mitos lorelei dalam tiga lirik yang berbeda di tahun …
TRANSCRIPT
2
MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN 1823, 1981, DAN 2013 : PERSPEKTIF FEMINISME
EKSISTENSIALISME
Griselda Febrina Talitha, Lisda Liyanti
Program Studi Jerman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 1624, Indonesia
[email protected], [email protected]
Abstrak
Makalah ini mengangkat tema mengenai mitos yang terkandung di dalam tiga buah lirik mengenai Lorelei dari tiga masa berbeda. Lirik mengenai Lorelei dibedakan dari tiga rentang waktu yang berbeda, yaitu Lorelei karya Heinrich Heine yang diciptakan tahun 1823, Loreley karya Dschinghis Khan yang diciptakan tahun 1981, dan Lore Lay karya Faun yang diciptakan tahun 2013 untuk menampilkan mitos Lorelei dari waktu ke waktu. Selain itu, penelitian mengacu kepada relasi antara tokoh laki-laki dengan tokoh perempuan. Melalui telaah feminisme eksistensialisme terlihat perbedaan posisi antara laki-laki dan perempuan dalam ketiga teks. Ketiga teks memperlihatkan posisi laki-laki sebagai subjek, namun laki-laki juga dapat menjadi objek apabila dikuasai oleh perempuan. Posisi perempuan sebagai Sosok yang Lain juga fleksibel. Di satu sisi, perempuan dipandang sebagai objek, namun di sisi lain ia dapat menjelma menjadi subjek, namun hanya sebagai subjek yang jahat (femme fatale). Selain itu, berdasarkan pada teori mitos Roland Barthes, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat mitos yang mengakar kuat karena adanya kepercayaan masyarakat sejak dahulu kala. Kata kunci: Mitos Lorelei; Feminisme Eksistensialisme; Roland Barthes; Laki-laki; Perempuan
THE MYTH OF LORELEI IN THREE DIFFERENT LYRICS IN 1823, 1981, AND 2013: THE PERSPECTIVE OF FEMINISM EXISTENSIALISM
Abstract
This paper placed its focus on the myth that contained in three lyrics about Lorelei from three different periods. The lyrics of Lorelei are distinguished from three different time ranges, Lorelei by Heinrich Heine in 1823, Loreley by Dschinghis Khan in 1981, and Lore Lay by Faun in 2013 to show Lorelei myth from time to time. In addition, this research refer to the relationship between man and woman characters. Through the study of existentialist feminism, it shows the difference in position between man and woman in all three texts. All of the texts show the position of man as a subject, but men can also become an object when controlled by woman. The position of woman as The Other is also flexible. On the one hand, woman is seen as an object, but on the other hand she can transformed herself into a subject, but only as an evil subject (femme fatale). Furthermore, based on Roland Barthes myth theory, the result of this study indicate that there is a myth that is deeply rooted because of the belief of society since a long time ago.
Keywords: Lorelei Myth; Feminism Existentialism; Roland Barthes; Man; Woman
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
3
Pendahuluan
Awal mula kemunculan gerakan feminisme dilatarbelakangi oleh ketidakadilan yang
dirasakan oleh kaum perempuan. Ketidakadilan yang dialami perempuan termanifestasikan
ke dalam berbagai aspek, baik aspek politis, keagamaan, dan sosial (Djajanegara, 2000: 1-3).
Ketiga aspek ini menjadi landasan bagi gerakan feminisme, khususnya di Amerika. Contoh
konkret dari ketidakadilan aspek politis adalah ketika perempuan Amerika merasa diabaikan
dalam teks deklarasi kemerdekaan Amerika yang berbunyi ”all men are created equal”. Hal
ini berujung pada pengadaan konvensi di Seneca Falls tahun 1848 dan menyebabkan
perubahan pada kandungan teks tersebut menjadi “all men and women are created equal”.
Contoh pada aspek keagamaan terlihat dari pandangan gereja yang memandang perempuan
lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan dianggap sebagai
makhluk kotor dan wajib mematuhi suaminya. Sedangkan dalam aspek sosial, contoh
ketidakadilan terdapat pada anggapan bahwa perempuan tidak mempunyai nilai ekonomis
karena tugas-tugasnya seringkali berhubungan dengan tugas domestik. Hal ini tentu berbeda
dengan laki-laki yang memang bertugas menafkahi dan mencari uang.1
Konstruksi-konstruksi tersebut juga diaplikasikan pada mitos yang terdapat dalam
masyarakat. Salah satu contohnya adalah dongeng klasik berjudul The Little Mermaid.
Dongeng tersebut diciptakan oleh Hans Christian Andersen dan menceritakan mengenai
tokoh putri duyung yang jatuh hati kepada seorang pangeran. Bahkan ia rela memberikan
suaranya demi sepasang kaki supaya dapat bersama dengan sang pangeran di daratan. Namun
malang baginya, sang pangeran tidak membalas perasaannya dan justru menikahi perempuan
lain. Sang putri duyung yang patah hati kemudian bunuh diri dan berubah menjadi buih di
langit.2 Contoh mitos lain yang mengandung unsur subordinasi kaum perempuan juga dapat
dilihat pada karya sastra mengenai legenda Lorelei. Lorelei sebenarnya merupakan nama dari
sebuah tebing batu yang terdapat di atas sungai Rhein. Tebing tersebut dianggap
membahayakan, selain itu juga mempunyai lebar sebesar 113 meter dengan kedalaman
sepanjang 25 meter. Di tempat tersebut dikabarkan banyak kejadian tragis berupa kapal yang
tenggelam.3
Hal inilah yang membuat Clemens Brentano, sastrawan asal Jerman, menjadi
terinspirasi untuk membuat sebuah balada berjudul Bacharach am Rheine. Balada karya
1 Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama (hal.1-3) 2http://hca.gilead.org.il/li_merma.html (Diakses pada 5 Mei 2017, pukul 13.30 WIB)3http://eropa.panduanwisata.id/german/tebing-loreley-keindahan-alam-berbalut-cerita-legenda/ (Diakses pada 6 Mei 2017, pukul 12.45 WIB)
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
4
Brentano tidak membahas tebing sama sekali, melainkan hanya menyebutkan seorang
perempuan dengan kemampuan melebihi manusia yang berasal dari desa Bacharah dan kerap
kali mengumbar pesona yang dimilikinya.4 Setelah balada karya Brentano diterbitkan,
muncullah beberapa karya serupa yang diilhami dari balada ciptaannya. Salah satunya adalah
puisi berjudul Lorelei yang dibuat oleh Heinrich Heine pada tahun 1823. Puisi ini
menceritakan mengenai sosok perempuan cantik bernama Lorelei yang memiliki rambut
panjang berwarna kuning keemasan. Sosoknya digambarkan sedang duduk anggun di atas
tebing batu sambil kerap kali menyisir rambutnya dengan sisir emas. Lorelei juga diceritakan
memiliki suara yang begitu memabukkan dan menawan hati, sehingga membuat siapapun
yang mendengarnya menjadi terlena dan pada akhirnya tenggelam.5 Kendati kisah antara The
Little Mermaid dan Lorelei memiliki kandungan cerita yang bertolak belakang jika dilihat
dari penggunaan elemen suara perempuan (Lorelei menggunakan suaranya untuk menguasai
untuk membuai laki-laki, The Little Mermaid kehilangan suaranya akibat laki-laki), namun
keduanya sama-sama memiliki kesamaan, yaitu adanya indikasi penindasan dan
penggambaran perempuan sebagai sosok yang lain. Hal inilah yang membuat penulis tertarik
untuk menganalisis karya sastra mengenai Lorelei.
Sebenarnya sudah ada yang melakukan penelitian mengenai mitos Lorelei yang
dilakukan oleh Nandi Wardhana Manggala Aryaguna dari Universitas Indonesia pada tahun
2012 dengan judul Lorelei: Citra Perempuan dari Sudut Pandang Laki-laki dalam Tiga Puisi
Masa Romantik karya Clemens Brentano, Otto Heinrich Graf von Loeben, dan Heinrich
Heine, namun penelitian sebelumnya hanya berfokus kepada satu zaman saja, yaitu zaman
Romantik dan memakai pendekatan sudut pandang patriarki. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka penulis ingin kembali mengulasnya dan menggali sesuatu namun dari
perspektif yang berbeda, khususnya perspektif feminisme eksistensialisme dan teori mitos
menurut Roland Barthes. Penulis tidak hanya berpegang pada masa Romantik saja,
melainkan pada tiga rentang waktu yang berbeda. Sebagai korpus data, penulis akan memilih
lirik Lorelei karya Heinrich Heine tahun 1823, lirik Loreley karya Dschinghis Khan tahun
1981, serta musikalisasi lirik Lore Lay karya Faun tahun 2013. Penulis mengangkat tema ini
dengan harapan agar para pembaca dapat memiliki pemahaman mengenai mitos Lorelei dari
waktu ke waktu dengan berfokus kepada relasi antara tokoh laki-laki dan perempuan.
Tinjauan Teoretis
4http://www.dw.com/id/rhein-sungai-romantis/a-17143296 (Diakses pada 6 Mei2017, pukul 13.06 WIB)5http://tvtropes.org/pmwiki/pmwiki.php/Myth/Lorelei (Diakses pada 6 Mei 2017, pukul 14.02 WIB)
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
5
a. Teori Mitos menurut Roland Barthes
Roland Barthes berpendapat bahwa mitos dilihat sebagai sistem komunikasi sekaligus
pesan. Selain itu, mitos juga merupakan komponen yang terkandung dalam pemikiran utama
Barthes, yaitu semiotika. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda. Menurut Barthes, semiotika mengkaji mengenai hal-hal yang dimaknai oleh
kemanusiaan.6 Dalam semiotika, Barthes mengemukakan gagasan yang disebut dengan order
of significations atau tahap signifikansi. Barthes menjelaskan bahwa pada signifikasi tahap
pertama terdapat hubungan antara penanda dan yang ditandai. Kemudian dalam sebuah tanda
mengandung realitas eksternal yang disebut sebagai denotasi. Jadi, denotasi adalah makna
paling nyata dari tanda.7 Pada signifikasi tahap kedua terdapat penggambaran interaksi antara
tanda dengan pembaca. Interaksi ini dinamai dengan konotasi. Konotasi identik dengan
adanya ideologi, yang kemudian disebut sebagai mitos. Fungsinya adalah sebagai
pengungkapan dan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu rentang
waktu tertentu.8 Pada signifikasi tahap kedua, tanda bekerja melalui mitos. Terdapat dua jenis
mitos, yaitu mitos primitif dan mitos masa kini. Mitos primitif merupakan mitos yang
menyinggung tentang relasi antara kehidupan dan kematian, manusia juga dewa-dewa. Mitos
primitif juga tidak dapat dibuktikan karena merupakan sebuah bentukan yang berasal dari
masyarakat. Selain itu, mitos primitif juga memiliki sifat abadi dan tidak dinamis.
Berbanding terbalik dengan mitos primitif, mitos masa kini justru membicarakan mengenai
ilmu pengetahuan dan kesuksesan.9
b. Feminisme Eksistensialisme - Konsep Laki-laki dan Perempuan
Simone de Beauvoir yang merupakan seorang feminis beraliran eksistensialisme
mengemukakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam bukunya yang berjudul The
Second Sex. Perempuan selalu disubjektifikasi dan tidak lebih dari apa yang dikatakan oleh
laki-laki tentangnya, oleh karena itu perempuan disebut sebagai “seks”. Pendefinisian
perempuan berbeda dengan laki-laki yang dianggap sebagai subjek absolut, ia dijabarkan
tercipta secara kebetulan. Oleh karena itu, Laki-laki dipandang sebagai sang Subjek,
sedangkan perempuan adalah Sosok yang Lain.10 Laki-laki tidak akan pernah mendefinisikan
6 Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya (hal. 15) 7Wibowo, Indiwan, Seto, Wahyu. 2013. Semiotika Komunikasi : Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi
Komunikasi. Jakarta : Mitra Wacana Media (hal. 21) 8 Wibowo. Ibid. (hal. 22) 9 Sobur, Op.Cit. (hal. 71) 10Beauvoir, Simone de. 2016. The Second Sex. Jakarta: PT Buku Seru (hal. xii)
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
6
dirinya sendiri sebagai seorang laki-laki karena hal tersebut terjadi pada laki-laki secara
alamiah (Beauvoir, 2016: x). Sebaliknya, catatan sejarah mengatakan bahwa perempuan
selalu berada di bawah laki-laki. Apabila laki-laki Yahudi bersyukur bahwa ia tidak terlahir
sebagai perempuan dalam doanya, sebaliknya perempuan justru berpasrah diri dan
mengatakan “Terpujilah Tuhan karena menciptakan saya sesuai dengan kehendak-Nya”.
Bahkan Benda berpendapat bahwa :
“Tubuh laki-laki yang dapat memahami dirinya sendiri, sangat berbeda dengan tubuh perempuan di mana tubuh perempuan tampak menginginkan signifikansi oleh dirinya sendiri… Laki-laki mampu berpikir tentang dirinya sendiri tanpa perempuan. Sementara perempuan tidak dapat memikirkan dirinya tanpa laki-laki” (Beauvoir, 2016: xi-xii)
Penjamin keseimbangan antara reproduksi dan produksi menjadi tugas laki-laki.
Biasanya kegiatan yang dilakukan laki-laki berupa menangkap ikan dan mengendalikan dunia
lautan. Dengan melakukan aktivitas ini, laki-laki dapat menguji kekuatan yang dimilikinya,
membangun impiannya, dan mewujudkan realisasi dirinya sebagai suatu eksisten. (Beauvoir,
2016: 87-89). Berbanding terbalik dengan laki-laki, perempuan justru tidak dipandang
sebagai pekerja karena ia memiliki ovarium dan uterus. Perempuan memang mampu untuk
bereproduksi, namun kelebihannya ini justru dieksploitasi seperti alam yang terwujud dalam
kesuburan perempuan (Beauvoir, 2016: 103). Dalam hal perkawinan, laki-laki menemukan
martabatnya mengenai kepemilikan perempuan. Ketika perempuan menikah, ayah dari si
perempuan memberi kekuasaan pada sang suami dan ini menyebabkan perempuan benar-
benar akan terlepas dari kelompok dimana ia lahir. Oleh karena itu, perempuan menjadi milik
laki-laki dan dirinya dituntut kesetiaan tanpa batas. Apabila pihak perempuan tidak setia,
maka ia akan dianggap berkhianat dan ditindak sesuai peraturan yang berlaku (Beauvoir,
2016: 116-117).
Dalam kepercayaan agama Kristen, laki-laki dan perempuan menduduki kedudukan
yang tidak setara. Hal ini terekspresikan dalam mitos penciptaan. Adam diciptakan oleh
Tuhan dari tanah liat, sedangkan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Laki-laki
menganggap ia ditakdirkan untuk berada di dunia, sedangkan perempuan dianggap musibah
yang menyenangkan. Oleh karena itu, laki-laki menemukan pemenuhan dari rasa kekurangan
dalam dirinya pada perempuan (Beauvoir, 2016: 201-203). Merupakan hal yang wajar
apabila perempuan dianggap sebagai makhluk sekunder karena Hawa memang diciptakan
setelah Adam. Oleh karena itu, keberadaannya di dunia menjadi tidak independen karena ia
hanya ada sebagai pendamping yang non esensial (Beauvoir, 2016: 202).
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
7
Pengukuhan diri laki-laki sebagai seorang subjek juga ditandai dengan adanya
tuntutan-tuntutan terhadap perempuan. Beberapa tuntutan tersebut berupa keperawanan,
kecantikan, dan penampilan. Ketika laki-laki menyobek selaput dara perempuan, ia secara
tidak langsung memilikinya sekaligus mengambil keutuhannya. Bahkan terdapat istilah
“deflorasi“ yaitu merusak keperawanan perempuan. Subjektifitas perempuan terekspresikan
jelas dalam mitos keperawanan. Tubuh perawan dianalogikan dengan segarnya musim semi,
cahaya fajar dalam kuncup bunga yang belum mekar, serta kilauan mutiara yang sama sekali
belum terpapar cahaya mentari. Sobeknya keperawanan perempuan menjadikannya sebuah
objek, sesuatu yang dimiliki oleh laki-laki (Beauvoir, 2016: 221-222). Tuntutan selain
keperawanan yang harus dimiliki oleh perempuan adalah kecantikan. Di China, perempuan
dianggap cantik apabila memiliki kaki kecil yang disebut dengan lily feet. Kaki perempuan di
China akan diikat dengan sangat ketat, sehingga berakibat pada kerusakan telapak kaki.11
Naomi Wolf dalam bukunya Beauty Myth: How Images of Beauty are Used Against Women
menyebutkan bahwa adanya mitos kecantikan menyebabkan kendali sosial dalam kehidupan
perempuan. Menurutnya, kecantikan merupakan sesuatu yang harus diwujudkan perempuan
karena laki-laki akan mengejar perempuan yang memenuhi standar kecantikan yang dibuat.12
Selain itu, perempuan juga dikehendaki melengkapi dirinya dengan riasan dan perhiasan.
Fungsinya bertujuan untuk membuat perempuan sebagai sosok yang dipuja dan menjadi lebih
dekat dengan alam. Dalam diri perempuan yang cantik dan berhias terdapat konstruksi yang
disesuaikan dengan keinginan laki-laki.
Perempuan juga sering dianalogikan sebagai air. Sama seperti samudra yang juga
merupakan salah satu simbol maternal yang paling universal, air secara pasif menerima
tindakan penyuburan dari matahari. Perempuan juga merupakan gelombang lautan, arah dan
tujuan dimana laki-laki harus melalui dirinya (Beauvoir, 2016: 215). Pun bagi para pelaut
yang menganggap bahwa perempuan memiliki kesamaan dengan lautan karena sifat-sifat dari
lautan yang berbahaya, penuh teka-teki, serta sulit untuk dikuasai (Beauvoir, 2016: 224).
Dominasi laki-laki atas perempuan memang termanifestasikan ke dalam berbagai
macam bentuk. Namun, apabila Sosok yang Lain menjadi ancaman bagi Subjek, hal ini
berarti perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas,
11Chinese Foot Binding (http://library.thinkquest.org/J0111742/footbinding.htm) (Diakses pada 18 Mei 2017, pukul 23.08 WIB) 12 Wolf, Naomi. 2002. The Beauty Myth: How Images of Beauty are used against Woman. New York: HarperCollins Publisher (hal. 12)
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
8
ia harus menyubordinasi perempuan terhadap dirinya.13 Di satu sisi, perempuan dapat
menjadi sesuatu yang ditaklukkan, namun di sisi lain juga dapat menaklukkan dan hal ini
digambarkan sebagai sosok yang jahat. Perempuan menjadi berkuasa karena tubuh laki-laki
terikat secara seksual oleh tubuh wanita. Ikatan inilah yang kemudian dikendalikan oleh
perempuan. Adalah hal yang wajar apabila perempuan menggunakan kekuatannya untuk
memikat laki-laki ke dalam kegelapan (Beauvoir, 2016: 235-236). Pemanfaatan daya tarik
oleh perempuan juga dianggap menakutkan. Dalam hal ini, perempuan disebut sebagai femme
fatale, yaitu sosok perempuan yang menarik, namun berbahaya.14 Daya tarik yang bersifat
alamiah seperti kecantikan paras membuat perempuan membuatnya dituduh sebagai penyihir.
Pada akhirnya, perempuan harus menerima akibatnya yaitu dibakar hidup-hidup (Beauvoir,
2016: 274).
Pandangan laki-laki terhadap perempuan sebagai Sosok yang Lain membuatnya
berharap bahwa perempuan akan mengimplementasikan keterlibatan dirinya pada laki-laki.
Oleh karena itu, perempuan gagal mengukuhkan statusnya sebagai Subjek karena ia
menganggap ikatannya dengan laki-laki tidak berdasarkan asas timbal balik, sehingga
perempuan merasa puas dengan kedudukannya sebagai Sosok yang Lain (Beauvoir, 2016,
xix). Perempuan memang segala yang diinginkan laki-laki dan menjadi refleksi laki-laki
terhadap eksistensinya. Di sisi lain, ia juga berupaya untuk mengalihkan laki-laki dari
dirinya, membuat mereka terpikat ke dalam kesunyian dan kematian. Diri perempuan
menampilkan apa yang diinginkan oleh laki-laki. Oleh karena itu, perempuan adalah
Segalanya (all), dimana ia merupakan “Segalanya Yang Lain” yang menempati posisi
inesensial (Beauvoir, 2016, hal. 283-284).
Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif-kualitatif dengan membaca korpus
data berupa 3 buah lirik, yaitu Lorelei karya Heinrich Heine pada tahun 1823, Loreley karya
band Dschinghis Khan pada tahun 1981, dan Lore Lay karya band Faun pada tahun 2013
untuk melihat peran serta konstelasi tokoh antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, terdapat
pula teori-teori penunjang yang didapat dari berbagai sumber pustaka maupun elektronik.
13 Tong, Rosemary Putnam. 1989. Feminist Thought: A Comprehensive Introduction. Great Britain: Westview Press (hal. 202) 14Femme fatale merupakan sebuah istilah untuk sosok perempuan yang menarik namun berbahaya.Ia kerap kali menggunakan daya tariknya untuk memikat kemudian mengancurkan siapa saja yang terlibat olehnya. Istilah ini berasal dari mitos klasik, misalnya tokoh Circe dan Siren. (http://www.detnovel.com/femmefatale.html) (Diakses pada 17 Mei 2017, pukul 19.00 WIB)
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
9
Penulis menggunakan buku The Second Sex karya Simone de Beauvoir untuk mendefinisikan
relasi antara tokoh-tokoh, baik laki-laki maupun perempuan untuk melihat penggambaran
mitos di dalam lirik serta mendapatkan gagasan pemikiran feminisme eksistensialisme.
Terdapat dua subbab dalam setiap lirik, yaitu posisi laki-laki dan posisi perempuan sebagai
Sosok yang Lain. Teks yang dianalisis akan dilihat konstelasi antar tokohnya kemudian
dihubungkan dengan teori mitos menurut Roland Barthes untuk menunjukkan apakah mitos
merupakan sesuatu yang dapat berubah walaupun telah melewati rentang waktu yang berbeda
sekalipun.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian mengenai mitos Lorelei pada 3 lirik yang berbeda pada tahun 1823,
1981, dan 2013 menunjukkan bahwa terdapat relasi antara laki-laki dan perempuan yang
sesuai dengan konstruksi gender dalam masyarakat. Dilihat dari sudut pandang feminisme
eksistensialisme, maka konstruksi gender akan semakin terlihat jelas. Simone de Beauvoir
sebagai pelopor teori feminisme eksistensialisme menyebutkan bahwa laki-laki dipandang
sebagai subjek, sedangkan perempuan dipandang sebagai Sosok yang Lain. Kedua konsep
inilah yang digunakan untuk menelaah relasi tokoh dalam tiga lirik mengenai Lorelei. Tokoh
laki-laki sebagai subjek dikukuhkan berdasarkan perannya yang sesuai dengan konstruksi
gender. Ada kalanya laki-laki tidak mampu dalam mengukuhkan keeksistensiannya.
Meskipun demikian, laki-laki tetaplah seorang subjek, namun disini ia menjadi subjek yang
gagal dan oleh karena itu posisinya berubah menjadi objek yang dikuasai. Sebaliknya, peran
tokoh perempuan sebagai Sosok yang Lain memungkinkan ia menjadi subjek sekaligus
objek. Ketika perempuan menjelma sebagai subjek, secara gramatikal ia digambarkan aktif
melakukan suatu hal. Selain itu, perempuan juga digambarkan sebagai sosok yang jahat
(femme fatale). Kedua hal tersebut membuat perempuan menjadi subjek, namun dalam hal ini
menjelma sebagai subjek yang lain. Sebaliknya, perempuan dipandang sebagai objek apabila
ia digambarkan sesuai dengan perannya dalam bidang domestik dan ketika ia memenuhi
tuntutan dari pihak laki-laki.
Perbedaan rentang waktu pada ketiga lirik di tahun 1823, 1981, dan 2013 tidak
menyebabkan adanya perubahan pandangan terhadap mitos Lorelei. Melalui telaah teori
Roland Barthes dapat dibuktikan bahwa mitos Lorelei tidak berubah karena merupakan
sesuatu yang dibentuk oleh masyarakat sejak dahulu kala. Keberadaan mitos ini dimunculkan
karena terdapat kepercayaan kuat terhadap dugaan adanya sosok dibalik banyaknya
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
10
kecelakaan yang terjadi di tebing diatas sungai Rhein. Mitos Lorelei disini juga berperan
sebagai mitos primitif sehingga bersifat kekal dan tidak dinamis. Ketetapan pandangan
mengenai mitos Lorelei menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan pada pengarang yang
sulit keluar dari kungkungan pandangan mengenai perempuan sebagai Sosok yang Lain.
Disini pengarang dapat dikatakan mewakili masyarakat Jerman atau sebagai perantara
masyarakat Jerman untuk membuktikan bahwa memang terdapat kepercayaan tentang mitos
yang dikonstruksikan ke dalam bentuk karya Lorelei.
Pembahasan
Lorelei karya Heinrich Heine
Puisi ini diciptakan oleh Heinrich Heine pada tahun 1823 dan ini terdiri dari 6 bait
dan pada setiap baitnya terdiri dari 4 larik. Lirik ini menggunakan sudut pandang orang
pertama, das lyrische Ich pada keseluruhan lirik ini. Melalui das lyrische Ich, tokoh Ich
menjadi subjek hidup dan pencerita. Heine disini hanya bertindak sebagai Sprecherinstanz,
yaitu ketika tokoh Ich yang dipaparkan oleh pengarang bersifat netral secara keseluruhan.15
Penggunaan das lyrische Ich pada lirik ini dapat dilihat pada kutipan bait ,,Ich glaube die
Wellen verschlingen“. Pada lirik ini, terdapat dua tokoh, yaitu tokoh Lorelei dan sang
Nakhoda. Relasi antara keduanya terbagi ke dalam posisi laki-laki dan posisi perempuan
sebagai Sosok yang Lain.
Pada frasa ,,den Schiffer ergreift es mit wildem Weh“ (lagu tersebut menyambut
Nakhoda dengan hasrat liar), posisi laki-laki digambarkan secara variatif. Secara perilaku,
laki-laki dilihat sebagai subjek karena aktivitasnya sebagai nakhoda yang mengharuskannya
melakukan kegiatan di atas lautan. Selanjutnya pembuktian posisi laki-laki sebagai objek
dapat dilihat dari ketidakberdayaannya pada saat mendengar lagu yang memabukkan
sehingga ia tidak berkonsentrasi mengemudikan kapal. Berikutnya pada frasa „er schaut
nicht die Felsenriffe“ (ia (sang Nakhoda) tidak melihat adanya batu karang) menunjukkan
kedudukan laki-laki sebagai subjek karena sesuai dengan pendapat Beauvoir mengenai
kegigihan laki-laki, bahkan apabila hal tersebut harus mengorbankan nyawanya. Begitu pula
pada kalimat „er schaut hinauf in die Höh“ (ia hanya menatap di atas kejauhan) secara
tersirat menunjukkan rasa penasaran terhadap sosok perempuan yang menyanyi. Hal ini dapat
dihubungkan dengan mitos penciptaan. Adam dianalogikan sebagai figur Nakhoda
15 Esser, Rolf. 2007. Das groβe Arbeitsbuch Literaturunterricht – Lyrik, Epik, Dramatik. Verlag an der Ruhr
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
11
mendambakan perempuan sebagai pelengkap hidupnya. Usahanya yang keras untuk
mendapatkan perempuan supaya dapat menjadikannya sebagai pelengkap hidup
mengukuhkan diri laki-laki sebagai subjek. Berikutnya pada frasa ,,die Wellen verschlingen
am Ende Schiffer und Kahn“ (pada akhirnya ombak menelan nakhoda berikut perahunya),
posisi laki-laki digambarkan sebagai subjek sekaligus objek. Pembuktian laki-laki sebagai
subjek pada frasa ini dapat dibuktikan apabila menilik dari kutipan larik sebelumnya, yaitu
dari aktivitasnya sebagai nakhoda dan keaktifannya mencari perempuan. Kegiatan laki-laki
yang demikian dapat dihubungkan dengan mitos penciptaan, oleh karena itu hal tersebut
menempatkannya ke dalam posisi subjek. Namun secara gramatikal, sang nakhoda disini
berperan sebagai objek karena ia ditenggelamkan oleh sang ombak yang berperan sebagai
subjek karena aktif melakukan sesuatu. Hal ini membuatnya menjadi objek yang didominasi.
Berbeda dengan penggambaran tokoh laki-laki yang digambarkan aktif menginginkan
Lorelei, Lorelei sendiri digambarkan sebagai objek yang diinginkan oleh sang nakhoda.
Atribut yang mendeskripsikan Lorerei memuat harapan kualitas perempuan yang dinginkan
para lelaki. Yang pertama adalah kata „Jungfrau“ (perempuan muda/perawan) yang dapat
dianalogikan dengan segarnya musim semi, cahaya fajar dalam kuncup bunga, serta kilauan
mutiara yang belum terpapar cahaya mentari. Ketika selaput dara perempuan terkoyak, maka
keperawanan perempuan tidak bisa dikembalikan. Lorelei yang digambarkan masih perawan
ini menempatkannya sebagai objek yang ingin dimiliki seutuhnya. Selanjutnya yaitu kata
,,schönste“ (paling cantik). Beauvoir menyatakan bahwa terdapat tuntutan terhadap
perempuan berupa kecantikan. Dalam hal ini, kecantikan fisik yang dimiliki Lorelei
memenuhi konstruksi kecantikan yang didambakan laki-laki dan membuatnya menjadi sosok
yang lain, khususnya objek. Berikutnya pada frasa ,,goldenes Haar“ (rambut keemasan) yang
semakin menunjang kecantikan Lorelei. Pada teks ini, warna emas menyimbolkan sesuatu
yang positif karena berhubungan dengan daya tarik. Rambut keemasan menunjukkan
kekuatan, keindahan tanpa cela, kemudaan, dan bernilai tinggi.16 Oleh karena itu, posisi
Lorelei dilihat sebagai objek. Selain itu, pada frasa ,,goldenes Geschmeide“ (perhiasan
emas), penggunaan perhiasan pada perempuan menjadi penekanan akan tuntutan penampilan
yang dikehendaki oleh laki-laki. Pada teks ini warna emas ditafsirkan sebagai sesuatu yang
positif karena berhubungan dengan daya tarik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa posisi
perempuan dipandang sebagai objek semata.
16https://www.factretriever.com/blonde-hair-facts (Diakses pada 1 April 2017, pukul 20.07 WIB)
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
12
Kata berikutnya yaitu „kämmt” (menyisir) merupakan kegiatan yang identik dengan
perempuan karena berkaitan dengan kegiatan bersolek yang khas dengan perilaku
perempuan. Hal ini berarti Lorelei sudah memenuhi unsur pemenuhan atas kecantikan
perempuan dan membuatnya menjadi objek. Selanjutnya, kalimat „den Schiffer ergreift es
mit wildem Weh“ (lagunya menyambut sang Nakhoda dengan hasrat yang liar) Kata „es“
disini merupakan kata ganti dari lagu yang dinyanyikan oleh Lorelei dan berperan sebagai
subjek. Hal ini dapat dikaitkan dengan mitos femme fatale17 karena pada akhirnya ombaklah
yang menelan sang Nakhoda. Pelabelan femme fatale terhadap Lorelei menempatkannya
sebagai objek, namun di sisi lain, kemampuannya yang secara aktif membahayakan para laki-
laki membuatnya menjadi subjek. Begitu pula dengan frasa ,,die Wellen verschlingen“
(ombak menenggelamkan) yang dapat dihubungkan dengan mitos femme fatale karena
merugikan laki-laki. Sama seperti kata ,,Singen“ (nyanyian) yang membuat si makhoda
terpana dan terancam bahaya. Perilakunya ini membuatnya menjadi subjek lain yang jahat.
Loreley karya band Dschinghis Khan
Lirik berjudul Loreley karya band Dschinghis Khan diciptakan pada tahun 1981. Lirik
ini memiliki enam bait dan terdapat selipan sebuah refrain di setiap dua bait. Pada lirik ini,
Dschinghis Khan menggunakan sudut pandang orang ketiga atau yang biasa disebut dengan
Er-Erzähler18, khususnya auktoriale Erzählperspektive karena pencerita mengetahui
keseluruhan jalan cerita. Hal ini terlihat dari penyebutan orang ketiga pada lirik ini yang
terdapat pada larik „Denn sie hat nur einen geliebt” (karena ia hanya mencintai seseorang).
Pada lirik ini terdapat tokoh perempuan, yaitu Loreley dengan banyak tokoh laki-laki
yaitu ,,jeder”, ,,einen”, ,,der“, dan ,,er”. Kata ,,jeder” (setiap) merujuk kepada setiap laki-
laki. Kata berikutnya, yaitu kata ,,einen” (seorang (pria)). Selanjutnya kata ,,der“ (laki-laki
tersebut) mengacu pada laki-laki pada larik sebelumnya, khususnya laki-laki yang dicintai
oleh Loreley. Begitu pula dengan ,,er“ (ia) yang masih mengacu kepada kedua larik
17 Femme fatale merupakan sebuah istilah untuk sosok perempuan yang menarik namun berbahaya. Istilah ini berasal dari mitos klasik, misalnya tokoh Circe dan Siren. http://www.detnovel.com/femmefatale.html (Diakses pada 12 Mei 2017, pukul 19.00 WIB)
18 Sudut pandang Er-Erzähler terbagi menjadi tiga, yaitu auktoriale, personale, dan neutrale. Perspektif auktoriale disebut juga sebagai pencerita serba tahu karena ia paham keseluruhan jalan cerita serta memberikan komentar serta penjelasan. Perspektif personale berasal dari salah satu tokoh dan melihat jalannya cerita dari sudut pandang seorang tokoh dalam cerita. Sebaliknya, perspektif neutrale berada di luar garis cerita, artinya pencerita tidak masuk dalam cerita tersebut. Dia melihat jalannya cerita dari sudut pandang kamera. (Marquaβ: 1997, 61)
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
13
sebelumnya. Penyebutan-penyebutan tersebut seluruhnya sama sekali tidak mengutarakan
siapa sebenarnya identitas laki-laki yang sedang dibicarakan. Hal ini dapat dihubungkan
dengan posisi laki-laki sebagai subjek, karena laki-laki tidak perlu menjelaskan siapa dirinya.
Frasa selanjutnya yaitu ,,jeder wollt sie zur Frau“ (setiap (laki-laki) ingin menjadikannya
istri) dan ,,sie wird bald mein“ (dia akan segera menjadi milikku) juga menegaskan bahwa
laki-laki memainkan peran subjek, karena dapat dihubungkan dengan mitos penciptaan.
Dalam mitos penciptaan, Adam diciptakan dari tanah liat, sedangkan Hawa dari tulang rusuk
laki-laki. Hawa dihidupkan sebagai pasangan supaya Adam tidak merasa kesepian. Laki-laki
memiliki impian untuk mencari sosok yang dapat ditaklukkan sebagai pendamping, dalam hal
ini adalah perempuan. Hal inilah yang membuat posisi laki-laki dipandang sebagai subjek.
Posisi laki-laki sebagai subjek juga dapat dilihat pada kata ,,Krieg“ (perang) dan ,,die
Fischer“ (para nelayan). Kedua kegiatan ini menekankan perilaku khas laki-laki di masa
lampau seperti berburu, mencari ikan, dan berperang sekaligus menunjukkan keberadaan
dirinya serta bagaimana dirinya memandang dunia. Berikutnya pada kalimat ,,Und ein Prinz
hörte auch von der schönen Loreley“ (dan seorang pangeran juga mendengar kabar Loreley
yang cantik) juga menegaskan posisi laki-laki sebagai subjek. Keinginan sang pangeran untuk
dapat memenangkan perempuan menggambarkan bahwa perempuan memang sebuah hiburan
supaya laki-laki merasa menjadi seorang pahlawan. Sang pangeran juga mengucap ,,sie wird
bald mein“ (ia (Loreley) akan segera menjadi milikku) yang dapat dihubungkan dengan
mitos penciptaan. Merupakan hal yang wajar apabila laki-laki selalu mencari seseorang untuk
menjadi pelengkap hidupnya dan hal ini membuatnya menjadi subjek. Namun, posisi laki-
laki dalam lirik ini tidak hanya menjadi subjek, namun juga menjadi objek. Hal tersebut dapat
dibuktikan pada frasa „wird verzaubert durch dein Lied“ (tersihir oleh lagumu). Keindahan
suara Loreley mengandung unsur magis, sehingga dapat membuat siapapun terpana. Lagunya
menjelma menjadi subjek yang mendominasi, sedangkan para laki-laki yang mendengarnya
menjadi objek yang terwujud dalam ketidakberdayaannya dalam mencegah hal tersebut. Hal
inilah yang membuatnya menjadi objek.
Posisi perempuan pada lirik ini juga beragam. Misalnya pada frasa ,,Doch ihr Herz
war nicht mehr frei“ (namun hatinya tak lagi bebas) yang menegaskan Loreley tidak mau
membuka hati kepada siapapun. Kemudian juga terlihat pada frasa ,,Denn sie hat nur einen
geliebt“ (dia hanya mencintai satu laki-laki). Kedua frasa ini dapat dikaitkan dengan posisi
perempuan dalam garis perkawinan yang mengatakan bahwa apabila perempuan dimiliki
laki-laki, maka perempuan dituntut menunjukkan kesetiaan tanpa batas karena jika tidak, ia
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
14
akan dianggap melakukan tindak kriminal. Hal ini membuatnya menjadi objek. Berikutnya
pada frasa ,,Es gab nichts mehr was ihr noch blieb“ (tidak ada lagi yang tersisa untuknya)
juga menunjukkan bahwa perempuan terikat kesetiaan kepada pasangan, sehingga apabila
pasangan sang perempuan tiada, maka ia akan merasa hampa. Kehampaan yang dirasakan
Loreley ini juga dapat dihubungkan dengan pernyataan Benda yang menyebutkan bahwa
perempuan tidak mampu untuk memikirkan dirinya tanpa laki-laki. Kepasrahan diri Loreley
dalam larik ini menandai dirinya sebagai objek. Berikutnya pada frasa „Ihr hat keiner Leid
getan“ (ia (Loreley) sama sekali tidak menyesal) terkait dengan subjektivitas Loreley yang
begitu kuat pada kekasihnya, sehingga kegelisahan hatinya membuatnya bersikap dingin dan
tidak merasa kasihan saat korbannya tenggelam akibat terbuai keindahan suara dan
kecantikannya.
Terdapat pula kata ,,kämmst“ (menyisir) yang menekankan posisi perempuan sebagai
objek. Kegiatan menyisir identik dengan aktifitas bersolek dan mempercantik diri. Hal ini
membuatnya menjadi objek karena ia memenuhi konstruksi akan kecantikan yang
didambakan oleh laki-laki. Berikutnya frasa ,,goldenes Haar” (rambut emas) yang dapat
menambah unsur kecantikan. Simbol rambut emas yang dimilikinya semakin melengkapi
kecantikannya. Oleh karena itu, Lorelei memenuhi standar kecantikan yang sesuai dengan
tuntutan laki-laki terhadap perempuan. Hal inilah yang menempatkannya ke dalam posisi
sebagai Sosok yang Lain, khususnya objek. Begitu pula dengan kata „schön“ (cantik).
Kecantikan Loreley memenuhi keinginan laki-laki terhadap perempuan, yaitu kecantikan.
Tuntutan inilah yang memojokkan perempuan sebagai seorang Sosok yang Lain, khususnya
sebagai objek.
Posisi perempuan dalam lirik ini juga digambarkan sebagai subjek lain yang jahat.
Misalnya pada frasa “Und wer hörte, wie sie sang, der vergaβ dabei die Gefahr“ (dan
siapapun yang mendengar nyanyiannya akan lupa pada bahaya). Selain itu juga pada kalimat
„Und wer dich dort sieht wird verzaubert durch dein Lied“ (dan siapapun yang melihatmu
akan terpikat oleh lagumu). Berikutnya pada kalimat ,,Und ihr Lied klangt so süβ, wie ein
längst vergangner Traum,“ (dan lagunya terdengar begitu manis, layaknya mimpi di masa
lampau). Ketiga kutipan diatas berhubungan dengan mitos femme fatale. Daya tarik Loreley
berupa suara yang menawan membuat siapapun terbuai dan jatuh ke dalam marabahaya.
Suara inilah yang menyeret para nelayan menuju peristiwa yang mengenaskan, yaitu
tenggelam ke dalam lautan. Loreley akan terus menyanyi, bahkan ketika perahu beserta
nelayannya sudah tenggelam. Hal ini terlihat pada kutipan bait keenam, yaitu „Und sie sang
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
15
noch ihr Lied, als das Boot schon versunken war“. Seluruh kutipan pada bait-bait tersebut
dapat dihubungkan dengan pendapat Beauvoir mengenai ketertarikan laki-laki yang diperalat
oleh nafsu dan tidak lagi memiliki kekuatan untuk melakukan apapun. Disini jelas terlihat
bahwa kekuatan yang dimiliki Loreley menyeret laki-laki ke dalam kemalangan dan hal ini
membuatnya menjadi subjek lain yang jahat. Frasa selanjutnya yaitu „Und so manches Boot
zerbrach am schroffen Stein“ (dan beberapa kapal menabrak batu besar) dan ,,Wenn der
Strudel sie verschlang“ (ketika pusaran air menelan mereka). Kalimat tersebut berhubungan
dengan mitos femme fatale dan merupakan dampak terfatal yang dirasakan oleh laki-laki
akibat terpesona kepada Loreley dan berujung pada sesuatu yang dibayar mahal, yaitu dengan
nyawa. Hal ini membuat perempuan menempatkannya sebagai Sosok yang Lain, khususnya
subjek yang jahat. Sama halnya dengan kata „Zauberei“ (sihir). Disebutkan dalam buku
Beauvoir mengenai perempuan yang memang diciptakan untuk sihir. Loreley sebagai tokoh
perempuan menjadi seorang subjek. Secara spesifik, Loreley menjelma menjadi subjek lain
yang jahat karena ia berperan aktif dan menggunakan kemampuan sihirnya untuk memikat
laki-laki dan mencelakakannya.
Lore Lay karya band Faun
Lirik berjudul Lore Lay karya band Faun ini sebenarnya terinspirasi dari puisi ciptaan
Clemens Brentano yang ditulis pada tahun 1802. Faun mengadaptasi puisi tersebut menjadi
sebuah lagu berjudul Lore Lay yang terkandung di dalam album Von den Elben (Deluxe
Edition) yang dikeluarkan pada tahun 2013. Lirik ini memiliki sudut pandang campuran.
Terdapat sudut pandang orang ketiga (Er-Erzähler) dan sudut pandang orang pertama (Ich-
Erzähler). Secara spesifik, perspektif Er-Erzähler yang digunakan pada lirik ini yaitu
auktoriale Erzählperspektive karena pencerita mengetahui keseluruhan jalan cerita. Hal ini
terlihat ini dari kalimat „sie war so schön und feine“ Sudut pandang selanjutnya yaitu sudut
pandang Ich- Erzähler khususnya Personal Ich – Erzähler19. Hal ini disebabkan oleh tokoh
ich yang tidak tahu-menahu perihal keseluruhan peristiwa yang terjadi. Tokoh ich disini juga
hanya melihat alur cerita dari perspektifnya sendiri sebagai suatu tokoh. Pembuktian sudut
pandang tersebut terdapat pada kalimat „Ich selbst muss drin vergehen“ yang dikatakan oleh
Lore Lay. Lore Lay disini hanya bertindak sebagai tokoh semata.
19 Sudut pandang Ich-Erzähler terbagi menjadi dua jenis. Pertama, auktoriale Ich-Erzähler yang bertindak sebagai orang pertama serba tahu. Ia berperan sebagai pencerita dan tokoh sekaligus. Selanjutnya, personal Ich-Erzähler yang bertindak sebagai tokoh, namun tidak mengetahui keseluruhan jalan cerita. (Marquaβ: 1997. Ibid)
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
16
Pada lirik ini, terdapat tokoh laki-laki dan perempuan. Posisi tokoh laki-laki dalam
lirik ini digambarkan sebagai subjek. Hal ini dapat dibuktikan pada frasa „Der Männern
rings umher“ (Para laki-laki di sekeliling(nya)). Keberadaan laki-laki di sekeliling Lore Lay
juga secara tersirat dapat dikatakan bahwa mereka menginginkan Lore Lay. Hal ini
berhubungan dengan mitos penciptaan. Pencarian sosok perempuan sebagai seorang
pelengkap hidup merupakan takdir yang harus dijalani oleh laki-laki yang berharap dapat
memenuhi kekurangannya. Oleh karena itu, laki-laki pada kutipan frasa tersebut digambarkan
mereka berada di sekeliling Lore Lay. Hal ini menempatkannya sebagai subjek.
Posisi perempuan dalam lirik ini digambarkan sebagai objek maupun objek.
Pembuktian posisi perempuan sebagai subjek dapat dilihat pada kata „Zauberin“ (penyihir).
Beauvoir menyebutkan bahwa sihir memang tercipta untuk diri perempuan. Pandangan
semacam ini membuat perempuan menjadi objek semata. Namun penggambaran Lore Lay
sebagai penyihir juga berkaitan dengan mitos femme fatale. Lore Lay mengukuhkan dirinya
sebagai subjek, khususnya subjek lain yang jahat karena ia melakukan sesuatu yang
merugikan bagi laki-laki. Berikutnya kata „schön“ (cantik) dan „feine“ (elok). Kedua kata ini
dapat dihubungkan dengan kehendak laki-laki terhadap perempuan mengenai keindahan fisik.
Tuntutan-tuntutan inilah yang semakin menyudutkan perempuan sebagai Sosok yang Lain,
khususnya sebagai objek.
Berikutnya masih terdapat beberapa frasa mengenai kedudukan perempuan sebagai
Sosok yang Lain, khususnya dalam mitos femme fatale. Frasa-frasa tersebut adalah „Die
Augen sanft und wilde“ (Matanya lembut dan liar) serta „Die Wangen rot und weiβ“
(Pipinya (merona) merah dan berwarna pucat). Secara spesifik digambarkan bahwa mata
Lore Lay lembut sekaligus liar. Mata Lore Lay menjadi daya tarik yang dapat memikat
siapapun yang melihatnya. Daya tarik lainnya adalah semburat kemerahan pada pipinya yang
pucat. Secara harfiah, kata weiβ memiliki arti putih, namun dalam konteks ini warna tersebut
dapat dikatakan sebagai pucat. Kombinasi warna merah dan putih ini menyimbolkan perasaan
yang membara dan kemurnian. Di satu sisi, konotasi pipi merona mengacu pada perasaan
malu-malu, namun di sisi lain juga merupakan tanda dari ketertarikan seksual yang dipicu
oleh adanya kehadiran orang yang diinginkan.20 Dari penjelasan tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa pipi Lore Lay yang merona semakin menambah pesona yang dimilikinya
dan menempatkannya sebagai objek. Daya tarik lainnya yaitu suaranya yang terdapat pada
20 W. Ray Crozier, “The Blush: Literary and Psychological Perspectives”, diakses dari http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/jtsb.12105/pdf (Diakses pada 23 April 2017, pukul 20.06 WIB)
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
17
frasa ,,Die Worte still und milde” (kata-katanya tenang dan halus). Hal ini seolah menambah
daya tariknya karena nada suara biasanya menentukan karakter seseorang. Biasanya nada
tinggi mengekspresikan ketegangan serta kemarahan. Sebaliknya, nada rendah memiliki
konotasi ketenangan atau sikap yang dingin.21 Ketiga komponen daya tarik tadi disebut
sebagai „Zauberkreis” (lingkaran sihir). Makna Zauberkreis disini berhubungan dengan sihir.
Sihir ada karena memang diciptakan untuk perempuan. Oleh karena itu, apapun yang terlihat
natural pada perempuan akan dipandang sebagai penyihir dan membuatnya menjadi objek
karena adanya julukan, serta menjadi subjek karena perilaku yang merugikan.
Keterlibatan Lore Lay dalam larik „Ich selbst muss drin vergehen, und bin des
Wartens müd“ (aku sendiri harus menghilang dan aku lelah menunggu) menunjukkan bahwa
ia merupakan sosok yang eksisten. Namun perannya disini sebatas kepasrahan, sesuai dengan
pendapat Benda dalam Rapport d’Uriel yang menyebutkan bahwa laki-laki sanggup untuk
memikirkan dirinya sendiri tanpa perempuan, namun sebaliknya perempuan tidak mampu
untuk memikirkan dirinya tanpa laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan “ada“
bukan bersama orang lain, namun ia “ada“ untuk orang lain. Pada dua larik berikutnya yang
berbunyi „denn keiner kann bestehen, der meine Augen sieht“ (karena tidak ada yang dapat
bertahan, saat melihat mataku) dapat dihubungkan dengan mitos femme fatale. Sehubungan
dengan hal tersebut, disini daya tarik yang dimiliki oleh Lore Lay terletak pada kedua
matanya. Hal ini membuat siapa saja yang menatapnya akan terbuai dan merasakan
akibatnya.
Hal ini dapat dilihat dari kutipan „Ich selbst muss drin vergehen und bin des
Wartens müd“ (aku sendiri harus menghilang dan aku lelah menunggu). Pada kutipan bait
berikut, secara gramatikal keterlibatan Lore Lay dalam hal bicara menunjukkan bahwa ia
merupakan sosok yang eksisten, dalam artian seorang subjek. Seperti halnya para perempuan
feminis yang menuntut haknya dengan menyuarakan pikirannya, disini tindakan Lore Lay
juga mencerminkan sentuhan feminisme. Kendati demikian, posisi Lore Lay disini tetaplah
seorang objek karena pada akhirnya ia memutuskan untuk menghilang dan disitulah letak
kepasrahan Lore Lay. Kedudukan Lore Lay sebagai seorang objek yang pasrah juga dapat
dilihat pada dua larik berikutnya, yaitu „denn keiner kann bestehen, der meine Augen
sieht“ (karena tidak ada yang bertahan, saat menatap mataku). Kutipan bait diatas sesuai
dengan pendapat Benda yang menyebutkan bahwa laki-laki sanggup untuk memikirkan
dirinya sendiri tanpa perempuan, namun sebaliknya perempuan tidak mampu untuk 21http://teatersastraui.org/mengenal-4-elemen-artikulasi/ (Diakses pada 8 Mei 2017, pukul 21.09 WIB)
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
18
memikirkan dirinya tanpa laki-laki. Begitu pula dengan pendapat Beauvoir yang menyatakan
bahwa perempuan “ada“ bukan bersama orang lain, namun ia “ada“ untuk orang lain. Menilik
pada pernyataan tersebut, maka Lore Lay disini kembali berperan sebagai objek karena ia
mengesampingkan keberadaan dirinya demi keselamatan orang lain.
Kesimpulan
Lorelei merupakan sebuah legenda di Jerman yang sangat terkenal mengenai
perempuan mistis dan membuat banyak orang menjadikannya sebagai inspirasi karya mereka.
Heinrich Heine, band Dschinghis Khan, dan band Faun mengangkat tema Lorelei di dalam
karya mereka. Karya mereka diciptakan pada rentang waktu yang berbeda; Heine membuat
puisi berjudul Lorelei pada tahun 1823, band Dschinghis Khan membuat lagu berjudul
Loreley pada tahun 1981, dan band Faun melakukan musikalisasi puisi berjudul Lore Lay
pada tahun 2013. Perbedaan rentang waktu pada ketiga lirik di tahun 1823, 1981, dan 2013
tidak menyebabkan adanya perubahan pandangan terhadap mitos Lorelei. Melalui telaah teori
Roland Barthes dapat dibuktikan bahwa mitos Lorelei tidak berubah karena merupakan
sesuatu yang dibentuk oleh masyarakat sejak dahulu kala. Keberadaan mitos ini dimunculkan
karena terdapat kepercayaan kuat terhadap dugaan adanya sosok dibalik banyaknya
kecelakaan yang terjadi di tebing diatas sungai Rhein. Mitos Lorelei disini juga berperan
sebagai mitos primitif sehingga bersifat kekal dan tidak dinamis. Ketetapan pandangan
mengenai mitos Lorelei menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan pada pengarang yang
sulit keluar dari kungkungan pandangan mengenai perempuan sebagai Sosok yang Lain.
Disini pengarang dapat dikatakan mewakili masyarakat Jerman atau sebagai perantara
masyarakat Jerman untuk membuktikan bahwa memang terdapat kepercayaan tentang mitos
yang dikonstruksikan ke dalam bentuk karya Lorelei.
Pada teks Lorelei di tahun 1823, terdapat perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan
yang memenuhi konstruksi gender. Laki-laki dilihat sebagai subjek, namun juga dapat
berubah menjadi objek apabila ia dikuasai oleh kekuatan perempuan. Di sisi lain, perempuan
sebagai Sosok yang Lain memperlihatkan posisinya sebagai objek semata dan apabila ia
menjadi subjek sekalipun maka ia menjelma menjadi subjek yang jahat. Begitu pula pada teks
Loreley di tahun 1981, tokoh laki-laki dipandang sebagai subjek. Akan tetapi, laki-laki
menjelma menjadi objek apabila ia gagal mempertahankan eksistensinya. Posisi tokoh
perempuan disini dicitrakan sebagai Sosok yang Lain, yang termanifestasikan ke dalam posisi
objek dan subjek. Kemudian pada tahun 2013 disebutkan dalam teks Lore Lay bahwa posisi
laki-laki menempati kedudukan hanya sebagai subjek saja. Teks ini juga menunjukkan
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
19
sesuatu yang tidak terdapat pada dua teks sebelumnya, yaitu adanya usaha untuk
memunculkan tokoh perempuan secara langsung. Namun setelah diteliti lebih lanjut,
kemunculan perempuan sebagai subjek bersifat tidak tetap karena Lore Lay kembali lagi
menjadi objek karena ia “ada” untuk orang lain.
Daftar Referensi
Sumber Pustaka
Beauvoir, Simone de. 2016. The Second Sex. (terjemahan Toni B. Febriantono). Jakarta: PT
Buku Seru
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Esser, Rolf. 2007. Das groβe Arbeitsbuch Literaturunterricht – Lyrik, Epik, Dramatik. Verlag
an der Ruhr
Marquaβ, Reinhard. 1997. Duden Abiturhilfen Erzählende Prosatexteanalysieren.
Mannheim: Dudenverlag
Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Wibowo, Indiwan, Seto, Wahyu. 2013. Semiotika Komunikasi : Aplikasi Praktis Bagi
Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta : Mitra Wacana Media
Wolf, Naomi. 2002. The Beauty Myth: How Images of Beauty are used against Woman. New
York: HarperCollins Publisher
Sumber Elektronik
Blonde Hair Facts - https://www.factretriever.com/blonde-hair-facts (Diakses pada 1 April
2017, pukul 20.07 WIB)
Chinese Foot Binding - http://library.thinkquest.org/J0111742/footbinding.htm (Diakses pada
18 Mei 2017, pukul 23.08 WIB)
Femme Fatale - http://www.detnovel.com/femmefatale.html (Diakses pada 17 Mei 2017,
pukul 19.00 WIB)
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017
20
Mengenal 4 Elemen Artikulasi - http://teatersastraui.org/mengenal-4-elemen-artikulasi/
(Diakses pada 8 Mei 2017, pukul 21.09 WIB)
Myth Lorelei - http://tvtropes.org/pmwiki/pmwiki.php/Myth/Lorelei (Diakses pada 6 Mei
2017, pukul 14.02 WIB)
Rhein, Sungai Romantis - http://www.dw.com/id/rhein-sungai-romantis/a-17143296 (Diakses
pada 6 Mei2017, pukul 13.06 WIB)
Tebing Loreley - http://eropa.panduanwisata.id/german/tebing-loreley-keindahan-alam-
berbalut-cerita-legenda/ (Diakses pada 6 Mei 2017, pukul 12.45 WIB)
The Little Mermaid - http://hca.gilead.org.il/li_merma.html (Diakses pada 5 Mei 2017, pukul
13.30 WIB)
Sumber Jurnal
W. Ray Crozier, “The Blush: Literary and Psychological Perspectives”, diakses dari
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/jtsb.12105/pdf (Diakses pada 23 April 2017,
pukul 20.06 WIB)
Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017