pasang surut relasi islam - negara di indonesia

Upload: agus-rianto

Post on 12-Jul-2015

135 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH Hubungan antara Islam dan Negara merupakan persoalan yang hingga kini masih menjadi perdebatan aktual sebagain besar masyarakat Muslim Indonesia. Perdebatan ini sebenarnya merupakan bagian dari masalah yang lebih besar tentang di mana posisi agama dalam Negara. Dalam hal ini, Islam sebagai agama yang mayoritas dianut masyarakat Indonesia mempunyai kepentingan lebih besar ketimbang agama-agama lainnya. Salah satu alasan yang sering dikemukakan karena Islam terlanjur dipercaya pemeluknya sebagai petunjuk bagi seluruh kehidupan sosial maupun politik. Esposito menjelaskan bahwa, salah satu keyakinan umat sebagian besar umat Islam yang membedakaannya dengan agama lain adalah karena mereka meyakini Islam sebagai agama sempurna yang mengatur segala sesuatunya. Islam adalah keyakinan akan suatu cara hidup yang lengkap dan menyeluruh.1 Di samping itu, pembahasan dan perdebatan di seputar hubungan agama dan negara tampaknya tidak akan pernah berakhir dalam sejarah kehidupan manusia. Banyak peneliti, baik dari kalangan Indonesianis maupun dari Indonesia yang telah melakukan kajian dan studi serius mengenai keterkaitan agama dan negara. Secara garis besar, perbincangan tentang hubugan antara agama dan negara telah melahirkan tiga blok besar dalam kalangan peneliti. Pertama, blok kontra yang dengan tegas menolak adanya hubungan antara agama dan negara. Aliran ini beranggapan bahwaJohn L.Esposito, Identitas Islam, terj. A. Rahman Zainuddin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 31

agama dan negara merupakan dua hal yang berbeda dan bertolak belakang. Agama sama sekali tidak membicarakan persoalan negara dengan jelas. Kelompok ini disebut sebagai kalangan sekuler. Kedua, blok yang mengatakan agama dan negara mempunyai kaitan erat yang tidak dapat dipisahkan. Golongan blok ini sering disebut kaum formalis. Ketiga, blok yang mengambil jalan tengah yang mencoba mencari titik temu antara kedua blok di atas.1 Terlepas dari perdebatan blok-blok di atas, Islam sebagai agama yang sejak awalnya menekankan bahwa wahyu Allah itu memiliki keterkaitan yang erat dengan berbagai persoalan kehidupan, maka dalam perjalanan sejarah masyarakat muslim tidak pernah lepas dari masalah ini. Hal ini juga akan semakin rumit ketika dalam kenyataannya mendudukkan antara Islam dan negara dalam kehidupan sosial tidaklah gampang. Banyak faktor yang membuat rumusan atau pola hubungan antara Islam dan negara tidak mudah. Pernah dalam tahapan sejarah, faktor tersebut dirumuskan dalam istilah-istilah seperti belum diterimanya Islam secara utuh; sekuler; ketakutan terhadap Islam, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, ada sebagian orang Islam berpandangan bahwa beberapa faktor yang turut mempersulit terwujudnya hubungan Islam dan Negara yang harmonis berasal dari sisi dalam masyarakat Islam itu sendiri. Meskipun kecenderungan seperti itu banyak mendapat dukungan dari berbagai kalangan, namun tidak sedikit pula yang menganggap faktor dalam tersebut bukan sebagai persoalan. Harus diakui, hampir semua orang Islam sepakat bahwa Islam itu satu, tetapi penafsiran terhadap semua dimensi ajaran Islam tidaklah tunggal. Beragam potret aliran maupun mazhab baik dalam soal fikih, tasawuf, ilmu kalam maupun cabang ilmu Islam lainnya, merupakan bukti bahwa Islam tidaklahIdris Thaha, Mendamaikan Agama dan Negara dalam Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. viii.1

2

monolitis.2 Inilah yang sebenarnya menjadi salah satu faktor kunci sulitnya mengurai hubungan antar Islam dan Negara. Kompleksitas penafsiran terhadap hubungan antara keduanya akan terus menajadi perdebatan mengingat kenyataan bahwa Islam tidak mungkin bisa diterjemahkan dalam bentuknya yang tunggal. Meskipun ada benang merah yang menghubungkan penafsiran antara keduanya, namun dalam mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari sangat bervariasi. Dengan kata lain, multiinterpretasi tentang Islam memang telah menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dan bahkan menjadi keniscayaan sejarah. Hal inilah yang membedakan antara Islam dengan agama lain seperti agama kristen yang mengenal sistem kependetaan. Dalam Islam, setiap muslim memiliki hak dan otoritas dalam memahami agamanya. Karena kebenaran absolut hanya milik Allah, maka tak seorangpun berhak mengklaim bahwa pemahamannya paling benar dan otoritatif dibanding yang lain. Demikian lenturnya Islam, sehingga seringkali menimbulkan dilema termasuk dalam kemunculan bebagai pemikiran dan pemahaman tentang Islam yang tidak saja berbeda, namun juga bertolak belakang bahkan berbenturan. Dalam konteks penafsiran hubungan antara Islam dan politik misalnya, terjadi perbedaan pendapat yang sangat signifikan dalam umat Islam. Ada yang mengatakan Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Gagasan lainnya mengatakan Islam dan negara merupakan dua entitas yang terpisah dan harus dipisahkan. Sedangkan pandangan yang paling moderatpun juga ada. Pandangan moderat menegaskan, meski Islam dan politik merupakan persoalan yang berbeda, namun keduanya mempunyai kaitan yang sifatnya substansial yang akan selalu ada.3 Tiga tipologi

Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politk Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah (Jakarta: Uhsul Press, 2005), h. 21. 3 Effendy, Jalan Tengah Politk Islam, h. 6.

2

3

pemikiran inilah yang sampai saat ini menjadi patokan untuk menjelaskan dimana seharusnya posisi agama (Islam) dalam negara. B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH Agar pembahasan mengenai hubungan Islam dan Negara tidak terlalu melebar, penulis akan membatasi pembahasan ini pada konsep Hubungan Islam dan negara yang ditawarkan Bahtiar Effendy dengan mengurai beberapa teori dan perspektif yang diajuakannya. Dengan pembatasan masalah seperti itu, maka permasalahan yang akan menjadi objek dan fokus penulisan ini adalah bagaimana hubungan Islam dan Negara menurut Bahtiar Effendy. C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami secara jelas rumusan ideal yang ditawarkan Bahtiar Effendy soal hubungan Islam dan Negara. Serta melakukan alisis kritis terhadapnya. Sementara kegunaan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut: 1. Mengetahui latar belakang Bahtiar Effendy dalam merumuskan hubungan antara Islam dan Negara. 2. Mengetahui faktor penyebab ketegangan antara Islam dan Negara 3. Mengetahui fluktuasi hubungan Islam dan Negara baik saat orde lama maupun orde baru. 4. Mengetahui konsep ideal tentang hubungan Islam dan Negara.

4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pergeseran Paradigma Hubungan Islam dan Negara Selama hampir tiga dekade, (sejak 1940-an sampai akhir tahun 1960-an), ketegangan ideologis antara Islam dan negara tak kunjung menemukan titik temu. Namun, memasuki gerbang tahun 1970-an mulai tumbuh benih-benih intelegensia muslim yang mempunyai pandangan baru mengenai hubungan Islam dan negara. Jika generasi kemerdekaan, terutama epos Mohamad Natsir dan Wahid Hasyim2untuk menyebut beberapa sajalebih menempatkan negara adalah agama; agama adalah negara (al-din wa al-daulah), maka generasi yang muncul kemudian, menempatkan agama sebagai inspirasi atau nilai-nilai untuk mengatur negara, tanpa harus menerapkan hukum agama dalam negara secara legalistik. Para generasi baru ini, terutama yang lahir pada tahun-tahun 1930an dan 1940-an, memberikan respon terhadap tantangan modernisasi dan rasa frustasi politik Muslim dengan penuh energi dan kreativitas. Generasi ini, dalam pembentukannya mengalami eksposur yang intens terhadap radikalisasi ideologis (Islam), yang dikondisikan oleh adanya perdebatanperdebatan politik dalam medan nasional yang memicu konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan antara Islam dan negara. Sebagaimana diakui Bahtiar, geneologi intelegensia generasi ini diawali oleh sistuasi krisis. Situasi yang terkondisikan oleh adanya urgensi untuk membangun sebuah blok historis yang sama-sama menguat: antara ideologi kebangsaan dan Islamisme. Situasi yang tidak mengembirakan ini, demikian Bahtiar, muncul terutamameskipun tidak secara keseluruhankarena hubungan2 Pada pembahasan ini pemikir dan aktivis (politik) Islam generasi pertama atau generasi awal merujuk pada generasi yang terlibat sengit dalam pembentukan ideologi negara (Indonesia), yaitu Mohamad Natsir, Wahid Hasyim, dan lain sebagainya, yang mempunyai aspirasi menjadikan Islam sebagai ideologi negara.

5

politik yang tidak harmonis antara Islam dan negara serta hasil sinergi sosio-kultural dan politik antara keduanya yang tidak begitu tepat. Meski demikian, lahirnya para generasi baru ini memberikan secercah harapan bagi penyelesaian ketegangan antara Islam dan negara dengan menekankan keterpautan yang erat antara Islam dan negara, dan tetap mempertahankan batas yang tepat antara keduanya, serta terhindar dari kehidupan keagamaan (Islam) yang dikontrol negara. Kendati tidak menjadi faktor satu-satunya yang menjadi katalisator keharmonisan hubungan Islam dan negara, namun Bahtiar mengakui, bahwa gagasangagasan generasi baru intelegensia Muslim ini memberikan kontribusi yang sangat besar dalam mendamaikan hubungan Islam dan negara. Oleh karena itu, pembahasan berikutnya akan spesifik pada pandangan-pandangan inti Bahtiar Effendy tentang hubungan Islam dan negara. Agar lebih terstruktur, pembahasan akan mengikuti kronologi ide Bahtiar Effendy tentang hubungan Islam dan negara dengan susunan berikut. Pertama, akan mengeskplorasi lahirnya generasi baru intelegensia Muslim yang menurut Bahtiar memberikan pengaruh besar terhadap pergeseran paradigma dalam memandang hubungan Islam dan negara. Selain itu, karena ia tidak menjadi faktor satu-satunya, maka ide tentang reformasi birokrasi dan gerakan transformasi sosial juga akan disertakan. Kedua, pembahasan akan masuk pada melemahnya kooptasi negara atas peran politik kaum Muslim. Pada moment ini, kecenderungan negara yang lebih akomodatif terhadap aspirasi politik Islam akan didedahkan dengan mengungkap beberapa bukti. Ketiga, ingin melihat orisinilitas gagasan Bahtiar Effendy tentang hubungan Islam dan negara. Pada pembahasan ini akan diurai arah baru hubungan yang tepat antara Islam dan negara yang ditawarkan Bahtiar. Selain itu, perlu ditambahkan, bahwa apakah ide tersebut bisa disebut baru dalam spektrum hubungan Islam dan negara pada umumnya; serta mampukah ia mempertahankan hubungan tersebut secara ajek. Keempat, catatan kritis yang ingin melihat

6

beberapa ruang yang tidak diisi oleh Bahtiar mengenai hubungan Islam dan negara, serta menguji kekuatan dan kelemahan gagasangagasannya.

1. Generasi Baru Intelegensia Muslim Periode tahun 1980-an dan 1990-an, sebagaimana ditengarai oleh Yudi Latif,3 merupakan masa panen raya bagi intelegensia Muslim Indonesia dari berbagai gerakan. Hal itu dibuktikan bukan hanya karena jumlah intelegensia Muslim yang memiliki kualifikasi-kualifikasi pendidikan tinggi mencapai tingkatan yang belum pernah ada sebelumnya, melainkan juga jumlah mereka yang meraih gelar pasca-sarjana dari luar negeri, terutama dari universitas-universitas di Barat (khususnya Amerika Serikat), juga lebih besar dibandingkan dengan periode manapun dalam sejarah Indonesia. Profil pendidikan penduduk Indonesia berdasarkan agama, yang didasarkan pada Survei Antarsensus Indonesia yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik, menunjukkan bahwa dari tahun 1976 sampai 1995, kelompok penduduk Muslim mengalami peningkatan pendidikan secara ajek, terutama setalah akhir 1980-an.4 Akses terhadap pendidikan Barat ini, pada gilirannya, memberikan kontribusi besar terhadap pergeseran paradigma hubungan Islam dan negara karena ide-ide mereka lebih inklusif. Selain akses terhadap pendidikan Barat, transformasi ide-ide pemikir Barat tentang tema-tema pembaharuan, khususnya hubungan Islam dan negara, bagi mahasiswa Islam di Indonesia juga cukup memberi pencerahan. Bahtiar menengarai, pertukaran ide yang begitu intens dengan beberapa pemikir sekular Barat,5 membuat generasiYudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan, 2005), h. 580. 4 Ibid., h. 580. 5 Beberapa buku yang cukup berpengaruh di kalangan generasi intelgensia Muslim baru ini adalah karangan seorang teolog berkebangsaan Amerika Serikat bernama, Harvey Cox,The3

7

intelegensia Muslim ini mendiagnosa bahwa permusuhan akut antara Islam dan negara berkaitan erat dengan dimensi-dimensi teologi atau filosofis filsafat politik Islam. Landasan-landasan teologis atau filosofis tersebut, membentuk dan mempengaruhi pemikiran dan praktik para politisi Muslim generasi awal. Aktivis dan pemikir Muslim pertama ini memahami Islam secara komprehensif (tetapi literal) yang menganggap Islam sebagai agama yang sempurna; mengurusi segala urusan di dunia, termasuk masalah-masalah kecil (seperti makan dan minum), apalagi masalah besar, seperti masalah kenegaraan. Pandangan yang demikian, berimplikasi pada aspirasi mereka yang berpretensi untuk mengatur negara menurut Islam, menerapkan hukum agama (Islam) dalam negara secara formal dan legal, dan tidak memberi kebebasan kepada warga negara untuk berkeyakinan sesuai agama (madzhab) yang dianutnya. Dengan demikian, menurut Bahtiar, intelgensia Muslim baru ini melihat bahwa komunitas politik Islam sebelumnya mengalami kesulitan besar dalam mencari titik temu pandangan teologis-filosofis mereka dengan realitas politik Nusantara. Berbagai epos sejarah sebelumnya menunjukkan bahwa ikhtiar membangun sebuah hubungan yang kaku, formalistik dan legalistik, antara Islam dan negara berujung pada kegagalan; mengalami pertengkaran yang akut; bahkan pada level tertentu menjurus pada kekerasan. Kegagalan ini, demikian Bahtiar, disadari betul oleh intelegensia Muslim berikutnya dengan mempertanyakan seluruh rumusan dasar perjuangan politik Islam generasi Natsir: baik menyangkut ketepatan strategi, efektifitas taktik, dan cita-cita politik Islam.

Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective. Selain itu, buku berjudul Basic Demands and Fundamental Values of Socialist Democratic Party. Buku ini merupakan buku pedoman ideologi Partai Demokrat Sosial di Jerman Barat. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 139; Djohan Effendi & Ismet Natsir (penyunting), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 162.

8

Tokoh-tokoh terkemuka dari generasi baru intelegensia Muslim, seperti Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Nurcholish Madjid keberatan dengan gagasan pemikir dan aktivis Islam sebelumnya yang ingin menempatkan Islam sebagai sebuah ideologi atau pemikiran: bahwa negara merupakan perpanjangan (atau bagian integral) dari Islam. Dikatakan, Meskipun Islam, sebagai agama, mempunyai ajaran-ajaran sosial-politik, ia bukanlah sebuah ideologi. Ideolog Islam itu tidak ada.6 Pernyataan salah satu eksponen generasi intelegensia Muslim baru ini, yiatu Dawam Rahardjo, membuktikan bahwa mereka betul-betul mempunyai perspektif baru dalam melihat hubungan Islam, dan sama sekali tidak berpretensi unuk menjadikan Islam sebagai sebuah ideologi apapun. Bahtiar Effendy mencatat, bahwa semua eksponen dari intelegensia Muslim baru ini mempunyai pemahaman kurang lebih sama dengan Dawam. Djohan Effendy dan Ahmad Wahib misalnya, ia menegaskan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah memproklamasikan berdirinya sebuah negara Islam.7 Dengan gagasan ini, Djohan dan Wahib sepertinya berikhtiar dengan gigih melakukan terobosan-terobosan pemahaman keagamaan yang lebih terbuka (inklusif) menyangkut hubungan Islam dan negara. Keterbukaan mereka setidaknya bisa mempertemukan antara Islam dan negara yang sebelumnya bermusuhan. Lebih dari itu, dengan pemahaman yang demikian, mereka lebih berpretensi menempatkan seluruh warga negara pada status yang sama, baik dalam haknya maupun dalam kewajibannya. Sebagai intelegensia Muslim baru yang bernaung di bawah organisasi HMI Yogyakarta, Dawam, Djohan, dan Wahibtanpa menafikan yang lainmenyerukan perlunya penyegaran pemahaman terhadap Islam. Perlu diakui, pada tahun 1970-an, bahwa di tubuh HMI tumbuh subur ide-ide pembaharuan yang dimotori oleh para aktivis-aktivisBahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 12-13. 7 Ibid., h. 13.6

9

di atas. Selain di HMI, punggawa-punggawa di atas adalah peserta tetap kelompok diskusi Limited Group (1967-1971), di bawah asuhan Mukti Ali. Menurut Bahtiar, melalui diskusi-diskusi yang intens, baik dalam lingkungan HMI ataupun di Limited Group, mereka melakukan terobosan penting dalam penyegaran pemahaman keagamaan sehingga sampai pada poin-poin berikut.8 Pertama, generasi intelgensia Muslim baru ini berpandangan bahwa tidak ada bukti yang valid bahwa al-Quran dan Sunnah meniscayakan kaum Muslim untuk mendirikan negara Islam. Sejarah politik Nabi Muhammad bagi mereka tidak memberi eksemplar tentang proklamasi negara Islam. Dengan demikian, para punggawa tersebut tidak sependapat dengan agenda politik para pemimpin dan aktivis Islam generasi awal yang berpretensi untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, dan ingin menerapkan hukum Islam secara legal formal. Kedua, eksponen intelegensia Muslim baru ini mengakui bahwa Islam memiliki nilai-nilai etis atau prinsip-prinsip sosial-politik. Namun demikian, mereka tidak beranggapan bahwa Islam sebagai ideologi. Ideologi Islam, demikian kata mereka, tidak ada. Lebih dari itu, mereka berkesimpulan bahwa menjadikan Islam sebagai ideologi berujung pada reduksionesme Islam. Ketiga,Islam itu bersifat permanen dan universal sehingga tafsir terhadapnya tak dapat dibatasi hanya pada aspek formal dan legal. Sebaliknya, tafsir terhadap ajaran Islam harus didasarakan pada pemahaman yang paripurna atas teks dan semangan al-Quran dan Sunnah. Keempat, mereka mempercayai hanya Allah yang memiliki kebenaran mutlak. Karenanya pemahaman orang atas doktrin Islam bersifat terbatas dan relatif. Karena doktrin Islam itu multitafsir dan Islam sendiri tidak mengenal struktur kependetaan dalam beragama, maka tak

8

Ibid, h. 15.

10

ada seorangpun yang berhak mengklaim bahwa pemahamannya mengenai Islam lebih benar daripada pemahaman orang lain. Dalam kacamata Bahtiar, ide-ide di atas merupakan torobosan baru bagi perkembangan format politik Islam. Lebih jauh, ia menegaskan bahwa generasi intelgensia Muslim baru ini menganjurkan perlunya perumusan agenda politik Islam secara baru, yang lebih berorientasi pada isi ketimbang simbol. Oleh karena itu, mereka tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk tidak menerima Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Dengan kata lain, mereka meneguhkan bahwa keterikatan komunitas Muslim haruslah pada nilai-nilai Islam, daripada ke lembaga sosial-politik, kendati memakai simbol-sismbol Islam.9 Klimaks dari terobosan intelegensia Muslim baru ini, menurut Bahtiar, terletak pada gagasan mendiang Nurcholish Madjidsapaan akrabnya Cak Nuryang dituangkan dalam sebua paper berjudul, Keharusan Pembaruan Pemikian dan Masalah Integrasi Umat, yang disampaikan pada awal tahun 1970-an. Analisanya yang tajam dan mengena pada kondisi umat Islam yang sedang mandeg, ia menawarkan sebuat pembaharuan bagi umat Islam, karena komunitas Muslim kehilangan daya dobrak psikologis dalam perjuangan mereka. Poin penting dari analisis-analisisnya dalam paper tersebut, menyangkut hubungan Islam dan negara adalah jargon Islam Yes, Partai Islam, No, serta keharusan sekularisasi. Bahtiar menempatkan gagasan Cak Nur, tentang Islam Yes, Partai Islam, No, sebagai ikhtiar untuk mendorong umat Islam agar mengarahkan komitmen mereka kepada nilai-nilai Islam, bukan kepada partai-partai Islam, kendati menggunakan simbol Islam. Sementara terminologi kontroversial Cak Nur, mengenai sekularisasi, lebih ditujukn untuk menempatakan sesuatu secara proporsional. Karena ia menganggap bahwa para penanggap dan pengkritiknya ahistoris dalam

9

Ibid.

11

menafsirkan terhadap ide yang digagasanya, berulangkali Nurcholish Madjid membedakan sekularisasi dengan sekularisme. Menurutnya, sekularisasi tidak dimaksudkan untuk menerapkan sekularisme, karena Secularism is the name for an ideology, a new closed word view which funtion very much like a new religion (sekularisme adalah nama untuk sebuah ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang fungsinya sangat mirip dengan sebuah agama baru).10 Para pengkritiknya menganggap bahwa sekularisasi tanpa sekularisme adalah mustahil. Sekularisasi tidak lain adalah penerapan sekularisme. Kritik itu kemudian disambut oleh Cak Nur dengan menjelaskan secara lebih detail dan hati-hati terhadap istilah yang menjadi polemik itu. Cak Nur tetap konsisten pada pendiriannya bahwa sekularisasi bukanlah bertujuan untuk menerapkan sekularisme. Ia mencoba menempatkan istilah sekularisasi secara tepat melalui analogi istilah: sekularisasi dan sosialisasi. Menurutnya, istilah sosialisasi yang dalam bahasa Inggrisnya socialised medicine (pengobatan yang disosialisasikan),11 belum tentu merupakan penerapan sosialisme. Di negara-negara kapatalis justru sosialisasi pengobatan itu terjadi dengan pesat sekali. Demikian juga dengan istilah sekularisasi, belum tentu merupakan penerapan sekularisme. Dengan menganalogikan istilah sekularisasi dan sosialisasi seperti di atas Cak Nur berharap agar para pengkritiknya bisa membedakan apa yang dimaksud dengan sekularisasi dan sekularisme. Lebih jauh, Cak Nur mengakui bahwa sekularisasi bisa saja dimengerti sebagai proses sosial politik menuju sekularisme, dengan implikasi paling ekstrimnya adalah pemisahan secara total agama dari negara. Namun, pengertian seperti ini bukanlah satu-satunya pengertian yang bisa dijadikan rujukan. Pengertian lain dari sekularisasi yang bisa10

Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1993), h. Ibid, h. 221.

207.11

12

dijadikan rujukan adalah yang bersifat sosiologis, bukan filosofis. Misalnya Talcot Parson dan Robert N. Bellah, yang menegaskan bahwa sekularisasi, dalam pengertian sosiologis, adalah pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya, dan tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai kemasyarakatan. Bahkan, proses pembebasan dari takhayul itu semata-mata terjadi karena dorongan, atau merupakan kelanjutan logis dari suatu bentuk orientasi keagamaan, khususnya monoteisme.12 Sekularisasi dalam pengertian ini, berpangkal dari monoteisme yang antara lain berakibat pada penurunan nilai pranata-pranata sosial (baik kesukuan, kekeluargaan dan, lainnya) dan menjadikan pusat kesucian hanya kepada Tuhan. Dengan demikian, kata sekularisasi dalam pengertian sosiologis mengandung arti pembebasan, yaitu pembebasan dari sikap penyucian yang tidak pada tempatnya. Karena itu, ia mengandung makna desakralisasi, yaitu pencopotan ketabuan dan kesakralan dari obyekobyek yang semestinya tidak tabu dan tidak sakral. Namun, kendati pengertian sosiologis sekularisasi itu relatif banyak digunakan oleh para ilmuan sosial, harus diakui bahwa masih tetap ada kontroversi di sekitar istilah itu. Sebagaimana diakui Cak Nur, hal itu terjadi karena sekularisme sendiri lahir pada zaman Pencerahan Eropa yang mempunyai semangat anti-agama. Sehingga cukup sulit untuk menentukan kapan proses sekularisasi dalam pengertian sosiologisnya berhenti dan berubah menjadi penerapan sekularisme secara filosofis.13 Sejalan dengan ikhtiar tersebut, pemikir-pemikir lain seperti Harun Nasution, Munawir Sjadzali, dan Abdurrahman Wahid, dalam pandangan Bahtiar, juga mengemukakan pandangan-pandangan teologis lain yang kurang lebih sama. Pada prinsipnya, mereka semua lebih menekankan isi (substance) daripada bentuk (form) dalam menerjemahkan Islam hubungannya dengan negara. Komunitas politik Muslim, demikian Bahtiar,12 13

Ibid, h. 258. Ibid, h. 207.

13

tidak harus mengartikulasikan aspirasi politiknya secara formalistiklegalistik, namun harus berkomitmen kepada nilai-nilai Islam yang lebih substansialistik. 2. Keterlibatan dalam Birokrasi Selain munculnya generasi baru intelegensia Muslim yang memberi pengaruh besar terhadap paradigma baru hubungan Islam dan negara, Bahtiar mengakui bahwa reformasi birokrasi menjadi salah satu pilar yang meneguhkan pergeseran pandangan tentang hubungan Islam dan negara. Arus besar gerakan ini, demikian Bahtiar, meyakini bahwa ketegangan hubungan Islam dan negara akan menghilang jika para pemikir dan aktivis Muslim melibatkan diri dan berpartisipasi dalam proses kehidupan birokrasi negara. Islam tidak seharusnya diposisikan vis-a-vis dalam kaitannya dengan negara; serta tidak perlu menempatkan Islam sebagai entitas yang bertentangan dengan Pancasila.14 Menurut penganut aliran ini, hubungan antara Islam dan negara bersifat komplementer, yaitu dalam Pancasila terkandung nilai-nilai Islam. Dengan demikian, dilihat dari perspektif keagamaan tidak ada keharusan bagi komunitas Islam untuk mempermasalahkan bangunan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Selain itu, Bahtiar mengemukakan bahwa mereka yang menganut gerakan ini beranggapan, sepanjang sejarah politik Islam modern, para pemimpin dan aktivis politik Islam belum mampu mengembangkan sebuah tradisi pemerintahan yang kuat. Ketika tokoh-tokoh terkemuka dari komunitas Muslim diberi kesempatan untuk mendudukan jabatan birokrasi dalam pemerintahan, komunitas Islam politik tidak mempunyai peran yang dominan dalam mengemban jabatan-jabatan tersebut. Realitas ini menunjukkan bahwa aktivis politik Islam tidak hanya marjinal dalam negara, tetapi juga tidak-dekat dengan negara.

14

Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 21.

14

Hal penting lain, menurut Bahtiar, aktivis gerakan ini mempercayai bahwa pendekatan seperti ini dinilai efektif untuk mengembalikan harga diri politik komunitas Muslim, yang sering diperlakukan sebagai kaum marjinal dalam panggung politik di Indonesia. Di samping itu, strategi ini dipandang penting untuk menghidupkan kembali perhatian komunitas politik Islam terhadap masalah-masalah kenegaraan. Sang pemula dari gerakan ini adalah Dahlan Ranuwihardja, mantan ketua umum HMI dan GPII tahun 1960-an. Ia berpendapat, demikian menurut Bahtiar, dalam bingkai negara yang berasap pada Pancasila, terdapat banyak peluang dan ruang untuk mengimplementasikan nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu, komunitas politik Muslim tidak mempunyai alasan yang kokoh untuk menolak negara Indonesia yang berdasarkan Pancasilah. Bahkan, ketika masalah negara Islam versus negara nasional mencuat ke publik Bumiputera, penganut alur berpikir ini mendukung negara nasional.15 Selain Dahlan Ranuwihardja, di tahun-tahun kemudian, gerakan ini diteruskan oleh beberapa seperti Mintaredja, Sulastomo, Harono Mardjono, Akbar Tanjung, dan Ridwan Saidi. Dalam perspektif birokratis, tradisi ini dikembangkan oleh eksponen seperti Sularso, Bintoro Tjokroamidjojo, Barli Halim, Bustanil Arifin, Madjid Ibrahim, Norman Razak, Zainul Yasni, Omar Tusin, Syadillah Mursyid, Marie Muhammad, Hariri Hadi, dan lain sebagainya. Kendati para eksponen ini seringkali dicap keluar dari perjuangan politik umat Islam, karena memilih jalur yang berbeda dengan komunitas politik Muslim lainnya, namun mereka memberikan kontribusi besar pada proses Islamisasi birokrasi.16 3. Gerakan Transformasi Sosial Gerakan transformasi sosial memang tidak secara spesifik memberikan perhatian pada hubungan Islam dan negara. Seperti diakui Bahtiar, gerakan ini adalah salah satu gerakan yang paling sulit15 16

Ibid, h. 23. Ibid, h. 24.

15

dideskripsikan karena lebih memberikan prioritas pada penguatan masyarakat sipil (civil society) vis-a-vis negara. Namun demikian, Bahtiar melihat kaitan ide-ide madzhab transormasi sosial ini dalam ikhtiarnya untuk menciptakan hubungan yang sinergis dan integratif antara Islam dan negara terletak pada beberapa poin berikut.17 Pertama, madzhab gerakan transformasi sosial ini memberikan perhatian secara sfesifik pada berkembangnya suatu masyarakat yang egaliter dan emansimasifatif. Bagi Bahtiar, agenda yang demikian hendak menempatkan pendekatan yang lebih integratif atau tidak partisan sifatnya. Mereka menyadari bahwa untuk mewujudkan ide-ide transformatifnya diperlukan serangkaian strategi dan garapan yang lebih diversifikatif. Strategi dan langkah-langkah yang diambil oleh madzhab ini biasanya berujung pada penguatan civil society dengan membangun lembaga-lembaga sipil, seperti LSM, lembaga riset, ormas-ormas, dan lain sebagainya. Kedua, penganut alur berfikir ini beranggapan, dan memang begitu kenyataannya, bahwa rezim Orde Baru telah membuat negara sedemikian kuat, dan bahkan cenderung otoriter. Karena demikian, negara berfungsi sebagai institusi yang paling dominan dalam pembangunan sosial dan politik masyarakat. Menyadari kondisi dan situasi ini, penganut gerakan transformasi sosial megambil langkah uutama ntuk bekerjasama dengan berbagai lembaga/aktor, atau institusi demi terwujudnya masyarakat yang transformatif, kuat, mandiri, dan tidak mempunyai ketergantungan pada negara. Oleh karena itu, Bahtiar berkesimpulan, bahwa melalui strategi yang demikian, gerakan transformasi sosial ini, mendorong komunitas Muslim untuk memaknai politik secara lebih luas, tidak hanya terjebak pada satu panggung perjuangan politik yaitu melalui parlemen. Dengan kata lain, perjuangan politik kaum Muslim bisa seluas ranah kemasyarakatan dan kenegaraan pada umumnya. Selain itu, komunitas17

Ibid, h. 25.

16

politik umat Islam juga diajak untuk merumuskan hubungan yang secara esensial lebih penting antara kekuatan politik Islam dengan negara serta lembaga-lembaga yang ada, utamanya dengan institusi yang mempunyai aspirasi sama. Pada tahap berikutnya, madzhab ini juga mengajak umat Islam untuk merumuskan kembali tujuan politik Islam yang lebih terbuka.18 Dalam tilikan Bahtiar, eksponen utama dari gerakan transformasi sosial ini adalah Sudjoko Prasojo dan Dawam Raharjdo. Meski Dawam Rahardjo juga termasuk pada generasi intelegensia Muslim baru yang punya perhatian terhadap pembaruan dan penyegaran pemahaman keislaman, namun ia juga masuk dalam katagori ini. Sudjoko Prasojo menggunakansalah satunyaPerguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) sebagai institusi untuk menerjemahkan gagasan-gagasannya; sementara Dawam Rahardjo berjuang di atas lembaga bernama Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Eekonomi dan Sosial (LP3ES). Dalam perkembangan berikutnya, gerakan ini deteruskan oleh Adi sasono dengan Lembaga Studi Pembangunan (LSP) sebagai medan utamnya.19 Ia menggawangi lembaga ini dengan merumuskan gerakan transformasi sosialnya melalui berbagai studi kebijakan, seperti sosial, ekonomi, dan politik untuk membela keadilan kaum sosial tertindas ekonomi, dan dan mengkampanyekan demokratisasi politik. Untuk sementara, bisa disimpulkan bahwa tiga aras utama gerakan di atas sangat berbeda dengan apa yang diperjuangkan oleh aktivis dan pemikir Muslim generasi awal. Jika eksponen generasi awal lebih menekankan pada keterpautan Islam dan negara secara kakukarena pengaruh pemahaman keagamaan merekamaka generasi setelahnya lebih terbuka dengan medan perjuangan yang mereka pilih sendiri. Oleh karena itu, jika diringkas, sebagaimana sering diungkapkan oleh Bahtiar dalam beberapa tulisannya, paradima hubungan Islam dan negara telah bergesar: pada awalnya menekankan legal-formal menuju18 19

kesetaraan,

Ibid., h. 26. Effendy, Islam dan Negara, h. 169-170.

17

komitmen pada substansi dan nilai-nilia. Dan, berkat gerakan ini pula, negara kemudian memperlunak cengkaramannya terhadap komunitas politik umat Islam.

B. Melemahnya Kooptasi Negara atas Politik Islam Pengaruh gagasan baru intelegensia Muslim dengan tiga arus utama artikulasinya dalam memperbaiki hubungan Islam dan negara memberi kontribusi besar terhadap peran negara untuk menurunkan tensinya mendesak peran politik Islam ke pinggiran. Selain itu, ketegangan internal rezim Orde Baru, khususnya Soeharto dengan militer juga turut memberi keuntungan tersendiri bagi komunitas politik Islam. Ketidakpuasan militer terhadap Soeharto, membuat Soeharto menoleh pada komunitas politik kaum Muslim untuk dijadikan patner dalam menjalankan proses-proses kenegaraan dan kebangsaan. Seperti yang diamati oleh Yudi Latif, Sikap-sikap bersahabat yang ditunjukkan oleh organisasi-organisasi Muslim terhadap ajaran resmi (ortodoksi) negara mendorong rezim penguasa untuk mengakomodasi representasi Muslim dalam kepemimpinan politik dan birokrasi Orde Baru.20 Proposisi Yudi Latif di atas menggambarkan pergeseran paradigma komunitas Muslim dalam melihat hubungan Islam dan negara yang semakin nyata. Hal ini yang menyebabkan negara punya iktikad baik untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan kaum Muslim. Kebijakan iktikad baik yang dijalankan negara terhadap kepentingan-kepentingan kaum Muslim juga tampak jelas dalam peningkatan dukungan terhadap Islam, baik struktural maupun kultural, seperti diindikasikan oleh peningkatan yang berarti dalam subsidi-subsidi pemerintah terhadap masjid-masjid dan sekolah-sekolah agama; serta disahkannya beberapa undang-undang yang lebih menguntungkan bagi kepentingan umat Islam.20

Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, h. 576.

18

Implikasinya, arus urbanisasi komunitas Muslim untuk melebur ke dalam negara meledeak. Ledakan terbesar arus urbanisasi komunitas Muslim dari pinggiran ke panggung kekuasaan, baik dalam birokrasi maupun dalam partai (Golkar), terjadi di pertengahan tahun 1980-an (utamanya, tahun 1983-1988). Pada saati itu pula, pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan yang lebih akomodatif terahdap kepentingan kaum Muslim. Pada momen ini, komunitas politik Muslim merasa bisa merefleksikan suatu tindakan sejarah (historical action) dan menemukan kembali sejarah (historical self-invention) mereka yang telah terputus (ruptures)untuk menyuarakan aspirasi politiknya dengan langgam yang berbeda. 1. Panggung Politik Umat Islam Setelah hampir empat dekade umat Islam kehilangan medan aktualisasi dirinya untuk bisa bersuara melawan proses marginalisasi politik dan ekonomi, memasuki penghujung tahun 1970-an kalangan Muslim mulai menemukan kembali ranah perjuangannya dalam menyuarakan kepentingan mereka. Seperti dikatakan oleh Bahtiar Effendy: Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian (besar) masyarakat Islam. Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas, ada yang bersifat (1) struktural, (2) legislatif, (3) infrastruktural, dan (4) kultural.21 Dalam matra yang pertama, Bahtiar berpandangan bahwa negara semakin membuka ruang kepada aktivis-aktivis Islam untuk terlibat dalam proses kenegaraan, baik melalui jalur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Mereka ini ditampung baik di birokrasi pemerintahan, maupun dalam partai Golkar. Bahkan, seiring dengan kian membaiknya hubungan21

Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 35.

19

antara

komunitas

Muslim

dengan

pemerintah,

komposisi

Kabinet

Pembangunan Kelima Presiden Soeharto (1988-1993) mengakomodasi figur-figur teknokrat santri dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sikap akomodatif pemerintah terhadap intelektual Muslim juga ditunjukkan dengan diangkatnya Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan beberapa tokoh terkemuka Muslim lainnya sebagai anggota MPR dari utusan golongan di bawah bendera Golkar.22 Klimaks dari ini semua, menurut Bahtiar, adalah keterbukaan pemerintah dalam mendukung pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada 1990. Pada matra yang kedua, Bahtiar menengarai, sikap akomodasi negara terhadap komunitas Islam ditunjukkan dengan disahkannya sejumlah undang-undang yang memihak pada kepentingan komunitas Muslim. Misalnya, disahkannya Undang-Unang Pendidikan Nasional (UUPN) pada 1989; disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) pada 1989; kompilasi hukum Islam pada 1991; kebijakan baru tentang jilbab pada 1991; SKB tentang BAZIS pada 1991; dan kebijakan SDSB pada 1993.23 Matra yang ketiga, menurut Bahtiar berhubungan dengan semakin tersedianya berbagai infrastruktur yang diperlukan oleh komunitas Muslim untuk menjalankan kewajiban kegamaannya. Melalui Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Soeharto membangun ratusan masjid danatas permintaan Majelis Ulama Indonesia (MUI)memotori pengiriman para juru dakwah ke daerah-daerah terpencil. Yang paling fenomenal adalah kesediaan negara membantu mendirikan sebuah bank yang beroperasi menurut tuntunan ajaran Islam, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1991.24 Matra yang keempat, demikian Bahtiar, menyangkut akomodasi kultural negara terhadap Islam. Hal ini ditunjukkan dari iktikad baik negara22 23

Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, h. 577-578. Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 35. 24 Ibid., h. 36.

20

untuk tidak melarang idiom-idiom Islam dalam perbendaharaan bahasa pranata ideologis komunitas Muslim, baik dalam organisasi kemasyarakatan, kemahasiswaan, maupun politik kenegaraan. Menurut Bahtiar, hal ini merupakan bentuk akomodasi negara secara kultural yang paling dini dibanding yang lain.25 Dalam konteks ini, kemudian Bahtiar Effendy melakukan abstraksi dari hasil-hasil studinya yang panjang untuk memberikan temuan baru menyangkut hubungan Islam dan negara. Selain itu, ia mencoba merumuskan dan meramalkan apakah perkembangan hubungan Islam dan negara yang semakin adekuat itu bisa bertahan lama (bergerak maju) atau sebaliknya (bergerak surut). C. Arah Baru Hubungan Islam dan Negara Sebagaimana seorang pemikir terkemuka, setelah mendiskripsikan berbagai perkembangan politik Islam kaitannya dengan negara, Bahtiar Effendy mencoba memecah kebuntuan akut dengan memberi arah baru hubungan antara Islam dan negara yang ideal. Menurutnya, dalam dua puluh tahun terakhir, perkembangan hubungan Islam dan negara semakin ditemukan titik-temunya, terutama, berkat lahirnya generasi intelgensia Muslim baru dengan berbagai agenda dan cita-cita politiknya yang lebih mengedepankan nilai-nilai daripada simbol-simbol. Dalam perkembangannya, gerakan dan formulasi baru tersebut berimplikasi pada pencarian yang memungkinkan antara Islam dengan sistem yang dianut negara-bangsa modern pada umumnya, yaitu demokrasi. Dalam tilikan Bahtiar, Islam dan demokrasi bisa dipertemukan melalui prasarat-prasarat tertentu, dan negara-negara Muslim, khususnya di Indonesia, tidak terlalu sulit untuk menerima demokrasi dengan prasarat-prasarat tertentu pula. Oleh karena itu, dengan adanya penerimaan terhadap demokrasikarena keduanya memang bisa

25

Ibid., h. 35.

21

dipertemukanakan berimplikasi pada hubungan Islam dan negara yang lebih integratif. 1. Penerimaan terhadap Demokrasi Bahtiar mengakui, bahwa bergulirnya demokrasi yang dianut dalam sistem negara-bangsa dunia Islam, termasuk di Indoneisa, tidak serta merta diterima begitu saja. Ia selalu melalui pergulatan panjang karena demokrasi hadir secara tidak ramah; ia berbarengan dengan serbuan kolonialisme yang notabene rekayasa kaum penjajah sebagai upaya untuk melumpuhkan daya resistensi kekuatan terpenting Bumiputra. Dalam konteks ini, demokrasi sedari awalnya telah saling berhadapan dengan Islamisasi. Hal ini mengandung implikasi yang sangat penting, karena untuk kurun panjang sejarah pra-kolonial Indonesia, Islam berperan penting sebagai semen perekat yang paling kuat dalam mempersatukan gugusgugus manusia dari pelbagai latar geografis, bahasa, budaya, dan sejarah. Sejarah pra-kolonial Indonesia, sebagaimana banyak dikatakan para ahli, tidak memiliki pengalaman persatuan nasional. Bisa dikatakan, satu-satunya faktor pemersatu yang paling efektif dalam perjuangan nasional untuk kemerdekaan adalah jaringan sentimen kolektif yang bersumber dari solidaritas umat Islam. Basis afirmasi dari nasionalisme relegius seperti itu adalah bahwa perbedaan identitas kelompok keagamaan membentuk jurang yang tak terjembatani antara penguasa dan yang dikuasai, bahwa pemerintah Kristen Belanda tidak memiliki hak moral untuk memerintah umat Islam. Karena Islam tampil sebagai elemen dasar nasionalisme Indonesia, setidaknya pada tahap awal perjuangan kebangsaan Indonesia, dan menjadi agen utama yang memproduksi bahasa keresahan dan pemberontakan, bisa dipahami jika kekuatan-kekuatan kolonial memberikan perhatian yang besar pada proyek sekularisasi sebagai upaya untuk mengenyahkan Islam dari ranah politik (political sphere).

22

Dampak dari semua itu, adalah terseretnya sebagian komunitas politik Muslim Nusantara untuk memposisikan diri berlawanan dengan demokrasi yang diwariskan oleh kolonial Belanda. Posisi yang demikian, kemudian dianggap menjadi salah satujika tidak semuanyapenyebab bahwa Islam seakan-akan tidak ditemukan unsur-unsur kesamaannya dengan demokrasi. Hal itu bisa dibuktikan, misalnya, dari karya-karya para ahli yang membahas tentang demokrasi, sedikit sekalijika tidak ingin dikatakan tidak adayang memasukkan dunia Islam sebagai tema bahasannya. Menurut Bahtiar, hasrat untuk meminggirkan sebagian besar dunia Islam, dan seluruh negara Arab, dari survei demokrasi ini berpijak di atas argumentasi bahwa negara-negara ini secara keseluruhan tidak memiliki pengalaman yang memadai tentang demokrasi, dan lebih dari itu, menurut mereka, dunia Islam tidak mempunyai prospek untuk melakukan proses transisi menuju demokrasi, atau paling minimal transisi ke semidemokrasi. Bahkan, pemikir seperti Huntington dan Fukuyama, demikian Bahtiar, sampai pada kesimpulan yang agak gegabah: bahwa Islam secara inherent tidaklah sesuai dengan demokrasi dan malah menjadi ancaman besar terhadap kegiatan-kigiatan demokrasi (liberal).26 Persepsi yang demikian, bagi Bahtiar, terbentuk karena adanya pandangan yang tunggal terhadap Islam. Terlebih lagi, pikiran seperti ini hanya merujuk pada kegiatan sementara aktivis Muslim militan dan radikal, khususnya yang berkecambah di Timur Tengah. Fatalnya, istilah seperti Islam militan, radikal Islam, Islam extrimist, dan sejenisnya digunakan secara serampangan, dan dianggap mencakup seluruh pemimpin, negara, dan organisasi yang berada di dunia Islam. 27 Anggapan sebagian besar pengamat Barat tentang Islam yang bersifat tunggal itu, berasal dari pemahaman mereka yang terbatas tentang sifatBahtiar Effendy, Demokrasi dan Agama: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005), h, 155-172. 27 Akbar S. Ahmed, Posmedernisme Islam: Tantangan dan Harapan, (Bandung: Mizan, 1997), h.26

23

dan esensi Islam, baik dalam tataran ide (sebagaimana terdapat dalam alQuran dan Sunnah) ataupun historis (sebagaiamana tergambarkan dalam pengalaman kesejarahan komunitas Muslim). Bahtiar melihat, bahwa kesalahan para pengamat Barat terletak pada ketidakmampuan mereka untuk memahami Islam sebagai agama yang multitafsir. Bahwa dalam mozaik gerakan Islam, tidak hanya sematamata gerakan Islam fundamentalisyang ingin menerapkan hukum agama dalam negarayang tumbuh, tetapi juga gerakan-gerakan Islam yang lebih menekankan nilai-nilai dan substansi juga mulai berkecambah di hampir deretan dunia-dunia Islam. Oleh karena itu, seharusnya para pengamat Barat jangan menerapkan standar ganda dengan mengekspos secara besar-besaran, misalnya fundamentalime Islam, tetapi mereka juga harus menoleh terhadap gerakan-gerakan Islam yang relatif liberal. Dalam konteks Indonesia, seperti dijelaskan dalam pembahasan terdahulu, terdapat dua mainstream dalam melihat Islam dan demokrasi. Mainstream pertama, khususnya generasi Natsir, menurut Bahtiar, sesungguhnya melihat kesesuaian Islam dan demokrasi. Namun, pola tafsir yang dikembangkan oleh Natsir ambigu, dan mengatasi pemikirannya tentang demokrasi, sehingga berpretensi mengharuskan pemeluknya untuk mengkaitkan Islam secara legalistik dan formalistik dengan seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali dalam aspek politik kenegaraan. Ia melihat bahwa esensi dari doktrin Islam adalah bahwa setiap pemeluknya harus mendasarkan diri dengan nilai-nilai Islam sehingga berimplikasi pada sebuah pemahaman bahwa seluruh kebijakan yang dirumuskan tidak boleh bertentangan dengan Islam.28 Pandangan yang demikian, mengganggu berkembangnya sebuah sistem politik yang pluralistik, khususnya di sebuah negara di mana konstruk sosial dan keagamaannya sangat beragam. Lebih dari itu, Bahtiar meyakini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa model pemikiran seperti itu telah mempunyai andilmeskipun tidak harus28

Effendy, Demokrasi dan Agama, h. 155-172.

24

dianggap sebagai faktor penyebabdalam runtuhnya sistem demokrasi konstitusional di Indonensia pada tahun 19950-an, 29 di mana perdebatan di Konstituante untuk merumuskan undang-undang dasar tidak bisa dipertemukan antara golongan agama dan nasionalis. Mainstream kedua melihat, khususnya generasi intelgensia Muslim baru, bahwa al-Quraan dan Sunnah tidak memberikan panduan yang jelas dan detil tentang model hubungan Islam dan sistem politik modern. Eksponen ini hanya meyakini bahwa Islam memiliki prinsip etis (dalam nilai-nilai universal Islam) yang relevan bagi pengelolaan sistem politik modern. Para penganut paham ini selalu menunjukkan bahwa al-Quran dan Sunnah sarat dengan ide-ide normatif tentang musyawarah (syura), keadilan (al-adl), dan persamaan yang sejajar dengan prinsip-prinsip demokrasi.30 Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa hubungan Islam dan politik tidak harus bersifat kaku yang harus legalistik-formalistik, tetapi harus bersifat substansialistik, yaitu melalui nilai-nilai. Selama sistem politik negara berdiri di atas prinsip-prinsip musyawarah, keadilan, dan persamaaan, maka sudah absah untuk dikatakan bahwa dasar negara tersebut sudah sesuai dengan semangat Islam. Dalam konteks normatif, prinsip-prinsip politik Islam sama sekali tidak bertentangan dengan demokrasi, dan bahkan nsesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Model pemikiran Islam yang diperjuangkan oleh genersi intelgensia Muslim baru ini, yaitu yang lebih substansialistiksebuah posisi yang menekankan pada pentingnya isi daripada bentuk, nilai daripada simbol dapat mendorong berkembangnya kehidupan politik yang demokratis. Oleh karena itu, sudah cukup kuat alasan untuk menerima demokrasi; karena demokrasi pada prinsipnya sesuai dengan nilai-nilai Islam; begitu juga sebaliknya, nilai-nilai demokrasi sesuai dengan prinsip politik Islam, khususnya musyawarah, keadilan, dan persamaan.29 30

Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 119. Ibid., h. 120.

25

Berpijak dari persoalan di atas, Bahtiar berkesimpulah bahwa pemahaman keagamaan (keislaman) yang lebih menekankan nilai-nilai, landasan etis, inspirasi, atau substansilahdalam istilah Bahtiar tertransformasikanyang mempunyai tingkat kesesuaian yang tinggi dengan demokrasi. Sementara pandangan keagamaan yang lebih menekankan legal-formal sangat sulit dipertemukan dengan demokrasi, kecuali gerakan dan pemikiran yang seperti ini ditransformasikan menjadi pemahaman keagamaan (keislaman) yang lebih menekankan nilai-nilai universal seperti yang menjadi mainstream kedua. 2. Islam dan Negara: Menuju Hubungan yang Integratif Hubungan yang integratif antara Islam dan negara jangan dimengerti seperti gagasan Supomo tentang negara integralistik yang memposisikan negara menyatu dengan masyarakat, sehingga berimplikasi pada munculnya pemerintahan yang otoriter. Ia juga jangan dimengerti sebagai penyatuan agama dan negara yang berimplikasi pada negara adalah agama; dan agama adalah negara (al-din wa al-daulah). Tetapi, gagasan ini merupakan temuan Bahtiar dalam melihat perkembangan hubungan yang tepat antara Islam dan negara dalam dua puluh tahun terakhir. Meskipun gagasan tentang hubungan yang integratif antara Islam dan negara ini merupakan kelanjutan-kelanjutandan dalam tingkat tertentu tidak jauh berbedadari temuan-temuan sebelumnya, namun penting dikemukakan untuk mendedahkan tingkat orisinalitas gagasannya. Dalam konteks yang lebih detail, ia menegaskan bahwa terjalinnya hubungan yang integratif itu ditandai dengan lahirnya generasi intelengesia Muslim baru yang tidak memposisikan Islam sebagai musuh dari negara, tetapi terintegrasi atau menyatu dengan kontstruk negara Republik Indonesia. Perlu dijelaskan, kata integrasi di sini bukan berarti Islam dan negara menyatu secara legal-formal (al-din wa al-daulah), tetapi

26

menyatu dari sisi nilai-nilai di mana nilai-nilai Islam tidak bertentangan (menyatu/integratif) dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Bahtiar mencatat, hubungan yang mulai integratif itu setidaknya ditandai oleh tiga ciri utama. Pertama, landasan teologis; kedua, tujuan; dan ketiga, pendekatan Islam politik.31 Dalam konteks teologisnya, format baru politik Islam tidak lagi berhubungan secara legalistik dan formalistik antara Islam dan negara, atau politik pada umumnya. Selama negara tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal Islam, baik secara ideologis maupun politis, maka komunitas Muslim tidak perlu menggugat idiomidiom tersebut, dan malah harus mendukungnya. Pada matra tujuannya, sudah begitu nyata bahwa komunitas politik Islam tidak lagi memperjuangkan pembentukan sebuah negara Islam. Pada umumnya, mereka sudah memperjuangkan aspirasi politiknya berdasarkan pemahaman mereka tentang Islam yang lebih kontekstual dengan pluralitas masyarakat Indonesia. Mereka berpartisipasi dalam pembangunan politik kenegaraan yang mencerminkan atau sejalan dengan prinisp-prinsip universai nilai-nilai politik Islam, yaitu keadilan, egalitarianisme, musyawarah, dan partisipasi.32 Dalam matra pendekatannya, khususnya untuk mencapai tujuantujuan di atas, Islam politik tidak lagi menekankan ikhtiar melalui politik partisan dengan parlemen sebagai medan utamnya. Lebih dari itu, Islam politik dengan format yang baru ini memperluas dan meragamkan basis perjuangannya33 melalui medan masing-masing, baik itu organisasi sosialkeagamaan (seperti Muhammadiyah dan NU), lembaga swadaya masyarakat, lembaga riset, universitas-universitas, partai politik (seprti Golkar, PPP, dan lain sebagainya), di birokrasi, dan lain sebagainya. Jadi, basis perjuangannya tidak hanya bertumpu pada parlemen dan partai politik, tetapi seluas wilayah dan ranah kebangsaan dan kenegaraan. D. Catatan Kritis31 32

Effendy, Islam dan Negara, h. 333. Ibid., h. 334. 33 Ibid..

27

Pandangan-pandangan

Bahtiar

Effendy

cukup

memberikan

harapan bagi bersemainya hubungan Islam dan negara secara tepat. Yaitu hubungan yang tidak memposisikan Islam besebrangan dengan negara, tetapi terintegrasi melalui nilai-nilai universal Islam, dan bukan melalui legal-formalnya (hukum Islam). Gagasannya-gagasanya dengan analisis yang tajam dan didukung dengan data yang akurat membuat ia layak ditempatkan sebagai pemikir terkemuka di negeri ini mengenai hubungan Islam dan negara. Namun demikian, sebagaimana layaknya seorang pemikir, bukan berarti gagasannya tanpa kelemahan. Kelemahannya terletak pada pembedaan yang kurang tegas antara negara dan politik. Di hampir semua kesempatan dalam karya-karyanya, ia jarang sekali membatasi keduanya secara tegas, terutama menyangkut definisi, dan bahkan sering menempatkan negara dan politik sebagai entitas yang sama. Padahal, keduanya mempunyai fungsi dan peran yang berbeda. Negara adalah jaringan yang rumit dari organ-organ, institusi-institusi, dan proses-proses yang semestinya menerapkan kebijkan-kebijakan yang diambil melalui proses politik dalam setiap masyarakat. Sedangkan politik adalah proses dinamis dalam memilih di antara pilihan-pilihan kebijakan yang saling bertentangan. Di atas semua itu, Bahtiar telah memberikan pijakan baru bagi hubungan Islam dan negara yang lebih visibel.

28

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Setelah melakukan penjelajahan secara singkat dan padat terhadap pemikiran Bahtiar Effendy di bab-bab terdahulu, pada momen ini sudah saatnya untuk menarik kesimpulan dari berbagai gagasan Bahtiar menyangkut hubungan Islam dan negara. Dari eksplorasi yang cukup jauh, namun ringkas itu, memang tidak secara eksplitis ditemukan pemikiran Bahtiar Effendi tentang hubungan yang ideal antara Islam dan negara. Bahkan, di hampir semua gagasan-gasannya dalam karyanya, Bahtiar memang tidak menegaskan posisi pemikirannya terkait hubungan Islam dan negara. Tetapi, basis afirmasinya terhadap beberapa perkembangan hubungan Islam dan negara sudah cukup menunjukkan posisinya dalam spektrum gerakan dan pemikiran Islam tentang pertautan Islam dan negara. Ada dua hal penting yang bisa disimpulkan dari pemikiran Bahtiar tentang hubungan Islam dan negara, dan keduanya saling terkait satu sama lain. Pertama, gagasan pemikirannya tentang kesesuaian Islam dan demokrasi. Kedua, ide briliannya mengenai hubungan Islam dan negara yang terintegratif. Menyangkut yang pertama, ia menunjukkan bahwa Islam (khususnya dalam al-Quran dan Sunnah sebagai sumber utama) sarat dengan ide-ide normatif tentang musyawarah (syura), keadilan (al-adl), dan persamaan yang sejajar dengan prinsip-prinsip demokrasi. Dengan demikian, ia menempatkan hubungan Islam dan negara tidak harus bersifat rigid dengan menerapkan hukum (syariah) Islam dalam negara, tetapi hubungan keduanya harus melalui nilai-nilai Islam. Hal itu dilakukan karena demokrasi yang dianut dalam sistem negarabangsa modern, khususnya di Indonesia, sama sekali tidak bertentangan

29

dengan nilai-nilai universal Islam; dan sebaliknya, keduanya mempunyai kesamaan yang bisa dipertemukan. Pada dimensi yang kedua, menyangkut hubungan Islam dan negara yang terintegratif. Hubungan yang integratif itu dibuktikan dengan gagasan generasi intelengesia Muslim baru yang memposisikan Islam sebagai satu medan perjuangan dengan kontstruk negara Republik Indonesia. Satu medan di sini bukan berarti Islam dan negara menyatu secara legal-formal (al-din wa al-daulah), tetapi menyatu dari sisi nilai-nilai di mana nilai-nilai Islam tidak bertentangan (menyatu/integratif) dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Sejauh praktek-praktek kenegaraan masih berbasis pada nilai-nilai politik Islam, maka selayaknya kaum Muslim untuk tetap setia menerimanya. Dalam konteks yang lebih spesifik, hubungan yang mulai integratif itu setidaknya ditunjukkan oleh landasan teologis politik Islam; tujuan politik Islam; dan pendekatan politik Islam yang sudah diformat secara baru dengan memperluas basis perjuanggannya. Basis perjuangannya tidak hanya diprioritaskan pada parlemen sebagai panggung artikulasi, tetapi mulai diperluas ke seluruh ranah kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. B. Saran-Saran Di penguhujung studi ini, sepertinya perlu juga untuk melampirkan sekelumit sara-saran dalam rangka memperbaiki hubungan Islam dan negara di masa depan. Saran yang utama adalah untuk konteks hubungan kengaraan dan kebangsaan di masa yang akan datang, komunitas politik Islam tidak perlu mengembangkan hubungan Islam dan negara yang legalistik-formalistik. Hal ini penting, sehingga tidak berimplikasi pada permusuhan antara Islam dan negarayang tentu hanya membuat komunitas politik Islam semakin tidak produktif. Sebaliknya, kini dan nanti, komunitas politik Islam perlu memelihara dan mengembangkan hubungan Islam dan negara yang integratif. Agar

30

komunitas politik Islam bisa berkontribusi secara menyeluruh dalam menyelesaikan persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang sekarang sedang dipertaruhkan. Wallahu alam.

31

DAFTAR PUSTAKA Ahmed, Akbar S., Posmedernisme Islam: Tantangan dan Harapan, (Bandung: Mizan, 1997) Effendi, Djohan & Natsir, Ismet (penyunting), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, (Jakarta: LP3ES, 2003) Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998) -------,Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi, (Yogyakarta: Galang Press, 2001) -------, Jalan Tengah Politk Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah (Jakarta: Uhsul Press, 2005) Esposito, John L., Identitas Islam, terj. A. Rahman Zainuddin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986) Hidayat, Komaruddin dan AF, Ahmad Gaus (ed.), Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005) Latif, Yudi, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan, 2005) Madjid, Nurcholis, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1993) Thaha, Idris, Mendamaikan Agama dan Negara dalam Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002)

32