master case dr.nella
TRANSCRIPT
STATUS PASIEN
IDENTITAS
Nama : Ny. N.W.
Umur : 30 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Pendidikan : SLTA
Status : Menikah
Perkawinan : 1 kali
Jumlah anak : 1
Pekerjaan : Sekuriti
Pekerjaan suami : Pegawai swasta
Alamat : Jl.Damai No.39 RT 08 Petukangan Selatan, Pesanggrahan, Jaksel
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Masuk RS : 24 Agustus 2009
ANAMNESIS
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesa pd pkl 13.00 hari Senin 3 September 2009
Keluhan Utama : Nyeri perut bawah sejak 3 hari SMRS
Keluhan Tambahan : Perdarahan pervaginam
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Pasien datang ke UGD RS Fatmawati dengan keluhan nyeri perut bawah
sejak 3 hari SMRS. Nyeri yang dirasakan seperti tertekan benda besar. Sifat
nyerinya hilang timbul. Pasien mengaku sebelumnya pernah merasakan nyeri
yang sama seperti sekarang. Nyeri disertai demam. Mual (+) muntah (-).
Sebelumnya pasien berobat ke RSB.Kartini 1 hari SMRS namun tidak
membaik .
OS mengaku BAK lancer warna urine kuning jernih tidak disertai darah dan
lender. Os juga mengatakan BABnya lancar warna kuning kecoklatan tidak
disertai darah. Pada hari yang sama os juga merasakan mules-mules hari itu
disertai dengan perdarahan yang encer dari vagina, kurang lebih dua
pembalut, sedangkan pasien sedang hamil 27 minggu.
Riwayat Haid:
Siklus: 7 hari, nyeri haid (-), banyaknya 3 kali pembalut.
Riwayat Kehamilan:
Kehamilan I proses persalinan normal, jenis kelamin perempuan, saat ini
berusia 3 tahun, keadaan sekarang baik.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Hipertensi (-)
DM (-)
Penyakit Jantung (-)
Penyakit Paru (-)
Alergi (-)
Asma (-)
Riwayat Operasi (-)
Riwayat Penyakit Keluarga:
Hipertensi (+)
Penyakit Jantung (-)
Penyakit Paru (-)
Alergi (-)
Asma (-)
DM (-)
Riwayat Kebiasaan:
Merokok (-)
Alkohol (-)
PEMERIKSAAN PRE-OPERASI
Pemeriksaan Fisik dilakukan pkl 15.00 tanggal 24 September 2009
KEADAAN UMUM
Kesan Sakit: tampak sakit sedang, gelisah
Kesadaran: Compos Mentis
Postur Tubuh: athleticus
TB: 160cm
BB: 85kg
Cara bicara: aktif dan jelas
Cara Berbaring: Pasif , miring ke 1 sisi
Sikap dan watak: kooperatif
Oedem (-); Tremor (-); Dehidrasi (-); Dyspnoe (-); hiperpigmentasi (-)
TANDA VITAL
Tekanan darah: 120/80 mmHg Suhu Tubuh : 37,7 ° C
Nadi: 100x/menit , regular , equal Pernafasan : 21x/menit
Status Gizi : baik
Kulit : turgor baik, kelembaban cukup, sianosis (-), petekiae (-), hiperpigmentasi (-), udem
(-), suhu teraba hangat, tidak tampak massa atau benjolan, bekas luka (+).
Kepala
Bentuk dan ukuran : Normocephali
Nyeri tekan sinus frontalis (-), sfenoidalis (-), etmoidalis (-), maxilaris (-).
Rambut : hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut.
Wajah : simetris
Alis : hitam, simetris, distribusi merata, sikatriks (-), madarosis (-).
Bulu Mata : pendek, hitam, distribusi merata, entropion negatif,
ektropion negatif
Palpebra : oedem (-), ptosis (-)
Mata : exophtalmus (-) ,enophtalmus (-) , tidak cekung , CA -/- , SI -/- , pupil isokhor , bulat , tepi
rata , batas tegas , lensa tidak keruh RCL +/+ , RCTL +/+ , Arcus senilis (-) , tekanan bola mata
cukup
Hidung : simetris , deviasi septum (-) , oedem mukosa (-) , oedem concha (-) , tidak hiperemis ,
sekret (-)
Telinga : normotia , nyeri tarik (-) , nyeri tekan tragus dan mastoid(-) , oedem (-) , tidak hiperemis
(-) , serumen (+) minimal , membran timpani intak
Mulut dan rongga mulut
bibir : simetris, tidak kering, tidak pecah, tidak schizis,
tidak cyanosis
gusi dan mukosa : tidak hiperemis, tidak oedem
gigi geligi : dalam batas N
lidah : bersih, tidak hiperemi, tidak tremor, papil tidak
atrofi
uvula : di tengah, tidak hiperemis
tonsil : T1-T1, tidak hiperemis
faring : tidak ada deviasi arcus faring
arcus palatum : simetris, tidak ada cleft, tidak ada deviasi
Leher
JVP : tidak meningkat
KGB : tidak teraba membesar
benjolan : tidak ada
trakea : di tengah, tidak ada deviasi
tiroid : tidak teraba membesar
Thorax
Inspeksi
bentuk
statis : simetris
dinamis : simetris
dinding dada
kulit :tidak ada spider nevi, tidak ada ruam kulit
sela iga :tidak terlihat melebar atau menyempit, tidak
ada retraksi tulang iga
iktus kordis : tidak terlihat
benjolan : tidak ada
pulsasi abnormal : tidak ada
Palpasivocal fremitus : teraba sama kanan dan kiriiktus cordis : teraba pada ICS V, 2 cm ke arah medial dari garis midclavicularis kirinyeri tekan - , benjolan - , angulus costae < 90°
Perkusi paru dan jantung Paru / kavum pleura : nyeri ketuk ,sonor
seluruh lapang paruBatas paru – hepar : ICS 5 pd garis midclavicularis kanan , peranjakan 1 ICS Batas paru – lambung : ICS 6 pd garis aksilaris anterior
Batas bawah paru kanan belakang : thoracal 10Batas bawah paru kiri belakang : thoracal 11
Batas jantung sebelah kanan : intercostal IV garis sternalis kanan
Batas jantung sebelah kiri : intercostal V, 1-2cm sebelah medial garis midclavicularis kiri
Batas atas jantung : intercostal III garis sternalis kiri
Auskultasi
ParuSuara napas : vesikuler, simetrisSuara napas tambahan
Ronki : tidak ada
Krepitasi : tidak ada
Wheezing : tidak ada
Pleural friction rub :tidak ada
Jantung
Bunyi jantung : S1/S2 irama reguler
Bunyi jantung tambahan: tidak ada murmur, tidak ada gallop
Katup aorta : intercostal II garis sternalis kanan
Katup pulmonalis : intercostal II garis sternalis kiri
Katup trikuspidalis : intercostal IV garis parasternal kiri
Katup mitral : intercostal V garis midclavicula kiri
abdomenInspeksi
bentuk : simetris, tidak ada smiling umbilicus, tidak ada
pelebaran vena kulit, tidak ada caput medusa
benjolan : tidak ada
turgor kulit : cukupPalpasi
nyeri tekan : tidak ada
massa : tidak ada
ballotement : tidak ada
undulasi : tidak ada
defans muscular: tidak ada
hepar : tidak teraba membesar
limpa : tidak teraba membesar
perkusi
nyeri ketuk : tidak ada
shifting dullness : tidak ada
auskultasi
bising usus : ada, 5-7 x / menit
ekstremitaspalmar eritema : tidak adatremor : tidak adaoedema : tidak adasuhu raba : pada extremitas hangatbenjolan : tidak adasikatrik : tidak adaGenitalia : tidak dilakukan pemeriksaanAnus/rectum : tidak dilakukan pemeriksaan
KONSUL – KONSUL TGL 24 AGUSTUS 2009
A. OBGYN :
Nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari yang lalu, mual (+), muntah (+). Nyeri awalnya hilang timbul
kemudian dirasakan terus-menerus. Demam (-), mules (+), keluar darah pervaginam (+), abdomen
NT (+) di region kanan bawah, defens muskulair (+), BU (+) normal.
B.BEDAH :
ACC untuk apendiktomi cito.
SIO
Terbutalin sulfat 2.5mg + 500cc RL 20 tetes/menit intra op.
C.ANESTHESI :
ASA 2 dengan hipokalemia dengan intoleransi glukosa.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (24 Agustus 2009)
Hb SGOT/PT
Leukosit Ur/Cr
Hematokrit Na
Trombosit K
GDS Cl
IV.DURANTE OPERASI
Pada pasien ini, dilakukan regional anestesi yang dimulai pada pukul 00.20 pada tanggal 25
Agustus 2009. Teknik anestesi spinal pada pasien posisi duduk, dilakukan asepsis dan antisepsis
pada region lumbal dengan betadine dan alcohol, lalu ditusukkan jarum spinal pada L3-L4 no. 27G,
LCS (+) jernih, darah (-), dimasukkan Marcain 10mg + Morfin 0,1mg + catapres. Selama operasi
berlangsung, pasien bernapas spontan dengan bantuan o2 lewat nasal 3 lt/menit, posisi terlentang.
Operasi yang berlangsung 2 jam 10 menit diberikan cairan kristaloid 2000 ml berupa asering dan
RL dan cairan koloid 500 ml berupa Gelofusin, menurut perhitungan cairan yaitu 1680 cc. Pasien
mengalami perdarahan selama operasi ± 300 cc. Operasi selesai jam 2.30. Post op, pasien dikirim
ke bangsal teratai lantai I. Keadaan akhir pembedahan TD: 107/70mmHg, N: 111x/menit,
kesadaran: CM, cyanosis (-), mual (-), muntah (-).
Medikasi yang diberikan:
Marcain spinal 0,5% Heavy + catapres + morfin
Narfoz 4 mg
Efedrin 20 mg
Ketorolak 10mg
Perhitungan cairan selama operasi (2-3 jam):
Maintenance (M):
BB (70) 10 kg I = 4 x 10 = 40
10 kg II = 2 x 10 = 20
Sisa: 50 kg = 1 x 50 = 50
= 110
Penggantian puasa selama 8 jam (P):
8 x 110 = 880
Jenis operasi (O):
70 x 8 = 560
Cairan yang diperlukan tiap jam selama operasi berlangsung:
M + O + ½ P = 110 + 560 + 440 = 1110
M + O + ¼ P = 110 + 560 + 220 = 890
M + O + ¼ P = 110 + 560 + 220 = 890
Total : 2890 cc
Petunjuk post operasi :
Awasi TNSP
Diet biasa setelah pasien sadar betul
IVFD RL:D5 = 2:2 / 24 jam
Bedrest 12 jam
Ceftriaxon 1x2g
Metronidazol drip 3x500mg
Ranitidin 2x1amp
Lain-lain sesuai TS OBGYN
FOLLOW UP
Bangsal:
Tanggal 25 Agustus 2009 pukul 6.00:
S : Muntah (+), mules (+), keluar air-air (-), darah (-), BAK dengan selang.
O : KU : Baik
Kes : CM
TD : 110/70 mmHg S : 36,6
N : 100x/menit P : 18x/menit
Status Generalis :
Mata : CA -/-, SI -/-
Cor : BJ I-II regular, Murmur(-), Gallop (-)
Pulmo : Suara napas vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Extremitas : Akral hangat, perdarahan (-)
Lab :
Leukosit : 16,0 Prot. Urin : + 1
Netrofil : 95 Keton : + 2
Limfosit : 4 Darah : + 1
Monosit : 1 Eritrosit : 6-8 LPB
A : Post Apendisitis akut
P : - Inf. Bricasma - Clindamisin 2x300mg
- Dexamethasone 2x6mg - Profenid 3x1
- Nifedipin 4x10mg - Ceftriaxon 1x2g
Pukul 10.00 :
S : Sesak (+)
O : KU berat TD : 130/80 N : 120x/menit
P : 28x/menit S : afebris
Status generalis :
Paru: Napas vesikuler, Rh +/+ (basah halus), Wh -/-
Status OB :
Kontraksi (-), DJJ : 164 dpm, I : V/U tenang
A : Udem paru akut e.c terbutalin sulfat pada G2P1H27mgg, JTM
: Post-op. App. Akut dengan kehamilan
P : Rdx/ - Obs. TTV, sesak Rth/ - Inf. RL
- AGD - Lasix 1amp
- airway bebas - Propanolol 2x1 tab
- breathing -> O2 nasal 4L
Pukul 14.00 :
S : Sesak (+)
O : Kes: CM TD : 130/80mmHg RR : 18x/menit
KU berat N : 124x/menit S : afebris
Status generalis :
Paru: Napas vesikuler, Rh +/+ (basah halus), Wh -/-
Status OB :
Kontraksi (-), DJJ : 164 dpm, I : V/U tenang
A : Udem paru akut e.c terbutalin sulfat pada G2P1H27mgg, JTM
: Post-op. App. Akut dengan kehamilan
P : Rdx/ - AGD Rth/ - Atenolol 2x35mg
- Obs TNSP, Kontraksi, - UMU, balans (- 300 cc)
DJJ dan sesak/jam
- Balans ketat
Pukul 15.30 :
S : Sesak (+)
O : Kes : CM TD : 130/80mmHg RR : 24x/menit
KU : sedang N : 102x/menit S : afebris
Status generalis :
Paru: Napas vesikuler, Rh +/+ (basah halus), Wh -/-
Status OB :
Kontraksi (-), DJJ : 164 dpm, I : V/U tenang
A : Udem paru akut e.c terbutalin sulfat pada G2P1H27mgg, JTM
: Post-op. App. Akut dengan kehamilan
P : Rdx/ - AGD Rth/ - Atenolol 2x35mg
- Obs TNSP, Kontraksi, - UMU, balans (- 300 cc)
DJJ dan sesak/jam
- Balans ketat
Konsul OBGYN ke ICU:
Edema paru akut a.i Terbutalin sulfat pada G2P1H27mgg. Mohon evaluasi perawatan pallier
di ICU disebabkan tanda-tanda ancaman gagal nafas.
Dirawat di ICU, masuk tanggal 25 Agustus 2009 pukul 22.45 malam.
II.Follow Up ICU :
Hari ke-1 (25/08/09) pukul 23.30-06.00
Kesadaran Jam 23.30-06.00 apatis
Tanda vital TD : 121/71, N : 91x/mnt, S : 37,7, EKG :
SR (sinus rhythm)
Cor
Pulmo
Dalam batas normal
Sn. Veikuler Rh +/+, Wh -/-
Intake Enteral : puasa
Perenteral : Aminofluid 1000cc, Triofusin
500cc, RL 500cc
Obat Enteral : Profenid supp 3x1
Parenteral : Trijec 1x2g, N5000 1x1,
Nexium 1x1amp, Vit C 2x200mg,
Metronidazol 3x500mg, Bricasma 1amp-
asering /24 jam
Cairan Masuk
= 700cc
Cairan Keluar
= 550cc
IWL = 150cc
Balans cairan
Enteral : -
Parenteral : 700cc
Urine : 550cc
150cc
0cc
Lab
ICU tgl 26 Agustus 2009
S= -
O=A = terpasang ETT dgn ABN
B =sesak - ,slym >
C =HD blum stabil
D =kes CM
A=pola nafas
Gangguan bersihan jalan nafas
RO Thorax tgl 26/09/09
Ujung ETT 3 cm dari carina
Bendungan paru sedikit perbaikan
Kesan: corakan BV meningkat dengan infiltrate berawan tipis di kedua lapang paru
Diafragma dan sinus suram
Bangsal tanggal 28/8/09
S :sesak berkurang , mules-mules, gerak janin +
O:KU CM
TD: 139/78 N: 97x/menit RR: 25x/menit
St.Generalis :
Paru : vesikuler +/+ , Rh basah halus min , Wh -/-
Jantung : Bj I – II , murmur - , gallop –
Abdomen : buncit
Extremitas : akral hangat , oedem –
A: oedem paru perbaikan ec.overload cairan
P: obs tanda vital ,obs sesak , echocardiography , cairan 1500cc/24 jam ,balans - , diet
cairan 6 x 50 cc
Bangsal tanggal 31/8/09
S :sesak –
O:CM TD : 120/70 N : 90 RR: 22 , Rh +/+ basah halus min , ext : oedem -/-
A :oedem paru perbaikan
Hipokalemia pasca koreksi
P : Cek elektrolit pasca koreksi – tunggu hasil echo
Th/ cairan 2000cc/24 jam balans : 300 cc
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PERUBAHAN ANATOMIK DAN FISIOLOGIK PADA WANITA HAMIL
Pada kehamilan terdapat perubahan pada seluruh tubuh wanita, khususnya pada
alat genitalia eksterna dan interna dan pada payudara (mamma). Dalam hal ini hormon
somatomammotropin, estrogen, dan progesteron mempunyai peranan penting seperti
telah dikemukakan pada bab terdahulu. Perubahan yang terdapat pada wanita hamil ialah
antara lain sebagai berikut.
Uterus
Uterus akan membesar pada bulan-bulan pertama di bawah pengaruh estrogen
dan progresteron yang kadarnya meningkat. Pembesaran ini pada dasarnya disebabkan
oleh hipertrofi otot polos uterus; di samping itu, serabut-serabut kolagen yang ada pun
menjadi higroskopik akibat meningkatnya kadar estrogen sehingga uterus dapat mengikuti
pertumbuhan janin. Bila ada kehamilan ektopik, uterus akan membesar pula, karena
pengaruh hormon-hormon itu. Begitu pula endometriun menjadi desidua.
Berat uterus normal lebih kurang 30 gram; pada akhir kehamilan (40 minggu) berat
uterus ini menjadi 1000 gram, dengan panjang lebih kurang 20 cm dan dinding lebih
kurang 2,5 cm. Pada bulan-bulan pertama kehamilan bentuk uterus seperti buah advokat,
agak gepeng. Pada kehamilan 4 bulan uterus berbentuk bulat. Selanjutnya, pada akhir
kehamilan kembali seperti bentuk semula, lonjong seperti telur. Hubungan antara
besarnya uterus dengan tuanya kehamilan sangat penting diketahui, antara lain untuk
membuat diagnosis apakah wanita tersebut hamil fisiologik, atau hamil ganda, atau
menderita penyakit seperti mola hidatidosa, dan sebagainya. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya, dinding uterus terdiri atas 3 lapisan otot. Lapisan otot longitudinal paling luar,
lapisan otot sirkuler paling dalam, dan lapisan otot yang berbentuk oblik di antara kedua
lapisan otot luar dan dalam. Ketika ada kehamilan ketiga lapisan ini tampak lebih jelas.
Lapisan otot oblik berbentuk suatu anyaman seperti tikar, memegang peranan enting
pada persalinan disamping kedua lapisan otot lainnya. Sinus-sinus pembuluh darah
berada di antara anyaman otot oblik ini. Postpartum uterus berkontraksi dan pada ketika
ini sinus-sinus pembuluh darah yang terbuka terjepit, sehingga perdarahan postpartum
dapat dicegah. Uterus pada wanita tidak hamil kira-kira sebesar telur ayam.
Pada kehamilan uterus tumbuh secara teratur, kecuali jika ada gangguan pada
kehamilan tersebut. Pada kehamilan 8 minggu uterus membesar sebesar telur bebek, dan
pada kehamilan 12 minggu kira-kira sebesar telur angsa. Pada saat ini fundus uteri telah
dapat diraba dari luar, di atas simfisis. Pada pemeriksaan ini wanita tersebut harus
mengosongkan kandung kencingnya dahulu. Pada minggu-minggu pertama ismus uteri
mengadakan hipertrofi seperti korpus uteri. Hipertrofi ismus pada triwulan pertama
membuat ismus menjadi panjang dan lebih lunak. Hal ini dikenal dalam obstetri sebagai
tanda Hegar. Pada kehamilan 16 minggu kavum uteri sarna sekali diisi oleh ruang amnion
yang berisi janin, dan ismus menjadi bagian korpus uteri. Pada kehamilan 16 minggu
besar uterus kira-kira sebesar kepala bayi atau sebesar tinju orang dewasa. Dari luar
fundus uteri kira-kira terletak di antara setengah jarak pusat ke simfisis. Pada kehamilan
20 minggu, fundus uteri terletak kira-kira di pinggir bawah pusat, sedangkan pada
kehamilan 24 minggu fundus uteri berada tepat di pinggir atas pusat.
Pada kehamilan 28 minggu fundus uteri terletak kira-kira 3 jari di atas pusat atau
sepertiga jarak antara pusat ke prosessus xifoideus. Pada kehamilan 32 minggu fundus
uteri terletak di antara setengab jarak pusat dan prosessus xifoideus. Pada kehamilan 3.6
minggu fundus uteri terletak kira-kira 1 jari di bawah prosessus xifoideus. Dalam hal ini,
kepala bayi masih berada di atas pintu atas panggul. Pemeriksaan tinggi fundus uteri
dikaitkan dengan umur kehamilan perlu pula dikaitkan dengan besarnya dan beratnya
janin. Di bawah ini ukuran tinggi fundus uteri dalam cm dikaitkan dengan umur kehamilan
dan berat bayi sewaktu dilahirkan.
Bila pertumbuhan janin normal maka tinggi fundus uteri pada kehamilan 28 minggu
sekurangnya 25 cm, pada 32 minggu 27 cm, pada 36 minggu 30 cm. Pada kehamilan 40
minggu fundus uteri turun kembali dan terletak kira-kira 3 jari di bawah prosessus
xiphoideus. Hal ini disebabkan oleh kepala janin yang pada primigravida turun dan masuk
ke dalam rongga panggul. Pada triwulan terakhir ismus lebih nyata menjadi bagian korpus
uteri, dan berkembang menjadi segmen bawah uterus. Pada kehamilan tua karena
kontraksi otot-otot bagian atas uterus, segmen bawah uterus menjadi Iebih lebar dan tipis;
tampak batas yang nyata antara bagjan atas yang lebih tebal dan segmen bawah yang
lebih tipis. Batas itu dikenal sebagai lingkaran retraksi fisiologik. Dinding uterus di atas
lingkaran ini jauh lebih tebal daripada dinding segmen bahwa uterus.
Pada persalinan segmen bawah uterus lebih melebar lagi, dan lingkaran retraksi
fisiologik menjadi lebih tinggi. Postpartum pada pemeriksaan dalam hanya dapat dikenal
bagian atas uterus yang berkontraksi baik, sedangkan bagian bawah uterus teraba
sebagai bagian kantong yang lembek. Pada partus lama lingkaran retraksi itu dapat naik
tinggi sampai setengah pusat dan simfisis.
Serviks uteri
Serviks uteri pada kehamilan juga mengalami perubahan karena hormon estrogen.
Jika korpus uteri mengandung lebih banyak jaringan otot, maka serviks lebih banyak
mengandung jaringan ikat, hanya 10% jaringan otot. Jaringan ikat pada serviks ini banyak
mengandung kolagen. Akibat kadar estrogen meningkat, dan dengan adanya
hipervaskularisasi maka konsistensi serviks menjadi lunak. Serviks yang terdiri terutama
atas jaringan ikat dan hanya sedikit mengandung jaringan otot tidak mempunyai fungsi
sebagai sfingter. Pada partus serviks membuka saja mengikuti tarikan-tarikan korpus uteri
ke atas dan tekanan bagian bawah janin ke bawah. Sesudah partus dapat pula dinyatakan
bahwa serviks itu berlipat-lipat dan tidak menutup seperti ditemukan pada sfingter. Pada
multipara dengan porsio yang bundar, porsio tersebut mengalami cedera berupa lecet dan
robekan, sehingga post-partum tampak adanya porsio yang terbelah dua dan menganga.
Hal ini lebih jelas pada pemeriksaan postnatal, 6 minggu postpartum. Perubahan-
perubahan pada serviks perlu diketahui sedini mungkin pada kehamilan, akan tetapi yang
memeriksa hendaknya hati-hati dan tidak dibenarkan melaksanakan secara kasar
sehingga dapat mengganggu kehamilan. Kelenjar-kelenjar di serviks akan berfungsi lebih
dan akan mengeluarkan sekresi lebih banyak. Kadang-kadang wanita yang sedang hamil
mengeluh mengeluarkan cairan per vaginam lebih banyak. Keadaan ini sampai batas
tertentu masih merupakan keadaan yang fisiologik.
Vagina dan vulva
Vagina dan vulva akibat hormon estrogen mengalami perubahan pula. Adanya
hipervaskularisasi mengakibatkan vagina tampak lebih merah, agak kebirubiruan (livide).
Tanda ini disebut tand Chadwick. Warna porsio pun tampak livide. Pembuluh-pembuluh
darah alat genital interna akan membesar. Hal ini dapat dimengerti karena oksigenasi dan
nutrisi pada alat-alat genitalia tersebut meningkat. Apabila terdapat kecelakaan pada
kehamilan atau persalinan, maka perdarahan akan banyak sekali, sampai dapat
mengakibatkan kematian.
Ovarium
Pada permulaan kehamilan masih terdapat korpus luteum graviditatis sampai
terbentuknya plasenta pada kira-kira kehamilan 16 minggu. Korpus luteum graviditatis
berdiameter kira-kira 3 cm. Kemudian, ia mengecil setelah plasenta terbentuk. Seperti
telah dikemukakan, korpus luteum ini mengeluarkan hormon estrogen dan progesteron.
Lambat-laun fungsi ini diambil alih oleh plasenta. Dalam dasawarsa terakhir ini ditemukan
pada awal ovulasi hormon relaxin, suatu immunoreactive inhibin dalam sirkulasi maternal.
Diperkirakan korpus luteum adalah tempat sintesis dari relaxin pada awal kehamilan.
Kadar relaxin di sirkulasi maternal dapat ditentukan dan meningkat dalam trimester
pertama. Relaxin mempunyai pengaruh menenangkan hingga pertumbuhan janin menjadi
baik hingga aterm.
Mammae
Mamma akan membesar dan tegang kibat hormon somatomammotropin, estrogen,
dan progesteron, akan tetapi belum mengeluarkan air susu. Estrogen menimbulkan
hipertrofi sistem saluran, sedangkan progesteron menambah sel-sel asinus pada mamma.
Somatomammotropin mempengaruhi pertumbuhan sel-sel asinus pula dan menimbulkan
perubahan dalam sel-sel, sehingga terjadi pembuatan kasein, laktalbumin, dan
laktoglobulin. Dengan demikian, mamma dipersiapkan untuk laktasi. Di samping ini, di
bawah pengaruh progesteron dan somatomammotropin, terbentuk lemak di sekitar
kelompok-kelompok alveolus, sehingga mamma menjadi lebih besar. Papilla mamma
akan membesar, lebih tegak, dan tampak lebih hitam, seperti seluruh areola mamma
karena hiperpigmentasi. Glandula Montgomery tampak lebih jelas menonjol di permukaan
areola mamma. Pada kehamdan 12 minggu ke atas dari puting susu dapat keluar cairan
berwarna putih agak iernih, disebut kolostrum. Kolostrum ini berasal dari kelenjar-kelenjar
asinus yang mulai bersekresi. Sesudah partus, kolostrum ini agak kental dan warnanya
agak kuning. Meskipun kolostrum telah dapat dikeluarkan, pengeluaran air susu belum
berjalan oleh karena prolaktin ini ditekan oleh PIH (prolactine inhibiting hormone).
Postpartum - dengan dilahirkannya plasenta – pengaruh estrogen, progesteron, dan
somatomammotropin terhadap hipotalamus hilang, sehingga prolaktin dapat dikeluarkan
dan laktasi terjadi.
Sirkulasi darah
Sirkulasi darah ibu dalam kehamilan dipengaruhi oleh adanya sirkulasi ke plasenta,
uterus yang membesar dengan pembuluh-pembuluh darah yang membesar pula, mamma
dan alat lain-lain yang memang berfungsi berlebihan dalam kehamilan. Seperti telah
dikemukakan, volume darah ibu dalam kehamilan bertambah secara fisiologik dengan
adanya pencairan darah yang disebut hidremia. Volume darah akan bertambah banyak,
kira-kira 25%, dengan puncak kehamilan 32 minggu, diikuti dengan cardiac output yang
meninggi sebanyak kira-kira 30%. Akibat hemodilusi tersebut, yang mulai jelas timbul
pada kehamilan 16 minggu, ibu yang mempunyai penyakit jantung dapat jatuh dalam
keadaan dekompensasi kordis. Eritropoesis dalam kehamilan juga meningkat untuk
memenuhi keperluan transpor zat asam yang dibutuhkan sekali dalam kehamilan.
Meskipun ada peningkatan dalam volume eritrosit secara keseluruhan, tetapi penambahan
volume plasma jauh lebih besar, sehingga konsentrasi hemoglobin dalam darah menjadi
lebih rendah. Hal ini tidak boleh dinamakan anemia fisiologik dalam kehamilan, oleh
karena jumlah hemoglobin pada wanita harnil dalam keseluruhannya lebih besar daripada
sewaktu belum hamil. Jumlah lekosit meningkat sampai 10.000 per ml, dan produksi
trombositpun meningkat pula. Gambaran protein dalam serum berubah; jurnlah protein,
albumin, dan gammaglobulin menurun dalam triwulan pertama dan baru meningkat
perlahan-lahan pada akhir kehamilan, sedangkan betaglobulin dan bagian-bagian
fibrinogen terus meningkat. Laju endap darah pada umumnya meningkat sampai empat
kali, sehingga dalam kehamilan tidak dapat dipakai sebagai ukuran. Segera postpartum,
sirkulasi antara uterus dan plasenta berhenti, sejumlah darah untuk sirkulasi umum akan
membebani jantung dan bila ada visium kordis, dapat timbul dekompensasi kordis.
Setelah partus, terjadi pula hemokonsentrasi dengan puncaknya pada hari ke 3 – 5
postpatum. Hal ini harus juga diperhatikan jika berhadapan dengan ibu yang menderita
visium kordis. Dengan adanya hemokonsentrasi dapat diduga pula bahwa ada konsentrasi
trombosit, dan sebagainya, sehingga dapat dimengerti mengapa ada kecenderungan ke
arah trombolflebitis postpartum.
Sistem respirasi
Seorang wanita hamil pada kelanjutan kehamilannya tidak jarang mengeluh tentang
rasa sesak dan pendek napas. Hal ini ditemukan pada kehamilan 32 minggu ke atas oleh
karena usus-usus tertekan oleh uterus yang mernbesar ke arah diafragma, sehingga
diafragma kurang leluasa bergerak. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen yang meningkat
kira-kira 20%, seorang wanita hamil selalu bernapas lebih dalam, dan bagian bawah
toraksnya juga melebar ke sjsi, yang sesudah partus kadang-kadang menetap jika tidak
dirawat dengan baik.
Traktus digestivus
Pada bulan-bulan pertama kehamilan terdapat perasaan enek (nausea). Mungkin
ini akibat kadar hormon estrogen yang meningkat. Tonus otot-otot traktus digestivus
menurun, sehingga mobililitas seluruh traktus digestivus juga berkurang. Makanan lebih
lama berada di daalam lambung dan apa yang telah dicernakan lebih lama berada dalam
usus-usus. Hal ini mungkin baik untuk resorpsi, akan tetapi menimbulkan pula obstipasi,
yang memang merupakan salah satu keluhan utama wanita hamil. Tidak jarang dijumpai
pada bulan-bulan pertama kehamilan gejala muntah (emesis). Biasanya terjadi pada pagi
hari, dikenal sebagai morning sickness. Emesis, bila terlampau sering dan terlalu banyak
dikeluarkan, disebut hiperemesis gravidarum, keadaan ini patologik. Salivasi adalah
pengeluaran air liur berlebihan daripada biasa. Bila terlarnpau banyak, ini pun menjadi
patologik.
Traktus urinarius
Pada bulan-bulan pertama kehamilan kandung kencing tertekan oleh uterus yang
mulai membesar, sehingga timbul sering kencing. Keadaan ini hilang dengan makin
tuanya kehamilan bila uterus gravidus keluar dari rongga panggul. Pada akhir kehamilan,
bila kepala janin mulal turun ke bawah pintu atas panggul, keluhan sering kencing akan
timbul lagi karena kandung kencing mulai tertekan kembali. Dalam keharnilan ureter
kanan dan kiri membesar karena pengaruh progesteron. Akan tetapi ureter kanan lebih
membesar dari pada ureter kiri, karena mengalami lebih banyak tekanan dibandingkan
dengan ureter kiri. Hal ini disebabkan oleh karena uterus lebih sering memutar ke arah
kanan. Mungkin karena orang bergerak lebih sering memakai tangan kanannya, atau
disebabkan oleh letak kolon dan sigmoid yang berada di belakang kiri uterus. Akibat
tekanan pada ureter kanan tersebut, lebih sering dijumpai hidroureter dekstra dan pielitis
dekstra. Di samping sering kencing tersebut di atas terdapat pula poliuria. Poliuria
disebabkan oleh adanya peningkatan sirkulasi darah di ginjal pada keharnilan, sehingga
filtrasi di glomerulus juga memngkat sampai 69%. Reabsorpsi di tubulus tidak berubah,
sehingga lebih banyak dapat dikeluarkan urea, asam urik, glukosa, asam amino, asam
folik dalam kehamilan.
Kulit
Pada kulit terdapat deposit pigmen dan hiperpigmentasi alat-alat tertentu.
Pigmentasi ini disebabkan oleh pengaruh melanophore stimulating hormone (MSH) yang
meningkat. MSH ini adalah salah satu hormon yang juga dikeluarkan oleh lobus anterior
hipofisis. Kadang-kadang terdapat deposit pigmen pada dahi, pipi, dan
hidung, dikenal sebagai kloasma gravidarum. Di daerah leher sering terdapat
hiperpigmentasi yang saran, juga di areola mamma. Linea alba pada kehamilan menjadi
hitam, dikenal sebagai linea grisea. Tidak jarang dijumpai kulit perut seolah-olah retak-
rettak, warnanya berubah agak hiperemik dan kebiru-biruan, disebut striae livide. Setelah
partus, striae livide ini berubah warnanya menjadi putih dan disebut striae albikantes.
Pada seorang multigravida sering tampak striae livide bersama dengan striae albikantes.
Metabolisme dalam kehamilan
Pada wanita hamil basal metabolic rate (BMR) meninggi, sistem endokrin juga
meninggi, dan tampak lebih jelas kelenjar gondoknya (glandula tireoidea). BMR meningkat
hingga 15 - 20% yang umumnya ditemukan pada triwulan terakhir. Kalori yang dibutuhkan
untuk itu diperoleh terutama dari pembakaran hidrat arang, khususnya sesudah kehamilan
20 minggu ke atas. Akan tetapi bila dibutuhkan, dipakailah lemak ibu untuk mendapatkan
tambahan kalori dalam pekerjaan sehari-hari.
Dalam keadaan biasa wanita hamil cukup hemat dalam hal pemakaian tenaganya.
Keseimbangan asam-alkali sedikit mengalami perubahan konsentrasi alkali; pada wanita
tidak harnil kadar sebesar 155 mEq per liter menurun sampai 145 - 147 mEq per liter.
Sehubungan dengan ini, serum Na turun dari 142 mEq per liter sampai 135 - 137 mEq per
liter dan disertai oleh turunnya plasma bikarbonat dari 25 ke 22 mEq per liter. Protein
diperlukan sekali dalam kehamilan untuk perkembangan badan, alat kandungan, mamma,
dan untuk janin; protein harus disimpan pula untuk kelak dapat dikeluarkan pada laktasi.
Maka dari itu, perlu diperhatikan agar wanita hamil memperoleh cukup protein selama
hamil. Diperkirakan satu gram protein setiap kilogram berat badan dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Pada pemeriksaan plasma protein ditemukan adanya penurunan
dalam fraksi albumin dan pula sedikit penurunan gamma globulin. Globulin (X 1, (X 2, dan
~ dan fibrinogen meningkat. Perubahan-perubahan dalam plasma protein ini dalam satu
minggu postpartum kembali kepada keadaan sebelum adanya kehamilan. Hidrat arang:
seorang wanita hamil sering haus, nafsu makannya besar, sering kencing, dan kadang-
kadang memperlihatkan pula glukosuria, sehingga menyerupai diabetes mellitus. Segala
sesuatu ini dipengaruhi oleh somatomammotropin, peningkatan plasma-insulin, dan
hormon-hormon adrenal. Hasil pemeriksaan glucose tolerance test dalam kehamilan
sebaiknya ditinjau sungguh-sungguh kebenarannya oleh karena ada perbedaan apakah
glukosa diberikan oral atau intravena. Bila diberikan oral, kadar glukosa ini dalam darah
lebih lamban kembali ke asalnya, yakni sesudah 3 jam, sedangkan pada seorang yang
tidak hamil kadar glukosa itu kembali dalam 2 jam. Perbedaan ini tidak ditemukan pada
pemberian glukosa intravena. Bila ditemukan glucose tolerance test oral abnormal,
sebaiknya dilakukan pula glucose tolerance test intravena untuk memperoleh
perbandingan yang benar, oleh karena penyakit diabetes mellitus dalam kehamilan harus
mendapat perhatian penuh. Mengenai lemak telah dikemukakan bahwa hormon
somatomammotropin mempunyai peranan dalam pembentukan lemak dan mamma; lemak
terhimpun pula pada badan, paha, dan Iengan. Kadar kolesterol dapat meningkat sampai
350 mg atau lebih per 100 ml. Janin membutuhkan 30-40 gram kalsium untuk
pembentukan tulang-tulangnya dan ini terjadi terutama dalam trimester terakhir. Makanan
tiap harinya diperkirakan telah mengandung 1,5 - 2,5 gram kalsium. Diperkirakan 0,2 - 0,7
gram kalsium tertahan dalam badan untuk keperluan semasa hamil. Ini kiranya telah
cukup untuk pertumbuhan janin, tanpa mengganggu kalsium ibu. Kadar kalsium dalam
serum memang Iebih rendah, mungkin oleh karena adanya hidremia, akan tetapi kadar
kalsium tersebut masih cukup tinggi hingga dapat menanggulangi kemungkinan terjadinya
kejang tetani. Fosfor, magnesium, dan tembaga, lebih banyak tertahan dalam masa hamil
daripada dalam masa tidak hamil. Kadar tembaga dalam plasma meningkat dari 109
sampai 222 mcg per 100 ml, akan tetapi dalam eritrosit kadarnya tetap. Wanita dalam
kehamilan memerlukan tambahan besi sekitar 800 mg. Sayang sekali kebanyakan wanita
di sini tidak mempunyai cukup persediaan besi pada awal hamil. Sebaiknya diet wanita
hamil ditambah dengan 30 - 50 mg besi sehari; ini dapat diberikan sebagai sulfas ferrosus
atau glukonas ferrosus sesudah makan. Dapat difahami bahwa dengan adanya
pertumbuhan dan perkembangan dalam tubuh wanita hamil akan timbul suatu keaktifan
enzim yang luar biasa. Plasenta sendiri mempunyai enzim-enzim untuk oksidasi, reduksi,.
dan hidrolisa. Yang banyak ditemukan ialah mono-amino-oksidase dan diamino-oksidase
yang membuat tiramine dan histamine menjadi tidak aktif lagi. Enzim-enzim yang banyak
dipelajari dalam masa hamil ialah diamino-oksidase (histaminase), pitosinase,
glukoronidase, angiotonase, dan alkalin fosfatase. Semua enzim ditemukan di dalam
serum ibu dalam kadar lebih tinggi. Segera setelah haid terlambat, kadar diamino-
oksidase meningkat dari 3 - 6 satuan dalam masa tidak hamil ke 200 satuan dalam masa
hamil enam minggu. Kadar ini mencapai puncaknya sampai 400 - 500 satuan pada
kehamilan 16 minggu, dan seterusnya menetap sampai akhir kehamilan. Kemudian, kadar
ini turun sampai 50 satuan dalam 2 - 3 hari postpartum, untuk dalam 10 - 14 hari
kemudian mencapai kadarnya kembali seperti pada masa tidak hamil. Kadar
diaminooksidase ini tidak meningkat pada wanita dengan koriokarsinoma oleh karena
tingginya kadar korionik gonadotropin. Kadar alkalin-fosfatase meningkat empat kali lipat
dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Peningkatan ini dimulai pada kehamilan 4
bulan. Kadar yang ditemukan pada janin adalah setengahnya dari apa yang ditemukan
pada ibunya. Pemeriksaan kadar alkalin-fosfatase dapat dipakai untuk menilai fungsi
plasenta. Pitosinase adalah enzim yang dapat membuat oksitosin tidak aktif. Pitosinase
ditemukan banyak sekali dalam darah ibu pada kehamilan 14 sampai 38 minggu. Berat
badan wanita harnil akan naik kira-kira di antara 6,5 - 16,5 kg rata-rata 12,5 kg. Kenaikan
berat badan ini terjadi terutarna dalam kehamilan 20 minggu terakhir. Kenaikan berat
badan yang terlalu banyak sering ditemukan pada pre-eklampsia dengan akibat
peningkatan morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. Sebaiknya wanita tersebut diawasi
dan diberi pengertian, sehingga berat badan hanya naik 2 kg tiap bulan sesudah
kehamilan 20 minggu. Dan adanya penurunan berat badan dalam bulan terakhir dianggap
sebagai suatu tanda yang baik. Kenaikan berat badan dalam kehamilan disebabkan oleh:
1) hasil konsepsi: fetus, plasenta, dan likuor amnii; dan 2) dari ibu sendiri: uterus dan
mamma yang membesar, volume darah yang meningkat, lemak dan protein lebih banyak,
dan akhirnya adanya retensi air.
SURGICAL FLUID BALANCE
Perubahan-perubahan fisiologis sewaktu pembedahan dan anestesi mengarah
pada pergeseran pada balans cairan. Sebagai contoh, anestesi epidural, spinal, atau
kaudal dapat menyebabkan beragam jumlah blokade simpatis. Meskipun pasien-pasien
muda dan sehat dapat mentoleransi simpatektomi, pasien-pasien yang dehidrasi buruk,
atau mengambil obat-obat anti hipertensi atau diuretik, mungkin tidak dapat merespon
efek-efek dari simpatektomi. Sudah biasa untuk memasukkan sampai 1 liter cairan
sebelum pemberian spinal, atau bersamaan memasukkan cairan sewaktu anestesi
epidural Sedang diinduksi. Vasopressor, terutama efedrin atau fenilefrin, perlu
menanggulangi efek-efek hemodinamik dari blok simpatis.
Walaupun anestesi inhalasi tidak secara langsung merubah kehilangan cairan,
semua anestesi dapat menumpulkan respon-respon fisiologis untuk hipovolemia dan
respon stres. Respon stres untuk pembedahan menyangkut peningkatan dalam produksi
hormon antidiuretik, yang dapat di-blok dengan anestesi-anestesi. Tumpang-tindih
berbagai efek-efek dari intravenous dan agen-agen inhalasi pada miokard, venous return,
tekanan darah, dan vakularisasi. Ventilasi mekanik dapat mengurangi pelepasan dari
hormon natriuretik atrial dan meningkatkan pelepasan hormon antidiuretik, menyebabkan
pada retensi natrium dan cairan-cairan.
Selain kehilangan darah, kehilangan ruang ketiga yang signifikan dapat terjadi,
yang berhubungan dengan cairan yang masih tetap dalam tubuh tetapi tidak berkontribusi
pada volume intravascular, penampaian oksigen, atau pembuangan limbah; ini sangat
sulit untuk diukur. Restorasi sederhana dari volume darah dapat menjadi inadekuat untuk
memastikan kehidupan. Pasien-pasien yang sedang menjalani prosedur pembedahan
mayor membutuhkan penggantian cairan melebihi kehilangan darah sederhana, dan
anesthesiolognya mepunyai peran vital dalam memeriksa dan memberikan terapi cairan
yang sesuai ketentuan klinis pada intraoperatif dan postoperatif.
Kristaloid
Kristaloid merupakan cairan yang mengandung air dan elektrolit. Mereka dibagi
kelompok seperti seimbang, hipertonis, dan solusi garam hipotonis. Solusi kristaloid
digunakan untuk memberikan pengendalian air dan elektrolit-elektrolit dan memperbanyak
cairan intravaskular. Kebutuhan penggantian adalah 3- atau 4-kalinya dari volume
kehilangan darah karena pemberian kristaloid didistribusikan dalam rasio 1:4 seperti
cairan extrasel yang terdiri dari 3 L intravaskuler (plasma) dan sekitar 12 L extravaskuler
(sekitar 20% sebaiknya tersisa dalam ruang intravaskuler)
.
Solusi Garam Seimbang
Solusi Garam Seimbang mempunyai komposisi elektrolit yang mirip dengan cairan
extrasel. (seperti solusi Ringer Laktat, Plasma-Lyte, dan Normosol). Dengan berpatokan
pada kalium, mereka hipotonis. Suatu buffer sudah termasuk, menggantikan tempatnya
bikarbonat, yang berhidrasi menjadi asam karbonat, dengan produksi karbon dioksida,
yang berdifusdari solusi. Dibandingkan dengan 0.9 persen NaCl, solusion-solusi memberi
kuantitas yang sedikit darielektrolit-elektrolit lain, yang tidak adekuat untuk memenuhi
kebutuhan pengaturan harian.
Saline normal
Saline normal, 0.9 persen NaCl, merupakan isotonik dan isoosmotik tetapi berisi
banyak klorida daripada ECF. Kalau dipakai dalam jumlah banyak, hiperkloremia ringan
hasilnya. Tidak mengandung buffer atau elektrolit lainnya.Lebih dipakai daripada solusi
Ringer laktat (yang mengandung konsentrasi hipotonis natrium) sewaktu ada trauma otak,
hipokloremik metabolik alkalosis, atau adanya hiponatremia. Banyak pasien dengan
hiperkalemia, termasuk pasien-pasien dengan gagal ginjal, yang sering dioperasi untuk
prosedur bypass vaskuler, secara rutin mendapatkan saline normal, karena tidak
mengandung kalium.
Solusi Garam Hipertonis
Solusi-solusi ini jarang digunakan, dan konsentrasi natriumnya berkisar antara 250-
1.200 mEq/L. Semakin besar konsentrasi natriumnya, semakkiin kurangnya volume total
yang diperlukan untuk resusitasi yang cukup baik. Perbedaan ini mencerminkan
pergerakan menurut kekuatan osmotik air dari ruang interseluler ke ruang extraseluler.
Sebagai tambahan, penurunan volume air yang diinjeksi dapat menurunkan pembentukan
oedema. Ini dapat menjadi penting pada pasien yang rawan oedema jaringan (seperti
bedah usus yang lama, luka bakar, trauma). Studi klinis mengkonfirmasikan bahwa solusi
hipertonis yang sedang (Na = 250 mEq/L) dapat dihubungkan dengan tekanan otot
interstitial bawah daripada solusi Ringer laktat. Tambahan lain, fungsi usus kembali lebih
awal, walaupun fraksi sekat pulmoner tidak beda. Studi experimental telah
mendemonstraikan tekanan intrakranial bawah pada hewan yang mendapatkan solusi
hipertonis. Akan tetapi, half-life intravaskuler dari solusi hipertonis tidak lebih lama
daripada solusi isotonis yang mempunyai loading natrium yang equivalen. Dalam banyak
studi, perluasan volume plasma yang dipertahankan dapat diperoleh hanya ketika koloid
terdapat dalam solusi resusitasi. Selanjutnya, osmolalitas dari solusi ini dapat
mengakibatkan hemolisis pada titik injeksi. Solusi hipertonis tidak diterima secara luas
sebagai resusitasi atau solusi pengendali intraoperatif, dan solusi ini digunakan untuk
koreksi hiponatremia yang utama.
Dextrose 5%
Dextrose lima persen berfungsi sebagai air bebas, karena dextrosenya telah
dimetablolisir. Dextrose 5% ini iso-osmotik dan oleh sebab itu tidak dapat mengakibatkan
hemolisis yang terjadi bila air murni diinjeksi secara intravena. Jaga dapat digunakan
untuk koreksi hipernatremia, tetapi lebih sering digunakan dalam pencegahan
hipoglikemia dalam pasien diabetik yang sudah pernah disuntikkan insulin.
Kristaloid dan Koloid
Ada banyak kontroversi tentang peran kristaloid dan koloid dalam terapi cairan.
Proponen dari cairan koloid menunjukkan bahwa resusitasi dengan solusi kristaloid
mendilusi protein plasma, dengan tahapan reduksi tekanan onkotik plasma yang
menghasilkan filtrasi cairan dari intravaskuler ke komparteman interstitial dan
pembentukan oedema pulmoner interstitial. Proponen dari solusi kristaloid telah
mberdebat bahwa molekul albumin biasanya masuk kompartemeninterstitial pulmoner
secara bebas dan dikeluarkan lewat sistem limfatik kembali ke sirkulasi sistemik. Maka itu,
penambahan albumin hanya meningkatkan pool albumin yang dikeluarkan oleh kelenjar
limfatik. Review dari literatur oleh Moss dan Gould mengkonfirmasi bahwa semua studi
klinis dan experimental yang tidak cacat memperlihatkan bahwa solusi isotonis adalah
pemerluas volume plasma efektif untuk resusitasi tanpa penambahan berbagai cairan
koloid. Kerugian tambahan dan resiko potensial dari koloid dibandingkan dengan kristaloid
merupakan argumentasi lain terhadap pemberian koloid.
Hidrostatik dan perbedaan tekanan koloid sepanjang dinding kapiler (Starling
forces) membuat pergerakan dari air dan melarutkan solusi ke dalam ruang
interstitial.Pergerakan ini berperan kecil dalam nutrisi jaringan yang berhubungan dengan
difusi sederhana. Koefisien yang memperlihatkan fungsi membran yang semipermeabel
untuk mencegah pergerakan solut sangat bervariasi diantara jaringan-jaringan. Paru-paru
yang cukup permebel terhadap organ lain dan selama proses patofisiologis seperti trauma
pembedahan, koefisien refleksi mungkin dapat merubah lebih lanjut permeabilitas kapiler
atau adanya kebocoran. Dalam ketentuan ini, koloid bergerak lebih gampang ke dalam
interstitium dan meningkatkan oedema interstitial.
Dengan kebocoran molekul-molekul ke dalam ruang interstitial, pembengkakan
lanjut dari jaringan terjadi karena gradien tekanan onkotik yang tidak diinginkan, dan
molekul ini dibuang oleh sistem lifatik. Pembuangan koloid memerlukan periode cukup
lama daripada kristaloid dan menjadi masalah signifikan dalam kasus luka bakar dan
pasien pembedahan mayor. Dalam delapan studi banding, telah disimpulkan bahwa
pasien trauma harus diresusitasi dengan solusi kristaloid, dimana koloid lebih efektif pada
pasien pembedahan elektif yang nonseptik dan nontraumatik.
SPINAL ANESTHESIA
Anestesi spinal memblok akar saraf yang bejalan melewati ruang subarakhnoid. Ruang
suarakhnoid tulang belakang memanjang dari foramen magnum ke S2 pada orang dewasa dan
S3 pada anak kecil. Injeksi dari anestesi lokal dibawah L1 pada orang dewasa dan L3 pada
anak-anak membantu menghindari taruma langsung pada corda spinalis. Anestesi spinal juga
disebut sebagai blok subarakhnoid atau injeksi intratekal
Jarum Spinal
Jarum spinal tersedia di pasaran dlam berbagai ukuran (16-30G), panjang, dan putaran
dan bentuk ujung. Semuanya harus ada stylet ketat yang dapat dilepas yang menutupi lumen
supaya menghindari sel epitelial menjejaki ke dalam ruang subarkhnoid. Jarumnya juga dibagi
menjadi ujung tajam (cutting) atau ujung tumpul. Jarum Quincke adalahjarum cutting dengan
ujung injeksi. Dengan adanya jarum ujung tumpul (pencil-point) kejadian sakit kepala postdural
sudah menurun; pada umumnya, semakin kecil jarumnya semakin sedikit kejadian sakit
kepala. Whitacre dan jarum pencil-point lainnya mempunyai ujun bulat dan injeksi samping.
Sprotte adalah jarum injeksi samping dengan pembukaan lebar. Ini mempunyai
keuntungandimana LCS lebih cepat mengalir dibanding jarum yang sama. Tetapi, ini dapat
mengarah pada blok yang gagal bila bagian distal dari pembukaan adalah subarakhnoid
(dengan LCS mengalir bebas), bagian proximal tidak melewati dura, dan medikasi dosis penuh
atidak tercapai.
Teknik Spesifik unutk Anestesi Spinal
Midline, paramedian, atau pendekatan dari dekat dapat digunakan untuk anestesi
spinal. Jarumnya dimasukkan dari kulit menembus struktur-struktur dalam sampai dua “pop”
terasa. Penetrasi pertama dari ligamentum flavum dan kedua adalah penetrasi dari membran
dura–arakhnoid. Penusukan dural yang sukses dikonfirmasikan dengan menarik stylet untuk
memastikan LCS yang mengalir bebas. Dengan jarum kecil (< 25 g), pada keadaan tekanan
LCS yang kecil (pada orang dehidrasi) aspirasi mungkin diperlukan unutk mendeteksi LCS, Bila
pengaliran bebas terjadi tetapi LCS tidak dapat diaspirasi setelah memasang spuit, jarumnya
mungkin bergerak. Parestesia persisten atau nyeri sewaktu injeksi harus diberitahukan pada
pasien sewaktu memasukkan dan mengeluarkan jarumnya.
Faktor yang Mempengaruhi Blok
Yang paling mempengaruhi adalah barisitas, posisi pasien selama dan sesudah injeksi,
dan dosis obat. Pada umumnya, semakin besar dosis atau tempat injeksi, semakin besar efek
anestesi yng diterima. Juga, migrasi darianestesi lokal dalam LCS tergantung dari gravitasi
spesifik terhadap LCS (barisitas). LCSA mempunyai gravitasi speifik 1.003–1.008 pada suhu
37°C. Solusi hiperbarik dari anestesi lokal lebih berat daripada LCS, dimana solusi hipobarik
lebih ringan dari LCS. Solusi anestesi lokal dapat dijadikan hiperbarik dengan menambahkan
glukosa atau hipobarik dengan penambahan air steril. Maka, dengan posisi kepala dibawah,
solusi hiperbrik menyebar secara cephalad dan solusi anestesi hipobarik bergerak caudad.
Posisi kepala ke atas menybeabakan solusi hipernarik ke caudad dan solusi hipobarik naik ke
cephalad. Pada posisi lateral, solusi hiprebarik spinal akan mempunyai efek lebih besar pada
sisi dependen, diman solusi hipobarik akan mendapatkan efek besar pada sisi non dependen.
Solusi isobarik biasanya tinggal pada level injeksi. Agen anestesi yang bercampur dengan LCS
menjadi isobarik. Faktor lain yang mempengaruhi blokade neural termasuk levl injeksi, dan
ketinggaian dan anatomi kolumna vertebra pasien. Arah dari jarum atau tempat injeksi juga
dapat menjadi peran; level anestesi yang besar akan dicapai bila injeksi diarahkan cephalad
daripada lateral atau caudad.
Solusi hiperbarik biasanya bergerak ke daerah tulang belakang yang paling dependen
(biasanya T4-T8 pada posisi terlentang). Dengan anatomi tulang belakang yang normal, apex
dari lengkungan torakolumbal adalah T4. Pada posisi terlentang, ini menahan solusi hiperbarik
untuk memproduksi level anestesi pada atau dibawah T4. Lengkungan abnormal dari tulang
belakang, seperti skoliosis dan kiphoskoliosis, mempunyai efek mulitipel pada anestesi spinal.
Memberikan blok lebih sulit karena rotasi dan angulasi dari corpus vertebra dan prosesus
spinosus. Mencari midline dan ruang interlaminar dapat menjadi sulit. Pendekatan paramedian
dengan skoliosis dan kiphosis parah, terutama bila ada penyakit sendi degeneratif. Pendekatan
paramedian lebih mudah untuk anestesi spinal pada level L5-S1. Pada pendekatan Taylor,
yaitu varian dari standar pendekatan paramedian, jarum memasuki 1 cm medial dan 1 cm
inferior ke posterior superior spina iliaca dan diarahkan cephalad dan menuju midline. Melihat
kembali foto-foto radiografi vertebra sebelum mencoba blok dapat berguna. Lengkung spinal
mempengaruhi level tertinggi dengan merubah kontur dari ruang subarakhnoid. Pembedahan
spinal yang sebelumnya dapat menghasilkan kesulitan teknis memberikan blok.
Mengidentifikasi ruang interspinosus dan interlaminar dengan tepat, dapat sulit pada
leminectomi atau penyatuan spinal yang sebelumnya. Pendekatan paramedian mungkin lebih
mudah, atau tingkat diatas area pembedahan dapat dipilih. Blok dapat menjadin tidak lengkap,
atau tingkatnya dmungkin berbeda dari yang diantisipasi, karena perubahan anatomis post-
operasi.
Volume LCS berhubungan secara terbalik dengan level anestesi. Peningkatan tekanan
intraabdominal atau kondisi yang mengakibatkan pembengkakan dari vena epidural,
dihubungkan dengan blok yang tinggi. Ini termasuk kondisi seperti kehamilan, asites, dan
tumor abdominal yang besar. Dalam situasi klinis ini, level anestesi yang lebih tinggi
didapatkan dengan pemberian dosis anestesi lokal daripadda yang diharapkan. Untuk anestesi
spinal pada ibu hamil aterm, dosis anestesi dapat diturunkan sepertiganya daripada pada
pasien yang tidak hamil. Umur pasien yang berhububngan ddengan penurunan volume LCS
diperkirakan bertanggung jawab untuk level anestesi yang lebih tinggi diperoleh pada lansia
untuk dosis anestesi spinal tertentu. Kiphosis atau kiphoskoliosis yang parah dapat
dihubungkan dengan penurunan volume LCS dan menghasilkan levvel yang lebih tinggi dari
yang diharapkan, terutama dengan teknik hipobarik atau injeksi cepat. Ada opini yang
berlawanan bahwa peningkatan tekanan LCS disebabkan oleh batuk atau pereganga, atau
turbulensi saat injeksi mempunyai efek pada penyebaaran anestesi lokal dalam LCS.
Agen-Agen Anestesi Spinal
Banyak anestesi lokal yang digunakan untuk anestesi spinal pada masa lalu, tetapi
sekarang hanya beberapa saja yang digunakan. Ada ketertarikan baru pada medikasi lama
karena laporan-laporan peningkatan kasus timbulnya simptom-simpton neurologis transien
dengan lidokain 5%. Hanya Solusi anastesi yang tidak mengandung pengawet yang digunakan
sekarang. Penambahan vasokonstriktor (adrenergic agonists) dan opioid dapat menambah
kualitas dan/ atau memperpanjang durasi anestesi spinal. Vasokonstriktor termasuk
epinephrine (0.1–0.2 mg) dan phenylephrine (1–2 mg). Keduanya menurunkan uptake dan
clearance dari lokal anestesi dari LCS dan mungkin memiliki sifat analgesik spinal yang lemah.
Klonidine dan neostigmin juga mempunyai sifat anestesi spinal, tetapi sebagai tambahan
anestesi spinal terbatas.
Bupivakain dan tertrakain yang hiperbarik adalah dua agen yang anestesi spinal yang
paling digunakan. Keduanya mempunyai onset yang relatif pelan (5–10 min) dan mempunayai
durasi yang lama (90–120 min). Walaupun kedua agen memproduksi level sensorik yang sama,
tetrakain spinal biasanya memproduksi blokade motorik yang lebih daripada dosis bupivakain
yang equivalen. Penambahan epinefrin pada bupivakain spinal memperpanjang durasinya
hanya sedikit. Sedangkan bupivakain memperpanjang durasi aneestesi tetrakain lebih dari
50%. Fenilefrin juga memperpanjang anestesi tetrakain tetapi tidak mempunyai blok spinal
tetrakain. Ropivakain juga sudah digunakan sebagai anesteesi spinal, tetapi penggunannya
terbatas. Dosis ropivakain 12 mg intratekal ekuivalen dengan 8 mg bupivakain secara kasar,
tetapi tidak tampak ada kelebihannya pada anestesi spinal. Lidokain dan prokain mempunyai
onset cepat (3–5 min) dan duration of action yang pendek (60–90 min). Ada data berlawanan
dimana durasi keduanya dapat diperpanjang dengan vasokonstriktor; efek apa saja terlihat
kecil. Walaupun lidokain untuk anestesi spinal sudah digunakan di seluruh dunia, beberapa
menghindarkan penggunaannya pada fenomena dari simptom-simptom neurologis transien
(TNS), dan sindrom cauda equina. Beberapa ahli menyarankan bahwa lidokain dapat
digunakan dengan aman sebagai anestesi spinal bila dosis total dilimitasi pada 60 mg dan
didilusi dengan 2.5% atau kurang dengan opioid dan/ atau LCS sebelum diinjeksi.
Pengulangan dosis setelah intial blok yang gagal harus dihindari dan juga penggunaan
epinefrin dengan lidokain.
Anestesi spinal hiperbarik lebih umum daripada teknik hipobarik atau isobarik. Level
anestesi bergantung pada posisi pasien selama dan setelah injeksi. Pada posisi duduk, "saddle
block" dapat diperoleh dengan menyuruh pasien duduk selama 3–5 min setelah injeksi agar
saraf lumbar bawah dan saraf sakral diblok. Bila pasien digerakkan dari posisi duduk ke posisi
terlentang seegera setelah injeksi, agennya akan berjalandari cephalad ke daerah dependen
yang ditandai oleh lengkung torakolumbal, dimana ikatan protein belum terjadi. Anestesi
hiperbarik diinjeksi intratekal dengan pasien pada posisi lateral dekubitus berguna untuk
prosedur ekstremitas bawah unilateral. Pasien dimiringkan dengan ekstremitas yang akan
dioperasi pada posisi yang dependen. Bila pasien ditahan pada posisi ini selama 5 menit
setelah injeksi, bloknya akan menjadi lebih kencang dan akan memperoleh tingkat tinggi pada
sisi operatif yang dependen.
Bila anestesi regional dipilih untuk prosedur pembedahan menyangkut panggul atau
fraktur ekstremitas bawah, anestesi spinal hipobarik dapat berguna karena pasien tidak perlu
tiduran pada ekstremitas yang terfraktur.
ADRENERGIC AGONISTS
Adrenergic agonists berinteraksi dengan beragam spesifitas (selektifitas) pada α - dan β
-adrenoceptors (Table 12–1). Overlapping dari aktivitas-aktivitas mempersulit prediksi dair
efek-efek klinisnya. Sebagai contoh, epinefrin menstimulasi α 1-, α 2-, β 1-, dan β 2-adrenoceptors.
Efek bersihnya pada tekanan darah arteri bergantung pada keseimbangan antara α 1-
vasokonstriksi, α 2- dan β 2-vasodilatasi, dan pengaruh-pengaruh β 1-inotropik. Selain itu,
keseimbangan ini berubah dengan dosis yang berbeda.
Table 12–1. Selektifitas Receptor dari Adrenergic Agonists.1
Drugα 1
α 2
β 1
β 2
DA1
DA2
Phenylephrine
+++
+
+
0
0
0
Methyldopa
+
+
0
0
0
0
Clonidine
+
++
0
0
0
0
Dexmedetomidine
+
+++
0
0
0
0
Epinephrine2
++
++
+++
++
0
0
Ephedrine3
++
?
++
+
0
0
Fenoldopam
0
0
0
0
+++
0
Norepinephrine2
++
++
++
0
0
0
Dopamine2
++
++
++
+
+++
+++
Dopexamine
0
0
+
+++
++
+++
Dobutamine
0/+
0
+++
+
0
0
Terbutaline
0
0
+
+++
0
0
1 0, tidak ada efek; +, efek agonis (sedikit, sedang, tertanda); ?, efek tidak diketahui; DA 1 and DA 2 , dopaminergic receptors.
2 Efek-efek α 1 dari epinephrine, norepinephrine, dan dopamine menjadi lebih prominen pada dosis lebih tinggi.
3 Mode primer aksi dari ephedrine adalah stimulasi tidak langsung.
Adrenergic agonists dapat dikategorikan sebagai direk atau indirek. Agonis direk
berikatan dengan reseptor, tetapi agonis indirek meningkatkan aktivitas neurotransmitter
endogen. Mekanisme-mekanisme dari aksi tidak langsung termasuk peningkatan pelepasan
atau penurunan pengambilan dari norepinephrine. Bedanya antara mekanisme aksi langsung
maupun tidak langsung, berguna bagi pasien-pasien yang mempunyai cadangan-cadangan
abnormal norepinephrine endogen, seperti yang dapat terjadi dengan penggunaan dari
medikasi antihipertensi atau inhibitor-inhibitor monoamine oxidase. Hipotensi intraoperative
dalam pasien-pasien ini haru diobati dengan agonis direk, dimana respon pada agonis indirek
akan diubah.
Perbedaan lain dari adrenergic agonists adalah struktur kimianya. Adrenergic agonists
yang mempunyai struktur 3,4-dihydroxybenzene dikenal dengan katekolamin. Obat-obat ini
biasanya bekerja singkat karena dimetabolisme oleh monoamine oxidase dan chatechol-O-
methyltransferase. Pasien-pasien yang berobat dengan inhibitor monoamine oxidase atau
antidepresan trisiklik dapat memperlihatkan respons berlebihan dengan katekolamin.
Katekolamin alami adalah epinephrine, norepinephrine, dan dopamine. Merubah struktur side-
chain (R1, R2, R3) katekolamin alami sudah membawa pembuatan dari katekolamin sintetis
(seperti isoproterenol dan dobutamine), yang lebih reseptor spesifik.
β1-Receptors
β1-receptoryang paling penting berlokasi pada membrane postsinaps dalamjantung.
Stimulasi dari reseptor-reseptor ini mengaktifkan adenylate cyclase, yang merubah adenosine
triphosphate menjadi cyclic adenosine monophosphate dan menginisiasi cascade kinase
phosphorylation. Inisiasi dari cascade ini mempunyai efek-efek kronotropik (peningkatan heart
rate), dromotropik (peningkatan konduksi) positif, dan inotropik (peningkatan kontraktilitas)
negatif.
β2-Receptors
β2-Receptors merupakan adrenoceptors postsinaps berlokasi pada otot polos dan sel-sel
kelenjar. Mereka membagi mekanisme aksi dengan β1-receptors: aktivasi adenylate cyclase.
Walau ada persamaan ini, stimulasi β2 merelaxasi otot polos, mengakibatkan bronkodilatasi,
vasodilatasi, dan relaxasi dari uterus (tocolysis), kandung kemih, dan abdomen.
Glycogenolysis, lipolysis, gluconeogenesis, dan pelepasan insulin distimulasi dengan
pengaktifan β2-receptor. β2-Agonists juga mengaktifkan pompa natrium-kalium, yang membuat
kalium jadi intraselluler dan juga menginduksi hipokalemi dan disrithmia.
β3-Receptors
β3-Receptors ditemukan di kandung empedu dan jaringan adipose otak. Perannya pada
fisiologis kandung empedu tidak diketahui, tetapi terdapata peran dalam lipolysis dan
thermogenesis dalam lemak.
Edema Paru Kardiogenik Akut
Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik. Edema paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik dan NonKardiogenik.
Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya
faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri Khronik. Edema Paru dapat terjadi oleh karena banyak mekanisme yaitu :
I. Ketidak-seimbangan Starling Forces :A. Peningkatan tekanan kapiler paru :
1. Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral).2. Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.3. Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
B. Penurunan tekanan onkotik plasma.1. Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.
C. Peningkatan tekanan negatif intersisial :1. Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).2. Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expira-tory volume (asma).
D. Peningkatan tekanan onkotik intersisial.1. Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan mau-pun klinik.
II. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory DistressSyndrome)A. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).B. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).C. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl thiourea).D. Aspirasi asam lambung.E. Pneumonitis radiasi akut.F. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).G. Disseminated Intravascular Coagulation.H. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.I. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.J. Pankreatitis Perdarahan Akut.
III. Insufisiensi Limfatik :A. Post Lung Transplant.B. Lymphangitic Carcinomatosis.C. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
IV. Tak diketahui/tak jelas
A. High Altitude Pulmonary Edema.
B. Neurogenic Pulmonary Edema.
C. Narcotic overdose.
D. Pulmonary embolism.
E. Eclampsia.
F. Post Cardioversion.
G. Post Anesthesia.
H. Post Cardiopulmonary Bypass.
Dari klasifikasi di atas edema paru dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Untuk
pengobatan yang tepat tentunya harus diketahui penyakit dasamya
(1). MANIFESTASI KLINIK EDEMA PARU KARDIOGENIK Manifestasi dapat dicari dari
keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi (foto toraks).
Gambaran dapat dibagi 3 stadium,
meskipun kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini.
Stadium 1.
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki pertukaran
gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini
mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas
menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya
saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
Stadium 2.
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur,
demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B).
Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan lebih memperkecil saluran
napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi
refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda
gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga
penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit
perubahan saja.
Stadium 3.
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan
hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan
volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt.
Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi
hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan
dengan hati-hati (Ingram and Braunwald, 1988).
Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru.
Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteriakoronaria, terjadi edema paru
walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat dicegah dengan pemberian indomethacin
sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic nucleotide
phosphodiesterase akan mengurangi edema paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas
alveolar-kapiler; pada manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadang kadang penderita
dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya normal; hal ini
mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun tekanan
kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup yang rendah seperti
pada cardiogenic shock lung.
BAB III
ANALISA KASUS
Kondisi Pre-operasi
Durante Operasi
Kondisi Post-Operasi (Maslah di ICU)
KESIMPULAN