laporan praktikum ternak perah tingkah laku malam (fix)
DESCRIPTION
laporan praktikum ilmu ternak perahTRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM
ILMU TERNAK PERAH
TINGKAH LAKU SAPI PERAH (MALAM)
Disusun oleh :
Kelompok 7
Pradipta Bayuaji Pramono PT/05861
Yudistira Soeherman PT/05817
Ayu Eka Putri PT/05873
Fatih Akbar Imara PT/05937
Sahnita Regina Ginting PT/05852
Puput Rahayu PT05877
Alfian Dukhan PT/05809
Muhammad Wahyu Rizki PT/05869
Asisten : Maurinda Safitri
LABORATORIUM ILMU TERNAK PERAH DAN INDUSTRI PERSUSUANFAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA2011
BAB I
PENDAHULUAN
Sapi perah sebagai ternak ruminansia mempunyai keunggulan-
keunggulan karena kemampuannya memanfaatkan bahan-bahan yang
tidak bersaing dengan kekuatan manusia menjadi bahan yang
mengandung energi yang berprotein tinggi. Oleh karena itu, untuk
mewujudkan sapi perah sebagai penyedia hewani, maka harus dilakukan
penanganan yang serius, sehingga perlu menajemen secara lengkap dan
benar. Domestikasi sapi dan penggunaan susunya untuk konsumsi
manusia di Asia dan Afrika Timur sudah dimulai sejak 8.000 sampai 6.000
SM. Sebelum sapi dijinakkan, mungkin dengan jalan diburu oleh orang-
orang primitif. Telah bertahun-tahun sapi digunakan ternak beban dan
sebagai sumber makanan, untuk upacara agama, upacara korban,
kosmetik dan obat-obatan. Orang-orang India menernakkan sapi sekitar
2.000 SM, menteganya digunakan sebagai bahan makanan, bahan
upacara-upacara korban dan sebagai bahan persembahan pada
Tuhannya.
Pengembangan sapi perah pada dasarnya bertujuan untuk
meningkatkan produksi susu dalam negeri yang hingga dewasa ini masih
rendah. Menurut catatan sepanjang 5 tahun terakhir ini pasokan susu dari
peternak tidak lebih dari seperti kebutuhan Industri Pengolahan Susu
(IPS). Pengembangan usaha peternakan sapi perah di Indonesia saat ini
diharapkan semakin baik seiring dengan pertambahan jumlah penduduk,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan taraf hidup
masyarakat, serta kesadaran pentingnya mengkonsumsi protein hewani.
Berdasarkan data statistik, kesadaran akan arti pentingnya gizi terutama
dari protein hewani dan khususnya susu cenderung meningkat seiring
dengan meningkatnya pendidikan masyarakat. Kecenderungan ini sangat
terlihat dari tingkat permintaan susu nasional pada tahun 1998 adalah
657,60 ribu ton, tahun 1999 adalah 1050,60 ribu ton, dan tahun 2000
adalah 1.206,78 ton ribu (angka sementara), sedang produksi susu
nasional pada tahun 1998 adalah 375,4 ribu ton, tahun 1999 adalah
436,00 ribu ton dan pada tahun 2000 adalah 497,86 ribu ton (angka
sementara).
Perkembangan dan pengembangan ternak perah di negara
berkembang seperti Indonesia tergolong belum maju dan susu merupakan
makanan atau minuman yang dianggap mewah. Produktivitas sapi perah
ditentukan antara lain oleh mutu genetik, manajemen atau pengelolaan.
Masalah dalam penyediaan protein hewani Indonesia adalah cepatnya
pertumbuhan penduduk. Hal ini mengakibatkan tanah-tanah perrtanian
yang semakin sempit. Masalah lainnya adalah kondisi iklim dan pakan
yang kurang menunjang produksi ternak terutama pada musim kemarau.
Tujuan dari praktikum Ilmu Ternak Perah acara tingkah laku siang adalah
untuk mengetahui tingkah laku sapi perah pada siang hari. Mulai dari
temperatur rektal, frekuensi respirasi, frekuensi pulsus, kondisi
lingkungan, frekuensi minum, frekuensi urinasi, frekuensi defekasi, lama
berbaring, konsumsi pakan, lama makan, lama remastikasi dan kunyahan
per bolus.
BAB II
KEGIATAN PRAKTIKUM
Kegiatan praktikum Ilmu Ternak Perah dilakukan di kandang UPT
Ternak Perah Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Praktikum
yang dilakukan adalah Pengamatan Tingkah Laku Siang yang
dilaksanakan pada hari Minggu, 31 Oktober 2011 pukul 17.30 sampai
06.00 WIB.
Pengukuran Data Fisiologis dan Lingkungan
Pengukuran data fisiologis
Frekuensi pulsus. Salah satu data fisiologis yang digunakan
adalah pulsus. Pengukuran pulsus dilakukan dengan cara diraba pada
pangkal ekor sapi dipegang sampai terasa denyut arteri caudalis. Setelah
terasa denyut arteri caudalis, dilakukan penghitungan denyut yang terasa
selama satu menit dan diulang dengan cara yang sama sebanyak 3 kali,
kemudian dicatat dan hasilnya dirata-rata. Pengukuran pulsus dilakukan
pada jam-jam yang telah ditentukan sebelumnya.
Frekuensi respirasi. Pengukuran respirasi dilakukan dengan cara
punggung telapak tangan didekatkan pada hidung sapi untuk mengetahui
frekuensi respirasi. Selain menggunakan punggung telapak tangan,
pengukuran dapat dilakukan dengan cara melihat kembang kempis perut
sebelah kanan pada sapi. Pengukuran itu diakukan selama satu menit dan
diulang dengan cara yang sama sebanyak 3 kali, kemudian hasilnya
dicatat dan dirata-rata. Pengukuran frekuensi respirasi dilakukan pada
jam-jam yang telah ditentukan sebelumnya.
Temperatur rektal. Temperatur rektal adalah mengukur temperatur
atau suhu tubuh ternak. Pengukuran temperatur rektal dilakukan dengan
cara memasukkan termometer pada bagian rektum sapi. Sebelum
termometer dimasukkan ke dalam rektum hewan ternak, termometer
harus menunjukan pada skala 0oC. Termometer dimasukkan ke dalam
rektum sapi kira-kira sepertiga bagian dari termometer kemudian diukur
selama satu menit dan dilakukan sebanyak 3 kali kemudian hasilnya
dicatat dan dirata-rata. Pengukuran dilakukan selama masa praktikum
pada jam-jam yang telah ditentukan sebelumnya.
Pengamatan lingkungan
Kelembaban relatif. Kelembaban relatif mempengaruhi fisiologis
tubuh ternak. Pengukuran kelembaban dilakukan dengan alat
termohigrometer yang diukur dan dicatat hasilnya. Pengukuran
kelembapan relatif dilakukan pada jam-jam yang telah ditentukan
sebelumnya.
Suhu lingkungan. Temperatur lingkungan sangat berpengaruh
terhadap kondisi fisiologis tubuh ternak. Suhu lingkungan sangat
berpengaruh terhadap kelembaban lingkungan. Pengukuran temperatur
lingkungan dilakukan pada jam-jam yang telah ditentukan sebelumnya.
Pengamatan Tingkah Laku dan Makan
Pengamatan tingkah laku
Frekuensi minum. Pengamatan minum sapi perah dilakukan
dengan cara mengukur volume awal air yang tersedia dikurangi volume air
minum yang tersisa ditempat minumnya setelah sapi tersebut minum.
Pengukuran volume air awal ialah dengan mengalikan panjang, lebar, dan
tinggi air ditempat minum. Sedangkan pengukuran volume setelah sapi
minum ialah dengan mengalikan panjang, lebar, dan tinggi sisa air minum
setelah sapi minum.
Frekuensi urinasi. Air yang dikonsumsi tiap hari jumlahnya
seimbang dengan yang dikeluarkan tiap hari. Pengamatan urinasi yang
dilakukan meliputi frekuensi urinasi selama 24 jam, dan volume urin setiap
sapi melakukan urinasi.
Frekuensi defekasi. Defekasi adalah pengeluaran feses.
Pengamatan defekasi yang dilakukan adalah pengamatan frekuensi
defekasi yang terjadi selam 12 jam dan penimbangan berat feses yang
keluar.
Lama tiduran. Lama waktu tiduran seekor sapi mulai dihitung saat
sapi mulai berbaring dan berakhir saat sapi tersebut berdiri. Pengamatan
lama waktu berbaring dilakukan pada pukul 18.00 sore sampai 06.00 pagi.
Pengamatan makan
Pemberian pakan. Praktikum dilakukan dengan mengamati jenis
pakan yang diberikan, jumlah dan waktu pemberiannya. Pakan yang akan
diberikan ditimbang terlebih dahulu dengan menggunakan timbangan.
Konsumsi pakan. Pakan merupakan komponen yang sangat
penting bagi ternak. Praktikum dilakukan dengan pengamatan pada
jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Pengamatan makan
dilakukan dari pukul 18.00 hingga pukul 06.00 pagi. Jumlah pakan yang
diberikan dikurangi yang tersisa sehingga diperoleh jumlah konsumsi
pakan.
Lama makan. Pengamatan lama makan sapi dilakukan tiap sapi
tersebut memakan pakan yang diberikan, mulai dari pengambilan pakan
hingga sapi tersebut berhenti makan. Setelah itu dilihat adakah pakan
yang tersisa. Apabila ada pakan yang tersisa, pakan tersebut kemudian
ditimbang.
Lama remastikasi. Pengamatan remastikasi dilakukan tiap jam
selama 12 jam praktikum. Pengamatan yang dilakukan adalah
menghitung lamanya sapi tersebut melakukan remastikasi dari awal
hingga berhenti lalu dirata-rata berapa kali pengunyahan untuk setiap
bolusnya.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
PENGAMATAN TINGKAH LAKU MALAM SAPI PERAH
Pengukuran Data Fisiologis dan Lingkungan Sapi Perah
Pengukuran data fisiologis
Pengukuran temperatur rektal. Berdasarkan praktikum yang
telah dilaksanakan, temperatur rektal sapi perah yang didapatkan adalah
sebagai berikut :
Tabel 1. Pengukuran temperatur rektal sapi perah
PukulTemperatur rektal (0C)
D02 UUB F03 F0518.00 38,4 37,8 38,4 38,9720.00 37,9 38,1 37,6 38,37
22.00 38,3 37,3 38,7 37,9324.00 36,6 38,1 38,2 38,0301.00 37,3 38,1 38,4 37,8702.00 37,7 37,6 37,9 38,1704.00 38,3 37,4 37,4 37,5306.00 37,7 37,5 37,76 38,17
Rata-rata 37,73 38,03 37,93 38,47
Berdasarkan data pengukuran temperatur rektal pada praktikum
diperoleh rata-rata temperatur rektal pada sapi laktasi F03 dan F05
masing-masing sebesar 37,93˚C dan 38,47˚C sedangkan pada sapi dara
D02 dan UUB masing-masing sebesar 37,73˚C dan 38,03˚C. Menurut
Frandson (1992), kisaran normal temperatur rektal sapi 36,7˚C sampai
39,1˚C. Hasil tersebut menunjukkan temperatur rektal pada keempat sapi
yaitu sapi D02, sapi UUB, sapi F03 dan sapi F05 dalam keadaan normal.
Menurut Dukes (1995), sapi–sapi yang sedang bekerja, sapi yang tiduran
pada malam hari suhu tubuhnya relatif tinggi. Temperatur rektal
dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, aktivitas, pakan, minuman dan
pencernaan produksi panas oleh tubuh secara tidak langsung.
Pengukuran frekuensi respirasi. rekuensi pernafasan bervariasi,
tergantung dari jenis sapi dan umurnya. Pernafasan yang normal yaitu
suara nafas halus, teratur dan tidak tersengal-sengal (Akoso, 1996).
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, frekuansi respirasi yang
didapatkan adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Pengukuran frekuensi respirasi
WaktuFrekuensi respirasi
D02 UUB F03 F0518.00 18 43 29,6 60,3320.00 23,3 26,3 36 49,3322.00 30,6 31,3 29,6 37,6724.00 20 24 28 4201.00 28,3 42,3 28,6 3902.00 31,7 20,7 40,3 3704.00 42,3 32 23 26,3306.00 36,7 21 25 27,67
Rata-rata 33,4 26,7 28,9 41,65
Berdasarkan data pengukuran frekuensi respirasi pada praktikum
diperoleh rata-rata frekuensi respirasi pada sapi laktasi F03 dan F05
masing-masing sebanyak 28,9 kali/menit dan 41,65 kali/menit sedangkan
pada sapi dara D02 dan UUB masing-masing sebanyak 33,4 kali/menit
dan 26,7 kali/menit. Menurut pendapat Akoso (2008), bahwa frekuensi
pernafasan setiap menit untuk jenis hewan tidak sama. Pada sapi dewasa
berkisar antara 12 sampai 16 kali/menit, sedangkan pada sapi muda
antara 27 sampai 37 kali/menit. Menurut Frandson (1992), frekuensi
pernafasan yang normal pada sapi berkisar antara 24 sampai 43
kali/menit. Frekuensi pernafasan rata–rata keempat sapi tersebut masih
berada pada batas normal. Sapi menyesuaikan panas tubuh terhadap
lingkungannya dengan lebih banyak berbaring.
Peningkatan frekuensi nafas sangat efisien untuk membuang
panas tubuh yang terlalu tinggi. Tingginya frekuensi nafas sangat
berkaitan dengan pola makan dan ruminasi yang berakibat pada turunnya
efisiensi penampilan produksi (Frandson, 1992). Menurut Dukes (1995),
faktor–faktor yang mempengaruhi respirasi adalah ukuran tubuh, umur,
aktivitas, temperatur lingkungan, kebuntingan, dan kondisi patologis.
Pengukuran frekuensi pulsus. Tujuan dari pengukuran frekuensi
pulsus sapi perah adalah untuk mengetahui kisaran normal denyut jantung
sapi perah yang diamati. Ada pun hasil pengamatan frekuensi pulsus sapi
perah adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Pengukuran frekuensi pulsus sapi perah
WaktuFisiologis pulsus
DO2 UUB F03 F0518.00 74 49,3 57,6 57,3320.00 73,3 67,7 56,6 60,3322.00 70 77,7 55,3 5924.00 63 59,7 54 52,6701.00 68,3 64 59,3 59,6702.00 64,7 59,7 51,6 53,6704.00 56,3 60,7 52 5106.00 69,3 58,7 50,6 56,33
Rata-rata 66,9 67,7 54,6 56,69
Berdasarkan data pengukuran frekuensi pulsus pada praktikum
diperoleh rata-rata frekuensi pulsus pada sapi perah kode D02 dan sapi
perah kode UUB yaitu 66,9 kali/menit dan 67,7 kali/menit sedangkan
pada sapi perah kode F03 dan sapi perah kode F.05 yaitu 54,6 kali per
menit dan 56,69 kali per menit. Frekuensi pulsus sapi perah kode D02,
UUB, F03, dan F05 adalah normal karena sudah sesuai dengan teori
Frandson (1992), yang menyatakan frekuensi pulsus pada sapi dewasa
berkisar antara 55 sampai 80 kali/menit. Ditambahkan oleh Dukes (1995),
bahwa frekuensi denyut nadi sapi sehat adalah sebagai berikut, pedet
(umur beberapa hari) 116 sampai 141 kali/menit, pedet (umur 1 bulan)
105 kali/menit, pedet (umur 6 bulan) 96 kali/menit, sapi (muda umur 1
tahun) 91 kali/ menit, sapi dewasa 40 sampai 60 kali/menit dan sapi (tua)
35 sampai 70 kali/menit.
Suhu lingkungan yang tinggi mampu menaikkan frekuensi denyut
nadi namun pada suhu lingkungan yang rendah akan menurunkan denyut
nadi meskipun dalam batas yang normal (Dukes, 1955). Menurut
Frandson (1992), denyut nadi pada daerah comfort zone akan konstan
tetapi setelah melewati batas atas comfort zone denyut nadi akan
mengalami peningkatan. Denyut nadi yang mengalami peningkatan
sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan dimana ternak itu berada.
Williamson dan Payne (1993), serta Swenson dan Reece (1993)
menyatakan bahwa yang mempengaruhi denyut jantung atau pulsus pada
ternak adalah aktivitas ternak, strees atau cekaman, suhu, dan
kelembaban lingkungan.
Pengamatan lingkungan
Kelembaban relatif. Kelembaban relatif merupakan salah satu
faktor yang memepengaruhi kondisi fisiologis maupun metabolisme sapi.
Berdasarkan preaktikum yang dilakukan diperoleh data hasil pengukuran
kelembaban relatif sebagai berikut :
Tabel 4. Pengukuran kelembaban relatif kandangWaktu Kelembaban kandang (%)18.00 6020.00 6822.00 7224.00 8601.00 8602.00 7804.00 7406.00 74
Rata-rata 73,25
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil
bahwa kelembaban kandang sapi perah adalah 73,25 %. Setiap hewan
mempunyai kisaran temperatur lingkungan yang paling sesuai yang
disebut Comfort Zone. Temperatur lingkungan yang paling sesuai bagi
kehidupan ternak di daerah tropik adalah 10°C sampai 27°C (50°F sampai
80°F) sedangkan keadaan lingkungan yang ideal untuk ternak di daerah
sub tropis (sapi perah) adalah pada temperatur antara 30°F sampai 60°F
dan dengan kelembaban rendah. Selain itu, sapi FH maupun PFH
memerlukan persyaratan iklim dengan ketinggian tempat kurang lebih
1000 m dari permukaan laut, suhu berkisar antara 15° sampai 21°C dan
kelembaban udaranya diatas 55%. Kenaikan temperatur udara diatas
60°F relatif mempunyai sedikit efek terhadap produksi. Iklim di indonesia
adalah super humid atau panas basah yaitu iklim yang ditandai dengan
panas yang konstan, hujan dan kelembaban yang terus menerus.
Temperatur udara berkisar antara 21.11°C sampai 37.77°C dengan
kelembaban relatif 55 sampai 100% (Widya, 2010).
Suhu lingkungan. Lingkungan menurut asalnya dibagi menjadi
dua, yaitu lingkungan alam dan lingkungan buatan. Lingkungan alam
terdiri dari faktor iklim yaitu suhu udara, kelembaban udara, kecepatan
angin, tekanan udara, curah hujan, ketinggian, debu, cahaya dan radiasi
kosmik (Williamson dan Payne, 1993). Berdasarkan praktikum yang telah
dilaksanakan, pengukuran keadaan lingkungan kandang yang diperoleh
adalah sebagai berikut :
Tabel 5. Pengukuran keadaan lingkungan kandangWaktu Temperatur Kandang (%)18.00 3220.00 3022.00 2924.00 2801.00 2802.00 2804.00 27,506.00 27,5
Rata-rata 28,93
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil
bahwa rata-rata temperatur adalah 28,93 °C. Setiap hewan mempunyai
kisaran temperatur lingkungan yang paling sesuai yang disebut comfort
zone. Temperatur lingkungan yang paling sesuai bagi kehidupan ternak di
daerah tropik adalah 10°C sampai 27°C (50°F sampai 80°F) sedangkan
keadaan lingkungan yang ideal untuk ternak di daerah sub tropis (sapi
perah) adalah pada temperatur antara 30°F sampai 60°F dan dengan
kelembaban rendah. Selain itu, sapi FH maupun PFH memerlukan
persyaratan iklim dengan ketinggian tempat kurang lebih 1000 m dari
permukaan laut, suhu berkisar antara 15° sampai 21°C (Widya, 2010).
Hasil pengukuran bila dibandingkan dengan literatur, maka
temperatur dan kelembaban lingkungan pada saat praktikum berada
dalam kisaran yang normal sehingga lingkungan UPT Ternak Perah UGM
Yogyakarta baik untuk pemeliharan sapi perah. Suhu dan kelembaban
udara yang tinggi akan menyebabkan stress pada ternak sehingga suhu
tubuh, respirasi dan denyut jantung meningkat, serta konsumsi pakan
menurun, akhirnya menyebabkan produktivitas ternak rendah. Selain itu
berbeda dengan faktor lingkungan yang lain seperti pakan dan kesehatan,
maka iklim tidak dapat diatur atau dikuasai sepenuhnya oleh manusia
(Widya, 2010).
Pengamatan Tingkah Laku dan Makan
Pengamatan tingkah laku
Frekuensi minum. Air yang terdapat di dalam tubuh ternak
terutama berasal dari air minum, air di dalam pakan, dan air metabolik. Air
metabolik adalah air yang berasal dari proses oksidasi senyawa organik di
dalam tubuh (Kamal, 1994). Adapun hasil yang diperoleh saat
pengamatan adalah sebagai berikut :
Tabel 6. Frekuensi dan volume minum sapi perah
ParameterNo. Sapi
DO2 UUB F03 F05Volume Minum (ml) - 46.400 21.600 54.375
Frekuensi Minum (kali) - 3 1 12
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa frekuensi dan volume
minum dari sapi kode D02, UUB, F03, dan F05 berbeda. Frekuensi minum
sapi kode UUB adalah 3 kali dengan volume minum 46.400 ml. Frekuensi
minum sapi kode F05 adalah 12 kali dengan volume 54.375 ml yang
merupakan volume minum terbanyak. Frekuensi minum sapi kode D02
adalah 7 kali dengan volume minum 32.400 ml. Sapi kode D02
merupakan sapi dara namun kemampuan minumnya sangat tinggi.
Frekuensi minum sapi F03 adalah 3 kali dengan volume 26.400 ml.
Menurut Soetarno (2003), menyatakan bahwa sapi perah
umumnya membutuhkan 3 sampai 4 liter untuk memproduksi 1 liter susu.
Seekor sapi yang tidak dalam masa laktasi akan minum air sebanyak 40
liter. Saat sapi memproduksi susu 10 sampai 25 liter kebutuhan akan air
akan naik mencapai 75 liter. Jika produksi susu mencapai 35 liter per hari
maka air yang diminum hampir 90 liter. Faktor yang mempengaruhi
konsumsi air bagi seekor sapi adalah umur, berat badan, produksi susu,
panas, dan kelembaban udara (cuaca), serta jenis ransum pakan.
Menurut Soeharsono (2010), menyatakan bahwa setiap kehilangan air
maka akan menimbulkan tingkah laku minum. Terdapat beberapa
mekanisme yang mengontrol dan mengatur pengambilan air sehingga
setiap saat air yang keluar sama dengan air yang masuk. Kehilangan air
menimbulkan rasa haus. Karakteristik makhluk yang kehausan ialah
kerongkongan dan mulutnya terasa kering. Hal ini disebabkan sekresi
kelenjar saliva menurun karena kekurangan air.
Ternak hanya dapat hidup beberapa menit tanpa oksigen dan
beberapa jam atau hari tanpa air bergantung pada kondisi lingkungannya.
Hewan yang sehat, fluktuasi volume atau berat air dalam tubuh relatif
sangat sedikit bahkan hamper konstan (Soeharsono, 2010). Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa pemasukan air ke dalam tubuh sapi
perah (minum) tidak teratur dan sangat berubah-ubah. Fungsi air bagi
tubuh menurut Soeharsono (2010), adalah sebagai pelarut zat-zat
elektrolit dan non elektrolit, medium berbagai reaksi biokimiawi tubuh, alat
transportasi, mengatur suhu tubuh, dan mempertahankan pH. Fungsi air
lainnya yaitu memudahkan penelanan pakan, melarutkan nutrient,
berperan dalam proses pencernaan pakan, mempertahankan bentuk sel
tubuh, penghantar getaran suara dalam proses pendengaran, pengantar
cahaya dalam proses penglihatan, pelumas dan bantalan persendian,
cairan dalam otak dan bantalan system saraf (Kamal, 1994). Satu
paragraf minimal 3 kalimat
Frekuensi urinasi. Urin yaitu hasil filtrasi ginjal yang sudah tidak
dimanfaatkan dan harus dikeluarkan dari tubuh. Suhu lingkungan
berpengaruh terhadap pengeluaran urin di samping faktor lain seperti
keseimbangan air, pH, tekanan osmotik, tingkat elektrolit dan konsentrasi
banyaknya zat dalam plasma (Blakely dan Bade, 1995). Berdasarkan
pengamatan dan pengukuran volum urinasi diperoleh hasil sebagai
berikut :
Tabel 7. Frekuensi dan volume urinasi sapi perah
ParameterNo. Sapi
DO2 UUB F03 F05Volume Urinasi (ml) 3.400 21.100 10.000 30.100
Frekuensi Urinasi (kali) 1 6 2 13
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada praktikum
diketahui bahwa untuk sapi D02 frekuensi urinasi selama 12 jam adalah 1
kali, sapi UUB 6 kali, sapi F03 2 kali, dan sapi F05 13 kali. Volume urinasi
sapi D02 adalah 4.300 ml, sapi UUB 21.100 ml, sapi F03 10.000 ml, dan
sapi F05 30.100 ml. Menurut Akoso (2008), urinasi merupakan suatu yang
dilakukan ternak dalam mengatur proses keseimbangan tubuh yaitu
dengan cara membuang urin atau cairan yang tidak bermanfaat lagi bagi
tubuh. Menurut Seobronto (1995), warna urin berkaitan dengan enzim
pencernaan dan warna bahan yang dikonsumsi. Frekuensi urinasi yang
normal pada sapi dalam kondisi normal berkisar antara 5 sampai 7 kali
dalam sehari yaitu sebanyak 6 sampai 12 liter.
Hasil tersebut bila dibandingkan dengan literatur menunjukkan
bahwa volum minum pada sapi perah K03 dan sapi perah F05 berada
diatas kisaran normal. Tubuh kehilangan atau kenaikan panas yang
disebabkan makanan atau minuman yang dimakan dapat mempengaruhi
jumlah produksi panas atau kehilangan panas (Siregar, 1995). Air yang
diminum melebihi keperluan metabolisme dengan suhu tubuh yang
kemudian dikeluarkan sebagai urin dengan suhu sama dengan suhu
tubuh. Selebihnya dijelaskan bahwa jumlah urin yang dikeluarkan
tergantung pada jumlah air yang masuk ke dalam tubuh ternak yang
berasal dari makanan hijauan dan konsentrat, selain itu suhu lingkungan
pada sapi yang bekerja berat akan mempengaruhi jumlah urin yang
dikeluarkan oleh seekor sapi (Williamson dan Payne, 1993).
Frekuensi defekasi. Defekasi adalah proses feses. Feses
merupakan hasil kerja alat pencernaan yang paling akhir dari degradasi
bahan pakan, selanjutnya proses pembentukan feses pada sapi normal
dimulai dari masuknya bahan pakan masuk dari mulut sampai keluarnya
feses melalui rektum memerlukan waktu 5 sampai 7 jam (Siregar, 1995).
Berdasarkan pengamatan dan pengukuran frekuensi dan volum defekaasi
diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 8. Frekuensi dan volume defekasi sapi perah
ParameterNo. Sapi
DO2 UUB F03 F05Volume Defekasi (kg) 4,5 4 6,2 10,75
Frekuensi Defekasi (kali) 4 3 3 5
Hasil pengamatan menunjukan bahwa untuk sapi D02 frekuensi
defekasi selama 12 jam adalah 4 kali, sapi UUB 3 kali, sapi F03 3 kali, dan
sapi F05 5 kali. Volume defekasi sapi D02 adalah 4,5 kg, sapi UUB 4 kg,
sapi F03 6,2 kg, dan sapi F05 10,75 kg. Menurut Soetarno (1999), seekor
sapi mengeluarkan feses selama sehari 6 sampai 8 kali. Menurut
Subronto (2001), jumlah pengeluaran feses pada sapi perah FH setiap
harinya kurang lebih 12 kg untuk sapi tidak laktasi dan 19 kg untuk sapi
perah yang sedang laktasi. Hasil tersebut bila dibandingkan dengan
literatur tidak dalam kisaran normal karena sapi dalam keadaan stress
karena terganggu oleh praktikan serta kondisi sapi yang kurang sehat.
Pemberian pakan kasar akan mempengaruhi jumlah feses yang
dikeluarka. Pakan kasar akan meningkatkan jumlah feses menjadi lebih
sedikit (Santosa, 2004). Tanaman pakan yang ditanam di daerah tropis
kering dan agak kering menyebabkan lignifikasi tanaman terjadi lebih awal
daripada tanaman di daerah temperatur atau bersuhu rendah (Williamson
dan Payne, 1993). Tekstur dan warna dari feses yang dikeluarkan ternak
tergantung dari kandungan bahan kering dalam pakan dan air yang
dikonsumsi ternak (Santosa, 2004).
Lama tiduran. Sapi harus tersedia pakan dan minum yang cukup,
udara yang bersih, permukaan bedding yang empuk dan bersih sehingga
sapi dapat berdiri dan berbaring dengan nyaman. Sapi menghabiskan
lebih dari separuh hidupnya dengan berbaring. Berdasarkan praktikum
yang telah dilaksanakan, lama berbaring sapi perah yang didapatkan
adalah sebagai berikut :
Tabel 9. Pengamatan lama berbaring
ParameterNo. Sapi
DO2 UUB F03 F05Lama Berbaring (menit) 607 617 569 564
Berdasarkan hasil diatas dapat diketahui bahwa lama tiduran sapi
no. identifikasi sebelah D02, UUB, F03, dan F05 berturut-turut adalah 607
menit, 617 menit, 569 menit, dan 564 menit. Menurut Anonim (2008), sapi
biasanya berbaring sekitar 14 jam sehari dan selama waktu itu sapi tidur
hanya 30 menit. Saat permukaan bedding tidak nyaman, sapi akan
mengurangi waktu istirahat. Jika sapi tidak dapat berbaring, sapi akan
berdiri terlalu lama dan ini akan mengganggu natural behaviour cycle.
Sapi akan berbaring terlalu lama dan mengurangi makan dan minum.
Pengurangan frekuensi ke tempat pakan dan kurangnya konsumsi dry
matter sedangkan menurut Webster (1993), lama tiduran normal pada
sapi adalah 9 sampai 12 jam dalam 24 jam. Kebanyakan sapi perah lebih
lama berbaring atau tiduran pada malam hari daripada siang hari.
Selain itu, cuaca, kualitas breeding, tipe kandang dan kepadatan
ternak dalam kandang juga mempengaruhi lamanya dan frekuensi
berbaring. Sapi butuh untuk berbaring. Pengurangan waktu berbaring,
akan mengurangi produksi susu. Berbaring itu penting karena sapi
istirahat dan ruminasi saat berbaring, sapi mengistirahat dan
mengeringkan kukunya. Sirkulasi darah ke ambing meningkat sampai
30%. Istirahat sebagai pencegahan lameness Peningkatan waktu yang
dihabiskan untuk berbaring dalam kandang yang bersih, kering dan
nyaman berarti berkurang waktu yang dihabiskan untuk berdiri di lantai
yang keras sehingga kuku tetap bersih dan kering (Anonim, 2008).
Menurut Tarjo (2006), keadaan fisik juga mempengaruhi lama berbaring
dari seekor ternak. Ternak yang memiliki keadaan fisik yang kurang baik
seperti cacat dan sakit, akan memiliki waktu berbaring yang cenderung
lebih lama daripada ternak yang memiliki keadaan fisik yang baik dan
sehat.
Pengamatan makan
Pemberian pakan. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan,
konsumsi pakan sapi perah yang didapatkan adalah sebagai berikut :
Tabel 10. Pengamatan jumlah pakan yang diberikan
ParameterNo. Sapi
DO2 UUB F03 F05Pakan yang diberikan (kg) - - - -
Pemberian pakan hijauan segar pada masing-masing sapi perah
berbeda-beda karena kebutuhan pakan antara sapi perah dara dan sapi
perah laktasi yang berbeda. Pemberian pakan untuk sapi laktasi F03 dan
F05 sebanyak 12 kg dan sapi dara D02 dan UUB sebanyak 7,5 kg.
Pemberian pakan pada sapi laktasi lebih banyak karena kebutuhan pakan
untuk sapi laktasi harus mencukupi kebutuhan hidup pokok dan
kebutuhan produksi susu. Nutrisi yang dibutuhkan untuk masa laktasi
harus diperhatikan beberapa hal yaitu kondisi dan berat badan sapi,
produksi susu, kadar lemak susu, tanggal beranak dan lama laktasi, lama
bunting, jenis dan komposisi nutrisi bahan pakan. Pakana hijauan
merupakan pakan dasar bagi ternak ruminansia khsusunya sapi perah.
Komposisi nutrien dan hijauan terdiri dari protein kasar 98,4 %, energi
1,25 Mcal/kg, mineral yaitu Ca 70 % dan P 0,38 % (Tillman, 1998).
Konsumsi pakan. Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang
dimakan sapi. Berdasarkan praktikum yang dilakukan diperoleh data
jumlah pakan yang dikonsumsi sebagai berikut :
Tabel 11. Pengamatan jumlah pakan yang dikonsumsi
ParameterNo. Sapi
DO2 UUB F03 F05Pakan yang dikonsumsi (kg) - - - -
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, diketahui tingkat
konsumsi pakan pada keempat sapi yaitu sapi dara D02 dan UUB, sapi
laktasi F03 dan F05 cukup tinggi hal tersebut dapa dilihat tidak ada
pakan yang tersisa. Menurut Cruch (1998), sapi perah akan
mengkonsumsi pakan paling banyak 3 % berat kering dari berat
badannya. Secara umum sapi perah dengan produksi tinggi akan
mengkonsumsi hijauan sekitar 1,5 sampai 2 % berdasar berat badan.
Menurut Sarjono (2001), sapi perah yang sedang dalam masa laktasi
membutuhkan pakan hijauan sebanyak 20 sampai 30 kg per harinya,
sedangkan pakan konsentrat yang diberikan disesuaikan dengan produksi
susu dan berat sapi tersebut. Hasi yang diperoleh pada saat praktikum ini
menunjukkan bahwa sapi tidak melakukan aktivitas konsumsi oakan pada
malam hari.
Lama Makan. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, lama
makan sapi perah pada siang hari adalah sebagai berikut :
Tabel 12. Pengamatan lama makan
ParameterNo. Sapi
DO2 UUB F03 F05Lama makan (menit) - - - -
Hasil yang diperoleh dari pengamatan adalah sapi dara D02
mempunyai lama makan 15 menit. Sapi dara UUB mempunyai lama
makan 15 menit. Sapi laktasi F03 mempunyai lama makan 25 menit. Sapi
laktasi F05 mempunyai lama makan 32 menit. Waktu makan yang
dibutuhkan dari keempat sapi berbeda satu sama lain. Menurut Frandson
(1992), lama makan sangat dipengaruhi oleh jenis, umur sapi, lingkungan,
kondisi sapi serta jumlah pakan yang diberikan. Sapi yang memiliki
gangguan indigesti akan memiliki nafsu makan yang menurun dan lama
makan yang lebih lama dari yang biasa dibutukan untuk memakan pakan
dalam jumlah yang sama (Sarjono, 2001).
Lama remastikasi. Ruminansi merupakan salah satu ciri yang
khas pada ternak ruminasia yaitu dengan mengunyah kembali makanan
yang telah masuk lambung (rumen) agar lebih lumat dan dapat dengan
mudah dicerna (Soebronto, 1995). Berdasarkan praktikum yang telah
dilakukan, lama makan sapi perah pada siang hari adalah sebagai berikut:
Tabel 13. Pengamatan remastikasi dan kunyahan per bolus
ParameterNo. Sapi
DO2 UUB F03 F05Lama remastikasi (menit) 194 60 144 157
Kunyahan per-bolus (kali/bolus) 21 220 27 162
Sapi biasanya melakukan ruminansia setelah 2 sampai 5 jam
setelah makan dan pada malam hari pada saat sapi sedang berbaring
(Frandson, 1992). Hasil pengamatan remastikasi dan kunyahan per bolus
pada sapi dara D02 adalah 194 menit dengan banyak kunyahan per bolus
27,1. Sapi dara UUB adalah 60 menit dengan kunyahan per bolus 162
kali. Sapi laktasi F03 adalah 144 menit dengan kunyahan per bolus 21,48
kali. Sapi laktasi F05 adalah 157 menit dengan kunyahan per bolus 220,6
kali. Menurut Prihadi dan Adiarto (2008), lama remastikasi antara 256
sampai 458 menit, rata-rata seekor sapi melakukan ruminansi selama
sekitar 8 jam (480 menit) sehari dengan penyebaran yang hampir merata.
Hasil tersebut menunjukkan jumlah lama remastikasi pada malam hari
lebih sedikit daripada remastikasi pada siang hari karena pakan yang
diberikan hanya sedikit. Berdasarkan pengamatan lama remastikasi saat
praktikum hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan literatur yang ada.
Menurut Prihadi dan Adiarto (2008), lama remastikasi dan banyaknya
kunyahan perbolus tergantung pada umur dan jenis sapi serta pakan yang
diberikan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Sapi perah PFH yang berada di UPT Fakultas Peternakan UGM
tidak dalam kondisi normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah
laku ternak sapi adalah suhu lingkungan, aktivitas sapi, umur sapi, jenis
dan banyaknya pakan yang diberikan, serta kondisi dari sapi. Kondisi
normal tersebut membuktikan bahwa sapi sehat.
Saran
Praktikum ilmu ternak perah perlu ditambah jumlah alat-alat lagi
yang dapat mendukung lancarnya acara praktikum, waktu pelaksanaan
praktikum jangan terlalu pagi, dan dalam pelaksanaan praktikum, asisten
lebih memperhatikan praktikan dan jalannya praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Adiarto. 2008. Ilmu Ternak Perah. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.
Akoso, T. B. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius. Yogyakarta.
Akoso, B.T. 2008. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.
Anonim. 2008. Cow Comfort Memang Penting. Available at http://www.vet-indo.com/berita umum/Cow-Comfort-Memang-Penting.html. diakses 23Desember 2011.
Blakely, James and David H. Bade. 1995. Ilmu Peternakan, Edisi keempat,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Cruch, D. 1998. Basic Animal Nutrition and Feeding. Third edition. John Willey and Sons. Inc. New York
Dukes, N.H. 1995. The Physiology of Domestic Animals. Comstock. Publishing.New York.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi IV. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak 1. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Santoso. 2004. Tatalaksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sarjono, S. 2001. Sapi Perah: Jenis, Teknik Pemeliharan dan Analisa Usaha.Penebar Swadaya. Jakarta.
Siregar, S. 1995. Jenis Teknik Pemeliharaan dan Analisis Usaha Sapi Perah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Soebronto, A. 1995. Ilmu Penyakit Ternak I. Gadjah Mada Univerrsity Press. Yogyakarta
Soeharsono. 2010. Fisiologi Ternak. Widya Padjadjaran. Bandung
Soetarno, T. 1999. Manajemen Ternak Perah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Subronto, A. 2001. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Swenson, M. J. dan W. O. Reece. 1993. Dukes Phisiology of Domestic Animals. Comstock Publishing Associates A Devision of Cornell University Press. Ithaca and London
Swenson. 1997. Dukes physiology of Domestic Animal. Comstock Publishing Co. Inc. Pert. Conectial.
Tarjo,K. 2006. Teknik Pemeliharaan Sapi Perah. Kanisius. Yogyakarta.
Tillman, A.D. dkk. 1998. Ilmu Makanan Ternak dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Webster, J. 1993. Understanding The Dairy Cow. Prosessor of Animal Husbandry. University of Bristol, School of Vetenairy Science.
Widya. 2010. Pengaruh LIngkungan Terhadap Fisiologis Ternak. Available at http://widyasocam.wordpress.com/2010/10/06/pengaruh-lingkungan-terhadap-fisiologis-ternak/
Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta