makalah reformasi keu daerah.docx
TRANSCRIPT
1. PENDAHULUAN
Reformasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:
“Perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik,
ekononomi, agama, dll) di suatu masyarakat atau negara. Menurut
Wikipedia Indonesia reformasi secara umum berarti perubahan terhadap
suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Sehingga dapat
disimpulkan reformasi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
daerah yaitu perubahan terhadap sistem dalam melakukan proses dan
mempertanggungjawabkan keuangan daerah dari sistem yang telah ada
ke sistem yang disempurnakan.
Ere reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan tahun 1998,
tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998
dan digantikan wakil presiden BJ. Habibie. Maka seluruh aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara mengikuti arus reformasi tersebut.
Begitupun era reformasi telah membuka wacana perubahan manajemen
keuangan pemerintah. Reformasi tersebut awalnya dilakukan dengan
mengganti Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Pemerintahan di Daerah dengan UU Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 25 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah serta aturan
pelaksanaannya khususnya Peraturan Pemerintah nomor 105 Tahun
2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
yang menggantikan UU Nomor 32 Tahun 1956 mengenai keuangan
negara dan daerah maka terhitung tahun anggaran 2001 , telah terjadi
pembaharuan didalam manajemen keuangan.
UU Nomor 22 Tahun 1999 tersebut berisi mengenai perlunya
dilaksanakan otonomi daerah sehingga UU tersebut sering disebut
dengan UU Otonomi Daerah. Dengan adanya otonomi ini, daerah
diberikan kewenangan yang luas untuk mengurus rumah tangganya
sendiri dengan sesedikit mungkin campur tangan pemerintah pusat.
Pemerintah daerah (Pemda) mempunyai hak kewenangan yang luas
untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang dimilikinya sesuai
dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang didaerah.
Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah hal.
Pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2013 Pasal 3 meliputi kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah, asaz umum dan struktur Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), penyusunan rancangan APBD,
penetapan APBD bagi daerah yang belum memiliki Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD), pelaksanaan APBD, pembinaan dan pengawasan
pengelolaan keuangan daerah, kerugian daerah, dan pengelolaan
keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Pengelolaan keuangan
daerah harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang–
undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan dan bertanggungjawab
dengan memperhatikan azas keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk
masyarakat.
Perkembangan reformasi terus berlanjut dengan diterbitkan UU
Nomor 32 Tahun 2004 sebagai perubahan dan penyempurnaan UU
Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 33 sebagai perubahan dan
penyempurnaan UU Nomor 25 Tahun 1999. Akibatnya, sebagai
konsekuensi, peraturan perundangan dibawahnya juga harus
disesuaikan. Perubahan manajemen keuangan daerah akan diuraikan
dalam pembahasan berikut.
2. Pembahasan
2.1 Reformasi Keuangan Negara
Reformasi keuangan negara dimulai tahun 2003 dengan terbitnya
paket UU dibidang Keuangan Negara. Paket UU tersebut yaitu UU di
bidang Keuangan Negara. Paket UU tersebut yaitu UU No.17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara dan UU No.15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Ketiga paket UU ini mendasari pengelolaan keuangan negara mengacu
pada international best practices yaitu akuntabilitas berorientasi pada
hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan
keuangan negara dan pemeriksa keuangan oleh badan pemeriksa yang
bebas dan mandiri. Berbagai perubahan mendasar yang terjadi setelah
itu antara lain penerapan anggaran terpadu yang tidak lagi memisahkan
Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah hal.
anggaran rutin dan pembangunan. Pemerintah juga memperkenalkan
mekanisme pembiayaan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dimana utang
atau bantuan luar negeri dicatat sebagai penerimaan biaya yang mesti
dibayar kembali. Seluruh kegiatan entitas pemerintahan juga sedang
diupayakan untuk dibiayai dari sumber-sumber Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) dengan menertibkan dana non budgeter
pada setiap instansi.
Proses reformasi keuangan negara terus berlanjut dengan
diterbitkannya berbagai peraturan pelaksanaan seperti Sistem Akuntansi
dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat (Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005, Standar Akuntansi Pemerintah
(Peraturan Pemerintah (PP) No.24 Tahun 2005), dan pelaporan
Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (PP No. 8 Tahun 2006).
Diperkenalkan sistem pembukuan berpasangan (double entry) dan basis
akrual memungkinkan pemerintah untuk mulai menyusun Neraca.
Laporan pertanggung jawaban keuangan Pemerintah juga telah
diperjelas jenis, format, unsur dan mekanisme penyusunan dan
penyampaiannya. Laporan keuangan tersebut setidak-tidaknya terdiri
dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas (LAK)
dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) yang disusun secara
berjenjang mengikuti Standar Akuntansi Pemerintah. Laporan Keuangan
pemerintah pusat/daerah yang telah diperiksa oleh BPK harus
disampaikan kepada DPR/DPRD selambat-lambatnya 6 bulan setelah
berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
2.2.Reformasi Keuangan Daerah
Dalam manajemen keuangan daerah, reformasi ditandai dengan
pelaksanaan otonomi daerah. Untuk merealisasikannya pemerintah pusat
mengeluarkan dua peraturan yaitu UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Puat dan Daerah.
Setelah UU tersebut disahkan, pemerintah juga mengeluarkan
berbagai peraturan pelaksanaan, di antaranya:
1. PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan.
Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah hal.
2. PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
3. PP Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah.
4. PP Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban
Kepala Daerah.
5. Surat Mentri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tanggal 17
November 2000 Nomor 903/2735/SJ tentang Pedoman Umum
Penyusunan dan Pelaksanaan APBD tahun Anggaran 2001.
6. Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan,
Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata
Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanaja Daerah,
Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, serta
Penyusunan Perhitungan Angggaran Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
7. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
8. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, manajemen keuangan
daerah di era reformasi memiliki karakteristik yang berbeda dari
pengelolaaan keuangan daerah di era prareformasi, seperti:
1. Pengertian daerah adalah propinsi dan kota atau kabupaten. Istilah
pemda tingkat I dan II sera kotamadya tidak lagi digunakan.
2. Pengertian pemda adalah kepala daerah beserta perangkat lainnya.
Pemda yang dimaksud disini adalah badan eksekutif, sedang badan
legislatifnya adalah DPRD (Pasal 14 UU Nomor 22 Tahun 1999). Jadi,
terdapat pemisahan yang nyata antara lembaga legislatif dan
eksekutif.
3. Perhitungan APBD menjadi satu dengan pertanggungjawaban kepala
daerah (Pasal 5 PP Nomor 108 Tahun 2000).
4. Bentuk laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran terdiri
atas:
Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah hal.
a. Laporan Perhitungan APBD
b. Nota Perhitungan APBD
c. Laporan Aliran Kas
d. Neraca Daerah
Dilengkapi dengan penilaian kinerja berdasarkan tolak ukur rencana
strategi-renstra (Pasal 5 PP Nomor 108 Tahun 2000)
5. Pinjaman APBD tidal lagi masuk dalam pos Pendapatan (yang
menunjukkan hak pemda), tetapi masuk dalam pos Peneriman (yang
belum tentu menjadi hak pemda).
6. Masyarakat termasuk dalam unsur-unsur penyusun APBD, selain
pemda yang terdiri atas kepala daerah dan DPRD.
7. Indikator kinerja pemda tidak hanya mencakup:
a. Perbandingan antara anggaran dan realisasinya
b. Perbandingan antara standar biaya dan realisasinya
c. Target dan persentase fisik proyek tetapi juga meliput standar
pelayanan yang diharapkan.
8. Laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah pada akhir tahun
anggaran yang bentuknya adalah Laporan Perhitungan
APBD diabahas oleh DPRD dan mengandung konsekuensi terhadap
masa jabatan kepala daerah apabila mengalami penolakan dari DPRD.
9. Digunakannya akuntansi dalam pengelolaan daerah.
Diantara peraturan-peraturan tersebut diatas, peraturan yang
mengakibatkan adanya perubahan mendasar dalam pengelolaan
anggaran daerah (APBD) adalah PP Nomor 105/2000 dan Kepmendagri
Nomor 29 Tahun 2002. Perubahan mendasar tersebut adalah adanya
tuntutan akan akuntabilitas dan transparansi yang lebih besar dalam
pengelolaan anggaran. Secara umum, terdapat enam pergeseran dalam
pengelolaan anggaran daerah, yaitu:
a. Dari vertical accountability menjadi harizontal accountability.
Sebelum reformasi keuangan daerah, pertanggungjawaban atas
pengelolaan anggaran daerah lebih ditujukan pada pemerintah yang
lebih tinggi. Dengan adanya reformasi, pertanggungjawaban lebih
ditujukan kepada rakyat melalui DPRD.
Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah hal.
b. Dari traditional budget menjadi performance budget.
Proses penyusunan anggaran dengan sistem tradisional
menggunakan pendekatan inkremental dan “line item” dengan
penekanan pada pertanggungjawaban setiap input yang dialokasikan.
Reformasi keuangan daerah menuntut penyusunan anggran
menggunakan pendekatan pertanggungjawaban tidak sekedar pada
input, tetapi juga pada output dan outcome.
c. Dari pengendalian dan audit keuangan, ke pengendalian dan audit
keuangan serta kinerja.
Pada era prareformasi, pengendalian dan audit keuangan dan kinerja
telah ada, namun tidak berjalan dengan baik. Penyebab hal ini adalah
karena sistem anggaran tidak memasukkan kinerja. Pada era reformasi,
karena sistem penganggaran menggunakan sistem penganggaran
kinerja, maka pelaksanaan pengendalian dan audit keuangan serta
kinerja akan menjadi lebih baik.
d. Lebih menerapkan konsep value for money.
Penerapan konsep value for money lebih dikenal dengan konsep 3E
(Ekonomis, Efisien, dan Efektif). Artinya dalam mencapai maupun
menggunakan dana, pemda dituntut selalu menerapkan prinsip 3E
tersebut. Hal ini mendorong pemda untuk selalu memerhatikan tiap
rupiah dana yang diperoleh dan digunakan.
e. Penerapan konsep pusat pertanggung jawaban.
Penerapan pusat pertanggung jawaban dilakukan dengan
memperlakukan:
Dinas pendapatan sebagai pusat pendapatan (revenue center)
Pusat pendapatan adalah unit dalam suatu organisasi yang
presentasinya diukur dari kemampuannya dalam menghasilkan
pendapatan.
Bagian/Dinas keuangan sebagai pusat biaya (expense center)
Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah hal.
Pusat biaya adalah unit organisasi dalam suatu organisasi yang
prestasinya diukur dari kemampuannya mengefisienkan
pengeluaran
BUMD sebagai pusat laba (profit center).
Pusat laba adalah unit dalam suatu organisasi yang prestasinya
diukur dari perbandingan antara laba yang dihasilkan dengan
infestasi yang ditanamkan dalam unit organisasi tersebut.
f. Perubahan sistem akuntansi keuangan pemerintah.
Reformasi sitem akuntasi keuangan pemda merupakan “jantung” dari
reformasi keuangan daerah karena sistem inilah yang akan menghasilkan
output yang sesuai dengan PP Nomor 105 Tahun 2000. Sistem akuntansi
keuangan pemerintahan selama ini berjalan menggunakan sistem
pencatatan tungggal (single entry system) dengan basis pencatatan atas
dasar kas (cash basis). Di era reformasi keuangan daerah, sistem
pencatatan yang digunakan adalah sistem ganda (double entry system)
dengan basis pencatatan atas dasar kas modofikasi (modified cash basis)
yang mengarah pada basis akrual. Basis kas modifikasian diatur dalam
Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, sedang basis akrual diatur dalam
uu Nomor 1 Tahun 2004.
Salah satu pergeseran pengelolaan APBD berdasarkan PP Nomor 105
Tahun 2000 dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 serta aturan-
aturan penerusnya (penggantinya) adalah timbulnya perubahan sistem
akuntansi keuangan pemerintahan. Inti dari perubahan ini adalah
tuntutan dilaksanakan “akuntansi” dalam pengelolaan keuangan daerah
oleh pemda, baik provinsi maupun kabupaten/kota, bukan “pembukuan”
Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah hal.
seperti yang dilaksanakan selama ini. Hal ini disebabkan karena yang
terjadi pada era prareformasi adalah pembukuan yang belum bisa
dikatakan akuntansi.
Selanjutnya, reformasi terus berlangsung dan perubahan kembali
terjadi. Sejalan dengan diterbitkannya paket UU tentang Keuangan
Negara , yakni UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor
15 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara, maka sebagai konsekuensinya adalah penyesuaian dan
amandemen atas peraturan perundangan sebelumnya. PP yang
berpayung hukum dengan UU yang telah diamandemen tentu harus
menyesuaikan dan atau mengalami perubahan atau revisi. PP Nomor 105
Tahun 2000, misalnya, diganti dengan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah. Begitu juga dengan peraturan yang lebih
teknis, seperti Kemendagri Nomor 29 Tahun 2002, diganti dengan
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah. Kemudian dikeluarkan Permendagri Nomor 59 Tahun
2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah,
sebagai perubahan pertama. Selanjutnya dikeluarkan Permendagri
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Sesuai amanat UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, yang mengatur penggunaan basis akrual dalam sistem akuntansi
Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah hal.
keuangan pemerintah, maka saat ini dikeluarkan PP Nomor 71 Tahun
2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) sebagai penganti
PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang
menggunakan basis kas menuju basis akrual (cash toward accrual). Pada
PP Nomor 71 Tahun 2010 diamanatkan bahwa penggunaan basis akrual
dalam sistem akuntansi keuangan pemerintah, dilaksanakan paling
lambat tahun 2015. Untuk mendukung pelaksanaan PP Nomor 71 Tahun
2010, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 238
Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintah
(PUSAP).
Beberapa perubahan mendasar dalam peraturan perundangan
terbaru adalah dikenalkannnya kembali Bendahara Penerimaan dan
Bendahara Pengeluaran. Selain itu, pengelompokan jenis belanja lebih
menekankan pada belanja langsung dan belanja tidak langsung.
Penegasan perlunya penyusunan sistem akuntansi keuangan daerah juga
merupakan salah satu perubahan. Selain itu, penerapan konsep
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) atau Multi Terms
Expenditure Framework(MTEF) merupakan perubahan yang
dikehendaki.
Pasal 1 angka 33 Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 dan pasal
1 angka 35 Peraturan Menteri Dalam Negeri No13/2006
menyatakan: Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah adalah
pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan
keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih
dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya
Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah hal.
akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang
dituangkan dalam prakiraan maju.
Prakiraan maju (forward estimate) adalah perhitungan kebutuhan
dana untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan
guna memastikan kesinambungan program dan kegiatan yang telah
disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya.
Konsep yang juga tidak dapat dipisahkan adalah anggaran terpadu
(unified budgeting), yang didefinisikan sebagai penyusunan rencana
keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis
belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan
pada prinsip pencapaian efisiensi alokasi dana.
Namun dalam pelaksanaan reformasi keuangan tersebut masih
terdapat kendala seperti minimnya intensive pada fungsi akuntansi
satuan kerja (Satker) menyebabkan Sumber Daya Manusia berlatar
belakang akuntansi lebih cenderung memilih satker lain atau berkarir
diperusahaan swasta yang menjanjikan kompensasi yang tinggi.
Dukungan teknologi informasi berbasis komputer juga belum sinkron dan
masih perlu banyak penyempurnaan. Untuk menutupi kekurangan
tersebut banyak Pemda mengambil “jalan pintas” dengan menyewa
konsultan dalam rangka penyusunan Laporan Keuangan. Penggunaan
Konsultan menimbulkan perbedaan persepsi yang beragam karena
sebagian besar konsultan tidak memiliki latar belakang pengetahuan
tentang Pengelolaan Keuangan Negara.
Disamping itu penyusunan laporan keuangan secara instan
menyebabkan informasi keuangan tidak dapat ditelusuri ke dokumen
Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah hal.
sumber, tidak layak audit dan tidak dapat diperbandingkan dengan
Pemda lainnya.
Baik buruknya transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah
tercermin dari opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan
Keuangan Pemda. Sesuai dengan UU No.15 Tahun 2004 BPK dapat
memberikan 4 jenis opini yaitu :
1. Wajar Tanpa Pengecualian /WTP (Unqualified Opinion)
2. Wajar Dengan Pengecualian/WDP(Qualified Opinion)
3. Tidak Menyatakan Pendapat (Disclaimer Of Opinion)
4. Tidak Wajar ( Adverse Opinion)
Opini menunjukkan kesesuaian laporan keuangan tersebut dengan
Standar Akuntansi Pemerintah. BPK tidak menyatakan pendapat dalam
hal adanya pembatasan lingkup pemeriksaan, auditor tidak independen
dalam penugasan atau sistem pengendalian intern tidak dapat
diandalkan. Dari keempat jenis opini tersebut opini WTP (Unqualified
Opinion) merupakan yang terbaik sedangan opini Tidak Wajar (Adverse
Opinion ) merupakan kondisi terburuk.
Sekarang ini banyak hasil Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
(LKPD) menunjukkan bahwa masih banyak kelemahan sistem
pengendalian intern dan ketidakpatuhan kepada peraturan perundang-
undangan terkait pelaksanaan APBD.
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban keuangan Daerah belum
diselenggarakan dengan tertib, terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan (akuntabel). Diantara masalah yang paling
banyak ditemukan adalah .
1. Pertanggungjawaban keuangan tidak disertai bukti-bukti pengeluaran
yang lengkap, benar dan sah
2. Pembebanan anggaran yang tidak tepat
3. Penggunaan anggaran tidak hemat
Gambar 2.1 Perkembangan Opini LKPD Tahun 2007-2011
Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah hal.
Dengan adanya reformasi dalam segala hal, maka terjadi juga
peningkatan partisipasi masyarakat terhadap kehidupan bernegara,
dimana yang sebelumnya terkekang oleh penguasa. Partisipasi ini
menunjukan tuntutan masyarakat yang menginginkan adanya
peningkatan kualitas publik akan pelaporan keuangan oleh lembaga-
lembaga publik,baik lembaga pusat maupun daerah. Pada dasarnya
kualitas publik akan pelaporan keuangan,yaitu bebas dari kesalahan
Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah hal.
material, dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang tulus dan
jujur ( faithfull representative) dari yang seharusnya disajikan yang
secara wajar.
3. Kesimpulan
Era reformasi telah membuka wacana baru tehadap pengelolaan
keuangan daerah. Reformasi tersebut melahirkan perundang-undangan
dan peraturan-peraturan teknisnya untuk menjawab tantangan
pengelolaan keuangan yang lebih baik guna kemajuan bangsa.
Dengan adanya UU otonomi daerah maka daerah diberikan kewenangan
yang luas untuk mengelola sumber dayanya demi kepentingan
masyarakat. Namun kenyataan tidak selalu berbanding lurus dengan
harapan ini dibuktikan dengan hasil audit yang menghasilkan opini yang
diberikan BPK ternyata masih banyak daerah yang mengelola
keuangannya tidak sesuai dengan amanat undang-undang. Karena itu
Proses reformasi pengelolaan keuangan daerah masih merupakan
tanggung jawab yang diletakan dipundak kita sekarang untuk dikerjakan
sehingga kesejahteraan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat .
Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah hal.