makalah_ibr
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sapi merupakan hewan ternak anggota familia Bovidae dan subfamilia
Bovinae. Sapi dipelihara terutama untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya
sebagai bahan pangan, hasil lainnya juga dimanfaatkan seperti kulit, dan jeroan.
Profesi beternak sapi cukup menjanjikan bagi peternak, serta mampu diandalkan
dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari dan untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Kurangnya kewaspadaan dan kesadaran peternak dalam menjaga kesehatan ternak
sering menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan. Penyakit sistem pencernaan,
sistem respirasi, kulit, kelamin, dan lainnya tak jarang ditemui pada pemeliharaan
dan manajemen yang kurang tepat.
Penyakit saluran pernafasan merupakan salah satu masalah utama pada
ternak dan dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak. Bovine
Respiratory Disease (BRD) dapat menyebabkan peningkatan kejadian penyakit,
kematian, dan kehilangan hasil produksi. Banyak agen infeksi yang dapat
mengakibatkan gejala klinis yang serupa. Penyakit pernafasan pada ternak sering
terjadi pada hewan muda (anak sapi) baik sapi betina maupun sapi jantan (Hartel
2004). Kebanyakan kasus muncul sebelum ternak berusia dua tahun. Penyakit
pernafasan merupakan penyebab utama kerugian dalam produksi ternak sapi
potong.
Penyakit pernafasan yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi salah
satunya adalah Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR). Infectious Bovine
Rhinotracheitis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Bovine
herpesvirus 1 (BHV-1) yang dapat menyerang alat pernafasan bagian atas dan alat
reproduksi sapi. Penyakit ini menyerang sapi yang ditandai dengan gejala demam
tinggi 40,5-42 0C, nafsu makan menurun dan dijumpai leleran pada daerah hidung,
hipersalivasi, produksi susu menurun disertai dengan kekurusan (Kurniadhi 2003).
I.2 Tujuan
Mengetahui bahaya penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis bagi
ternak, serta mengetahui cara pencegahan, pengendalian, dan penanggulangannya.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Sejarah
Pada sekitar tahun 1950, dokter hewan di daerah Colorado, Amerika
Serikat menemukan dan melaporkan penyakit yang menyerang alat pernafasan
bagian atas pada sapi yang sedang dalam proses penggemukan. Tingkat
morbiditas penyakit ini mencapai kisaran 10-30 % dan mortalitasnya 2-10 %.
Penyakit ini kemudian dinamakan Red Nose (hidung merah) dan Rhinitis
Nekrotikan, karena sapi yang terserang biasanya ditandai dengan perubahan
warna hidung menjadi merah dan terdapat leleran. Saat ini penyakit dengan gejala
tersebut dikenal dengan nama Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR).
Disamping menyerang sapi potong, pada tahun 1954 ahli-ahli veteriner di daerah
California menemukan penyakit ini menyerang sapi perah. Para ahli juga
mengisolasi strain virus Herpes dari sapi yang digemukkan didaerah Colorado dan
California, serta ditemukan persamaan antigenik dari dua wabah tersebut.
Inokulasi pada sapi sehat menghasilkan gejala pernafasan dan lesio-lesio yang
sama (Madin 1956).
Virus BHV-1 (Bovine Herpesvirus tipe 1) yang pertama kali diisolasi
adalah pada tahun 1956 oleh MADIN et al. yang kemudian diatenuasi dan
digunakan sebagai vaksin hidup. Berdasarkan perbedaan dalam analisa enzim
restriksi terhadap DNA dari virus, ada tiga subtipe dari virus BHV-1 yang dapat
dibedakan, yaitu subtipe 1 dan 2a (IBR) serta subtipe 2b (IPV). Subtipe 2b tidak
seganas subtipe 1. Tetapi secara antigenik hanya ada satu tipe BHV-1
(Sudarisman 2007).
II.2 Etiologi
II.2.1 Agen Penyebab
Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) merupakan penyakit
menular yang disebabkan oleh Bovine Herpes Virus tipe 1 (BHV-1) yang dapat
menyerang alat respirasi bagian atas dan alat reproduksi pada sapi. Biasanya
penyakit ini menyerang ternak sapi yang ditandai dengan gejala demam tinggi
dengan suhu 40,5 ± 42 °C, nafsu makan menurun dan dijumpai leleran hidung,
hipersalivasi, produksi air susu menurun disertai dengan kekurusan (Kurniadhi,
2003). Pada dasarnya serangan IBR itu sendiri tidak menyebakan kematian pada
hewan, akan tetapi infeksi BHV-1 ini merupakan predisposisi terjadinya
pnemonia sekunder pada hewan yang dapat menyebabkan kematian pada hewan.
Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) menyerang pada sapi dan kerbau
yang disebabkan oleh virus dari golongan herpes. Penyakit ini pada hewan yang
peka dapat bersifat laten, seperti kebanyakan penyakit yang kausanya adalah
herpes virus. Oleh sebab itu, pendekatan pada penanggulangan penyakit perlu
diselaraskan dengan sifat agen penyakit dan perlu penanganan khusus untuk
penanggulangan tersebut (Sudarisman 2007).
II.2.2 Taksonomi
Adapun klasifikasi Virus penyebab Infectious Bovine Rhinotracheitis
(IBR), sebagai berikut :
Group : Group 1 ( dsDNA)
Family : Herpesviridae
Subfamily : Alphaherpesviridae
Genus : Varicellovirus
Spesies : Bovine Herpes Virus 1 ( BHV-1)
II.2.3 Morfologi
Semua Herpesvirus pada umumnya memiliki untai dasar double stranded
(DNA virus), yang dikode 100-200 gen dan terbungkus oleh capsid, dimana
capsid ini merupakan susunan rantai ikosahedral protein, capsid ini diselubungi
lagi dengan suatu lapisan protein yang disebut tegument, yang mengandung
protein virus, mRNA virus, dan lapisan lipid bilayer yang disebut amplop virus.
Virion dari BHV-1 terdiri dari tidak kurang 25 – 33 polipeptida. Sel yang
diinfeksi oleh virus akan berisi tidak kurang dari 15 polipeptida yang bukan dari
virion. Gen dari beberapa nukleotida ini termasuk didalamnya BHV-1
glikoprotein B atau gI, BHV-1 gC atau gIII, BHV-1 gD atau gIV dan Thymidine
Kinase (TK). Virion BHV-1 terdiri dari protein yang dikenal dengan VP8, VP7
ataupun 107 K (Kurniadhi 2003).
Gambar 1. Gambaran virus BHV-1 pada biakan sel selapis (cell line) MDBK dan terlihat awal terbentuknya CPE pada tanda panah putih.
II.2.4 Siklus Hidup dan Proses Infeksi
Pada media biakan sel selapis yang sesuai, virus dapat tumbuh dan
berkembang dengan ditandai oleh adanya kerusakan sel terinfeksi. Menurut
beberapa penelitian, pada penyakit IBR, media yang tepat untuk
menumbuhkannya adalah di sel selapis dari organ sapi antara lain ginjal, adrenal,
testis, thymus, thyroid, pankreas dan ginjal babi. Hal ini sebabkan karena pupukan
sel selapis dari jaringan ginjal sapi yang difiksasi dengan cairan Bouin dan
diwarnai dengan hematoksilin-eosin (HE) memperlihatkan intranuclear inclusion
bodies yang menyerap warna eosin. Virus IBR-IPV juga dapat tumbuh baik pada
media pupukan sel yang dibuat dari paru-paru dan kulit sapi serta memperlihatkan
gejala CPE yang baik dalam waktu 1-2 hari ditandai dengan intranuclear inclusion
bodies pada sel-sel selapis yang terinfeksi. Pada pupukan sel embrio sapi, sel yang
membulat dan mengkerut akan terlihat pada 24-48 jam setelah terinfeksi oleh
virus dan plaque-plaque akan terlihat pada pupukan agar overlay. Pertumbuhan
virus juga terjadi pada media sel selapis jaringan ginjal babi, domba, kambing,
kuda dan monyet juga limpa kelinci, amnion manusia dan sel Hela. Tetapi
umumnya hal tersebut terjadi setelah virus mengalami adaptasi. Pada TET virus
tidak dapat tumbuh (Sutrisno 1985).
Penyebaran BHV1 dapat dengan cara horisontal maupun vertikal.
Penyebaran secara horisontal melalui kontak seksual, Inseminasi Buatan (IB), dan
melaui udara. Sedangkan penyebaran BHV1 secara vertikal, yaitu melalui
plasenta. Penularan BHV1 secara langsung dapat melalui membran mukus
saluran pernapasan dan pencernaan hewan, penularan melalui membran mukus
ini dapat terjadi secara nose to nose antara hewan terinfeksi dan hewan yang
rentan, hal ini disebabkan virus meluruh bersamaan dengan menbran mukus,
selain itu penularan BHV1 juga melalui udara yang dihembuskan, bersin atau
batuk hewan terinfeksi. Dan diketahui bahwa masa inkubasi Bovine Herpes Virus
tipe 1 berkisar 2-3 hari, baik yang menyerang saluran pernapasan maupun yang
menyerang saluran reproduksi.
II.2.5 Isolasi Virus
Isolasi agen penyakit pada biakan sel akan memberikan perubahan berupa
cytophatic effect (CPE). BHV−1 akan memperlihatkan perubahan biakan sel dari
bentuk pipih memanjang menjadi bundar serta berbentuk seperti buah anggur
yang akhirnya akan mengelupas, sehingga lapisan sel akan menjadi berlubang.
Pewarnaan HE dari sel yang terinfeksi BHV-1 akan memperlihatkan badan
inclusion dalam inti sel “cow dry type A”. Ini merupakan ciri khas dari BHV−1.
Secara serologi di laboratorium dapat dilakukan beberapa uji. Uji yang utama
adalah serum netralisasi. Di samping itu uji serologi yang dapat digunakan adalah
enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), radioactive immuno assay (RIA),
indirect fluorescent antibody technique (IFAT), Tuberkulin type skin test dan
passive haemagglutinasi. PCR dan hybridization technique dapat juga dilakukan
dalam mendeteksi DNA dari virus BHV−1 (Sudarisman 2003).
II.2.6 Teknik Isolasi
Isolasi virus dapat dilakukan dengan menggunakan biakan sel dan sel yang
digunakan dapat berupa sel primer fetus sapi dari organ ginjal, paru-paru, testis,
maupun sel lestari dari paru-paru, turbinet, trakhea maupun Madin Darby's Bovine
Kidney (MDBK). Isolasi virus dari semen dibutuhkan perlakuan tersendiri, karena
semen bersifat toksik pada biakan sel. Perlakuan tersebut berupa pengenceran
semen dengan foetal calf serum (FCS) sebanyak 10 kali. Pengamatan yang
dilakukan adalah adanya sel bundar disekitar CPE dan berikutnya dideteksi
dengan FAT ataupun uji imunoperoksidase. (Sudarisman 2003)
II.2.7 Identifikasi agen penyakit
IBR merupakan penyakit viral yang disebabkan oleh Bovine Herpesvirus
Tipe 1 (BHV-1). Virus ini termasuk genus Varicellovirus, subfamili
Alphaherpesvirinae, dan famili herpesviridae. Virus ini termasuk double stranded
DNA. Selain FAT dan uji immunoperoksidase, identifikasi antigen dapat juga
dilakukan dengan menguji swab hidung, mata maupun vagina dengan uji PCR
ataupun restriction endonuklease. Identifikasi serologis dapat dilakukan dengan
virus netralisasi, ELISA berupa indirect ELISA dan Blocking ELISA.
(Sudarisman 2003)
II.3 Gejala Klinis
Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit menular
yang disebabkan oleh virus yang dapat menyerang alat pernafasan bagian atas dan
alat reproduksi ternak sapi. Biasanya penyakit ini menyerang ternak sapi dan
ditandai dengan gejala klinis antara lain
1. demam tinggi dengan suhu 40,5 ± 42 °C
2. nafsu makan menurun
3. dijumpai leleran hidung
4. hipersalivasi
5. produksi susu menurun
6. kekurusan
7. gangguan pernafasan
8. gejala syaraf
9. gangguan reproduksi (Kurniadhi, 2003)
Sindrom lain berupa demam, vulvovaginitis, repeat breeders,
balanoposthitis, metritis terdapat pada gangguan reproduksi, bahkan dapat
menjadi abortus dan kematian pada anak sapi. Penularan IBR terjadi karena
kontak langsung, terutama pada kelompok ternak yang dikandangkan terlalu
padat, sedangkan penularan bentuk veneral terjadi pada waktu perkawinan atau
inseminasi buatan (IB) (Sudarisman, 2007).
Kontaminasi pada semen merupakan hal satu potensi dalam penularan
virus IBR, karena virus IBR dapat menyebar lewat kegiatan inseminasi buatan dan
menyebabkan berbagai gangguan pada saluran reproduksi betina termasuk di
dalamnya endometritis, infertilitas dan keguguran (Sudarisman, 2007).
II.4 Teknik Diagnosa
Mengamati gejala klinis yang ditimbulkan dari penyakit ini, berupa :
- tiba-tiba demam dan anoreksia
- mengalami masalah pernapasan seperti, hiperemi pada mukosa hidung
sehingga nampak bewarna merah, nasal discharge, rhinitis, trakhitis, dan
conjingtivitis, serta terdapat vesikel dan pustula
- pada IPV akan terbentuk masalah pada sistem reproduksi bagian bawah sapi
betina dengan gejala berupa polyuria, vagina discharge, vulva membengkak,
serta mukosa mengalami erosi dan ulserasi.
Mengidentifikasi agen penyebab, dengan cara :
1. Koleksi, memproses sampel, dan isolasi virus
Sampel dapat diperoleh dari nasal swabs pada awal infeksi sapi yang
mengeluarkan sekreta serous sampai mukopurulen nasal discharge. Pada kasus
vulvovaginitis, pengambilan sampel dilakukkan dengan mengabil swabs dari
mukosa saluran genitalia. Spesimen diletakkan pada suspensi media transport
yang mengandung medium kultur sel dengan antibiotik dan 2-10% serum sapi
untuk melindungi virus dari inaktifasi. Spesimen dibawa pada suhu 4oC dan
segera dibawa ke laboratorium.
Pada hewan yang sudah mati, pengambilan sampel dapat dilakukan dengan
mengambil contoh organ seprti mukosa saluran pernapasan, tonsil, paru-paru, dan
jaringan limfatik bornkhial. Pada kasus aborsi, pengambilan hati, paru-paru,
limpa, ginjal dan plasenta dapat dijadikan sampel pemeriksaan. Organ sampel
segera dibawa ke laboratorium dengan pendinginan menggunakan es untuk
menghindari kerusakan sampel.
Setelah sampai di laboratorium, sampel dibiarkan pada suhu ruangan selama
30 menit. Untuk membersihkan sampel swebs yang diambil maka dilakukkan
sentrifiugasi pada 1500 rpm selama 10 menit. Untuk sampel jaringan, dilakukan
homogenisasi pada 10-20% suspensi di dalam media kultur sel kemudian
dilakukan sentrifugasi pada 1500 rpm selama 10 menit. Supernatan dari spesimen
disaring sampai 0,45μl filtrat dan digunakan sebagai isolasi virus.
2. Mendeteksi antigen virus
Dapat dilakukkan secara tidak langsung dengan menggunakan fluorescent
antibody test atau secara langsung dengan menggunakan immunofluorescence
test. Pada jaringan post-mortem dapat dilakukkan pewarnaan imunohistokimia
untuk mengetahui agen penyebabnya, yaitu BHV-1 atau bukan.
3. Mendeteksi asam amino
Untuk mengetahui virus penyebab IBR/IPV dapat dilakukkan pengujian
terhadap DNA agen. Pengujian ini dapat dilakukkan dengan menggunakan
polymerase chain reaction (PCR). Dewasa ini PCR merupakan suatu salah satu uji
rutin yang dilakukkan untuk mendiagnosa suatu penyakit, terutama pada kasusu
infeksi oleh virus. Untuk perdagangan internasional telah ditetapkan Real-time
polymerase chain reaction sebagai uji yang harus dipenuhi untuk pemeriksaan
IBR.
4. Uji Serologi
Pengujian secara serologi digunakan utntuk mengetahui ada tidaknya antigen
ataupun antibody dalam serum sapi yang akan diperiksa. Uji ini dapat dilakukan
dengan menggunakan ELISA. Baru-baru ini, identifikasi BHV-1 ELISAs telah
dikembangkan sedemikian rupa sehingga spesifisitas dan sensitivitasnya tinggi.
II.5 Pengendalian, pencegahan dan penanggulangan
Tindakan pengendalian terhadap masuknya Infectious Bovine
Rhinotracheitis (IBR) ke suatu wilayah yang bebas dari penyakit ini dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Peran pemerintah terutama fungsi dari lembaga-
lembaga pemerintah yang telah ada dalam mengendalikan masuknya penyakit ini
ke dalam suatu wilayah sangat dibutuhkan seperti Balai Inseminasi Buatan
ataupun Balai Embryo Transfer, dan Lembaga Pembibitan Ternak. Semua
lembaga wajib bebas dari infeksi virus penyakit IBR, baik secara serologik
maupun isolasi agen penyakit. Tindakan yang dapat dilakukan oleh peternak
sendiri adalah dengan melakukan disinfeksi kandang dan semua fasilitasnya,
menjaga higiene personal dan menerapkan kebijakan manajemen peternakan
seperti biosafety dan biosecurity.
Tindakan pencegahan terhadap infeksi penyakit Infectious Bovine
Rhinotracheitis (IBR) pada suatu wilayah yang sudah endemik dapat dilakukan
dengan tindakan vaksinasi terhadap ternak. Vaksinasi dilakukan agar ternak
memiliki kekebalan lebih terhadap penyakit IBR sehingga ternak yang berada di
daerah endemik ini tidak terinfeksi penyakit IBR, karena sudah memiliki
antibodinya. Vaksin yang digunakan dapat dalam bentuk “modified live virus
vaccines” dan “inactivated vaccines”. Kedua vaksin ini sama-sama menghasilkan
antibodi humoral (Savan et al. 1979; Sibbel et al. 1988).
Penanggulangan terhadap penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis
(IBR) dapat dilakukan dengan deteksi dini dan pelaporan terhadap kejadian-
kejadian penyakit yang ada dilapangan. Hal ini sangat diperlukan untuk
menanggulangi penyebaran ke ternak-ternak lain, selain itu deteksi dini terhadap
IBR dapat membantu dalam pengambilan tindakan penanggulanan selanjutnya.
Selain deteksi dini dan pelaporan, kandang isolasi diperlukan dalam memisahkan
ternak yang diduga positif terkena IBR dengan ternak yang tidak terkena IBR.
Tindakan terakhir yang dapat dilakukan adalah memusnahkan semua ternak yang
positif terkena IBR agar tidak terjadi Outbreak di wilayah tersebut.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) merupakan penyakit
menular yang disebabkan oleh Bovine Herpes Virus tipe 1 (BHV-1) yang
menyerang alat respirasi bagian atas dan alat reproduksi pada sapi. Penularan IBR
terjadi karena kontak langsung, terutama pada kelompok ternak yang
dikandangkan terlalu padat. Pada dasarnya serangan IBR itu sendiri tidak
menyebakan kematian pada hewan, akan tetapi infeksi BHV-1 ini merupakan
predisposisi terjadinya pnemonia sekunder pada hewan yang dapat menyebabkan
kematian pada hewan. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain dengan
melakukan disinfeksi kandang dan semua fasilitas lainnya, menjaga higiene
personal dan menerapkan kebijakan manajemen peternakan seperti biosafety dan
biosecurity. Pengendalian yang dapat dilakukan terutama pada daerah endemik
adalah dengan melakukan vaksinasi, karena dengan vaksinasi dapat membentuk
antibodi sehingga apabila terjadi infeksi, penyakit yang ditimbulkan tidak akan
terlalu parah. Penanggulangan terhadap penyakit Infectious Bovine
Rhinotracheitis (IBR) dapat dilakukan dengan deteksi dini dan pelaporan terhadap
kejadian-kejadian penyakit yang ada dilapangan, sehingga tindakan dapat
dilakukan secepat mungkin untuk mencegah terjadinya outbreak.
III.2 Saran
Diharapkan untuk semua pihak mulai dari peternak hingga dinas
peternakan memeberi perhatian lebih terhadap kasus Infectious Bovine
Rhinotracheitis (IBR) pada ternak khususnya sapi. Walaupun penyakit IBR tidak
secara langsung menyebabkan kematian pada ternak, tetapi apabila kasus IBR
terlambat ditangani, maka dapat menyebabkan terjadinya outbreak sehingga
menyebabkan kerugian bagi para peternak itu sendiri. Sedangkan apabila kasus
IBR dapat dideteksi sejak dini, maka kerugian yang akan ditimbulkan dapat
diminimalisasi.
Daftar Pustaka
Anonimus. 2008. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhino
Tracheitis pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. http://peternakan.Iitbang.
deptan.go.id.
Hartel H, Nikunen S et al. 2004. Viral and Bacterial Pathogens in Bovine
Respiratory Disease in Finland. Acta Vet Scand. 45(3-4): 193-200.
Kurniadhi P. 2003. Teknik Pembuatan Biakan Sel Primer Ginjal Janin Sapi untuk
Menumbuhkan Virus Infectious Bovine Rhinotracheaitis. Buletin Teknik
Pertanian Vol. 8. Nomor 2 Th. 2003. Bogor.
Madin S.H, C.J. York, D.G. McKercher. 1956. Isolation of IBR virus. Science
124: 721.
Savan M, A.B. Angulo and J.B. Derbyshire. 1979. Interferon, antibody responses
and protection inducedby an intranasal infectious bovine rhinotracheitis
vaccine. Can. Vet. Jour. 20: 207–210.
Sibbel R.L, E.P. Bass and P.C. Thomas. 1988. How longwill a killed IBR vaccine
protect against chalenge?. Vet. Med. 83: 90–92.
Sudarisman. 2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi di
Lembaga-lembaga Pembibitan Ternak di Indonesia. Wartazoa Vol. 13 No.
3 Th. 2003.
Sudarisman. 2007. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine
Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. Wartazoa Vol.
17 No. 1 Th. 2007.
Sutrisno Adhie. 1985. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis Infectious
Pustular Vulvovaginitis pada Sapi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.