p a g e · 2019. 7. 18. · p a g e | 83 . mendatangkan bencana maupun kebaikan dalam kehidupan....
TRANSCRIPT
-
P a g e | 81
BAB IV
BENTUK PERUBAHAN IDENTITAS DI DALAM PROSES RITUAL TULUDE
Perubahan identitas bagi Peter Burke terjadi melalui empat model yaitu:
Pertama, perubahan identitas yang disebabkan oleh dominasi situasi.1 Kedua,
perubahan identitas yang disebabkan oleh konflik identitas, sehingga menjadikan
lahirnya kesepakatan terhadap suatu makna untuk dipilih oleh individu/kelompok.2
Ketiga, pemilihan suatu makna oleh individu/kelompok melalui keputusan rasional.3
Keputusan ini didorong oleh perbedaan makna yang terdapat di dalam
individu/kelompok dengan makna yang ada disekitar/lingkungan dimana
individu/kelompok itu berada. Keempat, proses memasukan makna yang didapatkan
dari orang lain kedalam diri sendiri/kelompok, dengan cara memahami orang lain
melalui interaksi.4
Sehubungannya dengan ritual Tulude, maka kita akan melihat bagaimana
keempat model perubahan identitas di atas terjadi selama proses ritual Tulude
berlangsung. Oleh karena itu, maka terlebih dahulu kita akan melihat unsur-unsur
makna apa saja yang terdapat di dalam ritual Tulude untuk mempermudah kita
memahami proses jalinan makna yang membentuk perubahan indentitas tersebut.
4.1. Unsur-unsur Makna di dalam Ritual Tulude.
4.1.1. Makna Dari Sejarah.
Pada dasarnya suku Sangihe mengenal asal-usul keberadaan mereka,
telah hidup dan berinteraksi dalam kelompok yang terpisah-pisah. Hal ini karena
mereka berasal dari tiga suku yaitu Apapuhang yang memiliki tempat tinggal di
atas pohon, Papenggo memiliki tempat tinggal yang tidak menetap, dan suku
1 Peter J. Burke, and Jan E. Stets, Identity Theory. New York: Oxford University Press (2009), 180. 2 Burke and Stets, Identity Theory, 183 3 Burke and Stets, Identity Theory, 184 4 Burke and Stets, Identity Theory, 185-186
-
P a g e | 82
Ansuang memiliki tempat tinggal di bahwa kaki gunung merapi yang bernama
gunung Awu.5 Dalam proses ritual Tulude perbedaan ini terlihat pada
pembagian tingkatan kedudukan berdasarkan warna pakaian adat yang
digunakan.6 Misalnya warna kuning keemasan untuk raja, warna kuning atau
putih untuk pegawai tinggi, warna biru untuk pegawai menengah, warna ungu
atau biru untuk pegawai rendah.7
Makna yang terkandung dalam legenda sejarah yang ada ini, menurut
penulis ialah, suku Sangihe memiliki cara hidup yang terpisah dan tidak
menyatu sebagai satu suku Sangihe.
4.1.2. Makna Dari Tindakan Nedosa.
Tindakan nedosa merupakan pantangan bagi suku Sangihe dalam
mempersiapkan diri untuk melaksanakan ritual Tulude. Di dalam pantangan ini
terdapat pesan moral tentang bagaimana menjaga hubungan yang baik dalam
kehidupan bersama. Keharmonisan hubungan sesama itu dijaga oleh sikap hidup
yang menjauhkan diri dari perselisihan, perzinahan, mencuri, membunuh, dan
sebagainya.8 Intinya ialah keharmonisan hubungan bersama menjadi hal utama
selama suku Sangihe mempersiapkan diri untuk melaksanakan ritual Tulude.
Makna yang terkandung dalam nedosa ini adalah suku sangihe secara
bersama dibentuk oleh ikatan persaudaraan yang kuat, sebagai sesama manusia
yang hidup bersama dengan dasar hidup bermoral.
4.1.3. Makna Dari Ghenggona Langi Duata Saruluang.
Suku Sangihe mempercayai adanya kekuatan dari roh-roh halus, arwah
orang mati, benda-benda sakti, kekuatan-kekuatan gaib yang dapat
5 Lihat bab III (catatan kaki nomor 3,4,5). 6 Lihat bab III (catatan kaki nomor 32). 7 Lihat bab III (poin tentang penjelasan penggunaan Perlengkapan Adat dalam ritual Tulude, khsusnya
poin 3.3.7.1 mengenai pakaian Adat). 8 Lihat bab III (catatan kaki nomor 22,24,60).
-
P a g e | 83
mendatangkan bencana maupun kebaikan dalam kehidupan. Akan tetapi, selain
dari kekuatan-kekuatan tersebut ada satu pemilik kekuatan di atas dari semuanya
yaitu Ghenggona Langi Duata Saruluang.9 Kepercayaan mereka terhadap
Ghenggona Langi Duata Saruluang memiliki proyeksi yang berbeda dari
kekuatan lainnya. Mereka mempercayai bahwa Ghenggona Langi Duata
Saruluang sebagai Ilahi yang suci dan bisa memberikan keselamatan hidup bagi
mereka. Oleh karena itu mereka menyebut Ilahi itu sebagai “I Ghenggona Langi
Duata Saruluang Manireda Bihingang” (Dia yang di atas langit penguasa alam
semesta melindungi kita semua). Pemahaman atas Ghenggona Langi Duata
Saruluang itu membuat suku Sangihe menyebutkan nama tersebut tidak secara
sembarangan, sehingga nama itu memiliki sapaan yang lain dalam kehidupan
sehari-hari yaitu Mawu Ruata/Mawu Duata.10 Penyebutan Ghenggona Langi
Duata Saruluang biasanya dipakai dalam ritual yang dilaksanakan seperti
Tulude.
Makna yang terkandung dalam kepercayaan terhadap Ghenggona Langi
Duata Saruluang ini adalah kesatuan kepercayaan terhadap satu nama Ilahi
ditengah banyak kepercayaan kekuatan-kekuatan lain. Meskipun ada banyak
kepercayaan terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kekuatan untuk
kebaikan suku Sangihe, pada akhirnya mereka memiliki konsekuensi yang kuat
atas satu nama Ilahi dalam kehidupan bersama. Sehingga makna akan satu nama
itu mengikat mereka dalam perasaan yang sama terhadap satu Ilahi ketika ritual
dilaksanakan.
9 Lihat bab III (catatan kaki nomor 17). 10 Lihat bab III (catatn kaki nomor 18).
-
P a g e | 84
4.1.4. Makna Dari Tamo.
Bagi suku Sangihe kue Tamo Banua melambangkan persatuan dan
kesatuan; kesuksesan dan keberhasilan; serta suatu isyarat kepada kita, bahwa
seorang pemimpin harus menjamin nilai kemanusiaan, moral dan berlaku
bijaksana dalam kehidupannya.11 Tamo Banua juga melambangkan ungkapan
syukur kepada Ghenggona Langi yang empunya kehidupan dan sumber
berkat.12
Makna yang terkandung dalam Tamo adalah para pemimpin memiliki
tanggungjawab moral untuk menjamin nilai kemanusiaan rakyatnya, dan
pemimpin secara bijaksana juga memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Pada sisi
yang lain, Tamo ini juga memberi makna bahwa perlunya memberi ucapan
syukur kepada Ghenggona Langi yang memberkati kehidupan suku Sangihe.
4.1.5. Makna Dari Menahulending.
Menahulending yang ada di dalam proses ritual Tulude memiliki empat
hal yaitu: pertama, pemulihan keadaan yang rusak, penyucian hidup. Kedua,
menghindarkan diri dari bencana. Ketiga, permohonan diberikan ketabahan
dalam menghadapi cobaan hidup. Kelima, memohon berkat dan kekuatan dalam
bekerja. Semua hal di atas ditujukan bagi pemerintah maupun masyarakat.13
Makna yang terkandung dalam menahulending ini adalah harapan
bersama terhadap suatu kehidupan.
4.1.6. Makna Dari Tarian Adat.
Ada enam model tarian yang terdapat dalam adat suku Sangihe yaitu:
Salo, alabadiri, gunde, upase, bengko, dan ransansahabe. Tarian ini
11 Lihat bab III (catatan kaki nomor 63, poin 3.3.6.3 mengenai kelengkapan ritual adat Tulude). 12 Lihat bab III (catatan kaki nomor 63, poin 3.3.8.10 mengenai pemotongan kue Tamo). 13 Lihat bab III (catatan kaki nomor 63, poin 3.3.8.8 mengenai Menahulending).
-
P a g e | 85
dilaksanakan dalam rangka mengingatkan bahwa suku Sangihe itu memiliki
kepribadian sebagai seorang prajurit yang setia terhadap raja, pahlawan yang
perkasa, pembela tanah kelahirannya sampai mati, dan tetap waspada terhadap
ancaman dari luar.14
Makna yang terkandung dalam tarian adat ini ketika dipraktekkan dalam
ritual Tamo adalah mengingatkan bahwa kepribadian suku Sangihe itu memiliki
sikap yang setia terhadap bangsa dan negara.
4.1.7. Makna Dari Nyanyian Adat.
Ada tiga model nyanyian yang dipakai dalam ritual Tulude yaitu:
sasambo, kakumbaede,dan mebawalese. Penggunaan nyanyian adat ini dalam
proses ritual Tulude sebagai suatu pemujaan, permohonan, dan menceritakan
kisah tentang kekuatan dari Ghenggona Langi Duata Saruluang dalam bentuk
bahasa sastra yang diiringi oleh alat musik adat.15
Makna yang terkandung dalam nyanyian adat ini adalah masyarakat suku
Sangihe memiliki kesadaran untuk berterimakasih kepada pemilik kehidupan
atas apa yang telah diberikan dalam kehidupan mereka. Kemudian mereka juga
mengetahui bahwa sumber segala kehidupan itu berasal dari Ghenggona Langi
Duata Saruluang. Jadi adanya makna tentang kesadaran memuji dan memohon
kepada Ghenggona Langi Duata Saruluang.
4.1.8. Makna Dari Hukum Adat.
Hukum adat merupakan landasan untuk berinteraksi dalam seluruh
kehidupan suku Sangihe. Ada tiga bentuk sanksi yang termuat dalam hukum
adat yaitu denda (salahoko), pemberitahuan ke publik tentang seseorang yang
14 Lihat bab III (catatan kaki nomor 25 poin 3.1.8.3 mengenai tarian adat dan mengenai penjelasan
penggunaan perlengkapan adat dalam ritual Tulude khususnya tari-tarian poin 3.3..7.5). 15 Lihat bab III (catatan kaki nomor 25 poin 3.1.8.1 mengenai seni vocal dan penjelasan penggunaan
perlengkapan adat dalam ritual Tulude poin 3.3.7.4 mengenai nyanyian adat).
-
P a g e | 86
melakukan pencurian (memohang), diasingkan (iwembang). Hukum adat ini
diberlakukan karena adanya tindakan perkara sumbang. Pelanggaran ini terbagi
atas tiga jenis yaitu sumbang berat, sumbang ringan, dan sumbang enteng.
Perkara sumbang ini adalah larangan terhadap tindakan persetubuhan orang tua
dengan anak, dan persetubuhan antara sedarah sampai pada keturunan keenam,
kemudian larangan terhadap persetubuhan saudara tiri.16
Makna yang terdapat dalam hukum adat ini adalah persoalan moral
maupun etika kehidupan yang menjaga agar tidak terjadinya pelecehan
seksualitas dalam kehidupan bersama.
4.1.9. Makna Dari Mangumbaede.
Ada lima bagian dalam proses mangumbaede yaitu: Lahaghatong,
lahakane, la’ala e, la’ansuhe, dan hakane. Dalam kegiatan ini semua yang hadir
pada ritual Tulude akan mendengarkan pengajaran nilai-nilai kehidupan dari
Petua adat yang bertugas. Nilai kehidupan itu diajarkan dalam bentuk pesan-
pesan hikmat ketika mau mengambil keputusan dalam kehidupan. Kemudian
mereka diingatkan lagi bahwa nilai kehidupan yang benar itu berasal dari
Ghenggona Langi Duata Saruluang.17
Makna yang terdapat dalam mengumbaede ini adalah pengajaran.
Mereka sebagai pemerintah, sebagai masyarakat, sebagai pemimpin agama,
sebagai Petua adat, selalu di ingatkan tentang bagaimana mereka melaksanakan
tanggungjawab masing-masing. Misalnya: kehidupan seorang yang menjabat
sebagai pemerintah harus memperhatikan masyarakat yang miskin, tertindas.
Kemudian sebagai masyarakat, mereka harus patuh pada aturan-aturan yang
telah dibuat oleh pemerintah. Bagi pemimpin agama, bagaimana mereka
16 Lihat bab III (catatan kaki nomor 23, 24). 17 Lihat bab III (catatan kaki nomor 63 poin 3.3.8.7 mengenai mangumbaede).
-
P a g e | 87
berperan penting untuk menjaga serta mengembangkan nilai toleransi perbedaan
agama yang sudah ada. Jadi maknanya adalah pengajaran.
4.2. Jalinan Makna di dalam Ritual Tulude.
Bagi Burke bahwa jalinan makna itu merupakan identitas itu sendiri.18 Disini
terdapat sembilan unsur makna yang ada di dalam proses ritual Tulude yaitu: pertama,
suku Sangihe memiliki latar belakang kehidupan yang terpisah. Kedua, suku Sangihe
memiliki ikatan moral bersama. Ketiga, suku Sangihe mempunyai kepercayaan
terhadap Tuhan dengan nama yang sama ditengah kepercayaan yang lain. Keempat,
suku Sangihe memahami adanya tanggunjawab moral terhadap sesama. Kelima, suku
Sangihe mengetahui bagaimana mempertahankan kehidupan yang diproyeksikan
melalui harapan. Keenam, suku Sangihe memiliki kepribadian yang setia kepada
bangsa dan negara. Ketujuh, suku Sangihe memahami suatu kesadaran untuk memuji
kekuasaan Tuhan, dan bagaimana mereka bermohon kepada-Nya. Kedelapan, suku
Sangihe mempunyai suatu hukum yang mengatur nilai moral dan etika. Kesembilan,
suku Sangihe memiliki sistem pengajaran tentang cara untuk hidup bersama sesuai
dengan keinginan Tuhan melalui tindakan berhikmat dan bijaksana dalam mengambil
suatu keputusan atau menata suatu stuktur kehidupan.
Makna yang terdapat di atas menjadikan setiap individu maupun kelompok yang
hadir dalam ritual Tulude terus mengidentifikasi setiap makna terbalik atau lawan
makna dari makna yang mereka temukan dalam ritual Tulude. Mislanya, jika ada
perbuatan asusila dalam masyarakat maka mereka mengidentifikasinya dengan nilai
dari makna moral dan etika yang mereka temukan dalam ritual Tulude melalui
tindakan nedosa. Jika ada tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah,
mereka mengidentifikasi makna itu dengan makna yang terdapat dalam pengajaran
18 Burke and Stets, Identity Theory, 54.
-
P a g e | 88
(mangumbaede). Jika ada konsep atau dogma agama yang sering menjustifikasi
agama lain, maka pemimpin agama maupun masyarakat mengidentifikasinya dengan
makna bagaimana mereka menyebut nama Tuhan dengan menggunakan kata yang
sama yaitu Ghenggona Langi Duata Saruluang. Jika ada individu atau kelompok
yang mencoba merusak alam dengan tidak bertanggunjawab maka mereka
mengidentifiksinya dengan makna menahulending banua, bahwa Genggona Langi
Duata Saruluang akan menghukum tindakan tersebut dengan bencana.
Dengan adanya jalinan makna itu maka menciptakan standar identitas bagi suku
Sangihe. Bagaimana proses terjadinya standar identitas itu, berikut akan diuraikan
tentang prosesnya.
4.3. Ritual Tulude Menjadi Standar Identitas.
Peter Burke menyebutkan bahwa kumpulan makna tidak lain merupakan standar
identitas.19 Kumpulan makna dalam ritual Tulude dapat dilihat dalam beberapa bagian
sebagai berikut:
4.3.1. Praktek Tulude Sebagai Praktek Ritual.
Praktek Tulude pada proses pelaksanaanya melibatkan tarian adat (Salo,
Gunde, Upase), nyanyian adat (Sasambo, Kakumbaede, Mebawalase), musik
adat (Bambu, Oli, Tagonggong, Nanaungang) makanan adat (pemotongan kue
Tamo), pakaian adat (Tepu/Baniang), atribut adat (Soho U Wanua,
Paporong/Umbe, Salikuku/Papehe, Bawandang Liku), dan kepercayaan kepada
Ilahi (Genggona Langi Duata Saruluang).20 Aktifitas ini terus dilaksanakan
setiap tahunnya oleh suku Sangihe.
19 Burke and Stets, Identity Theory, 63. 20 Lihat bab III (catatan kaki nomo 62).
-
P a g e | 89
Kebiasaan praktek seperti di atas berdasarkan pemahaman Sims dan
Stephens didefinisikan sebagai praktek ritual.21 Dalam pemahaman mereka
bahwa ritual itu merupakan penyatuan cerita lisan, adat, dan materi. Cerita lisan
dilihat dalam bentuk nyayian dan bacaan puisi. Adat, dilihat dari bentuk tari-
tarian. Sedangkan materi dilihat dari makanan, tulisan, dan pakaian. Kemudian
aktifitas pelaksanaanya dilakukan secara berulang-ulang, dengan memiliki
hubungan spiritual terhadap yang Ilahi. Dengan demikian maka praktek Tulude
dalam hal ini merupakan praktek ritual dalam kehidupan suku Sangihe, yang
diartikan sebagai standar identitas pertama. Jadi praktek Tulude sebagai suatu
ritual adalah standar identitas pertama dari suku Sangihe.
4.3.2. Ritual Tulude sebagai ritual Formal.
Ritual Tulude diawali oleh kegiatan persiapan yang dibentuk oleh Dewan
adat suku Sangihe. Ada tiga model persiapan sebelum melaksanakan ritual
Tulude yaitu: pertama, persiapan dalam kehidupan masyarakat suku Sangihe. Di
dalam proses ini, masyarkat diarahkan untuk mempersiapkan diri secara pribadi
dengan cara mematuhi beberapa pantangan hidup sesuai dengan hukum adat
suku Sangihe.22 Pantangan tersebut berupa cara hidup yang mejauhkan diri dari
tindakan berzinah, membunuh, mencuri, membuang anak, kemudian tidak boleh
bertengkar antara anak dengan orang tua, kakak beradik, bersaudara tiri,
tetangga, dan dengan siapa saja. Kedua, membentuk Panitia pelaksana ritual
Tulude. Pada bentuk persiapan ini panitia tersebut melibatkan Petua adat, tokoh
masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah. Mereka bertugas menyusun
pelaksanaan ritual Tulude dari awal sampai akhir, kemudian memberitahukan
kepada seluruh suku Sangihe bahwa akan dilaksanakannya ritual Tulude pada
21 Lihat bab II (catatan kaki nomor 1,2). 22 Lihat bab III (catatan kaki nomor 60,61,62).
-
P a g e | 90
waktu dan hari yang telah ditentukan. Setelah itu maka Panitia tersebut
mempersiapkan kelengkapan yang akan dipakai dalam ritual Tulude.
Kelengkapan yang dimaksud seperti: tempat pelaksanaan, kue Tamo, pakaian
adat, personil adat yang bertugas, dan atraksi-atraksi kesenian tradisional.
Sims dan Stephens menyebutkan bahwa ritual formal adalah ritual yang
memerlukan perencanaan khusus dan disampaikan atau diumumkan kepada
banyak orang dengan kata lain melibatkan banyak orang dalam proses ritual
formal.23 Proses persiapan ritual Tulude memiliki perencanaan khusus, baik
dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan kehidupan bersama. Perencanaan itu
terlihat di dalam cara mereka mempersiapkan diri untuk menyambut hari
pelaksanaan ritual Tulude, dengan mempraktekkan nilai etika dalam berinteraksi
satu dengan lainnya. Selain itu, panitia yang telah ditetapkan oleh dewan adat
memberitahukan kepada banyak orang (suku Sangihe, termasuk simpatisan)
bahwa akan diadakannya ritual Tulude. Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut
maka, ritual Tulude ini dapat disebut ritual formal. Jadi standar identitas kedua
bagi suku Sangihe adalah ritual Tulude sebagai ritual formal.
4.3.3. Ritual Tulude sebagai ritual Sakral.
Praktek ritual Tulude sangat erat hubungannya dengan dunia spiritual.
Hal ini dapat dilihat dari bagaimana suku Sangihe melibatkan Ilahi dalam proses
ritual tersebut. Ilahi yang disapa dengan nama Ghenggona Langi Duata
Saruluang adalah sumber penjawab segala harapan dari suku Sangihe ketika
mereka melakukan ritual Tulude.24 Harapan tersebut adalah terciptanya
kehidupan yang damai antara sesama manusia, pemerintah yang memimpin
memiliki kebijaksanaan dan keadilan, hasil panen melimpah, penangkapan ikan
23 Lihat bab II (catatan kaki nomor 6). 24 Lihat bab III (catatan kaki nomor 17,18, 63 poin 3.3.8.12 mengenai sasalamate).
-
P a g e | 91
di laut melimpah, dan wabah penyakit tidak akan menimpa kehidupan suku
Sangihe. Keyakinan suku Sangihe sangatlah kuat terhadap terjadinya intervensi
dari Ghenggona Langi Duata Saruluang atas kehidupan mereka untuk
mendatangkan kehidupan yang baik, dan penuh kedamaian. Sehingga di dalam
proses ritual Tulude seluruh yang terlibat seakan menciptakan batasan dari
berbagai perbedaan identitas, mereka memasuki suatu fenomena kehidupan
yang lain dari biasanya.
Sims dan Stephens menyebutkan bahwa ritual Sakral itu adalah praktek
yang melibatkan dunia spiritual.25 Model fenomena yang terjadi di dalam proses
ritual Tulude adalah fenomena hidup sakral. Oleh Dhurkeim disebutkan sebagai
cara hidup yang memisahkan diri dari yang profan, atau dengan kata lain
sejenak memisahkan diri dari kehidupan yang penuh kesalahan untuk masuk
pada penyucian hidup.26 Penyucian hidup dalam ritual Tulude ini dipraktekkan
melalui proses menahulending tembonange dan menahulending banua.27 Tujuan
dalam dua model menahulending ini ialah proses penyucian berbagai kesalahan
yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Harapan yang diukir oleh suku
Sangihe dalam proses menahulending ini ialah setelah semua telah disucikan,
maka Ghenggona Langi Duata Saruluang akan mengembalikan semua yang
rusak menjadi baik. Hal itu dikarenakan, terdapatnya proses pembersihan diri
dari tindakan yang salah itu melalui fenomena spiritual dalam praktek
menahulending, maka ritual Tulude ini adalah ritual Sakral. Oleh karena itu,
dengan adanya harapan tersebut menciptakan identitas standar yang ketiga bagi
suku Sangihe yaitu bagi mereka ritual Tulude merupakan sesuatu yang Sakral.
25 Lihat bab II (catatan kaki nomor 8). 26 Lihat bab II (catatan kaki nomor 2). 27 Lihat bab III (catatan kaki nomor 27,53, 63 poin 3.3.8.8 mengenai menahulending).
-
P a g e | 92
4.3.4. Ritual Tulude sebagai bentuk Passage.
Ritual Tulude tidak hanya melibatkan suku Sangihe dalam proses
pelaksanaanya, tetapi juga melibatkan undangan pejabat pemerintah diluar dari
daerah Sangihe. Kehadiran mereka mendapatkan penghargaan khusus dalam
kebiasaan suku Sangihe. Penghargaan itu berupa pemberian gelar adat, seperti
Malambem Banua Liune dan Wawu Boki.28 Gelar ini memiliki arti bahwa
seorang pemimpin laki-laki dan perempuan datang dari seberang lautan telah
diterima dan menjadi bagian pemimpin dalam suku Sangihe.
Dalam uraian Sims dan Stephens terdapat tiga bentuk/jenis ritual yaitu:
pertama, jenis Passage, ritual ini dipakai untuk memberikan tanda kepada
keturunan melalui marga. Kedua, jenis Inisiasi, ritual ini dipakai untuk
menyambut seseorang menjadi anggota individu. Ketiga, jenis Penamaan, ritual
ini dipakai untuk memberikan nama kepada anak yang baru lahir.29 Oleh karena
itu ritual Tulude juga merupakan ritual Passage dalam pengertian sebagai
bentuk penamaan dan inisiasi anggota kelompok. Maka standar identitas
keempat bagi suku Sangihe adalah ritual Tulude sebagai ritual yang dapat
mengesahkan seseorang dari luar suku Sangihe sebagai sesama yang bisa
memimpin dalam kehidupan suku Sangihe.
4.3.5. Ritual Tulude sebagai bentuk/jenis ritual Causality.
Ritual Tulude dipraktekkan oleh suku Sangihe dalam situasi dimana
adanya pengharapan akan kebaikan hidup, ketika mereka mengalami bencana.30
Misalnya bagi petani adanya serangan hama terhadap tanaman mereka. Bagi
nelayan, ikan akan sangat sulit untuk didapatkan dan cuaca di laut sangat buruk.
28 Lihat bab III (catatan kaki nomor 63 poin 3.3.8.2 mengenai penjemputan tamu). 29 Lihat bab II (catatan kaki nomor 15,16,17). 30 Lihat bab III (catatan kaki nomor 63 poin 3.3.8.8 mengenai menahulending).
-
P a g e | 93
Bagi masyarakat, mereka akan diserang wabah penyakit yang mengakibatkan
kematian. Mereka percaya dan menyakini bahwa musibah tersebut adalah
bagian dari murka atau kemarahan Ghenggona Langi kepada umat manusia atas
dosa yang telah dilakukan. Ritual ini, mengandung permohonan doa kepada
Ghenggona Langi agar memulihkan keadaan alam seperti sedia kala dan
memberi pengampunan kepada orang-orang yang telah berbuat salah melalui
pentahiran. Proses pentahiran itu melalui ritual menahulending banua.
Tujuannya agar diluputkan dari malapetaka yang menimpa, segala hama
penyakit dihilangkan, supaya kebun mendapatkan hasil yang banyak. Demikian
juga ikan-ikan akan berdatangan ke tempat-tempat yang dapat dijangkau oleh
para nelayan.
Kepercayaan suku Sangihe atas adanya dampak bencana karena
kesalahan manusia, merupakan bentuk dari cara mereka menjalani hidup di
dunia ini. Cara hidup seperti itulah yang selama ini menjadi dasar berpijak
keyakinan mereka untuk menjalani kehidupan ini. Sehingga kepercayaan
bersama itu telah menjadikan standar identitas bagi mereka. Pengalaman hidup
itu memberi pengetahuan bagi mereka tentang hukum causality (sebab-akibat)
kehidupan. Hal itulah yang mendorong ritual Tulude dilaskanakan, sehingga
bentuk/jenis ritual ini oleh penulis disebut sebagai ritual causality. Dengan
demikian standar identitas yang kelima bagi suku Sangihe adalah ritual Tulude
sebagai ritual sebab akibat.
Sebab Akibat Harapan
Tindakan nedosa
(tindakan
pelanggaran hukum
adat)
Pertanian: serangan hama
Nelayan: Cuaca buruk, ikan
sulit didapatkan.
Masyarakat: Wabah
penyakit yang membawa
kematian.
Pemulihan alam menjadi
baik.
Hilangnya wabah
penyakit.
-
P a g e | 94
4.4. Bentuk Perubahan Identitas di Dalam Proses Ritual Tulude.
Peter Burke menguraikan ada empat model perubahan identitas.31 Keempat
model itu akan dipakai untuk melihat perubahan identitas selama proses ritual Tulude
berlangsung pada bagian dibawah ini.
4.4.1. Dominasi Makna Hidup Dalam Proses Ritual Tulude.
Embrio makna atau sumber makna yang terdapat dalam proses ritual
Tulude berada pada keyakinan suku Sangihe terhadap Ghenggona Langi Duata
Saruluang sebagai pemberi segala sesuatu yang baik bagi manusia.32 Makna
akan mempertahankan kehidupan merupakan makna yang paling tinggi dan kuat
dalam pengharapan suku Sangihe. Kelahiran makna ini karena adanya situasi
yang merugikan dan mengancam kehidupan mereka, seperti bencana alam,
wabah penyakit, dan gagal panen. Mereka meyakini bahwa untuk
menghilangkan situasi yang merugikan dan mengancam kehidupan itu dapat di
hilangkan melalui ritual Tulude. Dengan adanya situasi ini maka keberagaman
identitas yang dimiliki oleh setiap individu/kelompok dalam suku Sangihe tidak
mempengaruhi pikiran mereka ketika mereka melakukan identifikasi diri.
Penyebab dari mereka tidak dipengaruhi oleh identitas di luar dari standar
identitas itu karena pengharapan bersama yang menciptakan satu situasi atau
dorongan bagi mereka untuk menjadi satu dalam keberagaman identitasnya.
Dorongan itu tidak lain adalah bentuk dominasi situasi dari pengharapan, yang
menciptakan keadaan tekanan terhadap keberagaman identitas individu maupun
kelompok suku Sangihe. Maka dominasi situasi tersebut dengan sendirinya
merubah keberagaman identitas itu menjadi satu identitas atau fucion identity
(penyatuan keberagaman identitas).
31 Lihat bab II (catatan kaki nomor 35). 32 Lihat bab III (catatan kaki nomor 17,18).
-
P a g e | 95
Burke pernah menyinggung tentang praktek agama, dimana perubahan
identitas itu dapat terjadi.33 Hanya saja pertanyaanya ialah apakah praktek satu
agama dapat mempengaruhi individu yang berbeda agama? Mungkin bisa terjadi
tetapi kemungkinannya kecil, dan dia mungkin akan menganut agama atau
kepercayaan yang mepengaruhinya. Kalau di dalam ritual Tulude orang yang
memiliki agama berbeda sebagai identitasnya, tidak perlu beralih agama atau
melepaskan agamanya, tetapi dia mengalir dengan sendirinya dan menyatu
dengan semua yang berbeda identitasnya menjadi satu dalam pengharapan
bersama itu, pengharapan akan keselamatan yang akan diberikan oleh
Ghenggona Langi Duata Saruluang. Situasi ini memiliki dampak bagi cara
hidup suku Sangihe dalam kehidupan bersama. Output dari ritual bersama itu
adalah ketika pernah terjadi perselisihan antar agama, maka setelah terjadi
bencana, kemudian mereka melaksanakan ritual Tulude, interaksi individu yang
memiliki perbedaan agama menjadi lebih baik dari semula. Dalam hal inilah
toleransi antar umat beragama itu terjaga dan berkembang sebagai bentuk
perubahan identitas.
Bagi Burke bahwa dominasi keadaan untuk merubah identitas itu terjadi
melaui perubahan bentuk akibat dominasi salah satu gender, penyucian otak,
dan dominasi yang terjadi dalam strukutur.34 Akan tetapi, perubahan bentuk
makna yang penulis temukan dalam proses ritual Tulude bukan hanya adanya
hal-hal seperti yang diungkapkan oleh Burke, melainkan karena suatu
pengharapan bersama. Pengharapan bersama itu merupakan bentuk spiritual
yang dimiliki oleh suku Sangihe. Spiritual inilah yang mendominasi keadaan
33 Lihat bab II (catatan kaki nomor 38). 34 Lihat bab II (catatan kaki nomor 37,38,39).
-
P a g e | 96
dan situasi saat mereka melakukan ritual Tulude melalui proyeksi pengharapan
bersama.
Meskipun berbeda tentang bentuk perubahan identitas seperti yang
digambarkan diatas, pada sisi lain Burke benar bahwa ketika terjadi perubahan
identitas maka konsep makna ikut berubah. Hanya saja sesuatu yang
menyebabkan perubahan makna itu yang berbeda. Burke menemukanya dalam
bentuk dominasi gender, pengaruh cuci otak, dan dominasi struktur, tetapi dalam
proses ritual Tulude, bentuknya ialah dominasi spiritual.
4.4.2. Kesepakatan Makna Hidup dalam Proses Ritual Tulude.
Telah dibahas bahwa latar belakang pelaksanaan ritual Tulude karena
adanya fenomena wabah penyakit bagi desa, serangan hama terhadap tanaman,
kesulitan dalam mencari ikan di laut, terjadinya bencana alam seperti banjir
bandang, tanah longsor yang menimpa rumah warga kemudian mengakibatkan
korban yang cukup banyak (kejadian tanah longsor yang berbeda dari
biasanya).35 Suku Sangihe melihat bahwa fenomena itu karena akibat dari
tindakan manusia yang melanggar hukum adat dalam kehidupan bersama.
Pelanggaran tersebut adalah pelanggaran terhadap kode etik kehidupan, seperti
ayah menyukai anak kandung perempuannya, atau ibu menyukai anak kandung
laki-lakinya. Kakak beradik saling menyukai satu dengan lainnya, dan terjadinya
pemerkosaan. Termasuk penyalahgunaan kekuasaan pemerintah demi
kepentingan dirinya sendiri. Pada sisi yang lain adanya pelanggaran terhadap
alam, seperti menebang pohon yang dilarang untuk ditebang, dan mencemari
lingkungan yang dianggap keramat.
35 Lihat bab III (catatan kaki nomo 23, 47,48,49,50).
-
P a g e | 97
Pada perkembangannya suku Sangihe telah hidup dalam modernisasi,
berpikir secara rasional terhadap setiap kejadian yang terjadi. Akan tetapi dari
fenomena bencana yang pernah terjadi di atas, membentuk suatu situasi yang
membuat mereka sulit untuk memahami kejadian tersebut secara rasional.
Identitas mereka sebagai manusia yang hidup dalam dunia moderen mengalami
konflik ketika diperhadapkan dengan kejadian alam yang misterius seperti di
atas. Mereka beranggapan bahwa tidak mungkin bencana itu terjadi hanya
karena mereka menebang pohon yang dilarang, tidak mungkin bencana itu juga
terjadi bagi seluruh desa hanya karena kesalahan satu orang yaitu ketika
terjadinya pelanggaran hukum adat ataupun karena kesewenangan pemerintah
dalam kebijakan mereka. Akan tetapi kenyataan dari beberapa kejadian yang
pernah terjadi membuktikan hal tersebut.
Fenomena ketidakmungkinan di ataslah yang menciptakan krisis
identitas mereka yaitu benturan antara identitas mereka sebagai manusia
moderen yang mulai melihat kejadian alam dari segi rasional, dengan identitas
mereka sebagai suku Sangihe yang pernah menerima berbagai kisah lisan
tentang mitologi bencana dalam kehidupan suku Sangihe. Dengan adanya krisis
identitas itu, maka mereka diperhadapkan dengan situasi yang memerlukan jalan
keluar untuk menjawab persoalan krisis identitas tersebut.
Pada proses ritual Tulude identitas dari cerita lisan itu lebih dominan
terhadap identitas modern mereka, maka dalam ritual Tulude terjadi kesepakatan
makna dimana mereka kembali lagi diingatkan berbagai bentuk kode etik
kehidupan di antara manusia dengan manusia maupun manusia dengan alam.
Situasi yang mendominasi itu menciptakan bentuk dari perubahan identitas
kehidupan mereka. Bentuknya ialah adanya penggabungan antara identitas
-
P a g e | 98
moderen dengan standar identitas (identitas awal) suku Sangihe. Hasil dari
penggabungan identitas itu memiliki bentuk makna baru yaitu, meskipun
mereka hidup dalam dunia modern yang mengkaji berbagai makna dalam segi
rasional tetapi juga mereka meyakini hal-hal misterius seperti makna dari
beberapa kejadian bencana yang menimpa hidup mereka. Bahwa bencana yang
terjadi itu merupakan bagian dari kesalahan yang mereka lakukan. Dalam hal ini
mereka menemukan jawaban melalui proses krisis identitas atau benturan
identitas antara identitas mereka sebagai manusia moderen yang berpikir logis
dan mereka sebagai suku Sangihe yang pernah memahami mitos yang ada.
Bentuk perubahannya terletak pada perbedaan makna sebelum mereka
hidup dalam dunia moderen dimana mereka melihat bahwa kejadian bencana itu
hanya karena bagian dari hal-hal mistis saja, tetapi karena ritual Tulude
memberikan pengaruh yang cukup besar dalam jalinan makna itu, maka
walaupun mereka telah memiliki identitas modern, mereka tetap meyakini
bahwa bencana yang terjadi baik yang dapat dikaji secara mistis maupun secara
rasional tetap merupakan kesalahan mereka, dan mereka membutuhkan
perubahan hidup yang lebih baik. Disinilah terjadi kesepakatan makna ketika
ritual Tulude mengingatkan mereka bahwa perlu adanya pembenahan cara hidup
dari yang salah ke hal yang baik. Jadi kesepakatan makna itu ada pada saat
mereka menyadari baik secara rasional maupun mistis bahwa bencana itu adalah
dampak dari cara hidup manusia yang semena-mena terhadap sesama dan alam,
olehnya mereka memerlukan perbaikan cara hidup yang mereka dapatkan
melalui beberapa wejangan hikmat yang disampaikan dalam ritual Tulude oleh
Petua Adat.
-
P a g e | 99
Burke mejelaskan tentang perubahan identitas dalam hal ini terbentuk
oleh kesepakatan makna yang mendominan.36 Ritual Tulude melahirkan
dominasi makna melalui ingatan terhadap cerita lisan yang disampaikan secara
turun temurun, sehingga mampu mempengaruhi identitas modern yang terdapat
dalam setiap individu suku Sangihe. Oleh karena itu dalam kesadaran mereka
sebagai individu/kelompok mereka memiliki kesadaran baru baik secara rasional
maupun secara mistis. Kesadaran baru inilah yang membentuk makna baru, dan
hal ini yang membedakan temuan Burke terhadap perubahan identitas. Burke
menemukan kesepakatan makna karena dominasi makna dari identitas secara
rasional saja, sedangkan dalam ritual Tulude makna terbentuk dalam cerita lisan
melalui mitologi. Jadi kesepakatan makna yang diuraikan oleh Burke hanya
berdasarkan pada pemikiran rasional saja, sedangkan kesepakatan makna dalam
ritual Tulude terjadi secara rasional dan pemikiran mistis.
4.4.3. Keputusan Rasional untuk Memilih Suatu Makna Hidup dalam Proses
Ritual Tulude.
Kita mengetahui bahwa latar belakang suku Sangihe dan arti dari warna
pakaian adat menerangkan cara hidup terpisah-pisah.37 Akan tetapi ketika
pemberitahuan untuk diadakannya ritual Tulude, mereka baik yang beragama
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, termasuk agama suku “Islam Tua”
mempersiapkan diri bersama-sama dalam menyambut ritual Tulude tersebut.
Ketika mereka hadir dalam ritual itu, seharusnya terjadi dominasi dari Petua
adat yang memimpin ritual dengan menggunakan cara atau dogma dari agama
baru yang di anut. Misalnya, dalam penyebutan nama Tuhan, jika dia beragama
Kristen seharusnya menyebutkannya dengan nama Yesus Kristus, atau ketika
36 Lihat bab II (catatan kaki nomo 43). 37 Lihat bab III (catatan kaki nomor 3,4,5,32).
-
P a g e | 100
dia beragama Islam memakai kata Allah. Akan tetapi yang dipakai adalah
Ghenggona Langi Duata Saruluang. Mengapa nama itu digunakan? Disinilah
terjadi proses pemilihan secara rasional. Mereka melihat bahwa nama itu
memiliki makna yang dapat digunakan oleh siapa saja tanpa menjustifikasi
keberadaan salah satu kepercayaan dari agama moderen yang dianut oleh suku
Sangihe.
Pilihan rasional terhadap satu makna juga terjadi disaat mereka berada
pada proses makan kue Tamo. Mereka tidak memikirkan persoalan makanan
yang haram dan halal, siapa yang membuat kue Tamo, apakah dia menganut
agama yang sama atau tidak, apakah layak untuk dikonsumsi atau tidak.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak mengalir dalam pemikiran suku
Sangihe disaat memasuki ritual makan Tamo, melainkan mereka berada pada
satu keputusan rasional yang berdasar pada makna dari kue Tamo itu sendiri.
Bahwa kue tersebut merupakan sesuatu yang menggantikan kesalahan yang
mereka buat dan ketika mereka memakannya mereka mendapatkan
pengampunan sehingga memiliki kehidupan yang layak dihadapan Tuhan.
Tujuannya adalah mereka dijauhkan dari malapetaka, dan bencana dalam
kehidupan. Dari beragam identitas dogma yang berbeda mereka lebih memilih
untuk mendapatkan kehidupan secara bersama-sama, daripada terikat pada
ajaran dogma agama baru, misalnya tentang haram-halal, atau kafir-tidak kafir.
Dengan adanya beberapa bentuk dari keputusan rasional di atas, maka
terjadi penyeberangan identitas oleh setiap individu menuju pada identitas
bersama melalui identifikasi. Oleh karena itu penyeberangan identitas
menciptakan perubahan identitas yang terjadi pada saat mereka
mengesampingkan identitas agama baru dan jabatan sebagai pemerintah, tokoh
-
P a g e | 101
masyarakat, tokoh agama, kemudian mereka memasuki identitas bersama
melalui pilihan rasional dalam proses ritual makan kue Tamo.
Bagi Burke, pilihan rasional yang terjadi merupakan dampak dari adanya
persoalan identitas yang terjadi dalam individu maupun kelompok.38 Akan tetapi
dalam kasus pilihan rasional terhadap suatu makna dalam proses ritual Tulude,
terjadi dalam bentuk penyeberangan identitas. Suku Sangihe bisa saja bertahan
dalam identitasnya masing-masing, walaupun terdapat suatu persoalan identitas,
tetapi mereka memilih sercara rasional untuk menyeberang ke identitas yang
terdapat dalam ritual Tulude itu sendiri.
4.4.4. Verifikasi Makna Hidup dalam Proses Ritual Tulude.
Ketika Tulude menjadi standar identitas yang dapat dilihat dalam lima
bentuk yaitu, sebagai ritual, sesuatu yang sakral, formal, cara menerima orang
lain (inisiasi), dan memiliki unsur sebab akibat. Kelima bentuk itu memiliki
makna yang menjadi dasar untuk mengidentifikasi setiap makna kehidupan suku
Sangihe. Hal itu terjadi di saat mereka berada dalam proses ritual Tulude.
Setelah proses identifikasi terjadi kemudian memverfikasinya. Mereka
memverifikasi setiap makna yang sama dari setiap makna yang mereka temukan
dalam kehidupan di luar dari proses ritual Tulude. Misalnya: jika dalam
kehidupan agama moderen diajarkan tentang makna mengasihi, maka makna itu
diverifikasi dengan nilai etika maupun moral yang terdapat dalam hukum adat.
Verifikasi itu juga terjadi terhadap makna pujian terhadap yang Ilahi, atas
kebaikan yang Dia berikan dalam kehidupan manusia. Hal tersebut berkaitan
dengan bagaimana mereka mengungkapkan rasa syukur melalui pujian lewat
nyanyian adat dan musik tradisional.
38 Lihat bab II (catatan kaki nomor 44).
-
P a g e | 102
Jadi, ada makna-makna tertentu yang diverifikasi oleh suku Sangihe
dalam proses ritual Tulude. Perubahan identitas disini terjadi dalam bentuk
penghayatan terhadap yang Ilahi, cara melakukan puji-pujian, ataupun
permohonan. Penghayatan tersebut bersumber dari identitas agama baru, tetapi
teks dari penghayatan itu menggunakan teks bersama sesuai dengan unsur-unsur
makna di dalam ritual Tulude. Sehingga kita dapat melihat bahwa bentuk
perubahan itu terletak pada cara memaknai Ilahi, puji-pujian, dan permohonan
sesuai dengan kepercayaan agama baru dengan penyebutan yang sama yaitu
Ghenggona Langi Duata Saruluang. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan
oleh Burke, bahwa memasukkan makna kedalam diri individu atau kelompok
dilakukan dengan cara verifikasi makna yang ditemukan dalam jalinan makna.39
Dari empat model perubahan identitas di atas, dapat diambil beberapa bentuk
perubahan identitas sesuai dengan perubahan makna yang terjadi dalam setiap jalinan
makna. Bentuk tersebut ialah: pertama, spiritualitas dalam ritual Tulude menghasilkan
pengharapan untuk hidup bersama dalam perbedaan. Kedua, pemikiran mistis di
dalam ritual Tulude menghasilkan kesadaran hidup bersama dalam perbedaan.
4.5. Pengaruh Bentuk Perubahan Identitas dalam Sistem Kehidupan Suku
Sangihe.
4.5.1. Bermasyarakat.
Pengaruh bentuk perubahan identitas dari spiritualitas suku Sangihe yang
didapatkan setiap kali mereka mengikuti ritual Tulude terhadap kehidupan
bermasyarakat bersumber dari nilai-nilai etika, moral, dan sakral. Nilai etika,
mengikat cara hidup masyarakat untuk menghargai satu dengan lainnya baik dia
sebagai pemerintah, maupun sebagai masyarakat biasa, yang tua dan muda, kaya
39 Lihat bab II (catatan kaki nomor 46).
-
P a g e | 103
dan miskin, berpendidikan dan tidak sekolah. Nilai moral, mengikat setiap
tindakan kesewenangan terhadap yang lemah. Sedangkan nilai sakral, mengikat
keberagaman pendapat tentang kebenaran-kebenaran Tuhan disetiap agama
moderen, menjadi satu dalam Ghenggona Langi Duata Saruluang Manireda
Bihingang” (Dia yang di atas langit penguasa alam semesta melindungi kita
semua).40
Pengaruh bentuk perubahan identitas dari pemikiran mistis suku Sangihe
yang didapatkan setiap kali mereka mengikuti ritual Tulude terhadap kehidupan
bermasyarakat bersumber dari cerita mitos. Mereka diingatkan melalui cerita
mitos tersebut bahwa jika tidak bertanggungjawab terhadap alam dan Ilahi,
sesuai dengan kentutan hukum adat, maka akan terhadi bencana alam yang
menimpa kehidupan mereka. Sehingga, pola hidup mereka atas kesewengan
alam dan kesewengan terhadap sesama memiliki sistem kontrolnya. Bentuk dari
sistem kontrol ini menjadi nyata dalam kehidupan bermasyarakat ketika di
daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe, dan SITARO terdapat banyak potensi
pariwisata laut, dan daratan.
Secara umum dapat kita lihat bahwa bentuk dari pengaruh perubahan
identitas yang terjadi dalam ritual Tulude bagi masyarakat adalah cara hidup
yang saling menghargai satu dengan lainnya. Suku Sangihe dalam kehidupan
bermasyarakat memiliki tenggang rasa yang tinggi, dalam bahasa Sangihe
disebut dengan “mahungge”.
40 Lihat bab III (catatan kaki nomor 17).
-
P a g e | 104
4.5.2. Agama.
Ketika agama moderen masuk di daerah suku Sangihe sekitar abad XV,41
telah menambahkan keberagaman makna dalam spiritualitas mereka. Perbedaan
itu menciptakan konsep yang tidak sama dari sesuatu yang disembah sebagai
yang Ilahi. Spiritualitas yang berbeda ini pada dasarnya mempengaruhi cara
hidup mereka, dengan menciptakan perbedaan pemahaman tentang keselamatan
hidup. Akan tetapi pengaruh bentuk perubahan identitas spiritual yang
didapatkan melalui ritual Tulude, ketika mereka selalu diingatkan bahwa
Ghenggona Langi Duata Saruluang sebagai pemberi keselamatan itu bagi suku
Sangihe, integrasi perbedaan itu menyatu dalam pengharapan yang sama pada
satu nama Ilahi. Dampak dari harapan itu dalam bentuk kehidupan beragama
ialah terciptanya kesetaraan sebagai manusia yang diberikan keselamatan oleh
Ilahi bagi manusia tanpa ada perbedaan.
Mereka menjadi setara dihadapan Ilahi karena keselamatan bersumber
dari Ilahi yang memiliki satu nama yaitu Ghenggona Langi Duata Saruluang,
kemudian mereka menjadi setara dalam kehidupan bersama, karena semua
menerima keselamatan itu, apapun bentuk agamanya.
Kesetaran itu juga lahir dari pemikiran mistis terhadap hukum sebab
akibat. Dimana mitologi yang menceritakan hukum sebab akibat dari suatu
tindakan pelanggaran manusia yang disucikan melalui proses menahulending
menciptakan ikatan kesadaran untuk membenah diri dari perbuatan yang akan
merugikan orang lain. Misalnya: perbuatan menghina satu ajaran agama, atau
menghancurkan tempat ibadah, mengganggu agama lain yang sementara
melaksanakan ibadah, menganggap bahwa agama yang mereka anut paling
41 Lihat bab III (catatan kaki nomor 20).
-
P a g e | 105
benar, dan lain sebagainya yang merugikan agama lain. Cara maupun tindakan
yang seperti itu terus diperbaiki dalam kehidupan suku Sangihe, karena adanya
pemikiran mistis tentang hukum sebab akibat bahwa ketika mereka melakukan
perbuatan yang merugikan orang lain maka akan terjadi bencana bagi kehidupan
suku Sangihe. Hal inilah yang menciptakan kesadaran hidup bersama itu.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa baik bentuk perubahan
spiritual maupun perubahan pemikiran mistis yang didapatkan dari proses ritual
Tulude itu, menciptakan kesetaraan dalam kehidupan beragama di suku Sangihe.
4.5.3. Berbangsa dan Bernegara.
Letak geografis dari tempat tinggal suku Sangihe dan latar belakang
nenek moyang suku Sangihe, menggambarkan adanya ikatan kuat antara suku
Sangihe dengan negara Philipina, terlebih khusus daerah selatan dari Philipina.42
Keadaan ini seharusnya menciptakan daerah suku Sangihe itu bersatu dengan
negara Philipina, karena latar belakang sejarah nenek moyang yang sama, dan
letak geografis yang memiliki posisi daerah begitu dekat. Rasa cinta terhadap
daerah Philipina seharusnya lebih besar, daripada Indonesia. akan tetapi
kenyataanya terbalik, kecintaan suku Sangihe bagi negara Indonesia begitu kuat.
Pada posisi daerah perbatasan bagian Utaranya Indonesia, suku Sangihe terus
menjaga kestabilan keamanan daerahnya dengan seluruh cara hidupnya, bahkan
nyawa menjadi taruhan atas rasa untuk mempertahankan bagian dari negara
Indonesia itu. Kesadaran untuk membela Tanah Air Indonesia itu, sebenarnya
berasal dari makna yang terus teridentifikasi ketika mereka hadir dalam ritual
Tulude, melalui tarian adat. Salah satu tarian adat yang menghadirkan makna
rasa cinta terhadap tanah air itu ialah tarian salo. Tarian itu mengisahkan watak
42 Bab III (lihat catatan kaki nomor 5).
-
P a g e | 106
suku Sangihe sebagai prajurit yang siap mati demi membela bangsa dan negara.
Makna yang terkandung di dalamnya adalah suku Sangihe memiliki suatu
kesadaran sebagai prajurit yang berani, kuat, dan mengorbankan nyawanya
untuk membela bangsa dan negara sebagai tempat tinggal bersama.
Ada juga makna yang terkandung dalam tarian upase. Tarian ini,
memberi suatu identitas bagi suku Sangihe sebagai prajurit yang menjaga dan
melindungi petinggi-petinggi pemerintah sebagai pemimpin bangsa dan negara
dengan jiwa dan raga mereka. Keselamatan pejabat pemerintah merupakan
tanggunjawab bersama seluruh suku Sangihe, untuk dilindungi.
Dari hal di atas, kita bisa melihat bahwa adanya suatu proses spiritual
dan alam pikir mistis yang lahir dari makna tari-tarian adat suku Sangihe.
Letaknya ada ketika mereka memaknai bahwa Ghenggona Langi Duata
Saruluang telah menghadirkan mereka di dunia ini sebagai seorang prajurit yang
tangguh, dan kuat untuk melidungi bangsa dan negara dimana mereka hidup
bersama. Ketika hal ini tidak dilakukan maka, mereka akan dituntut Ghenggona
Langi Duata Saruluang atas tindakan yang tidak mereka pertanggunjawabkan
itu. Sehingga dari tuntutan itu kehidupan masyarakat penuh dengan penderitaan
karena adanya musibah dan wabah penyakit. Jadi harapan dan kesadaran inilah
yang terus mengikat perjalanan kehidupan suku Sangihe.
Berdasarkan pengaruh bentuk perubahan identitas di atas, terhadap sistem
kehidupan suku Sangihe, maka adanya proses dimana makna standar dalam identitas
ritual Tulude terus terjalin dengan makna baru yang ditemukan lewat bentuk
perubahan identitas tersebut. Kemudian makna baru itu terjalin lagi dengan makna
dari ritual Tulude, ketika mereka hadir dalam proses ritual Tulude. Pada akhirnya
jalinan makna itupun menciptakan makna baru lagi di dalam kehidupan mereka.
-
P a g e | 107
Dengan demikian kita dapat melihat adanya dua proses jalinan makna dalam hal
ini: pertama, jalinan makna ritual Tulude dengan makna individu atau kelompok,
jalinan makna ini menghasilkan makna baru yang mempengaruhi sistem kehidupan
suku sangihe. Makna baru ini kemudian menjadi makna individu/kelompok. Kedua,
jalinan makna antara makna di dalam ritual Tulude, dengan makna baru yang berasal
dari pengaruh perubahan makna pertama. Kemudian jalinan makna inipun menjadi
makna baru lagi dalam kehidupan bersama, dan setelahnya menjadi makna dalam
individu atau kelompok. Model jalinan makna ini terjadi terus menerus dalam
integrasi kehidupan suku Sangihe.
4.6. Ritual Tulude Menjadi Wadah Pembentukan Identitas Baru Suku Sangihe.
Sehubungan dengan ritual Tulude sebagai pembentuk identitas baru, maka
dalam pemikiran penulis bahwa, proses itu terjadi ketika praktek Tulude merupakan
praktek ritual yang melibatkan setiap unsur dalam kebiasaan suku Sangihe, kemudian
ritual Tulude melibatkan banyak individu yang berinteraksi, dimana interaksi itu
menciptakan fenomena dunia yang sakral yang bersumber dari kepercayaan atas
Ghenggona Langi Duata Saruluang sebagai pencipta adanya sistem sebab akibat
berdasarkan mitologi suku Sangihe. Langkah pembentukan identitas itu terjadi ketika
adanya penyatuan banyak unsur makna, kemudian adanya jalinan makna yang terus
diidentifikasi. Proses identifikasi ini menurut saya menghasilkan dua hal yaitu
verifikasi dan falsifikasi. Verifikasi berfungsi untuk mengeneralisir setiap makna yang
sama dan dimasukkan kedalam individu/kelompok untuk menjadi milik mereka.
Sedangkan falsifikasi berfungsi untuk mengeneralisir setiap kesalahan makna untuk di
perbaharui sesuai dengan makna didalam ritual Tulude. Kemudian dimakna itupun
diserap oleh setiap individu atau kelompok yang hadir selama ritual Tulude
berlangsung.
-
P a g e | 108
Gambar berikut menerangkan model pembentukan identitas baru melalui ritual
Tulude.
Jadi pembentukan identitas baru dalam hal ini terjadi melalui jalinan makna
antara standar identitas dengan makna dari luar standar identitas. Kemudian jalinan
makna itu di dalamnya memiliki proses identifikasi, dimana hal tersebut memilik dua
bentuk yaitu verifikasi dan falsifiksi. Pada akhir dari proses itu maka terbentuklah
identitas baru yang memiliki makna baru. Kemudian identitas baru itu akan
diidentifikasi lagi disaat mereka hadir lagi dalam proses ritual Tulude. Pola seperti
gambar di atas terus terjadi dalam interaksi suku Sangihe. Demikianlah ritual Tulude
menjadi wadah pembentukan indentitas baru bagi suku Sangihe.