mitos lorelei dalam tiga lirik yang berbeda di tahun …

19
2 MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN 1823, 1981, DAN 2013 : PERSPEKTIF FEMINISME EKSISTENSIALISME Griselda Febrina Talitha, Lisda Liyanti Program Studi Jerman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 1624, Indonesia [email protected], [email protected] Abstrak Makalah ini mengangkat tema mengenai mitos yang terkandung di dalam tiga buah lirik mengenai Lorelei dari tiga masa berbeda. Lirik mengenai Lorelei dibedakan dari tiga rentang waktu yang berbeda, yaitu Lorelei karya Heinrich Heine yang diciptakan tahun 1823, Loreley karya Dschinghis Khan yang diciptakan tahun 1981, dan Lore Lay karya Faun yang diciptakan tahun 2013 untuk menampilkan mitos Lorelei dari waktu ke waktu. Selain itu, penelitian mengacu kepada relasi antara tokoh laki-laki dengan tokoh perempuan. Melalui telaah feminisme eksistensialisme terlihat perbedaan posisi antara laki-laki dan perempuan dalam ketiga teks. Ketiga teks memperlihatkan posisi laki-laki sebagai subjek, namun laki-laki juga dapat menjadi objek apabila dikuasai oleh perempuan. Posisi perempuan sebagai Sosok yang Lain juga fleksibel. Di satu sisi, perempuan dipandang sebagai objek, namun di sisi lain ia dapat menjelma menjadi subjek, namun hanya sebagai subjek yang jahat (femme fatale). Selain itu, berdasarkan pada teori mitos Roland Barthes, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat mitos yang mengakar kuat karena adanya kepercayaan masyarakat sejak dahulu kala. Kata kunci: Mitos Lorelei; Feminisme Eksistensialisme; Roland Barthes; Laki-laki; Perempuan THE MYTH OF LORELEI IN THREE DIFFERENT LYRICS IN 1823, 1981, AND 2013: THE PERSPECTIVE OF FEMINISM EXISTENSIALISM Abstract This paper placed its focus on the myth that contained in three lyrics about Lorelei from three different periods. The lyrics of Lorelei are distinguished from three different time ranges, Lorelei by Heinrich Heine in 1823, Loreley by Dschinghis Khan in 1981, and Lore Lay by Faun in 2013 to show Lorelei myth from time to time. In addition, this research refer to the relationship between man and woman characters. Through the study of existentialist feminism, it shows the difference in position between man and woman in all three texts. All of the texts show the position of man as a subject, but men can also become an object when controlled by woman. The position of woman as The Other is also flexible. On the one hand, woman is seen as an object, but on the other hand she can transformed herself into a subject, but only as an evil subject (femme fatale). Furthermore, based on Roland Barthes myth theory, the result of this study indicate that there is a myth that is deeply rooted because of the belief of society since a long time ago. Keywords: Lorelei Myth; Feminism Existentialism; Roland Barthes; Man; Woman Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

2

MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN 1823, 1981, DAN 2013 : PERSPEKTIF FEMINISME

EKSISTENSIALISME

Griselda Febrina Talitha, Lisda Liyanti

Program Studi Jerman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 1624, Indonesia

[email protected], [email protected]

Abstrak

Makalah ini mengangkat tema mengenai mitos yang terkandung di dalam tiga buah lirik mengenai Lorelei dari tiga masa berbeda. Lirik mengenai Lorelei dibedakan dari tiga rentang waktu yang berbeda, yaitu Lorelei karya Heinrich Heine yang diciptakan tahun 1823, Loreley karya Dschinghis Khan yang diciptakan tahun 1981, dan Lore Lay karya Faun yang diciptakan tahun 2013 untuk menampilkan mitos Lorelei dari waktu ke waktu. Selain itu, penelitian mengacu kepada relasi antara tokoh laki-laki dengan tokoh perempuan. Melalui telaah feminisme eksistensialisme terlihat perbedaan posisi antara laki-laki dan perempuan dalam ketiga teks. Ketiga teks memperlihatkan posisi laki-laki sebagai subjek, namun laki-laki juga dapat menjadi objek apabila dikuasai oleh perempuan. Posisi perempuan sebagai Sosok yang Lain juga fleksibel. Di satu sisi, perempuan dipandang sebagai objek, namun di sisi lain ia dapat menjelma menjadi subjek, namun hanya sebagai subjek yang jahat (femme fatale). Selain itu, berdasarkan pada teori mitos Roland Barthes, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat mitos yang mengakar kuat karena adanya kepercayaan masyarakat sejak dahulu kala. Kata kunci: Mitos Lorelei; Feminisme Eksistensialisme; Roland Barthes; Laki-laki; Perempuan

THE MYTH OF LORELEI IN THREE DIFFERENT LYRICS IN 1823, 1981, AND 2013: THE PERSPECTIVE OF FEMINISM EXISTENSIALISM

Abstract

This paper placed its focus on the myth that contained in three lyrics about Lorelei from three different periods. The lyrics of Lorelei are distinguished from three different time ranges, Lorelei by Heinrich Heine in 1823, Loreley by Dschinghis Khan in 1981, and Lore Lay by Faun in 2013 to show Lorelei myth from time to time. In addition, this research refer to the relationship between man and woman characters. Through the study of existentialist feminism, it shows the difference in position between man and woman in all three texts. All of the texts show the position of man as a subject, but men can also become an object when controlled by woman. The position of woman as The Other is also flexible. On the one hand, woman is seen as an object, but on the other hand she can transformed herself into a subject, but only as an evil subject (femme fatale). Furthermore, based on Roland Barthes myth theory, the result of this study indicate that there is a myth that is deeply rooted because of the belief of society since a long time ago.

Keywords: Lorelei Myth; Feminism Existentialism; Roland Barthes; Man; Woman

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 2: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

3

Pendahuluan

Awal mula kemunculan gerakan feminisme dilatarbelakangi oleh ketidakadilan yang

dirasakan oleh kaum perempuan. Ketidakadilan yang dialami perempuan termanifestasikan

ke dalam berbagai aspek, baik aspek politis, keagamaan, dan sosial (Djajanegara, 2000: 1-3).

Ketiga aspek ini menjadi landasan bagi gerakan feminisme, khususnya di Amerika. Contoh

konkret dari ketidakadilan aspek politis adalah ketika perempuan Amerika merasa diabaikan

dalam teks deklarasi kemerdekaan Amerika yang berbunyi ”all men are created equal”. Hal

ini berujung pada pengadaan konvensi di Seneca Falls tahun 1848 dan menyebabkan

perubahan pada kandungan teks tersebut menjadi “all men and women are created equal”.

Contoh pada aspek keagamaan terlihat dari pandangan gereja yang memandang perempuan

lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan dianggap sebagai

makhluk kotor dan wajib mematuhi suaminya. Sedangkan dalam aspek sosial, contoh

ketidakadilan terdapat pada anggapan bahwa perempuan tidak mempunyai nilai ekonomis

karena tugas-tugasnya seringkali berhubungan dengan tugas domestik. Hal ini tentu berbeda

dengan laki-laki yang memang bertugas menafkahi dan mencari uang.1

Konstruksi-konstruksi tersebut juga diaplikasikan pada mitos yang terdapat dalam

masyarakat. Salah satu contohnya adalah dongeng klasik berjudul The Little Mermaid.

Dongeng tersebut diciptakan oleh Hans Christian Andersen dan menceritakan mengenai

tokoh putri duyung yang jatuh hati kepada seorang pangeran. Bahkan ia rela memberikan

suaranya demi sepasang kaki supaya dapat bersama dengan sang pangeran di daratan. Namun

malang baginya, sang pangeran tidak membalas perasaannya dan justru menikahi perempuan

lain. Sang putri duyung yang patah hati kemudian bunuh diri dan berubah menjadi buih di

langit.2 Contoh mitos lain yang mengandung unsur subordinasi kaum perempuan juga dapat

dilihat pada karya sastra mengenai legenda Lorelei. Lorelei sebenarnya merupakan nama dari

sebuah tebing batu yang terdapat di atas sungai Rhein. Tebing tersebut dianggap

membahayakan, selain itu juga mempunyai lebar sebesar 113 meter dengan kedalaman

sepanjang 25 meter. Di tempat tersebut dikabarkan banyak kejadian tragis berupa kapal yang

tenggelam.3

Hal inilah yang membuat Clemens Brentano, sastrawan asal Jerman, menjadi

terinspirasi untuk membuat sebuah balada berjudul Bacharach am Rheine. Balada karya

1 Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama (hal.1-3) 2http://hca.gilead.org.il/li_merma.html (Diakses pada 5 Mei 2017, pukul 13.30 WIB)3http://eropa.panduanwisata.id/german/tebing-loreley-keindahan-alam-berbalut-cerita-legenda/ (Diakses pada 6 Mei 2017, pukul 12.45 WIB)

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 3: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

4

Brentano tidak membahas tebing sama sekali, melainkan hanya menyebutkan seorang

perempuan dengan kemampuan melebihi manusia yang berasal dari desa Bacharah dan kerap

kali mengumbar pesona yang dimilikinya.4 Setelah balada karya Brentano diterbitkan,

muncullah beberapa karya serupa yang diilhami dari balada ciptaannya. Salah satunya adalah

puisi berjudul Lorelei yang dibuat oleh Heinrich Heine pada tahun 1823. Puisi ini

menceritakan mengenai sosok perempuan cantik bernama Lorelei yang memiliki rambut

panjang berwarna kuning keemasan. Sosoknya digambarkan sedang duduk anggun di atas

tebing batu sambil kerap kali menyisir rambutnya dengan sisir emas. Lorelei juga diceritakan

memiliki suara yang begitu memabukkan dan menawan hati, sehingga membuat siapapun

yang mendengarnya menjadi terlena dan pada akhirnya tenggelam.5 Kendati kisah antara The

Little Mermaid dan Lorelei memiliki kandungan cerita yang bertolak belakang jika dilihat

dari penggunaan elemen suara perempuan (Lorelei menggunakan suaranya untuk menguasai

untuk membuai laki-laki, The Little Mermaid kehilangan suaranya akibat laki-laki), namun

keduanya sama-sama memiliki kesamaan, yaitu adanya indikasi penindasan dan

penggambaran perempuan sebagai sosok yang lain. Hal inilah yang membuat penulis tertarik

untuk menganalisis karya sastra mengenai Lorelei.

Sebenarnya sudah ada yang melakukan penelitian mengenai mitos Lorelei yang

dilakukan oleh Nandi Wardhana Manggala Aryaguna dari Universitas Indonesia pada tahun

2012 dengan judul Lorelei: Citra Perempuan dari Sudut Pandang Laki-laki dalam Tiga Puisi

Masa Romantik karya Clemens Brentano, Otto Heinrich Graf von Loeben, dan Heinrich

Heine, namun penelitian sebelumnya hanya berfokus kepada satu zaman saja, yaitu zaman

Romantik dan memakai pendekatan sudut pandang patriarki. Sehubungan dengan hal

tersebut, maka penulis ingin kembali mengulasnya dan menggali sesuatu namun dari

perspektif yang berbeda, khususnya perspektif feminisme eksistensialisme dan teori mitos

menurut Roland Barthes. Penulis tidak hanya berpegang pada masa Romantik saja,

melainkan pada tiga rentang waktu yang berbeda. Sebagai korpus data, penulis akan memilih

lirik Lorelei karya Heinrich Heine tahun 1823, lirik Loreley karya Dschinghis Khan tahun

1981, serta musikalisasi lirik Lore Lay karya Faun tahun 2013. Penulis mengangkat tema ini

dengan harapan agar para pembaca dapat memiliki pemahaman mengenai mitos Lorelei dari

waktu ke waktu dengan berfokus kepada relasi antara tokoh laki-laki dan perempuan.

Tinjauan Teoretis

4http://www.dw.com/id/rhein-sungai-romantis/a-17143296 (Diakses pada 6 Mei2017, pukul 13.06 WIB)5http://tvtropes.org/pmwiki/pmwiki.php/Myth/Lorelei (Diakses pada 6 Mei 2017, pukul 14.02 WIB)

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 4: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

5

a. Teori Mitos menurut Roland Barthes

Roland Barthes berpendapat bahwa mitos dilihat sebagai sistem komunikasi sekaligus

pesan. Selain itu, mitos juga merupakan komponen yang terkandung dalam pemikiran utama

Barthes, yaitu semiotika. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji

tanda. Menurut Barthes, semiotika mengkaji mengenai hal-hal yang dimaknai oleh

kemanusiaan.6 Dalam semiotika, Barthes mengemukakan gagasan yang disebut dengan order

of significations atau tahap signifikansi. Barthes menjelaskan bahwa pada signifikasi tahap

pertama terdapat hubungan antara penanda dan yang ditandai. Kemudian dalam sebuah tanda

mengandung realitas eksternal yang disebut sebagai denotasi. Jadi, denotasi adalah makna

paling nyata dari tanda.7 Pada signifikasi tahap kedua terdapat penggambaran interaksi antara

tanda dengan pembaca. Interaksi ini dinamai dengan konotasi. Konotasi identik dengan

adanya ideologi, yang kemudian disebut sebagai mitos. Fungsinya adalah sebagai

pengungkapan dan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu rentang

waktu tertentu.8 Pada signifikasi tahap kedua, tanda bekerja melalui mitos. Terdapat dua jenis

mitos, yaitu mitos primitif dan mitos masa kini. Mitos primitif merupakan mitos yang

menyinggung tentang relasi antara kehidupan dan kematian, manusia juga dewa-dewa. Mitos

primitif juga tidak dapat dibuktikan karena merupakan sebuah bentukan yang berasal dari

masyarakat. Selain itu, mitos primitif juga memiliki sifat abadi dan tidak dinamis.

Berbanding terbalik dengan mitos primitif, mitos masa kini justru membicarakan mengenai

ilmu pengetahuan dan kesuksesan.9

b. Feminisme Eksistensialisme - Konsep Laki-laki dan Perempuan

Simone de Beauvoir yang merupakan seorang feminis beraliran eksistensialisme

mengemukakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam bukunya yang berjudul The

Second Sex. Perempuan selalu disubjektifikasi dan tidak lebih dari apa yang dikatakan oleh

laki-laki tentangnya, oleh karena itu perempuan disebut sebagai “seks”. Pendefinisian

perempuan berbeda dengan laki-laki yang dianggap sebagai subjek absolut, ia dijabarkan

tercipta secara kebetulan. Oleh karena itu, Laki-laki dipandang sebagai sang Subjek,

sedangkan perempuan adalah Sosok yang Lain.10 Laki-laki tidak akan pernah mendefinisikan

6 Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya (hal. 15) 7Wibowo, Indiwan, Seto, Wahyu. 2013. Semiotika Komunikasi : Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi

Komunikasi. Jakarta : Mitra Wacana Media (hal. 21) 8 Wibowo. Ibid. (hal. 22) 9 Sobur, Op.Cit. (hal. 71) 10Beauvoir, Simone de. 2016. The Second Sex. Jakarta: PT Buku Seru (hal. xii)

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 5: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

6

dirinya sendiri sebagai seorang laki-laki karena hal tersebut terjadi pada laki-laki secara

alamiah (Beauvoir, 2016: x). Sebaliknya, catatan sejarah mengatakan bahwa perempuan

selalu berada di bawah laki-laki. Apabila laki-laki Yahudi bersyukur bahwa ia tidak terlahir

sebagai perempuan dalam doanya, sebaliknya perempuan justru berpasrah diri dan

mengatakan “Terpujilah Tuhan karena menciptakan saya sesuai dengan kehendak-Nya”.

Bahkan Benda berpendapat bahwa :

“Tubuh laki-laki yang dapat memahami dirinya sendiri, sangat berbeda dengan tubuh perempuan di mana tubuh perempuan tampak menginginkan signifikansi oleh dirinya sendiri… Laki-laki mampu berpikir tentang dirinya sendiri tanpa perempuan. Sementara perempuan tidak dapat memikirkan dirinya tanpa laki-laki” (Beauvoir, 2016: xi-xii)

Penjamin keseimbangan antara reproduksi dan produksi menjadi tugas laki-laki.

Biasanya kegiatan yang dilakukan laki-laki berupa menangkap ikan dan mengendalikan dunia

lautan. Dengan melakukan aktivitas ini, laki-laki dapat menguji kekuatan yang dimilikinya,

membangun impiannya, dan mewujudkan realisasi dirinya sebagai suatu eksisten. (Beauvoir,

2016: 87-89). Berbanding terbalik dengan laki-laki, perempuan justru tidak dipandang

sebagai pekerja karena ia memiliki ovarium dan uterus. Perempuan memang mampu untuk

bereproduksi, namun kelebihannya ini justru dieksploitasi seperti alam yang terwujud dalam

kesuburan perempuan (Beauvoir, 2016: 103). Dalam hal perkawinan, laki-laki menemukan

martabatnya mengenai kepemilikan perempuan. Ketika perempuan menikah, ayah dari si

perempuan memberi kekuasaan pada sang suami dan ini menyebabkan perempuan benar-

benar akan terlepas dari kelompok dimana ia lahir. Oleh karena itu, perempuan menjadi milik

laki-laki dan dirinya dituntut kesetiaan tanpa batas. Apabila pihak perempuan tidak setia,

maka ia akan dianggap berkhianat dan ditindak sesuai peraturan yang berlaku (Beauvoir,

2016: 116-117).

Dalam kepercayaan agama Kristen, laki-laki dan perempuan menduduki kedudukan

yang tidak setara. Hal ini terekspresikan dalam mitos penciptaan. Adam diciptakan oleh

Tuhan dari tanah liat, sedangkan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Laki-laki

menganggap ia ditakdirkan untuk berada di dunia, sedangkan perempuan dianggap musibah

yang menyenangkan. Oleh karena itu, laki-laki menemukan pemenuhan dari rasa kekurangan

dalam dirinya pada perempuan (Beauvoir, 2016: 201-203). Merupakan hal yang wajar

apabila perempuan dianggap sebagai makhluk sekunder karena Hawa memang diciptakan

setelah Adam. Oleh karena itu, keberadaannya di dunia menjadi tidak independen karena ia

hanya ada sebagai pendamping yang non esensial (Beauvoir, 2016: 202).

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 6: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

7

Pengukuhan diri laki-laki sebagai seorang subjek juga ditandai dengan adanya

tuntutan-tuntutan terhadap perempuan. Beberapa tuntutan tersebut berupa keperawanan,

kecantikan, dan penampilan. Ketika laki-laki menyobek selaput dara perempuan, ia secara

tidak langsung memilikinya sekaligus mengambil keutuhannya. Bahkan terdapat istilah

“deflorasi“ yaitu merusak keperawanan perempuan. Subjektifitas perempuan terekspresikan

jelas dalam mitos keperawanan. Tubuh perawan dianalogikan dengan segarnya musim semi,

cahaya fajar dalam kuncup bunga yang belum mekar, serta kilauan mutiara yang sama sekali

belum terpapar cahaya mentari. Sobeknya keperawanan perempuan menjadikannya sebuah

objek, sesuatu yang dimiliki oleh laki-laki (Beauvoir, 2016: 221-222). Tuntutan selain

keperawanan yang harus dimiliki oleh perempuan adalah kecantikan. Di China, perempuan

dianggap cantik apabila memiliki kaki kecil yang disebut dengan lily feet. Kaki perempuan di

China akan diikat dengan sangat ketat, sehingga berakibat pada kerusakan telapak kaki.11

Naomi Wolf dalam bukunya Beauty Myth: How Images of Beauty are Used Against Women

menyebutkan bahwa adanya mitos kecantikan menyebabkan kendali sosial dalam kehidupan

perempuan. Menurutnya, kecantikan merupakan sesuatu yang harus diwujudkan perempuan

karena laki-laki akan mengejar perempuan yang memenuhi standar kecantikan yang dibuat.12

Selain itu, perempuan juga dikehendaki melengkapi dirinya dengan riasan dan perhiasan.

Fungsinya bertujuan untuk membuat perempuan sebagai sosok yang dipuja dan menjadi lebih

dekat dengan alam. Dalam diri perempuan yang cantik dan berhias terdapat konstruksi yang

disesuaikan dengan keinginan laki-laki.

Perempuan juga sering dianalogikan sebagai air. Sama seperti samudra yang juga

merupakan salah satu simbol maternal yang paling universal, air secara pasif menerima

tindakan penyuburan dari matahari. Perempuan juga merupakan gelombang lautan, arah dan

tujuan dimana laki-laki harus melalui dirinya (Beauvoir, 2016: 215). Pun bagi para pelaut

yang menganggap bahwa perempuan memiliki kesamaan dengan lautan karena sifat-sifat dari

lautan yang berbahaya, penuh teka-teki, serta sulit untuk dikuasai (Beauvoir, 2016: 224).

Dominasi laki-laki atas perempuan memang termanifestasikan ke dalam berbagai

macam bentuk. Namun, apabila Sosok yang Lain menjadi ancaman bagi Subjek, hal ini

berarti perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas,

11Chinese Foot Binding (http://library.thinkquest.org/J0111742/footbinding.htm) (Diakses pada 18 Mei 2017, pukul 23.08 WIB) 12 Wolf, Naomi. 2002. The Beauty Myth: How Images of Beauty are used against Woman. New York: HarperCollins Publisher (hal. 12)

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 7: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

8

ia harus menyubordinasi perempuan terhadap dirinya.13 Di satu sisi, perempuan dapat

menjadi sesuatu yang ditaklukkan, namun di sisi lain juga dapat menaklukkan dan hal ini

digambarkan sebagai sosok yang jahat. Perempuan menjadi berkuasa karena tubuh laki-laki

terikat secara seksual oleh tubuh wanita. Ikatan inilah yang kemudian dikendalikan oleh

perempuan. Adalah hal yang wajar apabila perempuan menggunakan kekuatannya untuk

memikat laki-laki ke dalam kegelapan (Beauvoir, 2016: 235-236). Pemanfaatan daya tarik

oleh perempuan juga dianggap menakutkan. Dalam hal ini, perempuan disebut sebagai femme

fatale, yaitu sosok perempuan yang menarik, namun berbahaya.14 Daya tarik yang bersifat

alamiah seperti kecantikan paras membuat perempuan membuatnya dituduh sebagai penyihir.

Pada akhirnya, perempuan harus menerima akibatnya yaitu dibakar hidup-hidup (Beauvoir,

2016: 274).

Pandangan laki-laki terhadap perempuan sebagai Sosok yang Lain membuatnya

berharap bahwa perempuan akan mengimplementasikan keterlibatan dirinya pada laki-laki.

Oleh karena itu, perempuan gagal mengukuhkan statusnya sebagai Subjek karena ia

menganggap ikatannya dengan laki-laki tidak berdasarkan asas timbal balik, sehingga

perempuan merasa puas dengan kedudukannya sebagai Sosok yang Lain (Beauvoir, 2016,

xix). Perempuan memang segala yang diinginkan laki-laki dan menjadi refleksi laki-laki

terhadap eksistensinya. Di sisi lain, ia juga berupaya untuk mengalihkan laki-laki dari

dirinya, membuat mereka terpikat ke dalam kesunyian dan kematian. Diri perempuan

menampilkan apa yang diinginkan oleh laki-laki. Oleh karena itu, perempuan adalah

Segalanya (all), dimana ia merupakan “Segalanya Yang Lain” yang menempati posisi

inesensial (Beauvoir, 2016, hal. 283-284).

Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif-kualitatif dengan membaca korpus

data berupa 3 buah lirik, yaitu Lorelei karya Heinrich Heine pada tahun 1823, Loreley karya

band Dschinghis Khan pada tahun 1981, dan Lore Lay karya band Faun pada tahun 2013

untuk melihat peran serta konstelasi tokoh antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, terdapat

pula teori-teori penunjang yang didapat dari berbagai sumber pustaka maupun elektronik.

13 Tong, Rosemary Putnam. 1989. Feminist Thought: A Comprehensive Introduction. Great Britain: Westview Press (hal. 202) 14Femme fatale merupakan sebuah istilah untuk sosok perempuan yang menarik namun berbahaya.Ia kerap kali menggunakan daya tariknya untuk memikat kemudian mengancurkan siapa saja yang terlibat olehnya. Istilah ini berasal dari mitos klasik, misalnya tokoh Circe dan Siren. (http://www.detnovel.com/femmefatale.html) (Diakses pada 17 Mei 2017, pukul 19.00 WIB)

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 8: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

9

Penulis menggunakan buku The Second Sex karya Simone de Beauvoir untuk mendefinisikan

relasi antara tokoh-tokoh, baik laki-laki maupun perempuan untuk melihat penggambaran

mitos di dalam lirik serta mendapatkan gagasan pemikiran feminisme eksistensialisme.

Terdapat dua subbab dalam setiap lirik, yaitu posisi laki-laki dan posisi perempuan sebagai

Sosok yang Lain. Teks yang dianalisis akan dilihat konstelasi antar tokohnya kemudian

dihubungkan dengan teori mitos menurut Roland Barthes untuk menunjukkan apakah mitos

merupakan sesuatu yang dapat berubah walaupun telah melewati rentang waktu yang berbeda

sekalipun.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian mengenai mitos Lorelei pada 3 lirik yang berbeda pada tahun 1823,

1981, dan 2013 menunjukkan bahwa terdapat relasi antara laki-laki dan perempuan yang

sesuai dengan konstruksi gender dalam masyarakat. Dilihat dari sudut pandang feminisme

eksistensialisme, maka konstruksi gender akan semakin terlihat jelas. Simone de Beauvoir

sebagai pelopor teori feminisme eksistensialisme menyebutkan bahwa laki-laki dipandang

sebagai subjek, sedangkan perempuan dipandang sebagai Sosok yang Lain. Kedua konsep

inilah yang digunakan untuk menelaah relasi tokoh dalam tiga lirik mengenai Lorelei. Tokoh

laki-laki sebagai subjek dikukuhkan berdasarkan perannya yang sesuai dengan konstruksi

gender. Ada kalanya laki-laki tidak mampu dalam mengukuhkan keeksistensiannya.

Meskipun demikian, laki-laki tetaplah seorang subjek, namun disini ia menjadi subjek yang

gagal dan oleh karena itu posisinya berubah menjadi objek yang dikuasai. Sebaliknya, peran

tokoh perempuan sebagai Sosok yang Lain memungkinkan ia menjadi subjek sekaligus

objek. Ketika perempuan menjelma sebagai subjek, secara gramatikal ia digambarkan aktif

melakukan suatu hal. Selain itu, perempuan juga digambarkan sebagai sosok yang jahat

(femme fatale). Kedua hal tersebut membuat perempuan menjadi subjek, namun dalam hal ini

menjelma sebagai subjek yang lain. Sebaliknya, perempuan dipandang sebagai objek apabila

ia digambarkan sesuai dengan perannya dalam bidang domestik dan ketika ia memenuhi

tuntutan dari pihak laki-laki.

Perbedaan rentang waktu pada ketiga lirik di tahun 1823, 1981, dan 2013 tidak

menyebabkan adanya perubahan pandangan terhadap mitos Lorelei. Melalui telaah teori

Roland Barthes dapat dibuktikan bahwa mitos Lorelei tidak berubah karena merupakan

sesuatu yang dibentuk oleh masyarakat sejak dahulu kala. Keberadaan mitos ini dimunculkan

karena terdapat kepercayaan kuat terhadap dugaan adanya sosok dibalik banyaknya

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 9: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

10

kecelakaan yang terjadi di tebing diatas sungai Rhein. Mitos Lorelei disini juga berperan

sebagai mitos primitif sehingga bersifat kekal dan tidak dinamis. Ketetapan pandangan

mengenai mitos Lorelei menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan pada pengarang yang

sulit keluar dari kungkungan pandangan mengenai perempuan sebagai Sosok yang Lain.

Disini pengarang dapat dikatakan mewakili masyarakat Jerman atau sebagai perantara

masyarakat Jerman untuk membuktikan bahwa memang terdapat kepercayaan tentang mitos

yang dikonstruksikan ke dalam bentuk karya Lorelei.

Pembahasan

Lorelei karya Heinrich Heine

Puisi ini diciptakan oleh Heinrich Heine pada tahun 1823 dan ini terdiri dari 6 bait

dan pada setiap baitnya terdiri dari 4 larik. Lirik ini menggunakan sudut pandang orang

pertama, das lyrische Ich pada keseluruhan lirik ini. Melalui das lyrische Ich, tokoh Ich

menjadi subjek hidup dan pencerita. Heine disini hanya bertindak sebagai Sprecherinstanz,

yaitu ketika tokoh Ich yang dipaparkan oleh pengarang bersifat netral secara keseluruhan.15

Penggunaan das lyrische Ich pada lirik ini dapat dilihat pada kutipan bait ,,Ich glaube die

Wellen verschlingen“. Pada lirik ini, terdapat dua tokoh, yaitu tokoh Lorelei dan sang

Nakhoda. Relasi antara keduanya terbagi ke dalam posisi laki-laki dan posisi perempuan

sebagai Sosok yang Lain.

Pada frasa ,,den Schiffer ergreift es mit wildem Weh“ (lagu tersebut menyambut

Nakhoda dengan hasrat liar), posisi laki-laki digambarkan secara variatif. Secara perilaku,

laki-laki dilihat sebagai subjek karena aktivitasnya sebagai nakhoda yang mengharuskannya

melakukan kegiatan di atas lautan. Selanjutnya pembuktian posisi laki-laki sebagai objek

dapat dilihat dari ketidakberdayaannya pada saat mendengar lagu yang memabukkan

sehingga ia tidak berkonsentrasi mengemudikan kapal. Berikutnya pada frasa „er schaut

nicht die Felsenriffe“ (ia (sang Nakhoda) tidak melihat adanya batu karang) menunjukkan

kedudukan laki-laki sebagai subjek karena sesuai dengan pendapat Beauvoir mengenai

kegigihan laki-laki, bahkan apabila hal tersebut harus mengorbankan nyawanya. Begitu pula

pada kalimat „er schaut hinauf in die Höh“ (ia hanya menatap di atas kejauhan) secara

tersirat menunjukkan rasa penasaran terhadap sosok perempuan yang menyanyi. Hal ini dapat

dihubungkan dengan mitos penciptaan. Adam dianalogikan sebagai figur Nakhoda

15 Esser, Rolf. 2007. Das groβe Arbeitsbuch Literaturunterricht – Lyrik, Epik, Dramatik. Verlag an der Ruhr

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 10: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

11

mendambakan perempuan sebagai pelengkap hidupnya. Usahanya yang keras untuk

mendapatkan perempuan supaya dapat menjadikannya sebagai pelengkap hidup

mengukuhkan diri laki-laki sebagai subjek. Berikutnya pada frasa ,,die Wellen verschlingen

am Ende Schiffer und Kahn“ (pada akhirnya ombak menelan nakhoda berikut perahunya),

posisi laki-laki digambarkan sebagai subjek sekaligus objek. Pembuktian laki-laki sebagai

subjek pada frasa ini dapat dibuktikan apabila menilik dari kutipan larik sebelumnya, yaitu

dari aktivitasnya sebagai nakhoda dan keaktifannya mencari perempuan. Kegiatan laki-laki

yang demikian dapat dihubungkan dengan mitos penciptaan, oleh karena itu hal tersebut

menempatkannya ke dalam posisi subjek. Namun secara gramatikal, sang nakhoda disini

berperan sebagai objek karena ia ditenggelamkan oleh sang ombak yang berperan sebagai

subjek karena aktif melakukan sesuatu. Hal ini membuatnya menjadi objek yang didominasi.

Berbeda dengan penggambaran tokoh laki-laki yang digambarkan aktif menginginkan

Lorelei, Lorelei sendiri digambarkan sebagai objek yang diinginkan oleh sang nakhoda.

Atribut yang mendeskripsikan Lorerei memuat harapan kualitas perempuan yang dinginkan

para lelaki. Yang pertama adalah kata „Jungfrau“ (perempuan muda/perawan) yang dapat

dianalogikan dengan segarnya musim semi, cahaya fajar dalam kuncup bunga, serta kilauan

mutiara yang belum terpapar cahaya mentari. Ketika selaput dara perempuan terkoyak, maka

keperawanan perempuan tidak bisa dikembalikan. Lorelei yang digambarkan masih perawan

ini menempatkannya sebagai objek yang ingin dimiliki seutuhnya. Selanjutnya yaitu kata

,,schönste“ (paling cantik). Beauvoir menyatakan bahwa terdapat tuntutan terhadap

perempuan berupa kecantikan. Dalam hal ini, kecantikan fisik yang dimiliki Lorelei

memenuhi konstruksi kecantikan yang didambakan laki-laki dan membuatnya menjadi sosok

yang lain, khususnya objek. Berikutnya pada frasa ,,goldenes Haar“ (rambut keemasan) yang

semakin menunjang kecantikan Lorelei. Pada teks ini, warna emas menyimbolkan sesuatu

yang positif karena berhubungan dengan daya tarik. Rambut keemasan menunjukkan

kekuatan, keindahan tanpa cela, kemudaan, dan bernilai tinggi.16 Oleh karena itu, posisi

Lorelei dilihat sebagai objek. Selain itu, pada frasa ,,goldenes Geschmeide“ (perhiasan

emas), penggunaan perhiasan pada perempuan menjadi penekanan akan tuntutan penampilan

yang dikehendaki oleh laki-laki. Pada teks ini warna emas ditafsirkan sebagai sesuatu yang

positif karena berhubungan dengan daya tarik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa posisi

perempuan dipandang sebagai objek semata.

16https://www.factretriever.com/blonde-hair-facts (Diakses pada 1 April 2017, pukul 20.07 WIB)

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 11: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

12

Kata berikutnya yaitu „kämmt” (menyisir) merupakan kegiatan yang identik dengan

perempuan karena berkaitan dengan kegiatan bersolek yang khas dengan perilaku

perempuan. Hal ini berarti Lorelei sudah memenuhi unsur pemenuhan atas kecantikan

perempuan dan membuatnya menjadi objek. Selanjutnya, kalimat „den Schiffer ergreift es

mit wildem Weh“ (lagunya menyambut sang Nakhoda dengan hasrat yang liar) Kata „es“

disini merupakan kata ganti dari lagu yang dinyanyikan oleh Lorelei dan berperan sebagai

subjek. Hal ini dapat dikaitkan dengan mitos femme fatale17 karena pada akhirnya ombaklah

yang menelan sang Nakhoda. Pelabelan femme fatale terhadap Lorelei menempatkannya

sebagai objek, namun di sisi lain, kemampuannya yang secara aktif membahayakan para laki-

laki membuatnya menjadi subjek. Begitu pula dengan frasa ,,die Wellen verschlingen“

(ombak menenggelamkan) yang dapat dihubungkan dengan mitos femme fatale karena

merugikan laki-laki. Sama seperti kata ,,Singen“ (nyanyian) yang membuat si makhoda

terpana dan terancam bahaya. Perilakunya ini membuatnya menjadi subjek lain yang jahat.

Loreley karya band Dschinghis Khan

Lirik berjudul Loreley karya band Dschinghis Khan diciptakan pada tahun 1981. Lirik

ini memiliki enam bait dan terdapat selipan sebuah refrain di setiap dua bait. Pada lirik ini,

Dschinghis Khan menggunakan sudut pandang orang ketiga atau yang biasa disebut dengan

Er-Erzähler18, khususnya auktoriale Erzählperspektive karena pencerita mengetahui

keseluruhan jalan cerita. Hal ini terlihat dari penyebutan orang ketiga pada lirik ini yang

terdapat pada larik „Denn sie hat nur einen geliebt” (karena ia hanya mencintai seseorang).

Pada lirik ini terdapat tokoh perempuan, yaitu Loreley dengan banyak tokoh laki-laki

yaitu ,,jeder”, ,,einen”, ,,der“, dan ,,er”. Kata ,,jeder” (setiap) merujuk kepada setiap laki-

laki. Kata berikutnya, yaitu kata ,,einen” (seorang (pria)). Selanjutnya kata ,,der“ (laki-laki

tersebut) mengacu pada laki-laki pada larik sebelumnya, khususnya laki-laki yang dicintai

oleh Loreley. Begitu pula dengan ,,er“ (ia) yang masih mengacu kepada kedua larik

17 Femme fatale merupakan sebuah istilah untuk sosok perempuan yang menarik namun berbahaya. Istilah ini berasal dari mitos klasik, misalnya tokoh Circe dan Siren. http://www.detnovel.com/femmefatale.html (Diakses pada 12 Mei 2017, pukul 19.00 WIB)

18 Sudut pandang Er-Erzähler terbagi menjadi tiga, yaitu auktoriale, personale, dan neutrale. Perspektif auktoriale disebut juga sebagai pencerita serba tahu karena ia paham keseluruhan jalan cerita serta memberikan komentar serta penjelasan. Perspektif personale berasal dari salah satu tokoh dan melihat jalannya cerita dari sudut pandang seorang tokoh dalam cerita. Sebaliknya, perspektif neutrale berada di luar garis cerita, artinya pencerita tidak masuk dalam cerita tersebut. Dia melihat jalannya cerita dari sudut pandang kamera. (Marquaβ: 1997, 61)

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 12: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

13

sebelumnya. Penyebutan-penyebutan tersebut seluruhnya sama sekali tidak mengutarakan

siapa sebenarnya identitas laki-laki yang sedang dibicarakan. Hal ini dapat dihubungkan

dengan posisi laki-laki sebagai subjek, karena laki-laki tidak perlu menjelaskan siapa dirinya.

Frasa selanjutnya yaitu ,,jeder wollt sie zur Frau“ (setiap (laki-laki) ingin menjadikannya

istri) dan ,,sie wird bald mein“ (dia akan segera menjadi milikku) juga menegaskan bahwa

laki-laki memainkan peran subjek, karena dapat dihubungkan dengan mitos penciptaan.

Dalam mitos penciptaan, Adam diciptakan dari tanah liat, sedangkan Hawa dari tulang rusuk

laki-laki. Hawa dihidupkan sebagai pasangan supaya Adam tidak merasa kesepian. Laki-laki

memiliki impian untuk mencari sosok yang dapat ditaklukkan sebagai pendamping, dalam hal

ini adalah perempuan. Hal inilah yang membuat posisi laki-laki dipandang sebagai subjek.

Posisi laki-laki sebagai subjek juga dapat dilihat pada kata ,,Krieg“ (perang) dan ,,die

Fischer“ (para nelayan). Kedua kegiatan ini menekankan perilaku khas laki-laki di masa

lampau seperti berburu, mencari ikan, dan berperang sekaligus menunjukkan keberadaan

dirinya serta bagaimana dirinya memandang dunia. Berikutnya pada kalimat ,,Und ein Prinz

hörte auch von der schönen Loreley“ (dan seorang pangeran juga mendengar kabar Loreley

yang cantik) juga menegaskan posisi laki-laki sebagai subjek. Keinginan sang pangeran untuk

dapat memenangkan perempuan menggambarkan bahwa perempuan memang sebuah hiburan

supaya laki-laki merasa menjadi seorang pahlawan. Sang pangeran juga mengucap ,,sie wird

bald mein“ (ia (Loreley) akan segera menjadi milikku) yang dapat dihubungkan dengan

mitos penciptaan. Merupakan hal yang wajar apabila laki-laki selalu mencari seseorang untuk

menjadi pelengkap hidupnya dan hal ini membuatnya menjadi subjek. Namun, posisi laki-

laki dalam lirik ini tidak hanya menjadi subjek, namun juga menjadi objek. Hal tersebut dapat

dibuktikan pada frasa „wird verzaubert durch dein Lied“ (tersihir oleh lagumu). Keindahan

suara Loreley mengandung unsur magis, sehingga dapat membuat siapapun terpana. Lagunya

menjelma menjadi subjek yang mendominasi, sedangkan para laki-laki yang mendengarnya

menjadi objek yang terwujud dalam ketidakberdayaannya dalam mencegah hal tersebut. Hal

inilah yang membuatnya menjadi objek.

Posisi perempuan pada lirik ini juga beragam. Misalnya pada frasa ,,Doch ihr Herz

war nicht mehr frei“ (namun hatinya tak lagi bebas) yang menegaskan Loreley tidak mau

membuka hati kepada siapapun. Kemudian juga terlihat pada frasa ,,Denn sie hat nur einen

geliebt“ (dia hanya mencintai satu laki-laki). Kedua frasa ini dapat dikaitkan dengan posisi

perempuan dalam garis perkawinan yang mengatakan bahwa apabila perempuan dimiliki

laki-laki, maka perempuan dituntut menunjukkan kesetiaan tanpa batas karena jika tidak, ia

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 13: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

14

akan dianggap melakukan tindak kriminal. Hal ini membuatnya menjadi objek. Berikutnya

pada frasa ,,Es gab nichts mehr was ihr noch blieb“ (tidak ada lagi yang tersisa untuknya)

juga menunjukkan bahwa perempuan terikat kesetiaan kepada pasangan, sehingga apabila

pasangan sang perempuan tiada, maka ia akan merasa hampa. Kehampaan yang dirasakan

Loreley ini juga dapat dihubungkan dengan pernyataan Benda yang menyebutkan bahwa

perempuan tidak mampu untuk memikirkan dirinya tanpa laki-laki. Kepasrahan diri Loreley

dalam larik ini menandai dirinya sebagai objek. Berikutnya pada frasa „Ihr hat keiner Leid

getan“ (ia (Loreley) sama sekali tidak menyesal) terkait dengan subjektivitas Loreley yang

begitu kuat pada kekasihnya, sehingga kegelisahan hatinya membuatnya bersikap dingin dan

tidak merasa kasihan saat korbannya tenggelam akibat terbuai keindahan suara dan

kecantikannya.

Terdapat pula kata ,,kämmst“ (menyisir) yang menekankan posisi perempuan sebagai

objek. Kegiatan menyisir identik dengan aktifitas bersolek dan mempercantik diri. Hal ini

membuatnya menjadi objek karena ia memenuhi konstruksi akan kecantikan yang

didambakan oleh laki-laki. Berikutnya frasa ,,goldenes Haar” (rambut emas) yang dapat

menambah unsur kecantikan. Simbol rambut emas yang dimilikinya semakin melengkapi

kecantikannya. Oleh karena itu, Lorelei memenuhi standar kecantikan yang sesuai dengan

tuntutan laki-laki terhadap perempuan. Hal inilah yang menempatkannya ke dalam posisi

sebagai Sosok yang Lain, khususnya objek. Begitu pula dengan kata „schön“ (cantik).

Kecantikan Loreley memenuhi keinginan laki-laki terhadap perempuan, yaitu kecantikan.

Tuntutan inilah yang memojokkan perempuan sebagai seorang Sosok yang Lain, khususnya

sebagai objek.

Posisi perempuan dalam lirik ini juga digambarkan sebagai subjek lain yang jahat.

Misalnya pada frasa “Und wer hörte, wie sie sang, der vergaβ dabei die Gefahr“ (dan

siapapun yang mendengar nyanyiannya akan lupa pada bahaya). Selain itu juga pada kalimat

„Und wer dich dort sieht wird verzaubert durch dein Lied“ (dan siapapun yang melihatmu

akan terpikat oleh lagumu). Berikutnya pada kalimat ,,Und ihr Lied klangt so süβ, wie ein

längst vergangner Traum,“ (dan lagunya terdengar begitu manis, layaknya mimpi di masa

lampau). Ketiga kutipan diatas berhubungan dengan mitos femme fatale. Daya tarik Loreley

berupa suara yang menawan membuat siapapun terbuai dan jatuh ke dalam marabahaya.

Suara inilah yang menyeret para nelayan menuju peristiwa yang mengenaskan, yaitu

tenggelam ke dalam lautan. Loreley akan terus menyanyi, bahkan ketika perahu beserta

nelayannya sudah tenggelam. Hal ini terlihat pada kutipan bait keenam, yaitu „Und sie sang

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 14: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

15

noch ihr Lied, als das Boot schon versunken war“. Seluruh kutipan pada bait-bait tersebut

dapat dihubungkan dengan pendapat Beauvoir mengenai ketertarikan laki-laki yang diperalat

oleh nafsu dan tidak lagi memiliki kekuatan untuk melakukan apapun. Disini jelas terlihat

bahwa kekuatan yang dimiliki Loreley menyeret laki-laki ke dalam kemalangan dan hal ini

membuatnya menjadi subjek lain yang jahat. Frasa selanjutnya yaitu „Und so manches Boot

zerbrach am schroffen Stein“ (dan beberapa kapal menabrak batu besar) dan ,,Wenn der

Strudel sie verschlang“ (ketika pusaran air menelan mereka). Kalimat tersebut berhubungan

dengan mitos femme fatale dan merupakan dampak terfatal yang dirasakan oleh laki-laki

akibat terpesona kepada Loreley dan berujung pada sesuatu yang dibayar mahal, yaitu dengan

nyawa. Hal ini membuat perempuan menempatkannya sebagai Sosok yang Lain, khususnya

subjek yang jahat. Sama halnya dengan kata „Zauberei“ (sihir). Disebutkan dalam buku

Beauvoir mengenai perempuan yang memang diciptakan untuk sihir. Loreley sebagai tokoh

perempuan menjadi seorang subjek. Secara spesifik, Loreley menjelma menjadi subjek lain

yang jahat karena ia berperan aktif dan menggunakan kemampuan sihirnya untuk memikat

laki-laki dan mencelakakannya.

Lore Lay karya band Faun

Lirik berjudul Lore Lay karya band Faun ini sebenarnya terinspirasi dari puisi ciptaan

Clemens Brentano yang ditulis pada tahun 1802. Faun mengadaptasi puisi tersebut menjadi

sebuah lagu berjudul Lore Lay yang terkandung di dalam album Von den Elben (Deluxe

Edition) yang dikeluarkan pada tahun 2013. Lirik ini memiliki sudut pandang campuran.

Terdapat sudut pandang orang ketiga (Er-Erzähler) dan sudut pandang orang pertama (Ich-

Erzähler). Secara spesifik, perspektif Er-Erzähler yang digunakan pada lirik ini yaitu

auktoriale Erzählperspektive karena pencerita mengetahui keseluruhan jalan cerita. Hal ini

terlihat ini dari kalimat „sie war so schön und feine“ Sudut pandang selanjutnya yaitu sudut

pandang Ich- Erzähler khususnya Personal Ich – Erzähler19. Hal ini disebabkan oleh tokoh

ich yang tidak tahu-menahu perihal keseluruhan peristiwa yang terjadi. Tokoh ich disini juga

hanya melihat alur cerita dari perspektifnya sendiri sebagai suatu tokoh. Pembuktian sudut

pandang tersebut terdapat pada kalimat „Ich selbst muss drin vergehen“ yang dikatakan oleh

Lore Lay. Lore Lay disini hanya bertindak sebagai tokoh semata.

19 Sudut pandang Ich-Erzähler terbagi menjadi dua jenis. Pertama, auktoriale Ich-Erzähler yang bertindak sebagai orang pertama serba tahu. Ia berperan sebagai pencerita dan tokoh sekaligus. Selanjutnya, personal Ich-Erzähler yang bertindak sebagai tokoh, namun tidak mengetahui keseluruhan jalan cerita. (Marquaβ: 1997. Ibid)

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 15: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

16

Pada lirik ini, terdapat tokoh laki-laki dan perempuan. Posisi tokoh laki-laki dalam

lirik ini digambarkan sebagai subjek. Hal ini dapat dibuktikan pada frasa „Der Männern

rings umher“ (Para laki-laki di sekeliling(nya)). Keberadaan laki-laki di sekeliling Lore Lay

juga secara tersirat dapat dikatakan bahwa mereka menginginkan Lore Lay. Hal ini

berhubungan dengan mitos penciptaan. Pencarian sosok perempuan sebagai seorang

pelengkap hidup merupakan takdir yang harus dijalani oleh laki-laki yang berharap dapat

memenuhi kekurangannya. Oleh karena itu, laki-laki pada kutipan frasa tersebut digambarkan

mereka berada di sekeliling Lore Lay. Hal ini menempatkannya sebagai subjek.

Posisi perempuan dalam lirik ini digambarkan sebagai objek maupun objek.

Pembuktian posisi perempuan sebagai subjek dapat dilihat pada kata „Zauberin“ (penyihir).

Beauvoir menyebutkan bahwa sihir memang tercipta untuk diri perempuan. Pandangan

semacam ini membuat perempuan menjadi objek semata. Namun penggambaran Lore Lay

sebagai penyihir juga berkaitan dengan mitos femme fatale. Lore Lay mengukuhkan dirinya

sebagai subjek, khususnya subjek lain yang jahat karena ia melakukan sesuatu yang

merugikan bagi laki-laki. Berikutnya kata „schön“ (cantik) dan „feine“ (elok). Kedua kata ini

dapat dihubungkan dengan kehendak laki-laki terhadap perempuan mengenai keindahan fisik.

Tuntutan-tuntutan inilah yang semakin menyudutkan perempuan sebagai Sosok yang Lain,

khususnya sebagai objek.

Berikutnya masih terdapat beberapa frasa mengenai kedudukan perempuan sebagai

Sosok yang Lain, khususnya dalam mitos femme fatale. Frasa-frasa tersebut adalah „Die

Augen sanft und wilde“ (Matanya lembut dan liar) serta „Die Wangen rot und weiβ“

(Pipinya (merona) merah dan berwarna pucat). Secara spesifik digambarkan bahwa mata

Lore Lay lembut sekaligus liar. Mata Lore Lay menjadi daya tarik yang dapat memikat

siapapun yang melihatnya. Daya tarik lainnya adalah semburat kemerahan pada pipinya yang

pucat. Secara harfiah, kata weiβ memiliki arti putih, namun dalam konteks ini warna tersebut

dapat dikatakan sebagai pucat. Kombinasi warna merah dan putih ini menyimbolkan perasaan

yang membara dan kemurnian. Di satu sisi, konotasi pipi merona mengacu pada perasaan

malu-malu, namun di sisi lain juga merupakan tanda dari ketertarikan seksual yang dipicu

oleh adanya kehadiran orang yang diinginkan.20 Dari penjelasan tersebut maka dapat

disimpulkan bahwa pipi Lore Lay yang merona semakin menambah pesona yang dimilikinya

dan menempatkannya sebagai objek. Daya tarik lainnya yaitu suaranya yang terdapat pada

20 W. Ray Crozier, “The Blush: Literary and Psychological Perspectives”, diakses dari http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/jtsb.12105/pdf (Diakses pada 23 April 2017, pukul 20.06 WIB)

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 16: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

17

frasa ,,Die Worte still und milde” (kata-katanya tenang dan halus). Hal ini seolah menambah

daya tariknya karena nada suara biasanya menentukan karakter seseorang. Biasanya nada

tinggi mengekspresikan ketegangan serta kemarahan. Sebaliknya, nada rendah memiliki

konotasi ketenangan atau sikap yang dingin.21 Ketiga komponen daya tarik tadi disebut

sebagai „Zauberkreis” (lingkaran sihir). Makna Zauberkreis disini berhubungan dengan sihir.

Sihir ada karena memang diciptakan untuk perempuan. Oleh karena itu, apapun yang terlihat

natural pada perempuan akan dipandang sebagai penyihir dan membuatnya menjadi objek

karena adanya julukan, serta menjadi subjek karena perilaku yang merugikan.

Keterlibatan Lore Lay dalam larik „Ich selbst muss drin vergehen, und bin des

Wartens müd“ (aku sendiri harus menghilang dan aku lelah menunggu) menunjukkan bahwa

ia merupakan sosok yang eksisten. Namun perannya disini sebatas kepasrahan, sesuai dengan

pendapat Benda dalam Rapport d’Uriel yang menyebutkan bahwa laki-laki sanggup untuk

memikirkan dirinya sendiri tanpa perempuan, namun sebaliknya perempuan tidak mampu

untuk memikirkan dirinya tanpa laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan “ada“

bukan bersama orang lain, namun ia “ada“ untuk orang lain. Pada dua larik berikutnya yang

berbunyi „denn keiner kann bestehen, der meine Augen sieht“ (karena tidak ada yang dapat

bertahan, saat melihat mataku) dapat dihubungkan dengan mitos femme fatale. Sehubungan

dengan hal tersebut, disini daya tarik yang dimiliki oleh Lore Lay terletak pada kedua

matanya. Hal ini membuat siapa saja yang menatapnya akan terbuai dan merasakan

akibatnya.

Hal ini dapat dilihat dari kutipan „Ich selbst muss drin vergehen und bin des

Wartens müd“ (aku sendiri harus menghilang dan aku lelah menunggu). Pada kutipan bait

berikut, secara gramatikal keterlibatan Lore Lay dalam hal bicara menunjukkan bahwa ia

merupakan sosok yang eksisten, dalam artian seorang subjek. Seperti halnya para perempuan

feminis yang menuntut haknya dengan menyuarakan pikirannya, disini tindakan Lore Lay

juga mencerminkan sentuhan feminisme. Kendati demikian, posisi Lore Lay disini tetaplah

seorang objek karena pada akhirnya ia memutuskan untuk menghilang dan disitulah letak

kepasrahan Lore Lay. Kedudukan Lore Lay sebagai seorang objek yang pasrah juga dapat

dilihat pada dua larik berikutnya, yaitu „denn keiner kann bestehen, der meine Augen

sieht“ (karena tidak ada yang bertahan, saat menatap mataku). Kutipan bait diatas sesuai

dengan pendapat Benda yang menyebutkan bahwa laki-laki sanggup untuk memikirkan

dirinya sendiri tanpa perempuan, namun sebaliknya perempuan tidak mampu untuk 21http://teatersastraui.org/mengenal-4-elemen-artikulasi/ (Diakses pada 8 Mei 2017, pukul 21.09 WIB)

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 17: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

18

memikirkan dirinya tanpa laki-laki. Begitu pula dengan pendapat Beauvoir yang menyatakan

bahwa perempuan “ada“ bukan bersama orang lain, namun ia “ada“ untuk orang lain. Menilik

pada pernyataan tersebut, maka Lore Lay disini kembali berperan sebagai objek karena ia

mengesampingkan keberadaan dirinya demi keselamatan orang lain.

Kesimpulan

Lorelei merupakan sebuah legenda di Jerman yang sangat terkenal mengenai

perempuan mistis dan membuat banyak orang menjadikannya sebagai inspirasi karya mereka.

Heinrich Heine, band Dschinghis Khan, dan band Faun mengangkat tema Lorelei di dalam

karya mereka. Karya mereka diciptakan pada rentang waktu yang berbeda; Heine membuat

puisi berjudul Lorelei pada tahun 1823, band Dschinghis Khan membuat lagu berjudul

Loreley pada tahun 1981, dan band Faun melakukan musikalisasi puisi berjudul Lore Lay

pada tahun 2013. Perbedaan rentang waktu pada ketiga lirik di tahun 1823, 1981, dan 2013

tidak menyebabkan adanya perubahan pandangan terhadap mitos Lorelei. Melalui telaah teori

Roland Barthes dapat dibuktikan bahwa mitos Lorelei tidak berubah karena merupakan

sesuatu yang dibentuk oleh masyarakat sejak dahulu kala. Keberadaan mitos ini dimunculkan

karena terdapat kepercayaan kuat terhadap dugaan adanya sosok dibalik banyaknya

kecelakaan yang terjadi di tebing diatas sungai Rhein. Mitos Lorelei disini juga berperan

sebagai mitos primitif sehingga bersifat kekal dan tidak dinamis. Ketetapan pandangan

mengenai mitos Lorelei menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan pada pengarang yang

sulit keluar dari kungkungan pandangan mengenai perempuan sebagai Sosok yang Lain.

Disini pengarang dapat dikatakan mewakili masyarakat Jerman atau sebagai perantara

masyarakat Jerman untuk membuktikan bahwa memang terdapat kepercayaan tentang mitos

yang dikonstruksikan ke dalam bentuk karya Lorelei.

Pada teks Lorelei di tahun 1823, terdapat perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan

yang memenuhi konstruksi gender. Laki-laki dilihat sebagai subjek, namun juga dapat

berubah menjadi objek apabila ia dikuasai oleh kekuatan perempuan. Di sisi lain, perempuan

sebagai Sosok yang Lain memperlihatkan posisinya sebagai objek semata dan apabila ia

menjadi subjek sekalipun maka ia menjelma menjadi subjek yang jahat. Begitu pula pada teks

Loreley di tahun 1981, tokoh laki-laki dipandang sebagai subjek. Akan tetapi, laki-laki

menjelma menjadi objek apabila ia gagal mempertahankan eksistensinya. Posisi tokoh

perempuan disini dicitrakan sebagai Sosok yang Lain, yang termanifestasikan ke dalam posisi

objek dan subjek. Kemudian pada tahun 2013 disebutkan dalam teks Lore Lay bahwa posisi

laki-laki menempati kedudukan hanya sebagai subjek saja. Teks ini juga menunjukkan

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 18: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

19

sesuatu yang tidak terdapat pada dua teks sebelumnya, yaitu adanya usaha untuk

memunculkan tokoh perempuan secara langsung. Namun setelah diteliti lebih lanjut,

kemunculan perempuan sebagai subjek bersifat tidak tetap karena Lore Lay kembali lagi

menjadi objek karena ia “ada” untuk orang lain.

Daftar Referensi

Sumber Pustaka

Beauvoir, Simone de. 2016. The Second Sex. (terjemahan Toni B. Febriantono). Jakarta: PT

Buku Seru

Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama

Esser, Rolf. 2007. Das groβe Arbeitsbuch Literaturunterricht – Lyrik, Epik, Dramatik. Verlag

an der Ruhr

Marquaβ, Reinhard. 1997. Duden Abiturhilfen Erzählende Prosatexteanalysieren.

Mannheim: Dudenverlag

Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Wibowo, Indiwan, Seto, Wahyu. 2013. Semiotika Komunikasi : Aplikasi Praktis Bagi

Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta : Mitra Wacana Media

Wolf, Naomi. 2002. The Beauty Myth: How Images of Beauty are used against Woman. New

York: HarperCollins Publisher

Sumber Elektronik

Blonde Hair Facts - https://www.factretriever.com/blonde-hair-facts (Diakses pada 1 April

2017, pukul 20.07 WIB)

Chinese Foot Binding - http://library.thinkquest.org/J0111742/footbinding.htm (Diakses pada

18 Mei 2017, pukul 23.08 WIB)

Femme Fatale - http://www.detnovel.com/femmefatale.html (Diakses pada 17 Mei 2017,

pukul 19.00 WIB)

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017

Page 19: MITOS LORELEI DALAM TIGA LIRIK YANG BERBEDA DI TAHUN …

20

Mengenal 4 Elemen Artikulasi - http://teatersastraui.org/mengenal-4-elemen-artikulasi/

(Diakses pada 8 Mei 2017, pukul 21.09 WIB)

Myth Lorelei - http://tvtropes.org/pmwiki/pmwiki.php/Myth/Lorelei (Diakses pada 6 Mei

2017, pukul 14.02 WIB)

Rhein, Sungai Romantis - http://www.dw.com/id/rhein-sungai-romantis/a-17143296 (Diakses

pada 6 Mei2017, pukul 13.06 WIB)

Tebing Loreley - http://eropa.panduanwisata.id/german/tebing-loreley-keindahan-alam-

berbalut-cerita-legenda/ (Diakses pada 6 Mei 2017, pukul 12.45 WIB)

The Little Mermaid - http://hca.gilead.org.il/li_merma.html (Diakses pada 5 Mei 2017, pukul

13.30 WIB)

Sumber Jurnal

W. Ray Crozier, “The Blush: Literary and Psychological Perspectives”, diakses dari

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/jtsb.12105/pdf (Diakses pada 23 April 2017,

pukul 20.06 WIB)

Mitos lorelei ..., Griselda Febrina Talitha, FIB UI, 2017