novita elmy mufida (tugas autism)
DESCRIPTION
lTRANSCRIPT
BLOK 17: NEUROPSIKIATRI
Autism dan Terapi Nutrisi
Oleh:
Novita Elmy Mufida
H1A 012 041
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Autisme adalah kelainan perkembangan terberat dan paling sulit untuk ditangani.
Autisme bisa terwujud dalam karakteristik atau gejala-gejala dengan berbagai kombinasi dari
yang ringan sampai parah, sehingga sering mengakibatkan disabilitas seumur hidup bagi
penderita (Hidayati, 2013). Kata autisme, mendeskripsikan perbedaan dan kelainan yang
bersifat kualitatif dalam interaksi dan komunikasi sosial. Autism spectrum disorder (ASD)
biasanya didiagnosis saat masa anak-anak, remaja dan dewasa apabila perilaku mereka
termasuk dalam kriteria ICD-10, DSM IV (NICE, 2011)
Autisme merupakan suatu gangguan proses perkembangan yang terjadi dalam tiga
tahun pertama kehidupan. Autisme meliputi gangguan pada bidang komunikasi, bahasa,
kognitif, sosial dan fungsi adaptif. Dalam perkembangan anak yang normal, interaksi dengan
ibunya dimulai pada usia 3-4 bulan, dan anak sudah mampu memperhatikan orang yang
mengajaknya bermain dan berbicara pada umur 6-8 bulan. Namun pada kasus autism,
kemampuan ini tidak muncul atau sangat kurang (Hidayati, 2013).
Terdapat beberapa istilah dari autisme berdasarkan beberapa jurnal, yaitu autisme
spectrum disorder (ASD), autistic spectrum condition, autistic spectrum difference dan
neuro-diversity. Namun, istilah yang saat ini dipakai adalah autism (NICE, 2011). Maka dari
itu, pada laporan ini akan dijelaskan mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,
gejala klinis, penegakan diagnosis, tata laksana, terapi nutrisi, prognosis, dan komplikasi dari
autism.
BAB II
ISI
DEFINISI
Kata autisme, mendeskripsikan perbedaan dan kelainan yang bersifat kualitatif dalam
interaksi dan komunikasi sosial. Autism spectrum disorder (ASD) biasanya didiagnosis saat
masa anak-anak, remaja dan dewasa apabila perilaku mereka termasuk dalam kriteria ICD-
10, DSM IV (NICE, 2011). Autism adalah gangguan perkembangan neuro yang kompleks
dan mempengaruhi social, komunikasi, dan perkembangan perilaku (Ganaie, 2014).
EPIDEMIOLOGI
Autisme sangat terkait dengan kondisi ko-eksisten. Penelitian terbaru menunjukkan
bahwa lebih dari 70% dari pasien dengan autisme ditemukan memiliki lebih dari 1 gangguan
psikiatri. Sedangkan lebih dari 50% pasien autisme ditemukan memiliki IQ dibawah 70
(NICE, 2011).Gangguan autisme berawal di masa kanak-kanak awal dan dapat terlihat pada
bulan-bulan awal usia anak. Gangguan ini jarang terjadi dalam populasi umum, pada 2-5 bayi
dalam 10.000 atau 0,05% dari jumlah kelahiran (Davison, 2010).
Penelitian terbaru, menyebutkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi dari autism,
yaitu 1% dari populasi anak-anak. Peningkatan pevalensi autism beelum diketahui
penyebabnya, namun terkait dengan perubahan criteria diagnosis, metode diagnosis dan
substitusi diagnosis (NICE, 2011).
Regresi dan/atau stasis dari kemampuan bahasa dan perilaku sosial dilaporkan berada
diantara 1/5-1/3 dari seluruh anak-anak yang umumnya t erjadi pada tahun kedua kehidupan.
Regresi kemampuan bahasa dan perilaku sosial setelah usia 3 tahun sangat jarang terjadi,
sekitar 1,7 per 100.000 anak (NICE, 2011).
ETIOLOGI
Autism adalah suatu gangguan akibat kelainan pada perkembangan saraf dan faktor
biologis yang mekanismenya masih belum diketahui (NICE, 2011). Faktor genetik dan
lingkungan juga diduga merupakan etiologi dari autisme. Meskipun kontribusi dari
lingkungan sangat sedikit, berdasarkan penilaian pada kasus kembar monozigot dan
terbatasnya pemahaman tentang interaksi genetic-lingkungan, namun beberapa penelitian
mendukung adanya keterlibatan dari faktor lingkungan. Penelitian terbaru menunjukkan
bahwa faktor lingkungan berpengaruh pada 55% dari variasi autisme (Lyall, 2014).
Adanya penyebab medis yang idiopati dilaporkan ditemukan pada kurang dari 10%
anak dengan autism. Beberapa faktor lain yang dilaporkan terkait dengan autism adalah
gangguan metabolic, gangguan neurologi, dan kelainan kromoson kompleks (NICE, 2011).
Adapun faktor lingkungan yang berpengaruh adalah infeksi virus yang membutuhkan
pengobatan, agen fisik dan kimia yang mempengaruhi sosial dan budaya, serta faktor gaya
hidup maternal (Lyall, 2014).
PATOFISIOLOGI
Anomali neuron
Pada pasien dengan autisme, hasil dari neuroanatomi dan neuroimaging menunjukkan
kelainan konfigurasi seluler di beberapa daerah otak, termasuk lobus frontal, temporal dan
otak kecil. Pembesaran dari amigdala dan hippokampus yang umum di masa kanak-kanak.
Hal yang lebih nyata yaitu neuron bagian dari korteks prefrontal dari hasil spesimen otopsi
dari beberapa anak dengan autisme, dibandingkan dengan mereka yang tidak autisme (Brasic,
2014).
Hasil dari Magnetic Resonance Imaging (MRI) menunjukkan bukti perbedaan
neuroanatomi dan konektivitas pada orang dengan autisme dibandingkan dengan kontrol
normal. Secara khusus, ditemukan kurangnya konektivitas atipikal di daerah otak frontal,
serta penipisan corpus callosum pada anak-anak dan orang dewasa dengan autisme dan
kondisi terkait. Hal yang penting, beberapa perbedaan regional dalam neuroanatomi
berkorelasi secara signifikan dengan tingkat keparahan gejala autis. Sebagai contoh, defisit
sosial dan bahasa pada orang dengan autisme cenderung berhubungan dengan disfungsi lobus
frontal dan temporal (Brasic, 2014).
Hasil sebuah studi dari jaringan otak postmortem dari 11 anak autis dan 11 kontrol
tidak terpengaruh, peneliti menemukan gangguan fokus arsitektur laminar kortikal dalam
korteks dari 10 anak-anak dengan autisme dan 1 kontrol, menunjukkan bahwa penyimpangan
otak autisme mungkin berasal dari prenatal. Neuron yang abnormal ditemukan di lobus
frontal dan temporal, daerah yang terlibat dalam fungsi sosial, emosional, komunikasi, dan
bahasa. Karena perubahan bentuk tersebut, para peneliti percaya bahwa pengobatan dini
dapat memperbaiki gejala ASD (Brasic, 2014).
Pada MRI, otak anak-anak dengan gangguan autisme menunjukkan mielinisasi yang
lebih besar dalam korteks medial frontal bilateral dan kurang mielinisasi di persimpangan
temporoparietal kiri. Demikian pula, perbedaan khusus dalam area konsentrasi substansia
nigra, yang terdiri dari badan sel saraf, dendrit, akson unmyelinasi dan sel glia, juga
ditemukan dalam otak penderita autisme (Brasic, 2014).
Spesimen postmortem dari otak manusia dengan autisme menunjukkan penurunan
reseptor gamma-aminobutyric acid-B (GABA B) di korteks cingulate, wilayah untuk evaluasi
hubungan sosial, emosi, dan kognisi. Girus fusiform, sebuah wilayah penting untuk
mengevaluasi wajah dan ekspresi wajah. Temuan ini memberikan dasar untuk penyelidikan
lebih lanjut autisme dan gangguan perkembangan pervasif lainnya (Brasic, 2014).
Metabolik Abnormal
Hasil penelitian yang dilakukan pada hewan, disfungsi serotonin, neuropeptida
oksitosin, vasopressin telah dikaitkan dengan kelainan pada perilaku afiliatif. Disfungsi
neurofisiologis yang melibatkan satu atau lebih dari zat ini juga dapat terjadi pada manusia
dengan autisme. Peningkatan kadar serotonin dalam darah terjadi pada sekitar sepertiga dari
individu dengan gangguan autis dan juga dilaporkan pada orang tua dan saudara kandung
pasien. Anomali fungsional neurotransmiter lain (misalnya asetilkolin dan glutamat) juga
telah diidentifikasi pada beberapa orang dengan gangguan autisme (Brasic, 2014).
Serum biotinidase berkurang pada beberapa orang dengan gangguan autis. Enzim ini
diperlukan untuk penggunaan dan daur ulang dari vitamin B. Kekurangan biotin telah
dikaitkan dengan gangguan perilaku. Studi imunologi telah mengidentifikasi kelainan seperti
penurunan konsentrasi plasma dari protein komplemen C4B. Kelainan tersebut dapat menjadi
sumber peningkatan kerentanan terhadap infeksi terlihat pada beberapa orang dengan autisme
(Brasic, 2014).
Diet masih kontroversial dari autisme. Terutama diet bebas gluten dan kasein.
Informasi anekdotal menunjukkan bahwa diet ini membantu beberapa anak dengan autisme.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan autisme mungkin memiliki
penurunan metabolisme amina fenolik. Oleh karena itu, gejala gangguan autistik mungkin
diperburuk oleh konsumsi produk susu, cokelat, jagung, gula, apel, dan pisang. Namun, tidak
ada penelitian populasi yang besar untuk menegaskan hal ini (Brasic, 2014).
Stres oksidatif mungkin memainkan peran dalam patogenesis dan patofisiologi
autisme. Dibandingkan dengan anak-anak normal, anak autis memiliki penurunan hal berikut
ini:
Kadar plasma sistein, glutathione, dan metionin
Rasio S-adenosyl-L-metionin (SAM) hingga S-adenosyl-L-homosistein (SAH)
Penurunan rasio glutathione teroksidasi.
Beberapa anak dengan autisme menunjukkan hyperlacticacidemia serta gangguan
mitokondria, termasuk kekurangan karnitin. Kelainan ini mungkin mengakibatkan
metabolisme energi saraf terganggu (Brasic, 2014).
GEJALA KLINIS
Tabel 1. Gejala dan tanda dari autism (NICE, 2011).
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Kriteria diagnostik untuk gangguan autistic (Kaplan dkk, 2007):
A. Total enam atau lebih hal dari 1, 2 dan 3 dengan sekurangnya dua dari 1 dan masing-
masing satu dari 2 dan 3.
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial seperti ditujukan oleh sekurangkurangnya
dua dari berikut:
a) Gangguan jelas dalam penggunaan perilaku nonverbal multipel seperti tatapan
mata, ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak-gerik untuk mengatur interaksi
sosial.
b) Gagal untuk mengembangkan hubungan dengan teman sebaya yang sesuai
menurut tingkat perkembangan.
c) Tidak adanya keinginan spontan untuk berbagi kesenangan, minat, atau
pencapaian dengan orang lain (misalnya tidak memamerkan, membawa, atau
menunjukkan benda yang menarik minat).
d) Tidak ada timbal balik sosial atau emosional.
2. Gangguan kualitatif dalam komunikasi seperti yang ditujukkan oleh sekurangnya satu
dari berikut:
a) Keterlambatan dalam atau sama sekali tidak ada, perkembangan bahasa ucapan
(tidak disertai oleh usaha untuk berkompensasi melalui cara komunikasi lain
seperti gerak-gerik atau mimik).
b) Pada individu dengan bicara yang adekuat gangguan jelas dalam kemampuan
untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain.
c) Pemakaian bahasa atau bahasa idiosinkratik secara stereotipik dan berulang.
d) Tidak adanya berbagai permainan khayalan atau permainan pura-pura sosial yang
spontan yang sesuai menurut tingkat perkembangan.
3. Pola perilaku, minat, dan aktivitas yang terbatas, berulang, dan stereotipik, seperti
ditunjukkan oleh sekurangnya satu dari berikut :
a) Preokupasi dengan satu atau lebih pola minat yang stereotipik dan terbatas, yang
abnormal baik dalam intensitas maupun fokusnya.
b) Ketaatan yang tampaknya tidak fleksibel terhadap rutinitas atau ritual yang
spesifik dan nonfungsional.
c) Manerisme motorik stereotipik dan berulang (misalnya menjentikkan, atau
memuntirkan tangan atau jari atau gerakan kompleks seluruh tubuh).
B. Keterlambatan atau fungsi abnormal pada sekurangnya satu bidang berikut dengan onset
sebelum usia 3 tahun :
1. Interaksi sosial.
2. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial.
3. Permainan simbolik atau imaginatif.
C. Gangguan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan Rett atau gangguan disintegratif
masa anak-anak.
TATA LAKSANA
Terapi Nutrisi
Pendekatan dan penanganan terbaik pada kasus kesulitan makan pada penyandang
autis bukanlah hanya dengan pemberian vitamin nafsu makan, tetapi harus dilakukan
pendekatan yang cermat, teliti dan terpadu. Pemberian vitamin nafsu makan hanya akan
mengaburkan penyebab Kesulitan makan tersebut. Sering terjadi orang tua dalam
menghadapi masalah kesulitan makan pada anaknya telah berganti-ganti dokter dan telah
mencoba berbagai vitamin tetapi tidak kunjung membaik (Judarwanto, 2009).
Beberapa langkah yang dilakukan pada penatalaksanaan kesulitan makan pada anak
yang harus dilakukan adalah : (1). Pastikan apakah betul anak mengalami kesulitan makan (2)
Cari penyebab kesulitan makanan pada anak, (3). Identifikasi adakah komplikasi yang terjadi,
(4) Pemberian pengobatan terhadap penyebab, (5). Bila penyebabnya gangguan saluran cerna
(seperti alergi, intoleransi atau coeliac), hindari makanan tertentu yang menjadi penyebab
gangguan (Judarwanto, 2009).
Bila terdapat kesulitan makan yang berkepanjangan lebih dari 2 minggu sebaiknya
harus segera berkonsultasi dengan dokter keluarga atau dokter anak yang biasa merawat.
Dengan penanganan awal namun kesulitan makan tidak membaik hingga lebih 1 bulan
disertai dengan gangguan kenaikkan berat badan dan belum bisa dipastikan penyebabnnya
maka sebaiknya dilakukan penanganan beberapa disiplin ilmu. Penanganan kesulitan makan
yang paling baik adalah dengan mengobati atau menangani penyebab tersebut secara
langsung. Mengingat penyebabnya demikian luas dan kompleks bila perlu hal tersebut harus
ditangani oleh beberapa disiplin ilmu tertentu yang berkaitan dengan kelainannya. Bila dalam
waktu satu bulan kesulitan makan tidak kunjung membaik disertai penurunan atau tidak
meningkatnya berat badan dan belum ditemukan penyebabnya kita harus waspada
(Judarwanto, 2009).
Sebelum menjadi lebih berat dan timbal komplikasi yang lebih berat maka bila perlu
dalam penanganan kesulitan makan tersebut harus melibatkan berbagai disilpin ilmu
kedokteran. Dokter spesialis dengan peminatan tertentu yang sering berkaitan dengan hal ini
adalah : Dokter Spesialis Anak minat gizi anak, tumbuh kembang anak, alergi anak,
neurologi anak atau psikiater anak, psikolog anak, Rehabilitasi Medis, dan beberapa
subspesialis lainnya. Bila masalah gangguan pencernaan cukup menonjol maka sebaiknya
berkonsultasi dengan dokter spesialis anak gastroenterologi, bila masalah alergi yang
dominan maka konsultasi ke dokter alergi anak demikian seterusnya (Judarwanto, 2009).
Adapun 10 langkah untuk mendeteksi dan menangani masalah gizi pada anak autism
(Strickland, 2012):
1. Menghindari makanan olahan yang mengandung pengawet dan gula.
2. Menerapkan diet seimbang dan menambahkan suplemen pada langkah 3 dan 4
3. Suplemen
4. Suplemen
5. Membahas cara menangani masalah perilaku makan.
6. Rekomendasi menangani gangguan gastrointestinal seperti diare dan sembelit pada anak
anak dengan autism.
7. Menambahkan serat, probiotik, omega 3.
8. Identifikasi mengenai alergi makanan dan mencoba pemberian gluten free,
casein-free (GFCF)
9. Pemberian vitamin (vit. A, vit. B 12, dan vit. C) dan mineral (besi, zink, dan tembaga)
(Kawicka, 2013).
10. Pengambilan keputusan diet yang dipilih.
Beberapa perilaku makan dan cara mengetahu perilaku makan pada anak autism (Hara,
2009)
Perilaku Cara untuk mengetahui
1. Hipersensitivitas terhadap tekstur,
bau , dan rasa
1. Menolak untuk makan makanan
bertekstur, bau, dan rasa tertentu.
2. Makan makanan yang rutin diberikan2. Menolak untuk makan makanan yang
terlihat berbeda dari biasanya atau
ditempatkan ditempat yang baru
(misalnya piring berbeda)
KOMPLIKASI
Komplikasi pada autism berkaitan dengan gangguan gastrointestinal (Hsiao, 2014).
Beberapa gangguan autism seringkali melibatkan gangguan neuroanatomis dan
neurofungsional tubuh. Bila gangguan tersebut melibatkan gangguan neurofungsional tubuh
salah satu yang terganggu adalah kemampuan koordinasi motorik oral seperti mengunyah dan
menelan. Gangguan nafsu makan pada penyandang autism sering diakibatkan karena
gangguan saluran cerna seperti alergi makanan, intoleransi makanan, intoleransi gluten dan
sebaginya. Gangguan utama gangguan saluran cerna pada penyandang Autis berupa
gangguan permeabilitias saluran cerna yang sering disebut leaky gut (Judarwanto, 2009).
PROGNOSIS
Autism merupakan kondisi yang bersifat seumur hidup, dukungan dan perawatan
sangat dibutuhkan oleh orang-orang dengan autisme untuk melanjutkan hidup. Seperti orang
lain, orang-orang dengan autisme memiliki perubahan hidup yang signifikan. Kualitas hidup
mereka tidak hanya bergantung pada dasar di masa kecil, tetapi juga pada dukungan
berkelanjutan yang khusus untuk pendidikan, kesehatan, sosial, rekreasi, keluarga, dan
kebutuhan pekerjaan mereka (Autismsociety,2015).
PENUTUP
Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang dialami
sejak lahir ataupun saat masa balita. Karakteristik yang menonjol pada seseorang yang
mengidap kelainan ini adalah kesulitan membina hubungan sosial, berkomunikasi secara
normal maupun memahami emosi serta perasaan orang lain. Selama masa-masa sekolah,
kelainan anak dalam perkembangan bahasa (termasuk kebisuan atau penggunaan kata-kata
aneh atau tidak tepat), penarikan diri dari lingkungan sosial, ketidakmampuan untuk
bergabung dengan permainan anak-anak lain, atau perilaku yang tidak sesuai saat bermain,
sering membuat guru dan orang lain menilai adanya kemungkinan jenis gangguan autis.
Manifestasi autisme juga dapat berubah selama masa kanak-kanak, tergantung pada
gangguan perkembangan lain, kepribadian, dan adanya masalah kesehatan medis atau mental
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Autismsociety. 2015. Autism through the Lifespan. Available :
http://www.autismcincy.org/autism-101/living-with-autism/autism-through-the-
lifespan/ (Akses 14 April 2015).
Davison, GC, John MN, & Ann MK., 2010. Psikologi Abormal Ed . PT Raja Gravindo
Persada: Jakarta. Pp 717-733.
Ganaie, S., dan Bashir, A. 2014. Global Autism: Autism, Autism Etiology, Perceptions,
Epistemology, Prevalence and Action. International Journal of Clinical Therapeutics
and Diagnosis (IJCTD). Available form: http://scidoc.org/articlepdfs/IJCTD/IJCTD-
2332-2926-02-201.pdf (Akses 15 April 2015).
Hara, S. 2009. Food and Behavior. Proactive Nutrition.
Hidayati, Fina., 2013. Pengaruh Pelatihan “Pengasuh Ibu Cerdas” Terhadap Stres Pengasuhan
Pada Ibu Dari Anak Autis. Jurnal Psikologi Islam. vol 10 (1);1-12.
Hsiao, E. 2014. Gastrointestinal Issue in Autism Spectrum Disorder. Harvard Review of
Psychiatri, 22: 104-111. Available form:
http://poo.caltech.edu/static/pdf/Gastrointestinal_Issues_in_Autism_Spectrum.5.pdf
(Akses 15 April 2015).
Judarwanto, W. 2009. Kesulitan Makan pada Penyadang Autis. Availabke form:
http://www.puterakembara.org/rm/autis_makan.shtml (Akses 14 April 2015).
Kaplan, H., Sadock, Grebb, J. 2010. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry. Jakarta: Bina Rupa Aksaara.
Kawicka, A. 2013. How Nutritional Status, Diet, and Dietary Supplements Can Affect
Autism. Rocz Panstw Zakl Hig, 64: 1-12. Available form:
http://yadda.icm.edu.pl/yadda/element/bwmeta1.element.agro-42ab1cb0-47d8-
45aa-a992-4da51be2df1d/c/01_RPZH_nr_1-2013_1.pdf (Akses 10 April 2015).
Lyall, Kristen, Rebecca JS & Irva HP., 2014. Maternal lifestyle and environmental risk
factors for autism spectrum disorders. International Journal of Epidemiology. vol 43
(2);443-464. Available at http://www.ncbi.nlm.gov/10.1093/ije/dyt282 (Akses 12
April 2015).
NICE. 2011. Autism: Recognition, referral, and diagnosis of Children and Young People on
the Autism Spectrum. NICE Clinical Guidline. Available form:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22624178 (Akses 13 April 2015).
Strickland, E. 2012. Eating for Autism: The 10-Step Nutritional Plan to Help Treat your
Child’s Autism, Asperger's or ADHD. UCP Family Support Services. Available
form: http://www.ucpcentralpa.org/Portals/0/Docs/Book%20Review%20-
%20Eating%20for%20Autism.pdf ( Akses 10 April 2015).