nilai-nilai akhlak dalam rumah tangga nabi...
TRANSCRIPT
NILAI-NILAI AKHLAK DALAM RUMAH TANGGA NABI
MUHAMMAD SAW (STUDI PENAFSIRAN AL-QURṬUBῙ DAN
IBN KATSĪR TERHADAP QS. AL-TAḤRĪM [66]: 1-5)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Muhammad Faqih
1113034000123
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/1441 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Nilai-nilai Akhlak Dalam Rumah Tangga Nabi
Muhammad SAW (Studi Penafsiran Al-Qurṭubī Dan Ibn Katsīr
Terhadap QS. al-Taḥrīm 1-5). Telah diajukan dalam sidang Munaqasyah
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 21 Januari 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag) pada
Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta, 26 Januari 2020
NILAI-NILAI AKHLAK DALAM RUMAH TANGGA
NABI MUHAMMAD SAW (STUDI PENAFSIRAN AL-
QURTUBI DAN IBN KATSIR TERHADAP Q.S AL-
TAḤRĪM [66]: 1-5)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Muhammad Faqih
1113034000123
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H /2020
LEHTBAR TEH]YYATAAN
Yang hertandatangen di bawah ini :
Nsme : Muhamm&d Faqih
NIM :1113034000123
Fakultas :Ushuluddin
Jurusan/ Prodi: Ilmu al-Qur'an dan Tafsir
Judul Skripsi : Nilai-nilai AkhlakDalam Rumdr TanggaNabi
Muhammad SAW (Studi Penafsiran al-Qurfubi dan Ibn
Katsir Terhadap QS. al-TahTm t-5).
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi yang ini merupakan hasil karya saya sendiri, yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumken sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan merupakan hasil
karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka
saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
TGL 20 diffir
675AHF1 26506039
M.h+mad Ff,qih
NIM 11130340fi0123
LEMBAR PERNYATAAF{
Yang bertandatangen di bawah ini :
Nsma :Muhamm&d Faqih
NIM :1113034000123
Fakultas :Ushuluddin
Jurusan/ Prodi: Ilmu al-Qur'an dan Tafsir
Judul Skripsi : Nilai-nilai AkhlakDalam Rumah TanggaNabi
Muhammad SAW (Studi Penafsiran al-Qurfubi dan Ibn
Katsir Terhadap QS. al-TahTm l-5).
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi yang ini merupakan hasil karya saya sendiri, yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan merupakan hasil
karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka
saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatull*h
Jakarta"
TGL 20 laiidr
75AHF1 26506039
I.[IM 1113034000123
i
ABSTRAK
Muhammad Faqih
Nilai-nilai Akhlak Dalam Rumah Tangga Nabi Muhammad SAW
(Studi Penafsiran al-Qurṭubī dan Ibn Katsīr Terhadap QS. al- Taḥrīm
1-5).
Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa, di dalam QS. al-Taḥrῑm[66]: 1-
5 terdapat nilai akhlak yang dapat dipetik dalam sebuh konflik rumah
tangga Nabi, sehingga kita dapat mengambil contoh perilaku apa saja yang
dapat mengatasi rumah tangga. Disisi lain penulis juga, ingin menunjukan
sebuah pendapat yang berbeda dalam pengharam sesuatu bahwa dalam
penafsiran (al-Qurṭubī dan Ibn Katsīr pada QS. al-Taḥrῑm[66]: 2) Allah
membebaskan Nabi untuk tidak menebus kaffarat dengan memberi makan
10 orang miskin atau yang paling besarnya adalah memerdekakan budak,
akan tetapi pada (QS. Yunus [10]: 59) Allah mengecam orang yang
mengharamkan sesuatu yang halal, namun Allah tidak mewajibkan kaffarat
terhadapnya.
Kepentingan akhlak adalah sebuah kehidupan sosial yang dikatakan
dengan jelas dalam al-Qur’an yang memakai pendekatan yang meletakan
al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan terkait nilai dan akhlak yang paling
terang dan jelas. Akhlak yang mulia dan buruk digambarkan dalam
perwatakan manusia, dalam sejarah dan realita kehidupan manusia semasa
al-Qur’an diturunkan.
Tujuan penelitian ini adalah, untuk mengajarkan kepada kaum Adam dan
Hawa yang sudah berumah tangga atau ingin ber-rumah tangga agar
menjadikan keluarga Nabi sebagai contoh suritauladan yang baik dan benar
yang sesuai dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Kualitatif
yang bersifat Deskriptif Analitik dengan menggunakan pendekatan
Mawdu’i
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa dalam melakukan penafsiran,
terdapat kesamaan dalam penafsiran pada surat al-Taḥrῑmayat 1-5 bahwa
barangsiapa yang mengharamka sesuatu dari makanan dan atau pakaian,
maka menurut al- Qurṭubī dan Ibnu Katsir, makanan dan pakaian tidak
diharamkan baginya, melainkan mengganti sesuatu yang diharamkan
menjadi sebuah Kaffarat (tebusan), dan itu diperuntukan bagi sumpah dan
bukan diperuntukan bagi pengharaman.
Kata Kunci: Akhlak Rumah Tangga Nabi Muhammad SAW, Akhlak
Rumah Tangga Menurut Tafsir al-Qurṭubī dan Tafsir Ibn Katsīr.
ii
KATA PENGANTAR
بسم الله الرهمحن الرهحيم
Tiada kata yang pantas untuk dihaturkan selain rasa syukur atas rahmat
dan hidayah-Nya yang senantiasa penulis rasakan setiap waktu. Hanya Dia
Tuhan Maha Kasih yang telah memberikan nikmat sehat dan iman, serta
petunjuk kepada penulis sehingga kata demi kata bisa penulis rangkum
menjadi sebuah karya tulis ilmiah (skripsi) yang akan penulis serahkan
sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan jenjang strata 1 di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dialah Tuhan Maha Sayang yang
senantiasa memberikan kekuatan kepada penulis disaat penulis merasa lelah
untuk menyelesaikan penelitian ini.
Shalawat serta salam seiring kerinduan akan senantiasa tercurahkan
kepada baginda Rasul Muhammad saw. beserta keluarga dan para
sahabatnya yang telah memperjuangkan Kalamullah yang sempurna
sehingga dapat tersampaikan pula dengan begitu sempurna kepada kita
sebagai ummatnya sampai akhir zaman.
Dengan ini, penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul
“NILAI-NILAI AKHLAK DALAM RUMAH TANGGA NABI
MUHAMMAD SAW (STUDI PENAFSIRAN AL-QURṬUBĪ DAN
IBN KATSĪR TERHADAP QS. AL-TAḤRῙM[66]: 1-5)” tidak akan
terselesaikan tanpa adanya banyak sosok yang senantiasa mendampingi
baik secara langsung maupun tidak langsung, memberikan semangat
dengan penuh cinta dan kasih sayang, memberikan sumbangsih moral
ataupun moril kepada penulis dengan penuh kesabaran. Oleh karena itu,
dengan segenap kerendahan hati, penulis rasa wajib kiranya untuk
mengungkapkan rasa terimakasih itu kepada mereka:
iii
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA., selaku Rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuludin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Eva Nugraha, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Quran dan
Tafsir, dan Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH, selaku Sekertaris Jurusan Ilmu Al-
Quran dan Tafsir beserta segenap jajaran pengurus Fakultas Ushuluddin
yang telah banyak membantu mempermudah proses administrasi dalam
perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi.
4. Muslih M.Ag., selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah
membuka wawasan dan memberikan banyak masukan untuk skripsi ini,
ucapan terimakasih saja belum cukup untuk menggantikan jasa – jasa yang
diberikan, akan tetapi hanya doa terbaik yang bisa saya panjatkan,
terimakasih untuk semua yang telah bapak berikan kepada saya, semua jasa-
jasa bapak tidak akan saya lupakan.
5. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku penasihat akademik yang
telah membantu penulis selama dalam masa perkuliahan.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang dengan kebaikan dan
kemurahan hatinya baik secara sadar dan tidak sadar telah mendorong
penulis untuk pantang menyerah sebelum menang dalam menggali
kedalaman dan keindahan kitab suci al-Qurān serta ke-Uswah-an Nabi
Muhammad saw.
7. Kedua orang tua tercinta, sepertinya ucapan terimakasih tidaklah
cukup atas semua yang telah diberikan, sejak lahir sampai beranjak dewasa,
anakmu ini terlalu sering mengecewakan mu, anakmu selalu berdoa akan
kesehatan mu dan segalanya yang terbaik untukmu, terimakasih Ayah dan
Ema sudah bersabar untuk mendidik dan membesarkan anakmu ini, skripsi
iv
ini saya persembahkan untuk Ayah dan Ema, semoga kalian senantiasa
selalu dalam lindungan Allah SWT.
8. Kaka kandung, Wifa El Khairah Ramadhan, yang selalu
menyemangati agar dapat segera menyelesaikan skripsi ini, terimakasih
karena sering menciptakan suasana dialektik dan supportmu yang tiada
banding, hingga adikmu ini dapat segera menyelesaikan skripsi.
9. Terimakasih pula penulis ucapkan, kepada keluarga besar KH. Moh
Musa dan keluarga besar Kong Robil bin Si’un yang telah kian lama
menunggu penulis agar dapat menyelesaikan studi strata S1 dan mencapai
gelar saja yang pantas.
10. Penulis juga, sampaikan terimakasih kepada sahabat dan teman
seperjuangan, Muhammad Fadel Eldrid, Abdurrahman Faris Rasyid, Much.
Hamiem, M. Solihin, Salman al-Farisi, Abdul Barry, Ubaidillah, Moh. Didi
Maldini, Sadam Husein, Rio Anjasmara, Nurul Hidayat, Saukatuddin, M
Idris, Munawar, Dkk Serta keluarga besar Tafsir Hadis angkatan 2013 dan
keluarga besar HMI Cabang Ciputat, HMB Jakarta, Permasi Jakarta yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namanya.
Ciputat, 25 Desember 2019
Hormat Saya
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ v
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................... vii
DAFTAR TABEL .................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ......................................................................... 6
C. Batasan Masalah............................................................................... 6
D. Rumusan Masalah ............................................................................ 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 7
F. Tinjauan Kajian Terdahulu .............................................................. 8
G. Metode Penelitian........................................................................... 11
H. Sistematika Penulisan .................................................................... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKHLAK DALAM
RUMAH TANGGA ISLAM
A. Pengertian Akhlak .......................................................................... 14
B. Akhlak Dalam Islam ...................................................................... 17
a. Akhlak Terhadap Allah SWT .................................................... 20
b. Akhlak Terhadap Sesama Manusia ........................................... 20
c. Akhlak Terhadap Alam ............................................................. 21
C. Akhlak Dalam Rumah Tangga Islam ............................................. 22
BAB III BIOGRAFI IBN KATSĪR DAN AL-QURṬUBĪ
A. Ibn Katsīr ........................................................................................ 26
a. Biogrfi Ibn Katsīr ...................................................................... 26
b. Karya-karya Ibn Katsīr .............................................................. 29
vi
c. Metode Penafsiran ..................................................................... 30
B. Al-Qurṭubī ...................................................................................... 33
a. Biografi al-Qurṭubī .................................................................... 33
b. Karya-karya al-Qurṭubī ............................................................. 35
c. Metode Penafsiran ..................................................................... 36
BAB IV ANALISIS HUBUNGAN RUMAH TANGGA NABI
MUHAMMAD SAW DALAM QS. AL-TAḤRῙM[66] 1-5
A. Asbabun Nuzul ............................................................................... 41
B. Munasabah ..................................................................................... 43
C. Penafsiran al-Qurṭubī Terhadap QS. al-Taḥrῑm[66]: 1-5 ............... 49
D. Penafsiran Ibn Katsīr Terhadap Q.S al-Taḥrῑm[66]: 1-5 ............... 61
1. Analisis Hubungan Penafsiran al-Qurṭubī dan Ibn Katsīr .......... 75
E. Aplikasi Nilai Akhlak Rumah Tangga ........................................... 76
BAB V PENUTUP
Kesimpulan .............................................................................................. 78
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 79
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor: 158 tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/u/1987
1. Padana Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf
Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
ṡ es dengan titik atas ث
J Je ج
ḥ ha dengan titik bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Ż zet dengan titik atas ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
ṣ es dengan titik bawah ص
ḍ de dengan titik bawah ض
ṭ te dengan titik bawah ط
viii
ẓ zet dengan titik bawah ظ
ʻ Koma terbalik di atas hadap kanan ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qi ق
K Ka ك
L El ل
M Em ـم
N En ن
W We و
H Ha ه
ʼ Apostrof ء
Y Ye ي
2. Vokal
Vokal terdiri dari dua bagian, yaitu vokal tunggal dan vokal rangkap
atau diftong. Berikut ketentuan alih aksara vokal tunggal:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah ـــ
I Kasrah ـــ
U Dammah ـــ
Adapun vokal rangkap ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i ـــ ي
Au a dan u ـــ و
ix
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang dalam bahasa Arab dilambangkan
dengan harkat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ᾱ a dengan topi di atas ىا
Ī i dengan topi di atas ىي
Ū u dengan topi di atas ىو
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf ال dialih aksarakan menjadi huruf ʻlʼ baik diikuti huruf syamsiyah
maupun huruf qamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl.
5. Syaddah (Tasydȋd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (ـــ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata ( ورةلضرا ) tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah,
demikian seterusnya.
6. Ta Marbûtah
No Kata Arab Alih Aksara
قةیرط 1 Tarîqah
ةیإلسالمالجامعة ا 2 al-jâmî’ah al-islâmiyyah
دلوجوة احدو 3 wahdat al-wujûd
x
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama tersebut. Misalnya:
Imam al-Qurṭubī bukan Imam Al-Qurṭubī, ʻImad ad-Din Ibn Katsīr bukan
ʻImad Ad-Din Ibn Katsīr
Berkaitan dengan judul buku ditulis cetak miring, maka demikian halnya
dengan alih aksaranya, demikian seterusnya. Jika terkait nama, untuk nama-
nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak
dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya
ditulis Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja, kata benda, maupun huruf ditulis secara
terpisah. Berikut contohnya dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan
diatas:
Kata Arab Alih Aksara
تغي مرضات tabtaghī marḍāta ت ب
taḥillata aimānikum تلة ايانكم
حدي ثا ه ازواج azwājihi ḥadīṡā
wa ṣāliḥul-mu`minīn وصالح المؤمني
xi
mingkunna muslimātin منكن مسلمت
9. Singkatan
Huruf Latin Keterangan
Swt, Subhᾱh wa taʻᾱlᾱ
Saw, Salla Allᾱh ʻalaih wa sallam
QS. Quran Surat
M Masehi
H Hijriyah
w. Wafat
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Analisis QS. al-Taḥrīm [66] 1-5 ........................................... 49
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan adalah suatu yang sangat mulia, karena perkawinan
merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.1
Dengan kata lain, pernikahan adalah aqad yang bersifat luhur dan suci
antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya hubungan
seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh kasih sayang,
kebajikan dan saling menyantuni, keluarga seperti ini adalah ideal yang
diidamkan oleh semua orang.2
Disisi lain, cemburu merupakan implikasi dari rasa cinta3 yang dimiliki
setiap insan. Dari ungkapan tersebut, penulis Prancis La Roschefoucauld
mengatakan bahwa cemburu lahir bersamaan dengan cinta, sedangkan
Buss (2000) mengungkapkan bahwa cemburu itu serupa dengan cinta.4
Karena begitu mulainya pernikahan ini, maka tidak sepatutnya dirusak
oleh hal-hal yang sepele, setiap hal yang mengarah pada kerusakan rumah
tangga adalah hal yang dibenci oleh Allah. Oleh karenanya, perceraian
menjadi suatu hal yang halal namun sangat dibenci oleh-Nya.
1 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Tentang Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia. Instruksi Presiden RI Nomor I tahun 1991. (Jakarta, Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2000). 14. 2 Sudarsono, Hukum Perkawinan National (Jakarta: Renika Cipta, 1991), 2. 3 Muhammad Arifin Badri, “Hakikat Cemburu Dalam Rumah Tangga Studi
Deskriptif Tentang Kehidupan Nabi Dengan Istri-istrinya,” al-Majaalis, Vol. 2, no. 2.
(Juli 2015): 103. 4 Halimatussadiyah, “Cemburu, Agresi, dan Penanggulangannya; Studi Kasus
Pada 3 Pasangan Suami Istri,” (Skripsi Fakultas Psikologi, Universiatas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), 1.
2
Sebagaimana Sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud, sebagai
berikut:5
ث نا معر ف، عنم مارب، قال قال رسول الل صلى هللا عليه ث نا أحمد بمن يونس، حد حدن الطالق " وسلم ئا أب مغض إليمه م شي م ) رواه ابودا ود ( ما أحل الل
Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa talak adalah suatu hal yang
di benci Allah bila dilakukan dengan alasan yang tidak dibenarkan oleh
Agama. Namun terkadang banyak sekali suami istri yang terpancing
emosinya, kadang kala hanya hal yang sepele, sehingga dapat mengancam
keutuhan keluarganya, pada akhirnya perceraian dijadikan sebagai jalan
keluarnya. Seperti dinyatakan oleh Husayn Amin, keruntuhan sebuah
peradaban selalu dimulai oleh rusaknya hubungan rumah tangga.6
Tentu tidak berlebihan jika kesimpulan serupa itu mencuat karena
rumah tangga sebagai pertahanan pertama sudah rapuh. Sementara itu,
budaya di luar rumah tidak bisa lagi dijamin lebih baik dari dalam rumah.
Keluarga sakinah akan terwujud jika para anggota keluarga dapat
memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap Allah, terhadap diri sendiri,
terhadap keluarga, terhadap masyarakat, dan terhadap lingkungannya,
sesuai ajaran al-Qur’ân dan sunah Rasul.7 Oleh karna itu, setiap muslim
berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya,
berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan Allah kepada
mereka dan apa yang dilarang-Nya.8
Gambaran rumah tangga yang ideal bisa kita peroleh dari rumah tangga
Rasulullah SAW. Beliau adalah suami terbaik bagi istri- istrinya dan ayah
5 Al-Iman al-Hafiz Abi Daud Sulaiman Ibn al-Asy’ats al-Sajistani, Sunan Abi
Dᾱud, juz II (Indonesia: Maktabah Dahlan), 154-155. 6 Husayn Amin, al-Mar`ah bayna al-Syâri’ wa al-Bayti (Bayrût: Dâr al-Syurûq,
1999), 83. 7 Ahmad Azhar Basyir dan Fauzi Rahma, Keluarga Sakinah Surgawi (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1994), 12. 8 Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Tafsir Ibn Katsir, Jil. 10 (Jakarta: Pustaka
Imam Syafi’i, 2008),
3
terbaik bagi anak-anaknya. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sebaik-
baik kamu adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku
adalah orang terbaik di antara kamu, terhada keluargaku”. istri-istri beliau
adalah istri-istri terbaik, dan anak-anak beliau adalah anak-anak terbaik.9
Membaca sejarah perjalanan dan dinamika Rumah Tangga Nabi
dengan istri-istri beliau ibarat memetik buah-buah segar nan manis.
Banyak hal yang bisa diteladani. “Misalnya ketika Rasulullah SAW
hendak melaksanakan shalat malam, beliau dekati isterinya yaitu Sayyidah
Aisyah. (Aisyah meriwayatkan:) “ditengah malam beliau mendekatiku dan
ketika kulitnya bersentuhan dengan kulitku beliau berbisik, “Wahai
Aisyah, ijinkan aku untuk beribadah kepada Tuhanku”. Dalam peristiwa
ini, tergambar betapa Nabi Muhammad SAW sebagai seorang suami,
sangat besar penghormatan beliau terhadap isteri, sampai-sampai ketika
beliau ingin menghadap Tuhan, melakukan shalat malam, menghadap
Allah SWT, Beliau terlebih dahulu dengan penuh kasih sayang meminta
izin kepada Sang isteri, Sayyidah Aisyah as. Inilah gambaran komunikasi
suami isteri di tengah malam yang sangat luar biasa. Bagi seorang isteri,
mendapat penghormatan suami di tengah malam, tentu akan sangat
berkesan dan berpengaruh terhadap jiwa dan sikapnya dalam menjalani
hari-harinya. Betapa tidak, Rumah Tangga yang dibangun Rasulullah
SAW dirangkai dengan shalat malam, bermunajat kepada Allah SWT dan
dibingkai pula dengan suasana yang harmonis dan komunikatif.10
Bagaimana rumah tangga dibangun, kemana institusi keluarga akan
diorientasikan, formula apa yang dipakai untuk sukses hidup bersama
sebagai keluarga, lalu apa kiat dalam menghadapi tantangan dan badai
9 Muhammad Rusli Amin, Rasulullah Sang Pendidik (Jakarta: 2013, Amp Press),
216. 10 Mariatul Norhidayati Rohmah, “ Romantika Rumah tangga Rasulullah SAW”
dalam Jurnal Al-Hiwar, Vol. 03, No. 05-Januari-Juni-2015.
4
dalam berumah tangga. Islam memiliki panduan melalui potret Rumah
Tangga Nabi Muhammad-Rasulullah SAW.
Bagaimana proses visi dan misi keluarga yang mulai buram, bagaimana
memperbaiki situasi Rumah Tangga, utamanya hubungan suami isteri,
sebagai central atau ujung tombak harmonisasi sebuah keluarga.
Bagaimana pula suami isteri seyogyanya bersikap, bagaimana komunikasi
yang sehat antara keduanya agar tetap terjalin, bagaimana benang-benang
kasih terajut dalam kemesraan. Untuk mewujudkan itu semua, tentu saja
Rumah Tangga Rasulullah SAW sebagai figur paripurna dan referensi
paling ideal umat manusia, menjadi potret utama yang diteladani.
Sehingga apa yang diikrarkan Nabi “Baiti Jannati”.11 Rumahku adalah
sorgaku bisa pula tercipta dalam setiap Rumah Tangga muslim.
Meskipun demikian, ternyata hubungan keluarga yang dibangun oleh
Nabi Muhammad, sebagimana keluarga umumnya juga terdapat konflik-
konflik internal keluarga. Hal ini salahsatunya tergambar pada QS. al-
Taḥrῑm [66]: 1-5.
يم ) غفور رح ك والل تغي مرمضاة أزمواج لك ت ب م تر م ما أحل الل ل (١ي أي ها النب“Wahai Nabi Mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah
bagimu? Engkau ingin menyenangkan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
كيم ) مومالكمم وهو المعليم الم انكمم والل لكمم تلة أيم (٢قدم ف رض الل“Sungguh, Allah telah mewajibkan kepadamu membebaskan diri dari
sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksanaan”.
ه حديثا ف لما ن بأتم به وأظمهره الل عليمه عرف إل ب عمض أزمواج ب عمضه وإذم أسر النببري ) المعليم الم (٣وأعمرض عنم ب عمض ف لما ن بأها به قالتم منم أن مبأك هذا قال ن بأن
“Dan ingatlah ketika secara rahasia Nabi membicarakan suatu peristiwa
kepada salah seorang istrinya (Hafsah). Lalu dia (Hafshah) menceritakan
11 Jaih Mubarok, Pembaruan Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2015), 18.
5
peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan peristiwa itu
(pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepadanya (Nabi), lalu (Nabi)
memberitahukan (kepada Hafsah) sebagian dan menyembunyikan
sebagian yang lain. Maka ketika dia (Nabi) memberitahukan pembicaraan
itu kepadanya (Hafsah), dia bertanya, "Siapa yang telah memberitahukan
hal ini kepadamu?" Nabi menjawab, "Yang memberitahukan kepadaku
adalah Allah Yang Maha Mengetahui lagi Mahateliti.".
بميل إنم ت توب إل الل ف قدم صغتم ق ل وبكما وإنم تظاهرا عليمه فإن الل هو موماله وجنني والممالئكة ب عمد ذلك ظهري ) (٤وصالح الممؤمم
“Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sungguh, hati kamu
berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua
bantu-membantu menyusahkan Nabi, Maka sesungguhnya Allah menjadi
Pelindungnya dan (juga) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan
selain itu malaikat-malaikat adalah penolongnya”.
نات قانتات تئبات عسى ربه إنم طلقكن أنم ي بمدله لمات مؤمم نمكن مسم ا م أزمواجا خريم سائحات ثي بات وأبمكارا عابدات
“Jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh Jadi Tuhan akan memberi ganti
kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu, perempuan-
perempuan yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang
beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan”.
Semuanya bertujuan menjadi cermin agar manusia mengambil
pelajaran dari setiap masalah sebagai proses pendewasaan. Keutuhan
keluarga menjadi syarat utama ketenangan jiwa anggota keluarganya.
Keutuhan keluarga bukan datang sendiri, namun harus diupayakan dan
dipelihara. Rumah tangga yang harmonis bukan berarti rumah yang tidak
pernah ada konflik. Namun cara menghadapi dan menyelesaikan konflik
itu yang menjadi kunci keharmonisan sebuah keluarga.
Berangkat dari pemaparan tersebut proposal skripsi ini hadir sebagai
sebuah langkah ikhtiar untuk menguak akhlak Rasulullah dalam
menyelesaikan konflik keluarga, agar dapat memotret wajah islam, ajaran
islam yang penuh rahmat dan kasih sayang. Oleh karena itu, Penulis
memberi judul proposal ini: NILAI-NILAI AKHLAK DALAM
RUMAH TANGGA NABI MUHAMMAD SAW (STUDI
6
PENAFSIRAN AL-QURṬUBĪ DAN IBN KATSĪR TERHADAP QS.
AL-TAḤRῙM [66]: 1-5)
B. Identifikasi Masalah
1. Identifikasi
Dari latar belakang yang sudah disampaikan sebelumnya, terdapat
pembahasan yang menarik tentang hubungan keluarga nabi muhammad
terhadap istri-istrinya. Beliau adalah ikon umat Islam dalam menjalankan
kewajiban dan amalan- amalan terpuji, segala tindakannya akan dijadikan
rujukan sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari umat Islam, termasuk
dalam membangun rumah tangga. Namun bukan berarti, hubungan
keluarga nabi, tidak pernah ada permasalahan-permasalahan. Pada tema
ini terdapat beberapa poin yang perlu dikaji lebih dalam dan
diidentifikasikan pada beberapa pokok pembahasan seperti berikut:
a. Konflik hubungan keluarga Nabi Muhammad dalam surat al-Taḥrῑm
[66]: 1-5.
b. Cara Nabi Muhammad menyelesaikan suatu konflik terhadap istri-
istrinya.
C. Batasan Masalah
Dengan melihat identifikasi masalah di atas, penulis memilih untuk
memfokuskan pembahasan pada dua hal: Pembahasan tentang penafsiran
surah al-Taḥrῑm khusunya ayat-ayat yang berkaitan dengan rumah tangga
Rasulullah dan nilai-nilai akhlak apa saja yang dapat digali dari ayat-ayat
tersebut.
7
D. Rumusan Masalah
Setelah melihat identifikasi masalah pada pembatasan masalah yang
telah disebutkan diatas, maka peneliti akan merumuskan lebih konkrit
permasalahan yang akan dianalisis, yaitu sebagai berikut:
a. Bagaimana penafsiran al-Qurṭubῑ dan Ibn Katsir dalam QS. al-
Taḥrīm [66]: 1-5?
b. Apa saja nilai-nilai akhlak yang terdapat dalam ayat-ayat QS. al-
[66]: 1-5?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berangkat dari rumusan tersebut,maka penelitian ini lebih difokuskan
pada tujuan- tujuan, sebagai berikut:
1. Mengetahui penafsiran al-Qurṭubi dan Ibnu Katsir dalam QS. al-
Taḥrῑm [66]: 1-5.
2. Mengungkap nilai-nilai akhlak yang terdapat dalam ayat-ayat
tersebut.
Adapun kegunaan penelitian ini adalah:
1. Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi jalan keluar
atau sosuli seputar problem kehidupan rumah tangga.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan
terutama menyangkut tema spesifik tentang nilai-nilai akhlak rumah
tangga Rasulullah SAW.
3. Bagi peneliti ilmu tafsir, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan
untuk penelitian selanjutnya ( Open Problem).
4. Diharapkan dapat memperluas wawasan peengetahuan umat islam
tentang rumah tangga ideal yang dicontohkan oleh Rasulullah agar
meningkatkan keimanan dan keikhlasan dalam beribadah sehingga
8
dengan demikian membuat kehidupan rumah tangga menjadi lebih
baik lagi.
F. Tinjauan Kajian Terdahulu
Nabi Muhammad adalah tokoh fenomenal yang dijadikan suri tauladan
oleh generasi setelahnya dalam perkara duniawi dan ukhrawi. Apapun
yang dilakukannya merupakan reaksi dari wahyu Allah yang turun
kepadanya, yang hampir seluruh jejak hidupnya tidak luput dari
pandangan generasi setelahnya untuk dijadikan sebuah karya. Sepanjang
pengamatan penulis terdapat banyak karya yang membahas tentang sisi
kehidupan Nabi Muhammad, dan beberapa di antaranya membahas
tentang Nilai akhlak rumah tangga Rasulullah SAW, di antaranya adalah:
Buku karya Taha Abdullah al-Afify dengan judul “Min Sifat al-Rasul
al-Khilqiȳah Wa al-Khuluqiȳah”.12 Buku ini membahas tentang etika dan
moral nabi Muhammad selama hidupnya yang berhubungan dengan
hukum syari’at dan kehidupan bermasyarakat. Buku ini juga membahas
tentang segala hal yang berhubungan dengan nabi Muhammad dalam
kehidupan sehari-hari.
Jurnal. 2014 Armansyah Matondang Ilmu Pemerintahan dan Politik,
yang membahas “Faktor-faktor yang mengakibatkan percerain dalam
perkawinan.” Setiap pasangan menginginkan keutuhan dalam
membangun rumah tangga. Namun realitas menunjukkan angka perceraian
kian meningkat. Adanya tekanan sosial di masyarakat (social pressure)
bahwa bercerai bukan merupakan hal yang tabu atau aib di masyarakat,
bercerai sudah menjadi hal yang biasa.13
12 Taha Abdullah al-Afify, Min Sifat al-Rasul al-Khilqiȳah Wa al-Khuluqiȳah
(Cairo: Dar alMisriyyah al-Lubnaniyyah, 1995), 17. 13 Armansyah Matondang, “Faktor-faktor yang Menyebabkan Perceraian Dalam
Perkawinan”.Vol. 02. No. 2 (2014): 141-150.
9
Jurnal. 2017 Nur Rofiah “Kekerasan dalam rumah tangga dalam
perspektif Islam. DPK Institut PTIQ. Yang membahas tentang. Kekerasan
atas manusia berbasis apapun dan ruang domestik maupun publik pada
dasarnya bertentangan dengan misi utama ajaran Allah.14
Skripsi Universitas Islam Negri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya, 2016.
Oleh Achmad Syauqi Alfanzari, jurusan Ilmu Tafsir dan Hadis, dengan
judul. “Mendidik diri dan keluarga (Kajian Tafsir Surat Al-Taḥrῑm,
Perspektif Quraish Shihab).” Fokus dari pembahasan skripsi ini adalah
mengenai penafsiran Quraish Shihab terhadap surat Al-Taḥrῑm terutama
pada ayat ke-6, beliau menafsirkan ayat tersebut tidak sama dengan kaidah
munasabah ayat dan asbab an-nuzulnya namun menggunakan kaidah
lain.15
Skripsi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Aceh, 2016,
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang
ditulis oleh Siti Salmi dengan judul “Nilai edukasi kasih sayang
kehidupan rumah tangga Rasulullah SAW. Penelitian ini mencoba
mengungkap pentingnya nilai edukasi kasih sayang dalam hubungan
rumah tangga dengan menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan.16
Skripsi Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
2017 Fakultas Ushuluddin, Jurusan Ilmu Al-Qur’ân dan Tafsir, yang
ditulis oleh Ali Akbar denganjudul “ Menejemen Konflik: Studi atas
Hadis-hadis tentang kecemburuan istri-istri Nabi SAW.” Peneliti ini
mengungkap Kecemburuan merupakan satu ketetapan Tuhan yang tidak
14 Nur Rofiah, “Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Islam”, no.1(
2017): 31-44. 15 Achmad Syauqi Alfanzari. : “Mendidik diri dan keluarga Kajian Tafsir Surat
Al-Taḥrῑm, Perspektif Quraish Shihab”. (Skripsi, UIN Surabaya, 2016) 16 Siti Salmi, ”Nilai edukasi kasih sayang kehidupan rumah tangga Rasulullah
SAW”. (Skripsi, UIN Aceh, 2016).
10
mungkin dihindari dan tidak layak untuk dimusuhi. Rasa cemburu
merupakan bagian dari implikasi adanya rasa cinta dan kesetiaan.17
Skripsi Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta,
2018. Oleh Rika Nurlela. Fakultas Ushuluddin, Jurusan Ilmu Al-Qur’ân
dan Tafsir, dengan judul. “Hadis-hadis cinta dalam rumah tangga
Rasulullah SAW.” Dalam skripsi ini penulis dapat menyimpulkan
perlakuan yang dapat dipetik, mengapa keluarga Rasulullah di cap sebagai
keluarga yang harmonis, di antaranya Seseorang harus memperlakukan
istrinya dengan lembut dalam perkataan maupun perbuatannya dan
membahas hal-hal yang sekiranya dapat menimbulkan keharmonisan.18
Skripsi Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta,
2018. Oleh Andrian Saputra, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Ilmu Al-
Qur’ân dan Tafsir, dengan judul. “Studi Hadis-hadis keromantisan
terhadap pasangan suami-istri dalam rumah tangga Rasulullah SAW
(Kajian Hadis Tematik).” Rumah tangga yang harmonis bukanlah rumah
tangga yang tidak memiliki masalah atau tidak pernah terjadi pertikaian di
dalamnya, melainkan hubungan yang dapat terjaga dan semakin kuat
dengan adanya masalah-masalah dan pertikaian-pertikaian tersebut19
Tesis Pasca Sarjana. Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatulah,
Jakarta, 2010. Studi Tafsir Hadis. Oleh Ery Khaeriyah, dengan judul.
”Studi tematik tentang istri-istri nabi Nabi SAW dalam Al-Qur’ân”.
Kewajiban mereka adalah memelihara kehormatan dan kesucian diri,
melaksanakan kewajiban agama, serta menyampaikan dan mengajarkan
17 Ali Akbar, “Menejemen Konflik: Studi atas Hadis-hadis tentang kecemburuan
istri-istri Nabi SAW”(Skripsi, UIN Jakarta, 2017). 18 Rika Nurlela, “Hadis-hadis cinta dalam rumah tangga Rasulullah SAW”.
(Skripsi, UIN Jakarta, 2018). 19 Andrian Saputra, “Studi Hadis-hadis keromantisan terhadap pasangan suami-
istri dalam rumah tangga Rasulullah SAW”. (Skripsi, UIN Jakarta, 2018).
11
Al-Qur’ân dan Sunnah Nabi. Sedangkan hak-hak yang didapat mereka
adalah jaminan mendapatkan pemeliharaan kesucian diri.20
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong dalam kategori penelitian Kualitatif yaitu
kepustakaan (library research), artinya penelitian dengan menggunakan
sumber-sumber dokumen yang berupa buku, majalah atau sumber tertulis
lainya baik berupa teori, laporan penelitian atau penemuan.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriftif-analitik, yakni penelitian yang
berfungis untuk menyelesaikan masalah melalui pengumpulan,
penyusunan dan proses analisa mendalam terhadap data yang ada untuk
kemudian dijelaskan dan selanjutnya diberi penilaian. 21
3. Sumber data
Data yang dugunakan dalam penelitian ini diambil dengan menelusuri,
mengumpulkan dan meneliti berbagai referensi yang berkaitan dengan
tema yang diangkat. Sumber data dalam penelitian pustaka ini dibagi
menjadi dua, yakni data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Yang dimaksud dengan data primer adalah data yang secara langsung
membahas tentang subjek penelitian.22 Penulis mengambil sumber dari al-
Qur’an dan kitab tafsir “Al Jami’ Liahkam Al-Qurân”. Karya al-Qurṭubi
Selanjutnya, dalam mengungkapkan Asbabun nuzul ayat tersebut
penulis akan mengambil referansi dari buku-buku tentang asbab al-nuzul
20 Ery Khaeriyah, ”Studi tematik tentang istri-istri nabi Nabi SAW dalam Al-
Qur’ân”. (Skripsi, UIN Jakarta, 2010). 21 Rianto Adi, Metodologi penelitian sosial dan Hukum (Jakarta: Granit, 2004),
128. 22 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 91.
12
ayat, seperti buku asbab al-nuzul karangan al-Wahidi dan asbab al – nuzul
karangan al-Suyuti atau sejenisnya.
b. Data Sekunder
Yang dimaksud data skunder adalah data yang mempunyai hubungan
erat dengan data primer dan dapat digunakan untuk membantu
menganalisa dan memahami data primer. 23 Mengenai hal ini penulis
mengambil sumber data dari buku-buku sejarah yang menjelaskan tentang
biografi dan kehidupan nabi Muhammad, seperti Sejarah Hidup Nabi
Muhammad karya Husain Haekal, Fikih Sirah karangan Ramadan al-Buti
dan beberapa buku pendukung yang lain.
4. Pendekatan atau metode pembahasan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode tafsir tematis (
mawdu’i), akan tetapi terdapat beberapa langkah dalam tafsir tematis yang
tidak diikuti. Definisi tafsir tematis adalah sebuah penafsiran dengan cara
mengumpulkan beberapa ayat yang mepunyai makna atau tema yang sama
dari keseluruhan mushaf al-Qur’ân atau dari beberapa surat, kemudian
dijadikan sebuah karya yang utuh dalam membahas suatu tema. 24
H. Sistematika Penulisan
Agar penulisan penelitian ini bisa mudah dipahami, maka penulis
memaparkan secara sistematis bab-bab yang menjadi fokus kajian dalam
penelitian ini. Penulis membaginya kedalam lima bab.
Bab satu: Pendahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, signifikasi penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian dan sistematika penelitian.
23 Roni Hanityo Sumitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988), 53. 24 Abd al-Hayyi al-Farmawi, al - Bidayah Fi al - Tafsir al - Mauduii (Kairo: al-
Hadarah al-Arabiyyah, 1977), 62.
13
Bab dua: Penulis menjelaskan beberapa tinjauan umum mengenai
akhlak-akhlak dalam rumah tangga serta menerangkan bagaiman rumah
tangga dalam pandangan Islam.
Bab tiga: menjelaskan riwayat hidup al-Qurṭubi dan juga Ibnu Katsir
serta karya-karyanya dalam dunia tafsir. Kemudian tak luput juga untuk
menjelaskan corak-corak maupun metode yang di gunakan oleh tokoh-
tokoh tersebut.
Bab empat: yaitu pembahasan utama mengenai Asbāb al-nuzūl,
munasabah serta pandangan mufasir, dan juga pengaplikasian nilai akhlak
dalam al-Qur’ân pada rumah tangga.
Bab lima: Penutup, meliputi kesimpulan dan saran-saran penulis.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG AKHLAK DALAM RUMAH
TANGGA ISLAM
A. Pengertian Akhlak
Kata ini diambil dari bahasa Arab dan merupakan bentuk jamak dari
Pada mulanya ia bermakna ukuran, dan kebiasaan. Dari .(khuluq) خلق
makna pertama (ukuran) lahir kata makhluk, yaitu ciptaan yang mempunya
ukuran tertentu, sedangkan dari makna (latihan) dan (kebiasaan) lahir
suatu positif maupun negatif yang dapat dilakukan dengan mudah tanpa
merasa terpaksa akibat latihan dan pembasanan.1 Namun kata itu tidak
ditemukan dalam Al-Qura’an. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal
kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam Al-Qur’ân surat Al-
Qolam Ayat 4.2 Ayat tersebut dinilai sebagai konsiderans pengangkatan
Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul.
وانك لعلى خلق عظيم “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur”.
Pengertian akhlak secara umum bisa diartikan sebagai etika. Hal ini
dapat dilihat dalam penjelasan yang disampaikan oleh K. Bertans, terkait
etika terdapat tiga bagian. Pertama ilmu yang membahas perbuatan baik
dan buruk juga terkait hak dan kewajiabn moral (akhlak). Kedua akhlak
adalah sekumpulan nilai yang berkenaan dengan akhlak. Tiga suatu nilai
mengenai yang benar dan salah yang dianut oleh golongan masarakat.3
Kata akhlak sering diidentifikasikan kepada kata etika dan kata moral,
di mana kata etika memiliki pengertian secara bahasa sebagai kata yang
1M. Quraish Shihab, Islam yang Saya Anut (Ciputat: Lentera Hati, 2018), 311. 2M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’ân (Bandung: Mizan, 1996), 253. 3K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 5.
15
diambil dari kata ethos yang berarti adat kebiasaan. dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia kata etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik
dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Sedangkan
moral diambil dari bahasa latin, yang memiliki arti tabiat atau kelakuan.
Sehingga dapat difahami bahwa etika, moral dan akhlak memiliki
penjelasan yang sama secara bahasa, yaitu kelakuan dan kebiasaan.4
Dalam keterangan lain, akhlak adalah ruhnya umat. Jika ruh itu sehat,
umat akan hidup dalam keadaan kuat, terhormat, dan disegani. Sebaliknya
jika ruh itu sakit, rapuhlah umat, kekuatanya pudar dan jadilah ia santapan
orang-orang yang “lapar” dan incaran musuh. Manusia yang menjadi
unsur bangunan umat tidak memiliki nilai secara materi jika ruhnya lepas
dari berbagai keutamaan akhlak dan prinsip nilai. Akhlak yang mulia dan
prinsip nilai itulah yang menjadikan umat memiliki nilai dan timbangan.
Dari sinilah, akhlak bagi umat merupakan senjata yang tak mungkin
terkalahkan.5
Definisi akhlak banyak disampaikan oleh berbagai kalangan intelektual
yang hampir kesemuanya memiliki keragaman definisi yang berbeda-beda
dengan yang lain nya.
Beberapa intelektual mengejawantahkan definisi akhlak sebagai
berikut:
1. Barmawy Umary mengatakan bahwa istilah kata akhlak sejalur
dengan istilah kata khaliq (Pencipta) dengan kata lain agar terjadi
hubungan baik antara manusia sebagai makhluk dan khaliq sebagai
penciptanya, dan antara makhluk dengan makhluk yang lainya.6
4Manan Idris, Dkk, Reorientasi Pendidikan Islam (Pasuruan: Hilal Pustaka 2006),
107. 5Ahmad Muhammad Assaf, Berkas-berkas Cahaya Kenabian (Laweyan: Era
Intermedia, 2001), 169. 6 Depag, Aqidah Akhlak, (Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, Cetakan Pertama Jakarta, 1996), 58.
16
2. Ahmad Amin mendefinisikan bahwa akhlak adalah kebiasaan baik
dan buruk. Dengan kata lain, apabila kebiasaan memberi sesuatu
yang baik, maka disebut akhlaqul karimah dan apabila perbuatun itu
buruk maka disebut aklaqul madzmumah.7
3. Ibn Maskawaih mendefinisikan bahwa akhlak adalah merupakan
suatu keadan jiwa seseorang yang terdorong untuk bertindak
melakukan perbuatan dengan mudah tanpa harus membutuhkan
suatu pertimbangan pikiran.8
4. Hamzah Ya’qub mendefinisika akhlak adalah ilmu yang membatasi
ucapan dan perbuatan manusia, baik dan buruk, terpuji dan tercela.
Serta ilmu yang mengajarkan pola kehidupan manusia
mengungkapkan tujuan mereka yang terakhir dari segala usaha dan
perilaku mereka.9
5. Soegarda Poerbakawatja mendefinisikan akhlak adalah tentang budi
pekerti, watak, kesusilaan dan perbuatan baik dari sikap jiwa yang
benar kepada khaliqnya dan kepada manusia.10
6. Imam Al-Ghazali mendefinisikan akhlak adalah yang sejak lahir
sudah tertanam dalam jiwa dan memunculkan beberapa macam
tindakan dengan mudah tanpa harus mempertimbangkan dan
memikirkan terlebih dahulu.11
7 M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’ân (Jakarta:
Amzah, 2007), 3. 8 Taufik Abdullah Dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, Cetakan kedua , 2003), 326. 9 Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoro, 1993), 12. 10 Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedia Pendidikan, ( Jakarta: Gunung Agung,
1976), 9. 11 Iman Al-Ghazali, Ihyâ’Ulûm Ad-Din, (Kairo: Al-Masyhad Al-Husain, tt), 56.
17
7. Ibrahim Anis mendefinisikan akhlak adalah ilmu yang memiliki
tujuan tentang nilai-nilai yang saling berkaitan dengan tingkah laku
manusia, sehingga dapat dikatagorikan dengan baik dan buruknya.12
Pada hakikatnya khuluq (budi pekerti) atau akhlak adalah kondisi sifat
yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian manusia. Dari
sini muncullah berbagai macam perbuatan dengan cara sepontan tanpa
dibuat-buat dan tanpa memerlukan buah pikiran dan pertimbangan,
sehingga dapat dirumuskan bahwa akhlak adalah ilmu yang menjadikan
manusia bertingkah baik dan menjauhi perbuatan jahat dalam setiap
perbuatanya dengan tuhan, manusia dan makhluk yang ada di
sekelilingnya.13
B. Akhlak Dalam Islam
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini
dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera secara
lahir dan batin, didalamnya terdapat berbagi petunjuk tentang bagaimana
seharusnya manusia itu menyikapi kehidupan ini secara lebih bermakna
dalam arti yang seluas-luasnya.14
Petunjuk agama terkait kehidupan manusia yang berkaitan dengan
prilaku manusia, tampak amat ideal. Sebab Islam mengajarkan kehidupan
yang dinamis dan progresif, melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dapat menghargai pikiran terdapat sikap yang seimbang
dalam memenuhi kebutuhan sepiritual dan material. Islam juga
mengajarkan dan mengembangkan sikap kepedulian sosial, menghargai
12 Ibrahim Anis, Al-Mu’jam Al-Wasith, (Mesir: DarulMa’arif,1972), 202. 13Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 1. 14 M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’ân (Jakarta:
Amzah, 2007), 19.
18
waktu, terbuka, demokratis, egaliter, berakhlak mulia dan bersikap positif
lainya.15
Oleh sebab itu, sangat penting untuk memahami dan menyempurnakan
akhlak dalam Islam dengan cara mempelajari serta mengamalkan akhlak
dengan perbuatan yang baik dan benar serta amalan-amalan lainya.
Sementara, akhlak dalam Islam merupakan salah satu cabang ilmu
pengetahuan. Akan tetapi, ketika berbicara mengenai akhlak akan lebih
bertujuan pada wilayah pengaplikasian, sedengkan berbicara etika
bertujuan pada filosofi. Oleh karnanya, akhlak dan etika ilmu yang
mempelajari tentang perbuatan yang baik dan buruk.16
Dalam Islam, barometer yang menyebutkan baik buruknya sifat
seseorang itu adalah al-Qur,an dan Al-Sunnah Nabi SAW. Apa yang baik
menurut al-Qur,an dan Al-Sunnah, itulah yang baik untuk dijadikan
sebagai pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaiknya apa yang buruk
me nurut al-Qur’ân dan As-Sunnah itulah yang harus dijauhkan.17 Sebagai
contoh, ketika Aisyah ditanya tentang Akhlak Rasulullah SAW, ia
menjawab:
ن خلقه القرانكا“Akhlak Nabi adalah al-Qur’ân”
Maksud perkataan Aisyah adalah segala tingkah laku dan tindakan
Nabi SAW, baik yang lahir maupun batin senantiasa mengikuti petunjuk
al-Qur’ân. Di mana al-Qur’ân selalu mengajarkan umat Islam untuk
berbuat baik dan menjauhi segala perbuatan yang buruk. Sebab ukuran
baik dan buruk ini ditentukan al-Qur’ân. Kepentingan akhlak dalah
kehidupan sosial dikatakan dengan jelas dalam al-Qur’ân yang
15 Fadhil Al-Jamil, menerobos Krisis Pendidikan Dunia Islam, terj. H.M. Arifin,
(Jakarta: Golden Terayon Press, 1992), 11-12. 16 Suparman Syukur, Etika Religius (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 3. 17 M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), 11.
19
menjelaskan berbagai pendekatan yang meletakan al-Qur’ân sebagai
sumber pengetahuan terkait nilai dan akhlak yang paling terang dan jelas.
Akhlak yang mulia dan buruk digambarkan dalam perwatakan manusia,
dalam sejarah dan realita kehidupan manusia semasa al-Qur;an
diturunkan.18 Allah SWT berfirman:
تم تفون من الكتب وي عفوا عن هل الكتب قد جاءكم رسولنا ي لكم كثيا ما كن ي بي من ات بع رضوانه ي هدي به الل
سبل السلم كثيە قد جاءكم من الل ن ور وكتب مبي
وي هديهم ال صراط مستقيم ل الن ور بذنهويرجهم من الظلمت ا “Hai ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul kami,
menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-Kitab yang kamu sembunyikan,
dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepada
kamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab
itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke
jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan
orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang
dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka kejalan yang lurus.” (QS. al-
Maidah: 15-16)
Disisi lain, akhlak dalam islam terdapat sebuah istilah akhlaqul al-
karimah (akhlak terpuji) adalah akhlak yang senantiasa berada dalam
control ilahiyah yang dapat membawa nilai-nilai positif dan kondusif bagi
kemaslahatan umat seperti, sabar, jujur, ikhlas, bersyukur, tawadhu’
(rendah hati), husnu zan (berperasangka baik), optimis, menolong orang
lain, bekerja keras dan lain-lain.19
Akhlak karimah atau akhlak yang mulia memiliki jumlah yang banyak.
Tetapi, dilihat dari segi hubungannya manusia dengan Tuhan, dan manusia
dengan manusia, akhlak mulia dapat dibagi menjadi tiga bagian.
18 Rosid Anwar, Akidah Akhlak (Jakarta: Pustaka Setia, 2012), 208-210. 19 Aminuddin dkk, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, cet. 1, 2002), 153.
20
a. Akhlak Terhadap Allah SWT
Barometer akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran
bahwa tiada tuhan selain Allah SWT. Alam ini mempunyai pencipta dan
pemeliharaan yang diyakini ada-Nya, Yaitu Allah SWT. Ia lah yang
memberikan rahmat dan menurunkan azab kepada siapapun yang
diinginkan-Nya. Ialah yang wajib disembah dan ditaati oleh umat
manusia. Karena berkat Rahman dan Rahim-Nya manusia berhutang budi,
karena Allah telah menganugrahkan nikmat yang tak terhitung jumlahnya.
Sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, manusia diberikan oleh Allah SWT
kesempurnaan dalam ciptaanya yang mempunyai 20 kelebihan daripada
makhluk ciptaan-Nya sementara yang lain itu diberikan akal untuk
berfikir, perasaan dan nafsu.20
Akhlak kepada Tuhan (Allah SWT) dapat diartikan sebagai bentuk
sikap atau tingkah laku perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh
manusia sebagai makhluk Allah SWT. Terkait dengan Akhlak kepada
Allah dilakukan dengan cara memujinya, menyembahnya, yaitu
menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya petunjuk yang menguasi dirinya.21
Dengan sebab itu, manusia sebagai makhluk Tuhan (Allah SWT) harus
bebuat dangan berbagai cara untuk dapat mendekatkan diri dan berpasrah
diri pada Allah SWT.
b. Akhlak Terhadap Sesama Manusia
Islam memperintahkan kepada pemeluknya untuk melaksanakan hak-
hak pribadinya, melaksanakan kewajibanya dan berlaku adil terhadap
dirinya. Dalam islam telah disebutkan, di dalam memenuhi hak-hak
20 Tiswarni, Akhlak Tasawuf, ( Jakarta: Bina Permata, 2007), 28. 21 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam (LPPI), 2000), 34.
21
pribadinya tidak boleh merugikan orang lain.22 Ini menunjukan bahwa
Islam mengimbangi hal-hak pribadi dan hak orang lain agar tidak
menimbulkan pertentangan. Sebagai seorang muslim harus menjaga
perasaan orang lain dan tidak boleh membedakan sikap kepada setiap
orang. Akhlak terhadap antar sesama manusia merupaka perbuatan sikap
terhadap irang lain. seperti, menghormati dan menghargai orang lain,
berbuat adil, bersikap baik terhadap orang lain, memenuhi setiap janji dan
lain-lain.23
c. Akhlak Terhadap Alam
Alam adalah segala sesuatunya yang ada di langit maupun bumi dan
beserta isinya, selain Allah SWT, Manusia sebagai khalifah diberikan
kemampuan oleh Allah untuk mengelola alam semesta ini. Ini menunjukan
bahwa diturunkannya manusia ke muka bumi bukan hanya sekedar
menikmati karunia Tuhan (Allah SWT) saja, tanpa harus memelihara dan
melestarikannya. Melainkan manusia diturunkan dimuka bumi oleh Allah
SWT membawa rahmat dan cinta kasih sayang kepada alam dan seisinya.
Pencapaian yang hakiki adalah tujuan utama dari pendidikan akhlak.
Tujuan pendidikan akhlak adalah agar terbentuknya orang-orang yang
berakhlak baik atau bermoral baik, keras kemauan, sopan santun dalam
berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku dan perangai, bersifat
bijaksana, sempurna, ikhlas, jujur dan suci.24
Terdapat pendidikan akhlak yang memuat ikhtiar untuk mendapatkan
cara-cara yang bermanfaat dalam pembentukan adat istiadat, dan
kebiasaan baik yang mesti ditanam dalam hati nurani setiap manusia agar
22 David Trueblood, Penerjemah Prof. Dr. H. M. rasjidi, Philosophy of Religion,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1965), 3-7. 23 Muhammad Ibnu Abdul Hafidh, Cara Nabi Mendidik Anak, (Jakarta: Al-
I’tishom Cahaya Umat,2004), 365. 24 M. Athiya al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1970), 104.
22
tercapainya pengukuhan kemauan dalam berdisiplin, mendidik panca
indranya dan membiasakan diri untuk selalu berbuat baik, serta
menghindari segala setiap perbuatan yang tidak baik. Karena kehidupan
manusia banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur hewani (the animal nature
of man).25
Pendidikan akhlak sangat erat yang berkaita dengan tarbiyah,
sementara Tarbiyah ialah proses pengembangan dan bimbingan manusia
yang meliputi jasad, akal dan jiwa, terutama dalam menanamkan akhlak,
kemudian terdapat budi pekerti yang luhur serta didikan yang mulia dalam
jiwa anak, yang dilakukan secara konsisten, sejak ia kecil sampai ia
menjadi dewasa untuk hidup dengan kemampuan serta usahanya sendiri.26
Dari banyaknya uraian di atas, dapat dipetik pemahaman bahwa
pendidikan Akhlak ialah usaha sadar, teratur, dan sistematis di dalam
(budi pekerti), serta untuk mencapai akhlᾱk al-karῑmah. Akhlak hanya
untuk mengantarkan kebaikan sikap kepada sesama manusia, melainkan
juga kepada Tuhan, alam, dan diri sendiri.27
C. Akhlak Dalam Rumah Tangga Islam
Keluarga merupakan bagian terkecil dalam suatu masyarakat, yang
terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Meskipun demikian ada juga keluarga
yang hanya terdiri dari ayah dan ibu dalam sebuah rumah tangga.28
Keluarga dapat diartikan sebagai kelompok sosial yang merupakan
produk dari adanya ikatan-ikatan kekerabatan yang mengikat satu
25 Muhammad Ibnu Abdul Hafidh, Cara Nabi Mendidik Anak, (Jakarta: Al-
I’tishom Cahaya Umat,2004), 290. 26 Musthofa al-Ghayani, Bimbingan Menuju Ke Akhlak Yang Luhur, (Semarang:
Thaha Putra, 1976), 315. 27 Muhammad Ibnu Abdul Hafidh, Cara Nabi Mendidik Anak, (Jakarta: Al-
I’tishom Cahaya Umat,2004), 265. 28 Sofyan Wilis, Konseling Keluarga (Family Counseling), (Bandung: Alfabet,
2009), 23.
23
individu dengan yang lainya. Dengan penegrtian ini keluarga berarti
merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat. Keluarga dapat
diklasifikasikan dalam dua kategori, antara lain adalah, keluarga keluarga
luas atau keluarga besar yang disebut dengan al-‘ailah. Dan keluarga inti
atau kecil yang disebut dengan istilah al-usrah yang dimaknai sebagai
lembaga tempat hidup bersama dengan situasi yang berbeda-beda, tetapi
didalamnya terdapat satu fomasi keluarga yang memiliki ikatan bersama.
Sedangkan al-usrah adalah kelompok sosial yang terdiri dari suami, istri
dan anak-anak yang belum dinikahkan.29
Dalam pembinaan keluarga tentu tidak lepas dari nilai-nilai akhlak
Islami sehingga kehidupan rumah tangga akan mendapatkan
keharmonisan dan kebahagiaan bersama. Melalui bimbingan dan
pengajaran agama Isalam dalam keluarga membuat ketentraman dan
ketenangan dalam hidup.30
Keluarga juga bisa didefinisakn sebagai suatu kekerabatan yang
merupakan tempat tinggal yang ditandai oleh adanya kerjasama ekonomi,
dan mempunyai fungsi untuk berkembang biak, mensosialisasikan atau
mendidik anak dan menolong serta melindungi yang lemah dan merawat
orang tua yang sudah dibawa usia.31
Islam merupakan agama yang pertama kali memberikan perhatian
terhadap keluarga sebagai elemen sosial yang pertama, sementara orang
tua memberikan pendidikan, pemeliharaan dan pengawasan yang terus
menerus kepada anggota keluarga yang akan membawa pola kepribadian
sang anak dan keluarga.32
29 Khairuddin, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Nnurcahaya, 1985), 87. 30 Lia Oktavia Sasmita, Peran Istri Dalam Rumah Tangga Perspektif Hadis,
(Skripsi: UIN Jakarta, 2017), 33-34. 31 Wahyu, Ilmu Sosial Dasar, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), 57. 32 Tito Adonis, Peranan Wanita Dalam Pembinaan Budaya, (Bandung: Cv.
Pioner, 1991), 65.
24
Akhlak dalam rumah tangga terdapat sebuah rasa kasih sayang yang
mesra menyenangkan, yang merupakan dambaan setiap pasangan suami
istri. Namun dalam perjalananya tidak semudah yang dibayangkan,
diibaratkan seperti bahtera yang mengelilingi lautan luas nan lepas yang
jauh dari ancaman badai dan gelombang. Lautan mengalami sebuah
pasang surut maka tidak jauh berbeda dengan kehidupan rumah tangga.
Dicontohkan seperti hubungan suami dan istri tidak mesra, namun pada
saat tertentu terdapat panas dan mencemaskan. Tali pernikahan dalam
Islam adalah ikatan yang kokoh yang menjalin pasangan suami istri dalam
rangka menggapai jalinan rumah tangga yang penuh cinta dan kasih
sayang.33
Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nahl Ayat 80 :
ن جعل لكم م ن لكم وجعل سكنا ب ي وتكم والل لود الن عام ب ي وت تستخفونا ي وم ج م حي ال ومتاعا اثث واشعارها واوبرها فهااصوا ومن ظعنكم وي وم اقامتكم
“Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal
dan dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (Kemah-kemah) dari kulit
binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawanya)nya di waktu
kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari
bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan
perhiasan (yang kamu pakai) sampai katu (tertentu).”
Adapun jalinan pelakat bagi bangunan keluarga adalah hak dan
kewajiban yang disyariatkan Allah terhadap ayahnya, ibu, suami dan istri,
serta anak-anak. Terlalu banyak peraturan dan tuntutan itu untuk di
singgung dalam kesempatan ini.34 Namun, yang jelas, bahwa hak,
kewajiban, serta peraturan yang ditetapkan itu tidak lain tujuan nya
kecuali untuk menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga yang pada
33 Abdul Hakim, Keluarga sakinah, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2004), 37. 34 Dedy Ibmar, Tuhan dan Ruang, (Ciputat: Young Progressive Muslim, 2018), 20.
25
akhirnya menciptakan suasan aman, bahagia dan sejahtera bagi seluruh
masyarakat bangsa.35
Peraturan dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga dituntut oleh
ajaran Islam. Hal tersebut lahir dari rasa cinta terhadap anak keturunan dan
tanggung jawab terhadap generasi. Demikianlah, terlihat betapa besar
peranan keluarga dan betapa keberhasilan kita secara perseorangan atau
kolektif, secara pribadi atau bangsa, di dunia dan akhirat kelak, banyak
sekali ditentukan oleh keberhasilan kita dalam keluarga masing-masing.36
Wajar jika Allah berpesan:
ها مل ي ها الذين امن وا ق و ا ان فسكم واهليكم نرا وق ودها الناس والجارة علي ك ي ة غلظ ى
ما امرهم وي فعلون ما ي ؤمرون شداد ل ي عصون الل“Wahai orang-orang yang beriman. Peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya
malikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah
terhadap apa yang dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.”
Oleh karna itu, akhlak terhadap keluarga adalah mengembangkan rasa
kasih sayang di antara keluarga yang diungkapkan dalam bentuk
komunikasi yang didorong oleh rasa kasih sayang yang tulus akan
dirasakan oleh seluruh anggota keluarga. Dari komunikasi semacam itu
akan lahir saling keterikatan batin, keakraban dan keterbukan di antara
anggota keluarga dan menghapuskan kesenjangan di antara mereka.
Dengan demikian rumah bukan hanya menjadi tempat menginap, tetapi
betul-betul menjadi tempat tinggal yang damai dan menyenangkan
menjadi surga bagi penghuninya.37 Itulah akhlak dalam rumah tangga
Islam.
35 M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’ân Fungsi dan Peran Wahyu
Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, Cet 1, 2014), 398. 36 M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’ân Fungsi dan Peran Wahyu
Dalam Kehidupan Masyarakat, 402. 37 Zulkifli dkk, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Kalimedia, Cet 1, 2018), 9-10.
26
BAB III
BIOGRAFI IBN KATSĪR DAN AL-QURṬUBĪ
A. Biografi Ibn Katsīr
a. Biografi Ibn Katsīr
Nama lengkapnya adalah ‘Imad ad-Din Abu al-Fida’ Ismail ibn ‘Amr
ibn Zara’ al-Bushra al-Damasqi.1 Ia dilahirkan dari desa Mijdal yang
terletak dalam wilayah Busra (Basrah), tahun 700 H/1301 M. oleh karna
itu, ia mendapatkan gelar al-Bushrawi ( orang Bushra).2
Ibn Katsīr berasal dari kalangan keluarga yang terhormat. Ayahnya
adalah seorang ulama terkemuka pada masanya, Syihab ad-Din Abu
Hafsoh Amr Ibn Katsīr Ibn Dhaw Ibn Zara al-Quraisyi, yang pernah
mendalami madzhab Imam Hanafi, akan tetapi ia menganut madzhab
Syafi’i setelah menjadi seorang khatib di Bushra.3
Dalam usia kanak-kanak, setelah ayahnya meninggal, Ibn Katsīr di urus
oleh kakanya (Kamal ad-Din dan Abd al-Wahhab) pindah dari desa
kelahiranya ke Damaskus. Dan dikota inilah ia tinggal hingga akhir
hayatnya. Karena kepedihan ini, ia mendapatkan gelar ad-Damasqi (orang
Damaskus). Empat hal yang sangat menguntungkan bagi Ibn Katsīr dalam
mengembangkan keilmuanya, adalah kenyataan bahwa pada masa-masa
pemerintahan dinasti Mamluk, pusat-pusat studi Islam seperti madrasah-
madrasah dan masjid berkembang pesat. Sehingga perhatian para pengusa
pusat yang ada di Mesir maupun penguasa yang ada di daerah Damaskus
sangat besar pengarunya terhadap perkembangan studi Islam. Dan banyak
1 Ahmad Muhammad Syakir, umdat at-Tafsir an al-Hafizh Ibn Katsīr, jilid 1,
(Mesir: Dar al-Ma’arif, 1959), 22. 2 Umar Ridha Kahhalah menyebut desa kelahiran Ibn Katsīr dengan Jindal. Umar
Ridho Kahhalah, mu’jam al-Mualiffin: Tarajum mushannif al-Kutub al-Arabiyah, Jil. II,
(Beirut: Dar-Ihya al-Turats al-Arabi, t,t), 283. 3 Ibn Katsīr, al-Bidayah wa al-Nihayah, Jil. XI, (Beirut: Dar al Fikr, t,t), 32.
27
ulama ternama di masa ini, yang akhirnya di jadikan tempat Ibn Katsīr
menimba ilmu.4
Selain fokus pada dunia ke ilmuan, Ibn Katsīr juga terlibat dalam
urusan-urusan kenegaraan. Yang tercatat aktivitasnya pada bidang ini
seperti, pada akhir tahun 741 H. Ia ikut penyelidikan yang akhirnya
menjatuhkan hukuman mati pada seorang sufi zindiq yang menyatakan
Tuhan terdapat pada dirinya. Pada tahun 752 H ia berhasil meninggalkan
pemberontakan Amir Baibughah Urus, masa khilafah al-Mutadid bersama
ulama lainya, pada tahun 759 H ia pernah diminta untuk mengesahkan
beberapa peristiwa kenegaraan lainya.
Para ahli meletakan beberapa gelar keilmuan pada Ibn Katsīr, sebagian
kesaksian atas kepiawianya dalam beberapa bidang ke ilmuan yang ia
pelajari, yaitu:
1. Al-Hafidz, orang yang mempunyai kapasitas hafalan 100.000
Hadits, matan maupun sanad, dan maupun dari beberapa jalan
mengetahui hadits sahih, serta tahu istilah ilmu ini.5
2. Al-muhaddis, orang yang ahli mengenai Hadits riwayat dan dirayah,
imamnya, serta dapat mensahihkan dalam mempelajari dan
mengambil faedahnya.6
4 Ulama-ulama besar yang hidup masa Dinasti Mamluk, karya dan wafatnya,
selanjutnya lihat: Ibn Katsīr, al-Bidayah, jl. XIII dan XIV. 5 Lihat Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H),
448. Bandingkan dengan Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushtalah al-Hadits, (Bandung: PT.
al-Ma’arif. 1981), 22. 6 Fatchur Rahman, 23. Dalam beberapa kesempatan para ulama menyamakan atau
mensejajarkan pengertian antara al-muhaddis dengan al-Hafidz. Namun, jumhur ulama
muta’akhirin ahli hadits berpendapat antara keduanya berbeda dalam tingkatan dan
jengjang ke ahlianya. Hal ini sesuai tingkatan jenjang yang mereka buat. Dinyatakan,
gelar terendah ulama hadis adalah al-musnid, kemudian disusul peringkat di atasnya
secara berurut: al-muhaddis, al-hafizh, al-hakim, dan yang tertinggi: amr al-mu’minin fi
al-Hadis, Lihat: jalal ad-Din as-Suyuthi, Tartib ar-Rawi, (Kairo: dar al-Kutub al-hadisah,
1996), jilid 1, 43-52.
28
3. Al-Faqih, gelar keilmuan bagi ulama yang ahli dalam ilmu hukum
Islam (fiqh), namun tidak sampai pada tingkat mujtahid, ia
menginduk pada suatu mazhab yang ada, tapi tidak taqlid.
4. Al-Muarrikh, seorang yang ahli dalam sejarah atau sejarawan.
5. Al-mufassir, seorang yang ahli dalam bidang tafsir, yang menguasai
perangkat-perangkatnya berupa ulum al-Qur’ân dan memenuhi
syarat-syarat mufassir.7
Di antara lima gelar tersebut, al-hafizh merupakan gelar yang paling
melakat pada Ibn Katsīr. Ini terlihat pada penyebutan nama pada karya-
karyanya atau ketika menyebutkan pemikiranya. Gelar-gelar tersebut
dalam keadaan tertentu saling menunjang misalnya, dalam tafsirnya Ibn
Katsīr seakan mendemonstrasikan keahlian-keahlianya untuk menganalisis
dan mengemukakan materi tafsir. Atau secara terpisah gelar keahlianya itu
nampak pada karya-karya yang dihasilkan. Kelima gelar yang berhak
disandang pada Ibn Katsīr merupakan suatu kelebihan dan karunia Allah
SWT.8
Bukti keahlian Ibn Katsīr dalam bidang tersebut dapat dilihat pada
karya-karya tulisnya. Dan tenyata popularitas karya-karya tulis tersebut,
Ibn Katsīr dalam bidang sejarah dan tafir yang memberikan andil besar
yang sangat berpengaruh pada duia keislaman dalam mengangkat
namanya menjadi tokoh ilmu yang masyhur dan terkenal.
Selama hidupnya Ibn Katsīr juga, didampingi salah seorang istri yang
sangat dicintainya yang bernama Zainab, putri al-Mizzi yang masih
sebagai gurunya. Dan setelah menjalani dinamika kehidupan yang rumit
dan panjang, penuh dedikasi pada tuhanya, agama, negara dan dunia
keilmuan, 26 sya’ban 774 H, yang bertepan pada bulan februari 1373 M,
7 Nur Faizin Maswan, 37. 8 Nur Faizin Maswan, 38.
29
pada hari kamis, Ibn Katsīr dipanggil untuk menjemput rahmat Allah
SWT.9
b. Karya-karya Ibn Katsīr
Sejak kepindahanya Ibn Katsīr bersama kakeknya Kamal al-Din Abd
al-Wahâb ke Damaskus (707 H), atas anjuran kakanya, ia memulai
pencariannya dalam bidang keilmuan. Berbagai cabang ilmu keislaman
dipelajari secara mendalam oleh Ibn Katsīr, terutama hadîts, fikih, sejarah,
dan tafsir. Dalam keempat bidang ini dapat dilihat karya-karya tulisnya
sehingga wajar apabila gelar al-Hafiz, al-Muhaddîts, al-Faqih, al-
Mu’arrikh melekat di depan namanya.10 Namun popularitas karya-
karyanya di bidang sejarah dan tafsirlah yang memberikan andil terbesar
dan mengangkat namanya menjadi rokoh ilmu yang dikenal di dunia Islam
hingga saat ini.
Karya tulis sejarah yang dimaksud adalah kitab al-Bidâyah wa al-
Nihâyah terdiri atas 14 jilid besar. Kitab memaparkan berbagai peristiwa
yang terjadi sejak awal penciptaan alam sampai dengan peristiwa-
peristiwa yang terjadi sejak awal penciptaan alam sampai dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768 H atau enam tahun
sebelum wafatnya. Sedangkan karya tafsir yang dimaksud adalah Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Azîm atau sering disebut dengan nama Tafsîr Ibn Katsîr.11
Begitu terkenalnya sosok Ibn Katsîr dalam perjalanan hidupnya, karena
karya ilmiah beliau dalam bidang keilmuan di dunia Islam yang sangat
populerkan namanya, sebelum atau sesudah wafatnya. Ibn Katsîr sangat
produktif dalam menghasilakan sebuah karya, sebagai wujud kedalaman
9 Syakir, 34: Al-Qaththan, 386. 10 Rosihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur isrᾰiliyyᾰt Dalam tafsof al-Thabari dan
tafsîr Ibn Katsîr, cet-1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 70. 11 Rosihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur isrᾰiliyyᾰt Dalam tafsof al-Thabari dan
tafsîr Ibn Katsîr, 70.
30
dan penguasaan ilmunya dalam beberapa bidang kajian, di antara hasil
karyanya tulisnya adalah:
1. Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm (Bidang Tafsir)
2. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Bidang Sejarah)
3. Syarh fi Kitâb al-Kabîr fi al-Ahkâm (Bidang Fikih)
4. Muktashâr ‘Ulûm al-Hadîts Li Ibni al-Shalâh (Bidang Hadits)
5. Al-Sirah al-Nabawiyah (perjalanan kenabian/sejarah)
6. Al-Takmil fi Ma’rifah al-Tsiqah wa al-Du’afa’ wa al-Majâhil
(bidang sejarah).12
c. Metode Penafsiran
Tentang penafsiran Ibn Katsīr ini, Muhammad Rasyîd Rida
menjelaskan: Tafsir ini merupakan Tafsir paling masyhûr yang
memberikan perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para
mufassir salaf dan menjelaskan makna-makna ayat dan hukum-hukumnya
serta menjauhi pembahasan i’rab dan cabang-cabang balaghah yang pada
umumnya dibicarakan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak
diperlukan dalam memahami al-Qur’ân secara umum atau memahami
hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.13
Metode penafsiran Tafsir Ibn Katsîr bila diteliti termasuk dalam
katagori tafsir tuhlil yang bercorak bi al-ma’tsûr.14 Berikut ini dijelaskan
lebih terperinci sistematika tentang penafsiran Ibn Katsîr:
12 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’ân, cet. II, (Bogor: Litera
Antara Nusa, 2009), 528. 13 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’ân, 528. 14 Tahlîlî adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’ân dengan memaparkan aspek yang
terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna
yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecendrungan mufassir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut. Sedangkan corak bi al-mu’tsîr yaitu menafsirkan al-
Qur’ân dengan al-Qur’ân, al-Qur’ân dengan al-Sunnah, al-Qur’ân dengan pendapat
sahabat, karena mereka yang paling mengetahui Kitabullah, atau dengan apa yang
31
1. Penjelasan sekitar Surah dan ayat al-Qur’ân
Dalam mengemukakan tentang penjelasan sekitar Surah al-Qur’ân, Ibn
Katsîr mengawalinya dengan menyebutkan nama-nama Surah itu sendiri
disertai dengan hadits-hadits yang menerangkan kepada hal tersebut.
Selanjutnya untuk memulai penafsiran, sebelumnya beliau menyebutkan
satu ayat kemudian menafsirkan ayat tersebut dengan keterangan yang
mudah disertai dengan hadits-hadits yang menerangkan kepada hal
tersebut. Selanjutnya untuk memulaipenafsiran, dengan redaksi yang
mudah serta ringan. Serta menyertai dengan dalil dari ayat lain, lalu
membandingkan ayat-ayat tersebut sehingga maksud dan artinya jelas.15
2. Menyebutkan al-Qur’ân dengan Hadits
Kelebihan-kelebihan tertentu pada Tafsir Ibn Katsîr adalah bahwa Ibn
Katsîr menafsirkan al-Qur’ân dengan hadits. Penafsiran ini dilakukan
dengan cara menuliskan al-Quran dengan hadits. Penafsiran ini dilakukan
dengan cara menuliskan matan hadits tersebut dengan lengkap serta
merangkaikan urutan-urutan sanadnya sampai kepada rawi terakhir.
Kemudian menjelaskan jarh (cacat) dan ta’dil (adil) riwayatnya, dan
kemudian mengomentari hadits tersebut sahih atau tidak.
3. Menjelaskan munâsabah ayat
Metode ini menggunakan untuk memperjelas penafsiran ayat,
disamping mempermudag pembaca dalam mengumpulkan ayat-ayat
sejenis, sehingga masing-masing ayat bisa menafsirkan ayat-ayat sejenis
lainnya. Juga agar pengertian satu ayat dengan ayat yang lainya yang
mengandung tema serupa tidak terputus –putus, untuk hal ini Ibn Katsîr
dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in, lihat manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu
al-Qur’ân, 482-483. 15 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirû, (Bairut: Dâr al-Fîkr,
1976), 254.
32
meletakanya di tempat penafsiran perkalimat atau perkata sebagai penguat
penafsiran tersebut.16
4. Menerangkan sebab-sebab turunya ayat
Ibn Katsîr menjadikan hadits-hadits Rasulullah sebagai bahan rujukan
untuk menerangkan sebab turunya ayat. Pembahasan asbâb al-nuzûl untuk
masing-masing ayat biasanya dicantumkan di depan sebelum pembahasan
ayat di mulai. Begitu juga dengan asbâb al-nuzûl surat-surat dicantumkan
di depan sebelum pembahasan tafsir tersebut dilakukan.17
5. Memperluas masalah hukum dalam al-Qur’ân
Para ulama sepakat bahwa Ibn Katsîr adalah seorang ahli hadits yang
handaljuga seorang ulama fikih yang masyhur dan mahir dalam
mengutarakan permasalahan yang berkaitan dengan hukum. Kemahiran
berfatwanya turut mempengaruhi jalan pemikirannya bdalam menafsirkan
ayat-ayat hukum. Hal ini terbukti ketika beliau membahas satu masalah
ayat hukum ia buatkan suatu pembahasan khusus dengan menafsirkan
secara panjang lebar, dengan bersandarkan pada hadis Nabi dan pendapat
para ulama, untuk mengetahui isi kandungan ayat tersebut.18
Menurut Muqnî Hakim Mahnud: Tafsir Ibn Katsîr merupakan karya
tafsir terbaik, oleh karna itu, tafsir ini menjadi rujukan ulama tafsir
sesudahnya. Sedangkan menurut pandangan al-Suyûti, Tafsir Ibn Katsîr
merupakan tafsir yang tidak ada duanya. Belum pernah ditemukan kitab
tafsir yang sistematik dan karakteristiknya menyamai kitab tafsir ini.19
16 al-Dzahabî, al-Tafsir wa al-Mufassirûn, 254. 17 al-Dzahabî, al-Tafsir wa al-Mufassirûn, 255. 18 al-Dzahabî, al-Tafsir wa al-Mufassirûn, 256. 19 Rosihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Isrâiliyât dalam Tafsir al-Thabâri dan
Tafsir Ibn Katsîr, 74.
33
B. Al-Qurṭubī
a. Biografi al-Qurṭubī
Imam al-Qurṭubī nama lengkapnya adalah Abū ‘Abdillah Muhammad
bin Ahmad bin Abi Bakar Farh al-Ansāri al-Khazraji al-Andalusi al-
Qurṭubī. Ia adalah seorang mufassir yang dilahirkan di Cordoba Andalusia
(Spanyol). Ia juga seorang Ulama yang bermazhab Maliki.20 Setelah
tinggal di Cardoba, yang kemudian ia berpindah ke mesir dan menetap
disana. Kemudian juga beliau meninggal dunia di kota mesir pada malam
senin tnggal 9 syawal tahun 671 H. Makam beliau berada di sebuah kota
bernama Elmaniya tepat disebalah timur sungai Nil, sampai sekarang
makam beliau sering dikunjungi (ziarah) oleh banyak orang.21 Sedangkan
pada sumber lain dikatakan bahwa beliau meninggal dunia di sebuah kota
bernama Manniyah Ibn hasib Andalusia.22
Imam al-Qurṭubī adalah salah seorang ulama saleh yang termashur dan
sangat Zuhud dalam urusan dunia, bahkan beliau sudah mencapai level
Ma’rifatullah yang beliau sendiri lebih banyak menyibukan diri dalam
urusan Akhirat dan keseharianya hanya disibukan dengan beribadah,
belajar dan berkarya. Beliau merantau keluar daerahnya demi belajar
ilmu-ilmu agama, sehingga menjadi sarjana yang teliti dan kehidupanya
cenderung asketisisme (paham yang mempraktekan kesederhanaan,
kejujuran, dan kerelaan berkorban), ia juga selalu meditasi terkait
kehidupan setelah mati. al-Qurṭubī telah belajar ilmu-ilmu agama pada
para ulama dimasanya, salah satu guru yang terkenal bernama Syaih Abu
Abbas Ahmad bin Umar al-Qurṭubī, al-Hafizh Abu Ali al-Hasan bin
20 Mannā Khalil al-Qattān, Mabāhit Fi ‘Ulūm al-Qurān (Mesir: Maktabah
Wahbah, tth), 368. 21 Al-Qurṭubī, al-Jāmi’ Li Ahkām al-Qurān, Juz. 1 (Libanon : Muassasah al-
Risalah, 2006), 6. 22 Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), 65.
34
Muhammad bin Muhammad al-Bakary yang memiliki Shahih Muslim.
Tokoh ini yang merupakan salah seorang guru ulama salaf yang terkenal
sebagi pakar bahasa arab.23
Kemudian setelah al-Qurṭubī menuntut ilmu ke timur di dataran tinggi
Mesir yang dibimbing oleh banyak gurunya sehingga reputasinya menjadi
meningkat dan sempat juga beliau belajar ilmu hadis. Layaknya seperti
Imam Nawawi yang telah mengutip dari kitab mufhimnya di beberapa
tempat dari karya-karyanya yang mengatakan terdapat dua tokoh dari
siapa Imam al-Qurṭubī belajar ilmu hadis, disebutkan yaitu dari Al-Hafidz
Abu Ali Hasan bin Muhammad bin Ali Hafzi bin Yahsubi dan Abu Abbas
Ahmad bin Umar al-Qurṭubī.24 Dari beberapa ulama pada masanya beliau
belajar agama dan belajar bahasa serta belajar ilmu hadis dari tokoh ulama
yang berada di Mesir, yang kemudian beliau memahami agama juga
meneruskan cita-citanya untuk berkarya dan menulis kitab yang
bermanfaat pada masanya.
al-Qurṭubī memiliki karakter yang menjadikan dirinya disebut-sebut
keagungannya oleh para ulama. Al-Hafizh Abdul Karim berbica tentang
al-Qurṭubī “ Ia termasuk hamba Allah yang shalih, yang arif, yang zuhud
yang suka menyibukan diri dengan beribadah”. Dalam sejarah al-Kitaby
juga terdapat juga terdapat pujian baginya “Ia salah seorang syaikh yang
memiliki karya-karya yang berfaedah yang menunjukan pada ketinggian
ilmunya, di antaranya adalah tafsir Qur’an. Al-Zahabi menyampaikan
dalam sejarah Islam, “Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Farh al-
Imam al-Qurṭubī yang memiliki lautan Ilmu”. Dia mempunyai karangan-
23 Muhammad Husain Al-Zahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassiruun, (Mesir: Daar al-
Maktabah al-Harisah, 1976), 512. 24 Muhammad Husain Al-Zahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassiruun, 512.
35
karangan yang bermanfaat yang mengarahkan pada ketinggian wawasan
ilmu kejeniusan otak dan keutamaanya.25
b. Karya-karya Al-Qurṭubī
Kecintaan al-Qurṭubī terhadap ilmu-ilmu agama membentuk karakter
yang sangat shalih, zuhud, ‘arif dan beliau sangat banyak menyibukan diri
untuk beberpa kepentingan-kepentingan akhirat dan waktu nya dihabiskan
unruk dua hal yaitu beribadah kepada Allah Swt dan menulis kitab. Para
ulama mengenal sosok seorang al-Qurṭubī sebagai seorang pakar imu
fikih, pakar ilmu hadits dan sebagainya. Ini karena beliau meninggalkan
banyak karya-karya yang bermanfaat. Sehingga bisa disebutkan beberapa
karya-karyanya yang meliputi bidang seperti kitab tafsir, hadits, qira’at
dan lain sebagainya, di antara kitab beliau yang terkenal sebagai berikut:
1. Al-Jāmi’ li Ahkam Al-Qur’ān wa al-Mubin lima Tadammanhu min al-
Sunnah wa ai al-Furqān. Merupakan kitab tafsir yang bercorak fikih.
Kitab ini dicetakb pertama kali di Kairo pada tahun 1933-1950 M.
Oleh percetakan Dar al-Kutub al-Misriah, ada 20 jilid. Setelah itu ada
pada tahun 2006 penerbit Mu’assisah al-Risalah, Beirut mencetak
kitab ini sebanyak 24 juz/jilid yang telah di-tahqiq oleh Abdullah bin
Muhsin al-Turki.
2. Al-Tadzkîrah fi Ahwal al-Mauti wa Umur al-Akhîrah, diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia sebagai "Buku Pintar Alam Akhirat" yang
diterbitkan di Jakarta tahun 2004. Cetakan terbaru tahun 2014 ada
kitab Mukhtashor-nya yang ditulis oleh Fathi bin Fathi al-Jundi.
3. Al-Tidzkar fi fadli al-Azkār. Berisi tentang penjelasan kemuliaan-
kemulian al-Quran. dicetak pada tahun 1355 M di Kairo.
25 Muhammad Husain Al-Zahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassiruun, 512.
36
4. Qama’ al-Hars bi al-Zuhdi wa al-Qanā’ah wa Radd zil al-Sual bi al-
Katbi wa al-Syafā’ah. Pada tahun 1408 dicetak oleh Maktabah al-
Sahabah Bitanta.
5. Al-Intihaz fi Qirā’at Ahl al-Kuffah wa al-Basrah wa al-Syam wa Ahl
al-Jijaz, yang disebutkan dalam kitab al-Tidzka.
6. Al-I’lam Bimā Fi Din al-Nasara Min al-Mafasid Wa Awham Wa
Kazhar Mahasin al-Islam. Dicetak di Mesir oleh Dar al-Turats al-
‘Arabi.
7. Al-Asna fi Syarh Asma al-Husna wa Sifatuhu fi al-‘Ulya.
8. Al-I’lam fi Ma’rifati Maulid al-Mustafa ‘alaih al-Salat wa al-Salam,
terdapat di Maktabah Tub Qabi, Istanbul.
9. Urjuzah Fi Asma’ al-Nabi SAW. Kitab ini disebutkan dalam kitab al-
Dibaj al-Zahab karya Ibn Farh.
10. Syarh al-Taqssi.
11. Al-Taqrîb li Kitab al-Tamhid.
12. Risalah fi Alqab al-Hadits.
13. Al-Aqdiyah.
14. Al-Misbah fi al-Jam’i baina al-Af’al wa al-Shihah (fi ‘Ilmi Lugah)
15. Al-Muqbis fi Syarhi Muwatha’ Malik bin Anas.
16. Minhaj al-‘Ibad wa Mahajah al-Salikin wa al-Zihad.
17. Al-Luma’ al-Lu’lu’iyah fi al-‘Isyrinat al-Nabawiyah wa ghairiha.26
c. Metode Penafsiran
Menurut Amin al-Khuli dalam bukunya Manāhij Tajdid bahwa dalam
penulisan kitab tafsir dikenal beberapa sistematika, yaitu mushāfi, nuzūli,
26 Muhammad Husain al-Zahabi, Al-Tafsir Wal Mufassiruūn, Jilid 2, (Kairo: Darul
Hadis, 2005 ), 401.
37
dan mawdhū’i.27 Tafsir al-Qurṭubī memakai sistematika mushāfi, ia
menafsirkan al-Qur’ān sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat
dalam mushaf al-Qur’ān, yaitu mulai dari ayat pertama surat al-Fātihah
sampai ayat terakhir surat al-Nās. Sementara penafsiran al-Qur’ān yang
mengikuti kronologis turunnya surat-surat al-Qur’ān atau sistematika
nuzuli dipakai oleh Muhammad ‘Izzah Darwazah dengan tafsirnya yang
berjudul al-Tafsir al-Hadits.
Al-Qurṭubī juga tidak memakai sistematika mawdlū’i, yaitu
menafsirkan al-Qur’ān berdasarkan topik-topik tertentu dengan
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’ān yang ada hubungannya dengan topik
tersebut. Meskipun sistematika penafsiran al-Qurṭubī memakai mushāfi,
namun menurut Muhammad Quraish Shihab benih-benih penafsiran
model sistematika mawdlū’i dalam tafsir al-Qurṭubī sudah tumbuh, hal ini
melihat corak penafsiran dia yang memfokuskan pada penafsiran ayat-ayat
al-Qur’ān yang bertema hukum.28
Secara umum menurut al-Farmawi dalam bukunya al-Bidāyah fi al-
Tafsîr al-Mawdlū’i Dirāsah Manhājiyyah mawdlūiyyah, para mufassir
dalam mengungkapkan dan menjelaskan al-Qur’ān menggunakan metode
tahlili, ijmāli, muqarān, dan mawdlu’i. Metode tahlili merupakan metode
tafsir yang menggunakan sistematika mushāfi dengan cara menjelaskan
dan meneliti semua aspek dan menyingkap seluruh maksudnya secara
detail, dimulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap
ungkapan, munasabah ayat, dan keterangan asbāb al-nuzūl dan hadits.
Metode ijmali yaitu menafsirkan al-Qur’ān dengan sistematika mushāfi
secara global hanya mengemukakan garis besarnya saja, yakni
27 Amin al-Khulli, Manāhij tajdid fi al-nahw wa-al-balaghah wa-al-tafsîr wa-al-
adāb, (Mesir: Dar al-Ma’rifah, 1961), 300. 28 M. Quraish Shihab, KAIDAH TAFSIR: Syarat, dan Ketentuan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Al-Qur’ân, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 387.
38
menguraikan makna dan bahasa secara singkat, menguraikan kosakata al-
Qur’ān dengan kosakata al-Qur’ān sendiri dan uraian tafsirnya tidak
keluar dari konteks al-Qur’ān, dengan bantuan sebab turun ayat, peristiwa
sejarah, hadis nabi, dan pendapat ulama. Kitab tafsir yang menggunakan
metode ijmali di antaranya seperti tafsir al-Qur’ān al-Karîm karya Ustad
Muhammad Farid Wajdi dan al-Tafsîr al-Wasith yang diterbitkan oleh
Majma al-Buhus al-Islamiyyah.29
Metode muqarran yaitu membandingkan perbedaan dan persamaan
penjelasan para mufassir sebelumnya dalam menafsirkan sebuah ayat al-
Qur’ān yang dikaji, menjelaskan kecenderungan ideologi, latar belakang
dan dominasi keilmuan mufassir masing-masing yang mempengaruhi
penafsiran suatu ayat atau tema yang sama. Metode tafsir muqaran juga
berarti membandingkan ayat-ayat al-Qur’ān yang berbicara tentang tema
tertentu, atau membandingkan ayat-ayat al-Qur’ān yang tampak
kontradiktif dengan hadits atau kajian-kajian lainnya. Adapun metode
mawdhū’i atau metode tematik yaitu menafsirkan al-Qur’ān dengan cara
mengumpulkan dan mengelompokkan ayat-ayatal-Qur’ān dalam tema atau
topik tertentu, baik yang menyangkut tema akidah, sejarah, kehidupan
sosial, sains, ekonomi, dan lain sebagainya. Cara lainnya juga dengan
mengkaji dan membahas satu surat tertentu secara utuh dan menyeluruh
tentang maksud dan kandungan ayat-ayat surat tersebut.30
Berdasarkan kategorisasi metode tafsir yang telah dijelaskan oleh al-
Farmawi di atas, maka dapat dikatakan bahwa tafsir al-Qurṭubī ini
memakai metode tahlili. Hal ini dapat dilihat dalam tafsirnya ketika secara
panjang lebar dan mendalam ia menjelaskan kandungan ayat-ayat dari
29 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudlu’i dan Cara Penerapannya,
Rosihon Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 23-38. 30 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudlu’i dan Cara Penerapannya, 23-
38.
39
berbagai aspek secara runtut dengan langkah-langkah penafsiran sesuai
dengan metode tafsir tahlili.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh al-Qurṭubī dalam menafsirkan
al-Qur’ān dapat dijelaskan dengan perincian sebagai berikut:
1. Menyebutkan ayat-ayat al-Qur’ān
2. Menyebutkan point-point masalah ayat-ayat al-Qur’ān yang dibahas
kedalam beberapa bagian
3. Memberikan kupasan dari segi bahasa
4. Menyebutkan ayat-ayat al-Qur’ān lain yang berkaitan dan hadits-
hadits dengan menyebut sumber dalilnya
5. Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat
untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok
bahasan
6. Menolak pendapat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam
7. Mendiskusikan pendapat ulama dengan argumentasi masing-masing
dan mengambil pendapat yang paling benar.
Mengenai corak penafsiran, terdapat banyak model corak tafsir yang
berkembang saat ini yang dipakai mufassir dalam menerangkan suatu ayat.
Tentunya corak tafsir yang digunakan itu lahir sesuai dengan kompetensi
latar belakang bidang keilmuan mufassir itu sendiri. Kalau melihat
klasifikasi corak tafsir yang dibagi al-Farmawi menjadi tujuh yaitu, al-
ma’tsur, al-ra’yu, sufi, fiqh, falsafi, ilmi dan adab al-ijtima’i maka dapat
disimpulkan bahwa corak penafsiran yang dilakukan oleh al-Qurtūbî
adalah bercorak fiqhi yang sama dengan aliran tafsir Ahkam al-Qur’ān li
al-Jashash, Tafsîr Ayat al-Ahkām li al-Syaikh Muhammad al-Sayas, Tafsir
Ayat al-Ahkām li al-Syaikh Manna’ al-Qathān, Adwa’u al-Bayān li al-
Syaikh Muhammad al-Syanqithi, dan Ahkam al-Qur’ān karya ibn al-
Arabi. Hal ini berdasarkan pada judul tafsir yang mengisayaratkan adanya
40
pembahasan ayat-ayat hukum dalam al-Qur’ān (al-Jāmi’ li Ahkām al-
Qur’ān), selain itu juga karena hampir setiap ayat yang dijelaskan selalu
dihiasi dengan penjelasan hukum-hukum yang ada dalam ayat tersebut.31
Al-Qurṭubī memang terkenal beraliran fikih bermazhab al-Maliki,
namun kalau melihat tafsirnya, sifat fanatisme terhadap fikih maliki sama
sekali tidak ditemui, bahkan sebenarnya ketika memaparkan atau
menjelaskan hukum itu banyak menyertakan dalil-dalil, analisis bahasa
pun sering menjadi point penting pembahasan ayat tersebut. Sehingga apa
yang temukan berdasar dari dalil-dalil itulah yang menurutnya benar,
Seperti contoh dalam menafsirkan ayat al-Qur’ān dalam surat al-Baqarah
ayat 187.32
كم لة الص يام الرفث الى نساى .احل لكم لي “Di halalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
istri-istri kamu.”
Di dalam tafsirnya disebutkan 12 masalah yang dikandung ayat-ayat
ini, di antaranya adalah mengenai perselisihan ulama tentang hukum orang
yang makan pada siang hari di bulan ramdhan karena ia lupa, ia
menyebutkan bahwa menurut Imam Malik orang tersebut telah iftar maka
ada kewajiban qadla’ meski hukum qadla’ itu tidak diridoi. Ulama selain
Imam Malik berpendapat bahwa orang yang lupa tidak berarti sudah iftar
maka ia tetap harus melanjutkan puasanya, inilah yang benar kata al-
Qurṭubī seperti yang telah dikatakan oleh jumhur bahwa jika seseorang
makan atau minum karena lupa maka tidak ada qada bahkan puasanya
sempurna.
31 Manna Khalil al-Qattan Mabāhits fi ‘Ulūm Al-Qur’ān (Riyadl: Mansyūrat al-
‘Ashar al-Hadits, 1990), 376-377.
32 Departemen Agama, al-Qur’ân dan Terjemah, 45.
41
BAB IV
ANALISIS HUBUNGAN RUMAH TANGGA NABI MUHAMMAD
SAW DALAM QS. AL-TAḤRῙM[66] 1-5.
A. Asbabun Nuzul
Ayat 1, yaitu firman Allah ta’ala:
تحر يمح ماأ أحل ٱللح لي ي ها ٱلنبي ك وٱللح لك تبتغيي مرضات أز يأ ي ر غفحو وجي م رحي“Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah
bagimu? Engkau ingin menyenangkan hati istri-istrimu? Dan Allah maha
Pengampun, maha Penyayang.” (al-Taḥrῑm[66]:1)
Sebab turun ayat:
Imam al-Hakim dan an-Nasa’i meriwayatkan dengan sanad yang
shahih dari Anas bahwa suatu hari Rasulullah menggauli seorang budak
wanita miliknya. Aisyah dan Hafsha lantas terus menerus
memperbincangkan kejadian tersebut sampai akhirnya Rasulullah
menjadikan budaknya itu haram bagi diri beliau (tidak akan digauli lagi).
Allah lalu menurunkan ayat ini.1
Ayat 2, yaitu firman Allah ta’ala:
ا تيلة لكحم ٱللح ف رض د ق كييمح ال علييمح ال وهحو مو لىكحم وٱللح كحم ني أي “Sungguh, Allah telah mewajibkan kepadamu membebaskan diri dari
sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan dia maha Mengetahui,
maha Bijaksana.” (al-Taḥrīm: 2).
Sebab turunnya ayat:
Dalam kitab al-Mukhtamah, adh-Dhiyaa’ meriwayatkan sebuah riwayat
dari Ibn Umar dari Umar Ibn-Khatab yang berkata, “ Rasulullah berkata
kepada Hafshah, “jangan beritahu kepada siapapun bahwa Ummu
Ibrahim haram bagi saya untuk menyentuhnya kembali.” Rasulullah
kemudian memang tidak lagi menggauli hingga Hafshah membocorkan
1 Jalaluddin as-Suyuthi. Lubᾱbun Nuqul fi Asbᾱbin Nuzul, Cet I (Jakarta: Gema
Insani, 2008), 585.
42
ucapan Rasulullah tersebut kepada Aisyah. Allah lalu menurunkan ayat,
“Sungguh, Allah telah mewajibkan kepadamu membebaskan diri dari
sumpahmu.”
Imam al-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibn
Abbas yang berkata, “suatu ketika, Rasulullah meminum madu di rumah
Sa’udah. Ketika beliau pergi ke rumah Aisyah, Aisyah berkata, ‘Saya
mencium bau yang (kurang sedap) dari mulut engkau.’ Ucapan yang sama
juga disampaikan Hafshah ketika Rasulullah pergi ke rumahnya.
Rasulullah lalu berkata, “saya kira, bau tersebut berasal dari minuman
yang saya minum di rumah Sa’udah. Demi Allah, saya tidak akan
meminumnya lagi.’ Setelah itu, turun ayat 1, ‘Wahai Nabi! Mengapa
engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu? Engkau ingin
menyenangkan hati istri-istrimu.?2
Riwayat terakhir ini memiliki penguat, yaitu riwayat yang terdapat di
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Mengomentari hal tersebut, Ibn
Hajjar berkata, “Ada kemungkinan ayat ini turun berkenaan dengan kedua
hal tersebut.”
Harits bin Usamah juga meriwayatkan dalam Musnadnya dari Aisyah
yang berkata, “Tetkala Abu Bakar bersumpah tidak akan memberi nafkah
lagi pada Misthah, Allah lalu menurunkan ayat 2, ‘sungguh, Allah telah
mewajibkan kepadamu membebaskan diri dari sumpahmu.’ Setelah itu,
Abu Bakar kembali menafkahiny.” Riwayat ini sebab turunya sangat aneh.
Ibn Abi Hatim meriwayatkan dai Abu Abbas yang berkata, “Turunya
ayat 1, ‘Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah bagimu?.’ Berkenaan dengan seorang wanita yang
menghibahkan dirinya kepada Rasaulullah.
Ayat 5, yaitu firman Allah ta’ala
2 Jalaluddin as-Suyuthi. Lubaabun Nuqul fii Asbaabin Nuzul, 586.
43
تي م ينكحن اخي جاأز وا ي حب ديله أن طلقكحن إين عسى ربه ليم ت تأئيبت قنيتت مينتي مؤ محس بيد عت اكار وأب ث ي يبت سأئيح
“Jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti
kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu, perempuan-
perempuan yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang
beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.” (al-Taḥrῑm[66]:
5).
Sebab turunya ayat:
Terkait sebab turunya ayat ini telah dikemukakan yaitu ucapan Umar
Ibn-Khaththab dalam surat al-Baqarah, al-Nisa dan beberapa surat yang
ada di dalam buku Asbaabin Nuzul.3
B. Munasabah
1. Munasabah surah al-Taḥrῑmdengan surat sebelumnya (QS. at-
Thalᾱq)
Di dalam surat al-Thalᾱq terdapat pembicaraan terkait dengan tindakan
sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT menjadi haram, yaitu talak
(perceraian), juga disebutkan bagaimana seharusnya prilaku bergaul dan
bertindak terhadap istri. Sedangkan dalam surat al-Taḥrῑmterdapat
pembicaraan terkait tindakan yang mengharamkan apa yang dihalalkan
oleh Allah SWT, yaitu sumpah iilaa’, mengakhiri permasalahan yang
terjadi antara Nabi Muhammad SAW dengan istri-istrinya dan prilaku apa
saja, Nabi dalam menghadapi persoalan rumah tangga agar menjadi
pelajaran bagi umatnya, sebagaimana Nabi memperlakukan mereka
dengan lembut dan menasehati mereka dengan nasehat-nasehat yang
mengesankan. Selain itu, juga, terdapat persamaan dalam kedua surat ini
3 Jalaluddin as-Suyuthi. Lubaabun Nuqul fii Asbaabin Nuzul, 587.
44
yaitu sama-sama dimulai dengan seruan Allah kepada Nabi Muhammad
tentang hal- hal yang berhubungan dengan kehidupan keluarga.4
2. Munasabah surah al-Taḥrῑmdengan surat sesudahnya (QS. al-Mulk)
Dalam surat al-Taḥrῑmdibuat perumpamaan bagi orang-orang kafir
dengan dua orang perempuan yang ditakdirkan celaka yaitu istri Nabi Nuh
dan istri Nabi Luth, meski keduanya itu berada di bawah naungan dua
orang hamba yang shaleh. Dan dibuat perumpamaan bagi orang-orang
yang beriman dengan Asiyah binti Muzahim (istri Fir’aun) dan Maryam
binti Imran (Ibu Nabi Isa) yang telah ditakdirkan berbahagia meskipun
kaum keduanya itu di dominasi orang-orang kafir. Maka dalam surat
selanjutnya (QS. al-Mulk) menjelaskan bahwa kerajaan, langit, bumi dan
makhluk yang ada di dalamnya ada dalam kekuasaan-Nya.5
Di dalam kedua ayat ini Allah menunjukkan kuasa-Nya dalam
mengatur alam dan isi-isinya, termasuk dalam masalah rumah tangga yang
dihadapi Nabi Muhammad saw. Surat al-Taḥrῑmini, menjelaskan sejauh
kekuasaan Allah, pengaruhnya dan dukungannya kepada Rasulnya dalam
menghadapi kemungkinan adanya konspirasi dari dua istri beliau. Allah
pun mengancam akan menggantikan mereka dengan istri-istri yang lebih
baik dari sebelumnya.
3. Munasabah surat al-Taḥrῑmayat 6 dengan ayat sebelumnya (QS. al-
Taḥrῑm[66]: 5)
Ayat 6 surat al-Taḥrῑmini terdapat hubungan yang erat dengan ayat
sebelumnya yaitu, setelah Allah memerintahkan sebagian istri Rasulullah
SAW untuk bertaubat dari segala kesalahan dan menjelaskan kepadanya
bahwa Allah-lah yang memelihara dan menolong utusannya, sehingga
4 Departemen Agama RI, Al-Qur’ân dan Tafsirnya, (Edisi Yang Disempurnakan),
jilid X (Jakarta : Lentera Abadi, 2010), 196. 5 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir jil. 14, terj: Abdul Hayyie,dkk, (Jakarta :
Gema Insani, 2014), 31.
45
kerja sama mereka tidak akan membahayakan Nabi.6 Kemudian Allah
mengingatkan agar perbuatan mereka yang menyusahkan Nabi jangan
sampai berlama-lama, sehingga dapat mengakibatkan mereka hukuman
(ditalak) dan dicabut dari kedudukannya yang mulia sebagai para ibu
kaum mukminin, karena digantikan dengan istri-istri yang lebih baik,
patuh, tekun beribadah, dan lainnya. Pada ayat ini, Allah memerintahkan
kaum mukmin pada umumnya agar menjaga dirinya dan keluarganya dari
api neraka yang kayu bakarnya adalah manusia dan berhala-berhala pada
hari kiamat.7 Hal ini berkaitan agar kita harus menjaga hubungan
harmonis dalam berumah tangga, dan segera mungkin untuk
menyelesaikan yang masalah yang dihadapi.
4. Munasabah surat al-Taḥrῑmayat 6 dengan ayat sesudahnya (QS. al-
Taḥrῑm[66]: 7)
Setelah Allah memperingatkan kaum mukmin untuk menjaga diri dan
keluarga mereka dari siksa neraka yang bahan bakarnya adalah batu dan
manusia. Di ayat selanjutnya dijelaskan tidak dapat beruzur atau beralasan
jika telah datang hari kiamat. Yaitu pada hari di mana dikatakan kepada
orang- orang kafir, “Janganlah kamu beruzur karena waktunya sudah
terlambat. Kamu itu menerima balasan dari apa yang kamu lakukan
selama di dunia.8
Hal ini menunjukkan bahwa pada hari kiamat, keinginan untuk
bertaubat dari orang-orang kafir tidak akan diterima, begitu juga dalih,
alasan, penyesalan dan permintaan maaf mereka. Walaupun tidak ada
6 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi jil. X, Terjemah Tafsir Al-
Maraghi Juz XXVIII (Kairo : Dar al-Fikr, tt.), 260. 7 Departemen Agama RI, Al-Qur’ân dan Tafsirnya, Jil. X, (Edisi Yang
Disempurnakan), 204. 8 Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al- Maraghi, Juz XXVIII, 260.
46
gunaya, larangan tentang mengemukakan uzur tetap dikatakan dengan
maksud untuk benar- benar menciptakan keputus asaan dan frustasi.9
Tabel 4.1: Analisis QS. al-Taḥrῑm[66]: 1-5
NO. Ayat Tafsir al-Qurṭubī Tafsir Ibn
Katsīr
Metode
al-Qurṭubī
Metode
Ibn
Katsīr
يا أيها .1النبي لم م ما تحر أحل للالك تبتغي مرضات أزواجك
غفور وللاحيم ر
Dalam ayat ini
Nabi
mengharamkan
atas makanan
dan minuman
yang digantikan
menjadi sebuah
tebusan
(kaffarat)
dengan memberi
makan 10 orang
miskin atau
sebesar-
besarnya adalah
memerdekakan
seorang hamba
sahaya.
Maksudnya
bahwa
Rasulullah
SAW telah
mengharamkan
budak
perempuan
beliau hingga
Allah SWT
berfirman,
“Wahai Nabi
mengapa
engaku
mengharamkan
apa yang
dihalalkan
Allah bagimu
Tahlili
dengan
memakai
sitematika
Mushafi
Tahlili
dengan
corak
bi al-
ma’tsûr
قد ف رض .2اللح لكحم
تيلة انيكحم أ ي
واللح مو لكحم
وهحو ال علييمح كييمح ال
haram ini
menjadi hak
prerogratif
Allah. Meskipun
terdapat banyak
riwayat yang
meneyebutkan
namun al-
Qurṭubī
berpegang teguh
pada pendapat
Ad-Darquni
Pada ayat ini
Nabi
membayar
Kaffarat
sumpahnya,
dan
menjadikan
kata
pengharaman
menjadi suatu
tebusan atas
apa yang Nabi
haramkan
sehingga pada
sampai.
Firman Allah:
Tahlili
dengan
memakai
sitematika
Mushafi
Tahlili
dengan
corak
bi al-
ma’tsûr
9 Wahbah, Tafsir al-Munir jil. 14, 696
47
Sesungguhnya
Allah
mewajibkan
kepada kamu
sekalian
membebaskan
diri dari
sumpahmu.
وإذ أسر .3النبي إلى بعض أزواجه
ا حديثا فلمنبأت به وأظهره عليه للاف عربعضه
وأعرض عن بعض ا نبأها فلمبه قالت من أنبأك هذا قال نبأني العليم الخبير
Nabi SAW
memberikan
sebuah balasan
kepada istrinya
(Hafshah dan
Aisyah) dengan
menceraikannya,
namun
perceraian
tersebut masuk
pada katagori
talak satu
(mendiamkan
selama 30 hari)
kemudian
malaikat Jibril
datang dan
menegur nabi
untuk tidak
mentalaknya.
Ayat ini
mengatakan,
yang berkaitan
dengan
peristiwa istri
Nabi (Hafshah
dan Aisyah)
yang saling
berkompromi
untuk
menyusahkan
Nabi dalam
membocorkan
sebuah rahasia
berita dari
Nabi.
Tahlili
dengan
memakai
sitematika
Mushafi
Tahlili
dengan
corak
bi al-
ma’tsûr
إن تتوبا .4 فقد إلى للا
صغت قلوبكما وإن
تظاهرا عليه فإن هو للاموله
وجبريل وصالح المؤمنين والملئكة بعد ذلك ظهير
Firman Allah:
Jika kamu
berdua
bertaubat
kepada Allah,
maka
sesungguhnya
hati kamu telah
condong.
Dengan kata lain
mereka telah
cenderung untuk
berpaling dari
kebenaran. Hal
Dalam sebuah
riwat Umar Ibn
Al-Khathab,
sesungguhnya
telah rugi
orang yang
melakukan hal
itu
(menyusahkan)
dan akan
kecewa, sebab
apakah
seseorang dari
kalian merasa
Tahlili
dengan
memakai
sitematika
Mushafi
Tahlili
dengan
corak
bi al-
ma’tsûr
48
itu karena
keduanya
menyukai hal
yang tidak
disukai oleh
Rasullulah, yaitu
menjauhi budak
perempuan dan
menjauhi madu.
Padahal beliau
sangat menyukai
madu dan
perempuan.
aman dari
murka Allah
atasnya karena
kemarahan
Rasulnya
hingga
akhirnya ia
binasa.
Janganlah
engkau
mendebat
Rasulullah dan
jagan pula
meminta
sesuatu apapun
darinya,
mintalah harta
kepadaku yang
engkau
inginkan.
عسى ربه .5إن طلقكن أن يبدله أزواجا خيرا نكن م
مسلمات ؤمنات مقانتات تائبات عابدات سائحات ثي بات وأبكارا
Firman Allah:
Jika Nabi
menceraikan
kamu, boleh jadi
tuhanya. Telah
dikelaskan
dalam hadis
shahih bahwa
ayat ini karna
ucapan umar.
Selanjutnya
menurut satu
pendapat semua
lafadz ‘Asᾱ
“boleh jadi,
didalam al-
Qur’an
mengandung
makna pasti
(harus) kecuali
‘Asᾱ dalam ayat
ini. Firman
Firman Allah:
Perempuan-
perempuan
yang patuh,
yang beriman,
yang ta’at,
yang
bertaubat,
yang
beribadah.”
Pada ayat ini
maknya telah
jelas.
Sedangkan,
makna kata
Sᾱ’ihat dalam
ayat tersebut
adalah
perempuan-
perempuan
yang berpuasa.
Demikian yang
Tahlili
dengan
memakai
sitematika
Mushafi
Tahlili
dengan
corak
bi al-
ma’tsûr
49
Allah
selanjutnya:
Akan
memberiganti
kepadanya
dengan istri-istri
yang lebih baik
dari pada
sebelumnya.
Jika kamu lebih
baik daripada
mereka
(perempuan-
perempuan yang
akan
menggantikan),
niscaya Rasul
tidak akan
menceraikanmu.
dikatakan Abu
Hurairah,
Aisyah, Ibn
Abbas,
Ikrimah,
Mujahid dan
Said bin
Jubair.
C. Penafsiran al-Qurṭubī Terhadap QS. al-Taḥrῑm[66]: 1-5
تحر يمح ماأ احل الل ح لك لي ي ها النبي تغيي يأ ك مر ضات ت ب ي م غفحو ر والل ح از واجي .رحي“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkan
bagi mu; kamu mencari kesenangan istri-istri mu? Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Taḥrῑm[66]: 1)10
Firman Allah Ta’ala,
تحر يمح ماأ احل الل ح لك لي ي ها النبي يأ“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkan
bagi mu.”
Dalam Shahih Muslim terdapat hadits yang diriwayatkan dari Aisyah,
bahwa Nabi SAW berada di (rumah) Zainab binti Jahsy kemudian beliau
meminum madu di tempat tersebut. Aisyah berkata, “Aku kemudian
bersepakat dengan Hafshah bahwa siapapun di antara kami di temui
Rasulullah, maka hendaklah dia mengatakan: ‘Sesungguhnya aku
10 Tafsir al-Qurṭubī. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’ân, jilid 18, cet I, terj (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), 702.
50
mencium bau Maghfuur (tumbuhan bergetah yang manis rasanya namu
tidak sedap buahnya). Engkau memakan maghfuur’. Beliau kemudian
salah seorang di antara Aisyah dan Hafshah, lalu mengatan itu kepada
beliau. Beliau menjawab, ‘Melainkan aku meminum madu di tempat
Zainab binti Jahsy, dan aku tidak pernah mengulanginya’. Maka turunlah:
لي تحر يمح ماأ احل الل ح لك ي ها النبي تغيي يأ ك مر ضات ت ب ي م غفحو ر والل ح از واجي قد رحيانيكحم تيلة لكحم الل ح ف رض لىكحم والل ح اي ايل ا وهحو مو كيي مح وايذ اسر النبي ل عليي مح ال
ه عن واع رض ب ع ضه عرف علي هي الل ح واظ هرهح بيهي ن بات ف لما حديي ثاب ع ضي از واجي قال هذا بك ان من قالت بيهي ن باها ف لما ب ع ض بيي ح اين ت ت حو بأ ايل ن باني ال عليي مح ال
لىهح هحو الل فاين علي هي تظهرا واين الل ي ف قد صغت ق حلحو بحكحما ب يي لح مو وصاليحح وجي كةح ال محؤ مينيي ى
ظهيي ذليك ب ع د وال مل
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkan
bagi mu; kamu mencari kesenangan istri-istri mu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah
pelindungmu dan dia maha mengetahui lagi maha Bijaksana. Dan ingatlah
ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang istrinya
(Hafshah) suatu peristiwa. Maka tetkala (Hafshah) menceritakan peristiwa
itu kepada (Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan
Hafshah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad
memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan
menyembunyikan sebagian yang lainya (kepada Hafshah). Maka tetkala
(Muhammad) memberitahukan pembicaraan antara Hafshah dan Aisyah)
lalu (Hafshah) bertanya: ‘Siapakah yang telah memberithukan hal ini
kepadamu?.’ Nabi menjawab: ‘Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah
yang maha mengetahui lagi Maha mengenal, ‘Jika kamu berdua bertaubat
kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk
menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu
menyusahkan nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan
(begitu pul) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu
malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.’ (QS. al-Taḥrῑm[66]: 1-4),
(kepada Aisyah dan Hafshah).11
11 Tafsir al-Qurṭubī. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’â, 704.
51
Menurut penafsiran mufassir Quraish Shihab Surah al-Taḥrῑm ayat 1-2
ini menyinggung kasus yang terjadi antara Nabi Muhammad saw. dan
beberapa istri beliau, sebagaimana tergambar dalam sabab nuzul dan
uraian ayat-ayat surat ini.
Ayat ini meyeru Nabi Muhammad Saw terhadap tindakan sumpah
pengharaman yang dilakukan beliau atas sesuatu yang sudah dihalalkan
oleh Allah untuknya, yakni berjanji tidak akan meneguk atau Menggauli
Mariyah Al-Qibthiyyah untuk memenuhi kerelaan hati istri- istri beliau
yang lain, Hafsah dan ‘Aisyah. 12
Kata ترم (Tuharrim) diambil dari kata حرم haram yang dari segi bahasa
pada mulanya berarti “mulia/terhormat” seperti Masjid al-Haram. sesuatu
yang mulia atau terhormat melahirkan aneka ketentuan yang menghalangi
dan melarang pihak lain melanggarnya. Dari sini kata haram diartikan
“melarang mencegah, menghalangi, dan menghindari”. Maka kebahasaan
inilah yang dimaksud di atas, bukan maknanya dalam istilah hukum
syari’at, karena tidak mungkin Rasul saw. Mengaharamkan sesuatu yang
dihalalkan Allah yakni dalam pengertian syari’at. Pertanyaan ayat di atas
tentu saja bukan bertujuan bertanya, tetapi ia sebagai (lima tuharim) تحرم لم
teguran sekaligus bermakna: “tidak ada alasan bagimu untuk melakukan
hal tersebut dan karena itu jangan mengulanginya dan tidak perlu juga
engkau memenuhi ucapanmu itu. Bukan demikian itu cara menyenangkan
istri dan mengorbankan pasanganmu yang lain”.
Firman-Nya: ما أحل هللا لك (ma ahalla Allahu laka( “apa yang telah Allah
halalkan bagimu” mengandung petunjuk bahwa apa yang dihalalkan Allah
tidak wajar untuk tidak dimanfaatkan atau ditolak kecuali jika ada alasan
12 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, cet-1 (Jakarta: Lentera hati 2003), 167.
52
yang mengantar kesana, misalnya karena sakit. Menerima apa yang
dihalalkan Allah merupakan salah satu bentuk kesyukuran kepada-Nya.
Beberapa pendapat ulama’menyangkut ucapan Nabi yang dikemukakan
dalam sebab turun surah ini. Ada yang menilainya sebagai sumpah karena
komitmen Nabi kepada Hafshah itu dinilai serupa dengan sumpah. Yang
menilainya sumpah berbeda pendapat apakah beliau membatalkan
sumpahnya atau tidak. Alasan yang berpendapat bahwa beliau tidak
membatalkannya adalah ayat diatas menyatakan bahwa Allah Maha
Pengampun, yakni Allah telah mengampuni beliau sehingga tidak perlu
membatalkannya dengan kafarat. Ada juga yang berpendapat bahwa
beliau menebus sumpah itu dengan memerdekakan hamba berdasar surah
al-maidah 5:89 yaitu dengan memberi makan sepuluh orang miskin.13
Firman Allah,
ايل ب ع ضي از واجي وايذ اسر ال ثاحديي هي نبي“Dan ingatlah ketika nabi menceritakan rahasia kepada salah seorang
istrinya (Hafshah) suatu peristiwa.” (QS. al-Taḥrῑm [66]: 3), Hal ini
berdasarkan kepada ucapan Rasulullah, “Melainkan aku meminum
madu.”14
Dari Aisyah juga diriwayatkan, dia berkata, Rasulullah SAW menyukai
manisan dan madu. Jika beliau telah menunaikan sholat Ashar, maka
beliau berkeliling (ke tempat) istri-istrinya lalu beliau pun mendekati
mereka. (Suatu ketika) beliau menemui Hafshah dan beliau tertahan di
tempatnya lebih dari biasanya. Aku kemudian menanyakan hal itu, lalu
dikatakan kepadaku: ‘Seorang wanita dari kaum Hafshah menghadiahkan
se-ukkah15 madu padanya, lalu dia menuangkanya untuk Rasulullah
sebagai minuman.’
13 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, cet-1 (Jakarta: Lentera hati 2003), 167 14 Tafsir al-Qurṭubī. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’â, 705. 15 Ukkah adalah wadah yang terbuat dari kulit bundar, yang khusus digunakan
untuk menyimpan mentega atau madu. Namun biasanya ia lebih khusus digunakan untuk
menyimpan madu.
53
Aku berkata,’ Demi Allah, sesungguhnya kami akan benar-benar
mengelabui beliau.’ Aku kemudian menceritakan hal itu kepada Sa’udah,
dan aku pun berkata, ‘Jika beliau menemui mu, sesungguhnya beliau akan
mendekatimu. Maka katakanlah oleh mu kepada beliau, “Wahai
Rasulullah, apakah engkau memakan maghfuur?. Beliau akan menjawab
‘Tidak.’ Katakanlah kepada beliau: Lalu bau apa ini. Beliau akan sangat
keberatan bila di temukan bau yang sangat tidak sedap bersumber dari
beliau. Beliau kemudian akan berkata kepadamu: ‘Hafshah memberiku
minuman madu.’ Katakanlah kepada beliau, ‘lebahnya mungkin telah
memkan pohor urfuth (pohon yang mengeluarkan getah dan mempunyai
bau yang tidak sedap). ‘Aku juga akan mengatakan itu kepada beliau.
Katakan juga perkataan itu olehmu wahai Shafiyah..16
Pada riwayat ini dinyatakan bahwa wanita yang menghidangkan madu
kepada Rasulullah adalah Hafshah, sedangkan pada riwayat yang pertama
dinyatakan bahwa wanita itu adalah Zainab. Sementara itu Ibn Abi
Mulaikah meriwayatkan dari Ibn Abbas, bahwa beliau meminum madu itu
ditempat Sa’udah.
Menurut satu pendapat, wanita yang menghidangkan madu tersebut
adalah Ummu Salamah. Inilah yang diriwayatkan oleh Asbath dari As-
Suddi. Ini pula yang dikemukakan oleh Atha’ bin Abi Muslim.
Ibn al-Arabi17 berkata, “semua ini merupakan kebodohan atau analisa
yang tidak ditopang oleh pengetahuan, sehingga istri-istri beliau yang lain
berkata. Karena perasan dengki dan cemburu. Kepada orang yang
meminum madu itu di tempat wanita tersebut: ‘Sesungguhnya kami benar-
benar menemukan bau maghaafir darimu.
16 Hadits ini dicantumkan oleh al-Wahidi dalam Asbāb an-Nuzūl, 325. 17 Tafsir al-Qurṭubī. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’â, 706.
54
Maghᾱfir adalah bawang atau tumbuhan bergetah yang tidak sedap
baunya, namun tumbuhan ini mengandung rasa manis. Bentuk tunggalnya
adalah maghfῡr. Adapun makna jarasat adalah akalat (makan). Sedangkan
urfῡth adalah tumbuhan yang baunya seperti bau khamer. Dalam hal ini
perlu diketahui bahwa Rasulullah amat senang bila beliau wangi atau
menghirup aroma yang wangi .Namun beliau tidak menyukai bau yang
tidak sedap, karena beliau sering berdialog dengan malaikat. Ini menurut
satu pendapat.
Adapun menurut pendapat yang lain, bahwa yang beliau maksud
dengan pengharaman itu adalah wanita yang menghibahkan dirinya
kepada Rasulullah, namun beliau tidak menerimanya karena istri-istn'nya.
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibn Abbas dan Ikrimah. Wanita tersebut
adalah Ummu Syarik.
Pendapat yang ketiga adalah, bahwa wanita yang beliau haramkan
adalah Mariyah al-Qibthiyah. Mariyah dihadiahkan oleh al-Muqawqis,
raja lskandariyah, kepada beliau. lbn Ishak berkata, ‘Mariyah berasal dari
wilayah Anshina,18 tepatnya dari daerah yang disebut Hafin. Beliau
kemudian menempatkan Mariyah di rumah Hafshah.
Pendapat keempat, menurut Quraish Shihab yaitu, bahwa, ayat ini
menjelaskan asal mula peristiwa yang mengundang turunnya teguran itu.
Allah berfirman “Dan ingatlah wahai kaum muslimin, dan sebutlah akhlak
–akhlak dan perlakuan baik Nabi Muhammad kepada istri-istrinya yaitu
saat beliau menyampaikan sebuah rahasia kepada salah seorang istrinya
yaitu Hafsah tentang masalah pribadi beliau untuk tidak meneguk mau di
rumah zainab dan berpesan kepada hafsah untuk merahasiakannya kepada
siapapun. Namun kemudian Hafsah menceritakan rahasia tersebut kepada
18 Anshina adalah sebuah kota kuno yang terletak di sekitar wilayah Sha’iid di
sebelah timur Nil.
55
Aisyah, istri nabi yang lainnya. Dan hal tersebut akhirnya diketahui oleh
Nabi Muhammad Saw. 19
Kata أظهر (azhhara) pada firman-Nya: وأظهره هللا عليه (wa azhharuhu
Allahu ‘alaihi) walau dipahami oleh Ibn ‘Asyur dalam arti Allah
menyampaikan berita yang dirahasiakan itu kepada Nabi-Nya, menurutnya
kata azhhara di sini pada mulanya berarti “memenangkan” bukan
“menampakkan”. Ini karena adanya Nya (عليه) ‘alaihi sesudah kata
tersebut. Bahasa arab tidak menggunakan kata ‘alaihi sesudah kata
azhhara jika yang dimaksud dengannya bermakna “menampakkan”. Ibn
‘Asyur mengilustrasikan rahasia antara Hafshah dan ‘Aisyah seperti
halnya upaya mengalahkan Nabi dengan menyembunyikan sesuatu
terhadap beliau. Penampakan rahasia itu, oleh Allah swt bagaikan
keberhasilan mengalahkan upaya kedua istri Nabi itu.
Kata نبأ (naba’a( atau (أنبأ) anba’a terambil dari kata نبأ (naba’) yakni
berita penting. Pertanyaan Hafshah itu menunjukkan betapa akrabnya
hubungannya adengan ‘Aisyah sehingga dia tidak menduga bahwa Rasul
saw. akan mengetahuinya kecuali melalui wahyu atau kemungkinan
‘Aisyah ra yang secara tanpa sadar menyampaikannya. Pertanyaannya itu
juga dapat dinilai sebagai salah satu bentuk penyesalan atas ulahnya
membuka rahasia Nabi saw. Sebagaimana pemberitannya kepada ’Aisyah
itu menunjukkan juga betapa hati Hafshah dan ‘Aisyah demikikan juga
istri-istri Nabi yang lain sangat cinta kepada nabi dan cemburu kepada
istri-istri beliau yang lain yang merupakan madu-madu mereka
Adapun pendapat yang shahih adalah bahwa pengharaman itu tentang
madu, dan bahwa beliau meminum madu itu di rumah Zainab. Aisyah dan
19 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 169.
56
Zainab kemudian berdemo tentang hal itu, sehingga terjadilah apa yang
terjadi, lalu beliau bersumpah untuk tidak meminum madu namun beliau
merahasiakan itu. Setelah itu turunlah ayat tentang semuanya."
قد ف رض الل ح لكحم تيلة “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan
diri dari sumpahmu." (QS. al-Taḥrῑm [66]: 2). Allah menyebut
pengharaman itu sebagai sumpah.
Adapun dalil kami Firman Allah Ta’ala:
ي ها الذيي ن امن حو ا ل تحر يمحو ا طي يبتي ماأ احل الل ح لكحم ول ت ع تدحو ا يحيب ل الل اين يأ ال محع تديي ن
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang
baik yang telah Allah halalkan bagi kamu.” (QS. al-Mā'idah [5]: 87).
Juga firman Allah Ta’la:
الل ح اذين لكحم ام ء قحل وحلل قحل ارءي تحم ماأ ان زل الل ح لكحم م ين ري ز ق فجعل تحم مي ن هح حراما على الل ي ت ف تحو ن
“Katakanlah: Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan
Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya)
halal. ”Katakanlah: 'Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu
(tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah.” (QS. Yunus
[10]: 59).
Dalam ayat ini, Allah mengecam orang yang mengharamkan sesuatu
yang halal, namun Allah tidak mewajibkan kaffarat terhadapnya.20
Jika seseorang menunjukkan ucapan ini kepada sekelompok istri dan
budak perempuannya, maka dia hanya wajib membayar satu kaffarat saja.
Jika dia mengharamkan makanan atau sesuatu yang lain atas dirinya, maka
menurut Asy-Syafi’i dan Imam Malik, dia tidak wajib membayar kaffarat
karena hal itu, sedangkan menurut lbnu Mas'ud, Ats-Tsauri dan Abu
Hanifah, dia wajib membayar kaffarat karena hal itu..
20 Tafsir al-Qurṭubī. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’ân, 707.
57
Al-Qurṭubī dalam hal ini sepakat bahwa pengharaman yang dilakukan
atas sesuatu harus membayar kuffarat yang paling berat yaitu
memerdekakan hamba sahaya.21
1. Dia menduga bahwa Allah telah mewajibkan kaffarat untuk ucapan
tersebut, meskipun ucapan itu bukanlah sebuah sumpah.
2. makna sumpah menurut orang yang mengemukakan pendapat ini
adalah pengharaman, sehingga kaffarat pun wajib dibayarkan karna
mempertimbangkan makna sumpah ini.
Firman Allah :
انيكحم لىكحم والل ح قد ف رض الل ح لكحم تيلة اي كيي مح ال عليي مح وهحو مو ال “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan
diri dari sumpahmu dan Allah adalah pelindungmu dan dia maha
mengetahui lagi maha Bijaksana.”(QS. al-Taḥrῑm [66]: 2)
Membebaskan diri dari sumpah adalah menebusnya. Yakni, jika kamu
menginginkan agar sesuatu yang telah kamu jadikan sumpah diperboleh
lagi. Inilah yang dimaksud oleh firman Allah Ta’ala dalam surah Al-
Mᾱ’idah:
فكفارتحه ايط عامح عشرةي مسكيي “Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh
orang miskin.”
Dengan kata lain barangsiapa yang mengharamkan sesuatu dari
makanan dan atau pakaian, maka menurut kami makanan dan atau pakaian
itu tidak diharamkan baginya, sebab kuffarat (tebusan) itu diperuntukkan
bagi sumpah dan bukan diperuntukkan bagi pengharamman. Hal ini
sebagaiman yang telah di jelaskan.22
Namun diriwayatkan dari al-Hasan bahwa beliau tidak membayar
kaffarat, sebab beliau itu telah diampuni dari dosa-dosanya, baik yang
terdahulu maupun yang terkemudian. Yang dimaksud dengan kaffarat
21 Tafsir al-Qurṭubī. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’ân, 708. 22 Tafsir al-Qurṭubī. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’ân,709.
58
sumpah pada surah ini hanyalah sebuah perintah untuk melaksanakannya
oleh ummat Islam. Namun pendapat yang pertama merupakan pendapat
yang lebih shahih, dan bahwa yang dimaksud dari perintah tersebut adalah
Nabi SAW, kemudian ummat Islam mengikuti beliau dalam hal itu.23
Firman Allah:
ه ايل ب ع ضي از واجي ب ع ضه عرف علي هي الل ح واظ هرهح بيه ن بات ف لما حديي ثاوايذ اسر النبي قال هذا ان باك من قالت بيه ن باها ف لما ب ع ض عن واع رض بيي ح ال عليي مح ن باني ال
“Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah
seorang istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tetkala (Hafshah)
menceritakan peristiwa itu kepada (Aisyah) dan Allah memberitahukan
hal itu (pembicaraan Hafshah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu
Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah
kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lainya (kepada Hafshah).
Maka tetkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan antara Hafshah
dan Aisyah) lalu (Hafshah) bertanya: ‘Siapakah yang telah memberithukan
hal ini kepadamu?.’ Nabi menjawab: ‘Telah diberitahukan kepadaku oleh
Allah yang maha mengetahui lagi Maha mengenal’,” (QS. al-Taḥrῑm[66]:
3).
Dalam hal ini, Nabi memberikan balasan kepada Hafshah dengan
menceraikannya dengan talak satu. Umar kemudian berkata, “Seandainya
pada keluarga Al-Khaththab itu ada kebaikan, niscaya Rasulullah tidak
akan menceraikanmu. Jibril kemudian memerintahkan Nabi SAW untuk
merujuk Hafshah dan memberikan pertolongan kepadanya. Setelah itu,
Nabi meninggalkan istri-istrinya selama satu bulan. Beliau kemudian
menetap di tempat Mariyah, ibu Ibrahim, hingga turunlah ayat al-
Taḥrῑmseperti yang telah dijelaskan di atas.
Firman Allah:
لىهح هحو الل فاين علي هي تظهرا واين اين ت ت حو بأ ايل الل ي ف قد صغت ق حلحو بحكحما ب يي لح مو وجي كةح وصاليحح ال محؤ مينيي ى
ظهيي ذليك ب ع د وال مل
23 Tafsir al-Qurṭubī. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’ân,710.
59
“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu
berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua
bantu-membantu menyusahkan nabi, maka sesungguhnya Allah adalah
pelindungnya dan (begitu pul) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik;
dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.”(QS. al-
Taḥrῑm[66]: 4)
Firman Allah Ta’ala, الل ي اين ت ت حو بأ ايل “Jika kamu berdua bertaubat
kepada Allah.” Maksudnya , Hafshah dan Aisyah. Allah mendorong
keduanya untuk bertaubat dari kesalahan mereka, yaitu condong untuk
menentang perasaan suka yang ada pada diri Rasulullah, ف قد صغت ق حلحو بحكحما
”maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong.” Maksudnya
condong dan cenderung untuk berpaling dari kebenaran. Hal itu karena
keduanya menyukai hal yang tidak disukai oleh Rasulullah, yaitu
menjauhi budak perempuanya dan menjauhi madu. Padahal beliau sangat
menyukai madu dan perempuan.24
Ibn Zaid berkata, “Hati keduanya telah condong, karena keduanya
merasa senang bila beliau bertahan dari ibu putranya (Mariyah). Dengan
demikian, sesuatu yang tidak disukai Rasulullah itu justru membuat
keduanya senang.”
Akan tetapi menurut Quraish Shihab menjelaskan pasa ayat ini bahwa,
Allah membuka pintu taubat kepada kedua istri Nabi itu dengan
menyatakan; “jika kamu berdua” wahai ‘Aisyah dan Hafshah, “bertaubat
kepada Allah” yakni menyesali perbuatan kamu itu dan bertekad tidak
akan mengulanginya lagi sambil memohon ampun kepada Allah dan
meminta maaf kepada Nabi, “maka sungguh telah cenderung” kepada
kebaikan “hati kamu berdua” dan telah sesuai ia dengan kewajiban bergaul
secara baik dengan pasangan hidup kamu yang merupakan Rasulullah itu
“dan” sebaliknya “jika kamu berdua bantu-membantu atasnya”, yakni
24 Tafsir al-Qurṭubī. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’ân, 711.
60
bersekongkol untuk melakukan sesuatu yang berakibat menyusahkan
Nabi, “maka” Dia lah yang akan membelanya dan menjatuhkan sanksi
atas kamu.25
Kata صغت (shagat) berarti “cenderung” atau “melenceng”. Ayat di atas
tidak menjelaskan kecenderungan itu ke arah mana. Ada yang
memahaminya ke arah kebaikan ada juga yang memahaminya ke arah
keburukan atau ketidakwajaran. Jika anda memahaminya dalam arti
ketidakwajaran seperti antara lain dalam tafsir al-Jalalain dan al-Mizan
karya Thaba’thaba’i maka ayat di atas bagikan menyatakan: “jika kamu
berdua bertaubat” dan ini sangat wajar kamu berdua lakukan, “maka
sungguh hati kamu berdua telah cenderung” dan melenceng dari
kewajaran akibat menyukai apa yang sebenarnya tidak disukai Nabi, yakni
menjaga rahasianya, menghindari madu atau mariyah ra., jika kamu
bertaubat dari kesalahan kamu berdua itu, maka allah akan menerima
taubat kamu berdua. Apapun makna yang anda pilih, ayat di atas
mengisyaratkan bahwa apa yang dilakukan oleh kedua istri nabi itu adalah
sesuatu yang menyimpang dari kewajaran dan kebenaran, walau kita
semua mengetahui penyebabnya yaiu kecemburuan. Tidak seorangpun
diantara mereka yang bermaksud menyakiti Nabi saw. Pernyataan bahwa
malaikat jibril yang jug akan membantu Nabi mengisyaratkan kecintaan
dan kedekatan malaikat pembawa wahyu itu kepada Nabi Muhammad
saw. Apalagi, seperti ditulis al-Biqa’i, istri-istri Nabi saw. Sangat
mengetahui siapa malaikat Jibril yang sering kali datang membawa
wahyu. Penyebutan bahwa malaikat lainnya pun menolongn beliau untuk
menggambarkan kecintaan dan kedekatan “penghuni langit” kepada
beliau.
25 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 172.
61
Dalam Shahih Muslim terdapat hadits yang diriwayatkan dari Ibn
Abbas, dia berkata, “Aku berdiam diri selama setahun, padahal aku
hendak bertanya kepada Umar bin Al-Khaththab tentang sebuah ayat,
namun aku tidak sanggup untuk menanyakannya karena rasa segan
terhadapnya, hingga dia berangkat haji dan aku pun berangkat
bersamanya. Ketika dia kembali dan kami berada di tengah pejalanan, dia
menghampiri pohon Arak26 karena hendak buang hajat. Aku berdiri
hingga dia selesai. Setelah itu aku berjalan bersamanya, lalu aku berkata,
'Wahai Amirul Mukminin, siapakah dua orang perempuan dari istri
Rasulullah yang bekerja sama untuk menyusahkan beliau?.' Dia
menjawab, ‘Itu adalah Hafshah dan Aisyah.” Aku berkata kepadanya,
'Demi Allah, sesungguhnya aku sangat ingin menanyakan ini padamu
sejak setahun yang lalu, namun aku tidak sanggup (menanyakannya)
karena segan padamu.’ Dia berkata, ‘Jangan lakukan itu. Apa yang engkau
kira bahwa aku mempunyai pengetahuan tentangnya, tanyakanlah ia
padaku. Jika ia mengetahuinya, niscaya akan kuberitahukan padamu.27
ا مي ن كحن عسى ربه اين طلقكحن ان ي ب ديله از واجا خ ي “Jika Nabi menceraikan kamu, bolehjadi Tuhannya akan memberi” ganti
kepadanya dengan istriyang lebih baik daripada kamu. "(QS. al-
Taḥrῑm[66]: 5)
ب يي لح وصاليحح لىهح وجي واين تظهرا علي هي فاين الل هحو مو كةح ال محؤ مينيي ى ظهيي ذليك ب ع د وال مل
“dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan nabi, maka
sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pul) Jibril dan
orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat
adalah penolongnya pula.”(QS. al-Taḥrῑm [66]: 4)
Saat itu Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah bekerja sama untuk
menyusahkan semua istri Rasulullah (lainnya). Aku kemudian bertanya,
26 Arak adalah pohon yang tinggi, hijau, lembut, daun dan rantingnya lebat,
dahannya landai, dan ujung-ujungnya digunakan untuk bersiwak. Lihat. Syarah Shahih
Muslim (2/1108). 27 Tafsir al-Qurṭubī. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’ân,7011
62
“Wahai Rasulullah, apakah engkau akan menceraikan mereka?.” Beliau
menjawab, “Tidak.”Aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saat
aku masuk ke dalam masjid (tadi), kaum muslim sedang memukul-mukul
tanah dengan kerikil. Mereka berkata, “Rasulullah SAW telah
menceraikan istri-istrinya.’ Bolehkah aku turun untuk memberitahukan
mereka bahwa engkau tidak menceraikan istri-istrimu?.” Beliau
menjawab, “Ya (boleh), jika engkau ingin.”28
Dalam Shahih Malim terdapat hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin
Abdillah, dia berkata, “Abu Bakar meminta izin mtuk bertemu dengan
Rasulullah SAW, lalu dia menemukan orang-orang sedang duduk di pintu
(rumah) beliau, dimana tak seorang pun dari mereka yang diberikan izin
(untuk bertemu), Abu Bakar kemudian diberikan izin sehingga diapun
masuk. Setelah itu datanglah Umar dan dia diizinkan (untuk bertemu), lalu
dia diizinkan. Saat itu dia menemukan Nabi SAW sedang duduk,
sementara di sekelilingnya terdapat istri-istrinya yang diam
membisu.’Umar berata, “Aku akan mengatakan sesuatu yang dapat
membuat Nabi SAW tertawa. ’Umar berkata,“Wahai Rasulullah, jika
engkau melihat binti Kharijah meminta nafkah padaku, niscaya aku akan
bangun menghampirinya, lalu akan kupatahkan lehernya. ’Rasulullah
SAW tertawa dan betkata. “Sebagaimana yang engkau lihat, mereka
berada di sekelilingku. Mareka meminta nafkah kepadaku.” Abu Bakar
kemudian berdiri menghampiri Aisyah untuk mematahkan lehernya,
sementara Umar berdiri menghampiri Hafshah untuk mematahkan
lehernya. Keduanya berkata, “Engkau maminta kepada Rasulullah sesuatu
yang tidak beliau miliki?.' Mereka menjawab, “Demi Allah, kami tidak
pernah meminta kepada Rasulullah sesuatu yang tidak beliau miliki.”
28 Tafsir al-Qurṭubī. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’ân,712.
63
Beliau kemudian mengasingkan mereka selama satu bulan atau dua puluh
sembilan hari. Setelah itu turunlah kepada beliau ayat ini:
ك ز واجي قحل ل ي ي ها النبي كحن يأ احمت يع كحن واحسر يح ن يا وزيي ن ت ها ف ت عالي يوة الد تحريد ن ال اين كحن تحله تحريد ن الل ورسحو ي ل واين كحن تح ار سراحا جي رة والد خي نتي مين كحن ا الل فاين ال سي عد ليل محح
را ع ظيي مااج “Hai nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu: 'Jika kamu: sekalian
mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka marilah upaya
kuberikan kepadamu mut’ah29 dan Aku ceraikan kamu dengan cara yang
baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan ) Allah dan
Rasulnya serta (kesenangan) di negri akhirat, maka sesungguhnya Allah
menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang
besar’.” (QS. al-Ahzāb [33]: 28-29).30
Firman Allah:
ا از واجا عسى ربه اين طلقكحن ان ي ب ديله ليمت مي ن كحن خي بت قنيتت مؤ مينت محس ى ت
حت عبيدت ى واب كارا ث ي يبت س“Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi tuhannya akan memberi ganti
kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patut,
yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang
berpuasa, yang janda dan yang perawan.”
Firman Allah Ta’ala, عسى ربه اين طلقكحن ”Jika Nabi menceraikan kamu,
boleh jadi Tuhanya. “Telah dikelaskan dalam hadits Shahih bahwa ayat ini
turun karena ucapan umar.
Firman Allah Ta’ala, ا مي ن كحن خي از واجاان ي ب ديله “akan memberi ganti
kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari pada kamu.” Jika kamu
lebih baik daripada mereka (perempuan-perempuan yang akan
29 Mut’ah yaitu: suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah
diceraikan menurut kesanggupan suami. 30 Tafsir al-Qurṭubī. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’ân,713.
64
menggantikan), niscaya Rasulullah tidak akan menceraikanmu. Pengertian
inilah yang dikemukakan oleh As-Suddi.
Menurut satu pendapat, ini merupakan janji Allah kepada Rasul-Nya:
Jika beliau menceraikan mereka didunia, niscaya Allah akan
mengawinkan beliau kepada perempuan-perempuan yang lebih baik
daripada mereka.
Firman Allah boleh dibaca dengan tasydid (ان ي ب ديله)31 atau tanpa tasydid
Sebab at-tabdiil dan al ibdaal itu mengandung makna yang .(ان ي ب ديلهح )
sama, seperti at-tanziil dan al inzaal.
Pendapat yang lain juga, seperti yang dikatan oleh Quraish Shihab
bahwa ayat ini menjelaskan, menjelaskan bahwa Setelah ayat lalu
memberi peringatan keras, di sini peringatan tersebut ditingkatkan karena
sesuatu yang sangat menyakitkan perempuan adalah dicerai. Kemudian,
yang lebih baik sakit lagi bila bekas suaminya kawin, apalagi dengan
seorang wanita yang lebih baik daripada yang dicerai itu, sebagaimana
yang diperingatkan oleh ayat datas. Demikian al-Biqa’i menghubungkan
ayat di atas dengan ayat sebelumnya.
Kata عسى’ (asa) bisa digunakan dalam arti “boleh jadi” atau “mudah-
mudahan”. Tetapi, bila dinisbahkan kepada Allah, ia mengandung makna
kepastian (rujuklah antara lain surah almumtahanah 60:7). Memang apa
yang dijanjikan di sini, yaitu mengganti istri-istri Nabi yang ada ketika itu
dengan istri-istri yang lain, tidak terjadi karena syaratnya, yaitu “jika
mereka ditalak” tidak terjadi.32
31 Qira’ah dengan tasydid ini merupakan qira’ah yang mutawatir. Hal ini
sebagaimana yang dijelaskan dalam kitabTaqrib An-Nasyr, 138. 32 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 174.
65
Sifat-sifat terpuji di atas kecuali kata وأبكارا ثيبات (tsayyibatin wa
abkaran) janda-janda dan gadis-gadis, disebutkan tanpa menggunakan kata
penghubung و (wa). Hal tersebut untuk mengisyaratkan bahwa setiap yang
disebut itu sangat mantap dan kesemuanya menghiasi masing-masing istri-
istri yang akan beliau kawini itu, jika istri-istri yang sekarang masih yang
juga menyakiti hati Nabi saw. Seandainya sifat-sifat tersebut dikemukakan
dengan menggunakan kata penghubung “dan” boleh jadi ada yang
menduga bahwa ada di antara mereka menyandang sifat A dan B saja
sdang sebagian lainnya hanya menyandang sifat B dan C saja, demikian
seterusnya33
Kata سائحات (saihat) terambil dari kata ساح (saha) yang maknanya
antara lain “berlalu di suatu tempat”. Dari sini, kata tersebut digunakan
dalam arti “melakukan perjalanan” atau “berwisata”. Sementara ulama’
memahaminya pada ayat di atas dalam arti “berhijrah”. Ada juga yang
memahaminya dalam arti “berpuasa” karena seorang yang berpuasa tidak
makan dan tidak minum bagaikan seorang dalam perjalanan tanpa bekal.
al-Ashfahani membedakan penggunaan kata ini dengan kata sha’im
dengan menyatakan bahwa yang sha’im hanya menahan diri dari lapar,
dahaga, dan hubungan seks sedang sha’ih yang memelihara anggota
tubuhnya dari segala macam pelanggaran34
Allah mengetahui bahwa beliau tidak akan menceraikan mereka, tetapi
Allah memberitahukan akan kekuasaannya, yakni jika beliau menceraikan
mereka amaka Allah akan memberi ganti kepada beliau yang lebih baik
33 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 174 34 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 174.
66
dari mereka. Firman Allah ini merupakan sebuah ancaman bagi mereka.
Firman Allah ini adalah seperti firman-Nya:
ت ب ديل ق و ما غي كحم واين ت ت ولو ا يس “Dan jika kamu berpaling niscaya dia akan mengganti (kamu) dengan
kaum yang lain.” (Qs. Muhammad: 38).
Menurut al-Qurṭubī, ini sesuai dengan pendapat para ulama yang
mengatakan bahwa pemberian ganti itu merupakan janji dari Allah kepada
Nabi. Jika belia menceraikan istri-istrinya di dunia, maka Allah akan
mengawinkannya di akhirat kepada wanita yang lebih baik dari istri-
istrinya itu. Wallahu a’lam.
D. Penafsiran Ibn Katsīr Terhadap QS. al-Taḥrῑm[66]: 1-5
1. Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan
bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2. Sungguh, Allah telah mewajibkan kepadamu membebaskan diri dari
sumpahmu: dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha
Mengetahui, Mahabijaksana.
3. Dan ingatlah ketika secara rahasia Nabi membicarakan suatu
peristiwa kepada salah seorang istrinya (Hafsah). Lalu dia
menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah
memberitahukan peristiwa itu kepadanya (Nabi), lalu (Nabi)
memberitahukan (kepada Hafsah) sebagian dan menyembunyikan
sebagian yang lain. Maka ketika dia (Nabi) memberitahukan
pembicaraan itu kepadanya (Hafsah), dia bertanya, “Siapa yang
telah memberitahukan hal ini kepadamu? ”Nabi menjawab, “Yang
memberitahukan kepada aku adalah Allah Yang Maha Mengetahui,
Mahateliti.”
67
4. jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh, hati kamu
berdua telah condong (untuk menerima kebenaran); dan jika kamu
berdua saling bantu membantu menyusahkan Nabi, maka sungguh,
Allah menjadi pelindungnya dan (juga) Jibril dan orang-orang
mukmin yang baik dan selain itu malaikat-malaikat adalah
penolongnya.
5. jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi
ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu,
perempuan-perempuan yang patuh, yang beriman, yang taat, yang
bertobat, yang beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang
perawan.”
(QS. al-Taḥrīm: 1-5)
Sebab turunnya awal surat ini dipersoalkan; ada sebagian ulama yang
mengatakan, “Turun berkenaan dengan perkara Mariyah, bahwa
Rasulullah SAW mengharamkannya, lalu turun ayat. 'Wahai Nabi!
Mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu?
Engkau ingin menyenangkan hati istri-istrimu? dan seterusnya.35
An-Nasa‘i meriwayatkan dari Anas, ia berkata, “Bahwa Rasulullah
SAW sempat memiliki budak perempuan yang bernama (Mariyah) yang
sempat digaulinya, dan senantiasa juga berlangsung pada Aisyah dan
Hafshah hingga beliau mengharamkannya (Mariyah). Maka Allah Azza wa
Jalla menurunkan ayat, “Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharampak
apa yang dihalalkan Allah bagimu sampai? akhir ayat.36
Dan lbnu Jarir meriwayatkan dari Ibn Abbas. ia berkata, “Aku bertanya
kepada Umar bin al-Khaththab, “Siapakah dua wanita (yang disebutkan
dalam ayat) itu?” Ia menjawab, “Aisyah dan Hafshah."
35 Ibn Katsīr, lubâbut Tafsir Min Ibn Katsīr, jil 10, cet 1. (Muassasah: Dâr al-Hilâl
Kairo, 1414 M/1994 M.), 39. 36 Ibn Katsīr, lubâbut Tafsir Min Ibn Katsīr, 40.
68
Awal hadits ini berkenaan dengan perkara Ummu Ibrahim al-
Qibthiyyah (Mariyah), bahwa Nabi SAW menggaulinya di rumah Hafshah
pada saat jatah bermalam di rumahnya, lalu Hafshah mendapati itu dan
berkata, “Wahai Nabi Allah! Engkau telah berbuat di tempatku sesuatu
yang tidak pernah engkau perbuat di tempat seorang pun dari istri-istrimu,
pada hari jatahku, tepat di giliranku, bahkan di tempat tidurku?!” Beliau
pun berkata, “Apakah engkau ridha jika aku mengharamkannya, sehingga
aku tidak akan mendekatinya lagi” Hafshah menjawab, “Tentu. "Lantas
beliau mengharamkannya dan beliau berkata, “janganlah engkau
mengatakan hal ini kepada siapa pun." Namun Hafshah menceritakannya
kepada Aisyah, hingga Allah memberitahukan rahasia mereka berdua
kepada Nabi, lantas turunlah ayat, 'Wahai Nabi! Mengapa engkau
mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu? Engkau ingin
menyenangkan hati istri-istrimu” dan seterusnya. Kemudian kami
mendengar berita bahwa Rasulullah SAW mengeluarkan kaffarat untuk
sumpahnya, dan kembali mendekati budak perempuannya.37
Dan Ibn Jarir meriwayatkan dari Said bin Jubair, ia berkata, bahwa Ibn
Abbas pernah mengatakan tentang hal yang haram, berupa sumpah yang
dikeluarkan kafaratnya. Ia berkata,
وة حسنة لقد كان لكحم في رسحو لي الل ي احس “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu." (QS. al-Ahzāb: 21).
Maksudnya, bahwa Rasulullah SAW telah mengharamkan budak
perempuan beliau hingga Allah Ta'ala berfirman, 'Wahai Nabi! Mengapa
engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu?” Ayat l.
sampai pada firman-Nya, “Sungguh, Allah telah mewajibkan kepadamu
membebaskan diri dari sumpahmu.” Ayat 2. Lalu beliau mengeluarkan
37 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-
Qur’an, jilid 21, (Bairut: Dar al-Fiqr, t,t), 102.
69
kafarat untuk sumpah beliau, dan menjadikan perkara yang haram sebagai
sumpah38
Kemudian al-Bukhari juga meriwayatkannya dari Ibn Abbas, tentang
keharaman, sumpah yang dikeluarkan kafaratnya. Ibn Abbas berkata,
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu." (QS. al-Ahzāb: 21) Diriwayatkan pula oleh Muslim dari hadits
riwayat Hisyam Ad-Dastuwa‘i.39
An-Nasa‘i meriwayatkan dari Ibn Abbas, ia berkata, “Bahwasanya ia
pemah didatangi seseorang yang mengatakan, “Sesungguhnya aku telah
mengharamkan istriku atas diriku." Ibn Abbas menimpali, “Engkau dusta,
tidak ada keharaman pada istrimu atasmu,” lantas ia (Ibn Abbas)
membacakan ayat ini, 'Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan apa
yang dihalalkan Allah bagimu?" Jadi, engkau harus mengeluarkan kafarat
yang besar, yaitu membebaskan budak.” Ditakhrij hanya oleh An-Nasa‘i,
dengan lafazh ini.40
Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Nabi SAW meminum madu saat
berada di rumah Zainab binti Jahsy, dan beliau tinggal bersamanya. Maka
aku (Aisyah) dan Hafshah bersepakat, bahwa siapa pun di antara kami
berdua yang akan ditemui oleh Nabi, ia harus menanyakan kepada beliau,
“Apakah engkau telah makan Maghafir. Sungguh, aku mendapati bau
Maghafir darimu.” Beliau pun menjawab, “Tidak, tetapi aku telah minum
madu ketika bersama Zainab binti Jahsy. Kalau begitu aku tidak akan
mengulanginya lagi, sungguh aku telah bersumpah (untuk tidak minum
madu lagi), maka janganlah engkau mengabarkan tentang hal ini kepada
siapa pun. Firman-Nya. “Engkau ingin menyenangkan hati istri-istrimu?"
38 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-
Qur’an, 103. 39 Ibn Katsīr, lubâbut Tafsir Min Ibn Katsīr, 41 40 Ibn Katsīr, lubâbut Tafsir Min Ibn Katsīr, 42.
70
Al-Bukhari mengatakan, “al-Maghafir mirip dengan getah (karet) nya, ada
di Rimts (suatu pohon) dan memiliki rasa yang manis. Mughfur ar-Rimts,
artinya nampak padanya. Bentuk tunggalnya adalah Mughfur, ada juga
yang mengatakan Maghafir.” Dan demikianlah yang dikatakat Al-Iauhari.
Ia berkata, “Kadang-kadang Mughfur juga digunakan untuk al-Usyar, ats-
Tsumam, as-Salam dan ath-Thalh. ar-Rimts, yaitu Salah satu tempat unta
menggembala.” Ia mengatakan, “Sedangkan al-Urfurh adalah pohon
sejenis Idhah (pohon yang memiliki duri) yang meneteskan Mughfur."
Diriwayatkan pula oleh Muslim.41
Kemudian Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Aisyah, ia berkata
“Rasulullah SAW menyukai yang manis dan juga madu, beliau biasanya
apabila telah selesai Ashar maka beranjak menggilir istri-istrinya, lalu
mendekat ke salah satunya. Sore itu beliau menemui Hafshah binti Umar
dan berada bersamanya dalam waktu yang lebih lama dari biasanya, aku
(Aisyah) pun merasa cemburu dan menanyakan hal itu, lalu ada yang
memberitahukan kepadaku, “Ada seorang wanita dari kaumnya
menghadiahkan Ukkah madu kepada Hafshah, lantas ia menyediakan
untuk Nabi SAW darinya sebagai minuman.”
Aku (Aisyah) berkata, “Demi Allah, aku akan membuat tipu daya,
lantas aku berkata kepada Saudah binti Zam'ah, “Beliau akan datang
kepadamu, nah, jika telah berada dekat denganmu maka katakanlah,
“Apakah engkau makan Maghafir” Maka ia akan mengatakan kepadamu,
“Tidak, "setelah itu engkau katakan padanya, “Terus bau apakah yang aku
cium ini?” Ia akan menjawab, "Hafshah memberiku minuman madu.
”Maka engkau katakan, “Lebahnya telah terkontaminasi dengan Urfuth
(pohon yang mengeluarkan Maghafir)." Nanti aku juga akan mengatakan
hal itu, dan engkau juga katakan seperti itu, wahai Sha-Fiyyah!"
41 Ibn Katsīr, lubâbut Tafsir Min Ibn Katsīr, 44
71
Ia melanjutkan, Saudah pun berkata, “Demi Allah, tidaklah beliau di
depan pintu melainkan aku hendak menyeru beliau sesuai dengan apa
yang diperintahkan kepadaku karena takut darimu. Ketika beliau telah
mendekat kepadanya, maka Saudah berkata, “Wahai Rasulullah! apa kah
engkau telah makan Maghajir? Beliau menjawab, “Tidak." Saudah
melanjutkan, “Lalu bau apakah yang aku cium darimu ini.” Beliau
menjawab, “Hafshah telah memberiku minuman madu.” Ia pun berkata,
“Lebahnya telah terkontaminasi dengan Urfuth.”
Ketika beliau menggilirku (Aisyah) maka aku juga mengatakan seperti
itu, kemudian ketika menggilir Shafiyyah, maka Shafiyyah juga
mengatakan seperti itu. Selanjutnya ketika beliau menemui Hafshah, maka
Hafshah berkata, “Wahai Rasulullah, maukah aku tuangkan minuman
itu?" Beliau menjawab, “Aku sudah tidak butuh lagi dengannya.”Aisyah
menceritakan. Saudah berkata,“Demi Allah, kitalah yang membuat Nabi
mengharamkannya (madu)." Aku (Aisyah) berkata padanya, “Diam
sajalah engkau." Ini adalah lafazh Al-Bukhari dan Muslim juga telah
meriwayatkannya.42
Nash ini menyebutkan bahwa Hafshah-lah yang telah memberikan
minuman madu kepada beliau. Sedangkan hadits dari Aisyah
menyebutkan bahwa Zainab binti Jahsy yang memberikan minuman
madu, lalu Aisyah dan Hafshah saling berpesan serta memprotes beliau,
Wallahu A'lam.43
Di antara riwayat yang menunjukkan bahwa, Aisyah dan Hafshahlah
yang saling bantu membantu menyusahkan Nabi, adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibn Abbas, ia berkata, “Aku masih terus
bersemangat untuk bertanya kepada Umar tentang dua wanita dari istri-
42 Ibn Katsīr, lubâbut Tafsir Min Ibn Katsīr, 44 43 Ibn Katsīr, lubâbut Tafsir Min Ibn Katsīr, 46
72
istri Nabi SAW yang diharamkan Allah dalam ayat, “Jika kamu berdua
bertaubat kepada Allah, maka sungguh, hati kamu berdua telah condong
(untuk menerima kebenaran)." Ayat 4. Sampai akhirnya Umar
mengerjakan haji dan aku juga melaksanakan haji bersamanya. Ketika
berada di suatu jalan, maka Umar menyingkir dan aku pun menyingkir
bersamanya dengan mcmbawa tempat air. Ia lantas buang air kemudian
mendatangiku, lalu aku menuangkan air ke tangannya untuk berwudhu,
pada saat itu aku bertanya, “Wahai Amirul Mukminin! Siapakah dua
wanita dari istri Nabi SAW yang dikatakan Allah dalam flrman-Nya, “jika
kamu berdua bertaubat kepada Allah. maka sungguh, hati kamu berdua
telah condong (untuk menerima kebenaran). Maka Umar berkata,
“Engkau ini sungguh mengherankan wahai Ibn Abbas. Az-Zuhri berkata.
"la merasa benci, demi Allah tidaklah ia menanyakan tentangnya dan tidak
pula menyembunyikannya,”. Umar menjawab, “Mereka adalah Hafshah
dan Aisyah." Kemudian perawi menyebutkan haditsnya.44
Ia (Umar) berkata, “Dahulu kami orang-orang Quraisy adalah suatu
kaum yang mengalahkan (berkuasa atas) para wanita, ketika kami
mendatangi Madinah temyata kami dapati suatu kaum yang mana para
wanita mereka bisa mengalahkan laki-laki, lalu perempuan-perempuan
kami mulai belajar dari mereka. Saat itu aku bertempat tinggal di rumah
bani Umayyah bin Zaid di Awali. Suatu hari aku marah pada istriku, dan
ternyata dia pun mendebatku (melawan), hingga aku mengingkari hal
tersebut. Lantas istriku berkata, “Mengapa engkau mengingkari protesku?
Demi Allah, sungguh istri-istri Rasulullah juga memprotes beliau, bahkan
ada seorang dari istri beliau yang meng-Hajr (memboikot) beliau
seharian." Mendengar itu Umar pergi dan menemui Hafshah lalu berkata,
“Apakah engkau yang memprotes Rasulullah SAW"
44 Ibn Katsīr, lubâbut Tafsir Min Ibn Katsīr, 47
73
Hafshah menjawab, “Ya. "
Aku (Umar) melanjutkan, “Dan salah seorang dari kalian
memboikotnya dari siang hingga malam?"
Ia menjawab, “Ya."
Aku berujar, “Sungguh telah rugi orang yang melakukan hal itu dan
akan kecewa, apakah seorang dari kalian merasa aman dari murka Allah
atasnya karena kemarahan Rasul-Nya hingga akhirnya ia binasa.
Janganlah engkau mendebat Rasulullah dan jangan pula meminta
sesuatu apa pun darinya, mintalah harta kepadaku yang engkau inginkan.
janganlah engkau tertipu apabila tetanggamu lebih bagus dan lebih dicintai
Rasulullah SAW daripada dirimu, yang ia maksudkan tetangga adalah
Aisyah." Maka beliau meluruskan duduknya dan bersabda, “Apakah
engkau merasa ragu wahai Ibn Al-Khaththab? Mereka adalah kaum yang
di percepat kesenangannya di kehidupan dunia saja. "Aku berkata,
“Mohonkanlah ampunan untukku, wahai Rasulullah!” Waktu itu beliau
telah bersumpah untuk tidak menemui istri-istrinya selama sebulan, karen
begitu marahnya beliau kepada mereka hingga Allah Azza wa Jalla
menegur beliau.” (HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan An-Nasa’i).45
“jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi
ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu," Ayat 5.
“Dan jika kamu berdua saling bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka
sungguh, Allah menjadi Pelindungnya dan (juga) jibril dan orang-orang
mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah
penolongnya." Ayat 4. Aku bertanya, “Apakah engkau mentalak mereka?”
Beliau menjawab, “Tidak.” Maka aku berdiri di pintu masjid dan berseru
dengan suara paling tinggi yang aku miliki, “Nabi tidak mentalak istri-
istrinya.” Dan turunlah ayat:
45 Ibn Katsīr, lubâbut Tafsir Min Ibn Katsīr, 48.
74
و في اذاعحو ا بيه م ني اوي ال ءهحم ام ر مي ن ال ري احولي وايلأ الرسحو لي ايل ردو هح ولو وايذا جا م ال ن هحم نه الذيي ن لعليمهح مي ت ن بيطحو ن هحم يس مي
“Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). (QS.
An-Nisa: 83).
Maka aku mengambil kesimpulan perkara itu.46 Dan demikian yang
dikatakan oleh Said bin Jubair, Ikrimah, Mu’qatil bin Hayyan. Adh-
Dhahak dan selain mereka. Firman-Nya, “Dan orang-orang mukmin yang
baik.”[4] Yang dimaksud adalah Abu Bakar dan Umar. Al-Hasan Al-
Bashri menambahkan, Utsman juga. Dan Laits bin Abu Sulaim berkata
dari Mujahid, firman-Nya, “Dan orang-orang mukmin yang baik." Ayat 4.
Maksudnya yaitu Ali bin Abi Thalib.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas, ia berkata, “Umar mengatakan,
“Para istri Nabi SAW bersepakat mencemburui beliau, maka aku katakan
kepada mereka, “jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan
akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari
kamu." Ayat 5. Lalu turunlah ayat ini."47
Telah berlalu penyebutan bahwa pendapat Umar sering kali
berkesesuaian dengan al-Qur’ân dalam beberapa perkara, di antaranya,
ayat yang diturunkan dalam masalah hijab, para tawanan dalam perang
Badar, juga ucapannya, “Seandainya engkau (Nabi) boleh menjadikan
sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat shalat” Lantas turunlah:
واتيذحو ا مين مقامي ايب رهم محصلى“Dan jadikanlah maqam Ibrahim itu tempat shalat.” (QS. al-Baqarah:
125).
46 Ibn Katsīr, lubâbut Tafsir Min Ibn Katsīr, 49. 47 Ibn Katsīr, lubâbut Tafsir Min Ibn Katsīr, 50.
75
Semua ayat-ayat yang mulia tersebut telah kita kemukakan tafsirnya
dengan jelas.
Firman Allah Ta'ala, “Perempuan-perempuan yang patuh, yang
beriman, yang taat, yang bertaubat, yang beribadah." Ayat 5 Maknanya
telah jelas. Sedangkan makna kata Sa‘ihat dalam ayat tersebut adalah
perempuan-perempuan yang berpuasa. Demikian yang dikatakan oleh Abu
Hurairah, Aisyah, Ibn Abbas, Ikrimah, Mujahid dan Said bin Jubair.
1. Analisis Hubungan Penafsiran al-Qurṭubī dan Ibn Katsīr
Terdapat sebuah persamaan pendapat menurut penulis dalam
membandingkan penafsiran al-Qurṭubī dan Ibn Katsīr Yaitu:
Ayat-ayat di atas yang demikian tegas bunyinya, mengisyaratkan
betapa dalam bekas yang ditimbulkan oleh peristiwa yang diuraikan surah
ini dalam hati Nabi saw. Sampai-sampai dibutuhkan untuk menyampaikan
pengumuman tentang pembelaan Allah, Jibril, orang saleh dari kaum
mukminin serta malaikat-malaikat kepada Nabi Muhammad saw. Itu
bertujuan menghibur hati Nabi saw. Dan agar beliau merasakan
kemenangan. Hal serupa terbaca dari ayat 5 di atas yang memperingatkan
istri-istri jangan sampai dicerai dan Nabi dikawinkan oleh Allah dengan
wanita-wanita lain yang lebih baik daripada mereka. Demikian lebih
kurang Sayyid Quthub.48
Setelah turunnya ayat-ayat di atas, hati Nabi saw. Kembali tenang.
Maka, demikianlah ayat-ayat di atas menggambarkan satu sisi dari
kehidupan Nabi suci Muhammad saw. Nabi yang menyampaikan tugas
suci, risalah Ilahi, yang dalam saat yang sama tidak keluar dari sifat
kemanusiaannya. Di sana ada upaya merayu dan membujuk pasangan, ada
rahasia pribadi yang dibisikkan dan diminta untuk dirahasiakan, ada
dorongan seksual, ada marah, ada cemburu, dan bersamaan itu semua ada
48 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 176.
76
bimbingan dan pengarahan Allah karena tuntutan risalah Islamiah
bukannya mencabut potensi dan bawaan manusia tetapi ia adalah ajaran
yang sesuai dengan fitrah manusia sehingga ia mengukuhkan
mengembangkan dan mengarahkannya ke arah yang benar49
E. Aplikasi Nilai Akhlak Rumah Tangga
Setelah penulis mengamati penafsiran yang dilakukan al-Qurṭubī dan
Ibn Katsī terhadap QS. al-Taḥrῑm pada ayat 1-5 setidaknya terdapat
beberapa poit Akhlak yang harus dimiliki dalam rumah tangga yang bisa
penulis petik dalam QS. al-Taḥrῑm yaitu:
1. Dalam ayat 1-2 akhlak yang penulis dapat sampaikan yaitu:
berkoroban (bersedia) Nabi bersedia mengharamkan apa yang Allah
halalkan hanya demi menyenangkan istinya meskipun Nabi
mendapat teguran langsung dari Allah. Dengan kata lain, suami
mesti bersedia mengorbankan apaun demi keluarganya terutama
untuk istrinya.
2. Kemudian pada ayat ketiga Akhlak yang dapat penulis sampaikan
yaitu: (memafkan dan menjaga komunikasi) Nabi memberitahukan
rahasia besar (pergantian pemimpin), dan meskipun para istri Nabi
membocorkan rahasia tersebut, Nabi tetap memafkan apa yang
menjadi tanggung jawabnya sebagai suami. Dengan kata lain, suami
harus tetap memberitahukan kabar apapun kepada istrinya meskipun
terkadang terdapat kekhilafan pada seorang istri suami harus tetap
memaafkan.
3. Pada ayat ke empat ini Akhlak yang dapat penulis sampaikan adalah
bertaubat (tidak mengulangi) apa yang sudah terjadi. Karna
Dinamika rumah tangga adalah sifat manusiawi sangat wajar terjadi
49 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 176.
77
dalam kehidupan. Oleh karna itu kembalikan masalah kepada hukum
Allah dan bukan mengikuti hawa nafsu. Jika saja Rasulullah
mengikuti hawa nafsu maka terjadilah sebuah pengharaman sesuatu
yang sudah Allah halalkan, akan tetapi Allah sangat tidak berkenan
sehingga meluruskannya.
4. Pada ayat ini, penulis berpendapat (Sabar) adalah balasan dari Allah
karna Nabi begtu bersabar merendahkan diri kepada istri-istrinya
sampai sesuatu yang dihalalkan kemudian diharamkan. Inilah solusi
rumah tangga bila menghadapi masalah, dan Allah berjanji akan
menggantikan yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
78
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang dipaparkan dalam penulisan skripsi ini, maka
penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
Menurut tafsir al-Qurṭubī dan Ibn Katsīr penulis berpendapat terdapat
kesamaan dalam penafsiran pada surat al-Taḥrīm ayat 1-5, bahwa
diceritakan pendapat tersebut dituturkan oleh Ibn Abbas kepada al-Qurṭubī
dan Ibn Katsīr: bahwa, Ibn Abbas pernah didatangi salah seorang lelaki,
lalu ia menceritakan “sesungguhnya aku telah menjadikan istriku haram
bagi diriku”. Ibn Abbas berkata, “engkau telah berdusta, dia tidak haram
bagimu dan mayoritas Ulama berpendapat bahwa ayat ini turun pada
Hafshah saat dia membiarkan Nabi bersama budak perempuanya berada di
dalam rumahnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa barangsiapa yang mengharamka
sesuatu dari makanan dan atau pakaian, maka menurut al-Qurṭubī dan Ibn
Katsīr, makanan dan pakaian tidak diharamkan baginya, sebab Kuffarat
(tebusan) itu diperuntukan bagi sumpah dan bukan diperuntukan bagi
pengharaman. Sebab didalam ayat tersebut “apa yang telah engkau
haramkan itu tidak haram bagimu, melainkan menggabungkan sebuah
sumpah pada pengharaman, maka tebuslah sumpah itu”.
Meskipun Nabi memberikan balasan kepada Hafshah untuk
diceraikannya pada talak satu, yang telah memberitahukan sebuah rahasia
kepada Aisyah: yaitu, sebuah pergantian kepemimpinan (Kholifah) dan
pengharaman Mariyah untuk diri Nabi, atas dasar kecemburuan yang
menyelimuti Aisyah dan Hafshah dalam menyusahkan Nabi, Nabi tetap
tegar dan setia untuk memberikan permintaan maaf. Meskipun Allah SWT
berjanji akan menggantikan isti-istrinya yang lebih baik (yang patut, yang
79
beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadah, yang
berpuasa, yang janda dan yang perawan). Akan tetapi Allah SWT meminta
melalui Malaikat Jibril untuk menegur kepada Nabi agar jangan
menceraikan Hafshah karena gemar berpuasa, gemar beribadah dan
Hafshah adalah termasuk istri-istri kelak disurga nanti. Oleh karna itu
beliau tidak jadi menceraikannya.
Terdapat nilai-nilai akhlak yang bisa diungkapkan bahwa, keutuhan
keluarga menjadi syarat terpenting untuk ketenangan jiwa anggota
keluarganya, keutuhan keluarga bukan datang begitu saja dengan
sendirinya, melainkan keutuhan itu harus di ciptakan dan dirawat sebaik
mungkin, sebab didalam rumah tangga yang harmonis bukan berarti tidak
memiliki konflik, melainkan konflik itulah yang menjadikan rumah tangga
harmonis yang dapat dipelajari untuk kedepanya. Juga, rumah tangga yang
kokoh akan terciptanya para penghuni yang terlepas dari godaan-godaan
maksiat dan keluaga yang kokoh akan menjadi sumber daya kekuatan
yang besar yang masuk ke dalam anggota keluarga, sehingga hal itu bisa
menciptkan potensi-potensi yang besar serta amalan-amalan untuk umat.
Juga sebaliknya, bahwa rumah tangga yang rapuh akan mejadi sumber
permasalahan yang akut dan berpotensi runtuh, yang menguras seluruh
kekuatan yang ada dalam rumah tangga sehingga dapat menimbulkan
kerusakan yang besar dan berdampak pada sistem sosial. Karna sebuah
keluarga adalah intisari dari terciptanya masyarakat dan Negara. Oleh
karna itu peran yang sangat penting dalam rumah tangga adalah ikatan
kerjasama yang menjadi tulang punggung keluarga agar terciptanya
keharmonisan nan koko. Maka peran suami harus menjadi contoh panutan
dalam memimpin keluarganya untuk mengelilingi bahtera kehidupan
dunia dan akhirat.
79
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Artikel Jurnal
Abdullah, M. Yatimin. Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’ân. Jakarta:
Amzah, 2007.
Abdullah, Taufik Dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, cet ke 2. Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003.
Al-Abrasyi, M. Athiya. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta:
Bulan Bintang, 1970.
Adi, Rianto. Metodologi penelitian sosial dan Hukum. Jakarta: Granit,
2004.
Adonis, Tito. Peranan Wanita Dalam Pembinaan Budaya. Bandung: Cv.
Pioner, 1991.
Al-Afify, Taha Abdullah. Min Sifat al - Rasul al-Khilqiyyah Wa al–
Khuluqiyyah. Cairo: Dar al-Misriyyah al-Lubnaniyyah, 1995.
Akbar, Ali. (2017). “Menejemen Konflik: Studi atas Hadis-hadis tentang
kecemburuan istri-istri Nabi SAW” (Skripsi, UIN Jakarta).
Alfanzari, Achmad Syauqi. (2016). “Mendidik diri dan keluarga Kajian
Tafsir Surat Al-Tahrim, Perspektif Quraish Shihab.” (Skripsi, UIN
Surabaya).
Alu Syaikh, Abdullah bin Muhammad. Tafsir Ibnu Katsir, Jil. 10. Jakarta:
Pustaka Imam Syafi’i, 2008.
Amin, Husayn. al-Mar`ah bayna al-Syâri’ wa al-Bayti. Bayrût: Dâr al-
Syurûq, 1999.
Amin, Muhammad Rusli. Rasulullah Sang Pendidik. Jakarta: 2013, Amp
Press, 2016.
Aminuddin, dkk. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, cet 1.
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
80
Anis, Ibrahim. Al-Mu’jam Al-Wasith. Mesir: Darul Ma’arif, 1972.
Anwar, Rosid. Akidah Akhlak. Jakarta: Pustaka Setia, 2012.
Anwar, Rosihan. Melacak Unsur-Unsur isrᾰiliyyᾰt Dalam tafsof al-Thabari
dan tafsîr Ibn Katsîr, cet 1. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Matondang, Armansyah. “Faktor-faktor yang Menyebabkan Perceraian
Dalam Perkawinan.” Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial. Vol. 02.
No. 2 (2014): 141-150.
AS, Asmaran. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002.
Assaf, Ahmad Muhammad. Berkas-berkas Cahaya Kenabian. Laweyan: Era
Intermedia, 2001.
Azwar, Saifuddin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Badri, Muhammad Arifin. “Hakikat Cemburu Dalam Rumah Tangga Studi
Deskriptif Tentang Kehidupan Nabi Dengan Istri-istrinya.” al-
Majaalis: Jurnal Dirasat Islamiyah. Vol 2, no. 2. 2015: 103.
Basyir, Ahmad Azhar dan Fauzi Rahma, Keluarga Sakinah Surgawi.
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1994, 12.
Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Depag, Aqidah Akhlak. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, Cetakan Pertama Jakarta, (1996).
_______. Al-Qur’ân dan Tafsirnya, (Edisi Yang Disempurnakan), jilid X.
Jakarta: Lentera Abadi, (2010).
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Tentang Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia. Instruksi Presiden RI Nomor I tahun 1991. Jakarta,
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama RI, 2000. 14.
Al-Dzahabî, Muhammad Husain. al-Tafsîr wa al-Mufassirû. Bairut: Dâr al-
Fîkr, 1976.
81
Al-Farmawi, Abd al-Hayyi. al-Bidayah Fi al-Tafsir al–Mauduii. Kairo: al-
Hadarah al-Arabiyyah, 1977.
_______. Metode Tafsir Maudlu’i dan Cara Penerapannya. Bandung:
Pustaka Setia, 2002.
Al-Ghayani, Musthofa. Bimbingan Menuju Ke Akhlak Yang Luhur.
Semarang: Thaha Putra, 1976.
Al-Ghazali, Iman. Ihyâ’Ulûm Ad-Din. Kairo: Al-Masyhad Al-Husain, tt.
Hafidh, Muhammad Ibnu Abdul. Cara Nabi Mendidik Anak. Jakarta: Al-
I’tishom Cahaya Umat,2004.
Hakim, Abdul. Keluarga sakinah. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2004.
Halimatussadiyah, “Cemburu, Agresi, dan Penanggulangannya; Studi
Kasus Pada 3 Pasangan Suami Istri.” Skripsi Fakultas Psikologi,
Universiatas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004, 1.
Hasan, M. Ali. Tuntunan Akhlak. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Idris, Manan. Reorientasi Pendidikan Islam. Pasuruan: Hilal Pustaka 2006.
Ilyas, Hamim. Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2004
Ilyas, Yunahar. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam (LPPI), 2000.
Ibmar Dedy, Tuhan dan Ruang. Ciputat: Young Progressive Muslim, 2018.
Al-Jamil, Fadhil. menerobos Krisis Pendidikan Dunia Islam. Jakarta:
Golden Terayon Press, 1992.
Kahhalah, Umar Ridho. Mu’jam al-Mualiffin: Tarajum mushannif al-Kutub
al-Arabiyah, Jil. II. Beirut: Dar-Ihya al-Turats al-Arabi, t,t.
Katsir, Ibnu. al-Bidayah wa al-Nihayah, Jil. XI. Beirut: Dar al Fikr, t,t.
Khaeriyah, Ery. (2010).”Studi tematik tentang istri-istri nabi Nabi SAW
dalam Al-Qur’ân”. (Skripsi, UIN Jakarta).
Khairuddin, Sosiologi Keluarga. Jakarta: Nnurcahaya, 1985.
Al-Khulli, Amin. Manāhij tajdid fi al-nahw wa-al-balaghah wa-al-tafsîr wa-
al-adāb. Mesir: Dar al-Ma’rifah, 1961.
82
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi jil. X, Terj Tafsir Al-
Maraghi Juz XXVIII. Kairo: Dar al-Fikr, tt.
Mariatul Norhidayati Rohmah, “Romantika Rumah tangga Rasulullah
SAW” dalam Jurnal Al-Hiwar, Vol. 03, No. 05 (Januari-Juni-2015).
Maswan, Nur Faizin. Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir, cet 1.
Yogyakarta: Menara Kudus, 2002.
Mubarok, Jaih. Pembaruan Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2015, 18.
Nur Rofiah, “Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Islam.”
Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya no.1 (Jini 2017): 31-44.
Nurlela, Rika. (2018). “Hadis-hadis cinta dalam rumah tangga Rasulullah
SAW”. (Skripsi, UIN Jakarta).
Poerbakawatja, Soegarda. Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta: Gunung
Agung, 1976.
Al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’ân, cet. II. Bogor: Litera
Antara Nusa, 2009.
Qurtubi. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’ân, jilid 18, cet I. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009.
Al-Sajistani, Abi Daud Sulaiman Ibn al-Asy’ats. Sunan Abi Daud, juz II.
Indonesia: Maktabah Dahlan, 154-155.
Salmi, Siti. (2016). “Nilai edukasi kasih sayang kehidupan rumah tangga
Rasulullah SAW”. (Skripsi, UIN Aceh).
Saputra, Andrian. (2018) “Studi Hadis-hadis keromantisan terhadap
pasangan suami-istri dalam rumah tangga Rasulullah SAW”. (Skripsi,
UIN Jakarta).
Sasmita, Lia Oktavia. (2017). Peran Istri Dalam Rumah Tangga Perspektif
Hadis, (Skripsi: UIN Jakarta), 33-34.
83
Shihab, M. Quraish. “Membumikan” Al-Qur’ân Fungsi dan Peran Wahyu
Dalam Kehidupan Masyarakat, cet 1. Bandung: Mizan, 2014.
Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Misbah, cet 1. Jakarta: Lentera hati 2003,
167.
_______. Islam yang Saya Anut. Ciputat: Lentera Hati, 2018.
_______. Quraish. KAIDAH TAFSIR: Syarat, dan Ketentuan yang Patut
Anda Ketahui dalam Memahami Al-Qur’ân. Tangerang: Lentera Hati,
2013.
_______. Wawasan Al-Qur’ân. Bandung: Mizan, 1996.
Sudarsono, Hukum Perkawinan National. Jakarta: Renika Cipta, 1991, 2.
Sumitro, Roni Hanityo. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1988.
As-Suyuthi, Jalaluddin. Lubaabun Nuqul fii Asbaabin Nuzul, cet I. Jakarta:
Gema Insani, 2008.
Syakir, Ahmad Muhammad. Umdat at-Tafsir an al-Hafizh Ibn Katsir, jilid
1. Mesir: Dar al-Ma’arif, 1959.
Syukur, Suparman. Etika Religius. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Tiswarni, Akhlak Tasawuf. Jakarta: Bina Permata, 2007.
Trueblood, David. Terj Prof. Dr. H. M. rasjidi, Philosophy of Religion.
Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
Wahyu, Ilmu Sosial Dasar. Surabaya: Usaha Nasional, 1986.
Wilis, Sofyan. Konseling Keluarga. Bandung: Alfabet, 2009.
Ya’qub, Hamzah. Etika Islam. Bandung: Diponegoro, 1993.
Az-Zuhail, Wahbah. Tafsir al-Munir jil. 14, terj: Abdul Hayyie, dkk.
Jakarta: Gema Insani, 2014.
Zulkifli dkk, Akhlak Tasawuf, cet 1. Yogyakarta: Kalimedia, 2018.