morfologi dan produksi beberapa aksesi sagu (metroxylon

11
115 Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon spp.) di Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika, Papua Morphology and Production of Some Sago Palm Accessions in Iwaka, Mimika District, Papua Province FENDRI AHMAD 1 , MOCHAMAD HASJIM BINTORO 2 , SUPIJATNO 2 1 Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor 2 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Jln.Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia E-mail: [email protected] Diterima 30 September 2016 / Direvisi 28 Oktober 2016 / Disetujui 14 Nopember 2016 ABSTRAK Sagu merupakan tanaman sumber karbohidrat dengan luas areal di Kabupaten Mimika 382.198 ha. Penelitian tentang karakterisasi aksesi sagu di Kabupaten ini belum ada, oleh karena itu perlu dilakukan. Keragaman aksesi sagu di Kabupaten Mimika diharapkan menjadi sumber plasma nutfah sagu, dan untuk seleksi sagu unggul untuk menunjang pengembangan sagu. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai karakter morfologi dan produksi pati beberapa aksesi sagu. Penelitian menggunakan metode observasi terhadap tujuh aksesi sagu, yaitu Mbupuri, Monepikiri, Mbapare, Tuwae, Aute, Iyaremela dan Bakaketemeta. Penelitian dilakukan di Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketujuh aksesi tersebut berbeda karaktermorfologinya, yaitu batang, daun dan duri. Aksesi Monepikiri memiliki batang yang paling panjang dan diameter paling besar berturut-turut, yaitu 13,75 cm dan 59,00 cm. Aksesi Mbupuri memiliki jumlah daun paling banyak dan daun paling luas.Aksesi Monepikiri memiliki potensi produksi lebih dari 300 kg pati kering/pohon dan aksesi Mbupuri >200 kg pati kering/pohon. Kedua aksesi ini dapat diteliti lebih lanjut kestabilan hasilnya untuk dilepas sebagai varietas unggul. Karakter morfologi khususnya panjang batang mempengaruhi produksi, karena pati terdapat dalam empulur batang. Kata kunci : Aksesi, sagu, karakter, morfologi, produksi, pati. ABSTRACT Sago is a carbohydrate-producing palm witharea about 382.198 ha in Mimika Regency. So far, research on the characterization of sago palm in this area has not existed, therefore it is necessary to do. The diversity of sago accessions in Mimika District is expected to be a source of germplasm and superior sago selection to support sago development. This study aims to obtain information about morphological characters and starch production of some sago accessions. The study was conducted using observation method of seven sago accessions, namely Mbupuri, Monepikiri, Mbapare, Tuwae, Aute, Iyaremeta and Bakaketemeta in Iwaka District, Mimika Regency, Papua Province. The result showed that the seven accessions sago differed based on morphological character namely stem, leaves and spine, and starch production. The Monepikiri accession has the longest stem and large stem diametre, namely 13.75 m and 59.00 cm, respectively. Accession Mbupuri has more leaves and wider leaves than the others. Accession Monepikiri has a production potential of more than 300 kg’s dried starch/palm and accession Mbupuri more than 200 kg’s dried starch/palm. Both accessions of this sago can be further investigated the stability of yield starch to be released as superior varieties. The morphological characters, especially the length of the stem affect the starch production because the starch is present in the pith of the stem. Keywords: Accession, sago, character, morphology, production, sago starch. PENDAHULUAN Sagu merupakan salah satu tanaman yang potensial untuk dikembangkan. Tanaman sagu memiliki kandungan pati yang sangat tinggi. Tanaman sagu mampu menghasilkan 200-400 kg pati kering/pohon, bahkan ada yang mencapai 800 kg pati kering/pohon. Produktivitas tanaman sagu mencapai 20-40 ton pati kering/ha/tahun (Bintoro et al., 2010). Potensi sagu di Indonesia menempati lebih dari 50% sagu dunia. Areal sagu di Indonesia mencapai 5,5 juta ha dan 90% dari luasan tersebut

Upload: others

Post on 25-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon

115

Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon spp.) di Distrik

Iwaka, Kabupaten Mimika, Papua

Morphology and Production of Some Sago Palm Accessions in Iwaka, Mimika

District, Papua Province

FENDRI AHMAD1, MOCHAMAD HASJIM BINTORO2, SUPIJATNO2

1Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor 2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Jln.Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia E-mail: [email protected]

Diterima 30 September 2016 / Direvisi 28 Oktober 2016 / Disetujui 14 Nopember 2016

ABSTRAK

Sagu merupakan tanaman sumber karbohidrat dengan luas areal di Kabupaten Mimika 382.198 ha. Penelitian tentang karakterisasi aksesi sagu di Kabupaten ini belum ada, oleh karena itu perlu dilakukan. Keragaman aksesi sagu di Kabupaten Mimika diharapkan menjadi sumber plasma nutfah sagu, dan untuk seleksi sagu unggul untuk menunjang pengembangan sagu. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai karakter morfologi dan produksi pati beberapa aksesi sagu. Penelitian menggunakan metode observasi terhadap tujuh aksesi sagu, yaitu Mbupuri, Monepikiri, Mbapare, Tuwae, Aute, Iyaremela dan Bakaketemeta. Penelitian dilakukan di Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketujuh aksesi tersebut berbeda karaktermorfologinya, yaitu batang, daun dan duri. Aksesi Monepikiri memiliki batang yang paling panjang dan diameter paling besar berturut-turut, yaitu 13,75 cm dan 59,00 cm. Aksesi Mbupuri memiliki jumlah daun paling banyak dan daun paling luas.Aksesi Monepikiri memiliki potensi produksi lebih dari 300 kg pati kering/pohon dan aksesi Mbupuri >200 kg pati kering/pohon. Kedua aksesi ini dapat diteliti lebih lanjut kestabilan hasilnya untuk dilepas sebagai varietas unggul. Karakter morfologi khususnya panjang batang mempengaruhi produksi, karena pati terdapat dalam empulur batang. Kata kunci : Aksesi, sagu, karakter, morfologi, produksi, pati.

ABSTRACT

Sago is a carbohydrate-producing palm witharea about 382.198 ha in Mimika Regency. So far, research on the characterization of sago palm in this area has not existed, therefore it is necessary to do. The diversity of sago accessions in Mimika District is expected to be a source of germplasm and superior sago selection to support sago development. This study aims to obtain information about morphological characters and starch production of some sago accessions. The study was conducted using observation method of seven sago accessions, namely Mbupuri, Monepikiri, Mbapare, Tuwae, Aute, Iyaremeta and Bakaketemeta in Iwaka District, Mimika Regency, Papua Province. The result showed that the seven accessions sago differed based on morphological character namely stem, leaves and spine, and starch production. The Monepikiri accession has the longest stem and large stem diametre, namely 13.75 m and 59.00 cm, respectively. Accession Mbupuri has more leaves and wider leaves than the others. Accession Monepikiri has a production potential of more than 300 kg’s dried starch/palm and accession Mbupuri more than 200 kg’s dried starch/palm. Both accessions of this sago can be further investigated the stability of yield starch to be released as superior varieties. The morphological characters, especially the length of the stem affect the starch production because the starch is present in the pith of the stem. Keywords: Accession, sago, character, morphology, production, sago starch.

PENDAHULUAN

Sagu merupakan salah satu tanaman yang potensial untuk dikembangkan. Tanaman sagu memiliki kandungan pati yang sangat tinggi. Tanaman sagu mampu menghasilkan 200-400 kg

pati kering/pohon, bahkan ada yang mencapai 800 kg pati kering/pohon. Produktivitas tanaman sagu mencapai 20-40 ton pati kering/ha/tahun (Bintoro et al., 2010).

Potensi sagu di Indonesia menempati lebih dari 50% sagu dunia. Areal sagu di Indonesia mencapai 5,5 juta ha dan 90% dari luasan tersebut

Page 2: Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon

Buletin Palma Volume 17 No. 2, Desember 2016: 115 - 125

116

terdapat di Provinsi Papua, yaitu 4,7 juta ha (Djoefrie et al., 2014). Menurut Okazaki et al.,(2013) tanaman sagu merupakan tanaman C3. Sagu dapat dijumpai pada daerah tropika basah di Asia Tenggara dan Oseania. Tanaman sagu men-dominasi lahan rawa baik yang tergenang permanen atau semi permanen, maupun pada tanah gambut dan mineral dengan pH 4,5.

Pati sagu telah dijadikan bahan makanan pokok oleh masyarakat Papua, Maluku dan di daerah lainnya. Pati sagu dapat dimanfaatkan atau diolah untuk menghasilkan berbagai macam produk, terutama dekstrin dan glukosa. Dekstrin banyak digunakan dalam industri tekstil, kosmetik, pestisida dan perekat (Bantacut, 2011). Pati sagu juga dapat dijadikan sebagai bahan baku bioenergi (Syakir dan Karmawati, 2013), dan ampas sagu dapat digunakan untuk pakan ternak dan pupuk (Syahdima et al., 2013).

Menurut Flach (1997) Papua dan Papua Nugini merupakan pusat keragaman sagu dunia, karena di wilayah tersebut terdapat banyak sebaran sagu dan tingginya keragaman genetik sagu. Lahan sagu alami di Papua sangat luas, oleh karena itu analisis dan identifikasi keragaman tanaman sagu perlu dilakukan. Deskripsi jenis sagu ditujukan untuk pengelompokkan jenis sagu yang berproduksi tinggi yang akan direkomen-dasikan untuk pengembangan varietas unggul sagu berkelanjutan. Selain itu, informasi ke-ragaman sangat penting untuk konservasi plasma nutfah dan kekayaan genetik sagu.

Hasil penelitian Dewi et al., (2016) menya-takan bahwa terdapat 12 aksesi sagu di Kecamatan Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat, yaitu aksesi Fablen, Fafion, Failik, Fakattao, Fakreit, Falia, Fanke, Fanomik, Fasai, Fasampe, Fasinan, dan Fasongka. Semua aksesi tersebut sudah dilepas sebagai varietas lokal Kabupaten Sorong Selatan.

Menurut Limbongan (2007) aksesi-aksesi sagu yang ditemukan di Papua memiliki keragaman morfologi, misalnya keberadaan duri, tinggi tanaman, lingkar batang dan warna pati. Selama itu, belum ada penelitian tentang karak-terisasi tanaman sagu di Kabupaten Mimika. Penduduk lokal di Kabupaten Mimika umumnya menggunakan karakter berduri atau tidak berduri untuk membedakan jenis sagu, oleh karena itu diperlukan karakterisasi morfologi dan potensi produksi pati secara detail dan rinci untuk mengetahui ciri setiap aksesi. Menurut Novarianto et al., (2014) di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau ditemukan tiga jenis sagu, yaitu sagu Duri, sagu Sangka dan sagu Bemban. Jenis sagu Duri paling luas penyebarannya dan

dikembangkan serta diolah masyarakat pengrajin sagu. Selain itu, populasi jenis sagu Duri asal Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau telah dirilis sebagai varietas unggul nasional dengan nama varietas sagu Selatpanjang Meranti. Karakter morfologi merupakan petunjuk praktis untuk mengenal berbagai jenis sagu di lapangan.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapat-kan informasi mengenai karakter morfologi dan produksi pati beberapa aksesi sagu. Diharapkan hasil penelitian ini menjadi sumber informasi untuk pengembangan sagu khususnya di Ka-bupaten Mimika dan diantara ketujuh aksesi ini dapat diusulkan menjadi varietas sagu lokal.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada Bulan Juni-Agustus 2016 di Kampung Naena Muktipura, Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Terpadu PAU IPB. Areal sagu di Kampung Naena Muktipura merupakan areal sagu campuran dengan tanaman hutan. Ketinggian tempat ber-kisar 19-32 m dpl. Lokasi tanaman tempat pengambilan contoh merupakan lahan rawa dengan ketinggian air genangan 0-10 cm di atas permukaan tanah, dan tergenang tinggi terutama saat musim hujan. Total aksesi yang ditemui, yaitu sebanyak tujuh aksesi sagu berduri, yaitu Mbupuri, Monepikiri, Mbapare, Tuwae, Aute, Iyaremeta dan Bakaketemeta. Keseluruhan aksesi sagu merupakan sagu hepaksantik, yaitu kadar pati berkurang apabila tanaman sagu sudah berbunga, dan setelah itu tanaman akan mati (berbuah hanya satu kali).

Bahan yang digunakan, yaitu tujuh aksesi sagu yang terdapat di Kampung Naena Muktipura, Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika. Alat yang digunakan, yaitu alat ukur (meteran), RoyalHorticultural Society Color Chart 2015 (RHS), kamera, Global Positioning System(GPSMAP 64s SEA), soil moisture tester (DM 5 Takemura), temperature and humidity meter (HTC-1), jangka sorong (Nankai Sigmat Digital 6’’), timbangan digital, plastik zipper, cooler box, blue ice dan peralatan lapangan.

Metode Penelitian

Tanaman sagu yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak tujuh aksesi. Setiap aksesi diamati pada satu rumpun contoh. Pengamatan karakter morfologi dan produksi dilakukan sebelum dan setelah pohon ditebang. Pengambilan

Page 3: Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon

Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon spp.) di Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika, Papua (Fendri Ahmad et al.)

117

contoh dilakukan secara acak pada setiap aksesi tanaman sagu. Tanaman contoh yang diambil telah memenuhi kriteria panen, yaitu dalam fase generatif (pada saat inisiasi bunga).

Pengamatan dilakukan pada karakter mor-fologi, produksi, dan lingkungan sekitar rumpun contoh. Parameter-parameter yang diamati, yaitu sebagai berikut:

I. Karakter Morfologi

1. Panjang batang, diukur pada pohon yang dipanen dari pangkal batang di permukaan tanah sampai pelepah daun terbawah.

2. Diameter batang, diukur pada bagian pangkal, tengah dan ujung batang mengguna-kan meteran.

3. Lingkar batang, diukur pada bagian satu meter dari permukaan tanah.

4. Tebal kulit batang, diukur menggunakan jangka sorong di beberapa titik pada bagian pangkal, tengah dan ujung batang. Kulit batang, yaitu permukaan luar batang sampai batas empulur.

5. Jumlah daun, dihitung jumlah pelepah daun yang berwarna hijau.

6. Warna daun, diamati menggunakan Royal Horticultural Society Color Chart 2015 (RHS).

7. Jumlah anak daun, dihitung pada sisi kiri dan kanan tulang daun (rachis).

8. Panjang anak daun, diukur pada daun nomor dua dari atas (pucuk). Anak daun yang diamati, yaitu anak daun di pertengahan rachis pada kedua sisi.

9. Lebar anak daun, diukur pada daun tanaman induk, yaitu pada daun nomor dua dari atas (pucuk). Anak daun yang diamati, yaitu anak daun di pertengahan rachis pada kedua sisi.

10. Luas anak daun, dihitung menggunakan rumus yang dinyatakan oleh Nakamura et al., (2005), yaitu (0,785 x Panjang anak daun x Lebar anak daun).

11. Luas daun, dihitung pada daun nomor dua dari atas. Ilustrasi daun sagu dan parameter yang diukur ditunjukkan pada Gambar 1. Luas daun sagu dihitung berdasarkan rumus yang dinyatakan oleh Nakamura et al., (2009), yaitu:

Sleaf= ab/8 + ac/2 Keterangan: Sleaf : Luas daun a : Panjang rachis b : Panjang anak daun sebelah kiri (LCL) +

kanan (LCR) di pertengahan rachis (a/2) c : Panjang anak daun sebelah kiri (LBL)+ kanan

(LBR) di ¼ dari pangkal rachis (a/4)

Gambar 1. Ilustrasi daun sagu untuk mengukur luas daun (Nakamura et al., 2009).

Figure 1. Illustration of sago leaves to measure leaf area.

12. Panjang rachis, diukur pada tulang daun

yang terdapat anak daun pada daun yang telah dewasa, yaitu daun nomor dua dari atas (pucuk).

13. Panjang petiol, diukur dari pangkal pelepah sampai anak daun pertama.

14. Lebar petiol, diukur pada bagian pangkai pelepah.

15. Jarak antar baris duri, diukur pada pangkal pelepah sebanyak tiga ulangan. Pada fase anakan, jarak antar baris duri diukur pada petiol daun sebanyak tiga ulangan.

16. Duri terpanjang, diukur pada petiol anakan dengan mengukur duri yang terpanjang sebanyak tiga kali ulangan.

17. Warna duri, diamati menggunakan Royal Horticultural Society Color Chart 2015 (RHS).

18. Bunga: - Bentuk bunga, diamati secara visual dan

diambil gambarnya. - Warna tandan bunga, diamati mengguna-

kan Royal Horticultural Society Color Chart 2015.

II. Lingkungan

Pengamatan lingkungan dilakukan sekitar rumpun tujuh aksesi sagu yang menjadi contoh. Parameter yang diamati yaitu sebagai berikut: 1. Keadaan hidrologi, diukur ketinggian air dari

permukaan tanah sebanyak tiga titik sekitar rumpun contoh menggunakan meteran.

2. Kelembaban tanah, diukur menggunakan soil moisture tester (DM 5 Takemura).

3. Suhu udara, diukur menggunakan temperature and humidity meter (HTC-1).

4. Kelembaban udara, diukur menggunakan temperature and humidity meter (HTC-1).

5. Ketinggian tempat dari permukaan laut, diukur menggunakan GPS (global positioning system) (GPSMAP 64s SEA).

Page 4: Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon

Buletin Palma Volume 17 No. 2, Desember 2016: 115 - 125

118

Gambar 2. Variasi bentuk tajuk tujuh aksesi sagu di Kampung Naena Muktipura, Distrik Iwaka. Figure 2. Variation crown of seven sago palm accessions in Kampung Naena Muktipura, Iwaka District.

6. Koordinat, diamati menggunakan GPS (GPSMAP 64s SEA).

7. Kemasaman (pH) tanah, diukur menggunakan soil moisture tester (DM 5 Takemura).

III. Karakter Produksi

1. Produksi pati, diukur menggunakan per-bandingan volume. Empulur diambil dari batang menggunakan ring sample (volome 181,36 cm3) pada bagian pangkal, tengah dan ujung batang. Empulur diparut dan dipres untuk diekstrak patinya, kemudian pati tersebut dikeringkan. Produksi pati per pohon dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

Produksi = volume batangx bobot pati kering contoh volume contoh

Volume batang = 𝜋𝑟2 x tinggi, dengan 𝜋 = 3,14 dan r = jari-jari batang sagu Bobot pati kering merupakan rata-rata dari contoh yang diambil.

2. Warna pati, diamati menggunakan Royal Horticultural Society Color Chart 2015 (RHS).

3. Rendemen pati, dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

Rendemen = bobot pati kering contoh x 100% bobot empulur 4. Komposisi kimia pati, dihitung menggunakan

metode AOAC (2006). Komponen yang diamati yaitu kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar

protein dan kadar karbohidrat. a. Kadar air (%), diukur menggunakan metode

gravimetrik. b. Kadar abu (%), diukur menngunakan

metode gravimetrik. c. Kadar Lemak (%), diukur menggunakan

metode Sokhlet, prinsipnya lemak yang terdapat dalam sampel diekstrak dengan menggunakan pelarut lemak non polar.

d. Kadar protein (%), diukur menggunakan metode Mikro kjeldahl.

e. Kadar karbohidrat (%), diukur mengguna-kan metode by difference, yaitu pengurangan 100% dengan jumlah hasil analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak,dan kadar protein.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Habitus tanaman

Secara umum tanaman sagu tumbuh membentuk rumpun. Dalam setiap rumpunnya terdapat anakan dengan jumlah berkisar 7 sampai 12 anakan. Dalam satu rumpun terdapat induk dan anakan sagu yang berbeda fase pertumbuhan-nya yaitu fase semai (anakan masih menempel pada induk), sapihan (anakan sudah terpisah dari induk tapi belum memiliki batang), fase tiang (anakan sudah memiliki batang), fase pohon dewasa yang sudah masak tebang, dan pohon yang sudah lewat masak tebang. Aksesi yang diamati memiliki tajuk yang tegak dan agak terbuka (Gambar 2). Aksesi Monepikiri dan

a. Mbupuri b. Monepikiri c. Mbapane

d. Tuwae e. Aute f. Iyaremeta g. Bakajetemeta

Page 5: Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon

Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon spp.) di Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika, Papua (Fendri Ahmad et al.)

119

Tabel 1. Karakter batang tujuh aksesi sagu di Kampung Naena Muktipura, Distrik Iwaka. Table 1.Trunk characters of seven sago palm accessions in Kampung Naena Muktipura, Iwaka sub-district. No. Aksesi

Accessions

Panjang batang

(m)

Trunk length

(m)

Diameter batang tanpa kulit

(cm)

Trunk diametre without bark

(cm)

Lingkar batang

(cm)

Trunk girth

(cm)

Tebal kulit

(cm)

Bark thickness

(cm)

1. Mbupuri 11,40 54,33 143 1,4

2. Monepikiri 13,75 59,00 133 1,5

3. Mbapare 8,87 49,33 176 1,6

4. Tuwae 12,69 40,66 154 1,5

5. Aute 8,40 37,66 98 2,1

6. Iyaremeta 5,40 57,33 190 1,7

7. Bakaketemeta 10,00 44,00 125 2,1

Rata-rata

Mean

10,07 48,90 145,57 1,74

Standar deviasi

Standard of deviation

2,83 8,38 31,15 0,28

Koefisien keragaman (%)

Coefficient of variation (%)

28,14 17,13 21,40 16,35

Bakaketemeta memiliki tajuk agak terbuka dan yang lainnya tegak. Keadaan tajuk berhubungan dengan penangkapan cahaya matahari oleh daun sagu. Tanaman sagu tumbuh membentuk rumpun dengan banyak anakan di sekelilingnya. Anakan dalam rumpun makin ternaungi oleh pelepah tanaman induk dengan makin terbukanya tajuk. Keadaan tersebut menyebabkan cahaya matahari yang diterima anakan sagu menurun. Dewi et al., (2016) menemukan bahwa beberapa aksesi yang memiliki tajuk agak terbuka (aksesi Fasinan, Fakreit dan Fanke) di Kabupaten Sorong Selatan.

Karakter morfologi

1. Batang

Batang merupakan bagian utama yang dimanfaatkan pada tanaman sagu, karena pati sagu terdapat di empulur dalam batang. Batang sagu sangat bervariasi antar aksesi. Panjang batang rata-rata 10 m, dan aksesi Monepikiri memiliki batang yang paling panjang (13,75 m) sedangkan aksesi Iyaremeta paling pendek (5,40 m) (Tabel 1). Apabila dibandingkan dengan tanaman sagu yang tumbuh di tanah gambut Riau yang memiliki rata-rata panjang batang 8,4 m (Rahayu et al., 2013), maka tanaman sagu yang berasal dari Distrik Iwaka lebih panjang. Batang merupakan ciri yang dapat membedakan aksesi di Kampung Naena Muktipura. Di lokasi ini terdapat aksesi yang memiliki batang mulus dan ada yang masih terdapat bekas pelepah daun tua, yaitu aksesi Mbapare dan Iyaremeta.

Diameter batang tanpa kulit berkisar antara 37,66-59,00 cm dan lingkar batang pada keting-gian 1 m di atas permukaan tanah 98-190 cm. Diameter bagian pangkal, tengah dan ujung batang tidak sama. Aksesi Monepikiri memiliki diameter batang bagian bawah lebih kecil daripada bagian tengah dan ujung, sehingga

walaupun rata-rata diameternya paling besar (59,00 cm) tetapi memiliki lingkar batang (1 m dari permukaan tanah) yang lebih kecil (133 cm). Aksesi Tuwae memiliki diameter pangkal lebih besar dari diameter bagian ujung. Ciri khas dari batang aksesi Tuwae, yaitu memiliki batang yang beruas pada bagian tengah, terus tumbuh vertikal ke atas serta anakan tumbuh pada batas ruas. Tebal kulit batang merupakan penentu dalam proses penebangan sagu. Biasanya penduduk menghindari aksesi sagu yang memiliki kulit tebal, karena membutuhkan tenaga dan waktu pene-bangan yang lama.

Diameter batang, panjang batang dan tebal kulit batang berkorelasi dengan produksi pati per batang. Semakin panjang batang, diameter lebar dan kulit tipis, maka produksi pati per batang semakin tinggi. Panjang batang berkorelasi positif dengan produksi pati per batang dengan nilai r = 0,791. Menurut Muhidin et al. (2016) produksi pati tanaman sagu tidak hanya ditentukan oleh kandungan pati yang terdapat dalam empulur, tetapi tergantung pada panjang batang dan diameter batang.

2. Daun

Jumlah daun tanaman sagu yang siap tebang dari tujuh aksesi sagu yang diteliti tidak beragam, rata-rata 17,71 pelepah/pohon kurang dari jumlah daun sagu di Provinsi Riau, yaitu 21,57 helai/pohon (Novarianto et al., 2016). Jumlah anak daun di sisi kanan dan kiri berbeda kecuali aksesi Monepikiri. Aksesi Mbupuri, Tuwae dan Aute memiliki jumlah anak daun sebelah kiri lebih banyak, sedangkan aksesi Mbapare, Iyaremeta dan Bakaketemeta memiliki jumlah anak daun sebelah kanan yang lebih banyak (Tabel 2). Gusmayanti et al. (2008) menyatakan bahwa jumlah anak daun sisi kiri dan kanan berbeda, sebagian besar daun

Page 6: Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon

Buletin Palma Volume 17 No. 2, Desember 2016: 115 - 125

120

Tabel 2. Karakter daun tujuh aksesi sagu di Kampung Naena Muktipura, Distrik Iwaka. Table 2. Leaf characters of the seven sago accessions in Kampung Naena Muktipura, Iwaka sub-district.

No. Aksesi

Accessions

Jumlah daun

(helai)

Number of

leaves

(sheet)

Jumlah anak

daun (helai)

Number of

leaflets (sheet)

Panjang

anak

daun

(cm)

Leaflet

length

(cm)

Lebar

anak

daun

(cm)

Leaflet

width

(cm)

Panjang

daun

(m)

Leaf

length

(m)

Panjang

rachis

(m)

Rachis

length

(m)

Petiol

(cm)

Petiole

(cm)

Kanan

Right

Kiri

Left

Panjang

Length

Lebar

Width

1. Mbupuri 22 100 105 180 12,0 9,1 8,0 110 17

2. Monepikiri 14 98 98 160 14,0 8,9 7,9 100 16

3. Mbapare 18 75 71 141 11,0 5,8 4,8 100 15

4. Tuwae 15 80 85 142 9,5 5,8 5,3 53 10

5. Aute 15 93 99 157 11,0 7,1 6,7 40 15

6. Iyaremeta 21 87 84 188 13,0 8,9 8,0 90 18

7. Bakaketemeta 19 87 85 178 13,1 7,1 6,6 53 14

Rata-rata

Mean

17,71 88,57 89,57 163,71 11,94 7,53 6,76 78,00 15,00

Standar deviasi

Standard of deviation

3,15 9,14 11,66 18,73 1,55 1,45 1,32 28,37 2,58

Koefisien keragaman (%)

Coefficient of variation (%)

17,77 10,32 13,02 11,40 12,99 19,23 19,46 36,38 17,21

Gambar 3. Warna kuncup daun muda anakan tujuh aksesi sagu di Kampung Naena Muktipura, Distrik Iwaka.

Figure 3. Leaflet colour of seedlings of sevensago accessions in Kampung Naena Muktipura, Iwaka sub-district.

yang diamati memiliki jumlah anak daun sisi kiri lebih banyak, dan sebagian kecil daun, jumlah daun pada sisi kanan yang lebih banyak. Daun merupakan bagian yang sangat penting dalam produksi tanaman, karena daun merupakan tempat berlangsungya proses fotosintesis yang menghasilkan fotosintat yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Panjang daun, panjang rachis dan lebar petiol tidak beragam, sedangkan panjang petiol beragam.

Salah satu karakter pembeda aksesi sagu, yaitu kuncup daun anakan sagu yang memiliki warna yang berbeda-beda (Gambar 3).

Daun sagu berbentuk elips, sehingga anak daun bagian tengah rachis lebih panjang dari bagian pangkal dan ujung. Panjang anak daun sisi kanan dan kiri rachis tidak sama, baik di per-tengahan rachis maupun bagian pangkal rachis. Aksesi Mbupuri, Mbapare, Tuwae, Iyaremeta dan Bakaketemeta memiliki panjang anak daun sisi kanan lebih panjang dari sisi kiri. Lebar anak daun

a. Mbupuri b. Monepikiri c. Mbapane

d. Tuwae e. Aute f. Iyaremeta g. Bakajetemeta

Page 7: Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon

Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon spp.) di Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika, Papua (Fendri Ahmad et al.)

121

Tabel 3. Luas daun tujuh aksesi sagu. Table 3. Leaf area of seven sago palm accessions.

No Aksesi

Accession

Nilai c (m)

Value c (m)

Nilai b (m)

Value b (m)

Nilai a (m)

Value a (m)

Luas daun (m2)

Leaf area (m2)

Luas anak daun (cm2)

Leaflet area (cm2)

1. Mbupuri 3,25 3,56 8,0 24,22 1606,90

2. Monepikiri 3,06 3,27 7,9 22,25 1694,19

3. Mbapare 2,54 2,77 4,8 11,37 1250,31

4. Tuwae 2,29 2,78 5,3 11,87 1020,23

5. Aute 2,87 3,20 6,6 17,96 1475,80

6. Iyaremeta 3,15 3,51 8,0 23,65 1756,54

7. Bakaketemeta 3,16 3,50 6,6 19,52 1772,14

Rata-rata

Mean

2,90 3,22 6,7 18,69 1 511

Standar deviasi

Standard deviation

0,36 0,33 1,31 5,31 283

Koefisien keragaman (%)

Coefficient of variation (%)

12,43 10,41 19,52 28,41 18,75

Keterangan: a : Panjang rachis b : Panjang anak daun sebelah kiri (LCL) + kanan (LCR) di pertengahan rachis (a/2) c : Panjang anak daun sebelah kiri (LBL)+ kanan (LBR) di ¼ dari pangkal rachis (a/4) Note: a : Rachis length b : Leaflets length at left side (LCL) + right side (LCR) in the middle of the rachis (a/2) c : Leaflets length at left side (LBL) + right side (LBR) in ¼ the of the base rachis (a/4)

tidak beragam (9,5 cm-14,0 cm). Hasil pengukuran luasanak daun menunjukkan bahwa aksesi Bakaketemeta memiliki anak daun yang paling luas dan aksesi Tuwae memiliki luas anak daun paling kecil. Luas daun dihitung berdasarkan luas keseluruhan anak daun dalam satu pelepah daun. Aksesi Mbupuri memiliki daun yang paling luas dan aksesi Mbapare yang paling kecil (Tabel 3). Makin luas daun tanaman sagu, maka fotosintat yang dihasilkan dalam proses fotosintesis makin banyak. Dalam keadaan tersebut pertumbuhan tanaman optimal sehingga menghasilkan pati yang tinggi.

3. Duri

Tujuh aksesi sagu yang diteliti di Kampung Naena Muktipura merupakan sagu yang memiliki duri. Duri memiliki berbagai macam bentuk dan susunan yang berbeda (Gambar 4). Duri tumbuh membentuk pola barisan, dan tersusun dalam barisan tersebut, walaupun ada yang tumbuh di luar barisan (antar baris), tetapi ukurannya lebih kecil dan pendek. Pada anakan sagu, duri masih rapat dan panjang, tetapi semakin tua dan masuk fase generatif, duri semakin memendek dan tipis. Anakan sagu yang paling kecil memiliki duri terpanjang, yaitu 5,29 cm dan yang paling besar memiliki duri terpanjang 11,60 cm. Jarak antar baris duri makin kecil dengan makin tuanya tanaman sagu. Pada tanaman dewasa, susunan duri pada pangkal pelepah beragam.

Duri terdapat pada anak daun (leaflet) tanaman sagu, baik pada fase anakan maupun dewasa. Duri tumbuh di bagian tepi helaian anak daun pada sisi kanandan kiri tulang daun (midrib) dengan jarak berkisar 0,5-1,0 cm dan makin rapat

pada bagian ujung daun. Selain pada bagian tepi anak daun, duri juga terdapat pada tulang anak daun khususnya pada bagian ujung. Pada aksesi Iyaremeta duri pada tulang anak daun terlihat jelas, karena ukurannya yang panjang dan warna-nya mencolok (kemerahan).

Menurut Novero et al., (2012) adanya duri pada tanaman sagu merupakan peristiwa epi-genetik yang dipengaruhi oleh lingkungan. Menurut Ehara (2009) ada atau tidak adanya duri pada petiol dan rachis tidak menentukan respon terhadap jarak genetik sagu. Menurut Pasolon (2015) dua kelompok sagu tumbuh di bagian timur Indonesia, yaitu sagu berduri dan tidak berduri. Setiap jenis sagu terdiri atas ekotipe yang berbeda. Berdasarkan bobot segar batang, sagu berduri menghasilkan biomassa lebih rendah dan waktu panen lebih pendek dari sagu tidak berduri.

Karakter produksi

Hasil utama yang diambil dari tanaman sagu, yaitu pati. Rendemen pati semua aksesi berkisar 12-20 %, dan aksesi Iyaremeta rendemen-nya paling kecil, yaitu 12% (Tabel 4). Aksesi Mbupuri dan Monepikiri merupakan aksesi yang produksi pati kering di atas 200 kg/pohon, dan paling tinggi aksesi Monepikiri, yaitu 326,81 kg/ pohon. Aksesi Aute menghasilkan pati kering paling sedikit,yaitu hanya 83,25 kg/pohon. Dewi et al. (2016) menemukan aksesi yang produksinya 414 kg/pohon yaitu aksesi Fanomik di Kabupaten Sorong Selatan. Menurut Tulalo dan Novarianto (2013) potensi produksi pati sagu kering/pohon di Kecamatan Tebing Tinggi Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti, yaitu 241,40 kg.

Page 8: Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon

Buletin Palma Volume 17 No. 2, Desember 2016: 115 - 125

122

Tabel 4. Rendemen dan produksi pati kering tujuh aksesi sagu di Kampung Naena Muktipura, Distrik Iwaka.

Table 4. Rendement and production of dry starch of seven sago accessions in Kampung Naena Muktipura, Iwaka sub-district.

No. Aksesi

Accessions

Rendemen (%)

Rendemen

(%)

Produksi pati kering (kg/pohon)

Production of dry starch (kg/ palm)

1. Mbupuri 17,03 275,05

2. Monepikiri 15,03 326,81

3. Mbapare 15,08 149,56

4. Tuwae 16,87 165,62

5. Aute 16,23 83,25

6. Iyaremeta 12,92 101,78

7. Bakaketemeta 20,35 182,00

Rata-rata

Mean

16,21 183,40

Standar deviasi

Standard of deviation

2,30 88,60

Koefisien keragaman (%)

Coefficient of variation (%)

14,18 48,31

Gambar 4. Variasi duri pada petiol anakan tujuh aksesi sagu di Kampung Naena Muktipura, Distrik Iwaka. Figure 4. Variation of spines on suckers petiole of seven sago palm accessions in Kampung Naena Muktipura, Iwaka

Sub-District.

Menurut Bintoro et al. (2010) sagu dapat menghasilkan 200-400 kg pati/pohon. Apabila di-lakukan penanaman dengan jarak tanam 8 m x 8 m sampai 10 m x 10 m maka populasi dapat men-capai 100-150 pohon/ha, sehingga produktivitas mencapai 20-40 ton/ha. Namun, populasi sagu yang tumbuh secara alami sangat jauh dari per-

hitungan tersebut. Saitoh et al. (2008) menemukan jenis sagu unggul di Sentani yang mengandung pati kering 838 kg/pohon dan Yamamoto me-laporkan adanya sagu unggul juga di Sentani yang mengandung 947 kg pati kering/pohon. Sagu di tempat penelitian tumbuh tidak beraturan, sehingga mengurangi kemampuan daun dalam

e. Aute f. Iyaremeta g. Bakaketemeta

c. Mbapare d. Tuwae b. Monepikiri a. Mbupuri

Page 9: Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon

Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon spp.) di Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika, Papua (Fendri Ahmad et al.)

123

Tabel 5. Komposisi kimia pati tujuh aksesi sagu di Kampung Naena Muktipura, Distrik Iwaka. Table 5. Chemical composition starch of seven sago accession in Kampung Naena Muktipura, Iwaka

sub-district.

No. Aksesi

Accession

Kadar air

Water content

Kadar abu

Ash content

Kadar lemak

Fat content

Protein

Protein

Karbohidrat

Carbohidrate

................................%...............................

1. Mbupuri 13,87 1,24 0,22 1,03 83,60

2. Monepikiri 13,58 1,35 0,15 0,54 84,35

3. Mbapare 14,25 0,34 0,15 1,01 84,22

4. Tuwae 13,95 0,68 0,00 1,39 83,96

5. Aute 14,09 0,33 0,00 0,45 85,11

6. Iyaremeta 14,01 1,11 0,26 0,49 84,11

7. Bakaketemeta 15,99 0,85 0,10 1,01 82,02

proses fotosintesis sehingga menyebabkan pro-duksi pati berkurang. Tanaman sagu memerlukan sinar matahari dalam jumlah yang banyak, apabila ternaungi kadar pati dalam batang sagu rendah. Rendahnya intensitas cahaya matahari yang masuk ke bagian bawah rumpun atau tegakan sagu disebabkan adanya hambatan tajuk yang terbentuk dari pelepah dan anak-anak daun yang tumbuh rapat. Selain itu, satu rumpun terdiri atas beberapa individu, dengan beberapa stadia per-tumbuhan yang berbeda, yaitu pohon, tiang, sapihan dan semai (Botanri et al., 2011). Kerapatan tanaman yang tinggi menyebabkan pertumbuhan terhambat sehingga anakan tersebut tidak mampu membentuk batang. Pengaturan jumlah anakan dalam satu rumpun perlu dilakukan untuk menghindari hal tersebut. Dalam satu rumpun, hanya satu anakan saja yang dipertahankan tumbuh setiap tahun dan tidak lebih dari 10 anakan yang hidup dalam satu rumpun.

Sagu merupakan jenis tanaman yang mampu beradaptasi pada kondisi tergenang melalui modifikasi akar. Munculnya akar ke atas permukaan tanah atau yang disebut akar nafas (pneumatophores) merupakan strategi untuk tetap mendapatkan oksigen yang diperlukan dalam respirasi. Laan et al. (1989) melaporkan bahwa beberapa tanaman yang toleran terhadap genangan akan membentuk jaringan aerenkim tidak hanya pada akar, tetapi juga pada rizoma. Perubahan anatomi akar selanjutnya menyebab-kan perubahan pada morfologi akar. Akar nafas pada tanaman sagu muncul sebagai usaha tanaman untuk mempertahankan diri dalam kondisi anaerob. Selain dibantu oleh akar nafas, diduga terdapat mikroorganisme yang mem-fasilitasi tanaman sagu untuk mendapatkan unsur hara. Shrestha et al. (2007) melakukan studi tentang bakteri pengikat nitrogen pada tanaman sagu. Hasilnya ditemukan be-berapa spesies, yaitu Klebsiella pneumoniae, K. Oxytoca, Pantoea agglomerans, Enterobacter cloacae, genus Burkholderia dan Bacillus megaterium. Shipton

et al. (2010) juga menemukan bakteri mengikat nitrogen pada sagu, yaitu Raoultella ornithinolytica, Enterobacter oryzae, Klebsiella pneumoniae, Bukholderia tropica, Cronobacter turicensis dan Pectobacterium cypripedii. Nomenzo et al. (2012) menemukan bakteri yang menguntungkan di daerah perakaran sagu, antara lain Bacillus subtilis, Agrobacterium tumefaciens, dan Pseudomonas veronii. Bakteri tersebut memproduksi exopolysaccharides dan memfiksasi nitrogen sehingga dapat men-dukung pertumbuhan sagu pada lingkungan tumbuh yang tercekam (tergenang). Sagu dapat mencukupi kebutuhan unsur hara terutama nitrogen dengan adanya bakteri tersebut sehingga proses fisiologis dapat ber-langsung.

Empulur batang ketika dibuka berwarna putih, apabila lama terbuka akan terjadi oksidasi dan warna menjadi kecoklatan. Selain itu, ada aksesi sagu yang empulurnya berwana putih kemerahan dan kuning seperti buah nanas (aksesi Bakaketemeta). Kualitas empulur tersebut menen-tukan kualitas pati yang dihasilkan. Masyarakat umumnya mengolah dan mengekstrak pati sagu langsung di tempat penebangan sagu atau di hutan. Di tempat tersebut kebersihan air tidak terjamin, bahkan airnya berwarna kemerahan. Sifat atau kualitas pati sagu selain dipengaruhi oleh faktor genetik, juga dipengaruhi oleh proses ekstraksi, seperti peralatan dan air yang diguna-kan, cara penyimpanan potongan batang sagu dan penyaringan (Flach, 1997). Menurut Purwani et al. (2006); Onsa et al. (2007) derajat putih pati sagu bervariasi dan dapat berubah menjadi kecoklatan atau kemerahan selama penyimpanan. Perubahan warna tersebut disebabkan adanya aktivitas enzim Latent Polyphenol Oxidase (LPPO).

Komposisi kimia pati sagu semua aksesi tidak bervariasi (Tabel 5). Pati sagu mengandung protein rendah berkisar 0,45 sampai 1,39% (rata-rata 0,85%), oleh karena itu apabila pati sagu menjadi makanan pokok maka harus dikombinasi dengan makanan yang kaya protein. Di Papua, pati sagu dimakan dengan ikan dan ulat sagu yang

Page 10: Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon

Buletin Palma Volume 17 No. 2, Desember 2016: 115 - 125

124

kaya protein. Kadar air pati sagu semua aksesi berkisar 13,58-15,99% dengan rata-rata 14,24%. Kadar air dipengaruhi oleh suhu dan lamanya proses pengeringan (Surianto et al., 2015).

Kadar abu pati tujuh aksesi sagu di Distrik Iwaka berkisar antara 0,33-1,35%. Kondisi ling-kungan mempengaruhi kadar abu. Sagu di Distrik Iwaka tumbuh pada lahan rawa dan tergenang sementara. Menurut Konuma et al. (2012) sagu yang tumbuh di lahan tergenang air, dalam kondisi asam dan mengandung sulfur dengan konsentrasi yang tinggi akan menghasilkan pati dengan kadar abu tinggi.

Tujuh aksesi yang diteliti memiliki kan-dungan karbohidrat 82,02-85,11%. Menurut Huwae (2014) kandungan karbohidrat beberapa sagu di Maluku bervariasi, yaitu sagu Tuni 89,13%, sagu Ihur 77,4% dan sagu Molat 88,6%. Perbedaan kandungan karbohidrat dipengaruhi oleh ling-kungan tumbuh, antara lain tanah. Tanah men-suplai berbagai bahan-bahan organik dan mineral yang diangkut oleh akar nafas sehingga komposisi kandungan karbohidrat dalam pati sagu menjadi lebih tinggi.

Tujuh aksesi sagu di Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika merupakan kekayaan plasma nutfah sagu yang harus dilestarikan. Aksesi-aksesi yang memiliki potensi hasil tinggi dapat diguna-kan sebagai sumber bibit dalam pengembangan sagu, dandapat diusulkan untuk dilepas menjadi varietas unggul asal Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

KESIMPULAN

Tujuh aksesi sagu di Kampung Naena Muktipura Distrik Iwaka memiliki karakter morfologi dan produksi yang berbeda-beda. Aksesi Monepikiri memiliki batang paling panjang (13,75 cm) dan diameter paling besar (59,00 cm). Aksesi Mbupuri memiliki jumlah daun paling banyak (22 pelepah/pohon) dan daun paling luas (24,22 cm2).

Produksi pati kering tertinggi per pohon dihasilkan oleh aksesi Monepikiri (32,81 kg), diikuti aksesi Mbupuri 275,05 kg, sedangkan lima aksesi lainnya <200 kg.

Kedua aksesi sagu ini direkomendasi sebagai sagu unggul lokal dan dapat diteliti lebih lanjut kestabilan hasilnya untuk menjadi varietas sagu unggul.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan

Kabupaten Mimika Provinsi Papua yang telah membantu penelitian ini terutama dalam pen-danaan dan izin lokasi penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] The Association Official Analytical Chemist. 2006. Official Methods of Analysis. Washington: Association of Official Analytical Chemist.

Bantacut, T. 2011. Sagu: sumberdaya untuk penganekaragaman pangan lokal. Pangan. 20(1): 27-40.

Bintoro,M.H., M.Y.J. Purwanto, dan S. Amarillis. 2010. Sagu di Lahan Gambut. Bogor: IPB Press.

Botanri, S., D. Setiadi, E. Guhardja, I. Qayim, dan L.B. Prasetyo. 2011. Karakteristik habitat tumbuhan sagu (Metroxylon spp.) di pulau Seram, Maluku. J Forum Pascasarjana. 34(1):33-44.

Dewi, R.K., M.H. Bintoro, dan Sudradjat. 2016. Karakter morfologi dan potensi produksi beberapa aksesi sagu (Metroxylon spp.) di Kabupaten Sorong Selatan. J. Agron. Indonesia. 44(1): 91-97.

Djoefrie, M.H.B., S. Herodian, Ngadiono, A. Thoriq, dan S. Amarillis. 2014. Sagu untuk Kesejahteraan Masyarakat papua: Suatu Kajian dalam Upaya Pengembangan Sagu sebagai Komoditas Unggulan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Jakarta: Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat.

Ehara, H. 2009. Potency of sago palm as carbohydrate resource for strengthening food security program. J Agron Indonesia. 37(3):209-219.

Flach, M. 1997. Sago Palm (Metroxylon sagu Rottb.). Rome: International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI).

Gusmayanti, E., T. Machida, and M. Yoshida. 2008. Observation of leaf characteristics of spineless sago palm (Metroxylon sagu) at different phenological stages. Sago Palm. 16: 95-101.

Huwae, B.R. 2014. Analisis kadar karbohidrat tepung beberapa jenis sagu yang dikon-sumsi masyarakat Maluku. Biopendix. 1(1):59-64.

Konuma, H., R. Rolle, and S. Boromthanarat. 2012. Color characteristics of sago starch as they relate to the growth environment of the sago palm (Metroxylon sagu Robb). Journal of Agricultural Technology. 8(1):273-287.

Page 11: Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon

Morfologi dan Produksi Beberapa Aksesi Sagu (Metroxylon spp.) di Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika, Papua (Fendri Ahmad et al.)

125

Laan, P., M.J. Berrevoets, S. Lythe, W. Armstrong, and C.W.P.M. Blom. 1989. Root morphology and aerenchyma formation as indicators of the flood-tolerance of Rumex species. Journal of Ecology. 77: 693-703.

Limbongan, J. 2007. Morfologi beberapa jenis sagu potensial di Papua. Jurnal Litbang Per-tanian. 26 (1): 16-24.

Muhidin, S. Leomo, S. Alam, and T. Wijayanto. 2016. Comparative studies on different agroecosystem base on soil physicochemical properties to development of sago palm on dryland. International Journal of Chem Tech Research. 9 (8): 511-518.

Nakamura, S., Y. Nitta, M. Watanabe, and Y. Goto. 2005. Analysis of leaflet shape and area for improvement of leaf area estimation method for sago palm (Metroxylon sagu Rottb.). Plant Prod. Sci. 8(1):27-31.

Nakamura, S., Y. Nitta, M. Watanabe, and Y. Goto. 2009.a Method for estimating sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) leaf area after trunk formation. Plant Prod. Sci. 12(1): 58-62

Nomenzo, P.S., C.R. Gilda, and L.R. Windell. 2012. Characterization of potential plant growth promoting rhizobacterial isolates from sago (Metroxylon sagu Rottb.) palms. Philip Agric Scientist. 95:99-105.

Novarianto, H., M.A. Tulalo, J. Kumaunang, dan C. Indrawanto. 2014. Varietas unggul sagu Selatpanjang Meranti. Buletin Palma. 15(1): 47-55.

Novarianto, H., M.A. Tulalo, J. Kumaunang, E. Manaroinsong, dan E. Sulistyowati. 2016. Seleksi dan pelepasan varietas Selatpanjang Meranti untuk pengembangan sagu. J. Metroxylon Indonesia. 1(1): 1-9.

Novero, A.U., M.B. Mabras, andH.J. Esteban. 2012. Epigenetic inheritance of spine formation in sago palm (Metroxylon sagu Roettb.). Plant Omics Journal. 5(6):559-566.

Onsa G.H., Nazamid, J. Selamat, and J. Bakar. 2000. Latent polyphenol oxidases from sago log (Metroxylon sagu): partial purification, activation and some properties. J Agric Food Chem. 48: 5041-5045.

Okazaki, M., K. Yonebayashi, N. Katsumi, F. Kawashima, and T. Nishi. 2013. Does sago palm have a high δ13 value?. Sago Palm. 21: 1-7.

Pasolon, Y.B. 2015. Environment, growth and biomass production of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.): a case study from Halmahera, Papua and Kendari. IJSTAS. 2(1): 97-104.

Purwani, E.Y., Widaningrum, H. Setyanto, E. Santri, dan R. Tahir. 2006. Teknologi peng-olahan mi sagu. Bogor. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.

Rahayu, Y., Fitmawati, dan Herman. 2013. Analisis keanekaragaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) pada tiga tipe habitat di Pulau Padang Kepulauan Meranti. Biosantifika. 5(1): 16-24.

Saitoh, K., M.H. Bintoro, I. Oh-e, F.S. Jong, Hazairin, J. Louw, and N. Sugiyama. 2008. Starch productivity of sago palm in Indonesia. Sago Palm. 16: 102-108.

Shipton, W.A., A. Baker, B.J. Blaney, P.F. Horwood, J.M. Warner, D. Pelowa, and A.R. Greenhill. 2010. Nitrogen fixation associated with sago (Metroxylon sagu) and some implications. Letter in Applied Micro-biology. 52: 56-61.

Shrestha, A., K. Toyota, M. Okazaki, Y. Suga, M.A. Quevedo, and A.B. Loreto. 2007. Enhancement of nitrogen-fixing activity of enterobacteriaceae strains isolated from sago palm (Metroxylon sagu) by microbial inter-action with non-nitrogen fixers. Microbes Environ. 22(2): 190-199.

Surianto, A. Ali, dan N. Harun. 2015. Mutu pati sagu yang dihasilkan melalui proses peren-daman dan pengadukan empulur sagu. JOM Faperta. 2(1):1-11.

Syahdima, E. Yuniati, dan R. Pitopang. 2013. Kajian etnobotani tumbuhan sagu (Metroxylon spp. Arecaceae) pada masyara-kat Desa Radda Kecamatan Baebunta Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan. Biocelebes. 7(1): 17-26.

Syakir, M., dan E. Karmawati. 2013. Potensi tanaman sagu (Metroxylon spp.) sebagai bahan baku bioenergi. Perspektif. 12(2): 57-64.

Tulalo, M.A., dan H. Novarianto. 2013. Keragaman fenotipik dan korelasi antara karakter vegetatif dengan produksi pati sagu Selatpanjang, Meranti. Buletin Palma. 14(1): 28-33.