laporan kasus pkp rs maria
DESCRIPTION
rtrhfg bgrjn vc dfagbfg Presentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionTRANSCRIPT
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
1
BAB I
1.1 PNEUMONIA
1.1.1 Batasan
Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan
oleh bermacam etiologi seperti bakteri, virus, mikoplasma, jamur, atau benda
asing yang teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan ventilasi
dengan perfusi (ventilation perfusion mismatch) (Setiawati et al., 2008).
1.1.2 Etiologi
Etiologi pneumonia berdasarkan golongan umur di negara berkembang
Umur Organisme yang dominan muncul**
0 – 1 bulan Group B streptococcus
Gram negative organisms
Chlamydia trachomatis
Listeria monocytogenes
1 – 24 bulan Respiratory syncytial virus (RSV) and other viruses †
Streptococcus pneumoniae
Haemophilus influenzae (non typeable)
Bordetella pertussis
2 – 5 tahun Respiratory syncytial viruses (RSV)
and other viruses †
Streptococcus pneumoniae
Haemophilus influenzae (non typeable)
6 – 18 tahun Mycoplasma pneumoniae
Chlamydia pneumoniae
Streptococcus pneumoniae accounts for up to 30%
Respiratory viruses account for < 15% of episodes
**Staphylococcus aureus adalah patogen yang dapat menginfeksi pneumonia
secara serius di segala golongan umur.
(Drs.Best et al, 2010)
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
2
Bakteri penyebab pneumonia dan pilihan penggunaan antibiotika pada
pneumonia adalah sebagai berikut (Setiawati et al., 2008) :
Umur Penyebab Pilihan Antibiotika
Rawat Inap Rawat Jalan
< 3
bulan
Enterobacteriaceae
(E. Colli,
Klebsiella,
Enterobacter)
Streptococcus
pneumonia
Streptococcus
group B
Staphylococcus
Cloxacillin i.v dan
dan aminoglikosida
(gentamicin,
netromicin,
amikacin) i.v/i.m
atau
Ampicillin i.v dan
aminoglikosida atau
Cephalosporin
generasi III i.v
(cefotaxime,
ceftriaxone,
ceftazidime,
cefuroxime) atau
Meropenem i.v dan
aminoglikosida
i.v/i.m
-
3 bulan
–
5 tahun
Streptococcus
pneumonia
Staphylococcus
H. influenza
Ampicillin i.v dan
chloramphenicol i.v
atau
Ampicillin dan
cloxacillin i.v atau
Cephalosporin
generasi III i.v
(cefotaxime,
Amoxicillin atau
Cloxacillin atau
Co-amoxiclav atau
Erythromycin atau
Clarithromycin
atau
Azithromycin atau
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
3
ceftriaxone,
ceftazidime,
cefuroxime) atau
Meropenem i.v dan
aminoglikosida
i.v/i.m
Cephalosporin oral
(Cefixime,
cefaclor).
> 5 tahun
Streptococcus
pneumonia
Mycoplasma
pneumonia
Ampicillin i.v atau
Erythromycin p.o
atau
Clarithromycin p.o
atau
Azithromycin atau
Cotrimoxazol p.o
atau
Cephalosporin
generasi III
Amoxycillin atau
Erythromycin p.o
atau
Clarithromycin p.o
atau
Azithromycin p.o
atau
Cotrimoxazol p.o
atau
Cephalosporin oral
(Cefixime,
cefaclor).
Pada pasien yang sehat dan tidak mempunyai penyakit penyerta,
pneumonia dapat disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Mycoplasma
pneumonia, Haemophilus influenza, Chlamydia pneumonia, dan virus pernafasan
(Influenza A dan B, adenovirus, respiratory syncytial virus, dan parainfluenza
(Gelone and O’Donnell, 2009).
1.1.3 Patofisiologi
Mikroorganisme mencapai saluran pernapasan bawah melalui tiga rute:
dapat melalui inhalasi sebagai partikel aerosol, dapat melalui aliran darah dari
tempat infeksi di luar paru, atau aspirasi dari oropharingeal. Infeksi virus pada
paru menekan aktivitas pembersihan/pengeluaran bakteri paru dengan cara
memperlemah fungsi makrofag alveol dan pembersihan oleh sel mukosiliari,
sehingga menyebabkan tahapan infeksi sekunder.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
4
Mayoritas kasus pneumonia yang didapat di masyarakat oleh dewasa sehat
karena S. pneumoniae (pneumococcus) atau M. pneumoniae (70% dan 10-20%
dari semua pneumonia bakterial akut di AS, berturutan).
Basil gram negatif aerobik dan S. aureus juga menjadi penyebab utama
pada pneumonia yang didapat di rumah sakit. Bakteri anaerob adalah agen
etiologi paling umum setelah aspirasi kandungan gastrik atau orofarink.
Pada kelompok usia anak, kebanyakan pneumonia terjadi karena virus,
terutama virus syncytial pernafasan, parainfluenza, dan adenovirus.
Pneumococcus adalah bakteri penyebab paling umum (Dipiro et al, 2009)
1.1.4 Manifestasi klinis
Demam yang meningkat tajam, batuk produktif sputum berwarna atau
berdarah, nyeri dada, takikardia, takipnea.
Radiografi: khas infiltrat segmental atau lobar yang padat.
Laboratorium: Leukositosis terutama sel PMN, O2 arteri rendah.
Infeksi L. Pneumophila ditandai dengan gangguan multisistem termasuk
perkembangan cepat penyakit. Onset berjenjang dengan gejala utama malaise,
letargi, lemah, anoreksia pada awalnya. Batuk kering tidak produktif. Beberapa
hari kemudian menjadi batuk produktif dengan sputum purulent. Nyeri dada
dan progesif dispnea.
Gejala ekstrapulmonal: diare, mual, mialgia, atralgia, perubahan mental selaras
dengan perjalanan penyakit. Halusinasi, grand mal, seizures
Laboratorium: Lekositosis (Dipiro et al, 2009)
1.1.5 Penatalaksanaan
1. Indikasi MRS :
a. Ada kesukaran nafas
b. Sianosis
c. Usia < 6 bulan
d. Ada penyulit, misalnya muntah-muntah, dehidrasi, empiema
e. Di duga infeksi Staphylococcus
f. Immunocompromise
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
5
g. Perawatan di rumah kurang baik
h. Tidak respon dengan pemberian antibiotika oral
2. Pemberian oksigenasi : dapat diberikan oksigen nasal atau masker, monitor
dengan pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan bantuan ventilasi
mekanik.
3. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu cairan parenteral). Jumlah
cairan sesuai berat badan, peningkatan suhu dan status hidrasi.
4. Bila sesak tidak terlalu hebat dapat dimulai diet enteral bertahap melalui selang
nasogastrik.
5. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan normal saline.
6. Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi.
7. Pemilihan antibiotika berdasarkan umur, keadaan umum penderita dan dugaan
penyebab. Evaluasi pengobatan dilakukan setiap 48-72 jam. Bila tidak ada
perbaikan klinis dilakukan penggantian antibiotika sampai pasien dinyatakan
sembuh. Lama pemberian antibiotika tergantung : kemajuan klinis pasien, hasil
laboratoris, foto toraks dan jenis kuman penyebab:
Staphylococcus : perlu 6 minggu parenteral
Haemophylus influenza / Streptococcus pneumonia : cukup 10-14 hari
Pada kondisi immunocompromise (gizi buruk, penyakit jantung bawaan,
gangguan neuromuscular, keganasan, pengobatan kortikosteroid jangka
panjang, fibrosis kistik, infeksi HIV), pemberian antibiotik harus segera
dimulai saat tanda awal pneumonia dengan pilihan antibiotika : cephalosporin
generasi III.
Dapat dipertimbangkan juga pemberian :
Cotrimoxazole pada Pneumonia Pneumocystic Carinii
Anti viral (acyclovir, gancyclovir) pada pneumonia karena Cyto Megalo
Virus (CMV)
Anti jamur (amphotericin B, ketoconazole, fluconazole) pada pneumonia
karena jamur
Imunoglobulin
(Setiawati et al., 2008).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
6
1. 2 DIARE AKUT
1.2.1 Batasan
Diare akut dimulai secara tiba- tiba dan dapat berlanjut selama beberapa
hari (3-5 hari) dan kurang dari 14 hari, hal itu disebabkan oleh infeksi usus
(WHO, 2005)
1.2.2 Patofisiologi dan Patogenesis
Ketidakseimbangan pengangkutan air dan elektrolit berperan penting pada
patogenesis diare, terjadi perubahan absorbsi dan sekresi cairan dan elektrolit,
yang dapat memperparah dehidrasi. Peningkatan pengeluaran cairan dapat terjadi
oleh karena:
Sekresi meningkat (secretory diarrhea), pada diare infeksi
Tekanan osmotik oleh karena bahan-bahan dalam lumen usus
Motilitas usus meningkat
(Fardah, A., et al, 2008)
1.2.3 Etiologi
Penyebab diare antara lain :
1. Infeksi bakteri : Diarrheagenic Escherichia coli, Campylobacter jejuni,
Vibrio cholerae, V. cholerae, Shigella species, V. parahaemolyticus,
Bacteroides fragilis, C. Coli, C. Upsaliensis, Nontyphoidal Salmonellae,
Clostridium difficile, Yersinia enterocolitica,Y. Pseudotuberculosis
2. Infeksi virus : Rotavirus, Norovirus (calicivirus), Adenovirus (serotype
40/41), Astrovirus, Cytomegalovirus
3. Infeksi Parasit : Cryptosporidium parvum, Giardia intestinalis,
Microsporida, Entamoeba histolytica, Isospora belli, Cyclospora
cayetanensis, Dientamoeba fragilis, Blastocystis hominis
(World Gastroenterology Organisation, 2012)
1.2.4 Penatalaksanaan
Resusitasi cairan dan elektrolit sesuai derajat dehidrasi dan kehilangan
elektrolitnya. Dehidrasi dalam diare dibagi menjadi tiga yaitu diare tanpa
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
7
dehidrasi, diare dengan dehidrasi ringan/sedang, dan diare dengan dehidrasi berat
(DepKesRI,2011)
Klasifikasi tanda – tanda dehidrasi
Gejala /
derajat
dehidrasi
Diare tanpa
dehidrasi
Diare
dehidrasi
ringan/sedang
Diare dehidrasi
berat
Bila terdapat dua
tanda atau lebih
Bila terdapat
dua tanda atau
lebih
Bila terdapat dua
tanda atau lebih
Keadaan
Umum
Baik, sadar Gelisah, rewel Lesu,
lunglai/tidak
sadar
Mata Tidak cekung Cekung Cekung
Keinginan
untuk minum
Normal, tidak
ada rasa haus
Ingin minum
terus, ada rasa
haus
Malas minum
Turgor
Kembali segera Kembali
lambat
Kembali sangat
lambat
Rencana
Terapi
A B C
(DepKesRI,2011)
1. Rencana Terapi A
a. Beri cairan lebih banyak dari biasanya
Teruskan ASI lebih sering dan lebih lama.
Anak yang mendapatkan ASI eksklusif, berikan oralit atau air matang
sebagai tambahan
Anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, beri susu yang biasa
diminum dan oralit atau cairan rumah tangga sebagai tambahan (kuah,
sayur, air matang,dsb)
Berikan oralit sampai diare berhenti. Bila muntah, tunggu 10 menit dan
dilanjutkan sedikit demi sedikit.
Umur < 1 tahun diberi 500-100 ml setiap kali berak
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
8
Umur > 1 tahun diberi 100-200 ml setiap kali berak.
b. Anak harus diberi 6 bungkus oral (200 ml) dirumah bila telah diobati
dengan rencana B/C, atau tidak dapat kembali kepada petugas
kesehatan jika diare memburuk.
c. Beri obat Zinc
Beri Zinc 10 hari bertrut-turut walaupun diare sudah berhenti. Dapat
dibiarkan dengan cara dikunyah atau dilarutkan dalam 1 sendok air
matang atau ASI.
Umur < 6 bulan diberi 10 mg (1/2 tablet) perhari.
Umur > 6 bulan diberi 20 mg (1 tablet) per hari.
(DepKesRI,2011)
2. Rencana Terapi B
a. Diberikan oralit 75 ml x berat badan anak
Bila BB tidak diketahui diberikan oralit sesuai tabel :
Umur sampai 4 bulan 4 – 12 bulan 12 – 24 bulan 2 – 5 tahun
Berat Badan < 6 kg 6-10 kg 10-12 kg 12-19 kg
Jumlah
cairan
200-400 400-700 700-900 900-1400
b. Bila anak menginginkan lebih banyak oralit, berikanlah.
c. Bujuk ibu untuk meneruskan ASI
d. Untuk bayi < 6 bulan tidak mendapat ASI berikan juga 100-200 ml air
masak selama masa diare dan dehidrasi.
e. Untuk anak > 6 bulan, tunda pemberan makan selama 3 jam kecuali
ASI dan oralit.
f. Beri obat Zinc selama 10 hari berturut-turut.
(DepKesRI,2011)
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
9
3. Rencana Terapi C
a. Beri cairan intravena Ringer Laktat atau NaCl 0,9% (bila RL tidak
tersedia) 100 ml/kg BB dibagi sebagai berikut :
UMUR Pemberian I 30 ml/kg
BB
Kemudian 70 ml/kg
BB
Bayi < 1 tahun I jam* 5 jam
Anak ≥ 1 tahun 30 menit* 2 ½ jam
*diulangi lagi bila denyut nadi masih lemah atau tidak teraba
b. Nilai kembali tiap 15-30menit. Bila nadi belum teraba, beri tetesan
lebih cepat.
c. Beri oralit (5 ml/kg/jam), bila penderita bisa minum; biasanya
setelah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak).
d. Berikan obat Zinc selama 10 hari berturut-turut
(DepKesRI,2011)
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
10
1.3 Ensefalitis
1.3.1 Batasan
Ensefalitis merupakan infeksi virus pada parenkim otak yang ditandai
dengan gangguan akut pada status kesadaran. Ensefalitis lebih sering menginfeksi
anak-anak dan dewasa muda (Simon, R. P., 2009).
1.3.2 Etiologi
Virus penyebab ensefalitis, meliputi: Measles, Varicella, Mumps, Rubella,
Alphaviruses, Flaxiviruses, Bunyaviruses, Orbiviruses, Herpes Simplex (Type 1),
Herpes Simplex (Type 2), Rabies (Simon, R. P., 2009).
1.3.3 Patofisiologi
Infeksi virus dapat mempengaruhi fungsi CNS melalui 3 cara, yaitu:
penyebaran melalui darah dari infeksi virus sistemik (arthropod-borne viruses);
penyebaran lewat saraf dari transport akson (herpes simplex, rabies) dan
demielinasi autoimun post infeksi (varicella, influenza). Perubahan patologis dari
ensefalitis ditandai oleh adanya perivascular cuffing, infiltrasi limfosit, dan
proliferasi mikroglial yang melibatkan area gray matter subkortikal. Di samping
itu, sering terjadi inklusi intranuklear atau intrasitoplasmik (Simon, R. P., 2009).
1.3.4 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari ensefalitis, diantaranya demam, sakit kepala, kaku
leher, fotofobia, nyeri dengan pergerakan mata, gangguan kesadaran ringan.
Infeksi virus sistemik dapat juga menyebabkan skin rash, faringitis, limfadenopati,
pleuritis, carditis, jaundice, diare. Karena ensefalitis virus menyerang otak secra
langsung, maka akan terjadi gangguan kesadaran, kejang, dan gangguan
neurologis fokal (Simon, R. P., 2009).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
11
1.4 Down Syndrome
1.4.1 Batasan
Sindrom Down nerupakan kelainan genetik yang dikenal sebagi trisomi,
karena individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan satu
kromosom. Mereka mempunya 3 kromosom 21 dimana orang normal hanya
memiliki dua saja. Kelebihan kromosom ini akan mengubah keseimbangan
genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan karakteristik fisik dan kemampuan
intelektual, serta gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh (National Down Syndrom
Society, 2007).
1.4.2 Faktor Resiko
Resiko untuk mendapatkan bayi dengan sindrom down didapatkan
meningkat dengan bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang
hamil pada usia diatas 35 tahun. Walau bagaimanapun, wanita yang hamil pada
usia muda tidak bebas resiko mendapatkan bayi dengan sindrom down.
Kemungkinan mendapatkan bayi dengan sindrom down meningkat apabila wanita
yang hamil pernah mendapatkan bayi dengan sindrom down, dan atau jika adanya
anggota keluarga terdekat yang memiliki kondisi yang sama (National Down
Syndrom Society, 2007).
1.4.3 Patofisiologi
Kromosom 21 yang lebih akan memberikan efek kesemua sistem organ
dan menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat
menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan proses hidup
yang signifikan secara klinis. Sindrom Down akan menurunkansurvival prenatal
dan meningkatkan morbiditas prenatal dan postprenatal. Anak – anak yang
terkena biasanya mengalami keterlambatan pertmbuhan fisik, matrasi,
pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi yang lambat. Selain itu penderita
sindrom down memiliki tampilan fisik yang tipikal seperti retardasi mental,
struktur fasial yang khas, anomali pada ekstremtas atas, dan penyakit jantung
kongenital. Abnormalitas fungsi fidiologis dapat memperngaruhi metabolisme
throid dan malabsorbsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat dari
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
12
sistem imun yang lemah, dan meningkatnya insidensi terjadi dikondisi autoimun,
termasuk hipothiroidism dan penyakit Hashimoto (National Down Syndrom
Society, 2007).
1.4.4 Manifestasi Klinik
Fisikal pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang pendek,
tubuh seingkali gemuk dan tergolong obesitas. Retardasi mental yang ringan
hingga berat dapat terjadi. IQ (intelegent quatio) mereka seing berada antara 20 –
85 dengan rata – rata 50. Mereka sering mendapat gangguan artikulasi. Penderita
sindrom Down mempunyai sikap yang spontan, ceria, cermat, sabar dan
bertoleransi. Tonus kulit yang jelek, rambut yang cepat beruban dan sering gugur,
hipogonadism, katarak, kurang pendengaran, hal yang berhubungan dengan
hipothroidism yang disebabkan faktor usia yang meningkat, kejang, neoplasma,
penyakit vaskular degenaratif, ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu, pikun,
demetia, dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada orang-orang lanjut usia.
Penderita sindorom Down seing menderita Brachycephaly, microcephaly, dahi
yang rata, occipital yang agak lurus, fontela yang besar dengan perlekatan tulang
tengkorak yang lambat, tidak mempunyai sinus frontal dan spnenoid serta
hipoplasia pada sinus maksilaris.
Mata pasien sindrom down seperti tertarik ke atas, memiliki hidung yang
rata, apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, pernafasan yang
disertai air liur, bibir bawah yang merekah, gigi yang tidak terbentuk dengan
sempurna, pertumbuhan gigi yang lambat, seringkali menderita otitis media dan
kehilangan pendengaran. Penderita sindrom Down mempunyai resiko tinggi
mendapkan leukimia, penyakit jantung kongenital, memiliki resiko 12 kali lebih
tinggi dibandingkan orang normal untuk mendapatkan infeksi karena mereka
mempunyai respon imun yang rendah, contohnya mereka rentan mendapat
pneumonia (National Down Syndrom Society, 2007).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
13
BAB II
FORMAT ASUHAN KEFARMASIAN
LAPORAN KASUS
Inisial Pasien : An. RD Berat Badan : 8,1 kg
Umur : 9 bulan Tinggi Badan : 72 cm
Keluhan Utama : Diare
Diagnosis : Pneumonia + Diare Akut Dehidrasi Ringan-Sedang
Alasan MRS : Diare ± 10 kali perhari sejak pagi sebelum masuk rumah
sakit, muntah 4-5 kali perhari , panas, kejang di rumah sakit Bakti Dharma
Husada selama 5 menit dan selama perjalanan ke Rumah Sakit Dr. Soetomo,
setelah kejang pasien sadar, batuk, sesak, dan menangis.
Riwayat Penyakit : Tidak ada riwayat penyakit sebelumnya
Riwayat Pengobatan :1 hari sebelum MRS pasien dibawa ke bidan dan
diberikan antibiotik dan antipiretik dalam bentuk puyer,
tetapi tidak diketahui nama obatnya dan kemudian
dibuang oleh orang tua pasien sesampainya di RS Dr.
Soetomo.
Alergi : -
Kepatuhan - Obat Tradisional -
Merokok - OTC -
alkohol - Lain-lain -
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
14
Catatan Perkembangan Pasien
Tanggal Problem/ Kejadian/Tindakan Klinisi
18/9/2013 Pasien masuk ke IRD rumah sakit dr. Soetomo atas rujukan
dari rumah sakit Bakti Darma Husada dengan penumonia
dan diare akut dehidrasi ringan sedang. Kondisi umum
lemah, mencret > 10x/hari sejak pagi, awalnya muntah 4-
5x/hari, panas, kejang 2x di rumah sakit Bakti Darma
Husada ± 5 menit & pada perjalanan ke rumah sakit
dr.Soetomo. Setelah kejang anak sadar dengan
menangis,batuk tidak berdahak, dan sesak.
Suhu 37,5°C , Nadi 148 x/menit, RR 30 x/menit.
Pasien terbaring di tempat tidur, badan panas dan mencret ±
6x selama diruangan. Feses berbentuk ampas.
Kondisi umum lemas, nadi 140 x/menit, RR 32 x/menit,
suhu tubuh 37,9 °C, dan sesak nafas.
Diberikan infus KAEN 3B 800 cc/24 jam, Injeksi vitamin A
100.000 IU IM, Probiotik 2x1 sachet, Zink 1x20 mg, Injeksi
Ceftriakson 2x400 mg IV, Nebul PZ 3 cc + suction+ chest
fisioterapi 4-6x/hari.
Pasien dipindahkan ke ruang gastro anak pada tanggal
18/9/2013 jam 09.00 WIB.
19/9/2013 Kondisi pasien membaik namun masih lemah, suhu badan
masih tinggi, mencret 2x dalam sehari.
Nadi 124 x/menit, suhu tubuh 38 °C, RR 28x/menit.
Pasien mendapatkan terapi Infus KAEN 3B 800 cc/24 jam
untuk mengatasi dehidrasi ringan-sedang akibat diare
Probiotik 1x1 sachet dan Zink 1x20 mg sebagai terapi
diare.Injeksi Diazepam 2,5 mg iv apabila pasien kejang
namun pasien tidak mengalami kejang, Injeksi Ceftriakson 2
x 400 mg iv sebagai antibiotik untuk pneumonia pada
pasien.
20/9/2013 Kondisi umum pasien cukup baik, suhu badan relatif tinggi,
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
15
batuk dan sesak. Pasien masih mendapatkan terapi yang
sama dengan sebelumnya, namun ditambahkan Nebul
suction 4x/hari dan O2 nasal 2 lpm untuk mengatasi batuk
dan sesak pada pasien.
21/9/2013 Kondisi pasien lemah, BAB lembek seperti bubur. Terapi
tetap .
24/9/2013 Kondisi umm pasien cukup baik. Infus KAEN 3B, probiotik
dan zink dihentikan karena diare dan dehidrasi ringan-
sedang pasien sudah dapat terehidrasi. Terapi Nebul PZ dan
O2 nasal 2lpm dihentikan karena pasien sudah tidak batuk
dan sesak.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
16
DOKUMEN FARMASI PENDERITA
No. RM : 12.27.45.77
Nama/Umur : An. RD/ 9 bulan
BB/TB/LPT :8,1 kg/72 cm/-
Alamat :Surabaya
Riwayat Alergi : -
Status : SKTM
Diagnosis :Pneumonia + Diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang +
suspect Ensefalitis + suspect Down Syndrome
Alasan MRS : Diare ± 10 kali perhari sejak pagi sebelum masuk rumah
sakit, muntah 4-5 kali perhari , panas, kejang di rumah sakit Bakti Dharma
Husada selama 5 menit dan selama perjalanan ke Rumah Sakit Dr. Soetomo,
setelah kejang pasien sadar, batuk, sesak, dan menangis.
Riwayat Penyakit : -
No JENIS OBAT Rute Regimen Dosis Tanggal Pemberian Obat
Nama Dagang/ Generik 18/9 19/9 20/9 21/9 22/9 23/9 24/9
1 Infus KAEN 3B Iv 800 cc/24 jam √ √ √ √ √ //
2 Vitamin A Im 100.000 IU √ //
3 Probiotik Po 2 x 1 sach √ // //
1 x 1 sach √ √ √ √ √ //
4 Zink Po 1 x 20 mg √ √ √ √ √ √ //
5 Ceftriaxone Iv 2 x 400 mg √ √ √ √ √ √ √
6 O2 nasal 2 lpm √ √ √ √ //
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
17
Data Klinik
No DATA KLINIK
(yang penting)
Nilai Normal Tanggal
18/9 19/9 20/9 21/9 22/9 23/9 24/9
1 Suhu (º C) 37 ± 0,3 ºC 37,5 38 37 37 37,8 37,7 37
2 HR (x/menit) 89 - 151 x /menit 148 124 104 120 112 128 110
3 RR (x/menit) 25-30 x /menit 30 28 30 30 28 24 24
4 a/i/c/d -/-/-/- -/-/-/+ -/-/-/+ -/-/-/- -/-/-/- -/-/-/- -/-/-/+ -/-/-/-
5 KU/GCS Baik/456 Lemah/224 Lemah/456
6 Kejang - + - - - - - -
7 Mual/muntah -/- +/+ -/- -/- -/- -/- -/- -/-
8 Diare -- + + + + + - -
9 Batuk - + + + + + + +
10 Down Syndrome - + + + + + + +
11 Skala Nyeri 0 2 2 2 2 2 2 2
Komentar :
Pasien dirujuk oleh rumah sakit Bakti Dharma Husada ke rumah sakit dr. Soetomo, dalam perjalanan pasien mengalami kejang
selama 5 menit dan kondisi lemah.
Pasien mengalami diare < 10 x sehari pada tanggal 18/9/2013 menunjukkan bahwa pasien mengalami diare akut
Pasien mengalami mual, muntah dan diare pada tanggal 18/9/2013 memungkinkan pasien mengalami dehidrasi ringan-sedang.
Batuk dan sesak adalah diakibatkan gejala dari pneumonia pasien.
Pada tanggal 18/9/2013 dilakukan kultur dengan spesimen dahak dengan pengecatan tahan asam namun hasil negatif
Pada tanggal 19/9/2013 dilakukan kultur dengan spesimen dahak dan air kemih untuk mengetahui adanya bakteri aerob namun hasil
negatif.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
18
Data Laboratorium
No Data
Laboratorium
TANGGAL Komentar
normal 18/9 19/9 20/9 21/9
Pemeriksaan Darah
1 WBC (3,7-10,1 x 103 /ul) 14,9 7,36 Leukosit pasien 14.900 µl diikuti dengan peningkatan
suhu tubuh menunjukan adanya infeksi.
Nilai Hb dan ion Ca dibawah normal karena pasien
mengalami dehidrasi ringan akibat diare yang
dialaminya.
Terjadi penurunan nilai Natrium pada tanggal
19/9/2013. Hiponatremi dapat terjadi pada kondisi
hipovolemia. Hipovolemia dapat terjadi pada
penderita diare. Tanda klinik yang akut dari
penurunan elektrolit dalam tubuh adalah mual, lelah,
kram, gejala psikosis, seizures, dan koma.
2 RBC (3,6-4,69 x 106 /ul) 4,57 4,1
3 Hgb (10,8-18,0 g/dl) 12,5 10,75
4 Hct (37,7-53,7) 39,2 32,46
5 MCV (80,0-99,9 fL) 85,7
6 MCH (27,0-31,0 pg) 27,4
7 MCHC (31,8-37,0 g/dl) 31,4
8 Plt (150-450 x 103 /ul) 301 85,26
9 MPV (6,3-11,1 fL)
10 Net (50-73,7%)
11 Lymp (1,09-2,99%)
12 Mono (2-8%)
13 Eos (0,03-0,44)
14 Baso (0.00-1.7%)
15 GDA (40-121) 44
16 SGOT (15-37) 42
17 SGPT (00-45) 40
18 Albumin (3,4-5) 5,43
19 SrCr (0,6-1,3) 0,74
20 BUN (7-18mg/dl) 36,6
23 Na 136-145 144 132 127
24 K 3,5-5,1 4,7 4,6 3,9
25 Cl 98-107 118 108 100
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
19
26 Ca 8,5-10,1 8,6 8,3
27 LED 3-30mm/jam
28 pH 7,35 – 7,45 7,2 7,45 7,46
29 PCO2 35-45 mmHg 18 17,8 31,0
30 PO2 80-107 mmHg 156 157,0
31 HCO3 21-25 mmHg 7 12,6 22,0
32 BE 1-3,5-2 mmol/L -21 -11,5 -1,8
Hasil Pemeriksaan lain :
Hasil RO : 18/9/2013 Bronchopneumonia, Penebalan hilus kanan
Hasil Kultur:
18/9/2013 Spesimen dahak, jenis kultur pengecatan tahan asam, hasil tidak ditemukan bentuk kuman batang tahan asam
19/9/2013 Spesimen air kemih, jenis kultur aerob, hasil tidak ada pertumbuhan kuman aerob
19/9/2013 Spesimen dahak, jenis kultur aerob, hasil tidak ada pertumbuhan kuman aerob
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
20
Analisis Pengobatan
Tanggal
Pemberian
Jenis Obat Rute Dosis Frekuensi Indikasi
obat pada
pasien
Pemantauan
Kefarmasian
Komentar dan Alasan
18/9/2013 –
22/9/2013
Infus KAEN
3B
800 cc/24
jam
1 dd 1 Terapi
rehidrasi
Kadar Elektrolit Pemberian cairan dibutuhkan sebagai terapi
suportif guna menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit pasien (Palilingan, 2005). Pada pasien
diare, tidak hanya air yang hilang namun juga
beberapa elektrolit penting yang dibutuhkan tubuh
antara lain sodium, potasium dan bikarbonat.
Karena pada saat diare elektrolit yang akan hilang
dari tubuh adalah sekitar 10-90 mEq/L Na, 10-80
mEq/L Kalium, dan 10-110 mEq/L Cl. Sehingga
penatalaksanaan dehidrasi ringan/sedang disertai
muntah diberikan iv solution untuk
mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit
elektrolit yang hilang dengan total osmolaritas 245
mmol/L secara cepat pada pasien MRS (World
Gastroenterology Organisation, 2012).
KA-EN 3B adalah cairan fisiologis yang
mengandung Na 50 mEq, K 20 mEq, Cl 50 mEq,
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
21
laktat 20 mEq, dan glukose 27 g tiap liter, untuk
mengganti cairan maupun elektrolit terutama
kalium yang hilang selama pasien mengalami diare
dan muntah , selain itu juga mengandung laktat dan
glukose yang cepat dimetabolisme sebagai suplai
energi diberikan selama 24 jam. Total omolaritas
pada infus KAEN 3B adalah 285 mmol/L (info
produk OTSUKA), yang diharapkan mampu
mencukupi kebutuhan elektrolit pasien.
18/9/2013 Vitamin A IM 100.000
IU
1 dd 1 Perbaikan
mukosa usus
Frekuensi BAB,
konsistensi tinja
Diare meningkatkan kebutuhan vitamin A pada
pasien karena vitamin A berperan penting dalam
mempertahankan integritas lapisan sel epitel saluran
pencernaan dan memperngaruhi sistem imun pada
pasien. Pemberian vitamin A pada pasien diare akut
diawal gejala penyakit diare adalah untuk
mengurangi durasi diare dengan mengurangi cedera
mukosa usus, dan meningkatkan perbaikan mukosa
usus. Dari beberapa penelitian RCT disebutkan
bahwa vitamin A tidak signifikan dalam menurangi
durasi diare namun efek menguntungkan terjadi
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
22
pada pasien dengan defisiensi vitamin A dan
malnutrisi yang terkena diare. Kondisi malnutrisi
cenderung memperpanjang durasi diare (Dewan et
al, 1994). Rekomendasi pemberian vitamin A yang
dibutuhkan anak < 1 tahun adalah 400 µg dalam
sehari (World Gastroenterology Organisation,
2012)
18/9/2013 –
23/9/2013
Probiotik PO 2 x 1 sach
1 x 1 sach
2 dd 1 Untuk me-
normalkan
flora normal
usus pada
pasien dare
Frekuensi BAB Menurut WHO, probiotik mungkin bermanfaat
untuk AAD (Antibiotic Associated Diarrhea), tetapi
karena kurangnya bukti ilmiah dari studi yang
dilakukan pada kelompok masyarakat, maka WHO
belum merekomendasikan probiotik sebagai bagian
dari tatalaksanan pengobatan diare. Secara statistik
probiotik tidak memberikan efek signifikan untuk
traveller’s diare dan juga tidak memberikan efek
signifikan pada community-based diarrhea.
(DepKesRI, 2011; WHO, 2009)
Beberapa percobaan RCT yang dilakukan oleh the
American Academy of Pediatric menunjukkan
bahwa rotavirus merupakan salah satu penyebab
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
23
infeksi diare, dan peran probiotik dalam mencegah
diare lemah, namun ada perbaikan dalam
pemberian Lactobacillus rhamnosus GG (LGG), L.
reuteri and L. Casei pada diare yang disebabkan
oleh rotavirus dibandingkan dengan diare akibat
infeksi bakteri/parasit. Dengan adanya vaksin
rotavirus, pemberian probiotik tidak
dipertimbangkan namun tidak dipungkiri bahwa
probiotik memiliki peran dalam keadaan khusus.
Sehingga the American Academy of Pediatric
menganjurkan pemberian LGG pada awal
terjadinya diare akut untuk mengurangi gejala,
keparahan, dan durasi dari diare (Ciorba, 2012)
18/9/2013 –
23/9/2013
Zink PO 1 x 20 mg 1 dd 1 Untuk
mengurangi
durasi dan
keparahan
diare
Frekuensi diare Pemberian zinc menggantikan zinc alami yang
hilang pada saat diare dan mempercepat
penyembuhan diare juga meningkatkan kekebalan
tubuh sehingga dapat mencegah resiko terulangnya
diare 2-3 bulan setelah anak sembuh. Zinc
dibutuhkan oleh berbagai organ tubuh dan dalam
fungsi imun. Jika diberikan kepada pasien dengan
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
24
sistem imun yang belum berkembang baik (seperti
down syndrome), dapat meningkatkan kekebalan
tubuh dan melindungi anak dari infeksi, diare dan
pneumonia. Dosis yang diberikan untuk anak usia 9
bulan adalah 1 x 20 mg selama 10 hari . Pemberian
tetap diberikan meskipun diare sudah berhenti.
Pemberian zinc selama 10 hari terbukti
memperbaiki mucosa usus yang rusak dan
meningkatkan fungsi kekebalan tubuh secara
keseluruhan (DepKesRI, 2011 ; WHO, 2009)
18/9/2013 –
23/9/2013
Ceftriakson IV 2 x 400
mg
2 dd 1 Untuk
mengatasi
pneumonia
Keadaan umum,
tanda-tanda vital
(RR, nadi, TD),
suhu badan
Lab :
Leukosit, LED,
BUN, Kreatinin
Pasien dengan down syndrome lebih rentan
terinfeksi, terutama infeksi saluran pernafasan
seperti pneumonia karena sistem kekebalan tubuh
mereka belum berkembang dengan baik.
Pneumonia dapat menyerang berbagai macam usia
namun pada kondisi bayi, anak-anak, orang tua,
orang yang merokok dan orang- orang dengan
kondisi paru-paru ataupun memiliki sistem imun
yang lemah resiko terkena pneumonia meningkat
dan perlu dirawat dirumah sakit (National Health
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
25
Service UK, 2013; CDC, 2013; National Down
Syndrom Society, 2007). Menurut Pedoman
Diagnosa dan Terapi RSUD Dr. Soetomo (2008),
pneumonia yang terjadi pada keadaan
imunokompromis seperti down syndrome harus
segera dimulai saat tanda awal pneumonia terjadi
pada pasien dengan pemberian antibiotik
Sefalosporin generasi III salah satunya adalah
Seftriakson.
20/9/2013 –
23/9/2013
O2 masker Nasal 2 lpm Untuk
mengatasi
sesak
Tanda vital
(nadi, RR),
sesak nafas,
BGA
Pemberian oksigen dilakukan sebagai terapi
suportif karena pasien menunjukkan gejala sesak
nafas. Suplai oksigen ini diharapkan dapat
mencegah hipoksia pada pasien (Palilingan et al,
2005)
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
26
ASUHAN KEFARMASIAN Termasuk:
1. Masalah aktual & potensial terkait obat 3. Pemantauan efek obat 5. Pemilihan obat 7. Efek samping obat
2. Masalah obat jangka panjang 4. Kepatuhan penderita 6. Penghentian obat 8. Interaksi obat
OBAT*
PROBLEM
TINDAKAN (USULAN PADA KLINISI,
PERAWAT, PASIEN)
Zink Penatalaksanaan Diare Akut Dehidrasi
Ringan/Sedang Pelayanan Kesehatan Anak di
rumah Sakit oleh WHO (2009) mengatakan
bahwa Zink tablet diberikan selama 10 hari
berturut-turut, namun pada pasien hanya
diberikan selama 6 hari saja.
Direkomendasikan untuk melanjutkan terapi
Zink sampai 10 hari.
Vitamin A Pada tanggal 18/9 Pemberian vitamin A pada
pasien diberikan dengan dosis 100.000 IU,
sedangkan menurut Penatalaksanaan Diare akut
oleh Pedoman Diagnosa dan Terapi Anak
Rumah Sakit Dr. Soetomo pemberian injeksi
vitamin A pada anak dibawah 1 tahun adalah
50.000 IU.
Direkomendasikan pemberian vitamin A dosis
50.000 IU saja.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
27
MONITORING
PARAMETER TUJUAN
Kondisi umum
(sesak,batuk, nyeri,mual,
muntah, diare, kejang)
Untuk mengetahui efikasi dan keamanan dari terapi yang diterima oleh pasien hal yang perlu diperhatikan
adalah perubahan gejala mulai pada saat pasien MRS, seperti kejang, diare, batuk, sesak, produksi sputum,
mual, muntah, demam, serta kebutuhan oksigen.
Tanda – tanda infeksi
(Nadi, RR, Suhu tubuh,
Leukosit)
Untuk mengetahui efektifitas dari antibiotik yang diberikan apakah telah sesuai dengan kondisi dan data
kultur pasien jika setelah setelah antibiotik tidak menunjukkan adanya perubahan gejala atau bila keadaan
klinik pasien semakin memburuk, maka penggunaan antibiotik tersebut perlu dievaluasi kembali.
Pemeriksaan laboratorium
(kadar elektrolit, BGA,
SGOT/SGPT, BUN, SCr)
Infus yang digunakan mengandung cairan elektrolit untuk homeostatis pasien
Semua antibiotik yang diberikan dieliminasi melalui hati dan ginjal sehingga perlu dilakukan monitoring
terhadap fungsi hati dan ginjal dari pasien untuk mengurangi terjadi progesifitas kerusakan organ tersebut.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
28
KONSELING PADA PASIEN
Materi Konseling Konseling
Zink tablet Diberikan untuk menggantikan zinc alami yang hilang pada saat diare dan mempercepat penyembuhan diare
juga meningkatkan kekebalan tubuh sehingga dapat mencegah resiko terulangnya diare 2-3 bulan setelah
anak sembuh.
Tablet Zinc diberikan 1 x 20 mg sekali sehari selama sepuluh hari penuh meskipun diare telah sembuh.
Tablet dapat dilarutkan dengan air matang/ASI atau oralit
Apabila anak muntah ± 0,5 jam setelah pemberian tablet Zinc, berikan lagi tablet Zinc dengan cara
memberikan potongan lebih kecil dan bertahap hingga satu dosis penuh (Tatro, 2003)
Penyimpanan obat ini yaitu jauhkan dari cahaya matahari dan kelembaban karena dapat merusak obat
(American Society of Health-System Pharmacists, 2012)
Probiotik Diberikan untuk menormalkan keseimbangan flora usus yang terganggu saat pasien diare
Probiotik sachet diberikan 1 x sehari 1 sachet, dapat dicampur dengan susu.
Probiotik secara umum aman, meskipun belum diketahui keamanannya terhadap pasien-pasien yang sistem
kekebalam tubuhnya sangat terganggu (D’Arrigo Terri, 2008)
Vitamin A Injeksi ini digunakan untuk menurunkan keparahan diare yang dialami pasien dan meningkatkan imunitas
pasien sehingga mempercepat penyembuhan pasien
Efek samping yang dapat terjadi selama penggunaan vitamin A yaitu demam, lemas, penurunan berat
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
29
badan, serta kulit menjadi kering dan pecah-pecah. Apabila pasien mengalami efek samping tersebut,
dianjurkan untuk segera menghubungi dokter (Lacy, 2008)
KONSELING PADA PERAWAT
Materi Informasi
Ceftriaxone Pemberian :
Injeksi Ceftriakson diberikan secara iv intermiten selama 3 menit.
Penyimpanan :
Ditempat yang terlindung cahaya ≤ 25°C. Larutan rekonstitusi stabil selama 2 hari pada suhu kamar atau 10
hari dilemari es (Lacy et al, 2009; Trissel, 2009)
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
30
BAB 3
PEMBAHASAN
Diare merupakan penyebab utama kematian anak-anak di negara
berkembang terutama pada balita yang berusia di bawah 1 tahun (World
Gastroenterology Organisation, 2012). Pasien An. RD umur 9 bulan MRS tanggal
18/9 karena diare ± 10 kali perhari sejak pagi sebelum masuk rumah sakit,
muntah 4-5 kali perhari , panas, kejang di rumah sakit Bakti Dharma Husada
selama 5 menit dan selama perjalanan ke Rumah Sakit Dr. Soetomo, setelah
kejang pasien sadar, batuk, sesak, dan menangis.. Oleh dokter di RSUD Dr.
Soetomo didiagnosa diare akut dehidrasi sedang, pneumonia, suspect ensefalitis
dan suspect down syndrome. Pasien mengalami dehidrasi karena frekuensi
muntah dan mencretnya tidak diimbangi dengan intake cairan untuk mengganti
cairan tubuh yang hilang.
Terapi diare pada anak-anak yang paling penting adalah dengan mencegah
terjadinya dehidrasi akibat pengeluaran cairan tubuh yang berlebih. Selain itu,
pada anak-anak yang mengalami diare juga sangat diperlukan suplemen vitamin
dan mineral karena vitamin dan mineral sangat diperlukan tubuh terutama pada
masa pertumbuhan (World Gastroenterology Organisation, 2008).
Pasien pada tanggal 18/9 mendapat terapi Infus KAEN 3B untuk
mengatasi dehidrasi. Probiotik, tablet Zinc, Vitamin A p.o dan i.m. untuk
mengatasi diare. Pemberian cairan dibutuhkan sebagai terapi suportif guna
menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit pasien (Palilingan, 2005). Pada
pasien diare, tidak hanya air yang hilang namun juga beberapa elektrolit penting
yang dibutuhkan tubuh antara lain sodium, potasium dan bikarbonat. Terapi
rehidrasi pada diare diberikan oral rehydration salt atau infus elektrolit untuk
menggantikan elektrolit yang hilang dengan total osmolaritas 245 mmol/L (World
Gastroenterology Organisation, 2012).
Pemberian cairan dibutuhkan sebagai terapi suportif guna menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit pasien (Palilingan, 2005). Pada pasien diare,
tidak hanya air yang hilang namun juga beberapa elektrolit penting yang
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
31
dibutuhkan tubuh antara lain sodium, potasium dan bikarbonat. Karena pada saat
diare elektrolit yang akan hilang dari tubuh adalah sekitar 10-90 mEq/L Na, 10-
80 mEq/L Kalium, dan 10-110 mEq/L Cl. Sehingga penatalaksanaan dehidrasi
ringan/sedang disertai muntah diberikan intravena solution untuk mengembalikan
keseimbangan cairan dan elektrolit secara cepat pada pasien MRS (World
Gastroenterology Organisation, 2012). KA-EN 3B adalah cairan fisiologis yang
mengandung Na 50 mEq, K 20 mEq, Cl 50 mEq, laktat 20 mEq, dan glukose 27 g
tiap liter, untuk mengganti cairan maupun elektrolit terutama kalium yang hilang
selama pasien mengalami diare dan muntah , selain itu juga mengandung laktat
dan glukose yang cepat dimetabolisme sebagai suplai energi diberikan selama 24
jam. Total omolaritas pada infus KAEN 3B adalah 285 mmol/L (info produk
OTSUKA), yang diharapkan mampu mencukupi kebutuhan elektrolit pasien.
Probiotik adalah suatu sediaan farmasi yang berisi mikroorganisme.
Tujuan pemberian pada pasien diare adalah untuk menggantikan flora normal
tubuh yang sempat menurun akibat diare. Menurut WHO, probiotik mungkin
bermanfaat untuk AAD (Antibiotic Associated Diarrhea), tetapi karena kurangnya
bukti ilmiah dari studi yang dilakukan pada kelompok masyarakat, maka WHO
belum merekomendasikan probiotik sebagai bagian dari tatalaksanan pengobatan
diare. Secara statistik probiotik tidak memberikan efek signifikan untuk
traveller’s diare dan juga tidak memberikan efekefek signifikan pada community-
based diarrhea. (DepKesRI, 2011; WHO, 2009). Beberapa percobaan RCT yang
dilakukan oleh the American Academy of Pediatric menunjukkan bahwa rotavirus
merupakan salah satu penyebab infeksi diare, dan peran probiotik dalam
mencegah diare lemah, namun ada perbaikan dalam pemberian Lactobacillus
rhamnosus GG (LGG), L. reuteri and L. Casei pada diare yang disebabkan oleh
rotavirus dibandingkan dengan diare akibat infeksi bakteri/parasit. Dengan adanya
vaksin rotavirus, pemberian probiotik tidak dipertimbangkan namun tidak
dipungkiri bahwa probiotik memiliki peran dalam keadaan khusus. Sehingga the
American Academy of Pediatric menganjurkan pemberian LGG pada awal
terjadinya diare akut untuk mengurangi gejala, keparahan, dan durasi dari diare
(Ciorba, 2012).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
32
Tablet Zinc merupakan suatu suplemen yang berisi mikronutrisi yang
penting bagi tubuh. Pemberian zinc menggantikan zinc alami yang hilang pada
saat diare dan mempercepat penyembuhan diare juga meningkatkan kekebalan
tubuh sehingga dapat mencegah resiko terulangnya diare 2-3 bulan setelah anak
sembuh. Zinc dibutuhkan oleh berbagai organ tubuh dan dalam fungsi imun. Jika
diberikan kepada pasien dengan sistem imun yang belum berkembang baik
(seperti down syndrome), dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan melindungi
anak dari infeksi, diare dan pneumonia. Dosis yang diberikan untuk anak usia 9
bulan adalah 1 x 20 mg selama 10 hari . Pemberian tetap diberikan meskipun diare
sudah berhenti. Pemberian zinc selama 10 hari terbukti memperbaiki mucosa usus
yang rusak dan meningkatkan fungsi kekebalan tubuh secara keseluruhan
(DepKesRI, 2011 ; WHO, 2009). Terapi probiotik dan tablet Zinc pada pasien
dihentikan pada tanggal 24/9. Panghentian penggunaan tablet Zinc kurang tepat
sebab terapi Zinc sebaiknya dilakukan selama 10-14 hari agar hasil terapi lebih
maksimal (Fontaine, 2008).
Terapi vitamin A digunakan untuk mencegah defisiensi vitamin A. Pada
pasien diare sebaiknya mendapat tambahan vitamin dan mineral agar
pertumbuhan anak tidak terganggu akibat defisiensi vitamin dan mineral yang
mungkin dapat terjadi akibat diare (World Gastroenterology Organisation, 2012).
Diare meningkatkan kebutuhan vitamin A pada pasien karena vitamin A berperan
penting dalam mempertahankan integritas lapisan sel epitel saluran pencernaan
dan memperngaruhi sistem imun pada pasien. Pemberian vitamin A pada pasien
diare akut diawal gejala penyakit diare adalah untuk mengurangi durasi diare
dengan mengurangi cedera mukosa usus, dan meningkatkan perbaikan mukosa
usus. Dari beberapa penelitian RCT disebutkan bahwa vitamin A tidak signifikan
dalam menurangi durasi diare namun efek menguntungkan terjadi pada pasien
dengan defisiensi vitamin A dan malnutrisi yang terkena diare. Kondisi malnutrisi
cenderung memperpanjang durasi diare (Dewan et al, 1994). Rekomendasi
pemberian vitamin A yang dibutuhkan anak < 1 tahun adalah 400 µg dalam sehari
(World Gastroenterology Organisation, 2012). Pada tanggal 18/9 Pemberian
vitamin A pada pasien diberikan dengan dosis 100.000 IU, sedangkan menurut
Penatalaksanaan Diare akut oleh Pedoman Diagnosa dan Terapi Anak Rumah
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
33
Sakit Dr. Soetomo pemberian injeksi vitamin A pada anak dibawah 1 tahun adalah
50.000 IU. Vitamin A dihentikan pada tanggal 19/9 hal ini sudah tepat sebab
tujuan pemberian vitamin A pada pasien diare hanya untuk pencegahan defisiensi
vitamin. Pasien masih mencret dan muntah tetapi frekuensi sudah menurun
dibandingkan hari sebelumnya.
Penderita sindrom Down memiliki resiko 12 kali lebih tinggi dibandingkan
orang normal untuk mendapatkan infeksi terutama infeksi saluran pernafasan
seperti pneumonia karena sistem kekebalan tubuh mereka belum berkembang
dengan baik. Pneumonia dapat menyerang berbagai macam usia namun pada
kondisi bayi, anak-anak, orang tua, orang yang merokok dan orang- orang dengan
kondisi paru-paru ataupun memiliki sistem imun yang lemah resiko terkena
pneumonia meningkat dan perlu dirawat dirumah sakit (National Health Service
UK, 2013; CDC, 2013; National Down Syndrom Society, 2007). Menurut Pedoman
Diagnosa dan Terapi RSUD Dr. Soetomo (2008), pneumonia yang terjadi pada
keadaan imunokompromis seperti down syndrome harus segera dimulai saat tanda
awal pneumonia terjadi pada pasien dengan pemberian antibiotik Sefalosporin
generasi III salah satunya adalah Ceftriakson.
Pada tanggal 18/9 pasien mendapat terapi injeksi Ceftriaxone untuk
mengatasi infeksi yang terjadi sebab hasil laboratorium tanggal 18/9 menunjukkan
nilai WBC 14.900 (lebih dari normal). Data klinis suhu tubuh 37,5 °C, RR 30, dan
Nadi 148. Ceftriaxone merupakan antibiotik pilihan untuk pasien pneumonia
dengan usia 3 bulan – 5 tahun yang sensitif terhadap bakteri Streptococcus
pneumoni, Staphylococcus, dan H. influenza yang biasanya menyebabkan diare
(Setiawati et al, 2008). Untuk mengetahui bakteri penyebab pneumonia dan
mementukan terapi definitifnya maka dilakukakn uji mikrobiologi klinik dengan
spesimen sputum dan air kemih. Pada tanggal 18 dan 19/9 dilakukan kultur
dengan spesimen dahak dan air kemih didapatkan hasil tidak ada pertumbuhan
kuman tahan asam dan juga aerob. Pemakaian ceftriaxone tetap dilanjutkan
sebagai antibiotik empiris.
Pneumonia merupakan salah satu penyebab kematian di dunia, dimana
sekita 20% pasien pnemonia harus melakukan rawat inap, 25% dari pasien harus
mendapatkan perawatan intensif care unit (ICU), dan memiliki angka mortalitas
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
34
antara 30 – 50% (Sibilia et al, 2008). Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya,
Pneumonia berada diperingkat ke 4 diantara puluhan penyakit terbanyak yang
dirawat pertahun. Angka kematian pneumonia pada pasien rawat inap sekitar 20-
35% (PDPI, 2003; Soedarsono, 2010).
Prioritas pertama pada pasien dengan pneumonia adalah mengevaluasi
fungsi pernafasan dan memeriksa adanya tanda-tanda penyakit sistemik
misalnya dehidrasi, sepsis yang mengganggu sirkulasi (Palilingan, 2005). Pasien
mengalami batuk tanpa dahak dan juga sesak sehingga pada tanggal 18/9
diberikan nebul PZ 3 cc suction untuk mengencerkan sputum pada paru-paru
pasien. Kemudian ditambahkan terapi O2 pada tanggal 20/9 untuk mengatasi
sesak dan mempertahankan saturasi arteri lebih dari 90%. Pada tanggal 24/9 data
sesak pada pasien sudah berkurang.
Berdasarkan hasil konseling dengan pasien yang dilakukan Apoteker
ruangan pada tanggal 24/9 keluarga pasien menginformasikan bahwa gejala diare,
mual, muntah, batuk, dan sesak sudah berkurang dan pasien telah disetujui untuk
keluar dari rumah sakit oleh dokter yang merawat tanpa membawa obat untuk
terapi lanjutan dirumah.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
35
DAFTAR PUSTAKA
Ciorba, M.A., 2012. A Gastroenterologist’s Guide to Probiotics. The American
Gastroenterological Association. Washington : Elsevier Inc
Departemen Kesehatan RI, 2011. Buku Saku Petugas Kesehatan : 5 Langkah
Tuntaskan Diare. Jakarta : DepKesRI
Dewan, V., Patwari, A.K., Jain, M., Dewan, N., 1994. A RANDOMIZED
CONTROLLED TRIAL OF VITAMIN A SUPPLEMENTATION IN
ACUTE DIARRHEA. New Delhi.
DiPiro, Joseph T., Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G.
Wells, and L. Michael Posey, 2008, Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach, 7th Edition, USA : McGraw Hill
Companies Inc.
Drs. Best, B., 2010. Pneumonia. Starship Children’s Health Clinical Guideline
Fardah, A., 2008. SKFT RSUD Dr. Soetomo, 2008. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Anak, Surabaya: Rumah Sakit Umum
Dokter Soetomo Surabaya
Fontaine, O., 2008. Bukti Keamanan dan Kemanjuran Suplementasi Zinc pada
Penanganan Diare. Sari Pediatri Vol.10 No.1.
Lacy, C.F; Amstrong, L.L; Goldman, M.P; Lance, L., 2009. Drug Information
Handbook, Ohio : Lexi-Comp. Inc.
National Down Syndrome Society http://www.ndss.org/ diakses November 2013
Setiawati,. 2008. SKFT RSUD Dr. Soetomo, 2008. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Anak, Surabaya: Rumah Sakit Umum
Dokter Soetomo Surabaya
Otsuka, 2007. Pedoman Cairan Infus. Publisher PT. Otsuka : Indonesia
Tatro, David. 2003. A to Z Drug Facts And Comparison. USA: McGrawHill
Company
WHO. 2013. Pocket Book of Hospital Care for children : Guidelines for the
management of common childhood illnesses. Second edition. Geneva :
WHO press
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
36
WHO, 2005. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit :
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di
Kabupaten/Kota.
World Gastroenterology Organisation. 2008. World Gastroenterology
Organisation practice guideline : Acute Diarrhea.
World Gastroenterology Organisation. 2012. World Gastroenterology
Organisation Global Guidelines : Acute Diarrhea in adults and children : a
global perspective.
http://www.cdc.gov/ncbddd/birthdefects/DownSyndrome.html.diakses Desember
2013
http://www.nhs.uk/Conditions/Downs-syndrome/Pages/Complications.aspx
diakses Desember 2013
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
1
BAB I
1. Batu Pyelum/Batu Staghorn
1.1 Batasan
Belum ada kesepakatan mengenai definisi batu staghorn ginjal. Namun
definisi yang sering dipakai adalah batu staghorn merupakan batu ginjal yang
mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal yang memberikan gambaran
menyerupai tanduk rusa. Istilah batu staghorn parsial digunakan jika batu
menempati sebagian cabang collecting system, sedangkan istilah batu staghorn
komplit digunakan batu jika menempati seluruh collecting system (Purnomo,B.B.,
2007)
Batu yang tidak terlalu besar didorong oleh peristaltik otot-otot sistem
pelvikalises dan turun ke ureter menjadi batu ureter. Tenaga peristaltik ureter
mencoba untuk mengeluarkan batu hingga turun ke buli-buli. Batu yang
ukurannya kecil (<5mm) pada umumnya dapat keluar spontan sedangkan yang
lebih besar seringkali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi keradangan
(periureteritis) serta menimbulkan obstruksi kronis berupa hidroureter atau
hidronefrosis (Purnomo,B.B., 2007).
1.2 Patofisiologi dan Patogenesis
Secara teoritis, batu dapat terbentuk diseluruh saluran kemih terutama pada
tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasi urine), yaitu
pada system kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada
pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis
seperti pada hyperplasia prostat benigna, striktura, dan buli-buli neurogenik
merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik
maupun anorganik yang terlarut di dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap
berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak ada
keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan presipitasi kristal. Kristal- Kristal
yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang
kemudian akan mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan lain sehingga
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
2
menjadi Kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar, agregat
Kristal masih rapuh dan belum cukup mampu membuntu saluran kemih. Untuk
itu, agregat Kristal menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi
kristal), dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat tersebut sehingga
membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih.
Kondisi metastable dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di
dalam urine, konsentrasi solute di dalam urine, laju aliran urine di dalam saluran
kemih, atau adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang bertindak
sebagai inti batu (Purnomo,B.B., 2007).
1.3 Manifestasi Klinis
Keluhan yang disampaikan oleh pasien tergantung pada posisi/letak batu,
besar batu. Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada
pinggang. Nyeri ini mungkin bisa berupa nyeri kolik ataupun bukan kolik. Nyeri
kolik terjadi karena aktivitas peristaltic otot polos system kalises ataupun ureter
meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Peningkatan
peristaltic itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi
peregangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri. Nyeri non kolik
terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi
pada ginjal. Batu yang terletak disebelah distal ureter dirasakan oleh pasien
sebagai nyeri pada saat kencing atau sering kencing (Purnomo,B.B., 2007).
1.4 Pemeriksaan
1. Fisik
Pada pemeriksaan fisik mungkin terjadi nyeri ketok pada daerah kosto-
vertebra, teraba ginjal pada sisi sakit akibat hidronefrosis, terlihat tanda-
tanda gagal ginjal, retensi urine dan jika disertai infeksi didapatkan
demam/menggigil.
2. Sedimen Urine
Pada pemeriksaan sedimen menunjukkan adanya leukosituria, hematuria
dan dijumpai kristal-kristal pembentuk batu.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
3
3. Kultur Urine
Mungkin menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.
4. Faal Ginjal
Bertujuan untuk mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal
dan untuk mempersiapkan pasien menjalani pemeriksaan foto PIV.
5. Kadar Elektrolit
Untuk mengetahui factor penyebab timbulnya batu saluran kemih, seperti :
kalsium, oksalat, fosfat maupun urat di dalam darah maupun di dalam
urine.
6. Foto Polos Abdomen
Bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radio opak di dalam
saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat
radio-opak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain, sedangkan
batu asam urat bersifat non-opak (radio-lusen)
7. Pielografi Intra Vena (PIV)
Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal.
Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non-
opak yang tidak dapat dilihat oleh otot polos perut. Jika PIV belum dapat
menjelaskan system saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal,
sebagai penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retogard.
8. Ultrasonografi
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV,
yaitu pada keadaan seperti alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang
turun dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat
menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai
echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis, atau pengkerutan ginjal
(Purnomo,B.B., 2007).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
4
1.5 Penatalaksanaan
1. Analgesik bila ada keluhan nyeri (NSAID), bila perlu golongan opioat :
Misal : ketoprofen 1x1 supp, pethisin 1mg/kgBB
1. Kateterisasi bila retensi urine
2. Antibiotik bila febris :
a. Golongan quinolone misal : ciprofloxacine 500mg tiap 12 jam
b. Golongan Sefalosporin generasi III misal : Cefotaxim 1g tiap 8 jam.
3. Alkalinisasi dengan Na Bic 500mg tiap 6 jam untuk batu asam urat murni
(Soebandi, M. dkk., 2008).
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih, harus
secepatnya dikeluarkan supaya tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat.
Indikasi untuk melakukan tindakan pada batu saluran kemih adalah jika batu telah
menimbulkan obstruksi atau infeksi. Batu dapat dikeluarkan dengan berbagai cara,
yaitu:
1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5mm karena
batu diharapkan dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan
untuk megurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian
diuretikum dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar dari
saluran kemih
2. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
Merupakan sebuah alat yang dapat memecah batu ginjal, batu ureter
proksimal atau batu buli-buli tanpa melalui tindakan invasive dan tanpa
pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudh
dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang pecahan-pecahan batu
yang sedang keluar menimbulkan nyeri kolik dan menyebabkan hematuria.
3. Endourologi
Merupak tindakan invasive minimal untuk mengeluarkan batu saluran
kemih yang terdiri atas memecah batu dan kemudian mengeluarkannya
dari saluran kemih melalui lat yang dimasukkan langsung kedalam saluran
kemih. Alat tersebut dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
5
pada kulit (perkutan). Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara
mekanik, dengan menggunakan energi hidraulik, energi gelombang suara
atau dengan energy laser. Beberapa tindakan endourologi tersebut adalah:
a) PNL (Percutaneus Nephro Litholapaxy)
Yaitu mengeluarkan batu yang berada di dalam saluran ginjal
dengan cara memasukkan alat endoskopi ke system kalises melalui
insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih
dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.
b) Lithotripsi
Memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat
pemecah batu (litotriptor) ke dalam buli-buli. Pecahan batu
dikeluarkan dengan evakuatoe Ellik.
c) Ureteroskopi atau uretero-renoskopi
Memasukkan alat ureteroskopi peruretram guna melihat keadaan
ureter atau system pielo-kaliks ginja. Dengan memakai energy
tertentu, batu yang berada di dalam ureter maupun system
pelvikalises dapat dipecah melalui tuntutan ureteroskopi atau
ureterorenoskopi ini.
d) Ekstraksi Dormia
Mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya melalui alat
keranjang Dormia.
4. Bedah Laparoskopi
Bertujuan untuk mengambil batu saluran kemih, cara ini banyak digunakan
untuk mengambil batu ureter.
5. Bedah Terbuka
Macam-macam pembedahan terbuka antara lain: pielolitotomi atau
nefrolitotomi untuk mengambil batu pada saluran ginjal dan
ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak jarang pasien harus menjalani
tindakan nefrektomi atau pengambilan ginjal karena ginjalnya sudah tidak
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
6
berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis atau
mengalami pengkerutan akibat batu saluran kemih yang menimbulkan
obstruksi dan infeksi yang menahun (Purnomo,B.B., 2007).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
7
BAB II
FORMAT ASUHAN KEFARMASIAN
LAPORAN KASUS
Inisial Pasien : Ny. S Berat Badan : 64 kg
Umur : 63 tahun Tinggi Badan : 157 cm
Keluhan Utama : Nyeri pada saat akan buang air kecil
Diagnosis : Batu Pyelum + Batu Pole Atas
Alasan MRS : keluhan ginjal kanan terasa sakit dan nyeri pinggang.
Rencana dilakukan operasi batu ginjal (ESWL)
Riwayat Penyakit : Batu Pyelum
Riwayat Pengobatan : Tidak ada riwayat pemakaian obat sebelumnya.
Alergi : -
Kepatuhan - Obat Tradisional -
Merokok - OTC -
alkohol - Lain-lain -
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
8
Catatan Perkembangan Pasien
Tanggal Problem/ Kejadian/Tindakan Klinisi
19/8/2013 Pasien datang ke RSUD dr. Soetomo untuk rencana
dilakukan operasi batu pyelum ginjal. Kondisi umum pasien
baik, tekanan darah, nadi, suhu dan RR normal.
Tidak diberikan terapi apapun pada pasien sampai
menjelang dilakukan operasi pada tanggal 30/8/2013.
30/8/2013
Pasien direncanakan dilakukan operasi batu ginjal. Kondisi
umum pasien baik. HR 110/70; RR 16; Nadi 90; Suhu 36.
Pasien mendapat resusitasi cairan D5% ½ NS; Injeksi
Ceftriakson 2 x 1 gram; Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg; Injeksi
Ondancentron 2 x 8 mg; Injeksi Metronidazol 3 x 500 mg;
Injeksi Antrain 3 x 1 gram.
31/8/2013 Kondisi pasien baik, tanda vital normal HR 120/80; suhu
36,5; Nadi 88, RR 16, namun terjadi peningkatan nilai
leukosit yaitu 11,4.
Pemberian ondansetron dan metronidazol dihentikan.
Pasien mendapatkan terapi injeksi Asam Traneksamat 2 x
500 mg
1/9/2013 Terjadi peningkatan kadar leukosit yaitu 13,2 sehingga
terapi antibiotik ceftriakson dilanjutkan dan terapi
ditambahkan injeksi Alinamin F 2 x 1 ampul.
2/9/2013 Terapi sama dengan tanggal 1/9/2013, ditambahkan dengan
injeksi Ondancetron 2 x 8 mg karena pasien merasa mual.
3/9/2013 Kondisi pasien baik dan stabil,mual sudah berkurang terapi
pada tanggal 3/9/2013 dihentikan, diganti dengan sediaan
peroral Cefiksim 2 x 100 mg, kalnex (asam traneksamat) 3 x
500 mg, Pamol (Paracetamol) 3 x 500 mg.
4/9/2013 Kondisi pasien baik dan stabil. Terapi tetap dengan tanggal
3/9/2013.
5/9/2013 Pasien diperbolehkan untuk KRS.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
9
DOKUMEN FARMASI PENDERITA
No. RM : 12 24 4641
Nama/Umur : Ny. S / P
BB/TB/LPT : 64 kg/ 157 cm/26,01 m2
Alamat : Gresik
Riwayat alergi : Tidak diketahui
Status : Jamkesmas
Diagnosis :
Batu Pyelum + Batu Pole Atas
No. Nama Obat Dagang/Generik Rute Regimen Dosis 19 – 29/8
30/8
OP
31/8 1/9 2/9 3/9 4/9 5/9 6/9
KRS
1. D5% ½ NS : D5% iv 1000 cc : 1000 cc
Tidak diberikan
terapi apapun
√ √ √ √ //
2. Ceftriakson iv 2 x 1 gram √ √ √ √ //
3. Ranitidin iv 2 x 50 mg √ √ √ √ //
4. Ondansetron iv 2 x 8 mg √ √ //
5. Metronidazol iv 3 x 500 mg √ //
6. Antrain iv 3 x 1 gram √ √ √ √ //
7. Asam Traneksamat iv 2 x 500 mg √ √ √ //
8. Alinamin F iv 2 x 1 amp √ √ //
9. Cefiksim po 2 x 100 mg √ √ //
10. Asam Traneksamat (Kalnex) po 3 x 500 mg √ √ //
11. Paracetamol (Pamol) po 3 x 500 mg √ √ //
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
10
Data Klinik
No DATA KLINIK
(yang penting)
Nilai Normal Tanggal
30/8
31/8 1/9 2/9 3/9 4/9 5/9
1 Tekanan darah 120/80 110/70 120/80 120/80 120/80 120/80 120/80
2 Suhu (º C) 37 ± 0,3 ºC 36 36,5 37 37 37 37,2
3 HR (x/menit) 80-100 x /menit 92 88 80 88 88
4 RR (x/menit) x /menit 16 16 16 16 16 16
5 KU/GCS Baik/456 Baik/456 Baik/456 Baik/456 Baik/456 Baik/456 Baik/456 Baik/456
6 Mual/muntah -/- - - - +/- - - -
7 Produksi Urine Durante op
600 cc/11
jam
1600 cc/24
jam
1800cc /24
jam
Nyeri + + - - - - -
Pendarahan - - - - - - -
8 Drain 30 34 16 minim
9 BAB - - - + - -
Komentar : Tanda vital pasien relatif normal sampai acara operasi tanggal 30/8 pasien mengalami penurunan HR. Dan nilai RR berada dibawah normal (16) namun
tidak signifikan dari semenjak awal MRS.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
11
Data Laboratorium
No. Data Laboratorium Normal 30/8 31/8 1/9 Komentar
1. DL : Hb 11 - 18 g/dl 12,5 10,6 10,66 Terganggunya pembentukan eritropoitin di
ginjal menyebabkan pembentukan sel darah
terhambat sehingga pasien mengalami
penurunan Hb
Leukosit pada tanggal 31/8 dan 1/9 mengalami
kenaikan diatas normal yang menunjukkan
adanya infeksi
2. Leukosit 4,5 - 10,5 x 103 /UL 7,88 11,4 13,2
3. Trombosit 150 - 450 x 103 µL 292 373
10. RBC 3,60 – 4,69.106 /UL
11. HCT 35,00-60,00 %
12. MCV 80-99,90 fL 83,4
13. MCH 27,00-31,00 pg 28,3
14. MCHC 33,00-37,00 g/dl 33,9
15. RDW 11,60-13,70 %
16. MPV 7,80-11,00 fL
PPT 30,6
Control PPT 26,3
(<2 detik) 4,3
APTT 11,5
Control APTT 11,6
(<7 detik) -0,1
19. Albumin 3,4-5,0 g/dl 2,9
31/8/2013 Hasil Kultur : Steril
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
12
Analisis Pengobatan
Tanggal
Pemberi
an
Jenis Obat Rute Dosis Frekuen
si
Indikasi obat
pada pasien
Pemantauan
Kefarmasian
Komentar dan Alasan
30/8-2/9
D5% ½ NS :
D5% iv
1000 cc :
1000 cc
24 jam Menjaga
keseimbanga
n
hemodinamik
Kondisi
umum
Terapi cairan ini berguna untuk menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.
30/8-2/9 Ceftriakson iv 1 gram 2 dd 1 Antibiotik
profilaksis
Monitoring
tanda – tanda
infeksi/SIRS
(Nadi, Suhu,
HR, RR dan
leukosit)
Menurut pedomana pennggunaan antibiotik
Rumah Sakit Dr. Soetomo (Ed. IV, 2009),
pemilihan antibiotik Ceftriaxon untuk
profilaksis preoperatif urologi traktus urinarius
tanpa saluran cerna sudah tepat.
Pemberian antibiotik profilaksis adalah 30 – 60
menit sebelum operasi dan diulang apabila
operasi berlangsung lebih dari 3 jam/ 2 x half
life antibiotik, diberikan 2 – 3 kali pasca bedah,
dan tidak diperlukan pemberian lebih dari 24
jam. Penggunaan lebih dari 4 hari dapat
meningkatkan frekuensi bakterimia
dibandingkan dengan yang mendapatkan
profilksis 1 hari. Operasi ESWL termasuk
dalam jenis operasi bersih terkontaminasi
karena membuka traktus urinarius dan
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
13
memiliki kemungkinan timbul infeksi 5 – 15%
(Pedoman Penggunaan Antibiotika Profilaksis
di bidang bedah, 2005). Pada pasien ini
penggunaan antibiotik berlangsung selama 4
hari dikarenakan didapatkan peningkatan
leukosit pasien yang memungkinkan pasien
mengalami infeksi.
30/8-2/9 Ranitidin iv 50 mg 2 dd 1 Profilaksis
Stress Ulcer
Mual,
muntah,
pendarahan
GITract
Profilaksis stress ulcer diindikasikan pada
pasien dengan critical illness, pasien yang
memerlukan intensif care , dan beberapa faktor
resiko seperti adanya multiple injuries, spinal
cord injury, injury severity score lebih dari 15,
acute renal failure, and pengobatan yang
memerlukan steroid dosis tinggi. Pilihan terapi
untuk profilaksis stress ulcer antara lain
Ranitidin yang merupakan antagonis reseptor
H2 yang menghambat sekresi asam lambung
(EAST, 2008).
30/8 &
2/9
Ondansetro
n
iv 8 mg 2 dd 1 Mengatasi
PONV
(Postoerative
induce
nausea and
vomiting)
Mual,
muntah
Gejala awal mual muntah biasa muncul 0 – 6
jam postoperasi, dan berlangsung 24 – 48 jam
postoperasi. Salah satu penatalaksanaan PONV
(Postoerative induce nausea and vomiting)
adalah dengan serotonin receptor antagonist
(5HT3 antagonis) yaitu Ondancetron.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
14
Ondancetron sangat spesifik dan selektif untuk
mengatasi mual muntah dengan cara berikatan
dengan reseptor serotonin di chemoreceptor
trigger zone dan pada vagal aferen di jalur
gastrointestinal. Daya antimuntah pada
ondancetron lebih baik daripa daya
antimualnya dan lebih efektif diberikan pada
akhir operasi. Dosis yang direkomendasikan
untuk profilaksis adalah 4 – 8 mg secara iv
(Habib et al, 2004).
30/8 Metronida
zol
iv 1 gram 3 dd 1 Antibiotik
profilaksis
Monitoring
tanda – tanda
infeksi/SIRS
(Nadi, Suhu,
HR, RR dan
leukosit)
Meronidazol digunakan untuk antibiotik
preventif infeksi bakteri anaerob postoperasi.
Pemberian metronidazol secara iv infusion
pada preoperasi dan diulangi tiap 8 jam
(Sweetman, 2009)
30/8-2/9 Metamizole
Na (Antrain)
iv 500 mg 3 dd 1 Analgesik
post operasi
Nyeri pada
luka operasi
Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL)
merupakan jenis operasi dengan minimal
invasif. Selama dan setelah operasi antara 33%
sampai 59% pasien tidak memerlukan
analgesik. Pada pasien yang memerlukan
analgesik, penggunaan analgesik oral sudah
cukup. Analgesik yang menjadi pilihan adalah ;
NSAID, Metamizol, Paracetamol, sediaan
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
15
kombinasi antara Paracetamol dan Codein, atau
tramadol. Obat hanya diminum apabila terdapat
rasa senyri saja. Metamizole yang diberikan
untuk postoperasi ESWL adalah dengan dosis
500 – 1000 mg peroral 4 kali dalam sehari
(European Association of Urology, 2009).
31/8 - 2/9 Asam
Traneksama
t
iv 500 mg 2 dd 1 Anti
fibrinolitik
PTT
APTT
Pendarahan
Asam traneksamat merupakan antifibrinolitik
yang menghambat pemecahan bekuan fibrin,
dengan cara menghalangi pengikatan
plasminogen dan plasmin untk menjadi fibrin.
Dosis yang diberikan adalah 1 – 1,5 gram
dalam 2- 4 kali dosis pemberian (Sweetman,
2009).
3/9 - 4/9 po 3 dd 1
1-2/9 Alinamin F®
(Tiamin
tetrahidrofurf
uril disulfide
basa 2,5mg,
glukosa
200mg tiap
ml injeksi)
iv 1 amp
(10
ml,25mg)
2 dd 1 Multivitamin Kondisi
umum
Vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh
pasien pasca operasi dan memudahkan flatus.
Fungsi alinamin F pasca bedah yaitu
mengaktifkan kembali fungsi peristaltik usus,
dan mempercepat terbentuknya flatus yang
menandakan bahwa fungsi pencernaan pasien
telah normal/peristaltik usus telah aktif
kembali.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
16
3-4/9 Cefiksim po 100 mg 2 dd 1 Antibiotik
postoperasi
Monitoring
tanda – tanda
infeksi/SIRS
(Nadi, Suhu,
HR, RR dan
leukosit)
Cefiksim merupakan golongan sefalosporin
generasi ke III yang diberikan untuk
menggantikan terapi Ceftriaxon sebelumnya.
Rute cefiksim peroral diberikan untuk
memudahkan pemakaian pada pasien ketika di
rumah.
3-4/9 Paracetamol
(Pamol) tab
po 500 mg 3 dd 1 Analgesik
dan
antipiretik
post operasi
Suhu
Nyeri pada
luka operasi
Paracetamol merupakan terapi analgesik
pilihan pada postoperasi ESWL. Dosis yang
diberikan adalah 500 -1000 mg yang diberikan
maksimal 4 kali dalam sehari (European
Association of Urology, 2009).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
17
ASUHAN KEFARMASIAN Termasuk:
1. Masalah aktual & potensial terkait obat 3. Pemantauan efek obat 5. Pemilihan obat 7. Efek samping obat
2. Masalah obat jangka panjang 4. Kepatuhan penderita 6. Penghentian obat 8. Interaksi obat
OBAT*
PROBLEM
TINDAKAN (USULAN PADA KLINISI,
PERAWAT, PASIEN)
Metamizole Na Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL) merupakan
jenis operasi dengan minimal invasif. Selama dan setelah
operasi antara 33% sampai 59% pasien tidak memerlukan
analgesik. Pada pasien yang memerlukan analgesik,
penggunaan analgesik oral sudah cukup. Analgesik yang
menjadi pilihan adalah ; NSAID, Metamizol, Paracetamol,
sediaan kombinasi antara Paracetamol dan Codein, atau
tramadol. Obat hanya diminum apabila terdapat rasa
senyri saja. Metamizole yang diberikan untuk postoperasi
ESWL adalah dengan dosis 500 – 1000 mg peroral 4 kali
dalam sehari (European Association of Urology, 2009).
Pada pasien mendapatkan terapi Metamizole Na secara iv,
Direkomendasikan pemberian secara peroral
dan hanya diberikan pada saat pasien nyeri.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
18
MONITORING
PARAMETER TUJUAN
Nadi, RR, suhu, leukosit Mengetahui efektivitas dari terapi ceftriaxon, metronidazol, dan cefiksim yang diindikasikan untuk mencegah
infeksi yang terjadi pada pasien
Nyeri Mengetahui efektivitas dari terapi metamizol Na dan paracetamol yang diindikasikan untuk mengatasi nyeri
yang terjadi pada pasien pasca operasi
Mual muntah Mengetahui efektivitas dari terapi dari ranitidin yang diindikasikan untuk mencegah mual dan muntah
akibat sekresi asam lambung berlebih karena obat anastesi pada saat operasi atau karena kondisi psikis
pasien
Mengetahui apakah terjadi efek samping dari metamizole Na
APTT, PTT
Perdarahan
Mengetahui efektivitas dari terapi asam traneksamat yang diindikasikan untuk mencegah perdarahan pasca
operasi.
KONSELING PADA PASIEN
Materi Konseling Konseling
Paracetamol (Pamol) Paracetamol hanya diminum jika diperlukan saja yaitu bila suhu tubuh pasien lebih dari 38,50C (demam)
dan pasien mengalami nyeri. Paracetamol diminum setelah makan
Asam traneksamat Asam traneksamat diminum 3 kali sehari sebelum atau sesudah makan.
Cefiksim Cefiksim diminum 2 kali dalam sehari tiap 12 jam untuk mencegah resistensi bakteri.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
19
KONSELING PADA PERAWAT
Materi Informasi
Ceftriaxon Sediaan direkonstitusi dengan pelarut yang sesuai berturut-turut 10 mL dan 20 mL, kemudian dilarutkan
dengan 50-100 mL pelarut.
Diinjeksikan melalui infuse intravena selama 15-30 menit.
Larutan rekonstitusi stabil selama 3 hari dalam suhu ruangan dan 10 hari di dalam lemari es (Trissel, 2009)
Ranitidin Diberikan injeksi i.v secara langsung, biasanya 50 mg dilarutkan dalam 20 mL dengan larutan infus yang
cocok dan diberikan paling tidak selama 5 menit. Untuk infusi bertahap, 50 mg ditambahkan 100 mL larutan
yang sesuai dan infus diberikan selama 15-20 menit. Untuk infus kontinyu, 150 mg ditambahkan dilarutkan
dalam 250 mL larutan intravena dan diberikan 6,25 mg/jam selama 24 jam.
Disimpan dibawah suhu 30° C, terlindung dari cahaya. Gunakan larutan rekonstitusi dalam waktu 24 jam.
(Trissel, 2009)
Metronidazol Metronidazole tersedia dalam 100 ml single dose.
Cara pakai : IV Drip atau IV Intermittent selama 1 jam, digunakan tanpa pengenceran.
Metronidazole disimpan dalam suhu ruangan (15 to 20 °C) dan terlindung dari cahaya. Tidak disimpan dalam
lemari es karena dapat mengkristal. (Trissel, 2007)
Metamizol Na (Antrain) Pemberian injeksi antrain dapat menyebabkan syok sehingga suntikan i.v harus diberikan secara perlahan
(tidak lebih dari 1 ml/menit) (Martindale 36, 2008)
Ondancetron Sediaan : Vial 2mg/1ml
- single dose=2ml
- multiple dose=20ml
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
20
Rute pemberian : IV bolus berlahan selama 2-5 menit
Stabilitas:
- hindarkan dari panas, beku, cahaya simpan pada suhu ruangan.
- Setelah diencerkan, ondancetron dapat stabil selama 7 hari pada suhu ruang atau pada kulkas (2-8oC) dalam
polypropylene-neoprene syringes.
Ondansetron diberikan setengah jam sebelum makan (Trisell, 2009)
Alinamin f Penyimpanan pada suhu kamar (25 - 30º C)
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
21
BAB 3
PEMBAHASAN
Batu Saluran Kemih (BSK) adalah penyakit terdapat batu di dalam saluran
air kemih (mulai calyx sampai dengan uretra anterior) (Soebadi et al, 2008). Batu
ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih
(batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis, dan dapat
terbentuk pada ginjal (nefrolithiasis), ureter (ureterolithiasis), vesica urinaria
(vesicolithiasis), dan uretra (urethrolithiasis) (Hasan, 1985). Terbentuknya batu
saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urine, gangguan
metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan keadaan lain yang masih
belum terungkap (idiopatik) (Purnomo, 2009). Batu saluran kemih pada umumnya
mengandung unsur : kalsium oksalat atau kalsium fosfat (75%), asam urat (8%),
magnesium-amonium-fosfat (MAP) (15%), xanthyn, dan sistin, silikat dan
senyawa lain (1%) (Shires, 2000). Gejala utama penyakit batu ginjal adalah rasa
sakit yang disebabkan karena obstruksi. Rasa sakit dimulai dari pinggang bawah
menuju panggul kemuadian ke alat kelamin luar yang dapat disertai dengan mual,
muntah, dan demam. Gejala ini dinamakan kolik ginjal.
Pasien Ny. S berusia 63 tahun masuk rumah sakit pada tanggal 19 Agustus
2013 dengan keluhan ginjal kanan terasa sakit dan nyeri pinggang. Pasien
didiagnosis menderita Batu Pyelum dan Batu Pole Atas . Pasien yang rajin kontrol
ke poli ginjal dijadwalkan akan melakukan operasi ESWL. Data klinik pasien
pada awal MRS masih dalam rentang normal yaitu tekanan darah 120/80 mmHg,
nadi 88 x/menit, dan suhu 36,6oC.
Operasi dijadwalkan pada tanggal 30/8. Pasien mendapatkan infus D5% ½
NS untuk menjaga keseimbangan elektrolit pada pasien. Pasien mendapatkan
injeksi antibiotik Ceftriakson dan Metronidazol. Meronidazol digunakan untuk
antibiotik preventif infeksi bakteri anaerob postoperasi. Pemberian metronidazol
secara iv infusion pada preoperasi dan diulangi tiap 8 jam (Sweetman, 2009).
Antibiotik ceftriaxon diberikan selama 4 hari, kemudian diganti dengan Cefixim
selama 2 hari. Ceftriaxone merupakan golongan sefalosporin yang bekerja dengan
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
22
menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat satu atau lebih PBPs
(penicillin binding proteins) pada langkah akhir transpeptidasi dari sintesis
peptidoglikan sehingga biosintesis dinding sel bakteri dapat dihambat (Lacy,
2009). Menurut pedomana pennggunaan antibiotik Rumah Sakit Dr. Soetomo (Ed.
IV, 2009), pemilihan antibiotik Ceftriaxon untuk profilaksis preoperatif urologi
traktus urinarius tanpa saluran cerna sudah tepat. Pemberian antibiotik profilaksis
adalah 30 – 60 menit sebelum operasi dan diulang apabila operasi berlangsung
lebih dari 3 jam/ 2 x half life antibiotik, diberikan 2 – 3 kali pasca bedah, dan
tidak diperlukan pemberian lebih dari 24 jam. Penggunaan lebih dari 4 hari dapat
meningkatkan frekuensi bakterimia dibandingkan dengan yang mendapatkan
profilksis 1 hari (Pedoman Penggunaan Antibiotika Profilaksis di bidang bedah,
2005). Pada pasien ini penggunaan antibiotik berlangsung selama 4 hari
dikarenakan didapatkan peningkatan leukosit pasien pada tanggal 31/8 dan 1/9
yang memungkinkan pasien mengalami infeksi.
Setelah menjalani operasi, pasien mendapatkan terapi ranitidine untuk
profilaksis stress ulcer, terapi ondansetron yang bertujuan untuk mengatasi mual
muntah postoperasi, metamizole Na untuk mengatasi nyeri. Pasien tidak
mengalami mual muntah pasca operasi, terapi ranitidine terus diberikan sampai
hari ketiga post OP. Sebaiknya terapi ini hanya dihentikan pada hari kedua setelah
operasi dan diberikan jika pasien mengalami mual muntah. Pemberian
ondancetron yang semula dihentikan postoperasi kembali diberikan pada tanggal
2 september karena pasien mengalami mual.
Sehari setelah operasi pasien masih mengeluhkan rasa nyeri.
Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL) merupakan jenis operasi dengan
minimal invasif. Selama dan setelah operasi antara 33% sampai 59% pasien tidak
memerlukan analgesik. Pada pasien yang memerlukan analgesik, penggunaan
analgesik oral sudah cukup. Analgesik yang menjadi pilihan adalah ; NSAID,
Metamizol, Paracetamol, sediaan kombinasi antara Paracetamol dan Codein, atau
tramadol. Obat hanya diminum apabila terdapat rasa senyri saja. Metamizole yang
diberikan untuk postoperasi ESWL adalah dengan dosis 500 – 1000 mg peroral 4
kali dalam sehari (European Association of Urology, 2009).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
23
Pasien mendapatkan injeksi asam traneksamat sebagai anti fibrinolitik post
operasi untuk mencegah terjadinya pendarahan. Asam traneksamat merupakan
antifibrinolitik yang menghambat pemecahan bekuan fibrin, dengan cara
menghalangi pengikatan plasminogen dan plasmin untk menjadi fibrin. Dosis
yang diberikan adalah 1 – 1,5 gram dalam 2- 4 kali dosis pemberian (Sweetman,
2009).
Pasien juga diberikan multivitamin yaitu Alinamin F yang diberikan
tanggal 1 September 2013. Pemberian multivitamin ini bertujuan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh pasien pasca operasi.
Pada tanggal 3 September pemakaian obat sebelumnya dihentikan dan
diganti dengan pemakaian peroral analgesik paracetamol, asam traneksamat dan
cefiksim. Paracetamol Paracetamol merupakan terapi analgesik pilihan pada
postoperasi ESWL. Dosis yang diberikan adalah 500 -1000 mg yang diberikan
maksimal 4 kali dalam sehari (European Association of Urology, 2009).
Pemberian Paracetamol peroral pada pasien adalah untuk terapi analgesik
pengganti analgesik Antrain injeksi, untuk memudahkan pemakaian pada pasien
ketika dirumah.
Setiap terapi yang diterima pasien kemungkinan mengandung beberapa
permasalahan seperti masalah aktual dan potensial terkait obat, pemantauan efek
obat, pemilihan obat, efek samping obat, masalah obat jangka panjang, kepatuhan
penderita, penghentian obat, dan interaksi obat.
Masalah lain yang perlu dipantau adalah efek samping potensial dari
ketoprofen yaitu berupa ganguan GIT sehingga perlu dilakukan monitoring
kondisi klinik pasien (mual muntah). Dari monitoring yang telah dilakukan
diketahui bahwa pada pasien tidak ditemukan ESO tersebut. Selain itu juga
penggunaan ceftriaxon yang merupakan drug induce liver disease sehingga perlu
dilakukan pemantauan terhadap SGOT dan SGPT pasien. Oleh karena terapi yang
diberikan pada pasien memiliki beberapa permasalahan sehingga perlu dilakukan
monitoring untuk mengetahui efektivitas dari masing – masing terapi yang
diberikan. Selain itu juga perlu dilakukan konseling baik kepada pasien ataupun
perawat mengenai efek samping, cara penggunaan dan stabilitas obat.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
24
DAFTAR PUSTAKA
Bagian/SMF. Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah
Sakit Umum Dr. Soetomo, 2005. Pedoman Penggunaan Antibiotika
Profilaksis Di Bidang Bedah. Surabaya : RSUD dr. Soetomo
Eropean Association of Urology (EAU)., 2009. Guidelines on Pain
Management.
EAST Practice Management Guidelines Committee ; Guillamondegui, O.D;
Gunter, O.L, Bonadies, J.A. 2008. Practice Management Guideline for
Stress Ulcer Prophylaxis: EAST Practice Management Commitee.
Habib, A.S., Tong, J., 2004. Evidence-based management of postoperative
nausea and vomiting: a review. USA
Lacy, C.F; Amstrong, L.L; Goldman, M.P; Lance, L., 2009. Drug Information
Handbook, Ohio : Lexi-Comp. Inc.
Purnomo, B.B., 2007. Dasar – dasar Urologi, ed.2. jakarta : CV. Sagung Seto.
Soebandi, M., dkk., 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag. SMF. Ilmu
Bedah Urologi, Ed. 3. Surabaya : RSUD dr. Soetomo
Sweetman, 2009. Martindale, 36 th ed, London : Pharmacetical Press
Tjokroprawiro, Askandar, 2007. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya :
Airlangga University Press
Tim Penyusun, 2009. Pedoman Penggunaan Antibiotik Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Soetomo Edisi IV. Surabaya : RSUD dr. Soetomo
Trissel, L.A. 2009. Handbook on Injectable Drugs, 15 th ed, Maryland :
American Society of Health-System Pharmacists, Inc
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
1
BAB I
1. DECOMPENSATIO CORDIS (GAGAL JANTUNG)
1.1 DEFINISI
Gagal jantung adalah sindroma klinik yang ditandai oleh adanya kelainan
pada struktur atau fungsi jantung yang mengakibatkan jantung tidak dapat
memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan (Parker et al,
2008).
1.2 ETIOLOGI
Gagal jantung dapat disebabkan oleh semua kelainan yang mempengaruhi
kemampuan jantung untuk berkontraksi (fungsi sistolik) dan atau relaksasi
(disfungsi diastolik) penyebab paling umum dari gagal jantung dapat dilihat pada
tabel 2.1 (Parker, et al, 2008).
Tabel 2.1 Etiologi Gagal Jantung (Parker, et al, 2008)
Disfungsi sistolik Disfungsi diastolic
Penurunan massa miosit (karena
Miocardial Infark)
Kardiomiopati
Hipertrofi ventrikel
Tekanan yang berlebihan (misal
karena hipertensi, stenosis)
Volume berlebihan (misal
karena regurgitasi valvular)
Peningkatan kekakuan ventrikel
Hipertrofi ventrikular (misal
karena hipertrofi kardiomiopati)
Penyakit miokardial infiltratif
(misal : fibrosis endomiokardial)
Iskemia dan infark miokardial
Stenosis katup mitral atau trikuspid
Penyakit perikardial (misal :
perikarditis
1.3 PATOFISIOLOGI
Gagal jantung diawali oleh penurunan kemampuan jantung untuk
berkontraksi (disfungsi sistole) dan atau relaksasi (disfungsi diastolik) maupun
keduanya. Pada gagal jantung yang disebabkan oleh disfungsi sistolik terjadi
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
2
penurunan stroke volume (SV) jantung (Kasumoto, 1995). Sedangkan gagal
jantung yang disebabkan oleh disfungsi diastolik dapat terjadi karena peningkatan
kekakuan ventrikular, hipertrofi ventrikular, penyakit miokardial infiltratif,
iskemia miokardial dan infark, stenosis katup mitral dan trikuspid, dan penyakit
perikardial (Parker et al, 2008).
Dengan menurunnya fungsi jantung, maka jantung akan melakukan
mekanisme kompensasi : (1) takikardi dan peningkatan kontraktilitas melalui
aktivasi sistem saraf simpatis; (2) mekanisme Frank-Starling, dimana peningkatan
volume preload akan meningkatkan stroke volume (volume darah yang dipompa
pada saat sistole); (3) terjadi vasokonstriksi; (4) hipertrofi ventrikular dan
remodeling. Respon kompensasi ini bertujuan untuk keseimbangan sirkulasi
setelah penurunan tekanan darah atau perfusi renal secara akut (Parker, et al,
2008).
1.4 KLASIFIKASI
Menurut NYHA gagal jantung dapat dibagi menjadi beberapa klasifikasi
berdasarkan tingkat keparahan penyakit yaitu gagal jantung stage I-IV. Gagal
jantung stage I merupakan tahap paling awal dimana pasien belum mengalami
keterbatasan aktivitas fisik (limitation of physical activity). Pasien dengan gagal
jantung stage II sudah mengalami sedikit keterbatasan aktivitas, sedangkan pasien
gagal jantung stage III akan mengalami keterbatasan aktivitas yang nyata dan
pasien gagal jantung stage IV tidak dapat melakukan aktvitas fisik tanpa merasa
tidak nyaman (Parker, et al, 2008).
Klasifikasi gagal jantung lainnya adalah klasifikasi yang dilakukan oleh
ACC/AHA yaitu :
1.4.1 Gagal jantung stage A
Pasien dengan resiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung.
Antara lain pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes dan
lain-lain.
1.4.2 Gagal jantung stage B
Pasien dengan kelainan struktur jantung tetapi belum mengalami gejala
gagal jantung.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
3
1.4.3 Gagal jantung stage C
Pasien dengan kelainan struktur jantung dan menunjukkan gejala gagal
jantung
1.4.4 Gagal jantung stage D
Pasien dengan gejala gagal jantung meskipun sudah diberikan terapi medis
yang maksimal (McMurray, 2010).
Klasifikasi gagal jantung berdasarkan New York Heart Association
(NYHA) (McMurray, 2010):
Keparahan tergantung dari gejala dan aktivitas fisik.
Class I : tidak ada pembatasan dari aktivitas fisik. Biasanya aktivitas fisik
tidak menyebabkan kelelahan yang tidak semestinya, palpitasi, atau
dyspnoea.
Class II : sedikit pembatasan aktivitas fisik. Nyaman saat istirahat, tetapi
biasanya aktivitas fisik menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau
dyspnoea.
Class III : ada pembatasan aktivitas fisik. Nyaman saat istirahat, tetapi kurang
dari biasanya aktivitas menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau
dyspnoea.
Class IV : tidak mampu untuk melanjutkan aktivitas fisik tanpa
ketidaknyamanan. Gejala saat istirahat. Jika aktivitas fisik
dilakukan, ketidaknyamanan meningkat.
1.5 MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik setiap pasien mungkin berbeda dari asimtomatik sampai
syok kardiogenik. Gejala gagal jantung antara lain dyspnea terutama pada saat
beraktivitas, anorexia, mual, kelelahan, nocturia, edema pulmonar dan tungkai,
ekstremitas dingin, efusi pleura, takikardi, kardiomegali, hepatomegali, fibrilasi
atrial, bradikardi, serum kreatinin mungkin meningkat karena hipoperfusi,
jaundice (Parker at al, 2008).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
4
1.6 PENATALAKSANAAN TERAPI
Tujuan terapi pada pasien gagal jantung adalah menyembuhkan gejala dan
meningkatkan hidup, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi masuk rumah
sakit, memperlambat progresifitas penyakit dan memperpanjang hidup pasien
(Parker, et al, 2008).
1.6.1 Penatalaksanaan terapi pada pasien gagal jantung didasarkan pada
tingkat keparahan gagal jantung yaitu :
a. Stage A (pasien dengan risiko gagal jantung tinggi)
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi dan mengubah faktor risiko
untuk mecegah perkembangan gagal jantung. Upaya yang dilakukan
meliputi penghentian merokok dan pengontrolan terhadap hipertensi,
diabetes mellitus, dan dislipidemia berdasarkan pedoman terapi masing-
masing penyakit.
b. Stage B (pasien dengan penyakit jantung struktural tetapi tanpa gejala
gagal jantung)
Target terapi adalah untuk meminimalkan injury dan mencegah atau
memperlambat proses remodelling.
c. Stage C (pasien dengan penyakit jantung struktural dengan gejala gagal
jantung)
Kebanyakan pasien harus diterapi dengan empat macam obat :
penghambat ACE, diuretik, pengeblok adrenergik β, dan digoksin. Terapi
lainnya antara lain pembatasan konsumsi natrium, imunisasi terhadap flu
dan pneumokokus, mengubah aktivitas fisik, dan menghindari pengobatan
yang dapat memperparah gagal jantung
d. Stage D (pasien dengan gejala meskipun dengan terapi medis maksimal)
Pada pasien dengan stage D harus dipertimbangkan terapi khusus seperti
terapi inotropik positif kontinyu, transplantasi jantung dan hospice care
(Parker, et al, 2008).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
5
1.6.2 Terapi Farmakologis
NYHA lebih ditujukan untuk mengklasifikasi gejala gagal jantung menurut
evaluasi subyektif klinisi dan tidak mengenali langkah-langkah pencegahan dan
perkembangan penyakit. Gejala pada pasien dapat sering berubah dalam waktu
singkat akibat pemberian terapi, diet, dan kambuhan penyakit. Sedangkan tahapan
ACC/AHA memiliki konsistensi dalam perkembangan penyakit gagal jantung.
Sistem ACC/AHA memberikan gambaran yang lebih komprehensif untuk
evaluasi, pencegahan dan pengobatan gagal jantung (Parker et al., 2008)
Pasien pada tahap A tidak memiliki penyakit jantung struktural atau gejala
gagal jantung tetapi beresiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung
karena adanya faktor resiko (Man, 2008). Diperlukan identifikasi dan modifikasi
faktor resiko agar tidak berkembang menjadi gagal jantung. Faktor resiko antara
lain adalah hipertensi, DM, obesitas, merokok, dan PJK. Kontrol tekanan darah
rutin, pengendalian kadar gula darah mengurangi kerusakan organ, pengobatan
hiperlipidemia dan berhenti merokok pada pasien yang merokok dapat
mengurangi resiko gagal jantung. Pemberian antihipertensi seperti Inhibitor ACE
atau ARB dan lipid-lowering therapies dapat diberikan untuk antihipertensi pada
tahap ini (Parker et al., 2008)
Pasien tahap B telah terjadi perubahan struktural pada jantungnya, tetapi
tidak mengalami gejala dari gagal jantung (Mann, 2008). Pasien ini memiliki
resiko perkembangan gagal jantung dan terapi tahap B ditujukan untuk
meminimalkan cedera dan pencegah atau memperlambat proses remodelling
jantung. Selain langkah – langkah pengobatan pada tahap A, inhibitor ACE dan β-
bloker merupakan terapi penting (Parker et al., 2008).
Pasien pada tahap C dengan perubahan struktur jantung dan memiliki gejala
gagal jantung (Mann, 2008). Pengobatan pada pasien ini memiliki tujuan
mengurangi retensi cairan, meminimalisir ketidakmampuan fisik, memperlambat
progresifitas penyakit, dan mengurangi resiko jangka panjang dari kejadian rawat
inap dan kematian pada pasien. Pada pasien ini terapi yang harus rutin diberikan
adalah diuretik untuk mengontrol keseimbangan cairan intravaskular dengan
antagonis neurohormonal untuk meminimalkan efek dari RAAS dan SNS
(Vardeny et al., 2008). Pemberian ACE inhibitor dan β-bloker. Ketiga terapi
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
6
tersebut memperlambat perkembangan gagal jantung, mengurangi morbiditas dan
mortalitas, dan mengurangi gejala (Parker et al., 2008). Penambahan antagonis
aldosteron dan digoxin juga perlu ditambahkan apabila fungsi jantung terus
memburuk (Vardeny et al., 2008).
Pasien pada gagal jantung tahap D adalah pasien dengan gejala yang muncul
walaupun beristirahat meskipun telah diberikan terapi medikal yang maksimal
sehingga memerlukan rawat inap dan intervensi khusus (Mann, 2008). Pasien
pada tahap ini merupakan penderita gagal jantung tahap lanjut yang perlu
dipertimbangkan pemberian terapi inotropik positif secara IV, transplantasi
jantung atau perawatan rumah sakit (Parker et al., 2008). Terapi yang digunakan
secara rutin pada pasien gagal jantung antara lain diuretik, inhibitor ACE dan β-
bloker dan untuk pasien gagal jantung yang tertentu terapi gagal jantung meliputi
ARB, aldosteron antagonis, digoksin, nitrat dan hydralazine. Terapi umum yang
juga penting adalah pembatasan asupan garam, pengukuran berat badan harian,
imunisasi influenza dan pneumococcus, membatasi aktivitas berat, dan
menghindari obat-obat yang dapat memicu gagal jantung (Brunton et al., 2008).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
7
BAB II
FORMAT ASUHAN KEFARMASIAN
LAPORAN KASUS
Inisial Pasien : Ny. FN Berat Badan : -
Umur : 27 tahun Tinggi Badan : -
Keluhan Utama : Sesak nafas
Diagnosis : Decompensatio Cordis FC IV
Alasan MRS : Sesak nafas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit,
batuk kadang - kadang
Riwayat Penyakit : Cardiomegali (2010), post kuret 2 tahun yang lalu
Riwayat Pengobatan :Digoksin , Furosemid, Spironolakton, Noperten
Alergi : batuk bertambah parah setelah meminum noperten (lisinopil) sehingga
obat tidak diminum
Kepatuhan - Obat Tradisional -
Merokok - OTC -
alkohol - Lain-lain -
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
8
Catatan Perkembangan Pasien
Tanggal Problem/ Kejadian/Tindakan Klinisi
25/11/2013 Pasien masuk ke IRD Rumkital Dr. Ramelan dengan
keluhan sesak nafas sejak 2 hari yang lalu disertai batuk dan
mual. Kemudian pasien di diagnosa Decompensatio Cordis
FC IV. Kondisi umum pasien lemah, sesak nafas, batuk dan
mual. Suhu badan pasien relatif normal yaitu 36,7 °C,
namun nilai tekanan darah relatif diatas nilai normal 130/90,
nadi 118 kali per menit, dan RR 30 x per menit.
Pasien dipindahkan ke paviliun jantung dan diberikan terapi
Lasix 3 x 20 mg, Spironolakton 1 x 25 mg dipagi hari,
Ranitidin 2 x 50 mg, Digoksin 1 x 0,25 mg, Lisinopril 1 x 5
mg, Dextrometorphan 3 x 1.
26/11/2013 Kondisi pasien membaik namun masih lemah, mual
berkurang, tekanan darah, nadi, RR dan juga suhu sudah
stabil.
Nadi 86 x/menit, suhu tubuh 36,2 °C, RR 20 x/menit.
Terapi yang diberikan tetap, namun pemberian Ranitidin
dihentikan karena pasien sudah tidak mengeluhkan mual.
27/11/2013 Kondisi umum pasien masih lemah dan pasien mengeluhkan
pusing. Suhu badan pasien 36,2 °C, RR 20 x/menit, namun
tekanan darah 110/70 dan nadi 76 x/menit. Sehingga terapi
Lasix (Furosemid) diturunkan dosisnya menjadi 2 x 20 mg,
terapi lainnya tetap.
28/11/2013 Kondisi umum pasien masih lemah dan pusing. Suhu badan,
nadi dan RR relatif normal. Namun tekanan darah pasien
menurun menjadi 90/60, sehingga terapi lasix (furosemid)
diturunkan menjadi 1 x 20 mg.
29/11/2013 Kondisi umum pasien membaik namun masih lemah. Suhu,
nadi, dan RR dalam rentang normal. Tekanan darah 110/80.
Pasien sudah tidak sesak namun masih sedikit batuk. Pasien
mengeluhkan batuk bertambah parah setelah meminum
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
9
Lisinopril dan obat sudah tidak diminum selama 2 hari.
Sehingga terapi Lisinopril digantikan dengan Valsartan 1 x
40 mg.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
10
DOKUMEN FARMASI PENDERITA
No. RM : 370245
Nama/Umur : Ny. FN
BB/TB/LPT : -
Riwayat alergi : Tidak diketahui
Diagnosis :
1. Decompensatio Cordis FC IV
Riwayat Penyakit : Cardiomegali (2010), post kuret 2 tahun yang lalu
Riwayat Pengobatan : Digoksin, Furosemid, Spironolakton, Noperten
Alasan MRS : Sesak anafas 2 hari sebelum MRS, batuk kadang-kadang. Pasien
mengeluhkan batuk setelah meminum obat Noperten
No. Nama Obat Dagang/Generik Rute Regimen Dosis 25/11 26/11 27/11 28/11 29/11
1. Furosemid (Lasix) IV 3 x 20 mg √ √ 2 x 20 mg 1 x 20 mg 1 x 20 mg
2. Spironolakton PO 1 x 25 mg √ √ √ √ √
3. Ranitidin IV 2 x 50 mg √ //
4. Digoksin PO 1 x 0,25 mg √ √ √ √ √
5. Lisinopril (Noperten) PO 1 x 5 mg √ √ √ √ //
6. Valsartan PO 1 x 40 mg √
7. Dextrometorphan PO 3 x 1 √ √ √ √ √
8. GG PO 3 x 1 √ √ √ √ √
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
11
Data Klinik
Tanda Vital Nilai Normal 25/11 26/11 27/11 28/11 29/11
Tekanan Darah (<130/80) 130/90 110/70 110/70 90/60 110/80
Suhu (37 ± 0,5) °C 36,7 36,2 36,2 36 36,2
Nadi 80-100 x/menit 118 86 76 88 76
RR 18 - 20 30 20 20 20 20
Batuk + + + + Batuk berkurang
Sesak + + - - -
Lemas + + + + +
Pusing + +
Mual + + + - -
Komentar :
Sesak, udema, dan mual yang dialami pasien merupakan gejala klinis dari penyakit gagal jantung. Sesak dikarenakan jantung tidak dapat
memenuhi kebutuhan oksigen tubuh, sedangkan mual disebabkan karena udem di usus dan perfusi ke GIT yang tidak lancar (Vardeny, et
al., 2008)).
Data klinik pasien, nadi dan RR pasien cenderung normal. Hanya pada saat MRS pasien mengalami takikardia mencapai 118 x/menit,
sehingga menunjukkan bahwa pasien mengalami sesak napas. Sedangkan TD cenderung agak tinggi.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
12
Data Laboratorium
No. Data Laboratorium Normal 25/11 26/11 Komentar
1. Kreatinin 0,5 – 1,5 mg/dL 1,4 Konsentrasi enzim ALT yang tinggi terdapat pada
hati. ALT juga terdapat pada jantung, otot dan
ginjal. ALT lebih banyak terdapat dalam hati
dibandingkan jaringan otot jantung dan lebih
spesifik menunjukkan fungsi hati daripada AST.
Peningkatan kadar ALT dapat terjadi pada
penyakit hepatoseluler (KemenkesRI, 2011). Pada
gagal jantung terjadi peningkatan HJR (hepato
jugular reflux) yang dapat mengakibatkan hepato
kongestif akibat perpindahan volume darah dari
abdomen ke dalam vena jugularis karena atrium
kanan tidak dapat menerima tambahan volume
darah. Hepatic congestion ini dapat menyebabkan
abnormalitas dari fungsi liver (Vardeny et al.,
2008).
Kondisi gagal jantung merupakan faktor resiko
peningkatan kadar asam urat (Wilson, 2008).
Kondisi gagal jantung dimana terjadi penurunan
cardiac output sehingga terjadi penurunan perfusi
2. BUN 10 – 24 mg/dL 20
3. Na 135 – 145 142,2
4. K 3,5 – 5 4,28
5. Cl 95 – 108 104,7
6. Hb 11 -16 11,2
7. WBC 4,0 – 10,5 10,5
8. Eritrosit 3,5 – 5,5 3,80
9. MCH 27 – 34 29,5
10. MCV 80 – 100 93
11. MCHC 32 – 36 31,7
12. HCT 37 – 54 35,3
13. SGOT/AST 0 - 34 25
14. SGPT/ALT 0 – 31 41
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
13
15. gluc 70 – 105 74 yang dapat mengakibatkan akumulasi asam urat
(Fauci, et.al, 2008). Peningkatan asam urat juga
bisa merupakan akibat dari drug induce Furosemid
yang sebelumnya dikonsumsi pasien secara rutin
(Lacy et al, 2009)
Salah satu penyebab gagal jantung adalah CAD
(Coronary Artery Disease), peningkatan nilai
cholesterol,TG, dan LDL merupakan high risk
terjadinya CAD. Untuk pasien dengan CHD
(Chronic Heart Disease) seperti gagal jantung
diharapkan nilai LDL < 100 mg/dl (Ito, 2008).
Pada gagal jantung, hasil EKG dapat menunjukkan
normal atau berbagai kelainan termasuk perubahan
ST-T wave dari miokardial iskemia, atrial
fibrillation, bradicardia dan LV hipertrophy
(Vardeny et al., 2008). Pada pasien Ny. FN hasil
EKG menunjukkan Supraventricular Tachycardial
(AV node dependent tachycardia)
16. Chol 0 – 250 284
17 TG 30 – 150 183
18 Uric Acid 2,4 – 5,7 10,4
19 Alb 3,8 – 5,1 4,3
20 LDL-C 0 – 160 186
Hasil Pemeriksaan :
25/11 EKG : Supraventricular Tachycardial (AV node dependent tachycardia)
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
14
Analisis Pengobatan
Tanggal
Pemberian
Jenis Obat Rute Dosis Frekuensi Indikasi obat pada
pasien
Pemantauan
Kefarmasian
Komentar dan Alasan
25/11 –
29/11 Furosemid
(Lasix)
IV 20
mg
3 dd 1
2 dd 1
1 dd 1
Mengatasi
volume overload
pada pasien gagal
jantung
Serum elektrolit
terutama
kalium, fungsi
ginjal (volume
urine, dll),
tekanan darah
Mekanisme kompensasi pada pasien gagal
jantung salah satunya adalah retensi air dan Na,
yang akhirnya juga berakibat pada kongestif di
paru dan edema alveolar yang mengakibatkan
sesak nafas. Pemberian diuretik kuat berfungsi
untuk mengontrol retensi cairan tersebut.
(Parker, et al, 2008)
Dosis intermiten bolus 20 – 200+ mg, dosis
continuous infusion (bolus/infusion) 20-40
mg/2,5-10 mg (Vardeny et al.,2008)
Dalam beberapa controlled trials pemberian
diuretik telah menunjukkan peningkatan
ekskresi natrium di urin dan penurunan tanda
tanda fisik terjadinya retensi cairan. Studi
jangka pendek menyebutkan diuretik
menyebabkan penurunan tekanan vena
jugularis, kongestif paru, edema perifer dan
berat badan. Dalam studi jangka menengah
diuretik terbukti meningkatkan fungsi jantung,
gejala, dan toleransi latihan pada pasien gagal
jantung (ACC/AHA, 2009)
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
15
25/11 –
29/11 Spironolakton PO 25
mg
1-0-0 Antiremodeling Serum elektrolit
(kalium),
Tekanan darah
Spironolakton menghambat pembentukan
aldosteron sehingga dapat menghambat
remodeling ventrikel dan fibrosis kardial
(Parker et.al., 2008).
Dosis spironolakton untuk antagonis aldosteron
12,5 – 25 mg sekali dalam sehari. Dalam 2
clinical trial didapatkan hasil spironolakton
dosis rendah dapat mengurangi resiko kematian
dan rehospitalization pada pasien gagal jantung
(ACC/AHA, 2009)
25/11 Ranitidin IV 50
mg
2 dd 1 Mengatasi stress
ulser
Mual dan
muntah
Profilaksis stress ulcer diindikasikan pada
pasien dengan critical illness, pasien yang
memerlukan intensif care , dan beberapa faktor
resiko seperti adanya multiple injuries, spinal
cord injury, injury severity score lebih dari 15,
acute renal failure, and pengobatan yang
memerlukan steroid dosis tinggi. Pilihan terapi
untuk profilaksis stress ulcer antara lain
Ranitidin yang merupakan antagonis reseptor
H2 yang menghambat sekresi asam lambung
(EAST, 2008).
Mual yang timbul pada pasien merupakan
gejala klinis dari gagal jantung. Hal ini terjadi
karena adanya udem pada usus dan juga karena
perfusi darah yang menuju GIT terganggu
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
16
(Parker, et al, 2008).
25/11 –
29/11 Digoksin PO 0,25
mg
1 dd 1 Atrial Fibrilasi Nadi, tanda-
tanda toksisitas
digoksin :
cardiac
arrhythmias,
gastrointestinal
symptoms,
neurological
complaints
Digoksin ditambahkan pada pasien HF yang
tetap menunjukkan gejala meskipun telah
diberikan terapi optimal ACEI, ARB, β bloker,
dan diuretik., atau dengan pasien yang
bersamaan dengan adanya atrial fibrilasi untuk
memperlambat laju ventrikel. (Parker et a.l,
2011)
Dosis digoxin dimulai dari 0,125 – 0,25 mg
perhari. Beberapa placebo-controlled trials
menyatakan bahwa terapi menggunakan
digoxin selama 1 – 3 bulan dapat memperbaiki
gejala, kualitas hidup dan toleransi latihan pada
pasien dengan gagal jantung ringan sampai
sedang (ACC/AHA,2009). Konsentrasi serum
digoksin yang diinginkan adalah 0,5 – 1 ng/mL
untuk mengurangi efek toksisitas dari digoksin
(Parker et al., 2008).
25/11 –
28/11 Lisinopril
(Noperten) PO 5 mg 1 dd 1
anti hipertensi dan
sebagai
antiremodelling
Tekanan darah,
elektrolit tubuh
(Kalium)
Lisinopril merupakan golongan ACE inhibitor
yang akan menghambat jalur perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II yang
merupakan vasokonstriktor poten. Angiotensin
II juga dapat menstimulasi pengeluaran
aldosteron dan arginin vasopressin, serta
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
17
mengaktivasi sistem saraf simpatis perifer
maupun sentral. Terjadinya penghambatan oleh
ACE inhibitor akan menyebabkan penurunan
preload dan afterload. ACE inhibitor
meningkatkan harapan hidup serta menurunkan
perkembangan tingkat keparahan heart failure
(Parker, et al, 2008). Pada pasien mengalami
gejala batuk yang bertambah parah pada saat
memakai lisinopril. Efek samping ACE antara
lain batuk, rash kulit, dan angioedema (Opie,
2007). Batuk terjadi pada 40 % pasien gagal
jantung yang menerima terapi inhibitor ACE.
Akumulasi bradikinin pada penggunaan
inhibitor ACE dapat menyebabkan batuk pada
pemakaian 1 bulan pertama inhibitor ACE, dan
membaik pada 1 – 2 minggu pemberhentian
pemakaian inhibitor ACE, sehingga
penggantian inhibitor ACE dan ARB dirasa
tepat untuk pasien yang tidak dapat mentolelir
batuk (Parker et al., 2008).
29/11 Valsartan PO 40
mg 1 dd 1
- Antihipertensi
- Anti
remodelling
- Tekanan
Darah
- Serum
elektrolit
Valsartan mengantagonisasi efek dari
angiotensin II (sekresi aldosteron dan
vasokonstriksi) dengan cara mengeblok
reseptor angiotensin 2 di otot polos pembuluh
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
18
(terutama
kalium)
darah dan kelenjar adrenal sehingga dapat
menurunkan tekanan darah (Lacy, 2009).
Pelepasan angiotensin II dapat menyebabkan
pertumbuhan sel miosit, otot polos pembuluh
darah dan peningkatan produksi kolagen.
Ketiga komponen ini yang menyebabkan
remodeling jantung (Zawawi, 2009). Valsartan
digunakan dalam managemen hipertensi untuk
menurunkan mortalitas jantung pada pasien
dengan disfungsi ventrikel kiri dan gagal
jantung (Sweetman, 2009).
Terapi valsartan dimulai dari dosis kecil 20-40
mg dua kali sehari kemudian untuk dosis
pemeliharaan 160 mg dua kali sehari.
Obat ini ditoleransi dengan baik pada pasien
yang tidak dapat diberikan terapi inhibitor ACE
karena batuk, rash kulit, dan angioedema
(Opie, 2007). Batuk terjadi pada 40 % pasien
gagal jantung yang menerima terapi inhibitor
ACE. Akumulasi bradikinin pada penggunaan
inhibitor ACE dapat menyebabkan batuk pada
pemakaian 1 bulan pertama inhibitor ACE, dan
membaik pada 1 – 2 minggu pemberhentian
pemakaian inhibitor ACE, sehingga
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
19
penggantian inhibitor ACE dan ARB dirasa
tepat untuk pasien yang tidak dapat mentolelir
batuk (Parker et al., 2008).
25/11 –
29/11 Dextrometor
phan PO 5 mg 3 dd 1 Antitusif Batuk
Sebagai penekan batuk pada batuk non-
produktif, bekerja menekan pusat batuk di
medula (Sweetman, 2009). Namun pemberian
antitusif pada pasien kurang tepat karena jenis
batuk yang dirasakan pasien adalah batuk
produktif sehingga antitusif akan menghambat
pengeluaran sputum batuk pada pasien.
25/11 –
29/11
GG (Glyceryl
guaiacolate) /
Guaifenesin
p.o 100
mg 3 dd 1 Ekspektoran
Batuk
Sputum
Sebagai ekspektoran pada batuk produktif.
Mekanisme kerjanya berdasarkan stimulasi
mukosa lambung secara refleks merangsang
sekresi kelenjar saluran nafas lewat saraf vagus
meningkatkan volume dan mempermudah
pengeluaran sputum, selain itu juga
menurunkan viskositas sputum (Lacy 2009).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
20
ASUHAN KEFARMASIAN Termasuk:
1. Masalah aktual & potensial terkait obat 3. Pemantauan efek obat 5. Pemilihan obat 7. Efek samping obat
2. Masalah obat jangka panjang 4. Kepatuhan penderita 6. Penghentian obat 8. Interaksi obat
OBAT*
PROBLEM
TINDAKAN (USULAN PADA KLINISI,
PERAWAT, PASIEN)
Lisinopril , Spironolakton, Furosemide,
Digoxin Efek hiperkalemia berpotensi terjadi pada
pasien yang menerima ACE Inhibitor
(Lisinopril) dengan diuretik hemat kalium
(Spironolakton) atau obat lain yang dapat
menyebabkan hiperkalemia seperti digoxin
(Sweetman, 2009).
Selain itu spironolakton dapat meningkatkan
level/efek dari digoxin dengan menghambat
tranport P-glycoprotein yang dapat
meningkatkan half-life dari digoxin dan
toksisitas digoxin dapat muncul.
Furosemide juga dapat meningkatkan efek dari
digoxin dengan sinergisme farmakodinamik,
kemungkinan terjadi interaksi yang signifikan,
karena keadaan hipokalemia dapat
meningkatkan efek dari digoksin.
Monitoring ketat kadar kalium dalam darah dan
tanda – tanda toksisitas digoxin (Palpitasi,
kejang, pandangan kabur, mual, muntah,
anorexia, kebingungan)
Furosemide Pada tanggal 26/11 kadar asam urat pasien 10,4 .
Peningkatan asam urat bisa merupakan drug
induced dari furosemid.
Perlu monitoring ketat kadar asam urat, apabila
terus mengalami kenaikan perlu diberikan
Allupurinol sebagai terapi mengurangi asam
urat.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
21
MONITORING
PARAMETER TUJUAN
Mual, muntah, nyeri
lambung
Untuk mengetahui efikasi serta efektivitas dari terapi ranitidin
Serum elektrolit kalium Untuk memantau kondisi hiperkalemia pada pasien yang disebabkan oleh interaksi lisinopril, spironolakton,
dan digoksin
Sesak Mengetahui efektifitas pemberian GG dan DMP
Udema dan volume urin Untuk mengetahui efektifitas pemberian furosemide
Nadi, tekanan darah Mengetahui efektifitas pemberian digoksin, lisinopril, spironolakton
Palpitasi, kejang,
pandangan kabur, mual,
muntah, anorexia,
kebingungan
Memantau gejala toksisita digoxin
Serum asam urat Mengetahui gejala drug induce dari furosemide
KONSELING PADA PASIEN
Materi Konseling Konseling
Spironolakton Diminum pada pagi hari satu tablet sesudah makan
Digoxin Dimunim pada pagi hari satu tablet sesudah makan
Noperten (Lisinopril) Dimunim pada pagi hari satu tablet pada perut kosong. 1 jam sebelum makan atau 2 jam sesudah makan
Dextrometorphan Diminum satu tablet sesudah makan
GG Diminum satu tablet sesudah makan
Valsartan Dimunim pada pagi hari satu tablet pada perut kosong. 1 jam sebelum makan atau 2 jam sesudah makan karena
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
22
absorbsinya akan berkurang 50% apabila diminum bersamaan dengan makanan.
KONSELING PADA PERAWAT
Materi Informasi
Furosemide Inj. Lasix yang terlalu cepat dapat menyebabkan tinitus dan ketulian, lama pemberian secara i.v bolus adalah
selama 1-2 menit perlahan.
Stabilitas :
a. Disimpan pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya.
b. Sebaiknya tidak disimpan dalam kulkas karena dapat menyebabkan terbentuknya kristal.
c. Paparan terhadap cahaya dapat menyebabkan perubahan warna.
d. Jangan digunakan jika larutan sudah kuning.
(Trissel, 2009)
Ranitidin a. Injeksi diberikan selama 2-5menit. Laju maksimum 4,l/menit
b. Larutan yang berwarna kecoklatan harus dibuang
c. Simpan pada suhu 25-300
C di tempat kering dan terlindung dari cahaya.
d. Gunakan larutan rekonstitusi dalam waktu 24 jam. Larutkan 1 ampul (50mg/2ml) dengan 18 ml NS atau
D5W. Konsentrasi maksimum 2,5 mg/ml (Trissel, 2009)
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
23
BAB 3
PEMBAHASAN
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian nomor satu dan
kecacatan di seluruh dunia. Jumlah penderita penyakit kardiovaskular
diperkirakan akan terus bertambah. WHO memperkirakan pada tahun 2030,
sekitar 23,6 juta orang akan mati karena penyakit kardiovaskular ,terutama oleh
penyakit jantung dan stroke (WHO,2011). Pasien Ny. FN berumur 27 tahun
masuk rumah sakit karena sesak nafas sejak 2 hari sebelumnya, batuk, lemas dan
mual. Dokter mendiagnosa pasien Decompensatio Cordis FC IV.
Decompensatio Cordis atau gagal jantung dengan funcional class IV
merupakan salah satu klasifikasi gagal jantung dari New York Heart Association
(NYHA) dengan funcional class IV yaitu tidak mampu untuk melakukan aktifitas
fisik tanpa ketidaknyamanan, gejala muncul ada saat istirahat dan apabila aktivitas
fisik dilakukan maka ketidaknyamanan meningkat (McMurray, 2010). Gagal
jantung dengan functional class IV sama dengan klasifikasi ACC/AHA untuk
gagal jantung stage C/D. Gagal jantung stage C yaitu gagal jantung yang telah
terjadi perubahan struktur jantung dan menunjukkan gejala gagal jantung,
sedangkan stage D adalah gagal jantung yang tetap menunjukkan gejala meskipun
telah diberikan terapi medis yang maksimal (Vardeny et al., 2008).
Pada pasien gagal jantung stage C terapi yang harus rutin diberikan adalah
diuretik untuk mengontrol keseimbangan cairan intravaskular dengan antagonis
neurohormonal untuk meminimalkan efek dari RAAS dan SNS (Vardeny et al.,
2008). Pemberian ACE inhibitor dan β-bloker. Ketiga terapi tersebut memperlambat
perkembangan gagal jantung, mengurangi morbiditas dan mortalitas, dan mengurangi
gejala (Parker et al., 2008). Penambahan antagonis aldosteron dan digoxin juga perlu
ditambahkan apabila fungsi jantung terus memburuk (Vardeny et al., 2008). Pasien
pada gagal jantung tahap D adalah pasien dengan gejala yang muncul walaupun
beristirahat meskipun telah diberikan terapi medikal yang maksimal sehingga
memerlukan rawat inap dan intervensi khusus (Mann, 2008). Pasien pada stage D
merupakan penderita gagal jantung tahap lanjut yang perlu dipertimbangkan
pemberian terapi inotropik positif secara IV, transplantasi jantung atau perawatan
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
24
rumah sakit (Parker et al., 2008). Terapi yang digunakan secara rutin pada pasien
gagal jantung antara lain diuretik, inhibitor ACE dan β-bloker dan untuk pasien gagal
jantung yang tertentu terapi gagal jantung meliputi ARB, aldosteron antagonis,
digoksin, nitrat dan hydralazine. Terapi umum yang juga penting adalah pembatasan
asupan garam, pengukuran berat badan harian, imunisasi influenza dan
pneumococcus, membatasi aktivitas berat, dan menghindari obat-obat yang dapat
memicu gagal jantung (Brunton et al., 2008).
Pasien pada tanggal 25/11 mendapat terapi Furosemide (Lasix) 3 x 10 mg
secara iv, Spironolacton 25 mg pada pagi hari, Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg,
Digoxin tablet 1 x 0,25 mg , Lisinopril tablet 1 x 5 mg, Guaifenesin/GG 3 x 100
mg, dan Dextromethorphan 3 x 5 mg.
Pemberian diuretik furosemid merupakan pengobatan farmakologis
pertama yang digunakan untuk volume overload pada pasien dengan gagal
jantung. Pada gagal jantung, diuretik digunakan untuk mengembalikan dan
menjaga status volume pada pasien dengan gejala kongestif seperti dispnea,
orthopnea, dan edema atau tanda peningkatan tekanan pengisian (rales, edema
perifer, distensi vena jugularis). Diuretik Loop seperti furosemide bekerja pada
loop of henle dengan menginhibisi reabsorbsi Na+, K
+,dan Cl
– pada bagian
asendens pada loop of Henle. Dosis intermiten bolus 20 – 200+ mg, dosis
continuous infusion (bolus/infusion) 20-40 mg/2,5-10 mg (Vardeny et al.,2008).
Dalam beberapa controlled trials pemberian diuretik telah menunjukkan
peningkatan ekskresi natrium di urin dan penurunan tanda tanda fisik terjadinya
retensi cairan. Studi jangka pendek menyebutkan diuretik menyebabkan
penurunan tekanan vena jugularis, kongestif paru, edema perifer dan berat badan.
Dalam studi jangka menengah diuretik terbukti meningkatkan fungsi jantung,
gejala, dan toleransi latihan pada pasien gagal jantung (ACC/AHA, 2009). Efek
samping yang disebabkan oleh furosemid antara lain hipokalemia (14-60%) dan
hiperuricemia (40%), sehingga perlu monitor ketat seum kalium dan juga asam
urat (Lacy, 2009). Pada pasien ini kadar kalium masih dalam rentan normal
namun terjadi kenaikan serum asam urat. Peningkatan asam urat bisa merupakan
drug induce dari furosemide, karena pasien memiliki riwayat pengobatan rutin
salah satunya adalah furosemid.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
25
Spironolakton digunakan sebagai antagonis aldosterone dikombinasikan
dengan ACE inhibitor/ARB. Walaupun ACE inhibitor ataupun ARB dapat
mengurangi produksi dari aldosteron namun tidak dalam jangka panjang.
Spironolakton merupakan antagonis aldosteron yang paling banyak digunakan,
dimulai dengan dosis 12,5 mg perhari yang ditambahkan pada terapi ACE
inhibitor pada pasien dengan fnctional class IV. Resiko kematian berkurang dari
46% menjadi 35%, penurunan indikasi rawat inap sebesar 35% dan peningkatan
kelas fungsional (ACC/AHA, 2009). Spironolactone bekerja melalui blokade
reseptor mineralokortikoid sehingga dapat menghambat remodeling ventrikel dan
fibrosis kardial (Parker et.al., 2008). Dosis spironolakton untuk antagonis
aldosteron 12,5 – 25 mg sekali dalam sehari. Dalam 2 clinical trial didapatkan
hasil spironolakton dosis rendah dapat mengurangi resiko kematian dan
rehospitalization pada pasien gagal jantung. Efek samping mayor dari
penggunaan spironolacton adalah hiperkalemia karena spironolakton menghambat
ekskresi dari kalium, sehingga perlu monitoring serum kalium dan fungsi ginjal
karena gangguan ekskresi kalium (ACC/AHA, 2009).
Pemberian terapi Ranitidin untuk menangani problem medik mual pada
pasien. Ranitidin merupakan antagonis H2 dengan cara mengurangi sekresi asam
lambung sebagai akibat dari hambatan reseptor H2 (Sweetman, 2009). Mual yang
timbul pada pasien merupakan gejala klinis dari gagal jantung. Hal ini terjadi
karena adanya udem pada usus dan juga karena perfusi darah yang menuju GIT
terganggu (Parker, et al, 2008). Pada pasien gagal jantung kronik yang berat
terjadi penurunan berat badan yang akan mengakibatkan sindrom cardiac
cachexia. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti hilangnya nafsu makan,
malabsorbsi karena edema pada gastrointestinal, meningkatan metabolisme dan
level dari proinflammatory cytokin (Vardeny et al., 2008).
Digitalis memiliki efek inotropik positif digunakan untuk meningkatkan
kontraktilitas miokard. Mekanisme kerja digoksin adalah menghambat pompa Na-
K ATPase yang menghasilkan peningkatan natrium intraseluler. Mekanisme
tersebut meningkatkan cadangan kalsium intraseluler pada retikulum
sarkoplasmik pada otot jantung pada otot jantung yang akan meningkatkan
kontraksi otot. Digoksin ditambahkan pada pasien HF yang tetap menunjukkan
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
26
gejala meskipun telah diberikan terapi optimal ACEI, ARB, β bloker, dan
diuretik., atau dengan pasien yang bersamaan dengan adanya atrial fibrilasi untuk
memperlambat laju ventrikel. (Parker et a.l, 2011). Dosis digoxin dimulai dari
0,125 – 0,25 mg perhari. Beberapa placebo-controlled trials menyatakan bahwa
terapi menggunakan digoxin selama 1 – 3 bulan dapat memperbaiki gejala,
kualitas hidup dan toleransi latihan pada pasien dengan gagal jantung ringan
sampai sedang (ACC/AHA,2009). Konsentrasi serum digoksin yang diinginkan
adalah 0,5 – 1 ng/mL untuk mengurangi efek toksisitas dari digoksin (Parker et
al., 2008). Toksisitas digoxin yang perlu di waspadai adalah cardiac aritmia,
gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah, anorexia, dan gangguan
neurologikal (gangguan pengelihatan, disorientasi dan kebingungan) (ACC/AHA,
2009).
Lisinopril merupakan ACE inhbitor yang memegang peranan penting dalam
pencegahan dan pengobatan gagal jantung pada semua tahap. Pada beberapa
penelitian klinik menyebutkan bahwa pemberian inhibitor ACE terbukti dapat
mencegah dan menghambat perkembangan gagal jantung, mengurangi gejala,
meningkatkan toleransi latihan, mengurang resiko kematian jangka panjang, serta
mengurangi kejadian rawat inap berulang pada pasien gagal jantung (Mann, 2008).
Mekanisme kerja dari inhibitor ACE adalah menginhibisi enzim yang berperan
terhadap konversi angiotensin menjadi angiotensin II. Inhibitor ACE dapat
menghambat kininase II, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan bradikinin,
yang akan meningkatkan efektivitas dari supresi angiotensin. Inhibitor ACE
menstabilkan LV remodeling, meringankan gejala, mengurangi kemungkinan
opname, dan memperpanjang harapan hidup (Brunton et al., 2008). Efek samping
yang banyak terjadi pada pemberian inhibitor ACE adalah hipotensi diikuti rasa
pusing atau disfungsi renal menjadi lebih berat (Lacy et al., 2009).
Terapi pemberian GG dan Dextromethorphan untuk mengatasi problem
medik batuk pada pasien. Pasien mengeluhkan batuk berdahak, sehingga
pemberian Dextromethorphan dirasa kurang tepat karena DMP berkerja dengan
cara menghambat pusat batuk di medulla (Sweetman, 2009). Sedangkan
pemberian GG/guaifenesin digunakan untuk merangsang produksi sputum dan
menurunkan viskositas dari sputum (Lacy et al, 2009).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
27
Pada tanggal 26/11 tanda vital pasien membaik, pasien tidak lagi
merasakan mual namun masih sesak, batuk dan lemas. Sehingga pemberian
ranitidin dihentikan. Pada tanggal 27/11 Kondisi umum pasien masih lemah dan
pasien mengeluhkan pusing. Suhu badan pasien 36,2 °C, RR 20 x/menit, namun
tekanan darah 110/70 dan nadi 76 x/menit. Sehingga terapi Furosemide
diturunkan dosisnya menjadi 2 x 20 mg, sedangkan terapi lainnya tetap. Kondisi
umum pasien masih lemah dan pusing. Suhu badan, nadi dan RR relatif normal.
Namun tekanan darah pasien menurun menjadi 90/60, sehingga terapi Furosemide
diturunkan menjadi 1 x 20 mg.
Kondisi umum pasien membaik namun masih lemah. Suhu, nadi, dan RR
dalam rentang normal. Tekanan darah 110/80. Pasien sudah tidak sesak namun
masih sedikit batuk. Pasien mengeluhkan batuk bertambah parah setelah
meminum Lisinopril dan obat sudah tidak diminum selama 2 hari. Sehingga terapi
Lisinopril digantikan dengan Valsartan 1 x 40 mg. Sebagai Angiotensin II
Reseptor bloker, terapi valsartan dimulai dari dosis kecil 20-40 mg dua kali sehari
kemudian untuk dosis pemeliharaan 160 mg dua kali sehari. Pemakaian valsartan
harus dimonitor tekanan darah, fungsi ginjal, dan serum kalium (Parker et al.,
2008).
Angiotensin II Reseptor bloker merupakan inhibitor selektif yang
menghambat ikatan Angiotensin II dengan reseptor AT1, menghambat sistem
Renin-Angiotensin-Aldosteron, mengakibatkan vasokonstriksi, sehingga
pembuluh darah mengalami vasodilatasi. Obat ini ditoleransi dengan baik pada
pasien yang tidak dapat diberikan terapi inhibitor ACE karena batuk, rash kulit,
dan angioedema (Opie, 2007). Batuk terjadi pada 40 % pasien gagal jantung yang
menerima terapi inhibitor ACE. Akumulasi bradikinin pada penggunaan inhibitor
ACE dapat menyebabkan batuk pada pemakaian 1 bulan pertama inhibitor ACE,
dan membaik pada 1 – 2 minggu pemberhentian pemakaian inhibitor ACE,
sehingga penggantian inhibitor ACE dan ARB dirasa tepat untuk pasien yang
tidak dapat mentolelir batuk (Parker et al., 2008).
Walaupun inhibitor ACE dan ARB menghambat sistem renin-angiotensin,
kedua golongan obat ini bekerja dalam mekanisme yang berbeda. Inhibitor ACE
memblokir enzim yang berperan dalam mengkonversi angiotensin I menjadi
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
28
angiotensin II, ARB memblokir ikatan angiotensin II pada reseptor angiotensin
tipe I sehingga menyebabkan vasodilatasi, penurunan vasopresin dan mengurangi
sekresi aldosteron sehingga menurunkan retensi natrium dan air yang
mengakibatkan penurunan tekanan darah (Ghosh et al., 2010; Opie, 2007). ARB
tidak mempengaruhi jalur siklooksigenase dan tidak memproduksi bradikinin
(yang diaktifkan oleh inhibitor ACE), sehingga ARB dapat menghambat aktivasi
sistem RAAS secara lebih komplit (Thang, 2007).
Beberapa penelitian klinik menunjukkan manfaat terapeutik dari
penambahan ARB pada terapi inhibitor ACE pada pasien HF kronis. Baik
inhibitor ACE maupun ARB memiliki efek serupa terhadap tekanan darah, fungsi
ginjal, dan potasium. Sehingga efek samping kedua obat tersebut serupa (Mann,
2008). Efek samping yang biasa terjadi pada pemakaian ARB adalah hipotensi,
disertai pusing, kelelahan, hiperkalemia, dispepsia dan diare. Efek samping yang
potensial terjadi adalah infeksi saluran pernafasan atas, batuk, pusing, nyeri perut,
dispnea, angioedema (Lacy et al, 2009).
Studi Val-HeFT (Valsartan Heart Failure Trial) yang dipublikasikan oleh
New England Journal of Medicine membandingkan antara pemberian valsartan
dan placebo pada pasien gagal jantung kelas II sampai IV NYHA. Studi dilakukan
pada 5010 pasien dengan menerima terapi valsartan 160 mg atau plasebo dua kali
sehari. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian terapi valsartan menghasilkan
peningkatan perbaikan klasifikasi kelas NYHA, peningkatan EF, penurunan gejala
dan meningkatkan kualitas hidup pasien dibandingkan dengan plasebo. Hasil
penelitian menemukan bahwa pemberian valsartan mengurangi mortilitas dan
morbiditas secara signifikan dan mengurangi gejala pada pasien gagal jantung
(Cohn dan Tognoni 2001).
Pada tanggal 30/11 pasien telah mengalami perbaikan tandavital dan
keluhan berkurang sehingga diperbolehkan untuk keluar rumah sakit dengan
membawa obat Furosemide 1 x 10 mg, Spironolakton 1 x 25 mg, Digoxin 1 x 1,25
mg, dan Valsartan 1 x 40 mg.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
29
DAFTAR PUSTAKA
ACC/AHA,. 2009. ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and Management
of Heart Failure in Adults: A Report of the American College of
Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines. Dallas : American Heart Association, Inc.
Brunton, L., Parker,K., Blumenthal, D., and Buxton, I., 2008. Goodman &
Gilman: Manual of Pharmacology and Therapeutics, New York : The
McGraw-Hill companies, Inc. pp 561 – 577.
Cohn,J.N., and Tognoni,G., 2001. Val-HeFT (Valsartan Heart Failure Trial
Investigators): A Randomized Trial of the Angiotensin-Receptor Blocker
Valsartan in Chronic Heart Failure. The New England Journal of
Medicine, Vol. 345, No. 23
Ghosh, S.A., Sanjeev K and G.N. Mehta., 2010. A short and efficient synthesis of
Valsartan via Negishi reaction. Beilstein of Organic Chemistry.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Pedoman Intepretasi Data
Klinik. Jakarta
Lacy, C.F; Amstrong, L.L; Goldman, M.P; Lance, L., 2009. Drug Information
Handbook, Ohio : Lexi-Comp. Inc.
*Mann, D.L., 2008, Heart Failure and Cor Pulmonale, In: Liby P, Bonow RO,
Mann DL, and Zipes, D.P., Braundwald’s Heart Disease A Textbook of
cardiovascular Medicine, 8th edition Elsevier Inc., Philadelphia, pp 509-
724.
*Mann, D.L., 2007, Management of Heart Failure Patiens with Reducted Ejection
Fraction, In: Liby P, Bonow RO, Mann DL, and Zipes, D.P., Braundwald’s
Heart Disease A Textbook of cardiovascular Medicine, th edition. USA:
Elsevier Inc.
McMurray, J.J.V., 2010. Systolic Heart Failure. The New England Journal of
Medicine, Vol. 362, No. 3
Opie, L.H., 2007, Heart Failure, In: Libby, P., Bonow, R.O., Mann, D.L., and
Zipes, D.P., BRAUNWALD’S Heart Disease : A Textbook of
Cardiovascular Medicine, 8th edition USA : Elsevier Inc.
Parker, Robert B., Rodgers, Joe., Cavallari, and Carisa H., 2008, Heart Failure, In:
Dipiro T.J, Talbert R.L, Yee G.C, Matzki, G.R., Weels, B.G., and Posey,
L.M.,, Pharmacotherapy A Pathophysiology Approach, 7th edition The
cGraw Hill Companies, Inc., New York, pp.173-216.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
30
Sweetman, 2009. Martindale, 36 th
ed, London : Pharmacetical Press
Tang, W.H.W., and Young, J.B., 2007, Chronic Heart Failure Management, In:
Topol EJ, Textbook of Cardiovascular Medicine, third edition, Lippincott
Williams & Wilkins, USA, pp 1373 – 1391
Trissel, L.A. 2009. Handbook on Injectable Drugs, 15 th ed, Maryland : American
Society of Health-System Pharmacists, Inc
Vardeny, O; Tien, M.H.. 2008, ‘Heart Failure’, In DiPiro, J.T., L., Yee, G.C.,
Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. (eds), Pharmacotherapy: a
pathophysiologic approach, 7th ed, The McGraw-Hill Companies, Inc.,
United States of America.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
1
BAB 1
1.1 Sirosis Hepatik
1.1.1 Definisi
Sirosis adalah keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif (Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).
1.1.2 Etiologi
Keadaan sirosis dapat disebabkan beberapa hal, yaitu:
1. Virus hepatitis VHB dan VHC (komplikasi akhir dari penyakit ini adalah
Sirosis Hepatis).
2. Alkohol (zat toksik yang paling sering dikonsumsi dan merusak hepar).
3. Hemokromatosis (akumulasi zat besi yang berlebihan di hepar).
4. Penyakit auto imun hepar (hepatitis ‘lupoid’ dan sirosis biliaris primer).
5. Obstruksi biliaris rekuren (misalnya batu empedu).
6. Penyakit Wilson (akumulasi tembaga yang berlebihan di hepar) (Sease et al,
2008).
1.1.3 Patofisiologi
Adanya pembahasan sirosis harus didasarkan pada suatu pemahaman pasti
dari anatomi hepatik dan persediaan vaskuler. Secara konseptual, hati dapat
dikatakan sebagai suatu elaborasi filtrasi sistem penerima darah dari vena portal
dan arteri hepatik. Darah masuk hati melalui rangkaian tiga saluran portal dan
saluran melalui lobule hepatik, unit fungsional yang paling kecil dari sistem
filtrasi ini, dan ke dalam vena pusat . Lobule hepatik adalah dalam keadaan
heksagonal, disudut dimana terdapatnya lokasi rangkaian tiga saluran portal, yang
berisi cabang yang paling kecil pembuluh darah vena portal dan arteri hepatik,
seperti halnya empedu dan kelenjar lymphatik. Dalam lobule, hepatositas
individu, mengatur plat, menyebar dari peripheral ke vena pusat. Lobule hepatic
dapat menunjang zona fungsional dasar suplai oksigen relatif. Arteri hepatik
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
2
suplai darah yang kaya oksigen pada rangkaian vena portal. Hepatocytes di
peripheral menerima lebih tinggi oksigen dibanding sel dekat vena pusat.
Arteri dan pembuluh darah vena dari tiga rangkaian portal lewat melalui
lobule hepatik pada vena pusat melalui hepatik sinusoid. Setelah melintasi lobule
hepatik, darah berkumpul di vena pusat, yang akhirnya bersatu ke dalam vena
hepatik, yang kemudian masuk ke dalam vena cava inferior.
Di area kerusakan hepatoseuler, mengabaikan sifat alami agen inciting,
stellate sel, secara normal melibatkan penyimpanan retinoid seperti vitamin A,
menjadi aktif, menghilangkan retinoid mereka, dan kembangkan bentuk fibroblas.
Mereka kemudian menjadi sumber utama kolagen dan matriks protein lain
berkembang selama fibrosis.
Peghilangan progresif dari material fibrous dalam
sinusoid mengganggu darah normal mengalir sepanjang lobule hepatik. Ketika
jaringan fibrous berkumpul, penahanan pada darah portal meningkatkan aliran,
menghasilkan persisten dan meningkatnya progresif dalam tekanan darah portal,
atau hipertensi portal ( PHT). Tekanan vena portal normal adalah 5 sampai 10
mmHg. Secara klinis PHT signifikan ketika tekanan pembuluh vena portal
meningkat sampai batas di mana 10 mmHg lebih besar dari tekanan dalam vena
cava inferior.
Ada juga bukti perubahan mediator vasodilator dan vasokonstriktor
mengatur aliran darah sinusoidal hepatik. Penurunan produksi dari nitric oksida
yang bertindak sebagai suatu vasodilator, dan suatu peningkatan di dalam level
vasokonstriktor kombinasi endotel untuk meningkatkan tahanan pada aliran darah.
Secara bersamaan, di sana juga nampak peningkatan dalam aliran darah vasculatur
splan melalui nitric oksida efek mediasi pada arteriol splan. Perubahan pisiologis
ini adalah target pendekatan terapi farmakologis.
Secara ringkas, cirrhosis mengakibatkan tingginya tekanan darah portal
karena perubahan fibrotik di dalam hepatik sinusoid, perubahan level mediator
vasodilator dan vasokonstriktor, dan peningkatan aliran darah pada vasculatur
splan.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
3
1.1.4 Komplikasi
a. Hipertensi portal.
Merupakan faktor pemicu untuk komplikasi dari sirosis hati penyakit
ascites, SBP), perdarahan varises, dan ensefalopati hati. Menurunkan tekanan
portal dapat mengurangi komplikasi sirosis dan penurunan morbiditas dan
mortalitas. Tekanan vena portal normal adalah antara 5-10 mmHg, sedagkan
hipertensi portal terjadi ketika tekanan vena portal melebihi 10-12 mmHg (Ryan,
2008).
Gejala sisa klinis yang paling penting dari hipertensi portal adalah
pengembangan varises atau rute alternatif aliran darah dari vena portal ke sirkulasi
sistemik. Varises dapat terjadi pada saluran pencernaan , namun rute yang paling
signifikansi yang paling klinis melalui vena lambung kiri dengan perkembangan
varises esofagus. Pasien dengan sirosis beresiko untuk perdarahan varises saat
tekanan vena portal 12 mm Hg lebih besar dari tekanan vena kava. Perdarahan
dari varises terjadi pada 25 % - 40 % pasien dengan sirosis (Sease et al, 2008).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
4
Gambar 1. manajemen hipertensi portal (Tsao dan Limm, 2009)
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
5
b. Asites
Pada keadaan hipertensi portal memicu vasodilatasi pada arteri limfa dan
menurunkan resistensi perifer (pelepasan nitrit okside). Hal tersebut menyebabkan
hipotensi sistemik yang dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatik dan system
renin-angiotensin sehingga meningkatkan retensi natrium dan air. Adanya
peningkatan tersebut dapat menyebabkan vasokonstriktor, tetapi terjadi
vasodilator pada limfa yang dapat meningkatkan aliran darah ke hati. Keadaan
tersebut dapat menyebabkan terjadinya hipertensi portal, sehingga cairan yang ada
di vena portal tereksavasasi ke rongga perut dan menyebabkan (Sease, et al,
2008).
Gambar 2. Patofisiologi Asites (Sease, et al, 2008)
Pada keadaan ascites sangat rentan juga terjadi Spontaneus Bacterial
Peritonitis (SBP). SBP merupakan infeksi yang terdapat pada cairan ascites.
Patogenesis SBP belum banyak diketahui. Tetapi beberapa sumber mengatakan
SBP disebabkan organisme dari usus masuk melalui aliran darah, dimana pada
kondisi ascites permeabilitas rongga peritoneal meningkat. Cairan ascites
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri karena kadar leukosit dan
albumin yang rendah. Beberapa bakteri yang menyebabkan SBP adalah gram
negatif Enterobacteriaceae (Sease, et al, 2008).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
6
AASLD merekomendasi penggunaan terapi diuretik dengan spironolakton
serta furosemid. Sebelumnya, digunakan spironolakton sebagai monoterapi.
Tetapi drug-induced dari spironolakton adalah hiperkalemia, maka spironolakton
hanya direkomendasikan pada pasien dengan minimal cairan yang berlebih
(Sease, et al, 2008).
c. Perdarahan varises akut
Perdarahan pada varises secara khas menunjukkan hematemesis atau
melena. Pentingnya faktor risiko seperti penyalahgunaan alcohol, penggunaan
NSAID atau aspirin, atau riwayat perdarahan varises sebelumnya. Perdarahan
varises sekunder dengan portal hipertensi dapat terjadi pada pasien tanpa adanya
tanda penyakit hati, misalnya pada pasien dengan trombosis vena portal.
Penilaian awal dapat menetapkan keparahan perdarahan, keparahan kelainan
organ lain, dan keparahan penyakit hati (Sease, et al, 2008).
Tujuan dari pengobatan awal adalah a) resusitasi cairan yang adekuat, b)
koreksi koagulopati dan trombositopenia, c) kontrol perdarahan, d) pencegahan
perdarahan kembali, dan e) memelihara fungsi ginjal. Manajemen dari perdarahan
varises akut, adalah:
Gambar 3. Manajemen dari perdarahan varises akut (Sease, et al, 2008).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
7
d. Hepatic encephalopathy
Gangguan hati akan menimbulkan gangguan metabolisme protein ,
sehingga dapat menimbulkan kekacauan berfikir dan status mental, yang disebut
Hepatic encephalopathy (HE). Timbulnya HE dapat merupakan pertanda awal
terjadinya GI Bleeding, karena darah yang juga merupakan protein dipecah oleh
mikroba usus menjadi amoniak. Gejala HE dapat berupa kejang sampai penurunan
kesadaran (McPhee, 2009).Bleeding, karena darah yang juga merupakan protein
dipecah oleh mikroba usus menjadi amoniak. Gejala HE dapat berupa kejang
sampai penurunan kesadaran (McPhee, 2009).
Gambar 4. Hipotesis terjadinya HE (Frederick, 2011)
Terdapat beberapa hipotesis mengenai terjadinya HE, yaitu:
(1) Peningkatan zat toksin (amoniak) dalam tubuh; peningkatan amoniak
dapat terjadi karena intake protein yang tinggi, GI bleeding, penggunaan
TIPS (transhepatic intrahepatic portosystemic shunts).
(2) Peningkatan permeabilitas Blood brain barrier (BBB), sehingga zat-zat
toksin dapat menembus BBB dengan mudah.
(3) Peningkatan produksi Neurosteroid seperti allopregnanolon, yang dapat
memodulasi resptor gamma-aminobutyric acid (GABA)-A di otak. GABA
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
8
merupakan inhibitor terhadap sensor, karena terdapat suatu peningkatan
pada “GABA-ergic tone”.
False neurotransmiter yaitu Indol dan oksindol diproduksi oleh bakteri,
merkaptan, short-chain fatty acids, oktopamin dan mangan. Zat-zat
tersebut menimbulkan suatu respon seperti neurotransmiter GABA,
sehingga menimbulkan peningkatan respon reseptor GABA-A
(4) Pembengkakan Astrosit. Glutamin disintesis di astrosit. Adanya jumlah
amoniak yang banyak meningkatkankan aktivitas astrosit pada
pembentukan glutamat. Hal tersebut penyebabkan pembengkakan pada
astrosit hal ini menyebabkan disfungsi oksidativ dari mitokondria (Sease
et al, 2009; Frederick, 2011).
Penatalaksanaan HE dapat dihubungkan dengan patogenesisnya, meliputi:
1. Menurunkan produksi amoniak
Amoniak dirombak dari protein di usus oleh bakteri. Penggunaan laktulosa
dan antibiotik dapat mengatasi hal ini. Bakteri penghasil urea adalah
lactobacillus acidophylus & enterococcus faecum, pemberian neomisin
dan metronidazol dapat membatasi jumlah bakteri tersebut. Pemberian
laktulosa berfungsi untuk mengasamkan usus (asam laktat), sehingga NH3+
berubah menjadi NH4+ yang tidak bisa menembus lumen usus.
2. Memodulasi neurotransmisi
Penghambatan terhadap neurotransmiter dilakukan bila memang serangan
HE sudah terjadi. Penghambat reseptor GABA seperti flumazenil,
naloxone, bromocriptine, levodopa, and AChE inhibitors dapat digunakan.
3. Mengoreksi defisiensi nutrisi
Pemberian asam amino cabang (BCAA), dilakukan untuk mencapai
keseimbangan antara BCAA dengan and asam amino aromatis (AAA).
Karena pada pasien sirosis tidak tercapai keseimbangan tersebut, jumlah
AAA jauh lebih besar (AAA merupakan zat utama pembentuk false
neurotransmiter). Bila keduanya seimbang maka false neurotransmiter
tidak terbentuk (Sease et al, 2009; Frederick, 2011).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
9
1.2. Stroke
1.2.1. Definisi
Penurunan neurologik fokal yang mendadak yang terjadi akibat suplai
darah ke otak yang tidak adekuat, biasanya disebabkan adanya trombotik atau
emboli arterial menuju otak. (Winkler, 2009).
1.2.2 Etiologi
Stroke iskemik disebabkan oleh pembentukan thrombus lokal atau
fenomena emboli, yang mengakibatkan kerusakan arteri cerebral. Aterosklerosis
yang terjadi pada vaskularisasi cerebral merupakan penyebab utama pada kasus
stroke iskemik. Emboli dapat meningkat baik dari arteri intrakranial atau
ekstrakranial (termasuk pembuluh darah aorta) yang merupakan 20 % kasus
stroke iskemik. Emboli kardiogenik dapat terjadi pada pasien dengan fibrilasi
atrial, penyakit jantung atau beberapa kondisi dari jantung yang dapat
menghasilkan bentukan clot (bekuan darah/trombus) (Winkler, 2009).
Faktor risiko dari stroke, yaitu (Winkler, 2009) :
Faktor resiko yang tidak dapat diubah :
- Usia - Riwayat stroke keluarga
- Jenis kelamin - Berat badan lahir rendah
- Ras
Faktor resiko yang dapat diubah :
- Hipertensi - Alkohol
- Fibrilasi atrial - Merokok
- Penyakit jantung - Terapi hormon postmenopause
- Diabetes - Obesitas
- Dislipidemia - Diet
Potensial dapat diubah :
- Kontrasepsi oral
- Migrain
- Penyalahgunaan obat dan alkohol
- Faktor hemostatik dan inflamasi
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
10
1.2.3 Patofisiologi
Pada atherosklerosis karotid, akumulasi progresif dari lemak dan inflamasi
sel di daerah intima pada arteri, dikombinasi dengan hipertropi arteri sel otot polos
yang menghasilkan bentukan plak, rupture plak, paparan kolagen, agregasi
platelet dan pembentukan clot (bekuan darah/trombus). Clot yang tersisa pada
pembuluh darah menyebabkan oklusi lokal, atau menuju distal, lalu secepatnya
mengalir ke pembuluh darah otak. Pada akhirnya akan menurunkan aliran darah
otak dan menyebabkan iskemia. Aliran darah rata-rata ke otak adalah 50 mL/100
g per menit. Ketika aliran darah ke otak menurun di bawah 20mL/100 g per menit,
terjadilah iskemia, dan ketika menurun di bawah 12 mL/100 g per menit,
kerusakan otak pun terjadi yang disebut sebagai infark (Winkler, 2009).
1.2.4 Gejala Klinis
Pasien mengalami kelemahan pada satu sisi tubuh, ketidakmampuan
berbicara, kehilangan melihat, vertigo, atau jatuh. Stroke iskemia biasanya tidak
menyakitkan, tapi sakit kepala dapat terjadi dan lebih parah pada stroke
pendarahan. Pasien biasanya memiliki berbagai pertanda disfungsi sistem saraf
pada pemeriksaan fisik. Penurunan spesifik bergantung pada daerah otak yang
berpengaruh. Penurunan hemi- atau monoparesis dan hemisensori biasa terjadi.
Pasien dengan pengaruh sirkulasi posterior dapat mengalami vertigo dan diplipia.
Stroke sirkulasi anterior biasanya terjadi dalam aphasia. Pasien juga dapat
mengalami dysarthria, kerusakan daerah penglihatan, dan perubahan tingkat
kesadaran (De Freitas et al., 2009)
1.2.5 Penatalaksanaan Terapi
Tujuan terapi pada stroke akut adalah untuk (1) mencegah luka neurologis
(neurologic injury) lebih lanjut dan menurunkan resiko kematian dan
ketidakmampuan atau kelumpuhan jangka panjang, (2) mencegah komplikasi
sekunder karena immobilitas dan disfungsi neurologis, dan (3) pencegahan stroke
berulang (Fagan and Hess, 2008).
Penatalaksanaan terapi penderita stroke iskemik atau stroke infark
trombotik meliputi terapi umum dan penyulit akut serta melakukan terapi spesifik
akut.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
11
Terapi umum meliputi :
1. Memelihara jalan nafas (fungsi respiratori), misalnya dengan Head Up,
Pemberian O2.
2. Memelihara fungsi kardiovaskuler, misalnya dengan pemberian terapi anti
platelet dan anti koagulan.
3. Mengatasi febris dengan obat antipiretika, kompres dingin, dan sedapat
mungkin mengatasi sumber penyebabnya.
4. Memantau dan mengelola tekanan darah dengan berpedoman pada
konsensus, bahwa obat antihipertensi diberikan jika tekanan darah sistolik >
220 mmHg atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg. Untuk menjaga
tekanan darah dan mencegah serangan stroke berulang, terapi antihipertensi
dapat diberikan dalam selang 7 hari setelah onset stroke iskemia
(PERDOSSI, 2011).
5. Memantau dan mengelola kadar glukosa darah, karena pada stroke iskemik
akut, hipoglikemia maupun hiperglikemia dapat memperburuk kondisi otak.
Hiperglikemia yang sering dijumpai pada stroke iskemik akut
mengakibatkan semakin meluasnya kerusakan sel otak karena asidosis
laktat. Karena itu, kadar gula darah di atas 200 mg% harus segera
diturunkan dengan suntikan insulin. Demikian pula setiap tindakan yang
dapat mengakibatkan hiperglikemia seperti pemberian infus dekstrose harus
dihindarkan.
Penyulit neurologik yang perlu diwaspadai pada stroke iskemik akut
terutama adalah edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial, kejang, serta
transformasi perdarahan pada infark:
1. Pada stroke iskemik akut, edema otak sering terjadi pada hari 3-5 setelah
serangan dan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial.
Penatalaksanaan edema otak dengan tekanan intrakranial adalah sebagai
berikut:
a. Melakukan elevasi tempat tidur pada bagian kepala hingga 20-30 derajat
untuk memperbaiki aliran darah vena.
b. Hiperventilasi (dengan ventilator) sampai PCO2 30-50 mmHg untuk
menurunkan tekanan intrakranial, tetapi hiperventilasi ini hanya bisa
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
12
dilakukan sementara waktu saja, karena vasokonstriksi serebral yang
ditimbulkan dapat memperburuk iskemia.
c. Osmoterapi dengan menggunakan larutan manitol 20% dengan dosis
awal 1-1,5 g/kg BB selama 20 menit, dilanjutkan dosis 0,25-0,5 g/kg BB
setiap 4-6 jam.
d. Tindakan bedah
2. Kejang pada umumnya terjadi sejak kurun waktu 24 jam setelah serangan
carbamazepin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengatasi
kejang pada stroke iskemik akut, akan tetapi jika kejang berlangsung parsial
atau status, pemberian injeksi fenitoin intravena lebih cepat dalam mencapai
kadar tunak dalam darah.
3. Sekitar 5% kasus stroke iskemik akut akan mengalami transformasi
perdarahan simtomatik. Penggunaan obat antitrombotik dapatdapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya transformasi perdarahan pada infark
otak. Dalam hal tersebut, penggunaan trombolitik dan antikoagulan harus
segera dihentikan. Bila hematom sangat luas atau terjadi di serebelum, perlu
dipertimbangkan tindakan operatif.
Terapi spesifik pada stroke iskemik akut meliputi (Poerwadi et al., 2006):
1. Pemberian suntikan rtPA intravena 0,9 mg/kg BB dengan dosis maksimal
90 mg, dilakukan dengan prosedur tertentu. Berdasarkan kriteria NINDS
(National Institute of Neurologikal Disorders and Stroke), pemberian rtPA
hanya dilakukan dalam selang waktu 3 jam setelah serangan stroke iskemik
akut, gambaran CT scan kepala tidak menunjukkan adanya perdarahan,
penderita tidak pernah mengalami trauma kepala maupun stroke selama 3
bulan terakhir, serta tekanan darah sistolik < 185 mmHg dan diastolik < 110
mmHg.
2. Asetosal dosis rendah (100-300) diberikan sejak dini, yaitu sejak selang
waktu kurang dari 48 jam setelah serangan stroke iskemik akut.
3. Pemberian obat neuroprotektan, misalnya piracetam dan citicoline dan Pro 8
Gly 9-Pro 10 ACTH (4,10) yang diduga dapat melindungi neuron dari
kematian sel akibat iskemia, dapat diberikan sejak dini.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
13
BAB II
FORMAT ASUHAN KEFARMASIAN
LAPORAN KASUS
Inisial Pasien : Tn. MT Berat Badan : 50 kg No.RM : 075409
Umur : 78 tahun Tinggi Badan : 160 cm
Keluhan Utama : mata kuning sejak 5 hari yang lalu, perut sakit, mual,
muntah
Keluhan Tambahan : mual sejak lima hari yang lalu, perut terasa sebah dan
kembung, nafas menurun.
Diagnosis : CH + ensefalopati hepatica st 1 + Jaundice
Alasan MRS : mata kuning sejak 5 hari yang lalu, makan minum
menurun, BAB tidak hitam, tidak muntah darah, post opname 1 bulan yang lalu,
perut sakit, warna kuning kemudian merata dan bicara meracau.
Riwayat Penyakit : Liver post opname 1 bulan yang lalu, Diabetes melitus
Riwayat Pengobatan :levemir, glucobay,
Alergi : -
Kepatuhan - Obat Tradisional -
Merokok - OTC -
alkohol - Lain-lain -
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
14
Catatan Perkembangan Pasien
Tanggal Problem/ Kejadian/Tindakan Klinisi
26/11 Pasien datang dengan keluhan mata kuning sejak 5 hari yang
lalu, perut sakit, mual, muntah. Dengan kondisi klinik lemah, HR
110/70; Nadi 80; RR 20; dan suhu 37.
Pasien mendapatkan terapi infus comafusin : ivelip; antibiotik
ceftriakson, antibiotik kanamicin, sirup Dexanta, sirup Laxadin,
Pantoprazol, Grahabion serta Asam Folat. Terapi tetap sampai
tanggal 29/11
29/11 Pasien mendapatkan terapi Graphalac (lactulose).
30/11 Pasien mengalami penurunan kesadaran, sehingga
ditambahkan terapi Dopamin 400 mg dlm 500 cc NS.
2/12 Kesadaran pasien masih belum mendapatkan perbaikan
sehingga Dopamin diberikan secara drip.
3/12 Pasien tidak mengalami perbaikan kesadaran sehingga terapi
Dopamin dihentikan. Didapatkan nilai eritrosit pasien
menurun pada tanggal 2/12 sehingga dilakukan tranfusi
PRC 2 bag.
6/12 Pasien mengalami diare pada tanggal 5/12 sehingga terapi
Laxadin dihentikan. Data lab tanggal 5/12 menunjukan
terjadi hipokalemia pada pasien yaitu 2,98 sehingga
diberikan terapi KSR.. Terjadi penurunan fungsi kognitif
pasien sehingga ditambahkan Brainact (Citicolin), Plavix
(Clopidogrel), dan Profenid (Ketoprofen).
10/12 Ditambahkan injeksi KCl karena kondisi hipokalemia pasien
belum membaik (2,68). Diberikan tranfusi albumin 20%
karena terjadi hipoalbumin pada pasien pada tanggal 9/12
(2,3)
11/12 Terapi Graphalac dan Profenid dihentikan. Pasien masih
mengeluhkan nyeri sekujur badan walaupun telah diberikan
Profenid sehingga terapi digantikan dengan Durogesic
(Fentanyl)
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
15
12/12 Grahabion digantikan oleh Sohobion. Terapi dihentikan
kecuali pemberian transfusi albumin, Brainact, Plavix, dan
kombinasi KSR dan KCl karena asien masih mengalami
hipokalemia.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
16
DOKUMEN FARMASI PENDERITA
No. RM : 075409
Nama/Umur : Tn. MT
BB/TB/LPT : 50 kg/ 160 cm/ -
Riwayat alergi : Tidak diketahui
Diagnosis :
CH + ensefalopati hepatica st. I + jaundice + Stroke iskemia
Riwayat Penyakit : Liver post opname 1 bulan yang lalu,
Diabetes melitus
Riwayat Pengobatan : levemir, glucobay
Alasan MRS : mata kuning sejak 5 hari yang lalu, makan minum
menurun, mual muntah, kembung, nafas menurun, BAB tidak
hitam, tidak muntah darah, post opname 1 bulan yang lalu, perut
sakit, warna kuning kemudian merata dan bicara meracau.
No. Nama Obat
Dagang/Generik Rute Regimen Dosis
26-
29/11 30/11 1/12 2/12
3-
5/12 6-
8/12 9/12 10/12 11/12 12/12
13/
12
1. Infus comafusin: ivelip Iv 100 cc : 200 cc √ √ √ √ √ √ √ √ √ //
2. Albumin 20% Iv 100 ml - - - - - - - √ √ √ √
3. Ceftriaxon Iv 2 x 1 gram √ √ √ √ √ √ √ √ √ //
4. Kanamisin Po 3 x 250 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ //
5. Dexanta sirup Po 2 x 15 ml √ √ √ √ √ √ √ √ √ //
6. Laxadyn sirup Po 3 x 15 ml √ √ √ √ √ //
7. Panlog (pantoprazol) iv 2 x 40 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ //
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
17
No. Nama Obat
Dagang/Generik Rute Regimen Dosis
26-
29/11 30/11 1/12 2/12
3-
5/12 6-
8/12 9/12 10/12 11/12 12/12
13/
12
8. Dopamin Iv 5 mcg - √ √ √ - - - - - √
9. Grahabion (vitamin B
komplek) po 1 x 1 tablet √ √ √ √ √ √ √ √ √ //
10. Sohobion (vitamin B
komplek) po 1 x 1 tablet - - - - - - - - - √ √
11. Asam folat po 1 x 1 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ //
12. KSR Po 3 x 600 mg - - - - - √ // - - √ √
13. KCl iv
50 mg dlm
500 NS/24
jam
- - - - - - - √ √ √ √
14. Brainact (citikolin) iv 2 x 500 mg - - - - - √ √ √ √ √ √
15. Plavix (clopidogrel) po 1 x 75 mg - - - - - √ √ √ √ √ √
16. Profenid (ketoprofen) Rec
tal 2 x 100 mg - - - - - √ √ √ //
17. Graphalac po 3 x 15 ml - √ √ √ √ √ √ √ //
18. PRC Iv 2 kolf √ √
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
18
Data Klinik
Tanda Vital Nilai
Normal 26/11 27/11 28/11 29/11 30/11 1/12 2/12 3/12 4/12 5/12 6/12 7/12 8/12 9/12 10/12
Tekanan
Darah (<130/80)
120/7
7
110/7
0
100/6
0
100/6
0 80/60
100/6
0 90/60
100/6
0
100/6
0 90/50 90/50 80/60
110/7
0 90/60
100/6
0
Suhu (37 ± 0,5) °C 36 37 36,6 37 36,6 37 36 36,6 36,8 36 36,3 37,2 38,1 37,4 36,7
Nadi 80-100
x/menit 72 80 110 105 105 90 100 100 68 104 100 80 88 97 80
RR 18 – 20
x/menit 20 20 20 20 20 22 22 20 18 24 24 22 20 24 25
GCS 456 456 456 324 456 312 446 336 436
nyeri + + + + + + + + + + + + + + +
Urine
output 600 700 600 2000 750 500 1000 400 950
Defikasi 1 x 1 x 1 x 1 x 7 x 4 x
Lemas + + + + + + + + + + +
Kuning + + + + + + + + + + +
Mual dan
sebah + +
Gelisah + + +
Komentar :
Nilai Nadi pasien mengalami fluktuatif naik turun, pada saat MRS nilai nadi turun, namun terjadi tachycardia pada tanggal 28-30/11 dan 5/12
Nilai respiratory rate pasien juga fluktuatif, dan terjadi mengalami kenaikan/tachypneu > 20 x/menit
Nilai Nadi dan RR yang mengalami kenaikan dari normal ditambah dengan peningkatan leukosit menandakan pasien mengalami infeksi.
Pasien juga mengalami penurunan kesadaran pada tanggal 29/11. Penurunan kesadaran merupakan masnifestasi klinik dari HE
Pasien juga mengalami konstipasi
Pada tanggal 29/11 kesadaran pasien juga menurun karena pada pasien HE menyebabkan penurunan kesadaran.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
19
Data Laboratorium
No. Data
Laboratorium Normal 26/11 27/11 2/12 5/12 6/12 7/12 9/12 12/12 Komentar
1. K 3,5-5 4,55 4,35 3,81 2,98 2,68 3,18 Pasien mengalami deplesi elektrolit
sehingga terjadi hiponatremia, hipokalemia
dan hipokalsemia.
Nilai BUN pasien meningkat hal ini
dikarenakan penurunan penurunan fungsi
metabolisme protein di hati dan penurunan
fungsi ginjal dalam mengekskresi urea.
Nilai bilirubin mengalami peningkatan
karena terjadinya kerusakan pada hepar
sehingga bilirubin tidak dapat
dimetabolisme dan kadarnya tinggi dlm
darah Sedangkan albumin menurun karena
albumin disintesa di hati sehingga apabila
fungsi hati menurun, maka sintesa albumin
juga menurun (Ryan, 2008).
Pasien mengalami anemia yang ditunjukkan
oleh penurunan kadar hemoglobin, eritrosit
dan hematokrit karena kondisi penurunan
produksi eritrosit dan hipersplenisme
(Ryan, 2008).
2. Na 135 - 145 128,4 126,8 123,3 129,4 126 128
3. Cl 95 - 108 93,2 98,6 94,6 98,2 93,2 97,5
4. BUN 10-24 16 30,1
5. SCr 0,5 – 1,5 0,9 1,0
6. T bil 0,3 – 1,1 28,3 22,9 22,8 19,8 25,2
7. D bil 0,1 – 0,4 17,7 15,2 14,6 13,7 17
8. Bilirubin
indirek <0 ,75 12,6 7,7 6,1 8,2
9. Gluc 70 - 105 102 103 85
10. Chol 0-250 132 95 81
11. Trigliserida 30-150 240 199
12. UA 3,4 – 7,0 2,8 2,3 2,8
13. Albumin 3,8 – 5,1 3,1 2,3 2,9 2,3
14.
GDA
< 200
mg/dL 142 139 103 85
15. SGOT 0 – 35 104 89 47 97 110
16. SGPT 0 - 37 76 46 79 58 63
18 Hb 11 - 16 11,4 10,3 8,4 11 10,9 10,9 12,5
19 WBC 4 – 11,3
x 103/µL 16,3 14,9 13,0 15,8 15,7 15,9 19,8
20 HCT 37 - 54 33,6 29,8 25,8 38,2
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
20
No. Data
Laboratorium Normal 26/11 27/11 2/12 5/12 6/12 7/12 9/12 12/12
Peningkatan leukosit menandakan adanya
infeksi pada pasien.
Asam urat pasien sedikit tinggi. Hal ini
merupakan manifestasi dari ganguan fungsi
ginjal (Hepatorenal syndrome) yaitu
berkurangnya ekskresi asam urat melalui
urin.
21 MCV 80 – 100 91,5 92,4 98,6
22 MCH 27 - 34 31,1 31,9 32,1
23 MCHC 32 - 36 33,9 34,5 32,5
24 Eritrosit 4,0 – 5,0
x 106/µL 3,23 2,62 3,53 3,62 3,52 3,98
24 PLT 150 - 400 281 231 194
Hasil Pemeriksaan :
25/11 EKG : Sinus tachycardia (HR 100-130), Right Axis Deviation (Posterior Fascicular Block), probable right ventricuar hypertrophy,
anterosptal MI
Abdomen : Cembung, BU +, Hepatomegali, Spidernevi +, Caput Medusa +, Hepar teraba 2 jari di bawah procesus xypoideus
25/11 USG : hepar besar lobus kanan hepar normal, kiri membesar; disertai hypoechoic multiple ull eye’s nodul disemua segmen lobus
kiri, ginjal kiri mengecil, batu -, ectasis –
Kesan : multiple nodul di lobus kiri hepar curiga metastase proses walaupun belum menyingkirkan primer malignancy pd hepar, CKD kiri
Data lain
Child Pugh Scoring (CPS) :
Parameter Nilai Skor
Bilirubin 28,3 3
Albumin 2,3 3
Ascites none 1
HE 1 2
Nutrisi sedang 2
Jumlah 11
Kesimpulan : Child C (severe hepatic impairement)
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
21
Analisis Pengobatan
Tanggal
Pemberian
Jenis Obat Rute Dosis Frekuen
si
Indikasi obat
pada pasien
Pemantauan
Kefarmasian
Komentar dan Alasan
26/11 –
10/12 Infus
Comfusin :
Ivelip
iv 100 cc
: 200
cc
24 jam Mengatasi
HE
Tanda-tanda
HE
(tes
kesadaran,
fungsi kognitif,
behaviour ,
fungsi motorik,
dan test
psikomotorik)
pasien
Comafusin merupakan sediaan yang mengandung asam amino
rantai cabang dalam dosis tinggi. Terapi dengan formula kaya
asam amino rantai bercabang dan rendah asam amino aromatik
didasarkan pada hipotesa bahwa penurunan kadar asam amino
rantai bercabang (leusin, isoleusin, dan valin) serta
peningkatan kadar asam amino aromatik (fenilalanin, tirosin,
dan triptofan) dapat meningkatkan risiko HE melalui produksi
neurotransmiter palsu. Pemberian terapi ini bertujuan untuk
meningkatkan jumlah asam amino bercabang dalam tubuh,
sehingga meningkatkan jumlah asam amino bercabang yang
masuk ke dalam otak dan mencegah terbentuknya
neurotransmiter palsu. Secara acak, uji coba pada pemberian
formula kaya asam amino bercabang secara parenteral hanya
memberikan perbaikan pada HE tapi tidak menurunkan laju
kematian. Meskipun hasil penelitian terbaru secara umum
tidak mendukung penggunaan asam amino rantai bercabang
sebagai terapi untuk HE, tapi agen tersebut secara spesifik
berperan dalam menyeimbangkan nitrogen tanpa memicu HE
pada pasien malnutrisi dengan sirosis yang tidak dapat
mentoleransi suplemen protein (Riordan and Williams, 1997).
Ivelip berisi soybean oil 200 g, egg phospatides 12 g, glycerol
25 g, Na Oleat 0,3 g per liter. Mengandung energi 2000K.
Digunakan untuk pasien yang membutuhkan energi dan
sumber asam lemak essensial.
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
22
26/11 –
10/12 Ceftriaxon
iv 1 gram 2 dd 1 Terapi
antibiotik
empirik
untuk
profilaksis
SBP
Monitoring
tanda tanda
infeksi/SIRS
(Nadi, HR,
RR, Suhu,
Leukosit)
Pasien mengalami peningkatan WBC (16,3 x 103/mcL),
peningkatan suhu (37 ºC), peningkatan nadi dan RR
menandakan pasien mengalami infeksi. Pasien tidak
melakukan kultur bakteri sehingga antibiotik yang diberikan
pada pasien adalah antibiotik empiris spektrum luas yaitu
ceftriaxon. Pada pasien sirosis menunda pemberian antibiotik
dan menunggu hasil kultur tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan infeksi semakin berat dan juga kematian.
Diharapkan dengan pemberian antibiotik spektrum luas,
infeksi dapat teratasi. Pada pasien sirosis diberikan antibiotik
empiris yaitu sefalosporin generasi ke 3, salah satunya adalah
Ceftriakson (Sease et al., 2008). Namun, tanda-tanda infeksi
pada pasien tidak mengalami perbaikan. Disarankan
mengganti terapi antibiotik yang lebih adekuat yang sesuai
dengan peta kuman rumah sakit
26/11 –
10/12 Syr Dexanta
(Al(OH)3,
Mg(OH)2 dan
Simeticon)
po 15 ml 2 dd 1 Mengatasi
kembung
pada GIT
Kembung Pasien mengeluhkan kembung. Untuk itu, pasien diberikan
terapi Dexanta untuk mengurangi keluhan kembung.
Kandungan Al(OH)3 dan Mg(OH)2 dapat meningkatkan pH
lambung sehingga dapat menghindarkan rasa perih karena
iritasi pada lambung. Namun pemakaian antasida berpotensi
meningkatkan resiko terjadinya hemorage dan meningkatkan
resiko kematian, sehingga tidak direkomendasikan (EAST,
2008)
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
23
26/11 –
10/12 Panlog
(Pantoprazol)
iv 40 mg 2 dd 1 Mengatasi
Stres Ulser
Mual, muntah,
nyeri bagian
perut
Pasien mengeluhkan mual muntah dikarenakan pasien
mengalami stres ulser. Profilaksis stress ulcer diindikasikan
pada pasien dengan critical illness. Beberapa studi masih
belum jelas membandingkanefektifitas antara pemakaian H2
blocker dibandingkan dengan PPI, namun PPI terbukti
menunjukkan efektifitas sebagai terapi stress ulcer
dibandingkan dengan placebo (EAST, 2008). Untuk itu,
diberikan terapi golongan PPI yang menghambat sekresi asam
lambung. Dengan terhambatnya sekresi asam lambung,
diharapkan keluhan mual muntah pasien berkurang.
10/12 –
13/12 Albumin
iv 100 ml Mengatasi
Hipoalbumin
pada pasien
Kadar
Albumin
Pada pasien sirosis, sel hepatosit kehilangan kemampuannya
untuk mensintesis albumin sehingga terjadi penurunan
albumin yang dapat menyebabkan menurunnya tekanan
onkotik intravaskular dan timbul kebocoran cairan. Albumin
bekerja dengan cara meningkatkan tekanan onkotik
intravaskular dan menyebabkan perpindahan cairan dari ruang
interstitial kedalam ruang intravaskular (Lacy et al., 2009).
26/11 –
10/12 Kanamisin
po 250 mg 3 dd 1 Antibiotik
untuk
mengatasi
HE
Tanda-tanda
HE
(tes
kesadaran,
fungsi kognitif,
behaviour ,
fungsi motorik,
dan test
psikomotorik)
pasien
Kanamycin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida
yang bekerja lokal, tidak dapat diserap melalui usus sehingga
tidak memberikan efek sistemik. Kanamycin bekerja dengan
cara mereduksi bakteri pembentuk urease di saluran usus
sehingga menghambat pemecahan protein menjadi amoniak
dan menurunkan produksi amoniak (Sease et al., 2008).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
24
26/11 - 3/12 Syr Laxadyn
po 15 ml 3 dd 1 Sebagai
pencahar
Frekuensi
BAB pasien
Asupan cairan pasien berkurang, sehingga pasien mengalami
susah BAB, untuk itu diberi terapi laxadyn yang dapat
merangsang peristaltik usus besar, menghambat reabsorbsi air
dan melicinkan jalannya feses. Dengan adanya terapi ini,
konstipasi pasien berkurang. Selain itu, penggunaan laxadyn
syr diperlukan untuk mencegah konstipasi karena konstipasi
tersebut dapat memperparah kondisi hepatik encepalopati
(Wright, et al., 2011). Namun pada tanggal 5/12 pasien
mengalami diare (BAB 7 x) sehingga terapi laxadyn
dihentikan.
26/11 –
2/12
Dan
6/12- 11/12
12/12 –
13/12
Grahabion
dan Sohobion
(vitamin B
komplek)
po 1 tablet 1 dd 1 Mengatasi
defisiensi
vitamin
Kondisi umum
pasien / Tanda
tanda vital
pasien
Pasien dengan gangguan fungsi liver berresiko tinggi
mengalami defisiensi vitamin B12 dikarenakan adanya
gangguan fungsi liver menyebabkan gangguan dalam
penyimpanan vitamin B12 dalam liver. Selain itu, kondisi
umum pasien yang mengalami mual, sebah dan kembung
dapat menyebabkan penurunana nafsu makan pasien sehingga
asupan vitamin dan energi dari pasien rendah. Pemberian
terapi vitamin B komplek pada pasien berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan vitamin B pada pasien yang
kemungkinan tidak dapat terpenuhi dari asupan makanan.
26/11 –
10/11 Asam Folat
po 1 mg 1 dd 1 Mengatasi
defisiensi
asam folat
untuk
Anemia
Kadar Hb,
erirosit pada
pasien
Pasien dengan gangguan fungsi hati, beresiko tinggi
mengalami defisiensi asam folat karena gangguan
penyimpanan asam folat dalam hati. Terapi asam folat pada
pasien berfungsi untuk pencegahan terjadinya defisiensi asam
folat (McPhee & Ganong, 2005).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
25
30/11-
2/12 dan
12/12
Dopamin
iv 5 mcg 24 jam Meningkat-
kan tekanan
darah
Tekanan darah
pasien
Pada tanggal 30/11 tekanan darah pasien berada dibawah
normal yaitu 80/60 sehingga diberikan terapi Dopamin untk
meningkatkan tekanan darah. Dopamin yang diberikan pada
pasien adalah dopamin dengan dosis sedang, yaitu dengan
rentang 3 – 10 mcg/kg/mnt (Dipiro, 2011). Dopamin dengan
dosis sedang tersebut bekerja pada reseptor β1 dan
dopaminergik yang berfungsi untuk meningkatkan tekanan
darah dan meningkatkan cardiac output serta meningkatkan
aliran darah ke ginjal. Pemberian dopamin memberikan efek
positif yaitu peningkatan tekanan darah pada pasien.
6/12 – 8/12
Dan
12/12-
13/12
KSR po 600 mg 3 dd 1 Mengatasi
hipokalemi
Monitoring
kadar kalium
Pasien mendapatkan terapi lactulosa yang dapat menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit. pada sirosis ketidakseimbangan
elektrolit juga dimungkinkan terjadi karena adanya stimulasi
sekresi aldosteron yang menyebabkan meningkatnya ekskresi
kalium. KSR diberikan pada pasien ketika kadar kalium pasien
di bawah rentang normal, diharapkan dengan pemberian KSR
kadar kalium meningkat. Namun, setelah tiga hari pemberian
KSR, kadar kalium pasien tidak meningkat, sehingga
pemberian KSR dihentikan.
10/12 dan
13/12 KCL iv 50 mg
dlm
500 cc
NS
24 jam Mengatasi
hipokalemi
Monitoring
kadar kalium
Tanggal 9 /12 hasil laboratorium menunjukkan kadar kalium
pasien di bawah rentang normal meskipun telah diberi terapi
KSR, untuk itu pada tanggal 10/12 pasien diberi terapi KCl
IVFD (intravena fluid drip) untuk meningkatkan kadar
Kalium dengan cepat. Namun setelah tiga hari pemberian,
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
26
kadar kalium pasien tetap di bawah rentang normal meskipun
telah naik (3,18 mmol/L). Untuk itu, pada tanggal 12/12,
pemberian KCl dikombinasi dengan KSR.
6/12 –
13/12 Plavix
(Clopidogrel)
po 75 mg 2 dd 1 Anti platelet Kondisi klinis
pasien
Dalam uji meta analisis penggunaan antiplatelet dapat
mengurangi resiko stroke berulang sebesar 25% pada MI, MI
akut,TIA atau stroke dan juga stroke akut. Antiplatelet
Clopidogrel dapat diberikan kepada pasien yang tidak dapat
mentoleransi pemberian Aspirin sebagai lini pertama dan
dapat dianggap sebagai lini pertama pada pasien dengan
penyakit arteri perifer. Clopidogrel sedikit lebih efektif
daripada aspirin dengan penurunan resiko relatif 7,3% lebih
dari aspirin. Dosis yang digunakan adalah 75 mg perhari
(Winkler, 2009).
6/12 –
10/12 Profenid
Supp
(Ketoprofen)
rectal 100 mg 2 dd 1 Analgesik Nyeri Pasien mengeluhkan nyeri pada seluruh tubuh. Untuk itu
diberikan analgesik golongan NSAID dan golongan non
opioid untuk mengurangi rasa nyeri yang diderita pasien.
Golongan non opioid lebih diutamakan karena analgesik
golongan opioid akan dimetabolisme pada hati, sdangkan
pasien mengalami kerusakan hati yang akan menyebabkan
gangguan metabolisme. Dengan adanya gangguan
metabolisme tersebut, akan meningkatkan kadar opioid dalam
darah yang dapat beresiko menimbulkan toksisitas.
Pada hasil USG didapatkan pasien mengalami CKD pada
ginjal kiri sehingga penggunaan NSAID dihindari karena
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
27
dapat memperparah kondisi renal (Sease et al., 2008)
29/11 –
10/12 Graphalac
(Lactulose)
po 15 ml 3 dd 1 Mengatasi
HE Tanda – tanda
HE,
Kesadaran
pasien, Fungsi
Kognitif
pasien,
Frekuensi
BAB
Lactulosa merupakan terapi lini pertama pada pasien sirosis
dengan HE. Dalam beberapa studi klinis yang telah
diterbitkan salah satunya oleh Als-Nielsen (2004) mengatakan
bahwa Lactulase dapat mengurangi faktor resiko HE pada
penderita HE yang tidak mengalami perbaikan namun secara
statistik tidak signifikan dalam mencegah kematian akibat HE.
Studi klinis yang dilakukan Prassad (2007) mengatakan
bahwa Lactulose dapat meningkatkan fungsi kognitif dan
kualitas kesehatan pasien sirosis dengan HE minimal. Studi
klinis yang dilakukkan oleh Sharma mengatakan bahwa
lactulase efektif dalam mencegah kejadian HE berulang. Dari
studi klinis yang dilakukan oleh mereka 140 pasien pasien
sirosis sembuh dari episode HE akut (Shanyal et al,. 2010).
Lactulose berfungsi untuk menurunkan kadar amoniak dalam
darah. Amoniak dalam usus besar difermentasi oleh bakteri
anaerob menghasilkaan asam dan H+ sehingga amoniak
berikatan dengan H+ membentuk NH4 yang nantinya akan
diekskresikan sehingga tidak terjadi peningkatan kadar
amoniak (NH3) dalam darah (Wright, et al., 2011).
6/12 –
13/12 Brainac
(Citicoline)
iv 500 mg 2 dd 1 Neuroprotek-
tan
Kondisi klinis
pasien
Pasien mengalami stroke iskemia sehingga diberikan teraoi
Citicoline. Citicoline bersifat neuroprotektor, diperlukan
dalam proses pembentukan dan perbaikan dinding sel saraf
serta mengembalikan fungsinya. Selain itu, citicoline juga
membantu meningkatkan sintesis neurotransmiter asetilkolin
sehingga dapat memperbaiki fungsi memori pada pasien CVA
(Warsiki, 2004).
Pengobatan dengan oral citicoline dalam 24 jam pertama
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
28
setelah onset pada pasien dengan stroke sedang sampai berat
meningkatkan kemungkinan pemulihan lengkap pada 3 bulan.
(Antoni Dávalos, 2002)
3-4/12 PRC iv 2 bag Mengatasi
anemia
Monitoring
kadar Hb,
Eritrosit
Pelaksanaan transfusi darah dilakukan pada pasien dengan
kadar Hb kurang dari 7 g/ dl (Retter, Andrew et al. 2012).
Sedangkan pasien mendapatkan transfusi PRC pada 3 – 4/12
dengan kadar Hb 8,4 g/ dl.
Transfusi darah tidak diperlukan karena memiliki banyak
resiko, seperti: penularan virus hepatitis, malaria dan mahal.
Penumpukan sitrat akibat transfusi dapat terjadi pada pasien
dengan gangguan fungsi hati dikarenakan metabolisme sitrat
di hati menurun. Oleh karena itu terapi post transfusi
membutuhkan Ca glukonas 10% (Pedoman Pelaksanaan
Transfusi Darah dan Komponen Darah, 1991).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
29
ASUHAN KEFARMASIAN Termasuk:
1. Masalah aktual & potensial terkait obat 3. Pemantauan efek obat 5. Pemilihan obat 7. Efek samping obat
2. Masalah obat jangka panjang 4. Kepatuhan penderita 6. Penghentian obat 8. Interaksi obat
OBAT*
PROBLEM
TINDAKAN (USULAN PADA KLINISI,
PERAWAT, PASIEN)
Laxadyn Terapi Laxadyn tidak diperlukan dalam mengatasi
konstipasi pada pasien HE, cukup dengan pemberian
Graphalac (lactulose) dari awal MRS sebagai terapi HE
sekaligus sebagai pencahar.
Sebaiknya terapi Graphalac (Lactulose)
diberikan dari awal MRS dan tidak
diperlukan terapi Laxadin sebagai pencahar.
Albumin Pasien mengalami penurunan albumin sejak tanggal 2-12-
2013 dengan nilai 2,3 mg/dl, namun tidak ada tindakan
medis pada tanggal tersebut. Hingga pada tanggal 9-12-
2013 dilakukan pengecekan kadar albumin ulang dengan
hasil 2,3 mg/dl. Dan terapi albumin baru diberikan pada
tanggal 10-12-2013.
Sebaiknya terapi albumin diberikan mulai
tanggal 2-12-2013
Ceftriaxon Pasien mendapat terapi ceftriakson selama 2 minggu,
namun tidak memberikan perbaikan klinis.
sebaiknya dilakukan pemeriksaan kultur
bakteri untuk menentukan terapi antibiotik
yang tepat
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
30
MONITORING
PARAMETER TUJUAN
Nilai albumin Monitoring efektivitas penggunaan infus albumin untuk terapi hipoalbuminemia
Mual, muntah, dan
kembung pasien
Monitoring efektivitas penggunaan dexanta dan pantoprazole untuk mengatasi gastritis lambung (menurunkan
sekresi asam lambung)
Tanda-tanda HE
(tes kesadaran, fungsi
kognitif, behaviour ,
fungsi motorik, dan test
psikomotorik) pasien
Monitoring efektivitas penggunaan comafusin, lactulose dan kanamycin untuk pencegahan hepatik
ensefalopati
Tanda-tanda SIRS (nadi,
suhu, RR, WBC)
Monitoring efektivitas penggunaan terapi antibiotik Ceftriaxone
Tekanan Darah Pasien Monitoring efektivitas penggunaan terapi Dopamin
Kadar kalium Monitoring efektivitas penggunaan terapi KCl dan KSR
Kadar Hb, eritrosit,
MCH,MCV
Monitoring efektivitas penggunaan terapi PRC, asam folat
Skala Nyeri Monitoring efektivitas penggunaan terapi analgesik Ketoprofen
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
31
KONSELING PADA PASIEN
Materi Konseling Konseling
Kanamisin
Obat diminum sehari 3 x 1 kapsul
Obat diberikan untuk mencegah gangguan di otak sebagai salah satu komplikasi sirosis hepatik.
Obat ini harus tetap diminum hingga obat habis (sesuai dengan resep dokter).
Dexanta sirup (100 ml) Dexanta diminum sehari 2 kali 1 sendok makan, diminum 30-60 menit sebelum makan, dan sebelum digunakan
dikocok dahulu. Dexanta digunakan untuk mengatasi kembung pada pasien (mengatasi gastritis).
Graphalac
Obat diminum sehari 3x 1 sendok makan (15 ml).
Obat diberikan untuk mencegah gangguan di otak sebagai salah satu komplikasi sirosis hepatik, serta
membantu pengeluaran darah dari saluran cerna.
KONSELING PADA PERAWAT
Materi Informasi
Ceftriaxon
Sediaan direkonstitusi dengan pelarut yang sesuai berturut-turut 10 mL dan 20 mL, kemudian dilarutkan
dengan 50-100 mL pelarut.
Diinjeksikan melalui infuse intravena selama 15-30 menit.
Larutan rekonstitusi stabil selama 3 hari dalam suhu ruangan dan 10 hari di dalam lemari es (Trissel, 2009)
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
32
BAB 3
PEMBAHASAN
Pasien Tn. MT berusia 78 tahun masuk rumah sakit pada tanggal 26
Desember 2013 dengan keluhan keluhan mata kuning sejak 5 hari yang lalu, perut
sakit, mual, muntah. Pasien merasakan mual sejak lima hari yang lalu, perut terasa
sebah dan kembung, nafas menurun. Pasien didignosis CH, ensefalopati hepatica
st 1 dan jaundice. Pasien mendapatkan terapi infus comafusin : ivelip; antibiotik
ceftriakson, antibiotik kanamicin, sirup Dexanta, sirup Laxadin, Pantoprazol,
Grahabion serta Asam Folat.
Infus Comafusin Comafusin merupakan sediaan yang mengandung asam
amino rantai cabang dalam dosis tinggi. Terapi dengan formula kaya asam amino
rantai bercabang dan rendah asam amino aromatik didasarkan pada hipotesa
bahwa penurunan kadar asam amino rantai bercabang (leusin, isoleusin, dan valin)
serta peningkatan kadar asam amino aromatik (fenilalanin, tirosin, dan triptofan)
dapat meningkatkan risiko HE melalui produksi neurotransmiter palsu. Pemberian
terapi ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah asam amino bercabang dalam
tubuh, sehingga meningkatkan jumlah asam amino bercabang yang masuk ke
dalam otak dan mencegah terbentuknya neurotransmiter palsu. Secara acak, uji
coba pada pemberian formula kaya asam amino bercabang secara parenteral
hanya memberikan perbaikan pada HE tapi tidak menurunkan laju kematian.
Meskipun hasil penelitian terbaru secara umum tidak mendukung penggunaan
asam amino rantai bercabang sebagai terapi untuk HE, tapi agen tersebut secara
spesifik berperan dalam menyeimbangkan nitrogen tanpa memicu HE pada pasien
malnutrisi dengan sirosis yang tidak dapat mentoleransi suplemen protein
(Riordan and Williams, 1997). Ivelip berisi soybean oil 200 g, egg phospatides 12
g, glycerol 25 g, Na Oleat 0,3 g per liter. Mengandung energi 2000K. Digunakan
untuk pasien yang membutuhkan energi dan sumber asam lemak essensial.
Antibiotik Ceftriaxone diberikan pada pasien sebagai antibiotik empiris
untuk profilaksis SBP. Pasien mengalami peningkatan WBC (16,3 x 103/mcL),
peningkatan suhu (37 ºC), peningkatan nadi dan RR menandakan pasien
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
33
mengalami infeksi. Pasien tidak melakukan kultur bakteri sehingga antibiotik
yang diberikan pada pasien adalah antibiotik empiris spektrum luas yaitu
ceftriaxon. Pada pasien sirosis menunda pemberian antibiotik dan menunggu hasil
kultur tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan infeksi semakin berat dan juga
kematian. Diharapkan dengan pemberian antibiotik spektrum luas, infeksi dapat
teratasi. Pada pasien sirosis diberikan antibiotik empiris yaitu sefalosporin
generasi ke 3, salah satunya adalah Ceftriakson (Sease et al., 2008). Namun,
tanda-tanda infeksi pada pasien tidak mengalami perbaikan. Disarankan
mengganti terapi antibiotik yang lebih adekuat yang sesuai dengan peta kuman
rumah sakit.
Antibiotik Kanamicin diberikan pada pasien untuk mengatasi HE pada
pasien. Kanamycin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang bekerja
lokal, tidak dapat diserap melalui usus sehingga tidak memberikan efek sistemik.
Kanamycin bekerja dengan cara mereduksi bakteri pembentuk urease di saluran
usus sehingga menghambat pemecahan protein menjadi amoniak dan menurunkan
produksi amoniak (Sease et al., 2008).
Pasien mengeluhkan kembung. Untuk itu, pasien diberikan terapi Dexanta
untuk mengurangi keluhan kembung. Kandungan Al(OH)3 dan Mg(OH)2 dapat
meningkatkan pH lambung sehingga dapat menghindarkan rasa perih karena
iritasi pada lambung. Pasien mengeluhkan mual muntah dikarenakan pasien
mengalami stres ulser. Profilaksis stress ulcer diindikasikan pada pasien dengan
critical illness. Beberapa studi masih belum jelas membandingkanefektifitas
antara pemakaian H2 blocker dibandingkan dengan PPI, namun PPI terbukti
menunjukkan efektifitas sebagai terapi stress ulcer dibandingkan dengan placebo
(EAST, 2008). Untuk itu, diberikan terapi golongan PPI yang menghambat
sekresi asam lambung. Dengan terhambatnya sekresi asam lambung, diharapkan
keluhan mual muntah pasien berkurang.
Asupan cairan pasien berkurang, sehingga pasien mengalami susah BAB,
untuk itu diberi terapi laxadyn yang dapat merangsang peristaltik usus besar,
menghambat reabsorbsi air dan melicinkan jalannya feses. Dengan adanya terapi
ini, konstipasi pasien berkurang. Selain itu, penggunaan laxadyn syr diperlukan
untuk mencegah konstipasi karena konstipasi tersebut dapat memperparah kondisi
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
34
hepatik encepalopati (Wright, et al., 2011). Namun pada tanggal 5/12 pasien
mengalami diare (BAB 7 x) sehingga terapi laxadyn dihentikan.
Pasien mengeluhkan mual muntah dikarenakan pasien mengalami stres
ulser. Profilaksis stress ulcer diindikasikan pada pasien dengan critical illness.
Beberapa studi masih belum jelas membandingkanefektifitas antara pemakaian
H2 blocker dibandingkan dengan PPI, namun PPI terbukti menunjukkan
efektifitas sebagai terapi stress ulcer dibandingkan dengan placebo (EAST, 2008).
Untuk itu, diberikan terapi golongan PPI yang menghambat sekresi asam
lambung. Dengan terhambatnya sekresi asam lambung, diharapkan keluhan mual
muntah pasien berkurang.
Pasien sirosis hepatik umumnya mengalami malabsorbsi akibat terjadinya
hipertensi portal sehingga menimbulkan terjadinya defisiensi vitamin dan mineral
selain itu, gangguan fungsi liver mempengaruhi penyimpanan berbagai bahan
mineral yang bermanfaat untuk tubuh. Pasien dengan gangguan fungsi liver
memiliki resiko tinggi mengalami defisiensi vitamin B12 dan asam folat. Vitamin
B12 dan asam folat diperlukan tubuh dalam proses sintesis DNA sehingga
defisiensi asam folat dan vitamin B12 dapat menyebabkan gangguan sintesis
eritrosit sehingga dapat memicu terjadinya anemia makrositik. Seingga untuk
mencegah dan mengobati anemia makrositik yang kemungkinan terjadi pada
pasien sirosis hepati, pasien mendapat terapi asam folat dan Grahabion sejak
tanggal 26 November 2013 saat awal pasien masuk rumah sakit (McPhee &
Ganong, 2005 & Yunfu, 2012).
Pada kasus ini pasien mendapat terapi grahabion mulai tanggal 26
November 2013 (awal masuk rumah sakit) hingga 11 Desember 2013 dan mulai
tanggal 12 terapi grahabion diganti dengan sohobion. Grahabion merupakan
sediaan tablet vitamin B komplek sedangkan sohobion merupakan produk vitamin
B komplek untuk sediaan injeksi. Perubahan rute pemberian sediaan vitamin B
komplek pada pasien dikarenakan kondisi pasien menurun yang ditunjukkan
dengan pasien mengeluhkan nyeri mulai tanggal 11 Desember 2013. Nyeri yang
dialami pasien dapat mempengaruhi nafsu makan sehingga dapat menyebabkan
terjadinya penurunan asupan makanan sehingga asupan vitamin juga dapat
terganggu. Dengan pemberian sediaan vitamin B komplek secara injeksi
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
35
diharapkan dapat diperoleh ketersediaan vitamin dalam tubuh yang lebih tinggi
untuk dapat memenuhi kebutuhan vitamin.
Pada tanggal 29 Desember 2013 pasien emndapatkan terapi tambahan
Graphalac (Lactulose) untuk mengatasi HE. Lactulosa merupakan terapi lini
pertama pada pasien sirosis dengan HE. Dalam beberapa studi klinis yang telah
diterbitkan salah satunya oleh Als-Nielsen (2004) mengatakan bahwa Lactulase
dapat mengurangi faktor resiko HE pada penderita HE yang tidak mengalami
perbaikan namun secara statistik tidak signifikan dalam mencegah kematian
akibat HE. Studi klinis yang dilakukan Prassad (2007) mengatakan bahwa
Lactulose dapat meningkatkan fungsi kognitif dan kualitas kesehatan pasien
sirosis dengan HE minimal. Studi klinis yang dilakukkan oleh Sharma
mengatakan bahwa lactulase efektif dalam mencegah kejadian HE berulang. Dari
studi klinis yang dilakukan oleh mereka 140 pasien pasien sirosis sembuh dari
episode HE akut (Shanyal et al,. 2010). Lactulose berfungsi untuk menurunkan
kadar amoniak dalam darah. Amoniak dalam usus besar difermentasi oleh bakteri
anaerob menghasilkaan asam dan H+ sehingga amoniak berikatan dengan H
+
membentuk NH4 yang nantinya akan diekskresikan sehingga tidak terjadi
peningkatan kadar amoniak (NH3) dalam darah (Wright, et al., 2011). Pemberian
terapi Graphalac (Lactulose) seharusnya diberikan dari awal pasien masuk sebagai
terapi HE sekaligu sebagai pencahar untuk keluhan konstipasi pasien, sehingga
tidak diperlukan terapi Laxadin.
Pada tanggal 30 Desember 2013 tekanan darah pasien berada dibawah
nilai normal yaitu 80/60 sehingga diberikan terapi Dopamin untk meningkatkan
tekanan darah. Dopamin yang diberikan pada pasien adalah dopamin dengan dosis
sedang, yaitu dengan rentang 3 – 10 mcg/kg/mnt (Dipiro, 2011). Dopamin dengan
dosis sedang tersebut bekerja pada reseptor β1 dan dopaminergik yang berfungsi
untuk meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan cardiac output serta
meningkatkan aliran darah ke ginjal. Pemberian dopamin memberikan efek positif
yaitu peningkatan tekanan darah pada pasien.
Pada tanggal 3 Desember 2013 pasien mendapatkan transfusi PRC karena
profil Hb pasien mengalami penurunan yaitu 3,23 mg/dL. Pelaksanaan transfusi
darah dilakukan pada pasien dengan kadar Hb kurang dari 7 g/ dl (Retter, Andrew
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
36
et al. 2012). Sedangkan pasien mendapatkan transfusi PRC pada 6/11 dengan
kadar Hb 8,4 g/ dl. Transfusi darah tidak diperlukan karena memiliki banyak
resiko, seperti: penularan virus hepatitis, malaria dan mahal. Penumpukan sitrat
akibat transfusi dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati
dikarenakan metabolisme sitrat di hati menurun. Oleh karena itu terapi post
transfusi membutuhkan Ca glukonas 10% (Pedoman Pelaksanaan Transfusi Darah
dan Komponen Darah, 1991).
Data lab tanggal 5/12 menunjukan terjadi hipokalemia pada pasien yaitu
2,98 sehingga diberikan terapi KSR.. Terjadi penurunan fungsi kognitif pasien
sehingga ditambahkan Brainact (Citicolin), Plavix (Clopidogrel), dan Profenid
(Ketoprofen).
Pasien mendapatkan terapi lactulosa yang dapat menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit. pada sirosis ketidakseimbangan elektrolit juga
dimungkinkan terjadi karena adanya stimulasi sekresi aldosteron yang
menyebabkan meningkatnya ekskresi kalium. KSR diberikan pada pasien ketika
kadar kalium pasien di bawah rentang normal, diharapkan dengan pemberian KSR
kadar kalium meningkat. Namun, setelah tiga hari pemberian KSR, kadar kalium
pasien tidak meningkat, sehingga pemberian KSR dihentikan. Tanggal 9 /12 hasil
laboratorium menunjukkan kadar kalium pasien di bawah rentang normal
meskipun telah diberi terapi KSR, untuk itu pada tanggal 10/12 pasien diberi
terapi KCl IVFD (intravena fluid drip) untuk meningkatkan kadar Kalium dengan
cepat. Namun setelah tiga hari pemberian, kadar kalium pasien tetap di bawah
rentang normal meskipun telah naik (3,18 mmol/L). Untuk itu, pada tanggal
12/12, pemberian KCl dikombinasi dengan KSR.
Pasien mengalami stroke iskemia sehingga diberikan teraoi Citicoline.
Citicoline bersifat neuroprotektor, diperlukan dalam proses pembentukan dan
perbaikan dinding sel saraf serta mengembalikan fungsinya. Selain itu, citicoline
juga membantu meningkatkan sintesis neurotransmiter asetilkolin sehingga dapat
memperbaiki fungsi memori pada pasien CVA (Warsiki, 2004). Pengobatan
dengan oral citicoline dalam 24 jam pertama setelah onset pada pasien dengan
stroke sedang sampai berat meningkatkan kemungkinan pemulihan lengkap pada
3 bulan. (Antoni Dávalos, 2002)
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
37
Untuk terapi stroke pasien juga mendapatkan terapi plavix (clopidogrel).
Dalam uji meta analisis penggunaan antiplatelet dapat mengurangi resiko stroke
berulang sebesar 25% pada MI, MI akut,TIA atau stroke dan juga stroke akut.
Antiplatelet Clopidogrel dapat diberikan kepada pasien yang tidak dapat
mentoleransi pemberian Aspirin sebagai lini pertama dan dapat dianggap sebagai
lini pertama pada pasien dengan penyakit arteri perifer. Clopidogrel sedikit lebih
efektif daripada aspirin dengan penurunan resiko relatif 7,3% lebih dari aspirin.
Dosis yang digunakan adalah 75 mg perhari (Winkler, 2009).
Pasien mengeluhkan nyeri pada seluruh tubuh sehingga mendapatka terapi
Profenid (Ketoprofen). Untuk itu diberikan analgesik golongan NSAID dan
golongan non opioid untuk mengurangi rasa nyeri yang diderita pasien. Golongan
non opioid lebih diutamakan karena analgesik golongan opioid akan
dimetabolisme pada hati, sdangkan pasien mengalami kerusakan hati yang akan
menyebabkan gangguan metabolisme. Dengan adanya gangguan metabolisme
tersebut, akan meningkatkan kadar opioid dalam darah yang dapat beresiko
menimbulkan toksisitas. Pada hasil USG didapatkan pasien mengalami CKD
pada ginjal kiri sehingga penggunaan NSAID dihindari karena dapat
memperparah kondisi renal (Sease et al., 2008)
Pasien mendapatkan terapi Albumin pada tanggal 10/12 karena terjadi
hipoalbumin. Pada pasien sirosis, sel hepatosit kehilangan kemampuannya untuk
mensintesis albumin sehingga terjadi penurunan albumin yang dapat
menyebabkan menurunnya tekanan onkotik intravaskular dan timbul kebocoran
cairan. Albumin bekerja dengan cara meningkatkan tekanan onkotik intravaskular
dan menyebabkan perpindahan cairan dari ruang interstitial kedalam ruang
intravaskular (Lacy et al., 2009).
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
38
DAFTAR PUSTAKA
Antoni Dávalos, et al., 2002, Oral Citicoline in Acute Ischemic Stroke: An
Individual Patient Data Pooling Analysis of clinical trials, American
Heart Association (Downloaded from http://stroke.ahajournals.org/ by guest
on December 7, 2013)
De Freitas GR, Christoph DDH, Bogousslavsky J. Topographic classification of
ischemic stroke, in Fisher M. (ed). Handbook of Clinical Neurology, Vol.
93 (3rd series). Elsevier BV, 2009.
Frederick, T., R. 2011. ‘Current concepts in the pathophysiology and management
of hepatic encephalopathy’. Gastrolenterol Hepatol, (N Y).
Guillamondegui, O.D; Gunter, O.L, Bonadies, J.A. 2008. Practice Management
Guideline for Stress Ulcer Prophylaxis: EAST Practice Management
Commitee.
Lisman, T., Kamphuisen, P. W., Northup, P. G., & Porte, R. J. 2013. Established
And New-generation Antithrombotic Drugs In Patients With Cirrhosis-
Possibilities And Caveats, Journal of Hepatology, Vol. 59, hal.358-366
(Http://doctorsonly.co.il, 11 Desember 2013).
Mc Phee, S. J. and Ganong W.F. 2006. ‘Liver disease, In Pathophysiology of
disease 5th ed, The McGraw-Hill Companies, Inc., Fransisco California.
Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia, 2011. Guideline Stroke. Volume 38 .
Jakarta: PERDOSSI.
Poerwadi T., dkk., 2006, Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu
Penyakit Saraf, RS Dr. Soetomo, Surabaya.
Riordan, S. M., and Williams, R., 1997. Treatment of Hepatic Encephalopathy.
New England Journal of Medicine, Vol. 337, No. 7, p. 473-479.
Ryan, Laurajo. 2008. ‘Portal Hypertension and Cirrhosis’. In. Chisholm-Burns,
Marie A., Wells, Barbara G., Schwinghammer, Terry L., Malone, Patrick
M., Kolesar, Jill M., Rotschafer, John C., Dipiro, Joseph T.
Pharmacotherapy Principles & Practice. USA: McGraw-Hill Medical.
Sanyal, E.J; Mullen, K.D. 2010. The Treatment of Hepatic Encephalopaty in the
Cirrhotic Patient. Gastroenterology & Hepatology, April 2010 vol. 6
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97
39
Sease, J.M., Timm, E. G., Stragand, J. J. 2009, ‘Portal hypertension and cirrhosis’,
In DiPiro, J.T., L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. (eds),
Pharmacotherapy: a pathophysiologic approach, 7th ed, The McGraw-Hill
Companies, Inc., United States of America.
Setiawan, P.B., Kusumobroto, H.O., Oesman, N., Adi, P., Nusi, I.A., and
Purbayu, H., 2007. Sirosis Hati. In : Tjokroprawiro, A., Setiawan, P.B.,
Pranoto, A., Nasronudin, Santoso, D., and Soegiarto, G., Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Surabaya : Airlangga University Press, p. 129-136.
Sweetman, S.C., 2009. Martindale : The Complete Drug Reference. 36th
Ed.,
London : Pharmaceutical Press.
Tsao, G.G. and Lim, Joseph., 2009. ‘Management and Treatment of Patients With
Cirrhosis and Portal Hypertension: Recommendations From the Department
of Veterans Affairs Hepatitis C Resource Center Program and the National
Hepatitis C Program’. USA: The American Journal Of Gastroenterology.
Wright, G., Chattree, A., Jalan, R, 2011, Review Article Management Of Hepatic
Encephalopathy, International Journal Of Hepatology, volume 2011, Article
ID 841407, page 1-10.
Winkler. 2009, ‘Stroke’, In DiPiro, J.T., L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G.,
Posey, L.M. (eds), Pharmacotherapy: a pathophysiologic approach, 7th ed,
The McGraw-Hill Companies, Inc., United States of America.