laporan pbl 7 nss omsa

41
LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING BLOK NEUROLOGY & SPECIFIC SENSE SYSTEM (NSS) SKENARIO 7 “Anak Abon Jadi Rewel…” Tutor : dr. Wiwiek Fatchurohmah Kelompok 10 1. Andika Pratiwi G1A010037 2. Khairisa Amrina R. G1A010039 3. Danny Amanati Aisya G1A010050 4. Mey Harsanti G1A010065 5. Keyko Lampita M. S. G1A010074 6. Sania Nadianisa M. G1A010083 7. Handika Rezha A. G1A010100 8. Khoirur Rijal A. G1A010106 9. Eka Rizki Febriyanti G1A010111 10. Bellindra Putra H. G1A009135 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Upload: andiicha-andiiche-tomaat

Post on 18-Dec-2014

203 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING

BLOK NEUROLOGY & SPECIFIC SENSE SYSTEM (NSS)

SKENARIO 7

“Anak Abon Jadi Rewel…”

Tutor : dr. Wiwiek Fatchurohmah

Kelompok 10

1. Andika Pratiwi G1A010037

2. Khairisa Amrina R. G1A010039

3. Danny Amanati Aisya G1A010050

4. Mey Harsanti G1A010065

5. Keyko Lampita M. S. G1A010074

6. Sania Nadianisa M. G1A010083

7. Handika Rezha A. G1A010100

8. Khoirur Rijal A. G1A010106

9. Eka Rizki Febriyanti G1A010111

10. Bellindra Putra H. G1A009135

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2013

Page 2: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

BAB I

PENDAHULUAN

PBL SKENARIO KE : 7 (Tujuh)

HARI, TANGGAL TUTORIAL : Rabu, 10 April 2013

Jum’at, 12 April 2013

INFORMASI I

Anak Abon Jadi Rewel....

Anak Abon usia 5 tahun datang ke poliklinik dengan diantar oleh ibunya dengan

keluhan telinga sebelah kanan terasa nyeri. Nyeri ini dirasakan sejak 2 hari yang

lalu dan semakin lama semakin bertambah berat. Anak Abon menjadi rewel dan

sukar tidur karena merasa telinganya nyeri. Anak Abon juga mengeluh pada

ibunya jika pendengaran telinga sebelah kanan berkurang. Keluhan ini diikuti

dengan demam yang tinggi bersamaan dengan timbulnya keluhan nyeri pada

telinga kanan hingga sekarang Anak Abon juga menderita sakit tenggorokan,

batuk dan pilek sejak 4 hari yang lalu. Ibunya hanya memberi obat warung dan

tidak dibawa ke dokter.

INFORMASI II

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak Sakit

Vital Sign : Nadi 120x/menit Respirasi 24x/menit

TD = 100/70 mmHg Temperatur 39,5oC

Status Generalis : dalam batas normal

Pemeriksaan Otoskopi

Telingan Kanan Telinga Kiri

Aurikula Edema (-), hiperemi (-),

massa (-)

Edema (-), hiperemi (-),

massa (-)

Page 3: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

Pre-aurikula Edema (-), hiperemi (-),

massa (-), fistula (-), abses (-)

Edema (-), hiperemi (-),

massa (-), fistula (-), abses (-)

Retroaurikula Edema (-), hiperemi (-),

massa (-), fistula (-), abses (-)

Edema (-), hiperemi (-),

massa (-), fistula (-), abses (-)

Palpasi Nyeri pergerakan aurikula

(+), nyeri tekan tragus (+)

Nyeri pergerakan aurikula(-),

nyeri tekan tragus (-)

MAE Edema (-), hiperemia (-),

serumen (-), furunkel (-)

Edema (-), hiperemia (-),

serumen (-), furunkel (-)

Membran

timpani

Edema (+), hiperemia (+),

bulging (+), conus of light (-)

Intak, conus of light (+)

INFORMASI III

Pemeriksaan garpu tala :

Jenis

Pemeriksaan

AD (Aurikula

Dextra)

AS (Aurikula

Sinistra)

Kesan

Rinne Negatif Positif CHL AD

Weber Lateralisasi ke AD CHL AD

Schwabach Memanjang Sama dengan

pemeriksa

CHL AD

INFORMASI IV

Diagnosis : Otitis Media Supuratif Akut Aurikuler Dextra

Penatalaksanaan :

- Antibiotika

- Dekongestan

- Analgetik / Antipiterik

Page 4: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

BAB II

ISI

A. KLARIFIKASI ISTILAH

1. Informasi I

Nyeri telinga atau otalgia : gejala nyeri telinga karena peradangan, biasanya

terdapat pada bagian luar dan tengah, gejala lain juga dapat timbul akibat

keterlibatan sendi temporomandibular, gigi, atau faring (Behrman, et al.,

2000).

2. Informasi II

a. Bulging : sering terjadi oleh karena inflamasi telinga dan merupakan

tanda dari otitis media. Bulging terjadi apabila ada sekumpulan cairan di

belakang membran timpani dan akan terdesak atau menonjol ke depan

oleh karena tekanan cairan tersebut. Sering terjadi pada pars flaccida

membran timpani. Apabila progresi inflamasi semakin parah dan cairan

semakin banyak, dapat mengakibatkan perforasi membran timpani

(Probst, et al., 2004).

b. Cone of light : merupakan refleks cahaya yang merupakan petunjuk

penting pada membran timpani. Apex dari cone of light terletak pada

umbo. Sedangkan basis cone of light terletak pada arah jam 5 pada

telinga kanan dan arah jam 7 pada telinga kiri. Difusi atau hilangnya cone

of light merupakan kriteria dari otitis media, akan tetapi dapat pula terjadi

oleh karena hiperemis kapiler membran timpani, ketidakseimbangan

tekanan atmosfer dengan tekanan dalam telinga, dan efusi telinga tengah

(Alper dan Bluestone, 2004).

B. BATASAN MASALAH

Identitas Pasien

Nama : Abon

Usia : 5 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Page 5: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

Hasil Anamnesis

Keluhan Utama : nyeri pada telinga sebelah kanan

Onset : 2 hari yang lalu

Progresif : semakin lama semakin bertambah berat

Kualitas : Abon menjadi rewel dan sukar tidur

Kuantitas : -

Gejala Penyerta : sakit tenggorokan, batuk, pilek, demam, dan pendengaran

telinga sebelah kanan berkurang.

Kronologi : pendengaran telinga sebelah kanan Abon yang berkurang

diikuti dengan demam tinggi bersamaan dengan timbulnya

nyeri telinga kanan, hingga sekarang Anak Abon juga

menderita sakit tenggorokan, batuk dan pilek sejak 4 hari

yang lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu : Abon diberi obat yang dibeli di warung dan tidak

dibawa ke dokter.

Riwayat Penyakit Keluarga : -

Riwayat Penyakit Sosial : -

C. ANALISIS MASALAH DAN PENJELASAN PERMASALAHAN

1. Anatomi Telinga

Telinga dibagi menjadi 3 bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah

dan telinga dalam. Telinga luar berfungsi mentransmisikan suara menuju

membran timpani. Telinga tengah berfungsi mengkonduksi suara dari

membran timpani menuju koklea. Sedangkan telinga dalam berfungsi

mentransmisikan sinyal tersebut ke otak (Alberti, 2006).

Page 6: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

Gambar 1. Anatomi Telinga (Davis dan Silverman, 1970)

Telinga luar terdiri dari pinna atau aurikula, meatus auditorius

eksterna (MAE), dan membran timpani. Pinna berfungsi mengumpulkan

suara dan meneruskannya ke MAE. MAE berfungsi meneruskan suara

menuju membran timpani. Selain itu, MAE juga memiliki fungsi proteksi

dan desinfektan dikarenakan adanya serumen. Sedangkan membran

timpani berfungsi mentransmisikan suara menuju ossikula pada telinga

tengah (Alberti, 2006).

Aurikula terdiri dari tragus, antitragus, helix, antihelix, lobulus,

concha, dan scapha. Sedangkan membran timpani terdiri dari 2 pars, yaitu

pars tensa dan pars flaccida. Selain itu, dapat terlihat pula cone of light

pada membran timpani (Bhatt, 2011).

Page 7: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

Gambar 2. Aurikula beserta bagiannya (Davis dan Silverman, 1970)

Gambar 3. Membran timpani (Bhatt, 2011)

Page 8: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

Telinga tengah terdiri dari cavitas timpani, ossikula auditiva, dan

tuba eustachius. Ossikula telinga ada 3, yaitu malleus, incus dan stapes,

yang mana ketiga ossikula tersebut berfungsi mengkonduksikan suara dari

membrane timpani menuju telinga dalam (Alberti, 2006).

Telinga dalam terdiri dari 2 labirin, yaitu labirin osseus dan labirin

membranasea. Bagian dari labirin osseus berupa kanalis semisirkularis

(anterior, posterior, dan lateral), vestibular, dan koklea. Di dalam labirin

osseus terdapat labirin membranasea, yaitu ductus semisirkularis (anterior,

posterior dan lateral), apparatus vestibularis (utriculus dan sacculus), dan

koklea membranosa (skala vestibuli, skala media dan skala timpani)

(Alberti, 2006).

2. Fisiologi Pendengaran

a. Suara ditangkap oleh telinga luar melalui aurikula.

1) Gelombang suara disalurkan ke membran timpani melalui MAE.

2) Membran timpani bergerak menggetarkan ossicula auditiva ke

oval window.

3) Terbentuk gelombang tekanan pada perilimfe skala vestibular

round window tertekan ketika stapes bergerak masuk.

4) Gelombang tekanan menekan membran basillaris.

5) Menggerakkan sel rambut menekan membrana tectorial buka

kanal ion membran plasma sel rambut jalarkan impuls.

b. Informasi diteruskan lewat neuron bipolar ganglia spiralis cabang

cochlear N. VIII nuclei cochlear di medulla oblongata.

c. Informasi diteruskan ke colliculus inferior mesencephalon nucleus

geniculatum medial thalamus capsula interna crus posterior

radiation acustica cortex cerebri lobus temporalis area 41.

d. Informasi diolah menjadi penginterpretasian suara (Kerschner, 2007).

Page 9: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

3. Etiologi Nyeri Telinga

a. Nyeri primer : nyeri terjadi karena lokalisasi dari telinga.

1) Telinga luar, misalnya furunkulosis, corpus alienum, abses aurikula,

sumbatan serumen, dan lainnya.

2) Telinga tengah atau mastoid, misalnya otitis media akut, mastoiditis

akut, barotrauma, dan lainnya.

3) Sebab idiopatik (Adams, et al., 1997).

b. Nyeri sekunder : nyeri yang terjadi karena nyeri alih dari area lain yang

sakit dengan persarafan yang sama dengan telinga, misalnya: laringitis,

faringitis, neuralgia gigi, dan lain-lain (Adams, et al., 1997).

4. Mekanisme Nyeri Telinga

Konsep otalgia didasarkan pada inervasi dari telinga tersebut. Ada 4

nervus kranial dan 2 nervus servikal yang berperan dalam inervasi telinga,

yaitu : nervus kranial V, VII, IX, X dan nervus servikal C2 dan C3

(Scarbrough, et al., 2003).

a. Nervus V cabang 3 : inervasi tragus, crus helix, dinding anterosuperior

dari MAE, batas membran timpani, dan sendi temporomandibular.

b. Nervus VII : inervasi bagian posterior-inferior MAE dan batas

membran timpani.

c. Nervus IX : inervasi telinga bagian dalam dan membran timpani dalam.

d. Nervus X : menginervasi daerah yang dipersarafi N. IX, akan tetapi

nervus vagus juga menginervasi concha.

e. Nervus servikal C2 dan C3 : inervasi kulit bagian depan dan belakang

telinga, serta bagian medial dan lateral dari aurikula dan lobulus (Chen,

et al., 2009).

Sehingga apabila terjadi inflamasi pada daerah tersebut maupun

daerah lain yang sama-sama dipersarafi oleh nervus di atas, maka dapat

pula mengakibatkan otalgia. Contoh : seorang anak yang menderita

tonsilitis dan radang tenggorokan kadang mengeluh nyeri telinga, karena

N. IX (Glossofaringeal) juga membawa impuls sensoris ke telinga dalam

(Majumdar, et al., 2009).

Page 10: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

5. Pemeriksaan Fisik Telinga (Otoskopi)

Otoskopi diperuntukkan untuk pasien dengan nyeri telinga, infeksi

telinga, penurunan pendengaran, serta berbagai tanda dan gejala gangguan

telinga lainnya. Pemeriksaan otoskopi ini menggunakan alat berupa

otoskop (Flint, et al., 2010).

Pasien duduk dengan posisi badan condong sedikit ke depan dan

kepala lebih tinggi sedikit dari kepala pemeriksa. Mula-mula dilihat

keadaan dan bentuk daun telinga (retro-aurikuler) apakah terdapat tanda

peradangan atau sikatriks bekas operasi. Dengan menarik daun telinga

menjadi lebih lurus dan akan mempermudah untuk melihat keadaan liang

telinga dan membran timpani. Otoskop dipegang dengan tangan kanan

untuk memeriksa telinga kanan pasien dan tangan kiri bila memeriksa

telinga kiri. Supaya posisi otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan

yang memegang otoskop ditekan pada pipi pasien (Soepardi, et al., 2007).

Setiap orang memiliki ukuran, bentuk dan warna MAE yang

berbeda. Normalnya MAE seperti warna kulit dan terdapat rambut halus.

Serumen kuning-kecoklatan kadang dapat terlihat. Membran timpani

tampak berwarna putih keabu-abuan dan tampak cone of light (Flint, et al.,

2010).

Hasil abnormal dapat berupa ketidaknampakan cone of light pada

membran timpani. Hal ini dapat dikarenakan infeksi telinga tengah atau

terdapat cairan. Membran timpani dapat hiperemis dan bulging bila terjadi

infeksi. Bila terdapat cairan di belakang membran timpani akan

menunjukkan kesan seperti gelembung. Selain itu, bila terjadi infeksi pada

MAE, maka akan terlihat MAE hiperemis, edema serta terlihat pus

berwarna kuning-kehijauan (Goldman dan Schafer, 2011).

6. Differential Diagnosis

a. Rhinofaringitis

Faringitis biasanya didahului oleh rhinitis. Tanda dan gejala

meliputi pilek, hidung tersumbat, batuk, nyeri menelan, dan demam.

Pada pemeriksaan choncha dapat ditemukan hiperemis dan edem. Pada

Page 11: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

pemeriksaan faring dapat ditemukan faring hiperemis (Longo, et al.,

2008).

b. Miringitis Bulosa

Miringitis bulosa adalah suatu miringitis yang bersifat akut,

ditandai dengan adanya pembentukan bula pada membran timpani.

Pada anamnesis ditemukan adanya nyeri yang hebat pada telinga,

sifatnya berdenyut selama 2-3 hari, serta tuli sensorineural pada nada –

nada tinggi (Schweinfurth, 2009).

Pada pemeriksaan otoskop ditemukan :

1) Tanda peradangan pada membran impani (hiperemis pada membran

timpani, reflex cahaya memendek atau hilang).

2) Tanda khasnya adalah adanya bula pada membran timpani. Bula ini

dapat pecah dan menimbulkan perdarahan pada membran timpani.

3) Beberapa kasus ditemukan adanya nyeri pinna saat ditarik

(Schweinfurth, 2009).

Gambar 4. Miringitis Bulosa (Scweinfurth, 2009)

c. Mastoiditis Akut

Mastoiditis akut memiliki tanda dan gejala seperti demam, nyeri

telinga, gangguan pendengaran, membran timpani menonjol, dinding

posterior kanalis menggantung, pembengkakan post-aurikula, dan nyeri

tekan mastoid (Adams, et al., 1997).

Page 12: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

Progresi mastoiditis akut terdiri dari 5 tingkatan, yaitu :

1) Hiperemi mukosa mastoid.

2) Transudasi dan eksudasi dari cairan atau pus.

3) Nekrosis tulang oleh karena kurangnya vaskularisasi.

4) Cavitas abses.

5) Perluasan proses inflamasi menuju daerah yang berbatasan dengan

mastoid (Devan, 2011).

d. Otitis Eksterna Akut

Otitis eksterna terdiri dari dua tipe, furunkulosa dan difuse. Tipe

furunkulosa dapat berkembang pada sepertiga luar meatus. Otitis

eksterna difuse (swimmer’s ear), dikarenakan hilangnya proteksi dari

serumen karena terkikis. Tanda dan gejala dari pasien adalah nyeri

telinga, mengeluarkan secret (otorhea), eritem, dan pembengkakan

meatus eksternus (Longo, et al., 2008). Gejala lain dari otitis eksterna

dapat berupa eritem periaurikula, limfadenopati, demam, serta tuli

konduksi (Koch, 2012).

e. Otitis Media Akut

1) Kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut, yaitu:

a) Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.

b) Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan

cairan di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah

satu di antara tanda berikut, seperti menggembungnya membran

timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan pada

membran timpani, terdapat bayangan cairan di belakang membran

timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.

c) Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang

dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut,

seperti kemerahan atau eritem pada membran timpani, nyeri

telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas normal

(Kerschner, 2007).

Page 13: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

2) Dari hasil anamnesis, pasien OMA bervariasi sesuai umur.

a) Bayi : sulit menyuapi, nangis terus.

b) Dewasa : demam dengan ISPA atu tanpa ISPA, otalgia dengan

penurunan pendengaran, rasa penuh pada telinga.

c) Gejala lain yang tidak sepesifik : nyeri ketika tumbuh gigi,

faringitis, penurunan pendengaran, kekakuan telinga, nyeri sendi

temporomandibularis (Kerschner, 2007).

3) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan otoskopi : untuk memastikan akut atau kronis.

a) Inflamasi membran timpani.

b) Mukosa kemerahan.

c) Purulen pada telinga tengah.

d) Penurunan mobilitas membran timpani.

e) Bulging pada kuadran posterior.

f) Perforasi dibagian kuadran posterior / inferior, membran timpani

akan tampak opaque dengan eksudat yang mengalir (Kerschner,

2007).

4) Stadium Otitis Media Akut :

a) OMA stadium oklusi tuba :

Pemeriksaan otoskopik tampak membran timpani suram, refleks

cahaya memendek dan menghilang. Gambaran retraksi membran

timpani akibat tekanan negatif di dalam telinga tengah. Kadang

membran timpani tampak normal berwarna keruh pucat.

b) OMA Stadium hiperemi :

Pemeriksaan otoskopik tampak membran timpani hiperemis dan

udem serta refleks cahaya menghilang pada cone of light. Sekret

yang terbentuk mungkin masih bersifat serus sehingga sulit

dilihat. Keluhan sperti demam dan nyeri telinga mulai dirasakan

penderita.

c) OMA Stadium supurasi :

Keluhan dan gejala klinik bertambah hebat. Pemeriksaan

otoskopik tampak membran timpani menonjol keluar (bulging)

Page 14: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

dan ada bagian yang berwarna pucat kekuningan sebagai daerah

nekrosis akibat iskemi oleh penekanan terus menerus eksudat

pada kapiler timpani.

d) OMA Stadium perforasi :

Anak yang sebelumnya gelisah menjadi lebih tenang, demam

berkurang. Pada pemeriksaan otoskopik tampak cairan di liang

telinga yang berasal dari telinga tengah. Membran timpani

perforasi. Stadium perforasi bisa tidak ditemukan jika deteksi dini

dan penanganan adekuat dilakukan.

e) Stadium resolusi:

Pemeriksaan otoskopik, tidak ada sekret/kering dan membran

timpani berangsur menutup. Jika pengobatan tidak adekuat akan

terjadi rekurensi dan menjadi Otitis Media Kronik (Djaafar, et al.,

2010).

Tabel 1. Perbedaan Otitis eksterna dan Otitis Media

Otitis eksterna Otitis media

Gambaran peradangan pada pina

atau meatus acusticus externa

Peradangan dilihat dari

membran timpani

(Adams, et al., 1997).

7. Interpretasi Informasi II

a. Keadaan umum anak Abon tampak sakit. Vital sign : nadi meningkat,

respirasi, dan tekanan darah dalam batas normal, dan peningkatan

temperatur oleh karena demam. Status generalis dalam batas normal.

b. Pemeriksaan otoskopi :

1) Aurikula, pre-aurikula dan retro-aurikula dalam batas normal.

2) Palpasi adanya nyeri gerak aurikula dan nyeri tekan tragus pada

telinga kanan, dapat menunjukkan adanya radang pada telinga

tersebut (termasuk manifestasi klinis OMA).

3) Meatus auditorius eksterna dalam batas normal, tidak edema, tidak

hiperemis, dan tidak terdapat furunkel.

Page 15: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

4) Membran timpani pada telinga kanan mengalami edema, hiperemis,

bulging dan cone of light tidak tampak. Dapat menunjukkan terjadi

inflamasi serta adanya cairan di belakang membran timpani sehingga

muncul gambaran bulging dan cone of light tak tampak.

8. Mengeliminasi Differential Diagnosis dan Menentukan Diagnosis Kerja

a. Rhinofaringitis : DD ini dieliminasi oleh karena pada pemeriksaan fisik

tidak ditemukan edema dan hiperemis dari concha serta hiperemis pada

faring (status generalis dalam batas normal).

b. Miringitis bulosa : walau terdapat nyeri aurikula serta tanda-tanda

inflamasi pada membran timpani, DD ini juga dieliminasi oleh karena

standar dari miringitis adalah terdapatnya bula pada membrane timpani,

sedangkan pada pemeriksaan otoskopi tidak ditemukan adanya bula.

c. Mastoiditis akut : manifestasi klinis mastoiditis hampir sama dengan

OMA, hanya saja karena tidak ditemukan edema post-aurikula serta

tidak adanya nyeri tekan pada mastoid, DD ini juga dieliminasi.

d. Otitis eksterna akut : DD ini dieliminasi karena pada pemeriksaan

otoskopi bagian dari telinga luar (aurikula serta MAE) masih dalam

batas normal, tak tampak adanya edema maupun hiperemis, serta tak

tampak adanya sekret.

e. Otitis media akut : baik dari anamnesis serta pemeriksaan fisik,

manifestasi klinis tersebut muncul pada OMA. Dari anamnesis yang

dikeluhkan berupa otalgia, penurunan pendengaran, demam, batuk,

pilek dan nyeri tenggorokan (sebagai penyebab OMA), serta hasil

pemeriksaan otoskopi berupa nyeri tekan tragus (+), nyeri gerak

aurikula (+), edema dan hiperemis pada membran timpani dan

gambaran bulging serta tidak tampaknya cone of light merupakan tanda

khas OMA. Keadaan pasien yang tampak sakit, nadi dan suhu

meningkat, otalgia berat serta bulging membran timpani menunjukkan

anak Abon sudah mencapai stadium supurasi.

Diagnosis Kerja : Otitis Media Supuratif Akut Aurikula Dextra.

Page 16: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

D. RUMUSAN TUJUAN BELAJAR

1. Pemeriksaan pendengaran atau garpu tala

2. Interpretasi informasi III

3. Definisi, etiologi, dan epidemiologi otitis media supuratif akut

4. Patogenesis otitis media supuratif akut

5. Patofisiologi otitis media supuratif akut

6. Penegakkan diagnosis otitis media supuratif akut

7. Penatalaksanaan otitis media supuratif akut

8. Interpretasi informasi IV

9. Komplikasi otitis media supuratif akut

10. Prognosis otitis media supuratif akut

E. BELAJAR MANDIRI SECARA INDIVIDUAL ATAU KELOMPOK

1. Pemeriksaan pendengaran atau garpu tala

a. Rinne

Garpu tala (frekuensi 256/512) digetarkan. Tangkai garpu tala

diletakkan di processus mastoid penderita. Bila penderita tidak

mendengar suara lagi, kaki garpu tala didekatkan di depan liang telinga

penderita kira-kira 2,5 cm. Bila masih terdengar disebut Rinne (+), bila

tidak terdengar disebut Rinne (-) (Soetirto, et al., 2009).

b. Weber

Garpu tala digetarkan kemudian tangkainya diletakkan di tengah

garis kepala (vertex, dahi, pangkal hidung, tengah-tengah gigi seri, atau

di dagu) penderita. Apabila bunyi garputala terdengar lebih keras pada

salah satu telinga disebut weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila

tidak dapat dibedakan ke arah mana bunyi terdengar lebih keras

dikatakan weber tidak ada lateralisasi (Soetirto, et al., 2009).

c. Schwabach

Garpu tala digetarkan, kemudian tangkai garpu tala diletakkan

pada processus mastoid pemeriksa, bila telah tidak terdengar diletakkan

pada penderita atau sebaliknya (dianggap pemeriksa normal). Apabila

Page 17: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

penderita masih mendengar meskipun pemeriksa sudah tidak

mendengar berarti Schwabach memanjang. Apabila pemeriksa masih

mendengar meskipun tidak lagi terdengar oleh penderita berarti

Schwabach memendek (Soetirto, et al., 2009).

Tabel 2. Pemeriksaan Garpu Tala Beserta Interpretasi Hasil

Tes

Rinne

Tes Weber Tes Schwabach Diagnosis

Positif Lateralisasi (-) Sama dengan

pemeriksa

Normal

Negatif Lateralisasi ke

telinga yang sakit

Memanjang Tuli

konduktif

Positif Lateralisasi ke

telinga yang sehat

Memendek Tuli

sensorineural

Catatan : Pada tuli konduktif < 30 dB, Rinne bisa masih positif

(Soetirto, et al., 2009)

2. Interpretasi informasi III

a. Tes Rinne negatif pada aurikula dextra → tuli konduksi

b. Tes weber lateralisasi ke aurikula dextra (telinga sakit) → tuli konduksi

c. Tes Schwabach memanjang pada aurikula dextra → tuli konduksi

Sehingga bisa disimpulkan anak Abon menderita tuli konduksi pada

telinga kanan oleh karena otitis media supuratif akut tersebut.

3. Definisi, etiologi, dan epidemiologi otitis media supuratif akut

a. Definisi

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah

dengan gejala dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala

dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau

sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare,

serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada

Page 18: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, et

al., 2003).

b. Etiologi

1) Bakteri

Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering.

Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis

bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan

atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-

patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya.

Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah

Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus

influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira

5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus

pyogenes (group A beta-hemolytic), Staphylococcus aureus, dan

organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram

negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani

rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai

pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang

dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada anak-anak

(Kerschner, 2007).

2) Virus

Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai

tersendiri atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus

yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu Respiratory

syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak

30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus

atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap

fungsi tuba eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan

adesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan

menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007).

Dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan

virus specific enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA),

Page 19: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak yang

menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, et al., 2003).

c. Epidemiologi

60-80% bayi memiliki paling sedikit satu episode OMSA, dan

90% terjadi pada usia 2-3 tahun. Di Amerika Serikat angka kejadian

tertinggi dari OMSA terjadi pada usia 6-24 bulan, frekuensi OMSA

terjadi pada masa anak-anak, remaja dan dewasa, biasanya anak laki-

laki lebih sedikit dibandingkan dengan anak perempuan (Kerschner,

2007).

d. Faktor resiko

Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin,

ras, faktor genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air

susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan merokok, kontak dengan

anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi,

infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba

eustachius, imatur tuba eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007).

Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan

insidens OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh

struktur dan fungsi tidak matang atau imatur tuba eustachius. Selain itu,

sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga masih rendah.

Insidensi terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi

dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native

American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan prevalensi

yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga

berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti

kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status

nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong

terjadinya OMA pada anak-anak. ASI dapat membantu dalam

pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan

ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan

anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan

anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan

Page 20: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga

meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital

mudah terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu,

anak mudah menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan

komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik

bakteri atau virus (Kerschner, 2007).

4. Patogenesis otitis media supuratif akut

Gambar 5. Patogenesis Otitis Media Akut (Djaafar, et al., 2010)

5. Patofisiologi Otitis Media Supuratif Akut

Telinga tengah biasanya steril, karena gabungan aksi fisiologis silia,

enzim penghasil mucus (misalnya muramidase) dan antibodi berfungsi

sebagai mekanisme petahanan bila telinga terpapar dengan mikroba

Page 21: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

kontaminan saat menelan. Otitis media akut terjadi apabila ada gangguan

pada mekanisme fisiologis tersebut (Mansjoer, et al., 2001).

OMA mudah terjadi pada bayi dan anak karena tuba eustachiusnya

relatif pendek, lebar dan letaknya agak horizontal. Normalnya lapisan

mukosa pada telinga tengah menyerap udara pada telinga tengah, jika ada

sumbatan di tuba eustachius, udara tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi

tekanan negatif dan menimbulkan efusi serosa. Efusi ini pada telinga

tengah merupakan media untuk perkembangbiakan mikroorganisme dan

dengan adanya infeksi saluran napas atas dapat terjadi invasi virus dan

bakteri ke telinga tengah, berkolonisasi dan menyerang jaringan dan

menimbulkan infeksi. Meskipun infeksi saluran napas terutama

disebabkan oleh virus namun sebagian besar infeksi otitis media akut

disebabkan oleh bakteri piogenik. Bakteri yang sering ditemukan antara

lain Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza dan

Streptococcus β-hemoliticus. Sejauh ini Streptococcus pneumoniae

merupakan organisme penyebab tersering pada semua kelompok umur.

Hemophillus influenza adalah patogen yang sering ditemukan pada anak di

bawah usia 5 tahun, meskipun juga merupakan patogen pada orang

dewasa. Gejala klasik otitis media akut antara lain berupa nyeri, demam,

malaise dan kadang – kadang nyeri kepala di samping nyeri telinga;

khusus pada anak – anak dapat terjadi anoreksia, mual dan muntah.

Seluruh atau sebagian membran timpani secara khas menjadi merah dan

menonjol dan pembuluh – pembuluh darah di atas membrane timpani dan

tangkai maleus berdilatasi dan menjadi menonjol (Mansjoer, et al., 2001).

Banyak kasus pencetus OMA disebabkan oleh infeksi saluran nafas

atas yang mengakibatkan kongesti, bengkak dari mukosa nasalis,

nasopharynx dan tuba eustachius. Sumbatan dari isthmus tuba auditiva

akibat dari penimbunan secret dari telinga tengah : hasil perlawanan tubuh

terhadap bakteri atau virus yang berupa nanah sebagai penyebab utama

OMA. Perluasan radang atau infeksi dari hidung atau nasopharynx

kedalam cavum timpani dimungkinkan akibat ada hubungan langsung

Page 22: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

hidung dan cavum timpani melalui tuba eustachius serta persamaan jenis

mukosa antara kedua tempat tersebut (Mansjoer, et al., 2001).

Pembengkakan pada jaringan sekitar saluran tuba eustachius dapat

menyebabkan sekret tidak dapat keluar dan akan terakumulasi pada cavum

timpani. Radang yang terjadi pada membran timpani membuat hiperemis.

Sekret yang terakumulasi, lama-lama mendesak membran timpani keluar,

sehingga timbul gambaran bulging yang terasa sakit. Membran timpani

yang terdesak, getarannya akan melemah, ditambah dari getaran osikula

auditiva yang terhambat oleh cairan, menjadikan tuli konduksi

(Donaldson, 2013; Lalwani, 2007).

6. Penatalaksanaan Otitis Media Supuratif Akut

Amoksisilin merupakan first line terapi dengan pemberian 80 mg/kg

BB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama lima hari. Amoksisilin

efektif terhadap Streptococcus pnemoniae, jika pasien alergi ringan

terhadap amoksisilin dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Second

line terapi seperti amoksisilin-klavulant efektif terhadap Haemophilus

influenza dan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus pnemoniae.

Apabila second line terapi kurang respon, lakukan third line terapi yaitu

dengan melakukan pembedahan meningotomi. Meningotomi ialah

tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi drainase

secret dari telinga tengah ke telinga luar (Lieberthal, et al., 2013).

Penatalaksanaan OMA disesuaikan dengan hasil pemeriksaan dan

stadiumnya. Setiap pengobatan telinga harus dibersihkan dengan steril

(Djaafar, et al., 2010)

a. Stadium Oklusi Tuba

1) Berikan antibiotik selama 7 hari :

a) Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x

sehari atau

b) Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x

sehari atau

Page 23: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

c) Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x

sehari

2) Obat tetes hidung nasal dekongestan

3) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi

4) Antipiretik jika demam (Djaafar, et al., 2010).

b. Stadium Hiperemis

1) Berikan antibiotik selama 10 – 14 hari :

a) Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x

sehari atau

b) Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x

sehari atau

c) Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x

sehari

2) Obat tetes hidung nasal dekongestan maksimal 5 hari

3) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi

4) Antipiretik, analgetik dan pengobatan simptomatis lainnya (Djaafar,

et al., 2010).

c. Stadium Supurasi

1) Segera rawat apabila ada fasilitas perawatan.

2) Berikan antibiotika ampisilin atau amoksisilin dosis tinggi parenteral

selama 3 hari. Apabila ada perbaikan dilanjutkan dengan pemberian

antibiotik peroral selama 14 hari.

3) Bila tidak ada fasilitas perawatan segera rujuk ke dokter spesialis

THT untuk dilakukan miringotomi (Djaafar, et al., 2010).

d. Stadium Perforasi

1) Berikan antibiotik selama 14 hari

2) Cairan telinga dibersihkan dengan obat cuci telinga Solutio H2O2 3%

dengan frekuensi 2 – 3 kali selama 3-5 hari sekali (Djaafar, et al.,

2010).

Page 24: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

Miringotomi adalah tindakan insisi pada tensa membran timpani

agar teradi drainase sekret dari telinga tengah ke telinga luar. Syaratnya :

pasien tenang, membran timpani terlihat jelas, pisau khusus dan steril

(Djaafar, et al., 2010).

7. Komplikasi Otitis Media Supuratif Akut

a. Mastoiditis

1) Abses Bezold

2) Abses Citelli

b. Paralisis nervus fasial

c. Labirintitis

d. Komplikasi intracranial : meningitis, abses ekstradural, abses subdural,

thrombosis sinus sigmoid.

e. Otitis media kronik

f. Otitis adesif

g. Timpanosklerosis (Simon, et al., 2009).

8. Prognosis Otitis Media Supuratif Akut

Prognosis otitis media supuratif akut masih tergolong baik. Jarang

ditemukan adanya komplikasi, membran timpani dapat pulih kembali,

serta pendengaran pun dapat membaik kembali. Sangat jarang ditemukan

efusi telinga tengah atau perforasi persisten. Hanya sedikit persentase

pasien yang kemudian mengalami mastoiditis akut serta amat langka

terjadi pada pasien yang mengalami komplikasi intracranial (Ransome,

1987).

Page 25: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

BAB III

KESIMPULAN

1. Diagnosis kerja pada kasus ini adalah otitis media supuratif akut aurikuler

dextra.

2. Otitis media akut sering disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus

pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarhalis, walau dapat

pula disebabkan oleh virus.

3. Sering terjadi pada anak-anak oleh karena tuba eustachius anak-anak masih

pendek, lebar dan datar, sehingga bakteri mudah masuk dari nasofaring menuju

telinga tengah dan kemudian menyebabkan inflamasi dan terjadilah otitis

media akut.

4. Manifestasi klinis dari otitis media akut berupa otalgia, penurunan

pendengaran, demam, serta inflamasi pada telinga tengah seperti edema dan

hiperemis membran timpani serta tampak bulging pada membran timpani.

5. Penatalaksanaan otitis media supuratif akut dapat berupa pemberian antibiotik,

dekongestan, serta antipiretik atau analgesik atau obat simptomatis lainnya.

Page 26: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G., Boies L., Higler P. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC.

Alberti, Peter W. 2006. The Anatomy and Physiology of the Ear and Hearing.

Singapore : Department of Otolaryngology.

Alper, Cuneyt M., Charles D. Bluestone. 2004. Advanced Therapy of Otitis

Media. Ontario : BC Decker.

Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan

Anak Nelson. Jakarta : EGC.

Bhatt, Reena A. 2011. Ear Anatomy. Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/1948907-overview#showall. Diakses

pada tanggal 09 April 2013.

Buchman, C. A., J. D. Levine, T. J. Balkany. 2003. Infection of the Ear. Dalam :

Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. USA : McGraw-Hill.

Chen, R. C., A. S. Khorsandi, D. R. Shatzkes, R. A. Holliday. 2009. The

Radiology of Referred Otalgia. American Journal of Neuroradiology. Vol.

30 : 1817-23.

Davis, Hallowell, Sol Richard Silverman. 1970. Hearing and Deafness. New

York : Holt McDougal.

Djaafar, Zainul A., Helmi, Ratna D. Restuti. 2010. Kelainan Telinga Tengah.

Dalam : Buku Ajar Telinga Hidung dan Tenggorok. Jakarta : FKUI.

Donaldson, John D. 2013. Acute Otitis Media. Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/859316-overview#showall. Diakses

pada tanggal 12 April 2013.

Flint, P. W., Haughey B. H., Lund V. J., et al. 2010. Cummings Otolaryngology

Head and Neck Surgery. St. Louis : Mosby Elsevier.

Goldman, L., Schafer Al. 2011. Cecil Medicine. Philadelphia : Saunders Elsevier.

Kerschner, J.E. 2007. Otitis Media. Dalam : Nelson Textbook of Pediatrics.

USA : Saunders Elsevier.

Koch, Karen. 2012. Managing otitis externa. South African Pharmaceutical

Journal. Vol. 79 (8) : 17-22.

Page 27: Laporan Pbl 7 Nss Omsa

Lalwani, Anil K. 2007. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head

& Neck Surgery. USA : Mc Graw-Hill.

Lieberthal, Allan S., Aaron E. Carroll, Tasnee Chonmaitree, et al. 2013. The

Diagnosis and Management of Acute Otitis Media. American Academy of

Pediatrics. Vol. 131 (3) : e964-99.

Longo, Dan, Anthony Fauci, Dennis Kasper, Stephen Hauser, et al. 2008.

Harrison's Principles of Internal Medicine. USA : McGraw-Hill.

Majumdar, S., K. Wu, N. D. Bateman, J. Ray. 2009. Diagnosis and management

of otalgia in children. Archives of Disease in Childhood – Education &

Practice Edition. Vol. 94 : 33-6.

Mansjoer, Arif, et al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media

Aesculapius.

Probst, Rudolf, Gerhard Grevers, Heinrich Iro. 2004. Basic Otorhinolaryngology.

Stuttgart : Georg Thieme.

Ransome, Joselen. 1987. Acute Suppurative Otitis Media. Dalam : Scott-Brown’s

Otolaryngology. London : Butterworths.

Scarbrough, Todd J., Terry A. Day, Todd E. Williams, et al. 2003. Referred

Otalgia in Head and Neck Cancer: A Unifying Schema. American Journal

of Clinical Oncology. Vol. 26 (5) : e157-62.

Schweinfurth J. 2009. Middle ear, tympanic membran, infections. Available at :

http://www.emedicine.com. Diakses pada tanggal 11 April 2013.

Simon, Chad, Harold Pine, Francis B. Quinn, Melinda Stoner Quinn. 2009.

Complications of Acute Otitis Media. Available at :

http://www.utmb.edu/otoref/grnds/pedi-otitis-091026/pedi-otitis-slides-

091026.pdf. Diakses pada tanggal 11 April 2013.

Soepardi, Efiaty Arsyad, Nurbaiti Iskandar, Jenny Bashiruddin, Ratna Dwi

Restuti. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga, Hidung, Tenggorok,

Kepala & Leher. Jakarta : FKUI.

Soetirto, Indro, Hendarto Hendarmin, Jenny Bashiruddin. 2009. Gangguan

Pendengaran (Tuli). Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga, Hidung,

Tenggorok, Kepala & Leher. Jakarta : FKUI.