makalah pengobatan mandiri
DESCRIPTION
NANANANATRANSCRIPT
MAKALAH PENGOBATAN MANDIRI
“BATUK”
Di susun oleh :
Rita Della Valentini 108114012
Rotua Winata Nopelia Silitonga 108114013
Francisca Devi Permata 108114015
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
1
DAFTAR ISI
Halaman Judul………………………………………………………………………….1
Daftar Isi………………………………………………………………………………..2
A. Definisi Batuk…………………………………………………………………..3
B. Mekanisme Batuk………………………………….……………………………3
C. Penyebab Batuk……………………………………….………………………...4
D. Jenis – Jenis Batuk………………………………………….…………………...5
E. Terapi
a. Terapi Non-Farmakologis……………………………..……………………..6
b. Terapi Farmakologis………………………………………………...……….6
DAFTAR PUSTAKA…………………………….……………………………………15
2
A. Definisi Batuk
Batuk merupakan mekanisme tubuh dalam merespon iritan yang masuk ke
dalam tenggorokan dan saluran pernapasan berupa dorongan udara yang kuat dari
dalam paru untuk mengeluarkan iritan tersebut (Djunarko, 2011).
Batuk merupakan mekanisme refleks yang sangat penting untuk menjaga jalan
napas tetap terbuka (paten) dengan cara menyingkirkan hasil sekresi lendir yang
menumpuk pada jalan napas. Tidak hanya lendir yang akan disingkirkan oleh refleks
batuk tetapi juga gumpalan darah dan benda asing. Namun, sering terdapat batuk yang
tidak bertujuan untuk mengeluarkan lendir maupun benda asing, seperti batuk yang
disebabkan oleh iritasi jalan napas. Jalan napas dapat menjadi hiperaktif sehingga
hanya dengan iritasi sedikit saja sudah dapat menyebabkan refleks batuk. Daerah pada
jalan napas yang peka terhadap rangsangan batuk adalah laring, karina, trakea, dan
bronkus utama. Selain pada jalan napas, daerah yang juga dapat merangsang batuk
adalah pleura, membran timpani, dan terkadang iritasi pada visera juga menimbulkan
refleks batuk (Djojodibroto, 2007).
B. Mekanisme Batuk
Mekanisme batuk memerlukan adanya penutupan glottis dan peningkatan
tekanan intratoraks (sebagi elemen eksplosif). Jika terdapat kelumpuhan pita suara,
elemen eksplosif batuk tidak terjadi dan keadaan seperti ini disebut sebagai bovine
cough. Paralisis motorik pada laring biasanya disebabkan oleh terganggunya nervus
laringeus rekuren kiri, karena terdapat karsinoma bronkial pada region hilus kiri,
aneurisma aorta karena sifilis, karsinoma esophagus, karsinoma tiroid atau dapat juga
karena adanya pembengkakan mediastinum (mediastinal swelling) (Djojodibroto,
2007).
Batuk merupakan suatu refleks kompleks yang melibatkan banyak sistem
organ. Batuk akan terbangkitkan apabila ada rangsangan pada reseptor batuk yang
melalui saraf aferen akan meneruskan impuls ke pusat batuk tersebar difus di medula.
Dari pusat batuk melalui saraf eferen impuls diteruskan ke efektor batuk yaitu
berbagai otot respiratorik (Phelan, 1994, Irwin, 1998). Bila rangsangan pada reseptor
batuk ini berlangsung berulang maka akan timbul batuk berulang, sedangkan bila
rangsangannya terus menerus akan menyebabkan batuk kronik. Anatomi refleks
batuk telah diketahui secara rinci. Reseptor batuk terletak dalam epitel respiratorik,
tersebar di seluruh saluran respiratorik, dan sebagian kecil berada di luar saluran
respiratorik misalnya di gaster. Lokasi utama reseptor batuk dijumpai pada faring,
3
laring, trakea, karina, dan bronkus mayor. Lokasi reseptor lainnya adalah bronkus
cabang, liang telinga tengah, pleura, dan gaster (Chung, 2003, Cloutier, 1994). Ujung
saraf aferen batuk tidak ditemukan di bronkiolus respiratorik ke arah distal. Berarti
parenkim paru tidak mempunyai resptor batuk (Irwin, 1998). Reseptor ini dapat
terangsang secara mekanis (sekret, tekanan), kimiawi (gas yang dapat bermanifestasi
sebagai batuk). Sebagian besar etiologi berasal dari sistem respiratorik, namun tidak
boleh dilupakan kelainan atau penyakit dari sistem lain yang memberikan gejala
batuk. Untuk mendeteksi etiologi batuk, pemahaman tentang mekanisme batuk,
termasuk lokasi reseptor batuk sangat penting diketahui. Ingat bahwa batuk kronik
juga dapat disebabkan oleh kelainan atau penyakit di luar sistem respiratorik.
Batuk merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada infeksi jalan
napas atas. Jika batuk tidak hilang selama tiga minggu sebaiknya dilakukan
pemeriksaan foto bronkus untuk menentukan kemungkianan adanya tuberkulosis,
karsinoma bronkus atau penyakit paru lain. Batuk juga terjadi pada perokok yang
biasanya menganggap batuknya sebagai ‘batu normal’ (Djojodibroto, 2007).
C. Penyebab Batuk
Batuk adalah reaksi protektif normal terhadap iritasi tenggorokan atau paru-
paru. Pada bayi usia di bawah 6 bulan, batuk adalah hal yang tidak wajar dan bisa
menandakan ada infeksi serius diparu-paru bila si bayi tampak tidak sehat. Pada anak
yang lebih besar, kebanyakan batuk disebabkan infeksi ringan tenggorokan atau
saluran pernafasan atas, misalnya pilek. Hidung berlendir bisa menyebabkan batuk,
terutama di malam hari karena lendir turun melalui belakang tenggorokan dan
menimbulkan iritasi. Batuk dimalam hari, walaupun tidak disertai bengek, bisa
merupakan gejala asma, dan harus diperiksakan bila membuat anda cemas (Smith,
20005).
Refleks batuk dapat ditimbulkan oleh :
1) Mekanik : stimulasi pada reseptor iritan pada epitel permukaan saluran napas,
oleh debu, asap, distorsi saluran napas, fibrosis paru, atelektasis atau massa
intrabronkial.
2) Proses inflamasi : seperti post nasal drip, refluks gastro esophageal, laryngitis,
trakeobronkritis.
3) Stimulasi psikogenik : rangsangan psikogenik dapat meningkatkan batuk
karena stimulasi mekanis dan inflamasi.
4
(Djojodibroto, 2007).
Jika ditemukan gejala batuk maka perlu dicermati :
1. Apakah rangsangan batuknya pada rongga dada, nasofaring,atau telinga.
2. Telah berapa lama
3. Kapan terjadinya, siang hari, malam hari atau keduanya
4. Batuk berlangsung persisten atau intermiten
5. Apakah menimbulkan rasa nyeri
6. Apakah terdapat kemungkinan bahwa batuk disebabkan oleh benda asing yang
masuk ke dalam sistem pernapasan (Djojodibroto, 2007).
D. Jenis-Jenis Batuk
Menurut lamanya, batuk dibagi menjadi 2 jenis :
1. Batuk akut (<3 minggu)
2. Batuk kronik (> 3 minggu)
Secara umum, batuk dibedakan menjadi 2 jenis batuk, yaitu :
5
1. Batuk produktif (dengan dahak) merupakan suatu mekanisme perlindungan
dengan fungsi mengeluarkan zat-zat asing (kuman, debu, dsb) dan dahak dari
batang tenggorokan. Batuk ini pada hakekatnya tidak boleh ditekan oleh obat
pereda. Tetapi dalam praktek sering kali batuk yang hebat menggangu tidur dan
meletihkan pasien ataupun berbahaya, misalnya setelah pembedahan. Untuk
meringankan dan mengurangi frekuensi batuk umunya dilakukan terapi
simtomatis dengan obat-obat batuk (antitussiva), yaitu zat pelunak, ekspektorasia,
mukolitika, pereda batuk (Tjay, 2007).
2. Batuk non-produktif bersifat “kering” tanpa adanya dahak, misalnya pada batuk
rejan (pertussis, kibkhoest), atau juga karena pengeluarannya memang tidak
mungkin, seperti pada tumor. Batuk menggelitik ini tidak ada manfaatnya,
menjengkelkan dan sering kali menggangu tidur. Bila tidak diobati, batuk
demikian akan berulang terus karena pengeluaran udara cepat pada waktu batuk
akan kembali merangsang mukosa tenggorakan dan faring (Tjay, 2007).
E. Terapi
a. Terapi Non-Farmakologis
Minum banyak cairan (air putih atau sari buah), jangan minum soda atau
kopi
Berhenti merokok
Hindari makanan yang merangsang batuk (berminyak atau dingin)
Hindari penyebab-penyebab alergi (udara dingin dan debu)
Tutup dengan tisu atau saputangan apabila batuk (Djunarko, 2011)
Hal-hal lain yang dapat dilakukan :
Inhalasi uap air (mendidih), dihirup untuk memperbanyak secret yang
diproduksi di tenggorokan.
Untuk meningkatkan efek inhalasi sering dibubuhkan minyak atsiri
atau mentol pada air mendidih , agar uapnya turut dihirup dan
menimbulkan vasodilatasi serta perasaan lega di saluran napas (Tjay,
2007).
b. Terapi Farmakologis
1. Untuk batuk berdahak (produktif) digunakan obat obat-obatan golongan
mukolitik yang berfungsi sebagai pengencer dahak dan ekspektoran yang
6
berfungsi untuk membantu mengeluarkan dahak, zat pelunak dan pereda
batuk.
Zat pelunak batuk (emolliensia, L. mollis = lunak), yang memperlunak
rangsangan batuk, melumas tenggorokan agar tidak kering dan
melunakkan mukosa yang teriritasi. Untuk tujuan ini banyak
digunakan sirop (Thymi dan Altheae), zat-zat lender (Infus Carrageen)
dan gula-gula seperti drop (akar manis, succus liquiritiae), permen,
pastilles hisap (memperbanyak sekresi ludah).
Golongan Mukolitik
Terdiri dari kandungan asetilsistein, mesna, bromheksin dan
ambroksol. Zat-zat ini berdaya, merombak dan melarutkan dahak
sehingga viskositasnya dikurangi dan pengeluarannya dipermudah.
Lendir memilki gugus-sulfhidril (-SH) yang saling mengikat
makromolekulnya. Senyawa-sistein dan mesna berdaya membuka
jembatan-disulfida ini. Bromheksin dan ambroksol bekerja dengan
jalan memutuskan “serat-serat” (rantai panjang) dari
mucopolysaccharida. Mukolitika digunakan dengan efektif pada batuk
dengan dahak yang kental sekali, seperti pada bronchitis, emfisema,
dan mucoviscidosis (= cystic fibrosis) (Tjay, 2007).
a. Asetilsistein (Fluimucil®), Mesna (Mistabronco®)
Penggunaan terapi :
1. Mukolitik pada penyakit jalan pernapasan
2. Mukovisidosis
3. Asetilsistein : antidot pada keracunan dengan parasetamol;
Akhrilnitril dan Metakrilnitril; Metil bromida, mencairkan
dahak yang liat, berdaya antioksidan, memperbaiki bulu getar
(cilia) dan membantu efek antibiotika
Dosis : oral 3-6 dd 200 mg atau 1-2 dd 600 mg granulat, anak-anak
2-7 tahun 2 dd 200 mg, di bawah 2 tahun 2 dd 100 mg.
Farmakodinamika :
7
Mekanisme kerja : pengurangan viskositas mucus bronchial karena
pemutusan jembatan-jembatan disulfida secara reduksi pada bagian
protein dari glikoprotein.
Penggunaan secara inhalasi, hanya asetilsistein per oral.
Efek samping :
1. Gangguan GI, alergi, bronkospasme (pada penderita asma)
2. Asetilsistein : rhinitis, stomatitis
3. Mesna : pewarnaan kuning pada gigi
Kontraindikasi :
1. Asetilsistein : Awas: Penggunaan pada neonatus hanya dengan
indikasi vital.
2. Mesna : status asmatikus, asma tanpa pengumpulan dahak,
kelemahan ekstrem atau hambatan lain untuk mengeluarkan
batuk (hanya bila ada kemungkinan aspirasi bronkus)
Interaksi : Asetilsistein : karena gangguan absorpsi, Tetrasiklin dan
Sefalosporin hanya boleh diberikan dengan jarak waktu 2 jam.
b. Karbosistein (Transbrochin®)
Merupakan derivate dengan daya mukolitis yang lebih lemah dan
penggunaan yang sama. Mungkin efeknya terhadap lambung lebih
jarang terjadi. Plasma – t1/2 –nya 2 jam
Efektivitasnya masih sangat diragukan, dikatakan dapat
mengencerkan dan memperbanyak sekret bronkial, namun
sebagian hanya merupakan plasebo.
Dosis : oral 3-4 dd 750 mg, anak-anak 3 dd 100-375 mg.
Efek samping : nyeri kepala, gangguan GI, alergi
Tidak boleh diberikan apabila ada kecenderungan tukak lambung
c. Bromheksin (Bisolvon®), Ambroksol (Mucosolvan®)
Pengguanaan terapi :
8
1. Sekretolitik pada infeksi jalan pernapasan yang akut dan kronis
serta pada penyakit paru dengan pembentukan mukus
berlebihan.
2. Mucosolvan Amp : Sindrom krisis pernapasan pada bayi
premature dan neonates untuk menstimulasi zat-zat yang
bekerja aktif pada permukaan (surfaktan) di alveoli.
3. Bila digunakan per inhalasi efeknya sudah tampak setelah 20
menit, sedangkan bila per oral baru setelah beberapa hari
dengan berkurangnya rangsangan batuk.
4. Dalam hati zat ini dirombak praktis tuntas menjadi metabolit
aktif ambroxol yang juga digunakan sebagai mukolitikum.
Farmakodinamika :
Efek-efek : pengurangan viskositas dahak, stimulasi pada sekresi;
gerakan siliar; pembentukan surfaktan, mungkin perbaikan
penangkalan imunologis setempat.
Efek samping : jarang alergi : keluhan lambung-usus, perasaan
pusing dan berkeringat. Pada inhalasi dapat terjadi
bronchokontriksi ringan.
Farmakokinetika :
Absorpsi oral
Ikatan protein plasma
T ½ Eliminasi
Bromheksin 100 % 99 % 1 jam Ginjal (metabolit)
Ambroksol 100 % 90 % 9 jam (metabolit
aktif)
Ginjal (metabolit)
Dosis bromheksin:
dewasa : 8-16 mg diminum 3-4 x sehari 1 tablet
anak-anak (5-10 tahun) : 4 mg diminum 2 x sehari, apabila
perlu (apabila batuk) (Djunarko, 2011).
Golongan ekspektoran
9
Terdiri dari kandungan minyak terbang, guaikol, radix Ipeca (dalam
tablet/ pulvis Doveri), dan ammonium klorida (dalam Obat Batuk
Hitam). Zat-zat ini memperbanyak produksi dahak (yang encer) dan
dengan demikian mengurangi kekentalannya, sehingga mempermudah
pengeluarannya dengan batuk. Mekanisme kerjanya adalah
merangsang reseptor-reseptor di mukosa lambung yang kemudian
meningkatkan kegiatan kelenjar-sekresi dari saluran lambung-usus dan
refleks memperbanyak sekresi dan kelenjar yang berada di saluran
napas. Kegiatan ekspektoransia dapat dipicu dengan meminum banyak
air (Tjay, 2007).
a. Air, larutan NaCl 0,7-2 %, larutan NaHCO3 2-5 %
1. Efek ekspektoran tercapai dengan jalan inhalasi (larutan
hipertonis atau isotonis)
2. Pengenceran sekret bronkial secara langsung atau osmotik
3. Bahaya bronkospasmus pada orang yang peka, pasien asma
b. Guaifenesin (Gufen®), Guaiakolat (Anastil®)
1. Merangsang selaput lendir lambung, sehingga sekresi bronkial
naik melalui refleks parasimpatik
2. Guaifenesin, eter gliserin dari guaikolat, masih dapat terdapat
dalam banyak sediaan kombinasi, misalnya Cito-Guaikalin®
Sirup Obat Batuk, efektivitas klinisnya memang masih di
ragukan.
Dosis Gliseril Guaikolat atau Guaifenesin:
dewasa : 100 mg diminum 3 x sehari
anak-anak (6-12 tahun) : 50 - 100 mg diminum 3 x sehari
anak-anak (2-6 tahun) : 50 mg diminum 3 x sehari (Djunarko,
2011).
Efek samping : sedasi, gangguan GI, muntah yang dapat dikurangi
bila diminum dengan segelas air.
c. Minyak atsiri, simplisia yang mengandung saponin
1. Pada batuk : minyak atsiri yang berkhasiat mengandung Adas
wangi, Adas, Eukaliptus, Menthae piperitae, Salvia dan Timi.
10
2. Cara kerja : ekspektorasia dengan stimulasi sekresi langsung
dan efek rangsangan nonspesifik terhadap mukosa, sebagian
antiseptik, mengendorkan kejang, anestetik lokal.
3. Simplisia yang mengandung saponin: akar Senegal, bunga
Primula veris, kayu manis.
4. Minyak atsiri/ terbang banyak digunakan dalam sirop batuk
atau juga sebagai obat inhalasi uap (obat sedot)
5. Efek : merangsang mukosa GI, sehingga melalui refleks vagal
terjadi stimulasi kelenjar lendir di bronki.
d. Amoniumklorida (NH4Cl), Kalium iodide (KI)
1. Penimbunan ion-ion di sel-sel yang memproduksi lendir di
selaput lendir bronkial dan stimulasi sekresi langsung
2. Amoniumklorida : berdaya diuretic lemah yang menyebabkan
acidosis, yakni kelebihan asam dalam darah. Keasaman darah
merangsang pusat pernapasan, sehingga frekuensi napas
meningkat dan gerakan bulu getar (cilia) di saluran napas
distimulasi. Sekresi dahak juga menungkat. Maka senyawa ini
banyak digunakan dalam sediaan sirop batuk, misalnya Obat
Batuk Hitam.
Dosis : oral 3-4 dd 100-500 mg, maksimal 3 g sehari.
3. Kalium iodida : iodida menstimulasi sekresi mukus di cabang
tenggorakan dan mencairkannya, tetapi sebagai obat batuk
(hampir) tidak efektif. Namun, obat ini banyak digunakan
dalam sediaan batuk, khususnya pada asma, meskipun resiko
akan efek samping besar sekali.
Dosis: pada batuk oral 3 dd 0,5-1 g, maksimal 6 g sehari. Bagi
pasien yang tidak boleh diberikan KI, obat ini dapat dganti
dengan Natriumiodida dengan khasiat yang sama.
Efek samping tidak boleh diabaikan :
NH4Cl : muntah, haus, nyeri kepala, linglung; dosis lebih
tinggi: asidosis dengan hiperventilasi; pemakain jangka
panjang; hipokalemia.
11
KI : gangguan pada kelenjar tiroid, struma, urticaria dan
iod-akne dan hiperkalimea (pada fungsi gunjal buruk).
e. Emetin
1. Pada dosis rendah (0,5-2 mg, sebagai emetic 20-30 mg) melalui
refleks vagal bekerja sebagai ekspektoran
2. Satu-satunya sediaan Ekspektoran Solucampher® tidak lagi
diperdagangkan, yang masih tersedia hanya sebagai Siripus
Ipecacuanhae.
(Schmitz, 2008).
2. Untuk batuk kering (non-produktif) digunakan obat-obatan golongan antitusif
yang berfungsi sebagai penekan batuk.
Klasifikasi antitusif :
a. Antitusif yang bekerja sentral
Memiliki efek meredam pada pusat batuk di medulla oblongata.
Opoid
Noskapin (Capval®)
Penyakit jalan pernafasan yang akut, kronis; batuk iritasi, batuk
rejan, asma bronkial; tindakan prabedah dan pascabedah,
bronkoskopi pada fraktur tulang rusuk.
Dosis : oral 3-4 kali sehari 15-50 mg, maksimal 250 mg.
Farmakodinamik :
Efek-efek : antitusif sentral; alkaloid opium tanpa efek
analgesik, sedatif maupun adiktif, merangsang lemah pada
pernafasan, bronkodilator.
Efek samping :
Kadang-kadang nyeri kepala, nausea, linglung, vertigo,
eksantem.
Kontraindikasi :
Kehamilan, masa menyusui (Schmitz, 2008).
Dekstrometorfan (Arpha Sirup Obat Batuk, Wick Formel
44 Penekan Batuk)
Bekerja dengan menekan pusat batuk di otak dan membantu
meringankan batuk kering.
Dosis Dekstrometorphan HBr :
12
odewasa : 10-20 mg diminum 3 x sehari 1 tablet, jika perlu.
o anak-anak (2-6 tahun) : 3-4 kali sehari 8 mg
o anak-anak (6-12 tahun) : 5-10 mg diminum 3 x sehari,
jika perlu (jika batuk).
Dalam bentuk sirop Dekstrometorphan HBr tersedia dalam
dosis 10 mg/5 ml sirop. Dosis untuk anak-anak (6-12 tahun)
2,5-5 ml (1/2 – 1 sendok takar). Dosis untuk dewasa 5 – 10 ml
jika perlu diminum 3 x sehari.
Pemakaian Dekstrometorphan HBr berlebihan dapat
menyebabkan penurunan refleks bernapas.selain itu, tidak
digunakan untuk menangani batuk berdahak karena
dikhawatirkan dengan menekan batuk, dahak yang ada di
saluran pernapasan tidak dapt dikeluarkan dan akan membuat
penderita sulit bernapas (Djunarko, 2011).
Penggunaan terapi : batuk merangsang (menyerupai kejang)
Farmakodinamika :
Efek: derivate morfin sintetik dengan efek antitusif sentral
Farmakokinetika :
Lama kerja
Absorpsi oral
Metabolisme Eliminasi
Dekstrometorfan Dewasa 5-6 jam,Anak-
anak 6-9 jam
Baik Ya Ginjal (metabolit)
Efek samping :
1. Kadang-kadang rasa lelah, vertigo, mual, pengurangan
nafsu makan, keluhan lambung-usus, muntah
2. Tidak menyebabkan ketergantungan
Interaksi :
13
1. Zat penghambat MAO, keadaan emosional dan hiperpireksi
2. Obat penekan sentral : saling menguatkan efek
Kontraindikasi : asma bronkial, kerusakan hati (Schmitz, 2008).
b. Antitusif yang bekerja sentral dan/ atau perifer
Penghambatan terhadap penerimaan rangsang pada ujung saraf yang
sensitive atau hantaran rangsang di serabut saraf aferen; selain itu, efek
antitusif sentral terdapat dalam kekuatan yang berbeda-beda
Secara kimia, obat ini termasuk golongan yang sangat beragam. Banyak di
antaranya selain berefek antitusif juga mengandung komponen
bronkospasmolitik, analgetik lemah atau lokal anestetik.
Emolliensia
Serbuk yang berwarna hitam ini diperoleh dari ekstrak akar tumbuhan
Glycyrrhiza glabra (akar manis). Banyak digunakan sebagai salah satu
komponen dari sediaan obat batuk guna mempermudah pengeluaran
dahak dan sebagai bahan untuk memperbaiki rasa
Efek samping : pada dosis lebih tinggi dari 3 d sehari berupa nyeri
kepala, udema, dan terganggunya keseimbangan elektrolit, akibat efek
mineralkortikoid dan hipernatriemia dari asam glycyrrizinat.
Dosis: oral 1-3 g sehari.
Klobutinol (Silomat®)
Penggunaan terapi :
1. Batuk pada infeksi kataral ari saluran napas bagian atas
2. Untuk bronkoskopi juga i.v., i.m. atau s.k
Farmakodinamik :
Efek-efek :
1. Antitusif sentral, efek sekuat kodein
2. Tidak menyebabkan ketagihan, kelumpuhan pernapasan, sedasi
atau obstipasi
Farmakokinetik
Lama kerja Absorpsi oral Eliminasi
14
Klobutinol 4-56 jam Cepat dan lengkap 80 – 90 % di ginjal
Efek samping: jarang rasa lelah, vertigo, gangguan tidur, keluhan GI.
Toksisitas : pada overdosis dapat terjadi gejala perangsangan sentral,
konvulsi dan instabilitas peredaran darah.untuk terapi dianjurkan :
1. Pada kejang diazepam i.v.
2. Tindakan penunjang sirkulasi
3. Tindakan pengeluaran racun apabila yang ditelan dalam jumlah
yang besar : bilas lambung
Kontraindikasi : keahamilan trimester ke-1.
Pentoksiverin (Sedotussin®)
Penggunaan terapi : batuk, batuk rejan
Farmakodinamika :
Efek-efek : efek pada refluks batuk dengan jalan menekan ambang
rangsang di pusat rangsang batu. Selain itu, juga bekerja bronkodilator
lemah.
Efek samping : kadang-kadang sedative, keluhan GI, alergi
Kontraindikasi :
1. Masa menyusui
2. Neonates dan bayi berusia dibawah 4 bulan
Interaksi : penguatan efek sedasi dari dan oleh obat yang menekan
sentral
Yang lain: Benproperin, Butetamat, Dropropizin, Natriumdibunat,
Okseladin, Pipazeta (Schmitz, 2008).
Daftar Pustaka
Chung, K., 2003, The clinical and pathophysiological challenge of cough. Dalam: Chung, K.F., Widdicombe, J., Boushey,H., Penyunting. Cough. Massachusetts: Blackwell Publishing,pp. 3-10.
Cloutier, M.M., 1994, Cough. Dalam: Loughlin GM, Eigen H. Penyuntings, Respiratory disease in children. Baltimore. Williams & Wilkins.
Djojodibroto, R. D., 2007, Respirologi (Respiratory Medicine), Penerbit Buku Kedokteran
15
EGC, Jakarta, pp. 53-55.
Djunarko, I. dan Y. Dian Hendrawati, 2011, Swamedikasi yang Baik dan Benar, PT. Citra Aji
Parama, Yogyakarta, pp. 34-37.
Irwin, R.S., dan Boulet, L.P, 7tier,M.M., 1998 , Managing cough as a defense mechanism and as a symptom, A consensus panel report of the American College of Chest Physicians. Chest, pp. 114:133S-181S.
Phelan PD. Cough. Dalam: Phelan PD, Olinsky A, Robertson CF, 1994, Penyunting Respiratory illness in children, Oxford: Blackwell S Publications
Smith, T. dan Sue Davidson, 2005, Dokter di rumah Anda, Dian Rakyat, Jakarta, pp. 108.
Tjay, T. H. dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan dan Efek
Sampingnya, Edisi ke enam, Gramedia, Jakarta, pp. 660.
16