menyoal kebebasan berpendapat
TRANSCRIPT
MENYOAL KEBEBASAN BERPENDAPAT
03.36
Merebaknya kembali kasus-kasus yang berintikan kebebasan
berpendapat akhir-akhir ini menjadi perhatian dan keprihatinan
berbagai kalangan khususnya para pemerhati demokrasi dan hak asasi
manusia. Sebut saja kasus Prita Mulyasari untuk skala nasional,
sementara di skala lokal Sulawesi Selatan Kasus Upi Asmaradhana,
Abdul Rahman Saleh dan Saharuddin Ridho.
Mereka yang mencoba mengekspresikan hak fundamental dan
konstitusionalnya tetapi oleh aparat penyidik dan penuntut umum
dianggap sebagai sebuah kejahatan. Deretan kasus ini menjadi sebuah
paradoks sekaligus ujian bagi bangsa ini yang mendaku sebagai
negara demokrasi. Fenomena ini pula semakin menegaskan bahwa
demokrasi tidak selamanya berjalan linear jika berhadapan dengan
hukum khususnya politik hukum.
Hak Fudamental dan Konstiutsional
Kebebasan berpendapat atau kemerdekaan berpendapat merupakan
salah satu hak asasi manusia yakni hak untuk berpendapat atau
berekspresi. Jika dilitilik dari generasi hak asasi menusia merupakan
kategori hak fundamental. Sebuah hak yang terdapat pada generasi
pertama dalam sejarah dan perkembangan hak asasi manusia, yakni
hak tergolong dalam hak sipil dan politik (politic and civil right).
Dikatakan fundamental karena jauh sebelum rakyat melahirkan
sebuah organisasi negara, rakyat sudah diberikan hak dan kebebasan
yang paling asasi ini.
Dalam teori klasik tentang asal mula negara dari seorang ahli filsafat
dan penganut teori perjanjian masyarakat (social contrac) yakni John
Locke dalam bukunya “Two Treaties Of Civil Government “ yang
menjelaskan tentang proses lahir negara dalam bentuk penjanjian
masyarakat. Dalam pendangan Locke, ketika perjanjian antara warga
dengan penguasa, individu tidak menyerahkan seluruh hak-hak
alamiah (fundamental) mereka karena hak alamiah yang merupakan
hak asasi yang tidak dapat dipisahkan atau dilepaskan dari individu
tersebut. Untuk itu penguasa yang diserahi tugas mengatur hidup
individu dalam ikatan kenegaraan harus menghormati hak-hak asasi
tersebut. Dimata Locke, disinilah fungsi dari perjanjian masyarakat
yakni untuk membatasi kekuasan yang mutlak dan untuk menjamin
hak-hak kodrat itu. Salah satu diantara hak kodrat atau fundamental
dimaksud tersebut adalah hak untuk berpendapat.
Filosofi diatas kemudian mendasari negara-negara demokratis yang
tidak boleh membatasi apalagi melarang setiap orang untuk
berpendapat. Negara lewat pemerintah sebagai pemegang mandat
rakyat dan aparatur negara justeru seharusnya memberikan
penghormatan dan penghargaan bagi mereksa yang melaksanakan
hak asasinya.
Hal ini pula yang mempengaruhi konsep negara hukum
materiil/modern atau yang lebih pupoler dengan istilah Negara
Kesejahteraan (walfare state) sebagai thesa negara polis dan antithesa
negara hukum formil. Sebuah negara yang becirikan prinsip supremasi
hukum, persamaan dimuka hukum dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia. Menurut konsep negara kesejahteraan, sifat hubungan
rakyat adalah positif-aktif dimana negara aktif menyelanggarakan
kesejahteraan/kemakmuran rakyat sementara rakyat aktif
berpartisipasi dalam pemerintahan (A. Mukhtie Fadjar, 2005).
Seperti umumnya hak lainnya, hak berpendapat dalam pengertian hak
asasi manusia selalu mengandung dua aspek yakni keberhakan
(entitlement) dan kebebasan (freedom). Apa yang kita sebut hak sama
artinya dengan apa yang kita namakan kebebasan. Misalnya hak atas
pendidikan, hak dasar ini tidak bisa maksimal perwujudannya jika tidak
ada jaminan kebebasan berpendapat. Termasuk dalam hal ini institusi
pers hanya bisa maksimal dalam menjalankan fungsi kontrolnya jika
ada kebebasan berpendapat dan berkespresi.
Sebagai rumpun hak sipil dan politik, hak berpendapat bersifat negatif,
yakni pelaksanaannya semakin baik jika kurang intervensi negara. Hal
ini didasarkan pada aspek kebebasan dalam hak yakni bebas untuk
(freedom in it self) yang tidak bisa dibatasi dan bersifat imperatif.
Namun di sisi lain pada prinsipnya hak bependapat termasuk hak yang
bisa ditangguhkan sementara pelaksanannya dalam keadaan tertentu
seperti dalam keadaan perang. Pembatasan-pembatasan tertentu
terhadap hak ini diperbolehkan sepanjang berkaitan dengan
kepentingan orang–orang lain atau kepentingan masyarakat secara
keseluruhan. Komentar Umum 10 (4) Internasional Convenant Civil and
Politic Rights (ICCPR) menegaskan bahwa penerapan pembatasan
kebebasan kemerdekaan berekspresi tidak boleh membahayakan
esensi hak itu sendiri.
Dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia, hak berpendapat
ini dijaminkan dalam klausul konstitusi. Jaminan tersebut diatur dalam
Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menegaskan
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan. Sebagai sebuah nilai sosial, acuan normatif
konstitusional dan ideal ini masih harus diwujudkan secara empiris.
Dimana prosesnya diharapkan bersifat konsisten, sehingga nilai sosial
dari kebebasan masyarakat dapat terwujud. Wujud empiris tersebut
sangat ditentukan beberapa hal antara lain kondisi dan prasyarat yang
diberikan oleh kekuasaan (pemerintah) kepada masyarakat dalam
bentuk orientasi dan subyetifitas penguasa.
Perwujudan hak konstiusional bisa terjamin jika orientasi
penyelanggaraan negara/birokrasi selaras dengan kecenderungan
individu warga negara. Sebaliknya perwujudan yang tidak selaras
tetapi hanya bertolak dari kecenderungan individual dari
penyelenggara negara/birokrasi yang masuk pada ranah personal
(personal domain) pejabat negara, yang bisa terwujud atas itikad dari
pejabat negara. Kasus Upi Asamaradana atau Koalisi Jurnalis
Tolak Kriminalisasi Pers Makassar (KJTKPM) bisa menjadi contoh
bagaimana ranah personal lebih mendominasi aparat negara dalam
membungkam hak berpendapat warganya. Bahkan walam wujud yang
lebih jauh telah mengarah pada penyalahgunaan kewenangan dengan
melakukan kriminalisasi terhadap KJTKPM khususnya Upi
Asamaradana.
Kebebasan Berpendapat vs Defamasi
Tidak selamanya hak berpendapat sebagai hak fundamental dan
konstitusional ini tercipta sesuai kondisi dan prasyarat kekuasaan
negara tidak terkcuali kasus Upi Asamaradana yang tergabung dalam
KJTKPM. Logika filosofi dan hak asasi manusia yang ideal diatas tidak
selamanya sebangun dengan logika praksis penguasa lewat para
penyidik dan prosecutornya.
Beberapa warga negara yang mencoba mengekpresikan hak
berpendapatnya tetapi kemudian dikriminalisasi dengan menggunakan
delik-delik pencemaran nama baik atau defamasi (defamation).
Sejarah delik defamasi dalam pasal-pasal Wetboek van Strafrecht
(WvS) Belanda pada awalnya digunakan sebagai instrument untuk
mengukuhkan kekuasaan otoritarian dengan hukuman yang sangat
kejam saat itu. Demikian juga halnya di Indonesia yang nota bene
bekas jajahan Belanda yang serta merta mengadopsi WvS kedalam
KUHP oleh rezim Orde Lama dan Orde Baru dijadikan media yang
ampuh untuk melakukan pembungkaman terhadap warga yang
melakukan kritik dan protes.
Masih berlaku positipnya delik-delik defamasi tersebut diperparah oleh
politik hukum pidana yang menempatkan hukum pidana sebagai
subordinasi dari politik kekuasaan yang refresif. Akibatnya delik
defamasi oleh aparat penguasa dan pihak-pihak tertentu masih
dijadikan senjata ampuh untuk menegasikan atau mereduksi
kebebasan berpendapat. Sebuah gambaran dari jenis hukum yang oleh
Philippe Nonet dan Philip Selznick disebut sebagai hukum represif.
Jenis hukum yang memiliki karakter antara lain; hukum diidentikkan
sama dengan negara, melanggengkan sebuh otoritas, lembaga control
yang terspesialisasi (polisi), rezim hukum berganda melembangakan
keadilan berdasarkan kelas, hukum pidana merefleksikan nilai-nilai
dominan (Philippe Nonet dan Philip Selznick: 2007)
Untuk itu dalam kaitannya delik defamasi dengan kebebasan
berpendapat seharusnya diletakkan dalam kerangka
pertanggungjawaban pidana dan beberapa alasan pembenar atau
pemaaf. Sebuah tindakan yang didasari atas nilai sosial dan diatur
dalam ketentuan perundang-undangan sebagai Mens Rea atau guilty
of mind harusnya dianggap sebagai perbuatan yang patut dan tidak
tercelah bukan sebaliknya yakni perbuatan melawan hukum. Demikian
juga halnya dengan perbuatan tersebut tidak bisa dihukum jika apa
yang dilakukan untuk membela kepentingan umum atau bermanfaat
besar bagi masyarakat (social adequat) yang sesuai dengan kebutuhan
zaman, terpaksa untuk membela diri serta untuk mengungkapkan
kebenaran.
Selain itu pertimbangan hukum sebuah delik defamasi yang terkait
dengan kebebasan berpendapat tetap memperhatikan ukuran
penghinaan dari sudut subyektif yang diobjektivisir dan tidak melulu
didasari sudut pandangan subyektif. Dengan ukuran perasaan
subyektif yang diobjektivisir tersebut akan menjamin ditegakkannya
kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam delik-delik
penghinaan tanpa merusak asas-asas hukum lainnya. Sebaliknya, jika
hanya menggunakan ukuran subyektif saja, delik-delik penghinaan
akan menjadi penghambat hubungan antar sesama dalam pergaulan
dalam masyarakat.
Karena setiap orang memiliki perasaan dan personalitas yang berbeda-
beda, maka perasaan yang subyektif tersebut perlu diobyektifikasi,
yakni apakah perbuatan tersebut menurut ukuran umum pada waktu
dan tempat/lingkungan di mana perbuatan dilakukan termasuk
perbuatan penghinaan atau tidak. Apalagi hukum pidana belum jelas
mengatur tentang kapan seseorang dapat dikatakan terserang
kehormatan atau nama baiknya.
Untuk itu dalam konteks hukum hak asasi manusia internasional dalam
upaya menegakkan hak dasar dan melindungi hak atas reputasi,
negara diwajibkan untuk menciptakan dua instrumen hukum yaitu
hukum pidana dan juga hukum perdata. Bahkan di beberapa negara,
pidana penjara atas tindak pidana pencemaran nama baik sudah
dihapus. Selanjutnya penyelesaiannya lebih pada mekanisme perdata,
dimana orang yang mengklaim nama baiknya tercemar yang harus
membuktikan kebenarannya. Penggunaan instrumen hukum pidana
dikhawatirkan dapat membatasi esensi hak atau kebebasan
berpendapat itu sendiri. Dimana salah satu esensi dari Kebebasan
Berpendapat itu adalah penghargaan dan egaliterianisme.
Kemerdekaan Berpendapat
Posted by aulia under Buah Pikiran | Tags: Buah Pikiran, Kemerdekaan Berpendapat |
[3] Comments
Merdeka artinya tidak terikat, tidak terikat kepada ruang, tidak terikat kepada waktu, maupun tidak
terikat kepada hukum dan perorangan. Salah satu kemerdekaan yang paling dibutuhkan manusia adalah
kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat adalah hak alami yang dimiliki manusia berdasarkan
keyakinan akal sehat manusia. Kebebasan yang dimaksud disini adalah kebebasan untuk mengeluarkan
pendapat dimuka umum tanpa rasa takut, tanpa dilarang, hanya mengeluarkan pendapat yang mungkin
muncul saja secara tiba-tiba dari pikiran kita, tentu saja bebas yang dimaksud adalah bebas yang
bertanggung jawab, pendapat yang dikeluarkan bisa saja melalui berbagai cara seperti secara lisan dan
tulisan. Namun terlepas dari masalah itu kebebasan berpendapat harus diberikan ruang yang pas untuk
membatasi perbedaan pendapat terutama untuk yang menyangkut hal-hal yang prinsipil bagi seseorang,
Berbicara merupakan hak yang dimiliki manusia sebagai mahkluk yang mempunyai akal, namun apakah
komunikasi yang memaparkan seseorang dalam cemoohan, permusuhan, penghinaan dan menurunkan
citranya pada rekan-rekan, membuatnya dijauhi, atau merugikannya dalam pekerjaannya adalah hal
yang pantas untuk dilakukan?
Kebebasan berpendapat memang sangat bagus karena pendapat yang kita keluarkan adalah cermin dari
diri kita sendiri, orang lain dapat menilai diri kita dari cara kita berbicara baik itu secara positif ataupun
negatif. Kasus yang sering terjadi sekarang ini adalah banyak orang yang berbicara terlalu bebas dengan
dalih kemerdekaan berpendapat namun malah mengganggu hak orang lain. Hak yang dimaksud adalah
privasi seseorang. Siapa yang bersedia jika privasinya diganggu? Karena privasi adalah hak manusia juga,
hak manusia untuk sendiri dan tak diganggu, hak manusia untuk bebas dari publisitas tanpa dasar,
maukah anda jika hak anda tidak dapat dicapai karena orang lain?
Manifestasi sejati dari kebebasan berpendapat adalah komunikasi dari sudut pandang yang berbeda,
bukan dari dialog orang-orang yang mempunyai sudut pandang yang sama. Komunikasi tersebut dapat
dijadikan ajang debat yang secara positif bisa meningkatkan intelegensia kita sebagai manusia.
Sesuatu hal yang tidak kita inginkan adalah merasakan kerugian akibat perbuatan orang lain dan
tentunya kita tidak akan menghilangkan hak-hak orang lain dengan mengeluarkan pendapat yang
mungkin hanya mengejar kepuasan sendiri, bukan?
Jawabannya ada pada hati nurani anda…
Makalah Tentang Kebebasan Mengeluarkan Pendapat Menurut UUD 1945 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di zaman modern seperti sekarang ini pada umumnya hampir semua negara menyatakan dirinya sebagai negara bersistem Demokrasi, termasuk Republik Indonesia yakni sistem pemerintahan yang bersumber pada Kedaulatan Rakyat. Kedaulatan Rakyat merupakan paham kenegaraan yang menjabarkan dan pengaturannya dituangkan dalam Konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara, dan penerapan selanjutnya disesuaikan dengan filsafat kehidupan rakyat negara yang bersangkutan.
Spirit kerakyatan yang menjadi watak negara Demokrasi merupakan syarat utama dalam format negara yang berkedaulatan rakyat, karena kekuatan tertinggi terletak ditangan rakyat. Kesetaraan martabat dan persamaan hak politik mengindikasikan tentang kesamaan hak politik dari setiap warganegara. Lebih dari itu, negara demokratis tidak bisa tidak harus menunjukkan adanya kebebasan politik yang menyangkut kebebasan berfikir, menyatakan pendapat dan aksi dalam urusan politik. Termasuk hal mendapat akses untuk informasi politik serta kebebasan untuk mendiskusikan dan mengkritik figur politik. Dalam negara Demokrasi selain menghargai mayoritas, juga pelaksanaan kekuasaan harus dipertanggungjawabkan dan responsif terhadap aspirasi rakyat. Demokrasi menuntut suatu dasar kesepakatan ideologis suatu keteraturan dan kebebasan sehingga ada sofistifikasi dalam pertarungan politik Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya sebab dengan Demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi pemerintahan sesuai dengan kehendaknya dapat dijamin. Oleh sebab itu, hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai negara tidaklah sama.
Prof. Amin Rais memaparkan adanya sepuluh kriteria demokrasi yakni :
Partisipasi dalam pembuatan keputusan Persamaan di depan hukum Distribusi pendapatan secara adil Kesempatan pendidikan yang sama Empat macam kebebasan yaitu, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan
persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama Ketersediaan dan keterbukaan informasi Mengindahkan etika politik Kebebasan individu Semangat kerjasama Hak untuk protes
Sedangkan Prof Dahlan Thaib dalam bukunya Pancasila Yuridis Ketatanegaraan mengungkapkan bahwa sistem pemerintahan Demokrasi mengandung unsur-unsur yang paling penting dan mendasar yaitu:
Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik Tingkat persamaan tertentu diantara warga negara Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh warga
negara Suatu sistem perwakilan Suatu sistem pemilihan kekuasaan mayoritas
Dari pendapat beberapa pakar diatas dapat disimpulkan bahwa didalam negara yang menganut sistem pemerintahan Demokrasi terdapat adanya pengakuan dari negara bahwa
setiap warga negara dapat secara bebas mengeluarkan pendapatnya dimuka umum. Kebebasan mengeluarkan pendapat dimuka umum di dalam konstitusi Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 pasca Amandemen kedua telah diatur dalam pasal 28E ayat (3) yang menyatakan Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Yang dimaksutkan setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat dapat berbentuk ungkapan atau pernyataan dimuka umum atau dalam bentuk tulisan ataupun juga dapat berbentuk sebuah aksi unjuk rasa atau demonstrasi. Unjuk rasa atau demonstrasi dalam kenyataan sehari-hari sering menimbulkan permasalahan dalam tingkatan pelaksanaan, meskipun telah dijamin dalam konstitusi kita namun tata cara dan pelaksanaan unjuk rasa seringkali melukai spirit demokrasi itu sendiri. Aksi unjuk rasa seringkali berubah menjadi aksi yang anarkis dan melanggar tertib sosial yang telah terbangun dalam masyarakat. Tahun 1998 disaat awal mula tumbangnya Soeharto dimana puluhan ribu mahasiswa berunjuk rasa turun keruas-ruas jalan di Jakarta merupakan sebuah momen dimana unjuk rasa dapat menjadi aksi anarkis berupa perampokan, penjarahan dan pembakaran bahkan yang lebih parah aksi unjuk rasa dapat memakan korban jiwa. Dengan melihat kondisi yang demikian tersebut Pemerintah pada tahun 1998 mengeluarkan Undang-Undang Nomer 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Meskipun tidak menyentuh secara detail tatacara dan pelaksanaan dari unjuk rasa itu sendiri namun Undang-undang ini memberikan sedikit harapan agar dikemudian hari aksi unjuk rasa tidak selalu diwarnai dengan aksi-aksi anarkis. Dalam Undang-undang tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1 yang dimaksudkan dengan Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di muka umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang. Unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. Adapun tujuan pengaturan mengenai kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum ini seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 UU No.9 Tahun 1998 adalah sebagai berikut: Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat, mewujudkan iklim yang kondusif bagi perkembanganya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi, dan menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum dalam perspektif UUD 1945 pasal 28.
2. Bagaimana bentuk-bentuk dan tata cara penyampaian pendapat dimuka umum munurut UU No. 8 tahun 1988.
3. Jelaskan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang kebebasan mengeluarkan pendapat dimuka umum.
BAB IIPEMBAHASAN
A. Kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum dalam perspektif UUD 1945 pasal 28
Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang". Kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut sejalan dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas". Perwujudan kehendak warga negara secara bebas dalam menyampaikan pikiran secara lisan dan tulisan dan sebagainya harus tetap dipelihara agar seluruh tatanan sosial dan kelembagaan baik infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari penyimpangan atau pelanggaran hukum yang bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum sehingga tidak menciptakan disintegrasi sosial, tetapi justru harus dapat menjamin rasa aman dalam kehidupan masyarakat.
Kebebasan berpendapat adalah produk demokrasi yang memberikan hak kepada setiap warga Negara untuk mengemukakan pikiran atau ide baik berbentuk lisan maupun tertulis dengan tata cara yang sesuai dengan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku. Akan tetapi kebebasan berpendapat ini terkadang disalah artikan oleh anak bangsa sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945 pasal 28 hanya menjadi sebuah landasan hukum yang bersifat pasif.Dalam konteks Indonesia landasan hukum yang mengatur tentang kebebasan mengeluarkan pendapat diatur dalam pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi :
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Maksud dari tujuan tersebut adalah bagaimana negara memberikan perlindungan dan menjamin kebebasan kepada setiap warganegara untuk menyampaikan pendapat di muka umum sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia namun juga diringi dengan tanggung jawab dari individu tersebut dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga dapat tercipta suasana yang kondusif bagi perkembangan partisipasi dan kreatifitas warganegara dalam keikutsertaannya untuk mewujudkan suasana yang demokratis. Seperti yang telah disinggung diatas, setiap warganegara yang akan menyelenggarakan unjuk rasa mempunyai hak dan kewajiban yang mestinya harus dipatuhi. Hak dan kewajiban ini diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU No.9 Tahun 1998. Hak-hak yang dimiliki warganegara dalam menyampaikan pendapat dimuka umum yakni mengeluarkan pikiran secara bebas dan, memperoleh perlindungan hukum, sedangkan kewajiban-kewajiban yang harus ditanggung oleh warganegara dalam menyampaikan pendapat di muka umum antara lain menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, menaati hukum dan ketentuan peratuan perundangan yang berlaku, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Sedangkan untuk aparat pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia; menghargai asas legalitas; menghargai prinsip praduga tak bersalah; dan menyelenggarakan pengamanan. (Pasal 7 UU No. 9 Tahun 1998). Selain hak dan kewajiban para demonstran dan para aparatur penegak hukum Undang-Undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum juga mengatur mengenai pemberitahuan kepada aparat Kepolisian ini.
Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum ini sebelum melakukan kegiatan diharuskan untuk memberitahukan terlebih dahulu kepada pihak kepolisian. Hal ini diatur dalam Pasal 10 UU No.9 Tahun 1998, antara lain sebagai berikut: Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri, Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin atau penanggung jawab kelompok, Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3X24 (tiga kali dua puluh empat jam) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat, Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah didalam kampus dan kegiatan keagamaan.
B. Bentuk-bentuk dan tata cara penyampaian pendapat dimuka umum munurut UU No. 8 tahun 1988.
Dalam menggunakan hak kebebasan mengemukakan pendapat, kita harus memegang prinsip bebas dan bertanggung jawab. Bebas artinya bahwa segala ide, pikiran atau pendapat kita, dapat dikemukakan secara bebas tanpa tekanan dari siapa pun. Bertanggung jawab maksudnya bahwa ide, pikiran atau pendapat kita tersebut mesti dilandasi akal sehat, niat baik dan norma-norma yang berlaku.Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab, sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, yang antara lain menetapkan sebagai beruikut :
1. Setiap orang memiliki kewajiban terhadap masyarakat yang memungkinkan pengembangan kepribadian secara bebas dan penuh.
2. Dalam pelaksanaan hak kebebasan, setiap orang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang lain, untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
3. Hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalankan secara bertentangan dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 terdapat lima asas yang merupakan landasan kebebasan bertanggung jawab dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Kelima asas tersebut, yaitu :
1. Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban 2. Asas musyawarah dan mufakat 3. Asas kepastian hukum dan keadilan 4. Asas proporsionalitas 5. Asas mufakat
Yang dimaksud atas proporsionalitas adalah asas yang meletakkan segala kegiatan sesuai dengan konteks atau tujuan kegiatan tersebut, baik yang dilakukan oleh warga negara, institusi maupun aparatur pemerintah yang dilandasi oleh etika individual, etika sosial dan etika institual. Dengan landasan atas kelima asas kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum tersebut, maka dalam pelaksanaannya diharapkan dapat mencapai tujuan berikut, yakni :
1. Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
2. Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat.
3. Mewujudkan iklim yang kondusif bagi perkembangan partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi.
4. Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.
Setiap warga negara perlu mengerti hak dan kewajiban warga negara dalam mengemukakan pendapat.
1. Hak Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk :
Mengeluarkan pikiran secara bebas
Memperoleh perlindungan hukum
1. 2. Kewajiban Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa
Dalam kemerdekaan terkandung dua makna yaitu kebebasan dan tanggung jawab. Karena itu kita harus menyeimbangkan antara kebebasan dan tanggung jawab.Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab, yaitu :
1. Pendapatnya harus disertai argumentasi yang kuat dan masuk akal, sehingga tidak sembarang pendapat.
2. Pendapat hendaknya mewakili kepentingan orang banyak, sehingga memberi manfaat bagi kehidupan bersama.
3. Pendapatnya dikemukakan dalam kerangka peraturan yang berlaku, sehingga tidak melanggar hukum.
4. Orang yang berpendapat sepatutnya terbuka terhadap tanggapan, sehingga tercipta komunikasi sosial yang baik.
5. Penyampaian pendapat hendaknya dilandasi oleh keinginan untuk mengembangkan nilai-nilai keadilan, demokrasi dan kesejahteraan.
Setiap warga negara bebas mengemukakan pendapat asal pendapat tersebut tidak bertentangan dengan falsafah negara Indonesia yakni Pancasila, UUD 1945 dan Tujuan Negara RI.Prinsip dasar musyawarah adalah untuk mencapai mufakat, sehingga dalam bermusyawarah dibutuhkan partisipasi aktif dari peserta musyawarah. Sedangkan untuk menunjukkan sikap positif terhadap penggunaan hak mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab di muka umum seperti unjuk rasa, demonstrasi, pawai, rapat umum/mimbar bebas dapat dilakukan dengan cara :1. Berani mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab.2. Bersikap kritis dan memperjuangkan hak dan kesejahteraan rakyat.3. Bersikap sopan dan tertib serta memenuhi aturan yang dipersyaratkan UU.4. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Bentuk dan Tata cara penyampaian pendapat dimuka umum menurut UU No. 9 tahun 1998 Pasal 9
(1) Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan: a. unjuk rasa atau demonstrasi; b. pawai; c. rapat umum; dan atau d. mimbar bebas. (2) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali: a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional; b. pada hari besar nasional. (3) Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum.
Pasal 10(1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri. (2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok. (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat. (4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.
Pasal 11Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) memuat: a. maksud dan tujuan; b. tempat, lokasi, dan rute; c. waktu dan lama; d. bentuk; e. penanggung jawab; f. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan; g. alat peraga yang dipergunakan; dan atau h. jumlah peserta.
Pasal 12(1) Penanggung jawab kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9, dan Pasal 11 wajib bertanggung jawab agar kegiatan tersebut terlaksana secara aman, tertib, dan damai. (2) Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta unjuk rasa atau demonstrasi dan pawai harus ada seorang sampai dengan 5 (lima) orang penanggung jawab.
Pasal 13(1) Setelah menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Polri wajib: a. segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan; b. berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum; c. berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat; d. mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute.
(2) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum. (3) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Pasal 14Pembatalan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum disampaikan secara tertulis dan langsung oleh penanggung jawab kepada Polri selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam sebelum waktu pelaksanaan..C. Aturan-aturan hukum yang mengatur tentang kebebasan mengeluarkan pendapat dimuka umum
a. Tap MPR RI No XVSII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 14, 19, 20, dan 21
Pasal 14
Setiap orang berhak menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani
Pasal 19
Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat,berkumpul dan mengeluarkan pendapat
Pasal 20
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
Pasal 21
Setiap orang berhak untuk mencari,memperoleh,memiliki, menyimpan, mengola,dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
b. UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 14
(1)Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.(2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Pasal 23 ayat (2)
Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Pasal 25
Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IIIPENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di muka umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang.
2. Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.
3. Dalam menggunakan hak kebebasan mengemukakan pendapat, kita harus memegang prinsip bebas dan bertanggung jawab. Bebas artinya bahwa segala ide, pikiran atau pendapat kita, dapat dikemukakan secara bebas tanpa tekanan dari siapa pun. Bertanggung jawab maksudnya bahwa ide, pikiran atau pendapat kita tersebut mesti dilandasi akal sehat, niat baik dan norma-norma yang berlaku. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang dasar 1945
Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyatakan pendapat dimuka umum
Tap MPR No. XVII Tahun 1998 tentang HAM Susanto, Astrid (1975) pendapat umum, Bandung. Binacipta Bandung Hennessy Bernard (1990)
Kemerdekaan dan Demokrasi steve jm
Keduanya bukanlah kata yang sulit bagi telinga setiap orang, bahkan anak kecil sekali pun. Namun percaya atau
tidak, ketika seseorang ditanya apa arti kemerdekaan dan demokrasi yang sesungguhnya, mereka akan merenung
sesaat lalu menggaruk-garuk kepalanya perlahan dan baru sesaat kemudian bibirnya akan terbuka mencoba
mengeluarkan semua yang ada di kepalanya.
Apakah ia benar-benar merdeka ?
Lain halnya ketika berbicara mengenai demokrasi, semua mengartikannya sebagai kebebasan dan disambung
dengan keluh kesah akan ketidakadilan yang ada dan selalu ada.
Ketika jumlah kita hanya 300 orang mungkin lebih mudah mewujudkan semua arti kata demokrasi, namun dengan 5
milyar penduduk bumi ? berapa milyar kepentingan yang ada ?
Tentang Kemerdekaan
Kemerdekaan, dari kata Merdeka yang artinya bebas, tidak terikat, atau tidak dijajah, dapat diartikan lepas dari
segala ikatan yang tidak pantas/layak, sehingga menjadi bebas untuk menentukan nasib sendiri demi segala
kebaikan.
Kata merdeka berasal dari bahasa Sansekerta Mardika yang artinya pandai, terhormat, bijaksana dan tidak tunduk
kepada sesorang sealin raja dan Tuhan. Dalam bahasa Melayu Merdika berati bebas, baik dalam pengertian fisik,
kejiwaan, maupun dalam arti politik.
Dalam pengertian negara, kemerdekaan dapat pula diartikan sebagai keleluasaan bagi setiap warga negaranya
untuk terlibat dalam kegiatan politik dan sosial kemasyarakatan, tanpa adanya berbagai paksaan atau tekanan dari
pihak masyarakat dan pemerintahan/negara.
Franklin D Roosevelt, presiden Amerika Serikat tahun 1933 – 1945 mencetuskan rumusan tentang kemerdekaan,
yang terkenal dengan sebutan The Four Freedom yang berisi Freedom of Speech, Freedom of Religion, Freedom
from Fear dan Freedom from Want (kemelaratan). Dalam konsep tersebut, poin keempat mencerminkan adanya
perubahan dalam alam pikiran manusia yang mulai merasa bahwa kemerdekaan politik pada diri setiap orang tidak
cukup untuk membuat menciptakan kebahagiaan baginya.
Tentang Demokrasi
Demokrasi, berasal dari kata Yunani Demos yang berarti Rakyat dan Kratia yang berarti pemerintahan, suatu bentuk
pemerintahaan yang mengikut sertakan seluruh anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut soal-soal kenegaraan dan kepentingan bersama, dengan adanya pengakuan terhadap hak rakyat ini,
pemerintahan demokrasi disebut pemerintahan dari rakyat untuk rakyat
Bentuk pemerintahan demokrasi pertama dikembangkan di Yunani Kuno pada abad ke-6 SM. Pemerintahan
demokrasi Yunani tumbang di pada masa peralihan pertama Macedonia dan Romawi.
Demokrasi modern berkembang sejak abad ke-17 dimulai dengan pecahnya Revolusi Industri yang mengakibatkan
Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika.
John Locke (1632 – 1714) seorang ahli filsafat Inggris, berargumen bahwa pemerintahan politik dibentuk oleh kontrak
sosial dimana setiap individu menyerahkan hak-hak pribadi mereka untuk menerjemahkan hukum/aturan dengan
jaminan bahwa pemerintahan tersebut akan melindungi hak-hak asasi mereka seperti hak untuk hidup, kebebasan
dan kemakmuran. Jika suatu saat komunitas tersebut tidak lagi bisa menjamin hak tersebut, maka mereka berhak
mencabut atau menggulingkan pemerintahan tersebut.
Sementara itu Jean Jaques Rousseau (1712 – 1778) mengembangkan lebih lanjut dengan berargumen bahwa
hanya satu pemerintahan yang sah terbentuk berdasarkan keputusan/kesepatan umum bersama (general will)
rakyatnya. Tetapi sayangnya untuk mencapai kesepakatan bersama tadi tidaklah mudah pada pelaksanaannya,
pemikiran Rousseau ini yang kemudian berkembang menjadi dasar pemikiran totaliter modern dimana seorang
ditaktorlah yang menginterpretasikan kesepakatan bersama tersebut.
Setelah dicetuskannya konsep hak asasi manusia dan hak politik oleh para ahli pada masa itu seperti John Locke,
Voltaire, Jean Jaques Rousseau, teori serta bentuk Demokrasi semakin berkembang ke arah demokrasi perwakilan.
Jenis demokrasi yang berkembang sebelumnya adalah demokrasi langsung, yang hanya dapat diterapkan pada
masyarakat Yunani Kuno karena jumlah penduduk mereka pada saat itu masih sedikit.
Pada abad ke-18 dan 19, di Inggris, Amerika dan Eropa telah berkembang sistem demokrasi perwakilan liberal,
dewan perwakilan dijadikan wakil rakyat untuk mengemukaan pendapatnya, keputusan diambil berdasarkan suara
terbanyak, pemilihan dilakukan secara teratur, hak pilih dimiliki oleh setiap warga yang telah dewasa, rakyat diberi
kebebasan berbicara dan mendirikan organisasi tandingan karena golongan minoritas dianggap bagian penting dari
demokrasi itu sendiri.
Di Indonesia, demokrasi dalam arti kata yang sebenarnya telah dikenal jauh sebelum jaman penjajahan, yaitu dalam
masyarakat desa. Pada masyarakat kecil seperti desa, kesamaan hak dan kewajiban, kebebasan mengeluarkan
pendapat dan menentukan keputusan telah dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, ini misalnya, terwujud dalam
sistem gotong-royong.
Konsep demokrasi selalu banyak mendapat dukungan dimana-mana, ini karena demokrasi
mewakili/menggambarkan suatu kondisi keadilan yang ideal selayaknya pemerintahan yang adil pula. Idealisme yang
ditawarkan adalah kebebasan/kemerdekaan dan persamaan adalah baik dan bahwa peranan/proses demokrasi
selalu mempengaruhi perkembangan kualitas hidup manusia.
Dalam konsep demokrasi, partisipasi rakyat bisa menjadi efektif jika didukung oleh kebebasan politik. Sebagaimana
yang ditulis James Madison dalam The Federalist, “Liberty is to faction as air to fire”. Kebebasan yang
mempromosikan perbedaan adalah penting tidak hanya sebagai idealisme moral yang tinggi namun juga sebagai
metoda untuk menyadari arti demokrasi itu sendiri.
Tentang Kemerdekaan dan Demokrasi
Kemerdekaan dan demokrasi merupakan dua hal yang saling bertautan, tanpa kemerdekaan demokrasi tidak akan
pernah ada, apa pun bentuk demokrasinya dan apa pun bentuk kemerdekaannya.
Kemerdekaan dan demokrasi hadir dalam berbagai rupa, bentuk dan interpretasi, bergantung siapa yang
menerjemahkannya dan apa kepentingannya. Kontrak sosial merupakan satu satunya pengikat dan peletak dasar
semua itu.
Ketika kemerdekaan bagi seseorang berarti penindasan bagi orang lain, apakah itu sebuah kemerdekaan ?
Atau, ketika suatu demokrasikah jika ternyata orang lain harus terbungkam karenanya ?
Kemerdekaan dan Demokrasi bukan berarti sebebas-bebasnya atau semaunya, ada kepentingan, hak dan kewajiban
orang banyak yang terlibat di dalamnya dalam tatanan kontrak sosial.
Konsep utamanya sebenarnya sederhana, mencoba menawarkan keadilan bagi semua orang, namun sekali lagi
keadilan seperti apa ?
Kemerdekaan dan Kebebasan
17 Agustus 2010
[Renungkanlah], ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah ni’mat Allah atas kamu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kamu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepada kamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun di antara umat-umat yang lain.” [QS 5: 20].
Kemerdekaan adalah anugerah Allah kepada setiap pribadi. Ketika salah seorang anak Gubernur Mesir menampak seorang rakyat jelata yang kemudian pergi mengadu kepada Umar Ibn Al-Khaththab ra, sang Khalifah itu mengecam Gubernurnya sambil berkata, “Sejak kapan kalian memperbudak manusia, pada hal ibu mereka melahirkan mereka sebagai orang-orang merdeka.”
Kemerdekaan bagi seseorang atau satu bangsa adalah kepemilikan wewenang dan kemampuan pengaturan, terhadap diri sebagai individu dan terhadap kelompok sebagai kesatuan masyarakat bangsa. Tapi bukan hanya itu! Abu Daud meriwayatkan sabda Nabi Saw yang melukiskan seorang merdeka sebagai “Siapa yang memiliki rumah, dan pembantu”. Tentu saja makna kata ‘pembantu ‘ harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Kini ia dapat berarti alat-alat yang membantu/mempermudah seseorang memenuhi kebutuhan-nya Dengan demikian kemerdekaan bukan sekedar wewenang dan kemampuan pengaturan tetapi juga kesejahteraan hidup
Kemerdekaan sering dipersamakan dengan kebebasan, yakni kebebasan dari penjajahan lahir dan batin, bukan kebebasan mutlak. Kebebasan mutlak mustahil bagi manusia karena ini berarti mengingkari hukum, tujuan, keinginan atau ide. Itu mustahil karena keadaan demikian, menjadikan manusia keluar dari hakikat kemanusiaannya. Mereka yang menghendaki kehidupan sebebas mungkin, dan melepaskan diri dari ikatan apapun, pasti hidupnya pun dilandasi oleh keyakinan/ide tertentu atau berusaha mencari ide/keyakinan tertentu. Usahanya itu menunjukkan bahwa ia pada hakikatnya - suka atau tak suka - menerima wewenang pengaturan yang bersumber dari keyakinan atau ide yang ada dalam benaknya. Ini berarti ia tidak bebas secara mutla.. Ia dimiliki/diatur oleh sesuatu. Karena itulah maka kebebasan mutlak tak mungkin wujud, dengan kata lain harus ada pembatasan antara lain hukum yang perlu dipatuhi. Apalagi manusia adalah makhluk sosial yang tak dapat hidup tanpa bantuan pihak lain. Memang semakin sedikit kebutuhan kepada fihak lain – perorangan atau kelompok - semakin tinggi kualitas kemerdekaan
Pribadi merdeka menurut Al-Ghazali - adalah yang tidak membutuhkan kecuali Allah, dan dalam saat yang sama dia menguasai kerajaannya yakni ‘bala tentara dan rakyat’ yang dimilikinya tunduk dan taat kepadanya. Kerajaan setiap individu adalah kalbu dan wadah kalbunya; Balatentaranya adalah syahwat, amarah dan nafsunya; Rakyatnya adalah lidah, mata, tangan, dan seluruh anggota badannya. Bila semua itu dia kuasai dan tidak menguasainya, menaatinya dan bukan dia taat kepadanya, maka ketika itu ia telah mencapai tingkat kemerdekaan di alamnya.
Ketika salah seorang penguasa berkata kepada seorang arif, “Mintalah apa yang Engkau butuhkan..” Sang arif menjawab, “Apakah kepadaku engkau berkata demikian, pada hal aku memunyai dua orang hamba yang keduanya adalah tuanmu?” “Siapa mereka?” tanya sang penguasa. “Mereka adalah ketamakan dan hawa nafsu. Keduanya telah kukalahkan namun keduanya mengalahkanmu, keduanya pula telah kukuasai tetapi keduanya menguasaimu.”
Demikian juga lebih kurang halnya dengan satu bangsa. Ia harus mandiri, menguasai, dan mengatur wilayahnya, serta tidak memiliki banyak ketergantungan kepada selainnya. Masyarakatnya pun tunduk pada hukum dan peraturan. Itulah makna kemerdekaan sejati. Wa Allah A’lam. «