konsep rancangan perpres tentang jaminan … sjsn/rperpres jk versi 7.pdf · lainnya yang...
TRANSCRIPT
1
KONSEP RANCANGAN PERPRES TENTANG JAMINAN KESEHATAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
JAMINAN KESEHATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 13, Pasal 21, Pasal
22, Pasal 23, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, perlu
menetapkan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan.
Mengingat: 1. Pasal 4 ayat (1), pasal 18, pasal 28 c Pasal 28 H ayat (1) dan ayat (3),
dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3468);
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
5. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2008 No. 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4844);
6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Penulisan Kembali
Draft ke-7
2
Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4456);
7. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);
8. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
9. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara;
10. UU No....Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
11. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 tentang Pemeliharaan
Kesehatan Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran, Perintis
Kemerdekaan Beserta Keluarganya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1991 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3456);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992 tentang Pengalihan
Bentuk Perum Husada Bhakti menjadi Perusahaan Perseroan
(Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 16);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan
Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 59);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2003 tentang Subsidi dan
Iuran Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan Bagi
Pegawai Negeri Sipil dan Penerima Pensiun (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4294);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi
Prajurit TNI (Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5120).
17. Peraturan Pemerintah No... Tentang Penerima Bantuan Iuran
3
MENETAPKAN:
Memutuskan:
PERATURAN PRESIDEN TENTANG JAMINAN KESEHATAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat
agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
2. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan
sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial.
3. Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang
berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa
peserta dan/atau anggota keluarganya.
4. Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan yang diberikan kepada
setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah.
5. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selanjutnya disebut BPJS adalah badan hukum yang
dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
6. Dewan Jaminan Sosial Nasional adalah Dewan yang dibentuk untuk penyelenggaraan
Sistem Jaminan Sosial Nasional berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional.
7. Bantuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak
mampu sebagai peserta program jaminan kesehatan
8. Penerima bantuan iuran yang selanjutnya disebut PBI adalah fakir miskin dan orang tidak
mampu yang tidak mempunyai pendapatan, atau pendapatannya tidak mencukupi untuk
menghidupi keluarganya berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga
yang berwenang.
9. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam)
bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
10. Cacat total tetap adalah cacat yang mengakibatkan ketidakmampuan seseorang untuk
melakukan pekerjaan.
11. Manfaat adalah faedah jaminan yang menjadi hak peserta dan/atau anggota keluarganya.
12. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam
bentuk lain.
13. Pekerja yang bekerja dalam hubungan kerja adalah pekerja/buruh yang bekerja pada
pengusaha berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan
perintah.
4
14. Pekerja yang bekerja di luar hubungan kerja adalah setiap orang yang bekerja atau berusaha
atas risiko sendiri.
15. Pekerja harian lepas adalah pekerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan
pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu maupun kontinuitas pekerjaan
dengan menerima upah atas kehadirannya secara harian.
16. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara negara yang mempekerjakan
pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
17. Iuran jaminan kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh peserta,
pemberi kerja dan atau Pemerintah untuk program jaminan kesehatan.
18. Iuran tambahan jaminan kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan peserta yang
memiliki anggota keluarga lebih dari 5 (lima) orang dan ingin mengikutsertakan anggota
keluarganya.
19. Gaji atau upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
20. Pemutusan Hubungan Kerja yang selanjutnya disebut PHK adalah pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja/buruh dan pengusaha berdasarkan peraturan perundang-undangan.
21. Keluarga adalah suami atau istri yang sah dan 3 anak yang menjadi tanggungan pekerja
yang terdaftar pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
22. Anggota keluarga adalah istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang
sah, dan anak angkat yang sah, sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
23. Anggota keluarga yang lain adalah anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu, dan mertua.
24. Pelayanan kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
yang dilakukan kepada peserta meliputi jenis manfaat kesehatan yang menjadi hak peserta.
25. Fasilitas kesehatan atau fasilitas pelayanan kesehatan adalah rumah sakit, dokter praktik
baik dokter maupun dokter gigi, klinik, laboratorium, apotik, dan fasilitas kesehatan lain
yang memenuhi syarat dan memiliki izin dari instansi Pemerintah yang bertanggung jawab
di bidang kesehatan.
26. Nomor Induk Kependudukan selanjutnya disingkat NIK adalah nomor yang bersifat unik
atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia.
27. Pemerintah Pusat adalah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri
dari Presiden bersama para Menteri.
28. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan daerah.
29. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
5
BAB II
TUJUAN DAN PRINSIP
Pasal 2
Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Pasal 3
(1) Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip Sistem Jaminan
Sosial Nasional, meliputi; kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian,
akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan
dana jaminan kesehatan dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program untuk
sebesar-besar kepentingan peserta.
(2) Pelaksanaan jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara
nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas.
BAB III
PESERTA DAN KEPESERTAAN
Bagian Kesatu
Peserta Jaminan Kesehatan
Pasal 4
(1) Peserta Jaminan Kesehatan adalah penduduk/Warga Negara Indonesia, termasuk warga
negara asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia
(2) Kepesertaan jaminan kesehatan bersifat wajib dan dikembangkan secara bertahap hingga
mencakup seluruh penduduk.
Pasal 5
Peserta jaminan kesehatan dikelompokkan dalam:
a. Kelompok peserta bukan penerima bantuan iuran;
b. Kelompok peserta penerima bantuan iuran.
c. Pekerja yang mengalami PHK sampai dengan 6 (enam) bulan
Pasal 6
Kelompok peserta bukan penerima bantuan iuran sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 (a)
meliputi:
a. Peserta penerima upah; dan
b. Peserta yang tidak menerima upah.
6
Pasal 7
Peserta penerima upah sebagaimana yang dimaskud dalam pasal 6 (a) meliputi :
a. Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiunnya;
b. Anggota TNI dan penerima pensiunnya;
c. Anggota POLRI dan penerima pensiun; dan
d. Pekerja dalam hubungan kerja selain huruf a, b dan c, termasuk orang asing yang berkerja di
Indonesia paling singkat enam bulan.
Pasal 8
(1) Peserta yang tidak menerima upah kerja adalah pekerja yang bekerja di luar hubungan
kerja.
(2) Pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah setiap orang yang bekerja atau berusaha
atas risiko sendiri, dan pekerja harian lepas atau musiman
Pasal 9
(1) Peserta jaminan kesehatan yang termasuk kelompok peserta penerima bantuan iuran
sebagaimana dimaksud pada pasal 5 meliputi :
a. Kategori penduduk yang tergolong kelompok masyarakat fakir miskin dan tidak mampu
b. Pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja lebih dari enam bulan, belum
memperoleh pekerjaan dan tidak mampu
c. Orang cacat total tetap dan tidak mampu.
(2) Penentuan kepesertaan jaminan kesehatan kelompok penerima bantuan iuran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Bagian Kedua
Anggota Keluarga Peserta
Pasal 10
Anggota keluarga peserta meliputi :
a. Satu orang isteri atau suami yang sah dari peserta;
b. Anak adalah anak kandung, anak tiri dan anak angkat yang sah dari peserta, belum berusia 21
(dua puluh satu) tahun atau telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun sampai 25 (dua puluh
lima) tahun bagi anak yang masih melanjutkan pendidikan formal dan tidak atau belum
pernah kawin, tidak mempunyai penghasilan sendiri serta masih menjadi tanggungan peserta;
c. Jumlah anak sah yang ditanggung maksimal 3 (tiga) anak, dan anak ke empat dan seterusnya
dapat menggantikan anak sebelumnya yang sudah tidak ditanggung peserta; dan
d. Bagi suami istri penerima upah, maka istri ditetapkan sebagai peserta lajang.
7
Bagian Ketiga
Peserta yang mengalami PHK sampai 6 bulan
Pasal 11
(1) Peserta yang mengalami PHK tetap menjadi peserta program jaminan kesehatan paling lama
6 bulan sejak di PHK
(2) Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepesertaannya menjadi gugur setelah lebih
dari 6 bulan sejak di PHK, kecuali membayar iuran sendiri, atau bekerja kembali, atau
mendapat bantuan iuran dari Pemerintah.
Bagian Keempat
Peserta yang mengalami cacat tetap total
Pasal 12
(1) Peserta yang mengalami cacat total tetap karena kecelakaan kerja tetap menjadi peserta
program jaminan kesehatan paling lama 6 bulan sejak di PHK.
(2) Status/kondisi kecacatan peserta sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan Pemerintah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kelima
Perubahan Status Kepesertaan
Pasal 13
(1) Dalam keadaan tertentu status peserta jaminan kesehatan dapat berubah dari peserta
penerima bantuan iuran menjadi peserta bukan penerima bantuan iuran atau sebaliknya.
(2) Dalam hal terjadi perubahan status kepesertaan sebagaimana pada ayat (1), maka tidak boleh
terjadi kevakuman dalam memperoleh hak atas jaminan kesehatan
(3) Mekanisme perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh BPJS.
BAB IV
PENDAFTARAN PESERTA
Bagian Kesatu
Peserta Penerima Upah
Pasal 14
(1) Pemberi kerja wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta program jaminan
kesehatan pada BPJS dengan mengisi formulir pendaftaran kepesertaan jaminan kesehatan
yang disediakan oleh BPJS. BPJS berkewajiban menyediakan formulir dan membantu
8
proses pendaftaran dan penambahan data kepesertaan jaminan kesehatan kepada pemberi
kerja.
(2) Pemberi kerja harus menyampaikan formulir jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada BPJS selambat-lambatnya 30 (tiga) puluh hari sejak diterimanya
formulir dari BPJS.
(3) Formulir peserta jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat disampaikan
melalui fasilitas pelayanan kesehatan Pemerintah atau dinas kesehatan setempat.
(4) Fasilitas pelayanan kesehatan Pemerintah atau dinas kesehatan setempat wajib
menyampaikan formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada BPJS selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya formulir dari peserta.
(5) Pemberi kerja wajib melaporkan kepada BPJS apabila terjadi perubahan mengenai:
a. Alamat perusahaan/pemberi kerja
b. Alamat peserta
c. Jumlah pekerja dan keluarga beserta identitasnya, dan
d. Besar upah setiap pekerja.
(6) Pekerja program peserta jaminan kesehatan wajib menyampaikan daftar susunan keluarga
kepada pemberi kerja, termasuk segala perubahannya paling lambat 7 (tujuh) hari sejak
terjadi perubahan data kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak formulir pendaftaran dan iuran pertama
diterima, BPJS wajib menerbitkan dan menyampaikan nomor identitas tunggal kepada
peserta, yang berupa kartu peserta untuk masing-masing peserta sebagai tanda kepesertaan
dalam program jaminan kesehatan.
(8) Kartu peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berlaku sampai dengan berakhirnya
kepesertaan pekerja yang bersangkutan dalam program jaminan kesehatan.
(9) Peserta penerima upah yang pindah tempat kerja atau pindah tempat tinggal masih menjadi
peserta jaminan kesehatan.
(10) Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (9) wajib memberitahukan kepesertaannya
kepada pengusaha/pemberi kerja tempat bekerja yang baru dengan menunjukkan kartu
kepesertaannya.
Pasal 15
(1) Peserta penerima upah wajib mengikutsertakan anak keempat dan seterusnya dan anggota
keluarga lain, yaitu ayah, ibu dan mertua, serta anggota keluarga tambahan menjadi peserta
program jaminan kesehatan. Dalam hal anggota keluarga lain mampu membayar iuran, maka
peserta tidak wajib mendaftarkan anggota keluarga lain tersebut.
(2) Dalam hal peserta tidak mampu membayar iuran untuk anggota keluarga lain, maka peserta
tidak wajib mendaftarkan anggota keluarga lain tersebut.
(3) Kriteria tidak mampu sebagaimana dimaksud ayat (2) ditentukan sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.
9
Bagian Kedua
Peserta Penerima Upah Yang Mengalami PHK
Pasal 16
(1) Pemberi kerja atau pengusaha wajib melaporkan dan menyampaikan surat keterangan untuk
pekerja yang mengalami PHK kepada BPJS.
(2) Dalam sebelum 6 (enam) bulan pekerja bekerja kembali, pekerja yang bersangkutan wajib
memberitahukan kepesertaannya kepada BPJS dan pengusaha tempat bekerja yang baru
dengan menunjukkan kartu peserta.
(3) Pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku sebagai pekerja penerima upah.
Bagian Ketiga
Peserta Tidak Menerima Upah
Pasal 17
(1) Peserta yang tidak menerima upah wajib mendaftarkan dirinya dan keluarganya kepada BPJS
dengan mengisi formulir pendaftaran kepesertaan jaminan kesehatan yang disediakan oleh
BPJS.
(2) BPJS berkewajiban menyediakan formulir dan membantu proses pendaftaran dan pembaruan
data kepesertaan jaminan kesehatan kepada peserta yang tidak menerima upah.
(3) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara langsung atau
melalui kelompok kepada BPJS atau melalui fasilitas kesehatan Pemerintah atau dinas
kesehatan setempat.
(4) Peserta tidak menerima upah menyampaikan formulir peserta jaminan kesehatan
sebagaimana dimaksud ayat (1) kepada BPJS selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak
diterimanya formulir dari BPJS atau fasilitas pelayanan kesehatan atau dinas kesehatan
setempat.
(5) Fasilitas pelayanan kesehatan Pemerintah atau dinas kesehatan setempat wajib
menyampaikan formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada BPJS selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya formulir dari peserta.
(6) Peserta tidak menerima upah wajib melaporkan kepada BPJS apabila terjadi perubahan
mengenai:
a. Alamat rumah atau tempat tinggal, dan
b. Susunan keluarga beserta identitasnya.
(7) Peserta tidak menerima upah yang pindah tempat kerja atau pindah tempat tinggal masih
menjadi peserta jaminan kesehatan.
10
Bagian Keempat
Peserta Penerima Bantuan Iuran
Pasal 18
Mekanisme pendaftaran peserta penerima bantuan iuran mengacu pada ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku.
BAB V
IURAN
Bagian Kesatu
Sumber Iuran
Pasal 19
(1) Iuran jaminan kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, TNI dan POLRI baik aktif maupun
penerima pensiun, ditanggung bersama antara peserta dan Pemerintah dengan ketentuan iuran
yang ditanggung oleh Pemerintah sebesar 2%, dan PNS, TNI, POLRI dan penerima pensiun
sebesar 2% dari gaji pokok per bulan.
(2) Iuran jaminan kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil daerah dan penerima pensiun ditanggung
bersama antara peserta dan Pemerintah Daerah ketentuan iuran yang ditanggung oleh
Pemerintah sebesar 2%, dan PNS dan penerima pensiun sebesar 2% dari gaji pokok sebulan.
(3) Iuran jaminan kesehatan bagi peserta penerima upah berstatus lajang adalah sebesar 5% dari
upah per bulan.
(4) Iuran jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditanggung bersama antara
peserta dan pemberi kerja dengan ketentuan, iuran yang ditanggung oleh pemberi kerja
sebesar 3% dan pekerja sebesar 2%.
(5) Iuran jaminan kesehatan bagi peserta penerima upah yang berkeluarga adalah sebesar 8% dari
upah per bulan.
(6) Iuran jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ditanggung bersama antara
peserta dan pemberi kerja dengan ketentuan, iuran yang ditanggung oleh pemberi kerja
sebesar 6% dan pekerja sebesar 2%.
(7) Iuran jaminan kesehatan bagi penerima upah dibayarkan sampai usia pensiun normal. Usia
pensiun normal ditetapkan oleh pemberi kerja.
(8) Iuran jaminan kesehatan bagi peserta penerima gaji atau upah yang tidak memenuhi kriteria
pensiun normal atau berpindah menjadi peserta penerima bantuan iuran akan diatur lebih
lanjut oleh BPJS bersama DJSN.
11
Bagian Kedua
Besarnya iuran
Pasal 20
(1) Besarnya iuran jaminan kesehatan bagi peserta yang tidak menerima upah atau gaji
ditanggung oleh peserta yang bersangkutan sebesar Rp 40.000,- (empat puluh ribu rupiah) per
bulan per keluarga.
(2) Besarnya iuran jaminan kesehatan bagi penerima bantuan iuran yang ditanggung oleh
Pemerintah sebesar Rp 40.000,- (empat puluh ribu rupiah) per bulan per keluarga.
(3) Besarnya iuran jaminan kesehatan ditinjau paling lambat 2 tahun sekali yang ditetapkan
berdasarkan Peraturan Presiden.
Pasal 21
(1) Batas gaji atau upah per bulan sebagai dasar perhitungan besarnya iuran adalah minimal sama
dengan upah minimum propinsi (UPM) / upah minimum kabupaten/kota (UMK) atau
maksimal sebesar Rp 10.000.000,00 ditinjau paling lambat 2 (dua) tahun sekali.
(2) Peserta tidak menerima gaji atau upah yang memiliki anggota keluarga lebih dari 5 orang
dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain atau anggota keluarga tambahan dan
wajib membayar iuran tambahan sebagai berikut:
a. Peserta penerima upah, iuran sebesar 1% dari upah per bulan per orang
b. Peserta tidak menerima upah, minimal sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) per
bulan per orang.
Pasal 22
(1) Pemberi kerja/pengusaha wajib melunasi iuran jaminan kesehatan setiap bulan paling lambat
tanggal 5 (lima) bulan berikutnya kepada BPJS.
(2) Iuran jaminan kesehatan yang ditanggung pekerja/buruh diperhitungkan langsung dari upah
bulanan peserta/buruh bersangkutan, dan penyetorannya kepada BPJS dilakukan oleh
pemberi kerja langsung ke rekening BPJS.
(3) Keterlambatan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan denda dan
ditanggung sepenuhnya oleh pemberi kerja.
(4) Besarnya denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebesar 1 % per bulan.
(5) Mekanisme dan besaran denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi iuran yang dibayar
Pemerintah disesuaikan dengan mekanisme anggaran.
(6) Iuran jaminan kesehatan yang belum dibayar dan denda keterlambatan membayar iuran
merupakan utang pemberi kerja kepada BPJS.
12
Bagian Ketiga
Kelebihan dan Kekurangan Iuran
Pasal 23
(1) BPJS menghitung kelebihan atau kekurangan iuran jaminan kesehatan sesuai dengan gaji
atau upah peserta.
(2) Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), BPJS memberitahukan secara tertulis kepada pemberi kerja dan atau peserta
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya iuran.
(3) Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diperhitungkan dengan pembayaran iuran bulan berikutnya.
Bagian Keempat
Pengembangan Mekanisme Penarikan Iuran
Pasal 24
Untuk peserta tidak menerima upah BPJS dapat mengembangkan mekanisme penarikan iuran
yang efektif dan efisien dalam rangka pemenuhan kecukupan dana khususnya untuk peserta tidak
menerima upah.
Pasal 25
Dalam rangka memenuhi kewajiban di masa akan datang, BPJS wajib membentuk cadangan
teknis.
BAB VI
MANFAAT JAMINAN
Bagian Kesatu
Prinsip Ekuitas
Pasal 26
(1) Setiap peserta memperoleh manfaat dan perlindungan yang sama dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan.
(2) Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terikat dengan besaran iuran yang
dibayarkan
13
Bagian Kedua
Penyelenggaraan
Pasal 27
(1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan kepada peserta harus dilakukan secara berjenjang
melalui pelayanan kesehatan tingkat pertama, pelayanan kesehatan tingkat kedua dan
pelayanan kesehatan tingkat ketiga dengan sistem rujukan.
(2) Pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
fasilitas pelayanan kesehatan dasar, meliputi Puskesmas, klinik fasilitas kesehatan dasar dan
atau dokter keluarga.
(3) Pelayanan kesehatan tingkat kedua adalah pelayanan kesehatan yang diberikan fasilitas
pelayanan kesehatan spesialistik.
(4) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas
pelayanan kesehatan non spesialistik.
(5) Pelayanan kesehatan tingkat kedua dan tingkat ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan ayat (4) dilaksanakan di rumah sakit.
(6) Pelayanan di rumah sakit bagi peserta jaminan kesehatan harus atas dasar rujukan dari
pelayanan kesehatan tingkat pertama kecuali dalam kasus keadaan darurat tidak diperkukan
rujukan.
Bagian Ketiga
Pelayanan Kesehatan
Paragraf 1
Pelayanan yang Dijamin
Pasal 28
(1) Pelayanan yang diberikan dalam jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa
pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif,
termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan.
(2) Pelayanan kesehatan yang dimaksud adalah:
a. Pelayanan dan penyuluhan kesehatan;
b. Imunisasi dasar yang masuk program Pemerintah;
c. Pelayanan KB yang masuk program Pemerintah: pil, suntik, IUD, vasektomi, tubektomi,
implan/susuk (kecuali kondom);
d. Pelayanan gawat darurat; dan
e. Pelayanan kesehatan pada jenjang pelayanan kesehatan tingkat pertamanya meliputi:
1. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi dokter;
2. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi oleh dokter gigi meliputi penambalan,
pencabutan, perawatan syaraf gigi, karang gigi dan lain-lain;
14
3. Tindakan medis baik yang bersifat operatif maupun non operatif dalam rangka
diagnosis dan atau pengobatan:
a) Penjahitan luka, pembersihan luka, balut, insisi, eksisi dan tindakan medis layanan
primer lainnya; dan
b) Odontektomi, alveolektomi, insisi dan eksisi.
4. Pemberian obat/resep dokter sesuai dengan kebutuhan medis;
5. Pelayanan KIA termasuk pertolongan persalinan normal, pemeriksaan ibu hamil,
pemeriksaan bayi/anak balita dan pemberian imunisasi dasar (BCG, DPT, campak,
hepatitis dan polio), pemeriksaan masa nifas;
6. Pemeriksaan laboratorium sederhana; dan
7. Melaksanakan rujukan/konsul ke fasilitas tingkat lanjutan.
f. Pelayanan kesehatan pada jenjang pelayanan kesehatan tingkat dua dan pelayanan
kesehatan tingkat tiga, terdiri dari:
1. Rawat jalan spesialis dan sub spesialis, yang cakupannya meliputi:
a) Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi oleh dokter spesialis dan subspesialis;
b) Tindakan medis sesuai indikasi medis;
c) Pemberian resep obat sesuai dengan kebutuhan medis;
d) Rehabilitasi medis; dan
e) Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai indikasi medis:
1) Pemeriksaan laboratorium;
2) Pemeriksaan radiologi;
3) Pemeriksaan patolog anatomi, mikrobiologi; dan
4) Pemeriksaan elektomedik.
2. Rawat inap di rumah sakit, yang cakupannya meliputi:
a) Mondok dan makan sesuai kebutuhan gizi;
b) Konsul dokter spesialis sesuai indikasi medis;
c) Pemeriksaan penunjang diagnostik lanjutan sesuai indikasi medis;
d) Pemberian obat sesuai indikasi medis;
e) Tindakan medis spesialis;
f) Perawatan khusus (ICCU, ICU, HCU, HCB, PICU);
g) Tindakan medis operatif.
g. Pelayanan lainnya:
1. Pelayanan khusus kanker;
2. Tindakan medik dan operasi jantung;
3. Pelayanan khusus HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual (PMS);
4. Pemeriksaan penjuang diagnostik yang disesuaikan menurut kebutuhan pelayanan
tingkat pertama dan tingkat lanjutan;
5. Pelayanan persalinan;
15
6. Pelayanan darah;
7. Pelayanan obat;
8. Pelayanan tambahan (kaca mata, alat bantu dengar, prothesa gigi, prothesa anggota
gerak, pen, palie, screw, dan implan lain);
9. Pelayanan khusus: hemodialisa dan transplantasi organ; dan
10. Pelayanan kesehatan jiwa.
(3) Pelayanan kesehatan yang dimaksud pada ayat (2) poin c meliputi imunisasi dasar yang
masuk program Pemerintah dan pelayanan KB yang masuk program Pemerintah: pil, suntik,
IUD, vasektomi, tubektomi, inplan/susuk (kecuali kondom), pendanaannya dan mekanisme
programnya diatur Menteri dan instansi terkait.
(4) Pelayanan kesehatan yang dimaksud pada ayat (2) poin g butir 3 pada kasus HIV/AIDS
karena Penyakit Menular Seksual (PMS) dan PMS lainnya harus disertai urun biaya.
(5) Pelayanan kesehatan yang dimaksud pada ayat (2) mengenai persalinan, diberikan kepada
peserta sampai dengan 3 anak dan untuk anak berikutnya serta untuk peserta pada permulaan
kepesertaannya sudah mempunyai 3 anak atau lebih harus disertai urun biaya.
(6) Pelayanan kesehatan yang dimaksud pada ayat (1) untuk kasus persalinan normal dengan
anak kembar tetap ditanggung.
(7) Pelayanan kesehatan yang dimaksud pada ayat (2) untuk transplantasi organ dan hemodialisa
diatur oleh BPJS melalui plafon khusus.
(8) Pelayanan kesehatan yang dimaksud pada ayat (2) poin g butir 10 mengenai pelayanan
kesehatan jiwa hanya berlaku untuk rawat jalan, dan untuk kasus rawat inap harus disertai
urun biaya
Paragraf 2
Pelayanan Tidak Dijamin
Pasal 29
(1) Jenis pelayanan yang tidak dijamin:
a. Pelayanan kesehatan yang tidak mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27.
b. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas yang bukan jaringan fasilitas pelayanan
kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS, kecuali kasus gawat darurat.
c. Kecelakaan akibat kecelakaan kerja dan penyakit atau cedera yang diakibatkan karena
hubungan kerja;
d. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri kecuali rawat inap atau rawat inap dan
rawat jalan yang biayanya lebih murah bila dilakukan di dalam negeri;
e. Pelayanan kesehatan untuk tujuan kosmetik;
f. Check up dan atau general check up kecuali untuk peserta usia lebih dari 50 tahun secara
berkala dijamin;
g. Sirkumsisi tanpa indikasi medis;
16
h. Pelayanan untuk mengatasi infertilitas;
i. Usaha meratakan gigi (ortodonsi);
j. Gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat, alkohol, dan atau zat adiktif
lainnya;
k. Gangguan kesehatan/penyakit akibat usaha bunuh diri atau dengan sengaja menyakiti diri
sendiri, hobi yang membahayakan diri sendiri;
l. Pengobatan alternatif dan tradisional, akupuntur, shin she, chiroplastic, yang oleh Tim
Penilai Teknologi Kesehatan (Health Technology Assessment/HTA) dinyatakan belum
efektif;
m. Gangguan perilaku, pengobatan dan tindakan medis yang dikatagorikan sebagai
eksperimen;
n. Kursi roda, tongkat penyangga, korset, elastic bandage;
o. Kosmetik, toilettries, makanan bayi, obat gosok, vitamin, susu;
p. Obat di luar daftar dan plafon harga obat (DPHO); dan
q. Pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan langsung dengan manfaat jaminan kesehatan
yang diberikan, yaitu:
1. Biaya perjalanan/transportasi;
2. Biaya sewa ambulans;
3. Biaya pengurusan jenazah;
4. Biaya pembuatan VER (visum et repertum);
5. Biaya fotokopi;
6. Biaya telekomunikasi; dan
7. Biaya kartu berobat untuk rumah sakit.
(2) Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin sebagaimana pada ayat (1) yaitu pelayanan
kesehatan yang tidak mengikuti prosedur, tidak berlaku untuk pasien dari kelompok
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, pembiayaannya dijamin Pemerintah pusat dan
atau Pemerintah Daerah setempat.
(3) Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin yaitu kecelakaan akibat kecelakaan kerja dan
penyakit atau cedera yang diakibatkan karena hubungan kerja, yang dijamin Asuransi Jasa
Raharja untuk kecelakaan, dan program jaminan kecelakaan kerja untuk gangguan kesehatan
yang berhubungan dengan pekerjaan.
(4) Jaminan melalui Asuransi Jasa Raharja dan program jaminan keselakaan kerja sebagaimana
pada ayat (3) diatur lebih lanjut melalui skema koordinasi manfaat (coordination benefit).
(5) Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin yaitu pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar
negeri kecuali untuk rawat inap dan rawat jalan untuk TKI dan peserta yang sedang
melakukan perjalanan dinas atau peserta yang dirujuk ke luar negeri karena tidak adanya
fasilitas kesehatan di Indonesia.
(6) Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin yaitu check up dan atau general check up, tidak
berlaku untuk pemeriksaan rutin peserta yang berasal dari TNI dan Polri dalam rangka
17
pelaksanaan tugas-tugas operasi pertahanan dan keamanan negara kecuali untuk peserta lebih
dari 50 tahun dijamin secara berkala.
(7) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), pembiayaannya ditanggung oleh
anggaran belanja TNI dan Polri, termasuk di sini adalah pembiayaan atas masalah kesehatan
terkait dengan tugas-tugas pertahanan dan keamanan.
(8) Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin yaitu biaya sewa ambulans, tidak berlaku untuk
rujukan dari jenjang pelayanan kesehatan tingkat dua ke jenjang pelayanan kesehatan tingkat
tiga.
(9) Pelayanan kesehatan sebagaiman dimaksud pada ayat (8) yaitu pelayanan ambulan, untuk
peserta bukan penerima Bantuan Iuran pembiayaannya ditanggung oleh BPJS dan untuk
peserta Penerima Bantuan Iuran ditanggung pemda setempat.
Paragraf 3
Pelayanan Dalam Keadaan Darurat
Pasal 30
(1) Dalam keadaan kegawatdaruratan pelayanan yang dijamin dapat dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan manapun.
(2) Kriteria kegawatdaruratan atas pelayanan kesehatan ditetapkan Tim Penilai Teknologi
Kesehatan (Health Technology Assessment /HTA) yang dibentuk oleh BPJS bersama DJSN.
Paragraf 4
Pelayanan Dalam Keadaan Tidak Ada Fasilitas Kesehatan yang Memenuhi Syarat
Pasal 31
(1) Dalam keadaan belum ada fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat guna
memenuhi kebutuhan pelayanan yang dijamin, BPJS wajib memberikan kompensasi dalam
bentuk uang tunai sesuai hak peserta.
(2) Besaran kompensasi yang diberikan BPJS untuk peserta yang membutuhkan rawat inap di
rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar.
(3) Apabila peserta yang akan mencari fasilitas pelayanan kesehatan terdekat yang memenuhi
syarat, besaran biaya kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditambah
dengan biaya transportasi pasien adan satu orang pendamping, serta biaya tinggal satu orang
pendamping selama perawatan di fasilitas tersebut.
18
Bagian Keempat
Urun Biaya
Pasal 32
(1) BPJS menetapkan urun biaya untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan
penyalahgunaan pelayanan.
(2) Penetapan urun biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama antara BPJS
dan asosiasi fasilitas kesahatan.
(3) Urun biaya dapat berupa nilai nominal atau persentase tertentu dari biaya pelayanan dan
dibayarkan peserta kepada fasilitas pelayanan kesehatan pada saat peserta memperoleh
pelayanan kesehatan.
(4) Pada keadaan tertentu yang mengharuskan adanya urun biaya sebagimana dimaksud pada
ayat (3) untuk peserta PBI, maka urun biaya tersebut menjadi tanggungan Pemerintah Daerah
setempat.
Bagian Kelima
Penyediaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
Pasal 33
(1) Ketersediaan obat dan bahan medis habis pakai merupakan tanggung jawab BPJS.
(2) Proses ketersediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyangkut penunjukan distributor
yang dapat menjamin memenuhi kebutuhan peserta.
(3) BPJS menyiapkan daftar dan harga tertinggi obat yang dijamin serta bahan medis habis pakai
baik untuk fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama, fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat dua dan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat tiga maupun pelayanan gawat darurat
untuk dikonsultasikan ke DJSN.
(4) DJSN dalam fungsinya melaksanakan monitoring dan evaluasi, menetapkan atas daftar dan
harga tertinggi obat, serta bahan medis habis pakai.
(5) Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud pada ayat (4), DJSN membentuk tim
khusus monitoring yang terdiri dari unsur DJSN, BPJS dan perguruan tinggi.
(6) Evaluasi terhadap obat dan bahan medis habis pakai ditinjau sekurang-kurangnya setiap 2
(dua) tahun sekali.
19
Paragraf Keenam
Pengembangan Pelayanan yang Dijamin
Pasal 34
Pengembangan jenis pelayanan kesehatan yang dijamin harus disesuaikan dengan kebutuhan
medis yang ditetapkan oleh Tim Penilai Teknologi Kesehatan (Health Technology
Assessment/HTA) yang dibentuk oleh BPJS bersama DJSN.
Bagian Ketujuh
Koordinasi Manfaat
Pasal 35
(1) Koordinasi manfaat (coordinating of benefit) adalah kewenangan BPJS untuk
mengintegrasikan manfaat yang dibayarkan oleh lebih dari satu program asuransi, sehingga
manfaat yang diterima oleh peserta dapat diperoleh dari sumber dan tidak melebih biaya
medis yang diperkenankan.
(2) Koordinasi manfaat dimaksud khusus untuk pelayanan kesehatan akibat kecelakaan lalu
lintas dan kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan (4).
(3) Ketentuan tentang koordinasi manfaat akan diatur lebih lanjut antara BPJS bersama DJSN.
BAB VII
PROSEDUR PELAYANAN
Pasal 36
(1) Untuk memperoleh pelayanan kesehatan, peserta harus menunjukkan kartu peserta jaminan
kesehatan.
(2) Peserta mendapatkan pelayanan kesehatan tingkat pertama sesuai standar pelayanan tingkat
pertama.
(3) Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tingkat pertama peserta harus mendaftar di salah
satu fasilitas kesehatan dasar setempat.
(4) Ketentuan sebagaiman dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi peserta yang tidak berada
di wilayah fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang bersangkutan dan berlaku atas
portabilitas.
(5) Dalam hal diperlukan pemeriksaan tingkat lanjutan bagi peserta, fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat satu harus memberikan surat rujukan kepada fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat lanjut yang ditunjuk.
(6) Untuk peserta penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 ayat (2) berlaku ketentuan khusus yang akan diatur lebih lanjut antara BPJS dengan
Pemerintah Daerah setempat.
20
Bagian Kesatu
Prosedur Gawat Darurat
Pasal 37
(1) Peserta yang memerlukan pelayanan gawat darurat dapat langsung memperoleh pelayanan
dari fasilitas kesehatan atau rumah sakit terdekat.
(2) Biaya yang timbul akibat pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditagihkan
langsung oleh fasilitas pelayanan kesehatan kepada BPJS.
(3) BPJS memberikan pembayaran kepada fasilitas pelayanan kesehatan sebesar tarif yang
berlaku di fasilitas pelayanan kesehatan yang ditunjuk.
(4) Selisih biaya yang timbul akibat perbedaan tarif rumah sakit yang melayani dengan tarif yang
dibayar BPJS menjadi tanggungan peserta.
(5) Bagi peserta Penerima Bantuan Iuran selisih biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditagihkan kepada Pemerintah Daerah setempat.
Bagian Kedua
Prosedur Pelayanan Apotik
Pasal 38
(1) Peserta yang mendapat resep obat, harus mengambil obat tersebut di apotik dan atau instalasi
farmasi rumah sakit yang ditunjuk.
(2) Apotik dan atau instalasi farmasi rumah sakit yang ditunjuk harus memberikan obat yang
diperlukan peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan standar obat program
jaminan kesehatan yang berlaku.
(3) Ketersediaan obat pada apotik dan atau instalasi farmasi rumah sakit yang ditunjuk
merupakan tanggung jawab BPJS.
Bagian Ketiga
Pelayanan Tambahan
Pasal 39
(1) Pelayanan tambahan berupa: kaca mata, prothesa gigi, alat bantu dengar, alat bantu gerak
tangan dan kaki, implant.
(2) Pelayanan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan 2 (dua) tahun sekali,
khusus untuk lensa kaca mata dan alat bantu dengar dapat dievaluasi dan diganti setiap 1
(satu) tahun sekali bila ukurannya berubah.
(3) Plafon biaya pelayanan tambahan ditetapkan DJSN berdasarkan usulan BPJS.
(4) Tata cara pemberian pelayanan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh
BPJS.
21
Bagian Keempat
Mutu Pelayanan
Pasal 40
(1) Pelayanan medis yang diberikan merupakan pelayanan standar, baik mutu maupun jenis
pelayanan dalam rangka menjamin kesinambungan program dan kepuasan peserta, tanpa
memandang kelas perawatan.
(2) Untuk pelayanan medis baik rawat jalan maupun rawat inap berlaku kompensasi jasa medis
atau gaji yang sama bagi tenaga pemberi pelayanan tanpa memandang kelas pelayanan.
(3) Kelas pelayanan non medis untuk rawat jalan maupun rawat inap bagi peserta dapat
ditingkatkan dengan asuransi kesehatan tambahan, atau jaminan kesehatan daerah, atau
membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin BPJS dengan biaya yang harus dibayar
akibat peningkatan kelas pelayanan, namun bukan untuk kompensasi jasa medisnya.
BAB VIII
FASILITAS KESEHATAN
Bagian Kesatu
Tanggung Jawab Ketersediaan
Pasal 41
(1) Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan fasilitas
pelayanan kesehatan untuk pelaksanaan program jaminan kesehatan.
(2) Dalam hal penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di
atas tidak dapat terpenuhi, Pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat
untuk turut berperan serta.
Bagian Kedua
Fasilitas Kesehatan Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan
Pasal 42
(1) Fasilitas pelayanan kesehatan pelaksana program jaminan kesehatan adalah fasilitas
pelayanan kesehatan milik Pemerintah dan atau swasta yang menjalin kerjasama dengan
BPJS
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah dan atau swasta dapat menjalin kerjasama
dengan BPJS setelah proses seleksi.
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat bekerjasama dengan BPJS adalah:
a. Rumah sakit Pemerintah dan atau swasta;
b. Puskesmas/dokter keluarga/dokter praktik umum dengan pendekatan keluarga;
22
c. Dokter spesialis/dokter subspesialis;
d. Kilinik;
e. Laboratorium;
f. Apotik;
g. Fasilitas kesehatan lainnya.
(4) Fasilitas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) adalah fasilitas yang diakui dan memiliki
izin dari instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
Bagian Ketiga
Asosiasi Fasilitas Kesehatan
Pasal 43
(1) Asosiasi fasilitas kesehatan untuk dokter praktik (solo practice) adalah Ikatan Dokter
Indonesia dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran.
(2) Asosiasi fasilitas kesehatan untuk rumah sakit mengikuti kondisi nyata dan kepraktisan yang
berlaku dalam pelayanan kesehatan selama ini.
(3) Asosiasi fasilitas kesehatan yang lain di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayag (2)
dan (3) diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Seleksi Fasilitas Kesehatan Pelaksana Program Jaminan Kesehatan
Pasal 44
(1) Proses seleksi dilakukan oleh BPJS berdasarkan kriteria yang terstandar, transparan, dan
akuntabel.
(2) Seluruh rangkaian kegiatan seleksi adalah upaya yang menyeluruh dalam mendapatkan
fasilitas pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan dalam pengendalian mutu dan
biaya pelayanan kesehatan.
(3) Kesepakatan antara BPJS dengan fasilitas pelayanan kesehatan tentang pemberian pelayanan
kesehatan dan besarnya pembayaran kepada fasilitas pelayanan kesehatan dituangkan dalam
kontrak kerjasama antara BPJS dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang sifatnya sama
untuk satu wilayah layanan yang sama.
23
Bagian Kelima
Besaran dan Waktu Pembayaran
Pasal 45
(1) Besarnya pembayaran kepada fasilitas pelayanan kesehatan ditentukan berdasarkan
kesepakatan BPJS dengan asosiasi fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan asas kendali
mutu, kendali biaya dan kecukupan pendanaan untuk kelangsungan program jaminan
kesehatan.
(2) Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
DJSN bersama-sama Menteri memutuskan rentang besaran pembayaran atas program
jaminan kesehatan yang diberikan.
(3) BPJS wajib membayar fasilitas pelayanan kesehatan atas pelaynan yang diberikan kepada
peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak permintaan pembayaran diterima.
Bagian Keenam
Pola Pembiayaan Jaminan Kesehatan
Pasal 46
(1) Pelaksanaan pemberian pelayanan dilakukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan
perjanjian secara tertulis dengan BPJS.
(2) BPJS melakukan pembayaran kepada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama secara
praupaya berdasarkan kapitasi atas jumlah peserta yang dilayani fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat pertama.
(3) BPJS melakukan pembayaran kepada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat dua dan fasilitas
pelayanan tingkat tiga berdasarkan DRG (Diagnostic Related Group) SJSN atau tariff
kelompok diagnosis terpadu.
(4) Pemberian pelayanan oleh fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan medis yang nyata dan standar pelayanan medis
yang berlaku dengan tetap memperhatikan mutu pelayanan.
(5) Evaluasi atas kapitasi dan DRG SJSN ditinjau sekurang-kurangnya setiap 2 (dua) tahun sekali
oleh Menteri bersama DJSN dan BPJS.
24
BAB IX
KENDALI MUTU DAN KENDALI BIAYA
Bagian Kesatu
Prinsip
Pasal 47
BPJS mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan dan sistem
pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas jaminan
kesehatan.
Bagian Kedua
Kendali Mutu
Pasal 48
(1) BPJS mengembangkan sistem kendali mutu pelayanan kesehatan.
(2) Kendali mutu pelayanan kesehatan dilakukan oleh BPJS dengan melibatkan fasilitas
pelayanan kesehatan melalui program tinjauan pemanfaatan (utilization review).
(3) Program kendali mutu pelayanan dalam bentuk tinjauan pemanfaatan secara regular
merupakan bagian dari kontrak antara BPJS dan fasilitas pelayanan kesehatan.
Bagian Ketiga
Kendali Biaya
Pasal 49
(1) Kendali baiaya dapat dilakukan dengan penerapan mekanisme urun biaya untuk mencegah
penyalahgunaan pelayanan kesehatan.
(2) Penetapan urun biaya (cost sharing) dapat berupa nilai nominal atau persentase tertentu dari
biaya pelayanan dan dibayarkan kepada fasilitas pelayanan kesehatan pada saat peserta
memperoleh pelayanan kesehatan.
(3) Jenis pelayanan kesehatan yang dikenakan urun biaya adalah pelayanan kesehatan yang
selanjutnya akan diatur oleh BPJS.
(4) Urun biaya dikenakan kepada peserta kecuali untuk peserta PBI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (4).
(5) Operasionalisasi pemantauan atas kenali biaya dilakukan omeh Komite Medis yang dibentuk
oleh BPJS bersama organisasi profesi untuk menentukan:
a. Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang berlebihan atau sebaliknya;
b. Ketidaktepatan diagnosis dan prosedur terapi dan investasi;
c. Pengobatan dan peresepan yang tidak rasional; dan
25
d. Pemberian rujukan yang tidak tepat.
BAB X
PENANGANAN KELUHAN
Pasal 50
(1) Semua pengaduan keluhan harus memperoleh penanganan dan penyelesaian secara memadai
dan dalam waktu yang singkat, serta diberikan umpan balik kapada pihak yang
menyampaikan.
(2) Dalam hal tidak mendapat pelayanan kesehatan dari fasilitas pelayanan kesehatan yang
ditunjuk oleh BPJS, peserta dapat menyampaikan keluhan kepada BPJS.
(3) Dalam hal peserta tidak mendapatkan pelayanan yang baik dari BPJS, peserta dapat
menyampaikan keluhan kepada DJSN.
(4) Penanganan keluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib ditanggapi DJSN paling
lambat 30 hari kerja sejak keluhan diterima.
BAB XI
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 51
Dalam hal terjadi sengketa antara peserta dengan fasilitas kesehatan atau antara peserta dengan
BPJS atau antara BPJS dengan fasilitas kesehatan atau antara BPJS dengan asosiasi fasilitas
kesehatan, maka sengketa diselesaikan oleh Dinas Kesehatan setempat melalui proses mediasi
BAB XII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 52
Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Presiden ini dilakukan oleh Menteri
dan DJSN dengan melibatkan organisasi profesi dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang
sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 53
(1) Dalam rangka mengoptimalkan pelayanan medis, maka diatur secara khusus kompensasi jasa
medis menurut ukuran kelas tertinggi.
26
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri dengan
mempertimbangkan usulan dari asosiasi fasilitas kesehatan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila mekanisme cara
pembayaran sistem kapitasi dan mekanisme DRG SJSN telah diterapkan penuh oleh fasilitas
kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS.
(4) Penerbitan Peraturan Menteri sebagaimana pada ayat (2) di atas harus mempertimbangkan
usulan dari asosiasi fasilitas kesehatan.
(5) Khusus untuk pasal-pasal tentang DPHO dan prosedur pelayanan apotik di dalam peraturan
ini tidak berlaku apabila mekanisme cara pembayaran kapitasi dan Diagnostic Related Group
(DRG) SJSN diterapkan penuh oleh fasilitas pelayanan kesehatan tertentu yang bekerjasama
dengan BPJS.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
(1) Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku:
a. Perusahaan Persero Jaminan Sosial Tenaga Kerja telah menyelenggarakan Jaminan
Pelayanan Kesehatan
b. Perusahaan Persero Asuransi Kesehatan telah menyelenggarakan Jaminan Kesehatan.
c. Kementerian Kesehatan telah menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Masyarakat yang
didanai APBN.
(2) Semua ketentuan yang mengatur pelaksanaan program jaminan kesehatan dimaksud pada
ayat (1) disesuaikan dengan Peraturan Presiden ini.
(3) Bagi pengusaha/pemberi kerja yang telah menyelenggarakan jaminan kesehatan sendiri
kepada karyawannya (opting out) wajib menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Presiden
ini secara bertahap paling lama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya Peraturan Presiden ini.
(4) Untuk BPJS-BPJS yang sudah menjalankan Program Jaminan Kesehatan dengan
menggunakan kelas standar yang berbeda-beda antara peserta program jaminan kesehatan
tetap menggunakan kelas standar yang berlaku.
(5) Secara bertahap paling lama 5 (lima) tahun kelas standar sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) harus mengacu pada perhitungan kelas standar III rumah sakit Pemerintah untuk
memenuhi rasa keadilan pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan yang sama untuk seluruh
rakyat Indonesia.
(6) Peserta program jaminan kesehatan sebagaimana pada ayat (2) dan (3), dapat menggunakan
kelas yang lebih tinggi dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar
sendiri selisih antara biaya yang dijamin BPJS dengan biaya yang harus dibayar akibat
peningkatan kelas perawatan atau dibayar oleh BPJS sebagai manfaat tambahan yang
diberikan BPJS berdasarkan tata-kelola pembiayaan yang diatur secara khusus oleh masing-
masing BPJS.
27
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
(1) Peraturan Presiden ini mulai berlaku sejak ditetapkan.
(2) Semua peraturan dan perundangan yang diterbitkan sebelum Undang-undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang bertentangan atau tidak sesuai
dengan Peraturan Presiden ini maka pelaksanaan program jaminan kesehatan tersebut harus
menyesuaikan dengan Peraturan Presiden ini.
(3) Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini
dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal :
Presiden Republik Indonesia
Ttd
Susilo Bambang Yudoyono