lubang buaya, kuburan para pahlawan: abjeksi dalam

20
ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 105 Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam Historiografi Peristiwa 1 Oktober 1965 Muhammad Damm Peneliti Independen [email protected] Abstrak Bukan hanya kejelasan mengenai Gerakan 30 September (G30S) pada 1 Oktober 1965 masih men- gundang perdebatan, pembunuhan massal yang terjadi setelahnya juga masih jauh dari kejelasan. Bagaimana pembunuhan massal tersebut mungkin? Kita dapat saja mengatakan, sebagaimana argu- mentasi Roosa, pembunuhan massal itu mungkin karena ada dalih yang mendahuluinya, yakni G30S/ PKI. Kita pun dapat mengatakan, sebagaimana argumentasi Drakeley, atmosfer sosiopolitik pada masa itu memang kondusif untuk memungkinkan terjadinya pembunuhan massal. Akan tetapi, kedua argu- mentasi ini mencukupi untuk menjelaskan bagaimana pembunuhan massal 1965–1966 mungkin hanya jika menyertakan penjelasan mengenai “mekanisme mental” yang bekerja di baliknya. Mekanisme mental yang dimaksud dapat diungkap dalam rupa abjeksi terhadap PKI (Komunis) melalui penelaa- han strukturalis terhadap kompleks Monumen Pancasila Sakti—salah satu sarana representasi dan rekonstruksi peristiwa 1 Oktober 1965. Bukan hanya memungkinkan pembunuhan massal 1965–1966, mekanisme abjeksi ini juga melegitimasi historiografi Orde Baru mengenai peristiwa 1 Oktober 1965. Menggunakan paradigma antropologi strukturalis dan metode penelitian etnografi museum, tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana proses abjeksi tersebut berlangsung. Abstract Not only explanations about 30 th September Movement (G30S) on 1 st October 1965 debatable, the following mass murder during late 1965 to 1966 is still far from any clearance either. How that mass murder possible? We may say, following Roosa’s argument, that that mass murder possible because of preceding pretext, that is G30S/PKI. We may also say, following Drakeley’s argument, that that mass murder possible because of current socio-political atmosphere at that time was conducive for its emer- gence. Nevertheless, both arguments are sufficient to explain how 1965–1966 mass murder possible if only complemented by explanation about “mental mechanism” that worked behind it. That mental mechanism, namely abjection of PKI (Communist), can be revealed through structural inquiry to The Sacred Pancasila Monument complex as a representation and reconstruction of 1 st October 1965 his- torical event. Not only made 1965–1966 mass murder possible, abjection mechanism also legitimized New Order’s historiography about 1 st October 1965. Using structural anthropology as paradigm and museum ethnography as research method, this article attempts to explain how the abjection transpired. Keywords: The Sacred Pancasila Monument, Pancasila, PKI, communist, latent danger, abjection. PENDAHULUAN Tanggal 1 Oktober 1965 menandai salah satu episode penting dalam sejarah modern Indone- sia. Pada tanggal tersebut terjadi peristiwa yang selama masa pemerintahan Orde Baru dinamai “Pengkhianatan Gerakan 30 September (G30S/ PKI)”—sebuah peristiwa yang menandai pad- amnya rezim Soekarno dan munculnya rezim Soeharto. Kejadian ini diikuti dengan pem- bunuhan massal ratusan ribu (jutaan?) orang PKI, orang-orang yang dilabeli Komunis, atau yang

Upload: others

Post on 05-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 105

Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan:Abjeksi dalam Historiografi Peristiwa 1 Oktober 1965

Muhammad DammPeneliti Independen

[email protected]

Abstrak

Bukan hanya kejelasan mengenai Gerakan 30 September (G30S) pada 1 Oktober 1965 masih men-gundang perdebatan, pembunuhan massal yang terjadi setelahnya juga masih jauh dari kejelasan. Bagaimana pembunuhan massal tersebut mungkin? Kita dapat saja mengatakan, sebagaimana argu-mentasi Roosa, pembunuhan massal itu mungkin karena ada dalih yang mendahuluinya, yakni G30S/PKI. Kita pun dapat mengatakan, sebagaimana argumentasi Drakeley, atmosfer sosiopolitik pada masa itu memang kondusif untuk memungkinkan terjadinya pembunuhan massal. Akan tetapi, kedua argu-mentasi ini mencukupi untuk menjelaskan bagaimana pembunuhan massal 1965–1966 mungkin hanya jika menyertakan penjelasan mengenai “mekanisme mental” yang bekerja di baliknya. Mekanisme mental yang dimaksud dapat diungkap dalam rupa abjeksi terhadap PKI (Komunis) melalui penelaa-han strukturalis terhadap kompleks Monumen Pancasila Sakti—salah satu sarana representasi dan rekonstruksi peristiwa 1 Oktober 1965. Bukan hanya memungkinkan pembunuhan massal 1965–1966, mekanisme abjeksi ini juga melegitimasi historiografi Orde Baru mengenai peristiwa 1 Oktober 1965. Menggunakan paradigma antropologi strukturalis dan metode penelitian etnografi museum, tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana proses abjeksi tersebut berlangsung.

Abstract

Not only explanations about 30th September Movement (G30S) on 1st October 1965 debatable, the following mass murder during late 1965 to 1966 is still far from any clearance either. How that mass murder possible? We may say, following Roosa’s argument, that that mass murder possible because of preceding pretext, that is G30S/PKI. We may also say, following Drakeley’s argument, that that mass murder possible because of current socio-political atmosphere at that time was conducive for its emer-gence. Nevertheless, both arguments are sufficient to explain how 1965–1966 mass murder possible if only complemented by explanation about “mental mechanism” that worked behind it. That mental mechanism, namely abjection of PKI (Communist), can be revealed through structural inquiry to The Sacred Pancasila Monument complex as a representation and reconstruction of 1st October 1965 his-torical event. Not only made 1965–1966 mass murder possible, abjection mechanism also legitimized New Order’s historiography about 1st October 1965. Using structural anthropology as paradigm and museum ethnography as research method, this article attempts to explain how the abjection transpired.

Keywords: The Sacred Pancasila Monument, Pancasila, PKI, communist, latent danger, abjection.

PENDAHULUAN

Tanggal 1 Oktober 1965 menandai salah satu episode penting dalam sejarah modern Indone-sia. Pada tanggal tersebut terjadi peristiwa yang selama masa pemerintahan Orde Baru dinamai “Pengkhianatan Gerakan 30 September (G30S/

PKI)”—sebuah peristiwa yang menandai pad-amnya rezim Soekarno dan munculnya rezim Soeharto. Kejadian ini diikuti dengan pem-bunuhan massal ratusan ribu (jutaan?) orang PKI, orang-orang yang dilabeli Komunis, atau yang

Page 2: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017106

punya hubungan dengan Komunis, selama masa kampanye penumpasan PKI yang dipimpin oleh TNI pada akhir 1965 hingga 1966 (Roosa 2006) terutama di Sumatra Utara, Jawa, dan Bali.

Peristiwa 1 Oktober 1965 dan penumpasan PKI 1965–1966 merupakan fenomena poli-tis yang sebenarnya terpisah (Anderson dan McVey dalam Purdey tt:4), namun peristiwa 1 Oktober 1965 tersebut telah dijadikan dalih bagi pembunuhan massal yang mengikutinya (Roosa 2006:22). Roosa (2006) mencatat, G30S sebenarnya sudah benar-benar padam pada 3 Oktober 1965, namun pembunuhan di berbagai daerah tetap berlangsung, setiap kali setelah pasukan RPKAD mendarat di daerah-daerah tersebut. Berkat “provokasi” (Roosa, 2006; Drakeley, 2007) atau upaya RPKAD “membakar semangat perlawanan rakyat terhadap PKI” (film Pengkhianatan PKI, 1984), kelompok-kelompok yang terdiri atas orang-orang sipil turut terlibat dalam penculikan dan pembunuhan orang-orang PKI atau yang dituduh PKI di berbagai daerah.

Pembunuhan massal 1965–1966 tidak mung-kin terjadi atas dasar sebuah dalih belaka. Pro-vokasi yang memantiknya juga tidak mungkin tersulut di ruang hampa. Tentu ada prakondisi-prakondisi tertentu yang membuat dalih dan provokasi ini bekerja secara efektif. Drakeley (2007) mengungkapkan, atmosfer sosiopolitik di Indonesia pada dasawarsa ’60-an memang dipenuhi ketegangan dan perselisihan. Ketegan-gan terjadi di tingkat elite antara TNI dan PKI dengan ditengahi Presiden Soekarno. Adapun di tingkat akar rumput, ketegangan muncul di antara simpatisan PKI dan kalangan anti-PKI; terlebih karena memori pemberontakan PKI di Madiun 1948 masih membekas.1 Tensi situasi ini menjadi begitu tinggi di tengah memburuknya perekonomian nasional. Sebagaimana diung-kapkan Drakeley (2007), atmosfer semacam ini

1 Untuk ulasan lebih lanjut mengenai Peristiwa Madiun 18 September 1948, lihat D. C. Anderson, “The Military Aspects of the Madiun Affair,” Indonesia 21 (April, 1976); Soerjono, “On Musso’s Return,” Indonesia 29 (April, 1980); Ann Swift, The Road to Madiun: The Indonesian Communist Uprising of 1948 (Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project, 1989); G. McT. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project, 1952).

memungkinkan “mitos Lubang Buaya”2 secara efektif membangun diskursus ketakutan sehingga orang-orang dari kalangan Islam merasa “harus membunuh atau dibunuh” ketika menghadapi orang-orang PKI; sebagian kalangan tentara yang bersimpati dengan PKI turut serta dalam operasi penumpasannya karena tidak ingin dianggap pro-Komunis; demikian pula para tokoh dan politisi yang sebelumnya bersimpati pada PKI menarik dukungan mereka karena tidak ingin ikut celaka.

Atmosfer sosiopolitik nasional pada 1960-an barangkali memang esensial dalam memung-kinkan terjadinya pembunuhan massal pasca-Oktober 1965. Kendati demikian, keterangan yang didasarkan pada situasi struktural mengenai atmosfer sosiopolitik tidak mencukupi untuk menjelaskan mengapa orang-orang dari berbagai kalangan, baik sipil maupun militer, tiba-tiba antusias dalam menumpas sesama mereka yang dilabeli Komunis. Drakeley (2007:20) agaknya menyadari hal tersebut dan menambahkan bahwa pembunuhan massal 1965–1966 tidak dapat dilepaskan dari adanya proses “peliyanan” (othering) terhadap PKI dan orang-orang yang terindikasi punya afiliasi dengannya. Melalui peliyanan ini, kategori sosial baru diciptakan dan direifikasi—“PKI” atau “Komunis”. Orang-orang yang ditempatkan dalam kategori ini lantas mengalami dehumanisasi, sehingga dianggap sebagai kelompok yang sama sekali berbeda dari dan berada di luar “kita”. Kendati mem-berikan sinyalemen tentangnya, Drakeley tidak mengelaborasi lebih lanjut mekanisme peliyanan ini.

Peliyanan terjadi sebenarnya tidak hanya dalam masa penumpasan PKI 1965 1966 melalui “propaganda hitam” (Drakeley, 2007). Selama Orde Baru berkuasa proses tersebut juga terus dilestarikan. Reproduksi sejarah 1 Oktober 1965 versi Orde Baru, salah satunya melalui pembangunan kompleks Monumen Pancasila Sakti, memperlihatkan keberlangsungan proses peliyanan ini. Oleh sebab itu, dengan mengkaji

2 Mitos yang dimaksud adalah cerita tentang kekejian orang-orang PKI, terutama Gerwani dan Pemuda Rakyat, yang menyiksa dan membunuh para perwira TNI AD pada 1 Oktober 1965, serta berbagai perilaku atau tindakan asusila orang-orang tersebut.

Page 3: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 107

bagaimana situs tersebut menarasikan sejarah dan melestarikan memori kolektif “resmi” peris-tiwa politik 1965–1966, kita akan dapat mengkaji bagaimana peliyanan terhadap PKI terjadi. Peng-kajian inilah yang saya upayakan di dalam tulisan ini. Namun sebelum melangkah terlampau jauh, satu persoalan perlu dipahami terkait dengan masalah “waktu”.

Menempatkan reproduksi sejarah di kompleks Monumen Pancasila Sakti sebagai objek studi untuk memahami proses peliyanan yang mem-prasyarati pembunuhan massal pasca-peristiwa 1 Oktober 1965 memang berpotensi membawa kita pada anakronisme. Oleh sebab itu, sebuah pemahaman awal perlu dipegang, bahwa proses peliyanan yang terepresentasikan oleh kompleks Monumen Pancasila Sakti merupakan sebuah proses yang telah mengalami refleksi dan rekon-struksi yang berulang, sehingga sampai pada kita hari ini dengan membawakan versi tertentu penggalan masa lalu dari sejarah bangsa ini. Dengan demikian, pengkajian ini sebenarnya bukanlah upaya untuk menelusuri rationale di balik pembunuhan massal pasca-1 Oktober 1965, melainkan rasionalisasinya.

Dalam merangkai pemahaman atas pem-bunuhan massal pasca-1 Oktober 1965, tulisan ini mengambil posisi yang cukup berbeda dari penjelasan Drakeley yang lebih menekankan atmosfer atau situasi struktural pada 1960-an dan “mitos Lubang Buaya” yang menjadi peman-tiknya. Tulisan ini berargumen, situasi struktural 1960-an baru mencukupi (sufficient) untuk menjelaskan pembunuhan massal pasca-Oktober 1965 jika disertai dengan penjelasan mengenai peliyanan terhadap PKI (Komunis). Selain itu, pada periode setelahnya, peliyanan ini pula yang melegitimasi “kebenaran” historiografi Orde Baru dan membuat dalih pembunuhan massal selama kampanye penumpasan PKI menjadi “masuk akal”. Lebih spesifik, peliyanan yang dimaksud merupakan sebentuk abjeksi, yang secara sederhana dapat dipahamkan sebagai mekanisme pengonstruksian identitas dengan menolak, menista, bahkan berusaha menghan-curkan unsur-unsur yang dianggap “kotor” dan

“mencemari” identitas. Narasi sejarah yang direpresentasikan melalui kompleks Monumen Pancasila Sakti merupakan salah satu pintu masuk yang baik untuk memahami proses abjeksi yang dimaksud.

METODE PENELITIAN

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini, sejak perumusan masalah, pengumpulan, analisis, dan penafsiran data, hingga penulisan laporan, dapat digolongkan sebagai antropologi strukturalis. Metode yang digunakan adalah etnografi museum. Sebagai sebuah etnografi museum, penelitian ini tidak ditujukan untuk mempersoalkan kebenaran narasi sejarah yang dikonstruksi melalui kompleks Monumen Pan-casila Sakti. Oleh sebab itu, penelitian ini tidak dalam kapasitasnya untuk menolak suatu “ke-bohongan sejarah” dengan membuktikan narasi “sejarah yang benar” dari versi mana pun, me-lainkan ditujukan untuk memahami narasi apa yang direpresentasikan dan bagaimana kompleks Monumen tersebut merepresentasikannya.

Salah satu ciri utama kompleks Monumen Pancasila Sakti adalah dominannya benda-benda koleksi berupa diorama. Dengan menyajikan masa lalu melalui diorama-diorama, versi sejarah yang coba diceritakan pun sifatnya reflektif—narasi yang ditampilkan merupakan konstruksi yang tidak bebas nilai dan apa adanya, melainkan hasil dari proses reflektif perancangnya dalam memahami peristiwa masa lampau. Oleh karena itu, pengkajian terhadap museum ini sangat baik untuk mendapatkan pemahaman tentang proses bernalar yang bekerja di balik perancangannya; tentang proses bernalar dalam merasionalisasi pembunuhan massal 1965–1966 yang coba “di-justifikasi” olehnya; dan akhirnya, tentang proses bernalar yang memungkinkan peristiwa tersebut terjadi.

Data yang dihimpun terdiri atas dokumentasi benda-benda koleksi yang ada di kompleks Monu-men Pancasila Sakti, hasil wawancara dengan para informan, serta dokumen dan literatur

Page 4: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017108

pendukung yang relevan. Data-data ini dihimpun menggunakan tiga teknik pengumpulan: pen-gamatan langsung, wawancara mendalam, serta studi atas dokumen dan literatur rujukan. Penga-matan langsung dilakukan dengan mengunjungi kompleks Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya sebanyak empat kali antara bulan Maret sampai Mei 2014. Sebelumnya, pada Januari 2013 saya juga pernah melakukan kunjungan ke situs yang sama untuk keperluan penelitian yang berbeda, namun sebagian datanya cukup relevan untuk digunakan dalam penelitian ini.3

Wawancara dilakukan terhadap lima orang informan yang dipilih (purposive sampling), terdiri atas (1) seorang sejarawan Monumen, (2) seorang petugas informasi Monumen, (3) seorang pemandu atau guide, (4) seorang pengunjung ber-latar keluarga militer, dan (5) seorang pengunjung berlatar pendidikan arsitektur dan perancangan perkotaan. Teknik wawancara yang dilakukan lebih banyak berupa wawancara tidak terstruktur. Adapun data pendukung saya himpun dari do-kumen-dokumen dan berbagai literatur rujukan, baik yang secara langsung berhubungan dengan kompleks Monumen Pancasila Sakti atau seja-rah peristiwa politik 1965, maupun yang secara tidak langsung berhubungan dengannya, tetapi memiliki gagasan yang relevan untuk tulisan ini.

KERANGKA TEORI

Sesuai fokus penelitian dan permasalahannya, pembahasan di dalam tulisan ini ditempatkan dalam kerangka “antropologi genosida” (Hinton, 2002:2). Dalam pendekatan antropologis ini, Hinton (2002:3) menekankan dua hal yang mesti diperhatikan untuk membangun pemahaman yang memadai mengenai genosida. Pertama, genosida memiliki keterkaitan erat dengan mo-dernitas—“... genocide is intimately linked to modernity”. Keterkaitan ini tampak dari fakta sejarah bahwa kejahatan kemanusiaan tersebut

3 Saya mengunjungi kembali situs tersebut terakhir kali pada 3 Desember 2016. Pada saat itu tidak banyak yang berubah, selain renovasi bangunan Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) yang mengalami kerusakan di beberapa bagiannya.

biasanya terjadi bersamaan dengan dilakukannya sebuah proses rekayasa sosial untuk mencapai ideal masyarakat dengan cara memusnahkan elemen-elemen sosial yang dianggap “kontami-nan”. Kedua, genosida merupakan sebuah proses yang sifatnya selalu lokal, sehingga dapat dia-nalisis dan dipahami melalui lensa etnohistoris antropologi—“genocide is always a local process and therefore may be analyzed and understood in important ways through the ethnohistorical lens of anthropology”.

Dihadapkan pada kesulitan untuk mengi-dentifikasi natur—dan dengan demikian juga korban—genosida, Hinton (2002:4) menyarank-an sebuah definisi minimal untuknya, yakni upaya untuk secara sengaja membinasakan suatu kelompok sosial yang telah ditandai sebagai yang berbeda (liyan). Oleh karena itu, genosida selalu disertai dengan proses peliyanan (othering), di mana batasan-batasan dari sebuah komunitas yang dibayangkan (imagined community) diben-tuk ulang sedemikian rupa sehingga sebuah kelompok yang tadinya termasuk ke dalam ko-munitas tersebut dikeluarkan secara ideologis, seolah-olah kelompok itu bukan bagian dari komunitas, melainkan “liyan” yang mengancam dan berbahaya sehingga harus dimusnahkan (Hinton 2002:6). Konseptualisasi Hinton ini berguna untuk memahami proses sosial yang memungkinkan terjadinya pembunuhan massal pasca-1 Oktober 1965 di Indonesia. Hal ini teru-tama karena konsepsi Hinton tersebut melampaui definisi genosida dalam arti sempitnya yang hanya meliputi pembantaian terhadap kelom-pok kebangsaan, etnis, ras, atau agama (Hinton 2002:5), seolah-olah “bangsa”, “etnis”, “ras”, dan “agama” merupakan entitas-entitas primordial yang tetap dan tidak memiliki kesejarahan.

1 OKTOBER 1965 DAN KOMPLEKS MONUMEN PANCASILA SAKTI

Pada malam antara 30 September–1 Oktober 1965 terjadi penculikan dan pembunuhan ter-hadap enam orang perwira tinggi dan seorang

Page 5: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 109

perwira pertama TNI Angkatan Darat: Letjen A. Yani, Mayjen R. Soeprapto, Mayjen M. T. Harjono, Mayjen S. Parman, Brigjen Soetojo, Brigjen D. I. Panjaitan, dan Lettu P. A. Tendean. Seorang perwira tinggi yang juga menjadi sasa-ran, Jenderal A. H. Nasution, berhasil lolos dari aksi penculikan dan pembunuhan. Para pelaku-nya, yang berada di bawah pimpinan komandan operasi Letkol Untung, menamakan diri mereka Gerakan 30 September (G30S).

Banyak perkara seputar kejadian tersebut yang hingga kini masih menjadi misteri. Para sejarawan pun masih bersilang pendapat dalam menafsirkannya, terutama terkait pertanyaan tentang siapa dalang di balik gerakan tersebut, serta apa sebenarnya yang menjadi motivasi dan natur dari gerakan itu sendiri. Menurut Roosa (2006:62), terdapat setidaknya empat interpretasi umum yang jamak diperdebatkan hingga saat ini. Pertama, interpretasi resmi yang disusun oleh pihak TNI Angkatan Darat, bahwa gerakan tersebut didalangi oleh PKI dan bertujuan mere-but kekuasaan negara. Kedua, interpretasi para peneliti Cornell, terutama Benedict Anderson dan Ruth McVey, yang menganggapnya semata-mata pergolakan internal di dalam tubuh TNI AD. Ketiga, interpretasi bahwa gerakan itu di-dalangi oleh beberapa perwira TNI AD, namun disokong oleh PKI yang juga memainkan peran besar. Keempat, interpretasi yang merumus-kan hipotesis bahwa gerakan itu digubah oleh Mayjen Soeharto dan beberapa perwira tinggi anti-Komunis di dalam tubuh TNI AD melalui penggunaan agen ganda untuk menyediakan dalih bagi penumpasan PKI dan pelengseran Soekarno dari tampuk kepresidenan. Keempat interpretasi tersebut memiliki celah argumen di sana-sini yang memberikan cukup alasan untuk timbulnya keragu-raguan terhadap tafsir yang ditawarkan—penyebab utamanya, setiap tafsiran cenderung beranggapan bahwa ada aktor tung-gal yang mendalangi semuanya, entah itu PKI, perwira-perwira TNI AD, ataupun Mayjen Soe-harto (Roosa 2006).

Namun demikian, meski apa yang sebenarnya terjadi seputar malam 1 Oktober 1965 masih men-

jadi misteri hingga saat ini, tampaknya tidak ada persilangan pendapat yang cukup berarti tentang signifikansinya, bahwa peristiwa politik tahun 1965–1966 yang berpuncak di malam itu menye-diakan fondasi bagi berdirinya rezim Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto (Heryanto 2006; McGregor 2002; Roosa 2006). Berbagai upaya sistematis dilakukan selama Orde Baru untuk menjaga peristiwa politik tersebut tetap ada dalam memori kolektif bangsa Indonesia, baik melalui pengajaran sejarah di sekolah-sekolah, penetapan peraturan perundang-undangan yang membatasi hak-hak dasar orang-orang yang dilabeli Komunis, peringatan Hari Kesaktian Pancasila, maupun medium-medium lainnya. Salah satu upaya yang juga signifikan adalah pendirian kompleks monumen dan museum di Lubang Buaya.

Kompleks Monumen Pancasila Sakti terletak di Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipa-yung, Jakarta Timur, tidak jauh dari Markas Angkatan Udara Republik Indonesia di Lanud Halim Perdanakusuma. Kompleks monumen dan museum ini sebenarnya terdiri atas beberapa kompleks bangunan yang dibangun tidak secara bersamaan. Bangunan-bangunan utamanya ter-diri atas Monumen Pancasila Sakti yang dibuka pada tahun 1969, Paseban atau Museum Pancasila Sakti yang diresmikan pada tahun 1982, serta Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) yang diresmikan pada tahun 1992. Para pengelola dan petugas kawasan Monumen Pancasila Sakti, dalam kesehariannya di kompleks Lubang Buaya, terbiasa membagi situs tersebut menjadi empat wilayah utama: Ring Satu, Museum Pengkhiana-tan PKI (Komunis), Paseban, dan Ruang Relik.

Monumen Pancasila Sakti berada di Ring Satu, berupa bangunan monumen berbentuk burung Garuda raksasa yang menaungi patung tujuh Pahlawan Revolusi yang terbunuh pada malam Jumat, 1 Oktober 1965. Di bagian dasarnya terdapat relief yang menggambarkan sebagian episode sepak terjang PKI dan pen-umpasannya versi historiografi Orde Baru, sejak peristiwa Madiun 1948, pencetusan Nasakom oleh Presiden Soekarno, peristiwa 1 Oktober

Page 6: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017110

1965 oleh Gerakan 30 September (G30S), pen-umpasan PKI oleh TNI di bawah pimpinan Mayjen Soeharto, hingga turunnya Surat Per-intah Sebelas Maret (Supersemar), digelarnya Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk mengadili pentolan G30S/PKI, dan pidato Jen-deral Soeharto di hadapan sidang MPRS ketika menerima amanah sebagai pejabat presiden meng-gantikan Soekarno. Di kisaran monumen tersebut juga terdapat bangunan cungkup yang menaungi sumur “maut” tempat dibuangnya mayat tujuh Pahlawan Revolusi serta tiga rumah yang menjadi dapur umum, tempat penahanan dan penyiksaan para perwira TNI AD, serta pos komando G30S.

Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) adalah bangunan utama yang didirikan paling belakangan. Museum ini berupa bangunan besar berlantai dua dengan koleksi utama berupa 34 diorama yang menggambarkan sepak terjang PKI, sejak 1945 sampai penumpasannya pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Selain diorama, di museum ini juga terpajang mosaik foto-foto dokumentasi terkait peristiwa politik 1965, serta beberapa senjata baik asli maupun replika yang

Gambar 1. Monumen Pancasila Sakti.(sumber: dokumentasi pribadi, 2013)

digunakan oleh para “pemberontak” yang terafi-liasi dengan PKI.

Adapun Museum Pancasila Sakti atau Pas-eban merupakan museum yang menampilkan 16 diorama yang mereka ulang adegan-adegan pada malam 30 September–1 Oktober 1965, juga beberapa momen sebelumnya terkait rapat per-siapan G30S dan pelatihan militer sukarelawan G30S,4 serta momen-momen setelahnya seperti pengamanan Lanuma Halim Perdanakusuma dan prosesi pemakaman para Pahlawan Revolusi.5

Selain itu, di kompleks bangunan ini juga terdapat Ruang Relik yang menyimpan benda-

4 Kebenaran tentang keberadaan “sukarelawan G30S” ini memang masih perlu penjelasan-penjelasan dan penelitian yang lebih cermat. Deskripsi untuk diorama berjudul “Latihan Sukarelawan PKI di Lubang Buaya” di Museum Pancasila Sakti menyebutkan penjelasan yang cukup mengambang atas perkara ini: “Dalam upaya menumbangkan pemerintah Republik Indonesia yang sah, PKI mempersiapkan diri dengan mengadakan latihan kemiliteran bagi para anggotanya. Dalih yang digunakan ialah melatih para sukarelawan dalam rangka konfrontasi terhadap Malaysia”.

5 Sebelum mengalami renovasi pada Maret 2013, bangunan ini hanya memiliki 9 diorama, 3 di antaranya menampilkan “Proses Lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (11 Maret 1966)”, “Pelantikan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia (12 Maret 1967)”, dan “Tindak Lanjut Pelarangan Partai Komunis Indonesia (26 Juni 1982)”. Setelah renovasi, ketiga diorama tersebut dipindahkan, diganti dengan 10 diorama lain yang berfokus pada kejadian-kejadian antara 30 September dan 1 Oktober 1965.

Page 7: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 111

benda peninggalan para perwira TNI AD yang gugur pada malam tersebut, terutama pakaian yang mereka kenakan sewaktu dijemput ajal dan beberapa barang pribadi yang mereka tinggalkan. Tidak hanya itu, di ruangan ini juga tersimpan benda-benda peninggalan Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono yang gugur di Yogyakarta, serta beberapa benda lain terkait operasi penumpasan G30S, seperti radio yang digunakan Mayjen Soeharto untuk memimpin operasi, aqualung yang digunakan saat pengangkatan jenazah dari sumur maut, serta sepeda angin yang dikendarai agen polisi Soekitman saat berpatroli pada malam penculikan.

Sebagai situs sejarah yang dikelola di bawah Badan Pelaksana Pusat Mabes TNI, Pusat Se-jarah (Pusjarah) TNI, kompleks monumen dan museum di Lubang Buaya merupakan situs yang merepresentasikan narasi sejarah tentang peris-tiwa politik tahun 1965 versi historiografi Orde Baru, serta momen-momen sejarah terkait baik sebelum maupun setelahnya.

SATU NARASI: DARI KEKACAUAN KE TATANAN

Sebagai situs yang menceritakan sejarah versi rezim, tidak mengherankan jika kompleks Monu-men Pancasila Sakti dirancang untuk mencerita-kan satu saja narasi. Melalui penceritaan narasi tunggal ini suatu rezim—dalam kasus ini, Orde Baru—berusaha menghegemoni memori kolektif sebuah bangsa—dalam hal ini, Indonesia—dan pada saat bersamaan merepresi potensi-potensi subversif sekaligus melanggengkan legitimasinya sebagai penguasa yang sah. Namun demikian, dalam tulisan ini bukan nilai propagandis dari corak narasi tersebut yang menjadi tekanan observasi dan analisisnya, melainkan struktur naratif dari penceritaan sejarah itu sendiri.

Secara eksplisit, narasi yang terdapat di kom-pleks Monumen Pancasila Sakti kita dapati pada dua bagian: pertama, relief yang terdapat pada bagian dasar Monumen Pancasila Sakti; kedua, koleksi diorama dan benda-benda bersejarah

yang terdapat di Museum Pengkhianatan PKI (Komunis), Museum Pancasila Sakti (Paseban), dan Ruang Relik.

Pada dasarnya narasi seputar peristiwa politik 1965 dan berbagai kejadian lain yang (dianggap) terkait dengannya diceritakan di Lubang Buaya dengan satu skema dasar yang sederhana: berto-lak dari kekacauan, berujung pada kembalinya tatanan. Baik narasi pada relief Monumen Pan-casila Sakti maupun diorama Museum, diceri-takan dengan skema ini. Pada relief Monumen, narasi diawali dengan cuplikan (1) pemberon-takan PKI di Madiun pada 18 September 1948 yang berhasil dipadamkan oleh pasukan TNI di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, ke-mudian (2) pencetusan Nasakom oleh Presiden Soekarno; (3) penculikan dan pembunuhan per-wira TNI AD pada 1 Oktober 1965; (4) operasi penumpasan Gerakan 30 September (G30S) di bawah pimpinan Mayjen Soeharto; (5) prosesi pemakaman ketujuh perwira TNI AD yang men-jadi korban G30S; (6) penyerahan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) oleh Presiden Soekarno kepada Men/Pangad Letjen Soeharto; (7) Mah-kamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk mengadili para pemimpin G30S; (8) diakhiri pelantikan Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden dalam Sidang Istimewa MPRS 1967.

Tepat di bagian tengah relief adalah segmen yang menceritakan penculikan dan pembunuhan tujuh perwira TNI AD oleh G30S yang dipimpin Letkol Untung Syamsuri. Di bagian atas-tengah dari segmen tersebut terdapat lambang Garuda Pancasila yang menandai titik balik dalam per-jalanan sejarah bangsa Indonesia akibat tragedi 1 Oktober 1965. Peran sentral segmen tersebut sebagai sebuah titik balik terlihat jelas jika kita membandingkan penggalan relief di sebelah kiri—yang dalam urutan waktu terjadi sebelum 1 Oktober 1965—dengan penggalan relief di sebelah kanannya—yang terjadi setelah 1 Ok-tober 1965.

Segmen pertama yang menggambarkan pem-berontakan PKI di Madiun 1948 hanyalah satu contoh kekacauan yang dilakukan PKI. Kendati pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan,

Page 8: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017112

namun aktivitas PKI sebagai “agen kekacauan” tidak pernah surut; terlebih, karena ideologi Ko-munis yang menjadi jiwa PKI dibiarkan tumbuh oleh rezim Soekarno dengan dicetuskannya Na-sakom sebagaimana terlihat pada segmen kedua.

Segmen-segmen setelah peristiwa 1 Oktober 1965 menggambarkan upaya TNI di bawah pimp-inan Mayjen Soeharto menangani kekacauan yang diakibatkan oleh PKI sekaligus mengemba-likan tatanan dan ketertiban. Penggambarannya mulai dari operasi militer sebagaimana tergam-bar pada segmen keempat (operasi penumpasan G30S) hingga penyerahan Supersemar (segmen keenam) dan pelaksanaan Mahmilub (segmen ketujuh). Bagian ini memberikan penekanan pada sentralitas Soeharto sebagai tokoh yang sangat berperan dalam pemulihan tatanan, sejak op-erasi penumpasan G30S hingga “kesediaannya” mengemban tugas sebagai pejabat presiden pada Sidang Istimewa MPRS 12 Maret 1967.6

Selain dari tokoh-tokoh utama yang dit-ampilkannya, perubahan dari kekacauan ke

6 Keterangan pada sebuah diorama yang berjudul “Pelantikan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia (12 Maret 1967)” menyebutkan, “Sementara itu pimpinan partai-partai politik dan para senior ABRI meminta Jenderal Soeharto agar bersedia menerima kepemimpinan negara” (penekanan oleh penulis). Diorama tersebut dahulu tersimpan di Museum Pancasila Sakti (Paseban), tetapi kemudian dipindahkan ketika Museum direnovasi pada bulan Maret 2013.

Gambar 2. Relief: pemberontakan PKI di Madiun 1948(sumber: dokumentasi pribadi, 2014)

kembalinya tatanan diperlihatkan pula melalui kerumunan massa yang muncul pada latar be-lakang hampir di sepanjang relief. Kerumunan yang sebelumnya lebih banyak menggambarkan massa atau gerombolan pengacau yang diger-akkan oleh PKI, lambat laun digantikan oleh pasukan TNI, dan kemudian rakyat sipil yang menuntut pembubaran PKI. Secara keseluruhan, keberadaan kerumunan di hampir sepanjang relief seolah menggambarkan kekacauan yang selalu menghantui perjalanan kehidupan bangsa Indonesia, namun pada akhirnya, dengan dijiwai Pancasila—yang diwakili oleh lambang Garuda di pusat relief—tatanan akan senantiasa dapat dipulihkan. Pesan dari penggambaran relief itu cukup jelas: sampai kapan pun, kekacauan dapat muncul sewaktu-waktu karena selalu ada “bahaya laten” yang mengancam kehidupan har-monis bangsa ini. Pesan tersebut dieksplisitkan dalam penggalan kalimat yang terpahat pada landasan Monumen: “Waspada... ... dan mawas diri agar peristiwa sematjam ini tidak terulang lagi—Djakarta, 1 Oktober 1965, dini hari.”

Lokus kedua dari narasi tunggal mengenai PKI terdapat pada koleksi diorama yang ber-jumlah 50 buah—34 di Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) dan 16 di Museum Pancasila

Page 9: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 113

Gambar 3. Relief: Soeharto, tokoh sentral yang mengembalikan tatanan (sumber: dokumentasi pribadi, 2014)

Sakti (Paseban). Alur penceritaan narasi yang direpresentasikan dengan koleksi diorama ini tidak lepas dari rute yang mesti pengunjung lalui ketika menyaksikan diorama-diorama, yang dimulai dari Museum Pengkhianatan PKI (Komunis), berlanjut ke Paseban, dan berakhir di Ruang Relik.

Peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam koleksi diorama merentang dalam kurun kurang lebih 28 tahun, sejak Peristiwa Tiga Daerah 4 November 1945 hingga tertembak matinya S. A. Sofyan 12 Januari 1974. Perentangan narasi men-genai PKI hingga kurun 20 tahun ke belakang dari 1965 seolah hendak menunjukkan bahwa organisasi tersebut, beserta ideologinya, telah sejak lama menjadi duri dalam daging bangsa Indonesia. Adapun perentangannya hingga 8 tahun ke depan sejak akhir 1965 seolah hendak menunjukkan bahwa “pengkhianat” bangsa tersebut tidak pernah dibiarkan begitu saja oleh para penjaga kemuliaan dan kemurnian dasar negara Pancasila, terutama TNI.

Diorama-diorama sebelum 1 Oktober 1965 sebagian besar menampilkan berbagai gang-guan keamanan baik yang dilakukan oleh PKI maupun organisasi-organisasi massa yang “dihasut” olehnya. Dari 25 diorama, sebanyak

20 menampilkan pengacauan, pembunuhan, pemberontakan, maupun sepak terjang lain yang dilakukan atau didalangi PKI di berbagai daerah di Indonesia, 2 menampilkan tindakan tegas TNI terhadap PKI—“Pembebasan Gorang-Gareng (28 September 1948)” dan “Penghancuran PKI di Sooko, Ponorogo (28 September 1948)”—serta 3 sisanya menampilkan konsekuensi yang mesti diterima para pimpinan PKI akibat perbuatan mereka—“Musso Tertembak Mati (31 Oktober 1948)”, “Penangkapan Amir Sjarifuddin (29 November 1948)”, dan “D. N. Aidit Diadili (25 Februari 1955)”.

Diorama yang menceritakan kurun 8 tahun sejak 1 Oktober 1965 terdiri atas tujuh diorama. Semuanya menampilkan peristiwa-peristiwa penting dalam upaya membersihkan bumi Indonesia dari sisa-sisa “pengkhianat” PKI—“Rapat Umum Front Pancasila (9 November 1965)”, “Penangkapan D. N. Aidit (22 November 1965)”, “Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) (14 Februari 1966)”, “Rakyat Jakarta Menyambut Pembubaran PKI (12 Maret 1966)”, “Operasi Trisula di Blitar Selatan (20 Juli 1968)”, “Penumpasan Gerakan PKI Ilegal Iramani di Purwodadi (27 Januari 1973)”, dan “Tertembak Matinya S. A. Sofyan (12 Januari 1974)”.

Page 10: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017114

Salah satu hal yang menarik dari penataan di-orama di Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) ini adalah absennya penculikan dan pembunuhan tujuh perwira TNI di Lubang Buaya. Diorama untuk periode Oktober 1965 hanya berjumlah dua buah, masing-masing menampilkan “Pen-guasaan Kembali Gedung RRI Pusat (1 Oktober 1965)” dan “Peristiwa Kentungan, Yogyakarta (2 Oktober 1965)”. G30S hanya diceritakan secara singkat pada paragraf pembuka dalam keteran-gan untuk kedua diorama tersebut. Kendati demikian, absen ini segera terkompensasi ketika pengunjung beranjak ke Museum Pancasila Sakti (Paseban), di mana terdapat 16 diorama yang didedikasikan untuk peristiwa 1 Oktober 1965 di Lubang Buaya.

Di Paseban, penculikan ketujuh perwira TNI AD masing-masing digambarkan dengan satu diorama, di samping diorama mengenai upaya penculikan Jenderal A. H. Nasution serta tertembaknya Ade Irma Suryani Nasution dan AIP I K. S. Tubun yang tengah bertugas menjaga kediaman Waperdam II Dr. Leimena. Selain itu, tiga diorama lain menggambarkan dimasukkan-nya jenazah perwira TNI AD ke dalam sumur tua oleh personel G30S, pengangkatan jenazah para perwira dari sumur tersebut, serta prosesi pemakaman mereka. Segmen-segmen diorama ini memperlihatkan adanya penekanan pada pembunuhan terhadap para perwira TNI AD. Tekanan ini diperkuat dengan sebuah diorama lain mengenai penyiksaan terhadap Mayjen R. Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Soetojo S., dan Lettu P. A. Tendean yang terdapat di rumah penyiksaan di Ring Satu, serta “dibuk-tikan” dengan relik-relik—“pakaian dan bekas darah” para perwira yang dibunuh, benda-benda pribadi, serta beberapa benda lain seperti radio komunikasi dan aqualung—yang tersimpan di Ruang Relik, yang akan pengunjung kunjungi setelah Paseban.

Alur kunjungan dan penataan koleksi di Museum Pengkhianatan PKI (Komunis), Pas-eban, dan Ruang Relik membawa kita pada cerita panjang mengenai “pengkhianatan” PKI dengan penekanan pada momen-momen yang

dianggap paling penting. Koleksi diorama di Paseban berfungsi meng-close-up peristiwa 1 Oktober 1965 yang absen di Museum Pengkhi-anatan PKI (Komunis), sementara koleksi Ruang Relik berfungsi “membuktikan” kekejaman PKI dengan meng-close-up siksaan dan kematian para Pahlawan Revolusi.

Dengan memperhatikan progres penarasian pada rangkaian diorama ini, kita kembali melihat adanya skema dasar yang sama dengan yang kita temukan pada relief Monumen Pancasila Sakti: dari kekacauan ke kembalinya tatanan. Untuk mewadahi cerita tentang PKI, perentangan kurun sejarah yang jauh lebih panjang dari sekadar operasi militer 1 Oktober 1965 oleh G30S meng-hasilkan signifikansi tersendiri. Bahkan dalam buku-buku sejarah keluaran resmi pemerintah Orde Baru, aksi G30S pada 1 Oktober 1965 hanya ditempatkan sebagai “puncak” dari sepak terjang PKI yang sudah dimulai sejak 1913, ketika ide-ologi Komunis masuk ke Indonesia melalui H. J. F. M. Sneevliet, bekas Ketua Sekretariat Buruh Nasional dan bekas pimpinan Partai Revolusioner Sosialis di salah satu provinsi di negeri Belanda (Pusjarah ABRI 1995a:5). Pada permulaan sebuah wawancara, salah seorang sejarawan Monumen Pancasila Sakti yang menjadi infor-man saya juga menekankan hal senada, bahwa sejarah G30S/PKI tidak dapat dilihat dari periode 1965 saja, melainkan harus dilihat jauh ke be-lakang hingga awal mula masuknya Komunisme di Indonesia (wawancara 25 April 2014).

Perentangan kurun di atas hendak menunjuk-kan bahwa ideologi Komunis sudah sejak lama bercokol di Indonesia, namun selama itu pula ideologi tersebut—dan PKI sebagai manifesta-sinya—menjadi biang keladi dari berbagai peris-tiwa yang mengganggu keamanan, merongrong kewibawaan negara, hingga mengancam Pancas-ila sebagai ideologi sah negara-bangsa Indonesia. Kendati berulang kali tindakan keras dan tegas telah diambil untuk menangani kekacauan yang diakibatkan PKI, namun sepak terjangnya tidak pernah padam. Hal ini karena PKI bukan seka-dar organisasi politik, namun lebih dari itu, PKI adalah manifestasi dari sebuah ideologi “yang

Page 11: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 115

secara diametral bertentangan dengan Pancasila” (Pusjarah TNI 2008:v). Dengan demikian, logika yang dibangun dari penarasian ini kurang lebih hendak mengatakan bahwa kendati Komunisme merupakan ideologi “asing”, namun telah menyu-sup dan berurat akar dalam kehidupan bangsa In-donesia dalam rupa “bahaya laten”—bahaya yang sewaktu-waktu dapat termanifestasikan sebagai malapetaka “yang mengancam kelangsungan hidup bangsa Indonesia” sehingga “perlu kita waspadai secara terus-menerus dan berlanjut” (Pusjarah TNI 2008: vi).

Selain itu, penataan sejarah ke dalam satu narasi tunggal tentang sebuah bangsa Pancasi-lais—Indonesia—yang selalu saja dirongrong dan dikhianati oleh suatu “bahaya laten”—PKI (Komunis)—juga memaksa segenap orang yang menjadi bagian dari bangsa Indonesia ambil bagian dalam sejarah tersebut. Tidak semua dari kita sebenarnya mengalami perseteruan—atau bahkan, mungkin sekadar perjumpaan—dengan PKI maupun Komunisme, tetapi sebagai orang Indonesia, kita pun harus menerima bahwa narasi tersebut merupakan bagian dari sejarah kita sendiri,7 dan pada gilirannya, setiap dari kita diharuskan memosisikan diri pada salah satu dari dua kekuatan besar yang bertarung dalam narasi itu—apakah berpihak pada Pan-casila atau “bahaya laten” yang terus-menerus mengancamnya.

DUA KUTUB DIKOTOMI: PANCASILA VS “BAHAYA LATEN”

Bukan hanya menghadirkan kepada kita cuplikan peristiwa-peristiwa dari satu narasi sejarah, relief Monumen Pancasila Sakti juga menghadirkan tokoh-tokoh utama yang ambil bagian dalam drama “pengkhianatan” G30S/PKI. Di antara tokoh-tokoh tersebut, dua yang tampaknya diposisikan sebagai sentral adalah Soekarno dan Soeharto.

Sebelumnya telah disebutkan, Soeharto

7 Sebuah pesan yang tertulis pada salah satu dinding di koridor Ruang Relik mengeksplisitkan hal ini. Pesan tersebut berbunyi: “Zaman dan generasi boleh berganti / Fakta pengorbanan ini adalah milikmu, milikku, milik kita sebagai bangsa yang besar yang selalu menghargai pahlawannya.”

digambarkan sebagai tokoh sentral yang mem-bawa kembali ketertiban dan tatanan. Adapun Soekarno, melalui penggambaran relief ini agaknya didepresiasi ketokohannya. Sosoknya muncul sebanyak dua kali: pertama, sebagai pencetus Nasakom Soekarno secara tidak lang-sung turut bertanggung jawab atas keberlanjutan ideologi Komunis yang setelah 1965 dicirikan sebagai ideologi “terlarang” dan senantiasa menjadi “bahaya laten” bagi bangsa Indonesia; kedua, sebagai Presiden RI Soekarno digambar-kan tidak mampu memulihkan keamanan dan ketertiban pasca-1965 sehingga harus menyerah-kan wewenang untuk memulihkan keamanan dan ketertiban tersebut kepada Letjen Soeharto melalui Supersemar.

Upaya untuk mengangkat ketokohan Soe-harto dan mendepresiasi ketokohan Soekarno melalui penarasian sejarah ini mengandung arti penting tersendiri bagi penguatan fondasi Orde Baru sebagai rezim yang memiliki legiti-masi untuk memerintah di Indonesia. Dengan ditetapkannya 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila oleh Presiden Soeharto sejak 1 Oktober 1967, misalnya, hari di mana Pancasila terbukti lulus menjalani cobaan sejarah dan membuktikan kesaktiannya, yang ditandai dengan tumpasnya G30S tidak lama setelah mereka menjalankan aksinya, lantas menjadi hari yang lebih pent-ing bagi bangsa Indonesia daripada Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1945 (McGregor 2002:45). Namun demikian, terkait dengan inti argumen dalam tulisan ini, terdapat signifikansi lain di balik pengangkatan dan pendepresiasian ketoko-han mereka, selain keperluan untuk melegitimasi berkuasanya sebuah rezim. Signifikansi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Meski senantiasa menjaga netralitasnya selama Perang Dingin, namun pemerintahan Soekarno tidak dimungkiri memberikan lingkungan yang cukup kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya Komunisme di Indonesia, sehingga pada awal 1960-an PKI menjadi organisasi politik yang memiliki basis dukungan sangat kuat di kalangan rakyat kebanyakan (Roosa 2006). Sampai awal 1960-an, di samping Soekarno dan TNI, PKI

Page 12: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017116

menjadi satu dari tiga pilar kekuatan dalam politik Indonesia (Feith 1964; Roosa 2006). Lebih jauh, Feith (1964) memprediksi bahwa pada akhirnya PKI akan berhasil meraih kekuasaan, meski TNI akan pula muncul sebagai kekuatan yang dominan dan memperlakukan PKI sebagai musuh. Berdiri di antara dua kekuatan ini, Presiden Soekarno menjadi figur yang mencegah terjadinya konflik terbuka antara PKI dan tentara. Bahkan di saat kampanye anti-PKI dan operasi penumpasannya mulai digalakkan pasca-1 Oktober 1965, Soek-arno termasuk tokoh yang senantiasa memprotes langkah tersebut dan menuduh TNI bertindak berlebihan karena telah “membakar rumah hanya untuk membunuh seekor tikus” (Roosa 2006:22). Melalui pendepresiasian kekokohan Soekarno, narasi sejarah versi Orde Baru bukan hanya beru-paya melepaskan diri dari bayang-bayang rezim Soekarno, tetapi juga membersihkan dirinya dari unsur-unsur Komunis, termasuk dari tokoh-tokoh nasional yang dinilai berperan dalam membiarkan hidupnya ideologi tersebut di bumi pertiwi.

Pengontrasan antara Soeharto dan Soekarno—di mana yang satu digambarkan berjuang men-egakkan Pancasila, sementara yang lain memberi tempat bagi Komunisme—dalam cerita yang digambarkan oleh relief Monumen Pancasila Sakti

seolah mengawali pengategorian biner “Pancas-ila–Komunisme”, “benar–salah”, “baik–buruk”, “pahlawan–pengkhianat”, yang semakin tajam dan kokoh melalui presentasi dua tokoh utama dalam tragedi 1 Oktober 1965: Para Pahlawan Revolusi vis a vis PKI. Kategorisasi biner ini berkisar pada pendikotomian dua kekuatan yang menggerakkan alur sejarah seperti digambarkan pada kompleks Monumen Pancasila Sakti—dua kekuatan yang “secara diametral bertentangan” dan saling meniadakan: Pancasila dan “bahaya laten” Komunis. Di dalam kompleks Monumen, kekuatan-kekuatan tersebut terutama diwakili oleh para Pahlawan Revolusi dan PKI; maka tidak mengherankan, jika fokus narasi sejarah yang kita dapati di sana berulang-alik di antara kedua aktor ini. Bersama-sama, keduanya meru-pakan bagian dari sebuah narasi tunggal namun diceritakan dengan cara yang berbeda.

Cerita mengenai para Pahlawan Revolusi dikonstruksi dengan skema yang serupa dengan yang biasa kita dapati dalam martirologi.8 Keseru-8 Secara sederhana, martirologi dapat diartikan sebagai kisah tentang orang-orang suci yang mati sebagai martir; banyak kita temukan dalam tradisi Kristen dan Islam. Untuk diskusi mengenai martirologi, lihat misalnya Febe Armanios dan Boğaç, “A Christian Martyr under Mamluk Justice: The Trials of Şalīb (d. 1512) according to Coptic and Muslim Sources,” dalam The Muslim World Vol. 96 (2006), pp. 115–144; Adam H. Becker,

Gambar 4. Relief: Soekarno, Nasakom, dan Supersemar(sumber: dokumentasi pribadi, 2014)

Page 13: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 117

paan ini dapat kita lihat dari beberapa aspek. Perta-ma, kisah ketujuh Pahlawan Revolusi memberikan penekanan lebih kepada kematian mereka, dan bukan pada cerita kehidupannya. Ketika berkun-jung ke Ring Satu, rute yang pengunjung lalui akan langsung mengantarkan mereka kepada cungkup sumur. Di Jawa, cungkup sendiri biasa dibangun di atas makam orang-orang yang dihor-mati. Dengan demikian, membangun cungkup itu juga menandai sumur tua di Lubang Buaya sebagai makam, mengingat ketujuh jenazah per-wira TNI AD dipendam dan disembunyikan di sumur ini. Di balik sumur tersebut berdiri tegak Monumen Pancasila Sakti, seolah-olah berfungsi sebagai nisan bagi ketujuh Pahlawan Revolusi. Di tengahnya berdiri patung Jenderal (Anumerta)

‘Martyrdom, Religious Difference, and “Fear” as A Category of Piety in the Sasanian Empire: The Case of the Martyrdom of Gregory and the Martyrdom of Yazdpaneh,’ dalam Journal of Late Antiquity Vol. 2 Issue 2 (Fall, 2009), pp. 300–336; Christine Caldwell, “Peter Martyr: The Inquisitor as Saint,” dalam Comitatus: A Journal of Medieval and Renaissance Studies Vol. 31 Issue 1 (2000), pp. 137–174; Carl W. Ernst, “From Hagiography to Martyrology: Conflicting Testimonies to a Sufi Martyr of the Delhi Sultanate,” dalam History of Religions Vol. 24 Issue 4 (1985), pp. 308–327; Shelley Matthews, Perfect Martyr: The Stoning of Stephen and Construction of Christian Identity (Oxford: Oxford University Press, 2010).

Gambar 5. Cungkup sumur Monumen Pancasila Sakti(sumber: dokumentasi pribadi, 2014)

A. Yani yang menudingkan telunjuk kanannya ke arah cungkup sumur, seolah menunjukkan di mana mereka dikuburkan setelah dibunuh secara keji. Oleh karena itu, anak tangga dan setapak berlantai merah yang membimbing pengunjung dari lapangan upacara ke Monumen Pancasila Sakti sebenarnya membawa mereka ke dalam sebuah situs penziarahan.

Namun demikian, dalam martirologi ses-eorang menjadi martir bukan sekadar karena ia mati, namun karena ia dibunuh secara keji lanta-ran mempertahankan suatu gagasan, kebenaran, keyakinan, atau ideologi. Aspek-aspek ini tampak jelas dari cara penceritaan kematian para Pahla-wan Revolusi melalui diorama yang terdapat di rumah penyiksaan di samping cungkup sumur, di samping sejumlah diorama di Paseban yang merekonstruksi drama penculikan serta pakaian dengan bekas darah mereka yang tersimpan di Ruang Relik. Diorama tersebut memperlihatkan personel-personel G30S tengah menyiksa Mayjen R. Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Soetojo S., dan Lettu P. A. Tendean.

Kendati rekonstruksi menggunakan diorama tampaknya dimaksudkan untuk “mengabadikan”

Page 14: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017118

Gambar 6. Diorama di rumah penyiksaan(sumber: dokumentasi pribadi, 2014)

Gambar 7. Detail ukiran burung garuda dan bunga bakung di cungkup sumur(sumber: dokumentasi pribadi, 2014)

Page 15: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 119

peristiwa yang terjadi 49 tahun silam, namun martirologi bukanlah sebuah peristiwa (event), melainkan diskursus (discourse) (Matthews 2010:4). Penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira TNI AD itu memang terjadi, namun kemudian kejadiannya diceritakan dengan se-bentuk narasi yang—sebagaimana umumnya martirologi—“menjungkirbalikkan” kategori-kategori tertentu seperti benar–salah, pemenang–pecundang, ataupun pahlawan–penjahat.

Menjelang dan selama drama 1 Oktober 1965, baik pihak tentara—dalam hal ini TNI AD—maupun pentolan G30S—termasuk petinggi-petinggi PKI yang terlibat di dalamnya—sama-sama mengaku sebagai elemen bangsa yang menjunjung revolusi, bahkan Soekarnois (Roosa, 2006). Namun, dalam perkembangannya, G30S/PKI—sebagai pihak yang kalah setelah kegaga-lan operasi mereka—mulai dicirikan sebagai ger-akan yang “kontra-revolusioner”. Padahal tadinya mereka melancarkan operasi tersebut untuk—setidaknya dalam perspektif mereka—menyela-matkan negara dan revolusi bangsa Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno dari rongrongan Dewan Jenderal. “Penjungkirbalikan” kategori semacam ini tidak lepas dari cerita kemartiran Pahlawan Revolusi yang diproduksi tidak lama setelah penculikan dan pembunuhan mereka. Jika G30S berjaya, hampir pasti ketujuh perwira TNI AD inilah yang akan kita kenal sebagai “peng-khianat”. Namun kenyataannya tidak demikian.

Sebagai martir, ketujuh perwira TNI AD digambarkan gugur dalam mempertahankan ideologi Pancasila, sehingga mereka layak dike-nang dengan predikat Pahlawan Revolusi. Secara visual, hal ini ditampilkan dengan patung Garuda raksasa yang menaungi patung ketujuhnya di Monumen Pancasila Sakti, serta ukiran-ukiran jatayu (burung garuda) dan bunga bakung yang menghiasi tiang-tiang penyangga cungkup sumur.9 Dalam pandangan umum, bunga bakung merupakan lambang kemurnian dan kemuliaan; bersama ukiran burung garuda, ukiran bebun-

9 Adapun lambang garuda yang terdapat di pucuk atap cungkup merupakan lambang TNI Angkatan Darat, sebagai penegasan bahwa para Pahlawan Revolusi berasal dari kesatuan tersebut.

gaan ini agaknya hendak mengabarkan bahwa para pahlawan yang terkubur di sana gugur dalam perjuangan mereka mempertahankan kemurnian dan kemuliaan Pancasila. Di dekat bibir sumur juga terdapat sebuah prasasti dengan pesan yang menguatkan hal ini. Pesan tersebut seolah-olah tengah diucapkan langsung oleh para Pahlawan Revolusi: “Tjita-tjita perdjuangan kami untuk menegakkan kemurnian Pantja-sila tidak mungkin dipatahkan hanja dengan men-gubur kami dalam sumur ini—Lobang Buaja, 1 October 1965.”

Pada titik ini kita juga mulai dapat meraba aspek lain yang hampir selalu ada dalam cerita kemartiran, namun tidak selalu diceritakan secara eksplisit, yakni pengutukan terhadap para pembunuh martir. Kompleks Monumen Pancasila Sakti—dan buku-buku sejarah keluaran Orde Baru, tentu saja—menampilkan pengutukan terhadap G30S—terutama PKI yang dituding sebagai dalangnya—melalui sebuah mekanisme yang dapat kita sebut dehumanisasi.

Sebagai sebuah organisasi, PKI sebenarnya telah mengalami pertumbuhan dan berbagai perubahan. PKI di masa awal berdirinya pada dasawarsa 1920-an adalah organisasi yang ber-beda dari PKI di tahun 1948, juga tidak sama dengan PKI di tahun 1965. Selain itu, PKI juga tidak lepas dari variasi internal dan faksi-faksi, meski memang terbukti menjadi salah satu or-ganisasi paling solid dan disiplin di masanya (Roosa 2006). Namun demikian, terutama dalam pameran diorama di Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) dan Paseban, PKI digambarkan sebagai satu entitas yang relatif utuh dan homo-gen. Bahkan penyebutan “PKI gaya baru” pada beberapa diorama yang menceritakan peristiwa-peristiwa pasca-1965—“Operasi Trisula di Blitar Selatan (20 Juli 1968)” dan “Tertembak Matinya S. A. Sofyan (12 Januari 1974)”—agaknya masih membawa kecenderungan esensialis semacam ini. Secara keseluruhan, koleksi diorama tersebut seakan hendak menegaskan bahwa sejak dan sampai kapan pun PKI tetaplah manifestasi dari ideologi Komunisme “yang secara diametral bertentangan dengan Pancasila”.

Page 16: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017120

Esensialisasi pada gilirannya mentransen-densikan PKI menjadi sebuah kategori abstrak yang dicirikan sebagai “bahaya laten”—selama Orde Baru berkuasa, “bahaya laten” itu bahkan melingkupi berbagai paham lain di luar Komu-nisme yang dianggap merongrong dasar negara Pancasila dan dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa, termasuk Islam radikal di masa mere-baknya isu Komando Jihad (McGregor 2002). Penempatan orang-orang yang terlibat atau di-tuduh terlibat PKI ke dalam kategori abstrak ini, melucuti kemanusiaan mereka dan menempatkan mereka sepenuhnya sebagai liyan (other). Hak-hak mereka sebagai warga negara ditanggalkan dan secara moral mereka pun didepresiasi. Pros-esnya bekerja terutama dengan memuati kategori abstrak tadi dengan berbagai stigma, seperti “pengkhianat”, “penghasut”, atau “orang tak beragama”—stigma-stigma semacam ini dengan mudah kita dapati pada keterangan-keterangan yang melengkapi setiap diorama di Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) dan Paseban.

Pengonstruksian aktor-aktor utama dalam tragedi 1 Oktober 1965 melalui mekanisme yang telah saya jelaskan di atas akhirnya meng-hadirkan kepada kita pahlawan yang berwajah dan penjahat yang tidak berwajah. Ketujuh Pahlawan Revolusi ditampilkan sebagai pribadi biasa—dibuktikan dengan koleksi memorabilia pribadi para pahlawan di Ruang Relik, seperti pakaian, surat, cincin, jam tangan, tongkat golf, raket tenis, bahkan rokok kegemaran mereka—yang juga dapat mengalami rasa sakit dan penderitaan—sebagaimana ditampilkan melalui diorama-diorama tentang penculikan dan pembunuhan ketujuh perwira TNI AD. Adapun PKI (Komunis) cenderung ditampilkan sebagai ideologi jahat yang termanifestasikan dalam tindakan-tindakan tak manusiawi melalui tangan siapa saja. Rakyat biasa dan organisasi-organisasi “pengacau keamanan” hampir selalu digambarkan sebagai instrumen dan “korban hasutan” PKI (Komunis). Ketujuh Pahlawan Rev-olusi dan PKI dikonstruksi sebagai perwujudan kekuatan baik dan jahat—Pancasila dan “bahaya laten” yang mengancamnya—yang senantiasa

bertarung dalam epik sejarah kita sebagai sebuah bangsa. Dalam epik inilah setiap orang Indonesia diharuskan ambil bagian dan menentukan keber-pihakan. Namun melalui narasi besar ini pula setiap diri kita diingatkan: siapa pun yang me-milih “berkhianat” terhadap Pancasila, mereka akan—dan layak untuk—dihancurkan.

MEKANISME ABJEKSI DALAM PEM-BENTUKAN IDENTITAS NASIONAL “KITA” DI MASA ORDE BARU

Pada sebuah panel yang terpasang di lobi Paseban, tertulis: “Ancaman terhadap ideologi Pancasila adalah masalah kelangsungan hidup bangsa dan negara. Museum ini merupakan salah satu sarana untuk mengingatkan bangsa Indone-sia, bahwa Komunisme merupakan bahaya laten yang harus terus-menerus diwaspadai.” Pesan serupa dapat kita temukan di berbagai sudut kompleks Monumen Pancasila Sakti, seperti di bagian dalam dinding pintu gerbang Monumen (“Anda meninggalkan Monumen Pancasila Sakti, bukan berarti Anda melupakan peristiwa sejarah pengkhianatan G30S/PKI”), bagian akhir dari Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) (“Jangan biarkan peristiwa semacam itu terulang kembali. Cukup sudah tetes darah dan air mata membasahi bumi pertiwi”), serta landasan Monumen Pan-casila Sakti (“Waspada... ... dan mawas diri agar peristiwa sematjam ini tidak terulang kembali”).

Berbagai publikasi resmi menyangkut Monu-men Pancasila Sakti maupun sejarah PKI keluaran pemerintah, terutama di masa Orde Baru, juga kerap diawali dengan ungkapan-ungkapan senada: “... kehadiran museum ini diharapkan mampu membangkitkan kesadaran dan kewaspadaan bangsa Indonesia terhadap bahaya Komunis yang bersifat laten” (Pusjarah TNI 2013); “Dengan Monumen Pancasila Sakti ini pengunjung dapat mengetahui tragedi yang pernah menimpa bangsa kita yang dilakukan oleh Komunis, sehingga mampu membang-kitkan kesadaran dan sikap waspada terhadap bahaya Komunis yang bersifat laten tersebut” (Pusjarah TNI 2008:vi); “... [buku ini] henda-

Page 17: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 121

knya dapat digunakan sebagai bahan kajian dan sekaligus sumber acuan dalam meningkatkan kewaspadaan, guna menghadapi siasat licik sisa-sisa PKI dan sisa-sisa G30S/PKI, agar mereka tidak muncul kembali di bumi Indonesia” (Pus-jarah ABRI 1995a:vi; 1995b:vi); “Penerbitan buku semacam ini merupakan salah satu sarana untuk mengingatkan pada bangsa Indonesia bahwa Komunisme dan pola sikap ala Komu-nisme merupakan bahaya bagi suatu bangsa yang lemah penghayatan ideologinya” (Pusjarah ABRI 1995c:vi; 1995d:vi; 1995e:vi).

Pernyataan-pernyataan di atas kurang lebih menggarisbawahi pesan moral yang diajarkan melalui rekonstruksi sejarah di kompleks Monu-men Pancasila Sakti, bahwa sebagai bangsa Indonesia kita harus terus-menerus waspada terhadap keberadaan bahaya laten Komunis yang senantiasa mengancam ideologi negara Pancasila—jangan sampai bahaya laten terse-but termanifestasikan lagi. Kita telah melihat, konstruksi sejarah yang dipelihara di situs ini membentuk dan menempatkan PKI (Komunis) sebagai liyan, bahkan entitas asing, yang tidak cocok, bahkan bertentangan, dengan Pancasila sebagai jiwa dari kebangsaan kita. Kendati demikian, sang liyan ini selalu ada di dalam dan menjadi bagian dari diri kita. Bersamaan dengan proses pembentukan sentimen kebangsaan In-donesia, terutama selama periode pemerintahan Orde Baru, liyan tersebut juga turut selalu di(re)produksi. Bahkan setelah Perang Dingin usai dan Komunisme runtuh bersama bubarnya Uni Soviet, liyan ini tidak pernah (dibiarkan) hilang dari formasi internal kebangsaan kita. “... [P]erkembangan Komunisme dunia dewasa ini memang cenderung menurun popularitasnya. ... Namun jika diamati secara cermat, hal itu hanya merupakan perubahan yang bersifat tidak mendasar, yang semata-mata ditempuh dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup Komunisme itu sendiri” (penekanan oleh penulis) (Pusjarah ABRI 1995a:v; 1995b:v). “Bahkan ada yang cenderung berpendapat, bahwa Komunisme bukan lagi bahaya karena ideologi itu telah usang dan ditinggal oleh jaman, tidak perlu dirisaukan.

Kecenderungan pendapat itu barulah pada tingkat pra anggapan” (penekanan oleh penulis) (Pusjarah ABRI, 1995c:vii). Sebagai ideologi, ia dapat terus hidup dan mengambil bentuk dalam rupa apa pun; setidaknya, demikianlah ingatan yang setiap tahun disegarkan melalui peringatan Hari Kesaktian Pancasila sejak 1 Oktober 1967 (McGregor, 2002). Kelanggengan Komunisme dalam sentimen kebangsaan ini terekspresikan secara kuat dalam terminologi yang sudah sejak lama kita akrabi untuk mencirikannya: “bahaya laten” dan “organisasi tanpa bentuk”—sebagai ideologi (laten yang berbahaya), ia dapat ter-manifestasikan dalam beragam wujud (karena pada dirinya ia tak punya bentuk).

Dengan konstruksi semacam ini, tidak meng-herankan jika bangsa kita selalu saja dihantui oleh dirinya sendiri, karena ancaman terbesar kita tidak datang dari luar, melainkan ada di dalam dan menjadi bagian dari kedirian kita. Kendati demikian, bagian diri yang tidak pernah benar-benar enyah ini justru harus selalu kita waspadai, kita kutuk, dan kita perangi. Dalam pengertian inilah kita dapat memahamkan “PKI” atau “Komunisme” sebagai abjek—dan dengan demikian, pembentukan sentimen kebangsaan kita pun, khususnya semenjak Orde Baru, tidak pernah lepas dari mekanisme abjeksi. Dalam pembentukan identitas, abjeksi memang senan-tiasa mengiringi subjeksi atau proses pencip-taan subjek. “[S]ubjeksi dan abjeksi merupakan dua hal yang tak terpisahkan... Subjeksi selalu mensyaratkan abjeksi; dan sebaliknya, abjeksi merupakan konsekuensi tak terelakkan dari subjeksi” (Polimpung 2014:70). Oleh karena, ketika kita menyerap berbagai unsur dan me-nyatukannya dalam identitas kita, di saat yang bersamaan kita pun mengeksklusi unsur-unsur lain yang kita anggap tidak sesuai. Unsur-unsur yang mengganggu identitas, sistem, tatanan, dan ambigu inilah yang disebut sebagai abjek (Kristeva 1982:4).

Narasi sejarah versi Orde Baru agaknya juga berupaya membangun identitas kebangsaan me-lalui mekanisme serupa. Unsur-unsur Pancasilais diserap sebagai bagian dari kepribadian bangsa,

Page 18: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017122

sementara unsur-unsur Komunis dan bahaya laten lainnya ditolak, dikutuk, disingkirkan. Ken-dati demikian, unsur-unsur “kontaminan” yang ditolak dan dikutuk ini juga tidak pernah dibiar-kan mati. Melalui rekonstruksi dan reinterpretasi, dari waktu ke waktu unsur-unsur tersebut terus-menerus dipelihara dan direproduksi—melalui penulisan dan pengajaran buku-buku sejarah, film, pembangunan museum dan monumen, hingga perumusan regulasi dan legislasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kemudian pihak yang sebenarnya dianggap paling bertang-gung jawab setiap kali “bahaya laten” Komunis manifes adalah diri kita sendiri—bangsa Indo-nesia. Kitalah yang membiarkan abjek, bagian jahat dari diri kita itu, berulah. “Salah satu tragedi akibat kekurangwaspadaan kita terhadap ideologi dan gerakan Komunis adalah peristiwa pemberontakan yang kedua kalinya yang dilan-carkan oleh PKI pada tahun 1965 atau dikenal dengan G30S/PKI” (penekanan oleh penulis) (Pusjarah ABRI 1995a:vii).

KESIMPULAN

Penulisan sejarah 1965 warisan Orde Baru cenderung memberikan penekanan pada “peng-khianatan” PKI melalui G30S-nya, dan di saat yang bersamaan, menyamarkan kekerasan dan pembunuhan massal yang mengikutinya dengan narasi patriotik tentang “penumpasan PKI”. Dalam tafsiran Roosa (2006), peristiwa 1 Oktober 1965 merupakan dalih bagi pembunuhan massal 1965–1966. Di sisi lain, atmosfer sosiopolitik di Indonesia pada dasawarsa ’60-an menjadi ling-kungan yang kondusif bagi efektivitas provokasi TNI melalui diseminasi “mitos Lubang Buaya” sehingga memungkinkan pembunuhan massal ini terjadi (Drakeley, 2007).

Sebagai upaya menjelaskan relasi antara peristiwa 1 Oktober 1965 dengan pembunuhan massal 1965–1966, argumentasi Roosa menitik-beratkan pada justifikasi pembunuhan massal tersebut. Argumentasi ini tidak dapat menjelas-kan bagaimana pembunuhan massal itu mungkin. Untuk persoalan terakhir ini, argumentasi Drake-ley agaknya lebih menjanjikan. Namun demikian, analisis mengenai atmosfer sosiopolitik 1960-an yang ia ajukan juga tidak mencukupi, karena analisis semacam ini bersandar pada kekhasan situasional kurun sejarah tertentu sebagai dasar penjelasannya. Dengan kata lain, penjelasan semacam ini hanya dapat mengatakan bahwa peristiwa tersebut dengan sendirinya muncul karena kompleksitas situasi pada masa itu memang memungkinkan hal demikian.

Penjelasan situasi struktural seperti yang dia-jukan Drakeley akan mencukupi hanya jika dis-ertai dengan penjelasan mengenai “mekanisme mental” yang memungkinkan pembunuhan massal 1965–1966 “masuk akal”, terutama dari perspektif para pelakunya. Mekanisme mental yang dimaksud, sebagaimana sudah didiskusi-kan dalam tulisan ini, adalah proses abjeksi yang mengiringi konstruksi dan rekonstruksi peristiwa 1 Oktober 1965. Lebih jauh, proses ini bekerja tidak hanya ketika atau sesaat setelah pembunuhan massal terjadi, tetapi juga dalam melegitimasi historiografi peristiwa tersebut selama beberapa dasawarsa setelahnya. Hanya dengan memahami proses abjeksi ini, bukan hanya kita dapat menjelaskan bagaimana pem-bunuhan massal 1965–1966 mungkin, tetapi juga mengupayakan antisipasi atas kemungkinan terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.

Page 19: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 123

REFERENSI

Cribb, Robert.

2009 “The Indonesian Massacres.” From Century of Genocide. 3rd Edition. Taylor and Francis, Inc.

Drakeley, Steven.

2007 “Lubang Buaya: Myth, Misogyny and Massacre.” Nebula 4, 4 Desember 2007:11-35.

Feith, Herbert.

1964 “President Soekarno, The Army and the Communists: The Triangle Changes Shape.” Asian Survey 4(8):969-980.

Heryanto, Ariel.

2006 State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. London dan New York: Routledge.

Hinton, Alexander Laban, ed.

2002 Annihilating Difference: The Anthropology of Genocide. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.

Kristeva, Julia.

1982 Powers of Horror: An Essay on Abjection. New York: Columbia University Press.

McGregor, Katharine E.

2002 ‘Commemoration of 1 October, “Hari Kesaktian Pancasila”: A Post Mortem Analysis?’ Asian Studies Review 26(1):40-72.

Pohlman, Annie.

2004 “Women and the Indonesian Killings of 1965-1966: Gender Variables and Possible Direc-tions for Research.” Makalah, dipresentasikan dalam The 15th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia in Canberra 29 June-2 July 2004.

Polimpung, Hizkia Y.

2014 Asal-Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikrofasis Bernegara. Depok: Penerbit Kepik.

Purdey, Jena.

tt. “Being an Apologist? The Cornell Paper and a Debate between Friends.” Diunduh dari http://aust-neth.net/transmission_proceedings.

Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI (Pusjarah ABRI).

1995a Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Jilid I: Perkembangan Gerakan dan Pengkhiana-tan Komunisme di Indonesia (1913-1948). Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Markas Besar ABRI.

1995b Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Jilid II: Penumpasan Pemberontakan PKI. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Markas Besar ABRI.

1995c Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Jilid III: Konsolidasi dan Infiltrasi PKI. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Markas Besar ABRI.

Page 20: Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017124

1995d Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Jilid IV: Pemberontakan G30S/PKI dan Penump-asannya. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Markas Besar ABRI.

1995e Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Jilid V: Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-Sisanya. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Markas Besar ABRI.

Pusat Sejarah TNI (Pusjarah TNI).

2008 Buku Panduan Monumen Pancasila Sakti. Jakarta: Pusat Sejarah TNI.

2013 Museum Diorama Paseban, Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya. Jakarta: Pusat Seja-rah TNI.

Roosa, John.

2006 Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s coup d’État in Indo-nesia. Wisconsin: University of Wisconsin Press.

Matthews, Shelley.

2010 Perfect Martyr: The Stoning of Stephen and Construction of Christian Identity. Oxford: Oxford University Press.

Film

C. Noer, Arifin (sutradara).

1984 Pengkhianatan G30S/PKI.

Pusjarah TNI.

tt. Pengkhianatan PKI.