laporan untuk presentasi akhir

23
POLA RUANG BERSAMA PADA PERMUKIMAN MADURA MEDALUNGAN DI DUSUN BARAN RANDUGADING A. Sistem Kepercayaaan Menurut Sasongko (2005), kondisi masyarakat di Baran secara umum masih menganut sistem keluarga matrilineal, terutama dalam pewarisan lahan. Namun sebagian juga mengalami perubahan dalam cluster tanean lanjangnya karena ada yang berubah dari sistem matrilineal ke patrilineal atau menjadi neolokal. Selain itu adanya perbedaan mata pencaharian berpengaruh pada penerapan cluster tanean lanjangnya. B. Pola Bermukim Permukiman masyarakat Madura Medalungan telah mengalami perubahan, yaitu dari masyarakat yg memiliki cluster permukiman tanean lanjang yang terpisah seperti di Madura, menjadi sistem kampung yang merupakan asil perpindahan di Jawa (Wulandari & Indeswari, 2010). Pola permukiman masyarakat Madura di Pulau Madura terdapat tiga macam yang pernah ditelaah, antara lain: 1. Tanean Lanjang pada masyarakat petani (Wiryoprawiro, 1986), 2. Pola mengikuti jalan pada masyarakat petani garam (Citrayana, 2008), 3. Kampong Meji pada masyarakat petani (Hastijanti, 2005). Pada masyarakat Madura, tanean merupakan ruang bersama pada masyarakat Madura (Pangarsa & Prijotomo, 2009). Pada

Upload: julio-dejan-da-gomez

Post on 08-Jul-2016

258 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Untuk Presentasi Akhir

POLA RUANG BERSAMA PADA PERMUKIMAN MADURA MEDALUNGAN

DI DUSUN BARAN RANDUGADING

A. Sistem Kepercayaaan

Menurut Sasongko (2005), kondisi masyarakat di Baran secara umum masih

menganut sistem keluarga matrilineal, terutama dalam pewarisan lahan. Namun sebagian

juga mengalami perubahan dalam cluster tanean lanjangnya karena ada yang berubah dari

sistem matrilineal ke patrilineal atau menjadi neolokal. Selain itu adanya perbedaan mata

pencaharian berpengaruh pada penerapan cluster tanean lanjangnya.

B. Pola Bermukim

Permukiman masyarakat Madura Medalungan telah mengalami perubahan, yaitu dari

masyarakat yg memiliki cluster permukiman tanean lanjang yang terpisah seperti di

Madura, menjadi sistem kampung yang merupakan asil perpindahan di Jawa (Wulandari

& Indeswari, 2010). Pola permukiman masyarakat Madura di Pulau Madura terdapat tiga

macam yang pernah ditelaah, antara lain:

1. Tanean Lanjang pada masyarakat petani (Wiryoprawiro, 1986),

2. Pola mengikuti jalan pada masyarakat petani garam (Citrayana, 2008),

3. Kampong Meji pada masyarakat petani (Hastijanti, 2005).

Pada masyarakat Madura, tanean merupakan ruang bersama pada masyarakat Madura

(Pangarsa & Prijotomo, 2009). Pada saat masyarakat Madura merantau, mere0020ka

membawa tradisi berhuni mereka dan mengadaptasi latar lingkungan alam dan

lingkungan budayanya. Pada permukiman Baran di Buring Malang telah diidentifikasi

bahwa pola permukimannya berkelompok dalam satu keluarga (Fathony, 2009). Dari

penelitian yang dilakukan di Baran Ngingit,yang berbatasan pada bagian Utara Baran

Randugading, kurang lebih 82% kelompok permukimannya memiliki tanean (Sasongko,

2005). Kondisi tersebut hampir sama dengan yang terdapat di Baran Randugading.

Dengan adanya adaptasi dengan latar lingkungan dan budaya, permukiman di dusun

Baran Randugading memiliki perbedaan dengan yang ada di Madura. Pengadaptasian

tersebut merupakan suatu usaha keberlanjutan. Begitu pula dalam keberadaan ruang

bersamanya, yang mengalami penyesuaian. Oleh karena itu perlu ditelaah bagaimana pola

pemanfaatan ruang bersama di dusun Baran Randugading.

Page 2: Laporan Untuk Presentasi Akhir

C. Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah kualitatif etnografi. Metode ini

dipilih karena perlu mengetahui latar budaya masyarakat Madura Medalungan di Baran

Randugading. Dengan mengetahui latar budayanya, maka dapat diketahui bagaimana pola

bersosialisasi masyarakat di Baran Randugading, sehingga dapat ditemukan pola ruang

bersamanya. Dari hasil survei awal, ditentukan faktor yang mempengaruhi dan

terpengaruhi dalam pembentukan ruang bersamanya. Faktor yang mempengaruhi atau

faktor sebab yang menyebabkan terbentuknya ruang bersama adalah aktivitas, waktu dan

lokasi. Sedangkan faktor terpengaruhi atau faktor akibat adalah pola ruang bersamanya.

Dari hasil pengamatan awal, diketahui bahwa ruang bersama bukanlah ruang yang statis,

namun dinamis, karena bukan merupakan ruang yang tetap, namun secara umum dapat

terpolakan karena adanya pengulangan aktivitas bersama pada tempat tertentu, pelaku

tertentu, dan dengan skala kegiatan yang tertentu. Sehingga hasil dari pengamatan

terhadap pola pemanfaatan ruang bersama akan berupa pola pemanfaatan ruang bersama

yang berdasarkan skala kegiatan bersamanya. Misalnya kegiatan sehari – hari, dapat

berupa aktivitas bersama antara keluarga atau masyarakat satu tanean, dapat

dikategorikan menjadi ruang bersama mikro. Aktivitas sehari – hari, mingguan atau

bulanan yang melibatkan warga satu tanean atau satu kelompok keluarga, dapat

dikategorikan sebagai ruang bersama skala messo. Sedangkan aktivitas warga satu desa,

dikategorikan sebagai ruang bersama makro.

D. Hasil dan Pembahasan

1. Hasil Pengamatan Aktivitas Rutin Harian

Ruang bersama yang terjadi pada aktivitas rutin harian merupakan penggambaran

budaya masyarakat yang terkait dengan persepsi, norma dan kondisi sosial ekonominya.

Pada aktivitas rutin harian, waktu pengamatan dibagi menjadi tiga , yaitu pagi, siang dan

sore. Pembagian waktu tersebut dan kondisi lokal di setiap lokasi pengamatan

mempengaruhi pola aktivitas bersamanya.

Pada pengamatan saat pagi hari, diketahui bahwa aktivitas bersama yang terjadi tidak

dalam durasi lama, dan lebih banyak dilakukan oleh ibu-ibu dan anak – anak , dengan

skala kegiatan mikro atau messo, yaitu interaksi antara keluarga dan interaksi dengan

warga satu tanean atau satu kelompok keluarga. Lokasi terjadinya aktivitas bersama

Page 3: Laporan Untuk Presentasi Akhir

adalah pada teras rumah dan pelataran, pada gambar ditunjukkan intensitas yang tidak

terlalu banyak dengan adanya warna yang lebih muda.

Pada pengamatan saat siang hari, aktivitas bersama yang terjadi lebih banyak di dalam

rumah, karena merupakan waktu istirahat keluarga. Para bapak bapak pada umumnya

pulang untuk istirahat di rumah pada saat siang hari. Aktivitas bersama di luar ruang

cenderung sedikit, kecuali pada tempat yang memiliki naungan. Pada sore hari, aktivitas

bersama lebih banyak terjadi, dengan skala yang lebih besar, karena telah banyak warga

yang bekerja kembali ke rumah. Pada gambar, ditunjukkan dengan warna yang lebig

tebal, pada bagian teras dan pelataran rumah.

2. Ruang Bersama Makro

Aktivitas bersama rutim mingguan, bulanan dan tahunan cenderung memanfaatkan

ruang dusun Baran Randugading secara makro. Sehingga skala pemetaannya meliputi

seluruh bagian dusun. Aktivitas bersama rutin yang diselenggarakan mingguan yaitu

pengajian untuk perempuan, laki-laki dan anak – anak. Tempatnya bergiliran antar

peserta. Aktivitas bulanan, antara lain Posyandu, arisan PKK dan pertemuan bapak –

bapak. Kegiatan Posyandu letaknya di rumah kepala dusun, kecuali jika ada kegiatan

khusus, akan di selenggarakan di kantor desa. Kegiatan pertemuan bapak – bapak, seperti

halnya kegiatan arisan PKK, dilaksanakan di bergiliran tempatnya. Kegiatan tahunan,

berkaitan dengan hari raya agama Islam. Ruang bersama yang terjadi adalah di area

Masjid, dan ruang bersama saat bersilaturrakhmi, yaitu jalan, pelataran (tanean), teras

(emper) dan ruang depan (balai).

3. Ruang Bersama Mikro

Pola ruang bersama pada tingkat mikro atau hunian pada dasarnya tergantung pada

bentuk denahnya. Namun secara umum terdapat dua macam bentuk dasar denah pada

dusun Baran Randugading, yaitu denah rumah gedhong atau rumah dinding bata, dan

denah rumah gejhug atau rumah asli.

4. Ruang Bersama Meso

Ruang bersama meso merupakan ruang bersama dalam skala satu tanean atau satu

kelompok keluarga. Dalam satu tanean ruang bersama yang sering dipakai antara lain

tanean, teras ruang antar bangunan, area sekitar sumur dan langgar.

Page 4: Laporan Untuk Presentasi Akhir

E. Kesimpulan

1. Ruang bersama pada masyarakat desa, khususnya dusun Baran Randugading,

dipengaruhi kondisi lingkungan: kontur, vegetasi, dan struktur ruang permukiman.

2. Waktu mempengaruhi kecenderungan aktivitas bersama masyarakat, sehingga

berpengaruh pada intensitas penggunaan ruang bersama.

3. Lingkup ruang bersama meliputi skala mikro (hunian), meso (tanean), dan makro

(desa).

4. Ruang bersama meliputi: ruang depan (balai,) dapur, teras (emper,) tanean, jedhing

sumur/tandon, langgar, masjid, jalan, warung/toko, dan tempat kerja. Tanean dan teras

merupakan ruang yang sering dipakai untuk aktivitas bersama.

5. Tanean masih menjadi ruang bersama sebagaimana pada permukiman tradisional

Madura, tetapi makna ruang di tiap bagian struktur tanean berubah.

Page 5: Laporan Untuk Presentasi Akhir

BANGUNAN TRADISIONAL KAMPUNG NAGA: BENTUK KEARIFAN

WARISAN LELUHUR MASYARAKAT SUNDA

A. Sistem Kepercayaan

Kondisi alam Tatar Sunda yang bergunung- gunung dan berbukit-bukit dengan

dataran pantai yang sempit di bagian selatan telah mendidik warganya untuk

memanfaatkan alam dengan seksama, yaitu memanfaatkan dengan tidak merusak. Hal ini

tercermin dalam pikukuh (petunjuk/nasihat leluhur) masyarakat Baduy, salah satu

kelompok masyarakat tradisional Sunda, yaitu: gunung teu meunang dilebur, lebak teu

beunang diruksak, larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunang dirobah, lojor teu

meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, nu lain kudu dilainkeun, nu ulah

kudu diulahkeun, nu enya kudu dienyakeun. Artinya: gunung tidak boleh dihancurkan,

lembah tidak boleh dirusak, larangan tidak boleh dilanggar, buyut tidak boleh diubah,

panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, yang bukan harus dianggap

bukan, yang dilarang harus tetap dilarang, yang benar harus dibenarkan”.1 Pada

masyarakat tradisional Sunda lainnya juga diajarkan prinsip hidup yang selaras dengan

alam melalui berbagai pepatah atau ungkapan di tengah masyarakat berkenaan dengan

kesederhanaan, seperti “Saeutik cukup. Loba nyesa” (Sedikit Cukup, banyak bersisa) atau

”Hirup mah kudu tungkul ka jukut, tanggah ka sadapan” (Hidup harus menunduk ke

rumput, menengadah ke tempat menyadap). Artinya, dalam hidup kita harus melihat

kenyataan, tidak iri dengki terhadap kemajuan atau keberhasilan yang dicapai orang lain.

Melalui ajaran ini diharapkan mereka bisa menerima apa yang menjadi rizkinya, dan

tidak bernafsu untuk memiliki sesuatu yang bukan menjadi miliknya, termasuk upaya

merusak alam hanya demi keuntungan sesaat karena alam adalah titipan yang harus

disampaikan kepada anak cucu kelak di kemudian hari. Kepada mereka juga ditekankan

prinsip hidup teu saba teu soba, teu banda teu boga, teu weduk teu bedas, teu gagah teu

pinter (tidak bepergian tidak berhasil, tidak berharta tidak memiliki apa-apa, tidak kebal

tidak kuat, tidak gagah tidak pandai). Artinya, pada dasarnya manusia itu tidak

mempunyai kelebihan apapun sehingga tidak perlu ada yang disombongkan, sehingga

kesederhanaan dalam hidup menjadi sesuatu yang penting.

Page 6: Laporan Untuk Presentasi Akhir

B. Pola Bermukim

Perkampungan masyarakat Kampung Naga tidak jauh berbeda dengan perkampungan

masyarakat lainnya. Bangunan rumah, bangunan pendukung, dan fasilitas permukiman

lainnya terdapat di Kampung Naga. Sebagai perkampungan masyarakat adat yang masih

memegang teguh tata nilai warisan leluhur menjadikan Kampung Naga berbeda dengan

perkampungan masyarakat lainnya, terutama perkampungan masyarakat modern. Secara

garis besar kawasan Kampung Naga dibagi menjadi tiga, yaitu kawasan hutan, kawasan

permukiman, dan kawasan luar kampung. Kawasan hutan dibagi menjadi dua, yaitu

leuweung karamat (hutan keramat), dan leuweung tutupan (hutan lindung). Keberadaan

hutan-hutan tersebut dijaga secara adat hingga terhindar dari kerusakan. Kawasan

perkampungan masyarakat Kampung Naga, yaitu tempat berdirinya bangunan rumah dan

bangunan pendukung permukiman (masjid, bale patemon (balai pertemuan), leuit

(lumbung kampung), dan rumah benda keramat. Kawasan permukiman dibatasi oleh

pager jaga. Kawasan luar yang merupakan kawasan di luar permukiman, oleh sebagian

peneliti disebut dengan kawasan kotor. Pada bagian ini ditempatkan MCK, saung lisung

(saung lesung), kandang hewan (domba), kolam, dan sawah.

1. Bangunan Rumah

Rumah bagi masyarakat Sunda, termasuk masyarakat Kampung Naga, rumah tidak

sekedar tempat berteduh, melainkan memiliki makna yang lebih luas dari sekedar tempat

tinggal, yaitu sebagai bagian dari konsep kosmologi mereka yang tercermin dalam

penataan pola kampung, bentuk rumah, dan pembagian ruan rumah. Untuk menjaga

keseimbangan hidupnya, mereka percaya bahwa hubungan antara makrokosmos dengan

mikrokosmos harus tetap dijaga agar tetap harmonis.

a) Arsitektur dan denah rumah

Tiang utama bangunan adalah kayu, dinding bangunan berbahan bilik (anyaman

bambu) yang dicat dengan kapur sehingga berwarna putih. Pada bagian depan

terdapat pintu dengan daun pintu berbahan kayu, jendela kaca tanpa daun jendela.

Untuk memudahkan masuk ke rumah, baik ke ruang tamu atau dapur, di bagian depan

dipasang papan kayu menyerupai tangga yang disebut Golodog. Golodog biasanya

terdiri dari satu atau dua tahapan dengan panjang masing- masing dua sampai tiga

meter dan lebar 30 cm. Golodog tidak hanya berfungsi sebagai tangga masuk rumah,

Page 7: Laporan Untuk Presentasi Akhir

namun juga berfungsi sebagai tempat duduk-duduk santai untuk berangin- angin

dengan kata lain Golodog mempunyai fungsi untuk bersosialisasi atau bertetangga.

b) Pembagian Ruang secara Vertikal

Tidak berbeda dengan pembangunan rumah secara horizontal, secara vertikal

bangunan di Kampung Naga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kolong (bagian bawah),

palupuh (lantai), dan lalangit/para (langit-langit).

c) Pembagian ruang bagian dalam rumah

Rumah dalam pandangan masyarakat Kampung Naga ditata berdasarkan kategori

jenis kelamin dan perannya dalam keluarga. Ruang bagian depan (tepas) disebut juga

ruang laki-laki, ruang belakang, yaitu pawon (dapur)dan Goah merupakan ruang

perempuan, sedangkan ruang bersama bagi semua anggota keluarga adalah tengah

imah (ruang tengah)

2. Bangunan bumi Ageung

Bumi Ageung merupakan bangunan rumah yang secara bentuk dan arsitektur

bangunannya tidak jauh berbeda dengan bangunan rumah lainnya. Perbedaannya adalah

pada bahan bangunan yang digunakan, yaitu dindingnya menggunakan bilik anyaman

sasag dan tidak memiliki jendela. Fungsi bangunan ini adalah tempat menyimpan benda-

benda pusaka warisan leluhur. Sebagai tempat sakral, tidak semua orang bisa memasuki

Bumi Ageung hanya mereka yang mendapat izin kuncen yang bisa masuk. Saat ini

bangunan ini dipelihara dan dijaga oleh Punduh Kampung Naga, yaitu Bapak Ma’un.

Sebelumnya, bangunan ini dipelihara kebersihannya dan dijaga oleh dua orang

perempuan yang sudah tidak haidh lagi (Monopause).

3. Bangunan Selain Rumah

Bangunan lainnya yang terdapat di Kampung Naga, adalah bangunan bukan rumah.

Bangunan-bangunan tersebut dibangun sebagai fasilitas sosial dan fasilitas umum, yaitu

Bale Patemon (Balai Pertemuan), Masjid, Leuit Kampung (lumbung padi milik

kampung).

a) Bale Patemon (Balai Pertemuan)

Page 8: Laporan Untuk Presentasi Akhir

Bale Patemon (Balai Pertemuan) merupakan bangunan yang berfungsi sebagai

tempat berkumpulnya masyarakat Kampung Naga untuk bermusyawarah berbagai

permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Bangunan ini juga berfungsi sebagai

tempat menerima tamu, terutama tamu yang jumlahnya banyak/ rombongan.

b) Masjid Kampung Naga

Layaknya masjid lainnya di kampung- kampung masyarakat Muslim, bangunan

masjid Kampung Naga berfungsi sebagai tempat beribadah. Setiap waktu shalat,

petugas masjid (merbot) akan memukul kentongan dan bedug yang terpasang di

depan masjid.

c) Leuit (Lumbung Padi) Kampung Naga

Leuit atau Lumbung Padi memiliki fungsi sebagai tempat menyimpan padi milik

adat. Padi ini diperoleh dari iuran warga Kampung Naga ketika panen di mana mereka

menyerahkan sebagian hasil panennya untuk kepentingan umum atau kepentingan

adat. Menurut Munir (warga Kampung Naga), “Banyaknya padi yang disetorkan

warga untuk Leuit kampung tidak sama, tergantung pada keikhlasan masing- masing.

Hal ini dikarenakan tidak ada ketentuan/ aturan adat yang mengatur banyaknya padi

yang harus diserahkan warga.

4. Bangunan di Luar Kampung

Bangunan di Kampung Naga tidak hanya di dalam kampung namun juga dibangun di

luar kampung (di luar pager jaga). Bangunan yang dimaksud adalah saung lisung (saung

lesung), pancuran (MCK), dan kandang domba. Semua bangunan tersebut dibangun di

atas kolam yang merupakan penampung air limpasan dan tempat memelihara ikan. Saung

lisung (saung lesung) merupakan tempat menumbuk padi kaum ibu di Kampung Naga

untuk memenuhi kebutuhan akan beras. Bangunannya merupakan bangunan panggung,

tidak memiliki dinding. Bahan bangunan yang dipergunakan adalah kayu untuk tiang

utama, dan atapnya ditutup oleh ijuk. Lantainya berupa papan yang disusun sedemikian

rupa hingga membentuk lantai. Di lantai itulah diletakkan lisung panjang (lesung

panjang) dengan halu (alu) untuk menumbuk padi.

Page 9: Laporan Untuk Presentasi Akhir

IDENTIFIKASI POLA PERMUKIMAN TRADISIONAL DI KAMPUNG

HOLOGOLIK DISTRIK ASOTIPO WAMENA, KABUPATEN JAYAWIJAYA,

PROPINSI PAPUA

A. Gambaran Umum

Kampung Hologolik memiliki 2 RW dan 8 RT dengan jumlah rumah tangga 20 KK

dan total penduduk 158 jiwa pada tahun 2011, dapat dilihat pada Tabel 1 dan jumlah

penduduk berdasarkan tingkat pendidikan pada Tabel 2 serta jumlah penduduk

berdasarkan mata pencaharian pada Tabel 3. Jumlah penduduk ini tidak semuanya tinggal

di Kampung Hologolik, tetapi ada yang pergi ke kota karena pendidikan, kerja dan karena

alasan lainnya. Namun, mereka sering pulang ke Kampung Hologolik ketika libur atau

hari-hari raya.

B. Pola Bermukim

1. Pola ruang publik

Ruang publik di Kampung Hologolik digunakan sebagai tempat menerima tamu,

tempat menyelesaikan konflik antar kampung dan memasak makanan secara tradisional

(bakar batu) dalam rangka upacara-upacara adat seperti upacara panen raya, upacara

penjemputan mempelai wanita dari pihak keluarga laki-laki dan upacara-upacara besar

lainnya. Jadi dengan kata lain, ruang terbuka publik sebagai tempat berinteraksi antara

masyarakat Kampung Hologolik dengan masyarakat kampung lain termasuk Pemerintah.

Hasil penelitian di atas sangat erat kaitanya dengan pengertian ruang publik menurut

Whyte (dalam Carmona. 2003), bahwa ruang publik adalah ruang dalam suatu kawasan

yang dipakai masyarakat penghuninya untuk melakukan kegiatan kontak publik. Lebih

lanjut Whyte dalam Carmona berpendapat bahwa ruang publik yang bisa berfungsi

optimal untuk kegiatan publik bagi komunitasnya, biasanya mempunyai ciri-ciri antara

lain: merupakan lokasi yang strategis (sibuk), mempunyai akses yang bagus secara visual

dan fisik, ruang yang merupakan bagian dari suatu jalan (jalur sirkulasi).

2. Pola ruang semi publik

Ruang semi publik di Kampung Hologolik digunakan sebagai tempat berinteraksi

antar masyarakat sesama Kampung Hologolik, seperti upacara perkawinan sesama warga

Kampung Hologolik, acara kedukaan. Hasil penelitian di atas sama dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Priyatmono (2004) di Kampung Laweyan Surakarta,

Page 10: Laporan Untuk Presentasi Akhir

bahwa masyarakat Laweyan menggunakan ruang semi publik sebagai area perkawinan

antar saudara. Perkawinan antar keluarga menyebabkan terwujudnya keluarga besar.

Keluarga besar hidupnya mengelompok dalam suatu blok kompleks.

C. Elemen-elemen Pembentuk Pola Pemukiman Tradisional

1. Elemen lunak (softscape)

Tanaman pekarangan rumah yang terdapat di kawasan Kampung Hologolik adalah

tanaman produksi, tetapi ada juga beberapa pemilik rumah yang menanam tanaman hias.

Bagi masyarakat Kampung Hologolik tanaman hias tidak begitu penting karena

masyarakat berpikir tanaman hias tidak dapat memberikan hasil, sehingga masyarakat

lebih memilih menanam tanaman yang memberikan hasil kepada mereka. Semua tanaman

yang terdapat di Kampung Hologolik tidak ada landasan filosofi tertentu dan tidak ada

aturan untuk pola penempatan tanaman. Hasil penelitian di Kampung Hologolik sangat

berbeda dengan Konsep Pertamanan Bali menurut Prajoko (2010), bahwa pertamanan

bukan saja melibatkan arsitektural, fungsional, estetika, akan tetapi juga melibatkan

filosofi budaya Bali di setiap penempatan komponen pertamanannya, sehingga terpola

sedemikian rupa, baku dan khas untuk setiap komponen yang ada. Pertamanan Bali atau

Pertamanan Tradisional Bali mempunyai filosofi yang sangat tinggi, sehingga dimuat di

berbagai lontar dan kitab suci. Namun, hasil penelitian di Kampung Hologolik didukung

oleh pendapat Setiawan (2000), bahwa pemilihan tanaman didasarkan atas keinginan

individu untuk menciptakan keselarasan baik secara fungsi maupun mewujudkan tujuan

tertentu dan tidak memiliki ketentuan khusus dalam penempatan tanaman.

2. Elemen keras (hardscape)

a) Pagar

Ada dua macam pagar di kawasan pemukiman Kampung Hologolik yaitu pagar

kayu (o leget) dan pagar batu (helep leget). Pagar kayu digunakan untuk memagari

rumah, sedangkan pagar batu digunakan untuk memagari kebun. Bahan yang

digunakan masyarakat Kampung Hologolik untuk pagar adalah bahan yang ada di

sekitar pemukiman, sehingga dibuat seadanya sesuai keadaan dan kondisi. Hasil

penelitian di atas sangat berbeda dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Putra

(2011) dalam skripsinya, bahwa bagian pagar dibuat dari penanaman tanaman yang

difungsikan sebagai pagar rumah tinggal dan pembatas pekarangan milik warga yaitu

Page 11: Laporan Untuk Presentasi Akhir

menggunakan tanaman kedondong (Spondias dulcis) ditanam memanjang, rapat dan

antar tanaman diikat dengan potongan bambu membentuk pagar.

b) Jalan setapak

Jalan yang menghubungkan satu kelompok rumah dengan kelompok rumah lain

masih bersifat tradisional yaitu jalan setapak dari tanah. Masyarakat Kampung

Hologolik tidak terlalu peduli dengan jalan setapak yang sering becek ketika hujan.

Mereka bukannya tidak bisa memiliki alas kaki (sendal) untuk dipakai, tetapi mereka

beranggapan, bahwa alas kaki (sendal) hanya akan menghambat mereka ketika

berjalan, apalagi ketika mereka melakukan perjalanan yang jauh dari Kampung

Hologolik. Selain itu, dipengaruhi juga oleh lingkungan setempat dan sudah menjadi

kebiasaan sejak nenek moyang mereka. Bagi masyarakat yang penting ada jalan

setapak yang menghubungkan satu kelompok rumah dengan kelompok rumah lain.

Jalan setapak di Kampung Hologolik sangat berbeda dengan jalan setapak pada

umumnya seperti yang dikemukakan oleh Yoga, dari arsitek lanskap Universitas

Indonesia, bahwa jalan setapak pada umumnya menggunakan bahan bebatuan seperti

batu kali, kerikil. Bentuk jalan setapak berupa persegi, oval, persegi panjang.

c) Arsitektur rumah tradisional

Ditinjau dari segi arsitektur, rumah tinggal di Kampung Hologolik mempunyai

keunikan tersendiri yang hingga sekarang masih dipertahankan oleh masyarakat

dengan setia, meskipun tidak ada aturan tertulis untuk bentuk arsitektur rumah tinggal

dan orientasi bangunan. Hasil penelitian di atas sangat berbeda dengan rumah tinggal

tradisional di daerah lain seperti Bali yang aturan pembangunan rumah sudah diatur

secara baku. Dalam buku Asta kosala kosali dan buku Cakepan Asta Kosala- Kosali

Ian Asta Bhumi mengatur tentang panjang, lebar, tinggi, jarak bangunan, orientasi

bangunan dan pola penempatan bangunan menurut fungsi serta pola penempatan

tanaman, sehingga semua elemen yang terdapat di suatu pekarangan rumah tradisional

Bali mempunyai fungsi dan manfaat masing-masing (Suastika, dkk. 2007 dan

Pulasari, dkk. 2008).

Page 12: Laporan Untuk Presentasi Akhir

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Pemukiman Kampung Hologolik

1. Kultur penduduk

Kampung Hologolik menganut prinsip poligami yang membuat seorang laki- laki

akan membangun rumah saling berdekatan dan berhadapan satu rumah dengan rumah lain

sesuai jumlah istri, hal ini dilakukan guna mempermudah pengawasan terhadap istri-

istrinya. Prinsip poligami ini sangat berpengaruh terhadap pembentukan pola pemukiman

Kampung Hologolik. Prinsip poligami yang dianut masyarakat Kampung Hologolik

sangat bertentangan dengan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai

perkawinan yaitu UU Nomor 1 Tahun 1974, PP Nomor 9 Tahun 1975, memperbolehkan

poligami asalkan syarat-syarat tertentu dipenuhi (Budiarti. 2006). Seorang pria dapat

diberikan ijin untuk menikah lagi jika salah satu dari syarat dipenuhi (Pasal 4:2):

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Semua syarat yang diatur dalam UU di atas tidak berlaku di Kampung Hologolik,

tetapi sebaliknya apabila seorang suami akan mengambil istri kedua atau ketiga dan

seterusnya tanpa mendapat persetujuan dari istri sebelumnya, atau tanpa membuat

jaminan bahwa akan berlaku adil terhadap semua istrinya. Berdasarkan Tabel 2, tingkat

pendidikan kaum wanita di Kampung Hologolik masih sangat rendah (67%) tidak

sekolah, sehingga mendukung prinsip poligami berjalan tidak sesuai dengan undang-

undang yang berlaku dan juga kaum wanita tidak dapat menuntut hak mereka, sehingga di

Kampung Hologolik masih belum terlihat persamaan gender.

2. Keadaan iklim

Kampung Hologolik berada di hamparan Lembah Baliem yang terbentang pada

ketinggian 1500-2000 m di atas permukaan laut dan tingkat kelembaban di atas 80 %.

Beriklim tropis basah dengan suhu udara berkisar antara 25°C hingga 30°C. Namun,

menjelang sore dan malam hari suhu udara dibawah dari 25°C, sehingga suhu udara di

Kampung Hologolik terasa sangat dingin. Selain suhu udara di atas, Kota Wamena

khususnya Kampung Hologolik dipengaruhi oleh angin Kurima yang bertiup dari arah

selatan ke utara, sehingga mengakibatkan udara pada sore dan malam hari sangat dingin.

Iklim yang sangat dingin ini mengakibatkan masyarakat membentuk pola pemukiman

Page 13: Laporan Untuk Presentasi Akhir

secara mengelompok dengan pola penempatan rumah yang diatur sedemikian rupa.

Bentuk arsitektur rumah tradisionalpun dipengaruhi oleh keadaan iklim Wamena

khususnya Kampung Hologolik rumah dengan atap berbentuk kerucut (miring) yang

ditutupi dengan alang-alang tebal tanpa jendela dan hanya memiliki satu pintu untuk

keluar masuk. Hasil penelitian ini didukung oleh teori Ellsworth Huntington yang

menyatakan, bahwa pengaruh iklim terhadap kehidupan sangat besar. Namun, hal ini

bukan menandakan bahwa iklim mendominasi produktivitas kegiatan manusia. Teori

tentang Deterministik Lingkungan (environmental determinism) merupakan pandangan

yang sangat sederhana. Manusia tidak bisa mengubah iklim, tetapi pada zaman teknologi

yang maju ini, dengan akal dan pikirannya manusia sudah mampu mengatasi kondisi

iklim, meskipun dalam lingkup yang terbatas. (Anonim. 2007. Pengaruh Cuaca dan Iklim

terhadap Kehidupan).

3. Sosial budaya

Rumah tinggal masyarakat Kampung Hologolik, walaupun jarak antara satu

kelompok dengan kelompok lain sekitar 10-15 meter, tetapi masyarakat Kampung

Hologolik hidup berdampingan satu sama lain secara damai. Masyarakat Kampung

Hologolik hidup saling bergotong royong dalam hal apapun. Selain itu, masyarakat

Kampung Hologolik sangat patuh terhadap aturan-aturan yang dikeluarkan oleh kepala

suku walaupun aturan-aturan itu secara lisan (tidak tertulis), tetapi aturan- aturan itu

sudah tersirat dalam benak setiap warga masyarakat Kampung Hologolik. Hasil penelitian

di atas didukung oleh pendapat yang dikemukakan oleh Tumanggor, dkk. (2010), bahwa

kebudayaan merupakan suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki oleh

suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi

masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di

tempat mereka berada.

Page 14: Laporan Untuk Presentasi Akhir

POLA PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN DESA TENGANAN BALI

A. Sistem Kepercayaan

Pola kehidupan masyarakatnya mencerminkan kebudayaan dan adat istiadat desa Bali

Aga (pra Hindu) yang berbeda dari desa-desa lain di Bali. Karenanya Desa Tenganan

dikembangkan sebagai salah satu obyek dan daya tarik wisata budaya.

B. Gambaran Umum

Lokasi Desa Tenganan Pegeringsingan terletak di Kecamatan Manggis, sekitar 17 km

jaraknya dari Kota Amlapura (ibukota kabupaten Karangasem), 5km dari kawasan

pariwisata Candidasa, dan sekitar 65 km dari Kota Denpasar (ibukota provinsi Bali).

Tenganan adalah desa yang mempunyai keunikan sendiri diBali, desa yang terletak cukup

terpencil dan terletak di Kabupaten Karangasem. Untuk mencapai desa ini melalui jalan

darat dan berjarak sekitar 60km dari pusat kota Denpasar, Bali. Desa ini sangatlah

tradisional karena dapat bertahan dari arus perubahan jaman yang sangat cepat dari

teknologi. Walaupun sarana dan prasarana seperti listrik dll masuk ke Desa Tenganan ini,

tetapi rumah dan adat tetap dipertahankan seperti aslinya yang tetap eksotik. Ini

dikarenakan Masyarakat Tenganan mempunyai peraturan adat desa yang sangat kuat,

yang mereka sebut dengan awig-awig yang sudah mereka tulis sejak abad 11 dan sudah

diperbaharui pada Tahun 1842. Desa tenganan mempunyai luas area sekitar 1.500 hektar.

Desa Tenganan berdiri kokoh tidak peduli dengan perubahan jaman dengan tetap

bertahan dengan tiga balai desanya yang kusam dan rumah adat yang berderet yang sama

persis satu dengan lainnya.

C. Pola Bermukim

1. Pola Pemukiman Desa Tenganan

Secara umum pola desa Tenganan merupakan sistem core yang membujur dari utara

ke selatan (Gambar 2). Terdiri atas tiga bagian, yaitu: banjar Kauh, banjar Tengah dan

banjar Pande. Banjar Kauh terletak pada core yang paling barat, sekaligus merupakan

core utama. Perumahan di banjar Kauh terletak berderet mengapit dan menghadap core

utama. Banjar Tengah dengan beberapa bangunan pada corenya terletak di sebelah Timur

dari banjar Kauh. Banjar Tengah

Page 15: Laporan Untuk Presentasi Akhir

dengan beberapa bangunan pada corenya terletak di sebelah timur dari banjar Kauh.

Perumahannya berderet di kiri kanan core tengah. Banjar Pande ada pada core yang

paling timur, dengan perumahan yang ada 2 deret pula menghadap dan mengapit core dari

utara ke selatan. Pada core terdapat beberapa bangunan fasilitas umum untuk keperluan

kegiatan masyarakat di Banjar Pande. Secara keseluruhan bentuk pola pemukimanya

adalah sistem core, di mana fasilitas umum diapit oleh persil- persil perumahan

penduduk. Persil-persil ini terletak di sebelah kiri dan kanan berderet sepanjang utara

sampai selatan sampai berakhir di batas lawang atau pintu gerbang desa.

2. Pola Perumahan Penduduk Desa Tenganan

Rumah dalam arsitektur tradisional Bali, adalah satu kompleks rumah yang terdiri dari

beberapa bangunan, dikelilingi oleh tembok yang disebut tembok penyengker (Gambar

4). Perumahan adalah kumpulan beberapa rumah di dalam kesatuan wilayah yang disebut

banjar adat atau desa adat, juga merupakan kesatuan keagamaan dengan pura kayangan

tiga yakni; pura desa, pura puseh, pura dalem (Dewa Nyoman Wastika 2005). Desa

Tenganan memunyai susunan pemukiman yang merupakan pola kompleks yang

terkurung (terbentengi oleh beton), dengan masing-masing memiliki satu pintu

keluar/masuk pada masing-masing pekarangan untuk setiap posisi mata angin Manusia

Bali dan alam semesta adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, begitu pula dengan

arsitekturnya. Manusia Bali tradisional tinggal di sebuah perkampungan yang ditata

dengan pola-pola tertentu mengikuti kaidah-kaidah tertentu yang mengacu pada alam

semesta, yaitu kaidah arah angin Kaja-Kelod, Kauh-Kangin. Dan kaidah sumbu Utama

Gunung Agung yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan leluhur suci

mereka.