lbm1 sp imun
DESCRIPTION
KESEHATANTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif
diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM,
IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila
mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin,
yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana
alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi
ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka
terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya
respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi
pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini
tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok
anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke
jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit.
Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin.
Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi
protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi.
1.2 TUJUAN
1.2.1 Untuk mengetahui definisi demam, mekanisme demam dan penatalaksanaan demam
1.2.2 Untuk mengetahui reaksi hipersensitivitas
1.2.3 Untuk bisa membedakan pola-pola demam
1.2.4 Untuk mengetahui itaspemeriksaan penunjang pada hipersensitiv
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SKENARIO
Seorang laki-laki berusia 20 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan demam. Demam
dirasakan sejak 2 hari dan menggigil pada malam hari. Pasien juga mengeluh sakit seluruh badan
serta gatal di pergelangan tangan setelah ganti jam tangan baru. Riwayat ibu menderita asma.
Dari pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80mmHg, denyut nadi 118x/menit,
frekuensi napas 20x/menit, suhu aksila 390C. Dari pemeriksaan dermatologi didapatkan vesikel
dan eritema berbatas jelas melingkar di pergelangan tangan. Kemudian dokter melakukan
pemeriksaan penunjang
2.2 TERMINOLOGI
Demam adalah peningkatan suhu tubuh diatas 38°C atau lebih, >40°C disebut demam
tinggi . Normalnya suhu tubuh 36,6°C sampai 37,2°C .
Asma adalah peradangan kronis yang umum terjadi pada saluran napas yang ditandai
dengan gejala yang bervariasi dan berulang, penyumbatan saluran napas yang bersifat
reversibel, dan spasme bronkus
Eritema adalah kulit berwarna kemerahan
2.3 PERMASALAHAN
1. Penyebab demam ?
2. Mekanisme demam ?
3. Sebutkan dan jelaskan pola demam ?
4. Penatalaksanaan demam ?
5. Sebutkan dan jelaskan reaksi alergi (hipersensitivitas) ?
6. Mekanimse munculnya vesikel dan eritema ?
7. Mengapa gatal dipergelangan tangan setelah memakai jam tangan baru ?
8. Hubungan ibunya asma dengan keluhan pada pasien scenario ?
9. Pemeriksaan penunjang pada hipersensitivitas ?
10.Termasuk reaksi alergi yang mana diskenario dan penatalaksaan kasus pada scenario ?
2.4 PEMBAHASAN
1. Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat
infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri
yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain pneumonia,
bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial
gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan
lain-lain. Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain viral
pneumonia, influenza, demam berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus
umum seperti H1N1. Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain
coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain. Infeksi parasit yang pada umumnya
menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis.
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor
lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll),
penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan
(Penyakit Hodgkin, Limfoma non-hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan
(antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin). Selain itu anak-anak juga dapat mengalami
demam sebagai akibat efek samping dari pemberian imunisasi selama ±1-10 hari. Hal lain
yang juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem
saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau
gangguan lainnya.
2. Pengaturan suhu tubuh seluruhnya diatur di hipotalamus. Segala substansi pemicu
demam (pirogen) akan menyebabkan pelepasan mediator demam yaitu prostaglandin E2
(PGE2). PGE2 kemudian mempengaruhi set-point di hipotalamus, yang menyebabkan
perubahan respon secara sistemik, membentuk efek pembentukan panas tubuh untuk
menyesuaikan dengan level suhu yang telah diatur di hipotalamus.
PGE2 dilepaskan dari jalur sintesis asam arakidonat. Jalur tersebut dimediasi oleh enzim
fosfolipase A2 (PLA2), siklooksigenase (COX-2), dan prostaglandin E2 sintase. Enzim
tersebut seluruhnya menyebabkan sintesis dan pelepasan dari PGE2. PGE2 merupakan
mediator utama dalam respon demam. Pengaturan suhu tubuh akan tetap tinggi sampai
PGE2 hilang dari peredaran sistemik. PGE2 mempengaruhi neuron pada daerah pre-optik
(POA) melalui reseptor-3 prostaglandin E (EP3). Neuron yang mengekspresikan EP3 di
POA akan menginervasi dorsomedial hipotalamus (DMH), nukleus rostral raphe pallidus di
medula oblongata (rRPa), dan nukleus paraventrikular (PVN) dari hipotalamus. Sinyal
demam dikirim ke DMH dan rRPa menyebabkan stimulasi dari sistem simpatis, yang
kemudian akan mencetuskan pembentukan panas tubuh dan vasokontriksi untuk
menurunkan kehilangan panas tubuh melalui kulit. Inervasi dari POA ke PVN 9 akan
memediasi efek neuroendokrin dari demam melalui jalur yang melibatkan kelenjar
hipofisis dan organ endokrin lainnya.
Sebagai perumpamaan, hipotalamus di otak berfungsi mirip dengan termostat pada lemari
pendingin. Ketika set-point suhu tubuh ditingkatkan, maka tubuh akan mengkompensasi
peningkatan tersebut dengan secara aktif memproduksi panas dan menahan panas dalam
tubuh agar tidak keluar dari tubuh. Vasokontriksi pembuluh darah akan menurunkan proses
kehilangan panas melalui kulit dan menyebabkan seseorang merasakan dingin bahkan
hingga menggigil. Jika proses penyesuaian tersebut tidak cukup untuk menyebabkan suhu
darah sesuai dengan setingan suhu di hipotalamus, maka proses menggigil dimulai dengan
tujuan menggerakkan otot-otot untuk menghasilkan lebih banyak panas. Ketika demam
berhenti, dan setingan suhu di hipotalamus menjadi lebih rendah, maka akan terjadi proses
kebalikan dari proses sebelumnya, dengan tujuan menyesuaikan suhu tubuh dengan
setingan termostat yang baru. Proses tersebut meliputi vasodilatasi pembuluh darah untuk
meningkatkan pengeluaran panas melalui kulit, dan berkeringat sebagai upaya pendinginan
tubuh dalam menyesuaikan setingan suhu yang baru atau suhu lingkungan.
3. Pola Demam
1. Demam kontinyu
Merupakan demam yang terus-menerus tinggi dan memiliki toleransi fluktuasi yang tidak
lebih dari 1º C. Contoh penyakitnya antara lain; demam dengue, demam tifoid, pneumonia,
infeksi respiratorik, keadaan penurunan sistem imun, infeksi virus, sepsis, gangguan sistem
saraf pusat, malaria falciparum, dan lain-lain.
2. Demam intermiten
Demam yang peningkatan suhunya terjadi pada waktu tertentu dan kemudian kembali ke
suhu normal, kemudian meningkat kembali. Siklus tersebut berulang-ulang hingga
akhirnya demam teratasi, dengan variasi suhu diurnal > 1º C. Contoh penyakitnya antara
lain; demam tifoid, malaria, septikemia, kala-azar, pyaemia. Ada beberapa subtipe dari
demam intermiten, yaitu :
a) Demam quotidian
Demam dengan periodisitas siklus setiap 24 jam, khas pada malaria falciparum dan
demam tifoid
b) Demam tertian
Demam dengan periodisitas siklus setiap 48 jam, khas pada malaria tertiana (Plasmodium
vivax)
c) Demam quartan
Demam dengan periodisitas siklus setiap 72 jam, khas pada malaria kuartana
(Plasmodium malariae)
3. Demam remiten
Demam terus menerus, terkadang turun namun tidak pernah mencapai suhu normal,
fluktuasi suhu yang terjadi lebih dari 10 C. Contoh penyakitnya antara lain; infeksi virus,
demam tifoid fase awal, endokarditis infektif, infeksi tuberkulosis paru.
4. Demam berjenjang (step ladder fever)
Demam yang naik secara perlahan setiap harinya, kemudian bertahan suhu selama
beberapa hari, hingga akhirnya turun mencapai suhu normal kembali. Contohnya pada
demam tifoid
5. Demam bifasik (pelana kuda/ saddleback)
Demam yang tinggi dalam beberapa hari kemudian disusul oleh penurunan suhu, kurang
lebih satu sampai dua hari, kemudian timbul demam tinggi kembali. Tipe ini didapatkan
pada beberapa penyakit, seperti demam dengue, yellow fever, Colorado tick fever, Rit
valley fever, dan infeksi virus seperti; influenza, poliomielitis, dan koriomeningitis
limfositik.
6. Demam Pel-Ebstein atau undulasi
Suatu jenis demam yang spesifik pada penyakit limfoma hodgkin, dimana terjadi
peningkatan suhu selama satu minggu dan turun pada minggu berikutnya, dan seperti itu
seterusnya. Demam tipe ini ditemukan juga pada kasus penyakit kolesistitis bruselosis,
dan pielonefritis kronik.
7. Demam kebalikan pola demam diurnal (typhus inversus)
Demam dengan kenaikan temperatur tertinggi pada pagi hari bukan selama senja atau di
awal malam. Kadang-kadang ditemukan pada tuberkulosis milier, salmonelosis, abses
hepatik, dan endokarditis bakterial.
4. Penatalaksanan Demam
Demam merupakan mekanisme pertahanan diri atau reaksi fisiologis terhadap perubahan
titik patokan di hipotalamus. Penatalaksanaan demam bertujuan untuk merendahkan suhu
tubuh yang terlalu tinggi bukan untuk menghilangkan demam. Penatalaksanaan demam
dapat dibagi menjadi dua garis besar yaitu: non-farmakologi dan farmakologi. Akan
tetapi, diperlukan penanganan demam secara langsung oleh dokter apabila penderita
dengan umur <3 bulan dengan suhu rektal >38°C, penderita dengan umur 3-12 bulan
dengan suhu >39°C, penderita dengan suhu >40,5°C, dan demam dengan suhu yang tidak
turun dalam 48-72 jam
Terapi non-farmakologi
Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan demam:
1. Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan beristirahat
yang cukup.
2. Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat menggigil. Kita
lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai satu lapis pakaian dan
satu lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman kepada penderita.
3. Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres hangat efektif
terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin karena akan
menyebabkan keadaan menggigil dan meningkatkan kembali suhu inti.
Terapi farmakologi
Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah parasetamol
(asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi dalam menurunkan panas sedangkan
ibuprofen memiliki efek kerja yang lama. Pada anak-anak, dianjurkan untuk pemberian
parasetamol sebagai antipiretik. Penggunaan OAINS tidak dianjurkan dikarenakan oleh fungsi
antikoagulan dan resiko sindrom Reye pada anak-anak. Dosis parasetamol juga dapat
disederhanakan menjadi:
Tabel 2.2. Dosis parasetamol menurut
kelompok umur Umur (tahun)
Dosis Parasetamol tiap pemberian (mg)
< 1 60
1-3 60-125
4-6 125-250
6-12 250-500
Pada umumnya antipiretik digunakan bila suhu tubuh anak lebih dari 38º C. Orang tua
dan sebagian besar dokter memberikan antipiretik pada setiap keadaan demam.
Seharusnya antipiretik tidak diberikan secara otomatis, tetapi memerlukan pertimbangan.
Pemberian antipiretik harus berdasarkan kenyamanan anak, bukan dari suhu yang tertera
pada angka termometer saja. Saat ini pemberian resep antipiretik terlalu berlebihan,
antipiretik diberikan untuk keuntungan orang tua daripada si anak. Meski tidak ada efek
samping antipiretik pada perjalanan penyakit, namun terdapat beberapa bukti yang
memperlihatkan efek yang merugikan.
Indikasi pemberian antipiretik, antara lain :
1. Demam lebih dari 39º C yang berhubungan dengan gejala nyeri atau tidak nyaman, biasa
timbul pada keadaan otitis media atau mialgia.
2. Demam lebih dari 40,5º C
3. Demam berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme. Keadaan gizi
kurang, penyakit jantung, luka bakar, atau pasca operasi, memerlukan antipiretik.
4. Anak dengan riwayat kejang atau delirium yang disebabkan demam.
Klasifikasi Antipiretik
Obat antipiretik dalam dikelompokkan dalam empat golongan; yaitu para aminofenol
(parasetamol), derivat asam propionat (ibuprofen dan naproksen), salisilat (aspirin,
salisilamid), dan asam asetik (indometasin). Namun yang akan dibahas pada bagian ini ialah
antipiretik yang sering dipakai pada penatalaksanaan demam pada anak; yaitu parasetamol,
ibuprofen, dan aspirin.
1. Parasetamol (Asetaminofen)
Parasetamol merupakan metabolit aktif asetanilid dan fenasetin. Saat ini parasetamol
merupakan antipiretik yang biasa dipakai sebagai antipiretik dan analgesik dalam pengobatan
demam pada anak. Keuntungannya, terdapat dalam sediaan sirup, tablet, infus, dan
supositoria. Cara terakhir ini merupakan alternatif bila obat tidak dapat diberikan per oral;
misalnya anak muntah, menolak pemberian cairan, mengantuk, atau tidak sadar. Beberapa
penelitian menunjukkan efektivitas yang setara antara parasetamol oral dan supositoria.
Dengan dosis yang sama daya terapeutik antipiretiknya setara dengan aspirin, hanya
parasetamol tidak mempunyai daya antiinflamasi, oleh karena itu tidak digunakan pada
penyakit jaringan ikat seperti artritis reumatodi. Parasetamol juga efektif menurunkan suhu
dan efek samping lain yang berasal dari pengobatan dengan sitokin, seperti interferon dan
pada pasien keganasan yang menderita infeksi. Dosis parasetamol lazim yang digunakan
untuk menurunkan suhu ialah 10-15 mg/kgBB per dosis, maka akan tercapai konsentrasi efek
antipiretik dan direkomendasikan diberikan setiap 4 jam. Dosis parasetamol 20 mg/kgBB
tidak akan menambah daya penurunan suhu tetapi memperpanjang efek antipiretik sampai 6-
8 jam.
Setelah pemberian dosis terapeutik, penurunan demam terjadi setelah 30 menit, puncaknya
sekitar 3 jam, dan demam akan rekuren dalam 3-4 jam setelah pemberian. Kadar puncak
plasma dicapai dalam waktu 30 menit. Makanan yang mengandung karbohidrat tinggi akan
mengurangi absorpsi sehingga menghalangi penurunan demam.
Parasetamol mempunyai efek samping ringan bila diberikan dalam dosis biasa. Tidak akan
timbul perdarahan saluran cerna, nefropati, maupun koagulopati. Obat yang dilaporkan
mempunyai interaksi dengan parasetamol, diantaranya adalah warfarin, metoklopramid, beta
bloker, dan klopromazin.
2. Ibuprofen
Ibuprofen ialah suatu derivat asam propionat yang mempunyai kemampuan antipiretik,
analgesik, dan antiinflamasi. Seperti antipiretik lain dan NSAID (Non Steroid Anti
Inflammatory Drug), ibuprofen beraksi dengan memblokade sintesis PGE-2 melalui
penghambatan siklooksigenasi. Sejak tahun 1984 satu-satunya NSAID yang
direkomendasikan sebagai antipiretik di Amerika Serikat adalah ibuprofen, sedangkan di
Inggris sejak tahun 1990. Obat ini diserap dengan baik oleh saluran cerna, mencapai
puncak konsentrasi serum dalam 1 jam. Kadar efek maksimal untuk antipiretik (sekitar
10 mg/L) dapat dicapai dengan dosis 5 mg/kgBB, yang akan menurunkan suhu tubuh 2º
C selama 3-4 jam. Dosis 10 mg/kgBB/hari dilaporkan lebih poten dan mempunyai efek
supresi demam lebih lama dibandingkan dengan dosis setara parasetamol. Awitan
antipiretik tampak lebih dini dan efek lebih besar pada bayi daripada anak yang lebih tua.
Ibuprofen merupakan obat antipiretik kedua yang paling banyak dipakai setelah
parasetamol.
Efek antiinflamasi serta analgesik ibuprofen menambah keunggulan dibandingkan
dengan parasetamol dalam pengobatan beberapa penyakit infeksi yang berhubungan
dengan demam. Indikasi kedua pemakaian ibuprofen adalah artritis reumatoid. Dengan
dosis 20-40 mg/kgBB/hari, efeknya sama dengan dosis aspirin 60-80 mg/kgBB/hari
disertai efek samping yang lebih rendah. Pemberian sitokin (misalnya GM-CSF)
seringkali menyebabkan demam dan mialgia, ibuprofen ternyata obat yang efektif untuk
mengatasi efek samping tersebut. Ibuprofen mempunyai keuntungan pengobatan dengan
efek samping ringan dalam penggunaan yang luas. Beberapa efek samping yang
dilaporkan disebabkan adanya penyakit yang sebelumnya telah ada pada anak tersebut
dan bukan disebabkan oleh pengobatannya. Di pihak lain efek samping biasanya
berhubungan dengan dosis dan sedikit lebih sering dibandingkan dengan parasetamol
dalam dosis antipiretik. Reaksi samping ibuprofen lebih rendah daripada aspirin. Anak
yang menelan 100 mg/kgBB tidak menunjukkan gejala, bahkan sampai dosis 300
mg/kgBB seringkali asimptomatik. Tatalaksana kasus keracunan ibuprofen, dilakukan
pengeluaran obat dengan muntah (kumbah lambung), arang aktif, dan perawatan suportif
secara umum. Tidak ada antidotum spesifik terhadap keracunan ibuprofen.
5. Reaksi Hipersensitivitas
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel
limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE)
dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu
dengan antigen lalu mengadakan diferensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang
mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana
alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang
terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak,
maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
Reaksi hipersensitivitas adalah respons peradangan dan imun yang abnormal. Terdapat
empat jenis reaksi hipersensitivitas.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe I
Ini merupakan reaksi alergi yang diperantarai oleh antibodi IgE. Pada reaksi tipe I,
antigen (disebut juga alergen) yang membuat pejamu dikenal terhadapnya dikenali oleh
sel B. Sel ini kemudian dirangsang untuk membuat antibodi IgE. IgE mengikat antigen
yang berdekatan dengan basofil atau sel mast oleh sel reseptor IgE afinitas tinggi yang
terdapat pada sel-sel tersebut. Alergen yang menyerang biasanya memiliki valensi ganda
(banyak tempat pengikatan IgE), sehingga alergen tersebut benar-benar berikatan dengan
beberapa antibodi IgE secara bersamaan. Pengikatan ini memicu terbentuknya jenjang
sinyal yang menyebabkan degranulasi sel mast dan basofil, serta pelepasan histamin,
sitokin, kemokin, dan leukotrien. Perantara ini, seperti halnya komplemen dan faktor
kemotaktik eosinofil yang teraktivasi, menyebabkan vasodilatasi perifer dan peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi bengkak terlokalisasi dan edema. Gejala-gejala
bersifat spesifik bergantung pada di mana respons alergi tersebut berlangsung.
Suatu reaksi hipersensitivitas tipe I yang parah adalah reaksi anafilaktik. Anafilaksis
melibatkan respons cepat IgE sel mast setelah pajanan ke suatu antigen dan individu
sangat peka terhadapnya. Dapat terjadi dilatasi seluruh sistem pembuluh akibat histamin
sehingga tekanan darah kolaps. Penurunan hebat tekanann darah sistemik selama reaksi
anafilaksis juga menyebabkan penutupan saluran napas. Anafilaksis sebagai respons
terhadap beberapa obat, misalnya penisilin, atau sebagai respons terhadap sengatan lebah,
dapat bersifat fatal pada orang yang sangat peka karena dapat terjadi kolaps sirkulasi atau
gagal napas. Gejala reaksi anafilaktik adalah gatal, kram abdomen, kemerahan kulit,
gangguan saluran cerna, dan kesulitan bernafas.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Hal ini terjadi sewaktu antibodi IgG atau IgM menyerang antigen-antigen jaringan.
Reaksi tipe II terjadi akibat hilangnya toleransi diri dan dianggapa suatu reaksi autoimun.
Sel-sel sasaran biasanya dihancurkan.
Pada reaksi tipe ini, pengikatan antibodi-antigen menyebabkan pengaktifan komplemen,
degranulasi sel mast, edema interstisial, kerusakan jaringan, dan lisis sel. Reaksi tipe II
menyebabkan fagositosis sel-sel pejamu oleh makrofag.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi ini terjadi sewaktu kompleks antigen-antibodi yang bersirkulasi dalam darah
mengendap di pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan
kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap di dalam jaringan kapilernya. Pada sebagian
kasus, antigen asing dapat melekat ke jaringan, menyebabkan terbentuknya kompleks
antigen antibodi di tempat tersebut.
Reaksi tipe III mengaktifkan koplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler di tempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke
daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan
enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan
berlanjut.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Pada reaksi yang diperantarai oleh sel T ini, terjadi pengaktifan sel T sitotoksisk (CD8)
atau sel T helper (CD4) oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang
bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel sitotoksik sering dibangkitkan oleh sel
yang terinfeksi virus dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan luas. Reaksi yang
diperantarai sel CD4 bersifat lambat (delayed), memerlukan waktu 24 sampai 72 jam
untuk terbentuknya. Sel tersebut ditandai dengan pembentukan sitokin pro-inflamatori
yang merangsang fagositosis makrofag dan meningkatkan pembengkakan atau edema.
6. Mekanimse munculnya vesikel dan eritema ?
Mekanisme terbentuknya vesikel karena plasma yang bocor dari pembuluh darah mengisi
ruang epidermis sehingga terjadi penumpukan cairan.
Mekanisme terbentuknya eritema adalah karena terjadi pelebaran pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah ke kulit meningkat sehingga kehilangan panas bertambah
7. Mengapa terjadi gatal dipergelangan tangan setelah memakai jam tangan baru ?
Karena terjadi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, dibuktikan dari paparan jam tangan
mengakibatkan vesikel dan eritemanya mengikuti bentuk jam tangan.
8. Hubungan ibunya asma dengan keluhan pada pasien scenario ?
Karena ibuya memiliki riwayat asma, dimana pada orang asma terjadi peningkatan IgE
atau termasuk reaksi alergi. Maka si anak laki-laki akan memiliki IgE yang tinggi juga, hal
ini akan menyebabkan anaknya juga mengalami reaksi alergi. Bentuk reaksi alerginya
yakni alergi terhadap bahan – bahan tertentu seperti penggunaan jam tangannya pada
scenario.
9. Pemeriksaan penunjang pada scenario ?
1. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit).
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji ditusukkan pada kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap alergen tertentu akan timbul bentol merah gatal.
2. Patch Tes (Tes Tempel).
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru dapat dibaca setelah 48
jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.
3. RAST (Radio Allergo Sorbent Test).
Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4 jam.
4. Skin Test (Tes kulit).
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan. Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes di lapisan bawah kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan timbul bentol, merah, gatal.
5. Tes Provokasi.
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum, makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi bronkial dan tes provokasi makanan sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE spesifik metode RAST.
10.Termasuk reaksi alergi yang mana diskenario dan penatalaksaan kasus pada scenario ?
Pada scenario termasuk alergi atau hipersensitivitas tipe VI dan penatalaksanaannya
adalah menghindari kontak dengan allergen, kemudian diberikan terapi kortikosteroid
sesuai dengan umur dan berat badannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pasien diskenario mengalami gejala hipersensitivitas tipe IV. Ditandai dengan adanya
riwayat ibunya yang asma dengan vesikel dan eritemanya mengikuti bentuk jam tangan
setelah terpajan selama 2 hari. Kemudian dilakukan pemriksaan untuk menegakkan
diagnosis.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. Buku Saku Patofisiologi, Ed. 3. 2007. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Guyton C.A., Hall E.J. 1997. Pengaturan Suhu. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta.
EGC. 1141-1155.
Jawetz E. 2003. Toxin Production. In : Warren L., Ernest J. Medical Microbiology &Immunology. 7th edition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill.
Kirana S., Widjaja T. 2004. Pemeriksaan Keadaan Umum. Dalam : Edhiwan P., J Teguh W.
Buku Panduan Diagnosis Fisik di Klinik. Bandung. Concept Publishers.
Sumarno S.P.S., Herry G., Sri Rezeki S.H. 2002. Demam, Patogenesis dan Pengobatan. BukuAjar Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. IDAI. Edisi 1. Jakarta. BalaiPenerbit FKUI.