makalah metabolisme dan hasil metabolisme kelompok 2 syifa dwi
DESCRIPTION
metTRANSCRIPT
-
METABOLISME DAN HASIL METABOLISME JAMUR
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Mikologi
Yang Dibina oleh Bapak Agung Witjoro, S.Pd., M.Kes.
dan Ibu Sitoresmi Prabaningtyas, S.Si., M.Si.
Oleh kelompok 2:
Syifa Sundari 120342400173
Dwi Rahmawati 120342422456
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Januari 2015
-
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fungi atau jamur didefinisikan sebagai kelompok organisme eukariotik, tidak
berpindah tempat (nonmotile), bersifat uniselular atau multiselular, memiliki
dinding sel dari glukan, mannan, dan kitin, tidak berklorofil, memperoleh nutrien
dengan menyerap senyawa organik, serta berkembang biak secara seksual dan
aseksual. Jamur atau fungi memiliki beberapa sifat umum, yaitu hidup di tempat-
tempat yang lembab, sedikit asam, dan tidak begitu memerlukan cahaya matahari.
Jamur tidak berfotosintesis, sehingga hidupnya bersifat heterotrof. Jamur hidup
dari senyawa-senyawa organik yang diabsorbsi dari organisme lain.
Jamur yang prinsip nutrisinya adalah heterotrof menyebabkannya memiliki
kemampuan hidup sebagai pemakan sampah (saprofit) maupun sebagai
penumpang yang mencuri makanan dari inangnya (parasit). Fungi adalah
mikroorganisme heterotrof karena tidak memiliki kemampuan untuk
mengoksidasi senyawa karbon organik, atau senyawa karbon yang memiliki satu
karbon. Senyawa karbon organik yang dapat dimanfaatkan untuk membuat materi
sel baru berkisar dari molekul sederhana seperti gula sederhana, asam organik,
gula terikat alkohol polimer rantai pendek dan rantai panjang mengandung
karbon, hingga kepada senyawa kompleks seperti karbohidrat, lipid dan asam
nukleat, protein.
Metabolisme merupakan seluruh proses kimia yang terjadi di dalam tubuh
organisme hidup untuk memproleh dan menggunakan energi sehingga organisme
dapat melaksanakan berbagai fungsi hidup. Dan pada prisipnya jamur sama
seperti mahluk hidup yang lainnya yaitu melakukan metabolisme untuk
keberlangsungan hidupnya. Metabolit sekunder adalah berbagai macam reaksi
yang produknya tidak secara langsung terlibat dalam pertumbuhan normal. Dalam
hal ini metabolit sekunder berbeda dengan bahan metabolit intermediet yang
memang merupakan produk dari metabolisme normal. Hasil dari metabolisme
sekunder pada jamur dapat berupa Mikotoksin dan Antibiotik.
Keberadaan jamur dalam lingkungan dapat menguntungkan dan merugikan,
salah satu keuntungan keberadaan jamur adalah berperan besar dalam proses
-
biodegradasi, dimana jamur membantu menguraikan dan memecahan cemaran
organik oleh aktivitas mikroba yang melibatkan serangkaian reaksi enzimatik
tertentu.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah fungsi dari metabolisme pada jamur?
2. Berupa apakah sumber energi yang digunakan untuk proses metabolisme
pada jamur?
3. Bagaimanakah proses metabolisme sekunder pada jamur?
4. Apa sajakah hasil metabolisme pada jamur?
5. Bagaimana peran jamur dalam biodegradasi?
1.3 Tujuan
1. Untuk memahami fungsi metabolisme pada jamur.
2. Untuk memahami sumber energi yang digunakan untuk proses
metabolisme pada jamur.
3. Untuk memahami proses metabolisme sekunder pada jamur.
4. Untuk memahami hasi-hasill metabolisme pada jamur.
5. Untuk memahami peran jamur dalam biodegradasi.
-
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Metabolisme
Metabolisme atau pertukaran zat pada makhluk hidup, mencakup semua reaksi
kimiawi yang terjadi di dalam sel yang menghasilkan energi dan menggunakan
energi untuk sintesis komponen-komponen sel dan untuk kegiatan-kegiatan
seluler yang menghasilkan zat sisa (Tarigan.1988). Reaksi kimia ini dapat
dibedakan menjadi anabolisme dan katabolisme. Proses katabolisme disebut juga
bioenergi, sedangkan proses anabolisme disebut biosintesis.
Dalam tubuh mikroorganisme reaksi-reaksi kimia dipercepat oleh enzim yaitu
katalisator organik (biokatalisator) yang dihasilkan oleh sel. Setelah reaksi
berlangsung enzim tidak mengalami perubahan jumlah sehingga jumlah enzim
sebelum dan setelah reaksi adalah tetap. Enzim mempunyai spesifitas yang tinggi
terhadap reaktan yang direaksikan dan jenis reaksi yang dikatalisis. Enzim
melakukan berbagai aktifitas fisiologik seperti penyusunan bahan organik,
pencernaan, dan pembongkaran zat yang memerlukan aktivator berupa
biokatalisator (Dwidjoseputro, 1978).
2.2 Fungsi metabolisme
Metabolisme memikili empat fungsi spesifik:
a. Untuk memperoleh energi kimia dari degradasi zat makanan yang kaya energi.
b. Untuk mengubah moleku nutrient menjadi precursor unit pembangun bagi
makromolekul sel.
c. Untuk menggabungkan unitunit pembangun ini menjadi protein, asam
nukleat, lipida, polisakarida dan komponen sel lainya.
d. Untuk membentuk dan mendegradasi biomolekul yang diperlukan di dalam
fungsi khusus sel (Palczar, 2008).
Menurut Dwidjoseputro (1978) metabolisme memiliki manfaat yaitu:
a. Sintesis bagian sel (dinding sel, membran sel, dan substansi sel lainnya).
b. Sintesis enzim, asam nukleat, polisakarid, phospholipid, atau komponen sel
lainnya agar materi sel tetap terorganisir.
c. Mempertahankan kondisi sel (optimal) dan memperbaiki bagian sel yang
rusak agar selalu dalam keadaan hidup.
-
d. Pertumbuhan dan perbanyakan dengan membentuk komponen sel yang baru
e. Penyerapan hara dan ekskresi senyawa yang tidak diperlukan (waste
products).
2.3 Sumber energi
Berdasarkan sumber nutrisi yang diserapnya, jamur diklasifikasikan menjadi 2
kategori yaitu saprofit dan parasit. Saprofit tumbuh pada bahan organik mati. Dan
parasit hidup pada zat hidup untuk mendapatkan makanan dari inangnya.
Kehadiran parasit dapat mengakibatkan kondisi abnormal pada inangnya yang
disebut penyakit (Vasishta & Sinha, 2007).
Jamur mengadakan kontak langsung dengan lingkungan yang mengandung
nutrisi. Molekul yang lebih sederhana (seperti gula sederhana dan asam amino)
berupa lapisan tipis pada hypa dapat langsung diserap. Polimer yang lebih
kompleks seperti selulosa, pati dan protein harus diproses lebih dahulu sebelum
digunakan. Molekul yang terlalu besar untuk dapat diserap akan dihancurkan oleh
enzim ekstraseluler. Sebagian besar nutrisi memasuki sel fungi dengan sistem
transport khusus. Banyak faktor seperti pH, temperatur, mineral yang dapat
mempengaruhi penyerapan nutrisi (Moore, 1982).
2.3.1 Metabolisme Karbon
2.3.1.1 Metabolisme Karbohidrat
Karbohidrat dan derivatnya merupakan substrat utama dalam proses
metabolisme karbon pada fungi. Peran penting dari metabolisme karbohidrat
adalah (i) menghasilkan ATP dan (ii) menyediakan hampir semua karbon untuk
kebutuhan sel fungi yang mengandung karbohidrat, lipid, protein, dan asam
nukleat. Metabolisme karbohidrat pada fungi secara umum menggunakan
glikolisis, DOAP, siklus Krebs, dan transfer elektron (Gandjar, 2006).
Fermentasi
Fermentasi adalah memanen energi kimia tanpa menggunakan oksigen
maupun rantai transport elektron dan merupakan pengembangan glikolisis yang
memungkinkan pembentukan ATP terus-menerus melalui fosforilasi tingkat
substrat pada glikolisis. Fermentasi terdiri atas glikolisis ditambah dengan reaksi-
reaksi yang meregenerasi NAD+ dengan mentransfer elektron dari NADH ke
piruvat. NAD+
kemudian dapat digunakan kembali untuk mengoksidasi gula
-
melalui glikolisis (Campbell, 2008). Khamir merupakan salah satu
mikroorganisme yang dapat memfermentasikan gula. Kemampuan ini ditunjukkan
dengan adanya sistem transpor untuk gula dan sistem enzim yang dapat
menghidrolisis gula dengan akseptor elektron alternatif selain oksigen pada
keadaan anaerob fakultatif. Gula tersebut diasimiliasi melalui jalur glikolisis
(Embden-Meyerhof-Parnas) untuk menghasilkan asam piruvat. Asam piruvat
dalam kondisi anerob akan mengalami penguraian oleh piruvat dekarboksilase
menjadi etanol dan karbondioksida. Sel khamir selama proses fermentasi
menjalani tahap adaptasi pada lingkungan baru (fase lag), tahap pembelahan sel
yang sangat aktif (fase log), dan tahap menurunnya aktivitas sel (fase stasioner).
Pada proses fermentasi, substrat akan dikonversi menjadi karbondioksida dan
etanol, dan berlangsung asimilasi asam amino, lipid, asam nukleat, serta senyawa
untuk aroma/rasa (Gandjar, 2006).
Berdasarkan hasil fermentasinya. Fermentasi terbagi menjadi dua yakni
fermentasi alkohol dan fermentasi asam laktat.
1. Fermentasi alkohol adalah fermentasi pengubahan piruvat menjadi etanol (etil
alkohol) dalam dua langkah. Langkah pertama adalah melepasakan
karbondioksida dari piruvat, yang diubah menjadi senyawa asetildehida.
Langkah kedua adalah, asetildehida direduksi menjadi etanol oleh NADH
(Campbell, 2008). Khamir dari genus Issatchekia, Kluyveromyces,
Saccharomyces, dan Zygsaccharomyces merupakan contoh khamir yang dapat
melakukan fermentasi alkohol dengan memfermentasi glukosa. S. cerevisia,
kapang Neurospora crassa, khamir genus Candila, dan Debaryomyces juga
dapat melakukan fermentasi alkohol dengan cara memfermentasi sukrosa
dengan bantuan kerja enzim invertase (sakarase) yang berguna untuk
menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (Gandjar, 2006).
2. Fermentasi asam laktat adalah fermentasi pengubahan piruvat menjadi laktat
secara langsung direduksi oleh NADH tanpa pelepasan oksigen (Campbell,
2008). Fermentasi asam laktat ini terbagi atas dua jenis, yakni
homofermentatif dan heterofermentatif. Jenis-jenis homofermentatif hanya
menghasilkan asam laktat dari metabolisme gula, sedangkan jenis-jenis
heterofermentatif menghasilkan karbondioksida dan sedikit asam-asam volatil
-
lainnya, alkohol, dan ester disamping asam lakta (Suprihatin, 2010). Contoh
heterofermentatif adalah proses fermentasi yang terjadi dalam pembuatan
tempe yakni jamur Rhizopus oryzae. R.oryzae dapat menghasilkan 1,5 mol
asam laktat dari 1 mol glukosa dalam kondisi aerobik dan sisanya diubah
menjadi miselia, glycerol, fumarate atau etanol (Skory dalam Manfaati, 2010),
selain itu juga menghasilkan asam tartrat, asam format, dan asam asetat
(Schlegel dan Schmidt dalam Pramudyanti, 2004).
Moat dan Foster dalam Pramudyanti (2004) menyebutkan bahwa jamur
Rhizopus termasuk spesies heterofermentatif yang menggunakan jalur
fosfoketolase sebagai jalur utama dari metabolisme glukosa. Pada jamur
heterofermentatif tidak ada aldolase dan heksosa isomerase tetapi
menggunakan enzim fosfoketolase dan menghasilkan CO2 (Irawati, 2011).
Mirdamadi et al dalam Pramudyanti dkk (2004) menjelaskan bahwa R. oryzae
dapat memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat pada suasana aerob,
jika medium tersebut miskin mineral. Medium miskin tersebut mengandung
sumber karbon dan energi seperti sukrosa, pati, laktosa, galaktosa dan glukosa
dalam jumlah berlebihan dan mengandung sedikit mineral seperti seng, besi,
mangan, magnesium dan kalium.
-
Biosintesis Kitin
Kitin adalah polimer linier yang tersusun oleh monomer -1,4-N-asetil-D-
glukosamin (GlcNac) dan termasuk golongan polisakarida (Cabib, 1987). Khitin
pada jamur memiliki bentuk fibril dengan ukuran dan kandungan yang berbeda
tergantung pada strain atau spesiesnya. Kandungan kitin berkisar antara 4 9 %
berat kering sel (Rajarathnam et al., 1998). Khitin merupakan komponen utama
Gambar. Jalur
metabolisme
homofermentative
lactic acid (a) dan
heterofermentative
lactic acid (b)
(Bailey and Ollis
dalam Manfaati,
2010)
-
penyusun dinding sel jamur kelas Ascomycetes, Basidiomycetes, dan
Deuteromycetes (Griffin, 1981).
Petumbuhan hifa pada jamur merupakan penyebab biosintesis yang terjadi
pada jamur. Langkah biosintesis diawali dengan perubahan glukosa-6-fosfat
menjadi uridin difosfat N-asetilglukosamin (UDP-GlcNAc) sebagai prekursor
khitin. Enzim yang berperan dalam mengubah UDP-GlcNAc menjadi molekul
khitin adalah khitin sintetase yang terdapat dalam vesikel sitoplasmik (sitosom)
(Carlile dan Watkinson, 1994). Khitin dibuat in-situ yaitu pebentukannya terjadi
di luar sitoplasma oleh enzim yang dibawa oleh sitosom. Khitin sintetase yang ada
dalam sitosom adalah enzim yang tidak aktif (zimogen) dan protease yang ada di
permukaan sel (periplasma) akan mengaktivkan zimogen ini dan dimulai lagi
pembentukan mikrofibril khitin (Bartnicki-Garcia, 1989).
Gambar. Jalur sintesis khitin (Carlile & Watkinson, 1994).
-
2.3.2 Metabolisme Protein
Proses metabolisme protein pada fungi sama dengan organisme eukariotik
lainnya, yaitu pada sintesis protein menggunakan proses transkripsi dan translasi.
Fungi memiliki 80s ribosom dengan subunit masing-masing 40s dan 60s, sama
seperti organisme eukariotik lain. Protein pada fungi berisi 20 jenis asam amino
yang terhubung dengan ikatan peptida. Protein pada fungi sebagian besar bersifat
asam karena proporsi asam amino bersifat asam lebih banyak daripada asam
amino bersifat basa. Protein pada fungi digunakan sebagai enzim, komponen
struktural, dan metabolit sekunder. Enzim berfungsi sebagai katalis dalam setiap
langkah metabolisme (Griffin, 1981).
Protein bergabung dengan karbohidrat membentuk glikoprotein dan
peptidoglikan. Kedua zat ini dapat ditemukan di membran sel, dinding sel, dan
disekresikan menjadi enzim eksoseluler. Glikoprotein pada dinding sel berfungsi
sebagai antigen, zat penghubung antarsel, dan enzim yang berada di permukaan
sel. Protein pada dinding sel bersifat asam, dengan kadar asam amino asam
glutamat dan asam aspartat mencapai 30-40%. Jenis asam amino yang terkandung
di dalamnya hanya berjumlah 12-15 jenis. Protein seperti ini merupakan protein
yang abnormal, tidak seperti pada sel pada umumnya yaitu kadar asam amino
asam berkisar 8-10% dengan 20 jenis asam amino. Peptidoglikan berfungsi
sebagai alergen dan antigen (Griffin, 1981).
Pemecahan molekul protein dilakukan oleh enzim protease. Tujuan
katabolisme protein adalah untuk mendapatkan nitrogen dan karbohidrat yang
digunakan untuk proses metabolisme yang lain. Fungi mensekresikan enzim
protease ke lingkungan. Selanjutnya protein akan diubah menjadi asam amino dan
diangkut oleh permease asam amino spesifik maupun permease asam amino
nonspesifik (Griffin, 1981).
2.3.3. Metabolisme Lipid
Fungi dapat menggunakan lipid (triasilgliserol/ trigliserida) dalam bentuk
lemak dan minyak sebagai sumber karbon. Hidrolisis lipid memerlukan kerja
enzim lipase dan mengubahnya menjadi diasilgliserol, monoasilgliserol, gliserol
atau asam lemak. Lipase diketahui dapat dibedakan atas dua kelompok
berdasarkan lokasi pemutusan ikatan gliserol pada triasilgliserol yaitu lipase non-
-
spesifik dan lipase spesifik. Lipase non-spesifik memutus ikatan gliserol dari
triasilgliserol pada tiga posisi sehingga menghasilkan diasilgliserol,
monoasilgliserol, atau tiga molekul asam lemak dan gliserol. Lipase spesifik
memutus ikatan gliserol dari triasilgliserol pada posisi satu dan tiga sehingga
menghasilkan 1,2-diasilgliserol dan 2-monoasilgliserol (Ratledge & Tan., 1986).
Fungi diketahui dapat menggunakan berbagai lipid dengan memanfaatkan
kerja lipase antara lain C. cylindracea, C. deformans, C. curvata, C.rugosa, P.
caseicolum, P. chrysogenum, P. citrinum, P. cyclopium, P. simplicissimum, P
.roquefortii, Mucor miehei, Rhizopus delemar, Rh.japonicus, Rh. oligosporus.
Materi organik berupa lipid akan didegradasi oleh enzim lipase yang disekresikan
fungi ke lingkungannya, sebelum diangkut ke dalam sel (Rapp & Backhaus.,
1992). C. rugosa dapat menggunakan berbagai minyak dari tumbuhan seperti
wijen, palem, kelapa, dan biji bunga matahari sebagai sumber karbon melalui
kerja lipase. Yarrowia lypolitica menggunakan lemak hewan dan minyak rapeseed
untuk menghasilkan produk samping asam sitrat dengan bantuan enzim lipase.
Minyak biji bunga matahari hasil penggorengan dapat dimanfaatkan oleh Mucor
circinelloides dengan bantuan enzim lipase sedangkan A. flavus dapat
memanfaatkan limbah cair dari pemrosesan minyak zaitun menggunakan lipase.
2.3.4. Metabolisme Asam Nukleat
Fungi berfilamen mengkatabolisme purin. Kapang A. nidulans, P.
chrysogenum, dan Fusarium moniliforme dapat memanfaatkan hipoxanthin,
xanthin, asam urat dan adenine sebagai sumber nitrogen. Kemampuan
menggunakan basa purin dan pirimidin bervariasi pada khamir S.cerevisiae
tumbuh baik pada medium mengandung allantoin, asam allantoat, dan agak baik
pada adenine, guanine, dan sitosin. Beberapa strain dari S. cerevisiae dapat
menggunakan sitosin dan oksipirimidin, tetapi purin tidak dapat sebagai sumber
nitrogen. Sebagian besar strain S. cerevisiae dengan menggunakan allantoin
sebagai satu-satunya sumber nitrogen.
-
2.4. Metabolisme Nitrogen dan Sulfur
2.4.1. Metabolisme Nitrogen
Kemampuan fungi menggunakan nitrogen anorganik
Semua mikroorganisme yang telah diteliti tampaknya dapat menggunakan
ammonia sebagai sumber nitrogen anorganik. Asimilasi nitrat pada khamir dan
kapang menggunakan proses yang sama yaitu nitrat ditranspor ke dalam sel
kemudian diubah menjadi amonium oleh enzim nitrat reduktase dan nitrit
reduktase. Nitrat reduktase merupakan protein yang memerlukan kofaktor
molibdopterin, haem-Fe dan FAD (Gandjar, 2006). Fungi yang dapat
menggunakan nitrat sebagai sumber nitrogen:
- A. nidulans
- C. utilis
- Hansenula anomala
- Hansenula polymorpha (sinonim: Pichia angusta)
Nitrit bersifat toksik bagi sebagian besar fungi, tetapi beberapa fungi dapat
menggunakannya sebagai sumber nitrogen selama konsentrasi yang digunakan
cukup rendah. Enzim nitrit reduktase mereduksi nitrit menjadi amonium dan
memiliki ferredoksin, 2 kelompok protetik dan FAD. Aspergillus nidulans dan
hansenula polymorpha dapat menggunakan nitrit. Saccharomyces dan
Zygosaccharomyces tidak dapat menggunakan nitrat dan nitrit sebagai sumber
nitrogen (Gandjar, 2006).
Kemampuan fungi menggunakan nitrogen organik
Sebagai besar fungi dapat tumbuh baik dalam medium yang mengandung
glutamine, asparagin, dan arginin; diikuti dengan asam glutamate, asam aspartat
dan sianin.
2.4.2 Metabolisme Sulfur
Reduksi sulfat menjadi sulfit tidak terjadi pada keadaan inorganik. Sulfat
pertama diaktivasi dengan kombinasi dengan ATP menjadi bentuk
adenosinephosphosulfate (APS). Senyawa ini difosorilasi menjadi 3
phosphoadenosinephosphosulfate (PAPS), dan kemudian direduksi oleh NADPH
spesifik reduktase ke sulfat (Griffin, 1981).
-
ATP + SO42- APS + PPi (pyrophosphate)
APS + ATP PAPS + ADP
NADPH + H+
+ PAPS PAP + NADP+ + RSO32-
2.5. Metabolisme sekunder
Produksi senyawa yang dihasilkan dari metabolisme sekunder tidak selalu
berhubungan dengan pertumbuhan dan terjadi ketika tersedia karbohidrat setelah
pertumbuhan terhenti karena beberapa keterbatasan beberapa faktor lainnya.
Beberapa kelompok besar dari metabolit sekunder yaitu senyawa fenolik, indol
alkaloid, isoprenoid termasuk terpen, karotenoid, steroid, antibiotik berupa
penisilin dan kelompok sepalosporin.
Biosintesis dari metabolit sekunder telah dilakukan secara detail oleh Turner
(1971). Metabolit sekunder dikelompokkan menjadi lima kelas metabolik
berdasarkan jalur dari asalnya.
1. Derivat metabolit glukosa termasuk beberapa polisakarida,
peptidopolisakarida, gula alkohol, dan lainnya
2. Poliketida dan derivat fenolik dari kondensasi dari asetat dari asetil-KoA
pada jalur asetat-malonat dari biosintesisi asam lemak.
3. Derivat terpen dari kondensasi asetat dari asetil-KoA pada jalur asam
mevalonik
4. Derivat fenolik dari jalur asam sikimik dari biosintesis asam amino
aromatik.
5. Jalur biosintesis asam amino lainnya
Jalur metabolisme sekunder yang paling penting pada bermacam senyawa
yang dihasilkan dan jumlah yang diproduksi fungi adalah asetat-malonat dan jalur
asam mevalonik. Terdapat suatu hipotesis yang menyebutkan bahwa banyak dari
metabolit sekunder mempunyai fungsi yang normal pada organisme seperti
sebagai regulator, selator logam pada nutrisi mineral, pembawa pesan kimia pada
proses perkembangan, mikotoksin, dan sebagai antibiotik. (Griffin, 1981)
-
2.6 Hasil Metabolisme Sekunder pada Jamur
2.6.1. Mikotoksin
Mikotoksin adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada toksin yang
dihasilkan oleh cendawan Lebih lengkapnya, mikotoksin didefinisikan sebagai
produk alami dengan bobot molekul rendah yang dihasilkan sebagai metabolit
sekunder dari cendawan berfilamen dan dapat menyebabkan penyakit bahkan
kematian pada manusia, hewan, tumbuhan, maupun mikroorganisme lainnya.
Mikotoksin atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi
lingkungan lembab, terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan
baku ransum dengan kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang
menghasilkan racun atau toksin (Yani, 2009).
Jenis-jenis Mikotoksin
Menurut Bennet (2003), terdapat beberapa jenis mikotoksin utama yang
sering merugikan manusia, yaitu aflatoksin, citrinin, ergot alkaloid, fumonisin,
ochratoxin, patulin, trichothecene, dan zearalenone.
Gambar jalur metabolisme primer dan sekunder pada fungi
-
1. Aflatoksin
Gambar 1. Struktur kimia Aflatoksin B1 (Sumber:
commons.wikimedia.org)
Sebagian besar aflatoksin dihasilkan oleh Aspergillus flavus Link dan juga
A. parasiticus Speare. Kedua cendawan tersebut hidup optimal pada suhu 36-
38 C dan menghasilkan toksin secara maksimum pada suhu 25-
27 CPertumbuhan cendawan penghasil aflatoksin biasanya dipicu oleh
humiditas/kelembaban sebesar 85% dan hal ini banyak ditemui di Afrika sehingga
kontaminasi Alflatoksin pada makanan menjadi masalah umum di benua tersebut.
Untuk menghindari kontaminasi aflatoksin, biji-bijian harus disimpan dalam
kondisi kering, bebas dari kerusakan, dan bebas hama (Hamed, 2005).
2. Citrinin
Gambar 2. Struktur kimia citrinin (Sumber: webbook.nist.gov)
Citrinin pertama kali diisolasi dari Penicillium citrinum Thom pada tahun
1931. Mikotoksin ini ditemukan sebagai kontaminan alami pada jagung, beras,
gandum, barley, dan gandum hitam (rye). Citrinin juga diketahui dapat dihasilkan
oleh berbagai spesies Monascus dan hal ini menjadi perhatian terutama oleh
masyarakat Asia yang menggunakan Monascus sebagai sumber zat pangan
tambahan. Monascus banyak dimanfaatkan untuk diekstraksi pigmennya
-
(terutama yang berwarna merah) dan dalam proses pertumbuhannya,
pembentukan toksin citrinin oleh Monascus perlu dicegah (Bailly, 2002).
3. Ergot Alkaloid
Ergot alkaloid diproduksi oleh berbagai jenis cendawan, namun yang utama
adalah golongan Clavicipitaceae Dulunya kontaminasi senyawa ini pada makanan
dapat menyebabkan epidemik keracunan ergot (ergotisme) yang dapat ditemui
dalam dua bentuk, yaitu bentuk gangren (gangrenous) dan kejang
(convulsive)Pembersihan serealia secara mekanis tidak sepenuhnya memberikan
proteksi terhadap kontaminasi senyawa ini karena beberapa jenis gandum masih
terserang ergot dikarenakan varietas benih yang digunakan tidak resiten terhadap
Claviceps purpurea, penghasil ergot alkaloid.Pada hewan ternak, ergot alkoloid
dapat menyebabkan tall fescue toxicosis yang ditandai dengan penurunan produksi
susu, kehilangan bobot tubuh, dan fertilitas menurun (Bennet, 2003).
4. Fumonisin
Gambar 3. Struktur kimia Fumonisin B1 (Sumber: chemicalbook.com)
Fumonisin ditemukan pada tahun 1988 pada Fusarium verticilloides dan F.
proliferatum yang sering mengontaminasi jagung. Namun, selain kedua spesies
tersebut masih banyak cendawan yang dapat menghasilkan fumonisin. Toksin
jenis ini stabil dan tahan pada berbagai proses pengolahan jagung sehingga dapat
menyebabkan penyebaran toksin pada dedak, kecambah, dan tepung jagung.
Konsentrasi fumonisin dapat menurun dalam proses pembuatan pati jagung
dengan penggilingan basah karena senyawa ini bersifat larut air (Doyle, 1993).
5. Ochratoxin
-
Gambar 4. Struktur kimia ochratoxin A, ochratoxin B, dan ochratoxin C
(Sumber: azaquar.com)
Ochratoxin dihasilkan oleh cendawan dari genus Aspergillus, Fusarium,
and Penicillium dan banyak terdapat di berbagai macam makanan, mulai dari
serealia, babi, ayam, kopi, bir, wine, jus anggur, dan susu. Secara umum, terdapat
tiga macam ochratoxin yang disebut ochratoxin A, B, dan C, namun yang paling
banyak dipelajari adalah ochratoxin A karena bersifat paling toksik diantara yang
lainnya. Pada suatu penelitian menggunakan tikus dan mencit, diketahui bahwa
ochratoxin A dapat ditransfer ke individu yang baru lahir melalui plasenta dan air
susu induknya. Pada anak-anak (terutama di Eropa), kandungan ochratoxin A di
dalam tubuhnya relatif lebih besar karena konsumsi susu dalam jumlah yang
besar.Infeksi ochratoxin A juga dapat menyebar melalui udara yang dapat masuk
ke saluran pernapasan (Bennet, 2003).
6. Patulin
Gambar 5. Struktur kimia patulin (Sumber: commons.wikimedia.org)
-
Patulin dihasilkan oleh Penicillium, Aspergillus, Byssochlamys, dan
spesies yang paling utama dalam memproduksi senyawa ini adalah Penicillium
expansum. Toksin ini menyebabkan kontaminasi pada buah, sayuran, sereal, dan
terutama adalah apel dan produk-produk olahan apel sehingga untuk diperlukan
perlakuan tertentu untuk menyingkirkan patulin dari jaringan-jaringan tumbuhan
Contohnya adalah pencucian apel dengan cairan ozon untuk mengontrol
pencemaran patulin. Selain itu, fermentasi alkohol dari jus buah diketahui dapat
memusnahkan patulin (Bennet, 2003).
7. Trichothecene
Gambar 6. Struktur kimia trichothecenes (Sumber:
leatherheadfood.com)
Terdapat 37 macam sesquiterpenoid alami yang termasuk ke dalam
golongan trichothecene dan biasanya dihasilkan oleh Fusarium, Stachybotrys,
Myrothecium, Trichodemza, dan Cephalosporium. Toksin ini ditemukan pada
berbagai serealia dan biji-bijian di Amerika, Asia, dan Eropa Toksin ini stabil dan
tahan terhadap pemanasan maupun proses pengolahan makanan dengan autoclave.
Selain itu, apabila masuk ke dalam pencernaan manusia, toksin akan sulit
dihidrolisis karena stabil pada pH asam dan netral. Berdasarkan struktur kimia dan
cendawan penghasilnya, golongan trichothecene dikelompakan menjadi 4 tipe,
yaitu A (gugus fungsi selain keton pada posisi C8), B (gugus karbonil pada C8), C
(epoksida pada C7,8 atau C9,10) dan D (sistem cincin mikrosiklik antara C4 dan
C15 dengan 2 ikatan ester) (Bennet, 2003).
-
8. Zearalenone
Gambar 7. Struktur kimia zearalenone (Sumber: wikipedia.org)
Zearalenone adalah senyawa estrogenik yang dihasilkan oleh cendawan dari
genus Fusarium seperti F. graminearum dan F. culmorum dan banyak
mengkontaminasi nasi jagung, namun juga dapat ditemukan pada serelia dan
produk tumbuhan.Senyawa toksin ini stabil pada proses penggilingan,
penyimpanan, dan pemasakan makanan karena tahan terhadap degradasi akibat
suhu tinggi. Salah satu mekanisme toksin ini dalam menyebabkan penyakit pada
manusia adalah berkompetisi untuk mengikat reseptor estrogen (Gwiazdowska,
2009).
2.6.2. Antibiotik
Antibiotik adalah senyawa yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang
dapat menghambat pertumbuhan (bakterostatik) ataupun membunuh (bakterisid)
mikroba lain.
Antibiotik adalah substansi kimia alamiah hasil metabolisme sekunder
mikroorganisme, yang mempunyai kemampuan baik menghambat pertumbuhan
maupun membunuh mikroorganisme lain. Definisi tersebut sangat terbatas, karena
sekarang banyak molekul yang diperoleh melalui sintesis kimia,
mempunyai aktivitas terhadap mikroorganisme.
Sekarang istilah antibiotika berarti semua substansi baik yang berasal dari
alam maupun sintetik yang mempunyai toksisitas selektif terhadap satu atau
beberapa mikroorganisme tujuan, tetapi mempunyai toksisitas cukup lemah
terhadap inang (manusia, hewan, atau tumbuhan) dan dapat diberikan melalui
jalur umum.
-
Jenis-jenis Antibiotik
Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan
mempunyai daya hambat terhadap kegiatan mikroorganisme lain. Sampai saat ini
telah ditemukan lebih dari 3000 antibiotik, namun hanya sedikit saja yang
diproduksi secara komersil. Beberapa antibiotik telah dapat diproduksi dengan
kombinasi sintesis mikroorganisme dan modifikasi kimia, antara lain: golongan
penisilin, sefalosporin, dihidrostreptomisin, klindamisin, tetrasiklin dan rifamisin
(Doyle, 1993).
Mikroorganisme penghasil antibiotik meliputi golongan bakteri,
aktinomisetes, fungi, dan beberapa mikroba lainnya. Kira-kira 70% antibiotik
dihasilkan oleh aktinomisetes, 20% fungi dan 10% oleh bakteri. Streptomyces
merupakan penghasil antibiotik yang paling besar jumlahnya. Bakteri juga banyak
yang menghasilkan antibiotik terutama Bacillus. Namun kebanyakan antibiotik
yang dihasilkan bakteri adalah polipeptid yang terbukti kurang stabil, toksik dan
sukar dimurnikan. Antibiotik yang dihasilkan fungi pada umumnya juga toksik,
kecuali grup penisilin (Doyle, 1993).
1. Golongan Bakteri
Di lingkungan tanah yang mendapat aerasi cukup, bakteri dan fungi akan
dominan. Sedangkan lingkungan yang mengandung sedikit atau tanpa oksigen,
bakteri berperanan terhadap hampir semua perubahan biologis dan kimia
lingkungan tanah. Bakteri menonjol karena kemampuannya tumbuh dengan cepat
dan mendekomposisi berbagai substrat alam.
Ada berbagai macam pengelompokan bakteri, salah satu penggolongan
dilakukan oleh Winogradsky, membagi bakteri menjadi 2 kelompok :
1) Autochthonous atau indigenous. Populasi bakteri ini tidak berfluktiiasi.
Nutrien didapat dari zat-zat organik tanah dan tidak memerlukan sumber
nutrien eksternal.
2) Zymogenous atau organisme yang melakukan fermentasi populasi golongan
ini paling aktif melakukan transformasi kimia.
Bakteri penghasil antibiotik terutama dari spesies Bacillus (basitrasin,
polimiksin, sirkulin), selain itu juga dari spesies Pseudornonas (Pyocyanine),
chromobacterium (Iodinin) dan sebagainya.
-
2. Golongan Fungi
Kebanyakan spesies fungi dapat tumbuh dalam rentang pH yang lebih lebar,
dari sangat asam sampai sangat alkali. Populasi fungi biasanya mendominasi
daerah asam, karena mikroba lain seperti bakteri dan aktinomisetes tidak lazim
dalam habitat asam. Dalam biakan, bahkan fungi dapat tumbuh pada pH 2 -- 3 dan
beberapa strain masih aktif pada pH 9 atau lebih. Sebagai salah satu organisme
penghasil antibiotik yang terkenal yaitu : Penicilium (penisilin, griseofulvin),
Cephalosporium (sefalosporin) serta beberapa fungi lain seperti Aspergillus
(fumigasin); Chaetomium (chetomin); Fusarium (javanisin), Trichoderma
(gliotoxin) dan lain-lain
3. Golongan Aktinomisetes
Aktinomisetes merupakan mikroorganisme uniseluler, menghasilkan miselium
bercabang dan biasanya mengalami fragmentasi atau pembelahan untuk
membentuk spora. Mikroorganisme ini tersebar luas tidak hanya di tanah tetapi
juga di kompos, lumpur, dasar danau dan sungai. Pada mulanya organisme ini
diabaikan karena pertumbuhannya pada plate agar sangat lambat. Sekarang
banyak diteliti dalam hubungannya dengan antibiotik. Jenis organisme ini
merupakan penghasil antibiotik yang paling besar di antara kelompok penghasil
antibiotik, terutama dari jenis streptomyces (Bleomisin, Eritromisin, Josamisin,
Kanamisin, Neomisin, Tetrasiklin dan masih banyak lagi). Di samping itu,
anibiotik juga dihasilkan dari aktinomisetes jenis Mikromonospora (Gentamisin,
Fortimisin, Sisomisin); Nocardia (Rifamisin, Mikomisin) dan lain-lain. Di alam,
aktinomisetes dapat ditemui sebagai konidia atau bentuk vegetatif.
Dilihat dari daya basminya terhadap mikroba, antibiotika dibagi manjadi 2
kelompok yaitu yang berspektrum sempit dan berspektrum luas. Walaupun suatu
antibiotika berspektrum luas, efektifitas klinisnya tidak seperti apa yang
diharapkan, sebab efektifitas maksimal diperoleh dengan menggunakan obat
terpilih untuk infeksi yang sedang dihadapi, dan bukan dengan antibiotika yang
spektrumnya paling luas.
-
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotika dibagi dalam 5 kelompok,
yaitu :
1. Yang menggangu metabolisme sel mikroba. Termasuk disini adalah :
Sulfonamid, trimetoprim, PAS, INH.
2. Yang menghambat sintesis dinding sel mikroba. Termasuk disini adalah :
Penisilin, sefalosporin, sefamisin, karbapenem, vankomisin.
3. Yang merusak keutuhan membran sel mikroba. Termasuk disini adalah :
Polimiksin B, kolistin, amfoterisin B, nistatin.
4. Yang menghambat sintesis protein sel mikroba. Termasuk disini adalah :
Streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin, tobramisin, amikasin,
netilmisin, eritromisin, linkomisin, klindamisin, kloramfenikol, tetrasiklin,
spektinomisin.
5. Yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba.
Termasuk disini adalah : Rifampisin, aktinomisin D, kuinolon.
2.5 Biodegradasi
Biodegradasi yaitu pemecahan cemaran organik oleh aktivitas mikroba yang
melibatkan serangkaian reaksi enzimatik. Umumnya terjadi karena senyawa
tersebut dimanfaatan sebagai sumber makanan (substrat). Biodegradasi yang
lengkap disebut juga sebagai mineralisasi, dengan produk akhirnya berupa
karbondioksida dan air. Proses ini dipakai dalam pengolahan limbah untuk
menjadi CO2 dan air. Ko-metabolisma (co-metabolism) yaitu kemampuan
mikroba dalam mengoksidasi atau metabolisasi suatu senyawa tetapi energi yang
dihasilkan tidak dapat digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan.
Terjadi jika mikroba secara kebetulan menghasilkan suatu enzim yang mampu
mendegradasi senyawa tertentu, sehingga dikatakan enzim tersebut tidak spesifik.
Menurut Munir (2006), Bioremediasi merupakan pengembangan dari
bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam
mengendalikan pencemaran. Bioremediasi bukanlah konsep baru dalam
mikrobiologi terapan, karena mikroba telah banyak digunakan selama bertahun-
tahun dalam mengurangi senyawa organik dan bahan beracun baik yang berasal
dari limbah rumah tangga maupun dari industri. Hal yang baru adalah bahwa
-
teknik bioremediasi terbukti sangat efektif dan murah dari sisi ekonomi untuk
membersihkan tanah dan air yang terkontaminasi oleh senyawa-senyawa kimia
toksik atau beracun.
Biodegradasi adalah teknologi bioremediasi yang layak untuk polutan
organik.Telah lama diketahui bahwa mikroorganisme mendegradasi polutan
lingkungan dalam matriks berbagai lingkungan. Bioremediasi memanfaatkan
fleksibilitas metabolisme mikroorganisme untuk mendegradasi polutan berbahaya.
Tujuan dari bioremediasi adalah untuk mengubah polutan organik menjadi
metabolit berbahaya atau dgn mineral polutan menjadi karbondioksida dan air
(Munir, 2006).
Polimer alam, seperti halnya lignin dan polisakarida, dapat terdegradasi
menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana. Produk degradasi ini selanjutnya
dapat dipergunakan oleh organisme hidup sebagai sumber energy atau untuk
mensintesis senyawa-senyawa baru (termasuk biopolimer). Mekanisme umum
degradasi polimer menjadi molekul yang sederhana dapat dijelaskan secara
kimiawi. Organisme hidup mempunyai kemampuan untuk memproduksi
bermacam-macam enzim yang dapat menghancurkan struktur biopolimer. Kerja
suatu enzim sebagai katalisator dalam merombak struktur polimer merupakan
kerja yang spesifik, artinya suatu enzim tertentu hanya memiliki kemampuan
untuk mengkatalisis suatu reaksi kimia tertentu pula (Munir, 2006).
Tanpa adanya mikroba, proses penguraian di lingkungan tidak akan
berlangsung. Kotoran, sampah, hewan, dan tumbuhan yang mati akan menutupi
permukaan bumi, suatu kondisi yang tidak akan pernah kita harapkan. Sebagai
akibatnya, siklus nutrisi atau rantai makanan akan terputus. Lintasan biodegradasi
berbagai senyawa kimia yang berbahaya dapat dimengerti berdasarkan lintasan
mekanisme dari beberapa senyawa kimia alami seperti hidrokarbon, lignin,
selulosa, dan hemiselulosa. Sebagian besar dari prosesnya, terutama tahap akhir
metabolisme, umumnya berlangsung melalui proses yang sama (Munir, 2006).
Peran Jamur dalam Biodegradasi
Munir (2006) menjelaskan bahwa polimer alami yang mendapat perhatian
karena sukar terdegradasi di lingkungan adalah lignoselulosa (kayu) terutama
bagian ligninnya. Lignin adalah polimer alami dan tergolong ke dalam senyawa
-
rekalsitran karena tahan terhadap degradasi, atau tidak terdegradasi dengan cepat
di lingkungan. Molekul lignin adalah senyawa polimer organik kompleks yang
terdapat pada dinding sel tumbuhan dan berfungsi memberikan kekuatan pada
tanaman. Lignin tersusun dari 3 jenis senyawa fenilpropanoid, yaitu: alkohol
kumaril, alkohol koniferil, dan alkohol sinapil. Ketiganya tersusun secara random
membentuk polimer lignin yang amorfus (tidak beraturan).
Jamur basidiomisetes merupakan kelompok utama pendegradasi
lignoselulosa. Walaupun beberapa bakteri diketahui dapat mendegradasi lignin,
tetapi bakteri yang mampu mendegradasi lignin secara kompleks belum pernah
dilaporkan. Jamur pembusuk kayu menghasilkan enzim-enzim pendegradasi
lignoselulosa seperti golongan selulase, ligninase, dan hemiselulase (Munir,
2006).
Berdasarkan mekanisme degradasi, jamur pembusuk kayu digolongkan ke
dalam jamur pembusuk putih dan jamur pembusuk cokelat, yang masing-masing
memiliki metabolisme degradatif yang berbeda. Jamur busuk putih mampu
mendegradasi seluruh komponen material lignoselulosa termasuk lignin, sedang
jamur busuk cokelat lebih cenderung mendegradasi bagian selulosa dan
hemiselulosa tetapi tidak lignin (Green and Highley, 1997 dalam Munir, 2006).
Penggunaan kultur campuran antara jamur pembusuk putih dan jamur
pembusuk cokelat memiliki prospek yang cukup tinggi untuk mendapatkan
glukosa alternatif dari material lignoselulosa (Munir dan Goenadi, 1999). Cooke
and Rayner (1984), jamur basidiomisetes dan askomisetes memiliki peran yang
utama dalam degradasi lignoselulosa yang setiap tahunnya diperkirakan terbentuk
sebanyak 100 gigaton, di mana 20 gigatonnya adalah lignin.
Dalam proses degradasi lignoselulosa, jamur busuk cokelat menghasilkan
sejumlah besar asam oksalat (COOH)2. Hal ini menyebabkan turunnya pH
lingkungan yang cukup drastis, yang selanjutnya menyebabkan hidrolisis selulosa
secara nonenzimatik (Shimada et al.1991). Proses ini sangat penting karena
aktivitas enzim selulase belum dapat berlangsung sempurna karena enzim ini
tidak dapat menembus pori-pori dinding sel yang ukurannya lebih kecil dari
ukuran enzim.
-
Jamur busuk putih sangat berpotensi dalam proses biodegradasi karena
kemampuannya dalam mendegradasi berbagai senyawa aromatik, jamur
pendegradasi lignin telah mendapat perhatian besar dalam bidang bioremediasi.
Sistem degradasi enzimatis ekstraseluler menyebabkan jamur busuk putih lebih
toleran terhadap konsentrasi polutan toksik yang lebih tinggi. Selanjutnya,
mekanisme degradasi nonspesifik yang dimiliki oleh jamur pembusuk putih
menyebabkan mereka mampu mendegradasi sejumlah besar polutan. Keunggulan
lain dari jamur pembusuk putih dalam degradasi polutan adalah mereka tidak
memerlukan pengkondisian untuk polutan tertentu, karena kekurangan nutrien
dapat menginduksi proses degradasi. Di samping itu, induksi sintesis enzim-enzim
pendegradasi polutan biasanya tidak terpengaruh oleh banyak sedikitnya polutan
(Barr and Aust, 1994).
Pada jamur busuk putih, bila terdapat H2O2, enzim lignin peroksidase
yang dihasilkan akan menarik satu elektron dari senyawa PAH (hidrokarbon
aromatis polisiklis)yang selanjutnya membentuk senyawa kuinon (Cerniglia and
Sutherland, 2001). Cincin benzena yang sudah terlepas dari PAH selanjutnya
dioksidasi menjadi molekul-molekul lain dan digunakan oleh sel mikroba sebagai
sumber energi.
Munir (2006) menjelaskan bahwa karena potensinya dalam
mengakumulasikan logam cukup besar, jamur pembusuk kayu dapat digunakan
sebagai agen untuk monitor polusi logam di tanah atau di atmosfer atau sebagai
alat analisis lingkungan yang cukup potensial. Gabriel et al.(1995) melaporkan
bahwa terdapat hubungan yang erat antara polusi udara dengan kandungan logam
dalam tubuh buah jamur (fruit body).
-
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Beberapa fungsi dari metabolisme pada jamur adalah : untuk
memperoleh energi kimia dari degradasi zat makanan yang kaya energi,
Untuk mengubah moleku nutrient menjadi precursor unit pembangun bagi
makromolekul sel, untuk menggabungkan unitunit pembangun ini
menjadi protein, asam nukleat, lipida, polisakarida dan komponen
sel lainya dan untuk membentuk dan mendegradasi biomolekul yang
diperlukan di dalam fungsi khusus sel.
2. Sumber energi yang digunakan untuk proses metabolisme pada jamur
berhubungan dengan sumber nutrisi yang diserapnya. Dapat bersifat
saprofit dan parasit.
3. Jalur metabolisme sekunder yang paling penting pada bermacam senyawa
yang dihasilkan dan jumlah yang diproduksi fungi adalah asetat-malonat
dan jalur asam mevalonik.
4. Hasil dari metabolisme sekunder pada kapang dapat berupa Mikotoksin
dan Antibiotik. Terdapat beberapa jenis mikotoksin utama yang sering
merugikan manusia, yaitu aflatoksin, citrinin, ergot alkaloid, fumonisin,
ochratoxin, patulin, trichothecene, dan zearalenone. Sebagai salah satu
organisme penghasil antibiotik yang terkenal yaitu : Penicilium (penisilin,
griseofulvin), Cephalosporium (sefalosporin) serta beberapa fungi lain
seperti Aspergillus (fumigasin); Chaetomium (chetomin); Fusarium
(javanisin), Trichoderma (gliotoxin) dan lain-lain.
5. Pada proses biodegradasi, jamur pembusuk kayu digolongkan ke dalam
jamur pembusuk putih dan jamur pembusuk cokelat, yang masing-masing
memiliki metabolisme degradatif yang berbeda. Jamur busuk putih mampu
mendegradasi seluruh komponen material lignoselulosa termasuk lignin,
sedang jamur busuk cokelat lebih cenderung mendegradasi bagian selulosa
dan hemiselulosa tetapi tidak lignin
-
3.2 Saran
1. Dalam penyusunan makalah, penulis sebaiknya lebih banyak membaca
referensi dan jurnal yang terbaru agar makalah yang disusun sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Dalam penyusunan makalah Ilmu Lingkungan yang berjudul Metaboisme
dan Hasil Metabolisme pada Jamur penulis mengharapkan kritik dan
saran kepada pembaca karena pada makalah yang disusun masih jauh dari
kesempurnaan.
-
DAFTAR RUJUKAN
Bailly J.D., Querin A.; Le Bars-Bailly S., Benard G., Guerre P. 2002. "Citrinin
Production and Stability in Cheese". Journal of Food Protection 65 (8):
1317-1321(5).
Barr, D.P. and Aust, D.A. (1994). Mechanisms of white rot fungi use to degrade
pollutants, Environ. Sci. Technol. 28: 78-87.
Bartnicki-Garcia, S. 1989. The Biocheical Cytology of Chitin and Chitosan
Synthesis in Fungi, Dalam G. Skjak, B. T. Anthonsen and P.A. Sanford
(Eds). Procedings of the 4th International Conferenceon Chitin and
Chitosan. Elsevier. Barking-UK: Applied Science.
Cabib, E. 1987. The Synthesis and Degradation of Chitin. Dalam A. Meister (Ed)
Advances in Enzymology. Vol. 59, pp. 59 101. New York: An Interscience Publication John Willey and Sons Inc.
Campbell. 2008. Biologi Jilid 1 Edisi 8 Terjemahan. Jakarta :Erlangga.
Carlile, M. J. and S.C. Watkinson. 1994. The Fungi. London: Academis Press,
Harcourt Brace and Company Publishers.
Cerniglia, C.E. and Sutherland, J.B. (2001). Bioremediation of polycyclic
aromatic hydrocarbons by ligninolytic and non-ligninolytic fungi. In: Fungi
in Bioremediation, ed. G.M. Gadd, Cambridge University Press, Cambridge,
pp. 136-187.
Cooke, R.G. and Rayner, A.D.M. (1984). Ecology of Saprophytic Fungi.
Longman, New York.
Doyle, M. Ellin., Carol E. Steinhart, Barbara A. Cochrane. 1993. Food safety.
Food Research Institute CRC Press.
Dwidjoseputro, D. 1978. Pengantar Mikologi Edisi Kedua.Bandung: Alumni.
Dwidjoseputro, D. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.
Gabriel J., Rychlovsky, P. and Krenzelok, M. (1995). Beyllium content in some
wood-rotting fungi in Czech Republic, Toxicol. Envinron. Chem. 50: 233-236.
Gandjar, I., Sjamsuridzal W., dan Oetari A.2006. Mikologi Dasar dan Terapan.
Jakarta :Yayasan Obor Indonesia.
Griffin, D. H. 1981. Fungal Physiology. New York: John Wiley and Sons.
Gwiazdowska D, Pawlak-Lemanska K .2009. "Removal of zearalenone by
propionibacteria in the simulated human gastrointestinal tract". ISM
Conference 2009: 119.
Hamed, K. Abbas. 2005. Aflatoxin and food safety. CRC Press.
Irawati, E. 2011, Bakteri Homofermentatif. (Online)
(http://www.blogspot./bakteri-homofermentatif-kamriantiramli.html), Diakses
tanggal 14 Januari 2015.
Manfaati, R. 2010. Kinetika Dan Variabel Optimum Fermentasi Asam Laktat
Dengan Media Campuran Tepung Tapioka Dan Limbah Cair Tahu Oleh
Rhizopus Oryzae. Tesis Program Magister Teknik Kimia Universitas
Diponegoro Semarang (Online)(http://eprints.undip.ac.id/25193/1/rintis.pdf),
diakses pada tanggal 14 Januari 2014.
Munir E. and Goenadi, D.H. (1999). Bioconversion of oil palm trunk derived
lignocellulose to sugars. Menara Perkebunan 67 (2): 37-44.
Munir, Erman. 2006. Pemanfaatan Mikroba Dalam Bioremediasi: Suatu
Teknologi Alternatif Untuk Pelestarian Lingkungan. Jurnal Mikrobiologi.
USU e-Repository.
-
Pelczar, Michael J & E. C. S. Chan. 2008. Dasar-dasar Mikrobiologi I. Jakarta: UI
Press.
Pramudyanti, I. R., Purwoko, T., dan Pangastuti, A.2004. Pengaruh Pengaturan
pH dengan CaCO3 terhadap Produksi Asam Laktat dari Glukosa oleh
Rhizopus oryzae. Bioteknologi 1 (1): 19-24.
(Online)(http://biosains.mipa.uns.ac.id/C/C0101/C010104. pdf), diakses pada
tanggal 14 Januari 2014.
Rapp P, Backhaus S. Formation of extracellular lipases by filamentous fungi,
yeast and bacteria. Enzyme Microb Technol. 1992; 14: 938-943.
Ratledge C. 1986. Lipids. In Biotechnology, vol 4. VCH: Weinheim.
Shimada, M., Akamatsu, Y., Ohta, A. and Takahashi, M.(1991). Biochemical
relationship between biodegradation of cellulose and formation of oxalic acid
in brown-rot wood decay. Intern. Res. Group. On Wood Preserv. Doc. No.
IRG/WP 1427, pp. 1-12.
Suprihatin. 2010. Teknologi Fermentasi. Surabaya:UNESA Press.
Wolf, Frederick A & Frederick T. Wolf. 1947. The Fungi. New York: John wiley
& Sons, Inc. Chapman & Hall, Limited London.
Yani, Alvi (2009). "Detoksifikasi Biologis Berbagai Mikotoksin pada Bahan
Pangan". Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung.