makalah pengling
DESCRIPTION
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kuliah pengetahuan lingkunganTRANSCRIPT
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ i
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ....................................................................................................... 3
BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................................................... 4
A. Lahan gambut ......................................................................................................... 4
B. Lahan gambut di Riau dan sekitarnya ..................................................................... 5
C. Kebakaran di lahan gambut .................................................................................... 7
BAB III PEMBAHASAN .......................................................................................................... 8
A. Keanekaragaman Flora dan Fauna di lahan gambut............................................... 8
1. Keanekaragaman Flora di lahan gambut ............................................................ 8
2. Keanekaragaman Fauna di lahan gambut ......................................................... 11
B. Permasalahan lahan gambut ................................................................................ 12
1. Kebakaran lahan gambut .................................................................................. 12
2. Dampak Lingkungan .......................................................................................... 16
3. Penanganan lahan gambut ............................................................................... 18
C. Kehidupan Masyarakat Disekitar Lahan Gambut.................................................. 19
1. Sebelum Kebakaran .......................................................................................... 19
2. Setelah Kebakaran ............................................................................................ 22
BAB IV PENUTUP ............................................................................................................... 25
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 25
B. Saran ..................................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 27
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar. 1 Flora endemik di gambut .................................................................................. 8
Gambar. 2 Jenis flora di lahan gambut ............................................................................... 9
Gambar. 3 Contoh flora lahan gambut ............................................................................. 10
Gambar. 4 Contoh flora lahan gambut ............................................................................. 10
Gambar. 5 Fauna lahan gambut ........................................................................................ 11
Gambar. 6 Fauna lahan gambut ........................................................................................ 12
Gambar. 7 Alur proses kawasan edu-agrowisata gambut ................................................ 21
Gambar. 8 Efek pembakaran lahan gambut ..................................................................... 23
iii
DAFTAR TABEL
Tabel. 1 Komposisi tanah lahan gambut ........................................................................... 17
Tabel. 2 Kesejahteraan penduduk kawasan lahan gambut .............................................. 19
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati
yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan
keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya juga memiliki kekhasan dan
bahkan beberapa jenis tidak ditemukan pada habitat yang lain. Indonesia
merupakan salah satu “hot spot” keanekaragaman hayati dunia (Myers et al.
2000). Salah satu habitat yang memililki keunikan dan keanekaragaman hayati
yang tinggi adalah lahan gambut. Dalam skala regional, Indonesia memiliki area
gambut terluas yaitu berkisar 20-27 juta ha (Page et al. 2011), yang kaya akan
keanekaragaman hayati endemik dengan pusat keanekaragaman hayati tertinggi
berada di Kalimantan. Walaupun demikian, lahan gambut di Indonesia
mempunyai tingkat kerentanan dan ancaman yang tinggi akibat perubahan lahan
dari hutan ke penggunaan lain, kebakaran, perkebunan dan permukiman.
Meningkatnya ancaman terhadap kelestarian lahan gambut seperti kebakaran dan
konversi menjadi area perkebunan, menjadikan ancaman juga terhadap kelestarian
keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Pemerintah Indonesia berupaya
memberikan penyadaran kepada masyarakat mengenai pentingnya lahan gambut
yaitu diantaranya yang terbaru dengan menerbitkan PP No 71 tahun 2014 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Detail mengenai peraturan dan
perundangan terkait lahan gambut dibahas dalam topik A3 mengenai Status Legal
Lahan Gambut. Selain pemerintah, perhatian yang sama juga dilakukan oleh
lembaga swadaya masyarakat seperti Wetland International yang
mengkampanyekan kepada masyarakat mengenai pentingnya melakukan
penyelamatan keanekaragaman hayati di hutan gambut.
Keberadaan lahan gambut memiliki peranan yang sangat penting baik
dalam lingkup lokal, regional maupun global. Lahan gambut disamping memiliki
fungsi ekologis juga memiliki fungsi ekonomi dan sosial budaya. Fungsi ekologis
yang diperankan lahan gambut diantaranya menjaga keanekaragaman hayati,
2
penyimpan karbon, penghasil oksigen dan pengelolaan air. Sedangkan fungsi
ekonomi dan sosial budaya dari lahan gambut diantaranya sebagai penghasil kayu
dan non-kayu, penghasil ikan, jamur dan tanaman obat-obatan serta lebah hutan
penghasil madu untuk kebutuhan pangan masyarakat. Selain itu, beberapa jenis
tumbuhan juga dapat dimanfaatkan untuk restorasi dan rehabilitasi lahan gambut,
sumber penghidupan masyarakat, ekowisata serta tempat pendidikan dan
penelitian. Gambut memiliki keanekaragaman flora atau vegetasi yang tinggi
dengan jenis-jenis tumbuhan yang hanya mampu beradaptasi pada kondisi
ekosistem gambut. Studi mengenai keanekaragaman vegetasi di gambut telah
lama dilakukan bahkan tercatat sejak zaman kolonialisme Belanda yang dilakukan
oleh Ijzerman et al. pada tahun 1895. Dibandingkan dengan hutan hujan tropika
secara umum, keanekaragaman vegetasi di lahan gambut tergolong lebih rendah.
Walaupun demikian, keanekaragaman vegetasi di lahan gambut memiliki tingkat
proporsi yang lebih tinggi pada karakteristik spesiesnya dibandingkan ekosistem
lahan kering pada zona biogeografi yang sama. Keanekaragaman hayati di lahan
gambut, disamping memiliki peranan ekologis juga memiliki peranan ekonomi
dan sosial budaya bagi masyarakat. Ketergantungan masyarakat terhadap lahan
gambut dapat mencapai 80% yaitu lebih tinggi dibandingkan ketergantungannya
terhadap usaha pertanian. Hal tersebut karena lahan gambut memiliki
keanekaragaman hayati dengan nilai ekonomi tinggi.
B. Rumusan Masalah
1. Seperti apa kebakaran gambut itu?
2. Bagaimana kondisi kehidupan masyarakat di daerah Riau, sebelum
terjadi kebakaran?
3. Bagaimana kondisi kehidupan masyarakat disekitarnya , setelah terjadi
kebakaran?
4. Apa akibat dari kebakaran lahan gambut tersebut pada lingkungan
sekitar, Pencemaran udara, Pencemaran air, dan Pencemaran tanah?
5. Apa pengaruhnya terhadap ekosistem (populasi hewan & tanaman) di
daerah sekitar?
3
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui apa itu lahan gambut, kebakaran lahan gambut di daerah
Riau dan sekitarnya
2. Mengetahui keadaan lahan gambut dan kehidupan sosial masyarakat di
sekitar lahan gambut sebelum kebakaran
3. Mengetahui penanganan kebakaran lahan gambut
4. Megetahui Keadaan lahan gambut dan kehidupan sosial masyarakat di
sekitar lahan gambut pascakebakaran
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Lahan gambut
Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang terbentuk
oleh adanya penimbunan bahan organik dalam jangka waktu yang lama. Lahan
gambut merupakan area yang memiliki cadangan karbon yang sangat besar.
Luasan lahan gambut berdasarkan data BB Litbang SDLP (2008) adalah
18.317,589 ha meliputi tiga pulau utama di Indonesia. Luasan gambut di Pulau
Sumatera 6.244, 101 ha, luasan lahan gambut di Pulau Kalimantan 5.072,249 ha,
luasan lahan gambut di Papua 7.011,239 ha. Luasan tersebut menurut Agus dan
Subiksa (2008) totalnya menjadi 21 juta hektar apabila lahan gambut di Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan
Kalimantan Timur diperhitungkan. Pada wilayah-wilayah yang terlingkup area
gambut terdapat beberapa kabupaten yang memiliki angka kemiskinan di lebih
besar di atas angka rata-rata kemiskinan nasional yaitu 16 kabupaten di Sumatera,
2 Kabupaten di Kalimantan, dan 20 Kabupaten di Papua. Sementara ada 25
kabupaten di Sumatera dan 25 Kabupaten di Kalimantan yang memiliki angka
rata-rata kemiskinan lebih rendah dibanding angka kemiskinan nasional pada
tahun 2010. Angka kemiskinan nasional (BPS, 2010) sebesar 13,33 % dari total
penduduk Indonesia.
Fungsi ekologis lahan gambut dalam menjaga keanekaragaman hayati dan
keseimbangan lingkungan, dipengaruhi oleh karakteristik dari lahan gambut yang
merupakan ekosistem unik dengan pH asam, miskin hara, bahan organik yang
tebal dan selalu terendam air. Hal tersebut yang menjadikan lahan gambut
memiliki kekhasan keanekaragaman hayati karena hanya mendukung keberadaan
flora dan fauna tertentu yang mampu beradaptasi dengan kondisi habitat tersebut.
Kompleksitas ekosistem gambut tropika dapat disederhankan menjadi tiga
komponen utama yaitu karbon, biodiveritas dan air. Apabila kawasan gambut
terpelihara dan terjaga dengan baik, maka tiga komponen itu akan saling
5
mendukung keberadaannya. Pengelolaaan dan pemanfaatan yang tidak mengikuti
kaidah dasar ekosistem gambut, akan mengganggu ekosistem dalam skala lokal,
regional dan global melalui proses-proses terkait perubahan iklim. Gambut yang
merupakan lapisan dari kerak bumi, dengan kandungan karbon yang sangat besar
memiliki potensi mengancam perubahan iklim melalui pelepasan karbon akibat
pengeringan maupun kebakaran . Mengapa tiga komponen ini sangat penting di
lahan gambut ? Karena :
1. Air adalah sumber kehidupan masyarakat sekitar gambut
2. Biodiversitas yang terjaga baik membuktikan bahwa peran hutan
alam gambut berfungsi baik, tidak terjadi kebakaran dan
pemburuan satwa maupun ilegal loging
3. Carbon adalah penjaga peran bioclimate dan ecohydrological
ekosistem gambut.
B. Lahan gambut di Riau dan sekitarnya
Indonesia mempunyai luas lahan gambut 20,6 juta hektar yang merupakan
separuh dari luas lahan gambut di daerah tropika. Lahan gambut di Asia Tenggara
mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai habitat
flora dan fauna yang spesifik bernilai eknonomi tinggi, seperti ramin (Gonystylus
bancanus), jelutung (Dyera custulata), meranti , orang utan, dan lain-lain. Selain
itu juga menyimpan dan mengandung keanekaragaman hayati dan informasi ilmu
pengetahuan serta terbukti mempunyai peran penting ekologi dan kemampuan
menyimpan air dan karbon. Strategi yang telah dihasilkan dan dipersiapkan untuk
para pengambil kebijakan di Indonesia dalam pemanfaatan gambut secara
bijaksana (wise use) diformulasikan dalam restorasi dan rehabilitasi lahan gambut
yang terdegradasi sebagai akibat adanya drainase yang kurang diperhatikan secara
ekologis, pembalakan liar dan kebakaran gambut.Kebakaran gambut skalanya
terus meningkat. Laporan resmi akibat kebakaran hutan yang terjadi di Riau tahun
2014 mencapai Rp. 10 triliun; Cagar biosfir yang terbakar 2.398 Ha; Lahan
gambut terbakar 21.914 Ha; Masyarakat terserang infeksi saluran pernapasan
58.000 orang;Biaya pengendalian Rp. 15 milyar. Kerugian itu belum
6
memperhitungkan kawasan lain misalnya Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat,
Jambi, Palembang dan Aceh.
Kubah gambut di Kalimantan, Sumatera dan Papua diibaratkan waduk
yang dapat menyimpan jutaan kubik air berasal dari air hujan. Air itu mengalir
lewat sungai sepanjang tahun untuk kehidupan manusia. Keberlanjutan peran
gambut sebgai sumber air akan musnah apabila : disharmoni antara fungsi alami
gambut dan kegiaan manusia di sekitarnya, perubahan keragaman sistem ekonomi
peningkatan kegiatan pertanian, kehutanan, perkebunan di kawasan sekitar kubah
gambut. Selain itu disharmoni “bioclimate” di kawasan kubah gambut dan
penghargaan yang jauh menurun terhadap peran kubah gambut. Kini saatnya, kita
harus berani berpikir mengenai reposisi pemanfaatan gambut, terutama kubah
gambut: Pertama, reposisi aturan pemanfaatan gambut dan kubah gambut, kedua
reposisi nilai ekonomi air kubah gambut, ketiga reposisi pemanfaatan air gambut
dan kubah gambut. Kerusakan air gambut, yang terjadi akibat salah pemanfaatan,
ilegal loging di hutan gambut, pembangunan kanal yang serampangan di kawasan
kubah-kubah gambut, akan mempengaruhi habitat, kehidupan ekonomi dan sosial
manusia yang tinggal di kawasan gambut. Gambut yang merupakan lapisan dari
kerak bumi, dengan kandungan karbon yang sangat besar memiliki potensi
mengancam perubahan iklim melalui pelepasan karbon akibat pengeringan
maupun kebakaran.Suatu laporan yang disusun bersama UNEP; GEF; Wetlands
dan GEF menyimpulkan bahwa :
1. Gambut berperan penting sebagai sumber mata air tawar global
2. Kerusakan gambut akan menpengaruhi jutaan orang
3. Dampak nyata terhadap perubahan iklim
4. Pengelolaan air di lahan gambut adalah prioritasutama menurunkan
emisi karbon.
7
C. Kebakaran di lahan gambut
Kebakaran di lahan gambut biasanya diawali dengan penyulutan api di atas
permukaan tanah. Api akan bergerak ke segala arah, bawah permukaan, atas
permukaan, kiri, kanan, depan dan belakang. Penjalaran api ke bawah permukaan
yang membakar lapisan gambut dipengaruhi oleh kadar air lapisan gambut dan
tidak dipengaruhi angin sebagai kebakaran bawah (ground fire). Api akan
bergerak ke atas permukaan dipengaruhi oleh kecepatan dan arah angin sebagai
kebakaran permukaan (surface fire) dan bila mencapai tajuk pohon akan menjadi
kebakaran tajuk (crown fire) . Bagian pohon/ranting/semak yang terbakar dapat
diterbangkan angin dan jatuh ke tempat baru sehingga menyebabkan kebakaran
baru sebagai api loncat (spot fire/spotting). Sehingga kebakaran di lahan gambut
(peatland fire) dapat terdiri dari kebakaran bawah, kebakaran permukaan dan
kebakaran tajuk. Sedangkan kebakaran gambut (peat fire) merupakan tipe
kebakaran bawah yang membakar lapisan gambut. Kebakaran gambut (peat fire)
dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik karakteristik gambut maupun cuaca, yaitu:
kadar air gambut, tingkat dekomposisi gambut, tinggi muka air, maupun curah
hujan. Gambar menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar air gambut semakin
rendah laju pembakaran. Kebakaran gambut masih bisa terjadi pada kadar air
119% yang merupakan kadar air kritis kebakaran gambut (Syaufina et al. 2004b).
Tingkat dekomposisi gambut juga mempengaruhi keterbakaran gambut, semakin
matang gambut (jenis saprik) semakin sulit terbakar dibandingkan dengan jenis
gambut yang belum matang (jenis fibrik dan hemik). Tinggi muka air akan
mempengaruhi kadar air gambut, sementara curah hujan mempengaruhi tinggi
muka air lahan gambut.
8
BAB III
PEMBAHASAN
A. Keanekaragaman Flora dan Fauna di lahan gambut
1. Keanekaragaman Flora di lahan gambut
Keanekaragaman flora lahan gambut tertinggi ditemukan di Taman
Nasional Sebangau, Kalimantan yaitu tercatat 808 spesies (WWF & LIPI 2007).
Sedangkan di Sumatera yaitu di Taman Nasional Berbak, tidak kurang dari 261
jenis flora ditemukan pada area tersebut (Giesen 1991).
Beberapa flora yang ditemukan pada lahan gambut termasuk dalam
kelompok flora endemik dan memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti ramin
(Gonystylus bancanus) dan jelutung rawa (Dyera costulata).
Gambar. 1 Flora endemik di gambut
Sumber : Topik C1 Lahan Gambut Cifor
9
Berikut ini adalah daftar spesies flora endemik yang hidup pada habitat
gambut. Ramin (Gonystilus bancanus) disamping spesies endemik juga termasuk
spesies dilindungi karena sudah masuk dalam daftar IUCN Red List tahun 2000.
Gambar. 2 Jenis flora di lahan gambut
Sumber : Topik C1 Lahan Gambut Cifor
Beberapa foto spesies endemik yang ditemukan di lahan gambut yaitu
Kempas, Rengas dan Bungur.
10
Gambar. 3 Contoh flora lahan gambut
Sumber : Topik C1 Lahan Gambut Cifor
Berikutnya masih spesies endemik yaitu Perepat dan Pulai Rawa.
Gambar. 4 Contoh flora lahan gambut
Sumber : Topik C1 Lahan Gambut Cifor
11
Gambar. 5 Fauna lahan gambut
Sumber : Topik C1 Lahan Gambut Cifor
Disamping spesies flora endemik, di lahan gambut juga ditemukan spesies
flora lain seperti Palm merah, Senduduk, Mahang, Ara hantu dan Simpur.
2. Keanekaragaman Fauna di lahan gambut
Disamping flora, fauna di lahan gambut juga memiliki keanekaragaman
yang tinggi meliputi fauna terestrial dan fauna akuatik. Berdasarkan data WWF
(2009), tercatat 35 spesies mamalia, 150 spesies burung dan 34 spesies ikan
ditemukan di lahan gambut. Beberapa fauna merupakan spesies endemik dan
termasuk spesies dilindungi menurut IUCN Red List 2012 yaitu diantaranya
Buaya sinyulong, Langur, Orang utan, Harimau sumatera dan Beruang madu.
12
Sedangkan beberapa burung dilindungi yang ditemukan di lahan gambut
diataranya adalah Enggang hitam dan Rangkong.
Gambar. 6 Fauna lahan gambut
Sumber : Topik C1 Lahan Gambut Cifor
B. Permasalahan lahan gambut
1. Kebakaran lahan gambut
Karakteristik Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Proses pembakaran
(combustion) merupakan kebalikan dari reaksi fotosintesis, dimana kebakaran
hanya akan terjadi apabila unsur bahan bakar, oksigen dan panas sebagai unsur-
unsur segitiga api bersatu.
Berdasarkan tipe bahan bakar dan sifat pembakarannya, kebakaran hutan
dan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu:
Kebakaran bawah (ground fire) merupakan tipe kebakaran dimana api
membakar bahan organik di bawah permukaan;
13
Kebakaran permukaan (surface fire) yaitu tipe kebakaran dimana api
membakar bahan bakar permukaan yang berupa serasah, semak belukar,
anakan, pancang, dan limbah pembalakan;
Kebakaran Tajuk (crown fire) merupakan tipe kebakaran yang membakar
tajuk pohon (bagian atas pohon).
Kasus kebakaran hutan gambut antara lain :
Kondisi tanah gambut yang terbakar di areal Hutan Tanaman Industri
(HTI) yang terletak di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan,
didominasi oleh proses smoldering (pembaraan) tanpa nyala apiyang
terjadi di permukaan gambut karena energi yang dihasilkan dalam proses
pembakaran sudah melemah dan tidak cukup untuk membakar bahan
bakar gambut yang terdapat di permukaan dan sumber bahan bakar
lainnya.
Kondisi kebakaran yang terjadi di areal land clearing (penyiapan lahan)
dan tanaman sagu muda milik korporasi yang berlokasi di Kepulauan
Meranti, Provinsi Riau. Kebakaran terjadi sejak akhir Januari 2014 dan
berakhir sekitar April 2014. Luas lahan yang terbakar sekitar 3000 ha,
meliputi 2000 ha lahan yang sedang di land clearing dan 1000 ha lagi
merupakan arela tanaman sagu yang sudah berumur lebih dari 10 tahun.
Luas areal terbakar bertambah karena early warning system, early
detection system tidak bekerja karena didukung oleh sarana dan prasarana
pengendalian kebakaran yang tidak mamadai sehingga korporasi tidak
mampu melindungi arealnya dari ancaman bahaya kebakaran sehingga
terjadi pembiaran (omission).
Kondisi kebakaran yang terjadi di Cagar Biosfir Giam Siak Kecil yang
merupakan areal konservasi yang seharusnya dilindungi dari ancaman
bahaya kebakaran namun sekarang sebagian dari wilayah tersebut telah
berubah menjadi kebun kelapa sawit yang penyiapan lahannya
menggunakan api.
14
Kondisi kebakaran di areal perkebunan sawityang bergambut yang
penyiapan lahannya menggunakan api. Asap tebal menunjukkan bahwa
proses pembakaran terjadi pada lahan yang memiliki kadar air yang tinggi.
Kondisi kebakaran di areal masyarakatyang masih diliputi oleh tumbuhan
hijau dan belum ditebas tebang serta kebakaran yang terjadi pada lahan
yang memang sudah disiapkan dalam rangka penyiapan lahan
menggunakan api.
Sampai saat ini hasil kajian tentang penyebab kebakaran (Saharjo, 1995,
1997, 1998, Suyanto 2007) menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang
terjadi di Indonesia disebabkan oleh penyebab langsung yaitu:
Api digunakan dalam pembukaan lahan : Api telah lama digunakan oleh
peladang berpindah dalam rangka penyiapan lahan, dan hal tersebut
dilakukan karena mereka mengharapkan lahannya bersih, mudah
dikerjakan, bebas hama dan penyakit serta mendapatkan abu hasil
pembakaran yang kaya mineral, motif demikian pulalah yang dilakukan
oleh korporasi saat ini baik oleh perkebunan kelapa sawit maupun oleh
pengusaha hutan tanaman industri maupun non hutan seperti sagu
Api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik tanah : Dalam
rangka untuk melakukan perlawanan maka tidak sedkit para petani yang
dirugikan melakukan perlawanan dengan cara membakar tanaman pihak
korporasi sehingga mengalami kerugian yang tidak sedkit
Api menyebar secara tidak sengaja : Akibat kondisi lapangan yang tidak
kondusif maka tidak sedikit api yang berasal dari lahan masyarakat masuk
ke dalam lahan korporasi secara tidak sengaja (lalai), namun tidak sedkit
juga pihak korporasi yang memanfaatkannya, namun tidak sedikit juga api
yang berasal dari korporasi masuk ke dalam lahan masyarakat sehingga
menderita kerugian yang tidak sedikit
Api yang berkaitan dengan ekstraksi sumber daya alam : beberapa
kegiatan terkait estraksi sumberdaya alam menggunakan api dalam 16.
aplikasinya di lapangan, seperti pemanenen madu di pohon-pohon besar,
pemanenan getah damar, dan lain sebagainya.
15
Sedangkan penyebab tidak langsung terdiri dari:
Penguasaan lahan : Untuk menyatakan penguasaan lahan yang
diinginkannya maka tidak sedikit pihak-pihak yang ingin menguasai lahan
tersebut dilakukannya dengan membakar dan lahan yang telah bersih
tersebut kemudian dikuasainya
Alokasi penggunaan lahan : Untuk memudahkan dalam pengalokasian
lahan sehingga dapat segera dilakukan maka digunakan api
Insentif/Dis-insentif ekonomi : Tidak jelasnya insentif/dis-insenti
membuat pelaku ekonomi melakukan pembakaran karena dianggap dapat
menghemat biaya produksi dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan,
sehingga pembakaran menjadi suatu pilihan.
Degradasi hutan dan lahan : Setelah hutan ditebang dan dimanfaatkan
kayunya maka tindakan selanjutnya adalah pemanfaatan lahan bekas
ditebang tersebut dengan pembakaran
Dampak dari perubahan karakteristik kependudukan : Meningkatnya
jumlah penduduk maka meningkat pula kebutuhannya baik akan papan,
pangan, dan sebagainya, sebagai konsekuensinya maka dilakukan
perluasan areal-areal tersebut yang pada akhirnya membutuhkan lahan
yang luas sehingga hutan yang tersisa menjadi gantungannya. Dalam
kondisi tertentu maka tindakan pintas dilakukan yaitu menggunakan api.
Lemahnya kapasitas kelembagaan : Banyak terdapat lembaga terkait
dalam upaya pengendalian kebakaran dalam satu sisi namun keberadaan
lembaga tersebut ternyata belum mampu mengendalikan kebakaran yang
terjadi akibat berbagai persoalan yang membelitnya termasuk persoalan
internal. Selain itu ketiadaan dana yang cukup dan ketidakmampuan aparat
setempat berhadapan dengan pejabat yang berada diatasnya juga menjadi
persoalan serius untuk dituntaskan.
Dampak kebakaran terhadap vegetasi dapat dikelompokkan menjadi 3
kelas, yaitu:
Terbakar ringan: Sekurangnya ada 50 persen pohon tidak menunjukkan
kerusakan, dengan sisa pohon lainnya menunjukkan tajuk yang terbakar,
16
kematian pucuk tetapi bertunas, atau mati akar (tidakbertunas) ; lebih dari
80 persen pohon yang rusak dapat bertahan.
Terbakar sedang : Dua puluh atau 50 persen pohon tidak menunjukkan
kerusakan, dengan sisa pohon lainnya rusak ; 40 sampai 80 persen pohon
yang terbakar dapat bertahan.
Terbakar berat : Kurang dari 20 persen pohon tidak menunjukkan
kerusakan, sisa pohon lainnya rusak terutama akibat mati akar ; kurang
dari 40 persen dari pohon yang rusak dapat bertahan.
2. Dampak Lingkungan
Dampak lingkungan yang disebabkan oleh kebakaran lahan gambut antara
lain terjadinya pencemaran Tanah, Udara, Air. Berdasarkan dampak terhadap
tanah, kebakaran gambut dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelas, yaitu:
Terbakar ringan : jika lapisan gambut yang terbakar sampai kedalaman 25
cm
Terbakar sedang : jika lapisan gambut yang terbakar sampai kedalaman
antara 25 sampai dengan 50 cm
Terbakar berat : jika lapisan gambut yang terbakar sampai kedalaman 50
cm.
17
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia memiliki tingkat
keparahan yang bervariasi, tergantung kepada intensitas kebakaran dan kondisi
cuaca.
Tabel. 1 Komposisi tanah lahan gambut
Sumber : Topik C3 Lahan Gambut Cifor
Tabel diatas menunjukkan perbedaan karakteristik lahan gambut antara
yang terbakar dan tidak terbakar, dimana kebakaran menyebabkan turunnya kadar
air tanah, kadar potassium dan tinggi muka air dan meningkatkan bulk density.
Terhadap kualitas udara, kebakaran lahan gambut menyebabkan buruknya
kualitas udara yang ditunjukkan oleh Indeks Standar Kualitas Udara (ISPU) yang
merupakan integrasi dari kandungan beberapa senyawa seperti: PM10, SO2, CO,
O3, dan NO2. Kualitas udara dikatakan baik jika nilai ISPUnya kurang dari 100
dan dikatakan dalam kondisi yang berbahaya bila nilai ISPUnya lebih dari 300.
Slide ini menunjukkan nilai ISPU di Riau pada bulan Juni 2013 dimana sebagian
besar wilayah Riau berada pada kondisi udara yang berbahaya.
Pencemaran air diawali dengan pembuatan kanal kecil tanpa aturan
sebenarnya merupakan proses mulainya kerusakan gambut berlangsung. karena
hukum dasar pengelolaan gambut : “ jangan membuat saluran air kalau kita tidak
dapat mengetahui ke mana air itu pergi”....kalau prinsip ini dilanggar, maka hanya
proses tunggal yang akan terjadi : air akan keluar dari gambut secara liar. saat
18
itulah terjadinya masalah kerusakan manfaat dan peran gambut dimulai.Untuk
kepentingan pertanian dan perkebunan, kesuburan dan kandungan air yang
melimpah merupakan masalah utama. Andriesse (1992) cit Setiadi (1994) ada dua
masalah penting pemanfaatan gambut, pertama berkaitan dengan reklamasi,
masalahnya meliputi aksesibilitas, clearing, konstruksi drainase yang terkait
dengan tunggul kayu, erosi akibat penurunan permukaan dan pengendalian
permukaan air. Yang kedua berkaitan dengan agronomi, masalahnya adalah
rendahnya kesuburan yang mengakibatkan rendahnya hasil, pola pemupukan
(jumlah, waktu, interaksi dan efisiensi); defisiensi logam berat (gabah dan polong
hampa, penyakit dan hambatan fisiologis tanaman), daya cekam perakaran di
gambut, praktek pengelolaan lahan, perubahan permukaan akibat perubahan
kelengasan dan proses pengeringan tak balik..Proses pengeringan gambut tanpa
pemahaman yang memadai, adalah dimulainya kerusakan lahan gambut.
3. Penanganan lahan gambut
Dalam hal pemadaman kebakaran hutan dan lahan gambut, yang perlu
disiapkan adalah: organisasi pemadam kebakaran, sistem deteksi dini melalui
informasi hotspot dan sistem patroli, pelatihan teknik dan strategi pemadaman
kebakaran (langsung maupun tidak langsung), pemadaman udara, maupun
teknologi hujan buatan. Berdasarkan PP No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan
Hutan, kegiatan penanganan pasca kebakaran hutan dan lahan gambut meliputi
kegiatan penegakkan hukum dan rehabilitasi lahan gambut. Kegiatan penegakkan
hukum didasarkan pada peraturan perundangan yang terkait dengan pembakaran,
antara lain: UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 18
tahun 2004 tentang Perkebunanyang kemudian diganti menjadi UU No.39
tahun2014. Rehabilitasi lahan gambut sebaiknya dilakukan dengan menggunakan
jenis-jenis endemik yang tumbuh di lahan gambut seperti jelutung yang dapat
ditanam dengan pola agroforestry, sehingga produktivitas lahan menjadi optimal.
19
C. Kehidupan Masyarakat Disekitar Lahan Gambut
1. Sebelum Kebakaran
Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang terbentuk
oleh adanya penimbunan bahan organik dalam jangka waktu yang lama. Lahan
gambut merupakan area yang memiliki cadangan karbon yang sangat besar.
Luasan lahan gambut berdasarkan data BB Litbang SDLP (2008) adalah
18.317,589 ha meliputi tiga pulau utama di Indonesia. Luasan gambut di Pulau
Sumatera 6.244, 101 ha, luasan lahan gambut di Pulau Kalimantan 5.072,249 ha,
luasan lahan gambut di Papua 7.011,239 ha. Luasan tersebut menurut Agus dan
Subiksa (2008) totalnya menjadi 21 juta hektar apabila lahan gambut di Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan
Kalimantan Timur diperhitungkan. Pada wilayah-wilayah yang terlingkup area
gambut terdapat beberapa kabupaten yang memiliki angka kemiskinan di lebih
besar di atas angka rata-rata kemiskinan nasional yaitu 16 kabupaten di Sumatera,
2 Kabupaten di Kalimantan, dan 20 Kabupaten di Papua. Sementara ada 25
kabupaten di Sumatera dan 25 Kabupaten di Kalimantan yang memiliki angka
rata-rata kemiskinan lebih rendah dibanding angka kemiskinan nasional pada
tahun 2010. Angka kemiskinan nasional (BPS, 2010) sebesar 13,33 % dari total
penduduk Indonesia.
Tabel. 2 Kesejahteraan penduduk kawasan lahan gambut
Sumber : Topik C3 Lahan Gambut Cifor
20
Pembukaan lahan tidak terencana di lahan gambut menjadi masalah
tersendiri di Provinsi Riau. Ada 2 kawasan yang dapat dimanfaatkan, yaitu
kawasan hutan dan kawasan non hutan. Masyarakat hanya diperbolehkan untuk
menggarap perkebunan rakyat dan hutan produksi yang tidak dibebani hak.
Sementara hutan yang terbebani hak masih menjadi pembahasan pemerintah
khususnya dalam Reforma Agraria. Pemerintah menyatakan untuk bermitra
dengan masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutan yang masuk dalam
kawasan hutan adat.
Munculnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan peluang
kepada desa untuk dapat lebih meningkatkan kapasitasnya baik dari aspek
insfrastruktur, kelembagaan, usaha ekonomi, maupun sumberdaya manusia. UU
No.6 Tahun 2014 memberikan peluang kepada desa untuk berkembang sesuai
dengan karakteristik sumberdaya alam yang dimilikinya, termasuk sumberdaya
lahan gambut.
Kesadaran mengenai sumberdaya alam gambut yang ada di sekitar
masyarakat menjadi satu basis pengelolaan untuk mencapai kesejahteraan
bersama dengan didasarkan pada pengembangan usaha ekonomi masyarakat.
Pengembangan usaha ekonomi tersebut disesuaikan dengan kondisi desa
setempat, dapat bekerjasama dengan pihak luar dan sebagaimana amanat UU No.6
Tahun 2014 desa dapat membentuk badan usaha terkait pengelolaan sumberdaya
melalui BUMDes (Badan Usaha Milik Desa).
21
Gambar. 7 Alur proses kawasan edu-agrowisata gambut
Sumber : Topik C5 Lahan Gambut Cifor
Contoh di atas adalah melakukan kerjasama untuk kawasan desa-desa
dengan tipologi sumberdaya alam gambut, terdapat lima desa A B C D E yang
masing-masing memiliki potensi spesifik. Desa-desa tersebut berkembang sesuai
potensinya masing-masing yaitu sebagai sentra ternak, sentra agroindustri, sentra
promosi wisata, sentra pupuk, dan sentra sayuran. Desa-desa tersebut saling
terhubung dan memenuhi kebutuhan satu sama lain dan saling mendukung.
Kemudian desa A yang memiliki fasilitas lebih baik dan terletak dekat jalan
kabupaten menjadi desa pusat pelayanan dan promosi untuk mengarahkan
pengunjung ke sentra-sentra khusus di desa lainnya. Prosesnya adalah saling
menguatkan dan bukan kompetisi.
22
2. Setelah Kebakaran
Pembukaan lahan oleh masyarakat yang tinggal di lahan gambut seringkali
dilakukan tanpa perencanaan yang baik. Hal ini menimbulkan potensi konflik
pemanfaatan dan potensi konflik yang mengganggu lingkungan. Lahan yang
dibuka tanpa perencanaan yang baik menyebabkan ketidakmerataan dalam
pemanfaatan lahan. Selain itu dalam pemanfaatannya, lahan seringkali dibuka
dengan penebangan liar dan pembakaran. Akibatnya, lahan gambut mengalami
degradasi karena turunnya permukaan tanah yang menyebabkan kawasan di
sekitar areal gambut rawan banjir longsor. Hal lain adalah status kesehatan
masyarakat yang rawan gangguan pernafarasan karena pencemaran udara. Hal ini
kemudian diperparah dengan menyusutnya sumberdaya ekonomi yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat di lahan gambut. Penyusutan ini akan membuat
produktivitas masyarakat menurun karena sulitnya mendapatkan sumberdaya
ekonomi. Hal ini mau tidak mau membuat masyarakat menjadi rentan dengan
kemiskinan. Kerentanan akan kemiskinan menyebabkan masyarakat yang tinggal
terdorong kembali untuk membuka lahan tanpa perencanaan yang baik. Ini adalah
putaran atau siklus yang digunakan oleh masyarakat dalam pemanfaatan lahan
gambut.
Lahan gambut merupakan lahan yang sangat rentan dengan kebakaran.
Pemanfaatan lahan gambut seringkali mengabaikan kaidah keamanan lahan
dimana penebangan dan pembersihan lahan dilakukan dengan melakukan
pembakaran. Hal tersebut menyebabkan api mudah merambat ke area lain dan
menjadikan kebakaran hutan menjadi massif.
23
Gambar. 8 Efek pembakaran lahan gambut
Sumber : Topik C7 Lahan Gambut Cifor
Prosesi perambahan hutan yang sistematis maupun non sistematis , mulai
dari membuka dan membakar kawasan gambut, membangun kawasan perkebunan
sawit, akasia maupun karet, terus dilanjutkan lagi dengan memperluas dan
merambah hutan-hutan gambut harus dikurangi, diturunkan laju kecepatannya
atau bahkan dihentikan, kalau memang kita mengerti pentingnya gambut di masa
depan. Kita harus berani berpikir untuk mengalihkan bisnis yang sama di tempat
lain yang bukan gambut, kita hars mulai membuat riset-riset untuk menemukan
varitas2 tanaman perkebunan yang bernilai ekonomi tinggi (sawit, akasia dan
karet) yang dapat ditanam di luar kawasan gambut. Gunakan galur-galur tanaman
yang mampu memanfaatkan limpahan matahari tropika, tapi mampu tumbuh sama
hebatnya di lahan gambut. Riset-riset yang memanfaatkan perkembangan ilmu
genetika sangat berperan penting dalam tujuan ini. Kita harus belajar dari
kesalahan, merusak kawasan gambut sama sekali berbeda jauh dengan merusak
24
kawasan non gambut, merusak kawasan gambut mempunyai implikasi yang lebih
jauh dan mendalam di banding kawasan non gambut.
WWF pada tahun 1998 melaporkan bahwa kerugian akibat kebakaran
hutan gambut, di Sumatera mencapai 1,5 juta hektar dan di Kalimantan mencapai
3 juta hektar. Sebagian besar yang terbakar bukan hutan namun rumput, sisa
seresah pertanian, semak dan tanaman bukan kayu di sekitar rawa. Lokasi
kebakaran dekat dengan pemukiman, jalan raya dan sungai. Jumlah besar CO2
dan gas-gas lain dihamburkan dari kawasan kebakaran, yang selanjutnya akan
membuat reaksi di atmosfir dan membentuk hujan asam dan ozone, yang
keduanya sangat membahayakan manusia, tanaman dan binatang. Polusi udara
terjadi jauh di atas ukuran normal di Sumatera, Kalimantan, Sarawak dan Brunei.
Masyarakat terkena penyakit pernapasan, kulit dan mata. Sekolah dan perkantoran
ditutup beberapa hari hingga minggu. Bahkan Sarawak memperlakukan benacana
nasional pada puncak krisis tahun 1997. Transportasi udara, laut dan darat
mengalami gangguan serius akibat jarak pandang, airport ditutup dan berbagai
kecelakaan terjadi akibat asap. Sampai dengan 2014, secara periodik, kebakaran
gambut dan hutan gambut terus terjadi.
25
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang terbentuk
oleh adanya penimbunan bahan organik dalam jangka waktu yang lama.
Lahan gambut merupakan area yang memiliki cadangan karbon yang
sangat besar. Kebakaran lahan gambut di riau dan sekitarnya di akibatkan
oleh beberapa faktor yaitu suhu pada musim kemarau yang sangat panas,
kecerobohan manusia seperti membuang rokok sembarangan yang masih
menyala, pembukaan lahan baru atau membersihkan lahan pertanian
dengan membakarnya, kebakaran yang terjadi di dalam tanah yang
biasanya terdapat di daerah yang memiliki tanah gambut sehingga dapat
menyulut terjadinya api terutama di musim kemarau dengan suhu yang
panas.
2. Sebelum terjadi kebakaran pada lahan gambut terdapat keanekaragaman
flora dan fauna. Kehidupan masyarakat sosial sebelum terjadinya
kebakaran lahan gambut yaitu memiliki angka rata-rata kemiskinan lebih
rendah dibanding angka kemiskinan nasional pada tahun 2010. Angka
kemiskinan nasional (BPS, 2010) sebesar 13,33 % dari total penduduk
Indonesia.
3. Penanganan lahan gambut yaitu membentuk organisasi pemadam
kebakaran, sistem deteksi dini melalui informasi hotspot dan sistem
patroli, pelatihan teknik dan strategi pemadaman kebakaran (langsung
maupun tidak langsung), pemadaman udara, maupun teknologi hujan
buatan.
4. Setelah terjadi kebakaran pada lahan gambut terdapat dampak lingkungan
yang disebabkan oleh kebakaran lahan gambut antara lain terjadinya
pencemaran Tanah, Udara, Air . Selain itu dalam pemanfaatannya, lahan
seringkali dibuka dengan penebangan liar dan pembakaran. Akibatnya,
lahan gambut mengalami degradasi karena turunnya permukaan tanah
26
yang menyebabkan kawasan di sekitar areal gambut rawan banjir longsor.
Hal lain adalah status kesehatan masyarakat yang rawan gangguan
pernafarasan karena pencemaran udara. Hal ini kemudian diperparah
dengan menyusutnya sumberdaya ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat di lahan gambut. Penyusutan ini akan membuat produktivitas
masyarakat menurun karena sulitnya mendapatkan sumberdaya ekonomi.
Hal ini mau tidak mau membuat masyarakat menjadi rentan dengan
kemiskinan. Kerentanan akan kemiskinan menyebabkan masyarakat yang
tinggal terdorong kembali untuk membuka lahan tanpa perencanaan yang
baik.
B. Saran
1. Tindakan perusakan lahan gambut merupakan suatu kesalahan besar, maka
dari itu diperlukan penyuluhan dan pendidikan kilat bagi warga yang
membakar lahan gambut maupun perusahaan besar karena masalah ini
perlu diselesaikan dengan solusi yang cepat dan tepat.
2. Diperlukannya pengawasan khusus terhadap lahan gambut mengingat
kerugian yang besar akibat kebakaran lahan gambut.
3. Evaluasi setelah terjadinya kebakaran agar yang sama tidak terulang
kembali dan kelestarian alam dapat dijaga.
4. Untuk makalah ini sendiri, diperlukannya data hasil survey tentang rincian
kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran lahan gambut baik secara
ekosistem, lingkungan, ekonomi, social, dan budaya.
5. Dijelaskan seperti apa kenampakan lahan gambut yang telah terbakar dan
fungsi lahan gambut tersebut sekarang ini.
27
DAFTAR PUSTAKA
[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 1999. Final
report of planning for fire prevention and drought management project:
ADB-ADTA INO 2999. 3 Vols. Jakarta.
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2013. Profil
Pembangunan Provinsi Jambi. Jakarta: Bappenas.
Artsybashev ES. 1983. Forest Fires and Their Control. Badaya Trans K
and Pandit V, eds. New Delhi, India: Oxonian Press Pvt. 160 pp.
Bezuijen MR, Webb GJW, Hartoyo P, Samedi. 2001. Peat swamp forest
and the false gharial Tomistoma schlegelii (Crocodilia, Reptilia) in the
Merang River, Eastern Sumatra, Indonesia. Oryx 35(4): 301-307.
Booth RK, Lamentowicz M, Charman DJ. 2010. Preparation and analysis
of testate amoebae in peatland palaeoenvironmental studies. Mires and
Peat 7: 1–7.
Clarke D and Rieley J, eds. 2010. Strategy for responsible peatland
management. 2nd ed. Finland: International Peat Society.
Dommain R, Couwenberg J, Joosten H. 2010. Hydrological self-regulation
of domed peatlands in south-east Asia and consequences for conservation
and restoration. Mires and Peat 6:1–17.
Giesen W. 1991. Berbak Wildlife Reserve, Jambi, Sumatra. Final Draft
Survey Report. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report.
Hess P. 1994. Forest fire in East Kalimantan 1982/1983: Effects damages
and technical solutions-the potential of residual stands after affected by
fire. Paper presented in the workshop of forest rehabilitation and forest
protection from fire. Samarinda, 31 January- 2 February 1994. 20 pp.
Putra EI and Hayasaka H. 2011. The effect of precipitation pattern of dry
season on peat fire occurrence in Mega Rice Project area, Central
Kalimantan, Indonesia. Tropics 19(4): 145-156.
Setiadi B. 1995. Aspek Agronomi Budidaya Kedele Di Lahan Gambut.
Suatu Kegiatan Tanggap Tanaman Terhadap Amelioran [Disertasi
Program Doktor]. Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
Wetland International. 2011. Lahan Gambut dalam National REDD+
Strategy Indonesia.
Wetlands International. 2004. Peta Sebaran Lahan Gambut, Luas dan
Kandungan Karbon di Kalimantan 2000-2002. Bogor: Wetlands
International Indonesia Programme.