makalah urogenital-kasus 6.docx
DESCRIPTION
makalah urogenitalTRANSCRIPT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANAKampus II Ukrida Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta 11510
Farah Farhanah binti MansorNIM : 102009341
Email : [email protected]
Penyakit Ginjal Kronik dengan Diabetes Melitus Tipe II dan Hipertensi Tahap I
ABSTRAK
Abstrak : Ginjal merupakan organ yang memiliki fungsi penting, yaitu mengeluarkan sisa-
sisa metabolisme dan menjaga keseimbangan cairan serta elektrolit atau garam tubuh.
Ginjal juga memproduksi hormon yang mempengaruhi fungsi organ-organ lain. Bila ginjal
mengalami kerusakan, dampaknya terhadap tubuh secara keseluruhan akan sangat besar.
Penyakit ginjal kronik merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan
irreversibel yang berasal dari berbagai penyebab. Penyakit ginjal kronik terjadi setelah
berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron ginjal. Penyakit ginjal kronik bisa
merupakan manifestasi penyakit kronik lain yang menyebabkan kerusakan ginjal, seperti
diabetes atau hipertensi. Diabetes merupakan penyebab utama penyakit ginjal kronik. Sekitar
33% penyakit ginjal kronik disebabkan diabetes, sebaliknya 20-40% penderita diabetes akan
mengalami nefropati. Berdasarkan data US Renal Data System tahun 2000, diabetes dan
hipertensi bertanggung jawab terhadap proporsi ESRD yang paling besar, terhitung secara
berturut-turut sebesar 34% dan 21% dari total kasus
Kata kunci : Penyakit ginjal kronik, elektrolit, hormon, diabetes, hipertensi, nefropati, ESRD
1 | P a g e
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAHPenyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal.1Jumlah kejadian penyakit ginjal terus menunjukkan peningkatan. Data United
Kidney Research Organization (UKRO) di Los Angeles, Amerika Serikat menunjukkan
adanya peningkatan jumlah penderita penyakit ginjal yang cukup tinggi. Komplikasi gagal
ginjal kronik disebabkan oleh akumulasi berbagai zat yang normalnya diekskresi oleh ginjal,
serta produksi vitamin D dan erotropoetin yang tidak adekuat oleh ginjal. Sindrom uremik
mengacu pada komplikasi gagal ginjal kronik seperti anemia, kebingungan (confusion),
koma, asteriksis, kejang, efusi perikard, gatal dan penyakit tulang. Terapi penggantian ginjal
memperbaiki masalah-masalah ini, namun pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir
memiliki morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada populasi lainnya.
SKENARIOTn T, 60 tahun, datang diantar keluarganya dengan keluhan sesak nafas memberat sejak 6
jam yang lalu. Keluarga mengatakan pasien mulai merasa sesak sejak 2 hari yang lalu.
Muntah 4x, 1 hari lalu. Pasien saat ini tampak bingung. Riwayat kencing manis dan darah
tinggi diketahui sejak 25 tahun yang lalu, tidak teratur minum obat. Kaki pasien juga dirasa
bengkak sejak 3 hari yang lalu.
PF : TB : 170cm, BB : 66kg, keadaan umum : TD :150/90 mmHg, N90x/menit, RR : 18x/menit, suhu : 37,2ºC, thorak : cor : BJI-II murni regular, pulmo : ronki basah kasar pada kedua lapang paru, abdomen : bising usus (+) normal, nyeri tekan (-), ekstremitas : edema +/+
Lab : Hb : 8g/dL, L : 7900/µL, T :334.000/µL, Ht : 26%, Kreatinin serum : 4,6, Ureum serum : 150, GDS : 250mg/dL
HIPOTESISTuan T, berusia 60 tahun dengan sesak nafas sejak 2 hari yang lalu, tampak bingung, muntah
dan edema ekstremitas dengan riwayat kencing manis dan darah tinggi menderita penyakit
ginjal kronik disertai dengan diabetes melitus tipe II dan hipertensi tahap 1.
2 | P a g e
ANAMNESIS
Anamnesis merupakan suatu bentuk wawancara antara dokter dan pasien dengan
memperhatikan petunjuk-petunjuk verbal dan non verbal mengenai riwayat penyakit pasien.
Anamnesis bisa dilakukan pada pasien itu sendiri (autoanamnesis) maupun dari keluarga
terdekat (alo anamnesis).
Hal yang perlu ditanyakan dokter pada saat anamnesis antara lain :
Keluhan utama yakni gangguan atau keluhan yang terpenting yang dirasakan penderita
sehingga mendorong ia untuk datang berobat dan memerlukan pertolongan serta
menjelaskan tentang lamanya keluhan tersebut.
Riwayat pribadi merupakan segala hal yang menyangkut pribadi pasien seperti data diri
pasien seperti nama, tanggal lahir, umur, alamat, suku, agama, dan pendidikan.
Riwayat sosial mencakup keterangan mengenai pekerjaan, aktivitas, perkahwinan,
lingkungan tempat tinggal, dan lain-lain.
Riwayat penyakit dahulu merupakan riwayat penyakit yang pernah diderita pasien pada
masa lampau yang mungkin berhubungan dengan penyakit yang dialami sekarang.
Riwayat keluarga
Pada riwayat penyakit sekarang dokter dapat menanyakan mengenai:
Sejak kapan muncul gejala tersebut?
Nagaimana perjalanan penyakit tersebut? Apakah semakin membaik atau semakin
memburuk?
Apakah ada gejala penyerta?
Adakah faktor pemicunya?
Pada kasus ini dilakukan aloanamnesis. Hal yang perlu ditanyakan antara lain:
Gangguan traktus gastrointestinal ringan sampai berat
Nyeri dada
Gejala perdarahan
Gejala anemia
Berdasarkan anamnesis dapat ditentukan kecenderungan diagnosis, misalnya bila terdapat
riwayat nokturia, poliuria, dan haus, disertai hipertensi dan riwayat penyakit ginjal, lebih
mungkin dipikirkan ke arah gagal ginjal kronik. Tanda-tanda uremia klasik dengan kulit
pucat atrofi, dengan bekas garukan, dan leukonikia tidak terjadi seketika dan
3 | P a g e
jarangditemukan sehingga lebih baik menganggap semua pasien azotemia menderita gagal
ginjal akut sampai dapat dibuktikan sebaliknya.
Pertanyaan akan lebih mengarah kepada adanya kemungkinan penyebab, durasi penyakit
yang dialami dan adakah si pasien telah mengalami sebarang komplikasi. Anamnesis harus
terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau
akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang
dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Pasien dengan gagal ginjal kronik biasanya mengalami
penurunan bertahap pada derajat kesehatan selama 6 bulan sebelumnya, namun ada juga yang
langsung tidak mempunyai sebarang keluhan, mengaku “merasa baik-baik sahaja” meskipun
dengan hasil tes darah yang abnormal.1 Ini biasanya merupakan indikasi penurunan yang
sangat bertahap ke arah gagal ginjal kronik. Petunjuk kepada penyebab gagal ginjal kronik
dapat berasal dari semua interaksi masa lalu dengan si dokter, misalnya adanya proteinuria
selama pemeriksaan medis untuk tujuan pekerjaan dan asuransi atau selama kehamilan, atau
penilaian urologis dengan haematuria mikroskopik.
Tingkat keparahan gagal ginjal akan diukur dari gejala uremik seperti anorexia, muntah,
lelah, sesak nafas, dan bengkak pada pergelangan kaki. Klinisi harus mengetahui semua
tentang keluarga pasien serta latar belakang sosial selain riwayat pekerjaan untuk
memungkinkan saran pada masa depan selain untuk memudahkan rencana pengobatan.1
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan seringkali memberikan bantuan dalam menegakkan diagnosis, namun adalah
penting untuk mencari bukti gangguan mutisistem, penyakit pembuluh darah umum ( yang
mungkin menunjukkan kelainan renovaskular sebagai punca gagal ginjal) dan kemungkinan
adanya obstruksi saluran kemih.1 Jika penyebab gagal ginjal kronik tidak jelas, adalah
penting untuk meraba dengan teliti untuk mencari sama ada terdapat pembesaran kandung
kemih dan juga melakukan pemeriksaan DRE (Digital Rectal Examination). Pemeriksaan
fisik juga memungkinkan dilakukan penilaian konsekuensi dari gagal ginjal kronik pada
tekanan darah, hipetrofi ventrikel kiri, dan keseimbangan garam dan air.
Lakukan pemeriksaan fisik lengkap, pemeriksaan fisik untuk edema, dan pemeriksaan rektum
dan vagina bila perlu. Periksa apakah ada peregangan kandung kemih. Carilah tanda penyakit
sistemik pada seluruh sistem, terutama tanda neurologis dan reumatologis. Lesi katup jantung
mengingatkan kecurigaan glomerulonefritis yang terkait dengan endokarditis infektif.
4 | P a g e
Inspeksi
Inspeksi dapat dibagi menjadi inspeksi umum dan inspeksi lokal. Pada inspeksi umum
pemeriksa melihat perubahan yang terjadi secara umum, sehingga dapat diperoleh kesan
keadaan umum pasien. Pada inspeksi lokal, dilihat perubahan-perubahan lokal sampai yang
sekecil-kecilnya. Untuk bahan pembanding perlu diperhatikan keadaan sisi lainnya.
Palpasi
Setelah inspeksi, pemeriksaan di lanjutkan dengan palpasi, yakni pemeriksaan dengan
meraba, menggunakan telapak tangan dan memanfaatkan alat peraba yang terdapat pada
telapak dan jari tangan. Dengan palpasi dapat ditentukan bentuk, besar, tepi, permukaan serta
konsistensi organ. Ukuran organ dapat dinyatakan dengan besaran yang sudah dikenal secara
umum misal bola pingpong atau telur ayam, tetapi lebih dianjurkan untuk menyatakannya
dalam ukuran, misalnya sentimeter.
Permukaan organ dinyatakan apakah rata atau berbenjol-benjol; konsistensi organ dinyatakan
dengan lunak, keras, kenyal, kistik atau berfluktuasi, sedangkan tepi organ dinyatakan
sebagai tajam atau tumpul. Pada palpasi abdomen, untuk mengurangi ketegangan dinding
abdomen, dilakukan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut; abdomen diraba dengan
telapak tangan mendatar dengana jari-jari II, III, dan IV yang merapat. Bila ada bagian yang
sakit, perabaan selalu dimulai dari bagian yang tidak sakit, baru kemudian ke bagian yang
sakit. Palpasi dapat pula dilakukan dengan dua tangan, terutama bila hendak mengetahui
adanya cairan atau Ballotement.
Pembesaran ginjal dapat dipalpasi. Ginjal kanan, yang terletak lebih rendah daripada ginjal
kiri karena adanya hati, kadang dapat dipalpasi dalam keadaan normal. Untuk melakukan
palpasi ginjal, letakkan tangan kanan di atas abdomen bagian atas pada sisi yang akan
diperiksa. Pada sisi yang sama, letakkan tangan kiri dengan jari-jari pada sudut ginjal yang
dibentuk oleh batas lateralotot lumbal dan iga ke 12. Pada saat pasien inspirasi dorong jari
tangan kiri ke anterior beberapa kali. Pembesaran ginjal dapat dirasakan dengan tangan kanan
saat ginjal bergerak ke rongga abdomen bawah saat inspirasi dan terdorong ke anterior oleh
jari tangan kiri anda.
5 | P a g e
Perkusi
Setelah palpasi, pemeriksaan dilanjutkan dengan perkusi. Tujuan perkusi adalah untuk
mengetahui perbedaan suara ketuk, sehingga dapat ditentukan batas-batas suatu organ
misalnya paru, jantung, dan hati, atau mengetahui batas-batas massa yang abnormal dirongga
abdomen. Secara garis besar suara perkusi di bagi tiga macam yakni sonor (suara yang
terdengar pada perkusi paru normal), pekak (seperti suara yang terdengar pada perkusi otot
misal otot paha atau bahu) dan timpani (seperti suara yang terdengar pada perkusi abdomen
bagian lambung). Tentu terdapat suara yang terdapat diantara suara tersebut, misal redup
(antara sonor dan pekak) dan hipersonor (antara sonor dan timpani).
Auskultasi
Auskultasi adalah pemeriksaan dengan menggunakan stestokop. Dengan cara auskultasi
dapat di dengar suara pernapasan, bunyi dan bising jantung, peristaltik usus, dan aliran darah
dalam pembuluh darah.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratoriumTujuan pemeriksaan laboratorium adalah untuk memastikan dan menentukan derajat
penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit
termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal.
Pemeriksaan faal ginjal (LFG) Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
Etiologi gagal ginjal kronik (GGK) Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.
Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endokrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG).
Tabel 1. Tujuan pemeriksaan laboratorium pada penyakit ginjal
6 | P a g e
Normal PasienHemoglobin Pria : 13.2-16.2 g/dL
Wanita : 12.0-15.2 g/dL8g/dL
Leukosit 4.1-10.9x103/µL 7900/µLTrombosit 150.000-350.000/µL 334.000/µLHematokrit Pria : 40-52%
Wanita : 37-46%Anak : 31-43%
26%
Kreatinin serum 0.5-1.4 mg/dL 4.6 mg/dLUreum serum 7-21 mg/dL 150 mg/dLGDS 65-110 mg/dL 250 mg/dL
Tabel 2. Perbandingan antara nilai laboratorium normal dan nilai yang didapatkan pada pasien2
a. Urinalisis
-Volume urine meningkat
- Warna
- Sedimen
Eritrosit Leukosit Silinder granula
-Berat jenis
- Kreatinin Pemeriksaan klirens kreatinin dengan mendapatkan urin 24 jam untuk
mendeteksi penurunan GFR. Akibat dari penurunan GFR, maka klirens kretinin akan
menurun, kreatinin akan meningkat, dan nitrogen urea darah (BUN) juga akan meningkat.
Protein
Bila mengenai glomerulus ( >3 g/hari ) Bila mengenai tubulus ( <1,5 g/hari)
b.Darah
BUN / kreatinin
Kreatinin plasma akan meningkat seiring dengan penurunan laju filtrasi glomerulus, dimulai
bila lajunya kurang dari 60 ml/menit. Pada gagal ginjal terminal, konsentrasi kreatinin di
bawah 1 mmol/liter. Konsentrasi ureum plasma kurang dapat dipercaya karena dapat
menurun pada diet rendah protein dan meningkat pada diet tinggi protein, kekurangan garam
dan keadaan katabolik. Biasanya konsentrasi ureum pada gagal ginjal terminal adalah 20-60
mmol/liter.
7 | P a g e
Klirens kreatinin meningkat melebihi laju filtrasi glomerulus dan turun menjadi kurang dari 5
ml/menit pada gagal ginjal terminal. Dapat ditemukan proteinuria 200-1000 mg/hari
-Hitung darah lengkap Ditemukan anemia normositik normokrom dan terdapat sel Burr pada uremia berat.
- Natrium serum, terjadi hiponatremia
- Kalium, hiperkalemia
- Magnesium fosfat, terjadi hiperfosfatemia dan hipermagnesemia
- Protein, terjadi hipoalbuminemia
- Kalsium, terjadi hipokalsemia
- Osmolaritas serum
- LED meningkat
Pemeriksaan radiologiJenis pemeriksaan TujuanUltrasonografi ginjal Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya
massa, kista, obstruksi pada saluran kemih bagian atas.
Sistouretrogram berkemih Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam ureter, adanya retensi
Pielografi intravena Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.
Pielografi retrograd Dilakukan bila dicurugai ada obstruksi yang reversibel.
Arteriogram ginjal Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, massa
Biopsi ginjal Untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologis
Tabel 3. Jenis pemeriksaan radiologi dan tujuannya.
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Gagal ginjal akutDefinisi Gagal Ginjal Akut
Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dL (≥26.4 µmol/l), presentasi kenaikan kreatinin serum ≥50% (1.5x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang tercatat ≤ 0.5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam)
8 | P a g e
Kriteria di atas memasukkan baik nilai absolute maupun nilai persentasi dari perubahan kreatinin untuk menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender, indeks massa tubuh dan mengurangi kebutuhan untuk pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya diperlukan 2 kali pengukuran dalam 48 jam. Produksi air seni dimasukkan sebagai kriteria karena mempunyai prediktif dan mudah diukur. Namun, kriteria yang dinyatakan harus memperhatikan adanya obstruksi saluran kemih dan sebab-sebab oliguria lain yang reversible. Perjalanan GGA dapat :
1.Sembuh sempurna
2. Penurunan faal ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK (CKD tahap 1-4)
3. Eksaserbasi berupa naik turunnya progresivitas GGK/ CKD tahap 1-4
4. Kerusakan tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5)
Diagnosis
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan GGA pre-renal, GGA renal dan GGA post-renal. Dalam menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut perlu diperiksa :
Anamnesis yang baik, pemeriksaan jasmani yang teliti
Mencari sebab gangguan ginjal akut (operasikardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi), riwayat bengkak, riwayat kencing batu
Membedakan gangguan ginjal akut (GGA) dengan gangguan ginjal kronik (GGK)
Anemia dan dan ukuran ginjal yang kecil menunjukkan gagal ginjal kronik
Pemeriksaan berulang fungsi ginjal Pemeriksaan kadar ureum, kreatinin atau LFGPada pasien yang dirawat periksa asupan dan keluaran cairan , berat badan
Penilaian pasien GGA a) Kadar kreatinin serumb) Kadar cystatin C serum indikator GGA tahap awal yang cukup dipercayac) Volume urin anuria akut atau oliguria berat merupakan indikator yang spesifik untuk GGA, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia darah
GGA pre-renal – oliguria (<400 ml/hari), walaupun kadang-kadang tidak dijumpai oliguria
GGA renal dan GGA post renal – ditandai baik oleh anuria maupun poliuria
d) Kelainan analisis urine) Petanda biologis – Kriteria RIFLE/AKIN
Tabel 4. Pemeriksaan dalam menegakkan diagnosis gagal ginjal akut.
9 | P a g e
Gambar 1. Kriteria RIFLE
Tabel 5. AKIN staging system for AKI
Perbedaan antara gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik
Tabel 6. Perbedaan antara gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik
10 | P a g e
GlomerulonefritisBerdasarkan sumber terjadinya kelainan, Glomerulonefritis (GN) dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan GN sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti
diabetes mellitus, lupus eritematosus sistemik (LES), myeloma multipel, atau amiloidosis.
Glomerulonefritis adalah penyakit akibat respon imunologik dan hanya jenis tertentu saja
yang secara pasti telah diketahui etiologinya.
Evaluasi klinis dan diagnosis GN
Gejala klinik GN merupakan konsekuensi langsung akibat kelainan struktur dan fungsi
glomerulus. Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan fungsi
ginjal, dan perubahan ekskresi garam dengan akibat edema, kongesti aliran darah, dan
hipertensi. Manifestasi klinik GN merupakan kumpulan gejala atau sindrom klinik yang
terdiri dari kelainan urin asimtomatik, sindrom nefrotik, GN progresif cepat, sindrom nefritik
dan GN kronik.
Klasifikasi Glomerulonefritis Gejala-gejala yang ditemukanGN sindrom kelainan urin simtomatik Proteinuria subnefrotik dan atau hematuri
mikroskopik tanpa edema, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal
Sindrom nefritik Hematuri dan proteinuria, gangguan fungsi ginjal, retensi air dan garam serta hipertensi
Glomerulonefritis progresif cepat Penurunan fungsi ginjal yang terjadi dalam beberapa hari atau minggu, gambaran nefritik dan pada biopsi ginjal menunjukkan gambaran spesifik
Sindrom nefrotik Proteinuria massif (≥3,5g/1,73 m2/hari), edema anasarka, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia
Glomerulonefritis kronik Proteinuria persisten dengan atau tanpa hematuria disertai penurunan fungsi ginjal progresif lambat
Tabel 7. Klasifikasi glomerulonefritis dan gejala-gejala yang ditemukan
WORKING DIAGNOSIS
11 | P a g e
Penyakit ginjal kronikDefinisi
Penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai keadaan yang berlaku akibat dari pengurangan
permanen (biasanya progresif) pada fungsi ginjal, cukup untuk memberikan konsekuensi
yang merugikan pada sistem lainnya.1 Ambang berlakunya gagal ginjal kronik adalah
berkisar 40 persen dari kapasitas ekskresi normal.1
Kriteria penyakit ginjal kronik
1.Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus, dengan manifestasi :
- Kelainan patologis- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah
atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60ml/menit/1.73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Tabel 8. Kriteria penyakit ginjal kronik3
Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :
LFG (ml/mnt/1.73m2) = (140-umur) X berat badan *)
72 X kreatinin plasma (mg/dL)
*) pada perempuan dikalikan 0.85
Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1.73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat
≥90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan
60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang
30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat
15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Tabel 9. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakit3
Penyakit Tipe mayor(contoh)
12 | P a g e
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2Penyakit ginjal non diabetes -Penyakit glomerular penyakit otoimun, infeksi
sistemik, obat, neoplasia- Penyakit vaskular penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati- Penyakit tubulointerstitial pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat- Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi -Rejeksi kronik- Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)- Penyakit recurrent (glomerular)- Transplant glomerulopathy
Tabel 10. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologi3
Faktor risiko
1) Usia - > 50 tahun
2) Mengidap Diabetes melitus
3) Hipertensi
4) Penyakit kardiovaskular
5) Ahli keluarga
6) Riwayat konsumsi jamu atau analgesik
Manifestasi klinik
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius,
batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritematosus Sistemik (LES), dan lain
sebagainya.3
b) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma.3
c) Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, khlorida).3
13 | P a g e
Diabetes melitusDiabetes melitus(DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan dengan kerusakan jangka panjang ,
disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan
pembuluh darah.
Kriteria diagnosis Diabetes melitus
1.Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir
2. Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75
gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air
Tabel 11. Kriteria diagnosis Diabetes Melitus
HipertensiA.Hipertensi esensial
Hipertensi esensial, atau hipertensi tanpa kelainan dasar patologi yang jelas. Lebih dari 90%
kasus merupakan hipertensi esensial. Penyebabnya multifaktorial meliputi faktor genetik dan
lingkungan.
B. Hipertensi sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi. Termasuk dalam kelompok ini antara lain hipertensi akibat
penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obatan dan
lain-lain.
14 | P a g e
Klasifikasi tekanan darah untuk usia 18 tahun atau lebih berdasarkan JNC VII, 2003
Klasifikasi Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi
Tingkat 1 140-159 90-99
Tingkat 2 >160 > 100
Tabel 12. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII, 2003
ETIOLOGI
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Tabel
13 menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat.
Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal
ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada Tabel 14.
Penyebab Insiden
Diabetes mellitus-tipe 1 (7%)-tipe 2 (37%)
44%
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%
Glomerulonefritis 10%
Nefritis interstitialis 4%
Kista dan penyakit bawaan lain 3%
Penyakit sistemik (lupus, vaskulitis) 2%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%
Tabel 13. Penyebab utama penyakit ginjal kronik di Amerika Syarikat (1995-1999)3
15 | P a g e
Gambar 2. Pelbagai etiologi gagal ginjal kronik di beberapa negara
Penyebab InsidenGlomerulonefritis 46.39%Diabetes Melitus 18.65%Obstruksi dan Infeksi 12.85%Hipertensi 8.46%Sebab lain 13.65%
Tabel 14. Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia Th. 20003
EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, sekitar 6,2% penduduk saat ini menderita penyakit ginjal kronik derajat 1-5.
Yang mengkhawatirkan, kasus gagal ginjal di Indonesia setiap tahunnya terbilang tinggi.
Setidaknya dalam satu tahun ada sekitar 70 dari 100 pasien yang berobat ke dokter, kemudian
harus melakukan cuci darah.
Hasil studi epidemiologi dari gagal ginjal telah menemukan beberapa fakta penting. Penyakit
gagal ginjal lebih sering ditemukan pada pasien yang lebih tua; angka kejadian pada populasi
berumur 75 tahun adalah 10 kali lebih tinggi yaitu 400 per miliar populasi dari pasien yang
berumur 40 tahun; 50% pasien yang rata-rata berusia 65 tahun sudah mula melakukan terapi
menggantikan ginjal. Angka kejadian adalah lebih tinggi pada pasien pria (1,3 :1), pada
daerah dengan latar belakang sosial yang rendah, dan pada kelompok-kelompok etnis
16 | P a g e
tertentu.1 Angka kejadian di United Kingdom adalah 3.5 lebih tinggi dari kota-kota di Asia
atau pasien yang berasal dari Afro-Carribean.1-4
PATOFISIOLOGI
Fungsi fisiologis dan metabolik ginjal termasuk pengaturan konsentrasi ion dalam cairan
ekstraselular dan intraselular, pengaturan tekanan darah, regulasi beberapa fungsi endokrin,
dan ekskresi produk sampah.5 Kepelbagaian dalam fungsi ini menghasilkan konsekuensi
CKD yang dapat diprediksi dan yang tidak dapat diprediksi. Misalnya, diperkirakan bahwa
limitasi kemampuan untuk mengekskresi asam akan menyebabkan hiperventilasi dan
penurunan PCO2, namun pada keadaan asidosis juga menyebabkan kehilangan massa otot dan
penyakit tulang yang sukar untuk diprediksi5. Meskipun perubahan dalam metabolisme tulang
dapat diprediksi dari gangguan ekskresi kalsium dan fosfat, penemuan bahwa kadar sekresi
hormon paratiroid (PTH) tergantung pada reseptor sensitif kalsium pada sel-sel paratiroid
serta tindakan Vitamin D yang tidak dapat diprediksi.
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh
molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh
growth factor seperti transforming growth factor ß (TGF-ß). Beberapa hal yang juga
dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal
reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian
secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
17 | P a g e
Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik) tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%,
mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang
dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala
dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas,
maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo
ataupun hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium.
Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
a)Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
b) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
c) Memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal
d) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
e) Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
f) Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
18 | P a g e
Gambar 3. Tatalaksana pada penyakit ginjal kronik1
Derajat LFG (ml/mnt/1.73m2) Rencana tatalaksana1 ≥ 90 -terapi penyakit dasar,
kondisi komorbid, evaluasi perburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil
risiko kardiovaskular2 60-89 -menghambat perburukan
(progression) fungsi ginjal3 30-59 -evaluasi dan terapi
komplikasi4 15-29 -persiapan untuk terapi
pengganti ginjal5 < 15 -terapi pengganti ginjal
Tabel 15. Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
19 | P a g e
a)Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penaykit dasarnya adalah sebelum terjadi penurunan
LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal
secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi
yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari
normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
b) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit
ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat
nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan penyakit dasarnya.
c) Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara
penting untuk mengurangi hiperfiltasi glomerulus ini adalah pembatasan asupan protein
dan terapi farmakologis. Pada pembatasan asupan protein akan mengakibatkan
berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah, asupan protein berlebih (protein
overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran
darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan
meningkatkan progresifitas perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
LFG ml/menit Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kgBB/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥0,35 gr/kg/hr nilai biologi tinggi
≤ 10g
5-25 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥0,35 gr/kg/hr nilai biologi tinggi atau tambahan 0,3 g asam amino esensial atau asam keton
≤ 10g
< 60 (Sindrom Nefrotik) 0,8/kg/hr (+1 gr protein/g ≤ 9g
20 | P a g e
proteinuria atau 0,3g/kg tambahan asam amino esensial atau asam keton)
Tabel 16. Pembatasan asupan protein dan fosfat pada penyakit ginjal kronik
Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
hipertensi, di samping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat
penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
glomerulus dan hipertrofi glomerulus. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria
merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat
proteinuria berkaitan dengan proses pemburukan ginjal pada penyakit ginjal kronik. Beberapa
obat antihipertensi, terutama Penghambat Enzim Konverting Angiotensin (Angiotensin
Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat
proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria.
21 | P a g e
Gambar 4. Algoritme 1 tatalaksana antihipertensi pada pasien dengan penyakit ginjal kronik
22 | P a g e
Gambar 5. Algoritme 2 tatalaksana antihipertensi pada pasien dengan penyakit ginjal kronik
d) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena
40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-
hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah, pengendalia
diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia,
pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.
e) Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
23 | P a g e
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
Anemia
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila
ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian
EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam
mekanisme kerjanya. Pemberian transfuse pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara
hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang
dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,hiperkalemia dan
pemburukan fungsi ginjal. Sasaran haemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-
12g/dL.
Osteodistrofi renal
Gambar 6. Mekanisme patogenik osteodistrofi renal5
24 | P a g e
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan
pemberian hormon kalsitriol (1,25 (OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi
pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbs
fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut
berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.
a)Mengatasi hiperfosfatemia
Pembatasan asupan fosfat Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghidari terjadinya malnutrisi.
Pemberian pengikat fosfat Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kasium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan calcium acetate. (Tabel 18 memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosfat, efikasi dan efek sampingnya)
Pemberian bahan kalsium mimetik ( calcium mimetic agent)
Menghambat reseptor kalsium pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini juga disebut calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang minimal.
Tabel 17. Cara mengatasi hiperfosfatemia pada penyakit ginjal kronik
Cara/bahan Efikasi Efek sampingDiet rendah fosfat Tidak selalu mudah MalnutrisiAl(OH)3 Bagus Intoksikasi AlCaCO3 Sedang HiperkalsemiaCa asetat Sangat bagus Mual, muntahMg(OH)2/MgCO3 Sedang Intoksikasi Mg
Tabel 18. Pengikat fosfat, efikasi dan efek sampingnya
b) Pemberian Kalsitriol (1,25 (OH)2D3)
Pemberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi
pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorpsi fosfat dan kalsium di
saluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam kalsium karbonat
di jaringan, yang disebut kalsifikasi metastastik. Di samping itu juga dapat mengakibatkan
25 | P a g e
penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya
dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH >
2,5 kali normal)
Pembatasan cairan dan elektrolit
Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang
masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun
insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss
antara 500-800ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk
dianjurkan 500-800ml ditambah jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium
dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena
itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti
buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/L. Pembatasan
natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium
yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.
Terapi pengganti ginjal (Ginjal Replacement Therapy)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialis, peritoneal
dialisis atau transplantasi ginjal.
Hemodialisis
Aspek praktis hemodialisis
Pada hemodialisis, darah dipompa melewati satu sisi membran semipermeabel sementara
carian dialisat dipompa melewati dari sisi lain dengan arah gerakan yang berlawanan.
Membran biasanya diletakkan di dalam wadah sebagai lembaran yang memiliki lubang di
tengahnya. Jumlah cairan yang dikeluarkan melalui ultrafiltrasi dikontrol dengan mengubah
tekanan hidrostatik darah dibandingkan dengan cairan dialisat. Cairan dialisat dibuat dari
konstituen esensial plasma-natrium, kalium, klorida, kalsium, magnesium, dan glukosa dan
suatu buffer seperti bikarbonat, asetat, atau laktat.4,5
26 | P a g e
Darah dan dialisat mencapai kesetimbangan di kedua sisi membran. Dengan demikian,
komposisi plasma dapat dikontrol dengan mengubah komposisi dialisat. Konsentrasi kalium
dalam dialisat biasanya lebih rendah daripada dalam plasma sehingga memacu pergerakan
kalium keluar dari darah. Heparin digunakan dalam sirkuit dialisis untuk mencegah
penggumpalan darah. Pada pasien yang memiliki risiko perdarahan prostasiklin dapat
digunakan untuk hal tersebut, walaupun dapat menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi.
Gambar 7. Aliran darah pada hemodialisis
Peritoneal dialisis
Gambar 8. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
27 | P a g e
Aspek teknis dialisis peritoneal
Kateter Soft Silastic biasanya dimasukkan melalui terowongan pada kulit dan ditempatkan
pada rongga peritoneum sebagai akses permanen ke rongga peritoneum. Pada masa
sebelumnya, kateter semi-kaku digunakan untuk dialisis akut jangka pendek. Kantung-
kantung cairan dialisat steril ditempelkan pada kateter peritoneal dan dialirkan ke dalam
rongga peritoneum oleh gravitasi. Kateter dijepit dengan kantung kosong melekat dan, ketika
dialisis selesai, jepit kateter dilepaskan dan cairan dialirkan ke dalam kantung oleh gravitasi,
kemudian kantung ini dilepas dan dibuang.
Teknik ini disebut continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) karena pasien dapat
melakukan aktivitas harian normalnya dengan cairan di dalam abdomen. Sekitar empat
‘pertukaran cairan’ digunakan setiap hari. Biasanya pasien menggunakan 2L dialisat segar
setiap 4 jam. Biasanya satu kantung ‘kuat’ dengan kekuatan osmotik tinggi digunakan
semalaman untuk mengeluarkan air.
KOMPLIKASI
Derajat Penjelasan LFG
(ml/menit)
Komplikasi
1 Kerusakan ginjal dengan LFg normal
≥ 90 -
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan
60-89 Tekanan darah mulai meningkat
3 Penurunan LFG sedang
30-59 Hiperfosfatemia,hipokalsemia, Anemia,hiperparatiroid,hipertensi, hiperhomosistinemia
4 Penurunan LFG berat
15-29 Malnutrisi, asidosis metabolik, cenderung hiperkalemia, dislipidemia
5 Gagal ginjal <15 Gagal jantung, uremia
Tabel 19. Komplikasi penyakit ginjal kronik3
A.Hiperkalemia
Keseimbangan kalium pada umumnya tetap utuh pada gagal jantung kronik sampai LFG
adalah kurang dari 10-20 ml/menit. Namun, terdapat peningkatan risiko untuk terjadinya
28 | P a g e
hiperkalemia pada keadaan-keadaan tertentu. Penyebab endogen meliputi semua tipe
kerusakan seluler seperti hemolisis dan trauma, hyporeninemic hypoaldosteronism (tipe IV
asidosis tubular renal, dapat terlihat terutama pada pasien dengan diabetes mellitus), tahap
asidemik (elevasi 0.6 mEq/L K+ pada setiap 0.1 penurunan nilai pH. Penyebab eksogen
mencakup diet (buah-buahan sitrus dan bahan pengganti garam yang mengandung kalium)
dan obat-obatan yang dapat menurunkan sekresi K+ (amilorid, triamteren, spironolakton,
OAINS, penghambat ACE) atau ß-bloker.
B. Gangguan keseimbangan asam basa
Ginjal yang rusak tidak mampu untuk mengekskresi setiap 1mEq/kg/d asam yang dihasilkan
oleh metabolisme protein. Asidosis metabolik yang terhasil terutamanya adalah karena
hilangnya massa ginjal dan hal ini menyebabkan produksi ammonia dan bufer H+ dalam urin
berkurang. (Penyebab lain meliputi penurunan filtrasi asam yang telah tertitrasi seperti sufat
dan fosfat, penurunan resorpsi karbonat pada tubulus bagian proksimal, dan penurunan
sekresi ion hidrogen tubular renal. Meskipun pasien gagal ginjal kronik berada dalam
keadaan balans positif hidrogen, pH darah arteri dipertahankan pada 7,33-7,37 dan
konsentrasi bikarbonat serum jarang turun di bawah 15mEq/L. Kelebihan ion hidrogen akan
diseimbangkan oleh simpanan kalsium karbonat dan kalsium fosfat dari tulang. Hal ini
menyebabkan terjadinya gangguan tulang dan mineral ginjal seperti yang telah dibahas pada
bagian penatalaksanaan yaitu osteodistrofi renal.4-6
C. Komplikasi kardiovaskular
1.Hipertensi
Apabila gagal ginjal berlangsung secara progresif, hipertensi biasanya berkembang karena
adanya retensi garam dan air. Keadaan hiperreninemik dan pemberian eritropoietin eksogen
juga dapat memperburuk hipertensi. Hipertensi adalah komplikasi yang paling umum dari
ESRD dan harus ditangani dengan cermat. Kegagalan untuk menangani hipertensi akan
mempercepat tahap progresifitas gagal ginjal.
2. Perikarditis
Pada pasien dengan uremia, perikarditis dapat berkembang. Penyebab yang diyakini adalah
retensi toksin metabolik. Gejala-gejala yang dialami oleh pasien adalah termasuk nyeri dada
29 | P a g e
dan demam. Pulsus paradoxus juga dapat muncul sebagai gejala. Semasa auskultasi, bunyi
friction rub dapat didengarkan, tetapi apabila tidak terdengar, tidak menyingkirkan adanya
efusi perikardial yang signifikan.
3. Penyakit jantung kongestif
Pasien dengan ESRD cenderung dengan cardiac output yang tinggi. Pasien sering memiliki
cairan ekstraselular yang berlebihan, untuk dialisis adanya shunt melalui fistula
arteriovenosa, dan anemia. Apabila gejala-gejala ini bersamaan dengan hipertensi, kerja
miokardium meningkat yang disertai dengan peningkatan kebutuhan oksigen. Pasien gagal
ginjal juga mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mendapat aterosklerosis. Semua faktor
di atas memberikan kontribusi terhadap hipertrofi dan dilatasi ventrikel kiri, biasanya muncul
pada 75% dari pasien yang mula melakukan dialisis. Peningkatan hormon paratiroid juga
mungkin memainkan peran dalam patogenesis kardiomiopati pada gagal ginjal.
D.Komplikasi hematologik
1.Anemia
Anemia pada gagal ginjal kronik bersifat normokrom normositer. Hal ini disebabkan oleh
penurunan produksi eritropoetin, yang menjadi signifikan secara klinis apabila LFG turun di
bawah 20-25 ml/menit. Anemia juga biasanya timbul pada pasien dengan kekurangan zat
besi. Hemolisis tahap rendah dan kehilangan darah akibat disfungsi platelet atau hemodialisis
turut memainkan peran dalam terjadinya anemia.8
2. Koagulopati
Penyakit ginjal kronik dengan koagulopati biasanya disebabkan oleh disfungsi trombosit.
Hitung trombosit biasanya hanya menunjukkan sedikit penurunan, namun masa perdarahan
diperpanjang, selain agregasi trombosit berada pada batas abnormal. Secara klinis, pasien
mungkin disertai dengan petekiae, purpura dan peningkatan kecenderungan untuk mengalami
perdarahan selama operasi. Rawatan biasanya hanya dibutuhkan apabila pasien menunjukkan
gejala. Peningkatan nilai hematokrit sebanyak 30% dapat mengurangi masa perdarahan pada
pasien dengan haemoglobin yang sangat rendah (<10g/dL) karena sifat reologik sel darah
merah dalam plasma.8 Dialisis dapat mengurangkan masa perdarahan namun tidak
mengembalikannya ke batas normal
30 | P a g e
E. Komplikasi neurologik
Ensefalopati uremik biasanya tidak terjadi sampai LFG turun di bawah 10-15ml/menit.
Ensefalopati mungkin disebabkan oleh agregasi dari toksin ureum. Hiperkalsemia adalah
antara penyebab ensefalopati, namun jarang. Gejala dimulai dengan kesulitan pasien dalam
berkonsentrasi, seterusnya berlanjut kepada kelesuan, kebingungan dan koma. Kelainan fisik
yang dapat ditemukan termasuklah nistagmus, kelemahan, asteriksis dan hiperrefleksia.
Gejala-gejala dan simtom-simtom ini dapat berkurang setelah dilakukan dialisis. Neuropati
ditemukan pada 65% dari pasien yang melakukan dialisis, serta dapat mengakibatkan
impotensi dan gangguan fungsi otonom.
F. Kelainan metabolisme mineral
Osteomalasia
Osteomalasia adalah satu bentuk osteodistrofi ginjal dengan perbaikan tulang yang rendah
(low bone turnover), mempengaruhi ~10% dari pasien yang mendekati ESRD. Dengan
memburuknya fungsi ginjal, terdapat penurunan konversi 25-hidroksikolekalsiferol kepada
bentuk 1,25 dihidroksikolekalsiferol.8 Penyerapan kalsium usus berkurang, menyebabkan
hipokalsmeia dan mineralisasi tulang yang abnormal. Deposisi aluminium pada tulang juga
dapat menyebabkan osteomalasia. Peningkatan nilai aluminium dalam darah dapat dilihat
pada pasien yang mengkonsumsi aluminium hidroksida selama bertahun-tahun sebagai
pengikat fosforus.
G. Kelainan endokrin
Kadar insulin dalam sirkulasi darah adalah lebih tinggi karena terdapat penurunan bersihan
insulin ginjal. Intoleransi terhadap glukosa dapat terjadi pada pasien gagal ginjal kronik
apabila LFG kurang dari 10-20 mL/menit. Hal ini terutamanya disebabkan oleh resistensi
insulin perifer. Kadar glukosa puasa biasanya normal atau sedikit meningkat. Oleh karena itu,
pasien dapat mengalami hiperglikemia atau hipoglikemia tergantung pada gangguan yang
dominan. Namun, secara umumnya pasien gagal ginjal kronik dengan diabetes memerlukan
penurunan dosis obat hipoglikemik.
Penurunan libido dan impotensi dapat berlaku pada penyakit ginjal kronik. Pasien pria
biasanya mengalami penurunan kadar testosteron manakala wanita sering mengalami
31 | P a g e
anovulasi. Meskipun tingkat infertilitas adalah tinggi, kehamilan masih dapat terjadi,
terutama pada pasien wanita yang menjalani dialisis dengan baik di samping pemberian gizi
yang mencukupi. Kematian janin mencapai 50%. Oleh karena itu, wanita yang tidak ingin
hamil disarankan untuk melakukan kontrasepsi. Transplantasi ginjal dengan fungsi alograf
yang stabil mempunyai kesempatan yang terbaik untuk sukses dalam kehamilan.
PENCEGAHAN
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik.
A.Mencegah penyakit ginjal pada penderita diabetes mellitus
1)Turunkan tekanan darah4
Banyak kemajuan dalam pengobatan untuk memperlambat onset dan progresi penyakit ginjal,
pada penderita diabetes. Obat untuk menurunkan tekanan darah dapat memperlambat
progresi penyakit ginjal secara signifikan. Dua jenis obat angiotensin-converting enzyme
(ACE) inhibitors dan angiotensin receptor blockers (ARBs), terbukti efektif memperlambat
progresi penyakit ginjal. Walau tidak ada perbandingan secara langsung antara ACE
inhibitors dan ARB, American Diabetes Association dalam guideline (2011) menganjurkan :
a) Pada pasien dengan diabetes tipe 1, dengan hipertensi dan albuminuria, ACE inhibitors diketahui dapat menunda progresi nefropati.
b) Pada pasien dengan diabetes tipe 2, hipertensi danmikroalbuminuria, ACE inhibitors dan ARB, dapat menunda progresi makroalbuminuria.
c) Pada pasien dengan diabetes tipe 2, hipertensi, makroalbuminuria dan insufisiensi ginjal (kreatinin serum .1,5 mg/dL), ARB diketahui dapat memperlambat progresi nefropati.
2) Kurangi protein
Mengurangi asupan protein, penting pada penderita diabetes dengan penyakit ginjal kronis.
ADA menganjurkan untuk menurunkan asupan protein sampai 0,8-1,0 g/kgBB/hari pada
penderita diabetes dan penyakit ginjal kronis stadium awal. Untuk penderita penyakit ginjal
stadium akhir adalah 0.8 g/kgBB/hari. Hal ini dapat memperbaiki fungsi ginjal.
3) Kontrol gula darah intensif
Pengelolaan glukosa darah dengan intensif adalah regimen pengobatan, yang ditujukan untuk
mempertahankan glukosa darah mendekati normal. Pada pasien diabetes dengan gagal ginjal
32 | P a g e
lanjut, dinasihatkan untuk menggunakan insulin bagi mengurangkan terjadinya hipoglikemia
yang dapat terjadi jika menggunakan obat.
B. Mencegah komplikasi penyakit ginjal kronik pada penderita hipertensi
Hal penting yang harus dilakukan adalah mengukur tekanan darah secara rutin dan
mempertahankannya pada batas ideal, yakni di bawah 130/80 mmHg. Jika ada proteinuria,
targetnya bisa lebih rendah lagi. Pada beberapa penderita, hipertensi bisa dikontrol dengan
terapi nonfarmakologi, yakni :
Diet rendah garam, banyak mengonsumsi sayuran, buah-buahan dan makanan rendah lemak
Mengurangi berat badan sehingga mencapai berat ideal
Beraktivitas fisik (olahraga) secara teratur
Menghindari produk tembakau dan alkohol
Membatasi asupan kafein
Tabel 20. Terapi nonfarmakologi pada hipertensi4
Pada banyak penderita, hal-hal tersebut di atas tidak mampu mengatasi hipertensi yang
mereka derita. Jika terjadi hal seperti ini, diperlukan bantuan obat-obatan untuk menurunkan
tekanan darah. Selain itu, pasien tetap harus melakukan perubahan gaya hidup.
PROGNOSIS
Pada umumnya, prognosis yang didapatkan pada pasien gagal ginjal kronik adalah buruk. Hal
ini karena pada akhirnya gagal ginjal kronik secara progresif akan menjadi lebih kronik tanpa
mengira rawatan yang diberikan. Pada pasien gagal ginjal dengan diabetes dan hipertensi
yang tidak terkontrol, progresifitas penyakit adalah lebih cepat. Pasien yang bertahan hidup
dengan tingkat kerusakan ginjal yang parah (ESRD) biasanya hanya bisa bertahan hidup
selama beberapa bulan jika tidak dirawat dengan baik, namun pasien dengan dialisis dapat
bertahan hidup dengan lebih lama.8 Namun, walaupun mendapat terapi dialisis, kebanyakan
pasien dengan ESRD meninggal dalam masa 5-10 tahun. Punca kematian terbanyak adalah
karena gangguan jantung (45%), pembuluh darah atau infeksi. Diabetes, usia, kadar serum
albumin yang rendah, latarbelakang sosioekonomi yang rendah, dan dialisis yang tidak
adekuat adalah semua prediktor signifikan untuk memprediksi bila akan terjadinya kematian.
Bagi pasien yang memerlukan dialisis untuk terus hidup namun enggan untuk mengikuti
terapi, kematian dapat terjadi dalam beberapa hari sehingga beberapa minggu.8
33 | P a g e
PENUTUP
1. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ren yang terdiri dari kapsula Bowman yang
mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus contortus proximal, lengkung Henle,
dan tubulus contortus distal yang mengosongkan diri ke ductus collectivus. Darah
yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di dalam glomeruli
kemudian di tubuli renalis zat yang masih diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi dan
zat-zat hasil sisa metabolisme tubuh mengalami sekresi bersama air membentuk urin.
2. Pasien berdasarkan skenario mengalami uremia, peningkatan kreatinin plasma,
hiperkalemia, takikardi, takipneu, hipertensi, anemia, dan asidosis metabolik. Hasil ini
menunjukan telah terjadi kelainan fungsi ginjal atau gagal ginjal yang disertai dengan
sindrom uremik.
3. Pasien menderita DM sejak 25 tahun yang lalu dan riwayat hipertensi tidak diketahui.
Kemungkinan gagal ginjal kronik yang dialami pasien disebabkan komplikasi DM
dan atau hipertensi. Apalagi pasien berobat tidak teratur. DM yang tidak terkontrol
merupakan salah satu faktor terjadinya nefropati diabetikum.
4. Dan telah diketahui bahwa hipertensi dan gagal ginjal membentuk suatu lingkaran
setan. Hipertensi dapat menyebabkan gagal ginjal, sebaliknya gagal ginjal kronik
dapat menimbulkan hipertensi. Karena alasan inilah, terkadang seorang ahli nefrologi
kadang mengalami kesulitan dalam menentukan mana yang primer.
KESIMPULANHipotesis diterima. Tuan T, berusia 60 tahun dengan sesak nafas sejak 2 hari yang lalu,
tampak bingung, muntah dan edema ekstremitas dengan riwayat kencing manis dan darah
tinggi menderita penyakit ginjal kronik yang disertai dengan diabetes melitus tipe II dan
hipertensi tahap 1.
34 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA1. Warrell DA, Cox TM, Firth JD, Benz MD. Chronic kidney disease. Oxford Textbook of
Medicine 2003 ; 4 : 2597-2606
2. University of Minnesota Medical Student Website. Normal lab values. Edisi 28 Mei
2006. Diunduh dari http://www.student.med.umn.edu/wardmanual/normallabs.php, 22
Oktober 2011
3. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 2009 ; 5 :1035-40
4. Efendi I. Penyakit ginjal terus mengintai. Ethical Digest Semijurnal Farmasi dan
Kedokteran 2005 ; 85 : 49-52
5. Arend WP, Armitage JO, Clemmons DR, Drazen JM, Grigss RC, Larusso N, et al.
Chronic Kidney Failure. Goldman : Cecil Medicine 2007 ; 23 : ebook
6. Siegentaler W. Nephrologic symptoms. Differential Diagnosis in Internal Medicine
From Symptom to Diagnosis 2007 ; 1 : 836-57
7. McPhee SJ, Papadakis MA. Chronic kidney disease, clinical findings, complications,
treatment and diagnosis. Current Medical Diagnosis and Treatment 2009 ; 48 : 803-09
8. The Merck Manual Home Health Handbook for Patients and Caregivers. Chronic kidney
failure, symptoms, diagnosis and prognosis. Edisi Oktober 2007. Diunduh dari
http://www.merckmanuals.com/home/kidney_and_urinary_tract_disorders/
kidney_failure/chronic_kidney_failure.html, 23 Oktober 2011
35 | P a g e