paper anestrus post partum

15
ANESTRUS PADA SAPI Anestrus merupakan suatu keadaan pada hewan betina yang tidak menunjukkan gejala estrus dalam jangka waktu yang lama. Tidak adanya gejala estrus tersebut dapat disebabkan oleh tidak adanya aktivitas ovarium atau akibat aktivitas ovarium yang tidak teramati. Anestrus sering merupakan penyebab infertilitas pada sapi. Gangguan reproduksi ini umumnya terjadi pada sapi sesudah partus atau inseminasi tanpa terjadi konsepsi Berardinelli (2007) dijelaskan postpartum anestrus sebagai suatu kondisi yang terjadi setelah partus di mana postpartum sapi gagal memperlihatkan estrus dan ovulasi. Kondisi ini memungkinkan sapi untuk anatomi dan fisiologis memulihkan diri dari kehamilan dan partus. Kondisi anestrus dikaitkan dengan kehadiran ovarium tidak aktif, dan bahkan ada perkembangan folikel, tidak ada folikel tumbuh akan datang cukup matang untuk ovulasi (Montiel dan Ahuja, 2005). C Sebagai konsekuensinya, tidak terjadi ovulasi sedangkan estrus hadir. Selain itu, dalam kesempatan langka, jika ada ovulasi, hal ini tidak terkait dengan tanda-tanda estrus (panas). Panjang (Interval) periode ini diukur dari melahirkan hingga estrus, yang mengarah ke ovulasi, kembalinya fungsi luteal, dan idealnya konsepsi sesaat setelah inseminasi. Kehamilan dini pada sapi sapi menyusui dapat secara drastis dibatasi oleh proporsi sapi menyusui tidak menunjukkan siklus estrus teratur (anestrus) pada awal musim kawin (Short et al., 1990). Kejadian anestrus pada inisiasi musim kawin

Upload: franky

Post on 12-Dec-2014

129 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Paper Anestrus Post Partum

TRANSCRIPT

Page 1: Paper Anestrus Post Partum

ANESTRUS PADA SAPI

Anestrus merupakan suatu keadaan pada hewan betina yang tidak menunjukkan gejala estrus

dalam jangka waktu yang lama. Tidak adanya gejala estrus tersebut dapat disebabkan oleh

tidak adanya aktivitas ovarium atau akibat aktivitas ovarium yang tidak teramati. Anestrus

sering merupakan penyebab infertilitas pada sapi. Gangguan reproduksi ini umumnya terjadi

pada sapi sesudah partus atau inseminasi tanpa terjadi konsepsi

Berardinelli (2007) dijelaskan postpartum anestrus sebagai suatu kondisi yang terjadi

setelah partus di mana postpartum sapi gagal memperlihatkan estrus dan ovulasi. Kondisi ini

memungkinkan sapi untuk anatomi dan fisiologis memulihkan diri dari kehamilan dan partus.

Kondisi anestrus dikaitkan dengan kehadiran ovarium tidak aktif, dan bahkan ada

perkembangan folikel, tidak ada folikel tumbuh akan datang cukup matang untuk ovulasi

(Montiel dan Ahuja, 2005). C Sebagai konsekuensinya, tidak terjadi ovulasi sedangkan estrus

hadir. Selain itu, dalam kesempatan langka, jika ada ovulasi, hal ini tidak terkait dengan

tanda-tanda estrus (panas). Panjang (Interval) periode ini diukur dari melahirkan hingga

estrus, yang mengarah ke ovulasi, kembalinya fungsi luteal, dan idealnya konsepsi sesaat

setelah inseminasi.

Kehamilan dini pada sapi sapi menyusui dapat secara drastis dibatasi oleh proporsi

sapi menyusui tidak menunjukkan siklus estrus teratur (anestrus) pada awal musim kawin

(Short et al., 1990). Kejadian anestrus pada inisiasi musim kawin dapat menjadi signifikan

pada sapi - sapi, operasi. Dalam sebuah percobaan multi-negara memanfaatkan catatan dari

851 sapi postpartum (Lucy et al., 2001), 53% dari sapi masih anestrous dengan 7 hari

sebelum awal musim kawin (range17-67%). Dalam percobaan lain kejadian anestrus berkisar

antara 44% (Gasser et al., 2006) menjadi 46% (Stevenson et al., 2003).

Penyebab

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi anestrus yaitu umur, kebuntingan, periode

laktasi, pakan, musim, lingkungan, patologi ovarium dan uterus, serta penyakit kronis.

1. Umur, Anestrus pada hewan betina yang masih muda disebabkan poros

hypothalamus, hipofisa anterior belum berfungsi secara baik, kelenjar hipofisa

anterior belum cukup mampu menghasilkan hormon gonadothropin sehingga

ovarium juga belum mampu menghasilkan hormon estrogen sebagai akibat belum

terjadi pertumbuhan folikel yang sempurna. Anestrus pada hewan betina yang telah

Page 2: Paper Anestrus Post Partum

berumur tua, hipofisi anterior telah mengalami perubahan dan penurunan fungsi sehingga

mendorong berkurangnya sekresi hormon gonadothropin disertai dengan penurunan

respon ovarium terhadap hormon tersebut.

2. Kebuntingan, Hewan yang sedang bunting, pada ovariumnya terdapat korpus luteum yang

mampu menghasilkan hormon progesteron yang berperan menjaga kebuntingan

dalam jumlah besar. Hormon progesteron menghambat kerja kelenjar hipofisa naterior

karena adanya mekanisme umpan balik negatif dan disertai sekresi hormon gonadothropin

yang menurun sehingga tidak mendorong pertumbuhan folikel baru pada ovarium

(karena tidak ada hormon estrogen yang dapat disekresi). Keadaan ini yang menyebabkan

birahi tidak timbul dan selalu dalam keadaan anestrus.

3. Laktasi, Kadar hormon LTH atau prolaktin yang tinggi dalam darah pada hewan yang sedang

laktasi dapat mendorong terbentuknya korpus luteum persisten (kelanjutan dari korpus

luteum gravidatum yang ada pada waktu kebuntingan). Hal ini berkaitan dengan kadar

progesteron dalam darah meningkat tajam sebagai mekanisme umpan balik negatif pada

kelenjar hipofisa anterior dan menghambat sekresi hormon gonadothropin. Keadaan ini

menyebabkan folikel baru tidak tumbuh dan tidak ada sekresi estrogen sehingga terjadi

anestrus.

4. Patologi ovarium dan uterus, Berdasarkan faktor penyebabnya, meliputi :

a. Anestrus karena genetik (kongenital), Gangguan karena cacat kongenital atau bawaan

lahir dapat terjadi pada ovarium dan pada saluran reproduksinya.

1) Hipoplasia ovaria, Merupakan suatu keadaan ovarium tidak berkembang maksimal

karena keturunan. Hal ini dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral. Apabila

terjadi pada salah satu indung telur maka sapi akan menunjukan gejala anestrus (tidak

pernah birahi) dan apabila terjadi pada kedua indung telur maka sapi akan steril

(majir). Secara perrektal indung telur akan teraba kecil, pipih dengan permukaan

berkerut. (kadang seperti kacang polong). Pada sapi betina hipoplasia yang

parsialis, pertumbuhan alat kelaminnya adalah normal. Sedangkan hewan betina

yang menderita hipoplasia berat yang bilateral, pertumbuhan saluran alat

kelamin menjadi tidak sempurna dan tetap kecil, birahinya tidak muncul dan tidak

ada pertumbuhan sifat-sifat kelamin sekunder. Ini disebabkan pertumbuhan

saluran alat kelamin ada dibawah pengaruh hormone steroid yang dihasilkan oleh

ovarium. Pada sapi betina yang menderita hipoplasia ovariuym yang berat

dan bilateral, akan berupa seekor sapi jantan kebiri, kakinya panjang,

Page 3: Paper Anestrus Post Partum

pelvisnya sempit, ambingnya tidak tumbuh dan putingnya kecil, uterusnya kecil

dan keras. Alat kelamin luarnya juga kecil karena tidak berkembang

2) Agenesis ovaria, Merupakan suatu keadaan sapi tidak mempunyai indung telur

karena keturunan. Dapat terjadi secara unilateral (salah satu indung telur) ataupun

bilateral (kedua indung telur).

3) Freemartin, Kelahiran kembar pedet jantan dan betina pada umumnya mengalami

abnormalitas yang disebut freemartin. Abnormalitas ini terjadi pada saat

organogenesis yang kemungkinan disebabkan migrasi hormon jantan melalui

anastomosis vascular ke pedet betina dan intersexuality. Organ betina sapi betina

tidak berkembang (ovaria hiploplastik) dan ditemukan pula organ jantan

(glandula vesicularis). Pada umumnya, kromosom X membawa gen untuk

betina dan jantan, namun ketiadaan kromosom Y pada betina menyebabkan

perkembangan organ jantan tertekan, sementara pada penderita sindrom

freemartin, kromosom yang dimiliki adalah XXY sehingga inhibisi untuk

perkembangan organ betina hilang. Organ betina sapi freemartin tidak berkembang

(ovaria hipoplastik) dan ditemukan juga organ jantan (glandula vesikularis). Sapi

betina nampak kejantanan seperti tumbuh rambut kasar di sekitar vulva,

pinggul ramping dengan hymen persisten. Klitoris berkembang lebih besar,

vagina kecil dan ujungnya buntu. Servik tidak normal, uterus kecil dan tuba falopii

tidak teraba. Dignosa pada freemartin adalah dengan alat berupa kateter yang

dimasukkan ke dalam vagina, jika betina normal, kateter dapat masuk sampai 12-15

cm, sementara pada penderita freemartin kateter hanya dapat masuk sampai 5-6 cm

(Bearden, 2004).

4) Atresia vulva., Merupakan suatu kondisi pada sapi induk dengan vulva mengecil dan

ini beresiko terhadap distokia. Kadang-kadang kelainan ini bersamaan dengan atresia

ani. Kasusnya jarang pada ternak, tetapi kelainan ini bersifat menurun. Diagnosa

dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis khususnya pemeriksaan pada alat

kelamin luarnya, yaitu adanya kelainan pada bagian ventral dari vulva.

Penanggulangan dapat dilakukan dengan operasi melalui pelepasan bagian yang

mengalami perlekatan. Bila dijumpai pada ternak betina, sebaiknya tidak dikawinkan

dan dikeluarkan dari peternakan.

5) Saluran serviks ganda (Double Serviks), Penyebab dari keadaan ini, adalah

tidak berjalannya secara normal, persatuan kedua saluran muller pada periode

embrional, sehingga ada pita yang membagi korpus uteri dan saluran serviks menjadi

Page 4: Paper Anestrus Post Partum

dua bagian terpisah. Diagnosa dengan pemeriksaan memakai vaginoskop, akan

terlihat seolah-olah ada dua lobang pada saluran serviks, karena ada selaput yang

membagi saluran serviks berupa tenuna seperti pita. Pada keadaan yang berat terjadi

dinding pemisah tebal. Seperti pita tersebut membentang sepanjang serviks sampai

pangkal koruna uteri, sehingga kedua saluran serviks masing-masing berhubungan

dengan koruna uterinya sendiri-sendiri sehingga terbentuklah uterus didelpis.

6) Aplasia segmentalis ductus mulleri (white heifer disease), Kelainan ini terjadi pada

uterus, sebagai akibat dari tidak sempurnanya persatuan kedua saluran muller pada

periode embrional, akibatnya terjjadi kelainan pada bentuk uterus. Kelainan ini

disebabkan oleh gen yang resesif yang semula diduga bertautan dengan warna putih

(sex linkage). Kelainan pada saluran uterus ini sering disebut white heifer disease

karena banyak dijumpai pada sapi dara yang bewarna putih dari bangsa shorhorn.

Akan tetapi ternyata kelainan genetic pada uterus ini dijumpai juga pada sapi-sapi

yang berwarna bukan putih seperti sapi Holstein, jersey, Guernsey, dan lain-lain.

Gangguan Hormon

1) Sista ovarium, Sista ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu atau lebih

struktur berisi cairan dan lebih besar dibanding folikel masak. Penyebabnya antara

lain gangguan ovulasi dan endokrin (rendahnya hormon LH), sedangkan faktor

predisposisinya adalah herediter, problem sosial, dan diet protein. Adanya sista

tersebut menjadikan folikel de Graaf tidak ovulasi tetapi mengalami regresi atau

mengalami luteinisasi sehingga ukuran folikel meningkat, degenerasi lapisan sel

granulosa, dan menetap minimal 10 hari. Akibatnya sapi-sapi menjadi

anestrus atau nymphomania. Ada 3 macam bentuk sista ovarium, yaitu sista

folikuler, sista luteal dan sista korpora luteal.

a. Sista folikuler (Thin Walled Cyst), Terjadi karena rendahnya hormon LH,

akibatnya terjadi kegagalan ovulasi dan luteinasi pada folikel yang matang.

Pada pemeriksaan per rektal teraba ovarium berdiameter lebih dari 2,5 cm,

permukaan halus, dinding tipis, jika ditekan terdapat fluktuasi. Penanganan :

enukleasi dan pemberian hormon LH/hCG. Ciri spesifik yaitu terjadi nimfomania

(selama 3-10 hari), jika berlanjut terus menerus maka sapi akan memiliki

pangkal ekor yang meninggi karena relaksasi ligamentum pelvis yang berlebihan, dan

juga dapat terbentuk leher maskulin. Ciri spesifik lain yaitu: tonus vulva, vagina,

Page 5: Paper Anestrus Post Partum

servik, dan uterus berkurang; prolapsus vagina secara pasif; relaksasi

ligamentum sacroiliaca dan ligamentum pelvis (menyebabkan penampilan sterility

hump pada pangkal ekor); perubahan metabolisme; perubahan produksi susu;

rambut kasar; nervous; emaciasi.

b. Sista luteal. Sista luteal adalah folikel matang yang gagal mengalami ovulasi namun

mengalami luteinasi oleh tingginya hormon LTH.Karena berbeda tingkatan luteinasi,

sista luteal teraba lebih kenyal/tidak sepadat corpus luteum.Gejala yang ditimbulkan

adalah terjadi anestrus. Pada pemeriksaan per rektal teraba ovarium berdiameter lebih

dari 2,5 cm, permukaan halus, dinding tebal, jika ditekan kenyal., bersifat non

ovulatorik Penanganan pemberian PGF2α.

c. Sista korpora luteal. Sista korpora luteal adalah korpus luteum yang di dalamnya

terbentuk rongga dan berisi cairan.Sista corpora luteal tidak dapat

mempertahankan kebuntingan, akibatnya, setelah sapi dikawinkan, dan terjadi

fertilisasi, terjadi kematian embrio dini karena progesteron yang dihasilkan CL

yang menjadi sista tidak mencukupi.Gejala yang muncul yaitu kawin berulang

(repeat breeding). Pada pemeriksaan per rektal teraba ovarium berdiameter

lebih dari 2,5 cm, permukaan halus, dinding tipis, jika ditekan terasa kenyal.

Penanganan: pemberian PGF2α (jika sapi bunting) atau CIDR/PRID (jika tidak

bunting) (Coleman, 2005).

d. Silent heat. Merupakan ovulasi yang tidak diikuti dengan timbulnya gejala

estrus. Tetapi, biasanya estrus pertama post partum secara normal terjadi tanpa

perilaku estrus, hal ini karena tidak ada reseptor estrogen akibat dari

rendahnya progesteron post partum (progesteron dibutuhkan sebagai

penginduksi reseptor estrogen, jika resepetor estrogen tidak ada maka estrus

terjadi secara diam (Eilts, 2007).

5. Pakan (nutrisi) Ransum pakan kualitas dan kuantitas rendah seperti

kekurangan lemak dan karbohidrat dapat mempengaruhi aktivitas ovarium

sehingga menekan perrtumbuhan folikel dan mendorong timbulnya anestrus,

kekurangan protein mendorong terjadinya hipofungsi ovarium disertai anestrus.

Faktor manajemen sangat erat hubungannya dengan faktor nutrisi. Jika

tubuh kekurangan nutrisi, terutama untuk jangka waktu yang lama, maka akan

mempengaruhi\ sistem reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah, dan

akhirnya produktivitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi

Page 6: Paper Anestrus Post Partum

hipofisis anterior sehingga produksi dan sekresi hormon FSH dan LH rendah karena

tidak cukupnya ATP, akibatnya ovarium mengalami hipofungsi.

Pengaruh lainnya pada saat ovulasi, transport sperma, fertilisasi,

pembelahan sel, perkembangan embrio, dan fetus. Kekurangan nutrisi yang

terjadi pada masa pubertas hingga partus pertama akan mengakibatkan birahi

tenang, kelainan ovulasi, gagal konsepsi, serta kematian embrio dan fetus. Nutrisi

yang sangat menunjang untuk saluran reproduksi di antaranya protein, vitamin A, dan

mineral (P, Cu, Co, manganese, iodine, selenium).

Selain nutrisi tersebut di atas, yang perlu diperhatikan adalah adanya

ransum yang harus dihindari selama masa kebuntingan karena dapat

menyebabkan abortus, yaitu racun daun cemara, nitrat, ergotamin, napthalen,

khlor, dan arsenik. Pada ovarium, feed intake rendah yang menunda pubertas adalah

disertai penurunan perkembangan folikel ovarium, pada sapi betina adalah folikel

dominan lebih kecil. Hal ini terjadi meski sekresi gonadotropin tercukupi.

Menurut SYARIFUDDIN dan WAHDI [4] penyebab anestrus post partum

sapi induk Brahman Cross adalah rendahnya kandungan nutrisi ransum yang

diberikan terutama kandungan protein dan kandungan mineral makro seperti P serta

mineral mikro seperti Co dan I. Menurut SYARIFUDDIN dan WAHDI [5]

pemberian pakan suplemen multinutrient block pada sapi induk Brahman Cross yang

mempunyai berahi post partum lebih dari 90 hari dan S/C > 2, dapat mempercepat

20 hari munculnya berahi post partum dan meningkatkan angka kebuntingan

16,67%.

6. Musim, Pada musim panas kualitas hijauan pakan menjadi sangat menurun sehingga

banyak dijumpai kasus anestrus akibat kekurangan asupan nutrisi.

7. Lingkungan, Lingkungan yang kurang cocok, kandang sempit, kurang

ventilasi dapat menimbulkan stress yang memicu kondisi anestrus.

8. Penyakit kronis, Penyakit secara umum menyebabkan penurunan berat badan

sebagai pemicu anestrus akibat kekurangan asupan nutrisi. Penyakit cacingan

pada saluran pencernaan yang bersifat kronis sering disertai anestrus dalam jangka

panjang.

Gejala Klinis

Gejala yang tampak pada anestrus akibat gangguan fungsional antara lain:

Page 7: Paper Anestrus Post Partum

1. Calving interval menjadi lama atau jauh di atas normal sehingga menyebabkan

kerugian ekonomis

2. Sapi tidak menunjukkan gejala estrus

3. Sekresi hormon reproduksi sedikit sehingga mengalami kegagalan saat dilakukan

inseminasi buatan atau dikawinkan secara alami

4. Pada palpasi per rectal, organ reproduksinya mengalami gangguan atau tidak

berkembang maksimal

5. BCS yang sangat rendah sehingga nutrisi tidak dapat mendukung pertumbuhan yang

maksimal

6. Anestrus musiman photoperiod, stress suhu tinggi. Suhu tinggi dapat menyebabkan

calving interval pada sapi menjadi lebih lama.

Mekanisme

Kegagalan estrus atau anestrus pada ternak sapi merupakan gejala utama dari

banyak faktor lain yang mempengaruhi siklus birahi. Menurut Hafez (2000) bahwa

anestrus akibat hipofungsi ovarium sering berhubungan dengan gagalnya sel-sel folikel

menanggapai rangsangan hormonal, adanya perubahan kuantitas maupun kualitas sekresi

hormonal, menurunnya rangsangan yang berhubungan dengan fungsi hipotalamus

pituitaria-ovarium yang akan menyebabkan menurunnya sekresi gonadotropin sehingga

tidak ada aktivitas ovarium setelah melahirkan.

GnRH berfungsi menginduksi pelepasan FSH dan LH di hipo isa anterior

sehingga menyebabkan perkembangan folikel dan terjadinya estrus (Hafez, 2000). Sehingga

apabila terjadinya penurunan GnRH maka pelepasan LH dan FSH pun akan terhambat, maka

terjadilah anestrus.

DAFTAR PUSTAKA

Berardinelli, J . 2007. Management Practices to Overcome Problems with Puberty and

Anestrus. Proceedings, Applied Reproductive Strategies in Beef Cattle. Billings, M T .

Page 8: Paper Anestrus Post Partum

Short, R.E., R .A.Bellows, R. B.S taigmill er, J . G. Berardi nell i, and E. E. Custer. 1990.

Physiological mechanisms controlling anestrus and infertility in postpartum beef cattle. J .

Anim. S ci. 68: 799 -816 .

Montiel, F.and C. Ahuja. 2005. Body condition and suckling as factors influencing the

duration of post partum anestrus in cattle: A review. Anim. Reprod. Sci . 85:1 -26.

SYARIFUDDIN, N.A. dan WAHDI, A.. Perbaikan Efisiensi Reproduksi Sapi Induk

Brahman Cross Melalui Percepatan Berahi Post Partum dan Penerapan Teknologi

Radioimmunoassay (RIA). Laporan Penelitian Hibah Pekerti, Dikti. Fakultas Pertanian

Unlam, Banjarbaru (2008).

Ainsworh, L ; R. Lachance and Flabric, 1982. Effect of Gn-RH induce endogenous

luteinizing hormone release andexogenous progesterone treatment on oavarian activity in the

postpartum ewe. J.Anim.Sci.54

Arthur, G. H. 2001. Arthur’s Veterinary Reproduction and Obstetrics. Elsevier: London.

Baerden, H.J. 2004. Applied Animal Reproduction. Upper Saddle River: New Jersey.

Coleman, TT. 2005. Cystic Ovarian Disease.. Diakses pada

http://www.wvu.edu/~exten/infores/ pubs/livepoul /dirm25.pdf

[http://www.wvu.edu/~exten/infores/%20pubs/livepoul/dirm25.pdf] tanggal 11 Januari 2012.

Eilts, 2007. BovineAnestrus. Diakses pada

http://www.vetmed.lsu.edu/eiltslotus/theriogenology- 5361/bovine_anestrus.htm

[http://www.vetmed.lsu.edu/eiltslotus/theriogenology-5361/bovine_anestrus.htm] . tanggal 11

Januari 2012.

Frandson, R. D., Wilke, W. L., dan Fails, A. D. 1992. Anatomy and Physiology of Farm

Animals 7th Edition. Wiley-

Blackwell: New York. Hafez, E.S.E., 2000. Reproduction in Farm Animals, 7th Edition.

LWW Wolter Kluwer Company [] : Baltimore.

Hardjopranjoto, Soehartojo. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Arlangga University Press:

Surabaya.

Page 9: Paper Anestrus Post Partum

McDougall,S. and C. Compton, 2005.Reproductive Performance of Anestrous Dairy Cows

Treated with Progesterone and Estradiol Benzoate.J. Dairy Sci. 88:2388

Pemayun, T.G.O., 2009. Induction of Oestrus with PMSG and Gn-RH in the Postpartum

Anoestrus Dairy Cow. Diakses pada http://www.bulletinveteriner.com/induksi-estrus-

dengan-pmsg-dan-gn-rh-pada-sapi-perah- anestrus-postpartum

[http://www.bulletinveteriner.com/induksi-estrus-dengan-pmsg-dan-gn-rh-pada-sapi- perah-

anestrus-postpartum/] tanggal 11 Januari 2012

Putro, P.P., 1991. The treatment of anoestrus and sub oestrus in dairy cattle using a

progesterone controlled internal drug release (CIDR) or a synthetic Gonadotrophin-

Releasing hormone Gn-RH. Buletinn FKH-UGM. Vol.10 no2.

Toilehere, 1980, Ilmu Kemajiran pada Ternak. UGM Press: Yogyakarta.