makalah_ibr

19
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sapi merupakan hewan ternak anggota familia Bovidae dan subfamilia Bovinae. Sapi dipelihara terutama untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai bahan pangan, hasil lainnya juga dimanfaatkan seperti kulit, dan jeroan. Profesi beternak sapi cukup menjanjikan bagi peternak, serta mampu diandalkan dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari dan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Kurangnya kewaspadaan dan kesadaran peternak dalam menjaga kesehatan ternak sering menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan. Penyakit sistem pencernaan, sistem respirasi, kulit, kelamin, dan lainnya tak jarang ditemui pada pemeliharaan dan manajemen yang kurang tepat. Penyakit saluran pernafasan merupakan salah satu masalah utama pada ternak dan dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak. Bovine Respiratory Disease (BRD) dapat menyebabkan peningkatan kejadian penyakit, kematian, dan kehilangan hasil produksi. Banyak agen infeksi yang dapat mengakibatkan gejala klinis yang serupa. Penyakit pernafasan pada ternak sering terjadi pada hewan muda (anak sapi) baik sapi betina maupun sapi jantan (Hartel 2004). Kebanyakan kasus muncul sebelum ternak berusia dua tahun. Penyakit pernafasan

Upload: sara-norman

Post on 03-Aug-2015

477 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah_IBR

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sapi merupakan hewan ternak anggota familia Bovidae dan subfamilia

Bovinae. Sapi dipelihara terutama untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya

sebagai bahan pangan, hasil lainnya juga dimanfaatkan seperti kulit, dan jeroan.

Profesi beternak sapi cukup menjanjikan bagi peternak, serta mampu diandalkan

dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari dan untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Kurangnya kewaspadaan dan kesadaran peternak dalam menjaga kesehatan ternak

sering menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan. Penyakit sistem pencernaan,

sistem respirasi, kulit, kelamin, dan lainnya tak jarang ditemui pada pemeliharaan

dan manajemen yang kurang tepat.

Penyakit saluran pernafasan merupakan salah satu masalah utama pada

ternak dan dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak. Bovine

Respiratory Disease (BRD) dapat menyebabkan peningkatan kejadian penyakit,

kematian, dan kehilangan hasil produksi. Banyak agen infeksi yang dapat

mengakibatkan gejala klinis yang serupa. Penyakit pernafasan pada ternak sering

terjadi pada hewan muda (anak sapi) baik sapi betina maupun sapi jantan (Hartel

2004). Kebanyakan kasus muncul sebelum ternak berusia dua tahun. Penyakit

pernafasan merupakan penyebab utama kerugian dalam produksi ternak sapi

potong.

Penyakit pernafasan yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi salah

satunya adalah Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR). Infectious Bovine

Rhinotracheitis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Bovine

herpesvirus 1 (BHV-1) yang dapat menyerang alat pernafasan bagian atas dan alat

reproduksi sapi. Penyakit ini menyerang sapi yang ditandai dengan gejala demam

tinggi 40,5-42 0C, nafsu makan menurun dan dijumpai leleran pada daerah hidung,

hipersalivasi, produksi susu menurun disertai dengan kekurusan (Kurniadhi 2003).

I.2 Tujuan

Page 2: Makalah_IBR

Mengetahui bahaya penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis bagi

ternak, serta mengetahui cara pencegahan, pengendalian, dan penanggulangannya.

BAB II

Page 3: Makalah_IBR

PEMBAHASAN

II.1 Sejarah

Pada sekitar tahun 1950, dokter hewan di daerah Colorado, Amerika

Serikat menemukan dan melaporkan penyakit yang menyerang alat pernafasan

bagian atas pada sapi yang sedang dalam proses penggemukan. Tingkat

morbiditas penyakit ini mencapai kisaran 10-30 % dan mortalitasnya 2-10 %.

Penyakit ini kemudian dinamakan Red Nose (hidung merah) dan Rhinitis

Nekrotikan, karena sapi yang terserang biasanya ditandai dengan perubahan

warna hidung menjadi merah dan terdapat leleran. Saat ini penyakit dengan gejala

tersebut dikenal dengan nama Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR).

Disamping menyerang sapi potong, pada tahun 1954 ahli-ahli veteriner di daerah

California menemukan penyakit ini menyerang sapi perah. Para ahli juga

mengisolasi strain virus Herpes dari sapi yang digemukkan didaerah Colorado dan

California, serta ditemukan persamaan antigenik dari dua wabah tersebut.

Inokulasi pada sapi sehat menghasilkan gejala pernafasan dan lesio-lesio yang

sama (Madin 1956).

Virus BHV-1 (Bovine Herpesvirus tipe 1) yang pertama kali diisolasi

adalah pada tahun 1956 oleh MADIN et al. yang kemudian diatenuasi dan

digunakan sebagai vaksin hidup. Berdasarkan perbedaan dalam analisa enzim

restriksi terhadap DNA dari virus, ada tiga subtipe dari virus BHV-1 yang dapat

dibedakan, yaitu subtipe 1 dan 2a (IBR) serta subtipe 2b (IPV). Subtipe 2b tidak

seganas subtipe 1. Tetapi secara antigenik hanya ada satu tipe BHV-1

(Sudarisman 2007).

II.2 Etiologi

II.2.1 Agen Penyebab

Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) merupakan penyakit

menular yang disebabkan oleh Bovine Herpes Virus tipe 1 (BHV-1) yang dapat

menyerang alat respirasi bagian atas dan alat reproduksi pada sapi. Biasanya

penyakit ini menyerang ternak sapi yang ditandai dengan gejala demam tinggi

dengan suhu 40,5 ± 42 °C, nafsu makan menurun dan dijumpai leleran hidung,

Page 4: Makalah_IBR

hipersalivasi, produksi air susu menurun disertai dengan kekurusan (Kurniadhi,

2003). Pada dasarnya serangan IBR itu sendiri tidak menyebakan kematian pada

hewan, akan tetapi infeksi BHV-1 ini merupakan predisposisi terjadinya

pnemonia sekunder pada hewan yang dapat menyebabkan kematian pada hewan.

Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) menyerang pada sapi dan kerbau

yang disebabkan oleh virus dari golongan herpes. Penyakit ini pada hewan yang

peka dapat bersifat laten, seperti kebanyakan penyakit yang kausanya adalah

herpes virus. Oleh sebab itu, pendekatan pada penanggulangan penyakit perlu

diselaraskan dengan sifat agen penyakit dan perlu penanganan khusus untuk

penanggulangan tersebut (Sudarisman 2007).

II.2.2 Taksonomi

Adapun klasifikasi Virus penyebab Infectious Bovine Rhinotracheitis

(IBR), sebagai berikut :

Group             : Group 1 ( dsDNA)

Family             : Herpesviridae

Subfamily       : Alphaherpesviridae

Genus             : Varicellovirus

Spesies           : Bovine Herpes Virus 1 ( BHV-1)

II.2.3 Morfologi

Semua Herpesvirus pada umumnya memiliki untai dasar double stranded

(DNA virus), yang dikode 100-200 gen dan terbungkus oleh capsid, dimana

capsid ini merupakan susunan rantai ikosahedral protein, capsid ini diselubungi

lagi dengan suatu lapisan protein yang disebut tegument, yang mengandung

protein virus, mRNA virus, dan lapisan lipid bilayer yang disebut amplop virus.

Virion dari BHV-1 terdiri dari tidak kurang 25 – 33 polipeptida. Sel yang

diinfeksi oleh virus akan berisi tidak kurang dari 15 polipeptida yang bukan dari

virion. Gen dari beberapa nukleotida ini termasuk didalamnya BHV-1

glikoprotein B atau gI, BHV-1 gC atau gIII, BHV-1 gD atau gIV dan Thymidine

Kinase (TK). Virion BHV-1 terdiri dari protein yang dikenal dengan VP8, VP7

ataupun 107 K (Kurniadhi 2003).

Page 5: Makalah_IBR

Gambar 1. Gambaran virus BHV-1 pada biakan sel selapis (cell line) MDBK dan terlihat awal terbentuknya CPE pada tanda panah putih.

II.2.4 Siklus Hidup dan Proses Infeksi

 Pada media biakan sel selapis yang sesuai, virus dapat tumbuh dan

berkembang dengan ditandai oleh adanya kerusakan sel terinfeksi. Menurut

beberapa penelitian, pada penyakit IBR, media yang tepat untuk

menumbuhkannya adalah di sel selapis dari organ sapi antara lain ginjal, adrenal,

testis, thymus, thyroid, pankreas dan ginjal babi. Hal ini sebabkan karena pupukan

sel selapis dari jaringan ginjal sapi yang difiksasi dengan cairan Bouin dan

diwarnai dengan hematoksilin-eosin (HE) memperlihatkan intranuclear inclusion

bodies yang menyerap warna eosin. Virus IBR-IPV juga dapat tumbuh baik pada

media pupukan sel yang dibuat dari paru-paru dan kulit sapi serta memperlihatkan

gejala CPE yang baik dalam waktu 1-2 hari ditandai dengan intranuclear inclusion

bodies pada sel-sel selapis yang terinfeksi. Pada pupukan sel embrio sapi, sel yang

membulat dan mengkerut akan terlihat pada 24-48 jam setelah terinfeksi oleh

virus dan plaque-plaque akan terlihat pada pupukan agar overlay. Pertumbuhan

virus juga terjadi pada media sel selapis jaringan ginjal babi, domba, kambing,

kuda dan monyet juga limpa kelinci, amnion manusia dan sel Hela. Tetapi

umumnya hal tersebut terjadi setelah virus mengalami adaptasi. Pada TET virus

tidak dapat tumbuh (Sutrisno 1985).

Penyebaran BHV1 dapat dengan cara horisontal maupun vertikal.

Penyebaran secara horisontal melalui kontak seksual, Inseminasi Buatan (IB), dan

melaui udara. Sedangkan penyebaran BHV1 secara vertikal, yaitu melalui

plasenta. Penularan BHV1 secara langsung dapat  melalui membran mukus

Page 6: Makalah_IBR

saluran pernapasan dan pencernaan hewan, penularan melalui membran mukus

ini  dapat terjadi secara nose to nose antara hewan terinfeksi dan hewan yang 

rentan, hal ini disebabkan virus meluruh bersamaan dengan menbran mukus,

selain itu penularan BHV1 juga melalui udara yang dihembuskan, bersin atau

batuk hewan terinfeksi. Dan diketahui bahwa masa inkubasi Bovine Herpes Virus

tipe 1 berkisar 2-3 hari, baik yang menyerang saluran pernapasan maupun yang

menyerang saluran reproduksi.

II.2.5 Isolasi Virus

Isolasi agen penyakit pada biakan sel akan memberikan perubahan berupa

cytophatic effect (CPE). BHV−1 akan memperlihatkan perubahan biakan sel dari

bentuk pipih memanjang menjadi bundar serta berbentuk seperti buah anggur

yang akhirnya akan mengelupas, sehingga lapisan sel akan menjadi berlubang.

Pewarnaan HE dari sel yang terinfeksi BHV-1 akan memperlihatkan badan

inclusion dalam inti sel “cow dry type A”. Ini merupakan ciri khas dari BHV−1.

Secara serologi di laboratorium dapat dilakukan beberapa uji. Uji yang utama

adalah serum netralisasi. Di samping itu uji serologi yang dapat digunakan adalah

enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), radioactive immuno assay (RIA),

indirect fluorescent antibody technique (IFAT), Tuberkulin type skin test dan

passive haemagglutinasi. PCR dan hybridization technique dapat juga dilakukan

dalam mendeteksi DNA dari virus BHV−1 (Sudarisman 2003).

II.2.6 Teknik Isolasi

Isolasi virus dapat dilakukan dengan menggunakan biakan sel dan sel yang

digunakan dapat berupa sel primer fetus sapi dari organ ginjal, paru-paru, testis,

maupun sel lestari dari paru-paru, turbinet, trakhea maupun Madin Darby's Bovine

Kidney (MDBK). Isolasi virus dari semen dibutuhkan perlakuan tersendiri, karena

semen bersifat toksik pada biakan sel. Perlakuan tersebut berupa pengenceran

semen dengan foetal calf serum (FCS) sebanyak 10 kali. Pengamatan yang

dilakukan adalah adanya sel bundar disekitar CPE dan berikutnya dideteksi

dengan FAT ataupun uji imunoperoksidase. (Sudarisman 2003)

Page 7: Makalah_IBR

II.2.7 Identifikasi agen penyakit

IBR merupakan penyakit viral yang disebabkan oleh Bovine Herpesvirus

Tipe 1 (BHV-1). Virus ini termasuk genus Varicellovirus, subfamili

Alphaherpesvirinae, dan famili herpesviridae. Virus ini termasuk double stranded

DNA. Selain FAT dan uji immunoperoksidase, identifikasi antigen dapat juga

dilakukan dengan menguji swab hidung, mata maupun vagina dengan uji PCR

ataupun restriction endonuklease. Identifikasi serologis dapat dilakukan dengan

virus netralisasi, ELISA berupa indirect ELISA dan Blocking ELISA.

(Sudarisman 2003)

II.3 Gejala Klinis

Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit menular

yang disebabkan oleh virus yang dapat menyerang alat pernafasan bagian atas dan

alat reproduksi ternak sapi. Biasanya penyakit ini menyerang ternak sapi dan

ditandai dengan gejala klinis antara lain

1. demam tinggi dengan suhu 40,5 ± 42 °C

2. nafsu makan menurun

3. dijumpai leleran hidung

4. hipersalivasi

5. produksi susu menurun

6. kekurusan

7. gangguan pernafasan

8. gejala syaraf

9. gangguan reproduksi (Kurniadhi, 2003)

Sindrom lain berupa demam, vulvovaginitis, repeat breeders,

balanoposthitis, metritis terdapat pada gangguan reproduksi, bahkan dapat

menjadi abortus dan kematian pada anak sapi. Penularan IBR terjadi karena

kontak langsung, terutama pada kelompok ternak yang dikandangkan terlalu

padat, sedangkan penularan bentuk veneral terjadi pada waktu perkawinan  atau

inseminasi buatan (IB) (Sudarisman, 2007).

Kontaminasi pada semen merupakan hal satu potensi dalam penularan

virus IBR, karena virus IBR dapat menyebar lewat kegiatan inseminasi buatan dan

Page 8: Makalah_IBR

menyebabkan berbagai gangguan pada saluran reproduksi betina termasuk di

dalamnya endometritis, infertilitas dan keguguran (Sudarisman, 2007).

II.4 Teknik Diagnosa

Mengamati gejala klinis yang ditimbulkan dari penyakit ini, berupa :

- tiba-tiba demam dan anoreksia

- mengalami masalah pernapasan seperti, hiperemi pada mukosa hidung

sehingga nampak bewarna merah, nasal discharge, rhinitis, trakhitis, dan

conjingtivitis, serta terdapat vesikel dan pustula

- pada IPV akan terbentuk masalah pada sistem reproduksi bagian bawah sapi

betina dengan gejala berupa polyuria, vagina discharge, vulva membengkak,

serta mukosa mengalami erosi dan ulserasi.

Mengidentifikasi agen penyebab, dengan cara :

1. Koleksi, memproses sampel, dan isolasi virus

Sampel dapat diperoleh dari nasal swabs pada awal infeksi sapi yang

mengeluarkan sekreta serous sampai mukopurulen nasal discharge. Pada kasus

vulvovaginitis, pengambilan sampel dilakukkan dengan mengabil swabs dari

mukosa saluran genitalia. Spesimen diletakkan pada suspensi media transport

yang mengandung medium kultur sel dengan antibiotik dan 2-10% serum sapi

untuk melindungi virus dari inaktifasi. Spesimen dibawa pada suhu 4oC dan

segera dibawa ke laboratorium.

Pada hewan yang sudah mati, pengambilan sampel dapat dilakukan dengan

mengambil contoh organ seprti mukosa saluran pernapasan, tonsil, paru-paru, dan

jaringan limfatik bornkhial. Pada kasus aborsi, pengambilan hati, paru-paru,

limpa, ginjal dan plasenta dapat dijadikan sampel pemeriksaan. Organ sampel

segera dibawa ke laboratorium dengan pendinginan menggunakan es untuk

menghindari kerusakan sampel.

Setelah sampai di laboratorium, sampel dibiarkan pada suhu ruangan selama

30 menit. Untuk membersihkan sampel swebs yang diambil maka dilakukkan

sentrifiugasi pada 1500 rpm selama 10 menit. Untuk sampel jaringan, dilakukan

homogenisasi pada 10-20% suspensi di dalam media kultur sel kemudian

Page 9: Makalah_IBR

dilakukan sentrifugasi pada 1500 rpm selama 10 menit. Supernatan dari spesimen

disaring sampai 0,45μl filtrat dan digunakan sebagai isolasi virus.

2. Mendeteksi antigen virus

Dapat dilakukkan secara tidak langsung dengan menggunakan fluorescent

antibody test atau secara langsung dengan menggunakan immunofluorescence

test. Pada jaringan post-mortem dapat dilakukkan pewarnaan imunohistokimia

untuk mengetahui agen penyebabnya, yaitu BHV-1 atau bukan.

3. Mendeteksi asam amino

Untuk mengetahui virus penyebab IBR/IPV dapat dilakukkan pengujian

terhadap DNA agen. Pengujian ini dapat dilakukkan dengan menggunakan

polymerase chain reaction (PCR). Dewasa ini PCR merupakan suatu salah satu uji

rutin yang dilakukkan untuk mendiagnosa suatu penyakit, terutama pada kasusu

infeksi oleh virus. Untuk perdagangan internasional telah ditetapkan Real-time

polymerase chain reaction sebagai uji yang harus dipenuhi untuk pemeriksaan

IBR.

4. Uji Serologi

Pengujian secara serologi digunakan utntuk mengetahui ada tidaknya antigen

ataupun antibody dalam serum sapi yang akan diperiksa. Uji ini dapat dilakukan

dengan menggunakan ELISA. Baru-baru ini, identifikasi BHV-1 ELISAs telah

dikembangkan sedemikian rupa sehingga spesifisitas dan sensitivitasnya tinggi.

II.5 Pengendalian, pencegahan dan penanggulangan

Tindakan pengendalian terhadap masuknya Infectious Bovine

Rhinotracheitis (IBR) ke suatu wilayah yang bebas dari penyakit ini dapat

dilakukan dengan berbagai cara. Peran pemerintah terutama fungsi dari lembaga-

lembaga pemerintah yang telah ada dalam mengendalikan masuknya penyakit ini

ke dalam suatu wilayah sangat dibutuhkan seperti Balai Inseminasi Buatan

ataupun Balai Embryo Transfer, dan Lembaga Pembibitan Ternak. Semua

lembaga wajib bebas dari infeksi virus penyakit IBR, baik secara serologik

Page 10: Makalah_IBR

maupun isolasi agen penyakit. Tindakan yang dapat dilakukan oleh peternak

sendiri adalah dengan melakukan disinfeksi kandang dan semua fasilitasnya,

menjaga higiene personal dan menerapkan kebijakan manajemen peternakan

seperti biosafety dan biosecurity.

Tindakan pencegahan terhadap infeksi penyakit Infectious Bovine

Rhinotracheitis (IBR) pada suatu wilayah yang sudah endemik dapat dilakukan

dengan tindakan vaksinasi terhadap ternak. Vaksinasi dilakukan agar ternak

memiliki kekebalan lebih terhadap penyakit IBR sehingga ternak yang berada di

daerah endemik ini tidak terinfeksi penyakit IBR, karena sudah memiliki

antibodinya. Vaksin yang digunakan dapat dalam bentuk “modified live virus

vaccines” dan “inactivated vaccines”. Kedua vaksin ini sama-sama menghasilkan

antibodi humoral (Savan et al. 1979; Sibbel et al. 1988).

Penanggulangan terhadap penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis

(IBR) dapat dilakukan dengan deteksi dini dan pelaporan terhadap kejadian-

kejadian penyakit yang ada dilapangan. Hal ini sangat diperlukan untuk

menanggulangi penyebaran ke ternak-ternak lain, selain itu deteksi dini terhadap

IBR dapat membantu dalam pengambilan tindakan penanggulanan selanjutnya.

Selain deteksi dini dan pelaporan, kandang isolasi diperlukan dalam memisahkan

ternak yang diduga positif terkena IBR dengan ternak yang tidak terkena IBR.

Tindakan terakhir yang dapat dilakukan adalah memusnahkan semua ternak yang

positif terkena IBR agar tidak terjadi Outbreak di wilayah tersebut.

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Page 11: Makalah_IBR

Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) merupakan penyakit

menular yang disebabkan oleh Bovine Herpes Virus tipe 1 (BHV-1) yang

menyerang alat respirasi bagian atas dan alat reproduksi pada sapi. Penularan IBR

terjadi karena kontak langsung, terutama pada kelompok ternak yang

dikandangkan terlalu padat. Pada dasarnya serangan IBR itu sendiri tidak

menyebakan kematian pada hewan, akan tetapi infeksi BHV-1 ini merupakan

predisposisi terjadinya pnemonia sekunder pada hewan yang dapat menyebabkan

kematian pada hewan. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain dengan

melakukan disinfeksi kandang dan semua fasilitas lainnya, menjaga higiene

personal dan menerapkan kebijakan manajemen peternakan seperti biosafety dan

biosecurity. Pengendalian yang dapat dilakukan terutama pada daerah endemik

adalah dengan melakukan vaksinasi, karena dengan vaksinasi dapat membentuk

antibodi sehingga apabila terjadi infeksi, penyakit yang ditimbulkan tidak akan

terlalu parah. Penanggulangan terhadap penyakit Infectious Bovine

Rhinotracheitis (IBR) dapat dilakukan dengan deteksi dini dan pelaporan terhadap

kejadian-kejadian penyakit yang ada dilapangan, sehingga tindakan dapat

dilakukan secepat mungkin untuk mencegah terjadinya outbreak.

III.2 Saran

Diharapkan untuk semua pihak mulai dari peternak hingga dinas

peternakan memeberi perhatian lebih terhadap kasus Infectious Bovine

Rhinotracheitis (IBR) pada ternak khususnya sapi. Walaupun penyakit IBR tidak

secara langsung menyebabkan kematian pada ternak, tetapi apabila kasus IBR

terlambat ditangani, maka dapat menyebabkan terjadinya outbreak sehingga

menyebabkan kerugian bagi para peternak itu sendiri. Sedangkan apabila kasus

IBR dapat dideteksi sejak dini, maka kerugian yang akan ditimbulkan dapat

diminimalisasi.

Daftar Pustaka

Page 12: Makalah_IBR

Anonimus. 2008. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhino

Tracheitis pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. http://peternakan.Iitbang.

deptan.go.id.

Hartel H, Nikunen S et al. 2004. Viral and Bacterial Pathogens in Bovine

Respiratory Disease in Finland. Acta Vet Scand. 45(3-4): 193-200.

Kurniadhi P. 2003. Teknik Pembuatan Biakan Sel Primer Ginjal Janin Sapi untuk

Menumbuhkan Virus Infectious Bovine Rhinotracheaitis. Buletin Teknik

Pertanian Vol. 8. Nomor 2 Th. 2003. Bogor.

Madin S.H, C.J. York, D.G. McKercher. 1956. Isolation of IBR virus. Science

124: 721.

Savan M, A.B. Angulo and J.B. Derbyshire. 1979. Interferon, antibody responses

and protection inducedby an intranasal infectious bovine rhinotracheitis

vaccine. Can. Vet. Jour. 20: 207–210.

Sibbel R.L, E.P. Bass and P.C. Thomas. 1988. How longwill a killed IBR vaccine

protect against chalenge?. Vet. Med. 83: 90–92.

Sudarisman. 2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi di

Lembaga-lembaga Pembibitan Ternak di Indonesia. Wartazoa Vol. 13 No.

3 Th. 2003.

Sudarisman. 2007. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine

Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. Wartazoa Vol.

17 No. 1 Th. 2007.

Sutrisno Adhie. 1985. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis Infectious

Pustular Vulvovaginitis pada Sapi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut

Pertanian Bogor. Bogor.