pbl 1 nss unsoed
TRANSCRIPT
LAPORAN PBL 1
BLOK NEUROLOGY AND SPECIFIC SENSE SYSTEMS
“Suamiku kok jadi…”
Tutor :
dr. Vidya Dewantari
dr. Afifah
Kelompok IV
Gohlena Raja N.C. G1A009009
Istiani Danu P. G1A009018
Prasastie Gita W. G1A009023
David Santoso G1A009031
Famila G1A009044
Alfian Tagar G1A009064
Herlinda Yudi S. G1A009080
Dhayksa Cahya P. G1A009088
Rahma Dewi A. G1A009081
Semba Anggen R. G1A009085
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Di AS, stroke mrp penyebab kematian ke-3 setelah jantung dan kanker,
diderita oleh 500.000 orang per tahunnya. Di Indonesia, menurut SKRT th 1995,
stroke termasuk penyebab kematian utama, dengan 3 per 1000 penduduk
menderita penyakit stroke dan jantung iskemik. Di dunia, menurut SEAMIC
Health Statistic 2000, penyakit serbiovaskuler seperti jantung koroner dan stroke
berada di urutan kedua penyebab kematian tertinggi di dunia. Secara umum, 85%
kejadian stroke adalah stroke oklusif, 15 % adalah stroke hemoragik. Stroke
hemoragik disebabkan oleh kenaikan tekanan darah yang akut atau penyakit lain
yang menyebabkan melemahnya pembuluh darah. Stroke oklusif atau stroke
iskemik disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah akibat adanya emboli,
ateroskelosis, atau oklusi trombotik pada pembuluh darah otak.
BAB II
PEMBAHASAN
Informasi I
Suamiku kok jadi…..
Tn. A berusia 60 tahun datang ke IGD RSMS diantar oleh keluarganya
dengan keluhan anggota gerak sebelah kanan lemah, pasien mengeluh tiba-tiba
merasa anggota gerak sebelah kanan terasa lemah dan terjatuh pada saat pasien
bangun tidur. Anggota gerak kanan tidak kuat angkat dan bila digerakkan terasa
berat. Jika dipaksakan bergerak hanya hanya bisa menggeser sedikit demi sedikit
tetapi tetap tidak dapat diangkat. Keluhan dirasakan sejak 2 jam sebelum masuk
rumah sakit sampai sekarang. Pasien juga mengeluh nyeri kepala sebelum pasien
merasa anggota gerak kanannya lemah. Pasien tidak mengeluh mual maupun
muntah dan tetap dalam keadaan sadar sebelum, saat, maupun sesudah kejadian.
Pasien tidak mengeluh ada riwayat demam maupun kejang sebelumnya. Pasien
juga menyangkal mengalami trauma kepala sebelumnya,
Tn. A juga merasa wajahnya menjadi tidak simetris, mulutnya menceng ke
kiri dan bicaranya menjadi pelo. Tn. A seorang perokok, satu hari dapat
menghabiskan 1-2 pak rokok.
Anamnesis
1. Identitas
Nama Pasien : Tn. A
Umur : 60 tahun
2. RPS
Keluhan utama : kelemahan pada anggota gerak sebelah kanan
Onset : 2 jam yang lalu
Kronologis : saat bangun tidur merasakan tangan dan kaki kanannya
melemah
Gejala penyerta : wajah nya tidak simetris, mulutnya menceng ke kiri, dan
bicaranya menjadi pelo, nyeri kepala sebelum anggota
gerak kanan melemah, tidak mengeluh mual, muntah,
demam, pasien sadar, tidak ada riwayat trauma.
Klarifikasi Istilah
Pelo : cara berbicara dengan lidah yang lumpuh (Mardjono, 2009).
Identifikasi masalah
1. Informasi apa yang dibutuhkan untuk memperkuat hipotesis yang ada?
Analisis Masalah
1. Informasi apa lagi yang dibutuhkan?
RPS: faktor memperberat & memperingan
RPD:
1. Apakah dulu pernah mengalami kejadian yang sama?
2. Apakah ada riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu?
3. Apakah ada riwayat penyakit jantung, hipertensi, DM, atau
hiperlipidemia?
4. Apakah terdapat riwayat cedera (trauma) kepala?
5. Apakah pasien pernah mengalami muntah yang proyektil?
RPK:
1. Apakah ada anggota keluarga yang pernah mengalami kejadian yang
sama?
2. Apakah dalam keluarga memiliki riwayat penyakit jantung, hipertensi,
DM, atau hiperlipidemia?
RSE:
1. Apakah pekerjaan pasien?
2. Bagaimana pola makan pasien sehari-hari?
3. Apakah pasien memiliki kebiasaan olahraga teratur?
4. Apakah pasien terbiasa merokok atau mengkonsumsi alkohol?
Pemeriksaan Fisik yang diperlukan:
1. Keadaan Umum
2. Kesadaran skor GCS
3. Vital Sign Tekanan Darah, Nadi, Respiratory Rate, Suhu
4. Pemeriksaan Fisik head to toe:
a. Kepala-leher mata
b. Thoraks jantung, paru-paru
c. Abdomen lambung, hepar, peristaltik usus
d. Ekstremitas kekuatan motorik ekstremitas atas dan bawah
5. Pemeriksaan Neurologis:
a. Pemeriksaan nervus kranialis
b. Pemeriksaan motorik
c. Pemeriksaan sensorik
d. Pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis
Informasi II
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kuantitatif : GCS E4 M6 V5
Vital sign : TD : 200/100 mmHg
N : 98x/menit, regular
RR : 22x/menit
S : 36,3o C
Kepala : mesochepal, tanda trauma (-)
Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, Reflek cahaya
+/+, pupil isokor diameter 2mm/2mm
Leher : dbn
Jantung : batas kiri 2cm lateral midclavicular line, lainnya dbn
Paru : dbn
Abdomen : dbn
Interpretasi informasi II
Dilihat dari pemeriksaan fisik, tekanan darah Tn. A tinggi. Respirasi
ratenya juga mengalami peningkatan. Pada pemeriksaan status interna
didapatkan bahwa Tn. A mengalami cardiomegali.
Sasaran Belajar :
1. Hipertensi emergensi
2. Batas jantung kiri
3. Perbedaan hmiparese dan hemiplegia
4. Anatomi cerebrum dan saraf cranial
5. Reflek fisiologis dan patologis
6. Fungsi cortex cerebri
7. Fungsi saraf kranialis
8. Jaras piramidalis
Jawaban sasbel :
1. Hipertensi emergensi
Hipertensi emergensi yaitu apabila tekanan sistolik lebih dari 180 dan
diastoliknya lebih dari 120 (lebih dari 180/120 mmHg)
2. Perbedaan hemiparese dan hemiplegia
Hemiparesis : kelumpuhan otot yang ringan pada salah satu lengan dan kaki
pada sisi yang sama. Kekuatan motoriknya masih diatas nol, jadi masih dapat
bergerak walau terbatas. (Mardjono, 2010).
Hemiplegia : kelumpuhan total pada salah satu lengan dan kaki pada sisi yang
sama. Kekuatan motoriknya nol jadi sudah tidak dapat bergerak. (Mardjono,
2010).
3. Anatomi cerebrum dan saraf kranial
A. Anatomi cerebrum
Cerebrum merupakan bagian terbesar otak dan terletak di fossa
cranii anterior dan medius serta menempati seluruh cekungan termpurung
tengkorak. Cerebrum terbagi menjadi dua bagian: diencephalon yang
membentuk inti sentral dan tetelncephalon yang membentuk
hemispherium cerebri. Hemisperium cerebri merupakan bagian otak yang
paling besar dan merupakan oleh fissura longitudinalis cerebri. Fissura
longitudinalis superior berisi lipatan durameter yang berbentuk seperti
bulan sabit, yang biasanya disebut sebagai falx cerebri dan juga berisi
arteria cerebralis anterior. Cerebrum dibagi menjadi dua hemisfer, yaitu :
1. Hemisfer dextra
2. Hemisfer sinistra
Kedua hemisfer tersebut dipisahkan oleh fisura longitudinal cerebri
Gambar 1. Cerebrum posterior (Martini & Nath, 2009).
Lobus cerebrum dibagi menjadi 4 lobus, yaitu :
1. Frontalis
2. Parietalis
3. Occipitalis
4. Temporalis
Sulcus yang memisahkan antar lobus dibagi menjadi:
1. Sulcus centralis
Sulcus centralis yaitu sulcus yang memisahkan lobus frontal
dengan lobus parietal. Sulcus centralis sangat penting karena gyrus
yang terletak di sebelah anteriornya mengandung sel-sel motorik yang
menginisiasi gerakan-gerakan tubuh sisi kontralateral; di posterior
sulcus ini terletak korteks sensorik umum yang menerima informasi
sensorik dari sisi tubuh kontralateral.
2. Sulcus parietooccipitalis
Sulcus parietooccipitalis yaitu sulcus yang memisahkan lobus
parietal dengan lobus uccipital. Sulcus ini terdiri dari batang pendek
yang terbagi menjadi tiga ramuSulcus Sulcus ini merupakan celah yang
dalam terutama ditemukan di permukaan inferior dan lateral hemisfer
cerebri.
3. Sulcus lateralis
Sulcus lateralis merupakan sulcus yang memisahkan lobus parietal
dengan lobus temporal.sulcus ini dimulai dari tepi medial superior
hemisphere sekitar 2 inci (5 cm) di anterior polus occipitalis. Sulcus ini
berjalan turun 8ank e arah anterior pada permukaan medial untuk
bertemu dengan sulcus calcarina (Martini & Nath, 2009).
Gambar 2. Lobus dan sulcus cerebrum (Martini & Nath, 2009).
B. Anatomi saraf kranialis
Saraf kranialis adalah saraf perifer yang berpangkal pada otak dan
batang otak. Fungsinya sensorik motorik dan khusus. Yang dimaksud
dengan fungsi khusus adalah fungsi yang bersifat pancaindra seperti,
penghiduan, penglihatan, pengecapan, pendengaran dan keseimbangan.
Saraf kranialis terdiri atas 12 pasang. Saraf kranialis pertama langsung
berhubungan dengan otak. Saraf kranialis kedua dan ketiga berpangkal di
mesensefalon, saraf kranialis keempat, kelima, keenam dan ketujuh
berinduk di pons dan saraf kranialis kedelapan sampai keduabelas berasal
dari medula oblongata (Martini dan Nath, 2006).
Gambar 3. Nervus kranialis beserta fungsinya (Sumber : Martini dan
Nath, 2006)
Fungsi dan sifat keduabelas nervus kranialis dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel . Nervus kranialis, sifat dan fungsinya (Martini dan Nath, 2006)
Nervus Cranial Sifat Fungsi
Olfactorius (N. I) Sensorik Penghidu
Opticus (N. II) Sensorik Penglihatan
Occulomotorius
(N. III)
Motorik Pergerakan bola mata,
pergerakan pupil
Trochlear (N. IV) Motorik Pergerakan bola mata
Trigeminus (N.
V)
Sensorik dan motorik Mengatur refleks kornea,
otot – otot pengunyah
Abducens (N. VI) Motorik Pergerakan bola mata
Facial (N. VII) Sensorik dan motorik Persarafi 2/3 anterior lidah,
otot – otot ekspresi wajah,
sekresi kelenjar ludah
Vestibulocochlear
(N. VIII)
Sensorik Keseimbangan dan
pendengaran
Glossopharyngeal
(N. IX)
Sensorik dan motorik Persarafi 1/3 posterior lidah,
sebagai reseptor tekanan
darah
Vagus (N. X) Sensorik dan motorik Hearth rate, sistem digestif
Accessorius (N.
XI)
Motorik Musculus trapezius,
musculus
sternocleidomastoideus
Hypoglossus (N.
XII)
Motorik Pergerakan otot intrinsik
lidah
4. Reflek fisiologis dan patologis
A. Refleks Ekstremitas Atas
1. Refleks Biceps (BPR)
Cara : Pasien duduk di lantai. Lengan rileks, posisi antara fleksi dan
ekstensi dan sedikit pronasi, lengan diletakkan di atas lengan
pemeriksa
Stimulus : ketukan pada jari pemeriksa pada tendon m.biceps brachii,
posisi lengan setengah ditekuk pada sendi siku.
Respon (+) : fleksi lengan pada sendi siku.
2. Refleks Triceps (TPR)
Cara : Pasien duduk dengan rileks. Lengan pasien diletakkan di atas
lengan pemeriksa. Pukullah tendon triseps melalui fosa olekrani.
Stimulus : ketukan pada tendon otot triceps brachii, posisi lengan
fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi.
Respon (+) : ekstensi lengan bawah pada sendi siku
3. Refleks Brakhioradialis
Cara : Posisi pasien sama dengan pemeriksaan refleks biseps.
Stimulus : Pukullah tendo brakhioradialis pada radius distal dengan
palu refleks.
Respon (+) : muncul gerakan menyentak pada lengan.
4. Refleks Periosteum Radialis
Cara : Lengan bawah sedikit di fleksikan pada sendi siku dan tangan
sedikit dipronasikan.
Stimulus : Ketuk periosteum ujung distal os. Radialis.
Respon (+) : fleksi lengan bawah dan supinasi lengan karena kontraksi
m.brachiradialis.
5. Refleks Periosteum Ulnaris
Cara : Lengan bawah sedikit di fleksikan pada siku, sikap tangan
antara supinasi dan pronasi.
Stimulus : Ketukan pada periosteum os. Ulnaris.
Respon (+) : pronasi tangan akibat kontraksi m.pronator quadratus
(Sherwood, 2001).
B. Refleks Ekstremitas Bawah
1. Refleks Patela (KPR)
Cara : Pasien duduk santai dengan tungkai menjuntai. Raba daerah
kanan-kiri tendo untuk menentukan daerah yang tepat. Tangan
pemeriksa memegang paha pasien.
Stimulus : Ketukan pada tendon patella.
Respon (+) : ekstensi tungkai bawah karena kontraksi m.quadriceps
femoris.
2. Refleks Achilles (APR)
Stimulus : ketukan pada tendon Achilles.
Respon (+) : plantar fleksi karena kontraksi m.gastrocnemius.
3. Refleks Klonus lutut
Cara : pegang dan dorong os patella ke arah distal.
Respon (+) : kontraksi reflektorik m. quadrisep femoris selama
stimulus berlangsung.
4. Refleks Klonus kaki
Cara : dorsofleksikan kaki secara maksimal, posisi tungkai fleksi di
sendi lutut.
Respon (+) : kontraksi reflektorik otot betis selama stimulus
berlangsung.
5. Refleks Kremaster
Stimulus : Goresan ujung tumpul palu refleks pada paha bagian
medial.
Respon (+) : elevasi testis ipsilateral.
6. Refleks Plantar
Stimulus : Telapak kaki pasien digores dengan ujung tumpul palu
refleks.
Respon (+) : plantar fleksi kaki dan fleksi semua jari kaki.
7. Refleks Gluteal
Stimulus : Bokong pasien digores dengan ujung tumpul palu refleks.
Respon (+) : kontraksi otot gluteus ipsilateral (Sherwood, 2001).
C. Refleks patologis
1. Hoffmann Trommer
Tangan pasien ditumpu oleh tangan pemeriksa. Kemudian ujung jari
tangan pemeriksa yang lain disentilkan ke ujung jari tengah tangan
penderita. Reflek positif jika terjadi fleksi jari yang lain dan adduksi
ibu jari.
2. Grasping (primitif)
Gores palmar penderita dengan telunjuk jari pemeriksa diantara ibu
jari dan telunjuk penderita. Maka timbul genggaman dari jari
penderita, menjepit jari pemeriksa. Jika reflek ini ada maka penderita
dapat membebaskan jari pemeriksa. Normal masih terdapat pada anak
kecil. Jika positif pada dewasa maka kemungkinan terdapat lesi di
area premotorik korteks.
3. Reflek palmomental (primitif)
Garukan pada telapak tangan pasien menyebabkan kontraksi muskulus
mentali ipsilateral. Reflek patologis ini timbul akibat kerusakan lesi
UMN di atas inti saraf VII kontralateral.
4. Reflek sucking (primitif)
Ketukan hammer pada tendo insertio m. Orbicularis oris maka akan
menimbulkan reflek menyusu. Menggaruk bibir dengan tongue spatel
akan timbul reflek menyusu. Normal pada bayi, jika positif pada
dewasa akan menandakan lesi UMN bilateral.
5. Refleks snouting
Ketukan pada bibir atas akan memberi respon kontraksi otot-otot di
sekitar bibir dan bawah hidung.
6. Leri
Fleksi maksimal tangan pada pergelangan tangan, sikap lengan
diluruskan dengan bgian ventral menghadap ke atas. Respon tidak
terjadi fleksi di sendi siku.
7. Mayer Reflek
Fleksikan jari manis di sendi metacarpophalangeal, secara halus
normal akan timbul adduksi dan aposisi dari ibu jari. Absennya respon
ini menandakan lesi di tractus pyramidalis.
8. Reflek babinski
Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit ke arah jari melalui
sisi lateral. Orang normal akan memberikan resopn fleksi jari-jari dan
penarikan tungkai. Pada lesi UMN maka akan timbul respon jempol
kaki akan dorsofleksi, sedangkan jari-jari lain akan menyebar atau
membuka. Normal pada bayi masih ada.
9. Reflek oppenheim
Lakukan goresan pada sepanjang tepi depan tulang tibia dari atas ke
bawah, dengan kedua jari telunjuk dan tengah. Jika positif maka akan
timbul reflek seperti babinski
10. Reflek Gordon
Lakukan goresan/memencet otot gastrocnemius, jika positif maka
akan timbul reflek seperti babinski
11. Reflek schaefer
Lakukan pemencetan pada tendo achiles. Jika positif maka akan
timbul reflek seperti babinski.
12. Refleks Gonda
Penekukan (plantar fleksi) maksimal jari kaki ke-4. Respon seperti
babinski.
13. Refleks Stransky
Penekukan (lateral) jari kaki ke-5. Respon seperti babinski
14. Reflek chaddock
Lakukan goresan sepanjang tepi lateral punggung kaki di luar telapak
kaki, dari tumit ke depan. Jika positif maka akan timbul reflek seperti
babinski.
15. Reflek rossolimo
Pukulkan hammer reflek pada dorsal kaki pada tulang cuboid. Reflek
akan terjadi fleksi jari-jari kaki.
16. Reflek mendel-bacctrerew
Pukulan telapak kaki bagian depan akan memberikan respon fleksi
jari-jari kaki (Sherwood, 2001).
Catatan : Refleks primitif menandakan lesi lobus frontalis (Sherwood,
2001).
5. Fungsi cortex cerebri
Cortex cerebri terbagi menjadi empat lobus yaitu :
A. Lobus frontal
a. Pusat fungsi intelektual yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir
abstrak dan nalar, motorik bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat
penghidu, dan emosi.
b. Pusat pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik
primer).
c. Terdapat area asosiasi motorik (area premotor).
d. Girus presentralis atau korteks motorik, merupakan pusat gerakan
motorik kontralateral.
e. Area Broca, merupakan pusat bicara ekspresif.
f. Area suplementer motorik, merupakan pusat pergerakan konjugasi
kepala dan mata.
g. Area prefrontal, merupakan pusat kepribadian dan inisiatif.
h. Area paracentralis merupakan pusat inhibisi untuk fungsi miksi dan
defekasi.
i. Gangguan pada lobus frontalis dapat menimbulkan gejala-gejala :
1. Monoplegi atau hemiplegi
2. Disfasia motorik (disfasia ekspresif)
3. Perubahan kepribadian dengan perilaku antisosial, kehilangan
inisiatif
4. Inkontinensia urin
B. Lobus parietal
a. Pusat kesadaran sensorik di gyrus postsentralis (area sensorik primer).
b. Terdapat area asosiasi sensorik.
c. Girus postsentral berfungsi untuk menerima
jaras aferen untuk rasa posisi, raba, dan gerakan pasif
d. Girus supramarginal dan angular hemisfer
dominan untuk area reseptif untu bahasa dimana komprehensi anatara
aspek pendengaran dan visual berintegrasi. Selain itu berfungsi juga
untuk kemampuan kalkulasi, kemampuan untuk konstruksi tubuh, dan
pada hemisfer dominan untuk konsep body image dan kesiagaan
terhadap lingkungan eksternal.
e. Gangguan pada lobus parietalis dapat
menyebabkan :
1. Gangguan rasa posisi
2. Gangguan sensorik gerak pasif
3. Gangguan rasa halus
4. Gangguan two point discrimination
5. Astereognosia (gangguan mengenal bentuk melalui perabaan)
6. Afasia reseptif atau afasia sensorik
7. Kelainan pada sisi dominan akan didapatkan Gerstmann Syndrom
dengan gejala-gejala : tak dapat membedakan ekstremitas kiri dan
kanan, kesulitan mengenal jari tangan (finger agnosia), gangguan
berhitung (akalkuli), gangguan menulis (agrafia)
8. Kelainan pada sisi nondominan akan didapatkan gejala :
anosognosia (tak mengenal ekstremitas kontralateral dan tak
mengakui kelumpuhannya), apraxia (kesulitan melakukan suatu
tindakan yang kompleks, seperti memakai baju, menalikan sepatu),
geographical agnosia (tidak mengenal lokasi tempat),
apraksia konstruksional ( tak dapat meniru gambar-gambar
geometris) (Sherwood, 2001).
C. Lobus oksipital
Pusat penglihatan & area asosiasi penglihatan,menginterpretasi &
memproses rangsang penglihatan dari nervus optikus & mengasosiasikan
rangsang ini dengan informasi saraf lain & memori. Merupakan lobus
terkecil. Gangguan pada lobus oksipitalis dapat menyebabkan:
1. Gangguan lapang pandang
2. Buta kortikal bila kelainannya di korteks striata (area 17)
3. Gangguan interpretasi visual bila kerusakannya di korteks striata dan
parastriata (Sherwood, 2001).
D. Lobus temporal
a. Berperan dalam pembentukan & perkembangan emosi dan pusat
pendengaran.
b. Terdapat korteks audotorik, pada sisi
dominan berfungsi untuk pusat pendengaran dalam bahasa dan pada sisi
nondominan untuk pendengaran dari suara, irama, dan musik.
c. Pada girus temporalis media dan inferior
berhubungan dengan proses belajar dan memori.
d. Lobus limbik merupakan media dari sensasi olfaktorik, emosi, dan
perilaku afektif.
e. Gangguan pada lobus temporalis dapat menyebabkan :
1. Tuli sensorik
2. Gangguan pendengaran irama (amusia)
3. Gangguan belajar dan ingatan
4. Kelainan pada sistem limbik : halusinasi olfaktorik, perilaku agresif
dan antisosial, gangguan ingatan jangka pendek
5. Kelainan pada hemisfer dominan akan menimbulkan disfasia
Wernicke atau disfasia reseptif (Sherwood, 2001).
6. Fungsi saraf kranialis
Tabel 1. Fungsi saraf kranialis (Snell, 2007):
Nama Komponen Fungsi Tempat keluar
di tengkorak
Olfactorius Sensorik Penghidu Lamina cribosa
ossis
ethmoidalis
Opticus Sensorik Penglihatan Canalis opticus
Oculomotorius Motorik Mengangkat kelopak mata
atas; menggerakkan bola mata
ke atas, bawah, dan medial;
konstriksi pupil; akomodasi
mata
Fissura orbitalis
superior
Trochlearis Motorik Membantu menggerakkan bola
mata ke bawah dan lateral
Fissura orbitalis
superior
Trigeminus
Ophtalmicus Ophtalmicu
s
Ophtalmicus Ophtalmicus
Maxillaris Maxillaris Maxillaris Maxillaris
Mandibullaris Mandibullar
is
Mandibullaris Mandibullaris
Abducens Abducens Abducens Abducens
Facialis Facialis Facialis Facialis
Vestibulocochlear Vestibuloco
chlear
Vestibulocochlear Vestibulocochl
ear
Vestibular Vestibular Vestibular
Cochlear Sensorik Organ corti: pendengaran
Glossopharyngeus Motorik M. stylopharingeus: membantu Foramen
menelan Jugulare
Sekretorik
parasimpatis
Kelenjar parotis
Sensorik Sensasi umum dan pengecap
dari se per tiga bagian posterior
lidah dan farin; sinus carotis
(baroreseptor); corpus carotis
(kemoreseptor)
Vagus Motorik Jantung dan pembuluh dasar
besar di toraks; laring, trakea,
bronkus, dan paru; traktus
alimentari dari faring ke
fleksura splenicus kolon;
hepar, ginjal, dan prankreas
Foramen
JugulareSensorik
Accesorius Motorik
Radix cranialis Otot-otot palatum molle
(kecuali M. Tensor veli
palatini), faring (kecuali M.
stylopharyngeus), dan laring
(kecuali M. cricothyroid) di
cabang-cabang n. Vagus
Foramen
Jugulare
Radiks spinalis M. sternocleidomastoideus dan
M. Trapezius
Hypoglossus Motorik Otot-otot lidah (kecuali M.
Palatoglossus) mengatur
bentuk dan pergerakan lidah
Canalis
hypoglossus
7. Jaras Piramidalis
Otot-otot skeletal dan neuron-neuron menyusun susunan neuromuscular
voluntar, yaitu sistem yang mengurus dan sekaligus melaksanakan gerakan
yang dikendalikan oleh kemauan, hal ini terbagi menjadi dua, yakni : upper
motorneuron dan lower motorneuron.
Upper motorneuron adalah semua neuron yang menyalurkan impuls
motorik ke lower motorneuron (LMN). Berdasarkan anatomik dibagi menjadi
susunan piramidalis dan extrapiramidalis. Upper motorneuron berjalan dari
cortex cerebri sampai dengan medulla spinalis sehingga kerja dari upper
motorneuron akan mempengaruhi aktifitas dari lower motorneuron
Lower motorneuron adalah neuron-neuron yang menyalurkan impuls
motorik pada bagian perjalanan terakhir ke sel otot skeletal, hal ini lah yang
membedakan dengan upper motorneuron. Lower motorneuron mempersarafi
serabut otot dengan berjalan melalui radix anterior, nervus spinalis dan saraf
tepi. Lower motorneuron memiliki dua jenis yaitu alfa-motorneuron memiliki
akson yang besar, tebal dan menuju ke serabut otot ekstrafusal (aliran impuls
saraf yang berasal dari otak/medulla spinalis menuju ke efektor), sedangkan
gamma-motorneuron memiliki akson yang ukuran kecil, halus dan menuju ke
serabut otot intrafusal (aliran impuls saraf dari reseptor menuju ke
otak/medulla spinalis). Begitu halnya dengan nervi cranialis merupakan dari
LMN karena nervus-nervus cranialis ini sudah keluar sebelum medulla
spinalis yaitu di pons dan medulla oblongata (Sidharta, 2008 ; Snell, 2007).
Perintah motorik dari SSP didistribusikan oleh sistem saraf somatis dan
otonom. Sistem saraf somatis menyebabkan terjadinya kontraksi otot skelet.
Hasil kerja dari sistem saraf somatis merupakan suatu gerakan volunter
(Martini dan Nath, 2006).
Sistem saraf untuk motorik dibagi menjadi sistem pyramidalis dan
extrapyramidalis. Tractur pyramidalis terdiri dari tractus corticospinal dan
tractus corticobulbar. Tractus extrapyramidalis dibagi menjadi lateral
pathway dan medial pathway. Lateral pathway terdiri dari tractus rubrospinal
dan medial pathway terdiri dari tractus vestibulospinal, tractus tectospinal dan
tractus retikulospinal. Medial pathway mengontrol tonus otot dan pergerakan
kasar daerah leher, dada dan ekstremitas bagian proksimal. Sedangkan untuk
Lateral Pathway mengontrol gerakan halus dari ekstremitas bagian distal
(Martini dan Nath, 2006).
A. Tractus Corticospinal
Serabut tractus corticospinal berasal dari sel pyramidal di cortex
cerebri. Dua pertiga serabut ini berasal dari gyrus precentralis dan
sepertiga dari gyrus postcentralis. Serabut desendens tersebut lalu
mengumpul di corona radiata, kemudian berjalan melalui crus posterius
capsula interna. Pada medulla oblongata tractus corticospinal nampak pada
permukaan ventral yang disebut pyramids. Pada bagian caudal medulla
oblongata tersebut 85% tractus corticospinal menyilang ke sisi
kontralateral pada decussatio pyramidalis sedangkan sisanya tetap pada
sisi ipsilateral walaupun akhirnya akan tetap bersinaps pada neuron tingkat
tiga pada sisi kontralateral pada medulla spinalis. Tractus corticospinalis
yang menyilang pada ducassatio akan membentuk tractus corticospinal
lateral dan yang tidak menyilang akan membentuk tractus corticospinal
anterior (Snell, 2002).
B. Tractus Corticobulbar
Serabut tractus corticobulbar mengalami perjalanan yang hampir sama
dengan tractus corticospinal, namun tractus corticobulbar bersinaps pada
motor neuron nervus cranialis III, IV, V, VI, VII, IX, X, XI, XII. Tractus
coricobulbar menjalankan fungsi kontrol volunter otot skelet yang terdapat
pada mata, dagu, muka dan beberapa otot pada faring dan leher. Seperti
halnya dengan tractus corticospinal, tractus corticobulbar pun mengalami
persilangan namun persilangannya terdapat pada tempat keluarnya motor
neuron tersebut. (Martini dan Nath, 2006).
Gambar 4. Traktus Pyramidalis
C. Medial Pathway
Medial Pathway (jalur medial) mempersarafi dan mengendalikan tonus
otot dan pergerakan kasar dari leher, dada dan ekstremitas bagian
proksimal. Upper motor neuron jalur medial berasal dari nukleus
vestibularis, colliculus superior dan formasio retikularis. (Martini dan Nath,
2006).
Nukleus vestibularis menerima informasi dari N VIII dari reseptor di
vestibulum untuk mengontrol posisi dan pergerakan kepala. Tractus
descendens yang berasal dari nukleus tersebut ialah tractus
vestibulospinalis. Tujuan akhir dari sistem ini ialah untuk menjaga postur
tubuh dan keseimbangan. (Martini dan Nath, 2006).
Colliculus superior menerima sensasi visual. Tractus descendens yang
berasal dari colliculus superior disebut tractus tectospinal. Fungsi tractus ini
ialah untuk mengatur refleks gerakan postural yang berkaitan dengan
penglihatan (Snell, 2002).
Formasio retikularis ialah suatu sel-sel dan serabut-serabut saraf yang
membentuk jejaring (retikular). Jaring ini membentang ke atas sepanjang
susunan saraf pusat dari medulla spinalis sampai cerebrum. Formatio
reticularis menerima input dari hampir semua seluruh sistem sensorik dan
memiliki serabut eferen yang turun memengaruhi sel-sel saraf di semua
tingkat susunan saraf pusat. Akson motor neuron dari formatio retikularis
turun melalui traktus retikulospinal tanpa menyilang ke sisi kontralateral.
Fungsi dari tractus reticulospinalis ini ialah untuk menghambat atar
memfasilitasi gerakan voluntar dan kontrol simpatis dan parasimpatis
hipotalamus (Martini dan Nath 2006).
D. Lateral Pathway
Lateral Pathway (jalur lateral) berfungsi sebagai kontrol tonus otot dan
presisi pergerakan dari ekstremitas bagian distal. Upper motor neuron dari
jalur lateral ini terletak dalam nukleus ruber (merah) yang terletak dalam
mesencephalon. Akson motor neuron dari nukleus ruber ini turun melalui
tractus rubrospinal. Pada manusia tractus rubrospinal kecil dan hanya
mencapai corda spinalis bagian cervical. (Martini dan Nath, 2006).
Gambar 5. Jaras Ekstrapiramidalis
Informasi III
Pemeriksaan neurologis
Tidak didaptkan tanda-tanda iritasi meningeal
N. Cranialis :
Parese N. VII kanan tipe sentral
Parese N. XII kanan tipe sentral
Py
3 62 · 3 Motor System
4 6aα 6aβ 8
Parieto-temporopontine tract
Occipito-mesencephalic tract
21
3
Frontopontine tract
Corticospinal tractwith extrapyramidalfibers
Thalamus
Putamen andglobus pallidus
Head of caudate nucleus
Tegmental nuclei
Red nucleus
Substantia nigra
Pontine nuclei
From the cerebellum To the cerebellum
(fastigial nucleus)
Reticular formationLateral vestibularnucleus
Central tegmentaltract
Inferior olive
Pyramid
Rubrospinal tract
Olivospinal tract
Vestibulospinal tract
Lateral corticospinaltract
ReticulospinaltractTectospinal tract
Anterior corticospinaltract
Fig. 3.5 Brain structures involved in motor function and the descending tracts that originate inthemBaehr, Duus' Topical Diagnosis in Neurology © 2005 ThiemeAll rights reserved. Usage subject to terms and conditions of license.
Fungsi motorik Superior (D/S) Inferior (D/S)
Gerak T/B T/B
Kekuatan 2/5 2/5
Reflek fisiologis + /+N + /+N
Reflek patologis +/- +/-
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Pemeriksaan sensibilitas : dbn
Siriraj stroke score
= ( (2,5x0) + (2x0) + (2x1) + (0,1x100) – (3x1) ) – 12
= 9-12
= -3 stroke non hemoragik
Pembahasan
Dari info 3 didapatkan bahwa terjadi parese pada bagian kanan dibuktikan dengan
parese n. VII dan n. XII. Pada fungsi motorik gerak, kekuatan, reflek fisiologis,
dan reflek patologis menunjukan bahwa terjadi kelainan pada ekstrimitas superior
dan inferior sebelah kanan.
Informasi IV
Pemeriksaan
yang dilakukan
Hasil
LaboratoriumNilai Normal Keterangan
Hb 13 gr/dl 12-16 gr/dl N
Leukosit 12000 /mm3 4000-11000/mm3 Meningkat
Trombosit 410000 / mm3150.000-450.000/
mm3N
Hematokrit 40% 45 – 55% Menurun
LED 12 mm <10 mm Meningkat
GDS 300 mg/dl <126 mg/dl Meningkat
Kolesterol Total 170 mg/dl <200 mg/dl N
HDL 45 mg/dl >55 mg/dl Menurun
LDL 175 mg/dl < 100 mg/dl Meningkat
Trigliserida 155 mg/dl 120 - 190 mg/dl N
Asam Urat 5,2 mg/dl 2.4 – 5.7 mg/dl N
BUN 25 mg/dl 8-26 mg/dl N
Kreatinin Serum 1,1 mg/dl 0,5-1,5 mg/dl N
EKG : hipertrofi vventrikel kiri
Ro thorax : kardiomegali ringan
CT scan kepala : gambaran hipodens pada hemisfer kiri
Pembahasan :
Dari informasi diatas dapat diketahui terdapat hasil pemeriksaan laboratorium
yang abnormal seperti leukosit, hematokrit, GDS, LDL, HDL, LED. Selain itu
pada pemeriksaan CT scan kepala terdapat gambaran hipodens yang menunjukan
adanya stroke non hemoragik pada pasien tersebut.
Informasi V
Diagnosis klinis I :
Hemiparese dextra, parese N. VII dextra sentral, parese N. XII dextra sentral
Diagnosis klinis II:
Hipertensi, Diabetes mellitus
Diagnosis topik :
Kapsula interna sinistra
Diagnosis etiologi :
Stroke non hemoragik
Diagnosis banding :
Stroke hemoragik
Sasaran Belajar :
1. Organ target hipertensi urgensi
2. Klasifikasi stroke
3. Etiologi stroke
4. Faktor resiko stroke
5. Patogenesis dan patofisiologi stroke
6. Penatalaksanaan stroke
7. Prognosis stroke
Pembahasan sasbel :
1. Organ target hipertensi
Krisis hipertensi dapat dibagi menjadi dua berdasarkan prioritas
pengobatannya, yaitu :
a. Hipertensi Emergensi (darurat) ditandai dengan tekanan diastolik > 120
mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh
satu atau lebih penyakit/kondisi akut. Tekanan darah pada kondisi ini
harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam.
Penderita perlu dirawat di ruangan Intensive Care Unit (ICU).
Keterlambatan pengobatan dapat menyebabkan timbulnya kematian
(Majid, 2004).
Berikut adalah gangguan yang dapat terjadi pada hipertensi emergensi :
1. Pendarahan intra cranial, ombotik CVA atau pendarahan
subarakhnoid.
2. Hipertensi ensefalopati.
3. Aorta diseksi akut.
4. Oedema paru akut.
5. Eklampsi.
6. Feokhromositoma.
7. Funduskopi KW III atau IV.
8. Insufisiensi ginjal akut.
9. Infark miokard akut, angina unstable.
10. Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain :
1) Sindrom withdrawal obat anti hipertensi.
2) Cedera kepala.
3) Luka bakar.
4) Interaksi obat.
b. Hipertensi Urgensi (mendesak), ditandai dengan tekanan diastolik > 120
mmHg dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ
sasaran. Tekanan darah harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang
aman memerlukan terapi parenteral (Majid, 2004).
Berikut adalah gangguan pada hipertensi urgensi :
1. KW I atau II pada funduskopi.
2. Hipertensi post operasi.
3. Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.
Tingginya tekanan darah yang dapat menyebabkan kerusakan organ
sasaran tidak hanya berdasarkan tingkatan tekanan darah aktual, tapi juga
dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan tekanan darah, bangsa,
seks dan usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat mentolerir
kenaikan tekanan darah yang lebih tinggi dibanding dengan normotensi
(Majid, 2004).
2. Klasifikasi stroke
Menurut National of Neurologicals Disorders and Stroke (NINDS),
berdasarkan etiologinya dibedakan menjadi :
1. Stroke Hemoragik, yang terdiri atas :
a. Perdarahan Intracerebral (PIS)
b. Perdarahan Subarachnoid
c. Perdarahan Intra kranial oleh karena AVM
2. Stroke Non Hemoragik, yang berdasarkan perjalanan klinisnya terdiri
dari :
a. TIA ( Transient Ischemic Attack)
b. RIND ( Reversible Ischemich Neurologis Defisit)
c. Progressing Stroke atau Stroke Non Evolution
d. Completed Stroke
Stroke hemoragik
Stroke Hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh
darah otak. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita
hipertensi. Berdasarkan etiologinya dibedakan menjadi :
a. Perdarahan Intracerebral (PIS)
Gejala klinis yang timbul pada perdarahan intra serebral disebabkan
adanya akumulasi darah akibat pecahnya pembuluh darah di dalam
parenkim otak. Gejala yang timbul tergantung daerah otak mana yang
mengalami gangguan.
b. Perdarahan di Lobus
Tanda dan gejala yang timbul :
1) Lobus frontalis : hemiparesis kontralateral dengan lengan lebih
nyata disertai sakit kepala bifrontal, deviasi conjugat ke arah lesi.
2) Lobus Parietalis : defisit persepsi sensorik kontralateral dengan
hemiparesis ringan.
3) Lobus Oksipitalis : hemianopia dengan atau tanpa hemiparesis
yang minimal pada sisi ipsilateral dengan hemianopianya.
4) Lobus Temporalis : afasia sensorik bila area Wernicke hemisfer
dominan terkena, hemianopia atau kuadranopia karena massa darah
mengganggu radiasi optika.
c. Perdarahan Area Striata
Tanda dan gejala yang timbul :
1) Hemiparesis/hemiplegi kontralateral
2) Defisit hemisensorik dan mungkin disertai jugahemianopia homonim
3) Afasia bila mengenai hemisfer dominan
d. Perdarahan Thalamus
Tanda dan gejala yang timbul :
1) Defisit sensorik
2) Hemiparesis/ hemiplegi kontralateral
3) Afasia, anomia jika mengenai hemisfer dominan
e. Perdarahan Pons
Perdarahan batang otak tersering adalah pons, dengan tanda dan gejala
yang timbul :
1) Kesadaran menurun dengan cepat tanpa didahului sakit kepala,
vertigo, mual dan muntah.
2) Biasanya kuadriplegi dan flaksid
3) Pupil kecil dan reaksi cahaya minimal
4) Pernafasan cheyne stokes dan febril
f. Perdarahan Sub Arachnoid (PSA)
Perdarahan sub arachnoid primer atau spontan disebabkan oleh
perdarahan arterial non traumatik ke dalam ruang sub arachnoid di
sekeliling otak. Tanda dan gejala yang timbal antara lain :
1) Sakit kepala mendadak
2) Kaku kuduk
3) Penurunan kesadaran mulai dari mengantuk sampai koma
4) Paresis nervus okulomotorius
5) Pupil anisokor
6) Perdarahan retina (funduskopi)
Stroke nonhemoragik
Stroke non hemoragik adalah tersumbatnya pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. 80%
stroke adalah stroke non hemoragik.
Jenis Stroke Non Hemoragik berdasarkan perjalanan klinisnya.
a. TIA (Transient Ischemic Attact = gangguan peredaran darah otak
sepintas)
TIA didefinisikan sebagai suatu gangguan akut dan fungsi fokal
serebral yang gejalanya berlangsung kurang dari 24 jam dan disebabkan
oleh thrombus atau emboli.Pada TIA ini, gejala yang timbul akan cepat
menghilang, berlangsung hanya dalam beberapa menit saja, tetapi juga
dapat sampai sehari penuh. Dilihat dari gejala dan tanda yang ada, dapat
dibedakan antara TIA tersebut bersumber pada system karotis dan
bersumber pada system vertebrobasilaris.
Tanda dan gejala TIA yang disebabkan gangguan pada system karotis :
1) Gangguan penglihatan pada satu mata tanpa disertai rasa nyeri
2) Kelumpuhan lengan atau tungkai atau keduanya pada sisi yang
sama
3) Defisit sensorik atau motorik dari wajah saja, wajah dan lengan
atau tungkai saja secara unilateral.
4) Kesulitan untuk mengerti bahasa dan atau berbicara
Tanda dan gejala yang disebabkan gangguan pada sistem
vertebrobasilaris :
1) Vertigo dengan atau tanpa disertai nausea dan atau muntah,
terutama bila disertai dengan diplopia, disfagia atau disartri.
2) Mendadak tidak stabil,
3) Gangguan visual, motorik, sensorik, unilateral atau bilateral.
4) Hemianopsia homonim
5) Drop attack
b. RIND ( Reversible Ischemic Neurologik Deficit)
Gejala neurologis yang ada pada RIND juga akan menghilang, hanya
waktu berlangsunya lebih lama yaitu lebih dari 24 jam bahkan sampai
24 hari.
c. Progresing Stroke ( Stroke in evalution)
Pada stroke ini, kelainan atau defisit neurologis yang timbul
berlangsung secara bertahap dari yang bersifat ringan menjadi lebih
berat. Diagnosis progressing stroke ditegakkan oleh dokter, karena
dokter dapat mengamati sendiri secara langsung atau berdasarkan
keterangan pasien.
d. Completed Stroke
Pada stroke jenis ini, kelainan neurologis yang ada sifatnya sudah
menetap tidak berkembang lagi. Kelainan neurologis yang timbul
bermacam-macam tergantung pada daerah otak mana yang mengalami
infark.
Namun jika infark tersebut terletak di batang otak, meskipun dengan
pemeriksaan CT-Scan infark tersebut tidak akan terlihat.
3. Etiologi stroke
Etiologi untuk stroke adalah sebagai berikut.
a. Stroke Non-Hemorrhagik
1) Atherosklerosis
2) Embolisasi
3) Penurunan Tekanan darah sistemik
b. Stroke Hemorrhagik
1) Pecahnya arteri
2) Pecahnya aneurisma
3) AVM (Arteriol-Venula Malformation)
4. Faktor risiko stroke
Menurut WHO (2009), faktor risiko untuk penyakit stroke adalah sebagai
berikut.
a. Bisa diubah (Modifiable)
1) Faktor risiko Mayor
Kriteria mayor ini didapat dari tingginya tingkat prevalensi dalam
masyarakat dan adanya penurunan tingkat kejadian bila faktor risiko ini
dikendalikan.
a) Tekanan darah tinggi
b) Lipid darah yang abnormal
Total kolesterol, LDL, dan TG meningkat. HDL menurun.
c) Merokok
d) Jarang berolahraga
Meningkatkan risiko sebesar 50 %.
e) Obesitas
f) Diet yang salah
Rendahnya intake buah-buahan dan sayur-sayuran serta tingginya
intake lemak bersaturasi tinggi dapat meningkatkan risiko terkena
stroke sebesar 11 %.
g) Diabetes Mellitus
2) Faktor risiko Lain
a) Status sosioekonomi yang rendah
b) Penyakit mental seperti depresi
c) Stres psikososial seperti terisolasi dari kehidupan sosial dan
kecemasan
d) Penggunaan alkohol dapat meningkatkan risiko sebesar 30 %.
e) Penggunaan obat-obatan tertentu seperti obat kontrasepsi oral dan
terapi penggantian hormon.
f) Hipertrofi Ventrikel Kiri (Left Ventricular Hipertrophy/LVH)
g) Peningkatan homosistein dalam darah
h) Peningkatan C-reactive Protein (CRP)
i) Gangguan koagulasi darah
b. Tidak bisa diubah (Non-Modifiable)
1) Umur
Risiko akan meningkat 2 kali lipat bila sudah melalui umur 55 tahun.
2) Ras
3) Gender
4) Riwayat penyakit keluarga
5. Patogenesis dan patofisiologi stroke
Hipertensi Rokok DM Hiperlipidemia
LDL ↑
LDL teroksidasi ↑Radikal bebas
Stress oksidatif Disfungsi endotel
Aterosklerosis
Trombus
Emboli
OklusiP. darah otak
A. vertebralis
Parese ekstremitas, refleks tendon ↑, vertigo, tremor,
Babinski (+)
A. cerebri posterior
Hemiparesis kontralateral, afasia
visual, koma
A. cerebri media
Hemiparesis kontralateral, afasia
A. cerebri anterior
Hemiparesis kontralateral, defisit
sensorik kontralateral
Iskemia
Perfusi serebral ↓
Sel otak mati
6. Penatalaksanaan stroke
Pendekatan terapi pada fase akut stroke iskemik: restorasi aliran darah otak
dengan menghilangkan sumbatan/clots, dan menghentikan kerusakan seluler
yang berkaitan dengan iskemik/hipoksia
Therapeutic window : 12 – 24 jam, golden period : 3 – 6 jam kemungkinan
daerah di sekitar otak yang mengalami iskemik masih dapat diselamatkan
1. Penatalaksanaan Umum
A . Airway and breathing
Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat
atau paten memerlukan intubasi. Jika terdapat tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial (TIK) maka pemberian induksi dilakukan untuk
mencegah efek samping dari intubasi. Pada kasus dimana kemungkinan
terjadinya herniasi otak besar maka target pCO2 arteri adalah 32-36
mmHg. Dapat pula diberikan manitol intravena untuk mengurangi
edema serebri. Pasien harus mendapatkan bantuan oksigen jika pulse
oxymetri atau pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan terjadinya
hipoksia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipoksia pada
stroke non hemoragik adalah adanya obstruksi jalan napas parsial,
hipoventilasi, atelektasis ataupun GERD.
B. Circulation
Pasien dengan stroke non hemoragik akut membutuhkan terapi
intravena dan pengawasan jantung. Pasien dengan stroke akut berisiko
tinggi mengalami aritmia jantung dan peningkatan biomarker jantung.
Sebaliknya, atrial fibrilasi juga dapat menyebabkan terjadinya stroke.
C. Pengontrolan gula darah
Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan
prognosis yang kurang baik dan menghambat reperfusi pada
trombolisis. Pasien dengan normoglokemik tidak boleh diberikan cairan
intravena yang mengandung glukosa dalam jumlah besar karena dapat
menyebabkan hiperglikemia dan memicu iskemik serebral eksaserbasi.
Pengontrolan gula darah harus dilakukan secara ketat dengan pemberian
insulin. Target gula darah yang harus dicapai adalah 90-140 mg/dl.
Pengawasan terhadap gula darah ini harus dilanjutkan hingga pasien
pulang untuk mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat pemberian
insulin.
D. Posisi kepala pasien
Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih
maksimal jika pasien dalam pasien supinasi. Sayangnya, berbaring
telentang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
padahal hal tersebut tidak dianjurkan pada kasus stroke. Oleh karena
itu, pasien stroke diposisikan telentang dengan kepala ditinggikan
sekitar 30-45 derajat.
E. Pengontrolan tekanan darah
Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau
peningkatan TIK, pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan
vasoregulator sehingga hanya bergantung pada maen arterial pressure
(MAP) dan cardiac output (CO) untuk mempertahankan aliran darah
otak. Oleh karena itu, usaha agresif untuk menurunkan tekanan darah
dapat berakibat turunnya tekanan perfusi yang nantinya akan semakin
memperberat iskemik. Di sisi lain didapatkan bahwa pemberian terapi
anti hipertensi diperlukan jika pasien memiliki tekanan darah yang
ekstrim (sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120
mmHg) atau pasien direncanakan untuk mendapatkan terapi
trombolitik.
Adapun langkah-langkah pengontrolan tekanan darah pada pasien stroke non
hemoragik adalah sebagai berikut. Jika pasien tidak direncanakan untuk
mendapatkan terapi trombolitik, tekanan darah sistolik kurang dari 220
mmHg, dan tekanan darah diastolik kurang dari 120 mmHg tanpa adanya
gangguan organ end-diastolic maka tekanan darah harus diawasi (tanpa
adanya intervensi) dan gejala stroke serta komplikasinya harus ditangani.
Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik antara 120-
140 mmHg maka pasien dapat diberikan labetolol (10-20 mmHg IV selama
1-2 menit jika tidak ada kontraindikasi. Dosis dapat ditingkatkan atau diulang
setiap 10 menit hingga mencapai dosis maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif
dapat diberikan nicardipine (5 mg/jam IV infus awal) yang dititrasi hingga
mencapai efek yang diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5
menit hingga mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir dapat
diberikan nitroprusside 0,5 mcg/kgBB/menit/IV via syringe pump. Target
pencapaian terapi ini adalah nilai tekanan darah berkurang 10-15 persen.
Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD sistolik lebih 185
mmHg, dan diastolik lebih dari 110 mmHg maka dibutuhkan antihipertensi.
Pengawasan dan pengontrolan tekanan darah selama dan setelah pemberian
trombolitik agar tidak terjadi komplikasi perdarahan. Preparat antihipertensi
yang dapat diberikan adalah labetolol (10-20 mmHg/IV selama 1-2 menit
dapat diulang satu kali). Alternatif obat yang dapat digunakan adalah
nicardipine infuse 5 mg/jam yang dititrasi hingga dosis maksimal 15 mg/jam.
Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah harus
diperiksa setiap 15 menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit selama 6 jam
berikutnya, dan setiap jam selama 16 jam terakhir. Target terapi adalah
tekanan darah berkurang 10-15 persen dari nilai awal. Untuk mengontrol
tekanan darah selama opname maka agen berikut dapat diberikan.
1. TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka dapat
diberikan labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat diulang selama
10-20 menit hingga maksimal 300 mg atau jika diberikan lewat infuse
hingga 2-8 mg/menit.
2. TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg dapat
diberikan labetolol dengan dosis diatas atau nicardipine infuse 5 mg/jam
hingga dosis maksimal 15mg/jam.
3. Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari karena
dapat menyebabkan hipotensi ekstrim.
F. Pengontrolan edema serebri
Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non
hemoragik dan mencapai puncak keparahan 72-96 jam setelah onset
stroke. Hiperventilasi dan pemberian manitol rutin digunakan untuk
mengurangi tekanan intrakranial dengan cepat.
G. Pengontrolan kejang
Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah
onset. Meskipun profilaksis kejang tidak diindikasikan, pencegahan
terhadap sekuel kejang dengan menggunakan preparat antiepileptik
tetap direkomendasikan.
H. Pengontrolan demam
Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam
karena hipertermia (utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat
menyebabkan trauma neuronal iskemik. Sebuah penelitian eksprimen
menunjukkan bahwa hipotermia otak ringan dapat berfungsi sebagai
neuroprotektor.
Obat-obat yang digunakan pada terapi serangan akut
1. Terapi trombolitik : tissue plasminogen activator (t-PA), Alteplase
Mekanisme: mengaktifkan plasmin yang fungsinya untuk melisiskan
tromboemboli. Penggunaan t-PA sudah terbukti efektif jika digunakan
dalam 3 jam setelah serangan akut. Catatan: tetapi harus digunakan hati-
hati karena dapat menimbulkan resiko perdarahan.
2. Terapi antiplatelet : aspirin, clopidogrel, dipiridamol-aspirin , tiklopidin
Hal ini masih merupakan mainstay dalam terapi stroke. Urutan pilihan :
Aspirin atau dipiridamol-aspirin, jika alergi atau gagal maka digunakan
clopidogrel, jika gagal : tiklopidin.
3. Terapi antikoagulan masih kontroversial karena resiko perdarahan
intrakranial Agen yang digunakan : heparin, unfractionated heparin, low-
molecular-weight heparins (LMWH), heparinoids warfarin.
Penatalaksanaan non medikamentosa
1. Fisioterapi
a. Mobilisasi untuk mencegah deep vein thrombosis (DVT)
maupun kompikasi pulmonal.
b. Pasien imobil latihan ruang lingkup sendi untuk mencegah
kontraktur.
c. Fisioterapi dada, fungsi menelan, dan berkemih.
2. Terapi wicara
Terapi wicara harus dilakukan sedini mungkin pada pasien afasia
dengan stimulasi sedini mungkin, terapi komunikasi, terapi aksi
visual, terapi intonasi melodik, dan sebagainya.
3. Depresi
Depresi diobati sedini mungkin dengan obat antidepresi yang tidak
mengganggu fungsi kognitif.
4. Edukasi
Pemberian edukasi kepada pasien dan keluarganya mengenai
stroke, sehingga dapat mengendalikan factor- factor resiko yang
dapat mencetuskan timbulnya stroke berulang.
Tatalaksana Pasien Stroke Nonhemoragik
1. Pasien yang baru datang ke IGD Rumah Sakit harus dicek kondisi
Airway, Breathing, dan Circulationnya. Jika tampak ada gangguan,
maka tirah baringkan pasien dengan kepala diangkat setinggi kira-kira
300 dengan sisi tubuh yang mengalami kelemahan diganjal dengan
bantal. Kemudian lakukan oksigenasi sebanyak 1-5 ml/menit pada
pasien dengan menggunakan kanul, apabila terdapat kesulitan bernafas,
bawa pasien ke ICU dan pasang ventilator.
2. Pasien diinfus dengan memberikan cairan Ringer Asetat 1000 ml, bila
perlu ditambahkan MgSO4 20% sebanyak 10 ml untuk meningkatkan
tonisitas cairan infus sehingga membantu mengurangi risiko terjadinya
edema serebri.
3. Berikan obat-obatan antiplatelet aggregation seperti Cilostazol per oral
untuk menghilangkan sumbatan atau emboli pada pembuluh darah.
Dosis yang biasa digunakan sekitar 2 x 100 mg.
4. Berikan juga obat neuroprotectant secara intravena untuk melindungi
jaringan-jaringan saraf yang berada di sekitar daerah iskemik. Dosis
yang diberikan biasanya 4 x 3 gram (sediaan vial, 200 mg/ml).
5. Antikoagulan seperti heparin dapat diberikan untuk mencegah
terjadinya emboli berulang, namun harus diberikan dalam pengawasan
ketat karena apabila pemberiannya berlebihan justru dapat terjadi efek
perdarahan hebat.
6. Pemberian obat-obatan tersebut harus dilakukan sebelum 6 jam pasca
serangan stroke. Setelah pemberian obat-obatan tersebut harus selalu
dipantau keadaan umum, kesadaran, tanda vital, dan 5B (Breathing,
Blood, Brain, Bladder, Bowel).
a. Breathing pantau terus jalan nafas pasien, jangan sampai terjadi
gangguan pernafasan.
b. Blood apabila terjadi tekanan darah di atas 220/120 mmHg,
usahakan untuk menurunkan tekanan darah tersebut, namun tidak
boleh secara drastis, harus perlahan. Jaga komposisi darah agar
tetap seimbang, bila gula darah pasien mencapai lebih dari 200
mg/dl harus diturunkan.
c. Brain kondisi otak harus dijaga agar tidak terjadi kejang dan
peningkatan tekanan intrakranial. Apabila terjadi peningkatan
tekanan intrakranial dapat diberikan manitol dengan dosis titrasi
(dosis semakin diturunkan setelah pemberian pertama).
d. Bladder perhatikan kemungkinan terjadinya
inkontinensia/retensio urin, bila perlu pasang kateter.
e. Bowel asupan gizi yang seimbang diperlukan oleh pasien,
hindari mengejan karena akan menimbulkan peningkatan tekanan
intrakranial.
Informasi VI
Penatalaksanaan
Farmakologi :
- Tirah baring
- O2 kanul nasal 3ltr/menit
- IVFD asering 20 tpm
- Ciloszatol 2x100 mg PO
- Piracetam 4x3 gram i
- Insulin 6 unit tiap 6 jam subkutan
Monitoring
- Keadaan umum, kesadarn, dan tanda vital
Awasi 5B ( breathing, blood, brain, bowel, bladder )
Rehabilitasi
- Komunikasi
- Mobilisasi
- Aktivitas sehari-hari
Edukasi
- Mengatur pola makan yang sehat
- Menghentikan rokok
- Melakukan olahraga yang teratur
- Menghindari stress dan beristirahat yang cukup
Informasi VII
Prognosis
Fungsional : dubia ad bonam
Vitam : bonam
Sanam : bonam
7. Prognosis stroke
Prognosis Tn. A cukup baik, karena pasien masih dalam keadaan sadar, usia
60 tahun, dan cepat dibawa ke rumah sakit, tetapi ada beberapa hal yang patut
diwaspadai, seperti tekanan darah , GDS yang cukup tinggi.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Diagnosis pasien pada kasus ini adalah stroke non hemoragik
2. Menurut National of Neurologicals Disorders and Stroke (NINDS),
berdasarkan etiologinya stroke dibedakan menjadi stroke hemorrhagik dan
stroke non hemorrhagik
3. Etiologi stroke non hemorrhagik adalah atherosclerosis, embolisasi, dan
penurunan tekanan darah sistemik, sedangkan etiologi stroke hemorrhagi
adalah pecahnya arteri, pecahnya aneurisma, dan AVM (Arteriol-Venula
Malformation)
4. Faktor risiko penyakit stroke ada dua macam, yaitu faktor risiko yang
dapat dimodifikasi (riwayat stroke, hipertensi, DM, obesitas, dan
merokok), dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (usia, jenis
kelamin, ras, dan faktor keturunan)
DAFTAR PUSTAKA
Afriani, Ika Resti. (2011, Agustus 09). Penatalaksanaan Pasien Dengan Stroke
Non Hemoragik. UMY e-Case, Retrieved March 11, 2012.
Giraldo, Elias. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2012 March 10 th available from:
http://www.merck.com/mmhe/sec06/ch086/ch086c.html
Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 March 10th available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-treatment
Hughes, Mark. Miller, Thomas. Nervous System Third Edition. University of
Edinburgh, Edinburgh, UK.
Majalah Kedokteran Atma Jaya Vol. 1 No. 2 September 2002. Hal: 158-67.
Majid. Abdul. 2004. Krisis Hipertensi Aplikasi Klinis dan Pengobatan. Sumatera
Utara : USU.
Mardjono dan Sidharta. 2010. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-15. Jakarta:
Dian Rakyat.
Ngoerah, I Gst. Ng. Gd. Penyakit peredaran darah otak dalam Dasar-dasar ilmu
penyakit saraf. Penerbit Airlangga University Press. Hal: 245-58.
Price, A. Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 4.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 966-71.
Price, S.A., L.M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC. hal. 1113-1114.
Sherwood, L.2001.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.Jakarta : EGC
Snell, Richard. 2007. Neuroanatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran edisi
6.Jakarta : EGC.
Wibowo, Samekto. Gofir, Abdul. Farmakoterapi stroke prevensi primer dan
prevensi sekunder dalam Farmakoterapi dalam Neurologi. Penerbit
Salemba Medika. Hal: 53-73.