materi tentang pendaftaran bpjs
DESCRIPTION
pendaftaran BPJSTRANSCRIPT
![Page 1: Materi tentang pendaftaran BPJS](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082422/55cf9381550346f57b9dace5/html5/thumbnails/1.jpg)
Materi
Pendaftaran BPJS (Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial) Kesehatan untuk peserta mandiri, kini tak lagi bisa secara individual, melainkan dalam satu keluarga. Peserta juga harus memiliki rekening di bank agar pembayaran bisa autodebet setiap bulannya.
"Semua itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 4/2014 tentang tata cara pendaftaran dan pembayaran BPJS Kesehatan, yang baru saja diluncurkan," kata Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga (HAL) BPJS Kesehatan, Purnawarman Basundoro dalam keterangan pers, di Jakarta, Kamis (30/10).
Pada kesemapatan itu, Purnawarman didampingi Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan, Tono Rustiono.
Perubahan lainnya, Purnawarman menambahkan, adalah kartu BPJS Kesehatan tidak bisa langsung dipergunakan begitu selesai mendaftar dan membayar di bank, seperti aturan sebelumnya. Namun, peserta harus menunggu hingga satu minggu atau 7 hari ke depan untuk bisa menggunakannya.
Ditanya kebijakan baru menjadi tak pro rakyat, Purnawarman menukasnya. Katanya, peraturan itu untuk membiasakan masyarakat membuat perencanaan. Masyarakat harus diingatkan bahwa masalah kesehatan bisa terjadi kapan saja, sehingga setiap anggota dalam keluarga harus memiliki jaminan kesehatannya.
"Sudah tidak bisa lagi mau operasi besok, hari ini baru mendaftar BPJS Kesehatan. Harus dibuat sistem yang terencana dan rapi, karena peserta BPJS Kesehata jumlahnya sudah lebih dari 130 juta orang. Dengan jumlah yang begitu besar, tidak bisa diterapkan manajemen terburu-buru," kata Purnawarman menegaskan.
Soal keharusnya memiliki rekening di bank, Purnawarman menjelaskan, itu semata demi kemudahan para peserta yang harus bolak balik ke bank demi menyetor iuran. Dengan sistem autodebet, pembayaran iuran akan lebih lancar sehingga kartu bisa seketika bisa dipergunakan.
Ditanya apakah sistem autodebet dilakukan lantaran banyak peserta yang enggan membayar iuran, Purnawarman tidak menampik adanya kasus semacam itu. Meski kasusnya masih terbilang kecil, jika tidak ditata sejak awal dikhawatirkan akan menjadi ganjalan di kemudian hari.
"Sukses tidaknya pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini karena adanya iuran dari masyarakat. Itu jadi jantung kami. Karena itu, perlu ditata agar pembayaran iuran bisa lancar, dan program ini bisa berjalan," tuturnya.
Hal senada dikemukakan Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan, Tono Rustiano. Ia menyebutka, jumlah peserta BPJS Kesehatan hingga 24 Oktober 2014 sebanyak 130.286.703 jiwa. Target hingga akhir tahun 2014 sebanyak 131 juta jiwa.
1
![Page 2: Materi tentang pendaftaran BPJS](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082422/55cf9381550346f57b9dace5/html5/thumbnails/2.jpg)
Ditambahkan, sepanjang periode Januari-Agustus 2014, BPJS Kesehatan telah menerima pembayaran iuran peserta hingga sebesar Rp 25,656 triliun. Sedangkan pembayaran klaim hingga 31 Agustus 2014 sebanyak Rp 24,4 triliun.
"Adapun penyaluran dana kapitasi ke faskes tingkat pertama untuk periode yang sama mencapai 5,38 triliun," ucap Tono.
Dari semua itu, menurut Tono, yang lebih penting adalah peningkatan rata-rata waktu penyelesaian klaim yaitu selama 2,95 hari sejak berkas lengkap dari rumah sakit yang diajukan ke BPJS Kesehatan. Capaian itu lebih baik ketimbang catatan per 30 Juni 2014 yang masih rata-rata 3,16 hari.
Jumlah fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan pun meningkat dari 16.831 per 30 Juni 2014 menjadi 17.419 per 31 Agustus 2014. Rinciannya 9.768 puskesmas, 3.590 dokter praktik per orangan, 1.890 klinik pratama, 1.327 klinik TNI/Polri dan 836 dokter gigi praktik mandiri dan 8 RS D Pratama.
Di tingkat faskes rujukan, lanjut Tono, penambahan terjadi dari 1.551 per 30 Juni 2014 menjadi 1.574 faskes rujukan. Hal itu mencakup 18 RS pemerintah kelas A, 135 RS pemerintah kelas B, 294 RS pemerintah kelas C, 158 RS pemerintah kelas D, 127 RS Khusus, 34 RS Khusus Jiwa, 602 RS swasta, 103 RS TNI, 40 RS Polri, dan 63 klinik utama.
"Hingga 31 Agustus 2014, BPJS Kesehatan telah bekerjasama dengan faskes penunjang yang meliputi 1.359 apotek dan 801 optikal," ujar Tono Rustiano menandaskan. (TW)
http://kebijakankesehatanindonesia.net/25-berita/berita/2042-bpjs-kesehatan-terapkan-aturan-baru
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kuningan, Jawa Barat, Rini Sujiyanti, menilai BPJS Kesehatan merupakan program yang bagus karena menjamin kesehatan seluruh masyarakat.
Namun ia juga memberikan catatan mengenai kebijakan tersebut. Menurutnya program BPJS Kesehatan saat ini belum siap dan rumah sakit juga dipaksakan menjalankan kebijakan tersebut.
"Banyak masyarakat yang belum tahu tentang BPJS Kesehatan. Ditambah lagi sistem dan aturan tentang BPJS Kesehatan belum jelas," ujar Rini, Rabu (5/3/2014). Pemilik Rumah Sakit di Kuningan ini menambahkan, persoalan peralihan antara Jamkesmas ke Askes saja masih meninggalkan banyak utang yang belum dibayar.
2
![Page 3: Materi tentang pendaftaran BPJS](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082422/55cf9381550346f57b9dace5/html5/thumbnails/3.jpg)
"Sampai hari ini tagihan sejak Juni hingga Desember 2013, belum dibayar. Seluruh RS negeri maupun swasta menjerit soal tagihan," paparnya. Sedangkan Direktur Utama PT Askes periode 2000-2008, Orie Andari Sutadji, mengatakan BPJS adalah program yang bagus dan sangat mulia. Namun menurutnya rumah sakit menolak BPJS Kesehatan karena belum mendapatkan informasi dan sosialisasi terutama mengenai pengelompokan penyakit yang ditanggung oleh JKN dan biaya pelayanan.
"Kebijakannya masih amburadul dan hanya setengah-setengah. Sistem yang dibangun tidak mengikuti kaedah jaminan sosial. Ini merupakan kebijakan yang terburu-buru," katanya.
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/03/06/bpjs-kesehatan-dinilai-kebijakan-terburu-buru
Penelitian Kebijakan UU SJSN dan UU BPJS dalam Perspektif Pemerataan dan Keadilan
Panelis:
(1) Laksono Trisnantoro, Universitas Gadjah Mada(2) Yulita Hendrartini, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada(3) M. Faozi Kurniawan, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada(4) Susilowati, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah MadaModerator: Laksono Trisnantoro, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah MadaJudul: Penelitian Kebijakan UU SJSN dan UU BPJS dalam Perspektif Pemerataan dan Keadilan
PKMK – Kegiatan berikutnya setelah sesi diskusi panel adalah sesi diskusi yang dipimpin oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D mengenai penelitian multicenter monitoring evaluasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pemaparan awal tentang proses kebijakan dari penetapan agenda, sampai pada monitoring dan evaluasi kebijakan. Pertanyaan umum penelitian adalah “Apakah JKN akan memperbaiki ketimpangan geografis dan ketimpangan sosial ekonomi ataukah justru memperburuk?”
Rencana analisis kebijakan baik level nasional maupun daerah menggunakan kerangka konsep revenue collection, pooling, dan purchasing dengan memperhatikan equity dan analisis kebijakan pada pembiayaan dan pelayanan kesehatan. Hal inilah yang disampaikan kembali oleh Dr. drg. Yulita Hendrartini, M.Kes pada penjelasan mengenai kehadiran BPJS dan dampaknya pada sistem pembiayaan dan pelayanan kesehatan. Hipotesis yang diangkat bahwa BPJS akan merubah sistem pembiayaan dan pelayanan menjadi lebih baik dan adil.
3
![Page 4: Materi tentang pendaftaran BPJS](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082422/55cf9381550346f57b9dace5/html5/thumbnails/4.jpg)
M. Faozi Kurniawan, SE. Akt., MPH lebih memaparkan mengenai dampak kebijakan BPJS terhadap fasilitas kesehatan dan kegiatannya dari tahun 2014-2019. Hipotesisnya adalah JKN akan meningkatkan jumlah fasilitas dan SDM kesehatan secara merata di Indonesia sehingga investasi Pemerintah sangat diperlukan untuk daerah yang tidak/ kurang baik.
Dr. dr. Susilowati melengkapi sesi diskusi ini mengenai pelaksanaan INA-CBG dalam sistem kesehatan yang masih timpang dan dampaknya terhadap keadilan akses pelayanan kesehatan. Bukan hanya isu dana kompensasi dan portabilitas yang perlu diperhatikan melainkan juga sistem anti fraud sehingga akan menimbulkan beberapa skenario. Skenario optimis dan pesimis pada pencapaian universal coverage disampaikan dipertegas oleh Prof. Laksono.
Ambo Sakka mengawali sesi tanya jawab mengenai metode penelitian dan pendanaan kemudian langsung dijawab oleh Dr. drg. Yulita bahwa pendekatan monev JKN bukan hanya kuantitatif melainkan juga kualitatif dan menjaga triangulasi data. Pertanyaan berikutnya tentang paradigma Puskesmas oleh Universitas Andalas yang dijawab oleh Prof. Laksono bahwa pengembangan instrumen dan kajian daerah sangat dimungkinkan dalam pelaksanaan penelitian Monev JKN. Masukan mengenai analisis trend dan mengatasi keterbatasan kemampuan daerah menutup sesi diskusi kali ini.
http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/index.php/94-reportase/inahea/1177-penelitian-kebijakan-uu-sjsn-dan-uu-bpjs-dalam-perspektif-pemerataan-dan-keadilan
Latar Belakang Kebijakan BPJS
Salah satu tujuan pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 berupaya meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan tersebut harus dapat dinikmati secara berkelanjutan, adil,
dan merata menjangkau seluruh rakyat. Dinamika pembangunan bangsa Indonesia telah
menumbuhkan tantangan berikut tuntutan penanganan berbagai persoalan yang belum
terpecahkan. Salah satunya adalah penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat
sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan sosial
dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan
Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik yang tertuang dalam TAP Nomor
X/MPR/2001, yang menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu..
4
![Page 5: Materi tentang pendaftaran BPJS](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082422/55cf9381550346f57b9dace5/html5/thumbnails/5.jpg)
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN maka bangsa
Indonesia sebenarnya telah memiliki system jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal
5 Undang-Undang tersebut mengamanatkan pembentukan badan yang disebut Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang harus dibentuk dengan Undang-Undang.
Pada tanggal 25 November 2011, ditetapkan Undang-Undang No 24 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan sosial yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2014.
BPJS merupakan badan hukum dengan tujuan yaitu mewujudkan terselenggaranya pemberian
jaminan untuk terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau
anggota keluarganya. Dalam penyelenggaraannya BPJS ini terbagi menjadi dua yaitu BPJS
kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan (Tabrany, 2009). Dengan ditetapkannya BPJS dua anomaly
penyelenggaraan jaminan sosial Indonesia yang bertentangan dengan prinsip-prinsip universal
penyelenggaraan jaminan sosial di dunia akan diakhiri. Pertama, Negara tidak lagi
mengumpulkan labadari iuran wajib Negara yang dipungut oleh badan usaha miliknya,
melainkan ke depan Negara bertangungjawab atas pemenuhan hak konstitusional rakyat atas
jaminan sosial. Kedua, jaminan sosial Indonesia resmi keluar dari penyelenggaraan oleh badan
privat menjaadi pengelolaan oleh badan publik
Implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2011 Mengenai BPJS
Pada tanggal 1 januari 2014 mulai diberlakukan BPJS kesehatan di seluruh pelayanan kesehatan
di Indonesia. Ujicoba BPJS sudah mulai dilaksanakan sejak tahun 2012 dengan rencana aksi
dilakukan pengembangan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan dan perbaikan pada system
rujukan dan infrastruktur. Evaluasi jalannya Jaminan Kesehatan nasional ini direncanakan setiap
tahun dengan periode per enam bulan dengan kajian berkala tahunan elitibilitas fasilitas
kesehatan, kredensialing, kualitas pelayanan dan penyesuaian besaran pembayaran harga
keekonomian. Diharapkan pada tahun 2019 jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan
mencukupi, distribusi merata, system rujukan berfungsi optimal, pembayaran dengan cara
prospektif dan harga keekonomian untuk semua penduduk. Pelaksanaan UU BPJS melibatkan
PT ASKES, PT ASABRI, PT JAMSOSTEK dan PT TASPEN. Dimana PT ASKES dan PT
5
![Page 6: Materi tentang pendaftaran BPJS](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082422/55cf9381550346f57b9dace5/html5/thumbnails/6.jpg)
JAMSOSTEK beralih dari Perseroan menjadi Badan Publik mulai 1 januari 2014. Sedangkan PT
ASABRI dan PT TASPEN pada tahun 2029 beralih menjadi badan public dengan bergabung ke
dalam BPJS ketenagakerjaan.
Masalah Yang Timbul Saat Implementasi Kebijakan BPJS
Pelayanan kesehatan BPJS mempunyai sasaran didalam pelaksanaan akan adanya sustainibilitas
operasional dengan memberi manfaat kepada semua yang terlibat dalam BPJS, pemenuhan
kebutuhan medik peserta, dan kehati-hatian serta transparansi dalam pengelolaan keuangan
BPJS. Perlu perhatian lebih mendalam dalam pelaksanaan terhadap system pelayanan kesehatan
(Health Care Delivery System), system pembayaran (Health Care Payment System) dan system
mutu pelayanan kesehatan (Health Care Quality System). Mengingat pelaksanaan BPJS
dikeluarkan melalui Undang-Undang dimana bersifat mengatur sedangkan proses penetapan
pelaksanaan diperkuat melalui surat keputusan atau ketetapan dari pejabat Negara yang
berwenang seperti peraturan pemerintah dan peraturan presiden setidaknya minimal 10 regulasi
turunan harus dibuat untuk memperkuat pelaksanaan BPJS.
Saat ini masalah banyak yang muncul dari implementasi BPJS (Gunawan, 2014) yaitu :
1. System pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System)
a. Penolakan pasien tidak mampu di fasilitas pelayanan kesehatan hal ini dikarenakan PP
No. 101/2012 tentang PBI jo. Perpres 111/2013 tentang Jaminan kesehatan hanya
mengakomodasi 86,4 juta rakyat miskin sebagai PBI padahal menurut BPS (2011)
orang miskin ada 96,7 juta. Pelaksanaan BPJS tahun 2014 didukung pendanaan dari
pemerintah sebesar Rp. 26 trliun yang dianggarkan di RAPBN 2014. Anggaran
tersebut dipergunakan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp. 16.07 trliun
bagi 86,4 juta masyarakat miskin sedangkan sisanya bagi PNS, TNI dan Polri.
Pemerintah harus secepatnya menganggarkan biaya kesehatan Rp. 400 milyar untuk
gelandangan, anak jalanan, penghuni panti asuhan, panti jompo dan penghuni lapas
(jumlahnya sekitar 1,7 juta orang). Dan tentunya jumlah orang miskin yang discover
BPJS kesehatan harus dinaikkan menjadi 96,7 juta dengan konsekuensi menambah
anggaran dari APBN.
6
![Page 7: Materi tentang pendaftaran BPJS](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082422/55cf9381550346f57b9dace5/html5/thumbnails/7.jpg)
b. Pelaksanaan di lapangan, pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh PPK I
(Puskesmas klinik) maupun PPK II (Rumah Sakit) sampai saat ini masih bermasalah.
Pasien harus mencari-cari kamar dari satu RS ke RS lainnya karena dibilang penuh
oleh RS, bukanlah hal yang baru dan baru sekali terjadi.
2. System pembayaran (Health Care Payment System)
a. Belum tercukupinya dana yang ditetapkan BPJS dengan real cost, terkait dengan
pembiayaan dengan skema INA CBGs dan Kapitasi yang dikebiri oleh Permenkes
No. 69/2013. Dikeluarkannya SE No. 31 dan 32 tahun 2014 oleh Menteri Kesehatan
untuk memperkuat Permenkes No.69 ternyata belum bisa mengurangi masalah di
lapangan.
b. Kejelasan area pengawasan masih lemah baik dari segi internal maupun eksternal.
Pengawasan internal seperti melalui peningkatan jumlah peserta dari 20 juta (dulu
dikelola PT Askes) hingga lebih dari 111 juta peserta, perlu diantisipasi dengan
perubahan system dan pola pengawasan agar tidak terjadi korupsi.
Pengawasan eksternal, melalui pengawasan Otoritas jasa Keuangan (OJK), Dewan
Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Badan Pengawas Keuangan (BPK) masih belum
jelas area pengawasannya.
3. System mutu pelayanan kesehatan (Health Care Quality System)
a. Keharusan perusahaan BUMN dan swasta nasional, menengah dan kecil masuk
menjadi peserta BPJS Kesehatan belum terealisasi mengingat manfaat tambahan
yang diterima pekerja BUMN atau swasta lainnya melalui regulasi turunan belum
selesai dibuat. Hal ini belum sesuai dengan amanat Perpres No. 111/2013 (pasal 24
dan 27) mengenai keharusan pekerja BUMN dan swasta menjadi peserta BPJS
Kesehatan paling lambat 1 Januari 2015. Dan regulasi tambahan ini harus
dikomunikasikan secara transparan dengan asuransi kesehatan swasta, serikat
pekerja dan Apindo sehingga soal Manfaat tambahan tidak lagi menjadi masalah.
b. Masih kurangnya tenaga kesehatan yang tersedia di fasilitas kesehatan sehingga peserta
BPJS tidak tertangani dengan cepat.
Landasan Hukum Mendasari Kebijakan
7
![Page 8: Materi tentang pendaftaran BPJS](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082422/55cf9381550346f57b9dace5/html5/thumbnails/8.jpg)
a. UU Nomor 40/2004 Pasal 22 berisi manfaat komprehensif : Promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitative.
b. UU Nomor 40/2004 Pasal 24 mengenai BPJS berkewajiban mengembangkan system pelayanan
kesehatan, system mutu dan system pembayaran yang efisien dan efektif.
c. Perpres 12/2013 Pasal 20 ayat 1 : menetapkan produk : pelayanan kesehatan perorangan (pro,otf,
preventif, kuratif dan rehabilitative), obat dan bahan medis habis pakai.
d. Perpres 12/2013 Pasal 36
Ayat 1 : Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua fasilitas kesehatan yang
menjalin kerjasama dengan BPJS.
Ayat 2: Fasilitas kesehatan pemerintah dan pemerintah daerah yang memenuhi
persyaratan wajib bekerjasama dengan BPJS.
Ayat 3 : Fasilitas kesehatan swasta yang memenuhi persyaratan dapat bekerjasama
dengan BPJS.
Ayat 4 : BPJS kesehatan dengan fasilitas membuat perjanjian tertulis sebagai landasan
kerjasama
Ayat 5 : Persyaratan sebagai fasilitas kesehatan mengacu pada peraturan Menteri
Kesehatan yang berlaku.
e. Perpres 12/2013 Pasal 42
Ayat 1 : Pelayanan kepada peserta jaminan kesehtan harus memperhatikan mutu
pelayanan, berorientasi kepada aspek keamanan peserta, efektifitas tindakan,
kesesuaian dengan kebutuhan peserta serta efisiensi biaya.
Ayat 2 : Penerapan system kendali mutu pelayanan jaminan kesehatan dilakukan secara
menyeluruh, meliputi standar pemenuhan fasilitas kesehtan, memastikan proses
pelayanan kesehatan berjalan sesuai dengan standar yang ditetapkan, serta
pemantauan terhadap iuran kesehatan peserta
Ayat 3 : Ketentuan mengenai penerapan system kendali mutu diatur oleh ketetapan BPJS
f. Perpres 12/2013 Pasal 43
Ayat 1 : Dalam rangka menjamin kendali mutu dan biaya menteri bertanggung jawab
untuk HTA, pertimbangan klinis dan manfaat jaminan kesehatan, perhitungan
standar tariff, monev jaminan kesehatan
8
![Page 9: Materi tentang pendaftaran BPJS](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082422/55cf9381550346f57b9dace5/html5/thumbnails/9.jpg)
Ayat 2 : Dalam melaksanakan Monev, menteri berkoordinasi dengan Dewan Jaminan
Sosial Nasional
g. Perpres 12/2013 Pasal 44 : ketentuan tentang pasal 43 diatur dengan Peraturan Menteri
Rekomendasi Implementasi BPJS 2014
Evaluasi implementasi BPJS Kesehatan yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2014 saat ini
masih banyak ditemui kendala disebabkan masih minimnya penetapan melalui pemerintah dalam
pelaksanaan BPJS, sedikitnya 10 regulasi turunan yang harus ditambahkan untuk menunjang
BPJS tersebut.. Dengan Penyelenggaraan BPJS Kesehatan yang belum berjalan sesuai dengan
prinsip dan tujuan, oleh karena itu diperlukan :
a. Dalam pembentukan surat keputusan atau peraturan hendaknya menggunakan cara pandang
konstitusional, berdasarkan Pasal 28 H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 serta merujuk
pada Pasal 4 UU SJSN dan Pasal 40 tahun 2011 dan Pasal 24 tahun 2011.
b. Harus dilakukan kajian lebih lanjut untuk merevisi regulasi turunan BPJS seperti dalam penetapan
cost BPJS dan pengaturan penyaluran dana ke fasilitas kesehatan penyelenggara, jumlah tenaga
kesehatan yang tersedia (dokter, perawat, administrasi rumah sakit dan lain-lain) sehingga
memudahkan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, serta fasilitas kesehatan yang
dimiliki dapat menunjang pelaksanaan secara efisien dan efektif.
http://hukum.kompasiana.com/2014/05/25/analisa-kebijakan-undang-undang-implementasi-bpjs-1-januari-2014-659904.html
1. Jumlah peserta lampaui target
Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) semakin bertambah melampaui target yang sebelumnya ditetapkan. Menurut Direktur Hukum dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Purnawarman Basundoro per 8 Agustus 2014, jumlah total peserta JKN sebanyak 126.487.166 jiwa.
9
![Page 10: Materi tentang pendaftaran BPJS](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082422/55cf9381550346f57b9dace5/html5/thumbnails/10.jpg)
Jumlah ini, melebihi target yang sebelumnya ditetapkan yaitu 121 juta jiwa. Selanjutnya, karena kepersertaan JKN bersifat wajib maka Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan optimistis bahwa seluruh penduduk Indonesia sejumlah 257,5 juta jiwa dapat ter-cover.
Pihak BPJS Kesehatan sendiri menargetkan perusahaan untuk menjadi anggota JKN pada tanggal 1 Januari 20015. Lalu, untuk masyarakat Indonesia secara keseluruhan telah menjadi anggota JKN pada 1 Januari 2019.
10