86,7 % informan menjawab „D‟ dan
13,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon kasil /kasIl/ „cicak‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap
30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan
73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30
informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab
„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 %
menjawab „D‟,sedangkan informan yang menjawab „D‟ diketahui sebanyak 80 %.
99
Leksikon silbuk /sIlbUkʔ/ „cicak tanah‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab
„D‟ dan 66,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-
30 informan diketahui 10 % informan yang menjawab „D‟, dan 86,7 % informan
menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 16,7
%) menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak
76,7 %.
Leksikon yaha /yahaʔ/ „anjing‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap
30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟,
sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari
ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 70 % informan
menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui
tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon vav /vav/ „babi‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30
informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 90 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan
diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟.
Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 10 % menjawab
„D‟, sedangkan 70 % informan yang menjawab „A‟.
Leksikon kus /kUsʔ/ „kus-kus‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap
30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan
90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30
100
informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab
„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 86,7 %
menjawab „D‟, sedangkan 10 % informan menjawab „A‟
Leksikon rubai /rubay/ „ular‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap
30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan
76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30
informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab
„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % yang
menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon sit /sIt/ „kucing‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2, diketahui
bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ dan
76,7 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30
informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab
„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab
„D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟.
Leksikon karu /kaʔru/ „tikus‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap
30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟,
sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari
ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 70 % informan
menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 13,3
% menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon fan /faʔn/ „cacing‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2 diketahui
dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % menjawab „D‟,
101
sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari
30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan
menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 3,3 %
informan menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon fakikik /faʔkikIk/ „semut‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2,
diketahui dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟
dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30
informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab
„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab
„D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon kankan /kankan/ „nyamuk‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2,
diketahui dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % menjawab „D‟
dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30
informan, diketahui 10 % menjawab „D‟, sedangkan 76,7 informan menjawab
„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui 16,7 % menjawab
„D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon blalang /blaʔlang/ „belalang‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2,
diketahui dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % menjawab „D‟
dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30
informan, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
diketahui 10 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟.
102
Leksikon kabur /kaʔbUr/ „lalat‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2,
diketahui dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % menjawab „D‟
dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30
informan, diketahui 10 % menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab
„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui 23,3 % menjawab
„D‟, sedangkan70 % informan menjawab „A‟.
Leksikon yabar /yaʔbar/ „kelelawar‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2,
diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „D‟. Untuk KPW usia 25--
45 tahun, dari 30 informan, diketahui 10 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
diketahui 13 % menjawab „D‟, sedangkan 63,3 % informan menjawab „A‟.
6.1.3 Pemahaman Tumbuhan di Dasar Laut
Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang tumbuhan di dasar
laut, diujikan enam leksikon, yaitu ngeng /ŋeŋ/ „akar bahar‟, ivan /iva:n/ „rumput
laut‟, vur /vur/ ‟padang lamun‟, babat /ba:bat/ „bunga karang‟, manwut tahait /
manwut tahait/ „bunga karang daun‟, dan ubun /ubUn/ „lamu-lamu‟. Enam
leksikon ini diujikan pada 30 informan untuk tiap kelompok jenis kelamin dan
usia di Ohoi Warbal.
Leksikon ngeng /ŋeŋ/ „akar bahar‟ adalah sebutan untuk tumbuhan yang
berupa ranting kayu berwarna hitam yang biasanya dibuat gelang tangan dan
hiasan dinding (setelah dipanaskan). Berdasarkan data pada tabel 6.1.3, diketahui
103
bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau
semua informan mengenal leksikon ngeng, sedangkan 86,7 % informan menjawab
„A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab
„D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-
30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, dan 73,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon ivan /iva:n/ „rumput laut‟ merupakan sejenis rumput laut yang
hidupnya di laut dangkal. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan
KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 90 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan
diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „D‟.
Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 13,3 % menjawab
„D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟.
Leksikon vur /vur/ „padang lamun‟ adalah sejenis tumbuhan di dasar laut.
Berdasarkan data pada tabel 6.1.3 diketahui semua informan KPW di atas 46
tahun, tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.
Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan, diketahui 3,3 informan yang
menjawab „D‟, dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24
tahun, dari ke-30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 73,3 %
informan menjawab „A‟.
Leksikon babat /ba:bat/ „bunga karang‟ adalah sejenis karang berbentuk
bunga yang biasanya sebagai tempat hidup sekumpulan ikan. Berdasarkan data
pada tabel 6.1.3 diketahui bahwa semua informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada
yang menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia
104
25--45 tahun, dari ke-30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ dan 70 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan
tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 66,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon manwut tahait /manwut tahayt/ adalah sejenis karang berbentuk
daun yang biasanya sebagai tempat hidup sekumpulan ikan. Dari hasil tes
kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak
ada yang menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--
45 tahun, dari ke-30 informan, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan
informan menjawab „A‟ diketahu sebanyak 56,7 %. Untuk KPW usia 15--24
tahun, diketahui 6,7 informan menjawab „D‟ dan 66,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon ubun /ubUn/ „lamu-lamu‟ adalah sejenis rumput laut yang tumbuh
di dasar laut yang berlumpur. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30
informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 73,3
% informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan
tidak ada menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan
76,7 % informan menjawab „A‟.
Banyaknya jumlah informan yang mengenal leksikon tumbuhan di dasar
laut menandakan tingginya interaksi manusia dengan alam. Di samping itu, juga
menunjukkan bahwa kondisi ekologi kelautan di Ohoi Warbal belum banyak
mengalami perubahan.
105
6.1.4 Pemahaman Tumbuhan di Tepi Laut
Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang tumbuhan di tepi
laut, diujikan dua puluh delapan leksikon, yaitu wakat /wakaʔt/ „bakau‟, talumur
/taʔlumur/ „bunga jamur‟, lalahar /lalahar/ „sejenis buah‟, amor /amo:r/, „tongke‟,
kawuka /kawUkaʔ/ „buah kawuka‟, nur /nUr/ „kelapa‟, karin /karIn/ „daun tikar‟,
warbanglu /warbaŋlU/ „sejenis bunga mawar‟, waren /warən/ „rumput pisau‟,
kabutbutur /kabutbUtur/ „rumput duri babi‟, rii /ri:iʔ/ „alang-alang‟, lafetar
/lafetar/ „bunga lafetar‟, tananan /tananan/ „bunga kupu-kupu‟, dab /dabʔ/
„bunga lidi‟, bung ler /bUŋ lɛr/ „bunga matahari‟, bung mawar /bUŋ mawar/
„bunga mawar‟, bung sapat /bUŋ sapat/ „bunga sepatu‟, mantirun /mantirUn/
„terong‟, muu /muuʔ/ „pisang‟, kustel /kUstel/ ‟pepaya‟, barisan /barIsan/ „cabai‟,
kamatil /kamaʔtIl/ „tomat‟, silar /sIlar/ „jagung‟, tom /tœm/ „kuning‟, daun nas
/daun nasʔ/ „daun nasi‟, ramunil /ramUnIl/ „daun serai‟, fau /faw/ „mangga‟, dan
wew /wɛw/ „ketapang‟. Dua puluh delapan leksikon ini diujikan pada 30 informan
untuk tiap kelompok jenis kelamin dan usia di Ohoi Warbal.
Leksikon wakat /wakaʔt/ „bakau‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--
45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan
86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30
106
informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 86,7% informan
menjawab „A‟.
Leksikon talumur /taʔlumur/ „bunga jamur‟. Dari hasil tes kompetensi
leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 43,3%
informan menjawab „D‟ dan 36,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia
25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 50 % informan menjawab „D‟ dan 30
% informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan
ditemukan 50 % menjawab „D‟ sedangkan informan yang menjawab „A‟
diketahui sebanyak 30 %.
Leksikon amor /amo:r/ „tongke‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟. Artinya, semua informan mengenal leksikon amor dan 90 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan
diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟.
Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % informan
menjawab „D‟ sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon lalahar /lalahar/ „buah kira-kira‟. Dari hasil tes kompetensi
leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 3,3 %
informan menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia
25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 80
% informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan
diketahui 3,3 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟.
107
Leksikon kawuka /kawUkaʔ/ „buah kawuka‟. Berdasarkan data pada Tabel
6.1.4, diketahui dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab
„D‟ dan 93,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30
informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟.
Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 10 % menjawab „D‟,
sedangkan 90 % informan menjawab „A‟.
Leksikon nur /nUr/ „kelapa‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30
informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau
semua informan mengenal leksikon nur, bahkan 100 % informan menjawab „A‟.
Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon nur, bahkan 100 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan
diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon
nur, bahkan 100 % informan menjawab „A‟.
Leksikon karin /karIn/ „daun tikar‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟ dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45
tahun, dari ke-30 informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 86,7 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan
diketahui 23,3 % menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „D‟
ditemukan sebanyak 66,7 %.
Leksikon warbanglu /warbaŋlU/ „sejenis bunga mawar‟. Dari hasil tes
kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui
108
51,7 % informan menjawab „D‟ dan 36,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟
dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30
informan diketahui 63,3 % menjawab „D‟ dan 30 % informan menjawab „A‟.
Leksikon waren /warən/ „rumput pisau‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 16,7 % informan
menjawab „D‟ dan 66,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45
tahun, dari ke-30 informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 70 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan
diketahui 23,3 % yang menjawab „D‟, sedangkan 63,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon kabutbutur /kabutbUtur/ „rumput duri babi‟. Dari hasil tes
kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui
tidak ada yang menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 26,7 % informan menjawab „D‟
dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30
informan diketahui 73,3 % menjawab „D‟ dan 23,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon rii /ri:iʔ/ „alang-alang‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45
tahun, dari ke-30 informan diketahui 6,7 % menjawab „D‟ dan 73,3 % informan
menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 10
% yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.
109
Leksikon lafetar /lafetar/ „bunga lafetar‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--
45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 86,7 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan
diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟.
Leksikon tananan /tananan/ „bunga kupu-kupu‟. Dari hasil tes kompetensi
leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada
yang menjawab „D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia
25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan
76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30
informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon dab /dabʔ/ „bunga lidi‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4,
diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, 6,7 % menjawab
„D‟, sedangkan informan menjawab „A‟ adalah sebanyak 80 %. Untuk KPW usia
25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui 6,7 % menjawab „D‟, sedangkan
informan yang menjawab „A‟ adalah sebanyak 76,7 %. Untuk KPW usia 15--24
tahun, dari 30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟, sedangkan 80 %
informan menjawab „A‟.
Leksikon bung ler /bUŋ lɛr/ „bunga matahari‟. Berdasarkan data pada tabel
6.1.4, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui
3,3 % informan menjawab „D‟ dan 83,3 % informan yang menjawab „A‟. Untuk
110
KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan diketahui 6,7 % menjawab „D‟,
sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari
30 informan diketahui 6,7 % menjawab „D‟ sedangkan 73,3 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon bung mawar /bUŋ mawar/ „bunga mawar‟. Berdasarkan data pada
tabel 6.1.4, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun,
diketahui 3,3 % menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan
86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „D‟.
Leksikon bung sapat /bUŋ sapat/ „bunga sepatu‟. Berdasarkan data pada
tabel 6.1.4, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun,
diketahui 3,3 % menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan
86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon mantirun /mantirUn/ „terong‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4,
diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 3,3 %
yang menjawab „D‟, dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--
45 tahun, dari 30 informan, diketahui 6,7 % menjawab „D‟, sedangkan 83,3 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
diketahui 16,7 % menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.
111
Leksikon muu /muuʔ/ „pisang‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4, diketahui
bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45
tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7
% informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon kustel /kUstel/ ‟pepaya‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4,
diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun tidak ada yang
menjawab „D‟, bahkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45
tahun, dari 30 informan, diketahui 3,3 % menjawab „D‟, sedangkan 80 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
diketahui 10 % menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟.
Leksikon barisan /barIsan/ „cabai‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4,
diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada
yang menjawab „D‟, bahwa 86,7 informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--
45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 83,3
% informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
diketahui 3,3 % menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon kamatil /kamaʔtIl/ „tomat‟. Berdasarkan data pada tabel
6.1.4,diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang
menjawab „D‟, bahkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45
tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 %
112
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak
ada yang menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon silar /sIlar/ „jagung‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4, diketahui
bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟,
sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari
30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab
„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 10 % informan
menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon tom /tœm/ „kuning‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4, diketahui
bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟,
sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari
30 informan tidak ada menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan menjawab „A‟.
Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 6,7 % informan
menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon daun nas /daun nasʔ/ „daun nasi. Dari hasil tes kompetensi
leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 6,7 %
informan yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟,
dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30
informan ditemukan 6,7 % menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟.
Leksikon ramunil /ramUnIl/ „daun serai‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--
113
45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan
90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30
informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan
menjawab „A‟.
Leksikon fau /faw/ „mangga‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30
informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟,
sedangkan 86,7 %) informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari
ke-30 informan diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 90 % informan
menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 6,7
% informan menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon wew /wɛw/ „ketapang‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 6,7 % informan
menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45
tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan
76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30
informan ditemukan 3 orang (10 %) menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan
menjawab „A‟.
6.1.5 Pemahaman Burung di Sekitar Laut
Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang burung di sekitar
laut, diujikan tujuh leksikon, yaitu kat /katʔ/ „burung camar‟, manwer /manwer/
„bebek laut‟, sum /sUm/ „burung bangau‟, mansiwak /mansiwaʔ/ „burung gereja‟,
114
tarut /taʔrut/ „burung pombo‟, kilwar /kilwar/ „burung ciu‟, mankaba /mankabaʔ/
„burung laut‟
Leksikon kat /katʔ/ „burung camar‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 10 % informan
menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45
tahun, dari 30 informan, diketahui 6,7 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
diketahui 16,7 % menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟.
Leksikon manwer /manwer/ „bebek laut‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 10 % informan
menjawab „D‟, dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45
tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % informan yang menjawab „D‟,
sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,
diketahui 10 % menjawab „D‟ , sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon sum /sUm/ „burung bangau‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.5,
diketahui dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟, atau semua informan mengenal leksikon sum, sedangkan 86,7 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan,
diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon
sum, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,
dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟. Artinya, semua
informan mengenal leksikon sum dan 76,7 % informan menjawab „A‟.
115
Leksikon mansiwak /mansiwaʔ/ „burung gereja‟. Berdasarkan data pada
tabel 6.1.5, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun tidak ada
yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia
25--45 tahun, dari 30 informan diketahui 53,3 % informan menjawab „D‟,
sedangkan 36,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,
diketahui 60 % informan menjawab „D‟, dan 36,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon tarut /taʔrut/ „burung pombo‟. Berdasarkan tabel 6.1.5, diketahui
bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟,
atau semua informan mengenal leksikon tarut, dan 86,7 informan menjawab „A‟.
Untuk KPW usia 25--45 tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟,
sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,
diketahui 56,7 % informan menjawab „D‟, dan 33,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon kilwar /kilwar/ „burung ciu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟, atau semua informan mengenal leksikon kilwar, sedangkan 90 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, 10 % informan
menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,
diketahui 20 % informan menjawab „D‟, dan 70 % informan menjawab „A‟.
Leksikon mankaba /mankabaʔ/ „burung laut‟. Dari hasil tes kompetensi
leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 23,3 %
informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ sebanyak 46,7
%. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 50 % informan
116
menjawab „D‟ dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24
tahun, diketahui 53,3 % menjawab „D‟, dan 13,3 % informan menjawab „A‟.
6.1.6 Pemahaman Benda Mati (Abiotik) di Dalam dan Tepi Laut
Lingkungan biotik dan lingkungan abiotik memiliki keterkaitan yang sangat
erat untuk mendukung kehidupan suatu ekosistem dapat berjalan dengan baik.
Lingkungan abiotik adalah bagian tak hidup dari suatu sistem, sehingga dalam
interaksinya sudah pasti mempengaruhi lingkungan biotik. Dengan demikian,
dalam penggunaan bahasa tergantung juga pada leksikon lingkungan abiotik yang
berada di sekitar masyarakat. Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan
tentang benda mati (abiotik) di dalam dan tepi laut, diujikan enam leksikon, yaitu
ngur /ŋur/ „pasir‟, yerwat /yɛrwatʔ/ „karang‟, bunan /buʔnan/ „lumpur‟, wat /watʔ/
„batu‟, wat apung /watʔ apuŋ/ „batu apung‟, karet ihin /karət ihΙn/ „kulit bia‟
Leksikon ngur /ŋur/ „pasir‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.6, diketahui
bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟ dan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45
tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟.
Leksikon yerwat /yɛrwatʔ/ „karang‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.6,
diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada
yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25-
-45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100
117
% informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟.
Leksikon bunan /buʔnan/ „lumpur‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui bahwa 10 % informan
menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45
tahun, dari ke-30 informan diketahui 16,7 % informan menjawab „D‟, sedangkan
73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30
informan diketahui 23,3 % menjawab „D‟, dan 70 % informan menjawab „A‟.
Leksikon wat /watʔ/ „batu‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.6, diketahui
bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45
tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟.
Leksikon wat apung /watʔ apuŋ/ „batu apung‟. Dari hasil tes kompetensi
leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui bahwa 3,3 %
informan menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ ,
sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,
diketahui 3,3 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon karet ihin /karət ihΙn/ „kulit bia‟. Berdasarkan data pada tabel
6.1.6 diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui
118
tidak ada menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 25--45 tahun, dari 30 informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟,
sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,
diketahui 56,7 % informan menjawab „D‟, dan 26,7 % informan menjawab „A‟.
6.1.7 Pemahaman Alat Penangkap Ikan Tradisional di Lingkungan Kelautan
Kondisi geografis Ohoi Warbal yang dikelilingi lautan sehingga sebagian
besar masyarakat Ohoi Warbal adalah nelayan. Oleh karena itu, pekerjaan
penangkapan ikan sangat berkembang dan alat-alat penangkap ikan yang
digunakan juga sangat berkembang dan beranekaragam, walaupun alat-alat
penangkap ikan modern yang mencapai efektivitas tinggi, tetapi alat-alat
penangkap ikan tradisional masih tetap digunakan oleh masyarakat Ohoi Warbal.
Leksikon snar /snar/ „tasi‟. Berdasarkan data pada Tabel 6.1.7, diketahui
bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45
tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟.
Leksikon alihin /alihin/ „kail‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.7, diketahui
bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % informan
menjawab „D‟, sedangkan 96,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--
45 tahun, dari 30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟, sedangkan
90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 6,7 %
informan yang menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟.
119
Leksikon tob /tɔb/ „tombe‟. Berdasarkan data pada Tabel 6.1.7 diketahui
bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟,
sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari
30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan
menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 60 %
informan menjawab „D‟, sedangkan 33,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon fanfan /fanfan/ „panahan ikan‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--
45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan
80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 13,3 %
informan menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon hoho /hohɔ/ „kalawai‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--
45 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan
menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui
tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon sawilat /sawilat/ „jala‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui bahwa 6,7 % informan
yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan yang menjawab „A‟. Untuk
KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui 16,7 % menjawab „D‟,
120
sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,
diketahui 3,3 % menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon tuktuk /tUktuk/ „alat tangkap teripang‟. Dari hasil tes kompetensi
leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada
yang menjawab „D‟, dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45
tahun, 6,7 % menjawab „D‟, dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia
15--24 tahun, 10 % menjawab „D‟, dan 73,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon vuv /vuv/ „bubu‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.7, diketahui
bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟, atau semua informan mengenal leksikon vuv, sedangkan 90 %
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, tidak ada yang menjawab
„D‟, dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, tidak
ada yang menjawab „D‟, dan73,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon ven /vən/ „sero‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.7, diketahui
bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang
menjawab „D‟, sedangkan 96,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--
45 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟, atau semua informan mengenal leksikon
ven, sedangkan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,
diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, dan 76,7 % informan menjawab „A‟.
Leksikon ail /ayl/ „alat pancing ikan‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui bahwa 10 % informan
menjawab „D‟, dan 73,3 % informan menjawab „A‟.Untuk KPW usia 25--45
121
tahun, 1,3 % menjawab „D‟, dan 63,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 15--24 tahun, 50 % menjawab „D‟, dan 43,3 % informan menjawab „A‟.
Leksikon lot /lot/ „pemberat pancing‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon
terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟,
dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, 3,3 %
menjawab „D‟, dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24
tahun, diketahui 20 % menjawab „D‟, dan 70 % informan menjawab „A‟.
Leksikon kular /kular/ „alat tangkap ikan tradisional‟. Dari hasil tes
kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui
bahwa 26,7 % menjawab „D‟, dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW
usia 25--45 tahun, 56,7 % menjawab „D‟, dan 30 informan menjawab „A‟. Untuk
KPW usia 15--24 tahun, 76,7 % menjawab „D‟, dan 16,7 % informan menjawab
„A‟.
Adanya sejumlah alat tangkap ikan yang tidak dikenal oleh informan usia
25--45 tahun dan usia 15--24 tahun membuktikan bahwa perubahan kondisi
lingkungan ragawi laut, faktor ekonomi, dan kepraktisan ternyata telah
menyebabkan disfungsi alat-alat tradisional pada komunitas Kei di lingkungan
Ohoi Warbal. Dengan menggunakan alat tangkap tradisional, ikan yang diperoleh
lebih sedikit dan dibutuhkan keahlian khusus untuk menggunakan alat-alat
tersebut.
122
6.1.8 Tabel Tingkat Pemahaman Leksikon Kelautan Berdasarkan Jenis Kelamin dan
Usia di Ohoi Warbal
No Kelompok
Leksikon
Jumlah Nama leksikon yang sama sekali tidak dikenal untuk tiap
kelompok gender dan usia (jumlah dalam %)
Pria dan
Wanita Usia
di atas 46
Pria dan Wanita Usia
25--45
Pria dan Wanita Usia
15--24
1 Ikan dan
hewan lain
di dalam laut
57 - 3 atau 5,3 %, yaitu rwin
„ikan duyung‟ (53,3 %),
ngilngilan „lola‟ (30
%), aat „ikan lema‟ (50
%)
3 atau 5,3 %, yaitu
rwin„ikan duyung‟ (50
%), ngam „ikan puri‟
(70 %), ngilngilan
„lola‟ (36,7%)
2 Hewan di
sekitar laut
15 - 1 atau 6,7 % ,yaitu uwe
„buaya‟(40 %)
2 atau (13,3 %), yaitu
uwe„buaya‟ (96,7 %),
kus „kus-kus‟ (33,3 %)
3 Tumbuhan
di dasar laut
6 - - -
4 Tumbuhan
di tepi laut
28 2 atau 7,1
(%), yaitu
Talumur
„bunga
jamur‟ (33,3
% ),
Warbanglu
„sejenis
bunga‟ (56,7
% ).
3 atau 10,7 % , yaitu
waren „ sejenis rumput‟
(26,7 % ), talumur
„bunga jamur‟ (43,3 %
), warbanglu „sejenis
bunga‟ (40 % ).
5 atau 17,9 %, yaitu
talumur „bunga jamur‟
(36,7 %), tananan
‟bunga kupu-kupu‟
(13,3 %), warbanglu
„sejenis bunga‟ (6,7
%), kabutbutur
„rumput duri babi‟
(23,3 %), lalahar
„buah kira-kira‟(10 %)
5 Burung di
sekitar laut
7 1 atau 14,3
%, yaitu
mansiwak
„burung
gereja‟( 6,7
%).
3 atau 42,9 %, yaitu
mansiwak „burung
gereja‟ (80%), kilawar
„burung laut‟(56,7 %),
mankaba „burung laut‟
(13,3 %)
4 atau 57,1 %, yaitu
mansiwak „burung
gereja‟ ( 60 %), tarut
„burung pombo‟ ( 56,7
%), kilwar„burung
laut‟ (20 %),
mankaba „burung
laut‟ ( 80%)
6 Benda mati
di dalam dan
tepi laut
6 - - 1 atau 16,7 %, yaitu
karet ihin „kulit bia‟
( 56,7 %),
7 Alat
penangkap
ikan
tradisional
12 - 2 atau 16,7 %, yaitu
kular „alat tangkap ikan
tradisional ‟(56,7 %),
ail„alat tangkap ikan
tradisional‟(13,3 %)
2 atau 16,7 %, yaitu
ail „alat tangkap ikan
tradisional‟ (50%),
kular „alat tangkap
ikan tradisional‟(76,7
%)
123
Tabel di atas menggambarkan bahwa terjadi penurunan tingkat pemahaman pada
sebagian kecil kelompok leksikon kelautan di Ohoi Warbal. Artinya, semakin
muda usia informan penutur Kei, semakin sedikit leksikon kelautan yang dikenal,
didengar, dan digunakan.
6.1.9 Tabel Kebertahanan Leksikon Kelautan Bahasa Kei berdasarkan Pilihan
Jawaban “D” (Penutur Sama Sekali Tidak Kenal)
No % Pengamatan Daftar Leksikon %
1 76 - 100 ail, kular, kus,silbuk,uwe, tangangnan
x100 % = 4,6 %
2 51 - 75 karet ihin, kilwar, talumur, warbanglu,
ngam,lanuran,rwin,karluk,widan, ngaran
vuut dom hangarten,yerwat,sirsir,hoho
x100 % = 11,5 %
3 26 - 50 arat, karit,sik ngol, tanir, harara, fakikik,
yabar, kawuka, karin, dab, mantirun,
manwer, wat apung, sawilat,tob, wat,
mansiwak, aat, kalbuban, inaha, kamdii,
sit, belalang, tom, barisan, ven
x100 % = 19,8 %
4 0 - 25 snar,lot, fanfan, tuktuk, vuv, ven, alihin,
ngur,bunan,kat,sum,taru,mankaba,wakat,
amor, lalahar,nur,rii, lafetar, tananan,
bung matahari, bung mawar, bung sapat,
muu,ketapang,kamatil,silar,daun nas,foo,
fa‟a,ramunil,kustel,mon,ngeng, ubun,vur,
babat,manwut tahait, suk,ivan, kasil, vav,
yaha, rubai,karu, fan ,kankan, kabur,
ngilngilan, kotbubun, uva, eb sus, eb
nawai, iwar, kiker, kahu, tabob, ahot,yee,
loor,bisuk, niru, bin-bin, kon, nadan,
harun, siru, kari, mahain, ngarun, safsaf,
bib, dansawel, sadutil, bwin, far, lain, eb
kurungur, hangar, nguran, rawrawut
x100 % = 64,1 %
124
Pada tabel di atas digambarkan bahwa leksikon kelautan yang sama sekali
tidak dikenal oleh informan sebanyak 6 (4,6 %) leksikon dan leksikon kelautan
yang dikenal dan referennya masih banyak dikenal oleh informan sebanyak 84
(64,1 %) leksikon.
6.1.10 Tabel Rangkuman Tingkat Pemahaman Leksikon Kelautan di Ohoi Warbal
No Kelompok
Leksikon
Jumlah
Leksikon
Jumlah leksikon
yang sama sekali
tidak dikenal
(dalam %)
Nama leksikon yang sama
sekali tidak dikenal
(dalam %)
1 Ikan dan hewan
lain di dalam laut
57 4 (7 %) rwin „ikan duyung‟ (50
%), ngam„ikan puri‟ (70
%), ngilngilan „lola‟ (36,7
%), aat „ikan lema‟ (50 %)
2 Hewan di sekitar
laut
15 2 (13 %)
uwe „buaya‟ (87,8 %),
kus„kus-kus‟ (75,6 % )
3 Tumbuhan di dasar
laut
6 - -
4 Tumbuhan di tepi
laut
28 5 (17,9 %) talumur „bunga jamur‟
(36,7 %), warbanglu
„sejenis bunga‟ (6,7 %),
kabutbutur „rumput duri
babi‟ (23,3 %), tananan
„bunga kupu-kupu‟ (13,3
%), lalahar „buah kira-
kira‟ (10 %)
5 Burung di sekitar
laut
7 4 (57 %) mansiwak „burung gereja‟
(60 %), tarut „burung
pombo‟ ( 56,7 %), kilwar
„burung laut‟ (20 %),
mankaba „burung laut‟
( 80%)
6 Benda mati di
dalam dan tepi laut
6 1 (16,7 %) karet ihin „kulit bia‟(60 %)
7 Alat penangkap
ikan tradisional
12 2 (16,7 %) ail „alat tangkap ikan
tradisional‟ (50%), kular
„alat tangkap ikan
tradisional‟ (76,7 %),
125
Tabel di atas menggambarkan bahwa leksikon kelautan yang jarang
digunakan dan didengar penutur bahasa Kei adalah kelompok leksikon tumbuhan
di tepi laut, yaitu 5 (17,9 %), diikuti kelompok leksikon burung di sekitar laut,
yaitu 4 (57 %), serta Ikan dan hewan lain di dalam laut 4 (7 %). Selanjutnya,
berdasarkan tabel di atas dapat diinterpretasikan bahwa untuk pemahaman
informan tentang leksikon kelautan di Ohoi Warbal, maka dari 90 informan
ditemukan 18 orang (20 %) informan dari semua kelompok sama sekali tidak
kenal dan menggunakan leksikon kelautan, sedangkan 72 orang (80 %)
informan dari semua kelompok menyatakan mengenalnya dan referennya
masih banyak ditemukan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa 72 orang
(80 %) dari 90 informan yang tinggal di pesisir pantai Ohoi Warbal dalam
kesehariannya masih mengenal dan menggunakan leksikon kelautan dalam bahasa
Kei.
6.2 Kebertahanan Leksikon Kelautan Bahasa Kei dan Kelestarian
Lingkungan Kelautan di Kepulauan Kei
Bahasa itu seperti makhluk hidup yang lain. Artinya, bahasa dapat
berkembang dan berubah setiap saat. Di samping itu, bahasa juga mempunyai
kemungkinan untuk mati. Bahasa perlu tempat atau lingkungan untuk hidup,
termasuk bahasa Kei, yaitu penutur sebagai bagian dari guyub tutur dan ekosistem
yang senantiasa dimaknai melalui media bahasa. Peran dan pengaruh bahasa Kei
terhadap keberlangsungan dan keseimbangan lingkungan perlu dijaga dan
dipelihara karena perubahan berbagai bentuk dan fungsi lingkungan dapat juga
diamati dan direkam dalam bahasa. Dengan demikian, bahasa akan selalu hidup,
126
terpakai, terpelihara dan terwariskan dengan baik melalui penggunaan leksikon
yang berhubungan dengan lingkungan kelautan secara aktif dan ungkapan-
ungkapan bahasa Kei dalam menjaga kelestarian lingkungan alam di Ohoi
Warbal.
6.2.1 Kebertahanan Leksikon Kelautan Bahasa Kei
Perubahan selalu terjadi, baik zaman, peradaban, maupun segalanya
berubah. Tidak ada yang dapat menyalahkan perubahan, hanya tergantung
individu yang mengalami perubahan itu, apakah ia dapat menyikapinya dengan
bijak atau tidak. Perubahan harusnya tidak diterima sepenuhnya dan tidak berarti
meninggalkan kebiasaan yang lama. Kebiasaan lama biasanya sudah berakar kuat
dan selaras menyatu dengan lingkungan sekitar dan menjadi bagian dari adat
budaya. Kondisi geografis Ohoi Warbal yang dikelilingi oleh laut menyebabkan
sebagian besar masyarakat Ohoi Warbal berprofesi sebagai nelayan dan petani.
Sehubungan dengan itu, masyarakat Ohoi Warbal pada umumnya
menggantungkan hidup sepenuhnya pada alam sekitarnya, baik ikan dan hasil laut
maupun tumbuhan dan hewan di sekitarnya yang bermanfaat sebagai bahan
makanan, obat-obatan, bahan baku membuat rumah, dan sebagainya.
Kondisi ini menyebabkan masyarakat mengenal dan mengakrabi jenis-jenis
ikan, hewan (baik di darat maupun di sekitar laut), tumbuhan dan alat tangkap
ikan yang memberikan manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung bagi
kehidupan mereka dan akhirnya leksikon-leksikon itu terkonsep ke dalam kognisi
atau pikiran. Dengan demikian, tumbuh perilaku konservatif atau protektif
terhadap lingkungan, khususnya lingkungan kelautan di Ohoi Warbal yang
127
memang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat secara turun temurun. Hal
ini seperti yang dinyatakan Mbete (2010) bahwa perilaku konservatif sebagai
“perilaku atau tindakan yang menjaga, merawat, juga menggunakan secara terukur
agar tidak punah dan tetap awet. Perilaku tersebut dapat dilihat pada cara
penangkapan ikan di Ohoi Warbal, seperti yang dituturkan Bapak Pit Tawaerubun
(hal. 171) berikut ini.
11. P : Semua ikan apa saja bisa tangkap kapan-kapan saja, cuma skarang karena
ikan di dalam teluk ini su kurang dan masih kecil-kecil jadi dong su atur
bagaimana pi tangkap ikan, supaya skarang pi tangkap atau pancing di
luar teluk saja. Biar dapat ikan yang besar saja to..!
Apabila dikaitkan dengan penangkapan ikan, sebenarnya orang Kei dulu sudah
memiliki satu petuah yang menjadi rambu-rambu bagi mereka sendiri. seperti
yang dikatakan Bapak Pit Tawaerubun (hal. 171).
11. P : Begini…sekarang itu katong su jaga ketat orang pancing deng jaring ikan.
Jadi Raynold to, skarang dong bilang seng boleh pancing di sini, seng
boleh pancing di sana , seng boleh pake alat ini, seng boleh pake alat itu,
par tangkap ikan, karena katong pung anak cucu masih ada lai. Itu kan
berhubungan dengan orang tatua dong punya fangnanan (nasihat) kaya
begini. Teten rasib ne (orang tua berpesan) tabatang nuhu met if o did
koko famur. Kita pelihara hasil darat dan laut ini untuk anak cucu kita.
Data seng boleh pancing di sini, seng boleh pancing di sana, seng boleh
pake alat ini, seng boleh pake alat itu, (tidak boleh pancing di sini, tidak boleh
pancing di sana, tidak boleh pakai alat ini, tidak boleh pakai alat itu), antara lain
berkaitan dengan, larangan pemanfaatan sumber daya laut dengan memanfaatkan
peralatan, semisal pukat harimau, atau bom, atau racun ikan (bore), atau ghost net
yang berlebihan karena dapat merusak biota laut. Peribahasa atau ungkapan ta-
batang nuhu met i fo did koko famur “Peliharalah alam ini untuk anak cucu kita”
128
mengandung makna menjaga keseimbangan lingkungan darat dan laut agar tetap
lestari untuk generasi berikutnya. Perilaku konservatif guyub tutur terhadap
lingkungan yang menyiratkan kedekatan dan keakraban dengan lingkungan alam
sehingga tumbuh rasa hormat dan takut turun-temurun. Selain itu, dalam
mengolah alam warga guyub tutur seharusnya juga memperhitungkan
keseimbangan alam karena keseimbangan menjadi pendukung kelestarian alam
dan isinya. Kadang-kadang persahabatan manusia dengan alam membuahkan
keuntungan bagi manusia itu sendiri. Hal ini dibuktikan melalui kisah berikut (hal.
172).
12. P: Oh iya, jadi burung gereja itu seng perna terbang sampe di laut. Jadi, kalau
dong ada pancing, lalu ada sekumpulan burung gereja ada terbang bermain
di atas laut, maka pasti dong dapa ikan banyak. Pokoknya kuat tarik ikan
saja. Itu dong pung rejeki sudah.
Berkaitan dengan perilaku konservatif, yang perlu dipertahankan adalah
tidak boleh menyombongkan diri atau kerendahan hati. Contohnya ada hal-hal
tertentu yang sebaiknya dihindari seperti penuturan Bapak Pit Tawaerubun (hal.
172).
13. R : Om, kalau mau pi pancing atau sementara pancing di laut, ada kata-kata
yang tabu yang seng boleh katong bilang ka senga? Kalau ada, apa itu?
P : Kayaknya seng ada, yang penting jangan beribut saja. Kalau dalam
katong pung bahasa itu tang bivir kawit haid (tidak boleh ribut).
R : Oh iya om, lalu kalau beta di tengah laut apa yang tidak boleh beta
bilang? Mungkin seng boleh bilang nama ikan apa ka? Atau nama
tumbuhan apakah begitu?
P : O… kalau itu seng ada, Cuma inga minta permisi untuk penguasa tempat
itu. kalo di sini biasa di tiap tempat di laut sana ada dong punya penjaga.
Jadi katong minta permisi saja, itu pasti katong dapa ikan banyak. Ada
satu lai ini, katong seng boleh berbangga diri, dengan seng bole
berbahasa yang kasar atau bernada keras, dan menunjukkan kebolehan.
129
Jadi, dengan laut pun penutur bahasa Kei harus bertutur secara lembut dan
ramah, tidak boleh dikasari, atau tidak boleh bising jikalau ada di laut itu.
Kebisingan berarti menyebabkan adanya pencemaran bunyi atau juga berarti
mengusik ketenangan suasana, khususnya akan mengganggu penjaga tempat itu.
Perilaku tak boleh sombong juga menjadi tanda ihwal bersahabat dan sikap rendah
hati dengan alam laut khususnya yang memberikan mereka hidup berupa protein
ikan dan kehidupan rohaniah dalam arti luas. Selain itu, referen tumbuhan, hewan
dan alat tangkap itu masih banyak ditemui dan hidup atau tumbuh di sekitar
lingkungannya, bahkan leksikon-leksikon tersebut sering digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, hingga saat ini masyarakat Ohoi Warbal
masih sangat akrab dengan leksikon tumbuhan, hewan, dan alat tangkap, baik
yang berhubungan dengan tumbuhan dan hewan maupun alat tangkap tradisional
tersebut. Sikap setia dan bangga menggunakan bahasa daerah merupakan perilaku
positif yang harus ditanamkan kepada penutur bahasa, dalam hal ini penutur
bahasa Kei di Ohoi Warbal baik generasi muda maupun tua. Hal ini dapat dilihat
dari sikap penutur bahasa Kei di Ohoi Warbal yang lebih menghargai orang yang
menggunakan bahasa Kei dalam percakapan dibandingkan dengan yang
menggunakan bahasa Indonesia, walaupun lawan bicaranya adalah masyarakat
setempat.
Hal lainnya adalah nelayan di Ohoi Warbal juga memiliki rasa empati
terhadap ikan tangkapannya. Untuk mendapatkan ikan (semua jenis) yang banyak,
mereka bisa dikatakan menghindari apa yang dikatakan sebagai pantangan, yaitu
130
tidak boleh membawa bekal (makan dan minum) jika ingin melaut. Berikut
penuturan Pit Tawaerubun (hal. 172).
15. P: …Kalau mau pi pancing ka atau biking jaring ka atau mau pi cari apa
saja di laut sana seng boleh bawa bekal atau makanan (enbal, nasi,
roti) dan minuman (air). Karena kalau bawa itu pasti katong seng dapa
ikan atau hasil, karena ikan ini dong mangkali seng mau dapa dong
gampang-gampang saja kaapa? Lalu, karena katong pi ini par mencari
bukan pi peknik. Jadi katong betul-betul mau berusaha. Katong susah-
susah dolo to baru dapa barang bai te.
P : Oh iya, satu lai ini, keadaan rumah harus tenang dan kalau ada orang
datang jangan berikan.
6.2.2 Kebertahanan Ungkapan-Ungkapan Bahasa Kei dalam Menjaga
Kelestarian Lingkungan Kelautan
Kehidupan sosialbudaya etnik Kei terjaring secara lingual dalam bahasa Kei
yang digunakan secara teratur. Artinya bahasa Kei digunakan, baik secara
interpersonal maupun secara transaksional (Brown dan Yule, 1996:1), niscaya
bahasa Kei dan masyarakt etnik Kei secara keseluruhan menandai dan „mengikat‟
keberadaan mereka sebagai suatu entitas masyarakat dan kebudayaan yang
membedakannya dari etnik lain. Dalam pelbagai ranah kebudayaan itulah bahasa
Kei termasuk sejumlah ungkapan yang idiomatik dan metaforik “menjalankan”
fungsi sosialnya baik untuk menjalin dan memelihara keserasian hubungan
antarpenutur maupun untuk mewarisi dan menanamkan nilai-nilai antargenerasi.
Sejumlah ungkapan dimaksud dijabarkan sebagai berikut.
1) Vel bi-yoot hasil walein, mu-sikol mu-yanan
Kalau 2J-dapat hasil banyak, 1T-sekolah POSS3T2T-anak
“Kalau dapat hasil banyak, sekolahkan anakmu”
2) Tang bi-na afa naa hot ran ro haid
Jangan 2J-ambil barang Prep teluk dalam sana jangan
“Janganlah ambil hasil di dalam teluk itu”
131
3) Ta-batang nuhu met i fo it-did koko famur
1J-jaga kampung meti ini untuk POSS1J anak-anak belakang
“Peliharalah alam ini untuk anak cucu kita”
4) Yaha na-efken ni-duan
Anjing 3T-kenal POSS3T-tuan
“Anjing mengenal tuannya”
5) Ulnit na-vil a-tumud
Kulit pp3T-bungkus 1J-tubuh
“Kulit membungkus tubuh kita”
Secara umum ungkapan-ungkapan budaya verbal etnik Kei di atas
mengandung makna dan fungsi melestarikan lingkungan, baik lingkungan ragawi
maupun sosial serta hubungan manusia dengan manusia lainnya. Selain itu, ada
ungkapan yang berhubungan dengan alam semesta, baik dalam hubungan dengan
Tuhan pencipta alam semesta yang keagungan dan kekuasaan-Nya disimbolkan
dengan bumi dan langit maupun hubungan dengan leluhur mereka. Hierarki
kepercayaan mereka dengan Tuhan di jenjang tertinggi dan leluhur di jenjang
bawahnya tampak pada ungkapan berikut
1) Ud na-tauk at vunad
Kepala 3t-bertumpuh pada leher
“Kepala kita bertumpu pada leher kita”
2) Duad i na-dok naa ler ratan
Tuhan 3T 3T-duduk Prep matahari atas
“Tuhan duduk di atas matahari”
3) Duan nit hir rir tanat i
Roh orang mati 3J POSS3J tanah ini
“Tanah ini milik leluhur dan orang tua-tua”
Ungkapan di atas dimaksudkan bahwa Tuhan yang menempati tempat tertinggi di
alam raya hendaknya disembah dan dimuliakan. Sementara itu, para leluhur yang
secara genetis melahirkan mereka, yang dalam masyarakat etnis Kei dikenal
sebagai duan nit hendaknya dihormati pula.
132
Hal lain yang juga menarik dalam kaitan dengan pelestarian hasil laut,
khususnya ngilngilan „lola‟ dan eb „teripang‟ adalah kekuatan hawer. Hawer
adalah tanda yang bermakna pelarangan, yaitu tidak boleh menyentuh,
mengambil, apalagi mencuri hasil laut, biasanya hasil laut seperti lola dan
teripang. Tanda hawer biasanya berupa daun kelapa muda yang ditancapkan
dengan kain merah. Pelanggarannya berakibat fatal, yakni pelaku akan secara
perlahan-lahan menderita dan pada akhirnya meninggal jika tidak diakui oleh
pelaku dan meminta tua-tua adat untuk mengobati secara adat. Pengobatan secara
adat oleh tua-tua adat ini biasanya dengan berdoa dan mempersembahkan „buk
mam‟ berupa mas adat Kei, sirih pinang, tembakau, dan uang koin. Dengan
melakukan upacara ini maka dipercaya pelaku dapat sembuh. Akan tetapi, jarang
sekali masyarakat melanggar aturan ini karena mereka masih sangat kuat percaya
kepada leluhur mereka. Berikut ini ungkapan tentang penjagaan hasil laut dengan
hawer tersebut.
1) Ler i nuhu met roa i hawear
Matahari ini kampung meti laut ini sasi
“Hari ini laut disasi (dilarang mengambil hasil laut)”
2) Ta-batang nuhu met roa i fo did yanat ubun
1J-jaga kampung meti laut ini untuk POSS2J anak cucu
“Jagalah laut dan darat harus untuk anak cucu”
Paralelisme semantik memang nyata pada kedua ungkapan ini dan di
dalamnya tersirat makna yang sama, yakni agar laut dan darat menjadi lestari.
Larangan hawer ini menjadi norma yang harus ditaati, bahkan tidak boleh
ditawar-tawar. Di samping itu, larangan hawer lebih dimaksudkan agar
133
masyarakat tidak diperkenankan untuk mengambil hasil laut dan darat secara
sembarangan agar tetap terjaga kelestariannya.
Selanjutnya, ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan pemeliharaan
keserasian hubungan dengan sesama warga etnik Kei. Selain norma dan nilai
pelestarian lingkungan alami, pemeliharaan lingkungan sosial juga terungkap
secara verbal. Hal itu tampak pada ungkapan berikut.
1) Manut anmehe ni tilur, vuut anmehe ni ngivun
Ayam satu POSS3T telur, ikan satu POSS3T telur
“Kita semua bersaudara/sama”
2) Ain ni ain
Satu POSS3T satu
“Kita semua bersaudara”
3) Voing fokut ain mehe, nevaw fo banglu vatu
Kumpul jadi satu sendiri, kawin untuk senjata satu
“Kita semua bersaudara”
Secara metaforik dan paralelisme semantik memang nyata pada kedua
ungkapan ini sebab di dalamnya tersirat makna yang sama yakni agar laut dan
darat menjadi lestari. Ungkapan di atas memiliki daya ungkap dan daya semantik
yang sangat kuat bagi masyarakat penutur bahasa Kei. Ungkapan ini bermakna
bahwa semua manusia sama dan hubungan manusia dan alam harus menjaga
keseimbangan antara satu dan yang lain. Selain itu, ungkapan ini mengamanatkan
bahwa masyarakat dan alam semuanya „bersaudara‟ dan pentingnya kebersamaan
dan kekompakan, keserempakan gerak dalam bekerja, kesatuan dan kebersamaan.
134
6.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kebertahanan Leksikon Kelautan
Bahasa Kei
Bahasa merupakan gambaran identitas, merekam kearifan lokal, konsep-
konsep kolektif, nilai-nilai historis, religius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis
suatu masyarakat. Sehubungan dengan itu, yang diperlukan masyarakat penutur
bahasa bukan hanya sebuah kognisi atau pengetahuan, melainkan juga sebuah
kompetensi dan performansi yang komunikatif, produktif, dan kreatif, baik lisan
maupun tulisan dengan kekayaan ranah pakai bernuansa etnis (Halliday, 1978:10).
Bahasa dapat hidup atau mati tergantung pada penggunaan dan berkembang atau
tidaknya suatu bahasa. Berkembang dan menyusutnya suatu bahasa tentu
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hal ini disebabkan oleh bahasa hidup dalam
lingkungan sosial suatu masyarakat penutur untuk berinteraksi, interdepedensi,
dan interelasi dengan lingkungan. Suatu bahasa tetap bertahan dan hidup jika
penuturnya selalu menggunakan bahasa tersebut. Dengan demikian, bahasa itu
akan terjaga dan tetap berada dalam pikiran atau kognisi penuturnya. Sebaliknya,
jika penuturnya jarang atau tidak pernah menggunakan bahasanya, maka suatu
saat bahasa itu akan bergeser, menyusut, dan akhirnya mati atau punah dari
masyarakat pendukungnya
Berdasarkan kondisi ini, maka sesungguhnya suatu leksikon dapat bertahan
dan atau menyusut, bergeser, bahkan hilang atau punah dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang terjadi di dalam masyarakat. Setelah dicermati dengan baik,
dalam penelitian ini ditemukan faktor-faktor yang memengaruhi kebertahanan dan
pemahaman leksikon kelautan bahasa Kei di Ohoi Warbal, sebagai berikut.
135
1) Faktor-faktor bertahannya leksikon kelautan bahasa Kei
Secara umum ada dua faktor yang menyebabkan bertahannya leksikon
kelautan bahasa Kei, yaitu lingkungan alam dan lingkungan sosial.
a. Lingkungan Alam
(1) Kondisi alam yang masih terjaga dengan baik sehingga referen tumbuhan,
hewan dalam lingkungan kelautan, dan alat tangkap tradisional pada
umumnya masih ada dan banyak ditemukan serta hidup atau tumbuh di
lingkungan guyub tutur.
(2) Kondisi geografis yang dikelilingi lautan sehingga sebagian besar masyarakat
Ohoi Warbal adalah nelayan, sehingga penutur sangat akrab dengan
tumbuhan dan hewan yang berada di sekitar lingkungan kelautan.
b. Lingkungan Sosial
(1) Sumber Penghidupan Masyarakat Ohoi Warbal
Masyarakat Ohoi Warbal pada umumnya menggantungkan hidup sepenuhnya
pada alam sekitarnya termasuk lingkungan kelautan, baik ikan maupun hasil
laut (tumbuhan dan hewan) lainnya yang bermanfaat sebagai bahan makanan,
obat-obatan, bahan baku membuat rumah, dan sebagainya. Kondisi ini
menyebabkan masyarakat memahami hewan, tumbuhan, dan alat tangkap
ikan yang memberikan manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung
bagi kehidupan mereka dan akhirnya leksikon-leksikon itu terkonsep ke
dalam kognisi atau pikiran.
136
(2) Kesetiaan Bahasa (Language Loyalty)
Sikap setia dan bangga menggunakan bahasa daerah merupakan perilaku
positif yang harus ditanamkan kepada penutur bahasa dengan tujuan
pelestarian bahasa tersebut, dalam hal ini penutur bahasa Kei di Ohoi Warbal,
baik generasi muda maupun tua. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan sosial
penutur Kei di Ohoi Warbal yang selalu menggunakan bahasa Kei dalam
keseharian dan lebih menghargai orang yang menggunakan bahasa Kei dalam
percakapan dibandingkan dengan yang menggunakan bahasa Indonesia
walaupun lawan bicaranya adalah masyarakat setempat.
(3) Perilaku Konservatif Guyub Tutur Terhadap Lingkungan Kelautan
Perilaku konservatif sebagai “perilaku atau tindakan yang menjaga dan
merawat, lingkungan agar tidak punah dan tetap awet menyiratkan kedekatan
dan keakraban dengan lingkungan alam sehingga tumbuh rasa hormat dan
takut turun-temurun. Selain itu, dalam mengolah alam warga guyub tutur juga
memperhitungkan keseimbangan alam, karena keseimbangan menjadi
pendukung kelestarian alam dan isinya.
2) Faktor-faktor penyebab menyusutnya leksikon kelautan bahasa Kei
Penyusutan dan berkurangnya leksikon-leksikon kelautan dalam bahasa Kei
juga dipengaruhi oleh lingkungan alam dan lingkungan sosial, seperti berikut ini.
a. Lingkungan Alam
(1) Perubahan Ekologi Kelautan
Perubahan ekologi di Ohoi Warbal dapat dilihat dengan adanya perubahan
lingkungan, baik secara alamiah maupun pembangunan fisik. Hal ini terlihat
137
jelas dengan adanya beberapa jenis ikan laut yang jarang ditemukan karena
banyaknya pengeringan, pembangunan beton di sepanjang pesisir pantai
sehingga ada jenis ikan yang hidup di laut dangkal seperti ikan gete-gete sulit
ditemukan. Hal ini terjadi karena biota laut itu sudah berpindah ke ekosistem
lain, bahkan menjadi punah. Selain itu, pembuangan sampah di pesisir pantai
yang berlebihan juga menyebabkan pencemaran dan pendangkalan laut.
(2) Lingkungan Tumbuh atau Lingkungan Hidup yang Berbeda
Lingkungan hidup hewan dan tumbuhan tertentu berada jauh dari
perkampungan atau tempat tinggal penduduk. Kondisi ini membuat penutur
terutama sebagian generasi muda kurang bahkan ada yang belum pernah
sama sekali berinteraksi dengan tumbuhan dan hewan itu, pada akhirnya
penutur tidak mengenali dan mengakrabi tumbuhan dan hewan itu dengan
baik terutama generasi muda.
b. Lingkungan Sosial
(1) Sistem Kepercayaan
Seperti yang telah dijelaskan bahwa pada dasarnya kepercayaan guyub tutur
Kei adalah animisme, namun masuknya agama Kristen maka kepercayaan
animisme perlahan-lahan ditinggalkan termasuk leksikon-leksikon yang
digunakan dalam ritual keagamaan seperti tembakau dan daun siri sudah tidak
dugunakan lagi, khususnya generasi muda di Ohoi Warbal.
(2) Kurangnya Partisipasi
Partisipasi berbahasa daerah yang kurang oleh penutur khususnya pelajar
yang bersekolah di ibu kota Kabupaten Langgur dan sekitarnya juga ikut
138
mengurangi integritas bahasa Kei. Sebagian pelajar mengakui bahwa
kurangnya partisipasi mereka dalam bahasa Kei diakibatkan oleh intensitas
dan kebiasaan penggunaan bahasa Indonesia terlebih lagi bahasa Melayu
Ambon di kota sehingga mereka merasa malu untuk berbahasa Kei.
(3) Kurangnya proses penerusan atau transfer dari generasi tua ke generasi muda
Maksudnya adalah leksikon-leksikon dan referen tumbuhan, hewan, dan alat
tangkap tradisional yang tidak ditransfer atau diteruskan dari generasi tua ke
generasi muda sehingga leksikon-leksikon tersebut tidak terkonsep dalam
pikiran generasi muda. Keadaan itu dapat menyebabkan referen-referen
tersebut dapat menyusut, bahkan bisa hilang dari pikiran penutur terutama
generasi muda. Selanjutnya, karena banyak pelajar yang bersekolah di ibu
kota Kabupaten Langgur dan sekitarnya, ada pelajar yang tidak tahu sebagian
leksikon kelautan walaupun referenya masih ada, khususnya tumbuhan dan
hewan di dasar laut, seperti ngilngilan „lola‟, iwar „ikan mata bulan‟, dan
babat „bunga karang‟.
(4) Dominannya Pemakaian Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu Ambon
Perubahan global yang sangat pesat termasuk komponen bahasa
menyebabkan pertumbuhan dan pemeliharaan bahasa daerah yang satu dan
bahasa daerah yang lain berbeda-beda. Hal ini terjadi karena ada bahasa yang
terawat dengan baik atau secara aktif digunakan dan ada juga bahasa yang
tidak diperhatikan kebertahanannya atau tidak aktif digunakan. Dengan
demikian, bahasa-bahasa daerah akan terpinggirkan karena adanya persaingan
antara bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Dalam konteks
139
persaingan ini, umumnya bahasa daerah berada dalam posisi lemah. Hal ini
ditandai secara alami dengan merosotnya jumlah penutur karena adanya
persaingan bahasa daerah, desakan bahasa Indonesia, dan bahasa Melayu
Ambon. Di samping itu, juga semakin berkurangnya loyalitas penutur
terhadap pemakaian bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan simbol identitas
masyarakat penutur, antara lain sebagai berikut.
(a) Tidak ada bahan pembelajaran bahasa Kei dalam pelajaran muatan lokal
di sekolah, baik tentang alam, sosial, budaya, maupun bahasa. Selain itu,
pelajar diharuskan menggunakan bahasa Indonesia di sekolah.
(b) Leksikon dalam bahasa Kei yang sudah digantikan dengan leksikon
dalam bahasa Indonesia. Contoh leksikon warat dan tali. Masyarakat
Ohoi Warbal lebih mengenal dan menggunakan leksikon tali daripada
leksikon warat.
140
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Umumnya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kei masa silam
senantiasa berupaya mendapatkan berbagai informasi dari lingkungan untuk dapat
mengelola lingkungan secara tepat. Berbagai informasi/pengetahuan lingkungan
tersebut biasanya diwariskan dari leluhurnya secara berkelanjutan dengan
menggunakan bahasa ibu. Misalnya, nama-nama biota sekitar lingkungan laut
dalam bahasa Kei dan istilah-istilah dalam teknologi tradisional perikanan.
Selanjutnya hasil penelitian menyangkut pemahaman leksikon kelautan bahasa
Kei yang berhubungan dengan lingkungan kelautan dapat disimpulkan sebagai
berikut.
Pertama, satuan-satuan lingual ekoleksikal kelautan bahasa Kei berupa suku
kata yang berpola V, VK, KV, KVK, dan KKV. Selain itu, satuan lingual leksikon
kelautan bahasa Kei secara morfologi berupa kata, yang terbagi menjadi kata
monomorfemis, bentuk ulang, dan kata majemuk.
Kedua, saat ini sebagian besar penutur bahasa Kei, baik pria maupun wanita dari
tiap-tiap kelompok usia di Ohoi Warbal masih mengenal, sering mendengar, dan
menggunakan leksikon kelautan bahasa Kei. Pemahaman itu juga didukung
dengan pengetahuan mereka tentang lokasi tempat referen leksikon tersebut
ditemukan. Untuk jenis ikan, mereka mengenal tempat hidup ikan tersebut apakah
di laut dangkal atau di laut dalam. Untuk jenis alat tangkap ikan tradisional,
mereka bisa menyebutkan semua alat tangkap tradisional dan jenis-jenis ikan yang
141
biasanya ditangkap dengan alat tersebut. Dari alat-alat tangkap tradisional itu
hanya ada dua alat tangkap yang sama sekali tidak dikenal oleh kelompok pria
dan wanita usia 25--45 dan 15--24 tahun, yaitu kular dan ail. Hal ini terjadi
karena sudah tidak ada alat itu lagi, sedangkan, untuk kelompok pria dan wanita
usia di atas 46 tahun masih kenal dan pernah menggunakan alat tersebut serta
masih terekam dalam ingatan mereka.
Selain itu, pada tabel 6.1.8 digambarkan bahwa ada penurunan tingkat
pemahaman pada sebagian kecil kelompok leksikon kelautan di Ohoi Warbal.
Artinya, semakin muda usia informan penutur Kei, semakin sedikit leksikon
kelautan yang dikenal, didengar dan digunakan. Di pihak lain, tabel 6.1.9
digambarkan bahwa leksikon kelautan yang jarang digunakan dan didengar
penutur Kei adalah kelompok leksikon tumbuhan di tepi laut diikuti kelompok
leksikon burung di sekitar laut. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa
untuk pemahaman informan tentang leksikon kelautan di Ohoi Warbal, maka dari
90 informan ditemukan 18 orang (20 %) informan dari semua kelompok yang
sama sekali tidak kenal dan menggunakan leksikon rwin, ngilngilan, arat,
ngam, uwe , kus, waren, talumur , warbanglu ,tananan, lalahar, mansiwak
,kilawar, mankaba ,tarut, karet ihin, kular, dan ail. Di pihak lain, ada 72 orang
(80 %) informan dari semua kelompok menyatakan mengenalnya dan
referennya masih banyak ditemukan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
72 orang (80 %) dari 90 informan yang tinggal di pesisir pantai Ohoi Warbal
dalam kesehariannya masih mengenal dan menggunakan leksikon kelautan bahasa
Kei.
142
Ketiga, leksikon kelautan bahasa Kei dalam lingkungan kelautan sebagian
besar masih dikenal dan digunakan dalam keseharian. Secara umum, ada dua
faktor yang menyebabkan bertahannya leksikon kelautan bahasa Kei, yaitu
lingkungan alam, yaitu kondisi alam yang masih terawat dan terjaga dengan baik
serta kondisi geografis yang dikelilingi lautan sehingga sebagian besar masyarakat
Ohoi Warbal adalah nelayan, dan lingkungan sosial, yaitu (1) sumber
penghidupan masyarakat Ohoi Warbal, (2) kesetiaan berbahasa (language
loyalty), (3) perilaku konservatif guyub tutur terhadap lingkungan kelautan, dan
(4) penutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Kei dalam
keseharian. Di pihak lain, penyusutan dan berkurangnya leksikon-leksikon
kelautan bahasa Kei dipengaruhi oleh lingkungan alam, yaitu perubahan ekologi
kelautan dan lingkungan tumbuh atau lingkungan hidup yang berbeda, dan
lingkungan sosial, yaitu (1) sistem kepercayaan, (2) kurangnya partisipasi, (3)
kurangnya proses penerusan atau transfer dari generasi tua ke generasi muda, dan
(4) dominannya pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Ambon
7.2 Saran
Sebagai satu bahasa daerah di Indonesia, bahasa Kei merupakan bagian dari
kebudayaan Indonesia dan merupakan jati diri masyarakat Kei yang perlu
dipelihara, dibina, dan dikembangkan. Leksikon budaya dari bahasa Kei dapat
memperkaya bahasa Indonesia. Oleh karena itu, bahasa Kei perlu dilestarikan
melalui upaya dan tindakan nyata yang berkaitan dengan pelestarian sumber daya
lingkungan kelautan yang melibatkan semua masyarakat, terutama generasi muda.
143
Upaya ini penting untuk mempertahankan leksikon kekhasan daerah yang
merupakan cerminan sejarah adanya lingkungan alam (ragawi) dan sosial budaya
yang hidup pada zamannya. Tujuannya adalah agar setiap masyarakat ikut
berperan aktif mendukung eksistensi bahasa Kei melalui pemakaian bahasa Kei
dalam berkomunikasi sehari-hari. Khusus bagi sektor perikanan, peternakan, dan
pertanian, temuan penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan dalam
menentukan kebijakan penelitian dan konservasi sumber daya hayati. Dengan
begitu, diharapkan dapat menumbuhkan perilaku penjagaan, pemeliharaan, dan
pelestarian lingkungan ragawi.
Untuk melestarikan bahasa Kei dan lingkungannya, diharapkan ada
penelitian lanjutan, misalnya leksikon bahasa Kei yang berhubungan dengan alat-
alat pertanian, rumah tangga, dan nama-nama tempat, leksikon verba dan leksikon
ajektiva. Dengan demikian, upaya pelestarian melalui penelitian dapat
mengantisipasi ancaman kepunahan bahasa ini. Harapan peneliti bahwa penelitian
ini dapat menjadi rekomendasi untuk diaplikasikan dalam upaya revitalisasi
bahasa dan pelestarian lingkungan.
144
DAFTAR PUSTAKA
Adisaputra, Abdurahman. 2010. “Ancaman terhadap Kebertahanan Bahasa
Melayu Langkat”. (disertasi). PPS Universitas Udayana. Denpasar .
Al Gayoni, Yusradi Usman. 2010. “Mengenal Ekolinguistik”. http.Ekolinguistik
Diunduh 12 Juni 2012.
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka
Cipta.
Bauer, Peter Thomas. 1983. English Word Formation. City of Cambridge:
Cambridge University Press.
Beatley, T. Brower. D.J. and Schwab. A.K. 1994. An Introduction To Coastal
Zone Management. Washington, DC. Island Press.
Booij, Geert. 2007. The Grammar of Words: An Introduction to Linguistic
Morphology. Great Britain: Oxford University.
Brown, Gillian George Yule. 1996. Analisis Wacana. Discourse Analysis.
Terjemahan E Koeswara dkk. Bandung : Eresco.
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta. Kencana Prenda Media.
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Chaer, Abdul. 2003. Seputar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2003. Sosiolinguistik Suatu Pengantar.
Jakarta: Rineka Cipta.
Crystal, David. 2003. Language Death. UK: Cambridge University.
Crystal, David. 2008. A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th
Edition,
Damanik, Ramlan. 2009. “Pemertahanan Bahasa Simalungun di Kabupaten
Simalungun. Medan”: USU. Tesis tidak dipublikasikan.
Djajasudarma, Hj. T. Fatimah.1993 Semantik I Pengantar Ke Arah Ilmu Makna.
Bandung: Eresco.
145
Djajasudarma, Hj. T. Fatimah. 2006. Metode Linguistik: Ancangan Metode
Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Refika Aditama.
Djardjowidjojo, Soenjono. 1998. Morfologi Generatif:Teori & Permasalahannya.
Jakarta : Lembaga Bahasa Atmajaya.
Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Rajawali
Press.
Fasold, Ralph. 1986. The Sociolinguistic of Society. New York: Basil Blackwell.
Fill, Alwin dan Peter Mühlhäusler. 2001. The Ecolinguistics Reader Language,
Ecology and Environment. London: Continuum.
Fishman, J.A. 1968. The Sociology of Language. Massachusett: Newbury House
Plublication.
Gunarto Suhardi, 1990. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. Citra
Aditya Bakti: Bandung
Gunarwan, Asim. 2006. “Bebebrapa Kasus Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa:
Implikasinya pada Pembinaan Bahasa Lampung”. Makalah pada Seminar
Nasional Pembinaan Bahasa, Sastra dan Budaya Daerah. Bandar Lampung,
29--30 Oktober 2001.
Hadi, Sutrisno. 2004. Metodologi Research I. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Halle, Morris. 1973. “Prolegomena to a Theory of Word Formation in English”.
Linguistic Inquiry, Vol. IV, No.1
Halliday , M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1978. Bahasa, Konteks dan Teks: Aspek-
Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. (Terjemahan: Asruddin
Barori Tou dari Judul Asli:Language, Context, and Text: Aspects of
Language in a Social-Semiotic Perspective). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Haugen, Einar. 1972. The Ecology of Language. Stanford ,California: Stanford
University Press.
Holmes, Janet. 2001. Introduction to Sociolinguistics. (Ed. Kedua). Harlow,
Essex: Longman.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Edisi Keempat. Departemen Pendidikan
Nasional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
146
Keraf, Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Grasindo.
Kridalaksana, Harimurti. 1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia.
Jakarta: Gramedia.
Lauder, H. 2006. „Globalization and Social Change‟. (Paperback)
Lindø, Anna Vibeke dan Jeppe Bundsgaard (eds). 2001. Dialectical Ecolinguistics
Three Essays for the Symposium 30 Years of Language and Ecology in
Graz December 2000. Austria: University of Odense Research Group for
Ecology, Language and Ecology.
Lindø, Anna Vibeke dan Simon S. Simonsen. 2000. The Dialectics and Varieties
of Agency-the Ecology of Subject, Person, and Agent. Dialectical
Ecolinguistics. Three Essays for the Symposium 30 Years of Language
and Ecology in Graz December 2000. Austria: University of Odense
Research Group for Ecology, Language and Ecology.
Lyons, J. 1995. Pengantar Teori Linguistik (Terjemahan). Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Maluku Tenggara, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. 2007. Profile Wisata
Kabupaten Maluku Tenggara, Tual : Maluku Tenggara.
Marsono, 2008. Fonetik: Seri Bahasa. Jogyakarta. Gadjah Mada University Press
Matthews, P.H. 1974. Morphology: An Introduction to the Theory of Word
Structure. London: Cambridge University Press.
Mbete, Aron Meko. 2002.“Ungkapan-Ungkapan dalam Bahasa dan Fungsinya
dalam Melestarikan Lingkungan”. Linguistika. Vol.9: No. 17. Program
Studi Magister dan Doktor Linguistik Universitas Udayana, September
2002.
Mbete, Aron Meko. 2008. Ekolinguistik : “Perspektif Kelinguistikan yang
Prospektif”“. Bahan Kuliah Matrikulasi Program Magister Linguistik PPS
Universitas Udayana.
Mbete, Aron Meko. 2009. “Problematika Keetnikan dan Kebahasaan dalam
Perspektif Ekolinguistik”. Disampaikan dalam Seminar Nasional Budaya
Etnik III, Diselenggarakan oleh USU, Medan 25 April 2009.
Mbete, Aron Meko dan Abdurahman Adisaputera. 2009. “Penyusutan Fungsi
Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada Komunitas Remaja di
Stabat”, Langkat.
147
Mbete, Aron Meko. 2010. “Sekilas tentang Linguistik Kebudayaan”. Bahan
Sederhana untuk Berbagi Pengalaman dengan Mahasiswa Program Studi
Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Diponegoro,
Semarang, 7 Mei 2010.
Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Ogden, C.K. dan Richard, F.A. 1972. The Meaning of Meaning. London:
Routledge dan Kegau Paul Ltd.
Ohoitimur, Y. 1996. Hukum Adat dan Sikap Hidup Orang Kei. Seminari Tinggi
Pineleng. Manado.
Oldeman, R.L. Irsal Las, and Muladi. 1981. The Agro-climatic Maps of
Kalimantan, Maluku, Irian Jaya, and Bali West and East Nusa Tenggara
Contrib. No.60. Centr. Res. Inst. Agrc. Bogor.
Parera, J.D. 2004. Teori Semantik Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Peter, D.F. 1996. Reflections of a Social Ecologist. New York: Harpercollins.
Rahardjo, Mudjia. 2004. Language And Power: A Close Look At Critical
Sociolinguistics. Retrieved June 14, 2010, www.mudjiarahardjo.com.
Ramlan, M. 1985. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: Karyono.
Rasna, I Wayan. 2010. “Pengetahuan dan Sikap Remaja terhadap Tanaman Obat
Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan:
Sebuah Kajian Ekolinguistik”.Jurnal Bumi Lestari, Vol. 10 No. 2, Agustus
2010. hlm.321 – 332.
Rasna dan Binawati. 2012 . “Pemertahanan Leksikal Tanaman Obat Tradisional
untuk Penyakit Anak pada Komunitas Remaja di Bali: Kajian Semantik
Ekolinguistik”. Jurnal Bumi Lestari, Volume 12 No. 1, Februari 2012,
hlm. 173 – 187.
Renjaan, M. Raynold. 2014. Leksikon Bahasa Kei dalam Lingkungan Kelautan:
Kajian Ekolinguistik. Linguistika. Program Studi Magister dan Doktor
Linguistik Universitas Udayana.
Ricklefs, E. Robert .1976. The Economy of Nature, Fifth Edition.
148
Sibarani, Robert. 1997. Leksikografi. Medan: Penerbit Universitas Sumatera
Utara.
Sinar, Tengku Silvana. 2010. “Ungkapan Verbal Etnis Melayu dalam
Pemeliharaan Lingkungan. Seminar Language, Literature,and Culture in
Southeast Asia”. Diselenggarakan oleh Prodi Linguistik USU dan Phuket
Rajabhat University Thailand, Thailand Juni 2010.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit CV
Alfabeta.
Sukhrani, Dewi. 2010. “Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan
Kedanauan Lut Tawar” (”tesis”). Medan. Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
Sumarsono, 1990. “Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali”. Disertasi
Doktor, Tidak Diterbitkan. Denpasar : Program Studi S3 Linguistik PPS
Universitas Udayana.
Suparwa, I Nyoman. 2009. “Ekologi Bahasa dan Pengaruhnya dalam Dinamika
Kehidupan Bahasa Melayu Loloan Bali”. Fakultas Sastra Universitas
Udayana.
Tardas, Gurning. 2004. “Sistem Tatakrama Berbahasa Batak Toba pada Upacara
Adat Perkawinan Medan”.Universitas Sumatera Utara.
Undang-Undang No. 31, Tahun 2007, 10 Juli 2007 tentang Pemekaran Kota Tual,
Kabupaten Maluku Tenggara, 2007
Verhaar, J.W.M. 2004. Asas-Asas Linguistik Umum. Gadjah Mada University
Press. Jogyakarta.