laporan pk kelompok d4 - glukosa
DESCRIPTION
BAB IDASAR TEORIA. Prinsip pemeriksaan metode finger prick testPrinsip pemeriksaan finger prick test adalah melakukan pembacaan glukosa darah kapiler dengan alat glukometer. Tetes darah diambil dari bagian ventral ujung jari tangan. Alat glukometer ini seiring dengan berjalannya waktu semakin beragam, semakin kecil, canggih, bahkan diatur dengan komputer sehingga pembacaan secara langsung dapat dilakukan dari angka yang didapat dari layar digital glukometer (Tandra, 2008).B. Prinsip pemeriksaan metode benedictPemeriksaan metode benedict menggunakan prinsip pemanasan pada suasana alkalis dapat menyebabkan glukosa bisa merubah cupri sulfat yang terdapat dalam larutan benedict menjadi cupri hidroksida dengan bermacam-macam warna sehingga dapat diamati kadar glukosanya di urin secara semi-kuantitatif. Pemeriksaan metode ini mirip dengan metode Fehling, akan tetapi metode Benedict lebih baik dalam segi pembacaan. Hal ini disebabkan karena pada metode benedict, bisa didapatkan hasil positif dalam beberapa derajat berbeda dengan warna yang berbeda, yaitu positif satu (+), positif dua (++), dan seterusnya. Dalam metode Fehling, tidak ada kadar positif dalam berbagai derajat. Jika menggunakan metode fehling, saat warna tetap biru, diinterpretasikan sebagai hasil negatif (-). Jika warna berubah menjadi hijau, kuning atau jingga, diinterpretasikan sebagai positif (+) tanpa adanya penderajatan (Nigam, 2008).TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM PATOLOGI KLINIKBLOK ENDOKRIN DAN METABOLISME
PEMERIKSAAN GLUKOSA DARAH DAN URIN
Oleh :
Kelompok D.4
1. Rizka Putri Pratiwi G1A012011
2. Dzicky Rifqi Fuady G1A012040
3. S. Liyaturrihana Putri G1A012124
4. Mutia Radella G1A012148
5. Jelita Numa Nadiya G1A012152
6. Agung Maulana Rahman G1A012027
7. Bayu Aji Pamungkas G1A011071
8. Agustin Nurul Fahmawati G1A012022
9. Gilang Ananda G1A011082
Asisten
Yefta
G1A011066
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN
2013
1
LEMBAR PENGESAHANPRAKTIKUM PATOLOGI KLINIK
BLOK ENDOKRIN DAN METABOLISMEPEMERIKSAAN GLUKOSA DARAH DAN URIN
Oleh :
Kelompok D.4
1. Rizka Putri Pratiwi G1A012011
2. Dzicky Rifqi Fuady G1A012040
3. S. Liyaturrihana Putri G1A012124
4. Mutia Radella G1A012148
5. Jelita Numa Nadiya G1A012152
6. Agung Maulana Rahman G1A012027
7. Bayu Aji Pamungkas G1A011071
8. Agustin Nurul Fahmawati G1A012022
9. Gilang Ananda G1A011082
Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum Patologi Klinik
blok Endokrin dan Metabolisme pada Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran dan
Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Diterima dan disahkan
Purwokerto, 12 Oktober 2012
Asisten,
YeftaNIM G1A011066
2
BAB I
DASAR TEORI
A. Prinsip pemeriksaan metode finger prick test
Prinsip pemeriksaan finger prick test adalah melakukan pembacaan
glukosa darah kapiler dengan alat glukometer. Tetes darah diambil dari bagian
ventral ujung jari tangan. Alat glukometer ini seiring dengan berjalannya
waktu semakin beragam, semakin kecil, canggih, bahkan diatur dengan
komputer sehingga pembacaan secara langsung dapat dilakukan dari angka
yang didapat dari layar digital glukometer (Tandra, 2008).
B. Prinsip pemeriksaan metode benedict
Pemeriksaan metode benedict menggunakan prinsip pemanasan pada
suasana alkalis dapat menyebabkan glukosa bisa merubah cupri sulfat yang
terdapat dalam larutan benedict menjadi cupri hidroksida dengan bermacam-
macam warna sehingga dapat diamati kadar glukosanya di urin secara semi-
kuantitatif. Pemeriksaan metode ini mirip dengan metode Fehling, akan tetapi
metode Benedict lebih baik dalam segi pembacaan. Hal ini disebabkan karena
pada metode benedict, bisa didapatkan hasil positif dalam beberapa derajat
berbeda dengan warna yang berbeda, yaitu positif satu (+), positif dua (++),
dan seterusnya. Dalam metode Fehling, tidak ada kadar positif dalam berbagai
derajat. Jika menggunakan metode fehling, saat warna tetap biru,
diinterpretasikan sebagai hasil negatif (-). Jika warna berubah menjadi hijau,
kuning atau jingga, diinterpretasikan sebagai positif (+) tanpa adanya
penderajatan (Nigam, 2008).
C. Definisi Glukosa
Glukosa, suatu gula monosakarida, adalah salah satu karbohidrat
terpenting yang digunakan sebagai sumber tenaga utama dalam tubuh.
Glukosa merupakan prekursor untuk sintesis semua karbohidrat lain di dalam
3
tubuh seperti glikogen, ribosa dan deoxiribosa dalam asam nukleat, galaktosa
dalam laktosa susu, dalam glikolipid, dan dalam glikoprotein dan proteoglikan
(Murray et al., 2009).
Glukosa merupakan produk akhir metabolisme karbohidrat dan
merupakan sumber energi utama pada organisme hidup, penggunaannya
dikendalikan oleh insulin. Kelebihan glukosa disimpan dalam hati menjadi
glikogen serta disimpan dalam otot untuk digunakan bila diperlukan dan di
samping itu diubah menjadi lemak dan disimpan sebagai jaringan adiposa
(Dorland, 2011).
D. Jalur Oksidasi Karbohidrat
Jalur utama oksidasi karbohidrat adalah glikolisis, oksidasi asam lemak,
oksidasi benda keton, siklus asam sitrat (siklus trikarboksilat), jalur pentosa
fosfat, dan jalur masing-masing untuk setiap asam amino. Dalam semua jalur
tersebut oksidasi glukosa terjadi melalui pemberian elektron kepada NAD+,
NADP+, dan FAD. Sintesis ATP dari jalur-jalur ini bergantung pada energi
yang dibebaskan oleh pemindahan elektron pembawa yang tereduksi ke O2
dan pada fosforilisasi oksidatif. Seluruh jalur tersebut adalah jalur aerobik
sehingga jalur-jalur tersebut menggunakan hampir seluruh oksigen yang kita
hirup (Dawn, Allan & Colleen, 2012).
E. Glikolisis
Glikolisis adalah suatu urutan reaksi-reaksi yang mengkonversi glukosa
menjadi piruvat bersamaan dengan produksi sejumlah ATP yang relatif kecil.
Pada organisme aerob, glikolisis adalah pendahuluan siklus asam sitrat dan
rantai transport elektron yang bersama-sama membebaskan sebagian energi
yang tersimpan dalam mitokondria, tempat piruvat dioksidasi lengkap menjadi
CO2 dan H2O (Stryer, 2000).
Sepuluh reaksi glikolisis terjadi dalam sitosol, pada tahap pertama
glukosa dikonversi menjadi fruktosa 1,6 bisfosfat melalui reaksi fosforilasi,
4
isomerisasi, dan fosforilasi kedua. Dua molekul ATP dipakai per molekul
glukosa pada reaksi-reaksi ini. Pada tahap kedua, fruktosa 1,6 bisfosfat
dipecah oleh aldolase membentuk dihidroksiaseton fosfat dan gliseraldehida
3-fosfat, yang dengan mudah mengalami interkonversi. Gliseraldehida 3-
fosfat kemudian mengalami oksidasi dan fosforilasi membentuk 1,3
bisfosfogliserat, suatu asil fosfat dengan potensi transfer fosforil yang tinggi.
3-fosfogliserat kemudian terbentuk dan ATP dihasilkan. Pada tahap akhir
glikolisis, fosfoenolpiruvat dikonversi menjadi piruvat. Terdapat keuntungan
bersih dari dua molekul ATP pada pembentukan dua molekul piruvat dari satu
molekul glukosa (Stryer, 2000).
Pada keadaan redoks jaringan kini menentukan jalur mana dari dua jalur
(aerob dan anaerob) yang diikuti. Pada kondisi anaerob, NADH tidak dapat
direoksidasi melalui rantai respiratorik menjadi oksigen. Piruvat direduksi
oleh NADH menjadi laktat yang dikatalisis oleh laktat dehidrogenase.
Terdapat berbagai isoenzim laktat dehidrogenase spesifik-jaringan yang
penting secara klinis. Reoksidasi NADH melalui pembentukan laktat
memungkinkan glikolisis berlangsung tanpa oksigen dengan menghasilkan
cukup NAD+ untuk siklus berikutnya dari reaksi yang dikatalisis oleh
gliseraldehida 3 - fosfat dehidrogenase (Murray et al., 2009).
F. Kadar glukosa darah
Kadar glukosa darah adalah istilah yang mengacu kepada tingkat
glukosa di dalam darah. Konsentrasi gula darah, atau tingkat glukosa serum,
diatur dengan ketat di dalam tubuh. Umumnya tingkat gula darah bertahan
pada batas-batas yang sempit sepanjang hari (70-150 mg/dl). Tingkat ini
meningkat setelah makan dan biasanya berada pada level terendah pada pagi
hari, sebelum orang makan (Henrikson et al., 2009).
Ada beberapa tipe pemeriksaan glukosa darah. Pemeriksaan gula darah
puasa mengukur kadar glukosa darah selepas tidak makan setidaknya 8 jam.
Pemeriksaan gula darah postprandial 2 jam mengukur kadar glukosa darah
5
tepat selepas 2 jam makan. Pemeriksaan gula darah ad random mengukur
kadar glukosa darah tanpa mengambil kira waktu makan terakhir (Henrikson
et al., 2009).
G. Mekanisme Keseimbangan Glukosa dalam darah
Pankreas adalah suatu organ yang terdiri dari jaringan eksokrin dan
endokrin. Bagian eksokrin mengeluarkan enzim-enzim pencernaan sedangkan
bagian endokrin mengeluarkan hormon-hormon yang dihasilkan oleh sel-sel
pada pulau Langerhans (Islets Langerhans). Bagian ini tersusun dari sel-sel
endokrin yaitu, sel α yang menghasilkan glukagon yang berfungsi untuk
mengubah glikogen menjadi glukosa melalui proses glikogenolisis dan
glikoneogenesis sehingga mengakibatkan glukosa dalam darah naik. Selain sel
α ada juga sel β yang menghasilkan insulin dan berfungsi untuk menurunkan
kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan proses glikogenesis sehingga
glukosa dalam darah diubah menjadi glikogen yang nantinya disimpan di
hepar dan otot. Walaupun jarang, adapula sel δ yang menghasilkan
somatostatin dan juga sel F yang menghasilkan polypeptide pankreas
(Sherwood, 2011).
6
Gambar 1. Keseimbangan Pengaturan kadar glukosa dalam darah (www.forumsains.com)
Insulin dan glukagon memainkan peran yang sangat penting dalam
regulasi kadar glukosa dalam darah agar tetap homeostasis. Apabila kadar
glukosa dalam darah turun, misalnya saat berpuasa, maka sel α akan
menyekresikan produknya yaitu glukagon yang berefek pada peningkatan
glikogenolisis dan glikoneogenesis yang terjadi pada hepar, dan otot skelet
serta jaringan adiposa sehingga mengakibatkan kadar gula dalam darah
kembali normal, keadaan normal glukosa darah ini mengakibatkan pelepasan
glukagon mulai berkurang sampai akhirnya berhenti. Sebaliknya, jika kadar
gula darah tinggi misalnya setelah makan makanan berkarbohidrat tinggi,
maka disinilah peran sel β yang mensekresikan insulin dan mengakibatkan
efek pada peningkatan proses glikogenesis dan pemakaian glukosa oleh sel-sel
tubuh dipercepat sehingga kadar glukosa darah kembali normal, dan sekresi
insulin pun dihentikan (Sherwood, 2011).
7
BAB II
METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
1. Metode finger prick
a. Alat
1) Larutan alkohol
2) Lanset
3) Jarum lanset
4) Glukometer
b. Bahan
1) Kapas steril
2) Darah kapiler
2. Metode benedict
a. Alat
1) Tabung reaksi
2) Lampu spiritus
3) Pipet tetes
4) Penjepit tabung
b. Bahan
1) Urin patologis
8
Gambar 2. Urin patologis
c. Reagen
1) Larutan Benedict berisi Cupri Sulfat, Trisodium Sulfat dan
Sodium Karbonat
B. Cara Pemeriksaan
1. Metode finger prick
a. Praktikan yang melakukan pengambilan darah kapiler mencuci tangan
b. Memijat ujung distal jari tangan probandus dari proksimal ke distal
sehingga tampak ujung distal jari kemerahan penuh darah
Gambar 3. Melakukan pemijatan ujung jari
c. Mempersiapkan kapas alkohol
d. Melakukan desinfeksi bagian ujung jari yang akan ditusuk dengan
kapas alcohol
e. Menusukkan lokasi yang telah didesinfeksi secara cepat dengan jarum
steril, darah yang keluar segera diteteskan ke alat glukometer
f. Menekan lokasi penusukkan jarum dengan kapas alkohol steril
g. Memastikan darah probandus berhenti keluar
h. Membaca hasil kadar glukosa darah dengan alat glukometer
2. Metode benedict
a. Memasukkan 5 ml reagen benedict ke dalam tabung reaksi
9
b. Meneteskan sebanyak 5-8 tetes utin ke dalam tabung reaksi
c. Memanaskan tabung reaksi selama 2-5 menit
Gambar 4. Memanaskan tabung reaksi selama 2-5 menit
d. Mengangkat tabung dan mengocok-ngocok isinya
e. Membaca hasil reduksi
Gambar 5. Membaca hasil reduksi
10
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Data Pemeriksaan
Hari, Tanggal : Rabu, 9 Oktober 2013
Tempat : Laboratorium PK Jurusan Kedokteran FKIK UNSOED
Waktu : 15.00 – 16.15
B. Identitas Probandus Urin Normal
Nama : Agung Maulana Rahman
Umur : 19 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
C. Identitas Probandus Urin Patologis
Nama : Tidak diketahui
Umur : Tidak diketahui
Jenis Kelamin : Tidak diketahui
Sumber : RS. Margono Soekardjo
D. Identitas Probandus Darah Kapiler
Nama : Agustin Nurul Fahmawati
Umur : 19 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
E. Hasil Pemeriksaan Glukosa Darah
1. Metode finger prick
Darah probandus diambil dari probandus dengan menggunakan
lanset lalu darah tersebut diteteskan pada alat glukometer. Hasil yang
didapatkan praktikan setelah melakukan pemeriksaan tersebut adalah
kadar glukosa darah terbaca 85 mg/dl. Pemeriksaan glukosa ini termasuk
11
dalam pemeriksaan gula darah sewaktu dan masuk kriteria normal, karena
normalnya kadar glukosa darah berada dalam rentang di bawah 200 mg/dl.
Gambar 6. Hasil pemeriksaan glukosa metode finger prick test
2. Metode benedict
Proses pencampuran antara larutan benedict sebanyak 5 ml dengan
5-8 tetes urin patologis menghasilkan suatu perubahan warna menjadi
warna hijau kekuning-kuningan. Hasil warna yang didapat
diinterpretasikan sebagai hasil positif satu (+), dengan arti urin probandus
patologis ini mengandung 0,5 – 1 % glukosa.
12
Gambar 7. Hasil pemeriksaan glukosa metode benedict
F. Pembahasan
1. Pemeriksaan glukosa metode finger prick test
Pemeriksaan metode finger prick test ini merupakan metode
pemeriksaan yang sangat berguna untuk menentukan glukosa darah
dengan menggunakan suatu alat yang disebut glukometer. Tes ini bisa
dilakukan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah puasa (GDP), 2
jam post prandial atau gula darah sewaktu (GDS), seperti yang dilakukan
pada pemeriksaan ini (Tandra, 2007).. Hasil pemeriksaan akan didapatkan
dalam waktu singkat dan sering digunakan sebagai pemeriksaan
penunjang penyakit tertentu, seperti diabetes mellitus (Wahyu, 2009).
Walaupun pemeriksaan ini menggunakan alat dan metode
pemeriksaannya pun sederhana, akan tetapi tetap saja bisa terjadi
kesalahan dalam metode ini. Beberapa kesalahan antara lain adalah faktor
lingkungan yang dapat mempengaruhi pembacaan oleh alat glukometer,
seperti suhu, kelembaban, ketinggian, dan sebagainya (Lee, 2009). Selain
itu, kesalahan juga bisa terjadi dari tempat penusukkan jari tangan.
13
Adapun daerah-daerah yang menjadi tempat pengambilan darah kapiler
untuk pemeriksaan ini antara lain adalah sebagai berikut.
Gambar 8. Daerah pengambilan darah yang dianjurkan (Timby, 2009)
2. Pemeriksaan glukosa metode benedict
Pemeriksaan metode benedict sangat berguna untuk menentukan
apakah ada glukosa dalam urin atau tidak. Normalnya, di urin memiliki
kandungan glukosa (glikosuria). Pada keadaan karbohidrat tubuh sangat
banyak yang disebabkan oleh konsumsi yang berlebihan, glikosuria dapat
terjadi. Glikosuria pun menjadi tanda khas yang terdapat pada pasien
Diabetes Mellitus. Kondisi lain yang dapat menyebabkan hasil menjadi
positif adalah kehamilan, konsumsi buah-buahan yang banyak, serta
pengaruh obat-obatan. Karena itu, pemeriksaan metode benedict ini lebih
baik daripada metode fehling (Nigam, 2008).
Pemeriksaan yang dilakukan oleh praktikan tidak sepenuhnya valid.
Bagaimanapun, pemeriksaan yang dilakukan oleh praktikan jauh berbeda
kualitasnya dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh pakar laboratorium.
Beberapa kesalahan yang dilakukan praktikan dan dapat mempengaruhi
hasil pemeriksaan diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Pengambilan reagen yang tidak tepat 5 ml
2. Penetesan urin patologis kurang dari 3 tetes atau lebih dari 8 tetes
3. Proses pemanasan inadekuat atau terlalu lama
4. Pengocokkan larutan hasil pemanasan tidak adekuat
5. Kesalahan interpretasi warna.
14
BAB IV
APLIKASI KLINIS
1. Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.
Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah.
Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi (Waly, 2010).
Hiperglikemia ini adalah akibat dari defek sekresi insulin, kerja insulin,
atau karena faktor keduanya. Dalam jangka waktu yang lama, hiperglikemia
kronik juga dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan
kegagalan berbagai organ, khusunya mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah (ADA, 2004).
Kadar gula darah normal dalam keadaan puasa berkisar 60-80 mg/dl dan
setelah makan berkisar 120-160 mg/dl (Tobing, 2008).
Berdasarkan kebutuhan insulin pada diabetes melitus, diabetes melitus
tebagi menjadi empat jenis, yaitu sebagai berikut (Tobing, 2008):
a. DM tipe I (Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM)
DM tipe I merupakan penyakit multisistemik dengan kelainan
biokimia dan anatomi. Metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein
terganggu pada penderita dengan adanya defisiensi insulin. Hal ini
disebabkan oleh adanya inabilitas pankreas untuk mensekresikan insulin
akibat penghancuran autoimun sel beta pankreas (Philippe et al., 2011).
Kelompok tipe ini adalah penderita penyakit DM yang sangat
tergantung pada suntikan insulin. Kebanyakan penderitanya masih muda
dan tidak gemuk. Gejala biasanya timbul pada masa anak-anak dan
puncaknya pada usia akil baligh. Tipe ini disebabkan karena rusaknya sel
beta pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin absolut. DM tipe I
umumnya diderita oleh orang-orang dibawah usia 30 tahun, dan gejalanya
mulai tampak pada usia 10-13 tahun. Penyebab DM tipe I belum begitu
15
jelas, tetapi diduga kuat disebabkan oleh infeksi virus yang menimbulkan
autoimun yang berlebihan untuk menumpas virus. Faktor keturunan juga
menjadi faktor penyebab (Tobing, 2008).
b. DM tipe II (Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus/NIDDM)
Kelompok DM tipe II tidak tergantung insulin. Kebanyakan timbul
pada penderita usia di atas 40 tahun. Penderita DM tipe II ini yang
terbanyak di Indonesia. Pengobatannya diutamakan dengan perencanaan
menu makanan yang baik dan latihan jasmani secara teratur. Pankreas
relatif cukup menghasilkan insulin, tetapi insulin yang ada bekerja kurang
sempurna karena adanya resistensi insulin akibat kegemukan. Penyakit
DM tipe II biadanya dapat terkendali dengan menurunkan berat badan
(obesitas), Obat semacam oral hipoglikemik dan suntikan insulin kadang
menjadi kebutuhan bagi penderita (Tobing, 2008).
Pada pasien DM tipe II yang tidak menderita obesitas, insulin yang
dihasilkan memang kurang mencukupi untuk mempertahankan kadar
glukosa darah dalam batas-batas normal. Bagi penderita yang sudah
kronis, penurunan kadar gula darah harus dibantu dengan injeksi insulin.
Secara medis dapat dikatakan DM tipe II disebabkan oleh gangguan
sekresi insulin yang progresif karena resistensi insulin. DM tipe II diduga
disebabkan oleh faktor genetik dan dipicu oleh pola hidup yang tidak sehat
(Tobing, 2008).
c. DM Gestasional
1) Klas I (Diabetes Gestasional), yaitu diabetes yang timbul pada waktu
hamil dan menghilang setelah melahirkan.
2) Klas II (Diabetes Pregestasional), yaitu diabetes yang dimulai sejak
sebelum hamil dan berlanjut setelah hamil.
3) Klas III (Diabetes Pregestasional dengan komplikasi), yaitu diabetes
pregestasional yang disertai dengan komplikasi penyakit pembuluh
darah seperti retinopati, nefropati, penyakit pembuluh darah panggul
dan pembuluh darah perifer.
16
Wanita hamil yang menderita diabetes 90% termasuk ke dalam
kategori DM gestasional (Klas II) dan DM yang tergantung pada
insulin (DM tipe I). Terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes
sebelum kehamilannya. Hiperglikemia terjadi selama kehamilan akibat
sekresi hormon-hormon plasenta. Sesudah melahirkan bayi, kadar
glukosa darah pada wanita yang menderita diabetes gestasional akan
kembali normal. (Waly, 2010).
d. DM tipe lain (ADA, 2004):
1) Defek fungsi sel B
2) Defek fungsi kerja insulin
3) Penyakit exocrine pankreas
4) Endokrinopati
5) Obat-obatan
6) Infeksi
Adapun menurut Suyono, (2007), Tanda dan gejala diabetes melitus
antara lain adalah sebagai berikut
a. Tiga gejala klasik Diabetes Mellitus :
1) Poliuria = banyak kencing
2) Polidipsi = banyak minum (sering haus)
3) Polifagia = banyak makan (merasa lapar terus menerus)
b. Gejala lain :
1) BB turun
2) Penglihatan kabur
3) Kesemutan
4) Cepat lelah
5) Gatal pada kulit
6) Impoten, dll.
Diagnosis diabetes mellitus dapat ditegakkan diabetes melitus (Suyono,
2007):
17
a) 3 gejala klasik + Kadar glukosa darah puasa ≥ 126mg/dL
b) 3 gejala klasik + Kadar glukosa darah sewaktu ≥200mg/dL
c) 3 gejala klasik + Pemeriksaaan TTGO ≥200mg/dL
Diabtes mellitus (DM) dapat terjadi karena beberapa proses patofisiologi yang
dibedakan berdasarkan tipenya. Patofisiologi diabetes melitus adalah sebagai
berikut (Suyono, 2007):
1) DM Tipe 1
Etiologi DM tipe 1 adalah autoimunotas yang menyebabkan kerusakan
sel beta. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan adanya autoimunitas
penyebab DM tipe 1 adalah kerentanan genetic dan adanya faktor pemicu dari
lingkungan, diantaranya yang paling diyakini sebagai pemicu adalah virus. Di
samping itu, agen-agen non-infeksius juga dapat terlibat (Suyono, 2007).
2) DM Tipe 2
Pasien DM tipe 2 memiliki dua efek fisiologis, yaitu sekresi insulin abnormal
dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (Suyono, 2007).
Beberapa mekanisme formalitas yang bisa terjadi antara lain adalah, pertama,
glukosa darah teteap normal walaupun terlihat adanya resistensi karena kadar
insulin meningkat. Kedua, resistensi insulin cenderung tampak intoleransi
glukosa bentuk hiperglikemia. Pada DM tipe 2 jumlah insulin yang ada dalam
sirkulasi dalam kadar normal, bahkan tinggi, tetapi jumlah reseptor
permukaan terhadap insulin pun berkurang.
2. Insulinoma
Insulinoma adalah tumor endokrin pankreas yang langka yaitu
endokrin tumor yang biasanya sporadis, soliter, dan kurang dari 2 cm
diameter. Kurang dari 5% dari insulinomas lebih besar dari 3 cm. Sembilan
puluh persen atau lebih dari semua insulinomas jinak. Tumor yang lebih
besar lebih mungkin menjadi ganas (Mittendorf et al., 2005).
18
Insulinoma menyebabkan kelebihan produksi insulin. Tumor
neuroendokrin ini akan mensekresikan hormon insulin lebih dari batas
normal disertai sekresi hormon lain seperti gastrin, 5-hydroxyindolic acid,
ACTH, HCG, dan somatostatin (Dadan et al., 2008). Tingkat insulin yang
tinggi menyebabkan kadar gula darah rendah. Bentuknya tunggal dan jarang
ditemukan pada anak-anak. Sebagian besar anak dengan hiperinsulinisme
memiliki beberapa bidang sel yang mensekresi insulin terlalu aktif di
pankreas, daripada tumor tunggal. Kebanyakan insulinomas jinak hanya 5
sampai 10 persen adalah kanker (Robins, 2008).
Batas normal sekresi insulin yaitu untuk keseluruhan selama 24 jam
adalah 45,4 U, disekresi sebagai 10,6 U saat sarapan, 13,4 U saat makan
siang, dan 13,8 U saat makan malam. Sisanya 7,6 U yang dikeluarkan pada
malam hari pada tingkat 0,85 U/h (Dadan et al., 2008).
Keluhan dan gejala insulinoma meliputi kebingunan yang
ditimbulkan oleh hipoglikemia, stupor dan kehilangan kesadaran. Gejala
khas yang sering dikeluhkan pasien tentang terkait dengan rendahnya gula
darah dan termasuk kelelahan, kelemahan, gemetar dan kelaparan.
Rendahnya tingkat gula dalam darah bahkan dapat menyebabkan kejang dan
koma (Robins, 2008).
Biasanya, insulinoma berasal dari sel B pada pulau Langerhans yang
ganas. Pertama, tumor bermetastasis ke kelenjar getah bening regional,
kemudian ke hati dan kurang umum ke paru-paru. Hal ini juga dapat secara
langsung menyerang sekitar organ viseral seperti duodenum, lambung, dan
usus besar, atau dapat bermetastasis ke permukaan dalam rongga perut
melalui penyebaran peritoneal. Ascites bisa terjadi. Kanker pankreas dapat
menyebar ke kulit sebagai metastasis nodular yang menyakitkan. Metastasis
ke tulang ini jarang terjadi (Dragovich, 2013).
3. Hipoglikemia
19
Hipoglikemia ditandai dengan penurunan konsentrasi glukosa plasma
ke tingkat yang dapat menyebabkan gejala atau tanda-tanda seperti perubahan
status mental dan/atau stimulasi sistem saraf simpatik (Hamdy, 2013).
Dalam keadaan ini hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa <50
mg% (2.8 mmol/L) atau bahkan <40 mg% (2,2 mmol/L). Walaupun demikian
berbagai studi fisiologis menunjukkan bahwa gangguan fungsi otak sudah
dapat terjadi pada kadar glukosa darah 55mg% (3 mmol/L) (Hull, 2008).
Hipoglikemia ini biasanya muncul dari kelainan pada mekanisme yang
terlibat dalam homeostasis glukosa. Penyebab paling umum dari hipoglikemia
pada pasien diabetes adalah suntikan insulin dan melewatkan makan atau
overdosis insulin (Hamdy, 2013). Adapun gejala pada sistem saraf pusat
biasanya antara lain sebagai berikut (Hamdy, 2013):
a. Sakit kepala
b. kebingungan
c. perubahan kepribadian
d. Asupan etanol dan kekurangan gizi
e. Penurunan berat badan mual dan muntah
f. Kelelahan , mengantuk
Gejala neurogenik atau neuroglikopenik hipoglikemia dapat
dikategorikan sebagai berikut (Hamdy, 2013):
a. Neurogenik (adrenergik)
b. Aktivasi sympathoadrenal
Berkeringat, kegoyahan, takikardia, kecemasan, dan rasa lapar.
c. Gejala Neuroglikopenik :
Kelemahan, kelelahan, atau pusing, perilaku yang tidak pantas (kadang-
kadang keliru untuk mabuk), sulit konsentrasi, kebingungan, penglihatan
kabur, dan dalam kasus yang ekstrim dapat menimbulkan koma dan
kematian.
Patofisiologi hipoglikemia terkait dengan aktivasi simpatik dan
disfungsi otak sekunder untuk penurunan tingkat glukosa. Stimulasi sistem
20
saraf sympathoadrenal menyebabkan berkeringat, jantung berdebar,
tremulousness, kecemasan, dan kelaparan. Pengurangan ketersediaan glukosa
otak (neuroglikopenia) dapat bermanifestasi sebagai kebingungan, kesulitan
berkonsentrasi, iritabilitas, halusinasi, gangguan fokal (misalnya, hemiplegia),
dan akhirnya koma dan kematian (Hamdy, 2013).
Gejala adrenergik sering mendahului gejala neuroglikopeni dan
dengan demikian memberikan sistem peringatan dini bagi pasien. Penelitian
telah menunjukkan bahwa stimulus utama untuk rilis katekolamin adalah
tingkat absolut glukosa plasma, tingkat penurunan glukosa kurang penting.
Sebelumnya kadar gula darah dapat mempengaruhi respons seseorang ke
tingkat tertentu gula darah. Namun, penting untuk dicatat bahwa pasien
dengan hipoglikemia berulang dapat memiliki hampir tidak ada gejala
(ketidaksadaran hipoglikemik). Ambang di mana pasien merasa gejala
hipoglikemik menurun dengan episode berulang dari hipoglikemia (Hamdy,
2013).
21
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. 2004. Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus. Journal of Diabetes Care vol.27, suplement I. Available at:
http://care.diabetesjournals.org/content/27/suppl_1/s5.full.pdf+html.
Diakses 9 Oktober 2013.
Dadan, J; P. Wojskowicz dan A. Wojskowicz. 2008. Neuroendocrine Tumors of the
Pancreas. Wiad Lek, Vol. 61(1-3) pp:43-7. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18717042. Diakses 9 Oktober 2013.
Dragovich, T. 2013. Pancreatic Cancer. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/280605overview#aw2aab6b2b6aa.
Diakses 9 Oktober 2013.
Hamdy, Osama. 2013. Hypoglycemia. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/122122-overview . Diakses 9 Oktober
2013.
Hull, D., & Johnston, D. I. 2008. Dasar-Dasar Pediatri Ed.3. Jakarta: EGC
Lee, M. 2009. Basic Skills in Interpreting Laboratory Data. Bethesda: ASHP
Mittendorf, et al. 2005. Giant Insulinoma: Case Report and Review of the Literature.
Journal of Clinical Endocrin and Metabolism Vol 90(1) pp: 575-580.
Available at:
22
http://jcem.endojournals.org/content/90/1/575.full.pdf+html. Diakses 9
Oktober 2013.
Murray, et al. 2009. Biokimia Harper. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Nigam, A. 2008. Lab Manual in Biochemistry: Immunology and Biotechnology. New
Delhi: McGraw-Hill.
Philippe, M.F.; S. Benabadji; L. Barbot-Trystram; et al. 2011. Pancreatic volume and
endocrine and exocrine functions in patients with diabetes. 40(3): 359-363.
Robbins, C. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta: EGC.
Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem. Ed 6 Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Suyono, Slamet. 2010. Diabetes Melitus di Indonesia dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Internal Publishing.
Tandra, H. 2007. Segala Sesuatu yg Hak Tentang: Diabetes. Jakarta: Gramedia
Tandra, H. 2008. Diabetes: Tanya Jawab Lengkap dengan Ahlinya. Jakarta:
Gramedia
Timby, B. K. 2009. Fundamental Nursing Skills and Concepts. Philadelphia:
Lippincott Wilson & Wilkins
Tobing, A. 2008. Care Your Self: Diabetes Melitus. Jakarta: Penebar Plus
Wahyu, G.G. 2009. Obesitas Pada Anak. Jakarta: Bentang Pustaka
23
Waly, T, M. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publishing.
24