keberpihakan media terhadap berita konflik partai …
TRANSCRIPT
KEBERPIHAKAN MEDIA TERHADAP BERITA KONFLIK PARTAI GOLKAR: ANALISIS WACANA KRITIS
THE SIDING OF THE MEDIA IN THE CONFLICTING NEWS OF GOLKAR PARTY; CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS
MUHAMMAD DAHLAN ABUBAKAR
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2018
KEBERPIHAKAN MEDIA TERHADAP BERITA KONFLIK PARTAI GOLKAR; ANALISIS WACANA KRITIS
THE SIDING OF THE MEDIA IN THE CONFLICTING NEWS OF GOLKAR PARTY; CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS
MUHAMMAD DAHLAN ABUBAKAR
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2018
KEBERPIHAKAN MEDIA TERHADAP BERITA KONFLIK PARTAI
GOLKAR; ANALISIS WACANA KRITIS
DISERTASI
Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Doktor
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
Disusun dan diajukan oleh
MUHAMMAD DAHLAN ABUBAKAR
Kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018
Pernyataan Keaslian Disertasi
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Muhammad Dahlan Abubakar NIM : P0300312004 Program Studi : Linguistik Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil saya sendiri, bukan merupakan
pengambialihan tulisan atau pemikiran orang lain.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan sebagian atau
keseluruhan Disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima
sanksi atas perbuatan saya tersebut.
Makassar, April 2018 Yang menyatakan, Muhammad Dahlan Abubakar
i
PRAKATA
Pertama-tama peneliti mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah swt,
karena atas inayah-Nya jualah, sehingga peneliti dapat mwngikuti program
pendidikan doktor ini dan menyelesaikan disertasi ini dengan baik. Peneliti
menyadari terlalu banyak kendala yang dihadapi, baik yang berkaitan
dengan aspek teoretis maupun unsur teknis penulisan dalam penyelesaian
disertasi ini. Kesulitan yang dihadapi adalah belum adanya penelitian-
penelitian terdahulu untuk sekadar dijadikan rujukan dalam penulisan
rangkuman hasil penelitian ini. Penelitian yang menggunakan teori yang
sama lebih banyak melihat dan mengkajinya dari sisi komunikasi dan masih
langka yang menganalisis teks berita media untuk melihat kecenderungan-
kecenderungan tertentu di balik pemberitaan tersebut, terlebih lagi berita
yang berkaitan dengan konflik suatu partai.
Namun demikian, terlalu banyak pihak yang ikut memberi andil bagi
penyelesaian disertasi ini, sehingga terwujud sebagaimana hasilnya
sekarang. Oleh sebab itu, perkenankan pada kesempatan ini peneliti dari hati
yang paling tulus dan ikhlas menyampaikan ucapan terima kasih yang tiada
terhingga. Ucapan terima kasih paling awal peneliti alamatkan kepada
Prof.Dr.H. Muhammad Darwis, M.S. selaku Promotor, yang tidak saja
memberikan bimbingan, memberi arahan, tetapi juga menuntun peneliti lebih
fokus pada kajian yang menjadi domain peneliti dari awal. Ucapan terima
kasih juga peneliti sampaikan kepada Prof.Dr.Lukman, M.S. yang karena
memperoleh tugas dari universitas harus bertugas di Korea Selatan tidak
ii
dapat melanjutkan proses pembimbingan penulisan disertasi ini hingga akhir,
memberi banyak masuk bagi awal-awal penggarapan disertasi ini.
Kemudian ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan kepada
Dr.Hj.Nurhayati, M.Hum, dan Dr.Ikhwan M.Said, M.Hum, masing-masing
sebagai Ko-Promotor yang telah memberi masukan yang sangat bermanfaat
bagi penyusunan dan perbaikan disertasi ini.
Terima kasih juga peneliti ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. H.Hamzah
Machmoed, M.A., Prof.Dr.Tadjuddin Maknun, S.U., Dr.Hj Ery Iswary, M.Hum,
sebagai penguji dan Bapak Prof.Dr.H.Zainuddin Taha, selaku penguji
eksternal.
Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada para Rektor
Universitas Hasanuddin masing-masing pada masanya; Prof.Dr,
H.A.Amiruddin (1973-1982), Prof.Dr.A.Hasan Walinono (1982-1984),
Prof.Dr.Ir. Fachrudin (1984-1989) – ketiganya almarhum --, Prof.Dr.H.Basri
Hasanuddin, M.A. (1989-1993, 1993-1997), Prof. Dr.Ir. Radi A.Gany (1997-
2001, 2001-2006), Prof.Dr.dr. Idrus A. Paturusi, SBO.Sp.BO (2006-2010,
2010-2014), dan Prof.Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A. (2014-2018 dan
2018-2022) atas segala kepercayaannya selama peneliti menjadi salah
seorang stafnya di Hubungan Masyarakat Universitas Hasanuddin dalam
rentang waktu yang panjang. (1980-2017) dan sebagai Kepala Humas
Universitas Hasanuddin (1988-1998, 2001-2012, dan 2015-2017).
Terima kasih serupa peneliti sampaikan kepada Bapak Prof.Dr.Ir.
Mursalim sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
iii
pada masanya memberikan dorongan yang tiada henti kepada peneliti agar
tetap semangat menyelesaikan pendidikan doktor ini.
Atas dorongannya yang tiada henti, ucapan terima kasih juga peneliti
sampaikan kepada para Dekan Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin
pada masanya masing-masing yakni, Dr. Mustafa Makka, Dr. H. Aminuddin
Ram, M.Ed., Prof. Dr. H. Muhammad Darwis, M.S., Prof. Drs. H.
Burhanuddin Arafah, M.Hum, Ph.D., dan Prof.Dr. Akin Duli, M.A., tempat
peneliti mengabdikan diri sebagai aparatur sipil Negara (ASN) hingga
memasuki masa purnabakti 1 Februari 2017.
Peneliti juga menyampaikan terima kasih kepada adik Nasrullah Nara,
S.Sos, M.Si (staf Redaksi Harian Kompas) dan Bapak Alman (Pusat
Dokumentasi Litbang Harian Republika) yang telah membantu peneliti
dalam penyediaan data daring yang digunakan dalam penyusunan disertasi
ini. Terima kasih serupa disampaikan kepada Drs. M.Yusuf, SU, Drs.Hasan
Ali, M.Hum, dan Dr.AB Takko Bandung, M.Hum, selaku Ketua Departemen
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin pada
masanya masing-masing dan seluruh teman dosen di Departemen Sastra
Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Juga kepada
teman-teman dosen, Dr.Fathur Rahman, M.Hum, Dr.Andi Akhmar, M.Hum,
Dr. H.Tammasse Balla, M.Hum, teman seperjuangan Dr. Lalu Santana,
M.Hum, Suradi Yasil, Edy Wahyono, Fitri Arniati, dan teman-teman dosen di
Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Hasanuddin. Kepada Ibu Dra.Ratna Ardjo, peneliti secara khusus
iv
menyampaikan ucapan terima kasih, karena selalu memberi dorongan
kepada peneliti segera menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih yang sama
penulis ucapkan kepada teman-teman dosen Universitas Muslim Indonesia
(UMI) Makassar, Dr. Emma Bazergan, M.Hum, Dr. A.Mulyani Kone, M.Hum,
Dr.Rusdiah, M.Hum, Dr. Rabiah, M.Hum, Drs. Usman Ismail, M.A., dan
Rayudaswati Budi, S.Sos, M.Si,
Akhirnya, peneliti menyampaikan terima kasih kepada orangtua
tercinta H.Abubakar H.Yakub dan Hj.Hafsah H.Abidin, istri Hj.Hana
Abubakar, AMK, anak-anak: Haryadi S.Sos, dan Haryati, S.E. dan menantu
Briptu Pol. Ahmad Amiruddin cucu-cucu: Muhammad Syahrizal,
St.Syahriana, Zhafira Alifia Ahmad, dan Talita Aqila Ahmad, Saudara-
saudara peneliti: H.Sofwan, S.H. M.Hum, Drs.Kaharuddin, Nurhayati, S.E.,
Dra.Sri Suharni, Ahmad Muslim, S.H., dan Siti Farida S.Sos, yang tidak
henti-hentinya memberi dorongan kepada peneliti untuk menyelesaikan
pendidikan doktor ini.
Terima kasih serupa peneliti sampaikan kepada adik sepupu
Prof.Dr.H.Ahmad Thib Raya, M.A dan Prof.Dr.Hj Musdah Mulia, M.A.,
Dr.H.Hamdan Zoelva, S.H., M.H. dan Hj. R.Nina Damayanti, S.H. yang tidak
henti-hentinya ikut mendorong peneliti menyelesaikan pendidikan doktor ini.
Begitu pun terima kasih serupa disampaikan kepada Anakda Raviqa, S.S.,
M.Hum dan rekan Drs.Basuki Hariyanto yang ikut membantu dalam
penyelesaian disertasi ini. Ucapan terima kasih serupa peneliti sampaikan
kepada teman-teman Pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI)
v
Sulawesi Selatan masa bakti 2017-2021, teman-teman Pengurus Yayasan
Lembaga Pers Sulawesi Selatan (YLPSS), Pengurus Ikatan Penulis
Keluarga Berencana (IPKB) Sulawesi Selatan, dan Pengurus Kerukunan
Keluarga Bima (KKB) Sulawesi Selatan yang ikut memberi semangat hingga
peneliti mampu menyelesaikan program pendidikan doktor ini.
Terakhir peneliti ingin menyampaikan terima kasih disertai doa kepada
Almarhumah Ananda Dr. Pratiwi Syarief, S.S., M.Hum, yang berpulang ke
rakhmatullah pada tanggal 5 Mei 2018, yang setelah meraih gelar akademik
tertinggi pada Program Studi Ilmu Linguistik di almamater ini pada tahun
2015 tidak henti-hentinya terus memberikan dorongan kepada penulis
disertai kata-kata ‘’teruslah bersemangat..’’. Semoga Allah swt memberikan
tempat yang layak di sisi-Nya. Amin ya rabbil alamin.
Semoga ilmu yang tertuang di dalam karya disertasi ini bermanfaat
bagi agama, bangsa, dan negara serta untuk kehidupan akademik di masa
mendatang. Amin.
Makassar, Mei 2018
Muhammad Dahlan Abubakar
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGAJUAN
PRAKATA ……………………..……………………………………………… i
ABSTRAK …………………………………………………………………… vi
ABSTRACT ……………………..……………………..…………………….. vii
DAFTAR ISI ……………………..……………………..…………………….. viii
DAFTAR SINGKATAN……………………..……………………………….. xii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………. xiv
BAB I PENDAHULUAN ……………………..……………………………. 1
A. Latar Belakang ……………………..……………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ……………………..…………………………… 21
C. Tujuan Penelitian ……………………..……………………………… 22
D. Manfaat Penelitian ……………………..……………………………. 22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………..……………………… 24
A. Landasan Teori ……………………..………………………………. 24
1. Analisis Wacana Kritis ……………………..…………………….. 24
2. Pengertian Wacana dan AWK …………………………………. 30
3. Pendekatan AWK ……………………..…………………………. 33
3.1 Model van Dijk ……………………..……………………….. 34
3.2 Model Fiarclough ……………………..……………………… 36
3.3 Perangkat Framing Gamson …………………………….. 38
4. Analisis Bahasa Kritis (Linguistik Kritis) ………………………. 42
ix
5. Analisis Wacana Pendekatan Prancis ……………………….. 44
6. Pendekatan Kognisi Sosial …………………………………….. 45
7. Pendekatan Perubahan Sosial ………………………………… 45
8. Pendekatan Wacana Sejarah ………………………………….. 47
9. Analisis Teks Berita ……………………..………………………. 47
9.1 Tujuan Penelitian ………………………………………….. 49
9.2 Realitas yang Diteliti ……………………………………… 50
9.3 Fokus Penelitian ……………………..…………………….. 52
9.4 Posisi Peneliti ……………………..……………………….. 54
9.5 Cara Penelitian ……………………..………………………. 55
10. Media dan Berita dari Paradigma Kritis ……………………… 57
10.1 Fakta ……………………..………………………………… 58
10.2 Posisi Media ……………………..…………………………. 60
10.3 Posisi Wartawan ……………………..…………………….. 61
10.4 Hasil Liputan ……………………..………………………… 64
11. Teori Fungsi Bahasa ……………………..…………………….. 68
11.1 Sintaksis ……………………..…………………………….. 71
11.2 Kalimat ……………………..……………………………… 72
11.3 Klausa ……………………..……………………………… 73
11.4 Frasa ……………………..……………………………….. 74
11.5 Kata ……………………..…………………………………. 76
11.6 Kosakata ……………………..……………………………. 78
12. Piranti Kebahasaan ……………………..………………………. 78
12. 1 Struktur Mikro dan Elemen Semantik ………………….. 79
x
12.1.1 Latar ……………………..………………………….. 79
12.1.2 Detil ……………………..…………………………. 81
12.1.3 Maksud ……………………..…………………….. 82
12.2 Elemen Praksis Sosiokultural …………………………… 83
12.2.1 Situasional ……………………………………….. 86
12.2.2 Institusional ……………………………………….. 87
12.2.3 Sosial ……………………..……………………….. 90
12.3 Perangkat Framing ……………………..………………… 97
12.3.1 Metafora ………………………………………….. 99
12.3.2 Frasa ……………………..………………………. 101
12.3.3 Kausalitas ………………………………………… 101
B. Tinjauan Hasil Penelitian ………………………………………….. 104
1. Struktur Mikro ……………………..……………………………. 104
2. Sosiokultural ……………………..…………………………….. 108
3. Sistem Framing ……………………..…………………………. 109
C. Wacana Kritis dan Berita Konflik Partai Golkar ………………… 111
D. Kerangka Pikir …………............................................................ 114
E. Definisi Operasional ……………………..………………………... 117
BAB III METODE PENELITIAN ……………………..…………………… 120
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ………………………………… 120
B. Data dan Sumber Data ……………………..……………………... 121
C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data …………………………. 122
1. Metode ...… ………………………………………………………. 122
2. Teknik …………………………………………………………….... 123
xi
D. Teknik Analisis Data ……………………..………………………… 124
1. Pendekatan Analisis Semantik................................................. 126
2. Pendekatan Analisis Sosiokultural … ………………………….. 127
3. Pendekatan Analisis Perangkat Framing ……………………… 128
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………………. 131
1. Analisis Struktur Mikro dan Elemen Semantik ……………….. 131
1.1 Latar ……………………..…………………………………… 131
1.2 Detil ……………………..……………………………………. 140
1.3 Maksud ………………………………………………………. 150
2. Analisis Praksis Sosiokultural …………………………………… 159
2.1 Situasional ……………………..……………………………. 160
2.2 Institusional ……………………..…………………………… 169
2.3 Sosial ……………………..…………………………………. 179
3. Perangkat Framing ……………………..………………………. 188
3.1 Metafora ……………………..……………………………… 189
3.2 Frasa ……………………..…………………………………. 200
3.3 Analisis Kausalitas ………………………………………… 211
a. Kompas …………………………………………………….. 224
b. Republika …………………………………………………… 225
c. Koran Tempo ……………………………………………….. 226
BAB V PENUTUP ……………………..……………………………………. 229
A. Simpulan ……………………..………………………………………. 229
B. Saran ……………………..……………………..………………..….. 230
C. Refleksi ……………………..……………………..………………… 231
xii
DAFTAR PUSTAKA ……………………..………………………………… 233
LAMPIRAN DATA PENELITIAN ……………………………………………. 243
BIODATA ……………………………………………………………………… 306
xiii
DAFTAR SINGKATAN
AL = Agung Laksono
ARB = Aburizal Bakrie
AWK = Analisis Wacana Kritis
DPD = Dewan Pimpinan Daerah
DPP = Dewan Pimpinan Pusat
DPR = Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD = Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
F-PG = Fraksi Partai Golkar
Gerindra = Gerakan Indonesia Raya
G.30.S = Gerakan Tiga Puluh September
Golkar = Golongan Karya
HAM = Hak Asasi Manusia
Hanura = Hati Nurani Rakyat
ICAL = Aburizal Bakrie
K = Kompas
KBBI = Kamus Besar Bahasa Indonesia
KIH = Koalisi Indonesia Hebat
KMP = Koalisi Merah Putih
KPU = Komisi Pemilihan Umum
KT = Koran Tempo
MA = Mahkamah Agung
Menkumham = Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Munaslub = Musyawarah Nasional Luar Biasa
MPG = Mahkamah Partai Golkar
xiv
Munas = Musyawarah Nasional
NasDem = Nasional Demokrat
PAN = Partai Amanat Nasional
Pilkada = pemilihan kepala daerah
PKI = Partai Komunis Indonesia
PKS = Partai Keadilan Sejahtera
PN = Pengadilan Negeri
PPP = Partai Persatuan Pembangunan
PTUN = Pengadilan Tata Usaha Negara
PWI = Persatuan Wartawan Indonesia
R = Republika
Rapimnas = Rapat Pimpinan Nasional
RI = Republik Indonesia
SBY = Susilo Bambang Yudhoyono
SK = Surat Keputusan
TV = Televisi
UIN = Universitas Islam Negeri
UNJ = Universitas Negeri Jakarta
UU = Undang-undang
Wantim = Dewan Pertimbangan
xv
DAFTAR TABEL
.
Tabel 1 : Sampel Teks Berita 12
Tabel 2 : Struktur Teks Model van Dijk 35
Tabel 3 : Elemen Teori van Dijk 35
Tabel 4 : Piranti Kebahasaan yang Diteliti 36
Tabel 5 : Model Teori Fairclough 37
Tabel 6 : Dimensi Praksis Sosiokultural 38
Tabel 7 : Perangkat Framing Teori Gamson 40
Tabel 8 : Perangkat Framing Penelitian 42
Tabel 9 : Karakter Penelitian Teks 49
Tabel 10: Pandangan Pluralis dan Kritis 57
Tabel 11: Contoh Variabel Latar 80
Tabel 12: Contoh Variabel Detil 82
Tabel 13: Contoh Variabel Maksud 83
Tabel 14: Bagan Kerangka Pikir 117
Tabel 15: Tabel Berita Media Sampel 125
Tabel 16: Proses Analisis Data Penelitian 129
Tabel 17: Tabel Metafora 198
Tabel 18 Variabel Frase 209
Tabel 19: Distribusi Keberpihakan Media 220
Tabel 19: Distribusi Keberpihakan pada Sosok 227
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wacana yang diberitakan media massa, khususnya media cetak,
menjadi objek kajian kebahasaan yang menarik. Bahasa terus bertumbuh
dan berkembang menjadi bahasa yang intelek. Melalui bahasa sikap
berpihak dapat ditunjukkan, tetapi melalui bahasa pula sikap netral bisa
disingkap meskipun kelihatan sudah dibuat netral. Bahasa mempunyai
pengaruh besar dalam memahami tujuan dan kepentingan media.
Penggunaan bahasa, baik lisan maupun tulisan yang digunakan menjadi
acuan utama untuk mengetahui alam pemikiran sumber berita dalam media
massa.
Beberapa waktu terakhir ini informasi dan berita yang disiarkan media
massa dan daring (online) telah menimbulkan polemik dan kehebohan di
negara ini sampai berujung ke pengadilan. Akhirnya, para pakar bahasa pun
dilibatkan untuk menganalisis konten kebahasaan yang digunakan di dalam
wacana tersebut.
Salah satu wacana di media yang sempat menarik perhatian publik di
Indonesia beberapa waktu yang lalu adalah berita konflik Partai Golongan
Karya (Golkar). Hal ini disebabkan sepanjang usia kemerdekaan Republik
Indonesia yang menjelang memasuki 73 tahun (1945-2018), hampir separuh
waktu (32 tahun) dipimpin oleh pemerintahan yang dikendalikan Partai
Golkar. Partai tersebut telah mengawal dan memimpin negara ini pada
masa-masa sulit, yakni pasca-pemberontakan Partai Komunis Indonesia
(PKI) yang dikenal dengan Gerakan Tiga Puluh September (G-30-S). Oleh
2
sebab itu, selama kehadirannya partai tersebut selalu menjadi pendukung
utama rezim pemerintah yang berkuasa.
Ketika Presiden Republik Indonesia beralih ke B.J.Habibie, juga
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan terakhir Susilo Bambang
Yudhoyono, Partai Golkar selalu mendukung pemerintah. Namun, ketika
pemilihan presiden pada tahun 2014, tiba-tiba Partai Golkar berbalik haluan.
Partai ini pertama kali beroposisi dengan pemerintah selama kurang lebih
hampir dua tahun. Ini terjadi dikarenakan pada pencalonan presiden tahun
2014, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) yang gagal diusung
sebagai calon presiden maupun calon wakil presiden, mengarahkan
dukungan partainya kepada duet Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang
diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) bersama Partai Amanat
Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan juga Partai Golkar
sendiri. Padahal, pada kubu rivalnya ada M.Jusuf Kalla yang juga mantan
Ketua Umum Partai Golkar maju sebagai calon wakil presiden bersama
calon presiden Joko Widodo.
Langkah ARB mengarahkan dukungan partainya ke kubu Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa inilah yang menjadi pemicu pecahnya kepengurusan
Partai Golkar hasil musyawarah nasional (Munas) Riau 2014. Kepengurusan
Partai Golkar terpecah menjadi dua kubu, yaitu ARB dkk yang mendukung
Prabowo Subianto - Hatta Rajasa dan R. Agung Laksono (AL) bersama
beberapa orang anggota Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Golkar
lainnya yang bergabung mendukung pasangan Joko Widodo - M.Jusuf Kalla.
Terpecahnya dukungan ini merupakan awal terjadinya konflik
berkepanjangan yang dialami kedua kubu di internal partai tersebut. Konflik
3
ini berkembang dengan saling klaim ‘’kepemilikan’’ partai yang sudah
berusia 53 tahun itu hingga pemilihan presiden dan wakil presiden tahun
2014.
Konflik internal partai ini semakin tajam setelah terpilihnya pasangan
Joko Widodo - M.Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia periode 2014-2019. Partai Golkar yang selama puluhan tahun
berdirinya selalu mendukung pemerintah, pada tahun 2014 hingga sebelum
terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar 17 Mei 2016
justru menjadi partai oposisi. Perilaku politik Partai Golkar yang demikian
dinilai oleh kubu AL telah keluar dari khittah partai.
Pada awal Maret 2015, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia mengeluarkan surat keputusan yang mengesahkan
Golkar yang dipimpin oleh Pada April 2015, Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) Jakarta mengeluarkan putusan sela menunda pelaksanaan surat
keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly
yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar kubu AL. Dengan
dibacakannya putusan PTUN itu, kepengurusan Partai Golkar yang sah saat
itu adalah hasil Munas Riau tahun 2009. Upaya rekonsiliasi pun dilakukan
Wakil Presiden M.Jusuf Kalla yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar.
Kesepakatan hanya terjadi pada tataran atas partai belaka, sebab dalam
tataran struktur pengurus daerah rekonsiliasi itu seperti tidak pernah terjadi.
Bahkan imbas yang paling nyata dan transparan dari konflik itu berpengaruh
pada pengusungan calon kepala daerah oleh partai karena kedua pihak
masing-masing mengusung jagoan dan pilihan yang berbeda. Konflik
akhirnya teratasi setelah berlangsungnya munas Partai Golkar di Bali Nusa
4
Dua Convention Center (BNBCC) pada 17 Mei 2016 yang memilih Setya
Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 2016-2021. Namun
masa kepemimpinan Setya Novanto hanya berjalan hingga Desember 2017
karena dia terlibat kasus korupsi dana Kartu Tanda Penduduk (KTP)
Elektronik. Dia diganti oleh Airlangga Hartarto yang menjabat Menteri
Perindustrian Kabinet Joko Widodo-M.Jusuf Kalla dalam Musyawarah
Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar di Jakarta pada tanggal 18-20
Desember 2017..
Pemberitaan tentang konflik Partai Golkar di media sejatinya harus
berimbang dan tidak memihak kepada salah satu kubu yang berkonflik.
Operasional peliputan yang dilakukan para wartawan harus mengacu pada
Kode Etik Jurnalistik sebagai himpunan etika profesi kewartawanan.
Kebebasan pers tersebut ditandai dengan adanya kebebasan untuk
melakukan kontrol sosial di samping fungsi pers lainnya sebagai pembawa
dan pemberi informasi, media pendidikan, dan hiburan. Di dalam
mewujudkan kebebasan tersebut, pers memanfaatkan bahasa dalam
menyajikan informasi kepada khalayak sesuai karakteristiknya.
Menurut Shaffat (2008), kebebasan pers yang hakiki terjadi ketika
pers mampu menempatkan diri di tengah kebebasan yang dinikmatinya.
Sebaliknya, kebebasan ini tidak mempunyai arti sama sekali manakala pers
tidak menghiraukan rambu-rambu yang berlaku, karena pers tidak lagi bebas
berbuat menjalankan tugasnya, tetapi terbelenggu pelanggaran dan sanksi
yang diterimanya.
Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
disebutkan ‘’Cara pemberitaan dan menyatakan pendapat, Wartawan
5
Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan
kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur-adukkan fakta dan opini
sendiri. Karya jurnalistik berisi interprestasi dan opini wartawan agar
disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya’’.
Arief (2015) mengemukakan, pada penilaian yang ekstrem, memang
tidak ada media yang sepenuhnya netral. Netralitas itu hanya mitos atau
jargon semata. Apalagi di tengah-tengah kepemilikan media di Indonesia
saat ini yang terkonsentrasi pada segelintir elite. Yang bukan kebetulan,
pemilik media itu di antaranya merangkap sebagai politisi, ketua umum
partai, dan calon presiden sekaligus. Sungguh, netralitas media seperti
sebuah lawakan di negeri ini.
Noam Chomsky dalam Arief (2015) menyebutkan, media selalu
memiliki bias-bias tertentu di dalam dirinya. Media tidak pernah bisa
memosisikan dirinya seperti layaknya burung onta yang steril. Media pasti
berpihak. Sialnya lagi, media berpihak dan loyal pertama-tama bukan pada
warga – seperti yang ditekankan Tom Rosentiel dalam Sembilan Elemen
Jurnalisme-nya – melainkan pada para saudagar.
Secara yuridis formal berdasarkan Kode Etik Jurnalistik tersebut
menuntut setiap wartawan hendaknya menyajikan berita secara berimbang,
yakni dengan meliput kedua belah pihak yang terkait dengan suatu berita.
Akan tetapi, .River (2003) menegaskan bahwa tidak ada netralitas media
alias tidak ada media/jurnalistik yang netral. Jurnalistik atau media ‘’selalu’’
berpihak, yaitu kepada pemiliknya. Dalam dunia jurnalistik yang dikenal
adalah media yang independen dan bebas. Media yang netral dan bebas
ini di belahan bumi mana pun tidak akan pernah ditemukan. Amerika Serikat
6
yang dikenal sebagai negara liberal dan kerap menjadi ‘’kiblat’’ kebebasan
pers di jagat ini, justru menempatkan diri sebagai negara bukan menjadi
lahan yang subur bagi media bebas.
Sebuah catatan Kristina Borjesson (2006), editor buku ‘’Mesin
Penindas Pers, membongkar Kebebasan Pers di Amerika’’ yang berisi
kesaksian sejumlah wartawan top Amerika peraih penghargaan korban
pemberangusan sistematis menarik disimak.
’’Saya kira pers dicotok hidungnya dan saya kira pers mencotok hidungnya sendiri.. Maaf, harus saya katakan begitu, tetapi tentu televisi – dan mungkin pada tingkat tertentu termasuk televisi saya -- diintimidasi pemerintah dan para serdadunya di FOX News. Dan, nyatanya itu menghadirkan iklim ketakutan dan swa-sensor dalam hal siaran yang kami lakukan…Semua sikap politik dalam pandangan saya – apakah itu pemerintah, intelijen, wartawan, siapa pun – tidak menanyakan pertanyaan-pertanyaan keras, misalnya tentang senjata pemusnah missal. Maksud saya, sepertinya ini adalah disinformasi pada tingkat yang paling tinggi. (Christine Amampour dari CNN dan CBS pada acara Topic yang diasuh Tina Brown di CNBC pada 10 September 2003).
Inilah gambaran netralitas dan independensi media di Amerika
Serikat. Apabila yang dikatakan River itu bukan sesuatu yang baru, namun
dalam penelitian ini perlu dibuktikan seberapa jauh keberpihakan media di
Indonesia melalui produksi teks yang dilakukan wartawan dalam
memberitakan konflik Partai Golkar.
Atamakusumah (2009) menyebutkan, kebebasan pers adalah
kebebasan masyarakat untuk memperoleh informasi seluas-luasnya,
kebebasan untuk dapat memilih media sesuai dengan minat dan aspirasi
mereka, serta kebebasan untuk dapat menyalurkan pendapat, kritik, dan
keluhan mereka melalui media pers. Di dalam melaksanakan
kebebasannya, seyogianya pers harus tetap netral dan memberitakan
7
sesuatu secara berimbang, tetapi dalam kenyataannya media
mengindikasikan keberpihakan. Salah satu contoh pada pemilihan presiden
(Pilpres) 2014, media terpecah menentukan pilihan masing-masing ketika
dua stasiun TV swasta nasional mengusung calon presidennya masing-
masing. Akibatnya, terjadi pemberitaan yang tidak seimbang dan berpihak.
Selama ini parameter keberpihakan dan kenetralan media terhadap
suatu objek pemberitaan masih diukur berdasarkan indikator Kode Etik
Jurnalistik yang mensyaratkan keberimbangan informasi pemberitaan (cover
both side atau konfirmasi). Indikator tersebut merupakan penjabaran aturan
normatif yang melihat peliputan dari sisi kesetaraan dan kesamaan hak.
Ukuran keberpihakan dan kenetralan media berdasarkan isi (konten) berita
belum menjadi bagian dari penilaian terhadap keberpihakan atau kenetralan
media dalam pemberitaan selama ini.
Media massa, khususnya media cetak memberitakan secara
berkesinambungan konflik di tubuh Partai Golkar ini. Harian Kompas,
Republika, dan Koran Tempo memberitakan konflik internal partai ini dalam
kurun waktu yang panjang. Ketiga media cetak tersebut secara kasat mata
masih dianggap berada di posisi yang netral jika dilihat dari kaidah
jurnalistik, yakni sesuai kode etik jurnalistik. Akan tetapi, jika dianalisis
dengan menggunakan teori analisis wacana kritis (AWK), pemberitaan
ketiga media cetak tersebut sangat berpotensi menunjukkan adanya
kecenderungan keberpihakan. Untuk memperlihatkan keberpihakan tersebut
media menggunakan pihak lain untuk menyatakan pandangannya. Misalnya,
menggunakan nara sumber tertentu untuk menyampaikan pendapatnya yang
secara langsung atau tidak berpotensi menguntungkan satu pihak dan
8
merugikan pihak lain. Padahal, nara sumber tersebut terindikasi cenderung
menguntungkan pihak tertentu. Oleh sebab itu, melalui AWK pemberitaan
konflik Partai Golkar ini diidentifikasi bagaimana piranti linguistik berperan
dan bekerja menjelaskan aspek kebahasaan dalam mengungkap
keberpihakan tiga media cetak tersebut berdasarkan ketiga teori yang
digunakan. Sikap-sikap seperti ini dapat ditemukan dan diungkap melalui
teks wacana berita media massa dengan menggunakan analisis AWK
sebagaimana yang menjadi kajian dalam penelitian ini, yakni berita konflik
Partai Golkar.
Diaz Abraham dalam tulisannya berjudul ‘’Mempersoalkan
Keberpihakan Media, Sama saja Bertanya Kapan Kiamat Tiba’’ (ditulis di
Kompasiana, 10 Oktober 2016 dan diunduh di google.com 14 April 2018)
menyebutkan, kita sebagai penikmat produk media merasa dikhianati akibat
keberpihakan orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatan produk
pers, baik cetak, online (daring) maupun audiovisual. Media yang dimiliki
oleh anggota atau pengurus parpol, keberpihakan akan sangat terlihat lewat
sajian beritanya. Lalu bagaimana keberpihakan itu terjawab pada media
yang dinilai secara tersirat mendukung salah satu pasangan calon?
‘’Keberpihakan akan sangat terasa ketika pesta demokrasi akan
berlangsung,’’ tulis Diaz Abraham.
Abd. Hannan dalam tulisannya berjudul ‘’Filosofi Keberpihakan Media
Massa’’ ( ditulis 27 Desember 2016 dan diunduh 14 April 2018)
menyebutkan, benar memang jika dikatakan bahwa isu keberpihakan media
massa belakangan ini cenderung kehilangan fungsi dan peran sosialnya.
9
Kecanggihan media massa melakukan komodifikasi dan membangun opini
memungkinkan dirinya melahirkan realitas baru melebihi realitas sebenarnya.
Media memiiliki latar belakang sosiokultural sendiri. Harian Kompas
didirikan oleh mendiang Petrus Kanisius (PK) Ojong atau Ojong Peng Koen
bersama Jakob Oetama. Kompas pertama kali terbit 28 Juli 1965.
Sebelumnya, keduanya mendirikan majalah bulanan Intisari yang terbit
pertama tahun 1963. Jacob Oetama sendiri merintis kariernya sebagai
wartawan mingguan Penabur pada tahun 1955. Setelah Ojong meninggal
dunia, Jacob Oetama-lah yang menjadi nakhoda membesarkan Kompas.
Dewasa ini Kompas menjadi surat kabar terkemuka di Indonesia dalam
rumpun usaha Kelompok Kompas Gramedia (KKG).
Menurut Hamad (2004:116), nama Kompas sering diplesetkan dengan
Komando Pastor atau Komando Pak Seda. Tentulah ini ada dasarnya. Ketika
harian ini akan didirikan, situasi saat itu – yakni tahun 1963, surat kabar
mempunyai afiliasi politik – mengharuskan Kompas memiliki afiliasi politik
juga. Akhirnya, Kompas pun berafiliasi dengan Partai Katolik yang diketuai
Frans Seda.
Kehadiran Republika tidak dapat dipisahkan dari kelahiran Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Republika lahir sebagai perwujudan
salah satu program ICMI. Yang terakhir ini terbentuk 5 Desember 1990.
Melalui Yayasan Abdi Bangsa yang dibentuk 17 Agustus 1992, ICMI
menetapkan tiga program utama; (1) Pengembangan Islamic Centre; (2)
Pengembangan Centre for Information and Development Studies (CIDES)
dan: (3) penerbitan harian umum Republika.
10
Penerbitan Pers sesuai UU Pokok Pers harus berbadan usaha.
Untuk itulah Yayasan Abdi Bangsa mendirikan PT Abdi Bangsa pada 28
November 1992. Sebulan kemudian, 19 Desember 1992 Republika
memperoleh Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan mulai resmi
berdiri 4 Januari 1993.
Untuk memahami Republika kita harus mengetahui ICMI. Organisasi
ini bukanlah sekadar perkumpulan cendekiawan muslim, melainkan juga
sebagai perhimpunan kekuatan politik Islam yang pada masa-masa 70-an
dan 80-an banyak dipinggirkan oleh rezim Golkar dan militer (Hamad, 2004).
Dengan motor penggerak utama B.J.Habibie (Menristek yang kemudian
menjadi wakil presiden dan presiden), ICMI lahir dan bergerak penuh
dengan muatan politik Islam.
Ideologi Republika adalah ideologi pemiliknya, PT Abdi Bangsa, yaitu
kebangsaan, kerakyatan, dan keislaman dengan tujuan mempercepat
terbentuknya masyarakat madani (civil society). Orientasi inilah yang sehari-
hari dituangkan Republika dalam bentuk informasi dan sajian lainnya.
Republika menampilkan Islam dalam wajah moderat (Hamad,2004:122).
Koran Tempo terbentuk karena adanya perkembangan pesat dialami
majalah Tempo. Ketika Tempo memasuki usia yang ke-30 pada 2 April 2001
diterbitkanlah Koran Tempo. Kehadiran Koran Tempo bertujuan untuk
mengembalikan prinsip-prinsip jurnalistik harian yang terabaikan, yaitu:
cepat, lugas, tajam, dan ringkas.
Dalam pandangan Hall (1982), pada proses produksi berita terdapat
tiga ideologi profesional jurnalis sebagai berikut. Pertama, nilai berita. Tiap
hari terdapat ribuan peristiwa di seluruh dunia, tetapi tidak semua peristiwa
11
bisa disebut sebagai berita. Karena dalam ideologi jurnalis, sebuah peristiwa
itu bisa diangkat sebagai berita tergantung pada nilai berita yang
dikandungnya, mulai dari ketokohan, konflik, menimbulkan keharuan atau
justru ketakutan, humor, atau bisa juga dramatik. Ideologi ini secara tidak
langsung mengonstruksi peristiwa, yang hanya peristiwa tertentu yang layak
disebut berita. Ideologi ini menentukan dan mengontrol kerja jurnalis.
Reporter di lapangan akan memilah peristiwa yang diberitakan. Redaktur di
kantor akan memilah berita bernilai tinggi untuk ditempatkan di halaman
depan. Bagian desain akan membuat ilustrasi untuk peristiwa bernilai tinggi
dan seterusnya.
Kedua, kategori berita. Setelah peristiwa didefinisikan sebagai berita,
pada tingkat ini redaksi mempunyai pandangan professional yang dikenal
sebagai kategori berita. Peristiwa tertentu yang dikategorikan sebagai berita
hangat (hard news) harus disajikan sesegera mungkin. Peristiwa lain yang
tidak membutuhkan kecepatan dalam pelaporan dikategorikan
sebagai feature.
Ketiga, objektivitas. Ideologi ini berhubungan dengan prosedur dan
standar kerja redaksi. Produksi berita pada dasarnya adalah proses
mengolah peristiwa menjadi informasi yang disebarkan kepada khalayak,
bahwa yang disajikan oleh jurnalis adalah kebenaran. Dalam pemberitaan,
yang dapat menjamin laporan jurnalis tersebut benar nyata (terjadi) adalah
objektivitas (ideologi profesional) yang dibentuk dari ketaatan atas sejumlah
prosedur kerja profesional, antara lain, fakta harus dicek ulang, laporan
harus berimbang, dan meliput dua sisi (cover both sides).
12
Kehadiran Koran Tempo lebih didorong oleh kepentingan konfergensi
dan ekonomi media. Majalah Tempo yang sudah merasa besar merasa
perlu memiliki usaha lain, sehingga didirikanlah Koran Tempo yang terbit
setiap hari, berjalan seiring dengan media daringnya www.tempo.co. dan
mengimbangi Tempo versi majalah terbit mingguan dengan laporan yang
mendalam dan investigatif.
Berikut sampel teks berita tiga media cetak yang dijadikan objek di
dalam penelitian ini.
Tabel 1 SAMPEL TEKS BERITA No. Media Contoh Teks Wacana edisi
1. Harian Kompas
Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengungkap satu rahasia saat menyampaikan pidato penutupan Musyawarah Nasional IX Partai Golkar, Kamis (4/12). Rahasia yang diungkap adalah tanggapan istri, Tatty Murnitriati setelah Aburizal kembali ditetapkan sebagai ketua umum periode 2014-2019. Aburizal menuturkan, dia mendapat banyak ucapan selamat sesaat setelah ditetapkan sebagai ketua umum. Ucapan itu tak hanya disampaikan langsung, tetapi juga masuk dari telepon genggamnya melalui layanan pesan singkat. ‘’Saya kasih tahu rahasia. Tapi pas saya sampai, istri saya bilang ‘masih mau diuyel-uyel lima tahun lagi? Sudah dihina-hina. Saya ketawa saja,’’ kata Aburizal disambut tawa peserta dan tamu Munas IX.
4-12-2014
2. Harian Republika
Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar pada Rabu (3/12) menetapkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum periode 2014-2019. Ical ditetapkan secara aklamasi menyusul tidak adanya calon ketua umum selain pria yang dikenal dengan nama Ical ini. ‘’Dengan begitu, Aburizal Bakrie telah mendapat dukungan 100 persen dari pemegang hak suara,’’ kata Ketua Sidang Munas Nurdin Halid, yang memimpin jalannya proses pemilihan ketua umum di Hotel Westin Nusa Dua, Bali, Rabu (3/12).
4-12-2014
3. Koran Tempo Rombongan Agus juga tidak bisa masuk ke ruangan, karena dikunci dengan sistem sidik jari. Satu-satunya pemegang akses adalah Sekretaris Fraksi Fayakhun Andriadi. Agus Gumiwang menuding Fayakhun juga kehilangan akses, karena sistem pengamanan sudah diganti. Akibat tidak masuk, Agus memilih melaporkan Ade Komaruddin dan Bambang Soesatyo ke Markas Besar Polri. ‘’Kami laporkan dengan perbuatan melawan hukum,’’ kata Agus.
4-12-2014
13
Berdasarkan tabel di atas terlihat ketiga media cetak pada edisi yang
sama menurunkan berita terpilihnya ARB sebagai Ketua Umum Partai
Golkar dalam Munas Bali dari sudut pandang yang berbeda. Kompas tidak
memfokuskan terpilihnya ARB sebagai Ketua Umum Partai Golkar, tetapi
lebih memilih mengangkat kisah istrinya di balik keterpilihan suaminya.
Kompas pun mengungkapkan pernyataan Aburizal Bakrie yang
menginformasikan banyaknya ucapan selamat yang disampaikan kepadanya
yang sangat kontradiktif dengan apa yang dikemukakan istrinya. Menilik
berita yang diturunkan media ini memperlihatkan keberpihakan kepada ARB
karena ada penonjolan informasi tunggal mengenai ARB.
Jika dilihat dari piranti kebahasaan berdasarkan elemen semantik
struktur mikro variabel latar, komunikator, dalam hal ini ARB mengisahkan
respons atas keberhasilannya terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Dengan pemaparan teks ini, Kompas telah menempatkan ARB pada posisi
yang menguntungkan, sehingga kubu lawannya, AL, terpinggirkan.
Berdasarkan variabel latar, Kompas berpihak kepada ARB.
Akan tetapi jika kita menganalisis berdasarkan perangkat framing
dengan variabel frasa yang merujuk pada kata ‘’diuyel-uyel’’ dan ‘’sudah
dihina-hina’’, jelas mengindikasikan merusak citra ARB dan pada sisi lain
kubu AL terindikasi diuntungkan, sehingga Kompas melalui variabel frasa
analisis perangkat framing ini cenderung berpihak kepada AL.
Republika memberitakan terpilihnya ARB apa adanya. Jika dianalisis
berdasarkan variabel maksud elemen semantik pada struktur mikro, media
ini cenderung mengindikasikan berpihak terhadap ARB. Sebab, media
cenderung mengemukakan yang positif saja terhadap ARB, misalnya melalui
14
kalimat ‘’terpilih secara aklamasi menyusul tidak adanya calon ketua umum
selain pria yang dikenal dengan nama Ical ini’’. Begitu pun dengan kalimat
‘’Dengan begitu, Aburizal Bakrie telah mendapat dukungan 100 persen dari
pemegang hak suara’’.
Akan tetapi jika dianalisis berdasarkan perangkat framing variabel
frasa, khususnya merujuk pada frasa ‘’aklamasi’’ jelas mengindikasikan
bahwa suksesi ketua umum Partai Golkar tersebut berlangsung tidak
demokratis karena publik sudah mengetahui dari pemberitaan media
terdapat beberapa calon ketua umum. Frasa ‘’aklamasi’’ dapat bermakna
bahwa pemilihan ketua umum berlangsung tidak fair, sehingga Republika
tertindikasi berpihak kepada AL.
Adapun Koran Tempo mengangkat berita sebagai akibat dari
terpilihnya ARB sebagai Ketua Umum Partai Golkar, yakni terjadinya konflik
di dalam tubuh Fraksi Partai Golkar di DPR. Berdasarkan analisis struktur
mikro elemen semantik dengan variabel maksud media ini menonjolkan
peran kubu AL yang diwakili Agus Gumiwang yang termasuk salah seorang
yang dipecat ARB. Informasi mengenai situasi yang dialami Agus dan
rombongannya yang ‘’tidak bisa masuk ke ruangan, karena dikunci dengan
sistem sidik jari’’ memberikan kesan negatif terhadap kubu ARB. Apalagi
dengan adanya kalimat ‘’Kami laporkan dengan perbuatan melawan hukum’’,
jelas memarginalkan posisi kubu ARB, sehingga Koran Tempo melalui piranti
kebehasaan elemen semantik variabel maksud cenderung berpihak kepada
AL.
Demikian halnya jika dilihat dari variabel frasa analisis perangkat
framing yang merujuk pada frasa ‘’menuding Fayakhun’’ jelas
15
memarginalkan ARB, sehingga pada variabel ini pun Koran Tempo
cenderung berpihak pada AL.
Demikian salah satu contoh analisis teks berdasarkan piranti
kebahasaan elemen semantik struktur mikro dan variabel frasa analisis
perangkat framing dalam penelitian ini untuk mengungkapkan keberpihakan
media terhadap berita konflik Partai Golkar.Dengan demikian akan dapat
diungkapkan bukti kebahasaan bahwa media cetak sulit berposisi netral
dalam memberitakan konflik Partai Golkar. Keberpihakan ini dapat dianalisis
dari isi pemberitaan (teks berita) dan wacana yang dimuat melalui ketiga
media cetak tersebut dengan menggunakan model AWK (Critical Discourse
Analysis).
Berikut beberapa alasan dipilih permasalahan tersebut sebagai objek
kajian:
Pertama, dari berbagai referensi yang diperoleh menunjukkan bahwa
penggunaan AWK yang menitikberatkan pada aspek kebahasaan terhadap
berita konflik suatu partai di Indonesia dalam media cetak selama ini belum
pernah diteliti, lebih khusus lagi yang mengungkapkan keberpihakan media.
Penelitian berkaitan dengan AWK dilakukan oleh Badara (2012) berjudul
’’Analisis Wacana, Teori Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media’’.
Penelitian tersebut membahas konten berita beberapa surat kabar yang
dijadikan sampel, sedangkan penelitian ini secara khusus difokuskan pada
AWK terhadap teks berita konflik Partai Golkar yang dimuat tiga media
cetak yang masing-masing dinilai sebagai media yang bersifat netral.
Dikatakan netral, karena media tersebut dimiliki dan diterbitkan oleh mereka
16
yang tidak terlibat di dalam dunia politik sehingga dalam pemberitaannya
lebih mengedepankan keberimbangan.
Kedua, analisis wacana berita media cetak merupakan kajian
kebahasaan yang menarik karena dapat mengungkapkan kecenderungan
pemberitaan media terhadap realitas yang terjadi di masyarakat. Melalui
analisis ini diharapkan terungkap praktik media memanfaatkan bahasa untuk
mengakomodasi kepentingan-kepentingan pihak tertentu yang terlibat di
dalam suatu pemberitaan, termasuk aktor yang ada di belakang pemberitaan
serta kecenderungan media mengungkapkan keberpihakannya pada salah
satu pihak. Melalui analisis ini dapat diungkap ketimpangan kekuasaan
yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat
Fairclough dan Wodak yang melihat AWK dapat menyelidiki bagaimana
penggunaan bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan
mengajukan versinya masing-masing. (Badara, 2012: 28)
Ketiga, melalui media cetak dari kajian AWK dicoba dilihat bagaimana
media membingkai suatu berita (analisys framing) dalam memahami
seseorang atau kelompok atau peristiwa tertentu yang akan ditulis. Kita
mengambil contoh konkret ketika berlangsung pemilihan presiden pada
tahun 2014 melalui dua media TV, yakni Metro TV dengan TVOne.
Keduanya mendukung kepentingan dua kekuatan koalisi partai politik
masing-masing.
Keempat, dapat mengungkapkan praktik media memanfaatkan pihak
lain (pihak ketiga) untuk menyatakan pendapatnya tentang konflik suatu
partai politik yang dapat dianggap seirama dengan pandangan media
tersebut. Biasanya media cetak memanfaatkan para pakar yang sesuai
17
dengan kompetensinya sebagai narasumber untuk menganalisis suatu
konflik partai politik yang terjadi. Oleh sebab itu, sering kita menemukan satu
media memanfaatkan pakar tertentu untuk mengomentari suatu masalah,
termasuk dalam kaitannya dengan konflik Partai Golkar ini.
Kelima, konflik merupakan salah satu dari sejumlah elemen penting
dalam berita. Media selalu menempatkan berita yang mengandung konflik
pada halaman depan media cetak dan berita awal pada radio dan televisi.
Dalam berbagai peristiwa selalu ada konflik dan ketegangan yang menjadi
daya tarik bagi khalayak. Konflik hampir melanda semua ranah kehidupan
dan aktivitas manusia, baik di bidang politik, olahraga, kriminal, kekerasan
rumah tangga, lembaga pemerintah, maupun parlemen, yang pada
umumnya bersentuhan dengan perbedaan opini. Rolnicki dkk. (2008:12-13)
mengatakan, kebanyakan berita konflik memuat nilai berita lain, seperti
drama dan keganjilan, dan karenanya menimbulkan dampak emosional. Hal
seperti ini amat menarik bagi banyak pembaca dan karenanya media
terkadang melebih-lebihkan unsur ini. Konflik bisa berupa konflik fisik dan
mental. Bahkan berita tentang ide seseorang versus pandangan orang lain
biasanya diwarnai dengan konflik. Semakin menonjol pertentangannya,
makin besar nilai berita.
Pemilihan narasumber yang sangat lazim digunakan oleh media
karena cenderung dikaitkan dengan hubungan emosional narasumber
dengan pihak yang bermasalah, dalam hal ini partai yang berkonflik. Menurut
Siregar (2014:233), media atau jurnalis bisa saja tidak independen jika
dinyatakan secara terbuka sejak awal. Masalah independen dan netralitas itu
adalah dua hal yang berbeda. Tetapi intinya, media harus berpihak kepada
18
kepentingan umum. Dalam hal kasus konflik Partai Golkar, kepentingan
umum yang dimaksudkan di sini adalah masyarakat umum, baik simpatisan
Partai Golkar maupun yang bukan pendukungnya. Mereka menginginkan
konflik tersebut berakhir.
Dalam kasus berita konflik Partai Golkar ini berdasarkan tesis, ketiga
media tersebut dalam berita-berita tertentu menempatkan diri netral, tetapi
juga pada berita yang lain berpihak. Realitas ini ditentukan oleh konten dan
narasumber berita yang diperoleh para wartawan. Narasumber tertentu ada
yang cenderung sama sekali memihak kepada salah satu kubu, tetapi ada
juga narasumber yang cukup moderat dan selalu menempatkan diri secara
berimbang atau tidak memihak. Oleh sebab itu, tidak mengherankan Kompas
pada salah satu beritanya cenderung memihak kepada Aburizal Bakrie,
namun pada berita lain bisa memihak Agung Laksono. Hal ini disebabkan
konten dan narasumber yang dipilih media dalam memproduksi teks berita.
Akan tetapi pada intinya memperlihatkan bahwa media cenderung berpihak.
Tiga media tersebut dalam memberitakan konflik Partai Golkar
cenderung selalu berbeda dalam pemilihan topik atau tema pemberitaannya.
Hal ini disebabkan setiap media selalu berkompetisi tampil dengan isi berita
yang berbeda antara satu sama lainnya. Meskipun wartawan ketiga media
tersebut hadir dalam satu acara, misalnya dalam konferensi pers, saat
semua informasi yang diberikan kepada media yang hadir sama, tetapi
Kompas misalnya selalu berusaha mencari informasi yang berbeda dengan
yang dijelaskan narasumber. Salah satu trik yang dilakukan adalah ketika
sesi tanya jawab dengan narasumber, Kompas tidak akan bertanya dengan
semua pertanyaan yang hendak diajukan. Selalu ada pertanyaan kunci yang
19
akan diajukan ke narasumber ketika acara jumpa pers selesai. Wartawan
tersebut akan berusaha mengajukan pertanyaan kunci tersebut kepada
narasumber ketika akan menuju kantor atau kendaraannya, sehingga
informasi yang diperolehnya berbeda dengan wartawan lain yang menghadiri
acara tersebut. Oleh sebab itu, sulit menemukan ada konten dan substansi
berita yang sama dari ketiga media yang dijadikan sampel.
Berita konflik Partai Golkar ini dianalisis dengan menggunakan teori
AWK van Djik, yakni dengan melihat struktur mikro yang berkaitan aspek
semantik dengan variabel analisis terdiri atas elemen latar, detil, dan
maksud. Pemilihan variabel ini dianggap dapat mewakili analisis teks
wacana berita konflik Partai Golkar dari sisi piranti kebahasaan. Misalnya
dalam pemberitaan yang mengungkapkan masalah latar yang menjadi
elemen analisis semantik Kompas menurunkan berita yang mengungkapkan
‘’dukungan daerah terhadap Aburizal Bakrie untuk mencalonkan diri sebagai
ketua umum Partai Golkar’’ (K.27-11-2014).
Latar yang dikemukakan Kompas ini melegitimasi kuatnya dukungan
dan berpihak pada ARB. Republika dalam pemberitaannya 4 Desember
2014 menurunkan berita ‘’Ical menjadi satu-satunya calon ketua umum
setelah dua bakal calon lain, MS Hidayat dan Airlangga Hartarto menyatakan
mundur’’. Berita ini juga menguntungkan ARB, sehingga dianggap berpihak
kepada ARB. Koran Tempo pun menonjolkan dukungan terhadap ARB
sebagaimana dilansir melalui beritanya tanggal 26 November 2014.’’
Aburizal mengklaim telah didukung oleh 463 dari 560 pemegang suara
dalam mausyawarah nasional’’. Koran Tempo melalui berita ini pun
menunjukkan keberpihakan kepada ARB.
20
Melalui teori Fairclough analisis wacana dibagi ke dalam dimensi
teks, praktik wacana (discourse practise), dan praksis sosiokultural
(sociocultural pratice). Di sini dipilih analisis dari sisi praksis sosiokultural
karena aspek praktik wacana tidak menggunakan data teks, tetapi lebih
kepada bagaimana proses suatu teks diproduksi oleh media dan dikonsumsi
oleh khalayak.
Sementara untuk teori William Gamson digunakan analisis perangkat
framing yang terdiri atas: framing device (perangkat bingkai) mencakup
metafora dan frasa dan reasoning device (perangkat penalaran) yang
berkaitan dengan kausalitas (sebab akibat).
Penelitian terhadap teori van Dijk didasarkan pada pemikiran bahwa suatu
wacana dapat dianalisis dari struktur mikro yang mencakup aspek semantik
untuk melihat pemaknaan di dalam teks wacana berita dengan
menggunakan tiga variabel yang dianalisis. Melalui analisis wacana dari segi
semantik dapat diungkapkan latar suatu peristiwa di dalam wacana; detil,
yakni kendali informasi yang ditampilkan seseorang baik yang
menguntungkan maupun merugikan suatu pihak, dan; maksud, yakni
elemen yang menguntungkan komunikator diuraikan secara eksplisit dan
jelas dan sebaliknya aspek yang merugikan diuraikan tersamar.
Teori Norman Fairclough digunakan karena dapat mengungkapkan
piranti kebahasaan dari aspek sosiokultural yang mencakup elemen
situasional, yakni bagaimana situasi ketika teks diproduksi. Adapun aspek
institusional berkaitan dengan bagaimana dalam praktik produksi teks
wartawan dan media dipengaruhi oleh institusi secara internal atau
eksternal. Sementara aspek sosial lebih dititikberatkan untuk melihat pada
21
aspek makro seperti sistem politik, ekonomi, dan budaya masyarakat secara
keseluruhan.
Teori William Gamson digunakan untuk melihat bagaimana wartawan
membuat berita sebagai bentuk kegiatan mengonstruksi realitas.
Kecenderungan wartawan mengonstruksi realitas ini dapat dilihat dari sisi
perangkat bingkai (framing device) dan perangkat penalaran (reasoning
device)..
Ketiga teori ini akan saling terkait, yakni bagaimana piranti
kebahasaan diungkap melalui pemaknaan (semantik) pada teori van Dijk
juga dapat digunakan untuk mengungkapkan aspek sosiokultural model
Fairclough. Pengungkapan pemaknaan dan pengungkapan hubungan
sosiokultural teks juga dapat berkontribusi pada analisis framing yang
digunakan wartawan dalam mengonstruksi realitas. Berdasarkan hubungan
tersebut, ketiga teori ini saling melengkapi dalam penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, permasalahan yang
hendak diungkapkan di dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimana struktur mikro, khususnya elemen semantik dalam
mengungkapkan keberpihakan media terhadap berita konflik Partai
Golkar.
2. Bagaimana praksis sosiokultural dapat mengungkapkan
keberpihakan media terhadap berita konflik Partai Golkar.
3 Bagaimana perangkat framing dapat menjelaskan keberpihakan
media terhadap berita konflik Partai Golkar.
22
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian adalah:
1. Untuk menjelaskan piranti kebahasaan, khususnya aspek semantik
dalam mengungkapkan keberpihakan media dalam produksi teks
terhadap berita konflik Partai Golkar.
2. Untuk mengungkapkan aspek praksis sosiokultural dalam
mengungkapkan keberpihakan media terhadap berita konflik Partai
Golkar.
3. Untuk mendeskripsikan bagaimana media membingkai peristiwa
(framing) dalam mengonstruksi realitas untuk mengungkapkan
keberpihakan media dalam pemberitan konflik Partai Golkar.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi ilmu pengetahuan
antara lain:
1. Teoretis:
Secara teoretis penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
a. Kepentingan teoretis terhadap kajian linguistik, khususnya
berkaitan dengan AWK wacana media massa.
b, Memberikan sumbangan dan bandingan terhadap teori-teori
linguistik, sosiolinguistik, wacana, dan pragmatik, khususnya
yang berkaitan dengan wacana konflik sebuah partai.
2. Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan:
23
a. dapat memberi manfaat dan koreksi terhadap penggunaan
bahasa melalui pemberitaan, khususnya yang direpresentasikan
oleh berita ketiga media cetak, terutama menyangkut berita
konflik suatu partai.
b. Mengaplikasikan berbagai varian wacana, khususnya kajian
wacana kritis terhadap berita tentang konflik internal Partai
Golkar yang dimuat di harian Kompas, harian Republika, dan
Koran Tempo.
24
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Analisis Wacana Kritis (AWK)
Analisis Wacana Kritis (AWK) merupakan satu pendekatan
kontemporer dalam mengkaji bahasa dan wacana dalam berbagai institusi
sosial. Para peneliti AWK terutama berutang budi kepada sejumlah
intelektual, yakni Teun van Dijk, Norman Fairclough, Gunther Kress, van
Leeuwen, dan Wodak yang dalam simposium kecil di Universitas Amsterdam
mencetuskan Critical Discourse Analysis (CDA) pada Januari 1991. Segera
setelah munculnya CDA tersebut, nama-nama seperti Michael Fowler,
Antonio Gramsci, sekolah Frankfurt, dan Louis Althusser mengembangkan
kajian AWK ini. Stuart Hall termasuk salah seorang yang berhasil
menerjemahkan dengan baik teori Gramsci mengenai hegemoni di satu sisi
dan teori Althusser tentang ideologi bersama koleganya di Center for
Contemporary Cultural Studies at Birmingham di Inggris.
Fairclough dan Wodak (1997, dalam Eriyanto, 2001) menyebutkan,
AWK melihat pemakaian bahasa, baik tuturan maupun tulisan yang
merupakan bentuk praktik sosial. Wacana sebagai praktik sosial
menimbulkan sebuah hubungan dialeksis di antara peristiwa deskriptif
tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya.
Wacana dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang
tidak seimbang antara kelas sosial.
AWK dalam dua pengertian (Titscher, dkk.2000:144-145; Wodak
2006:9-12) dalam Subagio dan Kone (2017):
25
Pertama, AWK berdasarkan pada gagasan-gagasan kritis sekolah
Frankfurt, khususnya Hibermas. Dia mengatakan, AWK harus merefleksikan
dan mengindahkan konteks historis dan interaksi yang dilibatinya.
Kedua, AWK merupakan kelanjutan dari tradisi linguistik kritis. Istilah
linguistik kritis pertama kali muncul dalam kaitannya dengan kajian para
pengikut Halliday (terutama Roger Fowler, Gunter Kress, dan Bob Hudge)
tentang fungsi bahasa dalam masyarakat.
Hasil analisis wacana kritis pemberitaan mengenai konflik internal
Partai Golkar dapat mengungkapkan banyak kecenderungan kebahasaan
dan kepentingan, baik kecenderungan dan kepentingan masyarakat dan
kelompok, maupun kecenderungan dan kepentingan politik, dalam hal ini
kekuasaan. Kecenderungan dan kepentingan ini dapat diketahui dengan
menggunakan analisis wacana kritis (AWK), yakni bagaimana para pihak
menggunakan dan memanfaatkan bahasa untuk menyampaikan
kepentingan dan memenangkan wacana publiknya masing-masing.
Berdasarkan wacana (bahasa) kita dapat mengetahui bagaimana
suatu masyarakat, kelompok, dan kekuasaan memiliki kepentingan dalam
suatu konflik wacana, seperti yang terjadi dan melandai Partai Golkar.
Menurut A.S. Hikam dalam Eriyanto (2001:4), paling tidak ada tiga
pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana.
Pertama, diwakili oleh kaum positivisme-empiris, yang melihat bahasa
sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-
pengalaman manusia dapat dianggap secara langsung diekspresikan melalui
penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan
dengan memakai kenyataan-kenyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki
26
hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri antara pemikiran ini
adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan
analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak
perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari
pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu
dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis atau semantik. Oleh
sebab itu, tata bahasa kebenaran adalah bidang utama dari aliran ini.
Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat
bahasa dan pengertian bersama. Wacana kemudian diukur dengan
pertimbangan kebenaran/ ketidakbenaran (menurut sintaksis dan semantik).
Kedua, disebut sebagai konstruktivisme yang dipengaruhi oleh
pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan
empirisme/positivisme yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Aliran
konstruktivisme memandang bahwa bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai
alat untuk memahami realitas objektivitas belaka dan yang dipisahkan dari
subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap
subjek sebagai aktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-
hubungan sosialnya. Subjek menurut Hikam (Eriyanto, 2001:5) memiliki
kemampuan mengontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap
wacana.
Dalam paradigma ini bahasa dipahami diatur dan dihidupkan oleh
pernyataan-pernyataan yang yang bertujuan. Setiap pernyataan pada
dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan
diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Wacana adalah suatu
upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang
27
mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan ini dilakukan dengan
menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti
struktur makna dari pembicara.
Ketiga, disebut pandangan kritis. Pandangan ini ingin mengoreksi
pandangan konstruktivisme yang dianggap kurang sensitif pada proses
produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun
institusional. Pandangan konstruktivisme menurut Hikam (Eriyanto, 2001:6)
masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang yang
inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan membentuk
jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Hal inilah yang
melahirkan paradigma kritis.
Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ ketidakbenaran
struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis
konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada
konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi
makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa
menafsirkan secara bebas sesuai pikirannya, karena sangat berhubungan
dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa
di sini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si
pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi
yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana
tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh sebab itu, analisis
wacana dipakai untuk membongkar dan mengungkap kuasa yang ada di
dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan
menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, dan topik apa yang
28
dibicarakan. Karena menggunakan wacana kritis, maka kategori ini juga
disebut sebagai analisis wacana kritis (Critical Discouse Analysis) untuk
membedakannya dengan kategori kesatu dan kedua (Discourse Analysis).
Untuk menyempurnakan pandangan tersebut, Fairclough (1995)
mengemukakan pengertian wacana secara komprehensif dari pandangan
kritis. Dia mengemukakan, wacana harus dipandang secara simultan, yaitu
sebagai (1) teks-teks bahasa, baik lisan maupun tulisan, (2) praksis
kewacanaan, yaitu produksi teks dan interpretasi teks, (3) praksis
sosiokultural, yaitu perubahan-perubahan masyarakat, institusi, budaya,
yang menentukan bentuk dan makna sebuah wacana.
Ketiga dimensi wacana oleh Fairclough (1995:98) disebutnya sebagai
’’dimensi wacana’’, menganalisis wacana secara kritis pada hakikatnya
adalah menganalisis tiga dimensi wacana secara integral. Ketiga dimensi
tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan yang lainnya.
Studi mengenai analisis wacana kritis juga dilakukan oleh sekelompok
pengajar di Universitas Eart Anglia yang menganut aliran linguistik Eropa
Kontinental, terdiri atas Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan
Tony Trew yang menandai munculnya buku Critical Linguistic yang
memandang bahwa bahasa sebagai praktik sosial. Para linguis kritis percaya
bahwa plihan bahasa dibuat menurut seperangkat kendala seperti ideologi,
politik, sosial, dan kultural. Implikasikanya, masyarakat dapat dimanipulasi
dalam aturan yang baik sesuai dengan apa yang dikehendaki dan dinilai
peran dan statusnya ke dalam dikotomi atasan-bawahan, superior-inferior
melalui strategi sosial yang melibatkan aspek kekuasaan, aturan,
29
subordinasi, solidaritas, kohesi, antagonisme, kesenangan yang semuanya
merupakan bagian integral dari sistem kontrol masyarakat. (Darma,
2009:84).
Dalam membentuk model analisisnya, Fowler dkk mendasarkan pada
teori Halliday, yaitu mengenai struktur dan fungsi bahasa yang menjadi dasar
struktur tata bahasa yang kemudian dikomunikasikan kepada khalayak.
Pandangan Halliday (1978, 1985) ini meliputi (1) bahasa sebagai semiotis
sosial, (2) fungsi bahasa menyangkut tiga komponen fungsi semantis, yaitu
ideasional, interpesonal, dan tekstual. Fowler dkk meletakkan tata bahasa
dan praktik pemakaiannnya untuk mengetahui praktik ideologi.
Ahli lain yang membahas kajian analisis wacana ini adalah Theo van
Leuwen yang memperkenalkan model analisis wacana untuk mendeteksi
dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarginalkan
posisinya di dalam suatu wacana. Analisis ahli ini secara umum
menampilkan bagaimana pihak-pihak dan aktor (bisa individu atau kelompok)
ditampilkan dalam pemberitaan.
Ada dua pusat perhatian yang menjadi fokus kajian Leeuwen, yakni;
Pertama, proses pengeluaran (ekslusi) apakah dalam suatu teks berita,
adakah aktor atau kelompok yang dikeluarkan dari pemberitaan dan strategi
wacana apa yang dipakai untuk itu. Proses pengeluaran ini, secara tidak
langsung bisa mengubah pemahaman khalayak terhadap sesuatu itu dan
melegitimasi posisi penalaran tertentu, contoh berita mengenai perkosaan.
Apakah laki-laki dan perempuan ditampilkan secara utuh ataukah ada pihak
yang dikeluarkan dari teks. Kalau laki-laki dikeluarkan dari teks, maka
pemahaman yang muncul adalah bukan laki-laki yang salah. Pemerkosaan
30
itu adalah masalah perempuan itu sendiri, perempuanlah yang menjadi
penyebab sehingga diperkosa.
Kedua, proses memasukkan (inclusion), yakni yang berhubungan
dengan pertanyaan bagaimana masing-masing pihak atau kelompok
ditampilkan lewat pemberitaan. Baik proses ekslusi maupun inklusi
menggunakan apa yang disebut sebagai strategi wacana. Dengan memakai
kata, kalimat, informasi, atau susunan bentuk kalimat tertentu, cara bercerita
tertentu, masing-masing kelompok diinterpretasikan dalam teks. (Darma,
2009:85).
Salah seorang yang tidak dapat dilupakan dalam kajian wacana ini
adalah William A. Gamson. Gagasannya terutama menghubungkan wacana
media di satu sisi dengan pendapat umum di sisi yang lain dengan
menggunakan analisis bingkai (framing analysis). Dalam pandangan
Gamson, wacana media adalah elemen penting untuk memahami dan
mengerti pendapat umum yang berkembang atau suatu isu atau peristiwa. Ia
menyebutkan, pendapat umum tidak cukup hanya didasarkan pada data
survei khalayak, tetapi data.tersebut perlu dihubungkan dan diperbandingkan
dengan bagaimana media mengemas dan menyajikan suatu isu. Bagaimana
media menyajikan suatu isu, menentukan bagaimana khalayak mehami dan
mengerti suatu isu.
2. Pengertian Wacana dan AWK
Akhir-akhir ini wacana menjadi objek kajian yang menarik, karena di
dalam wacana terdapat pandangan dan gagasan yang terkandung dari
subjek dan objek pengguna bahasa. Banyak pakar memberikan pendapat
31
mengenai wacana, misalnya, Kridalaksana (1993:231) menyebutkan bahwa
wacana (discourse) merupakan satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki
gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk
karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.), paragraf, kalimat,
atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
Wacana menurut Collins Concise English Dictionary,1988 (Eriyanto,
2001:2); 1. Komunikasi verbal, ucapan, percakapan; 2. Sebuah perlakuan
formal dari subjek dalam ucapan atau tulisan; 3. sebuah unit teks yang
digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat.
Adapun di dalam Longman Dictionary of the English Language, 1984
(Eriyanto, 2001:2) disebutkan, wacana: 1. sebuah percakapan khusus yang
alamiah formal dan pengungkapannya diatur pada ide dalam ucapan dan
tulisan; 2. pengungkapan dalam bentuk sebuah nasihat, risalah, dan
sebagainya sebuah unit yang dihubungkan ucapan atau tulisan.
Badudu (2003) dalam ’’Wacana’’ Kompas (20 Maret 2000)
mengemukakan bahwa wacana: 1. Rentetan kalimat yang berkaitan yang
menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya,
membentu satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di
antara kalimat-kalimat itu; 2. kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi
atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang
tinggi yang berkesinambungan, yang mampu memunyai awal dan akhir yang
nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.
Fenomena wacana dipandang Crystal (1985: 96) sebagai unit
linguistik yang lebih besar dari klausa atau kalimat sebagaimana terungkap
dalam A Dictionary of Linguistic and Phoentic. Dia mengemukakan bahwa
32
wacana dengan rangkaian sinambung bahasa, khususnya bahasa lisan
lebih luas dari kalimat. Wacana dianggap sebagai sebagai sekelompok
ujaran dari suatu peristiwa wicara yang dapat dikenali seperti lelucon, pidato,
dan khutbah dan wawancara. Sedangkan Stubbs (Darma, 2009:68)
mengartikan wacana sebagai organisasi bahasa di atas kalimat atau klausa,
dengan kata lain unit-unit linguistik lebih besar dari klausa atau kalimat
seperti pertukaran-pertukaran percakapan dan teks-teks tertulis. Sementara
Richard & Platt (1992: 96) (dalam Darma, 2009) mengemukakan bahwa
wacana merupakan istilah umum untuk contoh penggunaan bahasa, yaitu
bahasa yang diproduksi sebagai hasil tindak komunikasi.
Pandangan deskriptif mengenai wacana dikemukakan oleh Fairclough
di dalam bukunya berjudul Media Discourse (1995) yang dikutip Darma
(2009:69) sebagai berikut: (1) wacana dalam pandangan deskriptif terhalang
dalam dimensi penjelasan (eksplanasi) tentang bagaimana praksis-praksis
diskursif. Praktik wacana seperti ini menurut Fairclough adalah seperti
wawancara, pidato, dan dialog dibentuk secara sosial atau pengaruh
sosialnya. (2) prinsip interprestasi terhadap wacana yang salah satunya
menggunakan prinsip lokalitas sangat tidak memadai. Prinsip lokalitas
merupakan tuntutan kepada pendengar, pembaca, dan analisis wacana
untuk tidak menciptakan konteks yang lebih luas dan yang diperlukan agar
dapat diperoleh penafsiran yang paling mendekati maksud yang asli
diberikan oleh pemberi pesan.
Vaas (1992:9) dalam Titscher dkk. (2009:42-43) menjelaskan makna
’wacana’ sebagai berikut:
1. (secara umum): tuturan, percakapan, diskusi;
33
2. penyajian diskursif sederet pemikiran dengan menggunakan
serangkaian pernyataan;
3. serangkaian pernyataan atau ujaran, sederet pernyataan;
4. bentuk sebuah rangkaian pernyataan/ungkapan; yang dapat
berupa (arkeologi), wacana ilmiah, puitis, religius;
5. perilaku yang diatur kaidah yang menggiring ke arah latarnya
serangkaian atau sistem pernyataan-pernyataan yang saling
terkait (berbagai bentuk pengetahuan) (kedokteran, psikologi, dan
sebagainya) (misalnya, dalam karya Michel Angelo)
6. bahasa sebagai sesuatu yang dipraktikkan; bahasa tutur (misalnya
dalam karya Paul Ricoeur);
7. bahasa sebagai suatu totalitas; seluruh bidang linguistik;
8. mendiskusikan dan mempertanyakan kriteria validitas dengan
tujuan menghasilkan konsensus di antara peserta wacana
(misalnya, dalam karya Jurgen Habermas).
3. Pendekatan AWK
Penelitian ini menggunakan tiga teori, yakni model Teun van Dijk,
Norman Fairclough, dan William Gamson. Model van Dijk digunakan untuk
menjelaskan piranti kebahasaan berdasarkan variabel-variabel struktur mikro
untuk mengungkapkan keberpihakan media dalam pemberitan konflik Partai
Golkar. Teori Fairclough digunakan untuk mengungkapkan aspek
kebahasaan praksis sosiokultural dalam mengungkapkan keberpihakan
media dalam pemberitaan konflik Partai Golkar. Sedangkan teori Gamson
34
digunakan untuk menjelaskan keberpihakan media dalam berita konflik
Partai Golkar dari aspek perangkat framing.
3.1 Model van Dijk
Model van Dijk boleh jadi merupakan model yang paling banyak
digunakan karena dia mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga bisa
didayagunakan dan dipakai secara praktis. Model yang dipakai van Dijk
disebut sebagai ‘’kognisi sosial’’. Menurut van Dijk, penelitian atas wacana
tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks
hanya hasil dari suatu praktik produksi yang juga harus diamati.
Model analisis van Dijk berkaitan dengan ketiga dimensi wacana ini
selain menyangkut kognisi sosial, juga berkaitan dengan masalah teks dan
konteks. Dalam dimensi teks yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan
strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan tema tertentu. Sementara
yang berkaitan dengan konteks mencakup bagaimana konteks sosial,
struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam
masyarakat memengaruhi produksi teks.
Model van Dijk dalam penelitian ini memilih dimensi teks yang menurut dia
terdiri atas beberapa struktur/tingkat yang masing-masing saling mendukung.
Ia membagi ketiga struktur itu mencakup, struktur makro, superstruktur, dan
struktur mikro. Ketiga struktur teks tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
35
Tabel 2 Struktur Teks Model van Dijk
Struktur Makro Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topic/tema yang
diangkat oleh suatu teks.
Superstruktur Kerangka suatu teks seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan
kesimpulan Struktur Mikro
Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks.
Tabel: Eriyanto 2001:227
Menurut van Dijk, pemakaian kata, kalimat, preposisi, retorika tertentu
oleh media merupakan bagian dari strategi wartawan. Pemakaian kata-kata
tertentu, kalimat, gaya tertentu bukan semata-mata sebagai cara
erkomunikasi, melainkan dipandang sebagai politik berkomunikasi – suatu
cara untuk memengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan
memperkuat legitimas, dan menyingkirkan lawan atau penentang. Elemen
van Dijk dapat diuraikan sebagai berikut.
Tabel 3
Elemen Teori van Dijk Struktur Wacana Hal yang Diamati Elemen
Struktur Makro TEMATIK Tema/Topik yang dikedepankan dalam suatu berita
Topik
Superstruktur SKEMATIK Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh
Skema
Struktur Mikro SEMANTIK Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita. Misalnya dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit satu sisi dan mengurangi detil sisi lain.
Latar, Detil, Maksud, Pra-anggapan, Nominalisasi
Struktur Mikro SINTAKSIS Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih
Bentuk kalimat, Koherensi, kata Ganti
Struktur Mikro STILISTIK Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita
Leksikon
Struktur Mikro RETORIS Bagaimana dan dengan cara penekanan dilakukan
Grafis, Metafora, Ekspresi.
Tabel: Eriyanto,2011 hlm 228-229
36
Penulis memilih Teori van Dijk dalam penelitian ini pada struktur
wacana struktur mikro dengan hal yang diamati semantik yang mencakup
tiga variabel, yakni latar, detil, dan maksud sebagaimana pada tabel berikut
ini.
Tabel 4 Piranti kebahasaan yang diteliti Struktur Wacana Aspek yang Diamati Elemen/variabel
Struktur Mikro Semantik
Makna yang hendak disampaikan dalam teks berita
Latar, detail, maksud,
Ketiga elemen ini dipilih karena dianggap dapat merepresentasikan
analisis piranti kebahasaan dalam mengungkapkan keberpihakan media
dalam berita konflik Partai Golkar. Hasil analisis tersebut dapat berkorelasi
dengan hasil analisis menurut teori praksis sosiokultural Fairclough dan
analisis model perangkat framing teori Gamson yang mengindikasikan
kecenderungan keperpihakan media dalam pemberitaan konflik Partai
Golkar.
3.2 Model Fairclough
Norman Fairclough membangun suatu model analisis wacana yang
mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga dia
mengombinasikan tradisi analisis tekstual yang selalu melihat bahasa dalam
ruang tertutup dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Jadi, Fairclough
menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro.
Fairclough membagi analisis wacana ke dalam tiga dimensi, yakni
teks, discourse practice (praktik wacana), dan socialcultural practice (praksis
sosiokultural). Dalam pandangan Fairclough, teks dianalisis secara linguistic
37
dengan melihat kosakata, semantic dan tata kalimat. Ia juga memasukkan
koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata dan kalimat tersebut
digabung, sehingga membentuk pengertian. Semua elemen yang dianalisis
tersebut dipakai untuk melihat tiga masalah berikut.
Model teori Fairclough ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5 Model Teori Fairclough
Teks Discourse Practise Sociocultural Practise Kosakata
Semantik
Tata Kalimat
Produksi Teks
KonsumsiTeks
Situasional
Institusional
Sosial
Dari tiga dimensi teori Fairclough tersebut yang hendak diungkap
adalah:
Pertama, ideasional yang merujuk pada representasi tertentu yang
ingin ditampilkan dalam teks, yang umumnya membawa muatan ideology
tertentu. Kedua, relasi, merujuk pada analisis bagaimana konstruksi
hubungan di antara wartawan dengan pembaca, seperti apakah teks
disampaikan secara informal atau formal, terbuka atau tertutup. Ketiga,
identitas, merujuk pada konstruksi tertentu dan identitas wartawan dan
pembaca serta bagaimana personal dan identitas tersebut hendak
ditampilkan.
Di antara ketiga dimensi teori Fairclough ini, penulis memilih dimensi
praksis sosiokultural. Analisis terhadap dimensi ini didasarkan pada asumsi
bahwa konteks sosial yang ada di luar media memengaruhi bagaimana
wacana yang muncul dalam media. Ruang redaksi dan wartawan bukanlah
bidang atau kotak kosong yang steril, melainkan sangat ditentukan oleh
faktor di luar dirinya. Praksis sosiokultural ini memang tidak berhubungan
38
langsung dengan produksi teks, tetapi ia menentukan bagaimana teks
diproduksi dan dipahami oleh wartawan.
Bagaimana dimensi praksis sosiokultural ini menentukan teks,
menurut Fairclough, hubungan ini bukan langsung, melainkan dimediasi oleh
praktik wacana. Jika ideologi dan kepercayaan masyarakat itu paternalistic,
maka hubungannya dengan teks akan dimediasi oleh bagaimana teks
tersebut diproduksi dalam suatu proses dan praktik pembentukan wacana.
Pada dimensi praksis sosiokultural ini, Fairclough membuat tiga level
analisis, yakni level situasional, institusional, dan level sosial. Level
situasional adalah konteks sosial, bagaimana teks itu diproduksi di antaranya
memperhatikan aspek situasional ketika teks tersebut diproduksi. Teks
dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasana yang khas, unik, sehingga satu
teks bisa jadi berbeda dengan teks yang lain. Jika wacana dipahami sebagai
suatu tindakan, maka tindakan itu sesungguhnya upaya untuk merespons
situasi dan konteks sosial tertentu.
Dimensi praksis sosiokultural ini dapat digambarkan melalui tabel
berikut:
Tabel 6 Dimensi Praksis Sosiokultural
Dimensi Variabel Hal yang diamati
Praksis Sosiokultural
Situasional Konteks situasional ketika teks diproduksi
Institusional Bagaimana pengaruh institusi dan organisasi dalam produksi wacana
Sosial Bagaimana aspek social budaya ikut memengaruhi produksi teks wacana
3.3 Perangkat Framing Gamson
Analisis perangkat framing merupakan paradigma alternatif yang lebih
kritis untuk melihat realitas lain di balik wacana media massa. Sejumlah ahli
memperkenalkan analisis framing ini antara lain, Irvin Goffman, Murray
39
Edelman, Robert M.Entman, William A.Gamson, dan Andre Modigliani atau
Elizabeth C.Hanson. Dalam penelitian ini digunakan teori William A.Gamson.
Menurut Deddy Mulyana dalam Eriyanto (2011), analisis framing cocok
digunakan untuk melihat konteks sosial budaya suatu wacana, khususnya
hubungan antara berita dengan ideologi, yaitu proses atau mekanisme
mengenai bagaimana berita membangun, mempertahankan, memproduksi,
mengubah, dan meruntuhkan ideologi.
Gagasan Gamson terutama menghubungkan wacana media di satu
sisi dengan pendapat umum di sisi yang lain. Dalam pandangannya wacana
media adalah elemen yang penting untuk memahami dan mengerti pendapat
umum yang berkembang atas suatu isu atau peristiwa. Dalam formulasi
Gamson dan Modigliani, frame dipandang sebagai cara bercerita (story line)
atau gagasan ide yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan
konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu
wacana.(Eriyanto, 2011:261). Gamson melihat wacana media (khususnya
berita) terdiri atas sejumlah kemasan (package) yang menjadi wadah
konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk. Kemasan tersebut merupakan
skema atau struktur pemahaman yang dipakai oleh seseorang ketika
mengonstruksi pesan-pesan yang disampaikan dan menafsirkan pesan yang
diterima.
Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif
atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan
menulis berita. Cara pandang itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang
diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa
ke mana berita tersebut. Menurut Gamson dan Modigliani frame adalah cara
bercerita atau gugusan ide yang teorganisasi sedemikian rupa dan
menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan
40
objek dan wacana. Kemasan disebutnya sebagai rangkaian ide-ide yang
menunjukkan isu apa yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan.
Jika diberi kerangka, maka teori Gamson dapat dilihat sesuai tabel
berikut ini:
Tabel 7 Perangkat Framing Teori Gamson
Framing Devices (Perangkat Framing)
Reasoning Devices (Perangkat Penalaran)
Methapors Perumpamaan atau pengandaian
Roots Analisis kausal atau sebab akibat
Catchpharases Frase yang menarik, kontras, menonjol dalam suatu wacana. Ini umumnya berupa jargon atau slogan.
Appeals to principle Premis dasar, klaim-klaim moral.
Exemplaar Mengaitkan bingkai dengan contoh, uraian (bisa teori, perbandingan) yang memperjelas bingkai.
Consequences Efek atau konsekuensi yang didapat dari bingkai.
Depiction Penggambaran atau pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif. Depiction ini umumnya berupa kosakata, leksikon untuk melabeli sesuatu
Visual Images Gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Bisa berupa foto, kartun ataupun grafik untuk menekankan dan mendukung pesan yang ingin disampaikan
Sumber Eriyanto, Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media,(Yogyakarta: LKiS
Group, 2011), Hlm. 262
Dari tabel elemen teori Gamson tersebut dipilih dua elemen untuk
unsur perangkat pembingkaian dan satu elemen untuk perangkat penalaran.
Perangkat pembingkaian mencakup: metafora yakni perumpamaan atau
pengandaian, frasa yang menarik dan menonjol dalam suatu wacana.
Sementara untuk perangkat penalaran mencakup analisis roots yakni
analisis kausal atau sebab akibat. Pemilihan tiga elemen analisis ini
dipandang cukup untuk merepresentasikan analisis perangkat framing
dikaitkan dengan analisis struktor mikro teori van Dijk dan analisis praksis
sosiokultural Fairclough.
Elemen analisis metafora teori Gamson bahwa dalam suatu berita
seorang wartawan tidak hanya menyampaikan pesan pokok melalui suatu
teks, tetapi juga kiasan, ungkapan dan metafora yang dimaksudkan sebagai
41
ornamen atau bumbu agar tidak membosankan. Akan tetapi pemakaian
metafora tertentu boleh jadi merupakan petunjuk utama untuk mengerti
makna suatu teks. Metafora dapat menjadi landasan berpikir , alasan
pembenar, bahkan bahan yang ditekankan kepada khalayak. Wartawan
sering menggunakan ungkapan tertentu misalnya ‘’sandiwara baru Setya
Novanto’’ yang merujuk kepada perilaku yang bersangkutan terus berkelit
dan mengelak dalam penuntutan kasus dugaan korupsi KTP-elektronik.
Rentetan perilaku yang bersangkutan selama proses hukumnya hingga
sampai ke kursi terdakwa oleh wartawan dibingkai dengan pilihan ungkapan
seperti yang termaktub dalam diksi ‘’sandiwara baru Setya Novanto’’. Di
dalam benak khalayak yang tergambar adalah rentetan peristiwa yang
dilakukan Novanto hingga duduk di kursi pesakitan tanpa wartawan perlu
menjelaskan secara detil.
Dalam elemen frasa wartawan berusaha menggunakan diksi yang
tidak umum untuk membingkai suatu realitas dalam membentuk suatu teks
wacana. Dalam suatu rezim yang otoriter seperti pada era Orde Baru,
wartawan meminjam istilah atau jargon yang banyak digunakan oleh rezim
tersebut. Misalnya, kita mengenal istilah; pembangunan, tinggal landas, anti-
Pancasila, subversif, inkonstitusional (yang juga masih digunakan hingga kini
untuk merujuk kepada pihak yang melanggar undang-undang) dan
sebagainya,
Dalam elemen analisis sebab akibat (kausalitas) Gamson
mengemukakan bahwa gagasan yang dikemukakan tampak beralasan, tidak
mengada-ada, benar, alamiah, dan memang demikian adanya. (Eriyanto,
2011). Realitas ini dilakukan dalam teks berita dengan mengaitkan sebab-
42
akibat fakta satu sebagai dasar fakta lain, dan sebagainya. Elemen yang
digunakan dalam perangkat pembingkai ini memberikan citra tertentu atas
seseorang atau peristiwa tertentu. Contoh teks wacana berita seperti ini
adalah ‘’Rakyat berhak mengetahui kualitas calon presiden, agar rakyat tidak
membeli kucing dalam karung. Calon presiden harus berani menampilkan
program di depan rakyat dan berani pula dikritik, supaya elite politik tidak
mendapat cek kosong’’
Aspek perangkat framing yang digunakan dalam penelitian ini dapat
digambarkan melalui tabel berikut ini.
Tabel 8
Perangkat Framing Penelitian Framing Devices (Perangkat Framing)
Reasoning Devices (Perangkat Penalaran)
Methapors Perumpamaan atau pengandaian
Roots Analisis kausal atau sebab akibat
Catchpharases Frasa yang menarik, kontras, menonjol dalam suatu wacana. Ini umumnya berupa jargon atau slogan.
.
4. Analisis Bahasa Kritis (Linguistik Kritis)
Pendekatan Analisis Bahasa Kritis dibangun oleh sekelompok
pengajar di Universitas East Anglia pada tahun 1970-an. Pendekatan
wacana yang dipakai banyak dipengaruhi oleh teori sistemik tentang bahasa
yang diperkenalkan oleh Halliday. Hampir mirip dengan Analisis Wacana
Perancis, Analisis Bahasa Kritis ini memusatkan analisis wacana pada
bahasa dan menghubungkannya dengan ideologi. Bedanya, kalau Pecheux
dengan Teori Perancisnya itu, aspek kebahasaan ini didekati dengan teori
43
yang abstrak, mengenai formasi diskursif, Analisis Bahasa Kritis justru lebih
konkret dengan melihat gramatika.
Menurut Eriyanto (2001:15), inti dari gagasan Analisis Bahasa Kritis
adalah melihat bagaimana gramatika bahasa membawa posisi dan makna
ideologi tertentu. Dengan kata lain, aspek ideologi itu diamati dengan melihat
pilihan bahasa dan struktur tata bahasa yang dipakai, Bahasa, baik pilihan
kata maupun struktur gramatika, dipahami sebagai sebagai pilihan, mana
yang dipilih oleh seseorang untuk diungkapkan membawa makna ideologi
tertentu.
Ideologi dalam taraf yang umum menunjukkan bagaimana satu
kelompok berusaha menenangkan dukungan politik, dan bagaimana
kelompok lain berusaha dimarjinalkan melalui pemakaian bahasa dan
struktur gramatika tertentu.Thompson (2015:16) menyebutkan, konsep
ideologi dapat digunakan untuk merujuk cara-cara bagaimana makna
digunakan dalam hal tertentu, untuk membangun dan mempertahankan
relasi kekuasaan yang secara sistematis bersifat asimetris, -- yang kemudian
disebut ’’relasi dominasi’’. Ideologi secara luas dinyatakan, adalah makna
yang digunakan untuk kekuasaan.
Oleh karena itu, studi ideologi mensyaratkan untuk menginvestigasi
cara-cara bagaimana makna dikonstruk dan disampaikan melalui bentuk-
bentuk simbol dalam jenisnya yang bervariasi; dari ungkapan bahasa sehari-
hari hingga citra teks yang kompleks. . Ia mensyaratkan kita untuk
menginvestigasi konteks sosial tempat diterapkan dan disebarkannya
bentuk-bentuk simbol dan itu mempertanyakan kita, apakah -- demikian juga
bagaimana – makna yang dimobilisasi bentuk-bentuk simbol yang digunakan
44
dalam konteks tertentu, untuk membangun dan mempertahankan relasi
dominasi.
5. Analisis Wacana Pendekatan Prancis.
Dalam pandangan Pacheux, bahasa dan ideologi bertemu pada
pemakaian bahasa dan materialisasi bahasa pada ideologi. Keduanya
(Eriyanto, 2001:16), kata yang digunakan dan makna dari kata-kata
menunjukkan posisi seseorang dalam kelas tertentu. Bahasa adalah medan
pertarungan, yang dengan melalui itu berbagai kelompok dan kelas sosial
berusaha menanamkan keyakinan dan pemahamannya. Pacheux
memusatkan perhatian pada efek ideologi dan formasi diskursus yang
memosisikan seseorang sebagai subjek dalam situasi tertentu.
Menurut Althusser, bagaimana seseorang ditempatkan secara
imajiner dalam posisi tertentu, wacana menyediakan efek ideologis, berupa
pemosisian ideologi seseorang. Lebih dalam, formasi diskursif seseorang
ditempatkan dalam keseluruhan praktik dominasi dalam masyarakat.
Pendekatan Marxist struktiral Althusser (Jorgensen & Phillips, 2010:28)
secara erat mengaitkan subjek dengan ideologi; individu menjadi subjek
ideologis melalui proses interpelasi. Dalam proses itulah wacana menjadikan
individu sebagai subjek. Althusser mendefinisikan ideologi sebagai sistem
representasi yang menyamarkan hubungan-hubungan kita yang
sesungguhnya satu sama lain dalam masyarakat dengan cara mengonstruk
hubungan-hubungan imajiner antara orang-orang dan antara mereka sendiri
dalam formasi sosial. Interpelasi menggambarkan proses bahasa yang
dialami dalam mengonstruksi suatu posisi sosial individu atau seseorang dan
45
dengan demikian membuatnya menjadi subjek ideologis. (Jorgensen &
Phillips, 2010:29).
6. Pendekatan Kognisi Sosial
Teun van Dijk dari Universitas Amsterdam, Belanda, mengembangkan
teori kognisi sosial ini. Van Dijk dan koleganya dalam kurun waktu yang
lama sejak 1980-an meneliti berita-berita surat kabar Eropa, terutama untuk
melihat bagaimana kelompok minoritas ditampilkan. Titik perhatian van Dijk
adalah pada masalah etnis, rasialis, dan pengungsi. Pendekatan ini disebut
koginisi sosial, karena van Dijk melihat faktor kognisi sebagai elemen penting
dalam produksi wacana. Wacana dilihat bukan hanya dari unsur wacana,
melainkan menyertakan bagaimana wacana itu diproduksi. Proses produksi
wacana ini menyertakan suatu proses yang disebut kognisi sosial. Dari
analisis teks dapat diketahui bahwa wacana cenderung memarginalkan
kelompok minoritas dalam pembicaraan publik. Akan tetapi menurut van Dijk,
wacana seperti ini hanya tumbuh dalam suasana kognisi pembuat teks yang
memang berpandangan cenderung memarginalkan kelompok minoritas.
(Eriyanto, 2001:17).
7. Pendekatan Perubahan Sosial
Analisis wacana ini terutama memusatkan perhatian pada bagaimana
wacana dan perubahan sosial. Fairclough banyak dipengaruhi oleh Foucault
dan pemikiran intertekstualitas Julia Kristeva dan Bakhtin. Wacana dalam
konteks Faiclough dipandang sebagai praktik sosial, sehingga ada hubungan
dialektis antara praktik diskursif tersebut dengan identitas dan relasi sosial.
46
Wacana juga melekat dalam situasi, institusi, dan kelas sosial tertentu.
(Eriyanto, 2001:17).
Jika dijelaskan kerangka analisis wacana Fairclough meliputi:
1. Proses produksi teks, mencakup deskripsi (analisis teks) dan
interprestasi. Proses interpretasi berkaitan dengan analisis proses.
2. Praktik wacana mencakup eksplanasi (analisis sosial) dan
sosiokultural (situasi, institusi, kelas sosial). (Badara, 2012:66).
Teun van Dijk menjadi tokoh utama pengajar di Universitas
Amsterdam, Belanda, pada tahun 1980-an mengembangkan pendekatan
koginisi sosial ini. Dijk meneliti berita-berita di surat kabar Eropa terutama
untuk melihat bagaimana kelompok minoritas ditampilkan. Titik perhatian van
Dijk adalah pada masalah etnis, rasialisme, dan pengungsi. Pendekatan
yang dia lakukan disebut koginisi sosial, karena van Dijk melihat faktor
kognisi sebagai elemen penting dalam produksi wacana. Wacana dilihat
bukan hanya dari struktur wacana, melainkan juga menyertakan bagaimana
wacana itu diproduksi. Proses produksi wacana itu, menurut van Dijk,
menyertakan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial. (Eriyanto,
2011:16)
Teun van Dijk memberi contoh, dari analisis seks misalnya dapat
diketahui bahwa wacana cenderung memarginalkan kelompok minoritas
dalam pembicaraan publik. Akan tetapi, menurut van Dijk, wacana semacam
ini hanya tumbuh dalam suasana kognisi pembuat teks yang memang
berpandangan cenderung memarginalkan kelompok minoritas. Oleh sebab
itu, dengan melakukan penelitian yang komprehensif mengenai kognisi social
47
ini akan dapat dilihat sejauh mana keterkaitan tersebut, sehingga wacana
dapat dilihat secara utuh. (Eriyanto, 2011:17).
8. Pendekatan Wacana Sejarah
Pendekatan wacana sejarah dikembangkan oleh sekelompok
pengajar di Vienna di bawah Ruth Wodak. Dia dan koleganya, terutama
dipengaruhi oleh pemikiran dari sekolah Frankfurt, khususnya Jurgen
Hubermas. Penelitiannya terutama ditujukan untuk menunjukkan bagaimana
wacana seksisme, antisemit, rasialisme dalam media dan masyarakat
kontemporer. Disebut historis, karena menurut Wodak dkk . analisis wacana
harus menyertakan konteks sejarah bagaimana wacana tentang suatu
kelompok atau komunitas digambarkan. Penggambaran buruk atau rasis
suatu kelompok, menurut Wodak (Eriyanto, 2001:18) terbangun lewat proses
sejarah yang panjang. Prasangka, bias, misrepresentasi, dan sebagainya
harus dibongkar dengan melakukan tinjauan sejarah, karena prasangka itu
adalah peninggalan atau warisan lama yang panjang.
9. Analisis Teks Berita
Masalah utama yang dibahas dalam bagian ini adalah bagaimana
penelitian harus dijalankan dan bagaimana teks berita seharusnya dianalisis.
Dalam studi penelitian isi media, menurut Eriyanto (2001:47) paling tidak ada
dua paradigma besar. Pertama, paradigma positivistik atau juga dikenal
sebagai empiris/pluralis. Kedua, paradigma kritis. Paradigma positivistik
melihat proses komunikasi mengarah pada terciptanya konsensus dan
kesamaan arti. Oleh sebab itu, media dilihat sebagai saluran yang bebas,
tempat beragam pandangan bertemu dan bersatu. Paradigma ini percaya
48
bahwa masa depan dapat diprediksikan dan dikontrol. Titik perhatian
paradigima ini terutama bahwa proses komunikasi melalui proses yang
linier, dari sumber ke penerima melalui media.
Sebaliknya, paradigma kritis justru berlawanan dengan pandangan
paradigma positivistik. Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah
saluran yang bebas dan netral. Media justru dimiliki oleh kelompok tertentu
dan digunakan untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Oleh
karena itu, pertanyaan pertama dari paradigma kritis adalah siapakah
(orang/kelompok) yang menguasai media? Apa keuntungan yang didapat
oleh seseorang /kelompok tersebut dengan mengontrol media? Pihak mana
yang tidak dominan, sehingga tidak memunyai akses dan kontrol terhadap
media, bahkan banyak menjadi objek pengontrolan.
Aliran kritis melihat bahwa struktur sosial sebagai konteks yang
sangat menentukan realitas, proses, dan dinamika komunikasi, termasuk
komunikasi massa. Karena menurut pandangan dari paradigma ini,
komunikasi tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan yang ada yang
memengaruhi berlangsungnya komunikasi.
Dari sudut cara analisis, kedua paradigma ini memiliki perbedaan
yang mendasar. Paradigma empiris/positivistik menggunakan analisis isi
yang kuantitatif dengan kategori yang ketat dan analisis statistik. Data-data
yang diperoleh juga melalui pengujian hipotesis tertentu. Sedangkan
paradigma kritis umumnya menggunakan analisis isi yang kualitatif dan
menggunakan penafsiran sebagai basis utama memaknai temuan.
Karakteristik penelitian teks yang berdasarkan kedua paradigma ini dapat
dijelaskan melalui tabel berikut ini:
49
Tabel 9 KARAKTERISTIK PENELITIAN TEKS
PARADIGMA POSITIVISTIK PARADIGMA KRITIS
TUJUAN PENELITIAN
Eksplanasi, prediksi, dan kontrol Kritik sosial, transformasi, emansipasi, dan penguatan sosial
REALITAS
Objective realism Ada realitas yang ’’real’’ yang diatur oleh
kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universal walaupun kebenaran pengetahuan tentang itu mungkin hanya bisa diperoleh secara probabilistik
Historical realism Realitas yang teramati merupakan nrealitas semua yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya, dan ekonomi, politik.
POSISI PENELITI
Berperan sebagai disinterested scientist dan netral
Menempatkan diri sebagai aktivis, advokat, dan transformative intellectual
CARA PENELITIAN
Objektif
Analisis teks tidak boleh menyertakan penafsiran individu
Subjektif
Titik perhatian analisis pada penafsiran subjektif peneliti atas teks
Intervensionis
Pengujian hipotesis dalam struktur hipothetico-deductive method dengan analisis kuantitatif dan tes statistik
Partisipatif
Mengutamakan analisis komprehensif kontekstual dan multi level analisis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis/partisipan dalam proses transformasi sosial
Kriteria kualitas penelitian Objektif, reliabel, dan valid
Kriteria kualitas penelitian Historical Situadness: sejauh mana penelitian memperhatikan konteks historis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik dari teks berita.
Sumber: Adaptasi dari Dedy N.Hidayat “Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi” dalam Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Vol III/April 1999.
9.1 Tujuan Penelitian
Penelitian kritis bertujuan untuk mengkritik dan transformasi hubungan
sosial yang timpang. Intinya, penelitian kritis bertujuan menghilangkan
keyakinan dan gagasan palsu tentang masyarakat dan mengkritik kekuasaan
yang tidak seimbang serta struktur yang mendominasi dan meninfas orang.
Dalam melakukan analisis teks berita, penelitian dari tipe kritis pertama kali
melihat realitas dan hubungan sosial berlangsung dalam situasi yang
timpang. Media bukanlah saluran yang bebas, tempat semua kekuatan sosial
saling berinteraksi dan berhubungan. Sebaliknya, media hanya dimiliki oleh
kelompok yang dominan, sehingga mereka lebih memunyai kesempatan dan
50
akses untuk memengaruhi dan memaknai peristiwa peristiwa berdasarkan
pandangan mereka. Media bahkan menjadi sarana di mana kelompok
dominan bukan hanya memantapkan posisi mereka, melainkan juga
memarginalkan dan meminggirkan posisi kelompok yang tidak dominan.
Menurut Eriyanto (2001:53), penelitian kritis ini umumnya sudah
diawali dengan “prasangka” terhadap realitas yang diteliti. Pemberitaan yang
berhubungan dengan buruh, wanita, imigran, masyarakat lokal, dan
kelompok bawah lain bukanlah pemberitaan yang netral, melainkan lebih
menguntungkan kelompok yang dominan, dalam hal ini adalah majikan atau
kelompok dominan. Mereka bukan hanya menjadi objek pemberitaan yang
buruk, melainkan juga terus menerus dipinggirkan dalam pemberitaan.
Ketidakadilan, relasi sosial yang timpang dalam pemberitaan itulah yang
menjadi titik tolak penelitian teks dan tipe kritis ini.
9.2 Realitas yang akan diteliti
Jika pada pandangan positivistik diandaikan ada realitas yang riil yang
berlaku universal dan diatur dengan kaidah-kaidah tertentu. Sebaliknya,
dalam pandangan kritis tidak ada realitas yang benar-benar riil, karena
realitas yang muncul sebenarnya adalah realitas semu yang terbentuk bukan
melalui proses alami, melainkan oleh proses sejarah dan kekuatan sosial
politik, dan ekonomi. Pandangan kritis ini agak mirip dengan pandangan
kontruktivisme yang melihat realitas sebagai hasil kontruksi manusia atas
realitas. Namun pandangan kritis menolak pandangan kontruktivisme yang
seolah melihat manusia sebagai determinan utama yang bisa menafsirkan
dan mengonstruksikan realitas. Sebab, konstruksi itu dibatasi oleh struktur
51
sosial tertentu, bahkan yang sering terjadi, manusia tinggal menerima begitu
saja hasil konstruksi dari strukrur sosial yang sudah timpang tersebut.
Contohnya hubungan laki-laki dan perempuan dilihat pandangan positivisme
sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan memang demikian adanya. Tetapi
kontruktivisme melihat bagaimana setiap orang pada dasarnya mempunyai
pemikiran dan bisa mengonstruksi hubungan tersebut yang tentu saja
melibatkan emosi dan pengalaman hidup personal. Pandangan kritis
menolak pandangan seperti ini dan yakin bahwa meskipun individu
mempunyai kebebasan untuk melakukan konstruksi, tetapi ia juga dibatasi
oleh struktur sosial di mana dia diposisikan dan akan menafsirkan realitas
tersebut berdasarkan posisi dia berada.
Berbeda dengan pandangan positivistik, paradigma kritis memahami
realitas bukan dibentuk oleh alam (nature), bukan alam, melainkan dibentuk
oleh manusia. Mark Horkheimer, salah seorang tokoh penting dari Sekolah
Frankfurt, mengkritik sifat positivistik yang memisahkan teori dengan praksis.
Teori kritis tidak pernah membiarkan fakta objektif berada di luar dirinya
secara lahiriah, seperti dilakukan oleh positivistik. Teori kritis justru
menganggap bahwa realitas objektif itu adalah produk yang ada dalam
kontrol subjek. (Eriyanto, 2001:54).
Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengonstruksikan realitas
dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa, bukan
saja sebagai alat merepresentasikan realitas, melainkan juga bisa
menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang
realitas tersebut. Akibatnya, media massa mempunyai peluang yang sangat
52
besar untuk memengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan oleh
realitas yang dikonstruksikannya.
Setiap upaya “menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, benda, atau
apa pun, menurut Sobur (2001:88), pada hakikatnya adalah usaha
mengonstruksikan realitas. Seseorang mahasiswa yang baru pulang dari
berdemo di gedung DPR/MPR, kemudian menceritakan keadaan dirinya atau
pengalamannya, pada dasarnya ia mengonstruksikan realitas tersebut.
Begitu pun halnya dengan wartawan, adalah mengisahkan hasil
laporan kesaksiannya atas realitas yang dialami (diliput)-nya kepada
khalayak melalui media. Dengan demikian wartawan selalu terlibat dalam
usaha-usaha mengonstruksikan realitas, yakni mengumpulkan fakta yang
dikumpulkan ke dalam suatu bentuk laporan jurnalistik berupa berita (news),
karangan khas (features), atau gabungan keduanya (new features). Karena
menceritakan pelbagai kejadian dan peristiwa itu, maka tidak berlebihan
kalau kita katakan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang telah
dikonstruksikan. Laporan jurnalistik di media, pada dasarnya tidak lebih dari
hasil penyusunan realitas-realitas dalam bentuk sebuah cerita.
9.3 Fokus Penelitian
Pada pendekatan positivistik, diandaikan ada realitas yang bersifat
objektif, sesuatu yang ada di luar diri peneliti. Oleh sebab itu, peneliti harus
membuat jarak sejauh mungkin dengan objek yang ditelitinya. Sebaliknya,
dalam pandangan kritis hubungan antara peneliti dengan realitas yang diteliti
selalu dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Karena titik penelitiannya adalah
pada realitas yang dianggap ada dan netral, maka dalam tradisi penelitian
53
positivistik, analisis diarahkan untuk menemukan ada atau tidaknya bias
dengan meneliti sumber berita, pihak-pihak yang diwawancarai, bobot dari
penulisannya, dan kecenderungan pemberitaan. Kalau ada kekeliruan atau
bias, penjelasan umumnya juga ditekankan dengan mencari sumber-sumber
ksalahan yang mungkin ada, waktu yang terbatas bagi wartawan,
keterbatasan ruang atau kekeliruan wartawan, dan sebagainya.
Hal inilah yang berbeda dengan pendekatan kritis. Penempatan
sumber berita yang menonjol dibandingkan sumber lain, menempatkan
wawancara seorang tokoh lebih besar dari tokoh lain, liputan yang hanya
satu sisi dan merugikan pihak lain, tidak berimbang dan secara nyata
memihak satu kelompok tidaklah dianggap sebagai kekeliruan atau bias,
tetapi dianggap memang itulah praktik yang dijalankan oleh wartawan.
Padahal dalam Kode Etik Jurnalistik pasal 1 disebutkan bahwa ’’Wartawan
Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang aktual,
berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penafsiran berimbang sebagaimana
termuat pada butir (c) penafsiran pasal ini menyebutkan bahwa “berimbang
berarti semua pihak mendapat kesempatan setara”. Bunyi dan penafsiran
pasal 1 Kode Etik Jurnalistik ini diperkuat oleh pasal 3 yang berunyi
“Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta
menerapkan asas praduga tak bersalah”. (Priyambodo, 2010:138-140).
Mengapa pandangan kritis menganggap bahwa pelanggaran terhadap
keberimbangan berita tersebut sebagai suatu praktik pekerjaan wartawan,
tampaknya konsep ideologi dapat menjelaskan duduk persoalannya. Artinya,
ideologi wartawan dan media bersangkutan yang secara strategis
54
menghasilkan laporan semacam (tidak berimbang) itu. Ideologi wartawanlah
yang membuat laporan yang memihak satu pandangan, dan menempatkan
pandangan satu lainnya lebih penting dibandingkan pandangan kelompok
lain. Hal seperti ini oleh pendekatan positivistik dianggap sebagai tidak
benar, sementara dalam pandangan kritis dipandang sebagai praksis
jurnalistik, wujud dari pencerminan ideologi. Oleh sebab itu untuk meneliti
praksis jurnalistik seperti ini bukan diteliti pada sumber biasnya, melainkan
pada aspek ideologi di balik media yang melahirkan berita semacam itu.
Karena media juga dianggap sebagai instrumen ideologi yang dimanfaatkan
untuk menyebarkan pengaruh dan dominasinya kepada kelompok lain.
9.4 Posisi Peneliti
Salah satu pandangan analisis kritis adalah menyatakan bahwa
peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai ketika memandang subjek
penelitian. Analisis kritis menolah pandangan positivistik yang memandang
peneliti sebagai subjek yang netral dan bebas nilai. Analisis yang sifatnya
kritis, umumnya beranjak dari pandangan atau nilai tertentu yang diyakini
oleh peneliti seperti dikemukakan Lawrence Newman dalam Eriyanto
(2001:59).
Oleh sebab itu, keberpihakan peneliti dan posisi peneliti atas suatu
masalah sangat menentukan bagaimana data/teks ditafsirkan. Misalnya
analisis pemberitaan atas kekerasan terhadap wanita. Ideologi peneliti
(feminis misalnya) akan sangat memengaruhi bagaimana teks itu harus
dimaknai dan ditafsirkan. Bagi penganut aliran feminis jelas akan
berpandangan bahwa posisi laki-laki dan perempuan itu seharusnya sejajar.
55
Namun dalam kenyataannya di masyarakat, posisi wanita selalu
dimarginalkan. Ini jelas akan ditentang oleh pandangan positivistik yang
menginginkan peneliti tidak boleh memihak, karena keberpihakannya itu
akan membuat hasil penelitiannya tidak objektif.
Analisis kritis bahkan memandang peneliti itu seperti layaknya
seorang aktivis yang memunyai komitmen terhadap nilai-nilai tertentu yang
diperjuangkan. Tidak memandang seperti paradigma positivistik yang
menempatkan peneliti sebagai objek yang netral, otonom, dan tidak
mempunyai potensi apa pun kecuali menyampaikan temuan. Dalam
pandangan positivistik, penelitian pertama-tama haruslah menjawab
bagaimana pemberitaan media atas kasus kekerasan terhadap wanita.
Dalam pandangan kritis justru bukan deskriptif dan eksplanatif, melainkan
kritik sosial. Peneliti menunjukkan dan mengkritik bagaimana media selama
ini ikut melestarikan bias gender dengan menggambarkan wanita secara
buruk, misalnya. Pada kenyataannya posisi wanita selalu dilemahkan atau
dimarginalkan yang ditandai beberapa aspek kebahasaan (linguistik) di
dalam pemberitaan.
9.5 Cara penelitian
Analisis pada paradigma kritis mendasarkan diri pada penafsiran
peneliti pada teks. Hal ini sangat berbeda dengan ketika kita menggunakan
analisis isi kuantitatif (positivistik) yang menghindari penafsiran. Paradigma
kritis lebih ke penafsiran karena dengan penafsiran kita dapatkan dunia dari
dalam, masuk menyelami dalam teks, dan menyingkap makna yang ada di
56
baliknya. Paradigma positivistik justru bergerak pada apa yang terlihat dalam
teks, sehingga makna dalam atau di balik teks tersebut tidak dapat diungkap.
Dalam pemberitaan mengenai pemerkosaan misalnya, dalam teks
ada foto pelaku perkosaan yang dipotret dari belakang, sehingga khalayak
tidak mengetahui wajahnya dan hanya melihat punggung. Dalam analisis isi
kuantitatif (posivistik), foto seperti ini tidak ditafsirkan lebih jauh, selain
dihitung apakah berita pemerkosaan itu ditambahi dengan foto dan berapa
banyaknya. Namun pada analisis teks kritis, pertanyaannya tidak hanya
sampai di sana, tetapi juga menafsirkan apa makna yang muncul dengan
bentuk representasi semacam itu dalam foto. Mengapa foto pelaku diambil
dari belakang. Mengapa foto tersebut tidak diambil dari depan, sehingga
khalayak bisa mengenali dan melihat wajah pelaku? Kita dapat menafsirkan
foto semacam ini sebagai bias gender. Bisa jadi dengan penampilan foto
pelaku seperti ini secara tidak langsung menyugestikan bahwa ia tidak
bersalah atau paling tidak belum terbukti kesalahannya.
Penelitian kritis tidak dapat menghindari unsur subjektivitas. Ketika
menafsirkan suatu teks, pengalaman, latar belakang budaya peneliti,
pendidikan, afiliasi politik, bahkan keberpihakan memengaruhi hasil
interpretasi sebagaimana dikemukakan Lawrence Newman dalam Eriyanto
(2001:62). Penelitian kritis dipandang bagus jika peneliti mampu
memerhatikan konteks sosial, ekonomi, politik, dan analisis komprehensif
yang lain.
Namun yang jelas dari segi etika dan moral, penampilan foto seperti
ini sesuai dengan tuntutan kode etik jurnalistik sebagaimana termaktub
dalam pasal 5 Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi “Wartawan Indonesia
57
tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan
tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”. Identitas
yang dimaksudkan di sini termasuk memperlihatkan wajah pelaku kejahatan
yang memungkinkan khalayak mengenalinya, sehingga akan muncul
penghakiman oleh masyarakat akibat pemuatan berita di media.
10. Media dan Berita dari Paradigma Kritis
Paradigma pluralis percaya bahwa wartawan media adalah entitas
yang otonom, dan berita yang dihasilkan haruslah mengandung realitas yang
terjadi di lapangan. Paradigma kritis justru memunyai pandangan tersendiri
terhadap berita yang bersumber pada bagaimana berita itu diproduksi dan
bagaimana kedudukan wartawan dan media bersangkutan dalam kedudukan
proses produksi berita. Paradigma kritis juga mempertanyakan posisi
wartawan dan media dalam keseluruhan struktur sosial dan kekuatan sosial
yang ada dalam masyarakat. Perbedaan pandangan pluralis dengan
pandangan kritis dapat digambarkan selengkapnya sebagai berikut:
Tabel 10 PANDANGAN PLURALIS & KRITIS PANDANGAN PLURALIS PANDANGAN KRITIS
FAKTA
Ada fakta yang real yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universal
Fakta merupakan hasil dari proses pertarungan antara kekuatan ekonomi, politik, dan sosial yang ada dalam masyarakat
Berita adalah cermin dan refleksi dari kenyataan. Oleh karena itu, berita haruslah sama dan sebangundengan fakta yang hendak diliput
Berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas, karena berita yang terbentuk hanya cerminan dari kepentingan kekuatan dominan
POSISI MEDIA
Media adalah sarana yang bebas dan netral tempat semua kelompok masyarakat saling berdiskusi yang tidak dominan
Media hanya dikuasai oleh kelompok dominan dan menjadi sarana untuk memojokkan kelompok lain
Media menggambarkan diskusi apa yang ada dalam masyarakat
Media hanya dimanfaatkan dan menjadi alat kelompok dominan
58
POSISI WARTAWAN
Nilai dan ideologi berada di luar proses peliputan berita
Nilai dan ideologi wartawan tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan suatu peristiwa
Wartawan berperan sebagai pelapor Wartawan berperan sebagai partisipan dari kelompok yang ada di dalam masyarakat
Tujuan peliputan dan penulisan berita:eksplanasi dan menjelaskan apa adanya memburukkan kelompok
Tujuan peliputan dan penulisan berita: pemihakan kelompok sendiri dan atau pihak lain
Penjaga gerbang (gatekeeping) Sensor diri
Landasan etis Landasan ideologis
Profesionalisme sebagai keuntungan Profesionalisme sebagai kontrol
Wartawan sebagai bagian dari tim untuk mencari kebenaran
Sebagai pekerja yang memunyai posisi berbeda dalam kelas sosial
HASIL LIPUTAN
Liputan dua sisi, dua pihak, dan kredibel Mencerminkan ideologi wartawan dan kepentingan sosial, ekonomi, atau politik tertentu
Objektif menyingkirkan opini dan pandangan subjektif dari pemberitaan
Tidak objektif, karena wartawan adalah bagian dari kelompok/struktur sosial tertentu yang lebih besar
Memakai bahasa yang tidak menimbulkan penafsiran yang beraneka
Bahasa menunjukkan bagaimana kelompok sendiri diunggulkan dan memarginalkan kelompok lain.
Sumber : Eriyanto (2001:32-34).
10.1 Fakta
Basis dari semua berita adalah fakta dan ada hubungan dependen
antara fakta dengan khalayak, fakta dengan daya tarik. Pada dasarnya,
tugas seorang wartawan (reporter) adalah membuat fakta menjadi menarik
bagi khalayak tertentu. Misalnya, reporter sebuah majalah berita sekolah
harus menulis berita yang menarik bagi pembaca sekolah. Berita untuk
sekolah tentu akan ditulis dengan cara yang berbeda dengan berita untuk
koran kota atau koran nasional.
Fakta dalam konsepsi pluralis, diandaikan ada realitas yang bersifat
eksternal, yang ada dan hadir sebelum seorang wartawan meliputnya. Jadi
ada realitas yang objektif, yang harus diambil dan diliput oleh seorang
wartawan. Ini sangat berbeda dengan fakta menurut pandangan kritis. Bagi
59
kaum kritis, realitas adalah kenyataan semu yang telah terbentuk oleh proses
kekuatan sosial, politik, dan ekonomi. Oleh sebab itu, mengharapkan realitas
apa adanya menurut pandangan kritis adalah sesuatu yang tidak mungkin,
karena realitas yang ada sudah terjebak dalam cakupan kelompok sosial,
politik, dan ekonomi yang dominan.
Dalam pandangan kaum pluralis, berita adalah refleksi dan
pencerminan dari realitas. Berita adalah mirror fo reality, sehingga dia harus
mencerminkan realitas yang hendak diberitakan, sebagaimana dikemukakan
Daniel H. Hallin dan Paulo Mancini ’’Speaking of the President’’ dalam
Michael Gurevitch dan Mark R.Levy (ed.),’’Mass Communication Review
Yearbook, Vol.5, 1985, hlm.205 (Eriyanto, 2001:34). Pendekatan ini ditolak
oleh kaum kritis, karena menganggap berita adalah hasil dari pertarungan
wacana antara berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu melibatkan
pandangan dan ideologi wartawan atau media. Bagaimana realitas itu
dijadikan berita sangat tergantung bagaimana pertarungan itu terjadi yang
umumnya dimenangkan oleh kekuatan dominan dalam masyarakat.
Pandangan kritis menyatakan bahwa realitas yang hadir di depan wartawan
sesungguhnya merupakan realitas yang telah terdistorsi. Realitas tersebut
telah disaring dan disuarakan oleh kelompok yang dominan di dalam
masyarakat. Realitas pada dasarnya tidak lebih dari pertarungan antara
berbagai kelompok untuk menonjolkan basis penafsiran masing-masing,
sehingga realitas yang hadir bukan realitas yang alamiah, melainkan sudah
melalui proses pemaknaan kelompok yang dominan.
60
10.2 Posisi Media
Pertarungan antara kelompok pluralis dengan pandangan kritis juga
berlangsung sampai pada mempersoalkan posisi media. Kaum pluralis
memandang media sebagai saluran yang bebas dan netral, yang
menempatkan semua pihak dan kepentingan dapat menyampaikan posisi
dan pandangannya secara bebas. Pandangan kritis justru melihat bahwa
media bukan hanya alat dari kelompok dominan, melainkan juga
memproduksi ideologi yang dominan. Media membantu kelompok dominan
menyebarkan gagasannya, mengontrol kelompok lain, dan membentuk
konsensus antaranggota komunitas. Melalui medialah, ideologi dominan, apa
yang baik dan apa yang buruk dimapannya seperti dikemukakan David
Barrat, Media Sociology (Eriyanto, 2001:36).
Media bukanlah sekadar saluran yang bebas, melainkan ia juga
merupakan subjek yang mengonstruksikan realitas, lengkap dengan
pandangan bias, dan pemihakannya. Media merupakan agen konstruksi
sosial yang mendefinisikan realitas dengan kepentingannya. Dalam
pandangan kritis, media juga dipandang sebagai wujud dari pertarungan
ideologi antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Di sini,
media bukan sarana yang netral yang menampilkan kekuatan dan kelompok
dalam masyarakat secara apa adanya, tetapi kelompok dan ideologi yang
dominan itulah yang akan tampil dalam pemberitaan.
Titik penting dalam memahami media menurut pandangan kritis
adalah bagaimana media melakukan politik pemaknaan. Menurut Hall
(1986), makna tidak tergantung pada struktur makna itu sendiri, tetapi pada
praktik pemaknaan. Makna adalah suatu produksi sosial, suatu praktik.
61
Media massa pada dasarnya tidak memproduksi, tetapi menentukan realitas
melalui pemakaian kata-kata yang terpilih. Makna, tidaklah secara sederhana
dapat dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah
pertentangan sosial (social struggle) perjuangan dalam memenangkan
wacana.
Menurut Stuart Hall dalam Eriyanto (2001:34), realitas tidaklah secara
sederhana dapat dilihat sebagai satu set fakta, tetapi hasil dari ideologi atau
pandangan tertentu. Definisi mengenai realitas ini diproduksi secara terus-
menerus melalui praktik bahasa – yang dalam hal ini – selalu bermakna
sebagai pendefinisian secara selektif realitas yang hendak ditampilkan.
Implikasinya adalah suatu persoalan atau peristiwa di dunia nyata tidak
mengandung atau menunjukkan makna integral, tunggal, dan intrinsik.
Makna yang muncul hanyalah makna yang ditranformasikan melalui bahasa.
Makna dalam konteks ini adalah sebuah produksi sosial, hasil dari sebuah
praktik. Bahasa dan simbolisasi adalah perangkat yang digunakan untuk
memproduksi makna.
10.3 Posisi Wartawan
Wartawan merupakan subjek yang memproduksi berita melalui
rangkaian realitas yang saling bertentangan menurut pandangan pluralis dan
kaum kritis. Pendekatan pluralis menghendaki agar nilai dan hal-hal di luar
objek dihilangkan dalam proses pembuatan berita. Maksudnya,
pertimbangan moral yang dalam banyak hal selalu diterjemahkan sebagai
bentuk keberpihakan hendaknya disingkirkan. Intinya realitas harus
didudukkan dalam fungsinya sebagai realitas yang faktual, yang tidak boleh
62
dikotori oleh pertimbangan subyektif. Wartawan di sini, fungsinya hanyalah
sebagai pelapor yang hanya tugasnya menjalankan tugas untuk
memberitakan fakta dan tidak diperkenankan munculnya nilai moral dan nilai
tertentu. Pertimbangan-pertimbangan ini dapat membelokkan wartawan –
apa pun alasannya – menjauhi realitas yang sesungguhnya. Berita ditulis
hanyalah untuk fungsi penjelas (eksplanasi) dalam menjelaskan fakta dan
realitas.
Pandangan ini justru berlawanan dengan pendapat kalangan kritis
yang menilai bahwa aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin
dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput
apa adanya, apa yang dia lihat. Pandangan kritis melihat bahwa moral yang
dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai
tertentu – umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu – adalah bagian yang
integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengonstruksi realitas.
Wartawan bukan hanya pelapor – disadari atau tidak – melainkan ia juga
partisipan dari keragaman penafsiran dan subjektivitas dalam publik. Karena
fungsinya itu, wartawan menulis berita bukan hanya sebagai penjelas,
melainkan juga membentuk realitas sesuai dengan kepentingan
kelompoknya. Ini disebabkan, wartawan tidak dipandang sebagai subjek
yang netral dan otonom. Wartadan adalah bagian dari anggota suatu
kelompok dalam masyarakat yang akan menilai sesuai dengan kepentingan
kelompoknya.
Intinya, menurut pandangan kritis, wartawan adalah partisipan dari
kelompok yang ada dalam masyarakat. Dia bagian dari kelompok atau kelas
tertentu dalam masyarakat, sehingga pemberitaan yang dia lakukan pada
63
dasarnya sukar dihindari sikap partisipan. Dia memunyai nilai-nilai tertentu
yang hendak diperjuangkannya yang berpengaruh besar dalam isi
pemberitaan. Hasil akhirnya sudah dapat ditebak adalah pemihakan pada
kelompok sendiri, dan memburukkan kelompok lain.
Perbedaan mendasar antara pandangan pluralis dan kritis adalah
pada bagaimana wartawan dilihat, terutama bagaimana kerja profesional dari
wartawan itu dipahami. Dalam pandangan liberal percaya, sekadar
pembanding, bahwa media adalah sebuah sistem kerja yang dilandasi oleh
pembagian kerja yang rasional. Kerja dan posisi wartawan diatur dalam
serangkaian praktik profesionalisme dan etik yang mendasari tindakan
wartawan. Sebaliknya, pandangan kritis melihat wartawan dan kerja
jurnalistik yang dilakukannya tidak dapat dilepaskan dari sistem kelas. Media
dalam bentuknya yang umum juga merupakan bagian dari praktik sistem
kelas dan kerja jurnalistik yang tidak dapat dilepaskan dari bagian dari kelas
yang ada: elite dan tidak dominan.
Oleh sebab itu, kerja jurnalistik tidak bisa dipahami semata sebagai
kerja profesional di mana wartawan dan mereka yang bekerja diatur dengan
hukum-hukum profesional, tetapi harus dipandang sebagai bagian dari
praktik kelas. Wartawan adalah kelas tersendiri dan hubungannya dengan
redaktur, pemilik modal, dan pemasaran adalah relasi antarkelas yang
berbeda, bukan hubungan profesional. (Eriyanto, 2011:41). Kini wartawan
yang mengandalkan idealisme sudah semakin menipis, karena mereka
sudah terjebak oleh intervensi yang signifikan dari pemilik media. Kita dapat
saksikan ketika pemilihan presiden 2014 dua stasiun televisi mewakili pemilik
media untuk menyalurkan kepentingan politiknya.
64
10.4 Hasil Liputan
Realitas perbedaan pandangan antara pendekatan pluralis dan kritis
di lapangan, juga memengaruhi cara kerja para wartawan dalam mengemas
berita. Dalam pandangan pluralis ada standar yang baku hasil pekerjaan
jurnalistik yang tentu saja mengacu kepada norma dan etika yang ditetapkan.
Pandangan pluralis selalu berpegang teguh pada peliputan yang berimbang,
netral, dua sisi, dan objektif. Peliputan yang berimbang artinya menampilkan
pandangan yang setara pihak-pihak yang terlibat yang hendak diberitakan.
Prinsip berimbang ini adalah peliputan dua sisi, yakni ketika wartawan
memberi kesempatan yang sama terhadap para pihak yang hendak
diberitakan untuk memberii pandangan terhadap suatu masalah. Sementara
prinsip netral adalah dalam menulis dan mencari bahan wartawan tidak boleh
berpihak pada salah satu orang atau kelompok yang kelak bisa melahirkan
laporan yang tidak seimbang. Prinsip ini juga dilengkapi dengan prinsip
objektif, di mana wartawan harus dengan sadar mencegah masuknya
pandangan atau pendapat pribadi dan opini ke dalam hasil liputan atau
pemberitaannya. Fakta adalah apa yang diliput dan ditulis merupakan apa
yang terjadi, tidak dikecilkan dan dibesarkan. Ini dari peliputan dan
pemberitaan menurut pandangan pluralis adalah menghindari bias. Bias
dalam pemberitaan adalah sesuatu yang harus dihindari oleh setiap
wartawan dalam pemberitaannya, karena dapat berakibat lahirnya reaksi dari
khalayak. Ketika muncul reaksi seperti ini dalam tingkat yang sangat masif
seperti melalui suatu protes yang melibatkan banyak orang secara tidak
langsung akan memengaruhi sisi psikologis kenyamanan kerja para
65
wartawan. Penelitian mengenai media umumnya diarahkan kepada
bagaimana melihat ada atau tidaknya bias dalam suatu pemberitaan media.
Pandangan pluralis seperti ini justru sangat paradoks dengan
pendapat kalangan kritis. Pandangan kritis berpendapat, suatu laporan dilihat
bukan pada bagaimana laporan itu baik atau buruk, melainkan selalu dilihat
realitas demikian kenyataannya. Jika seorang wartawan menulis berita
dengan hanya memperoleh pandangan dari satu pihak saja, tidak dapat
dinilai benar atau salah, tetapi lebih dilihat bahwa wartawan itu melakukan
hal tersebut dalam kerangka ideologi tertentu. Wartawan adalah bagian dari
kelompok dominan yang bertujuan meminggirkan kelompok yang tidak
dominan. Jadi, dalam setiap pemberitaan selalu ada pihak yang tidak
dominan dan kerapkali dipinggirkan dalam pemberitaan. Oleh sebab itu,
penelitian terhadap media juga selalu diarahkan bagaimana mencari ideologi
wartawan tersebut dan bagaimana ideologi itu diimplementasikan melalui
pemberitaan yang ada untuk memarginalkan suatu kelom pok. (Eriyanto,
2001:45).
Dalam pandangan pluralis wartawan haruslah menghindari
subjektivitas. Implementasi dari prinsip ini adalah jika wartawan mampu
membedakan dan memisahkan informasi yang bernilai fakta dan opini.
Ketika dia mengungkapkan suatu fakta, wartawan hanya mengambil dan
membahasakan apa yang terjadi tanpa melibatkan pertimbangan
subjektifnya. Pandangan pluralis ini ditentang oleh pandangan kritis yang
menilai bahwa wartawan merupakan bagian terkecil dari struktur sosial,
ekonomi, dan politik yang lebih besar. Pengaruh modal dan kepemilikan
media, politik kelas, sangat memengaruhi fakta apa yang diambil dan
66
bagaimana berita dikemas. Pewrsoalannya, bukan wartawan tidak objektif,
melainkan struktur di luar diri wartawan itu yang mempropagandakan nilai-
nilai tertentu. Struktur yang secara umum menindas tersebut pada akhirnya
akan memengaruhi pemberitaan.
Berkaitan dengan bahasa jurnalistik, pandangan pluralis berpendapat
seharusnya wartawan menggunakan bahasa yang straight, langsung, tanpa
opini dan penafsiran wartawan sehingga tampak benar fungsi bahasa
sebagai pengantar realitas. Bahasa dalam berita menurut pandangan pluralis
dapat menyampaikan realitas apa adanya kepada khalayak. Sebaliknya,
pandangan kritis justru memiliki konsepsi berbeda dalam memandang
bahasa. Pertanyaannya, apakah mungkin bahasa objektif, karena dalam
kenyataannya bahasa tidak mungkin terlepas dari ideologi dan politik
penggunanya. Oleh sebab itu, mengandaikan bahasa sebagai representasi
realitas sosial adalah sesuatu yang mustahil. ’’Bahasa tidak mungkin bebas
nilai, karena begitu realitas hendak dibahasakan selalu terkandung ideologi
dan penilaian,’’ kata Morley dan Hacket dalam Eriyanto (2001:46).
11. Teori Fungsi Bahasa
Bahasa bukan saja merupakan bentuk dan isi penuturan, melainkan
juga sebagai alat atau instrumen dari proses berpikir manusia. Melalui
bahasa manusia dapat berkomunikasi dengan manusia yang lainnya. Dalam
berkomunikasi tersebut manusia menggunakan simbol-simbol vokal (bunyi
ujaran) yang bersifat arbitrer yang dapat diperkuat oleh gerak-gerik tubuh
yang nyata, yang dikenal dengan body language ’bahasa tubuh’.
67
Wang (2010) mengemukakan bahwa analisis bahasa juga dapat
dilihat dari fungsi ideal transitif teks yang merupakan dasar sistem semantik
yang membentuk dunia pengalaman dalam meletakkan pengelolaan tipe-tipe
proses bahasa. Halliday (Wang, 2010) membagi proses-proses itu ke dalam
beberapa tipe proses, antara lain material, dental, relasional, perilaku,
verbal, dan ekstensial. Oleh sebab itu, menurut Keraf (1989:2), bahasa
mencakup dua bidang, yaitu yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan
makna, yaitu hubungan antara rangkaian bunyi vokal dengan barang atau
hal yang diwakilinya. Bunyi tersebut merupakan getaran yang merangsang
alat pendengar kita, sedangkan arti adalah isi yang terkandung di dalam arus
bunyi yang menyebabkan reaksi atau tanggapan dari orang lain.
Saussure (1989:89) berpendapat, apa pun cara yang dipakai, gejala
bahasa terus menerus memperlihatkan dua muka yang berkaitan dan muka
yang satu hanya ada kalau muka yang lainnya. Misalnya,(1) suku-suku kata
yang dilafalkan merupakan kesan akustis yang tertangkap oleh telinga, tetapi
bunyi-bunyi itu tidak akan ada tanpa alat-alat bunyi: demikianlah /n/ hanya
dalam kaitan kedua aspek tersebut. Jadi, kita tidak dapat memeras langue
dalam bentuk bunyi, maupun memisahkan bunyi dari gerak mulut. Timbal-
baliknya, orang tidak mungkin merumuskan gerak alat-alat bunyi kalau
tidak menggunakan kesan akustik.
Saussure terkenal dengan membagi aspek bahasa itu ke dalam
langue dan parole. Langue merupakan produk masyarakat dari langage dan
suatu konvensi yang perlu, yang diterima oleh seluruh masyarakat untuk
memungkinkan berfungsi langage pada diri setiap individu. Adapun parole
menurut Saussure (1988:80) adalah suatu tindak individual dari kemauan
68
dan kecerdasan yang dalam bentuknya perlu dibedakan; (1) kombinasi-
kombinasi kode bahasa yang dipergunakan penutur untuk mengungkapkan
gagasan pribadinya; dan (2) mekanisme psikis-fisik yang memungkinkan dia
mengungkapkan kembinasi-kombinasi tersebut.
Barthes (2007) menilai bahwa pandangan dikotomis bahasa
Saussure dengan aspek langue dan parole yang multiforma dan heteroklit
(berkomibinasi), adalah sebuah realitas keutuhan unit, yang tidak bisa
dipisah-pisahkan. Sebab, realitas ini termasuk dan sekaligus dalam segala
yang fisik (le physique), segala yang fisiologis (le physiologique), dan segala
yang psikologis (le psychologieque), termasuk juga yang dalam segala hal
yang bersifat individual (I”individual) dan segala yang social (le social).
Nababan (1985) menyimpulkan, adanya dua aspek kajian bahasa
(langue), yaitu kajian yang menitikberatkan pada hakikat bahasa dan kajian
yang berhubungan dengan fungsinya: 1) Hakikat bahasa: persoalan ini dikaji
oleh para ahli linguistik.(2) Fungsi bahasa: kajian fungsi bahasa yang paling
mendasar adalah berkenaan dengan kebutuhan berkomunikasi dan interaksi
sosial.
Kajian mengenai hakikat bahasa (Chaer, 2007) biasa pula disebut
kajian mikrolinguistik yang mengarahkan kajiannya pada struktur internal
suatu bahasa tertentu agau struktur internal suatu bahasa pada umumnya,
seperti pada kajian pada bunyi (phonetics, phonology), kajian pada kata
(morphology), atau kajian pada kalimat (syntax) atau pada pakna manka
(semantics), dan wacana (discourse). Adapun makrolinguistik adalah suatu
kajian yang menyelidiki bahasa kaitannya dengan faktor-faktor di luar
bahasa, seperti hubungan bahasa dengan budaya (antropholinguistic),
69
hubungannya dengan jiwa manusia (psycholinguistic), hubungannya dengan
karya sastra (stylistics), dan kajian yang berkaitan dengan masyarakat
pemakai bahasa disebut sociolinguistics.
Dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu (Keraf, 1989) dalam garis
besarnya dapat berupa : (a) untuk menyatakan ekspresi; (b) sebagai alat
komunikasi; (c) sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi
sosial; dan (d) sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial.
Berdasarkan landasan teoretis tersebut dilakukan penelitian bahasa
yang mengacu kepada karakteristik produk bunyi bahasa baik berupa objek
penelitian secara tertulis maupun secara lisan. Penelitian bahasa dengan
objek tertulis berupa produk teks dalam bentuk wacana, baik yang
diungkapkan dalam bentuk tertulis (cetak) maupun dalam bentuk lisan
(suara). Penelitian bahasa yang menggunakan objek tertulis cetak misalnya
dapat dilakukan terhadap produk wacana berita melalui media cetak. Adapun
penelitian bahasa dengan objek lisan adalah melalui rekaman teks yang
bersumber dari produk suara (voice). Misalnya, meneliti berbagai gejala
bahasa dari berita-berita radio atau televisi.
Mahsun (2005:2) mengatakan yang dimaksudkan dengan penelitian
bahasa adalah penelitian yang sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis
terhadap objek sasaran yang berupa bunyi tutur (bahasa). Dikatakan
sistematis maksudnya bahwa penelitian itu dilakukan secara sistemik dan
terencana. Terkontrol dimaksudkan bahwa setiap aktivitas yang dilakukan
dalam masing-masing tahapan dapat dikontrol, baik proses pelaksanaan
kegiatannya maupun hasil yang dicapai melalui kegiatan tersebut. Penelitian
bahasa yang bersifat empiris maksudnya adalah bahwa fenomena lingual
70
yang menjadi objek penelitian bahasa itu benar-benar bersumber pada fakta
lingual yang senyatanya digunakan oleh penuturnya. Sementara penelitian
bahasa yang bersifat kritis adalah kritis terhadap hipotesis-hipotesis tentang
hubungan yang diperkirakan terjadi antara bunyi tutur sebagai objek
penelitian bahasa dengan fenomena ekstralingual yang memungkinkan bunyi
itu muncul.
Penelitian mengenai wacana yang merupakan aspek internal dari
bahasa juga dapat dilakukan dengan menggunakan objek wacana berita
media massa. Berdasarkan hierarkinya wacana merupakan tataran bahasa
yang terbesar, tertinggi, dan terlengkap (Darma, 2009:1). Wacana dikatakan
terlengkap, karena mencakup tataran di bawahnya, yaitu fonologi, morfologi,
sintaksis, semantik, dan ditunjang oleh unsur lainnya, yaitu situasi
pemakaian dalam masyarakat. Wacana dibentuk oleh paragraf-paragraf,
sedangkan paragraf dibentuk oleh kalimat-kalimat. Kalimat dibentuk dari
susunan kata yang secara gramatikal mengandung satu pengertian yang
lengkap.
Dalam menganalisis suatu produk bahasa yang berbentuk wacana,
terlebih dahulu dikemukakan landasan teoretis anasir pembentuk wacana
yang mencakup:
1. Sintaksis
2. Kalimat
3. Klausa
4. Frasa
5. Kata
6. Kosakata
71
11.1 Sintaksis
Sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti dengan’’
dan tattein yang berarti menempatkan. Secara etimologis, sintaksis berarti
menempatkan bersama-sama kata-kata atau kelompok kata menjadi kalimat
(Putrajasa, 1989). Banyak juga pakar memberikan definisi tentang sintaksis
ini. Ramlan (1996) mengatakan bahwa sintaksis adalah cabang ilmu bahasa
yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa.
Suparman (1985) mendefinisikan sintaksis sebagai cabang tata
bahasa yang membahas hubungan antarkata dalam tuturan. Namun ada
juga yang berpendapat bahwa sintaksis adalah telaah mengenai pola-pola
yang dipergunakan sebagai sarana untuk menggabung-gabungkan kata
menjadi kalimat. (Stryker, 1969). Sementara Boch dan Trager (1942)
mengatakan bahwa sintaksis adalah analisis mengenai konstruksi-konstruksi
yang hanya mengikutsertakan bentuk-bentuk bebas. Berdasarkan pendapat-
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sintaksis adalah studi tentang
hubungan antara kata yang satu dengan kata yang lain. Hubungan tersebut
akan membentuk frasa, klausa, dan kalimat.
Bloomfield (1995) mengatakan bahwa tiap-tiap konstruksi sintaktis
menunjukkan dua (atau kadang-kadang lebih) bentuk bebas yang
digabungkan menjadi sebuah frasa, yang boleh kita sebut frasa resultan.
Frasa resultan mungkin termasuk kelas bentuk yang lain dari kelas bentuk
setiap konstituennya.
Ibrahim (1979) menyebutkan bahwa sintaksis adalah istilah para ahli
bahasa untuk menanamkan beberapa pola, dengan pola-pola itu morfem-
morfem disusun menjadi kalimat.
72
11.2 Kalimat
Keraf (1989:38) berpendapat bahwa kalimat merupakan suatu bentuk
bahasa yang mencoba menyusun dan menuangkan gagasan-gagasan
seseorang secara terbuka untuk dikomunikasikan kepada orang lain. Dalam
berkomunikasi, kita memerlukan bahasa sebagai medium karena dapat
memberikan kemungkinan yang sangat luas bila dibandingkan cara-cara lain,
misalnya gerak-gerik, isyarat-isyarat dengan bendera atau panji, asap dan
sebagainya. Penguasaan bahasa tidak saja mencakup persoalan
penguasaan kaidah-kaidah atau pola-pola sintaksis bahasa, tetapi juga
mencakup beberapa aspek;
(1). Penguasaan secara aktif sejumlah besar perbendaharaan kata
(kosakata) bahasa tersebut.
(2). Penguasaan kaidah-kaidah sintaksis bahasa itu secara aktif.
(3). Kemampuan menemukan gaya yang paling cocok untuk
menyampaikan gagasan-gagasan.
(4). Tingkat penalaran (logika) yang dimiliki seseorang.
Kalimat adalah satuan bahasa yang relatif dapat berdiri sendiri,
memunyai pola intonasi akhir dan terdiri atas klausa (Cook 1971). Sementara
Ramlan (1996) mengatakan bahwa kalimat adalah satuan gramatikal yang
dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik,
Pandangan Ramlan ini dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara
turun naik dan keras lembut disertai jeda dan diakhiri dengan intonasi akhir
yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah terjadinya perpaduan asimilasi
bunyi atau pun proses fonologis lainnya.
73
Kridalaksana (1993) menyebutkan bahwa kalimat (sentence) adalah
1.satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, memunyai pola intonasi
final dan secara aktual maupun potensial terdiri atas klausa. 2. Klausa bebas
yang menjadi bagian kognitif percakapan; satuan preposisi yang merupakan
gabungan klausa atau merupakan satu klausa, yang membentuk satuan
yang bebas, jawaban minimal, seruan, salam, dsb. 3, konstruksi gramatikal
yang terdiri atas satu atau lebih klausa yang ditata menurut pola tertentu, dan
dapat berdiri sendiri sebagai satu satuan.
Kalimat-kalimat dalam setiap ujaran (Bloomfield,1995) dipisahkan
hanya karena nyatanya setiap kalimat merupakan bentuk bahasa yang
mandiri, tidak diselipkan dalam bentuk bahasa yang lebih besar dengan
suatu konstruksi gramatikal. Dalam bahasa Inggris, dan dalam banyak
bahasa lain, kalimat-kalimat dipisahkan dengan modulasi, yaitu penggunaan
fonem-fonem sekunder. Dalam bahasa Inggris, fonem-fonem tinggi nada
menandai akhir kalimat, dan membedakan tiga tipe kalimat utama: John ran
away {.} John ran away {?} Who ran away {?}
11.3 Klausa
Klausa merupakan unsur dari kalimat. Kridalaksana (1993)
mengatakan bahwa klausa merupakan satuan gramatikal berupa kelompok
kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subyek dan predikat dan
memunyai potensi untuk menjadi kalimat. Contohnya: Selamat pagi; Si Ali
membaca majalah. Menurut Cook (1971), klausa hanya mengandung satu
predikat. Adapun Ramlan (1996) mengatakan,unsur fungsional yang selalu
74
ada dalam klausa adalah predikat (P), unsur-unsur lain mungkin ada, juga
mungkin tidak ada. Contohnya:
Rusa itu berlari
Pahlawan itu menyerang musuh
Mereka bermain bola
Klausa adalah ‘’suat tali tagmem-tagmem yang terdiri atas atau
mencakup satu dan hanya satu predikat atau tagmem sejenis predikat dalam
tali itu dan yang urutan morfem sebagai hasil manifestasinya khusus mengisi
jalur-jalur pada tingkat kalimat’’ (Elson and Pickett, 1969, Tarigan 1989).
Sulaeman (1992) menyebutkan, klausa sebenarnya memiliki
persyaratan fungsional yang sama dengan kalimat (misalnya kalimat
sederhana), sehingga seorang pembelajar sintaksis acapkali sukar
membedakan keduanya. Dalam pengertian pola urutan, klausa lebih
terbatas daripada kalimat. Kalimat boleh terbentuk dari beberapa klausa,
sedangkan klausa tidak terbentuk dari beberapa kalimat.
11.4 Frasa
Frasa sebagaimana klausa, juga merupakan kelompok kata yang
menduduki satu dalam suatu kalimat, meskipun tidak semua frasa
merupakan kelompok kata (Putrajaya, 2002). Dia mengatakan, ada tiga hal
yang berkaitan dengan frasa, yakni (a) penukaran letak frasa, (b) bentuk
frasa, dan (c) frasa-frasa utama.
Misalnya: ‘’Seminggu yang lalu, mahasiswa baru itu belum dikenal
oleh mereka’’.
75
Kalimat tersebut di atas terdiri atas empat frasa, yaitu (1) seminggu
yang lalu, (2) mahasiswa baru itu, (3) belum dikenal, dan (4) oleh mereka.
Frasa-frasa tersebut dapat dipertukarkan, contohnya:
(1) Seminggu yang lalu, oleh mereka mahasiswa baru itu belum dikenal
(2) Seminggu yang lalu, mahasiswa baru itu oleh mereka belum dikenal.
(3) Seminggu yang lalu, belum dikenal oleh mereka mahasiswa baru itu.
(4) Mahasiswa baru itu, seminggu yang lalu belum dikenal oleh mereka.
(5) Mahasiswa baru itu, seminggu yang lalu oleh mereka belum dikenal.
Kridalaksana (1993) mengatakan bahwa frasa merupakan gabungan
dua kata yang sifatnya tidak predikatif, gabungan itu dapat rapat, dapat
renggang, misalnya, gunung tinggi adalah frasa karena merupakan
konstruksi nonpredikatif; konstruksi ini berbeda dengan gunung itu tinggi
yang bukan frasa, karena bersifat predikatif.
Batasan frasa menurut Tarigan (1989) adalah satu linguistik yang
secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak
memunyai ciri-ciri klausa dan khususnya, tetapi tidak selalu, mengisi jalur-
jalur pada tingkat klausa. (Elson and Pickett, 1969).
Parera (1994) menjelaskan bahwa frase-frase yang hingga kini oleh
tata bahasa tradisional ditetapkan sebagai bentuk majemuk dan atau
dicalonkan sebagai bentuk majemuk tidak lain daripada pembentukan frase
berdasarkan analogi. Frase dalam bahasa Indonesia dapat berpolisemi
secara leksikal berdasarkan konteks situasi dan konvensi. Pandangan
Parera ini didasarkan ketiadaan batas yang jelas dalam kontinum yang
bersifat majemuk dan bersifat frase.
76
11.5 Kata
Kata merupakan unsur terkecil dari sebuah kalimat. Menurut Darwis
(2012) kata adalah sebuah struktur dan struktur itu ialah susunan unsur
secara linear, yaitu dari kiri ke kanan. Morfem menjadi salah satu unsur
dalam suatu struktur kata. Dalam hal ini ada kata yang hanya terdiri atas
satu morfem saja. Istilahnya kata monomorfemis. Ada pula yang lebih dari
satu morfem. Sebutannya ialah kata polimorfemis atau plurimorfemis.
(Verhar 1978, Darwis 2012) memilih penggunaan istilah monomorfemis dan
polimorfemis saja.
Menurut Darwis kadang-kadang sebuah kata terdiri atas unsur
morfem asal+morfem asal. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah kata
majemuk. Kridalaksana (Darwis, 2012) dalam hal ini menggunakan istilah
leksem, yaitu leksem+leksem menghasilkan paduam leksem dan sebagai
kata yang bebas, ia dapat disebut kata majemuk.
Contohnya adalah matahari, saputangan, dan sebagainya.
Adapula sebuah kata yang terdiri atas struktur morfem asal+afiks
seperti latihan, bimbingan, pembimbing, dan sebagainya. Bahkan, dalam
bahasa Indonesia, misalnya dapat dijumpai kata (polimorfemis) yang terdiri
atas satu morfem asal dan lebih dari satu afiks atau lebih. Contoh kata-kata
dengan struktur morfemis demikian adalah berkesudahan, memberhentikan,
mempermain-mainkan, dan sebagainya.
Kridalaksana (1993) memberi batasan bahwa kata adalah 1. morfem
atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan
terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas..2. satuan bahasa
yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal (mis, batu, rumah,
77
dating, dsb) atau gabungan morfem (mis.. pejuang, mengikuti, pancasila,
mahakuasa dsb). Dalam beberapa bahasa a.l. dalam B.Inggris, pola tekanan
juga menandai kata.
Hockett (1965) menulis, sehari-hari penggunaan kata Inggris “word”
adalah juga sangat tidak tepat. Secara umum, orang awam terlihat menulis,
sebagai kelas-kelas kata yang ditemukan tertulis antara ruang berturut-turut.
Jadi, matchbox adalah satu kata, match box dua kata, dan match-box dua
atau satu kata, tergantung pada cuaca atau tidak tanda hubung ditafsirkan
sebagai semacam ruang khusus. Kejadian ini mencerminkan kombinasi
tunggal sebuah morfem dengan pronounciation tunggal - diabaikan.
Menurut Hockett (1965), ketika melihat bahasa langsung melalui
tulisan, kita harus mencari kriteria lain untuk menentukan kata-kata. Ada
beberapa kriteria yang dapat digunakan, tetapi itu tidak menghasilkan
sesuatu yang identik. Kriteria yang paling mudah untuk menerapkan unit
hasil yang paling kecil seperti “words” dari orang awam dan kita akan
memiliki cadangan istilah. Kriteria lainnya menghasilkan unit yang berbeda
yang lebih radikal dari orang-orang awam tentang “words” dan kita tidak akan
menyebutnya ‘’words’’ meskipun sifatnya seperti kata. Sebaliknya, kita akan
memperkenalkan istilah khusus untuk sebutan itu.
Keraf (2007) mengatakan bahwa tidak ada suatu batasan mengenai
kata yang sahih bagi semua bahasa di dunia. Dalam mendeskripsi banyak
bahasa di dunia diperlukan sebuah unit yang disebut kata,namun bagi
sebagian, pengertian kata dibatasi secara fonologis. Kata merupakan sebuah
unit dalam bahasa yang memiliki stabilitas intern dan mobilitas posisional,
yang berarti ia memiliki komposisi tertentu (entah fonologis, entah
78
morfologis) dan secara relative memiliki distribusi yang lebih bebas.
Distribusi yang bebas misalnya dapat dilihat dalam kalimat: Saya memukul
anjing itu; anjing itu dipukul; kupukul anjing itu.
Yang paling penting dari rangkaian kata-kata tersebut adalah
pengertian yang tersirat di balik kata yang digunakan itu.Setiap anggota
masyarakat yang terlibat dalam kegiatan komunikasi, selalu berusaha agar
orang-orang lain dapat memahaminya dan di samping itu, ia harus bisa
memahami orang lain. Dengan cara ini komunikasi akan dapat berlangsung
dengan baik dan harmonis.
11.6 Kosakata
Kosakata dalam bahasa Inggris dikenal sebagai vocabulary
(perbendaharaan kata). Kridalaksana (1993) mengidentikkan kosakata
dengan vocabulary dan leksikon.. Dia mendefinisikan leksikon adalah: 1.
komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan
pemakaian kata dalam bahasa. 2. kekayaan kata yang dimiliki seseorang
pembicara, penulis, atau bahasa. Kosakata: perbendaharaan kata. 3. daftar
kata yang tersusun seperti kamus, tetapi dengan penjelasan yang singkat
dan praktis.
12. Piranti Kebahasaan
Dalam penelitian ini digunakan piranti kebahasaan untuk
mengungkapkan netralitas dan keberpihakan media dalam pemberitaan
konflik Partai Golkar. Analisis piranti kebahasaan yang dipilih dalam
penelitian ini adalah elemen semantik Struktur Mikro teori Teun van Dijk
79
dengan variable analisis terdiri atas; latar, detil, dan maksud. Analisis ini
dipadukan dengan elemen sosiokultural teori Norman Fairclough dengan
variabel analisis situasional, institusional, dan sosial. Teori William A.
Gamson tentang sistem framing juga akan melengkapi analisis piranti
kebahasaan ini dengan variable yang dipilih metafora, frasa, dan kausalitas.
Secara rinci piranti kebahasaan yang digunakan dapat dijelaskan sebagai
berikut.
12.1 Elemen Semantik
Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan
yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya ke dalam
tiga tingkatan. Pertama, struktur makro yang merupakan makna global dari
suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang
dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur, merupakan struktur
wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana
kerangka suatu teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur
mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dalam
suatu teks yang meliputi kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase,
dan gambar.(dalam Eriyanto, 2001).
12.1.1 Latar
Di dalam penelitian ini dipilih aspek yang diamati bagian kecil dari
suatu teks yang terdiri atas aspek semantik, Aspek semantik yang diamati
adalah elemen latar, detil, dan maksud. Pemilihan aspek semantik ini
dianggap dapat merepresentasikan piranti kebahasaan dalam
80
mengungkapkan kecenderungan media dalam memosisikan diri netral atau
berpihak pada suatu kubu tertentu. Pada teori van Dijk ini contohnya pada
variabel latar merupakan bagian berita yang dapat memengaruhi semantik
(arti) yang ingin ditampilkan. Seorang wartawan ketika menulis berita
biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulisnya. Latar
yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa.
Apakah latar ini secara tersembunyi mengungkapkan keberpihakan media
pada kubu tertentu atau tetap memperlihatkan kenetralannya.
Latar merupakan bagian berita yang dapat memengaruhi semantik
(arti) yang ditampilkan. Seorang wartawan ketika menulis berita biasanya
mengemukakan latar belakang berita yang ditulis. Latar ini selain juga
menginformasikan kepada pembaca kaitan berita sebelumnya, juga dipilih
menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa. Menurut
Eriyanto (2001:235) latar dapat menjadi alasan pembenar gagasan yang
diajukan dalam suatu teks. Oleh karena itu, latar teks merupakan elemen
yang berguna untuk membongkar apa maksud yang yang hendak
disampaikan oleh wartawan.
Berikut ini diberikan beberapa contoh tentang AWK teori van Dijk
menggunakan piranti kebahasaan bekerja pada tiga elemen berikut.
Tabel 11 Contoh Variabel Latar Tanpa Latar Pencabutan pengesahan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai
Golkar hasil Musyawarah Nasional Jakarta oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengakibatkan kekosongan kepemimpinan di tubuh partai berlambang beringin tersebut.
Latar Pencabutan pengesahan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar hasi Musyawarah Nasional Jakarta oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengakibatkan kekosongan kepemimpinan di tubuh partai berlambang beringin tersebut. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H.Laoly menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 23 AH,11,01 tanggal 20 Desember 2015 tentang penetapan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Jakarta pimpinan Agung Laksono. SK ini juga tidak mencantumkan DPP Partai Golkar hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie sebagai pengurus yang sah (K.2-1-2016) .
81
Pada tabel di atas menunjukkan bahwa berita Kompas (2-1-2016)
pada paragraf pertama ditampilkan hanya menjelaskan informasi dasar
tanpa mengungkapkan latar belakang berita tersebut. Wartawan dalam
memproduksi teks menggunakan elemen latar untuk memperjelas suatu
pemberitaan, sehingga khalayak akan mengetahui ke arah mana media
tersebut memiliki kecenderungan. Dalam berita ini Kompas memperlihatkan
keberpihakan kepada kubu Aburizal Bakrie karena legalitas kepengurusan
Partai Golkar versi Munas Ancol Jakarta dibatalkan. Secara implisit media ini
juga mengungkapkan bahwa SK pencabutan pengesahan kepengurusan
Partai Golkar versi Munas Ancol tidak mencantumkan DPP Partai Golkar
hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie sebagai pengurus yang sah.
Meskipun tidak dicantumkan dalam surat keputusan tersebut, tetapi dalam
keputusan Dewan Pertimbangan Partai disebutkan bahwa kepengurusan
partai kembali ke produk hasil Munas Pekanbaru yang menetapkan Aburizal
Bakrie sebagai ketua umum.
12.1.2 Detil
Dalam variabel detil teori van Dijk berhubungan dengan kontrol
informasi yang ditampilkan seseorang. Komunikator akan menampilkan
secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang
baik. Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi dalam jumlah sedikit kalau
itu merugikan kedudukannya. Informasi yang menguntungkan komunikator
bukan hanya ditampilkan secara berlebihan, melainkan juga dengan detil
yang lengkap jika perlu dengan data. Contoh penggunaan elemen detil dapat
dilihat berikut ini.
82
Tabel 12
Contoh Variabel Detil Tanpa Detil Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Selasa (24/2) menolak
mengadili konflik dualisme Partai Golkar.
Detil Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Selasa (24/2) menolak mengadili konflik dualisme Partai Golkar. Penolakan itu merupakan putusan sela pengadilan, menjawab eksepsi tergugat dari pengacara kepengurusan Golkar Munas Ancol, atas penggugat Golkar Munas Bali. Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim Oloan Harianja mengatakan, pengadilan tingkat satu itu tak punya kompetensi menjadi pengadil dualisme partai. Dalam runutan putusan selanjutnya, hakim memutuskan, mengembalikan penyelesaian kepengurusan Golkar ke mekanisme partai. …..Dijelaskan Hakim Oloan, putusan majelis berpijak pada ketentuan UU Partai Politik Nomor 2/2011, terutama pasal 32 yang menyatakan sengketa partai harus diselesaikan di internal partai, berupa mahkamah partai atau apa pun namanya. (R.25-2-2015).
Detil yang lengkap dan panjang lebar sebagaimana dalam berita
Republika (25-2-2015) tersebut merupakan penonjolan yang dilakukan
secara sengaja untuk menciptakan citra tertentu kepada khalayak. Elemen
detil juga merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan
sikapnya dengan cara yang implisit dan kadang-kadang tidak perlu
disampaikan secara terbuka. Dalam berita tersebut, Republika
mengindikasikan diri netral karena tidak ada kubu yang berkonflik
diuntungkan.
12.1.3 Maksud
Variabel maksud sesuai teori van Dijk, hampir sama dengan elemen
detil, hanya saja di dalam elemen maksud melihat informasi yang
menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas.
Sebaliknya informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersama,
implisit, dan tersembunyi.
83
Tabel 13
Contoh variabel maksud Implisit Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan, Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat akan menyatakan status quo atas kepengurusan Fraksi Partai Golkar di lembaga legislatif.
Eksplisit Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan, Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat akan menyatakan status quo atas kepengurusan Fraksi Partai Golkar di lembaga legislatif. ‘’Pimpinan tidak bisa membacakan dua surat perombakan fraksi, jadi kami anggap status quo sampai inkracht,’’ kata politikus Partai Gerindra ini di Gedung Parlemen, Senayan, kemarin. Status quo ini diberikan lantaran kepengurusan antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono menjalar ke Fraksi Golkar di DPR. Aburizal dan Agung Laksono melayangkan surat kepada pimpinan DPR yang berisi penjelasan atas putusan Mahkamah Partai. Surat masuk dari kedua pihak yang bersangkutan tersebut tak dibacakan lantaran masih ada upaya hukum dari kubu Aburizal melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Utara. Mereka menyoal surat keputusan pengesahan pengurus Partai Golkar versi Agung Laksono oleh Kementerian Hukum dan HAM. (KT.2-4-2015).
Koran Tempo (tabel 8) dengan komunikator Fadli Zon pada kalimat
pertama secara implisit menyatakan bahwa kepengurusan Fraksi Partai
Golkar di DPR dalam kondisi status quo. Posisi status quo ini kemudian
diungkapkan secara eksplisit dengan menjelaskan rincian permasalahan
yang menjadi penyebab munculnya status quo tersebut. Elemen maksud di
dalam berita ini memperlihatkan netralitas Koran Tempo karena tidak
mengindikasikan keberpihakan kepada salah satu kubu yang berkonflik,
karena kedua pihak yang berkonflik tidak diuntungkan atau pun dirugikan.
12.2 Elemen Praksis Sosiokultural
Jika van Dijk menghubungkan teks dengan konteks piranti
kebahasaan, Norman Fairclough membawa AWK ke ranah yang lebih luas,
yakni bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks
masyarakat yang lebih makro. Fairclough berusaha membangun suatu
model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis social dan
84
budaya, sehingga ia mengombinasikan tradisi analisis tekstual – yang selalu
melihat bahasa dalam ruang tertutup – dengan konteks masyarakat yang
lebih luas. Titik perhatian besar dia adalah melihat bahasa sebagai praktik
kekuasaan. Untuk melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai
ideologis tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh.
Menurut Eriyanto (2001:285), Fairclough membangun suatu model
yang yang mengintegrasikan secara bersama-sama analisis wacana yang
didasarkan pada linguistik dan pemiliran social politik, dan secara umum
diintegrasikan pada perubahan social. Oleh sebab itu, model yang dia
kemukakan tersebut juga disebut sebagai model perubahan social (social
change). Menurut Fairclough, wacana mempunyai tiga efek. Pertama,
wacana memberikan andil dalam mengonstrksi identitas social dan posisi
subjek. Kedua, wacana membantu mengonstruksi relasi social di antara
orang-orang. Ketiga, wacana memberikan kontribusi dalam mengonstruksi
sistem pengetahuan dan kepercayaan. Ketiga efek dari wacana ini
merupakan fungsi dari bahasa dan dimensi dari makna yang dihubungkan
dengan identitas, relasional, dan fungsi ideasional dari bahasa.
Fairclough membagi wacana dalam tiga dimensi: teks, discourse, dan
sociocultural. Dalam modelnya, teks dianalisis secara linguistik dengan
melihat kosakata, semantik, dan kalimat. Ia pun memasukkan koherensi dan
kohesivitas, bagaimana antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga
membentuk pengertian. Semua elemen yang dianalisis tersebut dipakai
untuk melihat tiga masalah yakni: pertama, ideasional yang merujuk pada
representasi tertentu yang ingin disampaikan di dalam teks, yang umumnya
membawa muatan ideologi tertentu. Kedua, relasi, merujuk pada analisis
85
bagaimana konstruksi hubungan di antara wartawan dengan pembaca,
seperti apakah teks disampaikan secara informal atau formal, terbuka atau
tertutup. Ketiga, identitas, merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas
wartawan dan pembaca, serta bagaimana personal dari identitas ini hendak
ditampilkan.
Pada analisis discourse practice Fairclough melihat bagaimana teks
diproduksi dan dikonsumsi. Teks dibentuk lewat praktik diskursus yang akan
menentukan bagaimana teks tersebut diproduksi. Misalnya wacana di kelas
yang terbentuk lewat suatu praktik diskursus yang melibatkan bagaimana
hubungan antara guru dengan murid, bagaimana guru menyampaikan
pelajaran, bagaimana pola hubungan dan posisi murid dalam pelajaran di
kelas, dan sebagainya. Pola hubungan yang demokratis memungkinkan para
murid mengajukan pendapat secara bebas tentu saja akan menghasilkan
wacana yang berbeda dengan suasana kelas di mana pembicaraan lebih
dikuasai oleh guru. Jika murid tidak boleh berpendapat dan guru sebagai
penyampai tunggal materi pelajaran, maka hubungan tersebut juga akan
berbeda. Semua ini adalah bentuk praktik diskursus yang membentuk
wacana.
Analisis sociocultural practice teori Fairclough didasarkan pada
asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar media memengaruhi
bagaimana wacana yang muncul dalam media. Ruang redaksi atau
wartawan bukan bidang atau kotak kosong yang steril, melainkan sangat
ditentukan oleh faktor di luar dirinya. Sociocultural practice memang tidak
berhubungan langsung dengan produksi teks, tetapi ia menentukan
bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Misalnya teks yang merendahkan
86
dan memarginalkan posisi perempuan. Teks seperti ini merepresentasikan
ideologi patriarkal yang ada dalam masyarakat. Artinya, ideologi masyarakat
yang patriarkal itu berperan dalam membentuk teks yang cenderung
memarginalkan perempuan. Ideologi patriarkal ini banyak ditemukan di
berbagai tempat dan situasi, di sekolah, di dalam keluarga, dan sebagainya.
Ideologi ini selalu menomorduakan perempuan itulah yang menjadi kajian di
dalam teks wacana.
Praksis sosiokultural menggambarkan bagaimana kekuatan-kekuatan
yang ada dalam masyarakat memaknai dan menyebarkan ideologi yang
dominan kepada masyarakat. Menurut Fairclough (1995) bahwa representasi
dari wacana dalam berita media dapat dilihat sebagai proses sosial yang
cukup penting. Detil halus ideologi tampak pada representasi wacana yang
mungkin dibentuk untuk suatu determinasi sosial dan berdampak sosial.
12.2.1 Situasional
Penelitian ini dititikberatkan pada aspek sociocultural practice.
Fairclough membuat tiga level analisis pada praksis sosiokultural ini, yakni
level situasional, institusional, dan sosial. Contoh wacana teks berita berikut
ini menggambarkan bagaimana teks itu diproduksi dengan merespons situasi
yang terjadi pada saat teks diproduksi.
Penetapan Ical sebagai ketua umum langsung disambut riuh peserta munas. Mereka langsung mendekati Ical untuk mengucapkan selamat. Yel-yel dukungan untuk Ical pun turut meriuhkan arena sidang munas. ‘’ARB (Aburizal Bakrie) siapa yang punya, ARB siapa yang punya, yang punya kita semua,’’ demikian yel-yel terdengar. (R.4-12-2014).
Pada level situasional diungkapkan berkaitan dengan konteks sosial,
bagaimana teks itu diproduksi di antaranya memperhatikan situasional ketika
87
teks tersebut diproduksi. Teks dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasana
yang khas, unik, sehingga satu teks bisa jadi berbeda dengan teks yang lain.
Kalau wacana itu dipahami sebagai satu tindakan, maka tindakan itu
sesungguhnya adalah upaya untuk merespons situasi dan konteks sosial
tertentu.
Pemberitaan mengenai Timor Timur sebelum dan sesudah jajak
pendapat bisa jadi berbeda dan wacana yang muncul pun berbeda karena
setiap peristiwa dibalut dengan konteks situasi yang khas, yang melibatkan
emosi dan nuansa tertentu. Gambaran situasi yang menyelimuti situasi ikut
memberi pengaruh terhadap wacana berita yang diproduksi oleh wartawan.
Teks berita tersebut boleh jadi akan mengindikasikan keberpihakan media
dan di sisi lain menggambarkan netralitas media.
12.2.2 Institusional
Level analisis kedua adalah institusional yakni melihat bagaimana
pengaruh institusi organisasi dalam praktik produksi wacana. Institusi ini bisa
berasal dari dalam diri media sendiri, bisa juga kekuatan-kekuatan eksternal
di luar media yang menentukan proses produksi berita.
Salah satu contoh berita yang berkaitan dengan variabel ini dapat dilihat
pada contoh berikut.
Pencabutan pengesahan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional Jakarta oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengakibatkan kekosongan kepemimpinan di tubuh partai berlambang pohon beringin tersebut. Munas diyakini menjadi satu-satunya solusi bagi partai politik tertua di Indonesia ini untuk keluar dari kemelut internal. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H.Lauly menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor .HH. 23. AH.11.01 tanggal 30 Desember 2015 tentang penetapan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Jakarta pimpinan Agung Laksono. SK ini juga tidak mencantumkan DPP Partai Golkar
88
hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie sebagai pengurus yang sah. (K.2-1-2016).
Peran institusional ini sangat menentukan konten teks berita apakah
mengindikasikan keberpihakan atau media tetap menjaga kenetralannya
sebagaimana yang menjadi keinginan publik. Menurut Eriyanto (2001) faktor
institusi yang penting adalah institusi yang berhubungan dengan ekonomi
media. Produksi berita di media kini tidak mungkin bisa dilepaskan dari
pengaruh ekonomi media yang sedikit banyak bisa berpengaruh terhadap
wacana yang muncul dalam pemberitaan. Pertama, adalah pengiklan yang
menentukan kelangsungan hidup media. Berita harus dibuat sedemikian
rupa sehingga menarik minat orang beriklan di media yang dikelolanya.
Kedua, khalayak pembaca yang dalam industri modern ditunjukkan dengan
data yang seperti oplah dan rating. Ketiga, persaingan antarmedia.
Pada dasarnya media memperebutkan pembaca dan pengiklan yang
sama dan ia berhadapan dengan peristiwa yang sama pula. Oleh sebab itu,
persaingan antarmedia pun dapat menjadi faktor yang menentukan
bagaimana berita diproduksi. Keempat, bentuk intervensi institusi ekonomi
antara lain adalah modal atau kepemilikan terhadap media. Dalam kaitan
dengan kepemilikan media ini membuat media menjadi tidak sensitif dengan
berita-berita yang berkaitan atau mempunyai hubungan dengan pemilik
media.
Hamad (2004:85) mengatakan, datangnya era reformasi sebetulnya
tidak banyak berpengaruh terhadap struktur kepemilikan atau konglomerasi
media. Kebebasan pers sebagai salah satu buah gerakan reformasi justru
menambah rasa aman bagi pengusaha media. Dengan ditiadakannya
89
lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang dikeluarkan sesuai
Peraturan Menteri Penerangan No.01/Tahun 1984 mengenai tata cara
memperoleh SIUPP yang kemudian dicabut Menteri Penerangan Yunus
Yosfiah di masa Pemerintahan B.J.Habibie, kecemasan para pengusaha
media dan ancaman pembreidelan hilang sama sekali. Terlebih lagi dengan
dibubarkannya Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid,
industri pers di Indonesia berlangsung melalui mekanisme pasar. Puncaknya
adalah keterbukaan pers Indonesia terhadap masuknya modal asing seperti
tertuang di dalam Pasal 11 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Menghadapi pengaruh institusional, khususnya organisasi iklan,
wartawan harus membuat ‘’berita yang baik’’ yang disukai dan dibaca oleh
banyak orang. Institusi lain yang berpengaruh terhadap media adalah politik.
Pertama, institusi politik yang memengaruhi kehidupan dan kebijakan yang
dilakukan oleh media. Misalnya institusi negara yang bisa menentukan
sejauh mana kondisi dan limitasi politis di tempat media terbit yang sedikit
banyak akan berpengaruh terhadap wacana yang diberitakan. Di negara
yang menempatkan pemerintah memiliki wewenang untuk melakukan kontrol
dan pengendalian, maka wacana yang muncul di media menjadi lain dan
berpotensi mengancam keberlangsungan kehidupan media tersebut. Media
akan memilih wacana berita yang tidak berpotensi membahayakan
eksistensinya.. Di negara yang otoriter seperti ketika pemerintahan Orde
Baru yang ditandai oleh pembredeilan, berpengaruh terhadap kebijakan
produksi teks di ruang redaksi. Sebuah peristiwa yang menarik dan penting
diketahui oleh khalayak pembaca dan berhasil diperoleh wartawan di
lapangan, di ruang redaksi terpaksa tidak diturunkan karena dianggap dapat
90
membahayakan posisi media bersangkutan. Di sini, institusi politik tersebut
tidak berpengaruh secara langsung terhadap teks berita yang dihasilkan,
tetapi terutama menentukan bagaimana suasana ruang redaksi (news room)
bergejolak menyikapi suatu informasi.
Kedua, institusi politik dalam arti bahwa media digunakan oleh
kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam masyarakat. Media dapat
digunakan oleh kekuatan politik di dalam masyarakat untuk melemahkan dan
memarginalkan kelompok lain, di antaranya dengan menggunakan kekuatan
media. Bentuk paling ekstrem dari elemen ini adalah media partisan yang
sengaja dibentuk untuk mendukung gagasan atau kekuatan politik tertentu
dengan menggunakan media sebagai alatnya. Contoh yang paling nyata
ketika kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden 2014 ketika dua
stasiun TV saling berhadapan mendukung gagasan politik kubunya masing-
masing, yakni TV One mendukung pasangan Prabowo Subianto - Hatta
Rajasa dengan Koalisi Merah Putih (KMP) dan Metro TV mendukung
pasangan Joko Widodo – M.Jusuf Kalla yang dilabeli dengan Koalisi
Indonesia Hebat (KIH).
12.2.3 Sosial
Level analisis ketiga Fairclough pada elemen praksis sosialkultural
ini adalah faktor sosial yang ikut sangat berpengaruh dalam produksi teks
berita. Bahkan Fairclough mengatakan bahwa wacana yang muncul dalam
media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Dalam level sosial budaya
masyarakat, misalnya, turut menentukan perkembangan dari wacana media.
Aspek sosial ini lebih melihat pada aspek makro seperti sistem politik, sistem
91
ekonomi, atau sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Sistem ini
menentukan siapa yang berkuasa, nilai-nilai apa yang dominan di dalam
masyarakat dan sejauh mana nilai-nilai kelompok yang berkuasa itu
memengaruhi dan menentukan media. Di dalam masyarakat yang kental
mengenal ideologi patriarkal maka akan melihat wanita sebagai kelas dua di
bawah laki-laki dan nilai ini akan memengaruhi pemberitaan. Dalam berita
konflik Partai Golkar variabel sosial dapat disimak melalui salah satu berita
berikut:
Dukungan daerah terhadap Aburizal Bakrie untuk mencalonkan diri kembali sebagai ketua umum Partai Golkar menguat. Dugaan akan adanya skenario dari dewan pimpinan pusat untuk mempercepat penyelenggaraan Musyawarah Nasional Partai Golkar tanggal 27 November 2014 pun muncul dan dikhawatirkan sejumlah pihak … Meski demikian Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham, saat ditemui pers, Senin (10/11), membantah adanya skenario bahwa DPP Golkar sudah menetapkan tanggal munas itu. ‘’Nanti (tanggal munas), kan, terserah peserta rapimnas (rapat pimpinan nasional). Mereka nanti yang menetapkan tanggal munas,’’ ujarnya. Meski demikian, Idrus membenarkan adanya dukungan massif kepada Ketua Umum Aburizal Bakrie. ‘’Ada banyak surat dan faks yang masuk menyatakan dukungan ke beliau,’’ katanya. (K.11-11-2014).
Kata “daerah” dan “dewan pimpinan pusat” merujuk kepada
representasi kekuatan sosial yang terlibat di dalam produksi teks berita.
Makna kata dan klausa di atas menunjukkan dukungan sosial politik yang
terselubung di dalam wacana teks berita.
Fairclough dan Wodak (1997) berpendapat, AWK memandang
pemakaian bahasa baik tuturan maupun lisan merupakan bentuk dari praksis
sosial. Wacana sebagai praksis sosial melahirkan hubungan dialeksis di
antara peristiwa deskriptif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur
sosial yang membentuk atau melingkupinya. Wacana dapat memproduksi
dan mereproduksi hubungan kekuasan yang tidak seimbang antara kelas
92
sosial, laki-laki dan perempuan, kelompok mayoritas dan minoritas melalui
representasi dalam posisi sosial yang ditampilkan.
Analisis sociocultural practise (praksis sosiokultural) seperti
dikemukakan Eriyanto (2001:320) didasarkan pada asumsi bahwa konteks
sosial yang ada di luar media memengaruhi bagaimana wacana yang muncul
dalam media. Ruang redaksi atau wartawan, bukanlah bidang atau kotak
kosong yang steril, melainkan ditentukan oleh faktor di luar dirinya. Praksis
sosiokultural ini memang tidak berhubungan langsung dengan produksi teks,
tetapi ia menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Misalnya,
sebuah teks yang dikendalikan atau memarjinalkan posisi perempuan atau
suatu kelompok. Teks semacam ini merepresentasikan ideologi patriarhat
yang ada dalam masyarakat. Artinya, ideologi masyarakat yang patriarhat itu
berperan dalam membentuk teks yang patriarhat juga. Ideologi seperti ini
tersebar pada banyak tempat, pada banyak bidang, tempat kerja, saat
wawancara, di dalam keluarga, di sekolah, dan banyak lagi.
Bagaimana praksis sosiokultural ini menentukan teks? Menurut
Fairclough (Eriyanto, 2001:321), hubungan itu bukan langsung, melainkan
dimediasi oleh praktik wacana. Jika ideologi dan kepercayaan masyarakat itu
paternalistik, maka hubungan akan dimediasi oleh teks yang diproduksi
dalam suatu proses dan praktik pembentukan wacana. Mediasi meliputi dua
hal. Pertama, bagaimana teks tersebut diproduksi. Ideologi patriarhat itu
akan mewujud dalam teks tersebut diproduksi dalam ruang-ruang kerja
redaksional dan penentuan berita yang akan menghasilkan teks berita
tertentu. Praksis wacana inilah yang secara langsung akan menentukan teks
yang patriarhat tersebut diproduksi. Kedua, khalayak juga akan
93
mengonsumsi dan menerima teks tersebut dalam pandangan yang
patriarhat. Khalayak memang suka membaca berita mengenai pemerkosaan
yang korbannya wanita. Dengan penafsiran konsumsi semacam ini, teks
yang bias gender tersebut tidak dipandang aneh oleh khalayak, dianggap
sebagai suatu kenyataan, tidak perlu dkritisi.
Faktor institusi yang penting yang penting adalah berbubungan
dengan ekonomi media. Produksi berita di media kini tidak mungkin bisa
dilepaskan dari pengaruh ekonomi media yang sedikit banyak bisa
berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam pemberitaan.
Pertama, tentu saja pengiklan yang menentukan kelangsungan hidup
media. Berita harus dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak saja menarik
perhatian dan minat orang untuk beriklan di media tersebut, tetapi juga tidak
memberikan pemahaman negatif pengiklan yang dapat saja berimbas pada
keengganan pengiklan memasang produknya pada masa yang akan datang.
Kedua, khalayak pembaca yang dalam industri modern ditunjukkan
dengan data-data seperti oplah dan rating. Ukurannya adalah menjadi bahan
bacaan dan tontonan sebanyak-banyaknya orang. Karena berpotensi
menarik khalayak sebanyak-banyaknya, wartawan yang memproduksi berita
harus menciptakan “berita yang baik” yang dibaca dan disukai oleh banyak
orang. Tema yang diangkat dipilih, disesuaikan dengan kebutuhan dan
keinginan khalayak. Guna menarik perhatian khalayak, dan pada akhirnya
pengiklan, pemberitaan pada akhirnya juga melakukan dramatisasi isu,
sehingga menarik minat orang untuk membaca atau melihat berita.
Ketiga, persaingan antarmedia terjadi, karena pada dasarnya media
memperebutkan pembaca dan pengiklan yang sama dan berhadapan
94
dengan peristiwa yang sama pula. Oleh sebab itu, persaingan antarmedia
dapat menjadi faktor yang menentukan bagaimana berita diproduksi.
Keempat, bentuk intervensi institusi ekonomi lain adalah modal atau
kepemilikan terhadap media. Media menjadi tidak sensitif terhadap berita-
berita yang berkaitan atau mempunyai hubungan dengan pemilik modal.
Kepemilikan ini juga harus dihubungkan secara luas dengan jejaring
kapitalisme yang merambah dan memasuki bidang apa saja, termasuk
bidang media.
Selain ekonomi media, Eriyanto (2001:324) juga mengatakan bahwa
faktor institusi lain yang berpengaruh adalah politik. Kesatu, institusi politik
yang memengaruhi kehidupan dan kebijakan yang dilakukan oleh media.
Misalnya, institusi negara yang bisa menentukan sejauh mana kondisi dan
limitasi politis di mana media terbit yang sedikit banyak akan sangat
berpengaruh terhadap wacana yang diberitakan. Di negara, tempat
pemerintah memiliki wewenang dapat melakukan kontrol dan pengendalian,
seperti ketika pemerintahan Orde Baru, maka akan bisa memengaruhi
secara signifikan wacana yang muncul di media. Media akan tunduk untuk
menghindari gangguan terhadap kelanjutan kehidupan media tersebut,
misalnya pencabutan izin terbit atau pembreidelan seperti yang terjadi pada
saat Harmoko menjabat Menteri Penerangan di bawah Presiden Soeharto.
Berita yang semula diperoleh di lapangan dianggap menarik bagi wartawan,
di ruang redaksi terpaksa diturunkan, karena dianggap dapat
membahayakan posisi media yang bersangkutan. Posisi institusi politik tidak
berpengaruh langsung terhadap teks berita yang dihasilkan, tetapi sangat
menentukan suasana ruang redaksi (news room). Pertimbangan tersebut
95
menentukan apakah peristiwa tertentu akan diberitakan apa adanya ataukah
dipotong. Kalau dipotong, bagian mana yang dihilangkan, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, produksi berita melibatkan faktor yang kompleks,
karena menyertakan dan berkaitan dengan banyak kekuatan dan aspek yang
ada dalam masyarakat dan hasil akhir dari seluruh proses negosiasi
semacam itu adalah berita. Pengaruh institusi politik ini juga dapat dideteksi
pertama, bagaimana institusi tersebut melakukan regulasi dan aneka
pengaturan yang membatasi proses produksi berita. Regulasi dan berbagai
pelarangan dan kewajiban yang harus dilakukan akan menentukan apa yang
bisa dan boleh diliput.
Kedua, institusi politik dalam arti bahwa media digunakan oleh
kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam masyatakat. Media bisa menjadi
alat kekuatan-kekuatan dominan yang ada dalam masyarakat untuk
merendahkan dan memarjinalkan kelompok ;lain, di antaranya dengan
menggunakan media. Contohnya, media menyediakan ruang promosi bagi
kekuatan-kekuatan politik tertentu. Bentuk ekstrem dari elemen ini adalah
media partisan yang sengaja dibentuk untuk mendukung gagasan dan
kekuatan politik tertentu dengan menggunakan media sebagai alatnya.
Politik lewat media tersebut selain dengan media partisan yang memang
secara sengaja diciptakan untuk tujuan politik, juga kontrol terhadap pikiran
khalayak yang dilakukan secara tidak sengaja oleh media. Contoh konkret
terjadi ketika berlangsung pemilihan presiden (pilpres) 2014, ketika dua
media TV nasional menjadi media partisan yang memperjuangkan
kelompoknya masing-masing.
96
Faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap wacana yang muncul
dalam pemberitan adalah faktor sosial. Fairclough (Eriyanto, 2001: 325)
menegaskan bahwa wacana yang muncul dalam media ditentukan oleh
perubahan masyarakat. Dalam level sosial, budaya masyarakat, misalnya,
turut menentukan perkembangan dari wacana media. Kalau aspek
situasional lebih mengarah pada waktu dan suasana yang mikro (konteks
peristiwa saat teks berita dibuat), aspek sosial lebih melihat pada aspek
makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, atau sistem budaya
masyarakat secara keseluruhan. Sistem ini menentukan siapa yang
berkuasa dan nilai-nilai apa yang dominan dalam masyarakat dan kelompok
yang berkuasa memengaruhi dan menentukan media. Misalnya dalam
masyarakat sangat kental ideologi patriarhat yang melihat wanita sebagai
kelas dua di bawah laki-laki, nilai-nilai ini akan ikut memengaruhi
pemberitaan. Teks berita yang dibuat oleh wartawan dari sistem politik
otoriter tentu saja berbeda dengan teks berita dari wartawan yang dihasilkan
dalam sistem ekonomi kapitalisme yang ditandai dengan persaingan dan
perebutan modal, tentu saja akan berbeda dengan teks berita dalam sistem
ekonomi sosialisme.
Dari seluruh aspek teori Fairclough tersebut, penulis menggunakan
aspek praksis sosiokultural untuk mengungkapkan sisi sosial wacana dengan
memilih elemen situasional yang dijadikan sebagai aspek yang
mencerminkan situasi teks diproduksi; elemen institusional menyangkut
pengaruh institusi dalam praktik produksi wacana); dan elemen sosial yang
lebih melihat faktor makro seperti sistem politik, sistem ekonomi, atau sistem
budaya masyarakat.
97
12.3 Perangkat Framing
Pendekatan perangkat framing (pembingkaian) dalam kajian wacana
kritis adalah satu pendekatan untuk mengetahui perspektif atau cara
pandang yang digunakan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.
Cara pandang ini pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian
apa yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa ke mana berita
tersebut. Badara (2012:10) mengatakan, framing dipandang sebagai sebuah
strategi penyusunan realitas sedemikian rupa, sehingga dihasilkan sebuah
wacana (discourse). Pembentukan frame ini didasarkan atas berbagai
kepentingan internal maupun eksternal media, baik teknis, ekonomis, politik
maupun ideologis. Secara praktis analisis framing ini menggambarkan
praktik wartawan membingkai suatu realitas.
Metode pembingkaian seperti ini digunakan wartawan yang oleh
Hamad (2004:108) disebut sebagai agenda tersembunyi media di balik teks
yang dibuatnya. Dan, amanat yang diusung media tersebut hanya dapat
diungkap dengan menggunakan AWK, khususnya menggunakan analisis
pembingkaian.
Pendekatan analisis perangkat framing memandang wacana berita
sebagai semacam arena perang simbolik antara pihak-pihak yang
berkepentingan dan pokok persoalan wacana. Masing-masing pihak
menawarkan perspektif dalam memberikan pemaknaan terhadap suatu
persoalan agar diterima oleh khalayak. Media massa dipandang sebagai
pentas bertemunya pihak-pihak dengan beragam kepentingan, latar
belakang, dan sudut pandang yang tidak sama. Setiap pihak – disadari atau
tidak – berusaha menonjolkan dasar penafsiran, klaim atau argumentasi
98
masing-masing berkaitan dengan persoalan yang diberitakan. Contoh soal
yang paling nyata, topik-topik diskusi para pengunjung warung kopi (warkop)
adalah membahas wacana berita yang menarik pada hari itu menurut versi
dan penafsiran mereka masing-masing.
Framing sebuah berita bertujuan dapat memudahkan untuk
memahami, mengklasifikasi, bertindak, dan mengantisipasi akibat yang
mungkin lahir dari suatu peristiwa. Framing pun berguna untuk menyodorkan
realitas kepada khalayak mengenai suatu hal untuk memberi informasi,
memperoleh kesan, mengubah kesan pembaca agau menyusun kembali
kesan dalam benak pembaca. Singkatnya membuat pembaca berpikir
sebagaimana yang dipikirkan media. (Eriyanto, 2011).
Dalam penelitian ini dipilih elemen analisis perangkat framing
(pembingkaian), yakni metafora, frasa, dan analisis kausalitas model
perangkat penalaran karena ketiga elemen tersebut sudah mewakili analisis
dalam penelitian ini dan saling melengkapi dengan analisis berdasarkan
teori-teori lain yang digunakan. Elemen-elemen tersebut akan dianalisis
dengan objek kajian wacana berita tiga media cetak yang dijadikan sampel
penelitian. Dari analisis menggunakan perangkat framing (pembingkaian)
diharapkan terungkap praktik wartawan ,mengonstruksi realitas atau
peristiwa menjadi teks wacana berita untuk memengaruhi pendapat khalayak
atau pembaca serta memosisikan media-media itu berpihak.
Perangkat pembingkaian ini berhubungan atau berkaitan langsung
dengan ide atau bingkai yang ditekankan dalam teks berita. Pembingkaian ini
ditandai dengan pemakaian kata, kalimat, grafik/gambar, dan metafora
tertentu, akan tetapi dalam penelitian ini penulis menggunakan metafora dan
99
frasa pada elemen perangkat pembingkaian serta kausalitas sebagai salah
satu elemen perangkat penalaran. Elemen-elemen ini dapat ditandai serta
merujuk pada gagasan atau ide sentral tertentu. Analisis melalui elemen-
elemen tersebut diharapkan dapat mengungkapkan cara kerja wartawan
melakukan pembingkaian dalam pemberitaan konflik Partai Golkar.
Salah satu pisau analisis pembingkaian dalam perangkat framing ini
menurut Gamson dan Modigliani (Eriyanto ,2001:262) mencakup framing
devices (perangkat pembingkaian) dan Reasoning Devices (perangkat
penalaran). Perangkat pembingkaian meliputi methapors (perumpaman atau
pengandaian), Catchphrases (frasa), exemplar (mengaitkan bingkai dengan
contoh, uraian yang memperjelas bingkai), depiction (penggambaran atau
pelukisan suatu isu yang konotatif), dan visual images (gambar, grafiks, citra)
yang mendukung bingkai secara keseluruhan.
Dari seluruh variabel analisis perangkat framing tersebut dalam
penelitian ini penulis memilih dua variabel pada perangkat framing, yakni
metafora dan frasa dan satu variabel pada perangkat penalaran, yakni roots
atau sebab akibat (kausalitas). Pemilihan variabel-variabel tersebut dianggap
cukup merepresentasikan analisis perangkat framing dalam penelitian yang
dikombinasikan dengan analisis piranti kebahasaan pada teori van Dijk dan
Fairclough untuk mengungkapkan keberpihakan media dalam pemberitaan
konflik Partai Golkar.
12.3.1 Metafora
Variabel metafora dalam penelitian analisis wacana kritis menjadi
aspek yang menarik, sehingga baik Gamson maupun van Dijk juga sama-
100
sama memasukkan variabel ini di dalam teorinya. Seorang wartawan di
dalam memproduksi teks berita tidak hanya menyampaikan pesan pokok,
tetapi juga selalu memiliki kecenderungan menyampaikan kiasan atau
ungkapan yang merupakan ornamen atau bumbu dari teks.
Dalam penelitian ini dipilih dua variabel yakni metafora dan frasa
menurut teori Gamson. Penggunaan metafora dalam analisis perangkat
pembingkaian (framing) bertujuan untuk melihat penggunaan piranti
kebahasaan pengandaian atau perumpamaan dalam suatu teks, dalam hal
ini teks wacana berita untuk menjelaskan dan mengungkapkan keberpihakan
media. Misalnya dalam contoh data berikut ini:
Wakil Presiden Jusuf Kalla yang ditunjuk Mahkamah Partai Golkar sebagai Ketua Tim Transisi Penyelesaian Konflik Internal Partai Golkar mengingatkan, Golkar tidak milik satu atau dua orang. Golkar juga bukan perusahaan, melainkan partai politik. (K.18-1-2016). Kata ‘’perusahaan’’ dalam teks di atas dimaksudkan sebagai
perumpamaan terhadap pengelolaan partai sebagai satu lembaga politik
yang menjurus kepada model pengelolaan organisasi bisnis. Menurut
Moeliono (1991) majas metafora kata “perusahaan” merupakan majas
perbandingan, yakni membandingkan partai politik (dalam hal ini Partai
Golkar) dengan perusahaan. Wahab (1986) mengatakan bahwa secara
gramatikal membedakan metafora atas: (i) metafora nominatif (baik yang
subjektif maupun yang objektif), (ii) metafora predikatif, dan (iii) metafora
kalimat. Dalam penelitian ini metafora yang digunakan dalam pengertian
metafora nominatif yang berkaitan dengan objek.
101
12.3.2 Frasa
Variabel kedua yang dipilih adalah frasa, yakni mengidentifikasi
penggunaan piranti kebahasaan frasa dalam teks wacana berita konflik
Partai Golkar untuk menjelaskan keberpihakan media. Contoh penggunaan
frasa dalam teks wacana berita adalah sebagai berikut:
Politikus senior Partai Golkar itu menilai, perpecahan internal Partai Golkar sudah tergolong parah dan eksesif. Konflik tidak hanya di antara dua kubu DPP Partai Golkar, yakni kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono, tetapi juga di internal kedua kubu. Faksi-faksi muncul di kubu Aburizal dan kubu Agung. Faksi-faksi di tiap-tiap kubu itu saling jegal dan menjatuhkan.( K.8-1-2016). Penggunaan frasa atau ungkapan “saling jegal” dalam penelitian ini
merupakan salah satu aspek piranti kebahasaan yang dapat
mengungkapkan keberpihakan dan netralitas media dalam pemberitaan
konflik Partai Golkar. Pemilihan frasa dalam pemberitaan merupakan agenda
diskusi dan debat yang terjadi di ruang redaksi, terutama pilihan frasa yang
ditempatkan pada judul berita. Hal ini disebabkan judul berita harus mampu
memberikan daya hentak dan kejut kepada para pembaca.
12.3.3 Kausalitas
Analisis kausalitas akan mengungkapkan kecenderungan dan alasan
wartawan dalam memproduksi teks dari sisi sebab akibat. Bahwa teks yang
diproduksi melalui wacana berita tidak mengada-ada, tetapi itu benar,
alamiah, faktual, dan memang apa adanya. Ketika khalayak mencari
koherensi antara kalimat yang satu dengan yang lainnya akan ditemukan
kohesivitasnya. Elemen sebab akibat ini dapat ditandai sebagai pemicu
lahirnya suatu hasil atau akibat. Misalnya, dalam kasus terjadinya konflik
Partai Golkar merupakan akibat, sedangkan terpecahnya dukungan
102
terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden 2014 merupakan
sebab.
Akan tetapi pada perkembangan berikutnya. konflik yang semula
menjadi akibat, akan berubah posisi sebagai sebab, jika muncul akibat lain
dari konflik tersebut. Dalam kasus konflik Partai Golkar yang menjadi
pemicunya adalah terpecahnya dukungan para elite pengurus Dewan
Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar antara kubu Aburizal Bakrie dan kawan-
kawan ke kubu pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan kubu Agung
Laksono dan kawan-kawan yang mendukung pasangan Joko Widodo-
M.Jusuf Kalla para pemilihan presiden 2014. Oleh sebab itu, pemicu awal
tersebut melahirkan sejumlah akibat lain. Misalnya, perebutan kursi ketua
fraksi di DPR merupakan akibat, sedang yang menjadi sebab adalah konflik
Partai Golkar.
Oleh sebab itu, antara fakta yang satu dengan yang lainnya harus
saling berhubungan (berkoherensi). Antara kalimat yang satu dengan yang
lain saling mendukung, satu bagian yang lain, satu bagian menjadi sebab
atau akibat dari proposisi yang lain. Proposisi menurut Kridalaksana (1993)
adalah konfigurasi makna yang menjelaskan isi komunikasi dari
pembicaraan; terjadi dari predikator yang berkaitan dengan satu argumen
atau lebih.
Analisis pembingkaian berdasarkan variabel ini lebih menekankan
kepada perangkat penalaran, yakni bagaimana suatu teks berita disertai
dengan penjelasan yang berdasar penalaran atau pemikiran suatu fakta.
Penjelasan penalaran seperti ini juga dikaitkan dengan hubungan antara teks
103
yang satu dengan yang lainnya yang lebih memberikan proses pencerahan
dan pemahaman keapada seseorang. Misalnya saja dalam teks berikut ini:
“Rakyat berhak mengetahui kualitas calon presiden agar rakyat tidak
membeli kucing dalam karung. Karena itu, calon presiden harus berani
menampilkan program di depan rakyat, dan berani pula dikiritik. Supaya elite
politik tidak mendapat cek kosong”. (Eriyanto,2011).
Variabel kausalitas dalam teks wacana berita pada penelitian ini
adalah bagaimana wartawan sebagai pihak yang memproduksi teks
menampilkan satu fakta yang saling terkait dalam hubungan sebab akibat.
Pengembangan dan penjabaran akibat suatu fakta yang menjadi sebab
munculnya suatu peristiwa dapat beragam. Setiap munculnya akibat baru
dari fakta berita tersebut merupakan ‘’makanan empuk’’ bagi media dalam
usahanya terus mengembangkan berita suatu kasus, seperti halnya dengan
berita konflik Partai Golkar. Konflik partai politik merupakan tambang berita
yang sangat menarik perhatian publik karena berlangsung dalam rentang
waktu yang cukup lama, yakni Agustus 2014 hingga Mei 2016.
Penerapan variabel.kausalitas dalam penelitian ini dapat dilihat pada
data teks berita berikut ini:
Dualisme kepemimpinan Partai Golkar tak hanya menunjukkan ajang perebutan kekuasaan internal partai, tetapi juga melupakan kewajiban mengelola partai dengan baik. Akibatnya, listrik, gaji karyawan, dan pajak serta biaya pengamanan kantor DPP Partai Golkar pun tertunggak dan belum juga dibayarkan. (K.3-1-2016).
Pada teks berita tersebut di atas fakta yang menjadi pemicu pertama
konflik sudah tidak mengemuka dalam teks berita. Justru yang tampak
adalah terjadinya dualisme kepemimpinan yang mengindikasikan terjadinya
perebuatan kekuasaan di internal partai. Dualisme kepemimpinan sebagai
104
sebab kemudian melahirkan akibat yakni terabaikannya kewajiban partai
terhadap pengelolaan rumah tangga partai dan kesejahteraan para
karyawannya.
Analisis piranti kebahasan elemen kausalitas terhadap teks-teks
diharapkan dapat mengungkapkan keberpihakan dan netralitas tiga media
yang dijadikan sampel dalam berita konflik Partai Golkar.
B. Tinjauan Hasil Penelitian
1. Struktur Mikro
Hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan teori yang
digunakan dalam penelitian ini juga dilakukan oleh Jufri (2006) untuk
penulisan disertasi yang berjudul “Struktur Wacana Lontara La Galigo”.
Penelitian ini berfokus pada wacana Klasik Lontara La Galigo menggunakan
pendekatan linguistik kritis dengan mengadaptasi model Teun van Dijk. Di
dalam penelitiannya, dia merepresentasikan ideologi kalimat kultural yang
dikaitkan dengan ketiga struktur dari teori van Dijk, yakni struktur super,
struktur makro, dan struktur mikro yang merupakan satu kesatuan yang
saling mendukung dan juga menemukan ideologi yang terbuka dan ideologi
yang tertutup. Hasil penelitian Jufri ini setidak-tidaknya dapat membangkitkan
semangat dan kesadaran masyarakat, khususnya masyarakat Bugis untuk
mengkaji budaya lokalnya, khusus yang tersimpan di dalam naskah-naskah
lama, seperti Lontara. Meskipun peneliti tersebut menggunakan teori yang
sama dengan yang dilakukan dalam penelitian ini, namun objek yang diteliti
berbeda.
105
Penelitian lain dengan judul “Analisis Wacana Kritis: Strategi Politik
dalam Penggunaan Bahasa dalam Pidato Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono” dilakukan oleh Sumarti (2009). Fokus penelitian ini berkaitan
dengan profil kebahasaan Wacana Politik SBY pada tataran struktur makro,
mikro yang lebih pada konteks proses produksi dan kebermaknaan. AWK
memandang bahasa sebagai suatu bentuk praktik sosial. Dalam pidatonya,
SBY menggunakan strategi memanfaatkan kata-kata pesona (kata yang
bernuansa reformasi dan keterbukaan). Pengambilan naskah pidato SBY
juga dilakukan secara acak dengan berorientasi pada pendekatan verbal,
yakni wacana pidato yang diungkapkan SBY dan diekspresikan dalam wujud
rangkaian kalimat, seperti kalimat ajakan, kalimat harapan, dan kalimat
pernyataan.
Penelitian yang dilakukan Sumarti tersebut menganalisis strategi
politik dalam penggunaan bahasa dari sisi AWK pidato-pidato yang
digunakan Susilo Bambang Yudhoyono. Di dalam penelitian ini meskipun
digunakan teori yang sama dengan peneliti tersebut, namun berbeda dalam
memilih objek penelitian, yakni berusaha mengungkapkan dan
mendeskripsikan keberpihakan dan netralitas media cetak dalam
pemberitaan konflik Partai Golkar. Objek penelitian Sumarti lebih fokus
pada wacana pidato seorang tokoh, sementara penulis menganalisis tiga
suratkabar yang dijadikan populasi dengan sampel teks berita-berita dari
ketiga media tersebut sebagai bahan analisis.
Penelitian lain dilakukan Azis berjudul “Analisis Wacana Kritis Berita
Politik Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2009” yang
bertujuan mendeskripsikan, menginterpretasikan, dan mengeksplanasi
106
representasi ideologi dalam struktur makro, mikro dan struktur super berita
politik pemilihan presiden dan wakil presiden RI tahun 2009. Peneliti dalam
karyanya menemukan hasil tentang ideologi dalam berita politik pemilihan
presiden dan wakil presiden RI tahun 2009 yang direpresentasikan melalui
tiga unsur, yakni struktur makro, mikro, dan struktur super.
Dalam struktur super direpresentasikan melalui dua topik utama, yakni
tampilan peristiwa dan topik tampilan tokoh. Struktur makro
merepresentasikan ideologi melalui penggunaan kosakata yang meliputi: (1)
kosakata yang diperjuangkan, (2) relasi makna, (3) metafora, (4) kategori
kata, (5) penggunaan gaya bahasa, (6) kosakata informal, dan (7)
pronominal. Pada struktur super, representasi ideologi melalui bagian
pendahuluan dan pembahasan berita.
Penelitian yang dilakukan Azis mendeskripsikan, menginterpretasikan,
dan mengeksplanasi representasi ideologi dalam struktur makro, mikro, dan
struktur super berita politik pemilihan presiden dan wakil presiden RI tahun
2009, berbeda dengan yang dilakukan penulis. Penulis dalam penelitian ini
mengungkapkan dan mendeskripsikan aspek piranti linguistik dan
menganalisis bagaimana tiga teori (van Dijk, Fairxlough, dan Gamson)
bekerja dalam menganalisis wacana keberpihakan dan netralitas media
dalam pemberitaan konflik Partai Golkar.
Penelitian lain yang menggunakan teori van Dijk dilakukan Kone
(2017) berjudul “Konfigurasi Ideologi pada Pidato Soekarno: Analisis Wacana
Kritis”. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan, menginterpretasi, dan
mengeksplanasi konfigurasi ideologi dalam struktur super, struktur makro,
dan struktur mikro wacana Pidato Soekarno tahun 1965-1967 dengan
107
menggunakan AWK model Teun van Dijk sebagai model utama yang dipadu
dengan model Norman Fairclough dengan elemen analisis praktik
kewacanaan dan praksis sosiokultural.
Hasil penelitian Kone menunjukkan bahwa konfigurasi ideologi pada
teks pidato Soekarno 1965-1967 direpresentasikan dalam tiga struktur, yaitu:
struktur super, struktur makro, dan struktur mikro. Dalam struktur super,
konfigurasi ideologi melalui bagian pendahuluan dan pembahasan pidato.
Struktur makro, konfigurasi ideologi direpresentasikan melalui dua topik
utama, yaitu latar historis, dan tampilan peristiwa tahun 1965 dan tahun
1966. Latar historis dilihat secara eksplisit dan secara implisit. Struktur mikro,
konfigurasi ideologi direpresentasikan melalui penggunaan kosakata dan
penggunaan kalimat. Konfigurasi ideologi melalui kalimat meliputi: (1) kalimat
eksprensial, (2) kalimat relasional, dan (3) kalimat ekspresi. Sementara
konfigurasi ideologi melalui pilihan kata terdiri atas: (1) relasi makna:
sinonim, antonym, (2) metafora, terdiri atas: metafora nominatif, metafora
predikat, dan metafora kalimat, (3) repetisi, (4) kata serapan, dan (5)
pronominal persona.
Meskipun teori yang digunakan Kone sama dalam penelitian ini,
elemen analisis dan objek yang dikaji berbeda. Di dalam penelitian penulis
digunakan elemen struktur mikro terhadap teks wacana berita yang struktur
wacananya sama sekali berbeda dengan struktur wacana pidato yang
memiliki pendahuluan dan pembahasan. Teks wacana berita sama sekali
tidak memiliki pendahuluan dan pembahasan, karena semua teks wacana
merupakan suatu informasi yang utuh dan lengkap. Oleh sebab itu, hasil-
hasil penelitian terdahulu berbeda dengan yang dilakukan peneliti.
108
2. Sosiokultural
Penelitian lain yang menggunakan satu teori yakni Norman Fairclough
dilakukan oleh Hamad (2004) berjudul “Konstruksi Realitas Politik dalam
Media Massa, Sebuah Studi Critical Discourse Analisys terhadap Berita-
berita Politik”. Penelitian ini secara khusus membahas konstruksi realitas
politik berita-berita sembilan partai politik dari sepuluh koran nasional selama
kampanye Pemilu tahun 1999 dengan menggunakan teori Fairclough.
Penelitian Hamad dengan Penulis berbeda. Penulis menggunakan tiga teori
yang saling melengkapi dengan objek kajian teks berita konflik Partai Golkar
yang dimuat tiga media cetak, sehingga berbeda dengan apa yang diteliti
oleh Hamad.
Penelitian lain dilakukan oleh Badara (2007) sebagai bahan disertasi
di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang berjudul “Analisis Wacana: Teori,
Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media” menggunakan teori Van
Leeuwen. Penelitian ini yang kemudian direformulasi menjadi sebuah buku
ajar yang dijadikan penuntun dalam penelitian yang berkaitan dengan kajian
analisis wacana untuk mengungkap lebih jauh dan misi yang tersembunyi di
balik wacana media. Penelitian Badara menyoal masalah penerapan
analisis wacana pada beberapa surat kabar mencakup lead wacana berita,
judul wacana berita, dan isi wacana berita, tetapi tidak secara khusus dan
terperinci membahas wacana berita media. Badara membahas judul wacana
berita dari sisi strategi wacana, sementara penulis lebih fokus membahas
dan mengkaji aspek berita secara lebih komprehensif, yakni dari sisi
penggunaan teks dari elemen struktur mikro, praksis sosiokultural, dan
109
analisis pembingkaian (framing analysis) berita konflik Partai Golkar untuk
mengungkapkan keberpihakan dan netralitas ketiga media cetak.
Penelitian yang berkaitan dengan penggunaan teori AWK juga
dilakukan oleh Khan (2015) dengan judul “Bahasa Advokasi Media Islam di
Indonesia: Analisis Wacana Kritis,” yang dipertahankan dalam ujian promosi
doktor di Universitas Hasanuddin pada tanggal 21 Januari 2015. Penelitian
Khan secara khusus menganalisis bahasa advokasi media Islam di
Indonesia dengan menggunakan tiga media cetak Islam sebagai sampel,
yakni Majalah “Sabili”, Majalah “Suara Hidayatullah”, dan Tabloid “Media
Umat” menggunakan teori Roger Fowler dan teori framing William
A.Gamson. Meskipun menggunakan AWK sebagai pisau analisis, Khan
secara khusus membahas bahasa advokasi sebagai objek kajiannya.
Dalam penelitian ini, penulis mengkaji berita konflik partai politik pada ketiga
media yang dijadikan sampel dengan pendekatan teori yang berbeda dengan
Khan, sehingga kedua penelitian ini berbeda.
3. Perangkat Framing
Khan dalam pembahasan penelitiannya yang menggunakan teori
framing Gamson menganalisis level konteks. Dalam penelitiannya, Khan
mengungkapkan terdapat korelasi analisis teks dan konteks yang menjadi
karakteristik linguistik bahasa advokasi, yaitu dalam analisis teks berita.
Dalam analisis konteks media Sabili yang dijadikan sampel dengan media
majalah Suara Hidayatullah dan Tabloid Media Umat. Jadi antara penelitian
Khan dengan penulis berbeda aspek yang hendak dikaji.
110
Penelitian yang membahas analisis framing juga dilakukan Nurdin
(2002) dengan teori Zhongdang Pan dan Gerald M.Kosicki yang secara
khusus membeberkan citra Amerika Serikat dan sekutunya terhadap rencana
mereka menyerang Irak yang bersumber dari 271 unit berita harian Fajar.
Nurdin menggunakan formulasi AWK model Teun van Dijk.
Penelitian yang dilakukan penulis berbeda dengan penelitian-
penelitian terdahulu, meskipun menggunakan teori AWK yang sama. Objek
penelitian penulis adalah berita konflik internal Partai Golkar. Perbedaan
yang menonjol dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah pemanfaatan
piranti linguistik dalam wacana berita konflik Partai Golkar berdasarkan teori
van Dijk, Fairclough, dan Gamson untuk mengungkapkan keberpihakan dan
netralitas ketiga media cetak.
Dari beberapa kajian terdahulu banyak penelitian yang menggunakan
AWK berkaitan dengan kajian dari sisi disiplin ilmu komunikasi. Adapun
kajian AWK yang menganalisis pirantik linguistik tentang berita konflik suatu
partai politik yang memadukan model struktur mikro Teun van Dijk, model
sosiokultural Norman Fairclough, dan analisis framing William A.Gamson
merupakan kajian baru sebagaimana dipilih dalam penulisan disertasi ini.
Ketiga teori ini masing-masing akan saling melengkapi. Struktur mikro
akan mengungkapkan keberpihakan da netralitas masing-masing media
melalui analisis teks dengan menggunakan elemen semantik dalam wacana
berita konflik Partai Golkar. Analisis praksis sosiokultural pun akan
mengungkapkan keberpihakan dan netralitas media berdasarkan elemen
situasional, institusional, dan sosial. Sementara melalui analisis perangkat
framing juga dengan elemen analisis perangkat framing metafora dan frasa
111
serta perangkat penalaran kausalitas akan diungkapkan keberpihakan dan
netralitas masing-masing media. Dengan demikian, jelas ketiga variabel
utama analisis ini akan saling menunjang dalam mengungkapkan
keberpihakan dan netralitas tiga media tersebut. Jadi, analisis ketiga teori
ini akan bermuara pada upaya mengungkapkan keberpihakan dan netralitas
tiga media melalui teks wacana berita konflik Partai Golkar yang dijadikan
sampel dalam penelitian ini.
C. Wacana Kritis dan Berita Konflik Partai Golkar
Dalam pemberitaan tiga media cetak yang dijadikan sampel akan
dilihat bagaimana berita konflik Partai Golkar dianalisis menggunakan pisau
AWK. Bagaimana setiap media melihat fakta yang diberitakan sesuai dengan
pandangan pluralis yang menempatkan fakta apa adanya dan wartawan
meliput suatu realitas eksternal yang ada di luar diri seorang wartawan.
Pandangan ini berlawanan dengan pandangan kritis yang menempatkan
fakta adalah sesuatu yang semu, karena merupakan partarungan ideologi
dari kelompok dan aspek sosial, politik, dan ekonomi yang dominan.
Bagaimana ketiga media memosisikan dirinya masing-masing dianalisis
melalui analisis wacana kritis. Dan, bagaimana posisi wartawan dalam
pandangan pluralis dan kritis berkaitan dengan berita konflik Partai Golkar
tersebut.
Bagaimana wacana pemberitaan konflik Partai Golkar ketiga media
akan mengungkapkan aspek ideologis masing-masing pihak yang berkonflik
dengan menggunakan kata dan kalimat tertentu sebagai bentuk pertarungan
untuk memenangkan kelompoknya masing-masing. Juga berkaitan dengan
112
penekanan makna di balik kata dan kalimat yang digunakan dalam wacana
tersebut. Suatu wacana terdiri atas tiga struktur yang saling mendukung
antara satu struktur dengan struktur yang lainnya, yakni struktur super,
struktur mikro, dan struktur makro (van Dijk, 1998, Eriyanto, 2001).
Perspektif AWK dapat dilihat dengan memperhatikan beberapa aspek,
yakni (1) struktur linguistik, membuat sistem, mentransformasi, mengatur ide,
dan mengklarifikasi informasi: (2) teks sebagai realitas wacana, (3) bahasa
sebagai alat mengklasifikasikan pengalaman berupa kategori kultural; (4)
fitur-fitur wacana yang merupakan gejala yang mencerminkan perbedaan
kelas, kekuasaan, dan dominasi; (5) terdapat dominasi satu bentuk ideologi
diskursif tertentu; (6) terdapat hubungan dialektif antara struktur mikro dan
struktur makro (sosiokultural); (7) wacana bersifat historis, wacana diproduksi
dan tidak dapat dipahami tanpa mempertimbangkan konteks, dan (8) analisis
wacana bersifat penafsiran dan eksplanatori,
Pandangan para ahli tersebut relevan dengan upaya analisis yang
dilakukan terhadap pemberitaan ketiga media tersebut tentang konflik Partai
Golkar. Di dalam berita konflik Partai Golkar merupakan rangkaian wacana
yang terdiri atas; (1) struktur linguistik, membuat sistem, mentranformasi,
mengatur gagasan/ideologi, dan mengklarifikasi fakta atau informasi sebagai
bahan pemberitaan konflik; (2) berita konflik Partai Golkar merupakan teks
wacana; (3) bahasa yang digunakan dalam berita konflik Partai Golkar
sebagai alat untuk mengklasifikasi pengalaman para pihak yang berkonflik
berupa kategori ideologi; (4) fitur-fitur wacana dalam berita konflik Partai
Golkar ketiga media merupakan gejala persoalan yang menarik perhatian
publik, karena berkaitan dengan pertarungan ideologi dan kepentingan dari
113
kelompok dominan dan tidak dominan; (5) dalam berita konflik Partai Golkar
terdapat kelompok yang dominan dengan ideologis diskursif tertentu; (6)
dalam berita konflik Partai Golkar terdapat hubungan dialektis antara struktur
mikro dan struktur makro; (7) wacana berita konflik Partai Golkar bersifat
historis, karena berhubungan wacana yang diproduksi sebelumnya
(intertekstual).
Wacana berita konflik Partai Golkar ini merupakan wacana sosial
politik dan ideologis yang menarik dikaji, karena selain pertama kali terjadi,
juga melanda partai besar yang memiliki rekam jejak sebagai pendukung
pemerintah yang berkuasa dalam rentang waktu yang lama, yakni sepanjang
pemerintahan Orde Baru. Sisi yang menarik lain, konflik ini telah membawa
dampak yang serius dalam proses kehidupan berpemerintahan, berbangsa,
dan bernegara, khususnya yang berkaitan dengan pengusulan nama calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah di Indonesia. Hingga kini, dualisme di
tubuh Partai Golkar juga berimbas kepada adanya dualisme dalam
pemberian rekomendasi terhadap calon kepala/wakil kepala daerah di
seluruh daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada)
serentak Desember 2015.
Secara umum ketiga media cetak yang dijadikan objek penelitian
memiliki kecenderungan tersendiri terhadap pemberitaan konflik Partai
Golkar. harian Kompas misalnya, secara selektif memberitakan konflik ini.
Sejak awal konflik November 2014 Januari 2016, penulis menemukan
sejumlah berita yang menyorot konflik ini. Demikian halnya dengan harian
Republika. Sementara Koran Tempo memberi ruang (space) yang cukup
114
besar terhadap berita konflik ini. Media ini hampir setiap hari memberitakan
konflik tersebut secara rutin.
D. Kerangka Pikir
AWK pada penelitian ini memanfaatan objek kajian meda massa
dengan menggunakan piranti kebahasaan untuk mengungkap keberpihakan
media. Objek difokuskan pada pemberitaan konflik Partai Golkar yang dimuat
oleh tiga media cetak, yakni harian Kompas, harian Republika, dan Koran
Tempo dengan menggunakan teori Teun van Dijk, Norman Fairclough, dan
William Gamson. Dari tiga media cetak tersebut dipilih teks berita kemudian
dianalisis dengan menggunakan ketiga teori tersebut sebelumnya.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa menurut van
Dijk wacana terdiri atas tiga struktur yang masing-masing bagian saling
berhubungan dan mendukung, yakni: struktur super, struktur makro, dan
struktur mikro. Namun dalam penelitian ini dipilih struktur mikro dengan
elemen analisis semantik yang mencakup variabel: latar, detil, dan maksud.
Teori Fairclough dititikberatkan pada analisis wacana dengan melihat
dimensi praksis sosiokultural yang meliputi tiga variabel yakni; situasional,
institusional, dan sosial. Sedangkan analisis framing teori William A. Gamson
dipilih elemen perangkat framing variabel metafora dan frasa dan elemen
perangkat penalaran dipilih variabel kausalitas (sebab-akibat).
Analisis menggunakan piranti kebahasaan terhadap tiga teori tersebut
diharapkan mengungkap kecenderungan keberpihakan tiga media dalam
teks wacana pemberitaan konflik Partai Golkar. Setiap analisis variabel
piranti kebahasaan terhadap teks wacana berita yang dimuat tiga media
115
cetak tersebut dikaji kecenderungan keberpihakannya sebagai produk akhir
hasil penelitian ini.
Wartawan sebagai penulis berita bukan merupakan pihak yang bebas
nilai, melainkan subjek pemberitaan yang tidak dapat dipisahkan dengan
berbagai kepentingan, misalnya kepentingan pemodal dan pelaku politik
yang menjadi mitranya. Hal ini dapat diungkapkan melalui pilihan teks dan
bahasa yang digunakan, di samping penonjolan aspek-aspek tertentu yang
berpotensi menguntungkan atau merugikan suatu pihak yang ada dalam
pemberitan. Oleh sebab itu, AWK merupakan pisau analisis yang tepat
untuk mengungkapkan aspek kecenderungan media atau sosok tertentu
yang direpresentasikan oleh media dalam suatu wacana, khususnya di
dalam teks berita.
Penelitian ini memilih aspek praksis sosiokultural untuk melihat aspek-
aspek sosiokultural yang memengaruhi wartawan dalam memproduksi teks.
Variabel-variabel itu meliputi: situasional, institusional, dan sosial. Elemen
situasional melihat situasi dan kondisi pada saat teks diproduksi. Elemen
institusional untuk menggambarkan apakah peran institusional internal dan
eksternal media berpengaruh terhadap wartawan dalam memproduksi teks.
Adapun elemen sosial adalah untuk mengungkapkan aspek makro yang
berkaitan dengan sistem ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang ikut
memengaruhi wartawan dalam memproduksi teks.
Pada teori analisis perangkat framing (pembingkaian) William Gamson
digunakan dua variabel pada elemen perangkat pembingkaian, yakni
metafora dan frasa, dan satu variabel pada elemen perangkat penalaran,
yakni kausalitas. Variabel metafora dalam analisis pembingkiaian ini
116
menganalisis praktik wartawan mengonstruksi realitas atau peristiwa dengan
menggunakan perumpamaan yang relevan dengan realitas. Variabel frasa
dimaksudkan untuk menganalisis kecenderungan wartawan memilih diksi-
diksi yang lain dan berbeda dengan yang lazim digunakan dalam
mengonstruksi realitas terhadap suatu peristiwa dalam teks. Sedangkan
variabel kausalitas pada perangkat penalaran pembingkaian akan
menganalisis kecenderungan wartawan mengonstruksi realitas di dalam teks
dengan mencari hubungan sebab akibat antara satu peristiwa dengan
peristiwa yang lain.
Dengan menggunakan ketiga teori ini diharapkan berita konflik Partai
Golkar yang dikaji menurut pisau analisis wacana kritis dapat diungkapkan
sejumlah ‘’misteri’’ piranti kebahasaan yang memperlihatkan keberpihakan
ketiga media cetak dalam pemberitan konflik Partai Golkar.
117
BAGAN KERANGKA PIKIR
E. Definisi Operasional
Untuk memudahkan pemahaman dalam pembahasan hasil
penelitian, maka perlu dijelaskan batasan-batasan yang fungsional
dalam kaitannya dengan penulisan hasil penelitian ini. Beberapa istilah
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Berita adalah informasi tentang suatu peristiwa atau kejadian yang
luar biasa dan disiarkan oleh media massa (cetak, elektronik).dan
media daring.
2. Konflik, yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah berita
berkaitan dengan perebutan kekuasaan dari dua pihak atas legalitas
kepemimpinan partai politik, dalam hal ini Partai Golkar.
3. Partai Golkar yang pada awalnya dikenal dengan Golongan Karya
(Golkar) dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar),
118
adalah sebuah partai politik di Indonesia. Partai Golkar berdiri pada
masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno, tepatnya 20
Oktober 1964 yang disponsori oleh Angkatan Darat untuk menandingi
pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam kehidupan politik. Dalam
perkembangannya, Golongan Karya kini berubah menjadi Partai
Golkar.
7. Latar merupakan bagian berita yang dapat memengaruhi semantik
(arti) yang hendak ditampilkan.
8. Detil, berkaitan dengan control informasi yang ditampilkan seseorang.
Komunikasi akan menampilkan secara berlebihan informasi yang
menguntungkan dirinya atau secara berlebihan informasi yang
menguntungkan. Sebaliknya, akan menampilkan informasi dalam
jumlah sedikit (bahkan bila perlu tidak disampaikan) kalau hal itu
merugikan kedudukannya.
9. Maksud, elemen ini hampir sama dengan detil, tetapi dalam detil
informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan dengan
detil yang panjang. Informasi yang menguntungkan komunikator
diuraikan secara eksplisit dan jelas.
10. Situasional, ialah konteks sosial bagaimana teks itu diproduksi di
antaranya dengan memperhatikan aspek situasional ketika teks itu
diproduksi.
11. Institusional, ialah melihat bagaimana pengaruh institusi organisasi
dalam praktiks produksi wacana. Institusi ini bisa berasal dari dalam
lingkup media itu sendiri, boleh juga kekuatan-kekuatan eksternal di
luar media yang menentukan proses produksi berita.
119
12. Metafora dalam konteks penelitian ini berkaitan dengan
perumpamaan dan pengandaian yang merupakan ornamen atau
bumbu dalam menyampaikan informasi agar tidak membosankan.
13. Frasa: merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak melewati
batas fungsi. Dalam pembahasan penelitian ini digunakan istilah frasa
yang juga merujuk kepada kata majemuk dan idiom yang menjadi
salah satu variabel dalam analisis perangkat framing.
14. Kausalitas, perihal kausal, perihal sebab akibat, yakni yang merujuk
pada peristiwa atau kejadian yang lahir dari proses sebab dan akibat.
15. Keberpihakan, yakni posisi satu media yang mengindikasikan
menguntungkan salah satu pihak dari dua kubu yang berkonflik.
120
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan
pendekatan teori kritis menggunakan metode AWK model Teun A.Van
Dijk Norman Faiclough, dan William Gamson memanfaatkan pendekatan
kuantitatif dalam mendeskripsikan data dan mengukur aspek-aspek
tertentu, dalam hal ini dalam menganalisis teks berita yang merujuk pada
keberpihakan media yang menjadi temuan penelitian. Bogdan dan Taylor
(Moleong, 1996:3) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Kirk dan Miller (Lexy
J.Moleong 1996:3) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi
tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri
dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasannya dan
dalam peristilahannya. Sementara Sigit (1996:156) menyebutkan bahwa
metode kualitatif mempelajari situasi dunia nyata dengan mengadakan
kontak secara langsung dan dekat dengan orang-orang, situasi-situasi,
dan fenomena-fenomena yang dipelajari, pengalaman pribadi peneliti
untuk mencari penemuan-penemuan dalam konteks sosial, historis, dan
temporal.
Adapun penelitian deskriptif menurut Sugiyono (1997:6) adalah
penelitian yang dilakukan terhadap variabel mandiri, yaitu tanpa membuat
121
perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain. Data deskriptif
adalah data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan gambar. Oleh sebab
itu, laporan penelitian akan berisi sejumlah kutipan data untuk
memberikan gambaran laporan penyajian. Pendeskpsian menjadi sangat
penting, karena data yang digunakan berupa kata-kata dan juga perilaku
orang, sehingga akan diperoleh gambaran yang jelas terhadap masalah
yang dibahas. Proses penafsiran pun sangat diperlukan dalam
menganalisis data untuk mengungkap sejumlah makna.
Menurut Gibbons (dalam Ibrahim, 2005), dengan interpretasi
diharapkan dapat melampaui data yang diperoleh dari penelitian empirik.
Sebab data itu sendiri seringkali merupakan makna dan praktik objek
berita bahasa. Tetapi hal itu sering menjadi permulaan yang samar dan
terartikulasi secara tidak sempurna. Oleh sebab itu, untuk menampakkan
makna yang sebenarnya, maka kita membutuhkan interpretasi terhadap
data, khususnya yang berhubungan dengan analisis berita-berita media.
B. Data dan Sumber Data
1. Data penelitian adalah teks-teks berita mengenai konflik Partai
Golkar pada surat kabar harian Kompas, harian Republika, dan
Koran Tempo.
2. Sumber Data:
(a) Harian Kompas yang diterbitkan tanggal 14 Agustus, 23 Agustus,
11 November, 19 November, 4 Desember 2014; 11 Maret 2015;
dan tanggal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 12 Januari 2016,
122
(b) Harian Republika yang diterbitkan tanggal 14, 23, Agustus, 19,
27, November, 4 Desember 2014 dan 25, 26 Februari, 11, 17,
23, dan 25 Maret, 20 April, 11 dan 20 Mei.2015.
(c) Koran Tempo yang diterbitkan pada tanggal 21, dan 30
November, tanggal 4, 11 dan 17 Desember (2014); tanggal 5
dan 28 Maret, tanggal 2, 4, 8, 16, 21, dan 22 April serta tanggal
19 dan 23 Mei 2015.
C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode dan teknik sebagai berikut:
1. Metode
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini
adalah metode simak. Metode simak menurut Mahsun (2005:92), yakni
cara yang digunakan peneliti untuk memperoleh data dilakukan dengan
menyimak penggunaan bahasa. Istilah menyimak tidak hanya berkaitan
dengan penggunaan bahasa secara lisan, tetapi juga penggunaan bahasa
secara tertulis. Penggunaan metode simak pada bahasa tertulis biasanya
digunakan pada naskah-naskah kuno (terutama untuk peneliti linguistik
historis komparatif), teks narasi, bahasa-bahasa pada media massa dan
lain-lain. Dalam penelitian ini peneliti menyimak teks berita pada tiga
media cetak tersebut.
123
2. Teknik
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat
dalam hal ini pengetikan menggunakan laptop. Objek penelitian penulis
adalah bahasa tertulis, maka teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik
catat, yakni mengetik paragraf atau beberapa paragraf teks berita yang
dibutuhkan berdasarkan pilihan variabel penelitian ketiga teori yang
digunakan.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
berdasarkan kebutuhan kajian dan analisis. Untuk memperoleh data yang
dibutuhkan dalam penelitian tersebut digunakan teknik berikut ini:
a. Penelusuran pustaka dengan mempelajari dan mengkaji literatur
yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti untuk
mendukung asumi landasan teori yang akan dibahas.
b. Mendokumentasikan teks berita-berita konflik Partai Golkar pada
harian Kompas, harian Republika, dan Koran Tempo. Setiap
media dari tiga media diteliti dan diseleksi masing-masing harian
Kompas sebanyak 15 berita, harian Republika 14 berita, dan
Koran Tempo sebanyak 15 berita. Akan tetapi masing-masing
media diteliti sebanyak 27 teks yang berupa satu atau lebih
paragraf dari setiap berita, disesuaikan dengan jumlah variabel
berdasarkan tiga teori yang digunakan. Setiap variabel dianalisis
tiga sampel teks berita. Pada satu sampel teks berita dapat
digunakan untuk menganalisis lebih dari satu variabel analisis
teori. Bahkan untuk wacana berita yang teksnya panjang dapat
dipilih beberapa variabel pada paragraf-paragrafnya.
124
c. Teks berita yang terdiri atas satu atau lebih paragraf diklasifikasi
dan dikelompokkan berdasarkan variabel-variabel teori yang
dipilih, yakni elemen semantik teori van Dijk, elemen praksis
sosiokultural Fairclough dan perangkat framing teori Gamson.
d. Teks-teks berupa paragraf berita tersebut dianalisis dengan
analisis wacana kritis van Dijk dan Norman Fairclough serta
analisis perangkat framing model William A.Gamson untuk
mengungkapkan keberpihakan media terhadap pemberitaan
konflik Partai Golkar.
D. Teknik Analisis Data
Berdasarkan hasil penyeleksian data teks-teks berita pada harian
Kompas, antara Agustus-Desember 2014, Maret 2015 dan sepanjang
Januari 2016, maka dipilih secara acak dan purposif diperoleh 15 naskah
berita yang berisi pemberitaan konflik Partai Golkar. Dari 15 naskah berita
tersebut disimak dan dicatat paragraf yang berisi teks berita yang sesuai
dengan variabel kebutuhan penelitian. Hasil penyeleksian teks-teks berita
tersebut terakumulasi sebanyak 27 paragraf teks berita yang dianalisis.
Seleksi berita-berita pada Harian Republika antara Agustus-
Desember 2014, dan Februari-Mei 2015 diperoleh 14 naskah berita yang
dimuat atau terbit selama tanggal pemuatan yang dipilih secara acak dan
purposif. Naskah berita tersebut disimak dan dicatat untuk menentukan
paragraf yang berisi teks berita yang releven dengan variabel penelitian.
Di dalam satu naskah berita ataupun dalam satu paragraf teks berita
125
dapat merepresentasikan lebih dari satu variabel yang dapat dianalisis.
Akumulasi paragraf teks berita yang dianalisis berjumlah 27 teks berita.
Terakhir, seleksi berita-berita pada Koran Tempo mencakup 15
naskah berita. Di dalam satu naskah berita sebagaimana pada harian
Kompas dan harian Republika, juga dapat merepresentasikan beberapa
paragraf teks yang dapat dianalisis lebih dari satu variabel. Total jumlah
paragraf teks media ini yang dipilih 27 teks berita. Setiap berita dapat
mencakup beberapa elemen dan variabel analisis, bahkan ada sampel
teks berita dari paragraf yang sama dapat digunakan untuk menganalisis
lebih dari satu variabel penelitian pada teori yang lain. Adapun daftar judul
dan jumlah berita yang dijadikan sampel pada tiga media cetak tersebut
dapat dilihat pada tabel 15 berikut ini:
Tabel 15
TABEL BERITA MEDIA SAMPEL NAMA MEDIA NO. EDISI/TGL
TERBIT JUDUL HLM
KOMPAS
1. 14 AGUSTUS 2014 Hajrianto Ramaikan Bursa Calon Ketum 4 2 23 AGUSTUS 2014 JK; Tradisi Golkar di Pemerintahan 2 3 11 NOVEMBER 2014 Skenario Percepatan Munas Disorot 4
4. 19 NOVEMBER 2014 DPD Golkar Hendaki Munas 30 November 3 5 4 DESEMBER 2014 Aburizal Jadi Ketum Golkar Lagi, Apa Tanggapan Istrinya? 2 6. 11 MARET 2015 Agung Ajak Ical Bergabung 2 7. 2 JANUARI 2016 Musyawarah Nasional Solusi Bentuk Pengurus Baru 1 8 3 JANUARI 2016 Tunggakan Warnai Konflik Golkar 3 9. 4 JANUARI 2016 Konflik Diharap Selesai 2 10. 5 JANUARI 2016 Jusuf Kalla: Munas Tinggal Tunggu Waktu 2 11. 6 JANUARI 2016 Munas Dipercepat Jadi Solusi, Hari Ini Mahkamah Partai
Golkar Bersidang 2
12. 7 JANUARI 2016 Golkar ke Pemerintah, KMP Terancam Jadi Kekuatan yang Tidak Efektif
2
13. 8 JANUARI 2016 Golkar Terancam Bubar, Pergantian Ketua DPR Munculkan Polemik
2
14. 9 JANUARI 2016 Konflik Partai Golkar: Munar Bersama Jadi Solusi 1, 15 15. 12 JANUARI 2016 Presiden Panggil Kedua Kubu, Konflik yang Berkepanjangan
Menyulitkan Partai Golkar 2
1. 14 AGUSTUS 2014 Ical Minta Calon Taat Aturan 4 2. 23 AGUSTUS 2014 Koalisi Merah Putih Klaim Solid, Keretakan Koalisi Prabowo-
Hatta Diyakini akan Terjadi dalam Waktu Dekat 9
3. 19 NOVEMBER 2014 Aroma Politik Transaksional Menyeruak Menjelang Musyawarah Nasional (Munas) IX Golkar
4
4. 27 NOVEMBER 2014 Pemerintah Tolak Munas di Bali, Golkar Memprotes Intervensi Menko Polhukam
1
5. 4 DESEMBER 2014 Kembali Pimpin Golkar, Ical Terpilih Aklamasi 1 6 25 FEBRUARI 2015 Konflik Golkar Dikembalikan ke Mahkamah Partai 3
126
REPUBLIKA 7 26 FEBRUARI 2015 Saksi Ungkap Politik Uang 4 8 11 MARET 2015 Pemerintah Menangkan Kubu Agung 1 9. 17 MARET 2015 Konflik Golkar, Anak ‘’Kudeta’’ Posisi Bapak 4 10. 23 MARET 2015 Konflik Golkar Berpotensi Lahirkan Partai Baru 4 11. 25 MARET 2015 Perombakan Fraksi Golkar DPR, Kubu Agung: Itu Urusan Partai Bukan
DPR 1
12. 20 APRIL 2015 Jimly Minta Jangan Salahkan Yasonna 4 13. 11 MEI 2015 Golkar Menuju Zero Sum Game? 27 14. 20 MEI 2015 Menkumham dan Agung Laksono Ajukan Banding 4
TEMPO
1 21 November 2014 Elite Golkar Bersatu Hadang Aburizal B9 2 30 November 2014 Agung Tuding Aburizal Tak Serius Islah 2 3 4 Desember 2014 Golkar Dinilai Kianati Rakyat B6 4 11 Desember 2014 Kubu Agung Kritik Inkonsistensi Aburizal B8 5 17 Desember 2014 Golkar Sulawesi Selatan Ingin Dua Kubu Islah A2 6 5 Maret 2015 Pemerintah Bisa Akomodasi Putusan Mahkamah Partai B7 7 28 Maret 2015 Jusuf Kalla Sarankan Kubu Aburizal Menyerah B8 8 2 April 2015 Fraksi Golkar Status Quo B7 9 4 April 2015 Kader Golkar Ancam Pindah Partai A3 10 8 April 2015 Aburizal Singkirkan Kubu Agungdari Komisi Hukum B8 11 16 April 2015 Kubu Agung Tak Akui Apel Akbar Golkar Sulsel B8 12 21 April 2015 Kubu Agung Kecam Nurdin Halid B1 13 22 April 2015 Syahrul Konsolidasi dengan Ribuan Kader B5 14 19 Mei 2015 KPU Tetap Akui Kubu Agung B7 15 23 Mei 2015 Islah Golkar Buntu Lagi B7
1. Pendekatan Analisis Semantik
Analisis teks berita dilakukan dengan analisis wacana kritis model
Teun van Dijk, yaitu dengan elemen semantik pada variabel latar, detil,
dan maksud, untuk mengungkapkan kecenderungan keberpihakan media
dalam pemberitaan konflik Partai Golkar. Dari teks dapat ditemukan
struktur dan konteks kalimat yang mengandung makna yang
menggambarkan keberpihakan media terhadap salah satu dari dua kubu
yang berkonflik yang antara lain dapat diidentifikasi dengan (a) adanya
kalimat yang mengungkapkan klaim kebenaran, efek pengucilan atau
menyudutkan dan marginalisasi salah satu pihak. (b) Penampilan tokoh
atau komunikator yang dipilih media dapat mengindikasikan
kecenderungan pengucilan atau pemarginalan salah satu pihak. (c)
Hubungan interteks berita yang merupakan kutipan komunikator atau
narasumber yang dapat mendukung analisis keberpihakan media.
127
Dari analisis dengan ketiga indikator tersebut diharapkan dapat
diungkap aspek makna teks berita berdasarkan tiga variabel (latar, detil,
dan maksud) yang merujuk kepada keberpihakan media dalam
pemberitaan konflik Partai Golkar. Keberpihakan yang dimaksud adalah
keberpihakan kepada salah satu kubu yang berkonflik, yakni kubu
Aburizal Bakrie dan Agung Laksono.
2. Analisis Praksis Sosiokultural
Analisis praksis sosiokultural akan mengungkapkan bagaimana
konteks sosial yang ada di luar media dapat memengaruhi produksi
wacana yang muncul di media. Oleh karena, ruang redaksi atau wartawan
bukanlah bidang atau kotak kosong yang steril, melainkan sangat
ditentukan oleh faktor eksternal media. Konteks sosial wacana tersebut
dapat ditemukan dalam teks berita yang mencakup: (a) Aspek situasional,
yakni bagaimana media menggambarkan dan mengonstruksi teks berita
berdasarkan situasi riel yang dipotretnya. Penggambaran situasi ini akan
berimplikasi pada adanya pengucilan, pemarginalan, dan klaim kebenaran
yang terungkap melalui teks berita. Gambaran teks situasional seperti ini
akan bermuara pada keberpihakan dan kenetralan media. (b). Aspek
institusional melihat bagaimana pengaruh organisasi dalam praktik
produksi wacana teks berita. Pemilihan tokoh, komunikator, dan
narasumber dengan latar belakang institusional tertentu yang dilakukan
wartawan dalam pernyataan-pernyataannya berpotensi mengindikasikan
keberpihakan kepada salah satu pihak yang berkonflik. Teks berita yang
mengindikasikan pengucilan, pemarginalan, dan merugikan salah satu
128
pihak yang bersumber dari komunikator dengan latar belakang
institusional tertentu dapat menggambarkan keberpihakan terhadap salah
satu pihak. (c). Aspek sosial dalam analisis dimaksudkan untuk
mengungkapkan faktor sosial yang berpengaruh terhadap wacana yang
muncul dalam pemberitaan. Penonjolan yang dilakukan oleh media
dengan menggunakan level dan lembaga sosial tertentu terhadap salah
satu pihak (karena pihak lain dimarginalkan) dapat berimplikasi terhadap
keberpihakan media. Pihak-pihak yang memperoleh porsi dukungan sosial
dalam wacana berita yang diproduksi wartawan akan memberikan
terindikasi cenderung memperlihatkan keberpihakan media.
3. Analisis Perangkat Framing
Analisis framing diharapkan dapat menjelaskan bagaimana media
mengonstruksi realitas, meliput apa yang diberitakan, dan yang luput dari
pemberitaan, apa yang ditonjolkan dan apa yang dihilangkan atau
dilupakan. Analis framing dilakukan dengan (a) perangkat framing (faming
device), yakni untuk menemukan gagasan utama yang ada di dalam teks
melalui variabel metafora dan frasa. Perangkat framing yang diidentifikasi
dan dianalisis adalah kata, frasa, dan klausa yang mengindikasikan
adanya pemarginalan terhadap salah satu pihak. (b) Perangkat penalaran
(reasoning device), yakni analisis yang berkaitan dengan kohesi dan
koherensi dari teks yang merujuk kepada gagasan tertentu yang
berimplikasi pada keberpihakan media.
129
Kedua perangkat ini digunakan untuk menganalisis teks berita yang
berimplikasi terhadap kecenderungan media mengindikasikan
keberpihakan terhadap salah satu pihak. Keberpihakan tersebut dapat
diidentifikasi dengan penggunaan perumpaman, pilihan frasa, dan
hubungan antar teks di dalam kalimat yang menggambarkan
ketidaknetralan media dalam pemberitaannya. Jika disimpulkan, penelitian
keberpihakan media terhadap pemberitaan konflik Partai Golkar sebagai
berikut:
Tabel 16
PROSES ANALISIS DATA PENELITIAN
PENJELASAN UMUM
Masing-masing tiga media dipilih 27 teks berita sebagai data yang akan dianalisis berdasarkan tahapan sebagai berikut:
1. ELEMEN SEMANTIK
Setiap data wacana berita mengandung makna yang ada dalam teks berita
(a) Latar
Pilihan teks berita yang memengaruhi semantik (arti) yang ditampilkan ke arah mana pembaca hendak dibawa.
(b) Detil
Kontrol informasi yang ditampilkan seseorang melalui media dengan mengungkapkan informasi yang menguntungkan dirinya secara berlebihan dan sebaliknya.
(c) Maksud
Komunikator atau media mengungkapkan informasi yang menguntingkan diuraikan secara eksplisit dan jelas
2. ELEMEN PRAKSIS SOSIOKULTURAL
Bagaimana mengungkapkan konteks social di luar media memengaruhi wacana yang muncul di media
(a) Situasional
Bagaimana teks diproduksi berkaitan dengan konteks situasiional yang terjadi.
(b) Institusional
Bagaimana pengaruh organisasi dan institusi/komunikator dalam praktik produksi wacana teks berita.
130
(c) Sosial
Mengungkapkan faktor sosial yang berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam pemberitaan.
3. PERANGKAT FRAMING
(a) Perangkat Framing (Framing Device)
Bagaimana media mengonstruksi realitas, meliput apa yang diberitakan, dan yang luput dari pemberitaan, apa yang ditonjolkan dan apa yang dihilangkan atau
dilupakan.
(1) Methapors (Metafora)
Perumpamaan atau pengandaian
(2) Frasa
Frasa menarik, kontras menonjol dalam suatu wacana. Biasanya berupa jargon atau slogan
(b) Perangkat Penalaran (Reasoning Device)
Roots (Kausalitas)
Analisis kausal atau sebab akibat
4. PERBANDINGAN ANALISIS KETIGA MEDIA
Perbandingan analisis masing-masing pada elemen semantik,praksis sosiokultural, dan perangkat framing
KEBERPIHAKAN MEDIA TERHADAP PEMBERITAAN
KONFLIK PARTAI GOLKAR
131
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sebagaimana dibahas pada Bab Metode Penelitian, AWK berita
konflik Partai Golkar menggunakan tiga teori yang saling melengkapi,
yakni Teori Struktur Mikro Teun A van Dijk, Teori Sosiokultural Norman
Fairclough, dan Teori Analisis Pembingkaian (Framing Analysis) William
A. Gramson. Analisis teks menggunakan elemen Struktur Mikro dengan
aspek yang diamati semantik dengan tiga variabel analisis, yakni latar,
detil, dan maksud. Analisis sosiokultural teori Fairclough menggunakan
analisis dengan elemen situasional, institusional, dan sosial. Sementara
analisis framing menggunakan teori Gamson dengan tiga variabel yang
dianalisis, masing-masing metafora, frasa, dan sebab akibat (kausalitas).
1. Analisis Struktur Mikro dan Elemen Semantik
Piranti kebahasaan pada elemen semantik digunakan dalam
penelitian ini untuk mengungkapkan posisi keberpihakan dan netralitas
media dalam pemberitaan konflik Partai Golkar. Analisis wacana kritis
berita Konflik Partai Golkar dari aspek semantik ini mencakup tiga elemen,
yakni latar, detil, dan maksud. Berdasarkan uraian tersebut, berikut ini
diuraikan masing-masing kutipan wacana berita yang sesuai dengan
masing-masing elemen tersebut.
1.1 Latar
Latar merupakan bagian berita yang dapat memengaruhi makna
(semantik) yang ingin ditampilkan. Seorang wartawan ketika hendak
132
menulis berita terlebih dahulu akan menentukan latar belakang suatu
peristiwa yang hendak dijadikan berita. Latar belakang ini dalam rumus
berita dikenal dengan kata tanya mengapa (why), yang merupakan salah
satu unsur atau pertanyaan dalam pelaksanaan operasional kegiatan
jurnalistik seorang wartawan. Unsur dan pertanyaan lainnya adalah what,
who, where, when, dan how. Unsur-unsur ini harus terakumulasi di dalam
satu berita, sehingga berita dapat dikatakan lengkap dan memenuhi
seluruh unsur berita.
Di dalam berita konflik Partai Golkar Harian Kompas memilih latar
berita sebagaimana contoh pada berita berikut (5 Maret 2015):
(K-1). Muladi juga menyoroti sempitnya jarak antara waktu suksesi kepemimpinan Golkar dengan suksesi kepemimpinan nasional. Hal itulah yang dianggapnya menjadi pemantik pecahnya konflik konflik di Golkar karena ada perdebatan keras mengenai waktu pelaksanaan Musyawarah Nasional IX. Perselisihan kepengurusan di tubuh Partai Golkar memuncak karena perbedaan pendapat mengenai waktu pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar. Kubu yang berseberangan dengan Aburizal Bakrie menuding penetapan waktu munas tak demokratis dan merupakan skenario memenangkan calon tertentu secara aklamasi. Rapat pleno penentuan waktu Munas IX yang digelar di Kantor DPP Partai Golkar pada 24-25 November 2014 diwarnai kericuhan. (K. 5-3-2015).
Bagian dari kalimat yang dicetak tebal tersebut pada (K-1) di dalam
paragraf berikut ini mencerminkan keberpihakan komunikator sekaligus
merepresentrasikan keberpihakan media. Kompas memanfaatkan teks
melalui kalimat yang dicetak tebal tersebut mengucilkan atau
memarginalkan salah satu pihak, yakni Aburixal Bakrie. Muladi selaku
Ketua Mahkamah Partai Golkar sebagai komunikator melalui kalimat
tersebut mengungkapkan ketidakpuasan salah satu pihak yang bertikai,
yakni AL. Teks berita yang ditampilkan Kompas pun tidak berimbang,
133
sehingga makin memperkuat keberpihakan Kompas. Kompas
‘’meminjam’’ pandangan Muladi, tetapi wacana yang dikemukakan
memosisikan media ini berpihak kepada AL. Kompas dengan memilih latar
seperti itu, hendak membawa pandangan khalayak ke arah yang
dikehendaki sesuai pandangannya. Elemen latar ini merupakan alasan
pembenar terjadinya konflik partai.
Media Kompas cenderung mengemukakan latar yang berbeda
dengan media lain sesuai dengan konteks wacana berita yang akan
diturunkan. Misalnya dalam pemberitaan edisi 11 November 2014
menjelang pelaksanaan Musyawarah Nasional Partai Golkar kubu ARB di
Bali, Kompas menurunkan berita seperti berikut:
(K-2). Ketua Umum DPP Partai Golkar periode 2004-2009 Jusuf Kalla mengatakan tradisi Partai Golkar selama ini selalu berada di dalam pemerintahan dan mendukung pemerintah. Oleh karena itu, sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Golkar, musyawarah nasional digelar pada awal Oktober. ‘’Ini bukan pendapat saya, AD/ART Golkar yang menyatakan itu, dan tradisi Golkar sejak berdiri hingga sekarang ini, ya, memang begitu,;; kata JK, yang kini wakil presiden terpilih bersama presiden terpilih Joko Widodo kepada Kompas, Sabtu (23/8) di Jakarta. Menurut JK di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie Golkar bukannya mendukung mantan ketua umumnya yang pada Pemilu Presiden 9 Juli lalu maju sebagai calon wapres mendampingi calon presiden Jokowi, melainkan memilih mendukung pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. (K.23-8-2014).
Dalam berita (K-2), Kompas menempatkan latar di paragraf awal
sebagai penjelasan. Akan tetapi inti dari variabel latar berita yang merujuk
kepada keberpihakan media justru dapat ditemukan pada kalimat yang
dicetak tebal. Kalimat tersebut di atas mengindikasikan keberpihakan
media yang terungkap melalui pernyataan komunikator yang dipilih.
Pernyataan tersebut mengkritik salah satu kubu yang bertikai, yakni ARB.
134
Pemarginalan salah satu dari dua pihak yang bertikai dalam suatu teks
wacana berita jelas menunjukkan keberpihakan media yang
bersangkutan. Komunikator yang dipilih Kompas adalah Jusuf Kalla
secara tegas mengindikasikan keberpihakan Kompas kepada kubu AL
karena sejak awal terjadinya konflik AL merapat ke pemerintahan Joko
Widodo-M.Jusuf Kalla. Apa yang dikemukakan komunikator adalah
kebenaran normatif, tetapi ditilik dari catatan kritis dalam wacana teks ini
Kompas dengan komunikator pilihannya telah menunjukkan keberpihakan
kepada AL karena secara tidak langsung memihak AL dengan
menonjolkan ‘’kesalahan’’ ARB yang tidak mendukung mantan ketua
umum partai yang dipimpinnya.
Pada pemberitaan tanggal 19 November 2014, setelah melihat
perkembangan dualisme kepemimpinan partai tidak menemukan titik
temu, menyikapi kekhawatiran akan munculnya partai baru, Kompas
menurunkan berita dengan latar sebagai berikut.
(K-3) Sejarah mencatat, kekecewaan Wiranto terhadap Golkar pada tahun 2004 melahirkan Partai Hanura, kekecewaan Prabowo atas partai beringin melahirkan Gerindra, dan kekecewaan Surya Paloh dalam Munas di Palembang melahirkan Partai Nasdem. Haruskah kekecewaan baru melahirkan parpol baru yang akhirnya tak lebih dari ‘’duplikat Golkar;’’. Karena itu, sebelum Golkar benar-benar terkubur ke dalam sumur dasar sejarah, tak ada pilihan lain bagi Aburizal Bakrie kecuali berlapang dada dan membiarkan lahirnya kepemimpinan baru dari rahim munas mendatang. Jangan membiarkan oligarki menggerus tubuh Golkar. (K.19-11-2014).
Kompas pada teks berita di atas menempatkan diri sebagai
komunikator dengan mengungkapkan kembali latar belakang sejarah
perpecahan di kubu Partai Golkar. Sebagai media, Kompas berusaha
menempatkan diri secara netral, karena pandangannya dalam teks ini
135
justru mengarah kepada institusional Partai Golkar. Akan tetapi jika
merujuk pada kalimat yang dicetak tebal tersebut Kompas terindikasi
menekan ARB dan terindikasi menyatakan keberpihakan kepada salah
satu pihak, yakni terhadap kubu AL.
Harian Republika dalam pemberitaan tanggal 25 Maret 2015
menyoroti masalah hasil sidang pengadilan yang mengadili kasus
dualisme kepemimpinan partai sebagai berikut.
(R-1) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (24/2), menolak mengadili konflik dualisme Partai Golkar. Penolakan ini merupakan putusan sela pengadilan, menjawab eksepsi tergugat dari pengacara kepengurusan Golkar Munas Ancol, atas penggugat Golkar Munas Bali. Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim Oloan Harianja mengatakan, pengadilan tingkat satu itu tak punya kompetensi menjadi pengadil dualisme partai. Dalam runutan putusan selanjutnya, hakim memutuskan, mengembalikan penyelesaian kepengurusan Golkar ke mekanisme partai. (R.25-3-2015).
Dalam berita (R-1) yang dicetak tebal di atas, latar yang dipilih
Republika tersebut lebih netral, karena tidak menguntungkan ataupun
merugikan salah satu dari kedua kubu yang bertikai. Mekanisme partai
yang dimaksud adalah Mahkamah Partai. Akan tetapi, jika merujuk pada
posisi lembaga internal Partai Golkar tersebut yang didominasi oleh
individu yang berpihak kepada AL, maka dapat disimpulkan Kompas
memanfaatkan posisi Mahkamah Partai cenderung berpihak kepada
kubu AL.
Republika mengungkapkan latar pemberitaan ini justru pada bagian
akhir dari alinea wacana berita. Sama halnya dengan berita yang
diturunkan media ini 23 Maret 2015 sebagai berikut.
(R-2) Konflik Partai Golkar dinilai berpotensi dapat menimbulkan partai baru. Pengamat politik Populi Center Nico Harjanto
136
menjelaskan, hal yang sama sudah pernah terjadi pada partai berlambang pohon beriingin ini sebanyak empat kali. (R.23-3-2015).
Latar ini pada kalimat yang dicetak bold menjelaskan tentang
konflik yang pernah terjadi sebelumnya. Kalimat tersebut mempenjelas
pernyataan komunikator atau narasumber yang merujuk pada konflik
tersebut. Republika dalam berita ini memilih latar yang sama seperti
diungkapkan Kompas (K-3) tentang kemungkinan munculnya partai baru.
Kekhawatiran itu ternyata terbukti dengan terverifikasinya Partai Berkarya
pimpinan Tommy Soeharto. Melalui teks wacana tersebut Republika
berusaha menempatkan diri pada posisi netral. Akan tetapi pernyataan
komunikator tersebut secara implisit justru lebih menyoroti kubu ARB
yang dinilai sebagai pemicu terjadinya konflik. Alasan ini berdasarkan
kenyataan bahwa pasca-Munas Partai Golkar Pekanbaru yang
menempatkan ARB sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 2014-
2019, telah terbentuk tiga partai baru, yakni Partai Nasdem, Partai
Hanura, Partai Perindo, dan terakhir Partai Berkarya. Berdasarkan analisis
teks tersebut, media ini berpihak pada AL.
Pada berita lain, latar juga diungkapkan Republika pada kalimat
awal pemberitaannya tertanggal 11 Mei 2015 sebagai berikut.
(R-3)….Merupakan kerugian besar, kata Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung, jika Golkar secara institusional tak mengajukan calon dalam pilkada. Sebab, itu bisa membawa konsekuensi Golkar terpelanting dari deretan partai papan atas. ‘’Tidak ikutnya Golkar dalam pilkada akan berpengaruh pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019,’’ katanya dalam konferensi pers awal Mei lalu. …..Pilkada kali ini memang punya nilai besar secara politik. Sebab, pilkada kali ini sama dengan separuh pemilu. Pilkada serentak digelar di 269 daerah atau 49,63 persen dari total 542 daerah. Ke-269 pilkada itu sendiri,
137
terdiri atas delapan pemilihan gubernur dan 261 pemilihan bupati/wali kota. (R.11-5-2015).
Republika yang mengutip Akbar Tandjung sebagai komunikator
menempatkan unsur latar pada bagian akhir berita. Teks yang dikutip
media ini mengandung pesan yang dialamatkan kepada kedua kubu yang
bertikai tentang pentingnya Partai Golkar segera mengakhiri konflik dan
dapat mengikuti Republika melalui teks wacana ini berusaha
menempatkan diri sebagai pihak yang netral, tetapi pernyataan Akbar
Tandjung yang membeberkan situasi kritis Partai Golkar cenderung
mengancam posisi ARB sehingga cenderung berpihak kepada kubu AL.
Berdasarkan variabel latar yang dianalisis dalam tiga teks berita yang
dijadilkan sampel dapat disimpulkan bahwa Republika berpihak dalam hal
ini kepada AL.
Koran Tempo melalui pemberitaan pada tanggal 26 November
2014 menempatkan latar pada bagian awal berita, sebagaimana dalam
berita sebagai berikut.
(KT-1). Mantan Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla, menerima banyak aduan dari kader partai beringin soal kepemimpinan Aburizal Bakrie. Menurut Kalla, sebagian dari mereka kecewa terhadap Aburizal yang dinilai gagal memimpin Golkar sejak 2009. ‘’Banyak sekali yang lapor. Saya sampaikan langsung ke Ical,’’ kata Wakil Presiden kemarin. (KT.26-11-2014).
Koran Tempo memanfaatkan pernyataan M.Jusuf Kalla yang
dicetak tebal sebagai latar pemberitaannya. Pernyataan ini secara
langsung menekan ARB, sehingga dengan jelas dapat dikatakan bahwa
media ini berpihak, yakni kepada pihak AL. Inilah bentuk praktik media
memanfaatkan pihak lain (nara sumber) secara tidak langsung
138
mengungkapkan secara implisit keberpihakannya pada salah satu kubu
yang berkonflik, dalam hal ini kubu AL karena pernyataan M.Jusuf Kalla
mengindikasikan memarginalkan kubu ARB. Dalam hal ini Koran Tempo
dinilai telah berpihak kepada kubu AL.
Demikian pula pada bagian lain berita edisi terbit yang sama,
Koran Tempo menurunkan berita sebagai berikut.
(KT-2). Lantaran dianggap gagal, Aburizal dinilai tak layak maju kembali sebagai Ketua Umum Golkar. Salah satu kader yang paling keras bersuara adalah Yorrys Raweyai, mantan Ketua Umum Angkatan Muda Partai Golkar. ‘’Memang apa yang sudah Aburizal berikan kepada Golkar selama lima tahun ini,’’ kata dia kemarin. (KT.26-11-2014).
Koran Tempo menggunakan narasumber yang berlawanan dengan
kubu ARB untuk ‘’menyerang’’ kubu lain, yakni kubu ARB. Kalimat
narasumber yang dicetak tebal tersebut secara langsung merugikan
pihak lain, yakni ARB. Dengan menganggap ARB gagal dan ditambah
lagi dengan pernyataan tersebut media ikut memperkuat ‘’serangan’’
terhadap kubu ARB. Media pun memanfaatkan pernyataan narasumber
tersebut mewakili pandangannya berkaitan dengan kegagalan ARB
menurut versi komunikator. Koran Tempo secara eksplisit membeberkan
kegagalan ARB selama memimpin Partai Golkar. Pernyataan
komunikator tersebut telah memperlihatkan sikap menguntungkan dan
berpihak pada AL.
Yoris Raweyai sebagai komunikator yang dipilih Koran Tempo,
selain merupakan salah seorang Ketua DPP Partai Golkar hasil Munas
Pekanbaru, juga merupakan salah seorang yang dengan keras mengkritik
139
kepemimpinan Aburizal Bakrie pasca-terjadinya konflik dan mendukung
kepemimpinan Agung Laksono.
Pada berita pada hari (26 November 2014) yang sama, Koran
Tempo menurunkan berita yang juga menempatkan latar di bagian awal
wacana berita, seperti dalam berita berikut ini.
(KT-3). Aburizal Bakrie mengklaim telah didukung oleh 463 dari 560 pemegang suara dalam Musyawarah Nasional – ajang untuk memilih ketua umum – untuk maju lagi. Dalam Anggaran Rumah Tangga Golkar, salah satu syarat pencalonan adalah kandidat mesti didukung sekurang-kurangnya 30 persen pemegang suara. Hal inilah yang memberatkan para calon. Apalagi, Aburizal merencanakan Musyawarah Nasional diselenggarakan akhir bulan ini, ketika para pesaingnya belum matang menggalang dukungan. (KT.26-11-2014).
Berita yang dimuat pada edisi yang sama dengan pernyataan (KT-
2) ternyata tidak menjawab pertanyaan secara langsung terhadap
pernyataan yang dikemukakan Yorrys Raweyai yang dijadikan latar oleh
Koran Tempo. Media ini menurunkan latar dengan memilih kalimat yang
dicetak tebal yang memperlihatkan kecenderungan Koran Tempo
mengunggulkan ARB dibandingkan pihak lainnya yang akan maju dalam
Munas Partai Golkar. Kubu ARB oleh media lebih mengemukakan data
pendukung pemegang suara dalam musyawarah nasional. Dengan
pengungkapan data teks ini, Koran Tempo secara eksplisit
mengindikasikan menguntungkan ARB secara politis, akan tetapi secara
implisit di balik pernyataannya, komunikator, ARB memperlihatkan
strategi negatif dalam memenangkan pemilihan, sehingga berpotensi
memberikan citra negatif kepada pihaknya yang pada sisi lain akan
memberikan dampak positif kepada AL. Dampaknya adalah dukungan
140
terhadap AL jauh lebih besar dibandingkan terhadap ARB. Pada contoh
teks wacana ini Koran Tempo lebih cenderung berpihak kepada AL.
Berdasarkan hasil analisis penggunaan variabel latar menunjukkan
ketiga media cetak memperlihatkan keberpihakan dalam pemberitaan
konflik Partai Golkar. Hal ini disebabkan ketiga media cetak telah
memanfaatkan semaksimal mungkin penggunaan latar untuk
mengungkapkan akar permasalahan yang menjadi sumber terjadinya
konflik Partai Golkar. Pengungkapan latar ini yang memberi ruang kepada
narasumber atau komunikator mengungkapkan latar belakang suatu teks
diproduksi kemudian mendorong ketiga media terjebak dalam
pemberitaan yang berpihak. Bahkan keberpihakan ini merujuk kepada
salah satu kubu, yakni AL (lihat Tabel 15).
1.2 Detil
Detil merupakan salah satu strategi bagaimana wartawan dalam
mengekspresikan sikapnya secara implisit. Wartawan tidak perlu
menyampaikan secara terbuka sikapnya, namun dari detil yang
dikemukakan akan dapat menggambarkan bagaimana wacana yang
dikembangkan suatu media. Simak dalam pemberitaan Harian Kompas
(29 November 2014) sebagai berikut.
(K-4). Rencana Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar untuk tetap menggelar musyawarah nasional mulai Minggu (30/11) di Bali membuat partai itu berada di ambang perpecahan. Tim Penyelamat Partai Golkar yang dipimpin Agung Laksono tetap menolak mengakui dan hadir di acara tersebut. Jumat (28/11) mulai pukul 20.30, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung menggelar pertemuan tertutup dengan anggota Tim Penyelamat Partai Golkar, seperti Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, dan Agung Gunanjar di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta. Hingga pukul 23.30, pertemuan masih berlangsung. Informasi yang
141
dihimpun Kompas, dalam pertemuan itu, Akbar membujuk para anggota Tim Penyelamat partai Golkar untuk menghadiri Munas IX di Bali. Namun, para anggota Tim Penyelamat Partai Golkar berpendapat, munas itu tidak sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai. ‘’Mengakui (Munas Bali) saja tidak, kenapa harus hadir? Memang saya goblok?’’ ujar anggota Tim Penyelamat partai Golkar, Yorris Raweyai, kemarin riang. (K.29-11-2014). Kompas mengungkapkan detil dalam teks wacana berita tersebut di
atas sebagai penjelasan dari topik utama berita tentang rencana Munas IX
di Bali yang dinilai sebagai ambang perpecahan partai. Gambaran detil
suasana dalam pertemuan tersebut menunjukkan bagaimana Kompas
memanfaatkan kubu AL selaku Tim Penyelamat Partai Golkar
memperlihatkan penolakannya terhadap pelaksanaan Munas di Bali.
Penonjolan detil sikap kubu AL yang dipilih Kompas dalam teks berita
yang dicetak tebal (K-4) secara langsung memarginalkan kubu ARB. Teks
ini pun dapat dinilai media telah berpihak pada salah satu kubu, yakni AL.
Ada tiga pernyataan yang dapat dijadikan sebagai pemarkah
kebahasaan yang dapat menunjukkan implikasi keberpihakan media
terhadap salah satu kubu yang berkonflik, yakni Agung Laksono.
Pertama;
“Informasi yang diperoleh Kompas, dalam pertemuan itu Akbar
membujuk para anggota Tim Penyelamat Partai Golkar untuk
menghadiri Munas IX di Bali”.
Kedua,
“Namun, para anggota Tim Penyelamat Partai Golkar berpendapat,
munas itu tidak sesuai dengan anggaran/anggaran rumah tangga
partai”.
Ketiga, pada teks wacana:
142
“Mengakui (Munas Bali) saja tidak, kenapa harus hadir? Memang
saya goblok?”.
Penggunaan diksi “membujuk” pada diktum pertama di atas
menunjukkan bahwa posisi AL sangat dominan bagi tercapainya
“perdamaian” dalam mengakhiri konflik. Pada diktum kedua,
memperlihatkan bahwa Kompas melalui komunikator Yoris Raweyai
mengkritik kubu ARB yang melanggar aturan partai, sehingga
memberikan pencitraan positif bagi AL. Pada diktum ketiga, menunjukkan
konsistensi kubu AL menyikapi penyelesaian konflik dengan tidak
mengakui munas yang akan diselenggarakan kubu ARB. Kalimat diktum
ketiga ini menempatkan kubu ARB sebagai pihak yang melanggar aturan
organisasi.
Kompas dalam hal ini menyajikan strategi teks wacana berita yang
‘’cantik’’ untuk menyatakan keberpihakannya kepada salah satu kubu
yang berkonflik. Berkaitan dengan teks berita di atas (K-4), Kompas
menyajikan detil situasi yang terjadi dalam pertemuan antara Ketua
Dewan Pertimbangan Partai Golkar dengan Tim Penyelamat Partai untuk
secara implisit menyatakan keberpihakannya. Pengungkapan konten
berita seperti ini di samping membawa khalayak memahami konteks yang
dikendalikan media, juga memperkuat posisi keberpihakan media
terhadap salah satu pihak yang berkonflik, yakni kepada kubu AL.
Harian tersebut juga mengekspresikan detil melalui
pemberitaannya terkait dengan sejarah konflik Partai Golkar pada masa
lalu, seperti dalam pemberitaan 19 November 2014 sebagai berikut.
(K-5). Musyawarah Nasional IX Partai Golkar akhirnya hanya menyisakan Aburizal Bakrie sebagai calon kuat Ketua Umum
143
Golkar 2014-2019. Hal ini terjadi setelah Airlangga Hartarto mundur dari pencalonan ketua umum. “Saya menarik diri dari pencalonan di munas. Dan, saya tak bertanggung jawab atas hasil akhir putusan munas. Namun, saya memastikan tetap berada di Golkar,” kata Airlangga, Senin (1/12) oukul 22.35 Wita, di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali. Airlangga menarik diri dari pencalonan setelah ruang bersaing secara demokratis telah ditutup. Tata tertib hanya diketok. Teman-teman tak mendapat (bahan) sampai Senin subuh. “Saya tadi sempat interupsi dan Ketua Dewan Pertimbangan juga sempat minta dibahas (pasal) satu per satu, tetapi tetap diketok,” ujarnya, (K.19-11-2014).
Detil yang digunakan Kompas dalam berita (K-5) adalah dengan
merinci penjelasan dari munculnya ARB sebagai calon tunggal Ketua
Umum Partai Golkar 2014-2019. Kompas menggunakan komunikator
Airlangga Hartarto sebagai salah satu pihak yang ikut dalam kontestasi
pemilihan ketua umum munas, tetapi tidak diberi ruang berkompetisi
secara demokratis untuk menginformasikan kepada khalayak .suasana
munas tersebut. Dari teks wacana berita ini secara implisit munas
tersebut berlangsung secara tidak demokratis. Pilihan teks Kompas yang
mendeskripsi pernyataan komunikator ini berindikasi kepada
pembentukan citra negatif terhadap ARB. Pernyataan Airlangga melalui
teks ini dapat disimpulkan Kompas berpihak pada salah satu kubu, yakni
AL.
Berita Kompas (23 Agustus 2014) ini diturunkan setelah pemilihan
presiden/wakil presiden. Media ini memilih narasumber salah seorang
yang menjadi korban pemecatan kubu ARB sebagai detil untuk
mengungkapkan sikapnya membela narasumber tersebut.
(K-6) Secara terpisah, salah seorang kader Golkar yang dipecat, Poempida Hidayatullah, khawatir, apabila Golkar terlambat merespons perkembangan politik setelah putusan sengketa perolehan suara di Mahkamah Konstitusi, yang menolak
144
permohonan pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta, kerugian justru di Partai Golkar sendiri. …Berdasarkan analisis Poempida, jika Golkar tetap berada di Koalisi Merah Putih, ironi politik Golkar akan terjadi. “Masa Golkar harus beroposisi dengan kadernya dan mantan ketua umumnya sendiri,” tuturnya. (K.23-8-2014).
Kompas merinci detil ini berkaitan dengan kerugian yang bakal
dialami Partai Golkar jika tidak segera keluar dari Koalisi Merah Putih.
Sebab jika berada di koalisi tersebut, Partai Golkar akan beroposisi
dengan kader dan mantan ketua umumnya. Pilihan kalimat detil yang
dicetak tebal sebagaimana wacana Kompas ini merupakan satu bentuk
kritikan yang ironis terhadap ARB. Realitas ini merupakan penentangan
terhadap khittah Partai Golkar selama ini yang selalu berada dan
mendukung pemerintah yang berkuasa. Secara eksplisit Kompas melalui
teks wacana berita di atas lebih bersifat netral, karena pernyataan
komunikator lebih ditujukan kepada institusi partai. Akan tetapi jika disimak
secara implisit Kompas sebenarnya mengkritik ARB yang memimpin
Partai Golkar dan berada di posisi Koalisi Merah Putih (KMP) yang
beroposisi dengan pemerintah yang notabene wakil presidennya adalah
mantan Ketua Umum Partai Golkar sebagaimana terungkap dalam
pernyataan komunikator, sehingga dapat dipandang memberikan citra
positif kepada AL. Berdasarkan variabel detil dari tiga teks berita yang
dianalisis, Kompas menunjukkan keberpihakannya kepada salah satu
kubu, yakni AL. Keberpihakan ini direpresentasikan pada pemilihan
komunikator dan konten yang disampaikan oleh para komunikator.
Dalam menurunkan berita mengenai satu masalah, apalagi
berkaitan dengan konflik, media selalu berusaha untuk tampil berbeda
145
dengan media yang lainnya. Jika pemberitaan itu berbeda dengan media
lainnya – meskipun tema besarnya sama – redaksi menganggapnya
sebagai suatu keunggulan.
Pada berita yang diturunkan pada tanggal 4 Desember 2014,
sehari setelah penyelenggaraan Munas IX Bali, Republika menurunkan
berita sebagai berikut.
(R-4). Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar pada Rabu (3/12) menetapkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum periode 2014-2019. Ical ditetapkan secara aklamasi menyusul tidak adanya calon ketua umum selain pria yang dikenal dengan nama Ical itu. “Dengan begitu, Aburizal Bakrie telah mendapat dukungan 100 persen dari pemegang hak suara,” kata Ketua Sidang Munas Nurdin Halid yang memimpin jalannya proses pemilihan ketua umum di Hotel Westin Nusa Dua Bali, Rabu (3/12). (R.4-12-2014).
Republika dengan penonjolan berita terpilihnya ARB
mengindikasikan keberpihakannya kepada kubu yang bersangkutan.
Dukungan 100% pemilih juga memperkuat fakta yang dibangun di dalam
teks wacana berita ini. Melalui detil ini yang dicetak tebal tersebut
Republika memperlihatkan keberpihakan kepada ARB. Pilihan teks
tersebut di atas secara eksplisit menggiring media berpihak kepada salah
satu kubu, yakni ARB.
Pasca terpilihnya ARB dalam Munas Bali tersebut, membuat
intensitas pemberitaan mengenai konflik partai politik ini semakin tinggi.
Hal ini disebabkan munculnya reaksi kubu lain dalam konflik internal
tersebut. Dapat dilihat pada berita harian Republika (11 Maret 2015)
berikut ini.
(R-5) Pemerintah lewat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Lauly mengesahkan kepengurusan DPP Partai Golkar kubu Agung Laksono. Menkumham mengklaim,
146
pengesahan pengurus DPP hasil munas Ancol itu sesuai dengan keputusan Mahkamah Partai Golkar. …Menurut dia, putusan itu ia ambil selepas kubu Agung Laksono menyerahkan surat keputusan Mahkamah Partai Golkar pada Rabu (4/3/2015) lalu yang mereka klaim mengesahkan kepengurusan munas Ancol. Yasonna mengatakan, keputusan yang diambil kemarin berdasarkan pasal 32 ayat 5 UU tentang Partai Politik. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Keputusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat. Yasonna menilai, putusan tersebut menyatakan bahwa kepengurusan hasil Munas Ancol yang sah. Untuk menindaklanjuti kepengurusan partai tersebut, Yasonna meminta Agung Laksono segera membentuk kepengurusan Partai Golkar dengan mengakomodasi kader partai dari kubu lain sebagaimana ditentuklan dalam keputusaN Mahkamah partai. (R.11-3-2015).
Yang dijadikan detil media dalam berita tersebut adalah penjelasan
tentang pasal dalam UU tentang Partai Politik. Kutipan ini bagi media
merupakan pembenaran terhadap berita tersebut, tetapi di pihak lain, ada
pihak atau kubu yang dirugikan dengan pernyataan tersebut sebagaimana
pada kalimat yang dicetak tebal. Melalui teks wacana berita tersebut yang
mengutip komunikator secara eksplisit Republika berpihak kepada kubu
AL karena suara komunikator merepresentasikan posisi pemerintah..
Sementara dalam beritanya pada edisi 20 Mei 2015, media ini
menurunkan berita yang masih sekitar Menteri Hukum dan HAM dan
pengamat politik sebagai komunikator dengan detil sebagai berikut.
(R-6). Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Ketua Umum Partai Golkar hasil munas Ancol Agung Laksono sama-sama mengajukan banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pada Senin (18/5) majelis hakim yang dipimpin Teguh Setya Bakti dalam persidangan final terkait sengketa kepengurusan Partai Golkar membatalkan Surat Keputusan (SK) Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar versi Agung Laksono. ….Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan, upaya pengajuan banding sebagai bentuk indikasi Agung Laksono dan Menkumham belum merasa bersalah. Berdasarkan penilaiannya, kubu
147
Agung masih belum ada keinginan untuk berdamai, sehingga upaya banding akhirnya dilakukan. (R.20-5-2015).
Koran Tempo melalui teks wacana berita di atas mengedepankan
pembatalan surat keputusan Menteri Hukum dan HAM oleh PTUN, yang
berarti menguntungkan dan berpihak pada kubu ARB. Secara implisit
media tidak menyebutkan dalam teks bahwa keputusan PTUN itu
mengesahkan kemenangan kubu ARB atas kubu AL. Akan tetapi Koran
Tempo masih berusaha mengimbangi pernyataan narasumber yang
menguntungkan kubu ARB dengan mengutip pernyataan pengamat
politik yang diposisikan sebagai pihak independen. Teks pernyataan
pengamat yang dicetak tebal ini meskipun berusaha memosisikan media
secara berimbang, akan tetapi mengindikasikan merugikan kubu AL,
terutama diindikasikan melalui kalimat “Berdasarkan penilaiannya, kubu
AL belum ada keinginan untuk berdamai…”. Pada sisi lain, kalimat
pernyataan pengamat politik tersebut mengindikasikan pemerintah
bersekutu dengan AL menghadapi kubu ARB, sehingga Koran Tempo
cenderung berpihak kepada AL.
Koran Tempo termasuk satu dari tiga media sampel yang
menurunkan berita dengan intensitas tinggi. Simak berita (5 Maret 2015)
berikut ini.
(KT-4) Kubu Aburizal tidak mau kalah. Diwakili Sekretaris Jenderal kepengurusan munas Bali, Idrus Marham, mereka mendatangi kantor Kementerian beberapa jam kemudian. Idrus ditemani Bendahara Partai Bambang Soesatyo dan wakil ketua Ade Komaruddin, menyerahkan laporan kepada Menteri Laoly. Dia juga minta Menteri konsisten dengan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tertanggal 15 Desember 2014 yang menetapkan keabsahan munas Pekanbaru tahun 2009. “Perselisihan masih berjalan. Jadi, menteri tidak bisa mengesahkan kepengurusan mana pun,” kata Idrus.
148
Menurut dia, kubunya sedang mengajukan banding atas putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dengan begitu, masih ada langkah hukum yang tidak bisa diintervensi bahkan oleh mahkamah partai. (KT.5-3-2015).
Dalam berita (KT-4) menampilkan detil dengan mendeskripsi
aktivitas kubu ARB yang mendatangi Kantor Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia untuk menyerahkan laporan kepada Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly. Secara keseluruhan detil yang
ditampilkan media ini berimplikasi bahwa Koran Tempo melalui teks
wacana berita ini terindikasi berpihak kepada kubu ARB karena di dalam
teks ini sama sekali tidak disebutkan informasi dari kubu AL.
Pemberitaan Koran Tempo tanggal 2 April 2015 menurunkan
perkembangan lain dari konflik ini yang terjadi di Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) seperti yang terlihat pada berita berikut ini.
(KT-5) Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat akan menyatakan status quo atas kepengurusan Fraksi Partai Golkar di lembaga legislatif. ’’Pimpinan tak bisa membacakan dua surat perombakan fraksi, jadi kami anggap status quo sampai inkracht,’ kata politikus Partai Gerindra ini di Gedung Parlemen, Senayan, kemarin. Status quo ini diberikan lantaran kepengurusan antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono menjalan ke Fraksi Golkar di DPR. Aburizal dan Agung Laksono melayangkan surat kepada pimpinan DPR yang berisi penjelasan atas putusan Mahkamah Partai. Surat masuk dari kedua pihak yang bersangkutan tersebut tak dibacakan lantaran masih ada upaya hukum dari kubu Aburizal melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Utara. Mereka menyoal surat keputusan pengesahan pengurus Partai Golkar versi Agung Laksono oleh Kementerian Hukum dan HAM. (KT.2-4-2015).
Detil yang dipilih Koran Tempo dalam berita (KT-5) ditempatkan
tidak pada awal berita, tetapi pada kalimat kedua, yakni tidak dapat
menerima dan membacakan dua surat perombakan fraksi. Detil yang
149
digunakan media ini bersikap netral, karena pernyataan komunikator yang
dicetak tebal tersebut tidak merujuk dapat menguntungkan atau
merugikan salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik. Akan tetapi
karena ada pernyataan mengenai status quo, jelas kepemimpinan Partai
Golkar yang diakui adalah produk Munas Riau yang dipimpin ARB,
sehingga Koran Tempo berimplikasi berpihak pada ARB.
Dalam pemberitaan pada hari yang sama (2 April 2015), media ini
juga memuat penjelasan yang memberi indikasi menguntungkan kepada
salah satu kubu yang bertikai, seperti berikut ini.
(KT-6) Putusan sela Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Utara kemarin memberi angin segar bagi pengurus Golkar pimpinan Aburizal Bakrie. Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menunda eksekusi surat keputusan Menteri Hukum dan HAM. ‘’Dari putusan penundaan ini kepengurusan Pengurus Pusat Partai Golkar Agung Laksono tak boleh mengambil tindakan administratif apa pun juga,’’ kata kuasa hukum Aburizal Bakrie Yusril Ihza Mahendra dalam twitter-nya kemarin. Menurut Yusril, hakim PTTUN Jakarta Utara menunda eksekusi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM dan mengembalikan kepengurusan Partai Golkar sesuai dengan Musyawarah Nasional Riau. Putusan ini menambah lama konflik Golkar di tingkat pusat, daerah, dan DPR. Yusril mengatakan, pengurus Golkar versi Aburizal dan Sekretaris Jenderal Idrus Marham berhak membatalkan seluruh keputusan administratif kubu Agung. (KT.2-4-2015).
Pada berita (KT-6), Koran Tempo menempatkan detil pada kalimat
pertama dan kalimat kedua yang dicetak tebal menjadikan kubu ARB
memiliki alasan mempertahankan kepengurusan Partai Golkar. Melalui
teks tersebut Koran Tempo terindikasi berpihak pada kubu ARB.
Berdasarkan analisis variabel detil teks berita menunjukkan bahwa
ketiga media merujuk pada keberpihakan. Jika merujuk kepada sosok, 3
teks berita Kompas berpihak pada AL, masing-masing 1 teks berita
150
Republika berpihak pada AL dan ARB, dan 2 teks berita Koran Tempo
berpihak pada ARB dan 1 teks berita lainnya pada AL.
1.3 Maksud
Elemen maksud sebenarnya hampir sama dengan elemen detil.
Perbedaan antara kedua elemen ini, dalam elemen detil informasi yang
menguntungkan komunikator akan diuraikan dalam detil yang panjang,
dan informasi yang merugikan tidak disebutkan sama sekali, bahkan
disembunyikan. Dalam Elemen maksud melihat informasi yang
menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas.
Berita Kompas tanggal 14 Agustus 2014 merupakan awal-awal
informasi konflik internal partai ini. Dualisme kepemimpinan partai politik
ini dipicu oleh terpecahnya dukungan personil Dewan Pimpinan Pusat
(DPP) Partai Golkar kepada masing-masing calon presiden-calon wakil
presiden yang maju ke pentas pemilihan presiden. Seiring dengan
terpecahnya dukungan ini, Ketua Umum Partai Golkar ARB memecat
tiga kadernya. Salah seorang yang jadi korban adalah Nusron Wahid yang
juga menjadi anggota legislatif terpilih partai berlambang pohon beringin
tersebut. Kompas menurunkan berita tersebut sebagai berikut.
(K-7) Calon anggota legislator terpilih Partai Golkar yang juga Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor menilai, surat yang disiapkan DPP Partai Golkar kepada Komisi Pemilihan Umum terkait pencoretannya bersama Agus Gumiwang Kartasasmita dari kursi DPR periode 2014-2019 dan digantikan kader lain cacat hukum. ’’Surat dari DPP Golkar itu cacat hukum,’’ kata Nusron, peraih suara terbanyak pada pileg 2014-2019 dengan 243.000 suara di Jakarta, Selasa (19/8). Nusron mengatakan, jangka waktu penyelesaian konflik yakni 60 hari sejak pemberhentian sebagai anggota partai belum terlampaui. Dalam Surat Keputusan DPP Partai Golkar tertanggal 24 Juni 2014, DPP Golkar memberhentikan tiga kader Golkar dari
151
keanggotaan Partai Golkar. Tiga kader itu adalah Agus Gumiwang Kartasasmita, Nusron Wahid, dan Poempida Hidayatullah. Apabila dihitung, 60 hari baru akan terlampaui 23 Agustus 2014. …Terkait pemecatannya, Nusron mengirimkan surat ke DPP Golkar yang ditembuskan ke Mahkamah Partai Golkar. Nusron berupaya menjawab pemecatan dari DPP Golkar. (K.14-8-2014).
Dalam teks berita tersebut di atas, komunikator dalam hal ini
Nusron oleh Kompas diberi ruang yang cukup untuk mengungkapkan
pernyataannya dan secara maksimal mengungkapkan banyak hal yang
menguntungkan atau alasan pembenar terkait dengan pemecatan dirinya.
Elemen maksud menempatkan informasi yang menguntungkan
komunikator diuraikan secara detil dan panjang serta eksplisit dan jelas,
seperti pada kalimat yang dicetak tebal. Kompas melalui narasumber atau
komunikator yang dipilih sebagai subjek berita sama sekali
menyembunyikan aspek yang berindikasi merugikan, sehingga dalam teks
wacana berita ini media cenderung berpihak. Kompas sama sekali tidak
menyebutkan mengapa komunikator dicoret sebagai anggota legislatif
terpilih, padahal dia merupakan peraih suara terbanyak. Oleh karena
komunikator memprotes keputusan ARB dan dengan rangkaian
pernyataannya berpotensi negatif terhadap citra ARB, maka
menempatkan Kompas berpihak kepada kubu AL.
Sehubungan dengan konflik yang berlarut-larut ini, Kompas melalui
pemberitaan 8 Januari 2016 menggunakan narasumber yang masih ada
hubungannya dengan Partai Golkar, sebagaimana berita berikut.
(K-8). Partai Golkar dikhawatirkan bubar jika konflik internal di tubuh partai politik itu terus dibiarkan. Oleh karena itu, semua pihak diminta untuk bersama-sama menyelesaikan konflik dengan menggelar musyawarah nasional bersama. Kekhawatiran itu disampaikan mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar Hajriyanto Y.Thohari di Jakarta, Kamis
152
(7/10). ‘’Kalau konflik dibiarkan, Partai Golkar menuju limbo (batas) sejarah. Mungkin memang hanya sampai di sini masa berlaku Partai Golkar. Masa peredarannya sudah selesai,’’ tuturnya. Politikus senior Partai Golkar itu menilai, perpecahan internal Partai Golkar sudah tergolong parah dan eksesif. Konflik tidak hanya di antara dua kubu DPP Partai Golkar, yakni kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono, tetapi juga di internal kedua kubu. Faksi-faksi muncul di kubu Aburizal dan kubu Agung. Faksi-faksi di tiap-tiap kubu itu saling jegal dan menjatuhkan. Kondisi ini, salah satunya terlihat dalam pergantian pimpinan Fraksi Partai Golkar (F-PG) di DPR. Setelah ditunjuk menjadi Ketua F-PG oleh Aburizal, Setya Novanto mengganti kepengurusan F-PG. Salah satunya, jabatan Sekretaris F-PG yang sebelumnya dipegang oleh Bambang Soesatyo diberikan kepada Aziz Syamsuddin. Padahal, pengajuan Novanto sebagai Ketua F-PG belum ditetapkan oleh pimpinan DPR. (K.8-1-2016).
Kompas menggunakan elemen maksud dengan mengangkat
kekhawatiran konflik yang berpotensi membubarkan Partai Golkar yang
secara utuh tercantum dalam teks berita tersebut di atas. Narasumber
yang digunakan untuk memperkuat elemen ini adalah mantan kader
Golkar, sehingga pernyataannya masih memiliki relasi kuat dengan
keberadaan partai. Pernyataan yang dikutip media ini merupakan satu
bentuk keprihatinan seorang kader yang masih memiliki hubungan
emosional dengan Partai Golkar. Di dalam teks wacana berita di atas (K-
8), Kompas berusaha menempatkan diri sebagai pihak yang netral, tetapi
secara implisit mengkritik langkah ARB yang menetapkan Setya Novanto
sebagai Ketua Fraksi F-PG padahal belum ditetapkan oleh Pimpinan DPR,
sehingga mengindikasikan berpihak pada kubu AL.
Media selalu berusaha mencari variasi pemberitaan yang terkait
dengan suatu isu atau masalah untuk memberi gambaran kaitan suatu
masalah yang sedang diberitakan. Misalnya, berkaitan dengan masalah
konflik Partai Golkar, Kompas 9 Januari 2016 menurunkan berita yang
153
berkaitan dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga yang
sangat berkepentingan dengan partai politik, khususnya Partai Golkar.
Dapat disimak melalui berita berikut.
(K-9). Komisioner Komisi Pemilihan Umum mendorong Partai Golkar dan PPP segera menyelesaikan sengketa kepengurusan. Setelah itu, kedua partai tersebut agar mengurus pengesahan kepengurusan di Kementerian Hukum dah HAM. Tanpa itu, kedua partai dikhawatirkan tak bisa mengikuti pilkada serentak gelombang kedua awal 2017. Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay, di Kantor KPU di Jakarta, umat (8/1) menuturkan, KPU sulit menindaklanjuti berbagai urusan administrasi berkaitan dengan kedua partai itu (Golkar dan PPP) tanpa ada surat keputusan pengesahan kepengurusan dan Kemenhukham. Kondisi ini, kata Hadar, bisa merugikan Partai Golkar dan PPP. (K.9-1-2016).
Media memilih komunikator pihak yang di luar Partai Golkar, tetapi
masih memiliki ketergantungan, yakni sebagai lembaga yang menentukan
lolos-tidaknya suatu partai diverifikasi agar dapat ikut dalam kontestasi
pemilihan legislatif atau pemilihan presiden. Media secara implisit
memanfaatkan KPU sebagai pemberi pressure agar konflik ini segera
selesai. Melalui pernyataan tersebut kedua kubu menjadi sadar untuk
segera mencari jalan keluar bagi penyelesaian konflik. Melalui teks
wacana berita tersebut di atas ini Kompas menempatkan diri bersikap
netral.
Republika (26 Februari 2015) melukiskan elemen maksud dengan
mengungkapkan sidang Mahkamah Partai Golkar dengan teks wacana
berita sebagai berikut.
(R-7 Sidang Mahkamah partai Golkar di kantor FPP Golkar, Slipi, Jakarta kembali digelar pada Rabu (25/2). Dalam persidangan, keterangan saksi dari kubu Aburizal Bakrie (Ical) menyatakan adanya pemberian uang untuk mengikuti musyawarah nasional di Ancol, Jakarta. Kesaksian serupa sempat disampaikan saksi pihak pemohon (Agung Laksono), Achmad Goesra, pada 17
154
Februari lalu. Mantan bendahara umum Partai Golkar itu mengaku mendapat transfer uang miliaran rupiah setelah meneken surat pernyataan akan mendukung Aburizal Bakrie sebagai ketua umum pada Munas Bali. Pada persidangan mahkamah kemarin, satu dari 12 saksi yang diajukan kubu Ical menghadirkan Ketua Harian DPD Partai Golkar Kabupaten Pasaman Barat, Sumatra Barat, Daliyus K. Dia mengaku menghadiri munas di Bali dan Ancol. Daliyus pun mengaku mendapatkan pesangon dari masing-masing penyelenggara munas. .(R.26-4-2014).
Dalam berita di atas (R-7), Republika berusaha memosisikan diri
sebagai pihak yang netral karena informasi dari kedua kubu yang bertikai
sama-sama melemahkan atau merugikan. Media menginformasikan berita
melalui teks wacana tersebut apa adanya dan menyerahkan kepada
khalayak untuk menilai kubu mana yang benar. Informasi yang berkaitan
dengan perilaku seseorang yang terkait dengan suatu masalah yang
sedang merebut perhatian khalayak selalu menarik menjadi bahan
pemberitaan media. Dalam berita tersebut, kubu ARB menuding
terjadinya politik uang dalam munas Ancol yang dipimpin AL, tetapi media
kemudian mengutip pernyataan mantan bendahara umum seperti dalam
kalimat yang dicetak tebal telah melemahkan posisi ARB. Teks wacana
yang dikemukakan mantan bendahara umum tersebut secara implisit
melemahkan kubu ARB karena yang bersangkutan merupakan bagian
dari infrastruktur partai. Pernyataan yang dicetak tebal tersebut
menempatkan Republika secara tidak sadar telah melemahkan posisi
ARB dan berpihak kepada kubu AL.
Elemen maksud juga tertuang melalui pemberitaan Republika (23
Maret 2015) dengan mengutip narasumber salah seorang pengamat
politik. Meskipun pandangan narasumber ini tidak menguntungkan dari
155
sisi komunikator, tetapi pada sisi lain di samping memperlihatkan
netralitas narasumber tersebut, juga mengoreksi para elite partai politik
tersebut. Simak berita berikut.
(R-8) Konflik Partai Golkar dinilai berpotensi dapat menimbulkan partai baru. Pengamat politik Populi Center Nico Harjanto menjelaskan, hal yang sama sudah pernah terjadi pada partai berlambang pohon beringin ini sebanyak empat kali. Menurutnya, dualisme kepengurusan Golkar belum memperlihatkan tanda-tanda islah antara kubu Aburizal Bakrie dengan Agung Laksono. ‘’Golkar sudah biasa berkonflik, saat ini sudah menghasilkan empat partai, kalau konflik sekarang melahirkan partai baru, itu wajar. (R.23-3-2015).
Media dalam kasus-kasus yang spesifik selalu mencari komunikator
yang dapat menyoroti suatu permasalahan sesuai kompetensinya,
sehingga khalayak dapat memahami pesan yang hendak disampaikan
bagi penyelesaian suatu kasus. Pemilihan komunikator yang jadi pakar
dalam suatu disiplin ilmu atau penelitian dipandang memiliki kenetralan
sama dengan dalam teks wacana berita (R-8). Jika kita berkaca pada
pemilihan presiden 2014, banyak pakar yang juga terpecah oleh
kepentingan media. Misalnya, stasiun Metro TV dan TVOne masing-
masing memiliki komunikator dan narasumber tersendiri, yang dalam
memberikan komentar selalu menguntungkan media yang
memanfaatkannya. Dalam teks berita Republika di atas tidak dijumpai
adanya unsur yang menunjukkan keberpihakan pada salah satu pihak
yang berkonflik, sehingga dapat disimpulkan media ini netral.
Republika juga menggunakan Akbar Tandjung selaku Ketua Dewan
Pertimbangan Partai Golkar sebagai narasumber untuk memberi
penekanan terhadap penyelesaian konflik partai. Apa yang dikemukakan
156
tersebut dapat dibaca melalui pemberitaan pada tanggal 11 Mei 2015
sebagai berikut.
(R-9) Merupakan kerugian besar, kata Ketua Dewan Pertimbangan Golkar, Akbar Tandjung, jika Golkar secara institusional tak bisa mengajukan calon dalam pilkada. Sebab, itu bisa membawa konsekuensi Golkar terpelanting dari deretan partai papan atas. ‘’Tidak ikutnya Golkar dalam pilkada akan berpengaruh pada pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019,’’ katanya dalam konferensi pers awal Mei lalu. Pilkada kali ini memang punya nilai besar secara politik. Sebab, pilkada kali ini sama saja dengan separuh pemilu. Pilkada serentak digelar di 269 daerah atau 49,63 persen dari total 542 daerah. Ke-269 pilkada itu terdiri atas delapan pemilihan gubernur dan 261 pemilihan bupati/wali kota. (R.11-5-2015).
Republika di dalam berita tersebut di atas memanfaatkan elemen
maksud dengan mengutip pernyataan komunikator sebagai peringatan
bagi Partai Golkar yang akan mengalami kerugian jika secara institusional
tidak ikut dalam pesta demokrasi. Pernyataan narasumber atau
komunikator itu juga secara langsung merupakan pandangan media yang
memfasilitasi dan mengakomodasi pernyataannya. Media melalui teks
wacana berita tersebut mencoba memosisikan diri sebagai pihak yang
netral, akan tetapi jika merujuk kepada pemicu terjadinya konflik hingga
tidak ikutnya Partai Golkar pada pilkada, jelas secara tersirat yang
dituding.adalah ARB. Langkahnya mendukung pasangan Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa menjadi cikal bakal terjadinya konflik, sehingga
melalui teks ini Republika terindikasi memihak kepada AL.
Koran Tempo merespons konflik Partai Golkar dengan menurunkan
berita sebagaimana yang dimuat pada 21 November 2014, sebagai
berikut.
(KT-7) Tujuh elite Partai Golkar mewacanakan bersama-sama ‘’menggempur’’ Ketua Umum Aburizal Bakrie pada Musyawarah
157
Nasional (Munas) Golkar pada 30 November. Wakil Ketua Umum Golkar Agung Laksono mengatakan, persekutuan para calon ketua umum untuk membendung Aburizal terpilih kembali dalam musyawarah tersebut. ‘’Kami akan mengambil langkah jitu,’’ kata Agung saat dihubungi kemarin. Agung belum bisa memastikan bentuk kerja sama dengan para calon ketua umum lainnya, yaitu MS Hidayat, Priyo Budi Santoso, Agus Gumiwang Kartasasmita, Airlangga Hartarto, Hajriyanto Y.Thohari, dan Zainuddin Amali. (KT.21-11-2014).
Komunikator yang dipilih dalam berita (KT-7) adalah para elite
Partai Golkar. Klausa ‘’mewacanakan bersama-sama ‘’mengempur’’
Ketua Umum ARB pada Munas Golkar 30 November, dipandang sebagai
elemen maksud yang digunakan komunikator dalam berita tersebut.
Pernyataan tersebut jelas akan menguntungkan komunikator dan di pihak
lain kubu ARB dipandang sebagai pihak yang dimarginalkan dengan
pemberitaan ini. Secara eksplisit pernyataan melalui teks wacana berita
tersebut di atas mengindikasikan media berposisi tidak netral atau
berpihak pada kubu AL, karena pihak ARB tidak berusaha dikonfirmasi
untuk menanggapi pernyataan para subjek berita.
Elemen maksud ini juga diungkapkan Koran Tempo melalui
pemberitaannya 26 November 2014, sebagai berikut.
(KT-8). Mantan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla menerima banyak aduan dari kader partai peringin soal kepemimpinan Aburizal Bakrie. Menurut Kalla, sebagian dari mereka kecewa terhadap Aburizal yang dinilai gagal memimpin Golkar sejak 2009. ‘’Banyak sekali yang lapor. Saya sampaikan langsung ke Ical,’’ kata Wakil Presiden kemarin. ….Sebagai solusi Kalla langsung menyampaikan kekecewaan kader kepada Aburizal. Kalla menginginkan Aburizal menyelesaikan masalah internal tersebut sendiri. Ini kedua kalinya Kalla menyindir Aburizal. Beberapa waktu yang lalu, dia mengingatkan capaian Aburizal selama memimpin Golkar. Suara dalam Pemilihan Umum 2014 memang menurun. Golkar hanya memperoleh 91 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, berkurang dari 107 kursi pada pemilihan umum sebelumnya. Golkar
158
juga gagal menyorongkan calon dalam pemilihan presiden. (KT.26-11-2014).
Pernyataan M.Jusuf Kalla yang dicetak tebal dan diikuti rincian
pada kalimat-kalimat berikutnya yang dikutip Koran Tempo tersebut
berindikasi mengecilkan peran ARB dalam memimpin Partai Golkar.
Bahkan untuk memperkuat pernyataannya itu, komunikator
mengungkapkan laporan dan aduan dari kader tentang kegagalan
kepemimpinan Ical, panggilan ARB. Dengan pernyataan tersebut, media
memberi kesan kepada khalayak bahwa Partai Golkar perlu mencari figur
lain sebagai ketua umumnya. Praktik pemberitaan seperti ini merupakan
taktik media memanfaatkan komunikator untuk ‘’menitip’’ pandangannya.
Pernyataan komunikator tersebut di atas cenderung berpihak pada kubu
AL.
Dalam berita berikut ini, Koran Tempo menurunkan berita tanggal 7
April 2015 yang mengutip salah seorang narasumber yang sudah dapat
diduga posisinya berada di kubu ARB. Apakah posisi seseorang akan
memengaruhi wacana yang disampaikan, kita simak berita berikut.
(KT-9). Sejumlah anggota Fraksi Partai Golkar kubu Musyawarah Nasional Bali pimpinan Aburizal Bakrie di Komisi Hukum memanfaatkan rapat ini untuk mencecar Laoly menyangkut keputusannya mengesahkan kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono, hasil Munas Jakarta. ‘’Putusan Menhukham membuat kondisi memanas. Ini betul-betul menyangkut persoalan kader di daerah,’’ kata anggota Fraksi Golkar Ahmadi Noor Supit.(KT-7-4-2015).
Kutipan teks berita (KT-9) di atas secara eksplisit menempatkan
media yang direpresentasikan oleh komunikator berpihak pada salah satu
kubu, yakni kubu ARB. Elemen maksud di dalam teks ini diungkapkan
melalui penonjolan fakta melalui teks yang dipilih dan menguntungkan
159
komunikator. Penonjolan informasi melalui teks yang dicetak tebal
mengindikasikan keberpihakan media kepada salah satu kubu yang
berkonflik, yakni kubu ARB.
Berdasarkan hasil analisis variabel maksud tersebut menunjukkan
bahwa dari sembilan teks, tujuh teks di antaranya dari tiga media cetak
memperlihatkan keberpihakan dan dua teks lainnya mengindikasikan
netralitas media. Pada variabel ini, dua teks berita Kompas menunjukkan
keberpihakan dan satu teks berita merujuk pada netralitas. Sebanyak dua
teks berita Republika mengindikasikan keberpihakan dan satu teks berita
merujuk pada netralitas media. Sementara Koran Tempo tiga teks berita
merujuk kepada keberpihakan.
Jika merujuk keberpihakan pada sosok, pada variabel maksud ini
masing-masing dua teks berita dari tiga media berpihak pada AL dan satu
teks berita Koran Tempo berpihak pada ARB.
2. Analisis Praksis Sosiokultural
Analisis praktis sosiokultural didasarkan pada asumsi bahwa
konteks sosial yang ada di luar media memengaruhi wacana yang muncul
di media. Ruang redaksi atau wartawan sendiri bukanlah bidang atau
kotak kosong yang steril, melainkan ikut ditentukan oleh faktor di luar
dirinya. Praktik sosiokultural ini melukiskan bagaimana kekuatan-
kekuatan yang ada dalam masyarakat memaknai dan menyebarkan
ideologi yang dominan kepada masyarakat dan praktik sosiokultural ini
menentukan teks.
160
Menurut Fairclough, hubungan itu bukan langsung, melainkan
dimediasi oleh praktik wacana. Dia menyebutkan tiga level analisis pada
praktik sosiokultural ini, yakni situasional, institusional, dan sosial.
2.1 Situasional
Elemen situasional adalah dalam situasi dan kondisi apa media
memproduksi suatu teks. Teks dihasilkan dalam kondisi dan situasi yang
khas, karena di dalam fakta yang menjadi unsur berita ada sesuatu yang
khas dan unik, sehingga membuat teks itu berbeda dengan yang lain. Jika
suatu wacana itu dipahami sebagai suatu tindakan, maka tindakan
tersebut merupakan respons dari sebuah situasi atau konteks sosial
tertentu.
Santoso (2012:91) mengatakan bahwa situasi merupakan
lingkungan tempat teks diproduksi. Konteks situasi adalah keseluruhan
lingkungan – baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat
teks itu diproduksi. Dalam pandangan Halliday (Santoso, 2012:91)
konteks situasi terdiri atas tiga unsur: (1) medan wacana (field of
discourse), (b) pelibat atau partisipan wacana (tenor of discourse), dan (c)
sarana atau modus wacana (mode of discourse).
Pemberitaan suatu peristiwa antara sebelum dan sesudah kejadian
jelas situasinya akan berbeda. Begitu pun halnya dalam wacana berita,
selalu ditemukan adanya situasi yang memengaruhi wartawan dalam
menulis berita atau memproduksi suatu teks. Kita dapat menyimak contoh
teks berita berikut.
(K-10). Sekitar 10 menit setelah Agung Laksono bertemu Presiden, di tempat yang sama Aburizal Bakrie juga bertemu Presiden.
161
Bedanya, Agung datang ke Istana sendiri, sedangkan Aburizal datang didampingi Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham. (K.12-1-2016).
Rincian waktu yang dijelaskan komunikator atau wartawan dalam
wacana berita tersebut di atas (K-10) menjelaskan situasi dan kondisi
kedua subjek di dalam berita melaksanakan sesuatu, dalam hal ini
bertemu Presiden. Wartawan menggambarkan situasi seperti ini di dalam
suatu pemberitaan dimaksudkan agar khalayak dapat menangkap situasi
apa yang dilihat dan disaksikan wartawan dalam peristiwa tersebut yang
muncul dalam teks berita. Di dalam suatu laporan deskriptif,
penggambaran situasi seperti ini menjadi bagian terpenting di dalam satu
pemberitaan media cetak, lebih khusus terhadap pemberitaan satu
masalah yang menyita perhatian sebagian besar khalayak. Misalnya saja,
sidang kasus pembunuhan Mirna yang yang mendudukkan Yessica
Kemala Wongso sebagai tersangka tunggal dalam kasus tersebut
gambaran situasi bagi media cetak sangat penting karena melalui
deskripsi situasi seperti itu pembaca seolah-olah ikut hadir dalam peristiwa
itu.
Di dalam berita di atas (K-10), Kompas berusaha netral dengan
menampilkan perwakilan kedua kubu yang bertikai. Akan tetapi, teks
tentang ARB yang didampingi oleh Sekretaris Jenderal Idrus Marham
dapat memberi penafsiran lain dari khalayak bahwa kehadiran AL secara
organisatoris tidak terlalu kuat, sebab kubu ARB masih didukung oleh
perangkat organisasi yang masih solid yang merupakan produk Munas
Partai Golkar di Pekanbaru sebagaimana terwakili pada kalimat yang
162
dicetak tebal. Penafsiran di dalam teks berita ini mengindikasikan Kompas
secara implisit memberi indikasi berpihak kepada kubu ARB.
Di dalam berita berikut ini (K-11) wartawan menjelaskan posisi
komunikator atau narasumber yang menjelaskan kegiatan yang
dilakukannya sebagai gambaran situasi dalam berita.
(K-11). Dorongan supaya Munas Partai Golkar segera dilangsungkan, menurut Muliadi, disampaikan banyak pihak, termasuk para senior dan pendiri partai. ‘’Saya bertemu beberapa tokoh penting, pertama Pak Jusuf Kalla, kedua Pak Habibie, kemudian Andi Mattalatta, anggota Mahkamah Partai Golkar, dan beberapa orang lainnya,’’ kata Muladi. , (K.6-1-2016).
Media melalui wartawannya menjelaskan situasi dari sebuah fakta
yang diproduksi menjadi teks berita. Penjelasan mengenai situasi yang
terungkap dalam teks akan memberi gambaran dan pemahaman kepada
pembaca tentang ke arah mana media membawa pembaca menerima
informasi tersebut. Wartawan sebagai komunikator membahasakan situasi
yang dilakukan oleh komunikator tersebut untuk memperkuat pernyataan
yang menjadi objek berita, yakni munas. Pada teks wacana berita yang
dicetak tebal, Kompas dalam hal ini justru mengindikasikan berpihak
kepada kubu AL. Oleh karena, para tokoh yang dilibatkan dalam
pertemuan dengan komunikator tersebut dikenal berpihak kepada AL.
Berita Kompas (K-12) berikut ini mengangkat masalah konflik yang
juga berlangsung di lembaga DPR RI yang melibatkan para kader Partai
Golkar, yakni adanya faksi-faksi yang muncul di masing-masing kubu.
Dapat disimak melalui kutipan berita berikut.
(K-12). Faksi-faksi muncul di kubu Aburizal dan kubu Agung. Faksi-faksi di tiap-tiap kubu itu saling jegal dan menjatuhkan. Kondisi ini salah satunya terlihat dalam pergantian pimpinan Fraksi Partai Golkar (F-PG) di DPR. Setelah ditunjuk menjadi Ketua F-PG oleh
163
Aburizal, Setya Novanto mengganti kepengurusan F-PG. Salah satunya jabatan Sekretaris F-PG yang sebelumnya dipegang Bambang Soesatyo, diberikan kepada Aziz Syamsuddin. Padahal, pengajuan Novanto sebagai Ketua F-PG belum ditetapkan oleh pimpinan DPR. (K.8-1-2016).
Wartawan dalam mengemas berita ini menggambarkan situasi
yang terjadi di internal masing-masing kubu, yakni kubu ARB dan kubu
AL. Melalui gambaran situasi tersebut, Kompas berusaha netral dengan
menjelaskan terjadinya faksi-faksi di tiap kubu yang berkonflik. Tetapi
dengan penjelasan pada kalimat teks yang dicetak tebal mengindikasikan
satu kritikan kepada kubu ARB yang memberikan kesan tidak mampu
memimpin partai hingga mengalami kehancuran secara internal dan
Kompas secara implisit memperlihatkan keberpihakannya kepada AL.
Republika (R-10) menggambarkan berita kembali terpilihnya ARB
sebagai Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali 3 Desember 2014
dengan gambaran situasi sebagai berikut.
(R-10). Penetapan Ical sebagai ketua umum langsung disambut riuh para peserta munas. Mereka langsung mendekati Ical untuk mengucapkan selamat. Yel-yel dukungan untuk Ical pun turut meriuhkan arena sidang munas.’’ARB (Aburizal Bakrie) siapa yang punya. ARB siapa yang punya, yang punya kita semua,’’ demikian yel-yel terdengar. (R.4-12-2014).
Wartawan sebagai pembuat teks dalam berita (R-10)
menggambarkan situasi terpilihnya ARB sebagai Ketua Umum Partai
Golkar dengan memilih aktivitas riuh rendah para peserta munas. Dari
seluruh teks yang dipilih secara eksplisit wartawan sebagai komunikator
memperlihatkan bahwa terpilihnya ARB oleh semua peserta yang hadir
yang merupakan wakil dari beberapa daerah. Wartawan juga
menambahkan ilustrasi situasi dengan mengutip ucapan langsung para
164
peserta munas untuk memperkuat gambaran respons situasi atas
peristiwa tersebut. Dengan gambaran situasi dalam teks seperti itu,
Republika melegitimasi dan berpihak pada kepemimpinan ARB. Teks
wacana berita tersebut menggambarkan bahwa kepemimpinan ARB
disambut gembira oleh para peserta yang hadir dalam munas tersebut.
Pada berita berikut ini, Republika menggambarkan situasi dan
respons salah satu kubu yang berkonflik terhadap putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Barat, sebagaimana ditulis berikut.
(R-11). Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Selasa (24/2) menolak mengadili konflik dualisme Partai Golkar. Penolakan itu merupakan putusan sela pengadilan menjawab eksepsi tergugat dari pengacara kepengurusan Golkar Munas Ancol atas penggugat Golkar Munas Bali. ‘’Dengan ini menyatakan, gugatan atas penggugat tidak dapat diterima,’’ kata Hakim Oloan di PN Jakarta Barat. Menanggapi putusan itu, Partai Golkar hasil Munas Bali akan menempuh jalur kasasi di Mahkamah Agung (MA). ‘’Saya ikut hadir dalam rapat internal DPP Partai Golkar (hasil Munas Bali) pascaputusan sela PN Jakarta Barat. Golkar akan menempuh kasasi ke Mahkamah Agung,’’ kata kuasa hukum Golkar kubu aburizal Bakrie, Yusril Ihza Mahendra kepada wartawan. (R. 25-2-2015).
Kalimat yang digunakan wartawan pada kalimat berita yang dicetak
tebal tersebut di atas (R-11) menggunakan pandangannya untuk
menggambarkan situasi yang terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Barat
sebelum putusan sela dibacakan. Kalimat ini untuk mengantar sebelum
wartawan memproduksi teks dengan mengutip ucapan langsung
komunikator pada kalimat kedua wacana berita ini. Untuk memberi
gambaran sekaligus mengonfirmasi hasil sidang yang membacakan
putusan sela tersebut, wartawan kembali menjadi komunikator dengan
mencantumkan pendapat salah satu kubu yang terkait dengan konflik,
yakni ARB yang diwakili kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra. Posisi
165
komunikator pun beralih kepada Yusril Ihza Mahendra, karena wartawan
mengutip langsung pernyataannya. Meskipun wartawan mengutip
pendapat komunikator (Yusril Ihza Mahendra) akan tetapi produk teks
yang bersumber dari media ini akan menggambarkan pada pihak mana
media tersebut berpihak. Dalam hal ini Republika dalam berita ini berpihak
kepada ARB sebagaimana direpresentasikan pada kalimat yang dicetak
tebal.
Gambaran situasi yang terungkap dalam berita (R-12) ini
disampaikan secara implisit. Wartawan membuat satu simpulan terjadinya
respons yang berbeda dari kedua kubu pasca-putusan sidang Majelis
Pertimbangan Partai Golkar yang membuat kedua kubu tidak juga bersatu
dan mengakhiri konflik.
(R-12). Pasca-putusan sidang Majelis Pertimbangan Partai Golkar, juga tidak membuat dua kubu yang ada di Golkar kembali bersatu. Bahkan, jika salah satu pihak sudah mendapat surat keputusan Menteri Hukum dan HAM, maka pihak lainnya akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). (R.23-3-2015).
Gambaran situasi lain berkembang di dalam kalimat kedua pada
teks wacana berita tersebut di atas karena ketika ada salah satu kubu
yang telah memperoleh surat keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia, kubu lain pun melakukan aksi dengan menempuh jalur hukum
ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Wartawan menyimpulkan langkah
yang diambil masing-masing kubu dengan melukiskan situasi sesuai
pengamatannya dengan memosisikan diri netral. Dari gambaran situasi di
dalam teks tersebut, tidak ada pihak yang dimarginalkan.
Koran Tempo menggambarkan situasi dan kondisi produksi teks
yang dilakukan wartawan melalui berita berikut.
166
(KT-10). Menurut Kalla, sebagian dari mereka kecewa terhadap Aburizal yang dinilai gagal memimpin Golkar sejak 2009. ‘’Banyak sekali yang lapor. Saya sampaikan langsung ke Ical,’’ kata Wakil . …Ini kedua kalinya Kalla menyindir Aburizal. Beberapa waktu yang lalu dia mengingatkan capaian Aburizal selama memimpin Golkar. Suara Golkar dalam pemilihan umum 2014 memang menurun hanya memperoleh 91 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, berkurang dari 107 kursi pada pemilihan sebelumnya. Golkar juga gagal menyorongkan calon dalam pemilihan presiden. (KT.26-11-2014).
Wartawan dalam hal ini bertindak sebagai komunikator mengutip
pernyataan narasumber (M.Jusuf Kalla) sebagai pihak ketiga untuk
menggambarkan situasi sikap yang mengantar pernyataan narasumber
pada kalimat yang dicetak tebal. Pada kalimat pertama pembuka paragraf
berita ini wartawan sebagai komunikator mengemas kalimat yang
mencerminkan pandangannya, sekaligus merepresentasikan posisi media.
Wartawan sebagai produser teks selalu memiliki kecenderungan untuk
membuat simpulan terhadap suatu fakta yang kelak sebagai kalimat
pengantar sebelum mengutip kalimat langsung seorang narasumber.
Melalui pandangan narasumber yang dikutipnya dan dicetak tebal di atas,
Koran Tempo mengindikasikan keberpihakannya kepada kubu AL yang
ditandai pilihan teks wacana berita yang dikutipnya. Untuk memperkuat
pernyataannya, wartawan mencantumkan data pendukung, sehingga
melegitimasi pemberitaannya.
Dalam berita ini (K-11), Koran Tempo menjelaskan situasi waktu
untuk menjelaskan rincian informasi berikutnya sebagaimana dapat
disimak dalam berita berikut.
(KT-11). Jumat malam lalu, Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Akbar Tandjung menemui Agung Laksono untuk mengajukan tawaran dari Aburizal Bakrie. Saat itu Akbar mengatakan, konflik di partainya mulai mencair, karena Aburizal dan Agung sepakat
167
menunda musyawarah nasional. Tetapi menurut Akbar, belum memutuskan bulan pelaksanaan musyawarah. ‘’Aburizal bersedia melaksanakan musyawarah tahun depan, tapi bukan Januari, ‘’tuturnya setelah bertemu dengan Agung Laksono di kantor Dewan Pengurus Pusat Partai Golkar. (KT.30-11-2014).
Sebagaimana pada berita-berita sebelumnya, baik Kompas dan
Republika, Koran Tempo pun selalu membuat teks dengan
menggambarkan situasi yang terjadi berkaitan dengan inti berita utama.
Gambaran situasi ini selalu dikemukakan sebagai pengantar untuk
menambahkan kutipan langsung dari narasumber yang ditempatkan
sebagai pendukung gambaran situasi yang dimaksud. Wartawan juga
menempatkan pernyataan langsung narasumber sebagai alasan
pembenar terhadap apa yang digambarkannya. Dalam berita di atas (KT-
11), dari teks wacana yang dikutip media berusaha bersikap netral. Akan
tetapi jika disimak secara mendalam terhadap teks di atas ada kesan
bahwa kubu AL berada pada posisi yang lebih menguntungkan, sehingga
media terindikasi memiliki keberpihakan kepada salah satu kubu, yakni
AL.
Dari rapat dengar pendapat antara Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia dengan Komisi Hukum DPR RI, wartawan Koran Tempo
menggambarkan situasinya seperti berikut.
(KT-12). Sejumlah anggota Fraksi Partai Golkar kubu Musyawarah Nasional Bali pimpinan Aburizal Bakrie di Komisi Hukum memanfaatkan rapat itu untuk mencecar Laoly menyangkut keputusannya mengesahkan kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono, hasil Munas Jakarta. ‘’Putusan Menhukham membuat kondisi memanas. Ini betul-betul menyangkut persoalan kader di daerah,’’ kata anggota Fraksi Golkar, Ahmadi Noor Supit. (KT.7-4-2015).
168
Wartawan sebagai komunikator menggambarkan situasi rapat
seperti terungkap pada kalimat pertama kutipan berita tersebut (K-12) di
atas. Gambaran situasi yang dideskripsikan oleh wartawan melalui teks
yang dicetak tebal mengindikasikan keberpihakan media pada kubu ARB.
Teks tersebut kemudian maknanya berkoherensi dengan kutipan
langsung dari anggota Fraksi Partai Golkar, Ahmadi Noor Supit. Kutipan
langsung tersebut secara tidak langsung merupakan dampak yang
membuat para anggota DPR Komisi Hukum mencecar Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia dengan banyak pertanyaan. Dalam praktiknya,
gambaran situasi ini cenderung digunakan oleh wartawan atau media
untuk menjustifikasi apa yang akan dikemukakan oleh narasumber atau
komunikator. Dari teks wacana yang dipilihnya, Koran Tempo telah
memosisikan diri memarginalkan posisi Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia dan di sisi lain menguntungkan kubu ARB yang diwakili Ahmadi
Supit Noor. Kalimat ‘’mencecar Laoly’’ mengesankan,ada pihak yang
mengalami pressure dan di pihak lain ada pihak yang melakukan
pressure. Secara implisit Koran Tempo telah memosisikan diri berpihak
kepada kubu ARB.
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis variabel situasional ini,
tiga media lebih dominan menunjukkan keberpihakan yang mencakup 8
teks berita dan 1 teks berita merujuk pada netralitas. Kompas pada
variabel ini secara utuh berpihak. Jika merujuk pada sosok, 2 teks berita
berpihak pada AL dan 1 teks berita pada ARB. Sementara 2 teks berita
Republika berujuk pada keberpihakan dan 1 teks berita lainnya
menunjukkan netralitas. Jika merujuk pada sosok, 2 teks berita Republika
169
berpihak pada ARB. Tiga teks berita Koran Tempo menunjukkan
keberpihakan, 2 teks berita di antaranya berpihak pada sosok AL dan 1
teks berita pada ARB.
2.2 Institusional
Wartawan sulit melepaskan diri dari pengaruh internal dan eksternal
organisasi media. Pengaruh internal media bersumber dari kalangan
pemilik modal media, sementara pihak eksternal adalah organisasi atau
lembaga yang berpengaruh terhadap media dan wartawan. Ketika
pemerintahan Orde Baru, media dan wartawan dominan dipengaruhi oleh
organisasi atau lembaga eksternal media, seperti lembaga keamanan dan
Depatemen Penerangan di tingkat pusat dan provinsi. Lembaga-lembaga
tersebut dalam strukturnya di pemerintah pusat dapat mengambil tindakan
yang sangat mematikan media, yakni pembreidelan atau dilarang terbit.
Pembredelan atau pelarangan penyiaran dalam bentuknya adalah berupa
penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau
melawan hukum. Alasan pembredelan biasanya adalah pemberitaan di
media yang bersangkutan menjurus kepada hal-hal yang menyinggung
penguasa dan atau lapisan masyarakat tertentu. Contoh-contoh
pembredelan yang pernah terjadi di Indonesia, dikutip di Wikipedia
(diunduh 23 Oktober 2017, pukul 16.30 Wita), terbitan Jakarta meliputi:
Majalah Tempo, Harian Abadi, Harian Indonesia Raya, Harian KAMI,
Harian Pedoman, Harian Pemuda Indonesia, Harian Sinar Harapan,
Harian The Jakarta Times, Harian Wenang, Majalah Ekspres, Tabloid
Detik, Majalah Editor. Di Surabaya meliputi: Harian Nusantara dan Harian
170
Suluh Berita, sementara di Bandung adalah Majalah Mahasiswa Indonesia
yang diterbitkan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Elemen institusional dalam kajian AWK intensitas mengungkapkan
pengaruh institusi organisasi dalam praktik produksi wacana. Salah satu
institusi yang penting adalah institusi yang berhubungan dengan ekonomi
media. Institusi yang dimaksudkan tidak lain adalah lembaga pengelola
iklan atau advertorial yang menjadi mitra media selalu berhubungan untuk
menjalin kerja sama promosi dan advertorial. Hal ini sangat penting
karena para pengiklan akan sangat menentukan keberlanjutan kehidupan
suatu media. Terhadap pengaruh institusi eksternal seperti ini tidak ada
pilihan lain bagi setiap wartawan kecuali membuat dan menciptakan
‘’berita yang baik’’ yang disukai oleh banyak orang.
Institusi lain yang berpengaruh terhadap perkembangan media
adalah lembaga politik, misalnya partai politik. Dalam sebuah negara
dengan sistem demokrasi seperti Indonesia, yang terasa berdampak
besar terhadap ekonomi media adalah peran yang dimainkan institusi atau
lembaga pengelola iklan dan pemerintah yang juga menjadi tambang iklan
bagi media. Lembaga politik nanti berperan ketika tiba saatnya musim
pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilihan legislatif (pileg), yakni
saat mereka ingin mempromosikan dirinya agar memperoleh pilihan dan
suara yang besar dari khalayak pemilih.
Dalam pandangan Fairlough berkaitan dengan elemen institusional
ini dimaksudkan bagaimana institusi dan kekuatan-kekuatan eksternal
media menggunakan media untuk menyampaikan kepentingannya. Media
bisa menjadi alat kekuatan-kekuatan dominan yang ada dalam
171
masyarakat untuk merendahkan dan memarginalkan kelompok lain, di
antaranya dengan menggunakan kekuatan media. (Eriyanto, 2001:325).
Dalam praktiknya saat ini, apa yang dikemukakan Fairclough
tersebut sulit ditemukan secara transparan pada tiga media yang dijadikan
sampel dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan, tiga media tersebut dari
segi ekonomi sudah dianggap mapan. Jika ada institusi politik
memanfaatkan media-media tersebut misalnya tentu dalam bentuk
promosi atau iklan berbayar pada media-media tersebut secara signifikan.
Pembahasan peran elemen institusional dalam penelitian penulis ini
diarahkan kepada aspek media menggunakan simbol-simbol institusional
yang melekat pada komunikator atau narasumber dengan maksud untuk
memengaruhi pendapat khalayak. Setidak-tidaknya di balik pemanfaatan
komunikator berlabel institusional tertentu media telah memainkan peran
mewujudkan agenda tersembunyi media untuk menyampaikan
pandangannya terhadap suatu masalah sesuai dengan kehendaknya. .
Pada berita Kompas berikut ini, peran institusional yang digunakan
sebagai elemen dalam AWK adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia.
(K-13). Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor.M.HH-23.AH.AH.11.01 tanggal 20 Desember 2015 untuk mencabut SK Nomor M. JJ -01. AH. 11. 01 tanggal 23 Maret 2015 tentang penetapan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Jakarta pimpinan Agung Laksono. SK ini juga tidak mencantumkan DPP Partai Golkar hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie sebagai pengurus yang sah.(K. 2-1-2016).
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam konflik Partai Golkar
menempati peran yang cukup signifikan, karena menjadi subjek penting
172
dalam penyelesaian konflik. Pengaruh institusional lembaga ini menjadi
sentral dalam beberapa kali penyelesaian konflik, karena keputusannya
secara timbal balik menguntungkan dan merugikan salah satu pihak yang
berkonflik. Tetapi dalam berita tersebut di atas (K-13), posisi institusional
lembaga ini tidak memihak kepada kubu mana pun di antara kedua pihak
yang berkonflik. Akan tetapi secara institusional, Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia berusaha menyembunyikan keberpihakannya kepada
kubu AL karena di balik pencabutan surat keputusannya terhadap
penetapan kubu AL tidak mencantumkan keabsahan kepengurusan versi
hasil Munas Bali yang memenangkan kubu ARB. Kompas secara implisit
berusaha bersikap netral karena seharusnya jika ada surat keputusan
kepengurusan yang dicabut, maka di satu pihak ada surat keputusan
kepengurusan yang diakui. Di sini, secara tersirat sebenarnya yang
diuntungkan adalah kubu ARB yang masih menjabat ketua umum Partai
Golkar versi munas Pekanbaru.
Penggunaan posisi institusional M.Jusuf Kalla dalam pemberitaan
konflik Partai Golkar berada pada intensitas yang cukup tinggi. Misalnya di
antaranya dalam berita berikut.
(K-14). Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar meyakini, penyelesaian konflik internal di Partai Golkar tinggal menunggu waktu. Kedua kubu kepengurusan, yakni hasil Munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie dan Munas Jakarta yang diketuai Agung Laksono, sudah menyepakati adanya penyatuan pengurus guna menggelar rapat pimpinan nasional, yang disusul kemudian dengan penyelenggaraan musyawarah nasional. (K.5-1-2016).
Wartawan menempatkan Jusuf Kalla sebagai komunikator dalam
konflik Partai Golkar dalam tiga posisi institusional, yakni sebagai wakil
173
presiden, mantan Ketua Umum Partai Golkar, dan sebagai pihak yang
mewakili lembaga mediasi yang disepakati oleh kedua kubu. M.Jusuf Kalla
dapat berperan dengan masing-masing posisinya untuk melakukan
pressure kepada para pihak untuk menyelesaikan konflik. Berbicara
sebagai representasi institusional, komunikator berusaha menempatkan
diri sebagai pihak yang netral. Walaupun dalam posisi institusionalnya
Jusuf Kalla berusaha bersikap netral, akan tetapi dalam berbagai wacana
yang disampaikan cenderung memperlihatkan keberpihakan kepada kubu
AL.
Kompas dalam pemberitaan berikut ini menempatkan lembaga
kepresidenan sebagai elemen institusional dalam berita berikut ini.
(K-15). Pimpinan kedua kubu, kemarin, bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta. Namun, mereka diterima secara terpisah. Awalnya, Presiden menerima Ketua Umum Partai Golkar versi Musyawarah Nasional (Munas) Ancol, Jakarta, Agung Laksono. Setelah itu, Presiden menerima Ketua Umum Partai Golkar versi Munas Bali Aburizal Bakrie .…..Kehadirannya di Istana, menurut Aburizal, untuk memberikan dukungan dan bergabung duduk bersama pemerintah. ‘’Untuk melakukan suatu pembangunan dalam keadaan yang sangat sulit ini, diperlukan suatu stabilitas politik. Partai merasa sebagai suatu partai yang cukup besar harus bisa duduk bersama pemerintah untuk dapat memantapkan stabilitas politik dalam menjalankan pembangunan nasional,’’ katanya. (K.12-1-2016).
Penempatan posisi lembaga presiden sebagai elemen institusional
dalam berita ini jelas akan memberikan pengaruh tersendiri bagi
penyelesaian konflik. Presiden sebagai lembaga politik tertinggi secara
langsung atau tidak merupakan institusi yang sangat diperhatikan dan
ditunggu kebijakannya dalam penyelesaian konflik. Melalui diplomasi
dengan pimpinan lembaga politik diharapkan penyelesaian konflik segera
terwujud, meskipun sebagai kepala negara, Presiden tidak dapat secara
174
langsung mengintervensi penyelesaian konflik suatu partai dan berusaha
menempatkan diri sebagai posisi yang netral.
Republika mengangkat posisi Pengadilan Negeri Jakarta Barat
sebagai elemen institusional yang ikut berpengaruh dalam penyelesaian
konflik. Pengadilan telah memainkan peran penting dalam upaya
penyelesaian konflik ini, kendati keputusan itu harus dikembalikan ke
mekanisme partai.
(R-13). Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Selasa (24/2) menolak mengadili konflik dualisme Partai Golkar. Penolakan ini merupakan putusan sela pengadilan, menjawab eksepsi tergugat dari penggugat kepengurusan Golkar Munas Ancol, atas penggugat Golkar Munas Bali. (R.25-2-3015).
Wartawan dalam memberitakan suatu informasi selalu berupaya
memanfaatkan posisi dan peran institusional suatu narasumber atau
komunikator untuk melegitimasi dan menjustifikasi suatu permasalahan
atau berita melalui pernyataannya. Pernyataan tersebut jelas akan
menarik perhatian khalayak mengingat posisi institusionalnya yang sangat
penting dalam penyelesaian konflik suatu lembaga politik. Wartawan
memilih narasumber atau komunikator tersebut mengingat institusi ini
sesuai harapan kedua pihak dapat memberikan keadilan dalam
penyelesaian konflik. Dikaitkan dengan variabel institusional, Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat telah menempatkan diri sebagai pihak yang netral,
meskipun penolakan tersebut cenderung memihak kepada kubu AL
selaku tergugat karena tuntutan penggugat (AL) kembali mentah dengan
vonis pengadilan tidak dapat mengadili kasus dualisme kepengurusan
Partai Golkar.
175
Seperti juga Kompas, Republika pun menempatkan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia sebagai lembaga atau institusi yang ikut menjadi
gantungan harapan dalam penyelesaian konflik.
(R-14). Pemerintah lewat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengesahkan kepengurusan DPP Partai Golkar kubu Agung Laksono. Menkumham mengklaim, pengesahan pengurus DPP hasil munas Ancol itu sesuai dengan keputusan Mahkamah Partai Golkar. ‘’Kami memutuskan mengabulkan untuk menerima kepengurusan DPP Partai Golkar hasil munas Ancol secara selektif di bawah kepemimpinan Agung Laksono,’’ katanya di kantor Kemenkumham, Selasa (10/3). Menurut dia, keputusan itu ia ambil selepas Agung Laksono menyerahkan surat putusan Mahkamah Partai Golkar pada Rabu (4/3) lalu yang mereka klaim mengesahkan kepengurusan munas Ancol. (R.11-3-2015).
Republika memanfaatkan posisi institusional Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia sebagai komunikator dengan keputusannya
mengesahkan kepengurusan DPP Partai Golkar salah satu kubu.
Keputusan ini menempatkan Republika memosisikan diri berpihak kepada
kubu AL. Pemanfaatan posisi institusional komunikator melalui
pernyataannya mengindikasikan keberpihakan kepada salah satu pihak.
Lambang institusional pemerintahan yang terlibat dalam memberikan
pernyataan mengenai konflik ini cenderung berpihak kepada AL.
Republika juga masih memilih elemen institusional yang sama,
yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam berita berikut ini,
terkait dengan keputusan institusi lain, yakni Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) Jakarta sebagaimana dalam berita berikut.
(R-15). Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly dan Ketua Umum Partai Golkar hasil munas Ancol Agung Laksono sama-sama mengajukan banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pada Senin (18/5) majelis hakim yang dipimpin Teguh Setya Bakti dalam persidangan final terkait sengketa kepengurusan Partai Golkar membatalkan
176
Surat Keputusan (SK) Menhukham yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar versi Agung Laksono. (R.20-5-2015).
Penyertaan lembaga institusional Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) yang membatalkan SK Menkumham tentang pengesahan
kepengurusan DPP Partai Golkar versi AL jelas menguntungkan ARB.
Wartawan memiliki kecenderungan terhadap penempatan salah satu
subjek berita dengan posisi institusionalnya, yakni memengaruhi pendapat
atau opini publik tentang suatu masalah yang sedang diberitakan. Putusan
PTUN tersebut meskipun tidak disebutkan secara jelas dalam teks
wacana berita, akan tetapi secara implisit mengarah kepada pengakuan
terhadap kubu ARB yang memenangkan perkara di sidang PTUN. Dalam
teks wacana berita ini secara implisit media berpihak kepada kubu ARB.
Koran Tempo menurunkan berita 5 Maret 2015, tiga bulan pasca
ARB terpilih kembali sebagai Ketua Umum Partai Golkar dalam Munas
Bali, 3 Desember 2014, sebagai berikut.
(KT-13). Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly memberi sinyal akan mengakomodasi putusan Mahkamah Partai Golkar untuk menyelesaikan kisruh kepengurusan di partai beringin tersebut. Menurut Laoly, berdasarkan Undang-Undang Partai Politik, pengadilan tidak berhak memutuskan dualisme kepemimpinan partai beringin. (KT.5-3-2015).
Peran institusional yang dipilih Koran Tempo dengan subjek berita
(KT-13) secara transparan dikemukakan wartawan dengan frasa
‘’memberi sinyal’’. Melalui penempatan posisi institusional tersebut,
wartawan telah mengendalikan pendapat khalayak, karena didukung pula
oleh putusan institusional lembaga yang merupakan kelengkapan partai,
yakni Mahkamah Partai Golkar. Wartawan menambahkan pernyataan
177
subjek institusi yang menyebutkan bahwa pengadilan tidak berhak
menyelesaikan konflik internal partai sesuai Undang-Undang Partai Politik.
Akan tetapi dengan menggunakan frasa ‘’memberi sinyal’’ media
mengisyaratkan berpihak pada kubu AL.
Koran Tempo juga menempatkan M.Jusuf Kalla dengan posisi
institusonalnya sebagai wakil presiden dalam berita berikut.
(KT-14). Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Aburizal Bakrie taat kepada keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengakui kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono. Menurut Kalla, Aburizal seharusnya bersikap bijaksana setelah melalui sengketa di Mahkamah Partai Golkar. (KT.28-3-2015).
Kecenderungan wartawan memilih M.Jusuf Kalla sebagai
komunikator atau narasumber dalam berita ini, karena dia memiliki tiga
posisi institusional yang silih berganti atau secara simultan dapat
digunakan oleh wartawan sebagai label, yakni sebagai wakil presiden,
mantan Ketua Umum Partai Golkar, dan sebagai tim mediasi penyelesaian
konflik. Wartawan dalam memanfaatkan ketiga posisi M.Jusuf Kalla tinggal
menyesuaikan saja posisi narasumber sesuai dengan konteks dan
substansi permasalahan yang sedang mengemuka berkaitan dengan
konflik partai politik tersebut. Melalui pernyataannnya dalam berita di atas
(K-14), secara transparan M.Jusuf Kalla memihak kepada AL.
Dalam berita berikut ini, Koran Tempo menempatkan Komisi
Hukum DPR untuk mengungkapkan peristiwa yang dijadikan berita dalam
konflik ini.
(KT-15). Komisi Hukum DPR menggelar rapat dengar pendapat dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly di ruang rapat Komisi Hukum di Kompleks gedung DPR, kemarin malam. Sejumlah anggota Fraksi Partai Golkar kubu Musyawarah Nasional Bali pimpinan Aburizal Bakrie di Komisi Hukum
178
memanfaatkan rapat ini untuk mencecar Laoly menyangkut keputusannya mengesahkan kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono, hasil Munas Jakarta. (KT.7-4-2015).
Posisi anggota DPR di era reformasi ini telah memegang peranan
penting, karena merupakan representasi dari rakyat, sehingga setiap wakil
rakyat memperoleh hak yang sama untuk menyampaikan pendapat.
Dalam kasus konflik Partai Golkar ini, wartawan memanfaatkan lembaga
institusional Komisi III Hukum DPR sebagai wadah untuk mengungkapkan
pandangannya berkaitan dengan rapat dengar pendapat Komisi Hukum
DPR dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Wartawan
menggunakan lembaga institusional tersebut yang mencecar Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan berbagai pertanyaan seputar
keputusannya mengesahkan kepengurusan DPP Partai Golkar kubu AL.
Ini merupakan salah satu cara wartawan memanfaatkan posisi
institusional suatu lembaga sebagai komunikator dalam mengungkapkan
pernyataannya yang sekaligus diposisikan sebagai pandangan media.
Secara langsung atau tidak, media telah memosisikan diri berpihak
kepada para anggota DPR yang juga merupakan kubu dari ARB.
Pemosisian diri media tidak selalu permanen, tetapi selalu disesuaikan
dengan wacana yang berkembang dari setiap komunikator. Dengan posisi
seperti ini media dapat dikatakan sebagai pihak yang mendua. Sikap
‘’mendua’’ juga dapat terjadi terhadap sosok komunikator yang secara
kebetulan menempati posisi jabatan politik atau publik tertentu, misalnya
M.Jusuf Kalla yang selalu dijadikan sebagai narasumber atau komunikator
oleh media dalam memproduksi teks.
179
Berdasarkan analisis variabel institusional dari ketiga media
dominan menunjukkan keberpihakan yang direpresentasikan oleh 7 teks
dan 2 teks lainnya merujuk pada netralitas media. Keberpihakan Kompas
dan Republika direpresentasikan masing-masing melalui 2 teks berita dan
1 teks berita merujuk pada netralitas. Jika merujuk pada sosok, masih-
masing 1 teks berita Kompas dan Republika berpihak pada ARB dan AL.
Sementara 3 teks berita Koran Tempo merujuk pada keberpihakan. Dua
teks berita di antaranya berpihak pada sosok AL dan 1 teks berita pada
ARB.
2.3 Sosial
Wartawan saat memproduksi teks dalam pemberitaan sulit
menghindarkan diri dari pengaruh faktor sosial. Menurut Fairclough
(Eriyanto, 2001:325), wacana yang muncul dalam media ditentukan oleh
perubahan masyarakat. Apa yang dikemukakan Fairclough relevan
dengan realitas yang terjadi di Indonesia pada peralihan era Orde Baru ke
Orde Reformasi. Pada masa Orde Baru wacana berita berlaku prinsip dari
atas ke bawah, karena pemerintah menerapkan kekuasaan otoriter.
Sebaliknya di era reformasi, pemberitaan berlangsung secara timbal balik,
dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Artinya, masyarakat yang
sudah menikmati kebebasan ikut menciptakan wacana berita melalui
pemberitaan media. Pada level sosial dan budaya misalnya, masyarakat
turut menentukan perkembangan wacana media.
Aspek sosial dalam analisis Fairclough ini lebih melihat pada aspek
makro seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya
180
masyarakat secara keseluruhan. Sistem ini menentukan siapa yang
berkuasa, dan nilai-nilai apa yang dominan dalam masyarakat.
Bagaimana kelompok yang berkuasa memengaruhi dan menentukan
media. Teks berita yang dibuat wartawan pada masa pemerintahan
otoriter, tentu berbeda dengan teks berita yang dibuat pada masa era
reformasi.
Di dalam penelitian yang berkaitan dengan peran sosial ini dilihat
seperti apa media memanfaatkan pengaruh sistem politik, ekonomi, dan
sosial budaya untuk kepentingan penyelesaian kasus konflik Partai
Golkar. Wartawan atau media memanfaatkan komunikator yang berlabel
kelembagaan tertentu dari sisi yang spesifik, misalnya, ilmu pengetahuan,
untuk memberi penekanan kepada para pihak untuk berpikir sebagaimana
ditawarkan media.
Kompas dalam berita berikut ini memanfaatkan pengamat politik
dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk menyampaikan
pandangannya kepada khalayak berkaitan dengan konflik partai tersebut.
(K-16). Pengamat politik Syamsuddin Haris dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Sabtu (2/1) di Jakarta mengatakan, kepengurusan transisi Partai Golkar diperlukan untuk menyelenggarakan Munas 2016 yang akan memilih kepengurusan baru, Kepengurusan baru diharapkan mengakomodasi kepentingan pihak yang bersengketa. ‘’Masa depan Partai Golkar harus diselamatkan. Pembentukan pengurus transisi Partai Golkar diperlukan untuk menggelar Munas 2016 mengingat hasil Munas Bali atau pun Ancol Jakarta, sama-sama tak diakui,’’ ujar Syamsuddin. (K.3-1-2016).
Pandangan-pandangan seperti ini dimanfaatkan media untuk
melihat suatu persoalan dari sisi yang lain, seperti kepakaran.
Narasumber yang dipilih selalu dilabeli dengan lembaga sebagaimana
181
dicetak tebal, baik ilmu pengetahuan, sosial politik, maupun budaya
tempat narasumber itu bekerja. Pencantuman nama lembaga seperti ini
disesuaikan dengan relevansi pengetahuan narasumber berkaitan
dengan masalah yang disoroti akan memperkuat posisi legitimasi
pemberitaan media. Melalui pandangan pakar ini, Kompas menempatkan
diri sebagai pihak yang netral. Netralitas dan keberpihakan sangat
diperhatikan oleh Kompas untuk melegitimasi pandangannya itu berterima
dan diterima khalayak.
Dalam berita berikut ini, Kompas menempatkan lembaga pemilihan
umum untuk mengungkapkan pendapatnya.
(K-17). Komisi Pemilihan Umum mendorong Partai Golkar dan PPP segera menyelesaikan sengketa kepengurusan. Setelah itu, kedua partai tersebut agar mengurus pengesahan kepengurusan di Kementerian Hukum dan HAM. Tanpa itu, kedua partai dikhawatirkan tak bisa mengikuti pilkada serentak mendatang gelombang kedua awal 2017. (K.9-1-2016).
Kelembagaan Komisi Pemilihan Umum dalam konteks berita ini
sebenarnya lebih bersifat seperti apa media memanfaatkan suatu institusi
untuk menekan suatu pihak. Dalam hal ini, Kompas ‘’meminjam’’
pandangan KPU sebagai salah satu lembaga untuk memberi solusi
terhadap penyelesaian konflik kedua kubu. Melalui pandangan lembaga
KPU, Kompas menempatkan diri sebagai pihak yang netral.
Kompas menggunakan ‘stempel’ istana yang merupakan simbol
dari kekuasaan dalam mengungkapkan berita berikut ini.
(K-18). …..Kehadirannya di Istana, menurut Aburizal, untuk memberikan dukungan dan bergabung duduk bersama pemerintah. ‘’Untuk melakukan suatu pembangunan dalam keadaan yang sangat sulit ini, diperlukan suatu stabilitas politik. Partai merasa sebagai suatu partai yang cukup besar harus bisa duduk bersama
182
pemerintah untuk dapat memantapkan stabilitas politik dalam menjalankan pembangunan nasional,’’ katanya. (K.12-1-2016).
Penggunaan label lembaga politik istana tersebut diharapkan
diperoleh hasil-hasil yang positif dan setidak-tidaknya ada solusi segera
terhadap penyelesaian masalah konflik. Komunikator (ARB) melalui
pernyataannya memberi isyarat bahwa perdamaian dengan kubu AL
sudah di ambang pintu. ‘’Untuk melakukan suatu pembangunan dalam
keadaan yang sangat sulit ini, diperlukan suatu stabilitas politik. Partai
merasa sebagai suatu partai yang cukup besar harus bisa duduk bersama
pemerintah untuk dapat memantapkan stabilitas politik dalam menjalankan
pembangunan nasional’’. Kompas melalui wacana yang dibangunnya
dalam teks wacana berita tersebut berusaha menempatkan diri sebagai
pihak yang netral, tetapi penonjolan ARB yang hendak bergabung
dengan pemerintah, jelas menguntungkan pihak AL yang sejak konflik
berada di pihak pemerintah. Dengan demikian dalam teks berita ini
Kompas berimplikasi berpihak pada AL.
Republika menurunkan satu berita yang menarik tentang imbas
dari konflik Partai Golkar di tingkat pusat terhadap daerah. Antara ayah
dan anak juga terjadi ‘’konflik’’ sebagaimana terjadi di DPP Patai Golkar
antara kubu ARB dan AL. Tetapi ada nuansa sistem sosial budaya yang
‘’mengalir’’ di dalam konflik antara ayah dan anak ini yang justru tetap
mempersatukan keduanya. Simak berita berikut.
(R-16). Alzier yang dikenal sangat sayang kepada anak-anaknya, tidak terpengaruh dengan langkah politik mereka. Menurut dia, urusan politik adalah politik, bukan untuk memisahkan anggota keluarga. Dia tetap mendorong Heru untuk menuju dunia politik. Alzier ingin menyumbangkan pengalamannya yang sudah malang melintang di kancah politik, termasuk menjadi calon
183
gubernur yang gagal dilantik di era Presiden Megawati Soekarnoputri pada Desember 2002. (R.17-3-2015).
Wartawan menampilkan subjek berita, yakni Alzier, sang ayah,
dengan anaknya Heru yang berseteru dalam bidang politik. Akan tetapi
lembaga sosial hubungan kekerabatan antarayah dan anak tidak
memutuskan harmonisasi mereka senagai keluarga. Melalui kalimat yang
dicetak tebal di atas, dengan jelas ada batas yang jelas antara ruang
hubungan kekeluargaan dengan kepentingan politik. Ini membuktikan
bahwa sistem sosial budaya di dalam keluarga atau masyarakat mereka
masih tetap dikedepankan dan harus dibedakan dengan perbedaan aliran
politik. Ini merupakan salah satu sisi tersirat yang diungkapkan media
dalam merepresentasikan eksistensi dan pengaruh sistem sosial budaya
yang ada di dalam masyarakat dikaitkan dengan aktivitas politik.
Republika melalui teks wacana berita yang dipilihnya secara langsung
atau tidak, berpihak kepada ARB karena Alzier yang bertindak sebagai
komunikator dalam teks berita ini merupakan Pengurus DPD Partai Golkar
Lampung versi ARB.
Dalam berita berikut ini, Republika menggunakan simbol sosial
M.Jusuf Kalla sebagai seorang personil lembaga politik. Seperti juga
dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya, M.Jusuf Kalla dalam
penyelesaian konflik Partai Golkar ini merepresentasikan tiga entitas,
yakni wakil presiden, mantan Ketua Umum Partai Golkar, dan sosok yang
dipilih sebagai mediator penyelesaian konflik bersama para tokoh yang
lainnya, seperti B.J.Habibie. Pada berita berikut ini, institusi yang
digunakan adalah lembaga wakil presiden.
184
(R-17). Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, dia akan memfasilitasi perdamaian kedua belah kubu Partai Golkar. Menurut Kalla, perdamaian antarkedua kubu sangat penting agar Golkar dapat mengikuti pilkada serentak yang akan digelar pada akhir tahun ini. (R.20-5-2015).
Media mengungkapkan pernyataan komunikator (M.Jusuf Kalla)
dalam kapasitasnya sebagai lembaga pemerintah (wakil presiden)
memberi sinyal positif bagi penyelesaian konflik dengan menyediakan
fasilitas bagi kedua kubu Partai Golkar. Fasilitas ini tentu saja sesuai yang
dibutuhkan bagi penyelesaian konflik. Sebagai orang yang pernah
memimpin partai berlambang beringin dan Partai Golkar selama ini adalah
partai yang selalu berada bersama dengan pemerintah, Jusuf Kalla sangat
berkepentingan dalam penyelesaian konflik ini. Republika dalam
beberapa teks wacana berita sebelumnya yang mengutip pernyataan
M.Jusuf Kalla kerap berpihak kepada AL, tetapi dalam berita tersebut di
atas menempatkan diri sebagai pihak yang netral. Kondisi ini dapat saja
berubah sesuai dengan teks wacana berita yang ditulis media.
Pada wacana berita berikut ini, wartawan menggunakan lembaga
internal Partai Golkar dengan harapan dapat berpengaruh dalam
penyelesaian konflik, yakni Dewan Pertimbangan (Wantim).
(R-18). Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Partai Golkar Akbar Tandjung mengatakan, pihaknya telah mengirim surat permohonan intervensi kepada Mahkamah Partai Golkar. Ini bertujuan untuk memutuskan penyelenggaraan munas bersama antara kedua kubu yang berselisih di internal Partai Beringin. ‘’Kami (jajaran Wantim) telah menyiapkan surat yang akan disampaikan kepada Mahkamah Partai Golkar dalam bentuk permohonan intervensi terhadap situasi yang sudah berjalan antara pengurus Bali (kubu Aburizal Bakrie) dan Ancol (kubu Agung Laksono),’’ kata Akbar. (R.25-2-2015)..
185
Media selalu mencari beragam jurus untuk menemukan
narasumber atau komunikator dalam menyampaikan pesannya. Biasanya,
narasumber yang dipilih adalah yang memiliki kaitan dengan
permasalahan yang sedang diwacanakan. Menurut Yurnaldi (2013, 52),
wartawan harus memiliki indera keenam untuk mengetahui mana yang
jadi berita, mana yang bukan, Juga, menemukan dan menggali
narasumber untuk melengkapi fakta dan peristiwa. Ukuran
keberhasilannya, narasumber yang dihubungi tepat dan memberikan
bahan/berita yang diperlukan. Apa yang dilakukan oleh wartawan
Republika tersebut di atas adalah sesuai dengan panduan yang
diberlakukan kepada seorang wartawan, yakni menemukan narasumber
yang tepat berkaitan dengan berita yang berkaitan dengan konflik Partai
Golkar. Melalui teks wacana berita tersebut (R-18) Republika
menempatkan posisi Mahkamah Partai Golkar sebagai penentu
terwujudnya penyelesaian konflik. Mahkamah Partai didukung oleh
personil yang mendukung AL, sedangkan lembaga Dewan Pertimbangan
justru berpihak pada ARB sehingga dalam teks berita ini Republika
menempatkan diri dalam posisi netral.
Pemberitaan mengenai konflik Pertai Golkar dari segi jurnalisme
mampu memetakan sejumlah narasumber yang selalu dipilih oleh media
untuk mendukung pemberitaannya. Salah satu narasumber atau
komunikator yang selalu dipilih adalah M.Jusuf Kalla yang memiliki tiga
kapasitas sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya. Koran
Tempo memilih Jusuf Kalla dengan posisinya sebagai mantan Ketua
Umum Partai Golkar sebagaimana dikutip dalam berita berikut.
186
(KT-16). Mantan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla menerima banyak aduan dari kader partai beringin soal kepemimpinan Aburizal Bakrie. Menurut Kalla, sebagian dari mereka kecewa terhadap Aburizal yang dinilai gagal memimpin Golkar sejak 2009. ‘’Banyak sekali yang lapor. Saya sampaikan langsung ke Ical,’’ kata Wakil Presiden kemarin. (KT.26-11-2014). Pada berita tersebut di atas wartawan lebih memilih kapasitas Jusuf
Kalla sebagai mantan ketua umum karena ada koherensi antara apa yang
terjadi dengan apa yang hendak dilakukannya. Yang terjadi adalah
laporan atau aduan yang disampaikan kader partai beringin, sementara
yang hendaknya dilakukan adalah menyampaikan aduan tersebut kepada
penerimanya, ARB. Wartawan selalu cerdik memilih kapasitas seorang
narasumber dikaitkan dengan kondisi tertentu dalam menyampaikan
berita. Menurut Yurnaldi (2013:53) wartawan yang sukses adalah mereka
yang dikaruniai dan bisa memanfaatkan kecerdikannya. Ia harus selalu
berusaha keras mendapatkan gagasan orisinal dalam mengumpulkan
berita, terutama dalam hal reportase investigasi. M.Jusuf Kalla dalam
konflik Partai Golkar dalam banyak pernyataannya selalu mengindikasikan
berpihak kepada AL. Hal itu tidak dapat dipisahkan posisi AL yang
mendukung pencalonan M.Jusuf Kalla sebagai wakil presiden bersama
Joko Widodo yang diposisikan sebagai calon presiden pada tahun 2014.
Dalam teks wacana berita ini, Koran Tempo dengan narasumber M.Jusuf
Kalla berpihak kepada AL.
Media memanfaatkan lembaga internal Partai Golkar untuk
menyampaikan pendapatnya kepada khalayak dengan mewartakan
langkah yang diambil Presidium Penyelamatan Partai. Ini merupakan
upaya awal ketika konflik partai ini baru berlangsung beberapa bulan
pasca-pemilihan presiden yang mengakibatkan kepengurusan DPP Partai
187
Golkar terpecah dua, yakni kubu ARB dan kubu AL, sebagaimana dalam
berita berikut.
(KT-17). Rapat pleno Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar membekukan kepengurusan Aburizal Bakrie. Selanjutnya kepemimpinan partai diambilalih Presidium Penyelamatan Partai. ‘’Kami ambil langkah ini untuk penyelamatan partai,’’ ujar Ketua Mahkamah partai Muladi seusai rapat pleno di kantor DPP Golkar kemarin, Menurut Muladi, pengambilalihan kepengurusan sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai. Pemberhentian Aburizal diklaim oleh karena diputuskan dalam rapat pleno yang dihadiri mayoritas pengurus. (KT.26-11-2014).
Media menempatkan Muladi sebagai Ketua Mahkamah Partai
Golkar yang membawa bendera DPP Partai Golkar. Mahkamah Partai
merupakan lembaga yang berhak menyelesaikan masalah-masalah
internal partai beringin tersebut. Pesan yang tersirat atau tersurat dari
penempatan Muladi dalam kapasitasnya sebagai Ketua Mahkamah Partai
adalah untuk memberi informasi kepada publik bahwa lembaga ini
memiliki legitimasi untuk menyelesaikan konflik. Koran Tempo melalui
komunikator Muladi memosisikan diri sebagai pihak yang berpihak kepada
AL yang memimpin Presidium Penyelamat Partai Golkar.
Ada informasi yang bertentangan antara wacana berita Koran
Tempo (KT-17) dengan berita berikut ini (KT-18) yang bersumber dari
komunikator atau narasumber yang sama. Hal ini disebabkan, Muladi
pada berita (KT-17) dan pada berita (KT-18) merepresentasikan posisi
yang berbeda. Pada beruta (K-17), Muladi sebagai bagian dari peserta
Rapat Pleno DPP Partai Golkar, sementara pada berita (KT-18)
merepresentasikan posisinya sebagai Ketua Mahkamah Partai.
(KT-18). Menurut Muladi, selama belum ada keputusan yang final dan mengikat, baik dari Mahkamah Partai maupun pengadilan, kepengurusan Golkar yang sah adalah versi hasil Munas
188
Pekanbaru yang diketuai Aburizal Bakrie dengan Sekretaris Jenderal Idrus Marham. ‘’Jadi, sekarang ketua umumnya tetap Aburizal,’’ Muladi menegaskan. (KT 5-3-2015).
Perubahan pesan atau wacana seperti ini lumrah terjadi dalam
suatu peristiwa yang terus berkembang. Apalagi dalam kasus konflik
Partai Golkar berbagai institusi internal dan eksternal terlibat ikut
menyelesaikan konflik. Dengan pernyataan Muladi tersebut,
mengindikasikan kepengurusan DPP Partai Golkar kembali ke kondisi dan
posisi sesuai hasil Munas Pekanbaru. Posisi itu mengindikasikan,
sejatinya kedua kubu harus sama-sama menaatinya. Koran Tempo
berusaha netral dalam teks wacana berita ini, tetapi dengan pernyataan
komunikator yang dipilihnya (Muladi) mengindikasikan berpihak kepada
kubu ARB sebagai Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Pekanbaru.
Berdasarkan pembahasan dan analisis variabel sosial tersebut
dapat disimpulkan bahwa ketiga cukup dominan menunjukkan
keberpihakannya dengan 5 teks berita dan 4 berita lainnya merujuk pada
netralitas. Satu teks berita Kompas dan Republika masing-masing
menunjukkan keberpihakan dan 2 teks berita lainnya merujuk pada
netralitas. Jika merujuk pada sosok, masing-masing 1 teks berita Kompas
dan juga Republika berpihak pada AL. Tiga teks berita Koran Tempo
merujuk pada keberpihakan, 2 teks berita di antaranya berpihak pada
ARB dan 1 teks berita pada AL.
3. Perangkat Framing
Analisis Perangkat framing dalam penelitian ini menggunakan dua
elemen, yakni perangkat framing itu sendiri yang terdiri atas variabel
metafora dan variabel frasa, dan perangkat penalaran dengan variabel
189
yang dipilih adalah roots atau sebab akibat (kausalitas). Pemilihan ketiga
variabel tersebut dianggap cukup merepresentasikan analisis data dalam
mengungkapkan keberpihakan media terhadap berita konflik Partai Golkar
dengan menggunakan perangkat framing. Menurut Sobur (2001),
berdasarkan konsep psikologi, framing dilihat sebagai penempatan
informasi dalam konteks yang unik, sehingga elemen-elemen tertentu
suatu isu memperoleh alokasi sumber kognitif individu yang lebih besar.
Konsekuensinya, elemen-elemen yang terseleksi menjadi penting dalam
memengaruhi penilaian individu dalam penarikan simpulan.
3.1 Metafora
Penggunaan metafora oleh wartawan dalam penulisan berita
termasuk majas bahasa pers. Majas adalah bahasa yang maknanya
melampaui batas bahasa yang lazim (Laksana, 2010:4). Salah satu di
antara majas bahasa pers adalah penggunaan metafora. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) IV disebutkan, metafora adalah
pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti sebenarnya,
melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau
perbandingan. Di dalam wacana berita wartawan sering menggunakan
metafora yang merupakan kutipan dari pernyataan nara sumber sebagai
variasi dalam penulisan berita. Penggunaan metafora yang bersumber
dari gagasan wartawan hanya boleh dilakukan pada karya jurnalistik
berbentuk karangan khas (feature) ataupun laporan (reportase).
Sumadiria (2006) mengatakan, metafora termasuk ke dalam
kelompok gaya bahasa kiasan. Kiasan menunjuk pada perbandingan atau
190
pengandaian dua hal secara langsung dalam bentuk frasa atau klausa
singkat dan sederhana. Misalnya, putri malam (bulan), bunga bangsa
(pahlawan), kaki tangan (pelaku aksi kejahatan), buah tangan (oleh-oleh),
panjang tangan (mencuri), buah hati (orang yang dicintai), dan
sebagainya.
Dalam pemberitaan konflik Partai Golkar yang dilakukan tiga media,
juga kerap ditemukan adanya penggunaan metafora yang bersumber dari
kutipan pernyataan narasumber atau komunikator yang menjadi subjek
pemberitaan.
Pada berita berikut, Kompas menggunakan metafora sebagai
bagian dalam membingkai berita yang bersumber dari nara sumber Wakil
Presiden M.Jusuf Kalla sebagaimana dimuat pada edisi 18 Januari 2016:
(K-19). Wakil Presiden Jusuf Kalla yang ditunjuk Mahkamah Partai Golkar sebagai Ketua Tim Transisi Penyelesaian Konflik Internal Partai Golkar mengingatkan, Golkar tidak milik satu atau dua orang. Golkar juga bukan perusahaan, melainkan partai politik. ‘’……’Mau siapa nanti pimpinannya, terserah melalui proses yang demokratis. Tidak proses yang dipaksa-paksakan, disogok-sogok, dan sebagainya. Golkar ini parpol, bukan perusahaan,’’ kata Kalla, yang menyatakan tak ingin kembali menjadi ketua umum partai itu di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (17/1/2016). (K.18-1-2016).
Media ini mengungkap pernyataan M.Jusuf Kalla yang
menggunakan kata perusahaan sebagai analogi yang dalam
pembahasan ini juga dikategorikan sebagai metafora dalam membingkai
berita ini. Penggunaan metafora ini secara langsung dialamatkan kepada
ARB yang cenderung memimpin Partai Golkar meniru gaya
kepemimpinannya dalam mengendalikan perusahaan-perusahaan yang
dimilikinya (Bakrie Group). Kompas menegaskan kembali metafora yang
digunakan narasumber pada kalimat yang berupa kutipan langsung. Dari
191
kutipan teks wacana berita tersebut di atas Kompas mengindikasikan
berpihak kepada AL. Alasannya, penggunaan metafora ‘’perusahaan’’
cenderung merugikan citra ARB karena memimpin partai politik meniru
model mengelola sebuah perusahaan bisnis. Pernyataan ini di pihak lain
memberikan citra dan dampak positif terhadap AL.
Pada wacana berita (K-20) Kompas mengutip pernyataan Akbar
Tandjung dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai
Golkar yang mengungkapkan keprihatinannya terhadap imbas konflik
Partai Golkar dan pengaruhnya merembes ke daerah-daerah.
(K-20). Dorongan untuk pelaksanaan Munas 2016 semakin menguat. Akbar mengatakan, sejumlah pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar tingkat provinsi sudah menyuarakan keinginan agar munas segera diselenggarakan. ‘’Mereka di daerah pun tidak punya induk. Dampak buruk dari konflik ini contohnya bisa dirasakan saat pilkada serentak 2015 lalu, saat perolehan suara partai kecil sekali,’’ kata Akbar. (K.4-1-2016).
Penggunaan klausa ‘’tidak punya induk’’ merujuk kepada kondisi
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar yang sedang dalam kondisi
dualisme kepemimpinan, sehingga Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tidak
memiliki induk organisasi yang dapat diikuti. Kondisi ini dapat berakibat
buruk bagi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada), saat para
kader dari Partai Golkar tidak dapat ambil bagian karena masih terbelit
legitimasi kepengurusan yang sah. Kompas melalui teks wacana berita ini
sepintas mengindikasikan netral, tetapi melalui klausa teks berita ‘’saat
pilkada serentak 2015 lalu, perolehan suara partai kecil sekali’’ justru
memarginalkan ARB dan menguntungkan (berpihak pada) AL.
Alasannya, pemarginalan terhadap ARB terjadi karena publik selalu
merujuk pemicu konflik muncul adalah ARB, yakni ketika memutuskan
192
Partai Golkar yang dipimpinnya mendukung pasangan Prabowo Subianto-
Hatta Rajasa pada pemilihan presiden 2014. Dukungan tersebut berlarut-
larut hingga pasca-pelantikan presiden/wakil presiden 2014. Padahal,
sejak kelahirannya Partai Golkar merupakan partai pemerintah dan salah
satu partai pendukung pemerintah.
Kompas pada wacana berita (K-21) mengonstruksi realitas
terpilihnya ARB sebagai Ketua Umum Partai Golkar dengan menulis teks
sebagaimana dalam berita berikut ini:
(K-21). Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengungkap satu rahasia saat menyampaikan pidato penutupan Musyawarah Nasional IX Partai Golkar, Kamis (4/12). Rahasia yang diungkap adalah tanggapan istri, Tatty Murnitriati setelah Aburizal kembali ditetapkan sebagai ketua umum periode 2014-2019. Aburizal menuturkan, dia mendapat banyak ucapan selamat sesaat setelah ditetapkan sebagai ketua umum. Ucapan itu tak hanya disampaikan langsung, tetapi juga masuk dari telepon genggamnya melalui layanan pesan singkat. ‘’Saya kasih tahu rahasia. Tapi pas saya sampai, istri saya bilang ‘masih mau diuyel-uyel lima tahun lagi? Sudah dihina-hina. Saya ketawa saja,’’ kata Aburizal disambut tawa peserta dan tamu Munas IX. (K.4-12-2014).
Kompas tidak memfokuskan konstruksi teks pada terpilihnya ARB
sebagai Ketua Umum Partai Golkar, tetapi memilih mengisahkan respons
istrinya atas keterpilihannya itu. Tatty Murnitriati kemudian memilih
perumpaman dalam bahasa Jawa yang dicetak tebal, diuyel-uyel, yang
pengertiannya identik dengan diremas-remas sebagai respons kritis atas
keterpilihan suaminya sebagai nakoda Partai Golkar lima tahun
mendatang. Kata ulang dalam bahasa Jawa tersebut kemudian dipertegas
lagi dalam bahasa Indonesia ‘’Sudah dihina-hina’’ yang merupakan
penegasan dari perumpamaan yang dipilih komunikator dalam berita ini.
Pilihan metafora ini merujuk kepada pihak yang berlawanan dengan kubu
193
ARB, yakni AL. Melalui kata ‘’diuyel-uyel’’ tersebut Kompas sebenarnya
secara implisit mengungkapkan kelemahan ARB dan di pihak lain
mengunggulkan kubu AL. Oleh karena makna kata ‘’diuyel-uyel’’ tersebut
mengindikasikan AL berada di atas angin, sehingga merepresentasikan
kekuatan kubu AL yang terindikasi melemahkan ARB. Melalui teks
berita tersebut, Kompas berpihak kepada AL.
Republika dalam berita ini (R-19) menurunkan teks berita yang
merupakan pandangan wartawan, karena dalam alinea berita ini tidak
ditemukan narasumber berita yang dikutip. Pandangan media sebagai
pengantar yang merujuk kepada penjelasan berita yang mengutip kalimat
langsung narasumber berita pada alinea kedua:
(R-19). Perseteruan dua kubu Partai Golkar yang kian panjang dan lebar, membuat ketar-ketir banyak kalangan. Jika tidak segera direm, konflik tersebut dikhawatirkan akan melampaui batas waktu pencalonan kepala daerah, sehingga bisa membuat Partai Beringin ketinggalan kereta pesta demokrasi lokal tahun ini. ‘’Saya akan mengutuk jikalau konflik ini ternyata tidak mengikutkan Golkar dalam pilkada,’’ kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Tingkat I Partai Golkar Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo dalam apel akbar yang dihadiri belasan ribu kader Golkar di Makassar, akhir April lalu seperti dikutip harian Fajar. (R.11-5-2015).
Metafora ‘’ketinggalan kereta’’ yang digunakan Republika dalam
membingkai berita ini bermakna, Partai Golkar tidak akan mengikutkan
kadernya dalam kontestasi pemilihan kepala daerah. Pilihan metafora
tersebut mengindikasikan Republika berpihak kepada AL karena setiap
kegagalan partai dalam mengikuti agenda pesta demokrasi selalu merujuk
kepada pihak yang memicu terjadinya konflik yang bersalah, yakni ARB.
Pandangan seperti ini dapat dianggap sebagai kebenaran universal,
karena timbulnya konflik internal Partai Golkar justru terjadi ketika
194
pemilihan presiden 2014 yang dipicu oleh langkah ARB berpihak pada
pasangan calon presiden/calon wakil presiden yang ternyata tidak tampil
sebagai pemenang, sehingga melalui teks ini Republika dengan cantik
berpihak kepada AL.
Pada berita (R-20) berikut ini, Republika menggunakan satu
pepatah atau perumpaman dalam membingkai berita yang menampilkan
narasumber Komisi Pemilihan Umum (KPU).
(R-20). Garis mati yang semakin dekat, sementara konflik belum bisa diprediksi kapan berakhir, membuat KPU kian banyak mendapat tekanan, baik dari kubu Aburizal maupun kubu Agung Laksono. KPU pun bak pelanduk yang terjepit di antara pertarungan dua gajah, yaitu masing-masing Partai Golkar dan koalisi di belakangnya. (R.11-5-2015).
Wartawan menggunakan perumpamaan dengan mengutip sebuah
pepatah ‘’bak pelanduk yang terjepit di antara pertarungan dua gajah’’
untuk mengonstruksi realitas yang dihadapi oleh KPU. Penggunaan
metafora seperti ini lebih memberikan kesan dan perluasan makna
kebahasaan yang lebih realistik dibandingkan menggunakan ungkapan
verbal yang sudah sering digunakan wartawan, misalnya, KPU berada di
posisi yang terjepit. Kutipan teks ini mengindikasikan KPU berada di
antara dua kekuatan yang saling berebut dominasi dan legitimasi.
Republika berpihak kepada kedua kubu yang berkonflik, karena
berusaha menempatkan diri sebagai pihak yang netral Jika KPU
terindikasi memiliki keberpihakan kepada salah satu kubu, maka jelas
akan menjadi sorotan publik, terutama kubu yang merasa dirugikan.
Pada berita (R-21), Republika mengangkat berita antara sang
ayah, Alzier Dianis Tabranie dan anaknya, Heru Sambodo, yang berbeda
195
pilihan di kepengurusan Partai Golkar Bandar Lampung sebagai akibat
dari perpecahan di DPP Partai Golkar. Republika memilih menggunakan
klausa ‘’bertepuk kedua tangan’’ sebagai metafora dalam wacana berita
tersebut.
(R-21). Heru merupakan Ketua Fraksi Partai Golkar di DPRD Kota Bandar Lampung. Sejak Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengeluarkan surat yang mengesahkan Golkar pimpinan Agung Laksono, Heru terpaksa meninggalkan pilihan politik bapaknya yang berkiblat ke kubu Ical. Pilihan politik tersebut bertepuk kedua tangan. Agung Laksono menunjuknya untuk duduk di jabatan Ketua Umum DPD I Golkar Lampung Munas Ancol. Dia menjabat sebagai pelaksana tugas untuk menggantikan bapaknya, Alzier Dianis Tabranie. (R.17-3-2015).
Metafora dalam bentuk klausa ‘’bertepuk kedua tangan’’ identik
dengan kalimat ‘’disambut baik’’ yang berimplikasi memperoleh dukungan
dari kubu AL dengan menempatkannya sebagai pelaksana tugas Ketua
Umum DPD I Golkar Lampung. Penggunaan klausa ‘’bertepuk kedua
tangan’’ tidak begitu populer di kalangan pemakai bahasa, jika
dibandingkan klausa ‘’bertepuk sebelah tangan’’ yang maknanya lebih
mengarah kepada hal yang tidak menguntungkan. Kutipan teks wacana
berita ini memosisikan Republika memihak kubu AL karena
memarginalkan peran yang dimainkan Alzier yang merepresentasikan
kubu ARB.
Koran Tempo juga dalam pemberitaannya sering menggunakan
sistem framing (bingkai) untuk memberi makna dan variasi kalimat.
Misalnya saja dalam berita (KT-19) berikut.
(KT-19). Politikus Partai Golkar Bambang Soesatyo mengatakan, Menteri Hukum bermain api. ‘’Wajib hukumnya bagi pemerintah untuk menjaga jarak dengan partai yang sedang diselimuti masalah
internal,’’ ujar Bambang.( KT.17-12-2014).
196
Koran Tempo mengutip pernyataan salah seorang politikus Partai
Golkar pendukung ARB ketika mengomentari langkah yang diambil
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang cenderung memihak kubu
AL dalam menyikapi konflik Partai Golkar. Langkah itu dinilai Bambang
Soesatyo bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ‘’bermain api’’.
Makna perumpamaan ini mengacu kepada tindakan berbahaya yang
berpotensi terhadap munculnya bencana.. ‘’Bermain api’’ merujuk kepada
kemungkinan timbulnya bahaya-bahaya yang tidak dapat diprediksi
berkaitan dengan konflik ini. Koran Tempo dengan pilihan metafora
tersebut untuk memproduksi teks mengkritik kebijakan Menteri Hukum
dan HAM yang sejak awal merupakan representasi pemerintah dan
mendukung AL. Melalui metafora tersebut media ini memosisikan
Menteri Hukum dan HAM sebagai pihak dirugikan, sehingga
mengindikasikan berpihak pada ARB. .
Pada berita (KT-20) berikut ini, Koran Tempo menggunakan
metafora ‘’membendung’’ untuk membingkai berita berikut.
(KT-20). Tujuh elite Partai Golkar merencanakan bersama-sama menggempur Ketua Umum Aburizal Bakrie pada Musyawarah Nasional (Munas) Golkar pada 30 November. Wakil Ketua Umum Golkar Agung Laksono mengatakan persekutuan para calon ketua umum untuk membendung manuver sekaligus mencegah Aburizal
terpilih kembali dalam musyawarah tersebut. (KT.21-11-2014).
Koran Tempo menggunakan perumpamaan ‘’membendung’’
sebagai upaya defensif terhadap suatu langkah yang dilakukan pihak lain,
dalam hal ini kubu ARB. Kata ‘’membendung’’ berasal dari kata dasar
‘’bendung’’ yang penggunaannya lebih banyak merujuk kepada
‘’menahan’’ air di sungai atau laut, dan tanggul. Dengan demikian makna
197
metaforis ‘’membendung’’ yang digunakan dalam wacana berita ini
berarti menahan gerakan dalam hal ini dari kubu ARB. Metafora yang
digunakan dalam teks wacana berita tersebut secara implisit
mengindikasikan ketidakberdayaan kubu ARB terhadap ‘gerak maju;
kubu AL yang berintikan tujuh elite Partai Golkar. Metafora dalam teks
berita ini memperlihatkan adanya kekuatan besar dari kubu AL yang
berusaha menahan laju ARB. Pesan yang dapat disimpulkan dari analisis
wacana kritis teks ini, Koran Tempo menempatkan AL pada posisi yang
menguntungkan dan di pihak lain ARB sebagai kubu yang dilemahkan.
Dengan demikian melalui variabel metafora dalam teks ini, Koran Tempo
menguntungkan dan berpihak pada AL.
Realitas penggunaan teks ini sejalan dengan yang dikatakan van
Dijk (Eriyanto, 2011) bahwa banyak informasi dalam suatu teks tidak
dinyatakan secara eksplisit, tetapi implisit. Kata, klausa, dan ekspresi
tekstual lainnya boleh jadi mengisyaratkan konsep atau proposisi yang
dapat diduga berdasarkan pengetahuan yang menjadi latar belakangnya.
Sementara pada berita berikut (KT-21) ini, Koran Tempo
mengangkat pernyataan AL sebagai salah satu kubu yang bertikai dalam
tubuh Partai Golkar yang mengomentari rencana Munas Partai Golkar
kubu ARB di Bali.
(KT-21). Agung juga mengaku menerima informasi bahwa musyawarah nasional di Bali akan berlangsung sangat cepat. ‘’Yang penting memenangkan Aburizal,’’ ujarnya. Sedangkan program partai baru akan dibahas tahun depan. ‘’Munas di Bali ini
forum paling gelap gulita selama saya 40 tahun di Golkar’’.( KT.30-11-2014).
198
Penggunaan perumpamaan ‘’gelap gulita’’ di dalam berita ini
merujuk kepada penilaian bahwa musyawarah nasional yang akan
dilaksanakan di Bali tidak memiliki program dan agenda yang jelas untuk
mengakhiri konflik yang terjadi. Bahkan dapat dikatakan munas tersebut
masih meraba-raba apa yang akan menjadi agendanya. Koran Tempo
melalui teks wacana berita ini memosisikan diri berpihak kepada kubu AL
dan memarginalkan kubu ARB lewat pesan teks yang dipilihnya.
Alasannya bahwa dengan munas tersebut penuh dengan permainan
gelap (tidak fair), sarat dengan praktik penyimpangan, di antaranya
terjadinya politik uang sehingga sangat berpotensi memberikan
pandangan dan kesan negatif dan merugikan citra ARB, sehingga
melalui metafora ini Koran Tempo mengindikasikan berpihak pada kubu
AL.
Untuk lebih jelasnya, indikasi keberpihakan melalui variabel
metafora ketiga media terhadap kedua sosok tersebut dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
Tabel 17
MENGUNTUNGKAN VARIABEL METAFORA Kompas Republika Koran Tempo
ARB
- - bermain api - - - - - -
AL
perusahaan ketinggalan kereta - tak punya induk bertepuk kedua
tangan membendung
diuyel-uyel - gelap gulita
Harian Kompas melalui metafora pada tiga teks yang dikutip di
atas jelas sekali berpihak kepada AL. Kompas mengumpamakan ARB
memimpin Partai Golkar layaknya sebuah ‘’perusahaan’’, sehingga harus
dikembalikan kepada pengelolaan yang benar. Konflik yang terjadi
menyebabkan pengurus daerah partai politik ‘’tidak punya induk’’
199
mengindikasikan bahwa Partai Golkar di bawah kepemimpin ARB
mengalami kerusakan dari dalam. Penggunaan metafora ‘’diuyel-uyel’’
mencerminkan bahwa ARB diobok-obok dan diposisikan sebagai pihak
yang dimarfinalkan karena salah memimpin dalam mengendalikan partai.
Republika pada dua teks berita melalui metafora ‘’ketinggalan
kereta’’ dan ‘’bertepuk kedua tangan’’ merujuk keberpihakan kepada AL.
Fakta kebahasaan metafora ‘’ketinggalan kereta’’ mengindikasikan bahwa
Partai Golkar tidak dapat berpartisipasi dalam kontestasi pemilihan kepala
daerah (pilkada) karena terjadinya konflik yang berlarut-larut. Khalayak
sangat maklum bahwa pemicu konflik adalah ARB. Metafora ‘’bertepuk
kedua tangan’’ di dalam teks berita tersebut mengindikasikan dukungan
terhadap sang anak, Heru, yang mendukung AL yang berhadapan dengan
ayahnya Alzier, yang mendukung ARB di DPD I Partai Golkar Lampung.
Satu teks berita Republika mengindikasikan netralitasnya.
Koran Tempo memperlihatkan kecenderungan berpihak pada tiga
teks berita. Dua teks berpihak AL melalui metafora ‘membendung’’ dan
‘’gelap gulita’’. Metafora ‘’membendung’’ berarti mencegah dan menahan
ARB melakukan aksi untuk melaksanakan aktivitas organisasi, yakni
menyelenggarakan munas. Penggunaan metafora ini jelas
menguntungkan AL karena sebagai pihak yang aktif melakukan berbagai
upaya untuk meredam aktivitas ARB. Adapun penggunaan metafora
‘’gelap gulita’’ mengandung makna yang sangat merugikan ARB karena di
balik penggunaan metafora ini Koran Tempo ingin menyatakan bahwa
kegiatan munas yang dilakukan ARB tidak fair. penuh dengan
penyimpangan, dan kesepakatan yang tidak transparan. Satu teks berita
200
yang dianalisis menunjukkan berpihak kepada ARB, yakni melalui
metafora ‘’bermain api’’ yang mengindikasikan peringatan kepada kubu
pendukung AL agar tidak melakukan tindakan berbahaya bagi pencitraan
dirinya.
3.2 Frasa
Dalam penelitian ini digunakan batasan bahwa kata majemuk
memiliki kesamaan bentuk dengan frasa dan idiom, yang masing-masing
dapat berwujud kelompok kata. Adapun frasa itu merupakan gabungan
dua kata atau lebih yang tidak melewati batas fungsi sebagaimana
dikemukakan Darwis (2012). Oleh karena di dalam analisis perangkat
framing tidak terdapat kata majemuk sebagai salah satu variabelnya,
maka dalam analisis ini penggunaan idiom dan kata majemuk juga
merujuk pada frasa menurut konteksnya masing-masing.
Kompas pada berita yang dimuat 11 Maret 2015 (K-22)
menggunakan pernyataan AL sebagai komunikator, sebagaimana berita
berikut.
(K-22). Ketua Umum Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional Jakarta Agung Laksono mengajak kubu Aburizal Bakrie bergabung. Seruan ini menyusul keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly yang mengakui secara selektif kepengurusan DPP Partai Golkar Munas Jakarta. ‘’Kami mengajak kader, simpatisan, dan keluarga besar Partai Golkar untuk kembali bersatu dan melangkah bersama demi kebesaran partai,’’ kata Agung Laksono dalam konferensi pers yang diselenggarakan tepat sesudah pengumuman putusan Menkumham Selasa (10/3) di kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Jakarta. (K.11-3-2015).
Dalam berita di atas dengan menggunakan frasa yang dicetak
tebal, Kompas menempatkan kubu AL sebagai pihak yang diuntungkan.
201
Pernyataan dengan frasa ‘’kembali bersatu’’ dan ‘’melangkah bersama’’
memosisikan AL sebagai pihak yang mengendalikan Partai Golkar dan di
sisi lain kubu ARB dikerdilkan. Penggunaan frasa tersebut diperkuat
dengan pernyataan . dalam klausa ‘’mengakui secara selektif’’
kepengurusan Munas Jakarta yang dipimpin AL. Kompas dengan sangat
jelas berpihak kepada kubu AL. Klausa tersebut mengindikasikan
keberpihakan pemerintah yang direpresentasikan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia terhadap kubu AL. Pemihakan ini terjadi, karena tidak
ditemukan adanya frasa yang mengecam Menteri Hukum dan HAM,
sehingga berarti Kompas menyetujui SK Menteri. Hal ini berarti Kompas
berpihak pada kubu AL.
Pada berita yang lain, Kompas juga menyoroti kondisi internal tiap
kubu yang melahirkan friksi-friksi internal. Media ini memanfaatkan
komunikator yang sama dengan berita (K-23) menyoroti kondisi internal
partai sebagai berikut.
(K-23). Politikus senior Partai Golkar itu menilai, perpecahan internal Partai Golkar sudah tergolong parah dan eksesif. Konflik tidak hanya di antara dua kubu DPP Partai Golkar, yakni kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono, tetapi juga di internal kedua kubu. Faksi-faksi muncul di kubu Aburizal dan kubu Agung. Faksi-faksi di tiap-tiap kubu itu saling jegal dan menjatuhkan.(K.8-1-2016).
Kompas menggunakan frasa ‘’saling jegal’’ adalah partikel yang
menyatakan perbuatan yang berbalas-balasan. Secara gramatikal frasa ini
menggambarkan perbuatan yang berbalas-balasan di antara dua pihak
yang saling berhadapan. Makna kata ‘’saling jegal’’ ini terikat konteks
pada kalimatnya yang ditandai dengan kata dalam kalimat ‘’di antara dua
kubu DPP Partai Golkar, tetapi juga di internal kedua kubu’’. Makna kata
202
‘’di antara’’ merujuk kepada kedua pihak, dalam hal ini ARB dan AL,
sementara kata ‘’tetapi’’ adalah kata penghubung untuk menyatakan hal
yang bertentangan atau tidak selaras yang menjelaskan terjadinya
pertentangan friksi-friksi yang muncul pada masing-masing kubu. Konteks
maksud kalimat ini menggambarkan tajamnya persaingan di internal kubu
masing-masing pihak yang bertikai, hingga secara internal masing-masing
kubu pun terjadi kubu-kubuan. Makna ‘’saling jegal’’ dalam wacana berita
tersebut adalah terjadinya aksi saling menghalangi di antara faksi-faksi di
tiap-tiap kubu. Adverbia ‘’saling’’ merupakan kata untuk menerangkan
perbuatan yang berbalas-balasan antara kalangan internal kubu ARB
dengan kalangan internal kubu AL. Di dalam masing-masing kubu ini
muncul friksi-friksi yang saling menghalangi mengindikasikan bahwa
Partai Golkar terbelah dengan munculnya faksi-faksi. Kompas melalui teks
ini mengesankan Partai Golkar di bawah kepemimpinan yang gagal.
Kesan ini merujuk kepada kepemimpinan ARB, sehingga Kompas
terindikasi berpihak pada kubu AL.
Sementara dalam berita berikut ini (K-24), mengutip pernyataan
M.Jusuf Kalla Kompas menulis berita berikut.
(K-24). Menanggapi tunggakan kantor DPP Partai Golkar, Kalla yang pernah memimpin Partai Golkar mengatakan, Partai Golkar pasti akan membayarnya segera. Menyusul terjadinya konflik Partai Golkar, awal April 2015, kubu Agung akhirnya merebut di Slipi dari tangan DPP Partai Golkar yang dipimpin Aburizal. Perebutan Kantor DPP Golkar sempat diwarnai keributan di antara para kader muda pendukung Partai Golkar. Meskipun kepolisian turun tangan, kantor DPP Golkar akhirnya dikuasai kubu Agung, hingga terjadinya upaya rujuk yang dipelopori Wapres Kalla menjelang kampanye pilkada lalu. (K.3-1-2016).
203
Kata ‘’turun tangan’’ yang digunakan dalam berita di atas
merupakan kata majemuk idiomatik (Darwis, 2012), yakni idiom yang
berkategori kata majemuk, tetapi tidak semua kata majemuk berstatus
idiom. Pada frasa yang dicetak tebal didukung oleh kata ‘’kepolisian’’ dan
dikuti dengan klausa ‘’kantor DPP akhirnya dikuasai kubu Agung’’ jelas
mengindikasikan keberpihakan Kompas pada kubu AL. Frasa ‘’akhirnya’’
pun menjadi penanda kebahasaan yang bermakna dari satu situasi yang
berlangsung dalam proses panjang dan mencapai klimaksnya.
Dalam konteks wacana berita ini, komunikator menggunakan diksi
tersebut dengan tujuan (makna) turut campur dan menyelesaikan sesuatu.
Media sebenarnya memosisikan diri sebagai pihak yang netral dengan
teks wacana berita yang dipilihnya, akan tetapi konten berita yang
menyebut ‘’akhirnya dikuasai kubu Agung…’’ karena di sisi lain
mengindikasikan ada kubu yang lebih diuntungkan, yakni AL dan di sisi
lain ada pihak dirugikan dengan teks berita ini, yakni ARB. Melalui teks
wacana ini Kompas mengindikasikan berpihak pada AL.
Republika mengutip Direktur Eksekutif Kode Inisiatif, Veri Junaidi
menulis berita (R-22) sebagai berikut.
(R-22). Jadi, konflik Golkar ini memang ruwet, dan punya banyak efek domino yang terus menciptakan masalah baru. Persoalannya, Golkar – juga PPP – serius mau ikut pilkada atau mau berasyik masyuk dengan konflik, yang kali ini bisa jadi bukan win-win atau win-lose, tapi akan mengarah menjadi kalah jadi abu, menang jadi arang. Zero sum game!. (R.11-5-2015).
‘’Efek domino’’ yang digunakan pada berita ini merupakan kata
majemuk idiomatik, yakni kata majemuk yang memiliki kategori sama
dengan idiom sebagaimana dikemukakan Darwis (2012). Penggunaan
204
kata majemuk ini merupakan bentuk kecaman terhadap para pihak yang
menyebabkan konflik berkepanjangan dan telah berimbas dan
berdampak pada sejumlah masalah lain. Dampak inilah yang digambarkan
komunikator sebagai terjadinya ‘’efek domino’’, yakni efek kumulatif dari
suatu peristiwa yang dapat memicu peristiwa lainnya, yang tentu saja
biasanya tidak diinginkan dan tak terhindarkan. Republika melalui teks ini
mengesankan Partai Golkar sedang sakit dan kondisi itu terjadi di bawah
kepemimpinan ARB. Dengan demikian melalui frasa tersebut, Republika
mengindikasikan keberpihakan pada kubu AL.
Republika juga mengutip pernyataan pengamat politik LIPI lainnya,
Firman Noor mengomentari konflik Partai Golkar sebagaimana dalam
berita (R-23) berikut.
(R-23). Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan, upaya pengajuan banding sebagai bentuk indikasi Agung Laksono dan Menkumham belum merasa salah. Berdasarkan penilaiannya, kubu Agung masih belum ada keinginan untuk berdamai sehingga upaya banding akhirnya dilakukan. Hingga saat ini, kata Firman, belum ada titik temu antara kubu Agung Laksono dengan kubu Aburizal Bakrie. Keduanya masih merasa menjadi pihak yang seharusnya menjalani roda organisasi partai berlambang pohon beringin tersebut. (R.20-5-2015).
‘’Titik temu’’ termasuk kata majemuk idiomatik yang bermakna
kesepakatan atau kesepahaman. Kata ‘’titik temu’’ secara leksikal
bermakna titik tempat dua buah garis atau lebih dan sebagainya bertemu.
Dua kubu yang bertikai dalam konteks ini belum sampai pada pada satu
titik kesepakatan. Republika memberi penekanan melalui teks tersebut
berkaitan dengan belum diperoleh kesepakatan untuk menyelesaikan
konflik. Teks ini menggambarkan pernyataan komunikator menguntungkan
205
posisi AL, karena tidak ada frasa yang melemahkannya, malah justru
menguntungkan antara lain melalui frasa. ‘’belum merasa salah’’. Dengan
demikian Republika melalui frasa ‘’titik temu’’ terindikasi berpihak kepada
AL.
Kasus perseteruan ayah, Alzier Dianis Tabranie dengan anak, Heru
Sambodo, di tubuh Partai Golkar Bandar Lampung, juga diangkat
Republika dalam bentuk karangan khas. Wartawan yang bertindak
sebagai komunikator memperoleh dispensasi bebas menggunakan piranti
kebahasaan, khususnya istilah atau idiom yang sesuai dengan rasa
bahasa.
(R-24). Alzier yang dikenal sangat sayang kepada anak-anaknya, tidak terpengaruh dengan langkah politik mereka. Menurut dia, urusan politik adalah urusan politik, bukan untuk memisahkan anggota keluarga. Dia tetap mendorong Heru untuk menuju dunia politik. Alzier ingin menyumbangkan pengalamannya yang sudah malang melintang di kancah politik, termasuk menjadi calon gubernur yang gagal dilantik di era Presiden Megawati Soekarnoputri pada Desember 2002. (R.17-3-2015).
Wartawan Republika menggunakan kata majemuk idiomatik
‘’malang melintang’’ untuk menunjukkan keber-pengalaman-an salah satu
subjek di dalam berita ini, yakni Alzier, sang ayah dari Heru Sambodo.
‘’Malang melintang’’ termasuk kata majemuk idiomatik yang bermakna
‘’terletak tidak beraturan’’ (ada yang melintang, ada yang membujur). Akan
tetapi dalam konteks wacana ini ‘’malang melintang’’ lebih dekat dengan
makna lebih berpengalaman. Berdasarkan catatan wacana kritis, teks ini
memberi nilai lebih kepada Alzier dengan mengkedepankan
pengalamannya yang dimiliki selama karier politiknya. Alzier (ayah) dalam
konflik kedua kubu Partai Golkar ini berada di kubu ARB, sedangkan Heru
206
(anak) berada di kubu AL. Republika melalui teks ini mengindikasikan
berpihak kepada ARB karena mengunggulkan Alzier yang lebih memiliki
banyak pengalaman karier politik dibandingkan anaknya, Heru Sambodo.
Republika juga menambahkan data Alzier yang termasuk calon gubernur
yang gagal dilantik pada tahun 2002 sebagai aspek yang menguntungkan
dan menguatkan keberpihakannya pada kubu ARB.
Pada berita Koran Tempo (KT-22) berikut ini, wartawan bertindak
sebagai komunikator untuk memberi latar kalimat kedua yang mengutip
narasumber Fadli Zon berikut.
(KT-22). Kubu Aburizal Bakrie mendapat angin segar putusan sela PTUN. Jakarta. Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat akan menyatakan status quo atas kepengurusan Fraksi Partai Golkar di lembaga legislatif. ‘’Pimpinan tak bisa membacakan dua surat perombakan fraksi, jadi kami anggap status quo sampai inkracht,’’ kata politikus Partai Gerindra ini di Gedung Parlemen Senayan, kemarin. (KT.2-4-2015).
Pemakaian kata majemuk idiomatik ‘’angin segar’’ mengandung
makna menguntungkan bagi yang terkena ‘terpaan’’ angin tersebut, yakni
kubu ARB. Kata majemuk idiomatik menurut Darwis (2012), yakni idiom
yang berkategori kata majemuk, tetapi tidak semua kata majemuk
berstatus idiom Secara leksikal kata majemuk tersebut bermakna
menciptakan suasana yang menyejukkan dalam hal ini terhadap pihak
yang disebut dalam wacana tersebut. Melalui teks ini, Koran Tempo
berusaha memperlihatkan netralitasnya, tetapi dengan menggunakan kata
majemuk ‘’angin segar’’, dan frasa ‘’status quo’’ mengindikasikan bahwa
pimpinan fraksi di DPR tersebut tetap berada di bawah kendali ARB,
karena dominan pimpinan dan anggota fraksi terdiri atas orang-orang
207
yang mendukung ARB. Melalui frasa ini, Koran Tempo mengindikasikan
berpihak kepada kubu ARB.
Koran Tempo mengutip pernyataan salah seorang kader Partai
Golkar Hajriyanto Thohari sebagaimana diberitakan pada tanggal 26
November 2014, seminggu sebelum DPP Partai Golkar kubu ARB
menggelar Munas di Bali 3 Desember 2014.
(KT-23). Untuk mencegah politik uang di musyawarah, salah seorang calon ketua umum Hajriyanto Thohari mengusulkan agar Komisi Pemberantasan Korupsi dilibatkan. Banyak peserta musyawarah yang juga penyelenggara negara, mulai dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat, gubernur, bupati, wali kota, hingga anggota DPRD. Sebagai penyelenggara negara mereka dilarang menerima dan/atau memberikan rasuah. (KT.26-11-2014).
Kata majemuk ‘’politik uang’’ atau money politic, ramai digunakan
pasca-era reformasi dan berlangsungnya demokratisasi dalam berbagai
suksesi pemilihan kepala daerah atau presiden maupun pemilihan
legislatif di Indonesia. ‘’Politik uang’’ bermakna praktik politik
menggunakan uang sebagai kekuatan. Dalam praktiknya, uang dibagi-
bagikan kepada para pihak yang menentukan keterpilihan seseorang
untuk suatu jabatan tertentu, misalnya ‘presiden, gubernur, bupati, wali
kota, anggota legislatif’’. Kini, ‘’politik uang’’ sudah merambat dan
merembes ke berbagai aspek kehidupan birokrasi berbangsa dan
bernegara yang berpotensi berkaitan dengan rasuah (korupsi) atau suap.
Koran Tempo dalam teks berita ini cenderung mencemarkan nama ARB,
karena dalam banyak pemberitaan isu politik uang ini terkuak melalui
media. Dengan demikian Koran Tempo melalui teks ini menguntungkan
dan berpihak pada kubu AL.
208
Koran Tempo membingkai realitas pertemuan antara Ketua Umum
Partai Demokrat dengan Presiden Jokowi, sebagai mana ditulis berikut
ini:.
(KT-24). Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah bertemu dengan Presiden Jokowi membahas perpu, yakin parlemen akan menyetujui pilkada langsung. Apalagi setelah sikap Golkar versi Ical berbalik arah. ‘’Ini suara rakyat yang harus terus diperjuangkan,’’ kata dia di UIN Ciputat, kemarin. (KT.11-12-2014).
‘’Berbalik arah’’ sebenarnya berasal dari kata majemuk ‘’balik arah’’,
kemudian memperoleh prefik /ber/ untuk mempertegas kata tersebut
sebagai kata majemuk yang bermakna ‘’aktif’’. Sebagai komunikator,
wartawan membingkai peristiwa itu dalam teks dengan menggunakan
kalimat ’’ Apalagi setelah sikap Golkar versi Ical ‘’berbalik arah’’. Makna
‘’balik arah’’ adalah memutar haluan. ‘’Haluan’’ awal Partai Golkar adalah
berada pada Koalisi Merah Putih (KMP). Fungsi prefiks /ber/ pada kata
‘’berbalik’’ menunjukkan bertindak sesuai dengan makna kata dasar atau
berada dalam keadaan (balik). Namun dalam konteks wacana berita ini,
komunikator menyampaikan pesan melalui frasa ‘’berbalik arah’’ identik
dengan berubah haluan, berubah pikiran, dan berubah dukungan. Teks ini
sebenarnya tidak mengarah kepada persoalan konflik, tetapi lebih
menekankan kepada dukungan ARB kepada pemerintah, sehingga Koran
Tempo melalui teks ini dinilai lebih menguntungkan dan berpihak terhadap
AL yang lebih awal mendukung pemerintah.
Jika dirinci keberpihakan tiga media dapat dirumuskan sebagai
berikut:
209
Tabel 18
MENGUNTUNGKAN VARIABEL FRASA
Kompas Republika Koran Tempo
ARB
- - angin segar
- - -
- Malang melintang -
AL
mengakui secara selektif
efek domino -
saling jegal titik temu politik uang
turun tangan - berbalik arah
Kompas pada variabel frasa dalam tiga teks berita seperti
‘’mengakui secara selektif’’ merujuk kepada dukungan terhadap AL yang
bersumber dari pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang
merepresentasikan posisi pemerintah dan mendukung AL. Pada sisi lain
frasa ini mengindikasikan pemarginalan pihak ARB.
Frasa ‘’saling jegal’’ mencerminkan kondisi partai tersebut tidak
terkendali lagi. Pemicu ‘’hura hara’’ partai ini jelas mengarah kepada ARB
yang melahirkan konflik. Frasa ini jelas merugikan image sebagai ketua
umum partai yang terpilih di Munas Pekanbaru dan di sisi lain
menguntungkan AL.
Pada frasa ‘’turun tangan’’ jelas keberpihakan kepolisian di teks ini
merepresentasikan pemerintah, sehingga kubu AL berhasil merebut
kantor DPP Partai Golkar. Kompas memanfaatkan frasa tersebut secara
cantik dengan mengutip, ‘’meskipun kepolisian turun tangan, Agung
Laksoni berhasil menguasai DPP Partai Golkar’’.
Republika dalam dua teks berita mengindikasikan keberpihakan
terhadap AL melalui frasa ‘’efek domino’’ dan ‘’titik temu’’. Frasa ‘’efek
domino’’ menggambarkan dampak konflik yang dipicu oleh langkah ARB
yang menempatkan Partai Golkar sebagai oposisi pemerintah, merembes
210
dalam berbagai aspek. Misalnya tentang kepemimpinan partai,
keanggotaan fraksi di DPR, penentuan calon peserta pilkada, penguasaan
secretariat DPP Partai Golkar, dan sebagainya.
Frasa ‘’titik temu’’ juga mengindikasikan keberpihakan Republika
terhadap AL karena media menyatakan bahwa kubu AL belum merasa
bersalah, sehingga masih memiliki hak untuk mengendalikan partai. Media
memandang AL memiliki kepercayaan diri sebagai pihak yang dianggap
benar karena tetap memosisikan diri sebagai pihak yang berada di pihak
pemerintah sebagaimana layaknya selama ini.
Republika menunjukkan keberpihakan kepada ARB melalui satu
teks dengan frasa ‘’malang melintang’’ yang merujuk pernyataan terhadap
sosok Alzier yang mendukung ARB melawan anaknya Heru yang
mendukung AL. Penggunaan frasa tersebut jelas menguntungkan ARB,
karena Alzier dianggap memiliki banyak pengalaman dalam perpolitikan
dibandingkan Heru anaknya.
Koran Tempo menunjukkan keberpihakan terhadap ARB melalui
satu teks berita dengan frasa ‘’angin segar’’ dan ‘’status quo’’. Dua frasa
dalam satu teks berita ini sebenarnya memiliki hubungan sebab akibat
karena ‘’status quo’’ yang diposisikan oleh DPR terhadap kedua kubu,
jelas menguntungkan ARB.. Alasannya, status quo berarti mengembalikan
kepemimpinan partai sesuai hasil munas Riau yang dipimpin ARB.
Koran Tempo menunjukkan keberpihakan terhadap AL melalui
frasa pada dua teks berita, yakni ‘’politik uang’’ dan ‘’berbalik arah’’. Frasa
politik uang jelas menurunkan citra ARB dalam memimpin partai yang
penuh dengan transaksional, sehingga menguntungkan AL. Frasa
211
‘’berbalik arah’’ yang dipilih Koran Tempo juga menguntungkan AL karena
ARB yang sejak konflik bermula berseberangan dengan pemerintah
akhirnya berubah arah mendukung pemerintah.
3.3 Analisis Kausalitas
Berita Kompas berikut ini menampilkan dua fakta atau peristiwa
yang terpisah, tetapi berkaitan satu sama lain, karena adanya hubungan
kausalitas.
(K-25). Dualisme kepemimpinan Partai Golkar tak hanya menunjukkan ajang perebutan kekuasaan internal partai, tetapi juga melupakan kewajiban mengelola partai dengan baik. Akibatnya, listrik, gaji karyawan, dan pajak serta biaya pengamanan kantor DPP Partai Golkar pun tertunggak dan belum juga dibayarkan. (K.3-1-2016).
Wartawan menempatkan ‘’dualisme kepemimpinan’’ Partai Golkar
menjadi sebab terjadinya ‘’ajang perebutan kekuasaan internal partai’’
yang sekaligus sebagai elemen akibat. Elemen akibat yang lain adalah
berkaitan dengan masalah pembiayaan kantor DPP Partai Golkar yang
direpresentasi oleh teks ‘’Akibatnya, gaji karyawan, dan pajak serta biaya
pengamanan kantor DPP Partai Golkar pun tertunggak dan belum juga
dibayarkan’’. Kedua fakta ini dikonstruksi oleh wartawan menjadi saling
berhubungan dalam format sebab akibat (kausalitas). Proses
pembingkaian ini dimaksudkan agar khalayak dapat melihat suatu
peristiwa atau kejadian yang dikemas melalui teks berita dalam perspektif
yang berbeda dan tidak berdiri sendiri. Dari kacamata wacana kritis, teks
ini menempatkan Kompas mengaitkan bahwa kaitan peristiwa dalam
berita tersebut dipicu oleh penyebab awal, yakni konflik. Berdasarkan teks
212
tersebut, publik dapat menilai bahwa pemicu terjadinya konflik hingga lahir
efek domino konflik tersebut, jelas akan merujuk pada ARB yang salah
memimpin partai. Kompas melalui teks ini menguntungkan dan berpihak
pada AL.
Berita berikut ini (K-26) sebenarnya masih berkaitan dengan
wacana berita (K-25), tetapi wartawan mengangkat dampak konflik ke
perspektif masalah yang lain meskipun tetap ada kaitannya.
(K-26). Menyusul terjadinya konflik Partai Golkar, awal April 2015 kubu Agung akhirnya merebut kantor DPP Golkar di Slipi dari tangan DPP Partai Golkar yang dipimpin Aburizal. Perebutan kantor DPP Golkar sempat diwarnai keributan di antara para kader muda pendukung Partai Golkar. Meskipun kepolisian sempat turun tangan, kantor DPP Golkar akhirnya dikuasai kubu Agung hingga terjadinya upaya rujuk yang dipelopori Wapres Kalla menjelang kampanye pilkada lalu. (K.3-1-2016).
Konflik Partai Golkar dikonstruksi oleh wartawan di dalam teks
dengan mengungkapkan dampaknya, yakni terjadi perebutan kantor DPP
Partai Golkar sebagai variabel akibat, dan konflik sebagai elemen sebab.
Wartawan mengonstruksi realitas perebutan kantor itu sebagai akibat dan
konflik internal Partai Golkar sebagai sebab. Dalam teks ini secara
substansial konten wacana yang dikemukakan, Kompas berpihak kepada
kubu AL.
Berita Kompas berikut ini melihat kasus konflik Partai Golkar dari
sisi yang lain, yang tentu saja berbeda dengan kedua contoh sebelumnya.
(K-27). Ketua Harian Partai Golkar hasil Munas Bali MS Hidayat menambahkan, konflik internal yang berkepanjangan di Partai Golkar, yakni antara kepengurusan hasil Munas Bali dan Munas Jakarta, menjadi salah satu pertimbangan khusus kubunya ingin merapat ke pemerintah. Konflik ini membuat Golkar tidak solid secara internal dan merugi. (K.7-1-2016).
213
Wartawan menempatkan realitas konflik partai yang
berkepanjangan dengan mengonstruksinya menjadi salah satu sebab,
sehingga ada upaya Partai Golkar itu merapat ke pemerintah. Klausa
‘’merapat ke pemerintah’’ ini dapat dikatakan sebagai akibat dari realitas
yang ada (konflik) di dalam wacana berita ini. Berada pada pemerintah
adalah satu langkah yang diharapkan Pemerintah Presiden Joko Widodo,
karena ketika berlangsungnya pemilihan presiden, Partai Golkar berada di
Koalisi Merah Putih (KMP) yang berlawanan dengan kubu pemerintah
yang berlabel Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Tidak menyatunya Partai
Golkar dengan pemerintah pada awalnya oleh banyak kalangan dinilai
Partai Golkar telah keluar dari khittah-nya, yakni posisi yang selama ini
selalu sejalan dengan pemerintah. Melalui teks wacana berita ini Kompas
mengindikan pesan yang diungkapkan komunikator lebih menguntungkan
AL yang didukung pemerintah.
Republika menyoroti kisruh yang terjadi di tubuh Partai Golkar
dengan mengangkat perspektif yang lain. Meskipun tidak secara
transparan menyebutkan masalah konflik, akan tetapi secara tersirat
wartawan mengutip narasumber Akbar Tandjung yang mengungkapkan
pernyataannya memiliki koherensi yang kuat dengan konflik.
(R-25). Merupakan kerugian besar, kata Ketua Dewan Pertimbangan Golkar, Akbar Tandjung, jika Golkar secara institusional tak bisa mengajukan calon dalam pilkada. Sebab itu, bisa membawa konsekuensi Golkar terpelanting dari deretan partai papan atas. Tidak ikutnya Golkar dalam pilkada akan berpengaruh pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019,’’ katanya dalam konferensi pers awal Mei lalu. (R.11-5-2015).
214
Pada berita tersebut di atas (R-25) klausa ‘’kerugian besar’’
merupakan akibat dari klausa ‘’secara institusional tak bisa mengajukan
calon dalam pilkada’’ (elemen sebab). Elemen sebab yang lainnya adalah
‘’terpelanting dari deretan partai papan atas’’. Sedangkan dalam kalimat ‘’
Tidak ikutnya Golkar dalam pilkada akan berpengaruh pada Pemilu
Legislatif dan Pemilu Presiden 2019’’ mengandung elemen sebab-akibat
(kausalitas). Dalam catatan kritis, sama dengan variabel sebelumnya,
teks ini juga mengindikasikan pemahaman publik kembali melihat pemicu
terjadinya konflik. Dengan demikian, pihak yang bertanggungjawab
terhadap kemelut partai ini adalah ARB dan di pihak lain akan memberi
citra positif terhadap AL. Dengan demikian Kompas melalui teks berita
tersebut berpihak pada AL.
Metode pembingkaian seperti ini digunakan wartawan yang oleh
Hamad (2004:108) disebut sebagai agenda tersembunyi media di balik
teks yang dibuatnya. Dan, amanat yang diusung media tersebut hanya
dapat diungkap dengan menggunakan AWK, khususnya menggunakan
analisis pembingkaian.
Republika menurunkan kisah perseteruan antara ayah, Alzier
Dianis Tabranie dengan anaknya, Heru Sambodo, seperti perselisihan
memperebutkan legitimasi partai antara kubu ARB dan kubu AL di tingkat
pusat, seperti yang dilukiskan berikut ini.
(R-26). Politik tak mengenal istilah kawan dan lawan. Yang ada hanyalah kepentingan. Kisruh di tubuh Partai Golkar antara kubu Ketua Umum DPP Hasil Munas Bali, Aburizal Bakrie dengan Ketua Umum DPP hasil Munas Ancol, Agung Laksono, ikut berdampak kepada perseteruan Heru Sambodo dengan ayahnya Dianis Tabranie. Heru merupakan Ketua Fraksi Partai Golkar di DPRD Kota Bandar Lampung, Sejak Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengeluarkan surat yang mengesahkan
215
Golkar pimpinan Agung Laksono, Heru terpaksa meninggalkan pilihan politik bapaknya yang berkiblat ke kubu Ical. Pilihan politik tersebut bertepuk kedua tangan. Agung Laksono menunjukkan untuk duduk di jabatan Ketua Umum DPD I Golkar Lampung Munas Ancol. Dia menjabat sebagai pelaksana tugas untuk menggantikan bapaknya, Alzier Dianis Tabranie. (R.17-3-2015).
Republika membingkai sedemikian rupa kisah perseteruan antara
Alizier Dianis Tabranie, sang ayah, dengan anaknya Heru Sambodo
sebagai akibat terjadinya perebutan kepemimpinan Partai Golkar di tingkat
pusat. Kalimat yang dicetak tebal menunjukkan elemen sebab-akibat yang
terungkap di dalamnya sesuai perangkat penalaran framing. Perseteruan
yang terjadi di tubuh Partai Golkar DPD I Bandar Lampung itu dipicu oleh
konflik yang terjadi di DPP Partai Golkar antara kubu ARB dan kubu AL.
Konstruksi realitas yang bernuansa sebab akibat yang dibangun wartawan
ini tidak saja memberi perspektif tentang dampak konflik Partai Golkar di
pusat, tetapi juga ditarik ke perspektif kehidupan sosial politik keluarga.
Tujuan pembingkaian ini tidak lain adalah bagaimana suatu berita itu
bermakna bagi khalayak dari sudut pandang yang lain, yakni aspek sosial
budaya. Republika berusaha menempatkan diri sebagai pihak yang netral
dalam teks wacana berita ini, akan tetapi di dalam teks berita ini secara
implisit menonjolkan dan berpihak pada Heru Sambodo yang berkiblat ke
kubu AL dengan penggunaan frasa ‘’bertepuk.kedua tangan’’.
Republika pada berita ini menurunkan pernyataan seorang
pengamat politik yang juga melihat konflik Partai Golkar dari perspektif
yang lain, sebagaimana dalam berita berikut.
(R-27). Konflik Partai Golkar dinilai berpotensi dapat menimbulkan partai baru. Pengamat politik Populi Center Nico Harjanto menjelaskan, hal yang sama sudah pernah terjadi pada
216
partai berlambang pohon beringin ini sebanyak empat kali. (23-3-2015).
Konflik Partai Golkar jika diibaratkan sebagai batang besar dari
suatu permasalahan, sehingga akan melahirkan begitu banyak cabang
persoalan baru. Cabang persoalan baru tersebut merupakan akibat dari
batang masalah awal yang terjadi, yakni konflik. Wartawan mengonstruksi
realitas konflik tersebut dengan mengaitkannya dengan akibat yang
kemungkinan muncul, yakni lahirnya partai baru. Realitas ini bukan
sesuatu yang mustahil, karena sebelumnya, konflik Partai Golkar pernah
melahirkan partai baru. Setelah munas di Pekanbaru tahun 2009, Surya
Paloh yang gagal dalam pemilihan ketua umum partai berlambang
beringin tersebut merasa tidak puas dan akhirnya mendirikan organisasi
masyarakat (ormas) Nasional Demokrat (NasDem) yang kini berubah
menjadi partai NasDem. Demikian pula Wiranto yang merasa tidak puas
dengan Partai Golkar mendirikan partai baru, yakni Partai Hati Nurani
Rakyat (Hanura). Prabowo Subianto yang juga kecewa dengan Golkar
mendirikan partai baru, yakni partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Republika melalui teks berita yang diproduksinya mencoba menempatkan
diri sebagai pihak yang netral, tetapi publik akan selalu memiliki kesan
bahwa pemicu terjadinya konflik dan beragam dampak yang
ditimbulkannya adalah ARB, sehingga melalui teks ini Republika
cenderung berpihak pada kubu AL.
Berita Koran Tempo 21 November 2014 ini merupakan informasi
friksi paling awal yang kemudian memunculkan dualisme di tubuh partai
Golkar hingga lahirnya konflik.
217
(KT-25). Aburizal memecat tiga kader Golkar yang memilih merapat ke kubu calon presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ketiganya adalah Ketua DPP Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita, Wakil Bendahara DPP Partai Golkar Nusron Wahid, serta Poempida Hidayatulloh. Bos Grup Bakrie itu juga hampir menyingkirkan Agung Laksono dari kursi Wakil Ketua Umum Golkar lantaran terus memaksakan Musyawarah Nasional diselenggarakan pada Oktober 2014. (KT.21-11-2014).
Koran Tempo membangun konstruksi realitas dengan
menempatkan aksi merapatnya tiga kader Partai Golkar sebagai elemen
sebab, sedangkan memecat tiga kader merupakan elemen akibat.
Kedua realitas itu saling berkoherensi dalam tataran kausalitas. Pesan
dari teks yang dibangun media ini pada satu sisi memperlihatkan
kapasitas dan otoritas salah satu kubu sehingga otomatis Koran Tempo
secara langsung atau tidak dinilai berpihak kepada ARB karena
memarginalkan kubu AL yang menjadi bagian dari ketiga kader yang
dipecat.
Realitas dengar pendapat yang terjadi di Gedung DPR dalam
pandangan media sebenarnya adalah peristiwa biasa dan rutin. Namun,
wartawan yang cerdik mampu mengonstruksi realitas dengan melihat
perkembangan wacana dalam dalam pertemuan itu sebagai bagian untuk
membangun teks berita yang menarik. Misalnya saja melalui berita
berikut.
(KT-26). Sekretaris Fraksi Partai Golkar kubu Aburizal yang juga anggota Komisi Hukum, Bambang Soesatyo, mengatakan, apa yang dilakukan Yasonna bisa mengancam Presiden Joko Widodo. ‘’Saya khawatir apa yang dilakukan menteri bisa merambat ke presiden,’’ kata Bambang. (KT.7-4-2015).
Koran Tempo mengangkat posisi komunikator, Bambang Soesatyo
dengan pernyataannya yang sangat ‘’tajam’’. Meskipun langkah yang
218
dilakukan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak dijelaskan di
dalam wacana berita ini, tetapi komunikator mengantongi informasi
mengenai kebijakan yang diambil sang menteri, sehingga lahir acara
dengar pendapat. Kebijakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
mengakui kubu Agung Laksono, menurut komunikator akan melahirkan
akibat, dapat ‘’merambat’’ ke presiden. Pengertian ‘’merambat’’ berarti
berpengaruh terhadap posisi presiden sebagai kepala negara. Apa yang
dilakukan wartawan dengan memproduksi teks seperti dalam berita (KT-
26) adalah menyajikan berita dengan perspektif yang lain, sehingga
khalayak tidak jenuh dengan informasi yang dikemas dengan kata-kata
dan kalimat yang monoton. Koran Tempo dengan penekanan pada teks
ini mengindikasikan berpihak pada kubu ARB yang se-kubu dengan
komunikator.
Berita Koran Tempo berikut ini menggambarkan dampak konflik
Partai Golkar di tingkat pusat yang merembes ke daerah-daerah:
(KT-27). Pelaksana tugas Ketua Partai Golkar Sulawesi Selatan kubu Agung Laksono, Yusril Ananta Baharuddin, tidak mengakui adanya apel akbar yang bakal digelar kepengurusan Syahrul Yasin Limpo pada 26 April nanti di Anjungan Pantai Losari Makassar. (KT.16-4-2015).
Wartawan dalam memproduksi teks selalu berusaha mencari sudut
pandang yang baru dan lain terhadap suatu masalah yang sedang
booming jadi berita. Dalam kasus konflik Partai Golkar di pusat, wartawan
pun selalu berusaha mencari akibat dari konflik tersebut di daerah-daerah
(Dewan Pimpinan Daerah). Pada kalimat yang dicetak tebal di atas,
hanyalah akibat, sementara elemen sebab-nya hanya sebatas pada
klausa sosok seorang Syahrul Yasin Limpo yang bersikap tidak secara
219
tegas mendukung salah satu kubu yang bertikai. Akan tetapi, kubu AL
mengindikasikan Syahrul Yasin Limpo berpihak pada kubu ARB.
Meskipun dalam kenyataannya mantan Gubernur Sulawesi Selatan (per 8
April 2018) justru tidak diikutkan dalam gerbong Partai Golkar karena ikut
bertarung dengan Setya Novanto pada Munas di Bali 17 Mei 2016.
Sebagaimana dibahas sebelumnya, konflik selalu berpotensi
menimbulkan akibat yang lain dan tidak terduga. Akibat terjadi dualisme
kepemimpinan di pusat, di tingkat provinsi juga terpecah ke dalam dua
kubu. Kristalisasi kedua kubu ini juga muncul hingga ke daerah. Wartawan
selalu berusaha menawarkan cara pandang yang baru terhadap suatu
permasalahan, khususnya dalam konflik Partai Golkar. Media dalam hal ini
membingkai peristiwa dalam konstruksi tertentu. Wacana berita konflik
Partai Golkar telah memberi ruang kepada penulis untuk melihat
perspektif kebahasaan yang sangat komprehensif jika dianalisis
menggunakan elemen-elemen AWK. Koran Tempo melalui pemberitaan
ini memosisikan diri berpihak kepada kubu AL.
Berdasarkan hasil hasil analisis variabel kausalitas menunjukkan
bahwa tiga media cetak sangat dominan menunjukkan keberpihakan
terhadap AL, yakni tujuh teks berita pada seluruh variabel dan dua teks
berita lainnya memperlihatkan keberpihakan terhadap ARB.
Kompas dan Republika secara dominan berpihak pada kubu AL,
sementara Koran Tempo sebanyak 2 teks berpihak pada kubu ARB dan
satu teks lainnya pada kubu AL.
Indikator keberpihakan terungkap jika suatu media tidak lagi
mampu mempertahankan kenetralannya dalam pemberitaan. Indikasinya
220
ketidaknetralan ini adalah jika di dalam teks suatu media ditemukan anasir
yang cenderung merugikan dan memarginalkan salah satu pihak.
Pandangan filosofis bahwa tidak ada media yang netral dan hanya
dikenal media iendependen jelas memberi ruang kepada media untuk
boleh berpihak atau netral. Selama ini belum ada penelitian yang secara
khusus mengkaji aspek keberpihakan media dalam suatu pemberitaan
terhadap suatu kasus atau masalah berdasarkan piranti kebahasaan.
Penelitian yang berkaitan dengan wacana media lebih banyak dilakukan
dengan menganalisis fakta wacana komunikasi dari aspek kajian ilmu
komunikasi.
Keberpihakan media dalam berita konflik Partai Golkar yang
ditemukan pada tiga media yang dijadikan sampel dapat disimak melalui
tabel berikut ini:
Tabel 19
ELEMEN
DISTRIBUSI KEBERPIHAKAN MEDIA
Kompas Republika Koran Tempo Total 1.Semantik Berpihak Netral Berpihak Netral Berpihak Netral Berpihak Netral
a. Latar 3 0 3 0 3 0 9 0
b.Detil 3 0 2 1 3 0 8 1 c.Maksud. 2 1 2 1 3 0 7 2
Total 8 1 7 2 9 0 24 3 2.Sosiokultural
a.Situasional 3 0 2 1 3 0 8 1 b.Institusional 2 1 2 1 3 0 7 2
c.Sosial 1 2 1 2 3 0 5 4 Total 6 3 5 4 9 0 20 7
3. Framing a. Metafora 3 0 2 1 3 0 8 1 b. Frasa 3 0 3 0 3 0 9 0 c. Kausalitas 3 0 3 0 3 0 9 0 Total 9 0 8 1 9 0 26 1
Jumlah 1,2,& 3 23 4 20 7 27 0 70 11
Tabel berdasarkan hasil analisis data. N = 81 (100%)
Berdasarkan jumlah data yang dianalisis tersebut (Tabel 18) dari
81 teks berita (N=100%), sebanyak 70 teks berita (86,41%) di antaranya
menunjukkan keberpihakan media, sedangkan 11 teks berita (13,58%)
merujuk kepada netralitas media. Tingkat keberpihakan (N=70 teks berita)
221
tertinggi ditunjukkan Koran Tempo sebanyak 27 teks berita (38,57%),
sementara Kompas 23 teks berita (32,85%) dan Republika juga 20 teks
berita (28,57%). Tingginya persentase keberpihakan Koran Tempo
menunjukkan bahwa media ini benar-benar memiliki dan memanfaatkan
independensinya dalam mengemas berita dan menghendaki konflik
tersebut segera berakhir dengan kecenderungan berpihak pada.posisi AL,
karena Partai Golkar sebagai salah satu partai besar harus dikelola secara
lebih baik dan terbuka oleh sosok yang tepat.
Jika dilihat dari piranti kebahasaan berdasarkan elemen semantik
yang digunakan dalam merepresentasikan keberpihakan menunjukkan 24
teks berita (34,28%). Keberpihakan tertinggi diperoleh melalui
penggunaan teks berita dengan variabel latar 9 teks berita (12,85%), yang
berarti ketiga media menunjukkan sikap berpihak yang sama melalui
ketiga variabel tersebut, Keberpihakan yang ditunjukkan melalui variabel
detil 8 teks berita (11,42%), dan variabel 7 teks berita (10%).
Berdasarkan elemen praksis sosiokultural menunjukkan bahwa
sebanyak 20 teks berita (28,57%) menunjukkan keberpihakan.
Keberpihakan tertinggi ditemukan pada variabel situasional, 8 teks berita
(11,42%), institusional 7 teks berita (10%), dan variabel sosial 5 teks berita
(7,14%). Penonjolan keberpihakan tiga media pada variabel situasional
berdasarkan pandangan bahwa media mengonstruksi situasi yang
berperan dalam pembuatan teks berita sehingga berpotensi dan
mengindikasikan menguntungkan salah satu pihak. Sementara penonjolan
variabel institusional menunjukkan bahwa media cenderung
menggunakan perangkat komunikator yang berlatar belakang lembaga
222
tertentu untuk melegitimasi suatu pernyataan yang berpotensi dapat
memengaruhi khalayak.
Sementara keberpihakan pada elemen perangkat framing
ditemukan 26 teks berita (37,14%). Persentase keberpihakan tertinggi
ditemukan pada variabel frasa dan kausalitas masing-masing 9 teks berita
(12,85%) dan variabel metafora 8 teks berita (11,42%). Kecenderungan
media mengonstruksi realitas dengan memanfaatkan variabel metafora,
frasa, dan kausalitas menunjukkan bahwa media mengendalikan
informasi melalui produksi teks dengan memanfaatkan aspek-aspek lain
yang tidak lazim, yakni dengan perumpamaan, pemilihan diksi, dan
penggunaan hubungan sebab akibat dalam perangkat pembingkaian
realitas. Media menggunakan ikon-ikon kebahasaan yang spesifik untuk
mengungkapkan keberpihakan, misalnya dalam tiga contoh penggunaan
perangkat framing ‘’bermain api’’ (metafora), ‘’ saling jegal’’ (frasa), dan
‘’dualisme kepemimpinan’’ (kausalitas).
Berdasarkan hasil analisis dari temuan penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa ketiga media melalui piranti kebahasaan elemen
semantik, praksis sosiokultural, dan perangkat framing menghendaki ada
figur baru yang memimpin Partai Golkar pasca-konflik. Kecenderungan
media tersebut ditandai dengan penggunaan piranti kebahasaan elemen
semantik, elemen praksis sosial, dan perangkat framing yang sangat
dominan di dalam teks berita. Misalnya dengan menggunakan metafora
kata ‘’perusahaan’’ yang secara langsung mengkritik ARB yang memimpin
Partai Golkar menggunakan model usaha bisnis. Demikian juga halnya
dengan kritik yang dilakukan media yang menggunakan frasa ‘’gelap
223
gulita’’ terhadap penyelenggaraan munas Bali yang berhasil memilih
kembali ARB sebagai ketua umum Partai Golkar yang menggiring
pendapat umum bahwa munas tersebut berlangsung tidak adil. Frasa ini
merujuk kepada praktik munas yang berpotensi tidak fair dan penuh
dengan penyimpangan. Demikian halnya dengan penggunaan variabel
kausalitas ‘’dualisme kepemimpinan’’ yang berimplikasi terhadap rasa
tidak puas khalayak publik akan selalu merujuk kepada pemicu penyebab
terjadinya konfliknya, yakni sosok ARB.
Hasil analisis lain dapat disimpulkan bahwa media memosisikan
Partai Golkar sebagai partai politik besar dan selama puluhan tahun
merupakan pendukung utama pemerintah, sejatinya harus tetap
menempatkan diri sebagai bagian dari kekuatan politik pemerintah. Hal ini
ditandai dengan pemilihan komunikator dan narasumber yang dilakukan
media yang pro-AL sebagai pendukung pemerintah.
Alasan lain media mendukung AL dan memarginalkan ARB bahwa
Partai Golkar harus dikelola secara sehat. Tidak diwarnai oleh permainan
politik uang seperti yang ditengarai terjadi sebelum munas Bali digelar.
Keberpihakan terhadap AL juga mengindikasikan bahwa pengelolaan
partai di bawah ARB telah terjebak ke dalam praktik transaksi finansial
yang sangat sistemik karena pada saat pemilihan ketua umum saja politik
uang berlangsung secara massif. Media menghendaki Partai Golkar
sebagai partai besar dan berpengalaman dalam perpolitikan di
Indonesianya hendaknya dapat menjadi partai yang dapat diteladani
dalam hal beretika dan bermoral politik.
224
Keberpihakan media terhadap AL juga mengandung maksud
bahwa pengelolaan partai politik harus dilakukan secara terbuka dan
transparan serta tidak terkesan hanya dilakukan oleh segelintir orang
tertentu di dalam partai. Media melalui keberpihakannya terhadap AL
tersebut menginginkan Partai Golkar harus dikelola secara sehat dan jauh
lebih baik.
Adapun keberpihakan berdasarkan masing-masing media dapat
dipaparkan sebagai berikut:
a. Kompas
Sebanyak 70 teks berita (100%) yang merujuk kepada
keberpihakan media dalam berita konflik Partai Golkar, sebanyak 23 teks
berita (32,85%) di antaranya menunjukkan keberpihakan Kompas. Pada
variabel latar detil, situasional, metafora, frasa, dan kausalitas harian ini
menunjukkan keberpihakannya yang sangat dominan, masing-masing 3
teks berita (4,28%) dari total keberpihakan media. Ini menunjukkan
bahwa pada elemen semantik Kompas secara signifikan menunjukkan
keberpihakan. Terdapat 2 teks berita (2,46%) yang menunjukkan
keberpihakan media ini ditemukan pada variabel maksud.
Berdasarkan pembahasan ini menunjukkan bahwa pada elemen
semantik Kompas menunjukkan keberpihakan yang sangat dominan
terhadap AL dibandingkan terhadap ARB dengan perbandingan antara
keduanya 8:0 karena 1 teks berita (1,23%) menunjukkan netralitas.
Keberpihakan tersebut didukung oleh piranti kebahasaan sebagaimana
dibahas pada bagian sebelumnya.
225
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa Kompas memiliki
kecenderungan berpihak kepada pemerintah yang direpresentasikan
dengan keberpihakannya terhadap AL. Di pihak lain, media ini
menghendaki agar Partai Golkar segera mengakhiri pengendalian partai di
bawah kepemimpinan ARB.
b. Republika
Sebanyak 20 teks berita (28,57%) Republika merujuk kepada
keberpihakan. Keberpihakan yang mencakup masing-masing 3 teks berita
(4,28%) direpresentasikan pada variable latar, frasa, dan kausalitas.
Sebanyak masing-masing 2 teks berita (2,46%) pada variabel detil,
maksud, situasional, institusional. Keberpihakan pada sosok, 15 teks
berita (21,42%) merujuk kepada AL dan 5 teks berita (7,14%) berpihak
kepada ARB. Dua teks berita lainnya merujuk pada netralitas media.
Pada elemen semantik, Republika memperlihatkan keberpihakan
yang sangat signifikan, yakni sebanyak 7 teks berita (10%) yang terdiri
atas 3 teks berita (4,28%) pada variabel latar, dan masing-masing 2 teks
be rita (2,46%) pada variabel detil dan variabel maksud.
Pada elemen praksis sosiokultural Republika juga memperlihatkan
keberpihakan, meskipun dengan persentase yang kecil dengan
perbandingan antara keberpihakan dan netralitas 5:4 teks berita.
Keberpihakan media ini masing-masing 2 teks berita (2,46%) pada
variabel situasional dan institusional, dan 1 teks berita (1,23%) pada
variabel sosial.
226
c. Koran Tempo
Tiga media yang dijadikan sampel, Koran Tempo memperlihatkan
keberpihakan tertinggi dalam teks berita konflik Partai Golkar, yakni 27
teks berita (38,57%). Keberpihakan ditunjukkan Koran Tempo pada
seluruh variabel, yakni masing-masing 3 teks berita. Tingginya
persentase keberpihakan pada variabel-variabel tersebut menunjukkan
Koran Tempo telah menjaga independensinya dalam memberitakan kasus
konflik ini secara maksimal.
Jika ditilik dari aspek keberpihakan pada sosok, Koran Tempo
memperlihatkan selisih yang cukup signifikan, yakni 16 teks berita (22,
85%) pada sosok AL dan 11 teks berita (15,71%) terhadap ARB. Seperti
juga Kompas dan Republika, keberpihakan Koran Tempo tertinggi pada
variabel latar, yakni 3 teks berita.
Dominasi keberpihakan Koran Tempo yang menonjol pada
variabel-variabel tersebut menunjukkan kecenderungan media ini
memanfaatkan informasi tentang latar suatu peristiwa, pengungkapan
aspek yang menguntungkan oleh komunikator terhadap objek yang
diberitakan, intervensi kelembagaan para komunikator, penggunaan
piranti kebahasaan pada perangkat framing yang berkaitan dengan
perumpamaan atau analogi, frasa, dan pengungkapan hubungan sebab
akibat dalam suatu peristiwa ketika teks diproduksi.
Aspek kebahasaan yang ditemukan dalam pembahasan misalnya
dalam teks berita Koran Tempo antara lain penggunaan frasa
‘’membendung’’ yang memberi kesan menguntungkan pihak AL karena
kubu ARB dipandang sebagai posisi yang dimarginalkan dalam teks
227
tersebut. Demikian halnya pada variabel frasa ‘’berbalik arah’’ yang
merujuk kepada perubahan sikap kubu ARB yang mendukung
pemerintah. Makna dari frasa ini jelas menguntungkan AL yang dari awal
berada di kubu pemerintah.
Konflik Partai Golkar yang berlangsung hampir dua tahun
sebenarnya melibatkan perseteruan di antara kedua kubu, dengan sosok
utama ARB dengan beberapa orang pengurus lainnya dan AL dengan
beberapa orang yang dipecat oleh ARB yang menjadi salah satu pemicu
lahirnya konflik. Oleh sebab itu di dalam analisis keberpihakan media
terhadap berita Konflik Partai Golkar juga erat hubungan bahkan tidak
dapat dipisahkan dengan keberpihakan terhadap kedua sosok yang
menjadi tokoh utama konflik.
Hasil penelitian membuktikan bahwa dari 81 teks berita yang
dianalisis, 70 teks berita (86,41%) merujuk kepada keberpihakan tiga
media dan 11 teks berita (13,58%) menunjukkan kenetralan media.
Distribusi keberpihakan kedua sosok (ARB dan AL) dapat dilihat pada
tabel (Tabel 20) berikut ini:
Tabel 20 ELEMEN DISTRIBUSI KEBERPIHAKAN PADA SOSOK
KOMPAS REPUBLIKA KORAN TEMPO TOTAL 1.SEMANTIK ARB AL ARB AL ARB AL ARB AL a. Latar 0 3 0 3 0 3 0 9 b. Detil 0 3 1 1 2 1 3 5 c. Maksud 0 2 0 2 1 2 1 6 Total 0 8 1 6 3 6 4 20 2.SOSIOKULTURAL a. Situasional 1 2 2 0 1 2 4 4 b. Institusional 1 1 1 1 1 2 3 4 c. Sosial 0 1 0 1 2 1 2 3 Total 2 4 3 2 4 5 9 11 3.FRAMING a. Metafora 0 3 0 2 1 2 1 7 b. Frasa 0 3 1 2 1 2 2 7 c. Kausalitas 0 3 0 3 2 1 2 7 Total 0 9 1 7 4 5 5 21 Jumlah 1,2,& 3 2 21 5 15 11 16 18 52
Tabel berdasarkan data yang dianalisis N=70 (100%).
228
Dari total 70 (100%) teks berita yang merujuk kepada keberpihakan
media dalam berita konflik Partai Golkar sebanyak 52 (74%) di antaranya
berpihak kepada AL dan hanya 18 teks berita (25,71%) berpihak kepada
ARB. Keberpihakan media terhadap AL lebih tinggi dibandingkan ARB
terepresentasi pada seluruh variabel penelitian yang digunakan (tabel 18),
kecuali pada variabel situasional yang berimbang masing-masing 4 teks
berita (5,71%).
Tingginya angka keberpihakan terhadap AL melalui variabel latar
karena ketiga media cetak cenderung menitikberatkan teks berita yang
diproduksi berdasarkan latar belakang masalah. Kecenderungan ini
merupakan indikasi karakteristik media yang mengemukakan akar
masalah terjadinya suatu kejadian, dalam hal ini konflik. Di dalam ilmu
jurnalisme kecenderungan ini dikenal sebagai perwujudan menggali
formulasi informasi jawaban terhadap pertanyaan how (bagaimana) dan
why (mengapa), sehingga pertanyaan yang muncul bagaimana dan
mengapa suatu peristiwa terjadi terakumulasi dalam jawaban yang
berwujud realitas produksi teks yang dilakukan wartawan dengan
menggunakan variabel latar.
229
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa hasil penelitian AWK berita Konflik Partai Golkar
berdasarkan teori stuktur mikro Teun A van Dijk, elemen praksis
sosiokultural teori Norman Fairclough, dan teori perangkat framing
(pembingkaian) William Gamson diuraikan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil analisis data teks berita (81 =100%) elemen
semantik menunjukkan bahwa keberpihakan tiga media ditemukan
pada seluruh variabel sebanyak 24 teks berita (29,62%).
Keberpihakan Koran Tempo tertinggi dan ditemukan pada seluruh
variabel. Keberpihakan Kompas mencakup 8 teks berita, dan dan
Republika ditemukan sebanyak 6 teks berita. Jika merujuk
keberpihakan terhadap sosok sebanyak 20 teks berita merujuk
kepada AL dan 4 teks berita terhadap ARB. Keberpihakan terhadap
sosok AL teringgi ditemukan pada Kompas yakni sebanyak 8 teks
berita, dan Republika serta Koran Tempo masing-masing 6 teks
berita.
2. Tingkat keberpihakan tiga media juga ditemukan pada seluruh elemen
praksis sosiokultural sebanyak 20 teks berita (24,69%). Keberpihakan
tertinggi ditemukan pada Koran Tempo, yakni 9 teks berita yang berarti
tersebar pada seluruh variabel. Ini mengindikan bahwa Koran Tempo
secara siginifikan menggunakan independensinya dalam
memberitakan konflik Partai Golkar. Keberpihakan Kompas terdapat
230
pada 6 teks berita dan Republika 5 teks berita. Jika merujuk
keberpihakan terhadap sosok ditemukan 11 teks berita merujuk
terhadap sosok AL dan 9 teks berita pada ARB. Keberpihakan
terhadap AL tertinggi ditunjukkan Koran Tempo sebanyak 5 teks berita,
Kompas dan Republika masing-masing 4 teks berita
3. Tingkat keberpihakan tiga media pada elemen perangkat framing lebih
dominan mencakup 26 teks berita (32,09%). Kompas dan Koran
Tempo menunjukkan keberpihakan tertinggi, yakni masing-masing 9
teks berita yang mencakup pada seluruh variabel. Keberpihakan
Republika ditemukan pada 8 teks berita. Jika dilihat pada
keberpihakan terhadap sosok, 21 teks berita merujuk kepada AL dan
5 teks berita pada ARB. Kompas secara utuh, 9 teks berita berpihak
pada AL, sementara Republika sebanyak 7 teks berita, dan Koran
Tempo 5 teks berita.
B. SARAN-SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan simpulan yang telah
dikemukakan, penulis menyarankan sebagai berikut:
1. AWK tentang berita konflik suatu partai adalah kasus pertama di
Indonesia, sehingga perlu dikembangkan terus sebagai masukan
untuk memetakan dan mengembangkan analisis dan kajian
kebahasaan dalam wacana berita.
2. AWK tentang berita konflik suatu partai merupakan fakta yang bernilai
berita dan menarik yang dapat mengungkapkan misteri piranti
231
kebahasaan, sehingga ke depan diperlukan penelitian lanjutan
berdasarkan aspek-aspek kebahasaan yang lain.
3. Sehubungan dengan kemajuan komunikasi dan informasi yang
menempatkan media sebagai pilar keempat demokrasi diharapkan
kajian AWK ini dapat dikembangkan lebih lanjut dan kepada media
massa (cetak, elektronik, dan daring) agar lebih memosisikan diri
secara berimbang, tidak saja keberimbangan secara normatif melalui
penerapan Kode Etik Jurnalistik berkaitan dengan peliputan kedua sisi
(the both side coverage), tetapi juga keberimbangan dalam porsi
konten teks yang diberitakan.
C. REFLEKSI
Berdasarkan hasil analisis pada bab IV dikemukakan beberapa refleksi
atas temuan penelitian sebagai berikut:
1. Media karena tidak boleh memasukkan opini di dalam suatu teks
berita, maka cenderung memanfaatkan narasumber tertentu untuk
menyertakan pandangan atau pendapatnya mengenai suatu objek
pemberitaan.
2. Dalam setiap pemberitaan media cenderung berpihak atau tidak netral,
karena tidak berimbangnya kuantitas konten pernyataan masing-
masing pihak yang berhadapan dalam pemberitaan. Keberimbangan
pemberitaan sesuai Kode Etik Jurnalistik yang normatif dan
mengharuskan wartawan melakukan peliputan kedua sisi (both
coverage) ternyata tidak paralel dengan keberimbangan pemberitaan
232
berdasarkan konten berbagai elemen dalam AWK yang mengurai
wacana teks berita dari berbagai elemen pisau analisis.
3. Penerapan teori AWK untuk menganalisis teks wacana berita akan
memberi pemahaman dan pengetahuan sangat mendasar bagi para
bahasawan, lebih khusus bagi para pakar dan praktisi pers dalam
mengungkapkan praktik terselubung yang dilakukan oleh suatu media
dalam suatu kasus atau peristiwa.
233
DAFTAR PUSTAKA
Abas, Lutfi.1992. Linguistik Deskriptif dan Nahu Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Abubakar, M.Dahlan. 2001. ‘’Karakteristik Morfologik Penulisan Judul Berita Media Cetak’’. Tesis Makassar, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Agger, Ben.2006. Teori Sosial Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Alwasilah, A.Chaedar.1990. Sosiologi Bahasa. Bandung: Penerbit
Angkasa. Alwi, Hasan, dkk (ed.), 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia,
Jakarta: Depdikbud. Alwi, Hasan & Dendy Sugono.2003. Politik Bahasa, Risalah Seminar
Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Andriadi, Fayakhun.2014. Golkar Transformer. Jakarta: Penerbit
RMBOOKS Antila, Raimo.1972. An Introduction Historical and Comparative
Linguistics. New York: Macmillan Publishing Co.Inc. Anwar, Rosihan. 1984. Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta:
Pradnya Paramita. Arief,Yovantra dan Wisnu Prasetya Utomo.2015. Orde Media, Kajian
Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru. Yogyakarta: INSIST Press dan Remotivi.
Arifin, Anwar. 1991. Komunikasi Politik dan Pers Indonesia. Makassar:
Laboratorium Komunikasi Fisip Universitas Hasanuddin. Atmakusumah, 2009. Tuntutan Zaman, Kebebasan Pers dan Ekspresi.
Jakarta: Spasi & VHR Book Yayasan Tifa. Badara, Aris. 2012. Analisis Wacana, Teori, Metode, dan Penerapannya
pada Wacana Media. Jakarta: Prenada Media Group. Badudu, J.S. 2003. Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa
Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
234
Barthes, Roland. 2007. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa. Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi. (Terj.). Yogyakarta: Jalasutra.
----------------------2007.L’aventure Semiologique, Terjemahan oleh
Stefanus Aswar Herwinko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bloch,B. & Trager,L.G. 1942. Outline of Linguistics Analysis of Syntactic
Theories. London: Pergamon. Bloomfield, Leonard.1995. Language (Bahasa) (Terj.) Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. Blount, Ben G. 1974. Language, Culture and Society. Winthrop Publisher,
Inc. Massachusettts. Borjesson, Kristina. (ed.). 2006. Mesin Penindas Pers, Membongkar
Kebebasan Pers Amerika, Kesaksian Sejumlah Wartawan Top Peraih Penghargaan Korban Pemberangusan Sistematis. Bandung: Q-Press (Kelompok Penerbit Pustaka Hidayah).
Briggs, Asa & Peter Burke.2006. Sejarah Sosial Media; Dari Gutenberg
sampai Internet. Jakarta: Yayasan Obor. Budiman, Arief. 2003. Semiotika Visual. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik. ---------------------- 2005. Kamus Lengkap Frase Kata Kerja Inggris-
Indonesia. Bandung: Pustaka Grafika. Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group. Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. -----------------. 2010. Bahasa Jurnalistik. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Cogswell, David.2006. Chomsky untuk Pemula. Yogyakarta: Resist Book. Comrie, Bernard. 1981. Language Universal and Linguistic Typology.
England; Basil Blackwell Publisher Limited. Cook, S.J. : Walter A. 1971. Introduction of Tagmemik Analysis, Sidney-
Toronto: Holt Rine hart & Winston. Crystal, David. 1985. A Dictionary of Linguistics and Phonetic. Oxford,
Basic Blackwell. Dardjowidjojo, Soenjono.2005. Psikolinguistik, Pengantar Pemahaman
Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.
235
Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Irama Media. Darwis, Muhammad. 2012. Morfologi Bahasa Indonesia Bidang Verba.
Makassar: CV.Menara Intan. Dayakisna, Tri & Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang:
Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. 2003. Mencari Media yang
Bebas dan Bertanggungjawab. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi-Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia
V. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Dewabrata, A.M., 2004, Kalimat Jurnalistik, Panduan Mencermati
Penulisan Berita, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Dewan Pers, UNESCO. 2003. Mengatur Kebebasan Pers. Jakarta:
Dewan Pers –UNESCO. Djajasudarma, Fatimah. 1993. Semantik 1 Pengantar ke Arah Ilmu Makna.
Bandung: PT.Eresco. Duranti, Alessandro.1997.Linguistic Anthropology. UK: Cambridge
University Press, Ecip.S. dkk (Ed.). 1984. PPKJ 1983 Kerja Sama Deppen-Unhas.
Ujungpandang: Unhas. Edkins, Jenny- Nick Vaughan Williams. 2013. (Terj.) Teori-Teori Kritis.
Jogjakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Elson, Benjamin & Pickett; Velma. 1969. An Introduction to Morphology
and Syntax. Santa Ana, California: Summes Institute of Linguistik
Eriyanto, 2001. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media.
Jogjakarta: LKiS ------------, 2011. Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media.
Jogjakarta: LkiS. -------------, 2011. Analisis Isi, Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu
Komunikasi dan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group.
------------, 2013. Analisis Naratif Dasar-Dasar dan Penerapannya dalam
Analisis Teks Berita Media. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group.
236
------------, 2014. Analisis Jaringan Komunikasi. Jakarta: Penerbit Kencana
Prenada Media Group. Fairlough, Norman. 1995. Media Discourse. London: Edward Arnold. ------------------------- 1995. Critical Discourse Analysis the Critical Study of
Language. London and New York: Longman. --------, N.and Ruth Wodak.1997. ‘’Critical Discourse Analysis, AM
Overview,’’ Dalam Teun van Dijk (ed) Discourse and Interaction. London: Sage Publications 67-97.
Habermas, Jurgen.2007. Kritik atas Rasio Fungsionalis. Yogyakarta:
Kreasi Wacana. Hadi, Parni. 1998. ‘’Peran Media Massa Cetak dalam Pemasyarakatan
Hasil Pembakuan Bahasa’’. Makalah pada Kongres Bahasa Indonesia VII Jakarta.
Halliday,M.A.K. 1978. Language ss Social Semiotic, Great Britain: Edward
Arnold. Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa,
Sebuah Studi Critical Discourse Analisys terhadap Berita-berita Politik, Jakarta: Penerbit Grant.
Hidayat, Amir F. & Elis N.Rahman AR..2006. Ensiklopedi Bahasa-Bahasa
Dunia Peristilahan dalam Bahasa. Bandung: CV Pustaka Grafika.
Hill, David T.2011. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia. Hockett, Charles T., 1965. A Course in Modern Linguistics, New York: The
MacMillan Company. Hymes, Dell.1964. Language in Culture and Society. Harper & Row,
Publisher, New York: Evanston, and London. Ibrahim, Anwar. 2005. Strategi Legitimasi dalam Budaya Politik Bugis di
Tanah Bone, Makassar: Tesis Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Ibrahim Syukur & Machrus Syamsuddin. 1979. Prinsip & Metode Linguistik
Historis. Surabaya-Indonesia: Penerbit Usaha Nasional Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya..
Jakarta: Prenada Media Group.
237
Iswara, Luwi. 2011. Jurnalisme Dasar. Jakarta: Kompas Penebit Buku Jorgensen, Marianne W & Phillips, Louse J. 2010. (Terj.) Analisis Wacana,
Teori & Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Junaedhi, Kurniawan. 1991. Ensiklopedia Pers Indonesia.Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. Jufri. 2008. Analisis Wacana Kritis. Makassar: Badan Penerbit UNM Kaelan, M.S.2006. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa dan
Pengaruhnya terhadap Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
Keraf, Gorys. 1989. Komposisi. Ende: Nusa Indah. -----------------. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama. Khan, Ayub. 2015. ‘’Bahasa Advokasi Media Islam di Indonesia; Analisis
Wacana Kritis’’. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
Kone, A. Mulyani. 2017. ‘’Konfigurasi Ideologi pada Pidato Soekarno
Analisis Wacana Kritis’’. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
Kovach, Bill & Tom Rosentiel. 2001. The Elements of Journalistism,
Terjemahan oleh Yusi A.Pareanom. Jakarta: Yayasan Pantau, Institut Studi Arus Informasi, dan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama. --------------------------------- 1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Krisnawan, J. 1997. Pers Memihak Golkar? Jakarta: Penerbit Institut Studi
Arus Informasi. Laksana, I Ketut Darma. 2010. Majas dalam Bahasa Pers. Denpasar:
Udayana University Press. Lyons, John.1992. Bahasa dan Linguistik, Suatu Pengenalan. (Terj).
Kuala Lumpur, Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan
Mahsun, 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Rajawali Pers.
238
Maleong, Lexy J.2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mallarangeng, Rizal. 2010. Pers Orde Baru, Tinjauan Isi Kompas dan
Suara Karya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) bekerja sama dengan Freedom Institute,
Moeliono, A.M. 1991. Santun Bahasa. Jakarta: PT Gramedia. Mulyana. 2005. Kajian Wacana . Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana. Mulyana, Dedi & Jalaluddin Rakhmat.2006. Komunikasi Antarbudaya,
Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya.
Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia. Nababan, P.W.J.1993. Sosiolinguistik, Suatu Pengantar. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama Napoli, Donna Jo.1996. Linguistics An Introduction. New York: Offord
University Press. Noth, Winfried. 1985. Handbook of Semiotics (Advances of Semiotics).
Terjemahan, Surabaya: Airlangga University Press. Hurdin, Elvis. 2003. Konstruksi Berita Serangan Amerika Serikat dan
Sekutunya ke Irak pada Harian Fajar: Sebuah Analisis Framing, Program Studi Jurnalistik, Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Tesis, Universitas Hasanuddin.
Oetama, Jacob. 2001. Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika, Teori Baru Mengenai
Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: PT Rineka Cipta. Parera, Jos Daniel.1993. Leksikon Istilah Pembelajaran Bahasa. Jakarta:
PT Gramedia Pustama Utama. Priyambodo. 2010. Standar Kompetensi Wartawan. Jakarta: Dewan Pers. Progres-Pusat Bahasa Depdiknas. 2003. Kamus Istilah Jurnalistik.
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.2003. Kamus Istilah
Jurnalistik. Jakarta: Progres dan Departemen Pendidikan Nasional.
239
Putrajasa, Ida Bagus. 2010. Analisis Kalimat, Fungsi, Kategori, dan Peran.
Bandung: PT Refika Aditama. Rahardi, R.Kunjana.2006. Bahasa Kaya Bahasa Berwibawa. Bahasa
Indonesia dalam Dinamika Konteks Ekstrabahasa. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Rahyono, FX. 2012. Studi Makna. Jakarta: Penerbit Penaku Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: Penerbit PT
Remaja Rosdakarya, Ramlan, 1996. Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono. Ranjabar, Jacobus/2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia, Suatu
Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia. Ratna, Nyoman Kutha. 2014. STILISTIKA Kajian Puitika Bahasa, Sastra,
dan Budaya. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Revitch, Diane & Abigail Thernstrom (ed).2005. Demokrasi Klasik &
Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. River, William L. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. Rolnicki, Tom E. Dkk. 2008.Scholastic Journalism, Terjemahan oleh Tri
Wibowo, Jakarta: Kencana Prenada Media Group Sadtono, E. 2003. Setan Bahasa & Pemahaman Lintas Budaya.
Semarang: Masscom Media. Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Penerbit
Wedatama Widya Sastra. ----------------------- 2012. Studi Bahasa Kritis, Menguak Bahasa
Membongkar Kuasa. Bandung: Penerbit Mandar Maju. Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial, Pandangan Terhadap Bahasa.
Surabaya: Pustaka Eureka dan JP Press. Sarwoko, Tri Adi. 2007. Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik. Yogyakarta:
Penerbit Andi. Saussure, de Ferdinand. 1989. (Terj.). Pengantar Linguistik Umum.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar.
240
Schiffrin, Deborah, Deborah Tannen, and Heidi E.Hamilton. 2001. The
Handbook of Discourse Analysis. Malden, Massachusets: Blackwell Publisher.
Sen, Krishna & David Hill. 2001. Media, Budaya, dan Politik di Indonesia.
Jakarta: Institut Studi Arus Informasi-PT Media Lintas Inti Nusantara.
Shaffat, Idri, 2008. Kebebasan, Tanggung Jawab dan Penyimpangan.
Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Siahaan, Hotman M. et.al. 2001. Pers yang Gamang, Studi Pemberitaan
Jajak Pendapat Timor Timur. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.
Siebert, Fred. S, Theodore Peterson, Wilbur Schramm. 1986 (Terj.)
Empat Teori Pers. Jakarta: Penerbit Intermasa Simanungkalit, Salomo.2006. 111 Kolom Bahasa Kompas. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas . Simarmata, Salvatore. 2014. Media & Politik, Sikap Pers terhadap
Pemerintahan Koalisi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Siregar, Amir Effendy, 2014. Mengawal Demokratisasi Media: Menolak
Konsentrasi, Membangun Keberagaman. Jakarta: Kompas Penerbit Buku.
Siregar, Ashadi, 1999. Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media
Massa. Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan (LP3S).
Siregar, Ras. 1987. Bahasa Indonesia Jurnalistik. Jakarta: Pustaka
Grafika. Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: Penerbit PT Remaja
Rosdakarya ------------------ 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Penerbit PT Remaja
Rosdakarya Stryker, S.I.1969. Applied Linguistics: Principles and Techniques dalam
Forum Volume VII No.5.. Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta:
Penerbit LkiS.
241
Sulaeman, Hanafie. 1992. Sintaksis Bahasa Indonesia. Disertasi Universitas Padjadjaran Bandung.
Sumarsono, 2004. Buku Ajar Filsafat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia. Sunardi, ST.2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik . Suparman.H. 1988.Pengantar Analisis Bahasa dan Wacana hingga
Tatabunyi. Singaraja: FKIP Unud. Susanto, Anthony Freddy. 2005. Semiotika Hukum, Dari Delonstruksi Teks
Menuju Progresivitas Makna. Bandung: Refika Aditama. Suwarso, Lukas, dkk.2004. Media dan Pemilu 2004. SEAPA. Jakarta: Syah, Sirikit. 1999. Media Massa di Bawah Kapitalisme. Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar Tarigan, Henry Guntur. 1989. Pengajaran Tata Bahasa Tagmemik.
Bandung: Penerbit Angkasa. Tempo & The World Bank, 2002. Hak Memberitakan, Peran Pers dalam
Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo.
Thomas, Linda & Shan Wareing. 2007. (Terj.) Bahasa, Masyarakat &
Kekuasaan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar Thompson, John.B. 2015. Kritik Ideologi Global, Teori Sosial Kritis
tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa. Jogjakarta: Penerbit IRCiSoD
Titscher, Stefan, dkk.2009.(terj.) Metode Analisis Teks & Wacana.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Usman, Ahmad. 2008. Mari Belajar Meneliti. Yogyakarta: Penerbit Genta
Press. Verhaar, J.W.M. 1983. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Wahab, A.1986. ‘’Berfikir Metaforis’’ dan Impikasinya dalam Pengajaran
(Bahasa)’’, Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia, Tahun 7, no.3. hlm 169-176.
Wahid, Sugirah & Juanda. 2006. Analisis Wacana. Makassar: Badan
Penerbit UNM.
242
Wang, Junling. 2010. A Critical Discourse Analysis of Barack Obama’s Speeches. Journal of Language Teaching and Research, Vol.1 No.3 pp.254-261, May 2010. ISSN 1798-1769. Academy Publisher Manufactured of Finland..
Wibisono, Christianto, 1992. Pengetahuan Dasar Jurnalistik, Jakarta:
Penerbit Media Sejahtera. Zoest. Aart van. 1991.Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotika. Jakarta:
Intermasa. Website/Internet: Abd.Hannan, ‘’Filosofi Keberpihakan Media Massa’’ (ditulis 27 Desember
2016 dan diunduh melalui google.com 14 April 2018) Abraham Diaz, ‘’Mempersoalkan Keberpihakan Media, Sama saja
Bertanya Kapan Kiamat Tiba’’ (ditulis di Kompasiana, 10 Oktober 2016 dan diunduh di google.com 14 April 2018).
243
LAMPIRAN DATA PENELITIAN
244
HARIAN KOMPAS
245
HARIAN KOMPAS
KOMPAS(Nasional) - Kamis, 14 Aug 2014 Halaman: 04 Penulis: RYO; OSA; WHY Ukuran: 3858 Pengindex: pik.hendra
DINAMIKA GOLKAR
Hajriyanto Ramaikan Bursa Calon Ketum
Jakarta, Kompas - Ketua Partai Golkar yang juga Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari mengatakan siap meramaikan bursa calon ketua umum pada Musyawarah Nasional Partai Golkar mendatang. Namun, ia tidak mau larut dalam perdebatan internal kapan munas akan digelar, tahun 2014 atau 2015.
”Munas digelar tahun 2014 atau 2015 itu tidak urgen. Saat ini yang urgen bagi Golkar adalah penataan organisasi dan idealisme politik partai, terutama untuk menghadapi Pemilu 2019,” kata Hajriyanto, Rabu (13/8).
Menurut Hajriyanto, pihak yang menginginkan munas digelar tahun 2014 atau 2015 memiliki alasan yang kuat. Pihak yang menginginkan munas digelar tahun 2014 didasarkan pada AD/ART partai, sedangkan yang menginginkan digelar tahun 2015 didasarkan pada kesepakatan Munas 2009. Jika kedua pihak tidak bisa menyelesaikan perbedaan itu, ia menyarankan untuk membawa persoalan tersebut ke arbitrase nasional atau di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Meski demikian, Wakil Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Agung Laksono yang juga calon ketum partai itu menghendaki munas digelar tahun 2014.
Sementara itu, calon ketum Partai Golkar lainnya, MS Hidayat, mengatakan, pencalonannya akan mengikuti semua ketentuan yang ditetapkan partainya sehingga tidak menimbulkan kontradiksi dan kontroversi internal. Prinsipnya, suksesi kepemimpinan tetap akan terjadi dalam tubuh Partai Golkar cepat atau lambat.
”Saya akan mengikuti semua prosedur dan ketentuan yang diberlakukan dalam munas mendatang,” ujarnya.
Reformis Golkar
Secara terpisah, Ketua Koordinator Eksponen Ormas Tri Karya Golkar Zainal Bintang mengultimatum DPP Golkar untuk membentuk panitia munas selambatnya 22 Agustus 2014. Jika panitia munas tidak dibentuk, pendiri dan ormas Tri Karya akan turun tangan membentuk panitia munas.
246
Tri Karya Golkar terdiri dari Soksi, Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), dan Kosgoro 57.
Menurut Zainal, Tri Karya akan membentuk panitia dengan diawali pertemuan kader reformis Golkar. ”Melihat tindakan DPP Golkar yang tiap hari memecat kader, saya yakin banyak kaum reformis Golkar yang hadir dalam pertemuan yang diselenggarakan paling lambat akhir Agustus 2014,” ujar Zainal.
Tri Karya Golkar bersikeras munas digelar paling lambat 5-8 Oktober 2014. Hal tersebut sesuai Pasal 30 Ayat 2 butir a Anggaran Dasar Partai Golkar yang mengatur bahwa munas diadakan sekali dalam lima tahun.
Namun, Zainal bersikeras bahwa penyelenggaraan munas pada tahun 2015 akan inkonstitusional menurut aturan Partai Golkar. ”Rekomendasi Munas VIII Partai Golkar di Pekanbaru (pada tahun 2009) juga tidak memiliki dasar hukum kuat,” ujarnya.
Rekomendasi nomor lima dari Munas VIII berbunyi, ”Agar musyawarah-musyarawah Partai Golkar tidak berbenturan dengan jadwal pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014, yang berpotensi memecah belah perhatian dan mengganggu soliditas partai, dipandang perlu memperpanjang akhir jabatan pengurus hingga tahun 2015.”
”Itu, kan, kata-katanya ’dipandang perlu’, jadi tidak harus (digelar tahun 2015). Lagipula, karena tidak ada calon presiden dari Golkar, maka rekomendasi nomor lima itu dengan sendirinya gugur,” tutur Zainal.
Sebagai pendiri Golkar, Suhardiman juga mendorong suksesi secepatnya dilakukan. Dia menegaskan, kandidat calon ketum Partai Golkar tidak boleh dipatok berdasarkan ukuran umur. ”Yang penting, punya leadership, kepemimpinan yang tinggi. Jadi, tidak harus pula seorang yang sudah senior,” ujarnya. Dia menambahkan, calon ketum Partai Golkar harus menguasai isu Indonesia dan juga Ibu Kota.Suhardiman yang mengakui keunggulan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum partai, mengidamkan partainya dipimpin tokoh sekelas Megawati.
”Partai Golkar pasti punya kader sekelas Megawati, jika dicari,” ujarnya. (RYO/OSA/WHY)
KOMPAS(Nasional) - Selasa, 11 Nov 2014 Halaman: 04 Penulis: RYO Ukuran: 3171 Pengindex: pik.pry
PARTAI GOLKAR Skenario Percepatan Munas Disorot
Jakarta, Kompas - Dukungan daerah terhadap Aburizal Bakrie untuk mencalonkan diri kembali sebagai ketua umum Partai Golkar menguat. Dugaan akan adanya skenario dari dewan pimpinan pusat untuk mempercepat penyelenggaraan Musyawarah Nasional Partai Golkar tanggal
247
27 November 2014 pun muncul dan dikhawatirkan sejumlah pihak.
Meski demikian, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham, saat ditemui pers, Senin (10/11), membantah adanya skenario bahwa DPP Golkar sudah menetapkan tanggal munas itu. ”Nanti (tanggal munas), kan, terserah peserta rapimnas (rapat pimpinan nasional). Mereka nanti yang menetapkan tanggal munas,” ujarnya.
Rapimnas Golkar itu akan digelar pada 17-18 November 2014 di Yogyakarta.
Idrus juga membantah adanya skenario bahwa rapimnas itu nantinya langsung ditingkatkan statusnya menjadi Munas Golkar. ”Kan, munas harus ada DPD tingkat kabupaten/kota, juga organisasi pendiri dan sayap Golkar,” ujarnya.
Meski demikian, Idrus membenarkan adanya dukungan masif kepada Ketua Umum Aburizal Bakrie. ”Ada banyak surat dan faks yang masuk menyatakan dukungan ke beliau,” katanya.
”Sebagai kader yang baik, apabila Pak Aburizal didesak untuk maju lagi menjadi ketua umum, ya pasti diterima,” tambahnya.
Mau menang sendiri
Sementara itu, politisi Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa, menyatakan bahwa Ketua DPP sudah diminta untuk menyiapkan bahan laporan pertanggungjawaban untuk dibacakan dalam munas. ”Itu tadi mereka diminta bersiap menghadapi Munas 27 November di Bandung,” ujarnya.
Agun menegaskan, jika munas ternyata sudah didesain dipercepat, sama saja DPP Golkar saat ini mau menang sendiri dengan cara-cara tidak demokratis. ”Mungkin saja bahan munas sudah dipersiapkan untuk kemudian langsung diputuskan dalam rapimnas,” katanya.
Agun juga mendengar adanya persyaratan untuk dapat maju menjadi ketua umum, yakni harus didukung 10 DPD provinsi dan 30 persen DPD kabupaten/kota.
”Ini jelas memotong kesempatan bagi calon ketua umum lain untuk maju. Saya khawatir tahu-tahu ada yang ditetapkan secara aklamasi menjadi ketua umum,” ujar Agun.
Sejauh ini, selain Aburizal, sudah ada tujuh kandidat yang mencalonkan diri. Mereka adalah MS Hidayat, HR Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Agus Gumiwang Kartasasmita, Erlangga Hartarto, Zainuddin Amali, dan Hajriyanto Y Thohari.
Wakil Sekjen Partai Golkar Ace Hasan Syadzily, dalam kesempatan terpisah, membenarkan adanya kekhawatiran kader bahwa DPP Partai Golkar akan menggelar munas secara tidak adil dan sportif. Terlebih lagi, beredar informasi Munas Golkar akan diadakan pada 27 November 2014 di Bandung.
”Munas itu sangat strategis sehingga perlu dirapatkan bersama dengan pengurus. Harusnya ada rapat pleno sehingga organisasi ini bisa berjalan
248
sesuai prosedur,” kata Ace.
Juru Bicara Poros Muda Partai Golkar Andi Sinulingga bertekad mengawal proses ini, mulai dari rapat pleno DPP, rapimnas, hingga munas. ”Kami pasti akan mengawal seluruh proses karena ini penting untuk masa depan Golkar,” ujarnya. (RYO)
'Saya khawatir tahu-tahu ada yang ditetapkan secara aklamasi menjadi ketua umum.' Agun Gunandjar Sudarsa
KOMPAS(Nasional) - Rabu, 19 Nov 2014 Halaman: 03 Penulis: RYO; HRS Ukuran: 3060 Foto: 1 Pengindex: pik.lis
249
RAPIMNAS GOLKAR
DPD Golkar Hendaki Munas 30 November
Yogyakarta, Kompas — Dewan Pimpinan Daerah I Partai Golkar menghendaki Musyawarah Nasional IX Golkar dilaksanakan pada 30 November 2014. DPD tingkat I Partai Golkar bahkan mendukung Aburizal Bakrie untuk kembali maju sebagai calon ketua umum.
Demikian hasil pemaparan dan laporan DPD tingkat I Golkar, Selasa (18/11), dalam Rapat Pimpinan Nasional VII Golkar di Yogyakarta. Pemaparan 34 DPD I Golkar tersebut disampaikan bergantian dalam forum tertutup. Ormas Golkar yang mempunyai hak suara juga menyampaikan pemaparan mereka.
Koordinator Forum Musyawarah DPD I Partai Golkar se-Indonesia Ridwan Bae mengatakan, percepatan munas dapat mencegah konflik di antara calon ketua umum. ”Bayangkan, saya mau ke rumah Pak (MS) Hidayat, misalnya, ya tujuh calon ketua umum lainnya langsung curiga,” ujarnya.
”(Sikap saling curiga) tidak dapat dibiarkan hingga satu bulan lebih. Jadi, saya merasa jeda waktu 11 hari hingga munas adalah yang terbaik,” ujar Ridwan Bae, yang juga Ketua DPD I Golkar Sulawesi Tenggara.
Ketua Panitia Pengarah Rapimnas VII Golkar Nurdin Halid mengatakan, ada sejumlah alasan mengapa DPD I Golkar menggelar munas pada akhir November 2014.
”Golkar perlu membahas, di antaranya, konsolidasi Koalisi Merah Putih, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pilkada, dan kenaikan harga bahan bakar minyak,” ujarnya.
Libatkan KPK
Ditemui di sela-sela rapimnas, politisi Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa menduga ada rekayasa dalam sikap DPD tingkat I. ”Bagaimana mungkin tiap DPD punya pandangan sama? Mereka setuju munas tanggal 30 November dan kalau tidak di Bandung, ya di Jawa Barat,” ujarnya.
Agar tidak ada politik uang, Agun menyarankan, Komisi Pemberantasan Korupsi ”turun mengawal” Munas Golkar.
”Apalagi, ada isu permainan uang demi mendapatkan dukungan suara,” ujarnya.
Calon ketua umum Golkar Agung Laksono mengatakan, Munas IX idealnya digelar pada Januari 2015 sesuai hasil rapat pleno DPP Golkar dan rekomendasi Munas VIII di Riau tahun 2009.
Agung menduga usulan percepatan munas dibuat untuk menguntungkan Aburizal Bakrie. ”Ada berita bahwa percepatan itu agar calon selain dia (Aburizal) bisa dikalahkan,” ujarnya.
250
Kompas 4 Desember 2014
Aburizal Jadi Ketum Golkar Lagi, Apa Tanggapan Istrinya?
BADUNG, KOMPAS.com - Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengungkap satu rahasia saat menyampaikan pidato penutupan Musyawarah Nasional IX Partai Golkar, Kamis (4/12/2014). Rahasia yang diungkap adalah tanggapan istri, Tatty Murnitriati, setelah Aburizal kembali ditetapkan sebagai ketua umum periode 2014-2019.
Aburizal menuturkan, dia mendapat banyak ucapan selamat sesaat setelah ditetapkan sebagai ketua umum. Ucapan itu tak hanya disampaikan langsung, tapi juga masuk dari telepon genggamnya melalui layanan pesan singkat.
"Saya kasih tahu rahasia. Tapi pas saya sampai, istri saya bilang 'masih mau diuyel-uyel lima tahun lagi? Sudah dihina-hina.' Saya ketawa saja," kata Aburizal, disambut tawa peserta dan tamu Munas IX.
Aburizal menjelaskan, dia memilih tidak menanggapi pernyataan istrinya karena tidak ingin berdebat. "Karena kalau debat saya kalah," tuturnya.
Saat menyampaikan pidato penutupan, hadir juga sejumlah pimpinan partai anggota Koalisi Merah Putih. Di antaranya Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum PPP Djan Faridz, dan Presiden PKS Anis Matta. Setelah berpidato, Aburizal kemudian memimpin upacara penutupan yang menandakan berakhirnya Munas IX Partai Golkar.
KOMPAS(Nasional) - Rabu, 11 Mar 2015 Halaman: 02 Penulis: AGE; NTA; WHY Ukuran: 4570 Foto: 1 Pengindex: pik.hendra
Agung Ajak Ical Bergabung
Surat Keputusan Menkumham Yasonna H Laoly Dipertanyakan
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Umum Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional Jakarta Agung Laksono mengajak kubu Aburizal Bakrie bergabung. Seruan ini
Dalam sambutan pembukaan di Rapimnas VII Golkar, Aburizal mengakui perebutan kursi ketua umum Golkar 2015-2019 cukup panas. Namun, dia berharap, kompetisi tersebut tetap berlangsung sehat sesuai aturan partai dan tidak mengakibatkan perpecahan partai.
Dia juga berharap semua kandidat dapat menerima hasil Munas IX secara legawa. ”Calon yang kalah harus bersedia mendukung kandidat yang menang. Sementara calon yang menang harus merangkul kandidat yang kalah. Jika hal itu dapat dilakukan, tidak akan ada perpecahan,” kata Aburizal. (RYO/HRS)
251
menyusul keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly yang mengakui secara selektif kepengurusan DPP Partai Golkar Munas Jakarta.
”Kami mengajak kader, simpatisan, dan keluarga besar Partai Golkar untuk kembali bersatu dan melangkah bersama demi kebesaran partai,” kata Agung dalam konferensi pers yang diselenggarakan tepat sesudah pengumuman putusan Menkumham, Selasa (10/3), di kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Jakarta.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Munas Jakarta Priyo Budi Santoso mengatakan, pihaknya akan memberikan posisi yang baik dan strategis untuk kader-kader asal Munas Bali yang dipimpin Aburizal yang akrab dipanggil Ical di kepengurusan.
Menkumham Yasonna Laoly mengambil keputusan empat hari setelah DPP Golkar versi Munas Jakarta yang dipimpin Agung mendaftarkan susunan kepengurusannya ke Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham.
Yasonna menyatakan, keputusan tersebut diambil berdasarkan hasil putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG), Selasa (3/3). Berdasarkan amar putusan MPG, Yasonna menambahkan.
KOMPAS(Nasional) - Sabtu, 02 Jan 2016 Halaman: 01 Penulis: RYO; NTA Ukuran: 2610 Pengindex: pik.lis
Partai Golkar
Musyawarah Nasional Solusi Bentuk Pengurus Baru
JAKARTA, KOMPAS — Pencabutan pengesahan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional Jakarta oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengakibatkan kekosongan kepemimpinan di tubuh partai berlambang pohon beringin tersebut. Munas diyakini menjadi satu-satunya solusi bagi partai politik tertua di Indonesia itu untuk keluar dari kemelut internal.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor M.HH-23.AH.11.01 tanggal 30 Desember 2015 untuk mencabut SK Nomor M.HH-01.AH.11.01 tanggal 23 Maret 2015 tentang penetapan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Jakarta pimpinan Agung Laksono. SK ini juga tidak mencantumkan DPP Partai Golkar hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie sebagai pengurus yang sah.
”Saya sejak Januari (2015) sudah meminta munas luar biasa. Ketika itu saya melihat konflik Golkar tak akan dapat dituntaskan hanya melalui jalur hukum. Namun, Aburizal mengatakan, ’Proses hukum akan selesai pada pertengahan
252
April (2015)’. Ya sudah, saya ikuti. Eh, ternyata tidak selesai juga,” ujar Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar hasil Munas Bali Akbar Tandjung saat dihubungi, Jumat (1/1).
Akbar mengatakan, sampai kini ia tetap konsisten. ”Hanya, sekarang tidak lagi munas bersama, tetapi munas yang berdasarkan AD/ART (anggaran dasar/anggaran rumah tangga),” ujar Ketua Umum Partai Golkar periode 1998-2003 ini.
Ia menyayangkan, nasihatnya tidak diindahkan. ”Lihat saja, dari 269 pilkada, ternyata Partai Golkar hanya ikut di 116 pilkada. Itu pun hanya menang di 49 daerah atau kira-kira hanya 20 persen,” katanya.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Jakarta Priyo Budi Santoso mengatakan, munas bersama merupakan satu-satunya jalan keluar untuk menyatukan kedua kubu. Pasalnya, kepengurusan hasil Munas Riau tahun 2010 masa jabatannya sudah berakhir 31 Desember 2015 sehingga sejak Jumat 1 Januari 2016, Partai Golkar mengalami kekosongan kekuasaan.
”Tidak ada satu pun kepengurusan yang bisa mewakili dan mengatasnamakan Partai Golkar. Implikasinya pada seluruh organ dan produk-produk politik Golkar bisa dianggap ilegal,” kata Priyo.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar hasil Munas Bali Idrus Marham menilai SK Menteri Hukum dan HAM justru mengesahkan kepengurusan pimpinan Aburizal. Pencabutan SK pengesahan kepengurusan kubu Agung berarti kepengurusan Munas Riau 2010-2015 sah, yang menggelar Munas Bali.
Bendahara Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Bambang Soesatyo mengatakan, desakan munas bersama tidak bisa diabaikan.
(RYO/NTA)
KOMPAS(Nasional) - Minggu, 03 Jan 2016 Halaman: 02 Penulis: OSA; NTA; RYO Ukuran: 4976 Pengindex: pik.lis
Tunggakan Warnai Konflik Golkar
Listrik, Gaji, dan Pajak Masih Belum Dibayar
JAKARTA, KOMPAS — Dualisme kepemimpinan Partai Golkar tak hanya menunjukkan ajang perebutan kekuasaan internal partai, tetapi juga melupakan kewajiban mengelola organisasi partai dengan baik. Akibatnya, listrik, gaji karyawan, dan pajak serta biaya pengamanan kantor DPP Partai Golkar pun tertunggak dan belum juga dibayarkan.
Tokoh senior Partai Golkar Yorrys Raweyai yang dihubungi Kompas di
253
Amerika Serikat, Sabtu (2/1), mengatakan, akibat konflik berkepanjangan Partai Golkar, kondisi kantor DPP Partai Golkar di Jalan Anggrek Nelly Murni, Slipi, Jakarta, menghadapi masalah. Hingga kini, mulai dari listrik, gaji karyawan, pajak, hingga biaya pengamanan kantor masih tertunggak. Total seluruhnya yang harus dibayar kantor DPP Partai Golkar tercatat sekitar Rp 400 juta.
”Saya sendiri heran. Waktu konflik sedikit mereda dengan dicapainya kesepakatan untuk menghadapi pemilihan kepala daerah pada Desember lalu, kantor disepakati dipakai bersama oleh kedua kubu, yaitu kubu DPP Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional di Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie dan kubu DPP Partai Golkar hasil Munas Ancol, Jakarta, dengan pimpinan Agung Laksono,” kata Yorrys.
Menurut dia, kesepahaman dicapai karena kedua kubu sama-sama memiliki kepentingan menghadapi pilkada. Kesepakatannya, kantor DPP Partai Golkar dipakai mulai dari masa kampanye hingga silaturahim nasional (silatnas) Partai Golkar.
Saat konflik semakin tajam, Yorrys akhirnya mengundurkan diri dari kepengurusan DPP Partai Golkar pimpinan Agung. ”Sebagai tim penyelamat partai, saya mulai melihat adanya gelagat kurang baik, di antaranya tunggakan-tunggakan terhadap kewajiban kantor yang tak ditangani. Bahkan, gaji karyawan pun belum dibayar hingga waktu tiga bulan. Oleh karena itu, saya kecewa dan mundur. Bagaimana mengurus partai yang jauh lebih besar kalau memperhatikan kondisi internal rumah tangga partai saja tidak baik,” ujarnya.
Terlalu dibesar-besarkan
Terkait tunggakan kantor DPP Partai Golkar, Bendahara DPP Partai Golkar hasil Munas Bali Bambang Soesatyo mengatakan, pihaknya segera melunasinya. ”Tunggakan listrik, pajak, dan gaji karyawan yang ditinggal kabur oleh kubu Partai Golkar Ancol pada pekan depan akan kami lunasi,” katanya.
Namun, Bendahara Umum DPP Partai Golkar versi Munas Jakarta Sari Yuliati menganggap tunggakan listrik di kantor DPP Golkar di Slipi terlalu dibesar-besarkan. ”Setahun terakhir ini, kewajiban kantor Golkar justru saya yang bayar. Kalau sekarang masih ada tunggakan, ya, ayo, kita bayar sama-sama, separuh-separuh. Jangan kami (kubu Munas Jakarta) saja,” tutur Sari.
Menurut dia, jangan semua tunggakan utang ditanggung oleh kubu DPP Golkar hasil Munas Jakarta. Alasannya, kantor DPP Partai Golkar sejak menjelang pilkada lalu digunakan bersama oleh kedua kubu Partai Golkar yang bersengketa.
”Masak, untuk bayar 50 persen saja yang kemarin itu tidak mau. Ada nafsu besar untuk berkuasa, tetapi untuk mengurus yang kecil-kecil (pembayaran tunggakan) tidak mau,” kata Sari membalikkan tuduhan Yorrys.
254
Sari memaparkan, ketika awalnya diserahi tugas untuk mengurus kantor DPP Partai Golkar hasil Munas Jakarta, pihaknya juga sudah memberesi tunggakan pembayaran listrik yang ditinggalkan oleh DPP Partai Golkar hasil Munas Bali pimpinan Aburizal. ”Waktu itu, saya bereskan sendiri dibantu teman-teman. Saya, ini, malas ribut-ribut dan cerita-cerita ke mana-mana,” ujarnya.
Selain membayar tagihan listrik, Sari juga mengaku membayar tagihan telepon dan biaya rutin pegawai. Porsi terbesarnya tetap pada tagihan listrik yang disebabkan besarnya beban abonemen. Untuk itu, Sari harus merogoh koceknya hingga lebih dari Rp 500 juta per bulan pasca kantor DPP Partai Golkar dikuasai kubu Agung.
Menanggapi tunggakan kantor DPP Partai Golkar, Kalla yang pernah memimpin Partai Golkar mengatakan, Partai Golkar pasti akan membayarnya segera.
Menyusul terjadinya konflik Partai Golkar, awal April 2015, kubu Agung akhirnya merebut kantor DPP Golkar di Slipi dari tangan DPP Partai Golkar yang dipimpin Aburizal. Perebutan kantor DPP Golkar sempat diwarnai keributan di antara para kader muda pendukung Partai Golkar. Meskipun kepolisian sempat turun tangan, kantor DPP Golkar akhirnya dikuasai kubu Agung hingga terjadinya upaya rujuk yang dipelopori Wapres Kalla menjelang kampanye pilkada lalu.
Memalukan
Pengamat senior Para Syndicate Toto Sugiarto menilai, persoalan teknis pembayaran kantor, apalagi terkait dengan kewajiban membayar pajak, semestinya bisa diselesaikan dengan cepat dan secara internal. Tidak perlu diumbar ke luar. ”Ini sangat memalukan. Siapa pun yang menggunakan aset partai semestinya wajib menutup biaya-biaya operasionalnya,” katanya.
Toto juga menilai, tunggakan kantor DPP Partai Golkar menunjukkan Partai Golkar bukan lagi partai papan atas yang pantas diperhitungkan. Alasannya, Golkar tak mampu menyelesaikannya dengan baik.
(OSA/NTA/RYO)
KOMPAS(Nasional) - Senin, 04 Jan 2016 Halaman: 02 Penulis: AGE Ukuran: 4592 Foto: 2 Pengindex: pik.feni
Konflik Diharap Selesai
Rekomendasi Mahkamah Partai Golkar Ditunggu
255
JAKARTA, KOMPAS — Rekomendasi Mahkamah Partai Golkar terkait wacana penyelenggaraan musyawarah nasional dalam waktu dekat amat dinantikan. Pasalnya, saat ini hanya Mahkamah Partai Golkar yang masih memiliki dasar legalitas dan belum demisioner.
Saat ini tidak ada satu kepengurusan Partai Golkar pun yang dianggap sah oleh negara sejak Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly pada 30 Desember 2015 mencabut surat keputusan (SK) kepengurusan Golkar hasil Munas Jakarta yang diketuai Agung Laksono. Namun, Menkumham juga tidak mengesahkan kepengurusan Golkar hasil Munas Bali di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie. Langkah Menkumham itu dilakukan sebagai tindak lanjut terhadap putusan Mahkamah Agung pada 20 Oktober 2015.
”Saat ini terjadi kepemimpinan yang vakum di Partai Golkar. Satu-satunya jalan keluar adalah menyelenggarakan munas untuk membentuk kepengurusan baru. Dalam waktu dekat, kami akan bertemu dengan Mahkamah Partai Golkar dan menyampaikan sikap kami agar diperhatikan Mahkamah Partai dan dijadikan masukan untuk mengeluarkan suatu rekomendasi solusi terbaik,” kata Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar hasil Munas Riau 2009 Akbar Tandjung, di Jakarta, Minggu (3/1).
Pernyataan itu disampaikan seusai Dewan Pertimbangan Partai Golkar hasil Munas Riau menerima kunjungan silaturahim dari Generasi Muda Partai Golkar. Selain Akbar, anggota Dewan Pertimbangan Partai Golkar yang hadir dalam acara itu antara lain Mahadi Sinambela, Sri Rejeki, Ibrahim A, dan Simon Patrice.
Akbar mengatakan, rekomendasi dari Mahkamah Partai Golkar tidak akan diragukan keabsahannya karena datang dari institusi yang masih memiliki dasar legalitas serta terdiri atas kedua kubu kepengurusan partai. Mahkamah Partai Golkar baru akan demisioner setelah kepengurusan baru terbentuk dan membentuk mahkamah partai yang baru.
Dorongan untuk pelaksanaan Munas 2016 semakin menguat. Akbar mengatakan, sejumlah pengurus Dewan Pengurus Daerah (DPD) Golkar tingkat provinsi sudah menyuarakan keinginan agar munas segera diselenggarakan. ”Mereka di daerah pun tidak punya induk. Dampak buruk dari konflik ini contohnya bisa dirasakan saat pilkada serentak 2015 lalu, saat perolehan suara partai kecil sekali,” kata Akbar.
Ketua DPP Partai Golkar hasil Munas Bali Ahmad Doli Kurnia mengatakan, satu-satunya waktu bagi Golkar untuk berkonsolidasi adalah tahun 2016. Pasalnya, pada 2017, partai akan sibuk menghadapi pilkada serentak gelombang kedua. Sementara 2018 akan disibukkan dengan persiapan menghadapi Pemilu 2019. Karena itu, munas harus diselenggarakan pada 2016.
”Nantinya munas yang akan melahirkan legal standing baru bagi Partai Golkar. Siapa pun yang terpanggil untuk menjadi ketua umum partai berikutnya, dipersilakan, semua terbuka,” ujar Doli.
Rapat konsultasi
Namun, Bendahara Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Bambang Soesatyo mengatakan, munas bukan satu-satunya jalan keluar meski ia mengakui dorongan ke arah itu akhir-akhir ini semakin kuat. Untuk menanggapi dorongan adanya munas
256
tersebut, Senin (4/1) hari ini DPP Golkar hasil Munas Bali akan mengadakan rapat konsultasi dengan semua DPD tingkat I dan II se-Indonesia di Bali.
”Dalam rapat itu, semua persoalan akan kami bahas dan akan kami putuskan dalam rapimnas tanggal 18 Januari di Jakarta, termasuk di dalamnya tentang skenario terbaik penyelesaian konflik internal,” kata Bambang.
Adapun DPP Golkar hasil Munas Jakarta sejak awal menyambut baik usulan penyelenggaraan Munas 2016. Bahkan, kepengurusan di bawah kepemimpinan Agung Laksono itu sudah membentuk Tim 7 yang terdiri dari Agus Gumiwang Kartasasmita, Ibnu Munzir, Gusti Iskandar, Zainudin Amali, Taufik Hidayat, Priyo Budi Santoso, dan Ali Wongso. Tim itu dibentuk untuk membicarakan teknis penyelenggaraan munas bersama.
”Waktunya sudah sempit, dalam waktu enam bulan ini konflik sudah harus bisa diselesaikan. Jika tidak, ini bahaya untuk keberadaan partai ke depan. Kami mendukung dan menunggu Mahkamah Partai mengeluarkan rekomendasi solusi terbaik penyelesaian konflik,” kata Ketua DPP Partai Golkar hasil Munas Jakarta Ace Hasan Syadzili.
(AGE)
KOMPAS(Nasional) - Selasa, 05 Jan 2016 Halaman: 02 Penulis: WHY; RYO; GAL Ukuran: 3334 Pengindex: pik.nnk
Partai Golkar
Jusuf Kalla: Munas Tinggal Tunggu Waktu
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar meyakini, penyelesaian konflik internal di Partai Golkar tinggal menunggu waktu. Kedua kubu kepengurusan, yaitu hasil Munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie dan Munas Jakarta yang diketuai Agung Laksono, sudah menyepakati adanya penyatuan pengurus guna menggelar rapat pimpinan nasional, yang disusul kemudian dengan penyelenggaraan musyawarah nasional.
”Jadi, sebenarnya hanya soal waktu. Kita setuju, Pak Agung Laksono dan Pak Aburizal setuju. Menjelang akhir tahun lalu sudah setuju merumuskan penyatuan pengurus. Mudah-mudahan setelah minggu ini bisa dimulai pembicaraannya. Setelah itu, bikin rapimnas membicarakan bagaimana ke depan, di antaranya Munas Golkar,” kata Kalla, Senin (4/1), di Kantor Wapres, Jakarta.
Menurut dia, persetujuan tentang tahapan yang perlu dilalui, seperti rapimnas, sudah disepakati pada 18 Desember 2015. ”Tahapan penyatuan atau
257
rekonsiliasi pengurus di tingkat pusat maupun daerah perlu dilakukan untuk memperjelas siapa yang akan menjadi peserta rapimnas serta untuk menggelar munas,” papar Kalla.
Beberapa hari sebelumnya, Kalla menyatakan, pembentukan pengurus sementara dilakukan dengan menunjuk lima perwakilan dari tiap kubu Partai Golkar yang berseteru (Kompas, 3/1).
Juru bicara Poros Muda Partai Golkar, Andi Sinulingga, menilai, skema yang diusulkan Kalla masuk akal bagi penyelesaian konflik Partai Golkar. ”Dari awal saya setuju dengan munas bersama,” tuturnya.
Namun, kata Andi, lebih tepat jika Mahkamah Partai Golkar (MPG) hasil Munas Riau 2009 yang memberikan lampu hijau bagi pelaksanaan munas. ”Hari Selasa (hari ini) kami berencana bertemu MPG,” ujarnya.
Fungsionaris Partai Golkar Agun Gunanjar Sudarsa menambahkan, sebenarnya sudah ada mekanisme menuntaskan konflik internal di Partai Golkar. ”Di antaranya ada rapat-rapat dan musyawarah, rapimnas, dan munas. Jadi, konflik hanya dapat diselesaikan melalui mekanisme internal partai yang mengedepankan prinsip-prinsip arif, bijak, dan berkeadilan,” kataa Agun.
Sementara itu, walaupun sempat terdengar info kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Bali berencana mendaftarkan kembali kepengurusannya ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, hingga Senin sore, hal itu belum juga menunjukkan tanda-tanda kepastian.
Bendahara Umum DPP Partai Golkar hasil Munas Bali Bambang Soesatyo mengatakan, pengurus masih mempersiapkan persyaratan. ”Sepertinya tidak Senin ini,” ujar Bambang.
Cabut SK
Kementerian Hukum dan HAM akan mencabut surat keputusan (SK) pengesahan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan hasil Muktamar Surabaya yang dipimpin M Romahurmuziy sebelum 15 Januari ini.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum pada Kementerian Hukum dan HAM Aidir Amin Daud menuturkan, langkah itu merupakan respons atas putusan Mahkamah Agung atas sengketa kepengurusan DPP PPP.
Namun, Aidir belum bisa merinci detail surat pembatalan itu serta implikasinya bagi kepengurusan DPP PPP. Ia juga menyampaikan, pembatalan itu tidak langsung diikuti dengan penerbitan SK pengesahan kepengurusan DPP PPP hasil Muktamar Jakarta yang diketuai Djan Faridz. ”Satu-satu dahulu. Pencabutan lebih dulu,” tuturnya.
258
(WHY/RYO/GAL)
KOMPAS(Nasional) - Rabu, 06 Jan 2016 Halaman: 02 Penulis: INA; AGE; WHY Ukuran: 4512 Foto: 1 Pengindex: pik.erna
Munas Dipercepat Jadi Solusi
Hari Ini, Mahkamah Partai Golkar Bersidang
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Partai Golkar hasil Munas Riau 2009, Rabu (6/1) ini, bersidang untuk mencari solusi terkait konflik kepengurusan di partai itu. Terkait hal ini, Ketua MPG Muladi berpendapat, musyawarah nasional yang dipercepat menjadi solusi untuk menyelesaikan konflik.
”Salah satu alternatif penyelesaian adalah munas dipercepat,” kata Ketua Mahkamah Partai Golkar (MPG) Muladi, kemarin.
Seperti diketahui, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia telah mencabut Surat Keputusan (SK) Menkumham yang mengesahkan kepengurusan hasil Munas Golkar di Jakarta, dengan Ketua Umum Agung Laksono. Namun, pemerintah tidak mengeluarkan surat keputusan yang mengesahkan hasil Munas Golkar di Bali, dengan Ketua Umum Aburizal Bakrie.
Dengan tidak adanya pengesahan kepengurusan yang baru itu, kepengurusan Partai Golkar yang diakui pemerintah adalah kepengurusan hasil Munas di Riau tahun 2009. Namun, kepengurusan hasil Munas Riau itu berakhir pada 2015.
Muladi menuturkan, tiga anggota MPG lainnya yang akan menghadiri rapat MPG hari ini, yaitu Andi Mattalatta, Djasri Marin, dan Natabaya, punya sikap serupa dengan dirinya bahwa munas dipercepat jadi alternatif solusi di Golkar.
MPG hasil Munas Riau beranggotakan lima orang. Satu anggota lagi, yaitu Aulia A Rahman, kini bertugas sebagai Duta Besar RI untuk Ceko, tidak akan hadir di rapat MPG hari ini.
Dorongan supaya Munas Partai Golkar segera dilangsungkan, menurut Muladi, disampaikan banyak pihak, termasuk para senior dan pendiri partai. ”Saya bertemu beberapa tokoh penting, pertama Pak Jusuf Kalla, kedua Pak Habibie, kemudian Andi Mattalatta, anggota Mahkamah Partai Golkar, dan beberapa orang lain,” kata Muladi.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar hasil Munas Jakarta Zainudin Amali berpendapat, satu-satunya jalan untuk menyelesaikan konflik internal Golkar adalah menyelenggarakan munas dalam waktu dekat.
Satu-satunya institusi partai yang masih belum demisioner sampai saat ini adalah MPG yang dibentuk pada 2012. Karena itu, MPG dapat merekomendasikan penyelenggaraan munas, lengkap dengan ketetapan
259
teknisnya. Ini berarti MPG yang akan menunjuk orang-orang yang berhak menentukan penyelenggara rapimnas dan munas.
”Bisa dipilih orang yang netral dan punya ketokohan. Jika dari kedua kubu yang berselisih, dikhawatirkan akan lama penyelesaiannya,” kata Zainudin.
Sejumlah nama
Anggota Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Anwar Arifin, menambahkan, dalam pertemuan anggota Wantim dengan anggota MPG, Andi Mattalatta, Senin lalu, diusulkan sejumlah nama tokoh senior sebagai pihak yang akan membentuk panitia penyelenggara munas. Mereka adalah BJ Habibie, Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, serta Aburizal Bakrie dan Agung Laksono sebagai perwakilan tiap-tiap kubu.
”Usulan itu datang dari Pak Andi Mattalatta. Maka, kita sekarang tinggal menunggu hasil sidang dan rekomendasi dari MPG seperti apa,” kata Anwar.
Namun, rapat konsultasi antara pengurus Partai Golkar hasil Munas Bali dan Dewan Pengurus Daerah (DPD) tingkat I di Bali, Senin lalu, merekomendasikan agar munas tidak diselenggarakan sebelum 2019.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Nurdin Halid beralasan, meski Menkumham tidak mengesahkan kepengurusan mana pun setelah mencabut SK kepengurusan hasil Munas Jakarta, kubu Munas Bali masih dianggap sah dari persepsi hukum.
Rapat konsultasi itu juga merekomendasikan adanya peninjauan ulang pola hubungan partai dengan pemerintah. Ini karena, menurut Nurdin Halid, aspirasi sebagian besar DPD tingkat I adalah Golkar harus bergabung dengan pemerintah daripada ada di luar pemerintahan.
Dalam acara itu, DPP Golkar juga didorong memberi teguran kepada Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung karena mengusulkan menyelenggarakan munas.
Menanggapi hal ini, Akbar menyebut rekomendasi rapat konsultasi itu tidak sah karena diselenggarakan oleh kepengurusan Partai Golkar yang tak diakui pemerintah.
(INA/AGE/WHY)
KOMPAS(Nasional) - Kamis, 07 Jan 2016 Halaman: 02 Penulis: AGE; HAR Ukuran: 4850 Foto: 1 Pengindex: pik.nnk
Golkar ke Pemerintah
KMP Terancam Jadi Kekuatan yang Tidak Efektif
260
JAKARTA, KOMPAS — Kepengurusan Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional Bali 2014 yang diketuai Aburizal Bakrie menyatakan keinginannya untuk merapat ke pemerintah. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengapresiasi keinginan itu selama tidak dimaksudkan untuk memperoleh kursi di kabinet.
”Saya apresiasi Pak Ical (Aburizal Bakrie). Yang dimaksud Pak Ical bergabung tentu mendukung pemerintah, bukan untuk menjadi menteri, sebab di kabinet sudah penuh,” kata Kalla sambil tertawa, Rabu (6/1), di Jakarta.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, yang adalah kader PDI-P, juga menyambut baik keinginan pengurus Partai Golkar kubu Aburizal tersebut. ”Namun, jangan ada syarat apa pun karena pemerintah ini bekerja untuk rakyat dan bangsa,” kata Tjahjo Kumolo.
Keinginan Golkar untuk bergabung dengan pemerintah itu disampaikan seusai rapat konsultasi Dewan Pengurus Pusat Partai Golkar hasil Munas Bali dengan pengurus daerah tingkat provinsi di Bali, Senin lalu.
Rapat itu merekomendasikan agar DPP mengkaji ulang pola hubungan dengan pemerintah. Rekomendasi itu akan ditindaklanjuti di Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Golkar di Daerah Istimewa Yogyakarta, 23-25 Januari mendatang.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Nurdin Halid menjelaskan, keinginan pengurus daerah tingkat provinsi agar Golkar merapat ke pemerintahan didasarkan pada pertimbangan historis. Secara ideologis, Golkar sejak lahir sudah menempatkan diri sebagai partai pemerintah.
”Selain itu, pertimbangan lain, di tengah kondisi perpolitikan saat ini, akan lebih banyak manfaatnya apabila Golkar merapat ke pemerintah,” kata Nurdin Halid.
Ketua Harian Partai Golkar hasil Munas Bali MS Hidayat menambahkan, konflik internal yang berkepanjangan di Partai Golkar, yakni antara kepengurusan hasil Munas Bali dan Munas Jakarta, menjadi salah satu pertimbangan khusus kubunya ingin merapat ke pemerintah. Konflik itu membuat Golkar semakin tidak solid secara internal serta merugi.
”Namun, saya rasa pemerintah juga pasti akan mempertimbangkan dulu apakah Golkar bisa melakukan konsolidasi dengan pemerintah? Akan dipertimbangkan kekuatan Golkar yang semakin tidak solid dan dukungannya yang semakin mengecil karena konflik internal. Maka, pada akhirnya semua terpulang ke Golkar sendiri, apakah Golkar bisa mengonsolidasi kekuatannya dan menyelesaikan konflik internalnya dalam waktu dekat atau tidak,” kata Hidayat.
Kalkulasi politik
Hidayat menuturkan, Koalisi Merah Putih (KMP), dimana Golkar hasil Munas Bali ada di dalamnya, secara faktual ke depan tidak lagi menjadi kekuatan
261
politik yang efektif.
”Kenyataan itu harus dihadapi. Semua anggota parpol di KMP secara individu pasti punya perhitungan politik tersendiri. KMP menjadi tidak efektif karena satu per satu partai dengan masalah internal masing-masing akan memiliki kalkulasi politik sendiri dan memutuskan merapat ke pemerintahan,” tutur Hidayat.
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, partainya menghormati keputusan apa pun yang akan diambil oleh Partai Golkar di kemudian hari. KMP yang selama ini berada di luar pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak mengintervensi keinginan Golkar. Namun, ia khawatir, dengan semakin banyaknya partai politik yang merapat ke pemerintahan, kekuatan penyeimbang akan terganggu.
”Sebenarnya akan lebih efektif kalau kekuatan pemerintah dan kekuatan di luar pemerintah itu seimbang. Namun, kalau mayoritas (partai politik) mutlak ke sana (pemerintah), tentu saja pengawasan bisa menjadi tidak efektif,” kata Muzani.
Pada tahun 2015, Partai Amanat Nasional (PAN) yang sebelumnya bergabung dengan KMP resmi mengumumkan merapat ke pemerintahan. Pada akhir tahun lalu, meski menegaskan tetap menjadi bagian KMP, Partai Keadilan Sejahtera mendatangi Istana Negara dan bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo untuk bersilaturahim. Kini, Partai Golkar menyusul mengutarakan keinginan merapat ke pemerintahan. Padahal, Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Aburizal Bakrie saat ini masih menjabat Ketua Presidium KMP.
”Kami masih berprasangka baik. Masih menganggap KMP eksis sampai sekarang. Kami harus percaya tokoh-tokoh KMP yang sampai sekarang menyediakan diri dalam hubungan emosi dengan KMP. Hubungan emosional di antara partai-partai politik di KMP sangat terjaga,” kata Muzani.(AGE/HAR)
KOMPAS(Nasional) - Jumat, 08 Jan 2016 Halaman: 02 Penulis: NTA; AGE; INA; OSA Ukuran: 3951 Pengindex: pik.erna
Golkar Terancam Bubar
Pergantian Ketua DPR Munculkan Polemik
JAKARTA, KOMPAS — Partai Golkar dikhawatirkan bubar jika konflik internal di tubuh partai politik itu terus dibiarkan. Oleh karena itu, semua pihak diminta untuk bersama-sama menyelesaikan konflik dengan menggelar musyawarah nasional bersama.
Kekhawatiran itu disampaikan mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar Hajriyanto Y Thohari di Jakarta, Kamis (7/1). ”Kalau konflik dibiarkan, Partai Golkar menuju limbo (batas) sejarah. Mungkin
262
memang hanya sampai di sini masa berlaku Partai Golkar. Masa peredarannya sudah selesai,” tuturnya.
Politikus senior Partai Golkar itu menilai, perpecahan internal Partai Golkar sudah tergolong parah dan eksesif. Konflik tidak hanya di antara dua kubu DPP Partai Golkar, yakni kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono, tetapi juga di internal kedua kubu.
Faksi-faksi muncul di kubu Aburizal dan kubu Agung. Faksi-faksi di tiap-tiap kubu itu saling jegal dan menjatuhkan.
Kondisi itu salah satunya terlihat dalam pergantian pimpinan Fraksi Partai Golkar (F-PG) di DPR. Setelah ditunjuk menjadi Ketua F-PG oleh Aburizal, Setya Novanto mengganti kepengurusan F-PG. Salah satunya jabatan Sekretaris F-PG yang sebelumnya dipegang oleh Bambang Soesatyo diberikan kepada Aziz Syamsuddin. Padahal, pengajuan Novanto sebagai Ketua F-PG belum ditetapkan oleh pimpinan DPR.
”Peta konflik Golkar sekarang ini sangat mengerikan. Ini semua akibat pembiaran para elite Golkar,” tutur Hajriyanto.
Jika Partai Golkar tidak ingin bubar, Hajriyanto menyarankan agar para elite partai segera menyelesaikan konflik. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk menyelesaikan konflik adalah munas bersama. ”Tidak ada jalan keluar lain, kecuali munas,” katanya.
Revisi UU MD3
Kendati saat ini tak ada kepengurusan Partai Golkar yang diakui pemerintah, pengajuan kader partai itu, yakni Ade Komaruddin, sebagai calon ketua DPR pengganti Novanto tetap akan diproses.
Pelaksana Tugas Ketua DPR Fadli Zon menegaskan, DPR akan menggunakan mekanisme penggantian pimpinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) serta Peraturan DPR No 1/2014 tentang Tata Tertib DPR. Dalam peraturan itu dinyatakan, pimpinan yang mengundurkan diri digantikan oleh anggota lain dari fraksi yang sama. Dengan demikian, yang berhak mengajukan pengganti Novanto adalah F-PG.
Namun, Wakil Ketua Fraksi PDI-P di DPR Arif Wibowo berpendapat, proses pergantian ketua DPR akan sulit dilakukan karena tidak ada kekuatan hukum yang kini mendasari Partai Golkar.
Untuk itu, lanjut Arif, posisi ketua DPR sebaiknya dipegang dulu oleh Pelaksana Tugas Ketua DPR, yaitu Fadli Zon.
PDI-P selanjutnya mendorong adanya revisi UU MD3 dengan tujuan mengembalikan kursi pimpinan DPR berdasarkan asas proporsionalitas
263
perolehan kursi di DPR.
Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Dimyati Natakusumah mendukung rencana revisi UU MD3 dan pengocokan ulang kursi pimpinan DPR. Menurut dia, agar situasi kondusif, pembagian jatah kursi kepemimpinan di DPR harus dilakukan secara proporsional.
Menurut Dimyati, kondisi peta perpolitikan di DPR yang kini praktis tanpa batas jelas antara koalisi partai politik pendukung pemerintah dan oposisi akan membantu mempermudah proses revisi UU MD3.
Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional Yandri Susanto khawatir, usulan perombakan UU MD3 itu akan menimbulkan kegaduhan yang akhirnya mengganggu kinerja DPR.
Selain itu, tambah anggota Badan Legislasi DPR, Martin Hutabarat, revisi UU MD3 membutuhkan waktu yang panjang. Sebelum dibahas, revisi UU MD3 harus diusulkan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Jika ingin dibahas di tahun 2016, revisi UU MD3 harus diusulkan pula menjadi RUU prioritas Prolegnas 2016.
Sampai saat ini, lanjut Martin, belum ada komisi, fraksi, ataupun anggota yang secara resmi mengusulkan revisi UU MD3.
(NTA/AGE/INA/OSA)
KOMPAS(Nasional) - Sabtu, 09 Jan 2016 Halaman: 01, 15 Penulis: NSA; TAM; AGE; NTA Ukuran: 4827 Pengindex: pik.susy
Konflik Partai Golkar
Munas Bersama Menjadi Solusi
JAKARTA, KOMPAS — Musyawarah nasional bersama menjadi solusi yang paling mungkin bagi Partai Golkar untuk mengakhiri konflik kepengurusan. Dua kubu kepengurusan di partai itu, yaitu hasil Munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie dan hasil Munas Jakarta yang diketuai Agung Laksono, perlu segera duduk bersama untuk mempercepat penyelenggaraan munas itu pada tahun ini.
Munas bersama ini, menurut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Bahtiar Effendy, Jumat (8/1), di Jakarta, juga mendesak dilakukan karena pada awal 2017 akan digelar pilkada serentak.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, menambahkan, munas bersama itu dibutuhkan bagi Golkar untuk membentuk kepengurusan yang sah. Dengan demikian, partai itu dapat optimal mengikuti
264
pilkada 2017 yang tahapannya akan dimulai pertengahan tahun ini.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia telah mencabut surat keputusan (SK) Menkumham yang mengesahkan kepengurusan hasil Munas Golkar di Jakarta. Namun, pemerintah tidak mengeluarkan SK yang mengesahkan hasil Munas Golkar di Bali. Dengan demikian, kepengurusan Partai Golkar yang diakui pemerintah adalah kepengurusan hasil Munas Riau pada 2009. Namun, kepengurusan itu telah berakhir pada 2015.
Meski masih terlibat konflik kepengurusan, Golkar diperbolehkan mengikuti pilkada serentak pada Desember 2015. Akan tetapi, dari 264 daerah yang saat itu menggelar pilkada, kata Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung, Golkar hanya ikut di 116 daerah dan menang di 49 daerah. (Kompas, 2/1).
Namun, Bahtiar mengingatkan, munas hanya merupakan jalan keluar jangka pendek bagi Golkar untuk menyelesaikan konflik. Hal yang tidak kalah penting adalah kedewasaan para elite partai dalam menyikapi dinamika di internal Partai Golkar.
”Golkar harus berani mengambil sikap bahwa dinamika di dalam partai tidak bersifat zero-sum game (saling mematikan). Sifat itu merupakan penyakit kronis bagi demokrasi sehingga harus dihindari,” ujarnya.
Taufiq Hidayat, Ketua DPP Partai Golkar kubu Agung Laksono, juga mengatakan, munas merupakan satu-satu jalan untuk menyelamatkan Partai Golkar. Oleh karena itu, dia meminta pengurus Golkar kubu Aburizal Bakrie menunjukkan itikad baik dengan bersama-sama menggelar munas.
”Sekarang seharusnya semua fokus untuk menyelamatkan Partai Golkar,” katanya.
Terpecah
Pengurus Partai Golkar hasil Munas Bali menanggapi ajakan munas bersama ini secara berbeda. Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmadi Noor Supit dan Ketua Harian Partai Golkar MS Hidayat menyetujui ajakan itu.
”Partai ini bukan perusahaan yang dimiliki pribadi atau golongan. Munas harus dilihat sebagai solusi yang harus disadari dan diterima semua pihak, termasuk Pak Aburizal. Apalagi, sudah banyak desakan untuk munas, termasuk dari para tokoh senior dan pinisepuh yang dihormati,” kata Noor Supit,
Desakan agar munas bersama segera diselenggarakan sudah disuarakan sejumlah tokoh senior Golkar, seperti Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, dan BJ Habibie. Para kader muda Golkar juga sudah menyampaikan aspirasi serupa.
”Dari banyaknya opini publik, pendapat para sesepuh, semua menghendaki konsolidasi secara internal melalui penyelenggaraan munaslub (munas luar biasa). Saya kira itu merupakan hal yang harus dihadapi partai,” kata MS
265
Hidayat.
Bendahara Umum DPP Partai Golkar hasil Munas Bali Bambang Soesatyo mengatakan, munas atau munas luar biasa bisa saja digelar jika diusulkan dan didukung oleh dua pertiga DPD I di seluruh Indonesia. ”Jadi, keputusan munas atau tidak serahkan saja pada DPD I,” katanya.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Sharif Cicip Sutardjo mengatakan, suara yang muncul dari faksi-faksi di internal kubu Bali patut dihargai dan dijadikan masukan.
Terkait hal itu, hari Minggu (10/1), kubu Munas Bali akan mengadakan rapat pengurus yang dipimpin Aburizal Bakrie. Wakil Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Fadel Muhammad menyebutkan, tiga agenda akan dibahas. Pertama, keinginan agar Golkar tetap bisa bersatu. Kedua, usulan penyelenggaraan munas 2016. Ketiga, tindak lanjut dari langkah Menkumham mencabut SK kepengurusan partai.
Rajamin Sirait, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Sumatera Utara kubu Agung Laksono, berharap konflik di tubuh partainya segera berakhir.
”Kami sudah merasakan betapa rugi Partai Golkar pada pilkada Desember lalu. Banyak kader Golkar gagal mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Kalaupun bisa mencalonkan, harus menghadapi sengketa yang berkepanjangan,” ujar Rajamin.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Kota Bandung Deden Y Hidayat menuturkan, konflik yang terjadi selama satu tahun terakhir ini telah menguras energi dan tidak efektif bagi perkembangan Partai Golkar. (NSA/TAM/AGE/NTA)
KOMPAS(Nasional) - Selasa, 12 Jan 2016 Halaman: 02 Penulis: WHY; NDY Ukuran: 3691 Pengindex: pik.pry
Presiden Panggil Kedua Kubu
Konflik yang Berkepanjangan Menyulitkan Partai Golkar
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo memanggil pimpinan dari kedua kubu Partai Golkar yang berseteru, Senin (11/1). Presiden berharap konflik partai tersebut segera diakhiri. Konflik yang berkepanjangan dikhawatirkan akan memengaruhi proses pemerintahan ataupun hubungan di legislatif.
Meredanya konflik Partai Golkar juga diharapkan bisa menciptakan stabilitas politik, yang secara tidak langsung membawa dampak bagi program pemerintah, terutama dalam percepatan pembangunan.
266
Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan, Presiden menginginkan agar partai politik menjadi elemen penting dalam berdemokrasi.
”Diharapkan semua partai yang sedang menghadapi masalah internal harus segera melakukan sinergi, konsolidasi, dan segera menyelesaikan konfliknya, serta terus berpartisipasi dalam mengembangkan demokrasi yang sehat,” kata Pratikno.
Pimpinan kedua kubu Partai Golkar, kemarin, bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta. Namun, mereka diterima Presiden secara terpisah. Awalnya Presiden menerima Ketua Umum Partai Golkar versi Musyawarah Nasional (Munas) Ancol, Jakarta, Agung Laksono. Setelah itu, Presiden menerima Ketua Umum Partai Golkar versi Munas Bali Aburizal Bakrie.
Seusai bertemu Presiden, kepada wartawan Agung menyatakan, dalam pertemuan itu Presiden lebih banyak mendengarkan apa yang disampaikannya.
Kepada Presiden, lanjut Agung, dia menyampaikan bahwa penyelesaian konflik Partai Golkar hanya bisa dilakukan melalui Mahkamah Partai Golkar, yang merupakan satu-satunya institusi partai yang memiliki legalitas.
”Partai Golkar ada, pemimpinnya ada. Namun, tidak ada satu pun pihak yang mengantongi izin resmi pemerintah. Baik kubu Munas Ancol yang dicabut maupun Munas Bali yang tidak disahkan, begitu pun munas hasil Riau yang sekarang sudah habis masa berlakunya. Ini tentu akan menyulitkan kehidupan partai dan menyulitkan dalam kontribusinya bagi negara,” kata Agung.
Menurut Agung, pihaknya tidak ingin berlama-lama dengan kondisi seperti saat ini, di mana Partai Golkar terbelah. Adapun jalan keluar yang bisa diambil Partai Golkar adalah menggelar musyawarah nasional luar biasa (munaslub), dengan panitia penyelenggaranya dan pesertanya melibatkan dua kubu.
Sekitar 10 menit setelah Agung Laksono bertemu Presiden, di tempat yang sama Aburizal Bakrie juga bertemu Presiden. Bedanya, Agung datang ke Istana sendiri, sedangkan Aburizal datang didampingi Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham.
Sementara itu, Aburizal Bakrie mengungkapkan, konflik dualisme kepengurusan di Partai Golkar sudah selesai dengan pencabutan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pengesahan PP Partai Golkar versi Munas Jakarta, serta putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Pengadilan Tinggi Jakarta tentang keabsahan DPP Partai versi Munas Bali..
267
Bergabung pemerintah
Kehadirannya di Istana, menurut Aburizal, untuk memberikan dukungan dan bergabung duduk bersama pemerintah. ”Untuk melakukan suatu pembangunan dalam keadaan yang sangat sulit ini, diperlukan suatu stabilitas politik. Partai merasa sebagai suatu partai yang cukup besar harus bisa duduk bersama pemerintah untuk dapat memantapkan stabilitas politik dalam menjalankan pembangunan nasional,” katanya.
Langkah tersebut, menurut Aburizal, sudah dikomunikasikan baik dengan Prabowo Subianto maupun dengan pimpinan partai lain yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung menambahkan, pemerintah berharap konflik yang dihadapi parpol, termasuk di Partai Golkar, bisa segera diselesaikan dengan mekanisme internal partai.
(WHY/NDY)
HARIAN REPUBLIKA
268
DATA REPUBLIKA
REPUBLIKA -- Rabu, 19 Nopember 2014 Halaman : 4 Penulis :
antara ed: Muhammad Fakhruddin Ukuran : 2547 bytes Satu Suara
DPD Rp 700 Juta
Aroma politik transaksional menyeruak menjelang Musyawarah
Nasional (Munas) IX Golkar.
Meski sulit dibuktikan, dalam setiap munas pemilik suara akan menerima
sejumlah dana yang sangat banyak dan pemberian dana berasal dari tim
pemenangan calon ketua umum.
Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Partai Golkar Sulawesi
Selatan HM Roem memprediksi, di Munas Golkar yang akan digelar pada
2015, harga satu suara akan sedikit lebih tinggi, yakni mencapai Rp 700
juta. HM Roem menilai, harga satu suara sebesar Rp 700 juta di
Musyawarah Nasional Golkar itu masih terbilang kecil. "Di Munas lalu,
satu suara harganya Rp 500 juta. Saat itu, pertarungan antara Surya
Paloh dan Aburizal Bakrie (Ical) untuk menduduki Ketua Umum,"
ungkapnya di Makassar, Senin (18/11)
Menurut HM Roem, dana tersebut sengaja disiapkan untuk biaya
operasional tim, termasuk uang saku bagi pemilik hak suara. Meski
demikian, Ketua DPRD Sulsel ini berharap, tidak ada lagi politik uang yang
terjadi di munas mendatang.
Hal itu demi menghindari terjadinya konflik internal. "Kita berharap, tidak
ada lagi hal-hal seperti ini karena kalau ini berlangsung terus akan
merusak tatanan demokrasi," ucapnya.
Mantan Ketua Komisi A DPRD Sulsel ini juga menjelaskan, bila satu DPD
II atau DPD I dapat saja meraih dana yang lebih banyak bila mencoba
bermain di sejumlah calon yang akan maju. "Mereka bisa saja membagi
diri, ada yang bergabung dengan calon A, B, C, dan seterusnya. Padahal,
suaranya di munas hanya satu yang masuk bilik untuk memilih, yakni
ketua DPD. Jadi, memungkinkan ada DPD yang mendapat Rp 1 miliar
lebih, bergantung bagaimana mereka bermain," jelasnya.
Bendahara DDPD I Partai Golkar Jawa Tengah Sasmito mewaspadai
potensi terjadinya praktik politik uang pada pemilihan ketua umum.
Sasmito secara tegas meminta Partai Golkar untuk mulai meninggalkan
praktik politik uang dalam pemilihan ketua umumnya. "Perlu ada
pengawasan agar pemilihan ketua umum pada munas mendatang benar-
benar bebas dari politik uang," ujarnya.
269
Ia mengharapkan, setiap calon ketua umum yang akan maju pada munas
mempunyai program dan rencana kebijakan untuk membangun Partai
Golkar di masa mendatang.
Ketua DPD I Partai Golkar Jateng Wisnu Suhardono menambahkan,
pihaknya membebaskan seluruh DPD II Partai Golkar di wilayah Provinsi
Jateng untuk memilih ketua umum.
"Silakan menilai masing-masing calon ketua umum untuk kebaikan
Golkar, khususnya Golkar Jateng ke depan," katanya. antara ed:
muhammad fakhruddin
REPUBLIKA - Rabu, 19 Nopember 2014 Halaman : 4 Penulis : Heri
Purwata Ukuran : 3393 bytes
Ical Berharap Munas IX Fair
Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Priyo Budi Santoso bertemu di
Kraton Kidul, Yogyakarta.
YOGYAKARTA -- Partai Golkar menggelar Rapat Pimpinan Nasional
(Rapimnas) VII Partai Golkar di Yogyakarta pada 18-19 November 2014.
Rapimnas digelar guna mempersiapkan Musyawarah Nasional (Munas) IX
Golkar dengan agenda utama pemilihan ketua umum (ketum).
Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie berharap proses persaingan
untuk memperebutkan posisi ketum dalam Musyawarah Nasional IX partai
berlambang beringin itu berlangsung secara fair. "Kita (kader Partai
Golkar) harus berani membangun demokrasi yang fair dengan
menonjolkan prinsip persaingan yang sportif," kata Ical, sapaan akrab
Aburizal saat membuka Rapimnas VII Partai Golkar di Yogyakarta, Selasa
(18/11).
Demokrasi yang fair dan sehat, menurut dia, dapat dikatakan berhasil
hanya apabila kader yang kalah kemudian juga dapat mendukung
sepenuhnya kader yang menang. "Yang menang juga harus memegang
prinsip 'menang tanpa ngasorake' (menang dengan tidak menunjukkan
kesombongan). Itu penting untuk kebesaran Partai Golkar," ujar Ical.
Saat ini, terdapat sedikitnya tujuh bakal calon ketum Partai Golkar, antara
lain Agung Laksono, Hajriyanto Thohari, Agus Gumiwang, Priyo Budi
Santoso, Zainuddin Amali, MS Hidayat, dan Airlangga Hartanto. Ical
diprediksi bakal kembali maju mencalonkan diri sebagai ketum Golkar
periode selanjutnya.
Tokoh senior Partai Golkar sekaligus Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menilai, Partai Golkar perlu
melakukan regenerasi kepemimpinan agar tetap menjadi partai besar.
"Periode kepemimpinan di Partai Golkar adalah lima tahunan, setelah satu
periode berakhir perlu ada regenerasi kepemimpinan," kata Sultan usai
bertemu dengan calon ketum Partai Golkar Priyo Budi Santoso.
Sultan dan Priyo Budi Santoso melakukan pertemuan tertutup di
kediaman Sultan di Kraton Kidul, Yogyakarta, pada Senin (17/11) malam
270
mulai pukul 22.30 WIB. Sultan mendorong kader muda potensial agar
diberikan kesempatan untuk memimpin Partai Golkar.
Sementara itu, Priyo Budi Santoso hanya tersenyum ketika disinggung
apakah pertemuan tertutup itu menunjukkan dukungan dari Sultan
terhadap dirinya yang maju sebagai calon ketum Partai Golkar. "Dalam
pertemuan itu, saya dan Sultan hanya membicarakan berbagai
permasalahan bangsa secara nasional. Bicara Partai Golkar malah sedikit
sekali," kata Priyo.
Pengamat Politik dari Saiful Mujani Research and Consulting, Djayadi
Hanan, menyarankan agar Golkar meniru PDI Perjuangan yang banyak
membuka ruang bagi kader muda untuk memimpin.
Djayadi mencontohkan kesuksesan PDIP dengan melahirkan pemimpin,
seperti Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, Tri Rismaharini di Surabaya
hingga Presiden Jokowi.
Kalau diperhatikan di Golkar figur-figur mudanya kan belum. Tokoh-tokoh
di Golkar saat ini justru masih orang-orang yang masih berkaitan dengan
orde baru, kata Djayadi.
Meski demikian, menurut Djayadi, berarti Golkar tidak memiliki kader-
kader muda potensial. Sebagai partai yang dewasa berpolitik, menurut
Direktur Eksekutif SMRC ini, justru Golkar punya banyak kader-kader
muda yang potensial.
Hanya, saat ini kepengurusan di Golkar, menurut dia, tengah terjadi
oligarki kepemimpinan yang menghalangi kader-kader muda untuk unjuk
gigi. Itu lah problem utama di Golkar yang harus diselesaikan, ucap
Djayadi. n c01/c08 ed: muhammad fakhruddin
REPUBLIKA -- Sabtu, 23 Agustus 2014 Halaman : 9 Penulis :
c54/c87, Irfan Fitrat, Erdy Nasrul Ukuran : 3605 bytes
Koalisi Merah Putih Klaim Solid Keretakan koalisi pendukung
Prabowo-Hatta diyakini akan terjadi dalam waktu dekat.
JAKARTA Harapan par tai Koalisi Merah Putih pendukung pasangan
caprescawapres Prabowo Subianto- Hatta Rajasa tidak terpenuhi di
Mahkamah Kontitusi (MK). Majelis hakim kontitusi pada Kamis (21/8) telah
menolak seluruh permohonan Prabowo-Hatta. Tapi, pascaputusan MK,
barisan partai dalam Koa lisi Merah Putih masih menyatakan solid.
Wakil Ketua Umum DPP Par tai Golkar Fadel Muhammad mengatakan,
partainya menghargai dan menghormati ke putusan mahkamah. Ia meng
indikasikan putusan itu tidak mengubah posisi Partai Golkar. Kami tetap di
Koalisi Me rah Putih, solid, ujar Fadel, ke pada Republika, Jumat (22/8).
Dengan berada di dalam koalisi Merah Putih, konsekuensinya Partai
Golkar akan berada di luar pemerintah. Fadel menilai, partainya sudah
siap untuk berada pada posisi itu. Tidak ada masalah di luar dan di dalam
pemerintahan. PDIP (PDI Perjuangan) pun dulu seperti itu, kata man tan
menteri Kelautan dan Perikanan itu.
271
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah
pun menga takan, partainya masih mempunyai tugas ke depan. Semua
siap ke depan untuk menyongsong kehidupan politik yang lebih baik,
ujarnya, kemarin.
Menurut Fahri, PKS akan te tap berada di koalisi Merah Putih. Ia pun
mempunyai keyakinan partai lain akan tetap solid memegang komitmen
untuk tetap berada dalam koa lisi tersebut. Ia mengata kan, pimpinan
partai Koalisi Me rah Putih pun sepakat un tuk tetap ber satu. Semua ha
dir menyata kan sikap yang sa ma. Semua menerima (putus an MK). Se
mua siap, kata Fahri. Juru Bicara Tim Perjuangan Merah Putih Ali Mochtar
Ngabalin, kemarin, menyampaikan pesan dari Prabowo.
Kita tidak berhenti, tapi inilah awal dari sebuah perge rakan awal, sebuah
tantangan baru kita, awal dari kita me mulai melakukan konsolida si, ujar
dia selepas menjadi pem bicara dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat,
Jumat (22/8).
Koalisi Merah Putih, menu rut Ngabalin, sudah siap menjadi kekuatan
penyeimbang, baik di parlemen ataupun di luar pemerintahan. Ia
mengingatkan, kekuasaan itu memiliki kecenderungan untuk koruptif dan
otoriter. Ia me nilai, pemerintahan ke depan pun tidak mustahil akan
masuk ke dalamnya. Karena itu, harus ada kekuatan penyeimbang, ujar
politikus Partai Golkar itu.
Ketua Umum PAN Hatta Ra jasa juga sempat memaparkan komitmennya
untuk tetap bersama Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat,
PKS, PPP, dan PBB, dalam koa lisi Merah Putih. Kita akan tetap bersama-
sama, im buhnya di Jakarta, seusai bertemu pimpinan koalisi di salah satu
hotel di Jakarta, Jumat (22/8) dini hari WIB.
Sekretaris Jenderal PAN Taufik Kurniawan menyatakan, pertemuan
pimpinan koalisi bagian dari konsolidasi. Intinya, penegasan Koalisi Merah
Putih konsisten ber ada di luar pemerintahan.
Dia membantah isu yang beredar bahwa PAN akan bergabung dalam
koalisi Jokowi- JK. Sudah jelas keputusannya, PAN tetap dalam Koalisi
Merah Putih, kata Taufik Pengamat politik Lingkar Madani Indonesia (Lima
Indonesia) Ray Rangkuti berpandangan, keretakan dalam tubuh Koalisi
Merah Putih akan terjadi dalam waktu dekat.
Menurut Ray, koalisi yang berlandaskan kepentingan pragmatis sangat
mudah sekali goyah. Saya percaya, dalam hitungan bulan akan retak
karena basisnya isu, kata Ray.
Pengamat Politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sudjito
menambahkan, kekuatan Koalisi Merah Putih pendukung Prabowo-Hatta
ting gal 40 persen. Ikatan mereka tidak kuat, kata Arie. c54/c87 ed: andri
saubani
REPUBLIKA -- Kamis, 14 Agustus 2014 Halaman : 4 Penulis : elba
damhuri / Muhammad Iqbal Ukuran : 4362 bytes
Ical Minta Calon Ketum Taat Aturan
272
JAKARTA -- Politisi senior Partai Golkar MS Hidayat telah
mendeklarasikan diri sebagai calon ketua umum partai berlambang
beringin. Hidayat mengaku tidak memusingkan, apakah musyarawah
nasional Golkar untuk memilih ketua umum dihelat pada 2014 atau
2015."Jadi, keinginan Pak Ical (Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie) itu
para calon yang akan mengikuti munas diminta menaati keputusan partai,"
kata MS Hidayat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (13/5).
Pada prinsipnya, lanjut Hidayat, dia tidak ingin berbenturan dengan
regulasi atau aturan yang ditetapkan partai. Sekarang 2015, andai kata
dipercepat, saya ikut ketentuan," kata Hidayat yang juga menjabat
sebagai menteri perindustrian itu.
Terkait pencalonannya, Hidayat mengaku telah memperoleh restu dari
Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie. "Saya minta izin baik-baik. Dan
kemudian beliau mengizinkan dan beliau minta agar mengikuti aturan
yang sudah diputuskan oleh DPP," kata Hidayat.
Jika terpilih, Hidayat mengaku akan melaksanakan reorganisasi,
regenerasi, hingga revitalisasi, agar program-program Golkar lebih
realistis dan tajam.
Mantan jaksa agung Marzuki Darussman menilai, deklarasi pencalonan
MS Hidayat sebagai ketua umum Partai Golkar tidak ada sangkut pautnya
dengan kisruh internal partai itu. Menurut Marzuki, selaku Ketua Tim
Sukses MS Hidayat, pencalonan Hidayat sebagai ketua umum partai
berlambang Pohon Beringin itu telah dirancang dan dipersiapkan sejak
lama.
Pencalonan Pak MS Hidayat adalah terkait pengambilalihan partai. Kita
tidak berseteru dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, kata
Marzuki dalam siaran pers kepada Republika, Rabu (13/8).
Hidayat yang mengawali kariernya sebagai pengusaha adalah seorang
aktivis politik sejak awal berdirinya Partai Golkar. Berbagai aspek politik,
katanya, telah melekat dalam pribadi Hidayat.
Marzuki mengaku optimistis sebagai tokoh senior Hidayat akan mampu
mengayomi dan mengakomodasi berbagai kepentingan di internal Partai
Golkar.
Selain Hidayat, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar sekaligus
Wakil Ketua Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) Hajriyanto Thohari,
mengaku siap menjadi calon ketua umum. Hajriyanto tidak menghiraukan
waktu munas. "Kalau saya kelihatannya sudah siap maju sebagai calon
ketua umum tahun 2014, saya akan pilih 2014. Tapi, kalau siapnya saya
ini 2015, ya saya akan condong memilih yang 2015," kata Hajriyanto.
Sebagai persiapan, Hajriyanto bersama rekan-rekannya tengah
memetakan semua aspek. Ia menjalaninya dengan rileks. "Kita akan
maju santai, karena slogan kita ber-Golkar dengan gembira. Selama ini
kita melihat ber-Golkar ini tidak gembira."
273
Wakil Sekjen DPP Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menegaskan, tidak
ada perdebatan lagi ihwal munas partainya, sebab mayoritas Dewan
Pimpinan Daerah (DPD) Golkar sudah meminta munas dilakukan tahun
depan. "Sebanyak 31 dari 33 DPD Golkar tingkat provinsi menyatakan
secara tertulis mendukung pelaksanaan munas 2015, jadi sebetulnya
tidak ada perdebatan lagi," kata Doli.
Dia mengatakan, saat ini ada dua penafsiran terkait Munas Golkar, yakni
apakah munas kesembilan dilakukan sesuai AD/ART yakni tahun ini, atau
sesuai rekomendasi khusus bahwa munas kesembilan dilakukan 2015.
Dia menekankan, baik ketentuan AD/ART maupun rekomendasi khusus
itu kedua-duanya merupakan produk dari munas.
Untuk menentukan mana yang lebih kuat pengaruhnya, maka harus
dilakukan munas luar biasa. "Sedangkan munas luar biasa itu baru bisa
terlaksana atas permintaan 2/3 DPD tingkat provinsi. Masalahnya 31 DPD
sudah meminta munas dilakukan 2015," kata dia menegaskan.
Dia juga menyerukan bahwa Ketua Umum Aburizal Bakrie telah
menegaskan bahwa pemberlakuan munas tahun depan bukanlah
kemauan pribadi melainkan sebuah amanat yang telah disampaikan.
Sebelumnya sejumlah kader Golkar lintas generasi mendorong munas
diberlakukan tahun ini sesuai jadwal, karena mereka menilai posisi Golkar
sudah keluar dari jalurnya. Mereka juga menilai kepemimpinan Ical di
Golkar sangat otoriter, contohnya dengan memecat kader hanya karena
mendukung pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dalam
Pilpres 2014. , elba damhuri/antara ed: muhammad fakhruddin
REPUBLIKA - Rabu, 25 Februari 2015 Halaman : 3 Penulis : c02/c05/Bambang Noroyono Ukuran : 3261 bytes Konflik Golkar Dikembalikan Ke Mahkamah Partai JAKARTA -- Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Selasa (24/2), menolak mengadili konflik dualisme Partai Golkar. Penolakan itu merupakan putusan sela pengadilan, menjawab eksepsi tergugat dari pengacara kepengurusan Golkar Munas Ancol, atas penggugat Golkar Munas Bali. Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim Oloan Harianja mengatakan, pengadilan tingkat satu itu tak punya kompetensi menjadi pengadil dualisme partai. Dalam runutan putusan selanjutnya, hakim memutuskan, mengembalikan penyelesaian kepengurusan Golkar ke mekanisme partai. “Dengan ini menyatakan, gugatan atas penggugat tidak dapat diterima,” kata Hakim Oloan, di PN Jakarta Barat. Ditambahkan olehnya, dengan putusan tersebut, hakim menerima eksepsi tergugat dan membebankan biaya peradilan sebesar Rp 1,2 juta kepada penggugat. Dijelaskan Hakim Oloan, putusan majelis berpijak pada ketentuan UU Partai Politik Nomor 2/2011. Terutama pasal 32 yang menyatakan
274
sengketa partai harus diselesaikan di internal partai, berupa mahkamah partai atau apa pun namanya. Proses itu, harus dilalui sebelum diajukan ke pengadilan. Oloan menambahkan, saat ini proses pengadilan di internal Partai Golkar sedang berlangsung. Hal tersebut dibuktikan hakim dengan adanya surat berkop Mahkamah Partai Golkar (MPG), yang meminta PN Jakarta Barat tidak memutuskan perkara Golkar, lantaran MPG masih bersidang. Menanggapi putusan itu, Partai Golkar hasil Munas Bali akan menempuh jalur kasasi di Mahkamah Agung (MA). “Saya ikut hadir dalam rapat internal DPP Partai Golkar (hasil Munas Bali) pascaputusan sela PN Jakarta Barat. Golkar akan menempuh kasasi ke Mahkamah Agung,” kata kuasa hukum Golkar kubu Aburizal Bakrie, Yusril Ihza Mahendra kepada wartawan. Putusan ini bermula dari gugatan Ketua Umum Golkar Munas Bali, Aburizal Bakrie (ARB), terhadap Ketua Umum Golkar Munas Ancol, Agung Laksono. Kedua pucuk pemimpin partai ini saling berebut soal kepengurusan Golkar yang sah. Agung pun menggugat persoalan serupa di PN Jakarta Pusat. Putusan di PN Jakarta Pusat pun sama, menolak gugatan Agung, dan mengembalikan penyelesaian konflik tersebut ke MPG. Pascaputusan PN Jakarta Pusat tersebut, Ketua MPG Golkar, Rabu (18/2), memutuskan untuk bersidang. Putusan MPG, akan dibacakan pada Rabu (25/2). *Munas bersama *Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Partai Golkar Akbar Tandjung mengatakan, pihaknya telah mengirimkan surat permohonan intervensi kepada Mahkamah Partai Golkar. Ini bertujuan untuk memutuskan penyelenggaraan munas bersama antara kedua kubu yang berselisih di internal Partai Beringin. “Kami (jajaran Wantim) telah menyiapkan surat yang akan disampaikan kepada Mahkamah Partai Golkar dalam bentuk permohonan intervensi terhadap situasi yang sudah berjalan antara pengurus Bali (kubu Aburizal Bakrie) dan Ancol (kubu Agung Laksono),” kata Akbar. Akbar mengatakan, melalui surat itu, Dewan Perangan memohon Mahkamah Partai Golkar bisa mempertimbangkan mengeluarkan putusan terkait perlunya penyelenggaraan munas bersama. Dewan Pertimbangan memandang penyelenggaraan munas bersama adalah jalan tengah terbaik dan tercepat untuk menyelesaikan persoalan internal Golkar secara tuntas. n c02/c05 ed:muhammad hafil Kamis , 26 February 2015, 13:00 WIB Saksi Ungkap Politik Uang
275
JAKARTA — Sidang Mahkamah Partai Golkar di kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta, kembali digelar pada Rabu (25/2). Dalam persidangan, keterangan saksi dari kubu Aburizal Bakrie (Ical) menyatakan adanya pemberian uang untuk mengikuti musyawarah nasional di Ancol, Jakarta. Kesaksian serupa sempat disampaikan saksi pihak pemohon (Agung Laksono), Achmad Goesra, pada 17 Februari lalu. Mantan bendahara umum Partai Golkar itu mengaku mendapat transfer uang miliaran rupiah setelah meneken surat pernyataan akan mendukung Aburizal Bakrie sebagai ketua umum pada Munas Bali. Pada persidangan mahkamah kemarin, satu dari 12 saksi yang diajukan kubu Ical menghadirkan Ketua Harian DPD Partai Golkar, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatra Barat, Daliyus K. Dia mengaku menghadiri munas di Bali dan Ancol. Dalius pun mengaku mendapatkan pesangon dari masing-masing penyelenggara munas. "Dari Munas Bali saya dikasih ‘ongkos’ dari Padang ke Bali," kata dia, saat bersaksi di sidang Mahkamah Partai Golkar. Ia melanjutkan, usai menghadiri Munas Bali pada 30 November sampai 4 Desember 2014, dia pun kembali dihubungi penyelenggara Munas Ancol. Akan tetapi, Daliyus enggan mengungkapkan siapa yang menghubunginya ketika itu. Dia menjelaskan, perintah datang ke Munas Ancol datang dari salah satu petinggi Golkar Munas Ancol. Kehadirannya ke Munas Ancol itu pun, ujarnya, dibekali uang. "Kita hadir di Ancol karena dapat uang lah. Enggak usah terlalu dibahas, kan kita semua saudara," ujar Daliyus di hadapan hakim mahkamah. Setelah mendapatkan uang, Daliyus membuat surat keputusan Munas Ancol yang menghasilkan terpilihnya Agung Laksono tanpa diteken sekretaris. Dia mengklaim surat tersebut tidak sah. Oleh karena itu, dia pun mengakui kehadirannya di Munas Ancol juga tidak sah. Pengakuan Daliyus ini pun membingungkan anggota Mahkamah Partai Golkar Andi Mattalata. Dia pun tertawa mendengarkan kesaksian Daliyus. Menurut Andi, sebagai saksi dari kubu Munas Bali, Daliyus harusnya memberatkan kubu Munas Ancol. Namun, ujarnya, kesaksiannya juga mengungkap praktik politik uang di Munas Bali. "Jadi, Anda ini kanan kiri oke. Tapi, yang di Bali, okenya resmi," kata Andi. Daliyus pun menjawab, "Iya". Kesaksian serupa disampaikan dari saksi pihak pemohon (Agung Laksono), Achmad Goesra, pada 17 Februari lalu. Mantan bendahara umum Partai Golkar itu mengaku mendapat transfer uang senilai Rp 1,5 miliar setelah meneken surat pernyataan akan mendukung Aburizal Bakrie sebagai ketua umum pada Munas Bali. Goesra pun mengaku mendapati uang tersebut di rekening DPD Golkar Papua. Merasa ada yang janggal, Goesra lantas mundur dari kepesertaan Munas Bali. Pada sidang mahkamah kemarin, kesaksian Goesra dibantah Ketua Steering Comitee Nurdin Halid. Salah satu termohon dalam sidang mahkamah tersebut membantah tudingan jika dia telah mentransfer uang senilai Rp 1,5 miliar ke DPD Golkar Papua. Dia juga membantah tuduhan pelarangan beberapa fungsionaris partai yang punya hak suara dalam Munas Bali.
276
Nurdin mengancam akan memidanakan kepengurusan Golkar Munas Ancol karena telah menuduhnya menyuap. Nurdin meminta agar Ketua Umum Golkar Munas Ancol Agung Laksono menghadirkan saksi-saksi terkait tuduhan tersebut. Eks ketua umum PSSI itu mengatakan, ancaman pidana itu bisa dianulir jika kubu Agung Laksono sanggup menghadirkan saksi-saksi penerima sogokan dalam sidang mahkamah agar bisa dikonfrontasi. "Ini fitnah. Pencemaran nama baik saya," kata dia di dalam sidang. DitundaSementara itu, Putusan sidang Mahkamah Partai Golkar ditunda. Ketua mahkamah Muladi mengatakan, majelis hakim merencanakan untuk membacakan keputusan final sidang pada pekan depan. "Kita (majelis hakim) merencanakan membuat keputusan minggu depan," kata Muladi, saat sidang Mahkamah Partai Golkar. Ungkapan Muladi mengubah rencana pembacaan putusan yang direncanakan kemarin. MP Golkar bersidang sudah tiga kali. Sidang tersebut untuk memutus perkara dualisme partai tersebut. Pada sidang ketiga, hakim mahkamah berencana membacakan putusan. Hanya, hadirnya kepengurusan kubu Aburizal Bakrie membuat putusan ditunda. Selama ini Golkar Munas Bali kerap menolak hadir dalam sidang mahkamah. Pada sidang ketiga, kepengurusan Golkar Munas Bali hadir. Mereka antara lain Fadel Muhammad, Aziz Syamsuddin, Nurdin Khalid, Theo L Sambuaga, serta Idrus Marham. Sementara itu, Ketua Umum Golkar Munas Bali Aburizal Bakrie mewakilkan kehadirannya kepada kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra. Para termohon yang menghadirkan 12 saksi mendesak mahkamah untuk menunda putusan sidang. Para saksi merupakan perwakilan ketua-ketua DPD I dan II Golkar. Para saksi diajukan termohon untuk menyanggah tuduhan kepengurusan Golkar Munas Ancol terkait adanya paksaan agar memilih Aburizal Bakrie sebagai pemimpin partai tersebut. ed: a syalaby ichsan REPUBLIKA - Selasa, 17 Maret 2015 Halaman : 4 Penulis : Mursalin Yasland Ukuran : 3452 bytes Konflik Golkar, Anak 'Kudeta' Posisi Bapak Politik tak mengenal istilah kawan dan lawan. Yang ada hanyalah kepentingan. Kisruh di tubuh Partai Golkar antara kubu Ketua Umum DPP hasil Munas Bali, Aburizal Bakrie, dengan Ketua Umum DPP hasil Munas Ancol, Agung Laksono, turut berdampak kepada perseteruan Heru Sambodo dengan ayahnya, Dianis Thabranie. Heru merupakan Ketua Fraksi Partai Golkar di DPRD Kota Bandar Lampung. Sejak Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengeluarkan surat yang mengesahkan Golkar pimpinan Agung Laksono, Heru terpaksa meninggalkan pilihan politik bapaknya yang berkiblat kepada kubu Ical. Pilihan politik tersebut bertepuk kedua tangan. Agung Laksono menunjuknya untuk duduk di jabatan Ketua Umum DPD I Golkar Lampung
277
Munas Ancol. Dia menjabat sebagai pelaksana tugas untuk menggantikan bapaknya, Alzier Dianis Tabranie. Cikal bakal perbedaan politik bapak-anak ini sudah terlihat menjelang pemilihan anggota legislatif lalu. Heru yang menjabat Ketua DPD II Golkar Lampung, selalu berseberangan dengan bapaknya selaku Ketua DPD I. Saat Munaslub DPD II Golkar Lampung dihelat, Heru terjegal. Posisinya digantikan Toni Eka Chandra. Namun, Heru masih duduk di kursi DPRD Kota Bandar Lampung, untuk periode yang kedua. Alzier yang dikenal sangat sayang kepada anak-anaknya, tidak terpengaruh dengan langkah politik mereka. Menurut dia, urusan politik adalah politik, bukan untuk memisahkan anggota keluarga. Dia tetap mendorong Heru untuk menuju dunia politik. Alzier ingin menyumbangkan pengalamannya yang sudah malang melintang di kancah politik, termasuk menjadi calon gubernur yang gagal dilantik di era Presiden Megawati Soekarnoputri pada Desember 2002. Meski demikian, sikap Alzier kukuh. Dia yakin, kader, pengurus, dan anggota DPRD se-Lampung tetap solid menyikapi perbedaan yang terjadi di tubuh partai berlambang beringin tersebut, baik nasional maupun lokal. Menurutnya, semua kader, pengurus, dan anggota dewan tetap mendukung kepemimpinan Aburizal Bakrie (Ical) sebagai ketua umum. “Sampai saat ini, kami, kader dan pengurus, termasuk anggota dewan dari Golkar masih solid mendukung ARB,” kata Alzier Dianis Thabranie kepada Republika, Senin (16/3). Ia mengatakan, surat Menkumham bukan surat keputusan, apalagi penetapan kubu Agung Laksono yang sah. “Jangan seolah-olah surat Menkumham itu sudah mendapat pengesahan dari pemerintah (kubu Agung Laksono),” katanya. Apalagi, kata dia, DPP PG sudah mengajukan gugatan hukum ke pengadilan negeri terkait persoalan ini. Heru mengambil pilihan berbeda. Atas sikapnya itu, Agung Laksono pun menghadiahi Heru kursi empuk DPD I Lampung. Menurut DPP versi Agung, ujarnya, Ketua Umum DPD I PG Lampung (Alzier), tidak mampu menjalankan roda organisasi dengan baik. “Mungkin DPP melihat DPD I tidak ada program dan grand desain untuk membesarkan partai, yang ada memecat kader berprestasi,” katanya. Dia mengaku akan memperkuat kepengurusan DPD I setelah keluarnya surat Menkumham. Ia mengatakan, nama-nama yang akan masuk kepengurusan DPD I masih dalam pembahasan. Yang jelas, ungkap dia, nama-nama coordinator daerah kabupaten/kota akan masuk dalam jajaran pengurus. “Sudah banyak yang ingin merapat ke kubu Agung,” katanya.
278
Adanya upaya 'invasi' dari sang anak, tidak membuat Alzier diam. “Seluruh kader dan pengurus, apalagi anggota dewan dari Golkar, tetap setia dan solid mendukung ARB,” katanya. n ed: a syalaby ichsan REPUBLIKA - Senin, 23 Maret 2015 Halaman : 4 Penulis : agus raharjo Ukuran : 1429 bytes Konflik Golkar Berpotensi Lahirkan Parpol Baru JAKARTA -- Konflik Partai Golkar dinilai berpotensi dapat menimbulkan partai baru. Pengamat politik Populi Center Nico Harjanto menjelaskan, hal yang sama sudah pernah terjadi pada partai berlambang pohon beringin ini sebanyak empat kali. Menurutnya, dualisme kepengurusan Golkar belum memperlihatkan tanda-tanda islah antara kubu Aburizal Bakrie dengan Agung Laksono. “Golkar sudah biasa berkonflik, saat ini sudah menghasilkan empat partai, kalau konflik sekarang melahirkan partai baru itu wajar,” kata Nico, Sabtu (21/3). Dengan pengalaman itu, imbuh Nico, menjadi tantangan bagi Golkar untuk tetap mempertahankan eksistensinya. Selama ini, ketika Golkar tengah konflik yang berujung pada perpecahan, pilihannya hanya dua, turun perolehan suara atau tetap mempertahankan. Ini jadi tantangan tersendiri bagi kedua kubu yang berkonflik. “Politisi Golkar harus sadar mereka selalu terlibat konflik internal yang justru merugikan mereka sendiri,” kata dia. Dua kubu kepengurusan Golkar memang tidak terlihat akan islah untuk menyelesaikan konflik di internal mereka. Pascaputusan sidang Majelis Pertimbangan Partai Golkar, juga tidak membuat dua kubu yang ada di Golkar kembali bersatu. Bahkan, jika salah satu pihak sudah mendapat surat keputusan Menteri Hukum dan HAM, maka pihak lainnya akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). N agus raharjo ed: a syalaby ichsan REPUBLIKA - Senin, 20 April 2015 Halaman : 4 Penulis : Agus Raharjo Ukuran : 3038 bytes Jimly Minta Jangan Salahkan Yasonna JAKARTA -- Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie mengingatkan semua pihak untuk berhenti menyalahkan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly. Menurutnya, Yasonna sudah berusaha untuk membuat rujuk kedua pihak yang bertikai di internal Partai Golkar.
279
Jimly mengatakan, para pihak yang bertikai memiliki persepi masing-masing terkait dengan putusan hukum soal konflik Golkar. Menurutnya, biarkan pengadilan yang akan memutuskan siapa yang dianggap benar dalam dualisme kepengurusan partai berlambang pohon beringin ini. “Jangan salahkan Menkumham. Ini masalah internal partai yang sedang berkonflik,” kata Jimly dalam keterangan pers yang diterima Republika, Ahad (19/4). Jimly menambahkan, islah menjadi jalan yang paling bermartabat untuk dualisme kepengurusan Partai Golkar. Namun, kedua kubu lebih memilih untuk menyelesaikan perselisihan internal ini dengan jalur hukum di pengadilan. Jimly mengungkapkan, semua pihak harusnya menunggu hasil putusan tetap di pengadilan karena perselisihan Golkar sudah diserahkan ke jalur hukum. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini menambahkan, kedua pihak dapat mendesak Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk mempercepat pengeluaran putusan. Namun, diyakini Jimly, putusan PTUN juga tidak akan bisa memuaskan pihak yang kalah. “Maka akan ada banding, lalu kasasi, intinya akan lama juga,” kata dia. Sebab itu, kata Jimly, biarkan mereka yang berkonflik menikmati konfliknya. Tidak perlu diganggu. Dalam rapat kerja antara Komisi III DPR RI dengan Menkumham beberapa waktu lalu, Yasonna Laoly dicecar banyak pertanyaan soal SK Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Agung Laksono hasil munas Jakarta. Komisi III berpendapat bahwa SK pengesahan yang dikeluarkan Menkumham dasarnya adalah menerjemahkan secara keliru hasil putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG). Ketua Komisi III yang juga kader Golkar kubu Aburizal Bakrie, Aziz Syamsuddin, bahkan berulang kali meminta kepada Menkumham untuk menunjukkan bunyi amar putusan sidang MPG yang memenangkan kubu Agung Laksono. “Tolong ditunjukkan karena saya tidak menemukan satu kalimat pun dari putusan Mahkamah Partai yang mengakui pengurus munas Ancol atau pun munas Bali,” kata Aziz. Ketika itu, Yasonna mengatakan, penerbitan SK pengesahan kepengurusan Agung Laksono didasarkan fakta yuridis hasil sidang MPG yang dipahaminya. Menurutnya, MPG sudah memutuskan mengakui kepengurusan Golkar hasil munas Ancol dan memberikan empat rekomendasi. Yaitu, menghindari pihak yang menang untuk menguasai penuh, merehabilitasi kader yang dipecat, membuat kepengurusan bersama, dan kubu yang kalah tidak membentuk partai baru. Yasonna mengakui kalau MPG tidak mencapai kesepahaman. Namun, bukan berarti tidak menghasilkan keputusan. Menurutnya, ini adalah soal cara melihat yang berbeda dari hasil sidang MPG. “Karena sekarang
280
sudah berlanjut di pengadilan, mari kita lanjutkan di pengadilan,” kata Yasonna menegaskan. n ed: a syalaby ichsan REPUBLIKA - Senin, 11 Mei 2015 Halaman : 27 Penulis : Harun Husein Ukuran : 9508 bytes Golkar Menuju Zero Sum Game? *Akbar Tandjung mengatakan Munaslub merupakan satu-satunya solusi bagi Golkar.* Perseteruan dua kubu Partai Golkar yang kian panjang dan lebar, membuat ketar-ketir banyak kalang an. Jika tak segera direm, konflik tersebut dikhawatirkan akan melampaui batas waktu pencalonan kepala daerah, sehingga bisa membuat Partai Beringin ketinggalan kereta pesta demokrasi lokal tahun ini. “Saya akan mengutuk jikalau konflik itu ternyata tidak mengikutkan Golkar dalam pilkada,” kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Tingkat I Partai Golkar Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, dalam apel akbar yang dihadiri belasan ribu kader Golkar, di Makassar, akhir April lalu, seperti dikutip harian Fajar. Wajar belaka jika Syahrul yang juga gubernur Sulsel itu meradang. Sebab, di Sulsel ada 11 kabupaten yang menggelar pilkada tahun ini. Yaitu, Gowa, Maros, Bulukumba, Barru, Luwu Utara, Luwu Timur, Tana Toraja, Toraja Utara, Pangkajene Kepulauan, Soppeng, dan Kepulauan Selayar. Dan Golkar, yang selalu menjadi pemenang di Sulsel, terancam tak bisa mengajukan calon. Berkata Syahrul, “Selesaikan konflikmu di Jakarta. Konflik itu hanya akan merugikan Golkar.” Syahrul pun seperti mengisyaratkan untuk bersiap terhadap kemungkinan terburuk. Terlihat dari pernyataannya bahwa kader Golkar bisa saja mengendarai partai lain dalam pilkada. “Jangan galau. Yang penting [kader] Golkar ikut,” tandasnya pada kesempatan terpisah (Republika, 4/4). Seruan kedua kubu agar para calon kepala daerah tetap optimistis bahwa Golkar akan tetap ikut pilkada, kini memang tak cukup lagi. Di tengah ketidakpastian, kader Golkar yang terkenal pragmatis, kini mulai membuka emergency exit, yaitu menggunakan partai lain sebagai kendaraan untuk mencalonkan diri. Ada dua situasi penting yang mem buat para kader Golkar cemas. Pertama, soal waktu. Pendaftaran calon kepala daerah — berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2/2015 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada — dilaksanakan pada 26-28 Juli.
281
Ini waktu memang masih dua bulan lebih. Tapi, sudah terbilang sempit. Karena, kebanyakan partai –termasuk Golkar— harus berkoalisi untuk mengajukan pasangan calon, sebab tak ada partai yang benar-benar besar. Dan proses penjajakan itu belum tentu sebentar. UU No 8/2015 tentang Pilkada mensyaratkan pasangan calon diajukan oleh partai atau gabungan partai yang meraih minimal 20 persen kursi DPRD, atau 25 persen suara dalam pemilu legislatif. Angka ini di atas rata-rata perolehan kursi dan suara partai untuk tingkat nasional. Kedua, soal kepengurusan mana yang bisa mengajukan calon. Draf PKPU tentang Pencalonan menyatakan jika kepengurusan masih berkonflik secara hukum (Golkar maupun PPP), maka KPU tidak akan menerima pengajuan calon dari kubu mana pun yang bertikai, sampai turun keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Padahal, untuk mencapai putusan yang inkracht, bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Peneliti CSIS Philip Vermonte mengatakan, adanya ketentuan baru di Pasal 42 UU No 8/2015 tentang Pilkada, bahwa pendaftaran pasangan calon gubernur, bupati, dan wali kota harus disertai SK pengurus partai tingkat pusat tentang persetujuan atas calon yang diusulkan, kian mempersulit partai-partai. “Di UU sebelumnya ketentuan ini tidak ada. Tapi di UU Pilkada yang baru, ketentuan ini muncul, karena adanya koalisi (KMP dan KIH). Itu sebenarnya bagus, biar koalisi dari pusat hingga daerah lebih predictable, tidak seperti sekarang yang belang-bentong. Tapi, sekarang membuat mereka kesulitan sendiri, karena SK dari DPP mana yang nanti dipakai,” katanya. *Munaslub * Merupakan kerugian besar, kata Ketua Dewan Pertimbangan Golkar, Akbar Tandjung, jika Golkar secara institusional tak bisa mengajukan calon dalam pilkada. Sebab, itu bisa membawa konsekuensi Golkar terpelanting dari de retan partai papan atas. “[Tidak ikut nya Golkar dalam pilkada] akan berpengaruh pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019,” katanya dalam konferensi pers awal Mei lalu. Pilkada kali ini memang punya nilai besar secara politik. Sebab, pilkada kali ini sama saja dengan separuh pemilu. Pilkada serentak digelar di 269 daerah atau 49,63 persen dari total 542 daerah. Ke-269 pilkada itu terdiri atas delapan pemilihan gubernur dan 261 pemilihan bupati/wali kota. Tak ikutnya Golkar, bisa jadi bakal menciptakan sirkulasi elite yang dramatis. Karena, selama ini Golkar adalah penguasa daerah. Menurut Philip Vermonte, sebuah data menyebutkan kader Golkar menduduki 160
282
kursi kepala daerah di seluruh Indonesia, baik sebagai gubernur, bupati, wali kota, atau wakilnya. Sebelumnya, berbagai cara sudah ditempuh untuk menyelesaikan konflik ini. Mulai dari cara halus seperti perundingan islah, cara kasar dengan mengerahkan massa untuk menduduki kantor DPP dan ruang fraksi, Mahkamah Partai, hingga bolak-balik ke tiga pengadilan yaitu PN Jakbar, PN Jakpus, dan PN Jakarta Utara. Namun, belum kunjung selesai. Sialnya, saat konflik Golkar masih berlangsung di meja hijau, situasi bertambah runyam karena Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly yang berasal dari PDIP, tiba-tiba menerbitkan surat ke pu tusan mengesahkan kepengurusan kubu Munas Ancol yang pro Jokowi. Maka, ruang pengadilan yang disambangi pun bertambah, karena kubu Munas Bali menggugat SK Kemenkumham ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Buntutnya, pada 1 April lalu, PTUN menurunkan putusan sela, yang menunda pemberlakuan SK Menkumham sampai ada keputusan yang inkracht. Dan, sejak hari itu, yang berlaku adalah kepengurusan Golkar hasil Munas Riau 2009. Karena berbagai cara sudah ditempuh, Akbar Tandjung memandang kartu terakhir yang tersisa agar Golkar selamat ikut pilkada adalah Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Dia mengusulkan Munaslub digelar Mei ini. Akbar mengatakan Munaslub merupakan satu-satunya cara, karena proses hukum akan makan waktu lama, dan proses islah sudah tak mungkin lagi. “Keadaan partai sudah genting dan memaksa, solusinya adalah Munaslub,” kata Akbar. Tapi, sejak dilontarkan, gagasan menggelar Munaslub ini masih dianggap sepi oleh kedua kubu yang bertikai. Antara lain karena mahal di ongkos. Biaya penyelenggaraan Munaslub sekitar Rp 30 miliar. Selain itu, dalam putusan Mahkamah Partai Golkar disebutkan bahwa Munaslub baru digelar pada Oktober 2016. Pertanyaan lainnya, kubu mana yang akan menggelarnya. Namun, Akbar mengatakan Munaslub bisa tetap digelar kendati salah satu kubu menolak. “Sesuai dengan AD/ART Pasal 30, jika dua pertiga dewan pimpinan daerah hadir, maka Munaslub akan berlangsung,” katanya. Menurut Pasal 30 tersebut, syarat menggela Munaslub adalah partai dalam keadaan terancam atau menghadapi hal ihwal kegentingan yang memaksa; DPP melanggar AD/ART, atau; DPP tidak dapat melaksanakan amanat Munas sehingga organisasi tidak berjalan sesuai dengan fungsinya. *Tekanan kepada KPU*
283
Garis mati yang semakin dekat, se mentara konflik belum bisa diprediksi kapan berakhir, membuat KPU kian banyak mendapat tekanan, baik dari kubu Aburizal maupun kubu Agung Laksono. KPU pun bak pelanduk yang terjepit di antara pertarungan dua gajah, yaitu masing-masing kubu Partai Golkar dan koalisi di belakangnya. Tekanan dari kubu Aburizal dan KMP, misalnya, muncul lewat proses konsultasi PKPU tentang pencalonan. Pada 4 Mei lalu, DPR menggelar pertemuan tertutup dipimpin Wakil Ketua DPR, Fadli Zon; dan dihadiri Ketua Komisi II, Rambe Kamarulzaman; Ke pala Biro Hukum Kemendagri, Widodo Sigit Pudjianto, serta: anggota KPU, Hadar Nafis Gumay. Rapat itu menghasilkan tiga hal. Pertama, meminta KPU menerima rekomendasi Komisi II: apabila hingga pendaftaran peserta pilkada pada 26-28 Juli berakhir dan belum ada putusan pengadilan yang inkracht, maka partai yang sedang bersengketa dapat menggunakan putusan pengadilan terakhir pada saat itu. Kedua, merevisi UU Pilkada dan UU Parpol untuk memberi payung hukum kepada PKPU tentang pencalonan, agar mengakomodasi putusan pengadilan yang belum inkracht itu. Ketiga, meminta MA dan MK mengeluarkan fatwa soal sengketa partai menjelang pilkada. Sebaliknya, kubu Agung Laksono pun mengancam akan menguji materi PKPU pencalonan ke Mahkahmah Konstitusi jika kelak disahkan. Sebab, mereka menilai seharusnya KPU tidak memuat klausul yang harus menunggu keputusan pengadilan yang inkracht, tapi mendasarkan pendaftaran kepala daerah berdasarkan SK Kemenkumham. Persoalan lainnya, putusan inkracht yang dimaksud KPU dalam PKPU tentang Pencalonan itu belum jelas. Apakah gugatan di pengadilan negeri atau PTUN. Direktur Eksekutif Kode Inisiatif, Veri Junaidi, mengatakan kalau yang dimaksud adalah putusan PTUN, maka itu tidak menyelesaikan masalah. Sebab, penyelesaian sengketa partai, seperti dimaksud oleh UU Partai Politik, bukan lah di PTUN, tapi di pengadilan negeri. “Menurut UU Parpol, kalau tidak selesai di Mahkamah Partai, maka diselesaikan di Pengadilan Negeri. Jadi, harus menunggu putusan inkracht perkara yang diajukan ke Pengadilan Negeri, bahkan sampai kasasi ke MA,” katanya. Jadi, konflik Golkar ini memang ruwet, dan punya banyak efek domino yang terus menciptakan masalah baru. Persoalannya, Golkar –juga PPP— serius mau ikut pilkada atau mau berasyik masyuk dengan konflik, yang kali ini bisa jadi bukan win-win atau win-lose, tapi akan mengarah menjadi kalah jadi abu, menang jadi arang. Zero sum game! REPUBLIKA - Rabu, 20 Mei 2015 Halaman : 1 Penulis : Mas Alamil Huda/Dessy Suciati Saputri Ukuran : 6472 bytes Menkumham dan Agung Laksono Ajukan Banding
284
JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly dan Ketua Umum Partai Golkar hasil munas Ancol Agung Laksono sama-sama mengajukan banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pada Senin (18/5), majelis hakim yang dipimpin Teguh Setya Bakti dalam persidangan final terkait sengketa kepengurusan Partai Golkar membatalkan Surat Keputusan (SK) Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar versi Agung Laksono. “Terkait dengan putusan PTUN, Menteri Hukum dan HAM melalui kuasa hokum akan mengajukan banding. Saya ulangi sekali lagi, banding,” kata Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri Kemenkumham Ferdinand Siagian, di gedung Kemenkumham, Jakarta, Selasa (19/5). Saat mengumumkan banding, Ferdinand duduk berdampingan dengan Ketua DPP Partai Golkar kubu Agung Laksono, Lawrance Siburian. Dalam kesempatan tersebut, keduanya bergantian menyampaikan alasan terkait upaya banding, baik yang dilakukan Menkumham maupun Golkar kubu Agung. Ferdinand mengatakan, Menkumham bersama kuasa hukum dan para ahli hokum tata negara akan mempelajari putusan PTUN Jakarta untuk menyiapkan memori banding. Dalam diktum putusan PTUN, kata dia, tidak ada putusan yang menyatakan bahwa kepengurusan Golkar dikembalikan pada putusan hasil munas Riau. Mengenai pilkada serentak yang waktunya semakin dekat, Ferdinand mengatakan, Kemenkumham menyerahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut dia, hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan lembaga penyelenggara pemilu tersebut. Adapun Lawrance mengatakan, kehadirannya di Kemenkumham tak lain karena Golkar kubu Agung Laksono sebagai penggugat intervensi ingin menyampaikan bahwa mereka juga sudah mengajukan banding. “Sudah kami daftarkan dan kami bayar,” kata Lawrance, di kantor Kemenkumham, Selasa (19/5). Menurut dia, banding sudah diajukan sejak 15 menit setelah putusan majelis hakim PTUN mengabulkan gugatan Golkar kubu Aburizal Bakrie. Sejak putusan dibacakan, kubu Agung merasa banyak kejanggalan yang ada dalam putusan majelis hakim. Lawrance menilai, putusan majelis hakim ultra petita atau melebihi dari tuntutan yang diminta terkait objek gugatan. Putusan PTUN yang menyatakan kepengurusan partai beringin kembali sesuai SK Menkumham tahun 2009 atau hasil munas Riau dinilai melebihi kewenangan. “Itu keliru. Objek yang diadili itu SK Menkumham 13 Maret 2015. Hakim tidak punya kewenangan itu (menyatakan kembali ke SK 2009),” ujar dia.
285
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan, upaya pengajuan banding sebagai bentuk indikasi Agung Laksono dan Menkumham belum merasa kalah. Berdasarkan penilaiannya, kubu Agung masih belum ada keinginan untuk berdamai sehingga upaya banding akhirnya dilakukan. Hingga saat ini, kata Firman, belum ada titik temu antara kubu Agung dengan kubu Aburizal Bakrie. Keduanya masih merasa menjadi pihak yang seharusnya menjalani roda organisasi partai berlambang pohon beringin tersebut. Padahal, menurut Firman, kubu Ical sudah berusaha melakukan upaya rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini bertujuan untuk memulihkan hubungan dan menyelesaikan perbedaan antara keduanya. Namun, ibarat gayung tak bersambut, upaya kubu Aburizal masih belum terwujud. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, dia akan memfasilitasi perdamaian kedua belah kubu Partai Golkar. Menurut Kalla, perdamaian antar kedua kubu sangat penting agar Golkar dapat mengikuti pilkada serentak yang akan digelar pada akhir tahun ini. “Ini tidak bisa diberikan arahan, hanya bisa difasilitasi bagaimana kedua belah pihak. Saya yakin dua-duanya ingin Golkar tetap berperanan hadir di setiap kegiatan, apalagi pilkada. Oleh karena itu, kita lagi cari jalan bagaimana,” kata Kalla, di kantor Wapres, Jakarta. Kalla mengaku telah berkomunikasi dengan pengurus kedua kubu guna membicarakan permasalahan internal partai. Wapres berharap penyelesaian konflik ini dapat segera dilakukan. Mengenai upaya banding yang diajukan Menkumham, Wapres menyatakan tak memberikan arahan terkait hal tersebut. Kalla hanya menginginkan agar kedua kubu Golkar dapat bersatu dan kompak terlebih dahulu agar dapat mengikuti pilkada. “Banding atau tidak, itu soal berbeda. Tetapi yang penting bagaimana ini kompak dulu supaya bisa masuk pilkada,” ujarnya. Mantan ketua umum Partai Golkar Akbar Tandjung mengusulkan digelarnya musyawarah nasional luar biasa (munaslub) guna mengakhiri polemic internal Golkar. Munaslub, kata dia, adalah jalan keluar yang termaktub dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar. “Dengan syarat didukung dua per tiga DPD tingkat I dan didukung juga DPD tingkat II,” kata Akbar. Akbar melanjutkan, selain bisa mengakhiri kisruh antara Agung dan Abrizal, munaslub merupakan cara agar Golkar bisa mengikuti pilkada. Dalam munaslub tersebut, kader-kader Golkar akan memilih lagi ketua umum partai yang baru. Baik Aburizal dan Agung tetap dipersilakan jika ingin maju lagi menjadi calon. “Dengan syarat, tetap memberi ruang pada
286
anggota Golkar lainnya yang akan mencalonkan diri menjadi ketua umum,” ujar Akbar. Pengamat politik Muhammad Qodari menilai kubu Agung dan Aburizal tidak bisa mendaftarkan diri untuk ikut pilkada. Alasannya, belum ada keputusan hukum yang memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht). Qodari pun menduga, konflik Golkar masih akan terus berkepanjangan. Ketua KPU Husni Kamil Manik berharap, partai-partai yang kepengurusannya masih bersengketa bisa segera islah. Apabila proses penyelesaian hokum di pengadilan belum berkekuatan tetap, maka akan mengganggu proses pendaftaran calon pasangan yang akan mengikuti pilkada serentak pada 26-28 Juli mendatang. Husni melanjutkan, KPU akan merujuk pada undang-undang, dalam hal ini tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2015 Pasal 36 tentang tahapan pencalonan pilkada serentak. Komisioner KPU Arief Budiman menambahkan, seluruh putusan PTUN belum berlaku jika masih ada banding. Oleh karena itu, KPU akan secara resmi mengirimkan surat ke PTUN terkait salinan putusan tersebut. “Ketika ada banding, ya kita harus nunggu inkracht, makanya kita kirim surat cek ada banding atau tidak. KPU tidak boleh komentari isi putusan. Kita tunggu saja 26-28 Juli mendatang mana yang bisa mendaftar,” ujarnya.n fauziah mursid/agus raharjo/c23/c26/c32/c36 ed: eh ismail User Online : 4 | ©Copyright 2007 PT Republika Media Mandiri Perombakan Fraksi Golkar DPR, Kubu Agung: Itu Urusan Partai Bukan DPR Rabu 25 March 2015 REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua DPP Partai Golkar Munas Ancol, Ibnu Munzir, mengatakan pimpinan DPR tidak membahas surat yang dilayangkan Partai Golkar Kubu Agung Laksono dalam rapat paripurna karena menghadapi hambatan administratif. "Tidak dibahas karena suratnya baru masuk, pimpinan masih mencari dasar hukumnya," ujarnya, saat dihubungi ROL, Rabu (25/3). Menurutnya pembahasan surat yang berisikan pergantian struktur kepemimpinan fraksi Partai Golkar itu, akan segera dibahas pada sidang paripurna berikutnya. Sedangkan, secara internal, kepengurusan fraksi itu sudah berlaku, tanpa perlu persetujuan pimpinan DPR. "Itu urusan partai, bukan hak pimpinan DPR, apalagi sekarang legal statusnya sudah jelas," katanya. Sebelumnya, sejumlah anggota fraksi Golkar Munas Ancol, seperti Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan keberatan karena sidang paripurna tak menggubris surat dari DPP Golkar (Munas Ancol) yang disampaikan kepada DPR pada Senin (23/3).
287
Diungkapkan Agus, pergantian yang dimaksud ialah, bahwa mulai bertanggal 23 Maret 2015, struktur kepemimpinan fraksi Partai Golkar di DPR pindah tangan pascapengesehan kepengurusan Golkar oleh Kemenkumham, Senin (23/3), dari semula dipimpin oleh Ade Komaruddin, kepada Agus Gumiwang Kartasasmita.
288
KORAN TEMPO
289
290
291
292
293
294
295
296
297
298
299
300
301
302
303
304
305
BIODATA
306
BIODATA LENGKAP
No.
1. Nama Lengkap Dr.H. M. Dahlan Abubakar, M.Hum.
2. Tempat/tgl lahir Bima, 12 Januari 1952
3. Pekerjaan Pensunan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unhas (per 1-2-2017)
4. Alamat rumah Jl.Komunikasi II/G-7 Komp. Unhas Biringromang Makassar
5. HP 0811448820
6. Pangkat/Gol/Akhir Pembina/IV/b
7. Jabatan fungsional terakhir
Lektor Kepala
8. Mata Kuliah Diampuh Penulisan Kreatif FIB Unhas Hingga 2017
Jurnalistik Sastra FIB Unhas Hingga 2017
Bahasa dan Media FIB Unhas Hingga 2017
Bahasa Indonesia MKU Unhas 2015-
Kehumasan & Penulisan Kreatif UMI Makassar 2011-
Produk Media Humas UMI 2016
Bahasa Jurnalistik UMI 2016-
9. Pendidikan 1964 SDN Kanca Monta Bima Nusa Tenggara Barat
1968 SMP Tangga Monta Bima Nusa Tenggara Barat
1971 SMA Negeri Bima Nusa Tenggara Barat
1976 Sarjana Muda Fak.Sastra Unhas Makassar
1981 Sarjana Sastra Fakultas Sastra Unhas
2001 Magister Program Pascasarjana Unhas
2018 Program Doktor PPS Universitas Hasanuddin
10. Keluarga Ayah H.Abubakar H.Yakub (Pensiunan Guru SD)
Ibu Hj Hafsah H.Abidin (IRT)
Istri Hj Hana Abubakar, AMK (Pensiunan RSWS)
Anak 1. Haryadi, S.Sos.(Honorer di Unhas)
2. Haryati, S.Sos (IRT)
Saudara 1. H.Sofwan, S.H., M.Hum (Dosen Unram)
2.Drs.Kaharuddin (Wkl Ketua PAN Kab.Bima)
3.Siti Nurhayati, S.E. (Wiraswasta di Sulteng)
4.Dra.Sri Suharni (Guru SMA/Ponpes Parado)
5.Siti Farida, S.Sos (Guru SMAN 1 Parado Bima)
6.Ahmad Muslim, S.H.(Wiraswasta di Bima)
11. Riwayat Pekerjaan 1980-2001 Staf Administrasi Universitas Hasanuddin
2001-2017 Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unhas
12. Riwayat Jabatan 1988-1998 Kepala Humas Masyarakat Unhas
2001-2012 Kepala Humas Unhas
2015-2017 Kepala Humas dan Protokol Unhas
13. Jabatan lain 1975-2017 Wartawan dan Ketua Penyunting Identitas Unhas
1976-2007 Wartawan hingga Pemred Harian Pedoman Rakyat
1976-1983 Koresponden Harian Suara Karya Jakarta di Sulsel
1988-1992 Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulsel
2006 - Pembinaan Mingguan Perintis Nusantara Makassar
2007 Pembina Mingguan Indonesia Pos, Makassar
2009 - Pemimpin Redaksi Majalah PROFILES
2015 - Redaktur Pelaksana Majalah INTI Sulsel
2017 - Kepala Redaksi kabarmakassar.com
2018 Pemimpin Redaksi PedomanRakyat.id.co
14. Riwayat Organisasi 1974-1975 Seksi Pendidikan Senat Mahasiswa Fak.Sastra Unhasi
1976-1977 Ketua Seksi Publikasi dan Dokumentasi Sema FS Unhas
1977-1978 Sekretaris Umum Senat Mahasiswa FS Unhas
1984 Sekretaris Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) Makassar
15 Organisasi Profesi 1983 - Persatuan Wartawan Indonesia
2001 - Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI)
2001 - Himpunan Pemerhati Bahasa Media
16. Tulisan Ilmiah Bahan Ajar 1. Jurnalistik Sastra (2006)
2. Masyarakat Kesenian Indonesia (2006)
17. Jurnal Ilmiah 2006 Ekonomi Kata, Dispensasi atau Penyimpangan (ElSim)
2007 Implikasi Ekonomi Kata dalam Bahasa Pers (Analisis Judul
Berita Media Cetak (Lensa Budaya, Vol.II.No.3, ISSN 0126-
351X
2013 Transformasi Sosial Peran Media Massa (Komunika, UMI)
2013 Inkonsistituionalitas Bahasa Pejabat (Pelangi Budaya FIB UH)
2017 Background Analysis of the Golkar Partay Conflict News Media
Dimuat pada International Journal of Science Research (IJSR)
Vol..6 Issue 11, November 2017, ISSN (Online) 2319-
7064.
18. Penelitian 1976 1. Penelitian Alat Musik Sulsel, di Mandar dan di Toraja
2001 2. Karakteristik Morfologik Penulisan Judul Berita
Surat Kabar (Tesis, 2001)
307
2008 3. Derita, Karya, dan Harapan Perempuan Papua
Bersama WIM Poli dan Siti Bulqis
2017 4. Keberpihakan Media terhadap Berita Konflik Partai
Golkar: Analisis Wacana Kritis (Disertasi, 2018)
19. Buku (Penulis) 1985 1.Promosi Perdagangan Sulawesi Selatan
1999 2.Nakoda dari Timur, Biografi A.Amiruddin
2003 3. Roman Biografi Zainal Basrie Palaguna
2003 4. Berguru dari Keawaman (Kisah-Kisah Radi A.Gany)
2003 5. INCO Mengalir di Tengah Gejolak Pertambangan
2005 6. Melintasi Belantara Keilmuan (Biografi Prof.Dr.Ir. Wi-
Narni Monoarfa
2005 7. Anekdot dan Keajaiban Ibadah Haji
2007 8. H.M.Amin Syam: Militer Madani
2008 9. Menerobos Prahara, Biografi Habel Melkias Suwae
2009 10.Ferry Zulkarnain, Memimpin dengan Nurani
2009 11.Gadis Takut Hujan kumpulan cerpen bersama Prariwi
Syarif
2009 12.Derita, Karya, dan Harapan Perempuan Papua
Bersama WIM Poli dan Siti Bulqis
2009 13. Suara yang Memberdayakan, edisi revisi bersama
WIM Poli
2009 14. Brother Tua
2010 15. Menerobos Blokade Kelelawar Hitam
2011 16. Ramang Macan Bola
2012 17. K.H.Muhammad Hasan, B.A.:Guru, Tabib dan Mis-
Teri Jin
2012 18. Asa dari Bunyu
2014 19.Prof.Dr.H.A.Amiruddin Untold Stories
2014 20.Drg.H.Halimah Dg.Sikati, Pahlawan Pendidikan
Tanpa Pamrih
2015 21. Drs.H.A.Soetomo, M.Si:Tegas dalam Bingkai
Peradaban
2015 22. Prof.Dr.Ahmad Thib Raya: Putra sang Guru yang
Misteri Jin
2015 23. SYL IV bersama Agus Sumantri
2016 24 H.Abubakar H.Yakub: Sekolah di Bawan
Ancaman Bom
2016 25.Prof.Dr.Ahmad Thib Raya: 182 Hari Mengemban
Amanat
2016 26.Terobosan SYL (Catatan Para wartawan) bersama
A.Manaf Rahman
2016 27.Winarni Monoarfa, Setia dalam Pengabdian
2017 28. Kotaku Rumahku bersama La Ode Arfah
Rahman
2018 29. SYL Undervover bersama Subhan Yusuf, Paharud-
Din Palapa, Agus Sumantri, dan Ahmad Saransi.
20. Sebagai Editor 2001 1.Pembangunan Berdimensi Insaniah Radi A.Gany
2004 2. Kampus sebagai Rahim Budaya Perdamaian
2005 3. Takutlah pada Orang Jujur (HD Mangemba)
2005 4.Jepang, Politik Domestik, Global dan Regional
Oleh Abdul Irsan (bersama TR Andi Lolo)
2007 7. Maha Guru di Mata para Guru, 75 Tahun A.Amiruddin
2008 8. Gadis Berjaket Merah oleh Pratiwi Syarif
2009 9. Dendam Konflik Poso oleh Hasrullah
2009 10. Pendidikan Usia Sekolah ILO-Unicef
2009 11. Realitas Tanpa Mimpi (Radi A.Gany)
2010 12. Gadis Nisan oleh Pratiwi Syarief
2010 13.Peningkatan Produksi Beras Nasional,
Perspektif & Tantangan (Radi A.Gany)_
2014 14. Perspektif Hukum di Era Reformasi oleh Abustan
2014 15. Menyaksikan Pertarungan Manusia Tikus
Oleh Dwia aries Tina Pulubuhu
2014 16. Merangkul Mimpi di Negeri Salju oleh Iin Utami
Fadhilah Tammasse
2016 17. Drs.HAndi Burhanuddin, M.Si: Membangun Tanah
Wajo oleh Imran Ismail
2017 18. Mahasiswa Tanpa Batas Iin Utami Fadhillah
2018 19. Membumikan Konsumen oleh Abustan
2018 20. Pemimpin Berjiwa Staf oleh Hanny Joardin
21. Prestasi 1975 1. Juara I Lomba Mengarang Cerpen se-KMUP
1978 2. Juara I Lomba Foto Porseni Mahasiswa se-Sulsel
308
1978 3. Juara II Lomba Mengarang di Tempat Identitas Unhas
1980 4.Juara I Lomba Hemat Energi se-Sulsel
1983 5. Juara I Lomba Mengarang di Tempat HUT
Identitas Unhas
1985 6. Juara I Lomba Penulis PMI Ujungpandang
1987 7. Juara I Lomba Karya Tulis Feature Media PWI Pusat
1987 8. Juara III Lomba Karya Tulis HUT Koperasi se-Sulsel
1989 9. Juara I Lomba Karya Tulis Reportase Media Cetak
Oleh PWI Pusat
1990 10. Juara I Lomba Karya Tulis KB Lestari penye-
Lenggara PWI Pusat-BKKBN Pusat
1996 11. Juara I Lomba karya Tulis HUT Korpri se-Unhas
1997 12. Juara I Lomba Karya Tulis HUT Korpri se-Unhas
2000 13. Juara I Lomba Karua Tulis HUT Semen Tonasa
2002 14. Juara II Lomba Karya Tulis Pembangunan
Sulawesi Selatan
2003 15. Juara I Lomba Karya Tulis HUT PT Telkomsel
2013 16. Juara I Lomba Karya Tulis Otonomi Daerah dilaksa-
nakan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Kota
Seluruh Indonesia (APKASI) Pusat
22. Kunjungan ke Luar Negeri
1982 1. India, Meliput Asian Games IX New Delhi
1992 2. Arab Saudi, Menunaikan Ibadah Haji
1992 3. Thailand, ikut Seminar Infrastruktur Asia
1995 4. Sabah Malaysia, Penerbangan Perdana Pesawat Merpati
1995 5.Singapura, Hadiri Expo Singapura-Indonesia
1996 6. Singapura, Kunjungan Wisata
1996 7. Arab Saudi, Menunaikan Ibadah Umrah
1996 9. Korea Selatan, Liput PSM vs Pohang Atom
1996 10.Italia, Meninjau Pertambangan * Pabrik Marmar
1996 11.Bangladesh, Ikut PSM ke Turnamen Piala Bangabandhu
2001 12. RR Cina, Mengunjungi Universitas Xiamen
2003 13. Jepang, Wakili Indonesia dalam rombongan
Wartawan ASEAN memenuhi undangan Kementerian Luar
Negeri Jepang
2004 14. Kinibalu, Malaysia, Hadiri Friendship Game
BIMP EAGA
2008 15. Brunei Darussalam, Hadiri Friendship Games
BIMP EAGA
2010 16. Thailand, Ikut Konferensi PTN Indonesia-
Thailand
2011 17. Darwin Australia, mengunjungi Darwin University
dan menyambut tim Korpala Unhas
2013 18.Jepang, Menghadiri Meeting KKN Universitas
Jepang-Indonesia di Koci
2014 19. Malaysia, kunjungan ke Universiti Teknologi
Malaysia di Johor Baru
2017 20. Arab Saudi, Menunaikan Ibadah Umrah
23. Lain-Lain 1985-1986, 1996-2000
1. Pengurus Komisaris Daerah (Komda) PSSI Sulawesi Selatan
1996- 2. Pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI)
Sulawesi Selatan
1993-1994 3. Pengurus Persatuan Sepakbola Makassar (PSM)
1999-2000 4. Pengurus Persatuan Sepakbola Makassar (PSM)
1996-2000 5. Pengurus Persatuan Bola Voli (PBVSI) Sulsel
2001-2010 6. Pengurus Persatuan Bola Voli (PBVSI) Sulsel
1996-2000 7. Pengurus Persatuan Tinju Amatir Nasional Sulsel
2001-2005 8. Pengurus Persatuan Bultangkis Seluruh Indonesia Makassar
1987-1986 9. Pengurus Persatuan Renang Seluruh Indonesia Sulsel
2009-2013 10. Pengurus Persatuan Renang Seluruh Indonesia Sulsel
1995-1999 11.Pengurus Federasi Karate-Do Indonesia (FORKI) Sulsel
2000- 12. Pengurus Badan Pembina Olahraga Mahasiswa Indonesia
Sulawesi Selatan
2002,2006 13. Panitia PORDA Sulsel Luwu dan Bone
2010 14. Panitia PORDA Sulsel Kabupaten Pangkep
2003,2005 2007,2009 2017
15. Panitia Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (POMNAS)
Sulawesi Selatan
309
1983,1985, 1988,1990, 1993,1996 1999,2001 2005,2008 2010
16. Peserta dan Atlet Pekan Olahraga Wartawan Nasional (PORWANAS Sulawesi Selatan
2000,2004 2008,2012 2016
17. Panitia Pekan Olahraga Nasional (PON) Provinsi Sulsel