keterkaitan kuitur dan struktur sosial menyimak kerancuan

8
Raharja Menyimak Kerancuan daJarn Hubungan Lintas Kultur dan Struktur Keterkaitan KuItur dan Struktur Sosial MENYIMAK KERANCUAN DALAM HUBUNGAN LINTAS KULTUR DAN STRUKTUR Oleh: Raharjo. Di dalam disiplinsosiologi,sejak awal dikembangkanpemahaman bahwa kultur dan struktur merupakandua aspekfenomenayangsalingberkait.Jon M. Shepard (1984) misalnya, menyatakan keterkaitan dan saling mempengaruhiyangtidakterelakkanantarakulturdanstruktur.Secararingkas Shepardmenggambarkannyadalamskemaberikutini. Sebuah mobil berplat merah (dinas) dikemudikan oleh seorang sopir berseragarn (dinas) memasuki sebuah tempat parkir di depan sebuah pasar. Seorang ibu, yang dilihat dari dandanannya diyakini bukan pejabat, keluar dari mobil dan bergegas masuk ke pasar. Dari jenis tas yang dibawanya, terlihatjelas bahwa ibu itu ke pasar bukan untuk menjalani suatu tugas resmi. Bagaimana reaksi orang-orang seldtarnya? Sarna sekali tidak ada perhatian khusus. Dan hampir dapat diyakini pula bahwa instansi dan karyawan tempat mobil itu berasaljuga tidak ada reaksi. Kejadian itu demikian lumrahnya sehingga tidak memancing perhatian atau reaksi khusus dari pihak-pihak tersebut .... culture + via roles + attached to sodal statuses + guides role behavior + through sodal interaction. which tay be observable as patterned relationships + which constitute sodal structure 'T'\1lisan ini diawali dengan meng-etalase-kan sebuah cerita yang terkesan .1. l1iv.ialuntuk diangkat ke dalam suatu wacana ilmiah. Salahkah perilaku ibu pengguna mobil dinas dalam cerita di atas? Apakah reaksi pihak-pihak sekitar yang sangat netral tersebut telah cukup untuk menunjukkan persepsi tentang adanya legitimasi sosial maupun legal terhadap perilaku tersebut? Dalam kenyataan, kita pun mungkin tidak mempedulikan kejadian semacam itu. Atau paling-paling hanya melihatnya sebagai hal yang wajar- wajar saja. Namun, dalam konteks dan skenario kehidupan berbangsa dan bernegara, cerita sepele tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak gambaran peristiwa yang merefleksikan suatu fenomena besaryang selama ini merupakan akar permasalahan krusial yang melanda negeri ini. Melalui penelaahan beberapa perspektif sosiologi, tulisan ini hendak mengungkapkan sosok fenomena besar tersebut dalam kaitannya dengan permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara. * Star pengajar jurusan Sosiologi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada. Sebagai perbandingan, dapat dikemukakan di sini pendapat JBAF Mayor Polak dalam Pengantar Sosiologi(I 966) yang disuntingnya. Polak menyatakan bahwa terdapat kore1asi fimgsional antara aspek kultur dan aspek struktur dari suatu masyarakat. Masing-masing aspek saling mendukung dan membenarkan. Perubahan pada aspek kultur akan segera diimbangi oleh perubahan struktur. Demikian pula sebaliknya. Ada dua kerangka berpikir yang berpengaruh dominan dalam memahami keterkaitan antara kultur dan struktur. Kerangka berpikirpert;mJamenekankan pada pengakuan atas perbedaan atau bahkan ketimpangan antara perubahan pada aspek kultur dan perubahan pada aspek struktur. Dalam suatu perubahan 88 JSP · Vol. 2, No. I, Jull 1998 JSP. Vol. 2, No. I, Juli 1998 89

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Keterkaitan KuItur dan Struktur Sosial MENYIMAK KERANCUAN

Raharja Menyimak Kerancuan daJarnHubungan Lintas Kultur dan Struktur

Keterkaitan KuItur dan Struktur SosialMENYIMAK KERANCUAN DALAM HUBUNGAN

LINTAS KULTUR DAN STRUKTUR

Oleh: Raharjo.

Di dalam disiplinsosiologi,sejakawal dikembangkanpemahaman bahwakulturdan strukturmerupakandua aspekfenomenayangsalingberkait.JonM. Shepard (1984) misalnya, menyatakan keterkaitan dan salingmempengaruhiyangtidakterelakkanantarakulturdanstruktur.SecararingkasShepardmenggambarkannyadalamskemaberikutini.

Sebuah mobil berplat merah (dinas) dikemudikan oleh seorang sopirberseragarn (dinas) memasuki sebuah tempat parkir di depan sebuah pasar.Seorang ibu, yang dilihat dari dandanannya diyakini bukan pejabat, keluar

dari mobil dan bergegas masuk ke pasar. Dari jenis tas yang dibawanya,terlihatjelas bahwa ibu itu ke pasar bukan untuk menjalani suatu tugas

resmi. Bagaimana reaksi orang-orang seldtarnya? Sarna sekali tidak adaperhatian khusus. Dan hampir dapat diyakini pula bahwa instansi dan

karyawan tempat mobil itu berasaljuga tidak ada reaksi. Kejadian itudemikian lumrahnya sehingga tidak memancing perhatian atau reaksi

khusus dari pihak-pihak tersebut ....

culture

+viaroles

+attached to sodal statuses

+guides role behavior

+through sodal interaction.

which tay be observable aspatterned relationships

+which constitute sodal structure

'T'\1lisan ini diawali dengan meng-etalase-kan sebuah cerita yang terkesan.1. l1iv.ialuntukdiangkat ke dalam suatu wacana ilmiah. Salahkah perilaku

ibu pengguna mobil dinas dalam cerita di atas? Apakah reaksi pihak-pihaksekitar yang sangat netral tersebut telah cukup untuk menunjukkan persepsitentang adanya legitimasi sosial maupun legal terhadap perilaku tersebut?

Dalam kenyataan, kita pun mungkin tidak mempedulikan kejadiansemacam itu. Atau paling-paling hanya melihatnya sebagai hal yang wajar-wajar saja. Namun, dalam konteks dan skenario kehidupan berbangsa danbernegara, cerita sepele tersebut merupakan salah satu dari sekian banyakgambaran peristiwa yang merefleksikan suatu fenomena besaryang selamaini merupakan akar permasalahan krusial yang melanda negeri ini. Melaluipenelaahan beberapa perspektif sosiologi, tulisan ini hendak mengungkapkansosok fenomena besar tersebut dalam kaitannya dengan permasalahankehidupan berbangsa dan bernegara.

* Star pengajar jurusan Sosiologi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada.

Sebagai perbandingan, dapat dikemukakan di sini pendapat JBAF MayorPolak dalam PengantarSosiologi(I 966)yang disuntingnya. Polak menyatakanbahwa terdapat kore1asifimgsional antara aspek kultur dan aspek strukturdari suatu masyarakat. Masing-masing aspek saling mendukung danmembenarkan. Perubahan pada aspek kultur akan segera diimbangi olehperubahan struktur. Demikian pula sebaliknya.

Ada dua kerangka berpikir yang berpengaruh dominan dalam memahamiketerkaitan antara kultur dan struktur. Kerangka berpikirpert;mJamenekankanpada pengakuan atas perbedaan atau bahkan ketimpangan antara perubahanpada aspekkultur dan perubahan pada aspekstruktur. Dalam suatu perubahan

88 JSP · Vol. 2, No. I, Jull 1998 JSP. Vol. 2, No. I, Juli 1998 89

Page 2: Keterkaitan KuItur dan Struktur Sosial MENYIMAK KERANCUAN

Menyimak Kerancuan daJam Hubungan Lintas Kultur dan Struktur Raharja RaharjaMenyimak Kerancuan daJam Hubungan Lintas Kultur dan Struktur

bisa saja terjadi cultural lag, yakni tertinggalnya aspek kultural dariperkembangan aspek struktural. Sebaliknya,juga bisa teIjadi sociaJlag,yaknitertinggalnya aspek struktur dari perkembangan aspek kultur.

Kerangka berpikir kedua lebih menekankan keserasian atau keseimbanganantara perubahan di tingkat kultur dengan perubahan di tingkat struktur dalammasyarakat. Kerangkaberpikir sepertiini masih memilikipengaruh yangcukupkuat dalam kerangka pemikiran sosiologi hingga saat ini, dan cenderungmelahirkan perspektif konservatif. Argumentasi teoritisnya dibangun dariasumsi bahwa masyarakat selalu weD-organizeddan stabil. Penyimpanganterhadap tatanan sosial yang ada, apalagi dalam bentuk perubahan radikalatau pembaharuan, dipandang sebagai keadaan 'abnormal' atau insidental,yangnantinya akan menjadi normal kembali.Dalam sosiologi,dasarpemikiranini sangat dipengaruhi oleh paham organisme biologis,khususnya mekanismepengaturan diri yang disebut homeostatis. Masyarakat diasumsikan memilikimekanisme pengaturan diri yang secara otomatis akan mengendalikan segalabentuk perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Oleh karenanyamasyarakat diibaratkan sebagaisuatu sistemyangtidak pernah berubah. Dalamkonstelasi masyarakat seperti ini, perilaku sosialdiyakini bisa diramalkan (pre-dictable)dan sangat solid, sebagaimana fenomena fisikoSebab,perilaku sosialpada hakekatnya merupakan produ~ dari proses sosialisasiyangberada dalambingkai kultur dan struktur masyarakatnya.

Perspektif konservatif memiliki sejumlah gugatan validitas ketikadihadapkan kepada beberapa pertanyaan mendasar sebagai berikut:Bagaimana perspektif ini melakukan identifikasi suatu unit kelompok atasdasar pola kultura1-struktura1tertentu, padahal masyarakat selaluberada dalamkeadaan berubah dan belum tentu dalam keseimbangan?; Bagaimanaperspektifini menjelaskanfenomenainteraksilintaskultural-strukturalyangberlangsung seiringdengan tuntutan perkembanganpada era globalisasi?Bagaimana perspektif ini menjelaskan pengaruh perubahan sertaperkembanganyangterkadanghanyabisa dijelaskandalamkontekssejarahglobal dan bersifat mondial (seperti misalnya yang dilontarkan FemandBraudel,dan diikutioleh ImmanuelWallerstein)?

Tidak mudah untuk melakukanidentifikasisuatu kelompokmasyarakatyangmenjadideterminanperilakuseseorangsebagaimanatermaksuddalamperspektifkonservatif,apalagidalamkontekseraglobalisasisepertisekarang

ini. ldentifikasi terhadap suatu unit kelompok akan tergantung pada banyakfaktor. Salah satunya adalah tingkat perkembangan masyarakat. Pada tingkatperkembangan masyarakat tertentu, suatu unit kelompokmungkin berkembangdalam bentuk komunitas-komunitas keci1yang bersahaja, seperti keluargameluas (extended famil.n, ketetanggaan (neighbourhood), dan komunikasidesa. Atau dalam bentuk kelompok yang lebih besar tetapi masih bersifatbersahaja, seperti kelompok tnbal (rumpun), kesatuan komunitas berbasiskesukuan atau rasial. Unit kelompok tersebut bisajuga dalam bentuk negaramodern sepanjang negara tersebut bukan sekedar sebagai kesatuan politis (po-litical entity).

Permasalahan yang dihadapi perspektif konservatif menjadi tampakmenyolokketikadihadapkanpada kenyataanbahwa manusiakontemporertidakhanyahidupdalamlingkupsatukomunitas.Di sampingmenjadibagiandarisuatu extendedfamilykomunitasdesatertentu,komunitasl1ibaJtertentu,ataukomunitaskesukuantertentu,merekajugamerupakanbagiandariwargamasyarakatsuatunegara.Merekamemilikiberbagaidimensihubunganyangmelintasdiantaraberbagaikelompoktersebut.Merekamelintasipolastrukturdan kultur yang berbeda-bedadalam satu kehidupanyang dialaminya.Disampingitu,perspektifkonservatifmasihdirepotkanlagiuntukmenjelaskanterlalujauh dan langgengnyakeadaan-keadaan'abnormal' yangdiakibatkanolehperubahan-perubahanglobaldan mondialsaat ini.

Terlepas dari kelemahan-kelemahan di atas, perspektif konservatifmemberikansumbanganpemikiranyangcukupmendasardansangatbergunadalam memahamikaitanantara peri1aku,kultur,dan struktur.YaknibahwaperiJaku manusia adalah produk daripola kulturdan struktursosiaJ ke1ompokmasyarakattertentu.Sejauhmana determinasiserta dampaknya terhadapkomplekshubunganyangbersifatlintaskultural-strukturaldalamkehidupanberbangsadan bernegara.

Pusat (Center) ~n Pinggiran (Periphery)

Dalil dari perspektifkonservatifdi atas barangkaliakan mudah ditemukandalam kenyataansepanjangasumsi teoritisnyaterbuktisahib, yaknibahwamasyarakat selalu berada dalam keadaan sangat teratur (weD-organized)danstabil. Terlebihlagibila satuan-satuan masyarakat yang ada di dunia semuanya

90 JSP · Vol. 2, No.1, Juli 1998JSP. Vol. 2, No.1, Juli 1998 91

Page 3: Keterkaitan KuItur dan Struktur Sosial MENYIMAK KERANCUAN

Menyimak Kerancuan daJam Hubungan Lintas Kultur dan Struktur Raharja RaharjaMenyjmak Kerancuan daJam Hubungan Lintas Kultur dan Struktur

berskalakecil(sma/-sca1ecommunitj) clanterisolasisatusarnalain sehingganampaksebagaikomunitasyangmandiri.Dalam skenariosemacamini,jikaseandainyaada, tentu tidak akan terjadihubunganlintaskultural-strukturalantarorang-orangdariberbagaikelompokkomunitas.Hal iniakanmencegahhadirnyakerancuanperilakudi dalamantar-hubungan(intenaltion)merekamaupun kekhawatirantentangsalahpenyesuaian(ma/adjustment)di dalamantar-hubungan tersebut. K.ehidupanmanusia laksana kepompong dalamselongsongnya,terasaaman clannyamantanpa pengaruhdarikekuatanluaryangberpotensimerubahatau mengacaukankehidupantersebut.

Namun, kenyataan berbicara lain. Manusia adalah makhluk dinamis.Merekaselaluberubah,baiksecaraeVolusionermaupunrevolusioner.Prosesperubahan tersebutdi sampingmengubahbesaranunitkomunitasdari skalakecilmenjadiskalabesar,jugamenghadapkananggotasuatukomunitaskepadakelompok-kelompoklaindi luarunitkomunitasnya.Sebagaikonsekuensinya,setiapanggotakomunitastidakhanya memilikihubungandenganoranglaindarikomunitasnyasendiri,melainhn jugamemilikihubungandenganoranglaindi luarkomunitasnya.Denganlainperkataan,tiaporangmulaimelakukanhubungan lintas kultural-struktural. Sebagai akibat sifat hubungan yangdemikian itu, akan muncul standar ganda dalam mekanismepengaturanperilaku.Sebuahperilaku tidak lagibisa disebutsebagaiproduk seutuhnyadari komunitas tertentu, melainkanjuga dipengaruhioleh pola kultur clanstrukturdari unit komunitaslain.Kondisisemacamini membukalebar-lebarkemungkinanterjadinyakerancuan perilakuorang dalam antar-hubunganmerekasatu sama lain.

Kapanmanusiamulaimemasukihubunganlintaskultural-strukturalyangberpotensi sebagaiakar persoalan munculnyakerancuanperilakumereka?Dalam sejarah evolusi besar manusia, kehidupan sosial diawali olehpengelompokan keci1-keci1clan terpisah (terisolasi) satu sama lain. K.elompokkeci1ini adalah komunitas desa, yang kehadirannya berawal dari ditemukannyacocok tanam sekitar 10.000tahun lalu. Karena eksistensikomunitas desamelekatpadapertanian,sedangpertaniansetelaherafoodgatheringeconomicstetap merupakan mata pencaharianutama manusia, maka komunitasdesadalamberanekabentukclankarakternyaberpengaruhterhadappolakehidupanmanusia.Bahkan,pada perkembanganselanjutnya,setelahskalakomunitassemakin membesar - yakni dengan munculnya kelompokkumpulan (band),rumpun (tribal)hinggasuku- komunitasdesa masihdiperlakukansebagai

basiskultur clanstruktur dari komunitas yang telah membesar tersebut. Sampaidengan era food gathering economics ini, mekanisme pengaturan perilakuseseorang masih berbasis pada satu unit komunitas, dengan masyarakat desasebagai referensi yang utama.

Ketika sejarah evolusi manusia mengalami dobrakan perkembangan(breaktrhough), yang ditandai dengan hadirnya fenomena negara, lembaranbaru dalam sejarah evolusikehidupan manusia m11laiterbuka. Sebab, negarasecara umum bukanlah wadah dari satu unit komunitas tunggal dengan satupola kultur clan struktur, melainkan merupakan wadah dari kemajemukankomunitas. Dengan demikian, di dalam negara, orang-orang 'dipaksa" untuk

melakukan hubungan lintas kultural-struktural dari berbagai kelompok yangada.

Dalam sosiologi, fenomena munculnya negara dapat dicermati dalamwacana tentang evolusipolitik. Elman Service(dalam Sanderson, terjemahan1995) misalnya, menggambarkan empat tahap utama evolusipolitik, yaknikumpulan (band), suku (tribe), chiefdom, dan negara (state). Pada tahapkumpulan dan suku, mekanisme kepemimpinan belum didasarkan ataskekuasaan (poweJ), melainkan didasarkan atas pengaruh (influence). Artinya,mekanisme pengaturan perilaku pada kedua tahap tersebut masih berbasiskultur dan struktur komunitas sipil, bukan berbasis kultur dan strukturkomunitas negara. Hal ini mengindikasikan bahwa pola kultur dan strukturdari sebuah komunitas merupakan determinan perilaku seseorang. Bahkanpada tingkat chiefdom, sekalipun telah menggunakan kekuasaan sebagaimekanisme pengendalian warga negara, namun masih belum terlepas darisistem kekerabatan dalam masyarakat.

Fenomena negara muncul tatkala komunitas mulai mengalami diferensiasi,khususnya stratifikasi sosial. Teori-teori tentang lahirnya negara, khususnyadari Karl Marx, menekankan stratifikasi (baca: kIas) sebagai variabel utamadalam pemikiran teoritiknya. Mekanisme pengendalian warga pada tingkatini tidak lagiefektif diIakukanmelalui pengaruh (inOuence),melainkan melaluikekuasaan (powel). Hadirnya negara menjadikan perilaku seseorang tidaklagiberbasispada komunitas tunggaI. Mekanismenya sangat dipengaruhi olehkemajemukan komunitas/kelompok yang terproyeksimelalui hubungan lintaskultural-struktural di dalam wilayah negara tersebut.

Wacana evolusi politik sebagaimana yang dikemukakan Elman Servicememberi kesan bahwa lahirnya negara berlangsung dalam proses evolusiyangruntut dan unilinier, dari satu tingkatan atau tahap menuju tingkatan atau

92 JSP· Vol. 2, No.1, JOO1998JSP. Vol. 2, No.1, Juli 1998 93

Page 4: Keterkaitan KuItur dan Struktur Sosial MENYIMAK KERANCUAN

Menyimak Kerancuan dalam Hubungan Lintas Kultur dan Struktur RaharjaRaharja

Menyimak Kerancuan dalam Hubungan Lintas Kultur dan Struktur

tahap berikutnya. Proses evolusiunilinier semacam ini (sekalipun sebenamyamerupakan wacana umum dalam evolusibesar manusia) kurang tepat untukmenjelaskan terjadinya negara-negara di dunia ketiga. Proses terbentuknyanegara di dunia ketiga tidak mengikuti proses evolusi seruntut yangdigambarkan Elman Service. Negara-negara dunia ketiga di dalam dirinyaterkandung komponen-komponen yang sangat heterogen dalam berbagaiaspek, khususnya menyangkut tingkatperkembangannya. Indonesia, misalnya,memiliki komponen-komponen komunitas dari tingkat kumpulan, suku,chiefdom, hingga kelompok yang sangat terdiferensiasi.

Einstadt (1971) menjelaskan dobrakan-perkembangan dengan cara yangberbeda. Einstadt menggunakan istilah pusat (centei) dan pinggiran (pen"ph-C1J1untuk menjelaskan terjadinya dobrakan-perkembangan dari masyarakatp.re-litemtemenuju masyarakat htemte. Masyarakat pre-litemtedalam kerangkapemikiran Einstadt adalah masyarakat yang masih primitif, dan dikategorikansebagai kelompok pinggiran. Litemcy, bagi Einstadt, merupakan variabelyangmelahirkan dobrakan-perkembangan, yakni dengan munculnya pusat-pusat(centers)ekonomi, politik, dan kebudayaan. Pusat-pusat ini mengembangkansimbolisasi tersendiri yang memisahkan diri dari simbol-simbol primordialpinggiran. Dalam pemahaman Einstadt, negara dapat diartikan sebagaiorganisasi dari keseluruhan pusat dan pinggiran yang ada dalam suatu wilayah.Dengan demikian, di dalam suatu negara terakomodasi semua komponenmasyarakat, dari yang masih bersahaja sampai yang telah terdiferensiasikan.

Dengan meminjam kerangka pemikiran Einstadt dan sedikit modifikasi,tulisan ini akan mengeksplorasi tarik menarik antara negara dengan kelompok-kelompok komunitas yang ada didalamnya. Terminologipusat-pinggiran tidakdigunakan untuk merepresentasikan dikotomi literate-prehterate,melainkanmenunjuk pada dikotomi antara negara sebagai pusat, dengan kelompokkomunitas didalam negara sebagai pinggiran.

Pusat dan Pinggiran dl Indonesia

Di manakah relevansiserangkaianpaparan di atas dengan fenomena besaryang disinggung pada awa1tul1sanini? Fenomena besar tersebut padahakekatnyamerupakanrefleksidari kompleksitaspropertiyangterkandungdalam hubungan pusat-pinggiran. Dengan sedikit mereduksi muatankompleksitastersebut,bisa dipaparkansatu proposisisebagaiberikut:jauh-

dekatnya perbedaan pusat dengan pinggiran merupakan akar masaJah daJam

kehidupan beIiJangsa clanbemegara. Semakin besartingkatperbedaan tersebut,akan semakinbesar pulapotensiyangterkandungbagimunculnyaberbagaipersoalan.Demikianpulasebaliknya.

Negara-negaramodernBaratumumnyadipahamikurang/tidakmemilikimasalahda1amhubunganpusat-pinggirandibandingkandengannegara-negaradunia ketigasaat ini. Kecilnyaperbedaanpusat-pinggirandi negara-negaraBarattersebutsebenamyabukanmerupakankeadaanzi1herentmasyarakatnya,tetapisebagaiproduk dariprosessejarahyangpanjang.Sebelumberkembangmenjadi negara-negara modern, negara-negara di benua Eropa telahmengalamiprosespenyesuaian(aqjustmenf)yang lama sekaliantara pusatdengan pinggiran.Prosespenyesuaianini di sampingberlangsungmelaluiprosesevolusionerdan unilinier,juga berlangsungmelaluiberbagaibentukrevolusi,sepertirevolusipolitik,revolusiteknologi,danrevolusisosial-budaya.

David Riesman (dalam David McClelland, 1955) mencoba mencarihubungan antara revolusi-revolusiyang terjadidi Eropa denganperubahanwatak sosial (social characte;)masyarakat Eropa. Riesman memilah duagelombang revolusi di Eropa, yang dihitung sejak abad pertengahan.Gelombang revolusi yang pertama terdiri atas Renaissance, Reformasi,ReformasiBalasan,RevolusiIndustri,danrevolusi-revolusipolitikyangterjadipada abad 17, 18,dan 19.Gelombangrevolusiyangpertama ini, menurutRiesman,menyebabkanlenyapnyacara hidup tradisionalyangberorientasipada keluargadan klan.Gelombangrevolusiyangkeduamenyangkutsemuaperkembangansosialsecaraterpadu,yangditandaiolehpergeserandariabadproduksimenujuabadkonsumsi.

Dalam berbagaipembahasantentangsejarahperkembanganmasyarakatEropa,RevolusiPerancis(I 789)dan RevolusiIndustriumumnyadipandangsangatmonumental.RevolusiPerancis,disampingmerupakan"kisahbesar"runtuhnyamonarkhiabsolut,jugamenjaditonggaksejarahruntuhnyakulturdan strukturmasyarakatfeodal,sekaligusmenandaitahap awalmunculnyaproses borjuasi yang mengikuti perkembangan kapitalisme perdaganganmodern. SementaraRevolusiIndustrimenandaiperkembangankapitalismeindustrimodern, yangkemudianmengantarkanmasyarakatEropa menjadimasyarakatindustrialmodern.

94 JSp. Vol. 2, No. I, Juli 1998JSP ·Vol. 2, No. I, Juli 1998 95

Page 5: Keterkaitan KuItur dan Struktur Sosial MENYIMAK KERANCUAN

Menyimak Kerancuan dalam Hubungan Lintas Kultur dan Struktur Raharja RaharjaMenyimak Kerancuan dalam Hubungan Lintas Kultur dan Struktur

Dua revolusibesartersebut,dan prosesevolusiyang menyertainya,telahmendekatkan atau mengeliminasiperbedaan pusat dan pinggiran dalammasyarakat Eropa hingga menjelangmunculnyanegara modern. Sebagaiakibatnya, kemuncu1an negara-negara modern di Eropa tidak lagi terbebani olehpersoalan dualisme pusat-pinggiran dalam kehidupan berbangsa danbernegara. Tiadanya kesenjangan pusat-pinggiran ini memiliki dampak positifterhadap hubungan lintas kultural-struktural antar warga masyarakat. Artinya,hubungan lintas kultural tidak lagi menjadi akar permasalahan yang krusialdalam kehidupan beIbangsa dan bernegara (lihat Peter L. Berger,teIjemahan,1990).

Bagaimana dengan Indonesia dan negara-negara dunia ketiga umumnya?

Negara-negara dunia ketiga umumnya memiliki sejarah perkembanganyangbezbedadengan dunia Barat. Beberapabagian dari perkembangan tersebutmemang menyerupai dunia Barat, dan ha1inibisa dijelaskan dengan perspektifevolusioner.Namun, bagian terbesar lainnya memiliki dialektika sejarahsendiri, yang sarna sekaliberbeda dengan dunia Barat. Di sarnping itu, beragamrevolusi yang menyertai sejarah negara-negara dunia ketiga memiliki magni-tudedan karakteristik yang sarna sekaliberlainan dengan yang teIjadi di duniaBarat. Revolusi-revolusi tersebut tidak memiliki eskalasi dan intensitas yangcukup potensial untuk mendekatkan atau mengintegrasikan pusat danpinggiran. Sebagai akibatnya, sejarah perkembangan negara-negara duniaketiga senantiasa mewariskan kesenjangan pusat-pinggiran.

Sejarah perkembangan Indonesia tidak terlepas dari warisan kesenjanganpusat-pinggiran tersebut. Namun, berbeda dengan negara-negara dunia ketigalainnya, Indonesia memiliki properti yang potensial untuk terjadinyakesenjangan pusat dan pinggiran. Properti potensial tersebut bertitik tolak darilanskap Indonesia sebagai negara kepulauan, dengan 13.667pulau, berada diiklimtropis, serta kawasan hutan tropis yang cukup luas. Kondisi fisik-geografistersebut berpotensi untuk menciptakan isolasi-isolasi fisikoKondisi fisik-geografis ini ikut menyum\>angterciptanya isolasikultural-struktural di antarawarga masyarakatnya. Hal ini tezbukti dari beragamnya adat-istiadat, tradisi,hukum adat, atau pola kebudayaan yang melekat pada eksistensi berbagaisuku bangsa di Indonesia. Kalkulasi van Vollenhowen tentang 13adatrechts1aingenyangada di Indonesia menguatkan bukti keberagaman adat-istiadat di Indonesia, meskipun jumlah yang sebenarnya masih jauh lebih

banyak daripada hitungan van Vollenhowen tersebut (sebagai Pertimbangan,lihat catatan etnografi dari Kontjaraningrat). Ini pun belum mencakupberagamnya kepercayaan-kepercayaan yang memiliki pengaruh cukup besarterhadap cara hidup bangsa Indonesia. Di s~ping. itu, keberagaman yangada di Indonesia bersangkutan pula dengan tmgka{kemajuan dari masing-masing daerah dan kelompok masyarakat di Indonesia. Dilihat dari tingkatkemajuannya, misalnya, Indonesia mungkin biSa digambarkan dari duakawasan, kawasan Barat dan kawasan Timur. Namun, dari masing-masingkawasan tersebut, terdapat banyak varian perkembangan yang bisadikemukakan. Bahkan, di pulau Jawa sekalipun yang dinilai sebagai melting-pot, masih terdapat daerah-daerah yang "tradisional-teIbelakang".

Sejumlah pakar melihat potensi kesenjangan ini sebagai "materialbangunan" yang berharga dalam bangunan teori-teroiatau pendapat-pendapatmereka. E. A. Shils (1961)misalnya, menyatakan bahwa masalah utama yangdihadapi negara-negara yang baru merdeka adalah terdapatnya jurangperbedaan antara golongan berpendidikan yang jumlahnya sangat kecilberhadapan dengan sekelompok besar masyarakat yang tidak berpendidikan(uneducated mass). Pendapat Shilsini di samping menu~uk pada kesenjangankelompok dalam kategori pendidikan,juga menunjuk pada kesenjangan antarakelompok tradisional visa viskelompok modern.

Berkenaan dengan persoalan kesenjangan tersebut, Boeke (1948) secarategas menyebutnya sebagai dualisme, yaitu eksistensi dua sistem yangkontradiktif, sistem kapitalisme modem dan sistempra-kapitalistik.Walaupundualisme tersebut dimaknai Boeke dalam terminologi ekonomi, namunpendapatnya sering menjadi acuan bagi sejumlah pakar dalam meng-gambarkan adanya dualisme sosio-kultural.Dalarn perkembangan berikutnya,pandangan tentang dualisme ini mewujud pada berbagai model dualisme,seperti dualisme regional (desavskota), dualisme sektoral (formal vs informal),dualisme finansial (bank vs rentenir), dan sebagainya.

Dalam kaitan ini, konsep primordialisme yang dikemukakan oleh CliffordGeerts memberi sumbangan yang cukup berharga, yang esensinya berkaitanerat denganjurang perbedaan antara pusat dengan pinggiran. Primordialismeyang menggambarkan keterikatan orang pada daerah, suku, tribal,kepercayaandaerah, sering diketengahkan untuk menunjukkan periaku seseorang yangkurang dapat memainkan peran-peran nasional. Peran nasional tersebut

96 lSP · Vol. 2, No.1, lull 1998 lSP. Vol. 2, No.1, lull 1998 97

Page 6: Keterkaitan KuItur dan Struktur Sosial MENYIMAK KERANCUAN

Menyimak Kerancuan dalam Hubungan Lintas Kultur dan Struktur Raharja RaharjaMenyimak Kerancuan dalam Hubungan Lintas Kultur dan Struktur

semestinya dilakukan dengan berpijak pada kultur nasional, namun justrudilakukan melalui perilaku primordial.

Apakah kesenjangan pusat-pinggiran tersebut masih relevan dengankeadaan yang berkembang saat ini, khususnya berkenaan dengan prosestransparansi yang menyertai arus globalisasi?Derajat relevansi atas masalahtersebut dapat dikemukakan dalam bentuk pertanyaan lain sebagai berikut:Apakah kita saat ini telah terbebasdariberbagaibentuk kesenjangan,khususnyakesenjangan ekonomi dan sosial?Apakah saat ini gejala primordialisme telahlenyap dari kehidupan kita? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dengansendirinya membuktikan relevan atau tidaknya kesenjangan pusat-pinggiransebagai akar permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Diakui oleh berbagai pihak bahwa saat ini telah terjadi banyak perubahandalam perimbangan antara pusat dan pinggiran. Secara khusus hal ini tampakmenyolok pada bidang pendidikan. Lembaga-Iembaga pendidikan moderntelah mampu mentransformasikan kualitas manusia Indonesia menjadigenerasi berpendidikan modern, dengan kualifikasi modernitas tertentu yangmungkin dapat disamakan dengan kriteria manusia modern, misalnya, alaAlex Inkelesatau McOe11and.Perubahan dibidang pendidikan ini tidak dapatdipungkiri ikut menyumbang semakin lunturnya perbedaan kualitas antarapusat dan pinggiran.

Namun, dengan melihat persoalan kesenjangan dibidang ekonomi, sosial,dan kultural, dapat ditegaskan bahwa persoalan yang diakibatkan oellikesenjangan pusat-pinggiran masih tetap eksis.Berkenaan dengan hal tersebut,pada bagian berikutnya akan dipaparkan ilustrasi-ilustrasi empirik tentangdampak yang timbul dari kesenjangan pusat-pinggiran, baik padamasa lalumaupun pada sekarang ini.

Ilustrasi: Priyayiisme dan Distorsi Peran

llustrasi ini mengambiltitik tolak pada fenomenapIiyayiisme,yakni sikaphidupfeodalistik,sikaphiduptidakmerakyat,orientasinyaelitis,dancenderungmementingkanhubungan vertikaldan hirarkis(homo hierarchicus).GejalapIiyayiismeberawal dari politik etik yang diterapkanpemerintah kolonialBelanda. Pada masa kolonial ini, kaum pribumi merupakan golongan

masyarakat umum yang memiliki kedudukan sosial-ekonomi sangat rendah.Berbeda dengan kaum pribumi, para kerabat kraton dankaum bangsawandiakui memiliki kedudukan sosial yang ringgi, sehingga seolah terlepas dariatribut pribumi. Kraton dengan demikian 'menjaqi simbol dari lapis atasmasyarakat yang legitimate.

Priiyayiisme muncul sebagai fenomena sosiaIrketika kaum pribumi (in-landei)mendapat kesempatan untukmengenyam pendidikan modem. Pribumiberpendidikan ini sebagian dimanfaatkan Belanda sebagaipegawaipemerintahkolonial, termasuk sebagai pegawai ondememing. Sebutan "priyayi BB"(Binnelands Bestuul), yakni para pegawai/pejabat Pamong Praja, sangatterkenal pada waktu itu. Kaum pribumi yang berpendidikan, berkedudukan

struktural dan bergaji ringgi tersebut merasa memerlukan citra baru yangberbeda dengan kaum pribumi umumnya. Salah satu caranya, sesuai dengantuntutan jaman itu, adalah mengidentifikasi diri dengan simbol status yangsah, yakni dengan memiliki "keterkaitan dan kedekatan" dengan pihak kratonatau memiliki gelar kebangsawanan. Oleh karena kebangsawanan merupakangelar yang diperoleh melalui keturunan (ascn'bed status), banyak pegawaipribumi yang kawin dengan pasangan dari golongan bangsawan. Tanpaperkawinan semacam itu, proses identifikasi diri juga dimungkinkan, karenakaum pribumi terdidik pada waktu itu telah memiliki kesetaraan status dengankebangsawanan. Seiring dengan semakin meluasnya kaum pribumi yangmemperoleh pendidikan modem, semakin banyak bermunculan "bangsawan-bangsawan tidak berdarah biru". Di Jawa, mereka disebut sebagai priyayi.Sekalipun dilihat dari pendidikannya mereka adalah intelektual-modemis,namun jiwa dan gaya hidup mereka adalah feodalistik.

Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, semenjak munculnyafenomena priyayi-baru, terlihat kecenderungan masyarakat lapis bawah ( wongcihK)untuk menyekolahkan anaknya agar menjadi priyayi atau priyagung.Pendidikan, bagi mereka, digunakan sekedar sebagai tangga untuk dapatmenjadi bangsawan. Dengan orientasi yang sangat feodalistik ini, beberapapihak menyebut gejala ini sebagai neo-feodalisme.

Orientasi feodalistik tersebut memberi dampak negatif tatkala priyayi-barutersebut memasuki berbagai lembaga kenegaraan (pusat),yakni adanya distorsiperilaku peran. Mereka menduduki jabatan struktural modern yangdiperankannya dalam kultur tradisional. Mereka sulit diharapkan menjadiabdi masyarakat, karena mereka merasa sebagai bangsawan, yang semesrinya

98 JSp. Vol. 2, No. I, Jull 1998JSP. Vol. 2, No. I, Juli 1998 99

Page 7: Keterkaitan KuItur dan Struktur Sosial MENYIMAK KERANCUAN

Menyimak Kerancuan dalam Hubungan Lintas Kultur dan Struktur Raharja RaharjaMenyimak Kerancuan dalam Hubungan Lintas Kultur dan Struktur

harnsdilayani.Merekalebihmengembangkanhubunganvertikalyangtajamdalamkelembagaannegara,sebuahperilakuyangmenggambarkankarakteraslisistemfeodal(akarotoritarianismebisadilacakdarifenomenaini).Merekacenderungmenganggapmasyarakat/rakyatsebagaigolonganyangterbelakangdan tradisional, oleh karenanya harus diperlakukan sesuai dengankualifikasinyaitu.Mereka mentabukan kritikdan kontrol dari bawahan, karenasistem feodalistik melembagakan hubungan vertikal dan hirarkis (yang tajam)dengan bawahan.

Fenomena semacam ini memang cukup dominan di Jawa, dan karena itusejumlah pakar berpendapat bahwa pusat (pemerintahan) dalam berbagaiaspeknya sangat diwarnai unsur-unsur Jawa. Namun dalam berbagai skalayang berbeda sebenarnya juga terdapat di luar Jawa. MA Jaspan dalam SocialStratification and Social Mobility in Indonesia (1961), melukiskan gejalapriyayiisme inijuga muncul di Kutai, Boa, Bone, Luwuk-Langgai, Balai, Belu,Bima, dan Rati. Secara ilustratif gejala tersebut digambarkan lewat profitseorang pemuda dari lapis bawah, yang karena gelar kesarjanaannya, dapatmempersunting seorang gadis dari kalangan bangsawan.

Contoh-contoh tentang distorsiperilaku dan peran dari kelompok pinggiranmasih bisa direntangkan hingga keadaan saat ini. Birokrasi kita yang seringdituding investor 'asing sebagai prasarana yang tidak efektif, tidak luput darikontribusi pinggiran tersebut. Birokrasi yang dalam tradisi Weberianmerupakan sistem yang menerapkan prinsip rasionalitas, dan karenanya saratdengan sifat-sifat impersonal, dalam kenyataannya tidak terefleksi dalamlembaga-lembaga pusat. Pola-pola kultural dalam ujud sistem kekerabatan,klan, suku, daerah, atau ikatan-ikatan primordiallainnya telah menjadi cul-tural block bagi eksisnya sistem birokrasi Weberian tersebut. Di samping itu,situasipermissiveyang dimungkinhn olehpenetrasi primordialisme pinggirantersebut telah membuka aksesbagi eksisnyaperilaku-perilakudeviatif.Tidaklahterlalu berlebihan jika dikatakan bahwa gejala KKN (korupsi, kolusi,nepotisme) adalah fungsi dari kuat-lemahnya situasi permissive yang timbuldari penetrasi primordialiSme pinggiran tersebut. Betapa kuatnya "warna"yang ditorehkan oleh pinggiran terhadap pusat dapat dilukiskan melaluikomentar warga asing"kepada penulis pada awal tahun 1980-an, bahwabirokrasi di Yogyakarta adarah "birokrasi Mataraman". Pendapat itudikemukakan dengan maksud untuk menggambarkan kuatnya pengaruhbudaya kraton terhadap sistem birokrasi di Yogyakarta.

Pada kondisi saat ini, setelah terjadi perkembangan sosial yang cukupkompleks, perbedaan pusat dan pinggiran tidak lagi identik dengan dikotomitradisional-modern seperti semula. Ini tidak berarti bahwa hubungan antarapusat dan pinggiran telah berjalan secara s~on. Jntervensi dan penetrasiprimordialisme pinggiran terhadap pusat masih tetip berlangsung. Namun,hal tersebut bukan dikarenakan oleh kuatnya 'peranan yang dimainkanprimordialisme dan kemampuan pinggiran dalam pola kultur dan strukturpusat, melainkan karena dalam primordialisme terdapat "residu" (meminjamistilahPareto untuk menunjuk "maksud tertentu di,bakliksuatu alasan/ derivat),yakni kepentingan. Dengan demikian terdapat kesenjangan untuk melakukanintervensi primordialisme ke dalam dimensi hubungan pusat untuk mencapaidan mempertahankan kepentingan yang bersangkutan, baik kepentinganperorangan maupun kepentingan kelompok.

Penutup

Sebagaimana dituIijukkan dalam tulisan ini, kerancuan peri1akuyang timbuldalam hubungan lintas kultur dan struktur pada dasarnya berakar padapersoalan kesenjangan di dalam hubungan antara pusat dan pinggiran.Apapunpilihan kebijaksanaan eliminasi kesenjangan yang diambil, perlu secara hati-hati memperhitungkan faktor-faktor yang potensial menjadi sumber konflik,sepertiprimordialisme, keterbelakanganpinggiran,dan feodalisme.Di sampingitu, implementasi kebijaksanaan tersebut perlu ditempuh melalui langkah-langkah akomodasi di antara berbagai kepentingan yang saling berbenturandan saling berusaha mendominasi. Langkah hati-hati tersebut menjaditantangan bagi negara-negara dunia ketiga, yang sebagian besar mewarisi sifateksploitatif dalam hubungan pusat-pinggiran semasa kolonialisme.Kecerobohan dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut bisajadi justrumengakibatkan munculnya kolonialisme baru dalam bentuk kolonialisme in-ternal, sebagaimana banyak digambarkan oleh pendekatan Neo-Marxist.

Kemauan pemerintah (political will) untuk melakukan eliminasi

kesenjangan dalam hubungan pusat-pinggiran tidak berarti bahwa pusat hamslemah atau dilemahkan. Yang dituntut adalah semakin hilangnya (secaragradual) unsur eksploitatif dalam hubungan tersebut. Dalam konteks ini,kuatnya pusat tidaklah identikdengan kuatnya statesodetyyang meminggirkan

100 lSP. Vol. 2, No.1, luli 1998lSP. Vol. 2, No.1, luli 1998 101

Page 8: Keterkaitan KuItur dan Struktur Sosial MENYIMAK KERANCUAN

Menyimak Kerancuan dalam Hubungan Lintas Kultur dan Struktur RaharjaRaharja Menyimak Kerancuan dalam Hubungan Lintas Kultur dan Struktur

dvil sodety. Jika kita analogikan dengan dunia sepakbola, kuatnya pusatbarangkali dapat diibaratkansebagai tim-tim Eropa dan Amerika Selatan yanghandal. Kompetisi di antara para pemain sepakbola sangat transparan, namuntidak mudah untuk dimasuki. Hanya orang yang berkualitas prima danprofesional yangbisa memasuki tim tersebut,tanpa memandang latar belakangsuku, ras, agama yang dianutnya. Kuatnya pusat dalam analogi yang demikianini cukup kondusif untukmenciptakan mekanismeyang mampu membendungintervensi primordialisme pinggiran. Dalam sosiologi, kita bisa meminjampattemed nuiablesTalcot Parson untuk menggambarkan kategori lembaga-lembaga di tingkat pusat tersebut, yang kira-kira dapat dirumuskan sebagaiberikut: (a) bersifat universalistik, berkualifikasi objektif untuk memasukilembaga tersebut; (b) berorientasi pada kolektivitas, tidak berorientasi padadiri sendiri, da kelompok yang dimaksud bersifatholistik,bukan sub-kelompok;(c)tidak afektif,da1amarti tidak terikatpada hubungan emosional sebagaimanayang banyak ditemukan hubungan primer dan primordial; (d) berorientasiprestasi, bukan bersifatpewarisan, kroniisme atau nepotisme; (e)menekankanspesifitas, dalam arti menghindarkan diri dari kekaburan (diflizseness)peran,milsanya dalam perangkapan fungsi dan peran, atau salah fungsi atau peran(wrong man in the wrongplace).

McOelland, David c., The Achieving Society, New York: Free Press, 1961.

Pareto, Vilpredo, da1am Lewis A Coser, Masters of Sociological Though,Ideas in Historical and Social Context, New York: Harcourt BraceJovanovich, Inc., 1971.

Polak, J.B.AE Major, Sosiologi, Suatu PengantarRingkas, cetakan V,Jakarta:Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, 1966

Sanderson, Stephen K., Sosiologi Malan, Sebuah Pendekatan TerhadapRealitas SosiaJ, terjemahan, Jakarta: ~ Raja Grafindo Persada,1995.

Service, Elman, dalam Stephen K Sanderson, Sosiologi Makro, SebuahPendekatan TerhadapReaJitasSosiaJ,teIjemahan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995.

Shepard, Jon M., Sociology, second edition, New York: West PublishingCompany, 1984.

Shills, Edwards A, The CaUingof Sodology, New York: Free Press, 1961.

Daftar Pustaka

Berger, Peter L., Revolusi KapitaJis, teIjemahan, Jakarta: LP3ES, 1990.

Coser, Lewis A, Masters of Sociological Though, Ideas in Historical andSodal Context, New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1971.

Boeke, J.H., The Interest of the VoicelessFar East, Introduction to OrientalEconomics, !

Leiden: Universitaire Pers, 1948.

Einstadt, S.N., Political StJdology, New York: Basic Book Inc., 1971.

Geerts, Clifford, Involusi Pertanian, ProsesPerubahan Ekologi di Indonesia,teIjemahan, Takarta:Bhatara Karya Aksara, 1983..

Jaspan,M.A, Sodal StratificationandSodalMobilityin Indonesia,Jakarta:GunungAgung, 1961.

102 JSp. Vol. 2, No. I, Jull 1998JSP · Vol. 2, No. I, Juli 1998 103