lp cedera medula spinalis (repaired)
DESCRIPTION
bvnm,n.m.TRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
TRAUMA MEDULA SPINALIS
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
I. Definisi
Tulang belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher
sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdiri dari 33 tulang, antara
lain : 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang
lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrale merupakan
penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum
membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan
memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut
terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang
belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer,
Arif, 2000).
Trauma medula spinalis adalah trauma yang terjadi pada jaringan
medulla spinalis yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu
atau lebih tulang vertebra atau kerusakan jaringan medulla spinalis
lainnya termasuk akar-akar saraf yang berada sepanjang medulla
spinalis sehingga mengakibatkan defisit neurologi. (Lynda Juall dan
Carpenito, 2007). Trauma medula spinalis adalah kehilangan sensasi
fungsi motorik volunteer total dan tidak komplet;campuran kehilangan
sensasi dan fungsi motorik volunteer (Maryilynn E.Doenges, 1999).
Menurut Brunner & Suddarth (2001) Trauma medula spinalis adalah
suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada
daerah medulla spinalis.
II. Epidemiologi
Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu
mengalami cedera medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan
ada sebanyak 183.000 sampai 203.000 orang yang hidup dengan
cedera medula spinalis di negara tersebut, kira-kira 10.000 orang
meninggal karena komplikasi yang berhubungan dengan trauma medula
spinalis. Kasus baru trauma medula spinalis terjadi sekitar 15-50 per
sejuta penduduk, sementara angka prevalensi sekitar 900 per sejuta.
Trauma medula spinalis 80% terjadi pada pria usia sekitar 15-30 tahun
Bila dibandingkan dengan negara maju, insiden trauma medula spinalis
lebih tinggi di negara yang sedang berkembang.
Penyebab trauma medula spinalis di negara berkembang bervariasi dari
satu negara ke negara lain. Kecelakaan lalu lintas mencakup sebesar
49% penyebab trauma medula spinalis di Nigeria, 48,8% di Turki dan
30% di Taiwan. Jatuh dari ketinggian mewakili penyebab trauma medula
spinalis lainnya dengan angka sebesar 36,5% di Turki dan 21,2% di
Jordania. Di Bangladesh, penyebab trauma medula spinalis yang paling
sering adalah jatuh saat membawa beban berat di kepala dan
kecelakaan lalu lintas. Penyebab lainnya yaitu luka tembak (antara 1,9%
dan 29,3% di Turki), luka tusuk (antara 1,38% dan 3,33% di Turki, 25,8%
di Jordania) dan kecelakaan saat menyelam.
Di Indonesia, menurut Prihardadi dan Prijambodo (1990), trauma tulang
belakang yang masuk di RSUD Dr. Soetomo rata-rata 111 kasus per
tahun. Sejak tahun 1983-1997 terdapat 1592 kasus yang dirawat di
RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
III. Etiologi
Trauma medula spinalis terjadi akibat patah tulang belakang dan
terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal.cedera terjadi akibat
hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang
belakang.didaerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung dengan
struktur thoraks. Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana,
kompressi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan kerusakan pada
medula spinalis dapat berupa memar, contusio, kerusakan
melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau
perdarahan. Kelainan sekunder pada medula spinalis dapat
disebabkan hipoksemia dan iskemia. Iskemia disebabkan hipotensi,
oedema, atau kompressi.
Penyebab dari cidera medulla spinalis yaitu :
Kecelakaan lalulintas, kecelakaan dapat menyebabkan benturan
yang hebat pada pada tulang belakang sehingga menyebabkan
cedera pada medulla spinalis.
Olahraga, dimana olahraga yang ekstrim dapat menyebabkan trauma
pada tulang belakang serta olahraga yang memilki keamaan pada
saat melakukan olahraga
Kriminalitas, pada kasus kriminal seperti penusukan yang dilakukan
pada daaerah punggung atau memukul punggung dapat
menyebabkan trauma pada tulang punggung yang secara otomatis
dapat menjadi trauma spinalis.
Tumor, tumor dapat menyebabkana trauma medulla spinalis dimana
tumor mendesak medulla spinalis sehingga dapat menyebabkan
trauma spinalis.
Terjatuh dan dijatuhi benda keras, jatuh pada posisi duduk atau
kepala jatuh terlebih dahulu dapat menyebabkan trauma pada
medulla spinalis, dijatuhi benda keras juga dapat menyebabkan
trauma medulla spinalis.
Menurut Sylvia A. Price & Lorainne M. Wilson (2003), Medula spinalis
dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut :
Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis
dan hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi
tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi
tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi
ke posterior dan trauma hiperekstensi. Kompresi medula spinalis
dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun perdarahan.
Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan
pada jaringan, hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi
medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan
bertambahnya usia.
Beban fleksi, ekstensi, dan rotasi bersama dengan kelemahan
relative sendi-sendi vertebra, menyebabkan fraktur dan dislokasi
paling sering terjadi pada titik pertemuan antara bagian kolumna
vertebralis yang relative selalu bergerak (mobile) dengan ruas yang
relatife terfiksasi, yaitu antara daerah servikal bawah dan sgmen
torakal atas, antara segmen torakal bagian bawah dan sacrum.
Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma
menyebabkan gangguan aliran darah kapiler dan vena.
IV. Patofisiologi
Trauma spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus
terbanyak trauma spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal.
Trauma dapat terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau
rotasi pada tulang belakang. Fraktur pada cedera spinal cord dapat
berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi.
Sedangkan kerusakan pada cedera spinal cord dapat berupa memar,
kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan
peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok syaraf
parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot
pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut
anestesi. Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum
serta kandung kemih.
Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang
terkena :
jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan
mengalami tetraplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan atau
sistem muskular total;
jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjaditetraplegia
dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan
total terhadap aktivitas sehari-hari;
jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami
tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang
memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari;
jika terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-1 seseorang akan
mengalami tetraplegia dengan keterbatasan menggunakan jari
tangan, meningkat kemandiriannya;
pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan fungsi tangan
dan berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih baik;
jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang
tersebut akan kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan
fungsi defekasi dan berkemih.
V. Klasifikasi
Klasifikasi Cedera medula spinalis berdasarkan penyebabnya dapat
dibagi menjadi dua jenis:
Cedera medula spinalis traumatik
Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik
eksternal seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis. Cedera
medula spinalis traumatik sebagai lesi traumatik pada medula
spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis.
Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and
Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine,
cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan
kontusio dari kolum vertebra.
Cedera medula spinalis non traumatik
Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi
kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan
kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada
medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal.
Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit
motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan
inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan
metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
Ada 2 jenis grading pada cedera medula spinalis, yaitu klasifikasi Frankel
yang biasa digunakan oleh bagian orthopaedi dan klasifikasi ASIA
(American Spinal Injury Association) yang di anut oleh bagian bedah
saraf.
Derajat keparahan cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi
beberapa grade menurut Frankel, yaitu :
- Frankel A : kehilangan fungsi motorik dan sensorik
- Frankel B : ada fungsi sensorik, motorik tidak ada
- Frankel C : fungsi motorik ada tetapi tidak berfungsi
- Frankel D : fungsi motorik ada tetapi tidak sempurna
- Frankel E : fungsi sensorik dan motorik baik, hanya ada refleks
abnormal
Berikut adalah klasifikasi cedea medula spinalis oleh ASIA menurut Penurunan
Skala (dimodifikasi dari klasifikasi Frankel), dengan menggunakan
kategori berikut :
GRADE TIPE Gangguan Medula Spinalis ASIA
A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu sampai
segmen sacral S4-S5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu di bawah level tapi otot-otot
motorik utama masih punya kekuatan < 3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot motorik
utama punya kekuatan > 3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal
VI. Manifestasi Klinis
1. Trauma segmen servikalis
C1 dan C2 menyebabkan ventilasi spontan tidak efektif.
C1 sampai C5 menyebabkan respiratori paralisis dan quadriplegia
(dengan disfungsi kedua lengan, kedua kaki, defekasi, dan
berkemih ),
C3-C5 dapat terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat
terjadi hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori dan otot
interkostal yang dapat menyebabkan komplience paru menurun.
C5-C7 dapat mempengaruhi intercostal, parasternal, scalenus,
otot-otot abdominal.
C5 dan C6 dapat menyebabkan paralisis kaki, tangan, pergelangan;
abduksi bahu dan fleksi siku yang lemah; kehilangan refleks
brachioradialis
C7 dan C8 dapat menyebabkan paralisis kaki dan tangan.
2. Trauma pada segmen torakal
T2 dan T1 dapat menyebabkan paralisis otot-otot kaki, hilangnya
sensasi di bawah putting, dan gerakan normal pada bahu dan
siku.
T5-T8 dapat menyebabkan kelumpuhan kaki dan bagaian yang
lebih rendah dan hilangnya sensasi di bawah tulang rusuk
T6 dapat menyebabkan paraplegia (disfungsi ektrimitas bawah,
defekasi, dan berkemih )
T9-T11 dapat menyebabkan kelumpuhan kaki dan hilangnya
sensasi di bawah pusar
3. Trauma pada segmen lumbal
L1-L2 dapat menyebakan mengakibatkan anaestesia perianal,
gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya
refleks anal dan refleks bulbokafernosa.
L1 dapat menyebabkan paraplegia (disfungsi ektrimitas bawah,
defekasi, dan berkemih)
4. Trauma pada segmen sacral
S2-S4 dapat menyebakan penurunan penis ereksi
S2-S3 dapat menyebabkan gangguan berkemih dan defekasi
S3-S5 dapat menyebabkan mati rasa pada perineum
VII. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pada sistem persarafan secara menyeluruh meliputi :
tanda-tanda vital status mental, komunikasi dan bahasa, pengkajian
saraf kranial, respon motorik, dan respon sensorik. Secara umum dalam
pemeriksaan fisik klien gangguan sistem persarafan, dilakukan
pemeriksaan :
Tanda-tanda vital meliputi : tekanan darah, nadi, suhu, laju
pernapasan, nyeri
Status mental : Status mental, termasuk kemampuan berkomunikasi
dan berbahasa serta tingkat kesadaran dilakukan dengan
pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS).
Fungsi sensorik : Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien
digambarkan sebagai perasaan geli (tingling), mati rasa (numbless),
rasa terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness) atau perasaan-
perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik
(kelemahan otot, twitching / kedutan, miotonia, cramp dan
sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan sensorik.
Sistem Motorik : Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara
observasi dan pemeriksaan kekuatan diantaranya Massa otot, Tonus
otot dan Kekuatan otot
Aktifitas refleks : Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada
tendon menggunakan refleks hammer. Refleks-refleks yang diperiksa
adalah : Refleks patella, Refleks biceps, Refleks triceps, Refleks
Achilles, Refleks abdominal dan Refleks Babinski
VIII. Pemeriksaan Penunjang
CT SCAN : Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik
komponen tulang servikal dan sangat membantu bila ada fraktur
akut. Akurasi Pemeriksaan CT berkisar antara 72 -91 % dalam
mendeteksi adanya herniasi diskus. Akurasi dapat mencapai 96 %
bila mengkombinasikan CT dengan myelografi.
MRI : Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imaging pilihan untuk
daerah servikal . MRI dapat mendeteksi kelainan ligamen maupun
diskus. Seluruh daerah medula spinalis , radiks saraf dan tulang
vertebra dapat divisualisasikan. Namun pada salah satu penelitian
didapatkan adanya abnormalitas berupa herniasi diskus pada
sekitar 10 % subjek tanpa keluhan , sehingga hasil pemeriksaan ini
tetap harus dihubungkan dengan riwayat perjalanan penyakit ,
keluhan maupun pemeriksaan klinis.
Elektromiografi (EMG) : Pemeriksaan EMG membantu
mengetahui apakah suatu gangguan bersifat neurogenik atau
tidak, karena pasien dengan spasme otot, artritis juga mempunyai
gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level dari
iritasi/kompresi radiks, membedakan lesi radiks dan lesi saraf
perifer, membedakan adanya iritasi atau kompresi.
X-Ray spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur
ataudislokasi)
Mielografi untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal
vertebral) jika faktorpatologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya
dilusi pada ruang subarakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak
akan dilakukan setelahmengalami luka penetrasi).
Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru (contoh :
perubahan padadiafragma, atelektasis)
Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal) :
mengukur volumeinspirasi maksimal khususnya pada pasien
dengan trauma servikat bagianbawah atau pada trauma torakal
dengan gangguan pada saraf frenikus /ototinterkostal).
AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
(Marilyn E. Doengoes, 1999)
IX. Komplikasi
Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang
desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan
kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis
pada jantung sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
visceral serta ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah
dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
Syok spinal
Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas pada medula
spinalis di bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-otot yang
dipersarafi oleh bagian segmen medula yang ada di bawah tingkat
lesi menjadi paralisis komplet dan flaksid, dan refleks-refleks tidak
ada. Tekanan darah turun dan bagian dari tubuh di bawah tingkat lesi
medula paralisis dan tanpa sensasi.
Karena cedera pada servikal dan medula spinalis torakal atas,
persarafan pada otot aksesori mayor pernafasan hilang dan terjadi
masalah pernafasan: penurunan kapasitas vital, retensi sekresi,
peningkatan parsial karbon dioksida (PCO2), penurunan gPO2,
kegagalan pernapasan, dan edema pulmonal.
Refleks yang merangsang fungsi berkemih dan defekasi dipengaruhi.
Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang
dapat diatasi dengan dekompresi usus. Pasien tidak berkeringat pada
bagian tubuh yang paralisis, karena aktivitas simpatis dihambat
sehingga observasi ketat diperlukan untuk deteksi dini terhadap
awitan demam tiba-tiba.Pertahanan tubuh pasien disokong dan
dipertahankan sampai syok spinal mereda dan sistem telah pulih dari
traumatik (3 sampai 6 minggu). Perhatian khusus juga harus
diarahkan pada sistem pernapasan. Pasien mungkin tidak dapat
menciptakan tekanan intratorakal yang cukup untuk batuk secara
efektif. Terapi fisik dada dan pengisapan dapat membantu dalam
pembersihan sekresi pulmonal.
Thrombosis vena profunda
Thrombosis vena profunda (TVP) adalah komplikasi umum dari
imobilitas dan umumnya pada pasien cedera medula spinalis. Pasien
PVT beresiko mengalami embolisme pulmonal (EP), suatu komplikasi
yang mengancam hidup. Manifestasi EP meliputi nyeri dada pleuritis,
cemas, napas pendek, dan nilai gas darah abnormal (peningkatan
PCO2) dan penurunan PO2). Pengkajian pada paha dan betis
dilakukan setiap hari. Pasien akan dievaluasi terhadap adanya TVP,
jika hal itu terlihat signifikan meningkat di salah satu ekstermitas.
Terapi antikoagulan dosis rendah biasanya dimulai untuk mencegah
stoking elastis dari paha atas alat yang menekan pneumatik.
Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan
hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah
servikal bawah atau torakal atas.
Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut , keringat banyak,
kongesti nasal, bradikardi dan hipertensi.
X. Penatalaksanaan Tindakan Therapy
1. Penatalaksanaan kedaruratan
Penatalaksanaan pasien segara di tempat kejadian adalah sangat
penting, karena penatalaksanaan yang tidak tepat dapat
menyebabkan kerusakan dan kehilangan fungsi neurologic. Korban
kekcelakaan bermotor atau berkendara , jatuh, olah raga atau traum
langsung pada kepala dan leher dipertimbangkan mengalami cedera
spinalis.
Di tempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan
spinal (punggung) dalam kepala dan leher dalam posisi netral,
untuk mencegah cedera komplit
Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk
mempertahankan traksi dan kesejajaran sementara papan spinal
atau alat imobilisasi servikal dipasang.
Paling sedikit empat orang harus mengangakat dengan hati-hati
keatas utuk memendahkan kerumah sakit. Adanya geraka
memutar atau merusak medulla spinali irreversible yang
menyebabkan fragmen tulang vertebrata terputus patah atau
memotong medulla spinalis.
Prioritas pengelolaan selalu mengikuti Primary Survey serta urutan
ABCDE :
A-Airway, membebaskan jalan nafas dengan melindungi tulang
leher (cervical spine)
B-Breathing, bantuan pernafasan
C-Circulation, bantuan untuk sirkulasi dan pemantauan tekanan
darah
D-Disability, pemantauan kesadaran dan kerusakan syaraf pusat
E-Exposure, melepas baju pasien untuk memeriksa secara
lengkap semua kerusakan.
2. Transportasi pasien
Pasien harus selalu diperthankan dalam posisi ekstensi. Tidak ada
bagian tubuh yang terpuntir atau tertekuk juga jangan biarkan
pasien mengambil posisi duduk. Jangan memindahkan / membawa
pasien dengan dugaan trauma tulang leher pada posisi duduk atau
tengkurap. Pastikan dulu pasien dalam kondisi stabil sebelum
transportasi.
3. Medikasi
Penggunaan metil prednisolon
Farmakologi :
Metilprednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja
intermediate yang termasuk kategori adrenokortikoid, antiinflamasi
dan imunosupresan.
Adrenokortikoid
Sebagai adrenokortikoid, metilprednisolon berdifusi melewati
membran dan membentuk komplek dengan reseptor
sitoplasmik spesifik. Komplek tersebut kemudian memasuki inti
sel, berikatan dengan DNA, dan menstimulasi rekaman
messenger RNA (mRNA) dan selanjutnya sintesis protein dari
berbagai enzim akan bertanggung jawab pada efek sistemik
adrenokortikoid. Bagaimanapun, obat ini dapat menekan
perekaman mRNA di beberapa sel (contohnya: limfosit).
Efek Glukokortikoid
Anti-inflamasi (steroidal)
Glukokortikoid menurunkan atau mencegah respon jaringan
terhadap proses inflamasi, karena itu menurunkan gejala
inflamasi tanpa dipengaruhi penyebabnya. Glukokortikoid
menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan
leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon juga
menghambat fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis
dan atau pelepasan beberapa mediator kimia inflamasi.
Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui secara
lengkap, kemungkinan efeknya melalui blokade faktor
penghambat makrofag (MIF), menghambat lokalisasi makrofag :
reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan
mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler,
menghambat pembentukan edema dan migrasi leukosit; dan
meningkatkan sintesis lipomodulin (macrocortin), suatu inhibitor
fosfolipase A2-mediasi pelepasan asam arakhidonat dari
membran fosfolipid, dan hambatan selanjutnya terhadap
sintesis asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat
(prostaglandin, tromboksan dan leukotrien). Kerja
immunosupresan juga dapat mempengaruhi efek antiinflamasi.
Immunosupresan
Mekanisme kerja immunosupresan belum dimengerti secara
lengkap tetapi kemungkinan dengan pencegahan atau
penekanan sel mediasi (hipersensitivitas tertunda) reaksi imun
seperti halnya tindakan yang lebih spesifik yang mempengaruhi
respon imun, Glukokortikoid mengurangi konsentrasi limfosit
timus (T-limfosit), monosit, dan eosinofil. Metilprednisolon juga
menurunkan ikatan immunoglobulin ke reseptor permukaan sel
dan menghambat sintesis dan atau pelepasan interleukin,
sehingga T-limfosit blastogenesis menurun dan mengurangi
perluasan respon immun primer. Glukokortikoid juga dapat
menurunkan lintasan kompleks immun melalui dasar membran,
konsentrasi komponen pelengkap dan immunoglobulin.
Dosis Metilprednisolon yaitu 30 mg/kgBB secara bolus intravena,
dilakukan pada saat kurang dari 8 jam setelah cedera. Jika terapi
tersebut dapat dilakukan pada saat kurang dari 3 jam setelah
cedera, terapi tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon
intravena kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam
kemudian. Jika terapi bolus metilprednisolon dapat dikerjakan pada
waktu antara 3 hingga 8 jam setelah cedera maka terapi tersebut
dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena kontinu dengan
dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 48 jam kemudian. Terapi ini efektif
dimana terjadi peningkatan fungsi sensorik dan motorik secara
signifikan dalam waktu 6 minggu pada cedera parsial dan 6 bulan
pada cedera total. Efek dari metilprednisolon ini kemungkinan
berhubungan dengan efek inhibisi terhadap peroksidasi lipid
dibandingkan efek glukokortikoid.
4. Tindakan Respiratori
Berikan oksigen untuk mempertahankan PO₂ arterial yang
tinggi.
Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk
menghindari fleksi atau ekstensi leher bila diperlukan intubasi
endotrakeal.
Pertimbangkan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf
frenikus) untuk pasien dengan lesi servikal yang tinggi.
(Baughman & Hackley, 2000)
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
I. Pengkajian
IDENTITAS
RIWAYAT KEPERAWATAN
- Keluhan utama : Perawat memperoleh gambaran secara detail
pada kondisi yang utama dialami klien. Memperoleh informasi
tentang perkembangan, tanda-tanda dan gejala-gejala : onset
(mulainya), faktor pencetus dan lamanya. Perlu menentukan kapan
mulainya gejala tersebut serta perkembangannya.
- Riwayat kesehatan masa lalu : Mencakup penyakit yang pernah
dialami sebelumnya, penyakit infeksi yang dialami pada masa
kanak-kanak, pengobatan, periode perinatal, tumbuh kembang,
riwayat keluarga, riwayat psikososial dan pola hidup.
Penyakit saraf sering mempengaruhi kemampuan fungsi-fungsi
tubuh. Perawat perlu menanyakan perubahan tingkat kesadaran,
nyeri kepala, kejang-kejang, pusing, vertigo, gerakan dan postur
tubuh.
- Masalah kesehatan utama dan hospitalisasi :
Berbagai penyakit yang berhubungan dengan perubahan akibat
gangguan persarafan misalnya diabetes mellitus, anemia
pernisiosa, kanker, berbagai penyakit infeksi dan hipertensi.
Penyakit hati dan ginjal yang menahun akan mengakibatkan
gangguan metabolisme misalnya gangguan keseimbangan cairan
elektrolit dan asam basa akan mempengaruhi fungsi mental.
Perawat juga akan memperoleh informasi mengapa klien dirawat di
rumah sakit, kecelakaan atau pembedahan sehubungan dengan
sistem persarafan seperti trauma kepala, kejang, stroke atau luka
akibat kecelakaan.
- Riwayat Pengobatan : Perawat akan memperoleh informasi
sehubungan dengan obat-obatan yang diperoleh klien. Banyak
obat-obat anti alergi dan pilek yang bisa dikomsumsi dapat
mengakibatkan klien mengantuk. Perawat harus mengkaji obat
yang digunakan, jenis obat, efek terapinya, efek samping yang
ditimbulkan dan lamanya digunakan.
- Riwayat keluarga :
Perawat akan menanyakan pada keluarga sehubungan dengan
gangguan persarafan guna menentukan faktor-faktor resiko /
genetik yang ada. Misalnya epilepsi, hipertensi, stroke, retardasi
mental dan gangguan psikiatri.
PENGKAJIAN NEUROLOGIK BERDASARKAN POLA FUNGSI
GORDON :
HEALTH PERCEPTION – HEALTH MANAGEMENT : Riwayat ganguan
neurologik, terjatuh/trauma, atau pembedahan; pernah mengalami
masalah-masalah yang berhubungan dengan kemampuan pergerakan
bagian-bagian tubuhnya.
NUTRITIONAL – METABOLIC : Adanya kesukaran mengunyah atau
menelan
ELIMINATION : Adanya perubahan pada kebiasaan B A K atau B A B
ACTIVITY – EXERCISE : Mengalami kesulitan terhadap keseimbangan,
koordinasi atau berjalan. Apakah klien menggunakan alat bantu jalan;
Mengalami kelemahan pada lengan atau kaki
SEXUALITY-REPRODUCTIVE : Adanya masalah aktifitas sexual klien
mengalami gangguan oleh adanya masalah neurologic
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan pada sistem persarafan secara menyeluruh meliputi :
tanda-tanda vital status mental, komunikasi dan bahasa, pengkajian
saraf kranial, respon motorik, dan respon sensorik
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
- CT SCAN
- MRI
- Elektromiografi (EMG)
- X-Ray spinal
- Mielografi
- Foto rongent thoraks
- Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal)
- AGD
(Marilyn E. Doengoes, 1999)
II. Diagnosa Keperawatan
Nyeri akut
Ketidakefektifan pola nafas
Inkontinensia defekasi
Hambatan mobilitas fisik
Inkontinensia urinarius fungsional
Disfungsi seksual
DAFTAR PUSTAKA
Baughman, C. Diane & Hackley JoAnn. 2000. Keperawatan Medikal bedah
Buku Saku untuk Brunner dan Suddarth. Edisi 1. Jakarta : EGC
Brunner & Suddart. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Heater Herdman,T.2012. Nanda Internasional Diagnosa keperawatan Definisi
dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC.
Johnson, M, dkk. 2004. Nursing Outcome Classification (NOC). Mosby:
Philadelphia
Lynda Juall dan Carpenito. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10.
Jakarta : EGC
Maryilynn E.Doenges. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
McCloskey, dkk .2004. Nursing intervention Classification (NIC). Mosby:
Philadelphia
MSKTC Experts. Pain after Spinal Cord Injury.
http://www.msktc.org/sci/factsheets/Pain. diakses tanggal 15 Februari
2014
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta : Penerbit Salemba Medika
Spinal cord medicine Respiratory Management Following Spinal Cord Injury:
What You Should Know. Paralyzed Veterans of America.
http://www.learnicu.org/docs/guidelines/cspmrespiratorymanagement.pd
f. diakses tanggal15 Februari 2014
Spinal cord injury. Mayo clinic staff. http://www.mayoclinic.com/health/spinal-
cord-injury/DS00460/DSECTION=symptoms. diakses tanggal 15 Februari
2014
Sylvia A. Price & Lorainne M. Wilson. 2003. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC