konsep pendidikan islam inklusif perspektif k.h...
TRANSCRIPT
i
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIF
PERSPEKTIF K.H. ABDURRAHMAN WAHID
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh :
DIAN APRIANI
NIM. 111 13 252
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
vii
PERSEMBAHAN
Karya tulis ini, kupersembahkan untuk:
1. Ibunda Sri Mulyani (Alm), perempuan terhebat yang diamanahi untuk
hadirkan aku dalam kehidupan ini.
2. Bpk. Sardi dan Ibu Rusmini, yang dipilih Allah untuk senantiasa merawat
serta menjagaku.
3. Abah Ulin Nuha dan Ibu Nyai Charirah, yang tak pernah jenuh dan lelah
dalam menyampaikan ilmu serta nasehatnya.
4. Abah Mahfudz Ridwan sekeluarga, yang senantiasa memberikan
bimbingan dan doanya.
5. Seluruh Keluarga Besarku, yang telah memberikan dukungan serta
senantiasa menumbuhkan semangat ku dalam menimba ilmu.
6. Keluarga Besar PP. Madrasatul Qur’an, Andong, Boyolali dan PP. Edi
Mancoro, Gedangan, Tuntang, yang selalu bersamaku dalam langkah-
langkahku menggapai cita.
7. Sahabat-sahabat terkasihku dalam Keluarga Asma’ Room, Keluarga
Besar Bidik Misi IAIN Salatiga, Keluarga Besar Wanita Karier, dan
Keluarga Besar Mahasiswa Al Khidmah Salatiga, sungguh berada dalam
sisi kalian adalah hal yang luar biasa.
8. Dan teruntuk semuanya, saya ucapkan terimakasih.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga,
sahabat dan para pengikut setianya.
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh
gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah di Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
(FTIK).
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam,
yang berkenan mengoreksi dan mengarahkan judul skripsi di tengah padatnya
tugas.
4. Bapak Drs. A. Sultoni, M.Pd., selaku dosen pembimbing akademik, beserta
bapak dan ibu dosen yang telah berkenan membimbing penulis selama masa
studi.
5. Bapak Dr. Miftahuddin, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah
berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan, arahan serta ide cemerlangnya dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Segenap guru dan kiaiku, yang insyaallah petuahnya adalah obat bagi setiap
jiwa yang gersang.
7. Segenap keluarga besar, dan sahabat-sahabat terbaik yang dikirim oleh Allah
untuk selalu mendampingiku. Jazakumullahu khair al-jaza‟.
Kepada mereka semua, penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa
melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka serta membalas semua amal baik yang
telah diberikan kepada penulis. Akhirnya, dari karya tulis ini penulis berharap
kemanfaatan bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya.
Penulis
ix
ABSTRAK
Apriani, Dian. 2017. Konsep Pendidikan Islam Inklusif Perspektif K.H
Abdurrahman Wahid. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
Pembimbing: Dr. Miftahuddin, M. Ag.
Kata Kunci: Konsep, Pendidikan Islam, Inklusif, Abdurrahman Wahid
Penulisan skripsi ini merupakan sebuah upaya untuk mengupas lebih
dalam tentang sosok pemikir Muslim modernis serta kontroversi, yakni KH.
Abdurrahman Wahid. Tujuan penelitian dalam skripsi ini ada dua hal, yaitu: 1)
Untuk mendiskripsikan konsep Pendidikan Islam Inklusif perspektif KH.
Abdurrahman Wahid; 2) Untuk mendiskripsikan relevansi pemikiran KH.
Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Islam Inklusif dengan pendidikan di era
sekarang.Tujuan tersebut menjawab dari rumusan masalah dalam penelitian ini: 1)
Bagaimana konsep Pendidikan Islam Inklusif menurut KH. Abdurrahman Wahid?
2) Bagaimana relevansi pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan
Islam Inklusif dengan pendidikan di era sekarang?
Jenis penelitian ini adalah Library Research, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber literatur perpustakaan. Adapun
sumber data terbagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari buku atau karya-karya K.H Abdurrahman Wahid yang
berkaitan dengan judul penelitian. Sedangkan data sekunder diambil dari literatur
dan buku-buku yang bersangkutan dengan obyek pembahasan penulis. Sementara
itu, metode pengumpulan data dalam karya tulis ini menggunakan metode
dokumentasi dan wawancara.Adapun teknis analisis data menggunakan metode
deduktif, induktif, dan historis.
Temuan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep pendidikan Islam
inklusif pemikiran KH. Abdurrahman Wahid adalahkonsep pendidikan Islam
yang berwawasan multikutural dengan menekankan keterbukaan terhadap adanya
keberagaman. Konsep ini diambil dari corak pemikiran Gus Dur yang inklusif
yaitu plural dan humanisme. Dengan corak pemikiran yang plural diharapkan
pendidikan Islam mampu membuka diri terhadap perbedaan, sehingga akan
menumbuhkan sikap toleransi dan kerukunan di tengah-tengah masyarakat yang
plural. Kemudian untuk nilai-nilai humanisme, diaktualisasikan dalam pendidikan
Islam sehingga akan menumbuhkan sikap saling menyayangi sesama manusia
tanpa melihat latar belakang agamanya. Di sisi lain, KH. Abdurrahman Wahid
juga menekankan sikap keterbukaan dalam segala aspek pendidikan Islam,
terutama dalam aspek materi yang disampaikan. Dalam penyampaian materi
bukan hanya doktrin ajaran Islam yang disampaikan, melainkan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya mampu terimplementasi dengan baik dan teraplikasi
dalam masyarakat. Adapun relevansi pendidikan Islam inklusif KH. Abdurrahman
Wahid dengan pendidikan saat ini berujung pada kesimpulan bahwa konsep yang
diusung KH. Abdurrahman wahid sangat relevan, mengingat era pendidikan Islam
sekarang hanya mengajarkan apa yang sesuai kontekstual dan bersifat stagnan.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................... i
HALAMAN BERLOGO ................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................ iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ......................................... v
MOTTO ............................................................................................. vi
PERSEMBAHAN .............................................................................. vii
KATA PENGANTAR ....................................................................... viii
ABSTRAK ......................................................................................... ix
DAFTAR ISI ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 6
D. Kegunaan Penelitian .................................................................... 6
E. Metode Penelitian ........................................................................ 7
F. Telaah Pustaka ............................................................................. 13
G. Sistematika Penulisan .................................................................. 17
BAB II BIOGRAFI TOKOH
A. Konteks Internal .......................................................................... 19
1. Riwayat Hidup KH Abdurrahman Wahid ............................ 19
2. Riwayat Pendidikan KH Abdurrahman Wahid .................... 31
3. Karir Sang Guru Bangsa ....................................................... 43
4. Penghargaan ......................................................................... 45
5. Karya-Karya KH Abdurrahman Wahid ................................ 47
B. Konteks Eksternal ....................................................................... 49
1. Aspek Keagamaan ................................................................ 49
xi
2. Aspek Sosial Budaya ............................................................ 51
3. Aspek Sosial Politik .............................................................. 53
C. Corak Pemikiran KH Abdurrahman Wahid ................................ 55
1. Pluralisme ............................................................................. 56
2. Neo-Modernis ....................................................................... 60
3. Humanisme ........................................................................... 62
4. Pribumisasi Islam .................................................................. 64
5. Demokrasi .............................................................................. 68
BAB III KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Inklusif ...................................................................... 73
1. Pengertian Inklusif ................................................................ 73
2. Landasan Pendidikan Inklusif ............................................... 82
3. Karakter dan Tujuan Pendidikan Inklusif ............................. 85
B. Pendidikan Islam ......................................................................... 87
1. Pengertian Pendidikan Islam ................................................ 87
2. Landasan Dasar Pendidikan Islam ........................................ 90
3. Konsep dan Tujuan Pendidikan Islam .................................. 92
4. Unsur-Unsur Pendidikan Islam ............................................. 94
C. Pendidikan Islam Inklusif ............................................................ 102
1. Pengertian Islam Inklusif ...................................................... 102
2. Pendidikan Islam sebagai Sistem Kebenaran Universal ....... 104
3. Konsep Pendidikan Islam Berparadigma Inklusif ................ 112
BAB IV PEMIKIRAN TOKOH
A. Analisis Konsep Pendidikan Islam Inklusif Gus Dur .................. 124
1. Inklusivitas Pemikiran Islam Gus Dur .................................. 125
a. Pribumisasi Ajaran Islam ............................................... 125
b. Pluralisme ....................................................................... 127
c. Humanisme ..................................................................... 130
2. Konsep Pendidikan Islam Inklusif Gus Dur ......................... 133
B. Relevansi Pendidikan Islam Inklusif KH Abdurrahman Wahid dengan
Pendidikan saat ini ....................................................................... 144
xii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 151
B. Saran ........................................................................................... 152
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Tugas Pembimbing Skripsi
Lampiran 2 : Lembar Konsultasi
Lampiran 3 : Daftar Riwayat Hidup Peneliti
Lampiran 4 : Ringkasan Skripsi dalam Bentuk Power Point
Lampiran 5 : Pernyataan Melakukan Wawancara
Lampiran 6 : Transkip Wawancara
Lampiran 7 : Foto-foto Penelitian
Lampiran 7 : Lembar SKK
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan manusia dewasa ini, dimana
dengan adanya pendidikan akan mampu menciptakan generasi emas yang
akan membangun kembali peradaban suatu bangsa. Banyak program yang
telah ditawarkan pemerintah guna untuk meningkatkan mutu suatu
pendidikan, serta meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Dengan proses pendidikan yang dilalui setiap manusia inilah yang akan
membedakan manusia dengan makhluk-makluk Allah lainya, hal ini
tercantum dalam Q.S Al-Mujaadilah ayat 11:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu:
„Berlapang-lapanglah dalam majelis‟, maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: „Berdirilah
kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat‟. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”(Syamil Qur‟an, 2007:543).
Menurut Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (1),
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
2
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara
(Sisdiknas UU RI No. 20 tahun 2003:2). Dari pengertian dapat dipahami
bahwa pendidikan adalah proses pembelajaran yang dilakukan secara sadar
dan tersusun dengan tujuan untuk membentuk manusia yang berakhlak dan
memiliki pengetahuan sesuai dengan kemampuannya, yang nantinya akan
mampu diimplementasikan pada kehidupannya dengan tujuan menjadi
individu yang aktif, produktif serta inovatif baik untuk pribadi maupun
masyarakat pada umumnya. Begitu juga dengan pendidikan Islam yang
memiliki tujuan yang sangat penting bagi perkembangan kehidupan
beragama, berbangsa dan bernegara guna untuk mewujudkan peradaban dunia
yang Islami.
Islam adalah agama yang mengajarkan untuk senantiasa menebarkan
cinta damai kepada semua orang sebagai wujud agama yang Rahmatul
Lil‟alamin, mengajarkan bagaimana bersikap yang baik terhadap perbedaan
yang ada. Ajaran Islam sebagai sebuah sistem yang diyakini oleh penganutnya
yang memiliki nilai-nilai tentang kebenaran yang hakiki dan mutlak untuk
dijadikan sebagai pedoman dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di
dalamnya aspek pendidikan (Ramayulis, 2015:4-5). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa Islam telah mengatur segala aspek kehidupan terutama aspek
pendidikan. Maka dari itu pendidikan Islam diharapkan mampu meningkatkan
keimanan dan mengembangkan sikap toleransi terhadap golongan lain.
Karena pendidikan Islam bukan hanya untuk belajar tentang agama atau
3
hanya terfokus pada aspek kognitif (pengetahuan) semata, melainkan
bagaimana kita menginterpretasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-
hari, bukan untuk menyalahkan orang lain karena berbeda dengan kita. Tapi
pendidikan yang mampu mengintegrasikan segala aspek, baik aspek akal,
emosi, moral, dan aspek spiritual. Sehingga akan menciptakan insan manusia
yang Islami, yang menghargai perbedaan dan memiliki sikap toleran yang
tinggi.
Di Indonesia pendidikan Islam masih identik dengan dunia Pesantren dan
Madrasah, dimana sistem yang ada di dalamnya masih tertutup dengan alur
perkembangan saat ini. Selain itu antara pendidikan Islam dan pendidikan
umum seakan-akan satu dengan yang lain saling memisahkan diri. Hal ini
juga yang akan menghambat perkembangan pendidikan di Indonesia,
terutama pendidikan Islam. Menurut Arif (2008:xi) Pendidikan Islam
mengalami stagnasi (kemandekan) akut akibat kuatnya pengaruh corak
berfikir normatif-reproduktif dan miopik-narsistik yang disadari atau tidak,
turut dilanggengkan oleh sikap pengharaman terhadap hal-hal yang berbau
filsafat dan kebebasan berfikir kritis yang masih tetap dilestarikan dalam
sistem pendidikan Islam tradisional.
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk, karena menyimpan akar
keberagaman dalam hal agama, bahasa, tradisi, dan budaya (Rosyidi, 2009:1).
Begitu halnya dalam dunia pendidikan yang mana dalam komponen-
komponen pendidikan terdapat beberapa lapis yang berbeda-beda. Terutama
dalam lingkungan kelas, akan dijumpai keberagaman pada peserta didik.
4
Mereka datang dari background keluarga yang berbeda-beda, karakter yang
berbeda-beda. Disinilah bagaimana pendidikan Islam mampu merangkul
semua kalangan. Pendidikan yang menghargai perbedaan pendapat tanpa
harus mengorbankan akidah yang diyakini, menghargai diri, menghargai
kebenaran, menghargai keindahan, dan menghargai lingkungan, alam kultural
(Rosyidi, 2009:10).
Untuk menciptakan suatu pendidikan yang mencangkup semua aspek
kehidupan yang tertuang dalam Bhineka Tunggal Ika, maka diperlukan
adanya sikap inklusif. Kata inklusif berasal dari bahasa Inggris “inclusive”
yang artinya “termasuk di dalamnya” (Kembara, Tanpa tahun:185). Sikap
inklusif merupakan sikap keterbukaan untuk menghargai kemajemukan yang
ada di Indonesia, jika dikembangkan secara luas akan mampu melahirkan
pluralisme. Dimana nilai-nilai inklusif jika diaktualisasi dalam dunia
pendidikan akan mampu menumbuhkan suatu pembelajaran yang
mengutamakan kebenaran bersama tanpa ada yang mengunggulkan satu
golongan.
Pola pendidikan Islam yang terbuka dengan adanya perubahan-perubahan
di Indonesia dikenalkan oleh salah satu tokoh bahkan termasuk salah satu
pemimpin negara yaitu KH. Abdurrahman Wahid, atau lebih dikenal dengan
sebutan Gus Dur, seorang ulama sekaligus cendikiawan Muslim. Dalam dunia
pendidikan Gus Dur memadukan nilai-nilai tradisional dan Barat modern
yang disebut neomodernisme, yaitu suatu gerakan progresif dalam pemikiran
Islam yang tidak hanya timbul dari modernisme Islam, tetapi juga sangat
5
tertarik pada pengetahuan tradisional (Faisol, 2011:16). Beliau yang dikenal
sebagai pelindung kaum minoritas dan tertindas, juga yang memperkenalkan
sikap keterbukaan dan toleransi terhadap keberagaman yang ada. Gus Dur
lebih populer dengan sebutan “Bapak Pluralisme Indonesia” karena beliau
dekat dengan masyarakat manapun, tidak memandang agama, ras, maupun
suku. Baginya semua adalah sama yaitu masyarakat Indonesia yang menyatu
di bawah Bhineka Tunggal Ika.
Untuk menerima dan mengafirmasi pluralisme masyarakat dan
menekankan signifikansi toleransi dan harmoni dalam hubungan antar-
komunal dibutuhkan sikap terbuka, inklusif dan liberal (Masdar, 1999:122).
Dalam hal ini, Gus Dur mengedepankan sikap terbuka (inklusif) dalam
memahami masyarakat yang beranekaragam. Dengan sikap seperti inilah Gus
Dur diterima oleh semua kalangan, baik itu dari kalangan muslim maupun
non muslim, dari masyarakat negara sendiri maupun masyarakat manca
negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji dan
menelaah pemikiran dan gagasan Gus Dur yang sering dianggap nyleneh atau
kontroversial oleh kebanyakan orang. Maka dari itu penulis melakukan
penelitian kepustakaan dengan judul “KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
INKLUSIF MENURUT KH. ABDURRAHMAN WAHID”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep Pendidikan Islam Inklusif menurut KH. Abdurrahman
Wahid?
6
2. Bagaimana relevansi pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang
Pendidikan Islam Inklusif dengan pendidikan di era sekarang?
C. Tujuan Penilitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendiskripsikan konsep Pendidikan Islam Inklusif menurut KH.
Abdurrahman Wahid.
2. Untuk mendiskripsikan relevansi pemikiran KH. Abdurrahman Wahid
tentang Pendidikan Islam Inklusif dengan pendidikan di era sekarang.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat bagi semua
kalangan masyarakat serta kalangan para pendidik secara teoritik dan pratik
antara lain sebagai berikut:
1. Secara Teoritik
Dapat memberikan sumbangan pengembangan konsep pendidikan
inklusif dari pemikiran KH. Abdurrahman Wahid yang dapat
memperkaya khasanah keilmuwan dunia pendidikan Islam untuk
digunakan dalam proses pembelajaran.
2. Secara Praktik
a. Bagi mahasiswa, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadikan sumber informasi belajar tentang pendidikan Islam
inklusif khususnya mahasiswa keguruan atau tarbiyah sebagai salah
7
satu cara penguasaan dalam menumbuhkan sikap inklusif kepada
peserta didik secara efektif.
b. Bagi dosen dan institut, hasil penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan informasi untuk menambah partisipasi dan kepedulian
terhadap konsep-konsep pendidikan Islam inklusif dalam
pembelajaran khususnya di lembaga pendidikan Islam.
c. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut
sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan Islam dengan
berparadigma inklusif dalam membangun peradaban Islam melalui
individu-individu yang berkualitas, profesional, dan komponen sesuai
dengan bidang yang dikuasainya.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yaitu
penelitian dengan menggunakan metode kualitatif, dapat dijelaskan
pendekatan yang digunakan, proses pengumpulan dan analisis informasi,
proses penafsiran melalui analisis, dan penyimpulan hasil penelitian dan
rekomendasi yang dapat diajukan (Maslikhah, 2013:82). Penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif analisis (descriptive of analyze
research). Dalam penelitian kepustakaan peneliti harus mengenal
beberapa koleksi alat bantu yang disebut bibliografi sebagai deskripsi
analisis. Bibliografi merupakan daftar informasi buku-buku karya
pengarang atau ahli dalam berbagai bidang, pengarang, keahlian dan
8
penerbit tertentu. Dalam hal ini, bibliografi dibedakan menjadi 2 yaitu: a)
bibliografi beranotasi adalah bibliografi yang lebih rinci, tidak hanya
berisi informasi tentang identitas buku, tetapi juga memberikan
keterangan tentang sinopsis isi buku dan literatur terkait. b) bibliografi
kerja yaitu daftar kepustakaan terpilih yang tercatat di atas lembaran kartu
atau buku catatan untuk kepentingan penelitian (Zed, 2008:82-83).
Penulis berusaha mengumpulkan data, menganalisa, dan membuat
interpretasi secara mendalam tentang pemikiran tokoh KH. Abdurrahman
Wahid. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menganalisis proses dan
makna dari sudut pandang peneliti mengenai konsep dan pemikiran
pendidikan inklusif menurut KH. Abdurrahman Wahid, serta relevansinya
dengan masa kini dengan menggunakan teori yang telah ada.
2. Sumber Data
Yaitu subjek dari mana data dapat diperoleh (Arikunto, 1998:114).
Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan dengan cara mengumpulkan data-data dengan cara
mempelajari, mendalami, dan mengutip teori-teori dan konsep-konsep
dari sejumlah literatur baik buku, jurnal, majalah, ataupun karya tulis
lainnya yang relevan dengan topik penelitian. Penelitian ini sumber data
yang dibutuhkan meliputi sumber data primer dan data sumber data
sekunder.
a. Data Primer
9
Yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti (atau
petugas-petugasnya) dari sumber pertamanya (Suryabrata, 1995:84-
85). Sumber data primer dalam penelitian ini diambil langsung dari
buku yang ditulis oleh KH. Abdurrahman Wahid dan yang masih
berhubungan dengan tema peneliti. Diantaranya yaitu adalah buku
Islam Kosmopolitan, Prisma Pemikiran Gus Dur, Dialog Peradaban,
Islam Negara dan Demokrasi, Islam Tanpa Kekerasan, Islamku Islam
Anda Islam Kita, dll.
b. Data Sekunder
Adalah sumber data yang berupa buku-buku serta kepustakaan
yang berkaitan dengan objek material, akan tetapi tidak secara
langsung merupakan karya tokoh agama atau filsuf agama tertentu
yang menjadi objek (Kaelan, 2010:144). Sumber data sekunder dalam
penelitian ini adalah literatur yang sesuai dengan objek penelitian,
baik itu teks buku, majalah, jurnal ilmiah, artikel, rekaman atau kaset,
arsip, dokumen pribadi, dokumen resmi lembaga-lembaga dan lain
sebagainya serta hasil wawancara yang terkait dengan penelitian ini.
Data sekunder yang penulis gunakan diantaranya yaitu buku
Pendidikan Berparadigma Inklusif (Upaya Memadukan Pengokohan
Akidah dengan Pengembangan Sikap Toleransi dan Kerukunan) yang
ditulis oleh Imron Rosyidi, buku Biografi Singkat KH. Abdurrahman
Wahid) yang ditulis oleh Muhammad Rifai, dan buku Membaca
10
Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais yang ditulis oleh Umaruddin
Masdar, dll yang masih bersangkutan dengan penelitian.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan penulis dalam mengumpulkan berbagai
sumber data penelitian, diantaranya yaitu:
a. Metode Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu
(Moleong, 2009:186). Wawancara bertujuan untuk memperoleh
informasi dengan menyelidiki pengalaman masa lalu dan masa kini
para partisipan, guna menemukan perasaan, pemikiran dan persepsi
mereka (Daymon, 2008:262).
Teknik ini bertujuan untuk memperoleh informasi secara lengkap
pemikiran Gus Dur tentang Pendidikan Islam Inklusif. Teknik
wawancara digunakan untuk mewawancarai tokoh-tokoh yang pernah
berjumpa atau berhubungan dengan Gus Dur, baik sahabat maupun
keluarganya.
b. Metode Dokumentasi
Yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat,
legger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1998:236).
11
Metode dokumentasi ini, data mengenai penelitian yang diperoleh
dengan cara menghimpun data dari berbagai literatur, baik artikel,
jurnal, majalah, maupun buku-buku yang berkaitan dengan
pembahasan penelitian ini guna menjadi data penguat pembahasan
dalam penyusunan skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi
ini adalah:
a. Deduktif
Metode deduktif adalah metode berfikir yang berdasarkan pada
pengetahuan umum dimana kita hendak menilai suatu kejadian yang
khusus (Hadi, 1981:42). Metode ini digunakan untuk menjelaskan
konsep pendidikan inklusif yang dewasa ini sangat diperlukan dalam
dunia pendidikan masa kini.
b. Induktif
Metode induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari
fakta-fakta peristiwa khusus dan konkret, kemudian ditarik
generalisasi-generalisasi yang bersifat umum (Hadi, 1981:42).
Metode ini digunakan untuk membahas data tentang konsep
pendidikan inklusif menurut KH. Abdurrahman Wahid guna ditarik
kesimpulannya dan dicari relevansinya dengan dunia pendidikan
nasional masa kini.
12
Selain metode deduktif dan metode induktif, peneliti menggunakan
metode analisis isi (content analysis) yaitu konten yang terdapat dalam
buku-buku karya KH. Abdurrahman Wahid.
Isi dalam metode analisis isi terdiri atas dua macam, yaitu isi laten
dan ide komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen
dan naskah, sedangkan ide komunikasi adalah pesan yang terkandung
sebagai akibat komunikasi yang terjadi (Ratna, 2007:48).
Dalam media massa penelitian dengan metode analisis isi dilakukan
terhadap paragraf, kalimat, dan kata termasuk volume ruangan yang
diperlukan, waktu penulisan, dimana ditulis dan sebaginya, sehingga
dapat diketahui isi pesan secara tepat (Ratna, 2007:49).
Adapun tahapan-tahapan yang peneliti gunakan dalam pengolahan isi
adalah:
1. Tahapan deskripsi, yaitu menguraikan teks-teks dalam buku yang
ditulis oleh Gus Dur yang berhubungan dengan nilai-nilai
pendidikan Islam inklusif.
2. Tahapan interpretasi, yaitu tahapan dimana peneliti menjelaskan
teks-teks dalam buku karya Gus Dur yang berhubungan dengan
nilai-nilai pendidikan Islam inklusif.
3. Tahapan analisis, yaitu tahapan peneliti menganalisis buku karya
Gus Dur yang berhubungan dengan nilai-nilai pendidikan Islam
inklusif.
13
4. Kesimpulan, yaitu proses mengambil kesimpulan dari
pembahasan dalam buku karya Gus Dur yang berhubungan
dengan nilai-nilai pendidikan Islam inklusif.
F. Telaah Pustaka
Kajian tentang pendidikan Islam inklusif yang dikaji oleh penulis bukan
untuk yang pertama kali dilakukan. Penelitian yang berkaitan dengan judul
penulis sudah banyak dijumpai dalam bentuk skripsi, jurnal, maupun buku.
Berikut ini beberapa literatur yang menjadi acauan pustaka dalam penelitian
penulis, diantaranya yaitu:
1. Buku yang ditulis oleh Imron Rosyidi, M. Th., M.Ed. yang berjudul
“Pendidikan Berparadigma Inklusif” (Rosyidi, 2009). Dalam buku ini
dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama membutuhkan suatu model
pembelajaran yang terbuka dengan adanya perbedaan (Model
Pembelajaran Terpadu), sehingga anak didik akan memiliki sikap
toleransi dan kerukunan terhadap perbedaan beragama. Buku ini memiliki
kesamaan dengan penulis tentang paradigma inklusif terhadap pendidikan
agama, akan tetapi ada yang membedakan yaitu dari segi obyek dan
subyeknya. Skripsi penulis terfokus hanya pada Pendidikan Islam inklusif
dengan subyek yang dibahas yaitu pemikiran Gus Dur.
2. Buku yang ditulis oleh Faisol dengan judul “Gus Dur dan Pendidikan
Islam (Upaya mengembalikan Esensi Pendidikan Di Era Global)” (Faisol,
2011). Dalam buku ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam
haruslah memadukan sesuatu yang tradisional dan modern. Gus dur
14
berusaha mensintesiskan kedua pendidikan ini, yaitu pendidikan Islam
klasik dengan pendidikan Barat modern, dengan tidak melupakan esensi
ajaran Islam. Pembelajaran dalam pendidikan Islam yaitu membebaskan
pemikiran manusia dari belenggu-belenggu tradisionalis yang kemudian
ingin didaur ulang dengan pemikiran kritis yang terlahir oleh Barat
Modern. Skripsi penulis memiliki kesamaan dengan buku ini, namun
sedikit perbedaan di dalamnya yaitu bagaimana pendidikan Islam mampu
bersikap terbuka dengan perbedaan sehingga akan menumbuhkan sikap
toleransi kepada semua orang dan menyamaratakan semua pihak.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Nandirotul Umah jurusan Pendidikan
Agama Islam fakultas Tarbiyah STAIN Salatiga dengan judul
“Pendidikan Islam Di Indonesia Dalam Perspektif KH. Abdurrahman
Wahid” (Umah, 2014). Hasil skripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang menjadikan masyarakat
beradab (berakhlak mulia), yaitu masyarakat yang mempunyai dan
menerapkan nilai-nilai kebenaran hakiki yang bersumber dari agama,
masyarakat yang mempunyai tata karma, sopan santun dan berperilaku
menempatkan sesuatu secara proporsional, masyarakat yang menjunjung
tinggi hak asasi manusia; masyarakat yang demokratis serta menjunjung
tinggi kebebasan setiap individu untuk berkreasi dan berprestasi serta
masyarakat yang menghargai kemampuan dan keunggulan pihak lain.
Pendidikan yang menjadi alat memanusiakan manusia, sebagai rumah
pembebasan bagi pluralitas peserta didik, serta menghargai pendapat
15
dalam pengambilan keputusan bagi setiap individu tanpa meninggalkan
budaya lokal sebagai alat menggapai kredibilitas yang mencakup segala
aspek keilmuan. Perbedaan kajian yang penulis lakukan terletak pada
konsep inklusif dalam pendidikan Islam itu sendiri.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Wahid Irfan Maghfuri jurusan Pendidikan
Agama Islam fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN SUKA
Yogyakarta dengan judul “Konsep Islam Inklusif Dalam Perspektif Dr.
Alwi Shihab dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Agama Islam”
(Maghfuri, 2013). Dari skripsi ini dapat disimpulkan bahwa implikasi
islam inklusif terhadap Pendidikan Agama Islam yaitu pada tujuan dan
materi. Perbedaan skripsi tersebut dengan skripsi yang akan dikaji penulis
yaitu dari segi konsep dan subyeknya. Skripsi yang akan disusun
membahasa konsep pendidikan Islam inklusif perspektif Gus Dur, dimana
pendidikan Islam yang memiliki sikap keterbukaan karena kemajemukan.
5. Penelitian yang dilakukan Nisa Nurjanah jurusan Pendidikan Agama
Islam fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN SUKA Yogyakarta
dengan judul “Pemikiran Islam Inklusif Dalam Kehidupan Sosial
Beragama Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Islam (Studi Pemikiran
KH. Abdurrahman Wahid)” (Nurjanah, 2013). Dari skripsi ini dapat
disimpulkan bahwa pemikiran Islam inklusif memiliki relevansi dengan
Pendidikan Islam dalam segi aspek manusia, aspek kurikulum, dan aspek
metode. Skripsi yang akan dikaji oleh penulis memiliki kesamaan dengan
skripsi Nurjanah sama-sama membahas inklusif, hanya saja terdapat
16
perbedaan yaitu pada konsep inklusif yang diusung Gus Dur untuk
menumbuhkan sikap keterbukaan dan toleransi pada Pendidikan Islam itu
sendiri.
6. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Novianto jurusan Pendidikan
Agama Islam fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN SUKA
Yogyakarta dengan judul “Aktualisasi Nilai-nilai Islam Inklusif Dalam
Pendidikan Islam (Kajian Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid)”
(Novianto, 2014). Dari penelitian tersebut dapat disimpilkan bahwa nilai-
nilai Islam Inklusif diaktualisasikan di lembaga pendidikan yang bernama
pesantren. Guna untuk menyerukan pandangan humanismenya ditengah
pluralisme yang ada di negeri ini demi tercapainya kehidupan beragama
yang harmonis. Skripsi penulis memiliki kesamaan dengan skripsi Ahmad
Novianto, sama-sama membahas tentang inklusif dalam Pendidikan
Islam. Namun, ada perbedaan yaitu skripsi saudara Ahmad Novianto
membahas aktualisasi nilai Islam inklusif dalam Pendidikan Islam,
sedangkan skripsi penulis akan membahas tentang konsep Pendidikan
Islam Inklusif.
7. Penelitian yang dilakukan oleh Resdhia Maula Pracahya jurusan
Pendidikan Agama Islam fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hiadyatullah Jakarta dengan judul “Konsep KH. Abdurrahman
Wahid Tentang Pendidikan Islam Multikultural” (Pracahya, 2013). Hasil
dari skripsi saudara Resdhia Maula Pracahya dapat disimpulkan bahwa
Pendidikan Islam multikultural menurut Gus Dur lebih menekankan pada
17
aspek psikomotorik ditambah dengan aspek spiritual dan humanisme.
Aspek tersebut akan mencapai dimensi aspek-aspek lainnya secara
naturalistik, menurutnya pula aspek yang digagas tersebut akan menjadi
landasan pluralitasdan multikulturalitas suatu bangsa. Penelitian ini
memiliki kesamaan dengan peneliti penulis, sama-sama mengkaji
pemikiran KH. Abdurrahman Wahid. Akan tetapi obyek yang dikaji
berbeda. Skripsi saudara Resdhia membahas tentang konsep Pendidikan
Islam Multikultural, sedangkan skripsi peneliti tentang konsep Pendidikan
Islam inklusif.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini akan ditulis dengan menggunakan sistematika yang terdiri dari
5 bab, antara lain:
BAB I Pendahuluan
Bab ini akan membahas mengenai latar belakang masalah, fokus
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II Biografi KH. Abdurrahman Wahid
Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang konteks
internal yang terdiri dari: riwayat keluarga, riwayat
pendidikan, dan karya-karya KH. Abdurrahman Wahid. Selain
itu, dibahas juga mengenai konteks eksternal yang meliputi:
aspek keagamaan, aspek sosial politik dan aspek budaya.
18
BAB III Kajian Teori Pendidikan Islam Inklusif
Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang kajian teori
pendidikan Islam inklusif secara umum yang meliputi
beberapa pembahasan diantaranya: pendidikan inklusif,
pendidikan Islam, dan pendidikan Islam inklusif
BAB IV Pemikiran Pendidikan Islam Inklusif KH. Abdurrahman
Dalam bab ini penulis akan menjawab dari rumusan masalah yaitu konsep
pendidikan Islam inklusif perspektif KH. Abdurrahman Wahid yang terdiri
dari: inklusivitas pemikiran Islam KH. Abdurrahman Wahid dan konsep
pendidikan Islam inklusif KH. Abdurahman Wahid. Serta membahas tentang
relevansinya konsep pendidikan Islam inklusif perspektif KH. Abdurrahman
Wahid pada masa kini.
BAB V Penutup
Pada bab ini penulis menyimpulkan dari pemaparan-pemaparan dari
beberapa bab diatas yang meliputi pokok bahasan kesimpulan dan saran.
19
BAB II
BIOGRAFI KH. ABDURRAHMAN WAHID
A. Konteks Internal
1. Riwayat Hidup KH. Abdurrahman Wahid
Gus Dur bukan nama asing bagi nama bagi bangsa Indonesia. Sosok
orang besar ini bukan cuma milik NU. Sikapnya yang demokratis dan
humanis, melekatkan kesan yang mendalam pada sebagian besar
masyarakat. Citra humanisme Gus Dur sanggup membawa citra politik
yang positif, yang melampaui garis-garis sektarianisme yang harus diakui
atau masih eksis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Hadi, Tanpa
Tahun:11).
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dilahirkan di Desa Denanyar,
Kabupaten Jombang, Jawa Timur, di sebuah rumah milik kakek dari
pihak ibunya, Kyai Bisri Syansuri. Rumah ini sendiri berada di dalam
komplek Pondok Pesantren Mambaul Maarif, yang dihuni oleh ribuan
santri dari berbagai penjuru tanah air (Mandan, 2010:20-21).
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam
(Agustus) 1940. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir 4 Agustus, namun
kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah
kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya‟ban, sama dengan 7
September 1940 (Rifa‟i, 2016:26).
20
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil, dengan berat badan 3,5
kg atau lebih. Memilik rambut tebal, hidung sedang, dan kulit halus
(Irawan, 2015:31). Kata “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”. Hal ini
dikarenakan Abdurrahman Wahid sebagai anak pertama diharapkan
menjadi pewaris budaya keluarga Hasyim Asyari, menjadi penakluk
seperti halnya Sultan Abdurrahman Addakhil (Abdurrahman I) yang
pernah berkuasa selama 32 tahun para Dinasti Bani Umayyah, Spanyol.
Kata “Addakhil” yang tidak cukup dikenal pada akhirnya diganti menjadi
“Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus”
adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anakkiai
yang berarti “abang” atau “mas” (Al-Madyuni, 2013:93).
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Dus Dur lahir
dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa
Timur. Kakek dari ayahnya adalah KH. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul
Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH. Bisri Syansuri, adalah
pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.
Ayah Gus Dur, KH. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis
dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah,
adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah
Tionghoa. Gus Dur mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim
Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah
(Tan Eng Hwa), pendiri Kasultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng
21
Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, putri Tiongkok yang
merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian
berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais
diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qadir Al-Shini yang diketemukan
makamnya di Trowulan (Hadi, Tanpa Tahun:13).
Selain itu silsilah Gus Dur dapat dirinci sebagai berikut, baik dari
pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Dari pihak ayah dimulai dari Brawijaya ke VI (Lembu Peteng) –
Djoko Tingkir (Karebet) – Pangeran Banawa – Pangeran Sambo – Ahmad
– Abd. Jabar – Soichah – Lajjinah – Winih – Muhammad Hasyim Asy‟ari
– Wahid Hasyim - Abdurrahman Wahid Addakhil (Gus Dur).
Dari pihak ibu dimulai dari Brawijaya VI (Lembu Peteng) – Djoko
Tingkir (Karebet) – Pangeran Banawa – Pangeran Sambo – Ahmad –
Abd. Jabar – Soichah – Fatimah – K. Hasbullah – Nyai Bisri Syansuri –
Solichah – Abdurrahman Wahid Addakhil (Gus Dur).
Dari sini dapat melihat bagaimana Gus Dur dalam silsilahnya atau
trahnya merupakan campuran darah biru, kalangan priyayi dan darah
putih, kalangan kiai. Selain itu, trahnya Gus Dur adalah trahnya para
pahlawan. Kakeknya, KH. Hasyim Asy‟ari, dari ayahnya, KH. Wahid
Hasyim adalah salah satu dari berbagai tokoh NU yang menjadi tokoh
pahlawan Nasional.
Melihat silsilah tersebut kiranya wajar kalau Gus Dur mewarisi bakat,
mental, dan perjuangan orang-orang besar dan memang menjadi orang
22
besar, selain besar fisiknya, besar pemikirannya, besar perjuangannya,
dan besar hatinya.
Memang masih banyak kalangan yang meragukan, terutama kalangan
akademisi modernis, berkaitan dengan pola silsilah tersebut, berkaitan
dengan bagaimana sumbernya masih oral yang perlu penulusuran lebih
jauh. Namun, kalangan masyarakat Jawa abangan dan santri lebih
mempercayainya. Hal ini dikaitkan pula bagaimana Gus Dur pernah
mengaku kalau dirinya masih ada keturunan Cina dan leluhurnya (Rifa‟i,
2015:25-26).
Gus Dur kecil tumbuh seperti halnya anak-anak pada umumnya. Ia
senang dengan segala sesuatu yang baru, suka bertanya, dan kadang suka
kesal sendiri. Kalau meminta sesuatu, ia suka ngeyel dan memaksa.
Kalaupun ada perbedaan Gus Dur dengan anak-anak seumurannya,
maka perbedaan itu adalah pendidikan dan pengajaran ayah, ibu, dan
kakeknya. Solichah, sang ibu, sejak mengandung sudah terbiasa
bertirakat dan berpuasa. Ia terbiasa menjalani laku mengurangi tidur dan
mencegah hal-hal buruk yang dapat mengeruhkan batinnya. Ia terbiasa
berpuasa untuk melatih kepasrahan, keikhlasan, dan kesabaran, demi
menggapai ridha-Nya. Dari batin sang ibu, Gus Dur mulai tampak
berbeda dengan anak kebanyakan. Badannya yang mulai sedikit gemuk
justru berbanding terbalik dengan sedikitnya makan. Ia adalah bocah yang
sepertinya lebih suka menahan lapar.
23
Akan halnya dengan sang ayah, Wahid Hasyim, kecintaannya pada
buku dan ilmu pengetahuan rupanya sudah mulai menunjukkan tanda-
tanda menurun pada putranya. Gus Dur diajarinya membaca, menulis, dan
mencintai buku dan kitab. Dan melalui sentuhan lembut hati sang kakek,
ia diperkenalkan dengan dasar-dasar agama (Irawan, 2015:39-40).
Sejak kecil Gus Dur dikenal dengan sebagai anak yang sangat aktif
aktif dan cenderung nakal. Ia pernah diikat dengan tambang ke tiang
bendera di halaman depan sekolah sebagai hukuman bagi leluconnya
yang terlalu jauh atau sikapnya yang kurang sopan. Ketika belum genap
dua belas tahun, ia pernah mengalami patang tulang lengan akibat
kegemarannya memanjat pohon. Pertama-tama, lengannya patah karena
dahan yang diinjaknya patah. Yang kedua, saat ia mengambil makanan di
dapur, ia lalu memakannya di atas dahan sebuah pohon besar. Keenakan
di atas pohon, ia tertidur dan kemudian menggelinding jatuh. Dalam
ingatan Gus Dur, kala itu ia mengalamani patah tulang yang serius,
hingga lengannya menonjol ke luar. Namun akhirnya dokter yang
menanganinya dapat memperbaiki tulang tersebut. Tetapi pengalaman
tersebut tak membuat Gus Dur menjadi anak yang pendiam. Ia tetap aktif
dan bertindak sesuka hatinya (Mandan dkk, 2010:31-32).
Pada akhir tahun 1944, ketika Gus Dur baru berusia empat tahun, ia
diajak ayahnya ke Jakarta. Wahid Hasyim memilih untuk meninggalkan
keluarganya di Jombang, dan ia sendiri bersama putra tertuanya pergi
menetap di Jakarta. Pada saat itu, Wahid Hasyim dan Gus Dur tinggal di
24
daerah Menteng, Jakarta Pusat, yang saat itu merupakan daerah yang
diminati oleh pengusaha terkemuka, yang profesional, dan politikus.
Dengan berdiam di daerah Menteng, Wahid Hasyim dan putranya
tertuanya ini berada di pusat kegiatan. Misalnya ketika mereka
melaksanakan ibadah shalat di masjid Matraman yang letaknya tak begitu
jauh, mereka secara teratur bertemu dengan pemimpin-pemimpin
nasionalis, yaitu Mohammad Hatta. Menurut ingatan Gus Dur, saat itu ia
sering membukakan pintu pada sekitar pukul delapan malam. Seorang
laki-laki asing yang berpakaian petani berwarna hitam datang berkunjung
untuk menemui ayahnya. Keduanya kemudian sering bercakap-cakap
selama berjam-jam. Atas permintaan tamu itu, Gus Dur memanggilnya
Paman Hussein. Baru beberapa tahun kemudian ia tahu bahwa orang itu
adalah Tan Malaka, seorang pemimpin komunis yang terkanal. Walaupun
Wahid Hasyim secara efektif memimpin organisasi Islam terbesar di
negeri ini, namun ia juga menjalin hubungan baik dengan komponen-
komponen masyarakat lainnya, termasuk Tan Malaka dan orang-orang
komunis lainnya (Barton, 2016:37).
Pada akhir perang tahun 1949, keluarga Gus Dur pindah ke Jakarta
karena ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama pertama. Dengan
demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu,yang terdiri dari
para tokoh dengan berbagai bidang profesi yang sebelumnya telah
dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi
Menteri Agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi Gus
25
Dur. Karena secara tidak langsung, Gus Dur juga dapat berkenalan
dengan dunia politik (Hamid, 2010:15-16).
Sejak kecil di Jakarta, Gus Dur terbiasa bergaul dan bercanda dengan
sekelompok aktivis muda teman-teman ayahnya, yang suka berkumpul
dikediamannya. Salah satunya adalah Munawird Sjadzali, yang kemudian
hari menjadi Menteri Agama pada pemerintahan Soeharto. Sang ayah
terkadang menyuruh Gus Dur untuk menyajikan minuman teh dan
sekedar makanan kecil untuk sahabat-sahabatnya. Kadang Gus Dur iseng
mengikat tali-tali sepatu teman-teman ayahnya yang jatuh tertidur.
Di Jakarta Wahid Hasyim memiliki teman yang banyak. Salah
satunya adalah seorang Jerman yang sudah menjadi Islam bernama
Williem Iskandar Bueller yang suka memutar lagu-lagu klasik Eropa di
rumahnya. Gus Dur sering menghabiskan waktu sepulang sekolah di
rumah Bueller ini, untuk menikmati lagu-lagu klasik. Di sinilah Gus Dur
untuk pertama kalinya mendengar karya-karya Beethoven yang kemudian
sangat ia sukai. Sebelumnya Gus Dur sudah menyenangi musik-musik
Arab tradisional yang sering ia dengar di kampung kelahirannya,
Jombang. Banyaknya buku dan majalah di rumah Wahid Hayim,
membuat Gus Dur ikut suka membaca. Tradisi gemar membaca ini telah
membuat Gus Dur memiliki wawasan yang luas, melampaui ukuran anak
seusianya saat itu (Mandan dkk, 2010:33-34).
Selama bertahun-tahun tinggal di Jakarta ini, Gus Dur sering berada
bersama ayahnya dan sering menemaninya pergi ke pertemuan-
26
pertemuan. Dengan demikian, ia dapat menyaksikan dunia ayahnya yang
penuh dengan berbagai macam orang dan peristiwa. Ia juga dapat
menyaksikan bagaimana ayahnya ini hidup dalam dunianya tersebut
dengan cara yang sederhana dan gampangan. Wahid Hasyim selalu
berusaha untuk sedapat mungkin mengajak putranya ini bersamanya. Ini
semua karena sang ayah merasa senang ditemani oleh putranya, dan juga
karena hal ini dianggapnya merupakan bagain penting dari pendidikan
anak sulungnya ini (Barton, 2016:43-44).
Pada Sabtu 18 April 1953, Gus Dur bepergian menemani ayahnya
untuk suatu pertemuan NU di Sumedang, Jawa Barat. Di dalam
perjalanan menuju Bandung yang berliku-liku, Wahid Hasyim duduk di
jok bagian belakang bersama sabahatnya, Argo Sutjipto. Sementara Gus
Dur duduk di kursi depan bersama sopir. Mobil yang mereka tumpangi
adalah jenis sedan Chevrolet. Ketika sampai di jalan antara Cimahi dan
Bandung, suasana hujan membuat jalanan menjadi licin. Sopir saat itu
mencoba mempercepat laju kendaraan agar tidak terlambat sampai di
tujuan. Namun ketika melalui sebuah kelokan, sopir kehilangan kontrol
atas laju kendaraan tersebut. Pada saat yang sama dari arah depan melaju
sebuah truk. Pengemudi truk yang melihat bahwa sopir sedan yang ada di
depannya kesulitan mengendalikan kendaraannya, lantas menepi dan
menghentikan laju kendaraannya. Tetapi sedan yang dikendarai Gus Dur
sulit dihentikan, ia malah memutar dan akhirnya menubruk truk yang
sudah terhenti tersebut dengan sangat keras. Wahid Hasyim dan Argo
27
Sutjipto terlempar keluar dan mendarat di aspal yang cadas, sementara
sopir dan Gus Dur yang duduk di bagian depan tidak terluka (Mandan
dkk, 2010:35-36).
Kecelakaan itu terjadi sekitar pukul 01.00 siang, tetapi celakanya
mobil ambulan dari Bandung baru tiba di tempat kejadian sekitar pukul
04.00 sore. Gus Dur duduk di tepi jalan menunggu ayahnya yang tak
berdaya hingga ambulan datang. Akhirnya, mereka diangkut ke rumah
sakit di Bandung. Gus Dur tidak tidur menunggui ayahnya. Malam itu,
istri Whaid Hasyim itu tiba di rumah sakit dan menunggui suaminya
bersama Gus Dur. Pada pukul 10.30 pagi keesokan harinya, Wahid
Hasyim tak lagi dapat bertahan dan akhirnya meninggal dunia. beberapa
jam kemudian Argo Sutjipto juga meninggal dunia. Wahid Hasyim, yang
merupakan tokoh harapan banyak orang Indonesia, telah menghembuskan
nafasnya yang terakhir. Ia meninggal dalam usia 38 tahun. Sementara Gus
Dur baru berusia 12 tahun.
Anehnya, walaupun terguncang oleh kecelakaan maut itu, Gus Dur
tetap berfikir tenang. Gus Dur ingat bahwa ketika ia duduk menunggui
ayahnya yang tergolek tak sadarkan diri di tepi jalan, ia mendadak
teringat akan pesan ayahnya bahwa terdapat sejumlah besra uang yang
disimpan di bantalan kecil di tempat duduk bagian belakang. Ia pun
mengambil bantalan itu dan memegangnya erat-erat. Ketika ia berada di
rumah sakit, ia tetap tidak mau menyerahkan bantalan itu kepada orang
lain. Banyak mengira bahwa Gus Dur muda memegangi bantalan itu erta-
28
erat karena rasa sedihnya yang dalam. Baru ketika sang ibu tiba ia
menyerahkan bantalan itu kepadanya.
Ketika beranjak dewasa, Gus Dur baru tahu bahwa ayahnya adalah
seorang tokoh yang populer dan berpengaruh. Namun sukar bagi seorang
anak untuk benar-benar memahami hal ini. Barulah ketika ia membawa
pulang jenazah ayahnya ke Jakarta ia baru tahu betapa besar rasa hormat
dan cinta orang kepada ayahnya. Pada saat rombongan melewati jalan-
jalan di Bandung dan kemudian ke jalan raya, Gus Dur tercekam melihat
demikian banyaknya orang yang berbaris di tepi jalan untuk memberikan
penghormatanterakhir kepada ayahnya, Wahid Hasyim. Di setiap kota
dan desa, jalan-jalan dipenuhi oleh orang-orang yang berduka. Mereka
menunggu dengan sabar di tengah terik matahari untuk dapat
menyaksikan perjalanan terakhir seorang tokoh yang sangat mereka
cintai.
Hal yang sama terjadi keesokan harinya ketika iring-iringan jenazah
berangkat dari rumah duka di Matraman ke lapangan udara Halim. Masih
jelas dalam ingatan Gus Dur betapa jalan-jalan di Jakarta dipadati oleh
orang-orang yang ingin menyaksikan perjalanan terakhir ayahnya, Wahid
Hasyim, ke Jawa Timur. Di Surabaya, demikian kenang Gus Dur, lebih
banyak orang lagi berkerumun di jalan-jalan daripada di Jakarta.
Demikian juga kerumunan orang terlihat di setiap desa kecil dan di setiap
kediaman yang dilewati oleh iring-iringan jenazah sepanjang perjalanan
menempuh jarak 80 km, ke Jombang.
29
Bagi seorang anak yang baru berusia dua belas tahun, kesabaran yang
ditunjukkan oleh orang-orang ini ketika menunggu di tepi sepanjang jalan
memperlihatkan dengan jelas besarnya cinta mereka terhadap ayahnya.
Hampir setengah abad kemudian, Gus Dur menceritakan bagaimana ia
sangat dipengaruhi oleh kesadaran bahwa orang sangat mencintai
almarhum ayahnya itu. Diingatnya bagaimana ia berusaha memecahkan
arti semuanya ini sambil berfikir: “Apa yang mungkin dapat dilakukan
oleh seorang manusia sehingga rakyat sangat mencintainya? Apakah ada
prestasi yang lebih baik daripada hal ini dalam hidup?” Kenangan yang
pahit namun manis ini tetap tak terlupakan oleh Gus Dur (Barton,
2016:44-46).
Dalam urusan asmara, Gus Dur muda memiliki gaya yang berbeda
dari remaja pada umumnya. Gus Dur muda dikenal sebagai pria pemalu.
Ia lebih memilih buku dan bola sebagai teman daripada harus berpacaran
(Hamid, 2010:17).
Hingga akhir tahun 1966, perjalanan studi Gus Dur di Kairo tidak
menemukan jalan terang. Dan pada saat itu Gus Dur juga menjalin
korespondensi dengan seorang gadis, mantan muridnya di Tambakberas,
Nuriyah, yang sedikit dikenalnya beberapa saat sebelum ia meninggalkan
tanah air. Nuriyah, yang konon merupakan „kembang pesantren‟ sehingga
banyak pria yang meminatinya, pada awalnya tak merespon Gus Dur.
Tetapi Gus Dur terus berusaha mendapatkan tempat di hati Nuriyah.
30
Meski terpisah oleh jarak yang jauh, Gus Dur mencoba mendekati
Nuriyah melalui surat.
Pada suatu ketika, pada akhir tahun1966, di tengah kegalauan karena
kegagalan studinya di Kairo, Gus Dur mengirimkan surat yang berisi
kesedihan hati sekaligus kesungguhannya untuk meminang gadis
pujaannya itu. Tetapi kenapa untuk kali itu Nuriyah memberikan jawaban
yang tegas kepada Gus Dur melalui suratnya; “Mengapa orang harus
gagal dalam segala hal? Anda boleh gagal dalam studi Anda, paling tidak
berhasil dalam kisah cinta.” Gus Dur tentu bersuka cinta mendapatkan
jawaban ini. Ia pun segera menulis surat kepada ibunya di Jombang untuk
meminang Nuriyah (Mandan dkk, 2010:50-51).
Pernikah ini berlangsung pada tanggal 11 Juli 1968, Gus Dur
melangsungkan pernikahan jarak jauh. Inilah kejadian heboh pertama dari
Gus Dur untuk keluarga istrinya. Karena Gus Dur masih berada di Mesir,
terpaksa pernikahan dilakukan tanpa menghadirkan mempelai pria (in
absentia). Sehingga pihak keluarga meminta kakek Gus Dur dari garis
ibu, KH. Bisri Syamsuri, yang berusia 68 tahun, untuk mewakili
mempelai pria.
Pernikahan ini smepat membuat geger tamu yang menyaksikan acara
ijab kabul. Namun kesalahpahaman itu hilang setelah pada 11 September
1971, pasangan Gus Dur- Nuriyah melangsungkan pesta pernikahan.
Pernikahan Gus Dur dengan Nuriyah dianugerahi emapat putri.
Mereka adalah Alissa Qatrunnada Munawarah (Lissa), Zannuba Arifah
31
Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus (Anita), dan Inayah Wulandari
(Inayah) (Hamid, 2010: 19-20).
Keluarga Gus Dur tampaknya tidak jauh dengan model keluarga
lainnya. Konsepnya tentang suami istri misalnya pernah ia ungkapkan,
Menurut Tiara dalam buku Gus Dur Guru Bangsa Bapak Pluralisme
(Hadi, Tanpa Tahun:21), Istri itu yang terbaik kalau „nggak‟ ikut
campur urusan suami. Dan suami yang baik adalah „nggak‟ mau tahu-
urusan istrinya. Yang penting menghormati hak masing-masing. Saya
nggak pernah cerita-cerita. Zaman saya susah, pulang dari Mesir, saya
kan mengajar di pondok Pesantren. Untuk tambah-tambah
penghasilan istri saya tiap malam menggoreng kacang dan bikin es
lilin, kadang-kadang sampai pukul 02.00 pagi. Esok harinya dijual di
warung-warung. Dan dia tidak guncang. Sampai hari ini. Saya selalu
ingat saat saya menderita dulu.
2. Riwayat Pendidikan KH. Abdurrahman Wahid
a. Pendidikan di Jawa
Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H Hasyim Asy‟ari.
Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca Al-
Qur‟an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca Al-Qur‟an.
Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal
di sekolah, Gus Dur juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru
lesnya bernama Willem Buhl, berkebangsaan Jerman yang telah
masuk Islam, dan telah mengganti namanya dengan Iskandar.
Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu
menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa.
Inilah pertama kali persentuhan Gus Dur dengan dunia Barat dan dari
sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik (Hamid,
2010:30-31).
32
Gus Dur memulai pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar KRIS di
Jakarta Pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga dan kemudian di
kelas empat. Akan tetapi ia kemudian pindah ke Sekolah Dasar
Matraman Perwari, yang terletak di dekat rumah keluarga mereka
yang baru di Matraman, Jakarta Pusat. Pada tahap ini, pendidikan Gus
Dur sepenuhnya bersifat sekuler. Namun, tentu saja ia telah
mempelajari bahasa Arab ketika kecil dan mempunyai cukup
pengetahuan untuk dapat membaca Al-Qur‟an dengan suara keras.
Akan tetapi, baru setelah beranjak remaja, ia mulai belajar bahasa
Arab secara sistematik. Selain itu, Gus Dur dan saudaranya
dianjurkan ayahnya untuk membaca apa saja yang disukai dan
kemudian secara terbuka membicarakan ide-ide yang mereka
temukan, agar anak-anaknya tumbuh besar dengan cakrawala pikiran
yang luas (Barton, 2016:42).
Setahun setelah wafatnya sang ayah, yaitu pada tahun 1954,
setelah lulus SD, Gus Dur melanjutkan sekolah tingkat menengah
pertama ke SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di
Yogyakarta. Meski tergolong sangat cerdas, entah karena masih
terguncang oleh wafatnya sang ayah, atau karena sebab lain, di SMEP
ini Gus Dur sempat mengalami kegagalan, sehingga harus mengulang
kelas. Gus Dur sendiri beralasan kegagalannya tersebut karena ia
terlalu sering menonoton pertandingan sepakbola dan menonton film.
33
Di Yogyakarta, Gus Dur tinggal di rumah teman ayahnya yang
bernama Kiai Haji Junaidi. Yang menarik adalah bahwa Haji Junaidi
bukanlah orang NU, melainkan anggota Muhammadiyah, yang saat
itu menjabat sebagai anggota Majelis Tarjih atau Dewan Penasehat
Agama Muhammadiyah (Mandan dkk, 2010:40). Hal ini sebenarya
mungkin biasa-biasa saja. Akan tetapi saat itu, dan bahkan dalam
beberapa dasawarsa kemudian, secara relatif hampir tidak terdapat
pertautan antara kaum modernis Muhammadiyah dan kaum
tradisionalis NU. Sebagaiman NU, dulu dan juga sekarang,
merupakan organisasi ulama yang mewakili Islam tradisional di
Indonesia, sementara hampir semua kaum muslim modernis
tergabung dalam Muhammadiyah. Kaum modernis dan kaum
tradisionalis berbeda dalam pendekatan mereka ketika menafsirkan
Al-Qur‟an; juga dalam sikap mereka terhadap praktik-praktik dan
kepercayaan mistik serta dalam integrasi budaya mereka ke dalam
kehidupan urban modern (Barton, 2016:49-50).
Proses belajar atau masa pendidikan Gus Dur di masa sekolah
dasar dan lanjutan pertamanya adalah di sekolah-sekolah sekuler.
Inilah yang membedakan dirinya dengan kakek dan ayahnya yang
tidak pernah mencicipi pendidikan sekuler, dan Gus Dur merupakan
penanda generasi santri yang menerima pendidikan modern sejak
awal.
34
Ketika Gus Dur sekolah di SMEP di Yogyakarta, diusahakan pula
dan diatur bagaimana ia dapat pergi ke pesantren Al Munawwir di
Krapyak sebanyak tiga kali. Disini ia belajar bahasa Arab dengan KH.
Ali Ma‟shum (Rifa‟i, 2016:31).
Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris,
untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya sekaligus
menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio
Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus
Dur pandai dalam bahasa Inggris, Sumantri, seorang guru SMEP
yang juga anggota Partai Komunis, memberi buku karya Lenin „What
is To Be Done‟. Pada saat yang sama, anak yang memasuki masa
remaja ini telah mengenal Das Kapital karya Karl Marx, filsafat
Plato, Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan
jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur (Hamid,
2010:32). Ia juga membaca buku Lenin yang lain Infantile
Communism dan buku Mao, Little Red Book-Mao. Namun bagi Gus
Dur saat itu, yang merupakan topik paling menarik dari semua karya
itu adalah aspek sifat kemanusiannya. Dan yang paling menyita
perhatiannya adalah karya-karya sastra dan kebudayaan. Karena
semua bahan pelajaran di pesantren terasa sangat mudah baginya
untuk dikuasai, maka Gus Dur memiliki waktu yang leluasa untuk
memenuhi hasratnya membaca karya-karya warisan ilmuwan dunia
tersebut. Tetapi minat Gus Dur tidak berhenti sebatas itu. Sebagai
35
muslim yang masih dalam proses pencarian identitas diri, Gus Dur
juga ingin mengetahui pikiran-pikiran para tokoh Islam, seperti
Sayyid Qutb, Said Ramadhan, Hasan Al-Bana, dan tokoh-tokoh lain
penggerak Ikhwanul Muslimin. Semua itu ia baca dengan sungguh-
sungguh, sehingga ia dapat memahami pikiran para tokoh gerakan
Islam tersebut (Mandan dkk, 2010:42).
Ketika berdiam di Yogyakarta, ia mulai menyukai film secara
serius. Hampir sebagian besar dari waktunya selama tinggal di kota
ini ia habiskan dengan menonton film, apresiasi Gus Dur terhadap
film jauh lebih serius daripada yang ditunjukkan oleh kebanyakan
teman-teman sebayanya.
Di Yogyakarta juga Gus Dur pertama-tama mulai tertarik pada
wayang kulit, yang merupakan pertunjukkan wayang tradisional.
Pertunjukkan wayang kulit ini sering diadakan di sekitar Yogyakarta,
tetapi jarang dipentaskan di ibu kota. Ketika berdiam di Yogyakarta
dan Magelang ia selalu mencari-cari pertunjukkan wayang kulit dan
umumnya ia bisa menonton pertunjukkan ini setiap dua atau tiga
minggu sekali, walaupun untuk itu ia harus menmepuh jarak yang
cukup jauh.
Sebagaimana juga remaja lainnya, Gus Dur juga menyukai sastra
picisan. Baginya, bacaan ini sering mengandung unsur penting dalam
hidupnya. Ia sangat menyenangi cerita silat, yaitu cerita-cerita
mengenai pendekar silat Cina yang ditulis oleh penulis-penulis
36
Indonesia keturunan Cina ataupun terjemahan dari tulisan-tulisan asli
dalam bahasa Cina. Cerita silat biasanya berbentuk novel pendek
dalam lima belas jilid atau lebih. Cerita silat memang tak dapat
dianggap sebagai sastra serius. Akan tetapi yang menarik bagi Gus
Dur, ketika ia mengingat-ingat kembali masa awal kegandrungannya
akan cerita silat, terdapat banyak unsur falsafah Cina yang terdapat
dalam cerita-cerita itu yang kemudian mempengaruhi cara berfikirnya
(Barton, 2016:54-55).
Setelah tamat dari SMEP di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus
Dur pindah ke Magelang, tepatnya pindah ke Pesantren Tegalrejo di
bawah asuhan kiai kharismatik, Kian Khudori. Di sinilah, Gus Dur
belajar secara penuh dengan dunia pesantren berikut segala
keilmuannya (Rifa‟i, 2016:33). Dari Kiai Khudori inilah, Gus Dur
dikenalkan dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktik-praktik
ritual mistik. Di bawah bimbingan kiai ini pula, Gus Dur mulai
mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa.
Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan
kemampuannya dalam berhumor dan berbicara (Hamid, 2010:32).
Pelajaran-pelajaran yang diberikan di pesantren Tegalrejo, yang
umumnya selesai diberikan dalam waktu enam tahun, oleh Gus Dur
dapat diselesaikan hanya dalam tempo dua tahun, sampai tahun 1959
(Mandan dkk, 2010:43). Pada saat yang sama ia juga belajar paro
37
waktu di Pesantren Denanyar Jombang di bawah bimbingan kakeknya
dari pihak ibu, Kiai Wahab Hasbullah (Rifa‟i, 2016:33).
Selain terus menuntut ilmu, ia juga mulai mengabdi sebagai
pengajar. Kemudian berlanjut menjadi kepala sekolah madrasah. Di
samping itu, ia juga mulai memperlihatkan kemampuan menulisnya.
Tercacat ia mulai menulis sebagai jurnalis di harian Majalah Budaya
Jaya dan Horizon (Al-Madyuni, 2013:98).
b. Belajar di Luar Negeri
1. Universitas Al-Azhar, Kairo
Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrian
Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo. Ia pergi
ke Mesir pada November 1963 (Hadi, Tanpa Tahun:16). Saat ia
tiba di Al-Azhar ia diberitahu oleh pejabat-pejabat universitas itu
bahwa dirinya harus mengikuti kelas khusus untuk memperbaiki
pengetahuan mengenai bahasa Arab. Gus Dur sebenarnya telah
mempunyai sertifikat yang menunjukkan bahwa ia telah lulus
studi yurisprudendi Islam yang kesemuanya memerlukan
pengetahuan bahasa Arab yang sangat baik, namun sayangnya ia
tidak mempunyai ijasah yang menunjukkan bahwa ia telah lulus
kelas dasar bahasa Arab. Sebagai akibatnya, ia dimasukkan ke
kelas yang benar-benar pemula (Barton, 2016:88).
Sepanjang tahun 1964, Gus Dur hampir tidak pernah masuk
kelas. Ia malah menghabiskan waktunya untuk menonton
38
pertandingan sepakbola, membaca di perputakaan, menonton film
Perancis dan ikut dalam diskusi-diskusi. Begitulah Gus Dur
menikmati kota Kairo dengan caranya sendiri (Mandan dkk,
2010:47).
Di Kairo, Gus Dur mendapati bahwa ia dapat menonton film-
film terbaik Perancis, Eropa, Inggris, dan Amerika. Selain itu,
Gus Dur banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan
Universitas Amerika di Kairo. Perpustakaan-perpustakaan yang
ada di Kairo penuh dengan buku, jauh lebih banyak daripada
yang pernah dilihatnya sebelum ia ke kota ini. Jika tidak
membaca di perpustakaan Universitas Amerika, ia sering berada
di perpustakaan Universitas Kairo atau di perpustakaan Prancis.
Di situ pula Gus Dur membaca hampir semua karya William
Faulkner, selain itu ia membaca dan menikmati novel-novel
Ernest Hemingway. Ia juga suka dengan sastra Eropa, terutama
prosanya. Meski demikian, ia juga membaca prosa dan puisi
karya Edgar Allan Poe dan puisi-puisi John Donne. Dihafalnya
sebagian besar dari puisi Donne yang berjudul No Man Is an
Island. Ia juga mulai membaca karya-karya Andre Gide, Kafka
dan Tolstoy, yang sebelumnya tak bisa ia peroleh, karya-karya
Pushkin serta novelis-novelis Eropa.
Adapun buku yang dibawanya ke Kairo yang dianggapnya
berharga yaitu karya Mark dan Lenin, yang ia baca kembali dan
39
kemudian ia diskusikan bersama mahasiswa dan kaum
cendikiawan di kedai-kedai kopi. Ia juga berkenalan dengan
pemikiran Eropa . Bagi Gus Dur, Kairo merupakan kota dengan
kehidupan sastra, pencaharian pengetahuan, dan ide-ide baru.
Karena di bawah pemerintahan Nasser terdapat lingkungan
intelektual yang penuh optimisme dan relatif terbuka.
Pada tahun 1964, Gus Dur dan seorang teman, Mustofa Bisri,
membuat majalah bagi Perhimpunan Pelajar Indonesia yang
diketahui oleh Gus Dur sendiri. Ia juga secara teratur
menyampaikan pidato dalam pertemuan-pertemuan mahasiswa
Indonesia dan dengan cepat ia dikenal sebagai pembicara dan
penulis esai yang jenaka dan provokatif. Topik esai yang paling
disenanginya adalah politik Indonesia, masa depan Indonesia,
serta Islam dan modernitas.
Di Al-Azhar Gus Dur mengalami kekecewaan karena
pendekatan yang digunakan adalah menghafal. Karena semua itu
sudah ditempuhnya selama belajar di Pesantren. Al-Azhar
memang murni sebuah universitas Islam dan sangat bangga akan
sejarahnya yang panjang. Universitas ini tidak mau
menggabungkan unsusr-unsur pendidikan modern Barat dalam
program pengajarannya, lebih memprioritaskan hafalan
dibandingkan dengan analisis (Barton, 2016:90-94) .
40
Di Mesir, Gus Dur dipekerjakan di Kedutaan Besar
Indonesia. Saat itulah, peristiwa Gerakan 30 September terjadi.
Soeharto, yang saat itu berstatus sebagai Mayor Jenderal,
menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan komunis
dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar
Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi
terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan
politik mereka. Perintah ini diberikan pada Gus Dur, yang
ditugaskan menulis laporan (Hamid, 2010:34-35).
Bagi Gus Dur, Al-Azhar tampaknya terbenam dalam masa
lampau. Sayyid Qutb dan kaum Islamis lainnya terobsesi oleh
ekstrimisme agama, sedangkan pemerintahan Nasser terobsesi
dengan ekstrimisme nasionalis. Sementara itu, di Jawa, NU ikut
serta dalam melampiaskan kebencian dan histeria yang mengubah
manusia beradab menjadi pembunuh-pembunuh berdarah dingin.
Gus Dur masih ingat bahwa untuk beberapa saat ia berfikir untuk
kembali ke Jawa dan menjadi aktivis hak azasi manusia. Namun
demikian, ia tahu bahwa tanpa gelar universitas maka geraknya
akan terbatas hanya di Indonesia dan bahwa ia telah cukup
mengenal Kairo dan ia sangat sadar bahwa masih banyak yang
dapat dipelajarinya di Timur Tengah (Barton, 2016:100-101).
41
2. Universitas Baghdad, Irak
Walaupun Gus Dur merasa kecewa dengan studi formalnya
di Kairo, namun ia menarik banyak manfaat dari lingkungan
sosial dan intelektual di sana (Barton, 2016:103). Untungnya,
kondisi yang membosankan di Kairo tersebut, segera terobati
ketika ia mendapat tawaran beasiswa di Universitas Baghdad.
Pada 1960-an, Universitas Baghdad mulai berubah menjadi
universitas bergaya Eropa (Rifa‟i, 2016:34).
Pada tahun pertamanya di universitas ini ia berkenalan
dengan Mahfudz Ridwan, yang berasal dari Salatiga, Jawa
Tengah. Mahfudz menjadi teman Gus Dur yang terpercaya dan
berharga. Catatan kuliah Mahfudz juga sangat berguna baginya
untuk mengikuti ujian.
Di Baghdad, Gus Dur memiliki jadwal yang lebih padat dan
lebih ketat daripada saat di Kairo. Tetapi kebiasaan membaca dan
menonton film masih dilakukan. Di Baghdad, Gus Dur bekerja di
kantor Ar-Rahmadani mulai pukul 11 sampai dua siang. Ar-
Rahmadani adalah perusahaan kecil yang mengkhususkan diri
dalam impor tekstil dari Eropa dan Amerika, selama tiga setengah
tahun. Setiap sore ia sibuk membaca di perpustakaan universitas
untuk membuat tugas makalah secara teratur dan sering kali
cukup panjang. Karena, tugas yang diberikan ditentukan buku
42
acuan yang harus dibaca untuk menulis satu makalah (Barton,
2016:104-105).
Di Baghdad pula, Gus Dur belajar bahasa Prancis di pusat
kebudayaan Prancis. Karena jadwal belajar Gus Dur lebih ketat
daripada di Kairo, ia tidak mengikuti diskusi-diskusi di kedai
kopi sesering yang dilakukan di Kairo (Rifa‟i, 2016:35).
Gus Dur sendiri di Baghdad belajar banyak hal. Salah
satunya tentang agama Yahudi, akibat persahabatannya dengan
seorang pemuda Yahudi Irak bernama Ramin. Di perpustakaan
Irak Gus Dur membaca banyak sekali buku dan bahan bacaan
lain. Dan dua tahun terakhirnya di Baghdad, Gus Dur
memfokuskan diri pada riset mengenai sejarah Islam di
Indonesia, sesuai dengan arahan dari para dosennya. Dibacanya
semua sumber dari kaum orientalis dan tulisan-tulisan orang
Indonesia mengenai hal tersebut. Ia tak menduga bahwa
universitas di Baghdad memiliki sumber informasi yang sangat
luas mengenai topik yang ditelitinya tersebut. Dan di akhir tahun
1970, setelah menempuh studi sekitar empat tahun, Gus Dur
menyelesaikan studinya (Mandan dkk, 2010:52-53).
3. Eropa
Setelah menyelesaikan pendidikan di Universitas Baghdad,
Gus Dur pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Gus
Dur ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena
43
pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui (Hadi,
Tanpa Tahun:17). Utamanya dalam bahasa, misalnya untuk
masuk dalam kajian klasik di Kohln, Gus Dur harus menguasai
bahasa Hebraw, Yunani, atau Latin dengan baik di samping
bahasa Jerman. Gus Dur tidak memenuhi persyaratan itu.
Akhirnya, Gus Dur melakukan kunjungan dan menjadi pelajar
keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya (Hamid,
2010:36).
Gus Dur akhirnya tinggal selama enam bulan di Belanda. Ia
menghabiskan banyak waktunya untuk mencari tahu mengenai
kesempatan untuk bisa belajar di Leiden dan di universitas-
universitas di kota-kota yang berdekatan dengan Belanda dan
Jerman. Selama waktu ini, ia mencari uang dengan bekerja di
tempat binatu milik orang Cina. Dari Belanda ia pindah ke
Jerman dan tinggal di sini selama empat bulan dan kemudian ia
tinggal di Prancis selama dua bulan. Setelah itu, ia kembali ke
Tanah Air (Barton, 2016:112).
3. Karir Sang Guru Bangsa
Selesai masa studinya di luar negeri, Gus Dur kembali ke Jakarta dan
berharap masih bisa pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas
McGill di Kanada. Pada masa yang sama, Gus Dur berkeliling pesantren
dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-
44
nilai tradisional pesantren tidak tergerus, di samping turut
mengembangkan pesantren (Hamid, 2010:41).
Di Jakarta Gus Dur kemudian bertemu dan berkumpul dengan
sejumlah cendikiawan muda yang tergabung dalam Lembaga Penelitian,
Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Diantara
mereka adalah Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan Aswab Mahasin.
Mereka kemudian menerbitkan jurnal yang memuat tulisan-tulisan
mereka, dimana jurnal tersebut menjadi jurnal ilmiah terkemuka di
Indonesia, yaitu jurnal Prisma. Di dalam jurnal itu Gus Dur memaparkan
tulisannya tentang masalah agama, pendidikan, dan sosial. Tahun 1972,
Gus Dur mulai memberikan ceramah dan seminar di berbagai forum. Ia
juga mulai menulis untuk Majalah Tempo dan Harian Kompas. Dengan
tulisan-tulisannya itu Gus Dur dengan cepat dianggap sebagai pengamat
sosial yang tajam (Mandan dkk, 2010:56-57).
Di akhir tahun 1974, Gus Dur diundang oleh kiai senior di Jombang,
Kiai Sobary untuk suatu perbincangan.
“Gus, kakekmu mempercayakan kepada saya Madrasah Aliyah dan
oleh karena itulah sekarang ini saya ingin memintamu untuk mengajar
Kaidah Fiqh karena saya tahu kamu tahu banyak mengenai hal ini.
Saya tidak menyadari hal ini sebelumnya akan tetapi kamu telah
membaca dan memahami buku-buku yang belum pernah saya baca.
Saya juga tahu bahwa kamu hafal kelima puluh empat ketentuan
hukum terkenal dari kaidah fiqh. Datanglah dan mengajar di sini.”
Dengan adanya pesan tersebut, akhirnya Gus Dur mulai mengajar di
Pesantren Tambakberas. Pada tahun berikutnya, Gus Dur ditawari untuk
mengajarkan Kitab Al-Hikmah kepada siswa-siswa. Pada tahun 1977, Gus
45
Dur menjabat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin pada Universitas
Hasyim Asy‟ari di Jombang. Dan pada tahun berikutnya, pada bulan
Ramdhan Gus Dur menyampaikan ceramahnya. Kajian yang disampaikan
Gus Dur yaitu Tafsir Jalalain, yang merupakan salah satu tafsir al-Qur‟an
yang terkenal (Barton, 2016:121-124).
Tahun 1982 Gus Dur terjun langsung di ranah politik, berkampanye
bersama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan partai
gabungan dari empat partai Islam termasuk di dalamnya NU. Pada
tanggal 20 Oktober 1999, Gus Dur terpilih sebagai Presiden Republik
Indonesia menggantikan BJ Habibie. Dan pada tanggal 23 Juli 2000,
MPR melakukan sidang istimewa dan memakzulkan Soekarno Putri
sebagai penggantinya (Al-Madyuni, 2013:101).
4. Penghargaan
Karena perjuangan dan pemikirannya atas kemanusiaan baik di
Indonesia dan di dunia, Gus Dur banyak mendapatkan gelar kehormatan
dari berbagai lembaga dan mendapat berbagai penghargaan dari lembaga
nasional, lokal, maupun internasional. Berikut adalah daftar penghargaan
yang diberikan padanya:
a. 1991, Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir.
b. 1993, menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan
yang cukup prestisius untuk kategori Community Leadership.
c. 2004, ditahbiskan sebagai Bapak Tionghoa oleh beberapa tokoh
Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok.
46
d. 2006, mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai pejuang Kebebasan
Pers 2006 dari Aliansi Jurnal Independen (AJI).
e. 2004, Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu
Indonesia, Jakarta, Indonesia.
f. 2004, The Culture of Peace Distungished Award 2003, Internasional
Culture of Peace Project Religions For Peace Trento, Italia.
g. 2003, Global Tolerance, Friends of the United Nations, New York.
h. 2003, World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding
Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan.
i. 2003, Dare to Fail Award, Billi PS Lim, penulis buku paling laris
Dare to Fail, Kuala Lumpur, Malaysia.
j. 2002, Pin Emas NU, Pengurus Besar NU, Jakarta, Indonesia.
k. 2002, Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem
Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana XII, Surakarta.
l. 2001, Public Service Award, University Columbia, New York.
m. 2000, Ambassador of Peace, Internasional and Interreligious
Federation for World peace, New York, Amerika Serikat.
n. 2000, Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary
Internasional.
o. 1998, Man of The Year, Majalah REM, Indonesia.
p. 1993, Magsaysay Award, Manila, Filipina.
q. 1991, Islamic Missionary Award, Pemerintahan Mesir.
r. 1990, Tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia.
47
s. Penghargaan dari Simon Wiethemtal Center (Yayasan Penegakan
Hak Asasi Manusia), Amerika Serikat (2008).
t. Penghargaan dari Mebal Valor, Amerika Serikat (2008).
u. Penghargaan dan Kehormatan dari Temple University, Philadelphia,
Amerika Serikat, yang mengabadikan namanya sebagai nama
kelompok studi dan pengkajian kerukunan antarumat beragama,
Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study tahun 2008 (Rifa‟i,
2016:54-55).
5. Karya-karya KH. Abdurrahman Wahid
Gus Dur banyak meninggalkan karya tulis pada kita. Kebanyakan
karya tulisnya adalah berbentuk artikel, opini atau essai. Salah satu ciri
khas dari tulisan-tulisannya adalah bagaimana semua persoalan yang
berat dibuat cair dan halus atau mudah sehingga enak untuk dibaca
khalayak umum. Selain itu, beliau juga meninggalkan karya di atas tanah,
yaitu pengembangang pluralisme, demokrasi di berbagai organisasi, baik
sosial keagamaan, sosial politik, maupun lembaga swadaya masyarakat
atau berbagai komunitas lintas agama, ras, suku, maupun ideologi (Rifa‟i,
2016:50-51).
Karya-karya intelektual Gus Dur sejak awal 1970-an hingga akhir
1990-an, karya intelektual itu tersebar dalam berbagai bentuk tulisan dan
dapat diklasifikasikan sebagai berikut, dalam bentuk buku sebanyak 12, 1
buku terjemahan, 20 kata pengantar buku, 1 epilog buku, 41 antologi
buku, 105 tulisan dalam bentuk kolom, 50 makalah, 263 artikel yang
48
tersebar dalam berbagai majalah, surat kabar, jurnal, dan media massa
(Al-Madyuni, 2013:103).
Berikut daftar karya tulis dalam bentuk buku:
a. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara,
Demokrasi, Wahid Institute, 2006.
b. Prisma Pemikiran Gus Dur, LKis, Jogjakarta, 1999.
c. Tabayyun Gus Dur, Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi
Kultural, 1998.
d. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kompas, Jakarta, 1999.
e. Islam, Negara, Demokrasi, Erlangga, Jakarta, 1999.
f. Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Grasindo, Jakarta, 1999.
g. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Desantara, Jakarta,
2001.
h. Bungai Rampai Pesantren, CV. Dharma, tanpa tahun, tanpa tempat.
i. Tuhan Tak Perlu Dibela, LKis, Jogjakarta, 1999.
j. Menggerakkan Tradisi, Esai-esai Pesantren, LKis, Jogjakarta, 2001.
k. Gila Gus Dur, LKiS, Jogjakarta, 2000.
l. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, LKiS, Jogjakarta, 1997.
m. Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era
Lengser, LKiS, Jogjakarta, 2002.
n. Islam Tanpa Kekerasan, LKiS, Jogjakarta, 1998.
o. Gus Dur Bertutur, 2005.
49
p. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Trnasformasi
Kebudayaan, 2007 (Rifa‟i, 2016:51-52).
B. Konteks Eksternal
1. Aspek Keagamaan
Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia dengan mayoritas
penduduk beragama Islam. Islam sendiri adalah agama yang secara relatif
datang paling belakang di Indonesia dan hal ini membentuk ekspresinya
di negeri ini. Indonesia tak banyak memberi informasi mengenai proses
perpindahan agama. Akan tetapi, pada saat yang sama, perpindahan
agama, terutama di pedalaman Jawa, sebenarnya terjadi belum terlalu
lama. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa Indonesia masih berada
dalam proses pengislaman. Pendapat ini sering dikemukakan oleh kaum
tradisionalis dan juga kaum modernis. Tentu saja hal ini merupakan
bagain penting dari etos dunia Islam tradisionalis.
Jombang terletak di bagain pedalaman Jawa Timur. Kota ini sama
jauhnya dari Samudra Hindia atau Laut Selatan dan Laut Jawa yang
dangkal di sebelah utara. Oleh karena itu, selama lebih dari seribu tahun
Jombang berfungsi menjadi jalan maritim bebas yang menghubungkan
Jawa dengan Sulawesi, Borneo dengan semenanjung Malaya, Sumatra,
dan bagian-bagian dunia lainnya. Islam pertama-tama mengakar di Jawa-
di kota-kota pelabuhan yang ramai di pantai utara, sekitar seratus atau dua
ratus kilometer sebelah barat laut Jombang. Akan tetapi, di kota-kota
kecil dan di desa-desa pedalaman, tempat dilakukannya kegiatan
50
pertanian dan peternakan., pengislaman Jawa, paling tidak selama kedua
kakek Gus Dur masih hidup, belum selesai.
Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan Islam masuk pertama
kali di Nusantara. Akan tetapi, yang lebih penting adalah bahwa pada
umumnya Islam masuk secara damai. Dimana tidak akan pernah ada yang
tahu dengan rinci bagian sejarah ini dan juga mekanisme yang tepat
mengenai bagaimana masyarakat di kepulauan-kepuluan di Asia
Tenggara berpindah agama menjadi muslim. Biasanya orang menganggap
bahwa salah satu mekanisme penting untuk perpindahan agama adalah
terjalinnya hubungan persahabatan dengan para pedagang yang belayar
kepulauan ini lewat India (Barton, 2016:63-65).
Kegamaan di Indonesia tidak lepas dari pandangan Jawa dunia yang
bersifat mistik. Mistik adalah subsistem yang ada dalam hampir semua
agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan
merasakan emosi bersatu denga Tuhan, tasawuf, dan suluk, atau hal gaib
yang tidak terjangkau dengan akal manusia yang biasa (Rifa‟i, 2016:153).
Terdapat suatu kelangsungan dimana mistisisme abangan dan
kepriayian, yang juga menyertakan unsur-unsur kepercayaaan pra-Islam,
Hindu, Budha, dan agama lokal Jawa, secara bertahap menyatu dengan
mistisisme sufi ortodoks dari muslim santri.
Cendekian Islam liberal seperti Gus Dur dan kebanyakan ulama NU
terbuka untuk belajar dari tradisi lain, termasuk tradisi-tradisi yang
terdapat di jantung spiritual Jawa dan Asia Tenggara sebelum datangnya
51
Islam. Hal ini sejalan dengan keyakinan yang dianut secara luas oleh
kaum tradisionalis bahwa segala sesuatu yang tidak secara jelas
diharamkan oleh Al-Qur‟an dan sunnah Nabi, maka hal itu diizinkan
selama terdapat konsistensi dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang
terkandung dalam Al-Qur‟an dan sunnah Nabi (Barton, 2016:68).
2. Aspek Sosial Budaya
Budaya merupakan pondasi bagi suatu bangsa untuk mencapai sebuah
peradaban atau kemajuan. Menurut M. Hatta dalam skripsi saudara Andri
(2017), menyatakan bahwa kebudayaan adalah ciptaan hidup suatu
bangsa. Maka dari itu, ketika Islam dikenalkan di Nusantara, Islam tidak
serta merta menghilangkan suatu kebudayaan yang ada. Hal ini karena,
ajaran Islam yang disebarkan oleh para wali diproses dengan sublimasi
dan penyempurnaan terhadap budaya dengan sentuhan-sentuhan Islami,
yang tidak memandang dari berbagai aspek, sehingga dengan mudah
dapat diterima di masyarakat (Winarco, 2017:54).
Selanjutnya, di Indonesia terdapat pembedaan diantara orang muslim
yang dinamakan muslim santri (taat) dan muslim bukan santri (sering
disebut abangan). Muslim santri adalah mereka yang ortodoks dalam
mempraktikan ajaran Islam. Sedangkan muslim bukan santri, atau
kadang-kadang disebut sebagai muslim abangan, sering kali dianggap
hanya sebagai muslim nominal oleh banyak muslim santri, walaupun
kaum abangan ini mungkin juga ingin lebih rajin dan lebih teratur dalam
menjalankan shalat dan beribadah. Golongan ketiga, yang lebih kecil lagi
52
(jumlahnya), adalah kaum priayi (keturunan bangsawan kraton). Mereka
banyak memiliki persamaan dengan kaum abangan dalam hal
kepercayaan terhadap unsur-unsur Hindu-Budha. Akan tetapi, dalam dua
hal kaum priayi berbeda dari abangan: pertama, pandangan dunia mistik
kaum priayi mengandung beban dan perbaikan kelas, dan kedua,
kebudayaan modern kaum priayi terbentuk oleh adanya hubungan yang
lama terjalin antara mereka dengan Belanda dan pilihan mereka yang
lebih besar akan pendidikan Barat modern dan pekerjaan kantoran
(Barton, 2016:62).
Abdurrahman Wahid tumbuh di lingkungan pesantren yang bercorak
tradisional atau dalam masyarakat yang berbasis tradisionil. Pesantren-
pesantren yang bercorak tradisional tersebut mempunyai basis organisasi
yang kuat di bawah naungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang
didirikan pada tahun 1926. Sebelumnya telah ada basis organisasi Islam
yang bercorak modern yaitu Muhammadiyah. NU didirikan adalah
sebagai respon atas kekuatiran akan hilangnya kultur dan tradisi sufistik
Islam akibat pengaruh modernisasi, akan tetapi pada saat yang sama NU
tidak menentang adanya ide-ide modernisasi Islam. Hal ini terutama
berkaitan dengan pendekatan modern di berbagai bidang, misalnya
pendidikan, sosial, dan politik. Pesantren sebagai lembaga yang
bernafaskan Islam pada waktu itu hanya mempelajari ilmu-ilmu agama
saja. Ilmu-ilmu agama tersebut secara umum berisikan kurikulum yang
menekankan mata pelajaran Fiqih, Tafsir Hadist, Aqidah akhlak, dan
53
bahasa Arab. Sebelum Indonesia merdeka bahasa utama di kalangan
pesantren adalah bahasa Arab dan bahasa lokal. Berbeda dengan santri
pada umumnya, Gus Dur juga mempelajari Ilmu sekuler lainnya seperti
sastra, bahasa Inggris, Belanda, serta ilmu-ilmu lainnya dari hasil bacaan
(Pracahya, 2013, 33-34).
3. Aspek Sosial Politik
Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda pada tahun 1942, mereka
menganggap nasionalis santri sebagai orang-orang yang dapat bekerja
sama dengan mereka dalam menjalankan pemerintahan di negeri yang
baru diduduki ini. Alasan Jepang, mereka yang mendapatkan didikan
Belanda, baik pendidikan gereja atau sekuler, lebih mungkin untuk
bersimpati kepada Belanda dan orang-orang Eropa pada umumnya. Untuk
mendapatkan rekan yang dapat dipercaya, Jepang beralih kepada santri.
Pada bulan Oktober 1943, mereka mendirikan organisasi payung bagi
sekuruh kelompok muslim. Organisasi payung ini dinamakan Masyumi
dan menggantikan Majelis Islam A‟la Indonesia (MIAI), sebuah
organisasi yang didirikan pada tahun 1937 sebagai forum diskusi bersama
bagi kaum modernis dan tradisionalis dan diketuai oleh Wahid Hasyim.
Selama masa pendudukan Jepang, kaum nasionalis NU dan
Muhammadiyah bekerja sama sedemikian baiknya sehingga mereka ingin
mempertahankan hubungan baik dengan mengubah Masyumi menjadi
suatu partai politik bagi semua santri (Barton, 2016:76).
54
MIAI zaman Jepang ini menjadi satu-satunya badan federasi bersama
dari organisasi-organisasi Islam. Pada awalnya memang pertemuan-
pertemuan yang diadakan MIAI banyak memuji Jepang, di tengah
kekuatan Jepang yang saat itu memang besar dan merebut daerah yang
dijajah Belanda. Pada zaman Jepang ini, ada tokoh penting NU, KH.
Zainal Musthofa yang bergabung dengan NU pada 1933 bersama KH.
Zainal Muhsin saudaranya. Pada tahun 1941, dia sudah ditangkap
Belanda dengan beberapa ulama lain karena membuat propaganda
melawan pemerintah penjajah, dan dibebaskan pada Januari 1942. Ulama-
ulama lain banyak mengalami hal sama kemudian dibebaskan zaman
Jepang. Sekitar April-Mei 1942, KH. Hasyim Asy‟ari, Rais Akbar HBNO
ditangkap Jepang, dipenjara Jombang, lalu dipindahkan ke Mojokerto,
dan kemudian dibawa ke Bubutan Surabaya (Ridwan, 2016:56-57).
Kebudayaan Islam tradisional yang membatasi peran lulusan
pesantren dalam masyarakat elit adalah cara yang diambil oleh NU untuk
bernegoisasi dalam hal-hal yang berkaitan dengan keterlibatan mereka
dalam masalah-masalah politik. Selama tahun 1950-an, banyak politikus
profesional yang menjalankan pekerjaan purna waktu yang berkaitan
dengan partai politik. Banyak di antara mereka tidak mempunyai latar
belakang pesantren namun mereka dapat diterima, dengan alasan
kemudahan, sebagai wakil dari ulama. Akhirnya, peran politikus
profesional menjadi kuat berakar. Hingga tahap tertentu, hal ini
dicerminkan oleh pembagian kepemimpinan nasional secara umum
55
menjadi Syuriah, Majelelis Islam A‟la Indonesia (MIAI) dan Tanfidziyah,
badan pengurus harian, walaupun dalam praktiknya, terdapat hal yang
agak lebih pelik lagi daripada pembagian tersebut. Hampir tidak ada
ulama, bahkan dalam sayap politik NU sendiri, yang mampu dan berhasil
bergaul dengan masyarakat elit di Indonesia selama waktu yang lama.
Penyebab utama dari smeua itu adalah adanya orientasi politik yang
dalam waktu berabad-abad dipengaruhi oleh pemikiran Islam Sunni.
Ironisnya, bahkan setengah abad kemudian, NU tetap saja lebih bisa
mengumpulkan suara daripada mengisi posisi kepemimpinan. Salah satu
dilema yang dihadapi oleh Gus Dur saat menjabat sebagai presiden adalah
bahwa ia hampir-hampir tak bisa menemukan orang-orang baru dalam
NU, yang sementara ini masih menguasai konstituensi pedesaan, yang
benar-benar siap untuk memberikan sumbangsih bagi perpolitikan
nasional. Dan, walaupun Gus Dur memperoleh dukungan yang lebih
besar dari rakyat jelata daripada kebanyakan politikus, namun ia masih
harus berjuang keras untuk mencegah agar pendukung-pendukungnya
yang emosional dari daerah-daerah pedesaan tidak tampak seperti
gerombolan rakyat jelata yang berbahaya (Barton, 2016:83-84).
C. Corak Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid
Gus Dur memang memiliki pemikiran yang cukup unik dan jernih. Boleh
dibilang pemikirannya mampu melewati zamannya, karena banyak
orangharus memikirkan dengan keras apa yang menjadi pemikirannya. Ia juga
dikenal sangat kontroversional.
56
Gus Mus menyebut pemikiran Gus Dur sebagai pelajaran Tuhan, sampai
saat ini, pastilah belum atau tak pernah ada orang yang bisa menandingi Gus
Dur dalam banyaknya mengumpulkan julukan (Al-Madyuni, 2013:104).
Perkembangan intelektual Gus Dur dibentuk oleh pendidikan Islam klasik
dan pendidikan Barat modern. Faktor-faktor ini merupakan prasyarat baginya
untuk mengembangkan ide-idenya. Dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan perjalanan, membaca, dan memperdebatkan ide, Gus Dur
mensintesiskan kedua dunia pendidikan ini. Mungkin ia mengerjakan hal ini
lebih lengkap daripada mayoritas intelektual di Indonesia, yang kemudian
membuat Gus Dur menjadi bagian dari gerakan baru dalam pemikiran Islam
di Indonesia. Penekanan pemikiran Gus Dur lebih mengisyaratkan pada hal-
hal yang lebih substansial, mengajarkan kepada kita untuk selalu toleran,
terbuka, dan inklusif (Al-Madyudi, 2013:105).
1. Pluralisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pluralitas
berasal dari kata plural; jamak; lebih dari satu. Pluralis adalah kategori
jumlah yang menunjukkan lebih dari satu atau lebih dari dua, bahan yang
mempunyai dualis. Pluralisme adalah keadaan masyarakat yang mejemuk
(bersangkutan dengan sistem sosial dan politik), meliputi kebudayaan
dengan berbagai ragam dan perbedaannya di dalam sebuah masyarakat
(Rifa‟i, 2016:87-88).
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka, dimana ada
interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling
57
menghormati dan toleransi antara satu dengan yang lain. Mereka hidup
bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi
atau percampuran (Al-Mustaufi, 2014:84).
Pandangan Gus Dur tentang pluralisme sudah terlihat ketika ia
menjabat Ketua PBNU, sekitar era 1980-an ketika itu mulai menguatnya
pola pemerintahan dalam menerapkan kebijakan yang sekterian.
Orang cenderung mengenal Gus Dur dengan dua predikat yang
melekat, yaitu pejuang dan pemikir pluralisme tetapi juga figur yang
kontroversi. Sesungguhnya ia berada di lingkungan masyarakat yang
religius, tradisional dan lebih percaya pada kebenaran tunggal.
Sejak akhir 1970-an, Gus Dur merintis kepemimpinannya di
lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), yang merupakan organisasi Islam
terbesar di Indonesia, tentu segala peran dan fungsinya sangat
diperhitungkan dalam pentas politik nasional. Pengenalan nilai-nilai
moderat terus dilakukan di lingkungan NU dan iklim politik Indonesia.
Melalui karya tulis, ceramah, maupun kebijakan-kebijakan internalnya,
Gus Dur terus menyemaikan nilai-nilai moderat-pluralistik (Al-Mustaufi,
2016:99).
Ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI tahun 2000, prinsip-
prinsip pluralismenya diwujudkan dalam bentuk legal yang tidak sedikit
telah mengubah keseluruhan wajah demokrasi di Indonesia. Salah satunya
dengan mencabut Intruksi Presiden No 14/1967 yang berisi larangan
segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat China yang
58
dilakukan di Indonesia. Seiiring dengan itu, Gus Dur menerbitkan
Keputusan Presiden No 6/2000 yang memperbolehkan bangsa Tionghoa
mengekspresikan kebudayaan termasuk kebebasan menjalankan agama di
Indonesia (Al-Mustaufi, 2014:100).
Lebih lanjut, di level hubungan luar negeri, Gus Dur juga berusaha
membuka hubungan diplomasi dengan Israel, menilik sejarah solidaritas
masyarakat Indonesia, jelas-jelas ini lampu merah yang tidak bisa
dilanggar oleh penguasa yang ingin melanggengkan kekuasaannya.
Langkah Gus Dur ini menuai banyak kecaman dari kalangan radikal
Islam dan juga kebanyakan masyarakat.
Pluralisme yang dikenalkan oleh Gus Dur akan dilihat dari dua sisi:
pertama, bagaimana pemahaman pluralisme versi Gus Dur dibanding
dengan pemahaman pluralisme versi–versi yang lain. Kedua, bagaimana
masa depan keberlangsungan pluralitas warisan Gus Dur hidup di
lingkungan NU dan pentas politik nasional Indonesia (Al-Mustaufi,
2014:101-102).
Dalam bidang keagamaan, Gus Dur meyakini Pancasila menjamin
kebebasan beragama bukan hanya sebatas memeluk agama, akan tetapi
juga mencakup peran “etika kemasyarakatan” agama di ruang publik. Di
sinilah letak signifikan sila pertama Pancasila. Kalau hanya sekedar
kebebasan memeluk agama, sila kedua, ketiga, dan seterusnya sudah
cukup menjamin. Keunikan sila pertama, yakni mendorong agama-agama
59
menjalankan peran etika kemasyarakatan di ruang publik (Al-Mustaufi,
2013:103).
Ideologi pluralisme yang dibawa Gus Dur dan penghormatannya
terhadap pluralitas sepenuhnya berdasarkan pemahaman yang mendalam
terhadap ajaran Islam dan juga tradisi keilmuwan NU sendiri. Pertama,
prinsip pluralisme secara tegas diakui di dalam kitab suci. Al-Qur‟an
secara tegas mendeklarasikan bahwa pluralitas masyarakat dari segi
agama, etnis, warna kulit, bangsa, dsb. Merupakan keharusan sejarah
yang menjadi kehendak Allah. Karena itu, upaya penyeragaman dan
berbagai bentuk homogenisasi yang lain, termasuk dalam hal pemahaman
dan implementasi ajaran agama, merupakan sesuatu yang bertentangan
dengan semangat dasar al-Quran. Kedua, nalar keagamaan NU
sepenuhnya dibangun di atas spirit pluralisme. NU mengikuti tradisi
pemikiran madzhab yang menjadi pilar tegaknya peradaban fiqh. Ajaran
Islam tidak digali secara langsung dari sumbernya, tetapi melalui
pemikirannya ulama madzhab. Dengan demikian, pemikiran NU terhindar
dari pendekatan tekstual dan interpretasi tunggal terhadap al Qur‟an dan
Hadis (Dzakiri, 2010:63-65).
Bangunan epistemologi dalam teologi pluralisme adalah setiap
agama-agama mempunyai kebenaran dan mempunyai jalan keselamatan
sendirisendiri, karena itu klaim-klaim kebenaran dan keselamatan
sekarang satu-satunya jalan yang sah (teologi eksklusif), yang melengkapi
atau mengisi jalan lain (teologi inklusif) haruslah dilampaui demi alasan-
60
alasan teologis dan fenomenologis. Tokoh utama yang paling impresif
mengemukakan paham ini adalah John Harwood Hicks (1993), dan Hans
Kung yang menawarkan proyek teologi pluralis yang bukan sekedar
berhenti pada “koeksistensi” pluralitas, hak setiap agama untuk
bereksistensi secara damai, tetapi lebih dari itu, yaitu “pro-eksistensi”
pluralitas. Sebuah sikap teologis yang mengakui dan bahkan mendukung
eksistensi agama-agama yang plural itu (Masykur, 2016:65).
2. Neo-Modernis
Suatu gerakan progresif dalam pemikiran Islam yang timbul dari
modernisme Islam tetapi juga sangat tertarik pada pengetahuan
tradisional. Neomodernis mengajukan bagi diterimanya pendekatan yang
bersifat holistik terhadap ijtihad. Ia mengambil informasi dari
pengetahuan klasik dan juga pemikiran kritis “Barat” modern dengan
maksud untuk dapat melihat pesan utuh Al-Qur‟an dan penerapannya
dalam masyarakat modern. Aliran ini juga mengajukan argumen bagi
suatu pemahaman Islam yang progresif dan liberal, yang menerima
pluralisme masyarakat modern. Ia mencoba membentuk masyarakat
menjadi lebih islami lewat pendidikan, bukan lewat inisiatif partai politik,
seperti usaha-usaha untuk memperkenalkan konsep syari‟at, atau bahkan
hal-hal yang berkaitan dengan didirikannya „negara Islam‟ (Barton,
2016:xxi).
Perkembangan intelektual Gus Dur dibentuk oleh pendidikan Islam
klasik dan pendidikan Barat modern. Faktor-faktor ini merupakan
61
prasyarat baginya untuk mengembangkan ide-ide liberalnya. Dalam
kegiatan-kegiatannya yang berkaitan dengan perjalanan, membaca, dan
memperdebatkan ide, Gus Dur menyintesiskan kedua pendidikan ini.
Barangkali ia mengerjakan hal ini secara lebih lengkap daripada
mayoritas intelektual Islam Indonesia lainnya. Akan tetapi, ia bukanlah
satu-satunya yang seperti itu. Tokoh lain yang mengembangkan
pemikiran tersebut adalah Nurcholis Majid. Latar belakang pendidikan
yang ditempuh oleh Nurcholis dimulai dari madrasah milik ayahnya yang
dijalankan menurut garis tradisionalis namun dipengaruhi oleh ide-ide
modernis. Kemudian dilanjutkan ke Pesantren Modern Gontor Ponorogo,
Jawa Timur (Barton, 2016:138-139).
Pada tahap selanjutnya, Nurcholis sudah menjadi seorang yang
menonjol di kalangan intelek muda Indonesia. Ia adalah ketua pengurus
pusat HMI, organisasi mahasiswa Islam berpengruh yang sebagian besar
bersifat modernis. Ia juga adalah mahasiswa IAIN dengan latar belakang
pesantren yang pertama kali menjadi ketua HMI (Barton, 2016:141).
Menjelang akhir dasawarsa 1970-an, beberapa pengamat mulai
menggunakan istilah neo-modernisme dalam mengacu pada gerakan
Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Gerakan pemikiran baru ini,
yang timbul bersamaan dengan munculnya Nurcholis, Djohan, dan Gus
Dur, pada hakikatnya merupakan sintesa antara pengetahuan Islam klasik
dan pemikiran Barat modern. Mereka mencoba mengombinasikan apa-
apa yang terbaik dari modernisme dan tradisionalisme untuk
62
menghasilkan sesuatu yang baru atau sesuatu yang dapat melampaui
batas-batas yang ada pada tradisionalisme dan modernisme itu sendiri
(Barton, 2016:151-152).
3. Humanisme
Humanisme merupakan paham yang menempatkan manusia sebagai
pusat realitas. Manusia begitu diagungkan karena kecakapan, tidak hanya
bersifat teknis, tetapi pula normatif. Sebagai pusat realitas, manusia
memiliki dua fungsi ganda, yakni sebagai subjek pengolah alam sekaligus
objek tujuan dari pengolahan alam tersebut (Arif, 2016:39).
Paham seperti itu telah diusung Gus Dur dalam menegakkan keadilan.
Kendati Gus Dur belakangan dikenal sebagai bapak pluralisme dan
demokrasi, namun sebenarnya yang mendasari semua pemikirannya tidak
lain adalah konsep humanisme, memanusiakan manusia (Rifa‟i, 2016:94).
Selanjutnya humanisme Gus Dur berada di dalam dua ranah diskursif.
Pertama, sumbangan agama (Islam) bagi humanisme. Artinya,
humanisme Gus Dur adalah humanisme perspektif Islam, sebagai antitesis
dari humanisme ateis di atas. Dengan demikian, humanisme Islam Gus
Dur menawarkan pandangan lain yang berbeda dengan tradisi humanisme
ateis modern. Pandangan ini lahir dari prinsip ketuhanan atas kemanusian.
Melalui prinsip ini, kemanusian bukan antitesis atas ketuhanan.
Sebaliknya, ia merupakan perintah langsung dari Tuhan sebagai bagian
dari penugasan Allah atas manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi
(khalifatullah fi al-ardh).
63
Kedua, humanisme Gus Dur dalam terang HAM di Indonesia. Gus
Dur dalam hal ini akan terlihat sebagai pembela HAM universal. Namun
pada saat bersamaan, sebagai penggerak kemanusian di ranah partikular,
melalui pemanfaatan nilai-nilai partikular masyarakat. Pemanfaatan
partikularisme kultural demi perjuang HAM universal ini ia terapkan
melalui apa yang ia sebut sebagai pendekatan struktural. Yakni,
pendekatan kritis atas ketimpangan struktural yang memberangus
pemenuhan HAM universal tersebut. Menarik karena Gus Dur tidak
terjebak dalam perdebatan universalisme dan partikularisme HAM. Ia
merengkuh semua itu di dalam perjuangan jangka panjang untuk
menegakkan struktur masyarakat berkeadilan sebagai wujud praksis dari
kemanusian (Arif, 2016:55).
Sosok humanis yang ditampilkan oleh Gus Dur dapat dilihat
manakala saat beliau mengajar di Pondok Pesantren Tebuireng. Dalam
setiap ajarannya Gus Dur menekankan perlunya kebersamaan dan
kerukunan antar-umat beragama. Sebab, hanya dengan cara itu umat
Islam bisa hidup damai di bumi. Meski dikenal sebagian orang sebagai
pribadi yang mudah emosional, bagi para santri Tebuireng, Gus Dur
sosok humanis dan tidak membedakan satu dengan lainnya (Hamid,
2010:96).
Pendasaran humanisme dalam Islam, Abdurrahman Wahid pijakkan
pada tradisi intelektual Islam, khususnya pada diri Imam Khalil Al-
Farhidy, pengarang kamus Al- „Ain, yang hidup dikisaran abad kedua
64
hijriyah. Perumusan kamus bahasa Arab dalam kerangka susunan yang
mengikuti pembidangan pengetahuan menurut para filsuf Yunani,
menurut Abdurrahman Wahid sebagai titik pijak dari humanisme dalam
Islam. Dalam sebuah tulisannya Abdurrahman Wahid mengatakan :
“Tradisi tidak terputus-putus untuk memelihara kemurnian bahasa
Arab yang dikembangkan kaum lughawiyyun, menemukan
penyalurannya yang alami pada diri Imam Al Khalil al-Farahidy yang
dengan kamusnya berhasil „menghadapkan‟ kemurnian bahasa Arab
kepada cakrawala pengetahuan demikian luas, yang dikenal dunia
luar Islam pada waktu itu. Apa yang dilakukannya itu tidak
menilainya dari apa yang dilakukan Imam Syafi‟i yang
mempertalikan keharusan bersikap normatif dalam memahami ayat-
ayat al- Qur‟an dan sunnah Rasulullah disatu pihak dengan kebutuhan
mempertalikan dengan realitas. Jika pada Imam Syafi‟i upaya
kontekstualisasi hukum agama itu menghasilkan ilmu Usul Fiqh
melalui karya agungnya, Ar-Risalah, maka pada Imam al-Khalil
upaya integratif itu melahirkan Qamus al-Ain yang merupakan titik
tolak bagi pengembangan humanisme dalam Islam. Mengapa
dikatakan titik tolak Humanisme dalam Islam ?, karena melalui
kamus 71 tersebut, generasi-generasi berikutnya langsung
menenggelamkan diri kedalam pencarian wawasan pengetahuan dan
budaya yang demikian universal, yang tidak lagi mengenal dinding-
dinding batas politik, agama, dan etnis. Humanisme atau faham
kemanusian dalam artinya yang paling luas, adalah hasil kolektif dari
para ensiklopedis, filosof dan lughawiyyun yang memperoleh
dorongan luar biasa dari berdirinya Darul Hikmah di bawah
pemerintahan Khalifah Al-Ma‟mu di Baghdad. Titik strategis dari
pendirian Darul Hikmah itulah yang memungkinkan munculnya
humanisme secara keseluruhan dalam Islam, sedangkan karya agung
Imam Khalil itu adalah rintisan atau titik tolak kongkritnya di
beberapa bidang.” (Ridwan, 2015:70-71).
4. Pribumisasi Islam
Pribumisasi, kata Gus Dur, bukan upaya menghindarkan timbulnya
perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, tetapi justru agar
budaya itu tidak hilang. Inti pribumisasi adalah kebutuhan, bukan untuk
65
menghindarkan polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi
demikian memang tidak terhindarkan.
Pribumisasi atau upaya rekonsiliasi antara Islam dan budaya
setempat, menurut Gus Dur, adalah meminta agar wahyu dipahami
dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk
kesadaran hukum dan rasa keadilannya. Dalam proses ini, pembaharuan
Islam dan budaya tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya
sifat-sifat asli. Islam harus tetap ada sifat Islamnya. Al-Qur‟an harus tetap
dalam bahasa Arab terutama dalam salat (Dzakiri, 2010:126-127).
Pribumisasi Islam juga merupakan gagasan Gus Dur yang paling
populer. Hal tersebut bahkan menjadi trend mark darinya, yang menandai
keprihatinan Gus Dur atas ancaman Arabisasi. Sesuatu yang menarik,
pribumisasi Islam ternyata tidak melulu proses indigenisasi Islam ke
dalam budaya lokal dalam artian antropologis. Akan tetapi pula,
kontekstualisasi Islam ke dalam realitas kehidupan dalam kerangka proses
kebudayaan secara filosofis (Arif, 2016:85).
Selanjutnya, pribumisasi Islam merupakan cara baca yang digunakan
Gus Dur untuk melihat proses Islamisasi Nusantara. Dengan demikian,
sebagai gagasan, ia hanya merupakan cara baca untuk melihat realitas.
Oleh karena itu, pribumisasi Islam tidak sebata proses pembumian Islam
dilakukan Gus Dur, tetapi realitas keislaman di Nusantara yang berusaha
dipahami oleh Gus Dur (Arif, 2016:100-101).
66
Dalam hubungan antara agama dan kebudayaan merepresantikan
hubungan antara aturan dan perubahan. Sebuah hubungan kontradiktif
yang sering berujung pada ketegangan. Situasi menegang inilah,
pribumisasi kemudian mempertemukan agama dan budaya di dalam
hubungan harmonis tanpa kontradiksi. Oleh karena itu, sebagai realitas
konseptual, pribumisasi Islam tidak an sich berada di ranah
keagamaan,tetapi juga tidak murni di ranah kebudayaan. Pribumisasi
Islam berada di dalam “irisan pertemuan” antara agama dan kebudayaan.
Sebagai “realitas irisan”, ia merupakan proses pembumian aturan Islam
ke dalam realitas budaya yang senantiasa berubah. Maka, pemahaman
atas pribumisasi Islam tidak bisa terlepas dari pemahaman Islam dalam
konteks kebudayaan. Demikian sebaliknya, sebab budaya di dalam
pribumisasi Islam merupakan bagian dari kebudayaan Islam.
Pada titik inilah hubungan agama dan budaya menggambarkan
hubungan ambivalen, tetapi sekaligus saling membutuhkan. Gus Dur
menggambarkan hal ini sebagai berikut:
Agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing,
tetapi keduanya mempunyai wilayah tumpang tindih. Bisa
dibandingkan dengan indepedensi antara filsafat dan ilmu
pengetahuan. Orang tidak dapat berfilsafat tanpa ilmu pengetahuan,
tetapi tidak bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah filsafat.
Diantara keduanya terjadi tumpang tindih sekaligus perbedaan-
perbedaan.
Agama (Islam) bersumberkan wahyu dan memiliki norma-norma
sendiri. Karena bersifat normatif, maka ia cenderung menjadi
permanen. Sedangkan budaya adalah buatan manusia. Oleh sebab itu,
ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung
selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan
manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya” (Arif,
2016:102).
67
Gagasan pribumisasi Abdurrahman Wahid ini tampaknya ingin
memperlihatkan Islam sebagai sebuah agama yang apresiatif terhadap
konteks-konteks lokal dengan tetap menjaga pada realitas pluralisme
kebudayaan yang ada. Gus Dur dengan tegas menolak “satu Islam” dalam
ekspresi kebudayaan, misalnya semua simbol atau identitas Islam harus
menggunakan ekspresi kebudayaan Arab atau bahasa Arab tempat Islam
lahir. Penyeragaman itu bukan hanya akan mematikan kreativitas
kebudayaan umat, tetapi juga bisa membuat Islam teralienasi atau
diasingkan dari arus utama kebudayaan nasional yang disitu Islam
menjadi sub-sistem keagamaan di dalamnya (Masdar, 1999:140).
Peran besar dalam penyebaran Islam yang dipadukan dengan budaya
setempat adalah Sunan Kalijaga, seorang wali yang tersohor dalam syi‟ar
Islam di tanah Jawa.
Sunan Kalijaga di dalam melaksanakan syi‟ar Islam juga
menggunakan media kesenian dan kebudayaan Jawa. Sehingga syi‟ar
Islam yang dilakukannya dapat berjalan efektif dan relatif lebih mudah.
Hal ini tidak lepas dengan konsep syi‟ar Islamnya yang menggunakan
media kesenian dan kebudayaan (Khaelany, 2014:34).
Dengan dakwah keliling yang dilaluinya, Sunan Kalijaga mampu
menyelami ke berbagai lapisan masyarakat, baik kalangan kaum sudra
(rakyat jelata), namun juga masyarakat kelas menengah dan elite. Dari
kecenderungannya yang suka bergaul tanpa memandang kelas, Sunan
Kalijaga kemudian dikenal sebagai mubaligh anti kasta.
68
Melihat sepak terjang Sunan Kalijaga dalam syi‟ar agama Islam yang
menyelaraskan dengan zamannya membuat banyak kaum bangsawan atau
cendekiawan sangat simpatik kepadanya. Selain seorang wali yang kritis,
Sunan Kalijaga juga memiliki toleransi tinggi dalam pergaulan,
berpandangan luas dan memiliki budi pekerti yang luhur (Khaelany,
2014:35).
Sebagaimana anggota Dewan Walisanga lainnya, Sunan Kalijaga di
dalam melaksanakan syi‟ar agama Islam sangat memahami akan keadaan
masyarakat yang masih lekat dengan kepercayaan, Hindu-Budha. Melalui
pemahaman tersebut, maka Sunan Kalijaga selalu menerapkan strategi
yang diselaraskan dengan situasi dan kondisi yang ada.
Berkat strategi yang berorientasi pada ungkapan Jawa “nut jaman
kelakone”, maka Sunan Kalijaga dapat memperoleh hasilnya tanpa
menimbulkan permasalahan besar. Dalam peribahasa Jawa, ungkapan
tersebut dilukiskan dengan kalimat, “entuk iwake, nanging ora buthek
banyune” (Khaelany, 2014:36).
5. Demokrasi
Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang berarti demokratia
(kekuasaan rakyat), yang terbentuk dari kata demos (rakyat) dan kratos
(kekuatan atau kekuasaan). Demokasi adalah bentuk pemerintahan yang
semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan
keputusan yang dapat mengubah hidup mereka (Al-Mustaufi, 2014:1).
69
Sebagai pemikir dan penggerak demokratisasi, Gus Dur tentu
memiliki pemikiran demokrasi. Pemikiran ini merupakan refleksinya atas
kondisi demokrasi di dalam realitas politik, berdasarkan model teoretis
demokrasi yang ia punyai. Oleh karena itu, selayak bahasan ilmu-ilmu
sosial Gus Dur, ia tentu bukan ilmuwan politik yang merumuskan teori-
teori demokrasi. Akan tetapi, seorang penggerak demokratisasi yang
berdasarkan gerakannya pada dasar-dasar pemikiran demokrasi. Dengan
demikian, pemikiran demokrasi Gus Dur secara otomatis bersifat praksis.
Ia digerakkan demi demokratisasi politik di Indonesia (Arif, 2016:183).
Menurut Gus Dur di kehidupan yang modern ini demokrasilah yang
dapat mempersatukan beragam arah yang kecenderungan kekuatan-
kekuatan bangsa. Demokrasi menjadi sedemikian penting dalam sebuah
negara yang pluralistik karena ternyata dalam berkehidupan kebangsaan
yang utuh hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana demokratis
meskipun demokrasi untuk saat ini di Indonesia masih menjadi proses
diskusi, tapi suatu saat akan tercapai demokrasi yang sebenarnya (Al-
Madyuni, 2013:107).
Indonesia yang dicita-citakan Gus Dur adalah nagara demokrasi yang
lebih kecil pengaruh militernya dan tidak ada fundamentalisme Islam.
Dalam suasana dilematis Gus Dur lebih memilih negara yang didominasi
militer yang setidaknya bisa melindungi hak-hak minoritas keagamaan,
kesukuan, dan kesatuan nasional, daripada sebuah negara Islam yang
tidak santun terhadap pluralitas (Dzakiri, 2010:47).
70
Gagasan substansi demokrasi sangat penting ketika persoalan hukum
masih terpaku hal-hal prosedural yang ditinggikan. Akhirnya, aspek
keadilan yang menjadi spirit demokrasi hanya menjadi kerangka tanpa
daging, tanpa darah, dan tanpa ruh (Rifa‟i, 2016:91).
Namun, meskipun demokrasi telah menjadi pilihan terbaik dan
rasional, Gus Dur menegaskan bahwa demokrasi sebagaimana juga
halnya dengan negara tidaklah pernah sempurna dan memuaskan.
Kerelaan untuk menerima kenyataan justru membangkitkan tekad untuk
selalu mengusahakan perbaikan terus menerus, agar menghampiri
kesempurnaan, sekaligus menjaga agar tidak terjadi kemerosotan dan
kemacetan, apalagi penyimpangan yang tidak perlu.
Penghayatan bahwa demokrasi adalah sebuah proses, yaitu proses
yang ajeg dan tiada henti-hentinya, melahirkan kesanggupan bermartabat,
dengan tekad atau ikrar yang menyatakan bahwa sekalipun belum atau
tidak mampu untuk terlibat atau melibatkan diri dalam setiap sikap atau
perbuatan yang membunuh atau menghambat pertumbuhan demokrasi itu
sendiri (Dzakiri, 2010:49-50).
Cara pandang tentang demokrasi dari waktu ke waktu mengalami
perkembangan sejalan dengan semakin kompleksnya hubungan antar
warga. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, menurut bahasa
Yunani, definisi yang paling singkat tentang demokrasi adalah apa yang
diucapkan oleh Abraham Lincoln di Gettysburg, Pensylvania, Arnerika
Serikat tahun 1863 yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk
71
rakyat Esensi dari demokrasi adalah bahwa rakyat memerintah atau
melakukan pemerintahan oleh dirinya (government by the people),
demokrasi mengandung dua dimensi kontes dan partisipasi yang menurut
Robert Dahl merupakan hal menentukan bagi demokrasi. Demokrasi juga
mengimplikasikan adanya kebebasan sipil dan politik yaitu kebebasan
berbicara, menerbitkan, berkumpul dan berorganisasi, yang dibutuhkan
bagi perdebatan politik dan pelaksanaan kampanye-kampanye pemilihan
itu (Aisyah, 2003:2).
Prasyarat pemerintahan demokratis sebagaimana ajaran Lincoln
tersebut memiliki makna bahwa rakyatlah yang berhak menduduki
jabatan-jabatan di bidang pemerintahan, mereka yang menduduki jabatan
mendapatkan legitimasi dari rakyat, dan setelah terpilih terutama dalam
menjalankan pemerintahan harus sepenuhnya menjadikan
kepemimpinannya untuk rakyat.
Kepala Daerah membutuhkan legitimasi yang terpisah dari DPRD,
sehingga harus dipilih sendiri oleh rakyat, mereka juga harus bertanggung
jawab kepada rakyat. Dengan pemilihan terpisah, Kepala Daerah
memiliki kekuatan yang seimbang dengan DPRD, sehingga mekanisme
checks and balances niscaya akan dapat berjalan dengan baik.Pemilihan
Kepala Daerah secara langsung pada hakekatnya dianggap sebagai bentuk
perwujudan praktek demokrasi yang paling sempurna, karena dengan
pemilihan kepala daerah secara langsung ini diharapkan mampu
memunculkan calon-calon pemimpin yang dikenal dan lebih dekat
72
dengan masyarakat. Secara teoritis tentu pilkada langsung memberikan
ruang yang sangat luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif
dalam menentukan pejabat publik di daerahnya masing-masing
(Saraswati, 2011:197).
73
BAB III
KAJIAN TEORI PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIF
A. Pendidikan Inklusif
1. Pengertian
Dalam konteks Indonesia, pendidikan memiliki dasar-dasar ideologis
yang kuat dalam rangka mencapai Indonesia yang dicita-citakan. Salah
satu poin penting dan tujuan utama berdirinya Republik Indonesia
dirumuskan dengan kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Tujuan
seperti ini jelas menunjukkan betapa pentingnya pendidikan yang pada
esensinya tidak sekedar pengajaran, namun lebih mengacu pada uapaya
pembentukan karakter bangsa (character building) yang ideal (Harisah,
2017:97).
Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya
awalan “pe” dan “an” yang mengandung arti “perbuatan” (hal, cara, dan
sebagainya). Istilah pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu
“paedagoie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah
ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education”
yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, istilah
ini sering diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan
(Ramayulis, 2015:111).
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu
kepada term atau istilah al-tarbiyah, al-tadib, dan al-ta‟lim.
74
Pendidikan diartikan dengan istilah al-tarbiyah. Menurut Ibn
Mandzur dalam Lisan al-Arabmengatakan bahwa kata al-tarbiyah ini
memiliki tiga akar kata dasar, yang semuanya memiliki arti yang hampir
sama, yaitu rabba-yarbuu-tarbiyatan yang bermakna tambah dan
berkembang, rabbi-yurrabbi-tarbiyatan yang bermakna tumbuh dan
menjadi besar, rabba-yurabbi-tarbiyatan yang bermakna memperbaiki,
menguasai urusan, memelihara, merawat, menunaikan, mengatur dan
menjaga (Gunawan, 2014:2). Menurut Al-Raghib al-Asfahaniy, bahwa
pendidikan itu adalah perbuatan secara sengaja, secara sadar, terencana
dan bersifat gradual serta memiliki pertahapan. Begitu juga dalam hal
proses pendidikan harus dilakukan secara bertahap pula yaitu dengan
memulainya dari hal-hal yang bersifat konkrit ke hal-hal yang bersifat
abstrak, dari hal yang mudah ke hal-hal yang sulit (Ramayulis, 2015:112).
Selain penggunaan istilah al-tarbiyah, istilah pendidikan dalam Islam
juga sering disebut dengan istilah al-ta‟lim yang memiliki cakupan makna
yang luas, diantaranya ada yang bermakna informasi pengetahuan yang
belum diketahui manusia sebagai sebuah keutamaan baik melalui lisan
maupun tulisan (Ramayulis, 2015:116). Beberapa ahli merumuskan
konsep al-ta‟lim, diantaranya yaitu M. Rasyid Ridha (1373 H) dalam
tafsirnya, Al-Manar, ia mendefinisikan al-ta‟lim sebagai sebuah proses
transmisi ilmu pengetahuan (knowledge) pada jiwa individu tanpa ada
batasan dan ketentuan tertentu (Gunawan, 2014:4).
75
Pendidikan dipadankan dengan istilah al-ta‟dib. Menurut Naquib Al-
Attas, al-ta‟dib berasal dari kata adab yang diartikan dengan ilmu
pengetahuan, pengajaran, dan pendidikan atau pengasuhan. Dengan
mengacu kata adab yang berintikan pengenalan diri pribadi dan
pengakuan yang merupakan unsur fundamental dalam pengenalan yang
benar dalam tempat yang tepat dalam tatanan kemanusiaan serta tatanan
pengetahuan dan wujud (Shofan, 2004:45). Sedangkan menurut Tadjab
al-ta‟dib dalam pendidikan Islam mengandung pengertian “usaha untuk
menciptakan situasi dan kondisi sedemikian rupa, sehingga anak
terdorong tergerak jiwa dan hatinya untuk berperilaku dan bersifat
beradab atau sopan santun yang baik sesuai dengan yang diharapkan
(Shofan, 2004:49).
Dari tiga istilah di atas yang digunakan dalam Pendidikan Islam yaitu
tarbiyah, ta‟lim, dan ta‟dib terlihat adanya penafsiran, hingga memberi
berbagai peluang bagi munculnya pengertian tentang pendidikan. Akan
tetapi perbedaan itu hanya disebabkan dari perbedaan sudut pandang dan
bukan perbedaan prinsip. Sebab bila pemahaman tersebut masing-masing
dikembalikan kepada asalnya, maka semuanya menyatu kepada sumber
dan prinsip yang sama, yaitu bersumber dari Allah dan didasarkan pada
prinsip ajaranNya. Istilah tarbiyat menurut Ahmad Tafsir dalam bukunya
Jalaluddin (2003) mengandung arti memelihara, membesarkan, dan
mendidik yang kedalamnya sudah termasuk makna mengajar atau allama.
Selanjutnya, Syed Naguib al-Attas merujuk makna pendidikan dari
76
konsep ta‟dib, yang mengacu kepada kata adab dan variatifnya.
Berangkat dari pemikiran tersebut ia merumuskan definisi mendidik
adalah membentuk manusia dalam menempatkan posisinya yang sesuai
dengan susunan masyarakat, bertingkah laku secara proporsional dan
cocok dengan ilmu serta teknologi yang dikuasainya.
Pendidikan secara terminologis dapat diartikan sebagai pembinaan,
pembentukan, pengarahan, pencerdasan, pelatihan yang ditujukan kepada
semua anak didik secara formal maupun non formal dengan tujuan
membentuk anak didik yang cerdas, berkepribadian, memiliki
ketrampilan atau keahlian tertentu sebagai bekal dalam kehidupannya di
masyarakat (Basri, 2014:53).
Sedangkan dalam bukunya Muhmidayeli (2013:66-67), menyatakan
bahwa Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani mengaksentuasikan
pendidikan dengan upaya-upaya yang mengarah pada perubahan tingkah
laku, Muhammad Fadhil al-Jamaly memberikan tekanan pada
penumbuhkembangan kesadaran manusia yang menjadi landasan bagi
moralitasnya kelak, sedangkan Ali Khalil Abul „Ainain memusatkan
kegiatan kependidikan pada pengembangan nilai-nilai asasi dan fur‟iy
manusia. Ketiga batasan pendidikan ini memberikan penekanan makna
pada upaya pemanusian. Mengingat tujuan manusia adalah moralitas,
maka upaya pendidikan di sini mestilah juga mengarah pada memoralkan
manusia atau memanusiakan manusia. Jika demikian berarti, upaya
kependidikan selalu mengarah pada pembaikan atau sesuatu yang lebih
77
baik. Upaya kependidikan mestilah ditandai dengan perbaikan-perbaikan
dalam kehidupan manusia, sehingga kalau tidak ada perbaikan itu sama
artinya tidak upaya kependidikan itu sendiri.
Pemikiran para ahli didik, Dr. M. Fadhil al-Jamaly menyatakan
pendidikan merupakan upaya mengembangkan, mendorong serta
mengajak manusia lebih maju dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi
dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih
sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan
(Jalaluddin, 2003:75). Sedangkan menurut Samsul Nizar (2005:vii),
pendidikan merupakan sarana yang strategis bagi proses terjadinya
transformasi nilai dan budaya pada suatu komunitas sosial.
Dalam konteks sosio-kultural dan pedagogik, kata pendidikan
memberikan pengertian yang beragam misalnya, Koentjaraningrat seperti
yang dikutip Ngainun Naim dan Achmad Sauqi mendefinisikan
pendidikan sebagai usaha untuk mengalihkan adat-istiadat dan seluruh
kebudayaan dari generasi lama ke generasi baru. Kemudian N. Drijakarya
juga memberikan definisi pendidikan dengan filosofisnya yaitu suatu
perbuatan fundamental dalam bentuk komunikasi antarpribadi, dan dalam
komunikasi tersebut terjadi proses pemanusiaan manusia muda, dalam arti
terjadi proses hominisasi, proses menjadikan seseorang sebagaimanusia
dan humanisasi,proses pengembangan kemanusiaan manusia (Pracahya,
2013:11).
78
Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara dalam kutipan
skripsi Winarco (2017:77), mengatakan bahwa pendidikan daya upaya
untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter),
pikiran (intelect) dan tubuh individu yang saling berhubungan antara satu
dengan lainnya agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni
kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan
dunianya. Sedangkan menurut Ibnu Khaldun, pendidikan tidak hanya
dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi pendidikan adalah suatu proses,
dimana manusia secara sadar menangkap, menyerap dan menghayati
peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.
Menurut Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (1),
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara (Sisdiknas UU RI No. 20 tahun 2003:2).
Dari paparan yang dikemukan oleh para ahli, bahwasanya pendidikan
memiliki cakupan makna yang sangat luas dalam sepanjang zaman yang
tidak terbatas oleh tempat dan waktu. Lebih jelasnya, pendidikan
merupakan usaha yang terencana untuk membentuk pribadi yang baik dan
selalu mengikuti perkembangan zaman. Selain itu, pendidikan tidak
hanya menawarkan konsep ajaran saja melainkan segala aspek ditawarkan
79
oleh pendidikan terutama dalam bertingkah laku dalam kehidupan sosial
masyarakat. Dengan pendidikan diupayakan mampu memoralkan
manusia atau memanusiakan manusia.
Menurut Frieda Mangunsong (2009) dalam Jurnal Ilmiah Ilmu
PendidikanFakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang (Volume
X No.2 November 2010:74) istilah inklusif sebenarnya menggambarkan
suatu filosofi pendidikan dan sosial, dimana ada kepercayaan bahwa
semua orang (apapun perbedaan yang mereka miliki) adalah bagian yang
berharga dalam kebersamaan masyarakat. Selanjutnya inklusif secara
etimologi memiliki arti terhitung, global, menyeluruh, penuh,
komprehensif dan keterbukaan. Kata inklusif berasal dari benturan kata
bahasa Inggris “inclusive” yang artinya „termasuk di dalamnya‟. Sikap
inklusif dalam beragama merupakan suatu pandangan yang menyatakan
bahwa semua agama memiliki kebenaran dan memberikan manfaat dan
keselamatan bagi para penganutnya, sebagimana di Indonesia terdapat
beraneka ragam agama yang diakui dan banyak penganutnya (Novianto,
2014:19).
Esensi inklusivisme menurut Nurcholish Madjid seperti halnya agama
yang lurus yaitu agama yang membawa pesan-pesan kemanusian
universal (Harisah, 2017:91).
Dengan demikan, konsep inklusif tidak lepas dari konsep dasar
pluralitas atau pluralisme yang tidak lain merupakan rahmat dan
sunatullah dengan menunjukkan bahwa perbedaan yang ada merupakan
80
suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari, karena manusia hidup dalam
sebuah keberagaman.
Pluralitas agama di Indonesia merupakan persoalan krusial, yang
harus diperhatikan. Kesadaran tentang adanya perbedaan antara satu
dengan lainnya merupakan sikap yang perlu untuk ditanamkan dan
dikembangkan dalam masyarakat, sehingga klaim right and wrong is my
country tidak perlu terjadi yang berbuntut terjadinya konflik agama dan
dapat berkembang menjadi konflik yang lebih luas. Di sisi lain pluralitas
berpotensi pula terhadap “rapuhnya” keimanan seseorang apabila tidak
dibarengi dengan komitmen yang tinggi terhadap agamanya. Apabila
inklusivisme merupakan realitas yang harus dihadapi, maka penting untuk
memahaminya lebih lanjut.
Pendidikan sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan individu
dan masyarakat, merupakan salah satu media yang sangat efektif untuk
mewujudkan masyarakat yang dinamis di tengah pluralitas agama dan
sekaligus dapat menjadi pemicu terhadap terjadinya konflik agama
apabila pendidikan dilaksanakan melalui proses yang tidak tepat. Melalui
pendidikan, manusia diperkenalkan tentang eksistensi diri, hubungannya
dengan sesama, alam dan Tuhannya (Harisah, 2017:100).
Dari keberagaman yang dimiliki Indonesia, tidaklah mungkin jika
pendidikan hanya untuk satu golongan atau hanya untuk masyarakat
tertentu saja. Akan tetapi, pendidikan yang ada disekolah-sekolah akan
81
menghadapi peserta didik yang lebih beraneka ragam, lebih bervariasi,
lebih heterogen, dan lebih universal.
Dari itulah pendidikan inklusif hadir ditengah-tengah kemajemukan.
Secara umum pendidikan inklusif adalah merupakan pendidikan yang
mengakomodasi berbagai semua anak tanpa memperdulikan keadaan
fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa atau kondisi-kondisi lain, termasuk
anak-anak penyandang cacat, anak-anak berbakat (gifted children),
pekerja anak dan anak jalanan, anak di daerah terpencil, anak-anak dari
kelompok etnis dan bahasa minoritas, anak-anak yang tidak beruntung
dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat.
Menurut Mahabbati dalam seminar Nasional (Diseminasi hasil
pelatihan luar negeri bidang pendidikan dasar program bermutu dikti
Hotel Grand Dafam MM Yogyakarta, 23-25 Mei 2012:2), Pendidikan
inklusif secara konseptual maupun operasional merupakan sistem
pendidikan yang akomodatif terhadap semua komponen pendidikan,
mulai dari siswa, guru, media dansumber belajar, metode, dan sarana
prasarana.Sifat pendidikan inklusif yang terbuka, akomodatif,
komunikatif, dan fleksibel membawa iklim kultural yang positif bagi
perkembangan kepribadian setiap anggota sekolah. Menurut Vaidya &
Zaslavsky dalam seminar Nasional yang disampaikan Mahabbati (2012:4)
menyatakan bahwa penerapan pendidikan inklusif yang baik akan
meningkatkan kemampuan personal seluruh siswa berupa pemahaman
akan keberagaman dan kepedulian kepada sesama. Selain itu, akan
82
tumbuh juga kompetensi sosial berupa kehangatan dan kemampuan
menjalin persahabatan dan kerjasama pada diri siswa, dan meningkatkan
bobot kegiatan yang berbasis aksesibilitas untuk seluruh siswa, serta
menurunkan kecemasan akan situasi yang kompleks dan penuh tantangan.
Menurut Macarthur menyebut bahwa pendidikan inklusif akan membuka
kesempatan untuk berkembangnya komunikasi dan perasaan penerimaan
terhadap sesama, hingga kemudian menumbuhkan sikap toleransi yang
tinggi. Semua itu dibutuhkan untuk menghadapi modernitas dan
masyarakat yang dewasa ini semakin majemuk adanya.
Dari paparan di atas, disimpulkan bahwa pendidikan inklusif
merupakan pendidikan yang mampu membuka dan menerima adanya
perbedaan yang ada. Dengan pendidikan inklusif akan mampu
menumbuhkan sikap toleran dan saling menghormati bagi peserta didik.
Selain itu, akan membentuk jiwa percaya diri anak didik untuk berteman
atau menjalin pertemanan dengan siapa pun di lingkungan sosial
masyarakat yang multikultur.
2. Landasan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif sebagai sebuah konsep baru dalam dunia
pendidikan mempunyai landasan sendiri. Disini penulis memaparkan dua
hal yang melandasi konsep pendidikan inklusif dalam mekanismenya,
yaitu landasan filosofis dan landasan yuridis.
a. Landasan Filosofis
83
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di
Indonesia adalah Pancasila yang merupakan falsafah bangsa, dasar
negara dan lima pilar sekaligus merupakan cita-cita yang didirikan
atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka
Tungggal Ika. Filosofi ini merupakan wujud pengakuan kebhinekaan
manusia. Bertitik tolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan
dan keberbakatan merupakan salah satu bentuk kebhinekaan individu
manusia atau disebut “individual differences” seperti halnya
perbedaan warna kulit, suku, ras, bahasa, budaya atau agama. Dalam
individu penyandang kelainan pasti juga mempunyai keunggulan-
keunggulan tertentu, demikian juga di dalam diri individu yang
berbakat tentu juga terdapat kelemahan/kecacatan tertentu, karena
tidak ada makhluk yang diciptakan sempurna. Keunggulan dan
kelemahan/kecacatan harus dapat diwujudkan dalam sistem
pendidikan yang memungkinkan terjadinya interaksi antar siswa yang
beragam, sehingga mendorong sikap toleransi dan menghargai
perbedaan individu (Rudiyati, 2011:13).
Dalam konteks pendidikan, kalimatun sawa‟ di samping dapat
dijadikanlandasan dan pengakuan pluralisme kehidupan dan
multikultural, ia jugaadalah bentuk manifesto gerakan yang
mendorong kemajemukan (plurality)dan keragaman (diversity)
sebagai prinsip inti kehidupan dan meneguhkanpandangan bahwa
semua kelompok multikultural diperlakukan setara(equality) dan
84
sama bermartabatnya (dignity). Kalimatun sawa‟ boleh
jadimerupakan ajakan bertauhid secara inklusif, agar umat beragama
dansegenap budaya yang mengitarinya dapat berpindah dari
pemusatanterhadap “diri” kepada “Yang Suci” untuk mengeliminasi
perbedaan-perbedaan yang ada dan menumbuhkan koeksistensi
(Syarif, 2015:14).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis
pendidikan inklusif yaitu Pancasila yang merupakan falsafah bangsa
atau ideologi bangsa. Yang mana, di dalam Pancasila penuh dengan
syarat dan makna. Diantaranya yaitu mampu menyatukan
keberagaman yang ada. Sedangkan, kalimatun sawa‟ mengukuhkan
pengakuan pluralisme di tengah kemajemukan masyarakat. Sehingga
akan menumbuhkan sikap inklusif terhadap adanya perbedaan.
b. Landasan Yuridis
Landasan yuridis yang melandasi kebijakan pendidikan inklusif
di Indonesia yaitu:
1) Undang-Undang Dasar 1945 (a) Pasal 31 ayat 1, “Setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan; (b) Pasal 31 ayat 2, “Setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya”
2) Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak,
Pasal 49,“Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib
85
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk
memperoleh pendidikan” (Rudiyati, 2011:14).
3) Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, (a) pasal 3, “Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”. (b) pasal 4 ayat 2,
“Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang
sistematik dengan sistem terbuka dan multimakna. (c) pasal 5
ayat 1 dan 3, “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu” dan “Warga negara
di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan khusus” (Depag.,
2006:8-10).
3. Karakter dan Tujuan Pendidikan Inklusif
Menurut Mahabbatimengutip pendapat Farrel yang disampaikan
dalam seminar nasional (Diseminasi hasil pelatihan luar negeri bidang
pendidikan dasar program bermutu diktiHotel Grand Dafam MM
86
Yogyakarta, 23-25 Mei 2012), menyatakan karakter akomodatif
pendidikan inklusif mencakup beberapa hal sebagai berikut:
a. Sifat pendidikan inklusif yang tidak memilih siswa yang homogen
semata, melainkan mau merekrut semua karakteristik semua siswa
dan tidak mengenal istilah mengeluarkan siswa dari sekolah.
b. Pendidikan inklusif menghindari semua aspek negatif labeling.
Pemberian label pada sistem pendidikan inklusif hanya untuk
kepentingan administratif dan klasifikasi semata, bukan untuk
kepentingan pemberian layanan. Bahkan, melalui pendidikan inklusif
label yang tidak merugikan bagi beberapa siswa dihindari dan dirubah
dalam pengertian yang lebih positif.
c. Pendidikan inklusif selalu melakukan checksand balances.
Maksudnya adalah, semua unsur stake holders pendidikan, mulai
dari siswa, guru,orangtua siswa, masyarakat, ahli yang terkait (seperti
ortopedagog, psikolog, dokter), serta pemangku kebijakan bersama-
sama terlibat dalam mendorong dan mendukung pelaksanaan
pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif tidak akan optimal apabila
tidak menyertakan mereka dalam satu sistem yang rapidan
terorganisasi dengan baik.
Dari karakteristik diatas bahwa pendidikan inklusif sangat diperlukan
dalam dunia pendidikan sekarang. Pendidikan yang mengayomi semua
lapisan peserta didik tanpa ada yang dibeda-bedakan, memberikan
87
pelayanan terhadap semua pihak ditengah keragaman dari latar belakang
yang berbeda pula.
Sifat pendidikan inklusif yang terbuka, akomodatif, komunikatif, dan
fleksibel membawa iklim kultural yang positif bagi perkembangan
kepribadian setiap anggota sekolah. Pendidikan inklusif juga sebagai
bentuk pendidikan yang bertujuan untuk menghargai keanekaragaman
serta mengurangi diskriminasi bagi seluruh peserta didik (Dulisanti,
tt:54), penerapan pendidikan inklusif yang baik akan meningkatkan
kemampuan personal seluruh siswa berupa pemahaman akan
keberagaman dan kepedulian kepada sesama. Selain itu, akan tumbuh
juga kompetensi sosial berupa kehangatan dan kemampuan menjalin
persahabatan dan kerjasama pada diri siswa, dan meningkatkan bobot
kegiatan yang berbasis aksesibilitas untuk seluruh siswa, serta
menurunkan kecemasan akan situasi yang kompleks dan penuh tantangan.
Pendidikan inklusif akan membuka kesempatan untuk berkembangnya
komunikasi dan perasaan penerimaan terhadap sesama, hingga kemudian
menumbuhkan sikap toleransi yang tinggi. Semua itu dibutuhkan untuk
menghadapi modernitas dan masyarakat yang dewasa ini semakin
majemuk adanya.
B. Pendidikan Islam
1. Pengertian
Melalui perspektif dan pendekatan terminologis, konsep pendidikan
Islam digali dari pendapat atau pandangan para ahli dan pakar mengenai
88
pendidikan. Kata Islam yang menjadi imbuhan pada kata pendidikan
menunjukkan warna, model, bentuk, dan ciri bagi pendidikan, yaitu
pendidikan yang bernuansa Islam atau pendidikan yang Islami (Mujtahid,
2011:16).
Menurut Marimba dalam bukunya Gunawan yang berjudul
Pendidikan Islam (2014:9) memberi definisi pendidikan Islam sebagai
bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum Islam, menuju
kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam. Dari
pengertian tersebut, sangat jelas bahwa pendidikan Islam adalah suatu
proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau
kepribadian secara utuh dan menyeluruh, menyangkut aspek jasmani dan
rohani.
Sedangkan menurut Soekarno dan Ahmad Supardi dalam bukunya
Shofan dengan judul Pendidikan Berparadigma Profetik (2004:50-51)
memberikan pengertian pendidikan Islam adalah pendidikan yang
berasaskan ajaran atau tuntunan agama Islam dalam usaha membina dan
membentuk pribadi-pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah swt.,
cinta dan kasih kepada kedua orang tua dan sesama hidupnya, cinta
kepada tanah air sebagai karunia yang diberikan oleh Allah, memiliki
kemampuan dan kesanggupan memfungsikan potensi-potensi yang ada
dalam dirinya dan alam sekitarnya, hingga bermanfaat dan memberi
kemaslahatanbagi diri dan bagi masyarakat pada umumnya.
89
Adapun Zakiah Drajat, pendidikan Islam lebih banyak diarahkan pada
perbaikan sikap mental yang terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi
keperluan diri sendiri maupun orang lain, baik bersifat teoritis maupun
praktis. Sedangkan menurut A. Musthafa, pendidikan Islam yaitu proses
bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan
akal peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik. Hal ini
dikarenakan pendidikan Islam dapat difungsikan untuk mengarahkan
pertumbuhan dan perkambangan hidup manusia (sebagai makhluk pribadi
dan sosial) pada titik optimal kemampuannya untuk memperoleh
kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Dalam hal ini, pendidik sebagai
sarana dalam membentuk kepribadian manusia seutuhnya sangat
bergantung pada pemegang kebijakan dalam menentukan keberhasilan
proses pendidikan yang telah berjalan di berbagai daerah, mulai sistem
yang sederhana sampai menuju sistem pendidikan Islam yang modern
(Kodir, 2015:18-19).
Dari berbagai definisi pendidikan Islam tersebut dapat disimpulkan
bahwa pendidikan Islam adalah suatu pendidikan atau sebagai bimbingan
jasmani dan rohani berdasarkan hukum Islam untuk membentuk pribadi
yang Islami. Selain itu, pendidikan Islam diharapkan mampu membentuk
pribadi yang berakhlak mulia dan mampu meningkatkan ketaqwaan
kepada Allah, mencintai orang tua, sesama manusia dan alam sekitar,
lebih-lebih tumbuh cinta kepada bangsa dan negara.
90
2. Landasan Dasar Pendidikan Islam
Landasan dasar ini bersumber dari ajaran pokok Islam, yaitu Al-
Qur‟an dan As-Sunnah sebagai sumber utama dan pemikiran (ra‟yu), baik
dalam bentuk ijma‟, qiyas maupun kemaslahatan lainnya serta ajaran
Islam dan realitas kehidupan umat manusia yang tumbuh dan berkembang
dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan demikian, dapat dinyatakan
bahwa landasan sumber dasar pendidikan Islam menurut Abd. Rahman
Abdullah (Kodir, 2015:19) adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur‟an (kalamullah)
Al-Qur‟an merupakan sumber utama dalam ajaran dan kehidupan
umat Islam. Al-Qur‟an merupakan wahyu (kalamullah) yang
disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW (Kodir, 2015:19).
Al-Qur‟an merupakan dasar pendidikan Islam karena al-Qur‟an
menyampaikan pesan-pesan pendidikan kepada umat manusia yang
berakal. Ayat-ayat yang berkaitan dengan akal pikiran manusia cukup
banyak. Bukti bahwa Al-Qur‟an memberikan dorongan agar segala
hal harus menggunakan akal adalah ayat-ayat Allah berikut ini, yang
artinya:
“Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan
berkata: „Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari
kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat
kepadanya?‟ Katakanlah, „Kepunyaan Allah-lah timur dan barat;
Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya ke jalan
yang lurus.”(Basri, 2014:150).
91
b. As-Sunnah
As-Sunnah bermakna seluruh sikap, perkataan, dan perbuatan
Rasulullah. As-Sunnah merupakan sumber ketentuan Islam yang
kedua setelah Al-Qur‟an, yang merupakan penguatan dan penjelas
dari berbagai persoalan, baik yang ada dalam al-Qur‟an maupun yang
dihadapi dalam persoalan kehidupan umat Islam yang disampaikan
dan dipraktikan Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari, yang
semua ini dapat dijadikan landasan dasar dalam pendidikan Islam
(Kodir, 2015:19).
Dasar pendidikan Islam yang kedua adalah as-Sunnah, yang
merupakan barometer keberhasilan Allah menghadirkan manusia
teladan yang sempurna. Nabi Muhammad terkenal sebagai manusia
yang paling jujur, amanah, tablig, dan fathanah. Pendidikan yang
mencerminkan teladan Nabi Muhammad adalah sistem pendidikan
yang bertujuan membentuk anak didik yang amanah, fathanah, dan
tablig, artinya semua ilmu yang dimiliki wajib diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari, dimanfaatkan dan didakwahkan kepada semua
masyarakat, serta menjaga nama baik Islam sebagai agama yang
kebenarannya universal (Basri, 2014:175).
c. Pemikiran Islam
Pemikiran Islam adalah penggunaan akal budi manusia dalam
rangka memberikan makna dan aktualisasi terhadap berbagai ajaran
Islam yang disesuaikan dengan tuntutan masyarakat dan
92
perkembangan zaman yang muncul dalam kehidupan umat manusia
dalam berbagai bentuk persoalan untuk dicarikan solusinya yang
diharapkan sesuai dengan ajaran Islam.
d. Sejarah Islam
Sejarah Islam merupakan dinamika kehidupan dan hasil karya
masa lampau yang pernah terus dikembangkan dalam kehidupan umat
Islam secara terus menerus.
e. Realitas Kehidupan
Realitas kehidupan merupakan kegiatan penting untuk dilihat dan
dicermati dalam kerangka pengembangan pola pendidikan yang
dikehendaki (Kodir, 2015:19-20).
3. Konsep dan Tujuan Pendidikan Islam
Satu hal yang tidak mungkin dipungkiri adalah bahwa setiap manusia
tidak dapat melepaskan dirinya dari faktor lingkungan. Lingkungan
pendidikan baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat senantiasa
mempengaruhi potensi baik manusia. Di sinilah letak pentingnya
pendidikan bagi pengembangan potensi manusia.
Secara mendasar, tugas utama pendidikan adalah mengubah
(transform) potensi dalam diri manusia menjadi kemampuan atau
ketrampilan yang berdaya guna bagi alam semesta. Pendidikan Islam
sesungguhnya adalah solusi bagi penyakit yang menimpa manusia
modern. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang dibangun atas dasar
fitrah manusia, yang senantiasa bertujuan menumbuhkan kepribadian
93
total manusia secara seimbang melalui latihan spiritual, intelektual,
rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia. Pendidikan Islam
bahkan memotivasi semua aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan
kesempurnaan hidup manusia (Idi, dkk., 2006:61-63).
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi yang dikutip Omar Muhammad Al-
Toumy Al-Syaibani, telah merumuskan tujuan pendidikan Islam secara
umum ke dalam empat tujuan yaitu:
a. Untuk membentuk akhlak mulia. Kaum muslimin sepakat bahwa
pendidikan akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan yang
sebenarnya.
b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Pendidikan Islam
bukan hanya menitikberatkan pada keagamaan atau keduniaan saja,
melainkan pada keduanya dan memandang kesiapan keduanya
sebagai tujuan yang asasi.
c. Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi kemanfaatan.
Pendidikan Islam tidak hanya segi agama, akhlak, dan spiritual
semata tetapi juga menyeluruh bagi kesempurnaan kehidupan, atau
yang lebih dikenal sekarang dengan nama tujuan-tujuan vokasinal dan
profesional.
d. Menyiapkan pelajar dari segi profesi, teknik dan perusahaan supaya
dapat menguasai profesi tertentu dan ketrmapilam pekerjaan tertentu
agar dapat mencari rizki dalam hidup, di samping memelihara segi
kerohanian dan keagamaan (Shofan, 2004:59).
94
Sedangkan menurut Abdul Fatah Jalal mengatakan bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah yang
bertakwa. Dengan mengutip QS. Al-Takwir ayat 27, Fatah Jalal
mengatakan bahwa tujuan tersebut adalah untuk semua manusia. Jadi
menurut Islam, tujuan pendidikan adalah harus menjadikan seluruh
manusia “menjadi manusia yang menghambakan diri kepada Allah”.
Menghambakan diri maksudnya ialah beribadah kepada-Nya, dengan
tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Agama Islam memang
menghendaki agar manusia itu dididik, supaya mampu merealisasikan
tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan Allah dalam al-
Qur‟an (Gunawan, 2014:12).
4. Unsur-unsur Pendidikan Islam
a. Pendidik
Dalam konsep Islam, pendidik memiliki peran yang sangat
penting. Selain sebagai pengajar, ia juga menjadi bapak rohani
(spiritual father) yang memberikan nasehat-nasehat yang baik kepada
anak didiknya. Oleh karena itu, pendidik dalam Islam mempunyai
kedudukan yang sangat tinggi, sebagaimana yang dilukiskan dalam
hadist Nabi Muhammad bahwa: “Tinta seorang ilmuwan (ulama)
lebih berharga ketimbang darah para syuhada” (Gunawan,
2014:164).
Kata pendidik berasal dari kata dasar didik, artinya memelihara,
merawat, dan memberi latihan agar seseorang memiliki ilmu
95
pengetahuan seperti yang diharapkan (tentang sopan santun, akal
budi, akhlak). Selanjutnya dengan menambahkan awalan pe hingga
menjadi pendidik, yang artinya mendidik. Secara terminologi,
pendidik menurut Ahmad Tafsir adalah “orang yang
bertanggungjawab terhadap berlangsungnya proses pertumbuhan dan
perkembangan potensi anak didik, baik potensi kognitif maupun
psikomotoriknya” (Ramayulis, 2015:208).
Fadhil al-Djamli, sebagaimana dikutip oleh Ramayulis
mengatakan bahwa pendidik adalah orang yang mengarahkan
manusia kepada kehidupan yang baik, sehingga terangkat derajat
kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimilikinya
(Gunawan, 2014:165). Menjadi pendidik atau guru berdasarkan
tuntutan pekerjaan adalah suatu perbuatan yang mudah, tetapi
menjadi guru berdasarkan panggilan jiwa atau tuntutan hati nurani
adalah tidak mudah karena lebih menuntun pengabdian kepada anak
didik daripada tuntutan pekerjaan dan material-oriented (Basri,
2014:58).
Dalam pengertian yang lebih luas, pendidik dalam Islam adalah
setiap orang dewasa, yang karena kewajiban agamanya
bertanggungjawab atas pendidikan dirinya dan orang lain. Sedangkan
yang menyerahkan tanggungjawab dan amanat pendidikan adalah
agama, dan wewenang pendidik juga mendapat legimitasi agama,
sedangkan yang menerima tanggungjawab dan amanat pendidikan
96
adalah setiap orang dewasa. Ini berarti bahwa pendidik merupakan
sifat yang lekat pada setiap orang, karena tanggungjawabnya atas
pendidikan (Gunawan, 2014:165).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seorang pendidik
memiliki tingkat derajat yang lebih tinggi dalam agama. Spiritual
father sebutan yang telah melekat pada sosok pendidik, karena
nasehat-nasehat yang diberikan diharapkan mampu menuntut spiritual
anak didiknya yang lebih baik. Selain itu, juga bertanggungjawab
menuntut perkembangan dan pertumbuhan potensi peserta didik baik
kognitif maupun psikomotorik. Pengetahuan yang disampaikan untuk
mencapai suatu tujuan yang diharapkan dalam akhlak, sopan santun
dan budi pekerti.
b. Peserta Didik
Peserta didik merupakan “raw material” (bahan mentah) dalam
proses transformasi dalam pendidikan (Ramayulis, 2015:249). Dalam
konteks pendidikan ada beberapa istilah yang dipakai dalam
menyebut anak didik, diantaranya adalah “murid, peserta didik, dan
anak didik”. Sebutan “peserta didik” merupakan sebutan yang paling
mutakhir. Istilah ini menekankan pentingnya murid berpatisipasi
dalam proses pembelajaran.
Pengertian peserta didik secara terminologi, secara umum dapat
diartikan sebagai anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik
secara fisik maupun psikologis, untuk mencapai tujuan pendidikannya
97
melalui lembaga pendidikan. Definisi tersebut memberi arti bahwa
anak didik merupakan anak yang belum dewasa, yang memerlukan
orang lain untuk menjadi dewasa (Gunawan, 2014:208).
Anak didik merupakan subjek utama dalam pendidikan. Para
pendidik selalu berhubungan dengan anak didik, tetapi setelah tugas
pendidik selesai, anak didik dituntut mengamalkan ilmu dalam
kehidupan bermasyarakat. Anak didik dituntut hidup mandiri, mampu
menyelesaikan tugas-tugas pendidikan sesuai dengan kemampuan
yang dimilikinya (Basri, 2014:88).
Selanjutnya siswa dipandang sebagai anak yang aktif, bukan pasif
yang menanti guru untuk memenuhi otaknya dengan berbagai
informasi. Siswa adalah anak yang dinamis yang secara alami ingin
belajar, dan akan belajar apabila mereka tidak merasa putus asa dalam
pelajarannya yang diterima dari orang yang berwenang atau dewasa
yang memaksakan kehendak dan tujuannya kepada mereka. Dalam
hal ini, Dewey menyebutkan bahwa anak itu sudah memiliki potensi
aktif. Membicarakan pendidikan berarti membicarakan keterkaitan
aktivitasnya, dan pemberian bimbingan padanya (Assegaf, 2014:113).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peserta didik
merupakan subjek utama transformasi dalam dunia pendidikan.
Pengertian peserta didik yaitu seorang anak yang sedang tumbuh dan
berkembang untuk menemukan hak yang baru dalam kehidupannya
serta ingin mencapai suatu tujuannya dalam lembaga pendidikan.
98
c. Kurikulum atau Bahan Ajar
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat
menentukan dalam suatu sistem pendidikan. Karena kurikulum
merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan
sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada
semua jenis dan tingkat pendidikan (Ramayulis, 2015:307).
Secara etimologis kata “kurikulum” dari bahasa Yunani,
“Curere”, yang berarti jarak yang harus ditempuh oleh para pelari
dari mulai start sampai finish. Pengertian inilah yang kemudian
diterapkan dalam bidang pendidikan. Dalam bahasa Arab, kurikulum
sering disebut dengan istilah al-manhaj, berarti jalan yang terang
yang dilalui manusia dalam bidang kehidupannya. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh Ibn Mandzur dalam Lisan al-Arab yang
menyebutkan bahwa kurikulum adalah “al-Thariqah al-Wadhih”.
Dari pengertian tersebut, jika kurikulum dikaitkan dengan
pendidikan, maka menurut Muhaimin berkaitan jalan terang yang
dilalui oleh pendidik atau guru dengan peserta didik untuk
mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap serta nilai-nilai
(Gunawan, 2014:39).
Kurikulum adalah konsep yang sering terdengar dalam dunia
pendidikan, tetapi banyak yang mengartikan kurikulum identik
dengan mata pelajaran atau mata kuliah. Kurikulum bukan sekadar
pelajaran atau mata kuliah yang terdapat dalam proses pembelajaran.
99
Kurikulum dapat diartikan pula sebagai semua usaha lembaga
pendidikan yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang disepakati
(Basri, 2014:127).
Definisi-definisi tentang kurikulum telah banyak dirumuskan oleh
para ahli pendidikan. Diantaranya definisi yan dikemukan oleh M.
Arifin yang memandang kurikulum sebagai “seluruh bahan pelajaran
yang harus disajikan pada proses kependidikan dalam suatu sistem
institusional pendidikan”. Sementara Zakiah Daradjat memandang
kurikulum sebagai “suatu program yang direncanakan dalam bidang
pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan
pendidikan tertentu”. Di sini, kurikulum tidak hanya dipandang dalam
artian materi pelajaran, namun juga mencakup seluruh program
pembelajaran dalam kegiatan pendidikan (Ramayulis, 2015:308-309).
Dari uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa kurikulum
bukan saja merupakan bahan ajar yang disampaikan kepada peserta
didik semata, akan tetapi seluruh bahan pelajaran yang disajikan
harus ada program yang terencana dan dilaksanakan untuk mencapai
sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu.
d. Metode
Kata metode berasal dari bahasa Yunani. Secara etimologi, kata
metode berasal dari dua suku perkataan, yaitu meta dan hodos. Meta
berarti “melalui” dan hodos “jalan”. Dalam bahasa Arab, kata metode
dikenal dengan istilah thariqahyang berarti langkah-langkah strategis
100
yang harus dipersiapkani untuk melakukan suatu pekerjaan. Bila
dihubungkan dengan pendidikan, maka langkah tersebut harus
diwujudkan dalam proses pendidikan dalam rangka pembentukan
kepribadian peserta didik (Ramayulis, 2015:405).
Menurut A. Tafsir, istilah metode jika dipahami dari asal kata
method (bahasa Inggris), mempunyai pengertian yang lebih khusus,
yakni “cara yang tepat dan cepat dalam mengerjakan sesuatu”.
Ungkapan cara yang paling tepat dan cepat ini membedakan dengan
istilah way (bahasa Inggris) yang berarti “cara” juga. Karena secara
etimologis, metode diartikan sebagai “cara yang paling tepat dan
cepat”.
Dalam pengertian terminologis, para ahli berbeda pendapat
terkait dengan definisi metode pembelajaran tersebut. Al-Abrasyi
mendefinisikan metode sebagai jalan yang kita ikuti untuk memberi
paham kepada murid-murid dalam segala macam pelajaran.
Selanjutnya, Ahmad Tafsir mendefinisikan metode pendidikan
sebagai semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik. Oleh
karena itu, kata metode di sini diartikan secara luas mencakup juga
metode mengajar, karena mengajar temasuk salah satu upaya
mendidik (Gunawan, 2014:256-257).
Dalam konteks ini, al-Qur‟an sebagai acuan dasar dan sumber
hukum Islam yang primer menegaskan perlunya manusia mencari
jalan (metode) untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bersungguh-
101
sungguh pada jalan-Nya seperti yang tertuang dalam QS. Al-Maidah
ayat 35, yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah
dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya,
dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu
beruntung”.
Dengan demikian, pendidikan sebagai salah satu jalan untuk
mengenal Allah Swt. perlu juga menggunakan pendekatan dan
metode pembelajaran. Penggunaan satu metode tidak berarti tepat
untuk semua aktivitas pendidikan. Satu metode memiliki kelemahan
dan kelebihan sendiri-sendiri. Karenanya disarankan agar menutupi
kelemahan satu metode dengan menggunakan kelebihan metode lain
(Assegaf, 2014:124).
Dengan metode ini diharapkan akan muncul berbagai kegiatan
belajar peserta didik, sehubungan dengan kegiatan mengajar yang
dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, terciptalah suatu hubungan
atau interaksi edukatif. Proses interaksi ini akan berjalan baik jika
peserta didiknya banyak terlibat aktif. Oleh karena itu, dalam
interaksi ini guru berperan sebagai penggerak atau pembimbing, yang
mengarahkan peserta didiknya agar lebih berkembang, dan
memosisikanpesera didiknya sebagai subjek belajar (Gunawan,
2014:257).
Dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa metode
merupakan suatu jalan atau upaya yang dilakukan oleh seorang
102
pendidik atau pengajar untuk memberi kepemahaman kepada pesera
didik dengan cepat dan tepat.
C. Pendidikan Islam Inklusif
1. Pengertian Islam Inklusif
Inklusif secara etimologis memiliki arti terhitung, global,
menyeluruh, penuh, dan komprehensif. Kata inklusif berasal dari benturan
kata bahasa Inggris “inclusive” yang termasuk di dalamnya. Istilah
inklusif berkaitan dengan banyak aspek hidup manusia yang didasarkan
atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu (Nurjanah, 2013:12).
Selanjutnya pengertian Islam inklusif adalah suatu paham
keberagaman yang didasarkan pada pandangan bahwa agama-agama lain
yang ada di dunia ini mengandung kebenaran dan dapat memberikan
manfaat serta keselamatan bagi penganutnya. Disamping itu, ia tidak
semata-mata menunjukkan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan,
melainkan keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut
(Nurjanah, 2013:13).
Sikap inklusif dapat dipastikan akan selalu dihadapkan dengan
konteks masyarakat yang plural. Sehingga inklusif dan plural seakan-akan
tidak lepas dari pluralitas. Dengan demikian Islam inklusif-pluralis adalah
paham keberagaman yang didasarkan pada pandangan bahwa agama-
agama lain yang ada di dunia ini sebagai yang mengandung kebenaran
dan dapat memberikan manfaat serta keselamatan bagi penganutnya
(Maghfuri, 2013:13-14).
103
Teologi Islam yang inklusif adalah rahmat lil „alamin (rahmat bagi
seluruh alam), teologi tersebut adalah pilar moderatisme Islam
(wasatiyyatal-Islam). Di sini, ajaran Islam tidak diarahkan kepada
eksklusivisme seperti membenci agama lain, merendahkan non-muslim,
atau memusuhi, dan menggunakan kekerasan dalam menyiarkan
kebenaran. Sikap inklusif jauh dari itu semua, bahkan sebaliknya,
mempromosikan toleransi dan kerja sama. Perbedaan agama tidak
menjadi penghalang bagi interaksi dan aksi (Harisah, 2017:122).
Diakui masih banyak umat beragama yang mengabaikan nilai-nilai
dan prinsip pluralisme dalam hubungan sosial antar keyakinan di negara
ini. Jika demikian persoalan dalam prinsip pluralisme, lebih-lebih lagi
dalam persoalan prinsip toleransi. Ada banyak indikasi bahwa masyarakat
memahaminya hanya secara sepintas lalu, sehingga toleransi menjadi
seperti tidak lebih dari persoalan prosedural, persoalan tata cara pergaulan
yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda-beda. Padahal
persoalan toleransi adalah persoalan prinsip, tidak sekedar prosedur
(Harisah, 2017:124).
Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam
ikatan-ikatan keadaban. Menurut Alwi Shihab, pluralisme dapat diartikan
sebagai Pertama, pluralisme tidak sematamenunjuk pada kenyataan
tentang adanya kemajemukan.Namun yang dimaksud dengan pluralisme
adalah keterlibatan aktif terhadapkenyataan kemajemukan tersebut.
Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme,
104
kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka ragam, ras,
bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ketiga, konsep pluralisme
tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativisme akan
berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai-nilai
ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berfikir seorang atau
masyarakatnya. Sebagai konsekuensi dari paham ini adalah agama apapun
harus dinyatakan benar, atau tegasnya semua agama adalah sama.
Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan
suatu agama baru dengan memadukan unsurtertentu atau sebagian
komponen ajaran dari beberapa agama tersebut (Mustholih, 2011:18-19).
Untuk mewujudkan kedamaian, kita dituntut untuk mengakui
perbedaan-perbedaan,dan pengakuan terhadap perbedaan menuntut kita
untuk berlaku toleran. Dan dasar dari sikap toleransi adalah kebebasan
(al-huriyyah) dan pengakuan terhadap hak-hak minoritas atau kelompok
yang berbeda (Harisah, 2017:125).
2. Pendidikan Islam sebagai Sistem Kebenaran Universal
Salah satu kesadaran yang berakar kuat dalam pandangan seorang
Muslim adalah Islam merupakan agama universal, agama untuk sekalian
umat manusia, atau agama yang “mendunia” karena risalahnya sebagai
rahmat bagi semesta alam. Sejarah menunjukkan, pandangan ini
melahirkan sikap sosial-keagamaan yang unik di kalangan umat Islam
terhadap agama-agama lain atas dasar toleransi, kebebasan, keterbukaan,
kewajaran, keadilan dan kejujuran.Itulah manifestasi konkret nilai-nilai
105
madani yang terbukti pernah menjadi pilar tegaknya masyarakat
kosmopolit, masyarakat madani, masa keemasan dunia Islam dan masa
awal Islam dahulu.
Dari segi sosiologis, agama tidak hanya dimaksudkan sebagai
perangkat ajaran yang berlaku mutlak yang datang dari Tuhan, tetapi juga
merupakan bagian yang mendalam dari kebudayaan. Sebagai mana yang
diungkapkan oleh Greet, agama merupakan sistem simbol yang bertindak
untuk memantabkan perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi secara kuat
dan bertahan lama dalam diri manusia, dengan cara merumuskan
konsepsi-konsepsi mengenai hukum-hukum yang berlaku umum dan
menyelimuti kosepsi-konsepsi ini dengan suasana kepastian faktual
sehingga suasana hati dan motivasi itu terasa sungguh-sungguh realistis.
Dalam kehidupan masyarakat, agama mempunyai peranan sangat penting,
karena agama berisikan ajaran-ajaran tentang kebenaran yang tertinggi
dan mutlak tantang keberadaan manusia dan petunjuk-petunjuk untuk
hidup bahagia. Oleh karena itu, ajaran agama harus diaktualisasikan
dalam kehidupan para pemeluknya (Sukring, 2016:110).
Pada dataran doktrinal-normatif, jika dilakukan pembacaan secara
dialektis-hermenutis, maka al-Qur‟an sesungguhnya sangat radikal,
liberal, dan arif dalam menyikapi keanekaragaman (pluralitas) agama-
agama.Diungkapkan dalam al-Qur‟an bahwa kebenaran universal,
kebenaran perenial, adalah tunggal walaupun ada kemungkinan
manifestasi lahiriahnya beraneka ragam. Pangkal kebenaran universal itu
106
adalah tauhid yang memiliki konsekuensi kesediaan diri pasrah
kepadaNya.Konsep kesatuan dasar ajaran ini membawa kita
menujupengakuan konsep kesatuan misi kenabian/kerasulan, yang pada
gilirannya menuju pengakuan konsep kesatuan umat manusia yang
beriman. Meski begitu, keunikan agama tetap perlu dipertahankan dan
diapresiasi, yang ditunjukkan dengan komitmen seseorang terhadap
ajaran agama yang telah dianutnya dalam kerangka kebenaran universal
tersebut sehingga tidak mengarah pada truth claimsepihak yang
berlebihan, eksklusif, dan eksesif. Dengan lain kata, setiap pemeluk
agama harus memutlakkan kebenaran agama yang dianutnya, namun
bersamaan ini ia juga memberikan kemungkinan bagi orang lain yang
menganut agama yang berbeda untuk memutlakkan agama yang
dianutnya (Arif, 2012:7).
Mulyadhi Kartanegara menguraikan nilai-nilai madani yang
menyokong tegaknya masyarakat kosmopolit meliputi: Pertama,
inklusivisme yaitu keterbukaan diri terhadap “unsur luar” melalui
kemampuan melakukan apresiasi dan seleksi secara konstruktif. Kedua,
humanisme dalam artiancara pandang yang memperlakukan manusia
semata-mata karena kemanusiaannya, tidak karena sebab lain di luar itu,
semisal ras, kasta, kekayaan, dan agama. Termasuk kedalam humanisme
di sini adalah sifat egaliter yang memandang manusia sama derajatnya.
Ketiga, toleransi yaitu adanya kelapangdadaan dan kebesaran jiwa dalam
107
menyikapi perbedaan.Keempat, demokrasi yang memberi ruang bagi
kebebasan berpikir dan penyampaian kritik (Arif, 2012:5).
Kemajemukan dan keragaman agama dan budaya di Indonesia, secara
sosiologis-antropologis, adalah realitas sosial yang niscaya. Agar modal
sosial tersebut tidak kontraproduktif bagi penciptaan tatanan kehidupan
berbangsa yang damai dan harmonis, diperlukan upaya untuk menumbuh-
kembangkan kesadaran akan pluralitas agama yang dimilikinya, sehingga
potensi positif yang terkandung dalam keragaman tersebut dapat
teraktualisasi secara benar dan tepat. Hal yang paling penting adalah
memberikan pemahaman yang mendalam, khususnya kepada generasi
muda, tentang pentingnya mengedepankan toleransi dan kebersamaan
dalam kondisi pluralitas tersebut (Harisah, 2017:2). Kemajemukan bangsa
Indonesia tersebut selain merupakan khazanah kekayaan budaya nasional
dan kekuatan bangsa, bisa juga menimbulkan berbagai problematik atau
persoalan (Basri, 2014:309).
Disadari betul bahwa karena kearifan para pendahulu pendiri bangsa
(the founding fathers) memilih Bhineka Tunggal Ika sebagai prinsip yang
mendasari kemajemukan hidup berbangsa dan bernegara, cita-cita NKRI
dapat diwujudkan dan diwariskan kepada generasi penerus sampai kini
setelah sebelumnya dipertahankan dengan pengorbanan besar dari para
pejuang ibu pertiwi tercinta. Kenyataan ini sudah saatnya menginspirasi
kita, kalangan terdidik, untuk merefleksikan kearifan tersebut dan
mengartikulasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
108
bernegara sehingga kehadiran dan kiprah kita layak dinilai kontributif
dalam merajut keharmonian, kerukunan, dan integrasi nasional. Ibarat
sebuah pelangi, kemajemukan warga-masyarakat dan warga-negarajustru
mampu melahirkan mozaik keserasian dan keterpaduan warna-warna
karena disikapi dan dikelola dengan penuh kearifan (Arif, 2012:3).
Dalam istilah yang populer belakangan ini, kearifan tersebut
dinamakan dengan kesadaran multikultural, yang sekarang sedang
menghadapi ujian berat akibat menyeruaknya kepermukaan
kecenderungan provinsialisme, sektarianisme, atau radikalisme sebagian
masyarakat di tengah carut-marut kehidupan berbangsa dan bernegara
(Arif, 2012:4).
Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap
keberagaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang
berbeda saja tidak cukup, sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-
komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Oleh karena itu,
multikuralisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politich of
recognition) terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat
yang harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksistensinya.
Lebih jelasnya, multikulturalisme adanya pengakuan yang sama atau
kesederajatan atas keberbagaian baik dalam hal agama, suku, atau budaya
(Abidin, 2009:7).
Sebagai sebuah cara pandang sekaligus gaya hidup, multikulturalisme
menjadi gagasan yang cukup kontekstual dengan realitas masyarakat
109
kontemporer dengan kekayaan budaya saat ini. Prinsip mendasar tentang
kesetaraan, keadilan, keterbukaan, pengakuan terhadap perbedaan adalah
prinsip nilai yang dibutuhkan manusia di tengah himpitan budaya global.
Oleh karena itu, sebagai sebuah gerakan budaya, multikulturalisme adalah
bagian integral dalam berbagai sistem budaya dalam masyarakat (Abidin,
2009:8).
Menyikapi perbedaan dan kemajemukan dengan optimis dan positif
dengan sedapat mungkin menemukan kesamaan-kesamaan dan
menghindari konflik sebenarnya merupakan esensi dari inklusivisme.
Inklusivisme sendiri menurut Zuhairi Misrawi, hadir dalam rangka
membangun toleransi di tengah perbedaan dan keragaman. Inklusivisme
memandang, karena perbedaanlah membuat manusia lebih mungkin
untuk berseteru antara komunitas dengan komunitas yang lain. Karena itu,
diperlukan sikap inklusif untuk menjadikan perbedaan sebagai potensi
toleransi, bahkan lebih dari itu untuk memajukan masyarakat dari
keterbelakangan dan keterpurukan (Harisah, 2017:16).
Pengakuan kebenaran universal yang menjadi titik temu agama-
agama semestinya mampu mendorong penghayatan nilai-nilai
kemanusiaan yang dianjurkan agama, sebuah nilai global-universal yang
lintas agama, budaya, dan negara. Kebaikan beragama dilihat dari
kesungguhan seseorang mengimani Tuhannya dan kesediaan diri berbuat
baik terhadap sesamanya. Dalam kontekshidup bermasyarakat dan
bernegara yang plural, tipe keberagamaan yang menekankan orientasi
110
kemanusiaan ini perlu mendapat apresiasi dan penekanan.Demikian
halnya untuk konteks hubungan antarbangsa, sehingga kekhawatiran akan
berlangsungnya clash civilizationantara dunia Timur dan Barat, Islam dan
non Islam, tidak menjadi kenyataan. Hikmah hidup keberagamaan
haruslah bermuara pada komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, tanpa harusdihambat oleh sentimen kelompok
keagamaan.Agama dalam hal ini dihayati sebagai wadah, ekspresi dan
manifestasi pencarian makna hidup manusia melalui aktualisasi
kemanusiaannya (Arif, 2012:8).
Paradigma keberagamaan yang inklusif-pluralis berarti menerima
pandapat danpemahaman lain yang memiliki basis ketuhanan dan
kemanusiaan. Pemahaman keberagamaanyang multikultural berarti
menerima adanya keragaman ekspresi budaya yang mengandungnilai-
nilai kemanusiaan dan keindahan. Pemahaman yang humanis adalah
mengakui pentingnyanilai-nilai kemanusiaan dalam beragama, artinya
seorang yang beragama harus dapatmengimplementasikan nilai-nilai
kemanusiaan, menghormati hak asasi orang lain, peduliterhadap orang
lain dan berusaha membangun perdamaian bagi seluruh umat manusia
(Zainiyati, 2014:140).
Dengan membangun paradigma pemahaman keberagmaan yang lebih
humanis, pluralis,dan kontekstual diharapkan nilai-niali universal yang
ada dalam agama sepeti kebenaran,keadilan, kemanusiaaan, perdamaian
dan kesejahteraan umat manusia dapat ditegakkan. Lebihkhusus lagi, agar
111
kerukunan dan kedamaian antar umat bergama dapat terbangun
(Zainiyati, 2014:141).
Pendidikan secara umum bertujuan mencetak dan membangun
manusia Indonesia seutuhnya. Dalam hal ini dipahami bahwa pendidikan,
khususnya pendidikan agama, tidak hanya menyiapkan manusia yang
unggul dari segi intelektualitasnya saja, namun lebih dari itu pendidikan
berupaya seoptimal mungkin membangun manusia berkepribadian dan
memiliki integritas kejiwaan.
Pendidikan agama sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional
memainkan peranan penting dalam penciptaan karakter generasi bangsa
yang beriman dan bermoral baik. Dan tak kalah pentingnya adalah
menyiapkan generasi yang memiliki kesiapan intelektual dan mental
dalam menghadapi fenomena pluralitas dengan kemampuan melakukan
dialog-dialog dan interaksi-interaksi positif dengan pihak lain. Sikap picik
dan eksklusif, bukan saja menghambat perkembangan jiwa dan
intelektualitasnya, bahkan lebih dari itu akan memancing sikap
permusuhan dan kecurigaan yang pada akhirnya membawa pada konflik-
konflik dalam intern masyarakat (Harisah, 2017:3-4).
Dasar ilmu pendidikan adalah Pancasila sila kedua, yaitu Kemanusian
yang Adil dan Beradab. Prinsip kemanusian artinya adalah bahwa produk
akal manusia yang dijadikan rujukan dalam perilaku sosial maupun sistem
budaya. Produk akal ini harus bertitik tolak dari nilai-nilai kemanusian,
112
memuliakan manusia dan memberikan manfaat serta menghilangkan
kemadaratan bagi manusia.
Dasar ilmu pendidikan dari prinsip kemanusiaan melahirkan prinsip
toleransi, sebagai titik tolak pengamalan demokrasi pendidikan. Karena
cara berfikir manusia yang berbeda-beda, satu sama lainharus saling
menghargai dan mengakui bahwa kebenaran hasil pemikiran manusia
bersifat relatif. Manusia diberikan kebebasan bergerak dan bertindak
sepanjang tidak melakukan kerusakan dan merugikan masyarakat umum
atau hak-hak orang lain. Bebas bukan berarti memaksakan kehendak.
Kemerdekaan adalah kebebasan menjalankan hak-haknya yang diatur
oleh undang-undang. Apabila ilmu pendidikan Islam berdasarkan kepada
prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan, ia pun harus berpegang kepada
prinsip keadilan atau al-mizan (keseimbangan)antara hak dan kewajiban;
sebagai titik tolak kesadaran setiap manusia terhadap hak-hak orang lain
dan kewajiban dirinya. Jika ia berkewajiban melakukan sesuatu, ia berhak
menerima sesuatu. Keduanya harus berjalan seimbang dan dirasakan adil
untuk dirinya dan orang lain (Basri, 2014:182-183).
3. Konsep Pendidikan Islam Berparadigma Inklusif
Secara umum, Pendidikan Islam yang dikutip penulis dari skripsi
saudara Pracahya(2013:18) didefinisikan sebagai pendidikan yang
dipahami dan dikembangkan dari ajaran Islam dan nilai-nilai fundamental
yang terkandung dalam al-Qur‟an dan as-Sunah. Pendidikan Islam
sebagai sistem mempunyai orientasi yang jelas bahwa semata-mata
113
untuk beribadah kepada Allah dan bermanfaat bagi umat manusia. Bisa
dikatakan jika pendidikan Islam belum membentuk pribadi peserta didik
sesuai nilai-nilai universal dan tidak bermanfaat bagi manusia lainnya
maka pendidikan Islam tersebut belum mencapai tujuan. Atas dasar ini,
pendidikan Islam pada dasarnya mengandung nilai-nilai inklusif dan
multikultural. Al-qur‟an menegaskan dalam surat ar-Rum ayat 22 :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit
dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang mengetahui”.
Islam pada dasarnya adalah agama yang toleran terhadap penganut
agama lain. Meskipun agama bersifat plural, tapi semuanya menuju pada
satu kebenaran,yakni kebenaran Tuhan. Bagi kalangan pluralis, semua
agama mengandung kebenaran, sebab pada prinsipnya semua agama dan
ilmu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Dalam terminologi Islam,
semua kebenaran harus bermuara pada satu kebenaran mutlak, yakni
kebenaran Tuhan. Bahkan, agama Islam sangat menganjurkan umatnya
untuk bersikap toleran dan tidak eksklusif terhadap agama lain (Idi, dkk.,
2006:118).
Di dalam ajaran Islam terdapat suatu pandangan yang universal, yaitu
bahwa manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang terbaik dan
tertinggi/ termulia, serta diciptakan dalam kesucian asal (fitrah), sehingga
114
setiap manusia mempunyai potensi benar. Disisi lain, manusia juga
diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang dlaif, sehingga setiap
manusia mempunyai potensi salah. Pandangan semacam ini akan
berimplikasi pada sikap dan perilaku seorang muslim yang berhak
menyatakan pendapat, harus mau mendengarkan dan menghargai
pendapat serta pandangan orang lain, tidak berfaham kemutlakan
(absolutisme), serta tidak mengembangkan sistem kultus individu,
fanatisme buta terhadap kelompok, karena kultus hanya diarahkan kepada
Allah semata (Muhaimin, 2003:172).
Salah satu cara untuk menopang kelestarian nasionalisme adalah
perlunya pengembangan budaya inklusivisme dalam beragama. Melalui
paham ini, di satu sisi, seseorang diharapkan dapat meyakini bahwa
agama yang dianutnya yang paling benar, dan di sisi lain, secara
bersamaan dapat bersikap toleran dan bersahabat dengan pemeluk agama
lain (Idi dkk, 2006:119).
Pendidikan Agama (Islam) sebagai media penyadaran umat
dihadapkan pada problem bagaimana mengembangkan pola
keberagamaan berbasis inklusivisme, pluralis dan multikultural, sehingga
pada akhirnya dalam kehidupan masyarakat tumbuh pemahaman
keagamaan yang toleran, inklusif dan berwawasan multikultur. Hal ini
penting sebab dengan tertanamnya kesadaran demikian, sampai batas
tertentu akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hanif. Ini
semua mesti dikerjakan pada level bagaimana membawa pendidikan
115
Agama dalam paradigma yang toleran dan inklusif (Muqoyyidin,
2013:140).
Praktik pendidikan Islam di tanah air pada dasarnya memiliki andil
besar dalam penguatan integrasi bangsa. Upaya untuk memperkokoh
integrasi bangsa melalui sumbangan Islam perlu dimulai dari pemahaman
konteks normatif-teoritis maupun aplikatif-realistis. Maksudnya, konsep
normatif pendidikan Islam yang sangat menjunjung tinggi pluralisme
harus diwujudkan dalam konteks praktis, aplikatif, dan realistis. Atau
setidaknya, kesenjangan antara tataran konseptual (normatif-teoritis) dan
tataran aplikatif-praktis jangan sampai terlalu signifikan. Oleh karena itu,
dengan berpijak pada kondisirealitas masyarakat Indonesia yang hingga
kini belum keluar dari multikrisis, maka upaya pembenahan pendidikan
nasional maupun pendidikan Islam perlu menjadi prioritas (Idi dkk,
2006:126).
Pendidikan agama semestinya menyadarkan peserta didik
bahwaperbedaan perlu dilihat sebagai anugerah, tidak dilihat sebagai
pilihan yang memberi alternatif untuk segera menyudahi perbedaan
tersebut semisal dengan ideologisasi Islam yang mengarah pada upaya-
upaya menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif terhadap
Pancasila.Sekiranya perbedaan dianggap anugerah, maka pendidikan
agama mengemban tanggungjawab mendorong prakarsa dialog dan
komunikasi positif dalam rangka mewujudkan saling memahami, saling
116
menghargai, dan saling mempercayai agar keragaman dan perbedaan
tidak menuai malapetaka (Arif, 2012:11).
Selanjutnya, pendidikan Agama (Islam) bisa membekali peserta didik
kecakapan hidup (life skill) berupa kemampuan untuk menghadapi
berbagai tantangan yang dihadapi dalam sepanjang kehidupannya di
tengah realitas masyarakat yang plural. Konsekuensinya, pendidikan
Agama (Islam) perlu menekankan pada bagaimana mengajarkan tentang
agama (teaching about religion) yang melibatkan pendekatan kesejarahan
dan pendekatan perbandingan. Hal ini bermanfaat untuk menumbuhkan
kesadaran peserta didik mengenai aspek universaldan partikular ajaran
agamanya. Disamping itu, pendekatan tersebut bermanfaat juga untuk
mengatasi kurangnya perhatian selama ini terhadap upaya mempelajari
agama-agama lain dan kurangnya penanaman nilai-nilai moral yang
mendukung kerukunan antar umat beragama lantaran sikap overprotective
sehingga kecurigaan tetap mewarnai cara pandang antar penganut agama.
Secara psikologis, manfaat dari pendekatan tersebut bisa mengondisikan
peserta didik agar belajar bersikap inklusif dan positif terhadap agama
lain dan kelompok yang berbeda (Arif, 2012:11-12).
Proses pendidikan terutama yang berlangsung di lembaga pendidikan
mempunyai peran dalam membentuk watak dan perilaku setiap peserta
didik.Untuk mewujudkan hal tersebut, berbagai komponen yang terlibat
dalam proses pendidikan perlu direncanakan sedemikian rupa sehingga
mendukung terwujudnya gagasan tersebut. Diantaranya yaitu
117
merumuskan kurikulum pendidikan Islam yang bermuatan toleransi.
Karena keberadaan kurikulum pendidikan Islam yang bermuatan nilai-
nilai toleransi akan menjadi pedoman bagi para pendidik dalam
menyampaikan materi-materi tentang ajaran Islam yang menghargai
keragaman dan perbedaan. Maka dari segi kurikulum, sejak dini peserta
didik harus diajarkan dan dibiasakan tidak hanya dengan materi pelajaran
yang bersifat normatif-doktrinal-deduktif yang tidak ada hubungannya
dengan konteks budaya, namun juga materi yang bersifat historis-empiris-
induktif. Hal ini mengindikasikan perlunya perimbangan antara materi
yang berupa teks dan konteks. Bahwa teks berisi ajaran normatif yang
masih bersifat umum, sementara konteks berupa realitas empirik-faktual
yang bersifat partikular. Persoalan seringkali muncul justru ketika teks
berhadapan dengan realitas partikular yang heterogen tersebut. Karena
itu, materi pelajaran justru harus berisi realitas yang dihadapi peserta
didik dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, meskipun materi yang
diberikan memuat teks-teks normatif, namun ia juga harus berisikan
kasus-kasus konkrit di masyarakat sehingga anak sadar bahwa ia hidup
dalam situasi nyata yang penuh perbedaan (Muqoyyidin, 2013:143-144).
Setelah aspek kurikulum, sosok pendidik yang berparadigma inklusif-
multikultural juga perlu ditekankan dalam proses pembelajaran agama di
sekolah. Sebab, sebaik apa pun materi yang telah diprogramkan dalam
kurikulum, jika tidak dipahami dan disampaikan oleh pendidik yang
kompeten, maka tidak akan fungsional. Untuk itu, penyiapan tenaga
118
kependidikan, dalam hal ini guru pendidikan agama, yang mempunyai
paradigma pendidikan inklusif-multikultural harus dilakukan
(Muqoyyidin, 2013:145).
Guru dan sekolah memegang peranan penting dalam
mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif dan
moderat di sekolah. Apabila guru mempunyai paradigma pemahaman
keberagamaan yang inklusif dan moderat, maka dia juga akan mampu
mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan tersebut
pada siswa di sekolah (Muqoyyid, 2013:146). Peran guru dalam hal ini
meliputi: pertama, seorang guru/dosen harus mampu bersikapdemokratis,
baik dalam sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif. Kedua,
guru/dosenseharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap
kejadian-kejadian tertentu yang adahubungannya dengan agama.Ketiga,
guru/dosen seharusnya menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama
adalahmenciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat
manusia, maka pemboman, invasimiliter, dan segala bentuk kekerasan
adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. Keempat, guru/dosen mampu
memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan musyawarah
dalammenyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan
keragaman budaya, etnis, dan agama (Ainurrofiq, 2007:141).
Seorang guru yang mengapresiasi upaya-memahami semestinya
senantiasa memikirkan apa makna materi yang diajarkan bagi dirinya dan
apa makna materi tersebut bagi para peserta didiknya.Diletakkan dalam
119
konteks pluralitas agama, budaya, dan masyarakat, diantara makna yang
perlu dipikirkan adalah menyangkut pengembangan how to live and work
together with others, bagaimana hidup dan bekerja bersama dengan orang
lain. Dengan demikian, dalam pendidikan agama gurudituntut untuk
bersifat reflektif yang mengedepankan sintesis, dialog, dan
caring.Sintesis bermakna guru harus selalu bisa memadukan materi
pembelajaran dengan realitas sosial yang ada, khususnya latarbelakang
peserta didik. Dialog bermakna guru menekankan pada pengembangan
kemampuan peserta didik untuk menjadi pendengar yang baik, cakap
menganalisis, dan tangkas memberikan argumen balik secara santun.
Caringbermakna guru harus menjadi figur yang penuh perhatian, tanggap
terhadap kebutuhan, dan peduli akan nasib peserta didik (Arif, 2012:13-
14).
Selanjutnya, dari segi strategi pembelajaran yang digunakan guru
mempunyai peran penting dalam membentuk sikap dan perilaku peserta
didik dalam konteks inklusif-multikultural. Tanpa adanya metode dan
media yang bagus, materi pembelajaran sebagus apapun akan sulit
dicerna dengan baik oleh peserta didik. Pendidik dapat membuat metode
dan media pembelajaran pendidikan agama Islam sesuai dengan
kebutuhan serta kondisi objektif peserta didiknya. Dalam konteks ini,
pendidik dituntut sekreatif mungkin untuk mendesain serta menggunakan
metode dan media pembelajaran yang tepat, sehingga dapat memotivasi
peserta didik untuk menginternalisasi dan mengaktualisasikan nilai-nilai
120
toleransi ke dalam kehidupan konkrit sehari-hari (Muqoyyidin,
2013:147).
Sementara terkait media pembelajaran, pendidik agama Islam
misalnya dapat memutar film dan membuat gambar, poster, komik, dan
sebagainya yang memuat nilai-nilai toleransi beragama. Di era teknologi
informasi yang berkembang sangat pesat belakangan ini, kiranya tidak
sulit bagi pendidik agama Islam untuk mencari dan membuat media
bermuatan nilai-nilai toleransi yang bagus dan menarik (Muqoyyidin,
2013:148).
Dari paparan diatas, bahwa pendidikan Islam yang diajarkan bukan
hanya sebatas materi tentang keagamaan yang bersifat kogntif saja. Akan
tetapi, bagaimana pendidikan Islam mampu berkontribusi untuk kesatuan
bangsa negara di tengah masyarakat yang plural. Sikap keterbukaan
(inklusif) untuk menerima perbedaan harus ditanamkan oleh pendidik
kepada anak didiknya. Dimana pendidikan Islam mampu memberi
pengetahuan untuk membangun masyarakat yang damai di tengah
perbedaan.
Dengan demikian konsep Islam inklusif sangat diperlukan dalam
suasana keberagaman saat ini. Karena sikap inklusif berkaitan erat dengan
banyak aspek hidup manusia yang didasarkan atas prinsip persamaan,
keadilan, dan hak individu. Ideologi inklusif memandang bahwa semua
agama memiliki kebenaran dan membawa kemanfaatan bagi para
penganutnya. Selain itu inklusif memandang bahwa agama yang diyakini
121
seseorang memiliki kebenaran, akan tetapi tidak menutup kemungkinan
bahwa agama yang lain juga benar. Indonesia adalah salah satu negara
yang penuh dengan keberagaman, maka demikian diperlukan adanya
sikap inklusif atau keterbukaan. Dengan adanya sikap inklusif-plural akan
menghindari kebenaran sepihak atau kebenaran yang diyakini sendiri,
tanpa memperdulikan kebenaran yang diyakini orang lain.
Islam merupakan yang universal atau agama yang mendunia karena
risalahnya sebagai rahmat bagi semesta alam. Pandangan ini melahirkan
sikap sosial-keagamaan yang unik di kalangan umat Islam terhadap
agama-agama lain atas dasar toleransi, kebebasan, keterbukaan,
kewajaran, keadilan dan kejujuran. Kemajemukan dan keanekaragama
yang dimiliki masyarakat kita sekarang diperlukan adanya keterbukaan,
saling menerima perbedaan, serta menumbuhkembangkan kesadaran
pluralitas agama yang dimilikinya. Hal itu untuk mewujudkan masyarakat
yang damai dan harmonis. Selain itu, juga diperlukan adanya kesadaran
multikultural, dimana semua perbedaan baik dari segi agama, suku, dan
budaya dianggap sama atau memiliki derajat sama yang harus diterima,
dihargai, dan dilindungi keberadaannya.
Berhubungan dengan pendidikan saat ini, sangat diperlukan sekali
pendidikan yang mampu mencetak manusia-manusia yang toleran dan
terbuka terhadap perbedaan di tengah-tengah masyarakat yang plural. Hal
itu juga untuk menghindari sikap eksklusivisme yang hanya meyakini
kebenaran sendiri atau kebenaran tunggal. Selain itu, menurut Ilmi Najib
122
(koordinator Gusdurian Malang) dalam wawancara via email,
mengatakan bahwa pendidikan harus menjadi sebuah pintu metodelogis
yang membangun seiring perkembangan zaman, namun tidak keluar dari
nilai-nilai kebangsaan. Karena sudah lama pendidikan bangsa ini bersifat
fungsional, sebagai contoh para peserta didik diatur dalam satu bidang
keilmuwan yang sesuai dengan jurusan. Upaya memberikan pendidikan
yang terbuka dan bebas berfikir dan berkarya masih ilusi di bangsa ini.
Selanjutnya, lembaga pendidikan di bangsa ini harus mempunyai konsep
baru yang memberikan kebebasan dan berkreasi, berpendapat, berfikir
serta bergerak di wilayah segala ilmu pengetahuan. Manusia
berpendidikan tidak sama dengan robot yang bisa diperdaya semaunya
dan menjadi buruh di tanah air. Kemudian Ketua Umum Pengurus Besar
Persatuan Guru Republik Indonesia, Unifah Rosyidi (Harian Kompas,
2017:15) menyerukan agar institusi pendidikan menjadi wadah inklusif
yang membentuk generasi muda menjadi sosok yang demokratis-moderat,
menghormati kebinekaan, serta mengutamakan persataun dan kesatuan
bangsa. Pendidikan Islam pada dasarnya mengandung nilai-nilai inklusif
dan multikultural yang perlu dikembangkan. Maka dari itu, diperlukan
pendidikan Islam yang berparadigma inklusif-multikultural. Dimana
dalam pendidikan Islam inklusif mampu menerima segala perbedaan yang
dimiliki peserta didik, tidak memandang bagaimana latar belakangnya,
keadaan sosial, agama, maupun budaya. Dengan adanya pendidikan Islam
inklusif akan mampu menumbuhkan sikap toleran dan keterbukaan, serta
123
sikap peduli dengan sesama kepada peserta didik khususnya. Dalam
pendidikan Islam inklusif materi yang disampaikan harus bermuatan
toleransi. Karena dengan materi yang bermuatan toleransi akan menjadi
pedoman bagi para pendidik dalam menyampaikan materi-materi tentang
ajaran Islam yang menghargai keragaman dan perbedaan. Selain itu,
seorang pendidik yang mengajar mempunyai paradigma pemahaman
keberagamaan yang inklusif dan moderat, hal itu diperlukan karena untuk
mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan tersebut
pada siswa di sekolah.
124
BAB IV
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIF
KH. ABDURRAHMAN WAHID
A. Analisis Konsep Pendidikan Islam Inklusif KH. Abdurrahman Wahid
Pendidikan merupakan perbuatan fundamental dalam bentuk komunikasi
antar pribadi, dalam komunikasi tersebut terjadi proses pemanusian manusia
atau bisa dikatakan bahwa pendidikan sebagai proses humanisasi untuk
menghargai segala potensi yang dimiliki oleh manusia. Dengan demikian,
pendidikan diharapkan mampu mengembangkan manusia sebagai makhluk
yang tumbuh dan berkembang dengan segala potensi (fitrah) yang
dimilikinya. Dengan konteks sosial-kultural yang dimiliki Indonesia,
pendidikan akan menghadapi peserta yang lebih beragam dan bervariasi.
Maka dari itu, pendidikan diharapkan mampu menanamkan sikap keterbukaan
dalam menghadapi perbedaan dalam suatu masyarakat.
Hal ini dalam penjelasan KH. Abdurrahman Wahid dapat disimpulkan,
bahwa watak terbuka dan adanya kemauan berdialog dari kalangan pemuka
agama dengan kebudayaan merupakan perspektif tersendiri dalam upaya
menginternalisasikan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat plural dengan
segala latar belakang yang beragam (Wahid, 2007:xxi). Sedangkan proses
belajar dalam Islam menghendaki terciptanya peserta didik yang mampu
memahami segala aspek, bukan dari segi kognitif semata, melainkan mampu
mewujudkan atau tercerminkan dalam perbuatan yang nyata (psikomotorik).
125
1. Insklusivitas Pemikiran Islam Gus Dur
Beberapa hal yang melatarbelakangi corak pemikiran Gus Dur yaitu
dari faktor pendidikan serta pengalaman yang ditempuhnya mulai dari
pendidikan pesantren, sampai menjelajah di negara Mesir, Baghdad, dan
Eropa. Dengan pengalaman yang ditempuhnya tersebut, maka tidak aneh
jika seorang Gus Dur memiliki pemikiran yang lebih maju dari masanya.
Bisa dikatakan bahwa Gus Dur seorang kosmopolit (yaitu
mengintegrasikan modernisme dan tradisionalisme), inklusif (yaitu
terbuka, menerima hal-hal baru yang dianggap lebih baik untuk agama
dan masyarakat), progresif (yaitu berfikiran maju, bahkan dalam hal-hal
tertentu melewati batas-batas dari kebiasaan pada umumnya).
a. Pribumisasi Ajaran Islam
Salah satu pemikiran inklusif yang diusung oleh Gus Dur yang
menonjol adalah tentang pribumisasi ajaran Islam. Seperti dalam
beberapa karya-karyanya, Gus Dur selalu bersikap terbuka terhadap
segala hal, terutama dalam kebudayaan. Hal itu dikarenakan latar
belakang Gus Dur yang lahir dan tumbuh berkembang di dalam dunia
pesantren. Seperti yang dijelaskan Gus Dur, kebanyakan pesantren
didirikan sebagai salah satu bentuk reaksi terhadap pola kehidupan
tertentu yang dianggap rawan, dan dengan demikian berdirinya
pesantren itu sendiri juga menjadi salah satu bagian dari transformasi
kultural yang berjalan dalam jangka waktu sangat panjang. Karena
hakikat pesantren sebagai titik mula proses transformasi, dengan
126
sendirinya pesantren dipaksa oleh keadaan menjadi alternatif terhadap
pola kehidupan yang ada. Peranan sebagai pilihan ideal ini sangat
sesuai dengan perwujudan kultural agama Islam yang sampai ke
Kepulauan Nusantara. Sebagaimana dapat disimpulkan dari sejarah
penyebaran Islam di kawasan ini, perwujudan kultural Islam adalah
perpaduan antara doktrin-doktrin formal Islam dan kultus para wali
(yang berpuncak pada kultus wali songo), sebagai sisa pengaruh
pemujaan orang-orang suci (hermits) dalam agama Hindu.
Perwujudan kultural ini tampak nyata sekali dalam asketisme (bahasa
Arab: az-zuhd, sering kali dinamai pula “kealiman” di negeri ini)
yang mewarnai kehidupan agama Islam di Kepulauan Nusantara,
tidak sebagaimana di negeri negeri Arab sendiri sepanjang sejarahnya
(Wahid, 2010:12).Selanjutnya dikatakan juga oleh Gus Dur bahwa
Pribumisasi ajaran Islam adalah pemahaman terhadap nash, baik yang
bersumber dari Al-Qur‟an maupun hadis, dikaitkan dengan masalah-
masalah di negeri ini (Wahid, 1993:152).
Pribumisasi yang dilakukan oleh Gus Dur dikarenakan untuk
melestarikan budaya yang sudah ada di dalam suatu masyarakat. Hal
ini untuk membalik arus perjalanan Islam di negeri kita, dari
formalisme berbentuk „Arabisasi total‟ menjadi kesadaran akan
perlunya dipupuk kembali akar-akar budaya lokal dan kerangka
kesejarahan kita sendiri, dalam mengembangkan kehidupan beragama
Islam di negeri ini. Selanjutnya yang „dipribumikan‟ adalah
127
manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut
inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan „Quran
Batak‟ dan „Hadist Jawa‟. Islam tetap Islam, dimana saja berada.
Akan tetapi tidak berarti semua harus disamakan „bentuk luarnya‟
(Wahid, 2016:108).
Dari uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa pribumisasi
yang dilakukan Gus Dur semata-mata untuk mengembalikan budaya-
budaya lokal dalam ajaran Islam, bukan untuk menghilangkan budaya
lokal karena untuk mengikuti budaya lain (Arab). Salah satu contoh,
bagaimana Gus Dur menghargai atau menghormati budaya lokal
yaitu, ucapan salam “assalamualaikum” boleh diganti dengan “kulo
nuwun”, dan “selamat pagi”.
b. Pluralisme
Pluralisme merupakan sikap yang saling menghormati perbedaan-
perbedaan antar kelompok serta toleran terhadap orang lain yang
berbeda, baik dari segi agama, suku, dan ras. Pluralisme hadir karena
masyarakat Indonesia yang beragam, kultur dan budaya yang dimiliki
juga beragam yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Inilah yang
membuat Islam memahami toleransi dan menerima pluralitas, yang
berujung pada penerimaan mayoritas Muslim di negeri ini akan
Pancasila dan penolakan mereka atas negara Islam melalui
penghapusan Piagam Jakarta dari Undang-undang Dasar (UUD) 1945
(Wahid, 2006:342).
128
Islam adalah agama yang universal. Universalisme Islam
menampakkan diri dalam berbagai manifestasi ajaran-ajarannya.
Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum
agama (fiqh), keimanan (tauhid), serta etika (akhlaq), seringkali
disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka
dan dalam sikap hidup (Wahid, 2007:3). Dalam wawancara kepada
Gus Dur, Gus Dur mengatakan bahwa “agama itu kekuatan inspiratif,
kekuatan moral. Jadi agama harus membentuk etika dari masyarakat.
Itu yang paling penting, menurut saya. Lebih dari itu menimbulkan
problem. Ketika kita membentuk etika masyarakat, maka agama itu
sendiri merumuskan masa depan masyarakat itu kayak apa yang
diingini, dengan menilai situasi masyarakat pada saat itu bagaimana.
Karena itu selalu berangkat dari kenyataan-kenyataan. Umpama,
sekarang agama bisa menunjukkan bahwa masyarakat kita ini belum
demokratis betul. Lalu apa yang bisa diperbuat supaya bisa
demokratis betul. Mungkin agama lebih penting lagi berperan di situ.
Tapi dalam kenyataan, malah orang kaya saya yang bikin Forum
Demokrasi, yang marah-marah kalangan agama. Kan lucu. Mereka
nggak ngerti” (Wahid, 1998:153). Akan tetapi dalam konteks
sekarang agama dijadikan alat untuk memecahbelahkan umat
beragama.
Asal pandangan yang menganggap Islam sebagai cara hidup
memiliki keunggulan atas cara-cara hidup lain, sebenarnya tidak
129
salah. Setiap orang tentu menganggap sistemnya sendiri yang benar.
Karena itu perbedaan cara hidup adalah sesuatu yang wajar. Ini
termasuk dalam apa yang dimaksudkan oleh kitab suci al-Qur‟an:
“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laiki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal”
(QS al-Hujurat, 49:13).
Perbedaan pandangan atau pendapat adalah sesuatu yang wajar
bahkan akan memperkaya kehidupan kolektif kita, sehingga tidak
perlu ditakuti. Kenyataan inilah yang mengiringi adanya perbedaan
kultural (dan juga politik) antara berbagai kelompok Muslim yang
ada kawasan-kawasan dunia. kemudian yang dilarang oleh agama
Islam adalah perpecahan, bukannya perbedaan pendapat. Kitab suci
al-Qur‟an menyatakan:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai berai dan ingatlah nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-
musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu lalu menjadilah
kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara dan
130
kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapatkan
petunjuk”(QS Ali Imran, 3:103).
Dengan demikian, perbedaan diakui namun perpecahan/
keterpecah-belahan ditolak oleh agama Islam (Wahid, 2006:351).
Inilah yang diinginkan Gus Dur dalam masyarakat yang plural dan
beragam, agar mampu bersikap toleran terhadap perbedaan.
Selain itu, Islam juga menegakkan penghargaan kepada
perbedaan pendapat dan perbenturan keyakinan. Jika perbedaan
pandangan dapat ditolerir dalam hal paling mendasar seperti
keimanan, tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan
dalam mengelola perbedaan pandangan politik dan ideologi. Tampak
nyata dari tilikan aspek ini, bahwa Islam melalui ajarannya memiliki
pandangan universal, yang berlaku untuk umat manusia secara
keseluruhan (Wahid, 2007:6).
c. Humanisme
Humanisme merupakan paham yang menempatkan manusia
sebagai pusat realita kehidupan. Konsep humanisme atau
memanusiakan manusia diusung oleh Gus Dur untuk menegakkan
keadilan bagi setiap manusia. Hal ini dipahami betul oleh Gus Dur
dengan dasar hukum agama al-kutub al-fiqhiyyah kuno, yaitu jaminan
dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga
masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok.
Jaminan dasar itu yaitu (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari
131
tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs), (2)
keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan
untuk berpindah agama (hifdzu ad-din), (3) keselamatan keluarga dan
keturunan (hifdzu an-nasl), (4) keselamatan harta benda dan milik
pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum
(hifdzu al-mal), dan (5) keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-
aqli) (Wahid, 2007:4).
Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan
adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil
kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak
masing-masing. Hanya dengan kepastian hukum lah sebuah
masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan
derajat antara sesaman warganya. Sedangkan jaminan dasar akan
keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga
masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan
mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling
pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan
sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan, dan kedzaliman
terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan atau agama
dari keyakinan mayoritas, sejarah umat manusia membuktikan bahwa
sebenarnya toleransi adalah bagian inherent dari kehidupan manusia
(Wahid, 2007:5).
132
Jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok
moral yang sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis yang
utuh maupun dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi
sekuat mungkin. Karena keluarga merupakan ikatan sosial yang
paling dasar, maka tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam
bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Kesucian keluarga
inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi dalam
derajat sangat tinggi (Wahid, 2007:6).
Jaminan dasar akan keselamatan harta benda (al-milk, property)
merupakan sarana bagi berkembangnya hak-hak individu secara
wajar dan proporsional, dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat
atas individu. Masyarakat dapat menentukan kewajiban-kewajibannya
yang diinginkan secara kolektif atas masing-masing individu warga
masyarakat. Tetapi penetapan kewajiban itu ada batas terjauhnya, dan
warga masyarakat secara perorangan tidak dapat dikenakan
kewajiban untuk masyarakat lebih dari batas-batas tersebut. Batas
paling praktis, dan paling nyata jika dilihat dari perkembangan
Sosialisme dan terutama Marxisme-Leninisme saat ini, adalah
pemilikan harta benda oleh individu. Sejarah umat manusia
menunjukkan bahwa hak dasar akan pemilikan harta benda inilah
yang menjadi penentu kreativitas warga masyarakat. Ini bisa berarti
bahwa kesedian melakukan transformasi itulah warga masyarakat
memperlihatkan wajah universal kehidupannya.
133
Jaminan dasar akan keselamatan profesi menampilkan sosok lain
dari universalitas ajaran Islam. Penghargaan kepada kebebasan
penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan
atas resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan
kegagalan yang membayanginya. Dengan ungkapan lain, kebebasan
menganut profesi yang dipilih berarti peluang untuk menentukan arah
hidup lengkap dengan tanggungjawabnya sendiri. Namun, pilihan itu
tetap dalam kerangka alur umum kehidupan masyarakat, karena
pilihan profesi berarti meletakkan diri dalam alur umum kegiatan
masyarakat, yang penuh dengan ukuran-ukurannya sendiri (Wahid,
2007:8).
Dengan pemahaman dari kelima jaminan dasar tersebut, Gus Dur
menempatkan posisi manusia dengan sebaik-baik posisi. Gus Dur
menyamakan atau mensetarakan hak-hak setiap individu dengan
seadil-adilnya, tidak ada perbedaan sedikitpun antara kaum minoritas
dengan kaum mayoritas. Bagi Gus Dur semua sama dan harus
diperlakukan sama pula.
2. Konsep Pendidikan Islam Inklusif KH. Abdurrahman Wahid
Salah satu pemikiran yang diungkapkan oleh Gus Dur dalam konteks
pendidikan Islam adalah pendidikan Islam harus beragam serta adanya
pembaruan dalam tubuh pendidikan Islam itu sendiri. Pemikiran tersebut
digagas oleh Gus Dur karena beliau memahami betul kondisi sosial
masyarakat yang majemuk di Indonesia. Keserasian antara pemikiran Gus
134
Dur dan masyarakat secara umum adalah kemampuannya dalam
memahami berbedaan di tengah-tengah masyarkat yang plural. Sehingga
Gus Dur mewujudkan konsep tersebut ke dalam ruh pemikirannya akan
peran pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan Islam yang
maresentasikan pendidikan moral dengan ajaran tradisional sebagai
pewaris tradisi intelektual Islam. Selain itu, pendidikan Islam juga
menawarkan ajaran yang universal yang menampilkan sikap kepedulian
yang besar terhadap hak-hak manusia.
Secara umum unsur-unsur pendidikan ada 9 yaitu: tujuan, kurikulum,
pendidik, peserta didik, lembaga pendidikan, metode, media, evaluasi,
dan lingkungan. Akan tetapi, di sini penulis hanya memaparkan sebagian
dari unsur pendidikan secara umum dalam perspektif Gus Dur, yaitu:
a. Tujuan Pendidikan Islam Inklusif
Salah satu gagasan Gus Dur dalam upaya memperlihatkan citra
pendidikan Islam ke dalam kehidupan kemasyarakatan adalah dengan
pendidikan Islam inklusif atau pendidikan Islam yang berwawasan
multikultural. Dengan adanya pendidikan ini, diharapkan pendidikan
Islam lebih terbuka dengan adanya keberagaman yang ada dalam
masyarakat, sehingga tidak menutup kemungkinan pendidikan Islam
akan mewujudkan sebuah pendidikan yang membebaskan setiap hak
dan kewajiban setiap individu.
Selanjutnya, menurut Gus Dur sifat inklusif atau keterbukaan
yang termanifestasi kultural dan wawasan keilmuwan akan membawa
135
umat Islam dalam sebuah peradaban Islam ke tingkat sangat tinggi
(Wahid, 2007:4). Landasan dan filososfi utama pemikiran Gus Dur
dalam pendidikan Islam yaitu menitikberatkan pendidikan Islam
sebagai etika sosial (social ethics) dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Karena ketidaksetujuan Gus Dur terhadap formalisasi
ajaran Islam di masyarakat yang mejemuk.
Pendidikan Islam yang benar haruslah mengajarkan “formalisasi
Islam”. Diskusi tentang mewujudkan “Pendidikan Islam yang benar”
memang terjadi, tapi tidak ada seorang peserta pun yang menafikan
dan mengingkari peranan berbagai corak pendidikan Islam yang telah
ada (Wahid, 2006:223).
b. Kurikulum Pendidikan Islam Inklusif
Pemikiran Gus Dur yang plural, tentu tidak lepas dari kondisi
yang berkembang di negeri ini. Dengan realitas sosial yang mejemuk,
dituntut sebuah pemikiran yang cukup beragam, tak terkecuali dalam
pendidikan Islam. Gus Dur dalam hal pendidikan Islam lebih banyak
tercurahkan pada pondok pesantren, sebagai institusi tertua yang
berkembang untuk pertama kali di bangsa ini. Karena di dalam
pesantren yang terdiri dari santri yang berbeda latar belakang,
membutuhkan pemikiran yang cukup beragam dan variasi. Hal itu
juga yang harus tertuang dalam sebuah kurikulum, dimana kurikulum
tersebut mampu menyampaikan materi yang dipahami bukan hanya
136
dari segi kognitifnya saja, akan tetapi juga menekankan pada aspek
afektif dan psikomotorik.
Selanjutnya menurut Gus Dur, kurikulum yang berkembang di
pesantren selama ini memperlihatkan sebuah pola yang tetap. Pola itu
dapat diringkas ke dalam pokok-pokok berikut: (a) kurikulum
ditunjukkan untuk mencetak ulama dikemudian hari, (b) struktur
dasar kurikulum itu adalah pengajaran pengetahuan agama dalam
segenap tingkatannya dan pemberian pendidikan dalam bentuk
bimbingan kepada santri secara pribadi oleh kiai/guru, (c) secara
keseluruhan kurikulum yang ada berwatak lentur atau fleksibel
(Wahid, 2010:145).
Pandangan Gus Dur dalam memahani jaminan dasar atau
maqasidul syariatmenampilkan universalitas pandangan hidup yang
utuh dan bulat. Pemerintahan berdasarkan hukum, persamaan derajat
dan sikap tenggangrasa terhadap perbedaan pandangan adalah unsur-
unsur utama kemanusian, dan dengan demikian, menampilkan
universalitas ajaran Islam. Dan selanjutnya watak kosmopolitan
muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan
etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas politik.
Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur
dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan baragama yang eklektik
selama berabad-abad (Wahid, 2007:8-9). Selanjutnya dalam
pendidikan Islam inklusif terutama dalam kurikulumnya
137
mengaharapkan mampu menumbuhkan cara berfikir yang universal
dan siap menerapkan dalam pengetahuannya dalam masyarakat dan
dunia kerja.
c. Pendidik dalam pendidikan Islam Inklusif
Pendidik dalam Islam yaitu orang yang bertanggungjawab
terhadap peserta didik. Bisa dikatakan pendidik sebagai subjek dalam
pembelajaran. Jiwa seorang pendidik dapat dilihat pada diri Gus Dur
yang terekam saat diwawancara dengan jawaban “Ada saja. Lagi pula
anak-anak itu „kan sebenarnya nggak membutuh waktu yang banyak.
Yang penting kita selalu memperhatikan kebutuhan mereka. Jadi apa
yang mereka butuhkan, kita harus tahu dan kemudian kita tanggapi.
Anak empat, macam-macam. Ada yang lebih dekat ke saya, ada yang
lebih dekat ke ibunya. Alisa, anak saya yang sulung, agaknya lebih
dekat ke saya. Untuk masalah duit, mereka pasti ngomong pada saya.
Mungkin ada juga masalah-masalah tertentu yang mereka nggak mau
ngomong sama saya” (Wahid, 1998:162-163). Dalam wawancara
tersebut, Gus Dur memberi contoh sebagai sosok pendidik harus
memberikan perhatian kebutuhan anak didik. Selain itu harus adanya
sikap kepekaan seorang pendidik terhadap peserta didik, hal itu untuk
menumbuhkan kedekatan antara pendidik dan peserta didik.
Pendidik dituntut untuk sebisa mungkin menjadi mediator
(mengembalikan fungsi utama pendidik), karena yang dapat
mengetahui kondisi peserta didik dalam pembelajaran. Diharapakan
138
seorang pendidik mampu memberikan teladan atau contoh yang baik
kepada peserta didik. Menanamkan sikap keterbukaan terhadap
lingkungan disekitar pembelajaran.
d. Peserta Didik dalam Pendidikan Islam Inklusif
Peserta didik dapat dikatakan sebagai obyek pendidikan, karena
dalam hal ini peserta didik adalah peserta dalam mencari ilmu. Gus
Dur mengistilahkan peserta didik dalam pendidikan Islam dengan
sebutan santri. Menurut Gus Dur, santri adalah siswa yang tinggal di
pesantren, guna menyerahkan diri. Ini merupakan persyaratan mutlak
untuk memungkinkan dirinya menjadi anak didik kiai dalam arti
sepenuhnya. Dengan kata lain, ia harus memperoleh kerelaan sang
kiai dengan mengikuti segenap kehendaknya dan juga melayani
segenap kepentingannya. Pelayanan harus dianggap sebagai tugas
kehormatan yang merupakan ukuran penyerahan diri itu. Kerelaan
kiai ini, yang dikenal di pesantren dengan nama barakah, adalah
tempat berpijak santri di dalam menuntut ilmu (Wahid, 2010:21).
Dalam proses mencari ilmu, peserta didik atau santri akan
berhadapan dengan seorang pendidik atau kiai. Maka dari itu, sebagai
peserta didik harus bersikap tawadhu‟ terhadap guru, serta berjiwa
ikhlas dalam menerima pembelajaran yang disampaikan oleh guru.
e. Strategi Pendidikan Islam Inklusif
Ajaran-ajaran formal Islam yang dipertahankan sebagai sebuah
“keharusan” yang diterima kaum muslimin dengan ditekankan pada
139
dua hal yang saling terkaitan dalam pendidikan Islam. Kedua hal itu,
adalah pembaharuan pendidikan Islam dan modernisasi pendidikan
Islam, dalam bahasa Arab: tajdid al-tarbiyah al-Islamiah dan tahdits
al-tarbiyah al-Islamiyah. Dalam istilah pertama, yaitu tajdid al-
tarbiyah al-Islamiyahtentu saja ajaran-ajaran formal Islam harus
diutamakan, dan kaum muslimin harus dididik mengenai ajaran-
ajaran mereka. Yang diubah adalah cara penyampaiannya kepada
peserta didik, sehingga mereka akan mampu memahami dan
mempertahankan kebenaran. Bahwa hal ini memiliki validitas sendiri,
dapat dilihat pada kesungguhan anak-anak muda muslimin terpelajar,
untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajaran
yang benar tentang Islam. Contoh paling mudahnya adalah
menggunakan tutup kepala di sekolah non-agama, yang di negeri
inidikenal dengan nama jilbab. Ke-Islaman lahiriyah seperti itu, juga
terbukti dari semakin tingginya jumlah mereka dari tahun ke tahun
yang melakukan ibadah haji kecil atau umroh (Wahid, 2006:225).
Demikian juga, semangat menjalankan ajaran Islam, datangnya
lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah, antara berbagai
komponen masyarakat Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam
tidak hanya disampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di
sekolah-sekolah agama atau madrasah belaka, melainkan juga melalui
sekolah-sekolah non-agama yang berserak-serakan di seluruh penjuru
dunia. tentu saja, kenyataan sepeti itu tidak dapat diabaikan di dalam
140
penyelenggarakan pendidikan Islam di negeri manapun. Hal lain yang
harus diterima sebagai kenyataan hidup kaum muslimin di mana-
mana, adalah respon umat Islam terhadap tantangan modernisasi
(Wahid, 2006:225).
Karenanya, peta keberagaman pendidikan Islam seperti
dimaksudkan di atas, haruslah bersifat lengkap dan tidak
mengabaikan kenyataan yang ada. Lagi-lagi kita berhadapan dengan
kenyataan sejarah, yang mempunyai hukum-hukumnya sendiri.
Mengembangkan keadaan dengan tidak memperhitungkan hal ini,
mungkin hanya bersifat menina-bobokan kita belaka dari tugas
sebenarnya yang harus kita pikul dan laksanakan. Sikap mengabaikan
keberagaman ini, adalah sama dengan sikapa burung onta yang
menyembunyikan kepalanya di bawah timbunan pasir tanpa
menyadari badannya masih nampak. Jika kita masih bersikap seperti
itu, akan berakibat sangat besar bagi perkembangan Islam di masa
yang akan datang. Karenya jalan terbaik adalah membiarkan
keanekaragaman sangat tinggi dalam pendidikan Islam dan
membiarkan perkembangan waktu dan tempat yang akan menentukan
(Wahid, 2006:227).
Selanjutnya, dalam memahami keberagaman yang ada di
Indonesia, Gus Dur lebih mengedepankan sikap inklusif. Dengan
bekal keilmuwan Islam dan juga khazanah intelektual secara umum
membuatnya menjadi pribadi yang memiliki pandangan komprehensif
141
terhadap berbagai persoalan yang ada. Kemudian terkait dengan
pendidikan Islam yang identik dengan pesantren sebagai syiar Islam,
Gus Dur menjelaskan beberapa strategi yang digunakan, yaitu:
1) Strategi Politik
Strategi ini menekankan pentingnya formalisasi ajaran-ajaran
Islam ke dalam lembaga-lembaga negara melalui upaya-upaya
formal dan legal yang terus menerus pada gerakan-gerakan Islam
tersebut, terutama melalui partai Islam yang eksplisit atau suatu
partai politik eksklusif bagi orang Islam pada tahap nanti. Untuk
mengantisipasi datangnya tahapan ini, orang-orang Islam harus
belajar mengenai moral Islam yang benar dan menerapkan pola
hidup Islami baik secara pribadi maupun dalam bermasyarakat
(Wahid, 2007:148).
Terkait dengan pendidikan Islam, strategi ini menekankan
adanya etika dalam sebuah lembaga yang dapat menaunginya.
Karena dengan adanya hal itu, pendidikan Islam mampu
terproklamasikan dengan baik.
2) Strategi Kultural
Strategi ini dirancang bagi pengembangan kepribadian yang
matang bagi orang-orang Islam dengan cara memperluas
wawasan mereka, melebarkan ruang lingkup komitmen mereka,
memperdalam kesadaran mereka mengenai kompleksitas
lingkungan umat manusia, dan memperkuat solidaritas mereka
142
terhadap sesama umat manusia tanpa memandang ideologi
politik, asal usul etnis, latar belakang budaya, dan keyakinan
agama. Agar tujuan ini dapat dicapai maka diperlukan
pengembangan penuh perilaku rasional orang-orang Islam
terhadap kehidupan. Strategi ini menekankan dialog terbuka
dengan seluruh ideologi dan pemikiran-pemikiran filsafat, dengan
tujuan untuk memperdayakan umat Islam agar dapat menyerap
sebanyak mungkin segala macam pengetahuan dan informasi.
Dengan demikian, perilaku ini menghindari segala macam
pelembagaan ajaran-ajaran Islam, karena usaha semacam ini
dalam hal pelembagaan ajaran-ajaran tadi akan mempersempit
mereka ke dalam sikap-sikap eksklusif dan langkah-langkah
sendiri yang menghambat kebebasan mengemukakan pendapat
dan pikiran-pikiran liberal yang sangat dihargai oleh strategi ini
(Wahid, 2007:148-149).
Strategi ini memungkinkan pendidikan Islam untuk lebih
terbuka dengan ajaran-ajaran di luar ajaran Islam. Selanjutnya,
dialog terbuka harus selalu dibiasakan kepada peserta didik untuk
memahamkan akan keberagama yang ada. Selain itu, juga untuk
menghindari sikap eksklusif serta penyempitan cara berfikir
mereka.
143
3) Strategi Sosial
Melihat perlunya mengembangkan kerangka berpilar
masyarakat dengan menggunakan prinsip-prinsip dan nila-nilai
Islam. Akan tetapi, lembaga-lembaga yang dihasilkan dari
proses-proses ini bukan eksklusif lembaga-lembaga Islam, tapi
“lembaga-lembaga umum” yang dapat diterima oleh semua.
Dengan kata lain, kerangka-kerangka berfikir masyarakat yang
dibangun oleh umat Islam mesti berhubungan dengan yang
dibangun oleh orang lain. Komunalitas ini hendaknya
merefleksikan keinginan bagi suatu transformasi fundamental
atas masyarakat itu dengan usaha-usaha dari mereka sendiri.
Formalisasi ajaran-ajaran Islam bukan bagian dari transformasi
itu, tapi mereka memberikan kontribusi bagi terbentuknya suatu
masyarakat di mana umat Islam dapat mengimplemantasikan diri
mereka secara individual atau secara sosial sebagai etika sosial.
Selain lembaga-lembaga politik, strategi ini mengilhami
terbentuknya suatu komunitas politik yang menjunjung tinggi
aturan hukum, kebebasan mengemukakan pendapat, kerangka
berfikir demokratis negara, pembagian kekayaan bangsa yang
adil, dan lain-lain (Wahid, 2007:149).
Dalam strategi sosiol, Gus Dur mengharapkan pendidikan
Islam khususnya budaya pesantren tidak menutup kemungkinan
terhadap kondisi dan perkembangan zaman yang terus berevolusi.
144
Strategi sosiokultural juga sangat diperlukan dalam pendidikan
Islam untuk membentuk cara berfikir yang beragam, karena
kondisi bangsa yang terdiri dari berbagai suku, etnis, dan agama.
B. Relevansi Pendidikan Islam Inklusif KH. Abdurrahman Wahid dengan
Pendidikan Saat ini
Perlu diakui bahwa pendidikan Islam yang diterapkan sekarang hanya
berpaku pada aspek kognitif semata. Pengajaran yang diberikan hanya sebatas
menyampaikan bahan ajar saja, tanpa menerapkan nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya. Hal ini, dapat dilihat dari beberapa peserta didik yang masih
menutup diri dengan ajaran yang berbeda dengan ajaran yang diyakininya.
Sikap keterbukaan dalam pendidikan Islam belum terimplementasi dengan
baik di lingkungan sekolah. Yang pada dasarnya, keterbukaan sangat
diperlukan karena bangsa kita yang mejemuk dengan keberagaman yang
dimiliki.
Namun, bila kita melihat realitas praktik pembelajaran agama (pendidikan
agama) yang telah berlangsung selama ini, belum mampu mencapai tujuan
pembelajaran yang diharapkan secara maksimal. Pembelajaran agama selama
ini masih bersifat tekstual dan normatif, dimana pembelajaran agama
membicarakan terbatas hanya sekedar menerangkan hubungan antara manusia
dan Tuhan-Nya. Sehingga secara tidak langsung kebanyakan pembelajaran
agama tersebut tidak melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis),
kesadaran pencarian asal-usul agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan
untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis),
145
bahkan kesadaran yang berkaitan dengan kejahteraan hidup yang optimal
(ekonomis) (Rosyidi, 2009:51).
Pendidikan saat ini sudah harus beranjak menuju perpaduan antara teori
dan praktik yang diikuti dengan sikap keterbukaan terhadap keberagaman.
Tantangan di era globalisasi ini bukan hanya meruntuhkan nilai-nilai yang
terkandung dalam pendidikan, namun juga menghambat cara berfikir peserta
didik untuk menerima perbedaan yang ada di lingkungan sekitar. Maka dari
itu, arus globalisasi harus disikapi dengan sikap yang netral agar mampu
menyeimbangkan antara pendidikan dan mengikuti arah zaman ini. Dengan
demikian, akan mampu membawa pendidikan ke dalam tahap aplikatif bukan
hanya sekedar teori saja.
Untuk itu, seperti yang telah diuraikan sebelumnya tentang konsep
pendidikan Islam inklusif menurut KH. Abdurrahman Wahid, penulis
memberikan kesimpulan bahwa konsep pendidikan Islam inklusif yang
diterapkan oleh Gus Dur sangat relevan jika diimplementasikan dalam
pendidikan sekarang ini. Sikap keterbukaan dan toleransi harus ditumbuhkan
dalam jiwa peserta didik. Keberagaman yang dimiliki peserta didik karena
latar belakang yang berbeda-beda, mengharuskan seorang pendidik mampu
memahami dengan baik dan betul. Tidak ada yang dibeda-bedakan, karena
semua harus diperlakukan sama dan adil. Inilah yang diinginkan Gus Dur,
suatu pendidikan yang mengajarkan keberagaman, serta mampu
menumbuhkan sikap toleransi terhadap perbedaan.
146
C. Analisis Penulis Terhadap Tokoh
1) Analisis Tokoh
Sosok Gus Dur adalah sosok yang penuh dengan kontroversi. Setiap
perkataan maupun perbuataannya mampu membuat orang lain sulit untuk
memahaminya. Cara pandang Gus Dur yang jauh ke depan, membuat
orang di sekitarnya sulit untuk mengikuti jejak pikirannya. Dengan
demikian tidak sedikit banyak orang yang memuji atau mencacinya. Akan
tetapi, sepeninggal Gus Dur, apa yang dulunya diucapkan oleh beliau satu
persatu benar adanya. Maka dari itu, menurut analisis penulis Gus Dur
dapat diklasifikasikan dalam 3 hal, yaitu:
a. Sebagai Ulama
Gus Dur dalam menyebarkan risalah Islam berbeda dengan para
ulama pada umumnya. Islam yang dipahami Gus Dur bukan hanya
sebagai formalisasi agama semata, melainkan bagaimana Gus Dur
mampu menginternalisasikan nilai-nilai agama melalui sikap dan cara
pandang beliau. Sehingga Islam yang beliau dakwahkan adalah Islam
yang ramah, yang menjunjung tinggi kemanusian, kesetaraan serta
keadilan. Hal itu pula yang diajarkan oleh Rasulullah selama
berdakwah menyebarkan agama Islam. Dengan pendekatan seperti itu
pula, Islam diterima oleh semua golongan.
b. Sebagai Politikus
Dalam pemerintahan Orde Baru yang penuh dengan
ketidakadilan terhadap rakyat menimbulkan keresahan di kalangan
147
banyak orang, tak terkecuali Gus Dur. Melihat pemerintahan Orde
Baru yang sangatlah diktator, mendorong Gus Dur untuk menyudahi
semuanya. Maka dari itu, pada era reformasi setelah Orde Baru
tumbang Gus Dur yang menjabat sebagai ketua PBNU mendirikan
sebuah partai politik yang kita kenal dengan Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) dan terjun ke pemerintahan. Itulah strategi Gus Dur
untuk mematahkan sebuah amandemen yang dibuat oleh
pemerintahan Orde Baru. Ketika situasi sosial politik yang tidak
terkendalikan, pimpinan Orde Baru akhirnya dilengserkan.
Selanjutnya, dalam pemilihan presiden baru Gus Dur terpilih sebagai
presiden RI yang ke 4. Di sinilah, awal kebangkitan bangsa Indonesia
untuk menuju negara yang demokratis. Awal mula reformasi, di mana
semua akses informasi terbuka bebas.
Kepemimpinan Gus Dur dalam dunia politik membawa angin
segar bagi bangsa Indonesia. Kepiawiaan Gus Dur dalam membaca
realitas kehidupan, mampu mereformasi kedaulatan yang ada
sebelumnya. Hal itu dilakukan untuk kepentingan bersama, selain itu
dalam pemerintahan Gus Dur dirasa sebagai adanya nafas baru untuk
mencapai sebuah perdamaian. Walaupun tidak sedikit orang yang
tidak setuju. Akan tetapi, menurut penulis Gus Dur telah sukses
dalam mengemban amanah pemerintahan. Gus Dur mengajarkan
keteladan yang sekarang hampir tidak ada dalam pemerintahan.
Semisal, apa yang terjadi dalam pemerintahan sekarang. Banyak
148
aparat pemerintah yang melakukan korupsi, kebijakan yang
dikeluarkan hanya untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
Gus Dur adalah sosok politik dan public figur yang sikap dan
perbuataannya harus dicontoh dan diteladani. Tapi ada hal yang
ditangkap oleh penulis tentang sosok Gus Dur, bahwa beliau dalam
kebijakan yang diambil baik dalam urusan keluarga maupun sosial
politik sulit untuk diajak kompromi. Karna dalam pemahamannya
yang begitu luas tentang realitas kehidupan, beliau sangat meyakini
apa yang diketahuinya. Yang pada akhirnya kebijakan itu memang
baik hasilnya.
c. Budayawan
Gus Dur tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para
walisongo dalam mengenalkan dan menyebarkan ajaran Islam. Di
mana para walisongo dalam menyebarkan Islam dengan pendekatan
tradisi yang sudah ada dalam masyarakat tersebut. Itu pula yang
dilakukan oleh Gus Dur dalam mengenalkan ajaran Islam.
Keterbukaan Gus Dur terhadap tradisi atau kebiasaan dalam sebuah
masyarakat, mampu dipadukan dengan ajaran-ajaran Islam yang
dibawakan oleh Gus Dur. Dengan itu muncullah istilah pribumisasi
Islam yang dilakukan Gus Dur, memperkenalkan Islam sebagai ajaran
yang damai, penuh kasih sayang. Sehingga Islam mampu diterima
dengan baik pada semua golongan.
149
d. Cendekiawan
Perjalanan yang ditempuh Gus Dur mulai dari pesantren
kakeknya sampai ke pesantren di wilayah Jawa Tengah, kemudian
dilanjutkan perjalanan pendidikannya di luar negeri, membuat Gus
Dur tumbuh dan berkembang dengan segudang ilmu serta wawasan
pengetahuan yang sangat luas. Pemahaman Gus Dur terhadap Islam
dan kemampuannya dalam membaca situasi kondisi masyarakat,
mampu disikapi oleh Gus Dur dengan santai dan selingi oleh humor.
Gus Dur dalam menghadapi apapun selalu menggunakan kecerdasan
dan kecerdikannya, hal itu termanifestasi melalui sikap dan perkataan
beliau. Maka dari itu, pikiran Gus Dus sering digunakan sebagai
rujukan dalam penyelesaian masalah atau konflik yang terjadi di
bangsa ini.
Dari uraian di atas, dalam penyelesaiaan tugas akhir ini penulis
menyimpulkan bahwa sosok Gus Dur lebih dominan sebagai seorang
ulama dan politikus. Gur Dur yang dari latar belakangnya adalah anak
seorang tokoh Nasional bahkan sebagai anak Menteri Agama pertama,
cucu Hadrotus Syeh Hasyim Asy‟ari pendiri Organisasi terbesar yaitu
NU, yang tumbuh dalam dunia pesantren tradisional. Akan tetapi dalam
perjalanannya Gus Dur telah menjadi seorang ulama bahkan cendikiawan
muslim yang juga bergerak dalam wilayah pemerintahan.
150
2) Corak Pemikiran Tokoh
Banyak pemikiran Gus Dur salah satunya yaitu tentang pluralisme.
Menurut penulis, pluralisme yang diusung Gus Dur bukan dari segi
ideologi, di mana meyakini agama lain memiliki kebenaran yang sama
dengan Islam. Akan tetapi pluralisme Gus Dur hanya dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara atau dalam kehidupan sosial sebagai
realisasi prinsip kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan. Selain itu
Gus Dur lebih suka mengatakan “Semua agama mengajarkan kebaikan
dan kebenaran sesuai keyakinan para pemeluknya”
(www.gusdurfiles.com). Dengan demikian Gus Dur dalam pergaulannya
tidak memandang latar belakang, baik sosial, budaya, ras, golongan,
termasuk agama. Akan tetapi, hal itu tidak menghilangkan identitas dan
keyakinan sebagai seorang muslim.
151
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh penulis tentang
“Konsep Pendidikan Islam Inklusif Perspektif KH. Abdurrahman Wahid”,
yang telah dijelaskan oleh KH. Abdurrahman Wahid dalam beberapa
karyanya, penulis berkesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep pendidikan Islam inklusif KH. Abdurrahman Wahid adalah
konsep pendidikan Islam yang berwawasan multikutural dengan
menekankan keterbukaan terhadap adanya keberagaman. Konsep ini
diambil dari corak pemikiran Gus Dur yang inklusif sehingga hadir
pemikiran yang plural dan humanisasi. Dengan corak pemikiran yang
plural diharapkan pendidikan Islam mampu membuka diri terhadap
perbedaan, sehingga akan menumbuhkan sikap toleransi dan kerukunan di
tengah-tengah masyarakat yang plural. Kemudian untuk nilai-nilai
humanisme, diaktualisasikan dalam pendidikan Islam sehingga akan
menumbuhkan sikap saling menyayangi sesama manusia tanpa melihat
latar belakang agamanya. Corak pemikiran Abdurrahman Wahid lebih
menekankan sikap keterbukaan dalam segala aspek pendidikan Islam,
terutama dalam aspek materi yang disampaikan. Dalam penyampaian
materi bukan hanya doktrin ajaran Islam yang disampaikan, melainkan
152
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mampu terimplimentasi dengan
baik dan teraplikasi dalam masyarakat.
2. Adapun relevansi pendidikan Islam inklusif KH. Abdurrahman Wahid
dengan pendidikan saat ini, menurut penulis sangat relevan sekali,
mengingat di era sekarang pendidikan Islam hanya menampilkan segi
kognitifnya daripada afektif dan psikomotorik. Selain itu, pendidikan
Islam sekarang masih mengajarkan secara tekstual dan normatif. Dengan
adanya pendidikan Islam inklusif diharapkan pendidikan Islam lebih
membuka diri untuk mengajarkan ajaran Islam secara luas dan terbuka.
B. Saran
Dengan selesainya penelitian ini, adapun beberapa saran yang penulis
sampaikan, diantaranya yaitu:
1. Bagi seluruh komponen pendidikan agar mampu mengembangkan
pendidikan Islam yang berparadigma inklsuif dalam pelaksanaan
pembelajaran sehingga akan terbentuk peserta didik kritis, toleran
terhadap perbedaan di tengah-tengah masyarakat yang plural, serta
mampu bersikap kasih dan sayang terhadap sesama tanpa memandang
latar belakang agamanya.
2. Bagi seorang pendidik seyogyanya dalam menyampaikan materi ajar
tidak terpaku pada teks-teks semata, akan tetapi bagaimana pembelajaran
yang disampaikan mampu menumbuhkan sikap keberagaman sesuai
dengan Bhineka Tunggal Ika.
153
3. Bagi kalangan akademisi hendaknya melakukan kajian yang lebih
mendalam tentang nilai-nilai inkusif, terutama dalam dunia pendidikan
sekarang. Dengan pengkajian yang lebih mendalam akan memberikan
solusi alternatif terhadap permasalah yang menyaitkan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Abidin, Zainal. 2009. Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikul-
turalisme Cetakan Ke-1. Jakarta: Balai Penelitian Dan Pengembangan
Agama.
Al-Madyuni, MQ. 2013. Sang Kiai Tiga Generasi (KH. M. Hasyim Asy‟ari, KH.
A. Wahid Hasyim, dan KH. Abdurrahman Wahid) Cetakan Ke-1. Tebuireng:
Pustaka Al-Khumul.
Al-Mustaufi, M. Yahya. 2014. AJARAN SANG WALI, Pemikiran Gus Dur dari
Tasawuf hingga Demokrasi Cetakan Ke-1. Tebuireng: Pustaka Al-Khumul.
Arif, Mahmud. 2008. Pendidikan Islam Transformatif Cetakan Ke-1. Yogyakarta:
LkiS Yogyakarta.
Arif, Syaiful. 2016. Humanisme GUS DUR Cetakan Ke-2. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Cetakan Ke-11. Jakarta: PT
Rineka Cipta anggota IKAPI.
Assegaf, Abd. Rachman. 2014. Filsafat Pendidikan Islam (Paradigma Baru
Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif) Cetakan Ke-3.
Depok: PT RajaGrafindo Persada.
Barton, Greg. 2016. Biografi Gus Dur The Authorized Biography Abdurrahman
Wahid Cetakan Ke-1. Yogyakarta: Saufa Bekerjasama dengan IRCisoD dan
LkiS.
Basri, Hasan. 2014. Filsafat Pendidikan Islam Cetakan Ke-2. Bandung: CV
Pustaka Setia.
Daymon, Christine. 2008. Metode-metode Riset Kualitatif dalam Public Relations
dan Marketing Comunications Cetakan Ke-1. Yogyakarta: Bentang anggota
IKAPI.
Departemen Agama. 2007. Syamil Qur‟an dan Terjemahan.Bogor:
LajnahPentafshihan Mushaf Al Qur‟an.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. 2006. Undang-undang dan Peraturan
Pemerintahan RI tentang Pendidikan. DEPAG RI.
Dzakiri, M. Hanif. 2010. 41 Warisan Kebesaran Gus Dur Cetakan Ke-1.
Yogyakarta: LkiS.
Faisol. 2011. Gus Dur & Pendidikan Islam: Upaya Mengembalikan Esensi
Pendidikan di Era Global Cetakan Ke-1. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Gunawan, Heri. 2014. Pendidikan Islam (Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh)
Cetakan Ke-1. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hadi, Sutrisno. 1981. Metodelogi Research. Yogyakarta: UGM Fakultas
Psikologi.
Hadi, Syamsul. t.t. GUS DUR Guru Bangsa, Bapak Pluralisme. Jombang: Zahra
Book.
Hamid, M. 2010. Gus Gerr Bapak Pluralisme & Guru Bangsa Cetakan Ke-1.
Yogyakarta: Pustaka Marwa (Anggota Ikapi).
Harisah, Afifuddin. 2017. Pendidikan Agama Inklusif (Membangun Toleransi dari
Sekolah) Cetakan Ke-1. Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata.
Idi, Abdullah dkk. 2006. Revitalisasi Pendidikan Islam Cetakan Ke-1.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Irawan, Aguk. 2015. Peci Miring Cetakan Ke-1. Tangerang: PT. Kaurama Buana
Antara.
Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan Cetakan Ke-3. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Kaelan. 2010. Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner. Yogyakarta:
Paradigma.
Kembara, Tri. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris. Surabaya:
Pustaka Dua.
Khaelany, Munawar J. 2014. Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa Cetakan Ke-1.
Yogyakarta: Araska Pinang Merah Residence Kav. 14.
Kodir, Abdul. 2015. Sejarah Pendidikan Islam (Dari Masa Rasulullah hingga
Reformasi di Indonesia) Cetakan Ke-1. Bandung: CV Pustaka Setia.
Mandan, Arief Mudatsir dkk. 2010. Jejak Langkah Guru Bangsa GUS DUR
Cetakan Ke-1. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
Masdar, Umaruddin. 1999. Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais Cetakan
Ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maslikhah. 2013. Melejitkan Kemahiran Menulis Karya Ilmiah. Yogyakarta:
Orbritrust Corp. Moleong, Lexy. J. 2009. Metodelogi Penelitian Kualitatif
Cetakan Ke-26. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Muhaimin. 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam Cetakan Ke-1.
Surabaya: Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat (PSAPM).
Muhmidayeli. 2013. Filsafat Pendidikan Cetakan Ke-2. Bandung: PT Refika
Aditama.
Mujtahid. 2011. Reformasi Pendidikan Islam. Malang: UIN-Maliki Press
(Anggota IKAPI).
Nizar, Samsul. 2005. Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam:
Potret Timut Tengah Era Awal dan Indonesia Cetakan Ke-1. Ciputat: PT.
Ciputat Press Group.
Ramayulis. 2015. Filsafat Pendidikan Islam (Analisis Filosofis Sistem Pendidikan
Islam Cetakan Ke-4). Jakarta Pusat: Kalam Mulia.
Ratna, Nyoman Kuntha. 2009. Teori, Metode Penelitian Pendidikan Sastra (Dari
Strukturalistik hingga Postrukturalisme, Perspektif Wacana Naratif).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ridwan, Nur Khalik. 2016. NU & Bangsa 1914-2010 Cetakan Ke- 3. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media.
Rifa‟i, Muhammad. 2016. GUS DUR: Biografi Singkat 1940-2009 Cetakan Ke-5.
Jogjakarta: Garasi House of Book.
Rosyidi, Imran. 2009. Pendidikan Berparadigma Inklusif. UIN-Maliki Press:
Anggota IKAPI.
Sistem Pendidikan Nasional Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang
Pendidikan.
Shofan, Moh. 2004. Pendidikan Berparadigma Profetik (Upaya Konstruktif
Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam) Cetakan Ke-1. Jogjakarta:
IRCisoD.
Suryabrata, Sumadi. 1995. Metodelogi Penelitian Cetakan Ke-9. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Wahid, Abdurrahman. 1998. Tabayun Gus Dur Pribumisasi Islam Hak Minoritas
Reformasi Kultur. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
. 2006. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The
Wahid Institute Seeding Plural and Peaceful Islam.
. 2007. Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia &
Trnsformasi Budaya. Jakarta: The Wahid Institute Seeding Plural and
Peaceful Islam.
. 2010. Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren.
Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
. 2016. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: Saufa
(Bekerja sama dengan LKiS).
Zed, Mestika. 2008. Metodelogi Penelitian Kepustakaan Cetakan Ke-2. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia anggota IKAPI.
Sumber Jurnal dan Skripsi:
Andre, Winarco. 2017. Skripsi Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Sholeh
Darat Cetakan Ke-1. Salatiga: IAIN Salatiga.
Aisyah, D. 2003. Hubungan Birokrasi dengan Demokrasi. USU Digital Library.
Arif, M. 2011. Pendidikan Agama Islam Inklusif Multikultural. Jurnal Pendidikan
Islam, 1(1).
Dulisanti, R. (2015). Penerimaan Sosial dalam Proses Pendidikan Inklusif (studi
kasus pada proses pendidikan inklusif di Smk Negeri 2
Malang). INDONESIAN JOURNAL OF DISABILITY STUDIES
(IJDS), 2(1).
Harian Kompas. 2017. Perundangan Perkuat Kebersamaan Sekolah dan
Keluarga. Terbit Selasa, 25 Juli 2017.
Maghfuri, Wahid Irfan. 2013. Skripsi Konsep Islam Inklusif Menurut DR. Alwi
Shihab dan Implikasinya terhadap Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga.
Mahabbati, A. (2012). Pendidikan yang Inklusif dan Menyenangkan. Disampaikan
dalam seminar nasional Diseminasi hasil pelatihan luar negeri bidang
pendidikan dasar program bermutu dikti Hotel Grand Dafam MM
Yogyakarta, 23-25 Mei.
Masykur, S. 2017. Pluralisme Dalam Konteks Studi Agama-
agama. TOLERANSI, 8(1).
Muqoyyidin, A. W. 2013. Membangun Kesadaran Inklusif Multikultural Untuk
Deradikalisasi Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Islam, 2(1).
Mustholih, A. 2011. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman
Wahid dalam Perspektif Pendidikan Islam (Doctoral dissertation, IAIN
Walisongo).
Novianto, Ahmad. 2014. Skripsi Aktualisasi Nilai-nilai Islam Inklusif Dalam
Pendidikan Islam (Kajian Pemikiran Andurrahman Wahid). Jogjakarta:
UIN Sunan Kalijaga.
Nurjanah, Nisa. 2013. Skripsi Pemikiran Islam Inklusif Dalam Kehidupan Sosial
Beragama dan Relevansinya Dengan Pendidikan Islam (Studi Pemikiran
KH. Abdurrahman Wahid). Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Pracahya, Resdhia Maula. 2013. Skripsi Konsep KH. Abdurrahman Wahid
Tentang Pendidikan Islam Multikultural. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Rudiyati, S. (2011). Potret Sekolah Inklusif di Indonesia. In Makalah Seminar
Umum AKESWARI.
Saraswati, R. 2011. Calon Perseorangan: Pergeseran Paradigma Kekuasaan
Dalam Pemilukada. Masalah-Masalah Hukum, 40(2).
Sukring. 2016. Solusi Konflik Sosial dalam Perspektif al-Qur‟an. Journal of
Islamic Studies and Humanities Vol. 1, No. 1, Juni 2016:h. 103-122. DOI:
10.18326/millati.v‟lil.103-122.
Syarif, H. Z. 2015. PENDIDIKAN TEOLOGI INKLUSIF; KONSEP DAN
APLIKASI1.
Zainiyati, H. S. 2014. Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun
Keberagamaan Inklusif Di Sekolah.ISLAMICA: Jurnal Studi
Keislaman, 1(2).
Sumber Wawancara:
Wawancara dengan Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid atau yang akrab disapa
Mbak Alissa Wahid, salah satu putri KH. Abdurrahman Wahid, sekaligus
koordinator Jaringan Gusdurian Nasional pada tanggal 3 Juni 2017 di
Masjid Apung Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Wawancara dengan M. Fakhrur Rifa‟i selaku koordinator Gusdurian Yogyakarta.
Wawancara berlangsung pada tanggal 3 Juni 2017 di Masjid Apung
Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Wawancara via e-mail dengan Ilmi Najib selaku koordinator Gusdurian Malang
atau Garuda Malang, pada tanggal 24 Mei 2017.
Lampiran 3
Daftar Riwayat Hidup Peneliti
Nama : Dian Apriani
Tempat, Tanggal Lahir : Grobogan, 29 April 1994
Agama : Islam
Alamat : Dsn. Pulo Rt. 05/01, Kel. Mangin, Kec.
Karangrayung, Grobogan
Riwayat Pendidikan :TK Dharma Wanita (2000-2001)
SD N 4 Mangin (2001-2006)
SMP N 1 Karangrayung (2006-2009)
SMA N 1 Andong, Boyolali (2009-2012)
Email : [email protected]
Lampiran 6
BIODATA NARASUMBER
Nama Lengkap : M. Ilmi Khoiron Najib
Tempat, Tanggal Lahir : Mojokerto, 1 Agustus
Agama : Islam
Alamat : Joyo Utomo V Blok F, Merjosari, Malang
Pengalaman Organisasi : Mencari pengalaman di GARUDA Malang
LEMBAR WAWANCARA
Judul Skripsi : Konsep Pendidikan Islam Inklusif Perspektif KH. Abdurrahman
Wahid
Jurusan : Pendidikan Agama Islam/ FTIK
Pertanyaan :
1. Menurut teman-teman Gusdurian, seperti apa sosok Gus Dur?
2. Apa alasan-alasan bagi Gusdurian menerima pemikiran-pemikiran seorang
Gus Dur?
3. Apa yang perlu diteladani dan ditekuni dari sosok Gus Dur?
4. Pemikiran Gus Dur seperti apakah yang diperlukan di era sekarang
berkaitan dengan pendidikan?
5. Begitu banyak corak pemikiran Gus Dur, seperti demokrasi, pluralisme,
inklusif. Bagaimana corak pemikiran tersebut diaplikasikan dalam dunia
pendidikan saat ini?
LEMBAR JAWABAN
1. Kami penggerak GARUDA ( Gerakan GUSDRian muda) malang bukan
alasan menerima tidaknya konsep pemikiran Gusdur, namun dari gerakan hati
para penggerak bahwa konseptualisasi dari pemikiran Gusdur sangat relatif
untuk di pakai dalam sosial masyarakat di zaman sekarang ini, dengan
semangat menginternalisasi pancasila sebagai landasan berbangsa dan
bernegara di indonesia.
2. Sikap kesederhanaan dan ksatriaan beliau untuk membela minoritas.
3. Dalam konsep agama, Gusdur memisahkan konsep itu dengan kenegaraan,
namun tidak menghilangkan posisi nilai dari agama, kontekstual pemikiran
Gusdur memberikan nuansa sejuk sebagai Guru bangsa sehingga bangsa ini
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pendidikan harus menjadi sebuah pintu metodologis yang membangun
seiring perkembangan zaman, namun tidak keluar dari nilai berkebangsaan,
sudah lama pendidikan bangsa ini bersifat fungsional sebagai contoh para
peserta didik di atur dalam satu bidang ke ilmuaan yang sesuai dengan
jurusan. upaya memberikan pendidikan yang terbuka dan bebas berfikir,
berkarya masih ilusi di bangsa ini.
Lembaga pendidikan di bangsa ini harus mempunyai konsel baru yang
memberika kebebasan dan berkreasi, pendapat, berfikir serta bergerak di
wilayah segala ilmu pengetahuan. Manusia berpendidikan tidak sama dengan
robot yang bisa diperdaya semaunya dan menjadi buruh di tanah sendiri.
4. Prisma gusdur adalah salah satu sikap mengidealisir nilai-nilai luhur
berbangsa, yang meletakkan kesemua sikap nilai dari pada kedudukan yang di
agungkan sebagai prinsip pengarah yang telah membawakan bangsa kejayaan
kemerdekaan. Konsep prisma mengambil sikap prinsip-prinsip kebijaksanaan
seperti keserasian tanpa menghilangkan keseimbangan dalam meletakkan
agama, sosial dan politik, sehingga konsep langkah dalam prisma menjadi
sebuah teknis kerangka berfikir dan memutuskan sebuah pembangunan
negara indonesia yang berlandaskan pancasila, dasar Undang-Undang dasar
1945 dan NKRI.
5. 9 nilai pemikiran Gusdur yang sudah rermaktub pada Jaringan GUSDURia,
yang berisi
a. Ketauhidan yakni berisi dari keimanan kepada Allah sebagai maha, satu-
satunya dzat hakiki, ketauhidan di dapatkan lebih dari sekedar di ucapkan
dan di lafalkan namun pandangan ketauhidan ini menjadi poros nilai-nilai
ideal diperjuangkan Gus dur melampaui kelembagaan dan birokrasi
agama yang di mana di wujudkan dalam.perilaku dan perjuangan sosial,
ekonomi, politik dan kebudayaan dalam menegakkan nilai-nilai
kemanusiaan
b. Kemanusiaan bersumber dari ketauhidan bahwa manusia adalah makhluk
tuhan yang paling mulia yang di percaya mengelola dan memakmurkan
bumi, kemanusiaan merupakan cerminan sifat-sifat ketuhanan,
memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya, merendahkan dan
menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan tuhan sang
pencipta.
c. Keadilan yakni bersumber dari martabat yang harus dibawah oleh
manusia sebagai keseimbangan dan ketetapan dalam kehidupan
bermasyarakat, namun keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realitas
kemanusiaan oleh karena itu harus diperjuangkan, dengan membawa
semangat keadilan menyebarkan perjuangan perlindungan dan pembelaan
kepada pada kelompok masyarakat yang di perlakukan tidak adil
merupakan tanggung jawab moral kemanusiaan. Hal ini yang sudah
diperjuangakan oleh Gus dur sepanjang hidupnya.
d. Kesetaraan yakni bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia
memiliki martabat yang sama di hadapan tuhan, kesetaraan meniscayakan
adanya perlakuan adil, ketiadaan diskriminasi dan subordinasi, hubungan
sederajat, serta marjinalisasi dalam masyarakat. Nilai ke -4 ini sudah di
perjuangankan sepanjang kehidupan Gusdur, terutama bergeraknya beliau
melakukan pembelaan dan pemihakan terhadap kaum tertindas dan
dilemahkan yang didalamnya terrdapat kaum minoritas.
e. Pembebasan yakni bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia
memiliki tanggung jawab dalam menegakkan kesetaraan dan keadilan,
semangat pembebasan dimikiki oleh jiwa yang merdeka, bebas dari rasa
takut dan otentik, Gusdur selalu memfasilitasi tumbuhnya jiwa-jiwa
merdeka yang mampu membebaskan dirinya dan siapapun.
f. Persaudaraan yakni bersumber dari prinsip-prinsip penghargaan atas
kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan semangat menggerakkan
kebaikan, Gusdur selalu mengajarakan pentingnya menjunjung tinggi
persaudaraan, bahkan terhadap yang berbeda keyakinan, pemikiran, ras,
dan suku.
g. Kesederhanaan yakni bersumber dari jalan pemikiran yang subtansial,
sikap dan perilaku hidup yang wajar dan patut, kesederhanaan menjadi
konsep kehidupan yang di hayati, kesederhanaan menjadi budaya
perlawananan atas sikap berlebihan, materialistik dan konruptif.
h. Keksatriaan yakni bersumber dari keberanian untuk memperjuangkan
nilai- nilai yang diyakini dalam mencapai keutuhan tujuan yang di raih.
Proses perjuangan dilakukan dengan mencerminkan integritas pribadi
dengan penuh tanggung jawab atas konsekuensi yang di ambil.
i. Kearifan lokal yakni bersumber dari nilai-nilai sosial budaya yang
berpijak pada tradisi kehidupan masyarakat. Kearifan lokal Indonesia di
antaranya berwujud dasar negara Pancasila, konstitusi UUD 1945,
Bhinneka Tunggal Ika dan seluruh tatanan nilai kebudayaan Nusantara
yang beradab, Gusdur menggerakkan kearifan lokal dan menjadikannya
sumber gagasan dan pijakan sosial - budaya - politik dalam bergerak
keadilan, kesetaraanvdan kemanusiaan, tanpa kehilangan sikap terbuka
dab progressif terhadap perkembangan peradaban yang harus selalu di
tempuh.
Lampiran 7
Foto-foto Penelitian
Potret KH. Abdurrahman Wahid
Kawasan Makam KH. Abdurrahman Wahid
Wawancara
Foto bareng setelah wawancara dengan Mbak Alissa Wahid di kampus UGM
M. Fakhrur Rifa‟i, selaku koordinator Gusdurian Jogja
Kegiatan Gusdurian (Pecinta Gus Dur)
Mbk Alissa sedang mengisi acara Islam Ramah di Kampus, yang diselenggarakan
oleh Gusdurian Jogja di kampus UGM.
Kegiatan Gusdurian Salatiga dan Sobat Muda Salatiga dalam Seminar “Pancasila
Yes! Belajar Bersama Menyayangi Indonesia” di Ruang Bhineka Tungggal Ika
DPRD Salatiga.