pbl blok 20 (urogenital 2)
DESCRIPTION
kedokteranTRANSCRIPT
Pembesaran Prostat Jinak pada Laki-laki Usia Lanjut
Pendahuluan
Masalah yang sering dialami seorang pria usia lanjut yang berhubungan dengan sistem
perkemihan adalah Benign Prostatic Hyperlasia (BPH). Meskipun jarang mengancam jiwa,
BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari.
Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE)
yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai
bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran
kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama-lama
dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan
komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah. Di Indonesia BPH merupakan urutan
kedua setelah batu saluran kemih dan diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia diatas
50 tahun dengan angka harapan hidup rata-rata di Indonesia yang sudah mencapai 65 tahun
dan diperkirakan bahwa lebih kurang 5% pria Indonesia sudah berumur 60 tahun atau lebih.
Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar
prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan masih
mempunyai testis yang masih berfungsi normal menghasilkan testosteron. Tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk mengetahui kelainan yang ditimbulkan dari penyakit pembesaran
prostat jinak.
Anamnesis
Dalam anamnesis hal yang pertama dilakukan adalah menanyakan identitas dari pasien
tersebut, kemudian dilanjutkan dengan menanyakan keluhan utama pasien, keluhan penyerta,
riwayat obat, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat penyakit dalam keluarga, riwayat
sosialnya. Hal-hal yang ditanyakan mengenai penyakit yang diderita laki-laki tersebut.
Kapan pasien terakhir kali berkemih?; Apakah pasien merasakan ingin berkemih?; Adakah
rasa nyeri atau tidak enak?; Apakah baru-baru ini ada hematuria?; Apakah baru-baru ini ada
disuria?; Adakah stranguria (ingin berkemih sampai terasa nyeri tetapi tidak bisa keluar)?;
Apakah biasanya ada kesulitan dengan pancaran urin yang bagus atau menetes di akhir
berkemih?; Adakah gejala yang menunjukkan penyakit neurologis (misalnya mati rasa atau
kelemahan ekstremitas)?; Adakah inkotinensia feses?.1
1
Mengenai riwayat penyakit dahulu, adakah episode retensi urin sebelumnya? Tanyakan
operasi sebelumnya ?; Adakah riwayat ISK?; Adakah riwayat batu ginjal?; Adakah riwayat
penyakit neurologis?; Apakah pasien mengkonsumsi obat yang bisa meningkatkan retensi
urin (misalnya antidepresan trisiklik)?; Apakah pasien menjalani pengobatan untuk ISK,
hiperplasia/keganasan prostat?.1
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat dimulai dari melihat kondisi umum pasien, kemudian dilanjutkan
dengan pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah, frekuensi pernapasan, frekuensi denyut
nadi, suhu tubuh), serta pemeriksaan lainnya meliputi inspeksi, palpasi (daerah abdomen,
organ ginjal dan kandung kemih), perkusi. Dari hal tersebut cari tahu, Apakah pasien tampak
sakit ringan atau sakit berat? Kelebihan cairan/kesakitan?; Adakah tanda-tanda infeksi
sistemik (demam, takikardia, nyeri tekan pinggang)? Apakah kandung kemih membesar?
(periksa dengan melakukan palpasi dan perkusi); Adakah prostat membesar pada
pemeriksaan rektal?; Apakah sulkus masih teraba? Apakah keras dan tidak rata
(pertimbangkan karsinoma prostat)? Adakah nyeri tekan (pertimbangkan prostatitis)?.1,2
Pemeriksaan fisik pasien meliputi pemeriksaan tentang keadaan umum pasien dan
pemeriksaan urologi. Adanya hipertensi mungkin merupakan tanda dari kelainan ginjal,
edema tungka satu sisi akibat obstruksi pembuluh darah vena karena penekanan tumor buli-
buli atau karsinoma prostat dan ginekomastia mungkin ada hubungannya dengan karsinoma
testis. Pada pemeriksaan urologi harus diperhatikan setiap organ mulai dari pemeriksaan
ginjal, buli-buli (kandung kemih), genitalia eksterna, dan pemerikaan neurologi.2
Pemeriksaan ginjal adanya pembesaran pada daerah pinggang atau abdomen sebelah atas
harus diperhatikan pada saat melakukan inspeksi pada daerah ini. Pembesaran itu mungkin
disebabkan oleh karena hidronefrosis atau tumor pada daerah retroperitoneum. Palpasi ginjal
dilakukan secara bimanual yaitu dengan memakai dua tangan. Tangan kiri diletakkan disudut
kosto-vertebra untuk mengangkat ginjal ke atas sedangkan tangan kanan meraba ginjal dari
depan. Perkusi dilakukan dengan memebrikan ketokan pada sudut kostovertebra. Pembesaran
ginjal karena hidronefrosis atau tumor ginjal, mungkin teraba pada palpasi dan terasa nyeri
pada perkusi.2 Pemeriksaan kandung kemih diperhatikan adanya benjolan/massa atau
jaringan parut bekas irisan/operasi di suprasinfisis. Massa di daerah suprainfisis mungkin
merupakan tumor ganas buli-buli atau karena buli-buli yang terisi penuh dari suatu retensi
urine. Dengan palpasi dan perkusi dapat ditentukan batas atas buli-buli.2 Colok dubur pada
hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba membesar, konsistensi prostat kenyal seperti
2
meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus kanan dan kiri simetris, tidak didapatkan nodul,
dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat, batas atas semakin
sulit untuk diraba. Sedangkan pada karcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau
teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan
teraba krepitasi. Jika pada colok dubur teraba kelenjar prostat dengan konsistensi keras, harus
dicurigai suatu karsinoma.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya
leukosituria, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhitungkan etiologi lain
seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri
dapat menyebabkan hematuria. Pada kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu
dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan adanya karsinoma buli-
buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine. Pada pasien BPH yang sudah mengalami
retensi urine dan telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya
karena seringkali telah ada leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter.3
Tes kimia terhadap urine telah sangat disederhanakan dengan digunakannya carik kertas
impregnasi yang dapat mendeteksi zat-zat seperti glukosa, aseton, bilirubin, protein, dan
darah. Kadar pH urine juga dapat diukur dengan uji carik celup. Yang penting untuk
mengetahui gangguan pada ginjal adalah adanya protein atau darah dalam urine, pengukuran
osmolaritas atau berat jenis, dan pemeriksaan mikroskopik urine.4
Hasil urin normal adalah sebagai berikut: tampilan jernih, warna kekuning-kuningan, sedikit
berbau. Berat jenis normalnya 1,001-1,035; pH 5-6,5; protein 0 hingga samar <150mg/hari;
glukosa negatif; keton negatif; eritrosit 0-2/LPB; Leukosit 0-4/LPB; sel epitel 0-5.LPB;
bakteri 0; badan lemak oval 0; silinder 0-1/LPB (hialin); kristal banyak jenis.4
Bila pasien dicurigai mengalami infeksi saluran kemih, maka pemeriksaan bakteriologik urin
dapat dilakukan. Pada dasarnya urine steril, dan jumlah bakteri yang banyak dapat
menunjukkan adanya infeksi saluran kemih (ginjal, vesika urinaria, atau uretra) atau
prostatitis. Menghitung jumlah banteri harus dilakukan melalui inokulasi permukaan lempeng
agar nutrien, menggunakan sengjelit berkalibrasi yang memberikan 0,001 ml urine, Lempeng
agar kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC dan koloni yang terbentuk
kemudian dihitung. Jumlah koloni 105 atau lebih organisme / ml spesimen urine yang diambil
dari urine midstream menunjukkan bakteriuria bermakna.4
3
Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang tertinggal di
dalam buli-buli setelah miksi. 78% pria normal mempunyai residual urine kurang dari 5 mL
dan semua pria normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL.5 Pemeriksaan
residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melakukan pengukuran langsung
sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu
dengan mengukur sisa urine melalui USG atau bladder scan. Pengukuran melalui kateterisasi
ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak nyaman bagi pasien, dapat
menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi bakteriemia.
Peningkatan volume residual urine tidak selalu menunjukkan beratnya gangguan pancaran
urine atau beratnya obstruksi. Watchful waiting biasanya akan gagal jika terdapat residual
urine yang cukup banyak dan volume residual urine lebih 350 ml seringkali telah terjadi
disfungsi pada buli-buli sehingga terapi medikamentosa biasanya tidak akan memberikan
hasil yang memuaskan.5
Darah rutin
Pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium
sebagai berikut:5
1. Hemoglobin (Hb): Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada asupan
makanan atau minuman. Selain itu, turniket yang terpasang harus kurang dari satu menit.
Bila pengambilan darah lewat darah vena, darah yang dikumpulkan berjumlah 3 sampai 5
ml dalam tabung tertutup lembayung. Kadar normal Hb adalah pria dewasa: 13.5-17 g/dl,
wanita dewasa: 12-15 g/dl.
2. Hematokrit (Ht): Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada asupan
makanan atau minuman. Selain itu, turniket yang terpasang harus kurang dari dua menit.
Bila pengambilan darah lewat darah vena, darah yang dikumpulkan berjumlah 3 sampai 5
ml dalam tabung tertutup lembayung. Kadar normal Ht adalah pria dewasa: 40-54%,
wanita dewasa:36-46%
3. Sel darah putih (Leukosit): Untuk mengkaji nilai sel darah putih adalah dari hitung darah
lengkap. Hal ini dilakukan untuk menentukan adanya infeksi. Jumlah normal sel darah
putih adalah dewasa: 4500-10000 l
4. Trombosit: Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada asupan makanan
atau minuman. Bila pengambilan darah lewat darah vena, darah yang dikumpulkan
berjumlah 3 sampai 5 ml dalam tabung tertutup lembayung. Jumlah normal trombosit
adalah dewasa: 150000-400000 l
4
Pemeriksaan PSA (prostat spesifik antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer
specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam
hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat, (b) keluhan
akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan (c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut.
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Makin
tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat. serum PSA meningkat pada saat
terjadi retensi urine akut dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam
dilakukan normal berdasarkan usia adalah:
40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml
50-59 tahun: 0-3,5 ng/ml
60-69 tahun: 0-4,5 ng/ml
70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml
Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma prostat, tetapi kelompok
usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma prostat. Pemeriksaan PSA bersamaan
dengan colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi
adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia ini pemeriksaan PSA menjadi sangat
penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat.
Pemeriksaan PSA dilakukan sebagai penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini
keganasan. Nilai normal PSA adalah <4 ng/ml, bila nilai PSA <4 ng/ml tidak perlu biopsi.
Kadar 4 hingga 10 ng/ml adalah samar-samar dan dapat timbul pada keadaan normal atau
seringkali timbul pada keadaan BPH. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah PSAD
(prostate spesific antigen density) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila
PSAD ≥0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat.3 Nilai >10 ng/ml sangat berkaitan
dengan diagnosis adenokarsinoma prostat. The American Cancer Society menyarankan
pengukuran kadar PSA dimulai pada pria usia 40 tahun keturunan Afrika Amerika atau
dengan keluarga yang memiliki riwayat kanker prostat, dan semua pria yang berusia lebih
dari 50 tahun. Bila PSA meningkat >10 mg/ml diduga terdapat kanker prostat, USG
digunakan untuk mendeteksi area yang dicurigai.4
Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat dilakukan transabdominal atau transrektal (transrectal
ultrasonography, TRUS). Selain untuk mengetahui pembesaran prostat, pemeriksaan
5
ultrasonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urin, dan keadaan
patologi lain seperti divertikulum, tumor, dan batu. Dengan ultrasonografi transrektal, dapat
diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat
dilakukan dengan ultrasonografi suprapubik.6
Diagnosis Kerja
Berdasarkan skenario dan hasil dari anamnesis serta pemeriksaan fisik yang dilakukan,
serat pemeriksaan penunjang (dari hasil EKG) terlihat bahwa gejala klinis yang ditemukan
mirip dengan gejala penyakit BPH (Benign Prostat Hiperplasia).
BPH (Benign Prostat Hiperplasia)
BPH atau Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan
kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika.
Merupakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,
pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan
tumbuh menekan kelenjar normal yang tersisa. Istilah Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya
tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi
kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hiperplasia (sel-selnya bertambah banyak).3
Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical.
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi
spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan
kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih
setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi
melakukan intervensi pada hiperplasia prostat.6 Derajat berat obstruksi dapat pula diukur
dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri.6 Angka
normal pancaran kemih rata-rata 10-12 mL/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20
mL/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6-8 mL/detik, sedangkan
maksimal pancaran menjadi 15 mL/detik atau kurang. Kelemahan detrusor dan obstruksi
intravesikal tidak dapat dibedakan dengan pengukuran pancaran kemih.6 Derajat berat gejala
klinis dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume
urin.6
Tabel 1. Derajat Berat Hiperplasia Prostat Berdasarkan Gambaran Klinis.6
6
Derajat Rectal Touche Sisa Volume Urin
I Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba <50 mL
II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat
dicapai
50-100 mL
III Batas atas prostat tidak dapat diraba >100 mL
IV Retensi urin total
Etiologi3,6
Penyebab pasti BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat biologi
molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas etiologi terjadinya BPH. Etiologi
sekarang, dianggap ketidakseimbangan hormonal oleh karena proses penuaan yaitu hormon
endokrin testosterone yang dianggap mempengaruhi tepi prostat, sedangkan estrogen (di buat
oleh kelenjar adrenal) mempengaruhi bagian tengah prostat. Perubahan mikroskopis pada
prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopis ini berkembang,
akan terjadi perubahan patologi anatomi yang ada pria usia 50 tahun angka kejadiannya
sekitar 50%, usia 80 tahun siktar 80% dan usian 90 sekitar 100%.3 Salah satu teori ialah teori
Testosteron (T) yaitu T bebas yang dirubah menjadi Dehydrotestosteron (DHT) oleh enzim
5a reduktase yang merupakan bentuk testosteron yang aktif yang dapat ditangkap oleh
reseptor DHT didalam sitoplasma sel prostat yang kemudian bergabung dengan reseptor inti
sehingga dapat masuk kedalam inti untuk mengadakan inskripsi pada RNA sehingga akan
merangsang sintesis protein. Teori yang disebut diatas menjadi dasar pengobatan BPH
dengan inhibitor 5a reduktase.
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan, efek perubahan juga
terjadi perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, retensi pada leher
vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Fase penebalan
detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut detrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.
Epidemiologi
Bukti histologik BPH dapat ditemukan pada 20% pria berusia 40 tahun, suatu angka yang
meningkat menjadi 70% pada usia 60 tahun dan 90% pada usia 70 tahun. Akan tetapi, tidak
terdapat korelasi langsung antara perubahan histologik dan gejala klinis. Hanya 50% dari
7
mereka yang memperlihatkan bukti mikroskopik BPH mengalami pembesaran prostat yang
dapat terdeteksi secara klinis, dan dari jumlah ini hanya 50% yang memperlihatkan gejala.
BPH menimbulkan masalah besar, dan sekitar 30% pria kulit putih Amerika berusia lebih
dari 50 tahun mengalami gejala dalam derajat sedang sampai berat.7
Patofisiologi
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga
timbulnya Benigne Prostat Hyperplasia antara lain : 3
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Telah disepakati bahwa aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi DHT dalam
sel prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel yang dapat
menyebabkan inskripsi pada RNA sehingg menyebabkan terjadinya sintesis protein.
proses reduksi ini difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase.
2. Teori Hormonal
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan
penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap yang dapat menyebabkan terjadinya
hyperplasia stroma.
3. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
4. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat.
secara sederhana patogenesis BPH adalah sebagai berikut, pembesaran prostat ini
berkaitan dengan kerja androgen. Dihidrotestosteron (DHT), suatu metabolit testosteron,
merupakan mediator utama pertumbuhan prostat. Zat ini disintesis di prostat dari testosteron
darah oleh kerja enzim 5 alfa-reduktase, tipe 2. Enzim ini terutama terletak di sel stroma.
Oleh karena itu, sel-sel ini merupakan tempat utama sintesis DHT. Setelah terbentuk, DHT
dapat bekerja secara autokrin pada sel stroma atau parakrin dengan berdifusi ke sel epitel
sekitar. Di kedua jenis sel ini, DHT berikatan dengan reseptor androgen di nukleus dan
menyebabkan transkripsi faktor pertumbuhan yang bersifat mitogenik bagi sel epitel dan sel
stroma. Meskipun testosteron juga dapat berikatan dengan reseptor androgen dan
menyebabkan pertumbuhan, DHT 10 lebih kuat karena lebih lambat terlepas dari reseptor
androgen. Walaupun DHT merupakan faktor trofik utama yang memperantarai hiperplasia
prostat, tampamnya estrogen juga berperan, mungkin dengan membuat sel lebih peka
8
terhadap kerja DHT. Interaksi stroma-epitel yang diperantarai oleh faktor pertumbuhan
peptida juga merupakan bagian integral dari proses ini. Selain akibat efek mekanis prostat
yang membesar, gejala klinis sumbatan saluran kemih bawah juga disebabkan oleh kontraksi
polos prostat diperantarai oleh adrenoreseptor alfa1 yang terletak di stroma prostat.7
Manifestasi klinis
Biasa ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi saluran
kemih adalah penderita harus menunggu keluarnya kemih pertama, miksi terputus, menetes
dan pada akhir miksi pancaran menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala
iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi,
nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi
terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi
atau pembesaran prostat menyebabkan rangsang pada kandung kemih sehingga vesika sering
berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi skor untuk menentukan berat
keluhan klinis.6
Gejala dan tanda pasien yang telah lanjut penyakitnya, misalnya gagal ginjal, dapat
ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, denyut nadi, respirasi. Bila sudah terjadi
hidronefrosis atau pionefrosis, ginjal teraba dan nyeri di CVA (costo vertebrae angularis).
Buli-buli yang distensi dapat dideteksi dengan palpasi dan perkusi.3
Tatalaksana medika mentosa6
Penderita BPH derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan bedah diberikan
pengobatan konservatif. Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk mengurangi resistensi
leher buli-buli dengan obat-obatan golongan blocker (penghambat alfa adrenergik),
menurunkan volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dehidrotestosteron (DHT).
Obat Penghambat enzim 5 Alpha Reduktase, obat yang dipakai adalah finasterid (proskar)
dengan dosis 1x5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan
dehidrotestosteron sehingga prostat yang membesar dapat mengecil. Namun obat ini bekerja
lebih lambat daripada golongan alpha blocker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang
sangat besar. Salah satu efek samping obat ini adalah melemahkan libido dan ginekomastia.
Obat Penghambat Adrenergik , dasar pengobatan ini adalah mengusahakan agar tonus
otot polos di dalam prostat dan leher vesica berkurang dengan menghambat rangsangan alpha
9
adrenergik. Seperti diketahui di dalam otot polos prostat dan leher vesica banyak terdapat
reseptor alpha adrenergik. Obat-obatan yang sering digunakan prazosin, terazosin,
doksazosin, dan alfazosin. Obat penghambat alpha adrenergik yang lebih selektif terhadap
otot polos prostat yaitu α1a (tamsulosin), sehingga efek sistemik yang tak diinginkan dari
pemakai obat ini dapat dikurangi. Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamzulosin 0,2-
0,4 mg/hari. Penggunaan antagonis alpha 1 adrenergik untuk mengurangi obstruksi pada
vesica tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat-obatan golongan ini memberikan
perbaikan laju pancaran urine, menurunkan sisa urin dan mengurangi keluhan. Obat-obat ini
juga memberi penyulit hipotensi, pusing, mual, lemas, dan meskipun sangat jarang bisa
terjadi ejakulasi retrograd, biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam
waktu 1-2 minggu setelah pemakaian obat.
Tatalaksana Non-medika mentosa
Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan
reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethral resection, TUR). Mortalitas TUR sekitar
1% dan morbiditas sekitar 8%. Kadang derajat dua dapat dicoba dengan pengobatan
konservatif. Pada derajat tiga, reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh pembedah yang
cukup berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak
akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.6
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik atau perineal. Pada
operasi melalui kandung kemih dibuat sayatan perut bagian bawah menurut Pfannenstiiel;
kemudian prostat dienukliasi dari dalam simpainya. Keuntungan teknik ini adalah dapat
sekaligus untuk mengangkat batu buli-buli atau divertikelektomi apabila ada divertikulum
yang cukup besar. Cara pembedahan retropubik menurut Millin dikerjakan melalui sayatan
kulit Pfannenstiel dengan membuka simpai prostat tanpa membuka kandung kemih,
kemudian prostat dienukleasi. Cara ini mempunyai keunggulan, yaitu tanpa membuka
kandung kemih sehingga pemasangan kateter tidak lama seperti membuka vesika.
Kerugiannya, cara ini tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus
dikerjakan dari dalam kandung kemih. Kedua cara pembedahan terbuka tersebut masih kalah
dibandingkan dengan cara TUR, yaitu morbiditasnya yang lebih lama, tetapi dapat dikerjakan
tanpa memerlukan alat endoskopi yang khusus, dengan alat bedah baku. Prostatektomi
melalui sayatan perineal tidak dikerjakan lagi.6 Pada hipertrofi derajat empat, tindakan
pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total
dengan memasang kateter atau sistostomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
10
untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitif dengan TUR atau pembedahan
terbuka.6
Pada penanggulangan invasif minimal lain, yang disebut transurethral ultrasound guided
laser induced prostatectomy (TULIP) digunakan cahaya laser. Dengan cara ini, diperoleh
juga hasil yang cukup memuaskan.6 Uretra di daerah prostat dapat juga didilatasi dengan
balon yang dikembangkan di dalamnya (trans urethral balloon dilatation, TUBD). TUBD ini
biasanya memberi perbaikan yang bersifat sementara.6
Komplikasi
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi
masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir
miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga
penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi, pada suatu saat vesika
tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila
tekanan vesika menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi
inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,
hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada
waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga lama-kelamaan menyebabkan hernia
atau hemorroid.3 Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam
kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu
tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis.7
Pencegahan
Hingga saat ini masih belum ada cara yang diketahui dapat mencegah pembesaran prostat
dikarenakan hal ini merupakan bagian dari proses penuaan yang normal. Yang dapat
dilakukan saat ini, hanyalah cara bagaimana agar kita dapat memelihara kesehatan kandung
kemih dan ginjal. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan kandung
kemih, antara lain:
• Minum cukup air, hingga delapan gelas per hari untuk membantu mencegah infeksi.
Walaupun, pada pasien yang mengeluh frekuensi berkemihnya meningkat, hal ini akan
menjadi masalah baginya. Pada sebagian besar kasus, meminum sejumlah besar air dalam
kadar yang normal ketika rasa haus muncul, sudah cukup.
• Pada pasien BPH, hindari meminum banyak air menjelang waktu tidur dikarenakan hal ini
akan membuat dirinya harus bangun untuk berkemih secara rutin di malam hari saat tidur.
11
• Hindari minum alkohol dan kafein berlebihan.
• Hindari makanan yang dapat mengiritasi kandung kemih.
• Berkemih secara rutin.
Makan makanan bergizi, jaga pola makan, atur berat badan dan lakukan aktivitas fisik secara
berkala.
Komplikasi
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi
masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir
miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga
penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi, pada suatu saat vesika
tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila
tekanan vesika menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi
inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,
hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada
waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga lama-kelamaan menyebabkan hernia
atau hemorroid.3
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih.
Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat
pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis.7
Prognosis
Prognosis BPH tidak selalu sama dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun
gejalanya cenderung meningkat. Namun, BPH yang tidak segera ditanggulangi memiliki
prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat.8 Sebagian besar
pasien memiliki kualitas hidup yang sangat bagus setelah prostatektomi (baik endoskopik
maupun terbuka).9
Diagnosis banding
Ca Prostat
Merupakan suatu keganasan pada prostat yang paling banyak pada pria. Angka
kejadiannya meningkat seiring dengan usia pasien. Sebagian besar etiologinya belum
diketahui pasti, riwayat keluarga, paparan radiasi dan polutan lingkungan mungkin berperan
dalam penyakit ini. Sejumlah sel tumor pada prostat antara lain :10
12
Adenokarsinoma yang paling banyak ditemukan, timbul pada epitel asinar pada daerah
perifer kelenjar.
Subtipe jarang (< 2%) adalah karsinoma sel transisional timbul pada epitel suktus.
Sarkoma stroma: limfoma dan karsinoma sel kecil.
Manifestasi klinis, Ca prostat awalnya asimtomatik dan mungkin terdeteksi secara klinis
hanya dengan ditemukan massa yang teraba pada pemeriksaan colok dubur. Tumor biasanya
tumbuh di daerah perifer sehingga menimbulkan gejala obstruksi lebih lambat kecuali
sekunder karena BPH. Banyak pasien yang menderita penyakit ini dan belum terdiagnosis
dan timbul gejala yang berhubungan seperti: gejala konstitutusi (seperti penuranan berat
badan dan anemia), nyeri tulang, limfadenopati atau komplikasi neurologis.10
Pemeriksaan penunjang, tujuan pemeriksaan penunjang untuk menentukan tumor ini
bermetatasis atau tidak. Apabila penyakit ini hanya terbatas pada prostat, dilakukan terapi
lokal menggunakan radioterapi atau prostatektomi radikal tepat digunakan. Karena dapat
mengurangi komplikasi lokal dan lebih baik dilakukan daripada menunggu perkembangan
penyakit.10
Ultrasonografi transrektal untuk mengidentifikasi lesi kecil di perifer dengan biopsi
sextant.
Reseksi prostat transuretral (TURP) apabila terdapat prostatismus.
Tes PSA apabila kadarnya > 10 IU mengindikasikan kemungkinan penyakit ini ada
metatasis.
Fosfatase Asam Basa
CT scan Abdomen dan Pelvis untuk menemukan nodus.
MRI pelvis untuk menemukan tumor dan derajat ekstensi lokal.
Foto toraks dan Isotope bone scan untuk mendeteksi adanya metatasis.
Skrining terhadap ca prostat masih kontroversi. Penggunaan analisis kadar PSA serum yang
digabungkan dengan colok dubur cukup efektif dalam mendeteksi penyakit ini. Terapi pada
Ca prostat antara lain :10
Karsinoma prostat awal : pembedahan, radioterapi, dan menunggu perkembangan
penyakit.
Pembedahan dianjurkan pada tumor yang berdiferensiasi buruk yang terbatas pada prostat,
walaupun belum pernah diujikan terhadap radioterapi dengan uji klinis acak.
Radioterapi radikal
Brakiterapi menggunakan paladium radioaktif atau benih iodium yang ditanamkan pada
prostat digunakan pada pasien tumor derajat rendah.
13
Hormon Adrogen. Terapi ini baik sebelum radioterapi untuk mengukur ukuran prostat
sehingga mengurangi volume radioterapi dan toksiksitasnya. Efek samping terapi ini
flushing, kelemahan, impotensi dan hilangnya libido.
Infeksi saluran kemih
Adalah infeksi akibat terbentuknya koloni kuman yang ada di saluran kemih yang terjadi
secara asending dan hematogen.11
Anamnesis ISK bawah (frekuensi meningkat, disuria terminal, polakisuria, nyeri
suprapubik), ISK atas (nyeri pinggang, demam menggigil, mual, muntah, hematuria).
Pemeriksaan fisik ditemukan suhu febris, nyeri tekan suprapubik, nyeri ketok kostovertebra.
Pemeriksaan penunjang, urinalisis, kultur urin dan resistensi kuman, tes faal ginjal, gula
darah, BNO-IVP, dan USG ginjal.12
Pemeriksaan laboratorium leukositosis, leukosituria, kultur urin (+); bakteriuria > 105/ml
urin. ISK ditandakan dengan hasil bakteriuria 105 bermakna diagnostik pada biakan urin.
Bakteriuria bermakna tanpa disertai dengan gambaran klinis disebut bakteriuria asimtomatik
(covert bacteriuria). Sedangkan bakteriuria bermakna disertai dengan gambaran klinis disebut
bakteriuria simtomatik.
ISK Bawah, gambaran klinisnya yaitu sistitis adalah gambaran klkinis infeksi saluran
kemih disertai bakteriuria bermakna. Gejalanya sakit suprapubik, polakisuria, nokturia,
disuria, dan straguria. Sindrom Uretra akut (SUA) merupakan gambaran sistitis tanpa
ditemukan mikoorganisme maka sering dinamakan Sistitis bakterialis yang sering disebabkan
oleh mikrorganisme anaerobik. Sindrom ini sering ditemukan pada perempuan 20-50 tahun.
Gejala klinis SUA sulit dibedakan dengan sistitis. Prostatitis, gejala klinis terdiri dari akut
dan kronis (minimal 3 bulan menderita). Paling sering dikeluhkan nyeri prostat/perineum
(46%), nyeri scrotum dan atau testis (39%), nyeri penis (6%), nyeri kandung kemih (6%),
nyeri punggung (2%), sering BAK, sulit BAK seperti pancaran lemah, mengedan dan nyeri
saat BAK/nyeri bertambah saat BAK. Uretritis, gejala uretritis adalah discharge purulen dan
alguria/disuria. Kebanyakan uretritis bersifat asimtomatis.
Faktor risiko ISK, Lithiasis, obstruksi saluran kemih, penyakit ginjal polikistik, nekrosis
papilar, DM pasca transplantasi ginjal, nefropati analgesik, sickle cell, seggama, kehamilan
dan peserta KB dengan progesteron, kateterisasi. Terapi ISK yaitu medika mentosa dan non-
medika mentosa. Non-farmakologi, banyak minum bila fungsi ginjal masih baik dan menjaga
higiene genitalia eksterna. Farmakologis, antimikroba berdasarkan pola kuman.
14
Striktur Uretra
Striktur uretra dapat disebabkan oleh setiap radang kronik atau cedera. Cedera tersebut
terutama adalah cedera iatrogenik akibat katerisasi. Gejala dan tanda striktur uretra biasanya
mulai dengan hambatan arus kemih dan kemudian timbul sindrom lengkap obstruksi leher
kandung kemih seperti digambarkan pada BPH.6
Kesimpulan
Hipotesis diterima.
Laki-laki berusia 60 tahun ini menderita BPH. Hal ini dapat dicurigai dari hasil anamnesis
dengan gejala yang mengarahkan pada diagnosis kerja BPH. BPH terjadi karena
ketidakseimbangan hormonal karena proses penuaan. Biasanya keluhan yang dirasakan
pasien yaitu sulit berkemih, nokturia, kemudian rasa tidak lampias setelah berkemih.
Diagnosis pasti dapat ditegakkan lewat pemeriksaan fisik dan penunjang seperti rectal
toucher, pemeriksaan urinalisis, darah rutin, PSA, USG tersebut sehingga
penatalaksanaannya tepat, baik secara medika mentosa maupun secara nonmedika mentosa,
untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Daftar pustaka
1. Gleadle J. At a glance, anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;2005.h.150-1.
2. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Jakarta: Sagung seto;2003.h.18-27, 33,44.
3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran. Edisi
ke-3. Jakarta: Media aesculapius;2000.h.329-34.
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC;2006.h.1323-4.
5. Kee JL. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. Edisi ke-6. Jakarta: EGC;
2008.h.47-9.
6. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku ajar ilmu bedah.
Jakarta:EGC;2010.h.868, 872-4, 899-905.
7. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins dan Cotran dasar patologis penyakit. Edisi
ke-7. Jakarta: EGC; 2010.h.1069-70.
8. Roehborn, Calus G, McConnell, John D. Etiology, pathophysiology, and natural history
of benign prostatic hyperplasia. In:Campbell’s Urology. 8th ed. W.B. Saunders;2002.p.
1297-330, 1437-44.
9. Grace PA, Borley NR. At a glance ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: Erlangga;2007.h.169.
15
10. Davey P. At a glance medicine, kanker Prostat. Jakarta:Erlangga;2005.h.342-5.
11. Sukandar E. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Infeksi Saluran Kemih pada
dewasa. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2009.p.1008-
13.
12. Aziz R, Sidartawan S, Anna U, Nasir, Prasetya W, Arif M. Panduan Pelayanan Medik
PAPDI, Infeksi saluran kemih. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI;2006.p.174-8.
16