kompetensi guru: kunci utama agenda proses...

21
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD 413 Kompetensi Guru: Kunci Utama Agenda Proses Pemanusiaan Al Mawardi ABSTRAK Guru sebagai pendidik dan pengajar dikenal dengan sebutan pahlawan tanpa jasa yang menyandang jabatan profesi. Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya. Profesi guru yang di dalam forum- forum resmi dan naskah-naskah akademik begitu mulia, namun di masyarakat luas nampaknya masih menjadi semacam profesi kelas dua di bawah profesi lain seperti dokter, notaris, arsitek, advokat, kontraktor, konsultan hukum dan sebagainya. Hal ini karena ukuran prestasi dalam kehidupan masyarakat masih terletak pada standar ekonomi, bukan pada standar idealitas dan moralitas. Kondisi ini sangat disayangkan sebab guru merupakan subjek yang sangat besar kontribusinya dalam membangun peradaban manusia masa depan. Dalam persfektif agama, guru adalah bapak ”spiritual” atau pemberi motivasi bagi para peserta didik. Guru adalah orang yang memberikan santapan kejiwaan dengan ilmu atau pengalaman, membimbing dan meluruskan akhlak para peserta didik. Untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu dan profesionalisme guru di satu sisi, dan mutu atau kualitas pendidikan di sisi lain, pemerintah bukan hanya diharapkan berupaya meningkatkan kualifikasi dan strata pendidikan guru, tetapi juga hendaknya meningkatkan standar kesejahteraan guru. Kata Kunci: Guru, Profesi, dan Kompetensi Al Mawardi. MS, S. Ag, M. Ag adalah Dosen Agama pada Politeknik Negeri Lhokseumawe Provinsi Aceh.

Upload: lamkhue

Post on 01-Feb-2018

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

413

Kompetensi Guru:

Kunci Utama Agenda

Proses Pemanusiaan

Al Mawardi∗∗∗∗

ABSTRAK

Guru sebagai pendidik dan pengajar dikenal dengan sebutan

pahlawan tanpa jasa yang menyandang jabatan profesi.

Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang

baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada

masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan

masyarakat sekelilingnya. Profesi guru yang di dalam forum-

forum resmi dan naskah-naskah akademik begitu mulia,

namun di masyarakat luas nampaknya masih menjadi

semacam profesi kelas dua di bawah profesi lain seperti

dokter, notaris, arsitek, advokat, kontraktor, konsultan hukum

dan sebagainya. Hal ini karena ukuran prestasi dalam

kehidupan masyarakat masih terletak pada standar ekonomi,

bukan pada standar idealitas dan moralitas. Kondisi ini

sangat disayangkan sebab guru merupakan subjek yang

sangat besar kontribusinya dalam membangun peradaban

manusia masa depan. Dalam persfektif agama, guru adalah

bapak ”spiritual” atau pemberi motivasi bagi para peserta

didik. Guru adalah orang yang memberikan santapan

kejiwaan dengan ilmu atau pengalaman, membimbing dan

meluruskan akhlak para peserta didik. Untuk

mengembangkan dan meningkatkan mutu dan

profesionalisme guru di satu sisi, dan mutu atau kualitas

pendidikan di sisi lain, pemerintah bukan hanya diharapkan

berupaya meningkatkan kualifikasi dan strata pendidikan

guru, tetapi juga hendaknya meningkatkan standar

kesejahteraan guru.

Kata Kunci: Guru, Profesi, dan Kompetensi

∗Al Mawardi. MS, S. Ag, M. Ag adalah Dosen Agama pada Politeknik Negeri

Lhokseumawe Provinsi Aceh.

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

414

Pendahuluan

Manusia Indonesia seutuhnya yang diidealisasikan menjadi titik puncak

capaian tujuan pendidikan nasional masih terus menjadi dambaan, terutama

ketika sosok yang sesungguhnya belum lagi ditemukan pada saat arus

globalisasi dan era pasar bebas terus menerpa secara keras. Krisis proses

kemanusiaan dan pemanusiaan secara kekinian benar-benar sah jika disorot

secara tajam. Pendidikan sebagai instrumen utama proses kemanusiaan dan

pemanusiaan terus disorot tajam oleh masyarakat dan pemakai lulusan (global

market).

Arogansi kekuasaan, krisis ekonomi, krisis global, pelanggaran

ketertiban umum, aksi memfitnah, main hakim sendiri, kerusuhan, perampokan,

pecandu narkotika dan obat-obatan terlarang, politisasi massa, kekerasan,

korupsi, kolusi, nepotisme dan seabreg prilaku buruk lainnya benar-benar masih

menggejala. Bahkan berdasarkan penelitian UNDP, negara Indonesia adalah

salah satu negara terkorup di dunia, yang memiliki indeks pengembangan

sumberdaya manusia (human development index) nyaris terendah di dunia, yang

memiliki kinerja birokrasi nyaris terpuruk, yang memiliki anggaran dan gaji

guru terendah dan memiliki hutang nyaris tertingi, dan yang memiliki partai

politik terbanyak di dunia.1

Menggejalanya seabreg aksi amoral dan kemungkaran di atas yang justru

terjadi di saat kran reformasi terbuka lebar adalah karena kurangnya internalisasi

nilai-nilai pendidikan sebagai proses pendewasaan manusia menjadi insan sejati.

Aktualisasi pendidikan hanya sebagai formalitas pengembangan wawasan

intelektual, tetapi tidak dibarengi dengan pemaknaan emosionalitas dan

spiritualitas. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Amien Rais, bahwa para

cendikiawan Indonesia yang telah menamatkan berbagai jenjang pendidikan

layaknya sebagai “Kancil Pilek”. Artinya, bahwa para cendikiawan hanya

1 Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2006, hal. 3

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

415

memiliki seabreg ilmu pengetahuan dan keahlian, tetapi kurang memiliki

kepedulian terhadap realitas masyarakat sekitar.

Untuk membuat gejala buruk itu tereduksi secara bermakna, penegakan

hukum, pembangkitan rasa malu, dan penguatan ajaran agama melalui

implementasi pendidikan menjadi keniscayaan untuk diagendakan, baik pada

tataran birokrasi, jaringan partai politik, tokoh masyarakat, orang tua, pelaku

bisnis, aparat keamanan, ilmuan, maupun lembaga pendidikan. Di samping

solusi tersebut di atas, peningkatan kualifikasi tenaga kependidikan sebagai

pengembang intelektualitas dan peradaban manusia merupakan suatu

kemutlakan. Profesionalisme guru senantiasa perlu dikembangkan, baik dengan

cara pendidikan dan pelatihan, peningkatan kualifikasi pendidikan dan jabatan,

pelaksanaan penelitian tentang persoalan-persoalan kekinian, peningkatan

kesejahteraan, serta melalui penggalakan pengabdian kepada masyarakat dan

lingkungan sekitar.

Profesi guru yang di dalam forum-forum resmi dan naskah-naskah

akademik begitu mulia, di masyarakat luas nampaknya masih menjadi semacam

profesi kelas dua di bawah profesi lain seerti dokter, notaris, arsitek, konsultan

hukum dan sebagainya. Kondisi ini sangat disayangkan sebab guru merupakan

subjek yang sangat besar kontribusinya dalam membangun peradaban manusia

masa depan. Apresiasi guru terhadap profesinya dan peningkatan citra

masyarakat terhadap guru dan profesi yang disandangnya tidak akan lepas dari

fungsi dan perbaikan taraf hidup mereka. Karenanya, adalah tugas para pembuat

kebijakan untuk membenahi kesejateraan guru, antara lain dengan menaikkan

gaji atau tunjangan jabatan pendidikannya. Agenda kerja pejabat pemerintah

untuk meningkatkan kesejahteraan guru melalui perbaikan atau penghasilan

mereka adalah suatu keniscayaan, disebabkan karena meningkatnya standar

kebutuhan internal para guru sejalan dengan pergeseran nilai uang.

Tanggung jawab guru sebagai abdi negara dan masyarakat tetap tidak

mungkin diletakkan melebihi batas-batas kondisi internal dirinya. Guru adalah

manusia biasa yang memiliki banyak keterbatasan, seperti halnya kebanyakan

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

416

manusia. Oleh karena itu, merupakan suatu kebanggaan bagi guru jika mampu

melahirkan anak didik menjadi manusia yang cerdas, berbudi luhur dan terampil

serta memiliki daya adaptabilitas yang tinggi dalam menghadapi perubahan dan

perkembangan zaman. Namun hal itu tetap tidak akan melebihi kebanggaan

daripada anaknya sendiri. Guru akan menjadi lebih ikhlas mendidik ”anak orang

lain” jika anaknya sendiri menjadi manusia terdidik dan terpelajar (educated and

civilizated student).

Penilaian masyarakat yang kurang baik terhadap profesi guru, demikian

juga rendahnya gaji yang diterima, tidak hanya terjadi di negara Indonesia, di

Amerika Serikat yang nota benenya sebagai negara super power, ternyata power

untuk menggaji guru tidak sebaik yang dipersepsikan kebanyakan orang. Ernest

House, misalnya, menggambarkan profesi guru sebagai profesi yang dibelenggu

oleh kondisi economic of scarcity dan isolated profession. Kini adalah waktu

yang sangat tepat untuk memperjuangkan kenaikan gaji atau tunjangan jabatan

pendidikan guru, sejalan dengan semakin terlihatnya kompetensi professional

guru dalam mengelola proses belajar-mengajar di kelas. Perbaikan nasib guru

memungkinkan dirinya membeli dan membaca sumber informasi, memperkaya

khazanah keilmuaan dan keintelektualannya, sehingga kekonservatifan dan

nilai-nilai tradisionalitasnya dapat diminimalisir.

Berdasarkan realitas dan kerangka pemikiran di atas, muncul beberapa

pertanyaan, di antaranya adalah: Bagaimana pemaknaan terhadap konsep profesi

keguruan?; apa saja yang menjadi kode etik guru agar senantiasa terlindungi dan

tidak tersoburdinasikan dalam realitas keseharian?; bagaimana pandangan Islam

tentang profesi keguruan?, dan apa solusi atau agenda alternatif yang perlu

diagendakan dan diimplementasikan sehingga citra profesi guru di satu sisi dan

mutu pendidikan di sisi lain, mampu unggul dalam pentas pergulatan masa

depan? Berikut ini adalah kajian sederhana tentang profesi keguruan dan

sejumlah solusi ke arah pencerdasan manusia menjadi manusia sejati.

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

417

Konsep Profesi Keguruan

Semua orang mengetahui bahwa mengajar adalah suatu profesi. Namun

demikian, tidak semua perbuatan dapat dikatakan sebagai profesi. Dalam

konteks ini, suatu profesi memiliki sejumlah kriteria atau karakteristik. Sanusi

menyebutkan bahwa di antara kriteria atau ciri-ciri jabatan yang dinamakan

profesi adalah:

a) Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang

menentukan;

b) Jabatan tersebut memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi

dengan waktu yang cukup lama;

c) Jabatan tersebut memiliki prestise yang tinggi dalam masyarakat, dan

memperoleh imbalan yang tinggi pula;

d) Jabatan tersebut memerlukan keterampilan khusus dan bidang ilmu

tertentu di luar jangkauan khalayak ramai;

e) Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi teori ke praktek;

f) Jabatan tersebut memiliki otonomi dalam membuat keputusan tentang

ruang lingkup kerja tertentu, dan bebas dari intervensi pihak lain;

g) Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien, serta memiliki kode

etik yang dikontrol oleh organisasi profesi;

h) Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi bila dibanding

dengan jabatan lainnya;

i) Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan

yang berhubungan dengan hal-hal yang dilakukan;

j) Menggunakan administrator untuk memudahkan melakukan

profesinya.2

2Sanusi, Achmad, dkk, Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga

Kependidikan, Bandung: IKIP Bandung Depaetemen P dan K, 1981

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

418

Dari acuan kriteria di atas dapat dipahami bahwa jabatan pedagang,

penyanyi, penari, serta tukang koran misalnya bukanlah dinamakan sebagai

jabatan profesi. Berbeda dengan jabatan-jabatan di atas, jabatan guru, dokter,

advokat, kontraktor, notaris dan sejenisnya dinamakan sebagai jabatan profesi.

Ada beberapa syarat sehingga dinamakan sebagai jabatan profesi. Di antaranya

adalah; melibatkan kegiatan intelektual, menggeluti bidang ilmu yang khusus

dan mementingkan layanan di atas kepentingan pribadi.

Profesi Keguruan

Berhubungan dengan jabatan guru, National Education Association

menyarankan kriteria-kriteria berikut3: Pertama, Jabatan yang melibatkan

kegiatan intelektual. Jabatan guru merupakan jabatan profesi karena dalam

kesehariannya senantiasa bertugas mengembangkan intelektualitas anak didik.

Dalam hal ini, guru dapat dikategorikan sebagai jabatan profesi. Kedua, Jabatan

yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus. Berkenaan dengan

kriteria ini, terdapat berbagai pendapat tentang apakah mengajar digolongkan

sebagai jabatan profesi. Para pakar yang bergerak di bidang pendidikan

menyatakan bahwa mengajar adalah merupakan suatu bidang khusus yang

sangat penting dalam mempersiapkan guru yang berwenang, sedangkan

kelompok lainnya menyatakan bahwa mengajar belum mempunyai batang tubuh

ilmu khusus yang dijabarkan secara ilmiah. Kelompok yang pertama meyakini

bahwa mengajar merupakan suatu sain (science), bukan sebagai suatu kiat atau

art.4 Berdasarkan pandangan para pakar pendidikan tersebut dapat dituliskan

bahwa guru adalah jabatan profesi.

Kriteria yang ketiga adalah apabila jabatan tersebut memerlukan

persiapan profesional yang lama. Yang membedakan jabatan profesional dengan

non-profesional adalah dalam penyelesaisan pendidikan melalui kurikulum,

3National Education Assosiation, The Yardstick of a Profession. Dalam Institutes of

Professional and Public Relation. Washington DC: The Association. 1948, hal. 58

4 Stinnett dan Huggett, J, Professional Problems of Teachers. Second Edition. New York: The

Macmillan Company.1963, hal. 56

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

419

yaitu ada yang diatur oleh universitas/institut atau melalui pengalaman praktek

dan pemagangan serta dengan kuliah. Yang pertama yakni pendidikan melalui

perguruan tinggi disediakan untuk jabatan profesional, sedangkan yang kedua,

yakni pendidikan melalui pengalaman peraktek dan pemagangan, atau campuran

antara praktek dan pemagangan dan kuliah diperuntukkan bagi jabatan non-

profesional. Guru adalah salah satu jabatan yang diatur oleh universitas dan

institut, dan oleh karenanya dinamakan sebagai jabatan profesi. Keempat,

Jabatan yang memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan

(Sutainable training). Jabatan guru cenderung menunjukkan bukti yang kuat

sebagai jabatan profesional, karena hampir setiap tahun guru melakukan

berbagai kegiatan latihan profesional, baik yang mendapatkan penghargaan

kredit maupun tanpa kredit. Untuk saat ini, bermacam-macam pendidikan

profesional tambahan diikuti oleh para guru dalam berbagai tingkatan untuk

menyetarakan kualifikasi yang telah ditetapkan. Ada dua model pendidikan dan

pengembangan kualitas profesi guru. Pertama, pendidikan dan pengembangan

sikap selama pendidikan prajabatan, dan yang kedua pengembangan sikap dan

mutu profesi selama dalam jabatan. Peningkatan mutu dan kompetensi guru

selama dalam jabatan dapat terjadi dengan cara formal dan informal.

Peningkatan sikap profesional keguruan dengan cara formal adalah seperti

dengan mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya.5

Kelima, jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang

permanen. Keenam, jabatan yang lebih mementingkan layanan kepentingan

umum dari pada kepentingan pribadi. Jabatan mengajar adalah jabatan yang

mempunyai nilai sosial yang tinggi. Jabatan guru telah terkenal secara universal

sebagai suatu jabatan yang anggotanya termotivasi oleh keinginan untuk

membantu orang lain, bukan didasari oleh keuntungan ekonomi atau keuangan.

Kebanyakan guru memilih jabatan ini berdasarkan apa yang dianggap baik oleh

mereka yakni mendapatkan kepuasan rohaniah ketimbang kepuasan ekonomi

atau lahiriah. Namun ini tidak bearti bahwa guru harus dibayar lebih rendah,

5 Soetjipto, Profesi Keguruan, Jakarta: Rineka Cipta, 1999, hal. 55

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

420

tetapi juga jangan mengharapkan akan cepat kaya bila memilih jabatan guru.

Ketujuh, jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin

erat. Semua profesi mempunyai organisasi yang kuat untuk dapat mewadahi

tujuan bersama dan melindungi anggotanya. Berkenaan dengan jabatan profesi

keguruan, PGRI adalah organisasi yang kuat yang mewadahi tujuan dan

melindungi semua yang berprofesi guru dari tingkat pendidikan TK sampai

pendidikan tingkat atas.

Kode Etik Profesi Keguruan

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 ”Tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian”, pada Pasal 28 dinyatakan bahwa ”Pegawai Negeri Sipil

mempunyai Kode Etik sebagai pedoman, sikap, tingkah laku dan perbuatan di

dalam dan di luar kedinasan.” Dalam penjelasan Undang-Undang Kepegawaian

tersebut, dituliskan bahwa dengan adanya Kode Etik tersebut, pegawai negeri

sipil sebagai aparatur negara, abdi negara, abdi masyarakat mempunyai

pedoman, sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugasnya dan

dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Dalam Pidato Pembukaan Kongres PGRI XIII, Basuni sebagai ketua

Umum PGRI juga menyatakan bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan

landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam

melaksanakan panggilan pengabdiannya bekerja sebagai guru.6 Dalam hal ini

dapat dipahami bahwa Kode Etik suatu profesi adalah merupakan norma-norma

yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan

tugas-tugasnya dan dalam kehidupan sehari-hari. Norma-norma tersebut berisi

petunjuk-petunjuk bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka

melaksanakan profesinya dan larangan-larangan yang ditetapkan. Tujuan

6PGRI, Kenang-kenangan Kongres PGRI XIII 21 s/d 25 November 1973, Jakarta:

PGRI, 1973, hal. 98

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

421

dirumuskannya kode etik tersebut adalah untuk kepentingan anggota dan

organisasi profesi itu sendiri.

Secara umum, tujuan dibuatnya kode etik dalam suatu jabatan profesi

adalah di antaranya; untuk menjunjung tinggi martabat profesi; untuk menjaga

dan memelihara kesejahteraan para anggotanya, yaitu dengan memenuhi

kesejahteraan lahir atau material dan kesejahteraan batin atau spiritual; untuk

meningkatkan pengabdian para anggota; untuk meningkatkan mutu profesi; dan

untuk mutu organisasi profesi.7 Berdasarkan pemikiran di atas, maka Kode Etik

Guru di Indonesia dapat dirumuskan sebagai himpunan nilai-nilai dan norma-

norma profesi guru yang tersusun dengan baik dan sistematik dalam suatu

sistem yang utuh dan bulat. Fungsi Kode Etik Guru Indonesia adalah sebagai

landasan moral dan pedoman tingkah laku setiap guru warga PGRI dalam

melaksanakan tugas pengabdiannya sebagai guru baik di dalam maupun di luar

sekolah serta dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian

terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan Negara serta kemanusiaan pada

umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia terhadap Undang-

Undang Dasar 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu,

guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan mempedomani

dasar-dasar fundamental keguruannya. Di antara dasar-dasar tersebut adalah:

1. Guru berbakti membimbing anak didik untuk membentuk manusia

seutuhnya;

2. Guru memiliki dan melaksanakan kejuruan profesional;

3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai

bahan melakukan bimbingan dan pembinaan;

4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang

berhasilnya proses belajar-mengajar;

7R. Hermawan. S, Etika Keguruan: Suatu Pendekatan Terhadap Profesi dan Kode Etik Guru

Indonesia, Jakarta: Marga Hayu, 1979, hal. 76

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

422

5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid, dan

masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung

jawab bersama terhadap kelangsungan pendidikan;

6. Guru secara bersama-sama dan pribadi berupaya mengembangkan dan

meningkatkan mutu dan martabat profesinya;

7. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan

kesetiakawanan sosial;

8. Guru secara bersama-sama berupaya meningkatkan mutu organisasi

PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian;

9. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang

pendidikan.

Guru dalam Perspektif Islam

Guru adalah bapak ”spiritual” atau pemberi motivasi bagi murid. Guru

adalah orang yang memberikan santapan kejiwaan dengan ilmu atau

pengalaman, membimbing dan meluruskan akhlak para anak didik. Justru

karena itu, menghormati dan memberi nilai yang lebih terhadap guru merupakan

suatu keniscayaan dan merupakan arti lain bahwa seseorang telah

memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Abu Darda’ menuliskan bahwa guru

dan murid adalah dua teman dalam kebaikan, dan tidak ada yag lebih baik selain

keduanya. Muhammad Athiyah al Abrasyi,8 menuliskan bahwa sifat-sifat yang

harus dimiliki guru adalah:

Pertama, memiliki sifat zuhud, dan mengajar karena mencari ridha

Allah. Menurutnya, guru memiliki kedudukan yang mulia dan dimuliakan. Guru

memiliki tugas-tugas, dan dalam mejalankan segala tugasnya senantiasa karena

mencari keridhaan Allah, tanpa harus menunggu balasan uang atau pangkat.

Artinya, bahwa pangkat, uang, dan jabatan tersebut diperoleh dengan harapan

mencari keridhaan Allah semata, bukan dengan tujuan lainnya.

8 Muhammad Athiyah Al Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, terj.

Syamsudin Asyrofi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996, hal. 64-72

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

423

Kedua, guru harus suci dan bersih. Seorang guru hendaknya suci badan

dan anggota tubuhnya, menjaga diri dari perbuatan dosa, suci jiwanya dengan

membebaskan diri dari prilaku sombong, riya, dengki, permusuhan, pemarah

dan sifat-sifat tercela lainnya. Rasulullah bersabda: Dua macam umatku akan

celaka; orang yang berilmu tapi jahat, dan orang yang beribadah tapi bodoh.

Sebaik-baik orang adalah orang yang berilmu tapi baik, dan sejelek-jelek orang

adalah orang yang berilmu tapi jahat. (Hadits).

Ketiga, ikhlas dalam melaksanakan tugas. Keikhlasan seorang guru

dalam melaksanakan tugasnyamerupakan sarana yang paling ampuhuntuk

kesuksesan para muridnya dalam proses belajar. Guru sebagai orang yang

berilmu adalah orang yang senantiasa merasa membutuhkan tambahan ilmu,

meletakkan posisi murid-muridnya di dalam mencari kebenaran, ikhlas pada

muridnya dan sangat peduli terhadap waktu-waktu yang dimiliki para muridnya.

Hal ini karena ia bersikaprendah hatidalam proses belajar mengajar, memiliki

sikap yang bijak dan teguh hati teradap apa yang diperbuat, bersikap lemah-

lembut tetapi tidak lemah, bersikap keras, tetapi tidak kejam.

Keempat, bersikap murah hati. Seorang guru hendaknya bersifat hilm

atau penyantun dan pemurah hati terhadap murid-muridnya, mampu

mengendalikan dirinya dari bersikap marah, bersikap lapang dada, banyak

bersabar, dan tidak marah karena hal-hal yang mengganggunya. Kelima,

memiliki sikap tegas dan terhormat. Agar seorang guru menjadi lebih sempurna,

ia harus memiliki sikap yang tegas dan terhormat. Ia harus memiliki

keistimewaan-keistimewaan agar dapat menjauhkan dirinya dari tindak

kejahatan yang akan menimpanya, menghindarkan dari hal-hal yang jelek, tidak

membiasakan dirinya berteriak-teriak dan banyak omong kosong.

Keenam, memiliki sikap kebapakan sebelum menjadi guru. Seorang guru

hendaknya menyenangi para muridnya sama dengan menyenangi anak-anaknya,

memikirkan muridnya sama dengan memikirkan anaknya sendiri. Berdasarkan

prinsip Islam inilah, pendidikan modern sekarang ditegakkan, sehingga dapat

dikatakan, bahwa seorang guru hendaknya lebih mencintai muridnya daripada

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

424

anak-anaknya. Seorang ayah yang memberi kasih sayang kepada anaknya

adalah sesuatu hal yang biasa, tetapi seorang ayah yang mampu memberikan

kasih sayang kepada anak orang lain (murid-muridnya) dianggap sebagai ayah

yang terhormat dan layah untuk diteladani.

Ketujuh, memahami karateristik murid. Guru hendaknya menguasai dan

memahami karakteristik dan kecenderungan para muridnya, termasuk juga

kebiasaan, rasa, dan pikirannya, ini dibutuhkan agar guru di dalam

melaksanakan tugasnya tidak keliru arah. Inilah yang dituntut para pakar

pendidikan di abad 21. Dalam pendidikan Islam, seorang guru dituntut

mengetahui kebiasaan-kebiasaan dan karakteristik para muridnya. Hal ini

diperlukan agar guru dapat memilih materi-materi pelajaran yang sesuai dengan

tingkat kemampuan intelektualits murid-muridnya. Guru hendaknya tidak

memberikan materi yang bersifat kongkrit dan abstrak, atau bersifat fisik dan

metafisik secara sekaligus kepada para muridnya, tetapi harus disesuaikan

dengan kadar kemampuan muridnya terlebih dahulu.

Kedelapan, guru harus menguasai materi ajaran. Guru harus memiliki

kompetensi profesional, dalam arti memiliki banyak ilmu dan pengetahuan yang

akan diajarkan kepada para muridnya. Agar pengetahuan guru tetap eksis dan

berkembang, maka diharuskan kepadanya senantiasa berupaya belajar dan

mencari pegetahuan yang baru sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan

para pengguna pasar. Guru sebagai edukator atau pentransfer ilmu dan

pengalaman dituntut senantiasa mengaktualisasikan dirinya, sehingga proses

pembelajaran yang dilakukan tidak selalu menoton, membosankan dan

menjengkelkan para pengguna pasar dalam semua tingkatan (tingkat dasar, dan

lanjutan).

Peningkatan Mutu Pendidikan dan Citra Profesi Keguruan

Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di

masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

425

menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya.9 Perbaikan citra profesi

guru di mata masyarakat akan sangat ditentukan oleh persepsi masyarakat

terhadap keberadaan profesi guru itu sendiri. Profesi guru sebagai profesi mulia

tidak diukur dari kredibilitas prestasi ekonomi yang diraih, melainkan dari

prestasi intelektual bangsa. Guru sebagai penegak tonggak dan pilar peradaban

manusia, tidak saatnya lagi dijadikan sebagai ”sumber dana” untuk aneka

keperluan. Budaya memotong gaji dan rapel guru untuk berbagai alasan kiranya

tidak muncul lagi di era reformasi dan demokratisasi saat ini. Semua pihak

hendaknya memberikan kesempatan kepada guru tampil secara bersahaja secara

sosial dan ekonomi, namun jangan kebersahajaannya tersebut menjadi sasaran

empuk berbagai pihak untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak

bertanggung jawab.

Pendidikan merupakan satu chapter permasalahan kehidupan yang

paling banyak dipersoalkan. Hal ini karena kehadirannya di samping sebagai

respon atas kebutuhan manusia berperadaban, juga karena eksistensinya

senantiasa sebagai aktivitas kemanusiaan dan pemanusiaan manusia universal.

Dalam konteks ini, tuntutan akan kehadiran guru profesional tidak pernah surut,

meskipun dalam altar proses kemanusiaan dan pemanusiaan guru yang paling

diandalkan seringkali disebut sebagai ’Si Umar Bakri.’ Sebagai tantangan bagi

guru adalah bagaimana agar keberadaannya mampu menjalankan roda

pembelajaran untuk melahirkan manusia sejati pada masyarakat pengguna jasa

pendidikan yang terus berubah. Dalam konteks ini, guru juga dituntut agar

mampu memadukan dua dimensi pendidikan yaitu dimensi intrinsik dan

instrumental pendidikan.

Dimensi intrinsik mengandung makna bahwa guru harus mampu

menciptakan proses pendidikan secara universal, yang mengemban misi sejati

untuk memproduk manusia berpengetahuan luas, berkepribadian luhur dan

memiliki kemauan (konasi) untuk hidup. Para guru bukan hanya memposisikan

dirinya sebagai objek material dan formal pendidikan dengan parameter dunia

9Soetjipto, 1999, hal. 42

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

426

kerja dan kehidupan yang serba praktis pragmatis, melainkan juga

memanusiakan manusia yang pada gilirannya membuatnya mampu

memanusiakan diri dan menghayati akan makna dan hakikat kehidupan sebagai

pemegang mandat ilahiah dan kultural. Sedangkan pada dimensi instrumental

pendidikan, para guru menjadi ujung dan arah tombak agar pendidikan dapat

menjadi instrumen perubahan sosial yang progresif, dengan misi utama

menciptakan gayutan lulusan dengan kebutuhan dunia kerja.

Pendidikan merupakan instrumen yang harus mampu memberikan bekal

hidup bagi anak didik sesuai dengan potensinya. Jika pembekalan tersebut

disertai dengan pendidikan budi pekerti secara asumtif akan melahirkan output

yang bukan hanya cerdas secara intelektual dan fisikal, tetapi bahkan melahirkan

anak didik yang cerdas secara moral, emosional dan spiritual. Kehadiran

pendidikan budi pekerti merupakan sesuatu yang signifikan terlebih dalam

mengatasi berbagai penyimpangan-penyimpangan yang muncul pada era

modern. Berbagai prilaku masyarakat modern yang bertentangan dengan nilai

dan estetika moral adalah seperti; perkelahian pelajar, mogok belajar, tindakan

asusila, ber-tripping ria, dan sebagainya. Guru memang merupakan salah satu

subjek yang bertanggung jawab dalam proses pendidikan budi pekerti. Namun,

bagi guru hal ini tidak jarang menjadi dilema, oleh karena simbol-simbol fisik

dan prestasi ekonomi sudah menjadi indikator yang menentukan kewibaaan.

Dalam hal ini, pada pelbagai kasus profesi guru jangankan dihormati dan

dihargai, tetapi bahkan menjadi sumber ejekan dan kesinisan. Berangkat dari

realitas inilah, tidak arang terdengar bila para guru sering melakukan tindakan-

tindakan yang komersial dalam aktivitas kesehariannya. Para guru, dengan

aneka cara berusaha mengakses ekonomi, mulai dari jualan di pasar, menjual

buku kepada anak-anak, hingga menjadi sopir dan tukang ojek.

Guru profesional adalah guru yang mampu mengakomodasikan dimensi

intrinsik dan dimensi instrumental pendidikan. Kemampuan profesional guru

secara evolutif harus terus berubah sejalan evolusi kemajuan bidang IPTEK.

Dalam hal ini, guru berkedudukan menjalankan fungsi teknologisasi dan

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

427

instrumentalisasi. Guru mendorong pengembangan media belajar dalam

paradigma teknologi pendidikan atau mengakses pemanfaatan teknologi yang

ada pada masyarakat untuk keperluan pembelajaran. Tugas berat ini dapat

membuat citra profesi guru menjadi makin tersubordinasikan, di mana secara

personal, guru diidentifikasi sebagai miskin ekonomi yang lazim membuat

profesinya dilecehkan. Gaji guru yang sangat rendah dibanding dengan profesi

sejenis di manca negara, bahkan di lingkungan ASEAN adalah hal klise dan

sering dipersoalkan. Namun pun demikian, hal itu tetap menjadi derita

berkepanjangan bagi para yang berprofesi guru.

Dalam konteks lain, guru juga senantiasa dituntut untuk dapat

melahirkan lulusan yang memiliki persyaratan teknis untuk mendapatkan

pekerjaan atau swausaha. Ketika ada perbenturan antara membludaknya lulusan

dengan terbatasnya kesempatan kerja, guru lagi-lagi menjadi pusat tundingan

penyebab rendahnya mutu pendidikan dan membludaknya daftar pengangguran.

Posisi guru makin terpuruk karena gejala anomali di kalangan pelajar sering

dilabelkan sebagai kesalahan mereka. Tugas ini semakin memberatkan para

yang berprofesi guru, disebabkan karena jaringan-jaringan kemasyarakatan

semakin ruwet dan tidak konstruktif.

Media massa, seperti televisi, komputer, internet, program porno, disket

komputer, diskotik, taman rekreasi, dan sebagainya merupakan realitas jaringan

kemasyarakatan yang lebih bersifat destruktif daripada konstruktif. Jaringan-

jaringan tersebut seakan-akan kehilangan jejak untuk merepresentasikan

idealitas kemanusiaan seperti figuritas, kekuasaan, hukum, etika bisnis,

spiritualitas, modernitas, moralitas, relegiusitas, dan daya sensibilitas sosial.

Jaringan-jaringan kemasyarakatan tersebut hanya sebagai imajiner dan idealisasi

belaka, dan sama sekali tidak bermakna dalam proses kemanusiaan dan

pemanusiaan manusia secara universal.

Namun demikian, meskipun jaringan-jaringan kemasyarakatan amat

dominan mempengaruhi proses pemanusiaan dan kemanusiaan, eksistensi dan

fungsi guru tetap menjadi hal yang signifikan dan prioritas. Tuntutan institusi

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

428

pendidikan akan tenaga pendidikan yang bermutu dan unggul senantiasa

menjadi dambaan dan harapan publik. A.E Wise dalam Six Steps to Teacher

Professionalism menyatakan bahwa ketika orientasi mutu pendidikan dijadikan

agenda prioritas, kehadiran guru yang bermutu menjadi prioritas utama pilihan

publik.10

Mengikuti logika pemikiran Vollmer dan Mills (1968) jabatan guru

dikategorikan sebagai profesi yang sesungguhnya, karena pekerjaan mengajar

lebih mengandalkan aspek mental daripada motorik atau manual seperti halnya

profesi insinyur, advokat, notaris, dokter, teolog dan sejenisnya.11

Dengan status

profesionalnya itu, guru mestinya memiliki komitmen tinggi terhadap tugas dan

fungsinya sebagai abdi negara dan masyarakat. Realitas mogok mengajar dan

belajar yang dilakukan oleh guru dan siswa merupakan suatu fenomena

kependidikan yang menarik untuk dikaji dan diteliti pada era sekarang. Guru

mogok mengajar, apapun alasannya merupakan counter produktif proses

pendidikan dan pembelajaran yang bermisi kemanusiaan.

Dalam konteks ini, fenomena yang mesti dilihat bukan hanya mogok

mengajar sebagai anomali kepribadian guru, melainkan harus diposisikan pada

alasan rasional, mengapa para guru melakukan mogok. Kecilnya insentif

ekonomi agaknya menjadi alasan klasik, namun tetap diangkat kepermukaan.

Dalam perspektif ini, kondisi kehidupan guru memang belum baik. Posisi guru

sebagai pendidik dan pengembang sejarah peradaban intelektualitas semakin

tersoburdinasikan ketika indikator ekonomi dijadikan ukuran prestasi

masyarakat. Sedangkan modal idealisme dan moralitas yang dimiliki pahlawan

tanpa jasa itu dinilai hanya sebagai sosok ketradisionalan belaka.

Kondisi kurangnya standar ekonomi dan kesejahteraan hidup memang

merupakan nasib yang harus diterima oleh guru sebagai pahlawan tanpa jasa.

Namun sesuatu yang tidak bisa dimengerti adalah sikap arogantif pejabat terkait

10

Wise, A.E, “Six Steps to Teacher Professionalism”, in the Ryan, K. and Cooper, J.M,

(1990). Reading in Education, Boston: Houghton Mifflin Company 11

Sanusi, Achmad, dkk, Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga

Kependidikan, Bandung: IKIP Bandung Depaetemen P dan K, 1991, hal. 78

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

429

yang akut dan kronis mejadikan para guru sebagai sapi perahan. Jumlah guru

yang banyak dan ketakberdayaan mereka melawan arus birokrasi akibat

kekawatiran dimarjinalkan, adalah menjadi sasaran empuk oleh pihak tertentu.

Di sisi lain, kuantitas guru yang cukup besar juga acap kali dijadikan ajang

politisasi oleh kekuatan atau organisasi tertentu, terlebih pada saat menjelang

pesta demokrasi. Implikasinya, sikap dan daya kritis para guru semakin

menurun bahkan pupus, dengan alasan ketidakberdayaan dalam melawan arus.

Dalam kondisi ini, apapun perlakukan yang ditimpakan kepada mereka, seperti

pemotongan gaji dan uang siluman untuk aneka urursan biasanya selalu diterima

secara pasrah bahkan dianggap lumrah.

Pada tataran tugas, guru dituntut untuk lebih profesional sejalan dengan

meningkatnya kesadaran sejarah peradaban dan daya kritis siswa. Jika

sebelumnya anak didik menerima segala realitas kinerja guru, kini mereka sudah

mampu membedakan mana guru yang baik dan mana pula yang cenderung

anumalis dalam menjalankan tugas. Munculnya daya kritis siswa tersebut

memang merupakan fenomena baik dan konstruktif, sejauh hal tersebut

dijadikan sebagai sumber kearifan bagi tenaga kependidikan. Artinya, para guru

dan kepala sekolah hendaknya senantiasa mampu tetap eksis dengan predikat

digugu dan ditiru. Guru merupakan tenaga profesional yang bukan hanya

berperan dalam menanamkan nilai-nilai intelektualitas, tetapi juga mampu

menginternalisasikan nilai-nilai moralitas yang menyebabkannya dapat

dijadikan sebagai teladan dalam realitas kehidupan. Di sinilah makna

pendidikan sebagai proses kemanusiaan dan pemanusiaan manusia menjadi

manusia sejati.

Berdasarkan hasil rekomendasi para Mendikbud dari sembilan Negara

di New Delhi pada tahun 1995 dinyatakan bahwa ada enam pandangan tentang

visi pendidikan abad 21, di antaranya adalah: pertama, ikut menggalang

perdamaian dan ketertiban dunia, dengan titik tekan menanamkan nilai-nilai anti

kekerasan, keadilan, dan nilai-nilai toleransi antar sesama manusia kepada

peserta didik. Kedua, mendidik anak untuk mempersiapkan dirinya menjadi

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

430

pribadi ideal dalam kapasitasnya sebagai warga negara dan anggota masyarakat

dalam tatanan kehidupan yang demokratis. Ketiga, pendidikan harus

direalisasikan secara merata dan komprehensif, dengan menafikan batas-batas

kemampuan ekonomi, jenis kelamin, atau aspek lain yang mengarah kepada

tindakan diskriminatif yang bertentangan dengan nilai hakiki pendidikan.

Keempat, pendidikan harus mampu menanamkan dasar-dasar pembangunan

yang berkelanjutan (sutainable development) dengan memperhatikan kelestarian

dan pelestarian hidup dalam konteks yang luas.

Kelima, pendidikan harus menjadi instrumen yang tepat untuk

memepersiapkan tenaga kerja untuk pembangunan ekonomi, dan karenannya

pendidikan senantiasa harus dikorelasikan dengan tuntutan kerja (global market)

yang dewasa ini dikenal dengan istilah link and match. Keenam, pendidikan

harus berorientasi kepada ilmu pengetahuan dan teknologi (science and

technology) terutama bagi negara-negara sedang berkembang agar tidak

senantiasa tergantung pada negara-negara maju.

Enam wolrd views mengenai sosok pendidikan abad ke 21 di atas adalah

merupakan suatu kemutlakan bahwa guru-guru masa depan harus benar-benar

tampil secara profesional dilihat dari dimensi pribadi, penguasaan keilmuan,

metodologi pengajaran, dan kompetensi sosialnya. Tugas dan fungsi guru

sebagai tenaga kependidikan berspektrum luas tidak hanya memerankan fungsi

sebagai subjek yang mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga melakukan

tugas-tugas sebagai fasilitator, motivator, moderator, dinamisator dan evaluator

dalam proses pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas.

Untuk dapat menjalankan tugas-tugas tersebut, para guru harus memiliki

kompetensi tertentu. Sudarwan Danim,12

menyatakan bahwa ada sepuluh

kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sebagai instructional leader, yaitu,

diantaranya: 1) memiliki kepribadian ideal sebagai guru, 2) penguasaan

landasan pendidikan, 3) menguasaai bahan pelajaran, 4) kemampuan menyusun

program pengajaran, 5) kemampuan melaksanakan program pengajaran, 6)

12

Danim, hal . 197

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

431

kemampuan menilai hasil dan proses belajar-mengajar, 7) kemampuan

menyelenggarakan program bimbingan, 8) kemampuan menyelenggarakan

program administrasi sekolah 9) kemampuan bekerjasama dengan sejawat dan

masyarakat, dan 10) kemampuan menyelenggarakan penelitian sederhana untuk

keperluan pengajaran.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat dimaknai bahwa guru sebagai jabatan profesi

senantiasa perlu kiranya diperhatikan oleh berbagai pihak. Peningkatan

perhatian kepada guru adalah dengan cara memberikan kesempatan untuk

meningkatkan kualifikasi pendidikan, meningkatkan kompetensi keilmuan dan

jabatan, serta meningkatkan kuantitas kesejahteraan guru. Peningkatan

kualifikasi pendidikan dapat dilakukan dengan cara melanjutkan pendidikan

(penyetaraan) ke jenjang S1, S2 dan bahkan S3. Peningkatan kompetensi

kependidikan dapat dilakukan dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan baik

dalam prajabatan, maupun selama dalam jabatan. Pendidikan dan pelatihan

keilmuan ini dapat dilakukan dengan cara mengikuti penataran, lokakarya,

seminar, dan kegiatan ilmiah lainnya yang berkaitan dengan kependidikan. Di

samping melalui peningkatan mutu dan profesionalisme, pemerintah juga

diharapkan meningkatkan kesejahteraan guru, baik melalui peningkatan gaji,

maupun melalui peningkatan tunjangan prstasi kerja dan jabatan sehingga

keberadaan guru sebagai profesi tidak lagi tersoburdinasikan dalam realitas

masyarakat.

Peningkatan mutu dan kualitas pendidikan juga merupakan agenda

pembaharuan yang perlu disikapi dengan segera. Hal ini agar berbagai anumali

problematikan modern tidak akan berkembang dan meningkat. Arogansi

kekuasaan, krisis ekonomi, krisis global, pelanggaran ketertiban umum, aksi

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

432

memfitnah, main hakim sendiri, kerusuhan, perampokan, pecandu narkotika dan

obat-obatan terlarang, politisasi massa, kekerasan, korupsi, kolusi, nepotisme,

rendahnya indeks pengembangan sumberdaya manusia (human development

index), dan seabreg prilaku buruk lainnya merupakan dampak dari krisis

pendidikan era sekarang. Pendidikan merupakan instrumen yang harus mampu

memberikan bekal hidup bagi anak didik sesuai dengan potensinya. Jika

pembekalan tersebut disertai dengan pendidikan budi pekerti secara asumtif

akan melahirkan output yang bukan hanya cerdas secara intelektual dan fisikal,

tetapi bahkan melahirkan anak didik yang cerdas secara moral, emosional dan

spiritual.

DAFTAR PUSTAKA

Hermawan, S.R, (1979). Etika Keguruan: Suatu Pendekatan Terhadap Profesi

dan Kode Etik Guru Indonesia, Jakarta: Marga Hayu

Muhammad Athiyah Al Abrasyi, (1996). Beberapa Pemikiran Pendidikan

Islam, terj. Syamsudin Asyrofi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

National Education Assosiation, (1948). The Yardstick of a Profession. Dalam

Institutes of Professional and Public Relation. Washington DC: The

Association.

Ornstein, Allan C, dan Leive, Daniel U, (1984). An Introduction to the

Foundations of Education. Third Edition, Boston: Houghton Mifflin

Company.

PGRI, (1973). Kenang-kenangan Kongres PGRI XIII 21 s/d 25 November 1973,

Jakarta: PGRI

Sanusi, Achmad, dkk, (1991). Studi Pengembangan Model Pendidikan

Profesional Tenaga Kependidikan, Bandung: IKIP Bandung

Depaetemen P dan K.

PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD

433

Soetjipto dan Raflis Kosasi, (1999). Profesi Keguruan, Jakarta: Rineka Cipta

Stinnett, T.M, dan Huggett, Albert. J, (1963), Professional Problems of

Teachers. Second Edition. New York: The Macmillan Company.

Sudarwan Danim, (2006) Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Wise, A.E, “Six Steps to Teacher Professionalism”, in the Ryan, K. and Cooper,

J.M, (1990). Reading in Education, Boston: Houghton Mifflin Company