pbl 1 nss unsoed

61
LAPORAN PBL 1 BLOK NEUROLOGY AND SPECIFIC SENSE SYSTEMS “Suamiku kok jadi…” Tutor : dr. Vidya Dewantari dr. Afifah Kelompok IV Gohlena Raja N.C. G1A009009 Istiani Danu P. G1A009018 Prasastie Gita W. G1A009023 David Santoso G1A009031 Famila G1A009044 Alfian Tagar G1A009064 Herlinda Yudi S. G1A009080 Dhayksa Cahya P. G1A009088 Rahma Dewi A. G1A009081 Semba Anggen R. G1A009085 UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Upload: rizka-dana-prastiwi

Post on 13-Aug-2015

131 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: PBL 1 NSS unsoed

LAPORAN PBL 1

BLOK NEUROLOGY AND SPECIFIC SENSE SYSTEMS

“Suamiku kok jadi…”

Tutor :

dr. Vidya Dewantari

dr. Afifah

Kelompok IV

Gohlena Raja N.C. G1A009009

Istiani Danu P. G1A009018

Prasastie Gita W. G1A009023

David Santoso G1A009031

Famila G1A009044

Alfian Tagar G1A009064

Herlinda Yudi S. G1A009080

Dhayksa Cahya P. G1A009088

Rahma Dewi A. G1A009081

Semba Anggen R. G1A009085

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2012

Page 2: PBL 1 NSS unsoed

BAB I

PENDAHULUAN

Di AS, stroke mrp penyebab kematian ke-3 setelah jantung dan kanker,

diderita oleh 500.000 orang per tahunnya. Di Indonesia, menurut SKRT th 1995,

stroke termasuk penyebab kematian utama, dengan 3 per 1000 penduduk

menderita penyakit stroke dan jantung iskemik. Di dunia, menurut SEAMIC

Health Statistic 2000, penyakit serbiovaskuler seperti jantung koroner dan stroke

berada di urutan kedua penyebab kematian tertinggi di dunia. Secara umum, 85%

kejadian stroke adalah stroke oklusif, 15 % adalah stroke hemoragik. Stroke

hemoragik disebabkan oleh kenaikan tekanan darah yang akut atau penyakit lain

yang menyebabkan melemahnya pembuluh darah. Stroke oklusif atau stroke

iskemik disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah akibat adanya emboli,

ateroskelosis, atau oklusi trombotik pada pembuluh darah otak.

Page 3: PBL 1 NSS unsoed

BAB II

PEMBAHASAN

Informasi I

Suamiku kok jadi…..

Tn. A berusia 60 tahun datang ke IGD RSMS diantar oleh keluarganya

dengan keluhan anggota gerak sebelah kanan lemah, pasien mengeluh tiba-tiba

merasa anggota gerak sebelah kanan terasa lemah dan terjatuh pada saat pasien

bangun tidur. Anggota gerak kanan tidak kuat angkat dan bila digerakkan terasa

berat. Jika dipaksakan bergerak hanya hanya bisa menggeser sedikit demi sedikit

tetapi tetap tidak dapat diangkat. Keluhan dirasakan sejak 2 jam sebelum masuk

rumah sakit sampai sekarang. Pasien juga mengeluh nyeri kepala sebelum pasien

merasa anggota gerak kanannya lemah. Pasien tidak mengeluh mual maupun

muntah dan tetap dalam keadaan sadar sebelum, saat, maupun sesudah kejadian.

Pasien tidak mengeluh ada riwayat demam maupun kejang sebelumnya. Pasien

juga menyangkal mengalami trauma kepala sebelumnya,

Tn. A juga merasa wajahnya menjadi tidak simetris, mulutnya menceng ke

kiri dan bicaranya menjadi pelo. Tn. A seorang perokok, satu hari dapat

menghabiskan 1-2 pak rokok.

Anamnesis

1. Identitas

Nama Pasien : Tn. A

Umur : 60 tahun

2. RPS

Keluhan utama : kelemahan pada anggota gerak sebelah kanan

Onset : 2 jam yang lalu

Kronologis : saat bangun tidur merasakan tangan dan kaki kanannya

melemah

Gejala penyerta : wajah nya tidak simetris, mulutnya menceng ke kiri, dan

bicaranya menjadi pelo, nyeri kepala sebelum anggota

Page 4: PBL 1 NSS unsoed

gerak kanan melemah, tidak mengeluh mual, muntah,

demam, pasien sadar, tidak ada riwayat trauma.

Klarifikasi Istilah

Pelo : cara berbicara dengan lidah yang lumpuh (Mardjono, 2009).

Identifikasi masalah

1. Informasi apa yang dibutuhkan untuk memperkuat hipotesis yang ada?

Analisis Masalah

1. Informasi apa lagi yang dibutuhkan?

RPS: faktor memperberat & memperingan

RPD:

1. Apakah dulu pernah mengalami kejadian yang sama?

2. Apakah ada riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu?

3. Apakah ada riwayat penyakit jantung, hipertensi, DM, atau

hiperlipidemia?

4. Apakah terdapat riwayat cedera (trauma) kepala?

5. Apakah pasien pernah mengalami muntah yang proyektil?

RPK:

1. Apakah ada anggota keluarga yang pernah mengalami kejadian yang

sama?

2. Apakah dalam keluarga memiliki riwayat penyakit jantung, hipertensi,

DM, atau hiperlipidemia?

RSE:

1. Apakah pekerjaan pasien?

2. Bagaimana pola makan pasien sehari-hari?

3. Apakah pasien memiliki kebiasaan olahraga teratur?

4. Apakah pasien terbiasa merokok atau mengkonsumsi alkohol?

Pemeriksaan Fisik yang diperlukan:

1. Keadaan Umum

Page 5: PBL 1 NSS unsoed

2. Kesadaran skor GCS

3. Vital Sign Tekanan Darah, Nadi, Respiratory Rate, Suhu

4. Pemeriksaan Fisik head to toe:

a. Kepala-leher mata

b. Thoraks jantung, paru-paru

c. Abdomen lambung, hepar, peristaltik usus

d. Ekstremitas kekuatan motorik ekstremitas atas dan bawah

5. Pemeriksaan Neurologis:

a. Pemeriksaan nervus kranialis

b. Pemeriksaan motorik

c. Pemeriksaan sensorik

d. Pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis

Informasi II

Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Kuantitatif : GCS E4 M6 V5

Vital sign : TD : 200/100 mmHg

N : 98x/menit, regular

RR : 22x/menit

S : 36,3o C

Kepala : mesochepal, tanda trauma (-)

Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, Reflek cahaya

+/+, pupil isokor diameter 2mm/2mm

Leher : dbn

Jantung : batas kiri 2cm lateral midclavicular line, lainnya dbn

Paru : dbn

Abdomen : dbn

Page 6: PBL 1 NSS unsoed

Interpretasi informasi II

Dilihat dari pemeriksaan fisik, tekanan darah Tn. A tinggi. Respirasi

ratenya juga mengalami peningkatan. Pada pemeriksaan status interna

didapatkan bahwa Tn. A mengalami cardiomegali.

Sasaran Belajar :

1. Hipertensi emergensi

2. Batas jantung kiri

3. Perbedaan hmiparese dan hemiplegia

4. Anatomi cerebrum dan saraf cranial

5. Reflek fisiologis dan patologis

6. Fungsi cortex cerebri

7. Fungsi saraf kranialis

8. Jaras piramidalis

Jawaban sasbel :

1. Hipertensi emergensi

Hipertensi emergensi yaitu apabila tekanan sistolik lebih dari 180 dan

diastoliknya lebih dari 120 (lebih dari 180/120 mmHg)

2. Perbedaan hemiparese dan hemiplegia

Hemiparesis : kelumpuhan otot yang ringan pada salah satu lengan dan kaki

pada sisi yang sama. Kekuatan motoriknya masih diatas nol, jadi masih dapat

bergerak walau terbatas. (Mardjono, 2010).

Hemiplegia : kelumpuhan total pada salah satu lengan dan kaki pada sisi yang

sama. Kekuatan motoriknya nol jadi sudah tidak dapat bergerak. (Mardjono,

2010).

3. Anatomi cerebrum dan saraf kranial

A. Anatomi cerebrum

Cerebrum merupakan bagian terbesar otak dan terletak di fossa

cranii anterior dan medius serta menempati seluruh cekungan termpurung

tengkorak. Cerebrum terbagi menjadi dua bagian: diencephalon yang

Page 7: PBL 1 NSS unsoed

membentuk inti sentral dan tetelncephalon yang membentuk

hemispherium cerebri. Hemisperium cerebri merupakan bagian otak yang

paling besar dan merupakan oleh fissura longitudinalis cerebri. Fissura

longitudinalis superior berisi lipatan durameter yang berbentuk seperti

bulan sabit, yang biasanya disebut sebagai falx cerebri dan juga berisi

arteria cerebralis anterior. Cerebrum dibagi menjadi dua hemisfer, yaitu :

1. Hemisfer dextra

2. Hemisfer sinistra

Kedua hemisfer tersebut dipisahkan oleh fisura longitudinal cerebri

Gambar 1. Cerebrum posterior (Martini & Nath, 2009).

Lobus cerebrum dibagi menjadi 4 lobus, yaitu :

1. Frontalis

2. Parietalis

3. Occipitalis

4. Temporalis

Sulcus yang memisahkan antar lobus dibagi menjadi:

1. Sulcus centralis

Sulcus centralis yaitu sulcus yang memisahkan lobus frontal

dengan lobus parietal. Sulcus centralis sangat penting karena gyrus

yang terletak di sebelah anteriornya mengandung sel-sel motorik yang

menginisiasi gerakan-gerakan tubuh sisi kontralateral; di posterior

sulcus ini terletak korteks sensorik umum yang menerima informasi

sensorik dari sisi tubuh kontralateral.

2. Sulcus parietooccipitalis

Page 8: PBL 1 NSS unsoed

Sulcus parietooccipitalis yaitu sulcus yang memisahkan lobus

parietal dengan lobus uccipital. Sulcus ini terdiri dari batang pendek

yang terbagi menjadi tiga ramuSulcus Sulcus ini merupakan celah yang

dalam terutama ditemukan di permukaan inferior dan lateral hemisfer

cerebri.

3. Sulcus lateralis

Sulcus lateralis merupakan sulcus yang memisahkan lobus parietal

dengan lobus temporal.sulcus ini dimulai dari tepi medial superior

hemisphere sekitar 2 inci (5 cm) di anterior polus occipitalis. Sulcus ini

berjalan turun 8ank e arah anterior pada permukaan medial untuk

bertemu dengan sulcus calcarina (Martini & Nath, 2009).

Gambar 2. Lobus dan sulcus cerebrum (Martini & Nath, 2009).

B. Anatomi saraf kranialis

Saraf kranialis adalah saraf perifer yang berpangkal pada otak dan

batang otak. Fungsinya sensorik motorik dan khusus. Yang dimaksud

dengan fungsi khusus adalah fungsi yang bersifat pancaindra seperti,

penghiduan, penglihatan, pengecapan, pendengaran dan keseimbangan.

Saraf kranialis terdiri atas 12 pasang. Saraf kranialis pertama langsung

berhubungan dengan otak. Saraf kranialis kedua dan ketiga berpangkal di

mesensefalon, saraf kranialis keempat, kelima, keenam dan ketujuh

berinduk di pons dan saraf kranialis kedelapan sampai keduabelas berasal

dari medula oblongata (Martini dan Nath, 2006).

Page 9: PBL 1 NSS unsoed

Gambar 3. Nervus kranialis beserta fungsinya (Sumber : Martini dan

Nath, 2006)

Fungsi dan sifat keduabelas nervus kranialis dapat dilihat pada tabel

dibawah ini.

Tabel . Nervus kranialis, sifat dan fungsinya (Martini dan Nath, 2006)

Nervus Cranial Sifat Fungsi

Olfactorius (N. I) Sensorik Penghidu

Opticus (N. II) Sensorik Penglihatan

Occulomotorius

(N. III)

Motorik Pergerakan bola mata,

pergerakan pupil

Trochlear (N. IV) Motorik Pergerakan bola mata

Trigeminus (N.

V)

Sensorik dan motorik Mengatur refleks kornea,

otot – otot pengunyah

Abducens (N. VI) Motorik Pergerakan bola mata

Facial (N. VII) Sensorik dan motorik Persarafi 2/3 anterior lidah,

otot – otot ekspresi wajah,

sekresi kelenjar ludah

Page 10: PBL 1 NSS unsoed

Vestibulocochlear

(N. VIII)

Sensorik Keseimbangan dan

pendengaran

Glossopharyngeal

(N. IX)

Sensorik dan motorik Persarafi 1/3 posterior lidah,

sebagai reseptor tekanan

darah

Vagus (N. X) Sensorik dan motorik Hearth rate, sistem digestif

Accessorius (N.

XI)

Motorik Musculus trapezius,

musculus

sternocleidomastoideus

Hypoglossus (N.

XII)

Motorik Pergerakan otot intrinsik

lidah

4. Reflek fisiologis dan patologis

A. Refleks Ekstremitas Atas

1. Refleks Biceps (BPR)

Cara : Pasien duduk di lantai. Lengan rileks, posisi antara fleksi dan

ekstensi dan sedikit pronasi, lengan diletakkan di atas lengan

pemeriksa

Stimulus : ketukan pada jari pemeriksa pada tendon m.biceps brachii,

posisi lengan setengah ditekuk pada sendi siku.

Respon (+) : fleksi lengan pada sendi siku.

2. Refleks Triceps (TPR)

Cara : Pasien duduk dengan rileks. Lengan pasien diletakkan di atas

lengan pemeriksa. Pukullah tendon triseps melalui fosa olekrani.

Stimulus : ketukan pada tendon otot triceps brachii, posisi lengan

fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi.

Respon (+) : ekstensi lengan bawah pada sendi siku

3. Refleks Brakhioradialis

Cara : Posisi pasien sama dengan pemeriksaan refleks biseps.

Stimulus : Pukullah tendo brakhioradialis pada radius distal dengan

palu refleks.

Respon (+) : muncul gerakan menyentak pada lengan.

Page 11: PBL 1 NSS unsoed

4. Refleks Periosteum Radialis

Cara : Lengan bawah sedikit di fleksikan pada sendi siku dan tangan

sedikit dipronasikan.

Stimulus : Ketuk periosteum ujung distal os. Radialis.

Respon (+) : fleksi lengan bawah dan supinasi lengan karena kontraksi

m.brachiradialis.

5. Refleks Periosteum Ulnaris

Cara : Lengan bawah sedikit di fleksikan pada siku, sikap tangan

antara supinasi dan pronasi.

Stimulus : Ketukan pada periosteum os. Ulnaris.

Respon (+) : pronasi tangan akibat kontraksi m.pronator quadratus

(Sherwood, 2001).

B. Refleks Ekstremitas Bawah

1. Refleks Patela (KPR)

Cara : Pasien duduk santai dengan tungkai menjuntai. Raba daerah

kanan-kiri tendo untuk menentukan daerah yang tepat. Tangan

pemeriksa memegang paha pasien.

Stimulus : Ketukan pada tendon patella.

Respon (+) : ekstensi tungkai bawah karena kontraksi m.quadriceps

femoris.

2. Refleks Achilles (APR)

Stimulus : ketukan pada tendon Achilles.

Respon (+) : plantar fleksi karena kontraksi m.gastrocnemius.

3. Refleks Klonus lutut

Cara : pegang dan dorong os patella ke arah distal.

Respon (+) : kontraksi reflektorik m. quadrisep femoris selama

stimulus berlangsung.

4. Refleks Klonus kaki

Cara : dorsofleksikan kaki secara maksimal, posisi tungkai fleksi di

sendi lutut.

Respon (+) : kontraksi reflektorik otot betis selama stimulus

berlangsung.

Page 12: PBL 1 NSS unsoed

5. Refleks Kremaster

Stimulus : Goresan ujung tumpul palu refleks pada paha bagian

medial.

Respon (+) : elevasi testis ipsilateral.

6. Refleks Plantar

Stimulus : Telapak kaki pasien digores dengan ujung tumpul palu

refleks.

Respon (+) : plantar fleksi kaki dan fleksi semua jari kaki.

7. Refleks Gluteal

Stimulus : Bokong pasien digores dengan ujung tumpul palu refleks.

Respon (+) : kontraksi otot gluteus ipsilateral (Sherwood, 2001).

C. Refleks patologis

1. Hoffmann Trommer

Tangan pasien ditumpu oleh tangan pemeriksa. Kemudian ujung jari

tangan pemeriksa yang lain disentilkan ke ujung jari tengah tangan

penderita. Reflek positif jika terjadi fleksi jari yang lain dan adduksi

ibu jari.

2. Grasping (primitif)

Gores palmar penderita dengan telunjuk jari pemeriksa diantara ibu

jari dan telunjuk penderita. Maka timbul genggaman dari jari

penderita, menjepit jari pemeriksa. Jika reflek ini ada maka penderita

dapat membebaskan jari pemeriksa. Normal masih terdapat pada anak

kecil. Jika positif pada dewasa maka kemungkinan terdapat lesi di

area premotorik korteks.

3. Reflek palmomental (primitif)

Garukan pada telapak tangan pasien menyebabkan kontraksi muskulus

mentali ipsilateral. Reflek patologis ini timbul akibat kerusakan lesi

UMN di atas inti saraf VII kontralateral.

4. Reflek sucking (primitif)

Ketukan hammer pada tendo insertio m. Orbicularis oris maka akan

menimbulkan reflek menyusu. Menggaruk bibir dengan tongue spatel

Page 13: PBL 1 NSS unsoed

akan timbul reflek menyusu. Normal pada bayi, jika positif pada

dewasa akan menandakan lesi UMN bilateral.

5. Refleks snouting

Ketukan pada bibir atas akan memberi respon kontraksi otot-otot di

sekitar bibir dan bawah hidung.

6. Leri

Fleksi maksimal tangan pada pergelangan tangan, sikap lengan

diluruskan dengan bgian ventral menghadap ke atas. Respon tidak

terjadi fleksi di sendi siku.

7. Mayer Reflek

Fleksikan jari manis di sendi metacarpophalangeal, secara halus

normal akan timbul adduksi dan aposisi dari ibu jari. Absennya respon

ini menandakan lesi di tractus pyramidalis.

8. Reflek babinski

Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit ke arah jari melalui

sisi lateral. Orang normal akan memberikan resopn fleksi jari-jari dan

penarikan tungkai. Pada lesi UMN maka akan timbul respon jempol

kaki akan dorsofleksi, sedangkan jari-jari lain akan menyebar atau

membuka. Normal pada bayi masih ada.

9. Reflek oppenheim

Lakukan goresan pada sepanjang tepi depan tulang tibia dari atas ke

bawah, dengan kedua jari telunjuk dan tengah. Jika positif maka akan

timbul reflek seperti babinski

10. Reflek Gordon

Lakukan goresan/memencet otot gastrocnemius, jika positif maka

akan timbul reflek seperti babinski

11. Reflek schaefer

Lakukan pemencetan pada tendo achiles. Jika positif maka akan

timbul reflek seperti babinski.

12. Refleks Gonda

Penekukan (plantar fleksi) maksimal jari kaki ke-4. Respon seperti

babinski.

Page 14: PBL 1 NSS unsoed

13. Refleks Stransky

Penekukan (lateral) jari kaki ke-5. Respon seperti babinski

14. Reflek chaddock

Lakukan goresan sepanjang tepi lateral punggung kaki di luar telapak

kaki, dari tumit ke depan. Jika positif maka akan timbul reflek seperti

babinski.

15. Reflek rossolimo

Pukulkan hammer reflek pada dorsal kaki pada tulang cuboid. Reflek

akan terjadi fleksi jari-jari kaki.

16. Reflek mendel-bacctrerew

Pukulan telapak kaki bagian depan akan memberikan respon fleksi

jari-jari kaki (Sherwood, 2001).

Catatan : Refleks primitif menandakan lesi lobus frontalis (Sherwood,

2001).

5. Fungsi cortex cerebri

Cortex cerebri terbagi menjadi empat lobus yaitu :

A. Lobus frontal

a. Pusat fungsi intelektual yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir

abstrak dan nalar, motorik bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat

penghidu, dan emosi.

b. Pusat pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik

primer).

c. Terdapat area asosiasi motorik (area premotor).

d. Girus presentralis atau korteks motorik, merupakan pusat gerakan

motorik kontralateral.

e. Area Broca, merupakan pusat bicara ekspresif.

f. Area suplementer motorik, merupakan pusat pergerakan konjugasi

kepala dan mata.

g. Area prefrontal, merupakan pusat kepribadian dan inisiatif.

h. Area paracentralis merupakan pusat inhibisi untuk fungsi miksi dan

defekasi.

i. Gangguan pada lobus frontalis dapat menimbulkan gejala-gejala :

Page 15: PBL 1 NSS unsoed

1. Monoplegi atau hemiplegi

2. Disfasia motorik (disfasia ekspresif)

3. Perubahan kepribadian dengan perilaku antisosial, kehilangan

inisiatif

4. Inkontinensia urin

B. Lobus parietal

a. Pusat kesadaran sensorik di gyrus postsentralis (area sensorik primer).

b. Terdapat area asosiasi sensorik.

c. Girus postsentral berfungsi untuk menerima

jaras aferen untuk rasa posisi, raba, dan gerakan pasif

d. Girus supramarginal dan angular hemisfer

dominan untuk area reseptif untu bahasa dimana komprehensi anatara

aspek pendengaran dan visual berintegrasi. Selain itu berfungsi juga

untuk kemampuan kalkulasi, kemampuan untuk konstruksi tubuh, dan

pada hemisfer dominan untuk konsep body image dan kesiagaan

terhadap lingkungan eksternal.

e. Gangguan pada lobus parietalis dapat

menyebabkan :

1. Gangguan rasa posisi

2. Gangguan sensorik gerak pasif

3. Gangguan rasa halus

4. Gangguan two point discrimination

5. Astereognosia (gangguan mengenal bentuk melalui perabaan)

6. Afasia reseptif atau afasia sensorik

7. Kelainan pada sisi dominan akan didapatkan Gerstmann Syndrom

dengan gejala-gejala : tak dapat membedakan ekstremitas kiri dan

kanan, kesulitan mengenal jari tangan (finger agnosia), gangguan

berhitung (akalkuli), gangguan menulis (agrafia)

8. Kelainan pada sisi nondominan akan didapatkan gejala :

anosognosia (tak mengenal ekstremitas kontralateral dan tak

mengakui kelumpuhannya), apraxia (kesulitan melakukan suatu

tindakan yang kompleks, seperti memakai baju, menalikan sepatu),

Page 16: PBL 1 NSS unsoed

geographical agnosia (tidak mengenal lokasi tempat),

apraksia konstruksional ( tak dapat meniru gambar-gambar

geometris) (Sherwood, 2001).

C. Lobus oksipital

Pusat penglihatan & area asosiasi penglihatan,menginterpretasi &

memproses rangsang penglihatan dari nervus optikus & mengasosiasikan

rangsang ini dengan informasi saraf lain & memori. Merupakan lobus

terkecil. Gangguan pada lobus oksipitalis dapat menyebabkan:

1. Gangguan lapang pandang

2. Buta kortikal bila kelainannya di korteks striata (area 17)

3. Gangguan interpretasi visual bila kerusakannya di korteks striata dan

parastriata (Sherwood, 2001).

D. Lobus temporal

a. Berperan dalam pembentukan & perkembangan emosi dan pusat

pendengaran.

b. Terdapat korteks audotorik, pada sisi

dominan berfungsi untuk pusat pendengaran dalam bahasa dan pada sisi

nondominan untuk pendengaran dari suara, irama, dan musik.

c. Pada girus temporalis media dan inferior

berhubungan dengan proses belajar dan memori.

d. Lobus limbik merupakan media dari sensasi olfaktorik, emosi, dan

perilaku afektif.

e. Gangguan pada lobus temporalis dapat menyebabkan :

1. Tuli sensorik

2. Gangguan pendengaran irama (amusia)

3. Gangguan belajar dan ingatan

4. Kelainan pada sistem limbik : halusinasi olfaktorik, perilaku agresif

dan antisosial, gangguan ingatan jangka pendek

5. Kelainan pada hemisfer dominan akan menimbulkan disfasia

Wernicke atau disfasia reseptif (Sherwood, 2001).

Page 17: PBL 1 NSS unsoed

6. Fungsi saraf kranialis

Tabel 1. Fungsi saraf kranialis (Snell, 2007):

Nama Komponen Fungsi Tempat keluar

di tengkorak

Olfactorius Sensorik Penghidu Lamina cribosa

ossis

ethmoidalis

Opticus Sensorik Penglihatan Canalis opticus

Oculomotorius Motorik Mengangkat kelopak mata

atas; menggerakkan bola mata

ke atas, bawah, dan medial;

konstriksi pupil; akomodasi

mata

Fissura orbitalis

superior

Trochlearis Motorik Membantu menggerakkan bola

mata ke bawah dan lateral

Fissura orbitalis

superior

Trigeminus

Ophtalmicus Ophtalmicu

s

Ophtalmicus Ophtalmicus

Maxillaris Maxillaris Maxillaris Maxillaris

Mandibullaris Mandibullar

is

Mandibullaris Mandibullaris

Abducens Abducens Abducens Abducens

Facialis Facialis Facialis Facialis

Vestibulocochlear Vestibuloco

chlear

Vestibulocochlear Vestibulocochl

ear

Vestibular Vestibular Vestibular

Cochlear Sensorik Organ corti: pendengaran

Glossopharyngeus Motorik M. stylopharingeus: membantu Foramen

Page 18: PBL 1 NSS unsoed

menelan Jugulare

Sekretorik

parasimpatis

Kelenjar parotis

Sensorik Sensasi umum dan pengecap

dari se per tiga bagian posterior

lidah dan farin; sinus carotis

(baroreseptor); corpus carotis

(kemoreseptor)

Vagus Motorik Jantung dan pembuluh dasar

besar di toraks; laring, trakea,

bronkus, dan paru; traktus

alimentari dari faring ke

fleksura splenicus kolon;

hepar, ginjal, dan prankreas

Foramen

JugulareSensorik

Accesorius Motorik

Radix cranialis Otot-otot palatum molle

(kecuali M. Tensor veli

palatini), faring (kecuali M.

stylopharyngeus), dan laring

(kecuali M. cricothyroid) di

cabang-cabang n. Vagus

Foramen

Jugulare

Radiks spinalis M. sternocleidomastoideus dan

M. Trapezius

Hypoglossus Motorik Otot-otot lidah (kecuali M.

Palatoglossus) mengatur

bentuk dan pergerakan lidah

Canalis

hypoglossus

7. Jaras Piramidalis

Otot-otot skeletal dan neuron-neuron menyusun susunan neuromuscular

voluntar, yaitu sistem yang mengurus dan sekaligus melaksanakan gerakan

yang dikendalikan oleh kemauan, hal ini terbagi menjadi dua, yakni : upper

motorneuron dan lower motorneuron.

Page 19: PBL 1 NSS unsoed

Upper motorneuron adalah semua neuron yang menyalurkan impuls

motorik ke lower motorneuron (LMN). Berdasarkan anatomik dibagi menjadi

susunan piramidalis dan extrapiramidalis. Upper motorneuron berjalan dari

cortex cerebri sampai dengan medulla spinalis sehingga kerja dari upper

motorneuron akan mempengaruhi aktifitas dari lower motorneuron

Lower motorneuron adalah neuron-neuron yang menyalurkan impuls

motorik pada bagian perjalanan terakhir ke sel otot skeletal, hal ini lah yang

membedakan dengan upper motorneuron. Lower motorneuron mempersarafi

serabut otot dengan berjalan melalui radix anterior, nervus spinalis dan saraf

tepi. Lower motorneuron memiliki dua jenis yaitu alfa-motorneuron memiliki

akson yang besar, tebal dan menuju ke serabut otot ekstrafusal (aliran impuls

saraf yang berasal dari otak/medulla spinalis menuju ke efektor), sedangkan

gamma-motorneuron memiliki akson yang ukuran kecil, halus dan menuju ke

serabut otot intrafusal (aliran impuls saraf dari reseptor menuju ke

otak/medulla spinalis). Begitu halnya dengan nervi cranialis merupakan dari

LMN karena nervus-nervus cranialis ini sudah keluar sebelum medulla

spinalis yaitu di pons dan medulla oblongata (Sidharta, 2008 ; Snell, 2007).

Perintah motorik dari SSP didistribusikan oleh sistem saraf somatis dan

otonom. Sistem saraf somatis menyebabkan terjadinya kontraksi otot skelet.

Hasil kerja dari sistem saraf somatis merupakan suatu gerakan volunter

(Martini dan Nath, 2006).

Sistem saraf untuk motorik dibagi menjadi sistem pyramidalis dan

extrapyramidalis. Tractur pyramidalis terdiri dari tractus corticospinal dan

tractus corticobulbar. Tractus extrapyramidalis dibagi menjadi lateral

pathway dan medial pathway. Lateral pathway terdiri dari tractus rubrospinal

dan medial pathway terdiri dari tractus vestibulospinal, tractus tectospinal dan

tractus retikulospinal. Medial pathway mengontrol tonus otot dan pergerakan

kasar daerah leher, dada dan ekstremitas bagian proksimal. Sedangkan untuk

Lateral Pathway mengontrol gerakan halus dari ekstremitas bagian distal

(Martini dan Nath, 2006).

Page 20: PBL 1 NSS unsoed

A. Tractus Corticospinal

Serabut tractus corticospinal berasal dari sel pyramidal di cortex

cerebri. Dua pertiga serabut ini berasal dari gyrus precentralis dan

sepertiga dari gyrus postcentralis. Serabut desendens tersebut lalu

mengumpul di corona radiata, kemudian berjalan melalui crus posterius

capsula interna. Pada medulla oblongata tractus corticospinal nampak pada

permukaan ventral yang disebut pyramids. Pada bagian caudal medulla

oblongata tersebut 85% tractus corticospinal menyilang ke sisi

kontralateral pada decussatio pyramidalis sedangkan sisanya tetap pada

sisi ipsilateral walaupun akhirnya akan tetap bersinaps pada neuron tingkat

tiga pada sisi kontralateral pada medulla spinalis. Tractus corticospinalis

yang menyilang pada ducassatio akan membentuk tractus corticospinal

lateral dan yang tidak menyilang akan membentuk tractus corticospinal

anterior (Snell, 2002).

B. Tractus Corticobulbar

Serabut tractus corticobulbar mengalami perjalanan yang hampir sama

dengan tractus corticospinal, namun tractus corticobulbar bersinaps pada

motor neuron nervus cranialis III, IV, V, VI, VII, IX, X, XI, XII. Tractus

coricobulbar menjalankan fungsi kontrol volunter otot skelet yang terdapat

pada mata, dagu, muka dan beberapa otot pada faring dan leher. Seperti

halnya dengan tractus corticospinal, tractus corticobulbar pun mengalami

persilangan namun persilangannya terdapat pada tempat keluarnya motor

neuron tersebut. (Martini dan Nath, 2006).

Page 21: PBL 1 NSS unsoed

Gambar 4. Traktus Pyramidalis

C. Medial Pathway

Medial Pathway (jalur medial) mempersarafi dan mengendalikan tonus

otot dan pergerakan kasar dari leher, dada dan ekstremitas bagian

proksimal. Upper motor neuron jalur medial berasal dari nukleus

vestibularis, colliculus superior dan formasio retikularis. (Martini dan Nath,

2006).

Nukleus vestibularis menerima informasi dari N VIII dari reseptor di

vestibulum untuk mengontrol posisi dan pergerakan kepala. Tractus

descendens yang berasal dari nukleus tersebut ialah tractus

vestibulospinalis. Tujuan akhir dari sistem ini ialah untuk menjaga postur

tubuh dan keseimbangan. (Martini dan Nath, 2006).

Colliculus superior menerima sensasi visual. Tractus descendens yang

berasal dari colliculus superior disebut tractus tectospinal. Fungsi tractus ini

ialah untuk mengatur refleks gerakan postural yang berkaitan dengan

penglihatan (Snell, 2002).

Page 22: PBL 1 NSS unsoed

Formasio retikularis ialah suatu sel-sel dan serabut-serabut saraf yang

membentuk jejaring (retikular). Jaring ini membentang ke atas sepanjang

susunan saraf pusat dari medulla spinalis sampai cerebrum. Formatio

reticularis menerima input dari hampir semua seluruh sistem sensorik dan

memiliki serabut eferen yang turun memengaruhi sel-sel saraf di semua

tingkat susunan saraf pusat. Akson motor neuron dari formatio retikularis

turun melalui traktus retikulospinal tanpa menyilang ke sisi kontralateral.

Fungsi dari tractus reticulospinalis ini ialah untuk menghambat atar

memfasilitasi gerakan voluntar dan kontrol simpatis dan parasimpatis

hipotalamus (Martini dan Nath 2006).

D. Lateral Pathway

Lateral Pathway (jalur lateral) berfungsi sebagai kontrol tonus otot dan

presisi pergerakan dari ekstremitas bagian distal. Upper motor neuron dari

jalur lateral ini terletak dalam nukleus ruber (merah) yang terletak dalam

mesencephalon. Akson motor neuron dari nukleus ruber ini turun melalui

tractus rubrospinal. Pada manusia tractus rubrospinal kecil dan hanya

mencapai corda spinalis bagian cervical. (Martini dan Nath, 2006).

Page 23: PBL 1 NSS unsoed

Gambar 5. Jaras Ekstrapiramidalis

Informasi III

Pemeriksaan neurologis

Tidak didaptkan tanda-tanda iritasi meningeal

N. Cranialis :

Parese N. VII kanan tipe sentral

Parese N. XII kanan tipe sentral

Py

3 62 · 3 Motor System

4 6aα 6aβ 8

Parieto-temporopontine tract

Occipito-mesencephalic tract

21

3

Frontopontine tract

Corticospinal tractwith extrapyramidalfibers

Thalamus

Putamen andglobus pallidus

Head of caudate nucleus

Tegmental nuclei

Red nucleus

Substantia nigra

Pontine nuclei

From the cerebellum To the cerebellum

(fastigial nucleus)

Reticular formationLateral vestibularnucleus

Central tegmentaltract

Inferior olive

Pyramid

Rubrospinal tract

Olivospinal tract

Vestibulospinal tract

Lateral corticospinaltract

ReticulospinaltractTectospinal tract

Anterior corticospinaltract

Fig. 3.5 Brain structures involved in motor function and the descending tracts that originate inthemBaehr, Duus' Topical Diagnosis in Neurology © 2005 ThiemeAll rights reserved. Usage subject to terms and conditions of license.

Page 24: PBL 1 NSS unsoed

Fungsi motorik Superior (D/S) Inferior (D/S)

Gerak T/B T/B

Kekuatan 2/5 2/5

Reflek fisiologis + /+N + /+N

Reflek patologis +/- +/-

Tonus N/N N/N

Trofi E/E E/E

Pemeriksaan sensibilitas : dbn

Siriraj stroke score

= ( (2,5x0) + (2x0) + (2x1) + (0,1x100) – (3x1) ) – 12

= 9-12

= -3 stroke non hemoragik

Pembahasan

Dari info 3 didapatkan bahwa terjadi parese pada bagian kanan dibuktikan dengan

parese n. VII dan n. XII. Pada fungsi motorik gerak, kekuatan, reflek fisiologis,

dan reflek patologis menunjukan bahwa terjadi kelainan pada ekstrimitas superior

dan inferior sebelah kanan.

Informasi IV

Pemeriksaan

yang dilakukan

Hasil

LaboratoriumNilai Normal Keterangan

Hb 13 gr/dl 12-16 gr/dl N

Leukosit 12000 /mm3 4000-11000/mm3 Meningkat

Trombosit 410000 / mm3150.000-450.000/

mm3N

Hematokrit 40% 45 – 55% Menurun

LED 12 mm <10 mm Meningkat

GDS 300 mg/dl <126 mg/dl Meningkat

Kolesterol Total 170 mg/dl <200 mg/dl N

HDL 45 mg/dl >55 mg/dl Menurun

LDL 175 mg/dl < 100 mg/dl Meningkat

Trigliserida 155 mg/dl 120 - 190 mg/dl N

Asam Urat 5,2 mg/dl 2.4 – 5.7 mg/dl N

Page 25: PBL 1 NSS unsoed

BUN 25 mg/dl 8-26 mg/dl N

Kreatinin Serum 1,1 mg/dl 0,5-1,5 mg/dl N

EKG : hipertrofi vventrikel kiri

Ro thorax : kardiomegali ringan

CT scan kepala : gambaran hipodens pada hemisfer kiri

Pembahasan :

Dari informasi diatas dapat diketahui terdapat hasil pemeriksaan laboratorium

yang abnormal seperti leukosit, hematokrit, GDS, LDL, HDL, LED. Selain itu

pada pemeriksaan CT scan kepala terdapat gambaran hipodens yang menunjukan

adanya stroke non hemoragik pada pasien tersebut.

Informasi V

Diagnosis klinis I :

Hemiparese dextra, parese N. VII dextra sentral, parese N. XII dextra sentral

Diagnosis klinis II:

Hipertensi, Diabetes mellitus

Diagnosis topik :

Kapsula interna sinistra

Diagnosis etiologi :

Stroke non hemoragik

Diagnosis banding :

Stroke hemoragik

Sasaran Belajar :

1. Organ target hipertensi urgensi

2. Klasifikasi stroke

3. Etiologi stroke

4. Faktor resiko stroke

5. Patogenesis dan patofisiologi stroke

6. Penatalaksanaan stroke

7. Prognosis stroke

Page 26: PBL 1 NSS unsoed

Pembahasan sasbel :

1. Organ target hipertensi

Krisis hipertensi dapat dibagi menjadi dua berdasarkan prioritas

pengobatannya, yaitu :

a. Hipertensi Emergensi (darurat) ditandai dengan tekanan diastolik > 120

mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh

satu atau lebih penyakit/kondisi akut. Tekanan darah pada kondisi ini

harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam.

Penderita perlu dirawat di ruangan Intensive Care Unit (ICU).

Keterlambatan pengobatan dapat menyebabkan timbulnya kematian

(Majid, 2004).

Berikut adalah gangguan yang dapat terjadi pada hipertensi emergensi :

1. Pendarahan intra cranial, ombotik CVA atau pendarahan

subarakhnoid.

2. Hipertensi ensefalopati.

3. Aorta diseksi akut.

4. Oedema paru akut.

5. Eklampsi.

6. Feokhromositoma.

7. Funduskopi KW III atau IV.

8. Insufisiensi ginjal akut.

9. Infark miokard akut, angina unstable.

10. Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain :

1) Sindrom withdrawal obat anti hipertensi.

2) Cedera kepala.

3) Luka bakar.

4) Interaksi obat.

b. Hipertensi Urgensi (mendesak), ditandai dengan tekanan diastolik > 120

mmHg dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ

sasaran. Tekanan darah harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang

aman memerlukan terapi parenteral (Majid, 2004).

Berikut adalah gangguan pada hipertensi urgensi :

Page 27: PBL 1 NSS unsoed

1. KW I atau II pada funduskopi.

2. Hipertensi post operasi.

3. Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.

Tingginya tekanan darah yang dapat menyebabkan kerusakan organ

sasaran tidak hanya berdasarkan tingkatan tekanan darah aktual, tapi juga

dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan tekanan darah, bangsa,

seks dan usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat mentolerir

kenaikan tekanan darah yang lebih tinggi dibanding dengan normotensi

(Majid, 2004).

2. Klasifikasi stroke

Menurut National of Neurologicals Disorders and Stroke (NINDS),

berdasarkan etiologinya dibedakan menjadi :

1. Stroke Hemoragik, yang terdiri atas :

a. Perdarahan Intracerebral (PIS)

b. Perdarahan Subarachnoid

c. Perdarahan Intra kranial oleh karena AVM

2. Stroke Non Hemoragik, yang berdasarkan perjalanan klinisnya terdiri

dari :

a. TIA ( Transient Ischemic Attack)

b. RIND ( Reversible Ischemich Neurologis Defisit)

c. Progressing Stroke atau Stroke Non Evolution

d. Completed Stroke

Stroke hemoragik

Stroke Hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh

darah otak. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita

hipertensi. Berdasarkan etiologinya dibedakan menjadi :

a. Perdarahan Intracerebral (PIS)

Gejala klinis yang timbul pada perdarahan intra serebral disebabkan

adanya akumulasi darah akibat pecahnya pembuluh darah di dalam

parenkim otak. Gejala yang timbul tergantung daerah otak mana yang

mengalami gangguan.

Page 28: PBL 1 NSS unsoed

b. Perdarahan di Lobus

Tanda dan gejala yang timbul :

1) Lobus frontalis : hemiparesis kontralateral dengan lengan lebih

nyata disertai sakit kepala bifrontal, deviasi conjugat ke arah lesi.

2) Lobus Parietalis : defisit persepsi sensorik kontralateral dengan

hemiparesis ringan.

3) Lobus Oksipitalis : hemianopia dengan atau tanpa hemiparesis

yang minimal pada sisi ipsilateral dengan hemianopianya.

4) Lobus Temporalis : afasia sensorik bila area Wernicke hemisfer

dominan terkena, hemianopia atau kuadranopia karena massa darah

mengganggu radiasi optika.

c. Perdarahan Area Striata

Tanda dan gejala yang timbul :

1) Hemiparesis/hemiplegi kontralateral

2) Defisit hemisensorik dan mungkin disertai jugahemianopia homonim

3) Afasia bila mengenai hemisfer dominan

d. Perdarahan Thalamus

Tanda dan gejala yang timbul :

1) Defisit sensorik

2) Hemiparesis/ hemiplegi kontralateral

3) Afasia, anomia jika mengenai hemisfer dominan

e. Perdarahan Pons

Perdarahan batang otak tersering adalah pons, dengan tanda dan gejala

yang timbul :

1) Kesadaran menurun dengan cepat tanpa didahului sakit kepala,

vertigo, mual dan muntah.

2) Biasanya kuadriplegi dan flaksid

3) Pupil kecil dan reaksi cahaya minimal

4) Pernafasan cheyne stokes dan febril

f. Perdarahan Sub Arachnoid (PSA)

Page 29: PBL 1 NSS unsoed

Perdarahan sub arachnoid primer atau spontan disebabkan oleh

perdarahan arterial non traumatik ke dalam ruang sub arachnoid di

sekeliling otak. Tanda dan gejala yang timbal antara lain :

1) Sakit kepala mendadak

2) Kaku kuduk

3) Penurunan kesadaran mulai dari mengantuk sampai koma

4) Paresis nervus okulomotorius

5) Pupil anisokor

6) Perdarahan retina (funduskopi)

Stroke nonhemoragik

Stroke non hemoragik adalah tersumbatnya pembuluh darah yang

menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. 80%

stroke adalah stroke non hemoragik.

Jenis Stroke Non Hemoragik berdasarkan perjalanan klinisnya.

a. TIA (Transient Ischemic Attact = gangguan peredaran darah otak

sepintas)

TIA didefinisikan sebagai suatu gangguan akut dan fungsi fokal

serebral yang gejalanya berlangsung kurang dari 24 jam dan disebabkan

oleh thrombus atau emboli.Pada TIA ini, gejala yang timbul akan cepat

menghilang, berlangsung hanya dalam beberapa menit saja, tetapi juga

dapat sampai sehari penuh. Dilihat dari gejala dan tanda yang ada, dapat

dibedakan antara TIA tersebut bersumber pada system karotis dan

bersumber pada system vertebrobasilaris.

Tanda dan gejala TIA yang disebabkan gangguan pada system karotis :

1) Gangguan penglihatan pada satu mata tanpa disertai rasa nyeri

2) Kelumpuhan lengan atau tungkai atau keduanya pada sisi yang

sama

3) Defisit sensorik atau motorik dari wajah saja, wajah dan lengan

atau tungkai saja secara unilateral.

4) Kesulitan untuk mengerti bahasa dan atau berbicara

Tanda dan gejala yang disebabkan gangguan pada sistem

vertebrobasilaris :

Page 30: PBL 1 NSS unsoed

1) Vertigo dengan atau tanpa disertai nausea dan atau muntah,

terutama bila disertai dengan diplopia, disfagia atau disartri.

2) Mendadak tidak stabil,

3) Gangguan visual, motorik, sensorik, unilateral atau bilateral.

4) Hemianopsia homonim

5) Drop attack

b. RIND ( Reversible Ischemic Neurologik Deficit)

Gejala neurologis yang ada pada RIND juga akan menghilang, hanya

waktu berlangsunya lebih lama yaitu lebih dari 24 jam bahkan sampai

24 hari.

c. Progresing Stroke ( Stroke in evalution)

Pada stroke ini, kelainan atau defisit neurologis yang timbul

berlangsung secara bertahap dari yang bersifat ringan menjadi lebih

berat. Diagnosis progressing stroke ditegakkan oleh dokter, karena

dokter dapat mengamati sendiri secara langsung atau berdasarkan

keterangan pasien.

d. Completed Stroke

Pada stroke jenis ini, kelainan neurologis yang ada sifatnya sudah

menetap tidak berkembang lagi. Kelainan neurologis yang timbul

bermacam-macam tergantung pada daerah otak mana yang mengalami

infark.

Namun jika infark tersebut terletak di batang otak, meskipun dengan

pemeriksaan CT-Scan infark tersebut tidak akan terlihat.

3. Etiologi stroke

Etiologi untuk stroke adalah sebagai berikut.

a. Stroke Non-Hemorrhagik

1) Atherosklerosis

2) Embolisasi

3) Penurunan Tekanan darah sistemik

b. Stroke Hemorrhagik

1) Pecahnya arteri

Page 31: PBL 1 NSS unsoed

2) Pecahnya aneurisma

3) AVM (Arteriol-Venula Malformation)

4. Faktor risiko stroke

Menurut WHO (2009), faktor risiko untuk penyakit stroke adalah sebagai

berikut.

a. Bisa diubah (Modifiable)

1) Faktor risiko Mayor

Kriteria mayor ini didapat dari tingginya tingkat prevalensi dalam

masyarakat dan adanya penurunan tingkat kejadian bila faktor risiko ini

dikendalikan.

a) Tekanan darah tinggi

b) Lipid darah yang abnormal

Total kolesterol, LDL, dan TG meningkat. HDL menurun.

c) Merokok

d) Jarang berolahraga

Meningkatkan risiko sebesar 50 %.

e) Obesitas

f) Diet yang salah

Rendahnya intake buah-buahan dan sayur-sayuran serta tingginya

intake lemak bersaturasi tinggi dapat meningkatkan risiko terkena

stroke sebesar 11 %.

g) Diabetes Mellitus

2) Faktor risiko Lain

a) Status sosioekonomi yang rendah

b) Penyakit mental seperti depresi

c) Stres psikososial seperti terisolasi dari kehidupan sosial dan

kecemasan

d) Penggunaan alkohol dapat meningkatkan risiko sebesar 30 %.

e) Penggunaan obat-obatan tertentu seperti obat kontrasepsi oral dan

terapi penggantian hormon.

f) Hipertrofi Ventrikel Kiri (Left Ventricular Hipertrophy/LVH)

g) Peningkatan homosistein dalam darah

Page 32: PBL 1 NSS unsoed

h) Peningkatan C-reactive Protein (CRP)

i) Gangguan koagulasi darah

b. Tidak bisa diubah (Non-Modifiable)

1) Umur

Risiko akan meningkat 2 kali lipat bila sudah melalui umur 55 tahun.

2) Ras

3) Gender

4) Riwayat penyakit keluarga

5. Patogenesis dan patofisiologi stroke

Hipertensi Rokok DM Hiperlipidemia

LDL ↑

LDL teroksidasi ↑Radikal bebas

Stress oksidatif Disfungsi endotel

Aterosklerosis

Trombus

Emboli

OklusiP. darah otak

A. vertebralis

Parese ekstremitas, refleks tendon ↑, vertigo, tremor,

Babinski (+)

A. cerebri posterior

Hemiparesis kontralateral, afasia

visual, koma

A. cerebri media

Hemiparesis kontralateral, afasia

A. cerebri anterior

Hemiparesis kontralateral, defisit

sensorik kontralateral

Iskemia

Perfusi serebral ↓

Sel otak mati

Page 33: PBL 1 NSS unsoed

6. Penatalaksanaan stroke

Pendekatan terapi pada fase akut stroke iskemik: restorasi aliran darah otak

dengan menghilangkan sumbatan/clots, dan menghentikan kerusakan seluler

yang berkaitan dengan iskemik/hipoksia

Therapeutic window : 12 – 24 jam, golden period : 3 – 6 jam kemungkinan

daerah di sekitar otak yang mengalami iskemik masih dapat diselamatkan

1.   Penatalaksanaan Umum

A . Airway and breathing

Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat

atau paten memerlukan intubasi. Jika terdapat tanda-tanda peningkatan

tekanan intrakranial (TIK) maka pemberian induksi dilakukan untuk

mencegah efek samping dari intubasi. Pada kasus dimana kemungkinan

terjadinya herniasi otak besar maka target pCO2 arteri adalah 32-36

mmHg. Dapat pula diberikan manitol intravena untuk mengurangi

edema serebri. Pasien harus mendapatkan bantuan oksigen jika pulse

oxymetri atau pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan terjadinya

hipoksia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipoksia pada

stroke non hemoragik adalah adanya obstruksi jalan napas parsial,

hipoventilasi, atelektasis ataupun GERD.

B. Circulation

Pasien dengan stroke non hemoragik akut membutuhkan terapi

intravena dan pengawasan jantung. Pasien dengan stroke akut berisiko

tinggi mengalami aritmia jantung dan peningkatan biomarker jantung.

Sebaliknya, atrial fibrilasi juga dapat menyebabkan terjadinya stroke.

C. Pengontrolan gula darah

Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan

prognosis yang kurang baik dan menghambat reperfusi pada

Page 34: PBL 1 NSS unsoed

trombolisis. Pasien dengan normoglokemik tidak boleh diberikan cairan

intravena yang mengandung glukosa dalam jumlah besar karena dapat

menyebabkan hiperglikemia dan memicu iskemik serebral eksaserbasi.

Pengontrolan gula darah harus dilakukan secara ketat dengan pemberian

insulin. Target gula darah yang harus dicapai adalah 90-140 mg/dl.

Pengawasan terhadap gula darah ini harus dilanjutkan hingga pasien

pulang untuk mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat pemberian

insulin.

D. Posisi kepala pasien

Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih

maksimal jika pasien dalam pasien supinasi. Sayangnya, berbaring

telentang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial

padahal hal tersebut tidak dianjurkan pada kasus stroke. Oleh karena

itu, pasien stroke diposisikan telentang dengan kepala ditinggikan

sekitar 30-45 derajat.

E. Pengontrolan tekanan darah

Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau

peningkatan TIK, pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan

vasoregulator sehingga hanya bergantung pada maen arterial pressure

(MAP) dan cardiac output (CO) untuk mempertahankan aliran darah

otak. Oleh karena itu, usaha agresif untuk menurunkan tekanan darah

dapat berakibat turunnya tekanan perfusi yang nantinya akan semakin

memperberat iskemik. Di sisi lain didapatkan bahwa pemberian terapi

anti hipertensi diperlukan jika pasien memiliki tekanan darah yang

ekstrim (sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120

mmHg) atau pasien direncanakan untuk mendapatkan terapi

trombolitik.

Adapun langkah-langkah pengontrolan tekanan darah pada pasien stroke non

hemoragik adalah sebagai berikut. Jika pasien tidak direncanakan untuk

Page 35: PBL 1 NSS unsoed

mendapatkan terapi trombolitik, tekanan darah sistolik kurang dari 220

mmHg, dan tekanan darah diastolik kurang dari 120 mmHg tanpa adanya

gangguan organ end-diastolic maka tekanan darah harus diawasi (tanpa

adanya intervensi) dan gejala stroke serta komplikasinya harus ditangani.

Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik antara 120-

140 mmHg maka pasien dapat diberikan labetolol (10-20 mmHg IV selama

1-2 menit jika tidak ada kontraindikasi. Dosis dapat ditingkatkan atau diulang

setiap 10 menit hingga mencapai dosis maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif

dapat diberikan nicardipine (5 mg/jam IV infus awal) yang dititrasi hingga

mencapai efek yang diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5

menit hingga mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir dapat

diberikan nitroprusside 0,5 mcg/kgBB/menit/IV via syringe pump. Target

pencapaian terapi ini adalah nilai tekanan darah berkurang 10-15 persen.

Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD sistolik lebih 185

mmHg, dan diastolik lebih dari 110 mmHg maka dibutuhkan antihipertensi.

Pengawasan dan pengontrolan tekanan darah selama dan setelah pemberian

trombolitik agar tidak terjadi komplikasi perdarahan. Preparat antihipertensi

yang dapat diberikan adalah labetolol (10-20 mmHg/IV selama 1-2 menit

dapat diulang satu kali). Alternatif obat yang dapat digunakan adalah

nicardipine infuse 5 mg/jam yang dititrasi hingga dosis maksimal 15 mg/jam.

Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah harus

diperiksa setiap 15 menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit selama 6 jam

berikutnya, dan setiap jam selama 16 jam terakhir. Target terapi adalah

tekanan darah berkurang 10-15 persen dari nilai awal. Untuk mengontrol

tekanan darah selama opname maka agen berikut dapat diberikan.

1.  TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka dapat

diberikan labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat diulang selama

10-20 menit hingga maksimal 300 mg atau jika diberikan lewat infuse

hingga 2-8 mg/menit.

Page 36: PBL 1 NSS unsoed

2.   TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg dapat

diberikan labetolol dengan dosis diatas atau nicardipine infuse 5 mg/jam

hingga dosis maksimal 15mg/jam.

3.  Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari karena

dapat menyebabkan hipotensi ekstrim.

F. Pengontrolan edema serebri

Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non

hemoragik dan mencapai puncak keparahan 72-96 jam setelah onset

stroke. Hiperventilasi dan pemberian manitol rutin digunakan untuk

mengurangi tekanan intrakranial dengan cepat.

G. Pengontrolan kejang

Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah

onset. Meskipun profilaksis kejang tidak diindikasikan, pencegahan

terhadap sekuel kejang dengan menggunakan preparat antiepileptik

tetap direkomendasikan.

H. Pengontrolan demam

Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam

karena hipertermia (utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat

menyebabkan trauma neuronal iskemik. Sebuah penelitian eksprimen

menunjukkan bahwa hipotermia otak ringan dapat berfungsi sebagai

neuroprotektor.

Obat-obat yang digunakan pada terapi serangan akut

1. Terapi trombolitik : tissue plasminogen activator (t-PA), Alteplase

Mekanisme: mengaktifkan plasmin yang fungsinya untuk melisiskan

tromboemboli. Penggunaan t-PA sudah terbukti efektif jika digunakan

dalam 3 jam setelah serangan akut. Catatan: tetapi harus digunakan hati-

hati karena dapat menimbulkan resiko perdarahan.

Page 37: PBL 1 NSS unsoed

2. Terapi antiplatelet : aspirin, clopidogrel, dipiridamol-aspirin , tiklopidin

Hal ini masih merupakan mainstay dalam terapi stroke. Urutan pilihan :

Aspirin atau dipiridamol-aspirin, jika alergi atau gagal maka digunakan

clopidogrel, jika gagal : tiklopidin.

3. Terapi antikoagulan masih kontroversial karena resiko perdarahan

intrakranial Agen yang digunakan : heparin, unfractionated heparin, low-

molecular-weight heparins (LMWH), heparinoids warfarin.

Penatalaksanaan non medikamentosa

1. Fisioterapi

a. Mobilisasi untuk mencegah deep vein thrombosis (DVT)

maupun kompikasi pulmonal.

b. Pasien imobil latihan ruang lingkup sendi untuk mencegah

kontraktur.

c. Fisioterapi dada, fungsi menelan, dan berkemih.

2. Terapi wicara

Terapi wicara harus dilakukan sedini mungkin pada pasien afasia

dengan stimulasi sedini mungkin, terapi komunikasi, terapi aksi

visual, terapi intonasi melodik, dan sebagainya.

3. Depresi

Depresi diobati sedini mungkin dengan obat antidepresi yang tidak

mengganggu fungsi kognitif.

4. Edukasi

Pemberian edukasi kepada pasien dan keluarganya mengenai

stroke, sehingga dapat mengendalikan factor- factor resiko yang

dapat mencetuskan timbulnya stroke berulang.

Tatalaksana Pasien Stroke Nonhemoragik

1. Pasien yang baru datang ke IGD Rumah Sakit harus dicek kondisi

Airway, Breathing, dan Circulationnya. Jika tampak ada gangguan,

maka tirah baringkan pasien dengan kepala diangkat setinggi kira-kira

300 dengan sisi tubuh yang mengalami kelemahan diganjal dengan

bantal. Kemudian lakukan oksigenasi sebanyak 1-5 ml/menit pada

Page 38: PBL 1 NSS unsoed

pasien dengan menggunakan kanul, apabila terdapat kesulitan bernafas,

bawa pasien ke ICU dan pasang ventilator.

2. Pasien diinfus dengan memberikan cairan Ringer Asetat 1000 ml, bila

perlu ditambahkan MgSO4 20% sebanyak 10 ml untuk meningkatkan

tonisitas cairan infus sehingga membantu mengurangi risiko terjadinya

edema serebri.

3. Berikan obat-obatan antiplatelet aggregation seperti Cilostazol per oral

untuk menghilangkan sumbatan atau emboli pada pembuluh darah.

Dosis yang biasa digunakan sekitar 2 x 100 mg.

4. Berikan juga obat neuroprotectant secara intravena untuk melindungi

jaringan-jaringan saraf yang berada di sekitar daerah iskemik. Dosis

yang diberikan biasanya 4 x 3 gram (sediaan vial, 200 mg/ml).

5. Antikoagulan seperti heparin dapat diberikan untuk mencegah

terjadinya emboli berulang, namun harus diberikan dalam pengawasan

ketat karena apabila pemberiannya berlebihan justru dapat terjadi efek

perdarahan hebat.

6. Pemberian obat-obatan tersebut harus dilakukan sebelum 6 jam pasca

serangan stroke. Setelah pemberian obat-obatan tersebut harus selalu

dipantau keadaan umum, kesadaran, tanda vital, dan 5B (Breathing,

Blood, Brain, Bladder, Bowel).

a. Breathing pantau terus jalan nafas pasien, jangan sampai terjadi

gangguan pernafasan.

b. Blood apabila terjadi tekanan darah di atas 220/120 mmHg,

usahakan untuk menurunkan tekanan darah tersebut, namun tidak

boleh secara drastis, harus perlahan. Jaga komposisi darah agar

tetap seimbang, bila gula darah pasien mencapai lebih dari 200

mg/dl harus diturunkan.

c. Brain kondisi otak harus dijaga agar tidak terjadi kejang dan

peningkatan tekanan intrakranial. Apabila terjadi peningkatan

tekanan intrakranial dapat diberikan manitol dengan dosis titrasi

(dosis semakin diturunkan setelah pemberian pertama).

Page 39: PBL 1 NSS unsoed

d. Bladder perhatikan kemungkinan terjadinya

inkontinensia/retensio urin, bila perlu pasang kateter.

e. Bowel asupan gizi yang seimbang diperlukan oleh pasien,

hindari mengejan karena akan menimbulkan peningkatan tekanan

intrakranial.

Informasi VI

Penatalaksanaan

Farmakologi :

- Tirah baring

- O2 kanul nasal 3ltr/menit

- IVFD asering 20 tpm

- Ciloszatol 2x100 mg PO

- Piracetam 4x3 gram i

- Insulin 6 unit tiap 6 jam subkutan

Monitoring

- Keadaan umum, kesadarn, dan tanda vital

Awasi 5B ( breathing, blood, brain, bowel, bladder )

Rehabilitasi

- Komunikasi

- Mobilisasi

- Aktivitas sehari-hari

Edukasi

- Mengatur pola makan yang sehat

- Menghentikan rokok

- Melakukan olahraga yang teratur

- Menghindari stress dan beristirahat yang cukup

Informasi VII

Prognosis

Fungsional : dubia ad bonam

Vitam : bonam

Sanam : bonam

7. Prognosis stroke

Page 40: PBL 1 NSS unsoed

Prognosis Tn. A cukup baik, karena pasien masih dalam keadaan sadar, usia

60 tahun, dan cepat dibawa ke rumah sakit, tetapi ada beberapa hal yang patut

diwaspadai, seperti tekanan darah , GDS yang cukup tinggi.

Page 41: PBL 1 NSS unsoed

BAB IV

KESIMPULAN

1. Diagnosis pasien pada kasus ini adalah stroke non hemoragik

2. Menurut National of Neurologicals Disorders and Stroke (NINDS),

berdasarkan etiologinya stroke dibedakan menjadi stroke hemorrhagik dan

stroke non hemorrhagik

3. Etiologi stroke non hemorrhagik adalah atherosclerosis, embolisasi, dan

penurunan tekanan darah sistemik, sedangkan etiologi stroke hemorrhagi

adalah pecahnya arteri, pecahnya aneurisma, dan AVM (Arteriol-Venula

Malformation)

4. Faktor risiko penyakit stroke ada dua macam, yaitu faktor risiko yang

dapat dimodifikasi (riwayat stroke, hipertensi, DM, obesitas, dan

merokok), dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (usia, jenis

kelamin, ras, dan faktor keturunan)

Page 42: PBL 1 NSS unsoed

DAFTAR PUSTAKA

Afriani, Ika Resti. (2011, Agustus 09). Penatalaksanaan Pasien Dengan Stroke

Non Hemoragik. UMY e-Case, Retrieved March 11, 2012.

Giraldo, Elias. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2012 March 10 th available from:

http://www.merck.com/mmhe/sec06/ch086/ch086c.html

Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 March 10th available from:

http://emedicine.medscape.com/article/793904-treatment

Hughes, Mark. Miller, Thomas. Nervous System Third Edition. University of

Edinburgh, Edinburgh, UK.

Majalah Kedokteran Atma Jaya Vol. 1 No. 2 September 2002. Hal: 158-67.

Majid. Abdul. 2004. Krisis Hipertensi Aplikasi Klinis dan Pengobatan. Sumatera

Utara : USU.

Mardjono dan Sidharta. 2010. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-15. Jakarta:

Dian Rakyat.

Ngoerah, I Gst. Ng. Gd. Penyakit peredaran darah otak dalam Dasar-dasar ilmu

penyakit saraf. Penerbit Airlangga University Press. Hal: 245-58.

Price, A. Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 4.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 966-71.

Price, S.A., L.M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Jakarta: EGC. hal. 1113-1114.

Sherwood, L.2001.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.Jakarta : EGC

Snell, Richard. 2007. Neuroanatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran edisi

6.Jakarta : EGC.

Wibowo, Samekto. Gofir, Abdul. Farmakoterapi stroke prevensi primer dan

prevensi sekunder dalam Farmakoterapi dalam Neurologi. Penerbit

Salemba Medika. Hal: 53-73.