makalah kulit
TRANSCRIPT
1 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
STEVEN-JOHNSON SYNDROME (SJS)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai
kompleks imun yang merupakan bentuk yang berat dari eritema multiformis. SJS dikenal pula
sebagai eritema multiformis mayor. SJS umumnya melibatkan kulit dan membran mukosa.
Ketika bentuk minor terjadi, keterlibatan yang signifikan dari mulut, hidung, mata, vagina,
uretra, saluran pencernaan, dan membran mukosa saluran pernafasan bawah dapat berkembang
menjadi suatu penyakit. Keterlibatan saluran pencernaan dan saluran pernafasan dapat berlanjut
menjadi nekrosis. SJS merupakan penyakit sistemik serius yang sangat potensial menjadi
penyakit yang sangat berat dan bahkan menjadi sebuah kematian.
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu,
eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular,
dermatostomatitis, dll.
Etiologi SSJ sulit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor
penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat,
sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik
(udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T
yang spesifik.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu
dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema
2 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis. Konsep yang
diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum
SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering
rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan
makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas
yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama
merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya. Terdapat 3
derajat klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
1.2 Tujuan Masalah
1.1.1 Memahami tentang patomekanisme dari SJS
1.1.2 Memahami cara penanganan pada klien dengan kasus SJS
1.1.3 Memahami pencegahan terjadinya SJS
1.1.4 Memahami pengobatan dari SJS
1.3 Rumusan Masalah
1.3.1 Bagaimana pengertian dari SJS
1.3.2 Bagaimana penyebab terjadinya SJS
1.3.3 Bagaimana cara pengobatan SJS
3 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, yaitu dr. Stevens dan dr.
Johnson. indrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang sangat
gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga
ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut sebagai Nekrolisis Epidermis Toksik ( Toxic
Epidermal Necrolysis/TEN). Ada juga bentuk yang lebih ringan, disebut sebagai Eritema
Multiforme (EM). Sekarang sindrom ini dikenal sebagai Eritema Multiforme Mayor.
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127). Sindrom Steven Johnson
adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan dimukosa dan
konjungtifitis (Junadi, 1982: 480). Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa
eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium
dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun yang
disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan. Pada lebih dari setengah kasus, tidak
didapatkan adanya penyebab yang spesifik.
Stevens-Johnson syndrome (SJS) & Toxic epidermal necrolysis (TEN) adalah suatu reaksi obat
tidak diinginkan yang parah terutama pada kulit dan membran mukosa.[5] Angka kejadian
kedua reaksi ini rendah, hanya terjadi pada 1-2 orang dari 1 juta orang per tahun.[5] Sampai saat
ini, patogenesis SJS dan TEN belum sepenuhnya dimengerti tetapi diduga dimediasi oleh
mekanisme imun.[5] Reaksi ini dapat terjadi pada semua usia, jenis kelamin dan ras.[1]
Lebih dari 200 obat pernah dilaporkan dapat menyebabkan terjadinya SJS dan TEN.[1] Beberapa
obat menyebabkan terjadinya SJS dan TEN ketika digunakan dalam jangka pendek tetapi pada
beberapa obat lain reaksi muncul setelah penggunaan obat jangka panjang.[5]Pharmacon kali ini
4 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
akan membahas obat-obat yang sering menyebabkan terjadinya SJS dan TEN serta
penatalaksanaannya.
B. Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai
penyebab adalah:
A. Obat-obat yang paling sering dilaporkan menyebabkan SJS
Antibiotik:
1. Sulfonamide, seperti: Cotrimoxazole (Bactrim®, Cotrim®)
2. Beta lactam, seperti: Penicillin, Cephalosporin, Quinolone
Antivirus
1. Non-NRTI, yaitu: Nevirapine
Antikonvulsan
1. Carbamazepine (Tegretol®)
2. Phenytoin (Dilantin®, Kutoin®)
3. Phenobarbital (Cibital®)
4. Valproic acid (Depakene®)
5. Lamotrigine (Lamictal®)
Anti Inflamasi Non Steroid
1. Golongan oxicam, seperti: Meloxicam (Movi-cox®), Piroxicam (Feldene®)
Allopurinol (Zyloric®)
Kortikosteroid
Dari penelitian yang dilakukan EuroSCAR (Severe Cutaneous Adverse Reactions) tahun 2007,
Tramadol, Sentraline dan Pantoprazole juga dilaporkan dapat menyebabkan SJS dan TEN tetapi
5 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
kemungkinannya lebih kecil dibanding dengan obat-obat di atas.[6] Penelitian ini juga
menyebutkan bahwa obat Sulfonamide diuretik (seperti: Furosemide, HCT) dan antidiabetika
Sulfonilurea (seperti: Glibenclamide) umumnya tidak beresiko menyebabkan terjadinya SJS dan
TEN.[6] Secara teori, yang menyebabkan terjadinya SJS dan TEN pada antibiotik Sulfonamide
adalah gugus amine aromatic, sedangkan Sulfonamide diuretik dan Sulfonilurea tidak memiliki
gugus amine aromatic.7
Selain disebabkan karena penggunaan suatu obat, SJS dan TEN dapat juga disebabkan karena
infeksi bakteri (Mycoplasma pneumoniae) dan virus (Herpes simplex) tetapi angka kejadiannya
lebih kecil.[4,5]Mekanisme terjadinya SJS dan TEN yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan
virus ini belum diketahui.[4]Pasien dengan infeksi HIV dan penyakit autoimun juga lebih
beresiko mengalami SJS dan TEN.[4]
B. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
C. Neoplasma dan faktor endokrin
D. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
E. Makanan
F. Genetika
Beberapa orang Asia Timur mengkaji (Han Cina, Thailand), carbamazepine dan fenitoin
ternyata memicu SJS adalah sangat terkait dengan HLA-B * 1502 (HLA-B75), sebuah HLA-
B serotipe serotipe yang lebih luas HLA-B15. Sebuah penelitian di Eropa menunjukkan
bahwa gen penanda hanya relevan bagi orang-orang Asia Timur. Berdasarkan temuan Asia,
penelitian serupa dilakukan di Eropa yang menunjukkan 61% dari allopurinol-induced SJS /
TEN pasien membawa HLA-B58 (B * 5.801 alel - fenotipe frekuensi di Eropa biasanya
3%). Satu studi menyimpulkan "bahkan ketika alel HLA-B berperilaku sebagai faktor risiko
yang kuat, seperti allopurinol, mereka tidak cukup dan tidak perlu menjelaskan penyakit."
G. lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).
Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson
6 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Infeksivirus
jamur
bakteri
parasit
Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia
koksidioidomikosis, histoplasma
streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis,
salmonella
malaria
Obat salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis,
kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik
Makanan Coklat
Fisik udara dingin, sinar matahari, sinar X
Lain-lain penyakit kolagen, keganasan, kehamilan
(Dikutip dengan modifikasi dari SL Moschella dan HJ Hurley, 1985)
C. Patofisiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh
kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan.
Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga
sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.
Sekitar 50% penyebab SJS adalah obat. Peringkat tertinggi adalah obat-obat Sulfonamid,
lactam , imidazol dan NSAID, sedangkan peringkat menengah adalah quinolon,
antikonvulsan aromatic dan alopurinol. Beberapa faktor penyebab timbulnya SJS diantaranya :
infeksi ( virus herpes simplex, dan Mycoplasma pneumonia, makan (coklat), dan vaksinasi.
Faktor fisik ( udara dingin, sinar mathari, sinar X) rupanya berperan sebagai pencetus ( trigger ).
Patogenesis SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III dan IV. Oleh karena proses hipersensitivitas , maka terjadi kerusakan
kulit sehingga terjadi :
1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
7 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
2. Stress hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuria
3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun
5. Infeksi.
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh
kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan.
Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga
sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat
dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya
relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di
Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi
fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik,
lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-
presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil
yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran
(target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi
reaksi radang (Djuanda, 2000: 147)
Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah
mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada
jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen
asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat
tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
8 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah
tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel
serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).
Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau
sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi
yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam
untuk terbentuknya.
Perbedaan Eritema Multiformis, Steven-Johnsons Syndrome, dan Toxic Epidermal Necrolysis
9 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Gambar 1. Perbedaan Eritema multiformis, Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal
Necrolysis
10 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
D.Manifestasi klinis
Gejala prodormal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, lesu, batuk, pilek, nyeri menelan,
nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan
kombinasi gejala tersebut.
Setelah itu timbul lesi di:
Kulit : berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hamper seluruh
tubuh. Lesi yang spesifik berupa lesi target, bila bula kurang dari 10% disebut Steven
Johnson Syndrome, 10-30% disebut Steven Johnson Syndrome-Toxic Epidermolysis
Necroticans ( SJS-TEN), lebih dari 30% Toxic Epidermolysis Necroticans ( TEN ).
Sekitar 80% penyebab TEN adalah obat.
Mukosa ( mulut, tenggorokan dan genital): berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi,
perdarahan dan krusta berwarna merah.
Mata : berupa konjungtivitis kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak
mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea.
Gambar 2. Manifestasi Klinis Steven-Johnson Syndrome
11 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Konjungtivis SSJ
Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi
efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya.
Gejala awal termasuk :
ruam
lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
12 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
bengkak pada kelopak mata, atau mata merah
konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola
mata)
demam terus-menerus atau gejala seperti flu
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai
koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise,
nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk
yang berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul
oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%). Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah
sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk
pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang
tebal. Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan
esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya
pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtifitis
kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis
dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain,
misalnya: nefritis dan onikolisis.
13 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Perbedaan SJS, TEN dan SJS-TEN Overlap
SJS [5] SJS-TEN overlap [5] TEN [5]
Lesi primer Lesi merah
kehitamanAtypical
target
Lesi merah
kehitamanAtypical
target
Lesi merah kehitamanAtypical
target
Pengelupasan epidermis kulit
Poorly delineated
erythematous plaque (tanda
kemereahan tanpa batas yang
jelas)
Distribusi Batang tubuh dan
wajah
Batang tubuh dan
wajah
Batang tubuh, wajah dan di
mana saja
Keterlibatan mukosa Ya Ya Ya
Gejala sistemik Umumnya ada Pasti ada Pasti ada
Keterlibatan luas
permukaan kulit
<10% 10-30% >30%
Pada awalnya, gejala SJS tidak spesifik, seperti[1,5]:
1. Demam
2. Mata perih dan kemerahan
3. Nyeri telan
4. Batuk
Setelah beberapa hari, akan muncul manifestasi pada kulit tubuh, wajah, serta telapak tangan dan
kaki. SJS juga menunjukkan manifestasi pada membran mukosa seperti[1]:
1. Mata (konjungtivitis): kemerahan, nyeri dan lengket pada mata
14 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
2. Mulut dan bibir (stomatitis, cheilitis): ulser pada mulut, bibir kemerahan dan kering
3. Esofagus: nyeri saat menelan makanan
4. Saluran pernafasan (trakea dan bronkus): batuk dan sesak napas
5. Genital: ulser pada area genital
E. Diagnosis
Diagnosis Steven Johson Syndrome 90% berdasarkan klinis. Jika disebabkan oleh obat,
ada korelasi antara pemberian obat dengan timbulnya gejala. Diagnosis ditujukan terhadap
manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan
factor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan
pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan
darah tepi, pemeriksaan imunologis, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi,
dan pemeriksaan histopatologik biopsy kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan
perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil.
Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi
adanya circulating immune complex. Biopsy kulit direncanakan bila lesi klasik tidak ada.
Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosi.
Pemeriksaan Fisik
Ruam dapat mulai sebagai makula yang berkembang menjadi papul, vesikel, bula, plak
urtikarial, atau eritema konfluen.
o Pusat ini mungkin lesi vesikuler, purpura, atau nekrotik.
o Lesi khas memiliki penampilan target. Target dianggap pathognomonic. Namun,
berbeda dengan lesi eritema multiforme khas, lesi ini hanya memiliki dua zona
warna. inti mungkin vesikuler, purpura, atau nekrotik, yang zona dikelilingi oleh
eritema makula. Beberapa orang menyebut lesi targetoid.
o Lesi dapat menjadi pecah bulosa dan kemudian, meninggalkan kulit gundul. Kulit
menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.
o Ekstensif peluruhan ditampilkan pada gambar di bawah.
15 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Catatan peluruhan luas epidermis dari sindrom Stevens-
Johnson. Courtesy of David F. Butler, MD.
o urtikarial lesi biasanya tidak gatal.
o Infeksi mungkin bertanggung jawab atas bekas luka yang berhubungan dengan
morbiditas.
o Meskipun lesi dapat terjadi di mana saja, telapak tangan, telapak, punggung
tangan, dan ekstensor permukaan yang paling sering terkena.
o Desquamation pada kaki ditampilkan pada gambar di bawah.
16 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Sheetlike desquamation di kaki pada pasien dengan nekrolisis epidermal
toksik.Courtesy of Schwartz Robert, MD.
o Ruam mungkin terbatas untuk setiap area salah satu tubuh, paling sering bagasi.
o Keterlibatan mukosa mungkin termasuk eritema, edema, peluruhan, blistering,
ulserasi, dan nekrosis.
o Contoh dari jenis keterlibatan ditampilkan pada gambar di bawah.
Hemorrhagic pengerasan kulit dari selaput lendir di nekrolisis epidermal
toksik. lesi serupa terlihat dalam sindrom Stevens-Johnson. Courtesy of
Schwartz Robert, MD.
o Meskipun beberapa telah menyarankan kemungkinan sindrom Stevens-Johnson
(SJS) tanpa lesi kulit, yang paling percaya bahwa lesi mukosa saja tidak cukup
untuk menegakkan diagnosis.Sebagian mereka kini meminta kasus tanpa lesi kulit
"khas" atau "tidak lengkap." 7 Kelompok ini penulis menyarankan bahwa
kombinasi uretritis, konjungtivitis, dan stomatitis membuat diagnosis SJS pada
pasien dengan Mycoplasma pneumoniae-diinduksi tanda dan gejala.
Tanda-tanda berikut mungkin dicatat pada pemeriksaan:
o Demam
o Orthostasis
o Tachycardia
17 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
o Hipotensi
o Mengubah tingkat kesadaran
o Epistaksis
o Konjungtivitis
o Ulserasi kornea
o Erosif vulvovaginitis atau balanitis
o Kejang, koma
Pemeriksaan laboratorium
a) Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dalam penegakan
diagnosis.
b) CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau leukositosis
nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebakan karena infeksi bakteri.
c) Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab infeksi.
Tes lainnya:
a) Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit
gawatdarurat
Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal
b) Adanya nekrosis sel epidermis
c) Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular
F. Diagnosis banding
Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan Steven Johnson Syndrome :
1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Steven Johnson Syndrome sangat dekat dengan TEN.
SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome ( Ritter disease ). Pada penyakit ini lesi kulit
ditandai dengan krusta yang mengelupas pada seluruh kulit. Biasanya mukosa tidak
terkena.
18 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
G. Penatalaksanaan
1. Hindari obat yang diduga menyebabkan SJS
Semakin cepat obat penyebab dihentikan, akan semakin baik pula prognosisnya. Pada pasien
yang terpapar obat dengan waktu paruh eliminasi panjang, resiko kematian akan meningkat.
Untuk mengidentifikasi obat penyebab, kronologi administrasi obat harus diketahui dan obat-
obat yang pernah dilaporkan dapat menyebabakan SJS harus dievaluasi. Biasanya, waktu antara
pertama kali pasien minum obat dengan munculnya gejala adalah 1-4 minggu.[5]
2. Terapi Suportif
Pasien SJS harus dibawa ke unit luka bakar (burn unit) atau ruangan yang steril untuk mencegah
terjadinya infeksi.[4] Penelitian menunjukkan bahwa semakin cepat pasien dirawat di unit luka
bakar, akan menurunkan mortalitas dan morbititas dengan signifikan serta menurunkan lama
perawatan di rumah sakit.[3] Untuk menghindari hilangnya panas tubuh melalui kulit, temperatur
ruangan perawatan pasien SJS harus diatur 30°-32°C.2 Pasien SJS memiliki resiko tinggi
mengalami infeksi dan sepsis sehingga sebaiknya dilakukan kultur secara rutin. Pemberian
antibiotik profilaksis tidak disarankan.[2]
Manajemen kebutuhan cairan dan elektrolit pasien harus diperhatikan. Terapi dengan cairan
intravena dapat diberikan untuk tetap menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dalam
tubuh.[4] Kebutuhan nutrisi pasien juga harus dipenuhi. Asupan energi yang disarankan adalah
120% dari laju metabolik basal yang diperkirakan dan asupan protein yang disarankan 3 g/kg
berat badan untuk membantu proses penyembuhan luka.[3]
Perawatan luka dapat dilakukan tanpa debridement kulit (pengangkatan jaringan kulit yang
mati).[5] Lapisan kulit tersebut dapat menjadi dressing alami pada luka.[1] Wound dressing non
adhesive dapat digunakan dan hindari penggunaan obat topikal yang mengandung sulfa seperti
silver sulfadiazine (Burnazine®).[5]Untuk pasien yang mengalami gejala pada mata, gunakan
opthalmic lubricant dan pasien juga harus ditangani oleh dokter spesialis mata untuk mencegah
terjadinya kerusakan mata yang menetap.[2] Obat analgesik dan antipiretik dapat diberikan bila
diperlukan.[1]
19 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
3. Terapi dengan Obat
Steroid Sistemik. Efikasi penggunaan kortikosteroid secara sistemik pada SJS belum
terbukti.[5] Beberapa penelitian menunjukkan manfaat dari penggunaan kortikosteroid
sistemik, tetapi pada penelitian lain penggunaan kortikosteroid sistemik dapat
meningkatkan mortalitas dan morbiditas karena resiko terjadinya komplikasi, infeksi dan
perdarahan pada saluran pencernaan.[3]
Kortikosteroid : deksametason dosis awal 1mg/kg BB nolus intarvena, kemudian
dilanjutkan 0,2-0,5 mg/kg BB intravena tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih
kontroversi. Beberapa peneliti menyetujui pemberian kortikosteroid sistemik beralasan
bahwa kortikosteroid akan menurunkan beratnya penyakit, mempercepat kovalesensi,
mencegah komplikasi berat, menghentikan progresifitas penyakit dan mencegah
kekambuhan. Beberapa literature menyatakan pemberian kortikosteroid sistemik dapat
mengurangi inflamasi dengan cara memperbaiki integritas kapiler, memacu sintesa
lipokotrin, menekan ekspresi molekul adesi. Selain itu kortikosteroid dapat meregulasi
respons imun melalui down regulation ekspresi gen sitokin. Mereka yang tidak setuju
pemberian kortikosteroid beragumentasi bahwa kortikosteroid akan menghambat
penyembuhan luka, meningkatkan resiko infeksi, menutupi tanda awal sepsis, perdarahan
gastrointestinal dan meningkatkan mortalitas. Faktor lain yang harus dipertimbangkan
yaitu harus tapering off 1-3 minggu. Bila tidak ada perbaikan dalam 3-5 hari, maka
sebaiknya pemberian kortikosteroid dihentikan. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
Imunoglobulin Intravena. Penggunaan Imunoglobulin intravena pada SJS masih
kontroversial. Pada sebuah penelitian yang dilakukan di Singapura tahun 2009,
penggunaan Imunoglobulin intravena 3 mg/kg berat badan menunjukkan manfaat pada
pasien dengan TEN.[8]Beberapa penelitian lain menunjukkan tidak ada perbedaan
signifikan pada tingkat mortalitas dan morbiditas serta lama waktu penyembuhan pada
pasien TEN yang menerima Imunoglobulin intravena.[3]
Ciclosporin (Sandimmun®). Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang positif dari
penggunaan Ciclosporin pada TEN, yaitu waktu re-epitelisasi dan berhentinya progresi
20 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
penyakit yang lebih cepat.[5]Terapi dengan Ciclosporin cukup menjanjikan tetapi masih
diperlukan penelitian lebih lanjut.[5]
Tumor Necrosis Factor (TNF). Antagonis (seperti: Infliximab) Beberapa penelitian juga
menunjukkan hasil yang positif dari penggunaan TNF antagonis pada pasien dengan
TEN, tetapi data yang ada belum cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa golongan TNF
antagonis memiliki potensi yang besar dalam terapi TEN.[5]
Plasmapheresis/Plasma Exchange. Data yang ada belum cukup kuat untuk membuktikan
efikasi penggunaan plasmapheresis pada terapi TEN dan SJS.[5]
Cyclophospamide (Endoxan®). Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
membuktikan efikasi Cyclophosphamide pada TEN.[5]
Antihistamin dianjurkan untuk mengatasi gejala pruritus/ gatal biasa dipakai feniramin
hydrogen maleat ( Avil) dapat dibeikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis,
untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari, diphenhidramin hidrokloride (
Benadril ) 1mg/kg BB tiap kali sampai 3 kali per hari. Sedangkan untuk setirizin dapat
diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun: 2,5 mg/dosis, 1 kali/hari; ≥ 6 tahun: 5-10
mg/dosis, 1 kali/hari.
Blister kulit bias dikompres basah dengan larutan burowi
Pengobatan infeksi kulit dengan antibiotic. Antibiotic yang paling beresiko tinggi adalah
β-lactam dan sulfa jangan digunakan untuk terapi awal dapat diberikan antibiotic
spectrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan
lesi kulit dan darah. Terapi infeksi sekunder menggunakan antibiotic yang jarang
menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat
nefrotoksik, misalnya klindamisin 8-16 mg/kg/hari secara intravena, diberikan 2 kali/hari.
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0.5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4,
dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses
kematian keratinosit yang dimediasi FAS.
Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan
kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan
bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
21 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau
tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun.
Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi
tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak
300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas.
Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau
1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit
yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
Perawatan konservatif ditujukan untuk :
1. Perawatan lesi kulit yang terbuka, seperti perawatan luka bakar. Koordinasi dengan unit
luka bakar sangat diperlukan
2. Terapi cairan dan elektrolit. Lesi kulit yang terbuka seringkali disertai pengeluaran cairan
disertai elektrolit
3. Alimentasi kalori dan protein secara parenteral. Lesi pada saluran cerna menyebabkan
kesulitan asupan makanan dan minuman.
4. Pengendalian nyeri . penggunaan NSAID beresiko paling tinggi sebaiknya tidak
digunakan untuk mengatasi nyeri.
H. Prognosis
Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka kematian
sekitar 5%. Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN, dengan
menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan. Outcome lainnya termasuk
kerusakan organ dan kematian. Tingkat kematian ini dapat lebih tinggi pada pasien usia lanjut
atau pasien dengan keterlibatan permukaan kulit yang sangat luas. Untuk mengevaluasi
prognosis dapat digunakan SCORTEN:
22 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Severity-of-Illness Score for Toxic Epidermal Necrolysis
(SCORTEN)
Risk Factor* Score
0 1
Age < 40 yr ≥ 40 yr
Associated cancer No Yes
Heart rate (beats/min) < 120 ≥ 120
Serum BUN (mg/dL) ≤ 28 > 28
Detached or compromised body surface < 10% ≥ 10%
Serum bicarbonate (mEq/L) > 20 ≤ 20
Serum glucose (mg/dL) ≤ 250 > 250
More risk factors indicate a higher score and a higher mortality rate (%) as follows:
0–1 = 3.2% (CI: 0.1 to 16.7)
2 = 12.1% (CI: 5.4 to 22.5)
3 = 35.3% (CI: 19.8 to 53.5)
4 = 58.3% (CI: 36.6 to 77.9)
≥ 5 = > 90% (CI: 55.5 to 99.8)
CI = confidence interval.
Data from Bastuji-Garin S, Fouchard N, Bertocchi M, et al: SCORTEN: A severity-of-illness
score for toxic epidermal necrolysis. Journal of Investigative Dermatology 115:149–153, 2000.
SCORTEN
(Jumlah skor individual)
Prediksi tingkat kematian
(%)
0-1 3,2
23 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
2 12,1
3 35,8
4 58,3
>5 90
Karena tingkat kematian yang tinggi maka pasien dengan SJS dan TEN membutuhkan
penangganan yang cepat, seperti pengenalan tanda dan gejala untuk penegakan diagnosa,
identifikasi dan penghentian obat penyebab serta terapi suportif.
I. Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh
kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan
keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.
Pencegahan Kekambuhan:
Pasien yang memiliki riwayat mengalami SJS harus selalu menghindari penggunaan obat
penyebab atau obat yang sejenis karena akan beresiko terjadi kekambuhan pada paparan obat
berikutnya. Reaksi silang pernah dilaporkan terjadi pada penggunaan obat antikonvulsan dan
obat anti inflamasi non steroid.[4]
24 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Stevens-Johnson syndrome (SJS) & Toxic epidermal necrolysis (TEN) adalah suatu reaksi obat
tidak diinginkan yang parah terutama pada kulit dan membran mukosa.[5] Angka kejadian
kedua reaksi ini rendah, hanya terjadi pada 1-2 orang dari 1 juta orang per tahun.[5] Sampai saat
ini, patogenesis SJS belum sepenuhnya dimengerti tetapi diduga dimediasi oleh mekanisme
imun.[5] Reaksi ini dapat terjadi pada semua usia, jenis kelamin dan ras.[1]
Lebih dari 200 obat pernah dilaporkan dapat menyebabkan terjadinya SJS.[1] Beberapa obat
menyebabkan terjadinya SJS ketika digunakan dalam jangka pendek tetapi pada beberapa obat
lain reaksi muncul setelah penggunaan obat jangka panjang.[5]Pharmacon kali ini akan
membahas obat-obat yang sering menyebabkan terjadinya SJS serta penatalaksanaannya.
Meskipun angka kejadian SJS rendah, tetapi tingkat kematian penderita SJS cukup tinggi, yaitu
1-5% pada SJS. Tingkat kematian ini dapat lebih tinggi pada pasien usia lanjut atau pasien
dengan keterlibatan permukaan kulit yang sangat luas.
25 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, 2009, Stevens Johnson Syndrome & Toxic Epidermal Necrolysis,
http://dermnetnz.org/reactions/sjs-ten.html, diakses tanggal 7 Mei 2012
2. Craft, N., Goldsmith, L. A., Fox, L.D., 2010, VisualDx: Essential Adult Dermatology,
Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins.
3. Gerull, R., MD., Nelle, M., MD, PhD, Schaible, T., MD, 2011, Toxic epidermal
necrolysis and Stevens-Johnson syndrome: A review, Crit Care Med 2011 Vol. 39, No. 6,
http://oficinamedica.com , diakses tanggal 15 Mei 2012
4. Ghislain, P.D., Roujeau, J.C., 2002, Treatment of severe drug reactions: Stevens-Johnson
Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Hypersensitivity syndrome, Dermatology
Jurnal
5. Harr, T., French, L.E., 2010, Review: Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson
Syndrome, www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3018455/pdf/1750-1172-5-39.pdf,
diakses tanggal 8 Mei 2012
6. Mockenhaupt M, Viboud C, Dunant A, et al., 2007, Stevens-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis: Assessment of medication risks with emphasis on recently
7. Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
8. Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
9. Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
10. Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2.
Jakarta: EGC.
11. Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
12. Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius
26 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK (NET)
BAB I
PENDAHULUAN
1.4 Latar Belakang
Nekrolisis epidermal toksik ditemukan pertama kali pada tahun 1956, sebanyak 4
kasus oleh Alana Lyell, penyakit ini biasanya juga disebut sindrom Lyell. NET ditemukan
oleh Alana Lyell dengan gambaran berupa erupsi yang menyerupai luka bakar pada kulit
akibat terkena cairan panas (scalding).
Nekrolisis epidermal toksik (NET) adalah kelainan ekfoliatif mukokutan yang berat,
varian dari eritema multiforme mayor, yang ditandai dengan perluasan cepat dari eritema
dan adanya nekrolisis epidermal. Tingkat kematiannya bergantung kepada derajat keparahan
penyakit dan kualitas perawatannya; berkisar dari 5 persen hingga mencapai lebih dari 50
persen.
Kondisi toksik mengacu pada beredarnya zat toksin dalam peredaran darah, dahulu
kondisi ini dipikirkan sebagai penyebab dari gejala-gejala nekrolisis epidermal toksik. Lyell
menggunakan istilah ‘nekrolisis’ dengan menggabungkan gejala klinis epidermolisis dengan
gambaran histopatologi ‘nekrosis’. Beliau juga menggambarkan keterlibatan pada membran
mukosa sebagai bagian dari sindrom, dan ditemukan hanya terjadi sedikit inflamasi di
daerah dermis, sebuah tanda yang kemudian disebut ‘dermal silence’.
1.5 Tujuan Masalah
1.5.1 Memahami tentang patomekanisme dari nekrolisis epidermal toksik
1.5.2 Memahami cara penanganan pada klien dengan kasus TEN
1.5.3 Memahami pencegahan terjadinya TEN
1.5.4 Memahami pengobatan dari TEN
1.6 Rumusan Masalah
1.6.1 Apa pengertian dari Nekrolisis epidermal toksis
1.6.2 Bagaimana penyebab terjadinya TEN
1.6.3 Bagaimana cara pengobatan TEN
27 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Nekrolisis epidermal toksik atau Lyell's syndrome adalah kelainan kulit yang
memerlukan penanganan segera yang paling banyak disebabkan oleh obat-obatan. Meskipun
begitu, etiologi lainnya, termasuk infeksi, keganasan, dan vaksinasi, juga bisa menyebabkan
penyakit ini.
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) merupakan reaksi mukokutaneous khas onset akut
dan berpotensi mematikan, yang biasanya terjadi setelah dimulainya pengobatan baru.
Nekrolisis epidermal toksik merupakan varian yang paling berat dari penyakit bulosa
seperti eritema multiforme dan sindrom Stevens-Johnson. Semua kelainan tersebut memberikan
gambaran lesi kulit yang menyebar luas, dan terutama pada badan dan wajah yang melibatkan
satu atau lebih membran mukosa.
Pada Stevens-Johnson Syndrome (SJS) epidermal detachment meliputi kurang dari 10%
luas permukaan kulit tubuh ; transitional SJS-TEN ditentukan dengan epidermal detachment
antara 10 sampai 30 % ; dan TEN detachment lebih dari 30 %.
2.2 Epidemologi
Kejadian di seluruh dunia adalah 0,5 sampai 1,4 kasus per 1 juta penduduk per tahun.
Berdasarkan jenis kelamin didapatkan frekuensi yang sama pada pria dan wanita. NET dapat
mengenai semua kelompok usia tetapi lebih umum pada orang tua, kemungkinan karena
meningkatnya jumlah obat yang dikonsumsi oleh orang tua.
2.3 Etiologi
Etiologi NET sama dengan Syndrome Steven Johnson. NET juga dapat terjadi akibat
reaksi graft versus host, infeksi (virus,jamur,bakteri,parasit), dan sepertiga kasus nekrolisis
epidermal toksika disebabkan oleh suatu reaksi terhadap suatu obat. Hubungan antara intake obat
dan onset penyakit ini merupakan faktor yang sangat penting. SJS dan TEN umumnya dimulai
28 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
kurang dari 8 minggu tapi lebih dari 4 hari sejak intake obat pertama kali. Obat yang paling
sering menyebabkan penyakit ini adalah :
Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2008.
2.4 Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas. Ada yang menganggap bahwa N.E.T. merupakan bentuk
berat Sindrome Stevens-Johnson karena pada sebagian para penderita SJS penyakitnya
berkembang menjadi NET. Keduanya dapat disebabkan oleh alergi obat dengan spectrum yang
hampir sama. Anggapan lain N.E.T. berbeda dengan SJS karena pada N.E.T tidak didapati
kompleks imun yang beredar seperti pada Sindrome Stevens-Johnson dan eritema multiformis.
Gambaran histologiknya juga berlainan.
NET dipercaya merupakan immune-related cytotoxic reaction yang menghancurkan
keratinosit yang mengekspresikan sebagai antigen asing. TEN menyerupai reaksi
hipersensitivitas dengan karakteristik reaksi lambat pada pajanan pertama dan reaksinya
meningkat cepat pada pajanan ulang.
Adanya bukti yang mendukung beberapa jalur immunopatologik yang mengacu pada apoptosis
keratinosit, sebagai berikut :
Aktivasi Fas-ligand pada membran keratinosit death receptor–mediated apoptosis
29 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Pelepasan protein dekstruktif (perforin and granzyme B) dari sitotoksik T limfosit akibat
interaksi dengan sel yang mengekspresikan major histocompatability complex (MHC)
class I.
Produksi berlebih dari T cell dan/atau macrophage-derived cytokines (interferon-γ,
tumor necrosis factor-α [TNF-α], and various interleukins).
Drug-induced secretion of granulysin dari CTLs, natural killer cells, dan natural killer T
cells.
2.5 Manifestasi Klinis
N.E.T. umumnya terdapat pada orang dewasa. Pada umumnya N.E.T. merupakan
penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan keseimbangan
cairan/elektrolit atau karena sepsis. Gejalanya mirip Sindrome Steven Johnson.
Penyakit mulai secara akut dengan gejala prodromal. Penderita tampak sakit berat dengan
demam tinggi, mialgia, cephalgia, dan kesadaran menurun. Kelainan kulit mulai dengan eritema
generalisata kemudian banyak timbul vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura. Kelainan
pada kulit dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi,
dan perdarahan sehingga terbentuk krusta berwarna merah hitam. Kelainan semacam itu dapat
pula terjadi di orifisium genitalia eksterna. Juga dapat disertai kelainan pada mata seperti pada
syndrome Steven Johnson.
Pada N.E.T. yang terpenting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari
dasarnya yang kemudian menyeluruh. Gambaran klinisnya menyerupai kombustio. Adanya
epidermolisis menyebabkan tanda Nikolski positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit
ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang
sering terkena tekanan, yakni pada punggung dan bokong karena biasanya penderita berbaring.
Pada sebagian para penderita kelaina kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura, tanpa
disertai erosi, vesikel, dan bula. Kuku dapat terlepas (onikolisis).
Pada organ tubuh dapat terjadi perdarahan traktus gastrointestinal, trakeitis,
bronkopneumonia, udem paru, emboli paru, gangguan keseimbangan cairan & elektrolit, syok
hemodinamik & kegagalan ginjal.
30 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Pada penyakit ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
Kelainan kulit Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan
bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital,
sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan. Kelainan berupa vesikal dan bula yang
cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk
pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan
esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya
pseudomembran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
Kelainan mata Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan,
simblefarop, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Lebih dari 80% pasien memperlihatkan
adanya kelainan yang melibatkan konjungtiva, ulserasi kornea, uveitis anterior dan
synechiae.
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Hal yang
terpenting yaitu adanya riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Semua kasus yang dicurigai
NET harus dilakukan biopsi kulit dan hapusan immunofluoresensi harus dipertimbangkan jika
diduga pemphigus / pemphigoid. Laboratorium didapatkan adanya leukositosis, peningkatan
enzim transaminase serum, albuminuria, gangguan fungsi ginjal, dan ketidakseimbangan
elektrolit. Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi TBC dan
bronkopneumonia. Pemeriksaan histopatologi, lesi awal menunjukkan apoptosis keratinosit
lapisan suprabasal dan pada lesi lanjut didapatkan adanya nekrosis di seluruh lapisan epidermis,
kecuali stratum korneum, dan terpisahnya lapisan epidermis dan dermis.
31 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2008.
2.7 Diagnosis Banding
32 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2008.
Sumber : Hongkong medical diary, 2008.
2.8 Penatalaksanaan
Hanya pasien dengan keterlibatan kulit yang terbatas dan SCORTEN 0-1 yang tidak perlu
penanganan spesial. Sedangkan yang lain harus ditanganin di unit intensive atau burn centers.
Supportive cares terdiri dari : mempertahankan kestabilan hemodinamik dan mencegah
komplikasi yang mengancam nyawa.
Sumber : Hongkong medical diary, 2008.
33 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Pengobatan Simptomatik :
- Fluid replacement secepatnya : Tujuan Mengatur+mempertahankan keseimbangan
cairan & elektrolit.
- Suhu ruangan dipertahankan 28 – 30 oC cegah hipotermi.
- Early nutritional support pasang nasogastric tube (NGT), diet tinggi protein & rendah
garam
- Debridement ekstensif dan agresif tidak dianjurkan.
- Konsultasi disiplin ilmu lain : THT, mata, penyakit dlm, gigi dan mulut, dll. Mata
diperiksa oleh ophthalmologist setiap hari, beri artificial tears, tetes mata antibiotik, dan
vitamin A setiap 2 jam sekali selama fase akut dan cegah synechiae. Mulut berkumur
dengan larutan antiseptik atau antifungal beberapa kali sehari.
Pengobatan Spesifik :
- Kortikosteroid masih kontroversial, beberapa penelitian menyatakan penggunaan pada
fase akut dapat mencegah perluasan penyakit, dan penelitian lain menyatakan steroid
tidak menghentikan progresivitas penyakit dan bahkan berhubungan dengan peningkatan
mortalitas dan efek samping, terutama sepsis.
- Intravenous Immunoglobulin gunakan high-dose dikarenakan adanya fas-mediated
cells death.
- Cyclosporin A agent immunosupresif kuat; mekanismenya dengan mengaktivasi Th2
sitokine, inhibisi CD8+ sitotoksik, dan anti-apoptosis dengan inhibisi Fas-L, nuclear
factor dan TNF-α.
- Plasmapheresis/Hemodialysis tujuannya untuk mengeluarkan medikasi penyebab,
metabolitnya, atau mediator inflamasi (sitokin), tapi tidak direkomendasikan karena
kurangnya bukti dan risiko yang berhubungan dengan kateter intravaskular.
- Anti-TNF agents anti-TNF monoclonal antibodi telah berhasil dipakai untuk
mengobati beberapa pasien, tapi pada penggunaan thalidomide dihentikan karena
dilaporkan banyaknya kematian.
34 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
2.9 Komplikasi
Infeksi sistemik dan septisemia
Syok dan gagal multi-organ (MODs)
Komplikasi pada ginjal berupa nekrosis tubular akut akibat terjadinya ketidakseimbangan
cairan bersama-sama dengan glomerolunefritis.
Pengelupasan membran mukus dalam mulut, tenggorokan, dan saluran pencernaan; ini
menimbulkan kesulitan dalam makan dan minum sehingga mengarah pada dehidrasi dan
kekurangan gizi.
Pengelupasan konjungtiva dan gangguan-gangguan mata lainnya bisa menyebabkan
kebutaan.
Infeksi kulit oleh bakteri, scars and nail dystrophy, hiperpigmentasi atau hipopigmentasi
Adhesi genital dyspareunia, nyeri dan perdarahan
Pneumonia atau respiratory failure
2.10 Prognosis
Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika disebabkan alergi
terhadap obat. Kalau kelainan kulit luas, meliputi 50-70% permukaan kulit, prognosisnya buruk.
Luas kulit yang terkena mempengaruhi prognosisnya. Juga bila terdapat purpura yang luas dan
leukopenia. Angka kematian NET 30-35% , jadi lebih tinggi daripada Sindrome Steven Johnson
yang hanya 5 % atau 10-15% pada bentuk transisional, karena N.E.T. lebih berat. SCORTEN
merupakan sistem skoring prognostik yang dikembangkan untuk menghubungkan mortalitas
dengan parameter yang terpilih.
35 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2008.
36 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nekrolisis epidermal toksik atau Lyell's syndrome adalah kelainan kulit yang
memerlukan penanganan segera yang paling banyak disebabkan oleh obat-obatan. Meskipun
begitu, etiologi lainnya, termasuk infeksi, keganasan, dan vaksinasi, juga bisa menyebabkan
penyakit ini.
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) merupakan reaksi mukokutaneous khas onset akut
dan berpotensi mematikan, yang biasanya terjadi setelah dimulainya pengobatan baru.
Nekrolisis epidermal toksik merupakan varian yang paling berat dari penyakit bulosa
seperti eritema multiforme dan sindrom Stevens-Johnson. Semua kelainan tersebut memberikan
gambaran lesi kulit yang menyebar luas, dan terutama pada badan dan wajah yang melibatkan
satu atau lebih membran mukosa.
Penyebab NET belum jelas, tetapi obat-obatan (sulfonamid dan butazones) dan spesies
Staphylococcus merupakan penyebab utama. Akibatnya, istilah-istilah seperti ‘staphylococcal-
induced toxic epidermal necrolysis’ dan ‘drug-induced scalded skin syndrome’ menang selama
beberapa dekade, tetapi sekarang dipisahkan karena terapi dan prognosisnya berbeda. Oleh
karena itu nekrolisis epidermal toksik atau NET merupakan penyakit erupsi kulit yang umumnya
timbul akibat obat-obatan dengan lesi berupa bulla, dengan penampakan kulit seperti terbakar
yang menyeluruh.
37 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
DAFTAR PUSTAKA
1. Valeyrie and Roujeau, 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis). “Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine”, USA : 7th edition,
chapter 39, page 349-355.
2. Sanchez and Raimer, 2001. Toxic Epidermal Necrolysis (TEN). “Vademecum
Dermatopathology”. Georgetown, USA : page 68-69.
3. HHF Ho, 2008. Diagnosis and Management of Stevens-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis. “Hongkong Medical Diary” : volume 13, number 10. Diunduh
tanggal 6 maret 2012. http://www.fmshk.org/database/articles/03mb3_4.pdf.
4. Ghislain and Roujeau, 2002. Treatment of severe drug reactions: Stevens-Johnson
Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Hypersensitivity syndrome. “Dermatology
Online Journal” : volume 8, number 1. Diunduh tanggal 6 maret 2012. http://dermatology-
s10.cdlib.org /DOJvol8num1/reviews/drugrxn/ghislain.html.
5. Cohen, 2011. Toxic Epidermal Necrolysis. “Medscape reference” : america. Diunduh
tanggal 7 maret 2012. http://emedicine.medscape.com/article/229698-overview #showall.
38 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
PEMFIGUS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Istilah Pemfigus, berasal dari kata pemphix (Yunani) yang berarti lepuh atau gelembung,
merupakan kelompok penyakit berbula kronik, menyerang kulit dan membrane mukosa yang
secara histologik ditandai dengan bula intraepidermal, dimana akibat dari autoantibodi yang
secara langsung menyerang permukaan keratinosit yang mengakibatkan hilangnya adhesi antara
keratinosit melalui proses yang disebut akantolisis. Dan secara imunopatologik ditemukan
antibody terhadap komponen desmosom pada permukaan keratinosit jenis IgG, baik terikat
maupun yang bebas di dalam sirkulasi darah.
Pemfigus dapat terjadi pada semua usia namun yang paling sering adalah usia pertengahan.
Pemfigus dapat ditemukan di seluruh dunia, namun insiden lebih tinggi di kalangan Yahudi.
Secara garis besar bentuk pemfigus dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu pemfigus vulgaris, pemfigus
eritematous, pemfigus foliaseus, dan pemfigus vegetans. Menurut letak dan celah pemfigus di
bagi menjadi 2 yaitu di suprabasal ialah pemfigus vulgaris dan pemfigus vegetans, dan di stratum
granulosum ialah pemfigus eritematous dan pemfigus foliaseus. Semua penyakit tersebut
memberikan gejala yang khas yaitu pembentukan bula yang kendur pada kulit yang terlihat
normal dan mudah pecah, pada penekanan, bula tersebut meluas (tanda Nikolski positif),
Akantolisis selalu positif, dan adanya antibody tipe IgG terhadap antigen interselular di
epidermis yang dapat ditemukan di dalam serum, meupun terikat di epidermis.
1.2 Tujuan masalah
1.2.1 Memahami tentang patomekanisme dari pemfigus
1.2.2 Memahami cara penanganan pada klien dengan kasus pemfigus
1.2.3 Memahami diagnosa pemfigus
1.2.4 Memahami pengobatan dari sjs
1.3 Rumusan masalah
1.3.1 Bagaimana pengertian dan klasifikasi dari pemfigus
1.3.2 Bagaimana etiologi terjadinya pemfigus
1.3.3 Bagaimana penatalaksanaan pemfigus
39 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PEMFIGUS
Definisi
Istilah Pemfigus, berasal dari kata pemphix (Yunani) yang berarti lepuh atau gelembung,
merupakan kelompok penyakit berbula kronik, menyerang kulit dan membrane mukosa yang
secara histologik ditandai dengan bula intraepidermal, dimana akibat dari autoantibodi yang
secara langsung menyerang permukaan keratinosit yang mengakibatkan hilangnya adhesi antara
keratinosit melalui proses yang disebut akantolisis. Dan secara imunopatologik ditemukan
antibody terhadap komponen desmosom pada permukaan keratinosit jenis IgG, baik terikat
maupun yang bebas di dalam sirkulasi darah.2
Pemfigus dapat terjadi pada semua usia namun yang paling sering adalah usia
pertengahan. Pemfigus dapat ditemukan di seluruh dunia, namun insiden lebih tinggi di kalangan
Yahudi.
Secara garis besar bentuk pemfigus dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu pemfigus vulgaris,
pemfigus eritematous, pemfigus foliaseus, dan pemfigus vegetans. Menurut letak dan celah
pemfigus di bagi menjadi 2 yaitu di suprabasal ialah pemfigus vulgaris dan pemfigus vegetans,
dan di stratum granulosum ialah pemfigus eritematous dan pemfigus foliaseus. Semua penyakit
tersebut memberikan gejala yang khas yaitu pembentukan bula yang kendur pada kulit yang
terlihat normal dan mudah pecah, pada penekanan, bula tersebut meluas (tanda Nikolski positif),
Akantolisis selalu positif, dan adanya antibody tipe IgG terhadap antigen interselular di
epidermis yang dapat ditemukan di dalam serum, meupun terikat di epidermis.1
1. Pemfigus Vulgaris
1.1 Epidemiologi
Pemfigus Vulgaris merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80% semua kasus).
Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras. Frekuensinya
pada kedua jenis kelamin sama. Umumnya mengenai umur pertengahan (dekade ke-4 dan ke-5)
tetapi dapat juga mengenai semua umur, termasuk anak. 1
40 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Di India penyakit ini banyak mengenai anak-anak jika dibandingkan di Negara barat. Di
Negara-Negara timur seperti India, Cina, Malaysia, dan Timur Tengah kasus pemfigus paliang
umum adalah pemfigus blistering. Ras Yahudi terutama Yahudi Ashkenazi memiliki
peningkatan kerentanan terhadap PV. Di Afrika selatan, PV ini lebih sering pada bangsa India
dibanding pada bangsa kulit hitam dan berkulit putih. PV jarang sekali terjadi pada orang
barat.1,3
1.2 Etiopatogenesis
Pemfigus ialah penyakit autoimun, karena pada serum penderita ditemukan autoantibody,
juga dapat disebabkan oleh obat (drug induced pemphigus), misalnya D-penisilamin dan
kaptopril.1
Pada penyakit ini, autoantibodi yang menyerang desmoglein pada permukaan keratinosit
membuktikan bahwa autoantibodi ini bersifat patogenik. Antigen PV yang dikenali sebagai
desmoglein 3, merupakan desmosomal kaderin yang terlibat dalam perlekatan interselular pada
epidermis. Antibodi yang berikatan pada domain ekstraseluar region terminal amino pada
desmoglein 3 ini mempunyai efek langsung terhadap fungsi kaderin. Desmoglein 3 dapat
ditemukan pada desmosom dan pada sel keratinosit. Dapat dideteksi pada saat diferensiasi
keratinosit terutamanya pada epidermis bawah dan lebih padat pada mukosa bucal dan kulit
kepala berbanding di badan. Hal ini berbeda dengan antigen Pemfigus Foliaseus, desmoglein 1
yang ditemukan di pada epidermis dan lebih padat pada epidermis atas. Pengaruh faktor
lingkungan dan cara hidup individu belum dapat dibuktikan berpengaruh terhadap PV, namun
penyakit ini dapat dikaitkan dengan genetik pada kebanyakan kasus. 1,4
Desmoligen ialah salah satu komponen desmosome. Komponen yang lain, misalnya
desmoplakin, plakoglobin, dan desmokolin. Fungsi desmosome ialah meningkatkan kekuatan
mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan mukosa.1
Tanda utama pada PV adalah dengan mencari autoantibody IgG pada permukaan
keratinosit. Hal ini merupakan fungsi patogenik primer dalam mengurangi perlekatan antara sel-
sel keratinosit yang menyebabkan terbentuknya bula-bula, erosi dan ulser yang merupakan
gambaran pada penyakit PV. 2,3
Autoantibodi patologik yang menyebabkan terjadinya PV adalah autoantibodi yang
melawan desmoglein 1 dan desmoglein 3, yang mana hal ini menyebabkan terjadinya
41 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
pembentukan bula. Pemeriksaan mikroskopi imunoelektron dapat menentukan lokasi antigen
pada desmosom untuk kedua PV dan pemifigus Foliaseus, yang lebih sering pada perlekatan sel-
sel pada epitel bertanduk. 1,2,5
Gambar 1. Adhesi sel epidermis
1.3 Gejala klinis
Keadaan umum penderita biasanya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai lesi di kulit
kepala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60% kasus, berupa erosi yang disertai
pembentukan krusta, sehingga sering salah didiagnosis sebagai pioderma pada kulit kepala yang
berambut atau dermatitis dengan infeksi sekunder.1
Semua selaput lender dengan epitel skuamosa dapat diserang, yakni selaput lender
konjungtiva, hidung, farings, larings, esophagus, uretra, vulva, dan serviks. Kebanyakan
penderita menderita stomatitis aftosa sebelum di diagnosis pasti ditegakkan. Lesi mulut ini dapat
meluas dan menggangu pada waktu penderita makan oleh karena rasa nyeri.
Lesi di tempat tersebut dapat berlangsung berbulan-bulan sebelum timbul bula
generalisata. Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan meninggalkan kulit
terkelupas, dan diikuti oleh pembentukan krusta yang lama bertahan di atas kulit yang terkelupas
tersebut. Bula dapat timbul di atas kulit yang tampak normal atau yang eritematosa dan
generalisata. Tanda Nikolski positif disebabkan oleh adanya akantolisis. Cara mengetahui tanda
tersebut ada dua yaitu dengan menekan dan menggeser kulit diantara dua bula dan kulit tersebut
akan terkelupas atau dengan menekan bula, maka bula akan meluas karena cairan yang di
dalamnya mengalami tekanan.1,3
42 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Pruritus tidaklah lazim pada pemfigus, tetapi penderita sering mengeluh nyeri pada kulit
yang terkelupas. Epitelisasi terjadi setelah penyembuhan dengan meninggalkan hipopigmentasi
atau hiperpigmentasi dan biasanya tanpa jaringan parut.
Gambar 2. Stomatitis Aftosa
Gambar 3. Pemfigus Vulgaris
1.4 Histopatologi
Pada gambaran histopatologik didapatkan bula Intraepidermal suprabasal dan sel-sel
epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan percobaan Tzanck positif.
Percobaan ini berguna untuk menentukan adanya sel-sel akantolitik, tetapi bukan diagnostik pasti
untuk penyakit pemfigus. Pada pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop elektron dapat
diketahui bahwa permulaan perubahan patologik ialah perlunakan segmen interselular. Juga
dapat dilihat perusakan desmosom dan tonofilamen sebagai peristiwa sekunder.1
Gambar 3. Histopatologi Pemfigus Vulgaris
42 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Pruritus tidaklah lazim pada pemfigus, tetapi penderita sering mengeluh nyeri pada kulit
yang terkelupas. Epitelisasi terjadi setelah penyembuhan dengan meninggalkan hipopigmentasi
atau hiperpigmentasi dan biasanya tanpa jaringan parut.
Gambar 2. Stomatitis Aftosa
Gambar 3. Pemfigus Vulgaris
1.4 Histopatologi
Pada gambaran histopatologik didapatkan bula Intraepidermal suprabasal dan sel-sel
epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan percobaan Tzanck positif.
Percobaan ini berguna untuk menentukan adanya sel-sel akantolitik, tetapi bukan diagnostik pasti
untuk penyakit pemfigus. Pada pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop elektron dapat
diketahui bahwa permulaan perubahan patologik ialah perlunakan segmen interselular. Juga
dapat dilihat perusakan desmosom dan tonofilamen sebagai peristiwa sekunder.1
Gambar 3. Histopatologi Pemfigus Vulgaris
42 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Pruritus tidaklah lazim pada pemfigus, tetapi penderita sering mengeluh nyeri pada kulit
yang terkelupas. Epitelisasi terjadi setelah penyembuhan dengan meninggalkan hipopigmentasi
atau hiperpigmentasi dan biasanya tanpa jaringan parut.
Gambar 2. Stomatitis Aftosa
Gambar 3. Pemfigus Vulgaris
1.4 Histopatologi
Pada gambaran histopatologik didapatkan bula Intraepidermal suprabasal dan sel-sel
epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan percobaan Tzanck positif.
Percobaan ini berguna untuk menentukan adanya sel-sel akantolitik, tetapi bukan diagnostik pasti
untuk penyakit pemfigus. Pada pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop elektron dapat
diketahui bahwa permulaan perubahan patologik ialah perlunakan segmen interselular. Juga
dapat dilihat perusakan desmosom dan tonofilamen sebagai peristiwa sekunder.1
Gambar 3. Histopatologi Pemfigus Vulgaris
43 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Gambar 4. Histopatologi Pemfigus Vulgaris
1.5 Imunologi
Pada tes imunofloresensi langsung didapatkan antibodi interselular tipe IgG dan C3. Pada
tes imunofloresensi tidak langsuog didapatkan (antibodi pemfigus tipe IgG). Tes yang pertama
lebih terpercaya daripada tes kedua, karena telah menjadi positif pada permulaan penyakit, sering
sebelum tes kedua menjadi positif, dan tetap positif pada waktu yang lama meskipun
penyakitnya telah membaik.1
1.6 Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis PV diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
lengkap. Lepuh dapt dijumpai pada berbagai penyakit sehingga dapat mempersulit dalam
penegakkan diagnosis. Perlu dilakukan pemeriksaan manual dermatologi untuk membuktikan
adanya tanda Nikolski yang menunjukkan adanya PV. Untuk mencari tanda ini, dokter akan
dengan lembut menggosok daerah kulit normal di dekat daerah yang melepuh dengan kapas atau
jari. Jika memiliki PV, lapisan atas kulit akan cenderung terkelupas. Tanda ini tampaknya adalah
patognomonik karena hanya ditemukan pada pemfigus dan Nekrolisis Epiderma Toksik.4,6
Beberapa pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain :
44 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
1. Biopsi Kulit dan patologi anatomi
Pada pemeriksaan ini, diambil sampel kecil dari kulit yang berlepuh dan diperiksa di
bawah mikroskop. Pasien yang akan di biopsi sebaiknya pada pinggir lesi yang masih
baru dan dekat dari kulit yang normal. Gambaran histopatologi utama adalah adanya
akantolisis yaitu pemisahan keratinosit satu dengan yang lain.5,6
2. Imunofloresensi
2.1 Imunofloresensi langsung
Sampel yang diambil dari biopsi diwarnai dengan cairan flouresens. Pemeriksaan
ini dinamakan direct immunoflourescence (DIF). DIF menunjukan deposit antibodi
imonureaktan lainnya secara in vivo, misalnya komplemen. DIF biasanya menunjukan
IgG yang menempel pada permukaan keratinosit yang di dalam maupun sekitar lesi.5
2.2 Imunofloresensi tidak langsung
Antibodi terhadap keratinosit dideteksi melalui serum pasien. Pemeriksaan ini
ditegakkan jika pemeriksaan imunofloresensi langsung dinyatakan positif. Serum
penderita mengandung autoantibodi IgG yang menempel pada epidermis dapat dideteksi
dengan pemeriksaan ini. Sekitar 80-90% hasil pemeriksaan ini dinyatakan sebagai
penderita PV.
1.7 Diagnosis banding
Pemfigus vulgaris dibedakan dengan dermatitis herpetiformis dan pemfigoid bulosa. Der-
matitis herpetiformis dapat mengenai anak dan dewasa, keadaan umumnya baik, keluhannya
sangat gatal, fuam polimorf, dinding vesikel/bula tegang dan berkelompok, dan mempunyai
tempat predileksi. Sebaliknya pemfigus terutama terdapat pada orang dewasa, keadaan umumnya
buruk, tidak gatal, bula berdinding kendur, dan biasanya generalisata. 1
Pemfigoid bulosa berbeda dengan pemphigus vulgaris karena keadaan umumnya baik,
dinding bula tegang, letaknya disubepidermal, dan terdapat lgG linear.
1.8 Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif. Kortikosteroid
yang paling banyak digunakan ialah prednison dan deksametason. Dosis prednison
45 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 60-150 mg sehari. Ada pula
yang menggunakan 3 mg/kgBB sehari bagi pemfigus yang berat.1,3
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid dapat dikombinasi dengan
adjuvant yang kuat yaitu sitostatik.
Sitostatik diberikan, bila :
- Kortikosteroid sistemik dosis tinggi kurang memberi respons
- Terdapat kontraindikasi, misalnya ulkus peptikum, diabetes mellitus, katarak, dan
osteoporosis
- Penurunan dosis pada saat telah terjadi perbaikan tidak seperti yang diharapkan.
Obat sitostatik untuk pemphigus adalah azatioprin, siklofosfamid, metrotreksat,
danmikofenolat mofetil.
2. Non medikamentosa
Pada pemberian terapi dengan dosis optimal, tetapi pasien masih merasakan
gejala-gejala ringan dari penyakit ini. Maka perawatan luka yang baik adalah sangat
penting karena ia dapat memicu penyembuhan bula dan erosi. Pasien disarankan
mengurangi aktivitas agar resiko cedera pada kulit dan lapisan mukosa pada fase aktif
penyakit ini dapat berkurang. Aktivitas-aktivitas yang patut dikurangi adalah olahraga
makan dan minum yang dapat mengiritasi rongga mulut (makanan pedas, asam, keras,
dan renyah).4
1.9 Prognosis
Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada 50% penderita dalam
tahun pertama. Sebab kematian ialah sepsis, kakeksia, dan ketidakseimbangan elektrolit.
Pengobatan dengan kortikosteroid membuat prognosisnya lebih baik.1
2. Pemfigus Eritematosa
2.1 Gejala Klinis
Keadaan umum penderita baik. Lesi mula-mula sedikit dan dapat berlangsung berbulan-
bulan, sering disertai remisi. Lesi kadang-kadang terdapat di mukosa. Kelainan kulit berupa
bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama dan krusta di muka menyerupai kupu-kupu
46 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
sehingga mirip lupus eritematosus dan dermatitis seboroika. Hubungannya dengan lupus
eritematosus juga terlihat pada pemeriksaan imunofloresensi langsung. Pada tes tersebut didapati
antibodi di interseluler dan juga di membrana basalis. Selain di muka, lesi juga terdapat di
tempat-tempat tersebut selain kelainan yang telah disebutkan juga terdapat bula yang kendur.
Penyakit ini dapat berubah menjadi pemfigus vulgaris atau foliaseus.1,3
2.2 Histopatologi
Gambaran histopatologiknya identik dengan pemfigus foliaseus. Pada lesi yang lama,
hiperkeratosis folikular, akantosis, dan diskeratosis stratum granulare tampak prominen.1
2.3 Diagnosis banding
Selain dengan dermatitis herpetiformis dan pemfigoid bulosa, penyakit ini mirip lupus
eritematosus dan dermatitis seboroika. Pada lupus eritematosus, kecuali eritema dan skuama juga
terdapat atrofi, telangiektasia, sedangkan skuamanya lekat dengan kulit. Di samping itu terdapat
sumbatan keratin dan biasanya tidak ada bula.1
2.4 Pengobatan
Pengobatannya dengan kortikosteroid seperti pada pemfigus vulgaris, hanya dosisnya
tidak setinggi seperti pada pengobatan pemfigus vulgaris. Kortikosteroid yang paling banyak
digunakan ialah prednison dan deksametason. Dosis prednison bervariasi bergantung pada berat
ringannya penyakit, Dosis patokan prednison 60 mg sehari.1,3
2.5 Prognosis
Penyakit ini dianggap sebagai bentuk jinak pemfigus, karena itu prognosisnya lebih baik
daripada pemfigus vulgaris.1
3. Pemfigus Foliaseus
3.1 Definisi
Pemfigus foliaseus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berbula kronik dengan
karakteristik ada lesi krusta.1
47 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
3.2 Gejala klinis
Umumnya terdapat pada orang dewasa, antara umur 40 - 50 tahun. Gejalanya tidak
seberat pemfigus vulgaris. Perjalanan penyakit kronik, remisi terjadi temporer. Penyakit mulai
dengan timbulnya vesikel/bula, skuama dan krusta dan sedikit eksudatif, kemudian memecah dan
meninggalkan erosi. Mula-mula dapat mengenai kepala yang berambut, muka, dan dada bagian
atas sehingga mirip dermatitis seboroika. Kemudian menjalar simetrik dan mengenai seluruh
tubuh setelah beberapa bulan. Yang khas ialah terdapatnya eritema yang menyeluruh disertai
banyak skuama yang kasar, sedangkan bula yang berdinding kendur hanya sedikit, agak berbau.
Lesi di mulut jarang terdapat.1
3.3 Histopatologi
Terdapat akantolisis di epidermis bagian atas di stratum granulosum. Kemudian terbentuk
celah yang dapat menjadi bula, sering subkorneal dengan akantolisis sebagai dasar dan atap bula
tersebut. 1,3
3.4 Diagnosis banding
Karena terdapat eritema yang menyeluruh, penyakit ini mirip eritroderma. Perbedaannya
dengan eritroderma karena sebab lain, pada pemfigus foliaseus terdapat bula dan tanda Nikolski
positif. Kecuali itu pemeriksaan histopatologik juga berbeda.1
3.5 Pengobatan
Pengobatannya dengan kortikosteroid, kortikosteroid yang paling banyak digunakan ialah
prednison dan deksametason. Dosis prednison bervariasi bergantung pada berat ringannya
penyakit, Dosis patokan prednison 60 mg sehari. 1
3.6 Prognosis
Hasil pengobatan dengan kortikosteroid tidak sebaik seperti pada tipe pemfigus yang lain.
Penyakit akan berlangsung kronik.1
48 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
4. Pemfigus Vegetans
4.1 Definisi
Pemfigus vegetans ialah varian jinak pemfigus vulgaris dan sangat jarang ditemukan.1
4.2 Klasifikasi
Terdapat 2 tipe ialah :1,3,4
1. Tipe Neumann
2. Tipe Hallopeau (pyodermite vegetante)
4.3 Gejala kinis
1. Tipe Neumann
Biasanya menyerupai pemfigus vulgaris, kecuali timbulnya pada usia lebih muda.
Tempat predileksi di muka, aksila, genitalia eksterna, dan daerah Intertrigo yang lain.1
Yang khas pada penyakit ini ialah terdapatnya bula-bula yang kendur, menjadi
erosi dan kemudian menjadi vegetatif dan proliferatif papilomatosa terutama di daerah
intertrigo. Lesi oral hampir selalu ditemukan. Perjalanan penyakitnya lebih lama daripada
pemfigus vulgaris, dapat terjadi lebih akut, dengan gambaran pemfigus vulgaris lebih
dominan dan dapat fatal. 1,4
Histopatologi Tipe Neumann
Lesi dini sama seperti pada pemfigus vulgaris, tetapi kemudian timbul proliferasi
papil-papil ke atas, pertumbuhan ke bawah epidermis, dan terdapat abses-abses
intraepidermal yang hampir seluruhnya berisi eosinofil. 1
2. Tipe Hallopeau
Perjalanan penyakit kronik, tetapi dapat seperti pemfigus vulgaris dan fatal. Lesi
primer ialah pustul-pustul yang bersatu, meluas ke perifer, menjadi vegetatif dan
menutupi daerah yang luas di aksila dan perineum. Di dalam mulut, dalam terlihat
gambaran yang khas ialah granulomatosis seperti beludru. 1
Histopatologi Tipe Hallopeau
Lesi permulaan sama dengan tipe Neumann, terdapat akantolisis suprabasal,
mengandung banyak eosinofil, dan terdapat hiperplasi epidermis dengan abses eosinofilik
49 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
pada lesi yang vegetatif. Pada keadaan lebih lanjut akan tampak papilomatosis dan
hiperkeratosis tanpa abses. 1
Gambat 5. Pemfigus Vagetans
4.4 Pengobatan
Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif. Kortikosteroid yang
paling banyak digunakan ialah prednison dan deksametason. Dosis prednison bervariasi
bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 60-150 mg sehari. 1
4.5 Prognosis
Tipe hallopeau, prognosisnya lebih baik karena berkecenderungan sembuh. 1
B. PEMFIGOID BULOSA
1. Definisi
Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai oleh
adanya bula subepidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya diderita pada orang tua dengan erupsi
bulosa disertai rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang melibatkan mukosa, tetapi memiliki angka
morbiditas yang tinggi. Namun presentasinya dapat polimorfik dan dapat terjadi kesalahan
50 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
diagnosa, terutama pada tahap awal penyakit atau di varian atipikal, di mana bula biasanya tidak
ada. Dalam kasus ini, penegakan diagnosis PB memerlukan tingkat pemeriksaan yang tinggi
untuk kepentingan pemberian pengobatan awal yang tepat. Antigen target pada antibodi pasien
yang menunjukkan dua komponen dari jungsional adhesi kompleks-hemidesmosom ditemukan
pada kulit dan mukosa.1,5
Pemfigoid Bulosa (PB) ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan
berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (komponen komplemen
ke-3) pada epidermal basement membrane zone, IgG sirkulasi dan antibody IgG yang terikat
pada basement membrane zone.2,3,4
Kondisi ini disebabkan oleh antibodi dan inflamasi abnormal terakumulasi di lapisan
tertentu pada kulit atau selaput lendir. Lapisan jaringan ini disebut "membran basal." Antibodi
(imunoglobulin) mengikat protein di membran basal disebut antigen hemidesmosomal PB dan
ini menarik sel-sel peradangan (kemotaksis).5
2. Epidemiologi
Sebagian besar pasien dengan Pemfigoid Bulosa berumur lebih dari 60 tahun . Meskipun
demikian, Pemfigoid Bulosa jarang terjadi pada anak-anak, dan laporan di sekitar awal tahun
1970 (ketika penggunaan immunofluoresensi untuk diagnosis menjadi lebih luas) adalah tidak
akurat karena kemungkinan besar data tersebut memasukkan anak-anak dengan penanda IgA,
daripada IgG, di zona membran basal. Tidak ada predileksi etnis, ras, atau jenis kelamin yang
memiliki kecenderungan terkena penyakit Pemfigoid Bulosa. Insiden Pemfigoid Bulosa
diperkirakan 7 per juta per tahun di Prancis dan Jerman.6
3. Etiologi
PB adalah contoh dari penyakit yang dimediasi imun yang dikaitkan dengan respon
humoral dan seluler yang ditandai oleh dua self-antigen: antigenPB 180 (PB180, PBAG2 atau
tipe kolagen XVII) dan antigen PB 230 (PB230atau PBAG1.1,4
Etiologi PB adalah autoimun, tetapi penyebab yang menginduksi produksi autoantibodi
pada Pemfigoid Bulosa masih belum diketahui. Sistem imun tubuh kita menghasilkan antibodi
untuk melawan bakteri, virus atau zat asing yang berpotensi membahayakan. Untuk alasan yang
tidak jelas, tubuh dapat menghasilkan antibodi untuk suatu jaringan tertentu dalam tubuh. Dalam
51 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Pemfigoid Bulosa, sistem kekebalan menghasilkan antibodi terhadap membran basal kulit,
lapisan tipis dari serat menghubungkan lapisan luar kulit (dermis) dan lapisan berikutnya dari
kulit (epidermis). Antibodi ini memicu aktivitas inflamasi yang menyebabkan kerusakan pada
struktur kulit dan rasa gatal pada kulit.4,5
4. Patogenesis
Pemfigoid Bulosa adalah contoh penyakit autoimun dengan respon imunseluler dan
humoral yang bersatu menyerang antigen pada membran basal.
Antigen P.B. merupakan protein yang terdapat pada hemidesmosom sel basal, diproduksi
oleh sel basal dan merupakan bagian B.M.Z. (basal membrane zone) epitel gepeng berlapis.
Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan sel-sel basal dengan membrana basalis, strukturnya
berbeda dengan desmosom. 1,2
Terdapat 2 jenis antigen P.B. ialah yang dengan berat molekul 230 kD disebut PBAgl
(P.B. /Antigen 1) atau PB230 dan 180 kD dinamakan PBAg2 atau PB180. PB230 lebih banyak
ditemukan daripada PB180.1
Terbentuknya bula akibat komplemen yang teraktivasi melalui jalur klasik dan alternatif
kemudian akan dikeluarkan enzim yang merusak jaringan sehingga terjadi pemisahan epidermis
dan dermis.
Autoantibodi pada PB terutama IgG1, kadang-kadang IgA yang menyertai IgG. Isotipe
IgG yang utama ialah IgG1 dan IgG4, yang melekat pada kompelemen hanya IgG1. Hampir 70%
penderita mempunyai autoantibodi terhadap B.M.Z dalam serum dengan kadar yang sesuai
dengan keaktivasi penyakit, jadi berbeda dengan pemfigus.1
Studi ultrastruktural memperlihatkan pembentukan awal bula pada pemfigus bulosa
terjadi dalam lamina lucida, di antara membrane basalis dan lamina densa. Terbentuknya bula
pada tempat tersebut disebabkan hilangnya daya tarikan filament dan hemidesmosom.
Langkah awal dalam pembentukan bula adalah pengikatan antibody terhadap antigen
Pemfigoid Bulosa. Fiksasi IgG pada membran basal mengaktifkan jalur klasik komplemen.
Aktifasi komplemen menyebabkan kemotaksis leukosit serta degranulasi sel mast. Produk-
produk sel menyebabkan kemotaksis dari eosinofil melalui mediator seperti faktor kemotaktik
eosinofil anafilaksis. Akhirnya, leukosit dan protease sel mast mengakibatkan pemisahan
epidermis kulit. Sebagai contoh, eosinofil, sel inflamasi dominan di membran basal pada lesi
52 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Pemfigoid Bulosa, menghasilkan gelatinase yang memotong kolagen ekstraselular dari PBAG2,
yang mungkin berkontribusi terhadap pembentukan bula
5. Diagnosa
1. Gambaran Klinis
Fase Non Bulosa
Manifestasi kulit PB bisa polimorfik. Dalam fase prodromal penyakit non-bulosa,
tanda dan gejala sering tidak spesifik, dengan rasa gatal ringan sampai parah atau dalam
hubungannya dengan eksema, papul dan atau urtikaria, ekskoriasi yang dapat bertahan
selama beberapa minggu atau bulan. Gejala non-spesifik ini bisa ditetapkan sebagai satu-
satunya tanda-tanda penyakit.
Fase Bulosa
Tahap bulosa dari PB ditandai oleh perkembangan vesikel dan bula pada kulit
normal ataupun eritematosa yang tampak bersama-sama dengan urtikaria dan infiltrat
papul dan plak yang kadang-kadang membentuk pola melingkar. Bula tampak tegang,
diameter 1 – 4 cm, berisi cairan bening, dan dapat bertahan selama beberapa hari,
meninggalkan area erosi dan berkrusta. Lesi seringkali memiliki pola distribusi simetris,
dan dominan pada aspek lentur anggota badan dan tungkai bawah, termasuk perut.
Perubahan post inflamasi memberi gambaran hiper- dan hipopigmentasi serta, yang lebih
jarang, miliar. Keterlibatan mukosa mulut diamati pada 10-30% pasien. Daerah mukosa
hidung mata, faring, esofagus dan daerah anogenital lebih jarang terpengaruh. Pada
sekitar 50% pasien, didapatkan eosinofilia darah perifer.
Perjalanan penyakit biasanya ringan dan keadaan umum penderita baik. Penyakit
PB dapat sembuh spontan (self-limited disease) atau timbul lagi secara sporadik, dapat
generalisata atau tetap setempat sampai beberapa tahun. Rasa gatal kadang dijumpai,
walaupun jarang ada. Tanda Nikolsky tidak dijumpai karena tidak ada proses akantolisis.
Kebanyakan bula ruptur dalam waktu 1 minggu, tidak seperti pemfigus vulgaris, ia tidak
menyebar dan sembuh dengan cepat.4
Lesi kulit
Eritem, papul atau tipe lesi urtikaria mungkin mendahului pembentukan bula.
Bula besar, tegang, oval atau bulat; mungkin timbul dalam kulit normal atau yang
53 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
eritema dan mengandung cairan serosa atau hemoragik. Erupsi dapat bersifat lokal
maupun generalisata, biasanya tersebar tapi juga berkelompok dalam pola serpiginosa
dan arciform.3
Tempat Predileksi
Aksila; paha bagian medial, perut, fleksor lengan bawah, tungkai bawah.3
Gambar 6: Pemfigoid Bulosa.
Gambar 7 : Pemfigoid Bulosa
54 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Gambar 8: Pemfigoid Bulosa
Gambar 9: Pemfigoid Bulosa
6. Histopatologi
Kelainan yang dini pada Pemfigoid Bulosa yaitu terbentuknya celah di perbatasan
dermal-epidermal, bula terletak di subepidermal, sel infiltrat yang utama adalah eosinophil.1
55 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
7. Imunologi
Pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan C3 tersusun seperti pita di
B.M.Z. (Basement Membrane Zone). 1
Pewarnaan Immunofluorescence langsung (IF) menunjukkan IgG dan biasanya juga C3,
deposit dalam lesi dan paralesional kulit dan substansi intraseluler dari epidermis.4
8. Diagnosis banding
Penyakit ini dibedakan dengan 55acrum55hi vulgaris dan dermatitis herpetiformis.
Pemfigus vulgaris (PV), adalah sebuah penyakit autoimun yang serius,dengan bulla, dapat
bersifat akut ataupun kronis pada kulit dan membrane mukosa yang sering berakibat fatal kecuali
diterapi dengan agen imunosupresif. Penyakit ini adalah prototype dari keluarga / golongan
55acrum55hi, yang merupakan sekelompok penyakit bula autoimun akantolitik. Gambaran lesi
kulit pada 55acrum55hi vulgaris didapatkan bula yang kendur di ataskulit normal dan dapat pula
erosi. Membran mukosa terlibat dalam sebagian besar kasus. Distribusinya dapat dibagian mana
saja pada tubuh. Pada pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran akantolisis suprabasalis.
Pada pemeriksaan imunopatologi, diperoleh IgG dengan pola interseluler.2
Pada dermatitis herpetiformis, sangat gatal, ruam yang utama ialah vesikel berkelompok,
terdapat IgA tersusun granular. 1,3
9. Pengobatan
Pengobatan terdiri dari prednisone sistemik, sendiri atau dalam kombinasi dengan agen
lain yaitu azathioprine, mycophenolate mofetil atau tetracycline.Obat-obat ini biasanya dimulai
secara bersamaan, mengikuti penurunan secara bertahap dari prednison dan agen steroid setelah
remisiklinis tercapai. Kasus ringan mungkin hanya memerlukan kortikosteroid topikal.
Methrotrexate mungkin digunakan pada pasien dengan penyakit berat yang tidak dapat
bertoleransi terhadap prednison. Dosis prednisolon 40-60 mgsehari, jika telah tampak perbaikan
dosis di turunkan perlahan-lahan. Sebagiankasus dapat disembuhkan dengan kortikosteroid saja.1
10. Prognosis
Kematian jarang dibandingkan dengan 55acrum55hi vulgaris, dapat terjadi remisi
spontan.1
56 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
DAFTAR PUSTAKA
1. Wiryadi, Benny E., Dermatosis Vesikobulosa., Dalam: Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. FK UI. Jakarta. 2005.
2. Hall JC, ed. sauer’s Manual of skin Disease. 8th edition. Lippincott Williams &
Wilkins.2000;232-36
3. Siregar. S.R. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. EGC. Jakarta. 2004; 204-08.
4. Wojnarowska F et al. Immunobulosa disease. Burn T et al, ed. Rook’stextbook of
dermatology. 7th edition. Australia : Blackwell publication ; 2004;2033-91.
5. Hert M, ed. Autoimmune disease of the skin : pathogenesis,diagnosis,management. 2nd
revised edition.Austria : Springer-verlag Wien; 2005;60-79.
6. James WD, Berger TG, Elston DM,eds. Andrews Disease of the Skin Clinical Symptoms.
10th ed. Phildelphia.Saunders Elsevier;2006;581-93.
57 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
ERITRODERMA
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari lingkungan hidup
manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan
kehidupan. Salah satu kelainan kulit adalah eritroderma.(1)
Eritroderma berasal dari bahasa Yunani, yaitu erythro- (red = merah) dan derma,
dermatos (skin = kulit), merupakan keradangan kulit yang mengenai 90% atau lebih pada
permukaan kulit yang biasanya disertai skuama. Pada beberapa kasus, skuama tidak selalu
ditemukan, misalnya pada eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, pada
mulanya tidak disertai skuama. Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas karena
bercampur dengan hiperpigmentasi.
Nama lain penyakit ini adalah dermatitis eksfoliativa generalisata, meskipun sebenarnya
mempunyai pengertian yang agak berbeda. Kata ‘eksfoliasi’ berdasarkan pengelupasan skuama
yang terjadi, walaupun kadang-kadang tidak begitu terlihat, dan kata ‘dermatitis’ digunakan
berdasarkan terdapatnya reaksi eksematus.
Diagnosis eritroderma ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, dan
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan histopatologi dapat membantu menentukan penyakit
yang mendasarinya. Diagnosis yang akurat dari penyakit ini merupakan suatu proses yang
sistematis di mana dibutuhkan pengamatan yang seksama, evaluasi serta pengetahuan tentang
terminology, dermatologi, morfologi serta diagnosis banding. Pengobatannya disesuaikan
dengan penyakit yang mendasarinya, namun tetap memperhatikan keadaan umum seperti
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuhm memperbaiki hipoalbumin dan anemia, serta
pengendalian infeksi sekunder.
Eritroderma bukan merupakan kasus yang sering ditemukan, namun masalah yang
ditimbulkannya cukup parah. Diagnosis yang ditegakkan lebih awal, cepat dan akurat serta
penatalaksanaan yang tepat sangat memengaruhi prognosis penderita.
58 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
1.2Tujuan masalah
1.3.4 Memahami tentang patomekanisme dari pemfigus
1.3.5 Memahami cara penanganan pada klien dengan kasus pemfigus
1.3.6 Memahami diagnosa pemfigus
1.3.7 Memahami pengobatan dari sjs
1.3Rumusan masalah
1.3.8 Bagaimana pengertian dan klasifikasi dari pemfigus
1.3.9 Bagaimana etiologi terjadinya pemfigus
1.3.10 Bagaimana penatalaksanaan pemfigus
59 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya kemerahan atau eritema
yang bersifat generalisata yang mencakup 90% permukaan tubuh yang berlangsung dalam
beberapa hari sampai beberapa minggu. Dermatitis eksfoliativa dianggap sinonim dengan
eritroderma.(2) Bagaimanapun, itu tidak dapat mendefinisikan, karena pada gambaran klinik
dapat menghasilkan penyakit yang berbeda. Pada banyak kasus, eritroderma umumnya kelainan
kulit yang ada sebelumnya misalnya psoriasis atau dermatitis atopik. Meskipun peningkatan 50%
pasien mempunyai riwayat lesi pada kulit sebelumnya untuk onset eritroderma, identifikasi
penyakit yang menyertai menggambarkan satu dari sekian banyak kelainan kulit.
Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas karena bercampur dengan
hiperpigmentasi. Sedangkan skuama adalah lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit.
Skuama mulai dari halus sampai kasar. Pada eritroderma, skuama tidak selalu terdapat, misalnya
eritroderma karena alergi obat sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama. Skuama kemudian
timbul pada stadium penyembuhan timbul. Bila eritemanya antara 50%-90% dinamakan pre-
eritroderma.(1)
2.2. Etiologi
Eritroderma dapat disebabkan oleh akibat alergi obat secara sistemik, perluasan penyakit
kulit, penyakit sistemik termasuk keganasan.(6) Penyakit kulit yang dapat menimbulkan
eritroderma diantaranya adalah psoriasis 23%, dermatitis spongiotik 20%, alergi obat 15%,
CTCL atau sindrom sezary 5%.(7)
a. Eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik
Keadaan ini banyak ditemukan pada dewasa muda. Obat yang dapat menyebabkan
eritroderma adalah arsenik organik, emas, merkuri (jarang), penisilin, barbiturat. Pada beberapa
masyarakat, eritroderma mungkin lebih tinggi karena pengobatan sendiri dan pengobatan secara
tradisional.(2) Waktu mulainya obat ke dalam tubuh hingga timbul penyakit bervariasi dapat
segera sampai 2 minggu. Gambaran klinisnya adalah eritema universal. Bila ada obat yang
60 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
masuk lebih dari satu yang masuk ke dalam tubuh diduga sebagai penyebabnya ialah obat yang
paling sering menyebabkan alergi.(5)
*Dikutip dari pustaka 7
b. Eritroderma yang disebabkan oleh perluasan penyakit kulit
Eritroderma et causa psoriasis, merupakan eritroderma yang paling banyak
ditemukan dan dapat disebabkan oleh penyakit psoriasis maupun akibat pengobatan
psoriasis yang terlalu kuat.(5)
61 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Dermatitis seboroik pada bayi juga dapat menyebabkan eritroderma yang juga
dikenal penyakit Leiner. Etiologinya belum diketahui pasti. Usia penderita berkisar 4-20
minggu.(6)Ptyriasis rubra pilaris yang berlangsung selama beberapa minggu dapat pula
menjadi eritroderma. Selain itu yang dapat menyebabkan eritroderma adalah pemfigus
foliaseus, dermatitis atopik dan liken planus.(7)
c. Eritroderma akibat penyakit sistemik
Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam termasuk infeksi fokal dapat memberi
kelainan kulit berupa eritroderma. Jadi setiap kasus eritroderma yang tidak termasuk akibat
alergi obat dan akibat perluasan penyakit kulit harus dicari penyebabnya, yang berarti perlu
pemeriksaan menyeluruh (termasuk pemeriksaan laboratorium dan sinar X toraks), untuk
melihat adanya infeksi penyakit pada alat dalam dan infeksi fokal. Ada kalanya terdapat
leukositosis namun tidak ditemukan penyebabnya, jadi terdapat infeksi bakterial yang
tersembunyi (occult infection) yang perlu diobati. (5)
Harus lebih diperhatikan komplikasi sistemik akibat eritroderma seperti ;
Hipotermia, edema perifer, dan kehilangan cairan, dan albumin dengan takikardia and
kelainan jantung harus mendapatkan perawatan yang serius. Pada eritroderma kronik dapat
mengakibatkan kakeksia, alopesia, palmoplantar keratoderma, kelainan pada kuku and
ektropion.(4)
2.3. Epidemiologi
Insidens eritroderma sangat bervariasi, menurut penelitian dari 0,9-70 dari 100.000
populasi. Penyakit ini dapat mengenai pria ataupun wanita namun paling sering pada pria dengan
rasio 2 : 1 sampai 4 : 1, dengan onset usia rata-rata > 40 tahun, meskipun eritroderma dapat
terjadi pada semua usia.(7) Insiden eritroderma makin bertambah. Penyebab utamanya adalah
psoriasis. Hal tersebut seiring dengan meningkatnya insidens psoriasis. (5)
Penyakit kulit yang sedang diderita memegang peranan penting lebih dari setengah kasus
dari eritroderma. Identifikasi psoriasis mendasari penyakit kulit lebih dari seperempat kasus.
Didapatkan laporan bahwa terdapat 87 dari 160 kasus adalah psoriasis berat.(7)
62 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Anak-anak bisa menderita eritroderma diakibatkan alergi terhadap obat. Alergi terhadap
obat bisa karena pengobatan yang dilakukan sendiri ataupun penggunaan obat secara
tradisional.(2)
2.4. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya eritroderma belum diketahui dengan jelas. Pathogenesis
eritroderma berkaitan dengan pathogenesis penyakit yang mendasarinya, dermatosis yang sudah
ada sebelumnya berkembang menjadi eritroderma, atau perkembangan eritroderma idiopatik de
novo tidaklah sepenuhnya dimengerti. Penelitian terbaru imunopatogenesis infeksi yang
dimediasi toksin menunjukkan bahwa lokus patogenesitas staphylococcus mengkodekan
superantigen. Lokus-lokus tersebut mengandung gen yang mengkodekan toksin dari toxic shock
syndrome dan staphylococcol scalded-skin syndrome. Kolonisasi S. aureus atau antigen lain
merupakan teori yang mungkin saja seperti toxic shock syndrome toxin-1, mungkin meminkan
peranan pada pathogenesis eritroderma. Pasien-pasien dengan eritroderma biasanya mempunyai
kolonisasi S. aureus sekitar 83% dan pada kulit sekitar 17%, bagaimanapun juga hanya ada satu
dari 6 pasien memiliki toksin S. aureus yang positif.(4)
Dapat diketahui bahwa akibat suatu agen dalam tubuh baik itu obat-obatan, perluasan
penyakit kulit dan penyakit sistemik makan tubuh beraksi berupa pelebaran pembuluh darah
kapiler (eritema) yang generalisata. Eritema berarti terjadi pelebaran pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah ke kulit meningkat sehingga kehilangan panas bertambah. Akibatnya
pasien merasa dingin dan menggigil. Pada eritroderma kronis dapat terjadi gagal jantung. Juga
dapat terjadi hipotermia akibat peningkatan perfusi kulit. Penguapan cairan yang makin
meningkat dapat menyebabkan dehidrasi. Bila suhu badan meningkat, kehilangan panas juga
meningkat. Pengaturan suhu terganggu. Kehilangan panas menyebabkan hipermetabolisme
kompensator dan peningkatan laju metabolisme basal. Kehilangan cairan oleh transpirasi
meningkat sebanding laju metabolisme basal.(1)
Kehilangan skuama dapat mencapai 9 gram/m2 permukaan kulit atau lebih sehari
sehingga menyebabkan kehilangan protein (hipoproteinemia) dengan berkurangnya albumin
dengan peningkatan relatif globulin terutama gammaglobulin merupakan kelainan yang khas.
Edema sering terjadi, kemungkinan disebabkan oleh pergeseran cairan ke ruang ekstravaskuler.(1)
63 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Eritroderma akut dan kronis dapat mengganggu mitosis rambut dan kuku berupa
kerontokan rambut difus dan kehilangan kuku. Pada eritroderma yang telah berlangsung
berbulan-bulan, dapat terjadi perburukan keadaan umum yang progresif.(1)
2.5. Gambaran Klinis
Mula-mula timbul bercak eritema yang dapat meluas ke seluruh tubuh dalam waktu 12-
48 jam. Deskuamasi yang difus dimulai dari daerah lipatan, kemudian menyeluruh. Dapat juga
mengenai membrane mukosa, terutama yang disebabkan oleh obat. Bila kulit kepala sudah
terkena, dapat terjadi alopesia, perubahan kuku, dan kuku dapat terlepas. Dapat terjadi
limfadenopati dan hepatomegali. Skuama timbul setelah 2-6 hari, sering mulai di daerah lipatan.
Skuamanya besar pada keadaan akut, dan kecil pada keadaan kronis. Warnanya bervariasi dari
putih sampai kuning. Kulit merah terang, panas, kering dan kalau diraba tebal. Pasien mengeluh
kedinginan.(5) Pengendalian regulasi suhu tubuh menjadi hilang, sehingga sebagai kompensasi
terhadap kehilangan panas tubuh, sekujur tubuh pasien menggigil untuk dapat menimbulkan
panas metabolik.
Dahulu eritroderma dibagi menjadi primer dan sekunder. Pendapat sekarang semua
eritroderma ada penyebabnya, jadi eritroderma selalu sekunder. Eritroderma akibat alergi obat
secara sistemik diperlukan anamnesis yang teliti untuk mencari obat penyebabnya. Umumnya
alergi timbul akut dalam waktu 10 hari. Pada mulanya kulit hanya eritem saja, setelah
penyembuhan barulah timbul skuama.(3)
Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit seringkali pada psoriasis dan dermatitis
seboroik bayi. Psoriasis dapat menjadi eritroderma karena dua hal yaitu: karena penyakitnya
sendiri atau karena pengobatan yang terlalu kuat.(3) Psoriasis yang menjadi eritroderma tanda
khasnya akan menghilang. Pada eritroderma et causa psoriasi, merupakan eritroderma yang
disebabkan oleh penyakit psoriasis atau pengobatan yaitu kortikosteroid sistemik, steroid topikal,
komplikasi fototerapi, stress emosional yang berat, penyakit terdahulunya misalnya infeksi.
64 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Gambar 1. Eritroderma psoriasis
Dermatitis seboroik pada bayi (penyakit Leiner) terjadi pada usia penderita berkisar 4-20
minggu. Kelainan berupa skuama berminyak dan kekuningan di kepala. Eritema dapat pada
seluruh tubuh disertai skuama yang kasar.(3)
Gambar 2. Dermatitis seboroik
65 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Ptiriasis rubra pilaris yang berlangsung selama beberapa minggu dapat pula menjadi
eritroderma. Mula-mula terdapat skuama moderat pada kulit kepala diikuti perluasan ke dahi dan
telinga; pada saat ini akan menyerupai gambaran dermatitis seboroik. Kemudian timbul
hiperkeratosis palmoplantaris yang jelas. Berangsur-angsur menjadi papul folikularis di
sekeliling tangan dan menyebar ke kulit berambut.(3)
Gambar 3. Ptiriasis rubra pilaris
Pemfigus foliaseus bermula dengan vesikel atau bula berukuran kecil, berdinding kendur
yang kemudian pecah menjadi erosi dan eksudatif. Yang khas adalah eritema menyeluruh yang
disertai banyak skuama kasar, sedangkan bula kendur hanya sedikit. Penderita mengeluh gatal
dan badan menjadi bau busuk.(3)
Gambar 4. Pemfigus foilaseus
66 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Dermatitis atopi dimulai dengan eritema, papul-papul, vesikel sampai erosi dan
likenifikasi. Penderita tampak gelisah, gatal dan sakit berat.
Gambar 5. Dermatitis atopi
Permukaan timbulnya liken planus dapat mendadak atau perlahan-lahan; dapat
berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan dan mungkin kambuh lagi. Kadang-kadang
menjadi kronik. Papul dengan diameter 2-4 mm, keunguan, puncak mengkilat, polygonal. Papula
mungkin terjadi pada bekas garukan (fenomena Koebner). Bila dilihat dengan kaca pembesar,
papul mempunyai pola garis-garis berwarna putih (“Wickham’s striae”). Lesi simetrik, biasanya
pada permukaan fleksor pergelanagna tangan, menyebar ke punggung dan tungkai. Mukosa
mulut terkena pada 50% penderita. Mungkin pula mengenai glans penis dan mukosa vagina.
Kuku kadang-kadang terkena, kuku menipis dan berlubang-lubang. Anak-anak jarang terkena
tetapi bila terdapat bercak kemerahan mungkin tidak khas dan dapat keliru dengan psoriasis.
Sering sangat gatal. Cenderung menyembuh dengan sendirinya.(3)
67 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Gambar 6. Liken planus
Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan, yang tidak termasuk golongan
akibat alergi dan akibat perluasan penyakit kulit, harus dicari penyebabnya dan diperiksa secara
menyeluruh, termasuk dengan pemeriksaan laboratorium dan foto toraks. Termasuk dalam
golongan ini adalah sindrom Sezary.
Sindrom Sezary
Penyakit ini termasuk limfoma. Penyebabnya belum diketahui, diduga berhubungan
dengan infeksi virus HTLV-V dan dimasukkan ke dalam CTCL (Cutaneus T-Cell Lymphoma).
Yang diserang adalah orang dewasa, mulanya penyakit pada pria rata-rata berusia 64 tahun,
sedangkan pada wanita berusia 53 tahun.
Sindrom ini ditandai dengan eritema berwarna merah membara yang universal disertai
skuama dan rasa sangat gatal. Selain itu terdapat infiltrat pada kulit dan edema. Pada sepertiga
hingga setengah pada pasien didapati splenomegali, limfadenopati superfisial, alopesia,
hiperpigmentasi, hiperkeratosis palmaris et plantaris, serta kuku yang distrofik.(1)
68 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Gambar 7. Sindrom Sezary
2.6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah didapatkan albumin serum yang rendah dan peningkatan
gammaglobulins, ketidakseimbangan elektrolit, protein fase akut meningkat, leukositosis,
maupun anemia ringan.(7)
Histopatologi
Pada kebanyakan pasien dengan eritroderma histopatologi dapat membantu
mengidentifikasi penyebab eritroderma pada sampai dengan 50% kasus, biopsi kulit dapat
menunjukkan gambaran yang bervariasi, tergantung berat dan durasi proses inflamasi. Pada
tahap akut, spongiosis dan parakeratosis menonjol, terjadi edema. Pada stadium kronis, akantosis
dan perpanjangan rete ridge lebih dominan.(2)
Eritroderma akibat limfoma, yang infiltrasi bisa menjadi semakin pleomorfik, dan
mungkin akhirnya memperoleh fitur diagnostik spesifik, seperti bandlike limfoid infiltrat di
dermis-epidermis, dengan sel cerebriform mononuklear atipikal dan Pautrier's microabscesses.
69 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Pasien dengan sindrom Sezary sering menunjukkan beberapa fitur dari dermatitis kronis, dan
eritroderma jinak mungkin kadang-kadang menunjukkan beberapa gambaran tidak jelas pada
limfoma. (2)
Pemeriksaan immunofenotipe infiltrat limfoid juga mungkin sulit menyelesaikan
permasalahan karena pemeriksaan ini umumnya memperlihatkan gambaran sel T matang pada
eritroderma jinak maupun ganas. Pada psoriasis papilomatosis dan gambaran clubbing lapisan
papiler dapat terlihat, dan pada pemfigus foliaseus, akantosis superficial juga ditemukan. Pada
eritroderma ikhtisioform dan ptiriasis rubra pilaris, biopsi diulang dari tempat-tempat yang
dipilih dengan cermat dapat memperlihatkan gambaran khasnya. (2)
2.7. Diagnosis
Diagnosis agak sulit ditegakkan, harus melihat dari tanda dan gejala yang sudah ada
sebelumnya misalnya, warna hitam-kemerahan di psoriasis dan kuning-kemerahan di pilaris
rubra pitiriasis; perubahan kuku khas psoriasis; likenifikasi, erosi dan ekskoriasi di dermatitis
atopik dan eksema; menyebar, relatif hiperkeratosis tanpa skuama, dan pitiriasis rubra; ditandai
bercak kulit dalam eritroderma di pilaris rubra pitiriasis; hiperkeratotik skala besar kulit kepala,
biasanya tanpa rambut rontok di psoriasis dan dengan rambut rontok di CTCL dan pitiriasis
rubra, ektropion mungkin terjadi. Dengan beberapa biopsi biasanya dapat menegakkan diagnosis.
+
+
--
mencari tanda dari etiologi daririwayat dan pemeriksaan fisik
terlihat multiple pada biopsypunch; diulangi biopsy 3-6 bulanuntuk menentukan diagnosis pasti
dilakukan pemeriksaan tambahan :biopsy untuk immunofluorescence,CBC, CD4: ratio CD8, CXR, biopsykelenjar limfa
diagnosis pasti danpengobatan yangtepat
70 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
+
+
Bagan 1. langkah untuk pasien yang dicurigai ED,
CBC = pemeriksaan sel darah, CXR = x-ray thoraks, PCP = pemeriksaan primer
2.8. Diagnosis Banding
Ada beberapa diagnosis banding pada eritroderma:
1. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik adalah peradangan kulit kronis yang terjadi di lapisan epidermis
dan dermis, sering berhubungan dengan riwayat atopik pada keluarga asma bronkial,
rhinitis alergi, konjungtivitis. Atopik terjadi di antara 15-25% populasi, berkembang dari
satu menjadi banyak kelainan dan memproduksi sirkulasi antibodi IgE yang tinggi, lebih
banyak karena alergi inhalasi.(8) Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang mungkin
terjadi pada usia berapapun, tetapi biasanya timbul sebelum usia 5 tahun. Biasanya ada
tiga tahap: balita, anak-anak, dan dewasa.
Dermatitis atopik merupakan salah satu penyebab eritroderma pada orang dewasa
di mana didapatkan gambaran klinisnya terdapat lesi pra-existing, pruritus yang parah,
likenifikasi dan prurigo nodularis, sendangkan pada gambaran histologi terdapat
akantosis ringan, spongiosis variabel, derma eosinofil dan parakeratosis.(3)
pikirkan DD lain
71 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Gambar 8. Dermatitis atopik
2. Psoriasis
Eritroderma psoriasis dapat disebabkan oleh karena pengobatan topikal yang
terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Ketika psoriasis menjadi
eritroderma biasanya lesi yang khas untuk psoriasi tidak tampak lagi karena dapat
menghilang, plak-plak psoriasis menyatu, eritema dan skuama tebal universal.(2) Psoriasis
mungkin menjadi eritroderma dalam proses yang berlangsung lambat dan tidak dapat
dihambat atau sangat cepat. Faktor genetic berperan. Bila orangtuanya tidak menderita
psoriasi, resiko mendapat psoriasi 12%, sedangkan jika salah seorang orang tuanya
menderita psoriasis, resikonya mencapai 34-39%.(1)
Psoriasis ditandai dengan adanya bercak-bercak, eritema berbatas tegas dengan
skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz,
dan Koebner.(1)
72 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Gambar 9. Psoriasis
3. Dermatitis seboroik
Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang kronis ditandai dengan plak
eritema yang sering terdapat pada daerah tubuh yang banyak mengandung kelenjar
sebasea seperti kulit kepala, alis, lipatan nasolabial, belakang telinga, cuping hidung,
ketiak, dada, antara skapula. Dermatitis seboroik dapat terjadi pada semua umur, dan
meningkat pada usia 40 tahun.(8) Biasanya lebih berat apabila terjadi pada laki-laki
dariapda wanita dan lebih sering pada orang-orang yang banyak memakan lemak dan
minum alkohol.(1)
Biasanya kulit penderita tampak berminyak, dengan kuman pityrosporum ovale
yang hidup komensal di kulit berkembang lebih subur. Pada kepala tampak eritema dan
skuama halus sampai kasar (ketombe). Kulit tampak berminyak dan menghasilkan
skuama putih yang berminyak pula. Penderita akan mengeluh rasa gatal yang hebat.(1)
Dermatitis seboroik dapat diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang meningkat
seperti pada psoriasi. Hal ini dapat menerangkan mengapa terapi dengan sitostisk dapat
memperbaikinya. Pada orang yang telah mempunyai faktor predisposisi, timbulnya
dermatitis seboroik dapat disebabkan oleh faktor kelelahan, stress emosional, infeksi,
atau defisiensi imun.
73 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Gambar 10. Dermatitis seboroik
2.9. Penatalaksanaan
Pada eritroderma golongan I, obat tersangka sebagai kausanya segera dihentikan.
Umumnya pengobatan eritroderma dengan kortikosteroid. Pada golongan I, yang disebabkan
oleh alergi obat secara sistemik, dodsis prednisone 4 x 10 mg. penyembuhan terjadi cepat,
umumnya dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.
Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan kortikosteroid. Dosis
mula prednisone 4 x 10 mg sampai 15 mg sehari. Jika setelah beberapa hari tidak tampak
perbaikan, dosis dapat dinaikkan. Setelah tampak perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan.
Jika eritroderma terjadi akibat pengobatan dengan ter pada psoriasis, makan obat tersebut harus
dihentikan. Eritroderma karena psoriasis dapat pula diobati dengan asetretin. Lama
penyembuhan golongan II ini bervariasi beberapa minggu hingga beberapa bulan, jadi tidak
secepat seperti golongan I.
Pada pengobatan dengan kortikosteroid jangka lama (long term), yakni jika melebihi 1
bulan lebih baik digunakan metilprednisolon darpiada prednison dengan dosis ekuivalen karena
efeknya lebih sedikit.
Pengobatan penyakit Leiner dengan kortikosteroid memberi hasil yang baik. Dosis
prednisone 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrom Sezary pengobatan terdiri atas kortikosteroid
74 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
(prednisone 30 mg sehari) atau metilprednisolon ekuivalen dengan sitostatik, biasanya digunakan
klorambusil dengan dosis 2-6 mg sehari.
Pada eritroderma kronis diberikan pula diet tinggi protein, karena terlepasnya skuama
mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu pula diolesi emolien untuk mengurangi
radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema misalnya dengan salep lanolin 10% atau krim urea
10%.(1)
2.10. Komplikasi
1. Abses
2. Furunkulosis
3. Konjungtivitis
4. Stomatitis
5. Bronkitis
6. Limfadenopati
7. Hepatomegali
8. Rhinitis
9. Kolitis
10. Gagal jantung
11. Gagal ginjal.12. Kematian mendadak akibat hipotermia sentral.11
2.11. Prognosis
Prognosis eritroderma tergantung pada proses penyakit yang mendasarinya. Kasus karena
penyebab obat dapat membaik setelah penggunaan obat dihentikan dan diberi terapi yang sesuai.
Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat dibandingkan dengan golongan yang lain.(1)
Pada eritroderma yang belum diketahui sebabnya, pengobatan dengan kortikosteroid
hanya mengurangi gejalanya, pasien akan mengalami ketergantungan kortikosteroid
(corticosteroid dependence).
75 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
Eritroderma disebabkan oleh dermatosa dapat diatasi dengan pengobatan, tetapi mungkin
akan timbul kekambuhan. Kasus idiopatik adalah kasus yang tidak terduga, dapat bertahan dalam
waktu yang lama, seringkali disertai dengan kondisi yang lemah.(8)
Sindrom Sezary prognosisnya buruk, pasien pria umumnya akan meninggal setelah 5
tahun, sedangkan pasien wanita setelah 10 tahun. Kematian disebabkan oleh infeksi atau
penyakit berkembang menjadi mikosis fungoides.
BAB III
KESIMPULAN
Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan eritema di seluruh atau hampir
seluruh tubuh dan biasanya disertai skuama. Kelainan ini lebih banyak didapatkan pada pria,
terutama pada usia rata-rata 40-60 tahun. Penyebab tersering eritroderma adalah akibat perluasan
penyakit kulit sebelumnya, reaksi obat, alergi obat dan akibat penyakit sistemik termasuk
keganasan.
Gambaran klinik eritroderma berupa eritema dan skuama yang bersifat generalisata.
Penatalaksanaan eritroderma yaitu pemberian kortikosteroid dan pengobatan topikal dengan
pemberian emolien serta pemberian cairan dan perawatan di ruangan yang hangat.
Prognosis eritroderma yang disebabkan obat-obatan relative lebih lama, sedangkan
eritroderma yang disebabkan oleh penyakit idiopatik, dermatitis dapat berlangsung berbulan-
bulan bahkan bertahun-tahun dan cenderung untuk kambuh.
76 |M a k a l a h K u l i t – P u s p a A . N a v r a t i l o v a
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
2. Umar, H Sanusi. Erythroderma (generalized exfoliative dermatitis), diunduh dari:
www.emedicine.com, pada 14 desember 2012
3. Siregar, RS. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC, 2004.
4. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th eds. New York: McGraw-Hill, 2001.
5. Harahap, M. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates, 2008.
6. Ekm. Itraconazole Oral untuk Terapi Dermatitis Seboroik, diunduh dari:
www.kalbe.co.id, pada 14 desember 2012
7. Kels-Grant JM, Bernstein ML, Rothe MJ. Chapter-23Exfoliative Dermatitis. Wollf K et
all. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th eds. Newyork : Megraw-Hill.
2001. Chapter-23.p; 225-8.
8. Hierarchical. Pytiriasis Rubra Pilaris, diunduh dari: www.lookfordiagnosis.com, pada
tanggal 14 desember 2012
9. Bandyopadhyay debabrata, Associate Professor and Head Department of Dermatology,
diunduh dari: www.tripodindonesia.com, pada tanggal 14 desember 2012
10. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 4th
ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005.p; 138.
11. Graham robin brown, Burn tony. Lecture notes Dermatologi. Jakarta. 2002.p; 64.
12. Kefei K et all. Atopic Dermatitis. Papulosquamous and Eczematous Dermatoses.
Erythroderma. In : Bolognia JL, Jonzzo JL. Rapini RP, Horn TD, Mascaro JM, Saurat
JH, Mancini AJ, Salasche SJ, Stingl G, editor. Dermatology. 1th ed London. Mosby.
2003. Chapter-13.p; 1.
13. Cameli Norma, Picardo Mauro. Seborrheic Dermatitis. Evidence-based dermatology. 2th
eds. Nottingham : Blackwell publishing. BMJ books; 2008. Chapter 20.p; 164.
MAKALAH
Steven – Johnson Syndrome
Toxic Epidermal Necrosis
Eritroderma
Pemfigus
Disusun Oleh :
PUSPA AYU NAVRATILOVA
61109018
BLOK GAWAT DARURAT DAN TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS BATAM
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata΄ala, karena berkat rahmat-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah yang terdiri dari Steven Johnson Syndrome , Toxic
Epidermal Necrosis, Eritroderma Dan Pemfigus . Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas
mata kuliah blok gawat darurat dan traumatologi.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini
dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah
ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi seluruh masyarakat khususnya mahasiswa
fakultas kedokteran Universitas Batam dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan
bagi kita semua.
Batam, 15 Desember 2012
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ......................................................................................................................i
Daftar Isi ...............................................................................................................................ii
STEVEN JOHNSON SYNDROME
Bab I - Pendahuluan
Latar Belakang .......................................................................................................................1
Tujuan ...................................................................................................................................2
Rumusan Masalah..................................................................................................................2
Bab II – Tinjauan Pustaka
Definisi...................................................................................................................................3
Etiologi...................................................................................................................................4
Patofisiologi ...........................................................................................................................6
Manifestasi Klinis ..................................................................................................................10
Penegakan Diagnosa ..............................................................................................................14
Penatalaksanaan .....................................................................................................................18
Prognosis................................................................................................................................21
Komplikasi.............................................................................................................................23
Bab III - Penutup
Kesimpulan ............................................................................................................................24
Daftar Pustaka........................................................................................................................25
NECROLISIS EPIDERMAL TOKSIK (NET)
Bab I – Pendahuluan
Latar Belakang .......................................................................................................................26
Tujuan ....................................................................................................................................26
Rumusan Masalah .................................................................................................................26
Bab II – Tinjauan Pustaka
Definisi...................................................................................................................................27
Epidemiologi..........................................................................................................................27
Etiologi...................................................................................................................................27
Patofisiologi ...........................................................................................................................28
Manifestasi Klinis ..................................................................................................................29
Pemeriksaan Diagnostik ........................................................................................................30
Penatalaksanaan ....................................................................................................................33
Komplikasi ............................................................................................................................34
Prognosis................................................................................................................................34
Bab III- Penutup
Kesimpulan ............................................................................................................................36
Daftar Pustaka........................................................................................................................37
PEMFIGUS
Bab 1 – Pendahuluan
Latar Belakang .......................................................................................................................36
Tujuan & Rumusan Maslah ...................................................................................................38
Bab II – Tinjauan Pustaka
Definisi Pemfigus...................................................................................................................39
Pemfigus Vulgaris
Epidemiologi..........................................................................................................................39
Etiopatogenesis ......................................................................................................................40
Gejala Klinis ..........................................................................................................................41
Diagnosis................................................................................................................................43
Penatalaksanaan .....................................................................................................................44
Prognosis................................................................................................................................45
Pemfigus Eritematosa
Gejala Klinis ..........................................................................................................................45
Diagnosis Banding .................................................................................................................46
Pengobatan.............................................................................................................................46
Prognosis................................................................................................................................46
Pemfigus Foliaseus
Definisi...................................................................................................................................46
Gejala Klinis ..........................................................................................................................47
Diagnosis Banding .................................................................................................................47
Pengobatan.............................................................................................................................47
Prognosis................................................................................................................................47
Pemfigus Vegetans
Definisi...................................................................................................................................48
Klasifikasi ..............................................................................................................................48
Gejala Klinis ..........................................................................................................................48
Pengobatan & Prognosis ........................................................................................................48
Pemfigus Bulosa
Definisi...................................................................................................................................49
Epidemiologi..........................................................................................................................50
Patogenesis.............................................................................................................................51
Pengobatan & Prognosis .......................................................................................................55
Daftar Pustaka........................................................................................................................56
ERITRODERMA
Bab I- Pendahuluan
Latar Belakang .......................................................................................................................57
Tujuan & Rumusan Masalah .................................................................................................58
Bab II – Tinjauan Pustaka
Definisi...................................................................................................................................59
Etiologi...................................................................................................................................59
Epidemiologi..........................................................................................................................61
Gambaran Klinis ....................................................................................................................63
Penegakan Diagnosa ..............................................................................................................68
Diagnosis Banding .................................................................................................................70
Penatalaksanaan .....................................................................................................................73
Komplikasi.............................................................................................................................74
Prognosis................................................................................................................................74
Bab III – Penutup
Kesimpulan ............................................................................................................................75
Daftar Pustaka........................................................................................................................76
ii