kerangka landasan teori - perpustakaan...
TRANSCRIPT
BAB II
KERANGKA LANDASAN TEORI
2.1. AKTIVITAS MENONTON TELEVISI
2.1.1. Pengertian dan Sejarah Televisi
Media televisi pada hakekatnya merupakan suatu sistem
komunikasi yang menggunakan suatu rangkaian gambar elektronik
yang dipancarkan secara cepat, berurutan, dan diiringi unsur audio.
Yang dimaksudkan televisi di sini menurut Onong Uchjana Effendy
(1993: 21) adalah televisi siaran (television broadcast) yang
merupakan media dari jaringan komunikasi dengan ciri-ciri yang
dimiliki komunikasi massa, yakni berlangsung satu arah,
komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum, sasarannya
menimbulkan keserempakan dan komunikannya heterogen.
Menurut Skomis, dibandingkankan dengan media massa
lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku dan sebagainya), televisi
mempunyai sifat istemewa. Bisa bersifat informatif, hiburan maupun
pendidikan, bahkan gabungan dari ketiga sifat itu (Wawan
Kuswandi, 1996: v).
Televisi menurut Wawan Kuswandi (1996: v) dan Onong
Uchjana Effendy (1999: 174) merupakan paduan audio dari segi
penyiarannya (broadcast) dan video dari segi gambar bergeraknya
(moving images). Para pemirsa tidak akan mungkin menangkap
21
siaran televisi, kalau tidak ada prinsip-prinsip radio yang
mentransmisikannya, dan tidak mungkin melihat gambar-gambar
yang bergerak atau hidup, jika tidak ada unsur-unsur film (video)
yang memvisualisasikannya.
Yang dipancarkan oleh pemancar televisi, selain suara juga
gambar. Istilah televisi diambil dari perkataan “tele” yang berarti
jauh dan “vision” yang berarti penglihatan (Onong Uchjana Effendy,
1993: 22). Segi “jauh”nya diusahakan oleh prinsip radio dan segi
“penglihatan”nya oleh gambar. Tanpa gambar tak mungkin ada apa-
apa yang dapat dilihat. Jadi televisi diartikan sebagai suatu
perlengkapan elektronik yang pada dasarnya sama dengan gambar
hidup yang meliputi gambar dan suara.
Menurut sejarah, Inggrislah negara yang pertama
menggunakan televisi sebagai media komunikasi massa. Pada tahun
1924, orang Inggris bernama John Logie Baird mendemonstrasikan
televisi. Meskipun Inggris adalah negara pertama yang
menanyangkan televisi, namun secara internasional kurang dikenal
oleh publik. Ini dikarenakan meletusnya Perang Dunia II yang
melibatkan seluruh negara Eropa.
Sebaliknya Amerika berhasil mengembangkan televisi
melalui pakar di bidang komunikasi massa, antara lain S. Morse,
A.G. Bell dan Herbert E. Ives. Pada tahun 1939 untuk pertama
22
kalinya publik Amerika menyaksikan siaran TV di arena World’s
Fair, New York (Sam Abede Pareno, 2002: 138)
Onong Uchjana Effendy (1993: 54) menyebutkan bahwa di
Indonesia, televisi bisa dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat
Indonesia mulai tahun 1962 bertepatan dengan dilangsungkannya
Asian Games di gelanggang olah raga Senayan Jakarta yang
berlangsung 24 Agustus – 4 September 1962 yang disiarkan oleh
TVRI (Televisi Republik Indonesia). Itulah sebabnya tanggal 24
Agustus ditetapkan sebagai hari lahir TVRI. Pada bulan Oktober
1963 terbitlah Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 215
Tahun 1963 tentang Pembentukan Yayasan Televisi Republik
Indonesia yang antara lain menegaskan bahwa tujuan TVRI adalah
untuk menjadi alat hubungan masyarakat (mass communication
media) dalam melaksanakan pembangunan mental / spiritual dan
fisik bangsa dan Negara Indonesia serta pembentukan Manusia
Sosialis Indonesia pada khususnya.
Hal ini mendorong tumbuh dan berkembangnya stasiun-
stasiun televisi swasta. Dimulai dengan stasiun televisi Rajawali
Citra Televisi Indonesia (RCTI) di tahun 1989, Surya Televisi
Indonesia (SCTV, 1989), Televisi Pendidikan Indonesia (TPI, 1991),
AN Teve (1993), Indosiar, TV 7, Metro TV, TV G, dan Trans TV
(Ishadi S.K., 1997: 18). Disamping itu, di beberapa daerah juga
mulai bermunculan stasiun-stasiun televisi daerah dan komunitas.
23
Perkembangan jumlah stasiun pemancar televisi tersebut
diikuti oleh banyaknya kepemilikan pesawat televisi oleh
masyarakat. Hampir setiap keluarga, terutama di daerah perkotaan,
memiliki televisi sendiri, bahkan bukan hanya satu melainkan lebih
dari dua untuk tiap keluarga. Pesawat televisi yang pada dekade 80-
an merupakan barang mewah dan hanya dimiliki oleh segelintir
orang, kini hampir merupakan kebutuhan.jumlah pesawat televisi
yang dimiliki masyarakat selalu mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun.
Menurut salah satu sumber yang ditulis oleh Koeswandi
sebagaimana dikutip Gati Gayatri (1998: 63), pada tahun 1969
jumlah pesawat televisi yang dimiliki masyarakat masih sekitar
65.000 set, yang kepemilikannya masih terbatas pada masyarakat di
Jakarta dan sekitarnya. Lima belas tahun kemudian, 1984, jumlah
tersebut meningkat dengan cepat dan menyebar hampir di seluruh
nusantara menjadi 7.132.462 set, dan sampai akhir maret 1992
jumlah tersebut telah mencapai 212.580.000 set. Pada tahun 1996
rasio pesawat televisi dan penduduk sudah mencapai 50: 1000 atau 1
: 20.
Sekarang ini perkembangan televisi ditanah air menunjukkan
bahwa ada sekitar 20 – 23 juta rumah tangga yang memiliki pesawat
televisi. Tidak kurang dari 18 jam sehari berbagai mata acara dan
24
informasi disekokkan ke kepala pemirsa di seluruh tanah air. Itu
berarti hanya ada sisa 6 jam sehari waktu yang kosong.
Kehadiran televisi dan perkembangannya yang semakin pesat
dalam saat-saat tertentu memang dibutuhkan dan memberikan
pengaruh positif bagi berkembangnya informasi pada masyarakat
luas. Namun disisi lain tayangan-tayangan televisi juga berakibat
negatif bagi audiennya termasuk dapat mengancam peran orang tua
dalam keluarga.
Televisi lambat laun menggantikan peran orang tua dalam
pembinaan kepada anak-anaknya mengenai nilai-nilai dan kehidupan
dalam masyarakat.1 Televisi bukan lagi dipandang sebagai sarana
pelengkap untuk mengetahui apa yang terjadi dalam masyarakat,
melainkan telah menjadi sarana untuk internalisasi nilai-nilai dan
norma-norma yang ada di sekitarnya.
2.1.2. Fungsi televisi
Pada prinsipnya media massa (televisi) merupakan satu
institusi yang melembaga yang berfungsi dan bertujuan untuk
menyampaikan informasi kepada khalayak sasaran agar well
informed. Media massa adalah alat bantu yang dipakai oleh suatu
organisasi untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas kegiatannya
1 Terlebih bagi keluarga yang hidup di kota-kota besar di mana kedua orang tuanya sibuk
bekerja mencari nafkah sepanjang hari, televisi dapat dikatakan sebagai sarana utama bagi anak untuk belajar tentang kehidupan dan budaya dalam masyarakatnya.
25
dalam rangka mencapai tujuan masyarakat organisasi yang
bersangkutan.
Asep S. Muhtadi dan Sri Handajani (2000: 102)
menyebutkan sebagai media komunikasi massa, televisi adalah
sumber informasi yang paling akrab di masyarakat, karena
kemampuan daya jangkau (accessability) yang dimiliki, ketersediaan
(availability) serta potensi yang sangat besar dalam membentuk
pendapat khalayak (public opinion).
Ada beberapa unsur penting dalam media massa, yaitu
adanya sumber informasi, isi pesan, khalayak sasaran, saluran
informasi (media) dan efek dari informasi.
Media televisi sebagaimana media massa lainnya mempunyai
berbagai fungsi, diantaranya sebagai alat menyebarkan informasi,
mendidik, menghibur, mempengaruhi, membimbing, mengkritik dan
sebagai kontrol sosial (Wawan Kuswandi, 1996: 98-99).
Sebagaimana yang tulis oleh Wawan Kuswandi (1996: 24-
25), menurut Robert K. Avert dalam bukunya “Communication and
The Media” dan Sanford B. Wienberg dalam “Messages – A Reader
in Human Communication”, Randon House, New York 1980,
mengungkapkan 3 ( tiga ) fungsi media:
2.1.2.1. The surveillance of the environment, yaitu mengamati
lingkungan;
26
2.1.2.2. The correlation of the part of society in responding to the
environment, yaitu mengadakan korelasi antara informasi
data yang diperoleh dengan kebutuhan khalayak asaran,
karena komunikator lebih menekankan pada seleksi
evaluasi dan interprestasi;
2.1.2.3. The transmission of the social heritage from one generation
to the next, maksudnya ialah menyalurkan nilai-nilai
budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Ketiga fungsi tersebut pada dasarnya memberikan satu
penilaian pada media massa sebagai alat atau sarana yang secara
sosiologis menjadi perantara untuk menyambung atau
menyampaikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat.
Charles Wrigt menambahkan fungsi media massa adalah
sebagai hiburan yang lebih bersifat human interest. Selain itu,
menurut Wilbur Schramm, media massa juga berfungsi sebagai “to
sell goods for us”. Artinya media massa menjadi sarana efektif untuk
mempropagandakan hasil produksi dalam mencari keuntungan
secara materi atau bentuk promosi barang.
Menurut Roedi Hofmann (1999: 54-58) ada 5 (lima) fungsi
televisi dalam masyarakat, karena sekarang ini televisi tidak dilihat
lagi sebagai sarana pendidikan dan alat promosi perdagangan. Lima
fungsi itu adalah sebagai berikut:
27
2.1.2.1. Pengawasan situasi masyarakat dan dunia
Fungsi ini disebut fungsi informasi. Seandainya fungsi ini
diperhatikan betul, televisi dapat menjadi media komunikasi
yang cukup demokratis, sejauh hidup di dalam masyarakat
dikembalikan lagi kepada masyarakat lewat siaran.
2.1.2.2. Menghubungkan satu dengan yang lain
Televisi dapat menghubungkan hasil pengawasan satu
dengan hasil pengawasan lain secara jauh lebih gampang
sesuai dengan keinginan masyarakat.
2.1.2.3. Menyalurkan kebudayaan
Sebetulnya kebudayaan rakyat sudah cukup terangkat, kalau
televisi lebih proaktif berfungsi sebagai pengawas
masyarakat.
2.1.2.4. Hiburan
Hiburan itu merupakan rekreasi, artinya berkat hiburan
manusia menjadi lebih segar untuk kegiatan-kegiatan lain.
Kalau televisi tidak menghibur umumnya tidak akan
ditonton, karena hiburan sudah menjadi kebutuhan manusia.
2.1.2.5. Pengerahan masyarakat untuk bertindak dalam keadaan
darurat
Misalnya kalau terjadi wabah penyakit di suatu daerah,
televisi bisa saja memberitakan berdasarkan fungsinya
sebagai pengawas. Berita ini kemudian dapat dihubungkan
28
dengan keterangan vaksinasi / sejenisnya. Namun televisi
juga harus proaktif memberi motivasi dan menganjurkan
supaya orang mau dibantu secara preventif.
2.1.3. Aktivitas menonton televisi
Televisi dengan menonton televisi adalah dua hal (kata) yang
sangat berbeda. Yang pertama sudah tentu mempelajari medium
komunikasi yang bernama televisi, baik sebagai benda material
ataupun sebagai tontonan (spectacle). Sebagai benda material,
televisi merupakan komoditas atau obyek konsumsi; sebagai
tontonan, televisi adalah gugusan-gugusan ikon dan simbol, citra-
citra audio visual yang bermakna. Sedangkan menonton televisi
sendiri adalah suatu tindakan (action) tertentu dari adanya alat
komunikasi yakni televisi (Kris Budiman, 2002: vi).
Televisi, menurut Asep S. Muhtadi dan Sri Handajani (2000:
55) adalah sebuah kotak ajaib yang ditempatkan secara khusus di
salah satu sudut ruangan, barangkali adalah hasil produk kemajuan
teknologi yang paling banyak memperoleh “gelar kehormatan”,
seperti “jendela dunia” (window of the world), “kotak ajaib” (miracle
box), “kotak dungu” (stupid box).
Aktivitas menonton televisi adalah sebuah proses yang aktif,
baik antar-pasrtisipan maupun antara partisipan dan televisi, yang di
dalamnya audiens tidak sekedar mengambil peran sebagai pihak
yang secara aktif memilih, namun juga memakai, menafsir serta
29
menyampaikan. Artinya aktivitas menonton televisi bukanlah
sekedar aktivitas menyorotkan mata ke layar kaca, melainkan
bersifat multi-faset dan kaya dimensi (Kris Budiman, 2002: 21).
Aktivitas menonton televisi biasanya dilakukan di dalam
ruang tertentu pada rumah masing-masing2 meskipun tidak dapat
dilepaskan dari lingkungan fisik yang mengelilingi atau
menyertainya. Berbagai aspek lingkungan di dalam rumah secara
langsung dapat menentukan bagaimana orang menonton televisi.
Faktor-faktor fisik ini mungkin menyangkut ketersediaan tempat,
jumlah pesawat televisi, serta penempatannya beserta benda-benda
lainnya di ruang tertentu (Kris Budiman, 2002: 37).
Dalam hal pengaturan ruang, faktor ketersediaan merupakan
sebuah persoalan penting. Ketersediaan tempat yang sempit dan
terbatas serta kepemilikan pesawat televisi tentu sangat terbatas pula
dalam menentukan lokasi untuk meletakkan dan menonton televisi.
Dengan keterbatasan itu, salah satu pilihan yang mungkin adalah
dengan menempatkan televisi di sebuah ruang yang menjadi pusat
kegiatan,3 misalnya ruang keluarga yang biasanya dijadikan tempat
istirahat bahkan menjadi tempat transit dari satu ruang ke ruang yang
lain.
2 Aktivitas menonton televisi juga dapat disaksikan di ruang-ruang publik (umum) seperti
warung makan, restoran, ruang tunggu, bahkan mungkin di pinggir jalan sekalipun. 3 Biasanya memiliki ukuran relatif lebih besar dibandingkan dengan ruang yang lain.
30
Secara tipikal, pesawat televisi akan ditempatkan pada salah
satu pojok atau sisi ruang tertentu, karena televisi akan menjadi titik
fokal, fokus visual dari organisasi ruang yang ada.
Menonton televisi bukanlah aktivitas yang soliter, sendiri dan
terpisah dari aktivitas-aktivitas yang lain. Sebaliknya, aktivitas
menonton televisi merupakan aktivitas sosial yang jalin menjalin
dengan tanggung jawab dan tugas-tugas rutin pengelolaan rumah
tangga sehari-hari (Kris Budiman, 2002: 60).
Di saat sedang menonton televisi, beberapa jenis aktivitas
lain dapat bertumpang tindih atau dilakukan bersamaan. Hal ini
bukan berarti bahwa menonton televisi tidak dapat dilakukan secara
terisolasi, sendirian dengan pandangan lebih terfokus. Seringkali
orang menonton televisi sekaligus melakukan aktivitas lainnya pada
saat yang bersamaan. Anggota-anggota keluarga menonton televisi
secara simultan dengan aktivitas lainnya seperti makan, mengerjakan
tugas-tugas, mendengarkan musik, memasak, membersihkan rumah,
bermain, membaca, mengasuh anak dan sebagainya. Bisa saja, ketika
tidak ada seorang pun menontonnya, televisi mungkin tetap tidak
dimatikan.
31
2.2. PERILAKU KEAGAMAAN
2.2.1. Pengertian Perilaku Keagamaan
Perilaku secara etimologi adalah “tantangan / reaksi individu
terhadap rangsangan / lingkungan (Depdikbud, 2001: 859). Secara
istilah (terminologi) menurut James Drever adalah “behavior is the
total response, motor and glandular, which an organism makes to
any situation with it if face (James Drever, 1971: 28). Maksudnya
tingkah laku adalah reaksi keseluruhan dari motor dan kelenjar yang
diberikan kepada organisme terhadap situasi yang dihadapinya.
Hasan Langgulung (1980: 139) menyebutkan bahwa perilaku
adalah gerak motorik yang termanifestasikan dalam bentuk segala
aktivitas seseorang yang dapat diamati. Jadi perilaku merupakan
reaksi total individu terhadap perangsang atau situasi dari luar yang
terwujud dalam gerak yang dapat diamati.
Keagamaan sendiri mempunyai arti segenap kepercayaan
(kepada Tuhan / Dewa) dan sebagainya serta dengan ajaran
kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu,
misal Islam, Kristen, dan lain-lain (W.J.S. Poerwadarminta, 1982:
18). Menurut Harun Nasution (1979: 10), Agama adalah ajaran-
ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada Manusia melalui seorang
Rasul.
32
Perilaku keagamaan menurut Ahmad Amin (1995: 12) adalah
tingkah laku yang didasarkan atas kesadaran beragama yakni tentang
adanya Yang Maha Kuasa. Jadi perilaku keagamaan adalah suatu
tingkah laku sebagai reaksi / tanggapan yang dilakukan dalam suatu
situasi yang dihadapinya yang berdasarkan atas kesadaran tentang
adanya Tuhan Yang Maha Esa.
Agama yang dimaksud dalam pembahasan skripsi ini adalah
agama Islam, maka secara sederhana dapat diambil pengertian
bahwa perilaku keagamaan merupakan keseluruhan aktivitas anggota
tubuh manusia yang berdasarkan syari’at Islam atau ibadah dalam
arti luas. Jadi, perilaku keagamaan adalah serangkaian tingkah laku
seseorang yang dilandasi dengan ajaran-ajaran agama Islam.
2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan
Manusia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna
bila dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Ini dikarenakan
dalam diri manusia terdapat kemampuan yang tidak dimiliki
makhluk lain dan mempunyai akal sebagai pembeda dengan
makhluk lain. Akibat adanya kemampuan inilah, manusia mengalami
perkembangan dan perubahan baik perubahan dalam segi psikologis
maupun fisiologis.
Perubahan yang terjadi pada diri manusia pada akhirnya akan
menimbulkan perubahan terhadap tingkah lakunya dimana
perkembangan perilaku manusia ini dipengaruhi banyak faktor.
33
Dalam hal ini Kurt Lewin berpendapat sebagaimana yang
dikemukakan oleh Jalaluddin Rahmat, bahwa perilaku manusia
bukan sekedar respon pada stimuli, tetapi produk berbagai gaya yang
mempengaruhinya secara spontan, gaya psikologis manusia disebut
sebagai ruang hayat dan ruang hayat ini adalah totalitas, realitas
psikologis yang mempengaruhi tingkah laku individu pada suatu
saat. Dengan kata lain, tingkah laku adalah fungsi dari pada ruang
hidup, interaksi antara pribadi dan lingkungan psikologis (Jalaluddin
Rahmat, 1992: 27).
Senada dengan pendapat Kurt Lewin, menurut William
Strem dalam bukunya Kartini Kartono (1990: 178) “Psikologi
Umum” yang mengatakan bahwa perkembangan individu akan
ditentukan oleh faktor yang dibawa sejak lahir (indogen) dan
lingkungan (ekstogen). Ada faktor konvergensi baik faktor dari
dalam maupun luar, keduanya menyatu bekerja sama.
Dari pendapat tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa perkembangan serta perubahan perilaku manusia pada
prinsipnya dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor, yakni:
2.2.2.1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang terdapat dalam diri
manusia itu sendiri, yakni kepribadian, sistem nilai,
motivasi serta sikap terhadap sesuatu yang ada disekitarnya
(Djamaluddin Ancok, 1992: 99-105).
34
2.2.2.2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang timbul dari luar
lingkungan sosial budaya sistem nilai yang ada di
masyarakat, kondisi lingkungan, kondisi tata ruang dan
kondisi ekonomi. Misalnya pengalaman pada masa kecil
khususnya dalam keluarga dan cara kedua orang tua
mempergauli anak, pengaruh kelas sosial dan berbagai
kelompok (M. Ustman Najati, 1995: 271).
Jika seseorang atau sekelompok orang memiliki perhatian
terhadap sesuatu (obyek) dan memahaminya serta menerima maka
akan terjadi perubahan sikap yang sekaligus perubahan tingkah laku
(Jalaluddin, 2001: 209).
Dengan demikian perilaku manusia tidak bisa lepas dari
pengaruh situasi dan kondisi kehidupan psikologis yang
melingkupinya.
2.2.3. Bentuk-bentuk perilaku keagamaan
Menurut aliran perilaku (behaviorisme), yang diilhami John
Broadus Watson dan digerakkan B.F. Skinner, mengatakan bahwa
perilaku keagamaan sebagaimana perilaku yang lain, merupakan
akibat dari proses tanggapan fisiologis manusia (Djamaluddin Ancok
& Fuat Nashari Suroso , 1995: 72).
Salah satu kenyataan yang terjadi dalam sepanjang perjalanan
sejarah umat manusia adalah fenomena keberagamaan. Ini
35
diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Oleh karena itu,
keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau
dimensi.
Menurut Glock & Stark (dalam Robertson, 1988) yang
dikutip oleh Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso (1995:
76-78), ada lima macam dimensi keberagamaan yaitu:
2.2.3.1. Dimensi keyakinan
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan di mana orang
beragama berpegang teguh pada pandangan ketuhanan
tertentu dan mengakui kebenarannya.
2.2.3.2. Praktik agama
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan
hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan
komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek
keagamaan ini terdiri atas :
a. Ritual,
Praktek ini mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan
keagamaan formal dan praktek-praktek ibadah.
b. Ketaatan
Praktek ini meliputi, sembahyang, membaca kitab dan
lain-lain.
2.2.3.3. Pengalaman
36
Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa
semua agama mengandung pengharapan-pengharapan
tertentu.
2.2.3.4. Pengetahuan agama
Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang
yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal
pengetahuan mengenai dasar-dasar kenyakinan, ritus-ritus,
kitab suci dan tradisi-tradisi.
2.2.3.5. Pengamalan atau konsekuensi.
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat
keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan
pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
Oleh karena itu, praktek agama sebagai wujud dari
keberagamaan itu dapat diwujudkan dalam berbagai kehidupan
manusia. Bukan hanya sekedar melakukan ritual (peribadatan) saja,
namun juga segala aktivitas (perilaku keagamaan) yang didorong
oleh kekuatan supranatural yang dapat memberikan rasa aman bagi
manusia itu sendiri. Perilaku keagamaan merupakan akibat dari
proses tanggapan fisiologi manusia.
2.2.4. Shalat wujud praktek ritual keagamaan
Secara etimologi shalat berarti do’a, sedangkan secara
terminologi sholat adalah suatu perbuatan disertai ucapan-ucapan
dengan cara-cara tertentu, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri
37
dengan salam dengan niat untuk bersujud kehadirat Allah SWT
(Dja’far Amir, 1986: 44).
Menurut A. Malik Ahmad (1987: 11), shalat adalah do’a
yang dapat mendekatkan diri kepada Allah untuk beristighfar mohon
ampun atau menyatakan kesyukuran atas nikmat Allah atau untuk
memohon kepadaNya perlindungan dari bahaya atau beribadah atau
berbuat amal kebaikan karena mematuhi seruanNya dan bimbingan
RasulNya.
Sebagai salah satu bentuk ibadah, shalat merupakan bentuk
peribadatan ritual yang wajib dilaksanakan oleh setiap umat Islam,
tentunya yang mukallaf. Dalam shalat, seseorang bermunajat
langsung kepada Allah tanpa harus ada perantara, di samping itu
dapat mencurahkan segala problema hidup serta berserah diri
sepenuhnya kepada yang telah menciptakannya, karena pada
dasarnya hakekat shalat adalah menyatakan hajat dan kebutuhan
seorang hamba terhadap Khaliqnya sebagai Dzat yang patut
disembah melalui perbuatan, perkataan atau keduanya dengan
sepenuh hati dan jiwa yang mendatangkan rasa keagungan dalam
jiwa atas kesabaran dan kesempurnaanNya (TM. Hasbi Ash-
Shiddiqie, 1990: 63).
Jadi, shalat bukanlah sekedar do’a dan melaksanakan
perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam
saja, tetapi lebih dalam lagi adalah perbuatan yang dilakukan atas
38
kesadaran dengan sepenuh hati dan khusyu’ sehingga dapat
menimbulkan rasa takut, kagum atas kebesaran dan keagunganNya
serta rela terhadap sesuatu yang datang dariNya, untuk selanjutnya
membawa manusia kepada taqwa dan sabar, dapat terhindar dari
perbuatan keji, mungkar dan terealisasi dalam tindakan sehari-hari.
2.2.4.1. Dasar kewajiban shalat
Firman Allah SWT.
“Dan dirikanlah olehmu akan shalat berikanlah olehmu akan zakat dan ruku’lah kamu beserta orang-orang yang ruku’” (Q.S Al-Baqarah: 43).
“Dan dirikanlah olehmu akan shalat, karena
sesungguhnya shalat itu menghalangi kita dari fahsyaa (kejahatan) dan dari munkar (perbuatan yang keji).” (Q.S. Al-Ankabut: 45).
“ “Peliharalah baik-baik olehmu akan segala shalat
dan shalat wusthaa (shalat yang paling baik) dan berdiri tegaklah kamu untuk Allah (hal keadaan kamu) kekal dalam khusyu’.” (Q.S. Al-Baqarah: 238).
“ “Maka apabila kamu telah jauh dari kesulitan, atau
telah tenteram dirikanlah shalat, karena sesungguhnya shalat fardlu yang telah diwaktu-waktukan atas segala orang yang beriman.” (Q.S. An-Nisaa: 102).
Ayat-ayat Allah SWT ini memerintahkan kita
mendirikan shalat, menyatakan bahwa shalat itu
39
menghalangi kita dari fahsya dan munkar, memerintahkan
kita memelihara shalat dengan cara yang paling sempurna,
paling baik, menyuruh kita menegakkan shalat di waktu-
waktu yang telah ditentukan.
Ayat-ayat ini dijelaskan Nabi SAW. dengan
sabdanya:
“Islam didirikan dari lima sendi: mengaku
bahwasanya tidak ada Tuhan yang sebenar-benarnya disembah melainkan Allah yang Maha Esa, mengaku bahwasanya Muhammad itu pesuruhNya, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji dan berpuasa di bulan Ramadlan.” (H.R. Bukhary-Muslim dari Ibnu Umar)
2.2.4.2. Kedudukan shalat
Shalat sebagai suatu ibadah mahdhah untuk
berdzikir kepada Allah mempunyai kedudukan yang sangat
penting, sebab ibadah shalat merupakan ibadah pokok yang
merupakan tiang agama ( sebagaimana sabda Nabi SAW.
“Shalat adalah tiang agama, maka barang siapa yang
menegakkan (mengerjakan shalat), berarti menegakkan agama dan barang siapa yang meniadakan shalat (meninggalkannya), maka sesungguhnya ia telah meruntuhkan agama.” (H.R. Al-Baihaqi).
40
Hadits ini mengibaratkan agama sebagai sebuah
bangunan sedangkan shalat sebagai tiangnya, dan ini yang
mengisyaratkan bahwa shalat itu begitu penting
kedudukannya dan mendasar dalam kehidupan manusia.
Jika pengamalan shalatnya baik yang disertai dengan
pemahaman dan pengetahuan khususnya pengetahuan
shalat, secara langsung telah menegakkan dan
memperkokoh agama.
Ketaatan beragama seseorang diukur berdasarkan
shalatnya, sebab pelaksanaan shalat membias pada
pelaksanaan ibadah (keagamaan) lainnya.
2.2.4.3. Waktu-waktu shalat
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa shalat
yang difardlukan itu mempunyai waktu tertentu.
Sebagaimana firmanNya:
“Bahwasanya shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas segala orang yang beriman.” (Q.S. An-Nisa’: 102)
Shalat yang difardlukan ini, sehari semalam ada 5
(lima) kali (Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,
1997: 120-123), yakni:
a. Dhuhur
41
Shalat ini terdiri dari 4 (empat) raka’at, yang
dilakukan dari tergelincirnya matahari dari pertengahan
langit dan akhirnya adalah ketika bayangan sesuatu
sama panjang dengan dirinya.
b. ‘Ashar
Terdiri dari 4 (empat) raka’at dikala bayangan
sesuatu telah sepanjang badannya, yakni mulai
berakhirnya waktu dhuhur dan akhirnya hingga waktu
matahari masih belum kuning.
c. Maghrib
Terdiri dari 3 (tiga) raka’at yang dilaksanakan
dari sempurna terbenam matahari dan akhirnya hilang
syafaq (cahaya merah di kaki langit di sebelah barat).
d. ‘Isya
terdiri dari 4 (empat) raka’at dari hilang syafa’
merah dan akhirnya hingga separuh malam.
e. Shubuh
Terdiri dari 2 (dua) raka’at yang dilaksanakan
dari terbit fajar shadiq (garis putih yang melintang dari
selatan ke utara di kaki langit sebelah timur) dan
akhirnya hingga sempurna terbit matahari.
2.2.4.4. Shalat jama’ah di masjid
42
Agama Islam menuntut dengan keras supaya kita
berjama’ah di masjid pada tiap-tiap shalat, pada tiap-tiap
minggu di hari Jum’at, supaya terjadi perkenalan antara
penduduk sekampung menjadi lebih luas dan perhubungan
antara seseorang dengan yang lain menjadi erat. Artinya,
kita wajib mengadakan dan menegakkan jama’ah pada
suatu tempat di tiap-tiap kampung yang dapat
mendhahirkan syi’ar agama. Sebagaimana firman Allah:
“Katakanlah olehmu, Tuhanku telah memerintahkan
aku berbuat adil, dan tegakkanlah mukamu di tiap-tiap
masjid.” (Q.S. A-A’raf: 28).
Selain itu keutaman shalat berjama’ah (di masjid),
adalah akan diberikan pahala 27 (dua puluh tujuh) derajat,
sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Shalat jama’ah itu melebihi shalat sendirian
dengan dua puluh tujuh derajat.” (Mutafaq ‘alaih).
2.3. HUBUNGAN AKTIVITAS MENONTON TELEVISI DENGAN
PERILAKU KEAGAMAAN
Agama, dalam hal ini Islam, merupakan suatu fenomena sosial.
Agama Islam sebagaimana agama-agama yang lain memiliki dimensi
43
individual di samping yang bersifat sosial. Agama, karena itu lalu menjadi
berada dalam tataran aktivitas personal, intelektual, kesadaran, sekaligus
dalam hal tertentu merupakan suatu pranata dan struktur sosial yang sangat
mempengaruhi tindakan sosial, serta merupakan suatu faktor lingkungan
yang menghasilkan akibat-akibat perubahan tingkah laku.
Perilaku keagamaan erat kaitannya dengan kehidupan atau
fenomena-fenomena yang ada di lingkungannya. Masyarakat akan sangat
mudah untuk dipengaruhi atau terpengaruh oleh lingkungan.
Melalui informasi yang diberikan oleh televisi mengakibatkan
perubahan budaya, perubahan keagamaan, cara pandang dan perilaku
masyarakat sangat terbuka seakan tanpa sekat-sekat atau batas-batas yang
menyertainya terlepas pengaruh tersebut positif ataupun negatif. Karena
sifat dari televisi adalah audio-visual (dapat didengar dan dilihat).
Media televisi merupakan sarana utama dengan mana seseorang
belajar tentang masyarakat dan kebudayaannya. Melalui kontak dengan
televisi, dan media lain, seseorang belajar tentang dunia, orang-orangnya,
nilai-nilainya serta adat kebiasaannya yang menggambarkan betapa media
semakin menentukan kehidupan masyarakat di era informasi kini.
Apa yang ditampilkan media, terutama televisi, semakin besar
peranannya dalam menentukan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut
masyarakat. Lembaga-lembaga sosial konservatif seperti keluarga, sekolah,
agama dan masyarakat yang selama ini berperan dalam menanamkan nilai-
nilai dan norma-norma sosial semakin tergeser fungsinya oleh televisi.
44
Penempatan televisi di salah satu ruang, lalu pemanfaatan waktu
serta selera yang dimainkan oleh para penonton yang komplek sedikit
banyak berkaitan ketika pelaksanaan shalat ini mulai diterapkan. Dengan
dekatnya tata letak televisi dengan ruang ibadah, atau waktu menonton
televisi dengan waktu-waktu beribadah serta selera (program) televisi yang
menjadi favorit para penonton ketika waktu-waktu keagamaan (shalat)
mulai dilakukan. Hal ini mengakibatkan bagaimana pengaturan
(manajemen) dalam aktivitas menonton televisi dengan perilaku keagamaan
khususnya pelaksanaan shalat.
Lebih dari sekedar menghabiskan waktu di depan televisi, seringkali
waktu beragama dinomor-sekiankan atau mengabaikan kegiatan lainnya
seperti ibadah dan belajar.
Berangkat dari alur-pikir demikian, penelitian tentang aktivitas
menonton televisi dengan perilaku keagamaan ini mengasumsikan bahwa
“potret” perilaku keagamaan masyarakat yang pada dasarnya berkaitan
dengan struktur dan pranata sosial. Dalam hal ini aktivitas menonton televisi
merupakan suatu struktur yang ada dan terjadi pada sebuah komunitas
masyarakat tertentu.