nilai-nilai pendidikan rohani dalam buku mistik dan...
TRANSCRIPT
NILAI-NILAI PENDIDIKAN ROHANI DALAM BUKU MISTIK
DAN MAKRIFAT SUNAN KALIJAGA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Disusun Oleh:
Indra Maulana
NIM 11150110000079
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
iv
v
vi
ABSTRAK
Indra Maulana (NIM: 1110110000079). Nilai-nilai pendidikan Rohani dalam
buku Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga.
Penelitian ini bertujuan untuk mengathui serta memahami nilai-nilai
pendidikan rohani dalam rangka menumbuh kembangkan potensi fitrah dalam diri
yang terdapat pada ajaran tarekat Sunan Kalijaga. Persoalan mengenai pendidikan
rohani dianggap sangat urgen untuk dikaji. Banyaknya masalah yang ditemui
seorang, tentang agama hanya sebatas tanda pembeda dan sikap yang ditunjukkan
tidak memperlihatkan bahwa keadaan rohaninya terbina dengan baik. Tarekat
hadir menjadi salah satu cabang ilmu pengetahuan yang didalamnya tentang tata
cara bagaimana mendekatkan diri sedekat mungkin ke Allah. Bisa dipastikan
dengan tarekat seorang bisa memulai merawat, membina rohaninya dalam rangka
menumbuh kembangkan potensi dalan diri yang berdampak positif juga terhadap
kehidupan sosial. Adapun pemilihan tokoh tarekatnya Sunan Kalijaga, dipilih
karena keunikannya dalam tarekatmya yang menyatu dengan kultur budaya
setempat. Tidak mendahuluan simbol-simbol luar, melainkan esensi dalam
menjalani hidup dengan ajaran islam. Bisa dikatakan juga bahwa corak tasawuf
yang dibawa Sunan kalijaga Ialah Akhlaki yang puncaknya ialah Makrifat. Jenis
penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), dengan metode
penelitian deskriptif, dan digunakan teknik dokumentasi dalam pengumpulan data
tersebut.
Berdasarakan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai
pendidikan rohani yang terdapat pada ajaran tareka Sunan Kalijaga secara teoritik,
pertama, dapat dilihat sisi kerohanian dari perjalanan hidup Sunan Kalijaga
sendiri. Mulai dari perjalanan hidup setelah bertemu dengan gurunya yaitu Sunan
Bonang, perjalanan hidup dalam mencari ridla seorang guru saat belajar ilmu
sampai tersebarnya tarekatnya dalam istilah jawa Mati Sajroning Urip
(menghayati kematian dalam kehidupan), Metidasi (berdialog dengan
Tuhan/dzikir atas kehidupan), Maguru (berguru). Kedua, nilai-nilai pendidikan
rohani pada tarekat Sunan Kalijaga dapat dilihat dari wujud tarekat tersebut.
Terdapat nilai pendidikan rohani yaitu menerima Kodrat sebagai manusia,
mengenal diri sebagai manusia, menjadi manusia sejati, Sadar tujuan hidup, spirit
takwa, menjadi pribadi yang patuh. Nilai-nilai pendidikan rohani tersebut
merupakan nilai yang universal, tidak terikat untuk satu daerah atau sebatas satu
rasa tau golongan, akan tetapi dapat diambil pelajaran oleh setiap orang tanpa
memandang latar belakang dalam sisi apapun.
Kata Kunci: Pendidikan Rohani, Tarekat, Sunan Kalijaga
vii
ABSTRACT
Indra Maulana (NIM: 1110110000079). The Value of Spiritual Education in
the Mystical and Makrifat Sunan Kalijaga Books.
This study aims to recognize and understand the values of spiritual
education in order to develop the potential for self-nature found in the teachings of
the Sunan Kalijaga order. The issue of spiritual education is considered very
urgent to study. The many problems that a person encounters, regarding religion
are only limited to the distinguishing signs and the attitude shown does not
indicate that his spiritual condition is well-nurtured. The Tariqa comes to be one
branch of science in which the procedures for how to get as close as possible to
God. It can be ascertained that a tarekat can start caring for, nurturing spiritually
in order to develop and develop the potential within oneself that also has a
positive impact on social life. As for the election of the tarekat, Sunan Kalijaga,
was chosen because of his uniqueness in his tarekat which blends with the local
culture. Do not precede external symbols, but the essence in living life with
Islamic teachings. It can also be said that the style of Sufism brought by Sunan
Kalijaga was Akhlaki whose peak was the Makrifat. This type of research is
library research, with descriptive research methods, and documentation techniques
are used in the collection of these data.
Based on the results of the study, it can be concluded that the values of
spiritual education contained in the teachings of Sunan Kalijaga Tareka
theoretically, first, it can be seen the spiritual side of Sunan Kalijaga's life journey.
Starting from the journey of life after meeting with his teacher, Sunan Bonang, the
journey of life in finding the pleasure of a teacher while studying science until the
spread of his tarekat in Javanese terms: Death Sajroning Urip (living death in life),
Metidation (dialogue with God / dzikir on life), Maguru (studied). Second, the
values of spiritual education in the Sunan Kalijaga tariqah can be seen from the
form of the tarekat. There is a value of spiritual education that is accepting Nature
as a human being, knowing oneself as a human being, becoming a real human
being, being aware of the purpose of life, the spirit of piety, being an obedient
person. The values of spiritual education are universal values, not bound to one
area or limited to a sense of class, but can be taken as a lesson by everyone
regardless of background in any side.
Keywords: Spiritual Education, Tarekat, Sunan Kalijaga
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah Swt., yang senantiasa melimpahkan nikmat,
rahmat, Hidayah dan karunia-Nya, karena-Nya peneliti dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan penuh khidmat. Salawat serta salam senantiasa terlimpahkan
kepada Rasulullah, Nabi Muhammad Saw., beserta semua keluarganya, para
sahabatnya, dan para pengikut sunnahnya hingga akhir zaman.
Peneliti menyadari, bahwa begitu banyak hambatan dan kesulitan yang
peneliti alami pada proses penyusunan skripsi ini, akan tetapi berkat kekuatan dan
kesabaran yang Allah berikan kepada peneliti, doa yang telah Allah kabulkan
untuk peneliti, serta segala bentuk pertolongan-Nya melalui berbagai pihak yang
terlibat dalam menyelesaikan skripsi ini, sehingga semua dapat dijalani dengan
tanpa rasa kesulitan yang mendalam. Oleh karena itu, peneliti menyampaikan
ucapan terimakasih kepada:
1. Dr. Sururin, M.Ag., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
(FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Abdul Haris, M.Ag., sebagai Ketua Jurusan PAI. Serta Drs. Rusdi
Jamil, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan PAI FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Seluruh Dosen FITK Jurusan PAI yang telah
memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada peneliti dengan
penuh kesabaran dan kasih sayang.
3. Drs. Ahmad Ghalib, M.A., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
sabar dan banyak meluangkan waktu, tenaga serta pikiran dalam
memberikan bimbingan, arahan serta nasehat kepada peneliti selama
proses penyusunan skripsi ini dengan kasih sayang.
4. Heny Narendrany Hidayati, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing Akademik,
dengan tanpa bosan memberikan dukungan, arahan, kasih sayang, do’a
serta ridlo bahkan motivasi yang sangat kuat kepada peneliti.
ix
5. Kedua orang tua peneliti yaitu Bapak Suparman serta Ibu Rubai’ah, yang
senantiasa menjadi sumber kekuatan doa dalam setiap langkah penulis,
cinta, dan kasih sayang, serta yang paling berpengaruh bagi peneliti demi
terselesaikannya skripsi ini.
6. Kedua Kakakku yaitu, Ro’ichatul ithriyah dan Andri Ardiyanto yang
senantiasa memberikan do’a serta kepercayaan kepada adik bungsunya.
semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya selalu.
7. Indini Rahmawati, S.Pd., yang sering mengingatkan atas proses
penyelesaian penelitian ini. Semoga Allah membalas semua kebaikan serta
perhatianmu.
8. Teman-teman semuanya, mahasiswa-mahasiswi PAI angkatan 2015,
terkhusus teman-teman kelas C, yang telah melewati berbagai kemalasan
bersama peneliti, tidak jarang berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam
maupun di luar kelas. Semoga apa yang menjadi maksud dan tujuan
kawan-kawan, dapat tercapai dan terlaksana dengan baik sesuai apa yang
kita diharapkan.
9. Seluruh keluarga dan sahabat Santri peneliti di Kosan Pelek, Kang Azi,
Kang Fajar, Kang Riski, dek Asep, Haikal dkk yang selama hampir 5
tahun hidup di bawah atap yang sama, melewati manis dan pahitnya hidup
merantau. Tak lupa Mas Ali, Pak Hadlir, Pak Mu’min, Pak Mufid, serta
teman-teman LPQ Fathullah yang selalu membantu dalam memberikan
referensi serta informasi dalam proses penelitian ini, dan kesemuanya yang
selalu memberikan dukungan positif bagi peneliti.
10. Terakhir, Bapak Lasta Yani sekeluarga yang senantiasa merangkul saat
peneliti sedang down atau sedang lapar. Semoga Allah senantiasa
menetapkan kesabaran, cinta, dan kasih sayang dalam diri kita semua, agar
dapat hidup selalu dalam keharmonisan.
Demikian ungkapan terima kasih peneliti sampaikan kepada seluruh pihak
yang telah memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan kebaikan untuk kita semua. Akhir kata,
hanya kepada Allah-lah peneliti mengharapkan rida serta ampunan.
x
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, 11 Februari 2019
Jakarta, 6 Maret 2020
Peneliti
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
BAB I: PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................... 7
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 7
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................ 8
BAB II: KAJIAN TEORI ..................................................................................... 9
A. Nilai-nilai pendidikan Rohani ..................................................................... 9
1. Pengertian Nilai ..................................................................................... 9
2. Pengertian Pendidikan ......................................................................... 11
3. Pengertian Rohani ............................................................................... 14
4. Kaitan Rohani dengan Jasmani ........................................................... 17
5. Pengertian Pendidikan Rohani ............................................................ 18
6. Tujuan Pendidikan Rohani .................................................................. 22
7. Tarekat................................................................................................. 24
8. Relasi Rohani dengan Akhlak ............................................................. 27
B. Hasil Penelitian Yang Relevan.................................................................. 34
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 37
xii
A. Objek dan waktu penelitian ....................................................................... 37
B. Metode penelitian ...................................................................................... 37
C. Fokus Penelitian ........................................................................................ 38
D. Prosedur Penelitian.................................................................................... 39
BAB IV: TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................ 41
A. Biografi Penulis buku ................................................................................ 41
1. Achmad Chodjim ................................................................................ 41
2. Karya-karya Achmad Chodjim ........................................................... 42
B. Perjalanan Hidup Sunan Kalijaga ............................................................. 42
1. Latar belakang Keluarga Sunan Kalijaga ............................................ 42
2. Masa Muda Sunan Kalijaga ................................................................ 43
3. Awal kesadaran untuk memilih jalan yang benar ............................... 44
4. Tarekat Sunan Kalijaga ....................................................................... 46
C. Tarekat Sebagai Nilai Pendidikan Rohani Oleh Sunan Kalijaga .............. 50
1. Menerima Kodrat sebagai Manusia .................................................... 50
2. Mengenal Diri sebagai Manusia.......................................................... 51
3. Tahu Tujuan Hidup sebagai Manusia ................................................. 53
4. Spirit takwa Kepada Allah .................................................................. 54
5. Pribadi yang Patuh .............................................................................. 56
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 58
A. Kesimpulan ............................................................................................... 58
B. Saran .......................................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 61
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semakin hari semakin dirasakan pentingnya ilmu pengetahuan, lebih-
lebih ilmu agama. Salah satu kepentingan pendidikan yaitu untuk
menumbuhkan kesadaran hidup sebagai seorang hamba, yang harus berlaku
sebagaimana mestinya serta untuk menghadapi perkembangan ilmu dan
teknologi pada pola kehidupan yang semakin Universal. Permasalahan yang
sering muncul di masyarakat yaitu pada ketidak sesuaian Akhlak/perilaku
yang ditunjukkan oleh seseorang, bahkan seorang pelajar dalam pergaulannya
di masyarakat yang tidak menunjukkan bahwa sholat dan ibadahnya tidak
berdampak pada perilakunya. Seperti ia tidak merawat rohaninya dengan
baik.
Dalam jurnal studi islam oleh Saryono menjelaskan bahwa potensi
rohani manusia terdapat tanggung jawab. Meski manusia merupakan makhluk
yang di merdekakan oleh agama. Salah satu bukti kemerdekaan tersebut yaitu
dijadikan manusia itu bebas dalam menggunakan akal fikirannya yang telah
diberikan-Nya. Akan tetapi diberikannya kekuatan fitrah tersebut merupakan
untuk memenuhi tanggungjawab untuk mengarahkan kepada potensi-potensi
Fitrah yang berkembang pada lading pahala kebaikan1
Akhlak pada umumnya merupakan semua perbuatan manusia.
Keberadaan akhlak pada manusia itulah yang membedakan manusia dengan
makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Akhlak hal yang sangat penting dalam
diri manusia, adanya akhlak yang baik menjadi salah satu bukti bahwa
manusia tersebut berhasil menuai buah dari ibadahnya serta berhasil dalam
1 Saryono, “Konsep Fitrah dalam perspektif islam”, Te- Jurnal Studi Islam, vol. 14, no. 2, 2016, h.
169.
2
usahanya membina, menumbuhkan potensi dalam diri untuk menjadi manusia
yang baik. Yatimin Abdullah mengatakan :
Kemuliaan seseorang terletak pada akhlaknya, bila akhlaknya baik, dapat
mengangkut status derajat yang tinggi lagi mulia baginya, bila akhlaknya
rusak, maka rendahlah derajatnya melebihi hewan. Kemuliaan seseorang
terletak pada akhlaknya, bila berakhlak baik dapat membuat seseorang
menjadi aman, tenang, tentram dan tidak tercela. Seorang yang berakhlak
mulia dia melakukan kewajiban yang menjadi hak dirinya, terhadap
Tuhannya, terhadap makhluk lain, dan sesama manusia.2
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa jelaslah penting
sekali peranan pendidikan untuk seseorang agar berakhlak baik. sebab derajat
diri seseorang dapat dilihat dari akhlaknya, dan adanya akhlak itu akan
dipandang oleh masyarakat. Dalam dunia pendidikan, akhlak selalu menjadi
salah satu capaian penting dalam keberhasilan mendidik seorang pelajar tapi
tidak untuk capaian Rohaninya.
Sejalan dengan masalah tersebut Suparlan mengungkapkan bahwa
”kekerasan hati sebab utama rusaknya karakter”.3 Sedangkan bab setelahnya
beliau mengatakan hati merupakan inti dari karakter, jika dipahami
pengertian ruhaniyah hati merupakan tempat keimanan, keyakinan dan
pengagungan kepada Allah SWT. dimaknai dengan pendidikan sebagai salah
satu upaya mengoptimalan perkembangan potensi manusiawi, kecakapan
hidup dan sikap kepribadian seorang yang sempurna dan kedewasaan yang
baik.4
Pendidikan Rohani merupakan hal yang sangat urgen dilakukan di
zaman ini. Melihat berbagai fenomena yang terjadi, yang menggambarkan
kemerosotan kerohanian manusia. Saat ini saja kita sudah dihadapkan dengan
kondisi keagamaan umat Islam dan moral bangsa Indonesia yang
2 Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an cet.1, (Jakarta : AMZAH, 2007), h.
V. 3 Suparlan, Mendidik Hati Membentuk Karakter, cet. 1, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR,
2015), h. 1. 4 Suparlan., Op. Cit., h. 7-8
3
memprihatinkan karena munculnya fenomena kemunduran yang signifikan.
Salah satunya yaitu kemajuan intelektualitas, ekonomi, sarana hidup dan
teknologi cukup pesat, tetapi perkembangan moral dan agama seorang
terutama kurang mendapatkan perhatian. Penulis menemukan banyak berita
yang disiarkan dalam media masa, setiap hari ada saja mengenai kenalakan
remaja bahkan sebagaian besar tindak kriminal yang disebabkan oleh
narkotika dan obat-obatan terlarang sejenisnya.
Padahal penulis menemukan beberapa referensi bahwa masa remaja
bisa dikatakan masa mengenali dirinya. Dengan begitu perilaku, sikap, ketika
tidak terkontrol menimbulkan dampak negatif bagi dirinya. Masa remaja juga
bisa disebut masa keterombang-ambingan dikarenkan memang proses transisi
kanak-kanak menuju dewasa dalam pikiran, perasaan, kemauan, sikap serta
perilaku5. Masa remaja dalam media yang bersangkutan merupakan masa
remaja terakhir, sebagaimana yang dinyatakan Zakiah Daradjat mengatakan
“masa remaja terakhir dapat dikatakan bahwa anak pada waktu itu dari segi
jasmani dan kecerdasan telah mendekati kesempurnaan”6.
Disinilah peranan pendidikan untuk menjawab dari masalah-masalah
tersebut serta dirasa penting menjadi perhatian bersama, untuk membentuk
masa depan yang terarah. Pendidikan disbutkan Saiful sagala dalam bukunya
mengatakan bahwa:
Pendidikan sebagai suatu upaya/perbuatan yang di arahkan pada
kemaslahatan dan kesejahteraan peserta didik dan masyarakat sudah
berlangsung sejak dahulu dan tidak diragukan lagi eksistensinya. Hal yang
penting disini adalah proses melatih peserta didik yang dirancang dalam
bentuk pengalaman belajar untuk mengembangkan pengetahuan,
keterampilan dan kompetensi yang dapat dijadikan modal dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya.7
5 TB Aat Syafaat dkk, Peranan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2008), h. 182-183. 6 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama cet. XIV, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), h. 117.
7 Syaiful sagala, Etika Dan Moralitas Pendidikan. Cet.1, (Jakarta: PRENAMEDIA GROUP,
2013),h. 42
4
Kembali pada kondisi sekarang, sebagian besar remaja dari berbagai
teman dan kenalan penulis yang tinggal di Demak dan Jepara. Penulis
menemukan seorang menggunakan agama hanya sebatas pengakuan luar
melalui status sosial, moral hanya sebatas pujian semata. Norma-norma
agama dan kesusilaan bisa dikatakan sering ditemukan dalam pergaulan
muda-mudi Islam yang tidak memelihara jiwanya dengan baik seperti,
meninggalkan ibadah kepada Allah, dan tidak berusaha menumbuhkan
potensi dirinya untuk senantiasa berkembang menjadi seseorang yang lebih
baik dari sisi rohani yang berdampak pada sosial. Sebagian besar alasan yang
didapatkan penulis dari remaja tersebut ialah kurangnya pemahaman, bahkan
tidak begitu tertarik belajar agama sehingga mereka tidak begitu tau
bagaimana menjalin harmoni dengan Tuhan. Bahkan pendidikan yang
didapatkan di sekolah pun tidak begitu menjawab rasa ketidaktauannya
terhadap keadaan ruhaninya tersebut. ironisnya masalah yang penulis temui,
mereka tidak bisa ditegur dengan membawa ancaman bagi perbuatan
buruknya. Mereka justru lebih antusias dengan cerita kearifan lokal yang
menjadi sejarah penyebaran islam di Nusantara.
Belum selesai disitu, penulis juga menemukan masalah yang sama di
kalangan para remaja di daerah penulis sekarang. Dengan kenakalan yang
sedikit berbeda namun dengan skala yang lebih besar. Permasalahan yang
ditemui penulis terasa lebih kompleks disini, para remaja ini tetap
melaksankan ibadah akan tetapi ia masih juga menunjukkan prilaku tidak
sesuai agama. Tidak hanya melibatkan dirinya sendiri, namun melibatkan
pihak remaja lain seperti halnya tawuran, permusuhan antar kampung bahkan
tidak sedikit pula remaja tersebut beranggotakan beberapa perempuan yang
masih berstatus pelajar menengah pertama.
Dalam melaksanakan atau mengamalkan perbuatan baik, Anwar Sutoyo
juga mengatakan bahwa remaja perlu mengetahui keadaan dirinya terkadang
menonjol di saat tertentu dan tidak menonjol pula disaat tertentu. Lanjut
Anwar Sutoyo mengatakan
5
bahwa salah satunya kuat kelemahan tersebut ialah melalaikan agama.
Banyak remaja yang sebenernya mengetahui aturan agama, namun ia tidak
mematuhinya. Semua itu karena seorang banyak menuruti hawa nafsunya,
manusia punya hati tetapi tidak dimanfaatkan untuk memanfaatkan tuntunan
Allah, manusia punya panca indera tetapi tidak digunakan untuk memahami
tanda-tanda kebesaran Allah.8
Kenyataan tersebut merupakan suatu bukti nyata buat penulis atas tidak
terbinanya rohani yang kemudian terlihat kemunduran moral yang dialami di
berbagai tempat entah itu di desa maupun di kota tentunya dengan skala yang
berbeda. Sikap-sikap tersebut jauh berbeda Islam yang dibawa dan di
syiarkan oleh para ulama kemudian diajarkan kepada masyarakat Nusantara
yang sampai pada penulis. Mewujudkan manusia yang bermoral, berakhlak
mulia dan berbudi pekerti luhur. Ajaran Islam bersumber dari Allah melalui
Al-Qur’an dan hadis Nabi menjadi sumber ajaran akhlak. Perilaku rasulullah
merupakan suri tauladan bagi manusia. Sesuai Firman Allah SWT Q.S. Al-
Ahzab ayat 21 yang berbunyi :
ااأسوة حسنة ليمن كان يرجوا الل اللي لقد كان لكم في رسول ر وككرالل كيي واليوم اخري
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap(rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah”.9
Mengenai akhlak rasulullah saw. dijelaskan dalam hadis yang berbunyi:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (H.R.
Bukhari), kemudian, dalam hadis yang lain dijelaskan bahwa aisyah berkata:
“Sesungguhnya Akhlak Rasulullah itu adalah Al-Qur’an” (H.R. Muslim).10
Setelah penulis melewati beberapa referensi dan lawan diskusi atas
permasalahan tersebut dan dapat dikatan bahwa Akhlak baik salah satu
bentuk keberhasilan dalam menumbuh kembangkan fitrah rohaninya dan
8 Anwar Sutoyo, Manusia dalam perspektif Al-Qur’an cet. I, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR,
2015 ),h. 124 9 Al-Qur’an terjemah kementrian agama, h. 420
10 Veithzal Rivai Zainal dkk, Manajemen Akhlak: Menuju Akhlak Alquran, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2018),h. 18
6
keberadaannya benar sangat diharapkan semua orang yang berdampak juga
ke sosial. Setiap orangtua pasti menginginkan agar anak cucunya memiliki
akhlak yang baik. Bahkan setiap masyarakat di berbagai belahan daerah
sangat mengharapkan kedamaian dengan adanya akhlak baik antar warga
tanpa adanya ancaman hidup dari orang lain. Begitu juga negara yang
menginginkan warganya untuk selalu berbuat kepada akhlak baik. Dengan
ini penulis sadar betul akan pentingnya kepribadian rohani dengan berbuah
akhlak mulia pada seseorang dalam kehidupan agama dan sosial.
Berdasarkan kebutuhan masyarakat tersebut penulis menemukan
banyak tokoh agama dan tokoh sosial, bahkan para sejarawan menjelaskan
pemikirannya yang dituangkan dalam karya-karya mengenai pendidikan
Rohani dengan kearifan lokalnya, untuk menjawab permasalahan yang ada
pada masyarakatnya. Salah satunya adalah Achmad Chodjim. Beliau
merupakan seorang penulis buku-buku spiritual, terutama dibidang
Kerohanian. Beliau juga penulis buku Syech Siti Jenar dan Alfatihah,
Alikhlas serta Alnas.
Penulis menemukan keistimewaan dari buku-buku tersebut, yang bisa
dikatakan tidak dimakan zaman dikarenakan objek yang dibahas mengenai
kaya akan nilai menjadi pribadi yang sadar diri. Banyak karya-karyanya
berbicara mengenai bagaimana menjadi manusia yang bisa mencapai tingkat
kerohanian mulia. Penulis juga menemukan buku mistik dan makrifat sunan
kalijaga. Di dalamnya membahas perjalanan hidup Sunan bahkan tarekat
untuk menuju kepada kesempurnaan seorang manusia.
Buku tersebut sangat menarik untuk ditelaah sarana menjawab
persoalan diatas. Melalui pendidikan Rohani pada buku tersebut yang
membicarakan perjalanan sunan Kalijaga serta ajarannya dan pada setiap
babnya terdapat kandungan makna yang secara tersirat mengingatkan
pembaca bahwa hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung dan Allah-
lah satu satunya alasan seorang bisa hidup tentram.
7
Setelah penulis mempelajari beberapa referensi mengenai pokok materi
pendidikan rohani, maka penulis memilih buku tersebut menjadi buku primer
dalam mengkaji Nilai-Nilai Pendidikan Rohani. Itulah yang melatar
belakangi penulis dalam kajian ilmiah di Pendidikan Agama Islam dengan
judul : “ Nilai-Nilai Pendidikan Rohani dalam buku Mistik dan Makrifat
Sunan Kalijaga”.
7
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, dapat di
identifikasi beberapa permasalahan yaitu:
1. Minimnya pengetahuan tentang Nilai-Nilai kepribadian Rohani.
2. Kurangnya ketertarikan terhadap Nilai-Nilai Pendidikan Rohani.
3. Rendahnya tingkat kepribadian remaja yang mencerminkan Nilai-Nilai
Rohani dengan Akhlak yang baik.
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan pada bagian
sebelumnya, untuk meminimalisir ketidakfokusan pembahasan, maka
dalam permasalahan tersebut dibatasi pada: Bagaimana Nilai-Nilai
Pendidikan Rohani Yang Terdapat Dalam Buku Mistik Dan Makrifat
Sunan Kalijaga?
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka penulis merumuskan pokok
pembahasan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Nilai-
Nilai Pendidikan Rohani yang terdapat pada buku Mistik dan Makrifat
Sunan Kalijaga?
8
D. Tujuan dan Kegunaan penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dilakukannya penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui dan memahami Nilai-Nilai Pendidikan
Rohani yang terdapat pada buku Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat terhadap diri sendiri
kemudian manfaat baik secara akademik, sosial, maupun praktis:
a. Sebagai refleksi diri sendiri dalam kesadaran kehidupan sehari-hari
yang nantinya berhubungan dengan spiritual keagamaan dan sosial
b. Secara akademik, Semoga penelitian ini bermanfaat untuk
memperkaya khazanah studi islam mengenai kerohanian diri sendiri
yang tidak hanya berorientasi pada etika dan moral. Melainkan juga
studi yang membuka diri terhadap kesadaran para para remaja dalam
hal kerohanian.
c. Secara sosial, penelitian ini bermanfaat untuk membuka dialog yang
lebih inklusif antar para ahli pendidik modern, sehingga diharapkan
munculnya solusi alternatif dalam pemecahan problem-problem
kemanusiaan ini.
d. Secara praktis, penelitian ini untuk memberi wawasan dan pedoman
akhlak kepada para remaja terutama seorang pelajar dalam menuntut
ilmu.
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Nilai-nilai pendidikan Rohani
1. Pengertian Nilai
Pada umumnya kata “nilai” mempunyai makna yang luas. Dalam
artian segala sesuatu yang ada ini mempunyai nilai tertentu, yang dalam
filsafat pendidikan dikenal dengan istilah aksiologi. Dalam Ensiklopedia
Britanica disebutkan “bahwa nilai adalah suatu penerapan atau suatu
kualitas suatu objek yang menyangkut suatu jenis apresiai tertentu”.11
Nilai merupakan sesuatu yang abstrak tetapi secara fungsional
mempunyai ciri yang dapat membedakan satu dengan yang lainnya. Dalam
pengertian abstrak, bahwa nilai itu tidak dapat ditangkap oleh panca indra,
yang dapat dilihat adalah objek yang mempunyai nilai atau tingkah laku
yang mengandung nilai. Nilai dalam bahasa Inggris disebut juga value
yang berasal dari bahasa latin yatu valere yang berarti berguna, mampu,
berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai adalah sifat-sifat atau (hal-hal) yang
penting atau berguna bagi kemanusiaan (KBBI, 2008; 590).12
Menurut Chabib Thoha, nilai adalah sifat yang telah tetap pada
sesuatu, yang berhubungan dengan subjek yang mengandung arti. Jadi,
nilai merupakan sesuatu yang memiliki manfaat dan berguna bagi manusia
sebagai patokan dalam berperilaku.13
Menurut Hamid Darmadi dalam penelitian Bekti Taufiq Ari
Nugroho dan Mustaidah, nilai termasuk ke dalam kajian tentang filsafat.
Istilah nilai dalam filsafat digunakan untuk menunjukkan kata benda
abstrak yang berarti keberhargaan atau kebaikan, dan kata kerja yang
11
Jalaluddin, Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, cet. II,
(Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012), h. 134. 12
La Ode Gusal, “Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara Karya
La Ode Sidu”, Jurnal Humanika, Vol. 3, 2015, h. 1 13
M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), Cet. I, h. 61.
10
berarti suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan
penilaian.14
Nilai-nilai sedemikian universal dan tidak punya batas. Namun
tetap ada saja bisa dikelompokkan sesuai dengan perspektif manusia,
sebagai norma tertentu. Seperti yang dinyatakan oleh Celcius:
Dimana ada masyarakat di sana ada hukum. Hukum dalam hal ini
dimaksud sebagai nilai-nilai, norma, pengatur ketertiban kehidupan
sosial. Nilai hokum ialah dalam potensinya untuk mewujudkan
kesejahteraan dan ketertiban hidup bersama. Dengan demikian
dapat ditafsirkan hokum merupakan nilai instrumental, nilai yang
mendatangkan nilai lain, yakni ketertiban sosial.15
Menurut Scheler, nilai adalah sesuatu yang dituju oleh perasaan
yang mewujudkan "apriori emosi". Nilai bukan ide atau gagasan,
melainkan sesuatu yang konkrit yang hanya dapat dialami dengan jiwa
yang tergetar dengan emosi. Scheler menjelaskan “pengenalan tentang
nilai mendahului pengenalan tentang benda”. Ketika kita melihat lukisan
yang indah ini berarti kita menerapkan nilai keindahan pada benda/lukisan.
Jika kita melihat seseorang melakukan perbuatan menolong, kita
mengatakan itu perbuatan yang baik. Kita telah memiliki peresepsi nilai
kebaikan manusia dan diterapkan pada perbuatan ini. Kesimpulan yang
dapat diperoleh ialah nilai itu berlaku objektif apriori.16
Berdasarkan penelitian fenomenologi Scheler menggolongkan sifat
itu dalam empat kelompok:
a. Nilai kesenangan, yaitu yang menyenangkan dan yang tidak
menyenangkan. Nilai ini terdapat dalam objek-objek yang
bersangkutan dengan makhluk yang memiliki indera.17
b. Nilai vital, yaitu suatu potensi untuk berkembang, seperti yang
terjadi pada makhluk hidup sesuai potensi yang sudah ada
14
Bekti Taufiq Ari Nugroho dan Mustaidah, Identifikasi Nilai-nilai Pendidikan Islam
dalam Pemberdayaan Masyarakat pada PNPM Mandiri, Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, 2017, h.
74-75. 15
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan
Pancasila, (Surabaya, USAHA NASIONAL, 1986), h.131 16
R. Parmono, “Konsep Nilai Menurut Max Scheler”, Staf prngajar Fakultas Filsafat UGM
dalam matakuliah Filsafat Nilai, 16 November 1993, h. 48 17
Ibid.
11
sebelumnya tumbuh dan berkembang menuju tatanan/tingkatan yang
lebih tinggi.18
c. Nilai rukhani, yakni berkaitan dengan fitrah manusia seperti
kehendak, akal, rasa. Nilai-nilai tersebut keberadanya tidak
tergantung dari hubungan timbal balik antara organisme lingkungan
sekitar, melainkan berfungsi mandiri dalam kehidupan manusia
sebagai unsur yang menentukan keberadaan manusia.19
d. Nilai yang tertinggi (suci), yakni bersangkutan dengan "objek
absolut" sering pula disebut sebagai nilai "yang kudus/yang suci".
Nilai-nilai ini bersangkutan dengan hal-hal yang bersitat
transendental yang pengembangannya dibidang relegius. Pada taraf
manusia, contoh orang yang dianggap suci, biarawan, pendeta,
sedang pada taraf supra manusia adalah nilai ketuhanan.20
Menurut Falsafah pendidikan Islam, yaitu falsafah al-hadhariyah,
nilai terbagi menjadi nilai absolut dan nilai relatif. Mirip dengan klasifikasi
pada poin pertama, bahwa nilai absolut adalah nilai yang bersumber dari
wahyu Allah Swt., yang sifatnya tetap, benar, dan kekal abadi, sehingga
dapat diterapkan di semua tempat dan waktu. Adapun nilai relatif, adalah
nilai yang berasal dari akal, ide, dan budaya yang sifatnya tidak kekal,
selalu berubah-ubah seiring perubahan zaman yang dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi.21
2. Pengertian Pendidikan
Istilah pendidikan Ramayulis mengatakan bahwa “semula berasal
dari bahasa Yunani, yaitu “pedagogie”, yang berarti bimbingan yang
diberikan kepada anak, istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dengan “education” yang berarti pengembangan atau
18
Ibid., h. 49. 19
R. Pramono. Loc. cit. 20
R. Pramono. Loc. cit. 21
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan
Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 224.
12
bimbingan”.22
“Pendidikan adalah suatu proses mebimbing dari kegelapan,
kebodohan, dan pencerahan pengetahuan”.23
Istilah pendidikan dalam Islam kadang-kadang disebut dengan al-
tarbiyah yang diterjemahkan dengan “pendidikan”. Kadang-kadang
disebut dengan al-ta’lim yang diartikan dengan “pengajaran”. Ia kadang-
kadang juga disebut dengan al-ta’dib secara etimologi diterjemahkan
dengan perjamuan makan atau pendidikan sopan santun.24
Dijumpai pula kata tarbiyah dalam istilah pendidikan. Tarbiyah
adalah bahasa Arab yang sering digunakan oleh para ahli pendidikan Islam
untuk menerjemahkan kata pendidikan dalam bahasa Indonesia.
Abdurrahman al-Nahlawi dalam Abuddin Nata, cenderung menggunakan
kata tarbiyah untuk kata pendidikan. Menurutnya, kata tarbiyah berasal
dari kata raba, yarbu, yang artinya bertambah dan bertumbuh, karena
pendidikan mempunya tujuan untuk menambah pengetahuan pada peserta
didik dan menumbuhkan potensi yang ada dalam dirinya. Kedua, dari kata
rabiya, yarba, yang artina menjadi besar, karena pendidikan juga memiliki
misi untuk membesarkan jiwa dan memperbanyak wawasan seseorang.
Ketiga, tarbiyah dari kata rabba yarubbu yang artinya memperbaiki,
menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara.25
Undang-undang Pendidikan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 mendefinisikan pendidikan sebagai berikut :
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara.”26
22
Ramayulis, Dasar-dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta :
Kalam Mulia, 2015), h.15 23
Yatimin Abdullah, Studi AKhlak dala Perspektif al-Quran, (Jakarta: Amzah, 2007), h.21. 24
Ramayulis. op. cit., h.16 25
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Pamulang: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 8. 26
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, h. 1.
13
Muzayyin Arifin mengutip beberapa pengertian pendidikan dari
para ahli pendidikan Barat, yang akan dipaparkan sebagai berikut:
a. Mortimer J. Adler, menjelaskan pendidikan adalah sebuah proses yang
melibatkan semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang
diperoleh), yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan
dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, dengan sarana yang dibuat dan
dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan , yaitu kebiasaan yang
baik.
b. William Mc Gucken, S.J. mengartikan pendidikan sebagai suatu
perkembangan dan kelengkapan dari kemampuan-kemampuan
manusia, baik moral, intelektual, maupun jasmaniah yang
diorganisasikan, dengan atau untuk kepentingan individual atau sosial,
dan diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang bersatu dengan
penciptanya sebagai tujuan akhir.27
Pendidikan sebagai suatu upaya/perbuatan yang di arahkan pada
kemaslahatan dan kesejahteraan peserta didik dan masyarakat sudah
berlangsung sejak dahulu dan tidak diragukan lagi eksistensinya. Hal yang
penting disini adalah proses melatih peserta didik yang dirancang dalam
bentuk pengalaman belajar untuk mengembangkan pengetahuan,
keterampilan dan kompetensi yang dapat dijadikan modal dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.28
Pendidikan adalah hak esensial bagi seluruh manusia, karena
pendidikan adalah persoalan yang strategis bagi suatu bangsa. Pendidikan
yang berkualitas bukan hanya penting untung melahirkan individu dan
masyarakat terpelajar, akan tetapi juga menjadi suatu modal untuk
menghadapi masa yang akan datang. mengingat ketatnya psersaingan
27
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bui Aksara, 2010), h. 18. 28
Syaiful sagala, Etika Dan Moralitas Pendidika, ( Jakarta : PRENAMEDIA GROUP,
2013), Cet. I, h. 42.
14
antara negara yang mempengaruhi banyak aspek kehidupan. Pendidikan
yang berkualitas juga menentukan kualitas suatu bangsa kedepannya,
untuk menjadi suatu negara yang modern dan maju.29
3. Pengertian Rohani
Rohani merupakan sesuatu yang samar, ruwet, dan belum jelas
batasannya. Manusia tidak akan mampu mengetahui hakikatnya, karena itu
rahasianya hanya ada pada Allah, Swt.30 Sebagaimana dalam al-Qur’an
dijelaskan.
ن العيلمي إيلا قلييلاا ويسئ لونك عني الروحي قلي الروح مي {85}ن أمري ربي ومآأوتييتم مي
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh.
Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu
diberi pengetahuan hanya sedikit.’” (Q.S. Al-Isra’: 85).
Rohaniah dalam bahasa Indonesia dan rûhaniyyah (Arab) berasal
dari kata “Ruh” yang berarti “spirit” atau “roh” yang berkaitan dengan
ungkapan al-Qur'an di Atas, “Rûh adalah bagian dari titah Tuhanku”,
(QS. [17]: 85). Istilah ru-haniyyah/spiritualitas merujuk pada sesuatu yang
berkaitan dengan dunia rohani, dekat dengan Tuhan, yang batini dan sering
diidentifikasikan dengan kenyataan yang kekal dan abadi.31
Secara bahasa , kata ruh atau ruhiyah mempunyai dasar kata yang
sama, yaitu ( ورح ). Akan tetapi secara kontekstual penggunaan keduanya
memiliki makna yang berbeda. Ruh merupakan nyawa sedangkan ruhiyah
bersifat spirit, semangat serta belum tentu berasal dari ruh (nyawa).
Ruhani dimaknai sebagai hasil pancaran dari Dzat Tuhan. Tuhan dan
manusia pada hakikatnya dapat bersaatu (Widat al-wujud) dengan dasar
bahwa jarak manusia dengan Tuhannya terdapat pada ruh yang pada diri
29
Makmudi ,dkk, “ Pendidikan Jiwa Perspektif Ibn Qayyim Al-Jauziyyah”, Ta’dibuna,
Vol. 7, 2018, h. 49. 30
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (Bandung: Rosda, 2012), h. 62. 31
M. Amir Langko, “Metode Pendidikan Rohani Menurut Agama Islam”, Jurnal
expose,Vol. XXIII, 2014, h. 49-50.
15
manusia. Jika ruh dikotori dengan sesuatu yang buruk dari sifat duniawi
maka jarak anatara manusia akan jauh dengan Tuhannya. Sebaliknya jika
ruh bersih dari kotoran yang bersifat duniawi maka ia akan menjadi
kekuatan yang lebih ruhani.32
Beberapa literatur tasawuf menyebut rohani sebagai qalb (hati).
Kalbu yang dimaksudkan, meski belum jelas hakikatnya, namun tanda-
tandanya dapat dirasakan dengan jelas. Misalnya dalam istilah rasa sedih,
gelisah, rindu, sabar, serakah, putus asa, cinta, benci, iman, juga
kemampuan “melihat” hal yang gaib.33
Kata ruh, digunakan untuk menyebutkan dua hal, pertama, sesuatu
yang halus, berpusat pada rongga hati, ruh menyebar melalui urat nadi ke
seluruh tubuh manusia, membuat pelita kehidupan, menjadikan indera
perasa, penglihatan, pendengaran, dan penciuman. Kedua, ruh merupakan
sebuah rahasia yang lembut dan dapat mengetahui juga menyadari yang
dimiliki oleh manusia.34
Ruh merupakan sesuatu yang menakjubkan, yang bersifat Rabbani,
yang dengannya tidak dapat diketahui hakikatnya oleh kemampuan akal
manusia yang terbatas. Hasan al-Banna berpendapat, hati (qalb)
merupakan wadah pengajaran, kasih sayang, rasa takut dan keimanan.
Dengan begitu, hati manusia menjadi tempat hal-hal yang dapat disadari
oleh dirinya. Hati manusia dapat melahirkan berbagai aktivitas. Jika
hatinya baik, maka aktivitasnya pun akan baik. Dalam konteks pendidikan,
pendidikan rohani memiliki dominan afektif.35
Menurut istilah, rohani merupakan inti dari dari sisi batin dari
manusia, demikian juga jasmani adalah nama bagi keseluruhan yang ada
32
Yadi Purwanto, Psikologi Kepribadian Integrasi Nafsiyah dan ‘Aqliyah Perspektif
Psikologi Islami, cet. II, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), h. 73-74. 33
Ibid. 34
Sa’id Hawwa, Pendidikan Spiritual, (Yogyakarta: Mira Pustaka, 2006), h. 28-29. 35
A. Sunanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 65.
16
pada bagian secara lahir manusia. Berdasarkan pernyataan tersebut salah
satu bentuk penyakit rohani adalah adanya sifat dan sikap (budi pekerti)
yang baik dalam rohani seorang manusia, yang mendorongnya untuk
berbuat buruk dan merusak, yang menyebabkan terhalangnya seseorang
dari memperoleh ke-ridhaan Allah.36
Menurut Ibnu Qayyim, sebagaimana dikutip oleh A. Sunanto,
pendidikan rohani atau pendidikan kejiwaan akan berimplikasi pada
akhlak islam, yang merupakan potensi bagi jiwa manusia. Ibnu Qayyim
menjelaskan, bahwa potensi yang dimiliki manusia perlu dilatih dan
dibiasakan sehingga menjadi kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan. Jiwa
pada hakikatnya merupakan sesuatu yang memiliki kedudukan paling
tinggi, dalam hubungannya dengan sifat-sifat seorang hamba. Jiwa perlu
dididik dengan kesungguhan, kesabaran, dan pengetahuan yang matang,
agar dapat menghasilkan manfaat yang baik bagi manusia.37
Dimensi rohani merupakan dimensi kejiwaan yang amat penting, dan
memiliki pengaruh dalam mengendalikan keadaan manusia agar hidup
dapat berjalan dengan tentram dan bahagia.38
Rohani merupakan isim nisbat yang berfungsi mengaitkan sesuatu
kepada yang lainnya. Jadi rohani adalah suatu yang dikaitkan dengan roh
yang bermakna susunan badan halus, unsur-unsur halus atau gaib yang
keberadaannya merupakan syarat utama bagi proses hayati, lebih-lebih
yang berhubungan dengan kesadaran, pikiran dan kemauannya. Unsur-
unsur halus tersebut mencakup : jiwa, akal, hati dan nafsu.39
Pendidikan rohani sebagaimana yang dipaparkan oleh Abdul Halim
Mahmud adalah pendidikan yang bertujuan untuk mengajarkan pada roh
ini bagaimana memperbaiki hubungannya dengan Allah Swt melalui jalan
36
M. Amir Langko, op. cit., h. 50. 37
Ibid., h. 36-37. 38
Romlah, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandar Lampung: Fakta Press, 2009), h. 64. 39
M. Shodiq, Kamus Istilah Islam, (Jakarta : C.V. Sientarama, 1998), h. 83
17
menyembah dan merendah kepada-Nya serta taat dan tunduk kepada
manhaj-Nya.40
Samsul hady dalam bukunya mengatakan dalam bab eksistensi
spiritual dalam diri manusia bahwa dalam pemikiran islam, ada yang
menyatakan bahwa kepribadian manusia dibagi menjadi 3 aspek, yaitu
aspek jasmani, aspek nafsani dan aspek ruhani. Penjelasan mengenai
perkembangan jasmani di jelaskan secara elaboratif oleh disiplin Biologi.
Sedangkan aspek nafsani sebagian dijelaskan oleh disiplin Psikologi.
Selain dengan model tersebut ada yang berpendapat bahwa eksistensi
manusia dikenal hanya wujud fisik dan wujud ruhani. Wujud Rohani
dikenal dengan surah (form, bentuk), seperti dalam sabda Nabi yang
menyatakan bahwa adam, yang merupakan simbil eksistensial untuk
manusia seluruhnya, diciptakan Allah berdasarkan surah-Nya. Perspektif
lain, dimensi spiritual manusia disimbolkan pula oleh ruh Allah yang
ditanamkan pada diri manusia, berdasarkan ayat Al-Qur’an yang berbicara
mengenai penciptaan manusia.41
4. Kaitan Rohani dengan Jasmani
Seperti yang telah diuraikan oleh Samsul Hady di atas bahwa
pembagian manusia itu menjadi 3 bagian yaitu: Jasmani, Nafsani dan
Rohani. Menurut Imam Ghazali yang telah dikutip oleh Akhmad Shodiq
dalam bukunya yang berjudul Prophetic Character Building tema pokok
pendidikan Akhlak menurut Al-Ghazali menyatawakan bahwa manusia
merupakan makhluk yang memiliki dua bagian yang berbeda, yaitu bagian
badan dan bagian jiwa.
Dalam buku tersebut menjelaskan bahwa badan dan jiwa yang
disebutkan diatas keduanya merupakan yang sangat berbeda. Badan
merupakan bentuk fisikal yang bisa diklasifikasi bagian-bagiannya.
40
Abdul Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani, (Jakarta : Gema Insani Press, 2000), h. 70 41
M. Samsul Hady, Islam Spiritual Cetak Biru Keserasian Eksistensi, (Malang: UIN-
Malang Press, 2007), h. 169, 170.
18
Sedangkan hakikat manusia itu sendiri yaitu Rohani. Dalam buku tersebut
juga menyebutkan bahwa manusia merupakan manusia punya bagian alam
amr dana lam khalq.42
Relasi anatara rohani dan jasmani yang terdapat dalam diri manusia,
Akhmad Sodiq juga menyebutkan bahwa dalam diri manusia juga terdapat
3 jiwa yang menjadi alat untuk Rohani. Pertama Jiwa Vegetatif sebagai
penyempurna badan dan potensi yang terkait makanan, tumbuhan serta
reproduksi. Pada daya tersebut merupakan pelayan bagi jasmani, sedang
jasmani sebagai pelayan bagi daya sensitif. Kedua Jiwa Sensitif sebagai
penyempurna jasmani seperti halnya nafsu terdiri atas syahwat dan ghadab
masuk dalam unsur jiwa ini yang berada di dalam qalb. Ketiga Jiwa
Rasional yaitu jiwa manusia yang dasar yaitu sebagai inti yang hidup
dengan sendirinya. Kebaikan dan keuburkan dalam beragama terbentuk
dalam jiwa ini. Jiwa ini tidak akan mati ataupun hancur bahkan
sempurnanya jiwa ini setelah matinya badan.43
5. Pengertian Pendidikan Rohani
Pendidikan rohani merupakan suatu kebutuhan seorang manusia
untuk memenuhi kebutuhan ruh, seperti halnya seorang yang
mengkonsumsi makanan untuk menambah tenaga untuk jasmaninya.
Pendidikan rohani merupakan salah satu aspek dari bidang pendidikan
dalam Islam. Secara defenisi, menurut ‘Ali Abd al-Hamid Mahmud dalam
bukunya al-Tarbiyah al-Rûhiyyah mengatakan:
“Pendidikan rohani merupakan sebuah sistem yang lebih
memfokuskan pada pembinaan aspek rohaniah manusia. Artinya, dalam
pendidikan ro-hani terdapat interelasi antara aspek wilayah rohaniah
manusia yaitu: Qalb, Nafs, rûh dan ‘‘aql. Dengan demikian pendidikan
rohani adalah sebu-ah pembinaan bagi seseorang untuk mengembangkan
segala potensi roha-niahnya yang dapat melahirkan perilaku atau sikap
42
Akhmad Sodiq, Prophetic Caracter Building, cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2018), h. 18 43
Ibid., h. 10-11
19
terpuji menuju terwu-judnya suatu kepribadian mulia, sehingga bermanfaat
bagi dirinya dan masyarakat.44
Sebagaimana aspek pendidikan Islam lainnya, pendidikan rohani
mem-punyai tujuan yang spesifik. Pendidikan rohani adalah usaha
merobah, menga-rahkan serta mempengaruhi unsur-unsur rohani manusia
tersebut menuju ke arah tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Dengan
demikian, tujuan pendi-dikan rohani dalam Islam adalah merubah,
mengarahkan, melatih dan membim-bing serta mempengaruhi unsur-unsur
kerohanian yang bersifat dinamis itu me-nuju ke arah terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.45
Pendidikan rohani ini banyak dijelaskan di dalam al-Quran di
antaranya:
a. Zikrullah (mengingat dan menyebut nama Allah )
Dalam hal ini Allah Swt berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 41:
ا را ي يي ا ك را ك كي وا الله ر ك وا اك ن آم ن ي ذي ا ال ه ي ي
“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kepada Allah, dengan
mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya”.46
Ibnu Katsir menjelaskan mengenai ayat ini, Allah Swt berfirman
memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk banyak
menyebut nama Tuhan mereka yang telah melimpahkan nikmat kepada
mereka berupa berbagai macam nikmat dan beraneka ragam anugerah.
Karena dalam melaksanakan hal tersebut terdapat pahala yang berlimpah
bagi mereka dan tempat kembali yang sangat baik.47
Begitu juga hadis Nabi yang berbunyi:
44
M. Amir Langko, “Metode Pendidikan Rohani Menurut Agama Islam”, Jurnal
expose,Vol. XXIII, 2014, h. 47. 45
Ibid., h. 48. 46
Al-Qur’an terjemah kementrian agama, h. 423. 47
Tirmidzi, “Pendidikan Rohani dalam Al-Qur’an”, Fitrah Jurnal Kajian Ilmu-ilmu
Keislam. Vol. 02, 2016, h. 132.
20
اء ط ع إي ن مي ر ي ر م و ك اتي ج ر د ا في ه ع رف أ م و ك يكي لي م د ن ا عي هم وأزكاك ال عم أ م بي ك ئ ب ن أ ألا
ل و س ر ي اك اك وا م ال ق م.ك اق ن وا أع ب ري ض ي م و ه اق ن وا أع ب ري ض ت ف مك و د وا ع ق ل ت ن أ و قي ر و ال و بي ه الذ
)رواه مسلم( الله ر ك م؟ قال :كي ل ع ص اللهي
Rasulullah Saw bersabda: Maukah kamu kuberitahu mengenai amal
yang paling baik dan paling suci di sisi Tuhanmu dan paling tinggi
derajatnya serta lebih dari bersedekah dengan emas dan perak atau
berjihad di jalan Allah sehingga kamu memenggal leher musuhmu
atau mereka memenggal lehermu. Para sahabat bertanya kepada
Rasulullah Saw: amal apakah itu wahai Rasulullah Saw? Belia
bersabda: menyebut dan mengingat Allah (diriwayatkan oleh
Muslim).48
Berdasarkan hadis dan ayat Al-Qur’an tersebut bisa dikatakan bahwa
ibadah lisan yang paling tinggi derajatnya di hadapan Allah ialah
berdzikir. Karena dzikir merupakan suatau ibadah yang mencakup aspek
banyak kebaikan. Andai lisan tidak pernah menyantuh kalimat (dzikir)
Allah maka bisa jadi kita merupakan salah satu hamba-Nya yang telah
melupakan bahkan kufur kepada-Nya atas nikmat yang telah kita terima.
b. Shalat
ري ك ن م ال و اءي ش ح الف ني ع ىه ن ت ة لا الص ن إي ة لا الص مي قي أ و
“Sesungguhnya Sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan
mungkar”.49
Wahbah Az-zuhaili menjelaskan ayat ini bahwa Allah Swt
memerintahkan untuk mendirikan shalat pada waktu-waktunya yang telah
ditentukan serta senantiaslah melakukan hal tersebut karena sesungguhnya
shalat tersebut dapat mencegah orang-orang yang beriman dari melakukan
segala amal yang buruk.50
c. Puasa
48
Ibid., h. 133. 49
Al-Qur’an terjemah kementrian agama, h. 401. 50
Tirmidzi., op. cit. h. 136.
21
Salah satu bentuk mendidik rohani adalah puasa, karena puasa
adalah salah satu wujud ibadah seorang hamba yang mengabdi kepada
Tuhannya. Saat ibadah lain tampak dengan niat dan perbuatannya, puasa
tidak terdapat transparansi dalam menjalankannya. Seprti halnya saat sahur
di waktu malam dimana waktu orang-orang untuk istirahat. Menahan lapar
mulai dari terbitnya fajar dimana orang-orang mulai beraktifitas, berbuka
puasa saat terbenamnya matahari dimana orang selesai dari melaksanakan
aktifitas luar. Boisa di simpulkan bahwa puasa adalah ibadah murni
dimana proses menjalankannya hanya untuk taqwa kepada Tuhannya.
Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 183 berbunyi:
ن و ق ت م ت ك ل ع م ل ك لي ب ق ن مي ن ي الذي يل ع ب تي ا ك م ك امي ي الصي م ك ي ل ع ب تي وا ك ن آم ن ي ا الذي ه ي ي
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa.”51
Puasa juga bentuk penguatan spritual manusia dan penguatan
hubungan kepada Allah sehingga menghasilkan ketaqwaan. Al-Maragi
dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah Swt mewajibkan puasa seperti
diwajibkan atas umat-umat sebelumnya, karena puasa ialah sarana yang
paling besar dalam membersikan jiwa dan membenahinya. Ia adalah
ibadah yang paling kuat untuk mengekang syahwat nafsu. Oleh sebab itu
puasa ini dikenal dalam seluruh agama bahkan telah dilakukan oleh orang
Mesir kuno. Kemudian puasa ini dilakukan oleh orang Yunani dan
Romawi begitu juga orang India. Di dalam Taurat dan Injil tidak
dijelaskan kewajibannya namun puasa ini dipuji sebagai ibadah
pendekatan kepada Allah Swt. Dengan puasa ini manusia terlatih untuk
mengekang nafsu syahwatnya di samping itu pula menanamkan kepada
dirinya merasa diawasi oleh Allah Swt setiap detiknya. Karena hanya dia
dan Tuhannya yang tahu bahwa ia sedang berpuasa. Dengan demikian,
51
Al-Qur’an terjemah kementrian agama, h. 27.
22
jelas puasa dapat mewujudkan ketaqwaan dan hubungan yang dekat
dengan Allah Swt.52
d. Tazkiyah an-nafs
Tazkiyah an-nafs merupakan suatu upaya secara sadar dengan
kemantapan niat bertujuan untuk menjadikan hati bersih dan suci, baik
dzatnya maupun keyakinannya.53
Salah satu manfaat dari Tazkiyah an-nafs
yaitu menadi suci jiwanya dan juga termasuk orang yang beruntung.
Sebagaimana firman Allah pada Q. S. As-Syams ayat 9 yang berbunyi:
ا اه ك ز ن م ح ل ف أ د ق
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan (jiwa itu)”.54
Tazkiyah an-nafs juga berarti penyucian diri dari sifat kebinatangan
serta sifat-sifat setan, yang kemudian mengisi akhlak ketuhanan. Tazkiyah
an-nafs berusaha mengobati jiwa setelah mengetahui sebab-sebabnya.
Tazkiyah an-nafs sangat erat kaitannya dengan akhlak, kejiwaan dan
dengan usaha mendekatkan diri kepada Allah. Karena Allah maha suci
maka perlu didekati dengan keadaan hati yang suci juga. Karenanya,
tingkat kedekatan, pengenalan, dan kecintaan manusia kepada Tuhan
tergantung kesuciannya jiwa.55
6. Tujuan Pendidikan Rohani
Adapun orientasi tujuan pendidikan rohani, menurut Arifin, berkaitan
dengan kemampuan manusia dalam menerima ajaran Islam secara
menyeluruh. Intinya adalah terbinanya keimanan dan ketundukan kepada
semua perintah dan larangan Allah. Sikap yang demikian akan terlihat
52
Tirmidzi., op. cit. h. 138. 53
Fahrudin. “Tasawuf Upaya Tazkiyatun Nafsi Sebagai Jalan Mendekatkan Diri Kepada
Tuhan”, Jurnal Pendidikan Islam-Ta’lim. Vol. 12, 2014., h. 130. 54
Al-Qur’an terjemah kementrian agama, h. 595. 55
Fahrudin., op. cit. h. 140.
23
lewat pantulan nilai-nilai moralitas religius dengan mengikuti keteladanan
Rasulullah dalam kehidupannya sehari-hari.56
Menurut Harun Nasution dalam buku yang berjudul pendidikan
agama dalam perspektif agama-agama mengatakan bahwa:
Tujuan pendidikan agama, mulai dari TK sampai perguruan tinggi,
haruslah sejalan dengan tujuan diturunkannya agama untuk menjadi jalan
hidup bagi manusia. Agama hadir untuk manusia bertujuan untuk
membimbing manusia dalam usahanya mencapai kesempurnaan diri dan
kebahagiaan, baik dunia yang dijalani saat ini hingga di akhirat nanti.
Manusia disamping punya unsur jasmani, juga mempunyai unsur rohani.
Daya merasa yang biasa disebut kalbu yang berpusat di dada dan daya
pikir disebut akal yang berpusat dikepala. 57
Berdasarkan pernyataan tersebut bisa dikatakan bahwa salah satu
tujuan pendidikan dalam islam ialah untuk menumbuhkan potensi dalam
diri para pelajar. Sebagaimana pendidikan rohani yang dibahas disini yaitu
mengenai bagaimana menumbuhkan potensi diri dengan jalan pendidikan
rohani. Abd al-Halim Mahmud berpendapat bahwa “aspek rohani
merupakan bagian manusia yang paling mulia”. Manusia mesti dididik
agar memudahkan seorang nantinya dalam mengenal Tuhannya,
membiasakan, melatih untuk melaksanakan sebagai mana tugas manusia.58
Dikatakan juga bahwa orientasi pendidikan rohani adalah
kemampuan manusia dalam menerima ajaran islam secara totalitas.
Terbinanya keimanan dan tunduk kepada Allah. Sikap tersebutlah yang
terlihat dari nilai-nilai moralitas religious dengan mengkuti teladan Nabi
dalam kehidupan. Tujuan pendidikan rohani mempersiapkan peserta didik
agar menjadi seorang yang ideal serta berakhlakul karimah. Karena sikap
56
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 11 57
Harun Nasution, Pendidikan Agama dalam Perspektif Agama-Agama, (Jakarta:
konsorsium Pendidikan Agama, 1995), h. 9. 58
M. Akmansyah. “Tujuan Pendidikan Rohani dalam Perspektif Pendidikan Sufistik”,
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Ijtima’iyya, Vol. 9, 2016. H. 102-103.
24
dan tingkah laku mulia merupakan salah satu cerminan jiwa yang bersih
dan seseorang yang terbina rohaninya.59
Mencermati dari beberapa pendapat tersebut bisa ditarik benang
merah bahwa tujuan utama dari pendidikan rohani ialah membersihkan
jiwa, dari segala macam penyimpangan dan ketidaksesuaian perbuatan
yang dapat mengotori ruh tersebut. Maka dari itu kerohanian seseorang
tersebut menjadi suci bersih serta tenang.
Tujuan pendidikan rohani, diarahkan untuk mempersiapkan peserta
didik yang ideal dan berakhlak mulia (insan kamil). Yaitu insan, menurut
Iqbal, mukmin yang dalam dirinya memiliki kekuatan, wawasan, aktivitas,
dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi
tergambar dalam akhlak nabawi.60
M. Akmansyah, seorang dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Intan
Lampung, menulis dalam jurnalnya, secara garis besar, dapat tujuan
pendidikan rohani jangka panjang (final goal) adalah mendekatkan diri
(taqarrub) kepada Allah. Sehingga pendidikan dalam prosesnya harus
mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan diri
kepada Tuhan pencipta alam. Sedangkan tujuan pendidikan jangka
pendeknya adalah terwujudnya kemampuan manusia melaksanakan tugas-
tugas keduniaan dengan baik sebagai bekal menuju kehidupan yang kekal
di akhirat.61
7. Tarekat
Tarekat diserat dalam bahasa Arab yaitu Tariqah, yang berarti jalan,
cara, madzhab, aliran dan lain sebagainya.62
Tarekat merupakan suatu cara
atau metode yang berupa petunjuk untuk mendekatkan diri kepada Allah
59
Ibid., h. 104. 60
Dawan Raharjo, Insan Kamil: Konsepsi Manusia menurut Islam, (Jakarta: Pustaka Grafiti
Press, 1987, h. 25 61
M. Akmansyah, Tujuan Pendidikan Rohani dalam Perspektif Pendidikan Sufistik,
Ijtima’iyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat, Vol. 9, 2016, h. 106. 62
Ahmad Khoirul Fata, Tarekat: Jurnal Al-Ulum, Vol. 11, no. 2, 2011, h. 374.
25
dengan jalan yang diyakini berasal dari Nabi. Kemudian berkembang
menjadi suatu kelompok berbentuk kependidikan dalam hal kerohanian.63
Pada dasarnya orang yang melukan tarekat atau sedang belajar
tarekat tidak hanya dituntut focus terhadap ajaran tarekat tersebut, akan
tetapi tetap berkewajiban untuk tetap menjaga syariat dan tarekat tersebut
dibenarkan oleh syariat. Oleh karena itu untuk melakukan tarekat seorang
tidak boleh sembarangan, harus dibimbing oleh seorang guru yang biasa
dikenal dengan sebutan “Mursyid”. Disebutkan juga bahwa Mursyid disini
bertanggung jawab atas bimbingan serta pengawasan kepada para
muridnya dalam kehidupan lahiriyah maupun rohaniyah berdasarkan Al-
Qur’an, Hadist, serta Ijma’.64
Muh. Nasir juga menyebutkan bahwa seorang murid harus sudah
siap patuh dalam mengikuti jejak Mursyidnya, agar tarekat terlaksana
dengan baik. Tidak diperkanankan untuk mencari jalan pintas atau bahkan
keringanan dalam melaksanakan amaliyah yang telah dianjurkan kepada
mursyidnya. Seorang murid tersebut juga diharapkan untuk dalam
mengendalikan hawa nafsunya yang bisa menodai amaliyahnya. Dengan
memperbanyak wirid, zikir, doa serta memanfaatkan waktu ditempat
tertentu. Umum juga diketahui bahwa murid dalam melaksanakan
amaliyah tersebut harus di suatu ruangan atau tempat tertentu yang biasa
disebut ribat agar terlaksana dengan baik amalan tersebut.65
Rahmawati juga menyebutkan bahwa para sufi dalam melaksanakan
tarekatnya dengan cara individu. Jadi dalam satu malan tarekat satu
dengan yang lainnya bisa sangat berbeda amaliyah antara sufi satu dengan
lainya. Sehingga pada prakteknya terdapat beberapa perbedaan dalam cara
63
Muh. Nasir, Perkembangan Tarekat dalam Lintasan Sejarah Islam Indonesia, Jurnal
Adabiyah, Vol. 11, no. 1, 2011, h. 114. 64
Ibid., h. 114 65
Ibid.
26
maupun aturannya. Lebih jauh lagi munculah beberapa tarekat dengan
nama dan kaifiyah yang berbeda-beda.66
a. Munculnya Tarekat
Menurut Sri Mulyati dalam bukunya mengatakan bahwa Ajaran
yang dilaksankan secara murni itu pada masa Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad. Setelah Rasulullah wafat, segi amaliyah dan ibadah para
sahabat serta tabiin masih tetap memlihara dan membina sesuai ajaran
Rasulullah yang disebut dengan amalan salaf al-shalih. Lanjut pada abad
pertama hijriyah mulai muncul teologi, sehingga muncul juga formalisasi
syariah.67
Abad ke- 2 Hijriyah mulai muncul tasawuf, dan mulai
berkembang dengan pemahaman luar yaitu filsafat. Yang setelah abad ke-
2 tersebut para sufi yang mengamalkan amalam-amalannya mereka dalam
rangka mensucikan jiwa untuk mendekatkan diri pada Allah. Dari situ
mulailah para sufi membedakan pengertian antara syariat, thariqat,
haqiqat, dan makrifat. Menurutnya Syariat hubungannya dengan amalan
lahir, tariqat untuk amalan hati, haqiqat untuk amalan segala yang ghaib,
sedangkan makrifat merupakan suatu tujuan akhir yaitu mengnal hakikat
Allah baik dzat, sifat-Nya.68
Sri Mulyati juga mengatakan bahwa orang yang sudah mencapai
makrifat biasa disebut sebagai wali. Kemampuan luar biasa yang
dimilikinya disebut supranatural sehingga dijumpai hal-hal yang diluar
akal baik dalam kehidupannya atau setelah kematiannya. Lanjut abad ke- 5
mulai muncul tarekat sebagai kelanjutan dari amalan sufi sebelumnya.
Dikenalnya Tarekat Qadiriyah yang dikembangkan oelh Syaikh Abdul
Qadir di Asia Tengah yang sampai ke negara-negara luar termasuk
Indonesia.69
66
Rahmawati, Tarekat dan Perkembangannya, Al-Munzir, Vol. 7, No. 7, 2014, h. 87. 67
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, cet. 2,
(Jakarta: Kencana, 2005), h. 6. 68
Ibid., 69
Ibid.. h. 7.
27
Muh. Nasih menyampaikan bahwa di Indonesia merupakan suatu
lahan yang subur akan tarekat-tarekat sufi yang tergolong tarekat sufi yang
terkenal atau Mu’tabar atau tarekat sufi yang bersifat lokal. Beberapa
jumlah tarekat yang mendapatkan julukan Zamrud Khatulistiwa ada tujuh.
Meski banyak terkat-terkat lain, tetapi popular di Indonesia ini yaitu
tarekat: 1. Qadiriyah, 2. Rifa’iyah, 3. Naqsabandiyah, 4. Sammaniyah, 5.
Khalwatiyah, 6. Al-Haddad, 7. Khalidiyah.70
8. Relasi Rohani dengan Akhlak
a. Akhlak secara bahasa
Dalam bahasa Indonesia pertain akhlak sudah lazim digunakan
sebagai tingkah laku. Dalam makna lain akhlak disebut dengan istilah
etika Islam. Kata “Akhlak” berasal dari Bahasa Arab, dari kata
khuluqun خلق yang menurut Bahasa berarti budi pekerti, perangai,
tingkah laku atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi-segi
persesuaian dengan kata Khalqun yang berarti kejadian, yang juga erat
hubungannya dengan Khaliq, yang berarti pencipta, demikian pula
dengan Makhluqun yang berarti yang diciptakan.
Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang
memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq dangan Makhluq.
Ibnu Athir menjelaskan bahwa : “Hakikat makna Khuluq itu, ialah
gambaran batin, manusia yang tepat (yaitu jiwa dan sifat-sifatnya), sedang
khalqu merupakan gambaran bentuk luarnya (raut muka, warna kulit,
tinggi rendahnya tubuh dan lain sebagainya”71
.
Imam Ghazali mengemukakan definisi Akhlak sebagai berikut :
70
Muh. Nasir, op. cit., h. 115 71
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, cet. VI, ( Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2014), h. 11-
12
28
ة اج ح ي غ من ري س ي و ة ل و ه س بي الي ع ف اخ ر دي ص ا ت ه ن ع ة خ اسي ر س ف الن ف ة ئ ي ه ن ع ة ار ب عي ق ل أل
ة ي و ور ر ك في ل إي .
“Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya
timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan
pertimbangan pikiran (lebih dahulu).”
Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, dalam Mu’jam Al-
Wasith, Ibrahim Anis mengatakan bahwa Akhlak adalah :
كر في ل إي ة اج حي ي ن غ مي ري و ش ا ي ن ر مي ال عم ا خ انه ع ر دي ص ا ت نه ع ة ح اسي ر سي ف لن ا ال ح
ة ي ؤ ر و
Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-
macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan
pertimbangan.72
Dalam pengertian yang hampir sama dengan kesimpulan diatas,
Dr. M Abdullah Dirroz, mengemukakan definisi Akhlak sebagai berikut :
“ akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap,
kekuatan dan kehendak mana berkombinasi membawa kecenderungan
pada pemilihan pihak yang benar (salam hal akhlak yang baik) atau pihak
yang jahat (dalam hal akhlak yang jahat”.73
b. Menurut Istilah
Setiap usaha yang dilakukan secara sadar oleh manusia, pasti tidak
lepas dari tujuan, begitu juga halnya dengan tujuan pendidikan akhlak
bahwa yang akan dicapai dalam pendidikan akhlak tidak berbeda dengan
72
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PTRajaGrafindo Persada, 2008), h. 4. 73
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, h. 14.
29
tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Tujuan tertinggi agama dan akhlak
ialah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, kesempurnaan jiwa bagi
individu, dan menciptakan kebahagiaan, kemajuan, kekuatan, dan
keteguhan bagi masyarakat.
Akhlak ada yang bersumber dari agama dan ada pula yang
bersumber dari selain agama (sekuler). Secara umum, akhlak yang
bersumber dari agama akan menyangkut dua hal penting yaitu :
1) Akhlak merupakan bukti dari keyakinan seseorang kepada yang
ghaib yang merupakan pelaksanaan aturan kemasyarakatan yang
sesuai dengan tuntutan agama.
2) Sanksi dari masyarakat apabila seseorang tidak melaksanakan
perbuatan sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam agama.
Agama Islam sebagai agama yang bersumber pada wahyu memiliki
seperangkat bimbingan bagi umat manusia untuk mencapai keselamatan
perjalanan hidup di dunia dan akhirat. Akhlak dalam kehidupan manusia
merupakan faktor yang sangat penting dalam Islam. Oleh karena itu,
sumber ajaran Islam tidak luput memuat akhlak sebagai sisi penting dalam
kehidupan manusia. Dalam Islam telah nyata-nyata diterangkan secara
jelas bahwa akhlak pada hakikatnya bersumber pada Al-Qur’an dan
Sunnah.74
Abu Hamid Yunus mengartikan akhlak secara sederhana dengan
sifat-sifat manusia yang terdidik. Kemudian, ilmu akhlak didefinisikannya
sebagai ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan bagaimana cara
mengikutinya hingga jiwa seseorang terisi dengannya dan tentang
keburukan serta bagaimana pula cara menghindarinya sehingga jiwa
kosong dari keburukan tersebut. Menurut Ibrahim Anis yang di kutip oleh
Damanhuri, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang
74
Eko Setiawan, 2017 “Jurnal Kependidikan: Konsep Pendidikan Akhlak Anak Perspektif
Imam Al Ghazali”, vol. 5 no. 1 2017 h. 53
30
melahirkan bermacam-macam perbuatan baik atau buruk tanpa
membutuhkan pertimbangan.75
c. Tujuan Akhlak
Menurut imam Ghazali tujuan akhlak adalah terbentuknya sikap
batin yang mendorong munculnya keutamaan jiwa, kebahagiaan yang
hakiki. Dikatakan kebahagiaan yang hakiki karena akhlak merupakan
pusat yang menjadi dasar penilaian keutamaan pada manusia. Keutamaan
jiwa menjadi salah satu jalan ketenangan batin manusia sehingga tercapai
tujuan hidup yang sebenarnya. Kemudian yang menjadi landasan akhlak
yang dijelaskannya ialah Al-Qur’an dan Hadis.
Selanjutnya pendidikan akhlak menurut Al-Ghazali adalah
mendekatkan diri kepada Allah Swt., selain itu juga sebagai tujuan akhir
yang akan dicapai oleh manusia. Membersihkan diri (Tazkiyatun an-Nafs),
terbiasa selalu berbuat kebaikan dengan akhlak yang kaamil (sempurna),
ma’rifah, dengan kata lain ia selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt.,
untuk mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan di dunia dan akhirat.76
d. Pembagian Akhlak
Dalam ajaran Islam terbagi dalam kitreria tertentu, sejalan dengan
pendapatnya Abdurrauf As-Singkili yang di kutip oleh Damanhuri dalam
bukunya Akhlak perspektif tasawuf Syeikh Abdurrauf As-Singkili, secara
garis besarnya akhlak terbagi kepada baik dan buruk. Dalam menentukan
suatu perbuatan apakah dipandang baik atau buruk, sedangkan orang
dihadapkan dengan berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tidak,
ukurannya adalah :
Pertama, ukuran sebuah tindakan moralitas adalah melihat akibat
yang ditimbulkannya. Jika baik maka tindakan itu adalah benar, jika
75
Damanhuri, Akhlak : Perspektif tasawuf Syeikh Abdurrauf As-Singkili, (Jakarta :
Lectura Press, 2013), h. 29-30 76
Syamsul Rizal Mz, Jurnal Pendidikan Islam : “Akhlak Islami Perspektif Ulama Salaf”.
Vol. 07. No. 1. h. 78-79
31
sebaliknya maka itu dianggap salah. Kedua, sifat perbuatan itu berguna
dan bernilai untuk diri sendiri. Ketiga, perbuatan yang dilakukan berguna
untuk menunjang kebahagiaan. Keempat, berakibatkan mendatangkan
kebaikan.77
Sesungguhnya akhlak-akhlak islami memiliki beberapa
karakteristik dan keistimewaan yang membedakannya dari sistem akhlak
lainnya. Diantaranya :
1) Rabbaniyah atau Akhlak terhadap Allah
Rabbaniyyah yang dimaksud yaitu meliputi Rabbaniyah dari sisi
tujuan akhirnya (Rabbaniyah al-ghoyah) dan Rabbaniyah dari sisi
sumbernya (Rabbaniyah al-masdar). Rabbaniyah al-ghoyah
maknanya adalah Islam menjadikan tujuan akhir dan sasaran
terjauh yang hendak dijangkau oleh manusia adalah terjaganya
hubungan yang berhasil menggapai Ridho Allah. Ini merupakan
tujuan akhir yang digariskan Islam sehingga semua usaha dan kerja
keras manusia serta puncak cita-citanya adalah bagaimana manusia
berhasil mendapatkan ridha Allah. Sejalan dengan firmannya Q.S.
An-Najm ayat 42 yang berbunyi:78
ت هى (42)وأن إيل ربيك المن
“Dan Bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan segala
sesuatu”79
Adapun Rabbaniyah al-masdar maknanya adalah konsep
yang telah ditetapkan Islam guna mencapai tujuan akhir tersebut
ialah konsep yang Rabbani karena sumbernya adalah wahyu Allah
kepada penutup para rasul-Nya, Muhammad Saw. konsep ini tidak
lahir dari rekayasa maupun ambisi individu, keluarga maupun
golongan, partai dan lain sebagainya. Tetapi murni datang dari
77
Damanhuri, Akhlak : Perspektif tasawuf Syeikh Abdurrauf As-Singkili. h. 197 78
Ibrahim Bafadhol, 2017 “Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Islam”. Jurnal
pendidikan islam. Vol. 06. No. 12, h. 47. 79
Al-Qur’an terjemah kementrian agama, h. 527
32
kehendak Allah yang menjadikannya hidayah atau nur, atau
penjelas, kabar gembira, serta rahmat bagi seluruh hamba-Nya.
Sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 174 yang
berbunyi :80
نا م نوراا مبيي (174)يي ها الناس قد جاءكم ب رهان مين ربيكم وأن زلنا إيليهي
“Wahai manusia, sesungguhnya telah dating kepadamu
bukti kebenaran dari Tuhanmu (yaitu Muhammad Saw. dan
mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya
yang terang benderang (Al-Qur’an)”81
2) Insaniyah (Manusiawi)
Akhlak dalam islam memiliki sebuah risalah atau misi yang
sangat penting yaitu kemerdekaan manusia, membahagiakan,
menghormati dan memuliakan manusia. Risalah yang Insaniyah
tersebut diturunkan untuk manusia, sebagai pedoman hidup
manusia, untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dan selaras
dengan fitrah manusia. Menurut Abdurrauf apa yang hendak
dikerjakan harus dibarengi dengan kesucian batin, dengan hidup
qana’ah dan iffah serta berkorban.
Menurut Abdurauf bahwa teori Rabbaniyah dan Insaniyah
pada dasarnya akal dan wahyu tidak dapat dipisahkan. Dengan
menggunakan akal, manusia akan sampai kepada pengetahuan
ketuhanan yang menciptakan alam semesta. Sedangkan penciptaan
alam semesta dan planet-planetnya adalah suatu tanda dari
kkebesaran Allah SWT. satu sisi manusia mengakui keagungan
Allah, dipihak lain manusia tersebut sadar akan dirinya sebagai
hamba-Nya.82
3) Shumuliyah (Mencakup Semua Isi Kehidupan)
80
Ibrahim Bafadhol, 2017 “Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Islam”, h. 48. 81
Al-Qur’an terjemah kementrian agama, h. 105 82
Damanhuri, Akhlak : Perspektif tasawuf Syeikh Abdurrauf As-Singkili. h. 190
33
Teori Syumuliyah berarti universal, meliputi zaman,
eksistensi dalam kehidupan manusia. Islam adalah risalah yang
shumul berbicara kepada seluruh umat, suku, bangsa dan semua
status sosial. Agama Islam benar-benar merupakan hidayah Allah
SWT. bagi segenap manusia dan seluruh alam, rahmat bagi seluruh
hamba-Nya secara menyeluruh. Dalam hal inilah yang telah
ditegaskan oleh al-Qur'an sejak periode Mekkah. Q.S. al-Anbiya’
ayat 107 :
(107)وما أرسلنك إيلا رحمةا ليلعالميي
“ Dan tidak Kami mengutus engkau wahai Muhammad melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam “83
Berkaitan dengan teori shumuliyah ini yang di kemukakan
oleh Dmanhuri yang dikutip dari Abdurrauf membaginya kepada
beberapa bagian yaitu : akhlak berkaitan dengan diri, berkaitan
keluarga, berkaitan dengan masyarakat, berkaitan dengan makhluk,
berkaitan dengan alam macro bahkan berhubungan dengan Khaliq.
4) Wasathiyah (Bersikap Pertengahan)
Wasathiyah (sikap pertengahan) atau ungkapan lain
tawazun (berkeseimbangan) yang dimaksud sikap pertengahan
disini yaitu keseimbangan yang saling bertolak belakang. Seimbang
dlam arti tidak lebih berat ke satu sisi dan mengabaikan sisi yang
lainnya. Pertengahan dalam islam maknanya memberikan kepada
masing-masing aspek haknya yang sesuai dengan porsinya, tanpa
ada unsur berlebihan atau mengurangi, dan juga tanpa
mengabaikan hak-hak yang lainnya. Aspek tersebut mendapatkan
perhatian dan haknya dalam islam secara adil, proporsional,
harmonis dan tidak sampai melampaui batasnya.84
83
Al-Qur’an terjemah kementrian agama, h. 331 84
Ibrahim Bafadhol, 2017 “Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Islam”, h. 53.
34
Hal ini selaras dengan yang diisyaratkan oleh Allah Ta’ala
dalam firman-Nya Q.S. Ar-Rahman ayat 78 yang berbunyi :
ي زان والسماء رف عها ووضع المي ي زان ألا , تطغوا في المي
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakan mizan
(keadilan). Agar engkau tidak melampaui batas tentang mizan
itu”85
B. Hasil Penelitian Yang Relevan
Dalam pemenuhan kebutuhan peneliti dalam pengumpulan data-data
yang sejalan dengan Nilai-Nilai Pendidikan Rohani dalam buku Mistik dan
Makrifat Sunan Kalijaga, peneliti menemukan hasil penelitian yang serupa,
seperti :
1. Supriyanto, Dosen jurusan Hukum Islam (Syari’ah) STAIN Purwokerto,
menulis jurnal yang berjudul “Dakwah Sinkretis Sunan Kalijaga”,
dengan ISSN: 1978-1261. Hasil dari penelitian yang dilakukannya
terdapat model dakwah sunan kalijaga yang sinkretis atau menyesuaian
dakwah dengan kultur yang ada. Didalamnya banyak nilai pendidikan,
salah satunya pendidikan akhlak melalui tokoh wayang. Maka dari itu,
Penyelenggaraan pendidikan akhlak melalui dakwah sinkretis atau
penyesuian kultur dari sunan kalijaga sangat efektif kepada masyarakat
terutama kalangan suku Jawa dan masyarakat datang dengan perasaan
suka cita tanpa ada paksaan.
2. Siti Muawanah dari menulis sebuah jurnal yang berjudul “Penjamasan
Pusaka Sunan Kalijaga”. Hasil dari penelitian yang dituangkan dalam
jurnalnya yaitu mengenai model penyebaran ajaran islam yang mencakup
perilaku secara adat yang dialihkan bernuansa ajaran islam berupa akhlak
tepatnya menggunakan skulturasi budaya dalam dakwahnya sunan
kalijaga. Mengingat begitu pentingnya akhlak untuk diterapkan dalam
85
Al-Qur’an terjemah kementrian agama, h. 547.
35
kehidupan sehari-hari dan demi kesadaran manusia yang bisa
memanusiakan manusia dengan tetap menjaga kelestarian budaya yang
ada.
3. Budi Sulistiono, Gubes dan Dosen Fakultas Adab dan Tarbiyah UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta menulis sebuah makalah tulisan berjudul
“Walisongo Dalam Pentas Sejarah Nusantara”, yang di sampaikan
dalam acara kajian Walisongo diselenggarakan oleh Universitas
Teknologi Mara Sarawak, di Quds Royal Surabaya. Berisi mengenai
peran walisongo dalam sejarah penyebaran agama islam di nusantara
melalui budaya dan lembaga lembaga pendidikan berupa pesantren serta
biografi walisongo tersebut. Walisongo atau wali sembilan sangat besar
peranannya dalam rangka dakwah penyebaran islam di Nusantara melalui
akhlak kepribadian maupun melalui pondok-pondok pesantren yang
didirikan di masrakat yang di singgahinya.
4. Miftakhurrahman Hafidz, Sutjitro, Kayan Swastika, Mahasiswa Program
Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas
Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember (UNEJ) menulis
sebuah artikel ilmiah mahasiswa yang berjudul “Peranan Sunan Kalijaga
Dalam Islamisasi di Jawa Tahun 1470-1580”. Kesimpulan tulisan ini
ialah Raden Syahid sebelum jadi Wali adalah seorang penyamun,
perampok, dan di bagikan ke rakyat kecil daerah Tuban yang merupakan
daerah kepemimpinan ayahnya yaitu Tumenggung Wilatikta. Dakwah
Sunan Kalijaga memberikan makna piker bahwa Islam dianggap sebagai
sebagai system kebudayaan, hal ini diartikan sebagai kontruksi sosial
yang menganggap islam sebagai hasil dari prosukdi dan reproduksi
manusia. Kontruksi sosial terkait dengan sistem pengetahuan atau
refleksi dan pengetahuan kesadaran yang melibatkan seperangkat
pengalaman manusia didalam kaitannya dengan dunia sosio-kulturalnya.
5. Dimas Indianto S, mahasiswa S2 Konsentrasi Pendidikan Agama Islam
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta meneliti dalam bentuk Tesis yang
berjudul “Pendidikan Karakter Menurut Sunan Kalijaga”, kesimpulan
36
dari penelitian tersebuat ialah kisah hidup dan laku prihatin sejak kecil
hingga wafatnya Sunan Kalijaga banyak pembelajaran yang dapat
dicontoh oleh generasi bangsa. Adanya akulturasi budaya serta
perkembangan teknologi informasi pada masa kini, mengharuskan
generasi muda untuk tidak mudah terpengaruh arus kea rah yang
negative. Karakter yang dimiliki Sunan Kalijaga sangat relevan untuk
menghadapi akulturasi budaya yang tengah ada. Dengan penanaman
karakter seperti seperti Sunan Kalijaga dalam berbagai bidang.
37
37
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan waktu penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah Nilai-Nilai Pendidikan Rohani Yang
Terdapat Pada Buku Mistik Dan Makrifat Sunan Kalijaga. Waktu dalam
penelitian disini yaitu kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka
mengumpulkan data berupa literatur yang terkait dengan objek yang diteliti.
Penelitian ini dimulai pada awal bulan Maret 2019.
B. Metode penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kajian pustaka
(library research). Dalam penelitian kajian pustaka, penggunaan kajian
pustaka bukan hanya berfungsi sebagai pendalaman informasi terkait hasil
penelitian relevan yang terdahulu, memperdalam kajian teoritis, atau
menyesuaikan metodologi, dalam menyiapkan kerangka awal penelitian dan
atau proposal penelitian. Kajian pustaka dalam penelitian ini juga berfungsi
untuk memperoleh data penelitian itu sendiri. Jadi, secara ringkas kegiatan
penelitian kajian pustaka hanya terbatas pada koleksi buku dan sumber lainnya
yang ada di perpustakaan saja, tidak membutuhkan penelitian lapangan (field
research).86
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah metode penelitian yang
bertujuan untuk menjelaskan gejala-gejala, fakta-fakta, maupun kejadian-
kejadian, secara terperinci dan akurat, yang berhubungan dengan sifat-sifat
populasi ataupun suatu daerah. Dalam penelitian deskriptif, kegiatan
86
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008), Cet. I, h. 1-2.
38
penelitian cenderung tidak perlu mencari atau menjelaskan hubungan dan
tidak perlu menguji hipotesis.87
Adapun teknik pengumpulan data yang sesuai dengan penelitian ini
adalah teknik dokumentasi. Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi
adalah mengumpulkan data terkait hal-hal atau variabel berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda,
dan sebagainya. Jika dibandingkan dengan teknik pengumpulan data yang
lain, teknik ini tidak begtiu sulit, jadi jika terjadi kekeliruan, sumber datanya
masih tetap dan tidak berubah, karena metode dokumentasi yang diamati
adalah benda mati dan bukan benda hidup.88
C. Fokus Penelitian
Dalam penelitian disini, yaitu penelitian yang fokus pada Nilai-Nilai
Pendidikan Rohani yang terdapat di Buku Mistik dan Makrifat Sunan
Kalijaga. Nilai-nilai pendidikan rohani disini yaitu nilai-nilai yang bersifsat
dasar serta universal. Nilai yang mencakup mengenali diri dalam rangka
menumbuhkan potensi diri dan mengembangkan potensi rohani untuk
mencapai derajat yang lebih baik.
Berdasarkan beberapa referensi mengenai pendidikan rohani, nilai-
nilai yang terdapat pada pembahasan tersebut bisa diamalkan oleh semua
kalangan khusunya remaja yang belum terawat serta terdidik jiwanya sesuai
fitrah seorang manusia. Karena dirasa pentingnya akan kebutuhan pendidikan
rohani maka Nilai-nilai pendidikan akan dikaji secara rinci dalam penelitian
ini juga terpusat pada buku Mistik Dan Makrifat Sunan Kalijaga oleh Achmad
Chodjim.
87
Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan: Teori dan Aplikasi,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2007), Cet. II, h. 47. 88
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2013), h. 274.
39
D. Prosedur Penelitian
Adapun prosedur dalam kegiatan penelitian dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Peneliti perlu mengumpulkan informasi tentang subjek biografi
2. Peneliti perlu memiliki suatu pemahaman yang jelas tentang materi
historis, kontekstual untuk menempatkan subjek di dalam kecenderungan
yang lebih luas dalam masyarakat atau dalam budaya.
3. Melihat secara tujuan untuk menentukan cerita-cerita khusus,
kecenderungan, atau sudut yang bekerja dalam penulisan sebuah biografi
dan untuk mengungkapkan “figure di balik layar” yang dapat menjelaskan
berbagai konteks yang dibidik dari suatu kehidupan.
4. Penulis menggunakan suatu pendekatan interpretif, perlu mampu
membawa dirinya ke dalam naratif dan mengakui pendiriannya.89
Kajian pustaka disini, memerlukan adanya sumber data berupa buku-buku
yang berkaitan dengan judul penelitian ini. Sumber data adalah subjek dari mana
data diperoleh sesuai jenis penelitian dan teknik pengumpulan datanya. Jika
peneliti menggunakan kuesioner atau wawancara, maka sumber datanya disebut
responden, yakni orang yang merespon atau menjawab pertanyaan peneliti baik
berupa tulisan atau lisan. Jika peneliti menggunakan teknik observasi, maka
sumber datanya berupa benda, gerak, atau proses sesuatu. Sedangkan jika peneliti
menggunakan teknik dokumentasi, maka sumber datanya adalah dokumen atau
catatan.90
Sumber data pada penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sumber
data sekunder. Sumber data primer antara lain adalah buku Mistik dan Makrifat
Sunan Kalijaga oleh Achmad Chodjim. Adapun sumber data sekunder, adalah
sumber data pendamping yang digunakan sebagai sumber data pendukung.
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, baik buku yang
89
Emzir, Analisis Data Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.
29. 90
Suharsimi Arikunto, Ibid., h. 172.
40
berbahasa Indonesia maupun buku berbahasa asing, surat kabar, majalah, atau
sumber lainnya yang relevan dengan judul penelitian ini.
41
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biografi Penulis buku
1. Achmad Chodjim
Achmad Chodjim seorang yang lahir pada tahun 1953, yang hidup
dan tumbuh dari lingkungan agraris, tradisional islami. Dalam perjalanan
belajarnya ia di asuh oleh paman dai pihak ibunya. Tidak hanyha sekolah
formal yang ia tempuh, tetapi juga menjadi santri di salah satu pondok
pesantran di Jombang, Jawa Timur, pondok modern Darussalam, Gontor.
Dari latar pendidikan tersebut tidak heran ia masih terus berjalan menggali
ilmu-ilmu agama.91
Pada Tahun 1974 ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah
Pertanian Menengah Atas di Malang. Semasa belajarnya ia tetap belajar
ilmu agama kepada K.H Achmad Chair, yang pada saat itu adalah seorang
ketua rohani Islam di Korem Angkatan Darat di Malang. Disebutkan juga
Achmad Chodjim belajar ilmu tafsir serta ilmu hadis kepada mubalig
nasional Muhammadiyah.92
Disebutkan juga bahwa melalui guru-guru
tersebut achmad chodjim mempelajari ilmu tafsir serta hadist.
Dari para gurunya tersebut Achmad Chodjim semakin terdorong
belajar ilmu alat khususnya bahasa Arab. Ilmu alat seperti nahwu sorof
balaghah mantiq yang digunakan untuk mengkaji kitab-kitab klasik pada
perkumpulan yang dikenalkan oleh para gurunya. Pada Tahun berikutnya
beliau menyelesaikan gelar sarjana serta Magister Manajemen di Jakarta.
91
Irwan, “Apresiasi Spiritual Q.S Al-Fatihah; Survei Profil Karya-karya Jalaluddin
Rakhmat, Anand Krishna dan Ahmad Chodjim,” (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 37. 92
Ibid., h. 37.
42
Disamping itu beliau juga membuka majelis ta’lim untuk pengajian
diantara karyawan tempat kerjanya.93
2. Karya-karya Achmad Chodjim
Diantara beberapa karya intelektual Achmad Chodjim antara lain :
buku Alfatihah, Islam Esoteris: Kemuliaan Dan Keindahannya, Syekh Siti
Jenar: Makna Kematian. Annas: Segarkan Jiwa Dengan Surah Manusia,
Al-Alaq: Sembuh Penyakit Batin Dengan Surah Subuh, Al-Ikhlas:
Bersihkan Iman Dengan Surah Kemurnian, Membangun Surge:
Bagaimana Hidup Damai Di Bumi Agar Damai Pula Di Akhirat, rahasia
sepuluh malam, Meaningful Life, Menerapkan Keajaiban Surah Yasin
dalam Kehidupan sehari-hari.
B. Perjalanan Hidup Sunan Kalijaga
1. Latar belakang Keluarga Sunan Kalijaga
Raden Syahid yang dikenal sebagai Sunan Kalijaga yang selama ini
kita kenal ternyata memang benar beliau ialah putra seorang raja
Kadipaten. Saden Syahid merupakan putra Bupati Tuban yang bernama
Tumenggung Wilatikta putra dari Aria Teja, yang nama aslinya
Abdurrahman seorang keturunan Arab yang menikah dengan putri Adipati
Dikara. Saat menggatikan sebagai Adipati Tuban Abdurrahman dikenal
sebagai Aria Teja. Jelas disebutkan oleh Agus Sunyoto dalam bukunya
Atlas Walisongo yang di ambil dari babad Tuban menyatakan bahwa
Sunan Kalijaga adalah Keturunan arab yaitu garis dari Abdul Muthalib.94
Penulis mempunyai pemahaman bahwa Raden Syahid merupakan
seorang yang bernasab baik dari keluarga yang baik, akan tetapi karena
keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan serta bertolak belakang
93
Ibid., h. 38. 94
Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, cet. 1, (Tangerang Selatan : Pustaka IIMaN, 2016), h.
258.
43
dengan kehendak, bisa dikatakan hubungan Raden Syahid dengan keluarga
yang kurang harmonis. Zainal Abidin bin Syamsuddin menyatakan bahwa
Raden Syahid meskipun keturunan bangsawan beliau tetap lebih memilih
hidup bebas dari kebangsawanannya. Seperti halnya bergaul dengan para
mayarakat. Semua itu merupakan bukti bagi penulis bahwa lingkungan
luar lebih disukai disbanding keluarganya.95
2. Masa Muda Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga lahir ketika keadaan Majapahit mulai surut. Sunan
kalijaga lahir bernama Raden Syahid atau Said. Keadaan surut yang
dimaksud yaitu biaya upeti kadipaten kepada kerajaan pusat sangatlah
tinggi, dan keadaan tersebut menjadi salah satu faktor keprihatinan hidup
Raden Syahid sampai masa remaja. Saat datang kemarau panjang keadaan
Raden Syahid semakin merasa prihatin kepada keadaan masyarakat.
Sampai apada akhirnya Raden Syahid memberanikan diri bertanya kepada
ayahandanya mengenai kenapa masyarakat yang hidup sengsara makin
dibuat menderita dengan upeti yang sangat tinggi. Mendengar pertanyaan
dari Raden Syahid tersebut ayahandanya merasa sedikit malu, tapi apa
boleh dibuat sedangkan ayahnya hanya sebagai Raja kadipaten.96
Karena keadaan yang semakin menjadi lebih prihatin, sampai
akhirnya Raden Syahid memilih menjadi seorang pencuri, seperti
membongkar gudang kerajaan dan mengambil bahan persediaan makanan
yang kemudian di bagi-bagi kepada masyarakat secara sembunyi-
sembunyi. Para masyrakat yang menerima makanan tersebut pun tidak
mengetahui siapa yang telah memberikan makanan di rumahnya.
Bagaimanapun caranya Raden Syahid dalam mencuri secara diam-diam
tetap saja tidak lepas dari intaian para penjaga keamanan kadipaten,
sampai pada akhirnya, para penjaga menangkap basah aksinya Raden
95 Zainal Abidin bin Syamsuddin, Op., Cit., h. 296. 96
Achmad Chodjim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, cet. 1, (Jakarta : PT Serambi
Ilmu Semesta, 2003), h. 8
44
Syahid kemudian di bawa dihadapan ayahandanya Adipati Tumwnggung
Wilatikta.97
Karena merasa sangat malu oleh perbuatan Raden Syahid tersebut
Raden Syahid diusir dari istana kadipaten, uniknya diusirnya Raden
Syahid oleh ayahnya tersebut tidak membuat raden Syahid merasa jera.
Bisa dikatakan pengusiran tersebut membuat Raden syahid menjadi
perampok serta pembegal terhadap orang-orang kaya di Kadipaten Tuban
namun hasilnya tetap dibagikan kepada mayrakat yang menderita.
Bagaimanapun itu Raden Syahid tetap tertangkap lagi. Sampai akhirnya
Raden Syahid diusir dari wilayah Kadipaten, tidak jelas pergi kesana
kemari Raden Syahid masih belum sadar akan kesalahannya dan tetap
melanjutkan perbuatannya sebagai seorang pencuri.98
3. Awal kesadaran untuk memilih jalan yang benar
Dari sekian peristiwa yang membuat Raden Syahid diusir dan
diasingkan dari Kadipaten, sampai Raden Syahid pergi ke sutau Hutan
yang bernama Jati Wangi bertemu dengan seorang laki-laki tua yang
bernama Sunan Bonang. Tanpa berpikir siapa lelaki tua tersebut, Raden
Syahid melancarkan rencananya untuk merampok lelaki tua tersebut.
Dengan kepandaiannya dalam ilmu bela diri, lelaki tua tersebut dibuat
kalah oleh Raden Syahid. Lelaki tua tersebut diminta menyerahkan bekal
yang dibawanya, serta tongkat emas yang dibawa oleh lelaki tua tersebut,
sambil mengutarakan tujuannya merampok untuk menolong orang-orang
miskin. Dari pertemuannya dengan lelaki tua yang ternyata Sunan Bonang
itulah yang membuat Raden Syahid tercerahkan hidupnya. Sampai
akhirnya disadarkan bahwa perbuatan mencuri merampok membegal
merupakan salah yang salah meskipun tujuan akhirnya mulia. Tumbuhnya
rasa bersalah tersebut merupakan awal dari Raden Syahid berniat berguru
97
Ibid., h. 8-9. 98
Achmad Chodjim, Ibid., h. 9
45
spiritual untuk pertama kalinya kepada Sunan Bonang yang kemudian
Sunan Bonang menerima Raden Syahid sebgai Murid Spiritualnya.99
Dalam proses berguru kepada Sunan Bonang Raden Syahid
diperintahkan untuk menunggu di tepi sungai sampai Sunan Bonang
kembali kepada Raden Syahid. Menunggunya Raden Sayhid di tepi sungai
dengan setia serta kepatuhan dalam ajaran makrifat. Sikap tunduk terhadap
guru spiritual. Bukan teori yang diajarkan saat itu, melainkan mujahadah
dalam mencari kebenaran. Diceritakan karea saking lamanya Raden
Syahid bermeditasi serta bermujahadah di tepi sungai tersebut sampai
banyak tumbuhan yang menutupi tubuhnya. Sampai pada akhirnya Sunan
Bonang tiba untuk menemuinya yang kemudian mengajarkan ilmu-ilmu
agama dan spiritual kepada Raden Syahid tersebut. Belum cukup disitu
setelah bergutu kepada Sunan Bonang, Raden Syahid masih berguru
kepada para wali lainnya seperti Sunan Ampel serta Sunan Giri dan ke
Pasai.100
Berdasarkan pemaparan tersebut bisa ditarik benang merah bahwa
dalam melakukan perbuatan yang baik akan tetapi dilakukan dengan cara
yang buruk maka tetap bernilai buruk. Dalam hal ini Raden Syahid muda
tetap dianggap sebagai kenakalan, karena meresahkan pihak pemerintahan
Kadipaten serta aksi-aksi pembegalan, perampokan, yang disebabkan
kurang harmonisnya ikatan dengan keluarga yang menjadi salah satu
faktor beliau melakukan hal tersebut. Kesadaran diri yang membuat Raden
Syahid kembali kepada Fitrahnya yaitu untuk menjadi sebagaimana
manusia yang merawat dan menumbuh kembangkan potensi Taqwa
kepada sang Khaliq.
99
Ibid., h. 10 100
Achmad Chodjim, Ibid., h. 10
46
4. Tarekat Sunan Kalijaga
Dalam buku Achmad Chodjim juga menyebutkan bahwa sunan
kalijaga adalah seroang mistikus Islam dan juga jawa. Seorang sufi dan
pengamal tarekat dari bergbagai tembang dan ajarannya atau mengenai
suluk tentang dirinya sangat susah untuk digolongkan kedalam tarekat
tertentu. Kata terakat yang sisampaikannya dengan kata “tirakat”.101
Sunan
mengajarkan tarekatnya dengan caranya sendiri tarekat khas jawa yang
berupa tembang atau kidung serta dalam istilah istilah jawa.
a. Mati Sajroning Urip
Jika kita buka lagi di pembahasan perjalanan dakwah sunan
kalijaga saat berada di Dearth Patani Raden Syahid dikenal juga
sebagai tabib. Bahkan mengobati Raja Patani yang sedang sakit kulit
yang sampai akhirnya dikenal sebagai Syaikh Sa’id, Syaikh Malaya
karena pernah berguru di wilayah Malaya. Gelar Syaikh Malaya
menurut Achmad Chodjim berasal dari Bahasa Jawa dari kata “ma-
laya” yang artinya mematikan diri. Orang jawa sangat akrab dengan
istilah “Mati sajroning urip”, yaitu mati dalam hidup ini. Dengan arti
menghayati kematian dalam kehidupan akan akan membuat orang
akan merasakan hakikat hidup. Kembalinya Raden Syahid ke tanah
Jawa kemudian beliau diangkat menjadi anggota wali sanga, yaitu
Sembilan pemuka dan penyebar islam di tanah Jawa.102
Rusydie Anwar mengatakan bahwa istilah mati sak jroning urip
merupakan salah satu dari bagian tarekat Sunan Kalijaga. Bagian dari
tarekat tersebut bisa diambil makna bagaimana menjalani kematian
dalam kehidupan. Seeperti yang dipaparkan diatas bahwa Sunan
Kalijaga saat menemukan kesadaran diri dan berguru kepada para
sunan lainnya. Sunan kalijaga tetap tidak memutuskan kembali untuk
101
Ibid., h. 208. 102
Ibid., h. 11
47
menyandang gelar Raden di kadipaten. Penulis memahmi bahwa apa
yang dipilih Sunan Kalijaga merupakan usaha untuk memahami
hakikat kehidupan untuk memahami hakikat kematian. Hakikat
kemstian yang disebutkan yaitu mengenai bagaimana mengendalikan
hawa nafsu pada dunia dengan cara mendekatkan diri kepada yang
maha kuasa. Bila dikaji secara lebih mendalam bisa dipahami bahwa
tarekat ini bukan hanya berupa pesan untuk selalu dekat dengan Allah,
melainkan ada nilai untuk menusia agar menyiapkan diri sebelum
menghadap Allah.103
Dalam perjalannya dakwah di Tanah Jawa Sunan Kalijaga
menyebarkan agama dengan cara pendekatan kebudayaan yaitu dengan
menggunakan metode kultural yang disisipi dengan ajaran-ajaran
agama. Achmad Chodjim juga menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga
orang yang kreatif dengan menciptakan pakaian takwa, tembang-
tembang Jawa serta seni yang memperingati Maulid Nabi yang di Jawa
biasa dikenal dengan sebutan Grebeg Mulud, upara Sekaten yang
bermaksudkan Syahadatain yang dilakukan untuk mengajak orang
Jawa untuk masuk Islam, serta menciptakan wayang kulit dari bentuk
manusia menjadi kreasi yang berbentuk karikatur yang kaya akan
telaah kehidupan diri manusia. 104
Sunan Kalijaga mengajarkan kepada masyarakat tentang jati
diri manusia. Seperti halnya tembang-tembang yang berisi lantunan
doa memohon lindungan dari Allah yang dituangkan berbentuk
kidungnya. Kidung Sunan Kalijaga mengjarkan bagaimana hidup
menjadi manusia yang waspada. Bagi orang Jawa tidak asing jika
dikatakan hidup itu harus eling lan waspada. Dari kedua kata itu hanya
kata waspada yang yang mungkin terserap dalam bahasa Indonesia.
103
Rusydie Anwar, Kesaktian dna Tarekat SUnan Kalijaga, cet. 1, (Yogyakarta: Araska,
2018). H. 157. 104
Achmad Chodjim, Ibid., h. 15.
48
Kata eling jika di alihkan ke nahasa Indonesia bisa berarti ingat atau
sadar. Penulis memahami dari tulisan Achmad Chodjim bahwa kata
eling sebenarnya artinya lebih luas daripada ingat atau sadar. Bisa
dikatakan bahwa yang di maksud dalam kalimat tersebut ialah
bagaimana manusia harus selalu siaga dalam keadaan sadar bahwa
hidup ini penuh dengan resiko dan ancaman dan akan kemana kita
pergi di ujung kehidupan. Dari sinilah penulis sadar betul bahwa
manusia memang benar adanya sangat membutuhkan guide atau
petunjuk sebagai pegangan hidup.105
Achmad Chodjim juga menyebutkan bahwa dalam mencari
guide atau petunjuk hidup salah satunya dengan Bergama atau
keyakinan. Agama mengandung unsur kepercayaan sedangkan
kepercyaan belum tentu terbingkai agama. Unsur utama dalam
beragama yang banyak dipegang erat yaitu kepercayaan. Banyak orang
yang beragama secara status serta secara yakin akan masuk surga
sesuai dengan keyakinan yang dimilikinya daripada melakukan amal
shaleh yang dilandasi dengan keimanan. Banyak juga yang
memandang bahwa iman lebih utama dibandingkan perbuatan, padahal
salah satu buah dari agama yaitu penghayatan batin dalam
melaksanakan tingkah tersebut. Dari sinilah peran kesadaran kodrat
sebagai manusia yang kemudian mengenal diri kemudian menyadari
tujuan hidup.106
b. Meditasi
Meditasi atau semedi merupakan salah satu cara dalam
tarekatnya sunan Kalijaga. Orang jawa tidak asing dengan kata semedi
yang dapat dipahami dengan bertapa. Dalam versinya Rusydie Anwar
meditasi dalam tarekatnya sunan Kalijaga disebutkan Martapa yaitu
105 Ibid. 106
Achmad Chodjim, Ibid., h. 87-88.
49
tindakan menyepi atau menghindari keadaan yang bisa membuat
seorang lupa diri. Ia juga menyebutkan bahwa martapa disini
merupakan salah satu tindakan mawas diri, melakukan sikap
waspada.107
Dalam islam semedi dapat diartikan sebagai dzikir, berkhalwat
dan lain sebagainya. Disebutkan juga oleh Achmad Chodjim bahwa
semedi merupakan kata yang diserat dalam bahasa Jawa yang artinya
tunduk. Namun pada akhirnya dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai
zikir atau meditasi. Achmad Chodjim mengatakan Zikir dari kata Arab
dzikir, yang berarti ingatan atau mengingat sesuatu. Dalam khazanah
sufisme zikir berarti mengulang-ulang melantunkan atau menyebutkan
suatu kata. Terlebih lagi zikir merupakan salah satu cara untuk
mengingat Allah.108
Sejalan dengan tarekat sunan Kalijaga tersebut Akhmad Sodiq
mengatakan “zikir, berpikir dan wirid merupakan hal yang sangat
penting dalam transformasi rohani lebih lanjut”.109
Akan tetapi,
amaliyah tersebut dalam tarekat al-Ghazali yang dilaksanakan dengan
keadaan khalwah dan memperbanyak ibadah. Begitu juga dengan
meditasi yang disebutkan sebagai tarekat sunan Kalijaga yang
prakteknya menuangi pikiran serta hati dengan kata pujian terhadap
Tuhan.110
Samadi, meditasi atau dzikir merupakan salah satu cara
untuk membersihkan diri dengan banyak dzikir dan diisi dengan amal
saleh.111
107
Rusydie Anwar, op. cit. h. 133. 108
Achmad Chodjim, op. cit. h. 209. 109
Akhmad Sodiq, op. cit., h. 151 110
Achmad Chodjim, op. cit., h. 210. 111
Ibid., h. 218.
50
C. Tarekat Sebagai Nilai Pendidikan Rohani Oleh Sunan Kalijaga
Sebagaimana dijelaskan diatas setelah memahami, serta memaknai
pendidikan rohani dengan benar, bisa ditemui bahwa kesadaran jati diri
manusia merupakan nilai pendidikan rohani yang terdapat pada tarekat sunan
kalijaga yang penting untuk disadari pada diri seseorang sejak dini. Pada
hakikatnya, nilai-nilai pendidikan rohani yang terdapat pada buku mistik dan
makrifat Sunan Kalijaga untuk menumbuhkan potensi dalam diri untuk
merawat fitrah beragama untuk menjadi manusia yang lebih baik, kesaadaran
tersebut dapat penulis diuraikan sebagai berikut.
1. Menerima Kodrat sebagai Manusia
Berdasarkan pemaparan di atas secara garis besar penulis
memahami bahwa menerima kodrat sebagai manusia merupakan salah satu
bentuk kesadaran diri untuk menjadi manusia sejati. Karena bagaimanapun
itu kebehagiaan hidup ini tergantung sejauh mana kita menerima kodrat
kita. Dengan lapang dada suka cita kita menerima qadla dan qadar yang
terjadi pada diri kita. Penting diketahui bahwa menerima kodrat bukan
untuk bersikap pasif. Menerima kodrat dan bersikap pasi jelas dua perkara
yang berbeda.112
Menerima kodrat yang di maksudkan penulis yaitu berusaha
menghadirkan kesadaran sepenuhnya siapa, apa misi kita, serta akan
kemana diri kita. Sedangkan bertindak menjadi pasif yaitu tidak mau
berusaha sungguh-sungguh dalam menjalankan tugas hidup kita sebagai
diri manusia dan menjalankan misi kita sebagai khalifah di bumi, yang
inilah malah menyalahi kodrat.
Kodrat yang dibahas penulis yaitu kodrat dari sisi kuasanya dalam
pembentukan tingkah jasmani. Bukan kodrat yang mencakup nasib sebuah
kehidupan. Jadi berpikir bagaimana bisa kita hidup, apa misi kita dalam
112
Ibid.,
51
hidup. Karena bagaimanapun itu kita hidup bukan karena kehendak buta
oleh alam yang tidak jelas tujuannya. Jika kodrat diri manusia dalam sisi
jasmani untuk menyempurnakan jiwa agar sang diri manusia bisa kembali
lagi kepada fitrah-Nya.113
Sejalan dengan pemahaman tersebut Jalaluddin Rakhmat
mengatakan bahwa Al-Qur’an menyuruh kita untuk senantiasa berjalan
bahkan ia menyebutnya berlari kepada-Nya”. Dengan alasan hidup ini
terlalu singkat jika kita hanya berjalan menuju Tuhan.114
Penulis
memahami disitu terdapat makna sungguh-sungguh secara totalitas diri
manusia perlu berikhtiar untuk bisa sampai ke Allah, dan bukan malah
bersikap pasif dengan tidak menerima tau bahkan menjadikan alasan
bahwa perbuatan buruk yang dilakukan sesorang adalah merupakan takdir
Tuhan belaka.
Rusydie Anwar dalam bukunya Tarekat sunan kalijaga juga
menjelaskan bahwa salah satu tarekat sunan kalijaga yaitu dengan
menghargai diri sendiri. Jika dilihat dengan kacamata orang jawa bisa
pahami tarekat tersebut terserat dalam istilah “Marsudi Ajining Sira”.
Sejalan dengan paragraf sebelumnya, pesan penting dari tarekat ini yaitu
tidak untuk bersikap pasif dalam enerima kodrat. Melainkan untuk
menyadari bahwa dalam diri manusia mempunyai keharusan untuk
melakukan kebaikan untuk dan demi dirinya sendiri.115
2. Mengenal Diri sebagai Manusia
Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal bahwa dalam tahap
mengenal diri manusia, perlunya kesadaran diri secara penuh. Karena saat
manusia mengenal dirinya, merupakan satu langkah awal dalam
memahami hidup dan mengenali sang maha hidup. Seperti halnya
113
Ibid., h. 92-94. 114
Jalaluddin Rakhmat, Tahap-tahap perjalanan ruhani menuju Allah. Cet. 5, (Bandung:
PT Mizan Pustaka, 2008), h. 69. 115
Rusydie Anwar, op. cit., h. 80.
52
ungkapan Imam Ghazali dijelaskan dalam kitab Kimiya’ al-Sa’adah
mengatakan bahwa “sesungguhnya kunci untuk mengenal Allah yaitu
mengenal diri sendiri”116
sebagaimana Sabda Nabi saw. yang berbunyi:
ه ب ر ف ر د ع ق ف ه س ف ن ف ر ع ن م
“Siapa yang mengenal Dirinya, ia akan mengenal Tuhannya”.
Karena bagaiamapun itu diri kitalah yang paling dekat dengan kita,
bukan yang lain. Jika seorang hanya mengenal dirinya sebagai anggota
tubuh saja, maka tidak akan sampai pada Tuhannya pemahaman
tersebut.117
Jika kita sudah paham akan asal-usul dari semua yang hidup
adalah karena adanya sang maha hidup maka kita bisa paham bahwa kita
dengan makhluk lain harus saling kenal dan menjalin suatu harmoni.
Sampai pada akhirnya kita tau serta sadar tujuan hidup kita masing-masing
tidak lain dan tidal bukan untuk menghamba kepada Allah SWT.118
Sejalan dengan yang ungkapan tersebut, Buya Hamka dalam
bukunya yang berjudul Pribadi Hebat juga mengatakan bahwa sangat
perlu kita mempelajari pribadi diri manusia. Akan tetapi, lebih penting lagi
seperti kata Socrates yang terkenal dan di kutip beliau “kenalilah dirimu,
kenalilah pribadimu sendiri”. Namun kita juga perlu sadar bahwa
mengenali diri lebih sulit dibandingkan mengenali manusia lainnya. Nabi
Muhammad saw. bersabda “berbahagialah orang yang mementingkan
memperhatikan cela diri diri sendiri sehingga tidak sempat
memperhatikan cela orang lain”.119
Sunan Kalijaga mengingatkan agar
dalam hidup ini tidak sekadar berjalan, tetapi sungguh-sungguh
memperhatikan apa yang ada disekelilingnya. Karena tanpa adanya
perhatian kepada sekeliling secara sungguh-sungguh manusia akan
116
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Kimiya’ al-Sa’adah dalam majmu’at rasail al-
Imam Ghazali, (Kairo: Mktabah Taufiqiyah), h. 448. 117
Al-Ghazali., Ibid., 448. 118
Achmad Chodjim, Ibid., h. 105. 119
Hamka, Pribadi Hebat, cet. 1, (Jakarta: Gema Insani, 2014), h. 5.
53
kehilangan jati dirinya serta akan kehilangan orientasi hidupnya bahkan
sampai lupa kalau diri manusia itu harus bisa menemukan tujuan
Hidupnya.
Siti Khasinah dalam jurnal ilmiahnya juga mengatakan bahwa salah
satu wujud hakikat manusia yaitu kemampuan untuk menyadari diri.
Kemudian dari kemampuan mengenal dan menyadari diri tersebut
membuat manusia mampu mengeksplorasi potensi-potensi fitrah yang ada
pada diri sendiri sebagai manusia. Kemampuan ini juga yang membuat
manudia terdorong mampu untuk menjadi manusia yang sempurna dengan
berbagai caranya, dan salah satunya dnegan pendidikan.120
3. Tahu Tujuan Hidup sebagai Manusia
Seperti yang telah di jelaskan di bab sebelumnya, dalam islam
manusia merupakan makhluk yang mempunyai aspek jasmani yang tidak
dapat dipisahkan dari aspek rohani selama manusia masih dalam keadaan
hidup. Manusia juga mempunyai aspek akal. Setelah manusia benar telah
memahami aspek serta potensi tersebut, manusia seharusnya sudah benar-
benar sadar akan tujuan hidupnya. Dengan menerima kodrat manusia serta
memahami jati dirinya dalam hidup ini dari sang maha hidup selanjutnya
seorang manusia harus mengetahui tujuan hidupnya.
Sunan Kalijaga menanamkan pelajaran tersebut pada kalimat yang
berupa istilah-istilah jawa yang merupakan tarekat sunan Kalijaga dalam
membina masyarakat jawa. Salah satunya yaitu siapa yang mengerti tujuan
hidupnya maka seolah-olah ia mengetahui “pagere wesi, rineksa wong
sajagad”, yang artinya pagar besi yang dijaga oleh orang seluruh dunia.
Tujuan hidup dari Sunan kalijaga jelas hanya untuk kembali kepada sang
Khaliq. Pemilihan katanya yang berbeda. Achmad Chodjim memberikan
contoh bahwa yang dimaksud Sunan Kalijaga yaitu salam tapi orang jawa
120
Siti Khasinah, Hakikat Menusia Menurut Pandangan Islam Dan Barat, Jurnal Ilmiah
DIDAKTIKA, Vol. XIII, No. 2, 2013, h. 305.
54
pahamnya dari ajaran tersebut yaitu dengan kata ”slamet”. Selamat lahir
batin, selamat dunia akhirat.
Jika dilihat segi maknanya salam atau selamat merupakan suatu
tujuan yang ingin di tuju oleh manusia. Karena dalam keadaan itulah
manusia bisa menikmati kebahagiaan. Karena tujuan pokok dari manusia
itu sama maka manusia hidup harus saling mengenal dan untuk menjalin
sebuah harmoni dalam rangka berjalan bersama mencapai tujuan hidup. 121
Oleh karena itu manusia yang dilahirkan di dunia ini bersandingkan
hawa nafsu, kuasa nafsu maka manusia harus bisa mengenali dirinya serta
mengetahui asal usulnya. Karena tanpa mengetahui serta menyadari
adanya itu semua manusia tidak akan dapat mengenali jadi dirinya serta
lupa akan harmoni yang harus dijalankan manusia dalam hidupnya dengan
manusia lainya sarana berjalan bersama menuju ridla Allah SWT.
4. Spirit takwa Kepada Allah
Dalam perjalanan dakwah sunan kalijaga tidak hanya berdakwah
melalui lagu yang berisi doa yang terbungkus nama kidung. Namun
banyak istilah-istilah yang diserat dalam bahasa Jawa yang sebenatnya
merupakan tarekat Sunan Kalijaga mengajarkan untuk bertakwa kepada
Allah. Sejalan dengan penulis, Rusydie Anwar dalam bukunya juga
mengatakan bahwa salah satu tarekat Sunan kalijaga yaitu Marsudi Ajining
Sira yang didalamnya terdapat unsur spirit takwa.122
sebagaimana perintah
Allah SWT. kepada hamba-Nya untuk dalam surat Al-Jumu’ah ayat 2
yang berbunyi:
ييي رسولاا مينهم ي ت لوا عليهيم ءايتيه وي زكييهيم وي عليمهم الكيتاب هو الذيى ب عث في اخمي واليكمة وإينكان وا مين ق بل لفيي ضلال مبيي
121
Achmad Chodjim, Ibid., h.115. 122
Rusydie Anwar., Op, cit., h. 80-81.
55
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang
rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan
ilmu hikmah. Dan sesungguhnya mereka benar benar dalam
kesesatan yang nyata.123
Berdasarkan ayat tersebut dapat penulis pahami bahwa manusia
yang memiliki pengetahuan akan mencapai Tuhannya, sehingga akan
menjadi orang yang takwa. Takwa yang penulis ambil dari maksud di atas
yaitu takwa yang dilandasi dengan kesadaran penuh entah melalui
perasaan cinta ataupun rasa takut. Kurang lebihnya takwa disini yaitu taat
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Seperti yang penulis temukan
di buku dari kitab Nashaiul Ibad, mengatakan bahwa “Allah memberikan
wahyu kepada sebagian para nabi”:
عني فييما امرتك ولا ت عصيني فييما نصحتك اطي
“Taatlah Anda Kepada-Ku terhadap apa yang telah Aku
perintahkan kepadamu dan janganlah anda mendurhakai terhadap
apa yang telah Aku nasehatkan kepadamu”124
Dalam buku tersebut menjelaskan maksud kata “mendurhakai”
yaitu melalaikan yang akibatnya bisa mengancam kemaslahatan.
Sedangkan apa yang dimaksud dari ungkapan larangan tersebut ialah
untuk di jauhi karena larangan yang dilakukan akan mendatangkan
kerusakan yang mungkin akan dirasakan oleh orang lain juga. 125
Mustofa Bisri dalam bukunya yang berjudul Saleh Ritual Saleh
Sosial juga mengatakan bahwa untuk kalangan santri sangat umum
memahami takwa sebagai menjalankan segala perinta-Nya serta Menjauhi
segala larangan-Nya. Tapi dirasa sangat berat untuk dilaksanakan kerana
larangan maupun perintah sangatlah banyak terlbih lagi di perinci sperti
shalat menghadap Allah, puasa menguasai nafsu, zakat sebagai keadilan
123
Al-Qur’an terjemah kementrian agama, h. 553. 124 Moh. Syamsi Hasan, Nasehat buat Hamba Allah, (Surabaya: Amelia, 2005), h. 34. 125 Ibid., h. 34
56
sosial serta haji dan lain sebagainya. Dirasa berat, beliau mengutip ayat
Al-Qur’an Surat Al-Taghabun ayat 16 yang berbunyi:
126الت قوااالله مااستطعتمف
“bertakwalha semampu kalian” (Q.S. 64: 16).
Dari situ Mustofa Bisri menyampaikan maksud kata
“semampunya” bukan “seenakya”. Semampunya tersebut merupakan
sebagai upaya niat kuat, berlatih tekun serta mengerahkan segenap
tenaga.127
Bahkan salah satu tulisannya, Nurcholis Madjid yang dikutip oleh
Rusydie Anwar mengatakan bahwa pokok dari ajaran islam yaitu takwa.
Lebih jauh lagi “Takwa pada dasarnya adalah pola hidup atau gaya hidup
yang disertai kesadaran, bahwa Allah itu hadir dan beserta kita dalam
setiap tindak tanduk dan perilaku kita”.128
Begitu pula ajaran Sunan
Kalijaga yang terserat dalam kidungnya berjudul Rumeksa Ing Wengi,
merupakan salah satu ajaran Sunan Kalijaga bermakna bahwa hanya Allah
lah satu-satunya tempat kita bergantung.
5. Pribadi yang Patuh
Salah satu tarekat Sunan Kalijaga yang terkandung dalam istilah
Jawa lainnya menurut Ruysdie Anwar yaitu Maguru yang berarti berguru.
Penulis ber pandangan Sunan kalijaga dalam tarekatnya ini banyak
dipengaruhi oleh perjalanan saat bertemu dengan Sunan Bonang. Dalam
bergurunya, Sunan Kalijaga menemukan kesadaran atas yang telah ia
lakukan selama ini merupakan perbuatan dirinya yang salah. Dalam
berguru pula Sunan Kalijaga memenukan kesadaran bahwa kebenaran
tidak bisa di tempuh dengan jalan yang salah. Sikap patuh kepada Sunan
126 Al-Qur’an terjemah kementrian agama, h. 557.
127 Mustofa Bisri, Saleh Ritual Saleh Sosial cet. 2, (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), h. 31-
33. 128
Ibid., h. 82.
57
Bonang, merupakan salah satu bentuk keseriusan dalam bertaubat kepada
Allah SWT. Sampai akhirnya buah dari ilmu tersebut yaitu mengajarkan
lebih patuhlah kepada Allah untuk menjalankan amar makruf.129
Achmad Chodjim juga menyebutkan bahwa “dalam bahasa agama,
amar makruf merupakan wujud kesalehan hidup. Baik kesalehan pribadi
maupun kesalehan sosial”.130
Kesalehan yang dimaksudkan yaitu jalinan
harmoni. Disini jika syariat dikatakan sebagai disiplin hidup, maka tarekat
adalah untuk membangkitkan kesadaran serta mematangkan spiritual.
Makruf yang dimaksudkan Sunan Kalijaga yaitu suatu kearifan lokal.
129
Rusydie Anwar., Op, cit. h. 121. 130
Achmad Chodjim., Op, cit., h. 227
58
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dibahas pada bab
sebelumnya, dan penulis menemukan inti dari terjawabnya pertanyaan pada
rumusan masalah mengenai nilai-nilai pendidikan rohani yang terdapat pada
buku mistik dan makrifat sunan Kalijaga. Dapat diambil kesimpulan dari 2
aspek. Aspek pertama, aspek perjalan hidup sunan Kalijaga yang menyingkap
bagaimana cara menumbuh kembangkan potensi dalam diri. Serta dalam
ajaran yang disampaikannya pada nilai-nilai pendidikan rohani dalam tarekat-
tarekatnya seperti istilah-istilah jawa seperti, mati sajroning urip, martapa,
maguru serta marsudi ajining sira.
Aspek kedua, nilai-nilai pendidikan rohani dalam buku mistik dan
makrifat sunan kalijaga dilihat dari proses perjalanan hidup serta tarekat-
tarekat sunan Kalijaga. Nilai-nilai pendidikan rohani tersebut diantaranya,
yaitu: menerima kodrat sebagai manusia, mengenal diri sendiri, tahu tujuan
hidup, bertakwa, serta menjadi prinadi yang patuh.
Semua nilai pendidikan rohani pada buku tersebut khususnya bab
mengenal diri serta tarekat sunan Kalijaga tersebut merupakan nilai-nilai
rohani yang bersifat dasar dan universal. Tidak hanya teruntuk kalangan jawa
saja, namun untuk semua orang. Jadi nilai-nilai pendidikan rohani yang
terpaparkan di atas dapat diaplikasikan serta diamalkan untuk semua orang
maupun golongan yang tidak memandang suku, budaya, ras maupun keadaan
ekonomi dan lain-lainnya.
59
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, peniliti ingin menyampaikan bahwa
penelitian ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu peneliti dari penelitian ini
berharap:
1. Bagi kaum pelajar seperti halnya peneliti, baiknya menyadari bahwa kita
sebagai diri manusia merupakan karunia Allah yang dibekali berbagai
potensi sejak lahir. Maka alangkah baiknya kita untuk sesegera mungkin
mengenali serta menyadari fitrah kita sudah tumbuh ke nilai yang bersifat
positif atau belum. Saat kita sadar maka kita dapat menimbang ibadah kita
untuk apa, pendidikan kita untuk apa saat kita masih melakukan hal-hal
yang bersifat merusak diri bahkan kualitas beragama kita.
2. Untuk para lebaga pendidikan jangan lupa senantiasa mengingatkan para
pelajar mengenai essensi diri seorang manusia dan juga tetap istiqomah
dalam mendoakan para pelajar agar menjadi harapan bangsa kedepannya.
3. Pemimpin selaku berkuasa atas keputusan dalam lingkup kependidikan.
Mohon untuk memberikan kebijakannya dalam meminimalisir dan
mengarahkan peserta didik lebih mengenal bahwa negara kita punya
tokoh-tokoh yang luar biasa. Pendidikan menjadi senjata kita dalam
melawan perkembangan zaman dan rohani sebagai spirit kita untuk
berperang dengan hal-hal negatif yang bisa mengancam masa depan
negara.
4. Untuk rakyat sebegai tokoh utama dalam negara yang sudah berjalan
dengan tanggung jawabnya masing-masing semoga istiqomah dalam
kesadaran penuh untuk menjalin sebuah harmoni antar rakyat lainnya.
Terutama untuk para orang tua jangan pernah lepaskan anak dari agama,
jangan sesekali memalingkan perhatian anda ke yang lain. Karena jika
amal kita sudah terputus anak mudalah yang jadi harapan selanjutnya.
5. Bagi para pelajar diharapkan bisa mengambil pelajaran dari penelitian ini
meski hanya sedikit. Nilai-nilai rohani yang telah dibahas merupakan salah
satu bentuk muhasabah juga dari peneliti, jadi ayo kita bersama-sama
60
berjalan ke jalan yang diridloi Allah swt. dari para alim, ulama, guru,
orang tua, bahkan dari teman kita sendiri. Dengan begitu kita bisa percaya
kepada harapan kita semua untuk hidup bahagia dengan jalinan harmoni
dalam negara maupun harmoni dengan Allah SWT.
61
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Suparlan, Mendidik Hati Membentuk Karakter, Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR, cet. I, 2015.
Abdullah Yatimin, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta : AMZAH,
cet. I, 2007.
TB Aat Syafaat dkk, Peranan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Daradjat Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT Bulan Bintang, cet. XIV, 1993.
Sagala Syaiful, Etika Dan Moralitas Pendidikan. Jakarta: PRENAMEDIA
GROUP, Cet.I, 2013
Sutoyo Anwar, Manusia dalam perspektif Al-Qur’an. Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR, cet. I, 2015.
Al-Qur’an terjemah kementrian agama.
Veithzal Rivai Zainal dkk, Manajemen Akhlak: Menuju Akhlak Alquran. Jakarta:
Salemba Diniyah, 2018.
Jalaluddin, Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat, dan Pendidikan.
Jakarta: PT Grafindo Persada, cet. II, 2012.
Thoha M. Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Cet. I, 1996.
Noor Syam Mohammad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan
Pancasila. Surabaya, USAHA NASIONAL, 1986.
R. Parmono, “Konsep Nilai Menurut Max Scheler”, Staf prngajar Fakultas
Filsafat UGM dalam matakuliah Filsafat Nilai, 16 November 1993.
62
Assegaf Abd. Rachman, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan
Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Ramayulis, Dasar-dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan.
Jakarta: Kalam Mulia, 2015.
Abdullah Yatimin, Studi AKhlak dala Perspektif al-Quran. Jakarta: Amzah, 2007.
Nata Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam 1. Pamulang: Logos Wacana Ilmu,
1997.
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bui Aksara, 2010.
Tafsir Ahmad, Ilmu Pendidikan Islami. Bandung: Rosda, 2012.
Purwanto Yadi, Psikologi Kepribadian Integrasi Nafsiyah dan ‘Aqliyah
Perspektif Psikologi Islami. Bandung: PT Refika Aditama, cet. II, 2011.
Hawwa Sa’id, Pendidikan Spiritual. Yogyakarta: Mira Pustaka, 2006.
A. Sunanto, Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2015.
Romlah, Ilmu Pendidikan Islam. Bandar Lampung: Fakta Press, 2009.
M. Shodiq, Kamus Istilah Islam. Jakarta : C.V. Sientarama, 1998.
Mahmud Abdul Halim, Pendidikan Ruhani. Jakarta : Gema Insani Press, 2000.
Hady M. Samsul, Islam Spiritual Cetak Biru Keserasian Eksistensi. Malang: UIN-
Malang Press, 2007.
Sodiq Akhmad, Prophetic Caracter Building. Jakarta: Kencana, cet. 1, 2018.
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Nasution Harun, Pendidikan Agama dalam Perspektif Agama-Agama. Jakarta:
konsorsium Pendidikan Agama, 1995.
63
Raharjo Dawan, Insan Kamil: Konsepsi Manusia menurut Islam. Jakarta: Pustaka
Grafiti Press, 1987.
Mulyati Sri, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia.
Jakarta: Kencana, cet. 2, 2005.
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung : CV PUSTAKA SETIA, cet. VI 2014.
Nata Abuddin, Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Zed Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
Cet. I, 2008.
Zuriah Nurul, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan: Teori dan Aplikasi.
Jakarta: Bumi Aksara, Cet. II, 2007.
Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta, 2013.
Emzir, Analisis Data Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers,
2010.
Sunyoto Agus, Atlas Walisongo. Tangerang Selatan : Pustaka IIMaN, cet. I, 2016.
Chodjim Achmad, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta : PT Serambi
Ilmu Semesta, cet. I, 2003
Anwar Rusydie, Kesaktian dna Tarekat SUnan Kalijaga. Yogyakarta: Araska,
cet. I, 2018.
Rakhmat Jalaluddin, Tahap-tahap perjalanan ruhani menuju Allah. Bandung: PT
Mizan Pustaka, Cet. V, 2008.
Al-Ghazali Abu Hamid, Kimiya’ al-Sa’adah dalam majmu’at rasail al-Imam
Ghazali. Kairo: Mktabah Taufiqiyah.
Hamka, Pribadi Hebat. Jakarta: Gema Insani, cet. I, 2014.
64
Hasan Moh. Syamsi, Nasehat buat Hamba Allah. Surabaya: Amelia, 2005.
Bisri Mustofa, Saleh Ritual Saleh Sosial. Yogyakarta: DIVA Press, cet. II, 2016.
Jurnal
Siti Khasinah, Hakikat Menusia Menurut Pandangan Islam Dan Barat, Jurnal
Ilmiah DIDAKTIKA, Vol. XIII, No. 2, 2013.
Syamsul Rizal Mz, Jurnal Pendidikan Islam : “Akhlak Islami Perspektif Ulama
Salaf”. Vol. 07. No. 1.
Ibrahim Bafadhol, 2017 “Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Islam”. Jurnal
pendidikan islam. Vol. 06. No. 12.
M. Akmansyah, Tujuan Pendidikan Rohani dalam Perspektif Pendidikan Sufistik,
Ijtima’iyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat, Vol. 9, 2016.
Ahmad Khoirul Fata, Tarekat: Jurnal Al-Ulum, Vol. 11, no. 2, 2011.
Muh. Nasir, Perkembangan Tarekat dalam Lintasan Sejarah Islam Indonesia,
Jurnal Adabiyah, Vol. 11, no. 1, 2011.
Rahmawati, Tarekat dan Perkembangannya, Al-Munzir, Vol. 7, No. 7, 2014.
M. Akmansyah. “Tujuan Pendidikan Rohani dalam Perspektif Pendidikan
Sufistik”, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Ijtima’iyya, Vol. 9,
2016.
Irwan, “Apresiasi Spiritual Q.S Al-Fatihah; Survei Profil Karya-karya Jalaluddin
Rakhmat, Anand Krishna dan Ahmad Chodjim,” (Skripsi S1, Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).
M. Amir Langko, “Metode Pendidikan Rohani Menurut Agama Islam”, Jurnal
expose,Vol. XXIII, 2014.
Tirmidzi, “Pendidikan Rohani dalam Al-Qur’an”, Fitrah Jurnal Kajian Ilmu-ilmu
Keislam. Vol. 02, 2016.
65
Fahrudin. “Tasawuf Upaya Tazkiyatun Nafsi Sebagai Jalan Mendekatkan Diri
Kepada Tuhan”, Jurnal Pendidikan Islam-Ta’lim. Vol. 12, 2014.
M. Amir Langko, “Metode Pendidikan Rohani Menurut Agama Islam”, Jurnal
expose,Vol. XXIII, 2014.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Bekti Taufiq Ari Nugroho dan Mustaidah, Identifikasi Nilai-nilai Pendidikan
Islam dalam Pemberdayaan Masyarakat pada PNPM Mandiri, Jurnal
Penelitian, Vol. 11, No. 1, 2017.
Saryono, “Konsep Fitrah dalam perspektif islam”, Te- Jurnal Studi Islam, vol. 14,
no. 2, 2016.
La Ode Gusal, “Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara
Karya La Ode Sidu”, Jurnal Humanika, Vol. 3, 2015.
Makmudi ,dkk, “ Pendidikan Jiwa Perspektif Ibn Qayyim Al-Jauziyyah”,
Ta’dibuna, Vol. 7, 2018.
66
LAMPIRAN-LAMPIRAN
67
Lampiran 1: Surat Bimbingan Skripsi
68
Lampiran 2: Surat Pernyataan Jurusan
69
Lampiran 3: Biografi Penulis
PROFIL PENULIS
Indra Maulana, Lahir di Demak, Kamis, 17
Agustus 1995. Anak bungsu dari 4 bersaudara
yang lahir dari kebahagiaan pasangan suami
istri, Ibu Rubai’ah dan Bapak Suparman.
Berasal dari keluarga sederhana, yang
dijadikannya motivasi untuk terus menuntut
ilmu sampai akhir hayat. Mulai dari tenaga
pikiran serta doa yang tercurahkan dari orang
tua, indra menekuni sekolah mulai dari
pendidikan formal maupun pendidikan non
formal berupa pondok pesantren dan kajian lainnya diberbagai tempat. Mulai dari
belajar dirumah, lanjut tingkatan TK dan TPQ di lingkungan rumah, dilanjutkan
sekolah dasar SDN Pasir 1 dibarengi dengan sekolah sore Madrasah Diniyah,
kemudian lanjut ke jenjang Madrasah Tsanawiyyah Al-Hikmah oleh yayasan
Yaismah dan masih berlanjut sekolah sorenya, kemudian mondok di Pesantren
daerah Pecangaan Jepara, tentunya masih melanjutkan pendidikan formalnya pada
pendidikan menengah atas di lingkungan pesantren tersebut, tepatnya di bawah
lembaga pendidikan oleh yayasan Walisongo Jepara.
Setelah selesai pendidikan formal dan masih mengabdikan dirinya di
pesantren Jepara, tahun 2015 penulis melanjutkan jenjang pendidikannya ke
Perguruan Tinggi dengan Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama menjalani
masa kuliah, penulis juga banyak menimba ilmu di pondok Daruts Tsaqofah
Bogor, dan juga mengabdikan dirinya di Lembaga pendidikan Al-Quran Masjid
Fathullah UIN Syarif Hidayatullah sebagai tenaga pendidik. Karena menurut
penulis, ilmu yang sudah di raih pada masa sebelumnya harus tetap bermanfaat
untuk masyrakat, meskipun hanya itu yang penulis bisa.