menyoal netralitas sain

30
MENYOAL NETRALITAS ILMU Oleh : Khairul Umam A. Pendahuluan Perkembangan ilmu pengetahuan tidak pernah terlepas dari sejarah peradaban manusia. Ia selalu terkait berkelindan satu sama lainnya. Tidak terkecuali sejarah filsafat ilmu. Filsafat itu sendiri telah muncul sejak ribuan tahun yang lalu di mana akal manusia masih dihadapkan pada ruang dinamika pemikiran yang sederhana dan permasalahan yang tidak begitu komplek seperti saat ini 1 . Sejarah ilmu pengetahuan mencatat bahwa perkembangan awal yang signifikan dalam ilmu pengetahuan dimulai sejak zaman Yunani Kuno (kurang lebih 600 SM) 2 . Di mana periode ini ditandai oleh pergeseran gugusan pemikiran (paradigm shift) dari hal-hal yang berbau mistis ke yang logis. Dari kepercayaan mistis yang irrasional terhadap fenomena alam menuju ke arah penjelasan logis yang berdasar pada rasio 3 . 1 Lihat Conny R. Semiawan dkk. Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. (Bandung;Remaja Rosda Karya), 1999, h. 3 2 Hal yang patut disayangkan di sini belum adanya literatur sejarah Islam yang dapat mengungkap secara gamblang tabir perkembangan pengetahuan manusia – terutama yang bersifat filosofis –sejak awal manusia itu sendiri hadir di muka bumi. Asumsi penulis adalah bahwa awal sejak manusia ada di muka bumi ini ia hadir dengan fenomena pemikirannya. 3 Ada perbedaan mendasar antara terminologi ‘logis’ dan ‘rasionalis’. Suatu fakta dianggap rasional apabila pembuktiannya secara empiris 1

Upload: khairul-umam

Post on 27-Dec-2015

86 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

tentang netralitas ilmu sain ilmu objektif objektifitas ilmu sain islam

TRANSCRIPT

Page 1: Menyoal Netralitas Sain

MENYOAL NETRALITAS ILMU

Oleh : Khairul Umam

A. Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan tidak pernah terlepas dari sejarah peradaban

manusia. Ia selalu terkait berkelindan satu sama lainnya. Tidak terkecuali sejarah

filsafat ilmu. Filsafat itu sendiri telah muncul sejak ribuan tahun yang lalu di mana

akal manusia masih dihadapkan pada ruang dinamika pemikiran yang sederhana dan

permasalahan yang tidak begitu komplek seperti saat ini1. Sejarah ilmu pengetahuan

mencatat bahwa perkembangan awal yang signifikan dalam ilmu pengetahuan

dimulai sejak zaman Yunani Kuno (kurang lebih 600 SM)2. Di mana periode ini

ditandai oleh pergeseran gugusan pemikiran (paradigm shift) dari hal-hal yang berbau

mistis ke yang logis. Dari kepercayaan mistis yang irrasional terhadap fenomena alam

menuju ke arah penjelasan logis yang berdasar pada rasio3.

1 Lihat Conny R. Semiawan dkk. Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. (Bandung;Remaja Rosda Karya), 1999, h. 32 Hal yang patut disayangkan di sini belum adanya literatur sejarah Islam yang dapat mengungkap secara gamblang tabir perkembangan pengetahuan manusia – terutama yang bersifat filosofis –sejak awal manusia itu sendiri hadir di muka bumi. Asumsi penulis adalah bahwa awal sejak manusia ada di muka bumi ini ia hadir dengan fenomena pemikirannya.3 Ada perbedaan mendasar antara terminologi ‘logis’ dan ‘rasionalis’. Suatu fakta dianggap rasional apabila pembuktiannya secara empiris sesuai menurut aturan hukum alam. Misal Api adalah panas. Sebaliknya ia akan dikatakan logis apabila secara empiris tidak menuruti aturan hukum alam. Misal api tidak panas bagi Nabi Ibrahim ketika dibakar karena sifat panasnya api telah diubah oleh Tuhan. lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung; Remaja Rosda Karya) 2004, h. 12-18

1

Page 2: Menyoal Netralitas Sain

Persoalan sejarah ilmu pengetahuan tidak berhenti di situ saja. Selanjutnya

terjadi semacam saling tarik-menarik yang saling mendominasi antar berbagai ide

pemikiran dalam memperjuangkan eksistensi ilmu pengetahuannya. Tujuan mulia

ilmu yang beraras pada pencapaian kebenaran yang hakiki demi kepentingan

kemaslahatan manusia itu sendiri menjadi semacam tonggak dasar dari munculnya

perselisihan dinamika ilmu pengetahuan selanjutnya. Hal tersebut dapat dilihat dari

fenomena pertentangan yang bahkan saling melemahkan dalam dunia filsafat Yunani

kuno hingga zaman-zaman selanjutnya. Contoh hal tersebut adalah perbedaan

pandangan paham rasionalisme yang dianut Plato dengan paham empirisme yang

dianut Aristoteles dalam usaha mencapai kebenaran ilmu pengetahuan kealaman.

2

Page 3: Menyoal Netralitas Sain

Mendekati abad pertengahan masehi, fenomena dunia mitos yang telah

diselimuti kabut logis-rasionalis mulai muncul kembali. Sejarawan ilmu pun mencatat

masa ini dengan masa perkembangan ilmu pengetahuan yang bercirikan teosentris

(berpusat pada kebenaran wahyu). Para pemikir ini, seperti Thomas Aquinas (1225-

1274)4 mencoba membuktikan kebenaran wahyu dengan tetap mengikutkan rasio.

Tetapi posisi rasio atau akal saat itu hanyalah sebatas sebagai hamba perempuan bagi

teologi (ansilla teologia). Filsafat menjadi abdi dari teologi di mana pemikiran

filosofis digunakan untuk mendukung wahyu. Sementara kebenaran yang didapat

melalui teori ilmiah dibungkam apabila tidak sesuai dengan otoritas ajaran wahyu.

Masa inilah yang kemudian dikenal masa suramnya ilmu pengetahuan.

Sejak munculnya kembali paham teosentris, ilmuwan rasionalisme yang

bersikukuh dalam pendiriannya terus berjuang untuk membebaskan diri dari mitos

dan berusaha mengembalikan citra rasionalismenya. Pada zaman modern, semangat

tersebut semakin bangkit setelah Rene Descartes (1596-1650) menyampaikan

diktumnya yang terkenal “cogito ergo sum” yang artinya “aku berpikir maka aku

ada”. Diktum itu mengisyaratkan bahwa rasiolah satu-satunya pengetahuan, rasiolah

sang raja pengetahuan dan ia harus terbebas dari mitos-mitos keagamaan seperti

wahyu, Tuhan, kredo, nilai dan lain sebagainya. Masa inilah yang kemudian

melahirkan “Renaisan” (yang berarti kelahiran kembali) dalam ilmu pengetahuan

serta diikuti “Aufklarung” (pencerahan) yang menandakan bangkitnya ilmu

pengetahuan dengan prinsip dasar rasionalisme, netralisme dan bebas nilai.

4 Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume hingga Thomas S Kuhn, (Jakarta; Teraju) 2002, h. 9

3

Page 4: Menyoal Netralitas Sain

Ide netralisme ilmu pengetahuan ini semakin menunjukkan eksistensinya ketika

para filosof Inggris seperti David Hume (1711-1776) dan Jhon Locke (1632-1704)

memberikan reaksi kerasnya terhadap pemikiran rasionalisme. Mereka berpendapat

bahwa pengetahuan hanya didapatkan melalui pengalaman inderawi (empirisme),

bukan penalaran rasio. Pertentangan tersebut terus berlangsung hingga muncul

seorang filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) yang membawa ide sintesis

antara rasionalisme dan empirisme. Ia berpendapat bahwa rasio dan empiri sama-

sama memiliki peran sebagai sumber pengetahuan di mana kesan-kesan empiri

dikontruksikan oleh rasio menjadi teori/konsep pengetahuan. Sementara di luar rasio

dan empiri tidak memberikan arti apa-apa bagi ilmu pengetahuan. Dengan begitu ide

sekularisasi tetap kokoh pada tempatnya semula. Sebaliknya ia seolah mendapat

kekuatan baru dalam mempertahankan eksistensinya.

Ide netralitas ilmu pengetahuan baru mendapat legitimasinya pada zaman

modern ketika muncul Filsafat Positivisme yang dimotori oleh Auguste Comte (1798-

1857) di mana pemikiran-pemikirannya tertuang dalam bukunya yang berjudul “The

Course of Positive Philosophy” yang berisi garis-garis besar prinsip positivisme-nya.5

Ia berpendapat bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai

dengan hukum alam (natural law). Tanpa ada pengaruh apapun di luarnya (objektif)

karena realitas itu independen dari subjek. Dengan begitu paham ini juga

mengenyampingkan realitas metafisika, termasuk di dalamnya mitologi dan hal-hal

yang bersifat esoteris lainnya seperti nilai.

5 lihat Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. (Yoqyakarta; Belukar), 2004, h.94

4

Page 5: Menyoal Netralitas Sain

Diantara ciri-ciri posistivisme adalah bahwa ilmu pengetahuan dipandang

sebagai sesuatu yang ‘bebas nilai’ atau ‘netral’ atau ‘objektif’. Inilah yang menjadi

dasar prinsip filosofis pemikiran positivisme. Paham ini mencoba memberi garis

demarkasi antara fakta dan nilai. Fakta berdiri sendiri di luar nilai. Dengan begitu

subjek peneliti harus mengambil jarak dengan realita dengan bersikap imparsial-

netral. Ciri lainnya adalah ‘mekanisme’, yaitu paham yang mengatakan bahwa semua

gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinis seperti layaknya mesin.

Paham posistivisme di atas telah menjadi wacana filsafat ilmu yang sangat

mendominasi pada abad ke-206. Hingga dari semakin pervasifnya dominasi tersebut,

positivisme bukan hanya menjadi bagian dari paham filsafat ilmu, menurut Ian

Hacking ia juga telah dianggap menjadi semacam agama baru7 karena ia telah

melembagakan pandangan-pandangan menjadi doktrin bagi berbagai bentuk

pengetahuan manusia, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip bebas nilai,

objektif, dan sekularismenya.

Meski demikian paham ini mendapat sorotan tajam dari kalangan ilmuwan.8

Dari beberapa pemikir yang mempermasalahkan tersebut adalah Karl R. Popper, para

filsuf Frankfurt Schule, Feyerabend, Withehead, Nashr, Al-Attas, Paul Illich dan

lainnya. Mereka menemukan fakta bahwa ilmu itu mesti terikat oleh nilai, subjek dan

tidak netral. Di balik klaim bebas nilai, tersemunyi nilai-nilai ideologis yang

mempunyai maksud tersendiri.

Perbincangan seputar paradigma ilmu bebas nilai, objektif dan netral yang

diusung positivisme inilah yang kemudian menarik minat penulis untuk mengkajinya

lebih mendalam. Penulis melihat realita yang ada di kalangan ilmuwan, baik barat

maupun muslim, masih saja berpegang teguh pada paradigma tersebut dengan

berbagai alasan, di samping juga ada yang menentangnya dengan beragam argumen

yang melemahkan ide tersebut.

6 Donny, Op.Cit, h. 827 Lihat Donny, Ibid, h. 67 bandingkan dengan Andrew Ross, ‘Introduction, Social Text 46-7, 1996, h.1-13 dalam Ziauddin Zardar, Thomas Kuhn dan Perang Ilmu.(Yogyakarta;Jendela)2002, h.48 lihat Ziauddin Zardar, Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, ed. Dan terj. AE. Priyono, (Surabaya; Risalah Gusti, 1998, h. 36

5

Page 6: Menyoal Netralitas Sain

Selain itu paradigma netralitas sain juga penting untuk dikaji karena

pemahaman ini terkait dengan dengan pemahaman sain, di mana banyak sekali aspek

kehidupan manusia yang diatur secara langsung oleh sain. Paham bahwa sain itu

netral atau terikat oleh nilai akan mempengaruhi hubungan cara kerja sain dan

manusia itu sendiri.

B. Ide Dasar Netralitas Ilmu

Kata “netral” biasanya diartikan tidak memihak9 atau imbang atau murni.

Dalam isitilah “ilmu netral” atau “sain netral” maupun “netralitas ilmu” berarti bahwa

ilmu itu tidak memihak pada apapun termasuk kebaikan dan tidak juga pada

kejahatan. Ilmu berdiri sendiri (independent) tidak terpengaruh oleh apapun.

Kebaikan atau keburukan adalah hal lain di luar permasalahan keilmuan. Keduanya

adalah nilai yang sama sekali tidak boleh mempengaruhi ilmu. Itulah sebabnya

kemudian istilah “netralitas ilmu” atau semacamnya sering juga disebut dan diganti

dengan istilah ilmu yang bebas nilai (value free).

Di samping kedua istilah tersebut, yang secara jelas menunjukkan saling

keterkaitannya, juga dikenal dengan istilah lain berupa “ilmu objektif”. Artinya

bahwa ilmu pengetahuan terbentuk dari gugusan teori yang didapat dari objek

pengetahuan yang berupa data-data fakta empiri (semesta). Data-data tersebut harus

sesuai dengan fakta empiri tanpa melibatkan karakteristik tertentu di luar objek ilmu

itu sendiri termasuk dari seorang ilmuwan. Hal yang berada di luar objek ilmu

berfungsi sebagai subjek. Ilmuwan misalnya hanyalah sebagai subjek yang

mengamati/meneliti objek dan menyimpulkan fakta-fakta empiri darinya. Fakta-fakta

tersebut disusun sebagai teori-teori pengetahuan yang independen tanpa dipengaruhi

oleh hal-hal yang bersifat subjektif. Teori-teori yang dikumpulkan dari fakta objek

terSebut kemudian disebut dengan ilmu. Karena ilmu itu terbentuk dari fakta-fakta

empiris dari objek maka kemudian ia disebut dengan ilmu yang objektif.

Kebenaran objektifitas ilmu hanya dapat dinilai ketika unsur-unsur subjektifitas

ilmu tersebut tidak mempengaruhinya atau tidak masuk sebagai salah satu unsur dari

9 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Op.Cit. h.46

6

Page 7: Menyoal Netralitas Sain

bangunan teori-teorinya. Dalam hal ini berarti unsur-unsur subjektifitas ilmu

dihilangkan. Unsur-unsur tersebut dapat berupa keyakian-keyakinan, kepercayaan,

paradigma, kepentingan, nilai dan lain sebagainya.

Sampai di sini, jelas dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan akan dikatakan

objektif apabila ia terlepas dari unsur-unsur lain di luar dirinya, termasuk nilai (value

free). Begitu ilmu terbebas dari nilai atau unsur-unsur lainnya, maka ilmu dalam

keadaan posisi netral, karena ia tidak memihak kepada sesuatu apapun kecuali pada

dirinya sendiri (independent).

Netralitas ilmu menekankan pentingnya objektifitas ilmu pengetahuan,

mencoba meminimalisir subjektifitas di luarnya, bahkan berusaha untuk

menghilangkan subjektifitas itu sendiri. Paradigma netralitas ilmu ini meyakini

bahwa semakin objektif (terbebas dari nilai) ilmu pengetahuan semakin mendekati

kebenaran (positif).

Paradigma netralitas ilmu atau bebas nilai ini pertama kali dianut serta

dikembangkan oleh paham positivisme dalam sejarah filsafat ilmu pengetahuan.10

Paham ini memandang bahwa pengetahuan positif-ilmiah adalah pengetahuan yang

pasti, nyata dan berguna. Objek-objek fisik hadir independen dari subjek dan hadir

secara langsung melalui data inderawi. Data-data inderawi ini adalah satu. Apa yang

dipersepsi adalah fakta sesungguhnya, tanpa melibatkan unsur diluarnya.

Sebuah masalah keilmuan harus dirumuskan sedemikian sehingga

pengumpulan data dapat dilakukan secara objektif, bebas nilai dan netral. Objektif

artinya bahwa data dapat tersedia untuk penelaahan keilmuan tanpa ada hubungannya

dengan karakterisktik individual dari seorang ilmuwan.11 Bebas nilai berarti dikotomi

yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak

dengan semesta dengan bersikap imparsial-netral. Sedangkan netral berarti ilmu tidak

memihak pada selain dirinya sendiri.

Untuk memperkokoh pandangannya tersebut, positivisme menetapkan syarat-

syarat bagi ilmu pengetahuan, yaitu : dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-

10 Donny Gahral Adian, Menyoal, Op.Cit. h.65-6711 Peter R. Senn, Stuktur Ilmu, dalam Jujun S. Suraisumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta;Yayasan Obor Indonesia) Cet. 16 h. 115

7

Page 8: Menyoal Netralitas Sain

ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable) dan

dapat di/ter-ramalkan (predictable).12 Dengan begitu objek ilmu pengetahuan harus

berupa fakta-fakta empiri (semesta) yang hadir secara mandiri dan dapat diindera oleh

subjek peneliti. Di mana itu berarti bahwa hal-hal yang tidak dapat diindera oleh

manusia – sebagai subjek utama dari ilmu itu sendiri – tidak dapat dikatakan sebagai

ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya yang menyangkut metafisika.

Karakteristik ilmu pengetahuan adalah bahwa ia harus didapat melalui metode

ilmiah yang sudah baku, yaitu metode logico-hyphotetico-verificatif. Metode ini

terlebih dahulu mencoba mengkaji pengetahuan dengan cara memikirkan sesuatu

sesuai dengan aturan berpikir yang logis, rasional atau masuk akal (logico), dan

bukan melalui aturan kepercayaan atau keyakinan-keyakinan mistis. Kemudian

dengan aturan berpikir secara logis tadi dicoba untuk dapat ditarik hipotesis

(hypothetico). Dari hipotesis tersebutlah kemudian ilmu pengetahuan harus dapat

membuktikannya secara empiris (verificatif).

Aliran filsafat yang sependapat dengan positivisme ini adalah positivisme logis,

empirisme, realisme, essensialisme dan objektivisme. Aliran-aliran tersebut

mendasarkan pandangannya pada prinsip-prinsip tertentu. Realisme misalnya

memiliki prinsip mutlak sebagai barikut : 1) kita memersepsi objek fisik secara

langsung, 2) Objek ini adanya tidak tergantung pada diri kita dan menempati posisi

tertentu di dalam ruang, 3) ciri khas objek ini seperti apa adanya sebagaimana kita

memersepsinya.13

Pada tahap selanjutnya paham netralitas ilmu (sain) terus berkembang dan

dikembangkan oleh para ilmuwan sebagai ide dasar bagi pengembangan ilmu

pengetahuan itu sendiri. Meski kemudian sempat terjadi pertarungan yang sengit

selama kurang lebih 250 tahun antara ilmuwan yang berpegang pada prinsip “ilmu

bebas nilai dan netral” atau objektif, dengan ilmuwan yang berkeyakinan bahwa ilmu

12 Mohammad Muslih, Op.Cit. h.9713 Ayn Rand, Introduction to Objectivism Epistemology.(New York; A Mentor Book New American Library, 1979).Terjemahan Indonesia oleh Cuk Ananta Wijaya Pengantar Epistemologi Objektif, (Yogyakarta; Bentang Budaya) 2003, h. xiii

8

Page 9: Menyoal Netralitas Sain

itu terikat oleh nilai, tidak netral dan penuh dengan keterkaitan subjektif, namun

pandangan netralitas ilmu terus memenangkan idenya tersebut.14

Realitas sejarahpun kemudian mencatat bahwa ilmu pengetahuan mengalami

kemajuannya yang signifikan ketika paradigma “ilmu yang bebas nilai” tersebut

benar-benar menjadi prinsip para ilmuwan dalam mengembangkan pengetahuannya,

terutama di bidang ilmu pengetahuan alam.

C. Menyoal Netralitas Ilmu

Ilmu bebas nilai dalam artian ia tidak terikat oleh sesuatu apapun di luar

objeknya sendiri serta ilmu pengetahuan netral, seolah telah menjadi diktum resmi

yang dijadikan aras yang kokoh bagi pengembangan keilmuan modern.

Namun begitu, sejarahpun mencatat bahwa klaim ilmu bebas nilai kemudian

ditentang oleh banyak kalangan dalam komunitas keilmuan itu sendiri. Bahkan

hingga saat ini pertentangan itu semakin sengit terutama datang dari kalangan

panganut paham etika, estetika, agama, sosial, budaya dan lainnya.

Fenomena yang ada, sejak zaman Yunani kuno pun, di mana etika dan estetika

mendapat tempat kehormatannya yang tinggi, klaim bahwa ilmu pengetahuan terikat

oleh nilaipun sudah menggejala. Lihat misal ideal Aristoteles tentang ilmu

pengetahuan yang berasumsi bahwa ilmu itu tumbuh dengan nilai-nilai. Keduanya

menyatu dan tak terpisahkan satu sama lain.15 Realitas objek16 dan subjek saling

berkaitan satu sama lain dan sulit untuk dipisahkan.

Ilmuwan di zaman kontemporer pun berpendapat demikian. Mereka berasumsi

dasar bahwa;17 Pertama, fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori. Kedua,

falibilitas teori. Tidak satu teori pun yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-

bukti empiris, kemugkinan muncul fakta anomali selalu ada. Ketiga, fakta tidak bebas

14 Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan) cet. 16, h. 23315 Saifullah, Konsep Dasar Filsafat Ilmu Bagian I, (Malang;Program Pasca Sarjana UIN Malang), 2004, h. 7 dalam buku tersebut juga dikutip bahwa tujuan ilmu adalah untuk ilmu, tidak peduli apakah ada manfaat atau tidak (cuma eksis).16 Objek dibagi menjadi dua. 1) objek material, yaitu objek empiris. 2) objek formal, yaitu objek yang dapat dipandang secara matematis, fisik, psikis, biotik dan sebagainya yang menurut penulis sangat terkait dengan nilai. Lihat Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum, Filsafat Pengada dan Dasar-dasar Kenyataan, (Yogyakarta; Kanisius)1992, h. 1317 Donny Gahral Adian, Op.Cit. h.82-83

9

Page 10: Menyoal Netralitas Sain

melainkan sarat nilai. Keempat, interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil

penelitian bukan reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta

yang sarat persoalan dan senantiasa berubah.

Mereka juga mengatakan bahwa ilmuwan bekerja dalam kerangka sistem

kepercayaan atau paradigmanya masing-masing18. Bahwa alam ini tidak menguraikan

dirinya sendiri. Ia terbentuk menjadi teori ilmu yang berangkat dari beberapa set cara

pandang, pemikiran, pengaruh personal, pertimbangan kekelompokan, sosial, nilai

dan lainnya. Maka kemudian ilmu tidaklah bebas meski diupayakan kearah itu.

Objektifitas ilmu mesti berdampingan dengan subjektifitasnya dan nilai-nilaipun

selalu mendampinginya.

Terkait dengan ilmu yang terikat nilai itu, ilmuwan pun mengkaji tentang apa

hakikat nilai itu sendiri, yang kemudian meniscayakan mentalnya pendapat netralitas

ilmu pengetahuan oleh nilai. Menurut Paul Edwards19 dalam bukunya The

Encyclopedia of Philosophy, nilai dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama, nilai yang

digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti

baik, menarik, dan bagus. Kedua, nilai sebagai kata benda kongkrit. Contohnya ketika

kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada

sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Lebih lanjut

maksudnya bahwa nilai kongkrit adalah nilai yang melekat sendiri pada suatu benda

hingga ia dapat dikatakan bernilai. Ketiga, nilai sebagai kata kerja, di mana hal

tersebut tercermin dari aktifitas atau ekpresi menilai, memberi nilai dan dinilai.

Louis O. Katstoff20 berpendapat bahwa nilai terbagi menjadi dua. Nilai intrinsik

dan nilai instrumental. Nilai instrinsik meniscayakan bahwa sebuah objek fakta telah

terkandung di dalamnya secara permanen sebuah nilai. Baik nilai itu baik atau buruk,

benar atau salah, bahaya atau berguna dan lainnya. Nilai instrumental adalah lebih

18 Haidar Bagir dan Zainal Abidin, ‘Filsafat Sains Islami: Kenyataan atau Khayalan?’ dalam Mahdi Ghulsyani, The Holy Qur’an and the Sciences of Nature.(Teheran;Islamic Propagation Organization) 1986. Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Agus Effendi, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an.(Bandung; Mizan) cet. 10 h. 16 bandingkan dengan Alparsalan Acikgenic, Holistic Approach to Scientific Traditions Islam and Science 1. 2003. No.1 99-114 dalam Islamia, th.1 no.6 2005 h.1619 dikutip oleh Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Ilmu (Jakarta; Rajawali Pers) 2004, h.164-16520 Louis O. Katstoff, …… h.320-321

10

Page 11: Menyoal Netralitas Sain

kepada bagaimana fakta yang ada diarahkan kepada sebuah nilai. Pisau misalnya

akan memiliki nilai baik atau buruk tergantung bagaimana menggunakannya.

Dari pendapatnya itu ia kemudian memberikan gambaran bahwa situasi nilai

setidaknya meliputi; (a) suatu subjek yang memberi nilai – yang sebaiknya kita

namakan ‘segi pragmatis’; (b) suatu objek yang diberi nilai- yang sebaiknya diberi

nama ‘segi semantis’; (c) suatu perbuatan penilaian atau (d) suatu nilai ditambah

perbuatan penilaian.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan organik antara

nilai dan fakta alam yang kemudian mempengaruhi paradigma ilmu pengetahuan itu

sendiri. Fakta secara intrinsik memiliki nilainya tersendiri sementara di luar itu

terdapat nilai-nilai lain yang mencoba mempengaruhinya. Fakta tidak dapat

menghindari nilai-nilai dari luar dirinya karena ia tidak akan dikenal sebagai ilmu

pengetahuan apabila hanya berdiri sendiri dan sibuk dengan nilainya sendiri. Dengan

kata lain ilmu itu bukan hanya demi kepentingan ilmu sendiri tetapi ilmu juga demi

kepentingan lainnya, sehingga tidak dapat dinafikan kalau ilmu terikat dengan lainnya

seperti nilai.

Permasalahan netralitas sain yang lain terus mendapat sorotan tajam dari

berbagai ahli. Karl Raimund Popper (1902-1994), seorang pemikir Jerman yang juga

aktif dalam Lingkaran Wina21 mempermasalahkan objektifitas ilmu dengan

berpendapat bahwa kita tidak pernah bisa memastikan secara logis bahwa kita telah

mencapai kebenaran lewat verifikasi terhadap fakta meski juga kita dapat semakin

mendekati kepastian semacam itu lewat pengguguran teori-teori yang terbukti salah

(falsifikasi).

Lebih lanjut, menurutnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya

tidak selalu melalui logika penemuan yang didasarkan pada metodologi objektivisme

yang ketat. Ide baru bisa saja muncul berupa kilatan intuisi atau refleksi religius, di

mana netralitas ilmu pengetahuan kemudian rentan terhadap permasalahan-

21 lingkaran ini menegasakan bahwa metafisika dan teologi tidak bermakna sebab keduanya berisi proposisi yang tidak bisa diverifikasi. Doktrinnya sendiri adalah positivisme logis yang mengonsepsikan bahwa filsafat sepenuhnya bersifat analitis, didasarkan pada logika formal, dan itulah satu-satunya wacana ilmiah yang benar. Lihat Ziauddin Zardar, Thomas Kuhn..Op.Cit.h.21

11

Page 12: Menyoal Netralitas Sain

permasalahan di luar objeknya sendiri. Yaitu terikat dengan nilai-nilai

subjektifitasnya seperti hal-hal yang berbau mitologi. Dengan demikian netralitas

ilmu semakin dipertanyakan.

Thomas S Kuhn, seorang ilmuwan fisika dan sejarawan filsafat ilmu

berpendapat bahwasanya ide netralitas ilmu atau bebas nilai hanyalah sekedar ilusi.22

Dia menyatakan bahwa paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen yang

dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka ajukan, dan masalah

yang mereka anggap penting. Tanpa paradigma tertentu, para ilmuwan bahkan tak

bisa mengumpulkan ‘fakta’: dengan tiadanya paradigma atau calon paradigma

tertentu, semua fakta yang mungkin sesuai dengan perkembangan ilmu tertentu

tampaknya cenderung sama-sama relevan. Akibatnya pengumpulan fakta tahap awal

jauh lebih berupa kegiatan acak jika dibandingkan dengan kegiatan yang telah

diakrabi dalam perkembangan ilmu lebih lanjut.

Lebih sederhana dan jelas Kuhn membahas ketidaknetralan ilmu pengetahuan

itu karena memang ilmu dibangun berdasar pijakan seorang pakar yang mungkin

berbeda dengan pakar lainnya. Di mana pijakan tersebut telah memuat nilai ataupun

kepentingan berbentuk ‘paradigma’23.

Secara lebih gamblang, Kuhn memperkuat pendapatnya dengan teori revolusi

sain. Ia menilai adanya prinsip ketidakberbandingan teori ilmu pengetahuan antar

masa eksistensinya. Prinsip itu hendak mengatakan bahwa kesinambungan antar teori

adalah mustahil karena masing-masing bekerja di bawah payung paradigmanya

masing-masing.24 Tentang hal ini Kuhn memberikan eksplanasi sebagai berikut :

DULU KINI KELAK

ANOMALI ANOMALI

22 dikutip oleh Ziauddin zardar dari Thomas S Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Chichago: University of Chicago Press, 1962, h.v dalam Ziauddin Zardar, Thomas Kuhn,Op.Cit. h.2723 kata paradigma memiliki banyak arti. Secara etimologis sosiologis isitilah ini banyak dimaknai sebagai cara pandang, pola, model, anutan dan sebagainya. Lihat Saifullah, Lompatan Paradigmatik dalam Masa Transisi sebuah Kajian Filsafat Ilmu. ElJadid, Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam, Vol.3 No.1 2005, h. 24 Donny Gahral Adian, Menyoal..Op.Cit. h. 87

12

NORMAL SCIENCE 1

Netral?

NORMAL SCIENCE 2

Netral?

NORMAL SCIENCE 3

Netral?

Page 13: Menyoal Netralitas Sain

KRISIS KRISIS

PARADIGMA 1 PARADIGMA 2 PARADIGMA 3

Sain normal muncul dari paradigma, yaitu suatu pijakan, dari seorang pakar.

Dalam perkembangannya sain normal mengalami fenomena yang tidak dapat

diterangkan oleh teori sain yang ada, ini disebut anomali. Selanjutnya anomali ini

menimbulkan krisis (ketidakpercayaan para pakar terhadap teori itu) sehingga timbul

paradigma baru atau pijakan baru. Inilah perkembangan sain, berubah dari paradigma

satu ke paradigma lain dengan pijakan dasarnya sendiri-sendiri (prinsip ketidak

berbandingan teori).25

Lebih jauh dari itu Kuhn menolak asumsi sejarah bahwa perkembangan ilmu

pengetahuan lebih disebabkan karena ilmu itu telah berhasil mengesampingkan nilai

dan subjektivitasnya dari dirinya sendiri. Paham perkembangan ilmu pengetahuan

adalah bahwa kebebasannya dari segenap nilai yang bersifat dogmatik, dan posisinya

yang netral memungkinkannya dengan leluasa mengembangkan dirinya. Sebaliknya

apabila ia terikat dengan nilai atau kepentingan maka dia tidak akan berkembang.

Bagi Kuhn, kemajuan ilmu pengetahuan berawal dari perjuangan kompetitif

berbagai teori untuk mendapatkan legitimasi intersubjektif dari satu komunitas ilmu

pengetahuan.26 ini berarti perjuangan konpetitif dan legitimasi intersubjektif dari

komunitas ilmu itu sendiri telah sarat dengan kepentingan dan nilai. Tetapi meski

begitu ilmu pengetahuan tetaplah berkembang.

Reaksi keras terhadap ide netralitas sain datang dari Mazhab Frankfurt yang

menegaskan bahwa klaim bebas nilai itu menunjukkan vested interest.27 Di balik

klaim bebas nilai, tersembunyi nilai-nilai ideologis yang mempunyai maksud

tersendiri. Para pemikir Frankfurt seolah ingin menjelaskan bahwa ide rasionalisme

dan empirisme untuk melepaskan diri dari dunia mitos, dikotomi fakta dan nilai

hanyalah bentuk upaya lain bagi pengurungan manusia dan alam itu sendiri ke dalam

mitologi rasio.

25 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu..Op.Cit.h. 53-54. Bandingkan dengan Saifullah, Lompatan..Op.cit. h.26 Donny Gahral Adian, Op.Cit. h.8727 Ziauddin Zardar, Thomas Kuhn..Op.Cit. h.v

13

Page 14: Menyoal Netralitas Sain

Senada dengan itu Kuhn pun berpendapat bahwa ilmu ‘normal’ adalah bagian

dari upaya dogmatis, jika kita menganggap teori-teori ilmiah yang sudah ketinggalan

zaman seperti dinamika Aristotelian, kimia, flogistis, atau termodinamika kalori

sebagi mitos, menurut Kuhn, kita bisa sama-sama bersikap logis untuk menganggap

teori-teori saat ini sebagai irasional dan dogmatis:28

“Jika kepercayaan atau keyakinan29 yang sudah usang ini akan disebut mitos, maka mitos itu dapat dihasilkan oleh jenis-jenis metode yang sama dan diakui oleh jenis-jenis alasan yang sama yang sekarang menghasilkan pengetahuan ilmiah. Jika di pihak lain kepercayaan-kepercayaan itu akan disebut sain, maka sain telah mencakup kumpulan kepercayaan yang sangat bertentangan dengan apa yang kita akui hari ini.”30

Mazhab Frankfurt menolak dikotomi fakta/nilai karena berpengaruh negatif

baik secara epistemologis maupun sosiologis31. Mereka menilai bahwa dikotomi

tersebut akan membuat akal manusia menjadi akal instrumental. Akal yang sifatnya

manipulatif, kalkulatif, dominasi terhadap semesta yang hanya berurusan dengan

perangkat teknologis dan lupa akan tujuan hidup manusia itu sendiri. Maka, agar hal

tersebut tidak terjadi, nilai-nilai harus menjadi penyeimbang dominasi rasio. Dengan

demikian kemudian ilmu akan terikat dengan kepentingan, karena memang

seharusnya begitu.

Habermas dalam bukunya Knowledge and Human Interest (1968)

mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan dan kepentingan tidak dapat dipisahkan. Ide

netralitas ilmu pengetahuan yang tidak berpihak kepada apapun hanya akan

membutakan ilmuwan terhadap kepentingan atau tujuan yang mendasari sebuah

penelitian ilmiah. Di mana kebutaan tersebut akan menjadi-jadi, hingga timbul

persoalan-persoalan sosial-etis bahkan hingga mencapai proses dehumanisasi

manusia itu sendiri sebagai pemilik ilmu dan teknologi.

28 Ibid, h.2629 keyakinan merupakan sikap subjek, jadi selalu bersifat subjektif pula karena itu ia didasarkan pada sikap mental subjek yang tahu, mengerti dan percaya. Lihat Poerdjawidjatna. Logika Filsafat Berpikir. (Jakarta;Rineka Cipta) h.1930 Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, ed.II (Chiccago;Chicago Press) h. 2 diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Tjun Surjaman. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. (Bandung; Remaja Rosdakarya), 1993, cet.2, h.2 31 Donny Gahral Adian, Op. Cit. h.92-93

14

Page 15: Menyoal Netralitas Sain

Di samping itu ilmu yang bebas nilai juga akan berimplikasi terhadap lepasnya

secara otomatis tanggungjawab sosial para ilmuwan terhadap persoalan-persoalan

tersebut, karena mereka hanya disibukkan dengan kegiatan-kegiatan keilmuan yang

sudah diyakini sebagai bebas nilai alias tak bisa diganggu gugat. Dengan begitu jika

ilmuwan cuci tangan terhadap persoalan negatif yang ditimbulkannya, maka secara

ilmiah mereka dianggap benar. Hal yang sangat menggelikan menurut penulis.

Sosok filosof lain yang juga menentang ide netralitas ilmu adalah Paul

Feyerabend (1924-1994). Ia berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada fakta yang

netral. Fakta tidak pernah bicara dengan sendirinya melainkan diinterpretasikan

dalam suatu kerangka konseptual tertentu.32 Ian Hacking pun menambahkan pendapat

ini dengan mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya diinterpretasi

malainkan juga diitervensi. Ketika sebuah teori mengemuka dan mencoba melakukan

konfirmasi empirisnya lewat eksperimen, maka eksperimen tersebut mengintervensi

fakta-fakta sehingga tidak lagi netral.

Setidaknya ada dua argumentasi Feyerabend yang dapat menggugurkan ide

netralitas ilmu.33 Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan diwarnai oleh banyak

penemuan-penemuan ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan melanggar aturan

metodologi yang ketat, seperti intuisi, kebetulan dan imajinasi. Kedua, tidak ada fakta

yang netral dan terberi, fakta dilihat dalam suatu kerangka konseptual yang berbeda-

beda dari satu teori-teori lain. Dia pun kemudian bersiteguh – dengan tetap

mengusung ide-ide radikalnya – bahwa pengetahuan yang selama ini dipinggirkan

dalam wacana ilmu pengetahuan harus kembali diberi wewenang untuk menyuarakan

kebenarannya sendiri-sendiri.

D. Hubungan Aksiologi Ilmu dan Netralitas Ilmu

Secara etimologis, Aksiologi berasal dari dari bahasa Yunani, axios, yang

berarti nilai, dan logos, yang berarti teori. Terdapat banyak pendapat tentang

pengertian aksiologi. Menurut Jujun S. Suriasumantri34 aksiologi adalah teori nilai

yang berkaitan dengan kegunaan dari ilmu pengetahuan yang diperoleh.

32 Ibid, h. 10433 Ibid, h.10734 Jujun S. Suraisumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Op.Cit. h.234

15

Page 16: Menyoal Netralitas Sain

Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral

product.yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni

etika.Kedua, esthetic expression. Yaitu ekpresi keindahan. Bidang ini melahirkan

disiplin khusus Estetika. Ketiga, sosio-political life. Yakni kehidupan sosial politik,

yang melahirkan filsafat sosio-politik.35 Lebih dari itu ada yang berpendapat dengan

menyamakan antara aksiologi dan ilmu.

Dari beberapa definisi aksiologi diatas, terlihat jelas bahwa permasalahan utama

aksiologi adalah nilai. Aristoteles berasumsi bahwa ilmu itu tumbuh dengan nilai-

nilai. Keduanya menyatu dan tak terpisahkan dari satu sama lain. Farncis Bacon pun

menilai bahwa aksiologi ilmu adalah terciptanya kemaslahatan manusia. Tujuannya

yaitu mengusahakan posisi yang lebih menguntungkan bagi manusia dalam

menghadapi alam.

Ahmad Tafsir dalam bukunya berpendapat bahwa aksiologi ilmu sekurang-

kurangnya memiliki tiga garapan yaitu; 1) Ilmu sebagai alat eksplanasi, 2) Ilmu

sebagai alat memprediksi, 3) Ilmu sebagai alat pengontrol.

Sedangkan istilah netralitas ilmu diartikan sebagai upaya rasionalisasi ilmu-

ilmu pengetahuan dengan tanpa terpengaruh dan berkonotasi parokial seperti oleh ras,

ideologi, agama, nilai dan lainnya. Itu berarti netralitas ilmu tidak terlalu

memperdulikan nilai-nilai kebaikan ataupun keburukan. Ilmu hanyalah teori yang

berdiri sendiri (independent) dan diusahakan benar-benar tidak terpengaruh oleh

apapun. Ilmu dibiarkan berbicara tentang dirinya sendiri.

Dari pengertian singkat di atas, dapat dengan jelas terlihat bahwa antara

aksiologi ilmu dan netralitas ilmu terdapat perbedaan. Bila aksiologi ilmu

mementingkan adanya nilai yang dimuat oleh sebuah ilmu maka, sebaliknya netralitas

ilmu mengusung ide pembebasan diri dari nilai. Bila aksiologi ilmu condong ke arah

pembahasan tujuan ilmu, maka netralitas ilmu tidak demikian.

Sampai di sini penulis dapat menyimpulkan tidak adanya hubungan antara

aksiologi ilmu dengan ide netralitas ilmu, yaitu terletak pada permasalahan nilainya.

35 Jalaluddin dan Abdulah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta;Gaya Media Pratama)1997 cet. 1 h.106 dalam Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu,

16

Page 17: Menyoal Netralitas Sain

E. Analisa dan Kesimpulan

Persoalan netralitas sain sebenarnya bukanlah persoalan sederhana yang dengan

mudah kita sudah menganggapnya mengerti (taken for granted). Persoalan ini

penting sekali dijelaskan karena menyangkut persoalan kehidupan manusia dalam

berinteraksi secara langsung dengan ilmu pengetahuan, di mana pengetahuannyalah

yang akan mempengaruhi kehidupannya. Kesalahan persepsi terhadap persoalan

keilmuan terutama dasar-dasarnya dapat memberikan pengaruh kesesatan pola

berifikir termasuk proses kehidupannya.

Dari pembahasan terdahulu, penulis sependapat dengan ide bahwa ilmu itu

tidaklah netral atau bebas nilai atau objektif. Ilmu hakikatnya selalu terkait dengan

berbagai kepentingan, nilai dan lainnya, baik pada tataran ontologi, epistemolgi

maupun aksiologisnya.

Selain didasarkan pada pendapat para ilmuwan yang menentang netralitas ilmu,

penulis juga berpendapat bahwa bagaimanapun ilmu pengetahuan itu adalah berdiri

dan terdiri dari bangunan teori. Bahwa teori-teori yang ada berasal dari fakta-fakta

objektif. Bahwa objektifitas fakta tidak dapat diterangkan menjadi sebuah teori ketika

unsur-unsur objektifitasnya berdiri sendiri tanpa ada hubungannya dengan yang lain.

Bahwa juga fakta itu sendiri secara objektif telah memiliki nilainya yang melekat. Di

mana nilai-nilai yang melekat tersebut tidak berarti apa-apa bagi ilmu pengetahuan

kecuali hanyalah fenomena fakta yang tidak dapat dijelaskan kecuali menurut

persepsi si peneliti/pengamat. Bahwa peneliti/pengamat telah memiliki ukuran-

ukuran nilai yang mereka miliki.

Akhirnya penulis kutip pendapat Herman Soewardi tentang ketidaknetralan

ilmu pengetahuan36. menurutnya, dari sudut epistemologi, sain (ilmu pengetahuan)

terbagi dua, yaitu sain formal dan sain empirikal. Sain formal itu berada di pikiran

kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol-simbol, merupakan

implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sain formal itu netral karena ia

berada di dalam pikiran kita dan diatur oleh hukum-hukum logika.

36 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu..Op.Cit.h.50

17

Page 18: Menyoal Netralitas Sain

Adapun sain empirikal, ia tidak netral. Sain empirikal merupakan wujud

kongkret, yaitu jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sain empirikal

itu tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma yang menjadi

pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan terhadap jagad raya.

Pijakan-pijakan ilmuwan tersebut tentulah nilai. Maka sifatnya tidak netral. Tidak

netral karena dipengaruhi pijakannya itu.

Demikian tulisan ini semoga bermanfaat. Walahu a’lamu bisshowab.

18

Page 19: Menyoal Netralitas Sain

DAFTAR PUSTAKA

Acikgenic, Alparsalan, Holistic Approach to Scientific Traditions Islam and Science 1. 2003. No.1 99-114 dalam Islamia, th.1 no.6 2005

Adian, Donny Gahral, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume hingga Thomas S Kuhn, (Jakarta; Teraju) 2002

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu (Jakarta; Rajawali Pers) 2004

Bakker, Anton, Ontologi Metafisika Umum, Filsafat Pengada dan Dasar-dasar Kenyataan, (Yogyakarta; Kanisius)1992

Bagir, Haidar dan Zainal Abidin, ‘Filsafat Sains Islami: Kenyataan atau Khayalan?’ dalam Mahdi Ghulsyani, The Holy Qur’an and the Sciences of Nature.(Teheran;Islamic Propagation Organization) 1986. Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Agus Effendi, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an.(Bandung; Mizan) 1998

Jalaluddin dan Abdulah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta;Gaya Media Pratama)1997

Katstoff, Louis O., Filsafat Ilmu.( … )

Kuhn, Thomas S., The Structure of Scientific Revolutions, ed.II (Chiccago;Chicago Press) h. 2 diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Tjun Surjaman. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. (Bandung; Remaja Rosdakarya), 1993

Poerdjawidjatna. Logika Filsafat Berpikir. (Jakarta;Rineka Cipta)

Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu Kajian atas Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. (Yoqyakarta; Belukar), 2004

Ross, Andrew, ‘Introduction, Social Text 46-7, 1996, h.1-13 dalam Ziauddin Zardar, Thomas Kuhn dan Perang Ilmu.(Yogyakarta;Jendela)2002

Rand, Ayn, Introduction to Objectivism Epistemology.(New York; A Mentor Book New American Library, 1979).Terjemahan Indonesia oleh Cuk Ananta Wijaya Pengantar Epistemologi Objektif, (Yogyakarta; Bentang Budaya) 2003

Saifullah, Konsep Dasar Filsafat Ilmu Bagian I, (Malang;Program Pasca Sarjana UIN Malang), 2004

_______, Lompatan Paradigmatik dalam Masa Transisi sebuah Kajian Filsafat Ilmu. ElJadid, Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam, Vol.3 No.1 2005.

Senn, Peter R., Stuktur Ilmu, dalam Jujun S. Suraisumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta;Yayasan Obor Indonesia) 2003

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan) 2002

___________, Ilmu Dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia) 2003

Semiawan, Conny R. dkk. Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. (Bandung;Remaja Rosda Karya), 1999

Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung; Remaja Rosda Karya) 2004

Zardar, Ziauddin, Thomas Kuhn dan Perang Ilmu.(Yogyakarta;Jendela)2002

_____________, Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, ed. Dan terj. AE. Priyono, (Surabaya; Risalah Gusti) 1998

19