laporan ekologi

38
LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI INVENTORI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI PELUS Kelompok : 7 (Tujuh) Lokasi : Karanggintung Waktu : 10:30 – 12:00 WIB Pendamping : D. N. Wibowo Nama NIM Dewitri B1J011063 Robi Fauzi Azhari B1J011065 Baskoro Aji Nugroho B1J011067 Yuli Wulandari B1J011071 Seruni Tyas Khairunissa B1J011075

Upload: patipatiput

Post on 03-Feb-2016

57 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

di sungai pelus. bellum lengkap

TRANSCRIPT

Page 1: laporan ekologi

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI INVENTORI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI

PELUS

Kelompok : 7 (Tujuh)

Lokasi : Karanggintung

Waktu : 10:30 – 12:00 WIB

Pendamping : D. N. Wibowo

Nama NIM

Dewitri B1J011063

Robi Fauzi Azhari B1J011065

Baskoro Aji Nugroho B1J011067

Yuli Wulandari B1J011071

Seruni Tyas Khairunissa B1J011075

FAKULTAS BIOLOGIUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2013

Page 2: laporan ekologi

I. PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang di batasi punggung-

punggung gunung dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung

oleh punggung gunung tersebut dan akan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke

sungai utama. Pembagian Daerah Aliran Sungai berdasarkan fungsi hulu, tengah dan

hilir yaitu:

1. Bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk

mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara

lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air,

kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan.

2. Bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola

untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang

antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan

menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana

pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.

3. Bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk

dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang

diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air,

ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta

pengelolaan air limbah (Asdak, 1995).

Ekosistem merupakan sistem di alam yang di dalamnya terjadi interaksi

timbal balik antara organisme dengan organisme lain, dan komponen tidak hidup

di lingkungannya. Ekosistem dapat juga dikatakan interaksi antara populasi-

populasi penyusun komunitas dengan lingkungan abiotiknya. Secara struktural

ekosistem dibangun oleh komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi

membentuk kesatuan fungsi. Pada dasarnya fungsi yang terjadi pada ekosistem

adalah peristiwa aliran energi dan siklus materi (Irwan, 1992).

Ekosistem sungai merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai

komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu

sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu unit fungsional. Komponen-

komponen ini secara fungsional tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apabila

Page 3: laporan ekologi

terjadi perubahan pada salah satu dari komponen-komponen tersebut (misalnya

perubahan nilai parameter fisika-kimia perairan), maka akan menyebabkan

perubahan pada komponen lainnya (misalnya perubahan kualitatif dan kuantitatif

organismenya). Perubahan ini tentunya dapat mempengaruhi keseluruhan sistem

yang ada, baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam

keseimbangannya. Sungai merupakan perairan yang mengalir (lotik), oleh karena

itu sungai memiliki arus yang berbeda-beda di setiap tempatnya. Dan di setiap

aliran memilki organisme yang berbeda pula. Zonasi pada habitat air mengalir

adalah mengarah ke longitudinal, yang menunjukkan bahwa tingkat yang lebih

atas berada di bagian hulu dan kemudian mengarah ke hilir (Polunin,1997).

Komponen-komponen utama ekosistem DAS, terdiri dari :manusia,

hewan, vegetasi, tanah, iklim, dan air. Masing-masing komponen tersebut

memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri-sendiri, namun

berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekologis

(ekosistem). Manusia memegang peranan yang penting dan dominan dalam

mempengaruhi kualitas suatu DAS. Gangguan terhadap salah satu komponen

ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang

berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan timbal

balik antar komponen berjalan dengan baik dan optimal. Kualitas interaksi antar

komponen ekosistem terlihat dari kualitas output ekosistem tersebut. Di dalam

DAS kualitas ekosistemnya secara fisik terlihat dari besarnya erosi, aliran

permukaan, sedimentasi, fluktuasi debit, dan produktifitas lahan. Berikut interaksi

antar komponen dalam DAS (Daerah Aliran Sungai).

Page 4: laporan ekologi

( Sumber: Asdak,

1995)

Pertumbuhan organisme baik organisme akuatik maupun terestrial

sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungannya. Faktor lingkungan

yang dapat berpengar uh diantaranya yaitu temperatur, pH, substrat tempat

organisme tersebut hidup, kualitas air, dan kecepatan arus. Kualitas air

dalam hal ini mencakup keadaan fisik, kimia, dan biologi yang dapat

mempengaruhi ketersediaan air untuk kehidupan manusia, pertanian, industri,

rekreasi dan pemanfaatan air lainnya. Karakteristik fisik terpenting yang

dapat mempengaruhi kualitas air, dan dengan demikian, berpengaruh terhadap

ketersediaan air untuk berbagai pemanfaatan adalah konsentrasi sedimen dan

suhu air. Tinjauan kualitas air akan menempatkan faktor sedimen dan suhu air

(yang terlalu tinggi untuk kehidupan biota akuatis) sebagai unsur-unsur

pencemar.

Page 5: laporan ekologi

II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah thermometer 2 buah

(udara dan air), patok 2 set (moluska dan bambu), botol kosong 1 buah untuk

kecepatan arus, tali raffia 3 utas ( untuk kecepatan arus 10 m, kuadrat 0,5 x 0,5 m

dan 10 x 10 m), kantong plastic untuk sampel moluska, bambu dan tanah, kertas

pH dan soil tester, penggaris, timbangan, jangka sorong, computer, jaringan

internet dan kamera.

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel moluska,

sampel bambu, sampel air, dan sampel tanah.

B. Metode

1. Ekosistem

Diamati tipe pemanfaatan lahan dan aktivitas di daerah sekitar sungai.

Dibuat model interaksi factor abiotik dan biotik ( diperlukan data tentang

benda abiotik dan biotik yang dapat ditemukan di lokasi pengamatan)

Dibuat skema hubungan antara komponen biotik dan abiotik.

Data yang diperoleh, ditentukan peranan (fungsi ekologis) dari organism

tersebut.

2. Komunitas

Pengambilan sampel moluska dan air

1. Sampel diambil dengan metode kuadrat

2. Dibuat kuadrat dengan menggunakan 4 patok dengan jarak 0,5 x 0,5 m

3. Diplih lokasi yang menjadi habitat moluska dengan meletakan kuadrat

tersebut.

4. Dikumpulkan moluska yang ada dalam kuadrat, dimasukan dalam

kantong plastic.

5. Diamati bentuk cangkang, warna, arah lingkarannya, dan diberi kode

6. Diidentifikasi dan dihitung di Laboratorium.

Page 6: laporan ekologi

Pengambilan sampel bambu sebagai tumbuhan tepian atau riparian

1. Sampel diambil dengan metode kuadrat

2. Dibuat kuadrat dengan menggunakan 4 patok dengan jarak 10 x 10 m

3. Diplih lokasi yang menjadi habitat bambu, dibentangkan pada kawasan

bambu tersebut.

4. Diamati daun pelepah. warna buluh, buliran, perbungaan, percabangan,

dan durinya.

5. Diambil foto pada masing-masing bagian tersebut dan beberapa contoh

bagian bambu untuk diidentifikasi di Laboratorium

6. Dihitung jumlah batang bambu yang terdapat pada kuadrat.

3. Populasi

Populasi moluska dan bambu dideskripsikan dengan membuat piramida

ukuran dari spesies yang dominan.

Individu dari setiap spesies yang dominan pada lokasi tersebut dilakukan

pengukuran pada sampel moluska (panjang), pada sampel bambu

(diameter).

Pengukuran moluska dilakukan di Laboratorium, sedangkan pengukuran

bambu dilakukan di lapangan.

Dikelompokan moluska dan bambu berdasarkan ukurannya.

Dibuat dua piramida populasi berdasrkan ukuran (panjang cangkang

moluska dan diameter batang bambu) dari data diatas.

4. Faktor Lingkungan

Mengukur kondisi lingkungan dengan parameter lingkungan seperti :

temperatur udara, temperature air, kecepatan arus, tipe substrat, dan pH air

pada ekosistem perairan, temperatur udara dan pH tanah pada ekosistem

daratan.

Diambil tanah sebanyak 250 gr yang kemudian diukur pH nya di

laboratorium.

5. Distribusi Longitudinal Organism dan Faktor Lingkungannya

Dibuat tabel kehadiran spesies yang ditemukan di sungai (sungai pelus

hulu, tengah, dan hilir).

Page 7: laporan ekologi

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL

a. Pemodelan Interaksi Antara Faktor Abiotik dan Biotik

Tabel 1. Tipe Pemanfaatan LahanLokasi Tipe pemanfaatan lahan (landuse) Aktivitas masyarakat

Sungai Pelus

Irigasi Pengairan Pemukiman

MCK Memancing Bermain

Nomor Lokasi :

2

Waktu Pengamatan: 10.30-12.00

Tabel 2. Komponen Abiotik dan BiotikNo. Abiotik (benda mati) Biotik (benda hidup)1 Batu Pohon bambu2 Kayu Capung3 Tanah Nyamuk4 Serasah Cacing tanah5 Ranting Semut6 Plastik Fitoplankton7 Kertas Bakteri pengurai8 Sampah Moluska9 Udara Manusia10 Kerikil Lumut11 Pasir Ikan12 Cahaya matahari Udang13 Air Laba-laba14 Serangga air15161718

Page 8: laporan ekologi

Model Interaksi dalam Ekosistem

Page 9: laporan ekologi

Tabel 3. Komponen Penyusun EkosistemNo Komponen penyusun Organisme

1. Produser

Pohon Bambu

Lumut

Serasah

Fitoplankton

2. Makro konsumer tingkat I

Ikan

Udang

Moluska

3. Makro konsumer tingkat II

Capung

Laba-laba

Nyamuk

Serangga

Manusia

4. Dekomposer

Cacing

Mikroorganisme (bakteri

pengurai)

Tabel 4. Kekayaan spesies dan kelimpahan moluska atau kekayaan spesies dan kepadatan bambu.No Nama spesies Jumlah Individu1. Moluska:

1. Melanoides maculate 102. Eliminia cleansi 13. Elimina annae 104. Melanoides turicula 16

2. Bambu1. Gigantolochloa apus 20

Page 10: laporan ekologi

Tabel 5. Populasi yang DominanLokasi/Waktu Spesies yang dominan

Sungai Pelus/10.30-12.00

Moluska : Melanoides turicula dengan kelimpahan 16

individu/250 cm

Bambu : Gigantolochoa apus dengan kepadatan 20

individu/100 m

Tabel 6. Ukuran Moluska dan Bambu

No individu

Panjang Cangkang Moluska

(cm)

Diameter Batang Bambu (cm)

1. 1,5 5,41

2. 1,7 5,41

3. 1,7 5,73

4. 1,7 6,36

5. 1,7 6,68

6. 1,7 7

7. 1,7 7,3

8. 1,7 7,3

9. 1,7 7,3

10. 2 7,6

11. 2 7,6

12. 2 7,6

13. 2 7,6

14. 2 7,6

15. 2 7,6

16. 2,2 7,9

17. 7,9

18. 8,28

19. 8,59

20. 9,55

Page 11: laporan ekologi

Tabel 7.1. Struktur Populasi Moluska

Ukuran Panjang Cangkang Jumlah individu

1,5 cm sampai dengan 1,7 cm 9

1,8 cm sampai dengan 2,0 cm 6

2,1 cm sampai dengan 2,3 cm 1

Tabel 7.2. Struktur Populasi Bambu

Ukuran Diameter Batang Jumlah individu

5,41 cm sampai dengan 6,91 cm 5

6,92 cm sampai dengan 8,42 cm 12

8,42 cm sampai dengan 9,93 cm 3

Piramida Populasi Moluska dan Bambu Berdasarkan Ukuran

Page 12: laporan ekologi

Tabel 8. Kondisi Lingkungan Perairan

No.Parameter

LingkunganHulu Tengah Hilir

1 Temperatur udara 290 C 320 C 290 C2 Temperatur air 240 C 280 C 290 C3 Arus 0,3 m/s 0,5 m/s 0,7 m/s

4Substrat yang

dominanPasir Batu Batu

5 pH < 6 6 7

Tabel 9. Distribusi Longitudinal MoluskaSpesies Hulu Tengah Hilir

Brotia insolita - + +Pachycilus indiorum - + -Melanoides granifera - - +Melanoides denisoniensis - - +Melanoides maculata + - -Melanoides turicula + - -Eliminia annae + - -Eliminia cleansi + - -Keterangan : (+) Spesies ditemukan

( - ) Spesies tidak ditemukan

Tabel 10. Kondisi Lingkungan DaratanParameter Lingkungan Hulu Tengah Hilir Temperatur udara 290C 310C 29,50CTipe tanah Liat Seresah TanahpH 6,6 7 6,8

Tabel 11. Distribusi Longitudinal BambuSpesies Hulu Tengah Hilir

Gigantochloa apus + - -Gigantochloa atrovidaceae - + -Bambusa sp. - + -Bambusa blumeana - - +

Page 13: laporan ekologi

B. PEMBAHASAN

Sungai adalah suatu badan air yang mengalir ke satu arah dan termasuk

dalam ekosistem perairan tawar yang memiliki ciri-ciri antara lain variasi suhu

tidak menyolok, penetrasi cahaya kurang, dan terpengaruh oleh iklim dan cuaca.

Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh bahwa komponen ekosistem yang

diamati di Daerah Aliran Sungai Sidabowa terdiri dari ekosistem daratan dan

ekosistem perairan. Komponen abiotik pembentuk ekosistem daratan DAS

Sidabowa terdiri dari batu, tanah, udara, kayu, ranting, serasah, kertas, plastik dan

sampah. Komponen biotik pembentuk ekosistem daratan DAS Sungai Sidabowa

antara lain bambu, pisang, singkong, kelapa, rerumputan, kupu-kupu, burung,

katak, semut, capung, nyamuk, belalang, kadal, cacing tanah, jamur dan

mikroorganisme. Adapun komponen abiotik pembentuk ekositem perairan DAS

Sidabowa terdiri dari batu, tanah, plastik, air, kayu, pasir, jarring ikan, alat

pancing dan botol, sedangkan komponen biotiknya terdiri dari moluska, serangga

air, crustacea, tumbuhan,katak, ikan, burung, kupu-kupu, capung dan cacing

tanah.

Interaksi antarkomponen biotik dengan komponen abiotik yaitu hubungan

antara organisme dengan lingkungannya menyebabkan terjadinya aliran energi

dalam sistem itu. Selain aliran energi, di dalam ekosistem juga terdapat struktur

atau tingkat trofik, keanekaragaman biotik, serta siklus materi. Semua organisme

merupakan bagian dari komunitas dan antara komponennya saling berhubungan

melalui keragaman interaksinya. Jenis-jenis interaksi dalam ekosistem antara lain:

(a). Interaksi antar organisme.

Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain.

Tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau

lain jenis, baik individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari

populasi lain. Interaksi antarorganisme dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Netral, yaitu hubungan tidak saling mengganggu antarorganisme dalam

habitat yang sama yang bersifat tidak menguntungkan dan tidak merugikan

kedua belah pihak. Contohnya adalah antara capung dan sapi.

b. Parasitisme, yaitu hubungan antarorganisme yang berbeda spesies, dan jika

salah satu organisme hidup mengambil makanan dari hospes/inangnya

Page 14: laporan ekologi

sehingga bersifat merugikan inangnya. Contohnya adalah benalu dengan

pohon inang.

c. Komensalisme, merupakan hubungan antara dua organisme yang berbeda

spesies dalam bentuk kehidupan bersama untuk berbagi sumber makanan,

yaitu salah satu spesies diuntungkan dan spesies lainnya tidak dirugikan.

Contohnya, Anggrek dengan pohon yang ditumpanginya.

d. Mutualisme, adalah hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies

yang saling menguntungkan diantara keduanya. Contohnya bakteri

Rhizobium yang hidup pada bintil akar kacang-kacangan.

(b). Interaksi antarpopulasi, yaitu antara populasi yang satu dengan populasi lain

selalu terjadi interaksi secara langsung atau tidak langsung dalam komunitasnya.

Contoh interaksi antarpopulasi adalah sebagai berikut:

o Alelopati merupakan interaksi antarpopulasi, bila populasi yang satu

menghasilkan zat yang dapat menghalangi tumbuhnya populasi lain.

Contohnya, di sekitar pohon walnut (juglans) jarang ditumbuhi tumbuhan lain

karena tumbuhan ini menghasilkan zat yang bersifat toksik

o Kompetisi merupakan interaksi antarpopulasi, bila antarpopulasi terdapat

kepentingan yang sama sehingga terjadi persaingan untuk mendapatkan apa

yang diperlukan. Contoh, persaingan antara populasi kambing dengan populasi

sapi di padang rumput.

(c). Interaksi antarkomunitas, yaitu kumpulan populasi yang berbeda di suatu

daerah yang sama dan saling berinteraksi. Contoh komunitas, misalnya

komunitas sawah dan sungai. Komunitas sawah disusun oleh bermacam-

macam organisme, misalnya padi, belalang, burung, ular, dan gulma.

Komunitas sungai terdiri dari ikan, ganggang, zooplankton, fitoplankton, dan

dekomposer. Antara komunitas sungai dan sawah terjadi interaksi dalam

bentuk peredaran nutrien dari air sungai ke sawah dan peredaran organisme

hidup dari kedua komunitas tersebut. Interaksi antarkomunitas cukup

kompleks karena tidak hanya melibatkan organisme, tapi juga terjadi aliran

energi.

Page 15: laporan ekologi

Perbedaan antara ekosistem darat dan air terletak pada ukuran tumbuhan

hijau, di mana autotrof daratan cenderung lebih sedikit, akan tetapi ukurannya

lebih besar. Perbedaan antara habitat daratan dan air adalah sebagai berikut:

1. Habitat daratan, kelembaban merupakan faktor pembatas, organisme daratan

selalu dihadapkan pada masalah kekeringan. Evaporasi dan transpirasi

merupakan proses yang unik dari kehilangan energi pada ingkungan daratan.

2. Variasi suhu dan suhu ekstrem lebih banyak di udara daripada media air.

3. Sirkulasi udara yang cepat di permukaan bumi akan menghasilkan isi-

campuran O2 dan CO2 yang tetap.

4. Meskipun tanah sebagai penyangga yang padat bukan udara, kerangka yang

kuat telah berkembang di tanah yaitu tanaman dan binatang yang akhir-akhir

ini mempunyai arti khusus bagi perkembangan.

5. Tanah tidak seperti lautan yang selalu berhubungan dimana tanah sebagai

barier geografi terpenting dala gerak bebasnya.

6. Sebagai substrat alam, meskipun yang terpenting adalah di air. Namun, yang

paling khusus adalah dalam lingkngan daratan. Tanah adalah sumber terbesar

dari bermacam-macam nutrisi 9 nitrit, fosfor, dan sebagainya) yang merupakan

perkembangan besar dari subsistem ekologi (Heddy, 1989).

Hasil pengamatan distribusi bambu di Sungai Banjaran pada daerah hulu,

tengah, dan hilir diperoleh data bahwa pada daerah hulu, spesies bambu yang

dominan adalah Gigantolochoa atter sebanyak 22 individu/100m. Daerah tengah

sungai Banjaran spesies bambu yang dominan adalah Thyrsostachys siamensis 48

individu/100m. Adapun pada daerah hilir, diperoleh bahwa jenis spesies bambu

yang dominan adalah Bambusa vulgaris sebanyak 90 individu/100 meter.

Pengaruh ketinggian tempat terhadap pertumbuhan pohon bersifat tidak langsung

(Soedomo 1984). Artinya perbedaan ketinggian ternpat akan mempengaruhi

keadaan lingkungan tumbuh pohon, terutama suhu, kelembapan, O2 di udara dan

keadaan tanah. Keadaan lingkungan tumbuh ini akhirnya mempengaruhi

pertumbuhan pohon.

Bambu merupakan salah satu tumbuhan dengan daya tumbuh yang pesat

membentuk rumpun yang besar dan tinggi (Heyne 1987). Pada umulanya

tumbuhan lain akan sulit tumbuh menjadi besar pada daerah yang didominasi oleh

Page 16: laporan ekologi

bambu. Pratiwi (2006) yang melakukan penelitian di Gunung Gede Pangrango

menemukan bahwa jumlah maupun jenis vegetasi selain banibu pada tegakan

yang didominasi oleh spesies bambu terbilang rendah sehingga dapat dikatakan

keberadaan spesies ini memiliki tingkat asosiasi yang rendah dengan spesies

tumbuhan lain. Bambu merupakan spesies tumbuhan dengan tingkat adaptasi yang

tinggi pada berbagai kondisi lingkungan. Hal ini terlihat dari penyebaran bambu

baik secara alami maupun sengaja ditanam yang dapat ditemui di daerah datar,

lembah, perbukitan, dan pegunungan berbukit. Sutiyono et al. (1992) juga

menyatakan bahwa, banibu dapat tumbuh dengan baik pada berbagai kondisi

tanah, mulai dari tanah berat sampai ringan, tanah kering, tanah becek, tanah

subur, dan tanah tidak subur.

Spesies bambu yang berada di Sungai Sidabowa yaitu bambu apus

(Gigantochloa apus) dan bambu ampel. Klasifikasi bambu ampel (Bambusa

vulgaris) yaitu:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Klas : Liliopsida

Ordo : Poales

Famili : Poaceae

Genus : Bambusa

Spesies : Bambusa vulgaris

Gambar 3.1. Morfologi Bambu Ampel (Bambusa vulgaris)

a. b.

Page 17: laporan ekologi

Gambar 3.2. Karakteristik a. Percabangan b. Rebung c. Daun d.Pelepah Bambu Ampel (Bambusa vulgaris)

Buluh : Buluh muda hijau mengkilat atau kuning bergaris hijau. Panjang

buluh mencapai 25-45 cm, diameter 5-10 cm, tebal 7 -15 mm.

Percabangan : Percabangan 1,5 diatas permukaan tanah setiap ruas terdiri 2 – 5

cabang, termasuk Un equal

Daun : Permukaan bawah daun agak berbulu, kuping pelepah daun kecil

dan membulat, gundul, ligula rata dan gundul.

Pelepah buluh : Tidak mudah luruh, tertutup bulu coklat, kuping pelepah buluh

seperti bingkai, daun pelepah buluh berketuk balik menyegi tiga

dengan ujung sempit.

Rebung : Berwarna kuning atau hijau tertutup bulu coklat hingga hitam

Klasifikasi bambu Apus atau Tali (Gigantolochloa apus Kurz) sebagai

berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Poales

Famili : Poaceae

Genus : Gigantochloa

Spesies : Gigantochloa apus Kurz.

Deskripsi:

Habitus : Pohon, berumpun, tinggi 10-15 m.

d.c.

Page 18: laporan ekologi

Batang :Berkayu, bulat, berlubang, beruas-ruas, tunas atau rebung berbulu, putih

kehitaman, hijau.

Daun : Tunggal, berseling, berpelepah, lanset, ujung runcing, tepi rata, pangkal

membulat, panjang 20-30 cm, lebar 4-6 cm, pertulangan sejajar, hijau.

Bunga : Majemuk, bentuk malai, ungu kehitaman.

Bambu biasanya digunakan sebagai tanaman pagar penghias. Batangnya

juga dapat dipakai sebagai alat pembuatan pegangan payung, peralatan

memancing, kerajinan tangan (rak buku), industri pulp dan kertas dan penghalau

angin kencang (wind-break) (Gunawan, 2008). Pengaruh ketinggian tempat

terhadap pertumbuhan pohon bersifat tidak langsung (Soedomo 1984). Artinya

perbedaan ketinggian ternpat akan mempengaruhi keadaan lingkungan tumbuh

pohon, terutama suhu, kelembapan, O2 di udara dan keadaan tanah. Keadaan

lingkungan tumbuh ini akhirnya mempengaruhi pertumbuhan pohon.

Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi daratan di daerah aliran sungai

Banjaran banyak ditumbuhi pepohonan dan tanah yang ada dimanfaatkan

sebagai lahan pemukiman dan lahan perkebunan. Pada daerah hulu sungai

Banjaran memiliki temperatur udara 270C, tipe tanahnya batu berpasir dan pH

tanah 6,9. Daerah tengah sungai Banjaran memiliki temperatur udara 270C, tipe

tanahnya berpasir dan pH tanah 5,6. Daerah hilir sungai Banjaran memiliki

temperatur udara 270C, tipe tanahnya serasah dan pH tanah 6,8. Kondisi ini masih

dalam batas normal untuk pertumbuhan organisme yang ada di dalamnya

(Dwidjoseputro, 1991).

Distribusi bambu sangat dipengaruhi oleh faktor iklim antara lain suhu,

curah hujan, kelembaban yang berkaitan satu dengan yang lain (Sutiyono, et al.,

1992). Menurut Koesbiono (1979), daerah yang memiliki curah hujan tahunanan

minimal 1020 mm dan kelembaban udara minimal 80% dengan suhu optimum

antara 8,8-360C merupakan daerah yang cocok untuk pertumbuhan bambu.

Bambu dapat tumbuh baik di berbagai jenis tanah, kecuali tanah yang berada di

dekat pantai. Pada tanah tersebut, bambu dapat tumbuh tetapi pertumbuhannya

lambat dan buluh kecil. Umumnya bambu dapat tumbuh di tempat dengan

ketinggian 1-1200 m dpl dengan keadaan pH tanah antara 5,0-6,5 (Agusnar,

2007). Verhoef (1957) menyatakan bahwa berbagai keadaan tanah dapat

Page 19: laporan ekologi

ditumbuhi oleh bambu mulai dari tanah ringan sampai tanah berat, tanah kering

sampai tanah becek dan dari tanah yang subur sampai ke tanah yang kurang subur.

Hasil pengamatan distribusi moluska di Sungai Banjaran pada daerah hulu,

tengah, dan hilir diperoleh bahwa spesies moluska yang dominan pada daerah

hulu adalah Melanoides maculate sebanyak 6 individu/250 cm. Daerah tengah

sungai Banjaran memiliki spesies moluska yang dominan adalah Pachycilus

indiorum sebanyak 14 individu/250 cm. Daerah hilir sungai Banjaran memiliki

spesies moluska yang dominan adalah Melanoides granifera 4 individu/250 cm.

Perbedaan distribusi moluska dapat disebabkan karena adanya perbedaan

pengaruh bahan organik dan adanya perubahan kondisi lingkungan,

khususnya substrat sebagai akibat dari kegiatan antropogenik dan industri

yang menimbulkan tekanan lingkungan terhadap jenis moluska tertentu.

Komposisi taksa pada tingkat genus yang hanya ber kisar antara 5 - 6 jenis,

menandakan bahwa tingkat keanekaragaman taksa ini tergolong rendah.

Sedikitnya jumlah taksa yang ditemukan juga tidak dapat menunjukkan

bahwa perairan tersebut tercemar. Ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi

kondisi suatu lingkungan, misalnya fungsi aliran energi. Menurut Odum

(1971), penilaian tercemar atau tidaknya suatu ekosistem tidak mudah

terdeteksi dari hubungan antara keanekaragaman dan kestabilan

komunitasnya. Sistem yang stabil, dalam pengertian tahan terhadap gangguan

atau bahan pencemar bisa saja memiliki keanekaragaman yang rendah atau

tinggi, hal ini tergantung dari fungsi aliran energi yang terdapat pada perairan

tersebut.

Gambar 3.3. Morfologi Moluska di Daerah Hilir Sungai Banjaran

Page 20: laporan ekologi

Moluska berasal dari bahasa Romawi, molis yang berarti lunak yang

hidup sejak periode Cambrian,terdapat lebih dari 100 ribu spesies hidup dan

35 ribu spesies fosil, kebanyakan dijumpai di laut dangkal, beberapa pada

kedalaman 7000 m, beberapa di air payau, air tawar, dan darat (Pennak,

1978). Menurut Hyman (1967), filum moluska ditandai oleh tubuh yang

lunak, yang tidak terbagi dalam segman, segmen yang biasanya dilindungi

oleh satu atau lebih keping cangkang. Moluska merupakan organisme akuatik

yang hidup di dasar perairan dengan pergerakan relatif lambat yang sangat

dipengaruhi oleh substrat dasar serta kualitas perairan. Moluska berperan

penting dalam proses mineralisasi dan pendaur-ulangan bahan organic

maupun sebagai salah satu sumber makanan bagi organisme konsumen yang

lebih tinggi. Penurunan komposisi, kelimpahan dan keanekaragaman dari

moluska biasanya merupakan indikator adanya gangguan ekologi yang terjadi

pada sungai tersebut (Mason,1981).

Beberapa moluska yang terdapat di daerah hilir Sungai Banjaran sebagai

berikut:

Deskripsi Brotia insolita

Kingdom : Animalia

Filum : Mollusca

Klas : Gastropoda

Ordo : Mesogastropoda

Famili : Melanatriidae

Genus : Brotia

Spesies : Brotia insolita

Spesies yang ditemukan terutama di air mengalir, sungai cukup oksigen,

kadang-kadang juga di danau. Spesies ini bersifat gonochoristic , dan vivipar,

mengembangkan dan mempertahankan telur relatif muda dalam kantong induk

khusus

Deskrispi Faunus ater menurut Linnaeus (1758)

Kingdom : Animalia

Filum : Mollusca

Klas : Gastropoda

Page 21: laporan ekologi

Ordo : Mesogastropoda

Famili : Thiaridae

Genus : Faunus

Spesies :Faunus ater

Deskrispi Pachycilus indiorum

Kingdom : Animalia

Filum : Mollusca

Klas : Gastropoda

Ordo : Mesogastropoda

Famili : Pleuroceridae

Genus : Pachychilus

Spesies : Pachycilus indiorum

Siput air tawar ini cukup luas di Amerika Tengah (Meksiko, Honduras, Belize,

Guatemala), dan Northern Selatan Amerika (Venezuela).

Deskrispi Hemisinus eduardsi

Kingdom : Animalia

Filum : Mollusca

Klas : Gastropoda

Ordo : Mesogastropoda

Famili : Pleuroceridae

Genus : Hemisinus

Spesies : Hemisinus eduardsi

Deskrispi Melanoides granifera

Kingdom : Animalia

Filum : Mollusca

Klas : Gastropoda

Ordo : Mesogastropoda

Famili : Thiaridae

Genus : Melanoides

Spesies : Melanoides granifera

Page 22: laporan ekologi

Siput air tawar, spesies ini sangat toleran terhadap air payau , dan telah dicatat di

perairan dengan salinitas sebesar 32,5 ppt (1.024 salinitas gravitasi spesifik). Hal

tersebut adalah iklim yang hangat-spesies. Tampaknya lebih suka kisaran suhu 18

sampai 25°C atau 18 sampai 32 ° C. Penelitian telah dilakukan untuk menentukan

air mematikan siput suhu tinggi, yaitu sekitar 50 ° C (120 derajat Fahrenheit ).

Berdasarkan relung ekologinya bambu termasuk dalam produsen dan

gastropoda termasuk dalam konsumen. Moluska dalam ekosistem perairan sering

disebut juga sebagai makrobentos. Kehidupan makrobentos pada perairan ini

sangat ditentukan oleh faktor biotik. Keberadaan moluska juga dapat digunakan

sebagai penanda kualitas air sungai. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi

moluska di Daerah Aliran Sungai Banjaran antara lain:

a. Gas terlarut

Presentase oksigen di perairan jauh lebih rendah daripada yang ada di

atmosfer yaitu sekitar sepersepuluh atau kurang. Jumlah oksigen dalam air tidak

sekonstan seperti di udara, tetapi berfluktuasi dengan nyata tergantung pada

kedalaman, suhu, angin dan banyaknya kegiatan biologis. Kenaikan suhu atau

keragaman air menyebabkan penurunan dalam kandungan oksigen. Menurut

Ambarita (2010), oksigen terlarut dipengaruhi oleh suhu, kehadiran tumbuhan

fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya, kekeruhan air, kecepatan aliran air, dan

jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air. Karbondioksida (yang tergabung

dalam air membentuk asam karbonat.), amoniak dan hidrogen sulfida juga

merupakan gas terlarut yang berada dalam air.

b. Kejernihan

Kejernihan berpengaruh terhadap distribusi moluska pada perairan.

Kejernihan disebabkan oleh warna perairan. Curah hujan juga menyebabkan

kejernihan terganggu. Saat hujan turun maka tanah di atasnya akan larut terbawa

dan membawa humus, hal itu yang menyebabkan kejernihan air berkurang, akan

tetapi pada saat itu juga plankton banyak tersebar di sungai yang dapat

dimanfaatkan oleh moluska sebagai makanan.

c. Suhu

Suhu Sungai Banjaran di daerah hulu, tengah dan hilir adalah 270C, kondisi

tersebut normal. Suhu perairan di daerah tropik tentu lebih hangat daripada di

Page 23: laporan ekologi

daerah tidak beriklim tropik. Suhu permukaan pada perairan tropik umumnya

250C-280C dan pada perairan yang dangkal biasanya lebih tinggi yaitu 280C-320C.

Suhu yang lebih tinggi menyebabkan berkurangnya kadar oksigen terutama pada

malam hari. Menurut Barus (2004), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi

oleh berbagai factor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air

dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan faktor kanopi (penutupan

oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi.

d. Cahaya

Cahaya sangat diperlukan pada ekosistem perairan sungai. Cahaya

dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk berfotosintesis, dan nantinya fitoplankton

tersebut mempunyai peranan produsen pada relung ekologi. Cahaya pada Sungai

Banjaran di daerah hulu, tengah dan hilir mempunyai intensitas yang cukup.

e. Arus air.

Arus air di hulu Sungai Banjaran adalah 0,45 m/s, di bagian tengah 0,6

m/s, dan dibagian hilir 0,4 m/s. Tingginya arus dapat disebabkan oleh aliran

sungai yang relatif lurus dan substrat yang sedikit, sedangkan rendahnya arus

disebabkan oleh air sungai yang dibendung dan tingginya substrat. Substrat dapat

mempengaruhi kecepatan arus, namun kecepetan arus dalam suatu ekosistem

tidak dapat ditentukan secara pasti karena arus pada suatu perairan sangat

berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung dari fluktuasi debit dan aliran air

serta kondisi substrat yang ada (Barus, 2004). Menurut Metcalf & Eddy (1991)

kecepatan aliran air yang memiliki daya angkut dan daya gerus terhadap material

kasar adalah 1 - 3 m/dt, sedangkan kecepatan aliran air yang mampu mencegah

terjadinya endapan organik adalah 0,3m/dt. Aliran air dengan kecepatan > 0,75

m/dt diketahui mampu mencegah terjadinya endapan material sedang seperti

pasir. Fluktuasi debit air sungai dapat menjadi petunjuk tentang jenis atau tipe

sungai. Asdak (2002) menyebutkan bahwa menurut literatur geologi pola aliran

(sistem) sungai diklasifikasikan sebagai sistem aliran influent, effluent dan

intermittent. Sistem aliran sungai influent adalah aliran sungai yang memasok air

tanah. Sistem aliran sungai effluent adalah aliran sungai berasaldari air tanah.

Sungai yang masuk dalam kategori aliran effluent biasanya akan mengalir

sepanjang tahun (perennial).

Page 24: laporan ekologi

f. pH

pH pada Sungai Banjaran daerah hulu, tengah dan hilir masih tergolong

normal yaitu 6-7. Menurut Kristanto (2002), nilai pH air yang normal adalah

sekitar 6-8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya air limbah, berbeda-beda

tergantung jenis limbahnya. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya

mempunyai pH yang lebih tinggi. Semakin lama pH air akan menurun menjadi

asam. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya bahan-bahan organic yang

membebaskan CO2 jika mengalami penguraian.

g. Substrat

Substrat pada Sungai Banjaran daerah hulu, tengah dan hilir umumnya

batuan berpasir. Substrat yang cocok untuk keberadaan moluska sebenarnya

adalah tanah berlumpur. Tanah berpasir tidak cocok untuk moluska, dan biasanya

pada substrat batuan berpasir tersebut moluska akan menguburkan dirinya dalam-

dalam pada batuan pasir tersebut (Ewusie, 1990).

Page 25: laporan ekologi

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat diperoleh

kesimpulansebagai berikut:

1. Penyebaran distribusi bambu yang paling dominan di hilir Sungai Sidabowa

adalah bagian tengah yaitu Bambusa vulgaris, sedangkan penyebaran ditribusi

moluska yang paling dominan di daerah hilir adalah Melanoides granifera.

2. Perpindahan energi akan terjadi melalui proses makan-memakan atau disebut

rantai makanan yang kemudian bergabung membentuk jaring-jaring makanan.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi moluska dan distribusi bambu

antara lain: gas terlarut, kejernihan, arus air, suhu, penetrasi cahaya, pH, dan

substrat.

4. Faktor lingkungan yang mempengaruhi ekosistem daratan yaitu cahaya,

temperatur dan air, sedangkan cahaya, temperatur dan kadar garam merupakan

faktor tiga besar untuk perairan.

Page 26: laporan ekologi

DAFTAR PUSTAKA

Ambarita, R. 2010. Keanekaragaman dan Distribusi Ikan di Hulu Sungai Asahan Porsea. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Medan.

Agusnar, H. 2007. Kimia Lingkungan. USU Press. Medan.

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Medan. USU Press.

Dwidjoseputro, D. 1991. Ekologi Manusia dengan Lingkungannya. Erlangga, Jakarta.

Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. ITB. Bandung.

Gunawan, 2008. “Kajian Sifat-sifat Finishing Anyaman Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J. H. Schultes) Kurz)”. Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Hariadi, S., Suryadiputra,INN., Widigdo, B., 1992, Limnologi, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.

Heddy, S. dan K. Metty. 1989 . Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia 11. Badan Litbang Departemen Kehutanan, Jakarta.

Koesbiono. 1979. Dasar-Dasar Ekologi Umum. Bagian IV. Pasca sarjana Program Studi Lingkungan IPB. Bogor.

Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta. Penerbit ANDI.

Mason, C.F. 1981. Biology of Freshwater Pollution.Longman Inc. New York.

Odum, E. P. 1988. Dasar-Dasar Ekologi Edisi 3. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Pennak, RW. 1978. Freshwater Invertebrates of the United States. New York: A Willey Interscience Publications John Willey and Sons.

Page 27: laporan ekologi

PONG-MASAK, P,R, Pirzan, A, M. 2006. Komunitas Makrozoobentos pada Kawasan Budidaya Tambak di Pesisir Malakosa Parigi-Moutong, Sulawesi Tengah (Macrozoobenthos Community at the Pond Culture Area in Malakosa Coastal, Parigi-Moutong, Central of Sulawesi). B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 7, Nomor 4 Oktober 2006 Halaman: 354-360. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, Sulawesi Selatan 90512

Pratiwi ERT. 2006. Hubungan antara Peneyebaran Alami Bambu Betung (Dendrocalamzrs asper) dengan Beberapa Sifat Tanah. Skripsi. Program Studi Budidaya Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB, Bogor.

Stuart E. Bunn and Angela H. Arthington. 2002. Basic Principles and Ecological Consequences of Altered Flow Regimes for Aquatic Biodiversity. Springer-Verlag New York Inc. Environmental Management Vol. 30, No. 4, Pp. 492–507.

Sutiyono, Hendromono, M., Wardani dan I. Sukardi. 1992. Teknik Budidaya Bambu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. (15). 1-25

Verhoef, L. 1957. Tanaman Bambu di Jawa. Lembaga Pusat Penilitian Kehutanan. Bogor. 25 hal.

Irwan, 1992. Ekosistem Komunitas & Lingkungan. Bumi aksara. Jakarta

Polunin, nicholas. 1997. Teori ekosistem dan penerapannya. Yogyakarta ; Universitas Gajah Mada Press.