oleh m. oky prabudi

51
PERBANDINGAN ANTARA HISTEREKTOMI LAPAROSKOPI DENGAN HISTEREKTOMI PERABDOMINAL OLEH M. OKY PRABUDI DEPARTEMEN OBSTERI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: OLEH M. OKY PRABUDI

PERBANDINGAN ANTARA HISTEREKTOMI LAPAROSKOPI DENGAN HISTEREKTOMI

PERABDOMINAL

OLEH

M. OKY PRABUDI

DEPARTEMEN OBSTERI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK

MEDAN

Page 2: OLEH M. OKY PRABUDI

i

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ....................................................................................................................... i

BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

BAB II. HISTEREKTOMI LAPAROSKOPI .................................................................. 3

2.1 Anatomi Laparoskopi ............................................................................. 3

2.2 Jenis-jenis Histerektomi Laparoskopi .................................................... 4

2.3 Indikasi dan Kontraindikasi .................................................................... 6

2.4 Langkah-langkah Tindakan Laparoskopi Histerektomi ......................... 8

2.4.1 Penilaian Preoperatif ................................................................... 8

2.4.2 Posisi Pasien ............................................................................... 8

2.4.3 Posisi Timb Bedah ...................................................................... 9

2.4.4 Posisi Port ................................................................................... 9

2.4.5 Teknik Operasi............................................................................ 10

2.4.6 Akhir Prosedur ............................................................................ 15

2.5 Histerektomi Total Laparoskopi pada Uterus Besar............................... 16

2.6 Faktor-faktor Yang Menentukan Konversi Histerektomi Total

Laparoskopi Menjadi Laparotomi ......................................................... 23

BAB III. PERBANDINGAN HISTEREKTOMI TRANSABDOMINAL DENGAN

LAPAROSKOPI ................................................................................................ 25

3.1 Perbandingan Laparoskopi dan Laparotomi Pada Karsinoma

Endometrium Stadium Awal .................................................................. 27

3.2 Perbandingan Histerektomi Radikal Laparoskopi Dengan

Histerektomi Radikal Perabdominal Pada Karsinoma Serviks Stadium

Awal .................................................................................................... 31

3.3 Perbandingan Laparaskopi Histerektomi Dengan da Vinci Robotic

Histerektomi ........................................................................................... 33

3.4 Komplikasi Laparoskopi......................................................................... 34

KESIMPULAN ................................................................................................................... 44

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 46

Page 3: OLEH M. OKY PRABUDI

1

BAB I

PENDAHULUAN

Histerektomi konvensional merupakan standar prosedur untuk keganasan ginekologi

dan indikasi untuk beberapa tumor jinak. Ketika pendekatan pembedahan pada abdomen

merupakan tindakan efektif yang dapat diterima, hal ini berhubungan dengan morbiditas,

kebanyakan mengenai perawatan luka pada jangka pendek maupun jangka panjang.

Histerektomi adalah prosedur ginekologi yang paling umum, dengan sekitar 500.000

– 600. 000 operasi yang dilakukan setiap tahun di Amerika Serikat. Sejak histerektomi

laparoskopi pertama dilakukan oleh Reich et al. pada tahun 1989, histerektomi laparoskopi

telah dianggap metode bedah yang semakin penting dalam mengobati penyakit ginekologi.

Teknologi canggih dan teknik laparoskopi telah memungkinkan ahli bedah untuk melakukan

operasi secara endoskopi yang sebelumnya diperlukan tindakan laparotomi.

13

Teknik-teknik laparoskopi telah dilaporkan sebagai alternatif untuk histerektomi

perabdominal. Bedah invasif yang minimal ini dirintis pada awal 1990 untuk digunakan

dalam keganasan ginekologi tetapi juga memiliki sisi kontroversial. Ginekologi onkologi

khawatir tentang mengadopsi laparoskopi untuk pengelolaan karsinoma endometrium karena

kekhawatiran mengenai waktu operasi yang meningkat, keterbatasan untuk mengangkat

kelenjar getah bening dan peningkatan komplikasi. Studi retrospektif telah menunjukkan

sejumlah keuntungan dari histrektomi laparoskopi, termasuk mengurangi masa rawatan,

mengurangi rasa sakit dan kebutuhan analgesik paska bedah dan pemulihan aktivitas yang

lebih singkat. Perhatian juga telah ditujukan tentang dampak dari laparoskopi pada pola

rekurensi dan kelangsungan hidup.

9

Histerektomi laparoskopi diindikasikan pada kondisi tertentu seperti aksesibilitas

vagina yang kurang baik, koeksistensi adneksa patologi, endometriosis dan adhesi panggul.

Dengan meningkatnya penggunaan dan aplikasi yang lebih luas dari laparoskopi, seperti

teknik bedah, risiko komplikasi dalam bedah laparoskopi. Namun, resiko komplikasi pada

laparoskopi tidak lebih besar daripada di laparatomi. Meskipun banyak penelitian telah

melaporkan komplikasi seperti cedera viseral dan pembuluh darah, beberapa risiko yang

tidak diinginkan seperti konversi ke laparotomi selama histerektomi laparoskopi.

3

Tindakan laparoskopi histerektomi meningkat dari 3,9% pada tahun 1997 menjadi 8,5% pada

tahun 2006. Usia pasien yang lebih muda, kulit putih, komorbiditas rendah, status

sosioekonomi yang lebih tinggi, stadium tumor yang lebih rendah, dan penduduk di

9

Page 4: OLEH M. OKY PRABUDI

2

perkotaan berkaitan dengan penggunaan laparoskopi (P< .05). Karakteristik dokter

berhubungan dengan keterampilan dalam melakukan laparoskopi termasuk latihan yang

ditempuh di AS, spesialisasi di bidang ginekologi onkologi, dan pengalaman praktek.

Ada tiga jenis histerektomi laparoskopi yang sering dilakukan yaitu Laparoscopy

Assisted Vaginal Hysterectomy(LAVH), Total laparoscopic Hysterectomy (TLH), dan

Laparoscopically Assisted supracervical Hysterectomy (LASH)

6

3,7,13

Pendekatan laparoskopi memiliki keuntungan dibandingkan laparatomi, yaitu kemungkinan

pemeriksaan abdomen secara menyeluruh untuk menilai rongga abdomen untuk penyebaran

extra-uterin dan cairan peritoneal untuk sitologi. Selain itu, karena pasien tidak memiliki luka

operasi yang besar, hasil pendekatan laparoskopi di rumah sakit memiliki masa rawat inap

yang lebih singkat, morbiditas luka abdomen yang lebih kecil, pendekatan laparoskopi

menyebabkan pasien lebih cepat kembali dalam aktivitas sehari-hari. Namun demikian, untuk

beberapa alasan laparoskopi belum menjadi prosedur yang ditetapkan untuk semua indikasi

untuk histerektomi.

.

13

Page 5: OLEH M. OKY PRABUDI

3

BAB II

HISTEREKTOMI LAPAROSKOPI

2.1 Anatomi Laparoskopi.

7,28

Ukuran normal panjang uterus nullipara sekitar 8 cm dan membentuk sudut sehingga

uterus berada di posterior kandung kemih. Uterus secara keseluruhan ditutupi dengan

peritoneum kecuali bagian kandung kemih yang berlekatan dengan segmen bawah uterus

yaitu pada daerah cul de sac dan bagian lateral pada ligamentum latum.

Gbr 1. Anatomy of Uterus

1. Umbilical arteri

2. Ureter

3. Uterine artery

4. Internal iliac artery

5. Ovarian artery

6. Common iliac artery

7. Utero-sacral ligament

Dua arteri penting, arteri uterina dan ovarika merupakan hal yang penting dalam

pembedahan uterus. Arteri uterine merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Keduanya

melewati bagian medial dari muskulus levator ani, menyebrang ureter dan terbagi

menjadi cabang asending dan desending. Cabang akhir arteri uterine asending

beranostomose dengan arteri ovarika.

Dari anterior ke posterior . ligamentum rotundum, ligamentum infudibulopelvikum,

yang terdiri dari pembuluh darah ovarium dan ureter. Ovarium dan tuba fallopi berada di

antara ligamentum rotundum dan infundibulopelvikum.

Ligamentum ovarium berjalan dari ovarium ke bagian lateral uterus. Ovarium

berlekatan ke dinding pelvis dengan ligamentum infundibulopelvikum, bersamaan dengan

arteri ovarika. Satu kesalahan yang sering adalah cedera ureter selama diseksi dari

ligamentum infundibulopelvikum. Jika uterus menyimpang ke arah kontralateral dengan

bantuan alat manipulator uterus dengan ligamentum infundibulopelvikum dibentangkan

Page 6: OLEH M. OKY PRABUDI

4

dimana selanjutnya suatu segitiga pada dinding pelvis dibentuk. Dasar segitiga ini adalah

ligamentum latum, bagian medial adalah ligamentum infundibulopelvikum, dan bagian

lateral adalah arteri iliaka eksterna. Apeks dari segitiga ini adalah titik dimana

ligamentum infundibulopelvikum melewati arteri iliaka eksterna. Ureter selalu berjalan

medial dari segitiga ini ke pelvis. Hal ini akan terlihat di bawah peritoneum melewati

arteri iliaka eksterna.

Gbr 2. Position of uterus

1. Uterus

2. Round ligament

3. Utero-ovarian lig.

4. Utero-sacral lig.

5. Ovary

6. Susp. lig. of ovary

7. Ureter

Ureter berjalan masuk ke pelvis berdekatan dengan organ pelvis wanita dan

merupakan resiko tinggi terjadinya cedera selama operasi laparoskopi. Karena ureter

berjalan medial melewati bifurkasio arteri iliaka, mereka melewati secara oblik di bawah

arteri ovarika dan berjalan berdekatan dengan arteri uterine.

Histerektomi laparoskopi memerlukan identifikasi ureter secara hati-hati dengan beberapa

diseksi retroperitoneum. Sebuah insisi dibuat pada peritoneum melewati segitiga dinding

pelvis di antara tuba fallopi dan arteri iliaka.

Diseksi getah bening pelvis juga perlu jika ginekologis berencana untuk melakukan

histerektomi radikal. Diseksi getah bening sejauh Cloquet node pada segitiga femoral

juga termasuk dan diseksi bagian proksimal penting sampai ke kelenjar getah bening

para-aorta.

2.2 Jenis-jenis Histerektomi Laparoskopi

Garry and Reich mengklasifikasikan laparoscopy assisted hysterectomy menjadi sembilan

jenis tindakan (tabel 1).

Page 7: OLEH M. OKY PRABUDI

5

Tabel 1. Garry and Reich Classification Laparoscopy assisted hysterectomy.

7

a. Laparoskopi Diagnostik Dengan Histerektomi Transvaginal

Tindakan ini diindikasikan pada laparoskopi yang bertujuan untuk menentukan

histerektomi vaginal yang memungkinkan ketika pendekatan pervaginam

dibutuhkan.7

b. Laparoscopic-assisted vaginal hysterectomy (LAVH)

Ini merupakan histerektomi vaginal setelah adhesiolisis laparoskopi, eksisi

endommetriosis atau ooforektomi. Istilah ini juga digunakan ligamen uterus bagian

atas ( seperti ligamentum rotundum, infundobulopelvikum atau utero-ovarian) relatif

normal yang diligasi dengan diseksi bipolar atau staples.

Indikasi LAVH mencakup :

7

- Riwayat operasi pelvis

- Endometriosis

- Riwayat operasi seksio sesaria

- Nyeri panggul

- Dugaan adanya patologi adneksa

- Mioma

- Kehamilan ektopik

- Inflamasi pelvis akut atau kronik

- Mobilitas uterus minimal dan terbatasnya akses vagina.

Jika vaginal hysterectomy dapat dilakukan pada lokasi pertama, tidak akan terjadi

penambahan biaya dan komplikasi laparoskopi. Keuntungan terbesar merupakan

potensial untuk mengubah histerektomi perabdominal menjadi vaginal hysterectomy.

Histerektomi perabdominal membutuhkan insisi vagina dan insisi abdomen

Page 8: OLEH M. OKY PRABUDI

6

sepanjang empat sampai enam inchi, dimana berhubungan dengan ketidaknyamanan

postoperatif dan waktu penyembuhan yang lebih lama dari pada prosedur

pervaginal.Keuntungan LAVH yang lain adalah prosedur ini dapat mengangkat tuba

dan ovarium dimana tindakan ini tidak mudah dilakukan melalui vaginal

hysterectomy.

c. Histerektomi Laparoskopi

7,28

Tindakan ini merupakan ligasi arteri uterina dengan menggunakan diseksi

elektrosurgery, suture ligature atau staples. Semua langkah-langkah setelah ligasi

pembuluh darah uterus dapat dilakukan transvaginal atau laparoskopi, termasuk

vagina anterior atau posterior, pemisahan ligamentum kardinal dan utrosakral,

pengangkatan uterus (intak atau dengan morcellation) dan penutupan vaginal (secara

vertikal atau transversal). Ligasi pembuluh darah uterus secara laparoskopi

merupakan sine qua non untuk histerektomi laparoskopi. Identifikasi ureter dengan

isolasi sangat disarankan.

d. Total Laparoscopic Hysterectomy (TLH)

7,28

Hal ini menunjukkan bahwa stelah seluruh pembuluh darah diligasi, diseksi

laparoskopi diteruskan hingga uterus terbebas dari seluruh perlekatan di kavum

peritoneum. Kemudian uterus dikeluarkan melaui vagina, seringnya pada vaginal

morcellation kemudian dilanjutkan dengan jahitan laparoskopi.

e. Histerektomi Supraservikal Laparoskopi

7,28

Baru-baru ini kembali adanya beberapa dukungan setelah saran yang total

histerektomi mengakibatkan penurunan libido dalam beberapa wanita.. Peneliti lain

mengklaim bahwa ia menawarkan klinisi yang lebih mudah, prosedur yang kurang

berisiko dibandingkan histerektomi laparoskopi, dengan penurunan risiko diseksi

ureter dan arteri uterina dan lebih sedikit komplikasi untuk terjadinya prolaps vagina

di masa yang akan datang.

Sayangnya, cul-de-sac endometriosis dan adenomiosis uterus yang menyebabkan

nyeri, sering melibatkan cerviks. Meninggalkan cerviks pada wanita ini sering

menyebabkan rasa sakit yang minimal. Total laparoscopic hysterektomi dianjurkan

untuk endometriosis luas.

7,28

2.3 Indikasi dan Kontraindikasi

Beberapa ginekologis mempertimbangkan beberapa hal di bawah ini sebagai indikasi

untuk histerektomi perabdominal:

3,4,7

Page 9: OLEH M. OKY PRABUDI

7

• Ukuran uterus lebih dari 12 minggu

• Nulliparitas dengan lack uterine descent

• Adanya riwayat operasi pada rongga pelvis sebelumnya

• Adanya patologi pelvis ekstrauterin (endometriosis, penyakit-penyakit dengan adanya

perlengketan

• Vagina yang sempit

• Morbiditas uterus yang buruk tanpa adanya jalur dengan pembuluh darah uterus

• Obesitas

• Diperlukannya tindakan oovorektomi

• Keganasan

Ada beberapa kontraindikasi relatif untuk dilakukannya operasi laparoskopi pada bidang

ginekologi, di mana kebanyakan dokter lebih suka melakukan laparotomi. Pada kebanyakan

kasus di mana keterbatasan akses pervaginam atau tidak adanya mobilitas uterus, bisa

dipertimbangkan untuk dilakukan histerektomi laparoskopi.

Histerektomi laparoskopi tidak dianjurkan jika massa pelvis berasal dari ovarium yang

cenderung ganas dan tidak dapat diangkat secara keseluruhan atau massa yang terlalu besar.

Pasien obesitas sering menunjukkan adanya masalah tertentu pada operasi pelvis, seperti

posisi Trendelenburg yang akan terbatas karena sulitnya ventilasi pada anestesia. Akhirnya,

kurangnya pengalaman atau pelatihan pada dokter merupakan salah satu kontraindikasi relatif

untuk laparoskopi.

Faktor penting yang merupakan pertimbangan tingkat kesulitan untuk laparoskopi

adalah operasi sebelumnya. Riwayat adanya operasi sebelumnya akan menyebabkan

perlengketan dan akan mempersulit operasis selanjutnya.

Indikasi histerektomi laparoskopi yang paling sering adalah fibroid uterus yang simptomatik.

Gejala yang muncul seperti hipermenorrhea, tekanan pada pelvis, dan nyeri. Kebanyakan

kasus ini dapat dilakukan dengan laparoskopi, dengan vaginal morcellation dan masa

rawatan yang singkat.

Indikasi lain adalah endometriosis yang menyebabkan nyeri panggul. Kebanyakan

histerektomi pada endometriosis yang luas dilakukan perabdominal dengan salfingo-

ooforektomi bilateral, menggunakan teknik intrafascial yang meninggalkan endometriosis di

belakang rektum dan vagina. Hal yang lebih buruk, pada kondisi rektum lengket ke serviks,

kebanyakan ginekologis melakukan histerektomi supraservikal dan ooforektomi bilateral.

Page 10: OLEH M. OKY PRABUDI

8

Kasus ini akan lebih baik dilakukan eksisi endometriosis dengan laparoskopi diikuti dengan

total histerektomi laparoskopi.

Hiperemenorrhea merupakan indikasi paling sering untuk dilakukannya tindakan

histerektomi. Kebanyakan kasus terjadi pada uterus yang kecil dan dapat dilakukan

transvaginal. Jika tidak dapat dilakukan transvaginal, laparoskopi total atau histerektomi

supraservikasl dapat dilakukan.

Pendekatan laparoskopi merupakan manajemen yang baik pada wanita dengan

karsinoma endometrium. Pada kebanyakan kasus karsinoma endometrium, uterus relatif

kecil, dan onkologis dapat melakukan pengangkatan uterus dan memeriksa keadaan rongga

uterus. Jika invasi karsinoma mengenai kurang dari setengah miometrium, pasien dapat

ditangani dengan simpel histerektomi . Jika terdapat invasi pada otot lebih dari setengah

kedalaman miometrium, onkologis harus melakukan limfadenektomi pelvis.

Semua tindakan laparoskopi dilakukan dengan menggunakan anestesi umum endotrakhea,

dengan selang orogastrik untuk meminimalisir distensi usus.28

2.4 Langkah-langkah Tindakan Laparoskopi Histerektomi.3,4,7,28

2.4.1 Penilaian Preoperatif

Pasien dievaluasi seperti operasi besar lainnya. Pemeriksaan rutin preoperative

termasuk pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, waktu perdarahan urinalisa, thrombine

time, EKG, foto thoraks, dan biopsy endometrium. Persiapan mekanis dan antibiotik

dipersiapkan sebelum operasi.

2.4.2 Posisi Pasien

Pasien harus diposisikan Trendelenburg dan litotomi. Satu asisten harus berada antara

kaki pasien untuk melakukan manipulasi uterus jika diperlukan.

Page 11: OLEH M. OKY PRABUDI

9

Gbr 3. Per-vaginal

examination should be

routine

2.4.3 Posisi Tim Bedah

Ahli bedah berdiri di sisi kiri pasien, asisten kamera berada di sebelah kiri operator. Asisten

kedua berada di sisi kanan pasien. Satu asisten berada di antara di kaki pasien memanipulasi

uterus.

2.4.4 Posisi Port

Kamera sebesar 10 mm ditempatkan di umbilical port. Dua port ukuran 5 mm ditempatkan 5

cm dari umbilikus pada sisi kanan dan kiri. Kadang, port tambahan pada kiri atau kanan regio

iliaka jika diperlukan. Posisi port harus berdasarkan baseball diamond concept. Jika sisi kiri

yang harus dioperasi, maka satu port harus bagian kanan harus berada di fossa iliaka kanan

dan yang lain di bawah hipokondrium kiri.

Gbr 4. Port position in LAVH

Page 12: OLEH M. OKY PRABUDI

10

Gbr 5. Port position in LAVH

2.4.5 Teknik Operasi

Suatu hal yang penting selama prosedur untuk dapat memanipulasi uterus untuk

observasi yang optimal. Ada beberapa perbedaan jenis manipulasi uterus. Tergantung dari

prosedur laparoskopi, pemeriksaan digital, probes, dan spone stick applicator digunakan

dalam identifikasi struktur cul-de-sac dalam laparoskopi. Arah dan lokasi kedua ureter harus

diidentifikasi.

Gbr 6. LAVH using bipolar

Jika direncanakan tindakan pengangkatan adneksa, electrodesiccation and cutting

ligamentum rotundum, 2-3 cm dari uterus ligamnetum infundibulopelvikum didesikasi dan

dipotong, insisi jaringan dimulai di pinggir pelvis terhadap ligamentum rotundum. Jika

endoscopic linear stapler digunakan pada adneksa yang mana dijepit dengan forsep, ditarik

ke arah medial dan kaudal untuk meregangkan dan memisahkan ligamentum

infundibulopelvikum, dan dipastikan aman. Stapler tidak dilepaskan sampai jaringan yang

Page 13: OLEH M. OKY PRABUDI

11

terlibat diidentifikasi dan ureter telah dikonfirmasi kemudian dievaluasi ulang untuk menilai

kemungkinan cedera maupun hemostasis. Mengingat ligamentum infundibulopelvikum

berderkatan dengan adneksa dan fundus uteri yang diregangkan pada arah yang berlawanan

dan jaringan pada bagian atas ligamentum latum termasuk ligamentum rotundum kemudian

dijepit, dipastikan aman, dan dipotong.

Multifire GIA stapler mengklem dan memotong jaringan secara efisien. Alat

ditempatkan pada enam baris small titanium staples dan memotong jaringan di antaranya,

meninggalkan tiga bari staples pada sisi yang sama. Penggunaan alat ini menyebabkan

perdarahan yang sedikit. Bagaimanapun alat ini merupakan disposable dan mahal.

Gbr 7. Succesive desiccation and dissection

Jika adneksa dipertahankan, ligamentum rotundum dipotong lebih kurang 2 cm dari

uterus. Bagian anterior dari ligamentum latum dibuka mengarah ke plika vesikouterina dan

diperluas dengan membuat flap kandung kemih. Bagian anterior dari ligamentum latum

kemudian dijepit dengan forsep, diangkat kemudian dipotong mulai dari anterior segmen

bawah rahim. Ligamentum ovarii proprii, proksimal tuba, mesosalping, dipotong dan bagian

posterior ligamnetum latum dibuka. Bersamaan dengan ligamnetum rotundum, tuba fallopi,

dan ligamentum ovarii propii, dijepit dekat uterus dengan endoscopic linear staples kemudian

dipotong. Bagian distal dari stapler atau forsep bipolar harus dijauhkan dari kandung kemih

dan ureter.

Page 14: OLEH M. OKY PRABUDI

12

Gbr 8. Dissection of bladder

peritoneum

Gbr 9. Steps of colpotomy

Uterovesical junction diidentifikasi, dijepit, dan dielevasikan dengan forsep kemudian

digunting. Kandung kemih dapat dibebaskan dari uterus dengan menekan ke bawah dengan

probe tumpul sampai anterior cul de sac. Pada pasien dengan endometriosis berat pada

anterior cul de sac, riwayat operasi seksio sesaria atau perlengketan, disesksi tajam

dianjurkan. Injeksi 5 ml indigo carmine pada kandung kemih pasien membantu mendeteksi

trauma pada kandung kemih. Setelah diseksi kandung kemih dari uterus, pembuluh darah

uterus diidentifikasi kemudian dipotong untuk membebaskan bagian lateral dari uterus. Jika

jahitan, klip, atau linear stapler digunakan, diperlukan identifikasi pembuluh darah secara

menyeluruh. Pembuluh darah uterus dijepit dan dipotong, dipastikan ureter aman. Trauma

ureter komplit dapat tidak terdeteksi jika sebelumnya tidak dipasang kateter ureter. Diseksi

ligamentum cardinal harus secara hati-hati tidak melibatkan ureter tetapi melibatkan arteri

uterina. Linear stapler hanya digunakan hanya pada diseksi parametrium pada batas yang

cukup luas. Ketika ureter disisihkan ke lateral, ligamentum kardinal yang dekat ke serviks

dielektrodiseksi. Alternatif lain linear stapler dapat digunakan pada pembuluh darah uterus

dan ligamentum cardinal.

Page 15: OLEH M. OKY PRABUDI

13

Gbr 9A. Valsaleum holding cervix

Gbr 9B. Application of ligasure clamp

over left uterosacral

Gbr 9C. Application of ligasure over

the right uterine stumps

Gbr 9D. Application of ligasure over

the left uterine stump

Page 16: OLEH M. OKY PRABUDI

14

Gbr 10. Opening of anterior and

posterior leaf broad ligament

Gbr 11. Separation of bladder

Kain kassa yang dilipat dijepit dengan forsep untuk menandai forniks. Dinding vagina

dibentangkan secara horizontal kemudian dipotong dengan hook elektode. Ketika diseksi

diperluas ke segmen bawah rahim atau setentang ligamentum kardinal bagian tindakan

laparoskopi diakhiri. Kemudian tiga speculum vagina digunakan untuk mendapatkan akses ke

bagian vagina dari LAVH. Ketika uterus diangkat puncak vagina ditutup dengan jaringan

penyokong puncak vagina. Sudut vagina didekatkan ke ligamentum uterosakral dan kardinal

dengan vicryl 2/0. Pada keadaan sistokel ataupun rektokel direpair pada fibroid uteri yang

berat harus diangkat dengan morcellation untuk dapat dikeluarkan melalui vagina.

Page 17: OLEH M. OKY PRABUDI

15

Gbr. 12 Anterior and posterior colpotomy

Gbr 13. Closure of vault by extracorporeal knot

2.4.6 Akhir Prosedur

Satu keuntungan LAVH atau TLH dengan transvaginal histerektomi adalah dapat menilai

ulang pada akhir pembedahan. Puncak vagina dapat ditempatkan di bawah atau di atas namau

setelah pneumoperitoneum dikembalikan untuk melihat pelvis dan ruang kavum abdomen.

Irigasi dan penyedotan harus dilakukan. Pada kasus perdarahan sisa dapat dikontrol dengan

Page 18: OLEH M. OKY PRABUDI

16

laparoskopi. Pada akhir prosedur, pelvis diisi dengan 300 ml Ringer Laktat dan dilihat apakah

ada perubahan warna. Ketika hasilnya memuaskan cairan dihisap dan instrument dan kanula

dikeluarkan setelah mengempiskan kavum abdomen.

2.5 Histerektomi Total Laparoskopi Pada Uterus Besar.

3,12,19,20,27

Histerektomi total laparoskopi merupakan tindakan yang aman, efisien untuk

menajemen tumor jinak pada uterus, dan dapat dilakukan sebagai alternatif histerektomi

perabdominal. Istilah histerektomi laparoskopi digunakan untuk mendefinisikan berbagai

jenis histerektomi dengan menggunakan laparoskopi ke dalam rongga abdomen.

Histerektomi laparoskopi merupakan ligasi pembuluh darah besar yang menyuplai uterus

dengan disikasi elektrosurgeri, penjahitan dengan laparoskopi, atau staples yang pertama kali

dilakukan pada tahun 1988. Saat ini histerektomi laparoskopi merupakan tindakan yang aman

dan teknik yang layak dalam manajemen patologi jinak pada uterus dan menawarkan

ketidaknyamanan postoperatif yang minimal, masa rawat inap yang lebih singkat,

penyembuhan cepat, dan kembalinya aktivitas sehari-hari yang lebih cepat. Rasionalisasi

histerektomi total laparoskopi adalah mengkonversi histerektomi perabdominal menjadi

prosedur laparoskopi yang kemudian akan menurunkan trauma dan morbiditas.

Kebanyakan studi pada ukuran uterus yang besar, biasanya uterus dengan ukuran

kehamilan 15-16 minggu atau berat lebih dari 500 gram dimana kebanyakn menyimpulkan

bahwa uterus yang besar harus ditangani dengan laparotomi. Kesulitan pada uterus yang

besar adalah terbatasnya jalur pembuluh darah uterus yang tergantung dari ukuran dan lokasi

mioma dan resiko tinggi untuk terjadinya komplikasi seperti perdarahan. Pertimbangan lain

penanganan laparoskopi pada uterus besar adalah resiko trauma usus dan saluran kemih karen

sempitnya lapangan pandang, sulitnya pengeluaran uterus dan durasi prosedur. Untuk

mengatasi keterbatasan ini, prosedur histerektomi total laparoskopi pada kasus-kasus dengan

uterus yag besar harus dimodifikasi dan layak pada semua kasus.

Penelitian yang dilakukan Sinha R, et all (2009) menguji kelayakan histerektomi total

laparoskopi pada 173 wanita dengan ukuran uterus 500 gram atau lebih dan teknik-teknik

modifikasi yang diiadopsi pada prosedur tersebut. Indikasi hiisterektomi total laparoskopi

adalah leiomioma simptomatik atau perdarahan uterus abnormal. Wanita dengan kelainan

patologi lain seperti massa adneksa atau endomtriosis dieksklusikan pada penelitian tersebut.

Ukuran uterus bervariasi, antara berkisar dari 10-32 minggu. Semua pasien dengan

pemeriksaan ultrsonografi pelvis dan laboratorium rutin.

Page 19: OLEH M. OKY PRABUDI

17

Setelah dilakukan anestesia, trokar sebesar 5 mm di insersi kuadran lateral kiri atas

setinggi pembuluh darah epigastrik inferior atau di atas batas atas uterus. Jika uterus besar,

jarum Veress dan trokar 5 mm diletakkan pada titik Palmer. Teleskop sebesar 5 mm melewati

titik ini dan melewati uterus kemudian dilakukan evaluasi adneksa.

Trokar 10 mm diinsersi pada supraumbilikus atau sisi yang lebih tinggi tergantung pada

ukuran uterus. Hal ini akan mengurangi resiko trauma pembuluh darah besar dan trokar dapat

diinsersi pada beberapa sisi tergantung ukuran uterus. Hal ini akan membantu operator agar

memungkinkan dilakukan manipulasi yang lebih lembut. Pada penelitian tersebut, operasi

dilakukan dengan port sebesar 5 mm : port pertama diinsersi pada kuadran lateral kiri atas.

Kedua diletakkan pada kuadran lateral kanan atas dan ketiga pada kuadran lateral kiri bawah.

Jika diperlukan pada kasus dengan uterus yang sangat besar, port keempat ditempatkan pada

kuadran lateral kanan bawah.

Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa histerektomi total laparoskopi merupakan

teknik yang aman dan layak pada kasus-kasus ginekologi dengan pembesaran uterus untuk

menghindari tindakan laparotomi. Pada studi ini menunjukkan bahwa rendahnya komplikasi

intraoperatif laparoskopi dibandingkan dengan histerektomi dengan laparotomi.

Literatur lain menyatakan bahwa uterus yang membesar harus dilakukan laparotomi.

Kebanyakan studi dengan ukuran uterus yang membesar, dengan ukuran uterus sebanding

dengan 15-16 minggu kehamilan. Penelitian multicenter randomized clinical trial pada tahun

1998 membandingkan histerektomi laparoskopi dengan histerektomi perabdominal. Mioma

pada uterus merupakan indikasi histerektomi pada kebanyakan kasus pada studi ini. uterus

yag paling besar sekitar 1550 gram; kehilangan darah terbanyak terjadi pada grup

histerektomi perabdominal yaitu sekitar 3000 ml. Kehilangan darah rata-rata secara

signifikan lebih sedikit pada grup histerektomi laparoskopi dibandingkan dengan grup

histerektomi perabdominal.

Pada kasus dengan uterus yang membesar, ada pergeseran anatomi normal terutama ureter

dan pembuluh darah uterus. Pada kasus dengan dinding lateral mioma melewati pembuluh

darah uterus, ureter terdorong keluar dan hampir melewati permukaan superior dari mioma.

Pembuluh darah uterus naik hampir setinggi pembuluh darah ovaarium. Dindang lateral

mioma naik di atas pembuluh darah uterus dan menekan ureter keluar dan ke bawah. Dinding

anterior yang besar dan mioma serviks akan menekan vesika urinaria. Perhatian utama adalah

distorsi tersebut akan meningkatkan resiko trauma ke kandung kemih, ureter dan usus. Hal ini

dipersulit dengan kesulitan teknik dalam mengeluarkan uterus dan mengikat pembuluh darah

Page 20: OLEH M. OKY PRABUDI

18

uterus. Hal inilah yang sering menjadi pertimbangan bahwa pembesaran uterus yang sangat

besar merupakan kontraindikasi untuk histerektomi total laparoskopi.

Sebelum dilakukan histerektomi total laparoskopi pada wanita dengan uterus yang

sangat besar, diperlukan beberapa teknik modifikasi. Sulitnya akses dan lapangan pandang

adalah pertimbangan yang utama, dan dapat dilakukan dengan sedikit modifikasi pada teknik

histerektomi. Pertama, trokar optik ditempatkan supraumbilikus untuk memfasilitasi

visualisasi yang cukup. Penggunaan spiral mioma meningkatkan mobilitas uterus dan

perubahan posisi yang dapat membantu proses operasi.

Perhatian yang lain adalah resiko perdarahan, dimana pada kasus dengan uterus yang sangat

membesar akan mempersulit lapangan pandang. Pada studi ini, peneliti meminimalisasii

kehilangan darah dengan ligasi uterine pedicle pada prosedur awal histerektomi.

Ada beberapa pilihan yang tersedia bagi dokter bedah untuk mengamankan pedicle termasuk

diatermi bipolar, ultrasisi harmonik, vessel-sealing device, teknik penjahitan endoskopi, atauu

staples. Komplikasi seperti perdarahan, trauma vesika urinaria, dan ureter baik secara

langsung atau tidak langsung berhubungan dengan metode mengamankan vascular pedicle.

Dengan adanya pelatihan laparoskopi dan teknik operasi yang baik, histerektomi total

laparoskopi dapat dilakukan dengan sukses pada kebanyakan wanita dengan pembesaran

uterus, dengan tidak adanya peningkatan komplikasi dan penyembuhan jangka pendek. Pada

tangan yang ahli, pasien memperoleh berbagai keuntungan seperti tindakan invasif yang

minimal, masa rawatan singkat, penyembuhan yang cepat, dan hasil yang memuaskan. Dari

data pada studi tersebut, tidak ada alasan lagi bahwa pembesaran uterus merupakan

kontraindikasi untuk dilakukan histerektomi total laparoskopi, dan laparoskopi harus

dipertimbangkan dibandingkan laparotomi terlepas dari ukuran uterus.

Page 21: OLEH M. OKY PRABUDI

19

Gbr. 1 Posisi Port untuk Histerektomi Total Laparoskopi

Gbr 2. Pembesaran uterus dengan fibroid multipel

Page 22: OLEH M. OKY PRABUDI

20

Gbr 3. Uterus dengan fibroid serviks

Gbr 4. Uterus dengann fibroid pada ligamentum latum

Page 23: OLEH M. OKY PRABUDI

21

Gbr 5. Ligasi Arteri Uterina

Gbr. 6 Uterus sebelum devaskularisasi

Page 24: OLEH M. OKY PRABUDI

22

Gbr 7. Uterus setelah devaskularisasi

Gbr 8. Morcellation while still attached

Page 25: OLEH M. OKY PRABUDI

23

Tabel.2 Intra- and postoperative data for 48 women undergoing LAVH or AH.

20

2.6 Faktor-faktor Yang Menentukan Konversi Histerektomi Total Laparoskopi

Menjadi Laparotomi.

Laparoskopi sudah digunakan secara luas pada tindakan-tindakan ginekologi.

Perkembangan teknik dan teknologi laparoskopi menyebabkan tindakan invasif yang lebih

minimal dan diperlukannya keterampilan yang lebih tinggi. Histerektomi total laparoskopi

lebih dipilih dibandingkan histerektomi perabdominal karena mengurangi nyeri,

penyembuhan yang lebih cepat, kehilangan darah yang lebih sedikit, kemungkinan infeksi

luka yang lebih minimal dan episode demam yang lebih minimal.

1,8,9

Histerektomi laparoskopi membutuhkan keahlian dan pengalaman yang lebih. Waktu operasi

juga lebih lama dibandingkan histerektomi lain. Cedera traktus urinarius seperti kandung

kemih dan ureter lebih sering terjadi pada histerektomi laparoskopi dibandingkan

histerektomi perabdominal dan transvaginal.

Menentukan faktor resiko pada histerektomi laparoskopi merupakan hal yang penting .

Leonard, et al. melaporkan bahwa pertimbangan yang menyebabkan perubahan tindakan

Page 26: OLEH M. OKY PRABUDI

24

pasien dari histerektomi total laparoskopi menjadi laparotomi adalah adanya perlengketan

luas pada pelvis.

Umumnya, ahli bedah menghadapi adhesi pelvis yang tak terduga selama

histerektomi total laparoskopi yang mungkin melarang pembedahan yang aman melalui

laparoskopi. Sekitar 10% dari pasien tanpa operasi pelvis yang sebelumnya memiliki

perlengketan omentum atau usus, sedangkan 31% pasien dengan operasi panggul sebelumnya

bebas dari pelengketan.

Walaupun adanya dugaan perlengketan pada pelvis, harus dilakukan penilaian ulang pada

pasien. Jika pasien memiliki riwayat laparotomi sebelumnya dan memungkinkan terjadinya

perlengketan, harus diinformasikan kepada pasien resiko kemungkinan laparotomi kembali.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sung –Ho Park, Hye-Yon Cho, dan Hong-Bae Kim

(2011) konversi tindakan menjadi laparotomi berhubungan dengan peningkatan kehilangan

darah dibandingkan dengan histerektomi total laparoskopi yang berhasil dilakukan. Riwayat

seksio sesaria, endometriosis dan laparotomi sebelumnya merupakan penyebab komplikasi

intra-operatif dan postoperatif.

Bagaimanapun tidak ada perbedaan komplikasi intra-operatif dan postoperatif seperti cedera

ureter, usus, demam, perubahan hemoglobin, dan hematoma antara kegagalan total

histerektomi laparoskopi dengan yang berhasil pada penelitian tersebut. Insidensi cedera

kandung kemih lebih tinggi pada pasien yang dilakukan konversi ke laparotomi dibandingkan

dengan total histerektomi yang berhasil.

Pada penelitian tersebut, BMI bukan merupakan faktor resiko untuk terjadinya konversi ke

laparotomi. Tidak ada perbedaan signifikan antara kedua kelompok. Hasil penelitian ini juga

sesuai dengan peneitian yang sebelumnya bahwa BMI tidak berhubungan dengan konversi

ke laparotomi selama total histerektomi laparoskopi.

Page 27: OLEH M. OKY PRABUDI

25

BAB III

PERBANDINGAN HISTEREKTOMI TRANSABDOMINAL DENGAN

LAPAROSKOPI

Pendekatan laparoskopi memiliki keuntungan dibandingkan laparatomi, yaitu

kemungkinan pemeriksaan abdomen secara menyeluruh untuk menilai rongga abdomen

untuk penyebaran extra-uterine dan cairan peritoneal untuk sitologi. Selain itu, karena pasien

tidak memiliki luka abdomen yang besar, hasil pendekatan laparoskopi di rumah sakit

memiliki masa rawat inap yang lebih singkat, morbiditas luka abdomen yang lebih kecil,

pendekatan laparoskopi menyebabkan pasin lebih cepat kembali dalam aktivitas sehari-hari.

Namun demikian, untuk beberapa alasan laparoskopi belumlah menjadi prosedur yang

ditetapkan untuk semua indikasi untuk histerektomi.

Walaupun demikian untuk beberapa alasan, laparoskopi belum diindikasikan pada

semua histerektomi abdominal. Alasan pertama adalah kurangnya pengalaman ahli bedah

untuk melakukan laparoskopi, yang menyebabkan komplikasi yang lebih tinggi selama masa

pembelajaran. Alasan selanjutnya adalah faktor ekonomis: tingginya biaya operasi, waktu

operasi yang lebih lama, mahalnya peralatan yang digunakkan dan biaya yang lebih pada

prosedur-prosedur tertentu. Bagaimanapun, pendekatan laparoskopi histerektomi memberikan

prospek yang lebih baik untuk meningkatkan outcome dan memberikan cost effectiveness

yang lebih baik dan masa penyembuhan dan rawatan yang lebih pendek. Bagaimanapun

penting untuk mnentukan biaya yang aktual dan membandingkan biaya antara terapi

standard dan terapi yang terbaru.

7

Berdasarkan penelitian RCT pada histerktomi laparoskopi memiliki biaya langsung

yang lebih tinggi dan biaya tidak langsung yang lebih rendah dibandingkan dengan

histerektomi abdominal. Biaya selama prosedur diperkirakan lebih besar dan masa rawatan

yang lebih pendek pada laparoskopi histerektomi. Pada histerektomi laparoskopi komplikasi

lebih sering terjadi dibandingkan dengan histerektomi abdominal 6,4% dan 1,6%.

Durasi operasi bergantung pada proses penyakit (jinak atau ganas) dan adanya

prosedur tambahan. Histerektomi yang diperluas pada kasus-kasus keganasan juga dapat

mempengaruhi lama rawatan.

13

Page 28: OLEH M. OKY PRABUDI

26

Tabel 3. Cost and effects of laparoscopic hysterectomy

13

Tabel 4. Cost and effects of abdominal hysterectomy

13

Page 29: OLEH M. OKY PRABUDI

27

Tabel 5. Actual direct and or/ indirect costs per treatment arm

3.1 Perbandingan Laparoskopi dan Laparotomi Pada Karsinoma Endometrium

Stadium Awal.

Karsinoma endometrium adalah keganasan ginekologi paling umum di Amerika

dinyatakan, dengan kira-kira 40.000 kasus baru dan 7.400 kematian yang disebabkan oleh

penyakit ini setiap tahun. Lebih dari 1 dalam 20 karsinoma pada perempuan di Eropa adalah

karsinoma endometrium, dengan meningkatnya pola, khususnya di antara wanita

postmenopause di banyak negara. Perubahan dalam terapi penggantian hormon, obesitas dan

perilaku reproduksi sebagian mungkin sebagian fakrot dalam peningkatan karsinoma ini.

Sedangkan obesitas dapat menyebabkan pasien pada peningkatan risiko untuk komorbiditas

medis termasuk diabetes, penyakit kardiovaskular dan osteoarthritis, ini juga merupakan

faktor risiko utama untuk karsinoma endometrium. Sebuah studi terbaru melaporkan bahwa

68% dari wanita dengan tahap awal karsinoma endometrium adalah obesitas.

6,10,15,24

Page 30: OLEH M. OKY PRABUDI

28

Tabel 6. BMI, blood loss, number of recovered lymph nodea, and hospital stay.

10

Gbr.22 Patients operated by laparoscopy (%) and BMI with the rate of conversion to

laparotomy.

10

Karena adanya perdarahan postmenopause yang merupakan tanda awal, kebanyakan

pasien (75%) didiagnosa pada stadium awal. Penanganan standar terhadap pasien karsinoma

endometrium stadium awal adalah abdominal radikal histerektomi dan salfingoooforektomi

bilateral. Panduan penanganan bervariasi pada setiap negara dimana limfadenektomi

merupakan salah satu prosedur penanganan. Di Netherlands, standar pembedahan pada

karsinoma endometrium stadium I adalah TAH tanpa limfadenektomi. Walaupun TAH

Page 31: OLEH M. OKY PRABUDI

29

merupakan terapi yang efektif morbiditas berhubungan dengan laparotomi (khususnya

komplikasi luka) karena tingginya insidensi obesitas dan komorbiditas pada populasi ini.

pendekatan alternatif pada pasien dengan total histerektomi laparoskopi dengan salfingo-

ooforektomi bilateral.

Studi yang dilakukann Maourits MJE, et al pada 283 pasien karsinoma endometrioid

adenokarsinoma stadium I yang kompleks atau hiperplasia atipikal dimana dibagi menjadi

dua grup yaitu kelompok total abdominal histerektomi (kelompok kasus, n= 187) dan

kelompok TAH (kelompok kontrol, n= 96).

10,15

Sebagaimana prevalensi wanita dengan obesitas yang semakin meningkat, insidensi

kanker endometrium pada populasi tersebut juga mengalami peningkatan. Selain semakin

beresiko menderita kanker endometrium, pasien dengan obesitas ini juga beresiko tinggi

untuk menderita berbagai penyakit lainnya, seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular.

Akibatnya, saat ini perhatian lebih difokuskan untuk mengidentifikasi teknik pembedahan

yang dapat memberikan penanganan yang memadai untuk populasi pasien ini sekaligus

meminimalisir angka kesakitan dan kematian pasca pembedahan.

15

Penanganan dengan laparaskopi saat ini banyak dianjurkan oleh ahli ginekologi

onkologi sebagai alternatif pengobatan pasien yang didiagnosa dengan kanker endometrium.

Namun penggunaan laparaskopi yang belum diterima meluas saat ini mungkin disebabkan

oleh hasil penentuan stadium yang kurang memadai, kurangnya data angka ketahanan hidup

dan kekambuhan, kurva pembelajaran, dan waktu operasi yang memanjang. Karena obesitas

dianggap mengaburkan hasil penentuan stadium yang diperoleh dari laparaskopi, sebagian

besar ahli ginekologi biasanya tidak menawarkan pembedahan invasif minimal pada pasien

obes. Namun, walaupun penelitian yang menunjukkan keuntungan laparaskopi masih

terbatas, saat semakin ini terbukti bahwa prosedur invasif yang minimal malah memberikan

hasil penentuan stadium yang memadai, dengan durasi operasi yang lebih singkat,

berkurangnya volume darah yang hilang serta masa rawatan yang lebih pendek dibandingkan

laparotomi.

Eisenhauer dkk. membandingkan luaran antara wanita obesitas yang menjalani

berbagai tindakan pembedahan untuk penanganan karsinoma endometrium. Penulis ini

menyimpulkan bahwa penentuan stadium melalui laparaskopi dan limpadenektomi pada saat

dilakukan laparatomi dihubungkan dengan perolehan jumlah kelenjar limfe yang lebih

banyak dan komplikasi akibat insisi pembedahan yang lebih sedikit dibandingkan jika hanya

Page 32: OLEH M. OKY PRABUDI

30

dilakukan laparatomi. Penelitiannya menunjukkan bahwa pasien yang ditangani dengan

lapraskopi hanya dirawat selama 3 hari setelah tindakan dilakukan.

Penelitian oleh Santi A menunjukkan bahwa kelompok yang ditangani dengan

tindakan laparaskopi menjalani masa rawatan pasca operasi yang lebih singkat. Beberapa

artikel mengenai penanganan laparaskopi pada kanker endometrium stadium dini saat ini

tersedia. Penelitian acak oleh Zullo dkk. telah menunjukkan bahwa pendekatan dengan

laparaskopi merupakan prosedur yang aman dan mudah untuk dilakukan didalam penanganan

kanker endometrium stadium 1. Hasil yang diperoleh ini juga didukung oleh temuan oleh

Santi A.

Saat ini memang pembedahan dengan lapraskopi sedang menggantikan pembedahan

dengan laparatomi klasik di dalam penanganan kanker endometrium stadium dini. Penelitian

dan penerbitan lainnya yang menganalisa angka kesakitan perioperatif atau yang

membenarkan metode laparaskopik di dalam menentukan perluasan stadium tumor, yang

meliputi jumlah kelenjar limfe yang diambil pada saat prosedur dilakukan, telah

menunjukkan hasil yang hampir sama dengan temuan setelah dilakukan tindakan lapratomi.

Sebagai tambahan pendekatan laparaskopik ternyata memberikan keuntungan yang lain yang

meliputi masa rawatan yang lebih singkat dan peningkatan kualitas hidup pasca operasi yang

segera.

Namun, penulis yang lain malah melaporkan tindakan laparaskopi memiliki

keterbatasan terutama pada pasien dengan BMI yang tinggi, yang bisa jadi merupakan suatu

kemunduran, terutama ketika mempertimbangkan kenyataan bahwa kelompok ini beresiko

tinggi untuk terdiagnosa kanker endometrium. Sebaliknya data yang dilaporkan oleh Santi A,

dkk menunjukkan bahwa kanker endometrium yang terdiagnosa pada wanita dengan obesitas

dapat secara aman ditangani dengan laparaskopi.

Dalam penelitian yang sama, dijumpai bahwa 31 pasien memiliki IMT > 30 kg/m2

(25,8%), dengan 18 diantaranya yang dijumpai dengan IMT > 35 kg/m2, dengan IMT

maksimal 50,2 kg/m2. Hanya 6 dari 120 kasus yang ditangani dengan laparoskopi yang

akhirnya harus dilakukan laparatomi (5.0%), dan ternyata tidak ada satupun dari kasus

konversi ini yang dilakukan akibat obesitas. Pendarahan menjadi penyebab pada lima kasus

sementara tumor menjadi penyebab pada sisa satu kasus.

Hasil ini harus diinterpretasi dengan hati-hati karena desain penelitiannya yang

sifatnya retrospektif. Kemungkinan kejadian komplikasi yang timbul tidak tercakup

seluruhnya dan oleh karenanya data yang tersedia saat ini tidak lengkap. Hal ini bisa terjadi

karena komplikasi ini tidak dianggap penting untuk dicatat atau sebelumnya pasien sudah

Page 33: OLEH M. OKY PRABUDI

31

menghubungi dokter umunya. Dalam satu penelitian retrospektif dilaporkan intervensi yang

dilakukan 4 ahli bedah berbeda dengan luaran yang bervariasi. Namun, karena semua ahli

bedah memakai teknik sama yang direkomendasikan oleh kelompok ahli bedah endoskopi

Swiss, sehingga tindakan pembedahan yang dilakukan dapat dibandingkan.

Hasil lainnya menunjukkan bahwa kelompok pasien dengan IMT > 30 kg/m2 (168

ml) ternyata dijumpai dengan jumlah kehilangan darah yang secara statistik tidak lebih tinggi

dibandingkan kelompok dengan IMT < 30 kg/m2 (190 ml). Jumlah angka kelenjar limfe

median yang diangkat (n=21) menggambarkan bahwa ternyata penentuan stadium

pembedahan yang memadai ternyata memberikan informasi yang akurat mengenai stadium

penyakit yang diderita.

Hasil dan data terakhir yang dilaporkan oleh Santi. A menunjukkan adanya perbedaan

keamanan antara tindakan laparatomi dan laparaskopi didalam penanganan kasus kasus

kanker endomterium stadium dini. Penelitian prosopektif yang dilakukan akhir-akhir ini

menemukan bahwa ternyata kekambuhan lebih sering dialami oleh pasien yang ditangani

dengan tindakan lapraskopi dibandingkan pasien yang ditangani dengan tindakan laparatomi,

walaupun kesimpulan ini secara statistik tidak signifikan. Dikarenakan ahli bedah yang

berpartispasi dalam penelitian ini sudah berpengalan didalam melakukan tindakan

laparaskopi, hasil yang dijumpai menggambarkan dengan pengalaman tindakan endoskopi

dan pembedahan onkologi yang memadai, kanker endometrium dapat ditangani dengan baik

dengan pendekatan laparaskopi.

Tabel.7 Secondary Outcome15

3.2 Perbandingan Histerektomi Radikal Laparoskopi Dengan Histerektomi Radikal

Perabdominal Pada Karsinoma Serviks Stadium Awal.

11,12,14,16,17,22

Radikal histerektomi laparoskopi dengan diseksi pembuluh getah bening pelvis dan

aorta pertama kali dilaporkan pada tahun 1992. Sejak hal ini dilaporkan beberapa grup lain

mempublikasikan hasil penelitian mereka yang menggambarkan kelayakan dan keamana

Page 34: OLEH M. OKY PRABUDI

32

prosedur ini. Studi yang dilakukan oleh Malzoni M, et al dengan membandingkan keamanan,

morbiditas, dan tingkt rekurensi pada 127 pasien kanker serviks satdium awal yang dilakukan

radikal histerektomi laparoskopi dengan limfadenektomi dan abdominal radikal histerektomi

dengan limfadenektomi. Dari studi ini diperoleh bahwa radikal histerektomi laparoskopi

merupakan prosedur terapeutik yang aman dan efektif untuk penanganan karsinoma serviks

stadium awal dengan morbiditas yang jauh lebih rendah karena sedikitnya kehilangan darah,

masa rawatan postoperatif yang lebih singkat, walaupun diperlukan multicenter randomized

clinical trials untuk follow up jangka panjang dalam mengevaluasi outcome prosedur ini.

14

Tabel.8 Patient characteristic in early cervical cancer.

14

Tabel 9 Peri and postoperative data for 70 patients treated by laparoscopic vaginal approach

and 70 patients trated by radical abdominal approach for cervical cancer.

12

Page 35: OLEH M. OKY PRABUDI

33

Tabel.10 Postoperative complication in 70 patients treated by a laparoscopically assisted

vaginal approach and 70 patients treated by radical abdominal approach for cervical cancer.

12

Tabel.11. Laparoscopic lymphadenectomy data in early stage cervical cancer.

16

3.3 Perbandingan Laparaskopi Histerektomi Dengan da Vinci Robotic Histerektomi.

Selain memiliki pilihan multipel surgical untuk terapi tumor jinak uterus, histerektomi

berlanjut menjadi pilihan kedua tindakan operatif pada AS. Pendekatan laparoskopi untuk

tindakan histerektomi, yang memberikan beberapa manfaat dibandingkan histerektomi

perabdominal kebanyakan diadopsi dari AS yang mana 12% laparoskopi histerektomi

dilakukan pada tahun 2003. Faktor yang mempengaruhi lambatnya adopsi termasuk pelatihan

prosedur, kurangnya residen pelatihan.

5

Perkembangan teknologi robotic menyebabkan perkembangan system robotic da

Vinci di AS. Sistem ini menawarkan gambaran resolusi tinggi tiga dimensi (3D)

Page 36: OLEH M. OKY PRABUDI

34

menunjukkan gambaran wrist-like motion robotic arm yang menyediakan gerakan lebih

halus. Saat ini data mengenai histerektomi robotic semakin banyak dengan indikasi tumor

jinak atau ganas. Bagaimanapun, keterbatasan pada robotic seperti meningkatnya waktu

operasi dan biaya. Kebanyakan system da Vinci umumnya menghabiskan biaya hingga $2

juta dan tambahan biaya per kasus diperkirakan sekitar $950-1,400 US dolar, dimana

termasuk tambahan biaya untuk ruangan dan waktu perawatan. Selanjutnya, diperkirakan

biaya $1,000 sampai $1,500 US dolar untuk instrument disposable yang digunakan per kasus.

Saat ini data terbatas pada perbandingan luaran histerektomi dengan total laparoscopic

dengan robotic untuk tumor jinak dan ganas.

Tabel 12. Differences between the total laparoscopic hysterectomy and robotic hysterectomy

groups for malignant indication (endometrial carcinoma).

3.4 Komplikasi Laparoskopi.

Dengan meningkatnya penggunaan laparoskopi dalam operasi ginekologi, ada

beberapa peningkatan komplikasi yag dilaporkan. Ada beberapa komplikasi berhubungan

dengan fase-fase dalam operasi laparoskopi: menilai insidensi, mekanisme, tampilan: dan

rekomendasi metode untuk mencegah komplikasi dalam tindakan operasi laparoskopi.

1,2,8,9,15,18,26

Page 37: OLEH M. OKY PRABUDI

35

Tabel 13. Number and types complication pretreatment group.

15

Page 38: OLEH M. OKY PRABUDI

36

Cedera Vaskular

Insidensi

Cedera vaskular merupakan komplikasi laparoskopi yang serius dengan tingkat mortalitas 9-

17%. Insidensi yang dilaporkan bervariasi 0,04%-0,5 % dari keseluruhan laparoskopi. Studi

terkini yang dilakukan oleh Swiss Association of Laparoscopic and Thoracoscopic Surgery

memeriksa 43,028 prosedur laparoskopi melaporkan perdarahan internal atau hematom pada

dinding abdomen dengan insidensi sebanyak 1,7% intraoperatif dan 1,5% postoperatif dan

0,09% cedera vaskular besar.

Lokasi dan mekanisme

Kebanyakan cedera vaskular selama insersi Veres needle atau trokar. Kedekatan aorta distal

dan pembuluh darah iliaka kommunis ke umbilikus menyebabkan pembuluh darah ini

memiliki resiko yang lebih tinggi mengaami cedera dibandingkan vena kava inferior, arteri

iliaka eksterna dan interna. Perdarahan pada aspirasi jarum Verses atau melalui trokar,

perdarahan tersembunyi di dalam panggul atau abdomen dan hipotensi yang tidak diketahui

sebabnya harus diwaspadai untuk dilakukan eksplorasi dan identifikasi pembuluh darah

sesegera mungkin. Karena adanya pengenalan yang terlambat, cedera vaskular selama

prosedur ini berhubugan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas dibandingkan pada

saat proses operasi.

Perdarahan yang signifikan juga terjadi karena cedera pembuluh darh epigastrika superfisial,

siirkumfleks superfisial, epigastrika inferior atau sirkumfleks profunda karena insersi trokar.

Perdarahan dapat tampak sebagai hematom diffus pada dinding abdomen atau perdarahan

banyak ke rongga peritoneum. Pada saat itu, perdarahan pada lokasi insersi port dapat

ditampon dengan trokar dan dapat diminimalisir selama operasi namun dapat muncul kembali

pada fase post operatif.

Pencegahan

Faktor-faktor resiko yang berkontribusi terjadinya cedera vaskular termasuk keterampilan

dokter bedah, ketajaman instrumen, sudut insersi, posisi pasien, derajat elevasi dinding

abdomen, dan volume pneumoperitoneum. Untuk menghilangkan faktor resiko dan

menghindari cedera vaskular, ada beberapa teknik standard termasuk:

- Elevasi dinding abdomen ketika membuat insisi vertikal 1 cm melalui kulit, muskulus

rektus dan peritoneum setentang umbilikus.

Page 39: OLEH M. OKY PRABUDI

37

- Elevasi dinding abdomen ketika insersi ujung trokar yang tumpul dan lebar melewati

insisi dinding abdomen.

- Insuflasi hanya dilakukan apabila sudah ada konfirmasi penempatan laparoskopi yang

benar.

Insersi trokar kedua selalu dilakukan dibawah pandangan langsung untuk menghindari cedera

vaskular pada dinding abdomen dan pelvis. Pembuluh darah epigastrika superfisial dan iliaka

sirkumfleks superfisial dapat diidentifikasi dengan melakukan transiluminasi ketika

pembuluh pembuluh darah epigastrika inferior dapat ditelusuri dengan visualisasi langsung

pada bagian abdomenn anterior.

Penanganan

Cedera vaskular membutuhkan respon yang ccepat, langsung, dan terkordinasi yaitu:

- Hentikan perdarahan arteri secepatnya dengan menutup pembuluh darah dengan

forcep atraumatik atau tampon diffus pada pemmbuluh vena dengan vaginal pack 2

inchi melewati 10-12 mm port atau melewati insisi laparotomi. Jangan menggunakan

diatermi bipolar kooagulasi secara blind atau memperluas robekan.

- Pastikan bahwa jalur resusitasi terpasang dengan baik seperti jalur intravena,

kecocokan golongan darah untuk transfusi, resusitasi cairan jika diperlukan tindakan

laparotomi dan jika diperlukan konsultasi dengan ahli vaskular.

- Cari sumber perdarahan secara cepat dan hati-hati. Pendekatan laparoskopi dapat

dipertimbangkan jika hemodinamik pasien stabil, lokasi pembuluh darah yang cedera

dapat terlokalisasi dengan jelas, perdarahan dapat terkontrol dengan baik secara

sementara dan dokter bedah berpengalaman menanganinya.

- Mengamankan cedera vaskular degan menggunakan metode hemostatik yang tepat

sesuai dengan asal pembuluh darah yang cedera.

Cedera Usus

Insidensi

Insidensi cedera usus berkisar dari 0,06%-0,5% untuk laparoskopi diagnostik dan 0,3-0,5%

pada laparoskopi operatif. Walaupun jarang terjadi, cedera usus dapat menyebabkan

komplikasi serius termasuk kematian. Pada 31 penelitian yang dilaporkann antara 1973 dan

2001 melakukan 329.935 prosedur laparoskopi, tingkat mortalitas cedera usus sekitar 3,6%.

Page 40: OLEH M. OKY PRABUDI

38

Mekanisme

Lokasi yang paling sering adalah cedera pada usus halus (58%), kolon (32%), dan lambung

(8%). Diperkirakan hingga setengah dari seluruh laparoskopi yang berhubungan dengan

cedera usus selama proses laparoskopi mulai dari penggunaaan jarum Veres dan insersi

trokar. Hal ini mungkin disebabkan karena trauma dari tindakan pembedahan, trauma panas

dari elektrosurgeri, herniasi melalui lokasi port atau adanya kebocoran anastomosis.

Adhesiolisis luas yang dilakukan intraoperatif merupakan faktor resiko untuk terjadinya

cedera usus. Cedera usus dapat diakibatkan oleh penggunaan forceps yang tidak tepat,

retraksi usus, reinnesrsi intrumen atau diseksi secara tajam. Cedera panas selam operasi dapat

disebabkan langsung, capacitive couupling atau insulation failur. Cedera ini bisa tidak

dikenali atau terjadi di luarr lapangan operasi, menyebabkan tampiilan yang lebih lama dan

diagnosis yang terlambat.

Herniasi pada lokasi port laparoskopi merupakan hal yang jarang terjadi, dilaporkan insidensi

0,006-1%. Peningkatan resiko berhubungan dengan ukuran trokar dimana 3,1% resiko

berhubungan dengan diameter trokar 12 mm dibandingkan dengan 0,2% pada diameter 10

mm. herniasi usus melalui port dengan diameter 5 mm juga pernah dilaporkan.

Kebocoran anastomosis jarang terjadi tetapi meruupakan komplikasi yang serius. Kebocoran

ini berhubungan dengan tingkat anastomosis dari anus. Platell et al melaporkan bahwa tingkat

kebocoran anastomosis pada reseksi sangat rendah pada daerah anterior, reseksi rendah,

reseksi tinggi, dan nemikolektomi adalah 8%, 3,2%, 2,3% dan 0,4%.

Pencegahan

Penatalaksanaan cedera usus yang berhubungan tergantung pada tiga faktor:

- Waktu diagnosis

- Status klinis pasien

- Keterampilan dokter bedah

Diperkirakan hanya sekitar 30-50% cedera usus yag dapat dikenali selama operasi. Gejala

dapat muncul 1-30 hari setelah operasi. Jangka waktu mulai dari operasi sampai pengenalan

gejala bervariasi tergantung dari lokasi cedera di usus. Cedera pada usus halus umumnya

muncul 4,5 hari (sekitar 2-14 hari) sedangkan cedera pada kolon muncul 5,4 hari ( sekitar 1-

Page 41: OLEH M. OKY PRABUDI

39

29 hari). Cedera termal muncul lebih lama. Pada umumnya, semakin lama diagnosis, semakin

tinggi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan cedera usus.

Pasien dengan cedera usus pada laparoskopi menunjukkan gejala klinis seperti distensi ringan

pada abdomen, nyeri di sekitar lokasi inserti trokar, demam, diare dengan suara bising usus

yang abnormal atau hipoksia ringan dengan sedikit gejala peritonitis. Distres pernafasan

dapat keliru dengan infeksi paru atau emboli paru. Gejala yang lain dapat berupa nyeri akut

abdomen, muntah, takikardia, hipotensi, rigiditas abdomen dan ileus. Ketika peritonitis

menjadi meluas, kondisi pasien dapat berubah cepat dengan resiko terjadi konsolidasi paru,

abses subdiafragmatika, septikemia, dan kegagalan multi organ.

Penatalaksanaan

Pengenalan dini dan intervensi yang sesuai merupakan kunci untuk meminimalisasi

morbiditas dan mortalitas pada cedera usus dalam laparoskopi. Kontaminasi feses pada ujung

jarum Veres atau trokar, atau gejala ringan seperti hematom usus harus curiga dan

membutuhkan inspeksi yang lebih hati-hati pada permukaan usus untuk memastikan

kemungkinan adanya cedera. Jika ragu, dapat dilakukan menenggelamkan usus ke dalam

cairan irigasi untuk melihata ada atau tidaknya gelembung atau pengisian cairan ke dalam

bagian usus yang defek.

Bagian usus yang cedera harus ditangani dengan cepat. Hal ini dapat dilakukan dengan

menggunakan laparoskopi. Cedera pada gaster, usus halus, dan kolon dapat diperbaiki dengan

menggunakan vicryl 4/0.

Pasien dengan adanya dugaan cedera usus harus dinilai dengan baik, rehidrasi, antibiotik

parenteral dan insersi NGT. Radiografi abdomen, ultrasonografi, CT Scan dengan kontras

pada abdomen dan pelvis memperlihatkan adanya gambaran udara di bawah diafragma,

distesi usus dengan gambaran multiple fluid level atau gambaran cairan/ udara yang

terlokalisir karena adanya abses.

Cedera Saluran Kemih

Insidensi

Insidensi cedera saluran kemih berkisar antara 0,05%-8,3% dari keseluruhan laparoskopi.

Trauma kandung kemih lebih sering (0,02-8,3%) dibaningkan dengan cedera ureter (0,5-3%).

Walaupun semua cedera pada kandung kemih mudah untuk dikenali, cedera pada ureter

biasanya luput dari pemgamatan pada saat durante operasi. Keterlambatan diagnosis pada

Page 42: OLEH M. OKY PRABUDI

40

saluran kemih berhubungan dengan morbiditas yang serius seperti terbentuknya fistula,

peritonitis, dan gangguan fungsi ginjal.

Mekanisme

Cedera kandung kemih selama tindakan laparoskopi mungkin disebabkan karena insersi

trokar suprapubik pada kandung kemih yang penuh, diseksi kkandung kemih selama

histerektomi laparoskopi, eksisi endometriosis, atau pengangkatan massa pelvis seperti

miomma uteri atau tuomr ovarium. Kondisi yang menyebabkan perubahan anatomi normal

pelvis, seperti perlengketan dari riwayat seksio sesaria atau radiasi, akan meningkatkan resiko

cedera. Mekanisme cedera kandung kemih selama laparoskopi termasuk elektrokauter,

diseksi tumpul, atau trauma dari laser, gunting, dan trokar.

Lokasi tersering cedera pad aureter adalah pada ligament infundobuloopelvikum dimana

ureter menyebrangi daerah pinggir pelvis, fossa ovarium, lateral serviks dimana ureter

melewati di bawah arteri uterina, ligamentum uterosakral, dan forniks anterior vagina.

Mekanisme cedera termasuk transeksi, ligasi, atau nekrosis atau iskemik.

Pencegahan

Pencegahan cedera saluran kemih membutuhkan pengetahuan anatomi pelvis yang baik,

keterampilan diseksi yang baik, dan prinsip hemostatik yang baik.

Resiko cedera kandung kemih akan menurun dengan adanya drainase kandung kemih yang

rutin durante operasi, insersi trokar suprapubik di atas kandung kemih, penggunanaan diseksi

tajam dibandingkan tumpul dari serviks selama histerektomi dan kehati-hatian terhadap

kemungkinan kelainan kongenital.

Untuk menghiindari cedera ureter dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi jalur

kandung kemih, keterampilan yang baik dalam membebaskan ureter dari ligamentum

infundibulo-pelvikum atau selama eksisi endometriosis dari dinding lateral pelvis dan

sebelum ligasi arteri uterina selama histerektomi laparoskopi.

Penatalaksanaan

Cedera Kandung Kemih

Pengenalan awal dan perbaikan kerusakan kandung kemih merupakan hal yang penting untuk

mencegah fistla. Ostrzenki et al, pada studi 1372 artikel laparoskopi yang dipublikasikan

antara 1970-1996 melaporkan bahwa diagnosis cedera kandung kemih intraoperatif didapati

Page 43: OLEH M. OKY PRABUDI

41

sebanyak 53,24% dari keseluruhan cedera kandung kemih. Gilmour menemukan bahwa 97%

cedera kandung kemih yang didiagnosa posoperatif akan menjadi fistula vesico-vagina.

Trauma parsial pada kandung kemih tampak sebagai penonjolan mukosa pada lapisan

muskularis. Trauma komplit akan menyebabkan hilangnya urin melewati dinding kandung

kemih. Jika ragu, dapat dilakukan pengisian kandung kemh dengan cairan metilen biru

dimana cairan metilen akan merembes dari bagian yang mengalami cedera ke rongga

abdomen. Sitoskopi dapat membantu mengevaluasi perluasan cederan pada daerah orifisium

uretra.

Cedera ureter

Bukti terkini dari beberapa literatur menunjukkan bahwa lebih dari 70% cedera ureter muncul

ada postoperatif. Beberapa penilaian yang dapat memfasilitasi diagnosis intraoperatif dan

menurunkan terlambatnya diagnosis pada cedera ureter. Diagnosis cedera ureterintra operatif

harus segera dilakukan perbaikan dengan bantuan urologis. Dulunya cedera seperti ini harus

dilakukan laparotomi. Bagaimanapun, tingkat keberhasilan perbaikan cedera ureter melalui

tidakan laparoskopi sudah dilaporkan dimana luarannya sama dengan laproskopi yaitu 91,3%

dan 90,4%. Umumnya perbaikan ureter dengan laparoskopi sangat mungkin dilakukan jika

cedera tidak terlalu dekat dengan kandung kemih dan lesi kurang dari 1,5 cm.

Ketika ureter terligasi, ikatan tersebut harus segera dilepaskan dan keutuhan ureter harus

dinilai dengan cara melihat peristaltik dan perubahan warna. Jika ada kekhawatiran mengenai

keutuhan jaringan, stent ureter harus dimasukkan dan patensinya harus diperiksa dengan

intravenous pyelogram 10 hari kemudian.

Ketika ureter tertranseksi, teknik perbaikannya tergantung dari lokasi dan luasnya cedera.

Transeksi parsial dapat diatasi dengan insersi stent duoble-J-shaped dengan atau tanpa jahitan

setelah pemasangan stent. Stent harus tetap terpasang selama 6 minggu untuk mendukung

penyembuhan. Jika terjadi transeksi komplit dengan cedera kurang dari 5 cm dari

vesicoureteric junction, dapat dilakukan re-implantasi ureter langsung ke kandung kemih,

dengan pembuatan saluran ureter ke otot kanddung kemih untuk mencegah refluks ureter dan

infeksi saluran kemih yang berulang. Jika cedera lebih dari 5 cm dari kandung kemih, dapat

dilakukan re-anastomosis dengan uretero-ureterostomi.

Pasien dengan cedera ureter dapat menunjukkan gejala klinis postoperatif seperti nyeri

pinggang karena adanya hidronefrosis atau obstruksi ureter, hematuria, oliguria,

inkontinensia urin karenna adanya fistula ureterovagina, hipertensi karena nefropati

Page 44: OLEH M. OKY PRABUDI

42

obstruksi, ileus, peritonitis atau sepsis.. meningkatnya kreatinin serum disebabkan karena

reabsorsi urin transperitonial. Aspirasi cairan dari intra-peritoneal dan retroperitoneal dapat

diperiksa untuk melihat osmolalitas urin. Ultrasonografi, IVP dan CT dengan kontras

menunjukkan adanya hidronefrosis dan hidroureter, cairan bebas pada retroperitonial atau

intraperitonial.

Pada kasus dengan dugaan adanya fistula, cairan metilen biru, dapat diisi ke kandung kemih.

Fistula vesikovagina dapat didiagnosa berdasarkan adanya pewarnaan biru pada tampon di

vagina.

Jika dijumpai adanya cedera ureter, harus segera dilakukan operasi perbaikan. Jika operasi

dikontraindikasikan karena adanya infeksi ataupun nekrosis jaringan, nefrostomi perkutaneus

atau pemasangan retrograde stent dapat dilakukan utnuk menjaga drainase urin dan

mendukung penyembuhan spontan.

Cedera Syaraf

Insidensi

Cedera syaraf merupakan hal yang jarang dalam laparoskopi. Bagaimanapun, resiko

terjadinya komplikasi neurologis umumnya berhubungan dengan kompleksitas dan

invasifnya prosedur yang dilakukan. Studi ari perkumpulan ginekologi onkologi

menunjukkan bahwa insidensi cedera syaraf umumnya terjadi sekitar 1,9% dan yang tertinggi

5,5% selama histerektomi radikal.

Mekanisme

Cedera syaraf karena tindakan laparoskopi terjadi karena peregangan yang berlebihan

disebabkan posisi pasien yang tidak sesuai, retraksi jaringan yang berlebihan, kompresi

syaraf atau cedera langsung karena diseksi. Cedera syaraf karena posisi dapat terjadi pada

ekstremitas atas dan bawah. Cedera pleksus brakhialis merupakan yang paling sering terjadi

dan selalu diakibatkan karena posisi lengan dan bahu pasien yang mengalami peregangan

yang berlebihan dalam waktu yang lama. Cedera syaraf ulna dan peroneal juga berhubungan

dengan posisi.

Kerusakan syaraf selama operasi pelvis selalu melibatkan cedera salah satu percabangan

pleksus lumbosakral, termasuk iliohipogastrika, ilioinguinal, genitofemoral, femoral

kutaneuus lateral, femoral, obturator, nervus pudendal dan skiatika.

Page 45: OLEH M. OKY PRABUDI

43

Pencegahan

Ketika penanganan cedera syaraf termasuk sulit dan luarannya yang tidak dapat diprediksi,

pencegahan merupakan tindakan yang penting. Dalam tindakan laparoskopi pasien

diposisikan dengan posisi litotomi rendah dengan fleksi sendi panggul 170ᵒ terhadap tubuh

dan fleksi 90ᵒ - 120ᵒ terhadap lutut. Abduksi sendi paha tidak lebih dari 90ᵒ

Selama proses laparoskopi baik dikter bedah maupun asisten harus hati-hati terhadap

peregangan dan traksi jaringan termasuk syaraf untuk mencegah kerusakan dari peregangan

atau kompresi yang berlama-lama.

antara tungkai,

dan harus ada rotasi eksterna minimal dari panggul. Lengan pasien harus berdekatan dengan

tubuh.

Penatalaksanaan

Jika adanya dugaan terjadi kerusakan syaraf harus segera dipperiksa defisit neurologis yang

ada termasuk sensorik atau motorik terutama berhubungan dengan innervasi lumbosakral.

Manajemen awal adalah kunci keberhasilan pada kebanyakan kasus cedera syaraf dalam

prosedur laparoskopi. Perbaikan klinis bisa saja terjadi dalam waktu yang lama. Keberhasilan

penyembuhan tergantung dari jenis syaraf, perluasan cedera, dan mekanisme cedera.

Jika cedera sudah diidentifikasi selama laparoskopi, harus dilakukan perbaiakan cedera

dengan menggunakan mikrosurgeri, terutama pada kasus-kasus transeksi. Prosedur ini dapat

dilakukan dengan epineural atau fasikular, dan lebih baik lagi jika dikerjakan dengan ahli

bedah syaraf. Kedua ujung bedah syaraf dapat diperbaiki dengan menggunakan nilon 8/0 atau

10/0. Jika cedera syaraf diidentifikasi setelah prosedur atau mekanisme cedera menyebabkan

tekanan yang berlebihan pada syaraf, dapat dilakukan tindakan non-invasif.

Nervus femoralis, obturator, dan skiatik memiliki komponen motor neuron dan membutuhkan

fisioterapi sesegera mungkin untuk mencegah atrofi otot. Cedera ujung syaraf sensorik diatasi

dengan farmakologi yaitu dengan analgetik oral, suplemen vitamin B atau dosis rendah

antidepressan trisiklik. Pengobatan ati-epilepsi, gabapentin, dan pregabalin juga dapat

digunakan pada dosis 900mg - 3600mg/hari. Untuk penyembuhan jangka panjang,

kortikosteroid dan blok syaraf juga dapat digunakan. Jika hal ini tidak berhasil pembedahan

neurolisis, reseksi neuroma atau reseksi syaraf bida saja diperlukan.

Page 46: OLEH M. OKY PRABUDI

44

BAB IV

KESIMPULAN

Histerektomi adalah prosedur ginekologi yang paling umum, dengan sekitar 500.000

– 600. 000 operasi yang dilakukan setiap tahun di Amerika Serikat. Sejak histerektomi

laparoskopi pertama dilakukan oleh Reich et al. pada tahun 1989, histerektomi laparoskopi

telah dianggap metode bedah yang semakin penting dalam mengobati penyakit ginekologi.

Histerektomi laparoskopi diindikasikan dalam kondisi tertentu seperti aksesibilitas vagina

yang kurang baik, koeksistensi adneksa patologi, endometriosis dan adhesi panggul.

Ada beberapa jenis tindakan laparoskopi seperti laparoskopi diagnostik dengan

histerektomi transvaginal, laparoscopic-assisted vaginal hysterectomy (LAVH), laparoscopic

hysterectomy (LH), total laparoscopic hysterectomy, laparoscopic supacervical hysterectomy

(LSH), vaginal hysterectomy, laparoscopic hysterectomy with lymaphadenectomy,

laparoscopic hysterectomy with lymphadenectomy and omentectomy dan laparoscopic

radical hysterectomy with lymphadenectomy.

Ada beberapa kontraindikasi relatif untuk dilakukannya operasi laparoskopi pada

bidang ginekologi, di mana kebanyakan dokter lebih suka melakukan laparotomi. Pada

kebanyakan kasus di mana keterbatasan akses pervaginam atau tidak adanya mobilitas uterus,

bisa dipertimbangkan untuk dilakukan histerektomi laparoskopi. Faktor penting yang

merupakan pertimbangan tingkat kesulitan untuk laparoskopi adalah jumlah operasi

sebelumnya. Riwayat adanya operasi sebelumnya akan menyebabkan perlengketan dan akan

mempersulit operasi selanjutnya. Beberapa langkah tindakan laparoskopi yang harus,

diperhatikan yaitu penilaian preoperatif, posisi pasien, posisi tim bedah, posisi port, teknik

operasi, dan akhir prosedur.

Saat ini histerektomi laparoskopi merupakan tindakan yang aman dan teknik yang

layak dalam manajemen patologi jinak pada uterus dan menawarkan ketidaknyamanan

postoperatif yang minimal, masa rawat inap yang lebih singkat, penyembuhan cepat, dan

kembalinya aktivitas sehari-hari yang lebih cepat. Rasionalisasi histerektomi total laparoskopi

adalah mengkonversi histerektomi perabdominal menjadi prosedur laparoskopi yang

kemudian akan menurunkan trauma dan morbiditas. Kebanyakan studi pada ukuran uterus

yang besar, biasanya uterus dengan ukuran kehamilan 15-16 minggu atau berat lebih dari 500

Page 47: OLEH M. OKY PRABUDI

45

gram dimana kebanyakn menyimpulkan bahwa uterus yang besar harus ditangani dengan

laparotomi. Penelitian yang dilakukan Sinha R, et all (2009) menguji kelayakan histerektomi

total laparoskopi pada 173 wanita dengan ukuran uterus 500 gram atau lebih dan teknik-

teknik modifikasi yang diadopsi pada prosedur tersebut. Dari penelitian tersebut disimpulkan

bahwa histerektomi total laparoskopi merupakan teknik yang aman dan layak pada kasus-

kasus ginekologi dengan pembesaran uterus untuk menghindari tindakan laparotomi.

Umumnya, ahli bedah menghadapi adhesi pelvis yang tak terduga selama histerektomi total

laparoskopi yang mungkin melarang pembedahan yang aman melalui laparoskopi. Sekitar

10% dari pasien tanpa operasi pelvis yang sebelumnya memiliki perlengketan omentum atau

usus, sedangkan 31% pasien dengan operasi panggul sebelumnya bebas dari pelengketan.

Jika pasien memiliki riwayat laparotomi sebelumnya dan memungkinkan terjadinya

perlengketan, harus diinformasikan kepada pasien resiko kemungkinan laparotomi kembali.

Pendekatan laparoskopi memiliki keuntungan dibandingkan laparatomi, yaitu kemungkinan

pemeriksaan abdomen secara menyeluruh untuk menilai rongga abdomen untuk penyebaran

extra-uterine dan cairan peritoneal untuk sitologi. Selain itu, karena pasien tidak memiliki

luka abdomen yang besar, hasil pendekatan laparoskopi di rumah sakit memiliki masa rawat

inap yang lebih singkat, morbiditas luka abdomen yang lebih kecil, pendekatan laparoskopi

menyebabkan pasin lebih cepat kembali dalam aktivitas sehari-hari.

Ada beberapa komplikasi berhubungan dengan fase-fase dalam operasi laparoskopi yaitu

cedera vaskular, usus, saluran kemih dan syaraf. Komplikasi ini dapat dicegah dengan

pengamatan anatomi laparoskopi yang baik dan juga berhubungan dengn posisi pasien.

Page 48: OLEH M. OKY PRABUDI

46

DAFTAR PUSTAKA

1. Lam A, Dealing with Complications in Laparoscopy. University of Sydney,Australia.2009

2. Goris-Gbenou M, Arfi N, Mitach A, Rashed S, Lopez J. A Case of Delayed Diagnosis Billateral Ureteral and Bladder Injury after Laparoscopic Hysterectomy: Unusual complication. 2012

3. Garrett J, Naschimento C, Nicklin L, et all; Total laparoscopic Histerectomy : The brishbane Learning Curve. Queenland centre for Gynecological cancer, Royal womens and Brisbane Hospital, and school of Medicine, Central Clinical Division, University of Queensland, Brisbane, Queensland, Australia.2007

4. Laparoscopic Techniques for Hysterectomy. Available at: www.nice.org.uk.2007

5. Soto E, Lo Y, Friedman K et al. Total Laparoscopic Hysterectomy versus da Vinci Robotic Hysterectomy: is Using The Robot Beneficial. Department of Obstetric Gynecology and Reproductive Science, Mount Sinai School of Medicine, New York, USA, Department of Surgery, Hospital San Jose-Tec de Monterrey, Mexico, Department of Obstetrics and Gynecology, St.Luke’s and Roosevelt Hospitals, New York, USA.2011

7. Mishra R. Laparoscopic Hysterectomy.2011

8. Chang W, Hsu W, Sheu B, Huang S, Torng P, Chang D. Minimizing Bladder Injury in Laparoscopically Assisted Vaginal Hysterectomy Among Women With Previous Cesarian Sections. Department of Obstetrics and Gynecology, National Taiwan University Hospital, 7 Chung-shan South Road, Taipei, Taiwan. 2008

9. Park S, Cho H, Kim H. Factors Determining Conversion to Laparotomy in Patients Undergoing Total Laparoscopic Hysterectomy. Department of Obstetric and Gynecologicy, Kang-Nam Sacred Heard Hospital, Seoul, Korea.2010

10. Santi A, Kuhn A, Gyr T et all. Laparoscopy or Laparotomy? A Comparison of 240 Patients With Early-stage Endometrial Cancer. Received: 20 August 2008/ Accepted 20 May 2009/ Published online: 16 June 2009 Springer Science Business Media.2010

11. Agostini , Carpocino, Franchi.; Port site metastasis after laparoscopy for uterine cervical carcinoma. Department of Obstetrics and Gynecology, La Conception Hospital, 147 Bd Baille, Marseille 13005. 2003

12. Malur S, Passover M, Schneider A; Laparoscopically assisted radical vaginal vs radical abdominal hysterectomy type II in patients with cervical cancer. Department of Gynecology, Friedrich-Schiller University, Bachstrabe 18, 07740 jena , Germany.2001

Page 49: OLEH M. OKY PRABUDI

47

13. Bijen C, Vermeulen K, Mourits M, Bock G. Costs and Effects of Abdominal versus Laparoscopic Hysterectomy: Systematic Review of Controlled Trials. Department of Gynecologic Oncology, University Medical Center Groningen, University of Groningen, Groningen, The Netherlands.2009

14. Malzoni M, Tinelli R, Cosentino F, Fusco A, Malzoni C. Total Laparoscopic Radical Hysterectomy Versus Abdominal Radical Hysterectomy with Lymphadenectomy in Patients with Early Cervical Cancer: Our Experience. Advanced Gynecological Endoscopy Centre, Malzoni Medical Center, Avellino, Italy; Department of Public Health, University Medical School, Bari, Italy.2009

15. Mouritz M, Bijen C, Henritte. Safety of Laparoscopy versus Laparotomy in Early-stage Endometrial Cancer: A Randomised Trial. Department of Gynaecologic Oncology, University Medical Center Groningen, University of Groningen, 9700 RB Groningen, Netherlands.2010

16. Abaid N, Boggess F. Current applications of laparoscopy in gynecologic oncology : Literature review. Department of Obstetrics and Gynecology, University of North Carolina at Chapel Hill, Chapel Hill, NC 27599-7570, USA.2005

17. Darai E, Ballester M, Chereau E, Coutant C, Rouzier R, Wafo E. Laparoscopic versus laparotomic radical en bloc hysterectomy and colorectal for endometriosis. Received: 28 August 2009/ Accepted: 4 March 2010/ Published online: 8 June 2010 Springer Science+Business Media, LLC 2010.

18. Milad M, Morrison K, Sokol A, Miller D, Kirkpatrick L. A Comparison of Laparoscopic Supracervical Hysterectomy vs Laparoscopically Assisted Vaginal Hysterectomy. Department of Obstetrics and Gynecology, Northwestern University Medical School and Northwestern Memorial Hospital, 333 East Superior Street, Chicago, IL 606, USA. 2001

19. Sinha R, Sundaram M, Lakhotia S, Mahajan C, Manaktala G, Shah P. Total Laparoscopic Hysterectomy for Large Uterus. Beams Hospital, Mumbai- 400 052, India.2009

20. Schiitz K, Possover M, Merker A, Michels W, Schneider A. Prospective Randomized Comparisonof Laparoscopic-assisted Vaginal Hysterectomy (LAVH) With Abdominal Hysterectomy (AH) For The Treatment of The Uterus Weighing > 200g. Department of Gynecology, Friedrich Schiller University, Bbachstrasse 18, 07740 Jena, Germany.2001

21. Long C, Fang J, Chen W, Su J, Hsu S. Comparison of Total Laparoscopic Hysterectomy and Laparoscopically Assisted Vaginal Hys terectomy. Department of Obstetrics and Gynecology, Kaohsiung Medical University Hospital, Kaohsiung, Taiwan.2002

Page 50: OLEH M. OKY PRABUDI

48

22. Chen Yong, Xu Huichen, Li Yuyan et all. The outcome of Laparoscopic radical histerectomy and lymphadenectomy for cervical cancer: A prospective analysis of 295 patients.Department of Obstetrics and Gynecology, Southwest Hospital, third Military medical University, Chongqing 400038, P.R. china.2008

23. Tsai E, Chen H, Long C et all. Laparoscopically Assisted Vaginal Hysterectomy versus Total Abdominal Hysterectomy: A Study of 100 Cases on Light-Endorsed Transvaginal Section. Department of Obstetrics and Gynecology, Kaohsiung Medical University Hospital, Kaohsiung, Taiwan.2003

24. Wright J, Hershman D, Burke W. Influence of Surgical Volume on Ooutcome for Laparoscopic Hysterectomy for Endometrial cancer. Department of Obstetrics and Gynecology, Columbia University College of Physicians and Surgeons, New York.2011

25. Matteson A, Macones A. Laparoscopic versus vaginal hysterectomy for benign pathology: Candiani et al. Department of Obstetrics and Gynecology, Women and Infants Hospital of Rhode Island, Alpert Medical School of Brown University.2009

26. Gruber D, Warner B, Lombardini D, Zahn M. Laparoscopic Hysterectomy Using Various Energy Source In Swine : A Histopatologic Assessment. American Jaournalof Obstetric and Gynecology

27. Hanlan K, Paris S, John G. Laparoscopic Hysterctomy: Impact of Uterine Size. The Gynecologic Oncology Associates, Portola Valley, California.2010

28. Gruber G, Warner W, Lombardini E, Zahn C, Buller J. Laparoscopic Hysterectomy Using Various Energy Sources in Swine: A Histopathologic Assessment. Department of Obstetrics and Gynecology , Walter Reed Army Medical Center, Washington DC.

Page 51: OLEH M. OKY PRABUDI

49

PERBANDINGAN ANTARA HISTEREKTOMI LAPAROSKOPI DENGAN HEISTEREKTOMI

PERABDOMINAL

OLEH:

M. OKY PRABUDI

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

2015