notulensi diskusi tematik keberpihakan media terhadap ... diskusi...- lawan oligopoli media...
TRANSCRIPT
1
NOTULENSI
Diskusi Tematik
Keberpihakan Media terhadap Kepentingan Masyarakat Rentan
KONFERENSI REGIONAL MASYARAKAT SIPIL YOGYAKARTA:
MASYARAKAT SIPIL DAN PENGUATAN DEMOKRASI INKLUSIF YOGYAKARTA, 25-26 FEBRUARI 2015
Hari Pertama:
(Pukul 14.30 WIB dimulai perbincangan terkait Pendalaman Materi untuk besok)
Jam 11.00 WIB disepakati untuk acara besok. Pertemuan dengan pihak pemerintah dan juga
penyampaian rekomendasi bersama yang akan disampaikan oleh perwakilan kepada pihak
pemerintah.
Pembukaan Materi Diskusi
Mbak Brita:
Media menjadi salah satu topik dari diskusi ini karena media menjadi penting karena
dengan media teman-teman difabel dapat menyampaikan aspirasinya, selain itu juga dapat
menjadi corong suara untuk teman-teman sekalian. Fungsi media untuk komunitas teman-
teman akar rumput serta dapat merefleksikan bersama bagaimana fungsi media berjalan,
kemudian apakah media menyuarakan kepentingan masayarakat atau tidak, membawa
aspirasi komunitas akar rumput ataukah tidak, apakah media mainstream sudah bisa
menangkap hal itu semua. Di sini sudah ada dua narasumber yang keren yaitu Mas
Hendrawan Setiawan dan juga Mbak Dhyta.
PEMATERI/NARASUMBER 1:
HENDRAWAN SETIAWAN dari AJI (Aliansi Jurnalis Independen Jogjakarta)
Selamat siang kawan-kawan, senang sekali saya diundang di sini. Terimakasih mbak Brita,
terimakasih kawan-kawan. Teman-teman yang mengetahui dan melakoni dapur redaksi
2
yang memandang isu-isu yang berkembang. Di sini saya berharap kita akan lebih banyak
sharing daripada berdialog satu arah. Bagaimana teman-teman melawan kekuatan media
mainstream yang tidak berpihak pada kelompok rentan. Ada hal yang menarik untuk saya,
saya tergelitik dengan TOR (Term Of Reference) yang dikirim oleh teman-teman dari SIGAB.
Kalimat pertama yaitu “tidak ada media yang netral”. Pertanyaannya apakah media harus
netral? Dalam UU Pers tahun 1999 dan juga dalam kode etik jurnalistik tidak ada aturan
yang tertulis bahwa wartawan atau jurnalis Indonesia harus netral. Justru harus berpihak
yaitu berpihak pada publik. Yang dimaksud masyarakat tentang netral adalah independen,
bebas dari kepentingan kelompok tertentu. Kepentingan kelompok tertentu kecuali
kepentingan ekonomi. Oleh karena itu media harus berpihak. Terdapat pernyataan yaitu
Journalism’s firs loyalty is to citizens (Bill Kovach and Tom Rosenstiel). Jurnalisme yang
mengadvokasi kepentingan-kepentingan yang menjadi concern publik. Media justru harus
concern terhadap permasalahan lingkungan dan bukan menjadi corong atau propaganda
kerusakan lingkungan. Kita lihat televisi swasta sekarang. Jujur saya pribadi bekerja di
televisi yang terlibat oligopoli media. Saya bekerja di TV One Jogjakarta. Kondisi media pasca
reformasi ditandai dengan hal-hal berikut, anatara lain: terdapat oligopoli media
mainstream, publik menjadi pasif. Contohnya, munculnya twitter menjadi tamparan keras
bagi media televisi. Komentar-komentar di twitter lebih cepat beredar dan berpengaruh
terhadap media televise. Mungkin mbak Dhyta nanti bisa mengelaborasi lebih lagi.
Contohnya media televisi, misalnya pihak kepolisian yang selalu berdalih dengan banyak hal
padahal sebenarnya kasus yang sedang ditangai masih dalam proses. Pihak yang dibully
kupingnya panas tetapi pihak yang dibully harus mengungkapkannya dengan pernyataan
diplomatis. Kemudian terkait pula dengan adanya komunikasi satu arah. Isu terkait agama
dan diskursus wacana. Contohnya, Kasus ahmadiyah: media ikut member label atau
stereotype. Pembangunan tempat ibadah, pembubaran diskusi/bedah buku/menonton film
korban 65. Kawan-kawan di AJI prihatin, pemain baru selalu melakukan aksi. Pembubaran
film senyap, kemarin di Solo terjadi lagi.
ISU LGBT
Labelling dan stereotyping yang menjadi kontroversial, mereka para pendosa dianggap
bertentangan dengan agama. Efek bagi LGBT sendiri antara lain: menutup diri dan
3
kehilangan hak sipil, politik dan juga sosial. Di televisi challenges nya lebih besar, waktu
terbatas, serta berebut dengan isu lain. Kekecewaan kelompok masyarakat yang concern
dengan isu lingkungan.
ISU DIFABEL
- Kurangnya perspektif media sosial disabilitas, kami mengundang SIGAB yang
kemudian membuka mata kami. Contohnya beberapa media menuliskan teman-
teman difabel dengan kata “cacat”, namun setelah ada diskusi terjadi discourse pada
teman-teman AJI. Harapannya agar bisa mempengaruhi mereka (media-media lain)
untuk menulis lebih baik.
- Kurangnya akses difabel ke media.
- Muncul dikotomi “normal” dan “tidak normal”. Dalam hal ini seharusnya media bisa
berperan. Yang paling mudah ketika sudah paham dengan istilah-istilah tersebut
seharusnya dapat mengubah tulisan yang tidak sensitif dengan kawan-kawan difabel
menjadi sensitif pada mereka.
ISU PEREMPUAN DAN ANAK
- Media melakukan eksploitasi
- Untuk tujuan bisnis untuk menarik perhatian
REKOMENDASI
- Membangun perspektif yang benar tentang isu-isu kelompok rentan terhadap
jurnalis
- Intervensi industri media mainstream untuk voicing the voiceless (menyuarakan apa
yang tidak bersuara)
- Hapus labelling dan stereotyping
Supaya media bisa diintervensi secara komprehensip perlu suatu effort pada golongan
middle agar dapat dipengaruhi, mereka harus dipengaruhi agar mereka tersesat ke jalan
yang benar. Menyuarakan yang tidak punya suara. Saya kerja di TV One mencoba sharing
membuat berita kriminal mudah dipahami tanpa menyebutkan inisial. Tidak perlu
menyalahkan bunga-bungaan dan sebagainya.
STRATEGI
4
- Lawan oligopoli media mainstream dengan kekuatan sipil lewat internet dan media
sosial
- Pahami kerja UU pers (media)
- Advokasi isu kelompok rentan ke media dan publik
- Hentikan konsumsi konten-konten sampah
Advokasi dengan cara mereka. Bahwa media hanya satu arah. Masyarakat ada yang senang
dan tidak senang. Konten tidak layak untuk ditayangkan. Pemirsa tidak semua cerdas.
Konten tidak mendidik. Hentikan menonton satu program acara. Rating anjlok, tidak ada
iklan, kemudian berhenti produksi. Memandang media memiliki banyak peluang dan juga
menarik karena kita punya akses besar terhadap internet, agar terbuka kanal-kanal besar
melalui pemanfaatan media sosial.
Mari kita bersama-sama mengkonsumsi konten yang layak.
Contact Person:
08164260603
@hnedarawn
DHYTA CATURANI
Dhyta caturani aktif mengurusi media yang menyuarakan hak dan aspirasi teman-
teman Papua yang mendapat diskriminasi. Selamat siang, terimakasih banyak sudah hadir.
Saya bukan expert, saya pelaku media karena kita semua pelaku media.
Saya kebetulan penggagas OBR tahun 2013. Berita media mainstream seperti Tempo, terkait
perayaan OBR di Jogja. Mendapat kritikan, judulnya sudah diubah. Reporter yang menulis
dia sangat marah karena itu pekerjaan editor. Tidak adil selalu menyalahkan jurnalis arus
utama. Banyak jurnalis-jurnalis yang sangat baik saya kenal. Namun perihal selalu mentok di
atas. Sekali melempar sesuatu di internet akan terekam selamanya.
MEDIA ALTERNATIF
Media ini tidak diproduksi oleh media besar dan memiliki karakter-karakter tertentu,
berusaha menyuguhkan informasi, gagasan yang tidak diangkat oleh media-media besar.
5
Media yang kritis yang men-challenge baik kekuasaan korporat maupun kekuasaan
pemerintah. Aku sendiri jarang menggunakan kata kelompok rentan tetapi lebih ke
kelompok marginal. LGBT sebenarnya powerfull. Media alternatif tidak berorientasi profit.
Menurut Michael Trubber media laternatif terbagi menjadi dua yaitu media advokasi dan
media grassroot. Adapun media Advokasi diproduksi oleh orang-orang profesional.
Sedangkan media Grassroot diproduksi oleh kelompok tertentu untuk menyuarakan
kepentingan mereka sendiri. Adapun kategori media alternatif yaitu media perlawanan atau
radikal yang isinya sering mengandung propaganda.
Macam-macam media yaitu media komunitas, media pelajar, media sub kultur,
media seni eksperimental dan lain-lain. Media sangat terkait dengan keberpihakan. Begitu
juga dengan media arus utama yang berpihak. Secara ideal semua media berpihak pada
publik. Sayangnya media-media arus utama menjadi hipokrit atau berbohong. Di negara-
negara besar media besar secara terang-terangan meng-endorse calon Presiden. Tetapi di
Indonesia sendiri, contohnya saat Jakarta Post meng-endorse Jokowi dan kemudian media
tersebut dihujat habis-habisan. Media tidak selalu berdalih netral. Perbedaan konten namun
sama isu. Isu difabel, LGBT, perempuan, yang hanya berbeda framing, angle, dan modal
produksinya. Media besar sangat profit (profit oriented). Mode distribusi. Media besar
menjangkau ke pelosok-pelosok. Media alternatif dari tangan ke tangan seperti selebaran
salah satunya dan dibatasi situasi politik, sehingga sifatnya terbatas. Relasi dengan audience
juga terbatas. Media alternatif menjadikan audience sebagai subjek dan bukan objek. Kapan
muncul media alternatif? Tahun 1990-an kebanyakan mereka menyebutkan. Indie media
juga muncul di seluruh dunia. Tahun 1900-an di Amerika Utara yang isinya jurnalis-jurnalis
yang membongkar korupsi-korupsi, korporat, dan lain-lain. Selebaran termasuk media
alternatif. Pirate radio awalnya dari Inggris, mereka tidak mau mengikuti aturan pemerintah.
Radio di sebuah kapal, berlayar jauh, dari Inggris ke Amerika hingga akhirnya di crack down.
Adapun bentuk-bentuk media alternatif:
Radio, video, media lakon (seperti teater,dan lain-lain), TV, lagu, gambar, internet.
Teknologi digital, media sosial, internet sebagai new media. Untuk tahun 2015 bukan lagi
new media tetapi this is the media sekarang. Media arus utama dan media alternatif semua
masuk internet. Berfungsi alat penyebaran dan perluasan pelaku. Keterbatasan media di
6
masa lalu sudah tidak ada. Masih 28% pengguna media sosial dari 210 juta penduduk.
Mobile connectivity. Bahkan 350 juta lebih. Karena saya yakin banyak orang punya
handphone lebih dari 1. Contoh, SMS Gateway. Gampang sekali. Dengan 1 laptop sudah
jadi. Aplikasi dan interface lebih gampang. Semua keterbatasan di masa lalu sudah
dibongkar habis. Karakter real internet memperluas informasi dan gagasan. Media grassroot
yang tampil sendiri di depan. Kita tinggal tulis dan tinggal kirim. Dan bagaimana kelompok
minoritas untuk menyampaikan propaganda dan fakta. Media digital menjadi surga baru
yang membuat kita malas. Mampu menggunakan untuk mengajak orang untuk
bersolidaritas. Dari online ke offline. Menggunakan internet untuk mengajak orang lain
beraksi.
Apa yang dibutuhkan?
- Kemampuan dalam memproduksi konten. Kita harus jadi content produser.
- Kemampuan menentukan target audience.
- Kemampuan strategi penyebaran. Twitter ada jam-jam yang bagus untuk posting. Di
Jakarta di jam-jam macet, jam makan siang, serta jam pulang kantor.
- Kemampuan mengemas promosi konten
- Kemampuan membangun jaringan
- Kemampuan verifikasi. Meskipun media alternatif tidak punya keterikatan dengan
model tetapi tetap harus bertanggung jawab terhadap publik. Justru tanggungjawab
media alternatif adalah kepada publik.
- Pemantauan dan menghadapi bahaya new media. Kekerasan berbasis teknologi.
Perempuan maupun LGBT rentan mendapatkan ancaman maupun teror.
Kebanyakan ancaman perkosaan. Saya sebagai aktivis perempuan, serangan-
serangan selalu ditujukan ke saya sebagai perempuan. Serangan setiap hari. Twitter,
facebook, meupun email yang kadang bisa diretas.
Saya secara pribadi ingin mendorong isu ini/ topik ini menjadi perhatian kita semua.
Mbak Brita:
7
Semua orang adalah pelaku media, kita sebenarnya reporter. Apakah yang kita ketik
menyuarakan pada banyak orang dan tersampaikan dengan baik itu yang menjadi PR kita.
Tantangan untuk kita. Mungkin ada teman-teman ingin berbagi saya persilakan.
Mbak Dhyta:
Banyak media arus utama mengandalkan orang-orang biasa seperti kita untuk
membuat berita. Media alternatif harus memainkan peran itu.
DISKUSI:
1. Mbak Rani: terima kasih, saya dari JPY. Ketika memasukkan perspektif
perempuan/gender. Kasus OBR kami tidak bisa menyalahkan wartawan di lapangan.
Tantangan teman-teman di lapangan adalah mendeskripsikan berita di lapangan. AJI
cukup terbuka harapannya diikuti teman-teman media lain juga. Saya mau curhat
saya di KPU Kota. Banyak teman mengalami terkait Pemilu banyak berita yang
disampaikan membuat masyarakat bingung. Berita harus proporsional dan butuh
klarifikasi. Kota belum pernah “diserang” sehingga berita menjadi kontraproduktif.
Bicara media punya siapa. Kami dibenturkan dengan penyelenggara pemilu seperti
panwas, publik, teman-teman difabel. Dan juga dirasakan banyak kawan lainnya.
Kami berharap beritanya benar dan mendidik. Di kasus-kasus Pemilukada ramai
sekali. Penyelenggara pemilu harus dikritisi dan harus berpihak pada publik tidak
berpihak pada siapa yang membayar/yang mempunyai uang banyak. Meskipun
ketika kami tanya teman-teman sudah menyerahkan proposal dari partai-partai
karena hanya beberapa yg tembus sehingga iklannya itu terus. Problem perspektif
difabel, perempuan menjadi tanggung jawab kita bersama.
Mbak Dhyta:
Tuntutan ke media arus utama sudah dari jaman dulu dilakukan tetapi selalu mental.
Ikatan orang hilang, kami muter dan melakukan brifing. Editor dan ke atasnya yang
susah. Debat-debat sedikit. Setelah keluar tetap tidak ada tindak lanjutnya. Saya sempat
berfikir melakukan roadshow media. Saya menjadi skeptis dan tidak menggunakan
media arus utama. Usaha yang dilakukan teman-teman, banyak dari mereka yang
menulis bagus, blogger-blogger yang bagus. Perang konten di internet sangat wajar.
Untuk memenangkan perspektif.
8
Mbak Rani:
Kebebasan berekspresi di media. UU ITE menghambat proses demokrasi di media.
Mbak Dhyta:
Dari kelompok masyarakat sipil dan saya terlibat melakukan revisi UU itu. Sedang
dikerjakan draftnya. Isu ini perhatiannya kecil dari masyarakat. 70 lebih yang
dikriminalisasi. Seorang istri mengalami KDRT, suami meretas FB kemudian
menunjukkan chat istri dengan pria lain. Chat seksual tidak ada. Curhat dengan pria lain.
200 halaman print outnya. Suami memberikan 800 print out dan diterima polisi. Kasus
tersebut di Bandung. Suami melaporkan KDRT yang dilakukan istri karena membuat dia
depresi dan butuh psikiater. Dan di BAP polisi, kasus istri diacuhkan. Untuk kasus-kasus
seperti ini kita harus melawan.
Mbak Brita:
Misalnya new media digunakan oleh orang-orang fasis, punya media dan banyak
dikutip orang. Contoh PKS piyungan. Bagaimana cara menyiasati orang yang punya
jamaah yang banyak seperti itu?
Mas Hendrawan:
Banjir informasi di media. Nama piyungan jadi ikut tercemar. Berita-berita hoax
muncul dalam kondisi-kondisi kritis sebagai alat propaganda. Beredar berbagai macam
jenis informasi. Wartawan punya kewajiban untuk mem-verifikasi. Dengan adanya
media sosial jadi lebih sibuk dari biasanya. Tetap bersandar pada sumber-sumber resmi.
Mudah untuk saling mem-bully. Ketika seseorang melakukan berita yang tidak pas kita
langsung meng-counter. Begitulah hukum yang terjadi di media sosial. Ketika
berita/media salah bully saja. Meskipun judul sudah berubah judul pertama masih tetap
ada. Di Jogja sekelompok pengacara malah mendukung UU ITE ini. Kasus-kasus lain
terjadi tetapi saya tidak tahu. Contohnya, istri masuk penjara karena mengganti status.
Istri dekat dengan pria lain. Istri masuk Wirogunan. Informasi jangan jadi tidak jelas,
jangan dengan mudah broadcast.
Mbak Dhyta:
9
Konsekuensi logis, koin selalu mempunyai dua sisi. Perang konten, kontestasi konten
mana yang benar, mana faktanya. Mereka selalu memanipulasi (contohnya PKS
Piyungan). Barusan saya dapat email dari Jakarta Post terkait perempuan-perempuan
dari HTI yang ingin menulis di Jakarta Post, mereka berikan data-data. Contohnya OBR
mulai tahun 2013. Kasus kekerasan seksual di amerika dan eropa utara. Kebanyakan
informasi itu salah, saya heran apakah mereka tidak googling. Oleh karena itu, otoritas
kalian untuk mengkontestasi konten. Orang akan lebih melihat mana tulisan yang
menggunakan akal sehat mana yang tidak. Sangat mudah untuk mematahkan mereka.
Tetapi kadang ada orang-orang yang tidak peduli. Perang yang tidak harus diperangkan.
Mas Hendrawan:
Kita negara demokrasi bebas berpikir, misalnya saya menulis buku yang menyerang
mbak Dhyta, mbak Dhyta lawan balik dengan menulis buku juga. Tetapi yang terjadi
sekarang ini justru kekerasan. Perang yang benar ya perang konten. Untuk the lost
war/battle seharusnya ditinggalkan saja yang seperti itu.
Waktunya terbatas, karena ini forum. Kelompok rentan harus sedikit kita bahas. Saya
aktif di radio, streaming juga. Semua orang pelaku media. Perang media selalu ada.
Sekarang media entah itu media/informasi terus menerus menyerbu masing-masing
orang. Saking banyaknya tahu hingga lupa. Kami juga kebingungan. Radio porsinya
sangat kecil sekali. Sudah waktunya menambah job/porsi kita, tidak hanya menjadi
jurnalis saja. Kita menggerakkan media diselaraskan dengan keadaan yang ada. Kita
menyuarakan, kita gerak (secara offline). Menggerakkan dua-duanya. Masyarakat
bingung karena salah kita juga banyak menyuarakan. Langkah kita seperti apa dengan
keadaan sekarang?
Mbak Brita: ada tambahan dari teman-teman lain?
Membicarakan media tidak akan ada habisnya. Persoalannya bagaimana kita bisa
memahami media. Orang akan lebih cenderung media televisi dibandingkan dengan
media-media lain. Apakah kepedulian kita terhadap setiap konten apa kita bisa
menyaring atau justru menelannya mentah-mentah? Konten yang akurat bukan hanya
benar. Karena benar belum tentu akurat. Yang dilakukan hanya copy paste saja. Kadang-
kadang pihak pengusaha, pihak redaksi menargetkan banyaknya info yang kita
10
masukkan. Teman-teman difabel kan medianya sudah banyak. Tidak ada lagi alasan
mengatakan difabel ditinggalkan. Yang terjadi saat ini semua kelompok masyarakat ingin
menjadi sibuk, terkenal, ingin diketahui. Kita menyusun batas-batas yang mempunyai
kontrol. Siapa yang melakukan sebuah koreksi terhadap media yang sudah muncul,
contohnya KPI, dan lain-lain. Tidak ada upaya yang dilakukan pemerintah untuk
mendidik. Kita adalah pasar. Bagaimana masyarakat melindungi dirinya sendiri. Ketika
kita tidak suka maka matikan saja. Konten sampah menjadi nikmat dan dicari. Ini yang
menjadi problem karena lepas kontrol. Mana sampah mana yang tidak. Kita hanya bisa
gelisah, melontarkan, diskusi dan apa akibatnya seperti lingkaran setan yang tidak ada
habisnya. Masyarakat kita sakit benar dan menyadarkan tidaklah mudah. Semuanya
menjadi ego. Penikmat/pelaku/sampah media. Anda bisa menerima, menikmati maka
ambil saja. Konten bisa menjadi sebuah kampanye bagi teman-teman difabel. Apalagi
jika sudah menjadi konten yang bagus dan massive pasti akan dicari dan dapat
dibanggakan. Kampanye dilakukan untuk mendorong seluas-luasnya.
Mbak Brita:
Masyarakat tidak mau berliterasi media karena sudah menjadi bagian dari sampah.
Teman-teman disuguhi informasi yang banyak dan tidak bisa berbuat banyak. Difabel
sebenarnya punya bank content yang banyak. Wacana perlawanan perlu di setiap
komunitas-komunitas yang ingin menyuarakan aspirasinya.
Keakuratan berita kurang, tidak mendidik. Masyarakat di setiap komunitas seperti
dijual dan menjadi bangga. Ini problemnya.
Mbak Dhyta:
Aku sepakat bahwa masih banyak orang di Indonesia seperti dilem ke TV dengan
suguhan atau konten. Mengapa masyarakat Indonesia masih adiktif dengan TV. Asumsi
personal karena tidak ada hiburan lain selain TV terutama di pelosok. Video kills the
radio stars. Youtube kills the video stars. TV masih bersifat tunggal. 28% pengguna
internet adalah masyarakat urban. Penetrasi internet kaum urban. Kalau saya, daripada
nonton film seri di TV mending download karena tidak harus lihat iklannya. Kelompok
marginal sudah saatnya menjadi content producer untuk komunitas sendiri dan publik.
Saya pernah travelling projector dari Jakarta – malang, di daerah mereka antusias. Di
11
kota sepi. Isinya film-film dokumenter. Kita harus menjadi kreatif pertama, mengemas
dengan baik dan menyebarkan. Aku optimis akan perubahan yang terjadi. Orang kelas
menengah lebih sedikit menonton TV karena banyak pilihan. Semua ada di kita.
Teknologi kita manfaatkan. Memproduksi konten bermutu sebanyak mungkin. Banyak
media alternatif yang tidak jujur. Jujur kepada publik yang menjadi target audience.
Mas Hendrawan:
Saya setuju kalo problemnya disitu. Kita sebagai aktivis, kita harus menyelesaikan
masalah tersebut. Saya pulang saya tidak mau menonton acara ecek-ecek tidak
bermutu. Industi harus punya akal sehat, faktanya semua belum bisa. Lihat daftar yang
ditegur KPI, lebih banyak acara yang banyak pemirsanya. Meskipun tidak memiliki efek
apa-apa. Teguran KPI kurang punya efek jera. Ketika dapat surat cinta dari KPI redaksi
“kebakaran jenggot”. UU penyiaran disebutkan kata netral, ruhnya adalah ketidak-
independensi-an media. Jurnalis ada istilah khusus. MoJo (mobile Journalist). Teman-
teman difabel harus membuka cakrawala, tidak hanya bergabung dengan teman-teman
difabel agar khasanah lebih luas dan memperkaya kita.
Mbak Brita:
Kita sadar bahwa kita sudah tidak nyaman dengan media terutama penggunaan
media baru. Sharing kali ini apa sih masalah dengan media. Ingin mengubah konferensi
yang hanya ngomong, tetapi apa yang seharusnya kita lakukan. Mungkin kita bisa
melakukan sedikit aksi kecil, inginnya ada rekomendasi. Besok akan ada stakeholder.
Saya tutup sesi hari ini dengan riang gembira, sebenarnya kita sudah mempunyai banyak
jawaban dan akan kita bahas besok.
Moderator:
Berakhir pula acara ini, kurang lebihnya mohon maaf. Terimakasih banyak atas kehadiran.
Selamat sore dan sampai jumpa besok.