makalah 03_20_44 fendy

35
Asosiasi Psikologi Industri & Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002 PROSES PEMBENTUKAN PERILAKU PRODUKTIF PADA BUDAYA KERJA ORGANISASI Oleh Dr., Drs. Psi., Fendy Suhariadi, MT Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Abstrak Pada dasarnya hasil akhir dari semua program penyempurnaan produktivitas adalah munculnya perilaku produktif. Sebagaimana model teoritis, inteligensia dan motivasi adalah dua faktor dasar yang mempengaruhi munculnya perilaku produktif. Faktor inteligensia dan motivasi membentuk perilaku produktif melalui semangat penyempurnaan (sebagai intervening variabel) disamping juga ada variabel lain yaitu karakteristik pekerjaan dan variabel personal sebagai variabel moderatornya. Inteligensia adalah kompetensi dasar seseorang untuk mengolah sebuah informasi, sedangkan motivasi adalah dorongan kerja yang dikarenakan motiv sosial, motiv pengakuan dan motiv intrinsik (Teori Motivasi kerja Herzberg). Sedangkan variabel semangat penyempurnaan terdiri dari semangat bersama mencapai tujuan, disiplin penyempurnaan, kepuasan sebagai anggota organisasi, dan daya tahan kegagalan. Variabel Perilaku Produktif terdiri dari dua bentuk perilaku yaitu Perilaku Efektif dan Perilaku Efisien. Pada awalnya alat ukur penelitian diuji-cobakan pada 204 orang dari PT. Eterindo Wahanatama Tbk. Pengujian validitas alat ukur menggunakan analisis faktor dan pengujian reliabilitas alat ukur menggunakan alpha Cronbach. Setelah alat ukur teruji, penelitian dilakukan di PT. Texmaco Jaya Tbk., dengan sample 336 orang. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa hanya variabel motivasi saja yang signifikan mempengaruhi semua variabel semangat penyempurnaan. Sedangkan inteligensia berpengaruh signifikan hanya pada semangat bersatu (salah satu variabel semangat penyempurnaan). Perilaku Efektif dapat dibentuk melalui variabel disiplin penyempurnaan (negatif) dan daya tahan kegagalan dengan ragam ketrampilan, umpan balik, pendidikan, pengalaman dan pangkat (negatif) sebagai variabel moderator, sementara itu Perilaku Efisien dapat dibentuk melalui variabel kepuasan atas keterlibatan sebagai anggota dengan identitas tugas, umpan balik, jenis kelamin dan pangkat sebagai variabel moderator. Kesimpulannya, Perilaku Produktif terdiri dari Perilaku Efektif dan Perilaku Efisien dapat dibentuk melalui Motivasi Kerja. Pengaruh Motivasi Kerja melalui variabel Semangat Penyempurnaan sebagai variabel mediator, juga Karakteristik Pekerjaan dan Karakteristik Personal sebagai variabel moderator. 20

Upload: votu

Post on 12-Jan-2017

281 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

PROSES PEMBENTUKAN PERILAKU PRODUKTIF PADA BUDAYA KERJA ORGANISASIOleh Dr., Drs. Psi., Fendy Suhariadi, MTFakultas Psikologi Universitas Airlangga

Abstrak

Pada dasarnya hasil akhir dari semua program penyempurnaan produktivitas adalah munculnya perilaku produktif. Sebagaimana model teoritis, inteligensia dan motivasi adalah dua faktor dasar yang mempengaruhi munculnya perilaku produktif. Faktor inteligensia dan motivasi membentuk perilaku produktif melalui semangat penyempurnaan (sebagai intervening variabel) disamping juga ada variabel lain yaitu karakteristik pekerjaan dan variabel personal sebagai variabel moderatornya. Inteligensia adalah kompetensi dasar seseorang untuk mengolah sebuah informasi, sedangkan motivasi adalah dorongan kerja yang dikarenakan motiv sosial, motiv pengakuan dan motiv intrinsik (Teori Motivasi kerja Herzberg). Sedangkan variabel semangat penyempurnaan terdiri dari semangat bersama mencapai tujuan, disiplin penyempurnaan, kepuasan sebagai anggota organisasi, dan daya tahan kegagalan. Variabel Perilaku Produktif terdiri dari dua bentuk perilaku yaitu Perilaku Efektif dan Perilaku Efisien. Pada awalnya alat ukur penelitian diuji-cobakan pada 204 orang dari PT. Eterindo Wahanatama Tbk. Pengujian validitas alat ukur menggunakan analisis faktor dan pengujian reliabilitas alat ukur menggunakan alpha Cronbach. Setelah alat ukur teruji, penelitian dilakukan di PT. Texmaco Jaya Tbk., dengan sample 336 orang. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa hanya variabel motivasi saja yang signifikan mempengaruhi semua variabel semangat penyempurnaan. Sedangkan inteligensia berpengaruh signifikan hanya pada semangat bersatu (salah satu variabel semangat penyempurnaan). Perilaku Efektif dapat dibentuk melalui variabel disiplin penyempurnaan (negatif) dan daya tahan kegagalan dengan ragam ketrampilan, umpan balik, pendidikan, pengalaman dan pangkat (negatif) sebagai variabel moderator, sementara itu Perilaku Efisien dapat dibentuk melalui variabel kepuasan atas keterlibatan sebagai anggota dengan identitas tugas, umpan balik, jenis kelamin dan pangkat sebagai variabel moderator.Kesimpulannya, Perilaku Produktif terdiri dari Perilaku Efektif dan Perilaku Efisien dapat dibentuk melalui Motivasi Kerja. Pengaruh Motivasi Kerja melalui variabel Semangat Penyempurnaan sebagai variabel mediator, juga Karakteristik Pekerjaan dan Karakteristik Personal sebagai variabel moderator.

A. Pendahuluan1. Latar belakang masalah.

Dunia usaha saat ini semakin dituntut untuk selalu mengutamakan produktivitasnya. Melalui produktivitas yang tinggi, produk (barang dan

20

Page 2: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

jasa) sebagai hasil dari suatu usaha kerja akan mempunyai kualitas yang kompetitif di pasaran konsumen. Diduga produk yang punya kualitas kompetitif (baik dari segi harga, tampilan ataupun isinya), cenderung diminati oleh konsumen. Demikian juga sebaliknya bila suatu produk dihasilkan tanpa melalui suatu rangkaian proses yang tidak produktif bisa diduga akan menghasilkan kualitas produk yang tidak kompetitif, tentunya produk yang tidak kompetitif cenderung kurang diminati oleh konsumen.

Upaya-upaya yang dilakukan perusahaan, baik di Indonesia maupun di negara lain dalam usaha meningkatkan produktivitas lebih dititikberatkan pada rekayasa-rekayasa lingkungan kerja agar memenuhi standard kerja yang sesuai dengan spesifikasi. Hal ini terlihat dari hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengungkap produktivitas kerja perusahaan seperti penelitian Hauck (49) tentang upaya pencapaian produktivitas operasi perbankan, dan penelitian Turner dan Webb (103) tentang pendekatan teknologi industri untuk menangani pemborosan limbah industri. Kasus yang terjadi pada perusahaan Ford Motor Company-pun juga tak jauh berbeda dengan hasil yang diungkapkan dari penelitian di atas, sebagaimana dilaporkan oleh Burgess (11), ia mengatakan bahwa peningkatan produktivitas bisa dilakukan dengan mengkombinasikan rekayasa teknik lingkungan kerja (baca: studi gerak waktu) perusahaan dengan faktor-faktor fisik dan psikologik pekerja sebagai variabel pengaruhnya. Bahkan menurut Riggs, dkk. (88) perbaikan produktivitas tidak bisa tidak harus melalui perhitungan rekayasa-ekonomi (economic-engineering). Kalaupun faktor manusia ini dilibatkan dalam analisa penelitian, maka proses analisisnya meletakkan variabel manusia bukan sebagai faktor utama yang berperan atau berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas.

Rekayasa yang dilakukan guna meningkatkan produktivitas tersebut di atas sebenarnya ditujukan untuk menyentuh sisi psikologik pekerja agar pekerja termotivasi bekerja lebih produktif lagi. Namun pada kenyataan riilnya upaya rekayasa lingkungan kerja merupakan variabel bebas yang bisa dimanipulasi sedemikian rupa untuk bisa mempengaruhi variabel terikat, sedangkan faktor psikologik lebih banyak berperanan sebagai konsekuensi dari tingkat produktivitas yang dicapai. Bila produktivitas tinggi maka pekerja akan merasa puas, pekerja akan termotivasi, pekerja akan punya sikap yang baik terhadap pekerjaan dan pimpinannya, pekerja akan mempunyai kecenderungan yang kecil untuk keluar dari perusahaan (pergantian karyawan), atau untuk memberontak.

Orang sering kali mengabaikan bahwa yang paling menentukan dari upaya peningkatan produktivitas adalah munculnya perilaku produktif dari karyawan. Rekayasa dalam bentuk apapun bila tidak menghasilkan perilaku produktif, tentunya tidak akan memberikan kontribusi apapun terhadap perusahaan dan terhadap pekerja. Menurut Litwin dan Stringer dalam Gibson dkk (40) mengatakan bahwa munculnya perilaku seseorang (termasuk perilaku produktif) ditentukan oleh 2 (dua) sebab. Sebab itu adalah individu dan lingkungan. Dengan

21

Page 3: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

perkataan lain perilaku itu fungsi dari orang (P) dan situasi (S), dengan bahasa matematik b = f (P,S).

Hasil akhir yang hendak ditelaah lebih lanjut pada penelitian ini adalah perilaku produktif pekerja. Perilaku produktif ini akan muncul di dalam budaya organisasi tertentu. Interaksi akrab diantara budaya organisasi dengan variabel-variabel psikologik dan personal, dapat menghasilkan perilaku produktif. Diantara variabel psikologik juga terjadi interaksi, yaitu antara kemauan dan kemampuan, yang juga dapat menghasilkan perilaku produktif. Jadi munculnya perilaku produktif akan melibatkan semua variabel individu. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah memang benar di dalam suatu budaya organisasi tertentu dapat terjadi interaksi antar variabel individual yang menghasilkan perilaku produktif. Penelitian ini berusaha menguji model interaktif dari kesemua variabel yang terkait dengan perilaku produktif.

2. PermasalahanPermasalahan yang hendak dijawab melalui penelitian ini ada 3

(tiga) hal yaitu :1. Budaya organisasi seperti apakah yang dapat menjadi konteks bagi

terjadinya perilaku produktif ? 2. Faktor apa saja yang dapat berkontribusi pada munculnya perilaku

produktif ditinjau dari dari perspektif individu ?3. Interaksi antar variabel individual (personal dan psikologik, baik

yang berupa intelegensi ataupun motivasi) seperti apa yang akan menghasilkan perilaku produktif di dalam suatu iklim kerja tertentu?

B. Landasan TeoriUkuran produktivitas dinyatakan sebagai rasio dari keluaran

(output) terhadap masukan (input) dalam suatu proses produksi. Hubungan matematiknya adalah P=O/I. Di dalam kehidupan bisnis, produktivitas sesuatu perusahaan seringkali dikaitkan dengan konsep efektivitas dan efisiensi. Produktivitas sebagai suatu ukuran perbandingan ini sangat diperlukan, karena dengan ini kita dapat melihat suatu perkembangan atau kemajuan. Suatu proses kerja baru bisa dikatakan cukup berhasil atau tidak, bila proses kerjanya itu menghasilkan ukuran produktivitas yang lebih besar. Ukuran ini dapat digunakan untuk membandingkan prestasi atau kemajuan dari perusahaan yang satu dengan perusahaan lain, karena ukuran ini bersifat non-dimensional.

Dalam konteks perilaku produktif, adalah sebuah peningkatan perilaku ke arah pencapaian tujuan yang lebih baik dengan menggunakan penggunaan sumber daya yang efisien. Peningkatan perilaku produktif menunjukkan suatu prestasi atau kemajuan pekerja dalam beperilaku yang terarah pada tujuan dan ada kemajuan dalam mendayagunakan pemakaian sumber daya untuk mencapai tujuan. Didasarkan pada model pemikiran tersebut di atas maka pengukuran perilaku produktif pada penelitian ini mengacu pada dua model perilaku yaitu perilaku yang memperhatikan dan selalu mempertimbangkan efektivitas yaitu yang berfokus pada pencapaian tujuan organisasi serta

22

Page 4: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

perilaku yang memperhatikan dan selalu mempertimbangkan efisiensi pencapaian tujuan.

1. Proses terbentuknya Perilaku Produktifa. Peran Inteligensia, dan Motivasi Kerja sebagai Variabel Antesenden

dari pengaruh Semangat Penyempurnaan terhadap Perilaku Produktif

Setiap individu mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda–beda intensitasnya. Karakteristik ini diduga mampu mempengaruhi munculnya semangat dari dalam diri individu untuk selalu memperbaiki cara kerjanya. Semangat penyempurnaan inilah yang menjadi sumber utama dari munculnya perilaku produktif. Menurut Beer, et al. (9) segala macam bentuk peningkatan produktivitas tidak akan bisa memberikan hasil yang maksimal bila dari dalam diri pekerja tidak ada suatu semangat. Schaffer dan Thomson (91), serta Kotter (64) menambahkan bahwa orang yang memiliki semangat kerja yang tinggi, maka orang itu akan jarang mengalami kegagalan.

Semangat penyempurnaan pada dasarnya muncul sebagai suatu konsekuensi dari adanya suatu tanggung jawab bersama. Seseorang yang terdorong untuk memperbaiki sesuatu kekurangan yang dihadapinya di tempat kerja, biasanya menyadari bahwa kalau kekurangan itu dibiarkan, maka yang dirugikan semua orang, termasuk dirinya sendiri. Dorongan untuk memperbaiki diri itu makin kuat, bila ia merasa menjadi bagian integral dari organisasi atau kelompoknya. Semangat penyempurnaan seseorang juga akan meningkat jika ia memiliki keinginan yang besar untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain, terutama orang-orang yang banyak berhubungan dengannya. Orang memang akan senang bila mendapatkan pengakuan dari orang lain, tetapi yang lebih penting lagi ia juga harus merasa bahwa dirinya pantas mendapatkan penghargaan itu. Bila hal terakhir ini terjadi, maka ia akan terbebas dari konflik internal. Di dalam situasi seperti ini semua perilakunya akan menjadi cerminan jati dirinya. Di dalam konteks semangat penyempurnaan ini, maka semua perilaku penyempurnaan yang diperlihatkan akan juga menjadi aktualisasi dirinya. Intelegensia juga diperkirakan dapat berkontribusi pada peningkatan semangat penyempurnaan, karena semangat penyempurnaan juga mengandung banyak unsur rasional. Bila seseorang makin tinggi intelegensinya, diperkirakan ia akan juga makin memahami dampak tekno-ekonomik dari penyempurnaan itu. Dengan begitu, maka diharapkan bahwa semangat penyempurnaan ini dapat pula ditingkatkan, bila orang-orang yang menjalankan penyempurnaan itu lebih cerdas.

Hubungan diantara unsur-unsur motivasi kerja dan intelegensia dengan semangat penyempurnaan ini diperlihatkan pada gambar 1 berikut ini.

23

Page 5: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

MOTIVASI KERJA

INTELEGENSIA

Motivasi Sosial

Motivasi Pengakuan

Motivasi Intrinsik untuk Aktualisasi

SEMANGAT PENYEMPURNAAN

Gambar 1.Pengaruh Inteligensia dan Motivasi Kerja terhadap Semangat

Penyempurnaan

b. Proses terbentuknya perilaku efektif melalui semangat penyempurnaan.

Perilaku produktif pada dasarnya terbentuk dari dua jenis perilaku secara bersamaan, yaitu perilaku yang efektif dan perilaku yang efisien. Sebagai perilaku yang efektif, perilaku ini menghasilkan kinerja yang sesuai dengan rencana. Perilaku efektif juga dapat dikaji sampai seberapa jauh perilaku itu berhasil menghasilkan kinerja, artinya berapa dekat kinerja yang dihasilkan memenuhi ketentuan dari kinerja yang direncanakan.

Sebagai perilaku efisien, perilaku produktif dinilai sampai seberapa jauh kinerja yang dihasilkan bila dibandingkan dengan masukan yang digunakan untuk menghasilkan kinerja tersebut. Di sini perilaku efisien juga dapat dipersepsikan sebagai perilaku yang mampu memanfaatkan sumber daya dengan baik, sehingga mampu menghasilkan kinerja yang bernilai jauh lebih tinggi dari sumber daya yang digunakannya.

Proses terbentuknya perilaku yang efektif melalui ke empat unsur semangat penyempurnaan tersebut dijelaskan pada gambar 2 di bawah, dan juga model lengkapnya ada di gambar 3 dan gambar 4.

Gambar 2.Pengaruh semangat penyempurnaan terhadap perilaku efektif.

24

PERILAKUEFEKTIF

SEMANGAT PENYEMPURNAAN

Semangat mencapai tujuan

Puas terlibatsebagai anggota

Daya tahan kegagalan

Disiplin Penyempurnaan

Page 6: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

Penjelasan gambar 2 didasarkan pada pemikiran teoritik bahwa perilaku muncul karena adanya dorongan dari dalam diri individu berupa semangat. Dikarenakan semangat penyempurnaan terbentuk dari empat unsur maka secara umum pula seluruh variabel semangat penyempurnaan diduga akan menentukan munculnya perilaku produktif dalam bentuk perilaku efektif.

Di samping ke empat variabel tersebut di atas, diperkirakan pula masih ada variabel lain yang ikut berperanan dalam pembentukan perilaku efektif. Variabel itu adalah karakteristik pekerjaan dan personal. Variabel ini tidak berpengaruh langsung pada perilaku efektif tetapi memoderasi pengaruh unsur-unsur semangat penyempurnaan pada perilaku efektif. Model teoritisnya adalah sebagai berikut :

Gambar 3.Pengaruh semangat penyempunaan terhadap perilaku efektif dengan

karakteristik pekerjaan dan variabel personal sebagai moderator variabel

25

Page 7: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

Gam

bar 4

. Ran

cang

an p

enel

itian

pro

ses t

erbe

ntuk

nya

peril

aku

26

Page 8: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 200227

Page 9: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

c. Proses terbentuknya perilaku efisien melalui semangat penyempurnaan.

Kepuasan pekerja sebagai anggota perusahaan diperkirakan akan mendorong munculnya perilaku efisien. Pengertian perilaku efisien di sini adalah perilaku yang diwarnai oleh tindakan-tindakan yang secara jelas mengupayakan pemanfaatan sumber daya perusahaan dengan sebaik-baiknya, artinya mengusahakan penghematan pemakaian sumber daya dan mengusahakan untuk menghasilkan keluaran (output) yang maksimal dari sumber daya yang tersedia.

Disiplin dan kegairahan yang dirangsang dengan motivasi yang tinggi dan mendorong kearah penyempurnaan cara kerja. Kedisiplinan diri untuk selalu berusaha memperbaiki pola kerja secara otomatik akan memposisikan diri individu untuk bertindak efisien dalam segala tindakannya. Tentu saja pada saatnya nanti perilaku efisien akan muncul tatkala individu mampu menjaga secara terus menerus kedisiplinan bekerjanya. Adapun model teoritisnya dapat digambarkan dibawah ini :

Gambar 5.Pengaruh semangat penyempurnaan terhadap perilaku produktif efisien

Berbeda dengan perilaku efektif, perilaku efisien hanya disebabkan oleh dua variabel yang dijelaskan di atas. Orang yang memiliki disiplin untuk melakukan penyempurnaan, biasanya juga mengacu pada proses untuk mencapainya, dari pada usaha penghematan sumber daya, penanggulangan pemborosan waktu, tenaga, dan dana. Jadi Disiplin Penyempurnaan dianggap berpengaruh pada Perilaku Efisien. Kepuasan sebagai anggota perusahaan juga berpengaruh karena orang-orang yang puas pada perlakuan perusahaan terhadap dirinya akan juga merasa bertanggung jawab atas pemanfaatan kekayaan perusahaan.

Di samping ke dua variabel bebas. Puas sebagai anggota perusahaan dan Disiplin Penyempurnaan, maka diperkirakan ada beberapa variabel karateristik pekerjaan dan personal yang diduga mampu mengubah sifat pengaruh variabel bebas itu pada perilaku efisien. Adapun model lengkapnya pada gambar 6 di bawah.

28

PERILAKU EFISIEN

SEMANGAT PENYEMPURNAAN

Semangat mencapai tujuan

Puas terlibatsebagai anggota

Disiplin penyempurnaan

Daya tahan kegagalan

Page 10: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

Gambar 6.Pengaruh semangat penyempurnaan terhadap perilaku efisien dengan

karakteristik pekerjaan dan personal sebagai moderator variabel

Sedangkan model lengkapnya adalah pada gambar 7 di bawah ini :

29

Page 11: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

2. HipotesisAdapun hipotesis penelitian utama yang diajukan berdasarkan

model penelitian yang telah dikembangkan adalah sebagai berikut :

Gam

bar 4

. Ran

cang

an p

enel

itian

pro

ses t

erbe

ntuk

nya

peril

aku

30

Page 12: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

1. Ada pengaruh positif yang signifikan dari inteligensia dan motivasi kerja terhadap semangat penyempurnaan.

2. Ada pengaruh positif yang signifikan dari semangat penyempurnaan terhadap perilaku efektif dengan karakteristik pekerjaan (otonomi, identitas tugas, ragam ketrampilan, kebermaknaan tugas, dan umpan balik) dan variabel personal (pendidikan, pengalaman, dan pangkat) sebagai moderator variabelnya.

3. Ada pengaruh positif yang signifikan dari semangat penyempurnaan terhadap perilaku efisien dengan karakteristik pekerjaan (identitas tugas, kebermaknaan tugas, dan umpan balik) dan variabel personal (jenis kelamin, dan pangkat) sebagai moderator variabelnya.

C. Metode PenelitianPopulasi dari penelitian ini adalah karyawan Perusahaan Texmaco

pada bidang unit usaha tekstil, yaitu PT Texmaco Jaya Karawang, PT Texmaco Jaya Pemalang, dan PT Wastra Indah Batu Malang sejumlah dengan jumlah total populasi 6994 orang. Sampel penelitian dipilih secara acak melalui undian. Menurut Reaves (86), untuk populasi sejumlah tersebut, maka jumlah sampel yang dianggap representatif (taraf kepercayaan 10 %) adalah sebesar 320 orang.

Ada beberapa jenis instrumen penelitian yang digunakan dalam mengukur variabel-variabel penelitian ini yaitu: a. Inteligensia, diukur dengan alat tes inteligensia CFIT skala 3 bentuk

A.b. Motivasi kerja (motivasi sosial, motivasi pengakuan dan motivasi

intrinsik) diukur dengan kuestioner dari Friedlander.c. Semangat penyempurnaan diukur dengan kuestioner yang

menggunakan skala Likert. d. Perilaku produktif, diukur dengan menggunakan kuestioner yang

memanfaatkan skala Likert.e. Variabel personal, seperti pendidikan, pengalaman kerja, pangkat

dan jenis kelamin, diukur dengan menggunakan pertanyaan terbuka. f. Budaya kerja, pengukurannya dilakukan dengan menggunakan

value survey moduler tahun 1994 yang dikembangkan oleh Hofstede (52).

g. Karakteristik pekerjaan diukur dengan menggunakan Job Diagnostic Survey (JDS) versi pendek yang dikembangkan oleh Hackman dan Oldham (44).

Data hasil survai, diolah dengan menggunakan SPSS versi 7.5. Pengolahan data mencakup pengujian validitas alat ukur dengan menggunakan metode Analisis Faktor dengan rotasi varimax. Pengujian keandalan alat ukur dengan menggunakan metode Alpha Cronbach. Sedangkan pengujian model penelitian menggunakan Analisis Regresi Berganda dalam dua tahap. Tahap pertama untuk menguji hubungan pengaruh dari variabel independen tertentu (inteligensia dan motivasi kerja) dengan variabel semangat penyempurnaan. Pengujian tahap dua

31

Page 13: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

merupakan pengujian atas model penelitian yang utama yaitu semangat penyempurnaan terhadap perilaku produktif.

D. Hasil Uji Model dan PembahasanDijelaskan di awal bahwa proses munculnya perilaku produktif

terjadi pada budaya kerja organisasi sebagai studi awal (berdasar pada teori Hofstede): Jarak kuasa tidak terlalu tinggi, tetapi juga belum dapat dikatakan

egaliter Individualisme yang sangat tinggi Maskulinitas yang tinggi Penghindaran ketidakpastian yang tidak terlalu tinggi, Orientasi jangka panjang cukup

1. Motivasi dan Intelegensia sebagai pembentuk Semangat Penyempurnaan Hasil uji pertama untuk melihat variabel pembentuk semangat

bersama mencapai tujuan, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1Variabel pembentuk semangat bersama mencapai tujuan

Variabel Independen

b (standar) Nilai p Keterangan

Inteligensia 0.013 0.796 Taraf Signifikansi : * signifikan dengan p <

0.10** signifikan dengan p <

0.05*** signifikan dengan p < 0.01

Motivasi Pengakuan - 0.004 0.939Motivasi Sosial 0.360

***0.000

Motivasi Intrinsik 0.185 ***

0.003

Pada Tabel 1 terlihat bahwa hanya motivasi sosial dan motivasi intrinsik yang mempengaruhi semangat bersama mencapai tujuan. Semangat bersama mencapai tujuan ternyata tidak dipengaruhi oleh inteligensia dan motivasi pengakuan.

Semangat bersatu mencapai tujuan, adalah menggambarkan kerjasama dalam kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Dari tabel di atas terbukti bahwa penyatuan nilai, tujuan, norma dari anggota individu yang berbeda-beda menjadi satu semangat bersama dipengaruhi oleh adanya kebutuhan sosial (motivasi sosial) untuk selalu bersama dalam kelompok. Sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Muchinsky (74), dan Dipboye dkk (25) bahwa dorongan sosial yang berupa keinginan untuk bersama, berhubungan dengan orang lain, dan menjaga keharmonisan dengan rekan yang lain merupakan proses emosi yang mampu menyatukan orang dalam suatu asosiasi atau kesatuan rasa (dalam hal ini disebut semangat bersatu mencapai tujuan).

Sudah menjadi sifat firahnya manusia untuk hidup dalam kelompok, kelompok mampu menyatukan diri menjadi kekuatan yang

32

Page 14: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

besar apabila masing-masing anggotanya mempunyai kemauan yang keras untuk beraktualisasi diri. Masing-masing orang berekspresi untuk kemajuan kelompok, setiap orang dalam kelompok pasti mempunyai keahlian yang berbeda-beda, bila keahlian yang berbeda-beda ini diaktualisasikan secara bersama-sama menjadi suatu sinergi maka kesatuan kelompok akan mejadi kuat. Kesatuan itu harusnya muncul secara sadar dari dalam diri mereka sendiri, bahwa bila mereka bekerja sendiri-sendiri maka tak akan ada artinya dan bila mereka bekerja bersama dalam satu naungan organisasi maka kualitas hasil kerja dari pelaksanaan tugas jadi sangat bermakna.

Hasil uji ke dua untuk melihat variabel pembentuk kepuasan atas keterlibatan sebagai anggota organisasi, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2.Variabel pembentuk kepuasan atas keterlibatan sebagai anggota

Variabel Independen

b (standar) Nilai p Keterangan

Inteligensia - 0.088 0.133 Taraf Signifikansi : * signifikan dengan p <

0.10** signifikan dengan p <

0.05*** signifikan dengan p < 0.01

Motivasi Pengakuan

- 0.039 0.516

Motivasi Sosial 0.120 * 0.081Motivasi Intrinsik 0.016 0.822

Dari Tabel 2 terlihat bahwa hanya motivasi sosial yang berpengaruh terhadap kepuasan atas keterlibatan sebagai anggota organisasi, sedangkan yang lain tidak signifikan. Individu merasa puas sebagai anggota dari suatu organisasi perusahaan karena dalam dirinya telah ada keinginan sosial untuk menjadi anggota. Artinya bila sejak awal seseorang sangat berkeinginan sekali menjadi anggota organisasi maka nantinya kalau orang tersebut sudah bekerja di dalam organisasi cenderung mengalami kepuasan. Namun sebaliknya, bila sejak awal tidak ada keinginan sosial dalam diri dan yang ada hanya keinginan mencari pekerjaan, mencari ketenaran atau mencari uang saja, maka yang muncul adalah ketidakpuasan, karena sesuatu yang diinginkan dari organisasi tidak sesuai dengan harapan.

Hasil uji ke tiga untuk melihat variabel pembentuk disiplin melakukan penyempurnaan, dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3.Variabel pembentuk disiplin melakukan penyempurnaan

Variabel Independen

b (standar) Nilai p Keterangan

Inteligensia 0.146 ** 0.013 * signifikan dengan p <

33

Page 15: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

0.10** signifikan dengan p <

0.05*** signifikan dengan p < 0.01

Motivasi Pengakuan - 0.025 0.678Motivasi Intrinsik 0.029 0.625

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa hanya variabel inteligensia berpengaruh dengan signifikan pada disiplin melakukan penyempurnaan. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa semakin individu cukup intelegen maka semakin mempunyai disiplin yang baik untuk melakukan penyempurnaan kerja. Hal ini secara rasional dapat dipahami bahwa disiplin melakukan penyempurnaan kerja secara terus menerus membutuhkan inovasi dan kreatifitas yang tinggi, karena sekali mengalami kegagalan harus dicari jalan lain bagaimana cara menyelesaikannya, untuk itulah diperlukan individu-individu yang inteligen.

Hasil uji ke empat untuk melihat variabel pembentuk daya tahan kegagalan, dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4.Variabel pembentuk daya tahan atas kegagalan penyempurnaan

Variabel Independen

b (standar) Nilai p Keterangan

Inteligensia 0.055 0.325 Taraf Signifikansi : * signifikan dengan p <

0.10** signifikan dengan p <

0.05*** signifikan dengan p < 0.01

Motivasi Pengakuan

0.117 ** 0.043

Motivasi Sosial 0.154 ** 0.019Motivasi Intrinsik 0.167 ** 0.013

Tabel di atas mengindikasikan bahwa motivasi pengakuan, motivasi sosial, dan motivasi intrinsik berpengaruh pada daya tahan atas kegagalan penyempurnaan. Hasil pada tabel di atas membuktikan bahwa kuatnya daya tahan seseorang akan kegagalan dikarenakan pada diri orang tersebut punya kemauan (motivasi kerja). Daya tahan seseorang semakin kuat dalam menghadapi setiap kegagalan dikarenakan adanya motivasi sosial dalam bentuk dukungan sosial dalam menghadapi setiap masalah. Sahabat dan rekan menjadi motivator untuk pendukung kekuatan dikala individu mengalami persoalan yang teramat berat sehingga pada moment ini daya tahan akan terkuatkan. Kekuatan daya tahan seseorang akan kegagalan juga dikarenakan adanya motivasi yang kuat pada orang tersebut untuk diakui. Pada dasarnya orang akan malu bila sedikit mempunyai daya

34

Page 16: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

tahan atau bahkan tidak punya daya tahan sama sekali. Guna menjaga ini orang cenderung akan berusaha bertahan terhadap kegagalan-kegagalan agar memang diakui oleh orang lain bahwa dirinya memang mampu menghadapi setiap persoalan. Selain itu kuatnya daya tahan akan kegagalan ini juga dikarenakan dalam diri seseorang ada kemauan untuk meraih hasil yang terbaik dengan berusaha untuk mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimiliki.

Berdasarkan pada hasil uji yang dipaparkan di berbagai tabel di atas maka hasil model penelitian terakhir berubah menjadi gambar 8 di bawah ini.

Gambar 8.Hasil analisis pengaruh intelegensi dan motivasi

terhadap semangat penyempurnaan

2. Variabel pembentuk perilaku produktif Langkah pertama adalah menguji variabel pembentuk perilaku

produktif efektif, hasilnya dipaparkan pada Tabel 5.

Tabel 5.Variabel pembentuk perilaku produktif efektif

Variabel Independen Variabel Moderator

b (standar) Nilai p

Semangat bersama mencapai tujuan 0.007 0.951Semangat bersama mencapai tujuan

Kebermaknaan tugas 0.512 0.163

Kepuasan terlibat sebagai anggota - 0.269 0.131Kepuasan terlibat sebagai anggota Otonomi 0.361 0.233Kepuasan terlibat sebagai anggota Identitas tugas - 0.089 0.162Kepuasan terlibat sebagai anggota

Ragam ketrampilan 0.691 *** 0.003

35

Page 17: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

Kepuasan terlibat sebagai anggota

Kebermaknaan tugas - 0.518 0.149

Disiplin melakukan penyempurnaan - 0.317 * 0.068Disiplin melakukan penyempurnaan

Ragam ketrampilan - 0.525 ** 0.029

Disiplin melakukan penyempurnaan Umpan balik 0.676 ** 0.025Disiplin melakukan penyempurnaan Pendidikan 0.134 ** 0.040Disiplin melakukan penyempurnaan Pengalaman 0.175 *** 0.005Disiplin melakukan penyempurnaan Pangkat - 0.139 ** 0.047Daya tahan atas kegagalan 0.499 *** 0.000Daya tahan atas kegagalan Otonomi - 0.458 0.139Daya tahan atas kegagalan Umpan balik - 0.692 ** 0.014

Munculnya perilaku produktif ini secara statistik dipengaruhi oleh disiplin melakukan penyempurnaan (negatif), dan daya tahan melakukan penyempurnaan (positif). Berdasarkan pada hasil tersebut, bisa dikatakan bahwa perilaku efektif lebih mengutamakan pencapaian tujuan, dan ini bisa diraih manakala anggota organisasi tidak mengutamakan kedisiplinan dalam melakukan penyempurnaan. Secara teoritis hasil tersebut tidak sesuai dengan dugaan semula namun bila dikembalikan pada konteks budaya kerja dari populasi penelitian (lihat budaya kerja organisasi) maka proses terjadinya perilaku produktif di atas dapat dimengerti pada tataran iklim organisasi tersebut.

Peran disiplin melakukan penyempurnaan terhadap terbentuknya perilaku produktif efektif dapat dibuktikan melalui beberapa kasus, secara logik hal tersebut bisa dipahami dalam konteks budaya kerja yang ada. Pada organisasi yang maskulin menuntut bagaimana tujuan organisasi tercapai, untuk itu bila ditemui seseorang yang sangat disiplin melakukan penyempurnaan kerja secara terus menerus sampai-sampai seluruh proses kerja harus diatur sesuai dengan standar pelaksaan tugas (SOP/standard operating procedure) maka yang tampak adalah pola kerja yang kaku dan kurang fleksibel, secara praktis tidak mengherankan bila tujuan organisasi sulit dicapai. Perilaku produktif efektif menuntut orang untuk melakukan upaya apa saja asalkan tujuan organisasi tercapai, bahkan kalau memang diperlukan peraturan (SOP) dilanggar demi mencapai tujuan organisasi. Menurut McNeese-Smith dinyatakan bahwa pola perilaku efektif tersebut menuntut orang untuk fleksibel dan tidak terpaku pada aturan-aturan serta tidak harus ketat disiplin sesuai dengan aturan (71).

Perilaku efektif juga disebabkan oleh daya tahan akan kegagalan secara positif. Perilaku efektif menuntut individu untuk melakukan

36

Page 18: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

upaya apa saja asalkan tujuan organisasi tercapai, untuk itu tentu saja dibutuhkan individu-individu yang tahan uji dan tahan banting manakala menemukan kegagalan dalam mencapai tujuan, individu-individu tersebut akan akan terus melaju (bekerja dengan keras) lagi sampai tujuan organisasi tercapai. Setiap melakukan tindakan penyempurnaan, resiko yang dihadapi adalah munculnya kesalahan. Bahkan menurut Pfeffer & Sutton dinyatakan bahwa bagi orang yang punya daya tahan kegagalan tinggi, kesalahan dianggap sebagai suatu yang lumrah karena tidak ada tindakan tanpa mengalami kesalahan, yang terpenting adalah bagaimana mengurangi rasa takut gagal sehingga nantinya mampu menguatkan daya tahan akan kegagalan (77).

Selanjutnya dibahas peran variabel moderator. Sebagaimana dinyatakan oleh Brief & Aldag (10); Champoux (16); Yitzhak (107) bahwa kepuasan atas sebagai anggota akan meningkatkan perilaku efektif dengan dimoderasi oleh variabel karakteristik pekerjaan dalam bentuk otonomi, identitas tugas, keanekaragaman ketrampilan, kebermaknaan tugas dan umpan balik. Namun yang sangat signifikan sebagai moderator hanya variabel keanekaragam ketrampilan (bertanda positif) saja.

Alasan rasional bila seseorang yang mengalami kepuasan atas keterlibatan sebagai anggota perusahaan makin efektif perilaku kerjanya manakala menjalankan pekerjaan yang menuntut banyaknya ragam ketrampilan. Perilaku kerja efektif menuntut individu untuk bekerja apa saja sesuai dengan caranya masing-masing asalkan tujuan organisasi tercapai. Apabila seseorang mengalami kepuasan atas keterlibatan sebagai anggota organisasi maka yang bersangkutan cenderung rela memberikan segala sesuatu yang dimiliki (dalam hal ini berupa berbagai macam ketrampilan) kepada organisasi dengan harapan agar tujuan organisasi yang telah ditetapkan bisa tercapai. Tentu saja pada kondisi yang demikian ini, pencapaian tujuan organisasi secara efektif membutuhkan individu-individu yang merasa lega, puas, dan tidak mempunyai masalah dengan organisasi. Perilaku individu-individu tersebut makin efektif manakala tugas yang dihadapi menuntut adanya berbagai macam ketrampilan, orang cenderung mengeluarkan segala kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki agar bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Selanjutnya, terbukti juga bahwa seseorang yang disiplin dalam melakukan penyempurnaan makin efektif perilaku kerjanya manakala tidak mempunyai banyak macam ketrampilan dalam menjalankan tugas. Secara tegas dinyatakan dimuka bahwa efektivitas perilaku kerja bisa dicapai manakala ada disiplin dalam melakukan penyempurnaan yang kuat dari orang yang bersangkutan. Disiplin melakukan penyempurnaan adalah secara tekun seseorang terus menerus berusaha memperbaiki hasil kerjanya, sehingga individu tersebut harus konsisten dan ajeg pola kerjanya agar tujuan organisasi tercapai. Untuk itu macam ketrampilan yang dibutuhkan makin sedikit, karena yang dibutuhkan adalah konsistensi untuk terus menerus melakukan penyempurnaan dengan tanpa harus mempertanyakan kembali kenapa begini dan kenapa begitu. Bila seseorang memiliki keanekaragaman

37

Page 19: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

ketrampilan yang tinggi maka semakin sering orang tersebut mencoba cara yang lain dan mempertanyakan kembali apa benar metode yang tengah dikerjakan, apa tidak sebaiknya dicari metode yang lain?, sehingga individu malah sering bertanya dan tidak mensegerakan tindakan guna mencapai tujuan organisasi.

Demikian pula pada individu yang mempunyai level kepangkatan lebih rendah, perilaku kerjanya cenderung menunjukan kepatuhan, tidak suka mendebat, dan tugas dijalankan sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh pimpinan. Pimpinan atau perusahaan sejak awal akan memberikan petunjuk dan pedoman kerja pada mereka, untuk selanjutnya individu yang mempunyai level kepangkatan lebih rendah akan menjalankan tugas sesuai dengan petunjuk tanpa harus (bahkan mungkin tidak berani) mempertanyakan lagi alasan-alasan tertentu tentang pelaksanaan tugas tersebut. Kedisiplinan dalam melakukan penyempurnaan tugas tersebut memang tampak lebih nyata berada pada mereka yang mempunyai level kepangkatan lebih rendah dibanding mereka yang mempunyai kepangkatan lebih tinggi. Individu-individu yang punya level kepangkatan lebih rendah ini tidak punya bargaining power untuk melawan aturan yang memberlakukan kedisplinan kerja sehingga perilaku sehari-hari yang ditampakan adalah perilaku patuh, tunduk, dan taat pada ketetapan kediplinan kerja. Demikian juga dalam hal disiplin dalam melakukan penyempurnaan kerja, perilaku yang muncul tampaknya otomatis dari pembentukan disiplin kerja.

Disiplin melakukan penyempurnaan adalah secara tekun seseorang terus menerus berusaha memperbaiki hasil kerjanya, sehingga benar-benar dibutuhkan individu yang mempunyai tingkat pendidikan cukup tinggi. Seseorang mampu melakukan kedisiplinan dalam memperbaiki hasil kerjanya tentunya didasari oleh dasar-dasar pengetahuan tentang pekerjaan yang dijalani, kondisi ini ternyata mampu dijalankan oleh individu yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi. Makin rendah tingkat pendidikan seseorang makin sulit memahami kondisi pekerjaan sehingga diduga sulit melakukan kedisiplinan dalam melakukan penyempurnaan kerja. Demikian pula dalam hal pengalaman kerja. Bagi orang-orang yang telah memiliki pengalaman kerja lebih tinggi tentunya sudah banyak wawasan yang diperoleh dari skope bidang pekerjaan yang dijalani, sehingga mudah bagi yang bersangkutan untuk melakukan penyempurnaan kerja. Sebaliknya, bagi mereka yang masih belum memiliki pengalaman kerja cukup banyak diduga masih belum banyak memiliki wawasan akan pekerjaan yang ditekuni sehingga sulit bagi mereka untuk melakukan disiplin penyempurnaan atas pekerjaan yang dijalani.

Terakhir adalah bahwa seseorang yang memiliki daya tahan kegagalan tinggi akan makin efektif perilaku kerjanya manakala orang tersebut kurang diberikan umpan balik. Seseorang yang punya daya tahan kegagalan yang tinggi adalah orang-orang yang setiap hari selalu diterpa dan didera masalah-masalah yang menuntutnya segera dipecahkan, manakala mengalami kegagalan akan diusahakan untuk dicoba lagi agar lebih berhasil dari yang awal. Pada individu-individu tersebut, apabila diberi umpan balik malah menurunkan efektifitas

38

Page 20: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

perilakunya karena dirasa umpan balik yang diberikan malah mengganggu usaha pencapaian tujuan. Umpan balik bagi mereka tidak dianggap sebagai pemicu atau pengarah kepada kondisi yang benar namun umpan balik dianggap sebagai pengganggu dari upaya pencapaian tujuan dari masing-masing anggota organisasi.

Langkah selanjutnya adalah melihat apa saja variabel-variabel pembentuk dari perilaku produktif efisien, untuk itu hasil secara detail dapat dilihat pada Tabel 6, dan akan dibahas secara urut

Tabel 6Variabel pembentuk perilaku produktif efisien

Variabel Independen Variabel Moderator b (standar) Nilai p

Kepuasan terlibat sebagai anggota 0.17 * 0.054Kepuasan terlibat sebagai anggota Identitas Tugas 0.191

*** 0.001Kepuasan terlibat sebagai anggota

Kebermaknaan tugas - 0.271 0.197

Disiplin melakukan penyempurnaan 0.007 0.956Disiplin melakukan penyempurnaan

Kebermaknaan tugas 0.338 0.155

Disiplin melakukan penyempurnaan Umpan Balik 0.146 ** 0.020Disiplin melakukan penyempurnaan Jenis Kelamin - 0.118 * 0.052Disiplin melakukan penyempurnaan Pangkat 0.099 * 0.087

Dari tabel 6 di atas dapat dijelaskan beberapa hal. Munculnya perilaku produktif efisien dipengaruhi oleh kepuasan atas keterlibatan sebagai anggota organisasi (tanda positif). Secara logik hal tersebut bisa dipahami, bahwa perilaku produktif efisien menuntut individu untuk selalu memperhitungkan biaya, waktu dan tenaga dalam mencapai tujuan. Hanya pada individu-individu yang mengalami kepuasan atas keterlibatannya sebagai anggota organisasi, keadaan tersebut diatas dapat terwujud. Pada diri orang yang mengalami kepuasan atas keterlibatannya sebagai anggota organisasi, mereka akan berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup organisasi karena organisasi baginya adalah “sawah ladang” yang harus dijaga dan dirawat. Untuk itu, perilaku yang dimunculkan berupa tindakan-tindakan yang mengarah pada efisiensi kerja, berusaha untuk selalu mempertimbangkan besarnya ongkos-ongkos atau biaya yang bisa merugikan perusahaan.

Tabel 6 di atas mengindikasikan bahwa pengaruh semangat penyempurnaan akan semakin kuat manakala hadir variabel moderator karakteristik pekerjaan dan karakteristik personal. Kepuasan atas keterlibatan anggota organisasi makin meningkatkan efisiensi perilaku

39

Page 21: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

kerja manakala mereka sedang menjalankan pekerjaan yang jelas identitasnya, kejelasan tersebut mulai dari proses awal hingga proses akhir. Brief & Aldag (10); Champoux (16); Yitzhak Fried (108) juga menyatakan bahwa kepuasan mampu meningkatkan perilaku efisien dengan dimoderasi oleh variabel karakteristik pekerjaan dalam bentuk identitas tugas. Pekerjaan yang jelas dalam jadwal dan prosedur akan mempermudah individu-individu yang telah mengalami kepuasan dalam bekerja untuk menyelesaikan tugas dengan mempertimbangkan waktu, tenaga dan biaya. Pertimbangan akan waktu, tenaga dan biaya tersebut bisa dilakukan pada orang-orang yang puas sebagai anggota organisasi manakala mereka bekerja pada tugas yang punya kejelasan jadwal dan prosedur sehingga tidak banyak waktu, tenaga dan biaya yang dibuang.

Di awal dinyatakan bahwa perilaku efisien menuntut seseorang untuk harus selalu mempertimbangkan ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang muncul dari setiap pelaksanaan tugas, agar selalu tetap mempertimbangkan kondisi tersebut dibutuhkan individu-individu yang disiplin dalam penyempurnaan. Disiplin penyempurnaan adalah konsistensi dan keajegan untuk selalu mempertimbangkan beban biaya atas tindakan penyempurnaan yang diambil. Konsistensi dalam mempertimbangkan efisiensi kerja tersebut dapat dijalankan manakala ada umpan balik yang diberikan ketika mengalami kesalahan, fungsi dari umpan balik dalam hal ini adalah memberikan arah pada individu (yang disiplin dalam melakukan penyempurnaan) tersebut pada efisien kerja yang telah dijalankan.

Sebagaimana teori yang ditemukan Cordery dan Sevastos, hasil penelitian ini memperkuat dugaan bahwa perilaku efisien ternyata terjadi pada individu-individu yang berjenis kelamin wanita dan mereka yang berpangkat lebih tinggi (19). Pada mereka yang berjenis kelamin wanita lebih perhitungan terhadap pengeluaran waktu, tenaga dan biaya apalagi tugasnya sangat bermakna bagi dirinya. Hasil yang tidak mengejutkan adalah kondisi tersebut berlangsung pula pada karyawan yang berada pada level lebih tinggi, karyawan yang berada pada level lebih tinggi akan lebih memperhitungkan pengeluaran waktu, tenaga dan biaya karena pada posisi tersebut terdapat tuntutan tugas untuk menjaga kelangsungan hidup organisasi.

E. KesimpulanHasil dari penelitian ini dapat dibuat beberapa kesimpulan tentang

terbentuknya perilaku produktif yaitu :1. Ternyata produktivitas tidak hanya berupa ukuran teknikal sebagai

perbandingan antara output (keluaran) dan input (masukan), tetapi produktivitas adalah sebuah perilaku kerja yang terarah pada pencapaian tujuan dan tindakan yang selalu mempertimbangkan beban biaya.

2. Perilaku produktif terbukti terdiri dari dua faktor yaitu perilaku efektif dan perilaku efisien.

3. Perilaku efektif terbentuk dari semangat penyempurnaan terutama disiplin penyempurnaan dan daya tahan kegagalan, serta dimoderasi

40

Page 22: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

oleh karakteristik pekerjaan terutama ragam ketrampilan dan umpan balik, serta juga dimoderasi oleh variabel personal terutama pendidikan, pengalaman, dan pangkat.

4. Sedangkan perilaku efisien terbentuk dari semangat penyempurnaan terutama kepuasan atas keterlibatan sebagai anggota, serta dimoderasi oleh karakteristik pekerjaan terutama identitas tugas dan umpan balik, serta dimoderasi juga oleh variabel personal terutama jenis kelamin dan pangkat.

5. Semangat penyempurnaan itu sendiri dibentuk oleh motivasi kerja dalam bentuk motivasi sosial, motivasi pengakuan, dan motivasi intrinsik untuk aktualisasi diri. Dalam hal ini ternyata inteligensia tidak berpengaruh banyak terhadap semangat penyempurnaan dalam upayanya membentuk perilaku produktif, baik itu perilaku efektif maupun perilaku efisien.

Daftar Pustaka1. Alan, Lawlor (1985), Productivity Improvement Manual, Gower Publishing

Company Limited, England, 20-21.2. Altman, Steven., Hodgetts, M. Richard (1979), Reading in Organizational

Behavior, W.B. Saunders Company, Philadelphia, 289-311.3. Anastasi, A. (1988), Psychological Testing, 6th edition, MacMillan, New-

York, 290.4. Armstrong, Michael (1991), A Handbook of Personnel Management

Practice, 4th edition, Kogan Page Lmt, London, chapter 7.5. Arnold, J. Hugh (1982), Moderator Variables: A Clarification of Conceptual,

Analytic, and Psychometric Issues, Organizational Behavior and Human Performance, 29, 143-174.

6. Aroef, Mathias (1986), Pengukuran Produktivitas Kebutuhan Mendesak di Indonesia, dalam Prisma, 11.

7. As'ad, Mochammad (1994), Materi Pokok Psikologi Industri, Universitas Terbuka, Penerbit Karunia, Jakarta, 2.1-2.2.

8. Baron, M. Reuben dan Kenny A. David (1986), The Moderator-Mediator Variabel Distinction in Social Psychological Research: Conceptual, Strategic, and Statistical Considerations, Journal of Personality and Social Psychology, 51, 6, 1173-1182.

9. Beer, Michael., Einstat, A. Russell., Spector, Bert (1990), Why Change Programs Don't Produce Change, Harvard Business Review, November-December, 158-166.

10.Brief, P. Arthur., Aldag, J. Ramon (1975), Employee reaction to the job characteristics: a constructive replication, Journal of Applied Psychology, 60, 2, 182-186.

11.Burgess, H. Giles (1982), Industrial Organization, Prentice-Hall International Editions, Singapore, 2-4.

12.Carillo, M. Phoebe., Kopelman, E. Richard (1991), Organization structure and productivity: effect of subunit size, vertical complexity, and administrative intensity on operating efficiency, Group and Organization Studies, 16, 44-59.

13.Carol, A. Paradise (1991), Team Building, dalam Applying Psychology in Business: The Handbook for Managers and Human Resources Professionals, Jones, W. John., Steffy, D. Brian., Bray, W. Douglas., Editor, Lexington Books, Massachusetts.

41

Page 23: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

14.Cascio, F. Wayne (1992), Managing Human Resources: Productivity, Quality of work life, Profit, 3 rd edition, McGraw-Hill International Edition, New-York, chapter 12.

15.Caudron, Shari (1992), Subculture Strife Hinders Productivity, Personnel Journal, December.

16.Champoux, E. Joseph (1991), A Multivariate test of the job characteristics theory of work motivation, Journal of Organizational Behavior, 12, 431-446.

17.Christoper, F. William., Thor, G. Carl (1993), Handbook for Productivity Measurement and Improvement, Productivity Press Inc., Portland, Oregon.

18.Coates, E. James (1988), The Ins and Outs od Quality Circles-Mostly The Ins, Industrial Management Journal, 3, May-June, 6.

19.Cordery, L. John., Sevastor, P. Peter (1993), Responses to the original & revised job diagnostic survey: Is education a factor in responses to negatively worded item?, Journal of Applied Psychology, 78, 1, 141-143.

20.Cronbach, J. Lee (1987), Statistical Test for Moderator Variabel: Flaws in Analyses Recently Proposed, Psychologycal Buletin, 102, 3, 414-417.

21.Daniel, G. Spencer., Steers, M. Richard (1981), Performance as a Moderator of the Job Satisfaction-Turnover Relationship, Journal of Applied Psychology, 66, 4, 511-514.

22.Das, Bimas., Worral, Brian., Shikdar, Ashraf (1987), Production standards and feedback affecting worker satisfaction in a repetitive manufacturing task, dalam World Productivity Forum & 1987 International Industrial Engineering Conference, Industrial Engineering Press, Washington DC, 240-244.

23.DeCenzo, A. Davis., Robbins, P. Stevens (1994), Human Resource Management: Concept & Practices, 4th edition, John Willey & Sons, Inc, New York, chapter. 12.

24.Dessler, Gary (1980), Organization Theory, Prentice-Hall Inc, New-Jersey, chapter 10 dan 12.

25.Dipboye, L. Robert., Smith, S. Carlla., Howell, C. William (1994), Understanding Industrial and Organizational Psychology: an Integrated Approach, Harcourt Brace College Publisher, Fort Wort, chapter 1 & 3.

26.Drucker, E. Peter (1991), The New Productivity Challenge, Harvard Business Review, Nop-Dec.

27.Dubrin, J. Andrew (1988), Human Relation: A Job Oriented Approach, Prentice-Hall, New-York.

28.Dunlap, P. William., Kemery, R. Edward (1987), Failure to Detect Moderating Effect : Is Multicollinearity the Problem ?, Psychological Buletin, 102, 3, 418-420.

29.Dunteman, H. George (1966), Organizational Conditions and Behavior in Industrial Manufacturing Organizations, Journal of Applied Psychology, 50, 4, 300-305.

30.Edlund, W. Timothy (1988), Do Regulatory Requirement Inhibit Productivity Improvement? A Steel Industry Case Study, Journal of Industrial Management, 6, 25-26.

31.Edosomwan, J. Aimie (1987), Integrating Productivity and Quality Management, Marcel Dekker Inc, New-York and Basel.

32.English, J., Marchione, R. Anthony (1983), Productivity: A New Perspective, California Management Review, 25, 2, 57-65.

33.Fechter, F. William., Horowitz, B. Renee (1991), Visionary leadership needed by all managers, Journal of Industrial Management, 4, 2-5.

42

Page 24: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

34.Feigenbaum, V. Armand (1983), Total Quality Control, 3rd edition, McGraw-Hill International Editions, New-York, chapter 3.

35.Fishbein, M., Ajzen, T. (1975), Belief, Attitude, Intention and Behavior. An introduction to theory and research, Addison Wesley Publishing Company, Massachusetts, 15.

36.Forehand, G., Gilmer, B. (1964), Environmental Variation in Studies of Organizational Behavior, Psychological Bulletin, 22, 361-382.

37.Friedlander, Frank (1966), Motivations to work and organizational performance, Journal of Applied Psychology, 50, 2, 143-152.

38.Frisch, J. Carol., Dickinson, M. Alyce (1990), Work productivity as a function of percentage of monetary incentives to base pay. Special issue: Promoting excellence through performance management, Journal of Organization Behavior Management, 11, 13-33.

39.Getahun, B. Habtegiorgis (1987), Some psychological factor for increasing the productivity of labour, Psikhologiaa Bulgaria, 15, 52-56.

40.Gibson, L. James., Ivancevich, M. John., Donnely Jr. J. H. (1987), Organisasi: perilaku, struktur, proses, editor Agus Darma, Erlangga., Jakarta.

41.Gilmer, B. Von-Haller., Deci, L. Edward (1977), Industrial and Organizational Psychology, 4 th edition, McGraw-Hill Books Company, New-York, 170-173.

42.Groth-Marnat, Gary (1990), Handbook of Psychological Assesment, 2nd edition, A Willey-Interscience Publication John Willey & Sons, New-York, chapter 4.

43.Hackman, J. Richard., Lawler III. E. Edward (1971), Employee Reaction to Job Characterictic, Journal of Applied Psychology Monograph, 55, 259-285.

44.Hackman, J. Richard., Oldham R. Greg (1971), Motivation Through The Design of Work : Test of a Theory, Organizational Behavior and Human Performance, 16, 250-279.

45.Handoyo, Seger (1995), Pengaruh kepribadian terhadap kinerja dengan job karakteristik sebagai moderator, Thesis Program Magister, Universitas Indonesia, Jakarta, 113-138.

46.Haniza (1993), Tingkat produktifitas PT. Indonesia Asahan Aluminium dan penerapan sasaran-sasaran manajemen, Thesis Pasca Sarjana, ITB, Bandung.

47.Harjaya, T. Imanuel (1998), Analisis produktifitas total sektor industri manufaktur di Indonesia dan kaitannya dengan kebijakan liberalisme perdagangan, Thesis Pasca Sarjana, ITB, Bandung.

48.Hartanto, F. Mardi (1996), Manusia karya yang bersumber daya di dalam sistem usaha: Paradigma Tenaga kerja di Abad 21, Visi Utama, III/Juni-Agustus, 4-18.

49.Hauck, C. Warren (1987), Gaining productivity in banking operation, dalam World Productivity Forum & 1987 International Industrial Engineering Conference, Industrial Engineering Press, Washington DC,103-113.

50.Hellriegel, Don., Slocum, W. John. Jr (1974), Organizational Climate: Measure, Research, and Contingencies, Academy of Management Journal, 17, 2, 255-289.

51.Hisrich, D. Robert., Michael P. Peters (1992), Entrepreneurship: starting, developing, and managing a new enterprise, Richard D Irwin Inc., Illinois, 61.

52.Hofstede, Geert (1991), Culture & Organization: software of mind, McGraw-Hill Book Company, London, 3-137.

43

Page 25: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

53.Institute of Industrial Engineers (1987), World Productivity Forum & 1987 International Industrial Engineering Conference, Industrial Engineering Press, Washington DC.

54.Jackson, E. Susan., Schuler, S. Randall., Rivero, J. Carlos (1989), Organizational Characteristics as Predictors of Personnel Practices, Personnel Psychology, 42, 726-786.

55.Japan Productivity Center (1988), Introduction to the Roles of Productivity Facilitator, Overseas Technical Cooperation Dept., Tokyo.

56.Johhnston, Russell (1974), Some Personality Correlates of the Relationships between Individuals and Organizations, Journal of Applied Psychology, 59, 5, 623-632.

57.Jones, W. John., Steffy, D. Brian., Bray, W. Douglas (1991), Applying Psychology in Business: The Handbook for Managers and Human Resources Professionals, Lexington Books, Massachusetts.

58.Katzell, A. Raymond., Thompson, E. Donna (1990), Work Motivation: Theory and Practice, American Psychologist, 45, 2, 144-153.

59.Keinan, Giora., Friedland, Nehemia., Yitzhaky, Jacob., Moran, Arie (1981), Biographical, Physiological, and Personality Variabel as Predictor of Performance Under Sickness Inducing Motion, Journal of Applied Psychology, 66, 2, 233-241.

60.Kendrick, W. John (1993), Productivity: Why it matters—How it’s measured, dalam Handbook for Productivity Measurement and Improvement, Bab 1, Christoper, F. William., Thor, G. Carl., Editor, Productivity Press Inc., Portland, Oregon, 3-11.

61.Kerlinger, N. Fred (1986), Foundations of Behavioral Research, 3rd edition, Holt Rinehart Winston International Edition, New-York, chapter 12 & 24.

62.Kleinbaum, G. David., Kupper, L. Lawrence (1978), Applied Regression Analysis and Other Multivariable Methods, Duxbury Press, Massachusetts.

63.Koberg, S. Christine., Chusmir, H. Leonard (1991), Sex role conflict in sex-atypical jobs:A study of female-male differences, Journal of Organizational Behavior, 12, hal 461-465.

64.Kotter, P. John (1995), Why Transformation Efforts Fail, Harvard Business Review, March-April, 59-67.

65.Kusriyanto, Bambang (1986), Meningkatkan Produktivitas Karyawan, Pustaka Binawan Pesindo, Jakarta,1-2.

66.Latham, P. Gary., Wexley N. Kenneth (1981), Increasing Productivity Through Performance Appraisal, Addison-Wesley Publishing Company, Massachusetts, 1-10.

67.Manulang (1990), Pengukuran Produktivitas dengan Metode Nilai Tambah, Pusat Produktivitas Nasional, Jakarta.

68.Martin, L. Gary., Hrydowy, E. Rosemarie (1989), Self monitoring and self-managed reinforcement procedures for improving work productivity of developmentally disabled workers: a review, Behavior Modification, 13, 322-339.

69.McCarl, J. Joanne., Svobodny, Linda., Beare, L. Paul (1991), Self recording in classroom for students with mild to moderate mental handicaps: Effect on productivity and on-task behavior, Education and Training in Mental Retardation, 26, 79-88.

70.McCormick, J. Ernest., Tiffin, Joseph (1974), Industrial Psychology, 6th edition, Prentice-Hall of India Private Limited, New-Delhi, chapter 2.

71.McNeese-Smith, Donna (1996), Increasing Employee Productivity, Job Satisfaction, and Organization Commitment, Hospital & Health Services Administration, 41, 2, 160-175.

44

Page 26: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

72.Mital, Anil., Das, Bimas (1987), Human strengths in design: progression of developments and the current state of the art, dalam World Productivity Forum & 1987 International Industrial Engineering Conference, Industrial Engineering Press, Washington DC, 225-239.

73.Monks, J.F., Knoers, A.M.P., Haditono S. Rahayu (1991), Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam berbagai bagiannya, Gajahmada University Press, Yokyakarta, 53.

74.Muchinsky, M. Paul (1993), Psychology Applied to Work, 4 th edition, Books/Cole Publishing Company, Pacific Grove-California, 326.

75.Mundel, E. Marvin (1983), Improving Productivity and Effectiveness, Prentice-Hall Inc, New-Jersey, 2-20.

76.Murphy, R. Kevin., Davidshofer, O. Charles (1991), Psychological Testing: principles & applications, 2nd edition, Prentice-Hall International Editions, New-Jersey, 183-196.

77.Pfeffer, Jeffrey., Sutton, I. Robert (1999), Knowing "what" to do is not enough: Turning Knowledge into Action, California Management Review., 42, 1, 83-108.

78.Pierce, L. Jon., Dunham, B. Randall., Blackburn, S. Richard (1979), Social Systems Structure Job Design, and Growth Need Strength: a tes of a congruency model, Academy of Management Journal, 22, 2, 223-240.

79.Poespodibrata, Sidharta (1993), Sistem Nilai, Kepercayaan dan Gaya Kepemimpinan Manajer Madya Indonesia dalam Konteks Budaya Organisasional, Disertasi Program Doktor, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

80.Pugh, D. S., Payne, R. L. (1975), Organizational Behavior in its contex: The Aston Program III, Saxon House, London.

81.Purwoko, Bambang (1989), Prospek dan Tantangan Ketenagakerjaan dalam Pelita V, dalam Analisis CSIS, Mei-Juni 1989, Tahun XVIII, No.3.

82.Ragins, R. Belle (1991), Gender effects in subordinate evaluations of leaders: Real or Artifact?, Journal of Organizational Behavior, 12, 259-268.

83.Rangnekar, Sharu (1996), In The Wonderland of Indian Managers, Vikas Publishing House Pvt Ltd, New-Delhi, 77-87.

84.Rathvon, W. Natalie (1990), The effect of encouragement on off-task behavior and academic productivity, Elementary School Guidance and Counseling, 24, 189-199.

85.Ravianto, J. (1985), Produktivitas dan Management, Lembaga Sarana Informasi Usaha dan Produktifitas, Jakarta, 2-4.

86.Reaves, C. Celia (1992), Quantitative Research for the Behavioral Sciences, John Willey and son inc, Singapore, 99-101.

87.Richerson, Michael (1987), Managing the introduction of new computer workstation technology into large corporations, dalam World Productivity Forum & 1987 International Industrial Engineering Conference, Industrial Engineering Press, Washington DC, 80-93.

88.Riggs, L. James., Bethel, L. Lawrence., Atwater, S. Franklin., Smith, H.E. George., Stackman, A. Harvey Jr. (1979), Industrial Organization and Management, 6th edition, McGraw-Hill Kogakusha Ltd, Tokyo, 216.

89.Rudge, Fred (1977), The Key to Increased Productivity: a manual for line executives, The Bureau of National Affairs, Inc., Washington.

90.Salim, Emil (1989), Sumber Daya Manusia Dalam Perspektif, dalam Analisis CSIS, Mei-Juni, Tahun XVIII, No.3.

91.Schaffer, H. Robert., Thompson, A. Harvey (1992), Successful Change Programs Begin With Result, Harvard Business Review, January-Pebruary, 80-89.

45

Page 27: Makalah 03_20_44 Fendy

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

92.Schermerhorn, R. John., Hunt, G. James., Osborn, N. Richard (1994), Managing OrganizationBehavior, 5th edition, John Willey & Sons Inc, New-York, chapter 7 dan 8.

93.Schmidt, L. Frank., Hunter, E. John., Peralman, Kenneth (1981), Task Difference as Moderator of Aptitude Test Validity in Selection: a red herring, Journal of Applied Psychology, 66, 2, 166-185.

94.Schneider, B., Reichers, E. Arnon (1983), On The Ethiology of Climates, Personnel Psychology, 36, 19-37.

95.Simonton, K. Dean (1989), Age and creative productivity: Nonlinear estimation of information-processing-model, International Journal of Aging and Human Development, 29, 23-37.

96.Stone, F. Eugene., Hollenbeck, R. John (1994), Some Issues Associated with the Use of Moderated Regression, Organizational Behavior and Human Performance, 34, 195-213.

97.Stoner, A. F. James (1986), Management, Prentice-Hall, New-York, 80.98.Suhariadi, Fendy (1984), Hubungan antara iklim organisasi dengan

motivasi berprestasi, Skripsi, Fakultas Psikologi UNAIR, Surabaya, 16.99.Suhariadi, Fendy (1993), Karakteristik Entrepreneur dan Analisa Perbedaan

Kelompok Entrepreneur, Thesis Program Magister, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 96.

100. Sulasmi, Siti (1989), Latar belakang riwayat munculnya wanita wirausaha dari 22 sample wanita wirausaha di kotamadya Bandung, Thesis Pragram Magister, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

101. Tatsuki, Mikami (1982), Management and Productivity Improvement in Japan, JMA Consultants Inc, Tokyo.

102. Tiglao, T. Amaryllis (1990), Work Motivation and productivity of goverment workers, Philippine Journal of Psychology, 23, 30-38.

103. Turner, C. Wayne., Webb E. Richard (1987), An Industrial engineering approach to hazardous materials/waste management, dalam World Productivity Forum & 1987 International Industrial Engineering Conference, Industrial Engineering Press, Washington DC, 175-181.

104. Wanous, P. John (1974), Individual differences and reaction to job characteristics, Journal of Applied Psychology, 59, 5, 616-622.

105. Weiten, Wayne (1992), Psychology: Themes & Variation, 2 nd edition, Thomson Information/Publishing Group, California, 314 & 633.

106. Westbrooks, D. Jerry (1993), Organizational Culture and its relationship to TQM., Industrial Management Journal, Jan-Feb, 1.

107. Witt, L. Alan., Beorkrem, N. Mark (1989), Climate for creative productivity as a predictor of research usefulness and organizational effectiveness in an R&D organization, Creativity Research Journal, 2, 30-40.

108. Yitzak, Fried (1991), Meta-analytic Caomparison of the job diagnostic survey and job characteristics inventory as correlates of work satisfaction and performance, Journal of Applied Psychology, 76, 5, 690-697.

109. Yoder, Dale., Dave, D. Stnudohar (1982), Personnel Management & Industrial Relation, Prentice-Hall, New-Jersey, 527-529.

46