kit deteksi ibr

21
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit menular pada sapi dan kerbau yang disebabkan oleh Bovine herpesvirus- 1(BHV-1) dengan gangguan pernafasan, gejala syaraf dan gangguan reproduksi merupakan gejala klinis yang utama dengan sindroma berupa demam, rhinotrakheitis, konjungtivitis, dan vulvovaginitis atau sindroma lain berupa enteritis dan ensefalitis. Penularan dapat terjadi melalui perkawinan alam atau inseminasi buatan (IB). Manifestasi penyakit IBR dapat bersifat fatal, ringan maupun subklinis, tergantung dari galur (strain) virus, kepekaan hewan dan faktor lingkungan. Galur BHV-1 dapat dibagi atas beberapa genotipe yang masing-masing dapat mempengaruhi respon klinis dan patologis IBR. Galur virus yang paling patogen biasanya dipakai untuk uji tantang dalam studi patogenitas isolat, sedangkan untuk biang vaksin dipilih isolat yang paling rendah virulensinya tetapi mempunyai respon imunogenik yang tinggi. Virus BHV-1 dapat bersifat laten dan usaha isolasi virusnya dapat dilakukan dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi, misalnya deksametason untuk reaktivas. Sebagaimana umumnya Alphaherpesvirinae maka BHV-1 menyebabkan infeksi laten. Setelah infeksi, BHV-1 akan menyebar dari infeksi lokal ke sistem syaraf melalui sel syaraf tepi mencapai ganglia trigeminal dan lumbosakral dan menetap dalam keadaan laten. Sciatic, ganglia trigeminal dan tonsil adalah tempat terjadinya latensia setelah penyakit 1

Upload: desy071294susantiiii

Post on 17-Dec-2015

49 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

kit

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangInfectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit menular pada sapi dan kerbau yang disebabkan oleh Bovine herpesvirus-1(BHV-1) dengan gangguan pernafasan, gejala syaraf dan gangguan reproduksi merupakan gejala klinis yang utama dengan sindroma berupa demam, rhinotrakheitis, konjungtivitis, dan vulvovaginitis atau sindroma lain berupa enteritis dan ensefalitis. Penularan dapat terjadi melalui perkawinan alam atau inseminasi buatan (IB). Manifestasi penyakit IBR dapat bersifat fatal, ringan maupun subklinis, tergantung dari galur (strain) virus, kepekaan hewan dan faktor lingkungan. Galur BHV-1 dapat dibagi atas beberapa genotipe yang masing-masing dapat mempengaruhi respon klinis dan patologis IBR. Galur virus yang paling patogen biasanya dipakai untuk uji tantang dalam studi patogenitas isolat, sedangkan untuk biang vaksin dipilih isolat yang paling rendah virulensinya tetapi mempunyai respon imunogenik yang tinggi. Virus BHV-1 dapat bersifat laten dan usaha isolasi virusnya dapat dilakukan dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi, misalnya deksametason untuk reaktivas. Sebagaimana umumnya Alphaherpesvirinae maka BHV-1 menyebabkan infeksi laten. Setelah infeksi, BHV-1 akan menyebar dari infeksi lokal ke sistem syaraf melalui sel syaraf tepi mencapai ganglia trigeminal dan lumbosakral dan menetap dalam keadaan laten. Sciatic, ganglia trigeminal dan tonsil adalah tempat terjadinya latensia setelah penyakit genital dan pernapasan. Sifat laten ini membuat virus akan terus menetap dan akan terus dibawa dan dapat diinfeksikan terhadap sapi lain sehingga virus akan menyebar. Virus BHV-1 yang menetap ini dapat diaktifkan atau dipicu dengan beberapa rangsangan seperti transportasi, proses kelahiran dan pengobatan dengan glucocorticoid.Diagnosis terhadap IBR biasanya dilakukan dengan isolasi virus karena sensitivitasnya yang tinggi, tetapi uji serologis seperti uji serum neutralisasi (SN), fiksasi komplemen (CF), imunoperoksidase dan imuno fluoresen tidak langsung (IIF) sering dilakukan. Keberadaan penyakit IBR di Indonesia telah dilaporkan melalui uji serologis. Usaha untuk mendeteksi BHV-1 pada semen sapi yang digunakan untuk IB dan swab (sediaan ulas) dari mukosa organ hewan yang terserang hanya dilakukan dengan cara isolasi virus. Hal ini menimbulkan banyak hambatan dan membutuhkan waktu cukup lama. Selain itu, teknik pewarnaan imunohistokimia (IHK) juga dilakukan untuk mendeteksi antigen pada organ hewan yang terinfeksi BHV-1. Isolasi virus IBR di Indonesia diperoleh dari kasus hewan yang mengalami stres buatan dan dari semen hewan asal Balai Inseminasi Buatan (BIB) telah berhasil, akan tetapi uji patogenitas untuk dipelajari sifat-sifatnya belum diuji. Keganasan isolat dapat dilihat dari respon klinis, patologi anatomis, histopatologis dan sebaran antigen BHV-1 pada organ yang terinfeksi.Genom virus IBR memiliki double stranded DNA yang menyandi sebanyak 70 protein, yang terdiri dari 33 protein struktural dan lebih 15 protein non struktural. Glikoprotein adalah protein struktural yang mempunyai peranan penting dalam patogenesis dan sistem kebal. Glikoprotein berfungsi sebagai proteksi imunologis, replikasi, penyebaran dari sel ke sel yang lain serta pelekatan virus pada sel inang (8). Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik biologi molekuler yang memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Dengan penggunaan teknik PCR maka keberadaan penyakit IBR dapat diketahui sedini mungkin, sehingga dapat dilakukan langkah pengendalian penyakit atau tindakan oleh para pengambil kebijakan. Gold standar pengujian untuk mengisolasi virus IBR adalah dengan menumbuhkannya pada biakan jaringan lestari Madin Darby Bovine Kidney (MDBK) , tetapi untuk mendeteksi DNA pada kejadian laten menggunakan teknik PCR (8). Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan materi genetik virus IBR dengan menggunakan metode konvensional PCR, menggunakan gen gD dengan cara nested PCR. Diharapkan studi ini dapat dipakai juga sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan jenis isolat untuk pembuatan bahan baku KIT DIAGNOSTIK IBR dengan menggunakan isolat lokal Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah1. Bagaimana tahapan pembuatan Kit diagnostik untuk mendeteksi IBR?2. Apa keunggulan penggunaan Kit diagnostik IBR dengan PCR dibanding uji yang lain?

1.3 Tujuan1. Mahasiswa mengetahui prosedur pembuatan kit diagnostik untuk mendeteksi penyakit IBR 2. Mahasiswa mengetahui apa keunggulan dari kit diagnostik IBR dibandingkan uji yang lain

1.4 Manfaat Bagi Pemerintah Menurunkan angka kejadian kasus IBR yang selama ini menjadi salah satu penyakit strategis di Indonesia Bagi Masyarakat atau Peternak Menjadi solusi atau jawaban atas masalah yang dikeluhkan oleh peternak terhadap penyakit IBR yang kemudian diharapkan dengan alat ini dapat mendeteksi sedini mungkin penyakit IBR. Mengurangi kerugian produksi dan nilai jual karena penyakit IBR Bagi Mahasiswa Dapat memperkaya wawasan dalam bidang ilmu penelitian dan melakukan research sebagai perwujudan terhadap prinsip tridarma perguruan tinggi yaitu penelitian untuk mengembangkan atau menciptakan inovasi yang sudah ada Alat dapat dipatenkan dan mahasiswa dapat memperoleh keuntungan dari hal tersebut baik secara materiil maupun moril.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1 ETIOLOGI2.1.1 Agen Penyebab PenyakitInfectiousBovineRhinotracheitis (IBR) merupakan penyakitmenular yang disebabkan oleh Bovine Herpes Virus tipe 1 (BHV-1) yang dapatmenyerang alat respirasi bagian atas dan alat reproduksi pada sapi. Biasanyapenyakit ini menyerang ternak sapi yang ditandai dengan gejala demam tinggi dengan suhu 40,5 42 C, nafsu makan menurun dan dijumpai leleran hidung,hipersalivasi, produksi air susu menurun disertai dengan kekurusan (Kurniadhi,2003). Pada dasarnya serangan IBR itu sendiri tidak menyebakan kematian pada hewan, akan tetapi infeksi BHV-1 ini merupakan predisposisi terjadinya pnemonia sekunder pada hewan yang dapat menyebabkan kematian pada hewan. Penyakit InfectiousBovineRhinotracheitis (IBR) menyerang pada sapi dan kerbau yang disebabkan oleh virus dari golongan herpes. Penyakit inipada hewan yang peka dapat bersifat laten, seperti kebanyakan penyakit yang kausanya adalahherpes virus. Oleh sebab itu, pendekatan pada penanggulangan penyakit perludiselaraskan dengan sifat agen penyakit dan perlu penanganan khusus untukpenanggulangan tersebut(Sudarisman 2007). 2.1.2 TAKSONOMI

Adapun klasifikasi Virus penyebab Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), sebagai berikut :Group:Group1(dsDNA)Family :HerpesviridaeSub family:AlphaherpesviridaeGenus : VaricellovirusSpesies : Bovine Herpes Virus1 ( BHV-1)

2.1.3 MorfologiSemua Herpesvirus pada umumnya memiliki untai dasar double stranded (DNA virus), yang dikode 100-200 gen dan terbungkus oleh capsid, dimanacapsid ini merupakan susunan rantai ikosahedral protein, capsid ini diselubungilagi dengan suatu lapisan protein yang disebut tegument, yang mengandung protein virus,mRNA virus, dan lapisan lipidbilayer yang disebut amplop virus.Virion dari BHV-1 terdiri dari tidak kurang 2533 polipeptida. Sel yangdiinfeksi oleh virus akan berisi tidakkurang dari 15 polipeptida yang bukan dari virion. Gen dari beberapa nukleotida ini termasuk didalamnya BHV-1 glikoprotein B atau gI, BHV-1 gC atau gIII, BHV-1 gD atau gIV dan Thymidine Kinase (TK). Virion BHV-1 terdiri dari proteiNyang dikenal dengan VP8, VP7 ataupun 107 K (Kurniadhi 2003).

Gambar 1. Gambara virus BHV-1 pada biakan sel selapis (cell line) MDBK dan terlihat awal terbentuknya CPE pada tanda panah putih2.1.4 Siklus Hidup dan Proses InfeksiPada media biakan sel selapis yang sesuai, virus dapat tumbuh dan berkembang dengan ditandai oleh adanya kerusakan sel terinfeksi. Menurut beberapa penelitian, pada penyakit IBR, media yang tepat untuk menumbuhkannya adalah di sel selapis dari organ sapi antara lain ginjal, adrenal, testis, thymus, thyroid, pankreas dan ginjal babi. Hal ini sebabkan karena pupukan sel selapis dari jaringan ginjal sapi yang difiksasi dengan cairan Bouin dan diwarnai dengan hematoksilin-eosin (HE) memperlihatkan intranuclear inclusion bodies yang menyerap warna eosin. Virus IBR-IPV juga dapat tumbuh baik pada media pupukan sel yang dibuat dari paru-paru dan kulit sapi serta memperlihatkan gejala CPE yang baik dalam waktu 1-2 hari ditandai dengan intranuclear inclusion bodies pada sel-sel selapis yang terinfeksi. Pada pupukan sel embrio sapi, sel yang membulat dan mengkerut akan terlihat pada 24-48 jam setelah terinfeksi oleh virus dan plaque-plaque akan terlihat pada pupukan agar overlay. Pertumbuhan virus juga terjadi pada media sel selapis jaringan ginjal babi, domba, kambing, kuda dan monyet juga limpa kelinci, amnion manusia dan sel Hela. Tetapi umumnya hal tersebut terjadi setelah virus mengalami adaptasi. Pada TET virus tidak dapat tumbuh (Sutrisno 1985).Penyebaran BHV1 dapat dengan cara horisontal maupun vertikal. Penyebaran secara horisontal melalui kontak seksual, Inseminasi Buatan (IB), dan melaui udara. Sedangkan penyebaran BHV1 secara vertikal, yaitu melalui plasenta. Penularan BHV1 secara langsung dapat melalui membran mukus saluran pernapasan dan pencernaan hewan, penularan melalui membran mukus ini dapat terjadi secara nose to nose antara hewan terinfeksi dan hewan yang rentan, hal ini disebabkan virus meluruh bersamaan dengan menbran mukus, selain itu penularan BHV1 juga melalui udara yang dihembuskan, bersin atau batuk hewan terinfeksi. Dan diketahui bahwa masa inkubasi Bovine Herpes Virus tipe 1 berkisar 2-3 hari, baik yang menyerang saluran pernapasan maupun yang menyerang saluran reproduksi.2.1.5 Polymerase Chain ReactionPolymerase Chain Reaction adalah teknik biologi molekuler untuk mengamplifikasi sekuen DNA spesifik menjadi ribuan sampai jutaan kopi sekuen DNA. Teknik ini menggunakan metode enzimatis yang diperantarai primer. Prinsip dasar PCR adalah sekuen DNA spesifik diamplifikasi menjadi dua kopi selanjutnya menjadi empat kopi dan seterusnya. Pelipat gandaan ini membutuhkan enzim spesifik yang dikenal dengan polimerase. Polimerase adalah enzim yang mampu menggabungkan DNA cetakan tunggal, membentuk untaian molekul DNA yang panjang. Enzim ini membutuhkan primer serta DNA cetakan seperti nukleotida yang terdiri dari empat basa yaitu Adenine (A), Thymine (T), Cytosine (C) dan Guanine (G). Reaksi amplifikasi ini dimulai dengan melakukan denaturasi DNA cetakan yang berantai ganda menjadi rantai tunggal, kemudian suhu diturunkan sehingga primer akan menempel (annealing) pada DNA cetakan yang berantai tunggal. Setelah proses annealing, suhu dinaikkan kembali sehingga enzim polimerase melakukan proses polimerase rantai DNA yang baru. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya sebagai cetakan bagi reaksi polimerase berikutnya.Nested PCR adalah suatu teknik perbanyakan (replikasi) sampelDNA menggunakan bantuanenzimDNA polymeraseyang menggunakan dua pasang primeruntuk mengamplifikasifragmen. Dengan menggunakan nested PCR, jika ada fragmen yang salah diamplifikasi maka kemungkinan bagian tersebut diamplifikasi untuk kedua kalinya oleh primer yang kedua. Dengan demikian, nested PCR adalah PCR yang sangatspesifikdalam melakukanamplifikasi. Nested PCR dan PCR biasa berguna untuk memperbanyak fragmenDNAtertentu dalam jumlah banyak. Dimana pada nested PCR digunakan 2 pasang primer sedangkan pada PCR biasa hanya menggunakan 1 pasang primer.Oleh karena itu hasil fragmen DNA dari nested PCR lebihspesifik(lebih pendek) dibandingkan dengan PCR biasa. Waktuyang diperlukan dalam reaksi nested PCR lebih lama daripada PCR biasa karena pada nested PCR dilakukan 2 kali reaksi PCR sedangkan pada PCR biasa hanya 1 kali reaksi PCR. Selain itu, keuntungan nested PCR adalah meminimalkan kesalahan amplifikasigendengan menggunakan 2 pasang primer. Mekanisme kerja dari nested PCR sendiri yakni pada Fase Denaturasi, Pertama-tama DNA mengalami denaturasi lalu memasuki fase penempelan. Fase Penempelan, sepasang primer pertama melekat di kedua utas tunggal DNA dan mengamplifikasi DNA di antara kedua primer tersebut dan terbentuklah produk PCR pertama.Fase pemanjangan, produk PCR pertama tersebut dijalankan pada proses PCR kedua di mana pasangan primer kedua (nested primer) akan mengenalisekuenDNA spesifik yang berada di dalam fragmen produk PCR pertama dan memulaiamplifikasibagian di antara kedua primer tersebut. Hasilnya adalah sekuens DNA yang lebih pendek daripada sekuens DNA hasil PCR pertama.

BAB IIIPEMBAHASAN3.1 Prosedur pembuatan kit diagnostik untuk mendeteksi penyakit IBR Menyiapkan materi yang dibutuhkan dan metode yang digunakan1. VirusVirus IBR strain Los angeles yang ditumbuhkan pada sel MDBK dan sel BT (Bovine Testicle), virus IBR strain Colorado yang ditumbuhkan pada sel MDBK dan BHV-1 strain V-155. Strain V-155 berasal dari usap mukosa vagina sapi Australia yang ditumbuhkan pada sel MDCK.2. Isolasi/Ekstraksi DNAMetode isolasi/ekstraksi DNA menggunakan Qiamp DNA Mini Kit (Qiagen, Cat: 51304) untuk memperoleh DNA. Preparasi sebelum melakukan ekstraksi adalah dengan menambahkan 60 ml Ethanol absolut ke dalam 19 ml Buffer AW1 dan 44 ml Ethanol absolut ke dalam 13 ml Buffer AW2.3. Ekstraksi DNAEkstraksi ini dilakukan dengan memasukkan sampel sebanyak 180 l ke dalam life touch microsentrifuge tube 1.7 ml yang bersih dan steril yang ditambah dengan 560 l Buffer AVL. Kemudian campuran ini divortex selama 15 detik dan diinkubasikan pada suhu ruang selama 10 menit. Setelah itu disentrifus selama 1 menit dengan kecepatan 8000 rpm. Tambahkan 560 l Ethanol absolut dan divortex selama 15 detik serta di sentrifus selama 1 menit dengan kecepatan 8000 rpm. Larutan sebanyak 700 l dipindahkan ke dalam Qiamp Spin Column dan disentrifus selama 1 menit dengan kecepatan 8000 rpm. Cairan yan tertampung dalam Collection Tube dibuang dan sisa larutan sebanyak 520 l dipindahkan kedalam Collection Tube yang baru kemudian ditambahkan Buffer AW1 sebanyak 500 l dan disentrifus selama 1 menit dengan kecepatan 8000 rpm. Cairan yang tertampung didalam Collection Tube dibuang dan ditambahkan Buffer AW2 sebanyak 500 l untuk mencuci membran spin column. Setelah itu disentrifus selama 3 menit dengan kecepatan 14000 rpm. Cairan yang tertampung pada Collection Tube dibuang dan disentrifus lagi selama 1 menit dengan kecepatan 14000 rpm. Selanjutnya cairan beserta Collection Tube diibuang. Qiamp Spin Column dipindahkan ke dalam Collection Tube yang baru dan ditambahkan Buffer AVE sebanyak 100 l, diinkubasi selama 1 menit dalam suhu ruang kemudian disentrifusselama 1 menit dengan kecepatan 8000 rpm. Tahap akhir adalah Qiamp Spin Column 4dibuang dan filtrat yang didalam tabung adalah DNA. Simpan DNA pada suhu -20oC sampai akan digunakan untuk identifikasi selanjutnya.4. Penambahan PrimerPrimer yang digunakan adalah dua pasang primer glikoprotein D (gD) (10,11) yaitu primer gD BHV-1 Eksternal: gD-P1F (Lokasi 351-368) 5- GCT GTG GGA AGC GGT ACG-3) dan gD-P2R (Lokasi 817-796) 5-GTC GAC TAT GGC CTT GTG TGC-3 ; dan primer BHV-1 Internal: gD-P3F (Lokasi 394-422) 5-ACG GTC ATA TGG TAC AAG ATC GAG AGC G-3 dan gD-P4R (Lokasi 716-696) 5-CCA AAG GTG TAC CCG CGA GCC-3. Primer eksternal menghasilkan fragmen 468 bp dan primer internal menghasilkan fragmen 325 bp. 5. Amplifikasi PCRa. First PCR Mix menggunakan Top TagMaster Mix Kit (Qiagen, Cat : 200203)Kedalam tabung 200 ul dicampurkan reagen PCR mix yang terdiri dari 12.5 l 2x Top Tag Master Mix, 0.25 l Primer gD-P1F (20 uM), 0.25 l Primer gD-P2 (20 uM) dan 9.5 l RNAse Free Water sehingga total volume mencapai 22.5 l. Setelah itu campuran di vorteks dan sentrifus beberapa detik dan ditambahkan template DNA sebanyak 2.5 ul. Tabung diasukkan ke dalam mesin thermal cycler (Eppendorf) dengan program yang di awali dengan Hot start 940C selama 3 menit, kemudian 35 siklus dimana masing-masing siklus terdiri dari denaturasi 940C selama 30 detik, pelekatan (annealing) 600C selama 30 detik, dan elongasi (elongation) 720C selama 1 menit. Amplifikasi diakhiri dengan elongasi terakhir pada suhu 720C selama 10 menit. b. Second PCR Mix menggunakan Top Tag Master Mix Kit (Qiagen, Cat : 200203)Kedalam tabung 200 ul dicampurkan reagen PCR mix yang terdiri dari 12.5 l2x Top Tag Master Mix, 0.25 l Primer gD-P3F (20 uM), 0.25 l Primer gD-P4R (20 uM) dan 11 l RNAse Free Water sehingga total volume mencapai 24 l. Setelah itu campuran di vorteks dan sentrifus beberapa detik dan ditambahkan produk PCR pertama sebanyak 1 ul Tabung disasukkan ke dalam mesin thermal cycler (Eppendorf) dengan program yang di awali dengan Hot start 940C selama 3 menit, kemudian 35 siklus dimana masing-masing siklus terdiri dari denaturasi 940C selama 30 detik, pelekatan (annealing) 600C selama 30 detik, dan 5 elongasi (elongation) 720C selama 1 menit. Amplifikasi diakhiri dengan elongasi terakhir pada suhu 720C selama 10 menit. 6. Analisa Produk PCRProduk PCR dianalisa dengan Elektrophoresis menggunakan gel agarose(Invitrogen) 2 % dalam buffer TAE (Invitogen) dan syber safe (Invitrogen). Hasil PCR masing masing sebanyak 10 l kemudian dicampur dengan loading dye 1 l. Campuran dimasukkan ke dalam lubang gel agarosa di dalam elektroforesis chamber. Salah satu lubang diisi dengan marker 100 bp (Invitrogen) sebanyak 10 l. Elektrophoresis dilakukan pada 100 volt dan 400 mA dalam buffer TAE selama 45 menit.Hasil elektroforesis dilihat dengan menggunakan sinar biru, pada 468 bp untuk first PCR sedangkan 325 bp untuk second PCR atau nested.

Hasil uji PCR menggunakan konvensional PCR untuk mendeteksi virus IBR ditampilkan pada Gambar 1. Pada metode ini menggunakan dua pasang primer, yaitu sepasang primer eksternal (gD-P1F / gD-P2R) dan sepasang primer internal (gD-P3F/gD-P4R). Primer eksternal menghasilkan produk PCR 468 bp sedangkan primer internal menghasilkan produk PCR 325bp.Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah salah satu teknik biologi molekuler untuk memperbanyak jumlah DNA secara in-vitro dengan mempergunakan enzim polymerase dan perubahan temperatur. Dalam teknik PCR ini sangat diperlukan preparasi sampel DNA, dimana untuk mendapatkan asam nuklat merupakan langkah awal untuk menentukan keberhasilan dalam proses identifikasi DNA dari sampel yang kita akan lihat. Isolasi DNA merupakan proses yang sangat menentukan kemampuan kita untuk mengidentifikasi DNA dari sel tersebut dan tentunya dalam proses isolasi DNA ini membutuhkan perangkat terutama laboratorium yang memenuhi syarat tertentu.3.1 Keunggulan pengembangan Kit diagnostik berbasis PCR dibandingkan dengan uji lain Teknik ini tidak memerlukan proses pembiakan, mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Menurut Van Engelenburg et al. 1993 dan Smith et al. 2000, pengujian dengan teknik PCR untuk mendeteksi DNA virus IBR merupakan cara yang sensitif, akurat dan pelaksanaan lebih cepat dibanding isolasi pada biakan jaringan. Dengan PCR, deteksi DNA virus IBR dapat dilakukan lebih sering karena prosesnya lebih cepat.Glikoprotein D merupakan glikoprotein utama dan penting bagi BHV-1 yang berperan dalam interaksi antara virus dengan sel inang yaitu membantu proses masuknya virus ke sel inang, penyebaran virus dari sel ke sel dan fusi virion envelope dengan membran plasma. Menurut Saepulloh et al. (2008), nested PCR memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi, cepat dan mudah pengerjaannya dibandingkan dengan isolasi virus yang merupakan metode standar, sehingga sangat ideal untuk diagnosa rutin. Pemakaian nPCR untuk mendeteksi herpesvirus telah banyak dilakukan di dunia. Di Indonesia sendiri telah dilakukan untuk mendeteksi agen penyebab MCF (Malignan Catarrhal Fever) pada sampel usapan mukosa hidung dan untuk mendeteksi agen penyebab penyakit IBR dari isolat yang berasal dari mukosa hidung dan semen sapi Jawa Timur dan Jawa Barat.

BAB IVPENUTUP4.1 KesimpulanMetode nPCR dengan menggunakan sepasang primer eksternal dan sepasang primer internal dari gen Glikoprotein mampu mendeteksi DNA virus IBR lebih cepat dan mudah yang bisa diaplikasikan dalam pengembangan suatu kit diagnostik. Metode ini akan mampu mendeteksi keberadaan virus IBR yang bersifat laten secara dini serta dapat mengurangi kerugian peternak karena terjangkit virus IBR dengan teknik PCR untuk mendeteksi DNA virus IBR merupakan cara yang sensitif, akurat dan pelaksanaan lebih cepat dibanding isolasi pada biakan jaringan. Dengan PCR, deteksi DNA virus IBR dapat dilakukan lebih sering karena prosesnya lebih cepat.

DAFTAR PUSTAKA

Ackerman M, Wyler R. 1984. The DNA of an IPV strain of Bovine Herpesvirus 1 in sacral ganglia during latency after intravaginal infection. Veterinary Micobiology.9:53-63.Anonim. 2011. Standard Operating Procedure (SOP) Deteksi Biologi Molekuler IBR. Disampaikan pada Pelatihan Bioteknologi 2011 Teknik diagnosa virus rabies dan infectious Bovine Rhinotracheitis secara molekuler di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan 11-15 Juli 2011. PT. Gene Craft labs. Jakarta.Badiei K, Ghane M, Mostaghni K. 2010. Seroprevalence of Bovine Herpes Virus Type 1 in the Industrial Dairy Cattle Herds in Suburb of Shiraz-iran. Australian Journal of Basic and Applied Sciences 4(10): 4650-4654.De Gee ALW, Wagter LHA, Hage JJ. 1996. The use of a polymerase chain reaction assay for the detection of bovine herpesvirus 1 in semen during a natural outbreak of infectious bovine rhinotracheitis. Veterinary Microbiology. 63: 163-168. Hatta M. 2007. Prinsip dasar PCR dan aplikasinya. Di dalam Kursus Singkat Pertemuan Virologi dan Bioteknologi se Indonesia 2007 di BPPV Reginal II Lampung pada tanggal 2 - 7 Juli 2007[ICTV] International Commitee on Toxonomy of Viruses. 2002. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ICTVdb/Ictv/index.htm. Diunduh pada tanggal 8 Juni 2010.Muylkens BJ, Thiry J, Kisten P, Schynts S, Thiry E. 2007. Bovine Herpesvirus 1 infectious bovine rhinotracheitis. Vet. Res. 38: 181-209.[OIE] Office International Epizooties. 2010. Infectious Bovine Rhinotracheitis/Infectious Pustular Vulvovaginitis. OIE Terrestrial Manual Chapter 2.4.13. Paris.Radostitis OM, Gay CC, Blood DC, Hinchliff KW. 2000. Veterinary Medicine: A textbook of the diseae of cattle, sheep, pig, goats and horses, 9th. WB Saunders Company Ltd. Hlm. 1173-1184.Rola J, Larska M, Polak MP. 2005. Detection of Bovine Herpesvirus 1 from an outbreak of Infectious Bovine Rhinotracheitis. Bull. Vet. Inst. Pulawy. 49: 267-271.Saepulloh M, Adjid RMA, Wibawan IWT, Darminto. 2008. Pengembangan Nested PCR untuk deteksi Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1) pada sediaan usap mukosahidung dan semen asal sapi. JITV. 13(2): 155-163.Saepulloh M, Wibawan IWT, Sajuthi D, Setiyaningsih S. 2009. Karakterisasi molekuler Bovine Herpesvirus Type 1 isolat Indonesia. JITV. 14(1): 66-74.Smith CB, C Van Maanen, Glas RD, De Gee ALW, Dijkstrab T, Van Oirschot JT, Rijsewijk FAM. 2000. Comparison of three polymerase chain reaction methods for routinedetection of bovine herpesvirus 1 DNA in fresh bull semen. Journal of Virological Methods. 85:65-73.Thiry YE, Saliki J, Bublot M, P.P. Pastoret PP. 1987. Reactivation of infectious bovine rhinotracheitis virus by transport. Comp. Immunol. Microbiol. Infect. Dis.10: 59-63.Van Engelenburg FAC, Maes RK, Van Oirschot JT, Rijsewijk FAM. 1993. Development of a rapid and sensitive Polymerase Chain Reaction assay for detection of Bovine Herpesvirus Type 1 in bovine semen. Journal of Clinical Microbiology. 31(12): 3129-3135.Van Engelenburg FAC, Van Schie FW, Rijsewijk FAM, Van Oirschot JT. 1995.Excretion of Bovine Herpesvirus 1 in semen is detected much longer by PCR than by virus isolation. Journal of Clinical Microbiology 33(2): 308-312.Van Oirschot JT, Straver PJ, Van Lieshout, Quak J, Westenbrik F, Van Exsel AC. 1993. A subclinical infection of bulls with bovine herpesvirus type 1 at an artificial insemination centre. Vet. Rec. 132: 32-35.Wiyono A, Saepulloh M, Damayanti R, Sudarisman. 1995. Teknik polymerase Chain Reaction untuk virus malignant catarrhal fever pada sediaan usap mukosa. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Veteriner, Cisarua Bogor, 7-8 Nopember 1995: 963-969.

12