laporan praktikum epidemiologi penyakit menular tbc dan diare
TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM EPIDEMIOLOGI PENYAKIT
MENULARINSPEKSI PENYAKIT
JALAN TARMIDI
DISUSUN OLEH :
AYU DESEDTIA
1111015028
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MULAWARMAN
TAHUN AKADEMIK 2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan Laporan Epidemiologi
Penyakit Menular “Inpeksi Penyakit”. Penulisan laporan ini adalah salah satu
tugas dan persyaratan untuk mata kuliah Epidemilogi Penyakit Menular di
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman .
Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang penulis miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih
yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu, khususnya kepada Bapak
Siswanto yang telah memberikan pengarahan dan dorongan dalam makalah ini
serta masyarakat sekitar daerah Jalan Tarmidi yang telah bersedia menjadi
responden..
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran
bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai.
Samarinda, April 2013
Tim Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TBC (Tuberculosis) 3
2.2 Diare 9
BAB III METODE KERJA
3.1 Waktu dan Tempat 17
3.2 Cara Pengambilan Data 17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil 18
\ 4.2 Pembahasan 26
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan 35
5.2 Saran 35
DAFTAR PUSTAKA iii
LAMPIRAN iv
BAB 1PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kata Epidemiologi berasal dari Bahasa Yunani yang terdiri dari 3 kata
dasar yaitu epi yang berarti pada atau tentang, demos yang berarti penduduk
dan kata terakhir adalah logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi
epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penduduk.
Sedangkan dalam pengertian modern pada saat
ini Epidemiology adalah suatu ilmu yang awalnya mempelajari timbulnya,
perjalanan, dan pencegahan pada penyakit infeksi menular, tapi dalam
perkembangannya hingga saat ini masalah yang dihadapi penduduk tidak
hanya penyakit menular saja, melainkan juga penyakit tidak menular,
penyakit degenaratif, kanker, penyakit jiwa, kecelakaan lalu lintas, dan
sebagainya. Oleh karena itu, epidemiologi telah menjangkau hal tersebut.
Perhatian terhadap penyakit menular makin hari semakin meningkat,
karena semakin meningkat nya frekuensi kejadiannya pada masyarakat. Dari
tiga penyebab utama kematian (WHO, 1990). Penyakit jantung, diare, dan
TBC, dua di antaranya adalah penyakit menular. Selama ini epidemiologi
kebanyakan berkecimpung dalam menangani masalah penyakit menular,
bahkan kebanyakan terasa bahwa epidemiologi hanya menangani masalah
penyakit menular. Karena itu, epidemiologi hampir selalu dikaitkan dan
dianggap epidemiologi penyakit menular.hal ini tidak dapat disangkal dari
sejarah perkembangan nya epidemiologi berlatar belakang penyakit menular.
Sejarah epidemiologi memang bermula dengan penanganan masalah penyakit
menular yang merajalela dan banyak menelan korban pada waktu itu.
Pentingnya pengetahuan tentang penyakit menular dilatarbelakangi
dengan kecenderungan semakin meningkat nya prevalensi penyakit menular
dalam masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia yang
sementara membangun dirinya dari suatu negara agraris yang sedang
berkembang menuju masyarakat industri membawa kecenderungan baru
dalam pola penyakit dalam masyarakat. Perubahan pola struktur masyarakat
agraris ke masyarakat industri banyak memberi andil terhadap perubahan pola
fertilitas, gaya hidup, sosial ekonomi yang pada giliran nya dapat memacu
semakin meningkatnya EPM.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui berbagai macam permasalahan kesehatan pada
masyarakat di Samarinda
1.2.2 Tujuan Khusus
- Mengetahui kondisi lingkungan dan rumah warga daerah sekitar
piggiran Sungai Karang Mumus Jl. Tarmidi Samarinda
- Mengetahui penyakit yang umumnya diderita oleh masyarakat sekitar
- Mengetahui penyebab munculnya penyakit pada masyarakat sekitar
- Mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi dan
mencegah permasalahan kesehatan di daerah sekitar
BAB IITINAJUAN PUSTAKA
2.1 TBC (Tuberculosis)
2.1.1 Identifikasi
Penyakit TBC adalah penyakit yang menular yang menyerang paru-
paru, penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium Tuberkulosis.
Walaupun tidak mudah diwarnai, jika telah diwarnai bakteri ini tahan
terhadap peluntur warna (dekolarisasi) asam atau alcohol, oleh karena ini
dinamakan bakteri tahan asam atau basil tahan asam ( BTA ).
Penyakit TBC atau yang sering di kenal dengan penyakit infeksi
kronis/menehun dan menular yang di sebabkan oleh bakter
microbacterium tuberklosa yang dapat menyerang pada siapa saja,tanpa
memandang usia,dan jenis kelamin dengan Gejala yang sangat
bervariasi.Namun,sesuai fakta yang ada bahwa penderita penyakit TBC
lebih banyak menyerang pada usia roduktif yang berkisar 15 tahun sampai
dengan 35 tahun.
Identifikasi tuberkulosis paru adalah melalui gejala, tanda dan hasil
pemeriksaan penunjang. Gejalanya pada umumnya adalah batuk-batuk
lama >3 minggu, keringat malam, penurunan berat badan, batuk darah,
demam tidak tinggi dan lemah . Tandanya salah satunya terdapat bunyi
napas tambahan pada pemeriksaan dengan stetoskop. Bila didapatkan
kecurigaan ke arah TBC maka dapat dilakukan pemerikaaan dahak
sebanyak 3 kali dan pemeriksaan Rontgen paru. Pemeriksaan Mantoux
biasanya dilakukan pada anak.
2.1.2 Penyebab Penyakit
Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan
bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam
(BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal
24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi
nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut
sebagai Koch Pulmonum (KP).
2.1.3 Distribusi Penyakit
Lingkungan hidup yang sangat padat dan permukiman di wilayah
perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan
berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya
infeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis biasanya secara inhalasi,
sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering
disbanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui
inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei. Khususnya yang didapat
dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang
mengandung basil tahan asam (BTA). Pada TB kulit atau jaringan lunak
penularan bisa melalui inokulasi langsung. Infeksi yang disebabkan
oleh M. bovis dapat disebabkan oleh susu yang kurang disterilkan dengan
baik atau terkontaminasi. Sudah dibuktikan bahwa lingkungan sosial
ekonomi yang baik.
Penyakit TB paru tersebar di seluruh dunia. Pada awalnya di negara
industri, penyakit tuberkulosis menunjukan kecenderungan yang menurun
baik mortalitas maupun morbiditas. Namun di akhir tahun 1980an jumlah
kasusnya meningkat di daerah yang prevalensi HIV-nya tinggi dan di
daerah yang dihuni oleh pendatang yang berasal dari daerah yang
prevalensi TB tinggi. Mortalitas dan morbiditas meningkat sesuai dengan
umur, pada orang dewasa lebih tinggi pada laki – laki.
2.1.4 Reservoir
Pada umumnya manusia adalah sebagai reservoir dari bakteri
penyebab penyakit TB paru. Jarang sekali ditemukan Mycobacterium
tuberculosis di binatang.
2.1.5 Cara Penularan
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar
dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat
penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya
berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan
terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak
(terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat
menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab
itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti:
paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening,
dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena
yaitu paru-paru.
Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru,
maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular
(bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini
akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri
itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat
jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan
menjadi dormant(istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang
sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan
tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan
sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami
perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang
banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah
yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang
telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami
pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC.
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini,
banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya
kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan
masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai
tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya
tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan
faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC.
2.1.6 Masa Inkubasi
Mulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbulnya gejala adanya
lesi primer atau reaksi tes tuberculin positif kira-kira memakan waktu 2 –
10 minggu. Resio menjadi TB paru atau TB ekstrapulmoner progesif
setelah infeksi primer biasanya terjadi pada tahun pertama dan kedua.
Infeksi laten dapat berlangsung seumur hidup. Infeksi HIV dapat
meningkatkan resiko terhadap infeksi TB dan memperpendek masa
inkubasi.
2.1.7 Masa Penularan
Secara teoritis penderita tetap menularkan penyakit ini sepanjang
ditemukan basil TB di dalam sputum mereka. Penyakit yang tidak diobati
atau yang diobati tidak sempurna pada dahaknya mengandung basil TB
selama bertahun – tahun. Tingkat penularan sangat bergantung pada hal-
hal sebagai berikut :
1. Jumlah basil TB yang dikeluarkan.
2. Virulensi dari basil TB.
3. Terpajannya basil TB dengan sinar ultraviolet.
4. Terjadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara atau pada saat
bernyanyi.
5. Tindakan medis dengan resiko tinggi seperti pada waktu otopsi,
intubasi atau pada waktu melakukan bronkoskopi.
Pemberian OAT yang efektif mencegah terjadinya penularan dalam
beberapa minggu paling tidak dalam lingkungan rumah tangga. Anak-anak
dengan TB primer biasanya tidak menular.
2.1.8 Kerentanan dan Kekebalan
Risiko terinfeksi dengan basil TB berhubungan langsung dengan
tingkat pajanan dan tidak ada hubungan dengan faktor keturunan atau
faktor lainnya pada penjamu. Periode yang paling kritis timbulanya gejala
klinis adalah 6-12 bulan setelah infeksi. Resiko untuk menjadi sakit paling
tinggi adalah usia dibawah 3 tahun dan paling rendah pada usia akhir masa
kanak-kanak dan resiko meningkat lagi pada usia adolesen dan dewasa
muda serta usia tua pada penderita dengan kelainan sistem imunitas.
Reaktifasi dari infeksi laten yang berlangsung lama sebagian besar terjadi
pada penderiat TB lebih tua. Untuk mereka yang terinfeksi oleh basil TB
kemungkinan menjadi TB klinis pada penderita HIV/AIDS, mereka
dengan kelainan sistem imunitas, mereka dengan berat badan rendah dan
kekurangan gizi, penderita dengan penyakit kronis seperti gagal ginjal
kronis, penderita kanker, silikosis, diabetes, postgastrektomi, pemakaian
NAPZA. Orang dewasa dengan TB laten yang juga disertai dengan infeksi
HIV kemungkinan untuk menderita TB klinis selama hidupnya berkisar
antara 10% sampai dengan 60-80%.
2.1.9 Cara Pemberantasan atau Pencegahan
Berikut adalah cara pencegahan penyakit TB Paru :
Imunisasi BCG pada anak balita, Vaksin BCG sebaiknya diberikan
sejak anak masih kecil agar terhindar dari penyakit tersebut.
Bila ada yang dicurigai sebagai penderita TBC maka harus segera
diobati sampai tuntas agar tidak menjadi penyakit yang lebih berat dan
terjadi penularan.
Jangan minum susu sapi mentah dan harus dimasak.
Bagi penderita untuk tidak membuang ludah sembarangan..
Pencegahan terhadap penyakit TBC dapat dilakukan dengan tidak
melakukan kontak udara dengan penderita, minum obat pencegah
dengan dosis tinggi dan hidup secara sehat. Terutama rumah harus baik
ventilasi udaranya dimana sinar matahari pagi masuk ke dalam rumah.
Tutup mulut dengan sapu tangan bila batuk serta tidak
meludah/mengeluarkan dahak di sembarangan tempat dan menyediakan
tempat ludah yang diberi lisol atau bahan lain yang dianjurkan dokter
dan untuk mengurangi aktivitas kerja serta menenangkan pikiran.
2.1.10 Penanganan Penderita
1. Pemberian OAT Obat Anti TB sedikitnya dua obat yang bersifat
bakterisid dengan atau tanpa obat ketiga.
2. Pengobatan pada penderita hingga sembuh.
3. Perlakuan pada rumah penderita untuk lebihmemperhatikan factor
kesehatan lingkungan denganmenambah ventilator sebagai pengganti
udara, gentengkaca supaya sinar matahari dapat masuk, dan
faktorhigiene lingkungan yang lain yang lebih baik.
4. Sterilisasi Rumah pasca Penderita.
2.1.11 Penanggulangan Wabah
Tingkatkan kewasapadaan dini untuk menemukan dan mengobati
penderita TBC baru yang tertulari oleh penderita yang tidak jelas. Lakukan
penyelidikan intensif untuk menemukan dan mengobatai sumber penularan
2.1.12 Implikasi Bencana
Tidak ada
2.1.13 Tindakan Internasional
Tindakan yang dianjurkan bagi imigran yang datang dari negara-
negara dengan prevalensi TBC tinggi adalah melakukan skrining dengan
foto thorax, tes PPD, pemeriksaan BTA dan kultur terhadap orang dengan
tes PPD positif yang disertai gejala klinis. Manfaatkan pusat-pusat
kerjasama WHO.
2.2 Diare
2.2.1 Identifikasi
Salah satu penyakit menular yang terkait erat dengan sanitasi
lingkungan, khususnya pada akses pada jamban dan air bersih adalah
penyakit Diare. Bahkan penyakit diare seakan menjadi identik dengan
Negara berkembang, dengan kemiskinan, dengan slum area. Banyak
Kejadian Luar Biasa (KLB) terjadi karena penyakit diare, sehingga
penyakit ini menjadi salah satu prioritas program pemberantasn penyakit
menular.
Kondisi diatas memang sesuai dengan hasil studi Indonesia
Sanitation Sector Development Program (ISSDP) tahun 2006,
menunjukkan 47% masyarakat masih berperilaku buang air besar ke
sungai, sawah, kolam, kebun dan tempat terbuka.
Diare ditandai dengan keluarnya tinja yang lunak atau cair pada
balita umur 6 bulan sampai 5 tahun dengan frekuensi lebih dari biasanya
atau lebih dari 3 kali dalam sehari dengan atau tan pa darah atau lendir
dalam tinja. Menurut WHO (2006) diare adalah keluarnya tinja yang lunak
atau cair dengan frekuensi 3x atau lebih perhari dengan atau tanpa darah
atau lendir dalam tinja, atau bila ibu merasakan adanya perubahan
konsistensi dan frekuensi buang air besar pada anaknya.
Berdasarkan hasil Riskesdas 2007, dua penyakit terbanyak sebagai
penyebab kematian pada balita adalah diare dan pneumonia. Angka
kejadian diare sebesar 31,4% dan pneumonia 24%, sedangkan angka
kematian diare sebesar 25,2 %, pneumonia 15,5%, Demam Berdarah
Dengue (DBD) 6,8% dan campak 5,8%.
2.2.2 Penyebab Penyakit
Diare bukanlah penyakit yang datang dengan sendirinya. Biasanya
ada yang menjadi pemicu terjadinya diare. Secara umum, berikut ini
beberapa penyebab diare, yaitu:
1. Infeksi oleh bakteri, virus atau parasit.
2. Alergi terhadap makanan atau obat tertentu.
3. Infeksi oleh bakteri atau virus yang menyertai penyakit lain seperti:
Campak, Infeksi telinga, Infeksi tenggorokan, Malaria, dll.
4. Pemanis buatan
Berdasar metaanalisis di seluruh dunia, setiap anak minimal
mengalami diare satu kali setiap tahun. Dari setiap lima pasien anak yang
datang karena diare, satu di antaranya akibat rotavirus. Kemudian, dari 60
anak yang dirawat di rumah sakit akibat diare satu di antaranya juga
karena rotavirus.
Di Indonesia, sebagian besar diare pada bayi dan anak disebabkan
oleh infeksi rotavirus. Bakteri dan parasit juga dapat menyebabkan diare.
Organisme-organisme ini mengganggu proses penyerapan makanan di
usus halus. Dampaknya makanan tidak dicerna kemudian segera masuk ke
usus besar.
Makanan yang tidak dicerna dan tidak diserap usus akan menarik air
dari dinding usus. Di lain pihak, pada keadaan ini proses transit di usus
menjadi sangat singkat sehingga air tidak sempat diserap oleh usus besar.
Hal inilah yang menyebabkan tinja berair pada diare.
Sebenarnya usus besar tidak hanya mengeluarkan air secara
berlebihan tapi juga elektrolit. Kehilangan cairan dan elektrolit melalui
diare ini kemudian dapat menimbulkan dehidrasi. Dehidrasi inilah yang
mengancam jiwa penderita diare.
Selain karena rotavirus, diare juga bisa terjadi akibat kurang gizi,
alergi, tidak tahan terhadap laktosa, dan sebagainya. Bayi dan balita
banyak yang memiliki intoleransi terhadap laktosa dikarenakan tubuh tidak
punya atau hanya sedikit memiliki enzim laktose yang berfungsi mencerna
laktosa yang terkandung susu sapi.
Tidak demikian dengan bayi yang menyusu ASI. Bayi tersebut tidak
akan mengalami intoleransi laktosa karena di dalam ASI terkandung enzim
laktose. Disamping itu, ASI terjamin kebersihannya karena langsung
diminum tanpa wadah seperti saat minum susu formula dengan botol dan
dot.
Diare dapat merupakan efek sampingan banyak obat terutama
antibiotik. Selain itu, bahan-bahan pemanis buatan sorbitol dan manitol
yang ada dalam permen karet serta produk-produk bebas gula lainnya
menimbulkan diare.
Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki
kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan
tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.
Orang tua berperan besar dalam menentukan penyebab anak diare.
Bayi dan balita yang masih menyusui dengan ASI eksklusif umumnya
jarang diare karena tidak terkontaminasi dari luar. Namun, susu formula
dan makanan pendamping ASI dapat terkontaminasi bakteri dan virus.
2.2.3 Distribusi Penyakit
Agent infeksius yang menyababkan penyakit diare biasanya
ditularkan melalui jalur fekaloral terutama karena :
1. Menelan makanan yang terkontaminasi (terutama makanan sapihan)
atau air.
2. Kontak dengan tangan yamg terkontaminasi.
Beberapa faktor yang dikaitkan dengan bertambahnya penularan
kuman entero patogen perut termasuk :
1. Tidak memadainya penyediaan air bersih.
2. Pembuangan tinja yang tidak higienis.
3. Vektor
4. Aspek sosial ekonomi.
2.2.4 Reservoir
Ternak merupakan reservoir EHEC terpenting; manusia dapat juga
menjadi sumber penularan dari orang ke orang. Terjadi peningkatan
kejadian di Amerika Utara dimana rusa dapat juga menjadi reservoir.
2.2.5 Cara Penularan
Penularan secara langsung : Penyakit diare dapat ditularkan dari
orang satu ke orang lain secara langsung melalui fecal – oral dengan media
penularan utama adalah makanan atau minuman yang terkontaminasi agen
penyebab diare (Suharyono, 1991). Penderita diare berat akan
mengeluarkan kuman melalui tinja, jika pembuangan tinja tidak dilakukan
pada jamban tertutup, maka akan berpotensi sebagai sumber penularan.
Penularan secara tidak langsung : Penyakit diare dapat juga
ditularkan secara tidak langsung melalui air. Air yang tercemar kuman,
bila digunakan orang untuk keperluan sehari-hari tanpa direbus atau
dimasak terlebih dahulu, maka kuman akan masuk ke tubuh orang yang
memakainya, sehingga orang tersebut dapat terkena diare.
2.2.6 Masa Inkubasi
Relatif panjang berkisar antara 2 sampai 8 hari, dengan median antara
3-4 hari.
2.2.7 Masa Penularan
Lamanya ekskresi patogen kira-kira selama seminggu atau kurang
pada orang dewasa dan 3 minggu pada kira-kira sepertiga dari anak-anak.
Jarang ditemukan “carrier” yang berlarut-larut.
2.2.8 Kerentanan dan Kekebalan
Dosis infeksius sangat rendah. Hanya sedikit yang diketahui tentang
spektrum dari kerentanan dan kekebalan. Umur tua mempunyai risiko
lebih tinggi, hipoklorhidria diduga menjadi faktor yang terkontribusi pada
tingkat kerentanan. Anak usia di bawah 5 tahun berisiko paling tinggi
untuk mendapat HUS.
2.2.9 Cara Pemberantasan atau Pencegahan
Mengingat bahwa penyakit ini sangat potensial menimbulkan KLB
dengan kasus-kasus berat maka kewaspadaan ini dari petugas kesehatan
setempat untuk mengenal sumber penularan dan melakukan pencegahan
spesifik yang memadai sangat diperlukan. Begitu ada penderita yang
dicurigai segera lakukan tindakan untuk mencegah penularan dari orang ke
orang dengan cara meminta semua anggota keluarga dari penderita untuk
sering mencuci tangan dengan sabun dan air terutama buang air besar,
sehabis menangani popok kotor dan sampah, dan melakukan pencegahan
kontaminasi makanan dan minuman. Langkah-langkah yang perlu
dilakukan untuk mengurangi Distribusi Penyakit sebagai berikut:
1. Mengelola kegiatan rumah pemotongan hewan dengan benar untuk
mengurangi kontaminasi daging oleh kotoran binatang.
2. Pasteurisasi susu dan produk susu.
3. Radiasi daging sapi terutama daging sapi giling.
4. Masaklah daging sapi sampai matang dengan suhu yang cukup terutama
daging sapi giling. The USA Food Safety Inspection Service dan the
1997 FDA Food Code merekomendasikan memasak daging sapi giling
pada suhu internal 155ºF (68ºC) paling sedikit selama 15-16 detik.
Hanya dengan melihat warna merah muda daging yang menghilang,
tidak dapat dibandingkan dengan kecepatan pengukuran suhu
menggunakan termometer daging.
5. Lindungi dan lakukan pemurnian dan klorinasi air PAM; lakukan
klorinasi kolam renang.
6. Pastikan bahwa kebersihan lingkungan dan kebersihan perorangan pada
pusat penampungan anak, terutama sering mencuci tangan dengan
sabun dan air sudah menjadi budaya sehari-hari.
2.2.10 Penanganan Penderita
1. Laporan kepada pejabat kesehatan setempat: Laporan kasus infeksi E.
coli 0157:H7 merupakan keharusan di beberapa negara bagian di
Amerika Serikat dan di banyak negara, Kelas 2B (lihat tentang
pelaporan penyakit menular). Mengenal KLB secara dini dan segera
melaporkan kepada Dinas Kesehatan setempat sangatlah penting.
2. Isolasi: Selama penyakit dalam keadaan akut, tindakan pencegahan
dengan kewaspadaan enterik. Walaupun dengan dosis infektif yang
amat kecil, pasien yang terinfeksi dilarang menjamah makanan atau
menjaga anak atau merawat pasien sampai hasil sampel tinja atau suap
dubur negatif selama 2 kali berturut-turut (diambil 24 jam secara
terpisah dan tidak lebih cepat dari 48 jam setelah pemberian dosis
antibiotik yang terakhir).
3. Disinfeksi serentak: dilakukan terhadap tinja dan barang-barang yang
terkontaminasi. Masyarakat yang mempunyai sistem pembuangan
kotoran modern dan memadai, tinja dapat dibuang langsung kedalam
saluran pembuangan tanpa dilakukan desinfeksi. Pembersihan terminal.
4. Karantina: tidak ada.
5. Penatalaksanaan kontak: Jika memungkinkan mereka yang kontak
dengan diare dilarang menjamah makanan dan merawat anak atau
pasien sampai diare berhenti dan hasil kultur tinja 2 kali berturut-turut
negatif. Mereka diberitahu agar mencuci tangan dengan sabun dan air
sehabis buang air besar dan sebelum menjamah makanan atau
memegang anak dan merawat pasien.
6. Penyelidikan kontak dan sumber infeksi: kultur kontak hanya terbatas
dilakukan pada penjamah makana, pengunjung dan anak-anak pada
pusat perawatan anak dan situasi lain dimana penyebaran infeksi
mungkin terjadi. Pada kasus sporadic, melakukan kultur makanan yang
dicurigai tidak dianjurkan karena kurang bermanfaat.
7. Pengobatan spesifik: Penggantian cairan dan elektrolit penting jika
diare cair atau adanya tanda dehidrasi (lihat Kolera, 9B7). Peranan
pengobatan antibiotika terhadap infeksi E. coli 0157:H7 dan EHEC
lainnya tidak jelas. Bahkan beberapa kejadian menunjukkan bahwa
pengobatan dengan TMP-SMX fluorquinolones dan antimikrobial
tertentu lainnya dapat sebagai pencetus komplikasi seperti HUS.
2.2.11 Penanggulangan Wabah
1. Laporkan segera kepada pejabat kesehatan setempat jika ditemukan
adanya kelompok kasus diare berdarah akut, walaupun agen penyebab
belum diketahui.
2. Cari secara intensif media (makanan atau air) yang menjadi sumber
infeksi, selidiki kemungkinan terjadinya penyebaran dari orang ke
orang dan gunakan hasil penyelidikan epidemiologis ini sebagai
pedoman melakukan penanggulangan yang tepat.
3. Singkirkan makanan yang dicurigai dan telusuri darimana asal makanan
tersebut; pada KLB keracunan makanan yang common-cource; ingatan
terhadap makanan yang dikonsumsi dapat mencegah banyak kasus
4. Jika dicurigai telah terjadi KLB dengan penularan melalui air
(waterborne), keluarkan perintah untuk memasak air dan melakukan
klorinasi sumber air yang dicurigai dibawah pengawasan yang
berwenang dan jika ini tidak dilakukan maka sebaiknya air tidak
digunakan.
5. Jika kolam renang dicurigai sebagai sumber KLB, tutuplah kolam
renang tersebut dan pantai sampai kolam renang diberi klorinasi atau
sampai terbukti bebas kontaminasi tinja. Sediakan fasilitas toilet yang
memadai untuk mencegah kontaminasi air lebih lanjut oleh orang-orang
yang mandi.
6. Jika suatu KLB dicurigai berhubungan dengan susu, pasteurisasi dan
masak dahulu susu tersebut sebelum diminum.
7. Pemberian antibiotik untuk pencegahan tidak dianjurkan.
8. Masyarakatkan pentingnya mencuci tangan dengan sabun setelah buang air
besar; sediakan sabun dan kertas tissue.
2.2.12 Implikasi Bencana
Potensial terjadi bencana jika kebesihan perorangan dan sanitasi
lingkungan tidak memadai
2.2.13 Tindakan Internasional
Manfaatkan pusat kerja sama WHO.
BAB IIIMETODE KERJA
3.1 Waktu dan Tempat
Observai mengenai permasalahan kesehatan ini dilaksanakan pada
tanggal 22 Maret 2013 pada pukul 10.30-12.25 WITA, bertempat pada
pemukiman yang berada di Jalan Tarmidi RT. 12 sekitar Sungai Karang
Mumus Kelurahan Sungai Pinang Luar Samarinda Ilir.
3.2 Cara Pengambilan Data
Pengambilan data dilaksanakan dengan metode observasi dan
dilanjutkan dengan wawancara kepada warga setempat, dengan pengambilan
data random sampling yaitu pemilihan secara acak memilih rumah salah
seorang warga.
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Situasi dan Kondisi Rumah Wilayah Sekitar
Berdasarkan survei yang telah dilakukan di Jalan Tarmidi RT 12, di
daerah sekitar pinggiran Sungai Karang Mumus Samarinda atau yang
biasa dikenal dengan Pasar Burung, kondisi lingkungan sekitarnya
tergolong pemukiman padat penduduk serta kumuh. Di kiri kanan jalan
dapat dijumpai deretan pedagang unggas peliharaan, belum lagi ditambah
kondisi jalan yang sempit namun padat setiap harinya. Aliran air yang
biasa digunakan pedagang untuk membersihkan kandang sering
menimbulkan genangan air akibat tidak adanya selokan sebagai saluran
pembuangan.
Jarak antar rumah yang satu dengan yang lainnya sangat berdekatan,
sehingga hanya menyisakan jarak 1 meter sebagai pembatas, bahkan ada
yang sama sekali tidak memiliki sekat. Kondisi lingkungan rumah yang
bersebelahan langsung dengan Sungai Karang Mumus menyebabkan
masyarakat banyak melakukan aktifitasnya dlingkungan sungai, seperti
MCK bagi warga yang tidak memiliki WC atau jamban dan membuang
sampah langsung ke sungai. Hal inilah yang menyebabkan sering
timbulnya bau tidak sedap sedap disekitar rumah warga.
Berdasarkan permasalahan lingkungan itulah dilakukan sebuah
wawancara dengan beberapa warga sekitar untuk mengetahui penyakit
yang ditimbulkan akibat kondisi wilayah yang sangat kumuh. Dari dua
responden yang berhasil diwawancarai, didapat dua penyakit yaitu TBC
yang menyerang seorang pria lanjut usia serta diare pada anak usia 1,5
tahun.
Kondisi rumah dan lingkungan dari kedua responden ini sangatlah
sumpek dan pengap dikarenakan jumlah barang yang sangat menumpuk
tidak sesuai dengan kapasitas tampung rumah sebenarnya. Selain itu,
masing-masing rumah sama sekali tidak memiliki bak untuk menampung
sampah, mereka terbiasa langsung membuang sampah ke bantaran sungai
yang tepat berada di atas dapur.
Keadaan rumah inilah yang membuat warga sekitar gampang sekali
terkena penyakit karena kurangnya kesadaran akan menjaga kebersihan
lingkungan. Meskipun kedua responden tersebut memiliki jamban pribadi
di dalam rumah, namun saluran air serta pembuangan limbah kotoran
masih mengharapkan pada air sungai.
4.1.2 Identifikasi Permasalahan Kesehatan
Responden pertama adalah Bapak Wijaya (nama disamarkan) 65
tahun, yang merupakan seorang pria lanjut usia yang sudah tidak memiliki
pekerjaan dengan keseharian beraktifitas di dalam rumah dan duduk di
teras rumah. Sedangkan responden kedua adalah Iwan (nama disamarkan)
1,5 tahun seorang balita laki-laki.
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, didapati bahwa
responden pertama menderita penyakit TBC dan baru keluar dari rumah
sakit, sedangkan responden kedua memiliki riwayat penyakit diare. Faktor-
faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit dari kedua responden
tersebut adalah :
1. Faktor Lingkungan
Kondisi Rumah Responden
Kondisi rumah dari kedua responden ini rata-rata tidak memiliki ruang
tidur yang cukup serta kamar mandi yang tidak memenuhi syarat.
Disekitar rumah responden juga sering muncul bau tidak sedap karena
tidak adanya bak pembuangan sampah.
Bahan Bangunan
Rata-rata bangunannya adalah kayu karena sebagian rumah berada
tepat di atas sungai. Atapnya berbahan seng alumunium, tidak
memiliki langit-langit, dan lantai hanya dilapisi karpet plastik. Untuk
WC responden hanya menggunakan lantai kayu yang dilobangi dan
dipakai sebagai pembuangan.
Ventilasi
Kedua responden ini tidak memiliki ventilasi khusus sebagai
penyaring udara, hanya menggunakan jendela langsung untuk
mengganti udara yang ada di lam rumah.
Cahaya
Cahaya pada responden penderita TBC masih minim karena
banyaknya barang dalam rumah dan sekat-sekat antar ruang sehingga
membuat suasana ruangan lebih gelap. Sedangkan pada reponden
penderita diare untuk cahaya sangat terang terutama di pagi hari
karena tidak ada sekat antar ruang dan posisi rumah menghadapi
matahari.
Sanitasi
Sanitasi dari kedua responden ini tidak ada yang memenuhi syarat
karena tidak tersedianya saluran penyimpanan untuk pembuangan
kotoran.
2. Faktor Ekonomi
Keadaan ekonomi responden yang terbilang cukup pas-pasan
menyebabkkan keluarga hanya mampu hidup di lingkungan pemukiman
yang kurang sehat sehingga mendorong peningkatan serangan berbagai
penyakit menular.
3. Faktor Demografi
Jumlah penduduk disekitar Lingkungan pemukiman responden
yang besar mendorong peningkatan jumlah populasi yang besar pula.
Ditambah lagi dengan status kesehatan masyarakat yang masih rendah,
akan menambah berat beban kegiatan pemberantasan penyakit menular.
4. Faktor Perilaku
Perilaku bersih dan sehat tersebut sangat dipengaruhi oleh budaya
dan tingkat pendidikan penduduk. Dengan makin meningkatnya tingkat
pendidikan di masyarakat diperkirakan akan berpengaruh positif
terhadap pemahaman masyarakat dalam menjaga kesehata.mungkin
faktor – faktor tersebut yang mnyebabkan PHBS dari responden
kurang.
4.1.3 Identifikasi Waktu, Tempat, dan Orang
Dari wawancara yang dilakukan, responden pertama mengaku
menderita penyakit TBC. Responden mengaku bahwa ia baru-baru saja
menderita TB, yaitu sekitar 1 tahun lalu.
Sedangkan pada responden kedua, diare yang dialaminya sudah ada
semenjak masih berusia 7 bulan.
1. Person (orang)
Person adalah karakteristik dari individu yang mempengaruhi
keterpaparan yang mereka dapatkan dan susceptibilitasnya terhadap
penyakit. Person yang karakteristiknya mudah terpapar dan peka
terhadap suatu penyakit akan mudah jatuh sakit.
Karakteristik dari person ini bisa berupa faktor genetik, umur,
jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan, dan status sosial-ekonomi.
- Umur, responden pertama yaitu Bapak Wijaya berusia 65 tahun, dan
responden kedua yaitu Iwan berusia 1,5 tahun.
- Jenis kelamin, responden pertama adalah seorang laki-laki, dan
responden kedua juga laki-laki. Dimana pada penyakit tertentu jenis
kelamin juga turut mempengaruhi munculnya masalah kesehatan.
- Besarnya keluarga, diketahui bahwa responden pertama hidup dengan
seorang istri dan ketiga anak laki-lakinya yang sudah menikah.
Sedangkan responden kedua merupakan seorang anak balita yang
tinggal dengan kedua orang tua dan 2 saudaranya. Sehingga di rumah
kedua responden sangat padat penghuni.
- Status perkawinan, status perkawinan untuk responden pertamaa
adalah sudah menikah dan responden kedua belum.
- Pekerjaan, responden pertama merupakan seorang lansia sehingga
sudah tidak bekerja lagi, sedangkan responden kedua merupakan
seorang balita.
2. Waktu (time)
Waktu kejadian penyakit dapat dinyatakan dalam jam, hari,
minggu, bulan, atau tahun. Informasi waktu bisa menjadi pedoman
tentang kejadian yang timbul dalam masyarakat.
Menurut pengakuan responden pertama, Bapak Wijaya yang baru
saja keluar dari rumah sakit karena menderita TBC, ia mulai sakit yaitu
sekitar 1 bulan yang lalu, dan gejala penyakit TBC ini baru pertama kali
dialami oleh Bapak Wijaya ketika usianya sudah mulai lanjut.
Sedangkan responden kedua yaitu Iwan, menurut pengakuan kedua
orang tuanya ia mengalami sakit diare pada umur 7 bulan, dimana
setelah itu pada usia 1 tahun penyakit tersebut mulai lagi dikarenakan si
anak sudah mulai bisa berjalan.
3. Tempat (place)
Epidemiologi juga tertarik terhadap tempat kejadian. Faktor
tempat ini berkaitan dengan karakteristik geografis. Karena itu,
deskripsi epidemiologi tentang tempat bisa berupa: blok (cluster
rumah), RT/RK, kota, desa, negara, region, dll. Perbedaan distribusi
penyakit menurut tempat ini memberikan petunjuk pola perbedaan
penyakit yang dapat menjadi pegangan dalam mencari faktor-faktor lain
yang belum diketahui.
Bapak Wijaya maupun Iwan mengaku menderita penyakit TBC
dan diare sejak mereka telah bermukim di daerah Tarmidi. Dimana
kedua responden tersebut sudah bermukim disana sejak puluhan tahun
lalu dan Iwan juga lahir di sana.
4.1.4 Identifikasi Frekuensi, Determinan, dan Distribusi Penyakit
Komponen yang tidak kalah pentingnya dalam epidemiologi adalah
mengenai frekuensi, distribusi, dan determinan suatu permasalahan
kesehatan.
.
1. Frekuensi
Frekuensi merupakan besarnya suatu masalah yang terjadi, baik
dengan ukuran masalah yang berupa angka kejadian maupun rasio
kejadian atau seberapa sering gejala penyakit/penyakit itu diamati oleh
masyarakat. Berdasarkan survei yang telah dilakukan, penyakit TBC
yang diderita oleh Bapak Wijaya juga diderita oleh beberapa warga
sekitar. Begitu pula dengan penyakit diare yang terjadi pada Iwan, juga
dialami oleh beberapa warga sekitar (tetangga).
2. Distribusi
Distribusi merupakan penyebaran permasalahan kesehatan dengan
keterangan populasi/subyek (who/whom), tempat permasalahan terjadi
(where), serta waktu terjadinya masalah kesehatan (when). Pada kasus
Bapak Wijaya, penyakit TBC yang dideritanya ada sejak 1 tahun yang
lalu. Dan pada Iwan, penyakit diare yang dideritanya ada sejak usia 7
bulan dan terakhir pada usia 1 tahun. Dimana pada kedua responden,
penyakit ini diderita ketika mereka sudah bermukim di pinggiran
Sungai Karang Mumus Jl. Tarmidi Samarinda.
3. Determinan
Determinan merupakan faktor yang memegang peranan dalam
munculnya masalah kesehatan, yaitu sebagai faktor penyebab. Faktor
penyebab disini dapat berupa pola hidup, lingkungan sekitar, maupun
faktor genetik, atau jika dikaitkan dengan segitiga epidemiologi dapat
berupa Host, Agent, serta Environment. Pada Bapak Wijaya, faktor
penyebab munculnya penyakit TBC dikarenakan oleh host/manusia itu
sendiri, dimana dengan seiring bertambahnya usia, maka fungsi organ-
organ tubuh sudah mulai berkurang dan mudah terserang penyakit, serta
pola hidup Bapak Wijaya yang sebelumnya tidak dijaga dengan baik.
Begitu pula pada Iwan, faktor penyebab munculnya penyakit
diare dikarenakan oleh faktor host, karena host tidak mendapatkan
asupan gizi pada makanan padahal pada saat itu Iwan masih berusia
bayi.
4.1.5 Identifikasi Host, Agent, dan Environtment
Segitiga epidemiologi merupakan konsep dasar epidemiologi yang
memberikan gambaran tentang hubungan antara 3 faktor utama yang
berperan dalam terjadinya penyakit dan masalah kesehatan lainnya.
Segitiga ini merupakan gambaran interaksi antara 3 faktor, yakni host,
agent, dan environment. Dimana jika terjadi gangguan terhadap
keseimbangan hubungan segitiga inilah yang akan menimbulkan status
sakit.
1. Host (Penjamu)
Pejamu adalah manusia / makhluk hidup lainnya yang menjadi
tempat terjadi proses alamiayah perkembangan penyakit. Faktor
penjamu yang berkaitan dengan kejadia penyakit dapat berupa: genetik,
umur, jenis kelamin, ras, etnik, anatomi tubuh, dan status gizi.
- Genetik, pada Bapak Wijaya, diketahui tidak ada hubungan antara
penyakit TBC yang dideritanya dengan faktor genetik, begitu pula
pada Iwan.
- Umur, diketahui bahwa penyakit yang muncul pada Bapak Wijaya
dipicu oleh faktor usia yang semakin bertambah. Sedangkan pada
Iwan dikarenakan factor usia bayi yang masih rentan terhadap
penyakit.
- Jenis kelamin, ditemukan penyakit yang terjadi lebih banyak atau
hanya mungkin pada wanita.
- Keadaan fisiologi tubuh, kelelahan, kehamilan, pubertas, stres, atau
keadaan gizi. Dimana pada kasus Bapak Wijaya diketahui bahwa
salah satunya disebabkan karena fungsi fisiologis yang mulai
berkurang karena faktor usia serta kelelahan akibat bekerja.
- Tingkah laku, gaya hidup, dan personal hygiene. Dimana pada Iwan
diduga penyakit diare yang diderita karena personal hygiene dan pola
hidup. Dan pada Bapak Wijaya penyakit yang diderita disebabkan
oleh pola hidup yang kurang sehat.
2. Agent
Agent adalah suatu unsur, organisme hidup yang dapat
menyebabkan terjadinya suau penyakit. Pada beberapa penyakit agen
ini adalah sendiri (single), misalnya pada penyakit-penyakit infeksi,
sedangkan yang lain bisa terdiri dari beberapa agen yang bekerjasama,
misalnya pada penyakit kanker. Agent dapat berupa unsur biologis,
unsur nutrisi, unsur kimiawi, dan unsir fisika.
Dari segi epidemiologi, konsep agent mempergunakan
terminologi faktor resiko. Istilah faktor resiko mencakup seluruh faktor
yang dapat memberikan kemungkinan menyebabkan terjadinya
penyakit. Di dalamnya termasuk faktor gaya hidup dan bukan
mikroorganisme saja, seperti gangguan gizi, ekonomi/kemiskinan, dan
lain-lain.
Pada kedua responden yang ada, agent yang menyebabkan
munculnya penyakit disebabkan oleh pola hidup responden. Namun,
dapat pula disebabkan oleh agen biologi, yaitu bakteri Mycobacterium
tuberculosis yang menyebabkan panyakit TBC dan E.coli yang
menyebabkan diare.
3. Environment (Lingkungan)
Lingkungan adalah semua faktor luar dari suatu individu yang
dapat berupa lingkungan fisik, biologis, dan sosial. Yang tergolong
faktor lingkungan meliputi:
a. Lingkunga fisik: geologi, iklim, geografik
b. Lingkungan biologis: misalnya kepadatan penduduk, flora (sebagai
sumber bahan makanan) dan fauna (sebagai sumber protein)
c. Lingkungan sosial: berupa migrasi/urbanisasi,lingkungan kerja,
keadaan perumahan, keadaan sosial masyarakat (kekacauan, bencana
alam, perang, dan banjir)
Pada kedua responden yang tinggal di daerah yang sama, maka
pengaruh lingkungan yang dirasakan oleh kedua responden juga sama.
Dimana lingkungan sekitar tempat tinggal mereka merupakan daerah
kumuh dan padat penduduk. Adanya aliran sungai karang mumus di
belakang rumah mereka membuat bau tidak sedap sering tercium dan
banyak vektor penyakit seperti nyamuk, khususnya pada malam hari.
Adanya aliran sungai karang mumus ini sering digunakan penduduk
sekitar untuk melakukan aktifitas MCK.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Riwayat Alamiah Penyakit
1. Responden I
a. Tahap prepatogenesis
Pada tahap ini, responden masih dalam keadaan sehat, namun
pada dasarnya mereka rentan terhadap kemungkinan terganggu oleh
serangan agen penyakit. Pada tahap ini sudah terjadi interaksi antara
agent dengan host di luar tubuh.
Pada tahap ini Bapak Wijaya masih dalam keadaan sehat,
namun sudah ada interaksi antara peyebab penyakit, dalam hal
penyakit maag yang dideritanya, penyebab bisa berupa interaksi
dengan bateri Mycobacterium tuberculosis, pengaruh usia yang kian
bertambah, maupun pengaruh dari gaya hidup Bapak Wijaya, seperti
stress, pola makan, dll.
b. Tahap patogenesis
- Tahap inkubasi
Tahap ini merupakan tenggang waktu antara masuknya bibit
penyakit ke dalam tubuh yang peka tehadap penyebab penyakit,
sampai timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi ini bervariasi
antara satu penyakit dengan penyakit lainnya. Setiap peyakit
mempunyai masa inkubasi tersendiri, dan pengetahuan masa
inkubasi dpat dipakai untuk identifikasi jenis penyakitnya.
Dalam kasus penyakit TBC Bapak Wijaya kemungkinan
bakteri Mycobacterium tuberculosis sudah masuk ke dalam tubuh
atau dapat pula kondisi tubuhnya sedang menurun. Namun, Bapak
Wijaya masih terlihat normal/sehat.
- Tahap dini
Tahap penyakit dini dimulai dengan munculnya gejala
penyakit yang terlihat ringan. Dimana tahap ini sudah mulai
menjadi masalah kesehatan karena sudah ada gangguan patologis,
seperti pada Bapak Wijaya yang mulai merasakan gejala seperti
batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu, perasaan tidak enak
(malaise), dan lemah.
- Tahap lanjut
Tahap penyakit lanjut merupakan tahap dimana peyakit
bertambah jelas dan mungkin tambah berat dengan segala kelainan
patologis dan gejalanya. Pada tahap ini penyakit sudah
menunjukkan gejala dan kelainan klinik yang jelas, sehingga
diagnosis sudah relatif mudah ditegakkan. Seperti yang terjadi pada
Ibu Rusminah, yaitu gejala tidak hanya mual ataupun kembung,
namun sudah disertai dengan rasa perih yang amat sangat di bagian
ulu hati serta muntah. Pada tahap ini proses pengobatan sudah
mulai diperlukan untuk menghindari akibat lanjut yang kurang
baik.
- Tahap akhir
Tahap ini merupakan tahap akhir perjalanan penyakit, dimana
penderita dapat berada dalam 5 kondisi, yaitu:
1. Sembuh sempurna, yakni bibit penyakit menghilang dan tubuh
menjadi pulih, sehat kembali.
2. Sembuh dengan cacat, yakni bibit penyakit menghilang,
penyakit sudah tidak ada, tetapi tubuh tidak pulih sepenuhnya,
meninggalkan bekas gangguan yang permanen berupa cacat.
3. Karier, dimana tubuh penderita pulih kembali, namun bibit
penyakit masih tetap ada dalam tubuh tanpa memperlihatkan
gangguan penyakit.
4. Penyakit tetap berlangsung secara kronik.
5. Berakhir dengan kematian.
Pada kasus Bapak Wijaya, didapati bahwa perjalanan
penyakit TBC berada dalam kondisi penyakit tetap berlangsung
secara karier.
c. Tahap Pasca Patogenesis
Merupakan tahap berakhirnya perjalanan penyakit, dimana
Bapak Wijaya sudah sembuh, namun terkadang penyakit masih tetap
dirasakan.
2. Responden II
a. Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini, responden masih dalam keadaan sehat, namun
pada dasarnya mereka rentan terhadap kemungkinan terganggu oleh
serangan agen penyakit. Pada tahap ini sudah terjadi interaksi antara
agent dengan host di luar tubuh.
Pada tahap ini Iwan masih dalam keadaan sehat, namun sudah
ada interaksi antara peyebab penyakit, dalam hal penyakit diare yang
dideritanya, penyebab bisa berupa pola hidup makan yang tidak
sehat, kurang vitamin, dan usia bayi yang masih rentan terhdapa
penyakit.
b. Tahap patogenesis
- Tahap inkubasi
Tahap ini merupakan tenggang waktu antara masuknya bibit
penyakit ke dalam tubuh yang peka tehadap penyebab penyakit,
sampai timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi ini bervariasi
antara satu penyakit dengan penyakit lainnya. Setiap peyakit
mempunyai masa inkubasi tersendiri, dan pengetahuan masa
inkubasi dpat dipakai untuk identifikasi jenis penyakitnya.
Dalam kasus penyakit diare Iwan, kemungkinan kondisi
tubuh Iwan sudah mulai menurun. Namun, Iwan masih terlihat
normal/sehat.
- Tahap dini
Tahap penyakit dini dimulai dengan munculnya gejala
penyakit yang terlihat ringan. Dimana tahap ini sudah mulai
menjadi masalah kesehatan karena sudah ada gangguan patologis,
seperti pada Iwan yang mulai merasakan gejala seperti mengalami
mencret dengan frekuensi yang lebih banyak dalam sehari, muntah-
muntah, dan badan menjadi lemah.
- Tahap lanjut
Tahap penyakit lanjut merupakan tahap dimana peyakit
bertambah jelas dan mungkin tambah berat dengan segala kelainan
patologis dan gejalanya. Pada tahap ini penyakit sudah
menunjukkan gejala dan kelainan klinik yang jelas, sehingga
diagnosis sudah relatif mudah ditegakkan. Seperti yang terjadi pada
Iwan, yaitu gejala tidak muntah dan panas, namun sudah disertai
buang air disertai tinja yang encer dengan frekuensi banyak, serta
badan yang mulai terasa lemas. Pada tahap ini proses pengobatan
sudah mulai diperlukan untuk menghindari akibat lanjut yang
kurang baik seperti untuk menghindari kemungkinan terjadinya
diare akut.
- Tahap akhir
Tahap ini merupakan tahap akhir perjalanan penyakit, dimana
penderita dapat berada dalam 5 kondisi, yaitu:
1. Sembuh sempurna, yakni bibit penyakit menghilang dan tubuh
menjadi pulih, sehat kembali.
2. Sembuh dengan cacat, yakni bibit penyakit menghilang,
penyakit sudah tidak ada, tetapi tubuh tidak pulih sepenuhnya,
meninggalkan bekas gangguan yang permanen berupa cacat.
3. Karier, dimana tubuh penderita pulih kembali, namun bibit
penyakit masih tetap ada dalam tubuh tanpa memperlihatkan
gangguan penyakit.
4. Penyakit tetap berlangsung secara kronik.
5. Berakhir dengan kematian.
Pada kasus Iwan, didapati bahwa perjalanan penyakit diare
berada dalam kondisi penyakit sembuh sempurna.
c. Tahap pasca patogenesis
Merupakan tahap berakhirnya perjalanan penyakit, dimana
Iwan sudah sembuh sempurna, dan penyakit diare sampat saat ini
sudah tidak menyerang.
4.2.2 5 Level Prevention
Salah satu kegunaan pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit
adalah untuk dipakai dalam merumuskan dan melakukan upaya
pencegahan. Artinya, dengan mengetahui perjalanan penyakit dari waktu
ke waktu serta perubahan-perubahan yang terjadi di setiap tahap tersebut
dapat dipikirkan upaya-upaya pencegahan apa yang sesuai dan dapat
dilakukan sehingga penyakit itu dapat dihambat perkembangannnya
sehingga tidak menjadi semakin berat, bahkan dapat disembuhkan. Upaya
pencegahan yang biasa digunakan adalah 5 Level of Prevention, yaitu:
a. Health Promotion
Merupakan upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan
status kesehatan masyarakat. Dimana sasaran dari upaya pencegahan ini
adalah orang-orang yang masih dalam keadaan sehat. Upaya yang
dilakukan dapat berupa penyuluhan, atau pemahaman/pendidikan
tentang perilaku hidup bersih dan sehat.
Dalam kasus kedua responden tersebut, dalam dilakukan
perubahan dapat diterapkan dengan penyediaan makanan sehat dan
cukup (kualitas maupun kuantitas), perbaikan hygiene dan sanitasi
lingkungan, misalnya penyediaan air bersih, pembuangan sampah,
pembuangan tinja dan limbah. Pendidikan kesehatan kepada
masyarakat. Olahraga secara teratur sesuai kemampuan individu.
Kesempatan memperoleh hiburan demi perkembangan mental dan
sosial.
b. Specific Protection
Merupakan upaya pencegahan yang dilakukan pada orang yang
masih sehat, namun lebih spesifik. Misalnya Imunisasi Aktif, melalui
vaksinasi BCG secara nasional dan internasional pada daerah dengan
angka kejadian tinggi dan orang tua penderita atau beresiko tinggi
dengan nilai proteksi yang tidak absolut dan tergantung Host tambahan
dan lingkungan, pemberian Chemoprophylaxis obat anti TBC yang
dinilai terbukti ketika kontak dijalankan dan tetap harus
dikombinasikan dengan pasteurisasi produk ternak.
c. Early Diagnosis and Prompt Treatment
Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap
kesehatan dan penyakit membuat penyakit-penyakit yang ada di
masyarakat sulit terdeteksi. Karenanya diharapkan bagi setiap
masyarakat yang mengalami gejala gangguan kesehatan untuk segera
memeriksakan kondisinya ke petugas kesehatan agar dapat segera
diobati.
Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan indikator anak
yang terinfeksi TBC sebagai pusat, sehingga pengobatan dini dapat
diberikan. Selain itu, pengetahuan tentang resistensi obat dan gejala
infeksi juga penting untuk seleksi dari petunjuk yang paling efektif.
d. Disability Limitation
Kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat tentag
kesehatan dan penyakit, sering menyebabkan masyarakat tidak
melanjutkan pengobatannya hingga tuntas. Padahal pengobatan yang
tidak layak dan sempurna dapat mengakibatkan yang bersangkutan
menjadi cacat atau memiliki ketidakmampuan untuk melakukan
sesuatu. Karenanya diharapkan masyarakat yang sudah mengalami sakit
dan menjalani pengobatan dapat melakukannya hingga tuntas.
Dan diharapkan pada Bapak Wijaya dan Iwan dapat menjalani
proses pengobatan secara tuntas agar penyakit yang dideritanya dapat
hilang atau minimal berkurang frekuensi munculnya keluhan penyakit.
e. Rehabilitation
Setelah sembuh dari penyakitnya, terkadang orang menjadi
cacat atau masih memiliki penyakit tersebut. Selanjutnya, pelayanan
kesehatan kembali dan penggunaan media pendidikan untuk
mengurangi cacat sosial dari TBC, serta penegasan perlunya
rehabilitasi.
4.2.3 Sistem Kewaspadaan Dini (SKD)
Sistem kewaspadaan dini merupakan kewaspadaan terhadap
penyakit beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan menerapkan
teknologi surveilans epidemiologi dan dimanfaatkan untuk meningkatkan
sikap tanggap kesiapsiagaan, upaya-upaya pencegahan dan tindakan
penanggulangan kejadian luar biasa yang cepat dan tepat.
Pada responden pertama, Bapak Wijaya, dapat dilihat bahwa beliau
sudah mulai menerapkan sistem kewaspadaan dini, yaitu mulai mengontrol
asupan makanan dan waktu makan, menghindari penyebab agar TBC tidak
kembali lagi, dan segera memeriksakan diri ke dokter jika sudah
merasakan gejala-gejala TB kambuh. Dapat dilihat bahwa kesadaran akan
menjaga kesehatan sudah dimiliki oleh Bapak Wijaya.
Sedangkan pada responden kedua, Iwan, sistem kewaspadaan diri
juga sudah diterapkan dengan baik oleh kedua orang tuanya. Pola makan
dan aktivitas sehari-hari selalu diawasi agar sang anak tidak kambuh lagi,
dan jika kambuh tindakan untuk memberikan oralit segera sebagai langkah
awal pengobatannya.
4.2.4 Pemantauan Wilayah Setempat (PWS)
Pemantauan merupakan upaya rutin mulai dari pengumpulan,
pengolahan dan analisa data setempat yang hasilnya kemudian untuk
perbaikan program di tingkat tersebut. Tujuan dari pemantauan ini adalah
untuk mengetahui sampai dimana keberhasilan kerja sekarang,
permasalahan yang ada, dan hal-hal apa yang perlu dilakukan untuk
memperbaiki program. Tujuan PWS adalah memanfaatkan data yang
paling minimal dengan mengembangkan indikator yang cukup sensitif
bagi pemantauan penyelenggaraan program sehingga dapat dikatakan
secara cepat wilayah mana yang maju dan mana yang belum serta
tindakan atau upaya yang diperlukan untuk memperbaikinya.
Berdasarkan hasil pengamatan, pemantauan di wilayah Jalan
Tarmidi pinggir Sungai Karang Mumus RT. 12 tidak berjalan lancar
dengan instansi-instansi terkait. Dari pihak instansi kesehatan sendiri
hanya melakukan program-program yang umumnya dilakukan di
posyandu. Hingga saat ini belum ada program yang menitikberatkan pada
permasalahan penyakit yang terjadi pada masyarakat. Selain itu baik dari
pihak puskesmas maupun dari warganya tidak timbul kesadaran untuk
menjaga kesehatan lingkungan sekitar sehingga ligkungan sekitar tetap
kumuh, kotor, lembab, dan tidak teratur.
4.2.5 Advice untuk Upaya Pencegahan
1. Health Promotion
Pada Iwan, sebaiknya dilakukan perubahan pola makan, dengan
menjaga makanan apa saja yang dikonsumsi serta jadwal makan, serta
menjaga kebersihan diri maupun lingkungan sekitar agar tidak
terinfeksi bakteri E.coli penyebab diare. Dan untuk Bapak Wijaya
sebaiknya menjaga pola makan, pembersihan lingkungan sekitar rumah,
memperbaiki sanitasi, melakukan olahraga, dan ruin untuk berobat.,
2. Specific Protection
Untuk Iwan sebaiknya pada orang tua dibiasakan agar mengajari
anaknya untuk mencuci tangan sebelum makan, memotong kuku, serta
menjaga anak agar tidak bermain di daerah yang memicu
perkembangan bakteri dalam tubuh.
Sedangkan untuk Bapak Wijaya sebaiknya mengkosumsi Obat
Anti TBC (OAT), membatasi kegiatan berlebih, menghindari segala
jenis pemicunya, dan mejoga pola hidup agar tetap sehat.
BAB VPENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari survei yang telah dilakukan di darah pinggiran Sungai Karang
Mumus Jl. Tarmidi Samarinda didapatkan hasil bahwa :
Daerah tersebut merupakan daerah kumuh dan padat penduduk, dimana
ditemukan hanya beberapa warga saja yang sudah memiliki kamar mandi
dan jamban pribadi di rumah mereka, sehingga masih banyak warga yang
melakukan aktifitas MCK di Sungai Karang Mumus, dimana tentu saja hal
ini dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan.
Hasil wawancara dengan warga sekitar menunjukkan bahwa terdapat
berbagai macam masalah kesehatan, dan yang umum terjadi adalah
masalah penyakit batuk, flu, diare, penyakit kulit yang mayoritas diderita
oleh masyarakat, serta TBC dengan usia di atas 50 tahun. Dimana
diketahui bahwa faktor penyebabnya ialah pola hidup yang tidak sehat,
lingkungan, serta faktor pertambahan usia.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, maka diharapkan advice yang
diberikan terkait permasalahan kesehatan yang ada, dapat dipergunakan
dalam mengatasi mauapun mencegah terjadinya permasalahan kesehatan
di daerah tersebut. Yaitu dengan melakukan 5 level of prevention seperti
yang sudah dijelaskan di atas.
5.2 Saran
Sebaiknya dilakukan pemantauan secara berkala oleh instansi terkait
mengenai permasalahan kesehatan yang ada di wilayah sekitar guna
meningkatkan status kesehatan masyarakat setempat. Diiharapkan juga
adanya kesadaran dan partisipasi aktif pada masyarakat dalam menjaga
kesehatan serta lingkungan sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Diare. http://www.dinkesjakarta.com Diakses pada tanggal 01 April 2013
Anonim. Diare Akut Disebabkan Bakteri. http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-umar5.pdf Diakses tanggal 01 April 2013
Budiarto, Eko. 2003, Pengantar Epidemiologi. Jakarta: penerbit buku kedokteran egc.
Bustan Mn. 2002. Pengantar epidemiologi. Jakarta Rineka Cipta.
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI Jl. Salemba Raya No.6 Jakarta 10430. MD, Jeprey P.Koplan. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17.
Lembaga Internasional: APHA
Nasry, Nur Dasar-Dasar Epidemiologi , Arsip Mata Kuliah FKM Unhas 2006.
Setia Budi S, Journal Medica Nusantara vol.27 no.2 April- Juni 2006, Diare Akut Pada Anak; Departemen ilmu kesehatan anak FK UH/ RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo- Makassar
LAMPIRAN
LAMPIRAN