laporan kasus rs tabanan bali
DESCRIPTION
studi kasus PKP Apoteker uadayana angkatan I di RS Tabanan Bali.TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN ANEMIA
I. Tinjauan Anemia
1.1 Definisi
Anemia adalah suatu keadaan kronis yang dikarakterisasi dengan penurunan
hemoglobin atau sel darah merah yang berakibat pada penurunan kapasitas
pengangkutan oksigen oleh darah. Selain ditunjukkan oleh penurunan kadar
hemoglobin, anemia juga dikarakterisasi dengan penurunan hematokrit atau hitung
eritrosit (red cell count).
1.2 Kriteria Anemia
Harga normal hemoglobin bervariasi secara fisiologik tergantung dari umur, jenis
kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. WHO menetapkan cutoff
point anemia, sebagai berikut :
Tabel kriteria anemia menurut WHO (dikutip dari Hoffbrand AV 2001)
Kelompok Kriteria anemia (Hb)
Laki-laki dewasa
Wanita dewasa tidak hamil
Wanita hamil
< 13 g/dl
< 12 g/dl
< 11 g/dl
Di Indonesia kriteria hemoglobin < 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia.
II. Etio-Patofisiologi Anemia
II.1 Anemia Ferriprive (Anemia Sekunder)
Penyebab utama dari anemia jenis ini adalah kekurangan besi untuk sintesa
hemoglobin. Cirinya adalah terjadinya hipokrom (rendahnya kadar hemoglobin
pada eritrosit), mikrositer (sel darah merah berukuran lebih kecil dari normal) dan
nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) rendah. Defisiensi besi yang terjadi dapat
disebabkan oleh adanya perdarahan mukosa lambung, berkurangnya resorpsi dari
usus halus, meningkatnya kebutuhan tubuh (wanita hamil, haid), kualitas makanan
yang tidak memadai, dan penyakit kronis.
Anemia penyakit kronis merupakan anemia hipoproliferatif yang berhubungan
dengan proses infeksi atau inflamasi kronis serta kerusakan jaringan.Gejala anemia
1
ferriprive berupa muka dan kuku pucat, rasa letih dan lesu, jari kaki-tangan dingin,
palpitasi, dan kulit keriput.
II.2 Anemia Megaloblaster (Anemia Primer)
Anemia megaloblaster disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 atau asam folat
dan bercirikan sel darah merah berukuran besar (makrositer) dengan kadar
hemoglobin normal atau lebih tinggi (hiperkrom) dan MCV tinggi. Kekurangan
vitamin dan folat tersebut dapat disebabkan oleh gangguan resorpsi, kehamilan
ataupun efek toksik dari obat seperti kloramfenikol, sulfonamide, fenitoin,
fenilbutazon, dll.
Gejalanya berupa kelainan di saluran cerna, nyeri lidah dan pada keadaan serius
dapat menyebabkan terjadinya kerusakan irreversibel pada sistem saraf dengan
gangguan neurologi (defisiensi Vit B12) seperti rasa kesemutan pada kaki atau
tangan dan berkuranganya efek otot.
II.3 Anemia Lainnya
Anemia ini tidak disebabkan oleh kekurangan besi, vitamin dan asam folat.
Beberapa bentuk anemia serius yang tidak ada hubungnnya dengan defisiensi besi,
vitamin ataupun asam folat adalah anemia aplastis dan hemolitis.
Anemia aplastis adalah anemia dengan keadaan eritrosit yang tidak berbentuk
lagi yang dapat disebabkan oleh factor keturunan dan terjadinya kerusakan pada
sumsum tulang sebagai efek samping obat seperti kloramfenikol, karbimazol,
busulfan, doksorubisin, dll.
Anemia Hemolitis dikarakterisasi dengan rusaknya eritrosit dimana hemoglobin
larut dalam serum yang menyebabkan penurunan waktu hidup eritrosit dan
diekskresikan melalui kemih. Biasanya terjadi pada pasien malaria tropica.
Berdasarkan Dipiro Anemia dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Morfologi Anemia makrositik
o Anemia megaloblastik1) Defisiensi vitamin B12
2) Anemia defisiensi asam folat
Anemia mikrositik, hipokromiko Anemia defisiensi
besio Anomali genetik
1) Sickle cell anemia
Anemia normositiko Kehilangan daraho Hemolisiso Kegagalan sumsum tulango Anemia penyakit kroniso Gagal ginjalo Kelainan endokrino Anemia mieloplastik
2
2) Thalasemia3) Hemoglobinopati lainnya
(hemoglobin abnormal)
2. Etiologi Defisiensio Besio Vitamin B12
o Asam folato Piridoksin
Pusat, disebabkan gangguan fungsi sumsum tulango Anemia penyakit kroniso Anemia pada lansiao Kanker sumsum tulang
Periferal oPendarahanoHemolisis
3. Patofisiologi Kehilangan darah berlebihan
oPendarahanoTraumaoTukak lambungo Infeksi lambungoHemorroid
Pendarahan kronisoPendarahan vaginaoPeptic ulseroParasit intestinaloAspirin dan AINS lainnya
Destruksi sel darah merah berlebihanoFaktor ekstrakorpuskular
(diluar sel)oAntibodi SDMoObat-obatanoTrauma fisik terhadap SDMoSequestrasi berlebih pada
limpa Faktor intrakorpuskular
oHereditasoKelainan sintesis hemoglobin
Produksi SDM dewasa tidak cukupo Defisiensi nutrient (B12, asam
folat, besi, protein)o Defisiensi eritroblast
1) Anemia aplastik2) Eritoblastopenia terisolasi3) Antagonis asam folat4) Antibodi
o Kondisi infiltrasi sumsum tulang1) Limfoma2) Leukemia3) Mielofibrosis4) Karsinoma
o Abnormalitas endokrin1) Hipotiroid 2) Insufisiensi adrenal3) Insufisiensi pituitary
o Penyakit ginjal kroniso Penyakit inflasi kronis
1) Granulomatous disease2) Collagen vascular disease
o Penyakit hati
3
III.Penatalaksanaan Terapi Anemia
III.1 Tujuan Terapi
Tujuan utama pengobatan anemia adalah mengurangi tanda-tanda dan
gejala, memperbaiki etiologi yang mendasarinya (misalnya
mengembalikan substrat yang dibutuhkan untuk produksi sel darah merah)
dan mencegah kambuhnya anemia.
III.2 Terapi Farmakologi
III.2.1 Anemia Ferriprive
Anemia ferriprive umumnya diobati dengan suatu garam ferro untuk
menormalisasi kadar hemoglobin. Obat-obat yang digunakan adalah
sebagai berikut:
A. Sediaan-sediaan besi oral
1) Fero fumarat
Indikasi : anemia defisiensi besi
Peringatan : kehamilan.
Efek samping : iritasi sal. Cerna, keluhan mual dan epigastrik,
konstipasi (geriatri) atau diare. Untuk sediaan lepas
lambat dapat memperburuk diare pada pasien
inflamantory bowel diases.
Dosis : 1-2 tablet 200 mg 3 kali sehari sirup, fero fumarat
140 mg (besi 45 mg)/ 5 ml.
Dosis 10-20 ml 2 kali sehari; bayi prematur 0,6-2,4
ml/kg/hari.
Anak hingga 6 tahun 2,5-5 ml 2 kali sehari.
Fero fumarat : (generik) tablet Ss 200 mg, 300 mg; kaptab 200 mg
2) Fero sulfat
Indikasi : anemia defisiensi besi.
Peringatan : kehamilan.
Efek samping : iritasi sal. Cerna, keluhan mual dan epigastrik,
konstipasi (geriatri) atau diare. Untuk sediaan lepas
4
lambat dapat memperburuk diare pada pasien
inflamantory bowel diases.
Dosis : profilaksis, 1 tab 200 mg/hari; terapetik, 1 tab
200 mg 2-3 kali sehari. Dosis fero sulfat yang
dikeringkan 200 mg (= 65 mg besi elemental)
adalah 3 kali sehari.
Konseling : walaupun penyerapannya paling baik ketika perut
kosong, sediaan besi dapat dimakan sesudah makan
untuk mengurangi efek samping gastrointestinal;
warna tinja dapat berubah.
Fero sulfat : (generik) tablet Ss 200 mg, 300 mg; sirup 150
mg/5 ml.
3) Fero glukonat
Indikasi : anemia defisiensi besi
Peringatan : kehamilan
Efek samping : iritasi sal. Cerna, keluhan mual dan epigastrik,
konstipasi (geriatri) atau diare. Untuk sediaan lepas
lambat dapat memperburuk diare pada pasien
inflamantory bowel diases.
Dosis : profilaksis, 2 tab sehari sebelum makan; terapetik
4-6 tab sehari dalam dosis terbagi sebelum makan;
anak 6-12 tahun, profilaksis dan terapetik 1-3 tab
sehari sesuai dengan usia.
Fero glukonat : (generik) tablet, merah, berlapis, fero glukonat 300
mg (besi 35 mg), sangobion kapsul.
4) Besi Dan Asam Folat
Sediaan ini digunakan untuk pencegahan defisiensi besi dan asam
folat pada kehamilan. Sediaan harus dibedakan dari sediaan yang
digunakan untuk mencegah neural tube defect pada wanita yang
merencanakan kehamilan. Penting untuk diperhatikan bahwa asam
5
folat dosis kecil dalam sediaan ini tidak memadai untuk pengobatan
anemia megaloblastik.
Ferro folat : tablet Ss 200 mg+0,25 mg
B. Sediaan-sediaan besi parenteral
Besi parenteral dapat diperlukan untuk pasien dengan melabsorpsi
besi, intoleransi terhadap terapi besi secara oral atau tidak patuh
terhadap terapi. Pemberian secara parenteral tidak mempercepat omset
respon hematologi.
1) Besi sukrosa
Indikasi
Anemia defisiensi besi: untuk pengobatan anemia defisiensi besi
pada pasien yang menjalani hemodialisis kronis dan menerima
terapi suplemen eritropoietin.
Penggunaan tidak berlabel: anemia pada pasien dialinis peritoneal,
anemia pada pasien predialisis, operasi yang tidak mengeluarkan
darah, donasi darah autolog.
Mekanisme kerja
Besi sukrosa digunakan untuk mengisi penyimpanan besi tubuh pada
pasien defisiensi besi yang sedang hemodialisis kronis dan menerima
eritropoietin.pada pasien ini defisiensi besi disebabkan kehilangan
darah selama prosedur dialisis, peningkatan eritropoiesis, dan absorpsi
besi dari saluran pencernan yang tidak cukup.
Farmakokinetik
Absorpsi
Pada orang dewasa sehat yang diberikan besi sukrosa dosis IV,
komponen besinya menunjukkan kinetik orde 1.
Distribusi
Pada orang dewasa sehat yang menerima besi sukrosa dosis IV,
komponen besinya terdistribusi terutama di darah dan cairan
ekstravaskular.
6
Metabolisme/ekskresi
Setelah pemberian besi sukrosa secara IV, besi sukrosa terdisosiasi
menjadi besi dan sukrosa oleh sistem retikuloendotelial.
Komponen sukrosa dieliminasi terutama oleh ekskresi urin dengan
waktu paruh eleminasi selama 6 jam.
Kontraindikasi
Adanya bukti kelebihan besi, hipersensitivitas terhadap besi atau
komponen inaktifnya, anemia yang tidak disebabkan defisiensi besi.
Peringatan
Hipotensi dilaporkan sering kali terjadi pada pasien yang menerima
besi sukrosa secar IV
Reaksi sensitivitas serius jarang dilaporkan pada pasien yang
menerima besi sukrosa
Secara umum pemilihan dosis untuk manula harus dengan
perhatian, biasanya dimulai dengan selang dosis yang rendah,
menunjukkan penurunan fungsi hati, ginjal atau jantung.
Penggunaan pada wanita hamil hanya jika diperlukan
Penggunaan besi sukrosa pada wanita menyusui harus dengan
perhatian
Efek samping
Hipotensi, kram kaki, diare, sakit kepala, mual dan muntah
Interaksi obat
Besi sukrosa diperkirakan dapat menurunkan absorpsi besi oral yang
diberikan secara bersamaan. Jadi jangan diberikan secara bersamaan
dengan sediaan besi oral.
2) Besi dekstran
Indikasi
Defisiensi besi: injeksi besi dekstran secara IV atau IM
diindikasikan untuk pengobatan pasien defisiensi besi dengan
7
sejarah pemberian secara oral yang tidak memuaskan atau
memungkinkan.
Penggunaan tidak berlabel: suplementasi besi dapat dibutuhkan
oleh kebanyakan pasien yang menerima terapi epoetin.
Mekanisme kerja
Besi dekstran yang bersirkulasi dibuang dari plasma oleh sistem
retikuloendotelial yang membagi kompleks menjadi komponen besi
dan sekstran. Besi segera terikat pada protein membentuk hemosiderin
atau ferritin. Besi ini mengisi hemoglobin dan penyimpanan besi yang
kosong.
Farmakokinetik
Absorpsi/distribusi
Setelah injeksi IM, besi dekstran diabsorpsi dari area injeksi
menuju kapilari dan sistem limfatik. Sebagian besar injeksi IM besi
dekstran diabsorpsi dalam 72 jam, sisanya diabsorpsi dalam 3-4
minggu.
Metabolisme/ekskresi
Dekstran, suatu poliglukosa, mengalami metabolisme dan juga
ekskresi. Besi diekskresi melalui urin dalam jumlah yang dapat
diabaikan.
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap produk, semua anemia yang tidak berkaitan
dengan defisiensi besi, fase akut penyakit infeksi ginjal.
Peringatan
Dosis maksimum harian tidak boleh melebihi 2 ml besi dekstran
yang tidak diencerkan
Dosis IV yang besar dikaitkan dengan peningkatan kejadian efek
samping
Anafilaksis dan reaksi hipersensitifitas lainnya telah dilaporkan
setelah injeksi besi dekstran pada dosis terapi.
8
Penggunan sediaan ini harus dengan peringatan pada pasien
dengan kelainan fungsi hati yang serius.
Resiko karsinogenesis dapat menyertai injeksi kompleks besi-
karbohidrat secara IM
Sisa-sisa dekstran yang tidak dimetabolisme diekskresikan pada air
susu. Pemberian pada wanita menyusui harus dengan peringatan
Tidak direkomendasikan untuk digunakan pada bayi berusia
kurang dari 4 bulan.
Efek samping
Reaksi anafilaktif, arthralgia, demam, sakit kepala, mual, muntah,
aritmia, nyeri dada, hipertensi, hipotensi, dll
Interaksi obat
Kloramfenikol : tingkat besi serum dapat meningkat
Interaksi obat/tes lab : dosis besar besi dekstran (5 ml atau lebih)
memberikan warna coklat pada serum dari sempel darah yang
diambil 4 jam setelah pemberian.
Defisiensi besi yang disebabkan karena penyakit kronis lebih
difokuskan pada memperbaiki penyebab yang reversible. Terapi yang
dapat digunakan adalah Epoetin alfa (jika disertai penyakit kardiovaskuler)
dengan dosis awal 50-100 unit/Kg 3 x seminggu. Jika hemoglobin tidak
meningkat setelah 6-8 minggu, dosis dapat dinaikkan 150 unit/Kg
seminggu 3x. Obat ini juga digunakan oleh penderita anemia berat yang
perlu menjalani dialisa akibat insufisiensi ginjal kronis.
III.2.2 Anemia Megaloblaster
Anemia Megaloblaster ditangani dengan pemberian vitamin B12
untuk anemia karena defisiensi vitamin B12 dan asam folat untuk
mengatasi defisienasi asam folat.
A. Sediaan-sediaan untuk anemia megaloblastik Defisiensi Vitanin
B12
1) Hidroksikobalamin
9
Indikasi : anemia pernisiosa, sebab lain dari defisiensi vitamin B12
Peringatan : tidak boleh diberikan sebelum diagnosis
dipastikan.
Dosis : dengan injeksi IM, dosis awal 1 mg diulangi 5 kali dengan
interval 2-3 hari; dosis pemeliharaan 1 mg setiap 3 bulan;
untuk anak dosis seperti pada orang dewasa.
Catatan : bila yang diresepkan atau yang diminta adalah injeksi
vitamin B12 maka yang diberikan adalah suntikan
hidroksikobalamin.
2) Sianokobalamin
Mekanisme kerja
Vitamin B12 penting untuk pertumbuhan, reproduksi sel, hematopoisis,
dan sintesis nukleoprotein dan mielin. Vitamin B12 berperan dalam
pembentukan sel darah merah melalui aktivasi koenzim asam folat.
Farmakokinetik
Absorpsi vitamin B12 tergantung pada adanya faktor instrinsik dan
kalsium yang cukup. Secara umum, absorpsi vitamin B12 tidak
mencukupi pada keadaan malabsorpsi dan pada anemia pernisiosa.
Indikasi
Defisiensi vitamin B12 karena sindrom malabsorpsi seperti yang
terlihat pada anemia pernisiosa.
Peningkatan kebutuhan vitamin B12 seperti pada saat kehamilan,
tirotoksikosis, anemia hemolitik, pendarahan dan penyaki hati dan
ginjal
Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap kobal, vitamin B12 atau komponen-
komponen pada produk.
Peringatan
Pemberian parenteral dipilih untuk anemia pernisiosa. Hindari rute
pemberian IV.
10
Defisiensi vitamin B12 yang dibiarkan selama > dari 3 bulan dapat
menyebabkan lesi degenerative permanen pada tulang belakang
Hipokalemia dan kematian mendadak dapat terjadi pada anemia
megaloblastik parah yang diobati secara intens.
Efek samping
Pemberian vitamin B12 secara parenteral dapat menyebabkan edema
pulmonari, gagal jantung kongestiv, trombosis vaskular perifer, rasa
gatal perasaan bengkak pada seluruh badan, diare ringan.
Interaksi obat
Asam aminosalisilat: menurunkan kerja terapetik dan biologi
vitamin B12
Kloramfenikol: menurunkan efek hematologi vitamin B12 pada
pasien dengan anemia pernisiosa
Kolkisin, alkohol: asupan kolkisin dan alkohol berlebih (> 2
minggu) dapat menyebabkan melabsorpsi vitamin B12
Dosis
Vitamin B12 pada defisiensi untuk IM adalah 0,5-1 mg seminggu
dengan terapi pemeliharaan 1 mg setiap 2 bulan. Pada gejala neurologi
1-2x seminggu 0,5-1 mg, pemeliharaan 1 mg sebulan. Untuk terapi
oral dapat diberikan 2-3 x sehari 1 mg.
B. Sediaan-sediaan untuk anemia defisiensi folat
1) Asam folat
Indikasi
Anemia megaloblastik yang disebabkan defisiensi asam folat.
Mekanisme kerja
Folat eksogen dibutuhkan untuk sintesis nukleoprotein dan
pemeliharaan eritropoiesis normal. Asam folat menstimulasi
produksi sel darah merah, sel darah putih, dan platelet pada anemia
megaloblastik.
Farmakokinetik
11
Asam folat yang berasal dari makanan harus mengalami hidrolisis,
reduksi dan metilasi pada saluran pencernaan sebelum diabsorpsi.
Perubahan asam folat menjadi bentuk aktifnya, tetrahidrofolat
memerlukan vitamin B12. Asam folat terdapat di plasma sekitar15-30
menit setelah pemberian secara oral, kadar puncak biasanya dicapai
selam 1 jam. Secara pemberian secara IV, asam folat secara cepat
dibersikan dari plasma. Sebagian besar produk metabolitnya muncul
di urin setelah 6 jam, ekskresi lengkap dicapai dalam 24 jam.
Kontra indikasi
Pengobatan anemia pernisiosa dan anemia megaloblastik lainnya
dimana vitamin B12 tidak cukup (tidak efektif).
Peringatan
Jangan diberikan secara tunggal untuk anemia pernisiosa addison
dan penyakit defisiensi vitamin B12 lainnya karena dapat
menimbulkan degenerasi majemuk dan medula spinalis.
Jangan digunakan untuk penyakit ganas kecuali anemia
megaloblastik karena defisiensi folat merupakan komplikasi
penting.
Efek samping
Asan folat relatif tidak toksik terhadap manusia. Efek samping yang
umum terjadi adalah perubahan pola tidur, sulit berkonsentrasi,
iritabilitas aktivitas berlebih depresi mental, mual.
Interaksi obat
Asam aminosalisilat: penurunan kadar folat serum dapat terjadi
selama penggunaan konkuren
Kontarasepsi oral: kontrasepsi oral dapat mempengaruhi
metabolisme folat dan menyebabkan kekurangan folat, tetapi
efeknya ringan dan tidak menyebabkan anemia atau perubahan
megaloblastik
12
Dihydrofolat reductase inhibitor: defisiensi Dihydrofolat reductase
inhibitor yang disebabkan pemberian antagonis asam folat dapat
mempengaruhi penggunan asam folat.
Sulfasalazin: terjadi tanda-tanda defisiensi folat
Fenitoin: menurunkan kadar folat serum.
Dosis
Asam folat oral diberikan sebanyak 1 mg setiap hari selama 4
bulan. Jika terdapat malabsorpsi, dosis harian harus ditingkatkan
menjadi 5 mg. Untuk mencegah terjadinya risiko spina bifida pada
terapi profilaksis anemia selama kehamilan, dapat diberikan asam folat
0,5 mg mulai minimal 4 minggu sebelum pembuahan sampai dengan
minggu ke-8 dari kehamilan.
3.2.3 Anemia Lainnya
Pasien dengan anemia tipe lain membutuhkan suplementasi yang
sesuai tergantung pada etiologinya. Obat yang digunakan pada keadaan
khas adalah erythropoietin yang dapat menstimulir pembentukan eritrosit.
Steroid dan immunosupresan lainnya dapat diindikasikan untuk
mengurangi destruksi sel darah merah.
Sediaan-sediaan untuk anemia hipoplastik, hemolitik dan renal
1) Erythropoietin
Epoetin digunakan pada anemia yang berhubungan dengan defisiensi
erythropoietin pada gagal ginjal kronis dan untuk menambah darah
autolog pada individu normal.
Ada 2 apoetin adalalah epoetin alfa dan epoetin beta.
Epoetin alfa dapat dipertimbangkan, terutama jika status
kardiovaskular membahayakan. Epoetin alfa biasanya ditoleransi
dengan baik. Hipertensi yang terlihat pada pasien dengan penyakit
ginjal stadium akhir jarang terjadi pada pasien dengan AIDS.
Epoetin alfa
13
Mekanisme kerja
Epoetin alfa menstimulasi eritropoiesis pada pasien anemia yang
sedang menjalani dialisis.
Farmakokinetik
Epoetin alfa IV dieliminasi secara kinetik orde 1 dengan waktu paru
sirkulasi sekitar 4-13 jam pada pasien dengan gagal ginjal kronis.
Dalam rentang dosis terapi kadar erithropoetin plasma yang terdeteksi
dipertahankan selam setidaknya 24 jam. Setelah pemberian Epoetin
alfa secara subkutan pada pasien dengan gagal ginjal kronis, kadar
serum puncak dicapai dalam 5-24 jam setelah pemberian dan
menurunkan secara bertahap.
Indikasi
Pengobatan anemia yang berkaitan dengan gagal ginjal kronis.
Pengobatan anemia yang berkaitan dengan terapi zidovudin pada
pasien yang terinfeksi HIV
Pengobatan anemia pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi
Penurunan transfusi darah allogenik pada pasien yang dioperasi.
Kontraindikasi
Hipertensi yang tak terkendalikan.
Peringatan
Tekanan darah tinggi yang tidak diobati secara memadai atau tidak
terkendali. Hentikan sementara pengobatan bila tekanan darah
tidak terkendali
Singkirkan faktor lain dari anemia (misalnya defisiensi folat atau
defisiensi vitamin B12) dan berikan suplemen besi bila diperlukan.
Penyakit iskemik vaskuler
Trombositosis
Riwayat konvulsi
Penyakit ganas
Gagal hati kronis
Migraine
14
Kehamilan dan laktasi
Efek samping
Kenaikan tekanan darah yang berkaitan dengan dosis atau hipertensi
memburuk; jarang terjadi pada penderita dengan tekanan darah
normal atau rendah
Interaksi obat
Penghambat ACE: mempertinggi resiko hiperkalemia
Dosis
Dosis awal 50-100 unit/Kg 3 x seminggu. Jika hemoglobin tidak
meningkat setelah 6-8 minggu, dosis dapat dinaikkan 150 unit/Kg
seminggu 3x.
Epoetin Beta
Indikasi
Anemia yang berhubungan dengan gagal ginjal kronis pada
penderita dialisis, anemi simptomatik yang berasal dari penyakit
ginjal pada pasien yang belum didialisis.
Dosis
o Injeksi Subkutan
Dewasa dan anak (2 Th) melaui injeksi subkutan, dosis awal 60
UI/Kg tiap minggu (dalam 1-7 dosis terbagi) untuk 4 minggu.
Ditingkatkan sebulan sekali sesuai dengan respon masing-masing 60
UI/Kg. Dosis pemeliharaan (bila dicapai kadar hemoglobin 10-12
mg/100ml) mula-mula diturunkan dosis separuhnya, kemudian ubah
sesuai dengan respon pada interval 1-2 minggu maksimum 720
UI/Kg.
Anemia pada Bayi Prematur dengan bobot 750-1000 g dan usia
kehamilan kurang dari 34 minggu diberikan injeksi subkutan 250
UI/Kg 3 x seminggu. Lebih baik dimulai dalam 3 hari setelah
kelahiran dan dilanjutnkan hingga 6 minggu.
15
o Injeksi Intravena
Secara injeksi intravena dalam 2 menit (infus intravena jangka
pendek) dosis awal 40 UI/Kg 3x tiap minggu untuk 4 minggu,
ditingkatkan sampai 80 UI/Kg 3x seminggu bila kenaikan hemoglobin
awal kurang dari 1g/100ml/bulan, bila perlu dinaikkan lebih lanjut
pada interval bulanan masing-masing 20UI/Kg. Dosis pemeliharaan
(sewaktu dicapai kadar hemoglobin 10-12 g/100 ml) mula-mula
kurangi dosis separuhnya,kemudian ubah sesuai respon pada interval
1-2 minggu, maksimum 720UI/Kg.
III.3 Terapi Non-Farmakologis
Mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi seperti sayuran,
daging, ikan dan unggas.
Dapat digunakan suplemen multi-vitamin yang mengandung vitamin
B12 dan asam folat sebagai terapi profilaksis maupun memperbaiki
defisiensi vitamin B12 ataupun asam folat.
Pada pasien dengan anemia kritis dapat dilakukan transfusi sel darah
merah.
IV. Keadaan Pola Makan pada Anemia
Anjuran kepada pasien :
1. Makan makanan dengan gizi seimbang, termasuk makanan yang kaya akan zat
besi, misalnya buah-buahan, daging tanpa lemak, kacang-kacangan, roti tawar
berserat kasar, dan sayuran berwarna hijau daun. Pemberian terapi besi dengan
makanan mengurangi absorpsi lebih dari 50% tetapi dapat diperlukan untuk
memperbaiki toleransi.
2. Terlalu banyak mengonsumsi zat besi dapat menimbulkan bahaya. Asupan zat
bersih secara berlebihan berhubungan dengan peningkatan resiko sirosis,
kardiomiopati, diabetes dan beberapa jenis kanker. Oleh karena itu, dosis
suplemen zat besi zat besi yang dikonsumsi harus sesuai dengan anjuran
dokter.
16
3. Agar membatasi konsumsi makanan yang bisa menghambat penyerapan zat
besi. Di antaranya menghindari makanan yang mengandung phytateseperti
yang terdapat pada kacang-kacangan, biji-bijian, dan tepung. Hindari pula
konsumsi teh, kopi, dan cokelat.
4. Yang termasuk makanan tinggi asam folat dan vitamin B12 antara lain ikan,
produk susu, daging, kacang polong,sayuran berwarna hijau tua, jeruk dan
serealia.
5. Konsumsi alkohol sebaiknya dihindari karena dapat membuat dehidrasi yang
mengakibatkan tekanan darah menurun meskipun dikonsumsi dalam jumlah
sedikit. Konsumsi cukup banyak air akan mencegah dehidrasi dan
meningkatkan volume darah dalam tubuh. Minum air putih dalam jumlah
yang cukup banyak antara 8 hingga 10 gelas per haridan suplemen asam folat
sebaiknya diberikan selama kehamilan untuk mencegah terjadinya anemia
defisiensi asam folat.
6. Kenakan selalu alas kaki (sepatu atau sandal) untuk mencegah infeksi cacing.
7. Hindari paparan berlebihan terdapat bahan bakar (bensin), insektisida, zat
kimia dan zat-zat toksik lainnya, karena dapat menyebabkan anemia.
8. Mengonsumsi orange juice setelah makan dan menghindari konsumsi teh usai
makan. Karena teh itu bisa membuat zat besi yang dikonsumsi bersama
makanan larut dan menjadi terbuang percuma.tetapi mengonsumsi minuma
yang mengandung kafein seperti yang terkadung pada the dan kopi juga baik,
karena bisa memacu denyut jantung sehingga semakin banyak darah yang
terpompa. Namun, penggunaannya 2 jam sebelum atau sesudah makan
makanan yang besar.
17
PENDAHULUAN TIFOID
1. Demam Tifoid
1.1. Definisi
Secara historis, typhus berasal dari bahasa Yunani ”typhos” yang berarti
asap, atau yang lebih halus lagi dari asap, merupakan kiasan yang
menggambarkan orang melamun, yang dipengaruhi oleh asap yang sedang naik di
awan, dari asal nama di atas menggambarkan bahwa kesadaran penderita demam
tifoid seperti diliputi awan (kabut). Nama lain yang sering ditulis dalam
kepustakaan adalah ”typhus abdominalis” suatu istilah yang kurang tepat, karena
dulunya dianggap bahwa demam tifoid adalah kumpulan gejala demam tifus yang
mrnyerang alat pencernaan.
Demam tifoid dengan standar hidup dan kebersihan rendah, cenderung
meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka kejadian tinggi pada
daerah tropik dibandingkan daerah berhawa dingin. Sumber penularan penyakit
demam tifoid adalah penderita yang aktif, penderita dalam fase konvalesen, dan
kronik karier. Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang akut yang mempunyai
karakteritik demam, sakit kepala dan ketidakenakan abdomen berlangsung lebih
kurang 3 minggu yang juga disertai gejala-gejala perut pembesaran limpa dan
erupsi kulit. Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B dan S. paratyphi C. Jika
penyebabnya adalah S. paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang
disebabkan oleh S typhi.
1.2. Etiologi
18
Organisme yang berasal dari genus Salmonella adalah agen penyebab
bermacam-macam infeksi, mulai dari gastroenteritis yang ringan sampai dengan
demam tifoid yang berat disertai bakteriemia. Kuman Salmonella ini berbentuk
batang, tidak berspora, pada pewarnaan gram bersifat negatif, ukuran 1-3.5 um x
0.5-0.8 um, besar koloni rata-rata 2-4 mm, mempunyai flagel peritrikh kecuali
Salmonella pullorum dan Salmonella gallinarum. Kuman ini tumbuh pada
suasana aerob dan fakultatif anaerob, pada suhu 15-410 C dan pH pertumbuhan 6-
8. Bakteri ini mudah tumbuh pada pembenihan biasa, tetapi hampir tidak pernah
meragikan laktosa dan sukrosa. Salmonella resisten terhadap zat-zat kimia tertentu
yang menghambat bakteri enterik lainnya. Kuman mati pada suhu 560 C juga
pada keadaan kering. Dalam air bisa tahan selama 4 minggu.
1.3. Patogenesis Demam Tifoid
Masa inkubasi demam tifoid kurang lebih 14 hari. Masuknya kuman
Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman ini akan dimusnahkan dalam lambung, sebagian lagi lolos masuk ke dalam
usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa
usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh
selsel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman
yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi mengakibatkan bakteriemia yang kedua kalinya dengan disertai
tandatanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
19
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella
terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular gangguan mental, dan koagulasi. Di
dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid
ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.
Peranan endotoksin dalam patogenesis demam tifoid telah dipelajari secara
mendalam. Pernah dicoba pemberian suntikan endotoksin 0.5 mcg pada
sukarelawan-sukarelawan, dalam waktu enam puluh menit mereka menjadi sakit
kepala, dingin, rasa tak enak pada perut. Bakteriolisis yang dilakukan oleh system
retikuloendotelialium merupakan upaya pertahanan tubuh di dalam pembasmian
kuman. Akibat bakteriolisis maka dibebaskan suatu zat endotoksin, yaitu suatu
lipopolisakarida (LPS), yang akan merangsang pelepasan pirogen endogen dari
leukosit, sel-sel limpa, dan sel-sel kuppfer hati, makrofag, sel polimorfonuklear
dan monosit. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,
pernapasan, dan gangguan organik lainnya.
1.4. Diagnosis
Gambaran klinis penyakit demam tifoid sangat bervariasi dari hanya
sebagai penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang
khas dengan komplikasi dan kematian. Oleh karena itu, penegakan diagnosis
sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang tepat dan
meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat
20
penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu
dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Penegakan diagnosis penyakit demam tifoid ini masih kurang lengkap bila belum
ditunjang dengan diagnosa laboratorium mikrobiologi klinik, tetapi diagnose
laboratorium secara konvensional dapat dilakukan melalui identifikasi adanya
antigen / antibodi dalam sampel dan melalui kultur mikroorganisme.
Diagnosis demam tifoid dapat diambil dengan anamnesis berupa demam,
gangguan gastrointestinal, dan dapat disertai gangguan kesadaran. Diagnosis
banding demam tifoid adalah gastroenteritis virus, enteritis bakteri selain karena
Salmonella, kolitis pseudomembran, appendisitis, dan kolesistitis.
1.5. Manifestasi Klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga
kematian. Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala
penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti
demam tinggi yang berkepanjangan yaitu setinggi 39º C hingga 40º C, sakit
kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara
80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran
bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan
sembelit silih berganti.
Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada
penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor.
Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan
meradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan
demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit
lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen di salah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola)
berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama
pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4
21
mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada
bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura
kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami
distensi.
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap
hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau
malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus
dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan
sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita.
Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini
relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala septicemia
semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium.
Umumnya terjadi gangguan pendengaran, lidah tampak kering, merah mengkilat,
nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare yang meningkat dan
berwarna gelap, pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan sering berbunyi,
gangguan kesadaran, mengantuk terus menerus, dan mulai kacau jika
berkomunikasi.
Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal
kembali di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil
diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperature
mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan
perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya
jika keadaan makin memburuk, dimana septikemia memberat dengan terjadinya
tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus,
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi,
juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita
kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh
peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya
perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas, dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi
22
miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita
demam tifoid pada minggu ketiga.
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di
rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan
utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa
tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, dan
obstruksi. Perforasi usus adalah komplikasi yang cukup serius, terjadi pada 1-3 %
kasus. Terdapat lubang di usus, akibatnya isi usus dapat masuk ke dalam rongga
perut dan menimbulkan gejala. Tanda-tanda perforasi usus adalah nyeri perut
yang tidak tertahankan (acute abdomen), atau nyeri perut yang sudah ada
sebelumnya mengalami perburukan, denyut nadi meningkat dan tekanan darah
menurun secara tiba-tiba. Gawat abdomen ini membutuhkan penanganan segera.
Perforasi intestinal dapat dibagi menjadi :
1. Perforasi non trauma, misalnya pada ulkus peptik, tifoid dan apendisitis.
2. Perforasi oleh trauma (tajam dan tumpul)
Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal
minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena
femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan
berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari
serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi
primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan
mengakibatkan timbulnya relaps.
1.6. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis,
kimia klinik, imunoreologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini
ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi
penentu diagnosis), menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan
hasil pengobatan serta timbulnya penyulit.
1.6.1. Hematologi
23
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit
perdarahan usus atau perforasi. Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi
dapat pula normal atau tinggi. Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan
limfositosis relatif. LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat Jumlah trombosit
normal atau menurun (trombositopenia).
1.6.2. Urinalis
Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam) Leukosit
dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit.
1.6.3. Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran
peradangan sampai hepatitis Akut.
1.6.4. Imunorologi
Pemeriksaan serologi widal ditujukan untuk mendeteksi adanya antibody
(didalam darah) terhadap antigen kuman Salmonella typhi / paratyphi(reagen). Uji
ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering diminta
terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji
cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan
adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin.
Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil
positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh factor-
faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies
lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor
rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain
penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang
dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit
imunologik lain.
Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160 ,
bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit
demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu.
Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita yang baru
menderita demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka
24
kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontak
sebelumnya. Pemeriksaan Elisa Salmonella typhi/ paratyphi lgG dan lgM
merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan
spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid.
Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di ketahui. Diagnosis
Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan 1/ bila lgM positif menandakan infeksi
akut; 2/ jika lgG positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/
daerah endemik.
1.6.5. Mikrobiologi
Uji kultur merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan
Demam Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis
pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negati, belum tentu
bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit
kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah
dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan),
saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi
antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya
tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman
(biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu
sampai 7 hari). Pilihan bahan specimen yang digunakan pada awal sakit adalah
darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrierdigunakan urin dan tinja.
1.6.6. Biologi molekular.
PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak
dipergunakan. Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian
diidentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat
mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) serta
kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan dapat berupa
darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi.
Kriteria diagnosis yang biasa digunakan adalah :
25
1. Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negative
tidak menyingkirkan demam tifoid.
2. Biakan tinja positif menyokong diagnosis klinis demam tifoid.
3. Peningkatan titer uji widal 4 kali lipat selama 2–3 minggu memastikan
diagnosis demam tifoid.
4. Reaksi widal tunggal dengan titer antibodi Antigen O 1: 320 atau titer antigen
H 1: 640 menyokong diagnosis demam tifoid pada pasien dengan gambaran
klinis yang khas .
5. Pada beberapa pasien, uji widal tetap negatif pada pemeriksaan ulang walaupun
biakan darah positif.
1.7. Tata laksana Demam Tifoid
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
Istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif), dan
pemberian medikamentosa. Istirahat yang berupa tirah baring dan perawatan
profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Sedangkan diet dan terapi
penunjang merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan
penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan
umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan
menjadi lama. Tata laksana medikamentosa demam tifoid dapat berupa pemberian
antibiotik, antipiretik, dan steroid. Obat antimikroba yang sering diberikan adalah
kloramfenikol, tiamfenikol, kotrimoksazol, sefalosporin generasi ketiga,
ampisilin, dan amoksisilin.
Kloramfenikol merupakan obat pilihan utama untuk mengobati demam
tifoid. Kloramfenikol mempunyai ketersediaan biologik 80% pada pemberian iv.
Waktu paruh plasmanya 3 jam pada bayi baru lahir, dan bila terjadi sirosis hepatis
diperpanjang sampai dengan 6 jam. Dosis yang diberikan secara per oral pada
dewasa adalah 20-30(40) mg/kg/hari. Pada anak berumur 6-12 tahun
membutuhkan dosis 40-50 mg/kg/hari. Pada anak berumur 1-3 tahun
membutuhkan dosis 50-100 mg/kg/hari. Pada pemberian secara intravena
membutuhkan 40-80 mg/kg/hari untuk dewasa, 50-80 mg/kg/hari untuk anak
26
berumur 7-12 tahun, dan 50-100 mg/kg/hari untuk anak berumur 2-6 tahun.
Bentuk yang tersedia di masyarakat berupa kapsul 250 mg, 500 mg, suspensi 125
mg/5 ml, sirup 125 ml/5ml, serbuk injeksi 1 g/vail. Penyuntikan intramuscular
tidak dianjurkan oleh karena hirolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat
suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman obat ini dapat menurunkan demam ratarata
7,2 hari. Untuk menghindari reaksi Jarisch-Herxheimer pada pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol, dosisnya adalah sebagai berikut: hari ke 1 : 1g, hari
ke 2 : 2 g, hari ke 3: 3 g, hari kemudian diteruskan 3 g sampai dengan suhu badan
normal. Beberapa efek samping yang mungkin timbul pada pemberian
kloramfenikol adalah mual, muntah, mencret, mulut kering, stomatitis, pruritus
ani, penghambatan eritropoiesis, Gray-Syndrom pada bayi baru lahir, anemia
hemolitik, exanthema, urticaria, demam, gatal-gatal, anafilaksis, dan terkadang
Syndrom Stevens-Johnson. Reaksi interaksi kloramfenikol dengan paracetamol
akan memperpanjang waktu paruh plasma dari kloramfenikol. Interaksinya
dengan obat sitostatika akan meningkatkan resiko suatu kerusakan sumsum
tulang.
Tiamfenikol memiliki dosis dan keefektifan yang hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya
anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis
tiamfenikol untuk orang dewasa adalah 500 mg tiap 8 jam, dan untuk anak 30-50
mg/kg/hari yang dibagi menjadi 4 kali pemberian sehari. Bentuk yang tersedia di
masyarakat berupa kapsul 500 mg. Beberapa efek samping yang mungkin timbul
pada pemberian kloramfenikol adalah mual, muntah, diare, depresi sumsum
tulang yang bersifat reversibel, neuritis optis dan perifer, serta dapat menyebabkan
Gray baby sindrom. Interaksi tiamfenikol dengan rifampisin dan fenobarbiton
akan mempercepat metabolisme tiamfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada
demam tifoid dapat turun setelah 5-6 hari.
Kotrimoksazol adalah kombinasi dua obat antibiotik, yaitu trimetroprim
dan sulfametoksazol. Kombinasi obat ini juga dikenal sebagai TMP/SMX, dan
beredar di masyarakat dengan beberapa nama merek dagang misalnya Bactrim.
Obat ini mempunyai ketersediaan biologik 100%. Waktu paruh plasmanya 11
27
jam. Dosis untuk pemberian per oral pada orang dewasa dan anak adalah
trimetroprim 320 mg/hari, sufametoksazol 1600 mg/hari. Pada anak umur 6 tahun
trimetroprim 160 mg/hari, sufametoksazol 800 mg/hari. Pada pemberian intravena
paling baik diberikan secara infus singkat dalam pemberian 8-12 jam. Beberapa
efek samping yang mungkin timbul adalah sakit, thromboplebitis, mual, muntah,
sakit perut, mencret, ulserasi esofagus, leukopenia, thrombopenia, anemia
megaloblastik, peninggian kreatinin serum, eksantema, urtikaria, gatal, demam,
dan reaksi hipersensitifitas akibat kandungan Natriumdisulfit dalam cairan infus.
Interaksi kotrimoksazol degan antasida menurunkan resorbsi sulfonamid. Pada
pemberiaan yang bersamaan dengan diuretika thiazid akan meningkatkan insiden
thrombopenia, terutama pada pasien usia tua.
Ampisilin dan amoksisilin memiliki kemampuan untuk menurunkan
demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Obat ini mempunyai
ketersediaan biologik : 60%. Waktu paruh plasmanya 1.5 jam (bayi baru lahir: 3,5
jam). Dosis untuk pemberian per oral dalam lambung yang kosong dibagi dalam
pemberian setiap 6-8 jam sekitar 1/2 jam sebelum makan. Untuk orang dewasa 2-
8 g/hari, sedangkan pada anak 100-200 mg/kg/hari. Pada pemberiaan secara
intravena paling baik diberikan dengan infus singkat yang dibagi dalam
pemberiaan setiap 6-8 jam. Untuk dewasa 2-8 g/hari, sedangkan pada anak 100-
200 mg/kg/hari. Bentuk yang tersedia di masyarakat berupa kapsul 250 mg, 500
mg; Kaptab 250 mg, 500 mg; Serbuk Inj.250 mg/vial, 500 mg/vial, 1g/vial, 2
g/vial; Sirup 125 mg/5 ml, 250 mg/5 ml; Tablet 250 mg, 500 mg. Beberapa efek
samping yang mungkin muncul adalah sakit, thrombophlebitis, mencret, mual,
muntah, lambung terasa terbakar, sakit epigastrium, iritasi neuromuskular,
halusinasi, neutropenia toksik, anemia hemolitik, eksantema makula, dan
beberapa manifestasi alergi. Interaksinya dengan allopurinol dapat memudahkan
munculnya reaksi alergi pada kulit. Eliminasi ampisilin diperlambat pada
pemberian yang bersamaan dengan urikosuria (misal: probenezid), diuretik, dan
obat dengan asam lemah.
Sefalosporin generasi ketiga (Sefuroksin, Moksalaktan, Sefotaksim, dan
Seftizoksim) yang hingga saat ini masih terbukti efektif untuk demam tifoid
28
adalah seftriakson. Antibiotik ini sebaiknya hanya digunakan untuk pengobatan
infeksi berat atau yang tidak dapat diobati dengan antimikroba lain, sesuai dengan
spektrum antibakterinya. Hal ini disebabkan karena selain harganya mahal juga
memiliki potensi antibakteri yang tinggi Dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4
gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama 1/2 jam perinfus sekali sehari,
diberikan selama 3 hingga 5 hari. peningkatan BUN, kanidiasis,kreatinin
meningkat, eusinophilila, erythema multiforme, demam, sakit kepala, interstitial
nephritis, neutropenia, phlebitis, pseudomembranous colitis, sindrom Stevens-
Johnson, trombositopenia, transaminases meningkat, toxic epidermal necrolysis,
urtikaria, vaginitis. Dilaporkan juga adanya reaksi ESO dari sefalosporin lainnya :
Agranulositosis, anemia hemolitik, pendarahan, pancytopenia, disfungsi ginjal,
pusing, superinfeksi, toxic nephropathy.
29
BAB II
TINJAUAN OBAT
1. Parasetamol
Indikasi : Antipiretik
Mekanisme : Bekerja langsung pada pusat pengaturan panas di hipotalamus
dan menghambat sintesa prostaglandin di sistem saraf pusat.
Dosis : Dewasa dan anak >12 tahun: oral 650 mg atau 1 g tiap 4- 6 jam bila
perlu, maksimum 4 g per hari. Oral : anak untuk tiap 4- 6 jam ( maksimal 5
dosis per 24 jam) : < 4 bulan (2.7 – 5 kg) 40 mg, 4- 11 bulan (5- 8 kg) 80 mg,
12- 23 bulan ( 8- 11 kg) 120 mg, 2-3 tahun ( 11- 16 kg) 160
Efek samping : Efek samping dalam dosis terapi jarang; kecuali ruam kulit,
kelainan darah, pankreatitis akut pernah dilaporkan setelah penggunaan jangka
panjang.
2. Ondansentron
Indikasi : penanggulangan mual dan muntah
Mekanisme : antagonis selektif reseptor 5 – HT 3. Menghambat permulaan
pengeluaran 5 HT dalam usus halus yang ,merupakan awal terjadinya reflex
muntah.
Dosis :
Dewasa: IV:
1) mencegah mual dan muntah yang diinduksi kemoterapi: 0,15 mg/kg 3
kali/hari sejak 30 menit sebelum kemoterapi; ATAU 0,45 mg/kg sekali
30
sehari; ATAU 8-10 mg 1-2 kali/hari; ATAU 24 mg atau 32 mg sekali
sehari.
2) kemoterapi emetogenik berat atau sedang: infus IV, 32 mg diberikan 30
menit sebelum kemoterapi, ATAU 0,15 mg/kg IV diberikan 30 menit
sebelum kemoterapi, diulangi 4 dan 8 jam setelah dosis pertama IM,IV : 1)
kemoterapi emetogenik berat: 8 mg segera sebelum terapi, bila perlu diikuti
oleh 2 dosis lanjutan 8 mg dengan interval 2-4 jam (atau diikuti oleh infus
IV kontinu 1 mg/jam sampai dengan 24 jam), kemudian per oral 8 mg tiap
12 jam sampai dengan 5 hari
3) kemoterapi atau radioterapi emetogenik sedang: 8 mg segera sebelum terapi,
kemudian dilanjutkan per oral 8 mg tiap 12 jam sampai dengan 5 hari.
4) mual dan muntah post operasi: 4 mg sebagai dosis tunggal diberikan kira-
kira 30 menit sebelum anestesi berakhir atau segera sebelum induksi anestesi,
atau diberikan setelah operasi bila mual dan/ atau muntah terjadi segera setelah
operasi. Dosis ulangan (yang diberikan karena mual dan muntah tidak cukup
terkontrol pada pemberian dosis preoperasi) biasanya tidak efektif (Tim
Penyusun, 2009).
Efek samping : sakit kepala, konstipasi, rasa hangat di kepala.
3. Ranitidin
Indikasi : penanganan mual muntah
Mekanisme : antagonis reseptor H2, menghambat kerja histamine secara
kompetitif dan mengurangi sekresi asam lambung
Dosis :
Injeksi ranitidin dapat diberikan IM atau IV. Injeksi IM diberikan tanpa
pengenceran. Injeksi IV harus diencerkan, dapat diberikan melalui IVP
(intravenous pyelogram) atau IVPB (intravenous piggy back) atau infus IV
kontinu (Tim Penyusun, 2009).
Efek samping : sakit kepala, konstipasi.
4. Cefotaxime
31
Indikasi : Infeksi saluran napas, kulit dan struktur kulit, tulang dan sendi,
saluran urin, ginekologi seperti, septisemiam dugaan meningitis, aktif terhadap
basil Gram negative (kecuali Pseudomonas), Gram positif cocci
(kecualienterococcus). Aktif terhadap beberapa penicillin yang resisten
pneumococcus.
Mekanisme : Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan berikatan dengan
satu atau lebih ikatan protein - penisilin (penicillin-binding proteins-PBPs)
yang selanjutnya akan menghambat tahap transpeptidasi sintesis peptidoglikan
dinding sel bakteri sehingga menghambat biosintesis dinding sel. Bakteri akan
mengalami lisis karena aktivitas enzim autolitik (autolisin dan murein
hidrolase) saat dinding sel bakteri terhambat.
Dosis :
infant dan anak 1-12 bulan : IM, IV, ; < 50k : 50- 180 mg/kg BB/ hari dibagi
dalam dosis setiap 4-6 jam. Meningitis : 200mg/kg BB/hari dibagi dalam dosis
setiap 6 jam. Anak > 12 tahun dan dewasa : Infeksi tanpa komplikasi : IM, IV :
1g setiap 12 jam. Infeksi sedang- parah: IM, IV : 1-2 g setiap 8 jam. Sepsis :
IV: 2 g setiap 6- 8 jam. Infeksi yang dapat mengancam hidup: IV.: 2 g setiap 4
jam. Preop : IM, IV, : 1 g, 30- 90 menit sebelum penbedahan. C- section: 1 g
setelah pemotongan tali pusat, kemudian 1 g I.M. dengan interval 6 dan 12
jam. Pengaturan dosis pada penurunan fungsi ginjal :
CLCr 10-50b ml/ menit : diberikan setiap 8- 12 jam. CLCr 10- 50 ml/ menit:
diberikan setiap 24 jam. Hemodialysis: Moderately dialyzable. Pengaturan
dosis pada penurunan fungsi hati; mengurangi dosis ,moderat Continuous
arteriovenous hemodiafiltration effect : diberikan 1 g setiap 12 jam
Efek samping : 1%- 10% : kulit: rash, pruritus. Saluran cerna: saluran cerna:
colitis, diare, mual dan muntah. Local : sakit pada tempat suntikan. <1%
anafilaksis dan aritmia (setelah pemberian injeksi IV kateter pusat).
32
BAB III
STUDI KASUS DI BRSU TABANAN
1. Identifikasi:
Nama : Ni Wayan Sibang
Umur : 85 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
BB : 40 Kg
Tinggi : 155 cm
Alamat : Megati
RPD : -
ROT : Berobat ke mantri, (obatnya lupa)
Jaminan : JKBM
MRS : 10- 10- 2010
Ruang/kamar : Dahlia Garing/IX
Dokter : dr. Juliana
Diagniosa : Suspect parathypoid dan anemia
Alasan masuk RS: OS panas sejak 2 hari yang lalu, tidak turun setelah
berobat ke mantri, badan terasa lemas, makan minum sedikit, perut terasa
mual.
2. SOAP
2.1 Subjek
10/10/2010: badan panas, mual, badan terasa lemas, makan minum
sedikit.
33
11/10/2010: badan panas, mual, badan terasa lemas, makan minum
sedikit.
12/10/2010: mual, badan terasa lemas, makan minum sedikit.
13/10/2010: mual, badan terasa lemas, makan minum sedikit.
14/10/2010: mual, badan terasa lemas
15/10/2010: mual, badan terasa lemas, makan minum sedikit.
2.2 Objektif
10/10/2010= vital sign: TD= 120/80
T = 38°C
Data lab:
pemeriksaan hasil Nilai normal
SGOT 21 15- 37 u/l
SGPT 27 30- 65 u/l
WBC 58 4- 10 k/ul
RBC 41.17 3.5- 5.5 k/ul
HGB 78 - 10-16 g/l
HCT 25.2 - 36- 50%
MCV 60.4 - 79- 99 fl
MCH 18.7- 27- 31 pg
MCHC 31- 33-37 g/dl
RDW 19.5+ 10- 16.5 %
11/10/2010= TD: 110/70, T: 38 °C
12/10/2010= TD: 130/90, T: 36°C
13/10/2010= TD: 120/80, T: 36°C
34
14/10/2010= TD: 120/80, T: 36°C
15/10/2010= TD: 120/90, T: 36°C
Data lab tanggal 15- 10- 2010
pemeriksaan hasil Nilai normal
WBC 6.27 4- 10 k/ul
RBC 5.50 3.5- 5.5 k/ul
HGB 12.7 10-16 g/l
HCT 40.5 36- 50%
MCV 73.7 79- 99 fl
MCH 23.1 27- 31 pg
MCHC 31.3 33-37 g/dl
RDW 21.2 10- 16.5 %
2.3 Assesment
Tanggal Terapi DRP keterangan
10/10/2010 parasetamol
3x1
Diberikan sesuai
dengan dosis
(3x1)
Cefotaxime inj mual Aktif terhadap
35
3x1 gram negatif.(S.
paratyphi B)
Ranitidin inj
2x1
Antagonis
reseptor H2.
Infus RL
28 tetes
Diberikan 3 pcs
Tanggal Problem medik Terapi DRP keterangan
11/10/2010 Suhu tubuh tinggi Parasetamo
l
3x1
Diberikan sesuai
dengan dosis (3x1)
typus Cefotaxime
inj 3x1
mual Aktif terhadap gram
negatif.(S. paratyphi
B)
Tukak lambung Ranitidin
inj 2x1
Antagonis reseptor
H2.
Mengembalikan
keseimbangan
elektrolit
Infus RL
28 tetes
Diberikan 3 pcs
anemia Tranfusi
darah 200cc
Diberikan 1
kantong,kurang 2
kantong
Pencegahan
Hipertensi
Lasix
(furosemid)
Loop diuretik
Digunakan sebelum
tranfusi dilakukan
Cairan plasma NaCl Diberikan setelah
36
isotonik yang
hilang
tranfusi darah
pengganti RL
Tanggal Problem medik Terapi DRP keterangan
12/10/2010 Mengembalikan
keseimbangan
elektrolit
Infus RL
28 tetes
Diberikan 3 pcs
typus Cefotaxime
inj 3x1
mual Aktif terhadap gram
negatif.(S. paratyphi
B)
Tukak lambung Ranitidin
inj 2x1
Antagonis reseptor
H2.
Mengembalikan
keseimbangan
elektrolit
Infus RL Diberikan 3 pcs
Tanggal Problem medik Terapi DRP keterangan
13/10/2010 Suhu tubuh tinggi Parasetamol
3x1
Diberikan sesuai
dengan dosis (3x1)
typus Cefotaxime
inj 2x1
mual Aktif terhadap gram
negatif.(S. paratyphi
B)
37
Tukak lambung Ranitidin
inj 2x1
Antagonis reseptor
H2.
Mengembalikan
keseimbangan
elektrolit
Infus RL
28 tetes
Diberikan 3 pcs
anemia Tranfusi
darah 200cc
Diberikan 1
kantong,kurang
1kantong
Pencegahan
Hipertensi
Lasix
(furosemid)
Loop diuretik
Digunakan sebelum
tranfusi dilakukan
Cairan plasma
isotonik yang
hilang
NaCl Diberikan setelah
tranfusi darah
pengganti RL
Tanggal Problem medik Terapi DRP keterangan
14/10/2010 Suhu tubuh tinggi parasetamol
3x1
Diberikan sesuai
dengan dosis (3x1)
typus Cefotaxime
inj 3x1
mual Aktif terhadap
gram negatif.(S.
paratyphi B)
Tukak lambung Ranitidin inj
2x1
Antagonis reseptor
H2.
Mengembalikan
keseimbangan
Infus RL Diberikan 3 pcs
38
elektrolit 28 tetes
anemia Tranfusi
darah 200cc
Diberikan 1
Pencegahan
Hipertensi
Lasix
(furosemid)
Loop diuretik
Digunakan sebelum
tranfusi dilakukan
Cairan plasma
isotonik yang
hilang
NaCl Diberikan setelah
tranfusi darah
pengganti RL
antiemetik Ondansetron
4mg 2x1
Diberikan hanya
satuhari
Tanggal Problem medik Terapi DRP keterangan
15/10/201
0
typus Cefotaxime
inj 3x1
mual Aktif terhadap
gram negatif.(S.
paratyphi B)
Tukak lambung Ranitidin inj
2x1
Antaginis reseptor
H2.
Mengembalikan
keseimbangan
elektrolit
Infus RL
28 tetes
Diberikan 3 pcs
antiemetik Ondansetro
n inj
4mg/ml 2x1
Diberikan secara
drip
39
• Perhitungan dosis
a. Ondansetron
Dosis : Dewasa: IV:
Infus di berikan 28 tetes/menit
1 ml= 20 tetes
ondansetron 4mg/2ml
4mg/502ml= 0.008 mg/ml
= 0.0112 mg/menit
Clirens = 28.3 l/jam
Clt=28.3/60= 0.472
Css = Ro/Clt = 0.0112 / 0.472 = 0.0237 mg/l
Rentang = 0.030- 0.3 mg/l
Dari perhitungan dosis diatas, ondansetron belum masuk pada
rentang dosis. Pada lembar CPO yang di resepkan oleh dokter
adalah vomceran 8mg/fls. Dan yang di berikan oleh farmasi adalah
ondansetron 4mg/2ml berjumlah 5 fls, perawat memberikan
ondansetron dalam setiap kali pemberian hanya 4mg/2ml. Untuk
mencapai rentang dosis maka ondansetron yang seharusnya di
berikan dari ondansetron 4mg/2ml adalah 2 kali, sehingga menjadi
8mg/4ml setiap kali pemberian.
b. Ranitidine
Dosis : Injeksi ranitidin dapat diberikan IM atau IV. Injeksi IM diberikan
tanpa pengenceran. Injeksi IV harus diencerkan, dapat diberikan melalui
IVP (intravenous pyelogram) atau IVPB (intravenous piggy back) atau
infus IV kontinu (Tim Penyusun, 2009).
Dosis obat yang diberikan : 2x25mg
c. Parasetamol
Dosis : Dewasa dan anak >12 tahun: oral 650 mg atau 1 g tiap 4- 6 jam
bila perlu, maksimum 4 g per hari. Oral : anak untuk tiap 4- 6 jam
40
( maksimal 5 dosis per 24 jam) : < 4 bulan (2.7 – 5 kg) 40 mg, 4- 11 bulan
(5- 8 kg) 80 mg, 12- 23 bulan ( 8- 11 kg) 120 mg, 2-3 tahun ( 11- 16 kg)
160.
Dosis yang di pakai 3x 1, oral 500mg
d. Cefotaxime
Dosis :
dewasa : Infeksi tanpa komplikasi : IM, IV : 1g setiap 12 jam. Infeksi
sedang- parah: IM, IV : 1-2 g setiap 8 jam. Sepsis : IV: 2 g setiap 6- 8 jam.
Infeksi yang dapat mengancam hidup: IV.: 2 g setiap 4 jam. Preop : IM,
IV, : 1 g.
dosis yang di berikan 3x1 1g injeksi. Masuk dalam rentang yang di
tentukan.
2.4 Plan
FIR Rekomendasi Monitoring Keterangan
Pemeriksaan
lambung untuk
mengetahui
keparahan
ataupun bakteri
yang
menyebabkan
tukak atau mual
-Peningkatan
dosis pada
ondansetron,
-Pemberian
nutrisi tambahan,
dan vitamin
-pemberian
Antasid untuk
menetralkan asam
lambung
Makanan dan
minuman yang di
berikan guna
peningkatan
nutrisi
Pemantauan
pemberian
cefotaxime yang
bisa
menyebabkan
efeksamping
mual
2.5 KIE
41
Jaga kondisi pasien
Pemberian makan dan minum yang teratur serta tambahan nutrisi yang
baik.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Ni Wayan Sibang (85 tahun) masuk rumah sakit tanggal 10
Oktober 2010, pasien datang dengan keluhan badan panas sejak dua hari yang
lalu, badan terasa lemas, mual, dengan makan dan minum sedikit. Pasien telah
42
berobat ke Mantri sebelum datang kerumah sakit, namun belum kunjung sembuh.
Di Rumah sakit, pasien masuk pertama di IRD dan di diagnose awal oleh dokter
jaga febris suspect parathypoid dan anemia sedang.
Dari diagnose dokter jaga IRD, maka pasien di rawat inapkan. Pasien pada
hari pertama mendapatkan Parasetamol sebagai penurun panas, Ranitidin injeksi
untuk mengatasi mual, dan mendapatkan antibiotic cefotaxime injeksi. Antibiotic
cefotaxcime memang digunakan sebagai antibiotic bakteri gram negative S.
paratyphi. Sebagai pengganti elektrolit tubuh yang hilang, pasien mendapatkan
infuse RL dengan 28 tetes per menit. Pasien juga mendapatkan transfusi darah
pada hari kedua, keempat dan kelima.
Obat- obatan yang digunakan sudah tepat jika dilihat dari keluhan pasien
dan kondisi data laboratorium yang sudah keluar pada hari itu juga. Namun jika
dilihat dari kondisi pasien yang mempunyai tinggi badan 155cm dengan berat
badan 40 kg, maka berat badan pasien kurang ideal dan bisa dikatakan kekurangan
nutrisi. Maka dari itu, pasien perlu mendapatkan asupan nutrisi tambahan dan juga
vitamin.
Pada kenyataanya sampai tanggal 15-10-2010 pasien belum mendapatkan
nutrisi tambahan dan juga vitamin. Dan juga, pasien mengalami keluhan mual
yang sedikit hebat pada tanggal 15. Maka dari itu, dokter memberikan vomceran 8
mg. dengan tanggungan JKBM, maka pasien tidak mendapatkan vomceran
melainkan ondancetron 4mg.
Ondancetron yang diberikan kepada pasien tidak 4mg x 2 untuk sekali
pakai sehingga dosis terapi yang dinginkan dokter yaitu 8mg tidak tercapai,
melainkan 4mgx1 pemberian. Dari kesalahan pemberian dosis obat ondancetron
maka, dosis yang di inginkan tidak masuk dalam rentang (hitungan pada bab III
dosis ondancetron). Maka dari itu perlu adanya informasi dari pihak farmasi jika
adnya penggantian obat walaupun mempunyai kandungan yang sama. Dan juga di
butuhkan ketelitian dari perawat yang menjaga pasien pada waktu pemberian obat.
Secara farmakoekonomi, pengobatan pada paasien Ni Wayan Sibang
sudah memenuhi kaidah. Bisa dilihat dari ketepatan obat yang di berikan
walaupun dosis yang kurang sedikit tepat, dan juga dari jumlah obat yang di
43
berika sudah tepat pada penggunaan. Sehingga pengobatan pada pasien Ni Wayan
Sibang diharapkan maksimal.
BAB V
SARAN
Pemberian nutrisi tambahan,vitamin kepada pasien dan ketepatan dosis.
44
Pemberian informasi pemakaian obat oleh pihak petugas farmasi yang
mengantarkan obat ke ruang rawat inap kepada perawat, sehingga tidak
terjadi kesalahan pemakaian.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.
2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI
45
Dipiro, J. T., Barbara G. W. 2005. Pharmacotherapy Handbook Fifth Edition.
USA. Mc. Graw-Hill.
Mycek, M.J., Richard. A.H., Pamela, C.C. 2001. Farmakologi Edisi 2. Jakarta.
Widya Medika.
Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohado., Idrus Alwi,dkk. 2006. Ilmu Penyakit dalam Jilid 1. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Sukandar, Elin Yulinah., Retnosari Andrajati., Joseph I Sigit, dkk. 2008. Iso
Farmakoterapi. Jakarata : PT. ISFI Penerbitan
Tim Penyusun. 2008. MIMS Indonesia, Petunjuk Konsultasi. Jakarta. CMD
Medika.
Tim Penyusun. 2009. PIO (Pelayanan Informasi Obat). Jakarta. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
Tjay, T.H. dan Kirana R. 2007. Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan, dan
Efek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta. Elex Media Komputindo.v
Yulinah, S., Retnosari A., Josepf S., Ketut A., Adji P.S., Kusnandar. 2008. ISO
Farmakoterapi. Jakarta. PT.ISFI Penerbitan.
46