p a g e · 2019. 7. 18. · p a g e | 83 . mendatangkan bencana maupun kebaikan dalam kehidupan....

28
Page | 81 BAB IV BENTUK PERUBAHAN IDENTITAS DI DALAM PROSES RITUAL TULUDE Perubahan identitas bagi Peter Burke terjadi melalui empat model yaitu: Pertama, perubahan identitas yang disebabkan oleh dominasi situasi. 1 Kedua, perubahan identitas yang disebabkan oleh konflik identitas, sehingga menjadikan lahirnya kesepakatan terhadap suatu makna untuk dipilih oleh individu/kelompok. 2 Ketiga, pemilihan suatu makna oleh individu/kelompok melalui keputusan rasional. 3 Keputusan ini didorong oleh perbedaan makna yang terdapat di dalam individu/kelompok dengan makna yang ada disekitar/lingkungan dimana individu/kelompok itu berada. Keempat, proses memasukan makna yang didapatkan dari orang lain kedalam diri sendiri/kelompok, dengan cara memahami orang lain melalui interaksi. 4 Sehubungannya dengan ritual Tulude, maka kita akan melihat bagaimana keempat model perubahan identitas di atas terjadi selama proses ritual Tulude berlangsung. Oleh karena itu, maka terlebih dahulu kita akan melihat unsur-unsur makna apa saja yang terdapat di dalam ritual Tulude untuk mempermudah kita memahami proses jalinan makna yang membentuk perubahan indentitas tersebut. 4.1. Unsur-unsur Makna di dalam Ritual Tulude. 4.1.1. Makna Dari Sejarah. Pada dasarnya suku Sangihe mengenal asal-usul keberadaan mereka, telah hidup dan berinteraksi dalam kelompok yang terpisah-pisah. Hal ini karena mereka berasal dari tiga suku yaitu Apapuhang yang memiliki tempat tinggal di atas pohon, Papenggo memiliki tempat tinggal yang tidak menetap, dan suku 1 Peter J. Burke, and Jan E. Stets, Identity Theory. New York: Oxford University Press (2009), 180. 2 Burke and Stets, Identity Theory, 183 3 Burke and Stets, Identity Theory, 184 4 Burke and Stets, Identity Theory, 185-186

Upload: others

Post on 08-Feb-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • P a g e | 81

    BAB IV

    BENTUK PERUBAHAN IDENTITAS DI DALAM PROSES RITUAL TULUDE

    Perubahan identitas bagi Peter Burke terjadi melalui empat model yaitu:

    Pertama, perubahan identitas yang disebabkan oleh dominasi situasi.1 Kedua,

    perubahan identitas yang disebabkan oleh konflik identitas, sehingga menjadikan

    lahirnya kesepakatan terhadap suatu makna untuk dipilih oleh individu/kelompok.2

    Ketiga, pemilihan suatu makna oleh individu/kelompok melalui keputusan rasional.3

    Keputusan ini didorong oleh perbedaan makna yang terdapat di dalam

    individu/kelompok dengan makna yang ada disekitar/lingkungan dimana

    individu/kelompok itu berada. Keempat, proses memasukan makna yang didapatkan

    dari orang lain kedalam diri sendiri/kelompok, dengan cara memahami orang lain

    melalui interaksi.4

    Sehubungannya dengan ritual Tulude, maka kita akan melihat bagaimana

    keempat model perubahan identitas di atas terjadi selama proses ritual Tulude

    berlangsung. Oleh karena itu, maka terlebih dahulu kita akan melihat unsur-unsur

    makna apa saja yang terdapat di dalam ritual Tulude untuk mempermudah kita

    memahami proses jalinan makna yang membentuk perubahan indentitas tersebut.

    4.1. Unsur-unsur Makna di dalam Ritual Tulude.

    4.1.1. Makna Dari Sejarah.

    Pada dasarnya suku Sangihe mengenal asal-usul keberadaan mereka,

    telah hidup dan berinteraksi dalam kelompok yang terpisah-pisah. Hal ini karena

    mereka berasal dari tiga suku yaitu Apapuhang yang memiliki tempat tinggal di

    atas pohon, Papenggo memiliki tempat tinggal yang tidak menetap, dan suku

    1 Peter J. Burke, and Jan E. Stets, Identity Theory. New York: Oxford University Press (2009), 180. 2 Burke and Stets, Identity Theory, 183 3 Burke and Stets, Identity Theory, 184 4 Burke and Stets, Identity Theory, 185-186

  • P a g e | 82

    Ansuang memiliki tempat tinggal di bahwa kaki gunung merapi yang bernama

    gunung Awu.5 Dalam proses ritual Tulude perbedaan ini terlihat pada

    pembagian tingkatan kedudukan berdasarkan warna pakaian adat yang

    digunakan.6 Misalnya warna kuning keemasan untuk raja, warna kuning atau

    putih untuk pegawai tinggi, warna biru untuk pegawai menengah, warna ungu

    atau biru untuk pegawai rendah.7

    Makna yang terkandung dalam legenda sejarah yang ada ini, menurut

    penulis ialah, suku Sangihe memiliki cara hidup yang terpisah dan tidak

    menyatu sebagai satu suku Sangihe.

    4.1.2. Makna Dari Tindakan Nedosa.

    Tindakan nedosa merupakan pantangan bagi suku Sangihe dalam

    mempersiapkan diri untuk melaksanakan ritual Tulude. Di dalam pantangan ini

    terdapat pesan moral tentang bagaimana menjaga hubungan yang baik dalam

    kehidupan bersama. Keharmonisan hubungan sesama itu dijaga oleh sikap hidup

    yang menjauhkan diri dari perselisihan, perzinahan, mencuri, membunuh, dan

    sebagainya.8 Intinya ialah keharmonisan hubungan bersama menjadi hal utama

    selama suku Sangihe mempersiapkan diri untuk melaksanakan ritual Tulude.

    Makna yang terkandung dalam nedosa ini adalah suku sangihe secara

    bersama dibentuk oleh ikatan persaudaraan yang kuat, sebagai sesama manusia

    yang hidup bersama dengan dasar hidup bermoral.

    4.1.3. Makna Dari Ghenggona Langi Duata Saruluang.

    Suku Sangihe mempercayai adanya kekuatan dari roh-roh halus, arwah

    orang mati, benda-benda sakti, kekuatan-kekuatan gaib yang dapat

    5 Lihat bab III (catatan kaki nomor 3,4,5). 6 Lihat bab III (catatan kaki nomor 32). 7 Lihat bab III (poin tentang penjelasan penggunaan Perlengkapan Adat dalam ritual Tulude, khsusnya

    poin 3.3.7.1 mengenai pakaian Adat). 8 Lihat bab III (catatan kaki nomor 22,24,60).

  • P a g e | 83

    mendatangkan bencana maupun kebaikan dalam kehidupan. Akan tetapi, selain

    dari kekuatan-kekuatan tersebut ada satu pemilik kekuatan di atas dari semuanya

    yaitu Ghenggona Langi Duata Saruluang.9 Kepercayaan mereka terhadap

    Ghenggona Langi Duata Saruluang memiliki proyeksi yang berbeda dari

    kekuatan lainnya. Mereka mempercayai bahwa Ghenggona Langi Duata

    Saruluang sebagai Ilahi yang suci dan bisa memberikan keselamatan hidup bagi

    mereka. Oleh karena itu mereka menyebut Ilahi itu sebagai “I Ghenggona Langi

    Duata Saruluang Manireda Bihingang” (Dia yang di atas langit penguasa alam

    semesta melindungi kita semua). Pemahaman atas Ghenggona Langi Duata

    Saruluang itu membuat suku Sangihe menyebutkan nama tersebut tidak secara

    sembarangan, sehingga nama itu memiliki sapaan yang lain dalam kehidupan

    sehari-hari yaitu Mawu Ruata/Mawu Duata.10 Penyebutan Ghenggona Langi

    Duata Saruluang biasanya dipakai dalam ritual yang dilaksanakan seperti

    Tulude.

    Makna yang terkandung dalam kepercayaan terhadap Ghenggona Langi

    Duata Saruluang ini adalah kesatuan kepercayaan terhadap satu nama Ilahi

    ditengah banyak kepercayaan kekuatan-kekuatan lain. Meskipun ada banyak

    kepercayaan terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kekuatan untuk

    kebaikan suku Sangihe, pada akhirnya mereka memiliki konsekuensi yang kuat

    atas satu nama Ilahi dalam kehidupan bersama. Sehingga makna akan satu nama

    itu mengikat mereka dalam perasaan yang sama terhadap satu Ilahi ketika ritual

    dilaksanakan.

    9 Lihat bab III (catatan kaki nomor 17). 10 Lihat bab III (catatn kaki nomor 18).

  • P a g e | 84

    4.1.4. Makna Dari Tamo.

    Bagi suku Sangihe kue Tamo Banua melambangkan persatuan dan

    kesatuan; kesuksesan dan keberhasilan; serta suatu isyarat kepada kita, bahwa

    seorang pemimpin harus menjamin nilai kemanusiaan, moral dan berlaku

    bijaksana dalam kehidupannya.11 Tamo Banua juga melambangkan ungkapan

    syukur kepada Ghenggona Langi yang empunya kehidupan dan sumber

    berkat.12

    Makna yang terkandung dalam Tamo adalah para pemimpin memiliki

    tanggungjawab moral untuk menjamin nilai kemanusiaan rakyatnya, dan

    pemimpin secara bijaksana juga memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Pada sisi

    yang lain, Tamo ini juga memberi makna bahwa perlunya memberi ucapan

    syukur kepada Ghenggona Langi yang memberkati kehidupan suku Sangihe.

    4.1.5. Makna Dari Menahulending.

    Menahulending yang ada di dalam proses ritual Tulude memiliki empat

    hal yaitu: pertama, pemulihan keadaan yang rusak, penyucian hidup. Kedua,

    menghindarkan diri dari bencana. Ketiga, permohonan diberikan ketabahan

    dalam menghadapi cobaan hidup. Kelima, memohon berkat dan kekuatan dalam

    bekerja. Semua hal di atas ditujukan bagi pemerintah maupun masyarakat.13

    Makna yang terkandung dalam menahulending ini adalah harapan

    bersama terhadap suatu kehidupan.

    4.1.6. Makna Dari Tarian Adat.

    Ada enam model tarian yang terdapat dalam adat suku Sangihe yaitu:

    Salo, alabadiri, gunde, upase, bengko, dan ransansahabe. Tarian ini

    11 Lihat bab III (catatan kaki nomor 63, poin 3.3.6.3 mengenai kelengkapan ritual adat Tulude). 12 Lihat bab III (catatan kaki nomor 63, poin 3.3.8.10 mengenai pemotongan kue Tamo). 13 Lihat bab III (catatan kaki nomor 63, poin 3.3.8.8 mengenai Menahulending).

  • P a g e | 85

    dilaksanakan dalam rangka mengingatkan bahwa suku Sangihe itu memiliki

    kepribadian sebagai seorang prajurit yang setia terhadap raja, pahlawan yang

    perkasa, pembela tanah kelahirannya sampai mati, dan tetap waspada terhadap

    ancaman dari luar.14

    Makna yang terkandung dalam tarian adat ini ketika dipraktekkan dalam

    ritual Tamo adalah mengingatkan bahwa kepribadian suku Sangihe itu memiliki

    sikap yang setia terhadap bangsa dan negara.

    4.1.7. Makna Dari Nyanyian Adat.

    Ada tiga model nyanyian yang dipakai dalam ritual Tulude yaitu:

    sasambo, kakumbaede,dan mebawalese. Penggunaan nyanyian adat ini dalam

    proses ritual Tulude sebagai suatu pemujaan, permohonan, dan menceritakan

    kisah tentang kekuatan dari Ghenggona Langi Duata Saruluang dalam bentuk

    bahasa sastra yang diiringi oleh alat musik adat.15

    Makna yang terkandung dalam nyanyian adat ini adalah masyarakat suku

    Sangihe memiliki kesadaran untuk berterimakasih kepada pemilik kehidupan

    atas apa yang telah diberikan dalam kehidupan mereka. Kemudian mereka juga

    mengetahui bahwa sumber segala kehidupan itu berasal dari Ghenggona Langi

    Duata Saruluang. Jadi adanya makna tentang kesadaran memuji dan memohon

    kepada Ghenggona Langi Duata Saruluang.

    4.1.8. Makna Dari Hukum Adat.

    Hukum adat merupakan landasan untuk berinteraksi dalam seluruh

    kehidupan suku Sangihe. Ada tiga bentuk sanksi yang termuat dalam hukum

    adat yaitu denda (salahoko), pemberitahuan ke publik tentang seseorang yang

    14 Lihat bab III (catatan kaki nomor 25 poin 3.1.8.3 mengenai tarian adat dan mengenai penjelasan

    penggunaan perlengkapan adat dalam ritual Tulude khususnya tari-tarian poin 3.3..7.5). 15 Lihat bab III (catatan kaki nomor 25 poin 3.1.8.1 mengenai seni vocal dan penjelasan penggunaan

    perlengkapan adat dalam ritual Tulude poin 3.3.7.4 mengenai nyanyian adat).

  • P a g e | 86

    melakukan pencurian (memohang), diasingkan (iwembang). Hukum adat ini

    diberlakukan karena adanya tindakan perkara sumbang. Pelanggaran ini terbagi

    atas tiga jenis yaitu sumbang berat, sumbang ringan, dan sumbang enteng.

    Perkara sumbang ini adalah larangan terhadap tindakan persetubuhan orang tua

    dengan anak, dan persetubuhan antara sedarah sampai pada keturunan keenam,

    kemudian larangan terhadap persetubuhan saudara tiri.16

    Makna yang terdapat dalam hukum adat ini adalah persoalan moral

    maupun etika kehidupan yang menjaga agar tidak terjadinya pelecehan

    seksualitas dalam kehidupan bersama.

    4.1.9. Makna Dari Mangumbaede.

    Ada lima bagian dalam proses mangumbaede yaitu: Lahaghatong,

    lahakane, la’ala e, la’ansuhe, dan hakane. Dalam kegiatan ini semua yang hadir

    pada ritual Tulude akan mendengarkan pengajaran nilai-nilai kehidupan dari

    Petua adat yang bertugas. Nilai kehidupan itu diajarkan dalam bentuk pesan-

    pesan hikmat ketika mau mengambil keputusan dalam kehidupan. Kemudian

    mereka diingatkan lagi bahwa nilai kehidupan yang benar itu berasal dari

    Ghenggona Langi Duata Saruluang.17

    Makna yang terdapat dalam mengumbaede ini adalah pengajaran.

    Mereka sebagai pemerintah, sebagai masyarakat, sebagai pemimpin agama,

    sebagai Petua adat, selalu di ingatkan tentang bagaimana mereka melaksanakan

    tanggungjawab masing-masing. Misalnya: kehidupan seorang yang menjabat

    sebagai pemerintah harus memperhatikan masyarakat yang miskin, tertindas.

    Kemudian sebagai masyarakat, mereka harus patuh pada aturan-aturan yang

    telah dibuat oleh pemerintah. Bagi pemimpin agama, bagaimana mereka

    16 Lihat bab III (catatan kaki nomor 23, 24). 17 Lihat bab III (catatan kaki nomor 63 poin 3.3.8.7 mengenai mangumbaede).

  • P a g e | 87

    berperan penting untuk menjaga serta mengembangkan nilai toleransi perbedaan

    agama yang sudah ada. Jadi maknanya adalah pengajaran.

    4.2. Jalinan Makna di dalam Ritual Tulude.

    Bagi Burke bahwa jalinan makna itu merupakan identitas itu sendiri.18 Disini

    terdapat sembilan unsur makna yang ada di dalam proses ritual Tulude yaitu: pertama,

    suku Sangihe memiliki latar belakang kehidupan yang terpisah. Kedua, suku Sangihe

    memiliki ikatan moral bersama. Ketiga, suku Sangihe mempunyai kepercayaan

    terhadap Tuhan dengan nama yang sama ditengah kepercayaan yang lain. Keempat,

    suku Sangihe memahami adanya tanggunjawab moral terhadap sesama. Kelima, suku

    Sangihe mengetahui bagaimana mempertahankan kehidupan yang diproyeksikan

    melalui harapan. Keenam, suku Sangihe memiliki kepribadian yang setia kepada

    bangsa dan negara. Ketujuh, suku Sangihe memahami suatu kesadaran untuk memuji

    kekuasaan Tuhan, dan bagaimana mereka bermohon kepada-Nya. Kedelapan, suku

    Sangihe mempunyai suatu hukum yang mengatur nilai moral dan etika. Kesembilan,

    suku Sangihe memiliki sistem pengajaran tentang cara untuk hidup bersama sesuai

    dengan keinginan Tuhan melalui tindakan berhikmat dan bijaksana dalam mengambil

    suatu keputusan atau menata suatu stuktur kehidupan.

    Makna yang terdapat di atas menjadikan setiap individu maupun kelompok yang

    hadir dalam ritual Tulude terus mengidentifikasi setiap makna terbalik atau lawan

    makna dari makna yang mereka temukan dalam ritual Tulude. Mislanya, jika ada

    perbuatan asusila dalam masyarakat maka mereka mengidentifikasinya dengan nilai

    dari makna moral dan etika yang mereka temukan dalam ritual Tulude melalui

    tindakan nedosa. Jika ada tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah,

    mereka mengidentifikasi makna itu dengan makna yang terdapat dalam pengajaran

    18 Burke and Stets, Identity Theory, 54.

  • P a g e | 88

    (mangumbaede). Jika ada konsep atau dogma agama yang sering menjustifikasi

    agama lain, maka pemimpin agama maupun masyarakat mengidentifikasinya dengan

    makna bagaimana mereka menyebut nama Tuhan dengan menggunakan kata yang

    sama yaitu Ghenggona Langi Duata Saruluang. Jika ada individu atau kelompok

    yang mencoba merusak alam dengan tidak bertanggunjawab maka mereka

    mengidentifiksinya dengan makna menahulending banua, bahwa Genggona Langi

    Duata Saruluang akan menghukum tindakan tersebut dengan bencana.

    Dengan adanya jalinan makna itu maka menciptakan standar identitas bagi suku

    Sangihe. Bagaimana proses terjadinya standar identitas itu, berikut akan diuraikan

    tentang prosesnya.

    4.3. Ritual Tulude Menjadi Standar Identitas.

    Peter Burke menyebutkan bahwa kumpulan makna tidak lain merupakan standar

    identitas.19 Kumpulan makna dalam ritual Tulude dapat dilihat dalam beberapa bagian

    sebagai berikut:

    4.3.1. Praktek Tulude Sebagai Praktek Ritual.

    Praktek Tulude pada proses pelaksanaanya melibatkan tarian adat (Salo,

    Gunde, Upase), nyanyian adat (Sasambo, Kakumbaede, Mebawalase), musik

    adat (Bambu, Oli, Tagonggong, Nanaungang) makanan adat (pemotongan kue

    Tamo), pakaian adat (Tepu/Baniang), atribut adat (Soho U Wanua,

    Paporong/Umbe, Salikuku/Papehe, Bawandang Liku), dan kepercayaan kepada

    Ilahi (Genggona Langi Duata Saruluang).20 Aktifitas ini terus dilaksanakan

    setiap tahunnya oleh suku Sangihe.

    19 Burke and Stets, Identity Theory, 63. 20 Lihat bab III (catatan kaki nomo 62).

  • P a g e | 89

    Kebiasaan praktek seperti di atas berdasarkan pemahaman Sims dan

    Stephens didefinisikan sebagai praktek ritual.21 Dalam pemahaman mereka

    bahwa ritual itu merupakan penyatuan cerita lisan, adat, dan materi. Cerita lisan

    dilihat dalam bentuk nyayian dan bacaan puisi. Adat, dilihat dari bentuk tari-

    tarian. Sedangkan materi dilihat dari makanan, tulisan, dan pakaian. Kemudian

    aktifitas pelaksanaanya dilakukan secara berulang-ulang, dengan memiliki

    hubungan spiritual terhadap yang Ilahi. Dengan demikian maka praktek Tulude

    dalam hal ini merupakan praktek ritual dalam kehidupan suku Sangihe, yang

    diartikan sebagai standar identitas pertama. Jadi praktek Tulude sebagai suatu

    ritual adalah standar identitas pertama dari suku Sangihe.

    4.3.2. Ritual Tulude sebagai ritual Formal.

    Ritual Tulude diawali oleh kegiatan persiapan yang dibentuk oleh Dewan

    adat suku Sangihe. Ada tiga model persiapan sebelum melaksanakan ritual

    Tulude yaitu: pertama, persiapan dalam kehidupan masyarakat suku Sangihe. Di

    dalam proses ini, masyarkat diarahkan untuk mempersiapkan diri secara pribadi

    dengan cara mematuhi beberapa pantangan hidup sesuai dengan hukum adat

    suku Sangihe.22 Pantangan tersebut berupa cara hidup yang mejauhkan diri dari

    tindakan berzinah, membunuh, mencuri, membuang anak, kemudian tidak boleh

    bertengkar antara anak dengan orang tua, kakak beradik, bersaudara tiri,

    tetangga, dan dengan siapa saja. Kedua, membentuk Panitia pelaksana ritual

    Tulude. Pada bentuk persiapan ini panitia tersebut melibatkan Petua adat, tokoh

    masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah. Mereka bertugas menyusun

    pelaksanaan ritual Tulude dari awal sampai akhir, kemudian memberitahukan

    kepada seluruh suku Sangihe bahwa akan dilaksanakannya ritual Tulude pada

    21 Lihat bab II (catatan kaki nomor 1,2). 22 Lihat bab III (catatan kaki nomor 60,61,62).

  • P a g e | 90

    waktu dan hari yang telah ditentukan. Setelah itu maka Panitia tersebut

    mempersiapkan kelengkapan yang akan dipakai dalam ritual Tulude.

    Kelengkapan yang dimaksud seperti: tempat pelaksanaan, kue Tamo, pakaian

    adat, personil adat yang bertugas, dan atraksi-atraksi kesenian tradisional.

    Sims dan Stephens menyebutkan bahwa ritual formal adalah ritual yang

    memerlukan perencanaan khusus dan disampaikan atau diumumkan kepada

    banyak orang dengan kata lain melibatkan banyak orang dalam proses ritual

    formal.23 Proses persiapan ritual Tulude memiliki perencanaan khusus, baik

    dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan kehidupan bersama. Perencanaan itu

    terlihat di dalam cara mereka mempersiapkan diri untuk menyambut hari

    pelaksanaan ritual Tulude, dengan mempraktekkan nilai etika dalam berinteraksi

    satu dengan lainnya. Selain itu, panitia yang telah ditetapkan oleh dewan adat

    memberitahukan kepada banyak orang (suku Sangihe, termasuk simpatisan)

    bahwa akan diadakannya ritual Tulude. Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut

    maka, ritual Tulude ini dapat disebut ritual formal. Jadi standar identitas kedua

    bagi suku Sangihe adalah ritual Tulude sebagai ritual formal.

    4.3.3. Ritual Tulude sebagai ritual Sakral.

    Praktek ritual Tulude sangat erat hubungannya dengan dunia spiritual.

    Hal ini dapat dilihat dari bagaimana suku Sangihe melibatkan Ilahi dalam proses

    ritual tersebut. Ilahi yang disapa dengan nama Ghenggona Langi Duata

    Saruluang adalah sumber penjawab segala harapan dari suku Sangihe ketika

    mereka melakukan ritual Tulude.24 Harapan tersebut adalah terciptanya

    kehidupan yang damai antara sesama manusia, pemerintah yang memimpin

    memiliki kebijaksanaan dan keadilan, hasil panen melimpah, penangkapan ikan

    23 Lihat bab II (catatan kaki nomor 6). 24 Lihat bab III (catatan kaki nomor 17,18, 63 poin 3.3.8.12 mengenai sasalamate).

  • P a g e | 91

    di laut melimpah, dan wabah penyakit tidak akan menimpa kehidupan suku

    Sangihe. Keyakinan suku Sangihe sangatlah kuat terhadap terjadinya intervensi

    dari Ghenggona Langi Duata Saruluang atas kehidupan mereka untuk

    mendatangkan kehidupan yang baik, dan penuh kedamaian. Sehingga di dalam

    proses ritual Tulude seluruh yang terlibat seakan menciptakan batasan dari

    berbagai perbedaan identitas, mereka memasuki suatu fenomena kehidupan

    yang lain dari biasanya.

    Sims dan Stephens menyebutkan bahwa ritual Sakral itu adalah praktek

    yang melibatkan dunia spiritual.25 Model fenomena yang terjadi di dalam proses

    ritual Tulude adalah fenomena hidup sakral. Oleh Dhurkeim disebutkan sebagai

    cara hidup yang memisahkan diri dari yang profan, atau dengan kata lain

    sejenak memisahkan diri dari kehidupan yang penuh kesalahan untuk masuk

    pada penyucian hidup.26 Penyucian hidup dalam ritual Tulude ini dipraktekkan

    melalui proses menahulending tembonange dan menahulending banua.27 Tujuan

    dalam dua model menahulending ini ialah proses penyucian berbagai kesalahan

    yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Harapan yang diukir oleh suku

    Sangihe dalam proses menahulending ini ialah setelah semua telah disucikan,

    maka Ghenggona Langi Duata Saruluang akan mengembalikan semua yang

    rusak menjadi baik. Hal itu dikarenakan, terdapatnya proses pembersihan diri

    dari tindakan yang salah itu melalui fenomena spiritual dalam praktek

    menahulending, maka ritual Tulude ini adalah ritual Sakral. Oleh karena itu,

    dengan adanya harapan tersebut menciptakan identitas standar yang ketiga bagi

    suku Sangihe yaitu bagi mereka ritual Tulude merupakan sesuatu yang Sakral.

    25 Lihat bab II (catatan kaki nomor 8). 26 Lihat bab II (catatan kaki nomor 2). 27 Lihat bab III (catatan kaki nomor 27,53, 63 poin 3.3.8.8 mengenai menahulending).

  • P a g e | 92

    4.3.4. Ritual Tulude sebagai bentuk Passage.

    Ritual Tulude tidak hanya melibatkan suku Sangihe dalam proses

    pelaksanaanya, tetapi juga melibatkan undangan pejabat pemerintah diluar dari

    daerah Sangihe. Kehadiran mereka mendapatkan penghargaan khusus dalam

    kebiasaan suku Sangihe. Penghargaan itu berupa pemberian gelar adat, seperti

    Malambem Banua Liune dan Wawu Boki.28 Gelar ini memiliki arti bahwa

    seorang pemimpin laki-laki dan perempuan datang dari seberang lautan telah

    diterima dan menjadi bagian pemimpin dalam suku Sangihe.

    Dalam uraian Sims dan Stephens terdapat tiga bentuk/jenis ritual yaitu:

    pertama, jenis Passage, ritual ini dipakai untuk memberikan tanda kepada

    keturunan melalui marga. Kedua, jenis Inisiasi, ritual ini dipakai untuk

    menyambut seseorang menjadi anggota individu. Ketiga, jenis Penamaan, ritual

    ini dipakai untuk memberikan nama kepada anak yang baru lahir.29 Oleh karena

    itu ritual Tulude juga merupakan ritual Passage dalam pengertian sebagai

    bentuk penamaan dan inisiasi anggota kelompok. Maka standar identitas

    keempat bagi suku Sangihe adalah ritual Tulude sebagai ritual yang dapat

    mengesahkan seseorang dari luar suku Sangihe sebagai sesama yang bisa

    memimpin dalam kehidupan suku Sangihe.

    4.3.5. Ritual Tulude sebagai bentuk/jenis ritual Causality.

    Ritual Tulude dipraktekkan oleh suku Sangihe dalam situasi dimana

    adanya pengharapan akan kebaikan hidup, ketika mereka mengalami bencana.30

    Misalnya bagi petani adanya serangan hama terhadap tanaman mereka. Bagi

    nelayan, ikan akan sangat sulit untuk didapatkan dan cuaca di laut sangat buruk.

    28 Lihat bab III (catatan kaki nomor 63 poin 3.3.8.2 mengenai penjemputan tamu). 29 Lihat bab II (catatan kaki nomor 15,16,17). 30 Lihat bab III (catatan kaki nomor 63 poin 3.3.8.8 mengenai menahulending).

  • P a g e | 93

    Bagi masyarakat, mereka akan diserang wabah penyakit yang mengakibatkan

    kematian. Mereka percaya dan menyakini bahwa musibah tersebut adalah

    bagian dari murka atau kemarahan Ghenggona Langi kepada umat manusia atas

    dosa yang telah dilakukan. Ritual ini, mengandung permohonan doa kepada

    Ghenggona Langi agar memulihkan keadaan alam seperti sedia kala dan

    memberi pengampunan kepada orang-orang yang telah berbuat salah melalui

    pentahiran. Proses pentahiran itu melalui ritual menahulending banua.

    Tujuannya agar diluputkan dari malapetaka yang menimpa, segala hama

    penyakit dihilangkan, supaya kebun mendapatkan hasil yang banyak. Demikian

    juga ikan-ikan akan berdatangan ke tempat-tempat yang dapat dijangkau oleh

    para nelayan.

    Kepercayaan suku Sangihe atas adanya dampak bencana karena

    kesalahan manusia, merupakan bentuk dari cara mereka menjalani hidup di

    dunia ini. Cara hidup seperti itulah yang selama ini menjadi dasar berpijak

    keyakinan mereka untuk menjalani kehidupan ini. Sehingga kepercayaan

    bersama itu telah menjadikan standar identitas bagi mereka. Pengalaman hidup

    itu memberi pengetahuan bagi mereka tentang hukum causality (sebab-akibat)

    kehidupan. Hal itulah yang mendorong ritual Tulude dilaskanakan, sehingga

    bentuk/jenis ritual ini oleh penulis disebut sebagai ritual causality. Dengan

    demikian standar identitas yang kelima bagi suku Sangihe adalah ritual Tulude

    sebagai ritual sebab akibat.

    Sebab Akibat Harapan

    Tindakan nedosa

    (tindakan

    pelanggaran hukum

    adat)

    Pertanian: serangan hama

    Nelayan: Cuaca buruk, ikan

    sulit didapatkan.

    Masyarakat: Wabah

    penyakit yang membawa

    kematian.

    Pemulihan alam menjadi

    baik.

    Hilangnya wabah

    penyakit.

  • P a g e | 94

    4.4. Bentuk Perubahan Identitas di Dalam Proses Ritual Tulude.

    Peter Burke menguraikan ada empat model perubahan identitas.31 Keempat

    model itu akan dipakai untuk melihat perubahan identitas selama proses ritual Tulude

    berlangsung pada bagian dibawah ini.

    4.4.1. Dominasi Makna Hidup Dalam Proses Ritual Tulude.

    Embrio makna atau sumber makna yang terdapat dalam proses ritual

    Tulude berada pada keyakinan suku Sangihe terhadap Ghenggona Langi Duata

    Saruluang sebagai pemberi segala sesuatu yang baik bagi manusia.32 Makna

    akan mempertahankan kehidupan merupakan makna yang paling tinggi dan kuat

    dalam pengharapan suku Sangihe. Kelahiran makna ini karena adanya situasi

    yang merugikan dan mengancam kehidupan mereka, seperti bencana alam,

    wabah penyakit, dan gagal panen. Mereka meyakini bahwa untuk

    menghilangkan situasi yang merugikan dan mengancam kehidupan itu dapat di

    hilangkan melalui ritual Tulude. Dengan adanya situasi ini maka keberagaman

    identitas yang dimiliki oleh setiap individu/kelompok dalam suku Sangihe tidak

    mempengaruhi pikiran mereka ketika mereka melakukan identifikasi diri.

    Penyebab dari mereka tidak dipengaruhi oleh identitas di luar dari standar

    identitas itu karena pengharapan bersama yang menciptakan satu situasi atau

    dorongan bagi mereka untuk menjadi satu dalam keberagaman identitasnya.

    Dorongan itu tidak lain adalah bentuk dominasi situasi dari pengharapan, yang

    menciptakan keadaan tekanan terhadap keberagaman identitas individu maupun

    kelompok suku Sangihe. Maka dominasi situasi tersebut dengan sendirinya

    merubah keberagaman identitas itu menjadi satu identitas atau fucion identity

    (penyatuan keberagaman identitas).

    31 Lihat bab II (catatan kaki nomor 35). 32 Lihat bab III (catatan kaki nomor 17,18).

  • P a g e | 95

    Burke pernah menyinggung tentang praktek agama, dimana perubahan

    identitas itu dapat terjadi.33 Hanya saja pertanyaanya ialah apakah praktek satu

    agama dapat mempengaruhi individu yang berbeda agama? Mungkin bisa terjadi

    tetapi kemungkinannya kecil, dan dia mungkin akan menganut agama atau

    kepercayaan yang mepengaruhinya. Kalau di dalam ritual Tulude orang yang

    memiliki agama berbeda sebagai identitasnya, tidak perlu beralih agama atau

    melepaskan agamanya, tetapi dia mengalir dengan sendirinya dan menyatu

    dengan semua yang berbeda identitasnya menjadi satu dalam pengharapan

    bersama itu, pengharapan akan keselamatan yang akan diberikan oleh

    Ghenggona Langi Duata Saruluang. Situasi ini memiliki dampak bagi cara

    hidup suku Sangihe dalam kehidupan bersama. Output dari ritual bersama itu

    adalah ketika pernah terjadi perselisihan antar agama, maka setelah terjadi

    bencana, kemudian mereka melaksanakan ritual Tulude, interaksi individu yang

    memiliki perbedaan agama menjadi lebih baik dari semula. Dalam hal inilah

    toleransi antar umat beragama itu terjaga dan berkembang sebagai bentuk

    perubahan identitas.

    Bagi Burke bahwa dominasi keadaan untuk merubah identitas itu terjadi

    melaui perubahan bentuk akibat dominasi salah satu gender, penyucian otak,

    dan dominasi yang terjadi dalam strukutur.34 Akan tetapi, perubahan bentuk

    makna yang penulis temukan dalam proses ritual Tulude bukan hanya adanya

    hal-hal seperti yang diungkapkan oleh Burke, melainkan karena suatu

    pengharapan bersama. Pengharapan bersama itu merupakan bentuk spiritual

    yang dimiliki oleh suku Sangihe. Spiritual inilah yang mendominasi keadaan

    33 Lihat bab II (catatan kaki nomor 38). 34 Lihat bab II (catatan kaki nomor 37,38,39).

  • P a g e | 96

    dan situasi saat mereka melakukan ritual Tulude melalui proyeksi pengharapan

    bersama.

    Meskipun berbeda tentang bentuk perubahan identitas seperti yang

    digambarkan diatas, pada sisi lain Burke benar bahwa ketika terjadi perubahan

    identitas maka konsep makna ikut berubah. Hanya saja sesuatu yang

    menyebabkan perubahan makna itu yang berbeda. Burke menemukanya dalam

    bentuk dominasi gender, pengaruh cuci otak, dan dominasi struktur, tetapi dalam

    proses ritual Tulude, bentuknya ialah dominasi spiritual.

    4.4.2. Kesepakatan Makna Hidup dalam Proses Ritual Tulude.

    Telah dibahas bahwa latar belakang pelaksanaan ritual Tulude karena

    adanya fenomena wabah penyakit bagi desa, serangan hama terhadap tanaman,

    kesulitan dalam mencari ikan di laut, terjadinya bencana alam seperti banjir

    bandang, tanah longsor yang menimpa rumah warga kemudian mengakibatkan

    korban yang cukup banyak (kejadian tanah longsor yang berbeda dari

    biasanya).35 Suku Sangihe melihat bahwa fenomena itu karena akibat dari

    tindakan manusia yang melanggar hukum adat dalam kehidupan bersama.

    Pelanggaran tersebut adalah pelanggaran terhadap kode etik kehidupan, seperti

    ayah menyukai anak kandung perempuannya, atau ibu menyukai anak kandung

    laki-lakinya. Kakak beradik saling menyukai satu dengan lainnya, dan terjadinya

    pemerkosaan. Termasuk penyalahgunaan kekuasaan pemerintah demi

    kepentingan dirinya sendiri. Pada sisi yang lain adanya pelanggaran terhadap

    alam, seperti menebang pohon yang dilarang untuk ditebang, dan mencemari

    lingkungan yang dianggap keramat.

    35 Lihat bab III (catatan kaki nomo 23, 47,48,49,50).

  • P a g e | 97

    Pada perkembangannya suku Sangihe telah hidup dalam modernisasi,

    berpikir secara rasional terhadap setiap kejadian yang terjadi. Akan tetapi dari

    fenomena bencana yang pernah terjadi di atas, membentuk suatu situasi yang

    membuat mereka sulit untuk memahami kejadian tersebut secara rasional.

    Identitas mereka sebagai manusia yang hidup dalam dunia moderen mengalami

    konflik ketika diperhadapkan dengan kejadian alam yang misterius seperti di

    atas. Mereka beranggapan bahwa tidak mungkin bencana itu terjadi hanya

    karena mereka menebang pohon yang dilarang, tidak mungkin bencana itu juga

    terjadi bagi seluruh desa hanya karena kesalahan satu orang yaitu ketika

    terjadinya pelanggaran hukum adat ataupun karena kesewenangan pemerintah

    dalam kebijakan mereka. Akan tetapi kenyataan dari beberapa kejadian yang

    pernah terjadi membuktikan hal tersebut.

    Fenomena ketidakmungkinan di ataslah yang menciptakan krisis

    identitas mereka yaitu benturan antara identitas mereka sebagai manusia

    moderen yang mulai melihat kejadian alam dari segi rasional, dengan identitas

    mereka sebagai suku Sangihe yang pernah menerima berbagai kisah lisan

    tentang mitologi bencana dalam kehidupan suku Sangihe. Dengan adanya krisis

    identitas itu, maka mereka diperhadapkan dengan situasi yang memerlukan jalan

    keluar untuk menjawab persoalan krisis identitas tersebut.

    Pada proses ritual Tulude identitas dari cerita lisan itu lebih dominan

    terhadap identitas modern mereka, maka dalam ritual Tulude terjadi kesepakatan

    makna dimana mereka kembali lagi diingatkan berbagai bentuk kode etik

    kehidupan di antara manusia dengan manusia maupun manusia dengan alam.

    Situasi yang mendominasi itu menciptakan bentuk dari perubahan identitas

    kehidupan mereka. Bentuknya ialah adanya penggabungan antara identitas

  • P a g e | 98

    moderen dengan standar identitas (identitas awal) suku Sangihe. Hasil dari

    penggabungan identitas itu memiliki bentuk makna baru yaitu, meskipun

    mereka hidup dalam dunia modern yang mengkaji berbagai makna dalam segi

    rasional tetapi juga mereka meyakini hal-hal misterius seperti makna dari

    beberapa kejadian bencana yang menimpa hidup mereka. Bahwa bencana yang

    terjadi itu merupakan bagian dari kesalahan yang mereka lakukan. Dalam hal ini

    mereka menemukan jawaban melalui proses krisis identitas atau benturan

    identitas antara identitas mereka sebagai manusia moderen yang berpikir logis

    dan mereka sebagai suku Sangihe yang pernah memahami mitos yang ada.

    Bentuk perubahannya terletak pada perbedaan makna sebelum mereka

    hidup dalam dunia moderen dimana mereka melihat bahwa kejadian bencana itu

    hanya karena bagian dari hal-hal mistis saja, tetapi karena ritual Tulude

    memberikan pengaruh yang cukup besar dalam jalinan makna itu, maka

    walaupun mereka telah memiliki identitas modern, mereka tetap meyakini

    bahwa bencana yang terjadi baik yang dapat dikaji secara mistis maupun secara

    rasional tetap merupakan kesalahan mereka, dan mereka membutuhkan

    perubahan hidup yang lebih baik. Disinilah terjadi kesepakatan makna ketika

    ritual Tulude mengingatkan mereka bahwa perlu adanya pembenahan cara hidup

    dari yang salah ke hal yang baik. Jadi kesepakatan makna itu ada pada saat

    mereka menyadari baik secara rasional maupun mistis bahwa bencana itu adalah

    dampak dari cara hidup manusia yang semena-mena terhadap sesama dan alam,

    olehnya mereka memerlukan perbaikan cara hidup yang mereka dapatkan

    melalui beberapa wejangan hikmat yang disampaikan dalam ritual Tulude oleh

    Petua Adat.

  • P a g e | 99

    Burke mejelaskan tentang perubahan identitas dalam hal ini terbentuk

    oleh kesepakatan makna yang mendominan.36 Ritual Tulude melahirkan

    dominasi makna melalui ingatan terhadap cerita lisan yang disampaikan secara

    turun temurun, sehingga mampu mempengaruhi identitas modern yang terdapat

    dalam setiap individu suku Sangihe. Oleh karena itu dalam kesadaran mereka

    sebagai individu/kelompok mereka memiliki kesadaran baru baik secara rasional

    maupun secara mistis. Kesadaran baru inilah yang membentuk makna baru, dan

    hal ini yang membedakan temuan Burke terhadap perubahan identitas. Burke

    menemukan kesepakatan makna karena dominasi makna dari identitas secara

    rasional saja, sedangkan dalam ritual Tulude makna terbentuk dalam cerita lisan

    melalui mitologi. Jadi kesepakatan makna yang diuraikan oleh Burke hanya

    berdasarkan pada pemikiran rasional saja, sedangkan kesepakatan makna dalam

    ritual Tulude terjadi secara rasional dan pemikiran mistis.

    4.4.3. Keputusan Rasional untuk Memilih Suatu Makna Hidup dalam Proses

    Ritual Tulude.

    Kita mengetahui bahwa latar belakang suku Sangihe dan arti dari warna

    pakaian adat menerangkan cara hidup terpisah-pisah.37 Akan tetapi ketika

    pemberitahuan untuk diadakannya ritual Tulude, mereka baik yang beragama

    Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, termasuk agama suku “Islam Tua”

    mempersiapkan diri bersama-sama dalam menyambut ritual Tulude tersebut.

    Ketika mereka hadir dalam ritual itu, seharusnya terjadi dominasi dari Petua

    adat yang memimpin ritual dengan menggunakan cara atau dogma dari agama

    baru yang di anut. Misalnya, dalam penyebutan nama Tuhan, jika dia beragama

    Kristen seharusnya menyebutkannya dengan nama Yesus Kristus, atau ketika

    36 Lihat bab II (catatan kaki nomo 43). 37 Lihat bab III (catatan kaki nomor 3,4,5,32).

  • P a g e | 100

    dia beragama Islam memakai kata Allah. Akan tetapi yang dipakai adalah

    Ghenggona Langi Duata Saruluang. Mengapa nama itu digunakan? Disinilah

    terjadi proses pemilihan secara rasional. Mereka melihat bahwa nama itu

    memiliki makna yang dapat digunakan oleh siapa saja tanpa menjustifikasi

    keberadaan salah satu kepercayaan dari agama moderen yang dianut oleh suku

    Sangihe.

    Pilihan rasional terhadap satu makna juga terjadi disaat mereka berada

    pada proses makan kue Tamo. Mereka tidak memikirkan persoalan makanan

    yang haram dan halal, siapa yang membuat kue Tamo, apakah dia menganut

    agama yang sama atau tidak, apakah layak untuk dikonsumsi atau tidak.

    Pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak mengalir dalam pemikiran suku

    Sangihe disaat memasuki ritual makan Tamo, melainkan mereka berada pada

    satu keputusan rasional yang berdasar pada makna dari kue Tamo itu sendiri.

    Bahwa kue tersebut merupakan sesuatu yang menggantikan kesalahan yang

    mereka buat dan ketika mereka memakannya mereka mendapatkan

    pengampunan sehingga memiliki kehidupan yang layak dihadapan Tuhan.

    Tujuannya adalah mereka dijauhkan dari malapetaka, dan bencana dalam

    kehidupan. Dari beragam identitas dogma yang berbeda mereka lebih memilih

    untuk mendapatkan kehidupan secara bersama-sama, daripada terikat pada

    ajaran dogma agama baru, misalnya tentang haram-halal, atau kafir-tidak kafir.

    Dengan adanya beberapa bentuk dari keputusan rasional di atas, maka

    terjadi penyeberangan identitas oleh setiap individu menuju pada identitas

    bersama melalui identifikasi. Oleh karena itu penyeberangan identitas

    menciptakan perubahan identitas yang terjadi pada saat mereka

    mengesampingkan identitas agama baru dan jabatan sebagai pemerintah, tokoh

  • P a g e | 101

    masyarakat, tokoh agama, kemudian mereka memasuki identitas bersama

    melalui pilihan rasional dalam proses ritual makan kue Tamo.

    Bagi Burke, pilihan rasional yang terjadi merupakan dampak dari adanya

    persoalan identitas yang terjadi dalam individu maupun kelompok.38 Akan tetapi

    dalam kasus pilihan rasional terhadap suatu makna dalam proses ritual Tulude,

    terjadi dalam bentuk penyeberangan identitas. Suku Sangihe bisa saja bertahan

    dalam identitasnya masing-masing, walaupun terdapat suatu persoalan identitas,

    tetapi mereka memilih sercara rasional untuk menyeberang ke identitas yang

    terdapat dalam ritual Tulude itu sendiri.

    4.4.4. Verifikasi Makna Hidup dalam Proses Ritual Tulude.

    Ketika Tulude menjadi standar identitas yang dapat dilihat dalam lima

    bentuk yaitu, sebagai ritual, sesuatu yang sakral, formal, cara menerima orang

    lain (inisiasi), dan memiliki unsur sebab akibat. Kelima bentuk itu memiliki

    makna yang menjadi dasar untuk mengidentifikasi setiap makna kehidupan suku

    Sangihe. Hal itu terjadi di saat mereka berada dalam proses ritual Tulude.

    Setelah proses identifikasi terjadi kemudian memverfikasinya. Mereka

    memverifikasi setiap makna yang sama dari setiap makna yang mereka temukan

    dalam kehidupan di luar dari proses ritual Tulude. Misalnya: jika dalam

    kehidupan agama moderen diajarkan tentang makna mengasihi, maka makna itu

    diverifikasi dengan nilai etika maupun moral yang terdapat dalam hukum adat.

    Verifikasi itu juga terjadi terhadap makna pujian terhadap yang Ilahi, atas

    kebaikan yang Dia berikan dalam kehidupan manusia. Hal tersebut berkaitan

    dengan bagaimana mereka mengungkapkan rasa syukur melalui pujian lewat

    nyanyian adat dan musik tradisional.

    38 Lihat bab II (catatan kaki nomor 44).

  • P a g e | 102

    Jadi, ada makna-makna tertentu yang diverifikasi oleh suku Sangihe

    dalam proses ritual Tulude. Perubahan identitas disini terjadi dalam bentuk

    penghayatan terhadap yang Ilahi, cara melakukan puji-pujian, ataupun

    permohonan. Penghayatan tersebut bersumber dari identitas agama baru, tetapi

    teks dari penghayatan itu menggunakan teks bersama sesuai dengan unsur-unsur

    makna di dalam ritual Tulude. Sehingga kita dapat melihat bahwa bentuk

    perubahan itu terletak pada cara memaknai Ilahi, puji-pujian, dan permohonan

    sesuai dengan kepercayaan agama baru dengan penyebutan yang sama yaitu

    Ghenggona Langi Duata Saruluang. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan

    oleh Burke, bahwa memasukkan makna kedalam diri individu atau kelompok

    dilakukan dengan cara verifikasi makna yang ditemukan dalam jalinan makna.39

    Dari empat model perubahan identitas di atas, dapat diambil beberapa bentuk

    perubahan identitas sesuai dengan perubahan makna yang terjadi dalam setiap jalinan

    makna. Bentuk tersebut ialah: pertama, spiritualitas dalam ritual Tulude menghasilkan

    pengharapan untuk hidup bersama dalam perbedaan. Kedua, pemikiran mistis di

    dalam ritual Tulude menghasilkan kesadaran hidup bersama dalam perbedaan.

    4.5. Pengaruh Bentuk Perubahan Identitas dalam Sistem Kehidupan Suku

    Sangihe.

    4.5.1. Bermasyarakat.

    Pengaruh bentuk perubahan identitas dari spiritualitas suku Sangihe yang

    didapatkan setiap kali mereka mengikuti ritual Tulude terhadap kehidupan

    bermasyarakat bersumber dari nilai-nilai etika, moral, dan sakral. Nilai etika,

    mengikat cara hidup masyarakat untuk menghargai satu dengan lainnya baik dia

    sebagai pemerintah, maupun sebagai masyarakat biasa, yang tua dan muda, kaya

    39 Lihat bab II (catatan kaki nomor 46).

  • P a g e | 103

    dan miskin, berpendidikan dan tidak sekolah. Nilai moral, mengikat setiap

    tindakan kesewenangan terhadap yang lemah. Sedangkan nilai sakral, mengikat

    keberagaman pendapat tentang kebenaran-kebenaran Tuhan disetiap agama

    moderen, menjadi satu dalam Ghenggona Langi Duata Saruluang Manireda

    Bihingang” (Dia yang di atas langit penguasa alam semesta melindungi kita

    semua).40

    Pengaruh bentuk perubahan identitas dari pemikiran mistis suku Sangihe

    yang didapatkan setiap kali mereka mengikuti ritual Tulude terhadap kehidupan

    bermasyarakat bersumber dari cerita mitos. Mereka diingatkan melalui cerita

    mitos tersebut bahwa jika tidak bertanggungjawab terhadap alam dan Ilahi,

    sesuai dengan kentutan hukum adat, maka akan terhadi bencana alam yang

    menimpa kehidupan mereka. Sehingga, pola hidup mereka atas kesewengan

    alam dan kesewengan terhadap sesama memiliki sistem kontrolnya. Bentuk dari

    sistem kontrol ini menjadi nyata dalam kehidupan bermasyarakat ketika di

    daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe, dan SITARO terdapat banyak potensi

    pariwisata laut, dan daratan.

    Secara umum dapat kita lihat bahwa bentuk dari pengaruh perubahan

    identitas yang terjadi dalam ritual Tulude bagi masyarakat adalah cara hidup

    yang saling menghargai satu dengan lainnya. Suku Sangihe dalam kehidupan

    bermasyarakat memiliki tenggang rasa yang tinggi, dalam bahasa Sangihe

    disebut dengan “mahungge”.

    40 Lihat bab III (catatan kaki nomor 17).

  • P a g e | 104

    4.5.2. Agama.

    Ketika agama moderen masuk di daerah suku Sangihe sekitar abad XV,41

    telah menambahkan keberagaman makna dalam spiritualitas mereka. Perbedaan

    itu menciptakan konsep yang tidak sama dari sesuatu yang disembah sebagai

    yang Ilahi. Spiritualitas yang berbeda ini pada dasarnya mempengaruhi cara

    hidup mereka, dengan menciptakan perbedaan pemahaman tentang keselamatan

    hidup. Akan tetapi pengaruh bentuk perubahan identitas spiritual yang

    didapatkan melalui ritual Tulude, ketika mereka selalu diingatkan bahwa

    Ghenggona Langi Duata Saruluang sebagai pemberi keselamatan itu bagi suku

    Sangihe, integrasi perbedaan itu menyatu dalam pengharapan yang sama pada

    satu nama Ilahi. Dampak dari harapan itu dalam bentuk kehidupan beragama

    ialah terciptanya kesetaraan sebagai manusia yang diberikan keselamatan oleh

    Ilahi bagi manusia tanpa ada perbedaan.

    Mereka menjadi setara dihadapan Ilahi karena keselamatan bersumber

    dari Ilahi yang memiliki satu nama yaitu Ghenggona Langi Duata Saruluang,

    kemudian mereka menjadi setara dalam kehidupan bersama, karena semua

    menerima keselamatan itu, apapun bentuk agamanya.

    Kesetaran itu juga lahir dari pemikiran mistis terhadap hukum sebab

    akibat. Dimana mitologi yang menceritakan hukum sebab akibat dari suatu

    tindakan pelanggaran manusia yang disucikan melalui proses menahulending

    menciptakan ikatan kesadaran untuk membenah diri dari perbuatan yang akan

    merugikan orang lain. Misalnya: perbuatan menghina satu ajaran agama, atau

    menghancurkan tempat ibadah, mengganggu agama lain yang sementara

    melaksanakan ibadah, menganggap bahwa agama yang mereka anut paling

    41 Lihat bab III (catatan kaki nomor 20).

  • P a g e | 105

    benar, dan lain sebagainya yang merugikan agama lain. Cara maupun tindakan

    yang seperti itu terus diperbaiki dalam kehidupan suku Sangihe, karena adanya

    pemikiran mistis tentang hukum sebab akibat bahwa ketika mereka melakukan

    perbuatan yang merugikan orang lain maka akan terjadi bencana bagi kehidupan

    suku Sangihe. Hal inilah yang menciptakan kesadaran hidup bersama itu.

    Dengan demikian kita dapat melihat bahwa baik bentuk perubahan

    spiritual maupun perubahan pemikiran mistis yang didapatkan dari proses ritual

    Tulude itu, menciptakan kesetaraan dalam kehidupan beragama di suku Sangihe.

    4.5.3. Berbangsa dan Bernegara.

    Letak geografis dari tempat tinggal suku Sangihe dan latar belakang

    nenek moyang suku Sangihe, menggambarkan adanya ikatan kuat antara suku

    Sangihe dengan negara Philipina, terlebih khusus daerah selatan dari Philipina.42

    Keadaan ini seharusnya menciptakan daerah suku Sangihe itu bersatu dengan

    negara Philipina, karena latar belakang sejarah nenek moyang yang sama, dan

    letak geografis yang memiliki posisi daerah begitu dekat. Rasa cinta terhadap

    daerah Philipina seharusnya lebih besar, daripada Indonesia. akan tetapi

    kenyataanya terbalik, kecintaan suku Sangihe bagi negara Indonesia begitu kuat.

    Pada posisi daerah perbatasan bagian Utaranya Indonesia, suku Sangihe terus

    menjaga kestabilan keamanan daerahnya dengan seluruh cara hidupnya, bahkan

    nyawa menjadi taruhan atas rasa untuk mempertahankan bagian dari negara

    Indonesia itu. Kesadaran untuk membela Tanah Air Indonesia itu, sebenarnya

    berasal dari makna yang terus teridentifikasi ketika mereka hadir dalam ritual

    Tulude, melalui tarian adat. Salah satu tarian adat yang menghadirkan makna

    rasa cinta terhadap tanah air itu ialah tarian salo. Tarian itu mengisahkan watak

    42 Bab III (lihat catatan kaki nomor 5).

  • P a g e | 106

    suku Sangihe sebagai prajurit yang siap mati demi membela bangsa dan negara.

    Makna yang terkandung di dalamnya adalah suku Sangihe memiliki suatu

    kesadaran sebagai prajurit yang berani, kuat, dan mengorbankan nyawanya

    untuk membela bangsa dan negara sebagai tempat tinggal bersama.

    Ada juga makna yang terkandung dalam tarian upase. Tarian ini,

    memberi suatu identitas bagi suku Sangihe sebagai prajurit yang menjaga dan

    melindungi petinggi-petinggi pemerintah sebagai pemimpin bangsa dan negara

    dengan jiwa dan raga mereka. Keselamatan pejabat pemerintah merupakan

    tanggunjawab bersama seluruh suku Sangihe, untuk dilindungi.

    Dari hal di atas, kita bisa melihat bahwa adanya suatu proses spiritual

    dan alam pikir mistis yang lahir dari makna tari-tarian adat suku Sangihe.

    Letaknya ada ketika mereka memaknai bahwa Ghenggona Langi Duata

    Saruluang telah menghadirkan mereka di dunia ini sebagai seorang prajurit yang

    tangguh, dan kuat untuk melidungi bangsa dan negara dimana mereka hidup

    bersama. Ketika hal ini tidak dilakukan maka, mereka akan dituntut Ghenggona

    Langi Duata Saruluang atas tindakan yang tidak mereka pertanggunjawabkan

    itu. Sehingga dari tuntutan itu kehidupan masyarakat penuh dengan penderitaan

    karena adanya musibah dan wabah penyakit. Jadi harapan dan kesadaran inilah

    yang terus mengikat perjalanan kehidupan suku Sangihe.

    Berdasarkan pengaruh bentuk perubahan identitas di atas, terhadap sistem

    kehidupan suku Sangihe, maka adanya proses dimana makna standar dalam identitas

    ritual Tulude terus terjalin dengan makna baru yang ditemukan lewat bentuk

    perubahan identitas tersebut. Kemudian makna baru itu terjalin lagi dengan makna

    dari ritual Tulude, ketika mereka hadir dalam proses ritual Tulude. Pada akhirnya

    jalinan makna itupun menciptakan makna baru lagi di dalam kehidupan mereka.

  • P a g e | 107

    Dengan demikian kita dapat melihat adanya dua proses jalinan makna dalam hal

    ini: pertama, jalinan makna ritual Tulude dengan makna individu atau kelompok,

    jalinan makna ini menghasilkan makna baru yang mempengaruhi sistem kehidupan

    suku sangihe. Makna baru ini kemudian menjadi makna individu/kelompok. Kedua,

    jalinan makna antara makna di dalam ritual Tulude, dengan makna baru yang berasal

    dari pengaruh perubahan makna pertama. Kemudian jalinan makna inipun menjadi

    makna baru lagi dalam kehidupan bersama, dan setelahnya menjadi makna dalam

    individu atau kelompok. Model jalinan makna ini terjadi terus menerus dalam

    integrasi kehidupan suku Sangihe.

    4.6. Ritual Tulude Menjadi Wadah Pembentukan Identitas Baru Suku Sangihe.

    Sehubungan dengan ritual Tulude sebagai pembentuk identitas baru, maka

    dalam pemikiran penulis bahwa, proses itu terjadi ketika praktek Tulude merupakan

    praktek ritual yang melibatkan setiap unsur dalam kebiasaan suku Sangihe, kemudian

    ritual Tulude melibatkan banyak individu yang berinteraksi, dimana interaksi itu

    menciptakan fenomena dunia yang sakral yang bersumber dari kepercayaan atas

    Ghenggona Langi Duata Saruluang sebagai pencipta adanya sistem sebab akibat

    berdasarkan mitologi suku Sangihe. Langkah pembentukan identitas itu terjadi ketika

    adanya penyatuan banyak unsur makna, kemudian adanya jalinan makna yang terus

    diidentifikasi. Proses identifikasi ini menurut saya menghasilkan dua hal yaitu

    verifikasi dan falsifikasi. Verifikasi berfungsi untuk mengeneralisir setiap makna yang

    sama dan dimasukkan kedalam individu/kelompok untuk menjadi milik mereka.

    Sedangkan falsifikasi berfungsi untuk mengeneralisir setiap kesalahan makna untuk di

    perbaharui sesuai dengan makna didalam ritual Tulude. Kemudian dimakna itupun

    diserap oleh setiap individu atau kelompok yang hadir selama ritual Tulude

    berlangsung.

  • P a g e | 108

    Gambar berikut menerangkan model pembentukan identitas baru melalui ritual

    Tulude.

    Jadi pembentukan identitas baru dalam hal ini terjadi melalui jalinan makna

    antara standar identitas dengan makna dari luar standar identitas. Kemudian jalinan

    makna itu di dalamnya memiliki proses identifikasi, dimana hal tersebut memilik dua

    bentuk yaitu verifikasi dan falsifiksi. Pada akhir dari proses itu maka terbentuklah

    identitas baru yang memiliki makna baru. Kemudian identitas baru itu akan

    diidentifikasi lagi disaat mereka hadir lagi dalam proses ritual Tulude. Pola seperti

    gambar di atas terus terjadi dalam interaksi suku Sangihe. Demikianlah ritual Tulude

    menjadi wadah pembentukan indentitas baru bagi suku Sangihe.