landasan teori
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang
ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan
tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia,
lipiduria, Hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi
menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer
glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan
oleh penyakit tertentu.
Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga
menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan
konsentrasi neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta
peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan
kelainan imunitas yang diperantarai sel T.
Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi
minimal,nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental,
glomerulonefritis membrano-proliferatif.
Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi,
keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi,
penyakit metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal,
trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas massif.
Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). Pada
anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-
85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat
dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling
banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan
perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1.
2
Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada
dewasa 3/1000.000/tahun.Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa
terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus. Pada SN primer ada pilihan
untuk memberikan terapi empiris atau melakukan biopsi ginjal untuk
mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi. Selain itu terdapat
perbedaan dalam regimen pengobatan SN dengan respon terapi yang
bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah terapi dihentikan. Berikut
akan dibahas patogenesis/patofisiologi dan penatalaksanaan SN.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini agar kita sebagai mahasiswa
keperawatan mengetahui sindrom nefrotik , penyebab sindrom nefrotik,
dan cara penanganan pada anak dengan masalah sistem perkemihan
“sindrom nefrotik”.
2. Tujuan Khusus
1. Memperoleh pengalaman nyata dalam pengkajian, analisa data, dan
merumuskan diagnosa keperawatan yang terjadi pada anak dengan
masalah sistem perkemihan “sindrom nefrotik”.
2. Memperoleh pengalaman nyata dalam merumuskan rencana asuhan
keperawatan pada anak dengan masalah sistem perkemihan
“sindrom nefrotik”.
3. Memperoleh pengalaman nyata dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan pada anak dengan masalah sistem perkemihan
“sindrom nefrotik”.
4. Memperoleh pengalaman nyata dalam melakukan evaluasi pada
anak dengan masalah sistem perkemihan “sindrom nefrotik”.
5. Memperoleh pengalaman nyata dalam mendokumentasikan asuhan
keperawatan pada anak dengan masalah sistem perkemihan
“sindrom nefrotik”.
C. Manfaat
3
Adapun manfaat Asuhan Keperawatan ini adalah untuk mengetahui penyebab-
penyebab dari penyakit sindrom nefrotik, tanda dan gejala dari penyakit
sindrom nefrotik serta bagaimana cara penanganan dan pengobatan.
1. Bagi mahasiswa
Manfaatnya untuk menambah ilmu pengetahuan dan mengetahui tentang
sindrom nefrotik pada anak.
2. Bagi institusi
Manfaatnya sebagai bentuk panduan bagi para dosen atau guru untuk
memberikan ilmu pengetahuan tentang penyakit sindrom nefrotik pada
anak kepada pelajar atau mahasiswa yang belajar di institusi pendidikan
tersebut.
3. Bagi orang tua
Manfaatnya bagi orang tua agar orang tua mengetahui tentang penyakit
yang dapat menjangkiti anak pada khususnya sindrom nefrotik sehingga
dapat mengetahui bagaimana cara menghadapi masalah tersebut.
4. Bagi Masyarakat
Agar menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit yang ada
disekitarnya sehingga mampu membantu untuk menciptakan suasana yang
sehat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
A. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi
Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak
retroperitoneal dengan panjang lebih kurang 11-12 cm, disamping kiri
kanan vertebra. Pada
umumnya, ginjal kanan
lebih rendah dari ginjal kiri
oleh karena adanya hepar
dan lebih dekat ke garis
tengah tubuh. Batas atas
ginjal kiri setinggi batas
atas vertebra thorakalis XII
dan batas bawah ginjal
setinggi batas bawah vertebra lumbalis III.
Gambar 1. Anatomi Ginjal
Pada fetus dan infan, ginjal berlobulasi. Makin bertambah umur,
lobulasi makin kurang sehingga waktu dewasa menghilang.
Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas
piramid-piramid yang berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12 buah.
Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh kolumna bertini. Dasar piramid ini
ditutup oleh korteks, sedang puncaknya (papilla marginalis) menonjol ke
dalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks mayor
yang berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal. Kaliks mayor/minor ini bersatu
menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah keluar ureter.
Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubili, sedangkan pada medula
hanya terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk Nefron.
Satu unit nefron terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal, loop of henle,
tubulus distal (kadang-kadang dimasukkan pula duktus koligentes). Tiap
5
ginjal mempunyai lebih kurang 1,5-2 juta nefron berarti pula lebih kurang
1,5-2 juta glomeruli.
Pembentukan urin dimulai dari glomerulus, dimana pada
glomerulus ini filtrat dimulai, filtrat adalah isoosmotic dengan plasma
pada angka 285 mosmol. Pada akhir tubulus proksimal 80 % filtrat telah di
absorbsi meskipun konsentrasinya masih tetap sebesar 285 mosmol. Saat
infiltrat bergerak ke bawah melalui bagian desenden lengkung henle,
konsentrasi filtrat bergerak ke atas melalui bagian asenden, konsentrasi
makin lama makin encer sehingga akhirnya menjadi hipoosmotik pada
ujung atas lengkung. Saat filtrat bergerak sepanjang tubulus distal, filtrat
menjadi semakin pekat sehingga akhirnya isoosmotic dengan plasma darah
pada ujung duktus pengumpul. Ketika filtrat bergerak turun melalui duktus
pengumpul sekali lagi konsentrasi filtrat meningkat pada akhir duktus
pengumpul, sekitar 99% air sudah direabsorbsi dan hanya sekitar 1% yang
diekskresi sebagai urin atau kemih (Price,2001 : 785).
2. Fisiologi ginjal
Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu alat
ekskresi yang sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam
glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi
ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output.
a. Faal glomerolus
Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat
yang dapat masuk ke tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler yang
lebih besar dibanding tekanan hidrostatik intra kapiler dan tekanan
koloid osmotik. Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan
tubuh disebut glomerula filtration rate (GFR). GFR normal dewasa :
120 cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaan tubuh). GFR normal umur 2-12
tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.
6
b. Faal Tubulus
Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi dan sekresi
dari zat-zat yang ada dalam ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus.
Sebagaimana diketahui, GFR : 120 ml/menit/1,73 m2, sedangkan yang
direabsorbsi hanya 100 ml/menit, sehingga yang diekskresi hanya 1
ml/menit dalam bentuk urin atau dalam sehari 1440 ml (urin dewasa).
Pada anak-anak jumlah urin dalam 24 jam lebih kurang dan sesuai dengan umur :
Umur Jumlah
1. 1-2 hari
2. 3-10 hari
3. 10 hari-2 bulan
4. 2 bulan-1 tahun
5. 1-3 tahun
6. 3-5 tahun
7. 5-8 tahun
8. 8-14 tahun
1. 30-60 ml
2. 100-300 ml
3. 250-450 ml
4. 400-500 ml
5. 500-600 ml
6. 600-700 ml
7. 650-800 ml
8. 800-1400 ml
c. Faal Tubulus Proksimal
Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling
banyak melakukan reabsorbsi yaitu ± 60-80 % dari ultrafiltrat yang
terbentuk di glomerolus. Zat-zat yang direabsorbsi adalah protein,
asam amino dan glukosa yang direabsorbsi sempurna. Begitu pula
dengan elektrolit (Na, K, Cl, Bikarbonat), endogenus organic ion
(citrat, malat, asam karbonat), H2O dan urea. Zat-zat yang diekskresi
asam dan basa organik.
7
d. Faal loop of henle
Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb, thin limb
dan ascending thick limb itu berfungsi untuk membuat cairan
intratubuler lebih hipotonik.
e. Faal tubulus distalis dan duktus koligentes
Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan
elektrolit dengan cara reabsorbsi Na dan H2O dan ekskresi Na, K,
Amonium dan ion hidrogen. (Rauf, 2002 : 4-5).
B. Definisi
Merupakan suatu kondisi dimana terjadi perubahan fungsi ginjal yang
bercirikan hipoproteinemia, oedema, hiperlipidemia, proteinuri, ascites dan
penurunan keluaran urine.
Sindrom Nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbunemia dan hiperkolesterolemia (Rusepno, H, dkk. 2000, 832).
Sindrom Nefrotik adalah status klinis yang ditandai dengan
peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang
mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong,
2004).
Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh
injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria,
hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan
Rita Yuliani, 2001).
Sindrom nefrotik merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari
proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang
8
dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan
hiperkolesterolemia. (Rauf, 2002).
C. Etiologi
Secara etiologi sindroma nefrotik dibedakan atas :
1. Primary renal disease ( Sebagian besar tidak diketahui penyebabnya)
2. Secondary renal disesase
Kelainan genetik : Alport syndrome, sindrom nefrotik congenital
Penyakit metabolik : DM, Amyloidosis
Penyakit autoimmun : SLE, purpura Henoch-Schonlein
Penyakit keganasan : Multiple myeloma, leukemia, lymphoma
Penyakit infeksi : Endokarditis, HIV, Hepatitis
Penyebab lain : Obat-obatan, Kehamilan, dan kegagalan transplantasi.
Peristiwa awal pada kebanyakan kasus merupakan reaksi antigen-antibodi pada
glomerulus yang menyebabkan peningkatan permeabilitas membrana basalis
glomerulus, proeinuria masif dan hipoalbuminemia. Pada sindroma nefrotik
sebagian besar eksresi protein adalah albumin. Hipoalbuminemia terjadi melalui
penurunan tekanan koloid osmotik, cenderung menimbulkan transudasi cairan
dari ruang vaskuler ke dalam intertisium. Hal ini merupakan penyebab langsung
terjadinya edema. Selain itu, hipovolemia akibat penurunan aliran plasma ginjal
dan GFR (Glomerulus Filtrating Rate) mengaktifkan mekanisme renin-
angiotensin. Akibatnya terjadi peningkatan kadar aldoateron serta peningkatan
produksi ADH (Anti Diuretik Hormon). Garam dan air diretensi oleh ginjal,
sehingga memperberat edema. Hiperlipidemia terjadi oleh karena beberapa
mekanisme yang belum jelas, tetapi diduga peningkatan produksi lipoprotein oleh
hati memegang peranan utama, walaupun penurunan katabolisme lipis mungkin
ikut berperan. Hati meningkatkan sintesis LDL, VLDL dan lipoprotein (a) oleh
adanya hipoalbuminemia.
9
D. Klasifikasi
Penyebab umum penyakit tidak diketahui; akhir-akhir ini sering
dianggap sebagi suatu bentuk penyakit autoimun. Jadi merupakan reaksi
antigen-antibodi. Umumnya dibagi menjadi 4 kelompok :
1. Sindroma nefrotik bawaan
2. Sindroma nefrotik sekunder
3. Sindroma nefrotik idiopati
4. Glumerulosklerosis fokal segmental
E. Patofisiologi
Adanya peningkatan permiabilitas glomerulus mengakibatkan
proteinuria masif sehingga terjadi hipoproteinemia. Akibatnya tekanan
onkotik plasma menurun karean adanya pergeseran cairan dari intravaskuler
ke intestisial.
Volume plasma, curah jantung dan kecepatan filtrasi glomerulus
berkurang mengakibatkan retensi natrium. Kadar albumin plasma yang sudah
merangsang sintesa protein di hati, disertai peningkatan sintesa lipid,
lipoprotein dan trigliserida.
1. Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat
pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria.
Lanjutan dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan
menurunnya albumin, tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan
intravaskuler berpindah ke dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut
menjadikan volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan
jumlah aliran darah ke renal karena hypovolemi.
2. Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi
dengan merangsang produksi renin - angiotensin dan peningkatan sekresi
10
anti diuretik hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjadi
retensi kalium dan air. Dengan retensi natrium dan air akan menyebabkan
edema.
3. Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari
peningkatan stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma
albumin dan penurunan onkotik plasma
4. Adanya hiper lipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi
lipopprtein dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya
protein, dan lemak akan banyak dalam urin (lipiduria)
5. Menurunya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan
disebabkan oleh karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi
seng. (Suriadi dan Rita yuliani, 2001 :217)
11
Pathway
Infeksi, toksik, keganasan, kelainan genetic, idiopatik
↓
↑ permeabilitas glomerulus
↓
Proteinuria massif
↓
Hipopoteinemia
↓
↓ tekanan onkotik plasma
↓
Pergeseran cairan intravaskuler
↓
↓ volume plasma
↓
↓ curah jantung
↓
↓ kecepatan filtrasi glomerulus
↓
Retensi Na+
↓
Lipoprotein, peningkatan sinteza lipid, trigliserida.
↓
Komplikasi
pnemonia diare celulitis sepsis
↓ albumin plasma
Gangguan
integritas kulit
Edema anasarka
↓ volume urine
intestisial
12
pnrnan nfs makan mudah lelah iritabilitas ↑ kebutuhan cairan
Gg keseimbangan nutrisi Gg ADL Gg keb hidup Gg kes. cairan
3. Manifestasi Klinis
1. Berat badan meningkat
2. Pembengkakan pada wajah, terutama disekitar mata
3. Edema anasarka
4. Pembengkakan pada labia / skotum
5. Asites
6. Diare, nafsu makan menurun, absorbsi usus menurun edema pada
mukosa usus
7. Volume urine menurun, kadang – kadang berwarna pekat dan berbusa
8. Kulit pucat
9. Anak menjadi iritabel, mudah lelah / letargi
10. Celulitis, pneumonia, peritonitis atau adanya sepsis
11. Azotemia
12. TD biasanya normal / naik sedikit
4. Pemeriksaan Penunjang
1.Laboratorium
Urine
Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna
urine kotor, sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah,
hemoglobin, mioglobin, porfirin.
Darah
13
Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit
menurun. Natrium biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium
meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan
seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah
merah). Klorida, fsfat dan magnesium meningkat. Albumin.
2. Biosi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa.
5. Komplikasi
1. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia.
2. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml)
yang menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.
3. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga
terjadi peninggian fibrinogen plasma.
4. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal.
(Rauf, .2002 : .27-28).
5. Penatalaksanaan
1. Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai
kurang lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam
secukupnya dan menghindar makanan yang diasinkan. Diet protein 2 – 3
gram/kgBB/hari.
2. Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan
diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya
edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan
hididroklortiazid (25 – 50 mg/hari), selama pengobatan diuretik perlu
dipantau kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan
cairan intravaskuler berat.
3. Pengobatan kortikosteroid yang diajukan Internasional Coopertive Study
of Kidney Disease in Children (ISKDC), sebagai berikut :
14
a. Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari
luas permukaan badan (1bp) dengan maksimum 80 mg/hari.
b. Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari
dengan dosis 40 mg/hari/1bp, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan
dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respon selama pengobatan,
maka pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.
4. Cegah infeksi. Antibiotik hanya dapat diberikan bila ada infeksi.
5. Pungsi asites maupun hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital
(Arif Mansjoer,2000)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN GANGGUAN
SISTEM PERKEMIHAN “SINDROM NEFRON”
A. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber
data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien
(Nursalam, 2001)
1. Pengumpulan data
Merupakan upaya untuk mendapatkan data sebagai informasi tentang
pasien. Data yang dibutuhkan tersebut mencakup data tentang
biopsikososial dan spiritual atau data yang berhubungan dengan masalah
pasien serta data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi masalah pasien
(Hidayat, A. Aziz Alimul, 2006)
a. Identitas Klien : Umumnya 90 % dijumpai pada kasus anak. Enam (6)
kasus pertahun setiap 100.000 anak terjadi pada usia kurang dari 14
tahun. Rasio laki-laki dan perempuan yaitu 2 : 1. Pada daerah endemik
malaria banyak mengalami komplikasi sindrom nefrotik.
b. Identitas penanggung jawab : nama, umur jenis kelamin, alamat,
pekerjaan, hubungan dengan klien.
15
2. Riwayat Keperawatan
a. Keluhan Utama
Badan bengkak, muka sembab dan nafsu makan menurun.
b. Riwayat penyakit dahulu.
Edema masa neonatus, malaria, terpapar bahan kimia.
c. Riwayat penyakit sekarang.
Badan bengkak, muka sembab, muntah, napsu makan menurun,
konstipasi, diare, urine menurun.
d. Riwayat kesehatan keluarga.
Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak dapat
ditangani dengan terapi biasa dan bayi biasanya mati pada tahun
pertama atau dua tahun setelah kelahiran.
e. Riwayat kesehatan lingkungan.
Endemik malaria sering terjadi kasus NS.
f. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
Berat badan = umur (tahun) X 2 + 8
Tinggi badan = 2 kali tinggi badan lahir.
Perkembangan psikoseksual : anak berada pada fase oedipal/falik
dengan ciri meraba-raba dan merasakan kenikmatan dari beberapa
daerah erogennya, senang bermain dengan anak berjenis kelamin
beda, oedipus kompleks untuk anak laki-laki lebih dekat dengan
16
ibu, elektra kompleks untuk anak perempuan lebih dekat dengan
ayah.
Perkembangan psikososial : anak berada pada fase pre school
(inisiative vs rasa bersalah) yaitu memiliki inisiatif untuk belajar
mencari pengalaman baru. Jika usahanya diomeli atau dicela anak
akan merasa bersalah dan menjadi anak peragu.
Perkembangan kognitif : masuk tahap pre operasional yaitu mulai
mempresentasekan dunia dengan bahasa, bermain dan meniru,
menggunakan alat-alat sederhana.
Perkembangan fisik dan mental : melompat, menari, menggambar
orang dengan kepala, lengan dan badan, segiempat, segitiga,
menghitung jari-jarinya, menyebut hari dalam seminggu, protes
bila dilarang, mengenal empat warna, membedakan besar dan
kecil, meniru aktivitas orang dewasa.
Respon hospitalisasi : sedih, perasaan berduka, gangguan tidur,
kecemasan, keterbatasan dalam bermain, rewel, gelisah, regresi,
perasaan berpisah dari orang tua, teman.
g. Riwayat nutrisi.
Usia pre school nutrisi seperti makanan yang dihidangkan dalam
keluarga. Status gizinya adalah dihitung dengan rumus (BB terukur
dibagi BB standar) X 100 %, dengan interpretasi : < 60 % (gizi buruk),
< 30 % (gizi sedang) dan > 80 % (gizi baik).
h. Riwayat Persistem
1. Sistem pernapasan.
17
Frekuensi pernapasan 15 - 32 X/menit, rata-rata 18 X/menit, efusi
pleura karena distensi abdomen
2. Sistem kardiovaskuler.
Nadi 70 - 110 X/mnt, tekanan darah 95/65 - 100/60 mmHg,
hipertensi ringan bisa dijumpai.
3. Sistem perkemihan.
Urine/24 jam 600-700 ml, hematuri, proteinuria, oliguri.
4. Sistem pencernaan.
Diare, napsu makan menurun, anoreksia, hepatomegali, nyeri
daerah perut, malnutrisi berat, hernia umbilikalis, prolaps anii.
5. Sistem integumen.
Edema periorbital, ascites.
6. Persepsi orang tua
Kecemasan orang tua terhadap kondisi anaknya.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status
metabolik.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi
sekunder terhadap kehilangan protein dan penurunan napsu makan.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen.
4. gangguan pola tidur berhubungan dengan urgency berkemih.
18
5. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan resiko
penurunan, peningkatan, perpindahan secara cepat cairan intravaskuler,
interstisial dan intraselular satu ke yang lain.
C. Intervensi Keperawatan
1. Resiko kerusakan integritas kulit berhuungan dengan perubahan status
metabolik
Tujuan :
Klien dapat mengidentifikasi intervensi yang berhubungan dengan
kondisi spesifik
Berpartisipasi dalam pencegahan komplikasi dan percepatan
penyembuhan
INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji integritas kulit untuk melihat adanya efek samping therapi kanker, amati penyembuhan luka.
b. Anjurkan klien untuk tidak menggaruk bagian yang gatal.
c. Ubah posisi klien secara teratur.
d. Berikan advise pada klien untuk menghindari pemakaian cream kulit, minyak, bedak tanpa rekomendasi dokter.
a. Memberikan informasi untuk perencanaan asuhan dan mengembangkan identifikasi awal terhadap perubahan integritas kulit.
b. Menghindari perlukaan yang dapat menimbulkan infeksi.
c. Menghindari penekanan yang terus menerus pada suatu daerah tertentu.
d. Mencegah trauma berlanjut pada kulit dan produk yang kontra indikatif
19
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi
sekunder terhadap kehilangan protein dan penurunan napsu makan.
Tujuan: Kebutuhan nutrisi terpenuhi, ditandai dengan
Kriteria Hasil:
a. Berat badan klien bertahan/bertambah dari keadaan sebelumya
b. Klien menyatakan keinginan mengikuti diet.
c. Klien menunjukkan toleransi terhadap diet yang dinajurkan
d. Nilai laboratoorium (misalnya: transferin, albumin, dan elektrolit)
dalam rentang normal.
e. Klien nampak segar dan tidak lemas.
Intervensi:
a. Kaji status nutrisi
R/ Mengetahui kodnsisi pasti status nutrisi
b. Kaji/catat pola dan pemasukan diet
R/ Kebiasaan makan klien sangat perlu untuk diketahui dalam rangka
penyesuaian dalam pemberian diet.
c. Motvasi klien untuk mengubah kebiasaan makan
R/ Dengan motivasi, diharapkan klie terpacu untuk meningkatkan
asupan makannya.
d. Berikan makanan sedikit tapi sering
R/ Sebagai antisipasi mual muntah yang dialami klien.
e. Berikan makanan dalam kondisi hangat
R/ Makanan yang hangat meningkatkan nadsu makan melalui
rangsangat indra penciuman dan pengecapan.
f. Berikan makanan sesuai kesukaan, kecuali jika kontra indikasi.
R/ Membantu meningkatka asupan makanan.
g. Lakukan perawatan mulut, berikan penyegar mulut.
R/ Kebersihan mulut akan meningkatkan kenyamanan dan
mengguggah naffsu makan.
20
h. Timbang berat berat badan klien setiap hari.
R/ Sebagai monitor perkembangan status nutrisi dan efek terapi yang
telah diberikan.
i. Kolaborasi pemberian jenis diet dengan team gizi
R/ Masing-masing kondisi penyakit mempunnyai jenis kebutuhan
akan nutrisi yang berbeda-beda.
j. Kolaborasi pemberian terapi tambahan nutrici dan cairan
R/ Meningkatkan asupan kebutuhan cairan.
k. Kolaborasi pemantauan hasil biokimia status gizi dengan team
laboratoorium
R/ Mengetahui perkembangan kebutuha gizi dari segi biokimia.
l. Kolaborasi pemberikan obat sesuai indikasi : sediaan besi; Kalsium;
Vitamin D dan B kompleks; Antiemetik
R/ Penanganan penyebab gangguan nutrisi bermanfaat untuk
mengatasi/membatasi masalah yang muncul akibat kekurangan asupan
nutrisi.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen.
Tujuan:
mentoleransi AKSI yang biasa dilakukan dan ditunjukkan dengan daya
tahan, penghematan energi, dan perawatan diri AKSI, ditandai dengan
Kriteria Hasil:
a. Penghematan energi
b. Perawatan diri AKSI
c. Menyeimbangkan aktivitas dengan istirahat
d. Klien berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang ringan( AKS) walau
dengan beberapa bantuan.
Intervensi:
a. Kaji tingkat kelelahan, tidur, istirahat
21
R/ Pada klien dengan gangguan tidur, biasanya akan muncul berbagai
gejala, antara lain kelemahan.
b. Kaji kemampuan toleransi aktivitas
R/ Dengan mengetahui tingkat toleransi aktivitas klien, dapat
memudah kan dalam penentuan aktivitas yang dapat dianjurkan dan
yang tidak dapat dilakukan oleh klien.
c. Identifikasi factor yang menimbulkan keletihan
R/ Dengan mengetahui penyebab lain adanya keletihan, dapat
meminimalkan pengeluaran energi tersebut.
d. Rencanakan periode istirahat adekuat
R/ Istirahat yang adekuat, selain dapat mempercepat kesembuhan,
juga dapat memulihkan keletihan.
e. Berikan bantuan ADL dan ambulasi
R/ Dibutuhkan untuk aktivitas yang tidak dapat ditolerir dan
meminimlakan penggunaan energi.
f. Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi, anjurkan aktifitas alternative
sambil istirahat
R/ Meningkatkan harga diri klien, sehingga tidak menambah beban
yang memicu muncullnya stressor baru. Karena tekanan secara
kejiwaan akan banyak menguras energi klien.
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan urgency berkemih.
Tujuan: Klien dapat mencapai kebutuhan tidurnya baik secara kualitas
dan kuantitasnya, ditandai dengan:
Kriteria hasil:
a. Jam tidur 8-9 jam/ hari (sesuaikan dengan kebiasann jumlah jam
tidur klien sebelumnya).
b. Klien melaporkan perasaan segar setelah bangun tidur.
c. Klien melaporkan waktu terjaga dengan waktu yang sesuai (seperti
biasa).
d. Klien tidak mengalami gangguan psikologis (peningkatan emosi,
perubahan mood ).
22
e. Klien mampu berkonsentrasi.
f. Tidak terdapat gambaran hitam pada kelopak mata bagian bawah.
Intervensi:
a. Kaji kebiasaan sebelum, selama dan setelah klien bangun dari
tidur.
b. Bantu klien untuk mengidentifikasi hal-hal yang mungkin
menyebabka kurang tidur, seperti ketakutan, masalah yang tidak
terselesaikan, atau konflik.
c. Fasilitasi siklus tidur/bangun yang teratur.
d. Ciptakan suasana yang nyaman dan tenang.
e. Anjurkan keluarga untuk mempertahankan suasana yang nyaman
dan tenang.
f. Yakinkan klien bahwa irritabilitas dan perubahan mood adalah
konsekwensi umum yang menyebabkan deprivasi tisur.
g. Ajarkan klien untuk menghindari makan dan minum pada waktu
jam tidur.
h. Berikan pijatan yang nyaman, pengaturan posisi, dan sentuhan
afektif.
i. Njurkan klien untuk mengurangi tidur di siang hari an aktivitas 2
jam sebelum tidur.
j. Anjurkan klien untuk minum susu sebelum tidur.
k. Ajarka klien dan keluarga tentang faktor-faktor (misalnya
fisiologis, psikologis, gaya hidup, perubahan sihft kerja, perubahan
zona awaktu, kerja berlebih, dll) dapat berpengaruh pada gangguan
pola tidur.
l. Kolaborasikan pemberian obat dengan dokter.
5. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan resiko
penurunan, peningkatan, perpindahan secara cepat cairan intravaskuler,
interstisial dan intraselular satu ke yang lain.
Tujuan: Defisit volume cairan akan dicegah, ditandai dengan
23
Kriteria Hasil:
a. Status nutrisi adekuat:asupan makanan dan cairan antara intake
dan output
b. Keseimbangan elektrolit dan asam-basa
c. Nadi perifer teraba
d. TTV dalam batas normal
Intervensi:
a. Observasi TTV
R/ sebagai gambaran keadaan umum klien
b. Ukur intake dan output cairan, hitung IWL yang akurat
R/ Pemasukan oral yang tidak adekuat dapat menyebabkan
hipovolemia.
c. Berikan cairan sesuai indikasi
R/ Kelebihan atau kekurang cairan, serta kesalahan pemilihan
jenis cairan akan memperberat kondidi klien.
d. Awasi tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, perhatikan
tanda-tanda dehidrasi
R/ Tanda-tanda hipovolemia segera diketahui dengan adanya
takikardi, hipotensi dan suhu tubuh yang meningkat berhubungan
dengan dehidrasi.
e. Control asupan makanan tinggi natrium & suhu lingkungan
R/ Peningkatan suhu lingkungan akan meningkatkan kehilangan
cairan, sehingga akan memperparah kekurangan cairan yang
terjadi. Peningkatan jumlah Na+ akan meningkatkan retensi
cairan sehingga memperparah terjadinya edema.
f. Monitor hasil lab.
R/ Mengetahui perubahan yang terjadi dan efek terapi.
24
g. Kolaborasi pemberian terapi cairan penggati jika diperlukan
R/ Memenuhi kebutuhan cairan yang kurang.
D. Evaluasi
Hal-hal yang perlu dievaluasi dalam pemberian asuhan keperawatan
berfokus pada kriteria hasil dari tiap-tiap masalah keperawatan dengan
pedoman pembuatan SOAP, atau SOAPIE pada masalah yang tidak
terselesaikan atau teratasi sebagian.
25
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sindrom Nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbunemia dan hiperkolesterolemia (Rusepno, H, dkk. 2000, 832).
Sindrom Nefrotik adalah status klinis yang ditandai dengan
peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang
mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong,
2004).
Penyebab umum penyakit tidak diketahui; akhir-akhir ini sering
dianggap sebagi suatu bentuk penyakit autoimun. Jadi merupakan reaksi
antigen-antibodi. Umumnya dibagi menjadi 4 kelompok :
1. Sindroma nefrotik bawaan
2. Sindroma nefrotik sekunder
3. Sindroma nefrotik idiopati
4. Glumerulosklerosis fokal segmental
B. Saran
26
Dalam melakukan tulisan dan menjelaskannya kepada orang lain harus
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan persepsi yang berbeda dari
seharusnya. Begitu juga dalam penulisan Asuhan keperawatan harus dapat
dimengerti dan menjelaskan secara lengkap apalagi menyangkut penyakit
yang berbahaya.
Tulisan yang baik harus didasari atas kemampuan intelektual dan jiwa
seni dalam menulis sehingga pembaca dapat mengerti dari maksud dan tujuan.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Masjoer, arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid II. Media
Aesculapius : Jakarta.
Wilkinson, judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan intervensi
NIC dan Kriteria Hasil NOC. EGC : Jakarta
Santosa, Budi. 2005. Panduan Dignosa Keperawatan Nanda 2005-2006. Prima
Medika : Jakarta.
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak Buku 2.
Salemba Medika : Jakarta.
Suhanyanto, Toto. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Trans Info Media : Jakarta
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner
& Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.