laporan daging dan perikanan

Upload: frila-anggraeningrum

Post on 12-Jul-2015

899 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

Tempat dan Waktu Praktikum Praktikum Pengetahuan Bahan Pangan daging dan perikanan ini dilakukan di Laboratorium Pengetahuan Bahan Pangan, Universitas Pasundan, Jl. Dr. Setiabudhi No. 193, Praktikum dilakukan pada tanggal 24 Oktober 2011, pada pukul 12.00 sampai 17.00 WIB. 1. Pengamatan Struktur Fisik Ikan Tujuan dan Prinsip Percobaan Tujuan dari percobaan pengamatan struktur fisik ikan adalah untuk mengetahui struktur fisik ikan dan hasil perikanan, sehingga kita bisa mengetahui kualitas ikan dan hasil perikanan tersebut dan untuk mengetahui cara penanganan dan pengolahannya. Prinsip dari percobaan pengamatan struktur fisik ikan adalah berdasarkan pengamatan sifat seperti warna, bentuk, struktur, fisik dan struktur bagian daging. Alat, Bahan, dan Prosedur Percobaan Alat yang digunakan pada percobaan pengamatan struktur fisik ikan adalah pisau dan talenan. Bahan yang digunakan pada percobaan pengamatan struktur fisik ikan adalah ikan lele. Prosedur percobaan pengamatan struktur fisik ikan dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Ikan Penimbangan* Gambar bentuk keseluruhan Kuliti bagian luar (sisik, kulit/cangkang)

Penimbangan** Diamati (bentuk, warna, struktur dalam, serat daging) Gambar 1. Prosedur Percobaan Pengamatan Struktur Fisik Ikan Amati bentuk masing-masing hasil perikanan dan gambar bentuk utuhnya. Amati bentuk dan struktur fisiknya. Lepaskan bagian sisik, kulit bagian luar lainnya. Amati bentuk, warna, dan struktur bagian dalam atau dagingnya. Hasil pengamatan dan Pembahasan Berdasarkan hasil percobaan pengamatan struktur fisik ikan dapat diperoleh data sebagai berikut : Tabel 1. Hasil Pengamatan Struktur Fisik Ikan dengan Sampel Cumi-Cumi Pengamatan Hasil Pengamatan Berat Berat Daging Warna 51 gram 21,8 gram Ungu pucat keputihan

Bentuk

(Sumber : Frila; Kelompok C; Meja 4; 2011) Berdasarkan hasil pengamatan struktur fisik pada cumi dapat diperoleh bahwa cumi-cumi mempunyai berat 51 gram, dengan berat daging 21,8 gram, dan

memiliki warna ungu pucat kehitaman. Berdasarkan hasil pengamatan didapat hasil edible portion dengan sampel cumi-cumi yaitu sebesar 76,47 %. Daging cumi-cumi memiliki kelebihan dibanding dengan hasil laut lain, mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh. Asam amino esensial yang dominan adalah leusin, lisin dan fenilalanin. Sementara kadar asam amino nonesensial yang dominan adalah asam glutamat dan asam aspartat. Kedua asam amino tersebut berkontribusi besar terhadap timbulnya rasa sedap dan gurih. Itu sebabnya, secara alami cumi telah memiliki cita rasa gurih, sehingga dalam pengolahannya tak perlu ditambahkan penyedap (Anonim, 2011). Cumi-cumi juga mengandung beberapa jenis mineral mikro dan makro dalam jumlah yang sangat tinggi. Mineral penting pada cumi-cumi adalah natrium, kalium, fosfor, kalsium, magnesium dan selenium. Selain kaya akan protein, cumi-cumi juga merupakan sumber vitamin yang baik, seperti vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), B12, niasin, asam folat serta vitamin larut lemak (A, D, E, K). Cumi-cumi berbentuk silinder dan bewarna putih keunguan. Pada bagian kepala terdapat tangan-tangan penangkap mangsa. Cumi-cumi ammpu

menghasilkan zat tinta yang bewarna ungu gelap untuk menghindari dari kejaran musuhnya. Bagian badannya licin, tidak bersisik dan tidak bertulang, praktis seluruh tubuhnya dapat dimakan (Muchtadi, 2010).

2. Kesegaran Ikan Tujuan dan Prinsip Percobaan Tujuan dari percobaan kesegaran ikan adalah untuk menentukan mutu dan kesegaran ikan. Prinsip dari percobaan kesegaran ikan adalah berdasarkan proses pembusukan yang dikarenakan rendahnya kadar glikogen dan tingginya pH daging ikan. Berdasarkan pengamatan fisik subjektif terhadap cirri fisik ikan yang dilihat dari warna keadaan mata, kulit, tekstur, sisik, insang, aroma, serta berdasarkan pengamata secara objektif dengan cara kimia dan mikrobiologi. Alat, Bahan, dan Prosedur Percobaan Alat yang digunakan pada saat percobaan kesegaran ikan adalah pisau dan talenan. Bahan yang digunakan pada saat percobaan kesegaran ikan adalah CumiCumi. Prosedur percobaan kesegaran ikan dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Ikan

Diamati (warna, mata, kulit, tekstur, sisik, insang, aroma) Simpulkan Mutunya Gambar 2. Prosedur Percobaan Pengamatan Kesegaran Ikan Secara Subjektif Pengamatan subyektif dilakukan terhadap warna, keadaan mata kulit, tekstur, sisik, insang, dan aroma.

Reagen Eber 5ml

irisan daging ikan 1x1x1 cm Diamati terbentuknya gas Berwarna putih

Gambar 3. Prosedur Percobaan Pengamatan Kesegaran Ikan Secara Objektif Tabung reaksi diisi dengan reagen Eber sebanyak 5ml. Daging ikan yang akan diamati diiris kira-kira sebesar kacang tanah dan diikatkan pada ujung tali. Pada ujung tali lainnya ditahan penyumbat gabus. Daging ikan yang sudah ditusuk dimasukkan dalam tabung reaksi dan gabusnya disumbatkan pada mulut tabung. Terbentuknya gas berwarna putih di dalam tabung menunjukkan adanya gas NH3 hasil pembusukkan. Daging ikanTambahkan air (1:10)

Penghancuran Penyaringan FiltratAmpas

Filtrat 10ml

0,1 g MgO

Lakmus merah

gabus Penangas air T=50-60oC

diamati Merah-Biru Gambar 4. Prosedur Pecobaan Uji Postma

Daging ikan dihancurkan menggunakan lumpang alu dengan aquadest 10 kali bagian daging. Selanjutnya disaring ungtuk mengendapkan filtratnya. Kertas lakmus merah ditempelkan pada penangas air bersuhu 50-60oC. Sebanyak 10ml filtrat dimasukkan dalam cawan petri dan ditambahkan 0,1 gram MgO. Cawan petri segera ditutup. Jika terjadi perubahan warna pada kertas lakmus dari merah menjadi biru, menandakan adanya gas NH3 yang berarti ikan mulai membusuk.

Irisan Daging Ikan

Cawan petri

Kertas yang telah ditetesi Pb asetat

Cawan petri Daging ikan

Tutup sedikit terbuka Amati warna cokelat pada kertas saring

Gambar 5. Prosedur Percobaan Uji H2S Daging ikan diiris sebsar kacang tanah dan diletakkan kedalam cawan petri. Daging ikan ditutup dengan kertas saring dan ditetesi dengan larutan Pb-Asetat. Cawan petri ditutup (sedikit terbuka). Terbentuknya warna cokelat pada bekas Pb-asetat menunjukkan adanya gas H2S hasil pembusukkan ikan.

Hasil Pengamatan dan Pembahasan Berdasarkan hasil percobaan pengamatan kesegaran ikan secara subjektif dapat diperoleh data sebagai berikut : Tabel 2. Hasil Pengamatan Kesegaran Ikan Secara Subjektif dengan Sampel Cumi-Cumi Pengamatan Hasil Pengamatan Mata Tidak jernih Kulit Ungu pucat kehitaman Tekstur Kenyal Aroma Sedikit Bau busuk (Sumber : Frila; Kelompok C; Meja 4; 2011) Tabel 3. Hasil Pengamatan Kesegaran Ikan Secara Objektif dengan Cumi-Cumi Pengamatan Hasil Pengamatan Kesimpulan Ikan mengalami Uji Eber (+), terdapat gelembung pembusukan Ikan mengalami Uji Postma (+), lakmus menjadi biru pembusukan (+), tidak terdapat noda Ikan mengalami Uji H2S hitam pembusukan (Sumber : Frila; Kelompok C; Meja 4; 2011) Berdasarkan hasil pengamatan kesegaran ikan secara subjektif, didapatkan hasil bahwa mutu cumi dalam keadaan tidak baik, dapat dilihat dari keadaan fisiknya mata tidak jernih, warna kulit memucat dan mengeluarkan aroma tidak sedap. Ikan segar lebih cepat mengalami kebusukan dibandingkan daging mamalia. Kebusukan ikan mulai terjadi setelah rigor mortis selesai. Faktor yang menyebabkan ikan cepat busuk adalah kadar glikogennya rendah sehingga rigor mortis berlangsung cepat dan ph akhir daging ikan cukup tinggi yaitu 6,4-6,6, sehingga tingginya jumlah bakteri yang terkandung dalam perut ikan. Bakteri proteolitik mudah tumbuh pada ikan segar dan menyebabkan bau busuk hasil metabolisme protein (Muchtadi, 2010).

Pembusukan menyebabkan bahan pangan menurun mutunya bahkan tidak layak dikonsumsi. Hal ini disebabkan karena terjadi penyimpanan sifat sensori (warna, tekstur, bau, dan rasa) yang tidak diinginkan serta kemungkinan penyebab penyakit. Pembusukan dapat diamati secara subjektif dan objektif. Pengamatan subjektif dilakukan dengan uji sensori, sedangkan pengamatan objektif menggunakan cara analisis kimia atau mikroorganisme. Percobaan uji eber dengan sampel cumi-cumi diketahui bahwa sampel mengalami pembusukan dengan terbentuknya gelembung gas bewarna putih seperti buih. Hal ini terjadi karena adanya gas NH3 hasil pembusukan (Muchtadi,2010). Reagen eber terbentuk dari campuran yang terdiri dari HCl pekat, alkohol 90 % dan eter dengan perbandingan 1 : 1 : 1. Pertama potong ikan dengan ukuran kecil, lalu masukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah diisi dengan reagen eber dan tutup dengan penyumbat gabus, tunggu beberapa saat dan diamati apakah terbentuk gas warna putih yang menentukan kesegaran pada sampel apakah sudah busuk ataukah masih segar (Muchtadi, 2010). Percobaan uji eber jika terdapat gas, hal tersebut dikarenakan ikan yang membusuk mengeluarkan NH3 yang jika bereaksi dengan HCL akan membentuk NH4Cl yang bersifat gas, sehingga pada larutan akan terdapat gas. Apabila ternyata ikan masih segar, tetapi terdapat gas, hal tersebut dapat disebabkan oleh masukny O2 pada tabung. NH3 + HCL NH4Cl

Uji postma digunakan untuk mendeteksi adanya kebusukan pada sampel atau hasil olahan daging. Penyebab kebusukan karena terjadi deaminasi senyawa protein, yaitu: Deaminasi Hidrolitik dan Deaminasi Oxidatif. a. Deaminasi Hidrolitik, Keluarnya gugus amino dari senyawa protein yang di sebabkan oleh air,sehingga terbentuk gas NH3 yang akan merubah kertas lakmus merah menjadi biru, apabila positif. b. Deaminasi Oxidatif, Disebabkan karena pengaruh oksigen yang akan menggantikan atom hidrogen pada protein dan menghasilkan NH3 yang akan merubah kertas lakmus merah menjadi biru (Anonim, 2011). Percobaan uji postma dengan sampel cumi-cumi diketahui bahwa kertas lakmus merah berubah menjadi warna biru, yang menandakan bahwa pH dari sampel tersebut basa. Pada uji postma terdapat jika lakmus merah berubah warna menjadi biru, hal tersebut dikarenakan ikan yang membusuk mengeluarkan NH3 yang jika bereaksi dengan MgO akan membentuk NH4OH yang bersifat basa, sehingga lakmus merah berubah warna menjadi biru. Apabila ternyata ikan masih segar, tetapi lakmus berubah warna, hal tersebut dapat disebabkan oleh MgO yang menempel pada dinding tabung reaksi, sehingga kertas lakmus bukan mengukur adanya NH4OH yang terbentuk, melainkan mengukur MgO yang bersifat basa. NH3 + MgO NH4OH Fungsi larutan MgO adalah untuk membebaskan gas NH3, sehingga pada ikan yang mutunya baik maka kertas lakmus merah tidak akan berubah warna menjadi biru.

Pada percobaan uji H2S dengan sampel cumi-cumi diketahui bahwa pada kertas saring terdapat warna coklat, yang menunjukkan bahwa adanya gas H2S hasil dari pembusukan ikan. Pada uji H2S terdapat jika terdapat noda berwarna coklat, hal tersebut dikarenakan ikan yang membusuk mengeluarkan H2S yang jika bereaksi dengan Pb asetat akan membentuk Pb sulfit yang menghasilkan noda. Apabila ternyata ikan masih segar, tetapi terdapat noda, hal tersebut dapat disebabkan oleh kurang aseptisnya praktikan sehingga kertas saring terkena kontaminasi. H2S + Pb asetat Pb sulfit 3. Bagian Yang Dapat Dimakan Tujuan dan Prinsip Percobaan Tujuan dari percobaan Edible Portion adalah untuk mengetahui seberapa besar jumlah atau bagian yang dapat dimakan pada hasil-hasil perikanan sehingga dapat diperkirakan jumlah bahan yang dibutuhkan untuk produksi. Prinsip dari percobaan Edible Portion adalah berdasarkan jumlah atau bagian yang dapat dimakan dinyatakan dalam persen berat utuh. Alat, Bahan, dan Prosedur Percobaan Alat yang digunakan pada saat percobaan Edible Portion adalah pisau, talenan, dan timbangan. Bahan yang digunakan pada saat percobaan Edible Portion adalah CumiCumi.

Prosedur percobaan Edible Portion dapat dilihat pada gambar dibawah ini : Ikan Air Pencucian Penirisan Penimbangan** A Pemisahan Air

Sisik

ekor

sirip

kepala

insang

isi perut

tulang

daging

Pencucian Penirisan Air

Penimbangan* Gambar 6. Prosedur Percobaan Edible Portion Ikan dicuci dengan air bersih kemudian ditiriskan. Berat utuh ditimbang. bagian sisik, ekor, sirip, kepala, insang, serta isi perutnya dipisahkan. Kemudian dagingnya dipisahkan dari tulang. dicuci sampai bersih kemudian ditiriskan. Berat dagingnya ditimbang. Persentase daging terhadap berat utuh dihitung.

Hasil Pengamatan dan Pembahasan Berdasarkan hasil percobaan dapat diperoleh data sebagai berikut : Tabel 4. Hasil Pengamatan Edible Portion dengan Sampel Cumi-Cumi Pengamatan Hasil Pengamatan Berat Daging 51 gram Berat Keseluruhan 39 gram Edible Portion 76,47 % Edible Portion = = = 76,47 % (Sumber : Frila; Kelompok C; Meja 4; 2011) Berdasarkan hasil pengamatan Edible Portion pada sampel cumi-cumi dapat diketahui bahwa bagian yang dapat dimakan adalah sebesar 76,47%. Bagian tubuh ikan tidak semua bagian layak untuk dikonsumsi. Untuk mengetahui berapa persen sebenarnya bagian yang layak dimakan perlu dilakukan pemisahan. Bagian-bagian yang umumnya dibuang antara lain sisik, kulit atau cangkang, isi perut, akar dan sirip, insang serta kepala dan tulang (Muchtadi, 2010). Perubahan biokimia pasca mortem ikan, yaitu pada fase pre-rigor konsentrasi ATP masih cukup tinggi dan energy yang terbentuk masih rendah, tidak cukup untuk mengakibatkan terjadinya penggabungan antaraaktin dan myosin menjadi aktomiosin, sehingga daging menjadi lunak dan lentur. Pada fase rigor mortis daging menjadi kaku dank eras setelah 1-7 jam ikan mati dan apabila dibekukan terjadi setelah 3-120 jam yang disebabkan terjadinya kontraksi antara aktin dan myosin membentuk aktomiosin. Pada fasse rigor akan terjadi relaksasi pada daging yaitu melemasnya kembali daging ikan yang telah mengalami kekakuan yang disebabkan aktomiosin kembali ke bentuk semula yaitu aktin dan

myosin. Setelah proses pasca mortem terjadi, maka akan terjadi kerusakan mikrobiologi pada ikan (Muchtadi, 2010). DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2011). Cumi-cumi. (http://resepkoki.com/m/news/view/Cumi-Cumi). Akses: 28/10/2011. Anonim. (2011). Uji Postma. (http://jetcozter.blogspot.com/p/teknologi-hasilpertanian.html). Akses : 28/10/2011. Muchtadi, Tien, Sugiyono, dan Fitriyono Ayustaningwarno. (2010). Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bandung : CV. Alfabeta.

Tempat dan Waktu Praktikum Praktikum Pengetahuan Bahan Pangan daging dan perikanan ini dilakukan di Laboratorium Pengetahuan Bahan Pangan, Universitas Pasundan, Jl. Dr. Setiabudhi No. 193, Praktikum dilakukan pada tanggal 24 Oktober 2011, pada pukul 12.00 sampai 17.00 WIB. 1. Komposisi Fisik Karkas Tujuan dan Prinsip Percobaan Tujuan dari percobaan komposisi fisik karkas adalah untuk mengetahui komposisi fisik karkas ayam dan untuk mengetahui bagian-bagian karkas ayam yang dapat dimakan atau banyaknya bagian yang tidak dapat dimakan. Prinsip dari percobaan komposisi fisik karkas adalah berdasarkan perbandingan berat bagian-bagian karkas yang terdiri dari bagian-bagian sel, tulang, kulit, daging merah, daging putih, lemak, dan jaringan ikat, terhadap berat, utuh ayam sebelum dipotong. Alat, Bahan, dan Prosedur Percobaan Alat yang digunakan pada saat percobaan komposisi fisik karkas adalah pisau, talenan, dan timbangan. Bahan yang digunakan pada saat percobaan komposisi fisik karkas adalah ayam boiler. Prosedur percobaan komposisi fisik karkas dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Ayam utuh Ditimbang Potong Kaki sayap punggung dada paha kepala

Timbang semua bagian karkas % terhadap karkas keseluruhan = Gambar 7. Prosedur Komposisi Fisik Karkas Karkas Pemisahan bagian-bagian karkas Tulang daging lemak jaringan kulit

Timbang masing-masing bagian karkas Tulang : Tulang bagian dada = Tulang bagian sayap = Tulang bagian paha = Tulang bagian punggung = % terhadap karkas =

Gambar 8 Prosedur Percobaan Bagian-Bagian Karkas Masing-masing karkas ditimbang, kemudian dipotong-potong untuk mendapatkan bagian sayap, punggung, dada, paha, dan kaki atau kepala. Bagianbagian ini ditimbang dan dihitung persentasenya terhadap berat karkas keseluruhan.

Selanjutnya dilakukan pemisahan kulit, tulang, daging merah, daging putih, lemak dan jaringan ikat masing-masing komponen ini ditimbang dan dihitung persentasenya terhadap berat masing-masing bagian dan berat karkas keseluruhan. Daging putih, lemak, dan jaringan ikat. Masing-masing komponen ini ditimbang dan dihitung persentasenya terhadap berat masing-masing bagian dan berat karkas keseluruhan. Hasil Pengamatan dan Pembahasan Berdasarkan hasil percobaan komposisi fisik karkas dan bagian-bagian karkas diperoleh data sebagai berikut : Tabel 5. Hasil Pengamatan Komposisi Karkas Daging dengan Sampel Ayam Boiler Pengamatan Hasil Pengamatan Berat utuh 750 gram Berat Karkas 500 gram Kaki 40 gram Paha 55 gram Sayap 75 gram Dada 100 gram Punggung 50 gram Kepala 150 gram % karkas keseluruhan = = = 66,67% (Sumber : Frila; Kelompok C; Meja 4; 2011)

Tabel 6. Hasil Pengamatan Bagian-Bagian Karkas dengan Sampel Ayam Boiler Berat Paha Sayap Punggung Dada Jumlah Kulit 4,56 gram 5,4 gram 5 gram 11,6 gram 26,56 gram Jaringan 6,7 gram 0,3 gram 0,2 gram 0,9 gram 8,1 gram Daging 35,6 gram 18,4 gram 16,9 gram 104 gram 174,9 gram Lemak 0,2 gram 0,2 gram 0,4 gram Tulang 16,5 gram 19,8 gram 26 gram 10,5 gram 72,8 gram Tulang bagian dada = Tulang bagian sayap = Tulang bagian punggung = Tulang bagian paha = Kulit bagian dada = Kulit bagian sayap = Kulit bagian punggung = Kulit bagian paha = Jaringan dada = Jaringan sayap = Jaringan punggung = Jaringan paha = Daging dada = Daging sayap = Daging punggung = Daging paha = Lemak dada = Lemak paha = % kulit = % jaringan = % lemak = % daging = = 81,76% = 41,91% = 35,14% = 56,01% = 0,16% =0,31% = 5,3% = 1,62% = 0,08% = 34,98% % = 0,68% = 0,42% 100% = 9,12%

% tulang = = 14,56% Jumlah %keseluruhan = 56,54% (Sumber : Frila; Kelompok C; Meja 4; 2011)

Berdasarkan percobaan pengamatan karkas ayam, diperoleh berat ayam utuh sebesar 750 gram dan berat karkas ayam sebesar 500 gram. Berdasarkan percobaan bagian-bagian karkas, dari berat ayam utuh sebesar 750 gram, diperoleh berat kaki 40 gram, berat paha 100 gram, berat sayap 75 gram, berat kepala 55 gram, berat dada 150 gram, berat punggung 50 gram, dan berat karkas 500 gram. Penimbangan terhadap berat keseluruhan selesai, langkah yang dilakukan selanjutnya adalah memisahkan daging dari tulang, lemak, jaringan, dan kulit. Lalu dihitung persen berat dari masing-masing bagian. Karkas adalah bagian tubuh hewan yang telah disembelih, utuh, atau dibelah sepanjang tulang belakang, dimana hanya kepala, kaki, kulit, organ bagian dalam (jeroan), dan ekor yang dipisahkan (Muchtadi, 2010). Daging adalah bagian yang sudah tidak mengandung tulang, sedangkan karkas adalah daging yang belum dipisahkan dari tulang atau kerangkanya. Karkas juga diartikan sebagai hewan setelah mengalami pemotongan, pengkulitan, dibersihkan dari jerohan, dan kaki-kaki bagian bawah juga telah mengalami pemotongan. Karkas biasanya juga sudah dipisahkan dari kepala (Muchtadi, 2010). Kulit merupakan jaringan yang tersusun dari epidermis dan dermis, dimana mempunyai fungsi sebagai alat ekresi. Tulang merupakan penopang tubuh yang tersusun dari kalsium dan fosfat. Lemak merupakan sekelompok besar molekul-molekul alam yang terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen meliputi asam lemak, malam, sterol, vitamin-vitamin yang larut di dalam

lemak (contohnya A, D, E, dan K), monogliserida, digliserida, fosfolipid, glikolipid, terpenoid (termasuk di dalamnya getah dan steroid) dan lain-lain. Jaringan merupakan kumpulan dari sel, jaringan pada tubuh hewan terdiri dari komponen-komponen fisik seperti kulit, jaringan lemak, jaringan otot, jaringan ikat, tulang, jaringan pembuluh darah, dan jaringan syaraf. Tahap-tahap untuk mendapatkan karkas, yaitu : a. Inspeksi Ante Mortem, bertujuan untuk memeriksa kesehatan ayam. Hanya ayam yang benar-benar sehat yang bisa dijadikan ayam potong. Ayam hidup yang umum untuk dipotong berumur antara 5-7 minggu dengan berat sekitar 1,7 2 kg/ekor. b. Penyembelihan, cara yang biasa digunakan dengan pemutusan saluran darah (vena dan arteri), kerongkongan, dan tenggorokan, hewan harus dalam keadaan sehat dan tidak boleh dibius. c. Penuntasan darah, harus dilakukan dengan sempurna karena dapat mempengaruhi mutu daging unggas. d. Penyeduhan, bertujuan untuk memudahkan proses proses pencabutan bulu pada tahap berikutnya karen kolagen yang mengikat bulu sudah terkoagulasi. e. Pencabutan bulu, meliputi penghilangan bulu-bulu yang berukuran besar, bulu-bulu halus, dan bulu yang seperti rambut.Pencabutan bulu harus secara mekanis yaitu dengan dua arah, depan dan belakang.

f. Dressing, meliputi pemotongan kaki, pengambilan jeroan dan pencucian. Pengambilan jeroan dengan cara memasukan tangan kedalam rongga perut dan menarik seluruh isi perut keluar (Muchtadi, 2010). Fisiologi pasca mortem terbagi menjadi tiga fase : Fase pre-rigor, Fase Rigor Mortis dan Fase Pasca Rigor. Fase pre-rigor adalah suatu fase yang terjadi setelah hewan mengalami kematian. Pada fase ini otot berada dalam keadaan relaksasi, yaitu belum terjadi persilangan antara filamen aktin dan miosin sehingga jaringan otot masih halus dan empuk. Pada fase ini proses kimiawi dan pertumbuhan mikroba berlangsung lambat sekali. Fase rigor mortis adalah suatu perubahan pasca mortem yang terjadi dalam otot dan mempunyai pengaruh langsung terhadap keempukan daging. Secara fisik dapat dikatakan bahwa fase rigor mortis merupakan suatu proses dimana daging menjadi kaku dan kehilangan fleksibilitasnya. Kekakuan jaringan otot ini disebabkan terjadinya persilangan filamen aktin dan filamen miosin karena kontraksi otot. Lamanya fase ini tergantung kepada jenis hewan. Pada ayam fase ini berlangsung sekurang-kurangnya selama 12 jam. Fase pasca rigor, daging kembali menjadi empuk karena tidak ada lagi pembentukan energi (ATP) yang dapat digunakan untuk kontraksi dan persilangan filamen aktin dan miosin (Muchtadi, 2010). Penanganan pasca mortem pada daging unggas ada dua tahap, yaitu : Pelayuan Daging dan Pembekuan. Pelayuan daging bertujuan agar proses pembentukan asam laktat dapat berlangsung sempurna sehingga akan terjadi penurunan pH daging. Nilai pH daging yang rendah dapat menghambat

pertumbuhan bakteri, sehingga proses pembusukan juga dihambat, pengeluaran darah juga menjadi lebih sempurna, karena darah merupakan media pertumbuhan yang baik bagi mikroba, lapisan luar daging menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba pembusuk dari luar dapat ditahan, serta untuk memperoleh daging yang memiliki keempukan optimum serta citarasa yang khas (Muchtadi, 2010). Pembekuan, penyimpanan daging beku dilakukan pada suhu antara 17-40C. Pada daging unggas dapat bertahan dalam keadaan yang baik selama satu tahun bila disimpan pada suhu -17,8C. Pada suhu ini daging unggas dalam keadaan beku . Dengan pembekuan pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim dapat dihambat, sehingga proses pembusukan atau kerusakan daging unggas dapat dihambat pula (Muchtadi, 2010). Ciri-ciri karkas ayam yang baik adalah padat (kompak), sementara paha, betis, sayap, dan dada berdaging tebal. Besar daging pada dada dapat diketahui dengan cara mengukur panjang tulang dada. Sedangkan dagingnya berwarna putih kekuningan. Warna lemak putih kekuningan dan merata dibawah kulit, dan ada bau segar (spesifik daging ayam). Bila daging ditekan, akan kembali ke bentuk semula, dan tidak ada tanda-tanda memar atau tanda lain (Anugrah, 1996). Klasifikasi mutu karkas ayam adalah usaha menggolongkan komoditi menjadi beberapa kelas mutu. Pengkelasan mutu ini didasarkan pada standar mutu yang sudah ada. Sedangkan standar mutu ditentukan berdasarkan atribut mutu yaitu karakteristik yang mempengaruhi mutu. Pengkelasan mutu sangat penting dalam perdagangan. Tujuan pengkelasan mutu antara lain adalah untuk menghindari akan terjadi pemalsuan (Muchtadi, 2010).

Pengkelasan mutu unggas didasarkan pada spesies, jenis kelamin dan umur, yaitu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mutu. Setiap spesies memiliki karakteristik-karakteristik yang mempengaruhi metode pemasakan dan sifat-sifat organoleptik (Muchtadi 2010). Spesifikasi standar karkas unggas (Kondisi minimum dan cacat maksimum) : Tabel 7. Spesifikasi karkas No Faktor Mutu A 1 Penampakan Normal Tulang dada Sedikit punggung melengkung kaki dan sayap Normal Normal 2 Peletakan Gemuk, dada Daging agak panjang, dan membulat 3 Lemak Banyak terutama pada dada 4 Bulu Halus Tidak ada (Sumber: Muchtadi; 2010).

Mutu B Agak Menyimpang Agak bengkok Agak Bengkok Agak Menyimpang Sedang

Mutu C Abnormal Bengkok Bengkok Menyimpang Kurus

Sedang, pada dada dan kaki (dibawah kulit) Sedikit

Sedikit, pada seluruh bagian karkas Agak Banyak

Ayam boiler (Ras) adalah jenis ayam yang telah mengalami upaya pemuliaan, sehingga merupakan ayam pedaging yang unggul. Mempunyai bentuk, ukuran, dan warna yang seragam (Muchtadi, 2010). Daging dada ayam banyak mengandung vitamin niacin (anti penyakit pellagra). Karena kandungan niacinnya yang tinggi, daging dada ayam bias disamakan dengan ahti. Daging ayam yang lebih muda mengandung lebih tinggi kadar niacinnya. Pada daging ayam yang berwarna gelap, kandungan vitamin riboflavin dan tiaminnya lebih tinggi daripada daging yang putih (Winarno,1997).

Daging ayam memiliki struktur yang hampir sama dengan daging mamalia. Perbedaannya terletak pada serat yang terdapat pada daging ayam atau unggas lainnya lebih pendek dan lunak daripada daging mamlia, sehingga lebih mudah untuk dicerna. Struktur terkecil penyusun daging adalah miofilamen. Beberapa

miofilamen akan membentuk myofibril yang kemudian myofibril akan membentuk serat-serat daging. Serat-serat daging dipersatukan oleh sarkoplasma dan terbungkus oleh sarkolema yang sangat tipis. Beberapa serat daging bergabung menjadi satu diselimuti oleh endomisium dan komponen ini bergabung kembali menjadi satu diselimuti oleh perimisium. Gabungan perimisium diselimuti oleh membran yang tipis yaitu epimisium yang terdiri dari jaringan ikat yang berupa serabut kolagen dan elastin. Pada perimisium terdapat benyak urat saraf dan pembuluh darah. Beranekaragam mutu karkas disebabkan kerusakan selama proses pemotongan sebesar 10-20% dan kerusakan karkas akibat memar 90%. Beberapa faktor lain yang menentukan mutu karkas ayam adalah : perlakuan selama transportasi (perlakuan kasar, boks terlalu padat, waktu terlalu lama) dan proses pemotongan (perlakuan kasar, penirisan darah kurang sempurna, pencabutan bulu kurang bersih atau pencucian kurang bersih) dan faktor genetik. Kondisi seperti ini menyulitkan konsumen untuk membeli daging ayam dengan mutu sesuai keinginan. Konsumen rumah tangga menyukai karkas dengan berat 800-1000 gr (Anonim, 2011).

Usaha untuk dapat meningkatkan mutu karkas yang dihasilkan oleh pemotong tradisional maka perlu diupayakan pengembangan teknik pemotongan sehingga karkas yang dihasilkan mempunyai mutu yang baik dan daya simpan lebih lama (Anonim, 2011). Mutu daging ditentukan oleh beberapa faktor antara lain : mutu gizinya (kadar air, protein dan lemak), mutu dari segi teknologi dan mutu dari segi konsumen. Mutu daging yang baik dari segi teknologi adalah daging yang dapat diproses (sebagai bahan baku) menjadi produk olahan misalnya bakso, dendeng atau produk lain dengan mutu baik. Sementara itu, mutu yang ditentukan konsumen adalah daging yang disukai secara organoleptik yaitu : penampilan, warna, aroma, keempukan dan rasa.

2. Percobaan WHC Tujuan dan Prinsip Percobaan Tujuan dari uji WHC adalah untuk mengetahui seberapa besar kapasitas daging menyerap air. Prinsip dari uji WHC adalah berdasarkan banyakny air yang terserap pada daging yang dihitung dengan menggunakan kertas grafik. Alat, Bahan, dan Prosedur Percobaan Alat yang digunakan pada uji WHC adalah, pisau, gelas kimia, dan bunsen. Bahan yang digunakan pada uji WHC adalah daging sapi, kertas saring, dan kertas milimeter block. Prosedur percobaan uji WHC dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Daging ( 1 gram) Perebusan (T=70oC, t=15 menit) Tiriskan (t=10 menit) Masukkan ke dalam kertas saring dan lipat Pressing hingga pipih Buka lipatan kertas saring Tandai noda yang terbentuk Simpan diatas kertas milimeter blok %WHC = Gambar 9. Prosedur Percobaan Uji WHC Sampel daging seberat 1 gram direbus dalam gelas kimia dengan suhu 70oC dan waktunya 15 menit. Setelah itu tiriskan selama 10 menit, kemudian

masukkan kedalam kertas saring dan lipat. Pressing kertas saring dan sampel hingga pipih dengan alat press. Kemudian buka lipatan kertas saring, tandai noda yang terbentuk, dan simpan diatas kertas milimeter blok. Hitung WHCnya. Hasil pengamatan dan Pembahasan Berdasarkan hasil percobaan uji WHC dapat diperoleh data sebagai berikut : Tabel 8. Hasil Pengamatan Uji WHC dengan Sampel Daging Sapi Pengamatan Hasil pengamatan Berat sampel Luas noda %WHC = = = 4,16% 1,2 gram 5 cm

(Sumber : Frila; Kelompok C; Meja 4; 2011) Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh %WHC sebesar 4,16%. WHC atau daya menahan air menunjukkan kemampuan daging untuk mengikat air bebas. Sifat ini sangat penting dalam pembuatan produk emulsi daging, seperti sosis dan baso. Dalam pembuatan produk tersebut diperlukan WHC tinggi. WHC merupakan faktor penting dalam pembentukan gel (Muchtadi, 2010). Nilai WHC daging menurun dengan menurunnya pH. Hal ini disebabkan karena protein rusak dalam suasana asam. Daging pre rigor mempunyai nilai WHC lebih tinggi dibandingkan daging rigor mortis atau pasca rigor. Selama proses pelayuan, pH daging menurun sehingga WHC menurun (Muchtadi, 2010).

Jika terdapat kotoran pada kertas saring, hal itu disebabkan oleh kurang aseptisnya praktikan. Selain itu kulit pada daging harus dipisahkan terlebih dahulu agar tidak mempengaruhi hasil WHC pada daging. WHC ditentukan dengan cara daging yang telah direbus diletakan di tegah kertas saring kemudian dipress, setelah dipress dilihat bercak air pada kertas saring kemudian diukur. Perebusan dilakukan agar daging menyerap air sehingga dapat diketahui seberapa banyak air yang diserap atau WHC nya. Pengepressan dilakukan untuk mengeluarkan air pada daging, dan bercak pada kertas saring merupakan banyaknya air yang terserap pada daging. Cara untuk menghitung banyaknya air yang diserap adalah dengan cara kertas saring yang terdapat bercak dipotong mengikuti alur bercak, kemudian gambar keras saring tersebut dengan pensil pada kertas millimeter, setelah itu hitung kotak yang ada. Hitung setiap 4 kotak kecil kalikan dengan 1 cm, sedangkan sisanya atau kotak yang tidak penuh dikaliakan dengan 0,5 cm, jumlahkan hasil kali 4 kotak penuh dan kotak sisa yang tidak penuh (Muchtadi, 2010).

DAFTAR PUSTAKA Afrianto, dan Liviawaty. (1993). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta. Anonim. (2011). Daging Ayam. (http: www.suaramedia.com). Akses: 25 Oktober 2011 Anugrah, Antonius. (1996), Memilih Daging Ayam, Penerbit Suara Merdeka. Jakarta. Muchtadi, Tien, Sugiyono, dan Fitriyono Ayustaningwarno. (2010). Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bandung : CV. Alfabeta.