nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

246
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 NOTA KEUANGAN DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1997/1998 REPUBLIK INDONESIA Depertemen Keuangan Republik Indonesia 1

Upload: duongthuan

Post on 25-Jan-2017

243 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

NOTA KEUANGAN

DAN

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

TAHUN ANGGARAN 1997/1998

REPUBLIK INDONESIA

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 1

Page 2: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

BAB I

UMUM

Pendahuluan

Tahun anggaran 1997/1998 yang merupakan tahun keempat Repelita VI akan ditandai

dengan beberapa peristiwa penting dalam bidang ketatanegaraan, diantaranya pelaksanaan

pemilihan umum (Pemilu) 1997, disusul dengan pergantian anggota Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selanjutnya akan dilangsungkan

Sidang Umum MPR yang akan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun

1998, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 1998-2003. Ketiga peristiwa

tersebut akan memberikan suasana baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam

memasuki pergantian abad ini.

Memasuki abad ke 21 akan merupakan suatu peristiwa yang bersejarah dalam

mengantarkan dunia memasuki millennium ketiga. Menghadapi pergantian abad tersebut,

sebagai bangsa yang besar, sikap optimisme haruslah menjadi acuan setiap manusia Indonesia.

Sikap optimisme ini harus dikembangkan dan dipupuk, karena hal itu merupakan modal penting

bagi suatu bangsa untuk menatap masa depannya dalam mengisi dan melaksanakan

pembangunan. Pembangunan Indonesia yang telah dirumuskan berdasarkan nilai-nilai yang

terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, telah memberikan dimensi etika

dan moral, dan merupakan pegangan utama bagi bangsa di tengah-tengah peradaban dunia yang

penuh dengan perbenturan dan persaingan, sebagai akibat dari zaman yang semakin terbuka dan

berdimensi global.

Pembangunan nasional yang mulai dilaksanakan secara terarah dan terencana pada

masa Orde Baru sejak tahun 1969, telah mencatat berbagai prestasi yang menggembirakan.

Selama hampir tiga dekade ekonomi Indonesia telah tumbuh dengan tingkat hampir 7 persen

rata-rata per tahun. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut, dibarengi dengan

keberhasilan mengendalikan tingkat pertumbuhan penduduk ke tingkat yang relatif rendah, telah

berhasil meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berarti, yang antara lain

ditunjukkan oleh berbagai indikator seperti makin membaiknya pendapatan per kapita,

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 2

Page 3: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

menurunnya jumlah penduduk miskin, meningkatnya usia rata-rata harapan hidup, menurunnya

tingkat kematian bayi, serta membaiknya kesempatan memperoleh pendidikan.

Pada saat dimulainya pembangunan nasional pada tahun 1969, pendapatan per kapita

baru mencapai sebesar US$ 70, dan pada tahun 1995 pendapatan per kapita tersebut telah

meningkat menjadi sekitar US$ 1.024, suatu peningkatan hampir lima belas kali dalam kurun

waktu 26 tahun. Hal ini diikuti pula oleh penurunan jumlah penduduk Indonesia yang tergolong

miskin, dari sekitar 60 persen dari jumlah penduduk dalam tahun 1970 menjadi sekitar 13,7

persen dalam tahun 1993. Diperkirakan dalam tahun 1995 angka jumlah penduduk miskin

tersebut telah semakin mengecil. Demikian juga tingkat kematian bayi telah turun secara berarti,

dari 145 per seribu kelahiran hidup dalam tahun 1967 menjadi 55 per seribu dalam tahun 1995.

Sementara itu, usia rata-rata harapan hidup telah meningkat menjadi 63,5 tahun dalam tahun

1995. Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan juga mengalami perbaikan, seperti

ditunjukkan oleh angka partisipasi kasar untuk murid sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat

pertarna, sekolah lanjutan tingkat atas, serta perguruan tinggi yang masing-masing telah

mencapai sebesar 111,9 persen, 50,8 persen, 32,5 persen dan 10,3 persen dalam tahun anggaran

1995/1996.

Hasil-hasil pembangunan yang cukup menggembirakan tersebut merupakan hasil kerja

keras dan saling bahu membahu dari seluruh rakyat Indonesia bersama Pemerintah. Perlu

disadari bahwa dalam melaksanakan pembangunan, berbagai tantangan dan hambatan akan

selalu menghadang. Namun demikian, sebagai bangsa pejuang yang telah berpengalaman dalam

berbagai permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, semua tantangan dan

hambatan sebesar apapun, akan selalu dapat dipecahkan dan dicarikan jalan keluarnya. Kesatuan

dan persatuan bangsa, kerja sama yang penuh pengertian, serta sikap yang tidak saling

mencurigai dan apatis dari berbagai pelaku pembangunan, baik Pemerintah, badan usaha milik

negara (BUMN), dunia usaha swasta, koperasi serta masyarakat pada umumnya, merupakan

syarat mutlak bagi berhasilnya pembangunan yang berkesinambungan, dalam menuju suatu

masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai selama

ini telah menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang mampu membangun dirinya untuk

duduk sejajar dengan bangsa-bangsa terkemuka lainnya.

Dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 3

Page 4: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

UUD 1945, Pemerintah telah menetapkan program pembangunan yang berkesinambungan yang

berdimensi jangka panjang (PJP) dan menengah (Repelita) yang dijabarkan dalam rencana

operasional tahunan dalam bentuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(RAPBN). Pembangunan jangka panjang pertama (PJP I) yang dimulai pada tahun anggaran

1969/1970 dan berakhir tahun anggaran 1993/1994 telah dilaksanakan dengan baik dan berhasil,

walaupun disadari bahwa masih ada hal-hal yang perin diperbaiki dan ditingkatkan. Hasil-hasil

pembangunan PJP I telah berhasil menciptakan landasan yang kuat bagi pembangunan ekonomi

Indonesia selanjutnya. Sebagai kelanjutannya, PJP II yang telah dicanangkan sejak 1 April 1994

dan akan berakhir tahun 2019, yang meliputi rangkaian Repelita VI sampai dengan Repelita X,

diperkirakan akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan PJP I. Rasa

optimisme ini didasarkan, antara lain pada semakin seimbangnya struktur ekonomi Indonesia,

semakin baiknya kualitas sumber daya manusia Indonesia, serta manajemen ekonomi makro

yang lebih profesional.

Pelaksanaan pembangunan dua tahun pertama Repelita VI telah menghasilkan

pertumbuhan ekonomi yang melampaui target yang ditetapkan, sementara itu, tingkat inflasi

juga lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Hasil-hasil yang dicapai dalam Repelita VI ini

telah meningkatkan rasa percaya diri dan optimisme, bahwa dalam tahun anggaran 1997/1998

berbagai sasaran pokok pembangunan sebagaimana telah ditetapkan, akan dapat dicapai bahkan

kemungkinan besar akan dapat terlampaui. Namun demikian, sikap optimisme dan percaya diri

perlu dibarengi dengan sikap hati-hati dan waspada.

Dalam tahun anggaran 1997/1998, berbagai tantangan akan dihadapi baik itu bersumber

dari dalam negeri (faktor internal) maupun dari luar negeri (faktor eksternal). Tantangan dari

dalam negeri terutama bersumber dari masalah-masalah ekonomi yang belum dapat diselesaikan

dalam tahun-tahun sebelumnya, seperti masalah pemerataan pendapatan, masalah kesenjangan

pembangunan antar kawasan, dan masalah peningkatan peranan usaha kecil dan menengah

termasuk koperasi, serta masalah-masalah lainnya, sedangkan tantangan dari luar negeri

terutama bersumber dari konsekuensi globalisasi ekonomi dunia. Globalisasi ini telah

mengakibatkan interdependensi ekonomi Indonesia dengan negara lain semakin tinggi, sehingga

kejadian-kejadian yang kurang menguntungkan yang terjadi di luar negeri dapat tertransmisikan

ke ekonomi Indonesia. Hal ini perlu diwaspadai dan dicermati karena transmisi faktor eksternal

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 4

Page 5: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

yang negatif akan dengan mudah dan cepat terjadi oleh adanya kemajuan yang pesat di bidang

teknologi komunikasi dan transportasi. Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak negatif

tersebut, diperlukan suatu kebijaksanaan ekonomi makro yang proaktif dan hati-hati (prudent).

Walaupun tantangan yang dihadapi dalam tahun anggaran 1997/1998 beraneka ragam

dan semakin kompleks, namun peluang untuk melaksanakan pembangunan dengan baik dan

berhasil, tetap terbuka lebar. Untuk itu dituntut setiap insan Indonesia terutama yang

melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan agar selalu bekerja keras, berdisiplin serta

berdedikasi tinggi. Dengan demikian, keberhasilan pelaksanaan pembangunan tahun anggaran

1997/1998 akan menandakan bahwa Indonesia telah maju selangkah lagi dalam mencapai

tujuannya.

Beberapa sasaran pokok pembangunan dalam tahun anggaran 1997/1998

Sesuai dengan arah kebijaksanaan pembangunan yang tertuang dalam GBHN 1993,

pelaksanaan pembangunan dalam tahun anggaran 1997/1998 tetap bertumpu pada Trilogi

Pembangunan. Nuansa pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi

yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, perlu lebih diwujudkan

sebagai filosofi dasar yang mewarnai setiap proses pengambilan keputusan politik, pengelolaan

kebijaksanaan ekonomi, dan pemecahan berbagai permasalahan fundamental yang dihadapi

dalam pembangunan.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan untuk mempercepat perubahan struktur

perekonomian nasional menuju perekonomian yang seimbang dan dinamis, yang bercirikan

industri yang kuat dan maju, pertanian yang tangguh, serta memiliki basis pertumbuhan sektoral

yang seimbang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan untuk menggerakkan dan

memacu pembangunan di bidang-bidang lainnya, sekaligus sebagai kekuatan utama

pembangunan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi ketimpangan

sosial ekonomi, yang prosesnya dapat terjadi melalui pengurangan angka kemiskinan dan

peningkatan penyerapan tenaga kerja.

Dalam tahun anggaran 1997/1998 sasaran pertumbuhan ekonomi adalah sesuai dengan

sasaran yang ditetapkan dalam Repelita VI, yakni sebesar 7,1 persen. Sasaran pertumbuhan

ekonomi sebesar itu adalah cukup realistis, baik dilihat dari sisi permintaan maupun penawaran.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 5

Page 6: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Dari sisi permintaan, perkembangan pasar domestik yang cenderung menguat akan menjadi

motor penggerak utama bagi pertumbuhan ekonomi, di samping peluang pasar luar negeri yang

fenomenanya kini juga tengah menunjukkan perkembangan secara pesat. Sedangkan dari sisi

penawaran, sumber pertumbuhan ekonomi berasal dari adanya peningkatan investasi,

peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan produktivitas, efisiensi, dan daya saing

dalam pengelolaan sumber daya ekonomi nasional, serta semakin meningkatnya peranserta

masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Dalam tahun anggaran 1997/1998, kebutuhan

investasi untuk pembangunan sektor pemerintah diperkirakan akan mencapai sekitar Rp

38.927,9 miliar, diantaranya diharapkan dapat dibiayai melalui tabungan pemerintah sebesar Rp

25.901,9 miliar dan penerimaan pembangunan sebesar Rp 13.026,0 miliar. Dengan

pertumbuhan ekonomi sebesar 7,1 persen dan sasaran pertumbuhan penduduk sebesar 1,54

persen, maka pada akhir tahun anggaran 1997/1998 pendapatan per kapita diperkirakan akan

mencapai sekitar US$ 1.201.

Kondisi perekonomian nasional dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan akan

berkembang secara dinamis dan mantap, melalui pembenahan aspek struktural ekonomi. Hal ini

dilakukan dengan mengurangi dan menghapuskan berbagai distorsi yang menghambat proses

produksi dan distribusi barang dan jasa, serta pengelolaan sektor finansial secara lebih

akomodatif dan berhati-hati, diharapkan laju inflasi akan dapat dikendalikan, sehingga

mendekati angka sasaran Repelita VI sebesar 6 persen per tahun. Namun demikian, dalam

rangka untuk memelihara kestabilan ekonomi yang dinamis, tetap diperlukan adanya

kebijaksanaan yang lebih berhati-hati, khususnya dalam menangani defisit transaksi berjalan.

Dalam tahun anggaran 1997/1998 defisit transaksi berjalan diperkirakan mencapai sebesar US$

9.798,0 juta, atau sedikit lebih tinggi dari angka tahun anggaran lalu. Peningkatan defisit

transaksi berjalan ini terjadi seiring dengan makin meningkatnya kegiatan investasi di dalam

negeri, sehingga kebutuhan impor barang modal dan bahan baku/ penolong juga makin

meningkat. Oleh karena itu dalam rangka mengamankan cadangan devisa, pertumbuhan impor

dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan pada tingkat 13,7 persen, sedangkan ekspor

diperkirakan tumbuh sebesar 14,0 persen, terutama karena adanya kontribusi dari ekspor

nonmigas yang pertumbuhannya diperkirakan akan mencapai sebesar 16,9 persen.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 6

Page 7: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Kebijaksanaan ekonomi makro dan dinamika ekonomi Indonesia

Kebijaksanaan ekonomi makro yang dilaksanakan selama ini dengan tetap bertumpu

pada Trilogi Pembangunan, telah membawa perubahan yang mendasar dalam perekonomian

Indonesia. Perubahan ini antara lain tercermin pada perubahan struktur ekonomi Indonesia dari

suatu struktur yang kurang seimbang ke struktur yang lebih seimbang. Transformasi struktur

ekonomi ke arah yang lebih seimbang sangat penting bagi keberhasilan pembangunan ekonomi

Indonesia, terutama dalam berakomodasi dan berintegrasi dengan ekonomi global. Transformasi

struktur ekonomi ini menyangkut antara lain struktur produk domestik bruto (PDB), struktur

penerimaan negara, struktur ekspor, dan struktur investasi.

Perubahan atau transformasi struktur PDB Indonesia tercermin dari bergesernya

peranan sektor tradisional (pertanian) ke sektor yang lebih modern, seperti sektor industri,

perdagangan, dan jasa-jasa. Peranan sektor industri pengolahan dalam PDB telah meningkat dari

9,2 persen dalam tahun 1969 menjadi 24,2 persen pada tahun 1995. Sedangkan peranan sektor

pertanian menurun dari 49,3 persen dalam PDB tahun 1969, menjadi 17,2 persen dalam tahun

1995. Struktur PDB yang didominasi sektor pertanian mempunyai beberapa kelemahan, yaitu

nilai tukar (terms of trade) produk pertanian relatif rendah dibandingkan dengan produk

manufaktur, sehingga penerimaan devisa dari ekspor produk pertanian tidak dapat diandalkan

sebagai penerimaan devisa untuk membiayai barang-barang modal yang diimpor. Selain itu,

sektor pertanian tumbuh relatif lamban, sehingga tidak dapat diandalkan untuk menyerap tenaga

kerja yang tumbuh dengan cepat. Dengan memperhatikan beberapa kelemahan. ini, Pemerintah

sejak awal pembangunan telah mengambil beberapa kebijaksanaan yang bertujuan untuk

menyeimbangkan alokasi sumber daya antara sektor pertanian dengan sektor industri.

Perubahan struktur perekonomian nasional yang menuju keseimbangan antara sektor

industri dan sektor pertanian semakin penting dewasa ini, sejalan dengan semakin tingginya

integrasi ekonomi Indonesia dengan perekonomian dunia yang cenderung bergerak ke arah

perdagangan sektor manufaktur dan jasa. Dengan struktur PDB yang telah mengarah ke sektor

industri dan jasa, ekonomi Indonesia diharapkan akan dapat lebih mudah mengakomodasi

peristiwa-peristiwa ekonomi internasional.

Perubahan struktural lain yang cukup penting menyangkut struktur penerimaan dalam

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 7

Page 8: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

negeri. Sampai dengan awal tahun 1980-an, penerimaan dalam negeri sangat didominasi oleh

penerimaan migas, misalnya dalam tahun anggaran 1981/1982 peranan penerimaan migas

mencapai sebesar 70,9 persen dari total penerimaan dalam negeri. Struktur penerimaan yang

semacam ini mempunyai kelemahan yang mendasar yaitu sangat rentan terhadap fluktuasi harga

migas di pasar internasional. Kenyataan menunjukkan bahwa harga migas di pasar internasional

memang sangat fluktuatif, sehingga penerimaan negara dalam negeri juga menjadi tidak

menentu. Keadaan semacam ini pada gilirannya akan mengganggu kestabilan kegiatan

pemerintahan baik kegiatan yang bersifat rutin maupun pembangunan, sebagaimana terjadi pada

tahun 1986, dimana harga minyak turun ke tingkat paling rendah, yaitu sekitar US$ 9 per barel

pada bulan Agustus 1986. Di samping itu, dalam jangka panjang, harga minyak diperkirakan

akan cenderung menurun, karena penemuan sumur-sumur minyak baru, penemuan teknologi

baru yang hemat energi, serta penemuan teknologi pengganti energi minyak. Selain itu, tingkat

produksi minyak Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebijaksanaan OPEC, sehingga tingkat

produksi minyak nasional kurang leluasa untuk disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi

perekonomian nasional.

Mengingat keadaan yang relatif kurang menguntungkan tersebut di alas, Pemerintah

telah mengambil langkah antisipatif untuk merubah struktur penerimaan dalam negeri dengan

membenahi sistem perpajakan nasional. Dalam kaitan ini telah diberlakukan Undang-undang

Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983

tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Sementara itu, dalam rangka menggali potensi pajak bumi dari bangunan telah pula

diberlakukan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dari Bangunan serta

Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai. Selanjutnya undang-undang

tersebut di atas telah disempurnakan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 9 Tahun

1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983, Undang-undang Nomor 10

Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, Undang-undang

Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983, serta

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 12

Tahun 1985. Selain itu, sejak 1 April 1996 telah diberlakukan Undang-undang Nomor 10 Tahun

1995 tentang Kepabeanan dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 8

Page 9: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Pemberlakuan undang-undang tersebut di atas telah berhasil mendorong penerimaan

pajak secara berarti. Dalam tahun anggaran 1995/1996 penerimaan pajak mencapai sebesar Rp

48.420,4 miliar yang berarti kenaikan sebesar hampir 13 kali dari tahun anggaran 1982/1983. Di

samping itu peranan penerimaan pajak terhadap penerimaan dalam negeri juga mengalami

peningkatan yang cukup berarti. Jika dalam tahun anggaran 1982/1983 peranan penerimaan

pajak terhadap penerimaan dalam negeri adalah sebesar 30,5 persen, maka dalam tahun

anggaran 1995/1996 telah meningkat menjadi sebesar 67,7 persen. Di sisi lain, peranan

penerimaan migas terhadap penerimaan dalam negeri terus mengalami penurunan dari dalam

tahun anggaran 1995/1996 hanya sebesar 20,8 persen.

Terlepas dari keberhasilan tersebut di atas, penerimaan pajak masih perlu ditingkatkan.

Hal ini terlihat dari angka tax ratio yaitu rasio penerimaan pajak terhadap PDB yang masih

relatif rendah. Dalam tahun anggaran 1995/1996 angka rasio ini mencapai sebesar 11,8 persen,

sementara di negara-negara Asean seperti Singapura telah mencapai sebesar 16,2 persen,

Malaysia sebesar 33,4 persen, dari Thailand sebesar 16,1 persen pada tahun 1994. Oleh karena

itu, masih perlu ditingkatkan upaya-upaya ke arah peningkatan penerimaan pajak melalui

peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan integritas para petugas pajak, serta

peningkatan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak.

Perubahan struktur penting lainnya terjadi pada struktur ekspor Indonesia, yaitu dari

suatu struktur yang didominasi migas ke struktur dimana peran nonmigas telah lebih dominan.

Perubahan struktur ini sangat erat kaitannya dengan strategi kebijaksanaan yang dijalankan

Pemerintah. Sebelum tahun 1986, kebijaksanaan yang dijalankan berorientasi ke pasar domestik

(inward-looking policy), yaitu bertujuan mendorong industri dalam negeri yang memproduksi

barang-barang yang menggantikan barang-barang impor, sehingga akan dapat menghemat

devisa. Kebijaksanaan seperti ini dapat dilaksanakan dalam kondisi harga minyak di pasar

internasional yang relatif tinggi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan devisa untuk pembayaran

transaksi internasional. Namun, turunnya harga minyak pada awal tahun 1980-an menyebabkan

Pemerintah menempuh kebijaksanaan yang berorientasi ke pasar luar negeri (outward-looking

policy). Untuk tujuan ini, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai paket kebijaksanaan yang

mampu menciptakan iklim investasi yang menarik, serta menjalankan kebijaksanaan nilai tukar

yang kondusif untuk mendorong ekspor nonmigas.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 9

Page 10: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Berbagai kebijaksanaan yang ditempuh, antara lain berupa paket kebijaksanaan 6 Mei

1986 (Pakmei '86), paket kebijaksanaan 25 Oktober 1986 (Pakto '86), paket kebijaksanaan 28

Oktober 1988 (Pakto '88), paket kebijaksanaan 3 Juni 1991 (Pakjun '91), paket kebijaksanaan 6

Juli 1992 (Pakjul '92), paket kebijaksanaan 10 Juni 1993 (Pakjun '93), paket kebijaksanaan 23

Oktober 1993 (Pakto '93) dan paket kebijaksanaan 23 Mei 1995 (Pakmei '95) telah berhasil

mendorong ekspor nonmigas berkembang dengan pesat. Dalam tahun anggaran 1995/1996 total

ekspor mencapai sebesar US$ 46.296 juta, dengan komposisi ekspor nonmigas sebesar US$

36.121 juta (78 persen) dan ekspor migas sebesar US$ 10.175 juta (22 persen) migas.

Komposisi ini berbeda jauh dengan tahun anggaran 1985/1986 dimana total ekspor mencapai

sebesar US$ 18.612 juta dengan komposisi ekspor nonmigas sebesar US$ 6.175 juta (33,2

persen) dan ekspor migas sebesar US$ 12.437 juta (66,8 persen).

Selain perubahan tersebut di atas basis ekspor nonmigas telah bergeser dari komoditi-

komoditi primer (hasil alam) ke komoditi-komoditi sekunder. Bila pada tahun 1970-an hingga

1980-an ekspor nonmigas tergantung pada 5 komoditi utama, yakni minyak bumi, karet olahan,

kopi, minyak kelapa sawit, dan timah, maka setelah akhir tahun 1980-an, nilai ekspor mulai

didominasi oleh 10 jenis komoditi utama seperti udang (segar/beku), kayu lapis, kayu olahan

lainnya, pakaian jadi, alat-alat listrik, karet olahan, alas kaki, kain tenun, tekstil lainnya, serta

kertas dan barang dari kertas.

Pertumbuhan ekspor nonmigas dalam kurun waktu 1985-1994 cukup menggembirakan,

yaitu tumbuh dengan tingkat rata-rata sebesar 18,3 persen per tahun. Namun, dalam dua tahun

terakhir, pertumbuhan ekspor nonmigas relatif mengalami penurunan. Hal ini antara lain

disebabkan oleh semakin ketatnya persaingan di pasar internasional sejalan dengan globalisasi

ekonomi dunia. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan upaya-upaya baik dari Pemerintah maupun

swasta untuk meningkatkan daya saing produk nasional di pasar internasional.

Perubahan mendasar berikutnya adalah perubahan struktur investasi. Pada awal tahun

1981 sebagian besar investasi dilakukan oleh Pemerintah dan peranan sektor swasta relatif kecil.

Pada saat itu peranan investasi pemerintah dalam total investasi mencapai sekitar 59 persen,

sedangkan swasta hanya sekitar 41 persen. Namun, dalam tahun 1995 peranan pemerintah telah

menurun menjadi sekitar 22,7 persen dan sektor swasta menjadi sekitar 77,3 persen. Keadaan

struktur yang demikian ini telah membuat ekonomi Indonesia lebih dinamis dan lebih

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 10

Page 11: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

berorientasi ke mekanisme pasar yang terkendali, sehingga kegiatan ekonomi bukan lagi

digerakkan oleh sektor publik, tetapi sebagian besar digerakkan oleh sektor swasta. Perubahan

struktur investasi ini sangat berkait dengan upaya-upaya pemerintah dalam mendorong investasi

swasta baik dalam negeri (PMDN), swasta asing (PMA), serta investasi masyarakat bukan

PMDN dan PMA. Upaya ini diawali dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun

1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang

Nomor 11 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal

Dalam Negeri, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970.

Struktur ekonomi Indonesia yang telah lebih seimbang tersebut di atas telah

memberikan lingkungan yang lebih mudah dalam melaksanakan kebijaksanaan ekonomi makro

dalam rangka mencapai Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas.

Ketiga unsur ini adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya,

walaupun dalam pelaksanaannya terjadi penyesuaian penekanan intensitas pada salah satu unsur

sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak mungkin dapat

dicapai tanpa stabilitas ekonomi yang mantap dan dinamis. Sementara itu, stabilitas juga tidak

akan dapat dicapai tanpa adanya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Demikian juga

pemerataan pembangunan tidak mungkin tercapai tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang

cukup tinggi.

Kebijaksanaan ekonomi makro, yaitu kebijaksanaan fiskal, moneter, necara

pembayaran, serta kebijaksanaan di sektor riil, yang dilaksanakan selama ini selalu diarahkan

untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, mengendalikan inflasi dan neraca transaksi

berjalan, serta untuk mencapai pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang lebih baik.

Dalam kaitan ini, kebijaksanaan ekonomi makro tahun anggaran 1997/1998 akan diarahkan

untuk mencapai target ekonomi makro dalam Repelita VI, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi

sebesar rata-rata 7,1 persen per tahun, tingkat inflasi sebesar 6 persen per tahun, defisit transaksi

berjalan dalam batas-batas yang aman, serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang

lebih baik.

Kebijaksanaan fiskal, moneter, dan neraca pembayaran di satu pihak dan kebijaksanaan

di sektor riil, seperti kebijaksanaan investasi, produksi, serta distribusi di pihak lain, ditujukan

untuk mengendalikan perekonomian ke arah yang dikehendaki. Namun, kedua kebijaksanaan ini

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 11

Page 12: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

digunakan dengan tujuan yang berbeda. Kebijaksanaan fiskal, moneter, dan neraca pembayaran

dimaksudkan untuk mengendalikan perekonomian dari sisi permintaan (demand) dan pada

umumnya terjadi dalam jangka pendek (short-term). Sedangkan kebijaksanaan di sektor riil

dimaksudkan mengendalikan perekonomian dari sisi penawaran (supply) dan biasanya

berdimensi waktu relatif lebih lama (long-term).

Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan merupakan suatu proses pembangunan yang

berkesinambungan dari masa lalu, sekarang dan masa datang. Oleh karena itu, isu-isu ekonomi

yang dihadapi juga merupakan isu-isu yang saling berkaitan. Isu ekonomi dalam tahun anggaran

1996/1997 berkaitan dengan isu-isu ekonomi yang dihadapi dalam tahun-tahun anggaran

sebelumnya. Dalam tahun anggaran 1995/1996 demikian juga dalam tahun anggaran 1996/1997

isu-isu utama ekonomi makro yang dihadapi adalah masalah suhu ekonomi nasional yang relatif

memanas (overheated economy), yang ditandai oleh relatif tingginya tingkat inflasi dan defisit

transaksi berjalan yang relatif besar. Dalam tahun anggaran 1994/1995 dan tahun anggaran

1995/1996 inflasi mencapai masing-masing sebesar 8,57 persen dan 8,86 persen, sementara

defisit transaksi berjalan meningkat dari sebesar US$ 3.488 juta dalam tahun anggaran

1994/1995 menjadi US$ 6.987,0 juta dalam tahun anggaran 1995/1996 atau meningkat sebesar

100,3 persen. Dalam tahun anggaran 1996/1997, diperkirakan inflasi akan lebih rendah dari

tahun anggaran 1995/1996, sedangkan defisit transaksi berjalan diperkirakan akan mencapai

sekitar US$ 8.823 juta atau meningkat sebesar 26,3 persen dibanding tahun anggaran

sebelumnya. Secara makro, defisit transaksi berjalan dalam tahun anggaran 1996/1997 mencapai

4 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Masalah pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan tetap merupakan masalah

utama yang dihadapi dalam tahun anggaran 1997/1998. Oleh karena itu, kebijaksanaan ekonomi

makro yang ditempuh terutama ditujukan untuk mengendalikan kedua masalah tersebut. Inflasi

perlu dikendalikan ke tingkat yang serendah mungkin oleh karena inflasi menyangkut

kesejahteraan seluruh rakyat. Inflasi yang tinggi akan menurunkan daya beli (purchasing power)

dari masyarakat terutama mereka yang berpenghasilan relatif tetap. Selain itu, inflasi juga

menurunkan daya saing produk-produk nasional, karena inflasi yang tinggi berarti biaya

produksi juga akan naik dan pada gilirannya akan tercermin pada harga produk yang tinggi.

Sementara itu, defisit transaksi berjalan perlu terus dikendalikan oleh karena defisit transaksi

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 12

Page 13: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

berjalan merupakan cerminan dari kewajiban suatu negara terhadap dunia luar. Hal ini terjadi

karena nilai impor barang-barang dan jasa-jasa yang merupakan kewajiban terhadap dunia luar

lebih besar daripada nilai ekspor yang merupakan kemampuan untuk membiayai impor tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, kewajiban suatu negara terhadap dunia luar secara bertahap

perlu diturunkan, yaitu dengan mengusahakan penurunan defisit transaksi berjalan, yang

dicerminkan oleh nilai ekspor barang-barang dan jasa-jasa yang meningkat lebih tinggi dari

peningkatan nilai impor barang-barang dan jasa-jasa.

Pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan sangat penting dan menentukan bagi

suatu negara, oleh karena kedua unsur ini merupakan pencerminan dari kestabilan ekonomi

internal dan eksternal. Inflasi yang tinggi dan tidak terkendali, berarti harga barang-barang dan

jasa-jasa mengalami kenaikan yang tinggi dan tidak terkendali. Keadaan ini akan menciptakan

ketidakpastian harga input dan output, yang selanjutnya akan dapat menghambat kegiatan

produksi dan distribusi barang dan jasa, yang pada gilirannya akan membahayakan

perekonomian masyarakat. Di sisi lain, defisit transaksi berjalan yang meningkat terus dan tidak

terkendali dapat menimbulkan berbagai isu devaluasi. Isu devaluasi tersebut selanjutnya akan

mendorong spekulasi di pasar valuta asing yang tercermin dalam bentuk ketidakstabilan dan

kegoncangan di pasar valuta asing. Hal ini pada gilirannya akan mengganggu sektor produksi

terutama barang-barang produksi untuk ekspor. Apabila ekspor terganggu berarti defisit

transaksi berjalan akan semakin melebar, dan ini selanjutnya akan memperkuat goncangan yang

telah terjadi di pasar valuta asing.

Tingginya inflasi dan meningkatnya defisit transaksi berjalan disebabkan terutama oleh

meningkatnya permintaan agregat yang tidak dibarengi dengan meningkatnya penawaran

agregat. Permintaan agregat yang ditunjukkan oleh besarnya jumlah uang beredar, dapat

mengalami peningkatan dalam waktu sangat singkat, tetapi penawaran agregat yang ditunjukkan

oleh besarnya arus barang relatif tetap dalam waktu singkat, karena menyangkut kapasitas

produksi. Dengan demikian dalam jangka pendek, pengendalian inflasi dan defisit transaksi

berjalan dilakukan dengan pengendalian permintaan agregat. Peningkatan permintaan agregat

terjadi karena adanya peningkatan belanja akan konsumsi dan investasi oleh masyarakat dan

Pemerintah. Dalam kaitan ini, perilaku belanja pemerintah ditentukan oleh kebijaksanaan

pemerintah sendiri, dengan memperhatikan batasan pendapatannya (budget constraint).

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 13

Page 14: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Sedangkan perilaku belanja masyarakat ditentukan oleh daya belinya yang terutama berasal dari

jumlah uang yang dikuasainya. Oleh karena itu, secara garis besar, konsumsi dan investasi

masyarakat dapat dikendalikan dengan kebijaksanaan moneter, sedang konsumsi dan investasi

pemerintah dapat dikendalikan dengan kebijaksanaan fiskal.

Upaya penurunan permintaan agregat masyarakat dilakukan dengan menurunkan

tingkat pertumbuhan uang beredar melalui kebijaksanaan moneter, seperti ketentuan giro wajib

minimum (GWM), pengaturan suku bunga diskonto, operasi pasar terbuka, serta melalui

himbauan (moral suasion). Operasi pasar terbuka dilakukan Bank Indonesia setiap hari kerja

dengan menjual sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menurunkan jumlah uang beredar, dan

membeli surat berharga pasar uang (SBPU) untuk menambah jumlah uang beredar. Di samping

itu, untuk menurunkan jumlah uang beredar, Bank Indonesia juga dapat melakukannya dengan

menaikkan GWM atau sebaliknya untuk menaikkan jumlah uang beredar dilakukan dengan

menurunkan GWM. Sebagaimana diketahui sejak 1 Februari 1996, GWM telah dinaikkan

menjadi 3 persen dari yang berlaku sebelumnya yaitu sebesar 2 persen, dan akan dinaikkan lagi

menjadi sebesar 5 persen mulai 1 April 1997.

Agar dapat mencapai tujuannya dengan efektif kebijaksanaan moneter yang ketat harus

didukung oleh kebijaksanaan fiskal yang ketat (kontraktif) pula. Oleh karena itu, dalam tahun

anggaran 1997/1998 akan dilaksanakan kebijaksanaan fiskal yang kontraktif, yaitu dengan

mengintensifkan penerimaan negara dan diikuti dengan pengeluaran yang seefisien mungkin.

Pengeluaran pembangunan akan diarahkan ke sektor-sektor yang strategis dan mempunyai

dampak multiplier yang besar bagi perekonomian nasional, seperti pembangunan infrastruktur

yang mendukung upaya pengembangan industri, terutama yang menghasilkan barang ekspor

dan mampu menyerap tenaga kerja yang banyak. Pengeluaran rutin akan dilaksanakan seefisien

mungkin, tanpa mengurangi kualitas pelayanan aparat pemerintah kepada masyarakat.

Kebijaksanaan fiskal yang kontraktif akan dapat meningkatkan tabungan pemerintah, serta

diupayakan akan terbentuk sisa anggaran lebih (SAL) yang lebih besar, yang antara lain dapat

dipergunakan untuk percepatan pembayaran hutang luar negeri pemerintah terutama yang

berbunga relatif tinggi.

Dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, kebijaksanaan

ekonomi makro diarahkan untuk mengendalikan sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 14

Page 15: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

(supply) dari perekonomian. Dalam jangka pendek (short-term), pertumbuhan ekonomi sangat

dipengaruhi oleh sisi permintaan, sedangkan dalam rentang waktu yang lebih panjang (long-

term) pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh sisi penawaran seperti tingkat investasi,

produktivitas, sumber daya manusia dan lainnya. Interaksi sisi permintaan dan sisi penawaran

akan menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Dengan demikian mengendalikan

perekonomian harus dilakukan seeara hati-hati dan bijaksana, karena kedua besaran yaitu

pertumbuhan dan inflasi dapat bergerak ke arah yang tidak diinginkan. Pertumbuhan ekonomi

yang terlalu tinggi akan dapat menghasilkan tingkat inflasi yang tinggi, sebaliknya upaya

penekanan inflasi yang serendah mungkin, akan dapat berakibat tingkat pertumbuhan ekonomi

yang rendah.

Untuk mengendalikan perekonomian dalam jangka pendek (tahunan), Pemerintah telah

menjalankan kebijaksanaan moneter dan fiskal yang berhati-hati dan proaktif. Kebijaksanaan

moneter ditujukan terutama untuk mempengaruhi belanja masyarakat, baik untuk konsumsi

maupun investasi yang penentu utamanya adalah jumlah uang yang dipegang masyarakat

(jumlah uang beredar). Sedangkan jumlah uang beredar yang diukur dengan M2 (likuiditas

perekonomian) ditentukan antara lain oleh jumlah kredit yang disalurkan oleh sektor perbankan

dan jumlah aliran dana dari luar negeri. Pengendalian jumlah uang beredar sangat penting,

karena di satu pihak merupakan penentu pertumbuhan atau kegiatan ekonomi nasional, dan di

pihak lain sebagai penentu tingkat inflasi. Jumlah uang beredar yang terlalu sedikit akan

menurunkan aktivitas perekonomian, namun jumlah uang beredar yang melampaui kebutuhan

ekonomi nasional akan mendorong naiknya inflasi. Oleh karena itu, jumlah uang beredar ini

perlu dikendalikan secara hati-hati dan tepat.

Dalam rangka meningkatkan efektivitas sektor moneter dalam mendorong pertumbuhan

ekonomi dan mengendalikan inflasi, sejak 1 Juni 1983 telah dikeluarkan kebijaksanaan yang

antara lain memberi kebebasan bagi perbankan untuk menentukan suku bunga yang semula di

bawah kendali pemerintah dan kemudahan bagi masyarakat untuk mendirikan bank, usaha

asuransi, dana pensiun, serta lembaga pembiayaan. Dalam kaitan ini, telah diberlakukan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang Nomor 2 Tahun

1992 tentang Usaha Perasuransian, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana

Pensiun, dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Selain itu melalui

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 15

Page 16: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Keppres Nomor 61 Tahun 1988 telah diletakkan dasar bagi pengembangan lembaga

pembiayaan.

Kebijaksanaan tersebut di atas telah berhasil mendorong perkembangan industri

perbankan, industri asuransi, dana pensiun, pasar modal dan lembaga pembiayaan. Sampai

dengan bulan Oktober 1996 jumlah bank umum mencapai 239 buah, sedangkan bank

perkreditan rakyat mencapai sebanyak 7.834 buah. Dana perbankan yang berhasil dihimpun

sampai dengan bulan Oktober 1996 mencapai Rp 260.661,8 miliar, yang terdiri dari giro sebesar

Rp 52.566,2 miliar, deposito sebesar Rp 150.047,7 mi1iar, dan tabungan sebesar Rp 58.047,9

mi1iar. Sementara itu, dalam periode yang sama kredit perbankan yang disalurkan telah

mencapai Rp 278.099 miliar. Selanjutnya dalam tahun 1995 total aset industri asuransi

mencapai Rp 17.269,8 miliar, dan nilai investasi sebesar Rp 13.441,5 miliar. Sedangkan total

aset Dana Pensiun dalam tahun 1995 mencapai sekitar Rp 14.254,1 miliar, dan nilai investasi

mencapai sekitar Rp 10.072,5 miliar. Total aset lembaga pembiayaan (tidak termasuk modal

ventura) dalam tahun 1995 mencapai Rp 23.899,0 mi1iar, dan nilai investasi sebesar Rp

18.719,0 miliar. Dalam pada itu, peranan pasar modal dalam menghimpun dana, antara lain

dapat dilihat dari nilai kumulatif emisi saham dan obligasi yang sampai dengan tanggal 27

Desember 1996 mencapai masing-masing sebesar Rp 49.801,4 miliar dan Rp 11.535,5 miliar.

Untuk mempengaruhi sisi penawaran, Pemerintah telah mengambil kebijaksanaan di

bidang investasi, produksi, serta distribusi yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan

distribusi barang. Kebijaksanaan untuk mendorong investasi yang dituangkan dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan

Dalam Rangka Penanaman Modal Asing membawa perubahan yang cukup menarik bagi

investor asing, dimana dalam rangka usaha patungan investor asing diperbolehkan menguasai

saham hingga 95,0 persen. Selain itu, bidang-bidang usaha yang vital seperti pelabuhan,

produksi dan transmisi, serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran,

penerbangan, air minum, kereta api, pembangkit tenaga atom dan media massa, dibuka untuk

investor asing dengan persyaratan tertentu. Dalam rangka mendorong investasi, pada saat ini

Pemerintah sedang berusaha menyempurnakan Undang-undang Penanaman Modal Dalam

Negeri dan Penanaman Modal Asing.

Selanjutnya, Pemerintah juga telah menyusun program pembangunan industri yang

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 16

Page 17: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

terdiri dari tiga program pokok, yaitu program pengembangan industri rumah tangga, industri

kecil dan menengah, program peningkatan kemampuan teknologi industri, dan program

penataan struktur industri. Untuk mendukung pelaksanaan program tersebut telah ditetapkan

program penunjang yang terdiri atas program pengendalian pencemaran lingkungan hidup,

program pengembangan informasi industri, program pendidikan, pelatihan dan penyusunan

industri, serta program penelitian dan pengembangan industri. Program-program tersebut

dimaksudkan untuk mendorong industri nasional menjadi industri yang handal, efisien dan

mempunyai daya saing di pasar internasional.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi perlu diikuti oleh pemerataan pembangunan dan

hasil-hasilnya. Dalam kaitan ini, Pemerintah telah melaksanakan program pembinaan usaha

kecil (PUK) mengingat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia berada dan tergantung pada

usaha kecil. Salah satu bentuk bantuan yang diberikan Pemerintah adalah berupa perluasan

akses permodalan melalui skim perkreditan. Sampai dengan akhir tahun 1995, nilai kredit usaha

kecil (KUK) yang disalurkan telah mencapai Rp 40,9 triliun kepada 6,5 juta pengusaha kecil.

Sedangkan nilai kredit umum pedesaan (Kupedes) yang disalurkan dalam tahun anggaran

1995/1996 mencapai Rp 3,3 triliun kepada 2,3 juta pengusaha kecil di pedesaan. Selain itu,

kemitraan usaha antara pengusaha kecil dengan BUMN juga mengalami kemajuan yang besar.

Hal ini dapat dilihat dari penggunaan laba BUMN yang disalurkan untuk pembinaan usaha

kecil, yang dalam tahun 1995 mencapai sebesar Rp 397,5 miliar dengan jumlah pengusaha kecil

yang menjadi mitra usaha besar mencapai 68.500 orang. Sementara itu, melalui program Inpres

desa tertinggal (lOT) dalam tahun anggaran 1995/1996 juga telah diberikan bantuan langsung

kepada 22.094 desa masing-masing sebesar Rp 20 juta per desa.

Keterkaitan ekonomi Indonesia dengan perkembangan ekonomi dunia

Sistem perekonomian terbuka yang dianut oleh Indonesia, menyebabkan perekonomian

Indonesia tidak dapat menghindar dari setiap perkembangan yang terjadi dalam perekonomian

dunia, dan membawa konsekuensi adanya keterkaitan yang erat, baik melalui arus barang, jasa

maupun arus modal. Sebagaimana halnya arus modal, arus barang dan jasa memiliki peranan

yang penting dalam perekonomian nasional, seperti terlihat pada peranan (rasio) ekspor dan

impor terhadap PDB, yang dalam tahun 1995 mencapai masing-masing sebesar 26,02 persen

dan 25,23 persen.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 17

Page 18: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Ekspor sangat penting dalam menunjang pembangunan perekonomian Indonesia, karena

ekspor tidak saja sebagai sumber penerimaan devisa tetapi juga sebagai perluasan pasar bagi

produksi barang-barang domestik dan penyerap tenaga kerja. Selain tingkat daya saing barang-

barang ekspor itu sendiri, faktor penting lainnya yang mempengaruhi kinerja ekspor nasional

adalah tingkat pertumbuhan ekonomi dunia, khususnya tingkat pertumbuhan ekonomi di negara

mitra dagang utama Indonesia. Data tahun 1995 menunjukkan bahwa sebesar 50,2 persen dari

seluruh ekspor Indonesia ditujukan ke tujuh negara industri utama, sebesar 41 persen ke negara-

negara berkembang, sedangkan sisanya sebesar 8,8 persen ke negara-negara dalam transisi.

Sementara itu, lima negara yang merupakan tujuan utarna ekspor Indonesia antara lain adalah

Jepang (27,1 persen), Amerika Serikat (14 persen), Singapura (8,3 persen), Korea Selatan (6,4

persen), dan Taiwan (3,8 persen). Diperkirakan distribusi tujuan utarna ekspor Indonesia tidak

akan banyak mengalami perubahan dalam beberapa tahun mendatang.

Menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi dunia, khususnya negara-negara mitra dagang

utama Indonesia, sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kecenderungan naik turunnya

permintaan terhadap barang-barang ekspor Indonesia, maka perlu terus menerus dicermati

perkembangannya dalam upaya mengarnbil manfaat yang sebaik mungkin, serta menghindarkan

dampak yang merugikan. Pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun 1994 dan 1995, cukup

tinggi yaitu masing-masing sebesar 3,7 persen dan 3,5 persen. Diperkirakan pertumbuhan

ekonomi dunia dalam tahun 1996 akan sedikit lebih tinggi, yaitu sebesar 3,8 persen. Negara-

negara berkembang secara keseluruhan diperkirakan tetap meraih laju pertumbuhan yang paling

kuat di antara kelompok-kelompok negara lainnya, yaitu sebesar 6,3 persen, dengan laju inflasi

yang menurun menjadi 13,3 persen. Untuk kelompok negara-negara industri, dalam tahun 1995

mencapai laju pertumbuhan sebesar 2,1 persen, sedangkan dalam tahun 1996 diperkirakan

mengalami pertumbuhan yang sedikit menguat menjadi 2,3 persen, dengan tingkat inflasi

sebesar 2,3 persen. Tingkat inflasi yang relatif rendah ini mengindikasikan bahwa masih cukup

ruang bagi negara-negara maju untuk mendorong ekonominya untuk tumbuh lebih kuat.

Di sisi lain, situasi perekonomian di kelompok negara-negara transisi terus membaik dan

aktivitas ekonomi dalam tahun 1996 cukup stabil setelah lima tahun mengalami kemerosotan.

Sejumlah negara diperkirakan akan dapat mencapai laju pertumbuhan di atas 5 persen, seperti

Republik Ceko, Polandia, Republik Slowakia, dan Georgia. Secara keseluruhan negara-negara

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 18

Page 19: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

transisi dalam tahun 1996 ini diperkirakan mulai mampu mencapai laju pertumbuhan positif,

yaitu sebesar 0,4 persen, setelah tahun-tahun sebelumnya selalu berada dalam pertumbuhan

yang negatif. Inflasi rata-rata di negara-negara transisi dalam tahun 1996 diperkirakan

mengalami penurunan menjadi 41,3 persen. Namun perlu diwaspadai, walaupun pertumbuhan

ekonomi dunia dalam tahun 1996 diproyeksikan lebih baik dari tahun sebelumnya, volume

perdagangan dunia diperkirakan mengalami penurunan dari 8,9 persen menjadi 6,7 persen.

Sementara itu, dalam tahun 1997 pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan cukup

tinggi, yaitu dengan laju pertumbuhan sebesar 4, 1 persen. Hal ini terutama disebabkan oleh

adanya dorongan dari pertumbuhan yang tinggi di kelompok negara-negara transisi, yang

diproyeksikan sebesar 4 persen dibandingkan dengan tahun 1996 yang hanya mencapai 0,4

persen. Negara-negara industri secara kelompok, pertumbuhan ekonominya diproyeksikan

meningkat menjadi 2,5 persen. Sedangkan negara-negara berkembang diproyeksikan akan

meraih laju pertumbuhan yang hampir sama dengan tahun 1996, yaitu sebesar 6,2 persen.

Seirama dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat, volume perdagangan dunia

dalam tahun 1997 diramalkan kembali meningkat menjadi sebesar 7,2 persen. Membaiknya

pertumbuhan ekonomi dunia yang diikuti pula oleh meningkatnya volume perdagangan

internasional, akan memberikan dampak yang menguntungkan bagi perekonomian negara-

negara berkembang pada umumnya dan Indonesia khususnya.

Sementara itu, tanda-tanda pemulihan ekonomi Jepang mulai kelihatan pada tahun

1995. Meskipun produksi nasional selama tahun 1995 tumbuh sedikit di bawah 1 persen, namun

pertumbuhan yang cukup kuat dalam kuartal pertama tahun 1996 telah mengindikasikan bahwa

pemulihan ekonomi yang sudah lama ditunggu-tunggu itu kini tampak semakin nyata. Langkah-

langkah yang diambil oleh pemerintah Jepang untuk memberikan rangsangan fiskal di samping

penurunan tingkat bunga diskonto selama tahun 1995, telah memberikan sumbangan besar bagi

pemulihan ekonomi negara tersebut, yang dalam tahun 1996 diperkirakan tumbuh sebesar 3,5

persen. Amerika Serikat, yang melakukan pengetatan moneter dalam tahun 1994 untuk

meredam inflasi yang dirasakan meningkat, mengalami perlambatan laju pertumbuhan menjadi

sebesar 2 persen dalam tahun 1995 dibandingkan sebesar 3,5 persen dalam tahun sebelumnya.

Namun demikian, di awal tahun 1996 tanda-tanda menguatnya pertumbuhan kembali telah

mulai kelihatan. Hal ini tercermin dari respon perekonomian negara tersebut terhadap beberapa

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 19

Page 20: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

kali penurunan tingkat bunga jangka pendek sejak pertengahan Juli 1995, dan juga oleh adanya

penurunan tingkat bunga obligasi dalam tahun tersebut. Perekonomian Amerika Serikat dalam

tahun 1996 diperkirakan tumbuh sebesar 2,4 persen.

Dalam pada itu, perekonomian di sejumlah negara-negara Asia yang menjadi mitra

dagang penting Indonesia, seperti negara-negara ASEAN, Korea Selatan, Cina, dan Hongkong,

diperkirakan tetap meraih tingkat pertumbuhan yang cukup baik dalam tahun 1996. Negara-

negara tersebut telah melakukan langkah-langkah pengetatan kondisi moneter dan perkreditan,

dalam upaya memperlambat laju pertumbuhan dan meredam tekanan-tekanan inflasi.

Selain dari arus barang dan jasa, keterkaitan ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia

terjadi melalui arus modal. Karena sifatnya yang sangat sensitif, baik yang disebabkan oleh

faktor ekonomi maupun nonekonomi, menyebabkan arus modal tersebut dapat mempengaruhi

kinerja pasar uang dan pasar modal setiap negara. Dalam semester pertama tahun 1996, setelah

terjadinya krisis Meksiko, aliran modal neto ke negara berkembang pulih kembali, meskipun

disparitas aliran modal di antara kawasan-kawasan negara berkembang tetap berlangsung.

Selama tahun 1995, aliran modal neto ke negara-negara berkembang tercatat sebesar US$ 166,7

miliar, yang terdiri atas investasi asing langsung (FDI) sebesar US$ 73,6 miliar, investasi

portofolio sebesar US$ 35,7 miliar, dan investasi lainnya sebesar US$ 57,4 miliar. Negara

berkembang kawasan Asia tetap merupakan penerima aliran modal yang terbesar dengan nilai

sebesar US$ 98 miliar, disusul kemudian oleh kawasan Amerika Latin sebesar US$ 38,9 miliar,

Timur Tengah dan Eropa sebesar US$ 15,4 miliar, dan kawasan Afrika sebesar US$ 14,4 miliar.

Sementara itu, arus modal neto ke Indonesia dalam bentuk investasi langsung, tidak termasuk

investasi portofolio, selama tahun anggaran 1995/1996 tercatat sebesar US$ 5,4 miliar.

Tantangan ekonomi Indonesia dalam tahun anggaran 1997/1998

Pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 1994 mencapai sebesar 7,5 persen, dan tahun

1995 sebesar 8,2 persen. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi seperti ini, total PDB tahun

1995 telah meningkat menjadi Rp 452,4 triliun dibandingkan dengan tahun 1994 sebesar Rp

382,2 triliun. Dengan demikian jika PDB pada tahun 1995 dibagi dengan jumlah penduduk

Indonesia yang berjumlah lebih kurang 194 juta, maka pendapatan per kapita yang diukur

berdasarkan angka PDB akan mencapai sekitar Rp 2.332,0 ribu, atau sekitar US$ 1.024 (sekitar

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 20

Page 21: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

11,3 persen lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan per kapita tahun 1994 sebesar US$

920).

Walaupun berbagai indikator makro maupun mikro menunjukkan kecenderungan yang

positif, sikap kehati-hatian dalam pengelolaan ekonomi makro masih mutlak dan harus terus

dilanjutkan dalam menghadapi tantangan yang akan dihadapi dalam tahun anggaran 1997/1998

dan tahun-tahun mendatang. Dengan target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan sebesar 7,1

persen rata-rata per tahun selama Repelita VI, diperkirakan tahun 1996, walaupun tidak setinggi

tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahun 1995, pertumbuhan ekonomi akan melebihi tingkat

pertumbuhan yang ditargetkan. Sejalan dengan proses pendinginan ekonomi yang dilakukan

selama tahun 1996, tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahun 1997 diproyeksikan sebesar 7,1

persen yaitu sesuai dengan target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan dalam Repelita VI.

Dengan masih tetap tingginya perkiraan pertumbuhan ekonomi tersebut, maka

pemenuhan kebutuhan dana untuk investasi, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar

negeri, perlu diupayakan seoptimal mungkin guna tercapainya sasaran pembangunan nasional

yang berkelanjutan. Selanjutnya, dengan mengacu pada perkembangan ekonomi nasional tahun

anggaran 1996/1997, dan dengan memperhatikan faktor eksternal, utamanya dalam menghadapi

era globalisasi, maka ekonomi nasional menghadapi beberapa tantangan yang perlu dihadapi

dan dipecahkan secara hati-hati dan bijaksana.

Di bidang fiskal, tantangan yang paling mendasar adalah upaya peningkatan tabungan

pemerintah, khususnya melalui upaya meningkatkan penerimaan dari sektor pajak. Kendala

yang menonjol dalam upaya meningkatkan penerimaan dari sektor tersebut adalah masih relatif

rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Namun demikian, melalui

penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang diikuti dengan

peningkatan kualitas sumber daya manusia (aparat) perpajakan, diharapkan peranan penerimaan

pajak, yang rasionya terhadap PDB masih relatif kecil, akan semakin meningkat di masa-masa

mendatang.

Sementara itu, pertumbuhan tabungan/dana masyarakat yang dihimpun oleh sektor

perbankan, baik dalam bentuk giro, tabungan, maupun deposito berjangka, dalam tahun

anggaran 1997/1998 diperkirakan akan tetap tinggi, sehingga tabungan masyarakat tersebut

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 21

Page 22: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan investasi. Kondisi ini antara lain didukung oleh

semakin beragamnya produk simpanan yang ditawarkan, meluasnya jaringan kantor bank, dan

penggunaan teknologi yang semakin canggih, serta pelayanan yang semakin profesional.

Namun, upaya penghimpunan tabungan masyarakat ini perlu terus ditingkatkan, agar dana-dana

masyarakat yang masih menganggur atau digunakan ke sektor-sektor yang kurang produktif,

seperti spekulasi tanah dan spekulasi lainnya dapat dimobilisasi ke sektor-sektor produktif

melalui perbankan.

Di bidang moneter, tantangan yang dihadapi pada tahun anggaran 1997/1998 adalah

untuk tetap menjaga kestabilan moneter, terutama dalam hal pengendalian permintaan domestik

untuk dapat tumbuh dalam batas-batas daya dukung kapasitas produksi nasional. Dengan

demikian kebijaksanaan moneter dalam tahun anggaran 1997/1998 akan tetap dilakukan dengan

hati-hati dan diarahkan untuk mengendalikan pertumbuhan besaran-besaran moneter seperti

uang beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2), kredit perbankan, laju inflasi, dan arus modal

masuk dari luar negeri yang berlebihan.

Selain tabungan pemerintah dan tabungan masyarakat yang dihimpun melalui sektor

perbankan, tabungan masyarakat yang dihimpun melalui pasar modal juga semakin penting.

Walaupun pasar modal Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang semakin baik dari

tahun ke tahun, namun masih diperlukan upaya yang lebih giat dan keras untuk meningkatkan

kinerja pasar modal Indonesia. Pasar modal sangat penting dalam mendukung pembangunan

ekonomi suatu negara. Oleh karena itu merupakan tantangan yang sangat serius bagi semua

pihak yang berkaitan dengan pasar modal, untuk menjadikan pasar modal Indonesia menjadi

suatu pasar modal yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, mendorong pemerataan

pendapatan, serta mampu bersaing dengan pasar modal negara-negara lainnya.

Tantangan lain yang cukup berat dalam tahun anggaran 1997/1998 adalah upaya untuk

meningkatkan ekspor, khususnya ekspor nonmigas. Dalam tahun anggaran 1996/1997 tantangan

yang dihadapi perekonomian nasional di sektor perdagangan luar negeri terasa berat, yang

antara lain disebabkan melemahnya volume perdagangan dunia, meningkatnya persaingan di

pasar dunia, serta makin banyaknya aturan atau persyaratan dalam perdagangan internasional.

Kondisi tersebut perlu lebih dicermati lagi mengingat masih belum optimalnya pelaksanaan

kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang pada

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 22

Page 23: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

gilirannya dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ekspor secara keseluruhan, utamanya ekspor

nonmigas. Untuk itu, selama tahun anggaran 1996/1997 telah dilakukan berbagai upaya untuk

meningkatkan ekspor seperti diluncurkannya paket deregulasi pada bulan Juni 1996 yang

menyempurnakan ketentuan-ketentuan sebelumnya di bidang impor, ekspor dan investasi.

Selain itu, telah disederhanakan pula prosedur untuk mendapatkan fasilitas pembebasan,

pengembalian dan penangguhan pungutan negara bagi eksportir yang menggunakan bahan

baku/penolong dan atau barang modal impor dalam memproduksi komoditi ekspor. Namun

demikian, mengingat kompetisi perdagangan internasional cenderung semakin meningkat

apalagi dengan makin mendekatnya pelaksanaan kesepakatan AFTA pada tahun 2003, maka

tantangan untuk meningkatkan ekspor, khususnya nonmigas dalam tahun anggaran 1997/1998

akan menjadi perlu lebih diperhatikan dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya.

Dalam skala yang lebih makro, dengan relatif turunnya laju pertumbuhan ekspor

nonmigas, dan dibarengi dengan relatif menaiknya impor barang modal maupun barang

konsumsi, dan transaksi jasa-jasa yang defisit, menyebabkan defisit transaksi berjalan menjadi

relatif kurang menggembirakan. Defisit transaksi berjalan tahun anggaran 1995/1996 mencapai

sebesar US$ 6.987 juta, atau telah meningkat menjadi sekitar dua kali lipat dibandingkan

dengan defisit tahun anggaran sebelumnya yang sebesar US$ 3.488 juta. Dengan kondisi yang

demikian, maka dalam tahun mendatang tantangan untuk menjaga agar posisi transaksi berjalan

tetap aman adalah suatu pekerjaan yang perlu lebih diperhatikan.

Sementara itu, dalam kaitannya. dengan terus berlangsungnya proses globalisasi di

berbagai sektor yang dicerminkan dengan semakin intensifnya kerjasama antarbangsa, seperti

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), APEC di kawasan Asia Pasifik, dan AFTA di kawasan

Asia Tenggara dalam mewujudkan arus lalu lintas perdagangan internasional yang bebas dari

hambatan tarif dan nontarif, tentunya merupakan suatu tantangan tersendiri bagi perekonomian

Indonesia. Dalam era globalisasi tersebut, tantangan yang paling besar yang akan dihadapi

adalah berbagai penyesuaian dan perubahan terhadap aturan atau kebijaksanaan nasional dalam

rangka memenuhi komitmen internasional. Dewasa ini gejala ke arah itu sudah mulai terlihat,

rnisalnya dengan semakin banyaknya pas-pas tarif barang impor yang diturunkan bea masuknya

secara bertahap hingga mendekati nol persen, serta persyaratan tentang standarisasi

mutu/kualitas dan ecolabelling. Sedangkan tantangan lainnya yang juga cukup meminta

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 23

Page 24: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

perhatian dalam upaya meningkatkan ekspor nonmigas, adalah adanya tuduhan dari beberapa

negara mitra dagang bahwa Indonesia telah melakukan kebijaksanaan dumping dalam upaya

merebut pasar ekspor.

Tantangan lainnya yang sejalan dengan akan berlakunya komitmen tentang perdagangan

bebas, adalah perlunya upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas di berbagai sektor usaha

dalam rangka meningkatkan daya saing produk ekspor nonmigas Indonesia di pasar luar negeri.

Walaupun diketahui bahwa upaya meningkatkan daya saing tersebut telah dilakukan oleh

Pemerintah seperti dengan diluncurkannya berbagai kebijaksanaan deregulasi dan

debirokratisasi yang utamanya bertujuan untuk mengurangi "high cost economy" dan

meningkatkan kemudahan berusaha, namun mengingat pada waktu yang bersamaan negara-

negara pesaing, khususnya negara-negara di kawasan Asia seperti Malaysia, Thailand dan India

juga mengeluarkan kebijaksanaan yang sama, maka tantangan peningkatan daya saing tersebut

terasa akan semakin berat pada tahun mendatang.

Akhirnya, tantangan yang paling penting yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi

pada tahun anggaran 1997/1998 dan tahun-tahun mendatang, khususnya dalam menghadapi

abad ke-21 yang identik dengan era globalisasi adalah tantangan untuk meningkatkan kualitas

sumber daya manusia. Pada abad mendatang, sebagai konsekuensi logis dari proses globalisasi,

maka tingkat persaingan akan semakin tajam, baik di pasar domestik maupun internasional, dan

tidak hanya terbatas pada persaingan dalam memasarkan barang, tetapi juga jasa. Oleh karena

itu, upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik yang menyangkut

bidang pendidikan, kesehatan, dan perluasan kesempatan kerja adalah merupakan suatu

keharusan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi pelaksanaannya.

RAPBN 1997/1998

RAPBN 1997/1998 disusun dengan hati-hati dan realistis, dengan tetap berpegang

teguh pada prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis. Dengan memperhatikan berbagai

faktor yang berkembang baik dalam dinamika ekonomi nasional maupun internasional, serta

asumsi-asumsi yang diperkirakan akan terjadi, maka RAPBN 1997/1998 disusun secara

berimbang pada tingkat Rp 101.086,7 miliar atau meningkat sebesar 11,6 persen dibandingkan

APBN 1996/1997 yang sebesar Rp 90.616,4 miliar.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 24

Page 25: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Di sisi anggaran pendapatan negara, penerimaan dalam negeri dan penerimaan

pembangunan direncanakan masing-masing sebesar Rp 88.060,7 miliar (peningkatan sebesar

12,6 persen dari APBN 1996/1997) dan Rp 13.026,0 miliar (meningkat sebesar 4,9 persen dari

APBN 1996/1997). Selanjutnya penerimaan dalam negeri yang mencakup penerimaan migas

dan penerimaan di luar migas diperkirakan mencapai masing-masing sebesar Rp 14.871,1 miliar

dan Rp 73.189,6 miliar, yang berarti suatu kenaikan masing-masing sebesar 5,3 persen dan 14,2

persen dari tahun anggaran sebelumnya. .

Sementara itu, sektor penerimaan nonmigas terdiri dari penerimaan perpajakan dan

penerimaan bukan pajak. Penerimaan perpajakan yang terdiri dari pajak penghasilan (PPh),

pajak pertambahan nilai atas barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan

PPn BM), pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak ekspor, dan pajak lainnya, serta penerimaan

bea masuk dan cukai, diperkirakan akan dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap

penerimaan negara yang direncanakan. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak yang berasal

dari penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen, bagian pemerintah atas laba

BUMN dan penerimaan dari laba bersih minyak diperkirakan juga akan dapat ditingkatkan.

Komponen penerimaan perpajakan yang utama berasal dari pajak penghasilan dan pajak

pertambahan nilai atas barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah diperkirakan

akan mencapai masing-masing sebesar Rp 29.117,7 miliar dan Rp 24.601,4 miliar.

Selanjutnya, penerimaan pembangunan yang dalam tahun anggaran 1997/1998

diperkirakan akan mencapai Rp 13.026,0 miliar seluruhnya berbentuk bantuan proyek, sehingga

sebagaimana halnya dengan beberapa tahun anggaran sebelumnya, dalam tahun anggaran

1997/1998 juga tidak terdapat penerimaan pembangunan yang berasal dari bantuan program.

Dari sisi belanja negara, pengeluaran rutin dan pembangunan dalam RAPBN 1997/1998

diperkirakan akan mencapai masing-masing sebesar Rp 62.158,8 miliar dan Rp 38.927,9 miliar.

Dengan komposisi tersebut maka pengeluaran rutin dan pembangunan telah mengalami

peningkatan sebesar 10,8 persen dan 12,8 persen dari APBN 1996/1997. Pengeluaran rutin

tersebut akan dialokasikan untuk belanja pegawai sebesar Rp 21.192,0 miliar atau naik sebesar

15,9 persen dibanding tahun anggaran sebelumnya, untuk belanja barang sebesar Rp 8.895,2

miliar, subsidi daerah otonom sebesar Rp 11.535,8 miliar, pembayaran bunga dan cicilan hutang

sebesar Rp 19.570,9 miliar, dan untuk membiayai pengeluaran rutin lainnya sebesar Rp 964,9

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 25

Page 26: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

miliar.

Pengeluaran pembangunan sebagai salah satu unsur utama RAPBN 1997/1998

diperkirakan akan mencapai sebesar Rp 38.927,9 miliar, yang berarti peningkatan sebesar 12,8

persen dibanding APBN 1996/1997. Pembiayaan pengeluaran pembangunan tersebut berasal

dari tabungan pemerintah sebesar Rp 25.901,9 miliar dan bantuan proyek sebesar Rp 13.026,0

miliar. Pengeluaran pembangunan yang berupa pembiayaan rupiah dialokasikan pada

departemen/lembaga pemerintah nondepartemen (termasuk Hankam) sebesar Rp 14.914,6

miliar, bantuan pembangunan daerah (termasuk pembangunan daerah melalui penerimaan PBB)

sebesar Rp 9.910,1 miliar, dan lain-lain pengeluaran pembangunan sebesar Rp 1.077,2 miliar.

Penutup

Pembangunan nasional Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dalam mengejar ketertinggalan dengan bangsa-bangsa lain di bidang ilmu

pengetahuan, teknologi, dan ekonomi. Di samping itu, pembangunan nasional yang dijabarkan

dalam RAPBN 1997/1998 bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antargolongan masyarakat

dan antardaerah sebagai akibat dari adanya perbedaan laju kegiatan masing-masing sektor

perekonomian. Tujuan tersebut hanya dapat diwujudkan apabila program-program

pembangunan direncanakan dan dilaksanakan secara baik dengan mengacu pada peningkatan

efektivitas dan efisiensi. RAPBN 1997/1998 merupakan salah satu sarana yang menggerakkan

roda perekonomian nasional, menuju terciptanya ekonomi nasional yang tangguh, stabil, dan

efisien. Namun demikian, RAPBN 1997/1998 hanya merupakan sebagian instrumen dari upaya

bangsa Indonesia membangun perekonomiannya dan mengalokasikan sumber-sumber daya

ekonomi secara tepat dari sektor pemerintah, yang perlu didukung dengan partisipasi aktif

sektor swasta.

Menyadari bahwa kemampuan anggaran negara masih terbatas, pembangunan nasional

didasarkan pada skala prioritas yang ketat yaitu untuk melanjutkan program-program yang

masih belum terselesaikan, seraya mempersiapkan landasan baru yang lebih kukuh bagi

pelaksanaan pembangunan tahap berikutnya guna mencapai cita-cita nasional. Pembangunan

nasional yang melibatkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat, terutama sektor

swasta sebagai pelaku utama perekonomian nasional yang akan secara langsung menghadapi

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 26

Page 27: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

arus globalisasi perdagangan dan investasi, akan lebih menampakkan hasil-hasil yang lebih

positif. Penyempurnaan-penyempurnaan dan pembenahan-pembenahan dalam sektor-sektor

yang lemah dalam perekonomian nasional perlu terus menerus dilakukan melalui berbagai

kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi di sektor riil maupun sektor finansial.

Kesemuanya itu didasarkan pada keinginan luhur untuk membawa bangsa Indonesia ke

tingkat kemakmuran dan kesejahteraan yang lebih tinggi agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain

yang telah lebih maju, serta siap untuk memasuki arena persaingan global dengan kualitas

sumber daya manusia yang lebih tinggi. Dengan demikian harapan bangsa Indonesia untuk

menyongsong hari depan yang lebih baik dan lebih cerah akan dapat segera terwujud.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 27

Page 28: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

BAB II

ANGGARAN PENDAPATAN

DAN BELANJA NEGARA

2.1. Pendahuluan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah rincian rencana kegiatan of erasion

a.l. pemerintahan dan pembangunan yang dinyatakan dalam rupiah, dan merupakan penjabaran

dari GBHN dan Repelita. Oleh karena itu penyusunan anggaran dilakukan dengan cermat,

dengan tetap mengacu pada Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-

hasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,

pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Namun demikian, walaupun telah disusun dengan cermat, dalam realisasinya masih menghadapi

ketidakpastian, baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluarannya.

Dengan keadaan itu, maka sejak awal Repelita I, Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN) tetap didasarkan pada prinsip anggaran berimbang yang dinamis. Namun dalam

perkembangannya selama hampir lima tahun terakhir dalam pelaksanaan APBN dimungkinkan

dibentuknya cadangan pada masa penerimaan negara melebihi yang direncanakan, dan

dimanfaatkannya dana cadangan tersebut pada masa penerimaan negara kurang dari yang

direncanakan atau tidak cukup mendukung program yang telah direncanakan dan/atau yang

sangat mendesak, sehingga terjamin kesinambungan pembiayaan yang diiringi oleh stabilitas

ekonomi yang mantap.

Dalam kerangka kebijaksanaan umum ekonomi makro selama masa Orde Baru, APBN

yang merupakan alat kebijaksanaan fiskal disusun dan dilaksanakan secara serasi dan saling

menunjang dengan alat-alat kebijaksanaan ekonomi makro lainnya, yaitu kebijaksanaan moneter

dan neraca pembayaran. Hasil daripada pelaksanaan kebijaksanaan tersebut adalah tercapainya

pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, yaitu sekitar 7,0 persen per tahun selama PJP I dan

sekitar 8,0 persen dalam dua tahun pertama Repelita VI. Dalam fungsinya sebagai alat

kebijaksanaan fiskal, APBN terdiri dari dua sisi, yaitu sisi pengeluaran yang menunjukkan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 28

Page 29: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

jumlah dana yang dibutuhkan untuk membiayai kegiatan Pemerintah dalam tahun tertentu, dan

sisi penerimaan yang menunjukkan sumber-sumber dana yang diharapkan dapat diperoleh untuk

membiayai pengeluaran tersebut. Dengan demikian, meningkatnya jumlah pengeluaran harus

diikuti oleh meningkatnya jumlah penerimaan.

Dalam melaksanakan pembangunan, terdapat prinsip yang harus ditaati dalam kaitannya

dengan APBN, yaitu prinsip anggaran berimbang yang dinamis, dengan tetap mengutamakan

sumber dana pembangunan yang bersumber dari dalam negeri, sedangkan penerimaan

pembangunan hanya merupakan pelengkap. Pengutamaan sumber pembiayaan pembangunan

pada kemampuan dalam negeri mencerminkan semakin meningkatnya kemandirian dalam

pembangunan. Dalam PJP I tabungan pemerintah mengalami pertumbuhan sebesar 29,4 persen

per tahun, sedangkan pengeluaran pembangunan tumbuh sebesar 26,1 persen per tahun. Dengan

lebih cepatnya pertumbuhan tabungan pemerintah tersebut, maka penerimaan pembangunan

yang hanya mengalami pertumbuhan sebesar 22,5 persen merupakan pelengkap bagi dana

pembangunan.

Selanjutnya, cepatnya pertumbuhan tabungan pemerintah berkaitan erat dengan lebih

cepatnya pertumbuhan penerimaan dalam negeri daripada pertumbuhan pengeluaran rutin.

Selama P1P I penerimaan dalam negeri mengalami pertumbuhan sebesar 25,4 persen per tahun,

sedangkan pengeluaran rutin mengalami pertumbuhan sebesar 24,4 persen per tahun.

Sebagai gambaran mengenai kebijaksanaan Pemerintah di bidang APBN sejak Repelita

I hingga Repelita VI dapat diikuti dalam Tabel II.1.

2.2. Perkembangan pelaksanaan APBN sampai dengan tahun anggaran 1996/1997

2.2.1. Kebijaksanaan pokok di bidang APBN

Dalam rangka mendukung tercapainya sasaran pembangunan nasional yang tertuang

dalam Trilogi Pembangunan, diperlukan kebijaksanaan fiskal yang tepat. Sehubungan dengan

itu penerimaan negara terus diupayakan peningkatannya dengan menggali dan mengembangkan

semua sumber penerimaan negara, terutama sumber penerimaan yang berasal dari perpajakan

dan sumber lainnya, dengan tetap memperhatikan peningkatan kemampuan pembiayaan

pembangunan oleh masyarakat dan dunia usaha. Selain itu pengeluaran rutin diupayakan lebih

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 29

Page 30: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

efisien dan efektif, sedangkan bagi pengeluaran pembangunan direncanakan berdasarkan

prioritas pemanfaatannya.

Penerimaan dari sektor migas tidak lagi menjadi andalan penerimaan dalam negeri,

namun tetap merupakan salah satu penerimaan yang sangat potensial. Penerimaan rnigas masih

memberikan kontribusi yang cukup besar yaitu rata-rata per tahun sebesar 34,7 persen dalam

Repelita V terhadap penerimaan dalam negeri, sedangkan dalain dua tahun pelaksanaan Repelita

VI penerimaan rnigas telah memberikan kontribusi rata-rata sebesar 20,6 persen. Untuk

meningkatkan penerimaan rnigas tersebut terus diupayakan peningkatan investasi dalam

eksplorasi dan pengusahaan sumber rninyak bumi secara terus menerus, agar kontinuitas

produksi rninyak mentah tetap terjaga.

Dalam pada itu, untuk meningkatkan penerimaan pajak telah diupayakan secara terus -

menerus melalui intensifikasi pemungutan pajak, dan juga melalui ekstensifikasi objek pajak

dan wajib pajak. Intensifikasi pemungutan pajak dilakukan antara lain melalui upaya

peningkatan kepatuhan wajib pajak melalui penegakan hukum (law enforcement) dan

penyuluhan perpajakan. Sedangkan untuk ekstensifikasi dilakukan dengan meningkatkan jumlah

wajib pajak yang belum terjangkau dan perluasan objek pajak.

Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan ekonomi, demikian pula praktek

penyelenggaraan kegiatan usaha, khususnya bagi kegiatan-kegiatan yang tidak/belum

tertampung dalam undang-undang perpajakan tahun 1984, dalam tahun 1994 telah dilakukan

penyempurnaan atas undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,

undang-undang tentang Pajak Penghasilan, undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai

Barang dan jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, serta undang-undang tentang Pajak

Bumi dan Bangunan.

Penyempurnaan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara di

bidang perpajakan dalam rangka semakin meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan

pembangunan. Sedangkan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, telah ditempuh beberapa

upaya antara lain melalui penyuluhan, penerbitan surat teguran, surat tagihan, dan pemeriksaan

secara sederhana baik di kantor maupun di lapangan. Upaya untuk meningkatkan kepatuhan

pembayar PBB dilakukan melalui himbauan sebelum jatuh tempo, surat teguran, surat tagihan

pajak, dan sita lelang. Di samping itu juga melibatkan Pemda Tingkat II untuk melakukan pekan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 30

Page 31: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

pembayaran yang melibatkan para pejabat dan tokoh masyarakat yang dijadikan panutan dalam

memenuhi kewajiban perpajakannya.

Sementara itu, di bidang penerimaan bea masuk dan cukai yang merupakan bagian dari

penerimaan perpajakan terus diupayakan peningkatannya untuk mendukung penerimaan dalam

negeri. Penerimaan bea masuk berkaitan dengan arus impor. Oleh karena itu dalam menghadapi

era globalisasi ekonomi, dalam tahun 1995 telah dikeluarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun

1995 tentang Kepabeanan. Dalam undang-undang tersebut ditetapkan basarnya tarif setinggi-

tingginya 40 persen dari nilai pabean untuk penghitungan bea masuk. Sedangkan untuk

kebijaksanaan penerimaan cukai, telah pula dilakukan penggantian perundang-undangan yang

lama dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Kedua Undang-undang ini

mulai berlaku 1 April 1996.

Di bidang penerimaan bukan pajak, berbagai kebijaksanaan telah ditempuh antara lain

melalui penyempurnaan administrasi pengelolaan, intensifikasi pemungutan, dan penyesuaian

tarif yang disesuaikan dengan kondisi perkembangan ekonomi saat ini. Sedangkan penerimaan

yang berasal dari bagian pemerintah atas keuntungan BUMN, telah dilakukan perbaikan

manajemen, pemantapan organisasi, penegasan fungsi dan penyempurnaan pola pengembangan

BUMN, sehingga BUMN tersebut diharapkan semakin produktif, efektif dan efisien. Di

samping itu untuk lebih menyehatkan BUMN, memeratakan pemilikan saham kepada

masyarakat dan memberikan kesempatan bagi pengawasan oleh masyarakat secara langsung,

beberapa BUMN yang cukup baik telah melakukan penjualan sahamnya kepada masyarakat (go

public) baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Di bidang pengeluaran rutin, penggunaannya dilakukan dengan hati-hati dan cermat yang

diarahkan untuk menunjang kelancaran penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan

pembangunan, sehingga dapat tercipta terus peningkatan efisiensi, efektivitas dalam

pengeluaran, tanpa mengurangi mutu pelayanan kepada masyarakat. Pengeluaran-pengeluaran

tersebut digunakan untuk mendukung keperluan belanja pegawai, belanja barang, subsidi daerah

otonom, pembayaran bunga dan cicilan hutang serta pengeluaran rutin lainnya. Dalam kaitan

ini, untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri sipil/PNS, ABRI, dan pensiunan,

Pemerintah secara berkala telah menaikkan tunjangan perbaikan penghasilan, yang terakhir

telah dilakukan pada bulan April 1996 sebesar 10 persen. Kemudian di bidang pembayaran

kembali hutang-hutang luar negeri, di samping terus diupayakan untuk memenuhi kewajiban

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 31

Page 32: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

secara tepat waktu dan jumlah selama Repelita VI telah dilakukan beberapa kali percepatan

pembayaran (prepayment) terutama untuk hutang luar negeri yang memiliki bunga tinggi. Hal

tersebut dimaksudkan untuk meringankan beban pembayaran hutang di kemudian hari, karena

dengan semakin berkurangnya hutang tersebut maka akan semakin meningkatkan dana. untuk

pembangunan.

Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi'

Penerimaan dalam negeri 228 246,2 216 338,6 324 413,1 314 591,8 428 915,2 1.630,00 2.565,50Pengeluaran rutin 204 213,7 243 293,5 281 344,8 319 428,6 351 699,7 1.404,00 1.980,30Tabungan pemerintah 24 32,5 33 45,1 43 68,9 55 163,2 11 215,5 226 585,2Penerimaan pembangunan 99 82,1 120 99,5 180.0 108,6 209 121,5 225 142,9 833 554,6a. bantuan program -63 -69,2 -15 -75,2 -85 -92,8 -85 -87,2 -85 -93,6 -393 -418b. bantuan proyek -36 -12,9 -45 -24,3 -95 -15,8 -124 -34,3 (140.0) -49,3 -440 -136,6Dana pembangunan 123 114,6 153 144,6 223 177,5 264 284,1 296 418,4 1.059,00 1.139,80Pengeluaran pembangunan 123 109,3 153 131,9 223 163,9 264 263 296 406,3 1.059,00 1.080,40a. rupiah -81 -96,4 -108 -113,6 (l28,0) -148,1 -140 -228,1 -156 -351 -619 -943,8b. bantuan proyek -36 -12,9 -45 -24,3 -95 -15,8 -124 -34,3 -140 -49,3 -440 -136,6

1970/1971

Tabel II.1PELAKSANAAN APBN DALAM REPELITA I, II, III, IV, V, DAN VI (1969/1970 -1996/1997) *)

(dalam miliar rupiah)

REPELITA IJUMLAH1969/1970 1971/1972 1972/1973 1973/1974

*) Realisasi PAN

Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita RealisasiPenerimaan dalam negeri 1.363,40 1.770.6 2.073,70 2.244,30 2.277,40 2.866,50 2.607,70 3.511,60 3.088,70 4.247,00 11.410,90 14.640,00Pengeluaran rutin 961,6 985,7 1.293,90 1.239,30 1.427,90 1.605,10 1.629,90 2.079,80 1.905,10 2.612,10 7,!,214 8.582,60Tabungan pemerintah 401,8 784,9 179,8 1.005,00 1.189,50 1.261,40 977,8 1.431,10 1.183,60 4.192,10 6.057,40Penerimaan pembangunan 213,9 201,1 191,8 450,4 208 325,2 218,4 253,6 241.I 437,9 1,656.1 167,2a. bantuan program ( - ) (37.1) ( - ) -20,5 ( - ) -22,7 ( - ) (42.9) ( - ) -52,5 ( - ) -176,2b. bantuan proyek ( - ) -169,5 ( - ) -429,9 ( - ) -302,5 ( - ) -210,7 ( - ) -385,4 ( - ) -1.498,00Dana pembangunan 15,7 992 971,6 l.485,4 1.057,50 1.58M 1.196,20 l.611,5 1.408,20 2.012,20 5.24,2 1.731,60Pengeluaran pembangunan 615,7 985,2 911,6 1.436,40 1.057,50 1.511,20 1.196,20 1.540,60 1.408,20 1.948,80 5.249,20 7.479,20a. rupiah ( - ) -815,1 ( - ) -1.006,50 ( - ) -1.268,70 ( - ) -1.329,90 ( - ) -1.560,40 -7 -5.981,20b. bantuan proyek ( - ) -169,5 ( - ) -429,9 ( - ) -302,5 ( - ) -210,7 ( - ) -385,4 ( - ) -1.498,00

JUMLAH1974/1975 1975/1976 1976/1977 1978/19791977/1978

Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi

5.440,50 6.733,20 6.089,90 9.933,30 6.804,20 12.162,40 7.526,20 12.373,80 8.412,30 16.366,70 34.273,10 57.569,403.445,90 3.999,20 3.845,40 5.549,50 4.294,20 6.943,00 4.767,50 6.967,30 5.308,20 10.215,20 21.661,20 33.674,201.994,60 2.734,00 2.244,50 4.383,80 2.510.0 5.219,40 1.758,70 5.406,50 3.104,10 6.151,50 12.611,90 23.895,201.493,50 775,1 1.647,40 1.120,60 1.840,30 1.558,60 2.019,50 2.006,00 2.236,80 2.543,10 9.237,50 8.003,40

a. bantuan program ( - ) -64,4 ( - ) -64,1 ( - ) -45 ( - ) -15,1 ( - ) -14,9 ( - ) -203,5( - ) -710,7 ( - ) -1.056,50 ( - ) -1.513,60 ( - ) -1.990,90 ( - ) -2.528,20 ( - ) -7.799,90

3.488,10 3.509,10 3.891,90 5.504,40 4.350,30 6.778,00 4.778,20 7.412,50 5.340,90 8.694,60 21.849,40 31.898,603.488,10 3.479,70 3.891,90 5.450,60 4.350,30 6.826,10 4.778,20 7.440,40 5.340,90 8.557,00 21.849,40 31.753,80

( - ) -2.769,00 ( - ) -4.394,10 ( - ) -5.312,50 ( - ) -5.449,50 ( - ) -6.028,80 ( - ) -23.953,90( - ) -710,7 ( - ) -1.056,50 ( - ) -1.513,60 ( - ) -1.990,90 ( - ) -2.528,20 ( - ) -7.799,90b. bantuan proyek

b. bantuan proyekDana pembangunanPengeluaran pembangunana. rupiah

1983/1984

Penerimaan dalam negeriPengeluaran rutinTabungan pemerintah

1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983

Penerimaan pembangunan

JUMLAH

Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita RealisasiPenerimaan dalam negeri 16.149,40 15.931,30 9.793,80 20.939,40 24.282,40 17.385,30 29.582,10 21.730,70 35.659,90 23.413,80 125.467,60 99.400,50Pengeluaran rutin 10.101,10 9.405,90 12.(j42,8 12.006,40 14.582,50 13.716,70 17.725,50 17.340,60 21.520,00 20.934,90 75.971,90 73.404,50Tabungan pemerintah 6.048,30 6.525,40 7.751,00 8.933,00 9.699,90 3.668,60 11.856,60 4.390,10 14.139,90 2.478,90 49.495,70 25.996,00Penerimaan pembangunan 4.411,00 1.780,70 5.098,00 2.829,50 5.715,30 5.513,00 6.686,80 5.555,60 7.202,70 10.124,30 29.113,80 25.803,10a. bantuan program ( - ) -69,3 ( - ) (69,2). ( - ) -1.791,20 ( - ) -684,5 ( - ) -2.665,90 ( - ) -5.280,10b. bantuan proyek ( - ) -1.711,40 ( - ) -2.760,30 ( - ) (3.72],8) ( - ) -4.871,10 ( - ) -7.458,40 ( - ) -20.523,00Dana pembangunan 10.459,30 8.306,10 12.849,00 11.762,50 15.415,20 9.181,60 18.543,40 9.945,70 21.342,60 12.603,20 78.609,50 51.799,10

JUMLAH1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989

Repelita Reallsasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita RealisasiPenerimaan dalam negeri 25.249,80 11.504,20 29.432,50 42.193,00 34.856,50 42.582,00 41.466,40 48.862,60 48.909,40 56.113,10 179.914,60 221.254,90Pengeluaran rutin 23.445,00 24.335,20 24.829,60 29.121,10 26.591,60 29.053,00 27.974,40 33.605,40 29.959,80 40.289,90 132.800,40 156.404,60Tabungan pemerintah 1.804,80 7.169,00 4.602,90 a07l,9 8.264,90 13.529,00 13.492,00 15.257,20 18.949,60 15.823,20 47.114,20 64.850,30Penerimaan pembangunan 11.325,10 8.330,30 11.566,00 8.381,50 12.644,80 9.975,10 12.195,00 11.097,90 12.687,00 10352,5 60.417,90 48.537,30

a. bantuan program ( - ) -965,8 ( - ) -1.346,70 ( - ) -1.385,50 ( - ) -516,5 ( - ) ( - ) ( - ) -4.214,50b. bantuan proyek ( - ) -7.364,50 ( - ) -7.034,80 ( - ) -8.589,60 ( - ) -10.581,40 ( - ) (10,752,5) ( - ) -44.322,80

Dana pembangunan 13.129,90 15.499.3 16.168,90 21.453,40 20.909,70 23.504,10 25.687,00 26.355,10 31.636,60 26.575,70 7.532,10 113.387,60Pengeluaran pembangunan 13.129,90 15.393,90 16.168,90 18.250,80 20.909,70 23.074,50 25.687,00 26.906,30 31.636,60 28.428,10 107.532,10 112.053,60

a. rupiah ( - ) -8.029,40 ( - ) -11.216,00 ( - ) -14.484,90 ( - ) -16.324,90 ( - ) -17.675,60 ( - ) -67.730,80b. bantuan proyek ( - ) -7.364,50 ( - ) -7.034,80 ( - ) -8.589,60 ( - ) (10.581.4) ( - ) -10.752,50 ( - ) -44.322,80

JUMLAH1989/1990 1990/1991 1991/1992 1993/19941992/1993

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 32

Page 33: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Dengan semakin meningkatnya efisiensi dan efektivitas pengeluaran, maka tabungan

pemerintah akan semakin meningkat, yang berarti kemandirian dalam pembangunan juga

semakin besar. Dengan demikian sumber daya yang ada di dalam negeri dapat didayagunakan

dan dimanfaatkan sebesar mungkin bagi pembangunan, dan bantuan luar negeri betul-betul

hanya sebagai pelengkap dalam pembiayaan pembangunan.

Sebagaimana telah diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN),

pengeluaran pembangunan harus direncanakan sesuai dengan tujuan pembangunan, dan

mempunyai prioritas yang memberikan dampak sebesar-besarnya bagi pembangunan. Oleh

karena itu, pengeluaran pembangunan diarahkan pada penyediaan sarana dan prasarana yang

menunjang kegiatan ekonomi, penyediaan pelayanan dasar yang semakin luas, peningkatan

sumber daya manusia, penanggulangan kemiskinan, dan penyediaan dana pemeliharaan untuk

proyek-proyek yang telah selesai. Di samping itu pengeluaran pembangunan juga dialokasikan

pada pembangunan daerah agar kesenjangan antar wilayah semakin menyempit, sehingga

tercipta pemerataan sebagaimana diamanatkan dalam Repelita dan GBHN.

2.2.2. Penerimaan dalam negeri

Penerimaan dalam negeri terdiri dari penerimaan minyak bumi dan gas alam (migas),

penerimaan perpajakan (meliputi PPh, PPN, PBB, Pajak Lainnya, Bea Masuk, Cukai, dan Pajak

Ekspor), dan penerimaan bukan pajak. Penerimaan dalam negeri terus diupayakan semakin

meningkat terutama penerimaan yang berasal dari sektor perpajakan, karena penerimaan ini

akan lebih menjamin kestabilan bagi tersedianya sumber penerimaan negara. Untuk semakin

meningkatkan penerimaan tersebut maka berbagai langkah telah diambil untuk

menyempurnakan pengelolaan perpajakan, baik yang menyangkut peraturan perundang-

undangan, sistem administrasi, maupun sumber daya manusia di bidang perpajakan. Penerimaan

perpajakan terus diupayakan peningkatannya melalui intensifikasi pemungutan dan

ekstensifikasi objek dan wajib pajak.

Sebagaimana diketahui, perkembangan penerimaan migas sangat dipengaruhi oleh

faktor-faktor eksternal seperti harga minyak di pasar internasional, kuota produksi dan kurs

valuta asing sehingga penerimaannya sangat berfluktuasi. Sedangkan untuk penerimaan bukan

pajak yang terdiri dari laba BUMN dan berbagai jenis penerimaan yang berasal dari

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 33

Page 34: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

departemen/lembaga pemerintah non departemen terus diupayakan peningkatannya melalui

berbagai kebijaksanaan, agar penerimaan bukan pajak dapat memberikan kontribusi yang lebih

berarti dalam penerimaan dalam negeri.

2.2.2.1. Penerimaan minyak bumi dan gas alam

Penerimaan minyak bumi dan gas alam (migas) sebagai salah satu sumber penerimaan

dalam negeri, mempunyai peranan yang cukup penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi

dan pembangunan nasional. Di samping itu secara tidak langsung sektor migas juga turut

mendorong perkembangan usaha swasta nasional, penyerapan tenaga kerja, serta alih

pengetahuan dan tekno1ogi. Oleh karena itu, migas sebagai sumber kekayaan alam yang tidak

terbarukan harus dimanfaatkan sebaik mungkin, dengan memperhatikan kemanfaatannya di

masa kini dan mengusahakan habisnya selama mungkin untuk menjamin kelangsungan

persediaannya di masa depan.

Perkembangan realisasi penerimaan migas secara absolut cenderung meningkat, kecuali

dalam beberapa tahun, seperti tahun anggaran 1986/1987, 1988/1989, 1991/1992 dan

1993/1994. Perkembangan tersebut sangat dipengarnhi oleh perkembangan tingkat harga

minyak bumi di pasar intemasional sebagai faktor ekstemal. Dalam perkembangannya, sektor

migas menghadapi tantangan yang semakin berat, antara lain disebabkan oleh berfluktuasinya

harga rninyak mentah di pasar intemasional, meningkatnya persaingan antamegara dalam

menarik investor asing, meningkatnya biaya untuk menemukan cadangan migas baru, dan

sulitnya menjangkau daerah-daerah yang mempunyai potensi rnigas yang cukup tinggi. Di

samping itu, sektor rnigas juga merupakan usaha padat modal, berteknologi tinggi dan beresiko

relatif besar. Menghadapi tantangan tersebut, usaha di bidang rnigas diharapkan dapat

meningkatkan kerja sama dengan kontraktor-kontraktor asing atas dasar saling menguntungkan.

Selama PJP I, telah ditandatangani sekitar 177 kontrak dengan pihak swasta untuk

melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas. Pemboran eksplorasi selama periode tersebut telah

menghasilkan 1.504 sumur temuan (discovery well) yang terdiri atas 1.069 sumur rninyak dan

435 sumur gas. Sedangkan dalam dua tahun pertama Repelita VI, telah dilakukan pemboran

eksplorasi sebanyak 146 sumur. Di samping berupa rninyak mentah, hasil eksploitasi sumur

rninyak juga menghasilkan kondensat, yaitu minyak mentah dengan kadar sulfur yang lebih

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 34

Page 35: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

rendah. Dalam hal ini anggota OPEC sepakat untuk mengatur produksi rninyak mentah,

sedangkan produksi kondensat tidak diatur. Melalui upaya peningkatan eksplorasi dan

eksploitasi, produksi rninyak bumi dan kondensat mencapai puncaknya dalam tahun anggaran

1977/1978, yaitu sebesar 616,5 juta barel per tahun. Selanjutnya, produksi minyak bumi dan

kondensat dalam tahun kedua Repelita VI mencapai sebesar 589,9 juta barel, yang berarti

sedikit mengalami penurunan dibandingkan dengan produksi pada tahun sebelumnya sebesar

588,6 juta barel per tahun. Hal ini disebabkan karena semakin sulit dan terbatasnya kegiatan

eksplorasi sumber rnigas. Namun dibandingkan dengan produksi pada akhir Repelita V sebesar

559,9 juta barel, produksi tahun kedua Repelita VI mengalami kenaikan sebesar 5,4 persen.

Dengan makin terbatasnya cadangan migas, serta makin sulitnya menemukan cadangan

baru, upaya penganekaragaman sumber penerimaan energi dan devisa negara perlu makin

ditingkatkan, sehingga ketergantungan pada rnigas makin berkurang. Upaya-upaya peningkatan

eksplorasi dan eksploitasi rnigas, yang diikuti dengan langkah efisiensi pemakaiannya,

diharapkan akan bermanfaat untuk mencegah Indonesia menjadi pengimpor rninyak neto.

Sedangkan dalam rangka peningkatan dan penganekaragaman sumber-sumber penerimaan

energi dan devisa negara, Pemerintah telah melakukan perluasan pemasaran produk hasil

pengolahan migas. Di samping menghasilkan BBM, kilang rninyak dalam negeri juga

menghasilkan produk-produk non BBM, diantaranya wax, lube base, aspal, dan naphtha. Selain

itu, kilang-kilang petrokimia di Plaju, Pulau Bunyu, dan Cilacap juga menghasilkan produk-

produk petrokimia, antara lain berupa polypropylene, methanol, paraxylene, dan benzene.

Sedangkan minyak pelumas dihasilkan dari pabrik minyak pelumas di Jakarta, Surabaya, dan

Cilacap. Ekspor minyak mentah dan hasil kilang minyak Indonesia selama ini ditujukan ke

Jepang, Amerika Serikat dan beberapa negara lain, termasuk ASEAN

Tingkat produksi minyak bumi sampai dengan awal PJP II masih dapat dipertahankan

sesuai dengan kuota OPEC, meskipun sumur minyak yang ada sekarang potensinya secara

alamiah telah mulai menurun. Hal ini terutama disebabkan mulai berproduksinya beberapa

lapangan minyak baru, yang didukung oleh kebijaksanaan pemerintah melalui beberapa

kemudahan dan perangsang dalam bentuk paket insentif bagi para investor di bidang rigas, yaitu

paket insentif tahun 1988,1989, 1992 dan 1993. Melalui paket tersebut, Pemerintah diantaranya

telah memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan minyak dan kontraktornya, terutama

untuk kawasan timur Indonesia dan sebagian kawasan barat Indonesia, baik dalam bentuk pola

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 35

Page 36: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

bagi hasil maupun dalam bentuk kemudahan lainnya. Melalui paket insentif 1988, 1989 dan

1992 pembagian hasil minyak bumi sesudah pajak di daerah baru yang belum pernah

dieksplorasi (frontier) antara Pemerintah dan kontraktor adalah 80 persen berbanding 20 persen,

sedangkan untuk daerah kedalaman taut di atas 1.500 meter perbandingannya masing-masing

adalah 75 persen dan 25 persen. Di samping itu, dalam hal pembagian gas alam sesudah pajak di

daerah frontier, perbandingan antara Pemerintah dan kontraktor adalah sebesar 60 persen untuk

Pemerintah dan 40 persen untuk kontraktor, sedangkan di daerah kedalaman taut di atas 1.500

meter perbandingannya adalah 55 persen dan 45 persen. Sementara itu, melalui paket insentif

tahun 1993 pembagian hasil minyak bumi sesudah pajak perbandingannya berubah menjadi

sebesar 65 persen untuk Pemerintah dan 35 persen untuk kontraktor, baik untuk daerah frontier

maupun untuk daerah kedalaman laut di atas 1.500 meter. Sedangkan untuk pembagian gas alam

sesudah pajak untuk daerah frontier dan kedalaman laut di atas 1.500 meter, perbandingannya

menjadi sebesar 60 persen untuk Pemerintah dan 40 persen untuk kontraktor.

Di samping mengatur kembali pembagian hasil migas, paket insentif tersebut juga

dimaksudkan untuk meningkatkan nilai ekonomi penemuan-penemuan yang berdasarkan paket

insentif sebelumnya tidak layak dikembangkan. Kontraktor daerah frontier yang sudah ada

selama ini dapat memilih untuk menerapkan paket insentif tahun 1993 atau paket insentif

sebelumnya. Paket insentif ini diharapkan dapat meningkatkan aktivitas eksplorasi yang akan

menambah cadangan migas dan kesempatan untuk membuka lahan-lahan baru, khususnya di

daerah frontier yang sebagian besar terletak di kawasan timur Indonesia. Selain melalui

peningkatan eksplorasi, peningkatan produksi minyak juga dicapai melalui usaha enhanced oil

recovery (EaR) pada lapangan-lapangan yang telah berproduksi untuk meningkatkan cadangan

terambil. EaR adalah sistem peningkatan produksi minyak dari sumur-sumur IDa dengan cara

mengaktifkannya kembali. Di samping itu, usaha menarik penanam modal dalam bidang migas

baik PMA maupun PMDN terus ditingkatkan. Upaya tersebut dilakukan melalui penyediaan

informasi, dan pemberian kemudahan perizinan, dengan tetap memperhatikan keserasian usaha

yang saling terkait di antara para pelaku ekonomi, baik dari segi pendanaan, teknologi, maupun

manajemen.

Di samping produksi minyak bumi, peningkatan dalam penerimaan migas juga

didukung oleh hasil kegiatan pengolahan sumber gas alam dalam bentuk liquefied natural gas

(LNG) dan liquefied petroleum gas (LPG). LNG mulai dimanfaatkan secara maksimum sejak

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 36

Page 37: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

dibangunnya kilang gas Bontang di Kalimantan Timur tahun 1977 dan kilang gas Arun di Lhok

Seumawe tahun 1978. Sedangkan LPG dihasilkan dari kilang minyak di Musi, Balikpapan,

Dumai, Cilacap, dan EXOR I. Produksi LNG dan LPG pada akhir Repelita V masing-masing

mencapai sebesar 1.301 juta mmbtu dan 2.805 ribu MTon, yang hasilnya sebagian besar

diekspor ke Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Memasuki tahun pertama Repelita VI produksi

LNG dan LPG masing-masing menjadi sebesar 1.379 juta mmbtu dan 2.807 ribu MTon.

Selanjutnya dalam tahun kedua Repelita VI, produksi LNG dan LPG masing-masing sebesar

1.307 juta mmbtu dan 3.143 ribu MTon atau mengalami penurunan sebesar 5,2 persen untuk

LNG dan peningkatan sebesar 12 persen untuk LPG dibandingkan produksinya dalam tahun

pertama Repelita VI. Selain itu dalam tahun kedua Repelita VI telah berhasil diperbaharui

kontrak penjualan jangka panjang produk LNG ke Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.

Ekspor LNG baru dimulai tahun 1977, dengan jumlah ekspor sebesar 28,0 juta mmbtu.

Pada tahun kedua Repelita VI ekspor LNG mencapai 1.288 juta mmbtu, atau turun 5,8 persen

dibandingkan ekspornya pada tahun pertama Repelita VI sebesar 1.368 juta mmbtu. Sedangkan

ekspor LPG yang pada awal PJP I baru tercatat sebesar 5,6 ribu MTon, pada tahun kedua

Repelita VI telah meningkat menjadi 2.668 ribu MTon.

Kerja sama internasional di bidang migas akan tetap dimanfaatkan untuk kepentingan

pembangunan nasional. Kerja sama bilateral dengan berbagai negara dilaksanakan untuk

kelancaran perdagangan dan ekspor, penyelesaian landas kontinen, serta pengusahaan bersama

sumber daya migas. Demikian pula kerja sama antar negara OPEC dan non-OPEC akan terus

digalakkan dengan semangat saling membantu dan saling menguntungkan. Salah satu upaya

yang diambil OPEC untuk menstabilkan harga minyak adalah dengan upaya menyeimbangkan

permintaan dan penawarannya di pasar, dan meredam timbulnya spekulasi-spekulasi di pasar

minyak dunia. Harga minyak cenderung berfluktuasi secara cepat bila faktor-faktor yang

mempengaruhinya di pasar mengalami perubahan. Dengan harapan dapat lebih mencerminkan

harga yang realistis, sejak tahun 1989 perhitungan harga minyak mentah Indonesia

menggunakan formula yang disebut Indonesian Crude Price (ICP). ICP menggunakan harga 5

jenis minyak mentah, yaitu Sumatra Light Crude (SLC atau Minas), Tapis (minyak mentah

Malaysia), Gippsland (minyak mentah Australia), Oman (minyak mentah Oman) dan Dubai

(minyak mentah Emirat Arab). Di sarnping itu untuk lebih mencerminkan harga pasar, ICP telah

dimodifikasi dengan menambahkan rata-rata indeks harga minyak mentah yang diterbitkan oleh

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 37

Page 38: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

RIM, Platt's, dan APPI.

Perkembangan harga minyak bumi di pasar dunia bukan hanya dipengaruhi oleh faktor

ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non ekonomi, seperti faktor politik dan spekulasi.

Setelah sempat anjlok hingga di bawah US$ 10,00 per barel dalam tahun 1986, dalam Repelita

V perkembangan harga minyak cenderung membaik, bahkan krisis perang teluk telah

menyebabkan harganya melonjak tinggi hingga mencapai US$ 34,88 per barel pada bulan

Oktober 1990. Selanjutnya, seiring dengan telah selesainya krisis teluk sekitar bulan Maret 1991

dan kembali normalnya jumlah suplai minyak di pasar dunia, hingga memasuki tahun terakhir

Repelita V, perkembangan harganya cenderung menurun dan stabil pada tingkat harga antara

US$ 14,00 sampai US$ 19,00 per barel. Selain dipengaruhi faktor politik yang berkembang di

negara-negara produsen dan konsumen minyak bumi, kestabilan harga minyak mentah juga

ditentukan oleh faktor kedisiplinan anggota OPEC untuk mematuhi kuota produksi yang telah

ditentukan bersama. Untuk itu, guna menjaga kestabilan barga, Pemerintah terus melakukan

pendekatan ke negara-negara anggota OPEC untuk mematuhi kuota produksi masing-masing

yang telah disepakati, serta melakukan kerja sama dengan anggota non-OPEC menjaga suplai

minyak bumi di pasar dunia.

Dalam Repelita VI harga minyak mentah Indonesia mulai membaik, meskipun tetap

berfluktuasi. Dalam bulan April 1995 harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) berada

pada tingkat US$ 18,08 per barel dan meningkat menjadi sebesar US$ 18,23 per barel dalam

bulan Mei 1995. Memasuki bulan-bulan selanjutnya ICP mulai mengalami penurunan ke tingkat

yang cukup rendah, yaitu mencapai sedikit di atas US$ 16,00 per barel dalam bulan Juli dan

Oktober 1995. Penurunan harga tersebut disebabkan menurunnya permintaan minyak bumi di

pasar dunia. Di penghujung tahun 1995 ICP mulai membaik kembali hingga mencapai US$

18,02 per barel dan terus meningkat sehingga pada akhir tahun anggaran 1995/1996 mencapai

US$ 18,97 per barel. Pada bulan-buhn selanjutnya harga minyak cenderung menunjukkan

peningkatan yang cukup tinggi, yaitu mencapai di atas US$ 19,00 per barel, bahkan pada bulan

Oktober 1996 telah mencapai US$ 23,04 per barel. Selain disebabkan oleh meningkatnya

permintaan minyak di pasar intemasional, khususnya di kawasan Amerika dan Eropa, hal ini

juga berkaitan dengan perkembangan politik di Timur Tengah yang tidak menentu. Pada Tabel

II.2 dapat dilihat perkembangan harga ekspor minyak mentah Indonesia sejak Repelita 1.

Dengan kecenderungan tingkat produksi yang relatif stabil dan harga ICP yang sangat

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 38

Page 39: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

berfluktuasi, perkembangan penerimaan migas dari tahun ke tahun cenderung menunjukkan

peningkatan. Dalam PJP I penerimaan migas mencapai sebesar Rp 171.578,6 miliar dengan

peningkatan rata-rata sebesar 26,1 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp 48,3 miliar dalam

tahun anggaran 1969/1970 menjadi sebesar Rp 12.503,4 miliar dalam tahun anggaran

1993/1994. Selanjutnya dalam tahun anggaran 1995/1996 penerimaan migas mengalami

peningkatan cukup tajam, yaitu mencapai sebesar Rp 14.848,7 miliar, yang terdiri dari

penerimaan minyak bumi sebesar Rp 10.976,7 miliar dan penerimaan gas alam sebesar Rp

3.872,0 miliar. Bila dibandingkan dengan penerimaannya dalam tahun anggaran 1994/1995

berarti terjadi kenaikan sebesar 9,7 persen.

Meskipun secara absolut penerimaan migas cenderung menunjukkan peningkatan,

tetapi peranannya dalam penerimaan dalam negeri terus menurun. Peranan terbesar terjadi

dalam tahun anggaran 1981/1982, yaitu sebesar 70,9 persen dari penerimaan dalam negeri, yang

disebabkan melonjaknya harga minyak bumi menjadi sebesar US$ 35,00 per barel pada bulan

April 1981. Namun dalam tahun-tahun selanjutnya seiring dengan menurunnya harga minyak

dan semakin meningkatnya penerimaan di luar migas, terutama penerimaan perpajakan, peranan

migas cenderung semakin menurun. Dalam tahun terakhir Repelita V peranan penerimaan migas

dalam penerimaan dalam negeri hanya sebesar 22,3 persen, sedangkan dalam tahun kedua

Repelita VI telah menurun kembali menjadi sekitar 21 persen. Menurunnya peranan penerimaan

migas dalam penerimaan dalam negeri ini sejalan dengan kebijaksanaan penerimaan negara

dalam APBN untuk lebih mengarahkan penerimaan negara pada sumber penerimaan negara di

luar migas yang relatif lebih stabil dan berkembang, yang sejak Repelita IV telah menunjukkan

hasil yang menggembirakan.

2.2.2.2. Penerimaan perpajakan

Sebagaimana yang diamanatkan dalam GBHN 1993, bahwa untuk membiayai

pembangunan nasional diupayakan sebesar-besarnya digali me1alui penerimaan da1am negeri,

terutama dari penerimaan perpajakan, sedangkan penerimaan pembangunan hanya merupakan

pelengkap dana pembangunan.

Selanjutnya penerimaan perpajakan terdiri dari pajak penghasilan (PPh), pajak

pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM),

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 39

Page 40: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak 1ainnya, bea masuk, cukai, dan pajak ekspor. Untuk

menjamin tercapainya sasaran peningkatan penerimaan perpajakan tersebut, kebijaksanaan

umum perpajakan yang ditempuh adalah dengan melakukan intensifikasi pemungutan pajak dan

ekstensifikasi objek dan wajib pajak. Dengan intensifikasi pemungutan pajak, diharapkan bahwa

kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak sesuai dengan undang-undang yang berlaku akan

meningkat. Selanjutnya, melalui ekstensifikasi objek dan wajib pajak diharapkan terdapatnya

objek pajak dan wajib pajak baru yang masuk dalam sistem perpajakan.

Pelaksanaan berbagai kebijaksanaan yang diambil sampai saar ini telah menampakkan

hasil yang menggembirakan, sehingga peran penerimaan perpajakan terus mengalami

peningkatan. Penerimaan perpajakan yang dalam tahun pertama Repelita V menyumbang

sebesar 51,1 persen terhadap penerimaan dalam negeri, dalam tahun anggaran 1995/1996 telah

meningkat menjadi sebesar 67,7 persen, dan lebih meningkat lagi menjadi 71,6 persen dalam

tahun anggaran 1996/1997. Penjelasan lebih rinci mengenai perkembangan dari penerimaan

perpajakan disajikan dalam uraian berikut.

2.2.2.2.1. Pajak penghasilan (PPh)

Selama pelaksanaan pembangunan jangka panjang I (PJP I), penerimaan pajak

penghasilan (PPh) yang meliputi pajak penghasilan badan dan pajak penghasilan perseorangan,

mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 27,7 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp 41,7

miliar dalam tahun pertama Repelita I (1969/1970) menjadi sebesar Rp 14.758,9 miliar dalam

tahun terakhir Repelita V (1993/1994). Selanjutnya, dalam tahun pertama Repelita VI yang

merupakan tahap awal dari pembangunan jangka panjang II (PJP II), realisasi penerimaan PPh

mengalami peningkatan sebesar 27,1 persen, yaitu menjadi sebesar Rp 18.764,1 miliar.

Sedangkan dalam tahun anggaran 1995/1996, realisasi penerimaan PPh mencapai Rp 20.520,0

miliar atau 9,4 persen lebih tinggi dari tahun sebe1umnya.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 40

Page 41: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Harga Harga

1969 April 1,67 1992 Juli 20,591970 April 1,67 Agustus 20,181971 April 2,21 September 19,62

Oktober 19,7November 19,44

1973 April 3,73 Desember 18,711974 April 11,7 Januari1975 April 12,6 Februari1976 April 12,8 Maret 18,361977 April 13,55 April 18,81978 April 13,55 Mei 18,61

Juni 18,26Juli 17,19

1980 April 29,5 Agustus 17,231981 April 35 September 16,641982 April 35 Oktober 16,751983 April 29,53 November 15,691984 April 29,53 Desember 14,141985 April 28,53 1994 Januari 14,7

Februari 14,91Maret 14,18

April 10,66 April 14,75Agustus 9,83 Mei 15,52Desember 13,07 Juni 16,39

1987 Januari 15,39 Juli 17,48April 17,57 Agustus 17,61Agustus 18,76 September 16,31Desember 16,93 Oktober 16,18

1988 Januari 17,22 November 16,27Maret 15,45 Desember 16,11April 17,56 1995 Januari 16,96Oktober 13,2 Februari 17,84Desember 12,5 Maret 17,79

1989 Januari 15 April 18,08April 17,93 Mei 18,23Mei 18,36 Juni 17,24September 16,7 Juli 16,02Desember 17,8 Agustus 16,22

September 16,31Oktober 16,05

April 17,23 November 16,65Juli 14,47 Desember 18,02Oktober 34,88 1996 Januari 18,98Desember 28,64 Februari 18,56

1991 Januari 25,1 Maret 18,97April 17,05 April 19,21Agustus 18,64 Mei 18,86Desember 20,06 Juni 19,05

1992 Juari 18,1 Juli 19,45Februari 17,64 Agustus 19,33Maret 17,13 September 20,92April 17,23 Oktober 23,04Mei 17,96 November 22,47 **)Juni 19,29 Desember 22,78

Tahun

HARGA EKSPOR MINYAK MENTAH INDONESIA, 1969 – 1996 *)(dalam US$ per barel)

Tabel II.2

1972 April 2,96

1993 B:U

1979 April 15,65

1986 Januari 25,13

1990 Januari 18,96

Tahun

*) Sebelum April 1989 adalah harga minyak jenis Migas (SLC), dan sejak Apri1 1989

adaIah harga rata-rata minyak Indonesia (ICP).

**) Angka sementara (sampai dengan 19 Desember).

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 41

Page 42: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Dengan kondisi tersebut di atas, sumbangan penerimaan pajak penghasilan terhadap

penerimaan perpajakan juga terus mengalami peningkatan, yaitu dari sebesar 24,1 persen pada

awal PJP I menjadi sebesar 40,3 persen pada tahun terakhir PJP 1. Hal yang menggembirakan

dari perkembangan penerimaaan pajak penghasilan adalah kenyataan bahwa pajak penghasilan

sebagai pajak langsung secara bertahap mengalami kenaikan hingga pada tahun anggaran

1991/1992 telah melampaui peranan dari pajak pertambahan nilai (PPN) sebagai pajak tidak

langsung. Meningkatnya penerimaan pajak penghasilan ini juga terlihat dari peranan

penerimaan pajak penghasilan dalam penerimaan perpajakan yang terus berkembang dalam

tahun-tahun selanjutnya, sehingga dalam tahun anggaran 1995/1996 penerimaan pajak

penghasilan menyumbang sebesar 42,4 persen dari penerimaan perpajakan.

Peningkatan penerimaan pajak penghasilan yang cukup menggembirakan tersebut, tidak

terlepas dari adanya reformasi perpajakan tahun 1984. Salah satu hal mendasar yang diatur

dalam kebijaksanaan tersebut adalah mengenai perubahan sistem pemungutan pajak dari official

assessment menjadi self assessment. Dengan sistem ini wajib pajak diberi kepercayaan penuh

untuk menghitung sendiri kewajiban pajaknya kepada negara. Dalam pada itu, untuk

menyempurnakan ketentuan di bidang pajak penghasilan ini, dalam tahun 1994 telah

diundangkan berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dengan berlakunya undang-

undang ini tarif pajak penghasilan telah diubah.

Sementara itu dalam rangka mencapai tingkat penerimaan yang semakin besar terus

dilakukan upaya intensifikasi pemungutan pajak dan ekstensifikasi wajib pajak. Sejalan dengan

kebijaksanaan tersebut telah diambil berbagai langkah pelaksanaan baik melalui peraturan

pemerintah (PP) maupun keputusan Menteri Keuangan. Dalam tahun anggaran 1996/1997 telah

dikeluarkan PP Nomor 27 Tahun 1996 yang merupakan perubahan atas PP Nomor 48 Tahun

1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah

dan/atau Bangunan. Di samping itu juga telah dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor

392 Tahun 1996 dan Nomor 393 Tahun 1996, yang mengatur mengenai pengenaan tarif pajak

penghasilan sebesar 5 persen dari jumlah bruto atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah

dan/atau bangunan. Selanjutnya, dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416 Tahun 1996

diatur bahwa atas penghasilan wajib pajak dalam negeri yang bergerak di bidang usaha

pelayaran dipungut pajak penghasilan sebesar 1,2 persen dari jumlah peredaran bruto atau nilai

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 42

Page 43: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak perusahaan

pelayaran dalam negeri. Sedangkan atas wajib pajak perusahaan pelayaran dan atau

penerbangan luar negeri, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417 Tahun 1996

dipungut pajak penghasilan sebesar 2,64 persen dari jumlah peredaran bruto atau semua imbalan

atau nilai pengganti berupa uang atan nilai uang yang diterima atau diperoleh. Kemudian, dalam

hubungannya dengan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, berdasarkan Keputusan

Menteri Keuangan Nomor 507 Tahun 1996 ditetapkan bahwa selisih antara nilai pasar wajar

dengan nilai buku fiskal aktiva tetap yang dinilai kembali setelah dilakukan kompensasi

kerugian, dikenakan pajak penghasilan sebesar 10 persen.

Selain daripada itu, dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394 Tahun 1996 juga

ditetapkan berbagai peraturan mengenai pajak penghasilan pasal 23. Dalam keputusan tersebut

diatur bahwa bagi wajib pajak badan dalam negeri atau bentuk usaha tetap (BUT) dalam hal

kepemilikan tanah dan atau bangunan yang disewakan merupakan milik wajib pajak badan

dalam negeri atau BUT, dipungut pajak penghasilan sebesar 6 persen bersifat final. Sedangkan

bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri dipungut pajak sebesar 10 persen dan bersifat final.

Di samping itu, pajak penghasilan sebesar 10 persen final juga dipungut dari wajib pajak badan

dalam negeri atau bentuk usaha tetap dalam hal kepemilikan tanah dan atau bangunan yang

disewakan merupakan milik wajib pajak orang pribadi.

Di samping kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, di bidang pajak penghasilan juga

telah diambil kebijaksanaan untuk membantu upaya pengembangan usaha kecil, menengah, dan

koperasi. Dalam hal ini, bagi bantuan atau sumbangan, keuntungan karena pengalihan harta

berupa hibah yang diterima oleh pengusaha kecil tidak termasuk sebagai objet pajak, sepanjang

antara pemberi dengan penerima hibah tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau

penguasaan. Kemudian, dari penghasilan perusahaan modal ventura yang salah satu sasarannya

adalah pengembangan usaha kecil yang berpotensi, bukan merupakan objek pajak. Penghasilan

perusahaan modal ventura dalam hal ini adalah bagian laba dari badan pasangan usaha yang

didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia. Selanjutnya, pengusaha kecil orang

pribadi tidak wajib menyelenggarakan pembukuan sepanjang peredaran brutonya dalam satu

tahun kurang dari Rp 600 juta. Masih dalam kaitannya dengan koperasi, pajak penghasilan pasal

23 tidak dipotong atas pembagian hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan atas bunga

simpanan kecil yang dibayar oleh koperasi kepada anggotanya maksimal Rp 144.000 setiap

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 43

Page 44: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

bulannya.

Selanjutnya berbagai upaya telah diambil untuk mencapai target penerimaan pajak

penghasilan. Upaya-upaya tersebut antara lain dilakukan melalui usaha peningkatan penyuluhan

dan pelayanan kepada wajib pajak (WP), peningkatan pengawasan administratif khususnya

terhadap WP besar/potensial, peningkatan efisiensi kerja melalui sistem informasi perpajakan

(SIP), rekonsiliasi data dari pihak ketiga dengan SPT wajib pajak, dan penelitian, pemeriksaan

sederhana dan pemeriksaan lengkap serta penyidikan pajak yang lebih efektif.

Hasil dari pelaksanaan berbagai kebijaksanaan tersebut di atas antara lain terlihat dari

makin luasnya objek pemungutan pajak, meningkatnya kepatuhan wajib pajak, meningkatnya

efektivitas pengawasan dan penegakan hukum terhadap wajib pajak, dan meningkatnya mutu

pelayanan kepada wajib pajak. Selanjutnya, perkembangan yang dicapai dalam lembaga

perpajakan tersebut telah berhasil mempercepat meningkatnya penerimaan pajak penghasilan

yang disebabkan oleh berkembangnya kondisi ekonomi dunia, yang antara lain berupa

berkembangnya dunia usaha dan meningkatnya penghasilan masyarakat dan dunia usaha.

Sebagaimana diketahui, dalam tahun anggaran 1996/1997 penerimaan pajak penghasilan

dianggarkan sebesar Rp 23.708,0 miliar, atau 15,5 persen lebih tinggi dari perkiraan realisasi

tahun sebelumnya. Dalam kaitannya dengan penerimaan perpajakan secara keseluruhan,

penerimaan pajak penghasilan dalam tahun tersebut menyumbang sebesar 42,3 persen bagi

penerimaan perpajakan.

2.2.2.2.2. Pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang

mewah (PPN dan PPnBM)

Pajak pertambahan nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan barang dan

jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha, serta atas impor barang

kena pajak. Selain itu, PPN juga dikenakan atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud

dari luar daerah pabean, di dalam daerah pabean, pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah

pabean di dalam daerah pabean, dan ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.

Terhadap berbagai kegiatan tersebut, tarif PPN yang dikenakan bersifat tunggal, yaitu sebesar

10 persen.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 44

Page 45: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Di samping dikenakan PPN, juga dikenakan pajak penjualan atas barang mewah

(PPnBM) terhadap penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh

pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam

daerah pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya. Adapun tarif PPnBM

ditentukan serendah-rendahnya 10 persen dan setinggi-tingginya 50 persen.

Berbagai macam kegiatan produksi yang merupakan objek PPN dan PPnBM, akan

selalu berkembang sejalan dengan berkembangnya kehidupan ekonomi nasional. Oleh karena

itu, dengan menggunakan sistem pemungutan yang ada, jumlah penerimaan PPN dan PPnBM

senantiasa meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian, mengingat pesatnya perkembangan

kegiatan masyarakat yang pada gilirannya akan menyebabkan makin basarnya kebutuhan akan

pembiayaan bagi kegiatan Pemerintah, sekaligus untuk mencapai tingkat kemandirian yang

tinggi dalam pembiayaan pembangunan nasional, maka telah ditempuh berbagai kebijaksanaan

di bidang perpajakan. Pada dasamya, dampak dari kebijaksanaan perpajakan akan terasa dalam

jangka pendek yaitu secara langsung akan meningkatkan penerimaan pajak dalam tahun yang

bersangkutan, dan dalam jangka panjang akan mendorong perkembangan ekonomi masyarakat

yang berarti juga merupakan peningkatan potensi penerimaan di masa yang akan datang. Namun

demikian, dua hal tersebut tidak selalu dijalankan secara seiring. Dalam kondisi tertentu, salah

satu dari padanya bisa lebih diprioritaskan, dengan pertimbangan bahwa hasil netonya tetap

positif.

Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM

yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, PPN dan PPnBM

adalah merupakan pajak penjualan (PPn) atas barang dan jasa. Menurut Undang-undang Nomor

8 tahun 1983, PPN dikenakan pada pertambahan nilai atas barang dan jasa yang diserahkan oleh

pengusaha kena pajak. Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, selain

dikenakan atas penyerahan barang dan jasa oleh pengusaha kena pajak, PPN juga dikenakan atas

impor barang kena pajak, pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor barang

kena pajak oleh pengusaha kena pajak. Dalam PJP I, penerimaan pajak ini senantiasa

berkembang dari tahun ke tahun, yaitu dari sebesar Rp 30,0 miliar dalam tahun anggaran

1969/1970 menjadi sebesar Rp 13.943,5 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994, atau

mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 29,2 persen per tahun. Sementara itu, dalam dua

tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan PPN dan PPnBM meningkat sebesar 10,9

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 45

Page 46: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

persen, yaitu dari Rp 16.544,8 miliar dalam tahun 1994/1995 menjadi Rp 18.350,0 miliar dalam

tahun anggaran 1995/1996.

Dalam hubungannya dengan PPN dan PPnBM, telah ditempuh beberapa kebijaksanaan

dalam rangka peningkatan penerimaan secara langsung, antara lain dengan meningkatkan

kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak melalui peningkatan pelayanan yang lebih baik.

Selain itu, juga dilakukan konfirmasi faktur pajak dan pelaksanaan uji silang antara data PPN

dengan data pajak penghasilan. Selanjutnya, langkah tersebut didukung dengan pemeriksaan

sederhana lapangan terhadap pengusaha yang tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk

dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP) dan PKP yang SPT masanya memenuhi

kriteria untuk dilakukan pemeriksaan sederhana lapangan. Kemudian, untuk menguji kepatuhan

pengusaha kena pajak, ditempuh langkah peningkatan kerja sama dengan Ikatan Akuntan

Indonesia (IAI) dalam rangka melakukan pemeriksaan sederhana lapangan.

Di samping berbagai kebijaksanaan seperti yang telah dikemukakan di atas, juga

ditempuh beberapa kebijaksanaan lain yang meskipun mengurangi penerimaan PPN dan

PPnBM dalam jangka pendek, tetapi diharapkan akan dapat meningkatkan potensi penerimaan

pajak di masa depan. Kebijaksanaan tersebut antara lain dituangkan dalam Keputusan Presiden

Nomor 4 Tahun 1996 tanggal 5 Januari 1996 yang mengatur tentang PPN yang ditanggung

pemerintah atas impor barang kena pajak tertentu, yang meliputi kapal laut, kapal sungai, kapal

danau, segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaha perusahaan pelayaran niaga

nasional, kapal penyeberangan, kapal pandu, kapal lunda, dan kapal untuk menangkap ikan,

tetapi tidak termasuk kapal pesiar perorangan.

Selain itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1996, Peraturan

Pemerintah Nomor 36 Tahun 1996, dan Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1996, telah

ditetapkan mengenai kegiatan-kegiatan yang PPN dan PPnBM terutangnya ditanggung oleh

Pemerintah. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi penyerahan kendaraan bermotor jenis sedan

atau station wagon yang dibuat di dalam negeri dengan motor penggerak yang isi silindemya

kurang dari 1600 cc, dan dengan kandungan lokal lebih dari 60 persen. Selain itu, ketetapan

tersebut juga berlaku untuk kendaraan berrnotor jenis jeep, camhi, minibus, van dan pick up

yang dibuat di dalam negeri dengan kandungan lokal lebih dari 60 persen, dan kendaraan

bermotor nasional yang dibuat di dalam negeri dengan menggunakan merk yang diciptakan

sendiri yang persentase kandungan lokalnya memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 46

Page 47: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Perindustrian dan Perdagangan. Apabila kendaraan berrnotor nasional tersebut tidak memenuhi

kandungan lokal sesuai dengan ketentuan tersebut, maka PPnBM terutang yang ditanggung

Pemerintah akan ditagih kembali.

Selanjutnya dalam rangka mendorong peningkatan ekspor, dipandang perlu untuk

memberikan pelayanan yang lebih cepat di bidang kepabeanan dan perpajakan terhadap

kegiatan ekspor yang dilakukan oleh eksportir tertentu. Pelayanan tersebut berupa percepatan

pelayanan restitusi PPN atas pembelian bahan baku/penolong, komponen, mesin dari dalam

negeri, sehingga dapat diselesaikan dalam jangka waktu tidak lebih dari 10 (sepuluh) hari kerja.

Sementara itu, pemberian restitusi dilakukan melalui prosektor konfirmasi faktur pajak

dan pemeriksaan sederhana lapangan. Sedangkan dalam upaya mempercepat penyelesaian

restitusi, dapat dilakukan prosektor konfirmasi melalui faksimili dan penyelesaian restitusi

dengan jaminan bank garansi bagi faktur pajak masukan yang belum dipertanggungjawabkan

oleh pengusaha kena pajak (PKP) penjual, dan faktur pajak masukan yang diduga fiktif atau

berkaitan dengan PKP fiktif. Berkaitan dengan penyelesaian restitusi PPN, telah ditetapkan

bahwa pemberian restitusi PPN yang diajukan permohonannya oleh PKP eksportir tertentu,

diberikan pelayanan khusus dengan penyelesaian maksimal 10 (sepuluh) hari kerja. Pengusaha

kena pajak eksportir tertentu tersebut terbatas pada eksportir yang namanya tercantum dalam

daftar PKP yang diterima dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan.

Kemudian, untuk lebih meningkatkan penerimaan PPN dan PPnBM, telah diupayakan

untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, melalui pemeriksaan sederhana kantor,

pemeriksaan sederhana lapangan, termasuk pemeriksaan sederhana lapangan dengan

menggunakan tenaga kantor akuntan publik (KAP), dan pemeriksaan lengkap. Dengan

dilaksanakannya berbagai kebijaksanaan di atas, dan sejalan dengan perkembangan ekonomi

nasional yang menghasilkan peningkatan transaksi penyerahan barang dan jasa kena PPN dan

PPnBM, maka penerimaan PPN dan PPnBM dalam tahun anggaran 1996/1997 dianggarkan

sebesar Rp 21.788,4 miliar. Bila dibandingkan dengan penerimaan PPN dan PPnBM dalam

tahun sebelumnya yang mencapai Rp 18.350,0 miliar, ini berarti terjadi peningkatan sebesar Rp

3.438,4 miliar atau 18,7 persen. Dalam hubungannya dengan penerimaan perpajakan secara

keseluruhan, peranan penerimaan PPN dan PPnBM dalam tahun anggaran 1996/1997 adalah

sebesar 38,9 persen yang berarti lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang mencapai 37,9 persen.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 47

Page 48: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

2.2.2.2.3. Pajak bumi dan bangunan (PBB)

Dalam tahun pertarna Repelita VI, penerimaan pajak bumi dan bangunan yang

merupakan salah satu komponen penerimaan dalam negeri secara bertahap peranannya semakin

dimantapkan, mengingat pajak bumi dan bangunan mempunyai prospek yang cerah untuk

dikembangkan di masa yang akan datang. Sehubungan dengan hal itu, setelah hampir satu

dasawarsa berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, dan makin meningkatnya jumlah

objek pajak, serta untuk menyelaraskan pengenaan pajak dengan amanat GBHN 1993, dirasakan

sudah waktunya untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985. Untuk itu,

pada tahun 1994 telah ditetapkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Penyempurnaan

tersebut dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah menuju kemandirian bangsa dan

pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan perpajakan, serta

untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk berpartisipasi

dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya.

Dalam Undang-undang pajak bumi dan bangunan tahun 1994, dilakukan penyesuaian

basarnya nilai jual objek pajak tidak kena pajak sebesar Rp 8,0 juta untuk setiap wajib pajak

yang terdiri dari tanah dan atau bangunannya. Penyesuaian tersebut dilakukan dalam rangka

membantu wajib pajak perseorangan yang berpenghasilan tidak tetap/golongan masyarakat yang

kurang marnpu. Dengan demikian bagi anggota masyarakat/wajib pajak yang hanya

memanfaatkan tanah dan bangunan yang luasnya terbatas, sepanjang nilainya tidak lebih dari Rp

8 juta tidak membayar pajak bumi dan bangunan. Selain itu, juga bertujuan untuk memberikan

perlakuan yang sama atau keadilan bagi wajib pajak yang hanya memiliki, menguasai, dan atau

memanfaatkan objek pajak berupa bumi dengan nilai tertentu.

Sementara itu, sebagai dasar dalam penentuan nilai jual objek pajak masih berlaku

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 174 Tahun 1993 tentang Penentuan Klasifikasi dan

Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam

keputusan tersebut ditetapkan 50 kelas bumi dengan penggolongan nilai jual tertinggi sebesar

Rp 3,1 juta per meter persegi dan terendah sebesar Rp 140 per meter persegi. Sedangkan untuk

nilai transaksi objek pajak di atas Rp 3,1 juta per meter persegi, digunakan nilai transaksinya.

Demikian juga terhadap rumah sakit swasta yang dalam perkembangannya dinilai telah

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 48

Page 49: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

mengarah kepada upaya memperoleh keuntungan di sarnping fungsinya sebagai lembaga sosial,

kini telah dikenakan pajak bumi dan bangunan, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri

Keuangan Nomor 796 Tahun 1993 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Atas Rumah

Sakit Swasta.

Sementara itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1994 tentang

Penetapan Besarnya Persentase Nilai Jual Kena Pajak Pada Pajak Bumi dan Bangunan, telah

ditetapkan kembali besarnya tarif nilai jual kena pajak (NJKP) atas objek pajak perumahan. Di

dalam peraturan pemerintah tersebut diatur bahwa atas objek pajak perumahan yang wajib

pajaknya perseorangan, dengan nilai jual objek pajak sebesar Rp 1 miliar ke atas, tarif nilai jual

kena pajaknya ditetapkan sebesar 40 persen dari nilai jual objek pajak. Ketentuan tersebut tidak

berlaku bagi wajib pajak pegawai negeri sipil, ABRI, pensiunan termasuk janda/dudanya yang

menguasai/ memanfaatkan objek pajak perumahan yang nilai jual objek pajak (NJOP)-nya

senilai Rp 1 miliar ke atas, di mana tarif NJKP-nya tetap sebesar 20 persen dari nilai jual objek

pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1985.

Dalam pada itu, dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, telah dikenakan pajak

bumi dan bangunan atas perguruan tinggi swasta. Ketentuan ini diberlakukan mengingat adanya

kecenderungan banyak perguruan tinggi swasta (PTS) yang berkembang sebagai institusi yang

cenderung memperoleh keuntungan. Kebijaksanaan ini dianggap. wajar, mengingat perguruan

tinggi swasta tersebut sudah tidak mumi lagi berfungsi sosial karena telah memperoleh manfaat

dan nikmat atas objek pajak yang dikelolanya, sehingga tidak dapat lagi dikategorikan sebagai

objek yang dikecualikan dari pengenaan pajak bumi dan bangunan. Narnun, mengingat bahwa

peran perguruan tinggi swasta selama ini juga masih mempunyai fungsi sosial khususnya dalam

ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pengenaan PBB-nya diberikan keringanan yaitu

hanya sebesar 50 persen dari jumlah PBB yang seharusnya terutang. Sedangkan intensifikasi

pemungutan pajak berupa peningkatan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak melalui kegiatan

penagihan yang lebih intensif, peningkatan pencairan tunggakan melalui kerja sama dengan

Pemerintah Daerah Tingkat II, pengembangan replikasi sistem pembayaran ditempat (Sistep)

bagi kemudahan pembayaran pajak, serta replikasi pe1ayanan satu tempat untuk memberikan

pelayanan yang cepat dan tepat kepada wajib pajak, selain itu yang tidak kalah pentingnya

adalah peningkatan penyuluhan, bimbingan dan pembinaan kepada wajib pajak serta penegakan

hukum yang lebih tegas dan efektif terhadap wajib pajak yang lalai, dan yang belum sepenuhnya

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 49

Page 50: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

memenuhi kewajibannya ataupun sengaja menghindar dari kewajiban perpajakan sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pada itu, upaya peningkatan penerimaan PBB juga dilakukan melalui kegiatan

penilaian individual dengan cara melakukan penyesuaian NJOP sehingga nilainya tidak terlalu

jauh dari nilai yang sesungguhnya terjadi di lapangan (nilai pasar wajar). Kegiatan penilaian

individual tersebut dilaksanakan kepada objek pajak yang mempunyai karakteristik khusus

seperti bandara, pelabuhan, gedung bertingkat tinggi, lapangan golf, jalan tol dan industri.

Dengan berbagai kebijaksanaan tersebut, penerimaan pajak bumi dan bangunan dalam

tahun pertama Repelita VI mencapai sebesar Rp 1.647,3 miliar, yang terus meningkat menjadi

sebesar Rp 1.924,0 miliar dalam tahun kedua Repelita VI, yang berarti meningkat sebesar Rp

276,7 miliar atau 16,8 persen. Sedangkan untuk tahun anggaran 1996/1997 penerimaan pajak

bumi dan bangunan dianggarkan sebesar Rp 2.277,3 miliar atau meningkat sebesar Rp 353,3

miliar atau 18,4 persen dari tahun anggaran sebelumnya yang besarnya Rp 1.924,0 miliar. Perlu

ditambahkan bahwa dalam PJP I penerimaan PBB telah mengalami peningkatan dari Rp 0,1

miliar pada tahun anggaran 1969/1970 menjadi sebesar Rp 1.484,5 miliar pada tahun anggaran

1993/1994 atau meningkat rata-rata sebesar 49,2 persen per tahun.

2.2.2.2.4 Pajak lainnya

Penerimaan bea meterai sebagai sumber utama dari penerimaan pajak lainnya, selain

ditentukan oleh besarnya jumlah transaksi kena bea meterai juga ditentukan oleh besarnya tarif

bea meterai. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 tanggal 1 Mei 1995

tentang Perubahan Tarif Bea Meterai, ditetapkan bahwa tarif bea meterai Rp 2.000 dikenakan

atas surat perjanjian dan surat lainnya yang digunakan untuk alat pembuktian yang bersifat

perdata, akte notaris dan salinannya, akte pejabat pembuat akte tanah (PPAT), serta dokumen

dengan harga nominal lebih dari Rp 1 juta. Sedangkan tarif Rp 1.000 dikenakan bagi dokumen

dengan harga nominal mulai dari Rp 250 ribu sampai dengan Rp 1 )uta serta cek dan bilyet giro.

Sedangkan untuk dokumen dengan harga nominal kurang dari Rp 250 ribu tidak terutang bea

meterai.

Dalam perkembangannya, penerimaan pajak lainnya senantiasa meningkat dari tahun ke

tahun sejalan dengan berkembangnya kegiatan ekonomi masyarakat. Selama PJP I, penerimaan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 50

Page 51: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

pajak lainnya mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 20,2 persen per tahun, sehingga jumlah

penerimaan yang dalam tahun anggaran 1969/1970 baru berjumlah Rp 3,4 miliar telah

meningkat menjadi Rp 283,4 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994. Sedangkan dalam dua

tahun pelaksanaan Repelita VI, penerimaan pajak lainnya mengalami peningkatan sebesar 68,9

persen, yaitu dari sebesar Rp 301,9 miliar dalam tahun anggaran 1994/1995 menjadi sebesar Rp

510,0 miliar dalam tahun anggaran 1995/1996. Selanjutnya, dalam tahun anggaran 1996/1997

penerimaan pajak lainnya dianggarkan sebesar Rp 569,8 miliar atau 11,7 persen lebih tinggi dari

tahun sebelumnya. Kemudian, bila dikaitkan dengan penerimaan perpajakan secara keseluruhan

dalam tahun tersebut, peran penerimaan pajak lainnya adalah sebesar 1,0 persen dari penerimaan

perpajakan, yang berarti lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 1,1 persen.

Peningkatan penerimaan pajak lainnya ini sejalan dengan makin meningkatnya kegiatan

ekonomi, yang selanjutnya menyebabkan berkembangnya transaksi pajak lainnya.

Selain itu kenaikan penerimaan pajak lainnya juga tidak terlepas dari adanya upaya

pencegahan beredarnya meterai palsu, peningkatan pengawasan atas pemakaian benda meterai,

mesin teraan meterai, dan pencetakan tanda lunas meterai.

2.2.2.2.5. Bea masuk

Bea masuk adalah pungutan atas barang impor yang merupakan salah satu penerimaan

dalam negeri yang masih mempunyai peranan dalam pembiayaan pembangunan. Pungutan bea

masuk mempunyai peran ganda dalam perekonomian, yaitu sebagai salah satu sumber

penerimaan negara dan sebagai alat untuk mengatur arus serta pola impor, baik untuk barang

konsumsi maupun bagi barang-barang yang diperlukan oleh industri dalam negeri. Penerimaan

bea masuk pada awalnya merupakan sumber penerimaan yang diperlukan untuk mengisi kas

negara, dalam perkembangannya bea masuk juga berfungsi sebagai media pengaturan

(fasilitator). Penerimaan bea masuk sangat dipengaruhi oleh tiga besaran utama yaitu besarnya

nilai devisa impor bayar (dutiable import), tarif, dan nilai tukar rupiah terhadap berbagai valuta

asing. Dari ketiga besaran inilah penerimaan bea masuk ditentukan, sehingga apabila dari salah

satu atau yang lainnya berubah, maka penerimaan bea masuk juga akan berubah.

Dalam periode pembangunan jangka panjang pertama, penerimaan bea masuk terus

mengalami peningkatan yaitu dari sebesar Rp 58,3 miliar pada tahun anggaran 1969/1970

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 51

Page 52: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

menjadi sebesar Rp 3.555,3 miliar pada tahun terakhir PJP I, berarti mengalami peningkatan

rata-rata 18,7 persen per tahun. Selanjutnya, dalam Repelita, VI yang mulai dilaksanakan pada

tahun anggaran 1994/1995 sampai dengan tahun anggaran 1996/1997, peranan penerimaan bea

masuk terhadap penerimaan dalam negeri relatif semakin menurun. Dalam tahun anggaran

1994/1995 realisasi penerimaan bea masuk mencapai sebesar Rp 3.900,1 miliar berarti lebih

tinggi dari yang direncanakan dalam APBN-nya sebesar Rp 3.443,3 miliar, sedangkan

peranannya terhadap penerimaan dalam negeri mencapai sebesar 5,9 persen. Selanjutnya, dalam

tahun anggaran 1995/1996 realisasinya mencapai sebesar Rp 3.247,9 miliar, yang berarti turun

sebesar Rp 652,2 miliar atau 16,7 persen dari realisasi tahun sebelumnya (1994/1995) dan

memberikan sumbangan terhadap penerimaan dalam negeri sebesar 4,5 persen. Kurang

tercapainya target penerimaan tersebut tidak terlepas dari kebijaksanaan Pemerintah yang

diambil melalui paket-paket deregulasi yang dikeluarkan, khususnya yang berhubungan dengan

penurunan tarif bea masuk. Langkah kebijaksanaan yang diambil ini adalah untuk memperbaiki

sistem kepabeanan, yaitu di bidang pentarifan serta prosedur keluar masuknya barang, dengan

maksud agar arus keluar masuknya barang terutama barang-barang yang diperlukan bagi

pengembangan industri dalam negeri dan industri yang berorientasi pada ekspor sernakin lancar.

Selanjutnya, paket deregulasi yang telah diambil selama Repelita VI adalah paket

Kebijaksanaan Juni 1994, yang antara lain mencakup penurunan bea masuk dan bea masuk

tambahan, penghapusan tata niaga tertentu, pengaturan tentang Entrepot Produksi Tujuan

Ekspor/ Kawasan Berikat (EPTFJKB), perluasan penanaman modal, kesemuanya adalah dalam

rangka untuk meningkatkan ekspor. Selanjutnya dalam tahun 1995, telah dikeluarkan Paket 23

Mei 1995, yang merupakan tonggak awal bagi kebijaksanaan di bidang penurunan tarif bea

masuk secara terjadwal, yang dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi produksi dari para

pengusaha terutama yang menghasilkan barang ekspor. Dalam paket ini, selain menurunkan

besarnya tarif bea masuk, juga dilakukan rencana penjadwalan penurunan tarif bea masuk secara

bertahap yaitu untuk kelompok tarif antara 5 sampai dengan 15 persen diturunkan menjadi

setinggi-tingginya 5 persen pada tahun 2000 dan untuk kelompok tarif 20 sampai dengan 30

persen menjadi setinggi-tingginya 10 persen pada tahun 2003.

Sementara itu sebagai tindak lanjut dari kebijaksanaan deregulasi Mei 1995, dalam

bulan Januari 1996 telah diumumkan paket kebijaksanaan Januari 1996 tanggal26 Januari 1996.

Paket ini dimaksudkan untuk (a) mewujudkan iklim usaha yang lebih menarik dan mendorong

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 52

Page 53: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

ekspor, (b) menurunkan tarif bea masuk barang modal dan bahan baku yang terkait langsung

dengan ekspor, dan (c) menghapus pungutan yang dipandang menghambat ekspor dan efisiensi.

Sedangkan deregulasi tersebut di antaranya meliputi bidang industri dan perdagangan, dan

keuangan. Di bidang industri dan perdagangan, kebijaksanaan tersebut di antaranya bertujuan

untuk mengembangkan industri yang berorientasi ekspor, memangkas hambatan ekspor dan

impor (baik berupa administrasi dan birokrasi), membuka dan memperluas kesempatan usaha

bagi PMA dalam perdagangan ekspor dan impor, dan mendorong pemakaian batang modal dan

bahan baku industri dalam negeri. Sedangkan deregulasi di bidang keuangan meliputi perluasan

fasilitas kepabeanan, fasilitas perpajakan, dan kesempatan dunia usaha swasta. Adapun

kebijaksanaan yang berhubungan dengan bea masuk adalah perluasan fasilitas kepabeanan di

antaranya adalah penurunan tarif bea masuk untuk barang modal dan bahan baku yang terkait

langsung atau tidak dengan ekspor. Jumlah pas tarif yang diturunkan adalah sebanyak 428 pas

tarif atau sekitar 6 persen dari total pas tarif yang berjumlah 7.284. Dengan adanya

kebijaksanaan tersebut penerimaan bea masuk dalam tahun anggaran 1995/1996 hanya

mencapai sebesar 91,7 persen dari yang dianggarkan dalam APBNnya. Bila dilihat dari

pelaksanaan APBN selama dua tahun anggaran tersebut, terlihat adanya penurunan pencapaian

target penerimaan rea masuk secara relatif.

Sebelum 1 April 1996, pengenaan pungutan rea masuk didasarkan pada perundang-

undangan zaman kolonial, yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan pembangunan nasional.

Oleh karena itu, dalam mewujudkan peraturan perundang-undang berlandaskan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya terkandung asas keadilan, menjunjung tinggi

hak setiap anggota masyarakat, dan menempatkan kewajiban pabean sebagai kewajiban

kenegaraan yang mencerminkan peran serta anggota masyarakat dalam menghimpun dana

melalui pembayaran bea masuk, maka peraturan perundang-undangan kepabeanan sebagai

bagian dari hukum fiskal harus dapat menjamin perlindungan kepentingan masyarakat,

kelancaran arus barang, orang, dokumen, penerimaan bea masuk yang optimal, dan dapat

menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional. Untuk itu,

maka sejak 1 April 1996 di bidang kepabeanan telah berlaku Undang-undang Nomor 10 Tahun

1995 tentang Kepabeanan yang merupakan pengganti dari perundang-undangan kolonial yang

dipakai selama ini. Dalam Undang-undang ini telah diterapkan sistem self assessment yaitu

menghitung dan membayar sendiri bea masuk yang terutang dengan tetap memperhatikan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 53

Page 54: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

ketentuan larangan dan pembatasan impor. Dalam hal pengawasan impor, pelaksanaannya

dititikberatkan pada pemeriksaan terhadap barang impor secara selektif dengan diikuti kegiatan

verifikasi dan post audit, di samping itu juga terus diupayakan peningkatan pengawasan dalam

rangka pencegahan penyelundupan.

Sementara itu, pada bulan Juni 1996 telah dilakukan deregulasi Juni 1996. Deregulasi

ini bertujuan untuk lebih meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia dalam menghadapi

globalisasi ekonomi yang sekaligus menunjukkan komitmen, bahwa Indonesia tetap

melaksanakan kesepakatan WTO/GATT, AFTA, dan APEC secara konsisten. Dalam kaitannya

dengan bea masuk, paket ini adalah-merupakan kelanjutan dari penjadwalan penurunan tarif bea

masuk. Dalam paket Juni 1996 telah ditetapkan urutan waktu bagi masing-masing kelompok

tarif bea masuk yang diturunkan. Hal ini dimaksudkan agar dunia usaha mengetahui sejak awal

jadwal penurunan tersebut, sehingga dapat menentukan rencana-rencana, baik investasi maupun

produksi di masa mendatang. Di samping itu, juga dilakukan penghapusan bea masuk tambahan

dengan menggabungkannya ke dalam satu pas tarif bea masuk. Hal ini sesuai dengan undang-

undang kepabeanan, serta kesepakatan APEC dan WTO. Adapun penjadwalan penurnnan tarif

tersebut adalah sebagai berikut :

a. Pada tahun 1996, untuk tarif yang pada tahun sebelumnya sebesar 5 sampai dengan 15

persen tidak mengalami perubahan, sedangkan yang besarnya 20 sampai dengan 30

persen menjadi sebesar 15 sampai dengan 25 persen;

b. Tahun 1997, tarif yang pada tahun sebelumnya sebesar 5 persen tidak mengalami

perubahan, sedangkan yang besarnya 10 sampai dengan 15 persen menjadi sebesar 5

sampai dengan 10 persen dan yang besarnya 15 sampai dengan 25 persen tidak berubah;

c. Tahun 1998, tarif yang pada tahun sebelumnya sebesar 5 sampai dengan 10 persen tidak

berubah, kemudian untuk tarif yang besarnya 15 sampai dengan 25 persen menjadi

sebesar 10 sampai dengan 20 persen;

d. Tahun 1999, tarif yang pada tahun sebelumnya sebesar 5 persen tidak berubah dan yang

besarnya 10 persen menjadi sebesar 5 persen, sedangkan yang tarifnya sebesar 10

sampai dengan 20 persen tidak berubah;

1. e. Tahun 2000, tarif yang pada tahun sebelumnya sebesar 5 persen menjadi setinggi-

tingginya sebesar 5 persen, kemudian yang besarnya 10 persen tidak berubah dan yang

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 54

Page 55: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

besarnya 15 sampai dengan 20 persen menjadi sebesar 10 sampai dengan 15 persen;

e. Tahun 2001, tarif tidak mengalami perubahan atau sama dengan tahun sebelumnya.

f. Tahun 2002, tarif yang besarnya 10 persen tidak berubah, namun yang besarnya 15

persen menjadi sebesar 10 persen; dan

g. Pada tahun 2003, tarif bea masuk yang pada tahun sebelumnya sebesar 10 persen

menjadi setinggi-tingginya sebesar 10 persen.

Sehubungan dengan itu basarnya penerimaan bea masuk pada tahun anggaran

1996/1997 yang direncanakan sebesar Rp 3.450,5 miliar, kemungkinan tidak akan tercapai

dalam realisasinya.

2.2.2.2.6. Cukai

Perundang-undangan tentang pungutan cukai yang berlaku sampai dengan tahun

anggaran 1995/1996 adalah perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Belanda yang di

antatanya seperti Ordonansi Cukai Minyak Tanah (Stbl. 1886 Nomor 249), Cukai Alkohol

Sulingan (Stbl. 1898 Nomor 249), Cukai Bir (Stbl. 1931 Nomor 488 dan 489), Cukai Tembakau

(Stbl. 1932 Nomor 517), Cukai Gula (Stbl. 1933 Nomor 251), dan peraturan perundangan

lainnya. Ordonansi cukai yang menjadi dasar pemungutan cukai selama ini dirasakan bersifat

diskriminatif terhadap pengenaan atas impor barang kena cukai, karena atas impor seperti gula,

tembakau, dan minyak tanah dikenai cukai, sedangkan untuk bir dan alkohol sulingan tidak. Di

samping itu, objek kena cukai terbatas, padahal dalam pembangunan nasional diperlukan

sumber dana yang cukup terutama yang bersumber dari dalam negeri. Oleh karena itu untuk

menambah dana bagi pembiayaan pembangunan perlu digali sumber-sumber yang potensial

termasuk objek/barang yang dapat dikenakan cukai. Untuk menampung upaya tersebut

diperlukan undang-undang baru sebagai pengganti, yaitu dengan diberlakukannya Undang-

undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang berlaku mulai 1 April 1996.

Kebijaksanaan pemungutan cukai yang ditempuh selama ini tidak semata-mata untuk

mengisi kas negara, tetapi juga bertujuan untuk membina dan mengatur. Di samping

memperhatikan unsur keadilan dalam keseimbangan, juga memperhatikan pemberian insentif

yang bermanfaat, pembatasan dalam rangka perlindungan masyarakat serta pengawasan dan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 55

Page 56: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

penerapan sanksi untuk menjamin ditaatinya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-

undang tersebut. Dalam hubungan ini, kebijaksanaan yang dilakukan adalah dengan melakukan

penyesuaian tarif dan harga dasar yang digunakan untuk menghitung cukai, karena basarnya

penerimaan cukai tergantung dari jumlah barang kena cukai, tarif, dan harga dasar. Dengan

demikian apabila di antara ketiga besaran tersebut ada yang berubah maka jumlah penerimaan

cukai juga akan ikut terpengaruh.

Pada bulan April 1996 ketentuan-ketentuan dalam undang-undang cukai mulai

diterapkan. Jenis barang-barang yang dikenakan cukai dikelompokkan menjadi hasil tembakau,

etil alkohol (etanol), dan minuman serta konsentrat yang mengandung etanol. Sementara itu,

gula dan minyak tanah bukan lagi dianggap sebagai barang kena cukai, sehingga tidak

dikenakan cukai.

Untuk melaksanakan undang-undang tersebut telah dikeluarkan peraturan sebagai dasar

pengenaan cukai hasil tembakau, yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 229 Tahun 1996

ten tang Penetapan Tarif Cukai dan Harga Dasar Hasil Tembakau yang ditetapkan secara

advalorem (persentase) dan mulai berlaku pada 1 Mei 1996. Dalam keputusan tersebut, basarnya

tarif cukai hasil tembakau digolongkan pada cara pembuatannya yaitu jenis produksi sigaret

kretek mesin (SKM) dan sigaret kretek nonmesin (yang terdiri dari sigaret kretek tangan/SKT,

klobot, dan klembak kemenyan) dan berdasarkan jumlah masing-masing produksi (mesin dan

nonmesin) dalam satu tahun takwim. Adapun ketentuan tarif tersebut adalah sebagai berikut :

a. Untuk jenis SKM :

produksi di atas 5 miliar batang besarnya tarif adalah 36 persen, produksi antara 2,5 sampai

dengan 5 miliar batang sebesar 28 persen, sampai dengan 2,5 miliar batang antara 20 sampai

dengan 24 persen.

b. Untuk jenis SKT :

produksi di atas 5 miliar tarifnya sebesar 16 persen, produksi di atas 2,8 juta sampai dengan 5

miliar tarifnya antara 4 sampai dengan 8 persen, dan produksi sampai dengan 2,8 juta tarifnya

sebesar 2 persen.

c. Untuk jenis sigaret putih mesin (SPM) :

harga per batang antara Rp 25 sampai dengan Rp 75, tarifnya antara 20 sampai dengan 34

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 56

Page 57: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

persen, harga per batang di atas Rp 75, tarifnya sebesar 38 persen.

d. Untuk jenis klobot (KLB) dan klembak kemenyan (KLM) dikenakan tarif antara 1 sampai

dengan 8 persen, dan untuk cerutu dikenakan tarif an tara 1 sampai dengan 10 persen.

e. Untuk produk hasil tembakau yang berasal dari impor, tarif cukai untuk jenis SKM sebesar

38 persen, SKT sebesar 16 persen, SPM sebesar 38 persen, cerulli dan tembakau iris sebesar 1

sampai dengan 10 persen.

Sehubungan dengan itu besarnya penerimaan cukai hasil tembakau dalam tahun

anggaran 1996/1997 dianggarkan sebesar Rp 3.923,0 miliar, yang berarti lebih tinggi sebesar Rp

438,7 miliar atau 12,6 persen dari perkiraan realisasi tahun sebelumnya sebesar Rp 3.484,3

miliar. Besarnya penerimaan cukai hasil tembakau tersebut merupakan akibat dari adanya

kenaikan jumlah produksi dan kenaikan harga dari produk hasil tembakau.

Sedangkan untuk cukai etanol dan minuman yang mengandung etanol serta konsentrat

yang mengandung etanol, dikenakan tarif setinggi-tingginya 250 persen bila harga dasar yang

digunakan sebagai dasar pemungutan adalah harga jual pabrik (HJP), dan 55 persen apabila

harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran (HJE). Besarnya tarif tersebut dapat diubah

dari persentase harga dasar (advalorem) menjadi dalam rupiah (spesif1k) untuk setiap satuan

barang kena cukai, atau sebaliknya, dan dapat pula merupakan gabungan dari advalorem dan

spesifik.

Sehubungan dengan itu, untuk menghitung besarnya cukai atas produk minuman dan

konsentrat yang mengandung etanol telah ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231

Tahun 1996 tentang Penetapan Tarif Minuman yang Mengandung Etil Alkohol dan Konsentrat

yang Mengandung Etil Alkohol dengan sistem spesifik. Dalam keputusan tersebut besarnya

cukai untuk minuman yang mengandung etanol digolongkan berdasarkan harga jual eceran per

liter dan atau banyak sedikitnya kadar etanol yang terkandung dalam produk tersebut. Besarnya

tarif tersebut adalah, untuk produk minuman yang mengandung kadar etanol sampai dengan 2

persen dengan harga jual eceran per liternya sampai dengan Rp 4.000, tarifnya sebesar Rp 500,

kemudian dengan harga jual di atas Rp 4.000 sampai dengan Rp 10.000 per liter dengan

kandungan di atas 2 sampai dengan 7 persen, besarnya tarif adalah Rp 750. Selanjutnya, untuk

minuman yang harganya diatas Rp 10.000 sampai dengan Rp 60.000 per liter dengan kadar di

atas 7 sampai dengan 20 persen, tarifnya sebesar Rp 1.500. Kemudian untuk minuman dengan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 57

Page 58: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

harga di atas Rp 60.000 sampai dengan Rp 200.000 per liter dan mempunyai kadar etanol di atas

20 sampai dengan 45 persen, tarifnya sebesar Rp 10.000. Sedangkan untuk yang harganya di

atas Rp 200.000 dengan kadar di atas 45 persen, tarif cukainya sebesar Rp 50.000. Untuk tarif

cukai konsentrat yang mengandung etanol besarnya cukai adalah Rp 25.000 per liter.

Sehubungan dengan ketentuan yang baru tersebut, besarnya penerimaan cukai etanol dan

minuman serta konsentrat yang mengandung etanol direncanakan sebesar Rp 110,0 miliar atau

2,7 persen dari total cukai dalam APBN-nya.

Dengan demikian secara keseluruhan penerimaan cukai dalam tahun anggaran

1996/1997 mencapai sebesar Rp 4.033,0 miliar atau lebih tinggi sebesar Rp 365,3 miliar atau

10,0 persen dari realisasi tahun anggaran sebelumnya yang jumlahnya mencapai sebesar Rp

3.667,7 miliar. Sementara itu, dalam tahun anggaran 1994/1995 realisasi penerimaan cukai

mencapai sebesar Rp 3.153,3 miliar. Perlu kiranya ditambahkan bahwa penerimaan cukai

selama P1P I terus mengalami kenaikan, yaitu dari sebesar Rp 32,5 miliar pada tahun anggaran

1969/1970 menjadi sebesar Rp 2.625,8 miliar pada tahun anggaran 1993/1994 atau naik rata-

rata sebesar 20,1 persen per tahun. Usaha-usaha untuk mengoptimalkan penerimaan cukai antara

lain adalah dengan meningkatkan pengawasan terhadap tindak pemalsuan atas pita cukai hasil

tembakau dan peredaran atas minuman dan konsentrat yang mengandung etanol termasuk di

dalamnya adalah minuman keras (miras), di samping itu juga terus diupayakan peningkatan

pemberantasan terhadap penyelundupan barang kena cukai. Perkembangan jenis penerimaaan

cukai dapat diamati pada Tabel II.3.

2.2.1.2.7. Pajak ekspor

Penerimaan pajak ekspor yang berasal dari pungutan atas ekspor barang-barang tertentu,

selama PJP I sangat berfluktuasi. Ada periode di mana penerimaan pajak ekspor meningkat,

namun ada pula periode di mana penerimaan tersebut mengalami penurunan.

Pada dasarnya penerimaan pajak ekspor tidak terlepas dari berbagai kebijaksanaan yang

dikeluarkan sebelumnya, seperti dikenakannya tarif pajak ekspor yang cukup tinggi atas ekspor

kayu gergajian, kayu olahan, rotan, kulit yang disamak dan kelompok barang-barang tertentu.

Kebijaksanaan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 534 Tahun 1992

tentang Penetapan Besarnya Tarif dan Tata Cara Pembayaran serta Penyetoran Pajak Ekspor dan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 58

Page 59: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

atau Pajak Ekspor Tambahan, yang ditujukan untuk memacu ekspor barang jadi, memperluas

kesempatan kerja, mendorong industri hilir dan untuk meningkatkan devisa.

Selain itu yang besar pengaruhnya terhadap peningkatan penerimaan pajak ekspor, adalah

dikenakannya pajak ekspor atas produk kelapa sawit dengan tarif yang bervariasi antara 40

persen dan 75 persen, apabila harga minyak goreng di dalam negeri di atas Rp 1.250 per

kilogram, seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 439 Tahun 1994

tentang Pengenaan Pajak Ekspor Atas Ekspor Crude Palm Oil (CPO), Refined Bleached

Deodorized Palm Oil (RBD PO), Crude Olein dari Refined Bleached Deodorized Olein (RBD

Olein). Kebijaksanaan tersebut bertujuan untuk mengendalikan harga jual minyak goreng di

dalam negeri agar tidak terjadi peningkatan yang terlalu besar. Sedangkan sejak 1 September

1994 secara berkala setiap bulan diterbitkan keputusan Menteri Keuangan mengenai harga

ekspor yaitu harga FOB untuk masing-masing komoditi berdasarkan harga rata-rata di pasar

internasional selama dua minggu terakhir. Sementara itu, untuk mendorong pertumbuhan

industri pengolahan kayu cendana di dalam negeri serta dalam rangka menjaga kelestarian

tanaman kayu cendana, terhadap produk olahan kayu cendana juga dikenakan tarif pajak ekspor

yang besarnya US$ 2.400 per ton dari US$ 4.800 per ton, sebagaimana tertuang dalam

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 336 Tahun 1994.

Sementara itu, dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 46 tahun 1996, telah

dilakukan penurunan tarif pajak ekspor sampai nol persen untuk komoditi ekspor seperti kulit

ternak olahan, sisa aluminium dari skrap alloy (tarif pas 3004, 5052 dari 5182) serta aneka dupa

wangi dari kayu cendana. Dengan adanya berbagai kebijaksanaan tersebut penerimaan pajak

ekspor dalam tahun anggaran 1995/1996 mencapai sebesar Rp 200,8 miliar atau lebih tinggi

sebesar Rp 70,2 miliar dari tahun anggaran sebelumnya atau meningkat sebesar 53,8 persen.

Berdasarkan perkembangan tersebut, maka dalam tahun anggaran 1996/1997 penerimaan pajak

ekspor dianggarkan sebesar Rp 160,1 miliar. Adapun perkembangan penerimaan perpajakan

dapat dilihat pada Tabel 11.4.

2.2.2.3. Penerimaan negara bukan pajak

Penerimaan negara bukan pajak meliputi penerimaan yang berasal dari departemen/

lembaga pemerintah non departemen dari bagian pemerintah atas laba BUMN. Penerimaan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 59

Page 60: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

CukaiTembakau

-1 -2 -4REPELITA I1969/1970 28,4 32,51970/1971 11,6 12,91971/1972 29,9 38,11972/1973 39 49,11973/1974 52,6 62,6REPELITA II1974/1975 66 75,91975/1976 72,5 85,61976/1977 112,8 132,91977/1978 152,9 174,91978/1979 212,3 232,6REPELITA III1919/1980 291,1 318,71980/1981 392,5 4331981/1982 455,1 526,91982/1983 575,6 6321983/1984 739,1 822REPELITA IV1984/1985 782,8 873,81985/1986 778,4 879,91986/1987 944,1 1.002,601987/1988 1.034,80 1.105,401988/1989 1.320,70 1.410,40REPELITA V1989/1990 1.398,10 1.482,201990/1991 1.713,80 1.799,801991/1992 1.703,30 1.915,001992/1993 2.116,40 2.241,601993/1994 2.470,40 2.625,80REPELITA VI1994/1995 2.647,50 3.153,301995/1996 2) 3.484,30 3.667,701996/1997 3) 3.923,00 4.033,00

PENERIMAAN CUKAI, 1969/1970 - 1996/1997 1)

1,38,2

10,110

9,913,120,1

2220,3

91101,5

58,570,6

TahunCukai

Jumlahlainnya

(dalam miliar rupiah)

-3

4,1

27,640,571,856,482,9

89,7

84,186

211,7125,2155,4

505,8183,4

110

Tabel II.3

1) Realisasi PAN

2) APBN Perubahan (APBN-P)

3) APBN

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 60

Page 61: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

departemen/lembaga pemerintah non departemen antara lain dalam bentuk iuran, retribusi,

penjualan barang milik negara yang dilakukan secara lelang umum maupun terbatas,

penyewaan, peminjaman, pengontrakan barang/fasilitas negara, serta pungutan-pungutan di

masing-masing departemen/ lembaga pemerintah non departemen sehubungan dengan

pemberian pelayanan jasa kepada masyarakat. Sedangkan penerimaan yang berasal dari bagian

pemerintah atas laba BUMN adalah penerimaan yang diperoleh sehubungan dengan

keikutsertaan pemerintah dalam mengelola BUMN, antara lain berupa dividen dari dana

pembangunan semesta.

Dalam rangka meningkatkan peranannya terhadap penerimaan dalam negeri, maka telah

ditempuh berbagai upaya peningkatan penerimaan negara bukan pajak. Upaya peningkatan

penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penerimaan departemen/lembaga pemerintah

non departemen ditempuh melalui penyempurnaan administrasi pengelolaan, yang meliputi tata

cara penyetoran, intensifikasi pemungutan yang disertai penyesuaian besarnya tarif dengan

kondisi perekonomian, serta peningkatan pengawasan di dalam pelaksanaannya. Bersamaan

dengan itu, dalam rangka meningkatkan penerimaan yang berasal dari bagian pemerintah atas

laba BUMN, telah dilakukan pembinaan, pengelolaan, dan pengawasan terhadap BUMN.

Implementasi dari kebijaksanaan tersebut antara lain berupa pemantapan organisasi, penegasan

fungsi, dan penyempurnaan pola pengembangan, agar BUMN semakin produktif, efektif, dan

efisien. Peningkatan pembinaan BUMN dilakukan melalui pemberian arahan yang lebih tepat

mengenai strategi perusahaan dan peningkatan upaya efisiensi dan efektivitas perusahaan dalam

setiap kegiatan operasionalnya, penghematan biaya, dan meningkatkan pengawasan kinerjanya.

Langkah-langkah yang diambil Pemerintah tersebut telah membuahkan hasil yang

menggembirakan, yang tercermin dari peningkatan jumlah BUMN yang kinerjanya tergolong

sehat dan sehat sekali, bahkan beberapa BUMN seperti PT Indosat, PT Timah, PT Telkom dan

PT BNI 46 telah melakukan penjualan saham, baik melalui bursa domestik maupun bursa

internasional.

Dengan adanya berbagai kebijaksanaan tersebut, kontribusi penerimaan BUMN dalam

keseluruhan penerimaan negara bukan pajak dapat ditingkatkan. Sementara itu, dengan semakin

meningkatnya laba BUMN, diharapkan BUMN dapat membina para pengusaha golongan

ekonomi lemah dan koperasi. Sehubungan dengan itu telah dikeluarkan Surat Keputusan

Menteri Keuangan Nomor 1232 Tahun 1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 61

Page 62: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

TahunPenghasilan 2) Masuk Bangunan 4) Lainnya 5)

REPELITA I1969/1970 41,7 58,3 0,1 3,4 173,11970/1971 49,2 93,4 0 4,3 220,81971/1972 77,5 69 0,2 6,6 259,11972/1973 91 76,1 13,4 7,4 339,11973/1974 142 128,9 25,5 15,4 546,9REPELITA II1974/1975 229,7 160,3 29,6 17,3 737,61975/1976 301,9 228,1 36,3 19,6 931,91976/1977 378,5 254,2 46,5 11,9 1.150,701977/1978 488,8 292,4 80,1 13,3 1.422,401978/1979 562 320,9 117 17,6 1.736,40REPELITA III1979/1980 798,7 351,2 74,9 19,4 2.283,901980/1981 1.113,10 478,4 94,8 26,4 2.911,701981/1982 1.343,50 507,9 101,9 33,5 3.201,801982/1983 1.676,40 516,9 115,8 40,1 3.770,501983/1984 1.970,00 591,8 156,4 46,7 4.504,30REPELITA IV1984/1985 2.042,40 541,3 212,7 164,5 4.793,701985/1986 2.070,90 674,3 164,7 300,6 6.329,501986/1987 2.602,70 1.269,30 239,3 302,5 8.482,301987/1988 2.876,20 1.441,50 211,9 288,9 9.930,501988/1989 4.432,30 1.376,10 361,9 255,6 12.344,60REPELITA V1989/1990 5.754,80 1.892,20 604,4 191,1 16.084,101990/1991 8.250,00 2.799,80 785,8 216,5 22.010,901991/1992 9.727,00 2.871,10 944,4 298,8 24.919,301992/1993 12.516,30 3.223,30 1.1 06,8 252,4 30.091,501993/1994 14.758,90 3.555,30 1.484,50 283,4 36.665,10REPLITA VI1994/1995 18.764,10 3.900,10 1.647,30 301,9 44.442,101995/1996 6) 20.520,00 3.247,90 1.924,00 510 48.420,401996/1991 1) 23.708,00 3.450,50 2.277,30 569,8 55.987,1021.788,40 4.033,00 160,1

Tabel II.4PENERIMAAN PERP AJAKAN, 1969/1970 - 1996/1997 1)

(dalam miliar rupiah)

3.153,30 130,63.667,70 200,8

2.625,80 13,7

1.915,00 17,12.241,60 8,8

1.482,20 173,31.799,80 39,8

4.367,40 1.410,40 140,9

1.002,60 80,31.105,40 180,3

873,8 85,5879,9 48,3

822 103,6

3039,839,367,4

102,8

154,1199,4262,5

293

49,1

873,52.190,802.985,60

PajakBeaPertambahanPajak PajakCukai

Nilai 3)

331,3

328,1

463,4560,9706,4

3.826,30

813,8

5.986,108.119,209.145,90

10.742,30

16.544,8018.350,00

13.943,50

Pajak Bumi PajakJumlahEkspor

32,5 7,112,9 21,238,1 28,4

34,762,6 69,7

75,9 70,785,6 61

132,9 64,2174,9 79,9232,6 158,2

318,7 389,7433 302,6

526,9 127,2632 82,9

1) Realisasi PAN

2) Sampai dengan tahun 1983/1984, terdiri dari pajak pendapatan, pajak persernan, MPO dan PBDR

3) Sampai dengan tahun 1984/1985, terdiri dari pajak penjualan dan pajak penjualan impnr

Sejak tahun 1985/1986, terdiri dari PPN dan PPnBM

4) Sampai dengan tahun 1984, terdiri dari lpeda dan pajak kekayaan

5) Terdiri dari penerimaan bea meterai dan bea lelang

6) APBN Perubahan (APBN-P)

7) APB

Lemah dan Koperasi Melalui Badan Usaha Milik Negara. Pedoman tersebut menetapkan

kewajiban BUMN untuk menyisihkan dana sebesar 1 persen sampai dengan 5 persen dari laba

setelah pajak untuk pengembangan usaha kecil dan koperasi. Dana tersebut kemudian disalurkan

untuk meningkatkan kemampuan manajemen, mengatasi masalah kekurangan modal kerja,

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 62

Page 63: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

meningkatkan keterampilan berproduksi dan pemasaran, serta memberikan jaminan untuk

memperoleh kredit bank. Dalam perkembangannya, ketentuan penyisihan laba BUMN tersebut

mengalami penyempurnaan, di mana sejak tahun 1996 dana yang disisihkan untuk pembinaan

pengusaha keeil dan koperasi diturunkan menjadi 1 sampai dengan 3 persen, dan pada saat yang

bersamaan disisihkan dana sebesar 2 persen dari laba setelah pajak untuk pembinaan keluarga

prasejahtera dan sejahtera 1. Dengan adanya bantuan dan pembinaan oleh BUMN tersebut,

diharapkan koperasi dan usaha kecil menengah dapat berkembang semakin kuat, yang pada

gilirannya nanti dapat memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha.

Dengan adanya berbagai upaya tersebut, realisasi penerimaan negara bukan pajak dari

tahun ke tahun senantiasa mengalami peningkatan yang cukup besar. Jika dalam tahun pertama

RepelitaI (1969/1970) realisasi penerimaan negara bukan pajak baru mencapai Rp 7,4 miliar,

maka dalam tahun terakhir Repelita V realisasinya mencapai sebesar Rp 4.624,0 miliar. Dengan

demikian secara keseluruhan dalam PJP I realisasi penerimaan negara bukan pajak telah

meningkat rata-rata sebesar 30,8 persen. Selanjutnya dalam tahun pertama Repelita VI

(1994/1995) realisasi penerimaan negara bukan pajak mencapai sebesar Rp 6.432,7 miliar, yang

berarti 39,1 persen lebih tinggi dari realisasinya dalam tahun terakhir Repelita V. Kemudian

dalam tahun kedua Repelita VI (1995/1996) realisasi penerimaan negara bukan pajak meningkat

lagi menjadi Rp 7.801,1 miliar, atau meningkat 21,3 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan

dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997) penerimaan negara bukan pajak dianggarkan

sebesar Rp 7.267,8 miliar.

2.2.2.4 Laba bersih minyak (LBM)

Penerimaan laba bersih minyak (LBM), yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan

bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri, merupakan selisih lebih dari hasil penjualan BBM

di dalam negeri terhadap biaya pengadaannya. Sebaliknya, bila hasil penjualan BBM lebih kecil

dari biaya pengadaannya, maka akan terjadi subsidi BBM. Hasil penjualan bahan bakar di dalam

negeri sangat dipengaruhi oleh harga BBM dan volume penjualannya di dalam negeri.

Sedangkan biaya pengadaan BBM dipengarnhi oleh harga minyak di pasar intemasional, nilai

tukar rupiah terhadap valuta asing khususnya dolar Amerika Serikat, serta kondisi perminyakan

di dalam negeri setiap tahunnya.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 63

Page 64: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Perkembangan harga minyak mentah di pasar intemasional sangat besar pengaruhnya

dalam struktur biaya pengadaan BBM di dalam negeri, karena minyak mentah yang diolah

menjadi BBM diperhitungkan dengan harga di pasar dunia. Dengan demikian naiknya harga

minyak di pasar intemasional menyebabkan naiknya biaya pengadaan BBM. Dalam keadaan

tingginya harga minyak mentah di pasar dunia, Pemerintah harus memberikan subsidi untuk

mengimbangi kenaikan biaya pengadaan BBM di dalam negeri pada tingkat harga BBM yang

telah ditetapkan pemerintah.

Untuk mengurangi beban kenaikan biaya pengadaan BBM tersebut, Pemerintah telah

melakukan penyesuaian harga BBM di dalam negeri. Dalam Repelita I dan II telah dilakukan

penyesuaian harga BBM masing-masing sebanyak 3 kali dan 6 kali. Sedangkan dalam Repelita

IV telah dilakukan penyesuaian sebanyak 2 kali, begitu juga dalam Repelita V sebanyak 3 kali.

Sesuai dengan Keputusan Presiden tahun 1993, tingkat harga BBM di dalam negeri yang

berlaku hingga saat ini adalah antara lain untuk jenis premium sebesar Rp 700,00 per liter,

minyak tanah sebesar Rp 280,00 per liter, dan minyak solar sebesar Rp 380,00 per liter.

Dalam perkembangannya, penerimaan LBM mencapai sebesar Rp 2.320,6 miliar pada

akhir Repelita V, di mana pada waktu itu harga minyak relatif rendah. Sementara itu dengan

semakin membaiknya harga minyak mentah dalam tahun anggaran 1994/1995, penerimaan

LBM mencapai sebesar Rp 2.005,8 miliar atau mengalami penurunan sebesar 13,6 persen.

Sedangkan dalam tahun anggaran 1995/1996 penerimaan LBM mencapai sebesar Rp 487,6

miliar dan untuk APBN 1996/1997, penerimaan LBM dianggarkan sebesar Rp 827,8 miliar.

Namun dengan realisasi harga minyak Indonesia yang meningkat, dalam semester I 1996/1997

justru harus dibayar subsidi BBM sebesar Rp 358,5 miliar.

Selanjutnya dalam Tabel II.5 dan Grafik II.1 dapat diikuti perkembangan penerimaan

dalam negeri yang meliputi penerimaan migas. penerimaan perpajakan, dan penerimaan bukan

pajak. sejak tahun pertama Repelita I sampai dengan tahun ketiga Repelita VI.

2.2.3. Penerimaan pembangunan

Pembangunan nasional selama ini di samping dibiayai oleh sumber dana dari dalam

negeri, seperti tabungan pemerintah dan tabungan masyarakat, juga didukung oleh sumber dana

dari luar negeri, antara lain berupa bantuan luar negeri dan penanaman modal asing.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 64

Page 65: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Dalam kaitannya dengan bantuan luar negeri yang diterima dan dicatat sebagai

penerimaan pembangunan dalam APBN, kebijaksanaan penerimaannya tetap berpedoman pada

kebijaksanaan umum yang digariskan dalam GBHN, di mana bantuan luar negeri tersebut harus

merniliki jangka waktu pengembalian yang panjang dengan persyaratan yang selunak mungkin,

tidak disertai dengan ikatan politik, disesuaikan dengan batas kemampuan untuk membayar

kembali, dan tidak menimbulkan beban yang terlalu memberatkan. Di samping itu,

kebijaksanaan penerimaan bantuan luar negeri juga selalu dikaitkan dengan pertimbangan tujuan

penggunaannya, dan kaitannya dengan kebijaksanaan ekonomi lainnya, seperti kebijaksanaan

fiskal, kebijaksanaan moneter, dan kebijaksanaan perdagangan luar negeri.

Penerimaan bantuan luar negeri yang diterima selama ini berasal dari negara-negara dan

badan-badan internasional yang tergabung dalam Intergovernmental Group on Indonesia

(IGGI), yang sejak tahun 1992 berubah menjadi Consultative Group for Indonesia (CGI), dan

negara-negara non IGGI/CGI lainnya. Di samping dari kedua sumber tersebut, penerimaan

pembangunan juga diterima dari lembaga keuangan internasional lainnya, antara lain berupa

kredit ekspor, pinjaman komersial, dan leasing.

Sesuai dengan kondisi Indonesia dalam Repelita I, yaitu sulitnya kebutuhan pokok

sehari-hari, sangat kecilnya cadangan devisa, dan kurangnya modal untuk memperbaiki berbagai

prasarana dan sarana ekonorni, penerimaan pembangunan didominasi oleh bantuan program.

Penerimaan pembangunan dalam periode tersebut mencapai sebesar Rp 554,6 miliar atau

membiayai sekitar 51 persen pembiayaan pembangunan, sekitar 75 persennya berupa bantuan

program. Bantuan berupa bantuan pangan dan non pangan digunakan untuk memenuhi

kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat dan menstabilkan harga-harga kebutuhan pokok di

dalam negeri, sedangkan bantuan berupa devisa kredit digunakan untuk memenuhi tambahan

dana rupiah untuk perbaikan prasarana dan sarana ekonorni dan kelangkaan devisa yang sangat

diperlukan pada saat itu.

Sejalan dengan berkembangnya pembangunan, pada tahap-tahap selanjutnya proporsi

penerimaan pembangunan dalam pembiayaan pembangunan cenderung mengecil dan lebih

banyak berupa bantuan proyek, yang digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan.

Dalam bantuan proyek ini termasuk pula bantuan teknik, terutama berupa bantuan tenaga ahli

dari luar negeri, serta pengiriman tenaga-tenaga Indonesia keluar negeri untuk belajar.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 65

Page 66: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

.Penerimaan Penerimaan Penerimaan Penerimaan

Tahun minyak bumi perpajakan bukan dalam negeridan gas alam pajak

REPELITA I1969/1970 48,3 173,1 24,8 2) 246,21970/1971 68,8 220,8 49,0 2) 338,61971/1972 112,7 259,1 41,9 2) 413,71972/1973 196,5 339,1 56,2 2) 591,81973/1974 347,5 546,9 80,8 2) 975,2REPELITA II1974/1975 957,3 737,6 75,7 1.770,601975/1976 1.200,60 931,9 111,8 2) 2.244,301976/1977 1.586,80 1.150,70 129,0 2) 2.866,501977/1978 1.936,60 1.422,40 1526 2) 3.511,601978/1979 2.264,70 1.736,40 245:9 2) 4.247,00REPELITA III1979/1980 4.260,30 2.283,90 189,0 2) 6.733,201980/1981 6.773,60 2.911,70 248,0 2) 9.933,301981/1982 8.627,90 3.201,80 332,7 12.162,401982/1983 8.160,40 3.770,50 442,9 12.373,801983/1984 11.350,10 4.504,30 512,3 16.366,70REPELITA IV1984/1985 10.429,90 4.793,70 707,7 15.931,301985/1986 12.924,60 .6.'329,5 1.685,30 20.939,401986/1987 6.687,20 8.482,30 2.215,8 2) 17.385,301987/1988 10.083,30 9.930,50 1.716,90 21.7Q;71988/1989 9.536,40 12.344,60 1.532,80 23.413,80REPELITA V1989/1990 13.381;3 16.084,10 2.038,80 31.504,201990/1991 17,740,0 22.010,90 2.442,10 42.193,001991/1992 15.069,60 24.919,30 2.593,10 42.582,001992/1993 15.330,80 30.091,50 3.440,30 48.862,601993/1994 12.503,40 36.665,10 6.9446 2) 56.113,10REPELIA VI1994/1995 13.537,40 44.442,10 66.418,001995/1996 3) 14.848,70 48.420,40 8.2S8,72) 71.557,801996/1997 4) 14.120,10 55.987,10 8.095,6 2) 18.202,80

8.48,5 2)

PENERIMAAN DALAM NEGERI, 1969/1970 - 1996/1997 1)(dalam miliar rupiah)

Tabel II.5

1) Realisasi PAN

2) Termasuk LBM

3) APBN Perubahan (APBN-P)

4) APBN

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 66

Page 67: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Dalam Repelita II dan Repelita III penerimaan pembangunan masing-masing mencapai

sebesar Rp 1.674,2 miliar dan sebesar Rp 8.003,4 miliar, atau membiayai sekitar 22 persen dan

25 persen dari pembiayaan pembangunan, dengan bantuan program masing-masing mencapai

hanya sekitar 11 persen dan 3 persen dari keseluruhan penerimaan pembangunan dalam masing-

masing periode tersebut. Dalam Repelita IV, penerimaan pembangunan meningkat kembali

menjadi sebesar Rp 25.803,1 miliar atau membiayai sekitar 50 persen pembiayaan

pembangunan, mendekati peranannya dalam Repelita I, dengan proporsi bantuan program dalam

penerimaan pembangunan meningkat kembali menjadi sekitar 21 persen. Bahkan dalam tahun

terakhir Repelita IV penerimaan pembangunan membiayai sekitar 83 persen pembiayaan

pembangunan, dengan proporsi bantuan program dalam penerimaan pembangunan sekitar 26

persen. Meningkatnya penerimaan pembangunan dan proporsi bantuan program dalam Repelita

IV berkaitan dengan menurunnya penerimaan negara yang pada saat itu masih didominasi

penerimaan migas, sebagai akibat menurunnya secara tajam harga minyak bumi di pasar

internasional. Harga minyak yang dalam beberapa tahun sebelumnya masih berada di atas US$

25,00 per barel, dalam bulan April 1986 menurun menjadi sekitar US$ 11,00 per barel, dan

bahkan dalam bulan Agustus 1986 sempat berada di bawah US$ 10,00 per barel. Turunnya

penerimaan migas secara tajam tersebut, perlu dicarikan pengganti berupa penerimaan

pembangunan, terutama bantuan program yang dapat dirupiahkan, untuk pembiayaan dan

sebagai dana pendamping bagi proyek-proyek pembangunan.

Dalam tahap selanjutnya, yaitu Repelita V yang merupakan tahap terakhir

pembangunan jangka panjang pertama, penerimaan pembangunan mencapai sebesar Rp

48.537,3 miliar atau membiayai sekitar 43 persen dari pembiayaan pembangunan. Menurunnya

proporsi penerimaan pembangunan dalam pembiayaan pembangunan dalam periode ini

berkaitan dengan mulai bergesernya struktur penerimaan negara yang semula didominasi oleh

penerimaan migas ke penerimaan negara yang lebih stabil, yaitu penerimaan di luar migas,

terutama penerimaan perpajakan. Peningkatan penerimaan di luar migas ini merupakan hasil

dari pembaharuan menyeluruh sistem perpajakan nasional sejak tahun 1983, disertai dengan

berbagai deregulasi dan debirokratisasi yang dilaksanakan baik di sektor keuangan maupun di

sektor riil sejak tahun 1983. Sejalan dengan makin meningkatnya kemampuan pengerahan dana

dalam negeri terutama yang berasal dari sektor perpajakan, dalam 3 tahun pertama Repelita VI

proporsi penerimaan ptimbangunan dalam pembiayaan pembangunan cenderung menurun

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 67

Page 68: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

kembali. Di samping itu, seluruh penerimaan pembangunan sejak tahun terakhir Repelita V

hingga tahun ketiga Repelita VI seluruhnya berupa bantuan proyek. Apabila dalam tahun

terakhir Repelita V penerimaan pembangunan mencapai sebesar Rp 10.752,5 miliar, atau

membiayai sekitar 38 persen dari keseluruhan pembiayaan pembangunan, dalam tahun pertama

Repelita VI penerimaan pembangunan tersebut mencapai sebesar Rp 9.837,8 miliar dan

peranannya dalam pembiayaan pembangunan menurun menjadi sekitar 32 persen. Sementara

itu, dalam tahun kedua Repelita VI penerimaan pembangunan mencapai sebesar Rp 11.170,0

miliar dan dalam tahun ketiga dianggarkan sebesar Rp 12.413,6 miliar. Rincian perkembangan

penerimaan pembangunan, yang terdiri dari bantuan program dan bantuan proyek, dapat dilihat

pada Tabel II.6.

2.2.4. Pengeluaran rutin

Kebijaksanaan pengeluaran rutin merupakan salah satu instrumen kebijaksanaan fiskal

yang diarahkan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan berbagai program dan kegiatan

pemerintahan yang bersifat rutin dan terus-menerus, dan sekaligus merupakan kebijaksanaan

yang diarahkan untuk mendukung upaya peningkatan tabungan pemerintah. Dengan demikian,

kebijaksanaan pengeluaran rutin mempunyai peranan dan fungsi yang cukup penting bukan saja

dalam menunjang kelangsungan dan kelancaran jalannya roda pemerintahan, peningkatan

jangkauan dan mutu pelayanan kepada masyarakat, serta terpeliharanya berbagai aset negara,

tetapi lebih dari itu juga sangat berperan dalam menunjang terciptanya struktur pembiayaan

pembangunan yang lebih mengandalkan ada dukungan sumber pembiayaan dari dalam negeri.

Selain daripada itu, pengeluaran rutin juga memegang peranan yang cukup penting dalam

mendukung program pemerataan melalui bantuan kepada daerah otonom, serta dalam menjaga

kredibilitas perekonomian nasional didunia internasional melalui pemenuhan kewajiban

pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri secara tepat waktu dan jumlah sesuai dengan

perjanjian yang telah disepakati.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 68

Page 69: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Tahun Bantuan Bantuan Jumlahprogram proyek

REPELITA I1969/1970 69,2 12,9 82,11970/1971 75,2 24,3 99,51971/1972 92,8 15,8 108,61972/1973 87,2 34,3 121,51973/1974 93,6 49,3 142,9REPELITA II1974/1975 37,6 169,5 207,11975/1976 20,5 429,9 450,41976/1977 22,7 302,5 325,21977/1978 42,9 210,7 253,61978/1979 52,5 385,4 437,9REPELITA III1979/1980 64,4 710,7 775,11980/1981 64,1 1.056,50 1.120,601981/1982 45 1.513,60 1.558,601982/1983 15,1 1.990,90 2.006,001983/1984 14,9 2.528,20 2.543,10REPELITA IV1984/1985 69,3 1.711,40 1.780,701985/1986 69,2 2.760,30 2.829,501986/1987 1.791,20 3.721,80 5.513,001987/1988 684,5 4.871,10 5.555,601988/1989 2.665,90 7.458,40 10.124,30REPELITA V1989/1990 965,8 7.364,50 8.330,301990/1991 1.346,70 7.034,80 8.381,501991/1992 1.385,50 8.589,60 9.975,101992/1993 516,5 10.581,40 11.097,901993/1994 - 10.752,50 10.752,50REPELITA VI1994/1995 - 9.837,80 9.837,801995/1996 2) - 11.170,00 11.170,001996/1997 3) - 12.413,60 12.413,60

Tabel II.6

(dalam miliar rupiah)PENERIMAAN PEMBANGUNAN, 1969/1970 - 1996/1997 1)

1) Rea1isasi PAN

2) APBN Perubahan (APBN-P)

3) APBN

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 69

Page 70: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Sebagai salah satu kebijaksanaan pemerintah di bidang fiskal yang diarahkan untuk

mendukung pencapaian berbagai tujuan pembangunan sebagaimana ditetapkan dalam GBHN

dan Repelita, pengalokasian pengeluaran rutin pada setiap jenis pengeluaran senantiasa sepadan

dengap penerimaan dalam negeri dengan tetap mengupayakan peningkatan efisiensi, efektivitas

dan peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat. Peningkatan efisiensi, efektivitas dan

peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat antara lain diupayakan melalui peningkatan

kemampuan aparatur pemerintah, pemanfaatan secara optimal biaya operasional dan

pemeliharaan, serta penghapusan subsidi secara bertahap. Meskipun demikian, seirama dengan

membasarnya organisasi, tugas dan fupgsi pemerintah dalam pelaksanaan operasional

pemerintahan dan tugas-tugas pembangunan, berbagai jenis pengeluaran dalam anggaran

belanja rutin pada umumnya mengalami peningkatan yang cukup berarti setiap tahunnya.

Peningkatan tersebut erat kaitannya dengan semakin besarnya kebutuhan pembiayaan yang

diperlukan untuk pembiayaan aparatur pemerintah pusat dan daerah, pembiayaan operasional

dan pemeliharaan, pembiayaan untuk pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, serta

pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung dan menunjang berbagai program pemerintah

lainnya.

Dalam kurun waktu pelaksanaan pembangunan jangka panjang pertama (PJP I) sampai

dengan tahun ketiga Repelita VI, pemerintah telah memberikan prioritas yang cukup besar

terhadap alokasi anggaran untuk pembinaan, pendayagunaan dan peningkatan kesejahteraan

aparatur pemerintah, sehingga diharapkan dapat merangsang peningkatan produktivitas secara

lebih optimal. Sedangkan kebijaksanaan pemerintah dalam penyediaan anggaran bagi

pembiayaan operasional dan pemeliharaan senantiasa diupayakan tetap mengarah kepada

tercapainya daya guna dan hasil guna yang optimal. Hal tersebut erat kaitannya dengan

penyediaan dana kegiatan operasional dan pemeliharaan yang masih terbatas, terutama apabila

dikaitkan dengan kebutuhan yang sangat besar dari berbagai instansi dan lembaga pemerintah.

Komponen pembiayaan operasional dan pemeliharaan terdiri dari belanja barang dalam negeri,

belanja barang luar negeri, belanja non pegawai daerah, dan lain-lain pengeluaran rutin di luar

subsidi BBM.

Sementara itu, jenis anggaran belanja rutin lainnya yang mendapat alokasi pembiayaan

yang cukup besar adalah pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri. Sejak awal

pelaksanaan Repelita I, kebijaksanaan pemerintah dalam pembayaran bunga dan cicilan hutang

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 70

Page 71: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

luar negeri senantiasa diarahkan untuk terus memenuhi setiap kewajiban kepada pemberi

pinjaman luar negeri sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Bahkan memasuki

pelaksanaan PJP II, dalam keadaan keuangan negara memungkinkan, serta dalam batas-batas

yang dianggap menguntungkan perekonomian nasional, Pemerintah telah melaksanakan

percepatan pembayaran (prepayment) terhadap hutang luar negeri terutama yang suku bunganya

relatif tinggi. Kebijaksanaan tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih besar,

terutama dalam membina kerja sama dan meningkatkan kepercayaan negara-negara pemberi

pinjaman, serta meringankan beban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri di masa-

masa mendatang.

Di samping berbagai pembiayaan tersebut, pengeluaran rutin juga harus mampu

menampung pembiayaan yang mendukung berbagai program pemerintah dalam lain-lain

pengeluaran rutin. Alokasi yang cukup strategis yang harus disertai sikap hati-hati dari

pembiayaan tersebut adalah untuk pembiayaan subsidi BBM. Dalam perkembangannya,

pemberian subsidi BBM sangat dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak mentah Indonesia di

pasar intemasional, volume BBM yang dikonsumsi di dalam negeri, dan penetapan harga BBM

dalam negeri. Pemberian subsidi BBM yang semula dimaksudkan untuk mendorong

pengembangan sektor industri dan meningkatkan stabilitas ekonomi, seringkali mempunyai

dampak sampingan yang berupa penggunaan BBM yang kurang efisien dan bersifat boros.

Untuk itu, sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah dalam pengelolaan pengeluaran negara

secara efisien dan efektif, serra memberikan manfaat yang sebesar-basarnya bagi masyarakat

luas, maka pemberian subsidi BBM diupayakan dapat dikurangi. Upaya untuk mengurangi

subsidi BBM tersebut antara lain dilakukan melalui kebijaksanaan penyesuaian harga BBM

dalam negeri yang pelaksanaannya dilakukan pada saat yang tepat.

Pelaksanaan berbagai strategi dan arab kebijaksanaan tersebut di atas secara keseluruhan

telah meningkatkan pengeluaran rutin setiap tahunnya. Dalam periode PJP I, pengeluaran rutin

mengalami peningkatan rata-rata per tahun sebesar 24,4 persen, yaitu dari sebesar Rp 213,7

miliar dalam tahun pertama Repelita I menjadi sebesar Rp 40.289,9 miliar pada tahun terakhir

Repelita V. Sementara itu, dalam tahun ketiga Repelita VI (APBN 1996/1997), pembiayaan

untuk pengeluaran rutin dianggarkan sebesar Rp 56.113,7 miliar, yang berarti 27,3 persen lebih

tinggi dari realisasi pengeluaran rutin dalam tahun pertama Repelita VI (1994/1995), yaitu

sebesar Rp 44.069,0 miliar. Dengan demikian, selama Repelita VI, pengeluaran rutin mengalami

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 71

Page 72: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

peningkatan rata-rata per tahun sebesar 12,8 persen. Ini berarti bahwa sejak tahun pertama

Repelita I sampai dengan tahun ketiga Repelita VI, realisasi pengeluaran rutin telah mengalami

peningkatan rata-rata per tahun sebesar 22,9 persen. Perkembangan anggaran be1anja rutin

secara rinci sejak tahun anggaran 1969/1970 sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 dapat

diikuti dalam Tabel II.7 dan Grafik II.2.

2.2.4.1. Pembiayaan aparatur pemerintah

Sebagai salah satu unsur penunjang dalam usaha memperlancar penyelenggaraan tugas-tugas

umum pemerintahan dan pembangunan, pembiayaan aparatur pemerintah senantiasa diarahkan

untuk memberi dukungan pembiayaan yang memadai bagi upaya peningkatan kualitas dan

kemampuan profesionalisme serta penyempurnaan se1uruh unsur aparatur pemerintahan.

Dengan demikian diharapkan dapat terwujud aparatur pemerintah yang jujur, bersih, berwibawa,

bertanggung jawab dan profesional. Peningkatan kualitas dan kemampuan profesionalisme

aparatur pemerintah diperlukan bukan hanya untuk menciptakan aparatur yang mampu

melayani, mengayomi, dan peka terhadap berbagai pandangan dan aspirasi yang hidup dalam

masyarakat, tetapi lebih dari itu juga mampu memanfaatkan potensi dan peluang yang ada, serta

menumbuhkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat dan dunia usaha dalam memajukan

pembangunan nasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin pesat dan beragamnya kegiatan

pembangunan membawa konsekuensi akan kebutuhan aparatur yang berkualitas dan marnpu

mengimbangi perkembangan dan meluasnya cakupan penyelenggaraan tugas-tugas umum

pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat. Berkaitan dengan itu,

maka pembiayaan aparatur pemerintah diprioritaskan untuk mendukung upaya peningkatan dan

penyempurnaan pendayagunaan aparatur pemerintah.

Upaya peningkatan dan penyempurnaan pendayagunaan aparatur pemerintah

menyangkut bidang yang sangat luas, yang meliputi bidang kelembagaan, bidang

ketatalaksanaan, dan bidang kepegawaian. Peningkatan dan penyempurnaan di bidang

kelembagaan antara lain dilakukan melalui upaya penataan kembali susunan dan hubungan

organisasi dan tata kerja, serta koordinasi pada organisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah

dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Sedangkan peningkatan dan penyempurnaan

di bidang ketatalaksanaan antara lain dilakukan melalui langkah-langkah penyempurnaan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 72

Page 73: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Bunga danTahun cicilan Jumlah

pegawai barang hutang lain-1 -2 -3 -4 -5 -6 -7

REPELITA I1969/1970 89,4 63,2 2 14,5 44,6 213,71970/1971 119,2 84,9 0,3 27,6 61,5 293,51971/1972 148,5 83,9 0,2 46,7 65,5 344,81972/1973 175,3 109,3 0,5 46,3 97,2 428,61973/1974 233,6 246,7 74,4 30,6 699,7REPELITA II1974/1975 376,8 330,2 69,1 0,3 985,71975/1976 552,7 283,8 73,1 65,7 1.239,301976/1977 626 337,1 186,2 149,2 1.605,101977/1978 844,4 370,2 224,2 169,3 2.079,801978/1979 975,5 408,9 521,2 259,3 2.672,70REPELITA III1979/1980 1.282,40 557,9 743,9 742,5 3.999,201980/1981 1.778,40 694,4 795,8 1.309,00 5.549,501981/1982 2.169,80 957,5 930,5 1.652,20 6.943,001982/1983 2.372,80 1.068,50 1.223,20 986,9 6.967,301983/1984 2.750,80 1.043,60 2.100,50 2.774,90 10.215,20REPELITA IV1984/1985 3.140,80 1.165,00 2.775,70 537,6 9.405,901985/1986 3.929,70 1.351,20 3.323,10 906,7 12.006,401986/1987 4.438,40 1.311 ,0' 5.058,10 139,8 13.716,7'1987/1988 4.545,10 1.296,10 8.157,40 530,8 17.340,601988/1989 5.489,20 1.226,60 11.040,20 167,8 20.934,90REPELITA V1989/1990 6.205,50 1.703,50 11.924,20 .924,7 24.335,201990/1991 7.088,00 1.842,10 12.815,80 3.487,70 29.121,101991/1992 8.169,70 2.328,10 12.838,20 1.340,60 29.053,001992/1993 9.554,20 2.928,50 14.523,50 1.215,70 33.605,401993/1994 11.144,80 3.032,10 17.163,00 2.041,30 40.289,90REPELITA VI1994/1995 12.595,50 4.318,90 18.402,50 1.479,70 44.069,001995/1996 2) 15.371,90 5.274,20 21.434,50 2.116,50 52.540,90

1996/1997 3) 18.280,60 6.589,00 20.226,80 1.005,00 56.113,7010.012,30

Tabel II.7

(dalam miliar rupiah)PENGELUARAN RUTIN, 1969/1970 - 1996/1997 1)

2.495,702.769,402.811,203.011,10

114,4

otonom

209,3264

306,6

971,91.233,001.315,901.545,40

1.786,80

3.577,303.887,504.376,405.383,506.908,70

7.272,408.343,80

BelanjaSubsidi

Belanja Lain-daerah

471,7507,8

672,5

1) Realisasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 73

Page 74: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

peraturan, ketentuan, dan prosedur administrasi pemerintahan. Sementara itu, upaya

peningkatan dan penyempurnaan di bidang kepegawaian dilakukan antara lain melalui

penyempurnaan sistem formasi dan pengadaan pegawai, peningkatan kualitas dan pembinaan

karier pegawai, dan perbaikan penghasilan pegawai dan pensiun.

Arah penyempurnaan sistem formasi dan pengadaan pegawai tidak hanya didasarkan

kepada kemampuan keuangan negara, tetapi lebih ditekankan pada upaya peningkatan efisiensi

dan efektivitas, dengan didasarkan kepada keserasian antara beban kerja, tugas pokok dan fungsi

organisasi dengan kebutuhan pegawai, baik kuantitas maupun kualitas. Upaya peningkatan

efisiensi dan efektivitas antara lain dilakukan melalui perarnpingan organisasi dan

kebijaksanaan zero growth. Upaya perampingan organisasi dilakukan dengan

mempertimbangkan penyediaan sumber daya, sehingga tercipta struktur organisasi yang lebih

proporsional, efisien, dan efektif serta sesuai denganr misi dan tugas pokok yang diembannya.

Sedangkan kebijaksanaan zero growth merupakan kebijaksanaan pengendalian jumlah pegawai

negeri dengan mengupayakan agar jumlah pegawai secara keseluruhan tetap. Upaya tersebut

dilakukan dengan membatasi pengadaan, pegawai baru sesuai dengan jumlah pegawai yang

berhenti, pensiun dan meninggal dunia dalam tahun yang bersangkutan. Zero growth diartikan,

bahwa secara nasional jumlah pegawai negeri tetap, narnun alokasi pengadaan pegawai baru

bagi tiap departemen/lembaga pemerintah non departemen (LPND) ditetapkan berdasarkan

skala prioritas kebutuhan pegawai yang dikaitkan dengan prioritas pembangunan. Dengan

demikian pengadaan pegawai baru bagi tiap departemen/LPND tidak selalu berbanding lurus

dengan jumlah pegawai negeri yang berhenti, pensiun dan meninggal dunia. Melalui

kebijaksanaan zero growth yang diikuti dengan penetapan persyaratan kualiftkasi yang lebih

tinggi bagi pegawai baru untuk jabatan yang sama diharapkan dapat memperlancar proses

realisasi, optimalisasi dan peningkatan kualitas pegawai yang ada, sehingga tercipta komposisi

pegawai yang sehat sesuai dengan skala prioritas pembangunan. Selain daripada itu,

kebijaksanaan zero growth juga diharapkan dapat menghemat anggaran belanja pegawai

sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan aparatur pemerintah di masa-masa

mendatang.

Selain penyempurnaan sistem formasi dan pengadaan pegawai, upaya peningkatan

kualitas dan pembinaan karier aparatur pemerintah juga terus diupayakan untuk dapat

menunjang upaya peningkatan kegiatan pemerintahan dan pembangunan di berbagai sektor.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 74

Page 75: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Upaya tersebut antara lain dilakukan melalui penyempurnaan sistem pendidikan dan pelatihan

kedinasan, pendidikan jenjang kepangkatan dan jabatan, serta penyediaan bea siswa dalam

rangka meningkatkan pendidikan formal bagi pegawai pilihan. Sementara itu untuk menjaring

bibit unggul dan untuk mempersiapkan pegawai negeri yang bermutu serta mampu

mengantisipasi tantangan dalam pembangunan, selain diupayakan melalui seleksi penerimaan

pegawai baru yang ketat dan objektif, juga diupayakan melalui penyempurnaan pendidikan dan

pelatihan prajabatan (diklat prajab) dengan diklat prajab pola baru. Materi diklat prajab pola

baru tersebut ditekankan pada pembentukan mental, fisik dari disiplin, dengan pembekalan yang

mencakup semangat pengabdian, disiplin, dan kepedulian terhadap dinamika masyarakat dan

lingkungan, serta wawasan tentang administrasi pemerintahan dan pembangunan. Melalui diklat

prajabatan pola baru tersebut diharapkan sejak awal dapat dibentuk sosok pegawai yang

bermental baik, mempunyai disiplin dan semangat pengabdian yang tinggi, peka terhadap

tuntutan masyarakat yang dilayani, serta mempunyai kemampuan profesionalisme yang mantap.

Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kemampuan profesionalisme aparatur pemerintah,

selain telah dilakukan pengembangan jabatan fungsional, juga diberikan kesempatan kepada

pegawai negeri tertentu untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan bidang administrasi,

diklat/penyesuaian tugas dan teknis fungsional, serta pendidikan penjenjangan sebagai prasyarat

untuk menduduki jabatan tertentu. Di samping itu, kepada aparatur pemerintah juga diberikan

diklat teknis jangka pendek untuk meningkatkan keterampilan dalam jenis pekerjaan tertentu,

penataran untuk meningkatkan disiplin dan pemahaman mengenai kebijaksanaan pemerintah,

serta pendidikan formal yang lebih tinggi, bait di dalam negeri maupun di luar negeri.

Sementara itu, dalam rangka memperbaiki kesejahteraan pegawai, tidak hanya

dilakukan melalui penyempurnaan sistem penggajian tetapi juga telah dilakukan melalui

penyempurnaan pada aspek ketatalaksanaan yang dapat meningkatkan efisiensi pelayanan

administrasi kepegawaian. Dengan demikian, kebijaksanaan yang ditempuh Pemerintah untuk

meningkatkan kesejahteraan pegawai tidak hanya menyangkut aspek finansial, tetapi juga aspek

non finansial. Peningkatan kesejahteraan secara finansial dilakukan secara bertahap dalam

bentuk peningkatan penghasilan, antara lain berupa perbaikan struktur gaji pokok, pemberian

gaji bulan ketiga belas, pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP), penyesuaian

tunjangan jabatan struktural dan tunjangan isteri/suami, serta perluasan pemberian tunjangan

fungsional dan tunjangan daerah terpencil. Sedangkan peningkatan kesejahteraan secara non

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 75

Page 76: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

finansial dilakukan dalam bentuk pemberian kemudahan dan fasilitas yang secara langsung

berkaitan dengan peningkatan kualitas kesejahteraan, seperti peningkatan pelayanan pemberian

pensiun otomatis dan kenaikan pangkat otomatis pada pegawai tertentu, bantuan pemeliharaan

kesehatan melalui asuransi kesehatan, peningkatan penyelenggaraan pembayaran gaji melalui

bank atau kantor pos terdekat, serta bantuan uang muka perumahan melalui tabungan

perumahan.

Sejak awal Repelita I, perbaikan struktur gaji pokok pegawai telah dilakukan beberapa

kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1993, yang berlaku sejak 1 April

1993. Kenaikan gaji pokok memberi arti yang luas bagi penghasilan yang diterima pegawai

negeri, mengingat basarnya tunjangan dan uang pensiun dihitung berdasarkan persentase

tertentu dari gaji pokok. Selain dari itu, kebijaksanaan menaikkan gaji pokok dimaksudkan pula

untuk memperkecil perbedaan penghasilan antara pegawai yang berpangkat terendah dan

tertinggi. Apabila berdasarkan PGPS-1968 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1977

perbandingan antara gaji pokok terendah dan tertinggi masing-masing adalah 1 berbanding 25

dan 1 berbanding 10, maka berdasarkan PP Nomor 15 Tahun 1985 dan PP Nomor 15 Tahun

1993 perbandingannya masing-masing menjadi 1 berbanding 8 dan 1 berbanding 7. Selain gaji

pokok, telah pula dilakukan peningkatan terhadap tunjangan isteri/suami dari sebesar 5 persen

dari gaji pokok menjadi 10 persen dari gaji pokok terhitung sejak April 1992. Selanjutnya,

melalui Keppres Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN, yang merupakan

penyempurnaan dari peraturan sebelumnya, juga dilakukan perubahan yang berkaitan dengan

jumlah anak yang dapat memperoleh tunjangan penghasilan dan tunjangan beras. Apabila dalam

peraturan terdahulu, yaitu Keppres Nomor 29 Tahun 1984, jumlah anak yang memperoleh

tunjangan penghasilan dan tunjangan beras untuk anak adalah sebanyak-banyaknya 3 (tiga)

orang anak, maka pada Keppres Nomor 16 Tahun 1994 dibatasi menjadi sebanyak-banyaknya 2

(dua) orang anak.

Sementara itu, dalam rangka meningkatkan profesionalisme aparatur pemerintah, juga

telah dikembangkan jabatan fungsional, sehingga memungkinkan pegawai mengembangkan

potensinya sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang dimiliki serta tidak terhambat oleh

terbatasnya jabatan struktural yang tersedia. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah

Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, diharapkan mutu

profesionalisme pegawai negeri sipil dapat dipacu melalui pembinaan karier yang berorientasi

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 76

Page 77: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

pada prestasi kerja. Di masa-masa mendatang, jabatan fungsional akan terus dikembangkan

sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas-tugas pmerintahan dan pembangunan.

Sejalan dengan berbagai kebijaksanaan dalam meningkatkan kesejahteraan pegawai,

realisasi belanja pegawai pusat senantiasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Apabila

pada awal pelaksanaan Repelita I, realisasi belanja pegawai pusat baru mencapai Rp 89,4 miliar,

maka dalam tahun anggaran 1996/1997 disediakan anggaran belanja pegawai pusat sebesar Rp

18.280,6 miliar atau mengalami peningkatan rata-rata sebesar 21,8 persen per tahun. Dalam

periode tersebut realisasi belanja pegawai pusat dalam pelaksanaan Repelita V telah meningkat

dalam tahun anggaran 1989/1990 menjadi Rp 11.144,8 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994,

yang berarti telah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 15,8 persen setiap tahunnya.

Peningkatan realisasi belanja pegawai pusat selama Repelita V antara lain disebabkan oleh

adanya kebijaksanaan pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) dalam tahun anggaran

1989/1990 dan tahun anggaran 1991/1992, dan kenaikan gaji pokok pegawai dalam tahun

anggaran 1993/1994. Begitupun selama Repelita VI, penyediaan anggaran untuk belanja

pegawai pusat juga mengalami peningkatan setiap tahunnya. Apabila dalam tahun pertama

Repelita VI (1994/1995) realisasi belanja pegawai pusat mencapai sebesar Rp 12.595,5 miliar,

maka dalam tahun anggaran 1995/1996 realisasinya mencapai sebesar Rp 15.371,9 miliar.

Sementara itu, dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997), disediakan anggaran sebesar Rp

18.280,6 miliar untuk belanja pegawai pusat, yang berarti selama Repelita VI, belanja pegawai

pusat mengalami peningkatan rata-rata sebesar 20,5 persen per tahun.

Sebagian besar pembiayaan untuk belanja pegawai pusat dipergunakan untuk

pembayaran gaji dan pensiun, sehingga realisasi anggaran untuk gaji dan pensiun, juga

mengalami peningkatan yang cukup berarti setiap tahunnya. Apabila dalam tahun anggaran

1969/1970, realisasi pembayaran gaji dan pensiun mencapai Rp 48,6 miliar, maka dalam APBN

1996/1997 pembayaran gaji dan pensiun dianggarkan sebesar Rp 14.763,0 miliar, yang berarti

mengalami peningkatan rata-rata sekitar 23,6 persen setiap tahunnya. Dengan peningkatan

tersebut, proporsi pembayaran gaji dan pensiun terhadap total belanja pegawai pusat juga

mengalami peningkatan dari sebesar 54,4 persen dalam tahun anggaran 1969/1970 menjadi

sebesar 80,8 persen dalam tahun anggaran 1996/1997.

Selanjutnya, perkembangan belanja pegawai juga dipengaruhi oleh peningkatan

pembiayaan untuk tunjangan beras, uang makan/lauk pauk, lain-lain belanja pegawai dalam

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 77

Page 78: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

negeri, dan belanja pegawai luar negeri. Peningkatan tunjangan beras terutama terjadi karena

adanya penyesuaian harga pembelian beras kepada Bulog selaras dengan tingkat perkembangan

harga pasar. Apabila dalam tahun pertama Repelita VI, harga pembelian beras sebesar Rp 708

per kilogram, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 harga pembelian beras telah meningkat

menjadi Rp 788 per kilogram. Penyesuaian harga pembelian beras juga dilakukan dalam APBN

1996/1997, yaitu menjadi sebesar Rp 868 per kilogram, yang berarti mengalami peningkatan

sebesar Rp 160 atau 22,6 persen dari harga pembelian beras tahun anggaran 1994/1995.

Sementara itu, sejalan dengan peningkatan tunjangan beras, pembiayaan uang makan/lauk pauk

juga mengalami peningkatan, selain disebabkan oleh adanya penyesuaian biaya makan/lauk

pauk, juga disebabkan oleh adanya tambahan biaya uang makan bagi anggota ABRI, pelaut,

petugas penjaga lampu suar, pasien rumah sakit pemerintah,.anak asuh dan orang jompo pada

panti-panti asuhan negara, serta orang tahanan dan narapidana. Penyesuaian biaya makan/lauk

pauk telah diberikan melalui peningkatan biaya makan/lauk pauk untuk anggota ABRI dari Rp

1.800 menjadi Rp 3.000 per orang per hari yang berlaku sejak 1 April 1994.

Sementara itu, peningkatan biaya lain-lain belanja pegawai dalam negeri antara lain

disebabkan oleh peningkatan honorarium dan uang lembur bagi pegawai yang karena beban

tugasnya harus bekerja melebihi. jam kerja yang telah ditetapkan. Selain itu, dalam rangka

peningkatan dan kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi dari kerja instansi pemerintah dalam

melayani kepentingan masyarakat, dalam lain-lain belanja pegawai dalam negeri juga

menampung pembiayaan belanja pegawai swadana bagi kerja instansi pemerintah yang

berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1991 ditetapkan menjadi unit swadana.

Sedangkan peningkatan belanja pegawai luar negeri dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah

pegawai pada kantor perwakilan di luar negeri, besarnya gaji pokok dan berbagai tunjangan

yang didasarkan pada angka dasar tunjangan luar negeri (ADTLN) dan angka pokok tunjangan

luar negeri (APTLN), serta perubahan nilai tukar mata uang dari negara bersangkutan terhadap

rupiah. Perkembangan belanja pegawai sejak tahun anggaran 1969/1970 sampai dengan tahun

anggaran 1996/1997 dapat diikuti dalam Tabel II.8.

Pembiayaan aparatur pemerintah mencakup pula belanja pegawai daerah, yang

mempakan bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk turut mewujudkan

aparatur pemerintah daerah yang berdaya guna, berhasil guna, bersih dan berwibawa, serta

mampu mewujudkan keserasian dalam pelaksanaan kewajiban dan tugas umum pemerintahan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 78

Page 79: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

dan pembangunan daerah. Pembiayaan untuk belanja pegawai daerah pada dasarnya merupakan

subsidi dari pusat yang selain digunakan untuk membiayai belanja pegawai daerah, juga untuk

menampung pengeluaran bagi aparatur pemerintah pusat yang ditempatkan di daerah, seperti

guru SD Inpres, serta tenaga medis dari paramedis di pusat-pusat kesehatan masyarakat

(Puskesmas). Dengan dernikian, belanja pegawai otonom juga diarahkan untuk menunjang

terselenggaranya pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan

kesehatan yang memadai.

Sesuai dengan perkembangan kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan upaya

perbaikan kesejahteraan aparatur pemerintah, realisasi belanja pegawai daerah juga senantiasa

mengalami peningkatan setiap tahunnya. Apabila pada awal pelaksanaan Repelita IV, realisasi

belanja pegawai daerah baru mencapai Rp 1.738,6 miliar, maka dalam tahun anggaran

1988/1989 telah meningkat menjadi Rp 2.754,3 miliar, atau mengalami peningkatan rata-rata

sebesar 12,2 persen pertahun. Sedangkan dalam pelaksanaan Repelita V, realisasi belanja

pegawai daerah telah meningkat dari Rp 3.348,3 miliar dalam tahun anggaran 1989/1990

menjadi Rp 6.574,8 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994, yang berarti telah mengalami

peningkatan rata-rata sebesar 18,4 persen setiap tahunnya. Lebih tingginya peningkatan rata-rata

selama Repelita V antara lain disebabkan oleh adanya kebijaksanaan pemberian tunjangan

perbaikan penghasilan (TPP) dalam tahun anggaran 1989/1990 dan 1991/1992, dan kenaikan

gaji pokok pegawai dalam tahun anggaran 1993/1994, yang secara langsung berpengaruh pula

pada besarnya pengeluaran untuk belanja pegawai daerah.

Sementara itu, selama Repelita VI, belanja pegawai daerah juga mengalami peningkatan

setiap tahunnya. Apabila dalam tahun pertama Repelita VI (1994/1995), realisasi belanja

pegawai daerah mencapai sebesar Rp 6.918,9 miliar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996

realisasinya mencapai sebesar Rp 7.862,8 miliar. Selanjutnya dalam tahun ketiga Repelita VI

(1996/1997), disediakan anggaran sebesar Rp 9.495,9 miliar, yang berarti selama Repelita VI,

belanja pegawai daerah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 17,2 persen per tahun. Dengan

demikian, secara keseluruhan jumlah pembiayaan bagi aparatur pemerintah juga terus

mengalami peningkatan sesuai dengan perkembangan belanja pegawai pusat dan belanja

pegawai daerah. Gambaran lebih rinci dari perkembangan pembiayaan aparatur pemerintah

dapat diikuti dalam Tabel II.9.

2.2.4.2. Pembiayaan operasional dan pemeliharaan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 79

Page 80: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Dalam upaya meningkatkan efisiensi penggunaan dana bagi pembangunan nasional

yang berkesinambungan dan berdimensi jangka panjang, tidak hanya diper1ukan dana investasi

yang semakin meningkat bagi pembangunan di berbagai sektor, tetapi juga dibutuhkan alokasi

dana yang lebih besar bagi pembiayaan operasional dan pemeliharaan. Dengan demikian

berbagai aset hegara dan hasil-hasil pembangunan yang telah ada dapat dimanfaatkan secara

maksimal untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan

pembangunan, serta dapat lebih mendorong peningkatan jumlah dan mutu pelayanan pemerintah

kepada masyarakat. Kebutuhan akan semakin besarnya pembiayaan ini merupakan konsekuensi

dari semakin beragamnya jumlah dan jenis kegiatan yang harus didukung. Perkembangan

struktur organisasi pada beberapa instansi pemerintah dan dibukanya beberapa kantor instansi

pemerintah di daerah dan kantor-kantor perwakilan pemerintah di luar negeri guna memenuhi

tuntutan kebutuhan, mengakibatkan diperlukannya tambahan prasarana dan sarana kerja, yang

pada gilirannya akan berpengamh terhadap kebutuhan dana bagi pembiayaan operasionalnya.

Selain daripada itu, semakin rneningkatnya pembiayaan untuk pemeliharaan prasarana dan

sarana kerja serta hasil dari proyek-proyek yang telah selesai dibangun turut pula menambah

semakin besarnya kebutuhan pembiayaan ini. Pembiayaan untuk pemeliharaan aset-aset negara

tersebut tidak kalah pentingnya dengan investasi baru dalam mendukung kelancaran

pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, mengingat bahwa antara

pengadaan dan pemeliharaan kekayaan negara merupakan satu kesatuan yang terpadu, yang sulit

dipisahkan.

Dalam keterbatasan kemampuan keuangan negara selama ini, maka prioritas pengalokasian atas

setiap jenis pengeluaran menjadi pertimbangan yang penting. Dalam kaitannya dengan hal

tersebut, maka belanja barang yang merupakan komponen terbesar dalam pembiayaan

operasional dan pemeliharaan, penyediaannya belum dapat memenuhi segenap kebutuhan yang

ada. Namun demikian, dalam keterbatasan dana yang ada, pengalokasian dananya senantiasa

diupayakan tetap mengarah kepada tercapainya daya guna dan hasil guna yang optimal,

sehingga keterbatasan kemampuan keuangan negara dalam menyediakan dana tersebut tidak

menjadi kendala dalam mendukung kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan

dan pembangunan. Dalam pengeluaran rutin, pembiayaan operasional dan pemeliharaan

dialokasikan untuk belanja barang, baik belanja barang dalam negeri maupun belanja barang

luar negeri, belanja non pegawai daerah, dan lain-lain pengeluaran rutin di luar subsidi BBM.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 80

Page 81: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Tunjangan Gaji dan Uang Lain-lain BelanjaTahun beras pensiun makan belanja pegawai Jumlah

DN LN-1 -2 -3 -4 -5 -6 -7

REPELITA I1969/1970 24,8 48,6 9,2 3,3 3,5 89,41970/1971 30,4 64 10,6 9,8 4,4 119,21971/1972 29 90,6 11 13,2 4,7 148,51972/1973 27,4 115,1 12,8 15,1 4,9 175,31973/1974 44 151,1 14,6 17,5 6,4 233,6REPELITA II1974/1975 59,5 258,4 24,4 24,7 9,8 376,81975/1976 111,9 358,8 43,5 25,8 12,7 552,71976/1977 114,9 414,2 45,7 36,9 14,3 6261977/1978 126,2 624,1 47,8 31,5 14,8 844,41978/1979 132,8 734,2 51,2 33,6 23,7 975,5REPELITA III1979/1980 179,9 916,4 109,9 47,1 29,1 1.282,401980/1981 252 1.238,00 193,2 61,2 34 1.778,401981/1982 253,3 1.553,10 240,5 79,5 43,4 2.169,801982/1983 289,9 1.703,70 254,9 78,6 45,7 2.372,801983/1984 346,1 1.989,80 261,3 87,6 66 2.750,80REPELITA IV1984/1985 415,7 2.259,20 286,6 99,9 79,4 3.140,801985/1986 393,1 3.004,90 293,8 157,5 80,4 3.929,701986/1987 414,9 3.458,70 288,3 176,6 99,9 4.438,401987/1988 447 3.498,80 295,9 176,6 126,8 4.545,101988/1989 569,2 4.209,20 359 203,3 148,5 5.489,20REPELITA V1989/1990 588,8 4.829,10 373,3 242,8 171,5 6.205,501990/1991 642,9 5.597,70 383,6 264,9 198,9 7;088,01991/1992 930,1 6.351,50 396,5 280,8 210,8 8.169,701992/1993 890,9 7.595,40 479,2 315 273,7 9.554,201993/1994 833,9 9.145,20 492,8 417,7 255,2 11.144,80REPELITA VI1994/1995 973,2 10.181,20 755,6 368,3 317,2 12.595,501995/1996 2) 1.134,10 12.351,40 866,1 571,7 448,6 15.371,901996/1997 3) 1.193,70 14.763,00 1.121,50 710,3 492,1 18.280,60

1) Realisasi PAN2) APBN Perubahan (APBN-P)3) APBN

Tabel II.8BELANJA PEGAWAI, 1969/1970 - 1996/1997 1)

(dalam miliar rupiah)

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 81

Page 82: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Tabel II.9

Belanja Belanja PengeluaranTahun pegawai pegawai Jumlah Rutin %

pusat daerah-1 -2 -3 -4 -5 -6

REPELITA IV1984/1985 3.140,80 1.738,60 4.879,40 9.405,90 51,91985/1986 3.929,70 2.253,70 6.183,40 12.006,40 51,51986/1987 4.438,40 2.541,20 6.979,60 13.716,70 50,91987/1988 4.545,10 2.588,20 7.133,30 17.340,60 41,11988/1989 5.489,20 2.754,30 8.243,50 20.934,90 39,4REPELITA V1989/1990 6.205,50 3.348,30 9.553,80 24.335,20 39,31990/1991 7.088,00 3.635,00 10.723,00 29.121,10 36,81991/1992 8.169,70 4.091,80 12.261,50 29.053,00 42,21992/1993 9.554,20 4.996,40 14.550,60 33.605,40 43,31993/1994 11.144,80 6.574,80 17.719,60 40.289,90 44REPELITA VI1994/1995 12.595,50 6.918,90 19.514,40 44.069,00 44,31995/1996 2) 15.371,90 7.862,80 23.234,70 52.540,90 44,21996/1997 3) 18.280,60 9.495,90 27.776,50 56.113,70 49,5

1) Realisasi PAN2) APBN Perubahan (APBN-P)3) APBN

PEMBIAYAAN APARATUR PEMERINTAH, 1984/1985 - 1996/1997 1)(dalam miliar rupiah)

Sejak awal pelaksanaan Repelita I (1969/1970) sampai dengan tahun ketiga Repelita

VI (1996/1997), perkembangan belanja barang cenderung mengalami peningkatan sesuai

dengan perkembangan pembangunan yang memerlukan lebih banyak pembiayaan bagi kegiatan

operasional dan pemeliharaan. Apabila pada awal Repelita IV (1984/1985) realisasi belanja

barang baru mencapai sebesar Rp 1.165,0 miliar, maka dalam tahun ketiga Repelita VI

(1996/1997) alokasi atas jenis pengeluaran ini dianggarkan sebesar Rp 6.589,0 miliar, yang

berarti selama kurun waktu tersebut belanja barang mengalami peningkatan rata-rata sebesar

15,5 persen setiap tahunnya. Sebagian besar dari peningkatan belanja barang tersebut

diperuntukkan bagi belanja barang dalam negeri, untuk mendukung tersedianya sarana dan

prasarana kerja, baik perangkat keras maupun perangkat lunak serta pengadaan peralatan kantor

guna memenuhi kebutuhan administrasi yang semakin meningkat di berbagai instansi. Selain

itu, belanja barang dalam negeri juga menampung pembiayaan untuk belanja barang swadana

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 82

Page 83: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

bagi instansi pemerintah yang berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1991

ditetapkan menjadi unit swadana. Selain untuk belanja barang dalam negeri, peningkatan

belanja barang juga diperuntukkan bagi belanja barang luar negeri yang mengalami peningkatan

sehubungan dengan penambahan berbagai kantor perwakilan pemerintah di luar negeri serta

perkembangan nilai tukar mata uang dunia.

Selain disebabkan oleh peningkatan belanja barang, besarnya pembiayaan operasional

dan pemeliharaan juga disebabkan oleh peningkatan anggaran untuk belanja non pegawai

daerah otonom. Peningkatan anggaran tersebut berkaitan erat dengan semakin meningkatnya

kebutuhan anggaran untuk membantu pemerintah daerah, baik dalam membiayai kegiatan

operasionalnya maupun bagi pelayanan kepada masyarakat yang semakin meningkat,

pengembangan perekonomian daerah, serta penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana

kerja yang merupakan wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah. Pengalokasian dana

tersebut antara lain dipergunakan untuk subsidi belanja bagi penyelenggaraan urusan

dekonsentrasi dan pembantuan, ganjaran daerah tingkat I/daerah tingkat II/kotamadya/kota

administratif, biaya dekonsentrasi kecamatan, tunjangan kurang penghasilan aparat pemerintah

desa, subsidi belanja pengembangan institusi, serta lain-lain belanja non pegawai daerah. Di

samping itu, peningkatan subsidi belanja non pegawai daerah otonom juga diperlukan untuk

menampung subsidi belanja penyelenggaraan urusan desentralisasi, terutama bagi

subsidi/bantuan penyelenggaraan sekolah dasar negeri, bantuan biaya operasional rumah sakit

umum daerah, serta bantuan biaya pemetaan bahan galian untuk menunjang usaha

pertambangan daerah.

Dalam upaya lebih mencerdaskan bangsa, maka diberikan pula subsidi/bantuan

penyelenggaraan sekolah dasar negeri yang merupakan kelanjutan dari kebijaksanaan

pemerintah untuk menghapuskan sumbangan pembinaan pendidikan sekolah dasar (SPP-SD).

Sedangkan subsidi atau bantuan biaya operasional rumah sakit umum daerah (SBBO-RSUD)

digunakan untuk membantu pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan di bidang

kesehatan kepada masyarakat dan untuk meningkatkan peranan RSUD sebagai tempat

memperoleh pelayanan kesehatan dengan penampilan dan lingkungan yang bersih, sehat, tertib,

dan terpelihara. Seirama dengan perkembangan belanja barang, perkembangan belanja non

pegawai daerah juga cenderung mengalami peningkatan. Apabila dalam tahun pertama Repelita

IV (1984/1985) realisasi belanja non pegawai daerah baru mencapai sebesar Rp 48,2 miliar,

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 83

Page 84: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

maka dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997) alokasi atas jenis pengeluaran ini

dianggarkan sebesar Rp 516,4 miliar, yang berarti selama kurun waktu tersebut belanja non

pegawai daerah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 21,9 persen setiap tahunnya.

Selanjutnya selain menampung belanja barang dan belanja non pegawai daerah,

anggaran pembiayaan operasional dan pemeliharaan juga menampung pengeluaran untuk lain-

lain pengeluaran rutin di luar subsidi BBM. Anggaran tersebut penggunaannya.diarahkan untuk

menunjang roda pemerintahan dan beberapa kegiatan lainnya, antara lain untuk biaya jasa pas

dan giro serta pengeluaran bebas porto, biaya penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu), serta

bantuan lain-lain, seperti bantuan rutin kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI)

Pusat dan bantuan penanggulangan bencana alam.

Sejak awal pelaksanaan Repelita I (1969/1970) sampai dengan tahun ketiga Repelita VI

(1996/1997), perkembangan pengeluaran untuk lain-lain pengeluaran rutin mengalami

peningkatan sesuai dengan perkembangan pembangunan yang memerlukan lebih banyak

pembiayaan bagi kegiatan operasional dan pemeliharaan. Apabila pada awal Repelita IV

(1984/1985) realisasi pengeluaran tersebut baru mencapai Rp 30,0 miliar, maka dalam tahun

pertama Repelita VI (1994/1995) telah meningkat menjadi sebesar Rp 792,9 miliar. Sementara

itu, dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997) alokasi atas jenis pengeluaran ini dianggarkan

sebesar Rp 1.005,0 miliar, yang berarti selama Repelita VI, lain-lain pengeluaran rutin

mengalami peningkatan rata-rata sebesar 12,6 persen setiap tahunnya. Gambaran lebih rinci

mengenai pembiayaan operasional dan pemeliharaan dapat diikuti dalam Tabel II.10.

2.2.4.3. Pembayaran bunga dan cicilan hutang

2.2.4.3.1. Pembayaran hutang dalam negeri

Pembayaran hutang dalam negeri pada dasarnya merupakan kewajiban pemerintah atas

tunggakan-tunggakan pemakaian daya dan jasa kepada pihak-pihak dalam negeri, serta tagihan

pihak ketiga kepada Pemerintah berdasarkan keputusan pengadilan. Dengan demikian

perkembangan atas pembayaran hutang dalam negeri akan sangat dipengaruhi oleh intensitas

berbagai kegiatan pemerintah, yang berpengaruh langsung terhadap pemakaian berbagai fasilitas

yang disediakan oleh pihak lain, khususnya jasa telepon, air minum, penerangan dan bentuk

fasilitas jasa lainnya. Di samping itu, dalam tahun anggaran 1995/1996 pembayaran hutang

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 84

Page 85: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

dalam negeri juga menampung pengeluaran yang timbul sebagai akibat adanya koreksi dari hasil

audit Bepeka, khususnya yang menyangkut pengembalian kelebihan setoran laba bersih minyak

(LBM) dan hasil operasi Pertamina yang telah dilakukan pada masa sebelumnya.

Dalam perkembangannya sampai dengan tahun ketiga Repelita VI, pembayaran hutang

dalam negeri masih merupakan bagian kecil dari pengeluaran rutin, yaitu rata-rata per tahun

sekitar 0,8 persen dari total pengeluaran rutin. Namun demikian secara absolut jumlah

pembayaran hutang dalam negeri selama PJP I telah mengalami peningkatan cukup besar yaitu

dari sebesar Rp 1,7 miliar pada awal Repelita I menjadi sebesar Rp 120,7 miliar pada akhir

Repelita V. Peningkatan tersebut sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan dan hubungan

kerja antara Pemerintah dan pihak-pihak lain, terutama dalam upaya memberikan pelayanan

yang semakin baik kepada masyarakat. Pada awal Repelita VI, pembayaran hutang dalam negeri

mencapai Rp 104,1 miliar, atau sekitar 0,2 persen dari total pengeluaran rutin. Pada tahun

anggaran 1995/1996, pembayaran hutang dalam negeri mengalami peningkatan yang cukup

besar, yaitu mencapai Rp 1.779,1 miliar. Hal tersebut terutama disebabkan adanya

pengembalian kelebihan setoran laba bersih minyak (LBM) dan kelebihan setoran hasil operasi

Pertamina sendiri tahun anggaran 1993/1994. Dalam APBN 1996/1997, pembayaran hutang

dalam negeri direncanakan sebesar Rp 290,6 miliar.

2.2.4.3.2. Pembayaran hutang luar negeri

Pembayaran hutang luar negeri merupakan kewajiban pemerintah yang harus dipenuhi

kepada pihak-pihak di luar negeri yang telah memberikan pinjaman untuk pembiayaan

pembangunan nasional. Kewajiban tersebut berupa pembayaran bunga dan cicilan atas hutang

pokok yang harus dilakukan karena berakhirnya masa tenggang waktu dan telah jatuh temponya

masa pembayaran. Hutang/pinjaman luar negeri tersebut telah dimanfaatkan sebaik-baiknya

untuk melengkapi pembiayaan pembangunan dan telah dirasakan manfaatnya bagi upaya

peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Sementara itu Pemerintah terus mengupayakan agar pemberi pinjaman tetap merniliki

kepercayaan terhadap Indonesia. Untuk itu hutang luar negeri senantiasa dimanfaatkan secara

efektif dan efisien, terutama untuk membiayai berbagai kegiatan ekonorni dan pembangunan

proyek-proyek yang berprioritas tinggi, produktif dan berorientasi ekspor. Hal ini dimaksudkan

agar proyek-proyek tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat mendorong

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 85

Page 86: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

kemampuan untuk membayar kembali pinjaman yang telah digunakan. Pembayaran bunga dan

cicilan hutang luar negeri secara tepat waktu dan jumlah sesuai dengan perjanjian yang

disepakati juga merupakan langkah yang ditempuh untuk menjaga kredibilitas bangsa Indonesia

di dunia intemasional, karena hal tersebut mencerrninkan pengelolaan hutang luar negeri sesuai

dengan perencanaannya.

Selanjutnya, dalam rangka untuk mengurangi beban kewajiban pembayaran bunga dan

cicilan hutang luar negeri di masa yang akan datang, dalam keadaan keuangan negara

memungkinkan Pemerintah dapat melakukan percepatan pembayaran (prepayment) hutang luar

negeri, khususnya untuk hutang yang merniliki suku bunga tinggi. Kebijaksanaan tersebut telah

dilaksanakan pada tahun anggaran 1994/1995, 1995/1996 dan 1996/1997, yang dananya

diperoleh dari bagian pemerintah atas hasil penjualan saham Badan Usaha Milik Negara

(BUMN), serta saldo anggaran lebih (surplus) dalam APBN.

Dalam perkembangannya, besarnya pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri

berfluktuasi sesuai dengan basarnya kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar

negeri yang jatuh tempo, dan perubahan nilai tukar antar valuta kuat dunia dan antara dolar

Amerika dengan rupiah. Selama PJP I, jumlah pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri

terus mengalami peningkatan, yaitu dari sebesar Rp 12,8 miliar pada awal PJP I menjadi sebesar

Rp 17.042,3 miliar pada akhir PJP I. Ini berarti bahwa selama PJP I, telah terjadi peningkatan

ratarata sekitar 35 persen setiap tahunnya. Sementara itu apabila dilihat dari proporsinya

terhadap pengeluaran rutin, pada awal Repelita I pembayaran bunga dan cicilan hutang luar

negeri mencapai 6,0 persen. Pada akhir PJP I proporsinya telah meningkat cukup tajam menjadi

42,3 persen. Membesarnya kewajiban atas pembayaran cicilan hutang luar negeri tersebut

disebabkan terutama oleh besarnya jumlah hutang luar negeri yang jatuh tempo. Di samping itu

juga karena adanya perubahan dalam nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serta mata uang

asing lainnya, sehingga jumlah rupiah yang harus disediakan untuk pembayaran bunga dan

cicilan hutang luar negeri juga semakin besar.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 86

Page 87: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Belanja Belanja PengeluaranTahun barang pegawai Rutin Jumlah

SDO Lainnya 2)-1 -2 -3 -4 -5

REPELITA IV1984/1985 1.165,00 48,2 30 1.243,201985/1986 1.351,20 242 456,7 2.049,901986/1987 1.311,00 228,2 139,8 1.679,001987/1988 1.296,10 223 129 1.648,101988/1989 1.226,60 256,8 85,5 1.568,90REPELITA V1989/1990 1.703,50 229 217,4 2.149,901990/1991 1.842,10 252,5 182 2.276,601991/1992 2.328,10 284,6 410,7 3.023,401992/1993 . 2.928,5 387,1 523,9 3.839,501993/1994 3.032,10 333,9 761,4 4.127,40REPELITA VI1994/1995 4.318,90 353,5 792,9 5.465,301995/1996 3) 5.274,20 481 2.116,50 7.871,701996/1997 4) 6.589,00 516,4 1.005,00 8.110,40

1) Realisasi PAN2) Tidak termasuk subsidi BBM3) APBN Perubahan (APBN-P)4) APBN

PEMBIAYAAN OPERASIONAL DAN PEMELIHARAAN, 1984/1985 - 1996/1997 1)Tabel II.10

(dalam miliar rupiah)

Memasuki PJP II, jumlah pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri masih

menjadi bagian yang besar dari total pengeluaran rutin, namun dari tahun ke tahun proporsinya

semakin turun, yaitu 41,5 persen pada tahun anggaran 1994/1995, 37,4 persen pada tahun

anggaran 1995/1996, dan 35,5 persen pada tahun anggaran 1996/1997. Penurunan peranan

pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri terhadap realisasi pengeluaran rutin

menggambarkan bahwa persentase peningkatan pengeluaran rutin lebih besar daripada

persentase peningkatan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri. Secara absolut

realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri pada tahun anggaran 1994/1995

mencapai sebesar Rp 18.298,4 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 1.256,1

miliar (7,4 persen) bila dibandingkan dengan tahun terakhir PJP 1. Peningkatan ini terutama

disebabkan oleh adanya percepatan pembayaran (prepayment) terhadap sebagian hutang

luarnegeri yang memiliki tingkat bunga relatif tinggi, yang berasal dari bagian pemerintah atas

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 87

Page 88: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

hasil penjualan saham PT Indosat di bursa saham New York. Selanjutnya, pada tahun anggaran

1995/1996 pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri mencapai sebesar Rp 19.655,4

miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 1.357,0 miliar (7,4 persen) dari tahun

anggaran sebelumnya. Dalam tahun anggaran ini juga dilakukan percepatan pembayaran

(prepayment) sebagian hutang luar negeri yang bersuku bunga tinggi, yang dibiayai dari hasil

penjualan saham bagian pemerintah pada PT Telkom dan PT Timah. Pada tahun anggaran

1996/1997, pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri dianggarkan sebesar Rp 19.936,2

miliar atau 1,4 persen lebih tinggi dari tahun anggaran 1995/1996. Perkembangan realisasi

pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, serta peranannya terhadap anggaran belanja

rutin secara keseluruhan dapat diikuti dalam Tabel II.11.

2.2.4.4. Subsidi

Kebijaksanaan pemberian subsidi pada dasarnya dimaksudkan untuk menjaga stabilitas

perekonomian nasional, yang hasilnya antara lain akan terlihat dari stabilitas harga. Salah satu

program pemerintah di dalam menjaga stabilitas ekonomi adalah dengan memberikan subsidi

terhadap beberapa komoditi strategis, terutama bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat, yang

besar pengaruhnya terhadap perkembangan laju inflasi. Pemberian subsidi tersebut diharapkan

agar dapat menjamin tersedianya bahan-bahan pokok masyarakat dalam jumlah yang cukup dan

harga yang stabil serta terjangkau oleh daya beli masyarakat. Namun demikian, dalam kondisi

tertentu kebijaksanaan subsidi justru kadangkala menimbulkan distorsi pasar, mengingat

mekanisme pasar yang tidak berlangsung secara bebas terkadang dapat menimbulkan inefisiensi

dalam perekonomian. Di lain pihak, dalam kondisi yang lain, kebijaksanaan subsidi juga

diperlukan terutama untuk melindungi pelaku ekonomi yang dianggap lemah dan memerlukan

perlakuan yang berbeda agar kondisinya membaik setara dengan pelaku lainnya, sehingga

selanjutnya dapat berrnain dalam kondisi pasar yang lebih seimbang. Terlebih lagi, mengingat

setiap pemberian subsidi berarti pula berkurangnya dana bagi peningkatan kegiatan

pembangunan, maka subsidi tersebut harus diberikan dalam batas-batas kewajaran dan hanya

untuk hal-hal yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak serta disesuaikan dengan kemampuan

keuangan negara.

Selama PJP I, Pemerintah pemah memberikan subsidi pangan, antara lain subsidi beras

dan subsidi impor gandum. Sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat, persediaan beras

nasional perlu dijaga agar tersedia dalam jumlah yang cukup dan diusahakan agar harganya

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 88

Page 89: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena pada waktu itu produksi beras

nasional belum mencukupi, maka untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri masih

diperlukan impor. Subsidi beras tersebut diberikan untuk menjaga harga beras tetap stabil dan

pada tingkat yang dapat dijangkau oleh seluruh rakyat, terutama golongan ekonomi lemah.

Selain subsidi beras, subsidi pangan diberikan melalui subsidi impor gandum, yang

dimaksudkan untuk menjaga harga gandum yang sesuai dengan daya beli masyarakat dan

dimaksudkan pula untuk mendukung upaya penganekaragaman bahan makanan serta

mengurangi ketergantungan pada konsumsi beras. Selain itu, pemberian subsidi impor gandum

juga ditujukan untuk mendorong pertumbuhan industri makanan dalam negeri, yang sebagian

besar bahan bakunya adalah gandum. Subsidi beras dan gandum tersebut pertama kali diberikan

dalam tahun anggaran 1973/1974 dan mencapai tingkat tertinggi dalam tahun anggaran

1980/1981, yaitu sebesar Rp 281,7 miliar. Tingginya subsidi pangan dalam tahun anggaran

1980/1981 tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan harga beras di luar negeri dan lebih

tingginya impor beras yang diperlukan karena terbatasnya produksi di dalam negeri. Dengan

tercapainya swasembada beras dan semakin meningkatnya daya beli masyarakat, maka sejak

tahun terakhir Repelita III (1983/1984), alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi pangan tidak

disediakan lagi.

Di samping pemberian subsidi pangan, selama PJP I telah pula diberikan subsidi bahan

bakar minyak (BBM). Subsidi BBM diberikan karena BBM merupakan sumber energi yang

cukup strategis bagi penggerak roda perekonomian nasional, mengingat peningkatan harga

BBM mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap stabilitas ekonomi. Subsidi BBM

merupakan selisih antara hasil penjualan BBM di dalam negeri dengan seluruh biaya yang

dikeluarkan untuk pengadaan BBM. Oleh karena itu, besar kecilnya subsidi BBM sangat

ditentukan oleh hasil penjualan BBM dalam negeri yang besarnya tergantung kepada harga

penjualan dan jumlah konsumsi BBM di dalam negeri. Selain daripada itu, subsidi BBM juga

ditentukan oleh biaya pengadaan BBM, yang basarnya dipengaruhi oleh biaya pembelian

minyak mentah, biaya pengolahan, dan biaya distribusi BBM. Mengingat biaya pembelian

rninyak mentah merupakan komponen terbesar dalam pengadaan BBM, maka subsidi BBM

yang diberikan sering kali berbeda dengan perhitungan semula karena pengaruh gejolak harga

minyak mentah di pasar intemasional yang sulit diduga arahnya.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 89

Page 90: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

AnggaranTahun % belanja %

Rutin negara

REPELITA I1969/1970 213,7 6 323 41970/1971 293,5 8,7 431,4 5,91971/1972 344,8 11,9 508,7 8,11972/1973 428,6 9,3 691,6 5,81973/1974 699,7 9,4 1.106,00 5,9REPELITA II1974/1975 985,7 6,4 1.970,90 3,21975/1976 1.239,30 5,8 2.675,70 2,71976/1977 1.605,10 10,3 3.176,30 5,21977/1978 2.079,80 10,6 3.620,40 6,11978/1979 2.672,70 19,2 4.618,50 11,1REPELITA III1979/1980 3.999,20 16,2 7.478,90 8,71980/1981 5.549,50 13,6 11.000,10 6,91981/1982 6.943,00 13,2 13.769,10 6,61982/1983 6.967,30 17,3 14.407,70 8,41983/1984 10.215,20 20,3 18.772,20 11REPELITA IV1984/1985 9.405,90 29,2 17.780,70 15,41985/1986 12,006,4 27,5 23.746,50 13,91986/1987 13.716,70 36,9 22.807,90 22,21987/1988 17.340,60 47 27.110,50 30,11988/1989 20.934,90 52,4 33.252,10 33REPELITA V1989/1990 24.335,20 48,4 39.729,10 29,61990/1991 29.121,10 43,2 47.371,90 26,51991/1992 29.053,00 43,4 52.127,50 24,21992/1993 33.605,40 42,4 60.511,70 23,51993/1994 40.289,90 42,3 68.718,00 24,8REPELITA VI1994/1995 44.069,00 41,5 76.255,80 241995/1996 2) 52.540,90 37,4 82.352,50 23,91996/1997 3) 56.113,70 35,5 90.616,40 22

1) Realisasi PAN2) APBN Perubahan (APBN-P)3) APBN

Tabel II.11

TERHADAP PENGELUARAN RUTIN DAN ANGGARAN BELANJA NEGARA

Bunga danPengeluarancicilan hutang

luar negeri

PERANAN PEMBAYARAN BUNGA DAN CICILAN HUTANG LUAR NEGERI

12,825,441,139,965,8

62,771,7

165,1221

512,4

647,6754

915,31.204,702.072,80

2.745,703.303,105.058,108.157,40

10.961,90

11.775,6012.577,1012.598,0014.248,5017.042,30

18.298,4019.655,4019.936,20

1969/1970 - 1996/1997 1) (dalam miliar rupiah)

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 90

Page 91: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Subsidi BBM diberikan sejak tahun anggaran 1977/1978, namun kebutuhan subsidi

BBM yang cukup besar mulai dirasakan sejak awal Repelita III, sehubungan dengan harga

rninyak mentah yang terus meningkat dengan cukup cepat. Sementara itu, dalam Repelita IV,

subsidi BBM cenderung mengalami penurunan sebagai akibat dari penurunan harga rninyak

mentah dunia dan kenaikan harga penjualan BBM dalam negeri. Bahkan dalam tahun anggaran

1986/1987, dimana harga minyak mentah jauh lebih rendah dari harga yang ditetapkan dalam

APBN, diperoleh laba bersih minyak (LBM) sebesar Rp 1.010,8 miliar. Subsidi BBM terbesar

diberikan dalam tahun anggaran 1990/1991 yang mencapai Rp 3.305,7 miliar. Besarnya subsidi

BBM tersebut selain disebabkan oleh peningkatan harga minyak mentah di pasar internasional

akibat terjadinya krisis teluk, juga disebabkan oleh meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri

yang cukup tinggi.

Dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin, penghematan

pemakaian devisa negara, serta mencegah pemborosan penggunaan energi dan mendukung

kebijaksanaan diversifIkasi energi, maka secara berkala telah diupayakan pengurangan subsidi

BBM melalui penyesuaian harga jual BBM di dalam negeri pada tingkat yang wajar.

Penyesuaian harga jual BBM selama Repelita V telah dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu dalam

tahun 1990, 1991, dan 1993. Dengan berbagai upaya tersebut dan dengan adanya

kecenderungan penurunan harga minyak mentah dalam beberapa tahun terakhir Repelita V,

maka realisasi subsidi BBM dalam tabun anggaran 1991/1992 dan 1992/1993 cenderung

mengalami penurunan. Bahkan dalam tahun anggaran 1995/1996 diperoleh LBM sebesar Rp

487,6 miliar. Sementara itu dalam APBN 1996/1997 alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi

BBM tidak disediakan oleh karena diperkirakan akan masih diterima laba bersih minyak.

Perkembangan subsidi pangan dan subsidi BBM sejak tahun anggaran 1969/1970 sampai

dengan tahun anggaran 1996/1997 dapat dilihat dalam Tabel II.12.

2.2.5. Tabungan pemerintah

Struktur pembiayaan pembangunan di dalam memasuki tahun ketiga Repelita VI makin

menampakkan kemampuan penerimaan dalam negeri yang semakin menggembirakan dalam

menghimpun dana pembangunan dalam bentuk tabungan pemerintah, yang merupakan selisih

positif antara penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin. Hal ini tercermin dari

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 91

Page 92: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

kontribusi penerimaan dalam negeri dalam menyediakan dana pembangunan yang makin

meningkat dibandingkan dengan sumber dana dari luar negeri berupa bantuan/pinjaman luar

negeri. Hal itu sejalan dengan amanat dalam GBHN, di mana dana pembangunan diutamakan

digali dari dalam negeri, sedangkan dana dari luar negeri hanya sebagai pelengkap. Sedangkan

perkembangan tabungan pemerintah dalam pembangunan jangka panjang pertama (PJP I) sangat

dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal. Pada saat perekonomian membaik, tabungan

pemerintah cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya penerimaan dalam negeri.

Demikian pula sebaliknya, menurunnya kondisi perekonomian berpengaruh kepada penerimaan

dalam negeri dan sekaligus terhadap tabungan pemerintah.

Kemampuan tabungan pemerintah dalam menyediakan dana pembangunan sangat

bergantung kepada upaya yang maksimal dalam menghimpun penerimaan dalam negeri, dan

upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin. Dalam Repelita II dan Repelita III

peningkatan penerimaan dalam negeri sebagai dampak peningkatan harga minyak mentah di

pasar internasional, menjadikan sumbangan tabungan pemerintah terhadap dana pembangunan

masing-masing sebesar 78,3 persen dan 74,9 persen, sedangkan pada Repelita IV menurun dan

bahkan masih lebih rendah dibandingkan dengan Repelita I. Keadaan ini terutama disebabkan

oleh merosotnya harga minyak mentah dan belum dapat diandalkannya penerimaan sektor non

migas, sehingga pada akhir Repelita IV sumbangan tabungan pemerintah terhadap dana

pembangunan hanya sebesar 19,7 persen. Namun demikian, pada awal Repelita V, sumbangan

tabungan pemerintah terhadap dana pembangunan telah meningkat menjadi sebesar 46,3 persen,

dan dalam tiga tahun Repelita VI meningkat kembali menjadi sebesar 65,5 persen.

Basarnya tabungan pemerintah yang dapat dihimpun dalam Repelita I, Repelita II,

Repelita III, dan Repelita IV masing-masing mencapai sebesar Rp 585,2 miliar, Rp 6.057,4

miliar, Rp 23.895,2 miliar, dan Rp 25.996,0 miliar. Sedangkan dalam Repelita V, tabungan

pemerintah telah menjadi lebih dari dua tali lipat dari realisasinya dalam Repelita sebelumnya,

yaitu mencapai sebesar Rp 64.850,3 miliar. Dengan demikian secara umum tabungan

pemerintah dalam PJP I senantiasa menunjukkan peningkatan, kecuali dalam tahun anggaran

1986/1987 dan tahun anggaran 1988/1989 yang mengalami penurunan, yaitu dari sebesar Rp

8.933,0 miliar dalam tahun anggaran 1985/1986 menjadi sebesar Rp 3.668,6 miliar dalam tahun

anggaran 1986/1987, dan dari sebesar Rp 4.390,1 miliar dalam tahun anggaran 1987/1988

menjadi sebesar Rp 2.478,9 miliar dalam tahun anggaran 1988/1989. Penurunan tabungan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 92

Page 93: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

tersebut antara lain disebabkan oleh merosotnya secara tajam harga minyak sampai di bawah

US$ 10,00 per barel dalam tahun 1986 yang secara langsung mempengaruhi penerimaan dalam

negeri, sementara dari sisi pengeluaran rutin terjadi peningkatan yang tajam dalam pembayaran

bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri. Dengan demikian dalam pembangunan jangka

panjang pertama, tabungan pemerintah yang berhasil dihimpun mencapai sebesar Rp 121.384,1

miliar, dan dalam tiga tahun pertama Repelita VI, tabungan pemerintah diperkirakan mencapai

sebesar Rp 63.455,0 miliar, yang berarti sekitar 97,8 persen dari keseluruhan tabungan

pemerintah dalam Repelita sebelumnya. Dengan demikian dari awal Repelita I sampai dengan

tahun ketiga Repelita VI, tabungan pemerintah mengalami peningkatan sekitar 680 kali, yaitu

dari sebesar Rp 32,5 miliar menjadi Rp 22.089,1 miliar.

Untuk tetap mempertahankan kenaikan tabungan pemerintah, dalam waktu-waktu

mendatang harus diupayakan dari dua sisi APBN, yaitu dari sisi penerimaan dalam negeri dan

sisi pengeluaran rutin. Melalui sisi penerimaan dalam negeri perlu terus diupayakan peningkatan

peranan penerimaan di luar migas, khususnya penerimaan sektor perpajakan, antara lain dengan

meningkatkan efektivitas pemungutan pajak, penegakan hukum, dan kesadaran membayar

pajak. Sedangkan dari sisi pengeluaran rutin diupayakan dengan peningkatan efisiensi dan

efektivitas pengeluaran, antara lain dengan melakukan prioritas pengeluaran, serta mencegah

pemborosan, dan penyimpangan dalam pengelolaan anggarannya. Dengan demikian diharapkan

penerimaan dalam negeri mengalami pertumbuhan lebih cepat dibandingkan pertumbuhan

pengeluaran rutin, sehingga tabungan pemerintah yang bisa dihimpun akan terus meningkat.

Dalam Tabel II.13 dapat diikuti perkembangan tabungan pemerintah sejak Repelita I

sampai dengan tahun ketiga Repelita VI.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 93

Page 94: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

SubsidiTahun bahan bakar

pangan minyak

REPELITA I1969/1970 - -1970/1971 - -1971/1972 - -1972/1973 - -1973/1974 153,4 -REPELITA II1974/1975 141 -1975/1976 50 -1976/1977 39,1 -1977/1978 - 62,21978/1979 43,5 197REPELITA III1979/1980 124,9 534,91980/1981 281,7 1.021,701981/1982 223,5 1.316,401982/1983 1,1 961,51983/1984 - 2.754,90REPELITA IV1984/1985 - 507,61985/1986 - 4501986/1987 - -1987/1988 - 401,81988/1989 - 82,3REPELITA V1989/1990 - 707,31990/1991 - 3.305,701991/1992 - 929,91992/1993 - 691,81993/1994 - 1.279,90REPELITA VI1994/1995 - 686,81995/1996 2) - -1996/1997 3) - -

1) Rea1isasi PAN2) APBN Perubahan (APBN-P)3) APBN

Subsidi

(dalam miliar rupiah)

SUBSIDI PANGAN DAN SUBSIDI BAHAN BAKAR Tabel II.12

1969/1970 - 1996/1997 1)

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 94

Page 95: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

2.2.6. Pengeluaran pembangunan

Pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran negara yang berkaitan dengan

kegiatan investasi yang dilaksanakan oleh sektor pemerintah untuk mencapai sasaran program-

program pembangunan yang telah ditetapkan dalam GBHN dan Repelita. Sesuai dengan GBHN

1993 dan Repelita VI, kebijaksanaan pengeluaran pembangunan diarahkan pada upaya

pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang berkeadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang cukup

tinggi, serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Dengan demikian, pengeluaran

pembangunan mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi

stabilisasi. Hal ini berarti bahwa melalui pengeluaran pembangunan dilakukan alokasi sumber

daya dan dana yang berhasil dihimpun, baik dari tahungan pemerintah maupun bantuan luar

negeri, untuk membiayai berbagai kegiatan investasi, yang senantiasa diusahakan terwujudnya

distribusi pendapatan yang lebih baik dan stabilisasi perekonomian nasional yang makin

mantap.

Dalam rangka pelaksanaan ketiga fungsi tersebut, pengeluaran pembangunan

dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang tercakup dalam berbagai

program pembangunan yang direncanakan untuk dilaksanakan di masing-masing sektor dan

subsektor. Di samping itu, dengan adanya keterbatasan dana pembangunan dibandingkan

dengan kebutuhan investasi, maka alokasi anggaran pembangunan diprioritaskan

pemanfaatannya bagi proyek-proyek yang produktif, dalam arti akan menghasilkan nilai

produksi yang lebih besar daripada nilai investasinya. Dalam rangka pelaksanaan fungsi alokasi

tersebut, sejak awal Repelita I hingga tahun ke tiga Repelita VI, Pemerintah secara konsisten

telah menerapkan kebijaksanaan alokasi dana pembangunan yang didasarkan atas rencana

proyek sektoral dan regional, yang mengacu kepada rencana dan prioritas yang telah ditetapkan

dalam Repelita. Pemilihan proyek -proyek pembangunan yang dituangkan dalam daftar isian

proyek (DIP) didasarkan kepada azas-azas efisiensi dan efektivitas, untuk memilih proyek-

proyek dalam sektor dan subsektor yang telah ditetapkan, yang paling produktif, menunjang

pemerataan, serta menciptakan lapangan kerja.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 95

Page 96: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

REPELITA I1969/1970 32,51970/1971 45,1 12,61971/1972 68,9 23,81972/1973 163,2 94,31973/1974 275,5 112,3REPELITA II1974/1975 784,9 509,41975/1976 1.005,00 220,11976/1977 1.261,40 256,41977/1978 1.431,80 170,41978/1979 1.574,30 142,5REPELITA III1979/1980 2.734,001980/1981 4.383,801981/1982 5.219,40 835,61982/1983 5.406,50 187,11983/1984 6.151,50 745REPELITA IV1984/1985 6.525,40 373,91985/1986 8.933,001986/1987 3.668,601987/1988 4.390,101988/1989 2.478,90REPELITA V1989/1990 7.169,001990/1991 13.071,901991/1992 13.529,00 457,11992/1993 15.257,201993/1994 15.823,20 566REPELITA VI1994/1995 22.349,001995/1996 2) 19.016,901996/1997 3) 22.089,10

1) Realisasi PAN2) APBN Perubahan (APBN-P)3) APBN

Tahun JumlahKenaikan (+)/Penurunan (-)

++++

+++++

1.159,701.649,80

+++

+2.407,60

-5.264,40+ 721,5- 1.911,20

4.690,105.902,90

+1.728,20

+

6.525,80-3.332,103.072,20

Tabel II.13TABUNGAN PEMERINTAH, 1969/1970 -1996/1997 1)

(dalam miliar rupiah)

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 96

Page 97: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Strategi pembangunan tersebut dibarengi pula dengan alokasi yang mengarah kepada

pembangunan regional yang lebih merata. Hal ini didasarkan bahwa negara kesatuan Republik

Indonesia menghendaki keseimbangan tingkat kesejahteraan antara satu daerah dengan daerah

yang lain. Untuk itu, melalui pengeluaran pembangunan juga diusahakan distribusi yang lebih

baik, dengan sejauh mungkin mengikutsertakan pengusaha nasional, khususnya pengusaha

golongan ekonomi lemah dan pengusaha setempat, serta dilakukan penyebaran lokasi proyek

pembangunan secara merata ke seluruh daerah. Pelaksanaan strategi tersebut antara lain

dilakukan melalui berbagai program bantuan pembangunan daerah yang tercakup dalam

program Inpres, serta pembangunan daerah yang dibiayai dengan dana pajak bumi dan

bangunan (PBB). Proyek-proyek pembangunan yang tercakup dalam program Inpres tersebut, di

samping secara langsung menjangkau golongan masyarakat berpendapatan rendah, juga sejauh

mungkin mengikutsertakan pemerintah daerah, sehingga pembangunan proyek-proyek tersebut

lebih sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, dan dalam pelaksanaannya sejauh

mungkin melibatkan pengusaha dan masyarakat daerah setempat.

Dalam hal fungsi stabilisasi, anggaran belanja pembangunan senantiasa mengupayakan

terpeliharanya kestabilan ekonomi, antara lain melalui pembentukan cadangan anggaran

pembangunan (CAP), dalam hal terdapat kelebihan penerimaan negara dari yang diperkirakan di

dalam APBN-nya, dan pemanfaatan dana cadangan tersebut dalam hal realisasi penerimaan

negara tidak mencapai sasaran yang diperkirakan dalam APBN-nya.

Selaras dengan semakin meningkatnya kemampuan keuangan negara dan semakin

luasnya program pembangunan yang dilaksanakan di sektor pemerintah, jumlah realisasi

pengeluaran pembangunan seeara keseluruhan sejak tahun pertama Repelita I sampai dengan

tahun kedua Repelita VI mencapai sebesar Rp 264.163,5 miliar, terdiri dari realisasi anggaran

pembangunan dalam PJP I (1969/1970-1993/1994) sebesar Rp 203.660,2 miliar dan realisasi

anggaran pembangunan dalam dua tahun Repelita VI (1994/1995-1995/1996) sebesar Rp

60.503,3 miliar. Sementara itu, dalam tahun anggaran 1996/1997 pengeluaran pembangunan

dianggarkan sebesar Rp 34.502,7 miliar, atau mengalami peningkatan sebesar Rp 4.691,1 miliar

atau sekitar 15,7 persen apabila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun anggaran

1995/1996. Perkembangan anggaran belanja pembangunan sejak tahun pertama Repelita I

hingga tahun ketiga Repelita VI selanjutnya dapat dirinci ke dalam alokasi pengeluaran

pembangunan berdasarkan sumber pembiayaan, pengeluaran pembangunan berdasarkan jenis

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 97

Page 98: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

pembiayaan, serta pengeluaran pembangunan berdasarkan sektor dan subsektor.

2.2.6.1. Pengeluaran pembangunan berdasarkan sumber pembiayaan

Di samping dibiayai dari sumber dana dalam negeri yang berupa tabungan pemerintah,

pengeluaran pembangunan juga dibiayai dengan sumber pembiayaan dari penerimaan

pembangunan yang berasal dari nilai lawan bantuan/pinjaman luar negeri, baik dalam bentuk

bantuan program maupun bantuan proyek. Sementara itu di dalam Garis-garis Besar Haluan

Negara (GBHN) dinyatakan bahwa pembangunan memerlukan dana investasi dalam jumlah

yang besar, yang pelaksanaannya harus berlandaskan pada kemampuan sendiri, sedangkan

bantuan luar negeri merupakan pelengkap. Ini berarti bahwa kemampuan sumber pembiayaan

dalam negeri yang berupa tabungan pemerintah harus dapat lebih ditingkatkan agar dapat

berperan lebih besar sebagai unsur dana pembangunan, dan sebaliknya peranan pinjaman luar

negeri yang merupakan unsur pelengkap terus diupayakan semakin kecil.

Dalam pada itu, realisasi pengeluaran pembangunan selama PJP I mencapai sebesar Rp

203.660,2 miliar, meliputi tabungan pemerintah sebesar Rp 121.384,1 miliar atau 58,9 persen,

sedangkan sisanya sebesar Rp 84.572,5 miliar atau 41,1 persen merupakan penerimaan

pembangunan. Selanjutnya, dalam dua tahun pertama Repelita VI, jumlah realisasi pengeluaran

pembangunan mencapai sebesar Rp 60.503,3 miliar. Dari jumlah tersebut, sumber

pembiayaannya sebagian besar berasal dari tabungan pemerintah, yaitu sebesar Rp 41.365,9

miliar atau 66,3 persen, sedangkan selebihnya berasal dari penerimaan pembangunan sebesar Rp

21.007,8 miliar atau 33,7 persen.

Dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997), anggaran bagi pengeluaran pembangunan

direncanakan sebesay,Rp 34.502,7 miliar. Dari jumlah tersebut, sumber pembiayaannya

sebagian besar berasal dari tabungan pemerintah, yang mencapai sebesar Rp 22.089,1 miliar

atau 64,0 persen, sedangkan sisanya sebesar Rp 12.413,6 miliar atau 36,0 persen berasal dari

penerimaan pembangunan. Dengan melihat perkembangan tersebut, dapatlah dikatakan bahwa

selama PJP I maupun dalam tiga tahun pelaksanaan Repelita VI, peranan penerimaan

pembangunan hanya berfungsi sebagai pelengkap bagi pembiayaan pembangunan, yaitu untuk

menutup kelangkaan dana di dalam negeri dan dalam rangka mempercepat pelaksanaan

pembangunan. Perkembangan pengeluaran pembangunan berdasarkan sumber pembiayaan sejak

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 98

Page 99: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

tahun anggaran 1969/1970 sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 dapat diikuti dalam Tabel

II.14

Tahun Pengeluaran Tabungan % Penerimaan %pembangunan pemerintah pembangunan

REPELITA I 1.080,40 585,2 51,3 554,5 48,71969/1970 109,3 32,5 28,4 82,1 71,61970/1971 137,9 45,1 31,2 99,4 68,81971/1972 163,9 68,9 38,8 108,6 61,21972/1973 263 163,2 57,3 121,5 42,71973/1974 406,3 275,5 65,8 142,9 34,2REPELITA II 7.479,20 6.057,40 78,3 1.674,20 21,71974/1975 985,2 784,9 79,1 207,1 20,91975/1976 1.436,40 1.005,00 69,1 450,4 30,91976/1977 1.571,20 1.261,40 79,5 325,2 20,51977/1978 1.540,60 1.431,80 85 253,6 151978/1979 1.945,80 1.574,30 78,2 437,9 21,8REPELITA III 31.753,80 23.895,20 74,9 8.003,40 25,11979/1980 3.479,70 2.734,00 77,9 775,1 22,11980/1981 5.450,60 4.383,80 79,6 1.120,60 20,41981/1982 6.826,10 5.219,40 77 1.558,60 231982/1983 7.440,40 5.406,50 72,9 2.006,00 27,11983/1984 8.557,00 6.151,50 70,8 2.543,10 29,2REPELITA IV 51.293,20 25.996,00 50,2 25.803,10 49,81984/1985 8.374,80 6.525,40 78,6 1.780,70 21,41985/1986 11.740,10 8.933,00 75,9 2.829,50 24,11986/1987 9:091,2 ' 3.668,6 40 5.513,00 601987/1988 9.769,90 4.390,10 44,1 5.555,60 55,91988/1989 12.317,20 2.478,90 19,7 10.124,30 80,3REPELITA V 112.053,60 64.850,30 57,2 48.537,30 42,81989/1990 15.393,90 7.169,00 46,3 8.330,30 53,71990/1991 18.250,80 13.071,90 60,9 8.381,50 39,11991/1992 23.074,50 13.529,00 57,6 9.975,10 42,41992/1993 26.906,30 15.257,20 57,9 11.097,90 42,11993/1994 28.428,10 15.823,20 59,5 10.752,50 40,5REPELITA VI 95.006,00 63.455,00 65,5 33.421,40 34,51994/1995 30.691,70 22.349,00 69,4 9.837,80 30,61995/1996 2) 29.811,60 19.016,90 63 11.170,00 371996/1997 3) 34.502,70 22.089,10 64 12.413,60 36

1) Realisasi PAN2) APBN Perubahan (APBN-P)3) APBN4) Termasuk sisa anggaran lebih (SAL) /sisa anggaran kurang (SAK)

Tabel II. 14PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SUMBER PEMBIAYAAN,

1969/1970 - 1996/1997 1)

Sumber pembiayaan 4)

(dalam miliar rupiah)

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 99

Page 100: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

BAB III

MONETER DAN PERKREDITAN

3.1. Pendahuluan

Perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan perkembangan

yang menggembirakan sebagaimana tercermin dari masih tetap tingginya angka pertumbuhan

ekonomi. Kondisi tersebut antara lain dipengaruhi oleh kuatnya permintaan domestik sejalan

dengan meningkatnya kegiatan investasi dan konsumsi, khususnya dari sektor swasta.

Meningkatnya kegiatan investasi sektor swasta tersebut merupakan salah satu darnpak positif

dari serangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang telah dilakukan Pemerintah,

terutama kebijaksanaan untuk menciptakan iklim berusaha yang semakin kondusif. Di samping

itu, keberhasilan pelaksanaan pembangunan juga telah memberikan sumbangan yang cukup

berarti dalam meningkatkan pendapatan masyarakat, yang pada gilirannya akan mendorong

peningkatan konsumsi masyarakat. Pesatnya kegiatan ekonomi di dalam negeri dalam tahun

1996 juga tidak terlepas dari pengaruh semakin membaiknya pertumbuhan ekonomi negara-

negara industri, khususnya yang menjadi mitra dagang Indonesia, seperti Amerika Serikat dan

Jepang.

Di sisi lain, perkembangan ekonomi tersebut juga memberikan pengaruh terhadap

pertumbuhan besaran-besaran moneter, seperti likuiditas perekonomian (M2), yang dalam tahun

anggaran 1995/1996 relatif masih tetap tinggi. Hal tersebut terutama disebabkan oleh

pertumbuhan kredit perbankan yang relatif tinggi, derasnya aliran modal masuk dari luar negeri,

serta masih relatif tingginya laju inflasi. Dalam periode Januari-Desember 1996 laju inflasi

dapat dikendalikan pada tingkat yang lebih rendah dibanding periode yang sama tahun 1995,

namun angka tersebut masih lebih tinggi dari target yang ditetapkan.

Sehubungan dengan itu, dalam upaya untuk tetap mempertahankan keseimbangan

ekonomi makro yang stabil dan mantap, Pemerintah secara konsisten melaksanakan

kebijaksanaan moneter yang berhati-hati melalui pengendalian permintaan domestik agar tetap

tumbuh dalam batas-batas kemampuan daya dukung kapasitas produksi nasional. Sejalan

dengan upaya pengendalian permintaan domestik tersebut, kebijaksanaan moneter diarahkan

untuk mengendalikan sumber-sumber ekspansi likuiditas perekonomian (M2), khususnya kredit

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 100

Page 101: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

perbankan dan arus modal masuk dari luar negeri. Dalam kaitan ini, Pemerintah senantiasa

melakukan pengendalian jumlah uang beredar melalui berbagai piranti moneter yang ada,

terutama dengan operasi pasar terbuka (OPT). Selanjutnya guna lebih meningkatkan efektivitas

pengendalian moneter, Pemerintah melalui Bank Indonesia mengubah ketentuan cadangan wajib

minimum menjadi ketentuan giro wajib minimum (GWM), dengan mewajibkan bank-bank

umum untuk menyimpan 3 persen dari dana pihak ketiga (DPK) dalam bentuk giro pada Bank

Indonesia.

Di samping itu guna mengendalikan ekspansi kredit perbankan sekaligus meningkatkan

kehati-hatian bank serta mengurangi risiko kredit yang berlebihan, Pemerintah selain tetap

melakukan persuasi kepada bank-bank agar berhati-hati dalam pemberian kredit, juga telah

mengambil kebijaksanaan yang mewajibkan bank-bank devisa untuk menaikkan nisbah

kecukupan pemenuhan modal minimum (KPMM) secara bertahap hingga mencapai 12 persen

dalam waktu enam tahun sejak September 1995.

Dalam pada itu, guna mengurangi dorongan masuknya arus modal dari luar negeri yang

berlebihan, khususnya modal yang berjangka pendek serta bersifat spekulatif, Pemerintah telah

mengambil kebijaksanaan untuk meningkatkan fleksibilitas nilai tukar rupiah melalui pelebaran

kembali spread kurs jual dan beli rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan menerapkan batas

kurs intervensi. Dengan kebijaksanaan tersebut diharapkan akan mendorong perkembangan

pasar valuta asing antarbank, sehingga dapat mengurangi ketergantungan bank-bank kepada

Bank Indonesia.

3.2. Perkembangan harga dan upah

Dalam upaya mengurangi risiko memanasnya suhu perekonomian serta tetap

terpeliharanya kondisi ekonomi makro yang stabil, Pemerintah terus berupaya untuk

mengendalikan laju inflasi pada tingkat yang wajar. Untuk itu, Pemerintah di samping tetap

melaksanakan kebijaksanaan moneter dan fiskal yang berhati-hati, juga terus melanjutkan

kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi guna meningkatkan efisiensi perekonomian

nasional serta mendorong kelancaran produksi dan distribusi barang-barang kebutuhan pokok

masyarakat. Melalui berbagai kebijaksanaan tersebut, perkembangan harga umum yang

tercermin dari laju inflasi nasional selama periode April-Desember 1996 dapat dikendalikan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 101

Page 102: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

pada tingkat yang relatif rendah, yaitu sebesar 3,21 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah

jika dibandingkan dengan laju inflasi dalam periode yang sama tahun 1994 dan 1995, yang

masing-masing mencapai 5,53 persen dan 5,60 persen.

Perkembangan harga beberapa barang ekspor primer Indonesia, khususnya komoditi

hasil perkebunan, seperti kopi robusta, karet, kopra, dan sebagainya, baik di pasar domestik

maupun di pasar internasional, mengalami fluktuasi dengan kecenderungan terus menurun

dalam tahun anggaran 1996/1997 (April-Oktober 1996). Hal ini antara lain disebabkan oleh

meningkatnya suplai komoditi-komoditi tersebut di pasar dunia.

Sementara itu, menguatnya nilai tukar beberapa mata uang dunia, seperti dolar

Amerika Serikat, serta merebaknya isu bahwa IMF merencanakan akan melepaskan sebagian

cadangan emasnya, telah mempengaruhi perkembangan harga emas, baik di bursa luar negeri

maupun bursa dalam negeri. Dalam kurun waktu delapan bulan pertama tahun anggaran

1996/1997, perkembangan harga emas di bursa London nampak berfluktuasi dengan

kecenderungan melemah. Perkembangan yang hampir sama juga terjadi pada komoditi sejenis

di pasar Jakarta.

Dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan para pekerja dan

keluarganya, Pemerintah secara terus menerus menyempurnakan ketentuan upah minimum

regional (UMR). Sejalan dengan upaya tersebut, tingkat upah di beberapa sektor ekonomi dalam

tahun 1996 (sampai dengan Juni 1996) mengalami peningkatan dibandingkan dengan tingkat

upah sebelumnya.

3.2.1. Indeks harga konsumen (IHK)

Perkembangan indeks harga konsumen (IHK) yang dipergunakan sebagai dasar

penghitungan tingkat inflasi nasional, dalam tahun anggaran 1996/1997 (April-Desember 1996)

cenderung menurun. Dalam bulan Juni dan September 1996 terjadi deflasi, masing-masing

sebesar 0,07 persen dan 0,04 persen, sehingga secara kumulatif laju inflasi dalam periode April-

Desember 1996 mencapai sebesar 3,21 persen, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan

inflasi dalam periode yang sama tahun anggaran sebelumnya, yang mencapai 5,60 persen.

Demikian juga untuk tahun takwim 1996, sesuai dengan perkembangan terakhir, laju inflasi

kumulatif dalam tahun tersebut hanya mencapai 6,47 persen, atau 2,17 persen lebih rendah jika

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 102

Page 103: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

dibandingkan dengan inflasi kumulatif tahun sebelumnya yang mencapai 8,64 persen.

Rendahnya tingkat inflasi dalam sembilan bulan pertama tahun anggaran 1996/1997 tersebut

terutama sangat dipengaruhi oleh menurunnya indeks harga kelompok makanan, yang terjadi

sejak bulan April sampai dengan bulan Oktober 1996, kecuali bulan Juli, November, dan

Desember sehingga secara keseluruhan kelompok makanan dalam enam bulan tersebut

memberikan andil deflasi sebesar 1,58 persen. Subkelompok barang yang mengalami penurunan

indeks harga cukup besar dalam kelompok ini adalah subkelompok bumbu-bumbuan, yaitu

sebesar 34,51 persen.

Dilihat dari perkembangan bulanannya, kenaikan indeks harga konsumen terbesar dalam

periode April-Desember 1996 terjadi pada bulan April, Juli, November, dan Desember 1996,

masing-masing sebesar 0,78 persen, 0,68 persen, 0,57 persen, dan 0,55 persen sehingga secara

bersama-sama keempat bulan tersebut memberikan andil sebesar 80,37 persen dari inflasi

nasional dalam periode April-Deseinber 1996 tersebut.

Tingginya laju inflasi yang terjadi dalam bulan April 1996 terutama disebabkan oleh

kenaikan indeks harga kelompok aneka barang dan jasa sebesar 4,87 persen. Indeks harga

kelompok pengeluaran lainnya, seperti kelompok perumahan dan kelompok sandang, hanya

mengalami kenaikan relatif kecil, masing-masing sebesar 0,66 persen dan 0,49 persen,

sedangkan indeks harga kelompok makanan mengalami penurunan sebesar 1,95 persen.

Meningkatnya indeks harga dari kelompok aneka barang dan jasa sebesar 4,87 persen tersebut

dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga subkelompok transport sebesar 10,37 persen, terutama

sebagai akibat naiknya tarif angkutan dalam kota, bus antar kota, angkutan udara, tarif taksi, dan

angkutan laut, dengan andil inflasi masing-masing sebesar 0,79 persen, 0,05 persen, 0,09 persen,

0,07 persen, dan 0,02 persen. Dengan demikian secara keseluruhan kenaikan tarif berbagai jenis

angkutan tersebut telah memberikan andil inflasi sebesar 1,02 persen.

Inflasi yang terjadi dalam bulan Juli 1996 sebesar 0,68 persen merupakan akibat dari

kenaikan indeks harga seluruh kelompok pengeluaran, dengan persentase kenaikan berkisar

antara 0,42 persen sampai dengan 1,04 persen. Kenaikan indeks harga tertinggi yang terjadi

pada kelompok makanan terutama dipengaruhi oleh meningkatnya indeks harga subkelompok

telur, susu, dan hasil-hasilnya, subkelompok ikan segar, subkelompok ikan diawetkan, dan

subkelompok dasing dan hasil-hasilnya, masing-masing sebesar 4,11 persen, 4,03 persen, 3,54

persen, dan 2,77 persen. Komoditi yang memberikan andil inflasi cukup menonjol pada

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 103

Page 104: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

kelompok makanan ini antara lain adalah dasing ayam, ikan segar, lombok, dan telur ayam ras,

masing-masing sebesar 0,11 persen, 0,09 persen, 0,08 persen, dan 0,07 persen. Sementara itu

indeks harga kelompok aneka barang dan jasa yang meningkat sebesar 0,55 persen terutama

disebabkan oleh naiknya indeks harga subkelompok tembakau, rokok dan minuman beralkohol,

serta subkelompok pendidikan, masing-masing sebesar 1,12 persen, dan 0,79 persen. Secara

keseluruhan kelompok aneka barang dan jasa dalam bulan Juli 1996 menyumbang andil dalam

inflasi nasional sebesar 0,13 persen. Selanjutnya kenaikan indeks harga yang terjadi pada

kelompok sandang sebesar 0,51 persen terutama dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga

subkelompok sandang anak-anak sebesar 2,01 persen, dengan memberikan andil terhadap inflasi

sebesar 0,04 persen. Sementara itu indeks harga subkelompok penyelenggaraan rumah tangga

yang mengalami kenaikan sebesar 1,96 telah memberikan andil yang cukup berarti terhadap

kenaikan indeks harga kelompok perumahan.

Dalam bulan November 1996 indeks harga kelompok makanan mengalami kenaikan

tertinggi dibandingkan dengan kelompok pengeluaran lainnya, yaitu sebesar 1,67 persen

sehingga kelompok makanan dalam bulan tersebut telah memberikan andil inflasi sebesar 0,54

persen. Beberapa jenis barang yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap kenaikan

indeks harga kelompok makanan tersebut antara lain adalah beras, telur ayam ras, sayur-

sayuran, dan lombok merah, dengan andil inflasi berkisar antara 0,07 persen sampai dengan

0,15 persen. Sedangkan inflasi bulan Desember 1996 terutama dipengaruhi oleh faktor musiman

berkaitan dengan hari Natal dan Tahun Baru. Dalam bulan tersebut indeks harga kelompok

makanan mencatat kenaikan tertinggi, yaitu sebesar 1,28 persen.

Apabila diamati perkembangan indeks harga di 27 ibukota propinsi, kenaikan indeks

harga dalam sembilan bulan pertama tahun anggaran 1996/1997 (sampai dengan bulan

Desember 1996) terjadi di seluruh ibukota propinsi, dengan persentase kenaikan berkisar antara

1,09 persen sampai dengan 6,42 persen. Kenaikan indeks harga tertinggi terjadi di kota

Jayapura, sementara di kota Yogyakarta indeks harga konsumen dalam periode yang sama

hanya mengalami peningkatan cukup rendah, yaitu sebesar 1,09 persen. Perkembangan indeks

harga konsumen secara nasional maupun terperinci menurut ibukota propinsi dapat dilihat

dalam Tabel III.1, Tabel III.2, dan Grafik III.1.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 104

Page 105: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

3.2.2. Barga beberapa barang konsumsi utama

Perkembangan harga beberapa barang konsumsi utama seperti beras, gula pasir, dan

tepung terigu, dalam periode April-Desember 1996 pada umumnya mengalami peningkatan.

Dari ketiga komoditi tersebut di atas, harga beras mengalami kenaikan tertinggi dibandingkan

dengan dua komoditi lainnya. Sebagai salah satu makanan pokok masyarakat, beras mengalami

kenaikan harga sejak bulan Mei 1996, dan kenaikan yang menonjol terjadi dalam bulan Juli,

Agustus, Oktober, yang memberikan andil inflasi masing-masing sebesar 0,03 persen, bulan

November 1996 sebesar 0,15 persen, dan Desember 1996 sebesar 0,05 persen. Secara kumulatif,

selama 9 bulan pertama tahun anggaran 1996/1997 kenaikan harga beras telah memberikan

andil inflasi sebesar 0,28 persen. Sementara itu kenaikan harga gula pasir terjadi dalam bulan

April dan Mei 1996 dengan memberikan andil terhadap inflasi nasional dalam bulan-bulan

tersebut, masing-masing sebesar 0,02 persen dan 0,01 persen. Sebaliknya dalam bulan

September dan Oktober 1996 komoditi ini memberikan andil deflasi masing-masing sebesar

0,01 persen.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 105

Page 106: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Makanan Perumahan Sandang Aneka barang Tahun Tahundan jasa anggaran takwim

1984/1985 Desember 2,47 0,2 0,05 0,08 - 8,76Maret 0,21 0,21 0,08 0,28 3,64 -

1985/1986 Desember 0,89 0,06 0,15 0,08 - 4,31Maret -1,19 0,02 0,09 0,Q1 5,66 -

1986/1987 Desember 0,33 0,02 0,13 0,76 - 8,83Maret -2,04 0,64 0,66 1,4 8,83 -

1987/1988 Desember 0,58 0,37 0,14 0,05 - 8,9Marct -0,04 0,17 0,22 0,09 8,29 -

1988/1989 Desember 0,35 0,13 0,09 0,07 - 5,47Maret 0,35 0,11 0,19 0,12 6,55 -

1989/1990 Desember -0,28 0,05 0,3 0,03 - 5,97Maret -1,03 0,08 0,19 0,02 5,48 -

1990/1991 Desember 0,28 -0,21 0,18 0,04 - 9,53Maret -0,22 0,14 0,22 0,11 9,11 -

1991/1992 Desember 0,25 0,04 0,4 0,15 - 9,52Maret 1,41 0,22 0,82 0,13 9,78 -

1992/1993 Desember 1,24 0,23 1,7 0,Q7 - 4,94Maret 2,58 1,15 2,37 0,18 10,03 -

1993/1994 Desember 0,91 0,49 0,28 0,23 - 9,77Maret 1,6 0,Q7 1,41 0,04 7,04 -

1994/1995 Desember -0,06 1,36 0,34 0,36 - 9,24Maret 1,7 -0,02 0,34 0,04 8,57 -

1995/1996 Desember 1,74 0,33 0,56 0,05 - 8,64Maret -2,22 0,4 0,04 0,03 8,86 -

1996/1997 April -1,95 0,66 0,49 4,87 - -Mei -0,56 0,38 0,57 0,48 - -Juni -0,5 0,17 0,07 0,19 - -Ju1i 1,04 0,42 0,51 0.55 - -Agustus -0,35 0,27 0,16 1,16 - -September -0,76 0,52 0,31 0,12 - -Oktober -0,04 0,52 0,19 0,98 - -November 1,67 0,03 0,1 0,04 - -Desember 1,28 0,05 0,46 0,08 - -Kumulatif 1) -0,17 3,02 2,86 8,47 3,21 6,47

(dalam persentase )

Akhir periodekumulatif

PERUBAHAN INDEKS HARGA KONSUMEN, 1984/1985 - 1996/1997

1) Sampai dengan bulan Desember

Tabel III.l

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 106

Page 107: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Banda BandarAceh Medan Padang Pekanbaru Jambi Palembang Bengkulu Lampung Jakarta

(I) -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -101984/1985 Kumulatif -- 2,65 0.92 -- -- 1.26 -- -- 4.171985/1986 Kumulatif -- 7.02 3.94 -- -- 5.73 -- -- 4.241986/1987 Kumulatif -- 9,8 7,51 -- -. 6.24 -- -- 8.601987/1988 Kumulatif -- 7,12 6.66 -- -- 7.88 -- -- 8.081988/1989 Kumulatif -- 12.50 7,12 -- -- 4.19 -- -- 5.991989/1990 Kumulatif -- 5,74 2,75 -- -- 1.71 -- -- 4.971990/1991 Kumu1atif 10.50 5.90 7.15 8.21 5.24 9.84 4.76 7.26 J'1991/1992 Kumulatif 6.70 9.52 9,26 9.03 8.65 9.10 8.98 8.09 10 51992/1993 Kwitulatif 7,05 lJ,27 9,24 7.72 9.30 9.08 8.63 8.80 I ,501993/1994 Kumulatif 7,72 4.43 6.52 9.12 6.85 7.00 5.80 5.14 7.291994/1995 Kumulatif 8.26 8.83 8;73 7.23 6.12 6.63 9,46 8.98 9.471995/1996 JuDi 0.78 0.77 0.42 -0.17 -2,41 0.87 -0.17 0.78 0.22

September 0.20 -{),39 -0,11 -0.60 -0,86 0.16 0.19 1.01 0.60Desember 0,67 0,59 1,05 1,12 2,99 1,7 0.77 0,14 0,63Maret 0,12 -1,19 0,56 0,29 -0.78 -0.39 -1.48 -0.32 -1.16Kumulatlr 8,38 9,51 8;08 7,38 7,56 9,87 6,87 9,71 10,3

1996/1997 April 1.63 1,3 1,65 -1,22 -1.24 -0.41 0.28 -0.63 0,93Mei -0.14 -1.67 -2.20 -1,18 -0.40 0.84 -0.70 0.31 0.31JuDi 0,1 0,13 0,1 0,34 -0.18 -0,15 1,07 0.18 0.04Juli 1,14 0.65 1,01 2,02 2.82 0.21 1.67 0.55 0.65Agustus -0.03 0.71 1,8 -0.35 -0,34 0.59 -0,43 0,02 0.06September -0.30 -0,07 "':0.49 -0.83 (\82 0.25 -0.70 0,2 -0.09Oktober 2.20 2.07 0.10 1,48 0.62 -0,01 1.20 -0.04 0.15November 0.07 0.49 0.27 0,56 0,48 0.32 0.67 1.41 0.72Desember 0.29 0.61 1,07 1 1,05 1.40 0,62 0.72 0,38KumiJlatlf 2) 4,96 4,22 3,34 1,82 3,63 3,04 3,68 2,72 3,15

Akhir periodekumulatif

Tabel 111.2PERUBABAN INDEKS UMUM BARGA KONSUMEN DI 27 KOTA DI INDONESIA!), 1984/1985 - 1996/1997

( dalam persentase )

Bandung Semarang Yogyakarta Surabaya Denpasar Mataram Kupang Dili Pontianak

1984/1985 Kumulatif 3,48 2,97 3,26 4,39 5,98 1,76 0,96 -- 2,91985/1986 Kumulatif 6,81 5,11 5,95 5,13 11,35 8,24 8,55 -- 8,051986/1987 Kumulatif 8,76 9,16 8,28 9,87 9,76 9,92 11,47 -- 8,941987/1988 Kumulatif 9,47 9,89 9,48 7,54 11,88 10,16 5,62 .- 9.281988/1989 Kumulatif 5,33 6,07 6.17 6,95 7,66 6,95 4,35 .- 6;811989/1990 Kumu1atif 5,45 4,65 4,99 6,21 7,67 10,4 8,61 -- 7.101990/1991 Kumu1atif 9,62 9,76 10,43 9,85 11,17 10,14 5,62 5,73 9,111991/1992 Kumu1atif 9,19 10,32 9,62 10,14 8,87 7,33 6,59 5,77 9,581992/1993 Kumu1atif 8,41 9,14 8,4 9,54 11,04 9.60 10,11 I 8.251993/1994 Kumu1atif 8,05 4,61 7,24 8,39 7,2 7,89 7,34 3 7,411994/1995 Kumu1atif 7,26 7,55 9,5 7,85 5,8 8,89 6,41 9,42 6.541995/1996 Juni 0,26 0,06 -0,41 -0,05 -0,73 0,18 0,3 -0,44 0,65

September 0,27 0,5 0,64 0,71 - 0.16 0.73 0,04 0,56 0,28Desember 0,9 0,31 0,84 0,19 1,19 1,18 1,14 1,16 2,37Maret 0,17 -0,12 -0,37 0,05 0,31 0,24 0,35 -0,1 -1,34Kumulatif 7,58 6,69 7,73 8,24 6,47 6,59 6,45 5,45 8,59

1996/1997 April 0,91 1,06 -1,05 1,17 0,10 -0,26 2,43 1,02 1,44Mei 0,11 -0,02 -0,07 0,81 -0,26 0.29 -0,31 -0,73 - 0,48Juni -0,01 0,01 0,1 -0,38 -0,73 -0,72 -0,45 3,8 0,24Ju1i 0,65 0,64 0,6 0,5 0,17 1.20 0,31 -0,36 -0,13Agustus 0,29 0,16 -0,66 1,09 0,76 0,41 -0,11 0,12 -0,28September 0,04 0,26 0,15 0.08 0,28 -0,89 0,41 -0,06 0,94Oktober 1,03 0,2 0,66 0,03 -0,27 3,29 0,11 0,44 -0,62November 0,19 0,37 1,03 0,3 1,25 0,83 0,16 0,75 1,67Desember 0,17 0,12 0,33 0,32 0,36 0,37 2,48 -1,11 0,57Kumulatif I) 3,38 2,80 1,09 3,92 1,10 4,52 5,03 3,87 3,35

1) Sampat dangan bulan Dasamber

Akbir periode kumulatifl

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 107

Page 108: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Palangka UjungRaya Pandang

198411985 Kumu1atif -- 3,31 -- 1,5 -- 5,33 -- 0,05 2,311985/1986 Kumu1atif -- 4,72 .- 8,29 -- 4,67 -- 2,87 2,021986/1987 Kumulatif .- 8,38 -- 12,47 -- 6,47 -- 8,03 13,091987/1988 Kumulatif .. 10,45 .. 7,12 -. 7,24 -- 17,25 6,671988/1989 Kumulatif -- 4,22 -- 7,45 -- 4,6 -- 21,34 6,311989/1990 Kumulatif -- 8,01 -- 3,73 .. 6,17 -- 25,37 5,991990/1991 Kumulatif 9,81 9,26 7,97 7,85 6,99 6,04 9,69 6,55 5,691991/1992 Kumulatif 9,79 8,28 11,6 8,25 6,89 7,71 12,25 5,24 6,791992/1993 Kumulatif 7,21 9,46 6,46 6,54 8,66 8,79 9,83 8,53 7,991993/1994 Kumulatif 8,99 4,42 6,45 10,55 5,84 5,94 8,09 6,11 9,34199411995 Kumulatif 10,33 8,22 10,31 9,12 8,02 10,1 9,1 8,09 8,92

1995/1996 luni -1,45 0,59 0,79 0,92 1,64 0,34 1,64 0,34 1,61September 0,34 -0,03 0,18 0,42 0,29 0,13 -0,23 -0,3 0,28Desember I,ll 0,94 1,79 2,77 2 1,33 1,2 -0,96 1,46Maret -0,08 -1,57 -0,33 0,32 -0,62. -0,2 -0,73 0,41 0,02Kumu1atif 1) 3,22 7,61 6,45 10,22 9,8 8,12 4,94 5,18 4,67

1996/1997 April 0,33 0,99 -0,42 0,72 0,86 0,84 3,05 1,04 1Mei -0,01 0,85 0,1 1,5 -0,61 -1,39 0,32 -0,17 0,58luni -0,29 -1,53 -0,28 -1,11 1,58 -0,44 0,09 0,5 0,17luli 0,2 0,49 1,08 2,01 1,31 0,57 1,31 0,43 2,37Agustus -0,18 -0,21 -0,12 -0,34 0,34 -0,19 0,56 0,57 0,27September 0,14 0,1 0,89 0,1 -2,88 -0,56 -0,42 -0,06 0,77Oktober -0,25 0,04 0,1 0,66 0,8 -0,05 -0,04 0,56 -0,47November 0,29 0,11 1,2 0,12 0,1 0,57 -0,42 0,64 -0,06Desember 1,09 1,25 0,32 0,32 1,14 2,21 0,26 1,88 1,79Kumulatif I) 1,32 2,09 2,87 3,98 2,64 1,56 4,71 5,39 6,42

Akhir periodelkumulatif Banjarmasin Samarinda Manado Palo Kendari Ambon Jayapura

3.2.3. Harga emas dan mata uang asing

Harga emas di pasar internasional akhir-akhir ini cenderung menurun sebagai akibat

dari lemahnya permintaan, sementara jumlah penawaran emas di pasar bertambah.

Kecenderungan penurunan harga emas ini terjadi di pasar New York, London, dan Hongkong,

yaitu dari sekitar US$ 393 sampai dengan US$ 400 per troy ounce pada awal tahun anggaran

1996/1997 turun menjadi sekitar US$ 379 sampai dengan US$ 380 per troy ounce pada awal

bulan November 1996. Khusus untuk harga emas di bursa London, sejak bulan April 1996

sampai dengan bulan Agustus 1996, mengalami fluktuasi yaitu sekitar US$ 386,45 per troy

ounce sampai dengan US$ 391,50 per troy ounce. Kemudian dalam bulan September, Oktober,

dan November 1996 harga emas kembali melemah dengan tingkat harga rata-rata US$ 378,71

per troy ounce atau mengalami penurunan sebesar 2 persen dibandingkan dengan harga yang

dicapai bulan sebelumnya sebesar US$ 386,45 per troy ounce, dan 4,45 persen lebih rendah bila

dibandingkan dengan tingkat harga bulan Maret 1996 sebesar US$ 396,35 per troy ounce.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 108

Page 109: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Perkembangan harga emas di pasar internasional yang bersifat fluktuatif tersebut, juga

berpengaruh terhadap perkembangan harga emas di dalam negeri. Di pasar Jakarta harga emas

mulai mengalami penurunan, dalam bulan Juni dan Juli 1996 rata-rata 0,54 persen per bulan.

Kemudian dalam bulan November 1996 harganya kembali meningkat setelah dalam bulan

sebelumnya sempat melemah dari Rp 27.775 per gram dalam bulan September 1996 menjadi Rp

27.740 per gram dalam bulan Oktober 1996. Dalam bulan November 1996 harga emas di pasar

Jakarta mencapai Rp 27.819 per gram, yang berarti mengalami penurunan sebesar 0,65 persen

dibandingkan dengan harga pada bulan Maret 1996.

Kelesuan harga emas yang terjadi dalam tahun ini antara lain disebabkan oleh jumlah

permintaan terhadap emas di pasar internasional semakin berkurang. Hal ini juga seiring dengan

rencana International Monetary Fund (IMF) untuk menjual sebagian cadangan emasnya ke

pasar. Perkembangan harga emas di pasar Jakarta dan di pasar London dapat dilihat dalam Tabel

III.3.

Terjadinya globalisasi di sektor keuangan dalam dekade terakhir ini, telah menyebabkan

suatu kecenderungan adanya polarisasi kelompok kekuatan mata uang asing, yaitu Amerika

Serikat dengan mata uang dolar, Eropa dengan mark Jerman dan poundsterling Inggris, serta

Jepang yang bertumpu pada mata uang yen, yang ketiganya merupakan kekuatan yang sangat

berpengaruh dalam globalisasi keuangan. Dengan demikian, gejolak nilai tukar mata uang asing

dunia sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar mata uang ketiga kelompok tersebut, sebagai

akibat dari diberlakukannya atau dihapuskannya kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi negara-

negara bersangkutan. Perkembangan ini akan mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap mata

uang asing di pasar Indonesia.

Perkembangan pasar mata asing di dalam negeri dalam tahun anggaran 1996/1997

ditandai dengan derasnya arus masuk dana luar negeri. Hal ini antara lain disebabkan adanya

perbedaan antara suku bunga dalam dan luar negeri yang semakin menarik arus masuk dana ke

dalam negeri, serta sebagai akibat semakin berkembangnya pasar modal dalam negeri (portfolio

investment). Derasnya arus masuk modal luar negeri jangka pendek yang terutama digunakan

untuk kegiatan spekulasi dapat menimbulkan tekanan-tekanan terhadap kestabilan moneter,

serta dapat menimbulkan gejolak nilai tukar di pasar mata uang asing di dalam negeri.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 109

Page 110: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Jakarta London(24' dalam

1984/1985 11.557 339,221985/1986 11.762 331,41986/1987 17.080 382,351987/1988 24.230 458,531988/1989 23.392 417,441989/1990 22.425 381,951990/1991 22.912 373,451991/1992 22.582 356,71992/1993 22.399 3391993/1994 25.605 386,35

25.945 387,95September 25.990 394,25Desember 25.655 375,95Maret 26.500 391.85

27.000 383,95September 27.000 383,75Oesember 27.100 405,45Maret 28.000 396,35

28.000 391,5Mei 28.000 390,5Joni 27.769 382,1Joli 27.700 385,1Agustus 27.710 386,45September 27.775 378,55Oktober 27.740 378,65November 27.819 378,94

HARGA RATA-RATA EMAS DI PASAR JAKARTA DAN

(US$/troy ounce)

DI P ASAR LONDON, 1984/1985 - 1996/1997

1994/1995 Joni

1995/1996 Juni

1996/1997 April

Tabel Ill.3

Periode

Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengendalian moneter dan menjaga kestabilan

nilai tukar rupiah pada tingkat yang wajar dan realistis serta untuk mengurangi tekanan atas

cadangan devisa negara, dalam tahun anggaran 1996/1997 Pemerintah kembali mengeluarkan

kebijaksanaan penyempurnaan nilai tukar melalui pelebaran spread kurs intervensi (intervention

band) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dalam tahun anggaran 1996/1997 ini telah

dilakukan dua kali pelebaran kurs intervensi yaitu pada tanggal 13 Juni 1996 (dari Rp 66

menjadi Rp 118) dan pada tanggal 11 September 1996 (dari Rp 118 menjadi Rp 192). Batas

kurs intervensi ini dimaksudkan sebagai batas bagi bank untuk dapat membeli dolar Amerika

dari Bank Indonesia, yaitu apabila kurs Rp/US$ antar bank berada pada atau lebih tinggi

daripada batas atas intervention band, atau untuk dapat menjual dolar Amerika Serikat kepada

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 110

Page 111: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Bank Indonesia apabila kurs Rp/US$ antar bank berada atau lebih rendah daripada batas

intervention band.

Kebijaksanaan lainnya yang dilakukan Pemerintah guna mencegah timbulnya gejolak

pasar mata uang asing yang dapat menimbulkan ketidakstabilan moneter adalah menjalin

kerjasama dengan Bank Sentral/Otoritas Moneter Australia, Hongkong, Malaysia, Singapura,

dan Thailand dalam bentuk bilateral repurchase agreement. Kerjasama tersebut dimaksudkan

untuk lebih meningkatkan likuiditas cadangan devisa masing-masing bank/otoritas moneter

negara bersangkutan, sehingga dapat dipergunakan untuk menghadapi gejolak pasar mata uang

asing.

Dalam pada itu perkembangan harga beberapa mata uang asing di Jakarta dalam delapan

bulan pertama tahun anggaran 1996/1997, terkecuali untuk mata uang poundsterling Inggris dan

dolar Hongkong, cenderung melemah terhadap rupiah. Mata uang asing yang mengalami

depresiasi tertinggi terhadap rupiah dalam periode April-November 1996 adalah yen Jepang,

franc Swiss, dan guilder Belanda, dengan persentase penurunan berkisar dari 1,83 persen sampai

dengan 5,35 persen. Sebaliknya poundsterling Inggris dalam periode yang sama mencatat

apresiasi terhadap rupiah sebesar 9,32 persen. Sementara itu dolar Amerika Serikat dalam

periode yang sama mengalami apresiasi terhadap rupiah sebesar 0,26 persen, yaitu dari Rp 2.342

dalam bulan Maret 1996 rnenjadi Rp 2.348 dalam bulan November 1996. Perkembangan harga

beberapa mata uang asing di Jakarta dapat dilihat dalam Tabel III.4 dan Grafik III.2.

3.2.4. Harga barang-barang ekspor nonmigas

Perkembangan harga barang-barang ekspor, khususnya yang berasal dari sektor perkebunan, seperti karet,

kopi, kopra, dan sebagainya, dalam periode April-Oktober 1996 pada umumnya mengalami penurunan, baik di

pasar dalam negeri maupun di pasar internasional. Perkembangan yang kurang menggembirakan tersebut antara

lain dipengaruhi oleh jumlah stok yang dikuasai oleh konsumen serta persaingan yang cukup tinggi dari beberapa

negara produsen barang-barang sejenis, sehingga kondisi tersebut mampu menekan harga di

pasaran. Dalam periode April-Oktober 1996 harga rata-rata beberapa komoditi ekspor Indonesia

di pasar internasional, seperti minyak sawit di pasar London, karet RSS III di pasar New York,

London, dan Singapura, kopi robusta di pasar New York, dan lada putih di pasar London,

mengalami penurunan jika dibandingkan dengan harga rata-rata yang dicapai dalam periode

yang sama tahun sebelumnya. Dari beberapa jenis komoditi tersebut di atas, harga rata-rata kopi

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 111

Page 112: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

robusta mengalami penurunan cukup besar, yaitu 35,02 persen. Berbeda dengan komoditi

tersebut di atas, perkembangan harga rata-rata kopra, baik di pasar Manila maupun di pasar

London, dalam periode yang sama mengalami kenaikan, masing-masing sebesar 14,51 persen

dan 21,79 persen. Namun demikian jika diamati perkembangan bulanannya dalam periode

April-Oktober 1996 harga komoditi kopra, khususnya di pasar London, nampak berfluktuasi

dengan kecenderungan melemah. Dalam bulan Oktober 1996 harga kopra di pasar London

hanya mencapai US$ 136,23/lt, atau 22,82 persen lebih rendah dibandingkan harga bulan Maret

1996 yang mencapai US$ 176,50/lt.

US$ V £ HK$ Sin $ OM CHF NLG

198411985 1.053,14 4,31 1.341,92 131,12 488,35 356,09 426,08 315,181985/1986 1.124,33 5,21 1.512,31 141,8 519,5 422,03 504,43 312,251986/1987 1.410,81 8,96 2.125,98 185,66 653,05 707,53 852,49 623,391987/1988 1.653,98 12,04 2.828,42 215,83 800,69 946,41 1.148,21 839,211988/1989 1.712,32 13,37 3.027,75 222,05 862,58 953,88 1.135,49 845,041989/1990 1.792,93 12,56 2.899,01 232,03 928,12 976,62 1.112,75 865,371990/1991 1.875,57 13,39 3.469,37 243,64 1.059,17 1.192,44 1.405,18 1.058,081991/1992 1.978,87 14,87 3.443,08 256,85 1.163,95 1.181,45 1.352,33 1.054,821992/1993 2.053cO5 16,46 3.505,97 267,08 1.259,59 I'Clon 1.455,26 1.167,531993/1994 2.112,24 19,57 3.186,52 274,86 1.319,17 1. I,ll 1.443,34 1.123,071994/1995 Juni 2.169,- 21,18 3.325,-- 285,- 1.423,-- 1. 34,-- 1.581,- 1.190,--

September 2.186,-- 22,07 3.424,-- 285,-- 1.466,-- 1.405,- 1.686,-- 1.253,--Desember 2.196,-- 22,02 3.450,-- 286,-- 1.501,- 1.398,- 1.662,- 1.251,--Maret 2.237,-- 22,48 3.574,-- 292,-- 1.571,-- 1.582,-- 1.896,- 1.411,-

1995/1996 Juni 2.242,- 26,54 3.606,-- 292,-- 1.605,-- 1.604,-- 1.950,-- 1.435,--September 2.284,- 22,73 3.570,- 298,-- 1.592,-- 1.556,-- 1.924,-- 1.393,--Desember 2.303,- 22,65 3.583,- 301,-- 1.625,-- 1.603,-- 1.986,-- 1.431,--Maret 2.342,-- 22,13 3.595,- 305,-- 1.662,-- 1.587,-- 1.961,-- 1.417,--

199611 997 April 2.346,- 21,91 3.568,- 305,- 1.663,- 1.559,- 1.931,- 1.401,--Mei 2.345,- 22,12 3.582,- 305,- 1.662,- 1.531,- 1.886,-- 1.312,--Juni 2.346,- 21,64 3.659,- 307,- 1.664,- 1.537,-- 1.871,- 1.374,--Juli 2.348,- 21,53 3.682,- 306,-- 1.658,-- 1.559,- 1.903,-- 1.392,--Agustus 2.356,- 21,9 3.687,- 306,-- 1.665,-- 1.590,-- 1.962,-- 1.417,--September 2.351,- 21,5 3.691,-- 306,-- 1.665,-- 1.566,- 1.927,-- 1.398,--Oktober 2.337,- 20,96 3.727,-- 305,-- 1.656,-- 1.534,-- 1.866,-- 1.370,--Nopcmber 2.348,- 21,02 3.930,-- 306,-- 1.672,-- 1.558,-- 1.856,-- 1.391,--

Periode

BARGA RATA-RATA BEBERAPA JENIS MAT A UANG ASING DI JAKARTA, 198411985 - 199611997( harga jual daIam rupiah per satuan )

Tabel IDA.

Melemahnya harga beberapa barang ekspor utama di pasar internasional juga

memberikan pengaruh cukup berarti terhadap perkembangan harga barang sejenis di pasar

dalam negeri, seperti karet RSS I dan kopra. Di pasar Jakarta kedua jenis komoditi tersebut

dalam periode April-Oktober 1996 cenderung mengalami penurunan setiap bulannya. Karet

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 112

Page 113: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

RSS I yang harganya sempat meningkat dalam bulan pertama tahun anggaran 1996/1997, dalam

bulan-bulan berikutnya harganya terus melemah hingga mencapai harga Rp 2.820.000 per ton

dalam bulan Oktober 1996. Dengan demikian selama periode April-Oktober 1996 harga karet

RSS I mencatat penurunan sebesar 12,56 persen. Perkembangan yang hampir sama juga terjadi

pada komoditi kopra dimana dalam perdagangan bulan Oktober 1996 harga komoditi ini ditutup

pada tingkat Rp 838.000 per ton. Dibandingkan dengan tingkat harga yang dicapai dalam bulan

Maret 1996, maka dalam periode April-Oktober 1996 komoditi tersebut mengalami penurunan

harga sebesar 12,89 persen. Berbeda dengan kedua komoditi tersebut di atas, harga lada putih

dan kopi robusta memperlihatkan perkembangan yang mulai membaik. Harga lada putih mulai

meningkat sejak bulan Agustus 1996 sampai dengan bulan Oktober 1996. Namun demikian

harga rata-rata yang diperoleh selama periode April-Oktober 1996 masih lebih rendah jika

dibandingkan dengan harga yang terjadi dalam bulan Maret 1996. Sementara itu harga kopi

robusta mulai meningkat sejak bulan September 1996 setelah dalam lima bulan sebelumnya

secara berturut-turut terus melemah. Dalam bulan Oktober 1996 harga yang dicapai sebesar Rp

4.717.000 per ton, jauh lebih tinggi dari tingkat harga dalam bulan Maret 1996 sebesar Rp

4.300.000 per ton. Dengan demikian dalam periode April-Oktober 1996 harga kopi robusta

mengalami kenaikan sebesar 9,70 persen. Perkembangan harga beberapa barang ekspor primer,

baik di pasar internasional maupun di pasar dalam negeri dapat dilihat dalam Tabel III.5, Tabel

III.6, dan Grafik III.3.

3.2.5. Indeks harga perdagangan besar (IHPB)

Indeks harga perdagangan besar, yang juga merupakan salah satu indikator

perkembangan harga-harga di dalam negeri pada tingkat pedagang besar/grosir, dalam tahun

1995 mengalami kenaikan sebesar 11,63 persen, yaitu dari 215 dalam tahun 1994 menjadi 240

dalam tahun 1995.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 113

Page 114: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Karet Kopra Lada KopiRSSI (Sulawesi) putih robusta

1984/1985 807,7 471,9 2.779,20 1.320,801985/1986 762,8 308,9 4.710,80 2.160,401986/1987 1.115,20 364,7 6.673,20 2.619,501987/1988 1.562,00 452 7.742,40 2.500,001988/1989 1.784,30 570,8 5.673,30 2.100,001989/1990 1.419,00 486,4 3.567,20 1.379,201990/1991 1.445,00 339 2.580,00 1.386,001991/1992 1.436,60 547,8 2.129,50 1.500,501992/1993 1.669,50 562 3.250,00 1.738,001993/1994 1.822,00 560 5.400,00 2.741,001994/1995 4.065,00 808 6.894,00 4.914,00

3.936,00 815 7.202,00 4.772,00Mei 3.873,00 800 7.485,00 4.793,00Juni 3.356,00 825 7.485,00 4.674,00Jull 2.912,00 850 7.179,00 4.674,00Agustus 2.724,00 878 7.269,00 4.674,00September 2.883,00 875 7.175,00 4.674,00Oktober 3.026,00 875 7.042,00 4.674,00November 3.419,00 908 6.794,00 4.674,00Desember 3.485,00 908 6.586,00 4.674,00Januari 3.399,00 962,5 7.570,00 4.300,00Februari 3.336,00 962,5 7.775,00 4.350,00Maret 3.225,00 962,5 7.850,00 4.300,00

3.267,50 950 7.337,00 4.300,00Mei 3.280,00 940 7.275,00 4.300,00Juni 3.252,50 940 6.562,00 4.050,00Jull 3.047,50 930 5.950,00 4.000,00Agustus 2.947,50 895 6.900,00 4.000,00September 2.875,00 858 7.259,00 4.352,00Oktober 2.820,00 838 7.325,00 4.717,00

BARGA RATA-RATA BEBERAPA BARANG EKSPOR DI PASAR

1995/1996 April

Tabel Ill.5

198411985 - 1996/1997( dalam ribu rupiah per ton)

Periode

1996/1997 April

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 114

Page 115: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Rssnl Kopl robusta Lad. putlh Lada hitam Tlmah putIh MinyakSawit PlywoodUS $ ctIIb Br £/kg Sin $ dIkg US $/II US $/II US $ ctIIb US $/q US$Jq Dr Umt Dr flit 1USbeeI

(New York) (London) (Slngapura) (Manll8) (London) eb PaIem- (New York) (New York) (London) EM M818J11a (TokJO)(New York) (London)

1984/1985 44,46 70,21 174,99 SO2,86 658,76 123,94 253.37 104,98 9.525,78 641,- -1985/1986 40,8 59.31 158,01 296,61 330,23 123,41 - 182,.- 7.487,86' 445,07 1.032,-1986/1987 42,92 58,16 172,49 220,64 203,3 120,53 277,50" 240,75" 7.395,- 269.so 1.096,391987/1988 50,12 63,43 206,68 341,41 322,49 92,25 264,42 250,12 4.031,73 361,14 1.300,551988/1989 54,09 68,74 227,58 396.27 378,85 95.32 311,96 250,45 4.220,55 428,9 912,221989/1990 46,82 58,17 165,62 321,96 168,--') 61,66 524,27 455,84 7.658,56 320.38 1.037,501990/1991 46,- 49,9 144,5 222,3 158,33 45,94 2,56;Y 2,73" 5.880,63 303.32 1.224,381991/1992 43,06 52,02 134,99 - 142,24 41,48 2,22 2,02 5.618,44 404,9 1.065,--1992/1993 43,48 62,44 134,42 - 140,1 37,79 2,65 1,71 5.653,63 414,69 1.160,-1993/1994 45,28 67,71 145,86 354,-- - 61,46 4,44 2,44 5.423,75 396,76 1.210,-1994/1995 88,63 118,85 263,79 437,67 124,9 14O3 5,22 3,23 5.543,20 716,1 1.200,-1995/1996 Juli 74,85 94,36 215,06 428,5 123,73 123,64 5,23 3,43 6.661,59 655,11 980,--

September 67,82 91,19 195,3 439,25 133,19 107,53 5,33 3,2 6.319,67 6O5..s5 t070,--Desember 78,2 109,24 213,33 464,-- 172,12 93,04 4,75 2,78 6.288,67 590,63 1.060,--Maret 76,1 IOS,I1 219,85 464,67 176.so 100,62 5,24 2,71 6.167,69 519,03 1.200,--

1996/1997 April 71.16 99,14 209,24 506,-- 188,29 89.38 5 2,71 6.428,10 565,24 1.200,--Mei 71,66 99,46 210,19 503,-- 190,75 86,14 4,95 2,62 6.547,50 557.so 1.200,--Juni 72,5 99,63 210,75 525,25 - 88,99 4,97 2,65 6.333,75 556,25 1.220,--Juli 65,17 88.83 186,78 515,-- 145,81 71,34 4,15 2,73 6,264,50 477,5 1.230,--Agustus 63,27 86,33 183,62 475,- 149,71 75,37 4,76 2,87 6.104,90 514,32 1.250,-September 63,5 86,36 182,76 475,-- 147,85 70,95 5,05 3,3 6.102,40 548,-- 1.270,--Oktober 61,5 81,44 175,4 488,33 136,23 69,99 5,3 3,34 5.935,82 500,-- -

KopraPeriode

BARGA RATA-RATA BEBERAPA BARANG EKSPOR UTAMA PASAR INTERNASIONAL, 1984/1985 .199611997Tabel III.6

-

Kenaikan tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan kenaikannya dalam empat tahun

sebelumnya, sekaligus merupakan kenaikan cukup besar yang ketiga kalinya selama periode

1984 sampai dengan 1996. Kenaikan IHPB tertinggi selama periode tersebut terjadi pada tahun

1987 sebesar 22,41 persen. Apabila diamati berdasarkan sektor-sektor yang tercakup dalam

penghitungan IHPB, kenaikan IHPB dalam tahun 1995 sebagian besar dipengaruhi oleh

kenaikan indeks harga sektor pertanian sebesar 19,13 persen, sektor ekspor sebesar 13,38

persen, dan sektor pertambangan dan penggalian sebesar 12,24 persen. Sementara indeks harga

sektor-sektor lainnya, yang meliputi sektor industri dan sektor impor meningkat masing-masing

sebesar 10,82 persen dan 6,98 persen.

Dalam tahun 1996 (sampai dengan bulan September) IHPB tercatat sebesar 256, atau

mengalami kenaikan sebesar 6,67 persen dibandingkan dengan IHPB tahun 1995. Sektor-sektor

yang memberikan pengaruh besar terhadap perubahan IHPB dalam tahun 1996 tersebut adalah

sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian, yang mengalami peningkatan

masing-masing sebesar 11,55 persen dan 10,15 persen. Perkembangan indeks harga

perdagangan besar dapat dilihat dalam Tabel III.7.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 115

Page 116: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

3.2.6. Indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi

Indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi, yang mencakup 5 jenis

bangunan/konstruksi, dalam tahun 1995 tercatat sebesar 246. Dengan demikian terjadi kenaikan

sebesar 9,82 persen dibandingkan dengan indeks harga yang dicapai tahun sebelumnya.

Kenaikan tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh indeks harga jenis bangunan pekerjaan

umum untuk pertanian, yang mengalami kenaikan sebesar 12,34 persen, yang disusul kemudian

oleh kenaikan indeks harga pekerjaan umum untuk jalan, jembatan, dan pelabuhan sebesar

11,30 persen, bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal sebesar 9,73 persen, dan

bangunan lainnya sebesar 9,91 persen.

Dalam tahun 1996 (sampai dengan bulan September) indeks harga perdagangan besar

bahan bangunan/konstruksi kembali meningkat dibandingkan indeks tahun sebelumnya, namun

peningkatannya lebih kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jenis bangunan/konstruksi

yang mengalami kenaikan indeks harga tertinggi adalah pekerjaan umum untuk pertanian

sebesar 7,58 persen, sedangkan kenaikan indeks terkecil terjadi pada bangunan dan instalasi

listrik, gas, air minum, dan komunikasi sebesar 3,20 persen. Perkembangan indeks harga

perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi dapat dilihat dalam Tabel III.8.

3.3. Gaji dan upah di berbagai sektor

Sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan para pekerja melalui kebijaksanaan upah

minimum regional (UMR), perkembangan tingkat upah di berbagai sektor ekonomi, baik untuk

tingkat upah minimum maupun tingkat upah maksimum, pada umumnya mengalami

peningkatan. Dalam tahun 1996 (sampai dengan bulan Juni) kenaikan tingkat upah minimum

terjadi pada sektor pertambangan, sektor bangunan, sektor perdagangan, dan sektor jasa-jasa,

dengan persentase kenaikan berkisar antara 7,44 persen sampai dengan 25,33 persen. Sementara

itu untuk tingkat upah maksimum, kenaikan yang cukup menonjol terjadi pada sektor bangunan

dan sektor perdagangan, dengan persentase peningkatan masing-masing sebesar 18,82 persen

dan 18,42 persen. Kenaikan terendah sebesar 7,99 persen terjadi di sektor pertambangan.

Perkembangan upah maksimum dan minimum di beberapa sektor ekonomi dapat dilihat dalam

Tabel III.9.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 116

Page 117: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

PertambanganTahun Pertanian dan Penggalian Industri Impor Ekspor Indeks

(%)-1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8

1984 113 109 108 113 112 111 + 11,461985 118 117 115 119 113 110 + 4,51986 128 125 124 129 85 116 01987 145 132 143 158 118 142 + 22,411988 163 143 156 164 118 149 + 4,931989 177 156 166 178 131 162 + 8,721990 191 169 176 191 159 178 + 9,881991 206 188 194 201 153 187 + 5,061992 225 201 206 208 159 197 + 5,351993 251 218 218 0,211 157 204 + 3,551994 298 237 231 215 157 215 + 5,391995 355 266 256 230 178 240 + 11,6319961) 396 293 265 242 191 256 + 6,67

Perubahan

Tabe III 7INDEKS BARGA PERDAGANGAN BESAR, 1984 . 1996

( 1983 = 100)

indeks umum

1) Sampai dengan bulan September

Bangunantem- Pekerjaan Pekerjaan umum Bangunan dan Bangunan IndeksTahun pat tinggal dan umum ootuk jalan, instalasi listrik, lainnya umum iDdeks

bangunan bukan ootuk jembatan dan gas, air minum, umumtempat tinggal pertaDian pelabuhan dan komunikasi (ox,)

1984 107 109 108 107 108 108 + 81985 112 115 114 111 113 113 + 4,631986 119 121 120 117 119 119 + 5,311987 131 130 132 134 133 1321988 144 142 147 148 147 145 + 9,851989 160 159 163 161 162 1601990 174 178 177 171 176 174 + 8,751991 188 195 194 183 194 190 + 9,21992 198 206 205 191 204 200 + 5,261993 213 223 219 200 214 213 + '6,501994 226 235 230 206 222 224 + 5,161995 248 264 256 219 244 246 + 9,821996 1) 264 284 274 226 257 260 + 5,69

Tabel III.8

MENURUT JENIS BANGUNAN, 1984 . 1996

Perubahan

10,92

10,34

INDEKS BARGA PERDAGANGAN BESAR BAHAN BANGUNANIKONSTRUKSI

(1983 = 100)

1) Sampai dengan bulan September

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 117

Page 118: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

3.4. Perkembangan uang beredar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

Dalam menjaga keseimbangan dan kemantapan ekonomi makro dalam tahun anggaran

1996/1997 Pemerintah terus melaksanakan kebijaksanaan moneter, fiskal, dan sektor riil secara

terpadu dan saling menunjang berdasarkan prinsip kehati-hatian. Di sektor moneter

kebijaksanaan diarahkan untuk mengendalikan pertumbuhan dan sumber ekspansi yang beredar

khususnya ekspansi kredit perbankan dan arus masuk modal luar negeri. Di samping itu guna

meningkatkan efektivitas pengendalian moneter Pemerintah telah merubah ketentuan cadangan

wajib minimum menjadi giro wajib minimum (GWM) dengan mewajibkan bank-bank umum

menyimpan 3 persen dari dana pihak ketiga dalam bentuk giro pada Bank Indonesia.

Selanjutnya dalam upaya mengendalikan kredit perbankan dilakukan imbauan moral kepada

bank-bank agar lebih berhati-hati dalam penyaluran kreditnya. Sejalan dengan upaya tersebut

bank-bank devisa diwajibkan untuk menaikkan nisbah kewajiban penyediaan modal minimum

(KPMM) secara bertahap hingga mencapai 12 persen dalam waktu enam tahun sejak September

1995. Kebijaksanaan moneter yang ditempuh Pemerintah selama ini dimaksudkan untuk

mengatur jumlah uang beredar agar sesuai dengan kebutuhan riil dalam perekonomian, sehingga

aktivitas kegiatan pembangunan dapat dijalankan sesuai dengan rencana yang digariskan-dalam

Repelita VI.

Hasil dari berbagai kebijaksanaan tersebut tercermin pada pertumbuhan uang beredar

yang terkendali dan tercapainya proses konsolidasi perbankan. Pertumbuhan uang beredar (M1)

dan likuiditas perekonomian (M2) dalam tahun anggaran 1994/1995 masing-masing meningkat

sebesar 18,5 persen dan 22,1 persen, dan dalam tahun anggaran 1995/1996 gang beredar (M1)

meningkat 18,4 persen serta likuiditas perekonomian (M2) naik 28 persen. Tingginya

peningkatan likuiditas perekonomian dalam tahun anggaran 1995/1996 terutama disebabkan

meningkatnya pertumbuhan uang kuasi, yang meliputi deposito berjangka dan tabungan, yang

dalam tahun anggaran tersebut naik sebesar 31,1 persen.

Posisi likuiditas perekonomian (M2) sampai dengan akhir Oktober tahun 1996

berjumlah sebesar Rp 268.320 miliar, yang meliputi uang beredar sebesar Rp 59.595 miliar (22

persen) dan uang kuasi sebesar Rp 208.725 miliar (78 persen). Dengan demikian, selama tahun

anggaran 1996/1997 sampai dengan akhir Oktober 1996 likuiditas perekonomian telah

menunjukkan kenaikan sebesar Rp 35.827 miliar atau 15,4 persen, yang berarti sedikit lebih

rendah dibandingkan peningkatan dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 118

Page 119: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Rp 29.447 miliar atau 16,2 persen.

Jumlah uang beredar (M1) sampai dengan akhir Oktober 1996 mencapai sebesar Rp

59.595 miliar, yang meliputi uang kartal sebesar Rp 21.441 miliar (36 persen) dan uang giral Rp

38.154 miliar (64 persen). Bila dibandingkan dengan posisi jumlah uang beredar

Sektor 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 19961)

( Rata-rata upab minimum )I. Perkebunan 50.266 67.538 100.590 134.740 149.699 169.812 240.439 272.440 272.4402. Penambangan 146.081 185.187 218.241 321.750 368.870 413.807 487.299 505.768 573.2293. Industri 115.701 130.263 171.957 186.069 187.800 195.527 206.907 238.474 238.4744. Bangunan 96.236 119.892 221.240 176.338 254.366 289.882 295.514 326.662 409.4045. Listrik 80.608 94.998 105.751 130.990 150.782 155.240 172.865 267.220 267.2206. Perdagangan 209.313 212.896 227.611 250.343 305.080 315.535 326.146 368.371 395.7957. Perhubungan 115.509 117.678 133.671 168.800 223.145 230.460 466.757 493.727 493.7278. Jasa-jasa 102.146 112.000 157.585 223.252 234.683 234.683 234.683 280.518 332.525( Rata-rata upab makSimum )I. Perkebunan 590.384 758.043 1.050.965 1.563,06 1.814.862 1.835.324 1.835.324 1.927.092 1.927.0922. Penambangan 1.593.079 1.979.561 2.269.215 3.869.560 3.950.119 4.495.389 4.668.740 4.905.578 5.297.4123. Industri 1.856.189 1.856.189 k997.947 2.2'14.380 2.704.974 2.920.324 3.111.889 3.453.347 3.453.3474. Bangunan 1.188.131 1.188.131 1.879.124 2.147.802 2.263.366 12.656.364 2.777.218 3.047.198 3.620.7985. Listrik 551.809 683.794 821.069 1.054.296 1.308.292 2.643.471 2.744.415 3.551.952 3.551.9526. Perdagangan 1.193.838 1.442.426 1.967.498 2.509.900 3.313.904 3.732.806 4.506.183 4.904.394 5.807.7347. Perhubungan 923.062 1.047.077 1.172.333 2.179.183 2.804.609 2.930.816 4.310.603 4.398.689 4.398.6898. Jasa-jasa 680.100 1.121.810 1.775.659 2.188.040 2.270.505 2.509.258 2.509.258 2.779.769 2.779.769

1) Sampal dengan bulan juli

Tabel III. 9UPAH MINIMUM DAN MAKSIMUM DI BERBAGAI SEKTOR, 1988 - 1996

( mpiah per bulan )

pada akhir Maret 1996 yang berjumlah sebesar Rp 53.162 miliar, maka dalam periode April-

0ktober 1996 jumlah uang beredar meningkat sebesar Rp 6.433 miliar atau 12,1 persen.

Kenaikan tersebut terutama bersumber pada kenaikan uang giral. Hal ini menunjukkan indikasi

meningkatnya peranan uang giral sebagai alat pembayaran pada transaksi finansial dalam

perekonomian. Dibandingkan dengan kenaikan dalam periode yang sama tahun sebelumnya

sebesar 12,2 persen, maka perkembangan uang beredar dalam periode April-Oktober 1996

relatif stabil. Berdasarkan perkembangan uang beredar dan likuiditas perekonomian, serta tetap

dilaksanakannya kebijaksanaan moneter yang berhati-hati, maka sampai dengan akhir tahun

anggaran 1996/1997 pertumbuhan uang beredar dan likuiditas perekonomian diperkirakan tidak

jauh dari target yang telah ditetapkan dalam tahun anggaran bersangkutan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar berasal dari pengaruh

menambah atas tagihan kepada lembaga/perusahaan dan perorangan sebesar 33.648 miliar, dan

aktiva luar negeri bersih sebesar Rp 4.293 miliar. Sedang pengaruh mengurang yang bersumber

dari sektor pemerintah, simpanan berjangka dan tabungan (uang kuasi), serta lainnya bersih,

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 119

Page 120: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

masing-masing sebesar Rp 416 miliar, Rp 29.394 miliar, dan Rp 1.698 miliar. Pengaruh

menambah atau ekspansi moneter yang bersumber dari tagihan kepada lembaga/perusahaan dan

perorangan sebesar Rp 33.648 miliar tersebut antara lain disebabkan tingginya ekspansi kredit,

sebagai akibat dari meningkatnya kebutuhan dana untuk pembiayaan investasi dan konsumsi.

Sedangkan pengaruh menambah dari aktiva luar negeri, terutama disebabkan oleh meningkatnya

realisasi penanaman modal asing (PMA) dan pinjaman luar negeri swasta. Sementara itu

pengaruh mengurang atau kontraksi moneter berasal dari sektor pemerintah, sebagai akibat dari

meningkatnya penerimaan di luar migas baik berasal dari sektor pajak maupun bukan pajak.

Perkembangan jumlah uang beredar dan likuiditas perekonomian, serta faktor-faktor yang

mempengaruhinya dapat dilihat dalam Tabel III.10, Tabel III.11, Tabel III.12

3.5. Perkiraan jumlah uang beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2), dan kredit

perbankan pada akhir tahun anggaran 1997/1998.

Kestabilan dan kemantapan ekonomi makro terus diupayakan Pemerintah dalam

mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi, yang dilakukan melalui kebijaksanaan moneter dan

fiskal secara terpadu dan berhati-hati yang diarahkan terutama untuk mengendalikan permintaan

domestik dan arus masuk modal luar negeri, agar laju inflasi cukup terkendali dan

keseimbangan neraca pembayaran semakin mantap. Dalam menunjang keberhasilan

pelaksanaan kebijaksanaan moneter dilakukan melalui penyempurnaan mekanisme piranti-

piranti moneter dan fleksibilitas nilai tukar, guna mengendalikan pertumbuhan jumlah uang

beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2), serta kredit perbankan. Memperhatikan

perkembangan hasil kebijaksanaan moneter yang ditempuh selama ini serta mempertimbangkan

target pertumbuhan inflasi dan prospek neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1997/1998

serta dampak moneter atas realisasi APBN tahun anggaran sebelumnya, maka jumlah uang

beredar, likuiditas perekonomian, dan kredit perbankan dalam periode tersebut diperkirakan

meningkat masing-masing sebesar 16 persen, 18 persen, dan 17 persen.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 120

Page 121: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Pada akhirTahun bulan Posisi % Posisi % Posisi Perubahan

tahunan

198411985 Maret 3.785 42,1 5.203 /5f§ 8.988 11,61985/1986 Maret 5.044 48,2 5.431 51,8 10.475 16,51986/1987 Maret 5.673 49,3 5.827 50,7 11.500 9,81987/1988 Maret 5.873 46,5 6.753 53,5 12.626 9,81988/1989 Maret 6.559 43,7 8.450 56,3 15.009 18,91989/1990 Maret 7.780 35,1 14.375 64,9 22.155 47,61990/1991 Maret 9.026 38,3 14.544 61,7 23.570 6,41991/1992 Maret 11.025 40,4 16.293 59,6 27.318 15,91992/1993 Maret 12.324 40,3 18.268 59,7 30.592 121993/1994 Maret 15.340 40,5 22.568 59,5 37.908 23,9199411995 Juni 15.825 39,7 24.061 60,3 39.886 -September 17.555 41,6 24. 640 58,4 42.195 -Desember 18.634 41,1 26.740 58,9 45.374 -Maret 18.902 42,1 26.006 57,9 44.908 18,51995/1996 Juni 19.186 40,8 27.859 59,2 47.045 -8et:tmber 19.564 40 29.417 60 48.981 -Desember 20.807 39,5 31.870 60,5 52.677 -Maret 21.121 39,7 32.041 60,3 53.162 18,4199611997 April 20.422 38,1 33.164 61,9 53.586 -Mei 20.632 38,4 33.119 61,6 53.751 -Juni 21.271 37,7 35.177 62,3 56.448 -Jull 20.673 35,8 37.043 64,2 57.716 -Agustus 21.504 37,3 36.094 62,7 57.598 -September 21.055 35,3 38.630 64,7 59.685 -Oktober 1) 21.441 36 38.154 64 59.595 -(Apr. - Okt.) - - - - -

1) Angka scmentara

Uang kartaI Uang giral Jumlah uang beredar

Tabel III,10JUMLAH UANG BEREDAR, 1984/1985 - 1996/1997

(dalam miliar rupiah)

-12,1

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 121

Page 122: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Pada akhirtahun/bulan Posisi % Posisi % Posisi Perubahan

% tahunan

1984/1985 Maret 8.988 46,2 10.459 53,8 19.447 23,41985/1986 Maret 10.475 43,3 13.693 56,7 24.168 24,31986/1987 Maret 11.500 40,4 16.991 59,6 28.491 17,91987/1988 Maret 12.626 35,4 23.034 64,6 25,21988/1989 Maret 15.009 34 29.158 66 44.167 23,91989/1990 Maret 22.155 34,4 42.212 65,6 64.367 45,71990/1991 Maret 23.570 29,1 57.554 70,9 81.124 261991/1992 Maret 27.318 27,1 73.478 72,9 100.796 24,31992/1993 Maret 30.592 24,8 92.568 75,2 123.160 22,21993/1994 Maret 37.908 25,5 110.921 74,5 148.829 20,81994/1995 Juni 39.886 26,1 112.912 73,9 152.798 -September 42.195 25,9 120.705 74,1 162.900 -Desember 45.374 26 129.138 74 174.512 -Maret 44.908 24,7 136.793 75,3 181.701 22,11995/1996 Juni 47.045 24,5 145.081 75,5 192.126 -September 48.981 23,8 157.098 76,2 206.079 -Desember 52.677 23,7 169.961 76,3 222.638 -Maret 53.162 22,9 179.331 77,1 232.493 281996/1997 April 53.586 22,5 184.418 77,5 238.004 -Mei 53.751 22,2 188.402 77,8 242.153 -Juni 56.448 22,6 192.995 77,4 249.443 -Jull 57.716 22,8 195.677 77,2 253.393 -Agustus 57.598 22,6 197.686 77,4 255.284 -September 59.685 23 200.243 77 259.928 -Oktober 4) 59.595 22,2 208.725 77,8 268.320 -(Apr. - Okt.) - - - - -

I) Uang beredar daIam arti sempit terdiri atas uang kartal dan uang giral, biasa dinyatakan dengan simbol MI. 2) Terdiri atasdeposito berjangka dan tahun serta rekening valuta asing milik swasta domesti

-15,4

k

Tabel III.11LIKUlDITAS PEREKONOMIAN, 198411985 -1996/1997

Uang beredar 1) Uang kuasi 2) Likuditas perekonomian 3)( dalam miliar rupiah )

3) Merupakan uang beredar dalam ani luas, yang biasa dinyatakan dengan simbol M2, terdiri atas uang beredardaIam arti sempit dan uang kuasi.4) Angka sementara

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 122

Page 123: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

3.6. Pasar uang dan suku bunga

Sejalan dengan semakin meningkatnya perkembangan dunia usaha, Pemerintah terus

menciptakan kondisi yang dapat mengembangkan aktivitas pasar uang dalam pemberian jasa

atas transaksi rupiah dan valuta asing. Upaya yang telah dilakukan Pemerintah itu antara lain

adalah penyempurnaan sistem transaksi pelelangan SBI, pengaturan perdagangan surat berharga

komersial dan pengoperasian perusahaan pemeringkat efek, fleksibilitas nilai tukar, dan

penyempurnaan mekanisme perdagangan di pasar valuta asing, serta kerjasama bilateral dengan

otoritas moneter negara tetangga.

Dalam sistem pelelangan SBI, sejak tahun 1993 Bank Indonesia telah mengubah sistem

pelelangan SBI dalam operasi pasar terbuka yaitu dari sistem cut off rate (COR) menjadi sistem

stop out rate (SOR). Selanjutnya, Bank Indonesia sejak tahun 1994 telah menyempurnakan

ketentuan mengenai transaksi SBI dengan memperluas transaksi secara repo (repurchase

agreement).

Penerbitan surat berharga komersial (commercial paper) yang merupakan salah satu

alternatif pembiayaan bagi dunia usaha akhir-akhir ini semakin marak. Sehubungan dengan hal

tersebut, dan mengingat keterlibatan perbankan Indonesia sangat besar baik dalam jasa

penerbitan maupun perdagangan surat berharga komersial, maka untuk mengurangi

kemungkinan risiko yang ditanggung bank sesuai dengan prinsip kehati-hatian, Bank Indonesia

pada tanggal 11 November 1995 mengeluarkan ketentuan mengenai penerbitan dan

perdagangan surat berharga komersial melalui bank umum di Indonesia. Ketentuan tersebut

diarahkan pula untuk menyeragamkan pengaturan pelaksanaan transaksi bagi pasar uang dan

sebagai upaya perlindungan bagi investor. Di samping itu, Bank Indonesia juga telah

menerbitkan ketentuan mengenai penyempurnaan kolektibilitas surat berharga, yang antara lain

dimaksudkan untuk menyesuaikan kriteria penggolongan kolektibilitas dengan ketentuan

mengenai persyaratan penerbitan dan perdagangan surat berharga komersial.

PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) sebagai satu-satunya lembaga rating yang

telah memperoleh izin dari Bapepam telah melakukan rating pada perusahaan penerbitan dan

penjamin surat berharga. Banyaknya perusahaan penerbit yang memiliki rating akan

memudahkan para investor dalam memperoleh informasi mengenai kualifikasi investasi atas

surat berharga komersial yang diperdagangkan di pasar uang. Dengan diketahuinya peringkat

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 123

Page 124: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

surat berharga komersial tersebut, maka kepercayaan para investor akan lebih meningkat,

sehingga transaksi di pasar uang akan semakin terdorong.

Jumlah nilai nominal surat berharga komersial yang telah diterbitkan sejak bulan

Agustus 1995 sampai bulan Juli 1996 telah mencapai sekitar Rp 14,9 triliun, yang meliputi surat

berharga komersial dalam rupiah senilai Rp 5,7 triliun dan dalam dolar Amerika Serikat senilai

Rp 9,2 triliun. Dengan memperhitungkan surat berharga komersial yang telah jatuh tempo, maka

pada awal Agustus 1996 posisi surat berharga komersial adalah sekitar Rp 3,6 triliun.

Pengaturan fleksibilitas nilai tukar rupiah telah dilaksanakan oleh Bank Indonesia

melalui pelebaran spread kurs jual-beli kurs konversi Bank Indonesia. Kebijaksanaan itu telah

disempurnakan beberapa kali, yaitu pada bulan September 1992 dari Rp 6 menjadi Rp 10, pada

tanggal 3 Januari 1994 dari Rp 10 menjadi Rp 20, pada tanggal 5 September 1994 dari Rp 20

menjadi Rp 30, dan pada bulan Juni 1995 dari sebesar Rp 33 menjadi Rp 44. Kebijaksanaan

tersebut selain untuk mendorong perkembangan pasar valuta asing antarbank, juga dimaksudkan

untuk mengurangi ketergantungan bank-bank kepada Bank Indonesia. Selanjutnya, di samping

kebijaksanaan kurs konversi, sejak Januari 1996 Bank Indonesia telah pula menerapkan

penggunaan batas kurs intervensi (intervention band). Perbedaan antara batas atas dan batas

bawah kurs intervensi ditetapkan sebesar Rp 66. Pada bulan Juni 1996, perbedaan antara batas

atas dan batas bawah kurs intervensi tersebut dilebarkan kembali menjadi Rp 118 dan sejak

September 1996 menjadi Rp 192. Langkah tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dorongan

masuknya arus modal dari luar negeri terutama yang berjangka pendek, dan untuk mengurangi

tekanan-tekanan pada nilai tukar rupiah.

Penyempurnaan pengaturan mekanisme perdagangan di pasar valuta asing dilakukan

antara lain dengan meniadakan fasilitas swap investasi sejak 17 Juli 1995, dimana pada tahun-

tahun sebelumnya fasilitas tersebut disediakan oleh Bank Indonesia. Namun untuk transaksi

swap antara Bank Indonesia dengan bank, tetap masih dapat dilakukan sepanjang Bank

Indonesia memandang perlu.

Pasar valuta asing di dalam negeri saat ini juga ditandai oleh semakin meluasnya

penggunaan transaksi derivatif oleh bank-bank dan peserta pasar lainnya. Tujuan penggunaan

transaksi derivatif antara lain untuk menghindari risiko assets maupun liabilities (hedging),

terutama yang timbul sebagai akibat perubahaan nilai tukar dan suku bunga, spekulasi untuk

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 124

Page 125: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

memperoleh keuntungan, dan dalam rangka pendanaan (funding). Penggunaan transaksi

derivatif untuk tujuan tersebut di satu sisi dapat memberikan manfaat, namun di sisi lain, juga

dapat menimbulkan risiko kerugian yang cukup besar baik bagi perbankan maupun peserta pasar

lainnya. Pada bulan Desember 1995, Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

transaksi derivatif guna menciptakan iklim perbankan dan pasar finansial yang sehat. Ketentuan

tersebut dimaksud untuk membatasi risiko dan memberikan pedoman minimum bagi

pelaksanaan transaksi derivatif oleh bank.

Dalam rangka memelihara stabilitas moneter, terutama untuk menghadapi spekulasi

pembelian valuta asing, Bank Indonesia telah melakukan kerjasama bilateral dengan otoritas

moneter Malaysia, Singapura, Thailand, Hongkong, Australia, dan Philipina melalui transaksi

repurchase agreement (repo) surat-surat berharga. Selain itu, kerjasama tersebut juga mencakup

tukar menukar informasi dan kerjasama dalam pengelolaan moneter dan nilai tukar.

3.6.1. Pinjaman antar bank

Peningkatan transaksi pinjaman antarbank yang terjadi selama tahun 1996 telah

meningkatkan nilai transaksi di pasar uang antarbank di Jakarta. Selama periode Januari-

Oktober 1996, nilai transaksi di pasar uang antarbank di Jakarta mencapai jumlah sebesar Rp

383.402 miliar. Dibandingkan dengan nilai transaksi dalam periode yang sama tahun

sebelumnya, yaitu sebesar Rp 152.197 miliar, maka dalam tahun 1996 telah terjadi kenaikan

nilai transaksi sebesar Rp 231.205 miliar, atau 152 persen. Peningkatan volume transaksi dana

antarbank yang cukup besar tersebut antara lain disebabkan oleh bertambahnya kebutuhan

likuiditas bank-bank sehubungan dengan diberlakukannya ketentuan baru mengenai cadangan

wajib minimum, dari sebesar 2 persen dirubah menjadi giro wajib minimum sebesar 3 persen.

Sementara itu, suku bunga rata-rata tertimbang pinjaman antarbank dalam periode yang sama

telah menunjukkan kenaikan dari 12,82 persen dalam bulan Januari 1996 menjadi 14,84 persen

dalam bulan Oktober 1996. Perkembangan nilai transaksi dan tingkat bunga di pasar uang

antarbank dapat dilihat dalam Tabel III.13

3.6.2. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)

Penerbitan sertifIkat Bank Indonesia dalam periode Januari-Oktober 1996 mencapai

jumlah sebesar Rp 95.681 miliar, atau meningkat sebesar 28,23 persen dibandingkan dengan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 125

Page 126: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

periode yang sama tahun 1995 sebesar Rp 74.615 miliar. Dengan memperhitungkan pelunasan

SBI yang telah jatuh waktu dan tidak diperpanjang lagi, termasuk SBI milik asing sebesar Rp

94.560 miliar, maka posisi SBI pada akhir Oktober 1996 menjadi sebesar Rp 12.971 miliar yang

berarti meningkat dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 10.335 miliar.

3.6.3. Surat berharga pasar uang (SBPU)

Surat berharga pasar uang adalah merupakan salah satu piranti moneter dalam operasi

pasar terbuka, berfungsi juga untuk menjaga likuiditas perbankan terutama dalam hubungannya

dengan ekspansi kredit perbankan, dan sebagai sarana dalam mengatur jumlah uang beredar.

Dalam periode Januari-Oktober 1996, Bank Indonesia telah melakukan pembelian SBPU

sejumlah Rp 105.111 miliar, atau menurun sebesar 12,03 persen bila dibandingkan dengan

periode yang sama tahun 1995 yang mencapai sebesar Rp 119.487 miliar. Relatif rendahnya

penjualan SBPU oleh bank-bank menunjukkan kecenderungan menurunnya pemanfaatan dana

SBPU oleh bank-bank dalam upaya memenuhi kebutuhan likuiditas rupiah dalam jangka

pendek. Dengan memperhitungkan penebusan SBPU dalam bulan Januari 1996 sampai dengan

bulan Oktober 1996 sebesar Rp 109.091 miliar, maka pada akhir Oktober 1996 posisi SBPU

mencapai sebesar Rp 225 miliar.

3.6.4. Sertifikat deposito

Dana sertifikat deposito yang dihimpun bank pemerintah, bank asing, dan bank swasta

nasional, merupakan suatu alternatif penanarnan dana yang semakin menarik. Hal ini tercermin

pada perkembangan dana sertifikat deposito yang semakin pesat dari waktu ke waktu. Selama

periode Januari-Oktober 1996 sertifikat deposito telah mengalami peningkatan dari sebesar

Rp7.765 miliar pada akhir Desember 1995menjadi sejumlah Rp 12.949 miliar pada akhir

Oktober 1996 atau meningkat sebesar 66,76 persen, yang berarti lebih rendah bila dibandingkan

dengan peningkatan dalam periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 235,4 persen.

Bertambahnya dana sertifikat deposito dalam periode Januari-Oktober 1996 terutama

disebabkan oleh meningkatnya dana sertifikat deposito yang dihimpun oleh bank-bank swasta

nasional sebesar 78,7 persen. Sedangkan dana sertifikat deposito yang dihimpun oleh bank asing

dan bank pemerintah dalam

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 126

Page 127: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

periode yang sama mengalami peningkatan masing-masing sebesar 94,5 persen dan 45,4 persen.

Perkembangan dana sertifikat deposito dapat dilihat dalam Tabel III.14.

Nilai transaksi Suku bungsMas a rata-rata tertimbang

( persen per tahun )

1984 8.055 9,951985 8.055 9,951986 8.022 13,791987 9.323 14,51988 12.491 14,931989 22.906 12,41990 38.905 14,931991 48.420 15,321992 57.808 12,091993 90.107 8,721994 110.990 8,871995 189.259 13,67

Januari - Maret 33.451 12,79April- Juni 40.278 15,14Juli - September 57.297 13,07Oktober - Desember 58.233 13,66

1996Januari 23.296 12,82Pebruari 19.253 13,3Maret 20.010 12,39Januari - Maret 63.219 12,84April 38.019 15,23Mei 42.169 14,86Juni 43.644 13,93April- Juni 123.832 14,67Juli 50.863 14,37Agustus 53.921 15,1September 43.574 14,81Juli - September 148.358 14,76Oktober 47.993 14,84

Tabel III.13NILAI TRANSAKSI DAN TINGKAT BUNGA PASAR UANG

ANTARBANK DI JAKARTA, 1984 -1996

( Millar rupiah )

3.6.5. Suku bunga

Sejalan dengan relatif terkendalinya jumlah uang beredar dan laju inflasi, Pemerintah

berupaya untuk menurunkan spread tingkat bunga deposito dan kredit. Dalam kaitan ini, Bank

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 127

Page 128: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Indonesia telah menempuh berbagai kebijaksanaan yang diarahkan untuk menekan biaya

intermediasi dan memperkecil risiko kredit macet. Upaya tersebut dilakukan antara lain dengan

mempercepat penyelesaian konsolidasi bank-bank, menyempurnakan rambu-rambu kehati--

hatian pengelolaan bank, serta meningkatkan profesionalisme para bankir. Melalui upaya-upaya

tersebut diharapkan spread tingkat bunga deposito dan kredit perbankan semakin kecil.

Suku bunga SBI relatif stabil dalam tahun 1996, demikian pula suku bunga deposito.

Upaya efisiensi yang dilakukan oleh perbankan tampaknya telah menunjukkan hasil, yang

tercermin dari menurunnya tingkat bunga kredit modal kerja dari 19,29 persen dalam bulan

Januari 1996 menjadi 19,21 persen dalam bulan Oktober 1996. Namun untuk bunga kredit

investasi masih sedikit mengalami peningkatan dari 16,21 persen dalam bulan Januari 1996

menjadi 16,48 persen dalam bulan Oktober 1996.

Suku bunga pasar uang antarbank berdasarkan rata-rata tertimbang dalam

perkembangannya telah mengalami peningkatan dari 12,82 persen dalam bulan Januari 1996

meningkat menjadi sebesar 14,84 persen dalam bulan Oktober 1996.

Tingkat diskonto sertifikat Bank Indonesia dan surat berharga pasar uang selama

JanuariOktober 1996 relatif stabil. Sedangkan untuk suku bunga deposito ( 6 bulan, 12 bulan,

dan 24 bulan) sedikit meningkat masing-masing dari 16,90 persen, 16,52 persen, dan 15,63

persen dalam bulan Januari 1996 menjadi 16,92 persen, 16,84 persen, dan 15,90 persen dalam

bulan Oktober 1996. Sementara itu, untuk suku bunga deposito berjangka. 3 bulan sedikit

menurun dari 17,20 persen dalam bulan Januari 1996 menjadi 17,18 persen dalam bulan

Oktober 1996.

Searah dengan semakin efisiennya perbankan maka spread antara bunga deposito dan

kredit perbankan semakin mengecil, sehingga suku bunga pinjaman untuk kredit modal kerja

telah mengalami penurunan dari 19,29 persen dalam bulan Januari 19% menjadi 19,21 persen

dalam bulan Oktober 1996. Perkembangan suku bunga dalam negeri dapat dilihat dalam Tabel

III.15.

3.7. Lembaga Perbankan

3.7.1. Struktur kelembagaan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 128

Page 129: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Perkembangan perekonomian Indonesia dalam dasawarsa tahun 1990-an ini telah

mengarah pada proses keseimbangan dan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor

finansial. Hal ini dapat dilihat dari adanya kekuatan saling mempengaruhi dalam proses

pertumbuhan yang terjadi antara kedua sektor tersebut. Kegiatan produksi barang dan jasa yang

telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat, dapat berjalan karena ditunjang

oleh sumber pendanaan investasi dan pembiayaan kegiatan usaha yang diberikan oleh sektor

finansial. Perkembangannya menunjukkan

Bank Bank-bank Jumlahpemerintah 1) Bank asing swasta nasional

-1 -2 -3 -4 -51989 Desember 77 77 1731990 Desember 103 320 4341991 Desembe\ 198 3.733 3.9371992 Desember 474 1.703 2.1781993 Desember 697 1.558 2.3911994 Maret 479 1.390 1.962

Juni 347 1.433 1.877September 236 1.353 1.744Desember 337 1.839 2.451

1995 Maret 809 2.389 3.519Juni 1.807 3.188 5.277September 2.848 4.707 7.938Desember 2.990 4.342 7.765

1996 Januari 3.055 3.948 7.490Februari 3.971 4.675 9.232Maret 3.853 6.015 10.554April 4.164 7.025 11.963Mei 4.242 7.384 12.555Juni 5.377 7.956 14.165Juli 4.507 7.626 12.935Agustus 4.424 7.141 12.393September 4.099 7.287 12.262Oktober 4.346 7.761 12.949

Tabel 111.14SERTIFlKAT DEPOSITO, 1989 - 1996

( dalam miliar rupiah)

275321

136

155

282383433487586686774929832802828876842

1) Me1iputi Bank Persero dan Bank Pemerintah Daerah

Akhir periode

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 129

Page 130: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

SBIl) SBPU 1) Deposito2) KMK Kredit3 bln 6 bln 12bln 24bln Investasi

11,64 - 17,06 17,7 18,58 18,82 21,82 19,517,87 - 21 19,63 18,53 18,52 20,67 18,95

1991 Desember 18;03 20,19 21,88 22,65 22,76 20,58 25,21 20,8713,79 13,98 16,72 17,78, 18,93 19,91 24,05 19,21

9,08 12 11,79 13,08 14,2 16,08 20,52 17,0611,59 15,36 14,27 13,33 12,99 14,8 17,75 14,9613,28 15,34 15,92 14,57 13,87 14,45 18,4 '15,27

Juni 13,16 15,88 17,09 15,73 14,85 13,67 18,94 15,79September 13,79 15,88 17,6 16,72 15,66 14,46 19,2 16,08Desember 13,34 15,87 17,15 16,95 16,28 15,45 18,88 15,75

12,6 15,87 17,2 16,9 16,52 15,63 19,29 16,21Februari 13,06 15,87 17,22 16,87 16,6 15,3 19,32 16,31Maret 13,34 15,87 17,29 16,88 16,68 15,39 19,3 16,39April 13,37 15,87 17,38 16,89 16,76 15,47 19,28 16,48Mei 13,03 15,87 17,38 16,91 16,77 ' 15,,54 19,27 16,5Juni 13,37 15,87 17,35 16,9 16,42 15,78 19,18 16,4Juli 13 15,87 17,35 16,95 16,45 15,86 19,14 16,48Agustus 13,06 15;87 17,26 16,94 16,94 15,85 19,13 17,73September 12,8 15,87 17;25 16,93 16,85 15,87 19,21 16,52Oktober 12,81 15,87 17,18 16,92 16,84 15,9 19,21 16,48

1990 Desember

1993 Desember

1) Suku bunga SBI dan SBPU atas dasar rata-rata hilling2) Deposito dari bank pencipta uang

1989 Desember

(dalam persen per tahun)

1992 Desembe

1994 Desember1995 Maret

1996 Januari

Tabel 111.15SUKU BUNGA,1989 - 1996

bahwa dalam tatanan perekonomian nasional fungsi sektor finansial sebagai fasilitator dalam

menunjang kegiatan ekonomi riil semakin meningkat. Sebagai bagian dari sektor finansial,

keberadaan industri perbankan telah memainkan peranan yang cukup strategis. Untuk itu sejalan

dengan arahan Garis-garis Besar Haluan Negara, Pemerintah terus berusaha untuk mendorong

industri perbankan agar dapat berkembang secara wajar sehingga dapat melaksanakan fungsinya

dalam melayani kepentingan masyarakat di bidang keuangan.

Langkah mendasar yang telah diambil oleh Pemerintah untuk memberikan landasan

operasional yang tepat dan terarah, antara lain dilakukan melalui reformasi sistem peraturan

perbankan nasional yang mengacu pada ketentuan yang berlaku secara internasional. Dalam hal

perundangan-undangan, reformasi telah dilakukan melalui disahkannya Undang-undang Nomor

7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam undang-undang tersebut disempurnakan beberapa

ketentuan umum yang berkaitan dengan aspek operasional bank, antara lain mencakup

ketentuan tentang jenis dan usaha bank, ketentuan tentang perizinan dalam pendirian bank,

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 130

Page 131: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

bentuk hukum dan kepemilikannya, serta ketentuan mengenai sistem pembinaan dan

pengawasan bank. Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 telah

dijabarkan lebih lanjut melalui beberapa peraturan pemerintah dan dilengkapi dengan berbagai

surat keputusan dan surat edaran yang diarahkan secara langsung untuk memperbaiki kinerja

internal perbankan, khususnya dalam aspek permodalan, kualitas sumber daya manusia,

penggunaan teknologi keuangan yang tepat dan efisien, dan perbaikan struktur keuangan. Dalam

aspek permodalan, sejak tanggal 7 September 1995, Pemerintah telah meningkatkan persyaratan

modal disetor menjadi Rp 150 miliar bagi penunjukan bank umum bukan devisa menjadi bank

umum devisa. Di samping besaran modal disetor tersebut, bank yang bersangkutan juga harus

mematuhi ketentuan nisbah pemenuhan modal minimum. Bagi bank-bank umum yang telah

menjadi bank devisa sebelum ketentuan tersebut mulai diberlakukan, diwajibkan untuk

meningkatkan modal disetor dan nisbah pemenuhan modal minimum secara bertahap, yakni

masing-masing sebesar Rp 50 miliar dan 9 persen mulai September 1997, sebesar Rp 100 miliar

dan 10 persen mulai September 1999, dan sebesar Rp 150 miliar dan 12 persen mulai September

2001.

Dalam kaitannya dengan upaya meningkatkan sistem pembinaan dan pengawasan

bank, Pemerintah terus mendorong agar masing-masing bank dapat menerapkan sistem

pengawasan internal (self regulation banking). Hal ini dimaksudkan agar industri perbankan

menjadi semakin dewasa dan dapat melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan ketentuan

yang ditetapkan sendiri namun dengan tetap mengacu pada prinsip kehati-hatian yang bersifat

universal dan berdisiplin dalam pelaksanaannya. Dalam kaitannya dengan penerapan sistem

pengawasan internal perbankan, sejak bulan Januari 1995 Pemerintah melalui Bank Sentral telah

mengeluarkan ketentuan mengenai pedoman penyusunan kebijaksanaan perkreditan bank

(PPKPB) dan standar pelaksanaan fungsi audit intern bank (SPFAIB) serta teknologi sistem

informasi. Di samping itu dalam bulan Desember 1995 dan Pebruari 1996, juga telah

disempurnakan ketentuan tentang transaksi derivatif yang dapat dilakukan oleh industri

perbankan. Ketentuan-ketentuan itu dimaksudkan agar bank-bank mempunyai pedoman yang

jelas dalam melakukan pembiayaan/transaksi ekonomi yang berisiko, seperti penyaluran kredit

dan transaksi derivatif.

Sejalan dengan upaya memantapkan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam industri

perbankan, maka dalam rangka untuk meningkatkan efektivitas pengendalian moneter,

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 131

Page 132: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Pemerintah juga telah mengubah ketentuan cadangan wajib minimum menjadi giro wajib

minimum (GWM). Berdasarkan ketentuan yang mulai berlaku sejak Pebruari 1996 tersebut,

setiap bank diwajibkan untuk menyimpan 3 persen dari dana pihak ketiga dalam bentuk giro

pada Bank Indonesia. Selanjutnya ketentuan mengenai giro wajib minimum tersebut akan

dinaikkan menjadi 5 persen dan diberlakukan mulai April 1997. Dalam ketentuan yang baru

tersebut, teknis penghitungan GWM dan sistem pelaporan yang terkait dengan itu, seperti

pelaporan dana pihak ketiga dan format laporannya, relatif tidak mengalami perubahan

dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku selama ini. Ditinjau dari kebijaksanaan ekonomi

moneter, peningkatan GWM dari 3 persen menjadi 5 persen tersebut akan lebih meningkatkan

efektivitas pengendalian besaran-besaran moneter, seperti uang beredar, likuiditas

perekonomian dan juga kredit perbankan, yang secara umum akan menjaga agar meningkatnya

permintaan barang dan jasa di masyarakat akan seimbang dengan daya dukung dan kapasitas

produksi nasional. Pada gilirannya hat ini akan tercermin dari stabilitas harga yang terjadi dalam

perekonomian. Peningkatan GWM ini juga akan mengefektifkan pelaksanaan prinsip kehati-

hatian industri perbankan, khususnya dalam menyalurkan kredit ke sektor-sektor produktif.

Sementara itu dalam rangka untuk menghadapi persaingan usaha perbankan yang

makin ketat, baik yang disebabkan oleh proses globalisasi keuangan maupun oleh meningkatnya

alternatif pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan di luar perbankan, perbankan

juga diarahkan untuk meningkatkan kualitas kelembagaan. Upaya tersebut antara lain ditempuh

melalui anjuran merger dan konsolidasi kelembagaan kepada bank-bank yang masih memiliki

kelemahan dalam beberapa aspek seperti permodalan dan manajemen operasionalnya, serta

dengan memberlakukan proses seleksi yang lebih ketat terhadap pendirian bank baru. Proses

seleksi yang lebih ketat terhadap permohonan pendirian bank baru dilakukan antara lain dengan

menerapkan ketentuan tentang kriteria perbuatan terce a yang dapat mengakibatkan seseorang

dilarang menjadi pemegang saham dan/atau pengurus bank.

Berbagai upaya tersebut diharapkan dapat mendorong terciptanya kinerja industri

perbankan yang sehat, baik ditinjau dari aspek kuantitas maupun kualitasnya. Untuk

mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan handal, pengembangan kedua aspek tersebut

harus dilakukan secara seimbang sesuai dengan perubahan kondisi pasar keuangan yang

dihadapinya. Meskipun belum dapat dilihat secara komprehensif, reorientasi pembenahan sistem

perbankan di Indonesia dari aspek kuantitas ke aspek kualitas nampaknya telah menunjukkan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 132

Page 133: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

hasil yang menggembirakan. Hal ini antara lain terlihat dari kondisi kelembagaan yang selama

dua tahun terakhir ini tidak menunjukkan adanya pertambahan bank baru. Jumlah bank umum

yang beroperasi di Indonesia sampai akhir September 1996 adalah 239 buah, yang terdiri dari 7

bank persero, 164 bank swasta, 41 bank asing/campuran, dan 27 bank pembangunan daerah.

Perkembangan yang pesat terjadi dalam aspek perluasan jaringan operasional, dimana jumlah

kantor cabang bank pada akhir September 1996 adalah sebanyak 5.772 buah atau bertambah 402

buah dibandingkan jumlah kantor cabang pada akhir Maret 1996 sebanyak 5.370 buah.

Sementara itu untuk bank perkreditan rakyat (BPR) yang sebagian besar banyak beroperasi di

daerah pedesaan, jumlah kelembagaannya terus berkembang. Secara keseluruhan jumlah BPR di

luar lembaga dana dan kredit pedesaan (LDKP) yang beroperasi di Indonesia jumlahnya sampai

akhir September 1996 adalah sebanyak 7.595 buah atau bertambah 294 buah dibandingkan

dengan jumlahnya pada akhir Maret 1996 sebanyak 7.301 buah. Perkembangan kelembagaan

perbankan secara keseluruhan dapat dilihat dalam Tabel III.16

3.7.2. Perkembangan dana perbankan

Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa perkembangan industri perbankan

terutama setelah Paket Kebijaksanaan Oktober 1988 dikeluarkan, telah meningkat dengan pesat.

Hal ini tercermin dari makin meningkatnya jumlah bank, jaringan kantor cabang, volume usaha

kualitas pelayanan yang semakin profesional, penggunaan teknologi yang semakin canggih

maupun aneka ragam produk yang ditawarkan. Dengan demikian, dalam skala makro, industri

perbankan mempunyai potensi dan peluang yang semakin besar dalam peranannya sebagai

sumber pembiayaan atau sumber dana dalam menggerakkan pernbangunan nasional.

Sejalan dengan itu, maka kebijaksanaan di bidang pengerahan dana masyarakat melalui

sektor perbankan dilakukan melalui berbagai upaya secara terpadu dan terus menerus. Upaya-

upaya tersebut antara lain dilakukan dengan mendorong perbankan untuk menciptakan dan

memperluas jumlah dan skim penghimpunan dana masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan

pasar dengan tetap memperhatikan dan berlandaskan pada aspek kehati-hatian serta

perlindungan terhadap penabung/pemilik dana. Kebijaksanaan juga diarahkan untuk

menciptakan industri perbankan yang sehat dan tangguh dalam rangka mempertebal tingkat

kepercayaan masyarakat luas terhadap perbankan nasional. Dilihat dari kebijaksanaan ekonomi

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 133

Page 134: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

makro, mobilisasi dana yang sebesar-besarnya diusahakan dari dalam negeri, adalah dalam

rangka menutup kesenjangan antara kebutuhan investasi di satu pihak dan tabungan di sisi yang

lain. Salah satu upaya yang sedang dilaksanakan adalah dengan menumbuhkan minat dan

memupuk semangat menabung bagi para pelajar dan pramuka melalui kegiatan Pekan Tabungan

Nasional (KANTANAS). Kegiatan yang telah dimulai sejak tahun 1992 ini merupakan wadah

kerjasama antara perbankan dan instansi pemerintah terkait seperti Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri dan Pramuka. Sementara itu,

upaya lainnya yaitu dengan mengaktifkan wadah Forum Komunikasi Pendidikan Menabung

(FKPM) baik di tingkat pusat maupun daerah.

Dalam perkembangannya, sejalan dengan pesatnya peningkatan pelayanan dan

beraneka ragamnya produk jasa perbankan yang ditawarkan, dan ditambah dengan pendapatan

masyarakat yang semakin meningkat, maka jumlah dana masyarakat yang dihimpun oleh

industri perbankan juga mengalami peningkatan. Hingga akhir bulan Oktober 1996, jumlah dana

masyarakat yang dimobilisasi industri perbankan telah mencapai Rp 260.661,8 miliar, yang

terdiri dari giro sebesar Rp 52.566,2 miliar, tabungan sebesar Rp 58.047,9 miliar dan deposito

sebesar Rp 150.047,7 miliar. Dibandingkan dengan posisi dana perbankan pada akhir tahun

anggaran 1995/1996 sebesar Rp 223.727,8 miliar, maka jumlah dana sebesar Rp 260.661,8

miliar tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp 36.934,0 miliar (16,5 persen). Dari jumlah

dana tersebut hampir 80 persen merupakan dana dalam bentuk tabungan dan deposito,

sedangkan selebihnya yakni sekitar 20 persen merupakan simpanan dalam bentuk giro.

Meningkatnya peranan dana masyarakat dalam bentuk deposito berjangka dan tabungan tersebut

tampaknya sejalan dengan proses kegiatan mobilisasi dana masyarakat khususnya kebijaksanaan

perluasan jaringan kantor bank yang saat ini telah menjangkau hingga ke berbagai pelosok

daerah. Sedangkan jika dilihat dari kelompok banknya, maka dominasi kelompok bank umum

swasta nasional dalam memobilisasi dana masyarakat masih terus berlanjut. Hingga akhir

Oktober 1996, kelompok bank umum swasta nasional berhasil menghimpun dana masyarakat

sebesar Rp 150.179,1 miliar (57,6 persen), sedangkan kelompok bank pemerintah menghimpun

dana sebesar Rp 86.192,3 miliar (33,1 persen), bank asing dan campuran sebesar Rp 16.018,0

miliar (6,1 persen), dan bank pembangunan daerah sebesar Rp 8.272,4 miliar (3,2 persen).

Perkembangan dana perbankan secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel III.17, Tabel III.18,

dan Grafik III.5.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 134

Page 135: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 2)

BANK-BANK UMUMBank umum pemerintah- Jumlah bank 7 7 7 7 7 7- Jumlah kanto

7r 1.064 1.078 1.099 1.121 1.285 1.305 10408

Bank umum swasta nasional- Jumlah bank 114 133 147 163 166 165 164- Jumlah kantor 2.274 2.798 2910 3.125 3.296 3.531 3.789Bank pembangunan daerah- Jumlah bank 27 27 27 27 27 27 27- Jumlah kantor 376 412 426 429 432 451 489Bank asinglcampuran- Jumlah bank 28 29 39 39 40 41 41- Jumlah kantor 48 54 75 78 84 83 86Jumlah bank umum- Jumlah bank 176 196 220 236 240 240 239- Jumlah kantor 3.762 4.342 4.510 4.753 5.097 5.370 5.772BANK PERKREDIT AN RAKY A T 3 6.193 6.703 6.889 7.095 7.231 7.301 7.595Jumlah bank selurubnya 6.369 6.899 7.109 7.331 7A71 7.541 7.834Jumlah kantor selurubnya 9.955 11.045 11.399 11.848 12.328 12.671 13.367

I) Termasuk jumlah cabang bank di luar negri.2) Sampai denganbulan September 1996.3) Tidak termaauk WKP ymg statulllya belum berubab mcajldi BPR.

JUMLAH BANK DAN KANTOR BANK DI INDONESIA I). 199011991 . 1996/1997Tabel 111.16

3.7.2.1. Giro

Hingga bulan Oktober 1996, dana masyarakat yang dihimpun oleh industri perbankan

dalam bentuk giro telah mencapai Rp 52.566,2 miliar atau meningkat Rp 8.422,3 miliar (19,1

persen) jika dibandingkan dengan posisinya pada akhir bulan Maret 1996 sebesar Rp 44.143,9

miliar. Hal ini sejalan dengan meningkatnya aktivitas perekonomian masyarakat yang sekaligus

juga adanya peningkatan penggunaan jasa perbankan. Jika dibandingkan dengan laju

peningkatan tahun sebelumnya (periode April-Oktober 1995) sebesar 18,7 persen, maka

peningkatan dana giro periode April-Oktober 1996 adalah sedikit lebih besar, dan secara

nominal peningkatannya juga lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan dana giro pada

periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp 6.615,6 miliar.

3.7.2.2. Deposito berjangka

Deposito berjangka masih merupakan pilihan utama masyarakat dalam menempatkan

dananya di perbankan, karena di samping meningkatnya kinerja perbankan yang antara lain

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 135

Page 136: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

dicerminkan dengan meningkatnya tingkat kegiatan bank dan pelayanan yang diberikan, juga

adanya tingkat suku bunga yang secara riil cukup kompetitif memberikan keuntungan bagi para

deposan. Dalam satu dasawarsa terakhir dana deposito berjangka telah menjadi andalan utama

industri perbankan dalam memobilisasi dana masyarakat yang terlihat dari pangsanya yang lebih

dari 50 persen dari dana perbankan.

Dalam perkembangannya, hingga akhir Oktober 1996, dana perbankan dalam bentuk

deposito berjangka telah mencapai Rp 150.047,7 miliar, atau meningkat sebesar Rp 21.634,

miliar (16,8 persen) jika dibandingkan dengan posisinya pada akhir Maret 1996 sebesar Rp

128.413,1 miliar. Sementara itu, dilihat dari jangka waktunya, peranan deposito berjangka

waktu pendek terus mendominasi, khususnya yang berjangka waktu 1 bulan, 3 bulan, dan 6

bulan. Dana deposito berjangka waktu 1 bulan, hingga Oktober 1996 tercatat sebesar Rp

44.845,1 miliar (29,9 persen), sedangkan yang berjangka waktu 3 dan 6 bulan, masing-masing

sebesar Rp 30.644,4 miliar (20,4 persen) dan Rp 36.216,4 miliar (24,1 persen). Untuk dana

deposito yang berjangka waktu 12 bulan dan 24 bulan masing-masing berjumlah sebesar Rp

23.739,2 miliar (15,8 persen) dan Rp 1.126,3 miliar (0,7 persen). Deposito berjangka lainnya,

termasuk yang berjangka waktu 9 bulan dan 18 bulan, secara keseluruhan mencapai Rp 13.746,3

miliar (9,1 persen). Perkembangan deposito berjangka dapat dilihat pada Tabel III.19 dan Grafik

III.6.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 136

Page 137: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Akhir periode Giro Deposito 2) Tabungan Jumlah

1984/1985 Maret 7.187,70 8.726,00 774,1 16.687,801985/1986 Maret 7.040,70 12.590,40 1.211,80 20.842,901986/1987 Maret 7.561,80 14.911,80 1.586,40 24.060,001987/1988 Maret 8.480,60 20.654,30 1.835,00 30.969,901988/1989 Maret 10.543,10 26.474,40 2.485,30 39.502,801989/1990 Maret 15.978,10 36.350,40 6.863,60 59.192,101990/1991 Maret 17.949,00 49.839,60 9.722,20 77 .510,81991/1992 Maret 21.428,10 56.812,30 17.471,00 95.711,401992/1993 Maret 25.076,80 64.216,00 28.343,20 117.636,001993/1994 Maret 31.802,00 75.183,40 37.613,40 144.598,801994/1995 Juni 34.441,60 76.714,60 37.244,30 148.400,50September 36.157,80 83.617,50 38.302,60 158.077,90Desember 39.097,10 90.989,90 40.319,20 170.406,20Maret 35.434,10 97.467,10 40.921,80 173.823,001995/1996 Juni 38.580,10 104.933,40 41.397,60 184.911,10September 40.143,80 115.301,60 43.485,00 198.930,40Desember 44.108,20 123.431,80 47.224,00 214.764,00Maret 44.143,90 128.413,60 51.170,30 223.727,801996/1997 April 45.629,80 132.387,50 51.803,80 229.821,10Mei 45.857,40 136.048,70 52.607,80 234.513,90Juni 49.012,40 139.187,30 53.499,00 241.698,70Juli 50.923,00 141.871,20 54.549,70 247.343,90Agustus 49.317,60 143.294,10 54.969,20 247.580,90September 52.073,60 144.289,60 55.837,60 252.200,80Oktober 52.566,20 150.047,70 58.047,90 260.661,80

DANA PERBANKAN MENURUT JENISNYAl), 1984/1985 -1996/1997Tabel 111.17

( dalam miliar rupiah )

1) Sejak April 1993 tennasuk bank eks-LKBB.2) Tennasuk sertiflkat deposito.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 137

Page 138: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Bank Bank Bank BankAkhir periode swasta pembangunan asing & Jumlah

nasional 2) daerah campuran

198411985 Maret 10.854,00 3.232,60 668,5 1.932,70 16.687,801985/1986 Maret 13.303,20 4.745,80 760,4 2.033,50 20.842,901986/1987 Maret 15.225,40 5.898,60 748,3 2.187,70 24.060,001987/1988 Maret 18.815,30 8.826,10 938,3 2.390,20 30.969,901988/1989 Maret 23.858,50 11.831,60 1.184,30 2.628,40 39.502,801989/1990 Maret 30.372,70 23.143,10 1.740,80 3.935,50 59.192,10199011991 Maret 34.058,80 34.835,20 2.522,40 6.094,40 77.510,801991/1992 Maret 42.448,40 43.203,30 2.899,10 7.160,60 95.711,401992/1993 Maret 54.259,50 52.104,50 3.544,20 7.727,80 117.636,001993/1994 Maret 59.355,70 71.775,60 4.613,60 8.853,90 144.598,80199411995 Juni 60.604,40 73.697,20 4.979,70 9.119,20 148.400,50September 62.106,60 80.647,70 5.389,40 9.934,20 158.077,90Desember 64.282,90 88.925,80 6.182,50 11.015,00 170.406,20Maret 63.563,00 93.095,60 5.837,40 11.327,00 173.823,001995/1996 Juni 65.774,90 99.913,80 6.601,40 12.621,00 184.911,10SepteOlber 69.339,50 109.191,80 7.203,00 13.196,10 198.930,40Desember 75.919,70 117.451,10 7.812,20 13.581,00 214.764,00Maret 76.800,80 125.360,10 7.086,90 14.480,00 223.727,801995/1996 April 77.967,90 130.146,40 6.782,90 14.923,90 229.821,10Mei 79.579.0 132.660,00 7.126,10 15.148,80 234.513,90Juni 82.128,80 136.740,30 7.384,80 15.444,80 241.698,70Juli 83.579,60 140.398,00 7.725,30 15.641,00 247.343,90Agustus 84.645,80 139.796,80 7.822,00 15.641,30 247.580,90September 84.774,80 143.539,50 7.997,90 15.888,60 252.200,80Oktober 86.192,30 150.179,10 8.272,40 16.018,00 260.661,80

DANA PERBANKAN MENURUT KELOMPOK BANKI), 198411985 - 1996/1997

pemerintah

Tabel III.18

( dalam miliar rupiah)

I) Sejak April 1993 termasuk bank eks-LKBB.2) Tenliri dari baDk swasta nasional devisa, bank swasta oasional bukan devisa, bank pembangunan swasta, dan bank tabungan swasta.

3.7.2.3. Tabungan

Perkembangan dana masyarakat dalam bentuk tabungan yang dihimpun oleh dunia

perbankan secara perlahan terus menunjukkan peningkatan yang menggembirakan. Hal ini

selain disebabkan oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menabung, juga disebabkan

oleh upaya-upaya yang dilakukan oleh industri perbankan itu sendiri, seperti dengan menambah

jaringan kantor cabangnya, menciptakan beraneka ragam jenis tabungan yang disertai dengan

berbagai macam hadiah, ditambah dengan tingkat suku bunga yang cukup kompetitif, serta

pelayanan yang terus meningkat, misalnya dengan penggunaan Automated Teller Machine

(ATM) untuk memudahkan pengambilan tabungan.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 138

Page 139: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Hingga akhir Oktober 1996, dana masyarakat dalam bentuk tabungan yang dihimpun

oleh industri perbankan telah mencapai Rp 58.047,9 miliar, atau meningkat sebesar Rp 6.877,6

miliar (13,4 persen) jika dibandingkan dengan posisinya pada akhir Maret 1996 sebesar Rp

51.170,3 miliar. Jika dibandingkan dengan peningkatan pada periode April-Oktober tahun

sebelumnya sebesar Rp 3.646,2 miliar (8,9 persen), maka peningkatan dana tabungan dalam

periode April Oktober 1996 adalah relatif lebih besar.

Sementara itu, sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menabung,

termasuk masyarakat di pedesaaan, ditambah dengan meluasnya jaringan kantor unit-unit Bank

Rakyat Indonesia di seluruh tanah air, maka dana masyarakat yang dimobilisasi melalui

program simpanan pedesaan (Simpedes) juga menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Walaupun secara nominal peningkatan simpanan pedesaan ini relatif kecil namun program

Simpedes ini diharapkan dalam jangka panjang mempunyai arti yang strategis, terutama dalam

membentuk masyarakat yang rasional dalam menggunakan dan membelanjakan uangnya.

Hingga akhir September 1996, dana masyarakat dalam bentuk Simpedes telah mencapai Rp

4.073,6 miliar, atau meningkat sebesar Rp 250 miliar (6,5 persen) jika dibandingkan dengan

posisinya pada akhir Maret 1996 sebesar Rp 3.823,6 miliar. Sedangkan jumlah penabungnya

meningkat dari sebanyak 9.195.588 orang pada akhir Maret 1996 menjadi 9.822.016 orang pada

akhir September 1996. Perkembangan dana tabungan dan Simpedes dapat dilihat dalam Tabel

III.20 dan Tabel III.21.

3.7.3. Pemanfaatan dana

3.7.3.1. Kebijaksanaan dan perkembangan kredit perbankan

Kredit perbankan sampai saat ini masih merupakan salah satu sumber pembiayaan

utama bagi pembangunan ekonomi, utamanya dalam menunjang dan menjaga kesinambungan

pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang cukup tinggi, memperluas kesempatan berusahan

dalam rangka menampung tenaga kerja yang memasuki pasar tenaga kerja, dan untuk

mendukung stabilitas perekonomian

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 139

Page 140: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

1 bulan I) 3bulan 6bulan 12 bulan 24 bulan Lainnya 3) Jumlah

1984/1985 Maret 2.122,70 1.416,50 1.730,90 2.915,80 379,2 160,9 8.726,001985/1986 Maret 3.213,60 2.029,20 1.987,70 4.604,00 631 124,9 12.590,40198611987 Maret 3.307,90 2.549,30 2.007,60 6.193,20 640 213,8 14.911,801987/1988 Maret 5.915,30 4.093,20 2.579,70 6.592,20 1.239,40 234,5 20.654,301988/1989 Maret 5.958,80 6.151,90 4.011,90 7.913,90 2.071,70 366,2 26.474,401989/1990 Maret 9.587,20 6.846,10 6.080,60 11.149,10 2.177,40 510 36.350,401990/1991 Maret 20.278,10 10.393,10 7.041,20 8.985,30 816,4 2.325,50 49.839,601991/1992 Maret 17.412,90 12.896,90 10.865,70 10.320,30 911,8 4.404,70 56.812,301992/1993 Maret 18.104,00 14.679,80 14.560,10 13.045,90 500,6 3.325,60 64.216,001993/1994 Maret 18.520,10 17.320,60 19.198,20 15.669,60 617,1 3.857,80 75.183,40199411995 Juni 20.411,60 17.144,30 18.681,10 15.025,80 647,6 4.804,20 76.714,60

September 22.996,00 20.204,10 20.137,10 13.568,50 608,1 6.103,70 83.617,50Desember 28.275,70 20.379,80 20.752,80 13.407,10 532,9 7.641,60 90.989,90Maret 31.132,30 21.714,00 23.234,10 14.043,90 590,5 6.752,30 97.467,10

1995/1996 Juni 34.163,40 22.115,50 24.982,60 15.377,30 547,6 7.747,00 104.933,40September 34.491,60 25.985,90 28.794,30 17.682,40 474,8 7.872,60 115.301,60Desember 36.867,70 26.931,00 19.473,60 15.309,40 585,2 4.288,10 103.457,00Maret 40.559,80 27.812,70 29.777,40 20.393,20 1.317,60 8.552,90 128.413,60

199611997 April 42.404,50 28.679,50 31.100,20 21.364,00 1.326,50 7.512,80 132.387,50Mei 43.206,10 28.661,90 31.968,30 21.695,00 1.110,40 9.407,00 136.048,70Juni 42.037,20 28.532,90 32.884,40 23.270,00 1.121,30 11.341,50 139.187,30Jull 44.145,80 29.233,60 33.435,20 22.547,30 1.135,70 11.373,60 141.871,20Agustus 46.257,10 29.598,20 34.762,20 23.100,80 1.191,20 8.384,60 143.294,10September 45.632,00 29.448,30 35.821,00 23.179,10 1.204,90 9.004,30 144.289,60Oktober 44.845,10 30.644,40 36.216,40 23.739,20 1.126,30 13.746,30 150.047,70

Akhir periode

1) Sejak April 1993 termasuk bank eks-LKBB.

( daIam miIiar rupiah )DEPOSITO BERJANGKA SELURUH BANK 1), 198411985 - 199611997

2) Termasuk deposito yang sudab jatuh waktu dan deposito on call.3) Termasuk deposito berjugka wakttu 9 buIan dan 18 buIan.

Tabe. III.19

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 140

Page 141: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

PosisiJumlah %

1984/1985 Maret 774,1 - -1985/1986 Maret 1.211,80 437,7 56,51986/1987 Maret 1.586,40 374,6 '30,91987/1988 Maret 1.835,00 248,6 15,71988/1989 Maret 2.485,30 650,3 35,41989/1990 Maret 6.863,60 4.378,30 176,21990/1991 Maret 9.722,20 2.858,60 41,61991/1992 Maret 17.471,00 7.748,80 79,71992/1993 Maret 28.343,20 10.872,20 62,21993/1994 Maret 37.613,40 2.005,60 5,61994/1995 Juni 37.244,30 -369,1 -1

September 38.302,60 1.058,30 2,8Desember 40.319,20 2.016,60 5,3Maret 40.921,80 602,6 15

1996/1996 Juni 41.397,60 475,8 1,2September 43.485,00 2.087,40 5Desember 47.224,00 3.739,00 8,6Maret 51.170,30 3.946,30 8,4

1996/1997 April 51.803,80 633,5 1,2Mei 52.607,80 804 1,6Juni 53.499,00 891,2 1,7Juti 54.549,70 1.050,70 2Agustus 54.969,20 419,5 0,8September 55.837,60 868,4 1,6Oktober 58.047,90 2.210,30 3,9

( dalam miliar ropiah )TABUNGAN PERBANKAN1), 1984/1985 -1996/1997

PerubahanAkhir periode

1) Sejak April 1993 tennasuk bank eks-LKBB.

Tabel III.20

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 141

Page 142: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Posisi simpanan( dalam miliar

-1 -2 -31984/1985 Maret 4.550 0,31985/1986 Maret 46.046 6,81986/1987 Maret 592.319 107,31987/1988 Maret 1.086.156 206,21988/1989 Maret 1.863.745 398,21989/1990 Maret 2.866.050 747,41990/1991 Maret 3.708.325 908,41991/1992 Maret 4.506.478 1.270,201992/1993 Maret 5.616.866 1.935,901993/1994 Maret 6.665.021 2.695,701994/1995 Juni 6.468.401 2.900,00

September 7.560.154 3.160,70Desember 7.849.562 3.986,90Maret 8.094.576 3.288,60

1995/1996 Juni 8.325.366 3.403,70September 8.614.127 3.480,60Desember 8.899.734 3.781,60Maret 9.195.588 3.823,60

1996/1997 April 9.304:805 3.890,60Mei 9.409.736 3.972,70Juni 9.514.359 3.997,10Juli 9.596.636 4.046,80Agustus 9.709.593 3.962,30September 9.822.016 4.073,60

Akhir periode Penyimpan

Tabel llI.21SIMPANAN PEDESAAN, 1984/1985 -1996/1997

nasional. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka Pemerintah terus berusaha untuk

menciptakan iklim yang memungkinkan sistem perkreditan nasional menjadi kuat, efisien, dan

benar-benar mencerminkan kekuatan mekanisme pasar. Untuk itu, melalui berbagai deregulasi

dan debirokratisasi, industri perbankan sebagai salah satu unsur utama dalam sistem perkreditan

nasional, terus didorong untuk dapat meningkatkan efisiensinya, serta kemampuan dan

profesionalismenya dalam melakukan penyaluran kredit kepada masyarakat. Di sektor riil,

pembenahan dalam proses perekonomian yang sesuai dengan demokrasi ekonomi, kepastian

hukum dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat, yang secara tidak langsung

berpengaruh terhadap industri perbankan, terus dilakukan. Dengan berbagai kebijaksanaan yang

mengarah pada efisiensi secara nasional tersebut, diharapkan alokasi dana oleh industri

perbankan dalam bentuk kredit perbankan, benar-benar tersalur pada sektor-sektor yang

produktif dan efisien sehingga akan dapat meningkatkan kapasitas produksi barang dan jasa.

Namun demikian, kebijaksanaan peningkatan kredit perbankan tersebut perlu selalu dijaga agar

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 142

Page 143: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

senantiasa masih dalam batas-batas daya dukung perekonomian nasional, sehingga tidak

menimbulkan ketidakstabilan pada perekonomian secara makro, terutama dampaknya terhadap

peningkatan laju inflasi.

Mengacu pada prinsip yang menghendaki kebijaksanaan perkreditan perbankan benar-

benar bertumpu pada kehidupan ekonomi yang sehat, maka melalui kebijaksanaan Paket Januari

1990 Pemerintah antara lain telah mengurangi secara bertahap Kredit Likuiditas Bank Indonesia

(KLBI). KLBI diberikan hanya terbatas untuk mendukung pelestarian swasembada pangan dan

pengembangan koperasi yaitu kredit kepada Bulog, Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit kepada

KUD (KKUD), Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA), dan Kredit untuk

Pemilikan Rumah Sederhana (KPRS).

Pemerintah tidak sepenuhnya menyerahkan alokasi sumber daya, khususnya kredit

perbankan, kepada proses mekanisme pasar saja. Prioritas tetap juga diberikan dalam

penyediaan dan kemudahan kredit bagi golongan pengusaha kecil, menengah dan koperasi,

terutama dalam rangka menunjang pemerataan berusaha dan memperluas kesempatan kerja,

serta mengangkat kehidupan perekonomian golongan pengusaha kecil, menengah, dan koperasi.

Sementara itu, secara umum kebijaksanaan kredit terus diperluas dan didorong peningkatannya

dengan tetap berpedoman pada asas-asas perkreditan yang sehat, memperluas jenis pelayanan,

tanpa hams meninggalkan prinsip kehati-hatian yang secara terus menerus perlu ditingkatkan.

Untuk itu sejak April 1994 sektor usaha yang dapat dibiayai dengan kredit kepada koperasi

primer untuk para anggotanya (KKPA) diperluas dengan mencakup semua sektor ekonomi.

Plafon KKPA juga dinaikkan dari Rp 30 juta menjadi Rp 50 juta. Selanjutnya skim KKPA

diutamakan untuk mendorong pola kemitraan antara pengusaha kecil dengan pengusaha besar,

dan sekaligus mendorong pembiayaan sektor-sektor strategis, seperti swasembada pangan serta

pengembangan koperasi dan transmigrasi. Dalam rangka mendorong keberhasilan program

transmigrasi, peningkatan pendapatan petani, pengembangan Kawasan Timur Indonesia, dan

peningkatan ekspor nonmigas, pada tahun anggaran 1995/1996 telah diperkenalkan pula skim

KKPA PIR-Trans, yang pada prinsipnya mengikuti program PIR-Trans dengan memanfaatkan

skim KKPA.

Selain dari sisi penyediaan dana, untuk meningkatkan kemampuan perbankan dan

dunia usaha dalam pemberian kredit kepada dunia usaha, penyediaan bantuan teknis kepada

perbankan dan pengusaha kecil, melalui Proyek Pengembangan Usaha Kecil (PPUK) dan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 143

Page 144: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Proyek Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK), terus

dilanjutkan dan dikembangkan. Melalui PPUK, juga ditingkatkan dan dikembangkan pola

kemitraan inti-plasma yang saling menguntungkan antara usaha kecil dengan usaha besar. Untuk

mendorong dan membantu bank-bank dalam pemberian kredit kepada usaha mikro melalui

kelompok, akan dilakukan perluasan daerah operasi PHBK. Selain itu telah direalisasikan pula

Proyek Kredit Mikro (Microcredit Project) dengan bantuan pendanaan dari Asian Development

Bank (ADB). Penyebarluasan informasi kepada masyarakat tentang kredit usaha kecil dan

koperasi juga terus ditingkatkan melalui media cetak dan audio visual, serta dengan

mengaktifkan kembali Forum Komunikasi Perbankan mengenai Pengembangan Usaha Kecil

(FKP-PUK).

Dalam perkembangannya, sampai dengan bulan Oktober 1996, posisi kredit perbankan

dalam rupiah dan valuta asing telah mencapai Rp 278.099 miliar, atau mengalami peningkatan

sebesar Rp 35.676 miliar (14,7 persen) apabila dibandingkan dengan posisi bulan Maret 1996

sebesar Rp 242.423 miliar. Dalam periode yang sama tahun sebelumnya, kredit perbankan

menunjukkan peningkatan sebesar Rp 28.096 miliar (14,3 persen).

3.7.3.2. Kredit perbankan menurut sektor ekonomi

Apabila dilihat menurut sektor ekonomi, penyaluran kredit perbankan dapat

dikelompokkan ke dalam 6 (enam) sektor, yaitu sektor perindustrian, sektor perdagangan, sektor

jasa-jasa, sektor pertanian, sektor pertambangan, dan sektor lain-lain. Posisi kredit perbankan

yang pada akhir bulan Oktober 1996 berjumlah sebesar Rp 278.099 miliar, sebagian besar

disalurkan untuk sektor perindustrian, yaitu sebesar Rp 78.217 miliar (28,1 persen), sektor

perdagangan sebesar Rp 65.929 miliar (23,7 persen), sektor jasa-jasa sebesar Rp 84.409 miliar

(30,4 persen), sedangkan untuk sektor lain-lain termasuk sektor pertanian dan sektor

pertambangan sebesar Rp 49.544 miliar (17,8 persen). Kredit perbankan yang disalurkan untuk

sektor perindustrian dipergunakan antara lain untuk membiayai industri pengolahan kimia,

industri kayu dan hasil-hasil kayu, serta industri tekstil sandang. Sedangkan kredit yang diserap

sektor perdagangan dipakai untuk pembiayaan distribusi bahan-bahan kebutuhan pokok,

pembelian dan pengumpulan barang-barang dagangan dalam negeri, dan untuk pembiayaan

perdagangan eceran. Penyaluran kredit untuk sektor jasa-jasa antara lain digunakan untuk

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 144

Page 145: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

pembiayaan jasa konstruksi, jasa dunia usaha, dan jasa-jasa angkutan, pergudangan, serta

komunikasi. Sementara itu, kredit untuk sektor lain-lain sebagian besar disalurkan untuk

perumahan dan kendaraan. Perkembangan kredit perbankan menurut sektor ekonomi dapat

diikuti dalam Tabel III.22 dan Grafik III.7.

3.7.3.3. Kredit untuk investasi

Kredit investasi yang disetujui perbankan sampai dengan bulan Oktober 1996 berjumlah Rp

93.977 miliar, atau meningkat sebesar Rp 8.252 miliar (9,6 persen) dibandingkan dengan bulan

Maret 1996 sebesar Rp 85.725 miliar. Penyaluran kredit investasi sebesar Rp 93.977 miliar

tersebut sebagian besar (sekitar 70 persen) disalurkan untuk sektor perindustrian dan sektor jasa-

jasa. Sementara itu, posisi pinjaman kredit investasi hingga akhir bulan Oktober 1996 telah

mencapai sebesar Rp 67.998 miliar, atau meningkat sebesar Rp 5.986 miliar (9,6 persen) bila

dibandingkan dengan posisi pada bulan Maret 1996 sebesar Rp 62.012 miliar. Perkembangan

kredit investasi dapat dilihat dalam Tabel III.23.

Sektor 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997

Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Okt.-1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11Bank-bank pemerintah 2) 22.894 30.270 42.589 54.699 61.751 69.066 73.443 81.333 95.619 104.403Pertanian 2.732 4.017 5.318 6.450 7.744 8.559 9.989 11.026 11.657 12.224Pertambangan 279 361 451 580 568 498 214 534 612 841Perindustian 9.483 12.259 16.198 21.544 22.420 27.615 28.452 30.059 32.846 33.108Perdagangan 6.618 8.991 11.759 14.086 15.319 15.759 15.798 16.385 19.900 22.091Jasa-jasa 3.169 3.815 5.287 7.110 8.402 11.249 10.987 14.489 19.181 23.084Lain-lain 613 827 3.576 4.929 7.298 5.386 8.003 8.840 11.423 13.055Bank-bank swasta naslonal 3) 9.204 12.679 24.498 38.153 44.928 45.406 68.350 94.891 121.602 146.275Pertanian 158 286 639 1.074 1.022 1.389 2.106 2.890 3.793 4.793Pertambangan 15 27 31 52 67 101 194 234 362Perindustrian 1.911 2.602 4.385 6.706 8.473 10.325 15.696 20.954 24.930 29.539Perdagangan 4.004 5.201 10.388 14.098 14.795 14.871 20.281 25.754 32.715 39.142Jasa-jasa 2.088 2.905 5.254 8.673 12.336 13.874 24.087 34.612 45.916 56.326Lain-lain 1.028 1.658 3.801 7.550 8.235 4.846 5.986 10.447 13.886 16.057Cabang-cabang bank aslngdan campuran 1520 1.994 3.786 6.837 9.060 9.695 15.377 19.925 25.202 27.421Pertanian 1 8 25 105 133 179 341 375 379 334Pertambangan 0 0 37 13 95 125 247 186 . 250Perindustrian 534 822 1.866 3.063 4.518 5.533 9.335 11.954 15.247 15.570Perdagangan 375 495 667 1.406 1.793 1.904 2.484 3.225 3.617 4.696Jasa-jasa 293 276 661 1.331 1.009 751 2.117 3.227 4.357 4.999Lain-lain 317 393 530 919 1.512 1.203 853 908 1.352 1.499Jumlah kredit perbankan ') 33.618 44.943 70.873 99.689 115.739 124.167 157.170 196.149 242.423 278.099Pertanian 2.891 4.311 5.982 7.629 8.899 10.127 12.436 14.291 15.829 17.351Pertambangan 294 388 519 645 730 724 655 954 1.224 1.582Perindustrian 11.928 15.683 22.449 31.313 35.411 43.473 53.483 62.967 73.023 78.217Perdagangan 10.997 14.687 22.814 29.590 31.907 32.534 38.563 45.364 56.232 65.929Jasa-jasa 5.550 6.996 11.202 17.114 21.747 25.874 37.191 52.378 69.454 84.409Lain-lain 1.958 2.878 7.907 13.398 17.045 11.435 14.842 20.195 26.661 30.611

2) Tidal< lennasuk Bank Indonesia3) Tennasuk Bank Pembangunan Daerah

KREDIT PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI I), 1987/1988 –1996/1997Tabel 111.22

( dalam miliar rupiah )

I) Sejak April l993 termasuk Bank Umum eks-LKBB

4) Kredil dalam rupiah dan valuta asing, lennasuk kredil inveslaSi, KIK, dan KMKP

418

323

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 145

Page 146: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

3.7.3.4. Kredit untuk golongan ekonomi lemah

Untuk mengembangkan golongan ekonomi lemah, Pemerintah melalui lembaga

keuangan perbankan terus berupaya untuk memberikan pelayanan pembiayaan kepada usaha

kecil dan menengah, dengan tetap mewajibkan kepada semua bank untuk menyediakan kredit

usaha kecil (KUK) minimum 20 persen dari portofolio kreditnya kepada usaha kecil. Sejak

kebijaksanaan ini dikeluarkan pada tahun 1990, penyaluran KUK menunjukkan perkembangan

yang menggembirakan. Apabila pada bulan Desember tahun 1990 jumlah KUK yang disalurkan

baru mencapai Rp 21.197 miliar, maka sampai bulan September 1996 jumlah KUK yang

disalurkan telah mencapai Rp 46.906 miliar atau meningkat rata-rata sebesar 22,1 persen per

tahun.

Kebijaksanaan kredit usaha kecil (KUK) secara terus menerus selalu dipantau dan

diperbaiki, baik mengenai administrasi pelaksanaannya pada masing-masing bank, maupun

aturan-aturan yang mendukung pelaksanaan dari KUK tersebut. Perubahan terakhir tentang

kebijaksanaan KUK adalah dengan dikeluarkannya paket deregulasi Mei 1993, yang antara lain

mengatur peningkatan plafon KUK menjadi Rp 250 juta yang sebelumnya Rp 200 juta, cakupan

kredit kecil meliputi semua kredit sampai dengan Rp 25 juta tanpa dilihat penggunaannya, dan

tersedianya instrumen berupa SBPU-KUK bagi bank yang belum memenuhi rasio KUK sebesar

20 persen.

Dalam perkembangannya, bila dilihat dari plafon kreditnya, jumlah KUK yang

disalurkan sampai akhir bulan September 1996 mencapai sebesar Rp 46.906 miliar. Dari jumlah

KUK tersebut sebesar Rp 23.196 miliar (49,5 persen) dinikmati nasabah dengan plafon kredit

sampai dengan Rp 25 juta, sebesar Rp 6.102,9 miliar (13,0 persen) dinikmati nasabah dengan

plafon kredit di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 100 juta, dan sebesar Rp 5.175,3 miliar (11,0

persen) diserap oleh nasabah dengan plafon di atas Rp 25 juta sampai dengan Rp 50 juta.

Selanjutnya sebesar Rp 12.431,8 miliar (26,5 persen) dari total KUK dinikmati oleh nasabah

dengan plafon kredit di atas Rp 100 juta sampai dengan Rp 250 juta. Apabila penyebaran kredit

tersebut dibandingkan dengan penyebarannya pada bulan Maret 1996, terlihat adanya

pergeseran pada pangsa pasar KUK, yaitu pada plafon kredit sampai dengan Rp 25 juta

pangsanya naik dari 48,8 persen menjadi 49,5 persen, pada kredit di atas Rp 50 juta sampai

dengan Rp 100 juta pangsanya mengalami penurunan dari 13,5 persen menjadi 13 persen.

Dengan demikian, sebagian besar KUK dinikmati oleh usaha kecil yang plafon kreditnya relatif

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 146

Page 147: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

kecil.

Apabila dilihat secara sektoral, penyaluran KUK diserap oleh sektor perdagangan,

restoran dan hotel yang mencapai sebesar Rp 14.776,0 miliar (31,5 persen) dari total KUK,

sektor jasa-jasa, sektor perindustrian, dan sektor pertanian masing-masing menyerap Rp 7.875,5

miliar (16,8 persen), Rp 3.381,0 miliar (7,2 persen), dan Rp 3.642,6 miliar (7,8 persen).

Sedangkan sektor lain-lain menyerap dana KUK sebesar Rp 17.230,9 miliar (36,7 persen).

Sementara itu bila dilihat menurut kelompok bank, dari jumlah KUK sebesar Rp 46.906,0

miliar, sebagian besar disalurkan oleh bank-bank milik Pemerintah (Persero) yang mencapai

sebesar Rp 22.893,9 miliar (48,8 persen), bank-bank swasta nasional devisa sebesar Rp 17.372,6

miliar (37,0 persen), dan bank-bank swasta lainnya sebesar Rp 6.639,5 miliar (14,2 persen).

Sektor 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Okt.

Yang disetujui perbankan 11.911 15.784 19.454 27.899 36.243 44.174 61.714 73.155 85.725 93.977Pertanian 2.629 4.162 5.398 7.057 11.206 11.508 13.595 14.193 14.768 15.895Perindustrian 3.712 5.309 8.372 10.987 13.260 17.695 23.231 27.472 29.033 30.157Pertantbangan 263 447 443 484 515 507 524 597 666 755Perdagangan 385 608 1.301 2.151 3.234 4.990 9.397 7.375 9.697 11.462Jasa-jasa 3.812 4.102 3.734 6.017 6.795 8.117 14.967 23.518 31.561 35.708Lain-lain 1.110 1.156 206 1.203 1.233 1.357 0 0 0 0Posisi pinjaman 9.210 11.810 15.673 11.564 27.390 36.683 41.951 50.761 61.011 67.998Pertanian 1.744 2.610 3.629 4.726 5.864 7.169 8.893 10.215 10.869 11.837Perindustrian 3.765 4.791 6.639 9.207 11.784 16.489 18.097 20.447 23.949 24.959Pertantbangan 230 313 321 31)1 443 436 189 215 271 374Perdagangan 355 536 1.117 2.192 2.911 4.185 6.951 6.535 8.798 10.409Jasa-jasa 2.033 2.4.89 3.767 4.573 5.412 7.216 8.822 13.349 18.125 40.419Lain-lain 1.083 1.071 200 475 976 1.188 0 0 0 0

Tabel III.23KREDIT INVESTASI PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI 1), 1987/1988 - 1996/1997

(dalam miliar mpiah)

I)Sejak April 1993 termasuk Bank Umum eks-LKBB, dan tidak termasuk Bank Indonesia

Demikian pula bila dilihat penyebarannya menurut daerah perkotaan dan perdesaan,

dari jumlah KUK sebesar Rp 46.906,0 miliar pada akhir bulan September 1996 yang telah

terserap di daerah perkotaan yang meliputi kotamadya dan kota administratif termasuk ibukota

negara, mencapai Rp 26.900,2 miliar (57,3 persen) dengan jumlah rekening sebanyak 2.645.885

rekening. Sedangkan yang terserap di daerah perdesaan yang meliputi kabupaten-kabupaten

mencapai sebesar Rp 20.005,8 miliar (42,7 persen) dengan jumlah rekening sebanyak 4.433.446

rekening.

Sementara itu, untuk meningkatkan kegiatan perekonomian di perdesaan,

perkembangan program kredit umum pedesaan (Kupedes) yang dikelola oleh Bank Rakyat

Indonesia (BRI) juga terus mengalami peningkatan. Pada saat pertama kali diluncurkan dalam

tahun anggaran 1983/ 1984 jumlah Kupedes baru mencapai Rp 30,7 miliar dengan jumlah

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 147

Page 148: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

nasabah sekitar 161 ribu orang. Dalam perkembangannya, sampai dengan akhir bulan

September 1996 jumlahnya telah melonjak menjadi Rp 4.346,3 miliar, dengan jumlah nasabah

sekitar 2,8 juta orang. Dari jumlah Kupedes tersebut, yang digunakan untuk kegiatan investasi

adalah sebesar Rp 1.234,4 miliar (28,4 persen) dan untuk kegiatan eksploitasi sebesar Rp

3.111,9 miliar (71,6 persen). Apabila dibandingkan dengan posisi Kupedes bulan Maret 1996

sebesar Rp 3.374,1 miliar, maka dalam 6 bulan berjalan tahun anggaran 1996/1997 telah terjadi

peningkatan sebesar Rp 972,2 miliar (28,8 persen). Perkembangan Kupedes dapat diikuti dalam

Tabel III.24.

Mengingat masih banyaknya masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil yang

belum memiliki rumah, Pemerintah masih menyediakan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR)

yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Bank Tabungan Negara. Fasilitas kredit ini diberikan

dengan suku bunga dan besaran plafon yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan pola

penggunaannya berdasarkan paket yang ditentukan. Untuk KPR Paket A-1, yaitu terdiri dari

kredit pemilikan kapling siap bangun (KP-KSB/Lahan Griya) dan kredit pemilikan rumah

sangat sederhana (KP-RSS), dan paket A-2/Griya Inti (tipe 12 sampai dengan tire rumah

sederhana (RS 21), suku bunganya masing-masing 8,5 persen dan 11 persen per tahun.

Sedangkan suku bunga KPR Paket B/GriyaMadya (tipe 27 sampai dengan tipe 70) suku

bunganya 17 persen pertahun. Sampai dengan bulan Oktober 1996 jumlah rumah yang dibangun

telah mencapai 1.242.326 unit dengan nilai kredit sebesar Rp 7.768,2 miliar. Dari jumlah nilai

kredit sebesar Rp 7.768,2 miliar tersebut, perum Perumnas telah membangun 283.033 unit

rumah dengan nilai kredit sebesar Rp 1.033,5 miliar, masing-masing untuk membangun rumah

paket A dan paket B sebanyak 279.780 unit rumah dengan nilai kredit sebesar Rp 956,4 miliar,

untuk membangun rumah paket C sebanyak 3.224 unit dengan nilai kredit sebesar Rp 76,9

miliar, dan untuk membangun ruko sederhana sebanyak 29 unit dengan nilai kredit sebesar Rp

0,2 miliar. Sedang nilai kredit rumah yang dibangun oleh pembangun swasta telah mencapai Rp

6.724,6 miliar, dengan jumlah rumah sebanyak 956.958 unit rumah, masing-masing untuk

membangun rumah paket A dan B sebanyak 904.375 unit dengan nilai kredit Rp 5.491,1 miliar,

dan untuk membangun rumah paket C sebanyak 49.559 unit dengan nilai kredit Rp 1.218,5

miliar, serta untuk membangun rumah toko (ruko) sederhana sebanyak 3.024 unit dengan nilai

kredit sebesar Rp 15,0 miliar. Selain dibangun oleh Perum Perumnas dan Pembangun Swasta,

BTN telah pula bekerja sama dengan beberapa bank dalam hat pengadaan perumahan. Dari hasil

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 148

Page 149: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

kerjasama tersebut jumlah rumah yang di bangun mencapai jumlah 2.335 unit dengan nilai

kredit sebesar Rp 10,1 miliar.

Nllai yang Nasabah Nlla! yang Nasabah Nllai yangdlnjamkan Posisl (Kumulatif) dlnjamkan Posisl ( kumulatlf) dlnjamkan Posisl

( kumulatif) ( kumulatif) ( kumulatif)-1 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10

1987/1988 Maret 50,4 16,5 4.109,40 1.632,40 446,3 4.216,40 1.682,80 462,81988/1989 Maret 78,1 28,3 5.217,30 2.342,50 478,2 5.353,90 2A20,6 506,51989/1990 Maret 174,6 95,5 6.614,00 3.469,40 896,9 6.823,20 3.644,00 992,41990/1991 Maret 322,6 182,1 7.834,10 4.835,00 1.300,30 8.120,40 5.157,60 1.482,401991/1992 Maret 501 165,4 9.Hl5,9 6.300,30 1.398,50 9.444,60 6.801,30 1.563,901992/1993 Maret 655 165,4 10.294,50 7.909,20 1.398,50 10.705,40 8.564,20 1.563,901993/1994 Maret 924,9 325,2 11.564,10 9.826,90 1.750,80 12.085,70 10.751,80 2.076,00199411995 Juni 1.038,80 391,6 11.899,60 10.362,80 1.800,40 12M7,3 11.401,60 2.192,00

September 1.158,20 452,3 12.263,60 10.951,60 1.855,10 12.879,80 12.109,80 2.307,40Desember 1.297,00 521,3 12.654,80 11.621,40 1.943,90 13.326,00 13.326,00 2.465,20Maret 1A28,5 576,8 13.029,30 12.255,20 2.006,00 13.750,90 13.683,70 2.582,80

1995/1996 Juni 1.618,30 679,4 13.401,40 12.917,00 3.071,00 14.187,70 14.535,30 3.750,40September 1.806,20 771,7 13.778,30 13.637,90 2.161,10 14.624,60 15.444,10 2.932,80Desember 2.021,60 881,7 14.199,60 14.475,10 2.313,00 15.U6,6 16A96,7 3.194,70Maret 2.213,10 933,2 14.606,00 15.266,80 2A4O,9 15.588,40 17.479,80 3.374,10

19961l997 April 2.293,70 921,2 14.780,50 15.604,30 2.353,70 15.787,20 17.898,00 3.274,90Met 2.378,10 1.010,90 14.898,40 15.857,30 2.504,40 15.930,00 18.235,40 3.515,30Juni 2A74,3 1.061,00 15.038,50 16.152,10 2.558,20 16.098,30 18.626,40 3.619,20JoB 2.556,80 1.093,20 15.182,40 16.445,30 2.602,70 16.266,30 19.002,10 3.695,90Agustus 2.637,60 1.103,30 15.314,10 16.727,20 2.649,50 16A20,9 19.364,80 3.752,80September 2.723,90 U34,4 15A84,9 17.084,00 3.111,90 16.616,00 19.807,90 4.346,30

Investasl Eksploltasl JumlahAkhlr PerlodeNasabah

(kumulatif)

-2107

136,6209,2286,3338,7410,9521,6567,7616,2671,2721,6785,3846,3

917982,4

1.006,701.031,601.059,801.083,901.106,801.131,10

Tabel III.24KREDIT UMUM PEDESAAN, 1987/1988 - 1996/1997

( nasabah dalam ribuan, nilai yang dipiojamkan dan posisi dalam miliar rupiah )

Selain KUK, Pemerintah dalam jumlah yang terbatas masih menyediakan kredit

likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk kredit program khusus dalam rangka mendukung

pelestarian swasembada pangan dan pengembangan koperasi. Jenis kredit yang mendapat

dukungan KLBI tersebut antara lain adalah Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit kepada Koperasi

Unit Desa (KKUD), dan Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA). Dalam

rangka meningkatkan penyerapan KUT, pada bulan April 1995 Bank Indonesia telah

mengeluarkan KUT pola khusus yang mendampingi KUT pola umum. Dalam KUT pola khusus

tersebut, prosedur pengajuan permohonan kredit oleh petani yang semula diperlukan 12 tahap,

disederhanakan menjadi 3 tahap. Pada perkembangannya, dengan diperkenalkannya KUT pola

khusus tersebut, telah terjadi peningkatan sebesar Rp 103,2 miliar (64,9 persen), yaitu dari Rp

159,0 miliar pada bulan April 1995 menjadi Rp 262,2 miliar pada Agustus 1996. Sementara itu,

pemberian KKUD sampai dengan akhir Agustus 1996 posisinya telah mencapai Rp 116,0 miliaa

atau menurun sebesar Rp 14,7 miliar (12,7 persen) apabila dibandingkan dengan posisi bulan

Maret 1995 sebesar Rp 130,7 miliar. Sedangkan KKP A yang terdiri dari kredit untuk tebu

rakyat intensifikasi (TRI), kredit untuk umum, dan lainnya telah mencapai Rp 868,7 miliar.

Apabila dibandingkan dengan posisi bulan Maret 1996 sebesar Rp 650,2 miliar, maka telah

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 149

Page 150: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

terjadi peningkatan sebesar Rp 218,5 miliar (33,6 persen). Secara keseluruhan sampai akhir

bulan Agustus 1996 perkembangan kredit koperasi telah mencapai Rp 1.246,9 miliar.

Sementara itu, dalam rangka meningkatkan usaha koperasi melalui pengembangan

keuangan koperasi sehingga dapat berswadaya dan mandiri, Perum Pengembangan Keuangan

Koperasi (perum PKK) mempunyai peranan yang penting, diantaranya memberikan jaminan

kepada koperasi untuk kredit yang diberikan oleh bank dan/atau jaminan atas kredit barang oleh

badan usaha lain. Selain itu, dalam upaya memenuhi sebagian pembiayaan pengembangan usaha

koperasi, Perum PKK juga memberikan pinjaman kepada koperasi, serta memberikan bantuan

manajemen dan konsultasi. Kegiatan usaha koperasi yang sampai saat ini telah dilayani oleh

Perum PKK meliputi sektor-sektor antara lain sektor pertanian (KUT padi/palawija, pupuk, alat-

alat pertanian), perikanan (tambak, darat, cold storage, perkapalan), peternakan (sapi perah, sapi

potong, unggas), perkebunan (kemenyan, panili, tebu, coklat, KUT-TRI), kerajinan/industri

(bahan bangunan, tas/kulit, air bersih), serta jasa, konsumsi/distribusi (angkutan darat/laut,

simpan pinjam, pedagang pasar dan lain-lain). Secara kumulatif realisasi jumlah kredit yang

diberikan oleh Perum PKK sampai dengan bulan September 1996 kepada koperasi berjumlah

Rp 785 miliar dan jumlah jaminan kredit sebesar Rp 610 miliar.

3.8. Lembaga keuangan di luar perbankan

3.8.1. Asuransi

Perkembangan perekonomian nasional yang semakin meningkat baik di sektor

pemerintah maupun swasta menghendaki perlunya upaya-upaya untuk memobilisasi dan

memanfaatkan dana masyarakat secara optimal. Sebagai salah satu lembaga keuangan di luar

perbankan, industri asuransi yang bergerak di bidang pelayanan jasa-jasa pertanggungan,

mempunyai peranan yang penting dalam memupuk dan memobilisasi dana masyarakat.

Kebijaksanaan dan strategi yang dilaksanakan dalam pembangunan industri asuransi di

Indonesia senantiasa diupayakan agar lembaga asuransi mampu berkembang menjadi lembaga

keuangan yang handal, mampu menopang kebijaksanaan ekonomi makro secara keseluruhan,

dan mampu menjawab perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat.

Dengan dicanangkan kerjasama ekonomi regional antarnegara ASEAN di dalam

kerangka AFTA yang akan mulai memberlakukan liberalisasi di bidang perdagangan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 150

Page 151: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

barang/jasa serta investasi pada tahun 2003, industri asuransi nasional dituntut untuk

meningkatkan daya saingnya dengan langkah efisiensi dan profesionalisme. Langkah antisipatif

yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi antara lain dengan membenahi sistem

manajemen, meningkatkan produktivitas, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia

(SDM). Perbaikan ini diharapkan akan berdampak positif pada kualitas produk/jasa pelayanan

dan tingkat efisiensi yang dicapai perusahaan sehingga pada gilirannya, peningkatan efisiensi ini

akan meningkatkan daya saing produk asuransi nasional, baik di pasar domestik maupun di

pasar internasional.

Peranan industri asuransi selain sebagai penghimpun dana pembangunan adalah

sebagai lembaga penyedia jasa proteksi kepada masyarakat atau institusi. Dana masyarakat yang

diterima perusahaan asuransi dalam bentuk premi, sebagian akan diinvestasikan dalam bentuk

tanah dan bangunan, atau dalam jenis investasi yang lain seperti deposito, sertifikat surat

berharga maupun dalam bentuk portofolio dengan memperhatikan aspek yuridis, risiko, dan

likuiditas maupun keuntungan yang diharapkan.

Sementara itu, dalam rangka mendorong industri asuransi nasional untuk berkembang

secara optimal, Pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi di

sektor keuangan yang antara lain bertujuan untuk menyederhanakan prosedur perizinan, yang

semula mewajibkan perusahaan asuransi untuk memperbarui izin usahanya setiap tahun menjadi

izin usaha yang berlaku seterusnya selama izin usaha tidak dicabut. Kebijaksanaan itu juga

ditujukan untuk meliberalisasikan pasar dengan memberikan kesempatan yang lebih luas kepada

perusahaan asing untuk membentuk usaha patungan dan mencabut peraturan yang mengatur

tarif premi asuransi.

Selanjutnya, dalam kaitannya dengan pembenahan industri asuransi nasional maupun

dalam mengantisipasi perkembangannya di masa datang, telah ditetapkan dan dilaksanakan

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Peransuransian. Undang-undang ini

memberikan landasan hukum yang kukuh bagi kegiatan usaha asuransi untuk berakomodasi dan

berintegrasi dengan berbagai kemajuan pesat yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri.

Dalam undang-undang tersebut antara lain terdapat beberapa ketentuan yang mengatur perizinan

dan permodalan, tingkat solvabilitas, kekayaan yang diperkenankan, investasi, cadangan teknis,

retensi sendiri, dan ketentuan tentang premi bruto dan premi neto. Pelaksanaan undang-undang

tersebut lebih jauh telah diatur dan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 151

Page 152: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Peransuransian dan beberapa surat keputusan Menteri

Keuangan.

Reformasi kebijaksanaan di bidang usaha asuransi tersebut mempunyai jangkauan ke

depan, yaitu untuk mengantisipasi kecenderungan kegiatan ekonomi yang diperkirakan akan

semakin mengarah kepada kegiatan-kegiatan di sektor jasa dan keuangan. Kecenderungan ini

seirama dengan perkembangan perekonomian nasional yang telah bergerak semula dari

pertanian ke industri barang dan selanjutnya ke industri jasa. Dalam industri jasa ini faktor SDM

sangat menentukan sehingga hal-hal yang perlu segera diantisipasi oleh industri asuransi

nasional antara lain peningkatan kualitas SDM terutama tenaga-tenaga pialang asuransi dan

reasuransi, jasa penilai kerugian, konsultan aktuaria, penggunaan teknologi jaringan informasi

yang handal untuk meningkatkan pelayanan kepada pemegang polis, peningkatan efisiensi dan

efektivitas operasional, serta peningkatan kegiatan pemasaran industri asuransi.

Berbagai kebijaksanaan yang telah diambil oleh Pemerintah tersebut di atas ditambah

dengan semakin berkembangnya berbagai faktor yang mempengaruhi lingkup ekonomi dewasa

ini serta iklim yang sangat kondusif telah berhasil mendorong industri asuransi nasional tumbuh

secara berarti. Hal ini dapat dilihat dari indikator yang menunjukkan semakin banyaknya jenis

produk asuransi yang ditawarkan oleh beberapa perusahaan asuransi, jumlah perusahaan

asuransi, total aset, maupun dana investasi.

Sampai dengan bulan September 1996, jumlah perusahaan asuransi yang beroperasi

telah berkembang menjadi 163 perusahaan, yang terdiri dari sebanyak 98 perusahaan asuransi

kerugian, 56 perusahaan asuransi jiwa, 4 perusahaan reasuransi, 2 penyelenggara program

asuransi sosial dan jamsostek, serta 3 penyelenggara program asuransi untuk pegawai negeri

sipil (PNS) dan ABRI. Dibandingkan dengan jumlah dalam tahun 1995, jumlah tersebut

mengalami peningkatan sebanyak 4 perusahaan, yang merupakan perusahaan patungan baru

yang mendapat izin operasi yaitu 2 asuransi kerugian, 2 asuransi jiwa dan 1 asuransi jiwa

nasional. Namun dalam tahun yang sama, 1 perusahaan asuransi kerugian nasional

menghentikan usahanya. Bertambahnya perusahaan patungan ini merupakan suatu indikasi

bahwa pihak asing masih menaruh minat dan melihat peluang pasar asuransi nasional cukup

potensial.

Dalam tahun 1995, pendapatan premi bruto industri asuransi mengalami peningkatan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 152

Page 153: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

sebesar 25,03 persen, yaitu dari sebesar Rp 5.851,2 miliar dalam tahun 1994 naik menjadi

sebesar Rp 7.315,9 miliar. Kontribusi premi bruto asuransi terhadap produk domestik bruto

(PDB) sektor bank dan lembaga keuangan lainnya juga mengalami peningkatan dari 33,04

persen dalam tahun 1994 menjadi sebesar 34,92 persen dalam tahun 1995. Sedangkan kontribusi

premi bruto asuransi terhadap PDB nasional juga mengalami peningkatan dari sebesar 1,55

persen dalam tahun 1994, menjadi sebesar 1,64 persen dalam tahun 1995. Komposisi besarnya

premi bruto yang berhasil dihimpun oleh perusahaan asuransi dalam tahun 1995, adalah asuransi

jiwa sebesar Rp 2.078,7 miliar (28,41 persen), asuransi kerugian dan reasuransi sebesar Rp

3.332,0 miliar (45,54 persen), program asuransi sosial dan jamsostek sebesar Rp 1.206,3 miliar

(16,49 persen), dan program asuransi untuk PNS dan ABRI sebesar Rp 698,9 miliar (9,55

persen). Dengan demikian kontribusi terbesar dalam pengumpulan premi bruto berasal dari

usaha asuransi kerugian dan reasuransi, yaitu mencapai sebesar 45,54 persen dari total premi

bruto.

Dari data rasio pendapatan premi bruto terhadap PDB di atas dapatlah disimpulkan

bahwa potensi industri asuransi nasional masih mempunyai prospek yang cukup besar untuk

ditumbuhkembangkan. Potensi ini juga tercermin dalam meningkatnya jumlah pemegang polis

asuransi jiwa yang dalam tahun 1994 jumlahnya sebanyak 14,9 juta jiwa naik menjadi sebanyak

19 juta jiwa dalam tahun 1995 atau naik sebesar 27,90 persen. Namun, jumlah ini masih relatif

kecil apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 193,7

juta jiwa atau jumlah pemegang polis baru mencapai sebesar 9,81 persen dari jumlah penduduk.

Di sisi lain, tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat yang cenderung terus meningkat

juga merupakan potensi bagi permintaan akan industri asuransi.

Sementara itu, jumlah kekayaan (total aset) perusahaan asuransi dalam tahun 1995

telah meningkat menjadi sebesar Rp 17.269,8 miliar, atau naik sebesar 19,80 persen dari jumlah

kekayaan dalam tahun 1994 yang sebesar Rp 14.415,4 miliar. Komposisi total aset dalam tahun

1995 tersebut adalah asuransi jiwa sebesar Rp 4.893,5 miliar (28,34 persen), program asuransi

sosial dan jamsostek sebesar Rp 3.601,7 miliar (20,86 persen), program asuransi untuk PNS dan

ABRI sebesar Rp 4.031,4 miliar (23,34 persen) serta asuransi kerugian dan reasuransi sebesar

Rp 4,743,2 miliar (27,46 persen).

Selanjutnya, perkembangan jumlah pembayaran ganti rugi (klaim) yang diberikan oleh

perusahaan asuransi kepada nasabahnya menunjukkan peningkatan. Apabila dalam tahun 1994,

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 153

Page 154: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

jumlah ganti rugi yang dibayarkan sebesar Rp 2.018,7 miliar telah meningkat menjadi sebesar

Rp 2.455,0 miliar dalam tahun 1995, atau meningkat sebesar 21,61 persen. Dari jumlah tersebut

pembayaran ganti rugi yang diberikan oleh asuransi kerugian dan reasuransi sebesar Rp 1.014,9

miliar (41,34 persen), program asuransi untuk PNS dan ABRI sebesar Rp 620,1 miliar (25,26

persen), asuransi jiwa sebesar Rp 546,4 miliar (22,26 persen), dan program asuransi sosial dan

jamsostek sebesar Rp 273,6 mi1iar (11,14 persen).

Sebagaimana dengan jumlah kekayaan, nilai dana investasi sektor industri asuransi

Indonesia dalam tahun 1995 juga meningkat sebesar 25,66 persen dari tahun sebelumnya,

menjadi sebesar Rp 13.441,5 miliar (atau 77,83 persen dari jumlah kekayaan yang dimiliki).

Dari jumlah nilai investasi tersebut, asuransi jiwa menginvestasikan sebesar Rp 3.368,7 miliar

(25,06 persen), asuransi kerugian dan reasuransi sebesar Rp 3.023,9 miliar (22,50 persen),

program asuransi sosial dan jamsostek sebesar Rp 3.397,6 miliar (25,28 persen), dan program

asuransi untuk PNS dan ABRI sebesar Rp 3.651,3 miliar (27,16 persen).

Dari jumlah nilai investasi tersebut, sebagian besar ditempatkan dalam bentuk deposito

berjangka dan sertifikat bank Indonesia (SBI) sebagai alternatif investasi utama yang masing-

masing sebesar Rp 7.140,7 miliar (53,12 persen) dan Rp 2.701,3 miliar (20,10 persen).

Selanjutnya, sebesar Rp 2.498,9 miliar (18,59 persen) diinvestasikan dalam bentuk promes,

obligasi, saham, tanah dan bangunan, hipotik, dan pinjaman polis, sedangkan sebesar Rp

1.100,4 miliar (8,19 persen) diinvestasikan ke penyertaan dan sektor lain-lain.

Sampai dengan tahun 1995, perkembangan neraca pembayaran untuk kegiatan asuransi

Indonesia menunjukkan posisi defisit yang semakin meningkat yaitu sebesar Rp 826.147 juta

atau naik sebesar 80,77 persen bila dibandingkan dengan jumlah defisit tahun 1994 yang sebesar

Rp 457.004 juta. Peningkatan defisit ini terjadi karena peningkatan ketidakseimbangan antara

penerimaan pertanggungan dari luar negeri dengan pembayaran pertanggungan ke luar negeri

dan peningkatan perbedaan klaim rasio dari premi asuransi yang diterima dari luar negeri

dengan klaim rasio dari premi asuransi yang dikeluarkan ke luar negeri. Keterbatasan

kemampuan permodalan industri asuransi menyebabkan kapasitas pertanggungan asuransi

nasional masih terbatas untuk menutup pertanggungan obyek asuransi yang besar. Di sisi lain,

kemampuan Indonesia sebagai negara maritim dalam melayani jasa asuransi dari angkutan

barang melalui laut untuk tujuan ekspor sangat minim, sehingga keadaan ini telah memberi

kesempatan bagi jasa asuransi asing untuk mendominasi asuransi angkutan barang melalui laut.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 154

Page 155: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Perkembangan kegiatan industri asuransi dapat dilihat pada Tabel III.25 dan Grafik III.8.

3.8.2. Lembaga pembiayaan

Untuk mendorong tingkat pertumbuhan investasi yang tinggi perlu didukung oleh peran

serta masyarakat baik dalam penyediaan dana maupun dalam pemanfaatan dana. Peran serta

masyarakat tersebut dapat diwujudkan baik melalui lembaga keuangan perbankan maupun

lembaga keuangan bukan perbankan seperti asuransi, dana pensiun, pasar modal, lembaga

pembiayaan serta pegadaian.

Lembaga pembiayaan yang terdiri dari sewa guna usaha, anjak piutang, modal ventura,

kartu kredit, serta pembiayaan konsumen telah semakin penting peranannya dalam

meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Lembaga ini yang merupakan salah

satu alternatif pembiayaan bagi dunia usaha telah turut memberi dinamika bagi dunia usaha.

Semakin beragamnya sumber pembiayaan akan semakin mendorong kompetisi di sektor

pembiayaan yang selanjutnya akan menghasilkan ongkos/biaya modal yang lebih murah.

Sesuai dengan arahan Repelita VI bahwa usaha kecil dan menengah termasuk koperasi

harus ditingkatkan peranannya agar mampu berperan sebagai tulang punggung perekonomian

nasional, maka modal ventura yang merupakan salah satu bentuk usaha pembiayaan adalah

sarana yang sangat tepat untuk mencapai tujuan ini. Oleh karena itu, dalam rangka

meningkatkan kinerja modal ventura dalam membantu usaha kecil dan menengah termasuk

koperasi, Pemerintah telah secara khusus mengarahkan modal ventura tersebut dengan

menentukan bahwa usaha modal ventura hanya boleh dilakukan secara khusus oleh suatu badan

usaha. Usaha pembiayaan lain seperti sewa guna usaha, anjak piutang, kartu kredit serta

pembiayaan konsumen tetap dapat dilakukan secara bersamaan oleh suatu badan usaha.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 155

Page 156: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995

Jumlah Perusahaano 83 101 119 132 144 206 254Kegiatan Usaha 1.873 2.885 5.810 5.825 6.274 16.674 25.867- Nilai kontrak sewa guna usaha 1.873 2.885 4.746 3.944 3.748 5:953 8.498- Nilai pembiayaan anjak piutang - - 55 306 784 5.297 11.662- Nilai kontrak pembiayaan konsumen - - 1.009 1.571 1.530 4.475 5.425- Nilai pembiayaan kartu kredit - - - 4 212 7 949 282Keadaan Keuangan- Total aset 2.138 3.090 6.589 8.191 9.998 19.067 23.899- Total equity 262 433 936 1.195 1.560 3.347 4.215- Investasi bersih 1.761 2.754 5.311 6.743 7.795 14.787 18.719Posisi Pinjaman 1.686 2.181 2.769 5.339 6.099 12.612 17.692- Dalam Degen 531 907 1.293 1.936 2.798 7.172 10,442- Luar Degen 1.155 1.274 1.476 3.403 3.301 5.440 7.250

9.090

Tabel III. 26PERKEMBANGAN KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN, 1988 -1995

( dalam miliar rupiah)

4.5622.2392.210

11.7581.8839.2277.2773.8093.468

Kebijaksanaan pokok yang meletakkan dasar bagi pengembangan lembaga pembiayaan

dimuat dalam paket kebijaksanaan Desember 1988 (Pakdes '88). Sebagai tindak lanjut dari

Paket ini, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijaksanaan yang pada pokoknya

memberikan kemudahan-kemudahan bagi perusahaan pembiayaan dan bagi masyarakat untuk

turut berpartisipasi dalam kegiatan perusahaan pembiayaan. Kemudahan-kemudahan tersebut

antara lain menyangkut penyederhanaan persyaratan dan prosedur perizinan, memberikan

kesempatan untuk meningkatkan partisipasi modal pihak asing dalam pendirian perusahaan

pembiayaan patungan hingga 85 persen dari modal disetor, dan kepastian jangka waktu

pemrosesan perizinan. Berbagai kebijaksanaan yang diambil Pemerintah tersebut di atas telah

berhasil mendorong pertumbuhan jumlah perusahaan, keadaan keuangan maupun kegiatan

usaha perusahaan pembiayaan.

Jumlah perusahaan pembiayaan dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan.

Sampai dengan akhir tahun 1995 terdapat sebanyak 254 perusahaan pembiayaan (tidak termasuk

perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan modal ventura). Jumlah ini meningkat

sebanyak 23 persen dari jumlah tahun 1994 yang sebanyak 206 perusahaan. Sementara itu,

keadaan keuangan perusahaan pembiayaan yang ditunjukkan oleh total aset dan investasi juga

menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Bila dalam tahun 1994 total aset adalah sebesar

Rp 19.067 miliar, maka dalam tahun 1995 telah meningkat menjadi sebesar Rp 23.899 miliar

atau peningkatan sebesar 25,3 persen. Demikian juga jumlah investasi meningkat sebesar 26,6

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 156

Page 157: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

persen yaitu dari sebesar Rp 14.787 miliar dalam tahun 1994 menjadi sebesar Rp 18.719 miliar

dalam tahun 1995.

Kegiatan usaha pembiayaan terus mengalami peningkatan yang cukup pesat terutama

dalam dua tahun terakhir. Secara keseluruhan, nilai pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan

pembiayaan (tidak termasuk modal ventura) dalam tahun 1994 adalah sebesar Rp 16.674 miliar.

Jumlah ini dalam tahun 1995 meningkat menjadi sebesar Rp 25.867 miliar atau peningkatan

sebesar 55,1 persen.

Dalam pada itu, struktur nilai pembiayaan telah mengalami perubahan. Sampai dengan

tahun 1994, nilai pembiayaan sewa guna usaha adalah yang terbesar, disusul dengan anjak

piutang, pembiayaan konsumen dan pembiayaan kartu kredit. Dalam tahun 1995 nilai

pembiayaan anjak piutang menjadi yang terbesar, yaitu sebesar Rp 11.662 miliar atau naik

sebesar 120,2 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan nilai pembiayaan anjak piutang ini

memperlihatkan semakin banyaknya perusahaan yang memanfaatkan jasa anjak piutang, yang

ruang lingkup kegiatannya mencakup pembelian atau pengambilalihan dan pengurusan tagihan

jangka pendek suatu perusahaan atas transaksi perdagangan baik dalam negeri maupun luar

negeri. Adapun anjak piutang bertujuan antara lain memperlancar aliran kas suatu perusahaan,

yang selanjutnya akan dapat meningkatkan produktivitas perusahaan. Sedang nilai pembiayaan

sewa guna usaha dalam tahun 1995 mencapai sebesar Rp 8.498 miliar (naik sebesar 42,8 persen

dari tahun 1994). Nilai pembiayaan konsumen serta pembiayaan kartu kredit dalam tahun 1995

masing-masing mencapai sebesar Rp 5.425 miliar dan Rp 282 miliar.

Modal ventura sebagai perusahaan pembiayaan mempunyai ciri khusus, yaitu bahwa

modal ventura melakukan pembiayaan dengan melakukan penyertaan modal ke perusahaan

untuk suatu jangka waktu tertentu. Dengan demikian, perusahaan modal ventura dapat terlibat

dalam perbaikan atau pembenahan manajemen perusahaan. Hal ini sangat dibutuhkan oleh

perusahaan-perusahaan kecil dan menengah termasuk koperasi.

Dalam rangka meningkatkan peranan modal ventura, Pemerintah telah mengeluarkan

beberapa kebijaksanaan seperti ketentuan yang menetapkan bahwa usaha modal ventura hanya

boleh dilakukan secara khusus oleh suatu badan usaha. Selain itu, Pemerintah juga telah

mengambil inisiatif untuk mendirikan perusahaan-perusahaan modal ventura di berbagai daerah.

Dengan keberadaan perusahaan modal ventura di daerah-daerah diharapkan perusahaan-

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 157

Page 158: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

perusahaan kecil dan menengah (termasuk koperasi) di daerah akan dapat berkembang lebih

cepat.

Berbagai kebijaksanaan yang diambil Pemerintah telah berhasil mendorong kegiatan

perusahan modal ventura secara berarti. Hal ini dapat dilihat baik dari perkembangan jumlah

perusahaan modal ventura, jumlah perusahaan pasangan usaha serta nilai penyertaan modal

ventura. Sampai dengan akhir Juni 1996 terdapat sebanyak 41 perusahaan modal ventura yang

telah tersebar di 20 propinsi di seluruh Indonesia. Sedangkan perusahaan pasangan usaha telah

mencapai sebanyak 383 perusahaan dengan nilai penyertaan sebesar Rp 226,4 miliar.

Sementara itu, arah kebijaksanaan pengembangan perusahaan pembiayaan selalu

diupayakan konsisten dengan arah kebijaksanaan keuangan dan moneter. Mengingat bahwa

kegiatan perusahaan pembiayaan secara tidak langsung dapat mempengaruhi jumlah uang

beredar, maka kegiatan perusahaan pembiayaan harus dikendalikan agar sesuai dengan keadaan

ekonomi nasional yang sedang dihadapi. Sejalan dengan itu, Pemerintah telah mengambil

kebijaksanaan terhadap lembaga pembiayaan berupa pembekuan pemberian izin baru bagi

pendirian perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan sewa guna usaha, anjak piutang,

kartu kredit, dan pembiayaan konsumen terhitung mulai tanggal 21 Desember 1995, pembatasan

pinjaman luar negeri setinggi-tingginya 15 kali dari modal sendiri, dan mengintensifkan

pengawasan kegiatan lembaga pembiayaan. Kebijaksanaan yarig akan ditempuh di bidang usaha

modal ventura adalah dengan meneruskan upaya pendirian perusahaan modal ventura di 7

propinsi yang belum mempunyai perusahaan modal ventura di daerahnya. Selain itu, juga akan

diupayakan pendirian perusahaan modal ventura di daerah tingkat II yang dipandang potensial.

Selanjutnya, Tabel III.26 memberikan gambaran lebih rinci mengenai perkembangan lembaga

pembiayaan sampai dengan tahun 1995.

3.8.3. Dana Pensiun

Dalam upaya meningkatkan tabungan dalam negeri terutama tabungan jangka panjang, Dana

Pensiun mempunyai kedudukan yang sangat strategis, karena pada dasarnya Dana Pensiun

menghimpun tabungan masyarakat yang mempunyai waktu jangka panjang. Mengingat sifatnya

sebagai tabungan jangka panjang, maka akumulasi dana yang terhimpun dari penyelenggaraan

program pensiun dapat digunakan untuk pembiayaan investasi jangka panjang seperti

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 158

Page 159: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

pembangunan infrastruktur dan proyek -proyek produktif yang menciptakan banyak lapangan

kerja. Pembangunan proyek-proyek ini pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan dan

pendapatan masyarakat.

1988 1989 1990 1991 1992 1993 1) 1994 1995

Total AsetAsuransijiwa 799,1 985,6 1.212,90 1.628,80 1.911,50 2.349,20 4.018,00 4.893,50Asuransi sosial 1.930,10 2.424,10 2.891,50 3.639,80 4.297,00 5.600,90 6.505,70 7.633,10Asuransi kerugian dan reasuransi 1.177,00 1.580,60 2.137,60 2.603,30 2.808,80 3.317,10 3.891,70 4.743,20Jumlah 3.906,20 4.990,30 6.242,00 7.871,90 9.017,30 11.267,20 14.415,40 17.269,80Premi BrutoAsuransi jiwa 298,7 346,7 455,4 562,1 770,1 1.062,00 1.625,10 2.078,70Asuransi sosial 350,2 391,9 458,1 588,8 756,4 1.324,90 1.539,00 1.905,20Asuransi kerugian dan reasuransi 888,6 1.093,80 1.341,20 1.666,30 1.954,80 2.032,50 2.687,10 3.332,00Jumlah 1.537,50 1.832,40 2.254,70 2.817,20 3.481,30 4.419,40 5.851,20 7.315,90Pembayaran Ganti RugiAsuransi jiwa 469,9 532,5 277,7 523 564 892,8 369,5 546,4Asuransi sosial 171,9 175,3 214,4 285,8 360,1 616,4 708,6 893,7Asuransi kerugian dan reasuransi 344,9 483,6 524,1 721 706,6 978,1 972,7 1.014,90Jumlah 986,7 1.191,40 1.016,20 1.529,80 1.630,70 2.487,30 2.018,70 2.455,00Dana InvestasiAsuransijiwa 595,9 730 914,1 1.291,20 1.529,20 1.819,50 2.614,90 3.368,70Asuransi sosial 1.781,40 2.248,00 2.680,80 3.274,10 3.869,80 5.007,60 5.669,40 7.048,90Asuransi keruglan dan reasul'ansi 710,2 1.010,90 1.402,00 1.705,00 1.746,20 1.989,70 2.412,30 3.023,90Jumlah 3.087,50 3.988,90 4.996,90 6.170,30 7.145,20 8.816,90 10.696,60 13.441,50

TOTAL ASET, PREMI BRUTO, PEMBA Y ARAN GANTI RUGI, DAN DANA INVESTASI, 1988 -1995

Tabel Ill. 25PERKEMBANGAN INDUSTRI ASURANSI DI INDONESIA BERDASARKAN

( dalam miliar rupiah)

1) Sesuai UU Nomor 2 Th. 1992, perusahaan asuransi yang melaksanakan program Asuransi Sosial adalah PT Asuransi lasa Rahardja dan PT Asuransi Tenaga Kelja.

Program pensiun merupakan salah satu alternatif untuk memberikan jaminan

kesejahteraan kepada karyawan yang telah selesai masa baktinya. Jaminan tersebut diharapkan

dapat memperkecil masalah-masalah yang timbul berupa kesulitan dalam bidang keuangan

akibat tidak mampu lagi bekerja karena usia lanjut, dan kecelakaan yang mengakibatkan cacat

tubuh atau meninggal dunia. Sedangkan tujuan penyelenggaraan program pensiun, dilihat dari

sisi karyawan adalah untuk memberikan rasa aman dan ketenangan dalam bekerja. Rasa aman

dan ketenangan ini selanjutnya akan dapat meningkatkan motivasi, produktivitas serta loyalitas

pada perusahaan tempatnya bekerja. Sedang bila ditinjau dari sisi pemberi kerja, perusahaan

akan mempunyai nilai lebih dan daya saing dalam mendapatkan karyawan yang berkualitas dan

profesional. Dengan demikian penyelenggaraan program pensiun akan memberikan manfaat

baik bagi karyawan maupun bagi perusahaan.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 159

Page 160: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Mengingat pentingnya Dana Pensiun bagi perekonomian nasional, Pemerintah telah

mengambil beberapa upaya untuk meningkatkan dan mendorong perkembangan Dana Pensiun.

Untuk memberikan landasan hukum yang kukuh bagi Dana Pensiun, telah ditetapkan dan

diberlakukan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Dengan pemberian

landasan hukum yang kukuh ini diharapkan Dana Pensiun akan dapat berkembang secara baik

sesuai dengan perkembangan perekonomian nasional. Peran dan fungsi Dana Pensiun menurut

Undang-undang ini adalah sebagai lembaga penghimpun dana masyarakat yang bersifat jangka

panjang dan bermanfaat bagi sumber pembiayaan pembangunan ekonomi nasional dan sebagai

lembaga yang memberikan manfaat pensiun berupa kesinambungan penghasilan bagi pesertanya

di hari tua atau pada saat tidak mampu bekerja lagi.

Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-undang tersebut di atas, Pemerintah telah

mengambil beberapa kebijaksanaan baik yang dituangkan dalam peraturan pemerintah maupun

dalam surat keputusan Menteri Keuangan. Dalam kaitan ini, Peraturan Pemerintah Nomor 76

Tahun 1992 dan Nomor 77 Tahun 1992 masing-masing mengatur tentang Dana Pensiun

Pemberi Kerja dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Sedangkan masalah-masalah seperti tata

cara permohonan pengesahan pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana Pensiun

Lembaga Keuangan, persyaratan pengurus dan dewan pengawas Dana Pensiun Pemberi Kerja,

maksimum iuran dan manfaat pensiun, laporan keuangan Dana Pensiun, pendanaan dan

solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja serta investasi Dana Pensiun telah diatur lebih lanjut

dalam beberapa surat keputusan Menteri Keuangan.

Selanjutnya, ketentuan tentang pendanaan dan solvabilitas Dana Pensiun Pemberi

Kerja (DPPK) mengatur antara lain tentang tanggung jawab pendiri terhadap pendanaan

pensiun, pendanaan dan solvabilitas program pensiun manfaat pasti (PPMP), pendanaan

program pensiun iuran pasti (PPIP), tanggung jawab pendiri terhadap penyetoran iuran ke Dana

Pensiun serta aktuaris untuk PPMP. Pengaturan hal-hal tersebut di atas dimaksudkan untuk

memberikan jaminan terpeliharanya kesinambungan penghasilan peserta pada saat pensiun atau

pihak yang berhak apabila peserta meninggal dunia. Selain itu, pengaturan tersebut juga

ditujukan agar penyelenggaraan PPMP diselenggarakan secara terarah dan terjamin

kelangsungannya.

Di sisi lain, ketentuan tentang Investasi Dana Pensiun ditujukan agar investasi

kekayaan Dana Pensiun dikelola secara sehat dan baik. Ketentuan ini mengatur antara lain

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 160

Page 161: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

kewajiban pengurus dalam pengelolaan investasi kekayaan Dana Pensiun. Lebih lanjut

ditentukan, bahwa pengelolaan kekayaan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana Pensiun

Lembaga Keuangan hanya boleh ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka dan sertifikat

deposito pada bank, saham, obligasi dan surat berharga lain yang tercatat di bursa efek

Indonesia kecuali opsi dan waran, surat berharga pasar uang (SBPU), penyertaan langsung pada

saham, surat pengakuan hutang berjangka waktu lebih dari satu tahun (maksimum 15 persen),

dan pada tanah serta bangunan di Indonesia (maksimum 15 persen). Selain itu, ditetapkan

bahwa dalam rangka penyebaran risiko, investasi pada satu obyek ditentukan tidak boleh

melebihi 10 persen dari jumlah investasi Dana Pensiun.

Berbagai kebijaksanaan yang ditempuh tersebut di atas, telah berhasil mendorong

kegiatan Dana Pensiun. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan Dana Pensiun baik dari segi

kelembagaan, jumlah kekayaan, investasi, dan iuran.

Dalam tahun 1995 jumlah Dana Pensiun mencapai sebanyak 185 yang terdiri dari 167

Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan 18 Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).

Sampai dengan 17 Desember 1996 jumlah Dana Pensiun meningkat sebesar 41,1 persen

menjadi sebanyak 261 yang terdiri dari 239 DPPK dan 22 DPLK.

Berdasarkan laporan keuangan yang disampaikan Dana Pensiun, jumlah kekayaan (total

aset) Dana Pensiun juga mengalami peningkatan yang cukup berarti, yaitu meningkat dari

sebesar Rp 9,69 triliun pada akhir Desember 1994 menjadi sebesar Rp 14,25 triliun pada akhir

Desember 1995 atau terjadi peningkatan sebesar 47,06 persen. Peningkatan dalam kekayaan

Dana Pensiun ini diikuti pula oleh peningkatan dalam investasi Dana Pensiun. Pada akhir

Desember 1994, investasi Dana Pensiun adalah sebesar Rp 7,49 triliun dan pada akhir Desember

1995 mencapai sebesar Rp 10,07 triliun atau mengalami kenaikan sebesar 34,4 persen.

Peningkatan yang terjadi dalam jumlah Dana pensiun, kekayaan dan investasi juga

diikuti oleh peningkatan jumlah iuran Dana Pensiun. Bila pada akhir Desember 1994, iuran

Dana Pensiun baru mencapai sebesar Rp 616 miliar, maka pada akhir Desember 1995 jumlah ini

meningkat sebesar 85,12 persen atau menjadi sebesar Rp 1.140,4 miliar.

Sementara itu, penyelenggaraan pembayaran pensiun pegawai negeri sipil (PNS) di

seluruh Indonesia telah dilimpahkan Pemerintah kepada PT Taspen. Pada akhir Desember 1994,

PT Taspen telah melayani pensiun PNS sebanyak 1.522,1 ribu orang dengan jumlah

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 161

Page 162: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

pembayaran pensiun sebesar Rp 2.904,3 miliar. Jumlah ini pada akhir Desember 1995

meningkat masing-masing menjadi sebanyak 1.533,9 ribu orang dan Rp 3.382,2 miliar.

Sedangkan besarnya iuran PNS pada akhir tahun 1994 dan 1995 masing-masing sebesar Rp

453,4 miliar dan Rp 470 miliar.

3.8.4. Pegadaian

Di samping lembaga keuangan perbankan dan lembaga pembiayaan, pegadaian telah

semakin penting dirasakan keberadaannya, terutama oleh masyarakat golongan ekonomi lemah,

mengingat lapisan masyarakat inilah yang secara nyata tidak dapat sepenuhnya akses ke sumber

pembiayaan seperti perusahaan pembiayaan dan perbankan yang ada. Pegadaian ini selain turut

melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang

ekonomi dan pembangunan nasional, juga berperan dalam meneegah adanya praktek ijon,

pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar lainnya. Dalam usahanya pegadaian mengkhususkan

kegiatannya untuk memberikan pelayanan pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai

dengan cara mudah, cepat, aman dan hemat.

Mengingat pentingnya peranan pegadaian dalam pembangunan nasional, Pemerintah

senantiasa mendorong perkembangannya, antara lain dengan mengeluarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990 tanggal 10 April 1990 tentang Perubahan Status Hukum dari

Perusahaan Jawatan (Perjan) menjadi Perusahaan Umum (perum) Pegadaian. Dengan perubahan

status ini pegadaian lebih dimungkinkan untuk meningkatkan maksimum pinjaman yang

diberikan, menerbitkan obligasi dan melakukan diversifikasi usaha. Sejak berubah status

menjadi Perum, Pegadaian telah menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan.

Hal ini dapat dilihat dari jumlah pinjaman yang diberikan, laba bersih serta jumlah nasabah yang

dilayani. Jumlah pinjaman yang diberikan mengalami peningkatan yang cukup berarti, yaitu

sebesar 38,60 persen, dari Rp 1.039,9 miliar pada akhir tahun 1994, menjadi Rp 1.441,3 miliar

pada akhir tahun 1995. Sementara itu, laba bersih yang berhasil diraih Perum ini juga

mengalami peningkatan cukup besar yaitu mencapai sebesar 53,57 persen, dari Rp 11,2 miliar

pada akhir tahun 1994 menjadi Rp 17,2 miliar pada akhir tahun 1995. Nasabah yang dilayani

juga meningkat sebesar 13,92 persen, yaitu dari 4.176.754 orang pada akhir tahun 1994, menjadi

4.757.964 orang pada akhir tahun 1995.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 162

Page 163: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Dalam perkembangannya, untuk menggali pendapatan usaha, selain melakukan usaha

pokoknya yaitu memberikan pinjaman kepada masyarakat, Perum Pegadaian juga rnelakukan

perluasan usaha yaitu melalui jasa taksiran dan jasa titipan. Setelah diperkenalkan dalam tahun

1994, usaha ini menunjukkan peningkatan pendapatan yang cukup berarti masing-masing

sebesar 67 persen untuk jasa taksiran dan 53,5 persen untuk jasa titipan, walaupun secara

absolut masih relatif kecil dibandingkan dengan pendapatan yang berasal dari kegiatan

pokoknya. Selain itu, Perum Pegadaian juga mengadakan kerjasama dengan pihak ketiga untuk

pembangunan gedung kantor dan perkantoran dengan sistem bangun, kelola dan alih (build,

operate and transfer-BOT).

Sementara itu, di beberapa kota besar Perum Pegadaian juga mengadakan perluasan

usaha dengan menyediakan fasilitas pegadaian untuk berbagai macam perhiasan emas bermutu

tinggi. Di Denpasar, Perum Pegadaian memberikan pelayanan kepada pengrajin perak untuk

mendapatkan bahan baku perak setengah jadi dengan kualitas standar. Seperti diketahui Perum

Pegadaian tidak diperbolehkan menarik dana secara aktif dari masyarakat seperti halnya

perbankan, oleh karena itu sumber permodalan Perum Pegadaian selain berasal dari modal

sendiri juga dapat diperoleh dengan memanfaatkan jasa perbankan, pinjaman jangka panjang

yang berasal dari kredit likuiditas Bank Indonesia dan dengan menerbitkan obligasi.

Sebagai salah satu BUMN, Perum Pegadaian terus berupaya untuk meningkatkan

kinerja dan citra perusahaan sehingga dapat berperan lebih besar dalam perekonomian

Indonesia. Untuk itu sasaran pengembangan Perum Pegadaian pada periode mendatang adalah

mengusahakan peningkatan omzet kredit yang diberikan kepada masyarakat sebesar 20 persen

per tahun dan peningkatan laba bersih sebesar 30 persen per tahun. Selain itu, diharapkan pada

periode yang akan datang pendapatan dari usaha-usaha lain dapat menyumbang minimal 2

persen dari laba usaha. Sejalan dengan itu, Perum Pegadaian telah mempersiapkan langkah-

langkah untuk mencapainya yaitu dengan melaksanakan pemanfaatan kantor cabang,

meningkatkan pelayanan nasabah, meningkatkan produktivitas di seluruh bidang kegiatan,

meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengeluaran uang perusahaan serta dengan

mengembangkan produk baru.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 163

Page 164: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

3.9. Pasar modal

Pasar modal Indonesia dari tahun ke tahun menjadi wahana yang semakin menarik baik

bagi dunia usaha maupun pemilik modal, dan menjadi semakin penting peranannya. Bagi dunia

usaha, pasar modal dapat dijadikan sebagai sarana untuk menawarkan berbagai macam efek

sesuai dengan kebutuhan dana yang diperlukan dengan tingkat biaya dana yang relatif murah. Di

lain pihak, bagi investor, pasar modal merupakan salah satu wahana investasi yang dapat

memberikan keuntungan yang menarik dalam bentuk "capital gain" maupun "deviden" melalui

kepemilikan berbagai saham yang dipilih sesuai dengan pendapatan yang diharapkan dan

pertimbangan tingkat risiko yang wajar.

Berbagai upaya pengembangan pasar modal telah dan sedang ditempuh Pemerintah

melalui berbagai langkah, baik dalam bentuk kebijaksanaan yang berupa penetapan peraturan

perundang-undangan, pembenahan kelembagaan, maupun pemberian fasilitas-fasilitas lainnya

yang dapat menunjang kegiatan pasar modal. Di samping itu, Pemerintah juga terus menerus

berusaha menciptakan iklim yang dapat mendorong perkembangan pasar modal, antara lain

dengan kebijaksanaan ekonomi makro yang berhati-hati dan mendorong swakarsa pelaku pasar

modal itu sendiri.

Sementara itu, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sebagai

pengganti Undang-undang Nomor 15 Tahun 1952 merupakan suatu karya bersejarah di bidang

pasar modal. Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 yang terdiri alas 18 bab dan 116 pasal antara

lain menganut prinsip keterbukaan dan menekankan perlindungan bagi investor di pasar modal.

Selain itu, undang-undang tersebut juga mengatur kegiatan pasar modal agar dapat berjalan

lancar, efisien dan likuid. Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

tersebut telah dikeluarkan dua peraturan pemerintah, yaitu masing-masing Peraturan Pemerintah

Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal dan Nomor

46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal, tiga keputusan Menteri

Keuangan, dan sekitar 100 keputusan Ketua Bapepam. Dengan berlakunya Undang-undang

Pasar Modal yang baru dan peraturan pelaksanaannya tersebut maka semakin terjamin kepastian

hukum bagi para pelaku maupun profesi penunjang pasar modal dalam kegiatan pasar modal di

Indonesia.

Perkembangan lain yang cukup penting dalam kegiatan pasar modal selama periode

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 164

Page 165: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Januari 1996-November 1996 adalah dengan dialihfungsikannya PT Kliring Deposit Efek

Indonesia (PT KDEI) menjadi lembaga penyelesaian dan penyimpanan (LPP) efek pada awal

Juli 1996 dan terbentuknya lembaga kliring dan penjaminan (LKP) dengan nama PT Kliring

Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) pada awal Agustus 1996. PT KDEI yang pada awalnya

berfungsi menangani proses kliring dan penyelesaian transaksi efek untuk selanjutnya hanya

menangani kegiatan penyimpanan efek.

Guna meningkatkan peranan investor lokal kecil di pasar modal, maka telah ditetapkan

tahun 1996 sebagai tahun reksadana. Adapun usaha reksadana adalah kegiatan usaha yang

menerima titipan dana dari investor yang kemudian dana tersebut diinvestasikan kembali dalam

bentuk pembelian sekuritas baik di pasar modal maupun di pasar uang atau pasar hutang sesuai

dengan kebijaksanaan manajer investasinya. Undang-undang Pasar Modal (UUPM) tahun 1995

telah membuka peluang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan usaha reksadana,

baik yang terbuka maupun tertutup. Adapun reksadana terbuka adalah penerbitan Saham atau

unit penyertaan reksadana oleh suatu perusahaan reksadana dan dijual kepada investor dimana

investor yang membeli reksadana tersebut setiap saat dapat menjual kembali sahamnya kepada

perusahaan reksadana yang mengeluarkannya. Sedang reksadana tertutup tidak memberi

kemungkinan bagi pembeli saham reksadana untuk menjualnya kembali kepada perusahaan

penerbit reksadana. Dengan dikembangkannya kegiatan usaha reksadana diharapkan peran serta

investor lokal dalam pasar modal Indonesia yang dewasa ini jumlahnya diperkirakan sekitar 0,2

persen dari jumlah penduduk Indonesia dapat ditingkatkan yang pada gilirannya dapat

memperkuat fundamental pasar modal di Indonesia.

Selain itu, guna lebih meningkatkan kegiatan pasar modal, dalam bulan September

1996 telah ditandatangani kerjasama antara Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) dengan Ikatan

Akuntan Indonesia (IAI) yang antara lain bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya, potensi,

dan kemampuan dari kedua belah pihak dalam ikut aktif mengembangkan pasar modal. Lingkup

kegiatan yang dikerjasamakan antara lain mencakup pertukaran informasi dan data yang

dimiliki masing-masing pihak, mengadakan seminar, workshop dan melakukan penyebaran

informasi, serta pembinaan emiten maupun calon emiten, khususnya anggota AEI dalam

penyusunan laporan keuangan yang sesuai dengan standar akuntansi keuangan.

Selanjutnya, dalam rangka ikut menunjang program pemerataan pendapatan

masyarakat yang sedang digalakkan oleh Pemerintah dewasa ini, AEI juga telah melakukan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 165

Page 166: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

pengalihan saham perusahaan yang "go public" kepada koperasi. Sebanyak 13 emiten telah

mengalihkan 10,39 juta lembar sahamnya kepada 187 koperasi dengan nilai sebesar Rp 6,9

miliar.

Di samping pendirian Pusat Informasi Pasar Modal (PIPM), guna lebih

memasyarakatkan seluk beluk kegiatan pasar modal, terutama di lingkungan perguruan tinggi,

telah dibuka sarana informasi pasar modal di beberapa tempat, yang dikenal dengan "Pojok

BEJ", seperti di Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Trisakti Jakarta, Universitas

Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, serta di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. "Pojok

BEJ" tersebut berfungsi antara lain memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya di

kalangan perguruan tinggi, tentang peran dan manfaat pasar modal sebagai salah satu alat

investasi yang menguntungkan bagi investor. Dengan demikian masyarakat maupun investor

akan dapat memperoleh informasi yang lebih akurat dalam mengikuti perkembangan Bursa Efek

Jakarta.

Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditempuh Pemerintah di atas serta partisipasi

positif dari pelaksana dan penyelenggara pasar modal telah berhasil mendorong kegiatan pasar

modal secara berarti. Hal ini ditunjukkan bukan hanya dan data yang bersifat kuantitatif seperti

misalnya jumlah perusahaan yang "go public", volume, dan nilai perdagangan saham tetapi juga

dari data yang bersifat kualitatif seperti peningkatan kualitas keterbukaan informasi pasar

modal, serta diberlakukannya praktek yang bersifat internasional di pasar modal Indonesia.

Sementara itu, di Bursa Efek Surabaya (BES) telah diperkenalkan suatu sistim baru

yang disebut sebagai S-MART atau Surabaya Market Information and Automated Remote

Trading dengan nilai investasi yang ditanamkan sebesar Rp 3 miliar. Informasi pasar dan sistem

perdagangan jarak jauh itu dimungkinkan dengan menggunakan fasilitas jaringan Pasopati yang

disediakan oleh PT Telekomunikasi Indonesia. Dengan fasilitas S-MART tersebut

dimungkinkan adanya mekanisme perdagangan lelang periodik setiap lima menit. Dengan

demikian sistem tersebut membuka peluang investor dan perusahaan emiten menghitung harga

terbaik bagi suatu saham. Selain itu diperkenalkan pulajaringan SSX-net (Surabaya Stock

Exchange-internet) yang merupakan fasilitas penyebaran informasi berbasis internet. Dengan

fasilitas tersebut perusahaan sekuritas dapat melakukan transaksi melalui terminal komputer

masing-masing yang sudah "on-line" ke BES.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 166

Page 167: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Kegiatan transaksi di lantai bursa tidak terlepas kaitannya dengan peran pelaku

pendukung pasar modal seperti perusahaan sekuritas. Perusahaan sekuritas yang terdaftar di

Bursa Efek Jakarta (BEJ) sampai dengan tanggal 27 Desember 1996 berjumlah 226 perusahaan

efek. Dari jumlah tersebut, 100 perusahaan merupakan perusahaan penjamin emisi efek, yang

sebagian besar dapat berperan sebagai perusahaan perantara pedagang efek (PPE) maupun

manajer investasi, 111 perusahaan PPE yang lima diantaranya dapat juga bergerak di bidang

manajer investasi, dan 15 perusahaan lainnya hanya bergerak di bidang manajer investasi.

Perkembangan yang cukup penting dan menarik perhatian masyarakat dalam tahun

1996 ini adalah "go public" nya salah satu bank pemerintah, jaitu PT (Persero) Bank BNI 1946.

BUMN tersebut menawarkan sekitar 25 persen kepemilikan sahamnya kepada masyarakat atau

sebanyak 1,085 miliar saham dengan nilai nominal Rp 500. Di pasar perdana, saham tersebut

ditawarkan pada tingkat harga Rp 850 dan telah dicatatkan di lantai bursa pada tanggal 25

November 1996, setelah masa penawaran umum dari tanggal 4-7 November 1996. Pada

transaksi hari pertama setelah dicatatkan, di lantai Bursa Efek Jakarta (pasar sekunder) saham

tersebut mencatat gain sebesar Rp 400 atau menjadi Rp 1.250, sehingga investor menikmati

keuntungan dan capital gain lebih dari 47 persen.

Sampai dengan tanggal 27 Desember 1996 jumlah kumulatif perusahaan yang telah

mendapatkan persetujuan Bapepam untuk menawarkan efeknya kepada masyarakat berjumlah

322 perusahaan emiten dengan nilai kumulatif emisi sebesar Rp 61,34 triliun. Dari jumlah

perusahaan emiten tersebut, masing-masing 267 perusahaan menawarkan sahamnya dengan

nilai kumulatif emisi sebesar Rp 49,8 triliun, dan 55 perusahaan menerbitkan obligasi, obligasi

konversi maupun sekuritas kredit dengan nilai kumulatif sebesar Rp 11,54 triliun. Dari segi

jumlah perusahaan emiten berarti peningkatan masing-masing 19 emiten saham dan 5 emiten

obligasi dan sejenisnya dibandingkan periode tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, 27

perusahaan sekaligus menawarkan saham dan obligasinya. Perusahaan-perusahaan tersebut

terbagi ke dalam sembilan sektor, masing-masing sektor pertanian, pertambangan, industri

dasar, aneka industri, industri konsumsi, properti, infrastruktur, keuangan, serta perdagangan

dan jasa. Di samping itu, reksadana yang telah melakukan emisi berjumlah 22 perusahaan, 21

diantaranya merupakan reksadana berbentuk kontrak investasi kolektif (KIK) dan satu

reksadana berbentuk perseroan yang menerbitkan reksadana tertutup.

Peranan pasar modal dalam menghimpun dana antara lain dapat dilihat dari nilai emisi

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 167

Page 168: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

kumulatif saham tercatat maupun nilai kapitalisasi pasar. Nilai kumulatif emisi saham sampai

dengan 27 Desember 1996 telah mencapai Rp 49,8 triliun atau meningkat sebesar 40,68 persen

dibandingkan nilai kumulatif emisi saham sampai dengan akhir tahun 1995 yang sebesar Rp

35,4 triliun. Sementara jumlah kumulatif emisi saham telah mencapai 24,98 miliar lembar, atau

mengalami peningkatan sebesar 124,84 persen dibanding jumlah kumulatif saham sampai

dengan akhir tahun sebelumnya yang sebanyak 11,11 miliar lembar. Di sisi lain, dalam periode

yang sama jumlah kumulatif emisi obligasi mencapai 805.474 lembar dengan nilai kumulatif

emisi sebesar Rp 11,54 triliun, atau suatu peningkatan masing-masing 2,18 persen dan 32,8

persen bila dibandingkan jumlah dan nilai kumulatif emisi obligasi sampai dengan akhir tahun

sebelumnya, yang masing-masing sebesar 788.264 lembar dengan nilai kumulatif emisi sebesar

Rp 8,69 triliun.

Sementara itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ)

mengalami perkembangan yang bervariasi sesuai dengan perkembangan di lantai bursa. Dalam

tahun 1996, sampai dengan tanggal 27 Desember, indeks ditutup pada angka 637,43 atau 123,59

poin (24,1 persen) lebih tinggi dibandingkan angka indeks akhir tahun sebelumnya yang berada

pada tingkat 513,84. IHSG di BEJ pada tanggal 27 Desember 1996 tersebut juga merupakan

angka indeks tertinggi selama tahun 1996. Indeks harga terendah terjadi dalam bulan Januari

1996 yang mencapai angka 512,48.

Dalam perkembangan lainnya, nilai kapitalisasi pasar di BEJ pada tanggal 27 Desember

1996 telah mencapai Rp 215,0 triliun, dari sejumlah 77,24 miliar saham yang tercatat di lantai

bursa. Hal ini berarti terjadi peningkatan nilai kapitalisasi sebesar Rp 62,75 triliun atau sekitar

41,22 persen dibandingkan pada akhir tahun lalu yang sebesar Rp 152,25 triliun. Peningkatan

tersebut di samping disebabkan karena bertambahnya perusahaan-perusahaan yang "go public"

dan mencatatkan sahamnya di lantai bursa juga karena bertambahnya saham akibat pencatatan

saham perusahaan (company listing), penerbitan right issue, saham bonus dan lain-lain.

Sedangkan nilai transaksi perdagangan saham di BEJ yang selama tahun 1995 mencapai Rp

32,36 triliun, selama tahun 1996 (sampai dengan tanggal 27 Desember) telah meningkat menjadi

Rp 75,73 triliun atau meningkat lebih dari dua kali lipat. Rata-rata nilai perdagangan harian

selama tahun 1996 juga mengalami lonjakan yang cukup berarti bila dibandingkan dengan tahun

sebelumnya, yaitu naik dari Rp 131,53 miliar dalam tahun 1995 menjadi Rp 304,1 miliar dalam

tahun 1996.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 168

Page 169: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Di sisi lain, kegiatan di Bursa Efek Surabaya (BES) juga mengalami perkembangan

yang cukup berarti. Nilai kapitalisasi pasar pada tanggal 27 Desember 1996 telah mencapai Rp

187,6 triliun yang berarti suatu peningkatan sebesar 18,11 persen dibandingkan dengan nilai

kapitalisasi pasar pada akhir tahun sebelumnya yang sebesar Rp 158,84 triliun. Sementara itu,

nilai transaksi perdagangan selama tahun 1996 telah mencapai Rp 4,1 triliun dari sebanyak 1,55

miliar saham yang diperdagangkan.

Lebih jauh, sampai dengan tanggal 27 Desember 1996 PT Danareksa telah menerbitkan

12 jenis sertifikat saham senilai Rp 222,8 miliar, masing-masing 2 jenis sertifikat saham

perusahaan senilai Rp 7,8 miliar, 2 jenis sertifikat dana unit saham pendapatan abadi senilai Rp

60 miliar, 5 jenis sertifikat dana unit umum senilai Rp 75 miliar, dan 3 jenis sertifikat dana unit

saham senilai Rp 80 miliar.

Prospek pasar modal Indonesia diperkirakan cukup cerah dalam era pasar global abad

ke 21 mendatang. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan tetap kuat dan tingkat inflasi

yang diperkirakan akan lebih terkendali merupakan beberapa faktor ekonomi makro yang

penting yang dapat mendorong kegiatan pasar modal. Di samping itu, potensi pasar yang cukup

besar baik dilihat dari banyaknya jumlah perusahaan yang potensial untuk "go public" maupun

dilihat dari jumlah pemodal potensial mendukung prospek pasar modal yang cukup cerah

tersebut. Hal lain yang penting dalam rangka pengembangan pasar modal adalah pemantapan

kualitas dan integritas sumber daya manusia pendukung pasar modal. Sumber daya manusia

yang memiliki kualitas dan integritas tinggi akan dapat meningkatkan kegiatan pasar modal

yang efisien, aman, lancar, dan likuid.

Untuk mempertegas misi dan visi kegiatan pasar modal Indonesia pada abad ke 21

mendatang serta untuk menjadikan pasar modal Indonesia sebagai salah satu pasar modal

terkemuka di kawasan Asia, Bapepam bekerjasama dengan masyarakat pasar modal (Capital

Market Society, CMS), telah mengeluarkan Cetak Biru Pasar Modal Indonesia (Indonesian

Capital Market Blue Print), yaitu suatu Rencana Pengembangan Lima Tahun yang merupakan

panduan dan kerangka dasar dalam melakukan kegiatan usaha di pasar modal. Cetak biru ini

pada pokoknya menetapkan lima strategi pengembangan pasar modal yakni peningkatan

kelangsungan hidup ekonomis industri efek, standar yang tinggi untuk keamanan dan kualitas

jasa, mengupayakan agar biaya transaksi dan jasa tetap rendah, ketaatan penuh terhadap prinsip

keterbukaan, serta mempertahankan pasar yang wajar dan teratur.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 169

Page 170: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Perkembangan pasar modal antara lain ditentukan oleh kerjasama dan pengertian antara

Pemerintah, pelaku, dan pendukung pasar modal. Bila kerjasama dan pengertian tersebut dapat

dibina dan masing-masing pihak menjalankan peran dan fungsinya dengan penuh dedikasi dan

profesionalisme yang tinggi, maka pasar modal Indonesia diharapkan akan dapat menjadi salah

satu pasar modal terbesar di Asia Tenggara. Pemerintah bertekad untuk mengerahkan segala

daya dan upaya untuk memberikan dukungan yang optimal bagi pengembangan pasar modal.

Demikian juga diharapkan pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan pasar modal tetap

mempertahankan komitmen yang kuat terhadap pasar modal. Dengan demikian harapan untuk

menjadikan pasar modal Indonesia menjadi salah satu yang terbesar dan terbaikdi Asia

Tenggara akan dapat terwujud.

Perkembangan jumlah perusahaan emiten yang telah mendapatkan persetujuan Bapepam untuk

melakukan emisi saham, obligasi dan sekuritas kredit serta sertifikat saham yang telah

diterbitkan oleh PT Danareksa dapat dilihat pada Tabel III.27, Tabel III.28, dan Tabel

III.29

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 170

Page 171: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Jumlah Nilai Nilaikumulatif kumulatif rata-rata

Jumlah emisi emisi perdaganganperiode perusahaan perdana perdana perdana IHSG

(juta saham) (miliar Rp) (miliar Rp)

1984 Desember 24 57 128,9 0,01 67,681985 Desember 24 57 128,9 0,01 66,531986 Desember 24 57,2 129,4 0,01 69,691987 Desember 24 57,2 129,4 0,02 82,581988 Desember 25 68,4 173,7 0,12 305,121989 Desember 67 308,7 2.260,50 3,9 399,691990 Desember 132 965,4 8.009,40 30,6 417,791991 Desember 145 1.178,50 8.976,10 23,58 247,391992 Desember 162 1.761,40 11.161,80 32,2 274,331993 Desember 181 3.338,50 16.065,00 77,59 588,761994 Maret 192 4.023,50 18.909,00 138,74 492,37

Juni 207 5.391,70 23;157,2 55,65 457,29September 216 5.783,40 24.751,20 105,49 497,97Desember 231 6.401,90 26.528,60 113,03 469,64

1995 Maret 233 6.715,90 27.062,10 82,33 428,64Juni 236 7.685,60 28.630,70 133,1 492,27September 243 8.849,60 30.914,30 136,19 493,24Desember 248 11.110,90 35.395,00 176,84 513,84

1996 Januari 248 11.583,50 35.867,50 228,84 578,55Februari 248 11.838,80 36.122,90 298,Q4 585,2Maret 248 12.394,60 36.803,10 262,16 585,7April 248 13.126,40 37.877,10 327,42 623,9Mei 248 15.294,70 40.122,20 248,l8 617,46Juni 257 17.082,40 42.284,50 261,45 594,25Juli 257 17.082,40 42.284,50 291,69 536,02Agustus 259 17.144,30 42.360,80 246,42 547,61September 260 19.113,70 44.703,80 300,42 573,93Oktober 261 21.030,30 46.530,10 301,15 568,02November 263 21.917,10 47.432,40 362,3 613,01Desember I) 267 24.983,40 49.801,4. 547,79 637,43

Akhir

Tabel III.27BEBERAPA INDIKATOR KEGIATAN DI PASAR MODAL DAN

PERDAGANGAN SAHAM DI BURSA EFEK JAKARTA1984 - 1996

I) Sampai dcngan tanggal 27 Desember 1996.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 171

Page 172: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Jumlah kumulatifperiode perusahaan perdana

(miliar Rp)

1984 Desember 3 154,71985 Desember 3 354,71986 Desember 3 404,71987 Desember 3 535,71988 Desember 9 935,71989 Desember 22 1.555,201990 Desember 23 2.090,201991 Desember 24 2.215,201992 Desember 34 3.856,701993 Desember 43 5.761,701994 Maret 43 6.011,70

Juni 46 6.261,70September 46 6.261,70Desember 46 6.691,30

1995 Maret 46 7.291,20Juni 48 8.325,90September 49 8.425,90Desember 50 8.694,40

1996 Januari 50 8.694,40Februari 50 8.694,40Maret 50 8.694,40April 51 8.894,40Mei 51 8.894,40Juni 53 10.594,40Juti 53 10.594,40Agustus 53 10.594,40September 53 10.685,50Oktober 54 10.885,50November 54 11.035,50Desember I) 55 11.535,50

1934 - 1996PERUSAHAANIBADAN USAHA DI PASAR MODAL,

Jumlah

PERKEMBANGAN JUMLAH EMISI OBLIGASI DAN SEKURITAS

kumulatif emisi(Iembar)

269.730282.170285.915296.145322.475358.764380.244384.032653.788725.074741.534748.588

Akhir

748.588763.448771.372782.350

Tabel IIl. 28

784.934788.264788.264788.264788.264789.634789.634797.414797.414797.414801.914802.654803.964805.474

1) Sampai dengan tanggal 27 Desember 1996

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 172

Page 173: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Akhir Jumlah Nilai periode perusahaa kumulatif perdana

(Iembar) (juta Rp )-1 -3 -4

1984 Desember 7.420.300 72.793,301985 Desember 10.920.300 107.793,301986 Desember 15.420.300 152.793,301987 Desember 16.920.300 167.793,301988 Desember 16.920.300 167.793,301989 Desember 20.680.000 172.793,301990 Desember 30.680,90 272.793,301991 Desember 30.680,90 272.793,301992 Desember 26.180.900 227.793,301993 Desember 25.780.900 222.793,301994 Maret 25.780.900 222.793,30

Juni 25.780.900 222.793,30September 25.780.900 222.793,30Desember 25.780.900 222.793,30

1995 Maret 25.780.900 222.793,30Juni 25.780.900 22i 793,3September 25.780.900 22 .793,3Desember 25.780.900 222.793,30

1996 Januari 25.780.900 222.793,30Februari 25.780.900 222.793,30Maret 25.780.900 222.793,30April 25.780.900 222.793,30Mei 25.780.900 222.793,30Juni 25.780.900 222.793,30Juti 25.780.900 222.793,30Agustus 25.780.900 222.793,30September 25.780.900 222.793,30Oktober 25.780.900 222.793,30November 25.780.900 222.793,30Desember I) 25.780.900 222.793,30

Tabel III.29

OLEH PT DANAREKSA,1984 -1996

I) Sampai dengan tanggal27 Desember 1996

PERKEMBANGAN JUMLAH SERTIFIKAT YANG DITERBITKAN

Jumlah

-278

1011111215151312121212L212121212121212121212121212121212

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 173

Page 174: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

BAB IV

PERDAGANGAN LUAR NEGERI DAN NERACA PEMBAYARAN

4.1. Pendahuluan

Selama tahun 1996 perekonomian dunia berada dalam keadaan stabil tanpa adanya suatu

gejolak yang berarti. Hal ini dimungkinkan oleh usaha-usaha yang dilakukan untuk tetap

mempertahankan ataupun memperbaiki kinerja ekonomi masing-masing negara dengan

melaksanakan kebijaksanaan secara ketat terhadap dampak dari pada pasar global.

Kecenderungan membaiknya perekonomian dunia dapat dilihat dengan meningkatnya

pertumbuhan ekonomi di semua kelompok negara dalam tahun 1996 dibandingkan dengan

tahun sebelumnya, baik itu kelompok negara-negara industri, kelompok negara-negara dalam

transisi maupun negara-negara berkembang. Secara keseshruhan pertumbuhan ekonomi dunia

dalam tahun 1996 diperkirakan berada pada tingkat 3,8 persen, dengan demikian mengalami

sedikit peningkatan dibanding dengan tahun 1995 yang berada pada tingkat 3,5 persen.

Perkembangan perekonomian dunia dalam tahun 1996 juga ditandai dengan stabilnya

suku bunga intemasional, baik LIBOR, SIBOR maupun "US Prime Rate", yang berada pada

kisaran angka yang tidak jauh berbeda sepanjang tahun. Demikian juga nilai tukar SDR terhadap

dolar Amerika Serikat tidak mengalami fluktuasi yang berarti. Di samping itu, perkembangan

harga minyak bumi di pasaran dunia menunjukkan perkembangan yang menguntungkan negara-

negara pengekspor minyak bumi seperti Indonesia, dimana harga minyak bumi dalam tahun

1996 berada di atas harga tahun-tahun sebelumnya, dan merupakan harga tertinggi dalam lima

tahun belakangan ini. Menguatnya perekonomian dunia tidak diikuti oleh peningkatan volume

perdagangan dunia, yang dalam tahun 1996 melemah dibanding tahun sebelumnya. Demikian

juga defisit transaksi berjalan dunia secara keseluruhan mengalami peningkatan dibanding tahun

yang lalu.

Membaiknya perekonomian dunia tersebut juga mendorong membaiknya perekonomian

Indonesia yang dalam tahun 1996 diperkirakan dapat dipertahankan pada tingkat pertumbuhan

yang tetap tinggi. Namun demikian defisit transaksi berjalan diperkirakan mengalami

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 174

Page 175: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

peningkatan yang cukup berarti sebagai akibat dari menaiknya pertumbuhan impor yang tidak

dapat diimbangi dengan peningkatan pertumbuhan ekspor, dan masih tingginya defisit transaksi

jasa-jasa. Dalam tahun 1996 perkembangan ekspor non migas, yang diharapkan dapat

mengurangi tekanan terhadap defisit transaksi berjalan, menunjukkan penampilan yang kurang

menggembirakan. Melambatnya pertumbuhan ekspor non migas ini disebabkan relatif kurang

mampunya produksi dalam negeri menghadapi persaingan perdagangan intemasional. Dalam

menghadapi meningkatnya persaingan, peranan penanaman modal asing diharapkan dapat

mendorong peningkatan ekspor non migas. Untuk itu perlu diciptakan kondisi yang dapat

mendukung peningkatan penanaman modal asing, dengan tetap konsisten membuat perbaikan-

perbaikan melalui kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang berkesinambungan.

Dalam upaya menghadapi perdagangan intemasional yang bebas, negara-negara maju

diharapkan mau memberi peluang yang lebih besar kepada negara-negara berkembang dengan

menjamin kelancaran perdagangan internasional, tanpa membuat hambatan-hambatan terhadap

akses pasar dari negara-negara berkembang. Dengan demikian diharapkan negara-negara

berkembang dapat mengembangkan diri, dan akhimya akan mempersempit kesenjangan antara

negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Dalam rangka Kerja Sarna Ekonomi

Asia Pasifik (APEC) , semua anggotanya diharapkan dapat memupuk kemitraan sederajat yang

saling menguntungkan demi kepentingan dan tanggung jawab bersama.

Sehubungan dengan itu, dalam pertemuan puncak Pemimpin Ekonomi Forum Kerja

Sama Ekonomi Asia Pasiftk (APEC) ke-4 di Subic, Filipina, telah dikeluarkan "Deklarasi

Pemimpin Ekonomi APEC: dari Visi ke Aksi". Inti dari pada deklarasi tersebut merupakan

persetujuan para pemimpin APEC untuk memulai liberalisasi perdagangan dan investasi mulai 1

Januari 1997. Deklarasi tersebut juga menyatakan bahwa pencapaian bersama pertumbuhan

ekonomi yang berkelanjutan, peningkatan kesempatan kerja, dan stabilitas kawasan yang

merupakan hasil kesepakatan bersama untuk meningkatkan kebijakan yang berorientasi

pertumbuhan, dan partisipasi yang lebih luas di bidang ekonomi regional maupun global. Di

bidang perdagangan intemasional telah ditegaskan pentingnya sistem perdagangan multilateral

yang terbuka berdasarkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

4.2. Perkembangan ekonomi dan moneter intemasional dalam tahun 1996

Dalam tahun 1995, ekspansi ekonomi di banyak negara industri dan sebagian negara-negara

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 175

Page 176: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

berkembang di kawasan Amerika Latin tampak melemah walaupun di negara-negara

berkembang kawasan sub-Sahara Afrika dan Timur Tengah terlihat cukup kuat. Negara-negara

berkembang di kawasan Asia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup moderat, sehingga

sedikit mengurangi kekhawatiran terjadinya gejala ekonomi yang memanas. Sementara itu,

situasi perekonomian di negara-negara transisi terus membaik yang terlihat dari meredanya

kemerosotan produksi di negara-negara tersebut. Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi

dunia dalam tahun 1995 sedikit mengalami penurunan dengan laju sebesar 3,5 persen

dibandingkan dengan 3,7 persen dalam tahun sebelumnya.

Dalam tahun 1996, diperkirakan terjadi sedikit percepatan dalam pertumbuhan

ekonomi dunia sehingga diharapkan dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi dunia menjadi

sebesar 3,8 persen, dan diperkirakan menguat lebih jauh ke angka 4 persen dalam tahun 1997.

Negara-negara industri, setelah mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi dalam tahun 1995

sebesar 2,1 persen, diperkirakan meraih pertumbuhan yang sedikit lebih kuat dalam tahun 1996,

yaitu sebesar 2,3 persen. Namun demikian, pola pertumbuhan di negara-negara industri sejak

penghujung tahun 1995 telah menjadi tidak merata dimana ekspansi ekonomi yang makin kuat

dialami oleh Amerika Serikat dan Jepang, sementara kelambanan aktivitas ekonomi di sebagian

besar negara-negara industri Eropa masih berlanjut.

Pengetatan kondisi moneter dan naiknya tingkat bunga obligasi yang terjadi dalam

tahun 1994 telah memperlambat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, Inggris dan Australia

dalam tahun 1995, dari tingkat pertumbuhan yang jauh di atas tingkat pertumbuhan potensialnya

ke tingkat pertumbuhan yang lebih aman dari ancaman inflasi (non inflationary growth). Dalam

tahun 1995 itu juga, pertumbuhan ekonomi yang melambat tampak lebih nyata di negara-negara

industri Eropa yang memiliki mata uang kuat, khususnya Jerman, Perancis, Swiss, dan negara-

negara lain yang mempunyai kaitan erat dengan mata uang deutsche mark (DM). Sementara itu,

pertumbuhan yang cukup baik dialami oleh negara-negara yang mata uangnya mengalami

depresiasi pada tahun-tahun belakangan ini, khususnya Italia, Spanyol, dan Swedia. Penurunan

pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Jerman, Perancis, Swiss, dan negara-negara lain yang

mempunyai keterkaitan dengan DM menimbulkan kekhawatiran mengingat bahwa masih

terdapatnya situasi penggunaan sumber daya dan alat-alat produksi yang jauh di bawah

kapasitasnya (undercapacity) disamping tingginya tingkat pengangguran. Berbeda halnya

dengan Jepang, kemerosotan ekonomi yang cukup lama, yang dimulai dalam tahun 1991 telah

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 176

Page 177: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

membuka jalan bagi kepulihan ekonomi selama tahun 1995 dengan dukungan kebijaksanaan-

kebijaksanaan fiskal dan moneter serta langkah koreksi yang besar terhadap nilai yen yang

terlalu tinggi.

Di Amerika Serikat, dalam permulaan tahun 1996 tanda-tanda menguatnya

pertumbuhan kembali menjadi nyata, yang sebagian mencerminkan respon perekonomian

negara tersebut terhadap tiga kali penurunan dalam suku bunga jangka pendek sejak

pertengahan tahun 1995, dan juga penurunan dalam tingkat bunga obligasi selama tahun

tersebut. Tanda-tanda percepatan aktivitas ekonomi juga tampak jelas di Kanada, menyusul

penurunan tingkat bunga yang cukup besar di negara tersebut dan meningkatnya ekspansi

ekonomi Amerika Serikat yang juga memberikan pengaruh terhadap perekonomian Kanada.

Aktivitas ekonomi yang menguat juga terjadi di Australia dimana pertumbuhan konsumsi

swasta dan investasi usaha telah dimulai kembali. Di Jepang, penantian panjang bagi pemulihan

ekonomi akhirnya terwujud juga. Meskipun produksi nasional selama tahun 1995 tumbuh

sedikit di bawah 1 persen, namun pertumbuhan yang begitu kuat dalam kuartal I tahun 1996

merupakan indikasi bahwa pemulihan ekonomi yang sudah lama ditunggu-tunggu kini terlihat

jelas. Langkah-Iangkah yang diambil pemerintah Jepang untuk memberikan rangsangan fiskal

dalam tahun 1995 yang lalu telah memainkan peranan penting dalam menghidupkan kembali

permintaan. Selain daripada itu, pelonggaran kebijaksanaan moneter, yang menyebabkan

turunnya tingkat bunga diskonto resmi dari 1 persen menjadi 0,5 persen dalam bulan September

1995, juga memberi sumbangan bagi pemulihan ekonomi.

Berbeda dengan tahun 1995, dimana tingkat pertumbuhan ekonomi pada sebagian

negara-negara Eropa mengalami penurunan dan sebagian lainnya mengalami peningkatan,

perkembangan di awal tahun 1996 memperlihatkan kelesuan ekonomi yang hampir merata.

Meskipun terdapat tanda-tanda perbaikan di pertengahan tahun 1996 di beberapa negara,

khususnya di Jerman, namun kebangkitan ekonomi yang lebih umum masih belum nyata.

Perrnintaan konsumen masih tetap rendah, khususnya bila dibandingkan dengan pemulihan

permintaan konsumen yang terjadi di Amerika Serikat. Selanjutnya, dengan kepercayaan

kalangan dunia usaha yang terus memburuk, produksi sektor industri di awal tahun 1996

merosot di sejumlah negara, termasuk Jerman dan Italia. Pengangguran juga terus meningkat di

sebagian Eropa, mencapai tingkat tertinggi di Perancis. Sementara itu, di Inggris, Italia,

Spanyol, dan di banyak negara Eropa yang lebih kecil, tersendatnya ekspor ke mitra dagang

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 177

Page 178: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Eropa lainnya telah menyumbang pula terhadap penurunan pertumbuhan.

Namun demikian, sejak akhir tahun yang lalu, penurunan suku bunga yang terjadi

berturut-turut di Jerman, Perancis, dan di beberapa negara Eropa lainnya telah cukup

memperlonggar kondisi moneter secara menyeluruh di banyak negara, bersamaan dengan

melemahnya DM dan mata uang-mata uang lain yang berkaitan dengannya. Selain dari itu,

dengan usaha-usaha yang kuat kearah konsolidasi fiskal, perpaduan kebijaksanaan (policy mix)

pada umumnya telah dapat memberikan arah yang lebih kondusif bagi pertumbuhan jangka

menengah. Di beberapa negara, seperti Italia, Spanyol, dan Swedia, kemajuan dalam konsolidasi

fiskal ini telah memperkecil premium resiko dalam tingkat bunga dan membantu mengoreksi

kembali mata uang-mata uang yang mengalami penurunan nilai. Peningkatan aktivitas ekonomi

di negara-negara tersebut mulai tumbuh dan permintaan konsumen mulai stabil.

Dengan perkiraan bahwa indikasi-indikasi tersebut dapat mendorong pemulihan

produksi yang cukup moderat selama para kedua tahun 1996, pertumbuhan ekonomi Eropa

secara keseluruhan diproyeksikan sebesar 1,5 persen dalam tahun 1996. Namun demikian,

seberapa besar perkiraan kekuatan pemulihan tersebut belum begitu jelas. Pemulihan di Eropa

mungkin lebih lemah dari yang diproyeksikan karena terkekang oleh dampak kontraksi jangka

pendek dari langkah kebijaksanaan konsolidasi fiskal yang sedang dilaksanakan di sebagian

besar negara-negara Uni Eropa, di samping adanya ketidakpastian mengenai pelaksanaan

kebijaksanaan dan kekhawatiran terhadap tingkat pengangguran yang cukup tinggi.

Tingkat inflasi yang rendah tetap menjadi faktor pendorong khusus dalam aktivitas

ekonomi di hampir semua negara industri. Laju inflasi rata-rata di negara-negara industri secara

keseluruhan tetap rendah, yaitu sebesar 2,4 persen dalam tahun 1995, dan 2,3 persen dalam

tahun 1996. Keberhasilan dalam mempertahankan laju inflasi yang rendah umumnya bersumber

dari komitmen yang kuat para pembuat kebijaksanaan untuk mencapai tingkat stabilitas harga

yang paling tinggi. Namun meningkatnya kompetisi global juga berperan penting dalam

menurunkan inflasi tersebut, dengan menyempitnya ruang bagi kenaikan upah dan peningkatan

harga yang berlebih-lebihan.

Di negara-negara yang sedang berkembang, pertumbuhan produksi yang mencapai

sebesar 5,9 persen dalam tahun 1995, merupakan kelanjutan dari ekspansi ekonomi yang kokoh,

yang sudah berlangsung di awal dekade 1990-an, sementara rata-rata inflasi menurun cukup

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 178

Page 179: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

banyak menjadi sebesar 19,8 persen. Dalam tahun 1996, pertumbuhan keseluruhan negara-

negara berkembang diperkirakan mencapai 6,3 persen, dengan inflasi yang diperkirakan

menurun lebih jauh di sebagian besar negara. Kemajuan penting lainnya yang diperkirakan

dapat dicapai ialah keberhasilan di dalam mengurangi ketidakseimbangan fiskal di sebagian

besar negara-negara berkembang.

Di negara-negara berkembang kawasan Amerika Latin, menyusul kinerja ekonomi yang

mengecewakan di tahun 1995, pertumbuhan diperkirakan membaik menjadi 3 persen dalam

tahun 1996, dan inflasi menurun lebih jauh. Di Meksiko, kebijaksanaan fiskal dan moneter yang

ketat telah membantu dalam mengurangi inflasi selama para pertama tahun 1996, menyumbang

terhadap peningkatan permintaan konsumen dan kalangan usaha, menurunkan tingkat bunga,

dan menstabilkan mata uang peso. Pertumbuhan ekonomi negeri ini dalam tahun 1996 mungkin

dapat mencapai 3,6 persen dengan laju inflasi mendekati 25 persen. Di Argentina, didorong oleh

menguatnya tingkat konsumsi domestik dan melonggarnya kondisi perkreditan, produksi

nasionalnya diperkirakan meningkat sebesar 2,5 persen dalam tahun 1996, jauh lebih baik

dibandingkan dengan kemerosotan sebesar minus 4,4 persen dalam tahun sebelumnya. Rencana

stabilisasi mata uang yang dilaksanakan di Brazil terus berlanjut dalam rangka menekan inflasi

di bawah 1 persen sebulan, tetapi berdampak terhadap produksi nasional yang diperkirakan

menurun menjadi 2,5 persen dalam tahun 1996. Di Chili, meskipun gejala-gejala inflasi terasa

meningkat di awal tahun sebagai akibat naiknya harga minyak dan gandum, Namun inflasi

diperkirakan tidak begitu tinggi di para kedua tahun 1996. Hal tersebut sebagai dampak dari

pengetatan kondisi moneter yang diterapkan oleh pemerintah Chili, termasuk dinaikkannya

target suku bunga bank sentral. Pertumbuhan produksi nasional dalam tahun 1996 juga

diperkirakan cukup baik yaitu 7,4 persen.

Menyusul perbaikan yang nyata dalam kinerja perekonomian negara-negara berkembang

kawasan Afrika dalam tahun 1994 dan 1995, terdapat optimisme bahwa pertumbuhan akan

kembali menguat dalam tahun 1996, dan tingkat inflasi mungkin menurun lebih jauh dalam

tahun ini, yang merupakan tahun ketiga penurunan inflasi secara berturut-turut sejak tahun 1994.

Banyak negara-negara Afrika memperoleh manfaat dari adanya konsolidasi fiskal, penurunan

laju inflasi, keikutsertaan sektor swasta yang lebih besar di dalam perekonomian, liberalisasi

perdagangan, dan nilai tukar yang lebih realistis.

Di Afrika Selatan, menguatnya ekspor dan investasi swasta telah menyumbang terhadap

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 179

Page 180: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

tingkat pertumbuhan yang lebih baik dalam tahun 1996 yang diperkirakan sebesar 4 persen.

Meskipun terjadi depresiasi yang cukup berarti dalam mata uang rand di awal tahun 1996 dan

besamya defisit anggaran, namun dengan adanya pengetatan kondisi moneter diperkirakan dapat

menekan laju inflasi pada tingkat yang moderat. Di Kenya, menyusul penurunan yang terjadi di

paro kedua tahun 1995, pertumbuhan meningkat di kuartal pertama tahun 1996, dan

diperkirakan mencapai 5 persen untuk seluruh tahun. Sementara itu, didukung oleh langkah

pengurangan defisit fiskal lebih jauh dan kebijaksanaan pengendalian kredit, inflasi di negara ini

diproyeksikan tetap di bawah 5 persen. Pengendalian yang ketat terhadap permintaan dan

tingkat upah di Aljazair, diperkirakan dapat menurunkan inflasi ke tingkat sekitar 17 persen

dalam tahun 1996, sementara produksi nasionalnya diproyeksikan naik sekitar 4 persen dengan

topangan dari ekspansi produksi hidrokarbon. Kondisi perekonomian Zambia tetap sulit selama

para pertama tahun 1996 sebagai akibat meningkatnya impor bahan pangan yang banyak

menyusul musim kering yang terjadi dalam tahun 1995, dan juga merosotnya harga tembaga. Di

Nigeria, pertumbuhan dalam tahun 1996 diperkirakan agak menguat meskipun terjadi

kemandekan di sektor perminyakan, sementara inflasi di negara tersebut diproyeksikan

menurun.

Di antara negara-negara berkembang di Asia, kebijaksanaan-kebijaksanaan pengetatan

telah dilakukan sebagai jawaban atas meningkatnya kekhawatiran terhadap tekanan-tekanan

inflasi dan memburuknya posisi-posisi eksternal. Pertumbuhan ekspor di sejumlah negara Asia

telah menurun kecepatannya selama tahun 1995, dan langkah ekspansi ekonomi diperkirakan

agak melambat dalam periode mendatang. Inflasi di kawasan ini diproyeksikan menurun lebih

lanjut di tahun 1996 menjadi sekitar 8 persen.

Di Malaysia dan Thailand, pengetatan kondisi moneter yang lebih awal diperkirakan

baru dapat dirasakan hasilnya secara penuh pada akhir tahun 1996 karena pertumbuhan ekonomi

agak melambat, dalam rangka mengurangi risiko memanasnya perekonomian. Inflasi di kedua

negara tersebut diperkirakan sedikit meningkat selama tahun 1996.

Pertumbuhan ekonomi Korea Selatan diperkirakan menurun menjadi 7 persen dalam

tahun 1996 disebabkan terjadinya penurunan ekspor dan volume investasi dibandingkan dengan

ekspansi yang berlangsung sangat cepat di tahun 1995. Pengeluaran untuk konsumsi dan

konstruksi diperkirakan tetap kuat, sementara inflasi agak meningkat sebagai akibat naiknya

harga pangan. Di Cina, pengendalian yang ketat atas persetujuan investasi dan perkreditan telah

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 180

Page 181: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

membantu dalam memperlambat laju pertumbuhan dan meredakan inflasi dalam tahun 1996,

tetapi otoritas Cina perlu melanjutkan kondisi moneter yang ketat untuk menjamin bahwa inflasi

masih tetap dalam batas-batas yang ditargetkan.

Aspek pertumbuhan juga diperkirakan tetap membaik di sejumlab negara-negara Asia

lainnya. Di Filipina, proses penyesuaian ekonomi dan pemulihan sekarang ini sedang

berlangsung di negara tersebut menyusul kesulitan-kesulitan ekonomi yang telah dialami pada

waktu-waktu sebelumnya. Situasi ekonomi makro di Vietnam tetap baik dengan pertumbuhan

yang kuat terus berlanjut dan inflasi menurun selama tahun 1996. Di India, ekspansi ekonomi

diperkirakan menurun sebagai akibat adanya hambatan-hambatan yang bersifat struktural dan

tingginya suku bunga riil yang ditimbulkan oleh paduan kebijaksanaan defisit fiskal yang besar

dan kondisi moneter yang ketat.

Di negara-negara berkembang kawasan Timur Tengah dan Eropa, menyusul kegiatan

ekonomi yang membaik dalam tahun 1995, pertumbuhan ekonomi diperkirakan agak menguat

menjadi 3,9 persen dalam tahun 1996. Di Kuwait dan Saudi Arabia, langkah-langkah untuk

menghilangkan defisit anggaran belanja yang besar melalui pengurangan-pengurangan dalam

pengeluaran, dalam jangka pendek telah menimbulkan dampak yang mengekang aktivitas

ekonomi negara-negara tersebut. Di Mesir, sejumlah reformasi ekonomi yang dilakukan

belakangan ini yang menyangkut privatisasi dan deregulasi, diperkirakan dapat membantu

dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara tersebut sebesar 4 persen dalam tahun 1996,

yang merupakan laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 1987. Sementara itu, kebijaksanaan

fiskal dan moneter yang berhati-hati di Jordania seharusnya berlanjut dalam rangka

meningkatkan pertumbuhan yang kuat dengan inflasi yang rendah. Kegagalan dalam

melaksanakan reformasi ekonomi yang dibutuhkan telah menyumbang terhadap berulangnya

kesulitan-kesulitan ekonomi di Turki. Pertumbuhan diproyeksikan melambat dari 7,5 persen

dalam tahun 1995 menjadi 4,8 persen dalam tahun 1996, dan laju inflasi diperkirakan tetap

berkisar antara 80 sampai 90 persen dalam tahun tersebut.

Di negara-negara dalam transisi, aktivitas ekonomi diproyeksikan cukup stabil dalam

tahun 1996 setelah selama lima tahun mengalami kemerosotan. Sejumlah negara-negara dalam

transisi diperkirakan mencatat pertumbuhan sebesar 5 persen atau lebih. Keberhasilan dalam

pengendalian inflasi juga diperoleh, dan beberapa di antaranya berhasil mencatat laju inflasi

dalam angka satu digit.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 181

Page 182: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Di negara-negara yang lebih maju dalam proses transisi tersebut, pertumbuhan yang

berkelanjutan dan kemajuan-kemajuan yang lebih jauh kearah stabilisasi keuangan, diperkirakan

terus berlangsung. Di Polandia, menguatnya permintaan di dalam negeri diperkirakan

menyumbang terhadap kelangsungan pertumbuhan yang kuat dengan inflasi yang menurun.

Permintaan dalam negeri yang kuat di Republik Ceko seharusnya juga mendukung pertumbuhan

yang kuat dengan inflasi yang rendah. Kemajuan yang mantap dalam menurunkan laju inflasi

telah berlangsung di negara-negara lainnya, termasuk Estonia, Latvia dan Lithuania.

Pertumbuhan yang berlanjut juga diperkirakan berlangsung di negara-negara ini, namun prospek

jangka pendek di beberapa negara, termasuk Lithuania telah terpengaruh oleh masalah-masalah

sektor perbankan yang terjadi di penghujung tahun 1995. Di Republik Slowakia, pertumbuhan

dalam tahun 1996 ini diperkirakan berlangsung moderat yaitu sebesar 6,5 persen, menurun dari

7,4 persen di tahun sebelumnya. Sernentara itu, pertumbuhan di Hongaria diperkirakan

melambat menjadi sekitar 1 persen dalam tahun 1996, yang mencerminkan mengetatnya

kebijaksanaan fiskal di negara tersebut dan rnelambatnya pertumbuhan di Eropa Barat. Inisiatif-

inisiatif kebijaksanaan yang dilakukan belakangan ini telah membantu dalam memulihkan

keseimbangan ekonomi makro, dimana defisit fiskal dan defisit transaksi berjalan menurun

dengan tajam, dan telah meletakkan dasar bagi pemulihan ekonomi di negara tersebut.

Di antara negara-negara yang kurang maju dalam proses transisi, penundaan-penundaan

dalarn melakukan reformasi yang dibutuhkan maupun kesalahan-kesalahan dalam penerapan

kebijaksanaan, telah membawa kepada ketidakstabilan pasar uang. Di Bulgaria, krisis devisa

dan perbankan yang muncul ke permukaan pada pertengahan tahun 1995 yang lalu bersumber

dari kegagalan dalam menyelesaikan masalah disiplin keuangan yang lemah dan telah berurat

berakar di sektor perbankan dan perusahaan. Upaya-upaya saat ini sedang dilakukan untuk

memperbaiki situasi ekonomi makro di Bulgaria melalui sebuah program penyesuaian yang

didukung oleh IMF, namun sebagai akibat adanya kekacauan di sektor finansial, pertumbuhan

mengalami kemandekan dan inflasi meningkat tinggi. Di Rumania, krisis devisa telah

memuncak di awal tahun 1996 sehingga memaksa pemerintah untuk melakukan pengawasan

administratif terhadap pasar devisa. Kernudian, sebagai akibat tidak adanya kebijaksanaan fiskal

dan moneter yang memadai, tekanan ke arah meningkatnya inflasi makin membesar sehingga

memaksa pemerintah untuk melakukan pengendalian harga di bulan Agustus 1996.

Di Rusia, meskipun terdapat sejumlah peningkatan dalam volatilitas pasar uang dalam

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 182

Page 183: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

minggu-minggu menjelang pemilihan presiden, namun pasar devisa relatif tetap tenang.

Terdapat kemajuan yang cukup berarti dalam upaya pengendalian inflasi dalam tahun 1996, dan

laju inflasi keseluruhan di tahun itu adalah 51,2 persen, menurun lebih jauh dari inflasi tahun

1995 yang mencapai 190,2 persen. Pertumbuhan ekonomi Rusia diperkirakan membaik dalam

paro kedua tahun 1996 meskipun untuk keseluruhan tahun diperkirakan masih mengalami

pertumbuhan yang minus yaitu minus 1,3 persen. Pertumbuhan yang agak kuat diperkirakan

berlanjut di Armenia, demikian juga di Georgia. Sebaliknya di Belarus, Azerbaijan dan

Uzbekistan, diperkirakan terjadi penurunan pertumbuhan lebih jauh sebagai akibat tidak adanya

reformasi dan disiplin ekonomi makro serta adanya kesalahan-kesalahan dalam penerapan

kebijaksanaan (lihat Tabel IV.1 dan Tabel IV.2).

Di bidang moneter internasional, perkembangan-perkembangan yang bersifat siklus

tercermin dalam perkembangan pasar uang negara-negara industri dalam tahun 1996. Suku

bunga jangka pendek di Kanada dan sebagian besar negara- negara Eropa telah menurun cukup

besar sejak awal tahun 1996, dimana umumnya otoritas moneter akan memperlonggar kondisi

moneter apabila pertumbuhan ekonomi terasa melemah dan tingkat inflasi cukup rendah.

Sementara itu, di Amerika Serikat dan Jepang dimana pertumbuhan ekonomi telah menjadi

lebih kuat, suku bunga jangka pendek sedikit meningkat. Suku bunga jangka panjang terlihat

bergerak ke atas di sebagian besar negara di awal tahun 1996, namun kemudian memperlihatkan

variasi yang berbeda-beda, yaitu naik cukup besar di Amerika Serikat dan juga di beberapa

negara lainnya, namun menurun di sejumlah negara dimana aktivitas ekonominya melemah.

Perubahan-perubahan di dalam perbedaan-perbedaan tingkat bunga intemasional telah berperan

dalam menguatnya dolar AS secara moderat terhadap sebagian besar mata uang utama lainnya.

Pasar devisa dalam bulan-bulan belakangan ini pada umumnya tenang, dimana mata

uang-mata uang yang tergabung ke dalam mekanisme nilai tukar (ERM, Exchange Rate

Mechanism) sejak kuartal kedua tahun 1996 berfluktuasi dalam area yang sempit, yang

mendekati nilai paritas tengahnya. Secara umum, rendahnya tingkat inflasi di negara-negara

industri, dan meningkatnya keyakinan bahwa Uni Moneter dan Ekonomi (EMU, Economic and

Monetary Union) akan berhasil seperti yang direncanakan, semuanya telah menyumbang

terhadap kestabilan di pasar devisa pada waktu belakangan ini.

Perkembangan di pasar valuta asing dalam tahun 1996, dolar Amerika Serikat telah

mengalami apresiasi lebih jauhterhadap sebagian besar mata uang utama lainnya. Setelah sedikit

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 183

Page 184: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

menurun dari nilai tertinggi yang dicapai sekitar pertengahan tahun 1996, nilai dolar AS dalam

bulan September 1996 terlihat menguat, yaitu 6 persen lebih tinggi dibandingkan dengan

nilainya di awal tahun terhadap yen Jepang dan franc Swiss, dan 4 persen lebih tinggi terhadap

DM dan franc Perancis. Sementara itu, nilai pound sterling terhadap dolar AS kurang lebih tidak

berubah dalam periode ini. Satu-satunya mata uang utama yang mengalami apresiasi cukup

berarti terhadap dolar AS selama tahun 1996 adalah lira Italia. Nilai lira di awal September

adalah 4,5 persen lebih tinggi terhadap dolar AS dan 7,5 persen lebih tinggi terhadap DM dari

nilai yang terjadi pada akhir tahun 1995. Dibandingkan dengan nilainya dalam bulan April

1995, dolar AS di awal September 1996 adalah 34 persen lebih tinggi terhadap yen, 9,5 persen

terhadap DM, dan 8 persen lebih tinggi dalam artian nilai efektif nominal.

Berlanjutnya apresiasi dolar AS selama tahun 1996, sebagian disebabkan oleh adanya

gerakan dalam perbedaan tingkat bunga dari aset-aset dalam denominasi dolar AS dan juga oleh

bertambah kuatnya ekonomi Amerika Serikat. Sementara itu, penurunan nilai yen lebih jauh

mempunyai kaitan dengan terjadinya percepatan penurunan dalam surplus transaksi berjalan

Jepang. Kenaikan nilai dolar AS yang cukup moderat selama tahun 1996, khususnya terhadap

yen Jepang, DM, franc Swiss, dan apresiasi lira Italia terhadap dolar AS, dapat dipandang

sebagai membawa nilai tukar dari mata uang-mata uang tersebut ke tingkat yang lebih konsisten

dengan nilai tukar fundamentalnya. Membaiknya konfigurasi nilai tukar di antara mata uang-

mata uang utama bisa membantu untuk menjelaskan mengapa fluktuasi dalam nilai tukar telah

menjadi yang sangat kecil dalam beberapa tahun, meskipun secara umum tingkat inflasi yang

rendah juga memungkinkan untuk menyumbang terhadap stabilitas pasar devisa.

Pergerakan sejumlah mata uang yang mendekati nilai tukar yang konsisten dengan nilai

tukar fundamentalnya, dan membaiknya pasar devisa telah membantu pula menjelaskan

mengapa akumulasi cadangan devisa resmi dalam tahun 1996 menjadi lebih kecil dibandingkan

dengan tahun sebelumnya. Dalam tahun 1995, intervensi skala besar untuk menopang dolar AS

telah berperan terhadap peningkatan yang begitu besar dalam cadangan devisa dunia sejak tahun

1987.

Pergerakan dalam harga-harga pasar saham di negara-negara industri dalam tahun 1996 telah

lebih merata di semua negara dan lebih moderat dibandingkan dengan tahun 1995. Indeks-

indeks utama harga saham di sebagian besar negara pada awal September 1996 adalah antara 6

persen sampai.12 persen lebih tinggi dibandingkan dengan di awal tahun 1996. Di Amerika

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 184

Page 185: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Serikat dan Inggris, peningkatan harga saham sangat lamban dibandingkan dengan tahun lalu,

hal mana sebagian mencerminkan terjadinya perubaban haluan dalam pasar obligasi.

Peningkatan harga-harga saham yang sedang-sedang saja di Amerika Serikat, secara khusus

telah berfungsi pula menahan melebarnya perbedaan hasil antara hasil saham dengan hasil aset-

aset finansial lainnya yang memberikan penghasilan bunga. Sebaliknya dengan Jerman dan

Perancis, harga-harga saham mengalami kenaikan dalam tahun 1996 ini dari pada tahun

sebelumnya.

Kelompok negara 1995 1996 1)

A.Dunia 3,5 3,8B. Negara-negara industri 2,1 2,3 Tujuh negara industri utama 2 2,2 1. Jepang 0,9 3,5 2. Amerika Serikat 2 2,4 3. Jerman 1,9 1,3 4. Inggris 2,5 2,2 5. Perancis 2,2 1,3 6. Italia 3 1,1 7. Kanada 2,3 1,4 Negara-negara industri lainnya 2,8 2,3C. Negara-negara berkembang 5:J 6,3 1. Afrika 3 5 2. Asia 8,6 8 3. Amerika Latin 0,9 3 4. Eropa dan Timur Tengah 3,6 3,9D. Negara-negara dalam transisi -1,3 0,4 1. Eropa Timur dan Tengah 1,2 1,6 2. Rusia -4 -1,3 3. Asia Tengah dan Transkaukasus -4,4 0,6E. Negara-negara Asean 1. Malaysia 9,5 8,8 2. Filipina 4,8 5,9 3. Singapura 8,9 7,5 4. Thailand 8,7 8,3 5. Brunei Darussalam 3 2 6. Indonesia 8,21 2) 7,82 3) 7. Vietnam 9,5 9,5

1) Angka perkiraan2) Angka sementara3) Angka sangat sementara

LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI DI BERBAGAI NEGARA DI DUNIA ,Tabel IV.1

1994 – 1996

1994

3,72,82,80,53,52,93,92,82,24,1

36,62,99,14,7

(dalam persentase)

0,5-8,8-2,9-15

-13,7

9,24,4

10,18,8

37,548,8

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 185

Page 186: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Kelompok negara 1995 1996 1)

A. Negara-negara industri 2,4 2,3 Tujuh negara industri utama 2,3 2,2 1. Jepang -0,1 0,2 2. Amerika Serikat 2,8 2,8 3. Jerman 1,8 1,6 4. Inggris 2,8 2,7 5. Perancis 1,8 2,1 6. Italia 5,2 3,9 7. Kanada 1,9 1,5 Negara-negara industri lainnya 3 2,7B. Negara-negara berkembang 19,8 13,3 1. Afrika 32,1 21,3 2. Asia 10,9 7,9 3. Amerika Latin 35,6 20,4 4. Eropa dan Timur Tengah 32,5 25,6C. Negara-negara dalam transisi 128 41,3 1. Eropa Timur dan Tengah 75,4 30,4 2. Rusia 190,2 51,2 3. Asia Tengah dan Transkaukasus 258,7 68,7D. Negara.negara ASEAN 1. Malaysia 3,4 4 2. Filipina 8,1 8,5 3. Singapura 1,7 1,7 4. Thailand 5,8 6 5. Brunei Darussalam 6 6 6. Indonesia 8,64 6,47

,5

7. Vietnam 12,8 9

LAJU INFLASI DI BERBAGAI NEGARA DI DUNIA, 1994 - 1996Tabel IV.2

(dalam persentase)1994

2,32,20,72,62,72,41,7

40,23,1

46,836,813,4

210,931,5

264,8152,9

3021.610,70

3,79

3,10,52,4

9,2414,5

1) Perkiraan, kecuali untuk Indonesia angka realisasi

Di bidang perdagangan luar negeri, perdagangan barang-barang dan jasa dunia dalam

tahun-tahun terakhir ini telah berkembang demikian pesat. Meskipun resesi di negara-negara

industri di awal tahun 1990-an telah menyebabkan menyusutnya ekspansi dalam permintaan

impor negara-negara tersebut, namun situasi inflasi sebagaimana telah diimbangi oleh

pertumbuhan aktivitas impor yang kuat dari negara-negara berkembang, khususnya impor

barang-barang modal. Demikian juga, impor dari negara-negara berkembang telah memberikan

dorongan besar bagi perdagangan dunia pada saat permintaan impor dari negara-negara Eropa

melamban. Pertumbuhan dalam perdagangan dunia diperkirakan tetap baik dalam tahun 1996

dan 1997.

Perkembapgan-perkembangan dalam transaksi berjalan dalam tahun 1995 dan proyeksi

tahun 1996, sebagian besar mencerminkan laju pertumbuhan relatif dari aktivitas ekonomi dan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 186

Page 187: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

pengaruh pergerakan awal dalam nilai tukar. Di sebagian besar negara-negara industri maju,

ketidakseimbangan transaksi berjalan diproyeksikan akan terus membaik selama tahun 1996 dan

tahun 1997, sementara di negara-negara berkembang Asia, defisit transaksi berjalan

diproyeksikan mengecil sampai tingkat tertentu.

Di antara negara-negara industri, Amerika Serikat mengalarni defisit transaksi berjalan

sebesar US$ 148,2 miliar atau 2 persen dari GDP dalam tahun 1995 dan diperkirakan sedikit

meningkat menjadi US$ 149,5 miliar atau sekitar 2 persen dari GDP tahun 1996. Sementara itu,

surplus transaksi berjalan Jepang diperkirakan menyusut lebih jauh dari US$ 111,4 miliar dalam

tahun 1995 menjadi US$ 66,7 miliar atau 1,5 persen dari GDP dalam tahun 1996. Tingkat

tersebut merupakan yang terendah sejak tahun 1990, yang mencerminkan kuatnya pertumbuhan

pennintaan domestik, berlanjutnya perubahan-perubahan struktural, dan pengaruh-pengaruh dari

apresiasi yen dalam tahun-tahun terakhir. Defisit transaksi berjalan Kanada juga diperkirakan

mengecil, yang mencerminkan makin menguatnya pertumbuhan ekspor negara ini berkaitan

dengan depresiasi dolar Kanada sejak tahun 1991, dan juga kuatnya permintaan dari Amerika

Serikat. Di Jerman, permintaan domestik yang lemah diperkirakan menyebabkan terjadinya

sedikit penurunan dalam defisit transaksi berjalan sebagai akibat menurunnya impor. Inggris

diperkirakan masih tetap mengalarni defisit transaksi berjalan yang kecil, dimana neraca jasa-

jasa yang menguat diimbangi oleh lemahnya kinerja ekspor dan meningkatnya impor. Surplus

transaksi berjalan Perancis diperkirakan meningkat dari sebesar US$ 18,2 miliar dalam tahun

1995 menjadi sebesar US$ 22,5 miliar dalam tahun 1996 atau 1,4 persen dari GDP. Sementara

itu, Italia mengalarni surplus transaksi berjalan yang juga diperkirakan meningkat menjadi US$

28,8 miliar dalam tahun 1996 atau 2,4 persen dari GDP dibanding US$ 27,3 miliar dalam tahun

sebelumnya.

Di sejumlah negara berkembang, defisit transaksi berjalan diproyeksikan makin

membesar, yang mencerminkan meningkatnya permintaan domestik dan berlanjutnya

pemasukan modal luar negeri yang besar. Di Meksiko, langkah-langkah penyesuaian yang kuat

dan adanya kontraksi dalam aktivitas ekonomi dalam tahun 1995 segera setelah terjadinya krisis

keuangan di negara tersebut, secara nyata telah menghapus defisit transaksi berjalan, yang

hampir mencapai 8 persen dari GDP dalam tahun 1994. Sementara itu, defisit transaksi berjalan

yang keeil diperkirakan terjadi dalam tahun 1996, sebagai dampak dari ekonomi Meksiko yang

mulai pulih, masuknya kembali arus modal asing, dan meningkatnya impor. Neraca transaksi

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 187

Page 188: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

berjalan di Chili diproyeksikan memburuk dengan nilai defisit mencapai 3 persen lebih dari

GDP, menyusul terjadinya kemerosotan harga tembaga yang tajam dalam bulan Mei tahun

1996. Afrika Selatan mungkin mengalami defisit yang hampir tidak berubah dari tahun

sebelumnya, yaitu sekitar 2,5 persen dari GDP yang mencerminkan semakin menguatnya

pertumbuhan di dalam negeri, dan berlanjutnya manfaat yang diperoleh dari liberalisasi

perdagangan.

Di antara negara-negara berkembang Asia, defisit transaksi berjalan di Malaysia dan

Thailand agak membaik sebagai dampak dari pertumbuhan permintaan domestik yang lebih

moderat, walaupun jumlahnya relatif masih tetap besar. Surplus transaksi berjalan Cina

menurun selama paro pertama tahun 1996, sebagai akibat melemahnya ekspor di satu pihak

menyusul pertumbuhan yang sangat cepat dalam dua tahun sebelumnya, dan naiknya impor di

pihak lainnya, khususnya impor bahan mentah dan barang-barang modal. Defisit transaksi

berjalan Korea Selatan diperkirakan membesar menjadi sekitar 3 persen dari GDP sebagai

akibat menurunnya ekspor menyusul turunnya harga barang-barang ekspor utama (lihat Tabel

IV.3).

Pulihnya aliran modal neto ke negara-negara berkembang, setelah terjadinya krisis

Meksiko, memperoleh momentum kembali dalam paro pertama tahun 1996. Aliran modal

swasta ke negara-negara berkembang dalam tahun 1996 ini kelihatannya akan melewati rekor

tertingginya dalam tahun 1995. Namun, disparitas aliran modal di antara kawasan-kawasan

negara berkembang tetap terjadi. Dimulainya kembali aliran modal swasta ke banyak negara

Amerika Latin, termasuk Meksiko, merupakan cermin betapa langkah-langkah penyesuaian

yang kuat telah dapat membantu menstabilkan pasar finansial dan memulihkan kepercayaan

investor. Investasi langsung asing (FDI) tetap merupakan pangsa terbesar dalam aliran modal

swasta ke negara-negara berkembang Asia yang memiliki tingkat pertumbuhan cukup tinggi.

Di bidang hutang luar negeri, beban hutang negara-negara berkembang dan negara-

negara dalam transisi diperkirakan menurun lebih jauh dalam tahun 1996 dan tahun 1997. Rasio

hutang terhadap GDP diproyeksikan menurun menjadi 30 persen pada akhir tahun 1996, dan

rasio hutang terhadap penerimaan ekspor menjadi 104 persen. Rasio pembayaran hutang pokok

dan bunga terhadap ekspor juga diperkirakan berkurang. Sekalipun terdapat kemajuan besar

dalam mengurangi tingkat hutang keseluruhan di sejumlah negara, namun beban hutang yang

sangat berat dan tak terpikul tetap terjadi, khususnya di negara-negara sub-Sahara Afrika.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 188

Page 189: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Di bidang kerjasama ekonomi regional/internasional, dalam KIT kelima ASEAN pada

pertengahan Desember 1995 yang lalu di Bangkok, para kepala negara/pemerintahan sepakat

untuk lebih memperluas cakupan kerjasama, baik di bidang ekonomi, politik, dan keamanan. Di

bidang ekonomi, disepakati untuk memperluas integrasi ekonomi dengan meningkatkan

kerjasama ekonomi melalui berbagai lembaga kerjasama yang telah dibentuk, dan memulai

kerjasama ekonomi di bidang-bidang yang masih baru seperti bidang jasa-jasa, kekayaan

intelektual, dan pengembangan usaha kecil dan menengah.

Pertemuan pertama yang bersejarah dalam kerjasama antar kawasan terjadi ketika para

pemimpin 10 negara Asia dan para pemimpin negara-negara Uni Eropa bertemu pada awal

Maret 1996 di Bangkok, yang dikenal dengan Asian-European Meeting (ASEM). Para

pemimpin kedua kawasan sependapat bahwa ASEM pertama ini memiliki makna yang penting

dalam membangun saling pengertian dan saling percaya di antara kedua kawasan sehingga

perbedaan-perbedaan dalam latar belakang budaya tidak menjadi hambatan dalam merintis

kerjasama regional Asia dan Eropa. Di bidang ekonomi, antara lain disepakati untuk melakukan

langkah-Iangkah liberalisasi dan fasilitasi dalam rangka meningkatkan perdagangan dan

investasi antara Asia dan Eropa.

Pertemuan puncak keempat forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik pada tanggal 25

Nopember 1996 di Subic, Filipina, berakhir dengan dikeluarkannya pernyataan, yaitu "Deklarasi

Pemimpin Ekonomi APEC : dari Visi ke Aksi". Dalam deklarasi tersebut para pemimpin APEC

menyetujui seluruhnya hasil pertemuan tingkat menteri, termasuk Rencana Aksi Manila untuk

APEC (MAPA, Manila Action Plan for APEC). Inti daripada deklarasi tersebut adalah

komitmen para pemimpin APEC untuk memajukan dan memfasilitasi liberalisasi perdagangan

dan investasi, mulai 1 Januari 1997 melalui pelaksanaan Rencana Aksi Individual (IAPs,

Individual Action Plans) dan Rencana Aksi Kolektif (CAPs, Collective Action Plans) yang

tertuang dalam MAPA guna mengaplikasikan Agenda Aksi Osaka. MAPA memuat langkah-

langkah awal bagi proses yang menyeluruh, bertahap, dan berkelanjutan bagi tercapainya

liberalisasi perdagangan dan investasi di Asia Pasifik memasuki abad mendatang.

4.3. Kebijaksanaan di bidang perdagangan luar negeri

Perkembangan perekonomian nasional di bidang perdagangan luar negeri dalam tahun ketiga

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 189

Page 190: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Repelita VI kelihatannya menghadapi tantangan yang relatif semakin rumit dan berat. Di sektor

eksternal tantangan itu adalah melemahnya pertumbuhan volume perdagangan dunia dalam

tahun 1996 yang antara lain ditandai dengan turunnya volume impor negara-negara industri

maju terutama yang menjadi negara tujuan utama dari ekspor Indonesia, meningkatnya tuduhan

dumping terhadap eksportir Indonesia, dan mulai diajukannya tuntutan-tuntutan negara mitra

dagang yang tidak puas dengan kebijaksanaan perdagangan luar negeri Indonesia melalui WTO,

serta meningkatnya persaingan di antara negara-negara di dunia, terutama di wilayah ASEAN

sehubungan dengan semakin dekatnya era perdagangan bebas ASEAN (AFTA) dalam tahun

2003. Sementara itu, tantangan internal antara lain adalah belum optimalnya pelaksanaan

deregulasi dan debirokratisasi, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Dampak nyata

dari tantangan tersebut antara lain adalah menurunnya laju pertumbuhan ekspor, utamanya

ekspor nonmigas, dalam tahun ini dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Antisipasi yang dilakukan Pemerintah untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut

tidak lain adalah dengan menindaklanjuti dan menyempurnakan kebijaksanaan deregulasi dan

debirokratisasi yang sudah menjadi komitmen pemerintah dalam rangka meningkatkan kinerja

perekonornian nasional dalam menghadapi era perdagangan bebas dunia. Berbeda dengan

tahun-tahun sebelumnya, dalam tahun berjalan kebijaksanaan deregu1asi-debirokratisasi tidak

lagi harus dikeluarkan untuk seluruh sektor/bidang secara sekaligus dalam satu paket

kebijaksanaan, tetapi dimungkinkan untuk dikeluarkan di sektor/bidang yang telah lebih dahulu

siap untuk dideregulasi. Dalam hubungan ini telah diluncurkan paket deregulasi pada bulan Juni

1996, yang pada intinya menghapuskan alan menyederhanakan ketentuan-ketentuan sebelumnya

di tiga sektor/bidang, yaitu bidang impor, ekspor, dan investasi. Deregulasi Juni 1996 tersebut

merupakan kelanjutan dari deregulasi Januari 1996 yang menderegulasi bidang industri,

perdagangan, dan keuangan.

Dalam deregulasi Juni 1996 tersebut ketentuan-ketentuan baru yang diluncurkan di

bidang impor antara lain adalah penjadwalan penurunan tarif bea masuk sampai dengan tahun

2003, penyederhanaan tata niaga impor, dan pembentukan komite anti dumping Indonesia

(KADI). Di bidang ekspor, kemudahan yang diberikan.antara lain penghapusan ketentuan

penggunaan dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB) untuk ekspor barang yang nilainya

kurang dari Rp 100 juta dan penyederhanaan persyaratan dan prosedur untuk mendapatkan surat

keterangan asal (SKA) barang ekspor. Selain itu, diberikan pula kemudahan pelayanan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 190

Page 191: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

kepabeanan, perpajakan, dan perbankan bagi perusahaan eksportir tertentu yang mengekspor

tekstil dan produk tekstil, alas kaki, elektronika, barang jadi dari kayu dan rotan, serta produk

kulit. Sedangkan di bidang investasi kemudahan-kemudahan tersebut mencakup

penyederhanaan perizinan bagi industri yang berlokasi di kawasan industri dan kelonggaran

kegiatan impor bagi perusahaan penanaman modal aging manufaktur.

Berkenaan dengan semakin tajamnya persaingan di pasar intemasional, maka

Pemerintah memandang penting dan mendesak adanya analisis yang intensif dan berkelanjutan

terhadap keadaan dan perkembangan negara-negara mitra dagang, untuk selanjutnya

dimanfaatkan bagi keperluan diplomasi perdagangan dan penetrasi pasar ekspor. Untuk-

keperluan tersebut, dibentuklah tim pengkajian strategi ekspor (TIPSE) dalam bulan Juli 1996.

Di bidang fasilitas pelayanan dan kemudahan ekspor diluncurkan pula ketentuan baru

berupa penyederhanaan prosedur untuk mendapatkan fasilitas pembebasan, pengembalian, dan

penangguhan pungutan negara bagi eksportir yang menggunakan bahan bakul penolong dan

atau barang modal impor dalam memproduksi komoditi ekspor. Penyederhanaan prosedur

tersebut dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 487 Tahun 1996. Dengan

adanya penyederhanaan ini, maka eksportir dalam mengajukan permohonan pemberian

kemudahan hanya melengkapi satu buah dokumen saja, sedangkan sebelumnya diperlukan

empat buah dokumen.

Dalam tahun berjalan Pemerintah juga semakin melibatkan dunia usaha/sektor swasta

dalam proses pembuatan kebijaksanaan deregulasi. Hal tersebut dapat dilihat antara lain dari

kerjasama antara PT Pelabuhan Indonesia II (PT Pelindo II) dengan Asosiasi Pertekstilan

Indonesia (API) dengan membentuk fasilitas Cargo Consolidarion and Distribution Center

(CCDC) di pelabuhan Tanjung Priok. Pembentukan fasilitas tersebut dimaksudkan untuk

memangkas jalur distribusi muatan, sehingga dapat lebih meningkatkan efisiensi biaya dan

mempersingkat waktu tunggu.

Lebih daripada itu, kebijaksanaan deregulasi juga diikuti oleh pihak swasta/asosiasi

guna meningkatkan efisiensi dalam melaksanakan ekspor. Hal tersebut antara lain terlihat dari

upaya asosiasi panel kayu Indonesia (Apkindo) yang menurunkan besaran kontribusi dari

anggota yang melakukan pengapalan kayu lapis ke Jepang, Hongkong, dan Taiwan. Inisiatif

penurunan besaran kontribusi tersebut diberlakukan mulai 1 Juli 1996.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 191

Page 192: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Menghadapi tantangan di bidang standarisasi mutu dan ekolabeling, Pemerintah telah

menyiapkan dan mulai memberikan himbauan dan pelayanan kepada pihak swasta untuk segera

mendapatkan sertifikasi standar dalam skema ISO-9000 dan ISO-14000. Untuk keperluan itu

Pemerintah telah meningkatkan kesiapan lembaga surveyor yang dimiliki Pemerintah,

serta.terus mendukung kegiatan lembaga ekolabeling Indonesia (LEI) yang saat ini tengah

menyusun skema ekolabel untuk Indonesia dengan mengacu pada standar teknis ekolabel

internasional.

Sementara itu, untuk menghadapi tuduhan-tuduhan dumping dari negara mitra dagang

yang selama ini telah menjadi pasar komoditi ekspor Indonesia, serta menanggulangi importasi

barang dumping dan barang mengandung subsidi pemerintah melalui KADI kini terus

mengumpulkan, meneliti, dan mengolah bukti dan informasi yang relevan. Hal tersebut

diperlukan untuk merumuskan langkah-langkah dan kebijaksanaan dalam menghadapi tuduhan

dumping serta importasi barang dumping dan barang mengandung subsidi. Berkenaan dengan

hal tersebut, telah pula dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 yang mengatur

pengenaan bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan. Bea masuk anti dumping

dikenakan terhadap barang yang diimpor dengan tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari

nilai normalnya di negara pengekspor dan impor barang tersebut menimbulkan kerugian.

Sementara itu, bea masuk imbalan dikenakan terhadap barang yang diimpor dengan tingkat

harga ekspor yang mengandung subsidi dan impor barang tersebut menimbulkan kerugian.

Kerugian yang dimaksud adalah kerugian atau ancaman terjadinya kerugian bagi industri di

dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Kerugian yang dimaksud dapat pula berupa

terhalangnya pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri.

Dalam pada itu, guna menyiapkan perekonomian nasional, khususnya perekonomian

daerah di kawasan perbatasan, dalam memasuki era perdagangan bebas di kawasan ASEAN

(AFTA, Asean Free Trade Area), maka upaya-upaya untuk meningkatkan kerjasama sub

regional telah semakin diintensitkan melalui Indonesia, Malaysia, Singapore-Growth Triangle

(IMS-GT), Indonesia, Malaysia, Thailand - Growth Triangle (IMT-GT), dan Brunei

Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippine - East Asean Growth Area (BIMP-EAGA), serta

Australia Indonesia Development Area (AIDA) yang baru saja dibentuk dalam tahun ini. Dalam

tahun berjalan beberapa pertemuan private to private (p to p) telah diadakan dengan dukungan

dan fasilitasi dari Pemerintah masing-masing negara anggota. Pertemuan tersebut telah

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 192

Page 193: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

menghasilkan berbagai kesepakatan untuk kerjasama di bidang industri dan petdagangan yang

bermanfaat bagi perekonomian masing-masing negara pada umumnya dan perekonomian

daerah/propinsi yang terlibat dalam kerja sama tersebut pada khususnya.

Penyiapan perekonomian nasional untuk memasuki kancah perdagangan bebas semesta

juga dilakukan melalui Forum Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (Asia Pacific Economic

Cooperation, APEC). Untuk tahun 1996, pertemuan para pemimpin dari negara-negara yang

menjadi anggota APEC telah dilangsungkan di Philipina dalam bulan November yang lain.

Hasil-hasil kesepakatan di antara para pemimpin dituangkan dalam rencana aksi Manila untuk

APEC (Manila Action Plan for APEC, MAPA). Meskipun hasil pertemuan belum mencapai

kesepakatan-kesepakatan yang lebih signifikan dalam mewujudkan perdagangan bebas di

kawasan tersebut, namun hasil-hasil pertemuan tersebut bernilai sangat positif untuk menjadi

acuan bagi pertemuan-pertemuan selanjutnya.

Diharapkan dengan pengembangan kerjasama sub regional tersebut, perekonomian

nasional dapat menyiapkan diri secara lebih dini guna memasuki perdagangan bebas kawasan

ASEAN pada tahun 2003, dan perdagangan bebas kawasan Asia-Pasifik di dalam skema APEC,

serta kawasan semesta di dalam skema World Trade Organization (WTO).

4.3.1. Kebijaksanaan di bidang ekspor

Perkembangan perekonomian dunia yang semakin terintegrasi dan kompetitif sejalan

dengan meluasnya pengaruh globalisasi, telah membawa implikasi terhadap pergerakan barang

dan jasa dalam perdagangan intemasional yang semakin bebas melewati batas-batas negara

(borderless). Kondisi yang demikian, selain merupakan tantangan yang semakin berat, terutama

dalam upaya menembus pasar global, sekaligus merupakan peluang yang cukup besar bagi

ekonomi Indonesia untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang patut diperhitungkan.

Karena itu, dalam upaya menjawab tantangan, sekaligus memanfaatkan peluang

tersebut di atas, Pemerintah terus berupaya memperbaiki kinerja perekonomian dalam negeri,

diantaranya melalui peningkatan daya saing ekonomi, efisiensi, dan produktivitas di berbagai

sektor usaha. Dengan kinerja ekonomi dalam negeri yang semakin membaik, diharapkan

kemampuan internal semakin kuat, sehingga mampu mendorong peningkatan ekspor nasional,

khususnya ekspor non migas. Upaya-upaya tersebut dimanifestasikan melalui serangkaian

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 193

Page 194: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang konsisten dan berkelanjutan.

Paket kebijaksanaan 26 Januari 1996, yang mempunyai sasaran untuk meningkatkan

efektivitas pelaksanaan kebijaksanaan yang telah ditempuh sebelumnya, diharapkan mampu

menciptakan iklim usaha dan investasi yang lebih menarik dan kondusif, yang pada gilirannya

mendorong peningkatan ekspor. Selain itu, kebijaksanaan tersebut diharapkan dapat

memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap tingkat efisiensi dan daya saing ekspor nasional.

Dalam rangka mendorong peningkatan ekspor, melalui kebijaksanaan deregulasi

tersebut Pemerintah telah mengambil langkah-langkah yang diarahkan untuk mendorong

pengembangan industri berorientasi ekspor, dengan memberikan kesempatan kepada industri

yang mendapatkan fasilitas Bapeksta Keuangan untuk menjual barang hasil produksinya ke

kawasan berikat (KB) dan ke entreport produksi tujuan ekspor (EPTE) untuk diolah lebih lanjut

sebagai ekspor tidak langsung. Di samping itu, berbagai ketentuan yang berkaitan dengan

pembatasan ekspor sejumlah komoditi yang sebelumnya dikenakan pajak ekspor (PE), dalam

paket kebijaksanaan yang baru ini ditinjau kembali dengan maksud untuk mencukupi persediaan

bahan baku industri terkait, seperti kulit ternak olahan, sisa aluminium, dan scrap alloy tertentu

serta aneka dupa wangi dari kayu cendana, kecuali untuk produk "crude palm oil" (CPO)

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 439 Tahun 1994 tetap dikenakan tarif

pajak ekspor antara 40% - 60% dan produk olahannya (seperti crude olein dan RBO olein)

dikenakan tarif pajak ekspor antara 50% - 75%. Sementara itu, bagi industri-industri yang

terkait langsung dengan ekspor diberikan kemudahan tarif bea masuk atas impor barang modal

dan bahan baku.

Dalam pada itu, untuk memperlancar pelaksanaan ekspor, Pemerintah juga telah

mengambil langkah-langkah dengan menghilangkan hambatan-hambatan ekspor, baik yang

bersifat administratif dan birokratif maupun pungutan, terutama yang berkaitan dengan

ketentuan yang mengatur mengenai pengawasan mutu barang ekspor, biaya pemantauan ekspor

tekstil dan produk tekstil (TPT) yang dikenakan ketentuan kuota, yang selama ini dibebankan

kepada para eksportir. Sementara itu, dalam rangka mendorong peningkatan dan perluasan

ekspor non migas terutama dalam persaingan global, dibuka dan diperluas kesempatan usaha

bagi perusahaan modal aging untuk mendirikan usaha jasa perdagangan ekspor.

Selanjutnya, melalui paket kebijaksanaan 4 Juni 1996 Pemerintah telah menempuh

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 194

Page 195: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

langkah-langkah yang diarahkan untuk mendorong peningkatan ekspor, yaitu dengan

memberikan kemudahan ekspor seperti persyaratan penggunaan dokumen pemberitahuan ekspor

barang (PEB). Bagi pengiriman barang-barang ekspor yang nilainya kurang dari Rp 100 juta

tidak lagi menggunakan dokumen PEB, melainkan dokumen permohonan ekspor tanpa PEB

(PETP). Ketentuan ini diharapkan dapat mendorong ekspor non migas yang diusahakan oleh

koperasi, pengusaha kecil, dan pengusaha menengah. Selain itu, Pemerintah juga telah

menghapuskan ketentuan pemeriksaan barang ekspor oleh surveyor di pelabuhan, atau di pabrik

atau di gudang. Dengan dihapusnya ketentuan pemeriksaan ini, maka pemeriksaan barang

ekspor sepenuhnya disesuaikan dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang

Kepabeanan.

Sementara itu, melalui paket kebijaksanaan Juni 1996, Pemerintah juga telah

memberikan beberapa kemudahan, diantaranya melalui penyederhanaan persyaratan dan

prosedur memperoleh surat keterangan asal (SKA) barang ekspor, kemudahan pelayanan

kepabeanan, perpajakan, dan perbankan bagi perusahaan eksportir tertentu (PET), baik

perusahaan eksportir produsen maupun perusahaan eksportir umum yang mengekspor tekstil

dan produk tekstil (TPT), alas kaki, elektronika, kulit dan produk kulit, produk kayu dan rotan.

Selain itu, Pemerintah juga telah menetapkan ketentuan dan tata cara pengawasan mutu

untuk produk ekspor tertentu, yang wajib memenuhi persyaratan standar nasional Indonesia

(SNI) atau standar tarif yang diacu dan diakui, yang dibuktikan dengan sertifikat kesesuaian

mutu (SM) atau sertifikat produk (SP). Ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan mutu

produk-produk ekspor.

Di samping melalui serangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang

konsisten dan berkelanjutan, upaya lain yang telah ditempuh oleh Pemerintah dalam rangka

mendorong peningkatan ekspor adalah dengan membentuk Tim Pengkajian Strategi Ekspor

(TlPSE). Pembentukan tim ini dimaksudkan untuk membantu unit-unit operasional yang

bertanggung jawab dalam melakukan diplomasi perdagangan (trade diplomacy), promosi

perdagangan (trade promotion) dan fasilitasi perdagangan (trade facilitation) dengan sasaran

untuk mendorong peningkatan ekspor non migas dan menyelesaikan hambatan-hambatan

perdagangan (tarif dan nontarif) di negara-negara tujuan ekspor, serta meningkatkan kerjasama

bilateral antara Indonesia dengan mitra dagang.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 195

Page 196: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Tim ini selain ditugaskan untuk memonitor, mengidentifikasi, dan menganalisa

berbagai permasalahan yang dihadapi dalam upaya mendorong peningkatan ekspor, khususnya

ekspor non migas, juga diharapkan marnpu menetapkan strategi penetrasi pasar/negara tujuan

ekspor baik melalui pendekatan wilayah pasar/negara maupun melalui pendekatan produk.

Sementara itu, dalam upaya menanggulangi tuduhan barang ekspor Indonesia sebagai barang

dumping, yang belakangan ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

ekspor, Pemerintah juga telah membentuk Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).

Dalam pada itu, sejalan dengan upaya perluasan pasar/ negara tujuan ekspor, khususnya

ke negara-negara yang perekonomiannya sedang berkembang, seperti Eropa Timur, Timur

Tengah, Afrika, dan Amerika Latin, Pemerintah terus mengambil langkah-langkah untuk

pengembangan dan perluasan komoditi yang dipasarkan di luar negeri. Sampai saat ini tercatat

24 kelompok komoditi utama ekspor non migas, yang terdiri atas 5 kelompok mata dagangan

utama lama, 6 kelompok mata dagangan utama baru, dan 13 mata dagangan utama lainnya.

Kelompok mata dagangan utama lama terdiri dari barang-barang kayu gabus; pakaian; benang

tenun; kain tekstil dan hasil-hasilnya; sepatu dan peralatan kaki lainnya; ikan kerang-kerangan,

moluska, dan olahannya. Sedangkan kelompok mata dagangan utama baru adalah karet mentah,

karet sintetis, dan karet pugaran; bijih logam dan sisa logam; alat telekomunikasi; hasil industri

lainnya (perhiasan, perlengkapan kantor, dan sebagainya); minyak dan lemak nabati; kopi, teh,

coklat, dan rempah-rempah. Kelompok mata dagangan utama lainnya terdiri dari baru bara,

kokas, dan briket; perabot; kertas, kertas kafan, dan lainnya; mesin listrik dan peralatannya;

logam tidak mengandung besi; mesin kantor dan pengolahan data; kayu dan gabus; kimia

organis; besi dan baja; barang-barang logam lainnya; barang-barang dari mineral bukan logam;

kendaraan bermotor untuk jalan raya; serta buah-buahan dan sayuran.

4.3.2. Kebijaksanaan di bidang impor

Walaupun beberapa negara industri mengalami penurunan laju pertumbuhan ekonomi,

diperkirakan prospek perkembangan perekonomian dunia dalam tahun 1996 akan menjadi lebih

baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Beberapa faktor penyebab utama membaiknya

kinerja ekonomi dunia tersebut adalah perdagangan dunia yang semakin kompetitif, peran

kerjasama ekonomi regional dan sub regional yang semakin baik, serta meningkatnya kegiatan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 196

Page 197: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

perdagangan dan investasi di kawasan Asia Pasifik. Memahami bahwa kondisi ini memberikan

peluang dan sekaligus tantangan bagi Indonesia, maka Pemerintah telah bertekad bulat untuk

meneruskan dan menyempurnakan kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang selama ini

telah dilaksanakan. Tujuannya tidak lain untuk mewujudkan perekonomian yang berorientasi

pasar, menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi penanaman modal domestik maupun

asing, serta mendorong ekspor non migas, dan mengendalikan impor untuk mendukung neraca

pembayaran Indonesia.

Dalam kerangka pengendalian impor, kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditempuh

tetap diarahkan agar impor bahan baku/penolong dan barang modal selalu sejalan dengan

kebutuhan produksi barang yang berorientasi ekspor. Sedangkan untuk impor barang konsumsi,

diarahkan agar pertumbuhannya tetap terkendali. Kebijaksanaan-kebijaksanaan pengendalian

impor tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan aturan-aturan yang ada, utamanya aturan-

aturan WTO. Kebijaksanaan-kebijaksanaan pengendalian impor yang sudah digulirkan antara

lain adalah dengan menetapkan standar mutu, batas kandungan bahan pestisida, batas

kandungan logam berat dan zat pengawet alas impor buah-buahan, meningkatkan mutu dan

produksi barang hasil produksi dalam negeri agar lebih mampu bersaing dengan barang-barang

impor, antara lain melalui pengurangan berbagai hambatan, pengikisan unsur-unsur yang

menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi, dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk

menggunakan/mengkonsumsi produksi dalam negeri. Terhadap bahan baku dan penolong,

Pemerintah terus mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif bagi pengembangan industri

hulu dengan memberikan fasilitas yang dapat meningkatkan economics of scale dan efisiensi

produksi hulu. Kebijaksanaan yang dilakukan antara lain adalah dengan menambah industri-

industri hulu dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku, merangsang

tumbuhnya industri barang modal serta memperbaiki kualitas barang-barang hasil industri dalam

negeri.

Paket kebijaksanaan yang terakhir dikeluarkan Pemerintah adalah paket kebijaksanaan

4 Juni 1996 yang pada pokoknya bertujuan untuk lebih meningkatkan efisiensi dan ketahanan

ekonomi nasional serta daya saing produksi dalam negeri di pasar intemasional. Paket ini

mencakup tiga bidang pokok, yaitu bidang iklim usaha, bidang ekspor, dan bidang impor.

Bidang yang disebut terakhir mencakup kebijaksanaan-kebijaksanaan penurunan tarif,

perubahan tarif bea masuk barang modal, penghapusan bea masuk tambahan (BMT),

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 197

Page 198: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

penyederhanaan tala niaga impor, dan pembentukan komite anti dumping Indonesia.

Kebijaksanaan penurunan tarif dilakukan selain untuk melanjutkan kebijaksanaan

deregulasi bulan Mei 1995 (per mei1995), juga dalam kerangka penurunan tarif bertahap sampai

dengan tahun 2003, yang diharapkan untuk lebih memberikan kepastian usaha dalam

menentukan rencana investasi dan rencana produksi. Kebijaksanaan penurunan tarif dalam per

juni 1996 mencakup 1.497 pas tarif atau sekitar 20,54 persen dari 7.288 pas tarif yang ada.

Dengan demikian, pas tarif Indonesia yang berlaku secara keseluruhan sudah mencapai 78,50

persen dengan bea masuk dari 0 s/d 20 persen, dengan konsentrasi tertinggi terletak pada

interval (klas) pas tarif 0 s/d 5 persen, yaitu sebanyak 3.465 pas tarif atau sekitar 47,54 persen.

Selanjutnya, dari 1.497 pos tarif yang mendapat penurunan bea masuk tersebut, terdapat 385 pas

tarif barang modal, yang antara lain terdiri dari mesin penggerak kendaraan air (motor tempel),

dapur api dan tungku industri atau laboratorium, termasuk insenerator, dan mesin pengangkat

{pemindah, pemuat atau pembongkar yang dirancang khusus untuk penggunaan di bawah tanah.

Kebijaksanaan penurunan tarif barang modal tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk lebih

mendorong lagi peningkatan investasi dalam negeri.

Kebijaksanaan untuk menghapuskan bea masuk tambahan (BMT) didasarkan alas

pertimbangan perlunya penyederhanaan tarif dan penyesuaian sejalan dengan Undang-undang

Kepabeanan yang baru, yang tidak lagi mencantumkan BMT. Terhadap produk yang dipandang

masih perlu untuk dilakukan pembatasan impor, yaitu meliputi 80 pas tarif, maka secara

kumulatif BMT yang berlaku selama ini dimasukkan ke dalam bea masuknya.

Penyederhanaan tata niaga impor meliputi perubahan ketentuan tala niaga impor alas

produk tertentu untuk memperlancar pengadaan kebutuhan barang modal dan bahan

baku/penolong serta peningkatan efisiensi industri dalam negeri. Penyederhanaan tersebut

mencakup tata niaga impor 9 pas tarif, antara lain mesin piston pembakaran dalam nyala

kompresi (diesel), pompa dispalsemen dan pompa pusingan, motor dan generator listrik, dan

traktor.

Untuk lebih mendorong ekspor komoditi non migas, maka kepada perusahaan PMA

manufaktur diberikan kelonggaran melakukan impor barang komplementer dari perusahaan

afiliasinya di luar negeri. Selain itu, PMA manufaktur dapat juga menjual hasil produksinya ke

dalam negeri sampai tingkat penyalur (wholeseller) dan menjual barang komplementer impor di

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 198

Page 199: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

dalam negeri. Dalam pada itu, untuk lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas sektor industri,

terutama untuk industri yang sebagian bahan bakunya memanfaatkan limbah industri luar

negeri, maka prosedur impor limbah tersebut telah disederhanakan dan disempurnakan, serta

disesuaikan dengan Undang-undang Kepabeanan. Untuk itu, langkah yang ditempuh adalah

menyempurnakan prosedur dan uraian barang/pos tarif atas limbah yang dapat diimpor.

Langkah lainnya yang sudah ditempuh untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas

sektor industri adalah melalui pemberian fasilitas penyelenggaraan tempat penimbunan berikat

dan gudang berikat. Bagi penimbunan berikat diberikan fasilitas dan perlakuan khusus di bidang

kepabeanan, cukai, dan perpajakan. Sedangkan pemberian fasilitas untuk gudang berikat pada

prinsipnya merupakan penyempurnaan dari fasilitas kawasan berikat, yaitu fungsi

pergudangannya dimungkinkan untuk berfungsi sebagai gudang berikat dan

penyelenggaraannya terbuka bagi swasta.

4.4. Perkembangan neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1996/1997

Kinerja neraca pembayaran Indonesia dalam tahun anggaran 1996/1997, menunjukkan

gambaran yang relatif kurang menggembirakan, utamanya dalam neraca perdagangan non migas

dan neraca jasa-jasa yang mengalami defisit yang semakin meningkat dibandingkan dengan

tahun anggaran 1995/1996 dan tahun-tahun sebelumnya. Ekspor non migas menunjukkan

pertumbuhan yang melamban meskipun neraca perdagangan secara keseluruhan masih

menunjukkan angka positif. Di bidang neraca jasa-jasa terdapat defisit yang semakin besar

karena nilai penerimaan jasa-jasa, yang meliputi devisa pariwisata dan pendapatan transfer

tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri masih tetap lebih kecil dari nilai pengeluaran jasa-

jasa, yang meliputi freight, pembayaran bunga hutang luar negeri, dan lainnya. Oleh karena

defisit jasa-jasa semakin besar sementara surplus neraca perdagangan yang semakin kecil, maka

defisit transaksi berjalan tahun anggaran 1996/1997 semakin besar pula. Meskipun keadaan

yang relatif kurang menggembirakan ini dialami tidak hanya oleh Indonesia, tetapi juga oleh

negara-negara sedang berkembang umumnya dalam menghadapi persaingan pasar internasional

yang semakin ketat, namun Pemerintah sangat menyadari perlunya terus diupayakan langkah-

langkah pemecahan yang menyeluruh disamping bekerja lebih keras lagi.

Posisi defisit transaksi berjalan dalam tahun anggaran 1996/1997 diperkirakan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 199

Page 200: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

mencapai sebesar US$ 8.823 juta atau meningkat sebesar 26,3 persen dibandingkan dengan

tahun sebelumnya. Nilai ekspor diperkirakan meningkat hanya sebesar US$ 3.972 juta,

sementara impor meningkat sebesar US$ 5.070 juta. Dalam tahun.anggaran 1996/1997 nilai

ekspor secara keseluruhan adalah sebesar US$ 51.726 juta dan nilai impor sebesar US$

46.572juta. Nilai ekspor dan impor tersebut terdiri dari ekspor migas sebesar US$ 10.238 juta,

ekspor non migas sebesar US$ 41.488 juta, impor migas sebesar US$ 3.497 juta, dan impor

nonmigas sebesar US$ 43.075juta. Dengan perkembangan seperti tersebut di atas, maka laju

pertumbuhan nilai ekspor diperkirakan relatif mengalami penurunan apabila dibandingkan

dengan tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena di satu sisi nilai ekspor minyak dan gas

menurun sebesar 3,6 persen dan nilai ekspor non migas meningkat hanya sebesar 11,7 persen,

sementara di sisi lain impor migas menurun sebesar 10,4 persen dan impor non migas

meningkat sebesar 14,6 persen. Dalam pada itu bertambahnya ongkos angkutan kapal laut

komoditi impor, telah menyebabkan membengkaknya defisit jasa-jasa neto. Neraca jasa-jasa

dalam tahun anggaran 1996/1997 diperkirakan sebesar US$ 13.977 juta atau meningkat sebesar

5,6 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar US$ 13.239 juta.

Dalam tahun anggaran. 1996/1997 lalu lintas modal diperkirakan mengalami

penurunan sebesar 5,8 persen dari periode sebelumnya, sehingga mencapai sebesar US$ 10.797

juta. Adanya usaba-usaba yang dilakukan Pemerintah dalam rangka memperlancar pelaksanaan

proyek-proyek pembangunan yang dibiayai dari dana luar negeri mengakibatkan pemasukan

modal/pinjaman luar negeri pemerintah yang berupa bantuan proyek meningkat menjadi sebesar

US$ 5.844 juta. Pinjaman luar negeri tersebut sebagian besar berupa pinjaman lunak. Dalam

tahun anggaran 1996/ 1997 pembayaran hutang pokok pemerintah diperkirakan mencapai

sebesar US$ 5.536 juta atau menurun 6,8 persen. Berkaitan dengan itu, perbandingan antara

jumlah pelunasan pinjaman luar negeri pemerintah terhadap ekspor (DSR) menurun menjadi

sebesar 14,1 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 16,4 persen.

Penurunan hutang pokok pemerintah dalam tahun anggaran 1996/1997 antara lain

disebabkan oleh percepatan pembayaran (prepayment) hutang luar negeri yang berbunga tinggi

dalam tahun sebelumnya. Sejalan dengan itu, pembayaran bunga hutang luar negeri pemerintah

dalam tahun berjalan diperkirakan menurun menjadi sebesar US$ 3.006 juta, sehingga

pembayaran hutang pokok dan bunga menjadi sebesar US$ 8.542 juta.

Selama tahun anggaran berjalan, lalu lintas modal lainnya diperkirakan mencapai

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 200

Page 201: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

sebesar US$ 10.489 juta, meliputi investasi langsung atau penanaman modal asing (PMA)

sebesar US$ 6.300 juta dan investasi lainnya sebesar US$ 4.189 juta, yang meliputi untuk

penanaman modal dalam negeri (PMDN), badan usaba milik negara (BUMN), portfolio dan

swasta lainnya. Melihat besarnya nilai lalu lintas modal tersebut, maka dalam tahun anggaran

1996/1997 diperkirakan terdapat surplus lalu lintas moneter sebesar US$ 2.606 juta, sehingga

jumlah cadangan devisa diperkirakan cukup untuk membiayai 4,7 bulan impor. Selanjutnya

perkembangan neraca pembayaran Indonesia hingga tahun 1996/1997 .

4.4.1. Ekspor

Perkembangan ekspor Indonesia dalam tahun anggaran 1996/1997 tidak terlepas dari

pengaruh faktor-faktor yang bersumber dari dinamika ekonomi internal dari eksternal. Faktor-

faktor internal yang dimaksud diantaranya adalah tingkat efisiensi dari daya saing ekonomi

dalam negeri yang semakin membaik, sejalan dengan langkah-langkah yang berkelanjutan dan

konsisten yang ditempuh Pemerintah, baik melalui kebijaksanaan di sektor moneter dan fiskal

maupun kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang komprehensif di sektor riil.

Sementara faktor-faktor,eksternal yang mempengaruhi kinerja ekspor nasional diantaranya

adalah merosotnya harga dan volume sejumlah komoditi dan munculnya negara-negara pesaing

baru seperti Cina, Malaysia, dan Vietnam, yang menyebabkan meningkatnya persaingan di

pasar internasional.

Dalam tahun anggaran 1996/1997, nilai ekspor secara keseluruhan diperkirakan

mengalami peningkatan sebesar US$ 3.972juta atau sebesar 8,3 persen, yaitu dari US$ 47.754

juta dalam tahun anggaran 1995/1996 menjadi sebesar US$ 51.726 juta. Peningkatan perkiraan

realisasi ekspor ini terutama berasal dari ekspor non migas yang meningkat dari sebesar US$

37.138 juta dalam tahun anggaran 1995/1996 menjadi sebesar US$ 41.488 juta dalam tahun

anggaran 1996/1997, atau meningkat sebesar 11,7 persen. Sementara itu realisasi ekspor minyak

dan gas bumi dalam tahun anggaran 1996/1997 diperkirakan mengalami penurunan sebesar 3,6

persen, yaitu dari sebesar US$ 10.616 juta menjadi sebesar US$ 10.238 juta. Perkembangan

nilai ekspor secara rinci dapat dilihat dalam Tabel IV.5 dan Grafik IV.1.

Selanjutnya, realisasi ekspor non migas dalam periode April-September 1996, yang

meliputi kelompok komoditi hasil-hasil industri dan hasil-hasil tambang bukan migas,

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 201

Page 202: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

menunjukkan peningkatan masing-masing sebesar 11,6 persen dan 18,5 persen dibandingkan

realisasinya dalam periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, realisasi ekspor non

migas kelompok komoditi hasil-hasil pertanian dan hasil-hasil lainnya, dalam periode yang

sama menunjukkan penurunan masing-masing sebesar 1,8 persen dan 25,0 persen dibandingkan

realisasi nilai ekspornya dalam periode yang sama tahun sebelumnya.

Penurunan realisasi ekspor yang terjadi dalam kelompok komoditi hasil-hasil pertanian

secara keseluruhan dalanm periode April-September 1996, terutama disebabkan karena

menurunnya realisasi nilai ekspor sejumlah komoditi, diantaranya adalah getah karet dari

sebesar US$ 22,3 juta dalam periode yang sama tahun sebelumnya menjadi sebesar US$ 18,3

juta atau menurun sebesar 17,9 persen. Demikian pula dengan realisasi ekspor udang

(segar/beku), yang menurun sekitar 10,4 persen, yaitu dari sebesar US$ 565,5 juta dalam

periode April-September 1995 menjadi sebesar US$ 506,8 juta dalam periode yang sama tahun

berjalan. Karena ekspor udang masih merupakan penyumbang terbesar dalam ekspor hasil-hasil

pertanian, yaitu sebesar 36,8 persen dalam periode April-September 1995 dan sebesar 33,5

persen dalam periode yang sama tahun 1996, maka dengan realisasi ekspornya yang cenderung

menurun juga memberikan pengaruh yang berarti terhadap penurunan realisasi ekspor komoditi

hasil-hasil pertanian. Realisasi nilai ekspor komoditi hasil-hasil pertanian lainnya yang

menunjukkan penurunan dalam periode April-September 1996 adalah lada hitam, lada putih,

dan ubur-ubur/kerang lainnya, masing-masing sebesar 59,0 persen, 26,9 persen, dan 11,0 persen.

Kecenderungan menurunnya realisasi ekspor getah karet, lada hitam, lada putih, dan ubur-

ubur/kerang lainnya, terutama disebabkan karena volume ekspornya yang mengalami

penurunan, yaitu masing-masing sebesar 24,3 persen, 54,4 persen, 17,5 persen, dan 19,3 persen,

dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Sedangkan realisasi ekspor komoditi hasil-hasil pertanian yang mengalami peningkatan

diantaranya adalah kopi, yaitu dari sebesar US$ 334,5 juta dalam periode April-September 1995

menjadi sebesar US$ 342,7 juta dalam periode yang sama tahun berjalan, atau meningkat

sebesar 2,5 persen. Demikian pula dengan realisasi nilai ekspor teh, tembakau, biji coklat, ikan

tuna dan lainnya, dan hasil-hasil pertanian lainnya dalam periode yang sama juga menunjukkan

peningkatan, masing-masing sebesar 12,8 persen, 32,6 persen, 16,7 persen, 9,6 persen, dan 9,9

persen.

Sementara itu, realisasi ekspor hasil-hasil industri yang meningkat dari US$ 14.675,1

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 202

Page 203: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

juta dalam periode April-September 1995 menjadi sebesar US$ 16.377,1 juta dalam periode

yang sama tahun berjalan meliputi ekspor semen, yang meningkat dari US$ 1,5 juta menjadi

US$ 8,8 juta, atau sebesar 486,7 persen, kayu gergajian yang meningkat dari US$ 230,8 juta

menjadi US$ 239,8 juta atau sebesar 3,9 persen, dan timah (un wrought) yang meningkat dari

US$ 111,9 juta menjadi US$ 149,3 juta atau sebesar 33,4 persen. Realisasi ekspor pakaian jadi

dan tekstil lainnya dalam periode yang sama meningkat masing-masing sebesar 5,1 persen dan

11,4 persen. Sementara realisasi ekspor karet olahan, bungkil kopra, minyak atsiri, dan minyak

kelapa sawit meningkat masing-masing menjadi US$ 1.128,0 juta, US$ 25,6 juta, US$ 39,6 juta,

dan US$ 409,2 juta, atau masing-masing sebesar 0,7 persen, 70,7 persen, 0,5 persen, dan 25,0

persen dibanding realisasi ekspor dalam periode yang sama tahun sebelumnya. Demikian pula

dengan realisasi ekspor barang anyaman, mebel (rotan, kayu, bambu) dan bahan kimia

meningkat masing-masing sebesar 3,6 persen, 13,3 persen, dan 2,4 persen.

Dalam periode yang sama, ekspor alat-alat listrik menunjukkan peningkatan yang

cukup besar, yaitu dari US$ 1.436,6 juta menjadi US$ 1.903,5 juta, atau sebesar 32,5 persen.

Sedangkan ekspor kaca dan barang dari kaca meningkat sebesar 7,7 persen, yaitu dari US$ 99,2

juta menjadi US$ 106,8 juta. Komoditi lainnya yang memperlihatkan peningkatan dalam

realisasi ekspornya adalah atas kaki (kulit, karet, kanvas) yang meningkat dari US$ 1.051,0 juta

menjadi US$ 1.073,3 juta, atau sebesar 2,1 persen. Sementara realisasi ekspor hasil-hasil

industri lainnya mengalami peningkatan sebesar 30,5 persen, yaitu dari US$ 2.992,3 juta dalam

periode April-September 1995 menjadi US$ 3.906,4 juta dalam periode yang sama tahun

berjalan.

Dalam pada itu, walaupun pangsa ekspor kayu lapis dalam ekspor hasil-hasil industri

secara keseluruhan masih tetap yang terbesar, namun realisasinya dalam periode April-

September 1996 terlihal masih sangat rendah, yaitu sebesar US$ 1.827,7 juta atau meningkat

hanya sebesar 2,5 persen dibanding realisasi periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$

1.783,8 juta. Rendahnya tingkat realisasi ekspor kayu lapis ini terutama disebabkan karena

realisasi volume ekspornya yang mengalami penurunan, yaitu dari 2.534,8 ribu ton dalam

periode yang sama tahun sebelumnya menjadi 2.450,7 ribu ton, atau menurun sekitar 3,3 persen.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 203

Page 204: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Tabel IV. 5

TahunAnggaran Nilai % Nilai % Nilai %-1 -2 -3 -4 -5 (6)=(2)+(4) (7)=(3)+(5)1984/1985 13.994 70,3 5.907 29,7 19.901 1001985/1986 12.437 66,8 6.175 33,2 18.612 1001986/1987 6.966 50,9 6.731 49,1 13.697 1001987/1988 8.841 48,2 9.502 51,8 18.343 1001988/1989 7.640 38,5 12.184 61,5 19.824 1001989/1990 9.337 39,2 14.493 60,8 23.830 1001990/1991 12.763 45,4 15.380 54,6 28.143 1001991/1992 10.706 36 19.008 64 29.714 1001992/1993 10.480 29,7 24.823 70,3 35.303 1001993/1994 9.334 25,6 27.170 74,4 36.504 1001994/1995 10.445 24,8 31.716 75,2 42.161 1001995/1996 10.616 22,2 37.138 77,8 47.754 1001996/1997 1) 10.238 19,8 41.488 80,2 51. 726 100

1) Perkiraan realisasi

NILAI EKSPOR, 1984/1985 - 1996/1997( daIam juta US $ )

Migas Bukan migas Jumlah

Hal yang sama juga terjadi dalam ekspor kayu olahan lainnya, aluminium (un wrought),

stearin, dan pupuk urea, dimana dengan volume ekspornya yang menunjukkan penurunan

masing-masing sebesar 6,1 persen, 15,7 persen, 26,8 persen, dan 33,2 persen, dalam periode

April-September 1996, maka realisasi nilai ekspornya dalam periode yang sama juga cenderung

menurun, masing-masing sebesar 0,8 persen, 6,1 persen, 39,6 persen, dan 27,7 persen.

Sementara itu, ekspor kain tenun, kulit dan barang dari kulit, dan ekspor kertas dan barang dari

kertas, walaupun dalam periode yang sama volume ekspor masing-masing komoditi

menunjukkan peningkatan, namun realisasi nilai ekspornya mengalami penurunan, yaitu

masing-masing sebesar 3,1 persen, 1,8 persen, dan 1,4 persen.

Realisasi ekspor hasil-hasil tambang bukan migas yang mengalami peningkatan sebesar

US$ 248,9 juta, yaitu dari US$ 1.346,0 juta dalam periode April-September 1995 menjadi

sebesar US$ 1.594,9 juta dalam periode yang sama tahun berjalan, terutama berasal dari

kelompok bijih tembaga yang meningkat cukup besar, yaitu dari US$ 716,3 juta menjadi US$

867,7 juta atau sebesar 21,1 persen, bijih nikel yang meningkat dari US$ 21,4 juta menjadi US$

23,5 juta atau sebesar 9,8 persen, batu bara yang meningkat sebesar 15,9 persen, yaitu dari US$

549,0 juta menjadi US$ 636,3 juta, dan ekspor hasil-hasil tambang lainnya meningkat sebesar

17,7 persen, yaitu dari US$ 53,1 juta menjadi sebesar US$ 62,5 juta.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 204

Page 205: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Meningkatnya realisasi ekspor kelompok komoditi non migas dalam periode April -

September 1996 telah memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap realisasi ekspor

nasional secara keseluruhan, yaitu sebesar 78,1 persen, dibandingkan dengan periode yang sama

tahun sebelumnya sebesar 77,2 persen. Sedangkan ekspor minyak dan gas bumi, walaupun

dalam realisasinya meningkat sebesar 5,8 persen, namun pengaruhnya terhadap pangsanya

dalam ekspor nasional menunjukkan penurunan, yaitu dari sebesar 2,3 persen dalam periode

April-September 1995 menjadi sebesar 2,2 persen dalam periode yang sama tahun berjalan.

Realisasi ekspor non migas secara keseluruhan dalam tahun 1996/1997 dapat dilihal dalam

Tabel IV.6, Grafik IV.2, dan Grafik IV.3.

Dalam pada itu, sejalan dengan perkembangan ekspor menurut kelompok komoditi,

ekspor menurut negara tujuan umumnya juga menunjukkan peningkatan. Dalam periode April-

September 1996, Jepang merupakan negara terbesar yang mampu menyerap komoditi ekspor

Indonesia, yaitu sebesar US$ 6.330 juta, atau sebesar 25,4 persen dari nilai ekspor secara

keseluruhan. Kemudian diikuti dengan ekspor ke negara-negara yang tergabung dalam

Masyarakat Eropa (ME) yaitu sebesar US$ 3.893 juta atau sebesar 15,6 persen. Dalam periode

yang sama, nilai ekspor ke negara-negara ASEAN mencapai US$ 3.621 juta atau sebesar 14,5

persen dari nilai ekspor secara keseluruhan, dimana Singapura merupakan negara penyerap

ekspor terbesar, yaitu sebesar US$ 2.284 juta. Sementara itu, nilai ekspor ke Amerika Serikat

dalam periode yang sama mencapai US$ 3.509 juta atau sebesar 14,1 persen dari nilai ekspor

secara keseluruhan. Sedangkan ekspor ke Afrika dan Austratasia (meliputi Australia, Selandia

Baru, dan negara-negara Oceania lainnya) masing-masing mencapai US$ 310 juta dan US$ 587

juta atau dengan pangsa masing-masing sebesar 1,2 persen dan 2,4 persen. Berdasarkan

perkembangan tersebut, ekspor berdasarkan negara tujuan dalam periode April-September 1996

mengalami peningkatan dibandingkan dengan nilai ekspor dalam periode yang sama tahun

sebelumnya, masing-masing dengan kenaikan sebesar 3,3 persen ke Jepang, 18,7 persen ke ME,

22,9 persen ke negara-negara ASEAN, 8,2 persen ke Austratasia, dan sebesar 5,6 persen ke

Amerika Serikat. Sedangkan nilai ekspor ke Afrika dalam periode yang sama mengalami

penurunan menjadi sebesar 2,7 persen. Perkembangan ekspor berdasarkan negara tujuan dapat

dilihal pada Tabel IV.7.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 205

Page 206: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

4.4.2. Impor

Hasil yang menggembirakan atas rangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi

yang dikeluarkan Pemerintah sejak tahun 1983 diperlihatkan dengan berkembangnya kegiatan

investasi, baik dalam rangka penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman

modal asing (PMA). Seiring dengan peningkatan kegiatan investasi yang menggembirakan

tersebut, kebutuhan bahan baku/penolong dan barang modal juga meningkat, yang sebagiannya

dipenuhi dengan meningkatkan impor karena kebutuhan tersebut belum dapat dipenuhi dari

dalam negeri.

Dalam tahun anggaran 1996/1997 nilai impor secara keseluruhan diperkirakan

menunjukkan peningkatan sebesar 12,2 persen, yaitu dari US$ 41.502 juta menjadi sebesar US$

46.572 juta. Impor migas diperkirakan mencapai sebesar US$ 3.497 juta, jika dibandingkan

dengan impor dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai US$ 3.905 juta,

berarti mengalami penurunan sebesar 10,4 persen. Sedangkan impor non migas diperkirakan

mencapai US$ 43.075 juta, yang berarti mengalami kenaikan sebesar 14,6 persen jika

dibandingkan dengan impor dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai sebesar

US$ 37.597 juta. Kenaikan perkiraan nilai impor komoditi non migas tersebut terutama

disebabkan oleh adanya kenaikan impor barang modal.

Sementara itu, realisasi impor non migas dalam periode April-September 1996

mencapai sebesar US$ 20.762,7 juta, atau 3,5 persen lebih tinggi dari periode yang sama tahun

sebelumnya sebesar US$ 20.064,0 juta. Kenaikan impor non migas dalam periode April-

September 1996 tersebut disebabkan oleh meningkatnya impor barang modal dan barang

konsumsi, sedangkan komponen impor bahan baku/penolong mengalami penurunan.

Realisasi impor bahan baku/penolong dalam periode April-September 1996 mencapai US$

10.490,6 juta atau 4,6 persen lebih rendah hila dibandingkan dengan periode yang sama tahun

sebelumnya sebesar US$ 10.993,2 juta. Penurunan ini berkaitan erat dengan makin

meningkatnya kemampuan industri dalam negeri dalam menghasilkan bahan baku/penolong

industri. Secara berurutan, empat jenis bahan baku/penolong yang mengalami penurunan

terbesar, adalah bahan-bahan kertas mengalami penurunan sebesar 23,8 persen, bahan-bahan

karet dan plastik mengalami penurunan sebesar 14,0 persen, besi baja dan logam mengalami

penurunan sebesar 11,4 persen, dan benang tenun mengalami penurunan sebesar 6,1 persen.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 206

Page 207: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Jenis barang 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/l989 1989/1990 1990/1991-1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8

I. 1.502,00 1.480,90 1.702,40 1.687,40 2.035,20 1.906,90 2.180,50I. Getah karet 43,6 38,8 44,5 53 86,9 38,8 542. Kopi 566,9 633 743,2 498,9 568,5 448 370,73. Udang ( segar) 185,3 222,2 295,6 376,3 540,6 543,9 729,14. Teh 221,6 140,1 103,8 116 131,2 176,2 168,85. Lada hitam 41,4 35,7 53,9 52,4 54,8 33,8 21,76. Lada putih 24,6 47,2 96,2 102,9 86,7 59,4 53,67. Tembakau 33,7 51 61 57,5 43,6 39,2 71,28. Biji coklat 55,4 61,7 53,6 66,4 73,4 71,6 999. Gaplek 35,3 42,8 50,9 91,3 80,7 61,2 64,310. Ikan Tuna ikan lainnya 19,3 22,7 30,7 60,8 117,4 139,8 227,511. Ubur-ubur kerang lainnya 14,2 6,7 12,9 20,3 32,8 40,2 42,712. Lainnya 260,7 179 156,1 191,6 218,6 154,8 277,9

4.118,30 4354,5 4.622,20 7.438,20 9.626,70 11.429,70 123.59,81. Kayu lapis 708,5 838,7 1.151,10 1.918,40 2.064,90 2.462,00 2.788,902. Kayu gergajian 286,9 309 383,1 485,2 577,6 575,6 118,53. Kayu olahan lain 49,4 49,8 61 157,8 246,6 430 540,74. Timah (un wrought) 278,1 239,2 109,9 In.o 189,2 240,4 1735. Aluminium (un wrought) 213,8 214 216,1 264,1 360,3 339,9 257,36. Pakaian jadi 316,3 428,2 466 650,9 881,3 1.304,90 1.711,407. Kain tenun 159,3 220,7 206,2 365,4 503,8 683,2 981,18. Tekstil lainnya 36,7 57,6 43,1 114,6 177,3 291,8 368,19. Karet olahan 848,5 678,2 709,6 1.023,20 1.135,00 986 909,610. Bungkil kopra 14,4 34,9 34,7 44,5 45,1 40,3 44,711. Minyak Asiri 60,2 52,8 39,2 39,6 39,2 104,3 126,312. Rotan 95,3 71,8 94,6 166,4 36,3 0,9 313. Minyak kelapa sawit 75,1 181,4 108,3 182,7 326,8 229,7 248,814. Semen 14,7 22,1 46,4 58,7 85,9 130,5 68,615. Stearin 62,6 34,3 29,7 42,7 53,4 51 55,416. Barang anyaman 9,7 14,3 24,7 56,1 70,5 44,5 44,517. Mebel 5,1 6,3 9,6 34,8 87,1 205,3 31318. Bahan kimia 52,2 62,2 50,8 70,2 84,3 119,2 113,519. Alat listrik 168,5 152,8 63,5 61,7 116,7 214 317,520. Kulit 44,5 42,4 53,4 73,3 74,5 81,4 70,321. Pupuk urea 35,5 94,1 105,8 105,1 146,6 164,5 214,522. Kertas 21,9 20,9 40,4 113,2 139,5 167 165,823. Kaca dan barangdari kaca 10,6 9,2 14,1 44 97,8 97 97,124. Alas kaki 6,5 6,9 10,2 39,7 106,2 291,3 687,525. Lainnya 544,5 512,7 550,7 1.153,90 1.980,80 2.175,00 1.940,70

198,5 200,1 237,3 280,4 374,9 531 686,81. Bijih tembaga 119,5 119,6 158,4 192 230,4 321,4 408,92. Bijih nikel 16,2 17 18 19,4 51,9 52,6 42,43. Bauksit 13,5 9,5 6 6 7 10,84. Bijih timah (tin) 5,5 5,6 4,1 3,3 4,7 1,7 15. Batu bara 30,4 34,1 29,1 28,9 47 99,7 In,76. Lainnya 13,1 14,3 21,7 30,8 33,9 44,8 49,3

108,4 14,9 13,7 8,2 11,4 1,6 1,8

12,1,4

5.927,20 6.050,40 6.575,60 9.414,20 12.049,20 13.869,20 15.228,90

NILAI EKSPOR BUKAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM, 198411985 - 1996/1997(dalam Juta US $)

Hulu-hulu pertanian

II. Hulu-hulu industri

III. Hulu-hulu tambang di Non migas

IV. Hulu-hulu lainnyaJumlah

Tabel IV.6

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 207

Page 208: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Negara Persentase Persentase Persentase PersentaseNilai Dari Nilai Dari Nilai Dari Nilai Dari Nilai

Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah

I. ASIA 23.349 66 23.559 64,7 26.741 64 29.231 64 15.651ASEAN 4.727 4.686 5.936 6.302 3.621- Malaysia 527 575 815 1.034 574- Muangthai 434 393 429 712 440- Philipina 205 290 418 676 312- Singapura 3.530 3.397 4.225 3.854 2.284- Brunei Darussalam 31 31 49 26 11Hongkong 885 939 1.472 1.564 869Jepang 11.009 10.940 11.289 12.393 6.330Asia lainnya 6.728 6.994 8.044 8.972 4.831II. AFRIKA 483 1,4 433 1,2 594 1,4 640 1,4 310III. AMERIKA 5.351 15,1 6.007 16,5 7.029 16,8 7.275 15,9 4.090- U S A 4.671 5.254 6.069 6.162 3.509- Kanada 284 301 331 350 191- Amerika lainnya 396 452 629 763 390IV. AUSTRATASIA 844 2,4 831 2,3 813 2,0 1.189 2,6 587- Australia 780 761 695 1M3 538- Oceania lainnya 64 70 118 146 49V. EROPA 5.371 15,1 5.589 15,3 6.586 15,8 7.351 16,1 4.325ME 5.056 5.159 5.071 6.486 3.893- Inggris 905 978 1.057 1.139 632- Belanda 1.l02 1.094 1.347 1.495 880- Jerman 1.051 1.141 444 1.165 784- Belgia & Luxemburg 421 364 433 535 371- Peraneis 490 465 444 512 300- Denmark 93 99 108 112 58- Irlandia 47 36 38 35 16- Italia 610 573 581 747 360- Yunani 34 45 70 81 41- Portugal 21 28 45 50 24- Spanyol 282 336 504 615 427Rusia 71 134 91 135 78Eropa lainnya 244 296 1.424 730 354Jumlah 35.398 100,0 36.419 100,0 41.763 100,0 45.686 100,0 24.963

*) Angka sementara

1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996Persentase

DariJumlah

62,7

1,216,4

2,4

17,3

100,0

(Apr-Sept)1996/1997 *)

NILAI EKSPOR MENURUT NEGARA TUJUAN, 1992/1993 - 1996/1997(dalam juta US $)

Tabel IV.7

Penurunan impor yang terjadi pada kelompok-kelompok bahan baku/penolong tersebut dapat

meredam adanya kenaikan impor kelompok-kelompok jenis bahan baku/penolong lainnya,

seperti pupuk, bahan bangunan, alat-alat listrik, dan bahan obat-obatan, sehingga impor neto

bahan baku/penolong mengalami penurunan sebesar 4,6 persen.

Pada sub kelompok barang modal, untuk periode April-September 1996 mencapai US$

8.249,2 juta, atau meningkat 13,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun

sebelumnya sebesar US$ 7.291,9 juta. Kenaikan impor alat telekomunikasi dan pengangkutan,

masing-masing sebesar32,6 persen dan 15,4 persen memberikan kontribusi terbesar atas

peningkatan impor barang modal. Peranan impor barang modal terhadap impor non migas

secara keseluruhan meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu

meningkat dari 36,3 persen menjadi 39,7 persen.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 208

Page 209: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Selanjutnya realisasi impor barang konsumsi dalam periode April-September 1996

mencapai US$ 2.022,9 juta, atau 13,7 persen lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang

sama tahun sebelumnya yang berjumlah sebesar US$I. 778,9 juta. Meningkatnya impor barang

konsumsi terutama karena meningkatnya impor beras, susu, makanan, minuman dan buah-

buahan, tekstil, tembakau dan olahannya.

Pengamatan atas dinamika antara nilai impor sub kelompok barang modal dan sub

kelompok barang konsumsi memberikan dua hal yang dapat digaris bawahi. Pertama, kenaikan

impor barang konsumsi jauh diatas kenaikan impor barang modal. Kedua, walaupun kenaikan

impor barang konsumsi tersebut cukup tinggi tetapi pangsanya terhadap impor non migas relatif

masih tetap keeil, yaitu hanya sebesar 9,8 persen. Sedangkan pangsa impor bahan baku dan

penolong dan pangsa barang modal adalah masing-masing sebesar 50,5 persen dan 39,7 persen.

Ringkasan nilai komoditi impor non migas yang menduduki peringkat laju

pertumbuhan atau kenaikan pertama dan kedua pada masing-masing sub kelompok barang

dalam periode April-September 1996/1997 adalah komoditi-komoditi beras dan susu, makanan,

minuman dan buah-buahan untuk sub kelompok barang konsumsi, pupuk dan alat-alat listrik

untuk sub kelompok baban baku/penolong, dan alat telekomunikasi dan pengangkutan untuk sub

kelompok barang modal. Perkembangan nilai impor non migas secara rinci dapat dilihal dalam

Tabel IV.8, Grafik IV.4 dan Grafik IV.5.

Dalam periode April-September 1996/1997, negara pemasok barang impor Indonesia

didominasi oleh negara-negara Asia dengan pangsa pasar 50,1 persen, kemudian diikuti oleh

negara-negara Eropa, yang terdiri dari Masyarakat Eropa (ME) dan di luar ME (Rusia dan Eropa

lainnya) sebesar 25,1 persen, Amerika (USA, Kanada, dan Amerika lainnya) sebesar 16,6

persen, Austratasia (Australia dan Oceania lainnya) sebesar 6,9 persen, dan negara-negara

Afrika sebesar 1,3 persen.

Impor yang berasal dari negara-negara Asia, sebagian besar berasal dari Jepang yaitu

sebesar 37,8 persen, dari negara-negara anggota ASEAN sebesar 21,8 persen, dari Hongkong

sebesar 1,3 persen, dan dari negara Asia lainnya sebesar 39,2 persen. Sementara itu, impor dari

negara-negara ASEAN didominasi oleh Singapura dengan pangsa pasar sebesar 54,9 persen,

diikuti oleh Muangthai dengan pangsa pasar sebesar 26,3 persen. Perkembangan impor menurut

negara asal tahun anggaran 1992/1993 sampai dengan periode April-September 1996/1997

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 209

Page 210: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

secara rinci dapat dilihat dalam Tabel IV.9.

4.4.3. Pengeluaran jasa-jasa (neto)

Lemahnya sektor jasa-jasa nasional dalam arena perdagangan jasa-jasa internasional

sampai saat ini masih tetap mernpakan salah satu permasalahan yang terus dicari

pemecahannya. Meningkatnya defisit transaksi berjalan dari tahun ke tahun sebagian terbesar

adalah mernpakan akibat dari masih defisitnya neraca jasa-jasa (neto). Pemecahan masalah ini

tidaklah mudah mengingat dalam banyak jenis usaha jasa-jasa, perusahaan yang bergerak di

bidang jasa-jasa dari negara berkembang seperti Indonesia harus berhadapan dengan perusahaan

sejenis dari negara industri yang sudah lebih canggih dan berpengalaman dalam segala aspek

dan mendominasi pasar jasa internasional. Meskipun demikian, berbagai upaya untuk mengatasi

defisit neraca jasa-jasa tersebut secara bertahap terus dilakukan, disesuaikan dengan potensi dan

kemampuan.

Jenis jasa-jasa tertentu yang potensial dikembangkan dalam waktu dekat, seperti jasa

pariwisata dan jasa tenaga kerja Indonesia (TKI) makin diintensifkan pengembangannya.

Pengembangan peran jasa pariwisata dalam perolehan devisa saat ini telah memasuki tahap yang

strategis, yaitu dengan telah dicanangkannya sektor pariwisata sebagai primadona ekspor non

migas mulai tahun 2005 (visi pariwisata tahun 2005). Visi tersebut diyakini akan mampu

diwujudkan sejauh semua sektor terkait memberikan dukungan.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 210

Page 211: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

I.

II.

( dalam juta US $ )

2.372,50Jumlah 10.831,10 8.811,80 10.161,70 11.559,60 13.140,10 15.957,20 21.356,90

1.007,00 1.232,20 1.388,10 1.744,106. Lainnya 1.101,90 1.084,70

506,95. Alat pengangkutan 1.356,10 562,1 717,7 553,4 653,2 816,8 1.422,40

300,7 282,5 291,5 366,44. Peralatan listrik 258,5 228,3

172,83. Alat telekomunikasi 220,5 168,7 170,5 295,3 256,4 339,5 489,9

200 167,7 156,6 1452. Generalor listrik 123,9 85,72.069,50 2.243,40 2.734,00 4.625,601. Mesin-mesin 1.416,90 1.291,204.600,60 4.989,20 6.145,80 9.590,10III. Barang modal 4.477,80 3.420,70 3.997,102.091,40 2.370,60 2.647,90 3.065,3011. Lainnya 1.601,60 1.436,90

98 79,3 131,7 103,910. Alat-alat listrik 164 103,4194,4 183,6 188,9 289,89. Bahan bangunan 195,4 195594,2 671,5 977,7 1.079,308. Bahan-bahan karel & plastik 504,1 407

1.220,50 1.434,50 1.926,10 2.526,207. Besi baja don logam 1.204,60 977,3Bangunan buatan pabrik 13,6 6,9 4,5 3,7 2,9 3.7 10

-1Barang konsumsi1. Beras2. Tekstil

147,925,428,772,7

240,95.600,30

1.083,30528,4198,1

76,31.795,20

1.601,20

Golongan Barang

Tabel IV.8NILAI IMPOR BUKAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM MENURUT GOLONGAN BARANG, 1984/1985 - 1996/1997

1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991-2 -3 -4 -5 -6 -7 -8

603,5 465,2 564,3 560,5 811,5 960,6 1.125,4072,3 6 7,8 12,8 76,3 7 12,729,9 35 40,9 39,7 78,4 125 189,7

3. Susu, makanan, minumanDan buah-buahan 109,5 103,6 141,6 226 336,7 225,7

4. Tembakau dan olahannya 25,5 22,1 21 32,4 29.9 51,65. Sabun don kosmetik 17,7 18,4 24,1 78 32,1 40,16. Alal-alat rumah tangga 60,4 56,3 58,8 50,5 74,6 1047. Lainnya 288,2 223,8 262,5 319,9 355,3 501,6Bahan bakul penolong 5.749,80 4.925,90 6.398,50 7.339,40 8.850,80 10.641,401. Bahan kimia 1.322,50 1.199,50 1.242,90 1.353,40 1.642,30 1.641,20 1.962,502. Bahan obat-obatan 84,2 80,5 102,3 97,9 102,7 109.9 124,73. Pupuk 95,6 33.7 25,8 75,9 59 117 99,14. Bahan-bahan kertas 174,2 141 130,3 145,8 167,3 175,4 203,35. Benang tenun 390,6 344,7 413,2 523,3 625,7 931,3 1.177, 36. Semen, kapur, daft bahan

PresentaseDari

Jumlah

I. 8,91.2.3.

4.5.6.7.

II. 54,81.2.3.4.5.6.

7.8.9.

10.11.

36,31.2.3.4.5.6.

100Jumlah 23.940,10 25.360,30 26.709,50 31.343,40 38.246,20 20.064,00 20.762,70 1002.936,30 3.706,00 1.952,30 2.290,30Lainnya 2.760,10 3.285,70 2.867,80

Alat pengangkutan 1.49,1 1.014,30 1.211,30 1.221,10 1.042,70 572,4 660,51.002,40 960,1 536,3 515Peralatan listrik 599,8 1.023,20 930,1

Alat telekomunikasi 660 908,4 897,3 7.11,3 1.141,70 614,3 814,3338,2 487,2 287,4 281,1Generator listrik 509,4 574,4 355,8

39,7Mesin-mesin 5.088,00 4.635,40 4.866,00 5.369,60 6.728,10 3.329,20 3.688,00

11.578,90 14.065,80 7.291,90 8.249,20III. Barang modal 11.066,40 441,4 11.128,30Lainnya 3.362,50 3.551,20 4.770,40 6.640,40 7.776,80 4.021,40 3.893,00

260,2 279,7 128,5 175,6Alat-alat listrik 182 238,8 193,3Bahan bangunan 351,3 423,9 391 348,5 388,4 196,6 267,6

1.489,80 1.446,00 941,2 809,5Bahan-bahan wet & plastik 1.087,70 1.196,50 1.190,70Besi baja dan logam 2.442,70 2.639,30 2.908,70 3.168,50 4.270,20 2.298,20 2.036,5.Bangunan buatan pabrik 9,8 9 20 80,8 115,6 58,2 66,3Semen, kapur, dan bahanBenang tenun 1.422,90 1.513,90 1.439,70 1.704,50 1.913,80 1.034,90 971,6

250,5 332,1 194,4 148,2Bahan-bahan kertas 218,9 208 222Pupuk 68,1 139,3 93,4 104,5 134 53,5 111,3

161,8 200,5 100,1 113,3Bahan Ghal-obRIan 122,6 161,1 148,4

50,5Bahan kimia 1.926,10 2.060,20 2.398,20 3.095,00 3.739,60 1.966,20 1.897,70

17.304,50 20.596,70 10.993,20 10.490,60Bahan baku/penolong 11.194,60 12.141,20 13.775,80Lainnya 758,1 798,2 831,9 896,4 1.060,20 577,6 527,6

146,2 222,4 147,4 111,4Alat-alat rumah tangga 102,9 90,8 88,4Sabun dan kosmetik 44,3 56,3 73,2 91,3 94,7 52,2 49,7

133,3 170,2 84,7 97,3Tembakau dan olahannya 66 84,6 104dan buah-buahan 337,3 384,5 376,8 496,5 952,8 479,4 625,1Susu, makanan, minuman

384Tekstil 224,3 283,1 321,7 354,9 396,1 197,9 227,8

9,4 341,4 687,3 239,7Beras 146,2 80,2Barang konsumsi 1.679,10 1.777,70 1.805,40 2.460,00 3.583,70 1.778,90 2.022,90 9,8

JumlahDari

PersentaseNilai Nilai

1994/1995 1995/1996Golongan Barang 1991/1992 1992/1993 1993/1994

1996/1997*)(Apr-Sept) (Apr-Sept)1995/1996

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 211

Page 212: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

Negara Persentase Persentase PersentaseNilai dari Nilai dari dari

jumlah jumlah jumlah

I. ASIA 14.081,10 51,4 15.764,30 54,5 55ASEAN 2.502,00 2.650,10- Malaysia 509,4 531,9- Muangthai 283,5 227,4- Philipina 60,0 56,0- Singapura 1.648,2 1.834,2- Brunei Darussalam 0,9 0,6Hongkong 222,6 259,0Jepang 5.870,9 6.562,4Asia lainnya 5.485,6 6.292,8II. AFRIKA 200,7 0,7 148,0 0,5 1,4III. AMERIKA 4.824,0 17,6 4.284,7 14,8 15,2- USA 3.877,3 3.111,4- Kanada 453,3 427,3- Amerika lainnya 493,4 746,0IV. AUSTRATASIA 1.564,6 5,7 1.566,9 5,4 5,4- Australia 1.428,2 1.380.3- Oceania lainnya 136,4 186,6V. EROPA 6.723,2 24,6 7.184,9 24,8 23,0ME 5.649,5 5.542,3- Inggris 743,8 795,3- Belanda 584,1 585,1- Jerman 2.151,9 2.063,8- Belgia & Luxemburg 291,6 340,3- Perancis 893,7 805,1- Denmark 124,8 158,3- Irlandia 23,2 20,9- Italia 588,4 550,0- Yunani 8,5 15,3- Portugal 1,8 2,2- Spanyol 237,7 206,0Rusia 51,3 113,5Eropa lainnya 1.022,4 1.529,1

Jumlah 27.393,6 100,0 28.948,8 100,0 100,0*) Angka sementara

(Apr-Sept)

Tabel IV 9NILAI IMPOR MENURUT NEGARA ASAL, 1992/1993 - 1996/1997

( di dalam juta US $ )

33.966,9 41.303,5 100,0 22.312,0 100,0

1.323,5 1.573,4 1.141,5309,0 377,9 231,0179,4 228,1 203,0

3,9 8,643,6 54,8 38,9

725,5 824,9 668,7

126,7 94,027.0 39,9 24,5

392,2 235,7994,0 548.6

673,7 249.52.889.6 1.529.5

4.221,1978,1 625,6

137,29.161,9 22,2 5.593,6

609,02.240,5 5,4 1.543,6

4.896,8 2.673.8425,8

599,8 1,4 294,16.806,8 16,5 3.708,6

9.549,1 4.219,78.464,1 4.374,5

0,8266,9

58,72.514,0 1.335,1

399.8800,4 638.8

jumlah

22.494,40 54,5 11.172,10

1.406,42.036,4

789,2

145,3

4.214,40

Nilai dari NilaiPersentase

1996/1997 *)1994/1995 1995/1996

100.5852,1316,0

2.512,2721,7692,8

6.174,7 7.210,625,17.807,2

176,4 204,11.677,2

6,91.853,6709,8 1.120,8564,8

3.882,416,6

1992/1993 1993/1994Persentase

Nilai darijumlah

18.670,80 50,13.151,80 2.432,60

580,2 819.1561.867,2 80,1

1.942,30.3

241.87.821.37.455.9

478,3 1,35.157,0

Perkembangan penting di bidang pariwisata dalam tahun ini antara lain adalah

disederhanakannya prosedur masuknya wisatawan asing dari negara-negara tetangga anggota

ASEAN ke wilayah Indonesia dengan menggunakan kendaraan sendiri maupun bis wisata.

Dalam tahun berjalan juga telah diluncurkan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996

tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. Ketentuan tersebut dikeluarkan untuk memadukan

peranan pemerintah, badan usaha, dan masyarakat dalam penyelenggaraan kepariwisataan, serta

untuk menjaga kualitas, kelestarian lingkungan, dan jati diri bangsa. Upaya peningkatan peran

jasa pariwisata juga dilakukan di bidang promosi, yaitu dengan diubahnya struktur badan

promosi pariwisata Indonesia di luar negeri. Jika pada masa-masa sebelumnya terdapat dua

penyelenggara promosi pariwisata di luar negeri, yaitu pusat promosi pariwisata Indonesia (P3I)

dari pihak pemerintah dan badan promosi pariwisata Indonesia (BPPI) dari pihak swasta, maka

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 212

Page 213: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

dengan kebijaksanaan tersebut kegiatan P3I telah dialihkan ke BPPI. Kebijaksanaan tersebut

ditempuh dengan maksud untuk meningkatkan efisiensi serta meningkatkan keterlibatan pihak

swasta dalam promosi pariwisata. Upaya-upaya di atas diharapkan akan segera memperlihatkan

hasilnya berupa meningkatnya jumlah wisatawan manca negara dari sebanyak 4,4 juta orang

dalam tahun anggaran 1995/1996 menjadi 5,2 juta orang dalam tahun anggaran 1996/1997, serta

meningkatnya pemasukan devisa dari rata-rata sebesar US$ 1.213 per kunjungan dalam tahun

anggaran 1995/1996 menjadi US$ 1.224 per kunjungan dalam tahun anggaran 1996/1997.

Jasa lainnya yang juga potensial dan tengah dikembangkan perannya adalah jasa TKI.

Peningkatan ekspor jasa TKI memiliki manfaat ganda, yaitu sebagai sumber penghasil devisa

ekspor, dan sebagai upaya untuk mengurangi tingkat pengangguran di dalam negeri. Selain itu,

peningkatan ekspor jasa TKI juga semakin penting sebagai pengimbang atas cenderung

meningkatnya jumlah tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia.

Ekspor TKI yang sangat potensial tersebut dapat terlihat dari besarnya permintaan

tenaga kerja asing di empat kawasan utama yang selama ini banyak menyerap TKI, yaitu Timur

Tengah (Arab Saudi dan Emirat Arab), Asia Timur (Hongkong, Jepang, Taiwan, dan Korea

Selatan), dari ASEAN (Singapura dan Malaysia), serta Eropa, yang masih jauh lebih tinggi dari

jumlah penawaran TKI. Sampai dengan bulan Maret 1996, jumlah TKI yang sudah dikirim ke

negara-negara di empat kawasan tersebut baru mencapai 300 ribu orang, sementara

permintaannya mencapai 2,5 juta orang. Berkenaan dengan hal tersebut, Pemerintah telah

mencanangkan berbagai program yang bertujuan menjadikan ekspor jasa TKI sebagai salah satu

unggulan ekspor Indonesia pada akhir Pelita VI. Salah satu program tersebut adalah penyaluran

kredit bagi TKI dengan bunga rendah melalui skim kredit koperasi primer kepada anggotanya

(KKPA).

Sedangkan di bidang pelatihan, Pemerintah mengupayakan untuk meningkatkan tingkat

kualitas dan jenjang pelatihan, sehmgga TKI yang dipekerjakan di luar negeri secara bertahap

akan beralih dart TKI sektor informal, yang kurang mendapat perlindungan hukum di negara

asing bersangkutan, ke TKI sektar formal, yang lebih terlindungi secara hukum. Dengan upaya

tersebut diharapkan ekses-ekses yang tidak diinginkan yang dialami TKI di luar negeri dapat

dikurangi di masa-masa mendatang. Di bidang perlindungan hukum, Pemerintah sedang

mengupayakan agar para duta besar di negara yang menggunakan jasa TKI dapat mempelajari

hukum yang berlaku di negara tersebut untuk mengantisipasi kemungkinan masih terjadinya

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 213

Page 214: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

kasus-kasus ketenagakerjaan yang dialami TKI di negara bersangkutan.

Di bidang jasa-jasa lainnya, Pemerintah juga mengupayakan agar bidang-bidang jasa

yang potensial dapat berkembang dan mampu menghasilkan devisa. Hal itu antara lain dapat

dilihal dari upaya pemerintah yang bertekad menjadikan perusahaan-perusahaan milik negara

(BUMN) di bidang jasa tertentu seperti jasa telekomunikasi, jasa perbankan, dan jasa

penerbangan dapat menjadi pemain-pemain di tingkat global.

Dalam pada itu, di bidang jasa-jasa yang masih lemah kemampuan ekspomya sehingga

memberatkan neraca jasa-jasa secara keseluruhan, seperti halnya jasa angkutan laut (freight),

sesuai dengan kemampuan dan secara bertahap, Pemerintah telah menempuh berbagai langkah

untuk dapat mengurangi ketergantungan terhadap jasa angkutan laut asing. Langkah-langkah

tersebut berupa pemberian berbagai kemudahan di bidang perpajakan bagi pelayaran nasional

melalui Deregulasi Juni 1996 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 362 Tahun 1996.

Berdasarkan kebijaksanaan tersebut Pemerintah menanggung pajak pertambahan nilai yang

terhutang atas impor kapal dalam penyerahan barang kena pajak tertentu, termasuk kapal laut

dan segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaba perusahaan pelayaran niaga

nasional. Di samping itu, Pemerintah memberlakukan tarif pajak tunggal (single tax tariff) atas

pajak penghasilan (PPh) dari kegiatan pengangkutan orang dan atau barang, membebaskan PPh

pasal 22 impor, serta menanggung bea balik nama kapal, dengan meluncurkan Keputusan

Menteri Keuangan Nomor 416 Tahun 1996, Nomor 417 Tahun 1996, dan Nomor 432 Tahun

1996.

Di bidang administrasi, pro sektor pengadaan kapal dari luar negeri dan pendaftaran

kapal Indonesia, serta pengurusan dokumen/surat-surat kapal juga telab disederhanakan,

sehingga surat izin pembelian/impor kapal tidak lagi diperlukan. Sementara itu, di bidang

kepelabuhanan, khususnya pelabuhan yang tidak diusahakan, tarif jasa atas pemakaian jasa

labuh dan jasa tambat selama satu hingga tiga hari juga telah dibebaskan. Dengan langkah-

langkah tersebut diharapkan armada angkutan laut nasional dapat berkembang dan mampu

meningkatkan perannya dalam menghemat pengeluaran devisa..

Sehubungan dengan perkembangan-perkembangan tersebut di atas, neraca jasa-jasa

(neto) dalam tahun anggaran 1996/1997 diperkirakan masih akan mengalami defisit sebesar

US$ 13.977 juta, yang terdiri dari defisit jasa-jasa migas sebesar US$ 3.299 juta dan defisit jasa-

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 214

Page 215: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

jasa non migas sebesar US$ 10.678 juta. Perkiraan defisit neraca jasa-jasa dalam tahun

1996/1997 tersebut mengalami peningkatan sebesar 5,6 persen dari defisit tahun anggaran

sebelumnya sebesar US$ 13.239 juta. Sementara itu, defisit jasa-jasa migas dan jasa-jasa non

migas diperkirakan akan mengalami peningkatan masing-masing sebesar 1,9 persen dan 6,8

persen dari realisasi tahun anggaran sebelumnya sebesar US$ 3.238 juta dan US$ 10.001 juta.

4.4.4. Lalu lintas modal dan transfer

Di tengah perkembangan ekonomi dunia yang semakin mengglobal dan terintegrasi,

yang ditandai dengan pergerakan modal yang tidak lagi mengenal batas-batas negara, Indonesia

dihadapkan pada tantangan yang cukup berat. Di satu sisi, dalam upaya mempertahankan

momentum pembangunan yang berkelanjutan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi,

Indonesia masih dihadapkan pada kendala keterbatasan sumber-sumber pembiayaan, terutama

yang bersumber dari dalam negeri. Hal ini terutama disebabkan karena relatif rendahnya tingkat

tabungan domestik, baik berupa tabungan masyarakat, swasta maupun tabungan pemerintah.

Sementara di sisi lain, meskipun sumber pembiayaan yang berasal dari luar negeri, terutama

dalam bentuk investasi asing langsung (foreign direct investment) dan investasi tidak langsung

(portfolio investment), dapat dimanfaatkan sebagai altematif pembiayaan pembangunan, namun

dengan semakin ketatnya persaingan dalam upaya menarik modal dari luar negeri, terutama

antar sesama negara berkembang, peluang untuk memanfaatkan sumber dana altematif tersebut

tidak serta merta menjadi mudah.

Menghadapi kendala dan tantangan tersebut, maka dalam rangka menciptakan iklim

yang menggairahkan untuk investasi, baik PMDN maupun PMA, Pemerintah telah melakukan

berbagai upaya melalui kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi, yang diharapkan akan

dapat meningkatkan kegiatan penanaman modal. Adapun upaya yang dilakukan Pemerintah

adalah dengan meningkatkan dan memperluas kegiatan ekonomi dengan memberikan peranan

yang lebih besar kepada masyarakat dan dunia usaha dalam pembiayaan pembangunan dalam

meningkatkan investasi dan produktivitas serta perluasan pasar ekspor dengan peningkatan daya

saing dalam investasi dan perdagangan dunia serta alih teknologi, kemampuan manajerial dan

modal. Sementara itu, dalam rangka mengendalikan defisit transaksi berjalan, selain telah

mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan permintaan domestik, Pemerintah juga

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 215

Page 216: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

mengambil langkah deregulasi di sektor riil. Rangkaian kebijaksanaan di sektor riil tersebut

bertujuan, antara lain untuk mendorong investasi melalui peningkatan efisiensi dan daya saing

komoditas ekspor, misalnya melalui penurunan tarif bea masuk bagi bahan baku dan barang

modal untuk produksi barang ekspor dan penghapusan berbagai pungutan yang dapat

menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

Sebagaimana dalam tahun-tahun sebelumnya, dalam memanfaatkan pinjaman dari luar

negeri Pemerintah tetap berpegang pada beberapa pedoman, antara lain bahwa dana dari luar

negeri tersebut tidak mempunyai ikatan politis, bersyarat lunak dengan tenggang waktu

pengembalian yang panjang, besamya pinjaman tetap harus disesuaikan dengan kemampuan

perekonomian nasional dalam pengembaliannya, dan peranannya diupayakan agar semakin

mengecil terhadap sumber pembiayaan dalam negeri. Sedangkan untuk menjaga kredibilitas

Indonesia di bidang finansial di dunia internasional, Pemerintah mempunyai prinsip untuk

memenuhi kewajiban pembayaran kembali pinjaman sesuai dengan persyaratan dan jadwal

pembayaran yang telah disepakati. Disamping itu, sebagai salah satu upaya untuk mengurangi

beban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri yang berbunga tinggi, Pemerintah tetap

akan melanjutkan kebijaksanaan percepatan pembayaran hutang luar negeri pemerintah, dengan

dana yang antara lain berasal dari hasil penjualan bagian saham pemerintah pada BUMN

tertentu di pasar internasional. Sementara itu, pinjaman komersial luar negeri akan dikurangi

dengan mempertajam prioritas.

Dalam perkembangannya lalu lintas modal neto dalam tahun anggaran 1996/1997

diperkirakan berjumlah sebesar US$ 10.797 juta. Jumlah tersebut merupakan hasil dari

pemasukan modal pemerintah sebesar US$ 5.844 juta, ditambah pemasukan modal lainnya

sebesar US$1 0.489 juta, dan dikurangi pembayaran hutang pokok luar negeri pemerintah

sebesar US$ 5.536 juta. Bila dibandingkan dengan lalu lintas modal neto dalam tahun anggaran

1995/1996 yang berjumlah US$ 11.463 juta maka terjadi penurunan sebesar US$ 666 juta atau

sebesar 5,8 persen. Penurunan lalu lintas modal neto tersebut disebabkan oleh menurunnya

komponen lalu lintas modal lainnya, yaitu dari US$ 11.672 juta dalam tahun anggaran

1995/1996 menjadi sebesar US$ 10.489 juta dalam tahun anggaran 1996/1997, atau turun

sebesar 10,1 persen. Penurunan lalu lintas modal lainnya tersebut terutama disebabkan oleh

menurunnya pemasukan modal lain-lain yang bersifat jangka pendek, walaupun pemasukan

modal dalam rangka penanaman modal asing mengalami peningkatan. Sebaliknya pemasukan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 216

Page 217: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

modal pemerintah dalam tahun anggaran 1996/1997 meningkat sebesar US$ 114 juta atau 2

persen dibandingkan dengan tahun anggaran 1995/1996 yang berjumlah sebesar US$ 5.730 juta.

Sementara itu pembayaran hutang pokok luar negeri pemerintah mengalami penurunan sebesar

US$ 403 juta, yaitu dari sebesar US$ 5.939 juta dalam tahun anggaran 1995/ 1996 menjadi

sebesar US$ 5.536 juta dalam tahun anggaran 1996/1997. Penurunan pembayaran hutang pokok

pinjaman luar negeri tersebut antara lain disebabkan dilakukannya percepatan pembayaran

hutang luar negeri yang berbunga tinggi pada tahun anggaran sebelumnya, sehingga mengurangi

beban pembayaran hutang luar negeri pada tahun anggaran 1996/1997.

4.5. Perkiraan neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1997/1998

Dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan harga minyak dunia tidak berbeda dengan

keadaan tahun anggaran sebelumnya. Diperkirakan permintaan minyak dunia akan meningkat,

namun permintaan minyak impor untuk proses pengolahan kilang di dalam negeri juga terus

meningkat. Produksi minyak anggota OPEC diperkirakan tidak banyak mengalami perubahan

sesuai dengan kuota yang berlaku hingga bulan Juli 1997.

Dalam tahun anggaran 1997/1998 Pemerintah tetap berupaya memelihara konsistensi

dalam kebijaksanaan makro yang bermuara pada pengendalian inflasi. Berkaitan dengan hal

tersebut diperkirakan nilai ekspor secara keseluruhan dalam tahun anggaran 1997/1998 akan

mencapai sebesar US$ 56.153 juta, terdiri dari ekspor migas sebesar US$ 8.857 juta dan ekspor

non migas sebesar US$ 47.296 juta.

Dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan baik di tingkat pusat maupun di

daerah, maka diperlukan sumber dana maupun investasi yang meningkat baik dari dalam negeri

maupun dari luar negeri. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan kenaikan impor non migas,

terutama impor barang modal. Di samping itu, dengan semakin majunya tingkat kesejahteraan

masyarakat akan menyebabkan naiknya impor barang konsumsi. Dalam tahun anggaran 1997/

1998, pengeluaran devisa untuk impor secara keseluruhan diperkirakan mencapai sebesar US$

50.742 juta, terdiri dari impor migas sebesar US$ 1.851 juta dan impor non migas sebesar US$

48.891 juta. Dengan adanya kenaikan impor tersebut diperkirakan akan berdampak pada

meningkatnya pengeluaran jasa-jasa angkutan laut karena hampir 95 persen impor

menggunakan jasa pengangkutan kapal asing, yang akibatnya meningkatkan defisit jasa-jasa

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 217

Page 218: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

neto. Dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan defisit jasa-jasa akan mencapai sebesar

US$ 15.209 juta, yang meliputi jasa-jasa migas sebesar US$ 3.562 juta dan jasa-jasa non migas

sebesar US$ 11.647 juta. Dengan surplus neraca perdagangan dalam tahun anggaran 1997/1998

diperkirakan sebesar US$ 5.411 juta, dan defisit neraca jasa-jasa sebesar US$ 15.209 juta, maka

defisit transaksi berjalan akan meningkat menjadi sebesar US$ 9.798 juta, atau mengalami

peningkatan sebesar US$ 975 juta dibandingkan dengan perkiraan tahun anggaran 1996/1997

sebesar US$ 8.823 juta.

Selanjutnya, lalu lintas modal dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan akan

meningkat menjadi sebesar US$ 11.247 juta, terdiri dari pemasukan modal pemerintah sebesar

US$ 5.608 juta, pembayaran hutang pokok pemerintah sebesar US$ 4.939 juta. dan pemasukan

modal lainnya sebesar US$ 10.578 juta. Dengan perkembangan transaksi berjalan dan lalu lintas

modal tersebut neraca pembayaran secara keseluruhan diperkirakan mengalami surplus dengan

cadangan devisa yang cukup untuk membiayai 4,4 bulan impor.

4.5.1. Perkiraan penerimaan minyak bumi dan gas alam (neto)

Sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi dunia, kebutuhan energi diperkirakan

akan semakin meningkat. Dalam pada itu meningkatnya permintaan tersebut diperkirakan akan

diikuti pula dengan meningkatnya penawaran energi. Berdasarkan hal tersebut diperkirakan

harga minyak bumi tidak akan berbeda dengan tahun anggaran sebelumnya. Dengan demikian

penerimaan neto minyak bumi dan gas alam dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan

mencapai sebesar US$ 3.444 juta, yang terdiri dari ekspor migas sebesar US$ 8.857 juta, impor

migas sebesar US$ 1.851 juta, dan jasa- jasa minyak bumi dan gas alam sebesar US$ 3.562 juta.

4.5.2. Perkiraan nilai ekspor bukan minyak bumi dan gas alam

Dalam tahun anggaran 1997/1998 ekspor bukan minyak bumi dan gas alam

diperkirakan mencapai sebesar US$ 47.296 juta atau 14,0 persen lebih tinggi dari perkiraan

realisasi dalam tahun anggaran sebelumnya. Perkiraan tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi

sebagai berikut :

(1) Dalam tahun 1997, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan sedikit meningkat,

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 218

Page 219: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

sehingga akan berdampak pada perkembangan neraca perdagangan Indonesia. Selanjutnya

diperkirakan persaingan ekspor semakin ketat, sementara penggunaan WTO sebagai media

penyelesaian perselisihan perdagangan semakin meningkat dan karena semakin globalnya

perdagangan dunia diperkirakan pasar komoditi ekspor Indonesia akan meluas, yang pada

gilirannya akan meningkatkan ekspor non migas. Dengan demikian secara keseluruhan nilai

ekspor non migas diperkirakan tetap akan meningkat.

(2) Efisiensi perekonomian dalam negeri diperkirakan akan terus meningkat melalui

kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang terus disempurnakan dan dilaksanakan secara

berkesinambungan. Selain itu, upaya untuk meningkatkan kualitas dan standar mutu produk

ekspor agar sesuai dengan standar intemasional serta promosi ekspor akan terus digalakkan,

sehingga diharapkan akan dapat meningkatkan nilai ekspor non migas.

(3) Perkembangan investasi di dalam negeri, khususnya yang berorientasi ekspor, diperkirakan

akan semakin meningkat sejalan dengan semakin menariknya iklim usaha/investasi di dalam

negeri yang didukung oleh meningkatnya kualitas sarana dan prasarana, serta tersedianya bahan

baku, tenaga kerja yang profesional, dan teknologi yang tepat guna. Dengan perkembangan

tersebut diharapkan daya saing produk nasional semakin meningkat baik jumlah maupun

kualitasnya sehingga mampu bersaing di pasar global, yang pada akhimya akan mendorong

peningkatan ekspor non migas.

4.5.3. Perkiraan nilai impor bukan minyak bumi dan gas alam

Nilai impor bukan minyak bumi dan gas alam dalam tahun anggaran 1997/1998

diperkirakan akan mencapai sebesar US$ 48.891 juta, yang berarti meningkat sebesar US$

5.816 juta atau sebesar 13,5 persen dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya sebesar

US$ 43.075 juta. Adapun asumsi perkiraan tersebut didasarkan atas :

(1) Dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan perdagangan bebas dunia, yang telah ditandai

dengan penurnnan tarif secara bertahap, maka diperkirakan impor non migas secara keseluruhan

akan mengalami peningkatan. Persaingan yang semakin ketat di dalam memasuki perdagangan

dunia akan berdampak permintaan barang impor semakin sulit untuk ditekan.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 219

Page 220: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998

(2) Semakin berkembangnya perdagangan luar negeri dan investasi di dalam negeri, maka

kebutuhan terhadap barang modal seperti mesin-mesin, alat telekomunikasi, alat pengangkutan

dan lainnya akan meningkat. Sementara itu permintaan akan bahan baku/penolong seperti bahan

kimia, benang tenun, besi baja dan logam, bahan-bahan karet dan plastik, serta lainnya,

diperkirakan pertumbuhannya akan melamban namun nilainya masih tetap besar, bahkan

diperkirakan sekitar setengah dari nilai impor non migas secara keseluruhan.

(3) Adanya perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat relatif akan mengakibatkan

meningkatnya permintaan terhadap barang-barang konsumsi, antara lain yang berasal dari luar

negeri. Di samping itu, dalam upaya meningkatkan kualitas produk dalam negeri yang

berorientasi ekspor, maka penggunaan bahan baku/penolong impor akan tetap berlanjut.

Berdasarkan hal tersebut, diperkirakan pertumbuhan nilai impor masih akan meningkat namun

semakin melamban apabila dibandingkan dengan tahun anggaran yang lalu.

4.5.4. Perkiraan pos lainnya

Dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan pengeluaran jasa-jasa akan mencapai

sebesar US$ 15.209 juta, atau meningkat sebesar 8,8 persen dari tahun anggaran sebelumnya

sebesar US$ 13.977 juta. Pengeluaran jasa-jasa tersebut meliputi jasa-jasa migas sebesar US$

3.562 juta dan jasa-jasa non migas sebesar US$ 11.647 juta.

Sementara itu, lalu lintas modal mengalami peningkatan sebesar 4,2 persen dari tahun

anggaran sebelumnya sebesar US$ 10.797 juta, sehingga realisasinya dalam tahun anggaran

1997/1998 diperkirakan mencapai sebesar US$ 11.247 juta yang terdiri dari pemasukan modal

pemerintah sebesar US$ 5.608 juta, pembayaran hutang pokok sebesar US$ 4.939 juta, dan lalu

lintas modal lainnya sebesar US$ 10.578 juta. Selanjutnya perkiraan neraca pembayaran tahun

anggaran 1997/1998 secara rinci dapat dilihal dalam Tabel IV.10.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 220

Page 221: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

1. Ekspor, fobMinyak bumi dan gas alam + 8.857Bukan minyak bumi dan gas alam

2. Impor, fob - 50.742Minyak bumi dan gas alam - 1.851Bukan minyak bumi dan gas alam - 48.891

3. Jasa-jasa - 15.209minyak bumi dan gas alam - 3.562bukan minyak bumi dan gas alam - 11.647

4. Transaksi berjalan - 9.798minyak bumi dan gas alam + 3.444bukan minyak bumi dan gas alam - 13.242

-+ 5.608

1. Bantuan program 02. Bantuan proyek dan lain-lain + 5.608

+ 10.578- 4.939+ 1.449

0- 1.449

I. Barang-barang dan jasa-jasa56.153

47.296

II. SDRsIII. Pemasukan modal Pemerintah

IV. LaIn lintas modal lainnyaV. Pembayaran hntang pokokVI. Jumlah (I s.d. V)VII. Selisih yang belum dapat diperhitungkanVIII. Lalu lintas moneter

(dalam juta US $)PERKIRAAN NERACA PEMBAYARAN, 1997/1998

Tabel IV.10

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 221

Page 222: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

BAB V

KEUANGAN DAERAH

5.1. Pendahuluan

Peningkatan kesejahteraan rakyat dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya,

serta peningkatan pendayagunaan potensi daerah secara optimal memerlukan dana yang cukup

besar. Dana untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah dan penyediaan pelayanan

umum kepada masyarakat di daerah yang semakin meningkat dapat dihimpun dari mobilisasi

dana masyarakat melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran

pendapatan dan belanja daerah (APBD) tingkat I dan tingkat II.

Sebagaimana digariskan dalam GBHN, pembangunan di daerah diarahkan agar dapat

lebih mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan sekaligus meningkatkan perekonomian

nasional. Peranan keuangan daerah yang semakin meningkat dalam pembiayaan

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan telah dapat dicapai melalui berbagai upaya

perbaikan dalam pengelolaan keuangan daerah, selalu diselaraskan dengan arahan GBHN

tersebut.

Program-program yang telah dilaksanakan daerah selama ini, khususnya di bidang

keuangan daerah, telah memperlihatkan kemajuan. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan

pendapatan daerah, baik daerah tingkat I (Dati I) maupun daerah tingkat II (Dati II), yang cukup

berarti. Realisasi penerimaan daerah tingkat I seluruh Indonesia selama periode 1989/1990--

1995/1996 mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 17,3 persen, sedangkan realisasi

penerimaan daerah tingkat II seluruh Indonesia selama periode 1989/1990-1994/1995

mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 26,1 persen. Realisasi penerimaan daerah

tersebut terdiri dari pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan

dan bantuan pemerintah pusat, pinjaman daerah, serta sisa lebih tahun sebelumnya.

Salah satu upaya pemerintah pusat dalam meningkatkan penerimaan daerah adalah

dengan memberi perhatian kepada perkembangan penerimaan daerah sendiri (PDS) yang terdiri

dari PAD ditambah pajak bumi dan bangunan (PBB). Sumber-sumber PAD adalah hasil pajak

daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, dan lain-lain hasil usaha daerah yang

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 222

Page 223: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

sah, sedangkan PBB yang termasuk dalam bagi hasil pajak dan bukan pajak adalah pajak negara

yang dibagihasilkan kepada daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Pengelompokan PAD

bersama PBB sebagai komponen PDS adalah karena kedua sumber dana tersebut secara penuh

dapat dipergunakan oleh daerah sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah, di samping

memperlihatkan adanya upaya yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan yang dilakukan

oleh pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan daerah.

Sejalan dengan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah, PDS menunjukkan

peningkatan yang cukup berarti. Jika dalam tahun anggaran 1989/1990 PDS tingkat I seluruh

Indonesia masih sebesar Rp 1.211,0 miliar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 meningkat

menjadi sebesar Rp 4.422,2 miliar, atau mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar

24,1 persen. Demikian pula halnya dengan PDS tingkat II yang juga mengalami peningkatan,

jika dalam tahun anggaran 1989/1990 sebesar Rp 839,7 miliar, maka dalam tahun anggaran

1994/1995 telah meningkat menjadi sebesar Rp 2.362,9 miliar atau mengalami pertumbuhan

rata-rata per tahun sebesar 23,0 persen.

PAD tingkat I dan tingkat II seluruh Indonesia terhadap keseluruhan penerimaan

masingmasing tingkat pemerintahan, telah menunjukkan perkembangan yang semakin

meningkat. PAD tingkat I, yang dalam tahun anggaran 1989/1990 berjumlah Rp 1.041,4 miliar

atau menyumbang sebesar 23,9 persen terhadap penerimaan APBD tingkat I, meningkat

menjadi sebesar Rp 3.854,2 miliar atau kontribusinya terhadap penerimaan APBD tingkat I

adalah sebesar 34,1 persen dalam tahun anggaran 1995/1996. Selama periode 1989/1990-

1995/1996 PAD tingkat I telah mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 24,4 persen.

Sejalan dengan peningkatan PAD tingkat I tersebut, PAD tingkat nseluruh Indonesia

selama periode 1989/1990-1994/1995 juga mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun yang

tinggi yaitu sebesar 21,0 persen. Persentase PAD tingkat II terhadap penerimaan APBD tingkat

II dalam tahun anggaran 1989/1990 adalah sebesar 15,9 persen dan menurun menjadi sebesar

12,9 persen dalam tahun anggaran 1994/1995. Penurunan proporsi PAD tingkat II terhadap

APBD tingkat II tersebut disebabkan kenaikan proporsi dari penerimaan-penerimaan lain,

utamanya sumbangan dan bantuan dari pemerintah yang lebih tinggi, yang mempunyai laju

pertumbuhan yang lebih cepat dari PAD.

Seperti halnya dengan perkembangan penerimaan PAD, penerimaan daerah tingkat I

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 223

Page 224: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

yang berasal dari PBB juga mengalami peningkatan. Pertumbuhan rata-rata per tahun

penerimaan PBB daerah tingkat I selama periode 1989/1990-1995/1996 adalah sebesar 22,3

persen, yaitu jika dalam tahun anggaran 1989/1990 jumlah penerimaan PBB hanya sebesar Rp

169,6 milyar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 telah meningkat menjadi sebesar Rp 568,0

miliar. Penerimaan daerah tingkat II dari PBB juga mengalami pertumbuhan yang cepat. Jika

dalam tahun anggaran 1989/1990 penerimaan PBB daerah tingkat II sebesar Rp 361,8 miliar,

maka dalam tahun anggaran 1994/1995 meningkat menjadi sebesar Rp 1.125,2 miliar, yang

berarti mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 25,5 persen selama periode

1989/1990-1994/1995. Secara umum peningkatan penerimaan daerah, baik tingkat I maupun

tingkat II, disebabkan oleh peningkatan efisiensi dalam pemungutan, penggalian sumber-sumber

dana, serta adanya peningkatan kemampuan sumber daya manusia dalam pengelolaan keuangan

daerah.

Sumbangan dan bantuan pusat sebagai sumber penerimaan terbesar dalam penerimaan

daerah, baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II, mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Sumbangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dimaksudkan untuk membantu

memperlancar penyelenggaraan kegiatan pemerintahan daerah dalam memberikan pelayanan

kepada masyarakat. Sebagian besar dari dana sumbangan yang diberikan berwujud subsidi

daerah otonom (SDD), yang digunakan untuk membiayai belanja pegawai dan non pegawai.

Adapun bantuan pusat kepada daerah ditujukan untuk penyebarluasan, pemerataan, dan

penyelarasan pembangunan antardaerah. Bantuan pusat yang diberikan tersebut adalah dalam

bentuk program Inpres yang bersifat bantuan umum dari bantuan khusus bagi pembangunan

daerah.

Penerimaan daerah tingkat I yang berasal dari sumbangan dan bantuan pusat dalam

tahun anggaran 1989/1990 adalah sebesar Rp 2.720,6 miliar dari telah meningkat menjadi

sebesar Rp 5.489,0 miliar dalam tahun anggaran 1995/1996 atau berarti selama periode tersebut

telah mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 12,4 persen. Peranan penerimaan yang

berasal dari sumbangan dari bantuan pusat tersebut terhadap seluruh penerimaan daerah tingkat

I menunjukkan penurunan, yakni dari sebesar 62,5 persen dalam tahun anggaran 1989/1990

menjadi sebesar 48,5 persen dalam tahun anggaran 1995/1996. Sebaliknya untuk daerah tingkat

II, penerimaan yang berasal dari sumbangan dari bantuan mengalami peningkatan yang cukup

pesat, yaitu dari sebesar Rp 2.011,6 miliar dalam tahun anggaran 1989/1990 menjadi sebesar Rp

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 224

Page 225: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

6.570,2 miliar dalam tahun anggaran 1994/1995 yang berarti menunjukkan pertumbuhan rata-

rata per tahun sebesar 26,7 persen. Proporsi penerimaan yang berasal dari sumbangan dari

bantuan terhadap seluruh penerimaan daerah tingkat II memperlihatkan peningkatan yaitu dari

sebesar 66,7 persen dalam tahun anggaran 1989/1990 menjadi sebesar 68,3 persen dalam tahun

anggaran 1994/1995. Realisasi penerimaan daerah tingkat I maupun daerah tingkat II secara

lengkap dapat dilihat dalam Tabel V.1 sampai dengan Tabel V.4, serta Grafik V.1, dan Grafik

V.2.

Sesuai dengan prinsip anggaran daerah yang berimbang dari dinamis, maka seperti

halnya yang terjadi pada sisi penerimaan, realisasi pengeluaran pemerintah daerah tingkat I juga

mengalami peningkatan yang cukup pesat. Realisasi pengeluaran daerah tingkat I dalam periode

1989/1990-1995/1996 telah mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 17,2 persen.

Sebagian besar pengeluaran masih dipergunakan untuk membiayai belanja rutin, utamanya

belanja pegawai. Pertumbuhan rata-rata per tahun realisasi pengeluaran rutin daerah tingkat I

adalah sebesar 15,0 persen selama periode 1989/1990-1995/1996. Dalam kurun waktu yang

sama pengeluaran pembangunan mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 22,5

persen. Pengeluaran pembangunan ini dalam tahun anggaran 1995/1996 utamanya digunakan

untuk membiayai sektor transportasi dari sektor aparatur pemerintah dari pengawasan, yang

proporsinya terhadap jumlah pengeluaran pembangunan masing-masing adalah sebesar 24,6

persen dari 14,7 persen.

Pengeluaran daerah tingkat II selama periode 1989/1990-1994/1995 mengalami

pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 25,8 persen. Dalam periode yang sarna realisasi

pengeluaran rutin mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 22,5 persen, sementara

pengeluaran pembangunan mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 29,8 persen.

Sebagian besar dari pengeluaran rutin daerah tingkat II digunakan untuk membiayai belanja

pegawai, sedangkan sebagian besar pengeluaran pembangunan dialokasikan untuk menunjang

sektor transportasi dari sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa, pemuda dan olahraga, yang proporsinya terhadap pengeluaran pembangunan

dalam tahun anggaran 1994/1995 masing-masing adalah sebesar 38,4 persen dari 13,6 persen.

Realisasi pengeluaran daerah yang meliputi pengeluaran rutin dari pengeluaran pembangunan,

baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II, secara lengkap dapat dilihat dalam Tabel V.5

sampai dengan Tabel V.8, serta Grafik V.3, dan Grafik V.4.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 225

Page 226: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

No. Uraian 1994/1995Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi

(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)

1. 1.211,01 27,84 2.612,11 31,16 3.480,39 35,85 4.422,24 39,091.041,40 2.199,79 3.010,32 3.854,23

169,61 412,32 470,07 568,012. 133,63 3,07 232, II 2,77 283,27 2,92 418,53 3,73. 2.720,55 62,54 5.096,65 60,8 5.310,26 54,69 5.488,98 48,524. Pinjaman 15,08 0,35 38,44 0,46 51,86 0,53 57,38 0,55. 269,85 6,2 403,02 4,81 583,21 6,01 926,24 8,196. 4.350,12 100 8.382,33 100 9.708,99 100 11.313,37 1007. PDRB *) 137.975,18 - 290.605,94 - 341.002,33 - 401.239,97 -8.

- 3,15 - 2,88 - 2,85 - 2,82

Keterangan: *) Dalam tahun takwim dan atas dasar harga yang berlaku. **) Angka diperbaiki. ***) Angka sementara. ****) Angka sangat sementara.

Repelita VIRepelita V1989/1990 1993/1994

Penerimaan daerah sendiri (PDS):a. Pendapatan asli daerah (PAD)b. Bagi hasil pajak (PBB)

Tabel V.1PENERIMAAN DAERAH TlNGKAT I SELURUH INDONESIA

DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BUTO TANPA MIGAS,1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996

Bagi hasil pajak dan bukan pajak, diluar Sumbangan/bantuan pemerintah pusat

Sisa lebih tahun sebelumnyaJumlah penerimaan APBD Tk.I

Persentase penerimaan APBD Tk.Iterhadap PDRB (6 : 7)

1995/1996

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 226

Page 227: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

PertumbuhanNo.

1989/1990 1993/1994 1994/1995

1. DI Aceh 103,98 194,71 205,54 12,92. Sumatera Utara 275,29 466,71 543,56 14,33. Sumatera Barat 55,29 99,02 121,51 17,34. Riau 114,9 231,83 224,94 15,25. Jambi 37,03 84,13 92,22 20,66. Sumatera Selatan 91,19 177,46 190,94 16,37. Bengkulu 29,34 61,05 67,44 18,68. Lampung 134,72 101,37 123,68 1,69. DKI Jakarta 710,45 1.670,66 2.186,26 25,1

10. Jawa Barat 561,56 1.095,79 1.325,29 18,911. Jawa Tengah 534,19 1.027,69 1.138,62 16,412. DI Yogyakarta 94,9 180,52 196,77 15,213. Jawa Timur 630,49 1.143,98 1.315,94 15,314. Kalimantan Barat 94,27 198,65 121,19 5,915. Kalimantan Tengah 68,17 176,24 190,46 20,716. Kalimantan Selatan 92,71 202,23 222,58 11,117. Kalimantan Timur 100,4 205,07 246,68 17,718. Sulawesi Utara 110,25 93,01 96,1 -0,919. Sulawesi Tengah 67,46 155,74 167,22 18,320. Sulawesi Selatan 80 138,32 165,71 16,221. Sulawesi Tenggara 25,26 72,82 7,25 22,922. Bali 112,6 100,11 123,46 6,123. Nusa Tenggara Barat 34,02 72,29 78,93 18,324. Nusa Tenggara Timur 38,54 89,46 112,1 19,325. Maluku 46,99 96,91 104 15,226. Irian Jaya 75,97 178,89 199,64 22,627. Timor Timur 30,15 67,67 71,96 16,9

Jumlah 4.350,12 8.382,33 9.708,99 17,3

210,53174,33.266,72

76,9311.313,37

1995/1996

114,16225,21

81,69

Repelita V Repelita VI

Propinsi

(dalam miliar rupiah)

Rata-rata (%)

215,12613,43143,82267,94

148,272.716,621.588,771.324,98

221,791.484,60

133,22

104,64184,96197,01

86,87160,14

93,27111,18109,54257,62

Tabel V. 2PENERIMAAN DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI,

1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 227

Page 228: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

No. UraianJumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi

(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)

1. 839,68 27,86 1.819,18 21,65 2.362,91 24,55477,92 944,55 1.237,69361,76 874,63 1.125,22

2. 64,98 2,16 240,48 2,86 327,26 3,43.

2.011,57 66,74 5.956,08 70,87 6.570,23 68,284. Pinjaman 26,51 0,88 52,03 0,62 85,78 0,895. 71,18 2,36 336,21 4 277,02 2,886. 3.013,92 100 8.403,98 100 9.623,20 1007. PDRB *) 118.191,24 - 239.499,48 *) - 282.217,00 -8.

- 2,55 - 3,51 - 3,41

Tabel V.3DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS

1989/1990, 1993/1994 DAN 1994/1995

Repelita V1989/1990 1993/1994

Penerimaan daerah sendiri (PDS)a. Pajak asli daerah (PAD)b. Bagi hasil pajak (PBB)Bagi hasil pajak dan bukan pajak, diluar PBB

Repelita VI1994/1995

Sumbangan/bantuan pemerintahpusat dan daerah tingkat I

Sisa lebih tahun sebelumnyaJumlah penerimaan APBD Tk. II

Persentase penerimaan APBD Tk. IITerhadap PDRB (6 : 7)

Keterangan : DaIam tahun takwim, dan atas dasar harga yang berlaku.

Tabel V.4

Pertumbuhan(%)

Keseluruhan Rata-rata Keseluruhan Rata-rata Keseluruhan Rata-rata

1. DI Aceh 98,57 9,.86 230,68 23,07 241,08 24,11 19,62. Sumatera Utara 199,17 11,72 447,09 26,3 456,51 26,85 183. Sumatera Barat 131,74 9,111 312,92 22,35 337,72 24,12 20,74. Riau 92,14 15:36 278,04 46,34 306,44 51,07 27,25. Jambi 69,37 11,56 197,47 32,91 208,86 34,81 24,76. Sumatera Selatan 169,49 16,95 455,66 45,57 586,25 58,63 28,27. Bengkulu 34,99 8,75 103,21 25,8 109,85 27,46 25,78. Lampung 61,22 15,3 290,04 58,01 333,11 66,62 40,39. Jawa Barat 359,97 15 996,32 41,51 1.205,51 48,22 27,3

10. Jawa Tengah 339,59 9,7 915,65 26,16 940,81 26,88 22,611. DI Yogyakarta 40,44 8,09 98,26 19,65 115,94 23,19 23,412. Jawa Timur 359,7 9,72 896,16 24,22 1.036,35 28,01 23,613. Kalimantan Barat 59,19 8,46 155,25 22,18 286,82 40,97 37,114. Kalimantan Tengah 45,7 7,62 177,1 29,52 189,56 31,59 32,915. Kalimantan Selatan 50,06 5,01 154,96 15,5 178,29 17,83 28,916. Kalimatan Timur 99,35 16,56 343,13 57,19 385,17 64,19 31,117. Sulawesi Utara 45,53 6,5 224,51 32,07 242,97 34,71 39,818. Sulawesi Tengah 32,72 8,18 93,23 23,31 109,39 27,35 27,319. Sulawesi Selatan 224,48 9,76 544,05 23,65 608,37 26,45 22,120. Sulawesi Tenggara 47,81 11,95 134,67 33,67 138,72 34,68 23,721. Bali 66,48 8,31 260,02 28,89 319,58 35,51 36,922. Nusa Tenggara Barat 83,13 13,85 190,37 31,73 209,79 29,97 20,323. Nusa Tenggara Timur 109,61 9,13 301,9 25,16 342,02 28,5 25,624. Maluku 66,84 13,37 178,48 35,7 193,86 38,77 23,725. Irian Jaya 99,1 [1,01 315 35 406,82 40,68 32,626. Timor Timur 27,55 2,12 109,82 8,45 133,4 10,26 37,1

Jumlah 3.013,92 - 8.403,98 - 9.623,20 - 26,1Rata-rata - 10,32 - 28,58 - 32,4 -

(dalam miliar rupiah)PENERIMAAN DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI, 1989/1990, 1993/1994 DAN 1994/1995

Propinsi 1994/1995Repelita V Repelita VI

No. 1989/1990 1993/1994

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 228

Page 229: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

Dalam upaya meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan,

peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan program-program pembangunan di

daerah, telah dilakukan peningkatan status beberapa kota administratif menjadi kotamadya

daerah tingkat II. Dalam tahun anggaran 1989/1990 di Indonesia terdapat 290 daerah tingkat II

dan sampai dengan tahun anggaran 1994/1995 terdapat 298 daerah tingkat II, yang berarti telah

terjadi penambahan 8 daerah tingkat II dalam kurun waktu 5 tahun. Namun khusus untuk

Kotamadya Daerah Tingkat II, karena baru dibentuk dalam tahun anggaran 1994/1995, sehingga

belum memiliki APBD untuk tahun anggaran tersebut, maka sampai dengan tahun anggaran

1994/1995 daerah tingkat II yang memiliki APBD baru sebanyak 297 daerah tingkat II

sebagaimana terlihat dalam Tabel V.9. Dalam tahun anggaran 1995/1996 telah dibentuk

Kotamadya Daerah Tingkat II Kendari di Propinsi Sulawesi Tenggara, dan dalam tahun

anggaran 1996/1997 juga telah dibentuk Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang di Propinsi Nusa

Tenggara Timur, sehingga sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 di Indonesia terdapat

sebanyak 300 daerah tingkat II.

5.2. Kebijaksanaan keuangan daerah

Memasuki era globalisasi, dunia usaha dituntut untuk berproduksi lebih efisien agar dapat

meningkatkan daya saing di pasar dalam negeri dan luar negeri. Pemerintah termasuk

pemerintah daerah harus turut mendukung dunia usaha dengan menciptakan iklim yang

merangsang investor menanamkan modalnya di daerah. Salah satu upaya untuk menarik

investasi di daerah adalah melalui rasionalisasi pungutan-pungutan daerah yang berupa pajak

daerah dan retribusi daerah. Sistem perpajakan dan retribusi daerah saat ini yang didasarkan

kepada Undang. undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah dan

Undang-undang Nomor 12 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah, sudah

saatnya ditinjau kembali karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini.

Dewasa ini terdapat jumlah jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang sangat banyak dan

bervariasi antardaerah, sedangkan hasilnya kurang memadai dan bahkan biaya pemungutannya

lebih tinggi dari hasilnya. Disamping itu beberapa jenis pajak daerah dan retribusi daerah

tertentu memiliki objek yang sama sehingga merugikan masyarakat dan berdampak negatif pada

perekonomian daerah karena menjadi salah satu penyebab ekonomi biaya tinggi yang sangat

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 229

Page 230: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

dikeluhkan oleh dunia usaha. Rasionalisasi terhadap pajak daerah dan retribusi daerah harus

mengarah kepada sistem perpajakan dan retribusi daerah yang sederhana dan efisien serta dapat

menggerakkan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan daerah. Dengan rasionalisasi pajak

daerah dan retribusi daerah tersebut diharapkan dapat dicapai tujuan sebagai berikut: Pertama,

memperbaiki berbagai kelemahan sistem perpajakan dan retribusi daerah yang berlaku selama

ini. Kedua, memperkuat pondasi penerimaan daerah, khususnya daerah tingkat II, dengan

mengurangi jumlah jenis pajak daerah dan retribusi daerah dan lebih mengefektifkan jenis-jenis

pajak dan retribusi tertentu yang potensial serta meningkatkan efisiensi dalam pemungutannya.

Ketiga, terciptanya pedoman bagi pemerintah daerah dalam memungut pajak daerah dan

retribusi daerah, dan keempat, menyelaraskan sistem perpajakan daerah dengan perpajakan

nasional.

Upaya peningkatan pembangunan di seluruh daerah terus digalakkan dengan memberi

penekanan pada aspek penyerasian laju pertumbuhan antardaerah, antarkota dan desa. Oleh

karena itu alokasi dana pembangunan juga diarahkan untuk mengurangi kesenjangan

antardaerah. Sementara daerah yang sudah lebih maju perlu tetap diupayakan untuk

ditingkatkan, bagi daerah yang kurang maju perlu semakin dipacu agar dapat mengejar

ketertinggalannya. Dalam rangka penyebarluasan, pemerataan dan penyelarasan pembangunan

antardaerah, kepada daerah diberikan bantuan pembiayaan pembangunan yang dikenal sebagai

program bantuan pembangunan daerah atau program Inpres. Program Inpres dibedakan dalam

dua kelompok, yaitu program Inpres yang bersifat bantuan umum dan yang bersifat bantuan

khusus. Bantuan umum meliputi Inpres Dari I, Inpres Dari II dan Inpres desa. Program Inpres

yang bersifat bantuan khusus adalah Inpres kesehatan, Inpres sekolah dasar, Inpres penghijauan

dan reboisasi, serta Inpres penunjangan jalan dan jembatan. Sejak tahun anggaran 1994/1995

dalam upaya lebih memantapkan pelaksanaan otonomi daerah, Inpres penghijauan dan reboisasi

serta Inpres penunjangan jalan dan jembatan telah menjadi bagian dalam Inpres Dari I dan

Inpres Dari II yang bersifat bantuan umum. Kemudian sejak tahun anggaran 1994/1995

pemerintah telah mengembangkan suatu program bantuan baru, yaitu Inpres desa tertinggal

(IDT) yang khusus diberikan dalam rangka pengentasan kemiskinan rakyat yang berada di desa-

desa tertinggal. Bantuan ini dimaksudkan untuk dapat mendorong, menibantu, dan

meningkatkan usaha-usaha ekonomi masyarakat desa, sehingga secara langsung maupun tidak

langsung dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di desa-desa tertinggal tersebut.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 230

Page 231: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

No. Uraian 1994/1995Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi

(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)

1. Pengeluaran rutin 2.936,91 74,06 5.400,97 69,12 5.988,98 67,77 6.786,57 66,12. Pengeluaran pembangunan 1.028,57 25,94 2.413,01 30,88 2.848,40 32,23 3.480,19 33,93. Jumlah pengeluaran APBD Tk. I 3.965,48 100 7.813,98 100 8.837,38 100 10.266,76 1004. PDRB *) 137.975,18 - **) - ***) - ****) -5. Persentase pengeluaran APBD Tk. I

terhadap PDRB (3 : 4) - 2,87 - 2,69 - 2,59 - 2,56

Keterangan : *) Dalam tahun takwim, dan atas dasar harga yang berlaku. **) Angka diperbaiki. ***) Angka sementara. ****) Angka sangat sementara.

Tabel V. 5PENGELUARAN DAERAH TINGKAT I SELUUH

DffiANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS,

Repelita VI1995/1996

Repelita V1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996

1989/1990 1993/1994

No. Propinsi Pertumbuhan1989/1990 1993/1994 1994/1995 1995/1996 Rata-rata (%)

1. DI Aceh 96,34 190,16 201,19 14,22. Sumatera Utara 267,15 458,58 515,63 13,93. Sumatera Barat 49,73 95,22 108,48 16,64. Riau 73,66 200,42 183,87 19,85. Jambi 34,03 . 78,84 81,65 19,16. Sumatera Selatan 72,52 164,53 167,33 17,87. Bengkulu 27 59,69 62,68 18,18. Lampung 118,27 97,98 112,84 2,29. DKI Jakarta 603,74 1.403,20 1.847,94 25,3

10. Jawa Barat 529,44 1.034,88 1.223,73 19,111. Jawa Tengah 516,28 998,8 1.092,61 1612. DI Yogyakarta 87,11 172,77 185,79 15,813. Jawa Timur 598,49 1.109,41 1.242,03 14,614. Kalimantan Barat 88,57 191,31 107,62 6,115. Kalimantan Tengah 66,07 168,89 178,32 20,116. Kalimantan Selatan 88,69 200,44 219,29 10,817. Kalimantan Timur 84,27 162,92 200,39 18,518. Sulawesi Utara 106,63 90,88 94,48 -0,719. Sulawesi Tengah 66,27 155,23 166,09 18,120. Sulawesi Selatan 65,88 134,16 154,71 17,221. Sulawesi Tenggara 24,82 70,79 69,65 22,122. Bal I 101,59 92,42 102,05 4,423. Nusa Tenggara Barat 30,4 70,82 73,08 1924. Nusa Tenggara Timur 36,88 84,37 104 18,925. Maluku 36,49 91,15 98,01 1926. Irian Jaya 67,19 171,3 178,36 20,427. Timor Timur 27,98 64,81 65,56 17,5

Jumlah 3.965,48 7.813,98 8.837,38 17,2

163,97233,12102,09

Repelita VIRepelita V

(dalam miliar rupiah)

Tabel V.6PENGELUARAN DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI

1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996

10.266,76

193,6773,1

134,56

214,18584,01124,85217,28

97,13

2.335,261.507,231.260,54

209,71.354,56

126,35198,61

179,71170,54

82,29131,68

86,23104,06103,41205,05

73,6

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 231

Page 232: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

No UraianJumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi

(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)

1. Pengeluaran rutin 1.690,58 58,47 3.923,35 49,4 4.662,95 51,282. Pengeluaran pembangunan 1.200,60 41,53 4.018,67 50,6 4.429,38 48,723. Jumlah penerimaan APBD Tk. II 2.891,18 100 7.942,02 100 9.092,33 1004. PDRB *) 118.191,24 - 239.499,48 **) - ***) -5. Persentase pengeluaran APBD Tk. II

terhadap PDRB (3 : 4) - 2,45 - 3,32 - 3,22

Keterangan : *) Dalam tahun takwim dan atas dasar harga yang berlaku.**) Angka diperbaiki.***) Angka sementara.

Tabel V.7PENGELUARAN DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA

DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS

1989/1990 1993/1994Repelita VI1994/1995

Repelita V1989/1990, 1993/1994 DAN 1994/1995

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 232

Page 233: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

PertumbuRata-rata

Keseluruh Rata-rata Keseluruh Rata-rata-1 -2 -3 -4 -5 -8 -91. DI Aceh 95,02 9,5 222,86 23,16 19,52. Sumatera 191,87 11,29 429,85 25,4 17,63. Sumatera 130,65 9,33 308,66 23,73 20,54. Riau 83,81 13,97 270,71 48,85 28,55. Jambi 66,49 11,08 191,77 34,02 25,16. Sumatera 152,81 15,28 440,46 47,65 25,57. Bengkulu 33,57 8,39 102,26 26,8 26,18. Lampung 57,82 14,46 286,39 64,47 419. Jawa Barat 352,86 14,7 960,53 44,59 25,9

10. Jawa 329,24 9,41 741,53 24,81 21,411. DI 38,49 7,7 96,04 21,98 23,312. Jawa Timur 343,68 9,29 858,41 27,15 23,913. Kalimantan 57,26 8,18 149,55 40,09 37,414. Kalimantan 40,47 6,75 167,47 29,4 34,215. Kalimantan 47,4 4,74 145,92 17,02 29,116. Kalimatan 87,33 14,55 308,77 59,51 32,517. Sulawesi 44,24 6,32 221,16 33,97 4018. Sulawesi 31,39 7,85 91,21 26,69 27,719. Sulawesi 221,17 9,62 536,4 25,84 21,920. Sulawesi 47,15 11,79 133,65 34,04 23,621. Bali 63,91 7,99 244,66 31,71 34,922. Nusa 82,61 13,77 189,19 29,42 2023. Nusa 108,85 9,07 295,85 27,82 25,124. Maluku 63,4 12,68 170,29 36,8 23,825. Irian Jaya 93,16 10,35 271,43 39,71 33,626. Timor 26,54 2,04 107,01 10 37,4

Jumlah 2.891,18 - 7.942,02 - 25,8Rata-rata - 9,9 - 30,61

51,4631,59

22,8

1993/1994 1994/1995No.Repelita V

Tabel V.8PENGELUARAN DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI, 1989/1990, 1993/1994 DAN 1994/1995

PropinsiRepelita VI

Rata-rata Keseluruhan-7

231,6431,85332,23293,09204,12476,53107,19322,36

1.114,87

27,01

868,44109,9

1.004,68280,62176,43170,19357,05237,77106,75594,31136,17285,35205,95333,83184,02397,06129,96

9.092,33-

(dalam miliar rupiah)

-6

44,0525,5657,28

1989/1990

22,2925,2922,0545,1231,96

40,0221,1919,21

23,221,3627,9114,59

23,3233,4127,1831,5324,6534,0630,16

8,23-

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 233

Page 234: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

No. Propinsi Repelita VI1994/1995

1. DI Aceh 102. Sumatera Utara 173. Sumatera Barat 144. Riau 65. Jambi 66. Sumatera Selatan 107. Bengkulu 48. Lampung 59. Jawa Barat 25

10. Jawa Tengah 3511. DI Yogyakarta 512. Jawa Timur 3713. Kalimantan Barat 714. Kalimantan Tengah 615. Kalimantan Selatan 1016. Kalimantan Timur 617. Sulawesi Utara 718. Sulawesi Tengah *) 419. Sulawesi Selatan 2320. Sulawesi Tenggara 421. Bali 922. Nusa Tenggara Barat 723. Nusa Tenggara Timur 1224. Maluku 525. Irian Jaya 1026. Timor Timur 13

.Jumlah 297

Repelita V

10

1989/1990 DAN 1994/1995JUMLAH DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI

1714

10

2435

37

10

23

12

13

290

Tabel V. 9

Keterangan :*) Belum termasuk Kodya Palu, karena belum memiliki APBD.

1989/1990

Kebutuhan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah terus

meningkat sejalan dengan semakin beragam dan meningkatnya kebutuhan pelayanan kepada

masyarakat. Namun peningkatan penerimaan daerah tidak secepat peningkatan kebutuhan

pelayanan masyarakat, sehingga kalau hanya dengan mengandalkan penerimaan daerah maka

kebutuhan pelayanan masyarakat akan sulit dipenuhi. Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi

keterbatasan dana tersebut, pemerintah daerah seyogyanya mengembangkan pola kerjasama

dengan masyarakat dan swasta dalam pembangunan prasarana dan sarana daerah. Pola

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 234

Page 235: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

kerjasama ini akan terus dilanjutkan dan dikembangkan sejalan dengan program pembangunan

nasional, yaitu dengan meningkatkan partisipasi masyarakat yang terus menerus dalam

pembangunan. Dengan demikian fungsi pemerintah tidak hanya sebagai penyedia langsung

tetapi lebih bersifat sebagai pengarah dan pengatur dalam pembangunan prasarana dan sarana

daerah. Pola kerjasama atau kemitraan dalam pembangunan prasarana dan sarana telah banyak

dilaksanakan di berbagai daerah dan terus disempurnakan agar semua pihak dapat memperoleh

manfaat, utamanya di bidang-bidang penyediaan air bersih, persampahan, dan pembangunan

terminal angkutan umum.

Dalam menghadapi era globalisasi, salah satu strategi pemerintah dalam meningkatkan

daya saing adalah dengan mengoptimalkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan, yaitu dengan

meningkatkan dan memantapkan otonomi daerah khususnya di daerah tingkat II. Hal ini sesuai

dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah

yang mengamanatkan bahwa titik berat otonomi diletakkan pada daerah tingkat II. Sebagai

tindak lanjut kebijaksanaan otonomi daerah tersebut telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP)

Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dengan Titik Berat pada

Daerah Tingkat II, kemudian disusul dengan dikeluarkannya PP Nomor 8 Tahun 1995 tentang

Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kepada 26 Daerah Tingkat II Percontohan. Kedua

PP tersebut dimaksudkan untuk dapat mendorong, meningkatkan efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.

Dengan bertambah besarnya dana yang dikelola daerah untuk memenuhi berbagai

kebutuhan masyarakat yang meningkat, maka perlu didukung dengan adanya pengelolaan

keuangan daerah yang lebih efisien dengan memperhatikan prioritas-prioritas pembangunan

yang telah ditetapkan dalam setiap tahap pembangunan. Di samping itu juga dilakukan berbagai

studi beserta penerapannya, seperti sistem dan prosedur peningkatan kinerja pengelolaan

keuangan, pengembangan sistem akuntansi dan pengendalian anggaran, sistem operasional dan

pemeliharaan prasarana dan sarana daerah, serta penyempurnaan sistem alokasi subsidi daerah

otonom yang lebih mendukung tugas-tugas desentralisasi. Dalam pada itu, saat ini juga sedang

dikembangkan restrukturisasi anggaran daerah dengan maksud untuk dapat lebih mempertajam

sasaran yang hendak dicapai dalam setiap tahun anggaran, selain untuk menata kembali bentuk

dan susunan anggaran daerah yang menunjang pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah yang

lebih efektif dan efisien.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 235

Page 236: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

Dalam meningkatkan daya saing, pemerintah daerah berupaya terus meningkatkan

sumber daya manusia dengan menyelenggarakan berbagai pelatihan agar dalam memasuki era

globalisasi aparatur daerah dapat lebih profesional, terampil dan efisien serta dapat diandalkan

dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.

Untuk itu telah dilakukan berbagai pelatihan bagi aparatur daerah di bidang keuangan daerah

yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan profesionalisme. Dalam hal

ini telah dilakukan kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi, yaitu Universitas Indonesia,

Universitas Gajah Mada, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Andalas dalam

menyelenggarakan kursus keuangan daerah (KKD) untuk kursus jangka menengah dan latihan

keuangan daerah (LKD) untuk kursus jangka pendek. Disamping itu, juga dikirim tenaga-tenaga

yang potensial di bidang keuangan daerah untuk belajar ke luar negeri, baik untuk program gelar

maupun non gelar. Selanjutnya untuk mengantisipasi perkembangan perkotaan yang begitu

cepat juga dilakukan pelatihan-pelatihan bagi para pengelola perkotaan, baik untuk para pejabat

teras maupun untuk pejabat teknis. Pelatihan-pelatihan tersebut adalah pelatihan manajemen

perkotaan untuk tingkat manajemen strategis, guna melengkapi pelatihan-pelatihan tingkat

manajemen teknis operasional dan tingkat manajemen teknis pelaksanaan yang selama ini telah

ada dan diselenggarakan oleh berbagai instansi teknis terkait. Modul-modul pelatihan tingkat

manajemen strategis perkotaan meliputi pelatihan inti manajemen perkotaan terpadu,

manajemen keuangan perkotaan, manajemen lingkungan hidup perkotaan, perencanaan tata

ruang dan manajemen lahan, manajemen pelayanan jasa perkotaan, manajemen perencanaan dan

penganggaran investasi prasarana dan sarana perkotaan, serta manajemen ekonomi perkotaan.

Setiap modul pelatihan tersebut dilaksanakan oleh badan-badan pendidikan dan pelatihan pada

instansi terkait atau bekerjasama dengan perguruan tinggi.

5.3. Anggaran pendapatan dan belanja daerah tingkat I

5.3.1. Penerimaan daerah sendiri

Penerimaan daerah sendiri (PDS) yang terdiri dari PAD ditambah dengan PBB selalu

diupayakan peningkatannya sebagai salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan daerah dalam rangka mengisi otonomi daerah yang nyata,

serasi, dinamis dan bertanggung jawab. Dimasukkannya PBB sebagai komponen PDS karena

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 236

Page 237: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

hampir seluruh penerimaan PBB telah diserahkan kepada daerah, dan sarna halnya dengan PAD,

hasil penerimaan daerah dari PBB tergantung dari upaya pemerintah daerah dalam

pemungutannya, dan dapat dipergunakan sepenuhnya oleh daerah sesuai dengan kebutuhan dan

prioritas daerah. Upaya peningkatan PDS tersebut merupakan wujud nyata bagi daerah dalam

memobilisasi sumber dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah

sebagai wahana untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.

Dalam periode 1989/1990-1995/1996 realisasi PDS tingkat I mengalami peningkatan

yang cukup besar. Apabila dalam tahun anggaran 1989/1990 realisasi PDS adalah sebesar Rp

1.211,0 miliar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 telah meningkat menjadi sebesar Rp

4.422,2 miliar, yang berarti berkembang dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar

24,1 persen. Jika dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun penerimaan

APBD tingkat I dalam periode yang sarna, yaitu sebesar 17,3 persen, berarti tingkat

pertumbuhan rata-rata per tahun PDS masih jauh lebih tinggi. Perkembangan penerimaan PDS

juga sejalan dengan perkembangan ekonomi daerah yang tercermin dalam perkembangan

PDRB. Proporsi PDS terhadap PDRB tanpa migas dalam tahun anggaran 1989/1990 sebesar 0,9

persen telah meningkat menjadi sebesar 1,1 persen dalam tahun anggaran 1995/1996.

Perkembangan PDS tingkat I dan proporsinya terhadap PDRB tanpa migas dapat dilihat dalam

Tabel V.10.

5.3.1.1. Pendapatan asli daerah

Sebagaimana diatur di dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang

Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, PAD adalah bagian dari sumber penerimaan daerah.

Karena itu, pemungutan PAD harus terus diupayakan agar lebih efektif dan efisien sehingga

dapat mendukung pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, dalam

mewujudkan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Komponen PAD terdiri dari

pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba perusahaan daerah, penerimaan dinas-dinas daerah,

dan lain-lain usaha daerah yang sah, yang semuanya merupakan sumber penerimaan yang murni

dari daerah.

PAD untuk daerah tingkat I seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1989/1990 sebesar

Rp 1.041,4 miliar telah meningkat menjadi sebesar Rp 3.854,2 miliar dalam tahun anggaran

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 237

Page 238: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

1995/1996, yang berarti mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 24,4 persen.

Perkembangan PAD tingkat I per propinsi dalam periode tersebut dapat dilihat dalam Tabel

V.11. Peranan penerimaan pajak daerah tingkat I terhadap keseluruhan PAD tingkat I dalam

tahun anggaran 1989/1990 adalah sebesar 78,2 persen, meningkat menjadi sebesar 78,8 persen

dalam tahun anggaran 1995/1996. Hal ini menunjukkan bahwa peranan penerimaan pajak

daerah tingkat I dalam tahun anggaran 1995/1996 terhadap keseluruhan PAD tetap dominan jika

dibandingkan dengan jenis PAD lainnya, seperti retribusi dengan peranan sebesar 14,2 persen,

penerimaan bagian tata perusahaan daerah sebesar 1,8 persen, penerimaan dinas-dinas daerah

sebesar 0,9 persen, serta penerimaan lain-lain sebesar 4,3 persen. Peranan masing-masing

komponen PAD terhadap penerimaan PAD secara keseluruhan dapat dilihat dalam Tabel V.12.

5.3.1.1.1. Pajak daerah

Pajak daerah merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada umumnya hasil pemungutan pajak daerah

didasarkan pada peraturan daerah tentang jenis pajak yang bersangkutan, dan pajak negara yang

telah diserahkan kepada daerah. Pajak daerah merupakan pungutan daerah untuk pembiayaan

rumah tangga daerah sebagai badan hukum publik.

Pajak daerah tingkat I meliputi antara lain pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik

nama kendaraan bermotor (BBN-KB), pajak menangkap ikan di perairan teritorial, pajak atas

alat angkutan di atas air (P-A3), bea balik nama alat angkutan di atas air (BBN-A3), dan pajak

pembuatan kapal kayu. Didasarkan atas berbagai pertimbangan, seperti besamya ongkos pungut

dibandingkan dengan hasil yang akan diperoleh, ataupun karena kecilnya jumlah penerimaan

jenis pajak tertentu di daerah-daerah tertentu, maka tidak semua jenis pajak yang tercantum

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dipungut oleh suatu daerah.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 238

Page 239: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

No. Propinsi Repelita VI Repelita V Repelita VI Repelita V Repelita VI1995/1996 1989 1995 **) 1989/1990 1995/1996

1. DI Aceh 51.69 2.571.79 6.908.13 0.7 0,82. Sumatera Utara 177,02 9.039,39 24.231.99 0,7 0,73. Sumatera Barat 60,88 2.913,33 8.114.63 0.5 0,84. Riau 140,69 2.332,23 8.469.50 2.5 1,75. Jambi 35,49 1.196,93 3.373,54 0.7 1,16. Sumatera Selatan 89,78 5.686,75 12.494,30 0,5 0,77. Bengkulu . 18,39 691.02 2.088,19 0,7 0.98. Lampung 58,2 2.872,94 8.021.95 0,7 0,79. DKI Jakarta 1.935.44 19.783,94 69.846,96 2,4 2,8

10. Jawa Barat 507,32 23.938,19 70.266,17 0,5 0.711. Jawa Tengah 298,06 16.857,00 43.979,34 0,5 0,712. DI Yogyakarta 49,46 1.651,48 5.618,65 0,8 0,913. Jawa Timur 465,61 24.644,63 66.191,13 0,6 0,714. Kalimantan Barat 33,12 2.333,43 7.138,91 0,4 0.515. Kalimantan Tengah 25,75 1.200,25 4.351,70 0,4 0.616. Kalimantan Selatan 53,68 2.022,74 6.106,06 0,6 0.917. Kalimantan Timur 89,22 3.765.34 11.277,60 0,7 0.818. Sulawesi Utara 26,16 1.289,73 3.793,22 0.9 0.719. Sulawesi Tengah 19,58 842,11 2.559,70 0.6 0,820. Sulawesi Selatan 89,01 4.035,71 10.294,16 0.6 0,921. Sulawesi tenggara 11,74 722,67 1.820,25 0,4 0,622. Bali 83,89 2.552,49 7.409,58 1,1 1.123. Nusa Tenggara Barat 21,23 1.094,47 3.465,97 0,6 0.624. Nusa Tenggara Timur 24,37 1.041.44 2.880.17 0.8 0.925. Maluku 18.39 1.341.06 3.089.30 0.7 0.626. Irian Jaya 30.97 1.323.31 6.740,47 0.5 0.527. Timor Timur 7.09 230,83 708,43 0,6 1.0

Jumlah 4.422,24 137.975,18 401.239.97 0,9 1,1

PENERIMAAN DAERAH SENDIRI TINGKAT I DAN PROPORSINYA TERHADAP PDRB TANPA MIGAS PER PROPINSI, 1989/1990 DAN

PDRB *) PDS/PDRB (%)

1989/1990

PDS

(dalam miliar rupiah)

1.211,01

Tabel V.10

Keterangan :*) PDRB atas dasar harga yang berlaku.**) Angka sangat sementara.

Repelita V

Dalam tahun anggaran 1989/1990 jumlah penerimaan pajak daerah tingkat I seluruh

Indonesia adalah sebesar Rp 814,0 miliar dan jumlah ini meningkat menjadi sebesar Rp 3.037,2

miliar dalam tahun anggaran 1995/1996, yang berarti meningkat dengan laju pertumbuhan rata-

rata per tahun sebesa 24,8 persen. Dalam tahun anggaran 1995/1996, penerimaan pajak daerah

yang terbesar adalah berasal dari Propinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 42,4 persen dari seluruh

penerimaan pajak daerah, diikuti oleh Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Timur masing--

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 239

Page 240: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

masing sebesar 13,8 persen dan 12,4 persen. Perkembangan penerimaan pajak daerah tingkat I

secara rinci dapat dilihat dalam Tabel V.13.

PKB dan BBN-KB merupakan penerimaan pajak daerah tingkat I yang dominan dalam

keseluruhan penerimaan pajak daerah tingkat I, bahkan dalam tahun anggaran 1995/1996 di

Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Nusa Tenggara Barat, seratus persen atau seluruh penerimaan

pajak daerah tingkat I berasal dari PKB dan BBN-KB. Sementara itu, di daerah tingkat I

lainnya, penerimaan yang berasal dari kedua pajak tersebut sekitar 95,0 persen dari penerimaan

pajak daerah. Di Propinsi DKI Jakarta peranan penerimaan PKB dan BBN-KB dalam tahun

anggaran 1995/1996 menunjukkan persentase paling kecil dibandingkan daerah tingkat I

lainnya, yakni hanya sebesar 69,3 persen dari penerimaan pajak daerah. Rendahnya peranan

PKB dan BBN-KB terhadap keseluruhan penerimaan pajak daerah di Propinsi DKI Jakarta ini

disebabkan jumlah penerimaan pajak yang besar dari Propinsi DKI Jakarta yang merupakan

daerah khusus yang tidak terbagi kedalam daerah tingkat II otonom, sehingga penerimaan

pajaknya merupakan gabungan dari pajak-pajak daerah tingkat I dan pajak-pajak daerah tingkat

II. Perkembangan dan peranan PKB dan BBN-KB terhadap penerimaan pajak daerah tingkat I

secara rinci dapat dilihat dalam Tabel V.14.

5.3.1.1.2. Retribusi daerah

Retribusi daerah adalah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang dipungut

berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi

Daerah dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di

Daerah. Berbeda dengan pajak daerah yang pemungutannya dapat dipaksakan, maka pungutan

atas retribusi hanya dapat dilakukan bila pemerintah daerah menyediakan dan atau memberikan

pelayanan jasa umum atau pelayanan jasa usaha atau pelayanan perizinan tertentu untuk

kepentingan orang pribadi atau badan.

Bagi pemerintah daerah tingkat I walaupun pungutan retribusi ini jumlahnya lebih kecil

daripada pungutan pajak, namun pungutan ini mempunyai arti penting dalam menghimpun dana

yang bersumber dari daerah sendiri. Hasil yang diperoleh dari retribusi jumlahnya terus

meningkat dari tahun ke tahun.

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 240

Page 241: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

No. Pcrtumbuhan1989/1990 1993/1994 1994/1995 1995/1996 Rata-rata (%)

1. DI Aceh 12.327,96 27.112,14 32.643,44 38.853,82 21,12. Sumatera Utara 57.781,98 84.768,17 124.141,38 156.859,08 18,13. Sumatera Barat 14.207,26 29.241,05 44.926,33 56.411,94 25,84. Riau 14.360,96 55.379,28 75.972,68 89.677,85 35,75. Jambi 6.778,56 13.765,87 21.285,89 29.310,72 27,66. Sumatera Selatan 21.295,67 38.511,51 54.441,06 71.899,27 22,57. Bengkulu 4.216,70 7.247,16 10.948,95 16.983,82 26,18. Lampung 17.494,32 24.076,93 36.303,55 53.473,69 20,59. DKI Jakarta 429.660,93 993.655,81 1.316.884,65 1.672.650,57 25,4

10. Jawa Barat 104.941,45 240.877,35 349.516,53 469.830,02 28,411. Jawa Tengah 78.929,39 148.351,63 211.577,95 280.650,03 23,512. DI Yogyakarta 12.899,36 27.985,57 39.081,20 46.691,24 23,913. Jawa Timur 133.860,37 235.381,72 339.829,32 440.621,77 2214. Kalimantan Barat 8.631.59 17.595,38 25.656,25 27.614,75 21,415. Kalimantan Tengah 2.390,35 7.996,01 11.266,01 12.453,99 31,716. Kalimantan Selatan 9.334,47 21.807,34 28.746,53 40.796,71 27,917. Kalimantan Timur 16.661,10 54.502,57 59.213,49 63.971,15 25,118. Sulawesi Utara 11.289,99 21.177,75 19.720,45 23.597,12 13,119. Sulawesi Tengah 4.398,37 10.840,29 13.348,74 17.175,41 25,520. Sulawesi Sclatan 23.094,09 41.565,52 59.389,96 78.038,72 22,521. Sulawesi Tenggara 2.768,96 7.383,48 9.189,15 9.841,35 23,522. Bali 27.503,12 41.619,44 63.084,07 80.597,31 19,623. Nusa Tenggara Barat 5.714,25 10.798,90 14.946,39 19.069,96 22,324. Nusa Tenggara Timur 8.028,01 14.831,31 17.520,47 21.016,50 17,425. Maluku 7.307,71 8.444,37 11.323,39 13.511,27 10,826. Irian Jaya 4.148,94 10.358,54 13.767,73 17.188,22 26,727. Timor Timur 1.377,76 4.511,70 5.598,35 5.443,58 25,7

Jumlah 1.041.403,63 2.199.786,80 3.010.323,91 3.854.229,86 24,4

Repelita V Repelita VIPropmsi

(dalam juta rupiah)1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996

Tabel V.11PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI

No. UraianJumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%)

(Rp miliar) (Rp miliar) (Rp miliar) (Rp miliar)

1. Pajak 813,98 78,16 1.663,77 75,63 2.378,64 79,02 3.037,17 78,82. Retribusi 136,18 13,08 339,09 15,41 432,9 14,38 548,09 14,223.

19,93 1,91 31,84 1,45 35,39 1,18 68,3 1,774. 20,58 1,98 27,06 1,23 28,39 0,94 34,79 0,95. 50,73 4,87 138,03 6,28 135 4,48 165,88 4,3

Jumlah 1.041,40 100 2.199,79 100 3.010,32 100 3.854,23 100

Repelita V1989/1990 1993/1994 1994/1995

Repelita VI1995/1996

Tabel V.12

Penerimaan bagian labaPerusahaan daerahPenerimaan dinas-dinasPenerimaan lain-lain

1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996KOMPOSISI PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA,

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 241

Page 242: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

No. Propinsi Pcrtumbuhan1989/1990 1995/1996 Rata-rata (%)

1. DI Acch 8.607,70 13.605,81 24.402,02 192. Sumatera Utara 51.150,68 71.328.28 129.097,40 16,73. Sumatera Barat 9.740,12 19.534,58 42.694,68 27,94. Riau 12.482,25 37.931,29 67.531,84 32,55. Jambi 4.770,77 8.631,71 24.146,48 316. Sumatera Sclatan 16.808,75 26.139,32 55.097,52 21,97. Bcngkulu 2.607,08 3.742,29 9.517,70 24,18. Lampung 13.448,04 16.609,97 42.072,75 20,99. DKI Jakarta 331.569,51 768.461,67 1.289.033,71 25,4

10. Jawa Barat 87.644,34 200.614,66 420.095,46 29,911. Jawa Tengah 63.565,34 118.195,75 229.838,67 23,912. Dl Yogyakarta 10.456,79 23.625,O! 40.229,88 25,213. Jawa Timur 110.891,99 194.316,74 375.415,33 22,514. Kalimantan Barat 7.264,53 12.924,63 20.298,23 18,715. Kalimantan Tengah 1.531,15 5.337,55 8.392,71 32,816. Kalimantan Selatan 7.280,43 15.193,14 28.397,94 25,517. Kalimantan Timur 12.854,77 23.205,60 38.965,39 20,318. Sulawesi Utara 5.915,58 8.778,00 15.707,75 17,719. Sulawesi Tengah 2.993,34 5.867,43 10.540,25 23,320. Sulawesi Selatan 16.664,80 28.124,01 55.741,02 22,321. Sulawesi Tenggara 1.134,79 3.330,45 5.137,16 28,622. Bali 22.774,96 33.445,36 64.520,64 1923. Nusa Tenggara Barat 3.858,36 5.797,99 11.181,48 19,424. Nusa Tenggara Timur 2.268,53 5.338,13 7.756,55 22,725. Maluku 2.638,82 4.340,12 7.018,08 17,726. Irian Jaya 2.431,94 7.249,42 11 .483,33 29,527. Timor Timur 626,1 2.104,98 2.859,29 28,8

.Jumlah 813.981,46 2.378.640.45 3.037.173,26 24,5

19.926,0832.666,8111.181,65

1993/1994

(dalam juta rupiah)

Tabel V.13

1994/1995Repelita VI

1.663.773.88

Repelita V

PENERIMAAN PAJAK DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996

39.560,716.128,14

26.696,79

19.998,95106.520,15

31.588,5952.455,2116.771,66

1.049.326,01303.930,73170.703,74

33.870,89292.092,97

18.263,097.864,98

8.222,8541.197,62

4.274,0551.364,87

9.154,226.397,686.307,499.511,892.662,63

Selama periode 1989/1990-1995/1996 keseluruhan penerimaan retribusi daerah tingkat

I memperlihatkan laju pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 26,1 persen. Sebagaimana

terlihat dalam Tabel V.15, jika dalam tahun anggaran 1989/1990 penerimaan retribusi berjumlah

Rp 136,2 miliar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 jumlahnya meningkat menjadi sebesar

Rp 548,1 miliar. Dari semua propinsi yang ada, Propinsi DKI Jakarta mempunyai penerimaan

retribusi terbesar yang dalam tahun anggaran 1995/1996 berjumlah Rp 257,0 miliar. Jumlah ini

jauh di alas jumlah yang diperoleh propinsi peringkat kedua yaitu Propinsi Jawa Timur yang

dalam tahun anggaran 1995/1996 memperoleh sebesar Rp 47,9 miliar. Tingginya perbedaan

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 242

Page 243: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

penerimaan retribusi antara Propinsi DKI Jakarta dengan Propinsi Jawa Timur oleh karena

Propinsi DKI Jakarta memungut retribusi daerah tingkat I dan retribusi daerah tingkat II.

Sementara itu, Propinsi Timor Timur mempunyai penerimaan retribusi terendah yang dalam

tahun anggaran 1995/1996 hanya mencapai sebesar Rp 0,7 miliar. Namun demikian, laju

pertumbuhan rata-rata per tahun dari penerimaan retribusi di propinsi ini menunjukkan angka

tertinggi yaitu sebesar 59,3 persen dalam periode 1989/1990-1995/1996, sedangkan laju

pertumbuhan rata-rata per tahun yang terendah terjadi di Propinsi Bali, yaitu sebesar 18,1 persen

dalam periode yang sama.

5.3.1.1.3. Bagian laba badan usaha milik daerah

Badan usaha milik daerah (BUMD) adalah perusahaan daerah yang dibentuk oleh

pemerintah daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan

Daerah. Menurut undang-undang tersebut perusahaan daerah merupakan suatu kesatuan

produksi yang bersifat jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum dari sekaligus memupuk

pendapatan. Dengan demikian perusahaan daerah dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan

perekonomian daerah dari menambah pendapatan daerah.

Secara keseluruhan penerimaan bagian laba BUMD tingkat I selama Repelita V

mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu dari sebesar Rp 19,9 miliar dalam tahun

anggaran 1989/1990 meningkat menjadi sebesar Rp 31,8 miliar dalam tahun anggaran

1993/1994. Namun demikian peranan penerimaan bagian laba BUMD tingkat I masih relatif

kecil dibandingkan dengan sumber PAD yang lain, yaitu hanya sebesar 1,9 persen dari seluruh

penerimaan daerah tingkat I dalam tahun anggaran 1989/1990 dari sebesar 1,5 persen dalam

tahun anggaran 1993/1994. Dalam Repelita VI penerimaan bagian laba BUMD tingkat I

mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu dari sebesar Rp 35,4 miliar dalam tahun

anggaran 1994/1995 menjadi sebesar Rp 68,3 miliar dalam tahun anggaran 1995/1996 atau

mengalami peningkatan sebesar 92,9 persen. Demikian pula proporsinya terhadap total PAD

tingkat I mengalami peningkatan, yaitu dari sebesar 1,2 persen dalam tahun anggaran 1994/1995

menjadi sebesar 1,8 persen dalam tahun anggaran 1995/1996.

Secara nasional, penerimaan bagian laba BUMD tingkat I terbesar dalam tahun

anggaran 1995/1996 dicapai oleh Propinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp 42,2 miliar atau

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 243

Page 244: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

sebesar 61,8 persen dari total penerimaan bagian laba BUMD seluruh daerah tingkat I,

kemudian diikuti oleh Propinsi Jawa Barat dari Propinsi Jawa Tengah, masing-masing sebesar

Rp 3,6 miliar dan Rp 3,2 miliar. Di1ihat dari pertumbuhan rata-rata per tahun dalam kurun

waktu 1989/1990-1995/1996, penerimaan bagian laba BUMD tingkat I yang mengalami

pertumbuhan tertinggi terjadi di Propinsi Riau, diikuti Propinsi Irian Jaya, dan Propinsi Nusa

Tenggara Timur masing-masing sebesar 77,9 persen, 52,7 persen, dan 52,0 persen. Laju

pertumbuhan rata-rata per tahun secara nasional selama periode tersebut adalah sebesar 22,8

persen. Perkembangan penerimaan bagian laba BUMD tingkat I selengkapnya dapat dilihat

dalam Tabel V.16.

No. Propinsi Repelita V Repelita VI1989/1990 1995/1996

1. DI Aceh 96,9 98.42. Sumatera Utara 92.4 97,33. Sumatera Barat 99,9 99,94. Riau 97,3 955. Jambi 99,4 98,96. Sumatera Selatan 99,3 95,67. Bengkulu 94,2 98,98. Lampung 100 97,79. DKI Jakarta 77,7 69,3

10. Jawa Barat 99,2 98,311. Jawa Tengah 98,2 9812. DI Yogyakarta 100 98,713. Jawa Timur 100;0 10014. Kalimantan Barat 93,7 95,215. Kalimantan Tengah 91,2 95,816. Kalimantan Selatan 99,9 98,217. Kalimantan Timur 98 97,618. Sulawesi Utara 100 99,819. Sulawesi Tengah 95,1 95,320. Sulawesi Selatan 98,3 97,621. Sulawesi Tenggara 96,4 97,722. Bali 99,1 99,623. Nusa Tenggara Barat 100 10024. Nusa Tenggara Timur 92,1 94,525. Maluku 100 99,626. Irian Jaya 95,4 99,827. Timor Timur 100 94

Indonesia 89,9 86

(dalam persentase)1989/1990 DAN 1995/1996

PENERIMAAN PAJAK DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI,PERANAN PKB DAN BBN-KB TERHADAP

Tabel V.14

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 244

Page 245: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

No. Pertumbuhan1989/1990 1993/1994 1994/1995 1995/1996 Rata-rata (%)

1. DI Aceh 1.655,12 7.971,00 7.760,95 9.811,37 34,52. Sumatera Utara 2.690,70 9.449,15 11.721,52 13.407,49 30,73. Sumatera Barat 2,107,18 7.702,74 10.42l.97 10.551,18 30,84. Riau 1.1 11,43 12.135,43 20.326,53 16.210,09 56,35. Jambi 502,36 4.145,57 3.732,02 3.827,95 40,36. Sumatera Selatan 2.706,48 8.524,16 9.812,98 10.940,37 26,27. Bengkulu 668,32 1.950,56 3.253,08 4.324,48 36,58. Lampung 1.757,21 6.438,27 8.653,97 9.726,83 339. DKI Jakarta 70.577,74 141.527,62 189.058,72 257.001,38 24

10. Jawa Barat 12.658,22 29.741,37 33.672,81 38.503,54 20,411. Jawa Tengah 10.597,36 22.893,01 31.333,33 36.235,76 22,712. DI Yogyakarta 609,8 1.757,29 2.377,18 3.634,33 34,713. Jawa Timur 13.348,88 22.576,38 29.026,05 47.862,67 23,714. Kalimantan Barat 867,92 3.828,05 4.841,99 5.482,71 3615. Kalimantan Tengah 346,77 1.335,52 1.912,41 2.008,69 3416. Kalimantan Selatan 1.295,12 6.033,66 6.721,99 6.955,96 32,317. Kalimantan Timur 1.996,66 16.397,34 12.653,57 12.087,39 3518. Sulawesi Utara 997,52 4.597,48 5.263,14 5.221,79 31,819. Sulawesi Tengah 906,6 4.101,57 4.173,00 5.402,74 34,720. Sulawesi Selatan 2.472,41 11.179,97 15.770,69 19.151,72 40,721. Sulawesi Tenggara 323,8 1.563,68 1.950,46 2.574,93 41,322. Bali 2.827,77 3.910,92 5.085,31 7.683,09 18,123. Nusa Tenggara Barat 1.152,41 3.235,38 4.231,83 5.254,91 28,824. Nusa Tenggara Timur 739,86 2.736,87 5.055,92 8.059,09 48,925. Maluku 880,3 1.199,53 1.842,57 2.867,39 21,826. Irian Jaya 335,47 1.811,53 1.731,32 2.601,44 40,727. Timor Timur 43 343,5 513,88 701,5 59,3

Jumlah 136.176,41 339.087,56 432.899,20 548.090,84 26,1

Repelita V Repelita VIPropinsi

Tabel V.15PENERIMAAN RETRIBUSI DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI,

1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996(dalam juta rupiah)

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 245

Page 246: nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara

Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998

Depertemen Keuangan Republik Indonesia 246

No. Propinsi Pcrtumbuhan1989/1990 1993/1994 1994/1995 1995/1996 Rata-rata (%)

1. DI Aceh 214,93 282,76 329,5 252,87 2,82. Sumatera Utara 855,61 1.219,06 1.617,41 2.238,67 17,43. Sumatera Barat 856,21 1.048,93 1.282,19 1.188,32 5,64. Riau 45,57 913,02 261,25 1.444,40 77,95. Jambi 170 231,59 250,06 300 9,96. Sumatera Selatan 112,17 471,42 835,86 761,9 37,67. Bengkulu 162,5 215,47 189,9 648,06 25,98. Lampung 560,47 228,2 336,79 484,46 -2,49. DKI Jakarta 8.190,09' 13.585,98 12.020,29 42.218,38 31,4

10. Jawa Barat 957,49 2.459,16 4.412,39 3.571,17 24,511. Jawa Tengah 2.426,50 2.681,01 2.965,45 3.163,50 4,512. DI Yogyakarta 793,96 728,39 953,34 977,93 3,513. Jawa Timur 993,34 495,17 383,91 574,75 -8,714. Kalimantan Barat 215,98 348 362,53 467 13,715. Kalimantan Tengah 79,19 604,46 452,32 460 34,116. Kalimantan Selatan 334,09 231,83 150,6 607,31 10,517. Kalimantan Timur 932,16 1.452,39 1.652,08 2.529,98 18,118. Sulawesi Utara 604,48 1.350,00 2.380,00 1.650,00 18,219. Sulawesi Tengah 50 65 74,98 286,84 33,820. Sulawesi Selatan 200 317,79 423,34 533,54 17,821. Sulawesi Tenggara 55 287 1.084,02 525 45,722. Bali 208,75 365,77 466,18 459,16 1423. Nusa Tenggara Barat 175 824,56 838,36 1.041,98 34,624. Nusa Tenggara Timur 15 35 60 185 5225. Maluku 400 905 319,5 109,06 -19,526. Irian Jaya 94,5 191,5 751,83 1.198,82 52,727. Timor Timur 224,14 302,09 538,36 417,1 10,9

Jumlah 19.927,13 31.840,54 35.392,41 68.295,20 22,8

Tabel V.16PENERIMAAN BAGIAN LABA PERUSAHAAN DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI

1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996 (dalam juta rupiah)

Repelita V Repelita VI

5.3.1.1.4. Penerimaan dinas-dinas daerah

Dinas-dinas daerah dibentuk oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan-

urusan yang telah menjadi urusan rumah tangga daerah. Pada umumnya fungsi pokok dinas

daerah adalah melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang telah dilimpahkan kepada

daerah, khususnya yang berkaitan dengan tugas-tugas pembinaan atau bimbingan kepada

masyarakat. Namun demikian dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. ada kalanya

dinas-dinas daerah menghasilkan penerimaan, seperti hasil penjualan bibit tanaman atau bibit

ikan.