pedoman standar pengelolaan penyakit berdasarkan kewenangan
TRANSCRIPT
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
1
PEDOMAN STANDAR PENGELOLAAN PENYAKIT BERDASARKAN KEWENANGAN
TINGKAT PELAYANAN KESEHATAN
I. PENDAHULUAN
Pembangunan Kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi hak dasar rakyat untuk
memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pembangunan kesehatan yang telah
dilakukan selama ini bertujuan untuk meningkatkan derajat dan status kesehatan bagi
seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itu pemerintah menetapkan Pembangunan Kesehatan
dalam Program Pembangunan Nasional.
Pemerintah telah menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan tingkat
dasar sampai dengan rujukan yang memiliki kemampuan yang berbeda dalam menangani
masalah kesehatan di masyarakat. Meskipun pendekatan pelayanan kesehatan sama tetapi
fokus penekanan pelayanan berbeda sesuai dengan kemampuan yang ada pada tiap fasilitas
pelayanan kesehatan. Agar kesinambungan pelayanan kesehatan pada masyarakat dapat
terwujud, diperlukan sistem rujukan yang berjenjang dan terstruktur, dimana ada kejelasan
peran dan fungsinya sesuai tingkat fasilitas pelayanan kesehatan.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pelayanan medis di
pemberi pelayanan kesehatan harus senantiasa dipertahankan bahkan ditingkatkan agar
tercapai pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan. Demi
Tercapainya penyelenggaraan pelayanan medis yang memenuhi standar tersebut perlu
pedoman pengelolaan berdasarkan kewenangan di tingkat pelayanan kesehatan. Untuk itu
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat bersama FK UNPAD, RSUP Hasan Sadikin Bandung dan
Organisasi Profesi telah menyusun Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Berdasarkan
Kewenangan Tingkat Pelayanan Kesehatan.
Buku ini menginformasikan bagaimana pengelolaan penyakit mulai dari pelayanan dasar
sampai pelayanan rujukan, perlu tidaknya kasus tersebut dirujuk berdasarkan kewenangan
tingkat pelayanan kesehatan. Sehingga diharapkan dapat menjadi acuan dalam peningkatan
kompetensi tenaga kesehatan di pemberi pelayanan kesehatan.
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
2
II. DASAR HUKUM
1. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 128/MENKES/SK/II/2004, tentang
Kebijakan Dasar Puskesmas.
3. Buku Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Rumah Sakit
III. TUJUAN
Umum :
Terselenggaranya pelayanan kesehatan yang optimal berdasarkan kewenangan
dan kompetensi di tiap jenjang pelayanan kesehatan.
Khusus :
- Tersusunnya pedoman pengelolaan penyakit berdasarkan kewenangan
Pemberi Pelayanan Kesehatan
- Dasar pengkajian untuk rencana pengembangan dan peningkatan
kompetensi tenaga kesehatan
IV. PENYAKIT DAN PENGELOLAANNYA
Pengelompokan penyakit dan bagaimana pengelolaannya berdasarkan kewenangan di setiap tingkat pelayanan kesehatan terdiri dari :
- Penyakit Anak - Penyakit Dalam - Penyakit Kebidanan dan Kandungan - Penyakit Bedah - Penyakit THT-KL - Penyakit Neurologi (Syaraf) - Penyakit Kulit Kelamin - Penyakit Mata - Penyakit Jiwa (Psikiatri) - Penyakit Gigi dan Mulut
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
3
PENGELOLAAN PENYAKIT ANAK
No DIAGNOSIS PPK 1 PPK 2 PPK 3
1 TB Paru Skrining tanda serta gejala klinik
Penilaian klinis dan diagnostik (Tes PPD, rontgen thorax)
Diagnostik dan penanganan TB paru disertai komplikasi (empyema, atelektasis, destroyed lung, hemoptysis, TB milier, Multi Drug Resistance TB (MDR-TB)
Rujuk balik untuk th/ OAT rujuk balik untuk terapi OAT)
2 Bronko Pneumonia
Penilaian klinis, diagnostik dan terapi (BP ringan) sesuai MTBS
Penilaian klinis, diagnostik dgn pemeriksaan penunjang (lab dan rontgen)
Penegakan diagnostik dan terapi BP berat dengan ancaman gagal nafas sehingga membutuhkan ventilator, empysema dan sepsis.
Penatalaksanaan Bronkhopneumoni
rujuk balik
3 Diare Diagnosis : Diare akut dengan /tanpa dehidrasi, diare dengan dehidrasi ringan-sedang Tatalaksana sesuai protocol
Penatalaksanaan diare ringan- sedang yang tidak dapat direhidrasi per oral, diare berat, diare akut dengan dehidrasi berat, diare disertai komplikasi seperti sepsis, gangguan elektrolit, (membutuhkan kultur feses)
Diagnosis etiologi dan talaksana diare persisten / kronis, diare dengan penyakit penyerta seperti HIV, diare yang membutuhkan pemeriksaan penunjang kultur feses, dan endoskopi
Dehidrasi berat bisa ditangani di Puskesmas DTP
rujuk balik dan penyuluhan
4 Penyakit jantung bawaan (PJB)
Deteksi dini PJB, tatalaksana penyakit penyerta pada PJB.
Diagnosis PJB melalui pemeriksaan penunjang (EKG, rontgen thorax), penatalaksanaan penyakit penyerta PJB
Diagnosis dan tatalaksana PJB dengan pemeriksaan echocardiography dan kateterisasi jantung Tatalaksana PJB Operatif
TIDAK RUJUK BALIK
Bila tidak dilakukan operatif rujuk balik
5 Cerebal Palsy (CP)
Deteksi dini tumbuh kembang (DDTK)
Diagnostik kelaianan perkembangan (Denver, Cat/Clam),
Diagnostik dan skrining CP dgn comorbid (gangguan pendengaran, pengelihatan, RM,
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
4
epilepsi)
Tatalaksana spastisitas, fisioterapi (klinik tumbuh kembang)
Tatalaksana dan fisioterapi, penilaian IQ (URM : fisioterapi, terapi bicara, terapi okupasi)
Rujuk balik untuk pemantauan tumbuh kembang dan stimulasi di rumah
6 Gizi buruk Deteksi Diagnosis dini
Tatalaksana gizi buruk Tatalaksana kegawatan dan tatalaksana kelainan khusus
PMT Rujuk
Penatalaksanaan komplikasi Diagnosis etiologi (HIV/AIDS, kelainan congenital, sindroma malabsorbsi) → Rujuk balik
Bila memerlukan pemeriksaan khusus untuk etiologi (HIV/AIDS, kelainan Kongenital ) → Rujuk
Rujuk balik ke PKM untuk pemantauan dan PMT
7 ISPA Diagnosis dan tatalaksana ISPA TIDAK PERLU DIRUJUK
Tidak perlu dirujuk
8 Thalassemia Deteksi dini suspek thalassemia (skrining tanda serta gejala klinik: anemia, hepatosplenomegali)
Pemeriksaan penunjang (darah rutin) dan pemberian transfusi.
Penegakan diagnosis melalui Hb elektroforesa, pencegahan dan penanganan komplikasi : hemosiderosis (chelating agent), splenektomi,
kontrol rutin penderita Rujuk balik untuk transfusi berkala
9 DF/DHF Skrining tanda serta gejala klinik
Penanganan DHF Grade II sampai dengan DSS (DHF Grade III dan IV) Pemeriksaan penunjang Ig M dan Ig G
Penegakkan diagnosis, dengan pemeriksaan penunjang (IgG , IgM, NS1), DHF yang memerlukan perawatan intensif
Tatalaksana DF/DHF dengan pemeriksaan darah rutin (Puskesmas DTP)
bila memerlukan perawatan intensif Rujuk ke PPK 3
Rujuk balik paska perawatan
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
5
10 Sindroma Nefrotik
Diagnosis berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan urin dipstik.
Penegakan diagnostis pasti Diagnosis lengkap dan tatalaksana SN resisten steroid dengan khemoterapi : siklofosfamid
Rujuk untuk diagnosis pasti
Rawat inap SN serangan pertama (jika dibutuhkan) rujuk balik untuk melanjutkan pengobatan
Rujuk balik untuk penanganan lanjutan, follow up remisi atau relaps
Jika terjadi SN resisten steroid harus dirujuk
11 Epilepsi Diagnosis berdasarkan gejala klinis, tatalaksana serangan kejang akut, (pemberian diazepam),
Penanganan status epileptikus (pemberian fenobarbital, fenitoin)
Pusat diagnositk epilepsi melalui EEG, CT Scan, MRI. Pengobatan dengan status epileptikus refrakter yang memerlukan PICU
kontrol rutin penderita Rujuk jika terjadi status epileptikus refrakter/ memerlukan perawatan intensif ( PICU)
Rujuk balik untuk pengobatan jangka panjang
12 Kejang demam
Tatalaksana kejang demam (sederhana)
Kejang demam kompleks dan kejang demam status konvulsivus, Bila perlu perawatan intensif/ status epileptikus refrakter→Rujuk
Tatalaksana status konsulsivus refrakter/rawat intensif,
pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnostik→ rujuk balik
13 Masalah neonates
Deteksi kegawatan (BBLR, Infeksi/sepsis, Ikterus neonatorum, kejang neonatus, asfiksia) → Rujuk
Tatalaksana kegawatdaruratan
Tatalaksana kegawatdaruratan Diagnosis Etiologi
Diagnosis etiologi Diagnosis etiologi
Perawatan Bayi baru lahir level 2
Perawatan Bayi baru lahir level III
Bila perlu perawatan intensif (Level III) → rujuk PPK 3
perawatan intensif → stabil → rujuk balik
14 Demam Tifoid Skrining tanda serta gejala klinik Tatalaksana Demam Tifoid Pemeriksaan darah rutin (Puskesmas DTP)
Penatalaksanaan sampai dengan komplikasi ( Tifoid ensefalopati, perdarahan, perforasi usus) → Rujuk balik
Tidak perlu di rujuk di PPK 3
15 Morbili Diagnosis Penegakan diagnosis Tidak perlu di rujuk
di PPK 3 Tatalaksana simptopmatis
Tatalaksana komplikasi
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
6
Deteksi komplikasi
Bila ada komplikasi → Rujuk
16 Meningitis Deteksi dan tatalaksana kegawatan (Kejang) → Rujuk
Penatalaksanaan kegawatan
Penatalaksanaan komplikasi dan perawatan intensif
Diagnostic etiologi (Lumbal pungsi ) dan perawatan non intensif
Penegakan diagnosis etiologi dan komplikasi (CT scan, MRI, EEG)
Bila perlu perawatan intensif → Rujuk ke PPK 3
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
7
PENGELOLAAN PENYAKIT DALAM
No DIAGNOSIS PPK 1 PPK 2 PPK 3
1 DM Tipe 2 Tanpa komplikasi, TERKENDALI dengan 1 obat hipoglikemik oral (OHO)
NIDDM (4) Standar Kompetensi Dokter KKI 2006
DM Tipe 2 Tanpa komplikasi, TIDAK TERKENDALI dengan 1 OHO rujuk
Tanpa komplikasi, TIDAK TERKENDALI dengan 1 OHO → pengelolaan Tanpa komplikasi, TERKENDALI dengan 2 OHO rujuk balik
DM Tipe 2 Tanpa komplikasi, TIDAK TERKENDALI dengan 1 OHO
Tanpa komplikasi, TIDAK TERKENDALI dengan 1 OHO → pengelolaan
Terkendali
rujuk BERKOMPLIKASI & TERKENDALI dg 2 OHO
rujuk balik
TANPA KOMPLIKASI & TERKENDALI dengan Insulin
BERKOMPLIKASI & TERKENDALI dg Insulin → dikelola 1 bulan
Bila tidak terkendali
rujuk ke PPK 3
DM tipe 2 Hipoglikemi 1. TEGAKKAN
DIAGNOSIS KLINIS 2. TERAPI
PENDAHULUAN 3. RUJUK SEGERA
Terkendali rujuk balik ke PPK 2
HIPOGLIKEMI (3B) Standar Kompetensi Dokter KKI 2006
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
8
DM tipe 2 KOMPLIKASI AKUT (KAD)
Terkendali → pengelolaan Terkendali
1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS
2. TERAPI PENDAHULUAN
3. RUJUK
rujuk balik KOMPLIKASI AKUT (KAD) rujuk (TIDAK TERKENDALI DALAM 48 JAM
rujuk balik
DM tipe 2 KOMPLIKASI KRONIS Terkendali → pengelolaan Terkendali
1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS
rujuk balik rujuk balik
2. TERAPI PENDAHULUAN
Tidak terkendali dalam 2 bulan
3. RUJUK rujuk
2 Hipertensi Esensial
Hipertensi esensial Essential Hypertension (4)
Standar Kompetensi Dokter KKI 2006
Hipertensi Esensial
Pengelolaan
Hipertensi krisis Terkendali → Pengelolaan
rujuk rujuk balik
Hipertensi Sekunder
1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS
Terkendali →Pengelolaan Tidak terkendali → pengelolaan dan evaluasi
2. TERAPI PENDAHULUAN
rujuk balik Terkendali → Rujuk balik
3. RUJUK
3 ASHD (Peny Jantung Koroner Kronik Stabil)
PJK Kronik Stabil 1. TEGAKKAN
DIAGNOSIS KLINIS 2. TERAPI
PENDAHULUAN 3. RUJUK
PJK Kronik Stabil Terkendali → pengelolaan RUJUK BALIK RUJUK KEMBALI SETIAP 3 BULAN
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
9
ASHD (Sindroma Koroner Akut)
Sindroma Koroner Akut (SKA)
Terkendali → pengelolaan Stabil/terkendali (evaluasi tiap 3 bulan)
1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS
rujuk rujuk balik
2. TERAPI PENDAHULUAN
3. RUJUK
ASHD (Gagal Jantung)
1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS
Terkendali → pengelolaan
2. TERAPI PENDAHULUAN
rujuk balik
3. RUJUK rujuk setiap 3 bulan
4 TBP tidak berkomplikasi
TBP kasus baru Uncomplicated Pulmonary Tuberculosis (4)
tidak berkomplikasi Standar Kompetensi Dokter KKI 2006
TB Paru TB paru dg pneumotoraks
Terkendali → pengelolaan
(pneumotoraks) 1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS
rujuk balik
2. RUJUK SEGERA
TB Paru 1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS
Terkendali → pengelolaan
(pengobatan ulang /berkomplikasi)
2. TERAPI PENDAHULUAN
rujuk balik
3. RUJUK
TB Paru 1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS
Terkendali → pengelolaan
(MDR/XDR) 2. RUJUK rujuk balik
5 Diare dengan dehidrasi ringan sedang / berat dengan / tanpa komplikasi
1. TEGAKKAN DIAGNOSA KLINIS
2. RUJUK jika tidak ada fasilitas DTP
Terkendali → pengelolaan rujuk balik
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
10
6 Goiter 1.Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2
2.Rujuk
7 COPD / Asma bronkiale
1.Tegakkan diagnosis Terkendali → pengelolaan
2.Rujuk rujuk balik
8 Pneumonia tanpa komplikasi
1. Tegakkan diagnosis Terkendali → pengelolaan
2. Pengelolaan di PPK 1
rujuk balik
9 Arthritis tanpa komplikasi
1. Tegakkan diagnosis 2. Pengelolaan di PPK
1
Dirujuk bila ada komplikasi atau memerlukan fisioterapi
N
Arthritis dengan komplikasi
1. Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2
2. Rujuk Fisioterapi
10 SLE 1.Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2
2.Rujuk
11 Gastritis 1. Tegakkan diagnosis 2. Pengelolaan di PPK
1
Dirujuk dengan catatan bila obat di PPK.1 tdk tersedia.
12 Demam Dengue 1.Tegakkan diagnosis
2.Pengelolaan di PPK 1 dgn DTP
Demam Dengue dg komplikasi
1.Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2
2.Rujuk
DSS 1.Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2 dgn fasilitas ICU
2.Rujuk
13 Gagal ginjal akut 1.Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2 dgn fasilitas HD stabil, rujuk balik
2.Rujuk
14 GGK terminal 1.Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2 dg fasilitas HD
Jika PPK. 2 tidak ada fasilitas HD
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
11
2.Rujuk atau sesama PPK.2 dg fasilitas sama
15 Sindroma Nefrotik
1.Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2 ( Rujuk balik untuk Tapering off, bisa dilakukan di PPK I)
2.Rujuk
16 Anemia berat 1.Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2 Stabil rujuk balik
2.Rujuk
17 Leukemia 1.Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2
2.Rujuk
18 Perdarahan saluran cerna
1.Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2 dengan fasilitas endoskopi
Jika PPK.2 tidak ada fasilitas endoskopi 2.Rujuk
19 HIV 1.Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2 utk terapi ARV (ada tim konseling)
Jika ada komplikasi.
2.VCT
3.Rujuk
20 Hepatitis akut 1.Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2. Diagnosis tegak, Stabil rujuk balik
2.Rujuk jika fasilitas tdk lengkap
Hepatitis kronis 1.Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2
2.Rujuk
21 Demam tifoid tanpa komplikasi
1.Tegakkan diagnosis
2.Pengelolaan di PPK 1 dgn DTP
Demam tifoid dgn komplikasi
1.Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2. Diagnosis tegak, Stabil rujuk balik
2.Rujuk
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
12
PENGELOLAAN PENYAKIT KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
No. DIAGNOSIS PPK 1 PPK 2 PPK 3
1 Hipertensi Dalam Kehamilan :
Hipertensi Gestasional
Skrining : Test protein urine Therapi oral anti hipertensi dapat diberikan
Penilaian klinis dan diagnosis Tidak ada tanda-tanda preeklamsi →rujuk balik ke PPK I
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Preeklamsi Ringan
Skrining: Test Protein urine
Penilaian klinis dan diagnosis :
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Rujuk ke PPK II Tidak ada tanda-tanda preeklamsi berat rujuk balik ke PPK I untuk oral antihipertensi
Preeklamsi Berat
Skrining: Test Protein urine
Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi HELLP syndrome atau komplikasi lain
Pemberian MgSO4 Pemberian antihipertensi
Perawatan/tindakan terminasi kehamilan
Rujuk ke PPK II
Eklamsi Pemberian MgSO4 Pemberian antihipertensi Rujuk ke PPK II
Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus yang Memerlukan perawatan ICU
Tindakan terminasi kehamilan dan rawat bersama dengan bagian lain
NICU atau dengan komplikasi HELLP syndrome atau komplikasi lain
2 Perdarahan
Trimester 1:
Abortus Imminens
Skrining Sarankan untuk pemeriksaan USG ke PPK II
Penilaian Klinis dan Diagnosis USG baik →kembalikan ke PPK I
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
USG tidak baik → terminasi
Abortus Insipiens
Skrining: sarankan untuk pemeriksaan USG ke PPK II
Penilaian klinis dan diagnosis : USG baik → Rujuk balik
Tidak usah dirujuk ke PPK III
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
13
USG tidak baik → terminasi
Abortus Inkomplitus
Skrining : Pemeriksaan awal
Penilaian klinis dan diagnosis :
KU baik → rujuk ke PPK II
Terminasi
KU tidak baik →Perbaiki KU sambil di rujuk ke PPK II
(boleh dilakukan kuret tumpul di PONED)
Abortus Komplitus
Skrining:
Rujuk ke PPK II untuk pemeriksaan lanjut
Penilaian klinis dan diagnosis
Mola Hidatidosa
Skrining : Rujuk ke PPK II
Penilaian klinis dan diagnosis : Terminasi
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain seperti tirotoksikosis
Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
Skrining : KU baik → Rujuk ke PPK II KU buruk → Perbaiki KU → Rujuk PPK II
Penilaian klinis dan diagnosis: Laparatomi Operatif
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain atau dengan riwayat infertilitas yang memerlukan keahlian subspesialis
Trimester 2:
Perdarahan Midtrimester
Skrining : Rujuk ke PPK II
Penilaian klinis dan diagnosis: Perawatan atau tindakan → setelah baik Rujuk balik ke PPK I
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain (seperti kelainan darah dan penyakit sistemik lainnya)
Trimester 3:
Perdarahan Antepartum
Plasenta previa Skrining : KU baik → rujuk ke PPK II KU buruk → perbaiki KU sambil rujuk ke PPK II
Penilaian klinis dan diagnosis: Perawatan/tindakan terminasi setelah baik → rujuk balik ke PPK I
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain seperti kelainan darah dan penyakit sistemik lainnya )
Solusio Plasenta
Skrining : Penilaian klinis dan diagnosis:
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
14
KU baik → rujuk ke PPK II
Tindakan terminasi
KU buruk → perbaiki KU sambil di rujuk ke PPK II
Post Partum:
Perdarahan Post Partum Dini:
Atonia Uteri Skrining:
Resusitasi cairan, pemberian O2 → Rujuk ke PPK II sambil lakukan dekompresi manual
Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Luka jalan lahir Skrining: Penilaian klinis dan diagnosis :
Diagnosis dan Penatalaksanaan kasus
KU baik → Rujuk ke PPK II
dengan komplikasi
KU buruk → rujuk sambil resusitasi cairan dan pemberian O2
penyakit lain
Retensio plasenta
Skrining: Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis
KU baik → Rujuk ke PPK II
Penatalaksanaan kasus
KU buruk → rujuk sambil resusitasi cairan dan pemberian O2
dengan komplikasi penyakit lain
Sisa plasenta Skrining: Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis
KU baik → Rujuk ke PPK II
Penatalaksanaan kasus
KU buruk → rujuk sambil resusitasi cairan dan pemberian O2
dengan komplikasi penyakit lain
Perdarahan post partum lambat:
Skrining: Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis
KU baik → Rujuk ke PPK II
Penatalaksanaan kasus
KU buruk → rujuk sambil resusitasi cairan dan pemberian O2
dengan komplikasi penyakit lain
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
15
3 Kelainan Letak Skrining: Rujuk ke PPK II (PONED apabila letak sungsang dan pembukaan lengkap)
Penilaian klinis dan diagnosis: Dalam kehamilan : Versi luar apabila berhasil menjadi letak kepala → Rujuk balik ke PPK I
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Persalinan : terminasi
4 Kehamilan Multiple
Skrining: Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Rujuk ke PPK II untuk persalinan (pemeriksaan USG)
Persalinan: terminasi
5 Ketuban Pecah Dini
Skrining: Rujuk ke PPK II (skrening : sediakan lakmus test)
Penilaian klinis dan diagnosis: konservatif atau terminasi
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
6 Kelainan Janin:
IUGR Skrining: Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Rujuk ke PPK II Dan memerlukan perawatan NICU
IUFD Skrining: Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Rujuk ke PPK II Terminasi kehamilan
Prematur Skrining: Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Rujuk ke PPK II Perawatan konservatif atau terminasi
Dan memerlukan perawatan NICU
Gawat Janin Skrining: Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain dan memerlukan perawatan NICU
Rujuk ke PPK II Terminasi kehamilan
7 Persalinan tidak maju/Distosia
Skrining: Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Rujuk ke PPK II (dilakukan vakum di PONED)
Terminasi
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
16
8 Panggul Sempit Skrining: Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Rujuk ke PPK II Terminasi
9 Bekas Seksio sesarea
Skrining: Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Rujuk ke PPK II Terminasi
10 Ruptura Uteri Skrining: Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Perbaiki KU sambil rujuk ke PPK II
Laparotomi eksploratif
11 Penyakit Jantung: Decompensatio Cordis FC I – II
Skrining: Rujuk ke PPK II
Penilaian klinis dan diagnosis: Perawatan konservatif atau terminasi kehamilan
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Decompensatio Cordis FC III-IV
Skrining: Rujuk ke PPK II
Penilaian klinis dan diagnosis:
Memerlukan perawatan ICU/CICU
Terminasi kehamilan (dokter IPD harus ada di PPK II bila ingin di rawat)
NICU. Perlu pemeriksaan lanjutan ECHO
12 Kehamilan dengan Komplikasi lain
Skrining: Penilaian klinis dan diagnosis
Memerlukan perawatan ICU/CICU
Rujuk ke PPK II NICU
Spesialis lain yang tidak ada di PPK II
13 Infeksi Skrining: Penilaian klinis dan diagnosis.
Diagnosis dan penanganan sepsis dan memerlukan tindakan diagnosis lanjut atau perawatan ICU
Tanda-tanda infeksi
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
17
PENGELOLAAN PENYAKIT BEDAH
No DIAGNOSIS PPK 1 PPK 2 PPK 3
1 Appendicitis Acute
Skrining tanda serta gejala klinik
Appendectomy Appendectomy laparoskopiDiver
Edukasi
Rujuk ke PPK 2 Kontrol Luka
Jika yakin pasien akan ke RS, beri therapi pendahuluan (Antibiotik dan analgetik)
setelah stabil→ Rujuk balik
2 Hemorhoid interna
Penilaian klinis, Diagnostik dan terapi (Haemmorrhoid Gr I dan II)
Haemorroidectomy Kontrol luka
Rujuk ke PPK 2 (Haemorrhoid Gr III dan IV)
Setelah stabil rujuk balik
3 Fistula ani simple
Penegakan Diagnosis Fistulectomy
Therapi pendahuluan Setelah stabil rujuk ke PPK 1
Rujuk ke PPK 2
4 Fissura ani Penegakkan Diagnosis Therapi dan tindak lanjutan
Therapi Pendahuluan Setelah stabil rujuk kembali ke PPK 1
Rujuk ke PPK 2
5 Cholelithiasis Deteksi gejala klinik Penegakkan Diagnosis Penanganan oleh Subspesialis
Therapi Simptomatis melalui Pemeriksaan Penunjang
Bila telah stabi → rujuk kembali ke PPK 2
Rujuk ke PPK 2 Therapi Pendahuluan
Tindakan operasi
Bila dg penyulit rujuk ke PPK 3
6 Hernia inguinalis lateralis reponibilis
Edukasi Hernioraphy
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
18
Simptomatis Setelah stabil rujuk kembali ke PPK 1
Rujuk ke PPK 2
7 Fibro Adenoma Mammae (FAM)
Deteksi dini Ekstirpasi dan PA Jaringan
Simptomatis
Rujuk Ke PPK 2
8 Lipoma Simptomatis Ekstirpasi dlm narkose umum
Ekstirpasi dan perawatan luka post eksisi
Rujuk kembali ke PPK I untuk perawatan luka
Rujuk ke PPK 2 bila : Multiple Lipoma, Tanda2 keganasan
9 Ateroma Simptomatis Ekstirpasi dlm narkose umum
Ekstirpasi dan perawatan luka post eksisi
Rujuk ke PPK 2 bila : Giant Ateroma
Rujuk kembali ke PPK I untuk perawatan luka
10 Struma Nodosa
Deteksi gejala dan Pemeriksaan Fisik
Penanganan lebih lanjut (eksisi)
Penanganan Subspesialistik
Edukasi
Simptomatik Rujuk
Rujuk ke PPK 3 jika memerlukan penegakkan diagnostic dan penanganan subspelialistik
Jika terkontrol, rujuk kembali ke PPK 2
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
19
PENGELOLAAN PENYAKIT THT-KL
NO DIAGNOSIS PPK 1 PPK 2 PPK 3
1 Otitis Media Supuratif Kronik dengan penyulit
skrining tanda dan gejala klinik
- Penilaian klinis - Penilaian Klinis
Rujuk ke PPK 2 - Foto Rontgen ( Schuller dan Stenver )
- Foto Rontgen schuller dan Stenver
- Kultur resistensi - CT Scan telinga
- Operasi - Kultur resistensi
- Rujuk ke PPK 3 bila :
- Pemeriksaan Oto-Mikroskopi
1. Komplikasi intrakranial
- Tindakan : bedah mikro telinga
2. Komplikasi intratemporal
3. Otorea menetap setelah terapi
Maksimal
2 Tumor Kepala Leher
Skrining tanda dan gejala klinis
- Skrining tanda dan gejala klinis
- Skrining tanda dan gejala klinis
a. Karsinoma Nasofaring
- Nasofaringoskopi - Nasofaringoskopi
b. Karsinoma
Sinonasal - Biopsi, FNAB - FNAB
c. Karsinoma
Laring - Menerima rujukan balik
dari PPK 3 - Biopsi dengan endoskopi
d. Tumor di
leher untuk perbaikan
Keadaan Umum (lokal anestesi)
- Operasi dengan
endoskopi
- Operasi kasus dengan
penyulit
- Radiotherapi
- Kemoiradiasi
- Kontrol setelah tindakan
6 bulan
Pertama
- Rujuk balik ke PPK 2
untuk perbaikan
Keadaan umum
3 Rinosinusitis dengan/tanpa polip disertai
- Skrining tanda dan gejala klinik
- Skrining tanda dan gejala klinis
- Nasoendoskopi
- Terapi sesuai - Pemeriksaan THT-KL - Kultur resistensi
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
20
penyulit Pedoman lengkap
Tatalaksana - Nasoendoskopi - CT Scan Sinus Paranasal
- Kultur resistensi - Tindakan bedah sinus
endoskopi tingkat lanjut
- Rontgen sinus ( waters,
Caldwelluck)
- Tindakan bedah hidung
sinus
konvensional
4 Rhinitis Alergi Skrining tanda dan gejala klinis
Skrining tanda dan gejala klinis
- Skrining tanda dan gejala klinis
- Nasoendoskopi
- Pemeriksaan tes alergi
(Skin Prick Test)
- Immunoterapi
5 Epistaksis Skrining tanda dan gejala klinis
- Skrining tanda dan gejala klinis
- Nasoendoskopi → mencari sumber
- Tampon hidung anterior Perdarahan
- Bila perdarahan tetap
tidak dapat teratasi - Tampon hidung anterior
dan posterior
→ Rujuk ke PPK III - Ligasi
6 Benda Asing di esophagus
- Skrining tanda dan gejala klinis
- Foto rontgen soft Tissues leher AP dan lateral
- Skrining tanda dan gejala klinis
- Foto rontgen soft tissue leher AP dan Lateral
Ekstraksi benda asing dengan esofagoskopi kaku dalan narkose umum
7 Benda asing di Bronkus
- Skrining tanda dan gejala klinis
- Skrining tanda dan gejala klinis
Ekstraksi benda asing dengan
- Foto Thoraks - Foto thoraks bronkoskopi kaku dan atau bronkoskopi
lentur dalam narkose umum
8 Speech delayed
Skrining tanda dan gejala klinis
- Skrining tanda dan gejala klinis
- Pemeriksaan Brain Evoked Respon Audiometri ( BERA )
(Terlambat bicara)
- Pemeriksaan Emisi Otoakustik
- Pemeriksaan Auditory Steady State Respon
- Terapi Wicara
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
21
PENGELOLAAN PENYAKIT SYARAF (NEUROLOGI)
NO DIAGNOSIS
(RAWAT INAP) PPK 1 PPK 2 PPK 3
1 STROKE Perdarahan Intra Serebral
Skrining tanda serta gejala klinik
Diagnostik dan penanganan stroke PIS
Diagnostik dan penanganan stroke PIS disertai komplikasi inrakranial (TTIK) dan ekstrakanial (emboli paru, respiratory failure)
Penanganan sesuai guideline stroke → Rujuk ke PPK 1
Manitol 20% (antiedema), penanganan factor resiko, rehabilitasi (sesuai guideline stroke)
CT Scan kepala Terapi : antiedem, operatif atas indikasi, rehabilitasi
Pemeriksaan penunjang (EKG, Foto Thorax, profil lipid, pemeriksaan darah perifer lengkap)
Setelah lewat fase akut → rujuk balik
Setelah lewat fase akut → rujuk balik
Bila disertai tanda-tanda TTIK→ rujuk PPK 3
2 STROKE INFARK
Skrining tanda serta gejala klinik
Diagnostik dan penanganan stroke infark dengan komplikasi Pemeriksaan penunjang : EKG, Ro-Thorax, pemeriksaan darah perifer lengkap, faktor resiko (gula darah, profil lipid,asam urat)
Diagnostik dan penanganan stroke infark dengan komplikasi
neuroprotektan, antiplatelet agregasi, penanganan faktor resiko (sesuai guideline stroke)
Terapi: manitol 20%, anti platelet agregasi, antikoagulan atas indikasi, penanganan factor resiko dan komplikasi
Pemeriksaan penunjang (EKG, ,CT-scan kepala atas indikasi, USG karotis,Transcranial Doppler,Echocardiografi)
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
22
Bila ada komplikasi akut (intra dan ekstrakranial) atau ada tanda-tanda TTIK → Rujuk ke PPK 2
(sesuai guideline stroke) Terapi : manitol 20%, anti agregasi platelet, antikoagula atas indikasi, fisioterapi (sesuai guideline stroke) Perbaikan→ rujuk balik
FISIOTERAPI
Setelah lewat fase akut → rujuk balik
Bila komplikasi berat dan tidak tertangani → rujuk ke PPK 3
3 Meningitis serosa
Skrining tanda serta gejala klinik
Diagnostik dan penanganan Pemeriksaan Penunjang : LP, pemeriksaan darah rutin, kimia, elektrolit, sputum BTA, foto thorax
Diagnostik dan penanganan komplikasi meningitis
Rujuk ke PPK 2 Terapi (kortikosteroid, obat anti tuberkulosa)
Pemeriksaan penunjang : CT scan bila ada tanda-tanda TTIK, LP dengan pemeriksaan kultur Terapi sesuai diagnostik, dexamethason, operatif bila tanda-tanda TTIK akut
Setelah stabil rujuk ke PPK 1 untuk lanjutan OAT
Perbaikan→rujuk balik PPK 2
bila ada tanda-tanda TTIK atau perburukan klinis → rujuk ke PPK 3
4 Tetanus Skrining tanda serta gejala klinik
Therapi dan tindak lanjutan Tetanus grade II :
Tindakan lanjutan : tracheostomi Penanganan komplikasi tetanus (kejang tidak teratasi, disotonomi, pneumonia aspirasi , respiratory failure hebat, kardiomipati, fraktur kompresi)
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
23
Terapi Pendahuluan : debridement luka, ATS 10.000 u, TT 0,5 cc, Oksigen, diazepam injeksi, metronidazole 3x500mg antibiotic (tetrasiklin 4x500mg)→ Tetanus grade I
ATS/HTIG injeksi, TT (bila belum diberikan di PPK 1), EKG, Foto thorax
Perbaikan → rujuk balik
Tetanus grade II -V → Rujuk ke PPK 2
Terapi : metronidazole 3x500mg (14 hari), tetrasiklin 4x500 mg (10 hari), debidrement, diazepam injeksi)
Setelah perbaikan rujuk kembali ke PPK 1
Tetanus grade III-V → rujuk ke PPK 3
5 ENSEFALITIS Skrining tanda serta gejala klinik
Penegakkan Diagnosis : LP Penanganan komplikasi pada ensefalitis (status epileptikus), perlu perawatan ruang intensif
Penanganan kejang : diazepam injeksi
Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan darah, foto thorax, EEG,
Pemeriksaan penunjang : LP, EEG, CT Scan, pemeriksaan antigen -antibodi spesifik untuk virus
Antiviral (acyclovir) Therapi pemberian obat anti kejang, antiviral, antipiretik,
Perbaikan→rujuk balik
Therapi Simptomatis : untuk demam (parasetamol)
Kejang berulang sampai status → rujuk ke PPK 3
Rujuk ke PPK 2
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
24
6 MYELORADIKULOPATI
Skrining tanda serta gejala klinik
Penegakkan Diagnosis dan penatalaksanaan
Penegakan diagnostik dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang : Foto polos vertebra (bila belum dilakukan), MRI (atas indikasi), bone scanning (bila ada kecurigaan Ca metastasis)
Simptomatis : anti nyeri (Na diklofenak) dan tirah baring
Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan darah, foto thorax, foto vertebra, myelografi
Terapi : operatif, analgetik, fisioterapi
Rujuk ke PPK 2 Terapi : anti nyeri (Na diklofenak)
Rujuk ke PPK 3 Rujuk balik bila tidak mau operasi atau penanganan khusus
7 MYELOPATI Skrining tanda serta gejala klinik
Penegakkan Diagnosis dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang: foto polos vertebra, pemeriksaan darah, myelografi
Penegakan diagnostik dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang : Foto polos vertebra, MRI
Rujuk Ke PPK 2 Bila terdapat progresivitas → Rujuk Ke PPK 3
Terapi : operatif (sesuai indikasi)
8 RADIKULOPATI Skrining tanda serta gejala klinik
Penegakkan Diagnosis dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang: foto polos vertebra, pemeriksaan darah, EMG
Penegakan diagnostik dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang : Foto vertebra, EMG,MRI bila ada indikasi
Simptomatis : anti nyeri (Na diklofenak)
Terapi : operatif sesuai indikasi
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
25
Bila tidak ada perbaikan Rujuk ke PPK 1
Bila gejala defisit neurologis berat atau terapi simptomatis tidak ada perbaikan →rujuk ke PPK 3
9 STATUS EPILEPTIKUS
Diagnosa berdasarkan gejala klinis, tatalaksana serangan kejang akut (pemberian diazepam dan loading dose OAE) segera rujuk PPK 1
Penanganan status epileptikus, mencari etiologi.
Diagnostik status epileptikus (EEG, CT scan, MRI) Penanganan di ruang intensif Bila perbaikan dan kejang terkontrol → Rujuk balik PPK 2
Rujuk ke PPK 3 jika terjadi status epileptikus refrakter/yang memerlukan perawatan intensif (ICU), pemberian OAE
10 SOL ( Tumor Intrakranial dan infeksi intrakranial )
Diagnosa berdasarkan gejala klinis
Diagnostik dan penanganan lebih lanjut TTIK (gejala berupa penurunan kesadaran, muntah, nyeri kepala, papiledema)
Penanganan Subspesialistik (operatif, kemoterapi, radioterapi)
Penatalaksanaan : dexamethason dan ranitidine injeksi → Rujuk PPK 2
Pemeriksaan penunjang : foto polos tengkorak, CT Scan kepala dengan kontras
Pemeriksaan penunjang : PA
Jika perbaikan, rujuk kembali ke PPK 2
Rujuk ke PPK 3 jika memerlukan penegakkan diagnostic dan penanganan subspesialistik
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
26
NO DIAGNOSIS
(RAWAT JALAN)
PPK 1 PPK 2 PPK 3
1 Sequele Stroke Skrining tanda dan gejala klinis dan faktor resiko
Penanganan faktor resiko dan kecacatan (rehabilitasi)
-
Penanganan preventif stroke sekunder, faktor resiko, fisioterapi
Bila ada perbaikan fungsi → rujuk balik PPK 1
Sesuai guideline stroke
Bila deficit neurologis berat → rujuk ke PPK 2
2 Radikulopati Skrining tanda dan gejala klinis
Penegakkan Diagnosis dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang: foto polos vertebra,EMG bila alat tersedia, CT myelo sesuai indikasi, pemeriksaan darah
Penegakan diagnostik dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang : Foto vertebra, EMG,MRI bila ada indikasi
Simptomatis : anti nyeri (Na diklofenak), bila tdk ada perubahan rujuk ke PPK 2
Bila gejala defisit neurologis berat atau terapi simptomatis tidak ada perbaikan →rujuk ke PPK 3
Terapi : simptomatis dan causal, operatif sesuai indikasi
Bila ada red flag rujuk ke PPK 2
Bila ada gejala dan tanda red flag rujuk ke PPRK 3
3 CTS Skrining tanda dan gejala klinis
Diagnosa dan penanganan Penanganan dan diagnostic
Penanganan simptomatik analgetik, dan posisioning
EMG bila alat tersedia, USG carpal tunnel, mencari factor resiko
EMG
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
27
bila ada deficit neurologi → rujuk ke PPK 2
penanganan analgetik deksamethason injeksi fisioterapi
terapi medikamentosa operatif bila ada indikasi
bila nyeri teratasi → rujuk balik PPK 1
bila nyeri teratasi → rujuk balik PPK 2
bila deficit neurologi berat (atrofi) → rujuk ke PPK 3
4 Parkinson Skrining tanda dan gejala klinis
Diagnosa dan penanganan, mencari factor resiko
Diagnosa dan penanganan Parkinson
Rujuk ke PPK 2 Obat antiparkinson Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan darah untuk mencari faktor resiko
Bila gejala terkontrol → rujuk balik ke PPK 2
Bila gejala tidak teratasi atau efek samping obat → rujuk ke PPK 3
Parkinson sekunder → rujuk ke PPK 3
Bila ada perbaikan rujuk ke PPK 1
5 Nyeri kepala Skrining tanda dan gejala klinis, penegakkan diagnose berdasarkan guideline nyeri kepala perdossi
Diagnosa dan penanganan nyeri kepala primer
Diagnosa dan penanganan nyeri kepala
Bila nyeri kepala teratasi → rujuk balik PPK 1
Pemeriksaan CT Scan, MRI sesuai indikasi
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
28
Bila nyeri kepala tidak terkontrol, ada nyeri kepala sekunder dan terdapat tanda-tanda bahaya nyeri kepala (red flag) → rujuk ke PPK 2
Nyeri kepala dengan red flag → rujuk ke PPK 3
Penanganan nyeri kepala sekunder, operatif bila ada indikasi
Nyeri kepala sekunder periksa → konsul mata, THT, gigi dll sesuai kausal
Bila sudah tertangani → rujuk balik ke PPK 2
Bila teratasi → rujuk balik PPK 1
6 Epilepsi Skrining tanda dan gejala klinis, penegakkan diagnosa berdasarkan bangkitan
Diagnosa dan penanganan kejang pada epilepsi dan mencari etiologi
Diagnosa dan penanganan kejang
terapi sesuai guideline epilepsy perdossi
Pemeriksaan penunjang : EEG, pemeriksaan darah rutin, elektrolit, SGOT, SGPT
EEG, MRI
Bila kejang tidak terkontrol dengan 2 jenis obat antiepilepsi lini pertama → rujuk ke PPK 2
Terapi sesuai guideline epilepsy dengan kombinasi obat
Pemeriksaan darah rutin, elektrolit, SGOT, SGPT
Setelah kejang terkontrol → rujuk balik ke PPK 1
Terapi kombinasi obat lini pertama dan lini kedua sesuai guideline epilepsy
Bila kejang tidak terkontrol → rujuk ke 3
Bila kejang terkontrol → rujuk balik Ke PPK 2
7 Vertigo Skrining tanda dan gejala klinis
Diagnosa dan penanganan, mencari etiologi
Diagnosa dan penanganan
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
29
terapi simptomatik pemeriksaan factor resiko, CT Scan kepala bila alat tersedia,
MRI sesuai indikasi
Bila ada deficit neurologi dan progresif → Rujuk PPK 2 untuk mencari etiologi dan penanganan
konsul THT Tindakan operatif sesuai indikasi
Terapi simptomatik, fisioterapi
Terapi simptomatik, fisioterapi
Bila gejala tidak teratasi → rujuk ke PPK 3
bila gejala teratasi → rujuk balik ke PPK 2
8 Nyeri (termasuk nyeri punggung bawah)
Skrining tanda dan gejala klinis
Diagnosa dan penanganan serta mencari etiologi
Diagnosa dan penanganan
terapi simptomatik Penanganan nyeri : analgetik, fisioterapi
EMG, MRI sesuai indikasi
Bila ada tanda-tanda red flag LBP dan tanda radikuler → rujuk ke PPK 2
Pemeriksaan foto polos vertebra, EMG sesuai indikasi dan bila tersedia alatnya
Tindakan operatif sesuai indikasi
Analgetik, fisioterapi
Bila nyeri progresif dan belum teratasi dan terdapat tanda red flag → Rujuk ke PPK 3
Bila nyeri teratasi → rujuk balik ke PPK 2
9 Neuropati/ Polineuropati
Skrining tanda dan gejala klinis
Diagnosa dan penanganan, serta mencari etiologi
Penanganan dan diagnostic
terapi siimptomatik, mencari factor resiko
EMG bila alat tersedia EMG
terapi simptomatik dan penanganan factor resiko
terapi medikamentosa dan penanganan factor resiko
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
30
Bila gejala tidak teratasi, progresif → Rujuk ke PPK 2
Bila terdapat deficit neurologi atau gejala tidak teratasi → rujuk ke PPK 3
bila gejala teratasi → rujuk balik PPK 2
10 Meningitis (post perawatan)
Skrining tanda dan gejala klinis Lanjutkan terapi OAT
Diagnostik dan penanganan Pemeriksaan Penunjang : LP, pemeriksaan darah rutin, kimia, elektrolit, sputum BTA, foto thorax
Diagnostik dan penanganan komplikasi meningitis
Bila gejala klinis memburuk → Rujuk ke PPK 2
Terapi (kortikosteroid, obat anti tuberkulosa)
Pemeriksaan penunjang : CT scan bila ada tanda-tanda TTIK, LP dengan pemeriksaan kultur Terapi sesuai diagnostik, dexamethason, operatif bila tanda-tanda TTIK akut
Setelah stabil rujuk ke PPK 1 untuk lanjutan OAT
Perbaikan→rujuk balik PPK 2
bila ada tanda-tanda TTIK atau perburukan klinis → rujuk ke PPK 3
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
31
PENGELOLAAN PENYAKIT KULIT KELAMIN
No DIAGNOSIS PPK 1 PPK 2 PPK 3
1 Vitiligo Terapi topikal untuk tipe lokalisata Bila tidak responsif atau generalisata rujuk PPK 1
Terapi topikal Bila tidak responsif rujuk PPK 3
Terapi topical Fototerapi
2 Liken Simpleks Kronikus
Terapi topical
Sama dengan PPK 1 Konsul ke psikiater apabila faktor psikis dinyatakan sebagai penyebab
3. Psoriasis vulgaris
Umum: hindari faktor pencetus Khusus: Terapi topikal bila luas lesi < 5% Bila tidak responsif atau luas lesi > 5% rujuk PPK 2
Umum: hindari faktor pencetus Khusus: Terapi topikal Terapi sistemik Konsul ke bagian Gigi dan Mulut, THT-KL untuk penatalaksanaan faktor pencetus Bila terdapat komplikasi artritis konsul IPD Bila terdapat komplikasi eritroderma, psoriasis pustulosa rujuk PPK 3
Sama dengan PPK 2 ditambah fototerapi, biologic agents
4. Dermatitis Seboroik
Terapi topical Terapi sistemik Bila terdapat komplikasi eritroderma Rujuk PPK 2
Terapi topikal Terapi sistemik Bila tidak responsif rujuk PPK 3
Sama dengan PPK 2 ditambah penanganan komplikasi
5. Dermatitis Numularis
Terapi topical Terapi sistemik
Sama dengan PPK 1 Konsul ke bagian Gimul, THT-KL untuk penatalaksanaan infeksi fokal
Sama dengan PPK 2
6. Skabies Penyuluhan Terapi topikal Terapi sistemik
Sama dengan PPK 1 Sama dengan PPK 1
7. Tinea Kruris Menghilangkan faktor Terapi topikal Sama dengan PPK 2
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
32
predisposisi Terapi topikal Terapi sistemik Bila luas rujuk PPK 2
Terapi sistemik untuk lesi yang luas
8. Keloid Terapi topical Bila tidak responsif rujuk PPK 2
Terapi topikal Tindakan: injeksi kortikosteroid inralesi Bila tidak responsif rujuk PPK 3
Terapi topikal Tindakan injeksi kortikosteroid inralesi dapat dikombinasikan dengan bedah beku Eksisi dengan radioterapi
9. Xerosis Cutis Menghindari faktor-faktor yang menambah kekeringan kulit Terapi topikal: pelembab
Sama dengan PPK 1 Sama dengan PPK 1
10. Dermatitis Kontak Iritan
Menyarankan kepada penderita untuk menghindari bahan penyebab Menyarankan penderita untuk menggunakan pelindung seperti sarung tangan jika terpaksa harus kontak dengan bahan penyebab Terapi topikal Terapi sistemik Bila tidak responsif rujuk PPK 2
Sama dengan PPK 1 Bila tidak resposif rujuk PPK 3
Sama dengan PPK 1 Melakukan pemeriksaan untuk mengetahui bahan penyebab
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
33
PENGELOLAAN PENYAKIT MATA
NO DIAGNOSIS PPK 1 PPK 2 PPK 3
1. KONJUNGTIVITIS EVALUASI Riwayat
trauma/kelilipan, kontak dengan penderita mata merah, riwayat iritasi dan alergi/hipersensitivitas (udara, debu, obat, makanan dll)
Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen dan koreksi terbaik menggunakan pinhole.
Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk melihat, konjungtivabulbi dan tarsal, dan memastikan pada kornea tidak ditemukan kelainan akibat perdagangan konjungtiva.
Konjungtivitas bakteri bila ditemukan konjungtiva hiperemis, secret mukopurulen atau purulen, dapat disertai membrane atau pseudomembran pada konjungtiva tarsalis.
Konjungtivitis virus bila ditemukan konjungtiva hiperemis, secret
Sama dengan fasilitas primer
Pemeriksaan komposisi air mata dengan melakukan pemeriksaan Schirmer, BUT dan Ferning, uji anel melalui pungtum lakrimalis untuk menilai ada atau tidaknya sumbatan.
Pemeriksaan dengan slitlamp untuk menilai keadaan konjungtiva bulbi, tarsal, forniks dan kornea.
Melihat gambaran secret (mukoserosa, mukopurulen, purulen).
Melihat gambaran folikel, papil, membrane pada konjungtivitis tarsal superior dan inferior dan konjungtiva forniks
Melihat gambaran injeksi dan nodul pada konjungtivitis bulbi.
Memastikan tidak ditemukan kelainan pada kornea.
Melihat kelainan pada komposisi air mata, obstruksi kelenjar meibom.
Pemeriksaan swab secret dengan penawaran gram bila dicurangi infeksi bakteri, Giemsa bila dicurigai virus
Pemeriksaan kultur swab secret konjungtiva pada agar darah domba, agar tioglikolat, dan uji resistensi anti mikroba.
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
34
umumnya mukoserosa dan pembesaran kelenjar limfe preaurikuler.
Konjungtivitis alergi bila mempunyai riwayat alergi atau atopi dan ditemukan keluhan gatal, dan hiperemis konjungtiva.
Curigai Steven Johnson syndrome jika terjadi konjungtivitis pada kedua mata yang timbul seteleh minum atau mendapatkan terapi obat-obatan.
Curigai kojungtivitis gonore, terutama pada bayi baru lahir, jika ditemukan konjungtivitas pada dua mata dengan secret purulen yang sangat banyak.
PENATALAKSANAAN Berikan tetes mata
kloramfenikol (0,5% -1 %)6 kali sehari atau salep mata 3x sehari selama minimal 3 hari bila dicurigai infeksi bakteri.
Berikan salep anti virus jka sicurigai infeksi virus
Berikan tetes mata buatan 6 kali
Berikan obat tetes
mata antibiotik sprektum luas 6 kali sehari dan/atau salep mata 3 kali setiap bila dicurigai infeksi bakteri
Berikan salep mata antivirus asiklovir 5 kali sehari bila dicurigai infeksi virus.
Berikan tetes mata anti alergi (kromolin glikat)
Berikan tetes
antibiotika sesuai hasil gram atau kultur, 6 kali sehari atau salep mata 3 kali sehari bila infeksi bakteri
Berikan tetes antivirus sdoksuridin atau asiklovir bila infeksi virus.
Berikan tetes/salep mata antihistamin atau kortikosteroid bila
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
35
sehari bila dicurigai iritasi.
Pada steven Jhonson syndrome, diberikan tetes mata antiinlamasi (sterioid) dan air mata buatan/lubrikan kemudian rujuk ke fasilitas sekunder untuk mendapatkan penanganan lanjut dari bagian spesialis kulit.
Pada Konjungtivitis gonoro, pada bayi diberikan injeksi penilisin procain 50.000 IU/Kg bb/hari dan kloramfenikol tetes mata (0,5% -1,0%) tiap jam.Bila tidak tidak ada perbaikan dan atau terjadi komplikasi pada kornea, segera rujuk ke fasilitas sekunder dan tersier.
Bila tidak ada perbaikan dengan terapi dalam 1 minggu pada konjungtivitis bakteri, 2 minggu pada konjungtivitis virus dan alergi, segera rujuk ke fasilitas sekundrt atau tersier.
dan/atau anti inflamasi bila dicurigai reaksi alergi/hipersensitivitas
Berikan tetes /gel lubrikan atau air mata buatan bila ditemukan iritasi
Dicari factor predisposisi penyakit yaitu sistemik (diabetes mellitus, TBC, kondisi imunitas yang rendah, cacingan, kondisi immunocompromised).
Keadaan konjungtiva diperiksa 3 hari hingga sidapatkan perbaikan klinis, Bila tidak ada perbaikan, memburuk atau terjasi kompliksi dalam 1 bulan, dirujuk ke dokter mata konsultan Infeksi dan Imunologi atau fasilitas mata tersier.
ditemukan reaksi alergi atau hipersesitivitas.
Bila ditemukan kompliksi pada kornea, penatalaksanaan sesuai dengan penatalaksanaan keratitis/ulkus kornea
Pada Steven Jhonson syndrome, berikan terapi anti inflamasi (steroid) tropical dan lubrikan/air mata buatan, disertai terapi dari bagian spesialis kulit.
Pada konjungtivitis gonore, diberikan gentamisin/ciprofloxacin salep mata, injeksi ceftriaxon 1 gr single dose intravena, jika ada ulkus berikan ceftriaxon 1 gr intravena tiap 12 jam selama 3 hari.Bila alergi diberikan ciprofloxacin 500 mg oral 2 kali selama 5 hari. Pada bayi berikan gentamisin/ciprofloxacin salep mata injeksi ceftriaxon 25-50 mg/kg bb atau cefotaxim 100mg/kg bb interavena atau intramuskular.
Berikan tetes/ gel mata lubrikan dan air mata buatan bila ditemukan iritasi
Pemeriksaan klinis factor predisposisi local (dry eye, obstruksi duktus nasolakrimalis dll), dilanjutkan pentalaksanaan terhadap kelainan tersebut pemeriksaan laboraturium lengkap darah, urin, feses bila dicurigai predisposisi
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
36
penyakit sistemik. Berikan terapi
oral/parenteral sistemik bila ditemukan factor predisposisi sistemik sesuai hasil konsultsi bagian yang bersangkutan.
Keadaan konjungtiva di periksa tiap 3 hari hingga didapatkan perbaikan klinis dan evaluasi pengobatan terhadap factor predisposisi sistemik dan local
2 KERATITIS DAN ULKUS KORNEA
EVALUASI Riwayat trauma
(kelilipan, benda asing di kornea, khusus riwayat trauma tumbuh-tumbuhan atau pengunaan obat tetes mata tradisional yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dapat dicurigai disebabkan oleh jamur, penggunaan lensa kontak), pemakaian kortikosteroid topical.
Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu Snellen dan koreksi terbaik menggunakan pin-hole.
Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk melihat keadaan kornea
Riwayat trauma (kelilipan, benda asing di kornea, khusus riwayat trauma tumbuh-tumbuhan atau pengunaan obat tetes mata tradisional yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dapat dicurigai disebabkan oleh jamur, penggunaan lensa kontak), pemakaian kortikosteroid topical.
Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu Snellen dan koreksi terbaik menggunakan pin-hole.
Tekanan intraocular (TIO) diukur dengan cara palpasi
Pemeriksaan dengan slit lamp untuk menilai keadaan kornea dan segmen anterior lainnya :
Melihat gambaran secret (serosa, mukopurulen, purulen).
Bentuk ulkus (pungtata, filament, dendritik, geografik, oval, intersisial,dll)
Kedalaman ulkus (superficial, dalam, apakah ada kecenderuangan untuk
Riwayat trauma (kelilipan, benda asing di kornea, khusus riwayat trauma tumbuh-tumbuhan atau pengunaan obat tetes mata tradisional yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dapat dicurigai disebabkan oleh jamur, penggunaan lensa kontak), pemakaian kortikosteroid topical.
Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu Snellen dan koreksi terbaik menggunakan pin-hole.
Tekanan intraocular (TIO) diukur dengan cara palpasi
Pemeriksaan dengan slit lamp untuk menilai keadaan kornea dan segmenn anterior lainnya :
Melihat gambaran secret (serosa, mukopurulen, purulen).
Bentuk ulkus (pungtata, filament, dendritik, geografik, oval, intersisial,dll)
Kedalaman ulkus (superficial, dalam, apakah ada kecenderuangan untuk
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
37
PENATALAKSANAAN Berikan tetes. Salep
mata kloramfenikol (0,5-1%) enam kali sehari, atau salep mata tetrasiklin 3 kali sehari sekurang-kurangnya untuk 3 hari.
Jangan diberikan kombinasi antibiotika dengan obat yang mengandung kortikosteroid
Jang menggunakan obat-obat tradisional.
Segera rujuk ke spesialis mata apabila :
Tajam penglihatan awal buruk atau menurun setelah 3 hari pengobatan
Tampak lesi
perforasi (impending perforation) dan perforasi.
Pemeriksaan kerokan korea dengan penawaran Gram dan pemeriksaan langsung dengan KOH 10%
Pasien sebaiknya dirawat
apabila :
Lesi ulkus kornea mengancam penglihatan, mengancam perforasi.
Pasien dianggap kurang patuh utnuk pemberian obat tiap jam
Diperlukan follow up untuk menilai kebersihan terapi.
Apabila ditemukan gambaran ulkus kornea dendritik, geogradik atau stroma, dapat diberikan salep mata asiklovir 5 kali sehari atau tetes mata idoksuridin tiap jam.
Bila pada pemeriksaan kerokan kornea didapatkan hasil gram positif atau negative diberikan antibiotika tetes mata golongan
perforasi (impending perforation) dan perforasi.
Hipopion dapat ada atau tidak ada.
Lakukan foto keadan kornea dan segmen anterior lainnya.
Pemeriksaan kerokan kornea dengan pewarnaan Gram, Giemsa dan pemeriksaan langsung dengan KOH 10%
Pemeriksaan kultur kerokan kornea dengan agar darah domba, tioglikolat dan agar sabouraud dekstrosa.
Bila segmen posterior sulit dinilai, lakukan pemeriksaan ultrasonografi. Bila didapatkan adanya kekeruhan vitreus dan tanda-tanda endoftalmitis, lakukan prosedur endoftalmitis.
Pasien sebaiknya dirawat
apabila:
Lesi ulkus kornea mengancam penglihatan, mengancam perforasi.
Pasien dianggap kurang patuh utnuk pemberian obat tiap jam
Diperlukan follow up untuk menilai kebersihan terapi.
Apabila ditemukan gambaran ulkus kornea dendritik, geogradik atau stroma, dapat diberikan salep mata asiklovir 5 kali sehari atau tetes mata idoksuridin tiap jam.
Bila pada pemeriksaan kerokan kornea didapatkan hasil gram positif atau negative diberikan antibiotika tetes mata golongan
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
38
putih di kornea Tetap berikan
kloramfenikol tetes mata saat merujuk ke spesialis mata di fasilitasi sekunder dan tertier.
aminoglikosida (gentamisin ,dibekasin, tobramisin) dengan konsentrasi yang ditingkatkan (fortified)tiap jam atau golongan quinolone (sprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin) tiap 5 menit pada 1 jam pertama dilanjutkan tiap jam. Keadaan kornea diperiksa tiap hari hingga didapatkan adanya kemajuan pengobatan, yang kemudian frakuensi pemberian dapat dikurangi hingga 2 minggu.
Bila kerokan kornea didapatka hifa jamur (KOH positif), berikan tetes mata Natamisin 5 % tiap jam tiga kali sekali. Keadaan Korea diperiksa tiap hari hingga didapatkan adanya kemajuan pengobatan, yang kemudian frekuensi pemberian dapat dikurangi hingga 3-5 minggu.
Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah tetes mata sikloplegik dan anti –glaukoma apabila didapatkan peningkatan TIO. Pemberian analgetik apabila diperlukan.
Lakukan pemeriksaan gula darah puasa dan 2 jam setelah makan sebagai salah satu factor risiko ulkus kornea.
Rujuk ke spesialis mata konsultan infeksi dan imunologi mata atau klinik mata tersier apabila didapatkan :
Ulkus kornea yang terjadi pada pasien yang hanya mempunyai satu mata
Ulkus kornea pada anak-anak
Adanya
aminoglikosida (gentamisin ,dibekasin, tobramisin) dengan konsentrasi yang ditingkatkan (fortified)tiap jam atau golongan quinolone (sprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin) tiap 5 menit pada 1 jam pertama dilanjutkan tiap jam. Keadaan kornea diperiksa tiap hari hingga didapatkan adanya kemajuan pengobatan, yang kemudian frakuensi pemberian dapat dikurangi hingga 2 minggu.
Bila kerokan kornea didapatkan hifa jamur, diberikan tetes mata Natamisin 5% tiap jam dan salep mata Natamisin 5 % tiga kali sehari atau bila pasien mampu, berikan tetes mata amfoterisin B 0,15% tiap jam (tetes mata amfoterisin B 0,15% dapat dibuat dengan modifikasi sediaan bubuk untuk pemberian intravena). Keadaan kornea diperiksa tiap hari hingga didapatkan adanya kemajuan pengobatan yang kemusian frekuensi pemberian dapat dikurangi hingga 3-5 minggu.
Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah tetes mata sikloplegik dan anti –glaukoma apabila didapatkan peningkatan TIO. Pemberian analgetik apabila diperlukan.
Lakukan pemeriksaan gula darah puasa dan 2 jam setelah makan sebagai salah satu factor risiko ulkus kornea.
Tidakan Bedah:
Keratektomi superfinansial tanpa membuat perlukaan
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
39
kecenderungan untuk perforasi atau perforasi.
Kedurigaan ulkus kornea jamur, tetapi tidak mempunyai fasilitas pemeriksaan langsung KOH 10% atau pewarnaan jamur lainnya.
Tidak didapatnya kemajuan terapi setelah 3 hari pengobatan (ulkus kornea bakteri) atau 7 pengobatan (ulkus kornea jamur).
pada membrane Bowman dengan indikasi :
Keratitis virus epitelial
Erosi kornea rekuren
Keratektomi superfinansial hingga membran Bowman atau stroma anterior, dengan indikasi :
Untuk menegakkan diagnosis, terutama pada ulkus kornea jamur.
Menghilangkan materi infeksi, terutama jamur
Tarsorafi lateral atau medial , dengan indikasi :
Keratitis terpapar
Keratitis neuroparalitik
Tissue adhesive atau graft amnion multilayer, dengan indikasi : - Ulkus korena
dengan tissue loss berukuran kecil
- Perforasi kornea perifer berukuran kecil
Flap konjungtiva, dengan indikasi :
- Kecenderungan perforasi/descematocele
- Perforasi kornea di perifer
Patch graft dengan flap konjungtiva, dengan indikasi :
- Kecenderungan perforasi/descematocele
- Perforasi kornea di perifer
Keratoplasi tembus, dengan indikasi :
- Mempertahankan
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
40
integritas bola mata
- Mengganti jaringan kornea yang terinfeksi dengan donor kornea.
Fascia lata graft, dengan indikasi :
- Mempertahankan integritas bola mata, dimana sulit untuk mendapatkan donor kornea
3 GLAUKOMA KRONIS
EVALUASI Pemeriksaan tajam
penglihatan dengan kartu Snellen dengan koreksi terbaik dan pin-hole: biasanya tajam penglihatan masih baik.Pada stadium lanjut didapatkan koreksi tajam penglihtan tidak penuh dengan pupil melebar dan berwarna hitam.
Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup: gambaran bola mata tidak berbeda dengan gambaran mata normal. Pupil dapat terlihat midriasis dan reflex cahaya yang lambat.
Pemeriksaan funduskopi – rasio CD (Perbandingan antara lebar cekungan papil terhadap lebar papil N.II) sebesar 0,6 atau lebih.
Pemeriksaan tekanan intraocular dengan tonometer Schiotz : TIO 28 mm Hg (4,5/7,5) atau lebih.
Pemeriksaan lapang pandang dengan tes konfrontasi : menyempit.
Klafisikasi glaucoma berdasarkan pemeriksaan sudut bilik mata depan (gonioskopi) dibagi ke dalam glaucoma sudut terbuka dan glaucoma sudut tertutup. Berdasarkan etiologinya dibagi kedalam glaucoma sekunder. Glaucoma primer adalah glaucoma yang timbul dengan sendirinya pada orang yang mempunyai bakat bawaan glaucoma, sedangkan glaucoma sekunder adalah glaucoma yang timbul sebagai penyulit penyakit mata lain baik yang sedang maupun yang pernah diderita serta penyakit sistemik.
Glaukoma sudut terbuka primer (glaucoma kronis)
Glaukoma sudut terbuka primer adalah glaucoma primer yang ditandai sudut bilik mata depan yang terbuka, atrifi dan ekskavasi papil N.II serta lapang pandang karakteristik, yang bersifat progessif lambat, disebabkan oleh berbagai factor risiko, terutama TIO yang terlalu tinggi untuk kelangsungan
Klasifikasi glaucoma mirip dengan klasifikasi pada fasilitas sekunder.
Pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan kartu Snellen atau chart projector dengan koreksi dan pin-hole. Tajam penglihatan sentral sering masih baik walaupun penyakit sudah stadium lanjut.
Pemeriksaan dengan biomikroskopi : Gambaran bola mata tidak berbeda dengan gambaran mata normal. Pupil dapat terlihat midriasis dan reflex cahaya yang lambat. Bilik mata depan dalam dengan sudut bilik mata depan yang terbuka lebar pada glaucoma sudut terbuka primer. Bilik mata depan dangkal dan sudut bilik mata dengan sempit pada glaucoma sudut tertutup primer. Kelainan glaucoma jenis ini bersifat bilateral walaupun tidak selalu simetris pada kedua mata. Pada glaucoma sudut terbuka sekunder harus dicari factor penyebab.
Pemeriksaan sudut bilik mata depan dengan gonioskopi.
Pemeriksaan funduskopi : Gambar dan uruaikan papil
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
41
kesehatan mata. Glaukoma sudut terbuka
sekunder
Gambaran klinis yang mirip dengan glaucoma sudut terbuka primer antara lain adalah glaucoma pigmenter, glaucoma kortikosteroid, glaucoma pseudoeksfoliasi, glaucoma angle recess setelah trauma tumpul dan lain-lain.
Glaukoma kronis sudut tertutup primer
Glaukoma jenis ini adalah glaucoma primer yang ditandai dengan tertutupnya trabekulum oleh iris perifer secara perlahan.Bentuk primer berkembang pada mereka yang memiliki factor predisposisi anatomi berupa sudut bilik mata depan tergolong sempit.
Selain sudut bilik mata depan yang tertutup, gambaran klinisnya asimptomatis mirip glaucoma sudut terbuka primer. Glaukoma tersebut dapat pula berkembang dari bentuk intermiten,subakut atau merambat (creeping). Glaukoma jenis ini juga merupakan kelanjutan glaucoma akut sudut tertutup primer yang tidak mendapat pengobatan atau setelah mendapat pengobatan yang tidak sempurna atau setelah terapi iridektomi perifer/trabekulektomi (glaucoma residual).
saraf optik. Pemeriksaan tekanan
intraocular dengan tonometer Schiotz, tonometri aplanasi, tono-pen dan bila ada dengan tonometer non kontak.
Pemeriksaan lapang pandang dengan alat perimeter kinetic dan static baik manual maupun computer:bila memungkinkan dengan Octopus atau Humphrey.
Bila memungkinkan evaluasi papil saraf optic dan serabut saraf retina dengan alat diagnostic imaging seperti OCT (optical coherence tomography)dan HRT (Heidelberg retinal topography).
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
42
PENATALAKSANAAN Tekanan intra ocular
diturunkan dengan
Pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan kartu Snellen dengan koreksi dan pin-hole. Tajam penglihatan sentral sering masih baik walaupun penyakit sudah stadium lanjut.
Pemeriksaan dengan biomiksokopi : Gambaran bola mata tidak berbeda dengan gambaran mata normal. Pupil dapat terlihat midriasis dan reflex cahaya yang lambat.Bilik mata depan dalam dengan sudut bilik mata depan yang terbuka lebar pada glaucoma sudut terbuka primer. Bilik mata depan dangkal dan sudut bilik mata depan sempit pada glaucoma sudut tertutup primer. Kelainan glaucoma jenis ini bersifat bilateral walaupun tidak selalu simetris pada kedua mata. Pada glaucoma sudut terbuka sekunder harus dicari factor penyebab.
Pemeriksaan sudut bilik mata depan menggunakan teknik Van Herrick dan sebaliknya menggunakan gonioskopi.
Pemeriksaan funduskopi : terlihat atrofi papil glaukomatosa.
Pemeriksaan tekanan intraocular dengan tonometer Schiotz : TIO umumnya lebih dari 21 mm Hg.
Pemeriksaan lapang pandang dengan alat perimeter sederhana atau perimeter Goldmann : cacat lapang pandang galukomatosa.
1. GLAUKOMA SUDUT
TERBUKA PRIMER
1. GLAUKOMA SUDUT
TERBUKA PRIMER
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
43
obat-obatan secara bertahap berupa :
- Timolol 0,25% - 0,5% 2x 1 tetes/hari (bila tidak ada kontra indikasi)
- Pilokarpin 2% 4 x 1 tetes/hari
- Asetazolamind 3-4 x 125 – 250 mg/hari
- KCI 2-3 x 0,25 – 0,5 gr/hari
Obat-obatan prinsipnya dibeirkan secara sendiri-sendiri, tetapi dapat dikombinasikan tergantung dari sasaran TIO. Umumnya TIO diharapkan lebih rendah dari 21 mm Hg.
Oleh karena obat-obatan dibeirkan untuk jangka lama dan terus menerus. Sangat penting diperhatikan kepatuhan penderita dalam melaksanakan pengobatannya. Penerita dirujuk ke dokter spesialis mata, pelayanan tingkat sekunder atau tersier bila TIO tetap diatas 21mmHg, penderita tidak patuh, tidak tahan terhadap obat-obatan, dalam stadium lanjut glaucoma dan/atau utnuk menilai progresifitas penyakitnya.
Upaya pencegahan kebutaan akibat glaucoma memerlukan penyuluhan dan penjaringan glaucoma secara aktif di masyarakat, baik untuk
Tujuan pengobatan pada penderita yang terbukti menderita glaucoma sudut terbuka primer adalah mencegah berlanjutnya kerusakan papil saraf optic. Sampai saat ini belum ada criteria yang memuaskan untuk menetapkan tingkat TIO yang dapat diterapkan aman untuk mempertahankan keadaan lapang pandang bagi semua penderita. Ada yang menurukan 30% lebih rendah dari TIO awal. Adapula yang menetapkan target pressure dengan perhitungan khusus yang bersifat individual/mata.
a. Medikamentosa - Pemilihan obat
untuk pengobatan awal didasarkan pada penilaian mata penderita dan status kesehatan umum. Bila cacat lapang pandang belum lanjut atau TIO tidak terlalu tinggi maka terapi dapat dicoba pada satu mata lebih dahulu untuk menilai manfaat dan efek samping.
- Terapi medikamentosa bersifat monoterapi dimulai dengan timolol maleat (C.Timol) 0,25% - 0,5% satu sampai 2x sehari bila tidak ada kontraindikasi atau obat-obat baru yang lain (seperti glaupen,
Medika mentosa - Prinsip terapi mirip
dengan penanganan pada fasilitas sekunder, namun dapat pula menggunakan obat-obatan jenis terbaru, seperti :
Prostaglandin analog (Glaupen, Glauplus, Xalatan, Travatan)
Penghambat karbonik anhidrase topical (Dorzol, Azopt)
Alpha 2 agonist adrenergic
Terapi laser beurpa trabekuloplasti argon laser, trabekuloplasti laser selektif
Terapi bedah berupa trabekulektomi tanpa/atau dengan Mitomisin C/5-Fluorourasil, non penetrating filtering surgery, operasi drainase implant, siklodiatermi dan operasi kombinasi katarak dan glaukoma.
2. GLAUKOMA SUDUT TERBUKA SEKUNDER Cari faktor penyebab Medikamentosa
- Prostaglandin analog (Glaupen, Glauplus, Xalatan, Travatan)
- Penghambat karbonik anhidrase topical (Dorzol, Azopt).
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
44
penemuan kasus maupun deteksi dini.
glauplus, xalatan, travatan, dorzol, azopt). Bila dengan obat pertama keadaan TIO yang diharapkan belum tercapai tetapi obat tersebut dianggap berespon baik (mencapai nilai efektif farmakologis) dapat ditambahkan obat tetes lainnya, tetapi bila bila dianggap tidak efektif maka obat pertama diganti dengan obat lain, lalu penilaian diulang lagi. Bila dengan monoterapi atau kombinasi ternyata belum mencapai sasaran beurpa penurunan TIO yang tidak memuaskan atau tetap berlanjutnya kerusakan atau sejak awal tekanan lebih dari 30 mmHg maka dapat diberikan terapi sistematik dengan penghambat karbonik anhidrase. Obat ini biasanya dimulai dengan dosis 125 mg, 3 – 4 kali per hari. Bila efektivitas yang diharapkan belum tercapai, maka dosis ditingkatkan menjadi 250 mg tiap 6 jam atau 500 mg setiap 12 jam. Pada setiap pemberian obat asetazolamide harus disertakan pemberian obat preparat kalium
- Alpha 2 agonist adrenergic
Terapi laser berupa trabekuloplasti argon laser, trabekuloplasti laser selektif.
Terapi bedah berupa trabekulektomi tanpa/ atau dengan mitomisin C/5-Fluorourasil, non penetrating filtering surgery, operasi drainase impant, siklodiatermi dan operasi kombinasi katarak dan glaukoma.
3. GLAUKOMA KRONIS SUDUT TERTUTUP PRIMER Terapi
medikamentosa diberikan baik sebelum terapi definitive iridektomi perifer maupun setelahnya.
Tindakan bedah trabekulektomi bila TIO diatas 21 mmHg setelah tindakan iridektomi perifer dan medikamentosa
Tindakan bedah kombinasi trabekulektomi dan katarak bila ada indikasi keduanya.
Tindakan iridektomi perifer laser atau trabekuloplasti Pra dan setelah tindakan
diberikan alpha 2 agonis Pemberian anti inflamaasi
topical setelah tindakan selama 2-3 hari
Follow up tindakan laser setelah 1 hari, 1 minggu selanjutnya 4-8 minggu minggu setelah tindakan IP/trabekuloplasti laser.
Bila TIO naik pertimbangan pemberian medikamentosa atau tindakan trabekulektomi.
Minggu ke 8 lakukan
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
45
(KCL 0,5 gr) 2 -3 x, 0,25 – 0,5 gr per hari.
b. Tindakan bedah : - Bila dengan
pengobatan medikamentosa diatas belum memuaskan sebaiknya penerita dipertimbangkan untk dilakukan terapi bedah (trabekulektomi atau non penetrating filtering surgery) atau dikonfirmasikan untuk kemungkinan tindakan lain ke pelayanan tingkat tersier.
Instruksi bagi penderita : Dalam pengobatan
glaukoma penting sekali untuk memberikan instruksi pada penderita mengenai waktu dan pemakaian obat termasuk cara menekan daerah kantus internus untuk mencegah absorpsi sistemik obat tetes.Dokter harus merencanakan dan membicarakan saat dan jenis pengobatan dan meyakini bahwa nama obat dan jam pemberiannya ada tertulis di label botol. Tambahan pula pasien
harus diberitahu dengan kata-kata yang sederhana mengenai mekanisme terjasinya glaukoma, alasan dan tujuan pengobatan, cara berbagai obat bekerja dan efek samping yang mungkin terjadi, Hal ini perlu dalam upaya menjaga kepatuhan penderita dalam berobat. Pasien harus diyakinkan
perlunya pemeriksaan kontrol berkala seumur hidup mengenai TIO,
gonioskopi dan cek TIO. Perawatan setelah tindakan trabekulektomi Berikan kombinasi
antibiotic dan anti inflamasi topical serta antibiotic sistemik
Kontrol 1 hari pasca bedah
Kontrol 7-10 hari pasca bedah
Kontrol setiap minggu sampai 1 bulan
Kontrol tiap 4-6 bulan bila keadaan baik
Evaluasi dan follow up pasien glaukoma kronis Perhatikan ada tidaknya
progresfitas papil atrofi glaukomatosa
Fundudkopo,OCT,HRT : Evaluasi setiap 6- 12 bulan.
Perhatikan ada tidaknya pertambahan skotoma/kelainan lapang pandang dengan automatic perimeter setiap 6-12 bulan: Octopus,Humphrey
Lakukan Gonioskopi minimal setiap 3 bulan
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
46
penilaian papil N.II dan lapang pandang, serta penggunaan obat tetes yang benar/patuh seperti yang diinstruksikan kepadanya. Penderita sebaiknya
mengetahui nama dan konsentrasi obat yang sedang digunakan.Kartu pengenal tanda penderita glaukoma yang harus dibawa penderita mungkin ada manfaatnya.Penting pula pasien dan dokter lain yang merawatnya mengetahui efek samping, alergi dan kemungkinan keracunan obat glaukoma. Bila dengan
penatalaksanaan diatas masih juga menunjukkan kemunduran maka dirujuk ke tingkat tersier untuk dipelajari lebih lanjut. Keluarga langsung perlu
diikutsertakan dalam penatalaksanaan penderita
2. GLAUKOMA SUDUT
TERBUKA SEKUNDER Cari factor penyebab seperti yang tertulis di atas, kemudian tentukan : Medikamentosa Tindakan bedah :
- Iridektomi perifer - Trabekulektomi - Bedah
katarak/ekstraksi lensa.
3. GLAUKOMA KRONIS SUDUT
TERTUTUP PRIMER Tindakan bedah
iridektomi perifer pada kedua mata
Medikamentosa obat-obat glaucoma untuk menurunkan tekanan intraokular - Pilokarpin 2% 4 x
perhari. - Timolol 0,5 % 2 x
sehari. - Asetazolamid 2-3 x
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
47
250 mg sehari disertai dengan KCI 2-3 x 500mg
- Obat-obat baru seperti : Glaupen, Glauplus, Xalatan, Travatan, Dorzol, Azopt.
Tindakan bedah trabekulektomi, bila dengan tindakan iridektomi perifer dan obat-obatan tekanan intraocular masih diatas 21 mmHg.
4 KATARAK PADA PENDERITA DEWASA
EVALUASI Pemeriksaan visus
dengan kartu Snellen dengan koreksi terbaik serta menggunakan pin-hole
Pemeriksaandengan lampu senter dan lup untuk segmen anterior dimana tidak ditemukan kekeruhan kornea dan tampak refleks pupil yang masih baik.
Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan tonometer Schiotz.
Jika TIO dalalm batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil dengan tetes mata tropicamide 0.5%, setelah pupil cukup lebar dilakukan pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk melihat adanya kekeruhan lensa.
Pemeriksaan funduskopi dengan oftalmoskop langsung untuk melihat segmen posterior jika katarak masih tidak terlalu
Pemeriksaan visus dengan kartu snellen dengan koreksi terbaik serta mengunakan pin-hole.
Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior.
Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan tonometer Schiotz.
Jika TIO dalam batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil dengan tetes mata tropicamide 0.5%, setelah pupil cukup lebar dilakukan pemeriksaan dengan slit lamp melihat derajat kekeruhan lensa apakah sesuai dengan tajam penglihatan pasien.
Dilakukan pemeriksaan fundus dengan oftalmoskopi langsung atau pun tidak langsung.
Pemeriksaan visus dengan kartu Snellen atau chart projector dengan koreksi terbaik serta menggunakan pin-hole.
Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior.
Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan tonometer non-contact, aplanasi atau Schiotz
Jika TIO dalam batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil dengan tetes mata tropicamide 0.5%, setelah pupil cukup lebar dilakukan pemeriksaan dengan slit lamp melihat derajat kekeruhan lensa apakah sesuai dengan tajam penglihatan pasien.
Derajat katarak ditentukan sebagai berikut : a. Derajat 1 : Nukleus
lunak, biasanya visus masih lebih baik dari 6/12, tampak sedikit keruh dengan warna agak keputihan. Refleks fundus juga masih dengan mudah diperoleh dan usia pendirita juga biasanya kurang dari 50 tahun.
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
48
keruh
b. Derajat 2 : Nukleus dengan kekerasan ringan, tampak nukleus mulai sedikit berwarna kekuningan, visus biasanya antara 6/12 sampai 6/30. Refleks fundus juga masih mudah diperoleh dan katarak jenis ini paling sering memberikan gambaran seperti katarak subkapsularis posterior.
c. Derajat 3 : Nukleus dengan kekerasan medium, dimana nukleus tampak berwarna kuning disertai dengan kekeruhan korteks yang berwarna keabu-abuan. Visus biasanya antara 3/60 sampai 6/30.
d. Derajat 4 : Nukleus keras, dimana nukleus sudah berwarna kuning kecoklatan dan visus biasanya antara 3/60 sampai 1/60, dimana refleks fundus maupun keadaan fundus sudah sulit dinilai.
e. Derajat 5 : Nukleus sangat keras, nukleus sudah berwarna kecoklatan bahkan ada yang sampai berwarna agak kehitaman. Visus biasanya hanya 1/60 atau lebih jelek dan usia penderita sudah diatas 65 tahun. Katarak ini sangat keras dan disebut juga brunescent cataract atau black cataract.
Dilakukan pemeriksaan
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
49
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan
bersifat non bedah, dimana pasien dengan virus > 6/12 diberikan kacamata dengan koreksi terbaik.
Jika visus <6/12 atau sudah mengganggu untuk melakukan kegiatan sehari-hari berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi lain untuk opersai, pasien dirujuk ke dokter spesialis mata pada fasilitas sekunder atau tersier.
Penatalaksanaan bersifat
non bedah, dimana pasien dengan virus > 6/12 diberikan kacamata dengan koreksi terbaik.
Jika visus <6/12 atau sudah mengganggu untuk melakukan kegiatan sehari-hari berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi lain untuk opersi, dapat dilakukan operasi ECCE (Extra capsular cataract extraction)
Operasi katarak dilakukan menggunakan mikroskop operasi dan peralatan bedah mikro, dimana pasien dipersiapkan untuk implantasi lensa tanam (IOL : Intraocular lens)
Ukuran lensa tanam dihitung berdasarkan data keratometri serta menggunakan biometri A-scan, tetapi bisa juga berdasarkan anamnesis menggunakan IOL standar (power +20.00) dikurangi ukuran kacamta yang selama ini digunakan pasien.Misalnya jika pasien menggunakan kacamata S-6.00 dapat diberikan IOL power +14.00
Perhatikan juga rekomendasi tindakan bedah katarak.
fundus dengan oftalmoskopi langsung ataupun tidak langsung.
Penatalaksanaan bersifat
bedah, jika visus sudah mengganggu untuk melakukan kegiatan sehari-hari berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi lain untuk operasi.
Operasi katarak dilakukan menggunakan mikroskop operasi dan peralatan bedah mikro, pasien dipersiapkan untuk implantsi lensa tanam (I)L: intraocular lens)
Ukuran lensa tanam dihitung berdasarkan data keratometri serta menggunakan biometri A-scan.
Teknik bedah katarak menggunakan teknik manual ECCE atau pun fakoemulsifikasi dengan mempertimbangkan derajat katarak serta tingkat kemampuan ahli bedah
Operasi katarak hanya dilakukan jika visus sudah mengganggu kegiatan sehari-hari pasien dimana pasien berkesempatan melakukann diskusi dengan dokter mengenai alternative lain selain operasi,risiko operasi, serta perawatan pasca operasi.
Pasien mengisi surat izin tindakan medis (informed consent).
Setiap kali melakukan pemeriksaan pre –operasi mencakup hal-hal berikut : - Anamnesis riwayat
penyakit mata, penyakit lain ataupun alergi.
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
50
- Visus tanpa koreksi dengan Snellen serta refraksi terbaik.
- Pengukuran tekanan intraocular
- Penilaian fungsi pupil (reflex pupil).
- Pemeriksaan mata luar (external examination) dengan senter dan lup atau slit lamp bergantung fasilitas.
- Pemeriksaan fundus dengan dilatasi pupil
Dokter spesialis mata
yang akan melalukan operasi katarak sebaiknya memperhatikan persiapan pre- operasi sebagai berikut : - Memeriksa pasien
sebelum operasi. - Memberikan
infomasi kepada pasien mengenai resiko, keuntungan dan kerugian operasi serta harapan yang sewajarnya dari hasil operasi.
- Memperoleh surat izin tindakan medis (informed consent)
- Memastikan bahwa hasil keratometri dan biometri A Scan sesuai dengan mata yang akan dioperasi, jika pasien tersebut direncanakan implantasi lensa tanam.
- Menentukan kekuatan lensa tanam yang sesuai, jika pasien tersebut direncanakan untuk implantasi lensa tanam.
- Membuat rencana pembedahan (jenis anesthesia, penempatan sayatan dan konstruksi luka,
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
51
refraksi pasca operasi yang direncanakan serta jadwal pemeriksaan pasca bedah).
- Melakukan evalusi pre operasi diatas termsuk pemeriksaan laboraturium serta berdiskusi dengan pasien ataupun keluarga pasien yang dianggap lebih mengerti dan dapat bertindak atas nama pasien.
Operasi katarak bilateral ( operasi dilakukan pada kedua mata sekaligus secara beruntun) sangat tidak dianjurkan berkaitan dengan risiko pasca operasi (endoftalmitis) yang bisa berdampak kebutaan.Tetapi ada beberapa keadaan khusus yang bisa dijadikan alasan pembenaran dan keputusan tindakan operasi katarak bilateral ini harus dipikirkan sebaik-baiknya.
Operasi tidak boleh dilakukan pada keadaan sebagai berikut : - Pasien menolak
tindakan operasi - Pemberian kacamata
ataupun alat bantu penglihatan lainnya masih cukup memuaskan bagi pasien.
- Ada dugaan bahwa operasi tidak dapat meningkatkan penglihatan pasien pasca operasi.
- Kualitas hidup pasien belum terganggu dengan gangguan penglihatan yang dialaminya.
- Pasien tidak dapat menjalani operasi
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
52
katarak berkaitan dengan penyakit mata lain ataupun keadaan kesehatan akibat penyakit lainnya.
- Pasien tidak dapat memberikan surat izin tindakan medis yang sah secara hukum karena kurang pengertian ataupun kurang informasi.
- Pasien tidak dapat mengikuti petunjuk pengobatan pasca operasi.
Dokter spesialis mata
yang melakukan operasi ataupun staf dokter tersebut, berkewajiban mendidik, menjelaskan dan member instruksi kepada pasien mengenai gejala ataupun tanda-tanda mengenai kemungkinan terjadinya komplikasi pasca operasi, penggunaan proteksi mata, adanya pembatas kegiatan, pengobatan, jadwal kunjungan lanjutan (follow up) dan petunjuk dimana harus mendapatkan perawatan darurat jika diperlukan. Dokter spesialis mata/staf juga menerangkan mengenai tanggung jwab pasien untuk mengikuti petunjuk yang harus dilakukan selama perawatan pasca operasi dan pasien harus segera menghubungi dokter tersebut jika mengalami masalah.
Pemriksaan lanjutan pasca operasi (follow up) : - Frekuensi
pemerksaan pasca bedah ditentukan berdasarkan tingkat pencapaian visus
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
53
optimal yang diharapkan.
- Pada pasien dengan risiko tinggi, seperti pada pasien dengan satu mata, mengalami komplikasi intra –operasi atau ada riwayat penyakit mata lain sebelumnya seperti uveitis, glaukoma dan lain-lain, maka pemeriksaan harus dilakukan harus satu hari setelah operasi.
- Pada pasien yang dianggap tidak bermasalah baik keadaan pre-operasi maupun intra operasi serta diduga tidak akan mengalami komplikasi lainnya maka dapat mengikuti petunjuk pemeriksaan lanjutan (follow up) sebagai berikut: Kunjungan
pertama: dijadwalkan dalam waktu 48 jam setelah operasi (untuk mendeteksi dan mengatasi komplikasi dini seperti kebocoran luka yang menyebabkan bilik mata dangkal,hipotonus, peningkatan tekanan intraocular, edema kornea ataupun tanda-tanda peradangan.
Kunjungan kedua
: dijadwalwak
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
54
pada hari ke 4-7 setelah operasi jika tidak dijumpai masalah pada kunjungan pertama, yaitu untuk mendeteksi dan mengatasi kemungkinan endoftalmitis yang paling sering terjadi pada minggu pertama pasca operasi.
Kunjungan
ketiga: dijadwalkan sesuai dengan kebutuhan pasien dimana bertujuan untuk memberikan kacamata sesuai dengan refraksi terbaik yang diharapkan.
- Obat-obat yang digunakan pasien pasca operasi bergantng dari keadaan mata serta disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pasien (misalnya analgetika, antibiotika oral, anti glaukoma atau edema kornea, dan lain-lain). Tetapi penggunaan tetes mata kombinasi antibiotika dan steroid harus diberikan kepada pasien untuk digunakan setiap hari selama minimal 2 minggu pasca operasi.
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
55
5 PTERYGIUM EVALUASI Pemeriksaan cukup
dengan lup dan lampu senter, diperiksa segmen anterior serta ditentukan derajat pertumbuhan pterygium
Tajam penglihatan penderita diperiksa dengan Snellen
Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan tonometer Schiotz untuk memastikan tidak ada penyakit penyerta lainnya (glaukoma). Pada pterygium derajat 4 yang tidak dapat diukur dengan tonometer Schiotz, perkiraan TIO diperiksa dengan cara palpasi digital (dengan jari tangan).
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan
bersifat non bedah, penderita diberi penyuluhan untuk mengurahi iritasi maupun paparan terhadap ultra – violet.
Pada pterygium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotic dan steroid seperti C-Xitrol 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan TIO yang tinggi
Pemeriksaan dengan slit lamp, diperiksa segment anterior serta ditentukan derajat pertumbuhan pterygium
Tajam penglihatan penderita diperiksa dengan kartu Snellen, lalu dikoreksi dengan menggunakan trial frame.
Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan tonometer Schiiotz untuk memastikan tidak ada penyakit penyerta lainnya. Pada pterygium derajat 4 yang tidak dapat diukur dengan tonometer Schiotz, perkiraan TIO diperiksa dengan cara palpasi digital (dengan jari tangan).
Penatalaksanaan
bersifatnon bedah pada pterygium derajat 1 dan 2, yaitu edukasi terhadap pasien untuk mengurangi iritasi dan paparan ultra –violet. Jika pterygium mengalami inflamasi, dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotic dan steroid sepertiC- Xitrol 3 kali selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan TIO yang tinggi ataupun mengalami kelainan kornea.
Pada pterygium derajat 3 dan 4, dilakukan tindakan bedah berupa avulsi (pengangkatan)
Pemeriksaan dengan slit lamp, diperiksa segment anterior serta ditentukan derajat pertumbuhan pterygium.
Tajam penglihatan penderita diperiksa dengan kartu Snellen, lalu dikoreksi dengan menggunakan trial frame.
Astigmatisme kornea diperiksa dengan keratometer baik secara manual maupun menggunakan alat auto-refrakto-keratometer
Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan cara aplanasi ataupun menggunakan tonometer non kontak.
Penatalaksanaan pada
fasilitas tersier bersifat bedah dengan memperhatikan tujuan utama dari pengangkatan dari pterygium, yaitu:
Teknik operasi yang dianjurkan adalah dengan avulse pterygium disertai cangkok konjungtiva (conjunctival limbal graft) Penggunaan Mitomycin C sebaiknya hanya pada untuk penanganan kasus pterygium yang rekuren, mengingat komplikasi dari mitomycin C yang cukup berat.
Sebagai perbandingan angka kekambuhan pasca pengangkatan pterygium dapat dilihat dari berbagai
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
56
ataupun mengalami kelainan kornea.
pterygium. Sedapat mungkin setelah avulse pterygium maka bagian konjungtiva bekas pterygiumtersebut ditutupi dengan cangkok kongjungtiva yang diambil dari bagian kanjungtiva superior untuk menurunkan angka kekambuhan.
laporan sebagai berikut. TECHNIQUE RECURENCE RATE Bare Sclera 61 % (Tan et al) 40% (Figuiredo et al) Conjunctival Graft 18% (Wong et al) 25,9% (Mabar et al) Conjuctival Limbal Graft 14,6% (Mutlu et al) Intra-Operative Mitomycin C 5,8% (Helal et al) Amniotic Membrane 10,9%(Prabhasawat et al) Transplantation 3% (Solomon et al)
6 KELAINAN REFRAKSI PADA ANAK
EVALUASI
Mengenali gejala dan tanda pada masing-masing kelainan refraksi sesuai usia. Usia biasanya dibagi menjadi 3 kelompok yaitu usia < 2 thn, usia prasekolah (2-5 thn), dan usia sekolah.
Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan umur (kelompok non verbal dengan pemeriksaan fiksasi, simbol chart, E Chart dan kelompok verbal dengan Snellen chart)
Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup
Mengenali gejala dan tanda pada msing-masing kelainan refraksi sesuai dengan umur usia. Usia biasanya dibagi menjadi 3 kelompok yaitu usia < 2 thn, usia prasekolah (2-5 thn), dan usia sekolah.
Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
Pemeriksaan status refraksi dengan pemeriksaan objektif strek retinoskopi pada pupil lebar untuk kelompok usia >2 thn dan kelompok usia prasekolah.
Pemeriksaan refraksi subjektif pada kelompok usia prasekolah dan kelompok usia sekolah.
Pemeriksaan segmen anterior dengan lup,senter dan slit lamp
Pemeriksaan segmen
Mengenali gejala dan tanda pada msing-masing kelainan refraksi sesuai dengan umur usia. Usia biasanya dibagi menjadi 3 kelompok yaitu usia < 2 thn, usia prasekolah (2-5 thn), dan usia sekolah.
Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
Pemeriksaan status refraksi dengan pemeriksaan objektif strek retinoskopi pada pupil lebar untuk kelompok usia >2 thn dan kelompok usia prasekolah.
Pemeriksaan refraksi subjektif pada kelompok usia prasekolah dan kelompok usia sekolah.
Pemeriksaan segmen anterior dengan lup,senter dan slit lamp
Pemeriksaan segmen
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
57
Pemeriksaan funduskopi kedua mata dengan oftalmoskopi direk, dengan sebelumnya dilakukan dilatasi pupil dengan tropicamide 0.5%
PENATALAKSANAAN Koreksi kelainan
refraksi pada kelompok usia sekolah bila pada pemeriksaan subjektif virus mencapai 6/6.
Rujuk ke fasilitas sekunder bila: - Pada kelompok
usia sekolah visus dengan koreksi tidak mencapai 6/6
- Pada kelompok usia <2tahun dan kelompok usia prasekolah didapatkan tanda dan gejala kelainan refraksi dan kemampuan penglihatan tidak sesuai dengan umur
- Dijumpai kelainan posisi bola mata (kelainan refraksi + mata juling)
posterior dengan oftalmoskop direk.
Pemeriksaan kemungkinan ambliopia dan atau mata juling.
Koresi kelainan refraksi
pada semua kelompok harus berdasarkan pertimbangan : besarnya kelainan rekraksi cukup mengganggu aktivitas: kemampuan akomodasi pasien :. Kebutuhan tajam penlihatan sesuai umur; resiko yang timbul akibat adanya kelainan refraksi.
Rujuk ke TEC bila dijumpai
ambliopia dan/ atau mata juling.
posterior dengan oftalmoskop direk.
Mendeteksi adanya faktor-faktor ambliopia.
Koreksi kelainan refraksi pada semua kelompok umur harus berdasarkan pertimbangan :
Apakah besarnya kelainan refraksi cukup mengganggu aktifitas
Kemampuan akomodasi pasien.
Kebutuhan tajam penglihatan sesuai umur
Resiko yang timbul akibat adanya kelainan refraksi
Penatalaksanaan amblipio
dan akomodatif esotropia Koreksi (tindakan)sisa
esotropia pada kasus akomodatif esotropia setelah koreksi kaca mata diberikan
7 STRABISMUS EVALUASI Pemeriksaan visus
dilakukan sesuai
Pemeriksaan visus dilakukan sesuai
Pemeriksaan visus dilakukan sesuai
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
58
keadaan. Bila penderita adalah bayi, pemeriksaan visus secara subyektif belum dapat dilakukan, hanya dapat dilakukan dengan memperlihatkan sesuatu yang berwarna-warni di depan wajah bayi tersebut bila penderita anak yang sudah lebih besar pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan masing-maisng anak, demikian pula yang dewasa.
Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk segmen anterior, dinilai bagaimana keadaan kornea, iris/pupil termasuk reflek pupil dan lensa.
Dilakukan penilaian pergerakan bola mata untuk melihat ada tidaknya hambatan pergerakan bola mata.
Penetuan kedudukan bola mata dengan cara Hirschberg.
Funduskopi dengan oftalmoskop direk.
PENATALAKSANAAN Rujuk ke fasilitas
sekunder
keadaan. Bila penderita adalah bayi, pemeriksaan visus secara subyektif belum dapat dilakukan, hanya dapat dilakukan dengan memperlihatkan sesuatu yang berwarna-warni di depan wajah bayi tersebut bila penderita anak yang sudah lebih besar pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan masing-masing anak, demikian pula yang dewasa.
Dilakukan refraksi objektif dengan streak retinoskopy dalam sikloplegi
Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior, dinilai keadaan kornea, iris pupil termasuk reflek pupil dan lensa.
Dilakukan funduskopi dengan oftalmoskup direk/indirek untuk melihat segmen posterior
Dilakukan penilaian pergerakan bola mata.
Penetuan kedudukan bola mata dengan cara Hirschberg, cover-uncover test dan Alternate Cover Test (ACT)
Bila terdapat kelainan
rekraksi, koreksi dengan kaca mata yang sesuai
Bila terdapat ambliopia, lakukan terapi ambliopia dengan patching mata yang dominan dengan terlebih dahulu koreksi
keadaan. Bila penderita adalah bayi, pemeriksaan visus secara subyektif dengan cara Central, Steady, Maintain (CSM), bila penderita anak yang sudah lebih besar pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan masing-masing anak, demikian pula yang dewasa.
Dilakukan refraksi objektif dengan streak retinoskopy dalam sikloplegi
Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior, dinilai keadaan kornea, iris pupil dan lensa.
Dilakukan funduskopi dengan oftalmoskup direk/indirek untuk melihat segmen posterior
Dilakukan penilaian pergerakan bola mata.
Penetuan kedudukan bola mata dengan cara Hirschberg, Krimsky, Alternate Cover Test (ACT) / Prism Cover Test (PCT)
Ukur deviasi jauh dan dekat serta dinilai ada tidaknya A&V pattern. Demikian pula harus dilakukan pemeriksaan deviasi dengan dan tanpa koreksi kaca mata kalau terdapat kelainan refraksi. Bila dicurigai ada simulated divergence excees perlu dilakukan pemeriksaan sudut deviasi setelah oklusi paling sedikit 1 jam pada salah satu mata.
Penilaian status sensoris
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
59
kelainan refraksi. Bila dengan pemberian
kaca mata tidak ada perbaikan pada deviasinya maka dirujuk ke fasilitas kesehatan tertier untuk dilakukan penatalaksanaan selanjutnya.
Bila terdapat kelainan
refraksi, berikan koreksi terbaik.
Bila ambliopia, lakukan terapi ambliopia dengan patching mata yang dominan.
Bila dengan koreksi kelainan refraksi, tetap ekstropia, lakukan operasi.
Jenis operasi yang dilakukan disesuaikan dengan diagnosis dan pola deviasi yang ada dan keadaan visus masing-masing mata.
Bila tipe Divergence Excess dapat dilakukan reses rektus lateral pada kedua mata.
Bila tipe Basik dan bila visus salah satu mata tidak baik, dapat dilakukan reses –resek pada mata yang tidakk dominan atau yang visusnya lebih buruk
Bila tipe convergence insufficiency dapat dilakukan resek rektus medieus.
8 TUMOR ORBITA
EVALUASI
Identitas : umur (anak, dewasa muda, dan tua)
Anamnesis (mata menonjol/benjolan atau ulkus dikelopak mata dan putih mata, lama gejala, penglihatan ganda, rasa nyeri, dan penurunan visus).
Pemeriksaan mata tanpa slitlamp :
- Terlihat adanya benjolan/ulkus di palpebra-konjungtiva dengan
Identitas : umur (anak, dewasa muda, dan tua)
Anamnesis (mata menonjol/benjolan atau ulkus dikelopak mata dan putih mata, lama gejala, penglihatan ganda, rasa nyeri, dan penurunan visus).
Pemeriksaan mata dengan/ tanpa slitlamp : - Terlihat adanya
benjolan/ulkus di palpebra-konjungtiva dengan permukaan berbenjol-benjol pada usia tua, tidak
Identitas : umur (anak,
dewasa muda, dan tua) Anamnesis (mata
menonjol/benjolan atau ulkus dikelopak mata dan putih mata, lama gejala, penglihatan ganda, rasa nyeri, dan penurunan visus).
Pemeriksaan mata dengan/ tanpa slitlamp, sama dengan pelayanan kesehatan sekunder atau pun primer.
Pemeriksaan orbita : - Pengukuran
besarnya proptosis dengan alat Hertel.
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
60
permukaan berbenjol-benjol pada usia tua, tidak menyembuh dengan pengobatan antibiotika, dengan lama gejala yang khronis-diagnosis tumor ganas epitel adneksa (basalioma;karsinoma sel skuamosa; adenokarsinoma kelenjar Meibom; atau melanoma maligna).
- Teraba massa di orbita dengan lokasi tertentu, menunjukkan lebar fisura yang melebar, gejala dirasakan lebih dari 1 tahun, dan usia dewasa muda – diagnosis tumor primer orbita jinak.
- Adanya keluhan rasa nyeri disertai tanda meradang di sekitar massa tumor, gejala dirasakan akut (kurang 1 tahun), dan umur tua – diagnosis tumor primer orbita ganas. Jika gejala diderita oleh semua umur dapat dipikirkan
menyembuh dengan pengobatan antibiotika, dengan lama gejala yang khronis-diagnosis tumor ganas epitel adneksa (basalioma;karsinoma sel skuamosa; adenokarsinoma kelenjar Meibom; atau melanoma maligna).
- Teraba massa di orbita dengan lokasi tertentu, menunjukkan lebar fisura yang melebar, dengan lama gejala lebih dari 1 tahun, dan usia dewasa muda – diagnosis tumor primer orbita jinak.
- Adanya keluhan rasa nyeri disertai tanda meradang di sekitar massa tumor, gejala dirasakan akut (kurang 1 tahun), dan umur tua – diagnosis tumor primer orbita ganas. Jika gejala diderita oleh semua umur dapat dipikirkan suatu proses inflamasi.
Pemeriksaan orbita : - Pengukuran adanya
proptosis dengan menggunakan alat Hertel atau penggaris di kantus lateral ke ujung kornea.
Pemeriksaan penunjang radiologi : - Foto orbita baku –
pada tumor primer orbita jinak diharapkan gambaran perselubungan, phlebolith, atau pembesaran rongga
- Arah terdorongnya bola mata : bola mata ke nasal bawah: Massa temporal atas (kelenjar lakrimal) usia muda, pertumbuhan lambat :benign mixed tumor usia muda/tua,pertumbuhan cepat : adenoid kistik karsinoma atau keganasan lain bola mata ke inferior: massa berada di superior – umumnya neurilemmoma atau kista dermoid bola mata terdorong infero-temporal : massa berada di nasal tumor berasal sinus frontal, dapat mukokel atau keganasan dari epitel sinus (karsinoma sel skuamosa) bola mata terdorong aksial : massa berada di konus – umumnya tumor dari saraf optik terutama pada penderita berusia muda, antara lain glioma, meningioma, dan dapat hemangioma kavernosa bola mata terdorong ke superior : massa berasal dari inferior kebanyakan tumor ganas berasal dari sinus maksila atau jaringan penunjang.
- Kuadran lokasi
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
61
suatu proses inflamasi.
orbita, pada tumor primer orbita ganas dan metastasis/invasi diharapkan gambaran destruksi tulang.
Pemeriksaan patologi anatomi : - Benjolan/ulkus
dipalpebra-konjungtiva yang meragukan keganasan dapat dilakukan biopsi eksisi/insisi untuk spesimen pemeriksaan patologi anatomi.
- Massa orbita yang mudah teraba dapat dilakukan tindakan biopsi insisi sebagai bahan spesimen pemeriksaan patologi anatomi.
massa berada berlawanan dengan arah terdorongnya bola mata tumor sesuai dengan jaringan/organ yang berada di kuadran tersebut
- Gangguan gerak bola partial, tempat hambatan menunjukkan lokasi tumor (kuadran lokasi)
- Pemeriksaan pulsasi : bila posifit - tumor dapat berupa neurofibroma atau jika diketahui didahului trauma/hipertensi pada orang tua dapat diferensiasi dengan arteri-vena fistula.
- Jika tumor dapat diraba, dinilai kekenyalannya. Jika teraba lunak dapat diduga tumor bersifat jinak, tetapi jika keras kenyal dapat dicurigai tumor bersifat ganas.
Pemeriksaan penunjang radiologi :
- Ultrasonografi : pemeriksaan tidak invasif, penilaian lebih dititik beratkan pada ada tidaknya tumor dan refleks tumor. Pemeriksaan USG sukar untuk mendiferensiasikan jenis tumor.
- CT-scan : pemeriksaan ini cukup untuk mendiagnosis tumor orbita serta membantu untuk
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
62
PENATALAKSANAAN Jika dicurigai tumor
jinak dan diagnosis dibuat pseudotumor dapat diberikan pengobatan steroid oral, seperti prednisone dosis tinggi 12-16 tablet (2mg perKgBB) setiap hari selama dua minggu, kemudian diturunkan secara bertahap. Jika tidak berhasil sebaiknya penderita dirujuk.
Pada tumor epitel adneksa, berukuran kecil dan diduga jinak, dapat dilakukan ekstripasi dengan meninggalkan jaringan sehat.Pada tumor epitel yang
Jika dicurigai tumor jinak
dan diagnosis dibuat pseudotumor dapat diberikan pengobatan steroid oral, seperti prednisone dosis tinggal 12-16 tablet (12mg perKgBB) setiap hari selama dua minggu, kemudian diturunkan secara bertahap. Jika tidak berhasil sebaiknya dirujuk untuk ekspolari lanjut.
Pada tumor epitel adneksa, berukuran kecil dan diduga jinak, dapat dilakukan ekstripasi dengan meninggalkan jaringan sehat.Pada tumor epitel yang dicurigai ganas dapat dilakukan eksisi dengan memperhatikan jaringan sehat yang ditinggalkan. Pemeriksaan dilanjutkan
penentuan penatalaksanaan selanjutnya. Untuk membedakan sifat tumor, jinak atau ganas dengan menilai batas tumor.
- Pemeriksaan MRI dan arteriografi pada kasus khusus yang mencurigai fistula atau ingin mengetahui tumor berasal dari saraf optik.
Pemeriksaan Laboratorium :
- Pemeriksaan ini sangat membantu dalam membedakan sifat ganas tumor. Akan tetapi pemeriksaan penanda ganas tidak ada yang spesifik untuk tumor orbita, tetapi dengan penanda ganas asam sialat menunjukkan nilai kadar yang berbeda bermakna.
Pemeriksaan fisik : untuk mencari adanya keganasan atau metastasis.
Pemeriksaan patologi anatomi :
- Benjolan/ulkus dipalpebra-komjungtiva yang meragukan keganasan dapat dilakukan biopsi eksisi untuk spesimen pemeriksaan patologi anatomi.
- Massa orbita yang mudah teraba dapat dilakukan tindakan biopsi
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
63
dicurigai ganas dapat dilakukan eksisi dengan memperhatikan jaringan sehat yang ditinggalkan.Pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan patologi jaringan tumor. Jika diagnosis meragukan, sebaiknya dirujuk.
Jika meragukan melakukan tindakan, terutama pada tumor orbita, baik jinak, ganas ataupun metastasis/invasi sebaiknya langsung dirujuk.
dengan pemeriksaan patologi jaringan tumor.Jika diagnosis meragukan, sebaiknya dirujuk.
Jika meragukan melakukan tindakan, terutama pada tumor orbita, baik jinak, ganas ataupun metastasis/invasi sebaiknya langsung dirujuk. Jika memungkinkan dapat dilakukan tindakan biopsy insisi untuk pemeriksaan patologi.
Penatalaksanaan selanjutnya dapat dirujuk untuk tindakan pembedahan, radiasi, ataupun sitostatika.
insisi sebagai bahan spesimen pemeriksaan patologi anatomi, kecuali bila lokasi di daerah kelenjar lakrimal.
Jika dicurigai tumor jinak dan diagnosis dibuat pseudotumor dapat diberikan pengobatan steroid oral, seperti prednisone dosis tinggal 12-16 tablet (12mg perKgBB) setiap hari selama dua minggu, kemudian diturunkan secara bertahap. Jika tidak berhasil dapat diberikan sitostatika single agent seperti chlorambucil dengan pengawasan ahli hematologi.
Pada tumor epitel adneksa, berukuran kecil dan diduga jinak, dapat dilakukan ekstripasi dengan meninggalkan jaringan sehat.Pada tumor epitel yang dicurigai ganas dapat dilakukan eksisi dengan memperhatikan jaringan sehat yang ditinggalkan. Pada tumor yang lebih luas, eksisi dengan rekonstruksi. Pada tumor yang lanjut dan telah berinvasi ke orbita dilakukan tindakan pembedahan radikal eksenterasi orbita. Pengobatan tambahan radiasi atau sitostatika dapat diberikan. Pada tumor konjungtiva, karsinoma sel skuamosa stadium 1 setelah ektirpasi tumor dapat dilanjutkan dengan pemberian sitostatika local seperti tetes mata mitomycin. Pemeriksaan patologi jaringan tumor
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
64
harus dilakukan. Pada tumor orbita, baik
jinak, ganas, ataupun metastasis/invasi sebaiknya dilakukan tindakan biopsy insisi untuk pemeriksaan patologi. Penatalaksanaan sebelumnya dengan melakukan pemeriksaan penunjang, terutama CT-scan untuk mengetahui dengan tepat lokasi tumor.
Selanjutnya dapat dilakukan pembedahan, jenis pembedahan sesuai dengan lokasi dan jenis tumor. Pemberian terapi tambahan radiasi dan sitostatika dapat diberikan sesuai kebutuhan dan sesuai dengan patogenesa jenis tumor, dengan kerjasama antar disiplin.
9 DIABETIK RETINOPATI
EVALUASI
Anamnesia semua penderita diabetes mengenai keluhan penglihatan.
Pemeriksaan visus dengan Snelen chart
Pemeriksaan tekanan bola mata dengan tonometer Schiozt
Pemeriksaan refleks cahaya pada pupil baik langsung maupun tak langsung
Pemeriksaan funduskopi dengan menggunakan ophhalmoscope direk, apakah ada perdarahan, eksudat atau kekeruhan
Pemeriksaan mata dasar yang meliputi visus, tekanan bola mata, kedudukan bola mata, pergerakan bola mata, segmen anterior dan segmen posterior.
Pemeriksaan segmen anterior dengan menggunakan slit lamp untuk melihat apakah ada epiteliopati kornea, flare dan sel di BMD, RAPD, neovaskularisasi iris, tingkat kekeruhan lensa, kekeruhan vitreus.
Pemeriksaan segmen posterior dengan menggunakan oftalmoskop indirek, untuk melihat kekeruhan vitreus karena perdarahan atau adanya jaringan fibro-vaskular, perdarahan retina, eksudat, pelebaran
Fundus Fluorocence Angiography (FFA), dilakukan apabila ada indikasi.
USG, bila terdapat kekeruhan media dan fundus tidak tembus.
ERG
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
65
vitreus. PENATALAKSANAAN Seleksi pasien, ada
diabetes mellitus atau tidak, Bila ditemukan adanya diabetes mellitus, pasien dikonsulkan ke dokter ahli penyakit dalam untuk mengontrol gula darahnya dan apabila dari anamnesis penyakit diabetes diderita sudah lebih dari 2 tahun, penderita dirujuk ke pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC) untuk evaluasi lebih lanjut. Apabila diabetes diderita kurang dari 2 tahun, pasien dapat dikonsul bilamana keadan keadaan memungkinkan.
Apabila dari anamnesis tidak diketahui lamanya diabetes diderita, pasien dapat dirujuk langsung untuk evaluasi segmen posterior.
Apabila funduskopi tersedia dan gambaran fundus dapat dinilai, adanya retinopati merupakan indikasi untuk rujukan ke tingkat yang lebih tinggi.
vena, intra-retinal microvascular anomaly (IRMA) dan neovaskularisasi.
Seperti tindakan pada PEC.
Pasien dengan diabetic retinopati stadium non proliferative (NPDR) ringan dan sedang, dievaluasi setiap 3 bulan Kontrol gula darah dilakukan oleh dokter penyakit dalam.
Pasien dengan NPDR berat, yaitu apabila ditemukan salah satu dibawah ini:
Pendarahan intra retina 4 kwadran
Pelebaran vena 2 kwadran
Intra retina mikrovaskular abnormalism 1 kwadran
Pasien dengan Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR), yaitu dengan adanya pendarahan vitreus dan pertumbuhan jaringan fibrovaskular di vitreus, dirujuk ke pelayanan kesehatan mata tersier.
Apabila ditemukan katarak yang mempersulit evalusi segmen poeterior, dapat dilakukan operasi, dengan penjelasan akan prognosis penglihatan dan kemungkinan retinopati bertambah berat setelah operasi.
Seperti tindakan pada
SEC. Pasien dengan NPDR
berat dengan/tanpa CSME, dilakukan terapi fotokoagulasi laser.
Operasi vitrektomi dilakukan apabila terdapat pendarahan vitreus, pertumbuhan jaringan fibrovaskular di retina, persistent mascular edema dan ablasio retina traksi.
10 RETINA LEPAS (RETINAL DETACHMENT)
EVALUASI
Anamnesia
Melakukan evaluasi
Melakukan tindakan
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
66
mengenai lama kejadian, dan faktor resiko seperti disebutkan diatas. Kecurigaan akan retinal detachment memerlukan uji konfrontasi. Pemeriksaan dengan funduskopi langsung – apabila tersedia – memberi gambaran retina lepas atau perdarahan retina, fibrosis vitreus dengan perlekatan retina dan tanda lain seperti disebutkan sebelumnya.
PENATALAKSANAAN
Rujuk ke PPK 2
seperti pelayanan di PEC, ditambah dengan pemeriksaan fundus untuk evaluasi retina. Pemeriksaan fundus sebaiknya dilakukan dengan funduskopi tidak langsung atau dengan condensed wide angle lens (Mainster Ocular, Super Field Volk, Super Pupil Volk atau Goldmann 3-mirror. Seluruh retina lepas harus dianggap sebagai rhegmatogen. Pemeriksaan kampimetri dapat dilakukan sebagai penunjang. Pemeriksaan di SEC sudah dapat menentukan apakah penderita perlu di rujuk atau tidak ke TEC.
Apabila tidak ada
kecurigaan tetapi ada keluhan, penderita harus diistirahatkan apabila mengancam macula, hingga tindakan dilakukan. Semua jenis rhegmatogen yang tidak mengancam macula atau jenis traksional yang melibatkan macula harus dirujuk seceoatnya, umumnya dalam beberapa hari. Penderita dirujuk TEC untuk penanganan lebih lanjut dengan penjelasan akan faktor dan keberhasilan.
seperti di SEC dan memutuskan jenis retina lepas. Pemeriksaan, kampimetri, elektrofisiologi atau ultrasonografi dilakukan bila diperlukan untuk menunjang diagnosis.
Melakukan tindakan
sesuai dengan jenis retina lepas. Pada rhegmatogen akut dan traksional yang tidak mengancam macula, operasi dilakukan secepatnya, sedangkan yang kronik dapat dioperasi dalam waktu 1 minggu. Jenis operasi (sclera buckling atau vitektomi) tergantung kondisi yang dirtemukan, dan jenis viteus tamponade ditentukan oleh keadaan yang ditemukan pre-operative dan durante operasi, kondisi mata sebelahnya dan mobilitas penderita. Tipe exudative memerlukan pengobatan sesuai dengan penyakit yang mendasari. Keberhasilan pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki retina yang lepas.
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
67
PENGELOLAAN PENYAKIT JIWA (PSIKIATRI)
No. DIAGNOSA PPK 1 PPK 2
PPK 3 SpKJ (-) SpKJ (+)
1. GANGGUAN MENTAL ORGANIK
A Demensia - Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Terapi pemeliharaan/ lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk dr.SpKJ selama 3 bulan untuk selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Terapi pemeliharaan/ lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk dr.SpKJ selama 3 bulan untuk selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut jika memungkinkan
- Jika tidak memungkinkan rujuk ke PPK 3
- Terapi pemeliharaan
- Skrining - Diagnosis
Penatalaksanaan Kondisi agresif : Pilihan antipsikotik - Haloperidol 0.25-
2mg/hari (po) - Risperidon 0.25-
2mg/hari (po) - Aripiprazol 5-
15mg/hari (po)
Gejala depresi : (pilihan) - Sertralin
25mg/hari (po) - Fluoksetin
10mg/hari (po) Anti demensia : - Donepezil - Rivastigmin Non farmakologik - Terapi perilaku - Terapi
stimulasi/aktivitas - Psikoedukasi
keluarga
B Delirium - Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2 dg SpKJ/PPK 3
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut jika memungkinkan
- Jika tidak memungkinkan rujuk ke PPK III
- Skrining - Diagnosis Terapi sesuai penyebab Kondisi agitasi/psikotik : Antipsikotik inj - Haloperidol (im) 2-
5mg, bila perlu diulang tiap 1 jam
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
68
atau Olanzapin (im) 5mg
- Lorazepam (im, iv) 1-2mg
Antipsikotik oral (pilihan) - Haloperidol 2x0.5-
1mg/hari - Risperidon 0.5-
1mg/hari - Olanzapin 5-
10mg/hari - Quetiapin 25-
150mg/hari Terapi tambahan - Lorazepam 0.5-
2mg/hari Non farmakologik - Psikoterapi
suportif - Reorientasi
lingkungan - Edukasi keluarga
2. GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENYALAHGUNAAN ZAT PSIKOAKTIF
A Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penyalahgunaan Opioid (intoksikasi)
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2 dg SpKJ/PPK 3
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut jika memungkinkan
- Jika tidak memungkinkan rujuk ke PPK 3
- Skrining - Diagnosis Penatalaksanaan : Antidotum Naloxon HCl Naloxone (iv) mulai dg 0.8mg evaluasi tiap 15’, jika tidak ada respon naikkan dosis menjadi 1.6mg sampai 3.2mg Bila ada respon teruskan pemberian 0.4mg/jam (iv) Evaluasi tanda vital Atasi penyulit Intoksikasi berat rawat ICU
B Gangguan Mental dan Perilaku akibat
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK II dg
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut
- Skrining - Diagnosis Penatalaksanaan
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
69
Penyalahgunaan Opioid (putus zat)
- Terapi subtitusi di PPK 1 yg telah mampu laksana
SpKJ/PPK 3 - Terapi subtitusi
di PPK 2 yg telah mampu laksana
jika memungkinkan
- Jika tidak memungkinkan rujuk ke PPK 3
- Terapi subtitusi di PPK 2 yg telah mampu laksana
Simtomatik sesuai gejala Subtitusi opioid : - Metadon - Bufrenorfin +
Nalokson - Kodein Subtitusi non opioid : - Klonidin Pemberian sedatif-hipnotik dan antipsikotik diberikan sesuai indikasi Non farmakologik - Psikoterapi
suportif - Edukasi keluarga - Rehabilitasi
C Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penyalahgunaan Amfetamin (intoksikasi)
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut jika memungkinkan
- Jika tidak memungkinkan rujuk ke PPK 3
- Skrining - Diagnosis - Observasi di IGD Penatalaksanaan Terapi simtomatik Rangsang muntah/kuras lambung dg activated charcoal Antipsikotik : - Haloperidol 2-
5mg/kali - Klorpromazin
1mg/kgBB Antihipertensi : Jika TD > 140/100mmHg Gejala ansietas : - Diazepam 3x5mg - Klordiazepoksid
3x25mg
Bila kejang : Diazepam 10-30mg
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
70
(parenteral) Cardiac monitoring Propanolol 20-80mg/hari
D Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penyalahgunaan Amfetamin (putus zat)
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut jika memungkinkan
- Jika tidak memungkinkan rujuk ke PPK 3
- Skrining - Diagnosis Penatalaksanaan Observasi di IGD Rawat inap jika disertai tanda2 psikotik, depresi berat atau ide bunuh diri Antipsikotik : - Haloperidol 3x1.5-
5mg - Risperidon 2x1.5-
3mg Gejala ansietas : - Alprazolam
2x0.25-0.5mg - Diazepam 3x5-
10mg - Klobazam 2x10mg
Gejala depresi : - Fluoksetin 10-
20mg - Setralin 25-50mg - Amitriptilin 25-
50mg Non farmakologik - Psikoterapi
suportif - Edukasi keluarga - Rehabilitasi
E Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penyalahgunaan Dekstrometorfan (intoksikasi)
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut jika memungkinkan
- Jika tidak memungkinkan rujuk ke
- Skrining - Diagnosis - Observasi di IGD Penatalaksanaan Terapi simtomatik Rangsang muntah/kuras lambung dg activated charcoal
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
71
PPK 3
Antipsikotik : - Haloperidol 2-
5mg/kali - Klorpromazin
1mg/kgBB Kontraindikasi : - Antidepresan - Golongan
Benzodiazepin
2.6. Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penyalahgunaan Alkohol (intoksikasi)
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut jika memungkinkan
- Jika tidak memungkinkan rujuk ke PPK 3
- Skrining - Diagnosis - Observasi di IGD Penatalaksanaan Terapi simtomatik Rangsang muntah/kuras lambung dg activated charcoal Antipsikotik : - Haloperidol 2-
5mg/kali - Klorpromazin
1mg/kgBB Kontraindikasi : - Antidepresan - Golongan
Benzodiazepin
3. SKIZOFRENIA, GANGGUAN SKIZOTIPAL, GANGGUAN WAHAM DAN GANGGUAN SKIZOAFEKTIF
A Skizofrenia, Gangguan Skizotipal, Gangguan Waham
- Skrining - Kondisi
emergensi : Klorpromazin 25-50mg (im) bila tidak ada hipotensi atau Lorazepam (im) 1-2mg
- Rujuk ke PPK 2 dg SpKJ/PPK 3
- Terapi pemeliharaan /lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk dr.SpKJ selama 3 bulan untuk
- Skrining - Kondisi
emergensi : Klorpromazin 25-50mg (im) bila tidak ada hipotensi atau Lorazepam (im) 1-2mg
- Rujuk ke PPK 2 dg SpKJ/PPK 3
- Terapi pemeliharaan /lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk dr.SpKJ selama 3 bulan untuk
- Skrining - Diagnosis Penatalaksanaan Fase akut Non farmakologik - Hospitalisasi - Seklusi - Restrain Pilihan antipsikotik inj : - Klorpromazin
25-50mg (im)
- Skrining - Diagnosis Penatalaksanaan Fase akut Non farmakologik - Hospitalisasi - Seklusi (isolasi) - Restrain (fiksasi) Pilihan antipsikotik injeksi : - Klorpromazin 25-
50mg (im) - Haloperidol 5mg
(im)
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
72
selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3
selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3
- Haloperidol 5mg (im)
- Olanzapin 10mg (im)
- Aripiprazol 9.75mg (im)
- Diazepam 10mg (im/iv)
Antipsikotik oral : Generasi 1 - Haloperidol
5-20mg/hari - Trifluoperazin
15-50mg/hari - Flufenazin 5-
20mg/hari - Perfenazin
16-24mg/hari - Klorpromazin
300-1000mg/hari
Generasi 2 - Risperidon 2-
8mg/hari - Olanzapin 10-
30mg/hari - Quetiapin
300-800mg/hari
- Klozapin 150-600mg/hari
- Aripiprazol 10-30mg/hari
- Paliperidon 3-9mg/hari
- Olanzapin sublingual
Fase stabil : Non farmakologik - Psikoterapi
suportif - Psikoedukasi
keluarga - Intervensi
- Olanzapin 10mg (im)
- Aripiprazol 9.75mg (im)
- Diazepam 10mg (im/iv)
Antipsikotik oral : Generasi 1 - Haloperidol 5-
20mg/hari - Trifluoperazin 15-
50mg/hari - Flufenazin 5-
20mg/hari - Perfenazin 16-
24mg/hari - Klorpromazin 300-
1000mg/hari Generasi 2 - Risperidon 2-
8mg/hari - Olanzapin 10-
30mg/hari - Quetiapin 300-
800mg/hari - Klozapin 150-
600mg/hari - Aripiprazol 10-
30mg/hari - Paliperidon 3-
9mg/hari - Olanzapin
sublingual Fase stabil : Non farmakologik - Psikoterapi
suportif - Psikoedukasi
keluarga - Intervensi perilaku - Intervensi
psikososial Antipsikotik oral Sama dengan di atas
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
73
perilaku - Intervensi
psikososial Antipsikotik oral Sama dengan di atas Fase stabilisasi: Non farmakologik - Psikoterapi
suportif - Psikoedukasi
keluarga - Intervensi
perilaku - Intervensi
psikososial - Terapi
okupasi/vokasional
- Pelatihan ketrampilan social
- Rehabilitasi Antipsikotik oral Sama dengan di atas Sediaan antipsikotik lain - Haloperidol
dekanoat inj - Flufenazin
dekanoat inj - Risperidon
oral solution - Risperidon
long acting inj Penatalaksanaan efek samping neurologis (akatisia, distonia, parkinsonism) : - Turunkan/he
ntikan obat
Fase stabilisasi: Non farmakologik - Psikoterapi
suportif - Psikoedukasi
keluarga - Intervensi perilaku - Intervensi
psikososial - Terapi
okupasi/vokasional
- Pelatihan ketrampilan social
- Rehabilitasi Antipsikotik oral Sama dengan di atas Sediaan antipsikotik lain - Haloperidol
dekanoat inj - Flufenazin
dekanoat inj - Risperidon oral
solution - Risperidon long
acting inj Penatalaksanaan efek samping neurologis (akatisia, distonia, parkinsonism) : - Turunkan/hentika
n obat - Difenhidramin inj
1-2cc (im) - Triheksifenidil 1-
12mg/hari - Propanolol 10-
30mg/hari - Lorazepam 1-
6mg/hari Sindroma Neuroleptik Malignansi (SNM) : - Hentikan obat
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
74
- Difenhidramin inj 1-2cc (im)
- Triheksifenidil 1-12mg/hr
- Propanolol 10-30mg/hr
- Lorazepam 1-6mg/hr
- Terapi suportif - Perhatikan
keseimbangan cairan dan observasi tanda-tanda vital
- Rawat di ICU - Bromokriptin
2.5mg, diberikan 2-3kali/hari, maksimal 30mg/hari
- Dantrolen 1mg/kgBB/hari, selama 8 hari
- Benzodiazepin 1-2mg (im)
B Gangguan Skizoafektif
- Skrining - Kondisi
emergensi : Klorpromazin 25-50mg (im) bila tidak ada hipotensi atau Lorazepam (im) 1-2mg
- Rujuk ke PPK 2 dg SpKJ/PPK 3
- Terapi pemeliharaan /lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk dr.SpKJ selama 3 bulan untuk selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3
- Skrining - Kondisi
emergensi : Klorpromazin 25-50mg (im) bila tidak ada hipotensi atau Lorazepam (im) 1-2mg
- Rujuk ke PPK 2 dg SpKJ/PPK 3
- Terapi pemeliharaan /lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk dr.SpKJ selama 3 bulan untuk selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3
- Skrining - Diagnosis Penatalaksanaan Sama dengan di atas Mood stabilizer : - Divalproat 2-
3x250mg - Lithium
karbonat 2x400mg
Gelisah/insomnia : - Lorazepam
3x1-2mg
- Skrining - Diagnosis Penatalaksanaan Sama dengan di atas Mood stabilizer : - Divalproat 2-
3x250mg - Lithium karbonat
2x400mg Gelisah/insomnia : - Lorazepam 3x1-
2mg Pasien refrakter : - Terapi kejang
listrik (ECT) 3x/minggu
- Klozapin 300-750mg/hari
4. GANGGUAN SUASANA PERASAAN
A Episode depresif
- Skrining - Kondisi
akut/usaha bunuh diri : rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan
- Skrining - Kondisi
akut/usaha bunuh diri : rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut (jika memungkinkan)
- Rujuk ke PPK 3
- Skrining - Diagnosis
Indikasi rawat jalan : - Gejala depresi
ringan - Fungsi diri baik Indikasi rawat inap :
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
75
setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Kondisi tenang/kronis : terapi pemeliharaan
- Gejala depresi berat
- Risiko/usaha bunuh diri
- Fungsi diri buruk - Dukungan
keluarga buruk Tindakan - Hospitalisasi - Seklusi (isolasi) - Restrain (fiksasi) Farmakologik : Pilihan Antidepresan Fase Akut : - Amitriptilin 25-
75mg/hari - Maproptilin 25-
100mg/hari - Imipramin 25-
75mg/hari - Fluoksetin 10-
40mg/hari - Sertralin 25-
50/hari - Duloksetin 40-
60mg/hari - Venlafaksin 75-
150mg/hari - Escitalopram 10-
20mg/hari - Agomelatin 25-
50mg/hari Fase Lanjutan : Terapi dilanjutkan hingga 6-12 bln Dosis diturunkan perlahan 4-12 mg Non farmakologik : - Psikoterapi
suportif - Terapi perilaku
kognitif - Terapi
interpersonal - Terapi keluarga
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
76
- Psikoedukasi keluarga
B Episode manik
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut (jika memungkinkan)
- Kondisi tenang/kronis : terapi pemeliharaan
- Skrining - Diagnosis Fase akut : Tindakan - Hospitalisasi - Seklusi (isolasi) - Restrain (fiksasi) Agitasi akut Antipsikotik injeksi : Pilihan Lini 1 - Olanzapin 1-
2x10mg/hr (im), maksimal 3 hari
- Aripiprazol 1-3x9.75mg/hr (im), maksimal 3 hari
Pilihan Lini 2 - Klorpromazin 1-
2x25-50mg (im) - Haloperidol 1-
2x5mg (im) - Diazepam 1-
2x10mg (im)
Antipsikotik oral : Pilihan Lini 1 : - Lithium - Karbamazepin - Okskarbamazepin - Asam valproat - Natrium
divalproat - Risperidon 2-
8mg/hari - Olanzapin 10-
30mg/hari - Quetiapin 300-
800mg/hari - Aripiprazol 10-
30mg/hari - Klozapin 150-
600mg/hari Pilihan Lini 2 :
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
77
- Haloperidol 5-20mg/hari
- Klorpromazin 100-300mg/hari
Non farmakologik : - Psikoterapi
suportif - Terapi perilaku
kognitif - Terapi
interpersonal - Terapi keluarga - Psikoedukasi
keluarga
C Gangguan afektif bipolar
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut (jika memungkinkan) Kondisi tenang/kronis : terapi pemeliharaan
- Skrining - Diagnosis Fase akut : Tindakan - Hospitalisasi - Seklusi (isolasi) - Restrain (fiksasi) Antipsikotik injeksi : Pilihan Lini 1 - Olanzapin 1-
2x10mg/hr (im), maksimal 3 hari
- Aripiprazol 1-3x9.75mg/hr (im), maksimal 3 hari
Pilihan Lini 2 - Klorpromazin 1-
2x25-50mg (im) - Haloperidol 1-
2x5mg (im) - Diazepam 1-
2x10mg (im)
Episode Mania Akut Pilihan Lini 1 : - Lithium - Divalproat - Olanzapin - Risperidon - Quetiapin - Aripiprazol - Lithium /
Divalproat +
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
78
Risperidon - Lithium /
Divalproat + Quetiapin
- Lithium / Divalproat + Olanzapin
- Lithium / Divalproat + Aripiprazol
Pilihan Lini 2 : - Karbamazepin - Terapi Kejang
listrik (ECT) - Lithium +
Divalproat - Paliperidon Pilihan Lini 3 : - Haloperidol - Klorpromazin - Lithium /
Divalproat + Haloperidol
- Klozapin Tidak direkomendasikan : - Gabapentin - Topiramat - Lamotrigin - Risperidon +
Karbamazepin - Olanzapin +
Karbamazepin Episode Depresi Akut Pilihan Lini 1 : - Lithium - Lamotrigin - Quetiapin - Lithium /
Divalproat + SSRI - Olanzapin + SSRI - Lithium
+Divalproat Pilihan Lini 2 : - Quetiapin + SSRI - Divalproat - Lithium /
Divalproat + Lamotrigin
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
79
Pilihan Lini 3 : - Karbamazepin - Olanzapin - Lithium +
Karbamazepin - Lithium /
Divalproat + Venlafaksin
- Lithium + MAOI - Terapi kejang
listrik - Lithium /
Divalproat + TCA - Lithium /
Divalproat / Karbamazepin + SSRI + Lamotrigin
Fase Stabilisasi : Non farmakologik - Psikoterapi
suportif - Psikoedukasi
keluarga - Intervensi perilaku - Terapi okupasi - Intervensi
psikososial Gangguan Bipolar I Pilihan Lini 1 : - Lithium - Lamotrigin - Divalproat - Olanzapin - Quetiapin - Lithium /
Divalproat + Quetiapin
- Risperidon depo - Aripiprazol Pilihan Lini 2 : - Karbamazepin - Lithium +
Divalproat - Lithium +
Karbamazepin - Lithium /
Divalproat + Olanzapin
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
80
- Lithium + Risperidon
- Lithium + Lamotrigin
- Olanzapin + Fluoksetin
Pilihan Lini 3 : Penambahan - Fenitoin - Olanzapin - Terapi kejang
listrik - Topiramat - Asam lemak
omega 3 - Okskarbazepin Gangguan Bipolar II Episode Depresi Akut : Pilihan Lini 1 : - Quetiapin Pilihan Lini 2 : - Lithium - Lamotrigin - Divalproat - Lithium +
Divalproat + antidepresan
- Lithium + Divalproat
- Antipsikotik atipikal + antidepresan
Pilihan Lini 3 : - Antidepresan
monoterapi Non farmakologik - Psikoterapi
suportif - Psikoedukasi
keluarga - Intervensi perilaku - Terapi okupasi - Intervensi
psikososial
5. GANGGUAN NEUROTIK, GANGGUAN SOMATOFORM DAN GANGGUAN STRES
A Gangguan Panik - Gangguan
- Skrining - Kondisi akut :
penanganan
- Skrining - Kondisi akut :
penanganan
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
81
panik tanpa agorafobia
- Gangguan panik dengan agorafobia
- Agorafobia tanpa riwayat gangguan panik
emergensi - Rujuk ke PPK 2 - Kondisi
tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
emergensi - Rujuk ke PPK 2 - Kondisi
tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
kondisi akut - Terapi
lanjutan
kondisi akut Farmakologik Pilihan gol benzodiazepine - Alprazolam 3x0.5-
2mg/hari - Lorazepam 2x 0.5-
2 mg/hari - Diazepam 2-3x5
mg/hari
Pilihan Antidepresan - Golongan SSRI
Fluoksetin 10-20 mg/hari Sertralin 25-50 mg/hari
Non farmakologik - Terapi perilaku
kognitif - Psikoedukasi - Manajemen
ansietas
B Gangguan Ansietas Menyeluruh
- Skrining - Kondisi akut :
penanganan emergensi
- Rujuk ke PPK 2 - Kondisi
tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Kondisi akut :
penanganan emergensi
- Rujuk ke PPK 2 - Kondisi
tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut - Terapi
lanjutan
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut Farmakologik Pilihan gol benzodiazepine - Alprazolam 3x0.5-
2mg/hari - Lorazepam 2x 0.5-
2 mg/hari - Diazepam 2-3x5
mg/hari
Pilihan Antidepresan - Golongan SSRI
Fluoksetin 10-20 mg/hari Sertralin 25-50 mg/hari Pilihan lain :
- Buspiron
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
82
- Venlafaxine Non farmakologik - Terapi perilaku
kognitif - Psikoedukasi - Manajemen
ansietas -
C Gangguan Obsesif Kompulsif
- Skrining - Kondisi akut :
penanganan emergensi
- Rujuk ke PPK 2 - Kondisi
tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Kondisi akut :
penanganan emergensi
- Rujuk ke PPK 2 - Kondisi
tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut - Terapi
lanjutan
Non farmakologik - Terapi perilaku
kognitif - Psikoterapi
berorientasi tilikan - Psikoedukasi Farmakologik (pilihan) : - Klomipramin 25-
100mg/hari - Fluoksetin 20-
60mg/hari - Sertralin 50-
150mg/hari - Fluvoksamin 100-
200 mg/hari
D Gangguan Stres Pasca Trauma
- Skrining - Kondisi akut :
penanganan emergensi
- Rujuk ke PPK 2 - Kondisi
tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Kondisi akut :
penanganan emergensi
- Rujuk ke PPK 2 - Kondisi
tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut - Terapi
lanjutan
Non farmakologik - Terapi suportif
individu - Psikoedukasi - Latihan relaksasi - Terapi perilaku
kognitif Farmakologik Sesuai dengan gejala klinis yang menonjol Gejala cemas : - Klobazam 2x5-
10mg - Lorazepam 1-
2x0.5-1mg Gejala depresi : - Fluoksetin 5-
40mg/hari - Sertralin 12.5-
50mg/hari - Fluvoksamin 25-
100mg/hari
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
83
- Amitriptilin 2x10-25mg
- Imipramin 1-2x10-25mg
Gejala psikotik : - Haloperidol 2x1-
5mg - Risperidon 2x1-
2mg - Olanzapin 1-2x2.5-
10mg - Quetiapin 50-
100mg
6. SINDROM PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN FISIOLOGIK DAN FAKTOR FISIK
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut - Terapi
lanjutan
Non farmakologik - Psikoterapi
suportif - Psikoedukasi
keluarga - Terapi perilaku - Terapi kognitif
perilaku Farmakologik Anticemas - Diazepam - Alprazolam - Lorazepam - Klobazam
Antidepresan - Amitriptilin - Maproptilin HCl - Imipramin - Klomipramin - Fluoksetin - Sertraline
7. GANGGUAN KEPRIBADIAN DAN PERILAKU MASA DEWASA
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut - Terapi
lanjutan
Psikoterapi
8. RETARDASI MENTAL
- Skrining - Diagnosis - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Kondisi
- Skrining - Diagnosis - Kondisi akut :
rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Kondisi
- Skrining - Diagnosis - Penanganan
kondisi akut - Terapi
lanjutan
Non farmakologik - Psikoedukasi
keluarga - Pendidikan
tingkah laku intensif
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
84
tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Anjuran ke Sekolah berkebutuhan khusus
- Pelatihan kemandirian
- Pelatihan ketrampilan
Farmakologik Bila ditemukan gejala penyerta - Anti depresan - Anti cemas - Anti psikotik
9. GANGGUAN PERKEMBANGAN PSIKOLOGIK
A Gangguan autistik
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling
orang tua - Psikoedukasi
keluarga
Non farmakologik - Konseling orang
tua - Psikoedukasi
keluarga - Terapi perilaku - Terapi okupasi - Terapi wicara Farmakologik Bila ditemukan gejala penyerta - Anti depresan - Anti psikotik :
Risperidon 0,1-0,2 mg/kg/hari (2 kali pemberian po) Aripiprazole 0,1-0,2 mg/kg/hari (1 kali pemberian po)
10. GANGGUAN PERILAKU DAN EMOSIONAL DENGAN ONSET MASA KANAK DAN REMAJA
A Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling
orang tua - Psikoedukasi
keluarga - Intervensi
keluarga - Intervensi
Non farmakologik - Konseling orang
tua - Psikoedukasi
keluarga - Intervensi
keluarga - Intervensi
psikososial - Terapi perilaku Farmakologik
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
85
psikososial - Metilfenidat Dosis 0.3-1mg/kg BB dalam dosis terbagi
- Anti depresan (SSRI) Fluoksetin 1x5 mg/hari
B Gangguan tempertantrum
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling
orang tua - Psikoedukasi
keluarga
Non farmakologik - Konseling orang
tua - Psikoedukasi
keluarga - Parenting’s skills
training
C Gangguan depresi
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling
orang tua - Psikoedukasi
keluarga - Psikoterapi
suportif - Hospitalisasi
Non farmakologik - Konseling orang
tua - Psikoedukasi
keluarga - Psikoterapi
suportif - Terapi keluarga - Hospitalisasi Farmakologik - Anti depresan
(SSRI)
D Gangguan cemas
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling
orang tua - Psikoedukasi
keluarga - Psikoterapi
suportif
Non farmakologik - Konseling orang
tua - Psikoedukasi
keluarga - Psikoterapi
suportif - Terapi keluarga Farmakologik - Anti depresan
(SSRI) - Anti insomnia
(Difenhidramin)
E Gangguan akibat persaingan antar saudara
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling
orang tua
Non farmakologik - Konseling orang
tua - Psikoedukasi
keluarga - Konseling
perkawinan
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
86
- Psikoedukasi keluarga
- Parenting’s skills training
F Gangguan kelekatan reaktif
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Psikoedukasi
keluarga - Psikoterapi
suportif
Non farmakologik - Psikoedukasi
keluarga - Psikoterapi
suportif - Terapi keluarga - Konseling
perkawinan - Parenting;s skills
training
G Gangguan enuresis
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Membatasi
minum di malam hari
- Toilet training - Psikoterapi
suportif - Konseling
orang tua
Non farmakologik - Membatasi minum
di malam hari - Toilet training - Psikoterapi
suportif - Konseling orang
tua Farmakologik - Anti depresan
(Imipramin)
H Gangguan enkoperesis
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Toilet training - Psikoterapi
suportif - Konseling
orang tua
Non farmakologik - Toilet training - Psikoterapi
suportif - Konseling orang
tua - Psikoedukasi
keluarga - Terapi perilaku
I Gangguan makan
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling
orang tua
Non farmakologik - Konseling orang
tua Konsultasi ke Bagian IK. Anak
J Gangguan gagap
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Psikoterapi
suportif
Non farmakologik - Psikoterapi
suportif - Konseling orang
tua - Psikoedukasi
keluarga
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
87
- Konseling orang tua
- Psikoedukasi keluarga
- Terapi wicara Farmakologik (jika perlu) - Anti cemas
K Gangguan tidur
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK
2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Psikoterapi
suportif - Konseling
orang tua - Psikoedukasi
keluarga
Non farmakologik - Psikoterapi
suportif - Konseling orang
tua - Psikoedukasi
keluarga
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
88
PENGELOLAAN PENYAKIT GIGI DAN MULUT
No TINDAKAN PPK 1 PPK 2 PPK 3
1 Eksodontia Pencabutan gigi dengan : - infeksi -abses jaringan lunak
dan jaringan keras -untuk keperluan
perawatan orthodontia dan prostodontia
- kelainan pertumbuhan (supernumerary)
- penyebab fokal infeksi - karies besar yang tidak
dapat dirawat secara konservasi
Pencabutan gigi dengan : - Kelainan
pertumbuhan (Impaksi dan malposisi)
2 Bedah Dento alveolar
Alvelektomi Apikoektomi
a. Kista Radikuler
b. Kista Periodontal c. Abses Dentoalveolar
3 Infeksi Daerah Oromaksilofasial
Diagnosis Rujuk ke PPK 2
Penatalaksanaan infeksi
4 Trauma Orofasial
- Kontusio jaringan lunak fasial
- Luka abrasi fasial - Cedera dentoalveolar - Kelainan kelenjar
ludah (Xerostomia) -
- Fulnus Fasial - Fraktur Mandibula - Fraktur maksila - Kista rongga mulut - Kelainan kelenjar
ludah (Sialolithiasis, Sialorrhoea, Sjorgen Sindroma , parotitis epidemica, Sealodenitis Bakterial Akut, Makulicz Sindroma, Sarkoidosis)
- Kelainan syaraf kranialis
- Kelainan sendi temporomandibular
- Bedah Orthognati
- Fraktur Mandibula - Fraktur Maksila
kompleks - Neoplasma - Kista rongga mulut - Kelainan congenital - Kelainan kelenjar
ludah (Sialolithiasis, Sialorrhoea, Sjorgen Sindroma , parotitis epidemica, Sealodenitis Bakterial Akut, Makulicz Sindroma, Sarkoidosis)
5 Konservasi - Karies dini, media, - arrested caries -
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
89
profunda - Perubahan warna
eksternal/internal - Dentin hipersensitif - Pulpitis reversible - Nekrosis pulpa
- Atrisi, abrasi dan erosi
- Abses periapikal akut/kronis
- Kelainan jaringan periodontal
- Kista radikuler
6 Prostodontia - Overdenture - Gigi tiruan Intermediat,
intermediet, lengkap imediet, lepasan imediet, lengkap akrilik)
- Pembuatan feeding plate pada celah langit pada bayi
- Obturator untuk celah langit dewasa
- Protesa hidung, telinga, muka, mata, periodontal
- Implan dental
-
7 Pedodontia - Oral hygiene buruk - Caries - Ginggivitis - Persistensi gigi sulung - Akar gigi tertinggal - Hiperemi pulpa - Pulpitis akut/kronis - Persistensi gigi sulung
- Karies mencapai pulpa non vital
- Abses akut/kronis dento alveolar
- Amelogenesis dan dentinogenesis imperfect
8 Periodontia Gingivitis
Hiperplasik gingiva
Resesi Gusi
Periodontitis
Resesi Gusi Periodontitis
9 Penyakit Gigi dan Mulut
- Stomatitis Aptosa
- Chemical Burn
- Ulkus Traumatikus
- Ulkus Dekubitalis - Lingua Geografika / Benign Migratory Glossitis - Denture Sore mouth (Chronic Athropic Candidiasis)
- Herpes Labialis
Liken Planus
Leukoplakia
Karsinoma Sel Skuamosa
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 2012
90