kerangka landasan teori - perpustakaan...

25
BAB II KERANGKA LANDASAN TEORI 2.1. AKTIVITAS MENONTON TELEVISI 2.1.1. Pengertian dan Sejarah Televisi Media televisi pada hakekatnya merupakan suatu sistem komunikasi yang menggunakan suatu rangkaian gambar elektronik yang dipancarkan secara cepat, berurutan, dan diiringi unsur audio. Yang dimaksudkan televisi di sini menurut Onong Uchjana Effendy (1993: 21) adalah televisi siaran (television broadcast) yang merupakan media dari jaringan komunikasi dengan ciri-ciri yang dimiliki komunikasi massa, yakni berlangsung satu arah, komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum, sasarannya menimbulkan keserempakan dan komunikannya heterogen. Menurut Skomis, dibandingkankan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku dan sebagainya), televisi mempunyai sifat istemewa. Bisa bersifat informatif, hiburan maupun pendidikan, bahkan gabungan dari ketiga sifat itu (Wawan Kuswandi, 1996: v). Televisi menurut Wawan Kuswandi (1996: v) dan Onong Uchjana Effendy (1999: 174) merupakan paduan audio dari segi penyiarannya (broadcast) dan video dari segi gambar bergeraknya (moving images). Para pemirsa tidak akan mungkin menangkap

Upload: phamdan

Post on 12-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

KERANGKA LANDASAN TEORI

2.1. AKTIVITAS MENONTON TELEVISI

2.1.1. Pengertian dan Sejarah Televisi

Media televisi pada hakekatnya merupakan suatu sistem

komunikasi yang menggunakan suatu rangkaian gambar elektronik

yang dipancarkan secara cepat, berurutan, dan diiringi unsur audio.

Yang dimaksudkan televisi di sini menurut Onong Uchjana Effendy

(1993: 21) adalah televisi siaran (television broadcast) yang

merupakan media dari jaringan komunikasi dengan ciri-ciri yang

dimiliki komunikasi massa, yakni berlangsung satu arah,

komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum, sasarannya

menimbulkan keserempakan dan komunikannya heterogen.

Menurut Skomis, dibandingkankan dengan media massa

lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku dan sebagainya), televisi

mempunyai sifat istemewa. Bisa bersifat informatif, hiburan maupun

pendidikan, bahkan gabungan dari ketiga sifat itu (Wawan

Kuswandi, 1996: v).

Televisi menurut Wawan Kuswandi (1996: v) dan Onong

Uchjana Effendy (1999: 174) merupakan paduan audio dari segi

penyiarannya (broadcast) dan video dari segi gambar bergeraknya

(moving images). Para pemirsa tidak akan mungkin menangkap

21

siaran televisi, kalau tidak ada prinsip-prinsip radio yang

mentransmisikannya, dan tidak mungkin melihat gambar-gambar

yang bergerak atau hidup, jika tidak ada unsur-unsur film (video)

yang memvisualisasikannya.

Yang dipancarkan oleh pemancar televisi, selain suara juga

gambar. Istilah televisi diambil dari perkataan “tele” yang berarti

jauh dan “vision” yang berarti penglihatan (Onong Uchjana Effendy,

1993: 22). Segi “jauh”nya diusahakan oleh prinsip radio dan segi

“penglihatan”nya oleh gambar. Tanpa gambar tak mungkin ada apa-

apa yang dapat dilihat. Jadi televisi diartikan sebagai suatu

perlengkapan elektronik yang pada dasarnya sama dengan gambar

hidup yang meliputi gambar dan suara.

Menurut sejarah, Inggrislah negara yang pertama

menggunakan televisi sebagai media komunikasi massa. Pada tahun

1924, orang Inggris bernama John Logie Baird mendemonstrasikan

televisi. Meskipun Inggris adalah negara pertama yang

menanyangkan televisi, namun secara internasional kurang dikenal

oleh publik. Ini dikarenakan meletusnya Perang Dunia II yang

melibatkan seluruh negara Eropa.

Sebaliknya Amerika berhasil mengembangkan televisi

melalui pakar di bidang komunikasi massa, antara lain S. Morse,

A.G. Bell dan Herbert E. Ives. Pada tahun 1939 untuk pertama

22

kalinya publik Amerika menyaksikan siaran TV di arena World’s

Fair, New York (Sam Abede Pareno, 2002: 138)

Onong Uchjana Effendy (1993: 54) menyebutkan bahwa di

Indonesia, televisi bisa dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat

Indonesia mulai tahun 1962 bertepatan dengan dilangsungkannya

Asian Games di gelanggang olah raga Senayan Jakarta yang

berlangsung 24 Agustus – 4 September 1962 yang disiarkan oleh

TVRI (Televisi Republik Indonesia). Itulah sebabnya tanggal 24

Agustus ditetapkan sebagai hari lahir TVRI. Pada bulan Oktober

1963 terbitlah Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 215

Tahun 1963 tentang Pembentukan Yayasan Televisi Republik

Indonesia yang antara lain menegaskan bahwa tujuan TVRI adalah

untuk menjadi alat hubungan masyarakat (mass communication

media) dalam melaksanakan pembangunan mental / spiritual dan

fisik bangsa dan Negara Indonesia serta pembentukan Manusia

Sosialis Indonesia pada khususnya.

Hal ini mendorong tumbuh dan berkembangnya stasiun-

stasiun televisi swasta. Dimulai dengan stasiun televisi Rajawali

Citra Televisi Indonesia (RCTI) di tahun 1989, Surya Televisi

Indonesia (SCTV, 1989), Televisi Pendidikan Indonesia (TPI, 1991),

AN Teve (1993), Indosiar, TV 7, Metro TV, TV G, dan Trans TV

(Ishadi S.K., 1997: 18). Disamping itu, di beberapa daerah juga

mulai bermunculan stasiun-stasiun televisi daerah dan komunitas.

23

Perkembangan jumlah stasiun pemancar televisi tersebut

diikuti oleh banyaknya kepemilikan pesawat televisi oleh

masyarakat. Hampir setiap keluarga, terutama di daerah perkotaan,

memiliki televisi sendiri, bahkan bukan hanya satu melainkan lebih

dari dua untuk tiap keluarga. Pesawat televisi yang pada dekade 80-

an merupakan barang mewah dan hanya dimiliki oleh segelintir

orang, kini hampir merupakan kebutuhan.jumlah pesawat televisi

yang dimiliki masyarakat selalu mengalami peningkatan dari tahun

ke tahun.

Menurut salah satu sumber yang ditulis oleh Koeswandi

sebagaimana dikutip Gati Gayatri (1998: 63), pada tahun 1969

jumlah pesawat televisi yang dimiliki masyarakat masih sekitar

65.000 set, yang kepemilikannya masih terbatas pada masyarakat di

Jakarta dan sekitarnya. Lima belas tahun kemudian, 1984, jumlah

tersebut meningkat dengan cepat dan menyebar hampir di seluruh

nusantara menjadi 7.132.462 set, dan sampai akhir maret 1992

jumlah tersebut telah mencapai 212.580.000 set. Pada tahun 1996

rasio pesawat televisi dan penduduk sudah mencapai 50: 1000 atau 1

: 20.

Sekarang ini perkembangan televisi ditanah air menunjukkan

bahwa ada sekitar 20 – 23 juta rumah tangga yang memiliki pesawat

televisi. Tidak kurang dari 18 jam sehari berbagai mata acara dan

24

informasi disekokkan ke kepala pemirsa di seluruh tanah air. Itu

berarti hanya ada sisa 6 jam sehari waktu yang kosong.

Kehadiran televisi dan perkembangannya yang semakin pesat

dalam saat-saat tertentu memang dibutuhkan dan memberikan

pengaruh positif bagi berkembangnya informasi pada masyarakat

luas. Namun disisi lain tayangan-tayangan televisi juga berakibat

negatif bagi audiennya termasuk dapat mengancam peran orang tua

dalam keluarga.

Televisi lambat laun menggantikan peran orang tua dalam

pembinaan kepada anak-anaknya mengenai nilai-nilai dan kehidupan

dalam masyarakat.1 Televisi bukan lagi dipandang sebagai sarana

pelengkap untuk mengetahui apa yang terjadi dalam masyarakat,

melainkan telah menjadi sarana untuk internalisasi nilai-nilai dan

norma-norma yang ada di sekitarnya.

2.1.2. Fungsi televisi

Pada prinsipnya media massa (televisi) merupakan satu

institusi yang melembaga yang berfungsi dan bertujuan untuk

menyampaikan informasi kepada khalayak sasaran agar well

informed. Media massa adalah alat bantu yang dipakai oleh suatu

organisasi untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas kegiatannya

1 Terlebih bagi keluarga yang hidup di kota-kota besar di mana kedua orang tuanya sibuk

bekerja mencari nafkah sepanjang hari, televisi dapat dikatakan sebagai sarana utama bagi anak untuk belajar tentang kehidupan dan budaya dalam masyarakatnya.

25

dalam rangka mencapai tujuan masyarakat organisasi yang

bersangkutan.

Asep S. Muhtadi dan Sri Handajani (2000: 102)

menyebutkan sebagai media komunikasi massa, televisi adalah

sumber informasi yang paling akrab di masyarakat, karena

kemampuan daya jangkau (accessability) yang dimiliki, ketersediaan

(availability) serta potensi yang sangat besar dalam membentuk

pendapat khalayak (public opinion).

Ada beberapa unsur penting dalam media massa, yaitu

adanya sumber informasi, isi pesan, khalayak sasaran, saluran

informasi (media) dan efek dari informasi.

Media televisi sebagaimana media massa lainnya mempunyai

berbagai fungsi, diantaranya sebagai alat menyebarkan informasi,

mendidik, menghibur, mempengaruhi, membimbing, mengkritik dan

sebagai kontrol sosial (Wawan Kuswandi, 1996: 98-99).

Sebagaimana yang tulis oleh Wawan Kuswandi (1996: 24-

25), menurut Robert K. Avert dalam bukunya “Communication and

The Media” dan Sanford B. Wienberg dalam “Messages – A Reader

in Human Communication”, Randon House, New York 1980,

mengungkapkan 3 ( tiga ) fungsi media:

2.1.2.1. The surveillance of the environment, yaitu mengamati

lingkungan;

26

2.1.2.2. The correlation of the part of society in responding to the

environment, yaitu mengadakan korelasi antara informasi

data yang diperoleh dengan kebutuhan khalayak asaran,

karena komunikator lebih menekankan pada seleksi

evaluasi dan interprestasi;

2.1.2.3. The transmission of the social heritage from one generation

to the next, maksudnya ialah menyalurkan nilai-nilai

budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Ketiga fungsi tersebut pada dasarnya memberikan satu

penilaian pada media massa sebagai alat atau sarana yang secara

sosiologis menjadi perantara untuk menyambung atau

menyampaikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat.

Charles Wrigt menambahkan fungsi media massa adalah

sebagai hiburan yang lebih bersifat human interest. Selain itu,

menurut Wilbur Schramm, media massa juga berfungsi sebagai “to

sell goods for us”. Artinya media massa menjadi sarana efektif untuk

mempropagandakan hasil produksi dalam mencari keuntungan

secara materi atau bentuk promosi barang.

Menurut Roedi Hofmann (1999: 54-58) ada 5 (lima) fungsi

televisi dalam masyarakat, karena sekarang ini televisi tidak dilihat

lagi sebagai sarana pendidikan dan alat promosi perdagangan. Lima

fungsi itu adalah sebagai berikut:

27

2.1.2.1. Pengawasan situasi masyarakat dan dunia

Fungsi ini disebut fungsi informasi. Seandainya fungsi ini

diperhatikan betul, televisi dapat menjadi media komunikasi

yang cukup demokratis, sejauh hidup di dalam masyarakat

dikembalikan lagi kepada masyarakat lewat siaran.

2.1.2.2. Menghubungkan satu dengan yang lain

Televisi dapat menghubungkan hasil pengawasan satu

dengan hasil pengawasan lain secara jauh lebih gampang

sesuai dengan keinginan masyarakat.

2.1.2.3. Menyalurkan kebudayaan

Sebetulnya kebudayaan rakyat sudah cukup terangkat, kalau

televisi lebih proaktif berfungsi sebagai pengawas

masyarakat.

2.1.2.4. Hiburan

Hiburan itu merupakan rekreasi, artinya berkat hiburan

manusia menjadi lebih segar untuk kegiatan-kegiatan lain.

Kalau televisi tidak menghibur umumnya tidak akan

ditonton, karena hiburan sudah menjadi kebutuhan manusia.

2.1.2.5. Pengerahan masyarakat untuk bertindak dalam keadaan

darurat

Misalnya kalau terjadi wabah penyakit di suatu daerah,

televisi bisa saja memberitakan berdasarkan fungsinya

sebagai pengawas. Berita ini kemudian dapat dihubungkan

28

dengan keterangan vaksinasi / sejenisnya. Namun televisi

juga harus proaktif memberi motivasi dan menganjurkan

supaya orang mau dibantu secara preventif.

2.1.3. Aktivitas menonton televisi

Televisi dengan menonton televisi adalah dua hal (kata) yang

sangat berbeda. Yang pertama sudah tentu mempelajari medium

komunikasi yang bernama televisi, baik sebagai benda material

ataupun sebagai tontonan (spectacle). Sebagai benda material,

televisi merupakan komoditas atau obyek konsumsi; sebagai

tontonan, televisi adalah gugusan-gugusan ikon dan simbol, citra-

citra audio visual yang bermakna. Sedangkan menonton televisi

sendiri adalah suatu tindakan (action) tertentu dari adanya alat

komunikasi yakni televisi (Kris Budiman, 2002: vi).

Televisi, menurut Asep S. Muhtadi dan Sri Handajani (2000:

55) adalah sebuah kotak ajaib yang ditempatkan secara khusus di

salah satu sudut ruangan, barangkali adalah hasil produk kemajuan

teknologi yang paling banyak memperoleh “gelar kehormatan”,

seperti “jendela dunia” (window of the world), “kotak ajaib” (miracle

box), “kotak dungu” (stupid box).

Aktivitas menonton televisi adalah sebuah proses yang aktif,

baik antar-pasrtisipan maupun antara partisipan dan televisi, yang di

dalamnya audiens tidak sekedar mengambil peran sebagai pihak

yang secara aktif memilih, namun juga memakai, menafsir serta

29

menyampaikan. Artinya aktivitas menonton televisi bukanlah

sekedar aktivitas menyorotkan mata ke layar kaca, melainkan

bersifat multi-faset dan kaya dimensi (Kris Budiman, 2002: 21).

Aktivitas menonton televisi biasanya dilakukan di dalam

ruang tertentu pada rumah masing-masing2 meskipun tidak dapat

dilepaskan dari lingkungan fisik yang mengelilingi atau

menyertainya. Berbagai aspek lingkungan di dalam rumah secara

langsung dapat menentukan bagaimana orang menonton televisi.

Faktor-faktor fisik ini mungkin menyangkut ketersediaan tempat,

jumlah pesawat televisi, serta penempatannya beserta benda-benda

lainnya di ruang tertentu (Kris Budiman, 2002: 37).

Dalam hal pengaturan ruang, faktor ketersediaan merupakan

sebuah persoalan penting. Ketersediaan tempat yang sempit dan

terbatas serta kepemilikan pesawat televisi tentu sangat terbatas pula

dalam menentukan lokasi untuk meletakkan dan menonton televisi.

Dengan keterbatasan itu, salah satu pilihan yang mungkin adalah

dengan menempatkan televisi di sebuah ruang yang menjadi pusat

kegiatan,3 misalnya ruang keluarga yang biasanya dijadikan tempat

istirahat bahkan menjadi tempat transit dari satu ruang ke ruang yang

lain.

2 Aktivitas menonton televisi juga dapat disaksikan di ruang-ruang publik (umum) seperti

warung makan, restoran, ruang tunggu, bahkan mungkin di pinggir jalan sekalipun. 3 Biasanya memiliki ukuran relatif lebih besar dibandingkan dengan ruang yang lain.

30

Secara tipikal, pesawat televisi akan ditempatkan pada salah

satu pojok atau sisi ruang tertentu, karena televisi akan menjadi titik

fokal, fokus visual dari organisasi ruang yang ada.

Menonton televisi bukanlah aktivitas yang soliter, sendiri dan

terpisah dari aktivitas-aktivitas yang lain. Sebaliknya, aktivitas

menonton televisi merupakan aktivitas sosial yang jalin menjalin

dengan tanggung jawab dan tugas-tugas rutin pengelolaan rumah

tangga sehari-hari (Kris Budiman, 2002: 60).

Di saat sedang menonton televisi, beberapa jenis aktivitas

lain dapat bertumpang tindih atau dilakukan bersamaan. Hal ini

bukan berarti bahwa menonton televisi tidak dapat dilakukan secara

terisolasi, sendirian dengan pandangan lebih terfokus. Seringkali

orang menonton televisi sekaligus melakukan aktivitas lainnya pada

saat yang bersamaan. Anggota-anggota keluarga menonton televisi

secara simultan dengan aktivitas lainnya seperti makan, mengerjakan

tugas-tugas, mendengarkan musik, memasak, membersihkan rumah,

bermain, membaca, mengasuh anak dan sebagainya. Bisa saja, ketika

tidak ada seorang pun menontonnya, televisi mungkin tetap tidak

dimatikan.

31

2.2. PERILAKU KEAGAMAAN

2.2.1. Pengertian Perilaku Keagamaan

Perilaku secara etimologi adalah “tantangan / reaksi individu

terhadap rangsangan / lingkungan (Depdikbud, 2001: 859). Secara

istilah (terminologi) menurut James Drever adalah “behavior is the

total response, motor and glandular, which an organism makes to

any situation with it if face (James Drever, 1971: 28). Maksudnya

tingkah laku adalah reaksi keseluruhan dari motor dan kelenjar yang

diberikan kepada organisme terhadap situasi yang dihadapinya.

Hasan Langgulung (1980: 139) menyebutkan bahwa perilaku

adalah gerak motorik yang termanifestasikan dalam bentuk segala

aktivitas seseorang yang dapat diamati. Jadi perilaku merupakan

reaksi total individu terhadap perangsang atau situasi dari luar yang

terwujud dalam gerak yang dapat diamati.

Keagamaan sendiri mempunyai arti segenap kepercayaan

(kepada Tuhan / Dewa) dan sebagainya serta dengan ajaran

kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu,

misal Islam, Kristen, dan lain-lain (W.J.S. Poerwadarminta, 1982:

18). Menurut Harun Nasution (1979: 10), Agama adalah ajaran-

ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada Manusia melalui seorang

Rasul.

32

Perilaku keagamaan menurut Ahmad Amin (1995: 12) adalah

tingkah laku yang didasarkan atas kesadaran beragama yakni tentang

adanya Yang Maha Kuasa. Jadi perilaku keagamaan adalah suatu

tingkah laku sebagai reaksi / tanggapan yang dilakukan dalam suatu

situasi yang dihadapinya yang berdasarkan atas kesadaran tentang

adanya Tuhan Yang Maha Esa.

Agama yang dimaksud dalam pembahasan skripsi ini adalah

agama Islam, maka secara sederhana dapat diambil pengertian

bahwa perilaku keagamaan merupakan keseluruhan aktivitas anggota

tubuh manusia yang berdasarkan syari’at Islam atau ibadah dalam

arti luas. Jadi, perilaku keagamaan adalah serangkaian tingkah laku

seseorang yang dilandasi dengan ajaran-ajaran agama Islam.

2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan

Manusia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna

bila dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Ini dikarenakan

dalam diri manusia terdapat kemampuan yang tidak dimiliki

makhluk lain dan mempunyai akal sebagai pembeda dengan

makhluk lain. Akibat adanya kemampuan inilah, manusia mengalami

perkembangan dan perubahan baik perubahan dalam segi psikologis

maupun fisiologis.

Perubahan yang terjadi pada diri manusia pada akhirnya akan

menimbulkan perubahan terhadap tingkah lakunya dimana

perkembangan perilaku manusia ini dipengaruhi banyak faktor.

33

Dalam hal ini Kurt Lewin berpendapat sebagaimana yang

dikemukakan oleh Jalaluddin Rahmat, bahwa perilaku manusia

bukan sekedar respon pada stimuli, tetapi produk berbagai gaya yang

mempengaruhinya secara spontan, gaya psikologis manusia disebut

sebagai ruang hayat dan ruang hayat ini adalah totalitas, realitas

psikologis yang mempengaruhi tingkah laku individu pada suatu

saat. Dengan kata lain, tingkah laku adalah fungsi dari pada ruang

hidup, interaksi antara pribadi dan lingkungan psikologis (Jalaluddin

Rahmat, 1992: 27).

Senada dengan pendapat Kurt Lewin, menurut William

Strem dalam bukunya Kartini Kartono (1990: 178) “Psikologi

Umum” yang mengatakan bahwa perkembangan individu akan

ditentukan oleh faktor yang dibawa sejak lahir (indogen) dan

lingkungan (ekstogen). Ada faktor konvergensi baik faktor dari

dalam maupun luar, keduanya menyatu bekerja sama.

Dari pendapat tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan

bahwa perkembangan serta perubahan perilaku manusia pada

prinsipnya dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor, yakni:

2.2.2.1. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang terdapat dalam diri

manusia itu sendiri, yakni kepribadian, sistem nilai,

motivasi serta sikap terhadap sesuatu yang ada disekitarnya

(Djamaluddin Ancok, 1992: 99-105).

34

2.2.2.2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang timbul dari luar

lingkungan sosial budaya sistem nilai yang ada di

masyarakat, kondisi lingkungan, kondisi tata ruang dan

kondisi ekonomi. Misalnya pengalaman pada masa kecil

khususnya dalam keluarga dan cara kedua orang tua

mempergauli anak, pengaruh kelas sosial dan berbagai

kelompok (M. Ustman Najati, 1995: 271).

Jika seseorang atau sekelompok orang memiliki perhatian

terhadap sesuatu (obyek) dan memahaminya serta menerima maka

akan terjadi perubahan sikap yang sekaligus perubahan tingkah laku

(Jalaluddin, 2001: 209).

Dengan demikian perilaku manusia tidak bisa lepas dari

pengaruh situasi dan kondisi kehidupan psikologis yang

melingkupinya.

2.2.3. Bentuk-bentuk perilaku keagamaan

Menurut aliran perilaku (behaviorisme), yang diilhami John

Broadus Watson dan digerakkan B.F. Skinner, mengatakan bahwa

perilaku keagamaan sebagaimana perilaku yang lain, merupakan

akibat dari proses tanggapan fisiologis manusia (Djamaluddin Ancok

& Fuat Nashari Suroso , 1995: 72).

Salah satu kenyataan yang terjadi dalam sepanjang perjalanan

sejarah umat manusia adalah fenomena keberagamaan. Ini

35

diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Oleh karena itu,

keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau

dimensi.

Menurut Glock & Stark (dalam Robertson, 1988) yang

dikutip oleh Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso (1995:

76-78), ada lima macam dimensi keberagamaan yaitu:

2.2.3.1. Dimensi keyakinan

Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan di mana orang

beragama berpegang teguh pada pandangan ketuhanan

tertentu dan mengakui kebenarannya.

2.2.3.2. Praktik agama

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan

hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan

komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek

keagamaan ini terdiri atas :

a. Ritual,

Praktek ini mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan

keagamaan formal dan praktek-praktek ibadah.

b. Ketaatan

Praktek ini meliputi, sembahyang, membaca kitab dan

lain-lain.

2.2.3.3. Pengalaman

36

Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa

semua agama mengandung pengharapan-pengharapan

tertentu.

2.2.3.4. Pengetahuan agama

Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang

yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal

pengetahuan mengenai dasar-dasar kenyakinan, ritus-ritus,

kitab suci dan tradisi-tradisi.

2.2.3.5. Pengamalan atau konsekuensi.

Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat

keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan

pengetahuan seseorang dari hari ke hari.

Oleh karena itu, praktek agama sebagai wujud dari

keberagamaan itu dapat diwujudkan dalam berbagai kehidupan

manusia. Bukan hanya sekedar melakukan ritual (peribadatan) saja,

namun juga segala aktivitas (perilaku keagamaan) yang didorong

oleh kekuatan supranatural yang dapat memberikan rasa aman bagi

manusia itu sendiri. Perilaku keagamaan merupakan akibat dari

proses tanggapan fisiologi manusia.

2.2.4. Shalat wujud praktek ritual keagamaan

Secara etimologi shalat berarti do’a, sedangkan secara

terminologi sholat adalah suatu perbuatan disertai ucapan-ucapan

dengan cara-cara tertentu, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri

37

dengan salam dengan niat untuk bersujud kehadirat Allah SWT

(Dja’far Amir, 1986: 44).

Menurut A. Malik Ahmad (1987: 11), shalat adalah do’a

yang dapat mendekatkan diri kepada Allah untuk beristighfar mohon

ampun atau menyatakan kesyukuran atas nikmat Allah atau untuk

memohon kepadaNya perlindungan dari bahaya atau beribadah atau

berbuat amal kebaikan karena mematuhi seruanNya dan bimbingan

RasulNya.

Sebagai salah satu bentuk ibadah, shalat merupakan bentuk

peribadatan ritual yang wajib dilaksanakan oleh setiap umat Islam,

tentunya yang mukallaf. Dalam shalat, seseorang bermunajat

langsung kepada Allah tanpa harus ada perantara, di samping itu

dapat mencurahkan segala problema hidup serta berserah diri

sepenuhnya kepada yang telah menciptakannya, karena pada

dasarnya hakekat shalat adalah menyatakan hajat dan kebutuhan

seorang hamba terhadap Khaliqnya sebagai Dzat yang patut

disembah melalui perbuatan, perkataan atau keduanya dengan

sepenuh hati dan jiwa yang mendatangkan rasa keagungan dalam

jiwa atas kesabaran dan kesempurnaanNya (TM. Hasbi Ash-

Shiddiqie, 1990: 63).

Jadi, shalat bukanlah sekedar do’a dan melaksanakan

perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam

saja, tetapi lebih dalam lagi adalah perbuatan yang dilakukan atas

38

kesadaran dengan sepenuh hati dan khusyu’ sehingga dapat

menimbulkan rasa takut, kagum atas kebesaran dan keagunganNya

serta rela terhadap sesuatu yang datang dariNya, untuk selanjutnya

membawa manusia kepada taqwa dan sabar, dapat terhindar dari

perbuatan keji, mungkar dan terealisasi dalam tindakan sehari-hari.

2.2.4.1. Dasar kewajiban shalat

Firman Allah SWT.

“Dan dirikanlah olehmu akan shalat berikanlah olehmu akan zakat dan ruku’lah kamu beserta orang-orang yang ruku’” (Q.S Al-Baqarah: 43).

“Dan dirikanlah olehmu akan shalat, karena

sesungguhnya shalat itu menghalangi kita dari fahsyaa (kejahatan) dan dari munkar (perbuatan yang keji).” (Q.S. Al-Ankabut: 45).

“ “Peliharalah baik-baik olehmu akan segala shalat

dan shalat wusthaa (shalat yang paling baik) dan berdiri tegaklah kamu untuk Allah (hal keadaan kamu) kekal dalam khusyu’.” (Q.S. Al-Baqarah: 238).

“ “Maka apabila kamu telah jauh dari kesulitan, atau

telah tenteram dirikanlah shalat, karena sesungguhnya shalat fardlu yang telah diwaktu-waktukan atas segala orang yang beriman.” (Q.S. An-Nisaa: 102).

Ayat-ayat Allah SWT ini memerintahkan kita

mendirikan shalat, menyatakan bahwa shalat itu

39

menghalangi kita dari fahsya dan munkar, memerintahkan

kita memelihara shalat dengan cara yang paling sempurna,

paling baik, menyuruh kita menegakkan shalat di waktu-

waktu yang telah ditentukan.

Ayat-ayat ini dijelaskan Nabi SAW. dengan

sabdanya:

“Islam didirikan dari lima sendi: mengaku

bahwasanya tidak ada Tuhan yang sebenar-benarnya disembah melainkan Allah yang Maha Esa, mengaku bahwasanya Muhammad itu pesuruhNya, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji dan berpuasa di bulan Ramadlan.” (H.R. Bukhary-Muslim dari Ibnu Umar)

2.2.4.2. Kedudukan shalat

Shalat sebagai suatu ibadah mahdhah untuk

berdzikir kepada Allah mempunyai kedudukan yang sangat

penting, sebab ibadah shalat merupakan ibadah pokok yang

merupakan tiang agama ( sebagaimana sabda Nabi SAW.

“Shalat adalah tiang agama, maka barang siapa yang

menegakkan (mengerjakan shalat), berarti menegakkan agama dan barang siapa yang meniadakan shalat (meninggalkannya), maka sesungguhnya ia telah meruntuhkan agama.” (H.R. Al-Baihaqi).

40

Hadits ini mengibaratkan agama sebagai sebuah

bangunan sedangkan shalat sebagai tiangnya, dan ini yang

mengisyaratkan bahwa shalat itu begitu penting

kedudukannya dan mendasar dalam kehidupan manusia.

Jika pengamalan shalatnya baik yang disertai dengan

pemahaman dan pengetahuan khususnya pengetahuan

shalat, secara langsung telah menegakkan dan

memperkokoh agama.

Ketaatan beragama seseorang diukur berdasarkan

shalatnya, sebab pelaksanaan shalat membias pada

pelaksanaan ibadah (keagamaan) lainnya.

2.2.4.3. Waktu-waktu shalat

Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa shalat

yang difardlukan itu mempunyai waktu tertentu.

Sebagaimana firmanNya:

“Bahwasanya shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas segala orang yang beriman.” (Q.S. An-Nisa’: 102)

Shalat yang difardlukan ini, sehari semalam ada 5

(lima) kali (Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,

1997: 120-123), yakni:

a. Dhuhur

41

Shalat ini terdiri dari 4 (empat) raka’at, yang

dilakukan dari tergelincirnya matahari dari pertengahan

langit dan akhirnya adalah ketika bayangan sesuatu

sama panjang dengan dirinya.

b. ‘Ashar

Terdiri dari 4 (empat) raka’at dikala bayangan

sesuatu telah sepanjang badannya, yakni mulai

berakhirnya waktu dhuhur dan akhirnya hingga waktu

matahari masih belum kuning.

c. Maghrib

Terdiri dari 3 (tiga) raka’at yang dilaksanakan

dari sempurna terbenam matahari dan akhirnya hilang

syafaq (cahaya merah di kaki langit di sebelah barat).

d. ‘Isya

terdiri dari 4 (empat) raka’at dari hilang syafa’

merah dan akhirnya hingga separuh malam.

e. Shubuh

Terdiri dari 2 (dua) raka’at yang dilaksanakan

dari terbit fajar shadiq (garis putih yang melintang dari

selatan ke utara di kaki langit sebelah timur) dan

akhirnya hingga sempurna terbit matahari.

2.2.4.4. Shalat jama’ah di masjid

42

Agama Islam menuntut dengan keras supaya kita

berjama’ah di masjid pada tiap-tiap shalat, pada tiap-tiap

minggu di hari Jum’at, supaya terjadi perkenalan antara

penduduk sekampung menjadi lebih luas dan perhubungan

antara seseorang dengan yang lain menjadi erat. Artinya,

kita wajib mengadakan dan menegakkan jama’ah pada

suatu tempat di tiap-tiap kampung yang dapat

mendhahirkan syi’ar agama. Sebagaimana firman Allah:

“Katakanlah olehmu, Tuhanku telah memerintahkan

aku berbuat adil, dan tegakkanlah mukamu di tiap-tiap

masjid.” (Q.S. A-A’raf: 28).

Selain itu keutaman shalat berjama’ah (di masjid),

adalah akan diberikan pahala 27 (dua puluh tujuh) derajat,

sebagaimana sabda Nabi SAW:

“Shalat jama’ah itu melebihi shalat sendirian

dengan dua puluh tujuh derajat.” (Mutafaq ‘alaih).

2.3. HUBUNGAN AKTIVITAS MENONTON TELEVISI DENGAN

PERILAKU KEAGAMAAN

Agama, dalam hal ini Islam, merupakan suatu fenomena sosial.

Agama Islam sebagaimana agama-agama yang lain memiliki dimensi

43

individual di samping yang bersifat sosial. Agama, karena itu lalu menjadi

berada dalam tataran aktivitas personal, intelektual, kesadaran, sekaligus

dalam hal tertentu merupakan suatu pranata dan struktur sosial yang sangat

mempengaruhi tindakan sosial, serta merupakan suatu faktor lingkungan

yang menghasilkan akibat-akibat perubahan tingkah laku.

Perilaku keagamaan erat kaitannya dengan kehidupan atau

fenomena-fenomena yang ada di lingkungannya. Masyarakat akan sangat

mudah untuk dipengaruhi atau terpengaruh oleh lingkungan.

Melalui informasi yang diberikan oleh televisi mengakibatkan

perubahan budaya, perubahan keagamaan, cara pandang dan perilaku

masyarakat sangat terbuka seakan tanpa sekat-sekat atau batas-batas yang

menyertainya terlepas pengaruh tersebut positif ataupun negatif. Karena

sifat dari televisi adalah audio-visual (dapat didengar dan dilihat).

Media televisi merupakan sarana utama dengan mana seseorang

belajar tentang masyarakat dan kebudayaannya. Melalui kontak dengan

televisi, dan media lain, seseorang belajar tentang dunia, orang-orangnya,

nilai-nilainya serta adat kebiasaannya yang menggambarkan betapa media

semakin menentukan kehidupan masyarakat di era informasi kini.

Apa yang ditampilkan media, terutama televisi, semakin besar

peranannya dalam menentukan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut

masyarakat. Lembaga-lembaga sosial konservatif seperti keluarga, sekolah,

agama dan masyarakat yang selama ini berperan dalam menanamkan nilai-

nilai dan norma-norma sosial semakin tergeser fungsinya oleh televisi.

44

Penempatan televisi di salah satu ruang, lalu pemanfaatan waktu

serta selera yang dimainkan oleh para penonton yang komplek sedikit

banyak berkaitan ketika pelaksanaan shalat ini mulai diterapkan. Dengan

dekatnya tata letak televisi dengan ruang ibadah, atau waktu menonton

televisi dengan waktu-waktu beribadah serta selera (program) televisi yang

menjadi favorit para penonton ketika waktu-waktu keagamaan (shalat)

mulai dilakukan. Hal ini mengakibatkan bagaimana pengaturan

(manajemen) dalam aktivitas menonton televisi dengan perilaku keagamaan

khususnya pelaksanaan shalat.

Lebih dari sekedar menghabiskan waktu di depan televisi, seringkali

waktu beragama dinomor-sekiankan atau mengabaikan kegiatan lainnya

seperti ibadah dan belajar.

Berangkat dari alur-pikir demikian, penelitian tentang aktivitas

menonton televisi dengan perilaku keagamaan ini mengasumsikan bahwa

“potret” perilaku keagamaan masyarakat yang pada dasarnya berkaitan

dengan struktur dan pranata sosial. Dalam hal ini aktivitas menonton televisi

merupakan suatu struktur yang ada dan terjadi pada sebuah komunitas

masyarakat tertentu.