paper anestrus post partum
DESCRIPTION
Paper Anestrus Post PartumTRANSCRIPT
ANESTRUS PADA SAPI
Anestrus merupakan suatu keadaan pada hewan betina yang tidak menunjukkan gejala estrus
dalam jangka waktu yang lama. Tidak adanya gejala estrus tersebut dapat disebabkan oleh
tidak adanya aktivitas ovarium atau akibat aktivitas ovarium yang tidak teramati. Anestrus
sering merupakan penyebab infertilitas pada sapi. Gangguan reproduksi ini umumnya terjadi
pada sapi sesudah partus atau inseminasi tanpa terjadi konsepsi
Berardinelli (2007) dijelaskan postpartum anestrus sebagai suatu kondisi yang terjadi
setelah partus di mana postpartum sapi gagal memperlihatkan estrus dan ovulasi. Kondisi ini
memungkinkan sapi untuk anatomi dan fisiologis memulihkan diri dari kehamilan dan partus.
Kondisi anestrus dikaitkan dengan kehadiran ovarium tidak aktif, dan bahkan ada
perkembangan folikel, tidak ada folikel tumbuh akan datang cukup matang untuk ovulasi
(Montiel dan Ahuja, 2005). C Sebagai konsekuensinya, tidak terjadi ovulasi sedangkan estrus
hadir. Selain itu, dalam kesempatan langka, jika ada ovulasi, hal ini tidak terkait dengan
tanda-tanda estrus (panas). Panjang (Interval) periode ini diukur dari melahirkan hingga
estrus, yang mengarah ke ovulasi, kembalinya fungsi luteal, dan idealnya konsepsi sesaat
setelah inseminasi.
Kehamilan dini pada sapi sapi menyusui dapat secara drastis dibatasi oleh proporsi
sapi menyusui tidak menunjukkan siklus estrus teratur (anestrus) pada awal musim kawin
(Short et al., 1990). Kejadian anestrus pada inisiasi musim kawin dapat menjadi signifikan
pada sapi - sapi, operasi. Dalam sebuah percobaan multi-negara memanfaatkan catatan dari
851 sapi postpartum (Lucy et al., 2001), 53% dari sapi masih anestrous dengan 7 hari
sebelum awal musim kawin (range17-67%). Dalam percobaan lain kejadian anestrus berkisar
antara 44% (Gasser et al., 2006) menjadi 46% (Stevenson et al., 2003).
Penyebab
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi anestrus yaitu umur, kebuntingan, periode
laktasi, pakan, musim, lingkungan, patologi ovarium dan uterus, serta penyakit kronis.
1. Umur, Anestrus pada hewan betina yang masih muda disebabkan poros
hypothalamus, hipofisa anterior belum berfungsi secara baik, kelenjar hipofisa
anterior belum cukup mampu menghasilkan hormon gonadothropin sehingga
ovarium juga belum mampu menghasilkan hormon estrogen sebagai akibat belum
terjadi pertumbuhan folikel yang sempurna. Anestrus pada hewan betina yang telah
berumur tua, hipofisi anterior telah mengalami perubahan dan penurunan fungsi sehingga
mendorong berkurangnya sekresi hormon gonadothropin disertai dengan penurunan
respon ovarium terhadap hormon tersebut.
2. Kebuntingan, Hewan yang sedang bunting, pada ovariumnya terdapat korpus luteum yang
mampu menghasilkan hormon progesteron yang berperan menjaga kebuntingan
dalam jumlah besar. Hormon progesteron menghambat kerja kelenjar hipofisa naterior
karena adanya mekanisme umpan balik negatif dan disertai sekresi hormon gonadothropin
yang menurun sehingga tidak mendorong pertumbuhan folikel baru pada ovarium
(karena tidak ada hormon estrogen yang dapat disekresi). Keadaan ini yang menyebabkan
birahi tidak timbul dan selalu dalam keadaan anestrus.
3. Laktasi, Kadar hormon LTH atau prolaktin yang tinggi dalam darah pada hewan yang sedang
laktasi dapat mendorong terbentuknya korpus luteum persisten (kelanjutan dari korpus
luteum gravidatum yang ada pada waktu kebuntingan). Hal ini berkaitan dengan kadar
progesteron dalam darah meningkat tajam sebagai mekanisme umpan balik negatif pada
kelenjar hipofisa anterior dan menghambat sekresi hormon gonadothropin. Keadaan ini
menyebabkan folikel baru tidak tumbuh dan tidak ada sekresi estrogen sehingga terjadi
anestrus.
4. Patologi ovarium dan uterus, Berdasarkan faktor penyebabnya, meliputi :
a. Anestrus karena genetik (kongenital), Gangguan karena cacat kongenital atau bawaan
lahir dapat terjadi pada ovarium dan pada saluran reproduksinya.
1) Hipoplasia ovaria, Merupakan suatu keadaan ovarium tidak berkembang maksimal
karena keturunan. Hal ini dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral. Apabila
terjadi pada salah satu indung telur maka sapi akan menunjukan gejala anestrus (tidak
pernah birahi) dan apabila terjadi pada kedua indung telur maka sapi akan steril
(majir). Secara perrektal indung telur akan teraba kecil, pipih dengan permukaan
berkerut. (kadang seperti kacang polong). Pada sapi betina hipoplasia yang
parsialis, pertumbuhan alat kelaminnya adalah normal. Sedangkan hewan betina
yang menderita hipoplasia berat yang bilateral, pertumbuhan saluran alat
kelamin menjadi tidak sempurna dan tetap kecil, birahinya tidak muncul dan tidak
ada pertumbuhan sifat-sifat kelamin sekunder. Ini disebabkan pertumbuhan
saluran alat kelamin ada dibawah pengaruh hormone steroid yang dihasilkan oleh
ovarium. Pada sapi betina yang menderita hipoplasia ovariuym yang berat
dan bilateral, akan berupa seekor sapi jantan kebiri, kakinya panjang,
pelvisnya sempit, ambingnya tidak tumbuh dan putingnya kecil, uterusnya kecil
dan keras. Alat kelamin luarnya juga kecil karena tidak berkembang
2) Agenesis ovaria, Merupakan suatu keadaan sapi tidak mempunyai indung telur
karena keturunan. Dapat terjadi secara unilateral (salah satu indung telur) ataupun
bilateral (kedua indung telur).
3) Freemartin, Kelahiran kembar pedet jantan dan betina pada umumnya mengalami
abnormalitas yang disebut freemartin. Abnormalitas ini terjadi pada saat
organogenesis yang kemungkinan disebabkan migrasi hormon jantan melalui
anastomosis vascular ke pedet betina dan intersexuality. Organ betina sapi betina
tidak berkembang (ovaria hiploplastik) dan ditemukan pula organ jantan
(glandula vesicularis). Pada umumnya, kromosom X membawa gen untuk
betina dan jantan, namun ketiadaan kromosom Y pada betina menyebabkan
perkembangan organ jantan tertekan, sementara pada penderita sindrom
freemartin, kromosom yang dimiliki adalah XXY sehingga inhibisi untuk
perkembangan organ betina hilang. Organ betina sapi freemartin tidak berkembang
(ovaria hipoplastik) dan ditemukan juga organ jantan (glandula vesikularis). Sapi
betina nampak kejantanan seperti tumbuh rambut kasar di sekitar vulva,
pinggul ramping dengan hymen persisten. Klitoris berkembang lebih besar,
vagina kecil dan ujungnya buntu. Servik tidak normal, uterus kecil dan tuba falopii
tidak teraba. Dignosa pada freemartin adalah dengan alat berupa kateter yang
dimasukkan ke dalam vagina, jika betina normal, kateter dapat masuk sampai 12-15
cm, sementara pada penderita freemartin kateter hanya dapat masuk sampai 5-6 cm
(Bearden, 2004).
4) Atresia vulva., Merupakan suatu kondisi pada sapi induk dengan vulva mengecil dan
ini beresiko terhadap distokia. Kadang-kadang kelainan ini bersamaan dengan atresia
ani. Kasusnya jarang pada ternak, tetapi kelainan ini bersifat menurun. Diagnosa
dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis khususnya pemeriksaan pada alat
kelamin luarnya, yaitu adanya kelainan pada bagian ventral dari vulva.
Penanggulangan dapat dilakukan dengan operasi melalui pelepasan bagian yang
mengalami perlekatan. Bila dijumpai pada ternak betina, sebaiknya tidak dikawinkan
dan dikeluarkan dari peternakan.
5) Saluran serviks ganda (Double Serviks), Penyebab dari keadaan ini, adalah
tidak berjalannya secara normal, persatuan kedua saluran muller pada periode
embrional, sehingga ada pita yang membagi korpus uteri dan saluran serviks menjadi
dua bagian terpisah. Diagnosa dengan pemeriksaan memakai vaginoskop, akan
terlihat seolah-olah ada dua lobang pada saluran serviks, karena ada selaput yang
membagi saluran serviks berupa tenuna seperti pita. Pada keadaan yang berat terjadi
dinding pemisah tebal. Seperti pita tersebut membentang sepanjang serviks sampai
pangkal koruna uteri, sehingga kedua saluran serviks masing-masing berhubungan
dengan koruna uterinya sendiri-sendiri sehingga terbentuklah uterus didelpis.
6) Aplasia segmentalis ductus mulleri (white heifer disease), Kelainan ini terjadi pada
uterus, sebagai akibat dari tidak sempurnanya persatuan kedua saluran muller pada
periode embrional, akibatnya terjjadi kelainan pada bentuk uterus. Kelainan ini
disebabkan oleh gen yang resesif yang semula diduga bertautan dengan warna putih
(sex linkage). Kelainan pada saluran uterus ini sering disebut white heifer disease
karena banyak dijumpai pada sapi dara yang bewarna putih dari bangsa shorhorn.
Akan tetapi ternyata kelainan genetic pada uterus ini dijumpai juga pada sapi-sapi
yang berwarna bukan putih seperti sapi Holstein, jersey, Guernsey, dan lain-lain.
Gangguan Hormon
1) Sista ovarium, Sista ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu atau lebih
struktur berisi cairan dan lebih besar dibanding folikel masak. Penyebabnya antara
lain gangguan ovulasi dan endokrin (rendahnya hormon LH), sedangkan faktor
predisposisinya adalah herediter, problem sosial, dan diet protein. Adanya sista
tersebut menjadikan folikel de Graaf tidak ovulasi tetapi mengalami regresi atau
mengalami luteinisasi sehingga ukuran folikel meningkat, degenerasi lapisan sel
granulosa, dan menetap minimal 10 hari. Akibatnya sapi-sapi menjadi
anestrus atau nymphomania. Ada 3 macam bentuk sista ovarium, yaitu sista
folikuler, sista luteal dan sista korpora luteal.
a. Sista folikuler (Thin Walled Cyst), Terjadi karena rendahnya hormon LH,
akibatnya terjadi kegagalan ovulasi dan luteinasi pada folikel yang matang.
Pada pemeriksaan per rektal teraba ovarium berdiameter lebih dari 2,5 cm,
permukaan halus, dinding tipis, jika ditekan terdapat fluktuasi. Penanganan :
enukleasi dan pemberian hormon LH/hCG. Ciri spesifik yaitu terjadi nimfomania
(selama 3-10 hari), jika berlanjut terus menerus maka sapi akan memiliki
pangkal ekor yang meninggi karena relaksasi ligamentum pelvis yang berlebihan, dan
juga dapat terbentuk leher maskulin. Ciri spesifik lain yaitu: tonus vulva, vagina,
servik, dan uterus berkurang; prolapsus vagina secara pasif; relaksasi
ligamentum sacroiliaca dan ligamentum pelvis (menyebabkan penampilan sterility
hump pada pangkal ekor); perubahan metabolisme; perubahan produksi susu;
rambut kasar; nervous; emaciasi.
b. Sista luteal. Sista luteal adalah folikel matang yang gagal mengalami ovulasi namun
mengalami luteinasi oleh tingginya hormon LTH.Karena berbeda tingkatan luteinasi,
sista luteal teraba lebih kenyal/tidak sepadat corpus luteum.Gejala yang ditimbulkan
adalah terjadi anestrus. Pada pemeriksaan per rektal teraba ovarium berdiameter lebih
dari 2,5 cm, permukaan halus, dinding tebal, jika ditekan kenyal., bersifat non
ovulatorik Penanganan pemberian PGF2α.
c. Sista korpora luteal. Sista korpora luteal adalah korpus luteum yang di dalamnya
terbentuk rongga dan berisi cairan.Sista corpora luteal tidak dapat
mempertahankan kebuntingan, akibatnya, setelah sapi dikawinkan, dan terjadi
fertilisasi, terjadi kematian embrio dini karena progesteron yang dihasilkan CL
yang menjadi sista tidak mencukupi.Gejala yang muncul yaitu kawin berulang
(repeat breeding). Pada pemeriksaan per rektal teraba ovarium berdiameter
lebih dari 2,5 cm, permukaan halus, dinding tipis, jika ditekan terasa kenyal.
Penanganan: pemberian PGF2α (jika sapi bunting) atau CIDR/PRID (jika tidak
bunting) (Coleman, 2005).
d. Silent heat. Merupakan ovulasi yang tidak diikuti dengan timbulnya gejala
estrus. Tetapi, biasanya estrus pertama post partum secara normal terjadi tanpa
perilaku estrus, hal ini karena tidak ada reseptor estrogen akibat dari
rendahnya progesteron post partum (progesteron dibutuhkan sebagai
penginduksi reseptor estrogen, jika resepetor estrogen tidak ada maka estrus
terjadi secara diam (Eilts, 2007).
5. Pakan (nutrisi) Ransum pakan kualitas dan kuantitas rendah seperti
kekurangan lemak dan karbohidrat dapat mempengaruhi aktivitas ovarium
sehingga menekan perrtumbuhan folikel dan mendorong timbulnya anestrus,
kekurangan protein mendorong terjadinya hipofungsi ovarium disertai anestrus.
Faktor manajemen sangat erat hubungannya dengan faktor nutrisi. Jika
tubuh kekurangan nutrisi, terutama untuk jangka waktu yang lama, maka akan
mempengaruhi\ sistem reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah, dan
akhirnya produktivitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi
hipofisis anterior sehingga produksi dan sekresi hormon FSH dan LH rendah karena
tidak cukupnya ATP, akibatnya ovarium mengalami hipofungsi.
Pengaruh lainnya pada saat ovulasi, transport sperma, fertilisasi,
pembelahan sel, perkembangan embrio, dan fetus. Kekurangan nutrisi yang
terjadi pada masa pubertas hingga partus pertama akan mengakibatkan birahi
tenang, kelainan ovulasi, gagal konsepsi, serta kematian embrio dan fetus. Nutrisi
yang sangat menunjang untuk saluran reproduksi di antaranya protein, vitamin A, dan
mineral (P, Cu, Co, manganese, iodine, selenium).
Selain nutrisi tersebut di atas, yang perlu diperhatikan adalah adanya
ransum yang harus dihindari selama masa kebuntingan karena dapat
menyebabkan abortus, yaitu racun daun cemara, nitrat, ergotamin, napthalen,
khlor, dan arsenik. Pada ovarium, feed intake rendah yang menunda pubertas adalah
disertai penurunan perkembangan folikel ovarium, pada sapi betina adalah folikel
dominan lebih kecil. Hal ini terjadi meski sekresi gonadotropin tercukupi.
Menurut SYARIFUDDIN dan WAHDI [4] penyebab anestrus post partum
sapi induk Brahman Cross adalah rendahnya kandungan nutrisi ransum yang
diberikan terutama kandungan protein dan kandungan mineral makro seperti P serta
mineral mikro seperti Co dan I. Menurut SYARIFUDDIN dan WAHDI [5]
pemberian pakan suplemen multinutrient block pada sapi induk Brahman Cross yang
mempunyai berahi post partum lebih dari 90 hari dan S/C > 2, dapat mempercepat
20 hari munculnya berahi post partum dan meningkatkan angka kebuntingan
16,67%.
6. Musim, Pada musim panas kualitas hijauan pakan menjadi sangat menurun sehingga
banyak dijumpai kasus anestrus akibat kekurangan asupan nutrisi.
7. Lingkungan, Lingkungan yang kurang cocok, kandang sempit, kurang
ventilasi dapat menimbulkan stress yang memicu kondisi anestrus.
8. Penyakit kronis, Penyakit secara umum menyebabkan penurunan berat badan
sebagai pemicu anestrus akibat kekurangan asupan nutrisi. Penyakit cacingan
pada saluran pencernaan yang bersifat kronis sering disertai anestrus dalam jangka
panjang.
Gejala Klinis
Gejala yang tampak pada anestrus akibat gangguan fungsional antara lain:
1. Calving interval menjadi lama atau jauh di atas normal sehingga menyebabkan
kerugian ekonomis
2. Sapi tidak menunjukkan gejala estrus
3. Sekresi hormon reproduksi sedikit sehingga mengalami kegagalan saat dilakukan
inseminasi buatan atau dikawinkan secara alami
4. Pada palpasi per rectal, organ reproduksinya mengalami gangguan atau tidak
berkembang maksimal
5. BCS yang sangat rendah sehingga nutrisi tidak dapat mendukung pertumbuhan yang
maksimal
6. Anestrus musiman photoperiod, stress suhu tinggi. Suhu tinggi dapat menyebabkan
calving interval pada sapi menjadi lebih lama.
Mekanisme
Kegagalan estrus atau anestrus pada ternak sapi merupakan gejala utama dari
banyak faktor lain yang mempengaruhi siklus birahi. Menurut Hafez (2000) bahwa
anestrus akibat hipofungsi ovarium sering berhubungan dengan gagalnya sel-sel folikel
menanggapai rangsangan hormonal, adanya perubahan kuantitas maupun kualitas sekresi
hormonal, menurunnya rangsangan yang berhubungan dengan fungsi hipotalamus
pituitaria-ovarium yang akan menyebabkan menurunnya sekresi gonadotropin sehingga
tidak ada aktivitas ovarium setelah melahirkan.
GnRH berfungsi menginduksi pelepasan FSH dan LH di hipo isa anterior
sehingga menyebabkan perkembangan folikel dan terjadinya estrus (Hafez, 2000). Sehingga
apabila terjadinya penurunan GnRH maka pelepasan LH dan FSH pun akan terhambat, maka
terjadilah anestrus.
DAFTAR PUSTAKA
Berardinelli, J . 2007. Management Practices to Overcome Problems with Puberty and
Anestrus. Proceedings, Applied Reproductive Strategies in Beef Cattle. Billings, M T .
Short, R.E., R .A.Bellows, R. B.S taigmill er, J . G. Berardi nell i, and E. E. Custer. 1990.
Physiological mechanisms controlling anestrus and infertility in postpartum beef cattle. J .
Anim. S ci. 68: 799 -816 .
Montiel, F.and C. Ahuja. 2005. Body condition and suckling as factors influencing the
duration of post partum anestrus in cattle: A review. Anim. Reprod. Sci . 85:1 -26.
SYARIFUDDIN, N.A. dan WAHDI, A.. Perbaikan Efisiensi Reproduksi Sapi Induk
Brahman Cross Melalui Percepatan Berahi Post Partum dan Penerapan Teknologi
Radioimmunoassay (RIA). Laporan Penelitian Hibah Pekerti, Dikti. Fakultas Pertanian
Unlam, Banjarbaru (2008).
Ainsworh, L ; R. Lachance and Flabric, 1982. Effect of Gn-RH induce endogenous
luteinizing hormone release andexogenous progesterone treatment on oavarian activity in the
postpartum ewe. J.Anim.Sci.54
Arthur, G. H. 2001. Arthur’s Veterinary Reproduction and Obstetrics. Elsevier: London.
Baerden, H.J. 2004. Applied Animal Reproduction. Upper Saddle River: New Jersey.
Coleman, TT. 2005. Cystic Ovarian Disease.. Diakses pada
http://www.wvu.edu/~exten/infores/ pubs/livepoul /dirm25.pdf
[http://www.wvu.edu/~exten/infores/%20pubs/livepoul/dirm25.pdf] tanggal 11 Januari 2012.
Eilts, 2007. BovineAnestrus. Diakses pada
http://www.vetmed.lsu.edu/eiltslotus/theriogenology- 5361/bovine_anestrus.htm
[http://www.vetmed.lsu.edu/eiltslotus/theriogenology-5361/bovine_anestrus.htm] . tanggal 11
Januari 2012.
Frandson, R. D., Wilke, W. L., dan Fails, A. D. 1992. Anatomy and Physiology of Farm
Animals 7th Edition. Wiley-
Blackwell: New York. Hafez, E.S.E., 2000. Reproduction in Farm Animals, 7th Edition.
LWW Wolter Kluwer Company [] : Baltimore.
Hardjopranjoto, Soehartojo. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Arlangga University Press:
Surabaya.
McDougall,S. and C. Compton, 2005.Reproductive Performance of Anestrous Dairy Cows
Treated with Progesterone and Estradiol Benzoate.J. Dairy Sci. 88:2388
Pemayun, T.G.O., 2009. Induction of Oestrus with PMSG and Gn-RH in the Postpartum
Anoestrus Dairy Cow. Diakses pada http://www.bulletinveteriner.com/induksi-estrus-
dengan-pmsg-dan-gn-rh-pada-sapi-perah- anestrus-postpartum
[http://www.bulletinveteriner.com/induksi-estrus-dengan-pmsg-dan-gn-rh-pada-sapi- perah-
anestrus-postpartum/] tanggal 11 Januari 2012
Putro, P.P., 1991. The treatment of anoestrus and sub oestrus in dairy cattle using a
progesterone controlled internal drug release (CIDR) or a synthetic Gonadotrophin-
Releasing hormone Gn-RH. Buletinn FKH-UGM. Vol.10 no2.
Toilehere, 1980, Ilmu Kemajiran pada Ternak. UGM Press: Yogyakarta.