konsul bab dua ok - sinta.unud.ac.id wor… · menurut supari 2005, tujuan sistem keselamatan...
TRANSCRIPT
11
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Keselamatan Pasien
2.1.1 Pengertian Keselamatan Pasien
Menurut Permenkes Nomor 1691/MENKES/PER/ VIII/2011, keselamatan pasien
rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih
aman. Hal ini meliputi pengkajian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan
belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk
meminimalkan risiko. Sistem keselamtan pasien mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan (DepKes RI, 2006).
2.1.2 Tujuan Sistem Keselamatan Pasien
Menurut Supari 2005, tujuan sistem keselamatan pasien rumah sakit adalah:
a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit
b. Meningkatnya akuntabilitas Rumah Sakit terhadap pasien dan masyarakat
c. Menurunnya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) di Rumah Sakit
d. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
penanggulangan KTD.
12
2.1.3 Sasaran Keselamatan Pasien
Menurut Permenkes Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011, sasaran keselamatan
pasien meliputi tercapainya hal-hal sebagai berikut:
a. Ketepatan Identifikasi Pasien
Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi di hampir
semua aspek atau tahapan diagnosis dan pengobatan. Kesalahan identifikasi
pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan terbius atau tersedasi,
mengalami disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur atau kamar atau lokasi
di rumah sakit, adanya kelainan sensori, atau akibat situasi lain. Maksud sasaran
ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan yaitu: (1) untuk identifikasi
pasien sebagai individu yang akan menerima pelayanan atau pengobatan (2) untuk
kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut. Kebijakan
prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki proses
identifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi pasien ketika
pemberian obat, darah, pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan
klinis atau pemberian pengobatan serta tindakan lain. Kebijakan prosedur
memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti
nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan
barcode dan lain-lain. Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk
identifikasi. Kebijakan prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas
berbeda di lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan rawat jalan,
unit gawat darurat, atau ruang operasi termasuk identifikasi pada pasien koma
tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan
13
kebijakan atau prosedur agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi untuk
dapat diidentifikasi.
b. Peningkatan Komunikasi Yang Efektif
Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami
oleh pasien, akan mengurangi kesalahan dan menghasilkan peningkatan
keselamatan pasien. Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan atau tertulis.
Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah
diberikan secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi yang mudah terjadi
kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti
melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telepon ke unit pelayanan.
c. Peningkatan Keamanan Obat Yang Perlu Diwaspadai
Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen
harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan
yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang sering
menyebabkan terjadi kesalahan serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi
menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat
yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip
atau NORUM). Obat-obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien
adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium
klorida 2meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat
dari 0.9%, dan magnesium sulfat =50% atau lebih pekat). Kesalahan ini bisa
terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit pelayanan
14
pasien atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum
ditugaskan atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk
mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan meningkatkan
proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan
elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi. Rumah sakit secara
kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan prosedur untuk membuat daftar
obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit.
Kebijakan prosedur juga mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan
elektrolit konsentrat, seperti di Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau kamar operasi,
serta pemberian label secara benar pada elektrolit dan bagaimana
penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi akses, untuk mencegah
pemberian yang tidak sengaja atau kurang hati-hati.
d. Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat-Pasien Operasi
Salah lokasi, salah-prosedur, salah pasien pada operasi adalah sesuatu yang
mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah
akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak adekuat antara anggota
tim bedah, kurang atau tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site
marking) dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Di samping itu,
assesment pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak
adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim
bedah, permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak terbaca
(illegible handwritting) dan pemakaian singkatan adalah faktor-faktor kontribusi
yang sering terjadi.
15
e. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien rawat
inap. Dalam konteks populasi atau masyarakat yang dilayani, pelayanan yang
disediakan dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh
dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh.
Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol,
gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh
pasien. Program tersebut harus diterapkan rumah sakit.
f. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam
tatanan pelayanan kesehatan dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi
pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai
dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi
pada aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali
dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun
infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman cuci
tanganbisa dibaca kepustakaan WHO dan berbagai organisasi nasional dan
internasional. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan
kebijakan prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk cuci tangan
yang diterima secara umum dan untuk implementasi petunjuk itu di rumah sakit.
16
2.2 Cuci Tangan
2.2.1 Definisi Cuci Tangan
Menurut Depkes RI (2007), mencuci tangan adalah proses secara mekanik
melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun atau
larutan sabun baik non antimikroba maupun anti mikroba. Sedangkan menurut
Suparmi (2008), cuci tangan adalah membersihkan tangan dari kotoran dengan
sabun atau antiseptik.
2.2.2 Tujuan Cuci Tangan
Menurut Susiati (2008), tujuan dilakukannya cuci tangan yaitu untuk:
a. Mengangkat mikroorganisme yang ada di tangan
b. Mencegah infeksi silang (cros infection)
c. Menjaga kondisi steril
d. Melindungi diri dan pasien dari infeksi
e. Memberikan perasaan segar dan bersih
2.2.3 Keuntungan Mencuci Tangan
Menurut Puruhito (1995), cuci tangan akan memberikan keuntungan
sebagai berikut:
a. Dapat mengurangi infeksi nosokomial
b. Jumlah kuman yang terbasmi lebih banyak sehingga tangan lebih bersih
dibandingkan dengan tidak mencuci tangan
c. Dari segi praktis, ternyata lebih murah dari pada tidak mencuci tangan
sehingga tidak dapat menyebabkan infeksi nosokomial.
17
2.2.4 Persiapan Cuci Tangan
Persiapan membersihkan tangan menurut Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2007):
a. Air mengalir
Sarana utama untuk cuci tangan adalah air mengalir dengan pembuangan atau bak
penampungan yang memadai. Dengan guyuran air mengalir tersebut maka
mikroorganisne yang terlepas karena gesekan mekanis atau kimiawi saat mencuci
tangan akan terhalau dan tidak menempel lagi di permukaan kulit. Air mengalir
tersebut dapat berupa air kran atau dengan cara mengguyur dengan gayung,
namun cara mengguyur dengan gayung memiliki resiko cukup besar untuk
terjadinya pencemaran, baik melalui gagang gayung ataupun percikan air bekas
cucian kembali ke bak penampungan air bersih. Air kran bukan berarti harus dari
PAM (Perusahaan Air Minum). Namun dapat diupayakan secara sederhana
dengan tangki berkran di ruang pelayanan atau perawatan kesehatan agar mudah
dijangkau oleh para petugas kesehatan yang memerlukan.
b. Sabun
Sabun merupakan produk pembersih (batang, cair, lembar atau bubuk) yang
mengurangi tegangan permukaan sehingga mikroorganisme terlepas dari
permukaaan kulit dan mudah terbawa oleh air. Sabun biasa memerlukan gosokan
untuk melepas mikroorganisme secara mekanik, sedangkan sabun antiseptik
(antimikroba) selain melepas juga membunuh atau menghambat pertumbuhan dari
hampir sebagian besar mikroorganisme (Komite Pencegahan Dan Pengendalian
Infeksi RSUP Sanglah Denpasar, 2014). Jumlah mikroorganisme semakin
18
berkurang dengan meningkatnya frekuensi cuci tangan, namun dipihak lain
dengan seringnya menggunakan sabun atau detergen maka lapisan lemak kulit
akan hilang dan membuat kulit menjadi kering dan pecah-pecah (Puruhito, 2005).
c. Larutan antiseptik
Larutan antiseptik atau disebut mikroba topikal, dipakai pada kulit atau jaringan
hidup lainnya untuk menghambat aktivitas atau membunuh mikroorganisme pada
kulit (Depkes, 2007). Antiseptik memiliki bahan kimia yang memungkinkan
untuk digunakan pada kulit dan selaput mukosa. Tujuan yang ingin dicapai adalah
penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit secara maksimal terutama kuman
transien. Kriteria memilih antiseptik antara lain:
1) Memiliki efek yang luas, menghambat atau merusak mikroorganisme secara
luas (gram positif dan gram negatif, virus lipofilik, basillus dan tuberculosis,
fungi endospora).
2) Efektivitas
3) Kecepatan aktivitas awal
4) Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk meredam pertumbuhan
5) Tidak mengakibatkan iritasi kulit
6) Tidak menyebabkan alergi
7) Efektif sekali pakai, tidak perlu di ulang-ulang
8) Dapat diterima secara visual maupun estetik
9) Lapisan tangan yang bersih dan kering.
19
2.2.5 Prosedur Mencuci Tangan Yang baik dan benar
Menurut Pedoman Implementasi Standar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
RSUP Sanglah Denpasar, cuci tangan yang baik dan benar adalah dengan
melaksanakan langkah prosedur yang benar dan pada waktu yang tepat. Enam
langkah kebersihan tangan yaitu:
1. Ratakan sabun/handrub dengan menggosok kedua telapak tangan
2. Telapak tangan kanan menggosok punggung tangan kiri dengan jari-jari
saling menjalin dan lakukan sebaliknya
3. Gosok kedua telapak tangan dengan jari-jari saling menjalin
4. Gosok punggung jari-jari bagian atas dengan telapak tangan, posisi jari
seperti menyambung
5. Gosok ibu jari kiri dengan telapak tangan kanan dengan cara diputar dan
dilakukan sebaliknya
6. Gosok ujung jari tangan kanan pada telapak tangan kiri dengan cara diputar
dan dilakukan sebaliknya
Gambar 1. Enam Langkah Cuci Tangan
20
Berdasarkan Pedoman Kebersihan Tangan di Perawatan Kesehatan WHO (WHO
Guidelines on Hand Hygiene in Health Care, 2009) telah dikembangkan momen
untuk kebersihan tangan yaitu five moments for hand hygeine yang telah
diidentifikasi sebagai waktu kritis ketika kebersihan tangan harus dilakukan yaitu:
1. Momen Satu: Sebelum kontak dengan pasien
a. Kapan
Sebelum bersentuhan dengan pasien di setiap kegiatan. Indikasi ini
ditentukan oleh terjadinya kontak terakhir dengan lingkungan sekitarnya
dan kontak selanjutnya dengan pasien
b. Mengapa
Hal ini untuk mencegah penularan kuman dari daerah perawatan kesehatan
ke pasien dan pada akhirnya untuk melindungi pasien terhadap kolonisasi
infeksi eksogen oleh kuman berbahaya yang ada pada tangan pekerja
kesehatan.
c. Catatan
Pelaksanaan sebelum kontak dengan pasien, aksi kebersihan tangan dapat
dilakukan baik sambil memasuki ruang pasien, ketika mendekati pasien,
atau langsung sebelum menyentuh pasien. Kontak dengan permukaan di
lingkungan pasien dapat terjadi dengan item menyentuh antara waktu
memasuki ruang pasien dan kontak dengan pasien, kebersihan tangan tidak
diperlukan sebelum menyentuh permukaan-permukaan tetapi sebelum
kontak dengan pasien. Jika kebersihan tangan sebelum kontak dengan
21
pasien atau dengan lingkungan pasien terjadi, maka kebersihan tangan tidak
perlu diulang.
d. Situasi yang menggambarkan kontak langsung
(1) Sebelum berjabat tangan dengan pasien
(2) Sebelum membantu pasien dalam aktivitas perawatan pribadi
(bergerak, mengambil makan, mandi, berpakaian dan lain-lain).
(3) Sebelum memberikan perawatan dan pengobatan non-invasif
(mengukur nadi, tekanan darah, auskultasi dada, rekaman EKG dan
lain-lain).
2. Momen Dua: Sebelum melakukan prosedur atau tindakan asepsis
a. Waktu
Waktu cuci tangan ini segera sebelum mengakses area kritis dengan resiko
infeksi untuk pasien. Indikasi ini ditentukan oleh terjadinya kontak terakhir
dengan bidang perawatan kesehatan dan dalam zona pasien (termasuk
pasien dan sekitarnya).
b. Mengapa
Hal ini untuk mencegah penularan kuman kepada pasien dari satu area
tubuh ke tubuh lainnya pada pasien yang sama.
c. Catatan
Jika sarung tangan digunakan untuk melakukan prosedur, kebersihan tangan
harus dilakukan sebelum mereka menggunakan sarung tangan
22
d. Situasi yang menggambarkan prosedur aseptik
(1) Sebelum menyikat gigi pasien, memberikan obat tetes mata, melakukan
pemeriksaan vagina atau dubur, memeriksa mulut, hidung, telinga
dengan atau tanpa alat, memasukkan suppositoria atau alat pencegah
kehamilan, penyedotan lendir dan lain-lain.
(2) Sebelum membalut luka dengan atau tanpa alat, mengoleskan obat
salep pada luka, melakukan injeksi, mengambil darah dan lain-lain.
(3) Sebelum memasukkan perangkat medis invasif (Nasogastrik tube, OTT,
ETT, kateter dan lain-lain)
(4) Sebelum memberikan makanan, obat-obatan, produk farmasi dan bahan
steril melalui nasogastrik tube.
3. Momen Tiga : Setelah terpapar atau kontak dengan cairan tubuh pasien
a. Waktu
Dilakukan segera setelah tugas yang melibatkan resiko paparan cairan tubuh
telah berakhir. Indikasi ini ditentukan oleh terjadinya kontak dengan darah
atau cairan tubuh lain dan kontak berikutnya dengan permukaan apapun,
termasuk pasien atau lingkungan area kesehatan.
b. Mengapa
Hal ini untuk melindungi pekerja kesehatan dari kolonisasi atau infeksi
dengan kuman pasien dan untuk melindungi lingkungan kesehatan dari
kontaminasi kuman dan potensial terjadinya penyebaran.
23
c. Catatan
Jika pekerja perawatan kesehatan mengenakan sarung tangan pada saat
paparan cairan tubuh, mereka harus segera melepas sarung tangan dan
segera melakukan kebersihan tangan. Tindakan ini dapat ditunda sampai
petugas kesehatan telah meninggalkan ruangan pasien jika pekerja
kesehatan harus melepas alat (misalnya drain) pada ruangan tersebut dan
maka ia hanya menyentuh peralatan ini sebelum melakukan kebersihan
tangan.
d. Situasi yang menggambarkan prosedur
(1) Jika kontak dengan selaput lendir dan kondisi kulit yang tidak utuh
(2) Setelah injeksi perkutan atau berakhir tusukan, setelah memasukkan
suatu perangkat medis invasif (akses vaskuler, kateter daln lain-lain)
(3) Setelah melepas perangkat media invasif (drain)
(4) Setelah mencabut perlindungan (serbet, pakaian, kain kasa dan lain-
lain)
(5) Setelah membersihkan semua permukaan yang terkontaminasi dan
bahan-bahan kotor (tempat tidur atau linen kotor, instrumen, urinor,
pispot dan lain-lain).
4. Momen Empat: Setelah kontak dengan pasien
a. Waktu
Ketika meninggalkan sisi pasien, setelah menyentuh pasien. Indikasi ini
ditentukan oleh terjadinya kontak terakhir dengan kulit utuh atau pakaian
24
pasien atau permukaan dalam ruangan pasien dan kontak berikutnya dengan
permukaan area perawatan.
b. Mengapa
Untuk melindungi pekerja kesehatan dari potensi infeksi oleh kuman pasien
dan untuk melindungi lingkungan dalam kesehatan yang dari kontaminasi
kuman dan potensi menyebar.
c. Catatan
Tindakan dapat ditunda sampai petugas kesehatan telah meninggalkan
ruangan pasien, jika pekerja kesehatan harus melepas peralatan tempat
tersebut, dengan ketentuan bahwa dia menyentuh hanya peralatan tersebut
sebelum melakukan kebersihan tangan. Indikasi empat tidak dapat
dipisahkan dari indikasi satu. Ketika pekerja kesehatan menyentuh pasien
secara langsung dan kemudian menyentuh objek lain di sekitarnya pasien
sebelum meninggalkan ruangan, indikasi empat dan bukan indikasi 5,
berlaku.
d. Situasi yang menggambarkan prosedur
(1) Setelah berjabat tangan dengan pasien
(2) Setelah membantu pasien dalam aktivitas perawatan pribadi untuk
bergerak, untuk mengambil makan, mandi, berpakaian dan lain-lain
(3) Setelah melakukan pemeriksaan non-invasif fisik : mengukur nadi,
tekanan darah, auskultasi dada, rekaman EKG dan lain-lain
25
(4) Setelah menerapkan perawatan dan non-invasif pengobatan :
mengubah posisi tidur pasien, memberi masker atau kanule oksigen,
memberikan fisiotherapi.
5. Momen Lima: Setelah kontak dengan lingkungan di sekitar pasien
a. Waktu
Setelah menyentuh benda atau furnitur ketika meninggalkan ruangan pasien,
tanpa harus menyentuh pasien. Indikasi ini ditentukan oleh terjadinya
kontak terakhir dengan benda atau permukaan di sekitar pasien (tanpa harus
menyentuh pasien) dan kontak berikutnya dengan permukaan di bidang
kesehatan perawatan.
b. Mengapa
Untuk melindungi pekerja kesehatan terhadap kolonisasi oleh kuman pasien
yang mungkin hadir pada permukaan atau benda-benda di lingkungan
perawatan kesehatan terhadap kontaminasi kuman dan potensi menyebar.
c. Catatan
Indikadi empat “setelah menyentuh pasien” dan indikasi lima “setelah
menyentuh sekitar pasien” tidak dapat digabungkan, karena indikasi lima
tidak termasuk kontak dengan pasien dan indikasiempat hanya berlaku
setelah kontak dengan pasien.
d. Situasi yang menggambarkan prosedur
(1) Setelah aktivitas pemeliharaan: mengganti sprei tanpa pasien di tempat
tidur, memegang rel tempat tidur, membersihkan meja samping tempat
tidur.
26
(2) Setelah aktivitas perawatan: pengaturan tetesan infus, pemantauan
keliling.
(3) Setelah kontak lainnya dengan permukaan atau benda mati: bersandar
pada tempat tidur, meja makan pasien.
Urutan tindakan kesehatan pada satu pasien atau untuk beberapa pasien dapat
menyebabkan sejumlah indikasi kebersihan tangan terjadi secara bersaman. Ini
tidak berarti bahwa setiap indikasi membutuhkan tindakan kebersihan tangan
terpisah. Satu tindakan kebersihan tangan dibenarkan untuk indikasi bahwa segera
mendahului atau mengikuti urutan dua atau lebih kontak, sebuahtinakan
kebersihan tangan tunggal cukup untuk mencegah semua resiko penularan
mikroba (WHO Guidelines on Hand Hygiene in Health Care).
Gambar 2. Five Moments for Hand Hygiene (Sumber : WHO, 2009)
27
2.2.6 Jenis-Jenis Kebersihan Tangan
Adapun jenis-jenis kebersihan tangan menurut Panduan Kebersihan tangan RSUP
Sanglah Denpasar 2014:
1. Kebersihan tangan dengan sabun dan air mengalir
Kebersihan tangan dengan sabun di bawah air mengalir dilakukan bila tangan
secara kasat mata tampak kotor, setelah terpapar cairan tubuh/bahan infeksius,
sebelum dan setelah memakai sarung tangan. Praktek kebersihan tangan dilakukan
dengan enam langkah dalam waktu 40-60 detik. Kebersihan tangan dengan sabun
di bawah air mengalir dilakukan bila sarana cuci tangan seperti wastafel, sabun
dan tisu/kain pengering tersedia. Langkah-langkah sebagai berikut :
a. Lepaskan semua perhiasan yang melekat pada tangan seperti jam tangan,
cincin, gelang dan lain-lain
b. Basahi tangan dengan air mengalir yang bersih
c. Tuangkan sabun secukupnya, ±3-5 ml
d. Ratakan sabun pada kedua telapak tangan dengan posisi tangan atas bawah
e. Gosokkan punggung tangan, sela-sela jari dan punggung jari tangan kiri
tangan dengan tangan kanan dan lakukan sebaliknya
f. Gosokkan sela-seka jari saling menyilang
g. Gosokkan punggung jari bagian atas dengan cara jari-jari sisi dalam dari
kedua tangan saling mengunci, kemudian gosokkan
h. Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan
sebaliknya
28
i. Gosok dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan di telapak tangan kiri ke
arah ibu jari dan lakukan sebaliknya
j. Bilas kedua tangan dengan air besih mengalir dan pada saat membilas tangan
di bawah air bersih, ulangi 6 langkah kebersihan tangan di atas
k. Keringkan dengan handuk sekali pakai atau tissue towel (gunakan tissue
cukup satu lembar saja)
l. Bila kran dengan handle pendek, tutup kran dengan menggunakan tissue atau
handuk sekali pakai yang digunakan untuk mengeringkan tangan di atas. Bila
handle panjang, tutup kran dengan siku lengan.
m. Buang tissue habis pakai ke dalam sampah domestik warna hitam
2. Kebersihan tangan dengan menggunakan larutan berbasis alkohol 60-90%
(Handrub)
Kebersihan tangan dengan larutan berbasis alkohol/handrub dilakukan bila tangan
secara kasat mata tidak tampak kotor dan tidak terpapar cairan tubuh/bahan
infeksius. Praktek kebersihan tangan dilakukan dengan enam langkah dengan
durasi waktu 20-30 detik. Tidak diperlukan melakukan pengeringan dengan
tissue/kain sekali pakai. Setiap 5-10 kali kebersihan tangan engan larutan berbasis
alkohol, harus dilakukan kebersihan tangan dengan sabun di bawah air mengalir.
Cairan handrub yang pertama kali dibuka dari kemasan pabrik (original) dapat
digunakan sampai dengan 1 tahun dan tidak direkomendasikan pengisian ulang.
Pasang stiker tanggal pertama kali di buka di bagian luar kemasan.
29
3. Kebersihan tangan dengan larutan desinfektan/antiseptik
Kebersihan tangan dengan larutan desinfektan/antiseptik dilakukan sebelum dan
setelah melakukan prosedur/tindakan invasif seperti pemasangan kateter vena
sentral, kateter lumbal, kateter vena perifer, kateter saluran kemih, vena sectie,
tindakan HD atau tindakan lainnya yang berhubungan dengan tindakan invasif
dan asepsis. Praktek kebersihan tangan dilakukan dengan enam langkah dengan
durasi waktu 40-60 detik. Larutan desinfektan yang ditetapkan untuk kebersihan
tangan adalah chlorhexidine 2%. Langkah-langkah untuk melakukan kebersihan
tangan dengan lautan desinfektan/antiseptik sama dengan langkah-langkah
melakukan kebersihan tangan dengan sabun dan air mengalir.
4. Cuci tangan bedah
Setiap petugas yang akan melakukan tindakan operasi di kamar operasi harus
melakukan cuci tangan bedah dengan benar dengan menggunakan cairan
antiseptik yang direkomendasikan RSUP Sanglah Denpasar. Sebelum cuci tangan
bedah dan setelah tindakan pembedahan selesai, petugas harus melakukan
kebersihan tangan dengan sabun di bawah air mengalir. Langkah-langkah cuci
tangan bedah:
a. Lepaskan semua perhiasan termasuk cincin atau jam tangan
b. Gulung lengan baju hingga 5-10 cm di atas siku
c. Hidupkan kran air sesuaikan dengan petunjuk (manual/sensor)
d. Basahi tangan hingga ke siku dengan air mengalir
e. Bubuhi salah satu tangan (kanan/kiri) dengan cairan antiseptik (± 5 ml)
dengan menekan dispenser menggunakan siku/sensor
30
f. Gosokkan ujung jari tangan kanan di telapak tangan kiri yang sudah berisi
cairan antiseptik, atau sebaliknya, selama ± 5 detik.
g. Ratakan antiseptik di lengan bawah sampai 5 cm di atas siku tangan
(kanan/kiri) dengan gerakan melingkar. Pastikan seluruh permukaan terkena
cairan antiseptik (10-15 detik)
h. Lakukan hal yang sama pada tangan yang lainnya (kiri/kanan)
i. Gunakan pembersih kuku untuk membersihkan daerah bawah kuku pada
kedua belah tangan
j. Bersihkan kuku kedua tangan secara menyeluruh, selanjutnya jari-jari, sela-
sela jari, telapak tangan dan punggung tangan, cuci setiap jari seakan-akan
memiliki empat sisi selama 40-60 detik
k. Lakukan penyikatan pada telapak tangan dan pergelangan tangan kiri dan
kanan selama 5-10 detik
l. Bilas kedua tangan dan lengan bagian bawah secara menyeluruh dan
bergantian. Pastikan tangan ditahan lebih tinggi dari siku
m. Biarkan air menetes melalui siku, lalu keringkan dengan handuk steril.
2.2. Konsep Kepatuhan
2.2.1 Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan (compliance), juga dikenal sebagai ketaatan (adherencce) adalah
derajat dimana seseorang mengikuti anjuran peraturan yang ada (Kaplan and
Sadock, 2005). Menurut Adiwimarta, Maulana, & Suratman (1999) dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kepatuhan didefinisikan sebagai kesetiaan, ketaatan atau
loyalitas. Kepatuhan yang dimaksud disini adalah ketaatan dalam pelaksanaan
31
prosedur tetap yang telah dibuat. Menurut Rusmani (2002), kepatuhan adalah
tingkat seseorang melaksanakan suatu cara atau berperilaku sesuai dengan apa
yang disarankan atau dibebankan kepadanya.
2.2.2 Tingkat Kepatuhan
Menurut Depkes RI (2004), tingkat kepatuhan seorang perawat dibagi menjadi
tiga bagian yaitu :
a. Patuh adalah suatu tindakan yang taat baik terhadap perintah ataupun aturan
dan semua aturan maupun perintah tersebut dilakukan dan semuanya benar.
b. Kurang patuh adalah suatu tindakan yang melaksanakan perintah dan aturan
hanya sebagian dari yang ditetapkan atau dengan sepenuhnya namun tidak
sempurna.
c. Tidak patuh adalah suatu tindakan mengabaikan atau tidak melaksanan
perintah dan aturan sama sekali.
Untuk mendapatkan nilai kepatuhan yang lebih terukur maka perlu ditentukan
angka atau nilai dari tingkat kepatuhan tersebut, sehingga bisa dibuatkan rangking
tingkat kepatuhan seseorang. Menurut Spiritia (2006) tingkat kepatuhan dapat
dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu :
a. Patuh : 76%-100%
b. Kurang patuh : 50%-75%
c. Tidak patuh : < 50%
32
2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Cuci Tangan Perawat
Menurut Smet (2004), mengatakan bahwa kepatuhan dipengaruhi oleh faktor
eksternal dan faktor internal. Faktor ekternal yang mempengaruhi kepatuhan
terdiri atas pola komunikasi, keyakinan atau nilai-nilai yang diterima perawat dan
dukungan sosial. Pola komunikasi dengan profesi lain yang dilakukan oleh
perawat akan mempengaruhi tingkat kepatuhannya dalam melaksanakan tindakan.
Beberapa aspek dalam komunikasi yang berpengaruh pada kepatuhan perawat
adalah ketidakpuasan terhadap hubungan emosional, ketidakpuasan terhadap
pendelegasian maupun kolaborasi yang diberikan serta dukungan dalam
pelaksanaan program pegobatan (Arief, 2005).
Smet (2004) mengatakan bahwa keyakinan-keyakinan tentang kesehatan atau
perawatan dalam sistem pelayanan kesehatan mempengaruhi kepatuhan perawat
dalam melaksanakan peran dan fungsinya. Dukungan sosial juga berpengaruh
terhadap kepatuhan seseorang. Variabel-variabel sosial mempengaruhi kepatuhan
perawat. Dukungan sosial memainkan peran terutama yang berasal dari komunitas
internal perawat, petugas kesehatan lain, pasien maupun dukungan dari pimpinan
atau manager pelayanan kesehatan serta keperawatan.
Faktor internal yang mempengaruhi kepatuhan dapat berupa karakteristik perawat
itu sendiri. Karakteristik perawat merupakan ciri-ciri pribadi yang dimiliki
seseorang yang memiliki pekerjaan merawat klien sehat maupun sakit
(Adiwimarta, Maulana, & Suratman (1999) dalam kamus Besar Bahasa
Indonesia). Karakteristik perawat meliputi variabel demografi (Umur, jenis
33
kelamin, ras, suku bangsa, dan tingkat pendidikan), kemampuan, persepsi dan
motivasi.
Menurut Smet (2004), variabel demografi berpengaruh terhadap kepatuhan.
Sebagai contoh secara geografi penduduk Amerika lebih cenderung taat
mengikuti anjuran atau peraturan di bidang kesehatan. Data demografi yang
mempengaruhi ketaatan misalnya jenis kelamin wanita, ras kulit putih, orang tua
dan anak-anak terbukti memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi. Latar belakang
pendidikan juga akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam melakukan etos
kerja. Semakin tinggi pendidikan seseorang, kepatuhan dalam melaksanakan
aturan kerja akan semakin baik. Menurut teori Green dalam Notoatmojo (2003),
menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan dipengaruhi oleh dua faktor,
yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (nonbehaviour
causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor
yaitu faktor-faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagiannya; fakor-
faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik,
tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan
seperti fasilitas untuk cuci tangan; dan faktor-faktor pendorong (reinforcing
faktors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan.
Kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk mengerjakan berbagai tugas
dalam pekerjaan yang pada hakekatnya terdiri dari kemampuan intelektual dan
kemampuan fisik. Dimensi kecerdasan telah dijumpai sebagai penentu dari
34
kinerja, kemampuan intelektual mempunyai peran besar dalam pekerjaan yang
rumit, kemampuan fisik mempunyai makna yang penting untuk melakukan tugas-
tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan dan keterampilan (Azwar,
2005).
Setiap orang memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing dalam hal
kemampuan kerja, sehingga ada perawat yang merasa mampu atau tidak mampu
dalam melaksanakan tindakan sesuai dengan protap. Demikian juga dalam
pelaksanaan protap cuci tangan, perawat memiliki kemampuan melaksanakan,
akan cenderung patuh untuk melaksanakan sesuai dengan yang telah digariskan
dalam protap tersebut (Arief, 2005).
Persepsi tentang protap akan diterima oleh penginderaan secara selektif, kemudian
diberi makna secara selektif dan terakhir diingat secara selektif oleh masing-
masing perawat. Dengan demikian muncul persepsi yang berbeda tentang protap
tersebut, sehingga kepatuhan perawat di dalam pelaksanaan protap tersebut juga
akan berbeda (Arief, 2005).
Motivasi adalah rangsangan, dorongan dan ataupun pembangkit tenaga yang
dimiliki seseorang atau sekelompok masyarakat yang mau berbuat dan
bekerjasama secara optimal melaksanankan sesuatu yang telah direncanakan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Azwar, 2005).
35
2.3 Konsep Dasar Motivasi
2.3.1 Pengertian Motivasi
Istilah motivasi (motivation) berasal dari perkataan bahasa latin, yaitu movere,
yang berarti menggerakkan. Motivasi merupakan daya pendorong yang
mengakibatkan seseorang untuk mengerahkan kemampuannya dalam bentuk
keahlian atau keterampilan, tenaga dan waktu yang dimiliki untuk
menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan (Siagian,
2004). Menurut Kort (1987), motivasi adalah gerakan untuk memenuhi suatu
kebutuhan atau untuk mencapai suatu tujuan yang dipengaruhi oleh faktor
eksternal dan internal..
Motivasi berasal dari kata motif yang berarti kekuatan yang berasal dari dalam
setiap individu yang mendorong individu untuk bertindak dan berbuat (Uno,
2009). Motif adalah keadaan kejiwaan yang mendorong, mengaktifkan dan
mengarahkan perilaku dan sikap seseorang yang selalu dikaitkan dengan
pencapaian tujuan organisasi maupun pribadi masing-masing anggota yang
bersangkutan (Siagian, 2004).
Kebutuhan dan keinginan setiap anggota dalam suatu organisasi atau kelompok
berbeda satu sama lainnya mengakibatkan motivasi setiap orang berbeda. Itu
disebabkan karena setiap individu adalah unik secara biologis maupun psikologis
dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda (Uno, 2009). Oemar
(2011), menyatakan bahwa motivasi adalah perubahan energi dalam diri (pribadi)
36
seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai
tujuan.
2.3.2 Unsur-Unsur Motivasi
Motivasi mempunyai tiga unsur utama yaitu kebutuhan, dorongan dan tujuan.
Kebutuhan terjadi bila individu merasa ada ketidakseimbangan antara apa yang
mereka miliki dengan apa yang mereka harapkan. Dorongan merupakan kekuatan
mental yang berorientasi pada pemenuhan harapan atau pencapaian tujuan. Tujuan
adalah segala sesuatu yang menghilangkan kebutuhan dan mengurangi dorongan.
Dorongan yang berorientasi pada tujuan tersebut merupakan inti daripada
motivasi (Nursalam, 2014).
2.3.3 Fungsi Motivasi
Fungsi motivasi yaitu dapat membuat seseorang lebih mengarahkan tingkah
lakunya ke arah kegiatan yang paling utama dan bermanfaat sehingga tidak
berpengaruh untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain yang kurang bermanfaat
(Thursan, 2005). Bagi para perawat, motivasi dapat mengarahkannya untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yang paling utama dan bermanfaat yaitu bekerja
sesuai dengan aturan yang ada.
2.3.4 Model Teori Motivasi
Ada beberapa teori motivasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain :
a. Model Teori Motivasi berdasarkan Hikarki Kebutuhan dari Maslow
Kebutuhan dapat didefinisikan sebagai suatu kesenjangan atau
pertentangan dorongan yang ada dalam diri. Kebutuahan ini berjenjang atau
37
bertingkat-tingkat apabila satu kebutuhan yang mendasar telah terpenuhi maka
akan meningkat pada kebutuhan yang lebih tinggi dan seterusnya. Kebutuhan
ini bagi setiap orang tidak sama dan perbedaannya sangat jauh. Dengan
keadaan tersebut maka akan menimbulkan persepsi terhadap suatu kebutuhan
dan akan mempengaruhi perubahan perilaku. Maslow dalam teori kebutuhan
dasar manusia dibagi menjadi lima jenjang yaitu:
1) Kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan untuk makan, minum, perlindungan
fisik, bernafas, seksual, kebutuhan ini merupakan tingkat terendah atau
disebut pula sebagai kebutuhan yang paling dasar.
2) Kebutuhan rasa aman, yaitu kebutuhan akan perlindungan diri dari
ancaman bahaya, pertentangan dan lingkungan hidup.
3) Kebutuhan untuk rasa memiliki, yaitu kebutuhan untuk diterima oleh
kelompok, geratiliasi, berinteraksi dan kebutuhan untuk mencintai serta
dicintai
4) Kebutuhan akan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihormati dan dihargai
oleh orang lain
5) Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, yaitu kebutuhan menggunakan
kemampuan , skill dan potensi.
b. Model Teori Motivasi Dua Faktor (Two Factor Motivation Teory)
Herzberg (1987) mengemukakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya
perawat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:
38
1) Faktor internal (Faktor dari dalam) meliputi: dapat menikmati pekerjaan,
mempunyai keinginan untuk maju, kepuasan dalam bekerja, mendapat
penghargaan dan pekerjaan yang menantang.
2) Faktor eksternal (Faktor dari luar) meliputi: Kebijakan, kondisi kerja,
hubungan antara pribadi, status, jaminan kerja, kehidupan kerja sehari-
hari.
c. Model Teori Harapan (Expectancy Theory)
Secara sederhana dalam teori ini merupakan interaksi antara harapan setelah
dikurangi prestasi, dengan kontribusi penilaian yang dikaitkan dengan haparan
merupakan generalisai kenyataan kebutuhan orang tidak sama, maka dikenal
sebagai Expectancy Model.
Menurut Hinshaw (1877) yang dikutip oleh Sunaryo (2004) dalam buku
psikologi untuk keperawatan menyatakan bahwa faktor-faktor pendukung
motivasi seorang pegawai antara lain:
1) Pengurangan staf perawat dan peningkatan beban kerja
2) Status professional perawat dibandingkan profesi lain
3) Kesenangan pada posisi yang dimiliki perawat
4) Kemampuan memberikan aspek yang berkualitas dalam pelayanan
keperawatan
5) Kesempatan pertumbuhan professionalisme keperawatan
6) Perlindungan praktek keperawatan.
39
2.3.5 Pengukuran Motivasi
Menurut Notoatmodjo (2005) ada beberapa cara untuk mengukur motivasi, yaitu:
a. Tes Proyektif
Perkataan merupakan cerminan dari apa yang ada dalam diri kita. Dengan
demikian untuk memahami apa yang dipikirkan orang lain, maka kita beri
stimulus yang harus diinterpretasikan. Salah satu tehnik proyektif yang banyak
dikenal adalah Thematic Apperception Test (TAT).
b. Kuisioner
Salah satu cara untuk mengukur motivasi melalui kuisioner adalah dengan
meminta klien untuk mengisi kuisioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang
dapat memancing motivasi klien. Sebagai contoh adalah EPPS (Edward’s
Personal Preference Schedule).
c. Observasi perilaku
Cara lain untuk mengukur motivasi adalah dengan membuat situasi sehingga klien
dapat memunculkan perilaku yang mencerminkan motivasinya
Kriteria motivasi dibedakan menjadi (Hidayat, 2009):
1) Motivasi tinggi : 67 – 100%
2) Motivasi sedang : 34 – 66%
3) Motivasi rendah : 0 – 33%
2.4. Hubungan Motivasi Dengan Kepatuhan Cuci Tangan Enam Langkah
Lima Momen Perawat
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan perawat dalam melaksanakan
cuci tangan yang baik dan benar. Kepatuhan merupakan bagian dari perilaku
40
individu yang bersangkutan untuk menaati atau mematuhi sesuatu, sehingga dapat
dinyatakan bahwa kepatuhan perawat dalam melaksanakan cuci tangan
dipengaruhi prilaku individu perawat itu sendiri. Prilaku kepatuhan dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Smet (2004), mengatakan bahwa
kepatuhan dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor ekternal
yang mempengaruhi kepatuhan terdiri atas pola komunikasi, keyakinan/nilai-nilai
yang diterima perawat dan dukungan sosial. Faktor internal yang mempengaruhi
kepatuhan dapat berupa karakteristik perawat itu sendiri yang meliputi variabel
demografi (umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa, dan tingkat pendidikan),
kemampuan, persepsi dan motivasi.
Siagian (2004) juga mengemukakan bahwa motivasi adalah gaya pendorong yang
mengakibatkan seseorang mau dan rela untuk mengerahkan segenap
kemampuannya dalam bentuk tenaga, waktu keahlian dan keterampilannya untuk
melaksanakan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya. Sesuai teori tentang
faktor yang dapat mempengaruhi motivasi yang diungkapkan oleh Damayanti
(2005), apabila elemen minat, sikap positif dan kebutuhan akan pentingnya
melaksanakan cuci tangan enam langkah lima momen maka perawat akan merasa
terdorong untuk melakukan cuci tangan enam langkah lima momen karena sesuai
dengan minatnya, rela ikut serta dalam kegiatan pencegahan infeksi tersebut dan
akan berusaha sebisa mungkin berusaha untuk mematuhi standar yang telah
diberlakukan.